Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

13
TUGAS MATA KULIAH KLIMATOLOGI MAKALAH POTENSI TEKANAN KETERSEDIAAN AIR SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA KAWASAN BUDIDAYA LELE DESA TAMBAKSARI, KEC. ROWOSARI KAB. KENDAL JAWA TENGAH Disusun Oleh: Nama : Anggoro Prihutomo NIM : 30000213410041 Dosen Pengampu : Ir. Sutarno, MS. Dr. Widada Sulistya, DEA MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2014

Transcript of Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

Page 1: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

TUGAS MATA KULIAH KLIMATOLOGI

MAKALAH

POTENSI TEKANAN KETERSEDIAAN AIR SEBAGAI DAMPAK

PERUBAHAN IKLIM PADA KAWASAN BUDIDAYA LELE

DESA TAMBAKSARI, KEC. ROWOSARI KAB. KENDAL JAWA

TENGAH

Disusun Oleh:

Nama : Anggoro Prihutomo

NIM : 30000213410041

Dosen Pengampu : Ir. Sutarno, MS.

Dr. Widada Sulistya, DEA

MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2014

Page 2: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

POTENSI TEKANAN KETERSEDIAAN AIR SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN

IKLIM PADA KAWASAN BUDIDAYA LELE

DESA TAMBAKSARI, KEC. ROWOSARI KAB. KENDAL JAWA TENGAH

Anggoro Prihutomo*

*Magister Ilmu Lingkungan – 39 Universitas Diponegoro, Semarang

ABSTRAK

Perubahan iklim diproyeksikan akan berdampak secara luas terhadap

ekosistem, sosial ekonomi, meningkatkan tekanan terhadap pekerjaan dan

suplai pangan, termasuk di dalamnya sektor perikanan dan akuakulture.

Komponen perubahan iklim utama yang dapat secara potensial berdampak

terhadap kegiatan produksi akuakultur salah satunya adalah tekanan terhadap

ketersediaan air untuk budidaya. Perubahan dalam jumlah dan pola curah

hujan dapat menyebabkan banjir dan kekeringan(Mohanty, Mohanty, Sahoo,

& Sharma, 2007). Mengingat ketersediaan air yang cukup merupakan syarat

mutlak bagi kelansungan kegiatan akuakultur. Makalah ini mencoba

menggambarkan potensi terjadinya kekeringan (tekanan ketersediaan air) bagi

kegiatan akuakultur tawar di kawasan minapolitan Kec. Rowosari, Kabupaten

Kendal, Jawa Tengah.

Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia dan pulau jawa pada

khususnya tidak bisa lepas dari fenomena terjadinya perubahan iklim global.

Terjadinya kekurangan ketersediaan air pada musim kemarau pada kawasan

minapolitan budidaya air tawar di desa Tambaksari Kec. Rowosari, belum

dapat dikatakan sebagai akibat semakin berkurangnya ketersediaan air pada

daerah irigasi yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Akan tetapi lebih

kepada faktor rusaknya saluran irigasi dan dilakukanya pengeringan rutin

saluran irigasi.

Akan tetapi potensi terjadinya tekanan ketersediaan air ke depan tetap akan

terjadi apabila semakin kondisi semakin rusaknya DAS Lampir yang

menopang sistem air di bendung Kedung Asem tidak segera dilakukan

konservasi.

Kata Kunci: Perubahan Iklim, Ketersediaan air, minapolitan

PENDAHULUAN

Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi

pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun.

Istilah ini bisa juga berarti perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi

peristiwa cuaca rata-rata (wikipedia). Meskipun sebenarnya perubahan iklim merupakan

Page 3: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

sesuatu yang alami dan terjadi secara pelan (WWF Indonesia, 2013), namun perubahan

iklim sekarang disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti ekstraksi bahan bakar

fosil skala besar (batubara, minyak bumi dan gas alam), perubahan pemanfaatan lahan

(pembukaan lahan untuk penebangan kayu, peternakan dan pertanian) serta konsumerisme.

