REFERAT anestesi

52
REFERAT MANAJEMEN NYERI PADA PASIEN POST OPERASI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensie Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul Diajukan Kepada : dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp.An. M.Kes Disusun oleh : Dwi Yuliannisa Amri 20100310133 SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIE RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

description

referat

Transcript of REFERAT anestesi

Page 1: REFERAT anestesi

REFERAT

MANAJEMEN NYERI PADA PASIEN POST OPERASI

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti

Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensie

Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada :

dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp.An. M.Kes

Disusun oleh :

Dwi Yuliannisa Amri

20100310133

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIE

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015

Page 2: REFERAT anestesi

HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

MANAJEMEN NYERI PADA PASIEN POST OPERASI

Disusun oleh:

Dwi Yuliannisa Amri

20100310133

dipresentasikan pada:

Agustus 2015

Bantul, Agustus 2015

Menyetujui dan mengesahkan,

Pembimbing

dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp.An. M.Kes

Page 3: REFERAT anestesi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nyeri merupakan bagian dari pengalaman makhluk hidup sehari-hari dan hampir selalu

merupakan manifestasi dari suatu proses patologis. Nyeri adalah salah satu alasan paling

umum bagi pasien untuk mencari bantuan medis dan merupakan salah satu keluhan yang

paling umum di Amerika Serikat. Sembilan dari 10 orang Amerika berusia 18 tahun atau

lebih, menderita nyeri minimal sekali sebulan, dan 42% merasakannya setiap hari.

Nyeri mempunyai sifat yang sangat unik karena di satu sisi nyeri akan menimbulkan

penderitaan bagi yang merasakan, tetapi di sisi lain nyeri juga dapat menunjukkan

manfaatnya. Nyeri disebut bermanfaat karena merupakan indikator kerusakan jaringan yang

dapat timbul tanpa ada penyebab yang diketahui. Derajat disabilitas dalam hubungannya

dengan pengalaman nyeri dapat bervariasi, juga terdapat variasi individual pada respon

terhadap metode anti nyeri. Pemahaman tentang mekanisme dan fisiologi nyeri sangatlah

penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh pasien. Bila pengelolaan

nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, lambat laun nyeri itu dapat berkembang menjadi

nyeri kronik.Pengobatan yang direncanakan untuk menanggulangi nyeri haruslah diarahkan

pada proses penyakit yang mendasari guna pengendalian respon nyeri tersebut.

Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk mengurangi atau

menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efeksamping seminimal

mungkin.Pereda nyeri pascaoperasi haruslah mencerminkan kebutuhanmasing-masing pasien

dan hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan berbagai macamfaktor. Faktor-faktor

tersebut dapat dirangkum sebagai faktor klinis, patient-related factors,dan faktor lokal. Pada

analisa akhir, ditemukan bahwa penentu utama kecukupan dari peredanyeri pascaoperasi

adalah persepsi pasien itu sendiri terhadap rasa sakit.

Efektivitas dari pereda rasa nyeri pascaoperasi adalah sangat penting untuk

menjadipertimbangan bagi siapa saja yang sedang mengobati pasien yang menjalani operasi.

Hal iniawalnya harus dicapai karena alasan kemanusiaan, tapi kemudian ditemukan bahwa

denganadanya manajemen nyeri pascaoperasi yang baik, maka keadaan fisiologis pasien pun

akanmenjadi lebih baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu

penyembuhanpascaoperasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang lebih cepat,

tetapi jugadapat mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome.

Page 4: REFERAT anestesi

B. Tujuan Penulisan

Refarat ini bertujuan untuk membahas mengenai metode-metode yang dapat dipakai

untuk manajemen pascaoperasi. Akan didiskusikan bagaimana caranya menggunakan obat-

obat yang bekerja di perifer ( misalnya, Obat Anti Inflamasi Non Steroid), obat-obat yang

bekerja sentral (misalnya, Opioid), dan obat-obat anestesi lokal untuk mencapai tujuan ini.

Page 5: REFERAT anestesi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyeri

1. Definisi

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut

International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan

emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual

maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

2. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.

Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang

berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut

juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada

juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat

dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam

(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri

yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan

sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan

didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri

dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang

terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit

dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada

tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur

reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral

Page 6: REFERAT anestesi

seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini

biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,

iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat

menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba

menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap

paling relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965)

mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di

sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat

sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya

menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari

otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan

substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat

mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan

neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A,

maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat

saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan

menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A

dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi

nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi

di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti

endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator

ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik

distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin

(Potter, 2005)

Respon fisiologis terhadap nyeri

a. Stimulasi Simpatik: (nyeri ringan, moderat, dan superficial)

i. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

ii. Peningkatan heart rate

iii. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

Page 7: REFERAT anestesi

iv. Peningkatan nilai gula darah

v. Diaphoresis

vi. Peningkatan kekuatan otot

vii. Dilatasi pupil

viii. Penurunan motilitas GI

b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

i. Muka pucat

ii. Otot mengeras

iii. Penurunan HR dan BP

iv. Nafas cepat dan irreguler

v. Nausea dan vomitus

vi. Kelelahan dan keletihan

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini

bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar

tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam

fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat

subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi

terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang

mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan

stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah

merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi

terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi

terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri

datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang

yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin

berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan

individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien bisa

mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi

dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat

Page 8: REFERAT anestesi

untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan

pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum

tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus

seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien

mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih

membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga

dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami

episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah

kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri

untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

3. Patofisiologi Nyeri

Bila terjadi kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti

pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat

kimia bersifat algesik (kalium, serotonin, bradikinin, histamin dan prstaglandin) yang

berkumpul di sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. Akan terjadi pelepasan beberapa jenis

mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti

metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan

efek melalui mekanisme spesifik.

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai

dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Banyak teori berusaha untuk

menjelaskan dasar neurologis dari nosisepsi nyeri, meskipun tidak ada satu teori yang

menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri tersebut ditransmisikan atau diserap. Untuk

memudahkan memahami fisiologinya, maka nyeri nosiseptif dibagi atas 4 tahapan yaitu:

a. Transduksi : Stimulus noksius yang kemudian ditransformasikan menjadi impuls

berupa suatu aktifitas elektrik pada ujung bebas saraf sensorik.

b. Transmisi : Propagasi atau perambatan dari impuls tersebut pada sistem saraf

sensorik.

c. Modulasi : Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan input nyeri yang

masuk di kornu posterior medula spinalis.

d. Persepsi : Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi yang kemudian

membentuk suatu pengalaman emosional yang subjektif.3

Page 9: REFERAT anestesi

Gambar 1. Mekanisme perjalanan nyeri

4. Penilaian Nyeri

Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,

kebudayaan dan hal-hal lainnya. Karena itu mengukur intensitas nyeri merupakan masalah

yang relatif sulit. Pengukuran kualitas nyeri menolong dalam hal terapi yang diberikan dan

penilaian efektifitas pengobatan. Definisi nyeri yang jelas sangat dibutuhkan karena nyeri

memberikan gambaran kerusakan jaringan atau kerusakan organ atau reaksi emosional.

