Lele Faktor Konversi

103
FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG MERVINA DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

description

content conversion faktor of catfish

Transcript of Lele Faktor Konversi

FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL

UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG

MERVINA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

ABSTRACT MERVINA. Biscuit Formulation with Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Fish Flour and Isolate Soy (Glicine max) Protein Substitution as Potential Food for Undernourished Children. Under direction of SRI ANNA MARLIYATI and CLARA M. KUSHARTO

Fish is protein source, which good for enhance nutrition status because it

is categorized as high quality food. Fish flour is one of fish product that has not been optimally developed especially as food. The objective of this research was to make biscuit formulation with lele dumbo (Clarias gariepinus) fish flour and isolate soy (Glicine max) protein as high protein food for children especially under five years old children that have undernourished status. The objective of addition isolate soy protein beside to increase protein content also for produce a better biscuit texture. The method to make the fish flour is based on thermal process using drum dryer. The fish flour made separately from body part and head part. Then physical and chemical properties were analyzed. Biscuit was formulated by using fish flour and isolate soy protein with trial and error method. Formula was determined based on panelist preference. Acceptance of preferred formula was examined by children and children’s mother using hedonic test. Then biscuit properties determined by physical and chemical analysis. The protein biscuit contribution were counted based on Recommended Daily Allowance for under five years old children. As the result formula F4 was preferred formula that made by 3.5% body fish flour, 1.5% head fish flour, and 10% isolate soy protein. Chemical properties for formula F4 is 4,13% (db) for water content, 2.52% (db) for ash content, 19.55% (db) for protein content, 21.99% (db) for fat content and 55.94% (db) for carbohydrate content. The formula contains 480 Cal energy per 100 grams biscuit. Digestibility of protein biscuit measure by enzymatic method and the result is 89.34%. The formula fulfills 20% children protein from four piece biscuit or equals to 50 grams biscuit.

MERVINA. Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang. Pembimbing SRI ANNA MARLIYATI dan CLARA M. KUSHARTO

RINGKASAN Menurut Soekirman (2000), KEP merupakan masalah yang masih

memprihatinkan khususnya bagi anak dibawah usia lima tahun (balita). Pangan hewani seperti ikan merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat karena tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Tepung ikan merupakan salah satu pangan hewani yang merupakan produk hasil olahan ikan belum dikembangkan secara maksimal. Produk biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sebagai pangan tinggi protein bagi anak-anak. Tujuan penambahan isolat protein kedelai selain sebagai penambah kandungan protein juga untuk memperbaiki tekstur biskuit.

Penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan tepung ikan lele dumbo yang terpisah antara pembuatan tepung badan dan kepalanya, lalu dianalisis sifat fisik dan kimianya. Pada penelitian utama, dilakukan formulasi biskuit menggunakan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Setelah didapatkan 4 formulasi berdasarkan trial and error dilakukan pemilihan formula berdasarkan kesukaan panelis. Formula terpilih diujikan kembali kepada anak balita gizi kurang dan ibu balita untuk mengetahui kesukaan dari balita dan ibu balita. Setelah itu formula terpilih dianalisis sifat fisik dan sifat kimianya serta dihitung kontribusinya terhadap AKG balita.

Proses pembuatan tepung ikan dibagi menjadi dua bagian yaitu pembuatan tepung kepala dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan tepung dimulai dari sortasi ikan, lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi (presto), pengepresan, pengeringan dengan drum dryer dan penggilingan dengan willey mill.

Berdasarkan pengukuran aw menggunakan aw-meter diketahui aw tepung badan ikan adalah 0.71, sedangkan aw tepung kepala ikan adalah 0.66. Pengukuran densitas kamba menunjukan bahwa tepung kepala ikan mempunyai densitas kamba yang tebih tinggi daripada tepung badan ikan. Densitas kamba tepung kepala ikan adalah 0.45 g/ml sedangkan densitas kamba tepung badan ikan adalah 0.37 g/ml. Hasil pengukuran derajat putih tepung menunjukan bahwa tepung ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung terigu. Tepung kepala ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung badan ikan. Derajat putih tepung kepala ikan adalah 29.00%, sedangkan derajat putih tepung badan ikan adalah sebesar 30.96%. Analisis sifat kimia tepung ikan lele dumbo didapat hasil, untuk tepung kepala ikan kadar air 8.72% (bb), kadar abu 18.10% (bk), kadar protein 56.04 % (bk), kadar lemak 9.39% (bk) dan kadar karbohidrat 7.84% (bk), sedangkan hasil analisis untuk tepung badan ikan adalah kadar air 7.99% (bb), kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk), kadar lemak 10.83% (bk) dan kadar karbohidrat 11.83% (bk).

Pembuatan formula didasarkan pada estimasi protein yang dihasilkan biskuit. Pemilihan formula dilakukan melalui uji organoleptik pada biskuit. Hasil uji

organoleptik menentukan bahwa formula F4 yang memiliki penerimaan paling tinggi. Formula F4 memiliki frekuensi penerimaan panelis paling tinggi untuk atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Formula F4 juga menunjukkan nilai beda nyata dengan selang kepercayaan 95% untuk atribut warna, rasa, dan tekstur setelah diuji dengan uji kergaman Kruskal Wallis Formula F4 mensubstitusi 15% tepung terigu (dari jumlah adonan) oleh 3.5% tepung badan ikan, 1.5% tepung kepala ikan dan 10% isolat protein kedelai.

Hasil uji organoleptik oleh panelis balita terhadap formula F4 dan biskuit balita komersil yang terdapat dipasaran menunjukan penerimaan balita terhadap kedua biskuit tersebut tidak beda nyata ketika dianalisis menggunakan statistik Paired Samples T-Test pada taraf signifikansi 5%. Hasil uji organoleptik terhadap ibu balita menunjukan bahwa lebih dari 70% ibu balita menyukai biskuit formula F4 untuk atribut warna, aroma, rasa dan tekstur.

Analisis biskuit formula terpilih (F4) adalah kadar air 4.13% (bk), kadar abu 2.52% (bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi per 100 gram biskuit. Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan metode enzimatik secara in vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah sebesar 89.34%. Sifat fisik biskuit diukur rendemen, daya serap air dan analisis tekstur. Rendemen biskuit adalah 84,29%. Daya serap air biskuit adalah 1.79 ml/g. Sedangkan hasil uji tekstur menunjukkan nilai untuk parameter kerenyahan 246.6 N/mm.

Berdasarkan analisis kontribusi zat gizinya, formula terpilih dapat dikatakan sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20% protein berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang harus dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau setara dengan 50 gram biskuit. 50 gram biskuit dapat memberikan 240 kkal energi, 9.8 gram protein, 26.9 gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak.

FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL

UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG

MERVINA

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

LEMBAR PENGESAHAN JUDUL : FORMULASI BISKUIT DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG

IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG

Nama : Mervina NRP : I14051221

Disetujui:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Sri Anna Marliati, MS NIP: 19600205 198903 2 002 NIP: 19510719 198403 2 001

Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

NIP. 19621218 198703 1 001 Dr. Ir. Budi Setiawan, MS

Tanggal Pengesahan:

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas berkat-Nya

yang berlimpah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga

hendak menyampaikan terima kasih pada pihak-pihak yang telah banyak

membantu dalam pembuatan skripsi ini.

1. Papi, mami, koko ’kodok’ atas dukungan dan doa yang terus-menerus.

2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si selaku dosen pembimbing I yang telah banyak

memberikan pembelajaran, bimbingan, dan pengarahan selama pembuatan

skripsi. Senang sekali bisa mendapat bimbingan ibu.

3. Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M. Sc selaku dosen pembimbing II dan

ketua Hibah Kemitraan ”Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung

Ikan dan Probiotik untuk Meningkatkan daya Tahan Tubuh Anak Balita

Rawan Gizi” yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan

pengalaman bagi penulis.

4. Seluruh tim Hibah Kemitraan: Dr. Ir. Inggrid Surono, M. Sc; Dr. Ir. Sri Anna

Marliyati, M. Si; Prof. Dr. Ir. Made Astawan; Leily Amalia. STP, MS; dr. Mira

Dewi, S. Ked; Ir. Annis Catur Adi, M. Si; Rini Harianti, S. Si; Astrisia Artanti,

STP; Sa’ad Bakery (Kunciran-Tangerang); DeJee Fish (Cibaraja, Sukabumi);

dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi atas kerjasama dalam penelitian ini.

5. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia

dan meluangkan waktu untuk menguji.

6. Keluarga besar Sukamto dan Kengsiswoyo atas dukungan baik secara moril

dan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di IPB.

7. ”My roommate” Veronica Gunawan STP, Teresia Tandean STP, dan Vidya

H. Simarmata SKPM, atas banyak semangat, motivasi, dan perhatian.

8. Franz ”never stress” Sahidi atas kesabaran yang tidak berkesudahan.

9. Beatrice Bennita, Stella Alvina Gunawan dan Catherine Haryasyah yang

menjadi inspirasi penulis dalam menyelesaikan skipsi.

10. Herviana Ferazuma, Natalia Dessy W, Ervina, dan seluruh mahasiswa Gizi

Masyarakat angkatan 42 atas kekompakan dan hari-hari perkuliahan yang

menyenangkan ”We are cream of the cream”.

11. Yoanita Santoso (isopit), Rina Kisaragi, Kabuto, dan Kotaro Minami yang

memberikan penghiburan kepada penulis setiap saat dalam pembuatan

skripsi.

12. Keluarga Besar Perwira 45 ank. 42: Fransisca Eka, Lisa Noviani, Aninda

Puspasari, Stella Belinda, Eveline Septiana, Kalista R. Putri, Leo Adi W.,

Anthony Demas, Pratiwi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per

satu, atas kebersamaan dan kekeluargaan yang menyenangkan sampai

tahun terakhir.

13. Teman-teman satu bimbingan: Herviana Ferazuma, Neysa Rucita, Mega

Pramudita, Ganes T Widha, Nien Adji, Fitriah Rahayu, Wasilla T.

14. Para Laboran yang dengan sabar mendampingi dan membantu penelitian:

khususnya Pak Mashudi (terima kasih banyak pak), Ibu Rizki, dan Ibu Nina,

Pak Nurwanto, Pak Wahid, Ibu Rubiah, dan Pak Rojak.

15. Teman-teman penelitian laboratorium: Herviana Ferazuma, Neysa Rucita,

Pramadya Alfitra, Mega Pramudita, Yulan Isnaharani, Tri Purnamasari,

Ganes T. Widha, Ervina, Hana Fitriah N, Inda Ragil dan Kokom Setiamanah.

16. Indah Lestari; Martha Clarissa R, Vina Lyana, Edwin, Ferry Gracyano, Jimmy

Effendi, dr. Claudia Tiwow, Kezia Winie dan Timotius atas persahabatan

yang luar biasa.

17. Mr. Manahat Sitorus dan Ms. Devie atas dorongan dan semangatnya

sehingga penulis berkuliah di IPB

18. Keluarga besar Kemaki (Keluarga Mahasiswa Katolik IPB), yang memberikan

keluarga sejak pertama penulis diterima di IPB.

Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima

kasih.

Bogor, Oktober 2009

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1987

dari pasangan Gerald Benyamin Benny Sukamto dan

Giokatarina Wanny Kengsiswoyo. Penulis merupakan anak

kedua dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Dian

Harapan Lippo Cikarang pada tahun 2005 dan pada tahun yang

sama melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui ujian Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah melalui Tahap Persiapan

Bersama (TPB), penulis memilih dan diterima di mayor Ilmu Gizi, Departemen

Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Penulis juga mengambil minor Ilmu

dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di

beberapa organisasi, seperti Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI) dan

Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI). Penulis juga aktif dalam kepanitiaan

berbagai acara diantaranya Natal CIVA tahun 2006 dan 2007, Pelatihan

Organoleptik, dan lain-lain. Penulis pernah menjadi pelatih dalam Pelatihan

Makanan Berbasis Ubi Jalar untuk kelompok tani Cikarawang pada tahun 2009.

Selain itu penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kelurahan Pasir

Putih dan Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok dan

melaksanakan internship bidang Dietetika di Rumah Sakit Kanker Dharmais,

Jakarta.

Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

pada Departemen Gizi Masyarakat, dengan melakukan penelitian yang berjudul

”Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias

gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial

untuk Anak Balita Gizi Kurang”, yang merupakan bagian dari Hibah Kemitraan

”Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk

Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi”.

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v

PENDAHULUAN

Latar Belakang....................................................................................... 1

Tujuan .................................................................................................... 3

Kegunaan Penelitian.............................................................................. 3

TINJAUAN PUSTAKA

Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ........................................................... 4

Protein Ikan............................................................................................ 6

Tepung Ikan ........................................................................................... 7

Kedelai ................................................................................................... 9

Isolat Protein Kedelai ............................................................................. 11

Protein ................................................................................................... 12

Mutu Protein .......................................................................................... 13

Daya Cerna Protein ............................................................................... 13

Makanan Balita ...................................................................................... 14

Biskuit .................................................................................................... 15

METODE

Waktu dan Tempat ................................................................................ 21

Alat dan Bahan ...................................................................................... 21

Metode Penelitian .................................................................................. 21

Pengolahan dan Analisis Data............................................................... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tepung Ikan

1. Pembuatan Tepung Ikan ................................................................... 28

2. Sifat Fisik Tepung Ikan

a. aw .................................................................................................. 30

b. Densitas Kamba ........................................................................... 31

c. Derajat Putih ................................................................................. 32

3. Sifat Kimia Tepung Ikan

a. Kadar Air ....................................................................................... 33

b. Kadar Abu ..................................................................................... 33

c. Kadar Protein ................................................................................ 34

d. Kadar Lemak ................................................................................ 35

e. Kadar Karbohidrat ........................................................................ 36

Biskuit Balita dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat

Protein Kedelai

1. Formulasi Biskuit ............................................................................... 37

2. Sifat Organoleptik Biskuit

a. Uji pada Panelis Semi-Terlatih ..................................................... 41

b. Uji pada Panelis Anak Balita ........................................................ 43

c. Uji pada Panelis Ibu Balita ............................................................ 44

3. Sifat Fisik Biskuit

a. Penetapan Rendemen Biskuit ...................................................... 45

b. Daya serap Air .............................................................................. 45

c. Tekstur Biskuit .............................................................................. 46

4. Sifat Kimia Biskuit

a. Analisis Proksimat Biskuit ............................................................. 47

b. Kandungan Energi Biskuit ............................................................ 51

c. Daya Cerna Protein Biskuit .......................................................... 51

5. Kontribusi Zat Gizi Biskuit Terhadap AKG Balita .............................. 52

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ............................................................................................ 55

Saran ..................................................................................................... 56

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 58

DAFTAR TABEL

1 Komposisi gizi ikan lele ................................................................................. 5

2 susunan asam amino esensial ikan lele ........................................................ 6

3 Komposisi kimia kedelai ................................................................................ 10

4 Komposisi proksimat bagian biji kedelai ........................................................ 10

5 Mutu cerna protein beberapa protein pangan pada manusia ....................... 13

6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan ............................................ 14

7 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak

balita (per orang per hari) .............................................................................. 15

8 Syarat mutu biskuit ........................................................................................ 16

9 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada

pembuatan biskuit ......................................................................................... 17

10 Formula biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat

protein kedelai ............................................................................................. 24

11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo .............................. 32

12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan .................... 37

13 Jumlah panelis yang dapat menerima biskuit .............................................. 41

14 Rekapitulasi penerimaan biskuit .................................................................. 44

15 Presentasi ibu balita yang menyukai biskuit ............................................... 45

16 Hasil analisis sifat kimia dan perhitungan energi biskuit formula terpilih ..... 48

17 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram) ................ 53

18 Angka kecukupan zat gizi per takaran penyajian (50 gram) ........................ 54

19 Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit ....................................... 65

DAFTAR GAMBAR

1 Karakteristik Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ....................... 5

2 Diagram alir pembuatan tepung ikan dan tepung kepala

ikan lele dumbo ............................................................................................. 23

3 Diagram alir pembuatan biskuit balita dengan penambahan tepung

ikan dan isolat protein kedelai ....................................................................... 25

4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya ........................ 28

5 (A) Tepung badan ikan lele dumbo ................................................................ 30

5 (B) tepung kepala ikan lele dumbo ................................................................ 30

6 Hasil pengukuran Aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ................ 31

7 Hasil pengukuran densitas kamba tepung badan ikan dan tepung

kepala ikan .................................................................................................. 31

8 Hasil analisis kadar air tepung badan ikan dan tepung kepala ikan .............. 33

9 Hasil analisis kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ............ 34

10 Hasil analisis kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ..... 35

11 Hasil analisis kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ...... 35

12 Hasil analisis kadar karbohidrat tepung badan ikan dan tepung

kepala ikan .................................................................................................. 36

13 Biskuit formula terpilih (F4) .......................................................................... 43

14 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer ....... 47

15 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) .......................................................... 62

16 Ikan lele dumbo yang telah dipisahkan kepala, kulit dan badannya ............. 62

17 Badan ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama pengangkutan ..... 62

18 Kepala ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama pengangkutan .... 62

19 Ikan lele dumbo dalam autoklaf untuk proses pemasakan........................... 62

20 Badan ikan lele dumbo matang .................................................................... 62

21 Kepala ikan lele dumbo matang ................................................................... 62

22 Pengepresan dengan hidrolik pres ............................................................... 62

23 Ikan yang telah dipress ................................................................................ 63

24 Ikan yang sedang dikeringkan menggunakan drum dryer ............................ 63

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi Pembuatan Tepung Ikan .......................................................... 62

2 Analisis Sifat Kimia dan Fisik ........................................................................ 64

3 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Dewasa ............................ 69

4 Kuesioner Uji Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit Pada anak Balita .............. 70

5 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Ibu Balita .......................... 71

6 Aw Tepung Ikan ............................................................................................ 72

7 Densitas Kamba Tepung Ikan ....................................................................... 72

8 Derajat Putih Tepung Ikan ............................................................................. 72

9 Kadar Air Tepung Ikan .................................................................................. 73

10 Kadar Abu Tepung Ikan .............................................................................. 73

11 Kadar Protein Tepung Ikan.......................................................................... 73

12 Kadar Lemak Tepung Ikan .......................................................................... 74

13 Kadar Karbohidrat Tepung Ikan .................................................................. 74

14 Kadar Air ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ......................................... 74

15 Kadar Abu ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ....................................... 74

16 Kadar Protein ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu .................................. 75

17 Kadar Lemak ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ................................... 75

18 Kadar Karbohidrat ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ........................... 75

19 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F1 ......................................... 76