Saat pengambilan dan penggunaan sumberdaya oleh aktivitas manusia, gas rumah

kaca dilepas secara besar-besaran ke atmosfir. Gaya hidup yang berkembang selama 100

tahun ini bergantung pada bahan baku dari sumberdaya alam. Selama 100 tahun terakhir,

negara industri maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jepang bertanggung jawab atas

sebagian besar emisi penyebab perubahan iklim. Sekarang, penggunaan energi besar-

besaran, gaya hidup tinggi, ditiru oleh negara negara berkembang seperti Cina, India dan

Indonesia (Rumah Iklim, 2009). Oleh karena itu untuk saat ini bahwa Perubahan iklim

adalah suatu fenomena yang tidak bisa dihindari lagi.

Pemanasan yang terjadi pada sistem iklim bumi merupakan hal yang jelas terasa,

seiring dengan banyaknya bukti dari pengamatan kenaikan temperatur udara dan laut,

pencairan salju dan es di berbagai tempat di dunia, dan naiknya permukaan laut global.

Banyak sistem alam , pada semua benua dan di beberapa lautan, terpengaruh oleh

perubahan iklim regional, terutama adanya kenaikan temperatur (Nature, 2014). Perubahan

iklim diproyeksikan akan berdampak secara luas terhadap ekosistem, sosial ekonomi,

meningkatkan tekanan terhadap pekerjaan dan suplai pangan, termasuk di dalamnya sektor

perikanan dan akuakulture (Cochrane, De Young, Soto, & Bahri, 2009).

Komponen perubahan iklim utama yang dapat secara potensial berdampak terhadap

kegiatan produksi akuakultur adalah – kenaikan muka air laut dan kenaikan temperatur,

perubahan pola hujan monsoon dan peristiwa iklim yang ekstrem dan tekanan terhadap

ketersediaan air untuk budidaya (perlu digarisbawahi dan menjadi alasan dampak dampak

tersebut perlu untuk dievaluasi) (Silva & Soto, 2009). Perubahan dalam jumlah dan pola

curah hujan dapat menyebabkan banjir dan kekeringan (Mohanty et al., 2007). Mengingat

ketersediaan air yang cukup merupakan syarat mutlak bagi kelansungan kegiatan

akuakultur (Bank Indonesia, 2010). Oleh karena itu, makalah ini mencoba menggambarkan

potensi terjadinya kekeringan (tekanan ketersediaan air) bagi kegiatan akuakultur tawar di

kawasan minapolitan Kec. Rowosari, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

Page 4: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

PERUBAHAN IKLIM DI JAWA

Sebagai bagian dari ekosistem global yang telah mengalami fenomena perubahan

iklim, tentunya Indonesia dan pulau Jawa juga mengalami fenomena perubahan iklim

global. Fakta fakta berikut menunjukkan fenomena perubahan iklim di Indonesia dan pulau

Jawa pada khususnya.

Secara umum, proyeksi temperatur untuk Indonesia menunjukkan adanya kenaikan,

walaupun masih dibawah proyeksi kenaikan temperatur secara global. Kenaikan

temperature di Indonesia sendiri diprediksikan akan berkisar antara 0.1 sampai dengan

0.3°C per dekade sampai tahun 2100. Proyeksi untuk Jawa dan Bali menunjukkan bahwa

kenaikan temperature permukaan rata-rata selama periode 2020-2050 akan menunjukkan

tren kenaikan sampai 1°C. Kontras dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, wilayah

selatan pulau Jawa diprediksi akan mengalami penurunan presipitasi sampai dengan 15%.

Musim-musim presipitasi tahunan diprediksi akan berubah; sebagian dari wilayah

Sumatera dan Kalimantan diproyeksikan akan menjadi lebih basah sampai dengan 30%

antara bulan Desember dan Februari tahun 2080. Untuk Jawa (wilayah Jakarta), musim

selama Juni dan Agustus diproyeksikan menjadi lebih kering dari 5% sampai dengan 15%.

