Refarat Trauma Ledakan Febi

17
LUKA AKIBAT LEDAKAN I. Epidemiologi Pada zaman dahulu, penggunaan bahan peledak umumnya digunakan pada perang yang digunakan oleh militer. Penggunaan bom sebagai bahan peledak melepaskan energi yang besar dan menimbulkan kematian pada area yang luas dimana dipengaruhi dari pusat ledakan. Sedangkan pada kasus terorisme, penggunaan bahannya lebih banyak namun efektifitasnya apabila dibandingkan dengan pada militer jauh lebih terbatas. [5] Beberapa kejadian terorisme sudah terjadi sejak lama seperti di Pakistan pada tahun 1989. Sedangkan data yang tercatat menyebutkan dari tahun 2002-2008 terdapat 141 pelaku bom bunuh diri dan 100 bom menggunakan perangkat kontrol yang diletakkan pada mobil dan truk yang terjadi di Pakistan. [2] Disamping itu terdapat bom di Oklahoma City pada tahun 1995, bom kereta di Madrid, Spanyol pada tahun 2004, bom di gedung WTC di New York pada 11 September 2001, serta bom di kereta bawah tanah di London pada tahun 2005. [6] VIII. Perawatan dan Pengobatan 1

description

Forensik

Transcript of Refarat Trauma Ledakan Febi

Page 1: Refarat Trauma Ledakan Febi

LUKA AKIBAT LEDAKAN

I. Epidemiologi

Pada zaman dahulu, penggunaan bahan peledak umumnya digunakan pada

perang yang digunakan oleh militer. Penggunaan bom sebagai bahan peledak

melepaskan energi yang besar dan menimbulkan kematian pada area yang luas

dimana dipengaruhi dari pusat ledakan. Sedangkan pada kasus terorisme,

penggunaan bahannya lebih banyak namun efektifitasnya apabila dibandingkan

dengan pada militer jauh lebih terbatas. [5] Beberapa kejadian terorisme sudah

terjadi sejak lama seperti di Pakistan pada tahun 1989. Sedangkan data yang

tercatat menyebutkan dari tahun 2002-2008 terdapat 141 pelaku bom bunuh diri

dan 100 bom menggunakan perangkat kontrol yang diletakkan pada mobil dan

truk yang terjadi di Pakistan.[2] Disamping itu terdapat bom di Oklahoma City

pada tahun 1995, bom kereta di Madrid, Spanyol pada tahun 2004, bom di gedung

WTC di New York pada 11 September 2001, serta bom di kereta bawah tanah di

London pada tahun 2005.[6]

VIII. Perawatan dan Pengobatan

General Considerations and Immediate Treatment

Once the emergency department of a hospital or a medical facility receives notice of a blast or explosion, a triage area should be established at the entrance to the main emergency department.37 This area might also be needed for decontamination procedures. Midlevel clinicians should staff this triage area, since specialty surgeons will be needed for operative interventions. An area for treatment of minor injuries should be organized apart from the emergency department. Information about the type of explosion and the target helps to predict the types of injuries. After an explosion in a confined space, such as a bus, one would anticipate, in addition to penetrating injuries, more victims with primary blast injuries and lung damage than would be expected after an explosion in an open space. For example, in two bus bombings in Israel described in 1996,38 22 of 52 injured survivors (42 percent) needed endotracheal intubation and 10 (19 percent) required chest-tube thoracostomies. After two open-air

1

Page 2: Refarat Trauma Ledakan Febi

bombings in Israel that year, only 13 of 190 victims (7 percent) were intubated, and 5 (3 percent) required chest tubes. In the 1995 Oklahoma City bombing, which involved structural collapse,39 only 7 of 388 survivors (2 percent) required intubation, and 3 (1 percent) needed chest tubes. Most of the victims in the Oklahoma City bombing had soft-tissue injuries and injuries requiring radiography; 19 percent underwent computed tomographic scanning to determine whether they needed surgical interventions.