Ada beberapa macam metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas

nyeri antara lain:

a. Verbal Rating Scale (VRSs)

Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendeskripsikan nyeri yang

dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan

karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat

digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali nyeri dirasakan

sampai saat tahap penyembuhan. Penilaian dari nyeri berdasarkan metode ini adalah

tidak nyeri (none), nyeri ringan (mild), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe)

dan nyeri sangat berat (very severe).

b. Numerical Rating Scale (NRSs)

Metode ini menggunakan angka-angka dengan bantuan kata-kata untuk

menggambarkan range dari intensitas nyeri yang dirasakan. Umumnya pasien

Page 10: REFERAT anestesi

menggambarkan nyeri dari 0-10, 0-20, atau dari 1-100. “0” menggambarkan tidak ada

nyeri sedangkan “10,20,100” menggambarkan nyeri yang hebat. Metode ini dapat

diaplikasikan secara verbal maupun melalui tulisan, sangat mudah dimengerti dan

mudah dilaksanakan.

Gambar 2 Numeric pain intensity scale

c. Visual Analogue Scale (VASs)

Metode ini yang paling sering digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri.

Metode ini menggunakan garis dengan panjang 10 cm yang menggambarkan keadaan

tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang

menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode

ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, sangat mudah

dikerjakan, mudah dimengerti dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis.

Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun.

No Pain The most intense pain

Imaginable

Gambar 3 Visual analogue scale

d. McGill Pain Questionnaire (MPQ)

Metode ini menggunakan check list untuk mendeskripsikan gejala-gejala nyeri

yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain dari

sensorik, afektif dan kognitif. Pasien memilih kata-kata yang menggambarkan nyeri

yang dirasakan dan nyeri yang dirasakan dimasukkan kedalam indeks yang

menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan. Intensitas nyeri digambarkan dengan

merengkingnya dari “0” tidak ada nyeri sampai “3” nyeri hebat.

Selain metode diatas cara lain untuk menggambarkan atau nilai intensitas

nyeri dapat dilihat dan dinilai melalui mimik wajah dari pasien dan biasanya metode

ini digunakan untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.

Page 11: REFERAT anestesi

5. Penatalaksanaan Nyeri

Setelah diagnosis nyeri ditegakkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk

itu berbagai modalitas pengobatan nyeri harus dipilih dengan tepat. Berbagai modalitas

pengobatan nyeri pada dasarnya dapat digolongkan dalam:

1) Modalitas fisik pada unit rehabilitasi medik

2) Modalitas kognitif-behavioral pada pendekatan psikososial

3) Modalitas invasive melalui pendekatan perioperatif dan radioterapi

4) Modalitas psikoterapi

5) Modalitas farmakoterapi

Garis besar terapi farmakologi mengikuti “WHO Three Step Analgesic Ladder”. Tiga

langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri terdiri dari:

1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau COX2

spesific inhibitors.

2. Tahap kedua, diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat lemah misalnya

kodein.

3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih kuat.

Gambar 4 WHO Three Step Analgesic Ladder

Pada dasarnya prinsip “Three Step Analgesic Ladder” dapat diterapkan untuk nyeri

kronik maupun nyeri aku, yaitu pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3,

sedangkan pada nyeri akut mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.

B. Manajemen Nyeri Pasca Operasi

Page 12: REFERAT anestesi

The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk meningkatkan

penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini dapat juga dipakai

untukmenangani nyeri akut karena memiliki strategi yang logis untuk mengatasi nyeri.

Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan adalah

ObatAnti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan obat-obatan

yangbekerja di perifer. Apabila dengan obatobatanini, nyeri tidak dapat teratasi,

makadiberikan obat-obatan golongan Opioidlemah seperti kodein dandextropropoxyphene

disertai dengan obat –obat lain untuk meminimalisasi efeksamping yang timbul. Apabila

regimen initidak juga dapat mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-

obatangolongan Opioid Kuat, misalnya Morfin.Belakangan, World Federation of Societies of

Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkanuntuk mengobati nyeri

akut.Pada awalnya,nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yangberat sehingga perlu

dikendalikan dengananalgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang

seiring berjalannya waktudan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat

dihentikan. Anak tanggakedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah pemulihan penggunaan

rute oral untukmemberikan analgesia.Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang

memadai dapatdiperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di

perifer dan opioidlemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya

dengan menggunakanobat-obatan yang bekerja di perifer

1. Opioid

Opioid adalah obat yang biasa digunakan sebagai analgesik pada pasien bedah dan

merupakan standar emas. Penekananan terhadap sistem pernafasan dapat terjadi pada

pemberian dosis tinggi dan sering terjadi saat dikombinasikan dengan benzodiazepine.

Hipotensi setelah pemberian opioid dapat terjadi pada pasien dengan hipovolemia atau pada

pasien yang telah menunjukkan kolaps kardiovaskular.

Durasi analgesik dan toleransi terhadap efek samping dalam bentuk oral membuat

pemberian obat secara oral lebih dipilih. Pada pasien dengan kasus akut, pemberian obat

diberikan secara intravena dan epidural.

Opioid Lemah

Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti

morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat diprediksi bila

diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine dapat

dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui

Page 13: REFERAT anestesi

maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet. Dosis

berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.

Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi memiliki sifat

analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol

dan kewaspadaan yang sama seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg

(dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg

setiap hari.

Opioid Kuat

Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan Opioid

kuat sebagai analgesianya. Perawatan yang tepat dimulai dengan pemahaman yang benar

tentang obat, rute pemberian dan modus tindakan. Pemberian awal akan mencapai

konsentrasi obat yang efektif sehingga lebih mudah untuk mempertahankan tingkat terapeutik

obat di dalam darah.

Pemberian melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah pembedahan. Jika

fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau besar,maka analgesia kuat tidak

diperlukan. Namun, rute oral mungkin tersedia pada pasien yang telah sembuh dari

pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti morfin dapat digunakan karena morfin

sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara

pemberian lain harus dilakukan. Secara umum, analgesia yang efektif dapat diberikan melalui

suntikan.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada variasi yang

besar dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah injeksi intramuskular. Ini mungkin

dipengaruhi oleh gangguan hepatik atau penyakit ginjal, usia yang ekstrim dan adanya terapi

obat yang lain. Kondisi apapun yang mengurangi aliran darah perifer dapat mengganggu

penyerapan obat dan dengan demikian, mengurangi suhu tubuh, hipovolemia dan hipotensi

semua ini akan mengakibatkan menurunnya penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan

hipotiroidisme keduanya menyebabkan penurunan metabolisme yang menyebabkan

peningkatan kepekaan terhadap obat-obatan.

