Proposal 3

download Proposal 3

of 21

Transcript of Proposal 3

SIFAT FISIK DAN MEKANIK EDIBLE FILM YANG DIBUAT DENGAN PROSES SOLVENT CASTING DAN COMPRESSION MOLDING

SKRIPSI

oleh : Edy Fachrur Rijal NIM. 071710101028

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2011

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi. Penurunan kualitas tersebut dapat dipercepat dengan adanya oksigen, air, cahaya, dan panas. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat penurunan kualitas tersebut adalah dengan cara pelapisan. Edible film merupakan salah satu jenis pelapis makanan yang bersifat ramah lingkungan karena dibuat dari bahan yang dapat dimakan. Bahan dasar edible film merupakan bahan yang aman untuk dikonsumsi (Krochta, et al, 1994). Edible film berfungsi sebagai barier terhadap transfer massa (misal kelembaban, oksigen, lipid dan zat terlarut). Komponen utama pembentuk edible film adalah biopolimer seperti protein, pektin, gum, lemak dan campurannya. Pembuatan edible film dapat dilakukan dengan teknik Solvent Casting dan Compression Molding. Teknik Solvent Casting memerlukan jumlah pelarut banyak serta menggunakan prinsip gelatinisasi. Sedangkan teknik Compression Molding memerlukan jumlah pelarut lebih sedikit dan menggunakan prinsip HTST (High Temperature Short Time). Teknik compression molding dibedakan menjadi dua macam, yaitu compression molding dengan aging dan compressin molding dengan ekstrusi. Compression molding dengan aging membutuhkan waktu untuk

penyimpanan agar adonan yang dihasilkan lebih merata dan homogen. Sedangkan compression molding dengan ekstrusi membutuhkan pengadukan intensif

mengggunakan ekstruder agar dihasilkan adonan yang lebih homogen dalam waktu yang relatif singkat. Perbedaan metode pembuatan edible film dapat berpengaruh terhadap konformasi molekul adonan sehingga dapat mempengaruhi sifat-sifat edible film yang dihasilkan.

1.2 Rumusan Masalah Pembuatan edible film dengan metode solvent casting dan compression molding dapat mempengaruhi konformasi molekul adonan sehingga berpengaruh terhadap sifat-sifat edible film yang dihasilkan. Namun, bagaimana sifat fisik dan mekanik edible film yang dihasilkan belum diketahui. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui sifat fisik dan mekanik edible film yang dibuat dengan metode solvent casting dan compression molding; 2. Memperoleh metode pembuatan yang tepat sehingga dapat dihasilkan edible film dengan sifat-sifat fisik dan mekanik yang baik. 1.4 Manfaat 1. Memberikan informasi tentang cara pembuatan edible film dengan sifat fisik dan mekanik yang baik; 2. Sebagai bahan pertimbangan pada proses pembuatan edible film skala besar untuk menghasilkan edible film dengan sifat-sifat yang baik.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Edibel Film Edible film merupakan bahan tipis yang melapisi suatu bahan pangan serta aman untuk dikonsumsi, digunakan untuk melapisi komponen makanan atau diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, cahaya dan zat terlarut), dan sebagai carrier bahan makanan dan bahan tambahan, serta untuk mempermudah penanganan makanan (Krochta dan Johnson,1997). Bahan yang mengandung hidrokoloid dan lemak atau campuran keduanya dapat digunakan untuk membuat edible film. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat edible film adalah protein (gelatin, kasein, protein kedelai, protein jagung dan gluten), karbohidrat (pati, gum, dan modifikasi karbohidrat lainnya), sedangkan lipida yang digunakan adalah gliserol dan asam lemak ( Krotcha dan Johnson, 1997). Edible film yang dibuat dari hidrokoloid mempunyai beberapa kelebihan diantaranya memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida dan lipida serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Namun, film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur uap air sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH. Edible film dari lipida mempunyai kelebihan yaitu memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk dari penguapan air atau sebagai bahan pelapis untuk mengoles produk konfeksioneri. Tetapi, kegunaannya sebagai film murni terbatas karena integritas dan ketahanannya tidak terlalu baik. Edible film dari komposit (gabungan hidrokolid dan lipid) dapat meningkatkan sifat mekanik (Cuppet, 1994). Untuk memperbaiki sifat mekanik edible film maka perlu ditambahkan plastizier. Plastizier didefinisikan sebagai bahan nonfolatil, bertitik didih tinggi yang

