PRESUS Anestesi Syifa-Prima

40
Presentasi Kasus General Anestesi pada Laparotomi Pembimbing : dr. Tendi Novara, Msi.Med, Sp. An Disusun Oleh : Prima Aditya Wicaksana G1A212067 Syifa’u Rakhmi G1A212068 SMF ANESTESIOLOGI REANIMASI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

Transcript of PRESUS Anestesi Syifa-Prima

Page 1: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

Presentasi Kasus

General Anestesi pada Laparotomi

Pembimbing :dr. Tendi Novara, Msi.Med, Sp. An

Disusun Oleh :

Prima Aditya Wicaksana G1A212067

Syifa’u Rakhmi G1A212068

SMF ANESTESIOLOGI REANIMASI

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

PURWOKERTO

2012

Page 2: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Laparotomi berasal dari kata laparo yang berarti abdomen atau perut

dan tomi yang berarti penyayatan. Laparotomi merupakan suatu tindakan

pembedahan dengan membuka dinding abdomen atau perut untuk mencapai

isi rongga abdomen.

Abdomen merupakan sebuah rongga yang berisi berbagai macam organ

penting. Manipulasi pada bagian abdomen dapat memberikan pengaruh pada

organ lainnya sehingga dibutuhkan teknik operasi yang tepat guna

meminimalisir komplikasi pasca bedah.

Pembedahan yang dilakukan pada penderita yang akan menjalani

laparotomi dilakukan dengan teknik anestesi umum. Hal tersebut sesuai

dengan indikasi dari anestesi umum yaitu pembedahan yang lama, dewasa

yang memilih anestesi umum serta operasi besar (Latief et al., 2002).

Teknik pembedahan yang dilakukan pada penderita struma nodusa non

toksik dapat menimbulkan beberapa komplikasi. Abses Stitch, Sellulitis,

Gangren, Hematoma, Keloid dan Disrupsi merupakan komplikasi yang dapat

terjadi post pembedahan. Pasien dengan keadaan komplikasi seperti yang

sudah disebutkan diatas membutuhkan suatu pemantauan yang lebih intensif

dan adekuat.

B. Tujuan

Presentasi kasus ini bertujuan untuk mengetahui teknik anestesi pada

pembedahan laparotomi

Page 3: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. General Anestesi (Anestesi Umum)

a. Definisi

Anestesi umum adalah suatu tindakan medis dengan tujuan utama

untuk menghilangkan rasa nyeri atau sakit secara sentral disertai

hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestesi umum juga

mempunyai karakteristik menyebabkan amnesia anterograd pada pasien,

sehingga pasien tidak akan bisa mengingat apa yang terjadi pada saat

dilakukan anestesi atau pun operasi pada pasien tersebut. Komponen trias

anestesi yang ideal pada anestesi umum terdiri dari hipnotik, analgesik,

dan reaksasi otot (Miller, 2006).

b. Keuntungan

1. Mengurangi kesadaran pasien

Memungkinkan pemilihan obat pelemah otot yang tepat untuk

jangka waktu yang lama. (Sebelet al, 2004)

2. Memfasilitasi pemantauan penuh terhadap jalan nafas, pernapasan

serta sirkulasi pasien.

3. Dapat digunakan pada keadaan pasien yang memiliki alergi pada

obat-obatan anestesi lokal.Dapat diberikan tanpa merubah atau

memindahkan pasien dari posisi terlentang (Sebel et al, 2004).

4. Pemberian dapat disesuaikan atau ditambah secara lebih mudah

untuk durasi tambahan tak terduga.

5. Dapat diberikan dengan cepat dan reversibel (Jenkins dan Baker,

2003).

c. Kerugian

1. Membutuhkan pemantauan ekstra dan biaya mahal.

2. Membutuhkan persiapan pra operasi pada pasien

3. Dapat menyebabkan peningkatan fisiologis yang membutuhkan

intervensi aktif

Page 4: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

4. Dapat menimbulkan komplikasi seperti mual atau muntah, sakit

tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan terrtundanya fungsi

mental menjadi normal kembali.  

5. Beberapa obat anestesi umum dapat mengakibatkan kenaikan suhu

akut dan berpotensi mematikan, asidosis metabolik, dan

hiperkalemia(Jenkins dan Baker, 2003).

d. Indikasi

Indikasi anestesi umum(Miller, 2006)

1. Infant dan anak

2. Dewasa yang memilih anestesi umum

3. Pembedahannya luas atau eskstensif

4. Penderita sakit mental

5. Pembedahan lama

6. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis untuk digunakan

7. Riwayat penderita toksik atau alergi obat anestesi lokal

e. Stadium anestesi

Pada anestesi umum dikenal stadium anestesi untuk mengetahui

kedalaman anestesi, yang terdiri dari (Latief, 2002):

1. Stadium I (Stadium Analgesia )

Dimulai dari saat pemberian obat anestesi sampai hilangnya

kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah

dan terdapat analgesi (hilangnyarasa sakit). Tindakan pembedahan

ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat

dilakukanpada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai

oleh hilangnya reflex bulu mata.

