Proposal Penlit 1
-
Upload
riang-anggraini-rahmanisa -
Category
Documents
-
view
113 -
download
6
Transcript of Proposal Penlit 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pohon karet (Hevea bresiliensis) yang banyak tumbuh di Asia Tenggara
(Thuy dan Ly, 2002). Direktur Gapkindo (Gabungan Pengusaha Karet Indonesia),
Rusdan Dalimunthe, memperkirakan bahwa produksi karet di Indonesia pada tahun
2013 sebesar 3.100.000 ton. Produksi tanaman karet sebesar ini berpotensi untuk
meningkatkan ekonomi rakyat.
Berbagai bagian tanaman karet dapat dimanfaatkan. Getah karet dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan lateks. Cangkang biji dapat dijadikan
arang aktif atau bahan pencampur obat nyamuk bakar. Daging biji dapat diambil
minyaknya dan digunakan oleh pabrik cat atau pernis, batik, genteng, atau digunakan
dalam pembuatan sabun, pelunak karet, minyak pengering, alkolid resin, lemak
gemuk, dan asam lemak lainnya. Bungkil atau ampas sisa dari proses ekstrasi minyak
juga berguna untuk pakan ternak atau pupuk (Saur, 2013).
Secara khusus bungkil biji karet (BBK) mengandung senyawa glukosida
sianogenik termasuk linamarin (C10H17NO6) yang akan terhidrolisis menjadi HCN.
Hidroksi sianida merupakan senyawa anti nutrisi (Purwanti, 2005) sehingga bungkil
biji karet perlu pengolahan awal sebelum bisa dikonsumsi. Kandungan HCN ini
dapat diturunkan sampai batas aman bagi ternak dengan cara pengolahan yang benar.
Berbagai cara pengolahan tradisional telah dilakukan masyarakat diantaranya
dijemur dibawah sinar matahari, dicuci dan direndam, dikukus (Purwanti, 2005).
Pada penelitian terdahulu telah diketahui metode lain yang lebih efektif untuk
menurunkan kadar HCN yaitu dengan menggunakan enzim linamarase (Okafor dan
Anyanwu, 2006).
Enzim linamarase dapat diperoleh dari berbagai bahan seperti singkong
(Akurrahman, 2010), tanaman gadung (Harijono, dkk, 2011), dan dari bungkil biji
karet (Okafor dan Anyanwu, 2006). Salah satunya yang akan digunakan dalam
penelitian ini yaitu daun singkong. Dalam penelitian ini ingin diketahui kondisi
optimum detoksifikasi bungkil biji karet (BBK) dengan enzim linamarase dari daun
singkong.
I.2. Perumusan Masalah
Enzim merupakan protein yang aktivitasnya dipengaruhi kondisi lingkungan
sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim seperti konsentrasi
enzim, waktu inkubasi, dan suhu harus diperhatikan. Perbedaan keadaan lingkungan
akan menghasilkan aktivitas enzim yang bebeda pula.
Kenaikan konsentrasi enzim akan meningkatkan laju reaksi enzimatik secara
linier. Kecepatan reaksi sangat tergantung pada jenis enzim dan konsentrasinya.
(Hafizah, 2013).
Inkubasi adalah masa yang diperlukan enzim untuk berikatan dengan substrat
dan melakukan aktivitasnya. Secara umum aktivitas enzim meningkat dengan
bertambahnya waktu inkubasi. Askurrahman (2012) melaporkan bahwa aktivitas
enzim linamarase meningkat dalam 3 jam pertama dan kemudian menurun.
Pada umumnya, enzim bekerja secara aktif pada suhu optimum 37° C.