jika ditambahkan pada material lain dapat merubah sifat sifik dari material tersebut. Salah satu jenis plastizier adalah gliserol (Choi dan Han, 2001). Gliserol merupakan alkohol yang mengandung tiga gugus hidroksil. Gliserol sangat mudah larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut nonpolar. Karena itu gliserol bersifat higroskopis. Menurut Lieberman dan Gilbert (1973), gliserol merupakan plastizier yang efektif karena memiliki kemampuan untuk mengurangi ikatan hidrogen dengan cara meningkatkan daya pengikatan air dan mengurangi permeabilitas uap air dari edible film itu sendiri. Pembuatan edible film secara umum meliputi beberapa tahap proses yaitu pencampuran, pemanasan, percetakan, dan pengeringan. Pencampuran bahan pembentuk edible film dilakukan dengan cara pengadukan sampai homogen. Pengadukan yang dilakukan berfungsi untuk mencampur bahan hingga merata agar proses hidrasi bahan dapat berjalan secara sempurna sehingga proses gelatinisasi pada tahap pemanasan terjadi secara merata (Strong, 2000). Pemanasan dilakukan pada suhu 100C sambil diaduk. Saat proses pemanasan terjadi perubahan sifat fisik pada larutan yakni terbentuknya pasta yang lebih kental karena penyerapan air dari bahan. Pencetakan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain adalah cetak injeksi, cetak kompresi, cetak tiup, dan penuangan. Penuangan merupakan metode pencetakan yang sederhana dalam pembuatan edible film yaitu dengan cara menuangkan larutan pembentuk edible film pada cetakan berupa plat yang dilapisi mika sebanyak 10 ml (Strong, 2000). Pengeringan adalah tahap akhir pembuatan edible film. Menurut

Praptiningsih, dkk (1999) pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air suatu bahan sampai batas tertentu dengan jalan penguapan menggunakan energi panas. Dalam pembuatan edible film pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering pada suhu 50C selama 20 jam (Marseno,dkk. 2001). Mekanisme pembentukan edible film meliputi interaksi rantai polimer yang menghasilkan agregat polimer yang lebih besar dan stabil. Pembentukan edible film merupakan proses pertumbuhan fragmen kecil atau penggabungan polimer-polimer.

Semakin banyak jumlah plastizier yang ditambahkan maka jumlah ikatan hydrogen akan semakin meningkat. Plastizier mampu melarutkan sisi polar dari rantai polimer sehingga mengurangi gaya intermolekul antar molekul polimer ( Turhan, 2001). Dengan begitu plastizier menyisip diantara rantai polimer dan berikatan dengan ikatan hydrogen. Kemampuan plastizier dalam berikatan hydrogen ditentukan dari jumlah gugus hidroksil setiap mol molekul, ukuran molekul, kelarutan, dan polaritas.

2.2 Bahan bahan yang Digunakan pada Pembuatan Edible Film Bahan-bahan yang perlu ditambahkan pada pembuatan edible film meliputi gliserol, CMC, dan tapioka. 2.2.1 Gliserol Sifat dari edible film yang kurang baik dapat diperbaiki dengan penambahan plastizier. Plastizier bersifat dapat menurunkan kekuatan intermolekuler,

meningkatkan fleksibilitas, serta menurunkan sifat barrier dari film, menanggulangi kerapuhan yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler, meningkatkan

permeabilitas edibel film terhadap gas, uap air, dan pelarut (Choi dan Han, 2001). Salah satu jenis plastizier yang digunakan dalam pembuatan edibel film adalah gliserol. Gliserol merupakan alkohol yang mengandung tiga gugus hidroksil. Zat ini mudah larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut nonpolar, karena itu gliserol bersifat higroskopis (Setiadji, 1998). Penambahan gliserol dapat menyebabkan perubahan sifat-sifat yang signifikan dari film. Gliserol mampu meningkatkan elastisitas dan kekuatan fisik film. Selain itu gliserol mampu mengurangi ikatan hidrogen dengan cara meningkatkan daya