Perawatan pra-rumah sakit

Personil EMS (Emergency Service) harus berusaha untuk menentukan dan

melaporkan informasi mengenai sifat dan ukuran ledakan; saat terjadinya; jarak

korban dengan pusat ledakan; perpindahan korban akibat angin ledakan jika ada;

adanya kebakaran sekunder, asap, debu, atau bahan kimia atau kontaminasi

radioaktif; dan riwayat terjebak dalam reruntuhan. Personil EMS bertanggung

jawab untuk mengaktifkan respon bencana dan material berbahaya yang sesuai

sedini mungkin.[2]

Analisis terhadap insiden ledakan menunjukkan bahwa triase “terbalik”

umum terjadi; pasien yang cedera minimal biasanya tiba di rumah sakit melalui

ambulans atau kendaraan pribadi, sebelum korban yang paling terluka parah.

Penatalaksanaan pasien dengan trauma ledakan sebaiknya dilakukan berdasarkan

standar Advance Trauma Life Support (ATLS) dan penanganan korban masal.

Dalam menilai penatalaksanaan pasien sebaiknya ditinjau dari penanganan

disaster pra-rumah sakit dan di rumah sakit.[12,13]

Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, diketahui bahwa penanganan

di lapangan yang tidak terorganisasi mengakibatkan tingginya kematian,

sedangkan penanganan yang terorganisasi dengan baik akan menurunkan

mortalitas. Koordinasi yang baik antara petugas medis dan polisi di lapangan

sangat diperlukan. Pada saat pra-rumah sakit, sebaiknya pasien berbaring dengan

bertumpu pada hemitoraks yang sakit. Ini untuk mencegah masuknya perdarahan

2

Page 3: Refarat Trauma Ledakan Febi

pada sisi yang sehat yang dapat mengakibatkan terjadinya bronkospasme dan

penurunan fungsi alveolus.[12,13]

Triage di rumah sakit sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah yang

berpengalaman dan berdasarkan status fisiologis pasien yang dinilai dengan

menggunakan RTS.[13]

Skrining kontaminasi radioaktif dengan konter Geiger genggam

merupakan tindakan pencegahan yang bijaksana untuk setiap ledakan yang

mungkin melibatkan bahan radioaktif, termasuk ledakan yang mungkin telah

disengaja. Jika bahan radioaktif terdeteksi, dekontaminasi personil dan peralatan

serta pemberitahuan rumah sakit penerima diperlukan.[12]

Trauma ekstremitas signifikan dan kematian terkait dari eksanguinasi

merupakan penyebab utama kematian yang dapat dicegah. Personil EMS harus

cepat mengidentifikasi pasien dengan perdarahan eksternal yang mengancam jiwa

dan mengontrol perdarahan. Penggunaan awal torniket mungkin menyelamatkan

jiwa, terutama untuk beberapa korban yang mengalami luka parah. Oksigen aliran

tinggi harus diberikan kepada semua pasien dengan gangguan pernapasan, temuan

abnormal pada auskultasi, dan bukti trauma toraks yang signifikan.[12,13]

Personil EMS harus menghindari pemberian cairan intravena dalam

jumlah besar pada pasien dengan kecurigaan tinggi perdarahan internal yang

sedang berlangsung. Bolus cairan mungkin diperlukan jika pasien menunjukkan

tanda-tanda dan gejala perfusi yang tidak adekuat, seperti memburuknya status

mental. Pengalaman baru-baru ini di medan perang menunjukkan bahwa Hextend

adalah cairan resusitasi yang lebih disukai untuk penggunaan pra-rumah sakit.[12,13]

Personil EMS harus memulai langkah-langkah untuk mengurangi

kehilangan panas dan mencegah hipotermia pada pasien trauma karena kondisi

ini dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Dalam kasus trauma ekstremitas

yang mengancam jiwa dan terjadi akibat cedera ledakan, penggunaan torniket

secara dini terbukti menyelamatkan nyawa.[12]

