PRODUKTIVITAS JAGUNG HIBRIDA DAN KOMPOSIT SEBAGAI...
Transcript of PRODUKTIVITAS JAGUNG HIBRIDA DAN KOMPOSIT SEBAGAI...
Seminar Nasional dan Lokakarya Peran Inovasi Teknologi Pertanian dalam Pengembangan Bioindustri Berkelanjutan untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan
582
PRODUKTIVITAS JAGUNG HIBRIDA DAN KOMPOSIT SEBAGAI
KONSERVASI LAHAN MARGINAL IKLIM KERING DI NTB
Ahmad Suriadi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Walaupun topografi lahan marginal yang berbukit sampai bergunung dan
didominasi batuan dipermukaannya, namun petani masih memanfaatkan wilayah
tersebut dengan menanam jagung hibrida. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui produktivitas jagung hibrida dan komposit pada lahan marginal dengan
sifat hujan yang eratik. Penelitian ditata dengan rancangan acak kelompok yang
melibatkan 10 petani sebagai kooperator yang menanam kedua jenis jagung
tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi lahan lokasi pengkajian
merupakan lahan marginal yang ditandai oleh topografi yang bergunung sampai
berbukit dan permukaan tanah didominasi oleh batu dan sifat hujan yang eratik dan
curah hujan yang rendah. Produktivitas jagung komposit verietas Srikandi Kuning
lebih tinggi 10% dibandingkan dengan jagung hibrida Bisi 2. Keragaan agronomi
yang lain juga menunjukkan bahwa biomasa basah dan kering dan tinggi tanaman
untuk jagung komposit lebih tinggi dibandingkan dengan jagung hibrida. Dengan
demikian disaran agar petani lebih baik menanam jagung komposit pada kondisi
lahan yang demikian.
Kata kunci: Produktivitas, jagung hibrida dan komposit, lahan marginal,
lahan kering.
ABSTRACT
Although the topography of marginal lands is hilly to mountainous and dominated
by rocks on the surface, farmers still use the land to cultivate hybrids maize. The
purpose of this study was to determine the productivity of maize hybrid and
composite on marginal land with eratik rainfall properties. The study was laidout
with a randomized block design involving 10 farmers as cooperators by planting
both types of hybrid and composite maizes. The results showed that the condition of
study site was marginal land, was characterized by mountainous to hilly
topography, and was dominated by rock in the surface soil with eratik and low
rainfall. Productivity of maize composite of Srikandi Kuning was 10% higher than
hybrids maize of Bisi 2. Other agronomic parameters also showed that wet and dry
biomass and plant height for maize composite was higher than hybrid maize. Thus,
it has suggested that farmers may cultivate composite maize of Srikandi Kuning
than hybrid miaze on such land conditions.
Keywords: Productivity, hybrid and composite maize, marginal land, dryland
Erawati BTR., et al., Y., Adaptasi Beberapa Varietas Jagung Bersari Bebas di Lahan Kering Iklim Kering dengan
Pengairan Sprinkler
583
PENDAHULUAN
Lahan kering (upland) adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa
penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau
air irigasi (Utomo, 2002; Sivakumar dan Valentine, 1997). Definisi yang diberikan oleh Soil
Survey Staff (1998), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau
digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan kering dapat
dijumpai dari dataran rendah (0-700 meter di atas permukaan laut) hingga dataran tinggi (>700
meter di atas permukaan laut).
Lahan kering di NTB mencapai 600.000 ha (BPS, 2010) dan sebagian besar masyarakat
miskin di NTB tinggal dipedesaan yang sumber kehidupannya bergantung pada pertanian pada
lahan kering. Ketersediaan air, tingkat kesuburan tanah yang rendah terutama kandungan bahan
organik yang rendah, erosi tinggi pada lahan berlereng menjadi kendala utama dalam
meningkatkan produktivas lahan kering (Jensen et al., 2003). Pertanian lahan kering sangat
bergantung pada ketersediaan hujan yang memang sudah terbatas sehingga sangat rentan
terhadap gagal panen. Disamping itu, cara budidaya yang tidak sesuai dengan teknologi sistem
budidaya lahan kering juga berkontribusi dalam menurunkan produktivitas lahan.
