Reaksi afektif yang dipengaruhi keterlambatan

6
Reaksi Afektif yang dipengaruhi Keterlambatan/ waktu tunggu Respon afektif merupakan salah satu dari respon pskologikal yang dimiliki konsumen atau pelanggan terhadap sebuah situasi pembelian. Terdapat empat respon afektif yang dirasakan manusia, yaitu emosi, perasaan spesifik, mood, evaluasi. Respon afektif adalah respon yang dipengaruhi oleh perasaan, dan merupakan hasil dari sistim afektif (Peter and Olson). Sistim afektif dipengaruhi oleh lima karakteristik, yang pertama adalah sistim afektif tidak dapat direncanakan, memberikan keputusan, ataupun sengaja dicoba untuk mencapai sebuah tujuan. Karakter selanjutnya yang berhubungan dengan sistim afektif adalah manusia memiliki kontrol terhadap sistim afektif, meskipun hanya sedikit, sebagai contoh adalah pelanggan yang memiliki reaksi afektif negatif terhadap butik yang ramai penuh sesak sehingga akan muncul reaksi tidak nyaman, frustasi, bahkan marah, kemudian ia meninggalkan butik tersebut dan menuju butik yang lebih sepi yang dapat memberikan stimulasi afektif yang positif. Sistim afektif ketiga adalah felt physically in the body dimana respon afektif akan, berpengaruh pada kondisi tubuh, sebagai contoh adalah adanya butterfly effect sebagai suatu ungkapan perasaan senang setelah membeli barang yang menyenangkan. Keempat, system afektif dapat menanggapi stimulus apapun. Sebagai contoh, pelanggan dapat memberikan evaluasi terhadap

Transcript of Reaksi afektif yang dipengaruhi keterlambatan

Page 1: Reaksi afektif yang dipengaruhi keterlambatan

Reaksi Afektif yang dipengaruhi Keterlambatan/ waktu tunggu

Respon afektif merupakan salah satu dari respon pskologikal yang dimiliki konsumen atau

pelanggan terhadap sebuah situasi pembelian. Terdapat empat respon afektif yang dirasakan manusia,

yaitu emosi, perasaan spesifik, mood, evaluasi. Respon afektif adalah respon yang dipengaruhi oleh

perasaan, dan merupakan hasil dari sistim afektif (Peter and Olson).

Sistim afektif dipengaruhi oleh lima karakteristik, yang pertama adalah sistim afektif tidak dapat

direncanakan, memberikan keputusan, ataupun sengaja dicoba untuk mencapai sebuah tujuan. Karakter

selanjutnya yang berhubungan dengan sistim afektif adalah manusia memiliki kontrol terhadap sistim

afektif, meskipun hanya sedikit, sebagai contoh adalah pelanggan yang memiliki reaksi afektif negatif

terhadap butik yang ramai penuh sesak sehingga akan muncul reaksi tidak nyaman, frustasi, bahkan

marah, kemudian ia meninggalkan butik tersebut dan menuju butik yang lebih sepi yang dapat

memberikan stimulasi afektif yang positif. Sistim afektif ketiga adalah felt physically in the body dimana

respon afektif akan, berpengaruh pada kondisi tubuh, sebagai contoh adalah adanya butterfly effect

sebagai suatu ungkapan perasaan senang setelah membeli barang yang menyenangkan. Keempat, system

afektif dapat menanggapi stimulus apapun. Sebagai contoh, pelanggan dapat memberikan evaluasi

terhadap barang-barang yang dimiliki. Kelima, pada umumya, respon afektif adalah hasil pembelajaran

(learned), oleh karena itu, pada budaya yang berbeda akan menghasilkan repon afektif yang berbeda pula.

Beberapa penelitian sebelumnya telah mengenai respon afektif yang disebabkan pada waktu

tunggu mengarah pada terbentuknya emosi dan telah terukur pada berbagai bentuk, salah satunya adalah

amarah (Taylor 1994). Respon afektif dari waktu tunggu didefinisikan sebagai sekumpulan perasaan dan

emosi konsumen yang ditimbulkan saat menunggu layanan jasa. Menunggu menyebabkan beberapa efek,

seperti ketidak setujuan, ketidakpastian, frustasi, kesal, kehilangan semangat, jengkel, penuh tekanan, dan

cemas. Reaksi-reaksi afektif ini secara umum dapat dikatagorikan menjadi dua tipe, yaitu reaksi

ketidakpastian yang diasosiasikan dengan ketidaknyamanan dan reaksi amarah dan diasosiasikan dengan

perasaan kesal, sebal, frustasi, terganggu.

Page 2: Reaksi afektif yang dipengaruhi keterlambatan

Ketidakpastian

Pelanggan tidak tahu berapa lama mereka akan menunggu. Keadaan tidak pasti ini akan

diasosiasikan dengan perasaan tidak nyaman dan cemas (Maister, 1985). Dengan adanya perasaan tidak

tentu terhadap berapa lamanya waktu menunggu akan mengakibatkan peningkatan konsekuensi personal.

Sebagai contoh pada industri penerbangan, keterlambatan 10 menit dapat dianggap sebagai sesuatu yang

sepele. Tetapi ketika waktu tunggu meningkat menjadi 30 menit, perasaan penumpang mulai

berkembang, muncullah perasaan ketidakpercayaan bahwa penerbangan akan dilakukan atau tidak. Jika

penerbangan dibatalkan, maka apa yang terjadi padanya.

