proposal REDD

21
Nama : bayu widyaswara (proposal tesis ) Hp : 085647271505 Modal sosial penguat resistensi masyarakat hutan dalam pengeolaan lingkungan hutan melalui program REDD+ A. Latar Belakang Hadirnya wacana perubahan iklim dengan berbagai skema di dunia akhir-akhir ini, secara langsung mengusik kembali keberadaan dan akses atas sumber produksi manusia yang tinggal dan hidup di dalam atau sekitar hutan. Agenda penyelamatan bumi dalam proses perundingannya berujung pada tukar guling perdagangan karbon. (Steni, 2010: 23-29). Negara maju terdesak untuk menurunkan emisi karbon yang berdampak pada pertumbuhan ekonominya (Uliyah dan Cahyadi, 2011). Negara berkembang tidak harus menurunkan emisi tetapi diwajibkan untuk ikut serta dalam agenda perubahan iklim (Steni, 2010). Agenda menyelamatkan bumi atas dampak perubahan iklim dalam proses wacananya justru “melenceng” ke agenda penyelamatan ekonomi negara industri. Sejak wacana perubahan iklim berhembus melalui REDD+ di Kota Palu yang menjadi Ibu Kota Sulawesi Tengah di penghujung akhir tahun 2010. Kota ini menjadi bibit dari proyek REDD+ di Indonesia. Hutan di Provinsi Sulawesi Tengah meliputi daerah seluas 4,4 juta ha, yang mewakili sekitar 64 persen dari total luas wilayah provinsi dan sekitar 800.000 orang tinggal di

description

program redd penurunan emisi

Transcript of proposal REDD

Nama : bayu widyaswara (proposal tesis )Hp: 085647271505

Modal sosial penguat resistensi masyarakat hutan dalam pengeolaan lingkungan hutan melalui program REDD+

A. Latar Belakang Hadirnya wacana perubahan iklim dengan berbagai skema di dunia akhir-akhir ini, secara langsung mengusik kembali keberadaan dan akses atas sumber produksi manusia yang tinggal dan hidup di dalam atau sekitar hutan. Agenda penyelamatan bumi dalam proses perundingannya berujung pada tukar guling perdagangan karbon. (Steni, 2010: 23-29). Negara maju terdesak untuk menurunkan emisi karbon yang berdampak pada pertumbuhan ekonominya (Uliyah dan Cahyadi, 2011). Negara berkembang tidak harus menurunkan emisi tetapi diwajibkan untuk ikut serta dalam agenda perubahan iklim (Steni, 2010). Agenda menyelamatkan bumi atas dampak perubahan iklim dalam proses wacananya justru melenceng ke agenda penyelamatan ekonomi negara industri. Sejak wacana perubahan iklim berhembus melalui REDD+ di Kota Palu yang menjadi Ibu Kota Sulawesi Tengah di penghujung akhir tahun 2010. Kota ini menjadi bibit dari proyek REDD+ di Indonesia. Hutan di Provinsi Sulawesi Tengah meliputi daerah seluas 4,4 juta ha, yang mewakili sekitar 64 persen dari total luas wilayah provinsi dan sekitar 800.000 orang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang merupakan 33 persen dari jumlah penduduk di provinsi tersebut (Suzanna, 2012: 11). Keberadaan program-program penyelamatan hutan menyebabkan marginalisasi masyarakat yang tinggal di dalam hutan, Celakanya, sebelum mereka disingkirkan terlebih dahulu dikambing hitamkan atas kerusakan hutan oleh rezim negara (Kusworo, 2000).Marginalisasi masyarakat hutan berlangsung terus hingga kini. Anggapan bahwa masyarakat hutan sebagai penyebab kerusakan hutan menyebabkan perilaku aparat pemerintah daerah tidak ramah dan cenderung memusuhinya, bahkan tidak jarang melakukan tindakan represif, brutal, dan mengorbankan masyarakat hutan. Itulah sebabnya, para pemegang otoritas berkeinginan agar masyarakat hutan dibersihkan dan diusir ke luar dan jauh dari hutan, karena dianggap sebagai pengganggu atau klilip bagi proyek penyelamatan lingkungan. Sebagai masyarakat yang telah lama tinggal di dalam hutan atau pun disekitar hutan tidak mudah bagi pemerintah atau pihak yang berkepentingan untuk melakukan relokasi bagi masyarakat hutan. Masyarakat hutan sudah lama tingggal di dalam atau di sekitar hutan jauh lebih lama sebelum Negara Indonesia terbentuk. Ada kalanya dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut mereka melakukan tindakan resistensi. Tindakan tersebut tentunya tidak akan memiliki power ketika tidak ada dukungan dari masyarakat lainnya. Oleh sebab itu penelitian ini akan difokuskan pada modal sosial masyarakat hutan sebagai pencipta dan pendorong sikap resistensi terhadap program kebijakan yang tidak sesuai harapan masyarakat.

