Proposal TA Aldo.docx
-
Upload
ferialdo-alvonso -
Category
Documents
-
view
264 -
download
10
Transcript of Proposal TA Aldo.docx
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada kegiatan kali ini mahasiswa melakukan Pemetaan Geologi Mandiri sebagai
prasyarat Tugas Akhir atau Skripsi untuk menyelesaikan Program Studi Teknik Geologi
menuju jejang Sarjana (S1). Pemetaan geologi ini bertempat di Kecamatan Siwoo,
Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Pada Pemetaan Geologi Mandiri ini mahasiswa
mengambil tema studi kasus yaitu “Alterasi Hidrotelmal”.
Kabupaten Ponorogo merupakan tempat pemetaan yang sangat baik untuk mempelajari
Alterasi, itu dikarenakan di daerah ini banyak terdapat batuan yang kompleks yang dapat
berkembangnya Alterasi Hidrotermal. Juga dari sejarah geologi mulai dari tektonik dan
struktur yang sangat berpengaruh membuat daerah tersebut sangat baik untuk pembantukan
batuan.
Kabupaten Ponorogo adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Kabupaten ini terletak di koordinat 111° 17’ - 111° 52’ BT dan 7° 49’ - 8° 20’ LS dengan
ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas
wilayah 1.371,78 km². Kabupaten ini terletak di sebelah barat dari provinsi Jawa Timur dan
berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah atau lebih tepatnya 200 km arah barat
daya dari ibu kota provinsi Jawa Timur, Surabaya.
1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari kegiatan pemetaann Geologi Mandiri ini adalah sebagai syarat untuk
Skripsi.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui tipe Alterasi Hidrotermal yang
berkembang pada daerah tersebut.
1.3 Lokasi Penelitian
Lokasi Kegiatan Pemetaan Geologi Mandiri di Kecamatan Siwoo, Kabupaten
Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Adapun Peta Topografi daerah penelitian yang tercantum
pada (Gambar 1.2) dan Peta Geologi daerah penelitian yang tercantum pada (Gambar 2.1) .
Daerah penelitian mempunyai batas dengan Koordinat (Tabel 1.1):
1
Tabel 1.1 Koordinat Kapling:
No. Koordinat No Koordinat
1. X: 564000
Y: 9120200
2. X: 573200
Y: 9120200
3. X: 573200
Y: 9111000
4. X: 564000
Y: 9111000
Gambar 1.1 Peta Topografi Daerah Telitian
2
1.4 Waktu Penelitian
Waktu pelaksanaan Pemetaan Geologi Mandiri untuk Tugas Akhir 2015 dapat dilihat
pada Tabel Pelaksanaan Kegiatan Acara Pemetaan (Tabel I.2):
Tabel 1.2 Rancangan Waktu Penelitian
Tahapan Penelitian April Mei Juni Juli
Pendahuluan
Pengambilan Data
Lapangan
Analisis dan
Pengolahan Data
Penyusunan Laporan
dan Penyajian Data
1.5 Rumusan Masalah
Permasalahan geologi yang menjadi penekanan pada penelitian ini yaitu :
1. Geomorfologi
Permasalahan yang timbul mencakup proses dan aktivitas erosi serta denudasi yang
dikaitkan dengan bentuk benatng alam di daerah telitian, yang meliputi :
a. Macam satuan geomorfologi daerah telitian.
b. Macam pola aliran, perbukitan dan konfigurasi sungai.
c. Tingkat stadia erosi daerah telitian.
d. Faktor yang mengontrol pembentukan bentang alam tersebut.
e. Pengaruh struktur geologi terhadap keadaan bentang alam sekarang.
2. Stratigrafi
Permasalahan stratigrafi yang dapat dijumpai dalam pemetaan geologi kali ini dan
merupakan sesuatu yang harus dicapai oleh peneliti meliputi :
a. Lithologi dan penyebaran setiap satuan batuan.
b. Hubungan masing-masing batuan.
c. Ketebalan masing-masing batuan.
d. Mekanisme dan lingkungan pengendapannya.
4
3. Struktur Geologi
Permasalahan struktur geologi yang dapat dijumpai dalam pemetaan geologi kali ini
dan merupakan sesuatu yang harus dicapai oleh peneliti meliputi:
a. Pola, jenis dan kedudukan struktur yang berkembang.
b. Mekanisme dan gaya yang bertanggung jawab terhadap pembentukan struktur.
c. Hubungan antara struktur dan bentang alam daerah telitian.
4. Potensi Geologi
Permasalah Potensi geologi yang dapat dijumpai dalam pemetaan geologi kali ini dan
merupakan sesuatu yang dapat dicapai oleh peneliti meliputi:
a. Potensi Positif yang ada daerah telitian
b. Potensi Negatif yang ada daerah telitian
c. Solusi terhadap potensi negatif yang ada pada daerah telitian
1.6.1 Hasil Penelitian
Hasil yang diharapkan dalam pemetaan ini adalah:
1. Peta Lintasan Pengamatan
2. Peta geomorfologi
3. Peta Geologi
4. Peta pola pengaliran
5. Penampang stratigrafi terukur
1.7 Manfaat Penelitian
1.7.1 Manfaat Bagi Keilmuan
Dari hasil pemetaan tersebut laporan dan data-data yang lainnya dapat
digunakan sebagai referensi pembelajaran bagi mahasiwa ilmu kebumian.
1.7.2 Manfaat Bagi Institusi
Hasil Pemetaan geologi ini institusi yaitu dapat digunakan sebagai referensi
maupun sebagai database untuk teknik geologi Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” yogyakarta.
1.7.3 Manfaat Bagi Masyarakat
Mendapatakan informasi dari datar lapangan yang telah di olah secara jelas
dan semudah mungkin untuk di terima oleh masyarakat sekitar mengenai kondisi
5
geologi daerah telitian. Sehingga dapat mengurangi resiko geologi jika itu berbahaya
dan untuk mengetahui manfaat dari ilmu geologi jika output bernilai positif.
1.7.4 Manfaat Bagi Pemerintah
Menyampaikan Informasi dari kondisi geologi pada daerah telitian dan
meminimalisir bencana geologi serta sebagi bahan koreksi atau bahan pertimbangan
kondisi geologi suatu daerah sehingga memperdetail data suatu daerah.
1.8 Batasan Penelitian
Ruang lingkup pemetaan ini dibatasi pada tinjauan masalah geologi dan studi struktur
geologi. Permasalahan umum pada daerah penelitian, dibatasi pada empat aspek utama, yaitu:
a. Geomorfologi, yang terdiri dari: pembagian satuan geomorfologi berdasarkan
bentuk morfologi dan morfogenesa, proses-proses endogen dan eksogen, bentuk-
bentuk dan tahapan erosi dan geomorfik.
b. Stratigrafi, meliputi: urutan stratigrafi, ciri litologi tiap satuan, umur tiap satuan
batuan, lingkungan pengendapan dan hubungan antar satuan batuan
c. Struktur Geologi, meliputi: arah utama tegasan yang bekerja, struktur geologi
yang terbentuk, analisis struktur geologi pada daerah pemetaan.
