proposal problem solving
-
Upload
laily-munawarah -
Category
Documents
-
view
127 -
download
3
Embed Size (px)
description
Transcript of proposal problem solving

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH DAN
HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM
SOLVING PADA KONSEP KEANEKARAGAMAN HAYATI
KELAS X SMAN 4 BANJARMASIN
Usulan
Untuk Memenuhi Persyaratan Melakukan
Penelitian Dalam Rangka Penyusunan Skripsi
Oleh
Laili Munawarah
NIM A1C211015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
JUNI
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) sangat memerlukan peran aktif
guru dalam memberikan pengetahuan bagi para muridnya, sehingga
menghasilkan peserta didik yang berhasil guna dan siap untuk melanjutkan
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Di samping itu, materi/ bahan ajar yang
diberikan harus memperhatikan keadaan masyarakat setempat. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
“Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan
bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945”.
Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang tadinya berpusat
pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa
(learner centered) diharapkan dapat mendorong siswa untuk terlibat secara aktif
dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Dalam proses pembelajaran
yang berpusat pada siswa , siswa memperoleh kesempatan dan fasilitas untuk
membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka akan memperoleh
pemahaman yang mendalam (deep learning) dan pada akhirnya dapat
meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
Pembelajaran yang inovatif dengan pendekatan berpusat pada siswa
(student centered learning) memiliki keragaman metode pembelajaran yang
menuntut partisipasi aktif dari siswa. Metode- metode tersebut antara lain
adalah: a) berbagi informasi ; (b) belajar dari pengalaman (experience Based);
(c) pembelajaran melalui pemecahan masalah (problem solving based). Problem
Solving dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang
menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.
Terdapat 3 ciri utama dari problem solving:

1. Problem solving merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam
implementasi Problem Solving ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan
siswa. Problem Solving tidak mengharapkan siswa hanya sekedar
mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi
melalui problem solving siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan
mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.
2. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. problem
solving menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran.
Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran.
3. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir
secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses
berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara secara
sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui
tahapan-tahapan tertentu; sedangkan empiris artinya proses penyelesaian
masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
Dalam implemantasinya di lapangan sampai saat ini proses pembelajaran
yang berpusat pada siswa masih mengalami banyak kendala. Salah satu
kendalanya adalah rendahnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
yang ditandai dengan (1) rendahnya kemampuan siswa dalam menganalisis
masalah, (2) rendahnya kemampuan siswa dalam merancang rencana
penyelesaian masalah, dan (3) rendahnya kemampuan siswa dalam
melaksanakan perhitungan terutama yang berkaitan dengan materi apersepsi
yang mendukung proses pemecahan masalah. Mengacu pada berbagai teori
diatas maka metode problem solving sangat tepat untuk diterapkan sebagai
solusi untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah
biologi.
Keanekaragaman hayati adalah salah satu materi pelajaran dalam
pembelajaran biologi. Keanekaragaman hayati terdiri dari kata keanekaragaman
dalam bahasa Inggris “diversity” yang berarti beraneka macam dan hayati dalam
bahasa Inggris dapat diartikan sebagai “bio” yaitu makhluk hidup. Jadi secara
luas keanekaragaman hayati berarti beraneka macamnya makhluk hidup yang

ada di bumi ini. Keanekaragaman hayati dapat terjadi pada berbagai tingkat
kehidupan mulai dari organisme tingkat rendah sampai organisme tingkat tinggi.
Misalnya dari makhluk hidup bersel satu hingga makhluk hidup yang bersel
banyak; dan tingkat organisasi kehidupan individu sampai tingkat interaksi
kompleks misalnya dari spesies sampai ekosistem. Banyaknya keanekaragaman
makhluk hidup ini menyebabkan diperlukannya pengenalan lebih dini kepada
siswa untuk menyadarinya melalui pembelajaran di sekolah.
Selain itu, pentingnya pembelajaran keanekaragaman hayati di sekolah
yaitu semakin besar keanekaragaman hayati tersebut, maka makin banyak
sumber daya genetik dan makin besar pula peluang pemanfaatannya. Hal ini
berdasarkan hasil yang didapatkan pada Convention on Biological Diversity
(CBD) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, yang menyatakan tujuannya
untuk melestarikan keanekaragaman hayati, memanfaatkan sumber daya genetik
secara berkelanjutan dan memastikan pembagian keuntungan secara adil dan
merata dari pemanfaatan tersebut.
Banyak cara yang dilakukan oleh guru untuk memberikan pemahaman
kepada siswa tentang materi ini. Namun, siswa masih diajarkan dengan monoton
atau membosankan. Selama ini guru sudah menggunakan berbagai media
seperti gambar dan video untuk mempermudah pemahaman tentang materi
keanekaragaman hayati. Namun usaha ini dirasa masih kurang untuk
memberikan pemahaman.
Berdasarkan pertimbangan ini maka judul penelitian ini adalah
“Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah dan hasil belajar siswa
melalui model pembelajaran Problem Solving pada konsep keanekaragaman
hayati kelas X SMAN 4 Banjarmasin”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut :

“Apakah model pembelajaran Problem Solving pada konsep
keanekaragaman hayati dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
dan hasil belajar siswa kelas X SMAN 4 Banjarmasin?”
1. Bagaimana penggunaan model pembelajaran Problem Solving dalam
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah siswa kelas X pada konsep
keanekaragaman hayati di SMAN 4 Banjarmasin?
2. Bagaimana penggunaan model pembelajaran Problem Solving dalam
meningkatkan hasil belajar siswa kelas X pada konsep keanekaragaman
hayati di SMAN 4 Banjarmasin?
3. Bagaimana penggunaan model pembelajaran Problem Solving terhadap
respon siswa kelas X dalam proses pembelajaran pada konsep
kenekaragaman hayati di SMAN 4 Banjarmasin?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penggunaan model pembelajaran Problem Solving dalam
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah siswa kelas X pada konsep
keanekaragaman hayati di SMAN 4 Banjarmasin.
2. Untuk mengetahui penggunaan model pembelajaran Problem Solving dalam
meningkatkan hasil belajar siswa kelas X pada konsep keanekaragaman
hayati di SMAN 4 Banjarmasin.
3. Untuk mengetahui penggunaan model pembelajaran Problem Solving
terhadap respon siswa kelas X dalam proses pembelajaran pada konsep
kenekaragaman hayati di SMAN 4 Banjarmasin.
1.4 Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti yang bersangkutan dapat memperoleh pengalaman yang
berharga untuk menerapkan ilmu pengetahuan tentang model pembelajaran
pemecahan masalah (Problem Solving).

2. Bagi guru, dapat memberikan wawasan pengetahuan dalam menggunakan
metode pembelajaran untuk pelaksanaan proses belajar mengajar terutama
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran pemecahan
masalah (Problem Solving).
3. Bagi siswa, dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, hasil
belajar dan hasil selama proses pembelajaran khususnya pada konsep
keanekaragaman hayati.
4. Bagi sekolah, dapat memperoleh kesempatan mengembangkan ragam
penelitian dan dapat memberikan kontribusi terhadap perbaikan dan mutu
proses pembelajaran, khususnya pada konsep keanekaragaman hayati.
5. Sebagai bahan informasi bagi mahasiswa Biologi terutama pengikut Mata
Kuliah PPL I dan II, Strategi Belajar Mengajar dan bagi penelitian
selanjutnya.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Model Pembelajaran Problem Solving
Newell dan Simon (1972) menulis bahwa, "seseorang dihadapkan
dengan masalah ketika ia menginginkan sesuatu dan tidak tahu dengan
serangkaian tindakan apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkannya ".
Demikian pula, Martinez (1998) menyatakan bahwa, "problem
solving adalah proses bergerak menuju tujuan bila jalan menuju tujuan tidak
pasti". Pόlya (1980) mendefinisikan problem solving sebagai "pencarian
beberapa tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan yang jelas dipahami, tetapi
tidak segera dicapai. Dimana tidak ada kesulitan, maka tidak ada
masalah". Menurut Michaelis (1962) yaitu aktivitas/ proses yang dilakukan oleh
individu untuk mencari solusi akan suatu masalah. Adapun menurut
Fisher (2009) problem solving adalah suatu proses dimana anak dapat belajar
untuk menggunakan pengetahuan mereka, berdasarkan konsep proses
keterampilan yang ada pada diri anak. Keterampilan yang harus dimiliki adalah
kritis, kreatif proses strategis seperti mengamati, perancangan, pengambilan
keputusan, kerjasama kelompok, pengungkapan pendapat, menerapkan proses,
mengevaluasi solusi, dan seterusnya.
Menurut Polya (dalam Hudojo, 2003:150), terdapat dua macam masalah:
(1) Masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret,
termasuk teka-teki. Kita harus mencari variabel masalah tersebut, kemudian
mencoba untuk mendapatkan, menghasilkan atau mengkonstruksi semua jenis
objek yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
(2) Masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa suatu
pertanyaan itu benar atau salah atau tidak kedua-duanya.Kita harus menjawab
pertanyaan : ”Apakah pernyataan itu benar atau salah?”. Bagian utama dari
masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang harus

