REDD Etika Lingkungan

27
UNIVERSITAS INDONESIA REDD dengan Perspektif Etika Lingkungan Makalah Filsafat dan Etika Lingkungan Disusun Oleh: Rieneke Kusmawaningtyas NPM: 1406523793 JENJANG MAGISTER

Transcript of REDD Etika Lingkungan

UNIVERSITAS INDONESIA

REDD dengan Perspektif Etika Lingkungan

Makalah Filsafat dan Etika Lingkungan

Disusun Oleh:Rieneke KusmawaningtyasNPM: 1406523793

JENJANG MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGANPROGRAM PASCASARJANA 2014

1. Latar BelakangPeningkatan suhu bumi atau yang dikenal dengan pemanasan global beberapa tahun ini telah menjadi topik utama dunia terkait kerusakan lingkungan. Salah satu pemicu pemanasan global yaitu emisi gas CO2. Peningkatan emisi gas CO2 disebabkan meningkatnya jumlah penduduk serta kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Kegiatan manusia tersebut diantaranya pemanfaatan bahan bakar fosil sebagai sumber energi dari kegiatan industri dan transportasi serta alih guna lahan. Peningkatan konsentrasi CO2 di bumi akibat aktivitas manusia menimbulkan permasalahan yang dikenal dengan efek Gas Rumah Kaca (GRK) dan berakibat pada perubahan iklim dunia. Perubahan iklim di Indonesia menyebabkan beberapa dampak seperti: peningkatan curah hujan di sejumlah wilayah menyebabkan banjir di daerah dataran rendah sedangkan wilayah lain mengalami kekeringan panjang, bertambah tingginya permukaan laut yang menyebabkan banjir akibat air pasang meningkat di daratan. Perubahan iklim yang diakibatkan peningkatan emisi gas CO2 juga menjadi sorotan penting masyarakat dunia karena dampaknya dirasakan oleh seluruh masyarakat dunia.

Gambar 1.1 GHG Emissions in 2000Berdasarkan Gambar 1.1, dapat dilihat bahwa penghasil tertinggi GRK di dunia berasal dari pembangkit tenaga listrik sebasar 24%, kemudian disusul oleh deforestrasi sebesar 18%, dan pada posisi ketiga dihasilkan dari alat transportasi atau aktivitas pertanian atau industri sebesar 14% (Elyana, 2013). Pada Gambar 1.1 terlihat jelas bahwa deforestrasi yang disebabkan salah satunya akibat penebangan hutan menjadi penyumbang kedua terbesar pemanasan global. Upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan dunia terkait pemanasan global adalah upaya penurunan emisi GRK, yang diawali oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yaitu suatu konvensi yang ditandatangani pada tanggal 19 Mei 1992. Konvensi ini bertujuan mencapai stabilisasi konsentrasi GRK di atmosfir pada tingkat yang akan mencegah gangguan antropogenik dalam sistem iklim. Sebagai peruwujudan lebih lanjut akan komitmen negara peserta terhadap konvensi ini, ditandatanganilah Kyoto Protocol to the United Nation Framework Convention on Climate Change (Kyoto Protocol) pada tanggal 11 Desember 1997 (Putri, 2012).Dalam konteks protokol Kyoto dan perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon) yang mampu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Kenyataannya Protokol Kyoto tidak berhasil mencapai target penurunan emisi dunia karena kurangnya komitmen negara-negara industri (Annex I) untuk menurunkan emisinya. Seiring akan berakhirnya protokol Kyoto pada tahun 2012, diusulkan suatu mekanisme pengganti protokol Kyoto yaitu sebuah mekanisme insentif untuk pencegahan deforestasi yang dikenal dengan Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries (RED) pada Konferensi para Pihak (COP) ke 11 di Montreal pada tahun 2005. Upaya mitigasi, adaptasi serta peran serta Indonesia pada RED yaitu Indonesia menyatakan target nasional pengurangan emisi sebesar 26 persen sampai tahun 2020 dibandingkan tahun 2000. Berdasarkan Tabel 1.1 sektor kehutanan menyumbangkan 2,563 metric ton pada tahun 2007. Sektor kehutanan masih merupakan pengemisi GRK yang umumnya berasal dari deforestasi dan degradasi serta kebakaran hutan. Walaupun sektor kehutanan sampai saat ini masih merupakan sumber emisi, sektor ini sesungguhnya mempunyai potensi besar untuk menyerap karbon (removal) melalui penanaman pohon dan pertumbuhan hutan. Berbagai kegiatan penanaman telah dilakukan di Indonesia jauh sebelum isu peran hutan dalam mitigasi perubahan iklim berkembang. Penanaman melalui pembangunan hutan tanaman dari tahun 1989 hingga tahun 2004 telah mencapai 3,25 juta hektar. Beberapa faktor pemicu deofrestasi dan degradasi yang telah diidentifikasi yaitu pertambahan jumlah penduduk, penebangan liar, kebakaran hutan, dan konvensi lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan penutupan lahan dengan cadangan karbon yang lebih rendah seperti untuk perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah (kabupaten), pertambangan dan pemukiman (Wibowo et al, 2010).