B. Perumusan MasalahPermasalahan pokok dari penelitian disertasi ini adalah resistensi masyarakat hutan terhadap Kebijakan Pemerintah?. Permasalahan pokok tersebut dapat dipecahkan dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut: (1) apa kontribusi hutan terhadap ekonomi keluarga, masyarakat sekitar hutan, dan kontribusinya bagi pemerintah dan proyek lingkungan?, (2) bagaimanakah kebijakan publik yang diterapkan pemerintah dalam mengatur keberadaan Masyarakat hutan?, (3) bentuk-bentuk resistensi seperti apakah yang ditunjukkan masyarakat hutan dalam merespon kebijakan pemerintah?, (4) apakah survival strategy merupakan alasan masyarakat hutan melakukan perlawanan (resisten) terhadap kekuasaan pemerintah?,(5)apakah modal sosial merupakan penguat resistensi masyarakat hutan dalam menghadapi kekuasaan pemerintah?

C. Tujuan PenelitianBerdasarkan rumusan permasalahan tersebut, penelitian tesis ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis :a. Kontribusi hutan terhadap ekonomi keluarga masyarakat hutan, masyarakat sekitar, dan bagi pemerintah dan proyek lingkungan.b. Kebijakan publik yang diterapkan pemerintah dalam mengatur keberadaan masyarakat hutan.c. Bentuk-bentuk resistensi yang ditunjukkan masyarakat hutan dalam meresponkebijakan pemerintah.d. Survival strategy sebagai basis masyarakat hutan melakukan perlawanan (resistensi) terhadap kekuasaan pemerintah.e. Unsur dan jenis modal sosial yang menjadi kekuatan masyarakat hutan dalam melakukan perlawanan (resistensi) terhadap pemerintah.