dibuktikan kebenarannya. Penyelesaian masalah merupakan proses dari
menerima tantangan dan usaha-usaha untuk menyelesaikannya sampai
memperoleh penyelesaian. Sedangkan pengajaran penyelesaian masalah
merupakan tindakan guru dalam mendorong siswa agar menerima tantangan dari
pertanyaan bersifat menantang, dan mengarahkan siswa agar dapat
menyelesaikan pertanyaan tersebut.
Metode pemecahan (Problem Solving) masalah menurut Sudirman, dkk.
(1991 : 146) adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah
sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha
mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa.
Metode pemecahan masalah (Problem Solving) ini sering dinamakan
atau disebut juga dengan eksperimen method, reflective thinking method, atau
scientific method (Sudirman, dkk., 1991 : 146).
Dari beberapa pernyataan tersebut dapat dikatakan Problem solving
sebagai rangkaian tindakan yang tepat yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Untuk memperoleh kemampuan dalam pemecahan masalah, seseorang harus
memiliki banyak pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah. Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang banyak diberi latihan problem
solving memiliki nilai lebih tinggi dalam tes dibandingkan anak yang lebih
sedikit latihannya.
Problem solving adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan
menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dalam
usaha mencari pemecahan masalah atau jawabannya oleh siswa. Jadi problem
solving ini memberikan tekanan pada terselesaikannya suatu masalah
secara menalar. Problem solving (pemecahan masalah) dapat berlangsung
bila seseorang dihadapkan pada suatu persoalan yang didalamnya terdapat
sejumlah kemungkinan jawaban. Upaya menemukan kemungkinan jawaban itu
merupakan suatu proses pemecahan masalah.
Prosesnya dapat berlangsung melalui suatu diskusi atau suatu penemuan
melalui pengumpulan data, diperoleh baik dari percobaan (eksperimen) atau data
dari lapangan. Oleh sebab bentuk belajar ini menekankan pada kegiatan belajar

optimal dan penyajian bahan dalam bentuk masalah yang menuntut proses
penemuan pemecahan masalah.
Melalui problem solving diharapkan siswa dapat membangun
pemahamannya sendiri tentang realita alam dan ilmu pengetahuan dengan cara
merekonstruksi sendiri ’makna’ melalui pemahaman relevan pribadinya
(pandangan konstruktivisme). Siswa difasilitasi untuk menerapkan pengetahuan
yang telah ada melalui problem solving, pengambilan keputusan, dan mendesain
penemuan. Para siswa dituntut untuk berpikir dan bertindak kreatif dan kritis.
Mereka dilibatkan dalam melakukan eksplorasi situasi baru, dalam
mempertimbangkan dan merespon permasalahan secara kritis, dan dalam
menyelesaikan permasalahannya secara realistis.
Penilaian yang dilakukan dengan problem solving, Pizzini (1996) yakin
bahwa para siswa akan mampu menjadi pemikir yang handal dan mandiri.
Mereka dirangsang untuk mampu menjadi seorang eksplorer–mencari penemuan
terbaru; inventor–mengembangkan ide/gagasan dan pengujian baru yang
inovatif; desainer–mengkreasi rencana dan model terbaru; pengambil
keputusan–berlatih bagaimana menetapkan pilihan yang bijaksana; dan sebagai
komunikator–mengembangkan metode dan teknik untuk bertukar pendapat dan
berinteraksi.
Relevan dengan pendapat Gardner (1987), individu bisa dikatakan
memahami konsep, teori, keterampilan, atau domain ilmu pengetahuan tertentu,
bila dia memiliki pemahaman segala sesuatu dari segala sisi dan bisa
menyatakannya dalam berbagai sistem simbol, serta menerapkannya dengan
benar dalam berbagai konteks yang berbeda.
2.1.2 Karakteristik Model Pembelajaran Problem Solving
Teori Problem solving yang berdasarkan pada teori konstruktivistik
menekankan pada pemahaman juga menghilangkan kesalahpahaman, serta
memecahkan persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki siswa. Proses
strategis yang dilakukan dimulai dari cara proses pemikiran deduktif
dan pemikiran induktif digabungkan. Dengan demikian siswa mengetahui

