Refarat Trauma Ledakan Febi
-
Upload
danniel-jourdan-nyola -
Category
Documents
-
view
10 -
download
7
description
Transcript of Refarat Trauma Ledakan Febi
LUKA AKIBAT LEDAKAN
I. Epidemiologi
Pada zaman dahulu, penggunaan bahan peledak umumnya digunakan pada
perang yang digunakan oleh militer. Penggunaan bom sebagai bahan peledak
melepaskan energi yang besar dan menimbulkan kematian pada area yang luas
dimana dipengaruhi dari pusat ledakan. Sedangkan pada kasus terorisme,
penggunaan bahannya lebih banyak namun efektifitasnya apabila dibandingkan
dengan pada militer jauh lebih terbatas. [5] Beberapa kejadian terorisme sudah
terjadi sejak lama seperti di Pakistan pada tahun 1989. Sedangkan data yang
tercatat menyebutkan dari tahun 2002-2008 terdapat 141 pelaku bom bunuh diri
dan 100 bom menggunakan perangkat kontrol yang diletakkan pada mobil dan
truk yang terjadi di Pakistan.[2] Disamping itu terdapat bom di Oklahoma City
pada tahun 1995, bom kereta di Madrid, Spanyol pada tahun 2004, bom di gedung
WTC di New York pada 11 September 2001, serta bom di kereta bawah tanah di
London pada tahun 2005.[6]
VIII. Perawatan dan Pengobatan
General Considerations and Immediate Treatment
Once the emergency department of a hospital or a medical facility receives notice of a blast or explosion, a triage area should be established at the entrance to the main emergency department.37 This area might also be needed for decontamination procedures. Midlevel clinicians should staff this triage area, since specialty surgeons will be needed for operative interventions. An area for treatment of minor injuries should be organized apart from the emergency department. Information about the type of explosion and the target helps to predict the types of injuries. After an explosion in a confined space, such as a bus, one would anticipate, in addition to penetrating injuries, more victims with primary blast injuries and lung damage than would be expected after an explosion in an open space. For example, in two bus bombings in Israel described in 1996,38 22 of 52 injured survivors (42 percent) needed endotracheal intubation and 10 (19 percent) required chest-tube thoracostomies. After two open-air
1
bombings in Israel that year, only 13 of 190 victims (7 percent) were intubated, and 5 (3 percent) required chest tubes. In the 1995 Oklahoma City bombing, which involved structural collapse,39 only 7 of 388 survivors (2 percent) required intubation, and 3 (1 percent) needed chest tubes. Most of the victims in the Oklahoma City bombing had soft-tissue injuries and injuries requiring radiography; 19 percent underwent computed tomographic scanning to determine whether they needed surgical interventions.
Perawatan pra-rumah sakit
Personil EMS (Emergency Service) harus berusaha untuk menentukan dan
melaporkan informasi mengenai sifat dan ukuran ledakan; saat terjadinya; jarak
korban dengan pusat ledakan; perpindahan korban akibat angin ledakan jika ada;
adanya kebakaran sekunder, asap, debu, atau bahan kimia atau kontaminasi
radioaktif; dan riwayat terjebak dalam reruntuhan. Personil EMS bertanggung
jawab untuk mengaktifkan respon bencana dan material berbahaya yang sesuai
sedini mungkin.[2]
Analisis terhadap insiden ledakan menunjukkan bahwa triase “terbalik”
umum terjadi; pasien yang cedera minimal biasanya tiba di rumah sakit melalui
ambulans atau kendaraan pribadi, sebelum korban yang paling terluka parah.
Penatalaksanaan pasien dengan trauma ledakan sebaiknya dilakukan berdasarkan
standar Advance Trauma Life Support (ATLS) dan penanganan korban masal.
