PTERYGIUM

33
BAB I LAPORAN KASUS 1.1 IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. E Umur : 50 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Bangsa : Indonesia Pekerjaan : Guru Alamat : RT 05 Kel. Kenali Besar Tanggal anamnesa : Sabtu, 17 Januari 2015 1.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis) 1.2.1 Keluhan Utama Mata kanan terasa kabur dan mengganjal ± sejak 1 bulan terakhir. 1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan mata kanan terasa kabur ± sejak 1 bulan terakhir. Menurut pasien terdapat lemak pada mata kanannya. Pasien mengaku keluhan kabur tersebut seiring dengan membesarnya lemak yang terdapat pada matanya. Lemak pada mata kanannya tersebut sebenarnya sudah ada sejak 3 tahun yang lalu. Awalnya lemak berukuran kecil dan 1

description

mata pterigium

Transcript of PTERYGIUM

BAB ILAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIENNama: Ny. EUmur: 50 tahunJenis Kelamin: PerempuanAgama: IslamBangsa: IndonesiaPekerjaan: GuruAlamat: RT 05 Kel. Kenali BesarTanggal anamnesa : Sabtu, 17 Januari 2015

1.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis)1.2.1 Keluhan UtamaMata kanan terasa kabur dan mengganjal sejak 1 bulan terakhir.

1.2.2 Riwayat Penyakit SekarangPasien datang dengan keluhan mata kanan terasa kabur sejak 1 bulan terakhir. Menurut pasien terdapat lemak pada mata kanannya. Pasien mengaku keluhan kabur tersebut seiring dengan membesarnya lemak yang terdapat pada matanya. Lemak pada mata kanannya tersebut sebenarnya sudah ada sejak 3 tahun yang lalu. Awalnya lemak berukuran kecil dan tidak mengganggu, tetapi lama kelamaan dirasakan pasien semakin membesar seperti sekarang dan dirasakan cukup mengganggu aktivitas sehari-hari karena terasa agak mengganjal dan membuat penglihatnnya semakin kabur.Selain itu, diketahui bahwa sejak dulu pasien sering memiliki keluhan mata merah, terasa gatal dan berair. Mata merah hilang timbul dan memberat 2 minggu terakhir ini. Adapun penyebab dari timbulnya mata merah tersebut menurut pasien adalah karena sering terpapar oleh debu dan juga angin saat mengendarai motor. Adanya penglihatan ganda disangkal, keluhan sakit kepala disertai rasa sakit pada daerah mata juga disangkal, kotoran mata (-), bengkak (-). Pasien juga mengatakan bahwa ketika ia membaca dengan jarak yang cukup dekat. Seperti membaca buku maka mata kirinya terasa lebih kabur dibandingkan mata kanan. Dari anamnesa diketahui bahwa sejak 2 tahun yang lalu pasien sudah mengenakan kaca mata baca dengan ukuran + 175. Tetapi sejak pandangan mata kirinya terasa semakin kabur, pasien merasa tidak lagi nyaman mengenakan kaca mata yang lama.

1.2.3 Riwayat Pengobatan SebelumnyaPasien sebelumnya sudah pernah berobat ke dokter untuk keluhan lemak mata dan mata merahnya. Kemudian oleh dokter ia diberi obat tetes mata, namun pasien lupa obat apa yang diberikan oleh dokter tersebut. Karena sejak 1 bulan yang lalu, keluhan semakin memberat maka ia memutuskan untuk kembali berobat ke dokter.

1.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat operasi disangkal Riwayat trauma (-) Riwayat sering terpapar dengan matahari, angin, dan debu pada kedua mata (+) Mata merah (+) Riwayat Alergi (-) Riwayat Penyakit Sistemik: Riwayat Hipertensi disangkal Riwayat Penyakit Diabetes Mellitus disangkal

1.2.5 Riwayat Penyakit Dalam KeluargaTidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami sakit yang sama.Riwayat keluarga dengan Hipertensi dan Diabetes Mellitus disangkal.