2. Stadium II(Stadium Eksitasi atau Stadium Delirium)

Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan y

ang irreguler,pupil melebar dengan refleks cahaya (+/+), pergerakan

bola mata tidak teratur,lakrimasi (+/+),tonus otot meninggi

dan diakhiri dengan hilangnya refleksmenelan dan kelopak mata.

Page 5: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

3. Stadium III (Stadium Pembedahan)

Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi

pernafasan hingga hilangnya pernafasan spontan.Stadia ini ditandai

oleh hilangnya pernafasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata

dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kek mulai menurun anan

dengan mudah. Pada stadium ini, pembedahan sudah boleh

dilakukan. Stadium ini dibagi menjadi 4 stage:

a) Stage 1 : pernafasan teratur dan bersifat thoracoabdominal, pupil

miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi meningkat, refleks faring

dan muntah hilang, tonus otot mulai menurun.

b) Stage 2 : respirasi teratur bersifat thoracoabdominal, tidal

volume menurun, frekuensi nafas meningkat, bola mata terfiksir

di sentral, pupil mulai midriasis, refleks cahaya mulai menurun

dan refleks kornea hilang.

c) Stage 3 : respirasi teratur dan bersifat abdominal akibat

kelumpuhan nervi intercostalis, lakrimasi hilang, pupil melebar

dan sentral, tonus otot semakin menurun.

d) Stage 4 : respirasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot

diafragma lumpuh dan makin nyata. Tonus otot sangat menurun,

pupil midriasis, reflek sfingter ani dan reflek kelenjar air mata

hilang.

4. Stadium IV ( stadium paralysis)

Mulai henti nafas dan henti jantung (Himendra, 2004).

f. Teknik anestesi umum

Terdapat tiga cara ventilasi pada anestesi umum:

1.) Dengan sungkup muka – nafas spontan

Indikasi teknik ini dilakukan untuk operasi dengan tindakan singkat

(30-60 menit) dengan keadaan umum pasien baik (ASA 1). Keadaan

lambung harus kosong. Prosedur teknik ini antara lain:

a) Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik

b) Pasang infuse, sebagai media untuk memasukan obat anestesi

Page 6: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

c) Premedikasi, apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat

penenang yang memberi efek sedasi atau anti-anxiety seperti

benzodiazepine ataupun obat dengan efek analgesia, seperti

golongan opioid.

d) Induksi

e) Pemeliharaan

2.) Intubasi Endotrakeal dengan nafas spontan

Dilakukan dengan memasukkan endotrakheal tube (ET) ke dalam

trakhea melalui oral atau nasal. Diindikasikan untuk tindakan operasi

lama dan kemungkinan terdapat kesulitan dalam mempertahankan

airway seperti pada operasi-operasi dibagian leher dan kepala.

Prosedur teknik ini antara lain:

a) Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik

b) Pasang infuse, sebagai media untuk memasukan obat anestesi

c) Premedikasi, apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat

penenang yang memberi efeksedasi atau anti-anxiety seperti

benzodiazepine ataupun obat dengan efek analgesia, seperti

golongan opioid.

d) Induksi

e) Diberikan obat pelumpuh otot dengan durasi singkat

f) Intubasi

g) Pemeliharaan

3.) Intubasi Dengan Nafas Kendali (Kontrol)

Prosedur teknik ini dilakukan sama dengan prosedur Intubasi

Endotrakeal dengan nafas spontan, namun obat pelumpuh otot yang

digunakan adalah obat pelumpuh otot dengan efek durasi lebih

panjang. Selain itu, obat pelumpuh otot dapat diulang kembali

pemberiannya pada saat pemeliharaan.

g. Obat pada anestesi umum

1. Premedikasi

Page 7: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

Premedikasi dilakukan pada tahap persiapan pra bedah. Tujuan

dilakukannya pemberian obat premedikasi adalah untuk mencegah

efek parasimpatomimetik dari anestesi, mengurangi kecemasan dan

nyeri yang dirasakan pasien. Obat yang digunakan adalah:

a. Anxiolythic

Contoh: golongan benzodiazepine (diazepam, midazolam)

b. Analgesic

Contoh: paracetamol, opium

c. Parasympathetic blocker

Contoh: hyoscine, atropine, glycopyrronium

d. Acid aspiration prophylaxis

Contoh: cimetidin, ranitidin

e. Antithrombotic prophylaxis

Contoh: heparin

2. Induksi anestesi dan penjagaan anestesi

a. Thiopentone

Obat ini berasal dari golongan barbiturate, bekerja dengan

cepat.obat yang berasal dari golongan ini tidak mempunyai

efek analgesik

1) Farmakodinamik

Obat ini seperti halnya golongan barbiturat lainnya

menyebabkan mengantuk (hipnotik), sedasi dan

depresi pernafasan. Mekanisme kerja dari

thiopenton adal;ah dengan meningkatkan ambang

batas neuron terhadap eksitasi, mendepresi pusat

pernapasan secara langsung, dan menurunkan

kepekaan terhadap CO2.

2) Farmakokinetik

Obat ini dapat diberikan secara intravena.

Thiopentone dimetabolisme di hepar dan

diekskresikan oleh ginjal bersama urin.

3) Dosis

Page 8: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

Thiopentone diberikan dengan dosis pada orang

dewasa 3 – 5 mg/kg BB diberikan selama 10 – 15

detik.