Mempertahankan kesuburan tanah dalam kondisi curah hujan yang terbatas dan eratik
merupakan masalah tersendiri pada pertanian lahan kering, dimana pada masa bero lahan
terbuka dalam jangka waktu lama menyebabkan lapisan permukaan tanah hilang terbawa hujan
sehingga akumulasi erosi permukaan karena hujan merupakan permasalahan tersendiri pada
pertanian lahan kering. Selain itu terbawanya nutrisi tanah yang terangkut bersama hasil panen
juga berkontribusi terhadap penurunan kesuburan tanah (Abdurachman et al., 2008; Mulyani
dan Hidayat, 2009).
Produksi rendah dan terus menurun, dan hanya dapat satu kali panen setiap tahun dan
sering gagal panen merupakan karakter pertanian lahan kering yang potensial memarginalkan
kehidupan masyarakat pedesaan yang menggantungkan hidup pada pertanian lahan kering.
Teknologi dan manajemen praktis untuk mengelola pertanian lahan kering merupakan suatu
kebutuhan sehingga lahan tetap dapat berproduksi setiap tahun melalui kemampuan tanaman
beradaptasi pada kondisi cukup air terbatas untuk dapat mempertahankan kehidupan masyarakat
pedesaan yang bergantung pada pertanian lahan kering (Ma’shum, 1997; Benzinger et al.,
2006).
Pada pertanian lahan kering dibutuhkan cara bercocok tanam yang baik dengan
memanfaatkan sumber air tersedia secara optimal untuk mendukung pertumbuhan optimal
tanaman dalam kondisi air yang terbatas. Perlu dilakukan penanaman tanaman yang dapat
menyuburkan tanah dan daur ulang sehingga nutrisi yang hilang bersama hasil panen dapat
dikembalikan ke lahan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesuburan lahan (Nursyamsi
et al., 2005).
Kenyataan dilapangan, petani menanam jagung pada musim hujan di lahan yang
sesungguhnya tidak direkomendasikan untuk ditanam yaitu pada lahan dengan kemiringan lebih
Seminar Nasional dan Lokakarya Peran Inovasi Teknologi Pertanian dalam Pengembangan Bioindustri Berkelanjutan untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan
584
dari 40% dan kondisi permukaan yang berbatu (lebih dari 40%) (Tuan et al., 2014). Disamping
itu petani masih terus menanam jagung hibirda yang kemungkinan besar produksinya rendah
karena tidak didukung oleh kondisi lahan dan air yang ideal untuk pertumbuhannya. Umumnya
jagung hibrida akan tumbuh dan berproduksi tinggi pada kondisi lingkungan (kesuburan tanah
dan ketersediaan air) yang optimal. Sejauh ini belum ada kajian yang mendalam tingkat
produktivitas jagung hibrida maupun komposit yang ditanam pada kondisi lahan marginal dan
iklim kering. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana produktivitas jagung
komposit dan hibrida sebagai konservasi lahan pada iklim kering dan marginal.
MATERI DAN METODE
Percobaan dilaksanakan di lahan kering beriklim kering di desa Jeringo, kecamatan
Suela, kabupaten Lombok timur pada musim hujan 2012/2013. Lokasi merupakan daerah
transmigrasi dengan topografi berbukit sampai bergunung. Kegiatan dilaksanakan dilahan
petani yang melibatkan sebanyak 10 petani sebagai kooperator. Setiap petani kooperator
menanam 2 varietas jagung yaitu jagung komposit verietas Srikandi Kuning dan hibrida Bisi 2
pada lahan mereka.
