pph usu

29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perdarahan Postpartum 2.1.1 Pengertian Perdarahan Postpartum Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir) (Wiknjosastro, 2000). Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari 4 cm sampai penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks sudah membuka lengkap sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak, kemudian dilanjutkan dengan kala III persalinan yang dimulai dengan lahirnya bayi dan berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan postpartum terjadi setelah kala III persalinan selesai (Saifuddin, 2002). Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok, ataupun merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak yang mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok (Mochtar, 1995). 2.1.2 Penyebab Perdarahan Postpartum Penyebab perdarahan Postpartum antara lain : 1. Atonia uteri 50% - 60% 2. Retensio plasenta 16% - 17% Universitas Sumatera Utara

description

hgfhgfhghjjhkjkkk

Transcript of pph usu

  • BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Perdarahan Postpartum

    2.1.1 Pengertian Perdarahan Postpartum

    Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih

    setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir) (Wiknjosastro, 2000).

    Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari

    4 cm sampai penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks sudah

    membuka lengkap sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak, kemudian

    dilanjutkan dengan kala III persalinan yang dimulai dengan lahirnya bayi dan

    berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan postpartum terjadi setelah kala III

    persalinan selesai (Saifuddin, 2002).

    Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan

    menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok, ataupun

    merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus dan ini juga

    berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak yang mengakibatkan

    wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok (Mochtar, 1995).

    2.1.2 Penyebab Perdarahan Postpartum

    Penyebab perdarahan Postpartum antara lain :

    1. Atonia uteri 50% - 60%

    2. Retensio plasenta 16% - 17%

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Sisa plasenta 23% - 24%

    4. Laserasi jalan lahir 4% - 5%

    5. Kelainan darah 0,5% - 0,8% (Mochtar, 1995).

    2.1.3 Klasifikasi Perdarahan Postpartum

    Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 1998) :

    1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi

    dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer

    adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan

    inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.

    2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan pascapersalinan yang terjadi

    setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder disebabkan

    oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang

    tertinggal.

    2.1.4 Gejala Klinik Perdarahan Postpartum

    Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari

    volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada

    kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang

    terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan

    tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan

    kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.1.5 Diagnosis Perdarahan Postpartum

    Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut

    ini :

    Tabel 2.1 Diagnosis Perdarahan Postpartum No. Gejala dan tanda yang

    selalu ada Gejala dan tanda yang

    kadang-kadang ada Diagnosis

    kemungkinan 1. - Uterus tidak

    berkontraksi dan lembek

    - Perdarahan segera setelah anak lahir (Perdarahan Pascapersalinan Primer atau P3)

    - Syok

    - Atonia Uteri

    2. - Perdarahan segera (P3) - Darah segar yang

    mengalir segera setelah bayi lahir (P3)

    - Uterus kontraksi baik - Plasenta lengkap

    - Pucat - Lemah - Menggigil

    - Robekan jalan lahir

    3. - Plasenta belum lahir setelah 30 menit

    - Perdarahan segera (P3) - Uterus kontraksi baik

    - Tali pusat putus akibat traksi berlebihan

    - Inversio uteri akibat tarikan

    - Perdarahan lanjutan

    - Retensio Plasenta

    4. - Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap

    - Perdarahan segera (P3)

    - Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang

    - Tertinggalnya sebagian plasenta

    5. - Uterus tidak teraba - Lumen vagina terisi

    massa - Tampak tali pusat (jika

    plasenta belum lahir) - Perdarahan segera (P3) - Nyeri sedikit atau berat

    - Syok neurogenik - Pucat dan limbung

    - Inversio uteri

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 2.1 (Lanjutan)

    No. Gejala dan tanda yang selalu ada

    Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada

    Diagnosis kemungkinan

    6. - Sub-involusi uterus - Nyeri tekan perut

    bawah - Perdarahan lebih dari

    24 jam setelah persalinan. Perdarahan sekunder atau P2S.

