PRABHAJÑĀNA - erepo.unud.ac.id
Transcript of PRABHAJÑĀNA - erepo.unud.ac.id
[ i ]
PRABHAJÑĀNA:
[ i ]
PRABHAJÑĀNA: MOZAIK KAJIAN PUSTAKA LONTAR
UNIVERSITAS UDAYANA
[ ii ]
PRABHAJÑĀNA: MOZAIK KAJIAN PUSTAKA LONTAR
UNIVERSITAS UDAYANA
PENULIS I Wayan Suardiana
Sri Jumadiah
Komang Puteri Yadnya Diari
Putu Eka Guna Yasa
Made Reland Udayana Tangkas
Putu Reland Dafincy Tangkas
I Made Wijana
Ida Bagus Rai Putra
Luh Putu Puspawati
I Ketut Ngurah Sulibra
Ni Ketut Ratna Erawati
I Wayan Juliana
I Nyoman Suwana
I Nyoman Sukartha
I Nengah Juliawan
PENYUNTING
Ni Ketut Ratna Erawati
I Ketut Ngurah Sulibra
Putu Eka Guna Yasa
DESAIN SAMPUL
I Made Agus Atseriawan Hadi Sutresna
Diterbitkan oleh:
SWASTA NULUS
Jl. Tukad Batanghari VI.B No. 9 Denpasar-Bali
Telp. (0361) 241340
Email: [email protected]
Cetakan Keempat:
2019, xx + 254 hlm, 14.8 x 21 cm, Times New Roman 11
ISBN 978-602-5742-96-5
----------------------------------------------------------------------------------- Isi diluar tanggung jawab percetakan
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini, Tanpa ijin tertulis dari Penerbit
[ iii ]
[ ii ]
PRABHAJÑĀNA
ISBN 978-602-5742-96-5
[ iii ]
DAFTAR ISI
Sambutan Rektor Universitas Udayana ~ v
Sambutan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ~ vii
Sambutan Ketua Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana ~ ix
Teks-Teks Lontar sebagai Acuan dalam Budaya Bercocok Tanam
Padi Secara Holistik ~ 1
I Wayan Suardiana
Penggunaan Kata Magis dalam Mantra Lontar Pangujanan ~14
Sri Jumadiah
Visi Kebudayaan Hindu:Tokoh Mpu Kuturan dalam Naskah
Lontar Bali ~ 38
Komang Puteri Yadnya Diari
Kisah Pemuja dan Penjelajah Sarira dalam Lontar Bali ~ 52
Putu Eka Guna Yasa
Lontar Usada Patengeran Wong Agering: Ilmu Diagnosis Klasik
Khas Bali Berbasis Ekologi ~ 74
Made Reland Udayana Tangkas dan Putu Reland Dafincy Tangkas
Fungsi Pohon Dadap dalam Beberapa Teks Lontar Usadha ~ 93
I Made Wijana
Peran Sirarya Kubon Tubuh Memunculkan Trah Adipati
Majapahit dan Zaman Gelgel ~ 114
Ida Bagus Rai Putra
[ iv ]
Menelusuri Jejak-Jejak Dalang Tangsub dari Bongkasa ~ 124
Luh Putu Puspawati
Teks Lontar Istri Sasana: Analisis Struktur Makro ~ 139
I Ketut Ngurah Sulibra dan Ni Ketut Ratna Erawati
Sikap Beryadnya dalam Geguritan Yadnya ring Kuruksetra ~ 158
I Wayan Juliana
Proses Pembalian Kakawin Siwaratrikalpa Menjadi Geguritan
Siwaratrikalpa ~ 175
I Made Suastika
Wacana Puja Bhakti: dalam Kakawin Rāja Patni Mokta ~ 199
I Nyoman Suwana
Nilai Pendidikan Moral dalam Cerita Lisan di Bali ~ 219
I Nyoman Sukartha
Wong Angendok dalam Lontar Awig-Awig Tenganan
Pegringsingan ~ 239
I Nengah Juliawan
[ v ]
ñāna
ñāna
ñāna
[ iv ]
Wacana Puja Bhakti: dalam Kakawin Rāja Patni Mokta
[ v ]
SAMBUTAN
REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA
Buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar
Universitas Udayana Hal ini terwujud sebagai bentuk kesungguhan
hati dan kerja keras para pengelola Pusat Kajian Lontar dalam
melakukan penulisan dan kajian-kajian naskah lontar yang penting
untuk masyarakat. Sebagai salah satu pusat unggulan Universitas,
Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana mempunyai peran penting
dalam memasyarakatkan kekayaan pengetahuan yang ada dalam
naskah-naskah lontar. Naskah lontar di samping sebagai dokumentasi
budaya juga merupakan warisan budaya yang sangat berharga karena
memuat nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan sekarang
sehingga menjadi sebuah tanggung jawab kita untuk mengungkap
'mutiara' yang terkandung di dalamnya.
Terbitan buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar
Universitas Udayana ini memuat 14 tulisan mengenai kajian naskah
lontar Bali yang dikemas sedemikian rupa agar mudah dipahami oleh
para pembaca. Secara akademis, kajian naskah lontar dapat dijadikan
sebagai objek pengajaran untuk mengambil nilai-nilai dan
kandungan di dalamnya. Tulisan-tulisan terbitan buku Prabhajñāna:
Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana membicarakan
tentang budaya Bali yang terekam dalam naskah lontar. Kandungan
pengetahuan di dalamnya dapat dijadikan pedoman kehidupan, guna
meningkatkan pemahaman dan persepsi tentang kebudayaan semakin
dalam dan meningkat. Nilai-nilai adi luhung lontar sangat
dibutuhkan dalam penelitian-penelitian invensi sebagai wujud
[ vi ]
hilirisasi lontar untuk produk inovatif produktif di Universitas
Udayana.
Sebagai salah satu warisan budaya, naskah lontar mampu
memberi informasi mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat,
antara lain pengobatan, hukum, politik, peternakan, pertanian,
astronomi, arsitektur, pariwisata, ekonomi dan sosial budaya. Terbitan ilmiah tekstologi lontar Pusat Kajian Lontar Universitas
Udayana perlu dan penting dilakukan. Alasan ini tidak akan menjadi
stereotif semata akan tetapi menjadi semakin perlu dan penting
terbitan pengkajian dilakukan. Betapa tidak, karena ke depan
aktivitas ilmiah Tim Lontar Unud semakin mengedepan menjadi
pendukung utama program unggulan dan pengembangan batang-
batang keilmuan yang dikelola pada setiap fakultas di Universitas
Udayana. Terbitan buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka
Lontar Universitas Udayana ini semakin bermakna karena para
penulisnya adalah para ahli dan juga Stakeholders tekstologi lontar
Bali sendiri, yaitu para pewaris budaya Bali berlatar belakang
akademik yang baik.
Kepada para penulis dan Tim Lontar Universitas Udayana
yang telah berusaha dengan sebaik-baiknya dalam mempersiapkan
buku kajian ini sehingga menjadi seperti sekarang ini, saya ucapkan
terima kasih.
Rektor Unud
Anak Agung Raka Sudewi
[ vii ]
ñāna
[ vi ]
ñāna
[ vii ]
SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana (sebelumnya UPT
Perpustakaan Lontar) yang berada di lingkungan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Udayana merupakan tempat penyimpanan
naskah lontar terbesar ketiga di Bali (setelah Gedong Kirtya dan
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali). Keberadaan Pusat Kajian Lontar
Universitas Udayana merupakan aset penting yang diwariskan oleh
para pendiri bangsa dan pantas dijadikan unggulan Universitas
Udayana sehingga patut dikembangkan secara berkesinambungan.
Dalam upaya untuk meneruskan amanat pendirian Fakultas
Ilmu Budaya sebagai kunci wasiat sesuai harapan pendiri, pengkajian
naskah-naskah lontar yang dilakukan oleh Pusat Kajian Lontar
merupakan terobosan ilmiah yang penting dan harus selalu
dikembangkan. Pada era sebelumnya, naskah-naskah lontar hanya
dimanfaatkan oleh para mahasiswa, dosen, dan peneliti-peneliti yang
menaruh perhatian pada khazanah pernaskahan Bali. Dengan
demikian, pengkajian dan penelitian naskah lontar harus tetap
dilakukan berkesinambungan agar pelestarian, pemaknaan,
pendalaman, dan pengembangan nilai-nilai budaya dapat dilakukan
agar dapat diketahui dan digunakan oleh masyarakat. Oleh karena
itu, buku Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas
Udayana ini diharapkan mampu membuka wawasan masyarakat
mengenai kekayaan ilmu pengetahuan lokal Bali yang terkandung
dalam naskah-naskah lontar memiliki nilai-nilai universal.
āna
[ 92 ]
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 93 ]
FUNGSI POHON DADAP
DALAM BEBERAPA TEKS LONTAR USADHA
I Made Wijana
Prodi Sastra Jawa Kuno
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
Abstrak
Pohon dedap (erythrina) bagi masyarakat Bali memiliki kedudukan yang
khusus dan sangat fungsional. Selain dimanfaatkan sebagai alat-alat
upacara, juga dimanfaatkan sebagai pagar pekarangan rumah atau tegalan.
Pohon ini dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan tradisional Bali (dengan
berbagai bahan campuran lainnya), mulai dari daun, bunga, pucuk, guguran
daun, kulit, akar, bahkan sampai kambiumnya. Oleh sebab itu, pohon dedap
ini sering kali dituliskan dalam teks-teks usadha Bali, misalnya dalam
Usadha Durga Kala, Usadha Pamupug Guna-Guna, Usadha Rare, Usadha
Tumbal, Usadha Pamupug Guna-Guna, Usadha Wong Agering, Usadha
Edan,Usadha dale, Usadha Tiwas Punggung, Usadha Sari, dan beberapan
naskah lontar lainnya. Beberapa bentuk olahanyya mulai dari yang
berbentuk loloh (jamu), simbuh (sembar), boreh (parem), uap (balur), oles,
tutuh (tetes). Selain itu difungsikan sebagai sarana penolak bala dan
menghidupkan cakra.
Kata kunci: dedap, obat tradisional, usadha.
Pendahuluan
Dadap atau dedap adalah sejenis pohon berduri dan
bunganya berwarna merah (erythrina), yang biasanya ditanam disela-
sela pohon kopi sebagai pelindung, kayu ringan hanya baik untuk
kayu bakar (Badudu-Zain, 1994: 297 dan 320- 321). Tanaman tropis
ini memiliki nama latin Erythriana variegate. Kata dadap yang
berarti pohon dedap dapat ditelusuri dalam Kakawin
Ramayana,tersurat seperti berikut ini. “Dadap matob dadali padha
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 94 ]
nedeng kabeh” ‘pohon dedap dan pohon delima sama-sama tumbuh
dengan suburnya’ (Sargah 16, bait 24, baris 1). Merujuk arti kata
yang tersurat dalam baris kakawin itu, menunjukkan bahwa pohon
dedap ini keberadaannya telah lama ada di bumi Nusantara. Pohon
ini memperkaya khazanah flora kita. Bali sebagai daerah tropis
merupakan istana bagi pohon dedap ini.
Pohon dedap tumbuh dengan suburnya, terutama di daerah
pegunungan. Ciri yang paling mudah mengenal pohon ini adalah dari
tangkainya yang memiliki jumlah lembaran daun sebanyak tiga
lembar. Pohon ini diperbanyak dengan menggunakan stek batang,
biasanya ditanam sebagai pagar pembatas. Selain itu, difungsikan
sebagai tanaman penyangga dan sebagai tanaman peneduh bagi
pohon yang dililitkan pada batangnya. Pohon dedap ini akan cepat
tumbuhnya di daerah yang agak sedikit lembab, tidak memerlukan
perawatan secara maksimal. Jika kuncup daun telah tumbuh,
menandakan pohon ini telah tumbuh. Pohon ini cepat besar, dengan
jumlah tangkai yang cukup banyak disertai dengan daunnya yang
rimbun. Jika telah besar, biasanya daunnya akan dimanfaatkan
sebagai hijauan atau kompos. Batangnya yang muda beserta
pucuknya, dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pohon ini banyak
jenisnya, ada yang daunnya berwarna hijau agak pekat serta berduri
pada batangnya. Biasanya pohon yang memiliki duri seperti ini
disebut dengan pohon delundung. Delundung ini apakah sama
dengan dadap wong?. Hanya ahli botani yang mengetahuinya.
Pohon dedap yang biasanya ditanam di rumah-rumah
penduduk, adalah dadap serep. Pohon ini biasanya ditanam di areal
tempat suci dan dipekarangan. Dadap serep ini tidak memiliki duri
keras. Tanaman ini memiliki kegunaan yang cukup banyak. Mulai
dari daunnya sampai ke akarnya. Pohon ini seolah-olah tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bali, tidak ubahnya dengan
pohon jepun. Ia ditanam ditempat suci, juga bunganya akan selalu
hadir bersamaan dengan bunga yang lainnya dalam ritual
āna
[ 95 ]
āna
[ 94 ]
nedeng kabeh”
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 95 ]
keagamaan. Mengapa ditanam di areal tempat seperti itu? Bunganya
yang berwarna putih merupakan simbol kesucian. Selain itu yang
terpenting ketika diperlukan, tidak usah pergi jauh untuk mencarinya.
Dalam hitungan beberapa menit saja, bagian-bagian dari pohon itu
sudah berada dalam genggamannya.
Daun dari pohon dedap ini, selain dimanfaatkan untuk
hijauan dan pakan ternak seperti telah disebutkan, masyarakat kita
sering juga memanfaatkan untuk keperluan pengobatan yang bersifat
ringan. Seluruh bagian dari pohon dedap ini bisa dimanfaatkan untuk
keperluan itu karena memiliki sifat kandungan yang menyejukkan
(tis). Daun dan kulit batangnya (kerikan), biasanya digunakan untuk
keperluan melancarkan asi, menurunkan panas, pencegahan disentri,
cacingan, reumatik, menjaga kesehatan fase persalinan. (Qi Manteb
Sari, 2015: 180-181). Dalam tradisi masyarakat yang masih hidup
sampai sekarang, biasanya yang dilakukan oleh orang-orang tua kita
yang berada di pedesaan. Jika dalam keluarganya ada yang demam,
mereka akan memetik beberapa lembar daun pohon dedap ini. Daun
ini digunakan secara langsung, tanpa dikombinasikan dengan bahan
yang lainnya. Lembaran daun tersebut ditaruh pada perut yang
mengalami demam itu. Tujuannya adalah untuk menurunkan panas
badan. Selain daunnya, lumlum/lublubnya (cambium) dan kerikan
batangnya, dapat dimanfaatkan juga untuk keperluan pengobatan.
Model pengobatan dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan
itu hingga kini masih bisa bertahan di masyarakat. Hal ini
menandakan bahwa masyarakat kita begitu dekatnya dengan alam.
Menurut mereka alam itu adalah segala-galanya. Alam adalah tempat
tumbuhnya beraneka jenis tanaman. Tumbuh-tumbuhan itu
memberikan kehidupan baginya. Dengan bersandarkan pada alam
tersebut, terutama dalam masalah pengobatan mereka akan
memanfaatkan isi alam tersebut. Bahan-bahan untuk keperluan
masalah itu telah tersedia. Model pengobatan seperti itu, dewasa ini
mendapat gempuran yang cukup dahsyat. Obat-obatan modern dari
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 96 ]
farmasi-farmasi beredar cukup banyak, puskesmas terus dibangun di
sana-sini, mengepung seluruh pelosok kota-kota kecamatan.
Gempuran ini sama sekali tidak menyurutkan nyali masyarakat kita
yang memiliki pengetahuan akan hal ini. Mereka memiliki suatu
prinsip, sama-sama meringankan penderitaan umat manusia. Untuk
itu, sampai saat ini masih ada saja yang memanfaatkan aneka
tanaman itu untuk keperluan pengobatan. Beraneka jenis tanaman
itu dimanfaatkan sedemikian rupa untuk keperluan suatu ramuan.
Dalam meracik ramuan itu, biasanya akan dicari bagian-bagian
tertentu disesuaikan dengan kebutuhan. Dadap yang tergolong
sebagai tanaman obat akan ikut ambil bagian dalam racikan itu.
Pohon ini selain dimanfaatkan untuk masalah pengobatan,
dimanfaatkan juga untuk keperluan yang lainnya. Leluhur kita zaman
dahulu melihat akan kegunaannya memberi julukan terhadap pohon
yang satu ini dengan sebutan “Taru Sakti”. Pohon ini memang pantas
menerima julukan seperti itu karena ia selalu hadir dalam berbagai
keperluan. Ia seolah-olah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
masyarakat Bali. Selain untuk keperluan seperti yang telah
disebutkan, bagian-bagiannya akan hadir kembali sebagai sarana
ritual keagamaan yang ada di Bali. Sebut saja bagian-bagian dari
pohon itu, sebagai contoh kecil saja. Tangkainya yang sudah agak
tua, biasanya akan dimanfaatkan sebagai sarana penyangga untuk
tempat suci. Penggunaan untuk keperluan ini, utamanya bagi mereka
yang belum mampu mendirikan suatu tempat untuk memuja
kebesaran Tuhan dalam wujud permanen. Tempat suci yang
bersaranakan batang dedap ini disebut dengan “turus lumbung”.
Tangkai dari pohon ini, akan kembali hadir berkaitan dengan tempat
suci itu juga, terutama yang bercabang tiga. Ia akan berubah fungsi,
jika “turus lumbung” itu telah berubah menjadi bangunan yang
bersifat permanen. Tangkai pohon itu akan difungsikan, dalam hal
ini dijadikan sarana sebagai penuntun. Dalam fungsinya sebagai
sarana penuntun, tentunya akan dilengkapi dengan perangkat yang
āna
[ 97 ]
āna
[ 96 ]
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 97 ]
lainnya, yaitu benang “tridatu”(benang yang berwarna merah, hitam
dan putih) disertai dengan sejumlah uang kepeng dan lain-lainnya.
Pohon dadap, sebagai pohon yang ikut mewarnai ritual
keagamaan yang ada di Bali. Daunnya, akan dimanfaatkan sebagai
pernak-pernik, untuk melengkapi suatu rangkaian dari suatu
persembahan. Lembaran-lembaran daunnya ditumbuk halus
kemudian dicampur dengan beras yang telah direndam, yang disebut
dengan “tepung tawar”. Ada juga yang diolah dalam bentuk rajangan
atau diiris kecil-kecil. Irisan itu dicampur dengan bunga jepun yang
telah diiris juga, ditambah beras secukupnya. Campuran seperti itu
disebut dengan “sesarik” sebagai salah satu rangkaian dari
persembahan juga. Ada juga daunnya yang utuh dipadukan rangkain
jamur, yang disebut dengan “sasap”. “Sasap” ini biasanya
ditempatkan pada benda sebelum benda itu diupacarai. Masalah-
masalah seperti ini, hingga kini masih dipahami betul oleh orang-
orang tua kita. Hal ini mengalir dalam dirinya, catatan itu akan
terbuka dengan sendirinya, dilakukannya secara tulus ikhlas. Sambil
bersenda gurau ketika melakukan pekerjaan secara gotong royong,
sesembahan itu mampu diwujudkannya. Mereka yang menggeluti
bidang ini disebut dengan “sarati”.
Leluhur kita pada zaman dahulu telah memanfaatkan pohon
yang satu ini untuk kepentingan sarana pengobatan. Hal ini masih
dapat kita telusuri dari sejumlah kearifan lokal yang berbentuk
lontar. Lontar-lontar ini tersimpan pada sejumlah tempat. Warisan itu
disebut dengan naskah usadha. Naskah-naskah usadha, jumlahnya
cukup banyak dengan beraneka judulnya. Bila kita cermati isinya,
menunjukkan bahwa leluhur kita telah mampu memanfaatkan isi
alam ini dengan baik. Dalam memanfaatkan isi alam tersebut,
tercermin juga bahwa mereka telah mampu juga merawat alam ini
dengan baik juga. Hal ini dapat diketahui, diteruskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya dengan baik dalam bentuk kearifan
lokal. Kearifan itu dikenal dengan “tumpek bubuh” (Wijana, 2018;
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 98 ]
126). Ini menunjukkan betapa tingginya penghargaan mereka
terhadap alam ini. Alam itu menurut mereka adalah segala-galanya.
Alam sebagai penyedia berbagai kebutuhan manusia. Kebutuhan
akan pengobatan, alam telah menyediakan dalam jumlah yang cukup
banyak. Ketersediaan akan masalah ini tersebar dimana-mana.
Ketersediaan bahan yang melimpah itu diiringi dengan pengetahuan
yang memadai. Mereka mampu memanfaatkannya sebagai suatu
ramuan untuk meringankan penderitaan umat manusia. Tanaman
untuk keperluan itu, ada yang dimanfaatkannya secara keseluruhan
(sakawit) dan ada yang diambil bagian-bagiannya saja. Dalam
pemanfaatannya itu, ada yang berdiri sendiri, ada juga yang
dipadukan dengan sarana yang lainnya dengan takarannya tersendiri.
Pemanfaatan akan bahan-bahan itu melahirkan suatu ramuan.
Ramuan-ramuan ini diolah dalam berbagai bentuk, ada yang berupa
cairan dan ada yang berbentuk padat.
Teks usadha itu bila diumpamakan sebagai sebuah taman,
maka ia adalah taman yang indah. Taman itu akan ditumbuhi atau
ditanami dengan sejumlah tanaman dengan penataan yang
sedemikian rupa. Tanaman-tanaman yang ada di taman itu, ada yang
tergolong tanaman berbatang keras (kayu), tergolong tanaman perdu,
dan lain sebagainya. Pohon dadap hadir juga dalam taman itu, ia ikut
menghiasi taman itu. Sebagai pohon yang hadir dalam taman itu, ia
akan memiliki peran yang tidak jauh berbeda dengan tanaman yang
lainnya yang ada di taman itu. Kehadirannya di taman itu, memiliki
peranan yang cukup penting juga. Peran itulah akan ditelusuri,
terutama dalam masalah pengobatan berdasarkan kearifan lokal yang
dimiliki. Mengingat seperti yang telah disebutkan, utamanya untuk
pengobatan yang bersifat ringan. Bagian-bagian dari tanaman dadap
ini, akan ditelusuri berdasarkan sejumlah naskah usadha. Bagian-
bagian itu dijadikan ramuan untuk mengobati atau mencegah suatu
penyakit. Itulah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
āna
[ 99 ]
āna
[ 98 ]
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 99 ]
Teks Usadha sebagai Taman yang Indah
Tumpek Wariga atau yang dikenal dengan tumpek bubuh.
Tumpek Bubuh secara perhitungan kalender Bali diperingati setiap
enam bulan sekali. Tumpek Bubuh, sebagai suatu kearifan lokal yang
masih hidup dalam masyarakat Bali. Pada hari itu (Tumpek Bubuh),
umat Hindu menghaturkan sesembahan sebagai wujud rasa syukur
kehadapan Tuhan. Lewat sesembahan itu diharapkan tumbuh-
tumbuhan itu dapat tumbuh dengan suburnya dan memberikan hasil
yang berlimpah. Pada saat itu, masyarakat pantang melakukan
aktivitas baik berupa penebangan atau yang lainnya terhadap
pepohonan. Hal ini sebagai suatu bentuk penghormatan terhadap
lingkungan. Kearifan seperti itu menunjukkan bahwa leluhur kita
betul-betul menghargai yang namanya lingkungan.
Umumnya mereka menanam berbagai jenis tanaman, mulai
dari tanaman untuk keperluan sehari-hari, upacara, bahan bangunan
dan lain-lainnya. Tanaman-tanaman itu biasanya akan ditanam sesuai
dengan tempatnya. Seiring dengan perjalanan waktu dan
pemeliharaan yang baik, maka tanaman-tanaman itu akan tumbuh
dengan suburnya. Tanaman-tanaman yang tumbuh disekitar
lingkungannya itu, menjadikan lingkungan akan lebih asri.
Lingkungan yang asri ditandai dengan beraneka jenis tanaman
dengan penataan dan perawatan yang baik. Jika telah cukup berumur,
ia bagaikan payung-payung alam yang memberikan keteduhan.
Keteduhan sebagai akibat dari payung-payung alam itu, akan
berdampak kelestarian terhadap mata air. Air akan terus membasahi
alam ini karena drainase alam ini terpelihara dengan baik. Agar
lingkungan itu tetap terjaga dengan baik, penanaman pohon harus
dilakukan secara terus menerus. Selain itu agar tidak terjadi
penebangan yang membabi buta, haruslah diimbangi dengan suatu
aturan. Aturan tersebut bersifat mengingatkan warganya sekaligus
akan mengerem pembabatan alam. Warga dilarang melakukan
penebangan pohon pada hari-hari tertentu. Apabila aturan itu tidak
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 100 ]
ditaatinya, yang akan terjadi adalah pembabatan atau penebangan
setiap hari. Pembabatan itu akan terjadi dari satu sudut ke sudut
yang lainnya, tanpa henti-hentinya. Tunas-tunas muda tidak akan
tersisa lagi. Beberapa jenis pohon akan musnah, yang tersisa
hanyalah tonggak-tonggak saja. Jika hal seperti itu yang terjadi, akan
diiringi juga dengan lenyapnya sejumlah mata air. Kearifan itu
hingga kini masih terpelihara dengan baiknya dan ditaati oleh
warganya.
Hamparan karpet hijau yang membentang dikejauhan itu,
adalah kumpulan dari pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu
menjulang dengan tingginya bak pencakar langit. Dari kejahuan,
bagaikan sebuah lukisan alam yang mempesona. Di balik lukisan
yang mempesona itu, hiduplah beberapa jenis fauna. Lukisan alam
dalam wujud hamparan hijau yang membentang itu, merupakan
istananya bagi fauna tersebut. Istana itu sebagai tempat berlindung
sekaligus sebagai tempat berkembang biak. Hamparan hijau yang
membentang cukup luas itu, ditumbuhi oleh beraneka jenis
tumbuhan-tumbuhan. Dewasa ini, adakah yang masih mengetahui
akan nama-nama tumbuh-tumbuhan tersebut?. Demikian juga akan
kegunaannya bagi kehidupan manusia itu sendiri?. Hal ini tidak
ubahnya saat kita menelusuri tanaman-tanaman obat yang tersurat
dalam teks-teks usadha. Dari teks-teks usadha tersebut, tersurat
beraneka jenis tanaman. Aneka tanaman tersebut bila disatukan
dalam sebuah wadah tidak ubahnya bagaikan sebuah taman yang
indah dan mempesona yang ditata sedemikian rupa sehingga
menyejukkan mereka yang berada di dalamnya. Hal ini merujuk arti
dari taman itu: 1) kebun yang ditanami dengan bunga-bungaan dan
ditata dengan baik; 2) tempat yang indah tempat orang-orang
beristirahat yang ditanami pohon perindang (Badudu-Zain, 1994:
59). Teks-teks usadha bila kita umpamakan sebuah taman, maka
dalam taman itu akan terdapat sejumlah tanaman. Tanaman-tanaman
āna
[ 101 ]
āna
[ 100 ]
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 101 ]
yang ada di sana itu berfungsi memberikan keteduhan fisik dan
nonfisik.
Pencinta usadha akan disejukkan pikirannya apabila telah
mampu mendeskripsikan akan tanaman-tanaman tersebut. Mereka
betah bertahan di tempat duduknya, membuka lembaran-lembaran
yang menyuratkan akan pengetahuan mengenai seputaran masalah
pengobatan. Mereka dengan sabar terus menelusuri satu per satu dan
berusaha untuk memahaminya. Dalam penelusuran itu, selain
mendapatkan pengetahuan mereka akan mendapatkan kepuasan
batin. Lihatlah ketika Dewi Sita berada di pengasingan, ia dikurung
di sebuah taman. Taman itu bernama Taman Angsoka. Angsoka
adalah sejenis tanaman yang berasal dari India, bunganya harum dan
indah sekali, tempat burung-burung biasanya hinggap dan bernyanyi
(Badudu-Zain, 1994: 59), (Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan
Badan Bahasa Aksara dan Sastra Bali, 2008: 674). Mengapa Dewi
Sita dikurung ditaman Angsoka oleh Rahwana?. Rahwana
mengurung Dewi Sita ditaman Angsoka itu, memiliki suatu tujuan.
Beliau telah memikirkan akan hal itu secara matang karena beliau
adalah sosok pemimpin yang mempunyai wawasan yang luas.
Apabila ingin mengetahuinya, kita harus telusuri arti dari kata
Angsoka tersebut. Soka itu berarti sedih, mendapat prefik {-a} yang
berasal dari Bahasa Sanskerta. Jadi angsoka berarti agar tidak
bersedih. Dewi Sita ditempatkan pada taman angsoka itu, diharapkan
agar ia tidak teringat lagi dengan suaminya, tidak memikirkan
nasibnya dan memikirkan negerinya (Narendra Dev Pendit, 1953: 83,
Heroesoekarto, 1963: 58). Intinya adalah agar Dewi Sita tidak
bersedih hati. Lebih lanjut dalam teks Subhadrawiwaha, bunga
angsoka ini dilukiskan mampu memikat hati si kumbang. Si
Kumbang menangis terisak-isak pada sebuah lubang seolah-olah
tercekik, dilihat oleh sang Arjuna ketika bermalam disebuah
pertapaan. Beliau melihat sosok kumbang yang tidak bisa menikmati
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 102 ]
indahnya bunga itu, karena hari telah malam. Hal ini terlihat pada
kutipan berikut ini:
“Angaras-aras pangasting saradhanta kesir, kumbang
mahangisek-isek ri kuwungnya masret, ngel kungnya ring wengi
hanadhin asoka tanjung, yeka mangun resep i citta mere
langonnya”
‘Sungguh menyentuh hati keindahan bunga srigading yang kering
tertiup angin sepoi-sepoi, kumbang menangis terisak-isak dalam
lubangnya seperti dicekik, dengan payahnya menahan rasa rindu
pada waktu malam masih mengharap bunga asoka dan bunga
tanjung, hal itu yang membuat terharu pikiran pendatang untuk
melihatnya’ (XI, 29).
Selanjutnya lukisan mengenai bunga angsoka yang
merindukan sosok kedatangan yang dicintanya, dan dengan penuh
harapan agar didekati. Sang Arjuna ketika melanjutkan
perjalanannya lagi, beliau melihat taman desa yang indah, seperti
kutipan berikut ini.
“Nyaskasana puspa bana panedengnya pada hana ri pinggiring
nanu, kambangnya kasisir tan neneh inalimbanganakena ri dating
nrepatmaja, lwir harsantamuya ndatan winuni bangkit ika pala-
palar kasempala, kadyanger alabeh manis athawa rajasa karana
nikin turung tiba”
‘Demikian dengan bunga asoka, angsana dan banah yang sedang
mekar di pinggir jalan, tertiup angin tidak merasa takut didekati
saat Arjuna datang, sepertinya sangat senang menyapa tamu
memperlihatkan keindahan agar dipetik, seperti menunggu akan
menjatuhkan keindahannya menyebabkan ia belum gugur’ ( XII,
11).
Teks-teks usadha yang diumpamakan sebagai sebuah taman
yang indah, mampu menyejukkan pikiran orang berada di dalam
taman itu. Mereka duduk sambil menikmati keindahan yang ada di
dalamnya. Untuk dapat menikmati keindahan itu penekun usadha
āna
[ 103 ]
āna
[ 102 ]
langonnya”
nikin turung tiba”
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 103 ]
akan memiliki cerita tersendiri atau mengalami proses yang cukup
panjang. Demikian juga dengan leluhur kita, ketika akan
mewujudkan kearifan lokal yang diwarisi sekarang ini, mengalami
suatu proses yang cukup panjang. Proses panjang yang dialaminya,
didasari ketekunan dan kesabaran dalam melakukan olah batin.
Dengan kemampuan olah batin ini, akhirnya mampu melakukan
dialog dengan pohon-pohon yang ada di pegunungan. Adapun pohon
yang pertama diajak dialog adalah pohon beringin, dan seterusnya.
Dari dialog itu diketahui sifat kandungannya, bagian serta kegunaan
masing-masing dari pohon-pohon itu (tersurat dalam Taru Pramana).
Hal ini tentunya tidak terlepas dari kemampuan intelektual dan
kedalam spiritual yang dimilikinya.
Pohon dedap ikut hadir dalam dialog ini, ia menyampaikan
akan kegunaannya dalam pengobatan serta kandungan yang bersifat
menyejukkan (tis). Selain tanaman-tanaman seperti yang disebutkan
dalam teks Taru Pramana, ada juga tanaman bunga yang ikut
memperkaya tanaman usadha ini adalah; mawar (ermawa), anggrek
bulan (sekar anggrek bulan), nagasari (sekar naga puspa), kembang
sepatu (pucuk bang), teleng (sekar cemeng), teratai (kumuda) (dalam
Usadha Yeh, Usadha Durga Kala, dan Usadha Edan). Bunga-bunga
dari tanaman ini, dimanfaatkan sebagai sarana dalam penetralisir
aura.
Fungsi Dedap dalam Usadha
Tanaman-tanaman obat yang dijadikan sarana dalam
pengobatan tradisional (usadha), ada yang secara utuh digunakan
(akar, batang, dan daun). Penggunaan secara utuh terhadap satu jenis
tanaman dalam pengobatan tradisional, dikenal dengan istilah
“sakawit”. Selain secara utuh, ada juga diambil dari bagian-bagian
tertentu, seperti; Carman atau babakan (kulit), Bungan (bunga), Don
(daun), Muncuk (daun yang masih muda), ulungan don (daun yang
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 104 ]
sudah gugur), Akah (akar), Lumlum/lublub/atin (cambium). Pohon
dedap seperti telah disebutkan memiliki sifat kandungan tis.
(Tinggen, 1999; 11). Sifat tis yang dimilikinya itu, karena tanaman
ini bunganya berwarna merah (Nala, 1993: 212). Secara
keseluruhan bagian-bagian dari pohon ini dapat dimanfaatkan
sebagai sarana pengobatan. Umumnya yang paling banyak
dimanfaatkan untuk pengobatan adalah daun dan akarnya. Selain itu,
cambium dan kulit batang. Penggunaan akan bagian-bagian dari
pohon dedap ini tergantung dari ramuan yang akan diracik. Dalam
peracikan itu, masing-masing bahan akan memilki takaran tersendiri.
Misalnya, penggunaan akan daun sirih, yang tersurat dalam “usadha
tumbal” ditentukan secara jelas yaitu; sebanyak 3 bidang kapkap ( 3
lembar daun sirih ), kunyit, 3, iis (kunir sebanyak 3 iris). Bagaimana
mengenai daun dadap? Apakah ada dijelaskan seperti itu? Mengenai
daun dadap ini, kebanyakan tidak ditentukan secara jelas mengenai
jumlahnya. Beberapa teks usadha ada yang menyatakan dengan
jelas akan jumlah lembaran dalam suatu ramuan. Misalnya dalam
Usadha Durga Kala, tersurat dengan jelas seperti berikut ini; Ta,
wangundur tiwang, salwiring tiwang, sa, bwah jbug, 3, bsik, kapkap
tmu ros, 3, bidang, kunyit, 3, iis, sembar. (Obat untuk “wangundur
tiwang”, untuk seluruh penyakit “tiwang”, sarananya, buah pinang
yang sudah tua, daun sirih ketemu urat, sebanyak 3 lembar, kunir
sebanyak 3 iris, dijadikan obat sembur) (Made Sudira, 1999; 101).
Umumnya daun dari pohon dedap ini, kebanyakan diolah menjadi
jamu (loloh) dan obat sembur (simbuh). Hal ini dapat ditelusuri dari
“Usadha Pamupug Guna-Guna”, yaitu ramuan untuk keperluan
pengobatan selanjutnya setelah sembuh dari penyakit “mokan”.
Adapun ramuannya seperti berikut ini; daun dedap yang telah gugur,
daun cempedak yang telah gugur, bawang merah dan adas. Bahan-
bahan ini dikunyah dijadikan obat sembur. Bila diperhatikan akan
ramuan tersebut, tidak ada suatu kejelasan seberapa banyak
dibutuhkan dari masing-masing bahan itu. Yang mengetahui jawaban
secara pasti adalah orang yang akan melakukan hal itu. Mereka
āna
[ 105 ]
āna
[ 104 ]
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 105 ]
mengunyah,mengolah, dan merasakannya sebelum disemburkan.
Dari salah satu model peracikkan itu, akan diperoleh beberapa jenis
obat dalam bentuk;
1. Tutuh atau Pepeh, tutuh ini berbentuk cairan yang berupa sari
pati.
2. Boreh atau Parem, berbentuk serbuk yang dalam
penggunaannya dicampur dengan cairan (air, arak, cuka atau
yang telah ditentukan)
3. Loloh, berbentuk cairan lebih pekat dari tutuh
4. Usug, disamakan dengan kompres. Usug ini berupa air, hasil
dari perebusan ramuan.
5. Ses atau cairan pembersih luka, berbentuk cairan mengandung
unsur obat.
6. Uap atau urap, bentuknya hampir sama dengan boreh (parem).
7. Oles, bentuknya sama dengan uap baik pembuatannya maupun
penggunaannya.
8. Apun atau limpun, berbentuk cairan. Caranya pembuatannya
dengan cara menggoreng, hasilnya berupa minyak oles.
9. Kakecel atau pijitan, bentuk dan pengolahannya sama dengan
apun.
10. Sembur, bahan-bahan obat dikunyah setelah dirasa lumat lalu
disembur pada bagian yang sakit.
11. Tampel atau tempel, bentuknya sama dengan boreh hanya saja
lebih kental. Jika ditempelkan pada bagian kepala disebut
dengan pupuk (Tim Peneliti Pengembangan dan Pengawasan
Obat dan Makanan, 1983/1984; 29-32), ( Ngurah Nala, 1993;
216), (Usadha Aserep dan Usadha Netra).
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 106 ]
Dari jenis-jenis bentuk obat diatas, pohon dedap sebagai
salah satu tanaman obat seperti telah disebutkan di atas, berperan
dalam melahirkan jenis-jenis pengobatan seperti di atas. Untuk itu,
biasanya daun dedap akan difungsikan atau dipadukan dengan
bahan-bahan yang lainnya. Ramuan yang akan dibuat harus
disesuaikan dengan ketentuan yang ada untuk menanggulangi suatu
penyakit. Ramuan-ramuan seperti itu, terutama yang memakai
sarana dari pohon dedap ini, diolah dalam bentuk loloh (jamu), boreh
dan uap (parem), simbuh (sembar), tutuh tetes, usug (kompres), uap
(balur), tirta (air suci sebagai penetralisir). Dari jenis-jenis bentuk
ramuan itu, digunakan untuk mengobati suatu penyakit sebagai
berikut ini:
1. Mengobati penyakit “belaan” pada bayi, sarananya sebagai
berikut; akar pohon dedap, isi kemiri, bawang merah dan adas,
dijadikan uap (sejenis parem tapi agak encer). Untuk mengobati
tiwang brahma, sarananya; daun dedap yang masih muda, tunas
muda (empol) andong merah, deringo, dijadikan obat balur.
Mengobati bayi muntah, sarananya; kulit dari pohon pulai,
kunyit 3 iris, 3 butir merica, disembar pada bagian bahunya.
Selain itu ada juga obat yang lainnya, sarananya sebagai berikut:
kerikan dari pohon dedap, maswi, sembar pada “tuwed”
(bokong? ) (Usadha Rare).
2. Obat “tiwang blabur”, bahan-bahan obatnya adalah; pisang
“saba”, kulit dari pohon dedap, bawang merah yang dibakar
dengan menimbun pada abu yang panas, dijadikan loloh. Selain
itu ada juga ramuan yang lainnya seperti berikut ini; daun
dedap, beras, “pulasari” bawang merah, dihaluskan dijadikan
uap (obat balur). Obat bayi yang sering kesakitan dan sering
menangis, ramuan obatnya adalah sebagai berikut, daun dedap,
bawang merah, “adas”, dijadikan loloh (Usadha Tumbal).
āna
[ 107 ]
āna
[ 106 ]
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 107 ]
3. Obat untuk orang yang sering-sering kencing, ramuan obatnya
sebagai berikut; cambium dari pohon dedap, buah asem yang
masih muda, digiling halus dan disaring, diminumkan pada si
penderita (Usadha Pamupug Guna-Guna).
4. Obat sebeha jampi (terasa panas dalam perut) ramuan obatnya;
akar dedap, buah delima putih, tumbung?(tombong), bawang
merah, dana das, digiling, airnya kemudian diminum (Usadha
Wong Agering).
5. Obat kaki membengkak dan terasa sakit disertai dengan panas
membara, adapun obat semburnya bahan-bahannya berupa;
daun dedap yang gugur, buah kemiri yang jatuh dari pohonnya
(dagingnya), bawang dan adas, dikunyah lalu disemburkan.
Obat gatal karena terkena “upas paying” kulit badan tampak
tebal disertai bintik-bintik, salah satu ramuannya adalah; pucuk
dari pohon dedap berduri (dadap wong?), kunir yang sudah tua,
dan kapur bubuk, dibuat dalam bentuk parem lalu dibakar
dengan cara menanam pada abu yang panas. Mengobati
penyakit “kerambit” (gatal-gatal) disertai dengan “tuju”
(bengkak yang berpindah-pindah) (Nala, 1993:199), sarana
obatnya adalah; daun dedap, tembakau yang keras, direbus
menggunakan tempurung kelapa, diberi “rajah”, ditaburi kapur
bubuk, dioleskan pada bagian yang gatal. Mengobati mencret,
dalam bentuk obat sembur, bahan-bahannya adalah; kulit batang
dedap (kerikan) dan kencur, dikunyah kemudian disemburkan
pada bagian perut. Bila sekujur badan terasa sakit dan nyeri,
dapat diobati dengan ramuan sebagai berikut; kerikan dari
pohon sandat, majagau, dedap, dan beras merah, digiling halus,
dibungkus dengan daun, ditanam dalam abu dapur yang panas,
setelah matang ditambah gosokan air cendana, dijadikan parem
(Usadha Edan).
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 108 ]
6. Obat badan terasa panas, ramuannya adalah sebagai berikut;
daun dedap yang sudah lapuk, lempuyang, air dari gosokan
cendana, dijadikan boreh (parem). Badan terasa kedinginan,
adapun sarana obatnya adalah; akar serabut pohon dedap,
bagian pangkal dari bawang putih, diolah menjadi loloh. Panas
disertai dengan gelisah, suhu badan tidak pernah turun, bahan-
bahan obatnya adalah; kerikan batang dedap, “sindrong wayah”,
lengkuas, lempuyang, “bangle’, ‘temu tis”, beras kuning,,
kerikan cendana, “masui”, pala, ketumbar, dijadikan parem.
Obat sakit “tiwang” (badan terasa meluang, sakit dan ngilu,
mata agak bengkak, otot kejang sampai pingsan) (Nala, 1993;
195), obatnya berupa obat tempel, yang ditempelkan pada ubun-
ubun kepala. Sarana obatnya adalah sebagai berikut; daun dadap
yang kuning dan kencur, kedua dipanggang (Usadha Netra).
7. Bila badan terasa panas diobati dengan mempergunakan
ramuan sebagai berikut: akar serabut dari pohon “selegui jantan
dan betina”, dicampur dengan “pulasahi” jinten hitam, bawang,
adas, “sepet-sepet” “lungid”, cambium pohon dedap, cambium
pohon Kendal, “beligo” 1 iris, dan beras. Diolah dengan cara
digiling halus, dicampur dengan air perasan dari lengkuas yang
telah dikukus, air dari tebu hitam yang dibakar, dicampur
dengan olahan tadi. Mengobati penyakit “buh” (perut
membesar) (Nala, 1993: 203) “mokan” “moro”(sejenis penyakit
yang disebabkan oleh desti dengan gejala bengkak setempat
atau pada beberapa tempat disertai dengan rasa sakit menusuk-
nusuk (Nala, 1993; 199), adapun bahan obatnya terdiri dari;
daun pohon beringin, daun dedap, daun pohon kendal, dan
cempedak (kesemua daun tersebut harus jatuh dengan
sendirinya), dicampur dengan kunir yang sudah tua (kunir
warangan), “pulasai” bawang, dan adas, dijadikan bahan
sembur. Jika seseorang muntah mencret dan gelisah,
penyakitnya dinamai “tiwang”, kerongkongannya dapat
āna
[ 109 ]
āna
[ 108 ]
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 109 ]
disembur mempergunakan bahan-bahan sebagai berikut; 3
pucuk daun dedap, bagian tengah dari bawang (hatin bawang).
(Usadha Dalem).
8. Mengobati penyakit ambeien, adapun sarana obatnya adalah
sebagai berikut; cambium dari pohon dedap, akar kembang
sepatu putih, air dari ‘ketan gajih”, bawang yang dibakar pada
abu yang panas, diolah dalam bentuk jamu (Usadha Tiwang).
9. Bila perut dibawah pusar terasa panas, diobati dengan
mempergunakan ramuan sebagai berikut; pucuk daun dedap,
digiling dicampur dengan endapan air beras, lalu disemburkan.
Bila tidak enak makan, ramuan untuk mengatasinya adalah;
pucuk daun dedap, “nyuh mulung”, bawang yang dibakar
dengan cara ditanam pada abu yang panas, dijadikan obat
minum (loloh) (Usadha Aserep).
10. Perut terasa kembung (begah), tidak bisa berak, bagian bawah
pusar terasa keras dan sakit. Penyakit dengan gejala seperti ini
dinamai “Barah Jampi Kelingsih”. Adapun ramuannya untuk itu
adalah; akar pohon dedap, dalundung (sejenis pohon dadap
durinya agak keras), pulai, “ketan gajih”, bawang yang dibakar
pada abu yang panas. Diolah dijadikan loloh. Perut kembung
dan tidak bisa kentut (bengka), ramuan obatnya adalah; pucuk
daun dedap sebanyak 7 lembar, daun sirih ketemu urat sebanyak
7 lembar, ‘temutis’ (sejenis temu-temuan), ketumbar,
lempuyang, daging kelapa yang dibakar, kerikan dari kayu
cendana, dijadikan obat sembur. “Banta barah Kelingsih”, pada
bagian bawah pusar (siksikan) nampak bengkak menyembul,
perih dan menusuk-nusuk, adapun ramuan untuk penyakit ini
berupa loloh dengan bahan-bahannya; kulit kayu kecemcem
putih, cambium pohon “bihu’, cambium kemiri, cambium
dedap, bunga ”paspasan”, daging kelapa yang dibakar, air jeruk
nipis, dan ‘sari kuning”. Panas badan tidak turun-turun, tidak
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 110 ]
ada nafsu makan, kepala seperti ditusuk-tusuk, tidak mampu
bangun. Penyakit disebut ‘Upas Sema”. Salah satu ramuan
obatnya yang berupa parem adalah; daun dedap yang sudah
lapuk, lempuyang, kencur, “pulasari”, gosokan air cendana.
Kesemuanya itu dihangatkan terlebih dahulu sebelum diminum.
Penyakit diseputaran kepala dengan gejala yang berbeda-beda,
salah satu obat semburnya adalah; kulit batang “kepohpoh”
(sejenis pohon mangga yang tidak berbuah), kulit batang pohon
dedap, lempuyang dan ketumbar. Dijadikan obat sembur,
disemburkan pada pangkal leher (Usadha Pangraksa Jiwa).
11. Daun dedap dijadikan sebagai sarana penetralisir. Dalam
penetralisir penyakit yang diperlukan adalah; air bersih yang
ditempatkan pada “sibuh” berisi 3 pucuk dari kuncup daun
dedap. Selanjutnya air tersebut sebelum digunakan diberi doa-
doa. Untuk penyakit menusuk di hulu hati, pengobatannya dapat
dilakukan dengan obat sembur. Bahan-bahan dari obat tersebut
adalah; 7 lembar daun jeruk nipis yang terbalik, 7 lembar daun
dedap, dan ketumbar (Usadha Tiwas Punggung).
12. Obat untuk penyakit “langu macek”, bahan obatnya berupa;
deringo, kecemcem, daun dedap yang telah kuning, ketumbar,
lengkuas yang dibakar pada abu yang panas. Diolah dalam
bentuk obat sembur (Usadha Sari).
13. Obat untuk segala penyakit yang berada dalam perut,
ramuannya seperti berikut ini; akar pohon pulai, akar pohon
dedap, kelapa yang dibakar, ragi, “sarilungid”, dalam bentuk
loloh, disertai dengan mantra Om Brahma ngisep dening bwana,
Om moksha hilang larane syanu, 3. (Usadha Smaratura).
14. Obat untuk “Gering bhuh warang gumigil”, obatnya dalam
bentuk loloh, dengan sarananya sebagai berikut; akar pohon
dedap, pucuk daun sembung, pucuk daun pule, kelapa bakar,
disertai “bobolong”, “pulasar”, “sari lungid”. Obat panas dalam
āna
[ 111 ]
āna
[ 110 ]
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 111 ]
disertai otot mengencang, tidak ada nafsu makan, obatnya dalam
bentuk loloh, sarananya sebagai berikut; akar pohon dedap,
buah sirih, bunga blimbing putih, ginten hitam, air bayam
merah, “getih warak”, jeruk nipis, digerus. Obat untuk “kbus
klampet” (panas membara?), sarananya; akar pohon dedap, akar
pohon sembung, akar “pancarsona”, akar daun kentut, asem
yang dipanggang, “sari lungid”, kesemuanya dihancurkan,
dimasukkan ke bambu lalu dibakar, setelah matang diminum.
Obat panas lebih dari 5 hari, obatnya dalam bentuk parem. Salah
satunya, sarananya berupa; kerikan batang pohon sandat,
kencur, lempuyang, dibakar dalam bara api, setelah matang
ditambahi air gosokan cendana. Mengobati penyakit ”buh ring
jero mwang barah” (perut membesar akibat berisi air, warna
kemerah-merahan, dan terasa sakit), sarana obatnya berupa;
daun “pancarsona”, daun dedap, cambium isin?, kencur, tmutis
(sejenis temu-temuan), gula, santan, “daging rong kidik”,
dijadikan obat minum, bisa juga dijadikan obat oles (Usada
Durga Kala).
15. Daun dalam usadha ini dipergunakan sebagai sarana “pamayon”
(menghidupkan cakra?). Adapun sarana untuk keperluan itu
adalah; garama satu genggam, daun dedap 3 lembar.
Difungsikan sebagai “tatulak babai”, sarananya sebagai berikut;
garam satu genggam, daun dedap sebagai tempatnya sebanyak 3
lembar, ditebar dengan menahan nafas?, disertai dengan mantra
(Usadha Prahu).
Demikianlah kegunaan atau fungsi dari pohon dedap dalam
pengobatan tradisional, yang tersurat dalam teks-teks usadha.
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 112 ]
Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, pohon dedap ini
termasuk golongan tanaman obat. Seluruh bagian dari pohon ini
dapat dimanfaatkan untuk sarana atau bahan obat-obatan tradisional.
Pohon ini memiliki sifat kandungan yang menyejukkan atau tis.
Daun dan akarnya paling banyak dimanfaatkan untuk keperluan
pengobatan, diolah dalam berbagai bentuk. Mulai dari yang
berbentuk loloh (jamu), simbuh (sembar), boreh (parem), uap (balur),
oles, tutuh (tetes). Selain itu difungsikan sebagai sarana penolak bala
dan menghidupkan cakra.
Daftar Pustaka
Badan Pembina Bahasa Aksara dan sastra Bali Prov. Bali, 2016.
Kamus Bali- Indonesia Beraksara Latin dan Bali.
Badudu, J S dan Sutan Moh Zain, 1994. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Pustaka Sinar Harapan.
Dev Pendit, Narendra, 1953. Ramayana.
Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan Badan Pembina Bahasa,
Aksara,dan Sastra Bali Provinsi Bali, 2008. Kamus Bali-
Indonesia Beraksara Latin dan Bali.
Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Tingkat I Bali. “Usada Tiwang”.
Proyek Penyalinan/Pencetakan Lontar Usada.
Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Usada Aserep.
Proyek Penyalinan/Pencetakan Lontar Usada.
Disas Kesehatan Provinsi Daerah Tingkat I Bali. “Usada Edan”.
Proyek Penyalinan/pencetakan Lontar Usada.
Dinas Kesehatan Provinsi Tingkat I Bali. “Usada Netra”
Dinas Kesehatan Provinsi Tingkat I Bali. “Usada Wong Agering”.
Dinas Kesehatan Provinsi Tingkat I Bali. “Usada Pamupug Guna
Guna”.
Dinas Kesehatan Provinsi Tingkat I Bali. “Usada Tumbal”.
Dinas Kesehatan Provinsi Tingkat I Bali. “Usada Dalem”.
Dinas Kesehatan Provinsi Tingkat I Bali. “Usada Pangaraksa Jiwa”.
Dinas Kesehatan Provinsi Tingkat I Bali. “Usada Tiwas Punggung”.
āna
[ 113 ]
āna
[ 112 ]
Prabhajñāna: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana
[ 113 ]
Dinas Kesehatan Provinsi Tingkat I Bali, Usada Tiwang.
Dinas Pendidikan Dasar Prov. Daerah Tingkat I Bali. 2000. Kakawin
Ramayana.
Gambar, l Made, tt. Usada Rare. Cempaka Dua Denpasar.
Gambar, l Made, tt. Usada Sari. Cempaka 2 Denpasar.
Heroesoekarto, 1963. Perang Alengka I.
Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana, 2018. Prabhajnana.
Satya, Bayu DS, 2013. Koleksi Tumbuhan Berkhasiat. Rapha
Publishing Jogyakarta.
Sudira, Made, 1999. Tutur Usada. Paramitha Surabaya.
Sujana, I Nyoman. 2008. Rasa Dan Yoga Dalam Kakawin
Subhadrawiwaha. Program Magister Ilmu Agama dan
Kebudayaan Univ. Hindu Indonesia.
Tinggen, I Nengah, tt. Taru Pramana Pusaka leluhur. Toko Buku
Indra Jaya Singaraja.
Nala, Ngurah,, 1993. Usada Bali. PT. Upada Sastra, Denpasar.
Zoetmulder dan S O Robson, 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.