4) Efek samping

Penggunaan Thiopentone dapat menyebabkan

hipotensi, apnea, obstruksi jalan napas, aritmia,

batuk, bersin, dan reaksi hipersensitif.

b. Propofol

Propofol merupakan emulsi minyak-air yang berwarna

putih dan mudah larut dalam lemak. Propofol memiliki

waktu induksi yang singkat dan pemulihan yang cepat pula

tanpa rasa pusing dan mual.

1) Farmakodinamik

Propofol termasuk dalam obat sedative-hipnotik,

injeksi intravena pada dosis terapeutik memberi efek

hipnotik. Waktu paruh dalam darah otak 1 – 3

menit. Obat ini bekerja dengan menghambat

reseptor GABA pada saraf pusat.

2) Farmakokinetik

Propofol dimetabolisme di hepar dan sebagian besar

diekskresikan lewat ginjal bersama urin, hanya

sebagian kecil yang diekskresikan bersama feses.

3) Dosis

Pada orang dewasa sehat kurang dari 55 tahun dosis

induksi yang diberikan adalah 2 – 2,5 mg/kg BB.

Pasien dengan usia di atas 55 tahun atau pasien ASA

III dan IV dapat diberikan dosis 1 – 1,5 mg/kg BB.

Pasien pediatric dapat diberika dosis 2,5 – 3,5 mg/kg

BB.

4) Efek samping

Efek samping dari propofol antara lain depresi

pernapasan, pada sistem kardiovaskular dapat

Page 9: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

berupa hipotensi, aritmia, bradikardia. Propofol juga

berefek pada sususan saraf pusat berupa kejang,

euphoria, dan kebingungan.

c. Ketamin

Ketamin merupakan salah satu agen anestesi umum yang

sering dijumpai dan sering pula disalahgunakan. Obat ini

termasuk golongan non barbiturate dengan mula kerja

cepat. Ketamin memiliki efek analgesik yang baik namun

tidak menyebabkan hipotensi.

1) Farmakodinamik

Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30

detik maka pasien akan mengalami perubahan

kesadaran. Apabila diberikan secara intramuscular

efek akan tampak dalam waktu 5 – 8 menit. Ketamin

bekerja dengan menghambat aktivasi reseptor

NMDA oleh glutamate, mengurangi pembebasan

presinaps glutamate.

2) Farmakokinetik

Ketamin dapat diberikan melaui intravena atau

intramuscular. Ketamin larut dalam lemak, selain itu

obat ini di metabolisme di hepar dan diekskresikan

oleh ginjal.

3) Dosis

Dosis yang digunakan untuk induksi adlah 1 – 2

mg/kgBB secara intravena dan 6 – 8 mg/kgBB

secara intramuscular. Untuk rumatan digunakan

dosis serial 50% dosis intravena dan 25% dosis

intramuscular

4) Efek samping

Penggunaan obat ini dapat mnyebabkan peningkatan

denyut jantung, peningkatan tekanan intra cranial,

Page 10: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

peningkatan tekanan intraocular, hipersalivasi,

halusinasi dan mimpi buruk.

d. Halothane

Halothane merupakan agen anestesi yang poten. Obat ini

bersifat non iritan dan depresan kardiak yang cukup poten.

Konsentrasi yang diberikan sebesar 30%. Halothane dapat

menurunkan tonus otot bronchial, sehingga bagus untuk

pasien yang beresiko mengalami bronkokonstriksi.

Halothane dimetabolisme di hepar dan dapat menyebabkan

disfungsi hepar. Efek samping dari obat ini adalah

hipotensi, disritmia, dan disfungsi hepar.

e. Isofluran

Memiliki aksi yang serupa dengan halothane. Obat ini tidak

menyebabkan depresi kardiak serta tidak bersifat

hepatotoksik maupun nefrotoksik.

f. Sevofluran

Obat ini lebih poten dibandingkan dengan isofluran dan

pemulihannya lebih cepat.

g. N2O

Nitrous oxide memiliki kemampuan analgesik kuat tetapi

anestetik lemah. Gas tersebut kurang poten untuk induksi

dan tidak dimetabolisme dalam tubuh. Untuk anastesi

digunakan campuran 70% nitrous oxide dan 30% oksigen.

Untuk analgesic, digunakan campuran 50% nitrous oxide

dan 50% oksigen. Efek samping dari gas ini adalah mual,

muntah, pneumothorax, pneumoenchepal, pneumo

peritoneum, kembung dan tuli pasca operasi.

II. Laparotomi

a. Definisi

Suatu tindakan pembedahan dengan cara membuka dinding abdomen

untuk mencapai isi rongga abdomen.

Page 11: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

b. Teknik

1. Midline Epigastric Incision

Incisi dilakukan persis pada garis tengah dimulai dari ujung Proc.

Xiphoideus hingga 1 cm diatas umbilikus. Kulit, fat subcutan, linea

alba, fat extraperitoneal, dan peritoneum dipisahkan satu persatu.

2. Midline Subumbilical Incision

Incisi dilakukan persis pada garis tengah,dan bisa merupakan

perluasan dari Midline

3. Epigastris Incision

Sebagai aturan umum, peritoneum harus dibuka dari ujung bawah

dari incisi, untuk menghindari lig.falciforme, tetapi untuk Midline

Subumbilical Incision peritoneum harus dibuka dari bagian atas

incisi untuk menghindari cidera kandunung kemih.

Peritoneum harus dibuka dengan sangat hati-hati. Cara yang paling

aman adalah membukany adengan menggunakan dua klem artery,

yang dijepitkan dengan sangat hati-hati pada peritoneum. Kemudian

peritoneum diangkat dan sedikit diggoyang-goyang untuk

memastikan tidak adanya struktur dibawahnya yang ikut terjepit.

Kemudian peritoneum diincisi dengan menggunakan pisau. Incisi ini

harus cukup lebar untuk memasukkan 2 jari kita yang akan

dipergunakan untuk melindungi struktur dibawahnya sewaktu kita

membuka seluruh peritoneum.

4. Upper Paramedian Incision

Incisi ini dapat dibuat baik di sebelah kanan atau kiri dari garis

tengah. Kira-kira 2,5-5 cm dari garis tengah. Incisi dilakukan

vertical, mulai dari batas costa, berakhir pada 2-8 cm dibawah

umbilicus.

5. Lower Paramedian Incision

Incisi ini similiar dengan Upper Paramedian Incision dan, biasanya,

memang merupakan perluasan dari Upper Paramedian Incision

hingga dapat mencapai abdomen dari batas costa hingga ke pubis.

6. Lateral Paramedian Incision

Page 12: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

Modifikasi dari Paramedian Incision yang dikenalkan oleh Guillou et

al. Dimana incisi dilakukan pada pertemuan dari pertengahan dan

1/3 luar dari rectus sheat. Pada titik ini anterior rectus sheat terdiri

dari 2 lapis. Anterior sheat dipisahkan dari otot rectus. Dan

kemudian Posterior sheat atau peritoneum , atau keduanya

dipisahkan dengan cara yang sama dengan anterior sheat. Secara

teoritis, tekhnik ini akan memperkecil kemungkinan terjadinya

wound dehiscence dan incisional hernia.

7. Vertical Muscle Splitting Incision

Incisi ini sama dengan conventional paramedian incision, hanya otot

rectus pada incisi ini dipisahkan secara tumpul (splitting

longitudinally) pada 1/3 tengahnya, atau jika mungkin pada 1/6

tengahnya. Incisi ini berguna untuk membuka scar yang berasal dari

incisi paramedian sebelumnya.

8. Kocher Subcostal Incision

Incisi Subcostal kanan yang biasanya digunakan untuk megakses

gallbladder dan biliary passages.. Sedangkan incisi subkostal kiri

dilakukan biasanya untuk splenektomi elektif.

Incisi dilakukan mulai dari garis tengah, 2,5-5 cm di bawah Proc.

Xiphoideus dan diperluas menyusuri batas costa kira-kira 2,5 cm

dibawahnya, sepanjang kira-kira 12 cm

9. McBurney Gridiron Incision

Dilakukan untuk kasus Appendicitis Akut Dan diperkenalkan oleh

Charles McBurney pada tahun 1894. Incisi dilakukan pada titik

McBurney secara transverse skin crease, tetapi jika penderitanya

gemuk atau jika mungkin diperlukan untuk memperluas incise maka

dibuat incise oblique.

10. Pfannenstiel Incision

Incisi yang popular dalam bidang gynecologi dan juga dapat

memberikan akses pada ruang retropubic pada laki-laki untuk

melakukan extraperitoneal retropubic prostatectomy. Incisi

Page 13: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

dilakukan kira-kira 5 cm diatas symphisis Pubis skin crease

sepanjang ± 12 cm.

c. Komplikasi

1. Stitch Abscess

Biasanya muncul pada hari ke 10 postopersi atau bisa juga

sebelumnya, sebelum jahitan incisi tersebut diangkat.. Abses ini

dapat superficial ataupun lebih dalam. Jika dalam ia dapat berupa

massa yang teraba dibawah luka, dan terasa nyeri jika di raba. Abses

ini biasanya akan diabsopsi dan hilang dengan sendirinya, walaupun

untuk yang superficial dapat kita lakukan incisi pada abses tersebut.

Antibiotik jarang diperlukan untuk kasus ini.

2. Sellulitis

Biasanya jahitan akan terkubur didalam kulit sebagai hasil dari

edema dan proses inflamasi sekitarnya. Penyebabnya dapat berupa

Staphylococcus Aureus, E. Colli, Streptococcus Faecalis,

Bacteroides, dsb. Penderitanya biasanya akan mengalami demam,

sakit kepala, anorexia dan malaise. Keadaan ini dapat diatasi dengan

membuka beberapa jahitan untuk mengurangi tegangan dan

penggunaan antibiotika yang sesuai. Dan jika keadaannya sudah

parah dan berupa suppurasi yang extensiv hingga kedalam lapisan

abdomen, maka tindakan drainase dapat dilakukan.

3. Infeksi Gangren

Biasanya berupa rasa nyeri yang sangat pada luka operasi, biasanya

12-72 jam setelah operasi, peningkatan temperature (39° -41° C),

Takhikardia (120-140/m), shock yang berat. Keadaan ini ddapat

diatasi dengan melakukan debridement luka di ruang operasi, dan

pemberian antibiotika, sebagai pilihan utamanya adalah, penicillin 1

juta unit IM dilanjutkan dengan 500.000 unit tiap 8 jam.

4. Hematoma

Page 14: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

Kejadian ini kira-kira 2% dari komplikasi operasi. Keadaan ini

biasanya hilang dengan sendirinya, ataupun jika hematom itu cukup

besar maka dapat dilakukan aspirasi.

5. Keloid

Penyebab dari keadaan ini hingga kini tidak diketahui, hanya

memang sebagian orang mempunyai kecenderungan untuk

mengalami hal ini lebih dari orang lain. Jika keloid scar yang terjadi

tidak terlalu besar maka injeksi triamcinolone kedalam keloid dapat

berguna, hal ini dapat diulangi 6 minggu kemudian jika belum

menunjukkan hasil yang diharapkan. Jika keloid scar nya tumbuh

besar, maka operasi excisi yang dilanjutkan dengan skin-graft dapat

dilakukan.

6. Disrupsi dan Eviserasi

Disrupsi ini dapat partial ataupun total. Insidensinya sendiri

bervariasi antara 0-3 %. Dan biasanya lebih umum terjadi pada

pasien >60 tahun dibanding yang lebih muda. Laki-laki dibanding

wanita 4 : 1. Komplikasi ini dapat terjadi karena kesalahan pada

prosedur pembedahan ataupun karena faktor kondisi pasien.

Page 15: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Y

Umur : 87 tahun

Berat badan : 55 Kg

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Purwokerto

Agama : Islam

Pekerjaan : Buruh

Tanggal operasi : 24 Oktober 2012

No. CM : 780981

II. ANAMNESIS

a. Keluhan utama : Nyeri pada bagian perut

b. Riwayat penyakit sekarang :Pasien mengeluh nyeri pada bagian perut dan

mengeluarkan darah saat buang air besar

c. Riwayat penyakit dahulu :

1. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal

2. Riwayat penyakit DM : disangkal

3. Riwayat penyakit alergi : disangkal

4. Riwayat penyakit asma : disangkal

5. Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

d. Riwayat penyakit keluarga :

Page 16: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

1. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal

2. Riwayat penyakit DM : disangkal

3. Riwayat penyakit alergi : disangkal

4. Riwayat penyakit asma : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK

a. Status generalis

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Vital Sign : Tekanan darah = 120/70 mmHg

Respirasi : 28 kali/menit

Nadi : 70 /menit, isi dan tekanan penuh

Suhu : 37,40C

Kepala : Mesochepal, simestris

Mata : Konjungtiva anemis +/+, Skleraikterik -/-,

Reflek cahaya +/+, Pupil isokor, Ø 3 mm

Hidung : Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-)

Mulut : Lidah Kotor (-) bibir kering (-), hiperemis (-),

pembesaran tonsil (-), mallampati 2

Gigi : Gigi palsu (-), gigi ompong (+)

Telinga : Discharge (-) tidak ada kelainan bentuk

Leher : dalam batas normal

Thorax : Pulmo : Simetris kanan – kiri, Tidak ada retraksi

SD : vesikuler (+/+) normal

ST : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Cor :S1>S2 reguler , bising jantung (-)

Abdomen : Datar, bising usus (+) normal

Extremitas : Superior :Edema (-/-), sianosis (-/-)

Inferior: Edema (-/-), sianosis (-/-)

Page 17: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

Turgor kulit : Cukup

Akral : hangat

Vertebrae : Tidak ada kelainan

b. Status lokalis

Regio colli :

1. Inpeksi : tampak perut datar

2. Palpasi : perut teraba keras sperti papan

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan darah lengkap (23/10/2012) pkl. 20.24 :

a. Hb : 11,3 g/dl (12 – 16 g/dl)

b. Leukosit : 4010 ul (4800 – 10800 ul)

c. Ht : 34 % (W 37 – 47 %)

d. Eritrosit : 4 jt/ul (W 4.2 – 5.4 jt)

e. Trombosit : 482.000/ul (150000 – 450000/ul)

f. MCV : 84,4 fl (79 – 99 fl)

g. MCH : 28,0 pgr (27 – 31 pgr)

h. MCHC : 33,1 % (33 -37 %)

i. Hitung jenis :

1. Eosinofil: 0,0 (2 – 4%)

2. Basofil : 0,2 (0-1%)

3. Batang : 0,00 (2 – 5%)

4. Segmen : 88,4 (40-70 %)

5. Limfosit : 6,2 (25 – 40 %)

6. Monosit : 5,2 (2 – 8%)

j. PT : 17,1 detik (11.5-15.5 detik)

k. APTT : 35,3 detik (25-35 detik)

l. SGOT : 42 (15-37)

m. SGPT : 29 (30-65)

n. Ureum : 112,7 L (14.98-38.52)

o. Kreatinin : 3,94 (0.00- 1.00)

p. GDS : 107 mg/dl (<=200)

Page 18: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

q. Natrium : 132 (136-145)

r. Kalium : 4,5 (3.5-5.1)

s. Klorida : 99 (98-107)

t. Kalsium : 7,9 (8,4 – 10,2)

III. PEMERIKSAAN RONTGEN THORAX

Cor : CTR> 50 %, terdapat pembesaran jantung ke arah kiri

Pulmo : corakan vaskuler meningkat

Kesan:

a. Cor membesar

b. Pulmo tampak gambaran efusi

IV. PEMERIKSAAN ELEKTRO KARDIOGRAFI

Terdapat sinus takikardi

Left axis deviation

Pulmonary disease pattern

Septal infark

V. DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis prabedah : Peritonitis generalisata e.c perforasi Hollow

Viscus

Diagnosis pasca bedah : Peritonitis generalisata e.c perforasi ileum dan

perforasi Colon sigmoid e.c Tumor Colon Rectum

Jenis pembedahan : Laparotomy

VI. KESIMPULAN PEMERIKSAAN FISIK

Status ASA IV

VII. TINDAKAN

Dilakukan: Eksplorasi Laparotomy

Tanggal : 24 September 2012

VIII. LAPORAN ANESTESI

Page 19: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

Status Anestesi

1. Persiapan Anestesi

a. Informed concent

b. Puasa 6 jam pre operasi

2. Penatalaksanaan Anestesi

a. Jenis anestesi : General Anestesi (GA)

b. Premedikasi : Ondansetron 4mg (1 amp)

c. Medikasi : Fentanyl 50 μg (1cc)

Recofol 100 mg (10 cc)

Roculax 50 mg

Ketorolac 30 mg

Oksigen 2L/menit

N2O 2L/menit

Sevofluran 24 cc

Vit C

Vit K

Dexamethason

Lasix

Buvanest

Prostigmin

3. Teknik anestesi

a. Pasien dalam posisi berbaring terlentang( supine )

b. Diinjeksikan fentanyl serta recofol secara intravena melalui selang

infus.

c. Pasien diintubasi dengan dipasang endotracheal tube (ET), dan

diberikan agen berupa oksigen,N20, dan sevofluran.

4. Pemantauan selama anestesi :

a. Mulai anestesi : 09.30

b. Mulai operasi : 09.15

c. Selesai operasi : 13.00

5. Cairan yang masuk durante operasi:

Page 20: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

a. RL : 500 cc

b. Fima HES : 500cc

c. RL : 500 cc

6. Tekanan darah dan frekuensi nadi.

09.25 : TD : 120/70 mmHg, N : 70 kali/menit

SpO2 : 99, RL 500 cc

Premed : Ondansetron 4 mg

Induksi : Fentanyl 50 μg, Recofol 50 mg

09.30 : TD : 110/60 mmHg, N : 68 kali/menit, SpO2 : 100,

09.45 : TD : 110/60 mmHg, N : 68 kali/menit, SpO2 : 100

Asam traneksamat, Vit K, Vit C

Mulai Operasi

10.00 : TD : 100/58, N : 70, SpO2 : 100

10.15 : TD : 110/50, N : 70, SpO2 : 100

10.30 : TD : 110/59, N : 80, SpO2 : 100

10.45 : TD : 110/50, N : 80, SpO2 : 100

11.00 : TD : 100/50, N : 80, SpO2 : 100

11.15 : TD : 100/40, N : 78, SpO2 : 100

11.30 : TD : 120/60, N : 80, SpO2 : 100

11.45 : TD : 110/50, N : 80, SpO2 : 100

12.00 : TD : 110/50, N : 70, SpO2 : 100

12.15 : TD : 130/40, N : 80, SpO2 : 100

12.45 : TD : 120/40, N : 80, SpO2 : 100

13.00 : TD : 110/50, N : 90, SpO2 : 100

Operasi selesai, pasien dibawa ke ICU, dalam kondisi

masih terintubasi dengan ET tersambung dengan tabung

oksigen.

7. Pemantauan post operasi

PUKUL TD N RR Saturasi

Page 21: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

O2

13.40 114/49 63 10 100%

15.00 109/48 56 12 100%

16.00 121/55 64 12 100%

Page 22: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien ini terdiagnosis menderita Struma Nodusa Non Toksik.Berdasarkan

hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, terdapat benjolan besar di leher bagian

tengah yang berukuran kurang lebih 6x4 cm, tidak nyeri, permukaannya

berbenjol-benjol, berbatas tegas, ikut bergerak saat menelan, dan warnanya sama

dengan warna kulit sekitar. Pasien tidak memiliki riwayat yang menunjukan

tanda maupun gejala hipertiroidisme seperti,tidak tahan terhadap panas, nafsu

makan meningkat, berat badan menurun, diare, palpitasi, takikardi sewaktu tidur

ataupun istirahat, tremor maupun eksolftamus. Hasil pemeriksaan fisik pada regio

colli,didapatkan nodul sebesar 6x4 cm terletak ditengah, dengan hasil palpasi

teraba kistik, bernodul-nodul dan mobile. Didukung dengan pemeriksaan

penunjang Ultrasonografi (USG) dengan hasil tampak nodul pembesaran tiroid

dextra dan sinistra yang solid, multinoduler solid dengan bagian kistik, bersepta

dan cenderung disertai adanya multipel limfadenopati.

Pasien SNNT dengan ukuran tiroid yang sudah besar, dan mulai

mengalami keluhan mekanis seperti gangguan pernapasan maupun gangguan

menelan, serta keluhan kosmetikmerupakan indikasi penatalaksanaan berupa

pembedahan srtumektomi.Strumektomijuga diindikasikan untuk kista tiroid yang

tidak mengecil setelah dilakukan biopsi aspirasi jarum halus. Selain alasan

kosmetik yang dikeluhkan oleh pasien serta nodul yang cenderung bersifat

maligna, nodul yang berukuran sudah besar akan beresiko mengalami gangguan

mekanis pada sistem pernafasan maupun kemampuan menelan. Olehkarena itu,

pilihan penatalaksanaan yang dilakukan adalah tindakan operasi strumektomi

untuk mengangkat struma pasien.

Hampir semua tindakan operasi atau pembedahan dilakukan dibawah

pengaruh anestesi umum.Perheparan utama pada anestesi umum adalah keamanan

dan keselamatan pasien. Salah satu faktor penentunya adalah kestabilan

hemodinamik selama tindakan induksi anestesi dilakukan (Latif et al, 2007).

Pembedahan struma nodusa non toksik pada pasien ini dilakukan dengan

teknik anestesi umum disertai pemasangan pipa endotrakea.Pemasangan pipa

Page 23: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

endotrakea merupakan salah satu teknik yang bertujuan untuk menjaga jalan

napas pasien agar ventilasi dan oksigenasi ke seluruh organ tubuh dapat terjamin

dengan baik.

Manusia memerlukan oksigen untuk dapat bertahan hidup.Respirasi

berfungsi memasok oksigen ke dalam sirkulasi darah. Terhentinya pasokan dan

edaran oksigen ke jaringan atau sel untuk beberapa saat akan menimbulkan

perubahan pada metabolisme yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan

sel. Pemutusan aliran oksigen ke otak dan seluruh organ dapat menjadi penyebab

ataupun sebagai konsekuensi henti kardiosirkulasi ( Pitoyo dan Amin, 2006).

Setiap keadaan trauma berat dan pasien tidak sadar, pasien dalam kondisi

teranestesi ringan dengan relaksan dan teranestesi dalam, disertai dengan

berbaring dalam kondisi terlentang merupakan keadaan yang berbahaya.Hal

tersebut dapat berpotensi untuk terjadi obstruksi jalan napas. Pemasangan pipa

endotrakea digunakan untuk mencegah obstruksi jalan napas, menjaga jalan

napas tetap lapang dan mencegah aspirasi lambung (Dobson, 2004).

Keadaan pasien pada saat pembedahan tiroid yaitu struma nodusa non

toksik merupakan salah satu kondisi yang harus terjaga jalan

napasnya.Pemasangan pipa endotrakea digunakan untuk mempermudah ventilasi

dan oksigenasi.Hal tersebut untuk memjamin organ-organ mendapatkan

oksigenasi yang cukup (Latief et al., 2002).

Teknik untuk melakukan ventilasi dan oksigenasi bisa dengan beberapa

macam cara antara lain penggunaan nasal kanul, LMA ( laryngo mask airway )

serta pemasangan pipa endotrakea. Namun pada pembedahan ini yang digunakan

adalah pipa endotrakea.Teknik anestesi umum dengan pemasangan pipa

endotrakea dilakukan pada operasi-operasi lama yang memerlukan kendali napas,

serta operasi daerah kepala leher. Selain itu ada beberapa indikasi pemasangan

pipa endotrakea pada anestesi umum yaitu : (Latief et al., 2002)

1. Mempermudah pemberian anestesi

2. Mencegah kemungkinan aspirasi isi lambung

3. Mempermudah pengisapan sekret trakeo bronchial

4. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama

Page 24: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

Pembedahan pada kasus struma nodusa non toksik yang dilakukan pada

pasien ini dilakukan dengan teknik anestesi umum.Teknik anestesi umum

merupakan suatu tindakan medis dengan tujuan utama untuk menghilangkan rasa

sakit secara sentral, disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible,

sehingga memungkinkan dilakukan tindakan pembedahan.Anestesi umum

ditandai dengan adanya trias anestesi yaitu analgesi, sedasi dan relaksasi.Berbeda

halnya dengan teknik anestesi lokal, yaitu menyebabkan hilangnya rasa sakit,

namun tidak disertai dengan hilangnya kesadaran (Miller, 2006).

Tindakan pembedahan yang dilakukan pada struma nodusa non toksik

seringkali banyak melakukan manipulasi pada daerah trakea, sehingga keadaan

tersebut tidak memungkinkan apabila pasien dalam kondisi sadar.Oleh karena itu,

teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi umum. Indikasi lain dilakukan

anestesi umum pada pasien ini adalah pembedahannya lama, pembedahan dimana

anestesi lokal tidak praktis untuk digunakan (Dobson, 2004)

Tindakan strumektomi, merupakan suatu operasi yang beresiko tinggi

karena dilakukan di bagian leher. Pada saat durante operasi perlu diwaspadai

risiko perdarahan masif yang mungkin terjadi karena di regio colli terdapat

pembuluh darah besar, salah satunya a. carotis communis. Setelah operasi pun,

pasien post strumektomi memerlukan pemantauan dan perawatan khusus dengan

alasan munculnya beberapa resiko seperti:

1. Terjadinya komplikasi tracheomalaisa atau trachea menjadi flacid

2. Hipokalsemi

3. Muncul gejala krisis tiroid

4. Terjadi sumbatan pada selang drainase yang dipasang untuk membuang

perdarahan dari area operasi di regio colli. Hal tersebut dapat menyebabkan

penekanan pada trakea sehingga pasien dapat mengalami gangguan

pernafasan.