Jagung ditanam dengan jarak tanam jagung 75 cm x 40 cm dengan 2 biji per lubang,
kemudian ditutup dengan pupuk kandang. Dosis pupuk yang digunakan adalah 200 kg Urea/ha
+ 75 kg ZA + 250 kg NPK Phonska + 3 ton pupuk kandang. Pupuk pertama diberikan pada
umur 7 hari setelah tanam (hst) dengan dosis 250 kg NPK Phonska + 75 kg ZA, dengan cara
ditugal pada jarak 5 cm dari rumpun tanaman. Pemupukan kedua dilakukan pada umur 35 hst
dengan dosis 200 kg Urea dengan ditugal pada jarak 10 cm dari tanaman dan ditutup kembali
dengan tanah.
Data yang diamati meliputi biomas basah dan kering, tinggi tanaman dan hasil (kg/ha).
Data dianalisis dengan sidik ragam dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test dan secara
deskriptif. Data iklim terutama curah hujan harian diperolah dari stasiun iklim yang ada di
wilayah Sandubaya, sekitar 5 km dari lokasi pengkajian. Jarak tersebut masih mewakili lokasi
pengkajian untuk data iklim. Disamping itu, Ombrometer (penangkar curah hujan) juga
dipasang dilokasi pengkajian untuk mengetahui curah hujan real selama percobaan dilakukan.
Survei kondisi biofisik lahan juga dilakukan untuk mendapatkan karakteritik lahan yang akan
dilakukan percobaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Iklim dan Wilayah
Lokasi pengkajian merupakan wilayah lahan kering iklim kering. Hal ini ditunjukkan
oleh tidak ada sumber air untuk budidaya pertanian selain dari air hujan. Disamping itu total
curah hujan tahunan dilokasi pengkaijan selama 11 tahun adalah 640 mm/tahun, dimana total
curah hujan tahunan lokasi pengkajian tersebut kurang dari 1500 mm. Rata-rata keragaan curah
hujan bulanan selama 13 tahun (2000 – 2012) wilayah tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Bulan basah (bulan yang curah hujannya > 100 mm) di wilayah pengkajian hanya 3 bulan yaitu
Erawati BTR., et al., Y., Adaptasi Beberapa Varietas Jagung Bersari Bebas di Lahan Kering Iklim Kering dengan
Pengairan Sprinkler
585
dari Desember – Februari dan selebihnya merupakan bulan kering (Maret-Nopember) (Oldemen
et el., 1980).
Awal musim tanam untuk tanaman jagung di lokasi pengkajian jatuh pada Desember
dasarian I-II. Namun beberapa petani juga mulai tanam pada akhir Nopember, namun tidak
jarang mengalami gagal tumbuh sehingga mereka menugal ulang. Panen jagung biasanya jatuh
sekitar bulan April yang berlangsung selama satu bulan. Setelah panen jagung, lahan petani
biasanya tidak ditanami karena terbatasnya air. Beberapa petani mencoba menanam kacang
hijau setelah jagung, namun produktivitasnya sangat rendah dan sebagian besar biomasnya
dapat digunakan untuk pakan sapi pada bulan Mei/Juni.
Gambar 1. Variasi rata-rata curah hujan bulanan selama 13 tahun (2000-2012) di wilayah
pengkajian.
Data yang lebih detail tentang distribusi curah hujan dalam bentuk persepuluh harian
dapat dilihat pada Table 1. Terlihat jelas bahwa curah hujan pada Nopember dan Desember
tidak cukup unrtuk mendukung petumbuhan jagung. Untuk pertumbuhan jagung yang optimal
dibutuhkan curah hujan minimal 50 mm berturut-turut selama 3 kali dasarian atau paling tidak
dibutuhkan curah hujan 150 mm selama satu bulan untuk bisa menanam jagung sehingga dapat
tumbuh dengan baik (Las et al., 1995). Berdasarkan sebaran curah hujan pada Desember dan
Januari, maka waktu tanam yang sangat baik dapat dilakukan pada dasaran ketiga Desember
sampai dasaran pertama Januari. Kegiatan penanaman jagung di lokasi percobaan telah
dilakukan pada 1-5 Januari 2013.