Tabel 1. Perbandingan Sumber Emisi GRK di Beberapa Negara(dalam metric ton CO2)

Sumber: Setneg.go.idMengingat sektor kehutanan Indonesia menyumbangkan nilai yang cukup besar pada emisi GRK, pemerintah Indonesia membuat pelaksanaan proyek pembenahan tata kelola sektor kehutanan dan lahan gambut melalui program Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation/REDD+ untuk mengurangi adanya emisi CO2 di Indonesia.Pemanasan global, jika dipandang melalui kacamata etika lingkungan adalah suatu dampak yang timbul akibat pandangan manusia yang menganggap bahwa alam sebagai bagian yang tidak memiliki nilai serta sebagai objek pemenuhan kebutuhan manusia. Pandangan dan sikap ini yang dinamakan antroposentrisme. Semula hutan sebagai bagian dari alam dianggap tidak memiliki arti. Fungsi hutan sebagai faktor dalam siklus karbon dioksida dunia hanya dianggap sebelah mata. Pandangan bahwa hutan tidak terlalu penting dalam siklus karbon dioksida diiringi pembangunan yang terus berkembang pesat, dan jumlah penduduk dunia yang semakin meningkat mengakibatkan timbulnya kejadian pengrusakan hutan. Kegiatan alih fungsi lahan, penggundulan hutan, pemanfaatan sumber daya hutan dianggap lebih penting dibandingkan fungsi hutan sebenarnya, yaitu penyeimbang kadar oksigen dan karbon dioksida di udara. Budaya pemikiran antroposentrisme dalam hal ini yaitu pandangan terhadap fungsi hutan memunculkan kesadaran penduduk dunia bahwa kelangkaan akan fungsi hutan yang sebenarnya mulai terasa. Peningkatan emisi gas CO2, kekeringan panjang, perubahan iklim, serta contoh masalah lainnya yang telah diungkap sebelumnya memunculkan masalah baru yaitu berkurangnya jumlah luasan hutan yang berperan sebagai paru-paru dunia. Masalah baru ini mirip dengan teori kelangkaan sumber daya alam yang diungkapkan oleh Homer-Dixon dimana kelangkaan sumber daya alam akan menyebabkan instabilitas dari institusi yang ada. Hal lain yang perlu diperhatikan dari sisi etika lingkungan adalah konsep insentif dari REDD+. REDD+ secara umum menurut Suparmoko (2011) didefinisikan sebagai Mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Deforestasi sendiri didefinisikan sebagai penebangan habis hutan primer maupun sekunder, tanpa mempertimbangkan apakah hutan akan tumbuh atau ditanam kembali; sedangkan degradasi hutan adalah penebangan sebagian dari hutan primer dan sekunder. Konsep tersebut dapat diartikan bahwa negara berkembang mempunyai kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian lingkungan dengan tidak mengganggu kelangsungan kehidupan hutan sementara negara maju tetap dapat mengeluarkan emisi akibat kegiatan industrinya karena telah berperan memberi insentif ke negara maju. Beberapa point penting tersebut menjadi alasan dibutuhkannya kajian REDD + dalam perspektif etika lingkungan.2. Pokok PermasalahanPenulisan makalah ini ditekankan pandangan etika lingkungan dalam hal pelaksanaan REDD+ sebagai upaya mitigasi perubahan iklim ke depannya. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh dari jurnal, buku dan internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