D. Kajian PustakaSebelum konsep modal sosial tumbuh dan berkembang, yang lebih dulu muncul dalam literatur ekonomi adalah konsep modal atau kapital. Modal pada awalnya dipahami sebagai sejumlah uang atau faktor-faktor produksi yang dapat diakumulasi dan diinvestasikan, yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberi manfaat atau layanan produktif (Dasgupta dan Serageldin 1999; Field 2008). Modal atau kapital dalam ekonomi mempunyai fungsi yang sangat penting dalam proses produksi barang dan jasa dalam jangka panjang. Putnam (2000) dalam bukunya Bowling Alone, mendefinisikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi. Dengan menggunakan pendekatan institusional, dalam penelitiannya di Italia utara dan selatan, Putnam menyimpulkan bahwa kinerja institusional di Italia utara relatif sukses dikarenakan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Di Italia utara, gilda-gilda yang otonom, dapat mengatur sendiri, menyumbang kematangan masyarakat sipil, yang pada gilirannya bermanfaat mendukung kebijakan dan program pemerintah Italia bagian utara. Dalam artikel berjudul Economic Growth and Social Capital in Italia, Helliwel and Putnam (2000) menunjukkan pula bahwa dukungan masyarakat sipil ditambah efektivitas institusi pemerintah daerah Italia utara memiliki tingkat kemakmuran yang lebih baik daripada pemerintah Italia wilayah selatan. Modal sosial seperti tingkat pendidikan, keterbukaan, dan institusi yang efektif memberi kontribusi signifikan bagi kepuasan warga negara kepada pemerintah daerah. Menurut Helliwel (2006:38), kepuasan hidup (life satisfaction) berhubungan dengan berbagai jenis kepercayaan (trust) dan juga jaringan (networks) yang boleh jadi menelurkan atau mendukung kepercayaan. Kepuasan warga negara terhadap kinerja pemerintah Italia utara yang pada gilirannya memberi kemakmuran kepada mereka, menimbulkan kepercayaan (trust) yang tinggi kepada pemerintah.Fukuyama (1995) dalam artikelnya tentang Scale and Trust, menemukan bahwa kepercayaan merupakan modal sosial berharga yang menentukan keberhasilan perusahaan. Kepercayaan tersebut, menurut Fukuyama, dibangun dengan kejujuran, kesetiaan, dan kerjasama. Kepercayaan (modal sosial) ini ternyata tidak terbagi secara merata di masyarakat. Dalam masyarakat individualistik, kepercayaan berada pada asosiasi sukarela (misalnya di Amerika Serikat) yang menentukan berkembangnya perusahaan-perusahaan besar, sedangkan pada masyarakat tipe familistik (seperti di Korea, Taiwan, dan Hongkong), kepercayaan berada pada jalur keluarga, sehingga di sana berkembang perusahaan-perusahaan kecil berbasis keluarga. Dalam bukunya berjudul Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Fukuyama (2005) menemukan adanya kemunduran hierarkhi birokratis dalam bidang politik dan ekonomi seiring dengan berkembangnya teknologi informasi. Produksi berbasis industri pun mengalami transisi ke arah bentuk produksi berbasis informasi. Sistem kepemimpinan hierarkhis mengalami erosi dan model jaringan yang bertandakan hubungan informal dan persekutuan antar-organisasi, sebagaimana dapat disaksikan pada sistem keiretsu di Jepang, persekutuan perusahaan di Italia, dan hubungan Boeing dengan pemasoknya, dapat menutup kelemahan dari sistem hierarkhis. Pertukaran dalam model jaringan, menurut Fukuyama (2005) bersifat timbal balik, tidak semata-mata berdasarkan prinsip untung rugi. Hal ini terjadi karena pertukaran dalam jaringan berbasis norma bersama bersifat informal, tidak mengharapkan balasan langsung, tetapi mendambakan manfaat jangka panjang. Jaringan ini merupakan bagian penting dari modal sosial.Kajian mengenai sisasat resistensi dilakukan Claudia Francesca DAndrea (2013); Kopi, Adat dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu, melalui study kasus dinamika pengakuan orang Katu oleh taman nasional. Orang Katu mengunakan adat sebagai siasat resistensi atas perjuangan mereka, termasuk membuat klaim teritorialisasi tandingan (peta wilayah adat) atas teritorialisasi negara. Claudia Francesca DAndrea (2013); Kopi, Adat dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu, melalui study kasus dinamika pengakuan orang Katu oleh taman nasional. Orang Katu mengunakan adat sebagai siasat atas perjuangan mereka, termasuk membuat klaim teritorialisasi tandingan (peta wilayah adat) atas teritorialisasi Negara. Lebih lanjut, Darmanto dan Abidah B. Setyowati (2012) dalam karyanya Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi mengambarkan orang Mentawai bukanlah orang-orang kalah. Orang Mentawai mampu beradaptasi dengan perubahan, serta memproduksi wacana masyarakat adat untuk mendapat keuntungan tanpa merobah konsep tersebut. Orang Mentawai digambarkan sebagai manusia yang aktif, strategis dan adaptif atas desakan kekuasaan atasnya. Sementara itu, kajian mengenai REDD+ sebelumnya telah dilakukan oleh Des Christy (2013). Ia mengungkapkan polemik penolakan sosialisasi FPIC REDD+ oleh petani di Desa Hano (nama desa disamarkan) Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Penolakan terjadi karena sebelum sosialisasi diadakan, terlebih dahulu terjadi pemasangan tapal batas kawasan Kesatuan Pemangku Hutan Dampelas Tinombo (KPHDT) oleh pegawai Dinas Kehutanan. Des Christy yakin bahwa nantinya KPH DT diperuntukkan untuk program REDD+. Bentuk protes terjadi karena perbedaan pandangan mengenai hutan, antara penduduk Desa Hano dan Dinas Kehutanan. Sumbangsi saya dalam tesis ini, menunjukkan bagaimana modal sosial tidak hanya dapat dilihat dalam pengembangan perekonomian maupun politik melainkan juga sebagai daya masyarakat melakukan perlawanan. Modal Sosial yang dimiliki oleh masyarakat hutan dapat digunakan sebagai penguat siasat resistensi masyarakat adat yang digunakan sebagai daya untuk menolak (resisten) kebijakan penyelamatan lingkungan dalam program REDD+