Lebih lanjut, pelanggan yang menunggu akan merasakan ketidak tentuan mengapa mereka harus

menunggu, apa yang menyebabkan keterlambatan. Dengan meningkatnya durasi keterlambatan, asumsi

mengenai penyebab keterlambatan semakin berkembang, dengan semakin banyak asumsi penyebab

keterlambatan tersebut, maka semakin akan memperburuk perasaan ketidakpastian. Keterlambatan 10

menit dapat diperkirakan sebagai dampak dari permasalahan kecil, seperti penanganan bagasi. Sementara

pada keterlambatan 30 menit akan menmbulkan asumsi pada permasalah yang lebih kompleks.

Amarah

Amarah dan perasaan-perasaan lain yang berhubungan, seperti kesal, sebal, terganggu,dan

frustrasi sering kali datang sebagai dampak dari menunggu keterlambatan. Keterlambatan akan

menghambat ketersediaan jasa dan menghambat kepuasan, mengakibatkan kemarahan dan frustrasi.

Terdapat kemarahan dapat disebabkan oleh berbagai hal. Seringkali kemarahan yang disebabkan oleh

keterlambatan akan menimbulkan perasaan tidak menentu selama menunggu. Perasaan tidak menentu

ini berpotensi menimbulkan kegelisahan yang mendalam. Dengan tersedianya informasi perkiraan waktu

tunggu keterlambatan, maka pelanggan akan merasa lebih baik.

Emosi adalah rekasi valensi dari sebuah kejadian atau barang. Emosi dikelompokkan

Affective Response to Waiting

Emotions are valenced reactions to events or objects. Clusters

of emotions with the same polarity are usually referred to as either

Page 3: Reaksi afektif yang dipengaruhi keterlambatan

positive or negative affect (Oliver 1997). Affective responses in

wait research have been referred to as emotional types of constructs

and have been measured in various forms, such as anger (e.g.,

Taylor 1994) and pleasure (revised from Mehrabian and Russell

1974) (e.g., Chebat and Gelinas-Chebat 1995; Houston et al. 1998;

Hui and Tse 1996). Affective response to waiting is defined as a

series of consumers’ feelings and emotions that are provoked by

waiting for a service. Numerous studies in waiting identify affective

responses as adjacent determinants of consumer service evaluations

(Chebat and Gelinas-Chebat 1995; Hui and Tse 1996; Taylor

1994).

Wait Disconfirmation and Affective Response to Waiting

Research has shown that disconfirmation influences emotional

responses (Bolton and Drew 1991; Muller, Tse, and

Venkatasubramaniam 1991). Literature has suggested that service

performance that falls above the zone of tolerance results in a highly

satisfying outcome (e.g., surprise and delight) (Cronin 2003;

Johnston 1995); on the other hand, when service performance falls

below the zone of tolerance, the customer will judge the overall

service as unsatisfactory and he/she will feel frustrated (Zeithaml

and Bitner 2003). Moreover, when service performance falls within

the zone of tolerance, consumers may be indifferent to the service

performance and thus react in neither a positive nor negative

manner (Cronin 2003; Oliver 1997; Zeithaml and Bitner 2003).

In the context of waiting in a polyclinic, Pryun and Smidts

(1998) concluded that consumers’ affective responses to waiting

depend on the difference between perceived waiting time and

acceptable waiting time. Consumers were found to experience

negative feelings when their perceived waiting time was longer

than their acceptable waiting time. Hui and Tse (1996) and Houston

et al. (1998) reported similar findings. Research also suggests that

Page 4: Reaksi afektif yang dipengaruhi keterlambatan

consumers may not react in a very positive or negative way when

service performance falls within the zone of tolerance (i.e., zero

disconfirmation) (Cronin 2003; Oliver 1997, Zeithaml and Bitner

2003). Therefore, it is assumed that consumers experience positive

wait disconfirmation when perceived wait duration is shorter than

desired wait expectation. As wait disconfirmation becomes more

positive, consumers are likely to react to waiting with more positive

feelings. On the contrary, consumers experience negative wait

disconfirmation when perceived wait duration is longer than adequate

wait expectation. As wait disconfirmation becomes more

negative, consumers are likely to undergo more negative feelings

about waiting. Moreover, when consumers experience zero

disconfirmation, i.e., perceived wait duration falls within the consumer

zone of wait tolerance, their affective responses may be less

pronounced as compared to those who experience positive and

negative wait disconfirmation

Perceived Wait Duration and Affective Response to Waiting

Affective response to waiting has been identified as a variable

that mediates the relationship between perceived wait time and

service evaluation in a number of waiting studies (e.g., Chebat et al.

1995; Hui et al. 1998; Hui and Tse 1996; Taylor 1994). For

example, Taylor (1994) concluded that consumers’ overall service

evaluations are directly influenced by their affective responses to

waiting (i.e., anger and uncertainty). As anger increases, overall

evaluation of service decreases. Therefore, the relationship between

perceived wait duration and affective response to waiting is

also proposed as follows:

1. About affective response

Page 5: Reaksi afektif yang dipengaruhi keterlambatan

2. Affective response to waiting time

3. Anger

4. Uncertainty