Menurut ICCSR, rata-rata kenaikan muka air laut berkisar antara 0.6-0.8 cm/tahun

untuk seluruh wilayah Indonesia diperkirakan akan mengalami kenaikan hingga 50 cm

sampai dengan 2100. Kenaikan temperatur muka air laut di perairan Indonesia

diproyeksikan akan meningkat hingga 0.65°C di tahun 2030, 1.10°C di tahun 2050, 1.70°C

di tahun 2080, dan 2.15°C di tahun 2100 (berdasarkan analisa tren dari data-data historis).

Kejadian cuaca ekstrim yang diidentifikasi di seluruh wilayah Asia menunjukkan adanya

peningkatan instensitas dan frekuensi kejadian cuaca ekstrim. Karena fakta itulah, efek dan

frekuensi El Nino/ Southern Oscillation (ENSO) diprediksikan akan mengalami kenaikan.

Beberapa data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa hilangnya

kawasan hutan dan degradasi hutan masih terus berlangsung, terutama di Kawasan

Konservasi (untuk pembangunan sektor lain, seperti perkebunan dan transmigrasi), serta

Hutan Lindung. Laju deforestasi diperkirakan pada kurun waktu ini adalah sebesar 1,51

juta ha per tahun. Berdasarkan laju deforestasi tersebut dengan mengabaikan

pengelompokan berdasarkan fungsi kawasan, diperkirakan pada tahun 2020 hutan di Jawa

akan habis, Bali-Nusa Tenggara tersisa 0,08 juta ha, Maluku 2,37 juta ha, Sulawesi 7,20

juta ha, Sumatera 7,72 juta ha, Kalimantan 21,29 juta ha, dan Papua 33,45 juta ha. Hal ini

terjadi jika tidak ada upaya dan intervensi apapun untuk mencegah dan mengurangi proses

Page 5: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

deforestasi tersebut (Tim Kerja Pemulihan Kawasan Dieng (TKPKD) Kab. Banjarnegara,

2012).

Keterbatasan daya dukung Jawa semakin diperparah dengan tingginya angka

jumlah penduduk miskin di Pulau ini. Sumber daya hutan di Jawa dipadati oleh lebih dari

30 juta jiwa pada sekitar 6.200 desa hutan— dimana sebagian besar merupakan kantong-

kantong kemiskinan. Enam puluh lima prosen penduduk Jawa menghuni kawasan pesisir

dimana 20 % diantaranya merupakan penduduk miskin, termasuk di dalamnya kaum

perempuan dan kaum marjinal lainnya. Tekanan penduduk miskin yang sebagian besar

merupakan kaum perempuan dan kaum marjinal ini semakin potensial mengancam

kelestarian sumber daya alam yang telah semakin terdegradasi.

Daya dukung lingkungan di Jawa telah menurun merupakan suatu fakta yang tak

dapat dipungkiri. Salah satu contoh penurunan kualitas lingkungan ini adalah penurunan

kualitas dan kuantitas sumber daya air sudah mulai nampak dibeberapa tempat di Jawa

(Tim Kerja Pemulihan Kawasan Dieng (TKPKD) Kab. Banjarnegara, 2012).

Bagi Indonesia, perubahan iklim merupakan ancaman yang serius. Terjadinya

Krisis pangan karena kekeringan, rusaknya infrastruktur karena banjir (Tanujaya, 2002)

merupakan beberapa ancaman serius yang ditimbulkan sebagai akibat perubahan iklim

dewasa ini di Indonesia maupun jawa.