3. Tinjauan Pustaka1.1 Teori Pembangunan BerkelanjutanManusia dalam usaha pemenuhan kebutuhannya, mengoptimalkan, memanfaatkan serta memberikan nilai tambah pada seluruh potensi dan sumber daya alam. Kegiatan memanfaatkan sumber daya alam dan tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan, karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Eksploitasi lingkungan yang dilakukan untuk menunjang kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologis. Kondisi seperti inilah yang disebut sebagai Krisis Lingkungan.Kondisi krisis lingkungan melahirkan suatu pemikiran mengenai Pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Keraf (2010) menjelaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan dimaksudkan untuk mengsingkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek ekonomi, aspek sosial-budaya dan aspek lingkungan. konsep pembangunan berkelanjutan adalah reaksi terhadap timpangnya pembangunan yang hanya memikirkan ekonomi tanpa adanya pembangunan di bidang sosial dan lingkungan. Pembangunan adalah proses transformasi dimana kombinasi antara pembangunan ekonomi dan perubahan sosial dan budaya diakomodasi untuk memastikan setiap individu bisa memenuhi potensinya secara maksimal. Aspek berkelanjutan menyadari adanya keterbatasan dari lingkungan tetap menjadi bagian dari pertimbangan dalam pembuatan kebijakan. Pendekatan ini memang lebih antroposentris dimana preservasi lingkungan dilakukan tetap dalam rangka preservasi kehidupan manusia. Terdapat 4 aspek utama dalam pembangunan berkelanjutan ini menurut Bruntland report:1. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat dan semua makhluk hidup (development).2. Pencapaian standar hidup yang merata secara global (development)3. Pencapaian dilakukan dengan pertimbangan lingkungan dan kemungkinan destruksi bidiversitas dalam prosesnya. Sehingga upaya pembangunan harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan (sustainability).4. Pencapaian harus mempertimbangkan kebutuhan generasi masa datang (sustainability).

Gambar 3.1 Konsep Pembangunan BerkelanjutanGuna mencapai keberlanjutan, maka strategi World Commision on Environment and Development (WCED) secara garis besar memuat tiga aspek penting, yakni aspek pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, aspek pembangunan sosial yang berkelanjutan dan aspek pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Permasalahan terkait peningkatan emisi CO2 menjadi problematika yang digarisbawahi oleh Pemerintah. Target pengurangan emisi CO2 menjadi 26% adalah salah satu upaya pemerintah dalam rangka melaksanakan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bidang lingkungan.1.2 REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation)Emisi karbon dari perubahan tata guna lahan-terutama deforestrasi dan degradasi hutan tropis diperkirakan mencapai 15-20% dari seluruh emisi karbon global, lebih besar dari sektor transportasi global. Peran penting hutan dalam mitigasi perubahan iklim dan kebutuhan akan penetapan secepatnya mekanisme REDD+ secara resmi disahkan dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) dalam kesepakatan Kpenhagen, Desember 2009. Gagasan dasarnya adalah agar negara berkembang dan kaya hutan memeperoleh imbalan karena melestarikan hutan mereka. Ini melibatkan penerapan nilai karbon hutan yang akan memungkinkan konservasi hutan bersaing secara finansial dengan pemicu utama deforestrasi, antara lain konversi pertanian, penebangan hutan, dan pembangunan prasarana. Selain untuk penyimpanan karbon, REDD+ juga dapat memberikan manfaat tambahan yang penting, misalnya pelestarian keanekaragaman hayati, pengurangan kemiskinan, dan perbaikan tata kelola hutan (Cronin dan Santoso, 2011).REDD+ di Indonesia dikembangkan dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau untuk memastikan bahwa upaya penanganan perubahan iklim dari sektor penggunaan lahan dilakukan sejalan dengan kebijakan dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan Indonesia. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dari skenario pembangunan Business as Usual (BAU) pada tahun 2020 dengan dana sendiri tanpa mengorbankan pembangunan di sektor lain, atau 41 persen jika mendapatkan bantuan internasional. Pemerintah akan melakukan ini sejalan dengan upaya memacu pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun. Untuk mewujudkan komitmen ini pemerintah telah mengeluarkan Perpres 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Perpres 71/2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. REDD+ mendukung pencapaian target RAN-GRK dalam bidang pengelolaan hutan, lahan gambut dan pertanian.Selain itu Pemerintah Indonesia, melalui Satgas REDD+, telah membuat Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+), dengan tujuan:1. Menyiapkan sistem kelembagaan yang efektif untuk melaksanakan program;2. Memberi dasar dan arahan bagi sistem tata kelola dan peraturan yang terintegrasi untuk menaungi pelaksanaan skema REDD+;3. Membangun proses dan pendekatan yang sistematis dan terkonsolidasi bagi upaya-upaya penyelamatan hutan alam Indonesia beserta isinya; dan4. Memberikan acuan bagi pengembangan investasi dalam bidang pemanfaatan lahan hutan dan lahan bergambut baik untuk komoditi kehutanan dan/atau pertanian serta jasa lingkungan termasuk penyerapan dan pemeliharaan cadangan karbon.