E. Kerangka BerfikirPenelitian tentang modal sosial cukup banyak. Umumnya penelitian berkisar mengenai masalah manajemen, kewirausahaan, etos kerja, dan tema-tema lain yang berbau ekonomi. Sementara itu, penelitian yang berbasis sosial dan politik terkait dengan modal sosial relatif kurang atau yang dikemas dalam perspektif sosial dan budaya jarang dilakukan oleh para peneliti. Penelitian ini hendak menganalisis basis sosial dan budaya dari masyarakat hutan dalam hubungannya dengan pemerintah dan program penyelamatan lingkungan, selaku pembuat sekaligus pelaksana kebijakan. Dalam konteks relasi rakyat dan negara, masyarakat hutan merupakan representasi dari rakyat (khususnya rakyat miskin) dan pemerintah mewakili sebuah badan yang namanya negara. Relasi yang tidak selamanya harmonis ini, menjadi persoalan menarik untuk dikaji dan diteliti. Sebagaimana telah diuraikan dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, bahwa penelitian ini ingin mengkaji resistensi masyarakat hutan terhadap kebijakan pemerintah dalam menyelamatkan lingkungan. karakter kebijakan publik pemerintah yang berkenaan dengan kegiatan penyelamatan lingkungan menimbulkan perlawanan (resistensi) dari masyarakat hutan. Dari kajian teori tindakan, penelitian ini menjelaskan mengapa masyarakat hutan memilih bekerja di sekitar hutan sebagai basis ekonominya, resistensi yang diperlihatkan, dan bagaimana relasi kekuasaan yang dibangun berhadapan dengan institusi negara. Resistensi masyarakat hutan dalam perspektif teori modal sosial dan kebijakan pemerintah dalam perspektif teori hegemoni. Modal sosial telah dimiliki oleh masyarakat hutan, yang membuat mereka berdaya dan memberi kekuatan kepada mereka untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah. penelitian ini diharapkan dapat ditemukan teori baru sebagai penjelas mengapa masyarakat hutan berani melakukan perlawanan (resistensi) terhadap pemerintah, dengan menolak kebijakan.Secara praktis, penelitian ini akan memberikan data dan informasi tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa masyarakat hutan melakukan perlawanan (resistensi) terhadap pemerintah dan bentuk-bentuk perlawanannya. Penelitian ini juga dapat mengungkap data yang akurat tentang bagaimana masyarakat hutan bertahan hidup di tengah kesulitan ekonomi dan kebijakan publik yang tidak berpihak kepada mereka. Data penelitian ini diharapkan dapat disumbangkan kepada pemerintah untuk pembuatan kebijakan yang tepat berkaitan dengan pembinaan masyarakat hutan.