Dampak perubahan iklim sangat nyata dialami oleh warga Jawa Tengah. Jawa

Tengah sangat rentan dan rawan terhadap dampak perubahan iklim. Dari kejadian bencana

yang terjadi di wilayah Jawa Tengah, seluruh bencana adalah dampak dari perubahan iklim

yakni kekeringan, banjir, angin putting beliung, dan tanah longsor. Kesemuanya adalah

dampak yang dapat dilihat secara kasat mata. Namun ada yang lebih besar dan jauh lebih

penting dibanding dampak alam tersebut yakni dampak social dan ekonomi. Berapa

kerugian yang diakibatkan adanya perubahan iklim. Petani yang gagal panen karean banjir

dan kekeringan, nalayan tambak yang kehilangan ikannya, nelayan laut yang berhenti

melaut karena badai, pedagang yang terhambat mobilitasnya karena banjir, dan masih

banyak lagi dampak-dampak social dan ekonmi lainnya yang lebih penting dan krusial

untuk segara dicari pemecahannya(The planet, 2008)

KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI KEC. ROWOSARI KENDAL

Kawasan minapolitan budidaya ikan lele di desa Tambak sari, Kec. Rowosari, Kab.

Kendal, bermula salah seorang petani mencoba memelihara lele sekitar 15.000 ekor dan

Page 6: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

ternyata hasilnya menguntungkan. Selanjutnya dalam pengembangan kawasan terkait

dengan upaya mengubah citra budi daya lele bukan lagi sebagai budi daya kelas comberan,

masyarakat pembudidaya di desa Tambaksari yang tergabung dalam Kelompok Pembudi

daya Ikan (Pokdakan) Sido Makmur Desa Tambaksari mengembangkan budi daya lele

sistem klaster (pengelolaan dalam satu wilayah secara terpadu) (Suprayoga, 2012).

Gambar 1. Kampung Minapolitan Desa Tambaksari Kec. Rowosari, Kab. Kendal

Saat ini kawasan minapolitan budidaya air tawar di desa Tambaksari, ini

mempunyai luas areal hingga 6,5 ha dengan komoditas utama adalah ikan lele dan

Gurameh. Disamping itu juga dibudidayakan ikan patin dan ikan nila. Berikut adalah data

produksi ikan lele dari kawasan minapolitan tersebut dari tahun ke tahun.

Tabel 1. Produksi Ikan Lele Kec. Rowosari

Komoditas Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Produksi Lele (ton) 264,5 264,5 270,6 242,5 390,98 253,9 274,66 48,6

Sumber: BPS Kec. Rowosari dalam angka

Page 7: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

Teknologi yang digunakan dalam sistem budidayanya adalah skala semi intensif

dan intensif. Pemeliharaan dengan sistem air mengalir meski masih menggunakan sistem

seri. Sistem seri ini sangat tidak dianjurkan dalam kegiatan akuakultur. Pada kegiatan

akuakultur lebih direkomendasikan untuk sistem pengairan yang bersifat paralel.

Penggunaan sistem air mengalir berarti harus ada ketersediaan air untuk pergantian air tiap

hari pada media budidaya. Hasil survei di lokasi, kebutuhan akan air yang layak bagi

kawasan budidaya tersebut adalah dengan debit harian 0,17 m3/dt pada saluran primer.

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pembudidaya dewasa ini kontinutitas

ketersediaan air yang cukup di saluran primer. Terutama pada musim kemarau kadang

hingga berhari hari tidak ada air yang mengalir ke areal budidaya. Hal ini menyebabkan

kualitas air media pemeliharaan menjadi sangat jelek untuk kelangsungan hidup ikan

sedangkan pada musim hujan berlaku sebaliknya, bahkan akhir ini menjadi semakin rawan

terhadap terjadinya banjir. Tingkat ketersediaan air yang sangat berkurang pada saluran

primer ini menjadi dugaan sebagai akibat terjadinya perubahan iklim global. Hal ini tidak

lepas dari kecurigaan semakin rusaknya vegetasi di DAS lampir, yang merupakan sumber

air bagi sistem irigasi yang mengairi areal minapolitan ini.

BENDUNG KEDUNG ASEM SEBAGAI SISTEM IRIGASI KAWASAN

MINAPOLITAN

Bendungan Kedung Asem adalah bendungan yang membendung Kali (sungai)

Kuto yang merupakan sungai terbesar dan sungai utama di Kecamatan Gringsing.