Dokumen Strategi Nasional REDD+ menguraikan Strategi Nasional REDD+ yang terdiri dari lima pilar strategi nasional:1. Kelembagaan dan proses:a. Badan Khusus REDD+b. Instrumen dan Lembaga Pendanaanc. Sistem dan Lembaga MRV (Monitoring Report and Verification)2. Kerangka hukum dan peraturana. Meninjau hak-hak atas lahan dan mempercepat perencanaan tata ruangb. Meningkatkan penegakan hukum dan mencegah korupsic. Menangguhkan ijin baru untuk hutan dan lahan gambut selama 2 tahund. Memperbaiki data tutupan dan perijinan di hutan dan lahan gambute. Menyelaraskan sistem insentif3. Program-program strategisa. Pengelolaan lansekap yang berkelanjutan: perencanaan dan pengelolaan lansekap/ ekoregion/DAS multifungsi, perluasan alternatif lapangan kerja secara berkelanjutan, akselerasi pembentukan organisasi dan operasional KPH, pengendalian & pencegahan kebakaran hutan & lahanb. Sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara lestari : memacu praktek pengelolaan hutan secara lestari, meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan, mewujudkan praktek pertambangan ramah lingkungan, mempromosikan industri hiilir dengan nilai tambah tinggic. Konservasi dan rehabilitasi: memantapkan fungsi kawasan lindung , mengendalikan konversi hutan dan lahan gambut, restorasi hutan dan rehabilitasi gambut4. Perubahan paradigma dan budaya kerjaa. Penguatan tata kelola sektor kehutananb. Pemberdayaan ekonomi lokal dengan prinsip berkelanjutanc. Kampanye nasional untuk aksi Penyelamatan Hutan Indonesia5. Keterlibatan berbagai pihaka. Melakukan interaksi dengan berbagai kelompok (pemerintah regional, sektor swasta, organisasi non pemerintah, masyarakat adat /lokal dan internasional)b. Mengembangkan sistem pengaman (safeguards) sosial dan lingkunganc. Mengusahakan pembagian manfaat (benefit sharing) secara adilDokumen Stranas REDD+ menegaskan perlunya pendekatan bertahap dalam pelaksanaan REDD+. REDD+ tidak hanya ditujukan untuk upaya mitigasi perubahan iklim dan mendapatkan keuntungan dari penurunan emisi karbon, tetapi juga memperbaiki tata kelola hutan secara keseluruhan agar kelestarian jasa lingkungannya termasuk keanekaragaman hayati dan sistem tata air meningkat (www.reddplus.go.id).