Perawatan Unit Gawat Darurat

3

Page 4: Refarat Trauma Ledakan Febi

Periksa paru-paru, abdomen, dan membran timpani semua pasien yang

terkena ledakan sigifikan. Luka tembus (luka ledakan sekunder), trauma tumpul

(tersier/cedera ledakan sekunder), dan luka bakar memerlukan pengobatan

standar. Luka pecahan peluru (cedera ledakan sekunder) diobati sebagai luka

tembak kecepatan rendah. Dalam pedoman penanganan umum trauma ledakan,

yang penting dilakukan adalah mempertahankan jalan napas, membantu ventilasi

jika ventilasi spontan tidak mencukupi, dan mempertahankan sirkulasi yang

adekuat.[12,13]

Karena cedera primer paru-paru merupakan penyebab kematian utama

dalam fase awal pasien dengan trauma ledakan, maka berbagai penelitian

dilakukan untuk menentukan sistem skoring yang baik dalam menilai cedera paru-

paru yang terjadi. Baik sistem skoring Murray yang biasa digunakan untuk

menilai acute lung injury dan adult respiratory distress syndrome (ARDS)

maupun sistem skoring blast lung injury, masih dalam perdebatan karena tidak

dapat menilai pasien dari cedera paru-parunya saja. Sistem skoring lain yang

menjadi acuan adalah Pathology Scoring System for Blast Injuries yang

dikembangkan Yelverton. Sistem ini dapat menilai dengan tepat cedera ledakan

yang terjadi pada sistem organ tertentu. Sistem skoring lain seperti Injury Scoring

System (ISS) tidak dapat menilai cedera primer dengan tepat karena hasilnya akan

lebih rendah.[13]

Pasien yang tidak stabil secara hemodinamik disertai dengan trauma

signifikan dapat memperoleh manfaat dari penggunaan awal packed red clood

cells (PRBC) dan fresh frozen plasma (FFP) dalam rasio 1: 1, serta trombosit.

Selain itu, kriopresipitat dan rekombinan faktor VIIa harus dipertimbangkan pada

pasien trauma berat, terutama dalam syarat dilakukannya transfusi masif. Satu

review dari 3 insiden korban massal akibat peristiwa ledakan di Irak menyatakan

bahwa strategi resusitasi ini menunjukkan transfusi rata-rata 3,5 unit PRBC dan

3,8 unit plasma, serta angka kematian sebesar 8%. Penatalaksanaan pasien yang

dicurigai dengan emboli udara dimulai dengan pemberian suplementasi oksigen.

Suplementasi oksigen ini bertujuan untuk memperbaiki difusi gas dan membantu

absorpsi udara di arteri. Proses ini terjadi lebih cepat jika kandungan oksigen lebih

4

Page 5: Refarat Trauma Ledakan Febi

tinggi dibanding nitrogen. Langkah berikutnya adalah untuk membatasi kerusakan

yang ditimbulkan oleh emboli dengan memposisikan tubuh pasien dengan tepat.

Sebaiknya, pasien dalam posisi left lateral decubitus dengan kepala lebih rendah

untuk mencegah terjadinya gangguan serebrovaskular dan infark miokard. Terapi

definitif emboli udara adalah dengan terapi hiperbarik. Tujuan terapi ini adalah

untuk mengurangi volume gelembung, akselerasi resolusi gelembung, dan

memperbaiki oksigenasi jaringan.[12,13]

Tekanan pengisian kardiovaskular perlu dinilai pada pasien cedera ledakan

yang mengalami hipotensi. Ini dilakukan dengan mengukur tekanan vena sentral

atau kateter arteri pulmonalis. Pengukuran status volume intravaskular ini penting

untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan. Kelebihan cairan akan memperparah

cedera paru-paru yang terjadi dan menurunkan compliance paru-paru. Setelah

status hemodinamik stabil, dilakukan restriksi cairan untuk mengurangi risiko

terjadinya ARDS pada pasien dengan kontusio paru. Dalam menangani pasien

dengan trauma ledakan, pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah foto

toraks untuk melihat tanda-tanda kontusio paru dan barotrauma. Gambaran khas

pada cedera paru primer adalah gambaran bercak-bercak infiltrat. Kontusio

awalnya terjadi pada daerah hilus. Pada keadaan yang lanjut, terjadi gambaran

keputihan pada seluruh lapang paru seperti gambaran stadium akhir ARDS. Foto

toraks juga dapat menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, yang

merupakan tanda ruptur organ pada sistem gastrointestinal. [12,13]

Pencegahan hipoksia dan hipotensi sangat penting pada pasien dengan

cedera otak traumatis untuk mencegah peningkatan mortalitas yang signifikan.