Metode menggunakan obat opioid

Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute yang paling

dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk mengobati nyeri akut adalah

bahwa penyerapan opioid dapat berkurang akibat keterlambatan pengosongan lambung

Page 14: REFERAT anestesi

pascaoperasi. Mual dan muntah dapat mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikan

secara oral dan di samping itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus

dan hati. Jadi rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus.

Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi obat.

Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak melewati metabolisme lintas

pertama. Obat yang telah paling sering digunakan oleh rute ini adalah buprenorfin yang cepat

diserap dan memiliki durasi kerja yang panjang (6 jam).

Rute supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada metabolisme jika

diberikan melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang berguna, terutama jika terdapat

nyeri berat yang disertai dengan mual dan muntah. Opioid dapat diberikan dengan efektif

melalui supositoria tetapi tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat

dan kadang-kadang penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok untuk

pemeliharaan analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar

setengah yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan opioid untuk penggunaan rektal sangat

bervariasi di seluruh dunia.

Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara berkembang.

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek analgesia akan berhubungan

dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk mengatasi masalah ini adalah dengan

melaksanakan analgesik secara reguler setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi

intramuskular opioid dapat sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk

mencapai tingkat ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan

pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri.

Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum untuk

memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-operasi untuk

menghasilkan analgesia langsung. Rute ini memiliki kelemahan fluktuasi produksi

konsentrasi plasma obat yang disuntikkan, meskipun bila dilakukan dengan hati-hati injeksi

intravena dapat meredakan nyeri dengan lebih cepat dari metode lain. Namun secara umum

teknik infus, baik oleh suntikan intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam

pengawasan ketat dan berada dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika

pasien dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk periode singkat.

Patient Controlled Analgesia (PCA)

Page 15: REFERAT anestesi

Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui bahwa

kebutuhan individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun suatu sistem di mana

pasien dapat mengelola analgesia intravena mereka sendiri dan mentitrasi dosis titik akhir

penghilang rasa sakit mereka sendiri menggunakan mikroprosesor kecil yang dikontrol

dengan sejenis pompa. Berbagai perangkat komersial sekarang tersedia untuk tujuan ini..

Dengan demikian mereka dapat menyesuaikan tingkat analgesia yang diperlukan, menurut

keparahan rasa sakit. Secara teori, tingkat plasma dari analgesik akan relatif konstan dan efek

samping yang disebabkan oleh fluktuasi tingkat plasma akan dihilangkan.

Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka pasien

harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara rinci sebelum

operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA. Secara teori, obat yang ideal

harus memiliki onset yang cepat, durasi kerja sedang, dan memiliki margin keselamatan yang

luas antara efektivitas dan efek samping. Pilihan biasanya tergantung pada ketersediaan,

preferensi pribadi dan pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat parameter-parameter lainnya

perlu ditentukan termasuk ukuran bolus dosis, jangka waktu minimum antara dosis (kunci-

habis) dan dosis maksimum yang diperbolehkan.

Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai contoh. Dosis

ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang diperlukan dalam setiap

kasus untuk memastikan bahwa analgesia telah memadai. Tujuan jangka waktu minimum

antar dosis adalah untuk mencegah terjadinya overdosis. Jangka waktu minimum antar dosis

harus cukup lama untuk dosis sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya, jangka waktu

ini berkisar antara 5 dan 10 menit cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam prakteknya,

adalah lebih logis untuk menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan sangat bervariasi

dan beberapa pasien mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar untuk mencapai nyeri

yang memadai.

Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke titik di mana

mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan untuk hal ini adalah tidak

jelas tetapi mungkin berkaitan dengan kekhawatiran akan overdosis, kebutuhan untuk kontak

dengan anggota staf rumah sakit dan harapan setelah operasi

Page 16: REFERAT anestesi

.

a. Morfin

Morfin adalah opioid yang paling dikenal dan sering digunakan. Dari segi

harga morfin cukup terjangkau dan memiliki efek analgesik yang baik. Morfin

memiliki beberapa metabolit aktif yang membutuhkan clearance ginjal dan

penggunaannya pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko toksisitas

dan efek samping. Selain itu morfin juga berhubungan dengan pelepasan histamine

yang menyebabkan terjadinya pruritus.

Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi

pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi

kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.3 Kombinasi

analgetik opiate dengan alkohol atau depresan sistem saraf pusat yang lain akan

menguatkan depresi pernafasan dan berpotensi berbahaya menyebabkan kematian.

Morfin dapat menyebabkan dilatasi vena dan arteriol sehingga dapat menyebabkan

hipotensi ortostatik.

b. Fentanil

Fentanil memiliki onset yang cepat dan durasi yang singkat, menyebabkan

dosis intermiten untuk kontrol nyeri berkelanjutan menjadi sebuah problema. Fentanil

diberikan kepada mereka yang memiliki alergi terhadap morfin dan tidak

menimbulkan pelepasan histamine. Fentanil tidak memiliki metabolit aktif yang

membutuhkan clearance dan aman digunakan pada pasien dengan gagal ginjal.

Page 17: REFERAT anestesi

Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x

morfin.Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut

dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan.3 Turunan fenilpiperidin ini

merupakan agonis opioid poten.Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih

potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat

mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan

morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf

tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestesi lokal yang lemah (dosis

yang tinggi menekan hantaran saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada

terminal saraf tepi.

Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir

sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali

melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan,

sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB

analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk

anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.Dosis besar 50-150 mg/kg BB

digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi

bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia

adalah suntikan 50 mg/ml. Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung

yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah

peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.

2. Non Opioid

Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh dunia

adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri

ringan sampai sedang. Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di

seluruh dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme

menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam

dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung

oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi

kerja aspirin dapat berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida.

Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,

menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya

Page 18: REFERAT anestesi

yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief pascaoperasi harus

dihindari apabila masih tersedia obat-obatan alternatif lainnya. Aspirin juga memiliki

keterkaitan epidemiologis dengan Reye’s Syndrome dan harus dihindari untuk diberikan

sebagai analgesia pada anak-anak usia di bawah 12 tahun. Dosis berkisar dari minimal

500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4g, per oral per hari.

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik dan

antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis prostaglandin oleh enzim

cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang

merupakan mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan

karenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada

umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal,

dan permukaan sendi tulang.

Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya tindakan.

Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang panjang maka

dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat-

obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang

dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet

sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat

sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan

pendarahan lambung sebagai efek samping.

Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif,

murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan OAINS

Page 19: REFERAT anestesi

lainnya. Alternatif lainnya adalah diclofenak, naproxen, piroxicam, ketorolac, indometasin

dan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain

seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai

supositoria dan diserap dengan baik.

Asetaminofen

Asetaminofen merupakan terapi awal untuk nyeri ringan sampai sedang dan

sebagai adjunct pada kasus nyeri yang lebih berat. Ketika obat ini dikombinasikan

dengan opioid akan memiliki efek yang lebih kuat dibandingkan dengan pemberian

opiod dalam dosis tunggal.

Obat ini memiliki khasiat analgesik dan antipiretik yang baik, namun tidak

memiliki efek anti inflamasi. Mekanisme aksinya menghambat prostaglandin, tetapi

target aksi sebenarnya yang membedakannya dengan NSAID yang lain masih menjadi

perdebatan. Ia dikatakan bekerja secara spesifik pada enzim siklooksigenase (COX)-3

yang berada di sistem saraf pusat, sehingga efeknya terhadap COX-1 dan COX-2

perifer relative rendah. Dengan mekanismenya itu, ia menghambat pembentukan

prostaglandin secara sentral, namun tidak di jaringan, sehingga kurang berefek

sebagai anti-inflamasi. Hal ini juga yang menyebabkan parasetamol tidak berefek

buruk pada lambung karena tidak menghambat sintesis prostaglandin yang

dibutuhkan untuk proteksi lambung. Namun, pada dosis besar (6-12g) dapat

menyebabkan kerusakan hati karena terbentuknya metabolit toksik yaitu N-acetyl-p-

benzoquinoneimine (NAPQI). Pada paparan paracetamol yang melebihi dosis, jumlah

dan kecepatan pembentukan NAPQI melebihi kapasitas hati dan ginjal untuk mengisi

ulang cadangan glutation yang diperlukan untuk mendetoksikasinya. Karena itu

penggunaannya harus dibatasi maksimal 4g/24 jam (setara dengan 8 tablet @500mg).

Paracetamol dapat merusak hati, maka bila ditambah dengan mengkonsumsi alkohol

secara berlebihan maka akan mempercepat terjadinya kerusakan hati.

NSAID

NSAID efektif dalam menangani nyeri terutama yang melibatkan inflamasi.

NSAID menghambat enzim cyclooxygenase (COX) dan memberikan efek analgesik

dan antiinflamasi. Selain bekerja di perifer, NSAID juga bekerja di sentral pada otak

atau medulla spinalis memberikan efek analgesik. NSAID merupakan inhibitor kuat

sintesis prostaglandin. Kerjanya yaitu mencegah enzim cyclooxygenase (COX) untuk

mensintesa prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh

obat ini. Prostaglandin sebenarnya bukan merupakan mediator nyeri yang penting,

Page 20: REFERAT anestesi

tetapi dapat menyebabkan hiperalgesia melalui sensitisasi nosiseptor perifer terhadap

berbagai jenis mediator nyeri dan radang seperti somatostatin, bradikinin, dan

histamin.

Terdapat 2 isoform COX yang telah dikenali. COX-1 diekspresikan pada

seluruh jaringan dalam kondisi fisiologis, sementara COX-2 diinduksi oleh mediator

radang dalam kondisi patologis. Penghambatan terhadap COX-1 sering dikaitkan

dengan terjadinya efek samping NSAID, sedangkan efek anti radang adalah sebagai

akibat dari penghambatan COX-2.

Terdapat beberapa efek samping dari penggunaan NSAID. Efek samping

tersebut, antara lain:

Diare, perdarahan gastrointestinal

Dispepsia, peptic ulcer

Disfungsi dan gagal ginjal (nekrosis papiler akut, nefritis interstial kronis,

penurunan aliran darah ginjal, penurunan kecepatan filtrasi glomerulus,

retensi air dan garam.

Penghambatan agregasi platelet dan peningkatan waktu pendarahan

Gangguan fungsi hati, jaundice

Menghambat perbaikan tulang rawan pada osteoartirtis.

NSAID sebaiknya digunakan sebagai obat lini pertama untuk mengobati nyeri

ringan dan sedang dan harus dikombinasi dengan opioid, bila tidak ada

kontraindikasi, pada nyeri yang lebih berat. Beberapa peneliti melaporkan kombinasi

NSAID dengan opioid menurunkan kejadian dan tingkat keparahan efek samping dari

penggunaan opioid. Peneliti lain melaporkan adanya peningkatan analgesia dan

penurunan efek samping bila NSAID dikombinasi dengan opioid intratekal.7 Obat ini

perlu mendapat perhatian pada penggunaannya pada sakit dan trauma akut karena

obat ini melemahkan fungsi ginjal dan platelet dan menyebabkan perdarahan

gastrointestinal. Risiko terjadinya efek samping pada penggunaan NSAID meningkat

bila dikombinasikan dengan beberapa obat seperti penggunaan bersama diuretik pada

pasien insufisiensi ginjal kronis, penggunaan bersama steroid, coumadin atau heparin.

Tempat kerja NSAID yang utama diyakini berada di perifer meskipun baru-

baru ini penelitian menunjukkan bahwa penghambatan siklooksigenase-pusat 2

(COX-2) juga mungkin memainkan peran penting dalam modulasi nosisepsi. NSAID

menghambat sintesis prostaglandin baik di sumsum tulang belakang dan di perifer,

sehingga mengurangi keadaan hyperalgesic setelah bedah trauma. NSAID berguna

Page 21: REFERAT anestesi

sebagai analgesik tunggal setelah prosedur bedah minor dan mungkin memiliki

opioid-sparing effect yang signifikan setelah operasi besar.

NSAID sangat berguna dalam mengurangi jumlah opioid yang dibutuhkan

oleh pasien dan dengan demikian dapat mengurangi efek samping opioid. NSAID

juga memainkan peranan penting sebagai adjuvant pada obat lain, seperti analgesia

epidural, dan ketorolac IV dapat diberikan sebagai analgesia preemptif.