    - Perdarahan bervariasi (ringan atau berat, terus menerus atau tidak teratur) dan berbau (jika disertai infeksi)

    - Anemia - Demam

    - Perdarahan terlambat

    - Endometritis atau sisa plasenta (terinfeksi atau tidak)

    7. - Perdarahan segera (P3) (Perdarahan intraabdominal dan atau vaginum)

    - Nyeri perut berat

    - Syok - Nyeri tekan perut - Denyut nadi ibu

    cepat

    - Robekan dinding uterus (ruptura uteri)

    Sumber : Saifuddin, 2002

    2.2 Perdarahan Postpartum Primer

    2.2.1 Pengertian Perdarahan Postpartum Primer

    Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi

    dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer

    adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio

    uteri (Manuaba, 1998).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.2.2 Penyebab Perdarahan Postpartum Primer

    a. Atonia Uteri

    Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah

    persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak

    mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini

    adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh

    darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas

    keseluruhan (Faisal, 2008).

    Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian

    yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan pasca

    persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oeh

    pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga

    tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan

    adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit

    pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan

    menyebabkan terjadinya pendarahan pasca persalinan (Faisal, 2008).

    Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :

    1. Partus lama

    2. Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil

    kembar, hidramnion atau janin besar

    3. Multiparitas

    4. Anestesi yang dalam

    5. Anestesi lumbal

    Universitas Sumatera Utara

  • Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah

    penanganan kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke bawah

    dalam usaha melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum terlepas dari

    dinding uterus (Wiknjosastro, 2005).

    b. Retensio Plasenta

    Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam

    setelah janin lahir. Hal tersebut disebabkan (Wiknjosastro, 2005) :

    1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus

    2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.

    Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila

    sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi

    untuk segera mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus disebabkan :

    1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva)

    2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus

    desidua sampai miometrium (plasenta akreta)

    3. Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus

    sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta).

    Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan

    oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III,

    sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi

    keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).

    Universitas Sumatera Utara

  • c. Sisa Plasenta

    Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat

    berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.

    Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi potongan-

    potongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan bayi harus

    menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus

    dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan (Faisal, 2008).

    d. Robekan Jalan Lahir

    Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan

    pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh

    robekan serviks atau vagina (Saifuddin, 2002). Setelah persalinan harus selalu

    dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan

    spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan.

    Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang

    bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi

    yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat

    berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptura uteri). Perdarahan

    dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat

    arterill atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber

    perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum

    setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan

    melakukan ligasi (Manuaba, 1998).

    Universitas Sumatera Utara

  • e. Inversio Uteri

    Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam

    kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan (Manuaba, 1998).

    Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus

    uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali

    ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Sebab

    inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu

    menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang belum

    terlepas dari insersinya. Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam

    beberapa tingkat (Wiknjosastro, 2005) :

    1. Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang

    tersebut

    2. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina

    3. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar

    vagina.

    Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi,

    apabila kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri

    yang keras dan bisa menyebabkan syok.

    2.3 Penanganan Perdarahan Postpartum Primer

    2.3.1 Pencegahan Perdarahan Postpartum Primer

    Penanganan terbaik perdarahan postpartum adalah pencegahan. Mencegah

    atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan terjadi

    Universitas Sumatera Utara

  • perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu

    bersalin, namun sudah dimulai sejak wanita hamil dengan antenatal care yang baik.

    Pengawasan antenatal memberikan manfaat dengan ditemukannya berbagai kelainan

    secara dini, sehingga dapat diperhitungkan dan dipersiapkan langkah-langkah dalam

    pertolongan persalinannya. Kunjungan pelayanan antenatal bagi ibu hamil paling

    sedikit 4 kali kunjungan dengan distribusi sekali pada trimester I, sekali trimester II,

    dan dua kali pada trimester III.

    Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas-batas

    normal dapat membahayakan penderita yang sudah anemia. Kadar fibrinogen perlu

    diperiksa pada perdarahan yang banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio

    plasenta. Apabila sebelumnya penderita sudah mengalami perdarahan postpartum,

    persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik,

    keadaan umum, kadar Hb, golongan darah dan bila mungkin tersedia donor darah.

    Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan

    penguat rahim (uterus tonikum). Setelah ketuban pecah kepala janin mulai membuka

    vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan ampul methergin atau

    kombinasi 5 satuan sintosinon (sintometrin intravena) (Mochtar, 1995).

    Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta

    lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah

    perdarahan postpartum. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskulus segera

    setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir

    hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin intramuskulus. Kadang-kadang pemberian

    ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir dengan tekanan pada fundus uteri plasenta

    Universitas Sumatera Utara

  • dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu

    kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir adalah

    kemungkinan terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan

    gemelli yang tidak diketahui sebelumnya (Wiknjosastro, 2005).

    Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal harus dilakukan, yakni

    menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Setelah

    plasenta lahir perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri

    atau karena perlukaan jalan lahir. Jika plasenta belum lahir (retensio plasenta), segera

    dilakukan tindakan untuk mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2005).

    2.3.2 Manajemen Aktif Kala III

    Manajemen aktif persalinan kala III terdiri atas intervensi yang direncanakan

    untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi rahim dan

    untuk mencegah perdarahan pasca persalinan dengan menghindari atonia uteri,

    komponennya adalah (Shane, 2002) :

    a. Memberikan obat uterotonika (untuk kontraksi rahim) dalam waktu dua

    menit setelah kelahiran bayi

    Penyuntikan obat uterotonika segera setelah melahirkan bayi adalah salah satu

    intervensi paling penting yang digunakan untuk mencegah perdarahan pasca

    persalinan. Obat uterotonika yang paling umum digunakan adalah oxytocin yang

    terbukti sangat efektif dalam mengurangi kasus perdarahan pasca persalinan dan

    persalinan lama. Syntometrine (campuran ergometrine dan oxytocin) ternyata lebih

    efektif dari oxytocin saja. Namun, syntometrine dikaitkan dengan lebih banyak efek

    Universitas Sumatera Utara

  • samping seperti sakit kepala, mual, muntah, dan tekanan darah tinggi. Prostaglandin

    juga efektif untuk mengendalikan perdarahan, tetapi secara umum lebih mahal dan

    memiliki bebagai efek samping termasuk diarrhea, muntah dan sakit perut.

    b. Menjepit dan memotong tali pusat segera setelah melahirkan

    Pada manajemen aktif persalinan kala III, tali pusat segera dijepit dan

    dipotong setelah persalinan, untuk memungkinkan intervensi manajemen aktif lain.

    Penjepitan segera dapat mengurangi jumlah darah plasenta yang dialirkan pada bayi

    yang baru lahir. Diperkirakan penjepitan tali pusat secara dini dapat mencegah 20%

    sampai 50% darah janin mengalir dari plasenta ke bayi. Berkurangnya aliran darah

    mengakibatkan tingkat hematokrit dan hemoglobin yang lebih rendah pada bayi baru

    lahir, dan dapat mempunyai pengaruh anemia zat besi pada pertumbuhan bayi. Satu

    kemungkinan manfaat bagi bayi pada penjepitan dini adalah potensi berkurangnya

    penularan penyakit dari darah pada kelahiran seperti HIV.

    c. Melakukan penegangan tali pusat terkendali sambil secara bersamaan

    melakukan tekanan terhadap rahim melalui perut

    Penegangan tali pusat terkendali mencakup menarik tali pusat ke bawah

    dengan sangat hati-hati begitu rahim telah berkontraksi, sambil secara bersamaan

    memberikan tekanan ke atas pada rahim dengan mendorong perut sedikit di atas

    tulang pinggang. Dengan melakukannya hanya selama kontraksi rahim, maka

    mendorong tali pusat secara hati-hati ini membantu plasenta untuk keluar. Tegangan

    pada tali pusat harus dihentikan setelah 30 atau 40 detik bila plasenta tidak turun,

    tetapi tegangan dapat diusahakan lagi pada kontraksi rahim yang berikut.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.4 Beberapa Faktor yang Memengaruhi Perdarahan Postpartum Primer

    2.4.1 Umur

    Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35

    tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pasca persalinan yang dapat

    mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun

    fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan

    pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami

    penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk

    terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama perdarahan akan lebih besar (Faisal,

    2008).

    Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan

    persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan

    pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal

    yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah

    usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2005)

    Menurut BKKBN (2007) bahwa jika ingin memiliki kesehatan reproduksi

    yang prima seyogyanya harus menghindari 4 terlalu dimana dua diantaranya adalah

    menyangkut dengan usia ibu. T yang pertama yaitu terlalu muda artinya hamil pada

    usia kurang dari 20 tahun. Adapun risiko yang mungkin terjadi jika hamil di bawah

    20 tahun antara lain keguguran, preeklampsia (tekanan darah tiggi, oedema,

    proteinuria), eklampsia (keracunan kehamilan), timbulnya kesulitan persalinan karena

    sistem reproduksi belum sempurna, bayi lahir sebelum waktunya, Berat Badan Lahir

    Rendah (BBLR), fistula vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina), fistula

    Universitas Sumatera Utara

  • retrovaginal (keluarnya gas dan tinja dari vagina) dan kanker leher rahim. T yang

    kedua adalah terlalu tua artinya hamil di atas usia 35 tahun. Risiko yang mungkin

    terjadi jika hamil pada usia terlalu tua ini antara lain adalah terjadinya keguguran,

    preeklampsia, eklampsia, timbulnya kesulitan pada persalinan, perdarahan, BBLR

    dan cacat bawaan (Suryani, 2008).

    Menurut penelitian Pardosi (2005), bahwa pada tingkat kepercayaan 95% ibu

    yang berumur di bawah 20 tahun atau di atas 30 tahun memiliki risiko mengalami

    perdarahan postpartum 3,3 kali lebih besar dibandingkan ibu yang berumur 20 sampai

    29 tahun. Selain itu penelitian Najah (2004) menyatakan bahwa pada tingkat

    kepercayaan 95% umur ibu di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun bermakna sebagai

    faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum.

    2.4.2 Pendidikan

    Menurut Depkes RI (2002), pendidikan yang dijalani seseorang memiliki

    pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir, dimana seseorang yang

    berpendidikan lebih tinggi akan dapat mengambil keputusan yang lebih rasional,

    umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru dibandingkan dengan

    individu yang berpendidikan lebih rendah.

    Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar

    masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara

    (mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau

    tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan

    Universitas Sumatera Utara

  • kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses

    pembelajaran (Notoatmodjo, 2003).

    Wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk menikah pada usia

    yang lebih tua, menunda kehamilan, mau mengikuti Keluarga Berencana (KB), dan

    mencari pelayanan antenatal dan persalinan. Selain itu, mereka juga tidak akan

    mencari pertolongan dukun bila hamil atau bersalin dan juga dapat memilih makanan

    yang bergizi.

    Menurut Thadeus dan Maine (1990) yang dikutip dari Suryani (2008), dari

    beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan adanya

    hubungan yang bermakna antara penggunaan pelayanan obstetri dan tingkat

    pendidikan ibu.

    2.4.3 Paritas

    Paritas merupakan faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum

    primer. Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat menyebabkan ketidaksiapan ibu

    dalam menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani

    komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan semakin

    sering wanita mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari 3) maka uterus

    semakin lemah sehingga besar risiko komplikasi kehamilan (Manuaba, 1998).

    Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan

    pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan

    paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan

    lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas

    Universitas Sumatera Utara

  • 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada

    paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian

    kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro, 2005).

    Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa paritas lebih dari 3 bermakna

    sebagai faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum primer (OR=2,87;

    95% CI 1,23;6,73). Penelitian Miswarti (2007) menyatakan proporsi ibu yang

    mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas 1 sebesar 12%, paritas 2-3

    sebesar 40% dan paritas lebih dari 3 sebesar 48%, serta terdapat hubungan yang

    signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer. Demikian juga

    dengan penelitian Milaraswati (2008) menyatakan bahwa proporsi ibu yang

    mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas >4 yaitu 69% dan

    didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan perdarahan

    postpartum primer.