Dalam menilai penatalaksanaan pasien sebaiknya ditinjau dari penanganan
disaster pra-rumah sakit dan di rumah sakit.[12,13]
Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, diketahui bahwa penanganan
di lapangan yang tidak terorganisasi mengakibatkan tingginya kematian,
sedangkan penanganan yang terorganisasi dengan baik akan menurunkan
mortalitas. Koordinasi yang baik antara petugas medis dan polisi di lapangan
sangat diperlukan. Pada saat pra-rumah sakit, sebaiknya pasien berbaring dengan
bertumpu pada hemitoraks yang sakit. Ini untuk mencegah masuknya perdarahan
2
pada sisi yang sehat yang dapat mengakibatkan terjadinya bronkospasme dan
penurunan fungsi alveolus.[12,13]
Triage di rumah sakit sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah yang
berpengalaman dan berdasarkan status fisiologis pasien yang dinilai dengan
menggunakan RTS.[13]
Skrining kontaminasi radioaktif dengan konter Geiger genggam
merupakan tindakan pencegahan yang bijaksana untuk setiap ledakan yang
mungkin melibatkan bahan radioaktif, termasuk ledakan yang mungkin telah
disengaja. Jika bahan radioaktif terdeteksi, dekontaminasi personil dan peralatan
serta pemberitahuan rumah sakit penerima diperlukan.[12]
Trauma ekstremitas signifikan dan kematian terkait dari eksanguinasi
merupakan penyebab utama kematian yang dapat dicegah. Personil EMS harus
cepat mengidentifikasi pasien dengan perdarahan eksternal yang mengancam jiwa
dan mengontrol perdarahan. Penggunaan awal torniket mungkin menyelamatkan
jiwa, terutama untuk beberapa korban yang mengalami luka parah. Oksigen aliran
tinggi harus diberikan kepada semua pasien dengan gangguan pernapasan, temuan
abnormal pada auskultasi, dan bukti trauma toraks yang signifikan.[12,13]
Personil EMS harus menghindari pemberian cairan intravena dalam
jumlah besar pada pasien dengan kecurigaan tinggi perdarahan internal yang
sedang berlangsung. Bolus cairan mungkin diperlukan jika pasien menunjukkan
tanda-tanda dan gejala perfusi yang tidak adekuat, seperti memburuknya status
mental. Pengalaman baru-baru ini di medan perang menunjukkan bahwa Hextend
adalah cairan resusitasi yang lebih disukai untuk penggunaan pra-rumah sakit.[12,13]
Personil EMS harus memulai langkah-langkah untuk mengurangi
kehilangan panas dan mencegah hipotermia pada pasien trauma karena kondisi
ini dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Dalam kasus trauma ekstremitas
yang mengancam jiwa dan terjadi akibat cedera ledakan, penggunaan torniket
secara dini terbukti menyelamatkan nyawa.[12]
Perawatan Unit Gawat Darurat
3
Periksa paru-paru, abdomen, dan membran timpani semua pasien yang
terkena ledakan sigifikan. Luka tembus (luka ledakan sekunder), trauma tumpul
(tersier/cedera ledakan sekunder), dan luka bakar memerlukan pengobatan
standar. Luka pecahan peluru (cedera ledakan sekunder) diobati sebagai luka
tembak kecepatan rendah. Dalam pedoman penanganan umum trauma ledakan,
yang penting dilakukan adalah mempertahankan jalan napas, membantu ventilasi
jika ventilasi spontan tidak mencukupi, dan mempertahankan sirkulasi yang
adekuat.[12,13]
Karena cedera primer paru-paru merupakan penyebab kematian utama
dalam fase awal pasien dengan trauma ledakan, maka berbagai penelitian
dilakukan untuk menentukan sistem skoring yang baik dalam menilai cedera paru-
paru yang terjadi. Baik sistem skoring Murray yang biasa digunakan untuk
menilai acute lung injury dan adult respiratory distress syndrome (ARDS)
maupun sistem skoring blast lung injury, masih dalam perdebatan karena tidak
dapat menilai pasien dari cedera paru-parunya saja. Sistem skoring lain yang
menjadi acuan adalah Pathology Scoring System for Blast Injuries yang
dikembangkan Yelverton. Sistem ini dapat menilai dengan tepat cedera ledakan
yang terjadi pada sistem organ tertentu. Sistem skoring lain seperti Injury Scoring
System (ISS) tidak dapat menilai cedera primer dengan tepat karena hasilnya akan
lebih rendah.[13]
Pasien yang tidak stabil secara hemodinamik disertai dengan trauma
signifikan dapat memperoleh manfaat dari penggunaan awal packed red clood
cells (PRBC) dan fresh frozen plasma (FFP) dalam rasio 1: 1, serta trombosit.
Selain itu, kriopresipitat dan rekombinan faktor VIIa harus dipertimbangkan pada
pasien trauma berat, terutama dalam syarat dilakukannya transfusi masif. Satu
review dari 3 insiden korban massal akibat peristiwa ledakan di Irak menyatakan
bahwa strategi resusitasi ini menunjukkan transfusi rata-rata 3,5 unit PRBC dan
3,8 unit plasma, serta angka kematian sebesar 8%. Penatalaksanaan pasien yang
dicurigai dengan emboli udara dimulai dengan pemberian suplementasi oksigen.