F. Jenis dan Pendekatan PenelitianPenelitian Thesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, di mana peneliti merupakan instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono 2008:1). Penelitian kualitatif ini juga lebih banyak menampilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong 1993:3; Bogdan dan Taylor 1992:21). Inti dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Sistem makna ini merupakan kebudayaan mereka: etnografi selalu mengimplikasikan teori kebudayaan. Kebudayaan, merujuk pada pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial (Spradley, 1997: 5). Hal yang memudahkan saya untuk mendapatkan informasi, ialah masuk ke rumah penduduk dimana mereka berkumpul menghabiskan waktu setelah selesai bekerja sepanjang hari.Sebagaimana mengacu pada pendapat Moleong, Bogdan dan Taylor tersebut, data penelitian yang bersifat deskriptif, berupa kata-kata lisan, ungkapan-ungkapan, dan komentar-komentar yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, peneliti peroleh dari melalui wawancara dengan para responden, yaitu masyarakat hutan, terutama mereka yang menjalankan aktivitas ekonomi di lokasi hutan. Data-data lisan juga didapatkan dari para pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan yang berkaitan dengan penataan dan pembinaan masyarakat hutan, yaitu pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan, serta para pelaksana kebijakan dan para aktivis lingkungan hidup yang mendampingi masyarakat hutan. Dalam penelitian kualitatif ini juga menampilkan data-data berupa angka, yang semuanya itu untuk memperjelas penyajian (display) dan analisis data. Data-data angka (kuantitatif) diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, Badan Pusat Statistik (BPS) kota, dan beberapa dokumen lainnya, baik yang tersdia di pusat maupun di daerah. Penelitian kualitatif dipilih, karena jenis penelitian ini selain menyediakan pemahaman, penjelasan, dan teori tentang perilaku sosial, juga dapat memahami kompleksitas perilaku, kebutuhan, sistem, dan budaya (Ritchie and Liz Spencer 2002:173-174). Tanpa menggunakan metode kualitatif ini, sulit kiranya untuk menjelaskan setting sosial dan budaya dari masyarakat yang diteliti, utamanya masyarakat hutan yang menjalankan aktivitas ekonomi di sekitar hutandan di Sulawesi tengah. Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, penelitian ini menggunakan desain studi kasus. Pendekatan studi kasus dalam penelitian kualitatif merupakan cara yang spesifik dari kegiatan pengumpulan data, pengorganisasian data dan analisis data. Maksud pendekatan ini adalah untuk memperoleh informasi yang komprehensif, sistematis, dan mendalam dari kasus yang diteliti (Patton 1989:303).Penelitian studi kasus ini melibatkan isu-isu yang dieksplorasi melalui satu kasus yang diikat dalam bounded system (Creswell 2007:73). Jenis studi kasus yang dipilih dalam penelitian ini adalah single instrumental case study, dalam hal mana peneliti fokus pada satu isu atau pusat perhatian, lalu menyeleksi satu kasus yang diikat untuk menggambarkan kasus tersebut. Desain studi kasus ini dipilih karena tiga hal. Pertama, masyarakat hutan yang bekerja di memanfaatkan hutan jumlahnya ribuan, tersebar di semua kecamatan dan desa, sehingga harus ditentukan wilayah kajiannya. Kedua, masyarakat hutan berdasarkan lokasi yang mereka tempati memiliki karakteristik yang beraneka ragam. Ketiga, persoalan yang dapat diidentifikasi dari masyarakat hutan cukup banyak, misalnya masalah etos kerja, kewirausahaan, kualitas hidup, jaringan sosial, interaksi sosial dengan sektor formal, relasi kekuasaan dengan pemerintah dan pengusaha, dan konflik dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah yang berbalut hukum represif menyebabkan resistensi di kalangan masyarakat hutan. Dalam kaitannya dengan persoalan resistensi ini, maka masyarakat hutan dodolo yang menjadi petani di pegunungan Sulawesi yang berdomisili di desa Dodolo, dipandang tepat untuk dijadikan sebagai objek penelitian, karena dalam beberapa tahun terahir masyarakat hutan di lokasi tersebut mengalami penertiban dan penyingkiran sebagai akibat dari program penyelamatan lingkungan dan proyek REDD+ pada tahun 2011. Sebagian dari anggota kelompok masyarakat hutan bersedia mengikuti program, dan sebagian lagidari mereka melakukan perlawanan dan bertahan hidup di lokasi masing-masing. Oleh karena proyek tidak mungkin dihentikan, karena memang sudah direncanakan lama oleh pemerintah, maka proyek ini mampu mendesak ke luar para masyarakat hutan yang beraktivitas di sekitar hutan.