    2.4.4 Jarak Antar Kelahiran

    Jarak antar kelahiran adalah waktu sejak kelahiran sebelumnya sampai

    terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak antar kelahiran yang terlalu dekat dapat

    menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan. Menurut Moir dan Meyerscough

    (1972) yang dikutip Suryani (2008) menyebutkan jarak antar kelahiran sebagai faktor

    predisposisi perdarahan postpartum karena persalinan yang berturut-turut dalam

    jangka waktu yang singkat akan mengakibatkan kontraksi uterus menjadi kurang

    baik. Selama kehamilan berikutnya dibutuhkan 2-4 tahun agar kondisi tubuh ibu

    kembali seperti kondisi sebelumnya.

    Universitas Sumatera Utara

  • Bila jarak antar kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim

    dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu

    diwaspadai karena ada kemungkinan terjadinya perdarahan pasca persalinan.

    Menurut penelitian Yuniarti (2004) proporsi kasus dengan jarak antar

    kelahiran kurang dari 2 tahun sebesar 41% dengan OR jarak antar kelahiran 2,82. Hal

    ini berarti ibu yang memiliki jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun berisiko 2,82

    kali mengalami perdarahan pasca persalinan.

    2.4.5 Riwayat Persalinan Buruk Sebelumnya

    Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan dengan hasil

    kehamilan dan persalinan berikutnya. Bila riwayat persalinan yang lalu buruk petugas

    harus waspada terhadap terjadinya komplikasi dalam persalinan yang akan

    berlangsung. Riwayat persalinan buruk ini dapat berupa abortus, kematian janin,

    eklampsi dan preeklampsi, sectio caesarea, persalinan sulit atau lama, janin besar,

    infeksi dan pernah mengalami perdarahan antepartum dan postpartum.

    Menurut Sulistiowati (2001) yang dikutip Suryani (2008), bahwa terdapat

    hubungan yang signifikan antara riwayat persalinan buruk sebelumnya dengan

    perdarahan pasca persalinan dan menemukan OR 2,4 kali pada ibu yang memiliki

    riwayat persalinan buruk dibanding dengan ibu yang tidak memiliki riwayat

    persalinan buruk.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.4.6 Anemia

    Menurut World Health Organization (WHO) anemia pada ibu hamil adalah

    kondisi dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 11,0 gr%.

    Volume darah ibu hamil bertambah lebih kurang sampai 50% yang

    menyebabkan konsentrasi sel darah merah mengalami penurunan. Bertambahnya sel

    darah merah masih kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma darah

    sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah plasma 30%, sel

    darah 18% dan haemoglobin 19%. Keadaan ini tidak normal bila konsentrasi turun

    terlalu rendah yang menyebabkan hemoglobin sampai

  • 1. Hb > 11,0 gr% disebut tidak anemia

    2. Hb 9,0 gr% - 10,9 gr% disebut anemia ringan

    3. Hb 7,0 gr% - 8,9 gr% disebut anemia sedang

    4. Hb < 6,9 gr% disebut anemia berat

    Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan, yaitu pada

    trimester I dan trimester III.

    Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa anemia bermakna sebagai faktor

    risiko yang mempengaruhi perdarahan postpartum primer. Ibu yang mengalami

    anemia berisiko 2,8 kali mengalami perdarahan postpartum primer dibanding ibu

    yang tidak mengalami anemia (OR= 2,76; 95% CI 1,25;6,12).

    2.5 Pengaruh Paritas terhadap Perdarahan Postpartum Primer

    Paritas atau para adalah wanita yang pernah melahirkan bayi (Manuaba,

    1998).

    Paritas adalah keadaan seorang wanita sehubungan dengan kelahiran anak

    yang dapat hidup (Dorland, 2002).