1.2.6 Riwayat gizi :baik1.2.7 Keadaan Sosial EkonomiEkonomi pasien tergolong dalam ekonomi yang baik, dimana pasien bekerja sebagai seorang guru di salah satu sekolah swasta di Jambi.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK1.3.1 Status GeneralisKeadaan Umum : BaikKesadaran : ComposmentisTanda Vital :Tekanan Darah: 120/70 mmHgNadi : 84 x/menitRR : 20 x/menitSuhu : Afebris

Kepala : Normocephal Mata : Status Oftalmologi THT : Tidak ada keluhan Mulut : Tidak ada keluhan Leher : Tidak ada keluhan Thoraks : Tidak ada keluhan Abdomen : Tidak ada keluhan Ekstremitas : Tidak ada keluhan

1.3.2 Status OftalmologikusPemeriksaan ODOS

Visus SC CC

6/12 tidak dapat dikoreksi

6/96/6Koreksi : S + 050Add : +200

Kedudukan Bola Mata

Posisi OrtoforiaOrtoforia

Pergerakan bola mata

- Duksi- Versi

Baik Baik

Baik Baik

Jar. Jernih jernihfibrovaskuler

Jernih, jernih

Palpebra

Superior

Inferior Hiperemis (-), edema (-), laserasi (-)Hiperemis (-), edema (-), laserasi (-)Hiperemis (-), edema (-), laserasi (-)Hiperemis (-), edema (-), laserasi (-)

Konjungtiva

Konjungtiva tarsus superiorHiperemis (-), Anemis (-), Papil (-), folikel (-), lytiasis (-)Hiperemis (-), Anemis (-), Papil (-), folikel (-), lytiasis (-)

Konjungtiva tarsus inferiorHiperemis (-), Anemis (-), Papil (-), folikel (-), lytiasis (-)Hiperemis (-), Anemis (-), Papil (-), folikel (-), lytiasis (-)

Konjungtiva bulbiInjeksi konjungtiva (+), Injeksi Silier (-), jar. Fibrovascular (+)Injeksi konjungtiva (-), Injeksi Silier (-)

Kornea

JernihEdemaUlkusPerforasiMakulaLeukoriaPigmen irisLaserasiBekas jahitanJaringan fibrovaskuler+--------++---------

Limbus Kornea

Arcus sinilisBekas jahitanJaringan fibrovaskuler--+---

Sklera

Sklera biruEpiskleritisSkleritis ------

COA

Volume Sedang Sedang

Iris

Warna Kripta Prolaps CokelatNormal -Cokelat Normal -

Pupil

BentukIsokoriaUkuranRCLRCTLBulatIsokor3 mm++BulatIsokor 3 mm++

Lensa

Kejernihan Jernih Jernih

PEMERIKSAAN SLIT LAMPTampak jaringan fibrovaskular sampai pinggir pupilTidak ada kelainan

Tekanan Intra Okuler

Palpasi Tonometer SchiotzNormalTidak dilakukanNormalTidak dilakukan

VISUAL FIELDTIDAK DILAKUKAN

FUNDUSKOPITIDAK DILAKUKAN

1.3 DIAGNOSIS KERJAHipermetropia OS + Presbiopia Pterigium grade III OD

1.4 DIAGNOSIS BANDING- Pseudopterigium- Penguekula

1.5 ANJURAN PEMERIKSAAN Topografi kornea

1.6 PENATALAKSANAAN Medikamentosa Cindo xitrol 2 kali 1 tetes OD Polimel 3 kali 1 tetes OD Non-medikamentosa Eksisi pterigium

1.7 PROGNOSISQuo ad vitam : BonamQuo ad fungtionam : Bonam

BAB IITINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 ANATOMI KONJUNGTIVA DAN KORNEA

Gambar 1. Anatomi Mata

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.1Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan posterior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.1Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior). Kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.1Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.1Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular terletak di bagian sentral dari kutub anterior bola mata yang akan bergabung dengan sklera dan konjungtiva. Kornea akan tampak berbentuk elips bili dilihat dari bagian depan dengan ukuran diameter horisontal 11-12 mm dan diameter vertikal 9-11 mm. Indeks refraksi kornea sebesar 1,376. Radius dari kurvatura kornea sentral sekitar 7,8 mm (6,7-9,4 mm). Kekuatan dioptri karena sebesar 43,25 dioptri atau sekitar 74% dari total kekuatan dioptri mata manusia normal. Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata bagian di sebelah depan. Nutrisi kornea diperoleh dari difusi glukosan akuos humor dan difusi oksigen melalui lapisan air mata. Bagian perifer kornea juga mendapat oksigen dari sirkulasi limbal.2