pengikatan air dan meningkatkan ruang intermolekul sehingga tidak hanya menyebabkan peningkatan fleksibilitas film, namun mampu memberikan rongga yang memungkinkan terjadinya difusi molekul penetran ( Layuk, dkk.2001). Penambahan gliserol pada larutan pembentuk film menyebabkan gaya tarik intermolekuler sepanjang rantai polimer menurun, selanjutnya akan meningkatkan

permeabilitas polimer dan memperbaiki sifat mekanik film (Bozdemir dan Tuntas.2003).

2.2.2 CMC ( Carboxy Methyl Cellulose) CMC adalah suatu turunan selulosa yang mudah larut dalam air dengan derajat kemurnian 99,5% dan merupakan suatu rantai polimer anionik. Kelarutan CMC dipengaruhi oleh konsentrasi, suhu, pH dan adanya garam. CMC yang digunakan sebaiknya dalam konsentrasi rendah karena jika konsentrasi terlalu tinggi CMC tidak lagi terdispersi didalam larutan melainkan membentuk gumpalan yang mengapung dipermukaan karena molekul air sudah terikat semua ( Ganz. 1997). Penambahan garam juga sangat berpengaruh pada kelarutan CMC karena bahan ini sudah dalam bentuk garam, sehingga jika dilarutkan dalam suatu pelarut akan terurai menjadi ion-ionnya dan mengikat ion CMC yang sudah terurai dan membentuk suatu ikatan lagi sehingga keberadaanya bersifat menghambat kelarutan CMC ( Winarno. 1997). CMC merupakan senyawa kimia yang banyak dipergunakan untuk menstabilkan suatu sistem dispersi didalam pengolahan suatu makanan atau minuman, memperbaiki ketahanan terhadap air dan meningkatkan daya serap air. CMC dapat mengikat air dan terdispersi didalam larutan sehingga dapat menahan zatzat terdispersi. CMC dapat dipergunakan sebagai pembentuk film, namun memerlukan adanya plastizier. CMC bersifat viskoelastis. Penambahan CMC pada formulasi film terletak pada peranan matriks (Ganz, 1997).

2.2.3 Tapioka Tapioka adalah pati yang diperoleh dari ubi kayu setelah melalui proses pengupasan, pencucian, penghancuran, pengendapan, dan pengeringan. Tapioka dalam industri makanan selain digunakan sebagai sumber karbohidrat juga sebagai bahan tambahan yang berfungsi sebagai pengental, bahan pengisi, dan penstabil makanan (Sooatmadja dan Yulianti. 2003).

Tapioka mempunyai kandungan pati yang tinggi (85-87%) dengan kandungan amilosa 17-20 % dan amilopektin 80-83%, bersifat mudah membengkak dalam air panas dengan membentuk kekentalan yang dikehendaki (Wijiarsih, 2001). Komposisi tapioka per 100 gram bahan secara rinci ditunjukkan pada tabel 2.1 dan struktur amilosa dan amilopektin ditunjukkan pada gambar 2.1 Tabel 2.1 Komposisi Tapioka Komposisi Kadar Kalori 164 kal Air 62,50 gram Fosfor 40 mg Karbohidrat 34 gram Kalium 33 mg Vitamin C 30 mg Vitamin B1 0,06 mg Protein 1,2 gram Besi 0,7 mg Lemak 0,3 mg Sumber: Radiyati, T. Dan Agusto W.M (1990)

Gambar 2.1 Struktur Amilosa (1) dan Amilopektin (2)

Senyawa amilopektin pada tapioka bersifat sangat jernih yang mampu meningkatkan penampilan, memiliki daya pemekatan yang tinggi sehingga kebutuhan pemakaian relatif sedikit dan suhu gelatinisasinya rendah yaitu sekitar 64,5C (Winarno. 1997). Penggunaan tapioka pada proses pembuatan edible film berfungsi agar edible film yang dihasilkan mempunyai karakteristik antara lain kejernihan tinggi, permukaan halus dan transparan, berstruktur, sifat lentur tinggi, kekerasan dan daya lipat tinggi, kekuatan lapis tinggi, dan daya larut lapisan tinggi (Hersko dan Nussinovich, 2001).