prinsip-prinsip yang mendasar dari suatu fakta atau data lapangan yang dijumpai
diolah melalui proses-proses induktif.
Problem solving tidak dirancang untuk membantu guru memberikan
informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Problem solving (pemecahan
masalah) bertujuan: 1) membantu mengembangkan keterampilan berpikir siswa
dalam proses keterampilan pemecahan masalah; 2) belajar peranan orang
dewasa yang autentik; 3) menjadi pembelajar yang mandiri. Menurut Killen
(Benyamin, 2003 : 40) penggunaan problem solving diarahkan ke dalam tiga
kategori, yakni mengajarkan siswa untuk memecahkan masalah, mengajarkan
siswa dengan menggunakan pemecahan masalah, serta sistem pembelajaran
yang berbasiskan masalah..
Cara pertama penekanannya pada pemecahan masalah itu sendiri,
sedangkan kategori kedua penekanannya ada pada subjek didik melalui
pemecahan masalah suatu pembelajaran. Kategori ketiga, yaitu pemecahan
masalah itu hanya digunakan sebagai salah satu alat analisis dalam
memahami materi pembelajaran.
Mengenai model atau pendekatan pemecahan masalah (problem solving
approach), maka berikut ini karakteristik khusus pendekatan pemecahan
masalah (dalam Taplin, 2007).
1. Adanya interaksi antar siswa dan interaksi guru dan siswa.
2. Adanya dialog matematis dan konsensus antar siswa.
3. Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa
mengklarifikasi, menginterpretasi, dan mencoba mengkonstruksi
penyelesaiannya.
4. Guru menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi.
5. Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan
berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah.
6. Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur
membiarkan siswa menggunakan caranya sendiri.

7. Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan problem solving dapat
menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi aturan dan konsep, sebuah
proses sentral dalam biologi.
Tujuan akhir dari proses pembelajaran Problem solving adalah:
(1) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian
menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.
(2) Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik bagi
siswa.
(3) Potensi intelektual siswa meningkat.
(4) Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses
melakukan penemuan.
2.1.3 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Problem Solving
Adapun ringkasan dari buku How To Solve It karya George Polya (1945),
disebutkan ada beberapa tahapan untuk menyelesaikan masalah, yaitu:
a. Memahami masalah
Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak
mampu menyelesaikan ujung masalah tersebut dengan benar.
b. Menyusun rencana
Setelah siswa dapat memahami masalahnya dengan benar, mereka
selanjutnya harus mampu menyusun rencana penyelesaian masalah.
Kemampuan melakukan fase kedua ini sangat tergantung pada pengalaman
menyelesaikan masalah siswa. Pada umumnya, semakin bervariasi
pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun
rencana penyelesaian suatu masalah.
c. Melaksanakan rencana
Menjalankan rencana guna menemukan solusi, memeriksa setiap langkah
dengan seksama untuk membuktikan bahwa cara itu benar. Jika rencana
penyelesaian suatu masalah telah dibuat, baik secara tertulis atau tidak,
selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang
dianggap paling tepat.

d. Melakukan pengecekan
Langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah adalah melakukan
pengecekan atas apa yang telah dilakukan mulai dari fase pertama sampai
fase penyelesaian ketiga. Dengan cara seperti ini maka berbagai kesalahan
dapat terkoreksi kembali sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang
benar sesuai dengan masalah yang diberikan.
Keempat tahapan ini lebih dikenal dengan See (memahami masalah),
Plan (menyusun rencana), Do (melaksanakan rencana) dan Check (menguji
jawaban)
Banyak ahli lain yang menjelaskan bentuk penerapan Problem solving.
John Dewey seorang ahli pendidikan berkebangsaan Amerika menjelaskan ada 6
langkah metode pemecahan masalah (problem solving), yaitu:
1. Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan masalah yang akan
dipecahkan.
2. Menganalisis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara kritis
dari berbagai sudut pandang.
3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa merumuskan berbagai
kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
4. Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari dan menggambarkan
informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.
5. Pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau merumuskan
kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang
diajukan.
6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa
menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil
pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
David Johnson & Johnson (1984) mengemukakan ada 5 langkah metode
pemecahan masalah (problem solving) melalui kegiatan kelompok.
1. Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu
yang mengandung isu konflik, hingga siswa menjadi jelas masalah apa yang