G. Lokasi dan Unit Analisis PenelitianPenelitian ini mengambil lokasi di Sulawesi Tengah, khususnya di wilayah Desa Dodolo. Unit analisis penelitian ini adalah para petani di kawasan pegunungan. Proses penyingkiran juga diwarnai gejolak- gejolak yang terjadi di dataran tinggi Sulawesi. Proses ini, dirangkai dengan masa kekinian dimana kepentingan keterwakilan aktor melalui aktivisme identitas masyarakat adat dengan masuknya wacana REDD+ di Sulawesi Tengah yang telah menyingkirkan sebagian petani sekaligus mengeksklusifkan petani lainnya. Khusus data lapangan, saya batasi sampai di akhir bulan Juni tahun 2015, terhitung sejak bulan februari saya tiba di Sulawesi Tengah.

H. Fokus PenelitianPenelitian kualitatif memerlukan fokus, dikarenakan fokus berhubungan dengan konteks (Melvy 2002:95). Dalam penelitian ini, konteks tidak hanya mencakup tempat dan waktu, tetapi juga aktor atau pelaku, bahkan peristiwa penting yang menjadi setting penelitian ini. Dalam kaitan dengan tempat, fokus penelitian ini dipusatkan pada masyarakat hutan yang berdomisili di desa Dololo. Waktu penelitian adalah bulan februari tahun 2015 hingga bulan juni tahun 2015. Mengapa bulan februari 2015 menjadi fokus waktu penelitian? Hal ini disebabkan pada bulan ini Beasiswa Thesis REDD dimulai. Menurut Melvy (2002:96), fokus penelitian juga berkaitan dengan pertanyaan yang menjadi panduan studi atau penelitian. Dalam hubungan ini, fokus penelitian atau hal-hal yang akan dideskripsikan dan dianalisis adalah: (1) apa kontribusi hutan terhadap ekonomi keluarga, masyarakat sekitar hutan, dan kontribusinya bagi pemerintah dan proyek lingkungan?, (2) bagaimanakah kebijakan publik yang diterapkan pemerintah dalam mengatur keberadaan Masyarakat hutan?, (3) bentuk-bentuk resistensi seperti apakah yang ditunjukkan masyarakat hutan dalam merespon kebijakan pemerintah?, (4) apakah survival strategy merupakan alasan masyarakat hutan melakukan perlawanan (resisten) terhadap kekuasaan pemerintah?,(5)apakah modal sosial merupakan penguat resistensi masyarakat hutan dalam menghadapi kekuasaan pemerintah?