Karena kontusio paru cenderung berkembang selama beberapa jam, periode

observasi dan pemeriksaan radiografi ulang mungkin diperlukan jika

diindikasikan. Manajemen jalan napas definitif dan ventilasi mungkin diperlukan.

Langkah penting berikutnya dalam resusitasi pasien korban ledakan adalah

mempertahankan sirkulasi. Hipotensi yang terjadi pada kasus trauma ledakan

disebabkan kehilangan darah melalui luka yang terjadi pada cedera sekunder,

perdarahan gastrointestinal, emboli udara, dan refleks vagal. Resusitasi cairan

5

Page 6: Refarat Trauma Ledakan Febi

harus segera dilakukan, namun pemberian cairan jangan berlebihan. Hal ini akan

memperburuk kontusio paru yang terjadi karena peningkatan permeabilitas paru-

paru yang pada akhirnya mengakibatkan ARDS.[12,13]

Resusitasi cairan sebaiknya menggunakan darah atau koloid daripada

kristaloid. Jika cairan kristaloid digunakan, sambil menunggu tersedianya darah

gunakan NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pada perdarahan masif dapat digunakan

cairan NaCl hipertonik 7.2-7.5%. Pada kasus dengan kehilangan darah sampai

50%, pemberian NaCl hipertonik ini dengan jumlah 1/10 volume darah yang

hilang dapat mempertahankan tekanan pengisian jantung, cardiac output, dan

tekanan darah sistemik. Jika dikombinasi dengan koloid seperti Dextran, hasil

akan lebih optimal.[12,13]

Jika nyeri perut terjadi terus-menerus atau muntah, pertimbangkan

untuk mengobservasi pasien. Hematom intestin mungkin sulit untuk dideteksi di

UGD. Penanganan cedera ledakan pada traktus gastrointestinal sama seperti

penatalaksanaan trauma tumpul abdomen lainnya. Namun, ada beberapa hal yang

harus diperhatikan, yaitu : Korban dengan keluhan abdomen, namun pemeriksaan

CT scan dan DPL negatif harus dimonitor secara ketat, mengingat sering terjadi

peritonitis dan abses intraabdomen beberapa hari, bahkan beberapa minggu

setelah ledakan. Jika akan dilakukan CT scan, maka pemeriksaan tersebut harus

dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan DPL. DPL akan meninggalkan

udara dan cairan dalam rongga intraperitoneum. Foto toraks harus dilakukan

sebelum laparotomi atau pembedahan lainnya untuk mencari tanda-tanda

barotrauma. Pasien dengan cedera ledakan primer pada paru-paru mempunyai

risiko yang lebih tinggi pada anestesi umum. Hal ini berhubungan dengan

penggunaan ventilasi mekanik selama dan pasca operasi. Risiko perburukan

barotrauma dan emboli udara dapat dikurangi dengan mempertahankan tekanan

seminimal mungkin atau menggunakan anestesi lokal atau regional. Jika

ditemukan tanda-tanda barotrauma pada foto toraks pre-operatif maka tube

torakostomi bilateral harus dipasang. Mengingat risiko anestesi yang besar pada

pasien trauma ledakan maka laparotomi hanya dilakukan pada pasien dengan

6

Page 7: Refarat Trauma Ledakan Febi

tanda-tanda cedera gastrointestinal yang jelas, baik secara klinis maupun

radiologis.[12,13]

Pemeriksaan penunjang lain yang berguna adalah pemeriksaan darah

perifer lengkap. Ini berguna untuk membantu dalam penentuan jumlah transfusi

yang akan diberikan. Pemeriksaan kimia darah tidak berguna dalam menentukan

ada tidaknya dan derajat beratnya cedera ledakan primer. [13]

Pemeriksaan cedera primer pada gastrointestinal meliputi pemeriksaan

fisik, CT (Computed Tomography) scan abdomen, dan diagnostic peritoneal

lavage (DPL). CT scan abdomen, walaupun mempunyai spesifisitas tinggi,

sensitivitasnya rendah, terutama dalam mendeteksi adanya cedera gastrointestinal.

