PROTEINURIA

15
Mekanisme Proteinuria Prerenal, glomerular, dan tubular Jumlah protein yang diekskresikan dalam urin merupakan fungsi dari 3 faktor: jumlah protein yang sampai ke glomerulus (filtered load), permeabilitas dinding kapiler glomerulus, dan efisiensi reabsorpsi protein yang difiltrasi oleh tubulus proksimal. Proteinuria yang signifikan atau yang menyebabkan proteinuria masif disebabkan oleh perubahan permeabilitas kapiler glomerulus terhadap protein. Pertahanan terhadap proteinuria tergantung pada struktur dan fungsi dinding kapiler glomerulus, karakteristik molekul protein yang melalui barier glomerulus, dan faktor hemodinamik. Barier anatomi terhadap proteinuria: dinding kapiler glomerulus Barier kapiler glomerulus terdiri dari beberapa lapisan: lapisan permukaan sel endotel berfenestrasi (glikokaliks), membran basal glomerulus, dan podosit epitel serta slit diaphragm. Studi terbaru sepakat bahwa membran basal glomerulus merupakan komponen dinding kapiler glomerulus yang membatasi pasase protein. Studi- studi berikutnya bertahan dengan hipotesis “singke-barrier” ini sampai suatu studi menyatakan bahwa slit diaphragm merupakan barier filtrasi yang juga efektif. Studi terakhir ini melahirkan hipotesis “double-barrier” yang berpendapat bahwa membran basal glomerulus membatasi pasase makromolekul yang lebih besar, sedangkan split diaphragm meregulasi pasase molekul yang lebih kecil. Namun demikian, hipotesis ini gagal menjelaskan temuan molekul yang relatif besar di bawah slit diaphragm dan bahkan beberapa ditemukan tidak melewati lapisan dalam membran basal glomerulus, sehingga peranan muatan listrik perlu dipertimbangkan. Berikutnya dikemukakan bahwa terdapat muatan listrik intrinsik pada membran basal glomerulus yang tersebar di situs-situs anionik tertentu. Situs ini terdapat di permukaan endotel dan epitel dan 1

description

proteiuria

Transcript of PROTEINURIA

Page 1: PROTEINURIA

Mekanisme Proteinuria

Prerenal, glomerular, dan tubular

Jumlah protein yang diekskresikan dalam urin merupakan fungsi dari 3 faktor: jumlah

protein yang sampai ke glomerulus (filtered load), permeabilitas dinding kapiler glomerulus, dan

efisiensi reabsorpsi protein yang difiltrasi oleh tubulus proksimal. Proteinuria yang signifikan atau

yang menyebabkan proteinuria masif disebabkan oleh perubahan permeabilitas kapiler glomerulus

terhadap protein. Pertahanan terhadap proteinuria tergantung pada struktur dan fungsi dinding

kapiler glomerulus, karakteristik molekul protein yang melalui barier glomerulus, dan faktor

hemodinamik.

Barier anatomi terhadap proteinuria: dinding kapiler glomerulus

Barier kapiler glomerulus terdiri dari beberapa lapisan: lapisan permukaan sel endotel

berfenestrasi (glikokaliks), membran basal glomerulus, dan podosit epitel serta slit diaphragm. Studi

terbaru sepakat bahwa membran basal glomerulus merupakan komponen dinding kapiler

glomerulus yang membatasi pasase protein. Studi-studi berikutnya bertahan dengan hipotesis

“singke-barrier” ini sampai suatu studi menyatakan bahwa slit diaphragm merupakan barier filtrasi

yang juga efektif. Studi terakhir ini melahirkan hipotesis “double-barrier” yang berpendapat bahwa

membran basal glomerulus membatasi pasase makromolekul yang lebih besar, sedangkan split

diaphragm meregulasi pasase molekul yang lebih kecil. Namun demikian, hipotesis ini gagal

menjelaskan temuan molekul yang relatif besar di bawah slit diaphragm dan bahkan beberapa

ditemukan tidak melewati lapisan dalam membran basal glomerulus, sehingga peranan muatan

listrik perlu dipertimbangkan.

Berikutnya dikemukakan bahwa terdapat muatan listrik intrinsik pada membran basal

glomerulus yang tersebar di situs-situs anionik tertentu. Situs ini terdapat di permukaan endotel dan

epitel dan membran basal glomerulus yang berada di antara kedua sel ini. Podosit dan foot process-

nya dilapisi dengan glikoprotein asam (sialoprotein atau polianion glomerulus) yang sangat

bermuatan negatif. Slit diaphragm epitel dan sel endotel juga mengandung glikosialoprotein.

Membran basal glomerulus terdiri dari komponen collagen-like nonpolar dan fraksi non-

kolagen yang lebih polar dari unit polisakarida asparagin-linked. Sel epitel glomerulus mampu

mensintesis semua komponen mayor membran basal glomerulus. Komponen integral membran

basal glomerulus meliputi kolagen tipe IV, laminin, entactin/ nidogen, dan berbagai proteoglikan,

termasuk chondroitin sulfate proteoglycan dan heparan sulfate proteoglycan (HS-PG). HS-PG ini

penting menentukan selektivitas muatan membran basal glomerulus. Normalnya, polianion

(terutama HS-PG) bertindak sebagai “anticlogging” untuk mencegah adsorpsi protein plasma

1

Page 2: PROTEINURIA

sehingga ultrafiltrasi dapat berlangsung. Banyak studi telah menilai pentingnya situs anionik dan HS-

PG dalam mencegah terjadinya proteinuria.

Pada studi selanjutnya ditemukan bahwa sebagian besar selektivitas dinding kapiler

glomerulus terletak pada sel dibanding pada membran basal glomerulus. Bila perlecan, proteoglikan

utama pada membran basal, dihilangkan, proteinuria tidak terjadi.

Observasi perubahan pada struktur podosit pada berbagai penyakit dengan proteinuria

menimbulkan spekulasi bahwa defek pada podosit mungkin bertanggungjawab meningkatkan

permeabilitas kapiler glomerulus. Struktur dan fungsi slit diaphragm juga banyak diteliti. Komponen

slit diaphragm, nefrin dan Neph1, saling berinteraksi dan membentuk tulang belakang slit

diaphragm. Nefrin dan Neph1 berinteraksi dengan podosin molekul adapter intraselular, CD2AP dan

Zona Occludens-1 (ZO-1), yang menghubungkan slit dengan sitoskleleton aktin dari foot process.

Molekul adapter ini juga memperkuat fungsi signaling nefrin dan Neph1.

Peranan sel endotel dan lapisan permukaannya, glikokaliks, mulai diperhatikan akhir-akhir

ini. Glikokaliks mengandung proteoglikan dan glikosaminoglikan yang bermuatan sangat negatif

diperkuat olehprotein plasma seperti orosomucoid (protein yang diproduksi olh sel endotel). Sintesis

proteoglikan dan glikosaminoglikan mengalami down-regulation ketika sel endotel terekspos dengan

poromycin, toksin proteinurik. Pada sistem ekstrarenal (peritoneum), transportasi protein

transvaskular meningkat pada tikus yang tidak memiliki caveolae endotel sehingga peranannya

dalam filtrasi protein masih perlu ditentukan. (1)

DIAGNOSIS

Evaluasi proteinuria dikerjakan sebagai kelanjutan dari ditemukannya proteinuria pada

pemeriksaan dipstick. Dipstick mendeteksi terutama albumin dan memberikan hasil positif palsu bila

pH >7,0, urin sangat terkonsentrasi atau terkontaminasi darah. Negatif palsu terjadi bila urin sangat

terdilusi atau bila proteinuria sebagian besar bukan albumin. Ini penting dalam deteksi protein

Bence-Jones pada urin pasien multiple myeloma. Tes untuk mengukur konsentrasi urin total

menggunakan presipitasi dengan asam sulfosalisilat atau triklorasetat. Saat ini telah tersedia dipstick

ultrasensitif yang dapat mendeteksi mikroalbuminuria (30-300 mg/hari), tanda awal penyakit

glomerular yang dapat memprediksi kerusakan glomerulus pada nefropati diabetik. (2)

2

Page 3: PROTEINURIA

Gambar 1.Algoritme diagnosis pasien dengan proteinuria. (2)

Jumlah Proteinuria

Penentuan proteinuria yang tepat memerlukan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin urin

sewaktu pagi (mg/g). (2)

Dalam kondisi normal, glomerulus memfiltrasi protein berat molekul rendah dan sejumlah

kecil albumin. Jumlah albumin yang difiltrasi setiap hari tidak lebih dari 2-4 g namun ada pula yang

mengatakan 200 mg. (3) Protein yang difiltrasi ini hampir seluruhnya akan direabsorpsi dan

dikatabolisme di sel tubulus proksimal. Sebagian protein yang dikatabolisme, termasuk albumin,

diekskresi sebagai peptida dalam urin. Peptida ini tidak terdeteksi dengan dipstick atau

immunonephelometric albumin-specific assays tapi terdeteksi dengan chromatographic assays. Hasil

akhirnya adalah ekskresi protein harian normal < 150 mg (umumnya 40-80 mg) dengan 4-7 mg di

antaranya adalah albumin.

Dahulu proteinuria abnormal didefinisikan sebagai ekskresi protein > 150 mg. Saat ini telah

diketahui bahwa proteinuria, terutama albuminuria, dalam jumlah lebih sedikit telah terjadi pada

penyakit ginjal tahap awal. Normalnya, ekskresi albumin < 20 mg/ hari (15 µg/ menit), berkisar 4-7

mg/ hari pada orang sehat, meningkat dengan pertambahan usia dan peningkatan berat badan.

Ekskresi albumin persisten 30-300 mg/ hari (20-200 µg/ menit) disebut mikroalbuminuria. Pada

pasien dengan diabetes, mikroalbuminuria merupakan indikasi nefropati diabetik insipien (kecuali

jika sudah ada penyakit ginjal yang mendasari). Pada pasien non-diabetik, adanya mikroalbuminuria

dihubungkan dengan adanya penyakit kardiovaskular.

3

Page 4: PROTEINURIA

Jumlah > 300 mg/ hari (200 µg/ menit) didefinisikan sebagai overt proteinuria atau

makroalbuminuria yang memberikan hasil positif pada pemeriksaan dipstick. Pada kondisi ini praktis

semua protein di urin terdiri dari albumin. (4)

Berdasarkan berbagai mekanisme tersebut di atas, maka disimpulkan ada tiga tipe

proteinuria abnormal, yakni: (4)

1. Proteinuria glomerular. Proteinuria yang terjadi pada penyakit glomerular terjadi karena

peningkatan filtrasi makromolekul – terutama albumin – melalui dinding kapiler glomerulus.

Proteinuria ini merupakan tanda yang sensitif terhadap adanya kerusakan glomerulus.

2. Proteinuria tubular. Gangguan reabsorpsi protein di tubulus proksimal, yang terutama

disebabkan penyakit tubulointerstisial, dapat menyebabkan peningkatan ekskresi protein

dengan berat molekul lebih rendah. Proteinuria tubular ini tidak dapat didiagnosis secara

klinis karena dipstick tidak dapat mendeteksi protein berat molekul rendah dan jumlah yang

diekskresi pun relatif sedikit.

3. Overflow proteinuria. Peningkatan ekskresi protein berat molekul rendah juga terjadi bila

ada overproduksi protein tertentu. Kasus seperti ini terjadi pada diskrasia sel plasma seperti

multiple myeloma, amiloidosis, dan limfoma yang menyebabkan produksi imunoglobulin

rantai pendek monoklonal.

Beberapa pasien mengalami proteinuria tipe campuran. Misalkan, pada penyakit glomerular

seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) dapat pula terjadi kerusakan tubulus proksimal,

yang menyebabkan proteinuria tubular. Pasien dengan mieloma multipel dan proteinuria Bence

Jones juga dapat mengalami sindrom nefrotik karena amiloidosis primer.

Patologi

Sel endotel glomerulus normal membentuk barier yang berpori-pori 100 nm yang menahan

sel darah namun meloloskan sebagian besar protein. Membran basal glomerulus menahan protein

berberat molekul besar >100 kDa, sedangkan foot processes podosit menutupi sisi urin dari

membran basal glomerulus dan membentuk kanal-kanal sempit (slit diaphragm) yang dapat dilalui

solut kecil dan air, namun tidak oleh protein. Beberapa kelainan glomerular seperti minimal change

disease, menyebabkan fusi foot processes sel epitel glomerulus sehingga terjadi kebocoran albumin

“selektif”. Kelainan glomerular lain dapat berupa kerusakan membran basal glomerulus dan slit

diaphragm – seperti pada deposisi kompleks imun – sehingga selain albumin, protein plasma yang

lain juga turut mengalami kebocoran. Fusi foot processes menyebabkan tekanan hidrostatik melalui

4

Page 5: PROTEINURIA

membran basal glomerulus meningkat sehingga ukuran pori-pori membesar. Kombinasi antara

peningkatan tekanan dan ukuran pori yang membesar menyebabkan proteinuria yang signifikan. (2)

Kondisi ekskresi protein total harian > 3,5 g seringkali berhubungan dengan

hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (sindroma nefrotik). Namun ekskresi protein > 3,5 g

dapat terjadi tanpa diikuti manifestasi sindrom nefrotik lainnya pada beberapa kelainan ginjal. Pada

diskrasia sel plasma terjadi ekskresi rantai pendek dalam urin yang dapat tidak terdeteksi dengan

dipstick. Rantai pendek yang dihasilkan pada kelainan ini difiltrasi oleh glomerulus dan melebihi

kapasitas absorpsi tubulus proksimal. Pemeriksaan presipitasi dengan asam sulfosalisilat yang positif

sugestif menandakan adanya rantai pendek (protein Bence-Jones). Kegagalan ginjal yang terjadi

pada kelainan ini disebabkan oleh berbagai mekanisme seperti obstruksi tubulus (nefropati silinder)

dan deposisi rantai pendek. (2)

Proteinuria pada Sindrom Nefrotik

Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik terjadi akibat kebocoran yang banyak dalam urin

dan peningkatan katabolisme pada tubulus proksimal dari albumin yang difiltrasi. Sintesis albumin di

hati meningkat namun tidak dapat mengimbangi proses kehilangannya. Edema terjadi karena retensi

natrium oleh ginjal dan penurunan tekanan onkotik plasma yang mendorong pergerakan cairan dari

kapiler ke interstitial. Mekanisme yang dimaksudkan untuk mengoreksi penurunan volume

intravaskular efektif ini mengakibatkan edema pada beberapa pasien. Mekanisme tersebut meliputi

aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, hormon antidiuretik, dan sistem saraf simpatis, yang

semuanya meningkatkan reabsorpsi garam dan air. Beratnya edema berkorelasi dengan derajat

hipoalbuminemia dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penyakit jantung atau penyakit

vaskular perifer. Turunnya tekanan onkotik plasma dan kebocoran protein regulator di urin diduga

menstimulasi sintesis lipoprotein di hepar. Hiperlipidemia tersebut menyebabkan lipid bodies

(silinder lemak, oval fat bodies) di urin. Protein-protein lain juga turut mengalami kebocoran di urin

(thyroxine-binding globulin, cholecalciferol-binding protein, transferrin, dan metal-binding protein),

mengakibatkan berbagai gangguan metabolik. Hypercoagulable state sering menyertai sindrom

nefrotik yang berat karena kebocoran antitrombin III di urin, penurunan kadar protein S dan C di

urin, hiperfibrinogenemia, dan peningkatan agregasi trombosit. Beberapa pasien mengalami

defisiensi IgG berat sehingga didapatkan gangguan imunitas. (2)

Proteinuria terjadi akibat peningkatan filtrasi makromolekul melalui dinding kapiler

glomerulus. Ini terjadi karena abnormalitas podosit glomerulus, termasuk retraksi foot process

podosit dan/ atau reorganisasi slit diaphragm. Perbedaan potensial elektrik yang disebabkan aliran

5

Page 6: PROTEINURIA

transglomerular berperan mengakibatkan perpindahan makromolekul melalui dinding kapiler

glomerulus. (5)

Pengukuran Ekskresi Protein Urin

Penapisan dan semikuantitatif

Hasil positif pada pemeriksaan protein dengan dipstick urin standar merupakan indikasi

untuk melakukan pemeriksaan ekskresi protein urin kuantitatif. Indikasi lain adalah pada pasien

dengan risiko tinggi penyakit ginjal kronik, terutama penyakit ginjal diabetik (PGD). Penapisan

proteinuria dapat menggunakan dipstick urin namun hasilnya tidak boleh digunakan untuk

menentukan jumlah proteinuria.

Dipstick urin standar. Dipstick urin standar mengukur konsentrasi albumin melalui reaksi

kolorimetrik antara albumin dengan tetrabromophenol blue, menghasilkan gradasi warna hijau

sesuai dengan konsentrasi albumin. Hasilnya dikelompokkan menjadi negatif, trace (15-30 mg/dL),

1+ (30-100 mg/dL), 2+ (100-300 mg/dL), 3+ (300-1000 mg/dL), +4 (> 1000 mg/dL). Dipstick bukanlah

pemeriksaan akurat yang dapat menilai beratnya proteinuria karena konsentrasi protein merupakan

fungsi dari volume urin dan jumlah protein. Sebagai contoh, misalkan seorang pasien

mengekskresikan 500 mg protein per hari. Bila volume urin 2 L, berarti konsentrasi protein 25 mg/dL,

dan hasil pemeriksaan dipstick akan berkisar trace sampai 1+. Namun bila volume urin hanya 500

mL, konsentrasi protein menjadi 100 mg/dL dan hasil dipstick menjadi 2+. Kombinasi antara data

berat jenis dan proteinuria dipstick disarankan lebih baik untuk menilai proteinuria. (6)

Pada pasien mieloma multipel, disptick tidaklah sensitif karena protein yang diekskresikan

merupakan rantai pendek imunoglobulin monoklonal. Pemeriksaan dengan asam sulfosalisilat akan

menunjukkan hasil positif yang ditunjukkan dengan terjadinya turbiditas. (7) Oleh karena itu pada

pasien gagal ginjal dengan sebab yang tidak diketahui, sedimen urin minimal, dan dipstick negatif

untuk protein, dianjurkan pemeriksaan urin dengan asam sulfosalisilat.

Berbeda dengan dipstick urin yang terutama mendeteksi albumin, asam sulfosalisilat

mendeteksi semua protein dalam urin. Tes ini diindikasikan pada pasien dengan kerusakan ginjal

akut, kelainan urinalisa, dipstick trace atau negatif, dan bila diagnosis mieloma harus disingkirkan.

Hasil yang positif dengan dipstick yang negatif menandakan adanya protein non-albumin. Hasilnya

diinterpretasikan sebagai berikut: 0 = 0 mg/dL, trace = 1-10 mg/dL, 1+ = 15-30 mg/dL, 2+ = 40-100

mg/dL, 3+ 150-350 mg/dL), 4+ > 500 mg/dL. (7)

Selain albumin, dipstick juga mendeteksi lisozim urin, yang mana produksi dan ekskresinya

akan meningkat pada pasien dengan leukemia monositik atau mielositik akut. Ekskresi lisozim total

biasanya < 1 g/hari namun dapat > 4,5 g/ hari pada beberapa pasien. (8) Pada kondisi ini ekskresi

6

Page 7: PROTEINURIA

lisozim harus diukur, terutama bila tanda sindrom nefrotik lain (seperti edema dan hiperlipidemia)

tidak ditemukan.

Dipstick albuminuria

Sensitivitas dan spesifisitas dipstick semikuantitatif ini berkisar masing-masing 80-97% dan

33-80%. (9) Sebagaimana juga dipstick, strip ini juga memberikan hasil pengukuran albumin yang

tergantung konsentrasi urin. Oleh sebab itu pemeriksaan ini hanya digunakan untuk mengukur

protein urin bila pemeriksaan kuantitatif tidak tersedia.

Pengukuran kuantitatif

Pengukuran kuantitatif ekskresi urin dapat dilakukan dengan beberapa teknik. Standar

bakunya adalah dengan tampung urin 24 jam dan nilai normalnya < 150 mg/ hari. Karena cara

penampungan urin juga harus tepat, pemeriksaan dari urin sewaktu juga dapat dikerjakan sebagai

alternatif.

Rasio urin

Metode yang disarankan untuk mengukur ekskresi protein urin pada pasien dengan

proteinuria adalah rasio protein total terhadap kreatinin atau albumin total terhadap kreatinin dari

urin sewaktu. (10) Pada mikroalbuminuria, yang digunakan adalah rasio albumin total terhadap

kreatinin. Pada proteinuria signifikan, yang digunakan adalah rasio albumin total terhadap kreatinin

atau protein total terhadap kreatinin. Rasio dari urin sewaktu ini mendekati ekskresi protein harian

dalam g/ 1,73 m2 permukaan tubuh. Dengan demikian rasio 4,9 (misalkan dari hasil protein urin 210

mg/dL dan kreatinin 43 mg/dL) dapat disetarakan dengan ekskresi protein harian 4,9 g/ 1,73 m 2.

Akurasi rasio ini menurun ketika ekskresi kreatinin meningkat pada pria dengan massa otot besar

(underestimate proteinuria) atau menurun pada pasien kakheksia (rasio akan overestimate

proteinuria).

Urin sewaktu pagi merupakan spesimen yang terbaik untuk mengukur proteinuria dari urin

sewaktu. Urin sewaktu acak diperbolehkan bila urin pagi tidak didapatkan. Spesimen urin sore atau

malam kurang bernilai baik. (11) Kuantifikasi inisial untuk protein urin lebih baik menggunakan rasio

total albumin terhadap kreatinin karena rasio protein total terhadap kreatinin tidak mendeteksi

mikroalbuminuria. Selain itu albuminuria juga merupakan petanda penyakit ginjal kronik akibat

diabetes, hipertensi, dan penyakit glomerular, yang lebih sensitif dibanding proteinuria. Kisaran rasio

albumin terhadap kreatinin urin dengan mikroalbuminuria bebeda antara pria dan wanita, 20-200

mg/g pada pria dan 30-300 mg/g pada wanita. (12)

7

Page 8: PROTEINURIA

Begitu diketahui bahwa pasien mengalami proteinuria signifikan (> 300 mg-500 mg/ hari)

atau hasil dipstick urinnya positif protein ≥ 1+, pemantuan ekskresi protein urin selanjutnyadapat

menggunakan rasio albumin terhadap kreatinin atau rasio protein total terhadap kreatinin.

Keduanya memberikan informasi yang sama karena proteinuria terutama terdiri dari albumin.

Namun K/DOQI masih merekomendasikan rasio albumin terhadap kreatinin sebagai alat

pemantauan. Bila rasio albumin/ kreatinin tinggi (> 500-1000 mg/g, sesuai dengan ekskresi albumin

urin > 500-1000 mg/ hari), barulah pemeriksaan tersebut dapat digantikan dengan rasio protein/

kreatinin.