6
BAB 2
METODELOGI DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1 Metodologi Penelitian
2.1.1 Tahapan Pendahuluan
Meliputi tahap persiapan pemetaan berupa studi pustaka terpilih, Penentuan
Lokasi Penelitian, Pengadaan Peta topografi Lokasi Penelitian, Analisis Peta
Topografi.
Pada Daerah Penelitian merupakan salah satu bagian dari zona serayu selatan.
Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh informasi dasar sebelum melakukan
penelitian lapangan, baik mengetahui fisiografi regional, geologi regional, maupun
metodologi yang digunakan. Penentuan Lokasi Penelitian sudah ditentukan dari
pembagian kelompok dan wilayah pemetaan oleh koordinator Kuliah Lapangan
Geologi Mandiri 2014. Diharapkan agar peneliti dapat memberikan penyelesian
terhadap rumusan masalah yang peneliti cantumkan pada sub-bab sebelumnya. Untuk
Pengadaan Peta Topografi digunakan sebagai dasar wilayah penelitian, agar dapat
mengetahui batasan daerah penelitian. Sedangkan Analisis Peta topografi bertujuan
untuk menginterpretasikan pola kelurusan struktur, penyebaran litologi, maupun
geomorfologi berdasarkan kelurusan bukit, pegunungan, sungai, serta anomali
topografi lainnya.
2.1.2 Tahapan Penelitian Lapangan
Berupa pemetaan geologi permukaan menggunakan peta skala 1 : 20.000 yang
bertujuan memperoleh data primer (data-data geologi) yang dijumpai selama
Dilapangan. Secara detail, pengambilan data lapangan meliputi :
Observasi singkapan, meliputi deskripsi, pengamatan variasi litologi, pembatas
profil, dan pengukuran penampang stratigrafi terukur, hipotesa sementara
mencakup sedimentologi dan stratigrafi, serta pengambilan sampel batuan untuk
dianalisis.
Observasi Kenampakan Struktur permukaan, meliputi kenampakan struktur
geologi sekunder seperti kekar, sesar, dan lipatan. Dalam obeservasi sesar
dilakukan pengambilan data seperti bidang sesar, gores garis, shear fracture, gash
fracture, ataupun arah breksisasi.
7
Observasi Geomorfologi, dengan pengamatan morfologi dan bentang alam, stadia
erosi, tipe genetik sungai serta penentuan satuan geomorfik di daerah penelitian.
Dokumentasi, meliputi pencatatan data di buku lapangan, pembuatan peta lintasan,
pembuatan peta geologi kasaran (sementara), pembuatan peta geomorfologi
(sementara), pembuatan penampang stratigrafi terukur , pembuatan lintasan
penampang stratigrafi terukur, serta pembuatan laporan sementara.
2.1.3 Tahapan Analisis Data
Pada tahapan ini dilakukan beberapa analisa laboratorium dan studio pada
sampel dan data yang didapat, analisa yang dilakukan antara lain:
Analisis Satuan Geomorfologi, diantaranya menentukan stadia erosi dan tipe
genetik sungai.
Analisis Mikropaleontologi, untuk menentukan umur relatif dan lingkungan
batimetri
Analisis Petrografi, digunakan untuk mengetahui jenis batuan dan apasaja yang
terkandung dalam batuan tersebut
Analisis Sedimentologi dan Stratigrafi, dalam analisis sedimentologi dapat berupa
analisis kalsimetri dan sebagainya, dan untuk analisis stratigrafi seperti
pengukuran penampang stratigrafi terukur dan menetukan lingkungan
pengendapan berdasarkan sedimentologi.
Analisis Struktur Geologi, digunakan untuk mengetahui data struktur yang didapat
di lokasi penelitian, dapat menggunakan stereonet, maupun menggunakan
software dips.
2.1.4 Tahapan Penyusunan Laporan dan Penyajian Data
Merupakan tahapan penyusunan laporan dan konsultasi yang merupakan
bagian akhir dari keseluruhan proses yang dilakukan oleh peneliti yang dirangkum
dalam sebuah laporan meliputi :
1. Konsultasi data lapangan dan analisa laboratorium.
2. Konsultasi peta lintasan
3. Konsultasi peta geomorfologi, pola pengaliran
4. Konsultasi peta geologi
5. Penyusunan laporan akhir
2.1.5 Diagram Alir Penelitian
8
Gambar 2.1 Diagram alir pemetaan geologi
2.2 Kajian Pustaka
Sistem hidrotermal dapat didifinisikan sebagai sirkulasi fluida panas (50° sampai
>500°C), secara lateral dan vertikal pada temperatur dan tekanan yang bervarisasi, di bawah
permukaan bumi (Pirajno, 1992). Sistem ini mengandung dua komponen utama, yaitu sumber
panas dan fase fluida. Sirkulasi fluida hidrotermal menyebabkan himpunan mineral pada
batuan dinding menjadi tidak stabil, dan cenderung menyesuasikan kesetimbangan baru
dengan membentuk himpunan mineral yang sesuasi dengan kondisi yang baru, yang dikenal
sebagai alterasi (ubahan) hidrotermal. Endapan mineral hidrotermal terbentuk karena
9
sirkulasi fluida hidrotermal yang melindi (leaching), menstranport, dan mengendapkan
mineral-mineral baru sebagai respon terhadap perubahan kondisi fisik maupun kimiawi
(Pirajno, 1992).
2.2.1 Fluida Hidrotermal
Terdapat tiga fase. Fase padat memiliki struktur atom yang fix, umumnya
tidakmudah bergerak, sehingga memiliki bentuk dan volume yang tetap. Fase cair dan
gas adalah suatu substansi dimana molekul atau atomnya cenderung saling bergerak
bebas, sehingga bentuknya akan dikontrol oleh tempat dimana cairan atau gas berada.
Fase cair dibedakan dengan gas, karena molekulnya masih saling berhubungan,
sedangkan molekul pada gas cenderung saling terpisah, bergerak lebih bebas, dan
tidak membentuk volume yang tetap. Molekul atau atom pada fase padat apabila
dipanaskan, akan cenderun bergerak satu sama lain, pada saat mencapai melting point,
fase padat akan berubah menjadi fase cair. Apabila temperatur terus bertambah, pada
saat mencapai critical temperatur (boiling point), cairan akan berubah menjadi gas
atau uap (vapor). Steam adalah istilah kusus untuk menyebut uap air (water vapor).
H2O merupakan senyawa yang dapat hadir sebagai fase padat (es/ice), fase cair
(air/water), dan fase gas (uap air/steam) pada tekanan yang relatif
sama.