Suplementasi oksigen ini bertujuan untuk memperbaiki difusi gas dan membantu
absorpsi udara di arteri. Proses ini terjadi lebih cepat jika kandungan oksigen lebih
4
tinggi dibanding nitrogen. Langkah berikutnya adalah untuk membatasi kerusakan
yang ditimbulkan oleh emboli dengan memposisikan tubuh pasien dengan tepat.
Sebaiknya, pasien dalam posisi left lateral decubitus dengan kepala lebih rendah
untuk mencegah terjadinya gangguan serebrovaskular dan infark miokard. Terapi
definitif emboli udara adalah dengan terapi hiperbarik. Tujuan terapi ini adalah
untuk mengurangi volume gelembung, akselerasi resolusi gelembung, dan
memperbaiki oksigenasi jaringan.[12,13]
Tekanan pengisian kardiovaskular perlu dinilai pada pasien cedera ledakan
yang mengalami hipotensi. Ini dilakukan dengan mengukur tekanan vena sentral
atau kateter arteri pulmonalis. Pengukuran status volume intravaskular ini penting
untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan. Kelebihan cairan akan memperparah
cedera paru-paru yang terjadi dan menurunkan compliance paru-paru. Setelah
status hemodinamik stabil, dilakukan restriksi cairan untuk mengurangi risiko
terjadinya ARDS pada pasien dengan kontusio paru. Dalam menangani pasien
dengan trauma ledakan, pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah foto
toraks untuk melihat tanda-tanda kontusio paru dan barotrauma. Gambaran khas
pada cedera paru primer adalah gambaran bercak-bercak infiltrat. Kontusio
awalnya terjadi pada daerah hilus. Pada keadaan yang lanjut, terjadi gambaran
keputihan pada seluruh lapang paru seperti gambaran stadium akhir ARDS. Foto
toraks juga dapat menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, yang
merupakan tanda ruptur organ pada sistem gastrointestinal. [12,13]
Pencegahan hipoksia dan hipotensi sangat penting pada pasien dengan
cedera otak traumatis untuk mencegah peningkatan mortalitas yang signifikan.
Karena kontusio paru cenderung berkembang selama beberapa jam, periode
observasi dan pemeriksaan radiografi ulang mungkin diperlukan jika
diindikasikan. Manajemen jalan napas definitif dan ventilasi mungkin diperlukan.
Langkah penting berikutnya dalam resusitasi pasien korban ledakan adalah
mempertahankan sirkulasi. Hipotensi yang terjadi pada kasus trauma ledakan
disebabkan kehilangan darah melalui luka yang terjadi pada cedera sekunder,
perdarahan gastrointestinal, emboli udara, dan refleks vagal. Resusitasi cairan
5
harus segera dilakukan, namun pemberian cairan jangan berlebihan. Hal ini akan
memperburuk kontusio paru yang terjadi karena peningkatan permeabilitas paru-
paru yang pada akhirnya mengakibatkan ARDS.[12,13]
Resusitasi cairan sebaiknya menggunakan darah atau koloid daripada
kristaloid. Jika cairan kristaloid digunakan, sambil menunggu tersedianya darah
gunakan NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pada perdarahan masif dapat digunakan
cairan NaCl hipertonik 7.2-7.5%. Pada kasus dengan kehilangan darah sampai
50%, pemberian NaCl hipertonik ini dengan jumlah 1/10 volume darah yang
hilang dapat mempertahankan tekanan pengisian jantung, cardiac output, dan
tekanan darah sistemik. Jika dikombinasi dengan koloid seperti Dextran, hasil
akan lebih optimal.[12,13]
Jika nyeri perut terjadi terus-menerus atau muntah, pertimbangkan
untuk mengobservasi pasien. Hematom intestin mungkin sulit untuk dideteksi di
UGD. Penanganan cedera ledakan pada traktus gastrointestinal sama seperti
penatalaksanaan trauma tumpul abdomen lainnya. Namun, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, yaitu : Korban dengan keluhan abdomen, namun pemeriksaan
CT scan dan DPL negatif harus dimonitor secara ketat, mengingat sering terjadi
peritonitis dan abses intraabdomen beberapa hari, bahkan beberapa minggu
setelah ledakan. Jika akan dilakukan CT scan, maka pemeriksaan tersebut harus
dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan DPL. DPL akan meninggalkan
udara dan cairan dalam rongga intraperitoneum. Foto toraks harus dilakukan
sebelum laparotomi atau pembedahan lainnya untuk mencari tanda-tanda