Tabel 1. Curah hujan per sepuluh harian (dasarian) selama pertumbuhan tanaman jagung di
lokasi percobaan.
Dasarian Nop Des Jan Feb Mar Apr
I 9 37 102.5 165 0 66
II 14.5 45.5 148 0 240 50
III 9.5 14 93 3 24 26
Total 33 96.5 343.5 168 264 142
Seminar Nasional dan Lokakarya Peran Inovasi Teknologi Pertanian dalam Pengembangan Bioindustri Berkelanjutan untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan
586
Karakteristik fisik lokasi pengkajian juga sangat bervariasi (Tabel 2). Sebagian besar
bentuk wilayahnya bergunung (36 %) dan berbukit (34 %) dan hanya 30 % bergelombang
sedangkan wilayah yang datar tidak terdapat dilokasi pengkajian. Kondisi tersebut
menyebabkan drainase wilayah pengkajian cukup baik, namun sangat peka terhadap erosi
apabila tidak ditangani dengan baik. Demikian juga tekstur wilayah pengkajian didominasi oleh
liat bahkan pada bagian subsoil tanah semuanya bertekstur liat dengan kedalaman solum lebih
dari 100 cm dan pH berkisar netral. Namun demikian, permukaan tanah didominasi oleh batuan
(Gambar 2). Walaupun kondisi permukaan tanah bebatuan dan sebagian besar (70%) lahan
mempunyai kemiriangan lereng lebih dari 40%, lahan tersebut masih digunakan untuk ditanami
jagung oleh petani.
Tabel 2. Karakterisasi fisik wilayah pengkajian
NO.
SPT Klasifikasi tanah
Bentuk wilayah
(lereng %) Drainase
Tekstur
atas bawah
1 Typic Haplustalfs Bergelombang (8-15) baik
liat berpasir
halus liat
2 Typic Argiustolls Bergelombang (8-15) baik liat berdebu liat
3 Typic Haplustepts Berbukit (15 - 30) baik liat berdebu liat
4 Typic Haplustepts Bergunung (>30) baik liat berdebu liat
No
SPT
pH Kedalaman
solum (cm)
Kedalaman air
tanah (m)
Batu di
permukaan Luas (ha)
Atas Bawah
1 6,6 6,7 > 100 > 100 sedikit 70
2 6,5 6,6 > 100 > 100 banyak 61
3 6,6 6,6 > 100 > 100 banyak 147
4 6,6 6,5 > 100 > 100 banyak 155
Luas total 433
Gambar 2. Lokasi pengkajian dengan kondisi lahan yang berbatu dan topografi bergunung
Erawati BTR., et al., Y., Adaptasi Beberapa Varietas Jagung Bersari Bebas di Lahan Kering Iklim Kering dengan
Pengairan Sprinkler
587
Keragaan Agronomis Jagung Komposit dan Hibrida
Keragaan agronomis dan produktivitas jagung hibrida dan komposit yang ditanam di
lahan marginal dapat dilihat pada Tabel 3. Luas lahan yang digunakan untuk pengkajian ini
bervariasi pada setiap petani baik yang digunakan untuk menanam jagung komposit maupun
hibrida. Hasil real yang diperoleh petani dari luas lahan yang digunakan untuk tanaman jagung
dikoversikan ke dalam ton per ha.
Hasil yang diperoleh petani juga bervariasi baik pada jagung komposit maupun pada
jagung hibrida. Namun secara umum variasi tersebut tidak terlalu besar yang ditunjukkan oleh
nilai coefisien variation (cv%) tidak begitu besar. Demikian juga untuk parameter yang lain
seperti biomassa basah dan kering dan tinggi tanaman. Dengan demikian data yang diperoleh
mempunyai tingkat homogenitas yang cukup tinggi.
Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum keragaan agronomi jagung komposit lebih
tinggi dibandingkan dengan jagung hibrida untuk setiap parameter yang diamati. Rata-rata
tinggi tanaman jagung komposit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jagung hibrida.
Demikian juga biomas basah dan kering, lebih tinggi jagung komposit dibandingkan dengan
jagung hibrida (Hipi, 2009). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sifat genitas jagung
komposit (Zubactirodin et al., 2004). Dari table tersebut dapat dilihat bahwa produksi biomas
jagung komposit srikandi kuning lebih tinggi dibandingkan dengan jagung hibrida Bisi 2.
Demikian juga prodiktivitas jagung komposit vareitas Srikandi kuning lebih tinggi
dibandingkan dengan jagung hibrida Bisi 2. Produktivitas jagung sesungguhnya sangat
ditentukan juga oleh kondisi lingkungan tumbuhnya. Umumnya jagung hibrida akan
berproduksi maksimum pada kondisi lingkungan tumbuh yang optimum seperti tidak adanya
pembatas kesuburan dan pengairan yang terjamin. Sesungguhnya kedua pembatas tersebut telah
ada pada lahan kering marginal dan iklim kering (Gambar 1 dan 2; Tabel 1 dan 2). Kondisi
tanah yang sebagian permukaannya di dominasi oleh batu menyebabkan daerah perakaran
tanaman menjadi terbatas dan dangkal. Kondisi tersebut justru diperburuk oleh curah hujan
yang sangat sedikit dan bersifat eratik.
Jagung ditanam pada awal Januari 2013 dan kedua jenis jagung tersebut tumbuh dengan
baik, bahkan vigoritas jagung hibrida lebih baik dibandingkan dengan jagung komposit. Namun
setelah mencapai fase vegetatif maksimum (umur 45 hst) dan saat petani akan melakukan
pemupukan yang kedua kalinya, ternyata hujan menghilang selama 30 hari mulai dasarian (per
sepuluh harian) kedua Februari sampai dasarian pertama Maret (Tabel 1). Pada kondisi curah
hujan yang tidak ada, petani tidak berani memupuk tanaman jagung sampai pada dasarian kedua
Maret. Namun waktu untuk mempupuk sudah tidak optimum lagi karena tanaman sudah
mencapai umur 60-65 hari setelah tanam (hst) walaupun petani juga melakukan pemupukan,
dimana pada umur tersebut sudah memasuki pengisian kelobot (generatif) (Hipi dan Erawati,
2006). Nielsen et al. (2010) melaporkan bahwa penurunan hasil jagung bisa mencapai 50%
apabila terjadi kekurangan kelembaban tanah selama 6-8 hari selama periode pembungaan.
Lebih lanjut, mereka melaporkan bahwa kehilangan hasil akan semakin nyata apabila tanaman
jagung mengalami stress air pada periode pembentukan klobot sampai pengisian biji. Apabila
Seminar Nasional dan Lokakarya Peran Inovasi Teknologi Pertanian dalam Pengembangan Bioindustri Berkelanjutan untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan
588
tanaman jagung menderita stress air pada periode pembentukan dan pengisian klobot maka akan
mengurangi kelangsungan hidup (viability) serbuk sari (pollen) dan ukuran kernel jagung
menjadi kecil (Waldren, 1983; Hall, 2001; Westgate, 1994; Nielsen et al., 2009). Pada kondisi
lahan yang marginal dan curah hujan yang serba terbatas tersebut, sepertinya jagung komposit
masih lebih bertahan untuk berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan jagung hibrida
sebanyak 10,4%.
Tabel 3. Keragaan agronomis dan produktifitas jagung komposit dan hibrida pada lahan petani
kooperator.
Perlakuan Nama petani
(ulangan)
Luas lahan
(ha)
Hasil
(t/ha)
Biomass
basah (kg/ha)
Biomass
kering
(kg/ha)
Tinggi
tan.