Endoskopi berperan sangat penting dalam mendiagnosis cedera primer tanpa

perforasi.[13]

Yang perlu diingat adalah pemeriksaan radiologis dan bahkan pemeriksaan

DPL sering tidak tepat jika dilakukan awal. Pemeriksaan fisik melalui follow-up

yang cermat lebih efektif dalam mendiagnosis adanya perforasi sekunder.[13]

Pasien dengan riwayat trauma ledakan primer yang signifikan sebaiknya

dimonitor dengan baik selama 48 jam. Pada pasien dengan kesadaran menurun,

masalah lebih rumit karena tidak dapat dilakukan pemeriksaan fisik dengan baik.

Jika terdapat kecurigaan adanya perforasi sekunder, eksplorasi abdomen dapat

dilakukan 48 jam pasca trauma walaupun abdominal tap inisial negatif.[13]

Luka bakar fosfor putih (FP) memerlukan penatalaksanaan tertentu.

Penatalaksanaan awal dari luka yang terkontaminasi FP terdiri dari lavase besar-

besaran area yang terbakar, menghilangkan partikel yang teridentifikasi dimana

partikel tersebut harus ditempatkan di dalam air untuk mencegah pembakaran

lebih lanjut, dan menutupi area yang terbakar dengan kasa yang direndam garam

untuk mencegah pembakaran lanjut.[12]

Penggunaan lampu Wood dalam ruang resusitasi yang gelap atau ruang

operasi dapat membantu mengidentifikasi partikel FP pada luka. Pengobatan

definitif berupa pembilasan menggunakan larutan 1% tembaga sulfat (CuSO4)

dan pengangkatan partikel FP. Tembaga sulfat digabungkan dengan partikel

7

Page 8: Refarat Trauma Ledakan Febi

fosfor untuk membentuk lapisan tembaga fosfit biru-hitam. Hal ini menghambat

pembakaran FP leih lanjut dan membuat partikel lebih mudah untuk ditemukan.[12]

Bilas luka bakar yang terkontaminasi dengan larutan tembaga sulfat,

hilangkan partikel FP, dan kemudian gunakan lavase garam dalam jumlah banyak

untuk membilas tembaga sulfat. Jangan pernah menjadikan tembaga sulfat sebagai

penutup permukaan tubuh. Kelebihan penyerapan tembaga sulfat dapat

menyebabkan hemolisis intravaskular dan gagal ginjal.[12]

 Cedera akibat FP dapat menyebabkan hipokalemia dan hiperfosfatemia

dengan perubahan EKG, aritmia jantung, dan kematian. Tempatkan pasien di

monitor jantung dan lacak kadar kalsium serum. Penggunaan kalsium intravena

mungkin diperlukan. Masker yang lembab dan ventilasi yang baik membantu

melindungi pasien dan tenaga medis dari efek paru akibat gas fosfor pentoksida.[12]

IX. Hukum Terkait Luka akibat Ledakan

KUHP Bab VII - Kejahatan Yang Membahayakan Keamanan Umum

Bagi Orang Atau Barang

Pasal 187

Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan, atau

banjir, diancam:

1. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena

perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;

2. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena

perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain; 3. dengan pidana

penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun,

jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan

meng- akibatkan orang mati.[14]

Pasal 187 bis

8

Page 9: Refarat Trauma Ledakan Febi

(1) Barang siapa membuat, menerima, berusaha memperoleh, mempunyai

persediaan, menyembunyikan, mengangkut otau memasukkan ke Indonesia

bahan-bahan, benda- benda atau perkakas-perkakas yung diketahui atau

selayaknya harus diduga bahwa diperuntukkan, atau kalau ada kesempatan akan

diperuntukkan, untuk menimbulkan ledakan yang membahayakan nyawa orang

atau menimbulkan bahaya umum bagi barang, diancam dengan pidana penjara

paling lama delapan tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun, [14]