I. Teknik Pengambilan SampelDalam penelitian kualitatif, teknik sampling yang sering digunakan adalah purposivesampling dan snowball sampling (Sugiyono 2008:53). Masyarakat Hutan yang dijadikan responden dalam penelitian ini diseleksi dengan cara purposif (Maxwell 1996:70 ; Creswell 2007:125). Purposif, dalam arti responden dipilih berdasarkan ciri dan batasan sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam penelitian, yaitu: (1) bekerja di dalam atau sekitar hutan, (2) telah bekerja sebagai petani di sekitar hutan sekurang-kurangnya lebih dari 2 tahun, (3) masyarakat hutan yang pernah mengalami penertiban dan perelokasian, dan (4) masyarakat hutan tergusur yang kembali bekerja di tempat usaha lama atau pindah ke tempat lain. Dengan cara snowball, penelitian ini mengambil seorang informan yang tahu persis permasalahan penggusuran Masyarakat Hutan. Teknik snowball ini merupakan teknik pengambilan sampel yang awalnya sedikit, tetapi lama kelamaan bertambah banyak, tergantung pada sejauh mana informasi dan data yang diperoleh dari sumber data pertama, kedua, dan seterusnya dapat diperoleh. Teknik ini terutama digunakan untuk menentukan masyarakat hutan yang dianggap tahu banyak tentang kehidupan masyarakat hutan dan permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah . Dengan model snowball ini, informasi yang belum cukup dari masyarakat hutan pertama yang dihubungi, ditanyakan kepada responden masyarakat hutan berikutnya berdasarkan rujukan yang diberikan oleh responden masyarakat hutan) pertama, demikian seterusnya hingga semua informasi yang dibutuhkan dapat dipenuhi

J. Teknik Pengumpulan DataData penelitian dikumpulkan melalui wawancara , observasi, dan studi literatur. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan secara tidak terstruktur atau tidak terstandarisasi, yaitu sebuah wawancara bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun secara sistematis dan lengkap, tetapi berupa garis-garis besar pertanyaan penelitian sesuai permasalahan penelitian (Harrison 2007; Sugiyono 2006). Wawancara semi terstruktur juga digunakan , terutama untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara dimintai pendapat dan ide-ide secara komprehensif (Sugiyono 2006). Dalam melakukan wawancara, alat yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data dan informasi penelitian adalah buku catatan, tape recorder, dan camera. Wawancara dilakukan dengan para responden, yaitu untuk mengungkap data tentang profil atau karakteristik masyarakat hutan, faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa mereka resisten terhadap kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah, bentuk-bentuk resistensinya, bagaimana cara bertahan hidup (survival strategy), dan bagaimana kebijakan publik yang diambil pemerintah berkenaan dengan keberadaan masyarakat hutan. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan dua cara, yaitu observasi partisipatif yang moderat serta observasi terus terang dan samar-samar (Sugiyono 2006). Dalam observasi partisipatif model moderat ini, peneliti menjaga keseimbangan sebagai orang luar dan juga seakan-akan sebagai orang dalam. Sebagai orang dalam inilah, peneliti sambil melakukan pengamatan, juga ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh masyarakat hutan dan bahkan turut merasakan suka dukanya sebagai masyarakat hutan. Itulah sebabnya, dalam penelitian ini, peneliti sering terlibat dalam kegiatan dan pertemuan yang diadakan oleh masyarakat hutan.Dengan model observasi ini, diharapkan peneliti dapat memperoleh data secara lengkap, tajam, akurat, dan dapat memahami makna di balik perilaku masyarakat hutan. Selain observasi secara partisipatif, peneliti dalam mengumpulkan data juga menyatakan terus terang kepada responden atau informan, tetapi pada saat lain peneliti juga tidak berterus terang atau tersamar agar bisa memperoleh data yang memiliki makna khusus atau rahasia bagi responden. Dengan cara ini, peneliti akhirnya bisa diterima keberadaannya oleh para masyarakat hutan. Selain menggunakan wawancara, dan observasi, penelitian ini juga menggunakan studi literatur untuk mereview literatur yang relevan dengan permasalahan penelitian ini. Secara teoretik, studi literatur atau tinjauan pustaka ini membantu peneliti untuk menentukan topik penelitian, sekaligus memberikan pengetahuan untuk membatasi ruang lingkup penelitian. Tinjauan pustaka berisi hasil-hasil penelitian lain yang relevan dengan topik penelitian dan menghubungkan penelitian dengan literatur yang sudah ada (Creswell 2010:36). Penelitian ini bersifat kualitatif, maka studi literatur ini penting karena data lapangan tidak akan memiliki makna apa-apa jika tidak diikat oleh suatu konsep dan review literatur yang relevan dengan topik penelitian. Literatur yang paling banyak ditelusuri dalam penelitian ini adalah masyarakat hutan, resistensi,dan modal sosial (social capital). Hasil-hasil penelitian dari jurnal penelitian yang ada dan teori atau konsep tentang tiga variabel tersebut direview untuk memastikan bahwa penelitian ini benar-benar penting dan layak dilakukan.