Komposit
(srikandi
kuning)
A. Adi 0,75 7,2 23108,4 16354,2 239,8
A. Sahar 0,3 7,1 23930,1 16012,1 281,0
A. Amirin 0,75 7,3 24730,1 16518,1 272,4
A Safar 0,25 7,7 21422,1 16229,6 264,0
A. Yuliana 0,5 7,4 21478,7 16254,9 257,2
A. Solihin 0,2 7,5 20837,4 15687,3 266,6
A. Faris 0,2 8,0 26128,7 16670,5 269,0
A. Rohili 0,2 7,5 20898,7 15894,9 261,2
A. Zaeanal 0,35 7,1 22960,1 15872,1 253,2
A. Nan 0,2 7,5 21982,4 15787,3 261,4
Hibrida
(bisi 2)
A. Adi 0,75 7,1 19302,4 14235,2 201,3
A. Sahar 0,5 7,4 18910,1 15029,1 211,2
A. Amirin 0,75 7,1 18733,9 14988,1 197,3
A Safar 0,7 7,1 17422,1 13989,6 198,3
A. Yuliana 0,5 6,0 20478,7 15032,9 231,1
A. Solihin 0,5 6,4 18274,4 14127,3 204,0
A. Faris 0,5 7,1 17342,7 13970,5 210,0
A. Rohili 0,3 6,5 16398,7 13291,9 230,0
A. Zaeanal 0,6 6,3 16030,1 12972,1 193,0
A. Nan 0,25 6,4 17212,4 13952,3 189,0
Mean
Komposit
7,4b 22747,7b 16128.1b 262,6b
Hibrida
6,7a 18010,5a 14158.9a 206,5a
cv%
5,2 7,6 2,9 5,3
Catatan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji lanjut dengan Duncan multiple range test α5%.
Berdasarkan hasil pengkajian ini maka sebaiknya petani menanam jagung komposit
dibandingkan jagung hibrida pada lahan marginal dan iklim kering. Tentunya hal ini harus
diikuti oleh penyediaan benih dan sistem perbenihan yang mantap sehingga petani mendapatkan
benih pada saat mereka membutuhkannya. Hal ini terutama pada masa kritis penanaman yang
berlangsung cukup pendek karena waktu tanam sangat tergantung pada curah hujan.
Erawati BTR., et al., Y., Adaptasi Beberapa Varietas Jagung Bersari Bebas di Lahan Kering Iklim Kering dengan
Pengairan Sprinkler
589
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kondisi lahan lokasi pengkajian merupakan lahan marginal yang ditandai oleh topografi
yang bergunung sampai berbukit dan permukaan tanah didominasi oleh batu dan sifat hujan
yang eratik dan curah hujan yang rendah. Produktivitas jagung komposit di lahan kering
marginal iklim kering lebih tinggi 10% dibandingkan dengan produktifitas jagung hibrida Bisi
2. Parameter agronomi yang seperti biomasa basah maupun kering dan tinggi tanaman lebih
tinggi pada jagung komposit Srikandi Kuning dibandingkan dengan jagung hibrida Bisi 2.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan agar petani lebih baik menanam benih
jagung komposit daripada jagung hibrida. Hal ini disamping harga benih jagung hirbida lebih
mahal daripada jagung komposit, juga produktivitasnya lebih rendah pada lahan tersebut.
Percobaan ini perlu direplikasi ditempat lain dengan variasi iklim terutama curah hujan yang
berbeda dan sifat marginal lahan yang lebih bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Dariah, dan A. Mulyani, 2008. Strategi dan Teknologi Lahan Kering
Mendukung Pengadaan Pangan Nasional. Jurnal Penelitian dan Penembangan
Pertanian. 27 (2):43-48
Benzinger, M., P.S. Setimle, D. Hodson. and B. Vivek, 2006. Breeding for improved abiotic
stress. Agri. Water Manage. 80: 212-224
BPS NTB., 2010. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat
Hall, A.E., 2001. Crops Responses to Environment. CRC Press. New York
Hipi Awaludin, dan B. Tri Ratna Erawati, 2006. Kajian Teknologi Budidaya Jagung Di Lahan
Kering Beriklim Kering Di Kabupaten Lombok Timur Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional “Iptek Solusi Kemandirian Bangsa dalam Tahun Indonesia untuk
Ilmu Pengetahuan”. Yogyakarta 2 – 3 Agustus 2006
Hipi Awaludin, 2009. Laporan Akhir Adaptasi Beberapa varietas Jagung Hibrida di NTB.