Bendungan Kedung Asem didirikan untuk mengatur irigasi pertanian di daerah Kecamatan

Gringsing bagian bawah yang meliputi desa Mentosari, Gringsing, Kebondalem, Lebo,

Krengseng, Sidorejo, Yosorejo dan sebagian kecil daerah Kecamatan Weleri bagian barat

(Gaweni, 2013). Termasuk juga mengairi kawasan budidaya ikan air tawar di desa

Tambaksari, Kec. Rowosari.

Daerah irigasi Kedung Asem terletak di Provinsi Jawa Tengah Kabupaten Batang

– Kendal, dengan luas potensial 4.353 ha luas terbangun 4.353 ha dan luas fungsional

4.353 ha. Daerah irigasi ini berada pada wilayah sungai Kuto, dengan sumber airnya

adalah sungai Kuto dengan debit maksimum 504,8 m³/dt.

Page 8: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

Berikut data spesifik tentang bendung Kedung Asem:

Tabel 2. Spesifikasi Bendung Kedung Asem

Spesifikasi lokasi bendungan Ukuran

Panjang badan bendung + 66 m

Tinggi mercu pada elevasi + 25,19 m

Jumlah Pintu Intake 4 buah (2 bh Bd. Kedung Asem + 2 bh Bd. Timbang

Saluran Primer luas areal 4.353 ha

Panjang saluran primer 5.828 m

Panjang saluran sekunder 51.157 m

(Bbwspemali.pdsda Jateng, 2010)

Gambar 2. Peta bendung Kedung Asem

Gambar 3. Bendung Kedung Asem, Gringsing Batang

Kali Kuto termasuk dalam daerah aliran sungai (DAS) Lampir (Suara merdeka,

1996). Das Lampir adalah bagian dari Satuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai SWP

DAS Banger Blukar . Luas wilayah Das Lampir seluas 69.266,58 ha atau sebesar 2,0403 %

dari luas seluruh wilayah BPDAS Pemali Jratun. Das Lampir memiliki keliling Das

WILAYAH SUNGAI

BODRI - KUTO

DI. Glapan

18.740 Ha

DI. Bodri

8.862 HaDI. Kedung Asem

4.353 Ha DI. Jragung

4.053 Ha

DI. Kedung Asem

4.353 Ha

WILAYAH SUNGAI

JRATUN SELUNA

Page 9: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

sepanjang 101,21 Km. Letak geografis Das Lampir terletak di bagian utara Jawa Tengah

yang melintasi 5 kabupaten yaitu mulai dari yang terluas Kabupaten Batang (50.081,82

ha), Kendal (18.911,32 ha), Banjarnegara (272,40 ha), Temanggung (1,04 ha), dan

Kabupaten Wonosobo (0,00 ha). Tepatnya terletak pada posisi koordinat antara 109° 50'

31" - 110° 03' 38" Bujur Timur dan antara 6° 54' 14'' - 7° 12' 02'' Lintang Selatan.

Type iklim Das Lampir menurut Smitch dan Ferguson termasuk kedalam iklim

Tipe A dan Tipe B. Dengan curah hujan terendah 3000 mm dan tertinggi mencapai 4000

mm pertahun dan jumlah bulan kering 0 - 7 bulan dan bulan basah antara 2 - 12 bulan.

Suhu udara di Das Lampir terendah berada pada 13 ° C dan suhu tertinggi mencapai 32 °

C. Suatu Daerah Aliran Sungai berdasarkan UU Kehutanan No.41 Tahun 1999 harus

memiliki kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal seluas 30% secara

proporsional dari luas keseluruhan . Luas kawasan hutan di wilayah Das Lampir sudah

memenuhi luas minimal yaitu memiliki luas kawasan hutan 62,39 % dari luas wilayah.

Hasil skoring kekritisan lahan, untuk wilayah Das Lampir memiliki lahan kritis

sebesar 17,32 % dari luas wilayah yang terbagi dalam tingkatan sebagai berikut Agak

Kritis (4,57%), Kritis (1,54%), Potensial Kritis (11,19%), dan Sangat Kritis

(0,02%).Sedangkan lahan yang tidak kritis sebesar 82,68% dari luas keseluruhan (Bpdas

Pemali Jratun, 2000).

POTENSI TEKANAN KETERSEDIAAN AIR DI KAWASAN MINAPOLITAN

Fakta telah menunjukkan bahwa indonesia termasuk pulau jawa telah mengalami

perubahan iklim dengan fenomena yang terjadi di sekitar kita akhir akhir ini (Kementerian

PPN/Bappenas, 2013; the planet, 2008; stream indonesia, 2013; Tanujaya, 2002). Seperti

yang dikatakan Tanujaya (2002), bahwa salah satu akibat dari perubahan iklim adalah

terjadinya kerawanan pangan yang disebabkan oleh banjir dan kekeringan. Hal inilah yang

menjadi dasar hipotesis adanya potensi tekanan akan ketersediaan air pada kawasan

minapolitan budidaya air tawar di desa Tambaksari Kec. Rowosari, Kab. Kendal. Sering

terjadinya.

Sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa sumber air dari bendung Kedung asem.

Oleh karena itu untuk melihat potensi tekanan ketersediaan air pada kawasan minapolitan

perlu untuk didasarkan dari jumlah debit yang dialirkan pada intake saluran irigasi. Berikut

adalah jumlah debit bulanan yang dialirkan ke areal pertanian dan kawasan minapolitan

Kec. Rowosari.

Page 10: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

Berdasarkan data padat Tabel 1 di bawah ini, terlihat bahwa tekanan ketersediaan

air tidak terlihat ada, justru rerata debit tahunan untuk daerah irigasi tersebut cenderung

meningkat. Akan tetapi peningkatan debit ini tidak berkorelasi dengan peningkatan

ketersediaan air pada kawasan minapolitan budidaya air tawar. Sedangkan data statistik

justru menunjukkan bahwa lahan pertanian di kawasan tersebut tetap atau justru telah

beralih fungsi sebagai perumahan.

Tabel 3. Data debit bendung kedung asem yang masuk ke intake irigasi

Bulan Tengah bulan

Debit ke Arah areal kawasan minapolitan

(m3/dt) Ket.

Tahun

2011 2012 2013 2014

januari I 2,944 4,373 4,373 4,373

ii 2,944 4,372 4,372 0,547

februari I 2,944 4,372 4,372 - th 2014 pintu ditutup krn banjir

II 2,944 4,372 4,036 4,372

maret I 2,944 4,372 4,372 4,372

II 2,944 4,372 4,372 4,372

April I 2,944 4,372 4,372

II 3,017 4,372 4,372

Mei I 3,017 4,372 4,372

II 3,017 4,372 4,372

juni I 3,017 4,372 4,372

II 3,017 4,372 4,372

Juli I 3,017 4,372 4,081

II 3,017 4,372 4,372

Agustus I 3,017 4,372 4,372

II 3,017 4,372 4,372

September I - - 4,372 2011&2012 pengeringan

II 1,006 1,006 4,372

Oktober I 3,017 3,017 4,372

II 3,017 3,017 4,372

Nopember I 3,017 3,017 4,372

II 4,372 4,372 4,372

Desember I 4,372 4,372 4,372

II 4,372 4,372 4,372

Rerata debit tahunan 2,956 3,880 4,346 3,006

Sumber: DPSDA Jateng

Peningkatan rerata debit yang dialirkan diduga sebagai akibat air yang masuk ke

saluran irigasi hilang ditengah jalan karena rusaknya saluran irigasi dan sedimentasi. Hal

ini sesuai dengan yang dikatakan Budi, (2013), bahwa area irigasi seluas 55% yang

tersebar di kabupaten/kota, kondisi jaringan irigasi jarang terurus, sehingga sebenarnya

Page 11: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

dibutuhkan pengelolaan dan perbaikan yang mendesak dari pemerintah kabupaten/kota

menopang pengairan bagi petani di Jawa Tengah.

Selanjutnya menurut Buntoro (2008), meski pada musim kemarau beberapa

bendungan ketersediaan air tinggal 10% pada musim kemarau, namun sebenarnya debit air

masih mencukupi untuk kebutuhan. Sedangkan seringnya air yang tidak mengalir selama

beberapa hari pada musim kemarau lebih sebagai akibat dari kebijakan pemerintah

kabupaten yang melakukan pengeringan di seluruh bendungan dan saluran irigasi selama

satu bulan untuk perbaikan irigasi dan memutus mata rantai hama tanaman (Buntoro, 2008;

Prayitno, 2013; Priyatin, 2012). Meski sebenarnya petani dan pembudidaya ikan masih

membutuhkan air tersebut.

Sedangkan potensi tekanan ketersediaan air pada bendung kedung asem sebagai

hasil dari fenomena perubahan iklim dan kerusakan pada daerah DAS lampir masih

berpotensi untuk terjadi. Hal ini sesuai dengan kondisi pada DAS lampir yang mengalami

degradasi lingkungan dengan terjadinya deforestasi yang masif (BPDAS Pemali Jratun,

2000; Hisjam, 1996; Tim Kerja Pemulihan Kawasan Dieng (TKPKD) Kab. Banjarnegara,

2012) sebagai penopang ketersediaan air pada bendung kedung asem. Grafik berikut

menggambarkan kondisi debit air yang mengalir ke bendung kedung asem

Gambar 4. Debit air yang mengalir pada bendung Kedung asem beberapa tahun terakhir

Memang dari data yang ada belum dapat dikatakan terjadi penurunan debit air yang

mengalir ke bendung kedung asem terutama pada musim kemarau. Sedangkan pada tahun

2014 terjadi peningkatan debit yang sangat drastis pada musim hujan. Hal ini senada

dengan proyeksi Hisjam (1996), yang mengatakan bahwa pada musim penghujan muncul

Page 12: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

kecenderungan debit air di sungai tersebut semakin tidak terkontrol. Hal itu semata-mata

disebabkan rusaknya daerah resapan air di daerah hulu DAS Lampir. "Hutan lindung di

daerah hulu, yaitu wilayah lereng utara Gunung Perahu sejak beberapa tahun terakhir

mengalami kerusakan yang sangat parah akibat penjarahan dan penebangan liar. Curah

hujan bersama gerusan tanah mengalir deras ke DAS Lampir.

KESIMPULAN

Fenomena global perubahan iklim tidak dapat dihindari terjadinya. Perubahan iklim

secara alami memang akan terjadi, akan tetapi aktivitas manusia yang berorientasi ekonomi

lah yang mengakibatkan perubahan iklim menjadikan perubahan iklim terjadi menuju

kondisi yang semakin tidak sesuai dengan kelayakan lingkungan untuk manusia di bumi

hidup.

Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia dan pulau jawa pada khususnya

tidak bisa lepas dari fenomena terjadinya perubahan iklim global. Kejadian bencana yang

terjadi di wilayah Jawa Tengah, kekeringan, banjir, angin putting beliung, dan tanah

longsor, semua adalah dampak dari perubahan iklim.

Terjadinya kekurangan ketersediaan air pada musim kemarau pada kawasan

minapolitan budidaya air tawar di desa Tambaksari Kec. Rowosari, belum dapat dikatakan

sebagai akibat semakin berkurangnya ketersediaan air pada daerah irigasi yang diakibatkan

oleh perubahan iklim. Akan tetapi lebih kepada faktor rusaknya saluran irigasi dan

dilakukanya pengeringan rutin saluran irigasi.

Akan tetapi potensi terjadinya tekanan ketersediaan air ke depan tetap akan terjadi

apabila semakin rusaknya kondisi DAS Lampir yang menopang sistem air di bendung

Kedung Asem tidak segera dilakukan konservasi. Semakin tidak terkontrolnya debit air

yang mengalir pada musim hujan ke bendung Kedung Asem, menjadi bukti kerusakan

yang terjadi pada DAS Lampir disamping kemungkinan terjadinya perubahan pola curah

hujan di daerah DAS sebagai akibat perubahan iklim.

REFERENSI

Bank Indonesia. (2010). Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syariah (PPUK) Budidaya

pembesaran ikan lele (p. 86). Jakarta: Bank Indoesia.

BBWSPemali.pdsda Jateng. (2010). Laporan Pendukung Audit Teknis Infrasruktur

Sumberdaya Air. Semarang. Retrieved from bbwspemali.pdsda.net

BPDAS Pemali Jratun. (2000). Gambaran Umum DAS Lampir. Retrieved April 28, 2014,

from http://www.bpdas-pemalijratun.net/

Page 13: Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan budidaya lele kec

Budi, P. (2013, February 20). Dinas PSDA Jateng Desak Pemerintah Lakukan Perbaikan

Irigasi. Semarang. Retrieved from

http://www.lensaindonesia.com/2013/02/20/dinas-psda-jateng-desak-pemerintah-

lakukan-perbaikan-irigasi.html

Buntoro, T. P. (2008). September, Ketersediaan Air Tinggal 10%Tak Pengaruhi Pertanian.

Retrieved April 26, 2014, from www.suaramerdeka.com

Cochrane, K., De Young, C., Soto, D., & Bahri, T. (2009). Climate change implications for

fisheries and aquaculture (No. 530).

Gaweni, M. (2013). Bendungan Kedung Asem. Retrieved April 27, 2014, from

http://4batang.blogspot.com/2013_03_01_archive.html

Hisjam, I. (1996, February 14). Tanggul Kali Kuto Kurang Optimal. Kendal. Retrieved

from www.suaramerdeka.com

Kementerian PPN/Bappenas. (2013). Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia:

Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API).

Mohanty, B. P., Mohanty, S., Sahoo, J. K., & Sharma, A. P. (2007). Climate change :

impacts on fisheries and aquaculture.

Nature. (2014). Global Warming and Climate Change Threats and Impacts. Retrieved from

http://www.nature.org/ourinitiatives/urgentissues/global-warming-climate-

change/threats-impacts/

The planet. (2008). Dampak Perubahan Iklim di Jawa Tengah. Retrieved April 28, 2014,

from http://theordinary.wordpress.com/2008/04/20/dampak-perubahan-iklim-di-

jawa-tengah/

Prayitno, E. (2013). Kekeringan, petani minta Pemkab Kendal tak keringkan bendungan.

Retrieved April 27, 2014, from sindonews.com

Priyatin, S. (2012, August 30). Semua Bendungan di Kendal Akan Dikeringkan. kendal.

Retrieved from

http://regional.kompas.com/read/2012/08/30/20044921/Semua.Bendungan.di.Kend

al.Akan.Dikeringkan

Rumah Iklim. (2009). Apa itu Perubahan Iklim. Retrieved April 27, 2014, from

http://rumahiklim.org/masyarakat-adat-dan-perubahan-iklim/apa-itu-perubahan-

iklim/#more-105

Silva, S. S. De, & Soto, D. (2009). Climate change and aquaculture : potential impacts ,

adaptation and mitigation. In K. Cochrane, C. De Young, D. Soto, & T. Bahri

(Eds.), Climate change implications for fisheries and aquaculture:overview of

current scientific knowledge (FAO Fisher., pp. 151–213). Rome: FAO.

Stream Indonesia. (2013). Proyeksi perubahan iklim untuk Jawa dan Indonesia. Retrieved

April 27, 2014, from www.sreamindonesia.org

Suprayoga, J. (2012). Tidak Lagi Berkelas Comberan Budi Daya Lele Semakin Meraja.

Retrieved April 26, 2014, from suaramerdeka.com

Tanujaya, O. (2002). Menghadapi Perubahan Iklim di Indonesia. Retrieved April 27, 2014,

from http://www.pelangi.or.id/article-15-.html

Tim Kerja Pemulihan Kawasan Dieng (TKPKD) Kab. Banjarnegara. (2012). Road Map

Pemulihan Kawasan Dieng Tahun 2011-2016.

WWF Indonesia. (2013). Seputar Perubahan Iklim. Retrieved April 27, 2014, from

www.wwf.or.id