akan dikaji. Dalam kegiatan ini guru bisa meminta pendapat dan penjelasan
siswa tentang isu-isu hangat yang menarik untuk dipecahkan.
2. Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah,
serta menganalisis berbagai faktor baik faktor yang bisa menghambat
maupun faktor yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah.
Kegiatan ini bisa dilakukan dalam diskusi kelompok kecil, hingga pada
akhirnya siswa dapat mengurutkan tindakan-tindakan prioritas yang dapat
dilakukan sesuai dengan jenis penghambat yang diperkirakan.
3. Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah
dirumuskan melalui diskusi kelas. Pada tahapan ini setiap siswa didorong
untuk berpikir mengemukakan pendapat dan argumentasi tentang
kemungkinan setiap tindakan yang dapat dilakukan.
4. Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu pengambilan keputusan
tentang strategi mana yang dapat dilakukan.
5. Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Evaluasi
proses adalah evaluasi terhadap seluruh kegiatan pelaksanaan kegiatan;
sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi terhdap akibat dari penerapan
strategi yang diterapkan.
Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, diketahui memiliki pengertian
yang sama yakni langkah-langkah problem soving digunakan untuk
mengembangkan kemampuan siswa dalam mengidentifikasi, mengembangkan
kemampuan berpikir alternatif, dan kemampuan mengambil keputusan
berdasarkan alternatif yang tersedia.
Adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan oleh guru di dalam
memberikan pembelajaran problem solving yaitu sebagai berikut:
(1) Menyajikan masalah dalam bentuk umum
(2) Menyajikan kembali masalah dalam bentuk operasional
(3) Menentukan strategi penyelesaian
(4) Menyelesaikan masalah.

Sedangkan menurut Hudojo dan Sutawijaya (dalam Hudojo, 2003:162),
menjelaskan bahwa langkah-langkah yang diikuti dalam penyelesaian problem
solving yaitu sebagai berikut:
(1) Pemahaman terhadap masalah.
(2) Perencanaan penyelesaian masalah.
(3) Melaksanakan perencanaan.
(4) Melihat kembali penyelesaian.
Dalam garis besarnya langkah-langkah metode pemecahan masalah
(problem solving) dapat disajikan sebagai berikut:
a. Adanya masalah yang dipandang penting;
b. Merumuskan masalah;
c. Analisa hipotesa;
d. Mengumpulkan data;
e. Analisa data;
f. Mengambil kesimpulan
g. Aplikasi (penerapan) dari kesimpulan yang diperoleh; dan
h. Menilai kembali seluruh proses pemecahan masalah
(Depdikbud, 1997: 23).
Dengan cara tersebut diharapkan anak-anak didik untuk berpikir dan
bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah. Metode ini lebih tepat digunakan
di kelas tinggi, misalnya siswa menengah pertama dan siswa menengah atas.
2.1.4 Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Problem Solving
Kelebihan pembelajaran problem solving antara lain sebagai berikut.
(1) Mendidik siswa untuk berpikir secara sistematis.
(2) Mampu mencari berbagai jalan keluar dari suatu kesulitan yang dihadapi.
(3) Belajar menganalisis suatu masalah dari berbagai aspek.
(4) Mendidik siswa percaya diri sendiri.
Selain itu menurut (Mulyana, 2012) kelebihan menggunakan Problem
Solving yaitu:

1. Dengan Problem Solving akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta
didik/mahapeserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah maka
mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha
mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna
dan dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana
konsep diterapkan.
2. Dalam situasi Problem Solving, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan
dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks
yang relevan.
3. Problem Solving dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis,
menumbuhkan inisiatif peserta didik didik dalam bekerja, motivasi internal
untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam
bekerja kelompok.
Sedangkan kelemahan pembelajaran problem solving antara lain sebagai
berikut:
1. Memerlukan waktu yang cukup banyak dalam segi persiapan.
2. Kalau di dalam kelompok itu kemampuan anggotanya heterogen, maka
siswa yang pandai akan mendominasi dalam diskusi sedang siswa yang
kurang pandai menjadi pasif sebagai pendengar saja.
3. Kurangnya kesiapan guru pada masalah yang diangkat dengan cara problem
solving, hal ini tidak efektif,
4. Saat siswa tidak memiliki minat atau merasa masalah yang dipelajari sulit
untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba
memecahkannya.
2.1.5 Proses Pembelajaran dan Hasil Belajar
Menurut Gredler (1991) belajar adalah proses orang memperoleh
berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap. Kemampuan orang untuk belajar
ialah ciri penting yang membedakan jenisnya dari jenis-jenis makhluk yang lain.
Rusyan (1989) berpendapat bahwa belajar dalam arti yang luas ialah
proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan,