Pada temperatur dan tekanan tertentu, beberapa substansi dapat terlarut
(solute) pada substansi yang lain (pelarut/solvent) membentuk larutan (solution) yang
homogen. Baik zat terlarut maupun pelarut dapat berupa fase padat, cair, maupun gas.
Larutan dimana zat pelarutnya adalah air disebut sebagai aqueous. Pelarut air
yang mengandung zat terlarut NaCl ± 35% disebut sebagai brine. Istilah fluida
(fluids) digunakan untuk menyebut semua substansi atau materi yang dapat bergerak,
yaitu cairan, gas, campuran gas dan cairan, atau larutan bukan padat. Partikel-partikel
sangat halus (1-15 Angstrom) yang tersebar sebagai suspensi (tidak homogenous)
pada suatu substansi (umumnya cairan) disebut sebagai colloid.
Secara umum fluida pembawa bijih dapat dibagai menjadi enam bagian, yaitu
fluida magmatik, meteorik, connate, metamorfik, air laut, dan hidrotermal.
1. Magma dan fluida magmatik
Proses diferensiasi magma hingga menghasilkan beraneka ragam batuan beku,
diyakini sangat kompleks. Sebagian besar magma mempunyai komposisi yang
tidak homogen, sebagian dapat mengandung sebagian sesar komponen
10
ferromagnesian, yang lain kaya akan silika, sodium dan potasium, unsur volatil,
xenolith yang reaktif, dan sebaginya (Guilbert dan Park, 1986). Magma tidak
statis, tetapi mempunyai sistem terbuka, selalu berubah menyesuikan
kesetimbangan baru, yang disebabkan oleh reaksi kimia, selalu kontinyu terhadap
konveksi dan percampuran, terutama pada temperatur tinggi (Carmichael, Turner,
dan Verhoogen, 1974).
Beberapa magma didominasi komponen oksidan dan sulfida (disebut ore
magmas), yang dapat mengkristal langsung membentuk endapan bijih. Dalam
sejarah kristalisasi magma (magma mafik), fraksi-fraksi volatil hidrous yang
umumnya lebih ringan dan alkalik, cenderung terakumulasi pada bagian atas
kantong magma, disebut sebagai air magmatik (atau juvenile), dalam artian masih
fres, baru belum terkontaminasi dan belum pernah muncul di permukaan.
Komponen volatil di dalam magmaumumnya terdiri dari H2O, H2S, CO2, HCl,
HF, dan H2 (sebagian besar adalah H2O, yaitusekitar 1-15%). Hal tersebut
dibuktikan dengan banyaknya mineral hidrous pada akhir magmatisme.
2. Air meterorik
Air, bagaimanapun kejadiannya, jika telah melalui dan disetimbangkan di
dalam atmosfer disebut sebagai air meteorik (esensi dari proses supergen). Studi
isotopile menunjukkan peranan air meterorik yang sangat besar pada proses
pembentukan bijih (White, 1957 a). Air selama bersentuhan dengan atmosfer akan
melarutkan komponenkomponen yang ada, seperti N2, O2, CO2 dll. CO2 dengan
H2O akan dapat menghasilkan (HCO3)- disertai H+.
Air meteorik mungkin juga mengandung sejumlah unsur yang dominan di
kerak, seperti Na, Ca, Mg, SO4, dan CO3, tetapi kecil kemungkinan mengandung
unsur-unsur boron dan fluorin yang merupakan unsur karakteristik pada air
magmatik.
3. Air laut
Air laut sangat terkait dengan proses-proses endapan evaporit, fosforit,
submarine exhalites, nodule mangan, serta endapan-endapan lain pada kerak
samodra.
4. Air connate (konat)
Air konat adalah. Sehingga pada dasarnya air ini adalah merupakan fosil air,
yang pada (White, 1968). Air ini sangat umum dijumpai di lapangan hidrokarbon.
11
5. Fluida metamorfik
Pada kondisi tertentu, air meteorik dan konat yang terdapat di dalam batuan
yang jauh dari permukaan, akan dapat menjadi lebih reaktif bersamaan dengan
adanya prosesmetamorfosa regional atau kontak. Air tersebut ditambah dengan
dehidrasi dari prosesmetamorfosa disebut sebagai air metamorfik. Air metamorfik
karena reaktif, akan cenderung mudah melarutkan logam pada batuan samping.
6. Fluida Hidrotermal
Adalah fluida yang mempunyai temperatur tinggi, yang dibentuk oleh
beberapa fluida tersebut di atas. Fluida yang paling penting pada sistem
hidrotermal adalah fluida magmatik dan meteorik.
7. Pergerakan fluida pembawa bijih
Migrasi Magma
Pembentukan porositas dan permeabilitas
Migrasi fluida hidrotermal
Apabila permeabilitas batuan kecil migrasi fluida cenderung berlangsung
secara difusi. Sebaliknya pada batuan yang permeabilitasnya besar fluida
akan bergerak secara konveksi.
Ground Preparation
2.2.2 Alterasi dan Meneralisasi
Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang sangat kompleks yang
melibatkan perubahan mineralogi, kimiawi, dan tekstur yang disebabkan oleh
interaksi fluida panas dengan batuan yang dilaluinya, di bawah kondisi evolusi fisio-
kimia. Proses alterasi merupakan suatu bentuk metasomatisme, yaitu pertukaran
komponen kimiawi antara cairan-cairan dengan batuan dinding ( Pirajno, 1992 ).
Interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya ( batuan
dinding ), akan menyebabkan terubahnya mineral-mineral primer menjadi mineral
ubahan ( mineral alterasi ), maupun fluida itu sendiri ( Pirajno, 1992, dalam Sutarto,
2004 ).
Alterasi hidrotermal akan bergantung pada :
1. Karakter batuan dinding.
2. Karakter fluida ( Eh, pH ).
12
3. Kondisi tekanan dan temperatur pada saat reaksi berlangsung ( Guilbert dan Park,
1986, dalam Sutarto, 2004 ).
4. Konsentrasi.
5. Lama aktivitas hidrotermal ( Browne, 1991, dalam Sutarto, 2004 ).
Walaupun faktor-faktor di atas saling terkait, tetapi temperatur dan kimia
fluida kemungkinan merupakan faktor yang paling berpengaruh pada proses alterasi
hidrotermal ( Corbett dan Leach, 1996, dalam Sutarto, 2004 ). Henley dan Ellis
( 1983, dalam Sutarto, 2004 ), mempercayai bahwa alterasi hidrotermal pada sistem
epitermal tidak banyak bergantung pada komposisi batuan dinding, akan tetapi lebih
dikontrol oleh kelulusan batuan, tempertatur, dan komposisi fluida.