2.2.4 Isolat Protein Kedelai (ISP) ISP merupakan isolat yang terbuat dari tepung kedelai bebas lemak maupun dari biji kedelai utuh. ISP berbentuk tepung dan mengandung 95% protein dalam berat kering, sisanya adalah karbohidrat dan mineral. Komposisi asam amino ISP ditunjukkan pada tabel 2.2 dan struktur protein ditunjukkan pada gambar 2.2 Tabel 2.2 Komposisi asam amino dalam ISP As. Amino Essential Jml (%) Lysine 6.1 Methionine 1.1 Cystine 1.0 Tryptophan 1.4 Threonine 3.7 Isoleucine 4.9 Leucine 7.7 Phenylalanine 5.4 Valine 4.8 Histidine 2.5 Sumber: Gan Chee Yuen, 2008 As. Amino Non Essential Arginine Tyrosine Serine Glutamat acid Aspartat acid Glycine Alanine Proline Jml (%) 7.8 3.7 5.5 20.5 11.9 4 3.9 5.3

Gambar 2.2 Struktur protein

Pada pembuatan edible film, protein kedelai berfungsi membentuk struktur film. Hal ini terjadi karena pada kondisi suhu dan tekanan tinggi, ikatan antar molekul pada protein terputus sehingga memungkinkan terjadinya ikatan baru dengan struktur yang berbeda. Setelah dicetak bahan edible film didinginkan, pada proses ini terbentuk ikatan antar molekul yang baru. Hal ini mendasari prinsip pada pembuatan edible film berbahan dasar protein. Kedua proses tersebut sangat mempengaruhi struktur film yang dihasilkan. Semakin banyak ikatan baru yang terbentuk akan semakin bagus film yang dihasilkan (Gennadios, et al., 1993). Pembentukan film berbahan dasar protein seperti ISP menghasilkan film yang sangat baik sebagai penghambat perpindahan oksigen, karbondioksida, dan lemak, serta memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik, sehinggga sangat baik digunakan untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah hancur (Krochta et. al., 1994).

2.3 Metode Pembuatan Edible Film Pembuatan edible film secara umum meliputi beberapa tahap proses yaitu pencampuran, pemanasan, pencetakan, dan pengeringan. Pencampuran bahan pembentuk edible film dilakukan dengan cara pengadukan sampai homogen. Pengadukan yang dilakukan berfungsi untuk mencampur bahan hingga merata agar proses hidrasi bahan dapat berjalan secara sempurna sehingga proses gelatinisasi pada tahap pemanasan terjadi secara merata (Strong, 2000). Teknik pembuatan edible film ada 2 yaitu wet process dan dry process. Contoh teknik pembuatan wet process yaitu solvent casting, sedangkan contoh teknik pembuatan dry process yaitu compression molding.

2.3.1 Solvent Casting Solvent Casting adalah salah satu metode yang sering digunakan untuk membuat film. Pada metode ini protein atau polisakarida didispersikan pada campuran air dan plastisizer dengan pengadukan. Setelah pengadukan sesegera

mungkin adonan tadi dipanaskan dalam beberapa waktu dan dituangkan pada cetakan (casting plate). Setelah adonan dituangkan kemudian dikeringkan dalam oven 50600C selama 24 jam. Film yang telah mengering dilepaskan dari cetakan (Hui, 2006).