Tujuan penerapan REDD+ di Indonesia:1. Jangka Pendek (2011-2013): Memperbaiki tata kelola kehutanan secara keseluruhan agar dapat mendukung pencapaian komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi sebesar 26% 41% pada tahun 2020.2. Tujuan Jangka Menengah (2013-2020)Mempraktikkan mekanisme tata kelola dan pengelolaan hutan secara luas yang telah ditetapkan dan dikembangkan dalam tahap sebelumnya agar target-target penurunan emisi tahun 2020 dapat dicapai.3. Tujuan Jangka Panjang (2020-2030)Mengubah peran hutan Indonesia dari pengemisi menjadi sektor yang berkontribusi terhadap penurunan emisi pada tahun 2030 dan memastikan keberlanjutan fungsi ekonomi dan ekosistem hutan.REDD+ sendiri sebenarnya adalah kasus perdagangan karbon (CO2) sebagai pembayaran jasa lingkungan hutan di mana negara maju yang terikat dengan protokol Kyoto diwajibkan mengurangi emisi karbon di negaranya masing-masing. Tetapi bila negara maju bertindak melakukan pengurangan karbon berarti mereka harus mengurangi kegiatan ekonomi mereka sehingga menekan tingkat penghasilan nasional dan kesejahteraan ekonomi penduduk atau masyarakat di masing-masing negara yang melakukan pengurangan emisi karbon. Pada akhirnya REDD+ sebagai realisasi konsep pembayaran jasa lingkungan, dimana negara berkembang didorong untuk mengurangi emisi karbon sedangkan negara maju tidak perlu mengurangi kegiatan industri, perdagangan dan transportasinya demi mempertahankan tingkat kehidupannya sekarang dan tingkat pertumbuhan ekonomi mereka tetapi bersedia melakukan pembayaran dana ke negara-negara yang bersedia melakukan rehabilitasi hutan dan menghentikan penebangan hutannya. Dengan demikian berarti volume emisi karbon di dunia akan berkurang melalui pengurangan emisi karbon di negara berkembang dan negara maju tidak perlu menekan emisi karbon mereka sekaligus masih menikmati kehidupan ekonomi yang maju dan sejahtera (Suparmoko dan Ratnaningsih, 2011).

4. PembahasanPembangunan dan pertambahan jumlah penduduk berdampak pada peningkatan jumlah kebutuhan akan sumber daya alam. Selain itu jumlah penduduk yang terus bertambah mengakibatkan dibutuhkannya perluasan lahan sebagai tempat pemukiman penduduk. Salah satu yang sumber daya yang mengalami penurunan jumlah akibat eksploitasi manusia secara berlebihan adalah hutan. Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah sebagai sumber berbagai jenis barang, seperti kayu, getah, kulit kayu, daun, akar, buah, bunga dan lain-lain yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh manusia atau menjadi bahan baku berbagai industri. Manfaat hutan yang tidak langsung meliputi: gudang keanekaragaman hayati, pengatur iklim dunia, penyerap CO2, penghasil oksigen, sumber bahan obat-obatan, ekoturisme, dan lain-lain. Fungsi hutan bermanfaat sebagai penyerap karbon dioksida (CO2) serta penghasil oksigen (O2) akan memberikan dampak besar pada dunia ketika hutan ditebang secara besar-besaran. Biomassa yang tersimpan di dalam pohon akan terurai dan melepaskan gas karbon dioksida (CO2) sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan sehingga emisi GRK harus dikendalikan. Di Indonesia luas tutupan hutan terus berkurang. Deforestasi marak terjadi demi memenuhi kebutuhan akan lahan pemukiman atau lahan untuk bercocok tanam. Tercatat bahwa jika tutupan hutan pada tahun 2000 dibandingkan dengan tutupan hutan pada tahun 2009, hutan yang sudah mengalami deforestasi di Jawa sekitar 60,64 persen, Bali-Nusa Tenggara 45,92 persen, Maluku 25,09 persen, Sumatera 23,92 persen, Kalimantan 16,76 persen, Sulawesi 15,58 persen dan Papua 1,81 persen (gambar 4.1) (Sumargo et al, 2011).