    Menurut Prawirohardjo (2002), paritas dapat dibedakan menjadi primipara,

    multipara dan grandemultipara.

    1. Primipara

    Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak yang cukup besar

    untuk hidup di dunia luar.

    3 Multipara

    Multipara adalah wanita yang telah melahirkan anak lebih dari satu kali.

    Universitas Sumatera Utara

  • 4 Grandemultipara

    Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan

    biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan.

    Kematian maternal lebih banyak terjadi dalam 24 jam pertama postpartum

    yang sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Sebab yang paling

    umum dari perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pascapersalinan atau yang

    biasa disebut perdarahan postpartum primer adalah kegagalan rahim untuk

    berkontraksi sebagaimana mestinya setelah melahirkan, plasenta yang tertinggal dan

    uterus yang turun atau inversi. Dari beberapa sebab perdarahan tersebut, salah satu

    faktor pemicunya adalah paritas (Milaraswati, 2008).

    Pada paritas yang rendah (paritas 1), menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam

    menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani

    komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Pada paritas tinggi

    (lebih dari 3), fungsi reproduksi mengalami penurunan, otot uterus terlalu regang dan

    kurang dapat berkontraksi dengan baik sehingga kemungkinan terjadi perdarahan

    pascapersalinan menjadi lebih besar (Manuaba, 1998).

    2.6 Regresi Logistik

    2.6.1 Pengertian Regresi Logistik

    Regresi logistik adalah suatu model matematik yang digunakan untuk

    menganalisis hubungan satu atau beberapa variabel independen dengan sebuah

    variabel dependen kategorik yang bersifat dikotomous (binary). Variabel yang

    bersifat dikotomous adalah variabel yang hanya memiliki dua nilai, misalnya hidup

    Universitas Sumatera Utara

  • dan mati, sakit dan sehat, BBLR dan normal, merokok dan tidak merokok dan

    sebagainya (Yasril, 2009).

    Pada regresi logistik, variabel independen yang digunakan dapat berupa

    variabel kategorik maupun numerik. Namun sebaiknya menggunakan variabel

    kategorik agar lebih mudah dalam menginterpretasikan hasil analisisnya. Bila salah

    satu atau beberapa variabel independen merupakan variabel dengan skala nominal

    dengan 3 atau lebih kategori, maka harus dibuat dummy variable yang

    menggambarkan kategori dari variabel tersebut dengan referrence group-nya salah

    satu dari kategori tersebut.

    Gambar 2.1 Perbandingan Model Kurva Regresi Logistik dengan Regresi Linier

    Regresi logistik terbagi menjadi dua, yaitu (Yasril, 2009) :

    1. Regresi logistik sederhana, digunakan bila ingin mempelajari hubungan antara

    satu variabel independen dengan satu variabel dependen yang bersifat

    dikotomous.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2. Regresi logistik ganda, digunakan bila ingin mempelajari hubungan antara

    beberapa variabel independen dengan satu variabel dependen yang bersifat

    dikotomous.

    Tujuan dari analisis regresi logistik adalah untuk mendapatkan model yang

    paling baik (fit) dan sederhana (parsinomy) yang dapat menggambarkan hubungan

    antara variabel dependen dan variabel independen.

    2.6.2 Model Regresi Logistik Ganda

    Interpretasi pada regresi logistik dengan fitted model adalah inferensi dan

    pengambilan kesimpulan berdasarkan pada koefisien estimasi yang menggambarkan

    slope atau perubahan pada variabel dependen per unit perubahan pada variabel

    independen. Interpretasi ini menyangkut dua hal yaitu (Yasril, 2009) :

    1. Perkiraan mengenai hubungan fungsional antaravariabel dependen dengan variabel

    independen

    2. Menentukan pengaruh pada variabel dependen yang disebabkan oleh tiap unit

    perubahan variabel independen

    Untuk interpretasi tersebut maka digunakan model regresi logistik :

    Log (p / 1 p) = + 1X1 + 2X2 + . + iXi

    Dimana p adalah probabilitas kejadian suatu penyakit (Y=1), dan X1, X2, X3

    adalah variabel independen, adalah konstanta dan i adalah koefisien regresi.

    Model regresi logistik tersebut dapat digunakan pada data yang dikumpulkan

    melalui rancangan kohort, case control maupun cross sectional. Pada rancangan

    Universitas Sumatera Utara

  • penelitian tersebut dapat dihitung besar faktor risiko atau nilai Odds Ratio (OR), yang

    merupakan perhitungan eksponensial dari persamaan garis regresi logistik.

    Odds Ratio (OR) = exp() atau OR = e

    Sedang batas-batas keyakinan OR sebagaimana biasa dihitung dengan

    menggunakan koefisien regresi serta kesalahan baku (Standard Error) sebagai

    berikut:

    IK 95% = exp [i+/-1,96(i)]

    Keistimewaan lainnya dari analisis regresi logistik ganda adalah

    kemampuannya menaksir probabilitas individu untuk mengalami peristiwa

    berdasarkan nilai-nilai sejumlah variabel independen yang diukur padanya. Sehingga

    untuk probabilitas kejadian suatu penyakit dapat ditulis sebagai berikut (Murti, 1997):

    2.6.3 Statistik Uji Regresi Logistik Ganda

    Ada beberapa metode uji statistik yang digunakan dalam analisis regresi

    logistik ganda untuk menguji kemaknaan koefisien regresi (i) yang diperoleh dengan

    teknik kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood), antara lain (Murti, 1997) :

    1. Statistik G

    Statistik G ialah rasio logaritmik antara Likelihood model tanpa variabel dan

    Likelihood model dengan variabel. Rumusnya yaitu :

    Universitas Sumatera Utara

  • Dengan batas kritis G3 > X2tabel(;df) atau p-Value Z(/2) atau p-Value
  • Analisis dilakukan satu persatu antara masing-masing variabel independen dengan

    variabel dependennya. Bila hasil uji bivariat mempunyai nilai p0,25.

    2. Memasukkan atau mengeluarkan variabel dalam model dimana variabel yang

    masuk ke dalam model harus mempunyai p-Wald10%), berarti kovariat tersebut tidak dapat dikeluarkan dari model karena akan

    mengganggu estimasi koefisien kovariat lainnya. Dengan kata lain variabel

    tersebut merupakan konfounder untuk variabel lainnya. Rumus untuk mencari

    perbedaan OR adalah :

    OR crude adalah OR variabel dengan tidak masuknya ke dalam model kovariat

    yang diuji sedangkan OR adjust adalah OR variabel dengan masuknya ke dalam

    model kovariat yang akan diuji.

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Lakukan uji rasio likelihood untuk penilaian signifikansi variabel yang

    dihilangkan dengan membandingkan -2ln pada model tanpa variabel dengan -2ln

    pada model dengan variabel tersebut.

    4. Lakukan langkah-langkah tersebut sampai tercapai model yang terdiri hanya

    variabel-variabel yang paling fit.

    5. Uji linieritas variabel numerik dengan tujuan untuk menentukan apakah variabel

    numerik dijadikan variabel kategorik atau tetap variabel numerik. Caranya dengan

    melakukan pengelompokan variabel numerik ke dalam empat kelompok

    berdasarkan nilai kuartilnya. Kemudian dilakukan analisis regresi logistik dan

    dihitung angka OR-nya. Bila nilai OR masing-masing kelompok menunjukkan

    bentuk garis lurus, maka variabel numerik tetap dipertahankan. Namun bila

    hasilnya menunjukkan adanya patahan, maka dapat dipertimbangkan dirubah

    dalam bentuk kategorik.

    6. Setelah memperoleh model yang fit dan mempunyai p yang signifikan, maka

    langkah selanjutnya adalah memeriksa kemungkinan interaksi variabel ke dalam

    model. Penentuan variabel interaksi sebaiknya melakukan pertimbangan logika

    substansi. Pengujian interaksi dilihat dari nilai p yang bermakna, yang berarti

    variabel interaksi penting untuk dimasukkan dalam model.

    b. Model Faktor Risiko

    Pemodelan yang digunakan bila kita telah meyakini bahwa satu variabel

    independen mempunyai hubungan dengan variabel dependen dengan mengontrol

    beberapa variabel confounding.

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2.3 Kerangka Konsep Model Faktor Risiko

    Tahapan pemodelan multivariat model faktor risiko :

    1. Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel confounding dengan

    variabel dependennya. Bila hasil uji bivariat mempunyai nilai p

  • Metode memasukkan dan mengeluarkan variabel dalam model multivariat

    yaitu :

    1. Enter : memasukkan semua variabel independen dengan serentak satu langkah,

    tanpa melewati kriteria kemaknaan statistik tertentu

    2. Forward : memasukkan satu persatu variabel dari hasil pengkorelasian variabel

    yang memenuhi kriteria kemaknaan statistik, sampai semua variabel yang

    memenuhi kriteria tersebut masuk ke dalam model. Variabel yang masuk

    pertama kali adalah variabel yang mempunyai korelasi parsial terbesar dengan

    variabel dependen dan yang memenuhi kriteria tertentu untuk dapat masuk model

    3. Backward : memasukkan semua variabel ke dalam model, tetapi kemudian satu

    per satu variabel independen dikeluarkan dari model berdasarkan kriteria

    kemaknaan statistik tertentu. Variabel yang pertama kali dikeluarkan adalah

    variabel yang mempunyai korelasi parsial terkecil dengan variabel dependen

    4. Stepwise : metode ini merupakan kombinasi antara metode backward dan

    fordward. Seperti halnya forward, metode stepwise dimulai tanpa variabel sama

    sekali di dalam model, lalu satu persatu variabel hasil pengkorelasian variabel

    dimasukkan ke dalam model dan dikeluarkan dari model dengan kriteria tertentu.

    Variabel yang pertama masuk model sama dengan metode fordward yakni

    variabel yang mempunyai korelasi parsial terbesar. Selanjutnya setelah masuk,

    variabel pertama ini diperiksa lagi apakah harus dikeluarkan dari model menurut

    kriteria pengeluaran seperti metode backward

    5. Remove : mengeluarkan satu persatu semua variabel independen dengan serentak

    tanpa melewati kriteria kemaknaan statistik tertentu.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.7 Kerangka Konsep

    Variabel Independen Variabel Dependen

    Gambar 2.4 Kerangka Konsep Pengaruh Paritas terhadap Perdarahan Postpartum Primer

    2.8 Hipotesis Penelitian

    1. Risiko perdarahan postpartum primer pada ibu yang memiliki paritas >3 lebih

    besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki paritas 2-3.

    2. Risiko perdarahan postpartum primer pada ibu yang berumur >35 tahun lebih

    besar dibandingkan dengan ibu yang berumur 20-35 tahun.

    3. Risiko perdarahan postpartum primer pada ibu yang berpendidikan rendah lebih

    besar dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan tinggi.

    Perdarahan Postpartum Primer

    - Ya - Tidak

    Umur

    Pendidikan

    Jarak Antar Kelahiran

    Riwayat Persalinan Buruk Sebelumnya

    Status Anemia

    Paritas

    Universitas Sumatera Utara

  • 4. Risiko perdarahan postpartum primer pada ibu yang memilik jarak antar kelahiran

    2 tahun.

    5. Risiko perdarahan postpartum primer pada ibu yang memiliki riwayat persalinan

    buruk sebelumnya lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki

    riwayat persalinan buruk sebelumnya.

    6. Risiko perdarahan postpartum primer pada ibu yang anemia lebih besar

    dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia.

    7. Risiko perdarahan postpartum primer pada ibu yang memiliki paritas >3 lebih

    besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki paritas 2-3 setelah dikontrol

    variabel pengganggu (umur, pendidikan, jarak antar kelahiran, riwayat persalinan

    buruk sebelumnya, dan status anemia).

    Universitas Sumatera Utara