2.3.2 Compression Molding Compression molding merupakan salah satu jenis thermoplastic processing yang dapat dikembangkan dalam pembuatan edible film. Umumnya metode proses thermal seperti compression molding masih belum banyak dilakukan. Proses thermal dikembangkan berdasarkan sifat thermoplastic yang ditunjukan protein pada kadar air yang rendah (Cuq et al., 1997; Pommet et al., 2005). Jika suhu naik diatas suhu transisi gelas, dengan adanya plastisizer maka protein akan berubah menjadi massa yang lunak dan bersifat seperti karet (rubbery) yang bentuknya dapat diubah sesuai struktur yang diinginkan (Pommet et al., 2003). Kondisi proses menentukan modifikasi fisik dan thermal yang terjadi selama proses thermoplastic dari protein (Moraru dan Kokini, 2003). Kombinasi antara suhu tinggi, tekanan tinggi, waktu singkat dan kandungan air yang rendah pada proses compression molding dapat merubah campuran protein dengan plastisizer menjadi lelehan viskoelastik. Film dari protein akan terbentuk melalui ikatan hydrogen, ionik, hidrophobik dan kovalen (Pol et al., 2002). Menurut Cunningham et al. (2000) edible film dari ISP dengan gliserol sebagai plastisizer dan dengan proses compression molding dapat dibuat pada kondisi optimum suhu 150oC, tekanan 10 MPa dan waktu kontak 2 menit. Peningkatan suhu akan mengakibatkan denaturasi protein lebih intensif yang dapat meningkatkan jumlah ikatan silang dan mengakibatkan menurunnya kelarutan film yang dihasilkan. Penggunaan suhu diatas 180oC dapat menyebabkan degradasi molekul protein kedelai (Ogale et al., 2000). Di dalam proses compression molding pengadukan yang intensif diperlukan sebagai perlakuan pendahuluan. Perlakuan pendahuluan tersebut dilakukan dengan cara ekstrusi sebelum adonan edible film dikompresi. Hal tersebut diperlukan untuk

memperoleh campuran yang homogen dan stabil, terutama apabila adonan mengandung bahan yang immisible (Muchtadi, et.al, 1988). Ekstrusi merupakan suatu proses yang terdiri dari kombinasi beberapa unit operasi yang meliputi pencampuran (mixing), menguli (kneading), memotong (shearing), membentuk (shaping), dan mencetak (forming) (Muchtadi, et. al, 1988). Menurut Muchtadi et. al., (1988) keuntungan proses ekstrusi dengan suhu tinggi dalam waktu singkat antara lain kemampuan memproses bahan mentah pada kadar air rendah atau tinggi dengan desain tertentu terhadap ulir, sehingga menghasilkan modifikasi pati, protein dengan struktur dan sifat fungsional yang diinginkan. Perubahan ini tergantung pada bahan baku dan kondisi proses (Linko et. al., 1981). Keuntungan yang lain adalah produktifitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama serta pemakaian energi rendah (Smith, 1981). Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan daya cerna protein setelah proses ekstrusi. Peningkatan suhu hingga 1600C umumnya meningkatkan daya cerna protein, akan tetapi peningkatan suhu diatas 1600C justru menyebabkan menurunnya daya cerna protein. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya perubahan ikatan silang pada protein. Dalam pembuatan edible film hal ini dapat mempengaruhi sifat mekanik dari edible film yang dihasilkan (Balandran-Quintana, 1998).

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat Penelitian 3.1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan edible film adalah ISP, tapioka, gliserol, dan aquadest. Sedangkan bahan untuk analisa yang digunakan adalah silica gel, garam NaCl 40%. 3.1.2 Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi: Mesin Single Screw Extruder, timbangan analitik (Ohaus), oven pengering, botol timbang, mika, ayakan 60 mesh, universal testing machine merk Shimadzu, mikrometer, color reader CR-10 minolta, freeze drier, eksikator, kantung plastik, isolasi, kain saring, toples plastik, dan SEM (Scanning Electron Microscope). 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, Laboratorium Pemesinan dan CNC Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Jember serta Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia, Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Malang pada bulan April 2011 sampai dengan Oktober 2011.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan dengan pembuatan edible film menggunakan tiga cara, yaitu solvent casting, compression molding dengan ekstrusi, dan compression molding dengan aging.