Gambar 4.1 Deforestasi di Indonesia Periode Tahun 2000-2009

Untuk itu diperlukan upaya untuk mengelola dampak perubahan iklim dan melindungi sumber penghasilan dan mata pencaharian mereka (strategi adaptasi) serta mengatasi sumber atau penyebab (mitigasi) perubahan iklim. Salah satu inisiatif global yang berkembang saat ini adalah mekanisme Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Pengrusakan Hutan/Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang selanjutnya berkembang menjadi REDD+. Secara sederhana, REDD merupakan inisiatif global yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon yang berasal dari deforestasi dan kerusakan hutan dengan memberikan kompensasi secara finansial kepada negara-negara yang mampu melakukan upaya tersebut.Jika dipandang melalui pandangan etika lingkungan, eningkatan GRK adalah dampak akibat perilaku antroposentris penduduk dunia. Menurut Keraf (2010), antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi manusia adalah manusia dan kepentingannya. Antroposentrisme menganggap bahwa alam hanya sebagai objek dan alat pencapaian kebutuhan manusia. Demi tercapainya keinginan manusia, hutan yang dianggap sebagai objek dengan mudahnya dirusak dan dialihkan fungsinya. Degradasi hutan yang kian meningkat di Indonesia memberikan gambaran bahwa hutan masih dianggap tak memiliki nilai pada dirinya sendiri.Peningkatan GRK akibat kegiatan industri dan berkurangnya jumlah luasan hutan sebagai penyumbang oksigen dunia disadari penduduk dunia sebagai suatu kelangkaan. Pada akhirnya sifat egois manusia menyadarkan bahwa sumber daya alam dalam hal ini berupa hutan akan berujung pada kelangkaan. Contoh kelangkaan akibat deforestasi hutan Indonesia seperti yang diungkapkan pada laporan Forest Watch Indonesia (2011), Berdasarkan laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009, dengan mengabaikan pengelompokan berdasarkan fungsi kawasan, diperkirakan pada tahun 2020 hutan di Jawa akan habis, Bali-Nusa Tenggara tersisa 0,08 juta ha, Maluku 2,37 juta ha, Sulawesi 7,20 juta ha, Sumatera 7,72 juta ha, Kalimantan 21,29 juta ha, dan Papua 33,45 juta ha. Apabila diproyeksikan sampai dengan tahun 2030, dengan mengabaikan pengelompokan berdasarkan fungsi kawasan, diperkirakan hutan di Jawa dan Bali-Nusa Tenggara akan habis, Maluku tinggal 1,12 juta ha, Sumatera 4,01 juta ha, Sulawesi 5,54 juta ha, Kalimantan 15,79 juta ha dan Papua 32,82 juta ha (Sumargo et al, 2011).Kelangkaan akan sumber daya alam seperti yang diungkapkan oleh Homer-Dixon bahwa kelangkaan sumber daya alam akan berakibat pada ketidakstabilannya kondisi institusi baik di dunia maupun di dalam negeri yang disertai dengan timbulnya konflik apabila sumber daya yang ada terus-menerus dieksploitasi tanpa dilakukan strategi penghematan sumber daya. Contoh konflik yang mulai terjadi belakangan adalah keluhan warga malaysia akibat asap tebal yang muncul karena kejadian kebakaran hutan di Sumatra. Asap tebal yang menganggu kesehatan pernafasan manusia ini apabila terus berlanjut memungkinkan terjadinya konflik antara Indonesia dan Malaysia.Kesadaran akan kelangkaan yang terjadi kemudian membuat institusi dunia melakukan tindakan adaptasi dan mitigasi. REDD+ sebagai upaya pengurangan GRK adalah suatu mekanisme pengganti protokol Kyoto yaitu sebuah mekanisme insentif untuk pencegahan deforestasi. Indonesia dalam hal internalisasi eksternalitas negatif yang dihasilkan dari implementasi protokol Kyoto pada sektor kehutanan, berupaya menegosiasikan REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation). REDD+ sejauh ini masih bersifat antroposentris karena penanggulangan kerusakan alam, dalam hal ini adalah hutan, semata-mata hanya sebagai perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia dan bukan perwujudan kewajiban dan moral terhadap alam itu sendiri. Upaya ini juga disebut sebagai contoh etika teologis. Keraf (2010) mengatakan suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitan dengan lingkungan hidup akan dinilai baik kalau mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan manusia .Pada penjelasannya sebelumnya, dijelaskan bahwa REDD+ adalah mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi deforestrasi dan degradasi hutan. REDD+ juga dapat dinilai sebagai penyelesaian konflik secara game theory karena terkait pembayaran insentif dari negara maju kepada negara berkembang. Suparmoko (2011) mengatakan bahwa REDD+ sebenarnya adalah kasus perdagangan karbon (CO2) sebagai pembayaran jasa lingkungan hutan dimana negara maju yang terikat dengan Protokol Kyoto diwajibkan mengurangi emisi karbon di negaranya masing-masing. Hal ini terkait dengan sumber emisi karbon yang utama di negara maju adalah pembakaran bahan bakal fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Pada intinya, kasus REDD+ adalah kasus pembayaran jasa lingkungan hutan yang dihasilkan oleh negara-negara yang mempertahankan luas hutannya. Negara maju menikmati jasa lingkungan dengan tidak harus mengurangi emisi CO2 akibat kegiatan perekonomiannya, tetapi mereka layak memberikan insentif kepada negara berkembang agar mereka bersedia mengurangi emisi karbon melalu reforestrasi dan moratorium hutan. Penyelesaian konflik secara game theory ini kemungkinan tidak berlangsung dalam waktu yang lama karena menyangkut kepentingan dua kelompok yang berbeda di masa depan. Terlepas dari sifat antroposentris dan penyelesaian konflik pada masalah GRK, permasalahan GRK membutuhkan pemahaman akan teori Deep Ecology (DE). DE menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia. DE lebih tepat disebut sebagai sebuah gerakan selaras dengan alam dimana orang-orang sama-sama memperjuangkan isu lingkungan hidup dengan cara merubah cara pandang, nilai, perilaku dan gaya hidup. Pada akhirnya, masalah kelangkaan dan krisis lingkungan yang terjadi saat ini tentunya akibat sifat egoistis yang dimiliki manusia yang menganggap bahwa alam sebagai pemuas nafsu manusia. Terkait kelangkaan sumber daya alam yang mulai terjadi maka pandangan antroposentris seperti itu seharusnya mulai berubah menjadi pemahaman Deep Ecology atau Arne Naess menyebutnya sebagai Ecosophy yaitu sebuah tindakan menjaga secara arif lingkungan. Negara maju dan negara berkembang seharusnya mulai mengaplikasikan konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyematkan sikap Deep Ecology.