Ketorolac Trometamin adalah obat non-steroid anti-inflamasi (NSAID) yang

bekerja pada cyclooxigenase menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap

sebagai analgesik yang kuat, baik perifer dan sentral, selain memiliki efek anti-

inflamasi dan antipiretik, ketorolac dapat mengurangi nyeri ringan sampai nyeri berat

pada kasus-kasus darurat, nyeri musculosceletal, pasca operasi kecil atau besar, dan

nyeri kanker pada orang dewasa atau anak-anak. Ketorolac memiliki khasiat

analgesik setara dengan morfin atau pethidin. Efek analgesik awal ketorolac mungkin

lebih lambat, namun durasi lebih lama dari opioid. Dosis ketorolac yang biasa

digunakan adalah 30 mg diberikan secara intravena. Kombinasi terapi ketorolac dan

opioid dapat mengurangi 25-50% dari kebutuhan opioid dan secara tidak langsung

menurunkan efek samping opioid seperti ileus, mual, dan muntah, normalisasi fungsi

saluran pencernaan lebih cepat dan tinggal di rumah sakit lebih pendek.8,9

Formulasi parenteral ketorolak trometamin telah tersedia selama bertahun-

tahun dan saat ini hanya NSAID intravena yang digunakan untuk pengobatan nyeri

pasca operasi muncul di Amerika Serikat. Sebuah rute baru pemberian ketorolak

melalui intranasal semprot. Dalam sebuah studi double-blind placebo-dikontrol,

pasien menjalani operasi besar (abdomen atau ortopedi) menerima 30mg ketorolac,

10mg ketorolac, atau plasebo semprot pada pemulihan dari anestesi umum. Semua

pasien kemudian menggunakan Patient Control Analgesia (PCA) morfin untuk 40

jam berikutnya. Konsumsi morfin selama 24 jam awal berkurang pada kelompok

ketorolak 30mg (37,8 mg) dibandingkan dengan kelompok plasebo (56.5mg) dan

kelompok ketorolak 10mg (54.3mg). Pengurangan nyeri selama 6 jam pertama pasca

operasi lebih tinggi pada kelompok ketorolak 30mg dibandingkan plasebo. Efek

samping yang muncul terkait pemberian opioid, seperti mual atau pruritus, tidak

berbeda antara ketiga kelompok. Di Eropa, Penggunaan intravena acetaminophen

digunakan sebagai landasan analgesia perioperatif multimoda.

COX-2-selektif inhibitor memiliki keuntungan lebih dibandingkan NSAID

pada perioperatif dimana COX-2-selektif inhibitor tidak meningkatkan risiko

Page 22: REFERAT anestesi

perdarahan. Satu kelompok pasien menjalani artroplasti lutut total di bawah anestesi

spinal yang menggunakan COX-2-selektif inhibitor celecoxib 200mg pada 1 jam

sebelum operasi dan setiap jam 12 selama 5 hari. Kelompok yang lainnya menerima

plasebo pada titik waktu yang sama. Selama 24 jam pertama, penggunaan morfin

PCA berkurang pada kelompok celecoxib (15,1 mg) dibandingkan kelompok plasebo

(19,7 mg). Selama periode 48 jam, skala analog visual (VAS) skor nyeri pada sisanya

lebih rendah pada kelompok celecoxib dibandingkan kelompok plasebo. Celecoxib

juga meningkatkan jangkauan gerak lutut selama 3 hari pertama pasca operasi.

Insiden mual dan muntah pasca operasi (PONV) tidak berbeda pada kedua kelompok.

3. N-Methyl-D-Aspartate Antagonists

Ketamin

Ketamin merupakan derivate phencyclidine yang memiliki efek analgesik dan

dapat mengontrol nyeri tanpa menyebabkan penekanan terhadap sistem pernafasan,

airway compromise, kerusakan hemodinamik. Ketamin berinteraksi dengan

antagonist reseptor N-methyl-D-aspartate, yang dikenal sebagai analgesik dan

menyebabkan efek psikomimetik. Obat ini dapat berhubungan dengan terjadinya

halusinasi, delirium, dan aspirasi sehingga penggunaannya harus dalam pengawasan.

Ketamin biasanya digunakan pada kondisi yang dimonitoring seperti pada ruang

rawat intensif (intensive care unit) dan kamar operasi.

Pada dosis yang kecil (0,1-0,5 mg/kgBB) ketamin memiliki efek analgesia

yang kuat. Reseptor NMDA berperan terhadap memori nyeri. Antagonis terhadap

NMDA akan menghambat induksi sensitisasi nyeri sentral dan menekan

hipersensitivitas nyeri setelah terjadi stimulasi nyeri.

Meskipun dosis tinggi ketamin telah menyebabkan efek psikomimetik (sedasi

berlebihan, disfungsi kognitif, halusinasi, mimpi buruk), dosis rendah atau

subanestetik ketamin telah menunjukkan kemampuan analgesik yang signifikan tanpa

efek samping. Ada bukti bahwa dosis rendah ketamin mungkin memainkan peran

penting dalam pasca operasi manajemen nyeri ketika digunakan sebagai tambahan

untuk opioid, anestesi lokal, dan agen analgesik lain. Pada pasien menjalani operasi

penggantian lutut total di bawah anestesi umum, ketamin atau plasebo diberikan

selama bedah (0,2 mg / kg diikuti oleh 2mg/kg/min) dan hari kedua pasca operasi

(10mg/kg/min). Penggunaan PCA morfin selama periode 48 jam pasca operasi pada

kelompok ketamin (50,5 mg) dibandingkan dengan kelompok plasebo (72,1 mg).

Page 23: REFERAT anestesi

Skor nyeri saat istirahat dan dengan gerakan pada kelompok ketamin lebih rendah

dibandingkan plasebo. Waktu untuk mencapai lutut fleksi 908 lebih pendek pada

kelompok ketamin, dan kejadian PONV berkurang. 4,5,10

Pasien yang menjalani pembedahan perut di bawah anestesi umum secara acak

tiga kelompok: perioperatif ketamin (intraoperatif, 0,5mg / kg kemudian 2 mg / kg /

menit, dan pasca operasi, 2 mg / kg / menit untuk selanjutnya 48 jam), intraoperatif

ketamin saja, atau plasebo. Penggunaan PCA morfin berkurang dalam kelompok

ketamin perioperatif (27 mg) dibandingkan dengan kelompok intraoperatif ketamin

(48mg) atau plasebo (50 mg). Menariknya, skor nyeri pada 24 dan 48 jam lebih

rendah yang perioperatif dan intraoperatif ketamin dibandingkan dengan kelompok

plasebo. Insiden PONV lebih besar pada kelompok plasebo dari perioperatif ketamin

kelompok. Namun, penelitian lain gagal untuk menunjukkan opioid-sparing effect

ketamin. Setelah pembedahan ginekologis besar dengan anestesi umum, ketamin

(0,15 mg /kg sebelum sayatan, kemudian digabungkan PCA ketamin 0,5 mg / ml

dengan 1mg/ml morfin selama 48 jam) atau plasebo (PCA morfin saja) tidak

mengurangi kebutuhan PCA morfin. Total dosis ketamin 44mg pasca operasi. Skor

nyeri juga tidak berbeda antara kelompok. Setelah anak (12-18 tahun) operasi

skoliosis, intraoperatif ketamin (0,5 mg / kg, kemudian 4 mg / kg / menit) tidak

mengurangi PCA pascaoperasi menggunakan morfin selama 24, 48, atau 72 jam

berikutnya dibandingkan dengan plasebo. Skor nyeri dan kejadian PONV tidak

berbeda antara kedua kelompok. Kurangnya efek klinis dalam dua studi mungkin

karena ketamin dosis rendah (sekitar 0,2 mg / kg / menit) atau tidak melanjutkan dosis

ke periode pasca operasi.