Temperatur mempengaruhi aktivitas kerja enzim, pada temperature rendah kerja
enzim berlangsung lambat, kenaikan temperatur akan mempercepat reaksi hinggga
suhu optimum tercapai dan kerja enzim menjadi maksimal. Setelah suhu optimum
tercapai, maka suhu yang semakin naik menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas
enzim. Penurunan aktivitas enzim terjadi pada suhu 37° C dan 42° C, aktivitas enzim
menurun karena terjadi proses denaturasi (Bodanszky, 1993), dimana atom-atom
penyusun enzim bergetar sehingga mengganggu ikatan-ikatan non kovalen, seperti
ikatan hidrogen, ikatan ionik, dan ikatan Van der Walls, sehingga aktivitas enzim
menjadi menurun. (Poejiadi, 1994)
Dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim. Maka dari
penelitian ini, akan dipelajari pengaruh konsentrasi enzim, waktu inkubasi, dan suhu
terhadap aktivitas enzim linamarase. Sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat
diketahui informasi mengenai kondisi optimum aktivitas enzim linamarase.
I.3. Tujuan Penelitian
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui konsentrasi enzim dan waktu inkubasi optimum untuk aktivitas
enzim linamarase
2. Mengetahui suhu optimum aktivitas enzim linamarase
3. Melakukan uji sensori bungkil biji karet
I.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
1. Mengetahui kondisi optimum aktivitas enzim linamarase yang meliputi
konsentrasi enzim, waktu inkubasi, dan suhu.
2. Menambah nilai guna bungkil biji karet
3. Menambah nilai guna daun singkong
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Tanaman Karet
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan tanaman yang dibudidayakan
secara komersial untuk menghasilkan getah. Tanaman karet merupakan pohon yang
tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25
meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang
tinggi di atas. Di beberapa kebun karet, ditemukan pertumbuhan tanaman karet ke
arah utara. Tanaman karet memiliki akar tunggang. Daun tanaman karet berwarna
hijau dan berubah menjadi kuning atau merah bila akan rontok. Daun karet terdiri
dari daun utama dan tangkai anak daun. Panjang daun utama berkisar dari 3 sampai
20 cm, sedangkan anak daunnya hanya 3 sampai 10 cm dan pada ujungnya terdapat
kelenjar. Dalam satu daun utama biasanya terdapat 3 anak daun. Anak daun
berbentuk eliptis dengan ujung yang meruncing. Tepinya rata, gundul, dan tidak
meruncing. Bunga karet terdiri dari bunga jantan dan bunga betina yang terdapat
dalam malai payung tambahan yang jarang, pangkal tenda bunga berbentuk lonceng.
Pada ujungnya terdapat lima tajuk yang sempit, panjang tenda bunga 4-8 mm, bunga
betina berambut vilt dan ukurannya lebih besar sedikit dari yang jantan yang
mengandung bakal buah yang beruang tiga. Kepala putik yang akan dibuahi dalam
posisi duduk juga berjumlah tiga buah. Bunga jantan memiliki 10 benang sari
tersusun menjadi 1 tiang (Tim Penulis PS, 2008).
Secara taksonomi, tanaman karet dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi : Spermathopyta
Sub Devisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Genus : Havea
Spesies : Havea brassiliensis (Tim Penulis PS, 2008)
Indonesia merupakan salah satu penghasil karet terbesar di dunia. Direktur
Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), Rusdan Dalimunthe,
mengungkapkan bahwa produksi karet Indonesia meningkat secara perlahan dari
2.440.347 ton di tahun 2009 menjadi 2.990.184 ton pada 2011. Kemudian terus
meningkat di tahun 2012 sebesar 3.040.376 dan diperkirakan pada tahun 2013
sebesar 3.100.000 ton. Produksi karet Indonesia masih didominasi oleh karet rakyat
dengan luasan terbesar di Indonesia yang diusahakan oleh jutaan petani kecil-
kecil (small farm) dan memberikan kontribusi besar dalam menghasilkan devisa
negara.