K. Uji Validitas DataData yang terkumpul diuji validitasnya dengan menggunakan triangulasi (Berg 1988: 4; Patton 1989:108-109; Miles dan Huberman 1992:434; Brannen 1997:20). Untuk keperluan itulah, jenis triangulasi yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini meliputi tiga jenis triangulasi.Pertama, triangulasi data, dengan cara mengumpulkan data dari waktu ke waktu dan orang atau sumber yang berbeda, baik di lokasi penelitian di Desa Dololo. Selama penelitian yang membutuhkan waktu kurang lebih lima bulan lamanya, peneliti selalu menanyakan hal-hal yang sama kepada subjek penelitian di lokasi penelitian, bahkan di lokasi lainnya untuk memperoleh data yang akurat dan valid. Kedua, triangulasi peneliti, dengan cara meminta peneliti lain yang pernah mengkaji tema serupa untuk memeriksa hasil analisis. Dalam cara ini, peneliti meminta salah seorang peneliti yang pernah meneliti persoalan masyarakat hutan untuk membaca naskah penelitian dan memeriksanya. Ketiga,triangulasi metode, dengan cara menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda dalam kaitannya dengan unit analisis atau fokus penelitian yang sama. Metode pengumpulan data yang dibandingkan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan wawancara. Hasil-hasil observasi, seperti tempat usaha, peralatan yang digunakan, jenis tanaman yang ditanam, hubungan dengan pemerintah, hubungan dengan sesame masyarakat hutan, hubungan dengan aktivis lingkunagan dikonfrontasi dengan wawancara mengenai hal serupa.

L. Daftar PustakaAbbate, Maria. 2007. The Sweet Desire Cacao Cultivation and its Knowledge Transfer in Central Sulawesi, Indonesia, STORMA Discussion Paper Series, Sub-Program A on Social and Economic Dynamics in Rain Forest Margins, STORMA.

Achmaliadi, Restu dan Fauzi, Noer. 2013. Pengantar untuk Membaca Buku Kopi, Adat dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah, di dalam Claudia Francesca D'Andrea, Kopi, Adat dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Yogyakarta: Yayasan Tanah Merdeka, Sajogyo Institute, Tanah Air Beta.

Bosko, Rafael, Edy. 1996. Hak-hak masyarakat adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta: ELSAM

Christy, Des. 2013. MENOLAK PERBAIKAN: Kajian Persiapan Implementasi REDD+ pada Masyarakat Desa Hano di Sulawesi Tengah Tesis Pasca Sarjana, Program Studi Antropologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: UGM.

Coleman, James S. 2000. Social Capital in The Creation of Human Capital. In Partha Dasgupta and Ismail Serageldin. Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC : The World Bank.Creswell, John W. 227. Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among Five Approach Second Edition. London : SAGE Publications.

DAndrea, Claudia, Francesca. 2013. Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Indonesia: Tanah Air Beta bekerja sama dengan Yayasan Tanah Merdeka dan Sajogyo Institute.

Darmanto dan Setyowati, Abidah B., 2012 Berebut Hutan Siberut. Jakarta: Gramedia

Field, John. 2008. Social Capital Second Edition. New York : Routledge.

Putnam, Robert D. 2000. Bowling Alone The Collapse and Revival of American Community. New York : Simon and Schuster Paperbacks.

Lawang, Robert M.Z. 2005. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Jakarta : FISIP UI PRESS.

Li, Tania M., 2012. The Will To Improve: Perencanaan,Kekuasaan dan Pembangunan, terjemahan Herry Santoso dan Pujo Semedi. Jogjakarata: Margin Kiri.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta.