Presus Tbc (Dr.muhardi)2

32
PRESENTASI KASUS TUBERKULOSIS PARU DENGAN NIDDM DAN LIVER INSUFISIENSI Disusun Oleh : Mohamad Fikih Diajukan Kepada : Dr. Muhardi Dj, Sp.P SMF PENYAKIT PARU UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

Transcript of Presus Tbc (Dr.muhardi)2

Page 1: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

PRESENTASI KASUS

TUBERKULOSIS PARU DENGAN NIDDM DAN LIVER INSUFISIENSI

Disusun Oleh :

Mohamad Fikih

Diajukan Kepada :Dr. Muhardi Dj, Sp.P

SMF PENYAKIT PARU UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAKARTARSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

PURWOKERTO2009

Page 2: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

a. Definisi (4,5)

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari

Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang merupakan organisme

patogen maupun saprofit. Kuman ini dapat bersifat dormant, yaitu kuman dapat

bangkit kembali dan menjadi aktif kembali.

Sifat lain dari kuman ini ialah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman

lebih menyenangi jaringan yang kadar oksigennya tinggi. Tekanan oksigen pada

bagian apikal paru-paru lebih tinggi dibanding bagian yang lain, sehingga bagian ini

merupakan tempat predileksi dari infeksi Mycobacterium tuberculosis.

b. Patogenesis tuberculosis (2,3,4)

1. Tuberkulosis Primer

Penularan Tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau

dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Bila partikel infeksi

ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan napas atau paru-

paru. Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru akan membentuk sarang

tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer

(fokus Ghon). Sarang primer ini dapat terjadi di bagian mana saja pada

jaringan paru.

Sarang primer ini bersama-sama dengan limfangitis lokal (peradangan

KGB hilus) akan membentuk komplek primer (kompleks Ghon).

Komplek primer ini selanjutnya dapat menjadi

a). Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.

b). Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,

kalsifikasi di hilus atau kompleks (sarang Ghon).

c). Berkomplikasi dan menyebar secara : per kontinuitatum, bronkogen,

limfogen, dan hematogen.

1

Page 3: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

2. Tuberkulosis Post Primer

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul

bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis

dewasa (tuberkulosis post primer). Tuberkulosis post primer ini dimulai

dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru-paru (bagian apikal

posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim

paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.(4)

Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas penderita,

sarang dini ini dapat menjadi.(4)

a). Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

b). Sarang yang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan

serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi lebih

keras, menimbulkan perkapuran dan akan sembuh dalam bentuk

perkapuran.

c). Sarang dini yang meluas dimana granuloma berkembang menghancurkan

jaringan sekitarnya, membentuk jaringan keju yang jika dibatukkan

keluar terjadilah kavitas.

c. Klasifikasi Tuberkulosis (4)

Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah :

1. Tuberkulosis paru

2. Bekas tuberkulosis paru

3. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam

a). Tuberkulosis paru tersangka yang diobati

Disini sputum BTA negatif, tapi tanda-tanda positif.

b). Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati

Disini sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.

2

Page 4: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

d. Gejala Klinis (3,4,5)

1. Demam

Hilang timbulkan demam influenza (subfebril), sehingga penderita pernah

terbebas dari serangan demam tersebut.

2. Batuk

Sifat batuk mulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul

peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut

adalah berupa batuk darah (hemoptoe) karena terdapat pembuluh darah yang

pecah.

3. Sesak nafas

Sasak nafas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, di mana infiltrasinya

sudah setengah bagian paru-paru.

4. Nyeri dada

Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga

menimbulkan pleuritis.

5. Malaise

Gejala malaise sering ditemukan berupa : anoreksia, tidak ada nafsu makan,

badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot,

keringat malam, dan lain-lain. Gejala ini makin lama makin berat dan terjadi

hilang timbul secara tidak teratur.

e. Pemeriksaan Fisik (3,4,5)

Tempat kelainan yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila

dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, didapatkan perkusi yang redup dan

auskultasi suara nafas brokial.

Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronkhi basah kasar dan

nyaring. Tetapi infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya

menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi

memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara

amforik.

Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan

atrofi dan retraksi otot-otot interkostal, dan terdapat tanda-tanda cor pulmonal

3

Page 5: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

denga gagal jantung kanan : takipnea, takikardi, sianosis, right ventricular lift,

right atrial gallop, Graham-Steel murmur, bunyi jantung P2 yang mengeras,

tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan edema.

Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura dengan tanda-

tanda : paru yang sakit tertinggal dalam pernafasan, perkusi pekak, auskultasi

lemah sampai tidak terdengar.

f. Pemeriksaan Laboratorium (3,4,5)

1. Darah

Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif), akan diadapatkan lekositosis

dengan shift to the left, limfosit di bawah normal, LED meningkat.

Pemeriksaan serologis dengan reaksi Takahashi, jika positif titernya adalah

1/128.

2. Sputum

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3

batang kuman BTA pada satu sediaan.

3. Tes Tuberkulin

Biasanya dipakai cara Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin

PPD intrakutan berkekuatan 5 t.U. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan,

akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat

limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular dan antigen

tuberkulin. Biasanya hampir seluruh penderita tuberkulosis memberikan

reaksi Mantoux yang positif (99,8%).

g. Pemeriksaan Radiologis (3,4,5)

Radiograf dada merupakan alat yang penting untuk diagnosis dan evaluasi

tuberculosis. Lesi primer yang telah menyembuh dapat meninggalkan nodul

perifer yang kecil yang dapat mengalami kalsifikasi bertahun-tahun. Kompleks

Ghon membentuk nodul perifer berkalsifikasi bersama dengan kelenjar limfe hilus

yang mengalami kalsifikasi.

4

Page 6: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

Infiltrasi multinoduler pada segmen apikal posterior lobus atas dan segmen

superior lobus bawah merupakan lesi yang paling khas. Kavitasi sering ada dan

biasanya disertai dengan banyak infiltrasi di segmen paru yang sama. Ketika

tuberkulosis menjadi tidak aktif atau menyembuh, jaringan parut fibrotik menjadi

tampak pada foto thoraks.

h. Diagnosis

Menurut American Thoracic Society, diagnosis pasti tuberkulosis paru

adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum

atau jaringan paru secara biakan.

Dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis,

status bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapinya.

i. Pengobatan (2,4,5)

Jenis obat yang dipakai dalam pengobatan tuberkulosis adalah :

1. Obat primer (OAT tingkat satu)

Yang termasuk dalam golongan ini ialah : isoniazid hidrasid (INH), rifampin,

pirazinamid, streptomicin, dan etambutol.

1. Obat sekunder (OAT tingkat dua)

Yang termasuk dalam golongan ini ialah : kanamisin, PAS (paraamin

salicylic acid), tiasetazon, etionamid, protionamid, sikloserin, viomisin,

kapreomisin, amikasin, ofloksasin, ciprofloksasin, norfloksasin, klofazimin.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi tiga kategori :

1. Kategori 1 (2 HRZE/ 4H3R3)

Panduan ini terdiri atas : 2 bulan fase awal intensif dengan Isoniasid

(H), Rimfamicin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) diminum setiap hari

diteruskan dengan fase lanjutan atau intermiten selama 4 bulan dengan

Isoniazid (H), dan Rifampicin (R), tiga kali dalam seminggu.

Kategori 1 diberikan untuk :

a. Penderita baru BTA positif

5

Page 7: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

b. Penderita BTA negatif/ rontgen positif yang rasa sakit berat dan ekstra

berat (meningitis, tb disseminata, perikarditis, peritonitis, pleuritis, tb usus

dan genitourinarius), yang belum pernah menelan OAT atau kalau pernah

kurang dari satu bulan.

2. Kategori 2 (2 HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan ini terdiri atas : 2 bulan fase awal intensif dengan Isoniazid

(H), Rimfamicin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), diminum setiap hari,

dan setiap kali selesai minum obat langsung diberi suntikan streptomisin.

Kemudian satu bulan lagi dengan Isoniazid (H), Rifampicin (R), Pirazinamid

(Z), Etambutol (E) diminum setiap hari tanpa suntikan. Setelah itu diteruskan

dengan fase lanjutan atau intermiten selama 5 bulan dengan HRE diminum

secara intermiten atau selang sehari atau tiga kali dalam seminggu.

Yang termasuk penderita kategori 2 :

a. Kambuh (relapse) BTA positif.

b. Gagal (failure) BTA positif

c. Kasus DO (drop out)

3. Kategori 3 (2HRZ/ 4H3R3)

Paduan ini terdiri atas 2 bulan fase awal intensif dengan HRZ diminum

setiap hari kemudian diteruskan dengan fase lanjutan atau intermiten selama

4 bulan dengan HR diminum 3 kali seminggu.

Yang termasuk penderita kategori 3 :

a. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas

b. Kasus tuberkulosis ekstra paru selain yang disebut dalam kategori 1

Selain penatalaksanaan secara farmakologis, penatalaksanaan secara non

farmakologis (edukasi) ataupun operatif juga harus dilakukan sesuai dengan

kondisi pasien.

Edukasi pada pasien tuberkulosis antara lain :

- Berhenti merokok.

- Keteraturan dan kepatuhan memakan obat.

- Mengenal dan mengetahui hasil dan efek dari pengobatan.

- Mengenal bahaya penularan penyakit.

Sedangkan terapi operatif dilakukan bila terdapat indikasi sebagai berikut :

6

Page 8: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

a. Indikasi mutlak :

- Pasien telah dapat OAT adekuat tapi sputum positif.

- Pasien batuk darah masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.

- Pasien datang dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak

dapat diatasi secara konservatif.

b. Indikasi relatif, yaitu :

- Pasien dengan sputum BTA negatif dengan batuk darah berulang.

- Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan.

- Sisa kavitas yang menetap.

j. Farmakodinamik dan Farmakokinetik OAT (1,4,5)

1. Streptomisin

Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap

kuman tuberkulosis.

Kerja streptomisin in vitro ialah secara supresi, bukan eradikasi kuman

tuberkulosis.

Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke cairan

intra sel.

2. Isoniazid

Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan

KHM ( Konsentrasi Hambatan Minimum) sekitar 0,025-0,05 g/ ml.

Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif.

Mikroorganisme yang sedang istirahat mulai lagi dengan pembelahan

biasa bila kontaknya dengan obat dihentikan.

Aktivitas Isoniazid lebih kuat dibandingkan dengan streptomisin.

Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah. Hanya kuman

peka yang menyerap obat ke dalam selnya dan ambilan ini merupakan

proses aktif.

3. Rifampisin

Rifampicin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif

dan gram negatif.

7

Page 9: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

Rifampicin terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh.

Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polimerase dari

mikrobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula

terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesa RNA.

4. Etambutol

Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel

terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang

bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.

Hampir semua galur Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium

kansasii sensitif terhadap Etambutol. Etambutol ini tidak efektif untuk

kuman lain.

5. Pirazinamid

Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamide menjadi

asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media

yang bersifat asam.

k. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (1,4,5)

Yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Biasanya pemakaian

obat dihentikan.

1. Isoniazid (H)

Sifat bakterisid. Dosis harian 5 mg/kg/BB. Efek samping berat berupa

hepatitis dan terjadi pada kira-kira 0,5% dari kasus. Bila diduga ada hepatitis

atau terlihat adanya penyakit kuning, pengobatan dihentikan. Jika

pemeriksaan faal hati kembali normal, pengobatan dapat dilaksanakan lagi.

Obat yang sama dapat diberikan tanpa terulangnya hepatitis.

2. Rifampicin (R)

Sifat bakterisid, dosis harian 10 mg/kg BB. Bila diberikan sesuai dosis

yang dianjurkan Rifampicin tidak sering menyebabkan efek samping,

terutama pada pemakaian terus menerus setiap hari. Salah satu efek samping

yang berat dari Rifampicin adalah hepatitis, walaupun ini sangat jarang

terjadi.

8

Page 10: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

Alkoholisme, penyakit hati yang pernah ada, atau pemakaian obat-obat

hepatotoksis yang lain secara bersamaan, akan meningkatkan resiko. Bila

timbul penyakit kuning, pengobatan perlu dihentikan. Dan bila hepatitisnya

sudah sembuh/ hilang pemberian Rifampicin dapat diulang lagi.

Rifampicin dapat menyebabkan warna pada air seni, keringat, air mata,

air liur dan lain-lain. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar

jangan khawatir, karena warna merah itu terjadi karena proses metabolisme

obat, tidak berbahaya. Jika pengobatan sudah selesai warna ai seni kembali

normal.

3. Pirazinamid (Z)

Sifat bakterisid, dosis harian 25 mg/kg BB, intermiten 35-50

mg/kg BB. Efek samping utama penggunaan pirazinamid adalah hepatitis.

Dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang serangan penyakit Gout yang

kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi (pengeluaran) dan

penimbunan asam urat.

4. Streptomicin (S)

Sifat bakterisid, dosis harian 15 mg/kg BB, intermiten 15

mg/kgBB. Efek samping utama dari streptomicin adalah kerusakan alat

keseimbangan. Resiko meningkat seiring dengan peningkatan dosis dan

umur. Kerusakan pada alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan

pertama dengan tanda-tanda telinga mendengung (tinnitus), pusing dan

kehilangan kesimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat dihentikan

atau dosisnya dikurangi 0,25 g. Jika pengobatan diteruskan kerusakan alat

keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

Resiko ini terutama akan menigkat pada penderita dengan gangguan fungsi

ekskresi ginjal.

Streptomicin dapat menembus barier placenta sehingga tidak boleh

diberikan pada wanita hamil.

5. Etambutol (E).

Sifat bakteristasik, dosis harian 15 mg/ kg BB, intermiten 30-45

mg/kg BB. Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan,

berkurangnya ketajaman penglihatan, kabur dan buta warna untuk merah dan

9

Page 11: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tergantung pada dosis dan jarang

terjadi

Setiap pasien menerima Etambutol harus diingatkan, bila terjadi gejala-

gejala penglihatan segera dilakukan pemeriksaan mata. Gangguan

penglihatan ini akan kenbali normal bila obat dihentikan.

l. Evaluasi Pengobatan (2,4,5)

a. Klinis

Penderita melakukan kontrol setiap minggu selama 2 minggu,

selanjutnya setiap 2 minggu selama sebulan dan seterusnya sekali sebulan

sampai akhir pengobatan.

Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan dari keluhan-keluhan

penderita seperti : batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan

bertambah, berat badan meningkat, dll.

b. Bakteriologis

Setelah 2-3 minggu pengobatan, sputum BTA mulai menjadi negatif.

Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. Bila sudah negatif,

sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut.

Sputum BTA sebaiknya tetap diperiksa untuk kontrol pada kasus-kasus yang

dianggap selesai pengobatan atau sembuh. Sewaktu-waktu mungkin terjadi

silent bacterial shedding, dimana terdapat sputum BTA positif tanpa disertai

keluhan-keluhan tuberkulosis yang relevan pada kasus-kasus yang memperoleh

kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan

(3 bulan), berarti penderita mulai kambuh lagi tuberkulosisnya.

c. Radiologis

Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Jika

keluhan penderita tetap tidak berkurang, dengan pemeriksaan radiologis dapat

dilihat keadaan tuberkulosis parunya atau adakah penyakit lain yang

menyertainya. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan

bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.

10

Page 12: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

11

Page 13: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

BAB II

PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. M.

Umur : 37 tahun.

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Sokaraja Kulon RT 01/06.

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Islam

Tgl masuk RSMS : 24-10-2003

Tgl Periksa : 27-10-2003

II. ANAMNESIS

A. Keluhan utama : Badan terasa lemas sejak 2 minggu yang lalu.

B. Keluhan tambahan : Keringat malam hari, berat badan menurun.

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan badan terasa lemas sejak ± 2

minggu yang lalu. Keluhan disertai nafsu makan menurun, sakit kepala,

meriang, nyeri otot. Pasien juga merasa bahwa berat badannya menurun

yang semula 46 kg menjadi 39 kg (7 kg) dalam 10 hari.

Kurang lebih 10 hari sebelum masuk RS, pasien merasakan

badannya terasa panas, biasanya panas dirasakan pada malam hari dan bila

badan terasa panas pasien merasa mengigil dan keluar keringat dingin

sampai baju pasien basah. Panas berkurang jika pasien minum obat

penurun panas dan kompres dingin. Pasien merasakan bahwa badannya

makin hari makin lemah

D. Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat penyakit dibetes melittus

- Pasien merokok dalam satu hari 2 bungkus sejak remaja

- Pasien tidak mengeluh batuk-batuk

12

Page 14: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

E. Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama

dengan pasien.

- Ayah pasien mempunyai riwayat dibetes melittus

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Sedang.

Kesadaran : Compos mentis.

Vital sign : T : 120/80 mmHg.

N : 80 x/menit.

R : 20 x/menit.

S : 36,5 °C

Tinggi badan : 162 cm

Berat : 39 kg

Status Gizi : Kurang

Status Generalis

1. Pemeriksaan Kepala

- Bentuk kepala : Mesocephal, simetris.

- Rambut : Warna hitam keputih-putihan, distribusi merata,

tidak mudah dicabut, tidak mudah rontok

2. Pemeriksaan Mata

- Palpebra : Edema (-/-).

- Konjungtiva : Anemis (-/-)

- Sklera : Ikterik (-/-)

- Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor, diameter 3 mm

3. Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)

4. Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-)

5. Pemeriksaan Mulut dan Faring

: Bibir sianosis (-), bibir pucat, bibir kering (-),

lidah kotor (-), tepi hiperemis (-), tremor (-),

ikterik (-), tonsil : dbn

13

Page 15: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

6. Pemeriksaan Leher

- Trakea : Deviasi trakea (-)

- Kelenjar lymphoid : Tidak membesar, nyeri (-)

- Kelenjar Tyroid : Tidak membesar

- JVP : Tidak meningkat

7. Pemeriksaan Dada

Pulmo

Inspeksi : Dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi

(-)

Palpasi : Taktil fremitus kanan < kiri

Ketinggalan gerak (-)

Perkusi : Kanan lebih redup dari kiri

Auskultasi : Suara dasar : Kanan vesikuler melemah

Kiri vesikuler

Suara tambahan : Wheezing (-), Ronkhi (-)

Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak.

Palpasi : Iktus cordis teraba di SIC V 2 cm medial LMC

sinistra, kuat angkat (-).

Perkusi : Batas jantung kiri atas SIC II LSB.

Batas jantung kanan atas SIC II RSB.

Batas jantung kiri bawah SIC V 2 cm medial

LMC sinistra LMC

Batas jantung kanan bawah SIC IV RSB.

Auskultasi : S1 > S2, reguler, bising (-).

8. Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Datar, nyeri tekan (-), defans muskuler (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal.

Palpasi : Nyeri tekan (-).

Hepar dan lien tak teraba.

Palpasi : Timpani.

14

Page 16: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

9. Pemeriksaan Extremitas

- Superior : Deformitas (-), jari tabuh (-), pucat (-), sianosis

(-), edema (-).

- Inferior : Edema (-/-), hiperemis jari (-/-).

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Laboratorium (21 Oktober 2003)

Darah lengkap

- Haemoglobin 12,8 (13 – 19 g/dl)

- Leukosit 21.700 (5000 – 10.000 /uL)

- Hematokrit 32 (P : 40 – 48 %; W : 37 – 43%)

- Trombosit 169.000 (150.000 – 400.000 /ul)

- LED Kurang (P : 0 – 10, W : 0 – 15 mm/jam)

Protein Total

- SGOT/AST 32 ( 25 UI/L)

- SGPT/ALT 48 ( 29 UI /L)

- Ureum darah 41,6 (10 – 50 mg/dl)

- Kreatinin darah 1,2 (0,5 – 1,2 mg/mnt)

- Alkali fosfatase 713 (60-170 ui/L)

- Protein total 6,9

- Albumin 3,2 (3,5 – 5,5 mg/dl)

- Globulin 3,7 (1,5 – 3,5 mg/dl)

- Bilirubin total 7,57 (0,2 – 0,9 mg/dl)

- Bilirubin direct 0,38 (0,1 – 0,4 mg/dl)

- Bilirubin indirect 7,15 (0,1 – 0,5 mg/dl)

Glukosa sewaktu 456 (< 200 mg/dl)

Glukosa puasa 242 (70 – 100 mg/dl)

Glukosa 2 jam PP 327 (< 140 mg/dl)

TB – ICT Negatif (-)

B. Rontgen Thorak

15

Page 17: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

- Jantung : dbn

- Tampak bercak infiltrat dikedua lapangan paru

- Kesan : TB Paru

V. KESIMPULAN

1. Anamnesis

- Badan terasa lemas

- Demam

- Badan berkeringat pada malam hari

- Nafsu makan menurun

- Berat badan turun dalam waktu 10 hari sebanyak ± 7 kg

2. Pemeriksaan Fisik

Vital sign : TD : 120/80 mmHg.

N : 80 x/menit.

R : 20 x/menit.

S : 36,5 °C.

Tinggi badan : 162 cm

Berat badan : 39 kg

Status gizi : Kurang

Pemeriksaan Dada

Pulmo

Inspeksi : Dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi

(-)

Palpasi : Taktil fremitus kanan < kiri

Ketinggalan gerak (-)

Perkusi : Kanan lebih redup dari kiri

Auskultasi : Suara dasar : Kanan vesikuler melemah

Kiri vesikuler

Suara tambahan : Wheezing (-), Ronkhi (-)

16

Page 18: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

- Leukosit 21.700 (5000 – 10.000 /uL)

- LED Kurang (P : 0 – 10, W : 0 – 15 mm/jam)

- Alkali fosfatase 713 (60-170 ui/L)

- Bilirubin total 7,57 (0,2 – 0,9 mg/dl)

- Bilirubin indirect 7,15 (0,1 – 0,5 mg/dl)

Glukosa sewaktu 456 (< 200 mg/dl)

Glukosa puasa 242 (70 – 100 mg/dl)

Glukosa 2 jam PP 327 (< 140 mg/dl)

TB – ICT Negatif (-)

C. Rontgen Thorak

- Jantung : dbn

- Tampak bercak infiltrat dikedua lapangan paru

- Kesan : TB Paru

VI. DIAGNOSIS KERJA

- Tuberkulosis Paru tersangka : Kasus baru yang diobati.

- NIDDM

- Liver insufisiensi

VII. DIAGNOSIS BANDING

-

VIII. USULAN PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Sputum BTA

a. Langsung

b. Kultur resistensi

17

Page 19: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

IX. TERAPI

1. Farmakologis

- Streptomycin 1 x 750 mg

- Etambutol 1 x 750 mg

- INH 1 x 300 mg

- Hepasil 2 x 1 tab

- Glibenclamide 1 ½ – 1 ½ - 1

- Lesivit 2 x 1

- IVFD D5 % 20 tetes.

- Curcuma 2 x 1

2. Non Farmakologis

- Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit

yang diderita pasien.