5. KesimpulanREDD sebagai upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dunia merupakan konsep yang luar biasa baik dalam perencanaannya. Jika dikaji melalui teori etika lingkungan, REDD dapat dinilai sebagai contoh tindakan antroposentis yaitu hanya sebagai perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia dan bukan perwujudan kewajiban dan moral terhadap alam itu sendiri.

Daftar PustakaAfif, Suraya. 2011. Kajian Sosial dan kelembagaan Terkait dengan Pengelolaan Hutan dalam Skema REDD di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat.Laporan Penelitian. Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, FISIP UI, Depok.Aryani, Riza. 2012. Analisa Kegagalan Implementasi REDD+ dalam Proyek Rimba Raya di Kalimantan Tengah (2008-2010). Skripsi. Universitas Indonesia. Depok.Cronin, T., Santoso, L. 2011. Politik REDD+ di Media Studi Kasus dari Indonesia. CIFOR. Bogor.Elyana, Dewi. 2013. Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi Proyek Percontohan REDD+ Studi Kasus: Kalimantan Forests and Climate Partnership di Desa Petak Puti, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Tesis. Universitas Indonesia. Depok.Keraf, Sonny A. 2010. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.Putri, Fallissa A. 2012. Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Penerapan Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation (REDD) Dalam Bentuk Moratorium Hutan Di Indonesia. Skripsi, Universitas Indonesia. Depok.Setiawan, M. 2014. REDD sebagai Post Agreement Negotiation Pasca Protokol Kyoto. Ejurnal Ilmu Hubungan Internasional. Edisi 2. Vol. 2.Sumargo, W., Nanggara S. G., Nainggolan, F. A., Aprieni, I. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Laporan Penelitian. Forest Watch Indonesia. Bogor.Suparmoko, M., Ratnaningsih, M. 2011. Ekonomika Lingkungan. BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta.Wibowo, A., Ginoga, K., Lugina, M., Handoyo. 2010. Kajian Kontribusi Kehutanan Dalam Penurunan 26% Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia. Laporan Akhir. Kementerian Kehutanan, Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor