alaman Judul - erepo.unud.ac.id
Transcript of alaman Judul - erepo.unud.ac.id
i
ii
alaman Judul
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN BUDAYA II
PEMERTAHANAN KEBERAGAMAN BAHASA DAN BUDAYA
SEBAGAI IDENTITAS NASIONAL
Penyunting Ahli
Dr. I Ketut Sudewa, M. Hum
Penyunting Pelaksana
Drs. I Wayan Teguh, M. Hum
DENPASAR, 13 – 14 OKTOBER 2017
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan
Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugraha-Nya maka buku kumpulan
makalah-makalah yang dikompilasi dalam bentuk proceeding untuk Seminar
Nasional Bahasa dan Budaya (SNBB) II dengan mengusung tema „Pemertahanan
Keberagaman Bahasa dan Budaya sebagai Identitas Nasional‟ menjadi sangat
penting. Indonesia sedang dilanda isu suku, ras, dan agama dalam bentuk
radikalisme, intoleransi, dll sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk
mengatasinya. Melalui SNBB II diharapkan pemahaman tentang keberagaman
bahasa dan budaya menjadi semakin baik sehingga kita semakin bijaksana, egaliter/
saling hormat-menghormati, toleransi, dan harmonis dalam keberagaman. Bahasa
adalah bagian dari kebudayaan, keduanya memiliki fungsi saling mendukung,
mempengaruhi, dan melengkapi.
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana mengembangkan ilmu bahasa
dan budaya, dengan mengungkap peran bahasa dalam kaitannya dengan
kebudayaan diharapkan dapat membangun karakter masyarakat dan bangsa
Indonesia dalam menghadapi era tanpa batas ini dengan penuh tantangan.
Melalui kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Para Koordinator Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Udayana atas kerjasama yang baik sehingga seminar
bersama bisa dilaksanakan.
2. Prof. Dr. Koeswinarno, M.Hum dari Departemen Agama/Litbang
Agama Pusat sebagai pembicara kunci; pemakalah utama: Prof. Dr. Ni
Nyoman Padmadewi, M.A. (Undiksha), Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.
(FIB Unud), dan Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A. (FIB Unud), serta
para pemakalah pendamping lainnya.
3. Peserta SNBB II, 2017 yang terdiri atas, peneliti dan/atau dosen bahasa,
sastra, dan budaya, mahasiswa, pekerja dan pengamat media, sastra dan
budaya, dll yang terlalu panjang bila disebutkan semuanya.
4. Panitia SNBB II yang telah bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu
yang terkait dengan penyelenggaraan seminar ini dengan sebaik-baiknya.
iv
SNBB II yang diselenggarakan atas kerjasama semua Program Studi di
lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana dapat memberikan
pencerahan, dan diharapkan bermuara pada penyatuan Visi Fakultas Ilmu Budaya,
Unud yaitu memiliki keunggulan dan kemandirian dalam bidang pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aplikasi keilmuan yang
berlandaskan kebudayaan.
Melalui kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran
pelaksanaan Seminar Nasional Bahasa dan Budaya, dengan harapan semoga Tuhan
YME memberikan imbalan yang setimpal dengan pengorbanan Bapak/Ibu sekalian.
Kami juga tidak lupa mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dalam
penyelengaraan acara ini. Kami ucapkan Selamat Berseminar, dan semoga
bermanfaat.
Denpasar, 9 Oktober 2017
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana
Dekan,
Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.
NIP. 195909171984032002
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... vi
MENANGKAL HOAX DENGAN BAHASA LOKAL:
SEBUAH REFLEKSI ..................................................................................................... 1
Koeswinarno
PEMERTAHANAN BAHASA BALI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
BAHASA: MASALAH DAN SOLUSI .......................................................................... 8
Ni Nyoman Padmadewi
MASABATAN BIU DAN PENGUATAN IDEOLOGI PATRIARKI
DI DESA TENGANAN DAUH TUKAD ...................................................................... 16
I Wayan Ardika
DOA MENYAMBUT IKAN PAUS DI PANTAI LAMALERA:
KAJIAN METABAHASA.............................................................................................. 45
I Nengah Sudipa
KEBERADAAN BAHASA BALI SEBAGAI IDENTITAS LOKAL
PADA TANDA LUAR RUANG DI DESA KUTA…………………… .. …………… 54
I Wayan Mulyawan
PELESTARIAN CAGAR BUDAYA UPAYA MEWUJUDKAN DENPASAR
SEBAGAI KOTA PUSAKA……………………………………………… .. ……....... 63
I Wayan Srijaya
BAGAIMANAKAH BERCERMIN DALAM BAHASA
INDONESIA?........................................................................................................... ...... 54
I Wayan Teguh
RITUAL MAPPANRETASIQ MASYARAKAT BUGIS PAGATAN DI
KALIMANTAN SELATAN: STUDI MEDIATISASI .................................................. 81
Andi Muhammad Akhmar dan A. Abd. Khaliq Syukur
PEMAHAMAN DAN PENGUASAAN SISWA SMA SURYA WISATA KEDIRI
TERHADAP KARYA SASTRA INDONESIA………………………………… ......... 90
I Ketut Nama, I Made Suarsa, I Ketut Sudewa, I Wayan Teguh, dan
I G. A.A. Mas Triadnyani
vi
PEMANFAATAN MAJAS DALAM PENAJAMAN INSIDEN-INSIDEN
DALAM KARYA SASTRA (KASUS CERPEN MÉONG-MÉONG KARYA
MADE SANGGRA)……………………………………………………………... ........ 97
I Made Suarsa
MENGGAGAS KEMBALI KONSEPSI KECANTIKAN PEREMPUAN BALI…... .. 104
Ni Made Wiasti
“BERBAGI BAHASA”: STRATEGI KEBUDAYAAN MASYARAKAT BADAU,
KALIMANTAN BARAT DALAM MEMBANGUN SOLIDARITAS DAN
MENUMBUHKAN NASIONALISME…………………………………………… ..... 112
I Nyoman Yoga Segara……..
PURA TUGU: KORELASI PURA DENGAN PURI AGUNG
GIANYAR ...................................................................................................................... 120
A.A. Inten Asmariati dan Fransisca Dewi Setiowati Sunaryo
INDUSTRIALISASI SENI KRIYA………………………………………………… ... 127
Ni Wayan Sukarini, Ni Luh Sutjiati Beratha, dan I Made Rajeg
BAHASA-BAHASA DAERAH DI SUMATERA: ANALISIS KLASIFIKASI
BAHASA… .................................................................................................................... 134
Ni Putu N. Widarsini
GAYA BAHASA DAN MAJAS HIKAYAT SULTAN IBRAHIM IBN ADHAM ............ 141
I Ketut Nama
ANALISIS MAKNA DALAM IKLAN KOSMETIK: KAJIAN PRAGMATIK…… .. 149
Putu Evi Wahyu Citrawati, Coleta Palupi Titasari
PUISI "WIJAYA KUSUMA DARI KAMAR NOMOR TIGA"
KARYA MARIA MATILDIS BANDA: PENDEKATAN EKSPRESIF ...................... 156
Sri Jumadiah
GAMBARAN NYATA KARAKTER NEGATIF MANUSIA MASA KINI
DALAM CERITA CUPAK GRANTANG…………………………………………. .... 163
I Gusti Ayu Gde Sosiowati
KONTEKTUALISASI BUDAYA BALI DALAM PENATAAN KEHIDUPAN
MASYARAKAT MAJEMUK DI DENPASAR TAHUN 2002-2017 ........................... 170
I Nyoman Wijaya, Anak Agung Bagus Wirawan, I Wayan Tagel Eddy,
Anak Agung Inten Asmariati
FUNGSI PATIK DALAM KUMPULAN PUISI
PUKENG MOE LAMALERA........................................................................................ .. 183
Maria Matildis Banda
vii
DINAMIKA TANDA LUAR RUANG DI DESA BATUBULAN
KECAMATAN SUKAWATI………………………………………………………. .... 190
I Gede Budiasa dan Sang Ayu Isnu Maharani
UPACARA DUKUTAN MASYARAKAT NGLURAH SEBAGAI BENTUK
PARTISIPASI PELESTARIAN SITUS MENGGUNG…………………………… ..... 199
Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari
PEMANFAATAN PURA ULUWATU SEBAGAI OBJEK PARIWISATA:
MEDIA PENGENALAN DAN PELESTARIAN BUDAYA……………………….. .. 205
Zuraidah dan Rochtri Agung Bawono
BAHASA MELAYU RIAU: DESKRIPSI RINGKAS……………………………… .. 212
Ketut Riana
RELEVANSI NILAI BUDAYA LOKAL DALAM MEWUJUDKAN DENPASAR
SEBAGAI KOTA SMART CITY .................................................................................. 216
Ida Bagus Gde Pujaastawa
PERSEPSI BUDAYA JAWA DALAM KISAH CALON ARANG : FUNGSI
DEDAKTIS DAN SOSIOLOGIS ................................................................................... 228
Sulandjari
PEMAKAIAN KATA PINJAMAN DALAM BIDANG EKONOMI
PADA MEDIA HARIAN BALI POST .......................................................................... 240
Ni Luh Putu Krisnawati dan I Komang Sumaryana Putra
BIMBINGAN TEKNIS DAN PENERAPAN METODE SEJARAH DALAM
MENINGKATKAN KUALITAS PENULISAN SEJARAH DESA DI DESA
BESAN, KECAMATAN DAWAN, KABUPATEN KLUNGKUNG..................... ...... 247
Anak Agung Ayu Rai Wahyuni, Ida Ayu Putu Mahyuni, Ida Bagus Gde Putra,
Anak Agung Ayu Girindra Wardani.
ANALISIS MAKNA ASALI SPACE DALAM BAHASA BALI:
SUATU KAJIAN MSA .................................................................................................. 254
I Komang Sumaryana Putra
ANALISIS KESALAHAN PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA
DALAM SURAT-MENYURAT DALAM SITUASI RESMI ....................................... 265
Ni Wayan Arnati dan I Nengah Sukartha
ARCA BUDDHIST BHAIRAWA KOLEKSI MUSEUM NASIONAL
INDONESIA JAKARTA (IKON TOLERANSI ALIRAN PRAWERTI DAN
NIWERTI TANTRAYANA)………………………………………………………... ... 279
I Wayan Redig
viii
BEST PRACTICES PEMBERDAYAAN KELOMPOK USAHA PRODUKTIF
UNTUK PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DESA TEMBOK
KECAMATAN TEJAKULA KABUPATEN BULELENG .......................................... 286
Ni Luh Arjani
KOMIK PRASI BALI SEBAGAI PENGEMBANGAN INDUSTRI
KREATIFINOVATIF MASYARAKAT PERAJIN SENI PRASI: STUDI KASUS
PERAJIN PRASI DESA SIDEMEN, KARANGASEM, BALI………... ...................... 293
Ketut Darmana, I Wayan Suwena,
METAFORA „BUAH DELIMA‟ DAN FUNGSINYA SEBAGAI SARANA
UPAKARA BAGI UMAT HINDU DI BALI: SUATU PENDEKATAN
EKOLINGUISTIK………………………………………………………………….. .... 301
Ni Made Ayu Widiastuti
INVENTARISASI TINGGALAN ARKEOLOGI ISLAM
DI KOTA DENPASAR .................................................................................................. 309
Zuraidah, Coleta Palupi Titasari, Rochtri Agung Bawono
KERUKUNAN DAN SIKAP TOLERANSI DALAM RITUAL SONGKA BALA
PADA MASYARAKAT SELAYAR………………………………………………. .... 316
Dafirah
KONSEP PENEMPATAN ARCA GAJAH SEBAGAI DWARAPALA
PADA BANGUNAN SUCI DI BALI……………………………………………… .... 321
Coleta Palupi Titasari dan Zuraidah
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PENGUATAN EKONOMI
KREATIF DI KAWASAN WISATA DESA TARO KECAMATAN
TEGALLALANG KABUPATEN GIANYAR……………………………………. ..... 328
Ida Ayu Putu Mahyuni, Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo, Anak Agung Inten
Asmariati, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni
DESKRIPSI AIR DALAM KATA PENIRU BUNYI BAHASA BALI…………… .... 335
NPL Wedayanti
PENINGKATAN KEMAMPUAN PRESENTASI BERBAHASA JEPANG
MELALUI MATA KULIAH PUBLIC SPEAKING………………………………… ... 341
Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Luh Putu Ari Sulatri,
16
PELESTARIAN CAGAR BUDAYA UPAYA MEWUJUDKAN DENPASAR
SEBAGAI KOTA PUSAKA
I Wayan Srijaya
Universitas Udayana
Abstrak
Denpasar dikenal sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan,
ibu kota provinsi Bali dan kota budaya. Sebagai kota yang menyandang berbagai
predikat menjadikan kota ini sarat dengan berbagai macam aktivitas yang terkait
dengan predikat tersebut. Konsekuensi dari predikat yang disandang itu adalah
padatnya jumlah penduduk yang menempati wilayah ini, belum lagi masyarakat
dari luar kota denpasar yang mengadu nasib di sini. Pada kesempatan ini, akan
dibahas predikat Denpasar sebagai kota budaya. Sebagai kota budaya, sangatlah
bersesuaian dengan realita budaya yang pernah tumbuh dan berkembang di kota
Denpasar. Bukti-bukti arkeologi yang sudah berhasil diinventarisasi diketahui
berasal dari berbagai masa pembuatan, baik yang berasal dari periode prasejarah,
periode Hindu-Budha, periode Islam, dan kolonial serta budaya kontemporer.
Namun, beragamnya warisan budaya yang ditemukan tidaklah salah apabila kota
Denpasar juga disebut sebagai kota Budaya. Untuk mewujudkan Denpasar
sebagai kota Pusaka, perlu upaya nyata berupa pelestarian terhadap berbagai
warisan budaya yang ada di kota ini. Dengan kegiatan pelestarian ini, diharapkan
warisan budaya khususnya yang berupa cagar budaya senantiasa dapat
memberikan informasi tentang jati diri masyarakat Denpasar.
Kata kunci: Denpasar, cagar budaya, pelestarian, kota pusaka
1. Pendahuluan
Denpasar sebagaimana diketahui menjadi pusat pertemuan berbagai etnis
dengan kepentingan yang berbeda. Sebagai pusat pertemun dari berbagai etnis
berpengaruh pula terhadap kehadiran budaya yang dibawa. Selain etnis Bali,
berbagai etnis yang hidup secara rukun di kota Denpasar antara lain etnis, Jawa,
Minang, Madura, Sunda, Batak, Flores, dan sebagainya yang ditandai dengan
munculnya perkumpulan keluarga besar dari masing-masing etnis tersebut.
Munculnya perkumpulan berbagai etnis ini, disertai pula dengan budaya yang
mereka miliki. Budaya dan tradisi daerah yang mereka miliki tidak serta merta
ditinggalkan melainkan selalu melekat dan mewarnai kehidupan mereka
dimanapun mereka berada termasuk di kota Denpasar. Karena itu, di kota ini
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya II
Denpasar, 26-27 Mei 2017
17
mudah ditemukan berbagai unsur budaya luar mewarnai budaya lokal. Namun
demikian bukan berarti masuknya budaya luar ini akan menghilangkan budaya
lokal yang sudah tumbuh dan berkembang sejak ribuan tahun silam melainkan
dapat hidup berdampingan tanpa kehilangan jati diri masing-masing. Selain
budaya yang mencerminkan budaya etnis yang ada di Indonesia, Denpasar
sebagai destinasi wisata terkenal di dunia tentu tidak dapat dipungkiri bahwa
budaya global pun tidak bisa dihindarkan masuk ke daerah ini. Namun, semua
budaya asing yang hadir ditengah masyarakat lokal dapat bersanding tanpa harus
kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang menjujung tinggi nilai-nilai, tradisi,
adat-istiadat yang telah diwarisi secara turun temurun. Oleh sebab itu, sebagai
daerah yang terbuka terhadap siapapun yang ingin mengais keberuntungan di kota
ini akan diterima kehadirannya dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang
ditetapkan.
Kota Denpasar dengan segala kelebihan yang dimiliki, ternyata memiliki
sejarah yang cukup panjang. Perjalanan sejarah panjang ini, diketahui dari
berbagai warisan budaya yang masih dapat dirunut perkembangannya. Bukti-bukti
arkeologis menunjukkan bahwa kota Denpasar, sudah dihuni sejak zaman
prasejarah kemudian berlanjut pada masuknya budaya India, Islam, dan Kolonial.
Bukti arkeologi ini memperkuat identitas Denpasar sebagai kota budaya. Warisan
budaya yang menjadi petunjuk kehidupan masa lalu kota Denpasar tersebar di
keempat kecamatan yang ada di kota ini. Namun, intensitas warisan budaya tidak
merata disemua wilayah kecamatan. Berdasarkan hasil inventarisasi yang
dilakukan oleh instansi terkait bahwa di wilayah kecamatan denpasar utara
intensitas temuan cagar budayanya yang cukup banyak, kemudian wilayah
denpasar timur, selatan dan barat (Mardika dkk,2013). Memperhatuikan jenis-
jenisnya, sebagaian besar mencerminkan budaya Hindu-Buda, kemudian tradisi
prasejarah, kolonial, dan islam. Cagar budaya Hindu-Buda yang ditemukan di
kota Denpasar antara lain berbentuk arca (dewa maupun perwujudan), bangunan
prasadha, lingga yoni. Selanjutnya cagar budaya yang berasal dari tradisi
prasejarah antara lain berbentuk arca-arca sederhana, bangunan teras berundak.
Kemudian cagar budaya yang bercirikan pengaruh Islam dan Kolonial antara lain
18
sebuah masjid Kuno dan makam-makam Islam di kampong Bugis Serangan,
sedangkan yang berkarakter Kolonial yaitu beberapa bangunan puri, serta Hotel
Inna Bali di Jl. Veteran.
Semua cagar budaya yang diketemukan diwilayah kota Denpasar masih
difungsikan sebagaimana fungsi semula (living monument). Cagar budaya baik
yang berasal dari tradisi prasejarah maupun yang bersifat Hindu-Buda, yang
umumnya berada di lingkungan tempat suci/pura tentu akan member keuntungan
dalam hal pelestariannya. Sebagai cagar budaya yang masih difungsikan, maka
partisipasi masyarakat dalam hal menjaga kelestarian cagar budaya yang ada di
lingkungan tempat suci mereka menjadi tanggung jawab bersama krama
pengempon pura. Sementara itu, cagar budaya yang berlatar belakang agama
Islam pun tidak jauh berbeda karena cagar budaya itu masih difungsikan. Berbeda
halnya dengan cagar budaya yang berkarakter religious di atas, cagar budaya yang
berkarakter colonial sebagaimana ditunjukkan oleh puri dengan segala
kelengkapannya dan bangunan Hotel Inna Bali, masih konsisten dengan fungsi-
fungsi yang dimilikinya. Puri sebagai kediaman raja beserta keluarganya, masih
eksis dengan fungsi awalnya dan tidak banyak mengalami perubahan fisik
bangunannya. Demikian pula halnya dengan Hotel Inna Bali sampai saat ini masih
menjalankan fungsinya sebagai tempat menginap bagi masyarakat lokal maupun
asing.
Dari paparan di atas, pilihan Denpasar sebagai kota Budaya maupun kota Pusaka
sangat beralasan karena didukung oleh adanya cagar budaya benda (tangiable)
dan tak benda (intangiable) yang sampai sekarang masih terpelihara dengan baik
ditengah-tengah masyarakat.
2. Tujuan Penulisan
Tulisan ini dibuat sebagai upaya untuk mengetahui keberlangsungan cagar
budaya yang ada di kota Denpasar. Cagar budaya benda (tangiable) dan tak benda
(intangiable) merupakan living monument yang terpelihara dengan baik. Dengan
terpeliharanya cagar budaya di kota Denpasar ini, menjadi petunjuk jati diri
masyarakat kota Denpasar.
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya II
Denpasar, 26-27 Mei 2017
19
3. Metodelogi
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam menyusun naskah ini,
maka digunakan beberapa cara yaitu dengan observasi, dan studi pustaka. Setelah
data yang diperlukan terkumpul kemudian dilakukan analisis. Dalam kesempatan
ini analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, dan komparatif.
4. Beberpa Konsep yang digunakan
Sebelum masuk kepada inti permasalahan tentang pelestarian cagar
budaya, maka diperlukan beberapa penjelasan konsep operasional tentang istilah
yang digunakan. Ada beberapa istilah yang perlu diberikan penjelasan yaitu cagar
gudaya, pelestarian, dan kota pusaka.
Cagar budaya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Republik
Indonesia (UURI) No.11 tahun 2010 tentanga Cagar Budaya dijelaskan pada Bab
Ketentuan Umum Bab I Pasal 1 sebagai berikut.
Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa
benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat
dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki
nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, agama dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan.
Pelestarian berasal dari kata lestari (bertahan, tetap, ajeg). Istilah ini dapat
bermakna ganda yaitu bersifat dinamis dan statis. Dalam arti statis, pelestarian
dimaksudkan untuk mempertahankan keadaan aslinya dengan tidak merubah yang
ada dan tetap mempertahankan kondisinya yang sekarang (exiting condition).
Dalam pengertian dinamis dapat dipahami sebagai upaya pemeliharaan,
perlindungan, dan pemanfaatan pusaka budaya secara kreatif dengan tidak
merubah esensinya. Pelestarian dalam arti dinamis ini tampaknya bersesuaian
dengan konsep Burra Charter yang melihat pelestarian sebagai seluruh proses
yang memperlihatkan suatu tempat yang tetap mempertahankan arti significance
dari kebudayaannya dan didalamnya termasuk pemeliharaannya menurut
20
kemungkinan keberadaannya saat itu (Rumawan dalam Mardika,dkk,2010:9-10).
Sementara dalam UU RI No.11 Tahun 2010 Bab I pasal 1 ayat 22 dijelaskan
pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar
budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan
memanfaatknannya.
Kota pusaka adalah kota/kabupaten yang dinilai memiliki beragam situs
maupun peninggalan yang penting bagi kehidupan komunitas dan masyarakat luas
pada umumnya. Terdapat peninggalan yang diklasifikasikan sebagai pusaka yang
formal, namun terdapat pula pusaka yang belum terklasifikasi secara formal
karena belum mendapat penetapan dari pemerintah (Dalam buku laporan
Penyusunan Masterplan dan Perencanaan Teknis Penataan Fisik, Kota Pusaka
Denpasar). Dalam kontek ini, yang dimaksud adalah kota pusaka Denpasar.
5. Pusaka Kota Denpasar dan Upaya Pelestariannya
a. Pusaka Kota Denpasar
Sebagaimana telah disebutkan dalam bagian awal tulisan ini, kota
Denpasar mempunyai cagar budaya yang cukup banyak dan jika diklasifikasikan
berdasarkan kronologinya diketahui ada yang berasal dari zaman prasejarah,
Hindu-Buda, Islam dan Kolonial. Cagar budaya yang berasal dari zaman
prasejarah tersebar dibeberapa tempat seperti wilayah Sanur dan Peguyangan.
Cagar budaya masa Hindu-Budha ditemukan di wilayah Desa Denpasar,
Peguyangan, Kesiman, Tonja, Serangan dll. Sementara cagar budaya yang bersifat
Islam ditemukan di desa Serangan dan Kepaon. Cagar budaya dari masa
penjajahan Kolonial adalah Hotel Inna Bali di Jl.Veteran Denpasar.
Apabila dicermati cagar budaya yang ada dapat dijelaskan berdasarkan
jenisnya yaitu ada yang berbentuk tektonologi peralatan yang terbuat dari batu
dan perunggu, arca-arca tradisi megalitik, bangunan teras berundak, arca yang
melambangkan dewa, arca pratistha, lingga-yoni,arsitektur bangunan candi,
arsitetur bangunan masjid, dan makam-makam islam. Teknologi peralatan yang
berasal dari masa prasejarah antara lain berbentuk kapak persegi yang ditemukan
di desa Peguyangan Denpasar Utara (Suastika, 1981; Sutaba, 1980). Kapak-kapak
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya II
Denpasar, 26-27 Mei 2017
21
tersebut ditemukan rumah-rumah penduduk yang ditempatkan pada suatu
pelinggih. Kapak persegi ini dibuat dengan menggunakan bahan batu yang telah
mengalami pengupaman dengan bagus. Oleh masyarakat kapak-kapak persegi ini
disebut dengan gigi kilat dan diyakini dapat menghindarkan binatang peliharaan
dari penyakit setelah diberikan air rendaman kapak tersebut. Kepercayaan seperti
ini masih tetap berlangsung ditengah-tengah modernisasi yang menerpa budaya
Bali. Kemudian bangunan punden berundak merupakan media pemujaan terhadap
roh leluhur. Sesuai namanya bangunan ini dibuat dengan cara menyusun batu
dengan bentuk bertingkat-tingkat dan makin ke atas makin mengecil. Pada bagian
puncak bangunan biasanya diserta arca leluhur atau sebuah menhir atau batu tegak.
Bangunan punden berundak ini ditemukan di desa Sanur seperti di pura Jumeneng,
dan pura Segara (Kempers, 1960;Mardika dkk,2010; Srijaya, 2015). Selain itu,
ada pula dalam wujud arca-arca bercorak megalitik yang bentuknya sederhana
dengan penampakan yang naturalis. Arca bercorak megalitik ini ditemukan di
pura Ayun Peguyangan. Arca ini ditempatkan pada sebuah bangunan (gedong)
pesimpangan pura Dalem Sukun dan ditempatkan sebagai dwarapala di depan
pintu masuk pelinggih tersebut. Sementara sebuah arca bercorak megalitik lainnya
ditemukan dalam palinggih Ratu Ngurah Agung Pura Dalem Sukun di Kelurahan
Peguyangan (Taro, 1982; Mardika dkk.2010). Kemudian sebuah nekara perunggu
juga pernah di temukan di kelurahan Peguyangan (Kompyang Gede, 1997/98).
Keselurahan informasi tentang cagar budaya masa prasejarah ini merupakan
warisan yang bersifat living monument.
Cagar budaya yang bercorak Hindu-Budha sebagaimana disebutkan di atas,
antara berbentuk arca dewa, arca perwujudan, kemuncak bangunan, bangunan
candi, miniature candi, lingga-yoni, paduraksa, dan candi bentar. Cagar budaya
jenis ini ditemukan tersebar dibeberapa situs pura di kota Denpasar. Arca yang
melambangkan dewa Ganesa ditemukan di pura Manik Aji Banjar Abiannangka
Kaja Desa Kesiman Petilan dan di pura Desa/Puseh Denpasar. Selain itu, di pura
Manik Aji juga ditemukan lingga, kemuncak bangunan, arca perwujudan leluhur,
fragmen Ganesa, batu alam serta perwujudan tokoh Panji (Mardika dkk, 2010).
Sementara di pura Petapan di Banjar Kedaton Desa Kesiman Petilan ditemukan
22
arca Kala Sungsang dan Arca Dwarapala. Bangunan candi atau prasada maupun
miniature candi ditemukan di situs pura Maospahit Tonja, di pura Rambut Siwi
Tonja, di pura Sakenan Serangan. Bangunan prasada yang ada di pura Maospahit
Tonja dan Rambut Siwi, menggunakan bahan batu bata dengan atap bertingkat ,
sedangkan prasada yang ada di pura Sakenan, pura Susunan Wadon dan pura
Dalem Cemara Serangan menggunakan bahan batukapur. Penggunaan bahan yang
berbeda ini disesuaikan dengan lingkungan dimana bangunan tersebut berada.
Oleh karena itu, pembuatan prasada dengan bahan batu kapur ini merupakan
bentuk adaptasi manusia dengan lingkungannya. Demikian pula dengan bangunan
teras berundak di Sanur. Kemudian bangunan miniatur candi ditemukan di pura
Desa Peguyangan Denpasar Utara. Sesuai dengan namanya, miniatur candi ini
dibuat dari sebuah batu berukuran besar kemudian dibentuk sedemikian rupa
makin ke atas semakin mengecil. Dikatakan miniature karena ukurannya yang
tidak besar seperti halnya bangunan prasada, namun memperlihatkan bagian-
bagian dari sebuah candi yaitu ada kaki, badan dan atap (Redig,1977). Kemuncak
bangunan terdapat di beberapa situs pura yaitu pura Desa Peguyangan, dan pura
Manik Aji. Candi bentar dan candi kurung ditemukan di pura Maospahit
Gerenceng, situs pura Sakenan, dan pura Dalem Cemara. Dilihat dari bahan yang
digunakan ternyata tidaklah sama. Candi kurung yang terdapat di pura Rambut
Siwi Tonja dan Maospahit Gerenceng menggunakan bahan batu bata sedangkan
candi kurung yang ada di pura Sakenan dan pura Dalem Cemara menggunakan
bahan batu kapur. Selain cagar budaya yang telah disebutkan di atas, di pura
Rambut Siwi juga ditemukan fragmen patung teracota, dan di pura Maospahit
Gerenceng terdapat beberapa arca teracota yang difungsikan sebagai dwarapala.
Disamping artefak dan fitur, di kota Denpasar ditemukan sejumlah prasasti seperti
prasasti Blanjong Sanur, prasasti Betngandang Renon, dan lain sebagainya.
Prasasti Blanjong merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh dinasti Warmadewa
yaitu raja Kesari Warmadewa pada tahun 835 Caka (913 M). Prasasti ini
merupakan sumber tertulis tertua yang menyebutkan nama raja yang berkuasa di
Bali saat itu.
Kemudian cagar budaya yang dikatagorikan bersifat Islam adalah berupa
bangunan masjid dan makam-makam yang ditemukan di desa Serangan dan
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya II
Denpasar, 26-27 Mei 2017
23
Kepaon. Bangunan masjid dan makam Islam ini menjadi bukti bagaimana
pengaruh Islam di Bali. Walaupun tidak banyak, tetapi kehadiran budaya Islam
telah ikut mewarnai budaya lokal yang kental dengan nafas hindunya.
Sementara satu-satunya bangunan yang bercorak Kolonial di Kota
Denpasar adalah Hotel Inna Bali yang terletak di pusat kota. Bangunan ini
berperanan penting dalam masa pemerintahan Kolonial Belanda yang menguasai
Bali. Setelah Bali berhasil dibebaskan dari cengkeraman pemerintah Belanda,
bangunan ini kemudian digunakan sebagai Hotel. Namun dari dua unit gedung
yang ada di timur dan barat jalan, gedung yang terdapat di barat jalan sudah
mengalami renovasi beberapa tahun silam. Walaupun dari segi bentuknya masih
dipertahankan, tetapi strukturnya sudah menggunakan bahan baru. Beruntung
bangunan yang ada di timur jalan sampai saat ini masih berdiri tegak dan sampai
kapankah bangunan ini dapat dipertahankan sebelum direnovasi oleh
menejemennya seperti bangunan yang ada di barat jalan.
Selain cagar budaya dari periode sebelum penjajahan Belanda, di kota
Denpasar juga terdapat warisan budaya sejarah yang hingga sekarang masih
berfungsi sebagaimana fungsi semula. Warisan budaya ini pada umumnya
berwujud bangunan puri atau tempat penguasa atau raja dan keluarganya
bertempat tinggal di kota Denpasar ditemukan puri Agung Denpasar atau disebut
pula puri Satrya, puri Agung Kesiman, puri Agung Pemecutan. Ketiga puri ini
memegang peranan penting saat Bali masih dikuasai pemerintah Hindia Belanda.
Disamping bangunan puri dengan segala kelengkapannya di kota Denpasar juga
terdapat Museum Bali dan Museum Le Mayeur. Museum Bali yang dibangun
pada tahun 1932 itu merupakan museum yang memiliki koleksi paling lengkap di
Bali yang berasal dari berbagai tempat di Bali. Sementara museum Le Mayeur
yang berlokasi di Sanur merupakan museum yang khusus menyimpan dan
memamerkan koleksi lukisan yang dihasilkan oleh pelukis Le Maeyur.
b.Upaya Pelestarian
Seperti telah disebutkan di atas bahwa cagar budaya yang terdapat di kota
Denpasar sebagian besar merupakan living monument yang sifatnya sakral.
24
Dikatakan bersifat sacral karena hampir semua cagar budaya yang disebutkan di
atas ditemumakan atau disimpan pada sebuah bangunan suci/pura. Keberadaan
cagar budaya yang tersimpan pada sebuah bangunan suci/pura merupakan sebuah
keuntungan dalam upaya pelestarian cagar budaya itu. Mengapa demikian, karena
masyarakat Bali yang beragama Hindu meyakini dan menyucikan pralingga yang
terdapat disetiap pura yang menjadi sungsungannya. Pandangan yang
menganggap pralingga sebagai benda yang disucikan dan dikeramatkan dengan
sendirinya tidak akan ada warga pengempon maupun penyungsung yang berani
melakukan tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. Adanya kepercayaan seperti
ini hampir terjadi disetiap situs yang ada di kota Denpasar yang sifatnya living
monument. Tidak saja terhadap pralingga yang distanakan di pura yang mereka
keramatkan, tetapi juga bangunan-bangunan pelinggih yang ada dilingkungan
pura itu. Pandangan seperti ini secara teoritis akan memberi arti positif untuk
kemanan cagar budaya, sekaligus juga berimbas kurang baik dalam upaya
pelestarian cagar budaya tersebut. Kenapa, karena untuk melakukan pelestarian
terhadap cagar budaya yang bersifat living monument sering kali menemui
kesulitan dengan adanya pandangan masyarakat seperti di atas, sehingga
memerlukan pendekatan-pendekatan kepada pengemong pura agar diberikan ijin
untuk melakukan pelestarian cagar budaya. Bahkan di masa lalu karena begitu
kuatnya kepercayaan terhadap pralingga yang dimiliki, maka untuk keperluan
menurunkan pralingga harus mengadakan korban yang tidak kecil. Akan tetapi
perkembangan zaman mewarnai perubahan pandangan dari masyarakat yang
sebelumnya begitu sulitnya untuk mengamati dari dekat cagar budaya yang ada di
pura mulai menyadari betapa pentingnya mengetahui arti dan makna yang ada
dibalik cagar budaya yang diwarisi.
Banyak warga masyarakat yang menjadi pemilik ataupun pengempon pura
yang di dalammya terdapat cagar budaya dengan kesadarannya sendiri untuk
menginformasikan kepada instansi terkait untuk melakukan pendataan, pencatatan,
pendokumentasian dan pembacaan khusus untuk prasasti tanpa banyak prosedur
yang harus dilalui. Kesadaran ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk
memberikan pemahaman kepada pengempon pura agar mereka mengerti arti dan
makna dari cagar budaya yang dimilikinya. Dengan pemahaman yang memadai
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya II
Denpasar, 26-27 Mei 2017
25
tentang betapa pentingnya cagar budaya untuk memahami sejarah masa lalunya
sehingga tumbuh kepedulian untuk melakukan pelestarian terhadap cagar budaya
itu. Dalam pelestarian cagar budaya yang bersifat living monument seperti yang
terdapat di Bali harus dipahami sebagai upaya untuk menjaga kesinambungan
warisan budaya dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Kegiatan pelestarian
tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata, melainkan menjadi
tanggung jawab kita semua yang mempunyai kepedulian terhadap cagar budaya.
Bagi masyarakat awam tentu memerlukan petunjuk dari instansi berwenang agar
apa yang dilakukan dapat bermanfaat dan tidak menimbuklkan kerusakan lebih
jauh. Disinilah perlunya sosialisasi terus menerus agar masyarakat dapat mudah
memahaminya.
Pelestarian cagar budaya tidak hanya bertujuan untuk penyelamatan dan
melestarikan artefak maupun fitur dari kemusnahannya, tetapi yang lebih penting
adalah melestarikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam warisan tersebut.
Upaya pelestarian memiliki tujuan ganda yaitu (1) pelestarian fisik cagar budaya
beserta lingkungan alam dan sosialmnya; (2) pelestarian nilai-nilai budaya
(cultural velue) untuk diwariskan kepada genersi penerus (Mardika dkk, 2010).
6. Penutup
Kota Denpasar yang merupakan pusat pemerintahan baik provinsi maupun
kota, pusat pendidikan, perdagangan, dan pariwisata memiliki sejarah yang sangat
panjang. Sejarah panjang kota ini dibuktikan dengan adanya cagar budaya yang
berasal dari zaman prasejarah sampai masuknya peradaban barat yang tersebar di
berbagai tempat di kota ini. Banyaknya cagar budaya yang terdapat di kota
Denpasar ini tentunya menjadi alasan mengapa pemerintah Kota Denpasar
mengusulkan menjadi kota Pusaka Indonesia serta Jaringan kota Pusaka Dunia.
Dengan predikat sebagai jaringan kota Pusaka Dunia, pemerintah kota Denpasar
mempunyai kewajiban untuk melestarikan cagar budaya yang tumbuh dan
berkembang di kota ini.Cagar budaya itu sebagian besar bersifat living monument
sehingga masyarakat berperan serta dalam upaya pelestariannya. Untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat dalam melakukan pelestarian cagar budaya
26
yang diwarisi perlu diberikan penyuluhan secara kontinyu sehingga ketika mereka
dalam berperanserta melestarikan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih jauh.
Daftar Pustaka
Anonim, t.t. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya. Denpasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai
Pelestarian Cagar Buday Provinsi Bali, NTB, DAN NTT
Ardika, I Wayan, I Gde Parimarta, dan A.A.Bagus Wiwarawan, 2012 Dari Prasejarah
Hingga Modern. Denpasar; Udayana Press
Kempers, A.J.Bernet 1960 Bali Purbakala. Jakarta: Balai Buku Ikhtiar
Kompyang Gede, Dewa,1997/1998, Nekara Sebagai Wadah Kubur Situs Manikliyu
Kintamani. Dalam Forum Arkeologi No,II. Denpasar; Balai Arkeologi
Denpasar
Mardika, I Nyoman, I Made Mardika dan A.A.Rai Sita Laksmi, 2010 Pusaka Budaya
Representasi Ragam Pusaka dan Tantangan Konservasi di Kota Denpasar.
Denpasar: Bappeda Kota Denpasar
Srijaya, I Wayan 2015, Potensi Arkeologi di Desa Sanur. Laporan Penelitian.
Suastika, I Made, 1981, Beliung Persegi di Desa Peguyangan. Skripsi. Jurusan Arkeologi
Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar
Sutaba, I Made, 1980, Prasejarah Bali. Denpasar:BU Yayasan Purbakala
Taro, I Made, 1982, Arca-arca Bercorak Megalitik di Desa Peguyangan. Skripsi. Jurusan
Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya II
Denpasar, 26-27 Mei 2017
27