Batuan dinding (wall rock/country rock) adalah batuan di sekitar intrusi yang
melingkupi urat, umumnya mengalami alterasi hidrotermal. Derajat dan lamanya
proses alterasi akan menyebabkan perbedaan intensitas alterasi dan derajat alterasi
(terkait dengan stabilitas pembentukan). Stabilitas mineral primer yang mengalami
alterasi sering membentuk pola alterasi ( style of alteration ) pada batuan ( Pirajno,
1992, dalam Sutarto, 2004 ). Pada kesetimbangan tertentu, proses hidrotermal akan
menghasilkan kumpulan mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral
( mineral assemblage ) (Guilbert dan Park, 1986, dalam Sutarto, 2004). Setiap
himpunan mineral akan mencerminkan tipe alterasi ( type of alteration ).
Satu mineral dengan mineral tertentu seringkali dijumpai bersama ( asosiasi
mineral ), walaupun mempunyai tingkat stabilitas pembentukan yang berbeda, sebagai
contoh klorit sering berasosiasi dengan piroksen atau biotit. Area yang
memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan mineral yang hadir dapat disatukan
sebagai satu zona alterasi. Host rock adalah batuan yang mengandung endapan bijih
atau suatu batuan yang dapat dilewati larutan, di mana suatu endapan bijih terbentuk.
Intrusi maupun batuan dinding dapat bertindak sebagai host rock.
2.2.3 Tipe Ubahan
Creasey (1966) membuat klasifikasi ubahan hidrotermal pada endapan
tembaga porfir menjadi tiga tipe yaitu propilitik, argilik, potasik, dan himpunan
kuarsa-serisit-pirit. Lowell dan Guilbert (1970), membuat model alterasi-
mineralisasi juga pada endapan bijih porfir, menambahkan istilah zona filik, untuk
himpunan mineral kuarsa + serisit + pirit ± klorit ± rutil ± kalkopirit.
13
2.2.3.1 Tipe Alterasi Pottasik
Pada dasarnya dicirikan oleh melimpahnya himpunan muskovit-biotit-
alkali felspar-magnetit. Anhidrit sering hadir sebagai asesori, serta sejumlah
kecil albit dan titanit (sphene) atau rutil kadang terbentuk. Ubahan potasik
terbentuk pada daerah yang dekat batuan beku intrusif terkait, fluida yang
panas dengan suhu >300C, salinitas tinggi, dan dengan karakter magmatik
yang kuat.
2.2.3.2 Tipe Alterasi Prophylitic
Dicirikan oleh kehadiran klorit disertai dengan beberapa mineral
epidot, ilit/serisit, kalsit, albit, dan anhidrit. Terbentuk pada temperatur 200-
300C pada pH near-neutral, dengan salinitas yang beragam, umumnya pada
daerah yang mempunyai permeabilitas rendah. Menurut Creasey (1966)
terdapat empat kecenderungan himpunan mineral yang hadir pada tipe
propilitik, yaitu :
klorit-kalsit-kaolinit
klorit-kalsit-talk
klorit-epidot-kalsit
klorit-epidot.
2.2.3.3 Tipe Alterasi Serisitik / Filik
Tersusun oleh himpunan mineral kuarsa-serisit-pirit, yang umumnya
tidak mengandung mineral-mineral lempung atau alkali felspar. Kadang
mengandung sedikit anhidrit, klorit, kalsit, danrutil. Terbentuk pada
temperature sedang sampai tinggi (sekitar 230-400C), fluida asam hingga
neutral dengan salinitas yang beragam, pada zona yang permeable dan pada
batas dengan urat.
2.2.3.4 Tipe Argilik
Pada tipe argilik terdapat dua kemungkinan himpunan mineral, yaitu
kaolinit/dickite -monmorilonit- muskovit dan klorit-monmorilonitillite/
smectite-muskovit. Himpunan mineral pada tipe argilik terbentuk pada
temperatur 100-300°C (Pirajno, 1992), fluida asam hingga neutral dan
salinitas yang rendah serta perbandingan K+/H- kecil.
14
2.2.3.5 Tipe Argilik Lanjut
Alterasi ini ditunjukkan adanya perbandingan rasio K+/H- dan Na+/H-
yang rendah. Terjadi peluluhan semua kandungan alkali. Pada suhu 300oC
terbentuk mineral-mineral pyrofilit, pyrofilit-andalusit sedangkan pada suhu
yang lebih rendah terbentuk kaolin dan dickite dalam jumlah besar serta
kaolinit+alunit ±kalsedon ±kuarsa ±pirit (untuk temperatur rendah,
<1800C).Dijumpai juga kuarsa, alunit, topaz, zunyite, turmalin, dan hidro-
kloro-fluor-boro-aluminosilikat lainnya.
2.2.3.6 Tipe Greissen
Alterasi tipe ini mirip dengan alterasi tipe argilik lanjut atau filik
namun jumlah serisit yang dijumpai lebih banyak dan tidak dijumpai pyrofilit.
Banyak dijumpai kuarsa, muskovit dan topas namun sedikit dijumpai turmalin,
rutil, flourit, kasiterit, wolframit dan magnetit.
2.2.3.7 Tipe Skarn
Skarn merupakan asosiasi dari kandungan silika yang kaya akan besi
dan mempunyai kandungan kalsium. Alterasi ini mengandung amfibol,
piroksen, garnet, epidot-zoisit dan piroksenoid menggantikan batugamping
atau dolomit. Terdapat kandungan magnesium, besi, silika, alumunium dalam
jumlah banyak. Alterasi ini terbentuk akibat kontak antara batuan sumber
dengan batuan karbonat, zona ini sangat dipengaruhi oleh komposisi batuan
yang kaya akan kandungan mineral karbonat. Pada kondisi yang kurang akan
air, zona ini dicirikan oleh pembentukan mineral garnet, klinopiroksen dan
wollastonit serta mineral magnetit dalam jumlah yang cukup besar, sedangkan
pada kondisi yang kaya akan air, zona ini dicirikan oleh mineral klorit,tremolit
– aktinolit dan kalsit dan larutan hidrotermal. Alterasi skarn terbentuk pada
fluida yang mempunyai salinitas tinggi dengan temperatur tinggi (sekitar
300°-700°C). Proses pembentukkan skarn akibat urutan kejadian Isokimia –
metasomatisme – retrogradasi.
15
2.2.4 Pola Ubahan (Style Of Alteration)Kwantitas ubahan pada batuan yang disebabkan oleh derajad dan lamanya
proses ubahan.
1. Pervasive
Penggantian seluruh atau sebagian besar mineral pembentuk batuan. Semua
mineral primer pembentuk batuan telah mengalami ubahan, walaupun
intensitasnya dapat berlainan.
2. Selectively pervasive
Proses ubahan hanya terjadi pada mineral-mineral tertentu pada batuan. misalnya
klorit pada andesit hanya mengganti piroksen saja, sedangkan plagioklas tidak ada
yang terubah sama sekali.
3. Non-pervasive
Hanya bagian tertentu dari keseluruhan batuan yang mengalami ubahan
hidrotermal.