II.2. Biji Karet
Hanya sedikit atau bahkan tidak ada perhatian sama sekali terhadap produksi
dan pemanfaatan biji karet yang turut dihasilkan setiap saat. Berat biji karet segar
berkisar antara 3 hingga 5 gram, dan terdiri atas 40-50% kulit yang keras berwarna
coklat, dan 50-60% kernel yang berwarna putih kekuningan (Setyawardhani dkk,
2010). Dua produk dapat dihasilkan dari biji karet, yaitu minyak dan bungkil biji
karet. (BBK)
Gambar 2.1. Biji Karet
Kandungan minyak dalam biji karet sangat tinggi yaitu mencapai 48,5 gram
dalam 100 gram biji karet (Setyawardhani dkk, 2010). Minyak biji karet
mengandung asam lemak jenuh 17–22 % yang terdiri dari asam palmitat, asam
stearat, dan asam arakhidat. Sekitar 77–82 % berupa asam lemak tidak jenuh yang
terdiri dari asam lemak oleat, linoleat, dan linolenat. Sedangkan bungkil biji karet
yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pakan ternak, memiliki kandungan gizi
yang cukup tinggi. Kandungan gizi bungkil biji karet ditunjukan dalam Tabel 2.1
Tabel 2.1 Kandungan nutrisi dalam bungkil biji karet (UNIDO, 1989)Parameter Kandungan, %
b/bKarbohidrat 19,90
Protein 30,00Lemak 6,20
Abu 6,50Serat 8,00Air 9,10
II.3. Tanaman Singkong
Singkong (Manihot Esculenta Crantz) atau disebut juga ketela atau ubi kayu
merupakan tanaman asli Brazil. Tanaman singkong merupakan salah satu jenis
tanaman pertanian utama di Indonesia yang mudah tumbuh pada tanah kering dan
miskin, serta tahan terhadap serangan penyakit maupun tumbuhan pengganggu
(gulma). Tanaman singkong mudah dibudidayakan karena perbanyakan tanaman ini
umumnya dilakukan dengan stek batang. (Askar, 1996). Di Indonesia, ketela pohon
menjadi makanan bahan pangan pokok setelah beras dan jagung. Adapun klasifikasi
tanaman singkong adalah sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiosperma
Klas : Dicotiledoniae
Ordo : Geraniales
Famili : Eurphorbiaceae
Subfamili : Eurphorbiaceae (Contonoideae)
Tribe : Manihoteae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot esculante Crantz atau Manihot utilisima (Hidayat, 2009)
Tanaman singkong, terutama bagian umbi telah dimanfaatkan masyarakat
Indonesia sebagai bahan pembuatan berbagai jenis panganan, daun mudanya dapat
dimanfaatkan sebagai sayuran, sedangkan daun yang lebih tua dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak. Daun singkong memiliki kandungan gizi yang bermanfaat bagi
tubuh sehingga baik untuk dikonsumsi sebagai sayuran maupun ramuan. Kandungan
gizi daun singkong ditunjukkan dalam Tabel 2.2
Tabel 2.2 Kandungan gizi daun singkong
Zat Gizi Daun Singkong dengan tangkai (% Bahan
kering)
Bahan kering 23,36
Protein Kasar 28,66
TDN*) 61
Serat kasar 19,06
Lemak 9,31
BETN 34,08
Abu 8,83
Ca 1,91
P 0,46
(Sumber: Askar, 1996)
Gambar 2.2. Daun singkong
Daun singkong merupakan sayuran dan daun hijau yang murah dan umum di
Indonesia. Daun singkong merupakan sumber protein yang baik dan dapat
dimanfaatkan sebagai pakan pokok maupun tambahan untuk ternak. Akan tetapi,
masalah yang dihadapi ketika menggunakan daun singkong sebagai bahan pangan
yaitu kandungan asam sianidanya yang bersifat racun (Askar, 1996).