Magnesium

Agen ion magnesium pertama kali ditemukan untuk menjadi channel blocker

NMDA. Pada dosis yang sangat tinggi, perioperatif magnesium sulfat intravena telah

dilaporkan dapat mengurangi konsumsi morfin pasca operasi tetapi tidak skor nyeri

pasca operasi. Pada pasien yang menjalani total abdomen histerektomi dengan

anestesi umum, magnesium sulfat (50mg/kg, maka 15mg/kg/jam) atau plasebo diberi

intraoperative. Pascaoperasi menggunakan PCA morfin kurang dari 48 jam dalam

kelompok magnesium. Skor nyeri pada saat istirahat dan dengan gerakan lebih rendah

pada kelompok magnesium pada 24 dan 48 jam, dan kejadian PONV juga lebih

rendah dibandingkan dengan plasebo.5

Page 24: REFERAT anestesi

4. Alpha-2 Adrenergic Agonists

Alfa-2 agonist (klonidin, dexmetomidine) telah menunjukkan keefektifannya dalam

mengontrol nyeri dan memiliki efek samping yang rendah. Obat ini relative larut dalam

lemak dan diabsorsi serta didistribusi dengan cepat.

Mekanisme kerja analgesik dari Alpha-2 adrenoreceptor agonist belum sepenuhnya

dapat dimengerti. Efek primer dari alpha-2 adrenergic agonist adalah mengaktivasi descending

inhibitory pathway substantia gelatinosa dari dorsal horn. Pada beberapa tempat, supraspinal dan

spinal, memodulasi transmisi sinyal nosisepsi pada susunan saraf pusat. Meskipun alpha-2

adrenoreceptor perifer dapat memediasi antinosiseptif, obat-obat ini dapat bekerja pada

tempat-tempat ini untuk mengurangi transmisi nosiseptif untuk memberikan efek analgesia.

Aktivasi protein G akan menyebabkan hiperpolarisasi membrane sehingga mengurangi

penyaluran eksitasi pada CNS. Alpha-2 agonis juga menyebabkan penurunan konduktansi

kalsium ke dalam sel sehingga menghambat pelepasan neurotransmitter. Dua mekanisme ini

menjadi dua jalur yang berbeda dalam memberikan efek analgesia. Pertama, terjadi hambatan

penghantaran pada saraf dan yang kedua saraf tersebut tidak dapat menyebarkan sinyal ke

saraf lain disekitarnya. Clonidine merupakan alpha-2 adrenergic agonist selektif dengan

selektvitas 200:1 (alpha-2:alpha1), sedangkan selektivitas Dexmedetomidine 1600:1 (alpha-

2:alpha1). Sehingga Dexmedetomidine delapan kali lebih selektif dari pada klonidin.

Alfa-2 agonis tidak boleh diberikan pada pasien hipovolemik atau yang mengalami

vasokonstriksi berat. Status hemodinamik pasien dapat meningkatkan resiko efek samping

serius. Obat ini tidak boleh diberikan secara bolus karena hubungan dosis yang tinggi dengan

hipertensi pulmonar dan sistemik, membatasi penggunaannya sebagai anestesi tunggal atau

sedatif. Hipertensi akut dan bradikardia dapat terjadi setelah pemberian bolus intravena,

bradikardia dan hipertensi akut adalah efek samping yang umum pada alfa-2 agonis.

Clonidine

Clonidine adalah derivate imidazoline dengan aktivitas predominan Alfa-2

adrenergik agonist. Studi menyebutkan bahwa ikatan clonidine terhadap reseptor

paling tinggi di rostal venterolateral medulla di batang otak yang mengaktifkan

neuron inhibitor. Efeknya adalah mengurangi aktivitas simpatetik, meningkatkan

parasimpatis, dan mengurangi sirkulasi katekolamin.

Clonidine dapat diberikan melalui enteral, neuraksial, dan intravena untuk

manajemen nyeri pada kasus nyeri akut dan kronis. Keuntungan clonidine sebagai

adjuvant meliputi: 1) mengurangi jumlah kebutuhan terhadap opioid sebagai

Page 25: REFERAT anestesi

analgesik sehingga mengurangi efek samping yang disebabkan oleh opioid, 2)

mentitrasi sedasi dan anxiolysis tanpa menyebabkan penekanan pernafasan ketika

dikombinasikan dengan opioid, 3) vasodilatasi dan memperbaiki sirkulasi serebral,

koronari, dan pembuluh visceral.

Efek samping sistemik pemberian clonidine adalah hipotensi, bradikardia, dan

sedasi. Untuk operasi tulang belakang bawah dengan anestesi umum, pasien

menerima epidural clonidine 25mg/jam atau plasebo infus untuk pasca operasi 36

jam. Penggunaan PCA morfin berkurang pada kelompok clonidine (35 mg)

dibandingkan plasebo (61 mg). Skor nyeri dan kejadian PONV pada kelompok

clonidine juga berkurang. Tekanan darah dan detak jantung lebih rendah pada

kelompok clonidine, namun pengurangannya tidak signifikan.

Untuk sesar dipilih anestesi spinal, pasien diacak untuk tiga kelompok

intratekal: bupivakain-sufentanil, bupivakain-sufentanil-clonidine 75 mg, atau

clonidine bupivakain-150mg. Konsumsi PCA morfin pascaoperasi dan skor nyeri

tidak berbeda antara ketiga kelompok tersebut. Namun, daerah dari hiperalgesia

mekanik, ketika luka itu diperiksa pada 48 jam setelah operasi, sangat berkurang pada

penggunaan bupivakain-clonidine 150 mg kelompok (1.0cm2) dibandingkan dengan

kelompok bupivakain-sufentanil (9,5 cm2).

Dalam studi lain, pasien yang menjalani prostatektomi radikal dengan anestesi

umum menerima injeksi pra operasi morfin intratekal 4 mg/kg, clonidine 1 mg/kg dan

morfin 4 mg/kg, atau tanpa injeksi. Konsumsi sufentanil intraoperatif adalah terendah

dalam clonidine dan kelompok morfin dibandingkan dengan dua kelompok lainnya.

Skor nyeri saat istirahat lebih rendah dari 18 jam awal dalam kelompok morfin saja

dan lebih 24 jam awal dalam clonidine dan kelompok morfin, dibandingkan dengan

kelompok tanpa injeksi.

Dexmedetomidine

Dexmedetomidine adalah selective alpha-2 agonist dengan efek sedative. Obat

ini lebih selektif terhadap alfa-2 agonist dibandingkan dengan klonidin.