20 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F2 ......................................... 77

21 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F3 ......................................... 78

22 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F4 ......................................... 79

23 Rekapitulasi uji hedonik biskuit.................................................................... 80

24 Hasil Uji Kruskal Wallis organleptik biskuit .................................................. 81

25 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit ...................................... 82

26 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit ...................................... 82

27 Uji lanjut Tukey atribut rasa organoleptik biskuit ......................................... 82

28 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik balita ......................................... 83

29 Hasil uji Paired-Samples T-Test penerimaan organoleptik balita ............... 84

30 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik ibu balita .................................... 85

31 Rendemen Biskuit ....................................................................................... 86

32 Daya Serap Air Biskuit ................................................................................ 86

33 Analisis Tekstur Biskuit................................................................................ 86

34 Kadar Air Biskuit .......................................................................................... 86

35 Kadar Abu Biskuit ........................................................................................ 86

36 Kadar Protein Biskuit ................................................................................... 87

37 Kadar Lemak Biskuit ................................................................................... 87

38 Kadar Karbohidrat Biskuit ............................................................................ 87

39 Kandungan Energi Biskuit ........................................................................... 87

40 Daya Cerna Protein Biskuit ......................................................................... 87

41 Perhitungan Takaran Saji tanpa Memperhitungkan Daya Cerna Protein

Biskuit .......................................................................................................... 88

42 Perhitungan Takaran Saji dengan Memperhitungkan Daya Cerna Protein

Biskuit .......................................................................................................... 88

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah gizi makro terutama masalah kurang energi protein telah

mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. KEP (Kurang

Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan

yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan

kesehatan. Sejak sebelum merdeka sampai sekitar tahun 1960-an, masalah KEP

adalah masalah yang cukup besar di Indonesia. Saat ini masalah KEP pada

orang dewasa tidak sebesar masa lalu, kecuali pada wanita terutama di daerah

miskin. Namun pada anak-anak khususnya anak dibawah usia lima tahun

(balita), sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan

(Soekirman 2000).

Menurut Khomsan (2004), pangan hewani merupakan sumber gizi yang

dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat. Pangan hewani

mempunyai keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong

sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani

memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi

heme yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi. Ikan

sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa keunggulan dibandingkan

sumber protein lainnya diantaranya kandungan protein yang cukup tinggi (sekitar

20%) dalam tubuh ikan tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati

kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia. Daging ikan juga mengandung

asam-asam lemak tak jenuh dengan kadar kolesterol yang sangat rendah yang

dibutuhkan oleh tubuh manusia. Selain itu, daging ikan mengandung sejumlah

mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh (Adawyah 2007).

Menurut Azhar (2006), ikan lele adalah salah satu ikan air tawar yang

paling banyak diminati serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai

lapisan. Harganya yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata

hampir di seluruh pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan lele yang populer di

masyarakat adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele dumbo memiliki

berbagai kelebihan sehingga lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah

diterima masyarakat. Kelebihan tersebut diantaranya adalah pertumbuhannya

cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi,

rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi (Annonymous 2006).

Di samping keunggulan-keunggulan yang dimiliki, ikan juga memiliki

beberapa kekurangan, yaitu kandungan air yang tinggi (80%) dan pH tubuh ikan

yang mendekati netral menyebabkan daging ikan mudah rusak. Selain itu

kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan daging ikan mudah mengalami

proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik. Hal-hal tersebut dapat

menghambat penggunaannya sebagai bahan pangan. Oleh karena itu diperlukan

proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk,

maupun daya awetnya (Adawyah 2007).

Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil samping

ikan. Usaha pengolahan tepung ikan memerlukan banyak bahan baku ikan segar

dengan harga murah karena rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini

penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal. Kegunaan utama

tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto 1992).

Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dumbo dapat menjadi

suatu bentuk alternatif bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup

lama dibandingkan dengan ikan segar, bentuk yang berupa tepung diharapkan

menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya. Penggunaan

tepung ikan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit

merupakan salah satu alternatif penggunaan yang menjanjikan, terutama dari

segi kualitas zat gizi yang dihasilkan.

Menurut Manley (2000), biskuit merupakan makanan yang cukup populer.

Biskuit merupakan pangan praktis karena dapat dimakan kapan saja dan dengan

pengemasan yang baik, biskuit memiliki daya simpan yang relatif panjang.

Biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai salah satu jenis

pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Berbagai jenis biskuit

telah dikembangkan untuk menghasilkan biskuit yang tidak hanya enak tapi juga

menyehatkan. Dengan menambahkan bahan pangan tertentu seperti tepung ikan

lele ke dalam proses pembuatan biskuit, dapat dihasilkan biskuit dengan nilai

tambah yang baik untuk kesehatan.

Tepung kedelai biasa digunakan sebagai komponen utama dalam

pembuatan biskuit yang tinggi protein. Penggunaan tepung kedelai juga dapat

dikatakan memperbaiki tekstur biskuit. Kedelai juga biasa digunakan sebagai

bahan baku industri pangan. Salah satu bahan baku industri dari kedelai adalah

isolat protein. Fungsi utama isolat protein kedelai dalam bahan pangan adalah

untuk memperbaiki kandungan gizi produk makanan yang diproduksi (Manley

2000). Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan formulasi biskuit

dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sebagai

pangan tinggi protein, sedangkan tujuan khususnya adalah:

1. Membuat tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo.

2. Menganalisis sifat fisik (aw, densitas kamba dan derajat putih) dan sifat kimia

(kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein) tepung

ikan lele dumbo.

3. Melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan

tepung isolat protein kedelai.

4. Melakukan uji organoleptik untuk menentukan formula biskuit terpilih pada

panelis semi terlatih.

5. Melakukan uji organoleptik biskuit formula terpilih pada anak dan ibu balita.

6. Menganalisis sifat fisik (rendemen, densitas kamba, daya ikat air, tekstur)

dan sifat kimia (kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar

protein, serta daya cerna protein) formula biskuit terpilih.

7. Menganalisis kontribusi zat gizi yang dapat diberikan biskuit dengan

substitusi tepung ikan lele dan tepung isolat protein kedelai terhadap AKG

anak balita.

Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai makanan anak balita dengan menggunakan bahan baku

ikan lele dan isolat protein kedelai yang bukan saja disukai rasanya tetapi juga

merupakan sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh balita untuk

pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu dengan memproduksi biskuit ini

diharapkan dapat masyarakat dapat diberdayakan.

Produk yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif

produk pangan yang dapat berfungsi untuk memperbaiki status gizi anak. Selain

itu, penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk meningkatkan pemanfaatan

tepung ikan dan isolat protein kedelai menjadi makanan yang mengandung

protein tinggi.

TINJAUAN PUSTAKA

Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting

dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah

dibudidayakan dan harganya terjangkau. Oleh karena itu, produksi lele ukuran

konsumsi secara nasional mengalami kenaikan. Seperti pada tahun 2003,

kenaikan tersebut terjadi mencapai 18.3%. Ikan lele yang banyak dibudidayakan

dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele dumbo (Clarias gariepinus).

Sementara itu lele lokal (Clarias batracus) sudah langka dan jarang ditemukan

karena pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan dengan lele dumbo.

Secara umum lele dumbo mirip dengan lele lokal, hanya saja ukuran lele dumbo

lebih besar dibandingkan dengan lele lokal. Lele dumbo cenderung lebih panjang

dan lebih gemuk dibandingkan lele lokal. Pada tahun 2005, lele dumbo juga

menjadi salah satu komoditi perikanan yang dijadikan komoditas unggulan pada

Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dicanangkan

oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Mahyuddin 2007).

Lele dumbo termasuk ke dalam:filum Chordata, kelas Pisces, subkelas

Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluroidea, dan genus Clarias. Salah satu

Beberapa literature menyebutkan lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang

dua spesies, yaitu antara lele betina Clarias fuscus dari Taiwan dan lele jantan

Clarias mossambicus dari Afrika. Lele dumbo memiliki ukuran yang besar,

sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu varietas unggulan lele dumbo

adalah lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupakan hasil rekayasa dari Balai

Besar Pengembangan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan talah

dilepas kepasaran melalui Keputusan Menteri No. KEP.26/MEN/2004

(Mahyuddin 2007). Lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala

gepeng, tidak bersisik, mulut besar, warna kelabu sampai hitam. Di sekitar mulut

terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam, masing-

masing terdapat sepasang kumis. Hanya kumis bagian mandibula yang dapat

digerakkan untuk meraba makanannya. Kulit lele dumbo berlendir tidak bersisik,

berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan bagian samping (lateral).

Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan

sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri

yang keras dan runcing yang disebut patil. Patil lele dumbo tidak beracun

(Suyanto 2007). Gambar morfologi ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Karakteristik Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Ikan lele termasuk jenis ikan karnivora dan karena menyukai makanan

yang busuk maka digolongkan juga sebagai scavenger. Ikan lele bersifat

nocturnal karena aktif mencari mangsa pada malam hari atau lebih menyukai

tempat gelap. Pada siang hari ikan lele lebih suka diam dalam lubang-lubang

atau tempat-tempat yang terlindung (Suyanto 2007).

Menurut Astawan (2008) lele dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan

sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini

mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut abrorescent, sehingga

mampu hidup dalam air yang oksigennya rendah.

Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi

sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai

pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi gizi ikan lele disajikan pada

Tabel 1 Komposisi gizi ikan lele

Zat Gizi Kandungan Protein (%) 17,7 Lemak (%) 4,8 Mineral (%) 1,2 Air (%) 76 Karbohidrat (%) 0,3 Sumber: Vaas 1956 dalam Astawan 2008

Protein ikan lele juga mengandung semua asam amino esensial dalam

jumlah yang cukup. Susunan asam amino ikan lele disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Susunan asam amino esensial ikan lele Asam amino % protein

Arginin 6,3 Histidin 2,8 Asoleusin 4,3 Leusin 9,5 Lisin 10,5 Metionin 1,4 Fenilalanin 4,8 Treonin 4,8 Valin 4,7 Triptofan 0,8 Total esensial 49,9 Nonesensial 50,1

Sumber: FAO 1972 dalam Astawan 2008

Protein Ikan

Menurut Hadiwiyoto (1993), protein yang terdapat pada daging ikan,

berdasarkan sifat kelarutannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu protein

sarkoplasma yang larut dalam air, protein miofibrillar yang larut dalam air garam

dan protein stoma yang larut dalam alkali. Jumlah masing-masing kelompok

akan berbeda berdasarkan spesiesnya. Lebih jauh lagi jumlah yang dapat

diekstraksi bergantung pada proses penghancuran, pencampuran, pH, dan

tingkat denaturasi selama penyimpanan dan pengolahan (Sikorski et al. 1990).

Protein sarkoplasma merupakan penamaan terhadap protein yang

terdapat dalam sarkolema. Sarkolema merupakan kompleks cairan yang

terdapat dalam endomisium yang memisahkan antara satu miofibril dengan

miofibril lainnya (Pearrson dan Young 1989). Di samping mengandung asam

nukleat, lipoprotein dan darah, kebanyakan protein sarkolema ini merupakan

enzim (Sikorski et al. 1990). Pada waktu ikan masih hidup, enzim–enzim tersebut

berfungsi dalam sintesa senyawa–senyawa yang diperlukan tubuh. Setelah ikan

mati, fungsi enzim–enzim tersebut berubah menjadi perusak tubuh ikan

(Hadiwijoyoto 1993). Walaupun tidak lebih rendah nilai gizinya dibanding dengan

protein miofibrillar namun karena sifatnya yang dapat merugikan, protein ini

dibuang selama penyucian daging lumat pada pembuatan surimi (Suzuki 1991).

Protein miofibrillar adalah protein yang menyusun miofibril dan

merupakan unit struktur dasar yang bertanggung jawab terhadap kontraksi

selama pergerakan (Pearson dan Young 1989). Protein ini terutama sekali terdiri

dari miosin aktin, dan protein pengatur seperti troponin, tropomiosin, dan aktinin.

Miosin merupakan komponen utama protein miofibrillar dan menyusun antara 50-

56% dari keseluruhan protein miofibrillar. Kandungan aktin lebih sedikit yaitu

antara 15-20%, sedangkan troponin, tropomiosin, dan aktinin hanya menyusun

sekitar 10% (Sikorski et al. 1990). Miofibril juga disusun oleh protein sitoskeletal,

namun persentasenya lebih kecil (Pearson dan Young 1989).

Residu setelah semua protein sarkoplasma dan miofibrillar diekstrak

adalah stroma yang merupakan jaringan pengikat. Komponen stroma terdiri dari

kolagen dan elastin (Sikorski et al. 1990). Disamping terdapat dalam urat daging,

protein ini terikat juga pada tulang, gigi, jaringan mukosa, lapisan luar organ

dalam, dan pada sistem kardiovaskular (Pearson dan Young 1989).

Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan

airnya. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam

jumlah besar, sedangkan pada ikan gemuk sebaliknya. Kandungan protein ikan

umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan hewan darat yang akan

menghasilkan kalori lebih tinggi. Dalam tubuh manusia protein memegang

peranan penting dalam pembentukan jaringan. Kandungan asam amino esensial

pada daging ikan dapat dikatakan sempurna, artinya semua jenis asam amino

esensial terdapat pada daging ikan, tetapi perlu diperhatikan beberapa asam

amino tidak mencukupi kebutuhan manusia diantaranya fenilalanin, triptofan, dan

metionin. Kandungan protein pada daging ikan cukup tinggi dan berpola

mendekati pola kebutuhan asam amino di dalam tubuh manusia. Iakn

mempunyai nilai biologis yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian daging ikan

mempunyai nilai biologis sebesar 90% (Adawyah 2007).

Tepung Ikan Ilyas (2003) menyatakan, tepung ikan adalah produk padat yang

dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau

seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu

hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi

tepung. Cara pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan

mencincang ikan kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau

dengan mengeringan mekanis.

Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada

daging ikan. Kadar air pada daging ikan hal yang menentukan pada proses

pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat

terhambat. Bila proses pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses

pembusukannya akan berhenti. Pada pembuatan tepung ikan selain

menggunakan metode pengeringan dapat didahului dengan pemanasan suhu

tinggi. Hal ini digunakan untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh

bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali

bila waktu dan suhu yang digunakan cukup (Moeljanto 1982b).

Menurut Departemen Perdagangan (1982), tepung ikan memiliki nilai gizi

yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino

essensial, terutama lisin dan metionin. Disamping itu tepung ikan juga kaya akan

vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Tepung ikan

merupakan juga merupakan sumber kalsium (Ca) dan phospor (P). Tepung ikan

juga mengandung trace element seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan

(Mn) dan kobalt (Co) (Moeljanto 1982a).

Usaha pembuatan tepung ikan dapat menggunakan limbah ikan karena

relatif murah dan mudah didapat, juga menggunakan peralatan yang sederhana

(LIPI 1999). Sebagian produksi tepung ikan dunia digunakan untuk makanan

ternak. Karena banyak pabrik tepung ikan dibangun di negara-negara yang telah

maju industri perikanannya, biasanya tepung ikan dijual dalam bentuk siap pakai.

Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat berikut: butiran-

butirannya agak seragam, bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan dan benda-

benda asing lainnya.

Menurut Ilyas (1993), urutan pengolahan tepung ikan adalah

pencincangan, pemasakan, pengpresan, pengeringan, dan penggilingan.Tepung

ikan yang baru selesai diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan. Setelah

disimpan, terutama dalam suhu tinggi, warnanya berubah menjadi cokelat

kekuningan. Akan tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya. Baunya

seperti ikan yang lama-kelamaan menjadi tengik (Moeljanto 1982a).

Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan

yang ada dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, lemak, mineral

dan vitamin serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami

pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi berubah, terutama

akibat terjadinya pengurangan kadar minyak, kadar air dan kerusakan

(perubahan) senyawa kimia tertentu terutama dalam pemanasan (thermo

processing) (Sunarya 1990). Komposisi kimia tepung ikan juga ditentukan oleh

jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya (Brody di

dalam Hapsari 2002).

Menurut LIPI (1999), komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis

ikan yang digunakan. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus

mempunyai komposisi sebagai berikut:

- air (moisture) 6%-10%

- lemak 5%-12%

- protein 60%-75%

- abu 10%-20%

Menurut Moljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air

kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Brody di

dalam Hapsari (2002) mengatakan kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan

selang terendah 6 sampai 10%. Sejenis jamur (mold) dapat tumbuh pada kadar

air tepung ikan.

Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral

sekitar 12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan

mineral dalam tepung ikan berasal dari tepung-tepung ikan. Kadar mineral

tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa

kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat.

Tepung ikan juga mengandung trace element, diantaranya Zn, I, Fe, Cu, Mn, dan

Co (Moljanto 1982).

Menurut Ilyas (2003) tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah

yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah

berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak

mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5-10% dan

protein sebesar 60-65%.

Kedelai Kedelai (Glysine max (L.) Merr) termasuk ordo Polypetales, famili

Leguminosae, sub famili Papilionaceae dan genus Glysin L. (Bunasor 1988).

Secara umum, biji kedelai terdiri dari kulit biji (hull) dan dua keping biji

(cotyledons). Keping biji merupakan bagian utama biji dan di bagian inilah

minyak dan protein kedelai tersimpan. Kulit biji menyatukan kedua keping biji dan

sekaligus memberikan perlindungan. Selanjutnya kulit biji dapat dipisahkan dari

biji dengan menggunakan prinsip aspirasi.