Jika jaringan sel pada daun singkong dirusak, maka enzim linamarase akan
memutuskan ikatan senyawa dan membebaskan asam sianida yang bersifat sangat
racun bagi ternak pada konsentrasi tinggi, yang menyebabkan pemanfaatan daun
singkong sebagai pakan ternak belum optimal. Kandungan sianida pada daun
berbeda-beda, dan akan menurun dengan bertambahnya umur tanaman. Daun muda
mengandung 560 – 620 ppm dan daun tua 400 – 530 ppm asam sianida. (Soetrisno,
dkk, 1988).
II.4. Enzim Linamarase
Linamarase atau β-D-glucosidase (EC 3.2.1.21) sering ditemukan di tanaman
ubi-ubian (singkong). Enzim ini terdapat di bagian batang, daun, maupun ubi itu
sendiri. Enzim linamarase adalah ekstra-seluler dan mudah mencapai senyawa
glukosida sianogenik setelah perusakan fisik sel. Enzim ini akan bekerja pada
kondisi dingin dan rusak oleh panas. Enzim linamarase mengalami kerusakan pada
suhu 72° C. Proses otohidrolisis dipertinggi jika biomas tanaman direndam dalam air
setelah terlebih dahulu dicincang. Perusakan fisik sel (pencincangan) tanpa
perendaman akan memperlambat pembebasan sianida (Rustandi, 2012). Linamarase
bekerja secara spesifik menghidrolisis senyawa linamarin yang terdapat dalam ubi-
ubian. hidrolisis linamarin dengan linamarase menghasilkan aseton sianohidrin dan
glukosa. Aseton sianohidrin secara spontan pada pH di atas 5 menghasilkan asam
sianida (HCN) dan aseton (Salimon dkk, 2012).
II.5. Keracunan HCN
Hidrogen sianida (HCN) atau prussic acid atau sianida adalah senyawa kimia
yang bersifat toksik dan merupakan jenis racun yang paling cepat aktif dalam tubuh
sehingga dapat menyebabkan kematian dalam waktu beberapa menit (akut)
(Yuningsih, 2012). Gejala keracunan sianida yang parah meliputi muntah, mual,
kelemahan, kebingungan, kelesuan, sianosis, lemah dan ataksia gerakan, peningkatan
laju pernapasan dan detak jantung dilanjutkan koma dengan pernapasan depresi,
kejang, gagal kardiovaskuler, dan kematian. Kematian dari keracunan sianida
disebabkan oleh depresi sistem saraf pusat (SSP), setelah penghambatan aktivitas
sitokrom oksidase otak (US EPA, 2010). Efek beracun dan mematikan yang
disebabkan oleh paparan akut CN- pada manusia dan hewan umumnya sama, yaitu
hasil dari inaktivasi sitokrom oksidase dan penghambatan respirasi selular selama
reaksi terminal dari rantai transpor elektron. Penghambatan ini mencegah
pembentukan adenosin trifosfat (ATP) melalui oksidatif fosforilasi.
Dosis letal daripada HCN ialah 50-90 mg (Pritchard, 2007). Sebenarnya
tubuh sendiri mempunyai daya proteksi terhadap HCN ini dengan cara detoksikasi
HCN menjadi ion tiosianat yang relatif kurang toksik. Detoksikasi ini berlangsung
dengan perantaraan enzim rodanase (transulfurase) yang terdapat di dalam jaringan,
terutama hati.
II.6. Metode-Metode Menghilangkan HCN secara Tradisional
Komposisi kimia dari bungkil biji karet yaitu: bahan kering 90%, protein
kasar 29,99%, lemak kasar 11,38%, serat kasar 7,59%, BETN 34,83% dan abu
6,21% (LAB.NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK IPB BOGOR, 1986). Dengan
melihat kandungan protein kasarnya yang tinggi, maka bungkil biji karet potensial
untuk dimanfaatkan sebagai sumber protein makanan ternak. Namun kelemahan
bungkil biji karet sebagai pakan ternak adalah rendahnya palatabilitas dan adanya
kandungan HCN yang merupakan racun bagi pakan ternak. Hariyono (1996)
menyatakan bahwa biji karet segar mengandung HCN sebesar 1200 ppm, sedangkan
bungkil biji karet mengandung HCN sebesar 27 ppm.