Dexmedetomidine memiliki waktu paruh eliminasi 2 sampai 3 jam. Efek samping

dari Dexmedetomidine meliputi hipotensi, hipertensi, bradikardi, mual, atrial vibrilasi

dan hipoksia. Overdosis dapat menyebabkan blok atrioventrikular derajat I atau II.

Pasien yang menjalani histerektomi abdominal total di bawah anestesi umum

secara acak menerima 1mg/ml morfin sendiri atau dexmedetomidine 5 mg / ml dan

Page 26: REFERAT anestesi

morfin analgesia pascaoperasi 1mg/ml lebih dari 24 jam. Pasien dengan

dexmedetomidine dan morfin dibutuhkan dosis morfin yang lebih kecil (23mg)

dibandingkan morfin kelompok saja (33 mg) selama 0-24 jam pasca operasi periode.

Skor nyeri pascaoperasi saat istirahat atau dengan gerakan dan kejadian mual selama

4 - 24 periode jam lebih rendah pada kelompok dexmedetomidine dan morfin. Ada

penurunan tekanan darah rendah dan detak jantung di dexmedetomidine dan morfin

kelompok, namun penurunan itu kecil.

5. Antikonvulsan

Pregabalin dan gabapentin berikatan dengan subunit α2 dari chanel kalsium di

sumsum tulang belakang dan otak. Kedua obat ini merupakan anticonvulsant yang digunakan

untuk kejang dan nyeri neuropatik. Salah satu keuntungan dari pregabalin dalam penggunaan

klinis adalah memiliki bioavailabilitas lebih tinggi dari gabapentin.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gabapentin dapat mengurangi penggunaan

analgesik untuk nyeri akut postoperasi. Gabapentin awalnya diperkenalkan sebagai

antiepilepsi dan secara ekstensif digunakan untuk terapi nyeri neuropatik. Obat ini pada

konsentrasi yang relevan secara klinis bekerja mengikat reseptor α2δ subunit dari voltage-

activated calsium channels, pengikatan ini menyebabkan pengurangan influks ca2+ ke dalam

ujung saraf dan mengurangi pelepasan neurotransmitter, termasuk glutamat dan

norepinephrin.

Pada orang dewasa, terapi gabapentin dimulai dengan dosis tunggal 300 mg pada hari

pertama, 600 mg pada hari kedua (dibagi dalam dua dosis), dan 900 mg pada hari yang

ketiga(dibagi dalam 3 dosis). Dosis ini dapat dititrasi sesuai kebutuhan untuk mengurangi

nyeri sampai dosis maksimum 1800 hingga 3600 mg(dibagi dalam 3 dosis). Pada penderita

gangguan fungsi ginjal dan usia lanjut dosisnya dikurangi.

Efek samping dari gabapentin yaitu somnolen, cemas, dizziness, dan ataxia. Oleh

karena itu, obat ini diberikan selama 8 minggu dengan dosis titrasi sampai 3600mg/hari untuk

mengurangi munculnya efek samping yang berat.

Mekanisme kerja dari pregabalin sejauh ini belum dimengerti, namun diyakini sama

dengan gabapentin. Pregabalin mengikat reseptor α2δ subunits dari voltage activated calsium

channels, memblok ca2+ masuk pada ujung saraf dan mengurangi pelepasan neurotransmitter.

Dosis maksimum yang direkomendasikan dari pregabalin adalah 100 mg tiga kali sehari

(300mg/hari). Pada pasien dengan creatinin clearance ≥ 60 ml/min, dosis seharusnya mulai

pada 50 mg tiga kali sehari (150mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300mg/hari dalam 1

Page 27: REFERAT anestesi

minggu berdasarkan keampuhan dan daya toleransi dari penderita. Dosis pregabalin

sebaiknya diatur pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada penderita PHN, dosis yang

direkomendasikan dari pregabalin adalah 75 hingga 150 mg 2 kali sehari atau 50 hingga 100

mg 3 kali sehari (150-300 mg/hari). Pada pasien dengan creatinin clearance ≥ 60 ml/min,

dosis mulai pada 75 mg 2 kali sehari, atau 50 mg 3 kali sehari (150 mg/hari) dan dapat

ditingkatkan hingga 300 mg/hari dalam 1 minggu  berdasarkan keampuhan dan daya toleransi

penderita, jika nyerinya tidak berkurang pada dosis 300 mg/hari, pregabalin dapat

ditingkatkan hingga 600 mg/hari.

6. Glukokortikoid

Glukokortikoid, termasuk deksametason, telah banyak digunakan untuk manajemen

nyeri karena memiliki efek antiinflamasi dan dapat memberikan efek analgesik.

Glukokortikoid dapat diberikan secara topical, oral, maupun parenteral (intravena, subkutan,

intraartikular, dan epidural). Dosis yang besar dan penggunaan yang lama dapat memberikan

efek samping seperti hipertensi, hiperglikemi, infeksi, ulkus peptikum, osteoporosis, proximal

miopati, katarak, dan psikosis.

Deksametason

Pasien yang menjalani artroplasti pinggul total di bawah anestesi spinal

dengan sedasi propofol secara acak menerima dosis tunggal intravena preoperatif

deksametason 40mg atau plasebo. Konsumsi PCA morfin 0-48 jam dan nyeri saat

istirahat tidak berbeda antara kelompok-kelompok, tapi rasa sakit pada saat berdiri 24

jam pasca operasi lebih rendah pada kelompok deksametason (2.6/10) dibandingkan

kelompok plasebo (6.9/10). Protein C-reaktif, penanda inflamasi, diukur pada 48 jam

setelah operasi dalam darah vena adalah lebih rendah pada kelompok deksametason

(47 mg / ml) daripada di kelompok plasebo (200 mg / ml). Salah satu temuan negatif

adalah peningkatan konsumsi propofol selama operasi di kelompok deksametason

(235 mg) dibandingkan dengan plasebo (139 mg).

6. Obat-obat Kolinergik

Asetilkolin dapat menyebabkan analgesia melalui tindakan langsung pada tulang

belakang reseptor kolinergik muskarinik M1 dan M3 dan subtipe reseptor nikotinik.2

Nikotin

Nikotin bekerja pada reseptor kolinergik nikotinik, yang ditemukan di

sistem saraf pusat, ganglia otonom, neuromuscular junction, dan juga di beberapa

Page 28: REFERAT anestesi

jaringan non saraf. Mekanisme kolinergik dimediasi nikotin sebagai analgesia

tampaknya melibatkan beberapa jalur. Nikotin bekerja pada nAChRs baik di otak dan

medulla spinalis untuk mengaktifkan inhibitor descending pain pathway. Nikotin

diduga melibatkan, setidaknya sebagian, pelepasan norepinefrin lokal, melalui

aktivasi reseptor α2-adrenergik. Nikotin juga dapat menghasilkan analgesia dengan

pelepasan opioid endogen. Beberapa uji klinis kecil menunjukkan nasal spray nikotin

atau nikotin transdermal dengan dosis rendah dapat mengurangi nyeri pasca operasi

dan / atau mengurangi penggunaan opiat pasca operasi.