Secara mikroskopis kornea terdiri dari 5 lapisan, yaitu:21. EpitelTebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, eliktrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Adanya ikatan yang kuat antara sel-sel epitel superfisial mencegah terjadinya penetrasi cairan air mata ke dalam stroma.2. Lapisan BowmanLapisan Bowman adalah lapisan yang terkuat dan terbentuk dari lapisan fibril kolagen yang tersusun secara random. Ketebalan lapisan ini sekitar 8-14 mikro meter. Bila terjadi luka yang mengenai bagian ini maka akan digantikan dengan jaringan parut karena tidak memiliki daya regenerasi.3. StromaStroma merupakan 90% dari seluruh ketebalan kornea dan dibentuk oleh keratosit yang memproduksi kolagen. Jenis kolagen yang dibentuk adalah tipe I, III dan VI. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan di bagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadangkadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. Transparansi kornea juga ditentukan dengan menjaga kandungan air di stroma sebesar 78%.4. Membran DescementMembrana descement adalah suatu lamina basalis yang tebal dan longgar pada stroma. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 m.5. EndotelBerasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40 m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan zonula okluden. Sel endotel mempunyai fungsi transport aktif air dan ion yang menyebabkan stroma menjadi relatif dehidrasi sehingga terus menjaga kejernihan kornea.

Gambar 2. Anatomi korneaFisiologi KorneaSecara umum, fungsi utama kornea merupakan sebagai medium refraksi dan melindungi struktur yang terdapat di intraokular. Fungsi tersebut dapat dijalankan melalui transparansi kornea dan penggantian jaringannya.Transparansi kornea merupakan akibat susunan lamella kornea yang unik avaskularitas, dan keadaan dehidrasi relatif. Glukosa dan zat terlarut melalui transport aktif dan pasif melalui aqueous humour dan difusi kapiler perilimbal. Oksigen didapatkan secara langsung dari udara melalui tear film.1Sebagian besar lesi kornea, baik superfisial maupun dalam dapat menyebabkan nyeri dan fotofobia karena kornea memiliki banyak serat nyeri. Selain itu, lesi kornea biasanya menyebabkan penglihatan yang blur, terutama bila lokasinya di sentral. Photophobia terjadi akibat kontraksi pada iris yang mengalami peradangan. Dilatasi pada pembuluh darah iris merupakan refleks akibat iritasi ujung saraf kornea. Meskipun demikian, photophobia terjadi secara minimal pada keratitis herpes karena hipestesi yang terjadi.3

2.2 PTERIGIUM2.2.1 DEFINISI Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra, bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman. Pterigium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata Pterigium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya sayap.3,4,5,6,7

2.2.2 EPIDEMIOLOGI Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.3Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.3

2.2.3 FAKTOR RESIKO Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.3

1. Radiasi ultraviolet Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterigium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting. 2. Faktor Genetik Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan. 3. Faktor lain Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Wong juga menunjukkan adanya pterigium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterigium.

2.2.4 PATOGENESIS Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.3Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.3Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.3Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.3

2.2.5 GAMBARAN KLINIS DAN PEMBAGIAN PTERIGIUM Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterigium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.3,4,5,6,7Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker's line).3,4,5,6,7Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.3

Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu :31. Progresif pterigium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala pterigium (disebut cap pterigium). 2. Regresif pterigium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.