Matthews (1989), menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu

sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena

kandungan protein dan lemaknya yang tinggi, yaitu 40% dan 21%. Komposisi

kimia biji kedelai dan bagiannya diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Komposisi kimia kedelai Komponen Komposisi

Kalori (Kal) 331.0 Air (%) 7.5

Protein (%) 34.9

Lemak (%) 18.1

Karbohidrat (%) 34.8

Kalsium (mg/100 g) 227.0

Fosfor (mg/100 g) 585.0

Besi (mg/100 g) 8.0

Vitamin A (SI/100 g) 110.0

Vitamin B (SI/100 g) 1.07

Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 1972 dalam Koswara 1995

Tabel 4 Komposisi proksimat bagian biji kedelai

Bagian biji Proporsi berat biji Persen berat kering (%bk)

Protein Lemak Karbohidrat Abu

Kotiledon 90 43 32 43 5

Kulit biji 8 9 86 86 4.3

Hipokotil 2 1 43 43 4.4 Sumber: Cheftel et al. 1985

Citarasa langu (beany flavor) merupakan hambatan utama dalam usaha

introduksi makanan asal kedelai. Menurut Wilkens et al., (1967) fenomena ini

timbul disebabkan oleh adanya reaksi enzim lipoksigenase yang dapat

menghidrolisa asam lemak tidak jenuh menghasilkan senyawa volatil. Kelanguan

pada kedelai timbul bila terdapat tiga kondisi yaitu adanya air, udara, dan sel

kedelai yang pecah. Untuk mencegah senyawa volatil tersebut Spata et al.,

(1974) melakukan inaktivasi enzim lipoksigenase secara in situ dengan

perendaman dan perebusan yang disebut parboiling. Aktivitas enzim ini juga

terhambat pada pH rendah, sehingga bila kedelai digiling pada pH rendah

lipoksigenase tidak dapat mengkatalisa oksidasi asam tidak jenuh ganda (PUFA)

sehingga pembentukkan senyawa volatil menjadi terhambat. Usaha lain untuk

mendapatkan produk kedelai yang bebas langu ialah mengekstrak semua lipid

yang terkandung pada kedelai. Akan tetapi hal ini tidak mudah sebab walaupun

sebagian besar lemak dapat diekstrak dengan pelarut lemak masih tersisa

“bound lipid” yang merupakan residu lipid yang sulit diekstrak karena terikat pada

protein kedelai.

Isolat Protein Kedelai Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling

murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Produk ini

hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya

jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau

bubuk kedelai. Isolat protein kedelai dapat dibuat dari tepung kedelai bebas

lemak maupun biji kedelai utuh. Isolat protein baik sekali digunakan dalam

formulasi makanan, karena dapat berfungsi sebagai pengikat dan pengemulsi

Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat additif untuk

memperbaiki penampakan produk, tekstur, serta flavor produk. Penggunaan

isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam

pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti, dan biscuit (Koswara 1995).

Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam air

dan bila emulsi ini telah terbentuk, protein kedelai akan menstabilkanya.

Stabilitas emulsi penting, karena emulsifier yang baik tergantung kemampuannya

memelihara sistem emulsi pada saat mengalami pemanasan atau pemasakan.

Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada sosis, produk

bakery, dan sup (Koswara 1995).

Isolat protein kedelai mempunyai kemampuan dalam menyerap lemak

atau minyak. Kemampuan ini digunakan untuk dua tujuan. Pertama, untuk

meningkatkan penyerapan lemak hingga dapat mengurangi kehilangan sari

karena pemasakan dan menjaga stabilitas dimensinya. Tujuan kedua adalah

untuk mencegah penyerapan minyak yang berlebihan. Hal ini disebabkan isolat

protein kedelai dapat terdenaturasi oleh panas membentuk semacam lapisan

(coating) pada permukaan bahan sehingga menghalangi penetrasi lemak

(Koswara 1995).

Isolat protein kedelai juga memiliki kemampuan daya serap air yang

tinggi. Hal ini disebabkan protein kedelai bersifat hidrofilik (suka air) dan

mempunyai celah-celah polar seperti gugus karboksil dan amino yang dapat

mengion. Adanya kemampuan mengion ini menyebabkan daya serap air isolat

protein kedelai dipengaruhi oleh pH makanan. Daya serap air isolat protein

kedelai sangat penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods)

karena dapat meningkatkan rendemen adonan dan memudahkan

penanganannya. Disamping itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran

makanan, misalnya pada biskuit dan roti (Koswara 1995).

Protein Protein adalah molekul makro yang mempunyai berat molekul antara lima

ribu hingga beberapa juta. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat

gizi, dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Di samping

itu asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai precursor sebagian

besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial untuk

kehidupan. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, tang terikat

satu sama lain dalam ikatan peptide. Asam amino terdiri atas unsur-unsur

karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen; beberapa asam amino disamping itu

mengandung unsur-unsur fosfor, besi, iodium, dan kobalt. Unsur nitrogen adalah

unsur utama protein, karena terdapat didalam semua protein akan tetapi tidak

terdapat didalam karbohidrat dan lemak (Almatsier 2003).

Menurut Lehningher (1992), secara umum tingkat organisasi protein

dikategorikan dalam empat kelas, yaitu :

1. Struktur primer. Ini adalah urutan asam amino dalam rantai polipeptida dan

letak suatu jembatan disulfida di dalam rantai protein. Struktur protein

diselenggarakan ikatan-ikatan peptida yang kovalen.

2. Struktur sekunder. Hal ini mengacu pada banyaknya struktur ά-heliks atau

lembaran berlipatan-β setempat yang beraturan dan berhubungan dengan

struktur protein secara keseluruhan. Struktur sekunder protein

diselenggarakan oleh ikatan hidrogen dengan oksigen karbonil dan nitrogen

amida dari rantai polipeptida.

3. Struktur tersier. Hal ini mengacu pada cara protein globolar dilekuk dan dilipat

untuk membentuk struktur tiga dimensi. Struktur tersier diselenggrakan oleh

interaksi antara gugus-gugus R dari asam amino.

4. Struktur kuarterner. Banyak protein yang terdiri dari oligomeratau molekul

besar terbentuk dari pengumpulan khas dari subsatuan yang identik atau

berlainan yang dikenal dengan protomer. Penyusunan protomer dalam

protein oligomer merupakan struktur kuarterner. Protein yang memiliki bobot

molekul lebih dari 50.000 sering terkait dua atau lebih rantai polipeptida,

misalnya hemoglobin.

Mutu Protein Menurut Almatsier (2003) mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi

asam amino yang dikandungnya. Protein komplet atau protein dengan nilai

biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis

asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan.

Semua protein hewani, kecuali gelatin merupakan protein komplit.

Protein tidak komplit, atau protein bermutu rendah adalah protein yang

tidak mengandung atau mengandung dalam jumlah kurang satu atau lebih asam

amino esensial. Sebagian besar protein nabati kecuali kacang kedelai dan

kacang-kacangan lain merupakan protein tidak komplit.

Daya Cerna Protein Nilai gizi dari suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar

nutrien yang dikandungnya, tetapi juga oleh dapat tidaknya nutrien tersebut

digunakan oleh tubuh. Protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya

jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga

sebaliknya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna protein

dalam tubuh adalah kondisi fisik dan kimia bahan. Makin keras bahan, maka

akan menurunkan daya cernanya dalam tubuh karena adanya ikatan kompleks

yang terdapat di dalam bahan yang sifatnya semakin kuat. Ikatan ini dapat

berupa ikatan antar molekul protein, ikatan protein-fitat, dan sebaginya.

Sedangkan kondisi kimia yaitu adanya senyawa anti gizi seperti tripsin inhibitor

dan fitat (Muchtadi 1989).

Adapun mutu cerna protein dari beberapa protein pangan pada manusia

disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Mutu cerna protein beberapa protein pangan pada manusia Sumber Protein Mutu Cerna (%) Sumber Protein Mutu Cerna (%) Telur 97 Susu, keju 95 Daging, ikan 94 Rice (polished) 88 Kacang tanah 94 Tepung kedelai 86 Jagung, sereal 70 Beans 78 Millet 79 Isolat protein kedelai 95 Wheat whole 86 Oatmeal 86 Wheat flour, white 96 Gluten gandum 99 Rice cereal 75 Wheat,cereal 77 Maize 85 Peas 88 Sumber : FAO/WHO/UNU 1995

Mutu cerna protein hewani seperti daging, ikan dan susu umumnya

sekitar 90-100%, karena proteinya mudah dicerna oleh tubuh, sedangkan mutu

cerna bahan pangan nabati seperti sayuran antara 60-80%. Perbedaan ini bukan

disebabkan oleh perbedaan kandungan asam amino yang dikandungnya tetapi

karena perbedaan kandungan selulosa dan bahan lain yang melindungi protein

(Khumaidi 1987).

Makanan Balita Menurut Khomsan (2004) bayi sampai anak berusia 5 tahun yang lazim

disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap

kekurangan zat gizi termasuk KEP. Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak

selalu didahului dengan terjadinya bencana kurang pangan dan keaparan

sehingga upaya penangulangannya memerlukan pendekatan. Salah satunya

adalah dengan memperbaiki aspek makanan.

Menurut Wiyati (2004), anak balita atau disebut juga anak prasekolah

adalah anak-anak yang berumur di bawah 5 tahun. Anak balita merupakan salah

satu sasaran utama program gizi. Sejak usia tertentu, disamping ASI (air susu

ibu) anak balita juga diberi makanan tambahan. Makanan tambahan adalah

makanan yang diberikan untuk membantu mencukupi kebutuhan akan zat gizi

yang diperlukan. Agar dapat memenuhi fungsinya, makanan tambahan bermutu

baik (Hermana 1985 dalam Wiyati 2004).