a. Pembuatan edible film metode solvent casting. Pembuatan edible film menggunakan solvent casting dilakukan dengan cara mencampurkan tapioka dan ISP dengan perbandingan antara tapioka dan ISP (7g : 3g), kemudian dilarutkan ke dalam 100 ml aquadest yang telah dicampur dengan 2 ml gliserol, diaduk selama 30 menit sampai tercampur merata. Setelah itu dipanaskan dengan water bath selama 15 menit sambil sesekali diaduk. Adonan yang dihasilkan dicetak pada plat seluas 10cm2 untuk 10g adonan. Setelah itu didiamkan selama 30 menit dan dikeringkan pada suhu 50C selama 20 jam. Diagram alirnya dapat dilihat pada Gambar 3.1.

b. Pembuatan edible film metode compression molding dengan ekstrusi. Pembuatan edible film dengan cara compression molding dilakukan dengan mencampurkan tapioka dan ISP dengan perbandingan tapioka dan ISP (70g : 30g), dengan diayak mengunakan ayakan 60 mesh. Setelah itu ditambah dengan 75 ml aquadest dan 20 ml gliserol, dan ekstrusi menggunakan ekstruedr ulir tunggal. Adonan yang dihasilkan ditimbang masing-masing 10g dan dipres dengan tekanan 1,35 MPa dan suhu 160C selama 12 menit. Gambar 3.2 menunjukkan diagram alir pembuatan edible film dengan metode compression molding dengan ekstrusi.

c. Pembuatan edible film metode compression molding dengan aging. Pembuatan edible film metode compression molding dengan agin dilakukan dengan mencampurkan tapioka dan ISP dengan perbandingan tapioka dan ISP ( 70g : 30g ), diayak menggunakan ayakan 60 mesh. Setelah itu ditambah dengan 75ml aquadest dan 20ml gliserol, dan diaduk sampai kalis menggunakan mortar selama 30 menit. Setelah itu adonan dimasukkan dalam plastik PE dan disimpan pada suhu 4oC selama 7 hari. Kemudian adonan ditimbang masing-masing 10g dan dipres dengan alat compression molding

pada tekanan 1,35 MPa dan suhu 160C selama 12 menit. Diagram alirnya secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Tapioka 7g

ISP 3g

Gliserol 2ml

Aquadest 100ml

Pencampuran dan Pengadukan t = 30 Pemanasan t = 15

Adonan (10g)

Pencetakan (10cm2) Tempering t = 30 Pengeringan T = 50C, t = 20 jam Pelepasan Edible Film

Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Edible Film dengan Cara solvent casting

Tapioka 70g

ISP 30g

Pencampuran dan pengayakan 60 mesh

Gliserol 20ml

Aquadest 75ml

Ekstruksi

Adonan (10g)

Pengepresan P = 1,35MPa, T = 160C, dan t = 12

Pelepasan

Edible Film

Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Edible Film dengan Cara Compression Molding dengan Ekstrusi

Tapioka 70g

ISP 30g

Pencampuran dan pengayakan 60 mesh

Gliserol 20ml

Aquadest 75ml

Pengadukan t = 30

Aging T= 4 oC, t= 7 hari

Adonan (10g)

Pengepresan P = 1,35MPa, T = 160C, dan t = 12

Pelepasan

Edible Film

Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Edible Film dengan Cara Compression Molding dengan Aging

3.3.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan, yaitu pembuatan edible film dengan metode solvent casting, compression molding degnan ekstrusi, dan compression molding dengan aging. Setiap parameter dilakukan tiga kali ulangan dan dianalisa secara deskriptif (Suryabrata, 1994). Data yang dihasilkan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk mempermudah interpretasi. 3.4 Parameter Pengamatan Adapun parameter yang diamati meliputi: a. Ketebalan (Digimioro ME 50HA, Nikon Corporation, Nikon, Lapan) b. Warna/Derajat kecerahan (Metode color reader CR-10) c. Kekuatan tarik (menurut standart ASTM D638-94 dalam Chang et al, 2000) d. Regangan (menurut standart ASTM D638-94 dalam Chang et al, 2000) e. Laju Transmisi Uap Air (WVTR) (metode Gravimetric Dessicant ASTM E96-92 dalam Chang et al, 2000) f. Foto mikrostruktur (SEM)

3.5 Prosedur Analisa 3.5.1 Ketebalan (Digimioro ME 50HA, Nikon Corporation, Nikon, Lapan) Pengukuran ketebalan menggunkan alat mikrometer. Lembaran film yang telah terbentuk diukur ketebalannya pada lima posisi yang berbeda dan kemudian diambil nilai rata-ratanya.