Pada fase awal pterigium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.3

Pembagian lain pterigium yaitu :31. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat. 2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma. 3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :31. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea. 2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. 3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm) 4. Derajat 4 : pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

2.2.6 DIAGNOSIS BANDING Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama yaitu pinguekula dan pseudopterigium. Bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan berbatasandengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguekula.3,5Pertumbuhan yang mirip dengan pterigium, pertumbuhannya membentuk sudut miring seperti pseudopterigium atau Terrien's marginal degeneration. Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Berbeda dengan pterigium, pseudopterigium adalah akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterigium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterigium. Pada pseudopterigium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body dan pseudopterigium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan true pterigium.3,5

2.2.7 PENATALAKSANAAN Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterigium ringan sering ditangani dengan menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2. Untuk mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kacamata pelindung ultraviolet. Indikasi eksisi pterigium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola mata. 3,5Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin. Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium kearah limbus. Memisahkan pterigium kearah bawah pada limbus lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. Beberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu : 3,51. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka. 2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil). 3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser untuk menutupi defek. 4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya. 5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit. 6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterigium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF- pada konjungtiva dan fibroblast pterigium. Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.

2.2.8 KOMPLIKASI Komplikasi pterigium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel di atas pterigium yang ada.3Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterigium post operasi.3

2.2.9 PROGNOSISPenglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.3Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi.3Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari.3

BAB IIIANALISA KASUS

Pada kasus ini, dilaporkan seorang perempuan, usia 50 tahun, datang dengan keluhan mata kanan terasa kabur sejak 1 bulan terakhir. Pasien mengaku keluhan kabur tersebut seiring dengan membesarnya lemak yang terdapat pada matanya. Mata terasa mengganjal (+). Selain itu, diketahui bahwa sejak dulu pasien sering memiliki keluhan mata merah, terasa gatal dan berair. Adapun penyebab dari timbulnya mata merah tersebut menurut pasien adalah karena sering terpapar oleh debu dan juga angin saat mengendarai motor. Adanya penglihatan ganda disangkal, keluhan sakit kepala disertai rasa sakit pada daerah mata juga disangkal, kotoran mata (-), bengkak (-).Riwayat alergi (-).Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa pada anamnesis kasus pterigium bisa didapatkan adanya keluhan seperti mata merah, gatal, mata sering berair, dan mata terasa mengganjal serta gangguan penglihatan. Pada pemeriksaan visus pasien ini didapatkan VOD 6/12 dan VOS 6/9.Dari pemeriksaan status oftalmologis, didapatkan adanya jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga pada daerah hingga pinggir pupil mata kanan. Tidak tampak kekeruhan pada kornea dan lensa. Refleks cahaya pada kedua pupil baik, pupil isokor. Menurut literatur inspeksi pada pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada permukaan konjungtiva. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal. Kasus ini juga didukung dengan adanya faktor resiko yaitu paparan sinar matahari dan iritasi kronis akibat paparan debu pada mata pasien.Adapun pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan pada kasus ini adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium. Terapi atau penatalaksanaan pada kasus ini adalah operasi eksisi pterigium dimana berdasarkan literatur, bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang diindikasikan untuk alasan kosmetik, perkembanagn lanjutan yang mengancam daerah pupil, dan diplopia karena gangguan di gerakan okular.Untuk prognosis pada kasus ini adalah baik walaupun dapat terjadi rekurensi. Secara visual dan kosmetik dari eksisi pterigium adalah baik. Prosedur operasi dapat ditoleransi secara baik oleh pasien, dan disamping rasa tak nyaman pada hari-hari pertama pasca pembedahan, pasien bisa melanjutkan aktivitas secara penuh dalam 48 jam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan, Paul. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Daniel G. Vaughan, Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Penerbit Widya Medika. 2002. Hal: 5.2. Riordan, Paul. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Daniel G. Vaughan, Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Penerbit Widya Medika. 2002. Hal: 7.3. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat (Tesis). Medan: Departemen Ilmu Kesehatan mata FKUSU. 2009.4. Schwab, Ivan & Chandler R. Dawson. Konjungtiva. Dalam: Daniel G. Vaughan, Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Penerbit Widya Medika. 2002. Hal: 123.5. Pigamintha Dimar. Prevalensi Pterigium Pada Populasi Penarik Beca Mesiin Di Sekitar Universsitas Sumatera Utara (Karya Tulis Ilmiah). Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.6. Nana, Wijana. Konjungtiva. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: EGC. 1996. Hal: 41-42. 7. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.

1