penggunaan, dan penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-nilai,
pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi
atau, lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang
terorganisasi.
Pada proses interaksi belajar-mengajar selalu ditandai dengan adanya
sejumlah unsur. Unsur tersebut adalah tujuan yang ingin dicapai, adanya guru
dengan peserta didik sebagai individu yang terlibat dalam proses interaksi
tersebut, adanya bahan pelajaran, dan adanya metode sebagai alat untuk
menciptakan situasi belajar-mengajar (Rusyan, 1989).
Terhadap masalah belajar, Gagne memberikan dua definisi, yaitu belajar
adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan,
keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku. Selain itu Gagne berpendapat bahwa
belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari
instruksi. (Slameto, 2003). Menurut Djamarah (2006) sebagai suatu sistem
kegiatan belajar-mengajar mengandung sejumlah komponen yang meliputi
tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, alat dan sumber
serta evaluasi.
Setelah berakhirnya suatu proses belajar, maka siswa memperoleh suatu
hasil belajar. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar
dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses
evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya
proses belajar (Dimyati & Mudjiono, 2006).
Salah satu syarat efisiensi dan keefektifan mengajar dalam proses
interaksi belajar yang baik adalah segala daya upaya guru untuk membantu para
siswa agar bisa belajar dengan baik. Untuk mengetahui kefektifan mengajar
adalah dengan memberikan tes, sebab hasil tes dapat dipakai untuk
mengevaluasi berbagai aspek proses pengajaran (Trianto, 2009).
Terdapat tiga istilah yang sering digunakan untuk mengetahui
keberhasilan belajar siswa, yakni evaluasi, penilaian dan pengukuran. Evaluasi
dapat dinyatakan sebagai proses untuk menentukan nilai belajar dan
pembelajaran yang dilaksanakan, dengan melalui kegiatan penilaian dan atau

pengukuran belajar dan pembelajaran. Penilaian adalah proses pembuatan
keputusan nilai keberhasilan belajar dan pembelajaran secara kualitatif.
Sedangkan pengukuran adalah proses membandingkan tingkat keberhasilan
belajar dan pembelajaran dengan ukuran keberhasilan belajar dan pembelajaran
yang telah ditentukan secara kuantitatif. (Dimyati & Mudjiono, 2006).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan evaluasi sifatnya lebih luas dari
pengukuran dan penilaian. Pengukuran hanya terbatas pada deskripsi kuantitatif,
penilaian menunjuk pada aspek kualitatif, sedangkan evaluasi menunjuk kepada
kedua aspek. Evaluasi tidak hanya menyangkut gambaran tingkah laku secara
kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif.
2.2 Hipotesis Tindakan
“Kemampuan memecahkan masalah dan hasil belajar siswa kelas X
SMAN 4 Banjarmasin dapat ditingkatkan melalui penerapan model
pembelajaran Problem Solving pada konsep keanekaragaman hayati”.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) karena digunakan untuk mengatasi adanya masalah di
kelas X SMAN 4 Banjarmasin berkaitan dengan rendahnya kemampuan
memecahkan masalah dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran biologi,
terutama pada konsep keanekaragaman hayati. Alur Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) ini menggunakan model George Polya.
Penelitian tindakan kelas, yaitu suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif
oleh pelaku tindakan, yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional
dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam
pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukannya itu, serta
memperbaiki kondisi di mana praktik-praktik pembelajaran tersebut dilakukan.
Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan
belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam
sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan
arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa (Arikunto dkk., 2006).
Tahapan-tahapan dari Penelitian Tindakan Kelas terdiri dari:
a. Plan (Perencanaan), yaitu menyusun rancangan tindakan yang menjelaskan
tentang apa, mengapa, kapan, dimana, oleh siapa, dan bagaimana tindakan
tersebut akan dilakukan.
b. Action (Tindakan), yaitu rancangan strategi dan skenario penerapan
pembelajaran akan diterapkan. Rancangan tindakan tersebut tentu saja
sebelumnya telah “dilatihkan” kepada si pelaksana tindakan (guru) untuk
dapat diterapkan di dalam kelas sesuai dengan skenarionya.
c. Observation (Pengamatan), yaitu melakukan pengamatan dan mencatat
semua hal yang diperlukan dan terjadi selama pelaksanaan tindakan
berlangsung.