3.5.2 Warna/Derajat kecerahan (Metode color reader CR-10) Derajat kecerahan (L*) diukur menggunakan color reader CR-10 dengan nilai L berkisar dari 0 sampai dengan 100

3.5.3 Kekuatan Tarik (menurut standart ASTM D638-94 dalam Chang et al, 2000) Potongan plastik edible film dengan ukuran lebar 10 mm dan panjang 80 mm disimpan terlebih dahulu dalam toples berisi silika gel selama satu hari. Kemudian kekuatan tarik plastik diukur dengan menggunakan Universal Testing Machine. Kecepatan penarikannya 19.05 mm/menit. Ukuran spesimen dapat dilihat pada Gambar 3.4R66

10

26 20 80

Gambar 3.4 Spesimen Uji Tarik (menurut ASTM D638-94 dalam Chang et al, 2000) Kekuatan tarik ditentukan dari perbandingan kekuatan pada beban maksimum dengan luas area spesimen plastik (mm2). Kekuatan tarik tersebut dapat dirumuskan: = dengan: = Kekuatan tarik (N/mm2) F = Gaya tarik (N) A = Luas area gaya bekerja (mm2)

F A

..............................................................................................

40

(1)

3.5.4 Regangan (menurut Standart ASTM D638-94 dalam Chang et al, 2000) Sesuai dengan prosedur pengujian kekuatan tarik. Plastik diukur regangannya dengan menggunakan Universal Testing Machine. Regangan tersebut dapat dirumuskan:

I! dengan:

(l .................................................................................................. l0

(2)

= Regangan (%) l = Pertambahan panjang (mm)

l0 = Panjang mula-mula (mm)3.5.5 Laju Transmisi Uap Air (WVTR) (metode Gravimetric Dessicant ASTM E96-92 dalam Chang et al, 2000) Tabung film yang berisi silica gel dengan berat 10 gram ditutup dengan plastik yang akan diuji. Permukaan antara tabung film dengan plastik dilapisi lilin, kemudian permukaan luar plastik diikat dengan isolasi plastik sehingga tabung film tertutup rapat. Tabung film tersebut dimasukan dalam toples yang diisi dengan NaCl 40% (b/v). Toples tersebut disimpan pada suhu 25oC. Tabung film ditimbang tiap 2 jam selama 3 hari. Kecepatan perubahan berat plastik dibagi luas area plastik merupakan nilai WVTRnya. Sehingga WVTR tersebut dapat dirumuskan:

3.5.6 Foto mikrostruktur (SEM) Potongan plastik edible film dengan ukuran lebar 10 mm dan panjang 80 mm disimpan terlebih dahulu pada suhu 4oC selama 7 hari, kemudian dikeringkan dengan freeze drier. Setelah itu lembaran film dipotong melintang. Potongan film diletakkan dalam stuple, lalu dilapisi dengan emas kemudian dianalisa menggunakan SEM dengan perbesaran 1500 atau 2000 kali.

WVTR =

Kecepa tan Perubahan Berat Plastik (g/jam.mm2) .............. Luas rea Plastik

(3)

DAFTAR PUSTAKA

Chang, Y.P., P.B. Cheah and C.C.Seow. 2000. Plasticizing-antiplastisizing effect of water on physical properties of tapioca starch films in teh glassy state. J. Food. Sci.65 (3):445-451. Krotcha J.M and J.C De Mulder. 1997. Edibel and Biodegradable polymer film. Challenges and Opportunities Krochta J,M, E.A Baldwin and M.O.N. Carriedo. 1994. Edibel Coasting and ilm to improve ood Quality. Technomic Publishing Co. Inc Lancaster. Basel Suryabrata, S. 1994. Metodologi Penelitian. Jakarta: Paja Grafindo Persada.