Pasien bukan perokok yang menjalani prostatektomi radikal retropubik di

bawah anestesi umum secara acak diaplikasikan patch nikotin atau patch plasebo 7mg

30-60 menit sebelum operasi dan dibiarkan di tempatnya selama 24 jam. Kumulatif

PCA menggunakan morfin menurun dalam kelompok nikotin (33 mg) dibandingkan

dengan kelompok plasebo (45 mg). Skor nyeri pada istirahat atau dengan batuk tidak

berbeda antara kelompok-kelompok tersebut. Kejadian PONV atau pruritus juga tidak

berbeda antara kelompok-kelompok tersebut, tetapi intensitas mual lebih besar pada

kelompok nikotin.

7. Multimodal Analgesia

Multimodal analgesia adalah penggunaan lebih dari satu macam obat analgetik yang

memiliki mekanisme yang berbeda guna mendapatkan efek aditif dan sinergis dalam upaya

menurunkan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid daripada digunakan

sebagai monoterapi. Konsepnya adalah dengan menggunakan obat-obat analgetik secara

multiple yang memiliki cara kerja yang berbeda-beda (contohnya non-opioid dikombinasikan

dengan opioid) atau cara pemberian yang berbeda (contohnya blok anestesi lokal

dikombinasikan dengan analgetik sistemik).

Tujuan dari multimodal analgesia yaitu:

1. Mengurangi efek samping opioid

2. Mencegah nyeri akut menjadi nyeri kronik melalui mekanisme sensitisasi sentral

3. Mempercepat pemulihan pasien

4. Memperpendek lama tinggal di rumah sakit

Page 29: REFERAT anestesi

Gambar 5 Perjalanan nyeri dan terapi multimodal analgesia

Penggunaan obat-obatan nonopioid terbatas pada penggunaan untuk nyeri

ringan sampai sedang. Sedangkan analgetik narkotika efektif untuk nyeri berat.

Terkadang, untuk mencapai efek yang adekuat diperlukan penggunaan dalam dosis

besar. Namun penggunaan dosis yang besar diikuti oleh efek samping yang besar

pula. Untuk menghindari hal tersebut, dapat digunakan metode polifarmasi atau

analgesia balans yang menggunakan lebih dari satu jenis obat yang titik tangkapnya

berbeda, sehingga dapat dicapai efek yang adekuat dan efek samping yang minimal

dari masing-masing obat karena penggunaan dosis yang lebih kecil.

8. Anestesi Lokal

Anestetik lokal dibagi menjadi 2 golongan yaitu golongan ester dan amida. Golongan

Ester terdiri dari prokain, kloroprokain dan tetrakain, sedangkan golongan amida terdiri dari

lidokain, etidokain, bupivakain, prilokain, mevipakain, ropivakain dan levobupivakain.

Anestetik lokal bekerja langsung pada sel saraf dan menghambat kemampuan sel saraf

mentransmisikan impuls melalui aksonnya. Target anestetik lokal adalah saluran Na+ yang

ada pada semua neuron, dimana anestetik lokal berikatan secara selektif pada saluran Na+,

sehingga mencegah terbukanya saluran tersebut. Saluran Na+ bertanggung jawab

Page 30: REFERAT anestesi

menimbulkan potensial aksi sepanjang akson dan membawa pesan dari badan sel ke terminal

saraf.

Lidokain, prokain, dan klorprokain adalah agen yang paling sering digunakan,

diberikan secara slow bolus maupun infus kontinyu. Lidokain diberikan melalui infuse

selama 5-30 menit untuk dosis total 1-5 mg/kg. Prokain 200-400 mg dapat diberikan secara

intravena selama 1-2 jam. Klorprokain (i% solution) diinfuskandengan kecepatan 1

mg/kg/min untuk total dosis 10-20 mg/kg. Monitoring yang harus dilakukan meliputi

elektrokardiogram (EKG), tekanan darah, respirasi dan status mental. Alat resusitasi harus

selalu tersedia. Tanda-tanda toksisitas meliputi tinnitus, slurring, sedasi esksesif dan

nistagmus.

Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif

terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya perdarahan dan

nyeri yang teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang dapat digunakan dalam

prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna untuk menghilangkan nyeri

pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga melebihi durasi pembedahan. Ada

beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi

untuk memberikan pain relief yang efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko

minimal termasuk infiltrasi anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok

perifer atau sentral. Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat

mengatasi nyeri pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor penyebab.

Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri pascaoperasi haruslah terdiri

dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil terbaik.

Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti Bupivacaine dapat

memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam. Apabila nyeri berlanjut, dapat

diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer

akan memberikan analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau

saraf tersebut. Teknik-teknik ini dapat digunakan untuk memberikan anestesi untuk

pembedahan atau khusus untuk nyeri pasca-operasi. Teknik-teknik ini dapat sangat berguna

jika suatu blok simpatik diperlukan untuk meningkatkan suplai darah pascaoperasi atau

apabila blokade pusat seperti blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.

Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di tubuh bagian

bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai operasi jika

dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung vasokonstriktor. Penggunaan teknik

epidural membutuhkan praktisi yang berpengalaman dan pelatihan khusus bagi staf perawat

Page 31: REFERAT anestesi

dalam pengelolaan pasca-operasi pasien. Kateter epidural dapat ditempatkan baik di leher,

toraks atau daerah lumbal tetapi blokade epidural lumbal adalah yang paling umum

digunakan. Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia sangat

efektif, teknik ini juga menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan seperti hipotensi,

blok sensorik dan motorik, mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal dengan opioid

yang diberikan secara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah ini.

BAB IV

Page 32: REFERAT anestesi

KESIMPULAN

Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu kerusakan atau

gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi

seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif

dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan

aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen

nyeri pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan. Manajemen

nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang lebih baik tetapi juga

pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam menangani nyeri pascaoperasi,

dapat digunakan obat-obatan seperti opioid, OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat

dikombinasi untuk mencapai hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing

individu adalah berbeda-beda, maka penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan

sebagai metode yang paling efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi

meskipun dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi

pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Page 33: REFERAT anestesi

1. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation of Societies of

Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm

2. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute postoperative

pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds. Acute Pain: Mechanisms

& Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book; 1992:253-68

3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a femoral catheter

by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an anterior cruciate ligament

outpatient procedure. Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.

4. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill Livingstone. 2006