(2) Tidak mampunya bahan-bahan, benda-benda atau perkakas- perkakas

untuk menirnbulkan ledakan; seperti tersebut di atas, tidak menghapuskan

pengenaan pidana.[14]

Pasal 188 ( L.N. 1960 - 1)

Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakar- an,

ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidnna denda paling banyak empat

ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi barang,

jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karena

perbuatan itu mengakibatkan orang mati.[14]

Pasal 382

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum. atas kerugian penanggung asuransi atau pemegang

surat bodemerij yang sah. menimbulkan kebakaran atau ledakan pada suatu

barang yang dipertanggungkan terhadap bahaya kebakaran, atau mengaramkan.

mendamparkan. menghancurkan, merusakkan. atau membikin tak dapat dipakai.

kapal yang dipertanggungkan atau yang muatannya maupun upah yang akan

diterima untuk pengangkutan muatannya yang dipertanggungkan, ataupun yang

atasnya telah diterima uang bode- merij diancarn dengan pidana penjara paling

lama lima tahun.[14]

Pasal 479h

9

Page 10: Refarat Trauma Ledakan Febi

(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain dengan melawan hukum, atas kerugian penanggung asuransi

menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan atau

membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara, yang dipertanggungkan terhadap

bahaya tersebut di atas atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah

yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan

muatan tersebut telah diterima uang tanggungan, dipidana dengan pidana penjara

selama-lamanya sembilan tahun.[14]

10

Page 11: Refarat Trauma Ledakan Febi

DAFTAR PUSTAKA

1. Khurana, P. and JSDalal, Bomb Blasts Injuries. J Punjab Acad

Forensic Med Toxicol, 2011. 11: p. 37-9.

2. Humayun, M., et al., Homicidal Death and Injuries by Bomb

Blasts in Dera Ismail Khan. Gomal Journal of Medical Sciences, 2009. 7(1): p.

51-4.

3. Mittal, P., et al., Bomb Explosion Death: A Case Report.

International Journal of Allied Medical Sciences and Clinical Research, 2014.

2(3): p. 196-200.

4. Services, D.o.H., Explosions and Blast Injuries, D.o.H. Services,

Editor, CDC: USA.

5. Knight, B., Firearm and Explosive Injuries, in Simpson's Forensic

Medicine, B. Knight, Editor 1997, Arnold: London. p. 65-71.

6. Lemonick, D.M., Bombings and Blast Injuries: A Primer for

Physicians. American Journal of Clinical Medicine, 2011. 8: p. 134-140.

7. DePalma RG, Burris DG, Champion HR, et all. Blast Injuries.

Updates March 32, 2005. Available on: N Engl J Med 2005; 352:1335-1342.

www.nejm.org

8. Hauser, S.L., Pathophysiology of Blast Injury and Overview of

Experimental Data, in Gulf War and Health, S.L. Hauser, Editor 2014, The

National Academieses Press: Washington DC. p. 33-84.

9. Saputra, YE. Mekanisme Ledakan Bom. 20 Januari 2008.

www.chemistry.org

10. Born, Departement of Orthopaedic Surgery, Rhode Islands

Hospital, Brown University, Medical Office Center. Blast Trauma: The Fourth

Weapon of Mass Destruction. Updates October 5, 2005. Available on:

http://www.fimnet.fi/sjs/articles/SJS42005-279.pdf

11

Page 12: Refarat Trauma Ledakan Febi

11. Bhatoe, M. Ch Col Harjinder S. Blast injury and the neurosurgeon.

Department of neurosurgery. Indian Journal of Neurotrauma. 2008;3-6.

12. Pennart Andre,. Blast Injury: Treatment and Management. Updates

April 21, 2014. Available on: http://www.medscape.com

13. American College of Surgeons, Advance Trauma Life Support:

Program for Doctors, 7th edition, Chicago: 2004.

14. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

12