5. Terdapat resiko kerusakan pada n. laryngeus recurrens yang dapat merusak

pita suara pasien (Ernst et al, 2011; Khanzada et al, 2010).

Page 25: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

Dengan demikian pasien merupakan pasien kritis yang memerlukan pemantauan

dan perawatan khusus untuk mengembalikan dan mempetahankan stabilitas fungsi

sistemiknya. Oleh karena itu pasien ini memerlukan perawatan ICU.

Proses pemindahan pasien dari ruang operasi ke ICU merupakan hal yang

harus diperheparkan dengan baik. Sebelum dilakukan pemindahan pasien,

dilakukan perencanaan terlebih dahulu yang pertama adalah penentuan tim medis

yang akan mengantar pasien. Pada kasus ini, pemilihan tim medis sudah sesuai

dengan protokol umum. Tim medis terdiri dari dokter, perawat, dan dokter muda.

Selanjutnya, komunikasi dengan ruangan ICU harus dilakukan terlebih dahulu.

Tim medis yang bertanggung jawab terhadap pasien harus menginformasikan

kondisi pasien dan waktu pasien tiba di ruangan ICU. Peralatan yang dibutuhkan

oleh pasien harus sudah tersedia sebelum proses pemindahan dilakukan. Peralatan

yang dibawa pada saat proses pemindahan pasien merupakan alat-alat yang

berfungsi untuk mempertahankan airway, breathing dan circulation. Kekurangan

dari pemindahan pasien pada kasus ini adalah tidak tersedia alat untuk memantau

keadaan pasien serta ventilasi yang digunakan adalah ventilasi secara manual.

Sebelum dilakukan pemindahan pasien, pasien harus dalam keadaan stabil dan

rekam medis pasien harus disertakan.

Page 26: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

BAB V

KESIMPULAN

1. Teknik anestesi yang digunakan pada pembedahan struma nodusa non toksik

adalah menggunakan teknik anestesi umum disertai pemasangan pipa

endotrakea.

2. Pasien post operasi SNNT merupakan pasien yang membutuhkan perawatan

dan pengontrolan secara intensif.

3. Proses transportasi merupakan hal yang perlu diperheparkan dalam proses

perawatan pasien.

Page 27: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

DAFTAR PUSTAKA

De Jong, W.D. 2005. Kelenjar Tiroid. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta :

EGC. Hlm 683-694

Djokomoeljanto, M. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : FKUI.

Dobson, M.B. 2004. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC. 12-13 hal

Ernst, A. Kelly, C., Sidhu, PG. 2011.Tracheomalacia and Tracheobronchomalacia

in Adults. Available at

http://46.4.230.144/web/UpToDate.v19.2/contents/f37/13/38332.htm.

Gilligan, J.E. Transport Critical Ill.

Hartini, S. 2006. Ilmu Penyakit Dalam,  Jilid I, hal. 461, Jakarta : FKUI.

Himendra, A. 2004. Teori Anestesiologi. Bandung: Yayasan Pustaka Wina

Jenkins K, Baker AB. Consent and anaesthetic risk. Anaesthesia.

2003;58(10):962-84

Kementrian Kesehatan RI. 2010. Kemenkes 1778/MENKES/SK/XII/2010.

Tentang petunjuk teknis penyelenggaraan pelayanan intensive Care Unit

(ICU) di Rumah Sakit.

Khanzada, TW., Abdul S., Waseem, M., Basant K. 2010. Post thyroidectomy

Complication. J Ayub Med Coll Abbottabad 1; 22

Latief, S.A., Kartini, A.S., Rusman, D. 2002.Anestesiologi.Jakarta : FKUI

Mansjoer A, dkk. 2001. Struma Nodusa Non Toksik. Kapita Selekta Kedokteran.

Jilid 1. Edisi III. Media Esculapius. FKUI. Jakarta

Miller, RD. 2006. Anesthesis, Seventh edition. Melbourne: Churcill Livingstone

Pitoyo, D dan Amin, M. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI.

Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis Proses Proses

Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC

Schteingart, D. 2006. Gangguan Kelenjar Tiroid. Patofisiologi : Konsep Klinis

Proses-Prose Penyakit. Edisi VI. Jakarta : EGC. Hlm 1225-1234

Sebel PS, Bowdle TA, Ghoneim MM, et al. The Incidence of Awareness During

Anesthesia: a Multicenter United States Study. Anesth Analg.

2004;99(3):833-9

Page 28: PRESUS Anestesi Syifa-Prima

Sjamsuhidayat, R. Dan Wim D.J. 2006. Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Hal

609-10 Sri Hartini, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 1987

.

.