d. Reflective (Refleksi), yaitu mengkaji secara menyeluruh tindakan yang telah
dilakukan, berdasarkan data yang telah terkumpul, kemudian dilakukan
evaluasi guna menyempurnakan tindakan berikutnya (Arikunto dkk., 2006).
Alur Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini menggunakan model George
Polya yang digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Model PTK Problem Solving Polya (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999)
Penelitian ini direncanakan terdiri atas 2 siklus yang dilaksanakan dalam
2 kali pertemuan yang tahapan tindakannya sebagai berikut:
a. Siklus 1
Pertemuan 1 mempelajari konsep keanekaragaman hayati gen, jenis dan
ekosistem. Pertemuan 2 mempelajari tentang keanekaragaman hayati
Indonesia (flora dan fauna Indonesia).
b. Siklus 2
Pertemuan 1 dan pertemuan 2 mempelajari upaya pelestarian
keanekaragaman hayati Indonesia dan pemanfaatannya.

Dalam pelaksanaan pembelajaran, peneliti berkolaborasi dengan 2 orang
dosen, 1 orang guru Biologi kelas X SMAN 4 Banjarmasin dan 3 orang
mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam. Tugas masing-
masing diatur sedemikian rupa sehingga memperlihatkan kesatuan tindakan
antara peneliti dan kolaboran. Tugas-tugas tersebut ada yang bertindak sebagai
guru, pengamat, supervisor dan mitra.
3.2 Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan (kurang lebih satu semester)
yakni dimulai pada bulan September 2014 sampai Desember 2014. Lokasi
penelitian dilaksanakan di kelas X SMAN 4 Banjarmasin yang beralamat di
Jalan Teluk Tiram Darat, Banjarmasin. Subjek pada penelitian ini adalah semua
siswa kelas X SMAN 4 Banjarmasin tahun ajaran 2014/2015 dengan jumlah
siswa sebanyak 150 orang (jumlah siswa lima kelas).
3.3 Perangkat dan Instrumen Penelitian
3.3.1 Perangkat Penelitian
Perangkat yang digunakan yaitu:
1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan materi Keanekaragaman
Hayati
2. Buku Siswa/ Handout IPA Biologi SMA kelas X
3. Buku Guru IPA Biologi SMA kelas X
4. Lembar Kerja Siswa (LKS)
5. Lembar Penilaian
3.3.2 Instrumen Penelitian
Instrument pengumpulan data, yaitu:
a. Alat pengumpulan data
1) Lembar penilaian proses belajar
2) Tes (soal, pretest, posttest dan ulangan harian)
b. Metode Pengumpulan Data
1) Observasi

2) Catatan lapangan
3.4 Teknik Analisis Data
Analisis data untuk PTK dapat dilakukan secara deskriptif kualitatif
(dijelaskan maknanya atau dengan kriteria penilaian). Data hasil penelitian yang
diperoleh berupa data kuantitatif, yaitu data yang diperoleh dari hasil pre tes dan
pos tes, dan data kualitatif yaitu data yang diperoleh dari aktivitas guru dan
siswa, hasil observasi pembelajaran.
1. Analisis tes hasil belajar, analisis data hasil penelitian yang tergolong data
kuantitatif dilakukan secara deskriptif, yakni dengan menghitung ketuntasan
klasikal dan ketuntasan individual dengan rumus sebagai berikut:
Ketuntasan individual skor =
Jumlah skorJumlah skor maksimal
100 %
Ketuntasan klasikal =
Jumlah siswa yang tuntas belajarJumlah seluruh siswa
100 %
Keterangan:
Ketuntasan individual: jika siswa mencapai ketuntasan ≥ 65 %
Ketuntasan klasikal: Jika ≥ 85% dari seluruh siswa yang mencapai
ketuntasan ≥ 65 %.
2. Data kuantitatif yang diperoleh dari LKS menggunakan kategori yakni baik
(76-100%), cukup baik (56-75%), kurang (40-55%), dan tidak baik (< 40%)
(Arikunto, 1998).
3. Analisis data hasil penelitian yang tergolong data kualitatif dilakukan secara
deskriptif tentang observasi aktivitas siswa dan guru, observasi prilaku
berkarakter siswa, pengelolaan pembelajaran yang dilakukan guru serta
respon siswa dan guru dalam pembelajaran.
3.5 Indikator Keberhasilan Penelitian
Penelitian dikatakan berhasil apabila memenuhi semua komponen
indikator kuantitatif dan indikator kualitatif (Arikunto dkk., 2006). Kedua
indikator di atas dilihat dari pergeseran hasil siklus 1 dan siklus 2.