Isolated Proteinuria

Isolated proteinuria didefinisikan sebagai proteinuria tanpa disertai hematuria atau

peningkatan konsentrasi kreatinin serum. Pada sebagian besar kasus isolated proteinuria, pasien

asimtomatik dan proteinuria didapatkan secara kebetulan pada pemeriksaan urinalisa dengan

dipstick.

Meskipun penapisan proteinuria dengan pemeriksaan rutin setiap tahun dinilai tidak efektif

pada populasi orang sehat berusia < 60, urinalisa rutin tetap direkomendasikan pada pasien-pasien

risiko tinggi, seperti pada pasien diabetes dan hipertensi. (13) Deteksi dini proteinuria pada

kelompok ini penting karena pemberian ACE inhibitor atau angiotensin II receptor blocker dapat

memperlambat progresi terjadinya penyakit ginjal kronik akibat proteinuria.

Pendekatan Pasien dengan Proteinuria

Pendekatan pasien dengan proteinuria dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik

untuk menemukan penyakit sistemik atau ginjal, seperti diabetes mellitus, gagal jantung, autoimun,

atau glomerulonefritis pasca streptokokus yang menyebabkan proteinuria. Dalam kasus ini,

tatalaksana proteinuria melibatkan tatalaksana penyakit dasarnya sendiri.

Pemeriksaan urin penting pada semua pasien dengan proteinuria. Sedimen urin diperiksa

untuk mencari keterlibatan glomerular seperti hematuria, silinder eritrosit, atau lipiduria. Bila

sedimen urin tidak ditemukan, diagnosis bandingnya meliputi proteinuria transien, proteinuria

ortostatik, dan proteinuria persisten. Pemeriksaan dipstick ini harus diulang pada waktu yang

berbeda. Bila pada pemeriksaan ulangan tidak ditemukan lagi protein, maka diagnosisnya

proteinuria transien.

Proteinuria transien terjadi pada 4% pria dan 7% wanita. (14) Etiologinya antara lain demam

dan olahraga, mungkin diperantarai oleh angiotensin II atau norepinefrin yang meningkatkan

permeabilitas glomerulus; dan infeksi saluran kemih simtomatik. Pada olahraga berat, proteinuria

8

Page 9: PROTEINURIA

dapat > 1,5 mg/ menit (setara dengan 2 g/ hari). Pasien dengan proteinuria transien tidak

memerlukan evaluasi lebih lanjut.

Proteinuria ortostatik perlu disingkirkan pada pasien berusia < 30 tahun (2-5%) dengan

proteinuria pada pemeriksaan urinalisa berulang. Proteinuria ortostatik jarang ditemukan pada usia

> 30 tahun. (14) Proteinuria ortostatik hanya terjadi saat posisi berdiri dan tidak terjadi pada posisi

supinasi. Diduga mekanisme yang berperan adalah aktivasi neurohumoral dan perubahan

hemodinamik glomerulus. Ekskresi protein total < 1 g/ hari namun bisa > 3 g/ hari pada beberapa

pasien. Proteinuria ortostatik juga tidak memerlukan evaluasi lanjutan atau terapi spesifik. Pada

sebagian besar kasus, proteinuria akan menghilang dengan sendirinya.

Pemeriksaan yang dilakukan pada proteinuria ortostatik adalah split urine yang dilakukan

dengan cara demikian:

1. Urin pagi pertama dibuang

2. Urin ditampung selama 16 jam berikutnya dengan posisi berdiri dan pasien beraktivitas

normal.

3. Pasien mulai dalam posisi tidur 2 jam sebelum tampung urin harian selesai agar urin dalam

posisi supinasi tidak terkontaminasi dengan urin yang terbentuk pada posisi berdiri

sebelumnya.

4. 8 jam berikutnya dilakukan penampungan urin sepanjang malam.

Di samping tampung urin 24 jam, dapat pula digunakan rasio protein/ kreatinin dari urin

sewaktu pagi dan urin yang ditampung dalam posisi berdiri. Pasien diinstruksikan untuk berkemih

sebelum tidur dan tetap dalam posisi tidur sampai sampel urin pagi terkumpul. Rasio protein/

kreatinin normal pada urin pagi dan dipstick positif proteinuria dengan peningkatan rasio protein/

kreatinin pada posisi berdiri menandakan proteinuria ortostatik. Ekskresi protein harus normal

dalam posisi terlentang (< 50 mg/ 8 jam).

Proteinuria persisten. Proteinuria terisolasi persisten biasanya menunjukkan adanya

kelainan ginjal atau sistemik. Pada kelainan sistemik seperti gagal jantung terjadi proteinuria ringan

karena peningkatan angiotensin II dan norepinefrin. (15) Pasien lain mengalami kelainan glomerular

primer atau sekunder. Pemeriksaan lebih lanjut yang dibutuhkan adalah ureum, kreatinin, dan

protein urin kuantitatif. Ultrasonografi juga diperlukan untuk menyingkirkan penyebab struktural

seperti nefropati refluks dan penyakit ginjalpolikistik.

Biopsi ginjal dilakukan bila manifestasi berat atau progresif, seperti sindrom nefrotik,

peningkatan ekskresi protein, atau peningkatan kreatinin plasma. Biopsi tidak diindikasikan pada

proteinuria non-nefrotik yang stabil (< 1 g/ hari) bila fungsi ginjal stabil dan tidak ada hematuria. (16)

9

Page 10: PROTEINURIA

DAFTAR PUSTAKA

1. Baxter. 2008.

2. Azotemia and urinary abnormalities. Harrison's principle of internal medicine. New York : s.n., 2008.

3. The normal kidney filters nephrotic levels of albumin retrieved by proximal tubule cells: retrieval is disrupted in nephrotic states. Russo, LM, et al. 2007, Kidney Int, Vol. 71, p. 504.

4. s.l. : Uptodate.

5. Electrical forces determine glomerular permeability. Hausmann, R, et al. 2010, J Am Soc Nephrol, Vol. 21, p. 2053.

6. A dipstick protein and specific gravity algorithm accurately predicts pathological proteinuria. Constantiner, M, et al. 2005, Am J Kidney Dis, Vol. 45, p. 833.

7. Rose and BD. Pathophysiology of Renal Disease, 2nd ed. New York : McGraw-Hill, 1987. p. 11.

8. More on the GUSTO Trial. Lomaestro, BM. 1994, Ann Intern Med, Vol. 121, p. 818.

9. Detection of urinary albumin. Comper, WD and Osicka, TM. 2005, Adv Chronic Kidney Dis, Vol. 12, p. 170.

10. K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease: Evaluation, classification and stratification. Foundation, National Kidney. 2002, Am J Kidney Dis, Vol. 39(Suppl 1), p. S1.

11. Use of single voided urine samples to estimate quantitative proteinuria. Ginsberg, JM, et al. 1983, N Engl J Med, Vol. 309, p. 1543.

12. Use of the albumin/creatinine ratio to detect microalbuminuria: implications of sex and race. Mattix, HJ, et al. 2002 : s.n., J Am Soc Nephrol, Vol. 13, p. 1034.

13. Screening for proteinuria in US adults: a cost-effectiveness analysis. Boulware, LE, et al. 2003, JAMA, Vol. 290, p. 3010.

14. Isolated proteinuria in asymptomatic patients. Robinson, RR. 1980, Kidney Int, Vol. 18, p. 395.

15. Albuminuria and the permselective properties of the glomerulus in cardiac failure. Carrie, BJ, et al. 1980, Kidney Int, Vol. 17, p. 507.

16. Current indications for renal biopsy: a questionnaire-based survey. Fuiano, G, et al. 2000, Am J Kidney Dis, Vol. 35, p. 448.

10