barotrauma. Pasien dengan cedera ledakan primer pada paru-paru mempunyai
risiko yang lebih tinggi pada anestesi umum. Hal ini berhubungan dengan
penggunaan ventilasi mekanik selama dan pasca operasi. Risiko perburukan
barotrauma dan emboli udara dapat dikurangi dengan mempertahankan tekanan
seminimal mungkin atau menggunakan anestesi lokal atau regional. Jika
ditemukan tanda-tanda barotrauma pada foto toraks pre-operatif maka tube
torakostomi bilateral harus dipasang. Mengingat risiko anestesi yang besar pada
pasien trauma ledakan maka laparotomi hanya dilakukan pada pasien dengan
6
tanda-tanda cedera gastrointestinal yang jelas, baik secara klinis maupun
radiologis.[12,13]
Pemeriksaan penunjang lain yang berguna adalah pemeriksaan darah
perifer lengkap. Ini berguna untuk membantu dalam penentuan jumlah transfusi
yang akan diberikan. Pemeriksaan kimia darah tidak berguna dalam menentukan
ada tidaknya dan derajat beratnya cedera ledakan primer. [13]
Pemeriksaan cedera primer pada gastrointestinal meliputi pemeriksaan
fisik, CT (Computed Tomography) scan abdomen, dan diagnostic peritoneal
lavage (DPL). CT scan abdomen, walaupun mempunyai spesifisitas tinggi,
sensitivitasnya rendah, terutama dalam mendeteksi adanya cedera gastrointestinal.
Endoskopi berperan sangat penting dalam mendiagnosis cedera primer tanpa
perforasi.[13]
Yang perlu diingat adalah pemeriksaan radiologis dan bahkan pemeriksaan
DPL sering tidak tepat jika dilakukan awal. Pemeriksaan fisik melalui follow-up
yang cermat lebih efektif dalam mendiagnosis adanya perforasi sekunder.[13]
Pasien dengan riwayat trauma ledakan primer yang signifikan sebaiknya
dimonitor dengan baik selama 48 jam. Pada pasien dengan kesadaran menurun,
masalah lebih rumit karena tidak dapat dilakukan pemeriksaan fisik dengan baik.
Jika terdapat kecurigaan adanya perforasi sekunder, eksplorasi abdomen dapat
dilakukan 48 jam pasca trauma walaupun abdominal tap inisial negatif.[13]
Luka bakar fosfor putih (FP) memerlukan penatalaksanaan tertentu.
Penatalaksanaan awal dari luka yang terkontaminasi FP terdiri dari lavase besar-
besaran area yang terbakar, menghilangkan partikel yang teridentifikasi dimana
partikel tersebut harus ditempatkan di dalam air untuk mencegah pembakaran
lebih lanjut, dan menutupi area yang terbakar dengan kasa yang direndam garam
untuk mencegah pembakaran lanjut.[12]
Penggunaan lampu Wood dalam ruang resusitasi yang gelap atau ruang
operasi dapat membantu mengidentifikasi partikel FP pada luka. Pengobatan
definitif berupa pembilasan menggunakan larutan 1% tembaga sulfat (CuSO4)
dan pengangkatan partikel FP. Tembaga sulfat digabungkan dengan partikel
7
fosfor untuk membentuk lapisan tembaga fosfit biru-hitam. Hal ini menghambat
pembakaran FP leih lanjut dan membuat partikel lebih mudah untuk ditemukan.[12]
Bilas luka bakar yang terkontaminasi dengan larutan tembaga sulfat,
hilangkan partikel FP, dan kemudian gunakan lavase garam dalam jumlah banyak
untuk membilas tembaga sulfat. Jangan pernah menjadikan tembaga sulfat sebagai
penutup permukaan tubuh. Kelebihan penyerapan tembaga sulfat dapat
menyebabkan hemolisis intravaskular dan gagal ginjal.[12]
Cedera akibat FP dapat menyebabkan hipokalemia dan hiperfosfatemia
dengan perubahan EKG, aritmia jantung, dan kematian. Tempatkan pasien di
monitor jantung dan lacak kadar kalsium serum. Penggunaan kalsium intravena
mungkin diperlukan. Masker yang lembab dan ventilasi yang baik membantu
melindungi pasien dan tenaga medis dari efek paru akibat gas fosfor pentoksida.[12]
IX. Hukum Terkait Luka akibat Ledakan
KUHP Bab VII - Kejahatan Yang Membahayakan Keamanan Umum
Bagi Orang Atau Barang
Pasal 187
Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan, atau
banjir, diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena
perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;
2. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena
perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain; 3. dengan pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun,
jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan
meng- akibatkan orang mati.[14]
Pasal 187 bis
8
(1) Barang siapa membuat, menerima, berusaha memperoleh, mempunyai
persediaan, menyembunyikan, mengangkut otau memasukkan ke Indonesia
bahan-bahan, benda- benda atau perkakas-perkakas yung diketahui atau
selayaknya harus diduga bahwa diperuntukkan, atau kalau ada kesempatan akan
diperuntukkan, untuk menimbulkan ledakan yang membahayakan nyawa orang
atau menimbulkan bahaya umum bagi barang, diancam dengan pidana penjara
paling lama delapan tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun, [14]
(2) Tidak mampunya bahan-bahan, benda-benda atau perkakas- perkakas
untuk menirnbulkan ledakan; seperti tersebut di atas, tidak menghapuskan
pengenaan pidana.[14]
Pasal 188 ( L.N. 1960 - 1)
Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakar- an,
ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidnna denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi barang,
jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karena
perbuatan itu mengakibatkan orang mati.[14]
Pasal 382
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum. atas kerugian penanggung asuransi atau pemegang
surat bodemerij yang sah. menimbulkan kebakaran atau ledakan pada suatu
barang yang dipertanggungkan terhadap bahaya kebakaran, atau mengaramkan.
mendamparkan. menghancurkan, merusakkan. atau membikin tak dapat dipakai.
kapal yang dipertanggungkan atau yang muatannya maupun upah yang akan
diterima untuk pengangkutan muatannya yang dipertanggungkan, ataupun yang
atasnya telah diterima uang bode- merij diancarn dengan pidana penjara paling
lama lima tahun.[14]
Pasal 479h
9
(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hukum, atas kerugian penanggung asuransi
menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan atau
membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara, yang dipertanggungkan terhadap
bahaya tersebut di atas atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah
yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan
muatan tersebut telah diterima uang tanggungan, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya sembilan tahun.[14]
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Khurana, P. and JSDalal, Bomb Blasts Injuries. J Punjab Acad
Forensic Med Toxicol, 2011. 11: p. 37-9.
2. Humayun, M., et al., Homicidal Death and Injuries by Bomb
Blasts in Dera Ismail Khan. Gomal Journal of Medical Sciences, 2009. 7(1): p.
51-4.
3. Mittal, P., et al., Bomb Explosion Death: A Case Report.
International Journal of Allied Medical Sciences and Clinical Research, 2014.
2(3): p. 196-200.
4. Services, D.o.H., Explosions and Blast Injuries, D.o.H. Services,
Editor, CDC: USA.
5. Knight, B., Firearm and Explosive Injuries, in Simpson's Forensic
Medicine, B. Knight, Editor 1997, Arnold: London. p. 65-71.
6. Lemonick, D.M., Bombings and Blast Injuries: A Primer for
Physicians. American Journal of Clinical Medicine, 2011. 8: p. 134-140.
7. DePalma RG, Burris DG, Champion HR, et all. Blast Injuries.
Updates March 32, 2005. Available on: N Engl J Med 2005; 352:1335-1342.
www.nejm.org
8. Hauser, S.L., Pathophysiology of Blast Injury and Overview of
Experimental Data, in Gulf War and Health, S.L. Hauser, Editor 2014, The
National Academieses Press: Washington DC. p. 33-84.
9. Saputra, YE. Mekanisme Ledakan Bom. 20 Januari 2008.
www.chemistry.org
10. Born, Departement of Orthopaedic Surgery, Rhode Islands
Hospital, Brown University, Medical Office Center. Blast Trauma: The Fourth
Weapon of Mass Destruction. Updates October 5, 2005. Available on:
http://www.fimnet.fi/sjs/articles/SJS42005-279.pdf
11
11. Bhatoe, M. Ch Col Harjinder S. Blast injury and the neurosurgeon.
Department of neurosurgery. Indian Journal of Neurotrauma. 2008;3-6.
12. Pennart Andre,. Blast Injury: Treatment and Management. Updates
April 21, 2014. Available on: http://www.medscape.com
13. American College of Surgeons, Advance Trauma Life Support:
Program for Doctors, 7th edition, Chicago: 2004.
14. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
12