1. Indikator kuantitatif terdiri atas:
a. Siswa mencapai ketuntasan secara individual (skor 75) dan ketuntasan
secara klasikal jika 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan
individual (skor 75), sesuai Arikunto (1998).
b. Hasil selama proses pembelajaran tergolong baik, berdasarkan kategori
Arikunto (1998). Kategorinya yaitu baik (76-100%), cukup baik (56-
75%), kurang baik (40-55%), dan tidak baik (< 40%).
2. Indikator kualitatif adalah apabila aktivitas siswa telah menunjukkan
kenaikan dari siklus 1 ke siklus 2 atau dominasi aktivitas guru menunjukkan
penurunan dari siklus 1 ke siklus 2.
Pada penelitian ini, dikatakan berhasil apabila kemampuan memecahkan
masalah dan hasil belajar siswa pada konsep keanekaragaman hayati mengalami
peningkatan melalui penerapan model pembelajaran pemecahan masalah
(problem solving).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Penelitian Tindakan Kelas; Bahan Pelatihan Dosen LPTK dan Guru Sekolah Menengah. TIM Pelatih Proyek PGSM. Jakarta.
Arikunto, Suharsimi, Suhardjono, dan Supardi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT Rineka Cipta. Jakarta
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. PT Rineka Cipta. Jakarta
Arikunto Suharsimi, Suhardjono, dan Supardi. 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Bumi Aksara. Jakarta
Benyamin, B.S. 2003. Efektifitas Penggunaan Metode Problem Solving terhadap Peningkatan Motivasi Siswa. Tesis PPS UPI. Bandung. Tidak dipublikasikan
Depdikbud. 1997. Keterampilan Menjelang 2020 Untuk Era Global. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta
Dewey, John. 2002. Pengalaman dan Pendidikan. Diterjemahkan oleh John de Santo. Kepel Pres. Yogyakarta
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta, Jakarta
Djamarah, Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta
Fisher, Alec. 2009. Sebuah Pengantar Berpikir Kritis. Diterjemahkan oleh Benjamin Hadinata. Erlangga. Jakarta
Gardner, A. 1987. Discovering Mathematics, the art of investigation. Oxford University Press Inc. New York
Gredler, Margaret E. Bell. 1991. Learning and Instruction. Diterjemahkan oleh Munandir. Belajar dan Membelajarkan. CV. Rajawali. Jakarta
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA. Malang
Johnson, David W. and Roger T. Johnson. 1984. Cooperation in the Classroom. A Publication Interaction Book Company. Edina, Minnesota
Kemenag. 2003. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab I Ketentuan Umum. Diakses melalui

riau.kemenag.go.id/file/file/produkhukum/fcpt1328331919.pdf pada tanggal 8 Juni 2014
Martinez, M. E. 1998. What is Problem Solving?. Diakses melalui http://www.gse.uci.edu/person/mmartinez/documents/mmartinez_problemSolving.html pada tanggal 8 Juni 2014
Michaelis, John U. 1962. Social Studies in Elementary Schools. The George Banta Company. Washington
Mulyana, Aina. 2012. Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving). Universitas Negeri Jakarta. Jakarta
Newell, A. dan Simon, H. 1972. Human Problem Solving. Prentice Hall. Englewood Cliffs, NJ
Pizzini, E.L. 1996. Implentation Handbook for The SSCS Problem Solving Intruction Model. The University of Iowa. Iowa
Polya, George. 1945. How To Solve It, a new aspect of mathematical method. Princeton University Press. New Jersey
Polya, George. 1980. On Solving Mathematical Problem in High School, dalam Krulik, Stephen dan Reys, Robert E. (Eds.) Problem Solving in School. NCTM, Reston-Virginia
Rusyan, Tabrani. 1989. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Remaja Karya. Bandung
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. PT Rineka Cipta. Jakarta
Sudirman, N. 1991. Ilmu Pendidikan. Remaja Rosdakarya. Bandung
Taplin, Margaret. 2007. Mathematics Through Problem Solving. Diakses melalui http://www.mathgoodies.com/articles/ pada tanggal 8 Juni 2014
Trianto. 2009. Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.