- Memberikan motivasi kepada pasien supaya minum obat sesuai aturan.

- Memberikan pengarahan kepada pasien dan keluarga untuk menjalani

pola hidup sehat.

- Diet rendah lemak.

- Diet DM 1700 kal.

X. PROGNOSIS

Dubia ad bonam

18

Page 20: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien ini diagnosa kerjanya adalah Tuberkulosis Paru tersangka : Kasus

baru yang diobati dengan NIDDM dan liver insufisiensi. Diagnosis tuberkulosis paru

tersangka diperoleh berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama berupa badan terasa lemas,

nafsu makan menurun, demam, penurunan berat badan yang signifikan (7 kg dalam

10 hari), berkeringat pada malam hari.

19

Page 21: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

Pada pemeriksaan fisik didapatkan permukaan thorak simetris, tidak ada

ketinggalan gerak, tidak ada retraksi. Pada palpasi didapatkan taktil fremitus kanan

lebih lemah dari kiri. Pada perkusi didapatkan paru kanan lebih redup dari kiri. Pada

auskultasi didapatkan vesikular melemah pada paru kanan, hal ini disebabkan adanya

infiltrat.

Pada pemeriksaan penunjang dari laboratorium darah yaitu angka leukosit

yang meningkat yang menunjukan adanya proses TBC baru mulai (aktif) dan

pemeriksaan rontgen thoraks tampak bercak infiltrat pada kedua lapangan paru dan

didapatkan gambaran TB paru.

Sedangkan diagnosis NIDDM didapatkan berdasarkan anamnesis yaitu badan

terasa lemas dan penurunan berat badan, berdasarkan riwayat penyakit dahulu

dimana pasien pernah menderita diabetes mellitus, berdasarkan riwayat penyakit

keluarga dimana ayah pasien juga menderita DM dan berdasarkan pemeriksaan

laboratorium yaitu glukosa sewaktu 450 mg/dl, glukosa puasa 242 mg/dl, glukosa 2

jam PP 327 mg/dl.

Diagnosis liver insufisiensi didapatkan berdasarkan anamnesis yaitu badan

terasa lemas, dan nafsu makan menurun. Dan berdasarkan pemeriksaan laboratorium

yaitu bilirubin total 7,57 mg/dl, bilirubin indirect 7,15 mg/dl, dan alkali fosfatase 713

UI/l.

Oleh sebab itu, pada kasus ini tidak dapat digunakan terapi OAT standar

kategori I (2HRZE/4H3R3) karena pasien ini mempunyai kasus penyerta yaitu liver

insufisiensi dimana OAT seperti INH, Rifampisin dan Pirazinamid bersifat

hepatotoksik, sehingga pada pasien ini dipilih OAT yang tidak hepatotoksik yaitu

streptomycin, etambutol dan INH dalam dosis rendah. Terapi juga ditujukan untuk

memperbaiki fungsi hati dengan menggunakan hepasil. Jika fungsi hati sudah

kembali normal, maka digunakan terapi standar OAT kategori 1 (2HRZE/4H3R3),

yang dimulai dari dosis terendah kemudian dinaikan perlahan-lahan sampai dosis

maksimal (Tappering on).

Pada pasien ini juga mempunyai riwayat DM, sehingga perlu diperhatikan

dietnya disamping pemberian obat anti DM secara oral.

20

Page 22: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

21

Page 23: Presus Tbc (Dr.muhardi)2

DAFTAR PUSTAKA

1. Farmakologi, Balai Penerbitan FKUI, Jakarta, 1995.

2. Pelatihan DOTS, Bagian Farmakologi FKUI, 2000.

3. Price, Sylvia A. (ed), Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit), Edisi 4, EGC, Jakarta 1995.

4. Soeparman, Waspadji S., Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, FKUI, Jakarta, Cetak Ulang 1998.

5. Isselbacher et al, Harrison, Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 2, Edisi 13, EGC, Jakarta, 1995.

22