Upaya yang paling mudah untuk menghilangkan kadar HCN pada bungkil
biji karet adalah dengan cara fisik seperti melalui pengukusan, perebusan, ataupun
dengan perendaman dalam air. (Rahmawan dan Mansyur, 2008)
Pada penelitian terdahulu yang telah dilakukan Rahmawan dan Mansyur
(2008) menunjukan perlakuan yang berbeda akan menghasilkan kadar produk
bungkil biji karet yang berbeda pula. Akan tetapi, diharapkan hasil produk bungkil
biji karet tidak mengurangi kandungan zat-zat makanan yang berarti seperti protein
kasar, dan lemak kasarnya. Berikut uraian variabel perlakuan detoksifikasi HCN
dengan percobaan fisik:
1. Pengukusan
Pengukusan dilakukan dengan menggunakan air mendidih sehingga uap
air terdifusi kedalam bungkil biji karet, dimana bungkil biji karet dilapisi
kain kassa terlebih dahulu. Metode pengukusan merupakan perlakuan
yang dianggap lebih efisien dibandingkan metode konvensional yang lain.
Karena pengukusan tidak hanya mengurangi kadar HCN hingga 39.11
mg/ kg, dan menyisakan lemak kasar sebesar 15.78%; tetapi juga dapat
mempertahankan zat makanan yang bermanfaat protein kasar (27.35%)
dan kandungan air terjaga sebesar 22.07%. (Rahmawan dan Mansyur,
2008).
2. Perebusan
Perebusan menggunakan air mendidih bertujuan agar bungkil biji karet
berkontak langsung dengan air. Air akan masuk dalam partikel bungkil
biji karet karena tekanan air lebih besar daripada tekanan uap gas di
partikel bungkil biji karet. Air yang masuk dalam bungkil biji karet
berguna untuk melarutkan HCN tanpa mengurangi nilai gizi lain (protein
kasar, kandungan air) dalam bungkil tersebut. (Rahmawan dan Mansyur,
2008).
3. Perendaman dalam air
Bungkil biji karet lebih baik sudah berada dalam butiran-butiran kecil
sebelum direndam dalam air. Semakin halus butir-butir padatan bungkil
biji karet, maka semakin banyak air yang dapat masuk karena luas
permukaan per satuan berat semakin besar. Variasi suhu tinggi dalam
perendaman bungkil biji karet dapat meningkatkan hasil reduksi HCN
hingga 139.9 ppm. (Jamarun dan Herawati, 2001).
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu ekstraksi minyak bungkil biji karet,
ekstraksi enzim linamarase dari daun singkong pohon, detoksifikasi bungkil biji karet
(BBK), dan uji sensori BBK. Tahap-tahap penelitian ditunjukan dalam diagram blok
pada Gambar 3.1
Biji Karet Daun Singkong
Minyak
BBK crude enzim
Variabel Konsentrasi enzim: 1 mg t inkubasi: 1, 2, 3, 4, 5 jamSuhu: 30, 35, 40, 45, 50° C
BBK siap konsumsi
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian
Analisa kadar HCN
EkstraksiT = 70° Ct = 1,5 jam
Solven: n- heksana
Ekstraksi crude enzim linamarase
DetoksifikasiBBK
Analisa kadar HCN
Uji SensoriBBK
III.1.1. Penetapan Variabel1. Variabel Tetap
-Suhu ekstraksi minyak : 70° C-Waktu ekstraksi : 1,5 jam-Solvent : n-heksan-Kecepatan sentrifugasi : 2500 rpm
2. Variabel Berubah-konsentrasi enzim :-waktu inkubasi :-suhu :