2.2.5 Proporsi Mineral (Ubahan)
Proporsi satu mineral (ubahan) tertentu dalam batuan.
1. Jarang (rare) : < 1 %
2. Sedikit (minor) : 1-5 %
3. Sedang (moderate) : 5-10 %
4. Banyak (major) : 10-50 %
5. Melimpah (predominant) : >50 %
2.2.6 Derajad Ubahan (Rank of Alteration)Derajad ubahan terkait dengan tingginya temperatur pada saat proses ubahan
berlangsung. Derajad temperatur dicirikan oleh mineral-mineral indeks temperatur
tertentu. Sebagai contoh adalah sikuen pada mineral-mineral kalsium aluminium
silikat.
2.2.7 Intensitas Ubahan
1. Tidak terubah (unaltered) : tidak ada mineral sekunder
2. Lemah (weak) : mineral sekunder <25 vol.%
3. Sedang (moderate) : mineral sekunder 25-75 vol.%
16
4. Kuat (strong) : mineral sekunder > 75 vol.%
5. Intens (intense) : Seluruh mineral primer terubah (kecuali kuarsa, zirkon,
dan apatit), tetapi tekstur primernya masih terlihat
6. Total (total) : Seluruh mineral primer terubah (kecuali kuarsa, zirkon, dan
apatit) serta tekstur primer sudah tidak nampak lagi
2.2.8 Ukuran Mineral
a. Sangat halus (very fine) : < 0,01 mm
b. Halus (fine) : 0,01 - 0,05 mm
c. Sedang (medium) : 0,05 - 0,25 mm
d. Kasar (coarse) : 0,25 - 2,00 mm
e. Sangat kasar (very coarse) : > 2,00 mm
2.2.9 Langkah Mengenal Batuan Ubahan HidrotermalAda banyak alasan mengapa kita perlu menginterpretasi ubahan hidrotermal.
Mempelajari ubahan hidrotermal akan dapat menjawab kondidi fisik dan kimia batuan
dan fluida maupun evolusi proses hidrotermal. Ada beberapa langkah yang sebaiknya
dilakukan untuk mengenali batuan ubahan hidrotermal, diantaranya adalah:
1. Mendiskripsi mineral-mineral yang hadir maupun tekstur dalam batuan, mencatat
mineral-mineral sekunder yang terbentuk karena ubahan hidrotermal.
2. Mendiskripsi distribusi mineral ubahan pada batuan (sebaiknya pada singkapan ,
contoh setangan, maupun pada sayatan tipis).
apakah mineral tersebut mengisi (pori, urat, vug) atau mengganti (mineral
primer, mineral sekunder atau clast)?
apakah mereka mengganti seluruh mineral atau hanya mineral tertentu?
apakah mereka mengganti seluruh batuan atau pada daerah tertentu (misal
di sekitar urat)
3. Menyusun hubungan antara satu mineral dengan mineral (akan dibahas pada bab
paragenesa mineral)
17
BAB 3
KAJIAN GEOLOGI REGIONAL
3.1 Fisiologi dan Morfologi
Berdasarkan tataan fisiografi van Bemelen (1949), daerah Tulungagung termasuk
Lajur Pegunungan Selatan Jawa Timur., yang bagian utaranya berbatasan dengan Lajur
Depresi yang ditempati oleh G.Wilis (Nahrowi drr, 1978).
Morfologi daerah Lembar dapat dibagi menjadi 3 satuan yaitu, pebukitan, pedataran,
dan kras (Gb.2). Satuan pebukitan menempati wilayah sekitar 34% luas Lembar, berjulang
antara 300 dan 980 m di atas muka laut, Pucak tertinggu pada satuan ini adalah G. Jawar
(987). Satuan ini disusun oleh batuan gunungapi dan endapan turbidit Oligo-Miosen.
Beberapa tonjolan bukit pada satuan ini dibentuk oleh batuan terobosan bersusunan asam
hingga menengah. Sungai besar yang mengalir pada satuan ini adalah S. Gede. Sungainya
yang berpola meranting membentuk lembah yang curam dan dalam. Beberapa kelurusan
sungai dan punggungannya dikendalikan oleh struktur. Satuan ini terutama tersebar di bagian
barat dan utara Lembar. Terbing curam berbentuk melingkar terdapat di sekitar Teluk
Sumbreng di pantai selatan dan dibarat Kampak diduga merupakan bekas kawah. Kawah-
kawah tersebut berbentuk tapal kuda terbuka ke arah tenggara dan utara. Beberapa teluk
berbentuk setengah lingkaran, pada satuan ini juga diduga bekas kawah, misalnya Teluk
Prigi.
Satuan pedataran yang merupakan satuan terluas mencakup sekitar 50% luas Lembar.
Sebarannya meliputi bagian tengah Lembar, dan meluas ke Timur. Satuan ini disusun oleh
endapan alluvial dan rata-rata berjulang 100 m di atas muka laut. Sungai utama pada satuan
ini adalah S. Brantas dan S. Ngrowo berikut percabangannya seperti S.Ngasinan,
S.Munjungan dan S. Campurdarat. Tulungagung merupakan daerah limpah banjir S. Brantas.
Daerah rawa-rawa di sekitar Campurdarat dikenal sebagai Rawa Gabak dan Rawa Bening.
Sungai-sungainya mempunyai aliran yang berkelok-kelok dan berlembah lebar denan
gosong-gosong pasir dibagian tengah sungai. Beberapa bukit berjulang lebih dari 200 m di
atas muka laut di selatan Trenggalek yang disusun oleh batuan Oligo-Miosen.
Satuan kras yang luasnya sekitar 15% luas Lembar terutama terbesar di bagian timur,
di sepanjang pantai selatan. Satuan ini rata-rata berjulang lebih dari 250nm di atas muka laut,
disusun oleh batuan karonat. Beberapa tinggian pada satuan ini disusun oleh batuan sedimen
18
dan batuan gunungapi. Sungai-sungai pada satuan ini umumnya berlembah sempit dan
curam. Kelurusan sungai dan pegunungan dikendalikan oleh struktur.
Pola saliran sungai di Lembar Tulungagung adalah meranting. Aliran sungainya yang
berkelok-kelok dan lembahnya yang lebar memberikan pendugaan bahwa erosinya
berstadium dewasa hingga tua.
3.2 Tatanan Stratigrafi
Satuan tertua yang tersingkap di Lembar Tulungagung berupa himpunan batuan
Olig0o-Miosen Kelompok Grendulu, yang terdiri dari Formasi Arjosari dan Formasi
Mandalika. Formasi Arjosari (Toma) berupa runtunan endapan turbidit, yang kea rah
mendatar berangsur berubah menjadi batuan gunungapi Formasi Mandalika (Tomm).
Kemlompok Orcubulu ditindih selaras oleh Formasi Campurdarat (Tcml) yang disusun oleh
batuan karbonat berumur Miosen Awal. Ketiga formasi di atas dipengaruhi oleh terobosan
batuan beku bersusunan asam hinggah menengah (Tomi; di, da, an). Dan tertindih tak selaras
oleh formasi-formasi Jaten, Wuni dan Nampol. Formasi Jateng (Tmj) berumur akhir Miosen
Awal dan merupakan kumpulan batuan klastika hasil rombakan batuan yang lebih tua. Satuan
ini ditindih selaras oleh turunan batuan gunungapi dan klastika gunungapi Formasi Wuni
(Tmw) yang berumur awal Miosen Tengah. Formasi Nampol (tmn) yang juga berumur awal
Miosen Tengah disusun oleh batuan klastika mendindih selaras Formasi Wuni. Satuan ini
ditindih selaras oleh himpunan batuan karbonat Formasi Wonosari (Tmwl) yang berumur
Miosen Tengah-Miosen Akhir. Batuan Gunungapi Wilis (Qpwv) yang berumur Plistosen
menindih tak selaras satuan yang lebih ta. Satuan termuda di Lembar ini adalah ALuvium
(Qa) yang merupakan endapan sungai, pantai dan rawa.
3.3 Tatanan Stratigrafi Daerah Telitian
3.3.1 Aluvium (Qa)
Kerakal, kerikil, pasir lanau, lempung dan lumpur. Aluvium ini merupakan
endapan sungai, pantai dan rawa. Daerah Tulungagung merupakan dataran alluvial
dan daerah limpahan banjir S. Brantas. Endapan pantai hanya dijumapi setempat-
setempat, di Sepanjang pantai selatan. Daerah berawa-rawa dijumpai di sekitar
Campurdarat, yaitu Rawa Babuk dan Rawa Bening.
3.3.2 Formasi Jaten (Tmj)
19
Perulangan dan konglomerat; bersisipan lignit dan tuf, setempat batu gamping.
Batu pasir kuarsa berwarna kecoklatan, agak kompak, berlapis baik, berbutir sedang
kasar; terdiri dari kuarsa, feldspar dan horenblenda, menyudut tanggung-membundar
tanggung, dan terpilah sedang-baik. Tebal lapisannya berkisar antara 20 dan 50 cm. Di
beberapa tempat berstuktur peraiaran sejajar atau menggelombang.
Batulempung berwarna keabu kehitaman, karbonan; agak padat, berlapis tipis
antara 10 dan 20 cm. Sebagian menyerpih, merupakan serpih berbitumen.
Konglomerat berwarna cokelat kekuningan: terdiri dari komponen andesit, dasit,
batupasir, batulempung berukuran 2-4 cm dan bermasadasar batupasir kasar
membundar, kemas terbuka, terpilah sedang bersturuktur perlapisan bersusun kasar.
Tebal lapisannya bekisar antara 40 dan 60 cm.
Lignit berwarna hitam atau hitam kelabu, umumnya dijumpai sebagai sisipan
di bagian bawah dan tengah satuan. Tebalnya rata-rata sekitar 10 cm.
Tuf berwarna cokelat kemerahan, berbutir halus-sedang; terdiri dari flespar,
kuarsa, horenbla dan pecahan kaca gunungapu, sebagian besar lapuk, bersama-sama
dengan lignit merupakan sisipan di bagian dan tengah satuan.
Batugampingnya dijumpai koral, ganggang, duri echinoid, Lepidocyclina sp.
G;obigerinoides trilobus (REUSS), Sphaeroidinellopsis sp. Dan Planorbulina sp.
Yang menunjukkan umur sekitar Miosen
Berdasarkan letak stratigrafinya yang lebih muda dari batuan karbonat Miosen
Awal, dan kesebandingannya dengan satuan sejenis di Lembar Pacitan (Samodra 7&
Gafoer, 1990) satuan ini diduga berumur akhir Miosen Awal. Linkungan
pendengapannya adalah peralihan atau darat yang dipengaruhi oleh kondisi reduksi
hingga laut dangkal atau lagun (Sartono, 1964).
Satuan ini tebalnya diduga sekitar 100 m, tersebr di bagian barat dan utara
Lembar. Singkapannya hanya setmapt-setempat, menempati wilayah bertimbulan
menggelombang. Formasi Jaten yang tersingkap di bagian utara Lembar menerus
hingga Lembar Madiun (Hartono drr, 1990).
Formasi Jaten menindih selaras Formasi Campurdarat, meskipun kesamping
ada kecendrungan berhubungan secara menjemari. Nama Formasi Jaten pertama kali
diusulkan oleh Sartono (1964) dengan lokasi tipe di desa Jaten, lembar Pacitan, Jawa
timur.
3.3.3 Formasi Punung
20
Dengan lokasi tipenya di daerah Punung, Pacitan, tersusun oleh dua litofasies
yaitu: fasies klastika dan fasies kar-bonat (Sartono, 1964). Fasies karbonat, tersusun
oleh batu-gamping terumbu, batugamping bioklastik, batugamping pasiran, napal,
dimana satuan ini merupakan endapan sistim karbonat paparan. Ketebalan fasies ini
200-300 m, berumur Miosen Tengah-Atas (N9-N16). Sedangkan fasies klastika
tersusun oleh perselingan batupasir tufan, batupasir gampingan, lanau dan serpih.
Ketebalan satuan ini 76 -230 m. Berdasarkan kandungan fosil foram menunjukan
umur Miosen Tengah (N15), diendapkan pada lingkungan nertitik tepi. Hubungan
dengan fasies karbonat adalah menjari, dan kedua satuan fasies ini menutupi secara
tidak selaras Formasi Nampol (Sartono, 1964). Sedangkan menurut Nahrowi (1979),
Pringgoprawiro (1985) Formasi Punung menutui secara tidak selaras Formasi Besole,
dengan saling menjari dengan Formasi Jaten, Wuni, dan Nampol.
3.3.4 Formasi Besole
Merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah ini. Sartono (1964),
pencetus nama Formasi Besole menyebutkan bahwa satuan ini tersusun oleh dasit,
tonalit, tuf dasitan, serta andesit, dimana satuan ini diendapkan di lingkungan darat.
Nahrowi dkk (1978), dengan menggunakan satuan batuan bernama Formasi
Besole, menyebutkan bahwa formasi ini tersusun oleh perulangan breksi volkanik,
batupasir, tuf, dan lava bantal, diendapkan dengan mekanisme turbidangit, pada
lingkungan laut dalam.
Samodaria dkk (1989 & 1991) membagi satuan yang bernama Formasi Besole
ini menjadi dua satuan yaitu Formasi Arjosari yang terdiri dari perselingan batupasir
dan breksi, yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal, dan Formasi Mandalika
yang tersusun oleh perselingan breksi, batupasir, serta lava bantal diendapkan pada
lingkungan laut dalam. Terlepas dari perbedaan litologi, dan lingkungan pengendapan
pada satuan yang bernama Formasi Besole ini, mempunyai penyebaran menempati
morfologi terjal, dan berbukit-bukit. Oleh Sartono (1964), satuan ini merupakan
bagian dari kelompok batuan Old Andesit (van Bemmelen, 1949), seperti halnya yang
terdapat di Kulon Progo. Jadi secara umum Formasi Besole tersusun oleh satuan
batuan volkanik (intrusi), lava dan volkanoklastik (breksi, sisipan batupasir tufan).
Djohor, 1993 meneliti singkapan di K.Grindulu (Pacitan-Tegalombo)
menyimpulkan urutan Formasi Besole yang tersingkap di daerah tersebut adalah
sebagaiberikut: bagian bawah terdiri dari breksi volkanik (pyroclastic), batupasir tufan
21
(greywacke), sisipan crystal tuf, dan dibeberapa tempat dijumpai intrusi (korok dasit).
Bagian tengah tersusun oleh lava dasitik, tuf dasitik, breksi volkanik, batupasir
volkanik, dan sisipan lava basaltik dengann kekar-kekar kolom, dibe-berapa tempat
dijumpai intrusi korok berkomposisi basaltis, dan dasitik. Bagian atas didominasi oleh
batn volkanoklastik (perulangan konglomerat, batupasir tufan, tuf, dengan sisipan
breksi dan batulempung). Didapat intrusi berupa volcanic neck berkomposisi
andesitik. Juga dijumpai sisipan tipis batulempung gampingan yang mengandung
foraminifera planktonik serta bongkah batu-gamping berukuran mencapai ±1 m
didalam tubuh tuf. Secara tidak selaras di atasnya terdapat Formasi Jaten.
3.3.5 Formasi Wuni (Tmw)
Breksi gunungapi, tuf, batupasir, dan batulanau yang umumnya tufan;
bersisipan batugamping.
Breksi gunungapi berwarna coklat kelabu, kompak, pejal; terdiri dati
komponen andesit, dasit dan basal, berukuran 10-40 cm, menyudut tanggung hingga
menyudut, bermasadasar batupasir tufan kasar; setempat mengandung bongkahan
silica. Umumnya merupakan tuf hablur; yang berbutir kasar berupa tuf sela (lithic
tuff) yang banyak mengandung komponen batuan beku. Tebalnya beragam, berkisar
antara 20 dan 50 cm.
Batupasir berwarna cokelat kekuningan, berbutir sedang-kasar, tufan; terdiri
dari kuarsa, feldspar, piroksen dan sedikit komponen batuab beku. Batupasir ini
berupa sisipan di dalam breksi gunungapi, tebalnya berkisar antara 10 dan 40 cm.
Batulanau berwarna kecoklatan, bersifat tufan bersama-sama dengan batupasir
merupakan sisipan di dalam breski gunungapi. Tebal lapisannya rata-rata sekitar 20
cm.
Batugamping berwarna cokelat kekuningan, pejal, berfosil, merupakan sisipan
atau lensa-lensa di bagian tengah dan atas satuan. Tebal lapisannya rata-rata sekitar 25
cm.
Fosil yang terdapat pada batugamping di antaranya adalah ganggang, duri
echinoid, lepidocyclina sp, Globigeroides trilobus (REUSS), Sphaeroidinellopsis sp.
Dan Planorbullina sp yang menunjukkan umur Miosen. Di Lembar ini, bagian bawah
satuan tersebut bersentuhan langsung dengan Formasi Mandalika dan Formasi
Campurdarat, dan ditindih selaras oleh Formasi Nampol. Berdasarkan
22
kesebandingannya dengan satuan sejenis di Lembar Pacitan (Samodra & Gafoer,
1990) satuan ini diduga berumur akhir Miosen Awal, yaitu sesudah pengendapan
Formasi Jaten dan sebelum pembentukan Formasi Nampol. Lingkungan
pengendanpannya adqlah darat hingga peralihan.
Sebarannya hanya setempat-tempatnya, menempati wilayah perbukitan
menggelombang di bagian tegah dan timur Lembar. Yang tersingkap dibagian utara
Lembar merupakan lanjutan satuan tersebut dari Lembar Madiun (Hartono drr, 1990)
Tebal seluruh satuan diduga kurang dari 100 m.
Nama formasi Wuni pertama kali diusulkan oleh Sartono (1964) dengan lokasi
tipe S. Wuni di Lembar Pacitan, Jawa Timur. Dalam laporan ini nama tersebut masih
dipakai.
3.3.6 Batuan Terobosan
Tomi (Diorit) : batuannya yang segar berwarna kelabu, lapuk agak
kecoklayan. Sayatan tipis menunjukkan struktur porfiritik; berkomposisi plagioklas
50%, ortoklas 20%, hornblende 10%, kuasa 10%, biotit 5%, dan bijih 5%, fenoklris
berukuran 0,5 – 0,8 mm, dan berbentuk subhedral. Setempat ditemukan jenis diorit,
diantaranya diorit kuarsa dan mikrodiorit.
Tomi (Andesit) : berwarna kelabu kehitaman, sayatan tipis menunjukkan
tekstur porfiritik, berkomposisiandesin 40%, kuarsa 20%, ortoklas 15%, biotit 10%,
bijih 5%, berukuran 0,3 – 0,5 mm, bentuk subhedral tertanam pada masadasar
mikrolit plagioklas dan kaca gunungapi 15%. Sebagian felsparnya terubah menjad
lempung.
Tomi (Dasit) : berwarna kelabu tua hingga agak kehitaman, lapuk berwarna
kecoklatan. Sayatan tipisnya memperlihatkan tekstur porfiritik; berkomposisi
plagioklas 30%, ortoklas 10%, kuarsa 30%, biotit 10%, bijih 5%, berukuran 0,5 – 1
mm, berbentuk subhedral, di dalam masadasar mikrolit kuarsa dan felspar 15%.
Satuan batuan dipengaruhi oleh terobosan ini adalah formasi-formasi Arjosari,
Mandalika, dan campurdarat. Terobosan ini setempat mengubah batulempung menjadi
lebih keras berwarna hitam, dan sebagian batugamping terubah menjadi paulam;
satuan-satuan tersebut sebelum terpropilitkan, juga terkersikkan dan terpiritkan.
Diduga batuan terobosan ini terbentuk pada Miosen Tengah dan batas atasnya adalah
jenjang Tf1 atau sebelum pembentukan Formasi Jaten.
23
Batuan terobosan ini tersebar secara terpencar, terutama di sekitar Teluk Prigi
dan tersingkap kecil di bagian Baratlaut Lembar.
3.4 Struktur dan Tektonika
Secara struktur, lembar Tulung Agung ditempati oleh sesar-sesar miring yang searah
Baratlaut-Tenggara dan Timurlaut-Baratdaya. Gerakan mendatar dari sesar-sesar tersebut
lebih banyak dibandingkan dengan gerakan turunnya, sehingga ditafsirkan sebagai sesar
geser-jurus. Sesar yang berarah timurlaut-baratdaya adalah sesar geser-jurus mengiri
(sinistral), seperti sesarnya puger dan sesar kambengan. Sedangkan yang arahnya barat laut-
tenggara mempunyai gerakan mendatar menganan (dekstral); diantaranya sesar ngajaran.
Beberapa sesar yang diduga cerminan dari kelurusan yang arahnya barat-timur atau hampir
utara-selatan adalah sesar turun. Beberapa sesar didaerah ini menerus ke lembar pacitan dan
lembar Madiun.
Lipatan yang terdapat di Lembar ini adalah Sinklin Puntukjatuh, yang menyebabkan
periukan pada lapisan batugamping Miosen Awal Formasi Campurdarat. Sinklin ini
mempunyai sumbu yang arahnya Timurtimurlaut-baratbaratdaya. Berdasarkan pola struktur
tersebut, diduga arah gaya utamanya adalah nisbi utara-selatan.
Arah penekanan tersebut berkaitan dengan kegiatan penunjaman Lempeng Samudra
Hindia-Australia ke bawah Lempeng Benua Asia pada Oligo-Miosen. Kegiatan tersebut
menyebabkan terjadinya gunungapi di bawah laut yang menghasilkan runtunan batuan
gunungapi yang berhubungan dengan pembentukan endapan turbidit di sepanjang lereng
curam, yang dikenal Kelompok Grendulu. Batuan gunungapi Oligo-Miosen yang melampar
hampir di sepanjang pantai selatan Jawa Timur ini diduga merupakan jalur magmatik akibat
kegiatan penunjaman tersebut. Menjelang akhir Miosen Awal, pada laut yang teluknya
mendangkal terjadi pembentukan terumbu-terumbu batugamping yang menghasilkan batuan
karbonat. Formasi Campurdarat. Pengendapan tersebut terjadi bersamaan dengan fasa akhir
penerobasan batuan beku asam-menengah. Terobosan ini mempengaruhi batuan Oligo-
Miosen Kelompok Grendulu dan batugamping Miosen Awal. Sementara pembentukan
batugamping Miosen Awal masih berlangsung, terjadi pengangkatan dan denudasi yang cepat
pada akhir Miosen Awal. Yang diikuti oleh genanglaut dan pengendapan batuan sedimen
klastika dan gunungapi Neogen Awal. Pada akhir Miosen Awal terjadi pembentukan Formasi
Jaten di lingkungan peralihan hingga laut dangkal. Kegunungapian yang meningkat di
24
wilayah daratan setelah Kala terebut menghasilkan batuan gunungapi Formasi Wuni, yang
kemudian diikuti dengan pengendapan Formasi Nampol pada awal Miosen Tengah.
Genanglaut pada akhir Miosen Tengah yang terjadi di daerah Lembar Blitar, yang
menghasilkan batugamping paparan Formasi Wonosari. Lembar Tulungagung menjadi
daratan penuh pada permulaan Kuarter, dan terjadi kegiatan G. Wilis di sebelah utara Lembar
pada Kala Plistosen. Kegunungapian inipun diduga dipengaruhi oleh lanjutan kegaiatan
penunjaman di Lempeng Samudra Hindia yang cenderung bergerak maju ke utara.
25
BAB 4
PENUTUP
Kegiatan penelitian ini akan meningkatkan kemampuan dari mahasiswa, dan akan
membuka wawasan pengetahuan yang kaitannya erat dengan bidang geologi, yang dapat
diterapkan di dunia perminyakan kelak. Kesempatan yang diberikan pada mahasiswa dalam
melakukan kegiatan penelitian guna menghasilkan skripsi, yang digunakan dan dimanfaatkan
semaksimal mungkin, serta hasil dari skripsi ini akan dibuat dalam bentuk laporan dan akan
dipresentasikan di perusahan terkait dan juga di universitas (program studi).
26
DAFTAR PUSTAKA
Browne, P.R.L., (1989): “Hydrothermal Alteration and Geothermal System”, Lecture
Handout, The University of Auckland, 1-74
Corbett G.J. and Leach T.M., (1996): “Southwest Pacific Rim Gold-copper Systems :
Structure, Alteration, and Mineralization”, A Workshop Presented for the
Society of Exploration Geochemists at Townville
Creasey S.C., (1966): “Hidrothermal Alteration”, Economic Geology.
Guilbert, J.M. and Park, C.F.Jr., (1986): “The Geology of Ore Deposits”, W.H. Freeman and
Company, New York
Hedenquist, J.W. and Lindqvist., (1985), “Mineralization Associated with Volcanic-related
Hydrothermal Systems in the Circum-pacific Basin”, Tulsa, Oklahoma
Lowell, J.D. and Guilbert, J.M., (1970): “Lateral and Vertical Alteration Mineralization
Zoning in Porphyry Ore Deposits”, Economic Geology, volume ke-65
Martodjojo S., (1994): “Data Stratigrafi Pola Tektonik dan Perkembangan Cekungan pada
Jalur Anjakan-Lipatan di Pulau Jawa”, Jurusan Teknik Geologi FT-UGM,
Yogyakarta
Nahrowi, Baharudin, dan Aminudin., (1979): “Geologi dan Stratigrafi Daerah Juwangi
Utara, Purwodadi, Jawa Tengah”, Thesis Sarjana, Dept. Teknik Geologi, ITB
Pirajno F., (1992): “Hydrothermal Mineral Deposits, Principles and Fundamental Concepts
for the Exploration Geologist”, Springer
27
Samodra H., Suharsono, S. Gafoer & T. Suwarti., (1992): “Geologi Lembar Tulungagung,
Jawa”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, Indonesia
Samodra H., S, Gafoer & S.Tjokrosapoetro., (1992): “Geologi Lembar Pacitan, Jawa”, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi Indonesia
Sartono S., (1964): “Stratigraphy and sedimention of the eastern most part of Gunung Sewu
(East Java)”, Publikasi Teknik 1: 30-34. Bandung: Fakultas Teknik ITB.
Surono, Toha, B., dan Sudarno, I., (1992): “Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro,
Jawa”, Skala 1 : 100.000. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Van Bemmelen, R. W., (1949): “The Geology of Indonesia, Vol. 1 A”. Government Printing
Office: The Hague
Van Zuidam, R.A., (1979): “Interpretation volume VII Use of Aerial Detection in
Geomorphology and Geographical Landscape Analysis”. Nederlands: ITC
White, N.C., (1989): “Epithermal Sinters of Paleozoic Age in North Queensland”, Australia.
Economic Geology 17:718-722
Yulianto, (1995); dalam Darman dan Sidi, (2000): “Elemen Tektonik Pulau Jawa
Bagian Timur”. Malang, Indonesia
28