Competitive Collaborative Research Grants. ACIAR SADI
Jensen, J.R., R.H. Bernhard, H. Hansen, J. McDonagh, J.P. Moberg, N.E. Nielsen and E.
Nordbo, 2003. Produkctivity of maize based cropping systems under varios soil-water-
nurtient management strategies in semi-arid, Alfisols enviroenment in East Africa. Agri.
Water Manage. 59, 217-237
Las, I., M.B.L. De Rozari, A. Bey, J.S. Baharsyah, E. Guhardja. S.N. Darwis, dan A.S. Karama,
1995. Pengunan model iklim dan tanaman untuk pengembangan komoditas pertanian di
Sikka dan Ende, NTT. Agromet Journal XI (I):1-34
Ma’shum, M (1997). Kemangkusan (Efficiency) Pemupukan dilahan kering. Makalah
disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Sub Sektor Tanaman
Pangan di Mataram 12-14 Maret 1997
Mulyani, A. dan Hidayat, 2009. Peningkatan kapasitas produksi tanaman pangan pada lahan
kering. Jurnal Sumberdaya Lahan Pertanian. 3 (2): 73-84
Nielsen, D.C., A.D. Halvorson, and M.F. Vigil, 2010. Critical presipitation period for dryland
maize production. Field Crops Res. 118: 259-263
Seminar Nasional dan Lokakarya Peran Inovasi Teknologi Pertanian dalam Pengembangan Bioindustri Berkelanjutan untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan
590
Nielsen, D.C., M.F. Vigil and J.G. Benjamin, 2009. Variable responses of dryland corn grain
yoeld to soil water content at planting. Agri. Water manage. 96: 330-336
Nursyamsi, D., Husnain, A. Kasno dan D. Setiorini, 2005. Tanggapan tanamn jagung terhadap
MOP Rusia pada Inseptisols and Ultisols. Jurnal Tanah dan Iklim. 23: 13-23
Oldeman, L.R., Irsal Las , dan Muladi, 1980. The Agroclimatic Map of Kalimantan, Irian Jaya,
and Bali, West and East Nusa Tenggara. CRIA. Bogor. Indonesia
Sivakumar, M.V.K dan Valentine, C., 1997. Agroecological zones and the assessment crop
production potential. Phil. Tran. R. Soc. B. 352. 907-916
Soil Survey Staff, 1998. Keys to Soil Taxonomy, 8th edition 1998. Nasional Resources
Conservation Service, USDA
Tuan, V.D., T. Hilger, L. MacDonald, G. Clements, E. Shiraishi, T.D. Vien, K. Stahr, and G.
Cadisch, 2014. Mitigation of potential soil conservation in maize cropping on steep
slopes. Field Crop Res. 156: 91-102
Utomo, 2002. Pengelolaan lahan kering untuk pertanian berkelanjutan. Seminar Nasional IV
pengembangan wilayah lahan kering dan pertemuan ilmiah tahunan himpunan ilmu
tanah Indonesia di mataram, 27-28 Mei 2002
Waldren, R.P., 1983. Corn. In: Teare I.D. and Peet M.M. (Eds.). Crop-Water Relations. John
Wiley and Sons. Inc. New York. PP 187-211
Zubactirodin, S. Saenong, Subandi dan A. Hipi, 2004. Budidaya Jagung pada lahan kering
beriklim kering melalui pendekatan pengelolaan sumberdaya dan tanaman terpadu
(PTT) di Lombok Timur. Laporan Hasil Penelitian. Maros Sul-Sel.