FAO/WHO (1994) telah menerbitkan petunjuk mengenai pengembangan

formula makanan bagi anak balita. Disebutkan bahwa energi yang dapat

disajikan tiap 100 gram produk, minimal sebanyak 400 Kal. Komposisi zat gizi

dari formula makanan tambahan untuk anak balita dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan Zat Gizi Jumlah per 100 g Energi (kal) 400 Protein (g) 15 Lemak (g) 10-25 Vitamin A (μg RE) 266.7 Vitamin D (μg) 6.7 Vitamin E (mg) 3.3 Vitamin C (mg) 13.3 Tiamin (mg) 0.3 Riboflavin (mg) 0.5 Niasin (mg) 6 Vitamin B6 (μg) 0.6 Asam Folat (μg) 33.3 Vitamin B12 (μg) 0.7 Kalsium (mg) 533.3 Besi (mg) 8 Zink (mg) 6.67 Sumber: FAO/WHO 1994

Semakin meningkat usia anak balita, semakin meningkat meningkat pula

kebutuhan akan zat-zat gizi yang harus tersedia dalam makanan. Angka

kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita terlihat

pada Tabel 7.

Tabel 7 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita (per orang per hari)

Golongan Umur 0-6 bulan 7-11 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun

Berat Badan (kg) 6.0 8.5 12 18 Tinggi Badan (cm) 60 71 90 110 Energi (kkal) 550 650 1000 1550 Protein (g) 10 16 25 39 Vitamin A (RE, μg) 375 400 400 450 Tiamin (mg) 0.2 0.4 0.5 0.8 Riboflavin (mg) 0.3 0.4 0.5 0.6 Piridoksin (mg) 0.1 0.3 0.5 0.6 Niacin (mg) 2 4 6 8 Vitamin B12 (mg) 0.4 0.5 0.9 1.2 Asam Folat (mg) 65 80 150 200 Vitamin C (mg) 40 50 40 45 Kalsium (mg) 200 400 500 500 Fosfor (mg) 100 225 400 400 Besi (mg) 0.3 10 7 8 Seng (mg) 5.5 7.5 8.2 9.7 Iodium (μg) 90 120 90 120 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004

Biskuit

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit adalah sejenis

makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan

lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit diproses dengan

pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah

dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif

lama. Biskuit dapat dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening

serta rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi dan Faubion 1990).

Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI 01-

2973-1992 seperti yang terdapat pada tabel 8. Selain itu biskuit umumnya

berwarna cokelat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan kuran seragam,

kering, renyah dan ringan serta aroma yang menyenangkan (Matz dan Matz

1978).

Tabel 8 Syarat mutu biskuit

Komponen Syarat Mutu Air Maksimum 5% Protein Minimum 9% Lemak Minimum 9.5% Karbohidrat Minimum 70% Abu Maksimum 1.5% Logam Berbahaya Negatif Serat Kasar Maksimum 0.5% Kalori (per 100 gr) Minimum 400 Jenis Tepung Terigu Bau dan Rasa Normal, tidak tengik Warna Normal Sumber: Standar Nasional Indonesia 1992

Menurut Manley (1983), biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa

sifat, yaitu: (1) tekstur dan kekerasan; (2) perubahan bentuk akibat

pemanggangan; (3) ekstensibilitas adonan; dan (4) pembentukan produk. Biskuit

digolongkan juga menurut sifat adonannya, yaitu adonan pendek atau lunak,

adonan keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai

mengembang akibat shortening efek dari lemak dan efek pelunakan dari gula

atau kristal sukrosa. Pada adonan keras gluten mengembang sampai batas

tertentu dengan penambahan air. Pada adonan fermentasi gluten mengembang

penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut

yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang

setelah pencetakan dan pembakaran (Sunaryo 1985).

Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak 15%,

contohnya adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit jahe, biskuit buah, dan

biskuit kacang. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein,

pelarutan gula, garam, pengembang, dan dispersi lemak ke seluruh bagian

adonan. Mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%, contohnya

adalah biskuit marie dan rich tea. Pada adonan fermentasi produk akhir memiliki

kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25-30%, contohnya

adalah biskuit krekers (Sunaryo 1985).

Bahan baku utama untuk pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak

dan lemak, sedangkan bahan bahan pembantu yang digunakan adalah garam,

susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi. Bahan

pembentuk biskuit dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu bahan pengikat

dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi membentuk adonan yang

kompak. Sedangkan bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan

pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz 1978).

Menurut Veil et al., (1978) mutu biskuit tergantung pada komponen

pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi.

Penyimpangan mutu akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak

dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat (Tabel 9).

Tabel 9 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada pembuatan biskuit

Jenis Penyimpangan Penyebab

Keras Kurang lemak Kurang air

Warna pucat

Proporsi bahan kurang tepat Oven kurang panas

Bentuk tidak rata Pencampuran tidak rata Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata

Warna tidak rata Bentuk tidak rata Panas tidak rata

Hambar Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang

Keras dan poros Pencampuran tidak tepat

Keras dan kering Adonan terlalu keras dan kenyal Penanganan terlalu lama

Sumber: Vail et al. 1978

Bahan Baku Biskuit

Tepung

. Menurut Sultan (1983), tepung merupakan komponen

pembentuk struktur dalam pembuatan biskuit, juga memegang peran penting

dalam citarasa. Selainitu menurut Matz dan Matz (1978) tepung terigu juga

berfungsi untuk mengikat bahan lain dan mendistribusikannya secara merata.

Untuk membuat biskuit yang baik, maka tepung terigu yang paling sesuai adalah

tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak

terlalu banyak (Vail et al. 1978).

Lemak. Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit

karena berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur

produk yang renyah. Lemak juga perperan dalam pembentukan citarasa khas

biskuit. Lemak alami yang banyak digunakan dalam pembuatan biskuit antara

lain adalah lard, lemak sapi, butter, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Selain

pengunaan lemak alami, lemak yang telah dimodifikasi seperti hidrogenasi

minyak dan interesterifikasi lemak juga biasa digunakan sebagai pengemulsi

dalam pembuatan biskuit.(Matz dan Matz 1978).

Telur

. Fungsi telur dalam penyelenggaraan gizi kuliner adalah sebagai

pengental, perekat atau pengikat. Telur juga berfungsi sebagai pelembut atau

pengempuk dan pengembang suatu masakan, di samping sebagai penambah

aroma dan zat gizi (Tarwotjo 1998). Dalam pembuatan biskuit, fungsi utama

telur adalah sebagai pengemulsi untuk mempertahankan kestabilan adonan.

Selain itu, telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavor, warna, dan

kelembutan biskuit. (Matz dan Matz 1978). Menurut Winarno (1997), senyawa

yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin dan cephalin yang merupakan

lemak telur, khususnya fosfolipida.

Gula

. Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa

manis, pelunak gluten, membentuk flavor dan membentuk warna coklat pada

biskuit melalui reaksi pencoklatan non-enzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan

harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan menjadi lengket dan

menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras, dan rasanya akan terlalu manis.

Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa. Gula

yang digunakan biasanya berbentuk gula halus atau gula pasir (Matz dan Matz

1978).

Susu

. Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan

warna, pembentuk flavor, bahan pengisi dan pengikat air. Susu bubuk lebih

banyak digunakan karena leih mudah penanganannya dan mempunyai daya

simpan yang cukup lama. Susu dapat meningkatkan kandungan energi biskuit

karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz 1978)

Bahan Pengembang. Menurut Manley (1983), fungsi bahan pengembang

(leavening agent) adalah untuk mengembangkan produk yang pada prinsipnya

adalah menghasilkan gas karbondioksida. Bahan pengembang yang umumnya

digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan ammonium

bikarbonat (soda kue). Menurut Wheat Associates (1981) dalam Rieuwpassa

(2005) fungsi baking powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas

CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan

mengembang sempurna, menjaga penyusutan, dan untuk menyeragamkan

remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium

bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartrat, fosfat dan sulfat.

Menurut Manley (2000), penggunaan amonium bikarbonat (baking powder)

ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana rata-rata digunakan sebesar 0.47%

dan dengan rentang antara 0.04% sampai dengan 1.77%. Sedangkan Sodium

bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam 96% resep biskuit, dan rata-rata

digunakan antara 0.18% sampai dengan 1.92%.

Menurut Sunaryo (1985), pembuatan biskuit terdiri dari persiapan bahan,

pencampuran dan pengadukan, pembuatan lembar adonan, dan

pemanggangan. Proses pembuatan biskuit secara umum dikategorikan dalam

dua cara, yaitu metode krim dan metode all-in. Pada metode krim, gula dan

lemak dicampur sampai terbentuk krim homogen. Selanjutnya dilakukan

penambahan susu ke dalam krim dn pencampurannya dilakukan secara singkat.

Pada tahap akhir tepung dan sisa air kemudian dilakukan pengadukan sampai

terbentuk adonan yang cukup mengembang dan mudah dibentuk. Metode kedua

yaitu all-in, pada metode ini semua bahan dicampur secara bersamaan. Metode

ini lebih cepat namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras daripada

adonan pada metode krim (Whiteley 1971).

Proses Pembuatan Biskuit

Bahan baku biskuit yang digunakan dalam persiapan bahan harus bebas

dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga, dan tikus. Setelah bahan siap

dilakukan pencampuran dilanjutkan dengan pengadukan. Faktor-faktor yang

harus diperhatikan dalam pencampuran adalah jumlah adonan, lama

pencampuran, dan kecepatan pengadukan. Pengadukan yang berlebihan akan

merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas sehingga

merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit saat

pemanggangan. Sebaliknya jika waktu pengadukan kurang makaadonan akan

kurang menyerap air sehingga adonan kurang elastis (Sunaryo 1985).

Tahap yang dilakukan setelah adonan jadi adalah pembuatan lembaran

adonan dan pencetakan. Pembuatan lembaran adonan dilakukan dengan

menggunakan kayu penggiling (rolling pin). Hal ini bertujuan untuk mengubah

bentuk adonan hingga lebih mudah untuk dicetak dan seragam ketebalannya.

Pembuatan lembaran sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah proses

pencampuran adonan agar adonan dapat dibentuk menjadi lembaran pada saat

pengembangan yang optimal. Pelempengan berlangsung secara berulang-ulang

agar dihasilkan lembaran adonan yang halus dan kompak (Sunaryo 1985).

Menurut Sultan (1992), ukuran biskuit yang telah dicetak haruslah sama,

agar ketika dioven biskuit matang secara merata dan tidak hangus.Untuk

mencegah lengketnya biskuit pada loyang, biasanya pada loyang dileskan sedikit

lemak atau dilapisi dengan kertas roti.

Banyak faktor yang mempengaruhi pemanggangan biskuit, diantaranya

tipe oven yang digunakan, metode pemanasan, dan tipe bahan yang digunakan.

Pada proses pemanggangan kadar air adonan berkurang dari 20% menjadi lebih

kecil dari 5%. Pemanggangan biskuit dilakukan selama 2.5 sampai 30 menit.

Makin sedikit kandungan gula dan lemak dalam adonan, biskuit dapat dibakar

pada suhu yang lebih tinggi (Sunaryo 1985).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2009 sampai bulan

Agustus 2009 yang merupakan bagian dari penelitian Hibah Kemitraan ”Studi

Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk

Meningkatkan daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi”. Pembuatan tepung

ikan dilakukan di Laboratorium Pilot plant, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut

Pertanian Bogor, sedangkan pembuatan biskuit bertempat di Laboratorium

Pengolahan Pangan, dan untuk analisis kimia dan fisik tepung ikan dan biskuit

bertempat di Laboratorium Analisis Makanan. Keduanya berada dibawah

Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian

Bogor.

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah

ikan lele dumbo segar dan air. Ikan lele dumbo yang digunakan adalah lele

dumbo varietas sangkuriang. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam

pembuatan biskuit antara lain tepung ikan lele dumbo, tepung kepala ikan lele

dumbo, tepung terigu, isolat protein kedelai, gula bubuk atau gula halus, telur,

margarin, mentega, tepung susu, baking powder, dan soda kue. Selain bahan-

bahan untuk pembuatan tepung ikan dan biskuit, juga digunakan bahan-bahan

untuk analisis kimia. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia

diantaranya n-hexane, HCl, Selenium-mix, H2SO4 pekat, NaOH, asam borat, dan

indikator (merah metil dan metil biru).

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan adalah ember,

autoklaf, kain kasa, hidrolik press, drum dryer, dan mesin penggiling (willey mill).

Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain

timbangan, baskom, mixer, loyang, rolling pin, cetakan biskuit, dan oven. Alat-

alat yang digunakan dalam analisis adalah oven vakum, cawan alumunium,

cawan porselin, tanur, pengaduk magnetik, sentrifus, gelas ukur labu Kjedahl,

alat ekstraksi Soxhlet, inkubator, pH-meter, termometer, Texture Analyzer, dan

alat untuk pengujian organoleptik. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tahap penelitian

pendahuluan dan tahap penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan

dilakukan pembuatan tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele

dumbo sebagai bahan baku pembuatan biskuit. Lalu dilakukan uji sifat fisik dan

kimia tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo.

Penelitian utama dilakukan dengan mengaplikasikan tepung badan ikan

dan tepung kepala ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai dalam formula

biskuit. Biskuit dengan formula terpilih kemudian diuji sifat fisik dan kimianya.

Selain itu juga dilakukan uji organoleptik untuk melihat penerimaan biskuit oleh

anak balita.

Penelitian Pendahuluan Pada tahap pendahuluan, dilakukan pembuatan tepung badan ikan lele

dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo. Lele dumbo yang telah dibersihkan,

dibuang jeroannya, dikuliti, dan dipisahkan antara bagian kepala dengan

badannya. Pembuangan kulit dan jeroan dimaksudkan agar tepung yang

dihasilkan warnanya lebih cerah. Setelah itu badan ikan lele dan kepala ikan lele

masing-masing dimasak dengan tekanan tinggi (presto) dengan autoklaf pada

suhu 121oC selama 2 jam. Penggunaan autoklaf dimaksudkan untuk

menghancurkan tulang ikan lele sehingga dapat dikeringkan dan digiling

bersama daging ikan. Selain itu penggunaan autoklaf sangat penting dalam

pembuatan tepung kepala ikan agar kepala ikan menjadi lebih lunak.

Proses selanjutnya, badan ikan dan kepala ikan yang telah matang

masing-masing dibungkus dengan kain kasa dan dipress dengan hidrolik press.

Tujuan dari pengepressan adalah untuk menurunkan kandungan air dari ikan

sehingga memudahkan dalam proses pengeringan. Ikan yang telah agak kering

kemudian dikeringkan dengan drum dryer pada suhu 80oC dengan tekanan 3

bar. Lalu serpihan ikan yang telah kering digiling dengan willey mill sehingga

menghasilkan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo yang

merupakan bahan baku pembuatan biskuit. Dokumentasi pembuatan tepung ikan

dapat dilihat pada Lampiran 1

Diagram alir pembuatan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele

dumbo dapat dilihat pada Gambar 2. Tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

yang telah jadi dianalisis sifat fisik dan kimianya. Sifat fisik yang diujikan antara

lain densitas kamba tepung, aw tepung, dan derajat putih tepung. Sifat kimia yang

dianalisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar

karbohidrat tepung.

Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo

Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Dibersihkan dari jeroan dan kulitnya

Dipisahkan bagian badan dengan kepalanya

Badan ikan lele dumbo Kepala ikan lele dumbo

Dimasak dengan autoklaf dengan suhu 121oC selama 2 jam

Dimasak dengan autoklaf dengan suhu 121oC selama 2 jam

Badan ikan matang Kepala ikan matang

Dipress dengan pengepres hidrolik Dipress dengan pengepres hidrolik

Daging ikan agak kering Kepala ikan agak kering

Dikeringkan dengan drum dryer dengan suhu 80oC dan tekanan 3 bar

Dikeringkan dengan drum dryer dengan suhu 80oC dan tekanan 3 bar

Daging ikan kering Kepala ikan kering

Penghalusan dengan willey mill

Penghalusan dengan willey mill

Tepung badan ikan lele dumbo Tepung kepala ikan lele dumbo

Penelitian Utama Pada penelitian utama dilakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung

badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat protein kedelai terhadap tepung terigu

yang dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit.

Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat protein kedelai

yang digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4

(3.5:1.5:10). Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung

ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan.

Misalnya pada F2 jumlah tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat

protein kedelai yang digunakan masing-masing sebanyak 75, 25, dan 50 gram.

Demikian pula pada perbandingan F1, F3, dan F4. Sedangkan bahan lain

seperti tepung terigu, gula bubuk, telur, margarin, mentega, tepung susu, baking

powder, dan soda kue yang ditambahkan untuk setiap formula sama. Formula

biskuit dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Formula biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai

Komponen (g) Formulasi

F1 F2 F3 F4

Tepung badan ikan lele 50 75 25 35

Tepung kepala ikan lele 50 25 25 15

Isolat Protein Kedelai 50 50 100 100

Tepung terigu 250 250 250 250

Gula bubuk 180 180 180 180

Telur 180 180 180 180

Margarin 90 90 90 90

Mentega 90 90 90 90

Tepung susu 60 60 60 60

Total 1000 1000 1000 1000

Baking powder 8 8 8 8

Soda Kue 4 4 4 4

Proses pembuatan biskuit diawali dengan mencampur gula bubuk,

margarin, dan mentega, lalu diaduk dengan menggunakan mixer dengan

kecepatan tinggi sampai warnanya memucat. Kemudian ditambahkan telur dan

diaduk kembali sampai agak mengembang. Lalu tepung badan ikan, tepung

kepala ikan, isolat protein kedelai, tepung terigu, dan tepung susu dimasukkan ke

dalam adonan. Adonan diaduk dengan kecepatan rendah sampai kalis. Adonan

yang telah kalis dimasukkan ke dalam lemari es selama 15 menit, fungsinya agar

adonan lebih mudah dibentuk dan dicetak. Setelah itu, adonan dipipihkan setebal

0.5 cm, lalu dicetak. Pemanggangan dilakukan selama 20 menit dengan suhu

150oC sampai warna biskuit cokelat keemasan. Diagram alir pembuatan biskuit

dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir pembuatan biskuit balita dengan penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai

Margarin, mentega dan gula bubuk

Diaduk dengan mixer denan kecepatan tinggi 5 menit

Ditambahkan telur

Diaduk dengan kecepatan tinggi selama 10 menit

Adonan berwarna kuning pucat

Ditambahkan tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung terigu, gula bubuk, dan tepung susu

Diaduk dengan kecepatan rendah selama 5 menit sampai kalis

Adonan kalis

Didinginkan dalam lemari es selama 15 menit

Adonan dingin

Dipipihkan dengan rolling pin setebal 0.5 cm, lalu dicetak

Dipanggang dalam oven dengan suhu 150oC selama 20 menit

Biskuit balita dengan penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai

Biskuit yang dihasilkan dianalisis sifat fisik yang meliputi analisis daya ikat

air, aw, dan kekerasan biskuit. Selain sifat fisik, juga diuji sifat kimia yang meliputi

analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, cerna protein dan perhitungan

kandungan energi biskuit. Prosedur analisis sifat fisik dan kimia dapat dilihat

pada Lampiran 2.

Pemilihan formula dilakukan dengan uji hedonik terhadap 30 orang panelis semi-terlatih. Nilai yang diberikan berada pada rentang 1 sampai 5, dimana nilai 1 untuk penilaian sangat tidak suka dan 5 untuk penilaian sangat suka. Panelis dianggap menerima sampel bila nilai yang diberikan berkisar antara 3, 4 dan 5. Kuesioner uji organoleptik pada panelis semi-terlatih dapat dilihat pada Lampiran 3.

Setelah didapatkan formula terpilih, untuk mengetahui daya terima biskuit dilakukan uji organoleptik berupa uji kesukaan terhadap 30 anak balita gizi kurang yang berusia antara 2-5 tahun balita berasal dari Kecamatan Cikakak dan Kadu Dampit, Kabupaten Sukabumi. Penilaian dilakukan hanya untuk atribut keseluruhan dan nilai dikategorikan menjadi 3 yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Pengujian dilakukan pada biskuit dengan substitusi tepung percobaan dan biskuit komersial yang banyak dijual dipasaran sebagai pembanding. Kuesioner uji kesukaan pada balita dapat dilihat pada Lampiran 4.

Uji organoleptik juga dilakukan pada ibu balita terhadap formula terpilih. Uji ini dilakukan terhadap 30 ibu balita gizi kurang yang berasal dari Kecamatan Cikakak dan Kadu Dampit, Kabupaten Sukabumi. Penilaian dilakukan terhadap atribut warna, aroma, rasa dan tekstur biskuit. Nilai yang diberikan berada pada rentang 1 sampai 5, dimana nilai 1 untuk penilaian sangat tidak suka dan 5 untuk penilaian sangat suka. Kuesioner uji organoleptik pada panelis ibu balita dapat dilihat pada Lampiran 5.

Pengolahan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian utama adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu

substitusi tepung ikan lele dumbo dan substitusi isolat protein kedelai. Faktor

substitusi tepung ikan lele dumbo terdiri dari 2 taraf (substitusi tepung ikan

sebanyak 100 gram dan substitusi sebanyak 50 gram), faktor tepung isolat

protein kedelai juga terdiri dari dua taraf (penambahan 100 gram dan

penambahan 50 gram). Oleh karena itu, ada empat kombinasi perlakuan. Model

matematisnya (Sudjana 1995) adalah sebagai berikut :

Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + ε(ij)k

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k akibat taraf ke-i faktor

tepung ikan lele dumbo dan taraf ke-j faktor isolat protein kedelai

µ = Nilai tengah populasi

Ai = Pengaruh penambahan taraf ke-i dari faktor tepung ikan lele dumbo

Bj = Pengaruh penambahan taraf ke-j dari faktor isolat protein kedelai

ABij = Pengaruh interaksi taraf ke-i tepung ikan lele dumbo dan taraf ke-j isolat

protein kedelai

ε(ij)k = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh

perlakuan tepung ikan lele dumbo pada taraf ke-i dan isolat protein

kedelai pada taraf ke-j

i = Banyaknya taraf penambahan tepung ikan lele dumbo

j = Banyaknya taraf penambahan isolat protein kedelai

k = Banyaknya ulangan (k= 1)

Data sifat kimia dan sifat fisik ditabulasi dan dirata-ratakan menggunakan

Microsoft Excel, sedangkan data hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif

menggunakan skor modus masing-masing perlakuan. Untuk mengetahui

pengaruh perlakuan terhadap daya terima panelis semi terlatih dilakukan analisis

statistik non-parametrik Kruskal Wallis. Jika hasil uji berbeda nyata di antara

perlakuan, maka dilanjutkan dengan Multiple Comparison Test. Sedangkan untuk

mengetahui penerimaan balita terhadap biskuit ikan dibandingkan dengan biskuit

komersial dilakukan analisis menggunakan uji perbandingan Paired Sample T-

Test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tepung Ikan 1. Pembuatan Tepung Ikan

Persiapan utama dalam pembuatan biskuit pada penelitian ini adalah

pembuatan tepung ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo yang digunakan berasal

dari DeJee Fish yang merupakan salah satu tempat budidaya ikan lele dumbo di

daerah Cibaraja, Kabupaten Sukabumi. Ikan lele yang digunakan berumur 3-4

bulan dan mempunyai panjang 40-60 cm. Pembuatan tepung ikan lele dumbo

diawali dengan sortasi ikan. Ikan yang telah dimatikan dikuliti dan dibuang isi

perutnya. Lalu dipisahkan antara bagian badan ikan dan kepala ikan. Menurut

LIPI (1999), pada pembuatan tepung ikan sebagai pakan ternak seluruh bagian

ikan digunakan terutama limbah ikan. Tapi pada pembuatan tepung ikan yang

digunakan pada penelitian ini kulit dan isi perut ikan dibuang. Pembuangan kulit

bertujuan agar tepung ikan yang dihasilkan memiliki warna yang lebih cerah,

sedangkan pembuangan isi perut bertujuan untuk menghambat kerusakan ikan

sebelum ditangani. Hal ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan

bahwa dalam pembuatan filet ikan isi perut yang menjadi sumber enzim dan

bakteri harus disiangi agar tidak mencemari daging ikan.

Gambar 4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya

Proses selanjutnya dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah

pemasakan. Ikan dikukus dengan tekanan tinggi (presto) dengan menggunakan

autoklaf. Menurut Moeljanto (1982b), tujuan utama proses pemanasan adalah

untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh bakteri, jamur, maupun

enzim. Proses pemanasan menurut Mendez dan Abuin (2006), dapat

menghindarkan terbentuknya off-flavor pada produk ikan. Selain itu, proses

pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan

cukup sehingga pada pembuatan tepung ini digunakan suhu 121ºC selama 2

jam. Proses pemanasan dengan tekanan tinggi juga bertujuan untuk melunakkan

tulang ikan sehingga dapat meningkatkan rendemen tepung. Selain itu

diharapkan pula tulang ikan dapat memberikan sumbangan mineral pada tepung.

Proses pemasakan badan dan kepala ikan dilakukan secara terpisah agar

keempukan bahan yang dihasilkan seragam. Proses pemanasan menurut

Fennema (1996) juga memiliki efek yang menguntungkan, yaitu dalam hal

inaktifasi toksin dalam bentuk protein seperti toksin botulinum yang dihasilkan

oleh Clostridium botulinum dan enterotoksin yang dihasilkan oleh

Staphylococcus aureus. Fennema menambahkan bahwa proses pemanasan

dapat menyebabkan denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna

pangan. Pemanasan juga dapat menginaktifkan beberapa enzim yang terkait

dengan kerusakan pangan seperti protease, lipase serta enzim yang bersifat

oksidatif dan hidrolisis.

Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada

ikan. Menurut Moeljanto (1982b), kadar air pada daging ikan hal yang

menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses

pembusukan dapat terhambat. Oleh karena itu, setelah dimasak daging dan

kepala ikan yang telah matang dipres untuk mengeluarkan sebagian besar air

dan sebagian minyak. Selain itu Moeljanto juga menyatakan bahwa bila proses

pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses pembusukannya akan

berhenti, sehingga setelah pengepresan dilakukan pengeringan lebih lanjut

dengan menggunakan drum dryer.

Menurut Juming et al (2003) di dalam Fernando (2008), penggunaan

drum dryer memiliki beberapa keuntungan, antara lain produk yang dihasilkan

memiliki porositas dan rehidrasi yang baik, alat yang digunakan bersih dan

higienis karena suhu alat yang tinggi dapat menginaktifkan mikroorganisme, dan

mudah dioperasikan. Menurut Brennan (1974), alat pengering drum memiliki

kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis.

Selain itu Bluestein dan Labuza (1988) mengatakan bahwa drum dryer

merupakan salah satu metode pengeringan yang relatif murah. Penggunaan

pengering drum pada penelitian ini juga didasarkan pada bentuk bahan. Ikan

setelah dipres akan berbentuk pure agak kering yang dapat ditaburkan dari atas

drum.

Pada pembuatan tepung ikan, drum dryer yang digunakan bersuhu 80oC

dengan tekanan 3 bar. Pengeringan dengan pemanas drum menghasilkan

serpihan ikan kering yang sangat tipis yang kemudian dihaluskan menggunakan

willey mill. Tepung yang dihasilkan setelah penggilingan berukuran sekitar 60

mesh. Tepung daging atau tubuh ikan berwarna cokelat muda, sedangkan

tepung kepala berwarna agak gelap (Gambar 5) karena pada proses pembuatan

tepung kepala, lapisan kulit yang berwarna hitam pada kepala ikan lele tidak

dibuang. Selain itu, warna tepung kepala yang lebih gelap daripada tepung

badan ikan diduga karena reaksi pencoklatan yang terjadi pada tepung kepala

ikan lebih tinggi. Pada proses pengeringan, suhu dan waktu yang digunakan

pada tepung badan dan kepala sama, sedangkan pada kepala ikan kandungan

airnya lebih sedikit daripada badan ikan sehingga kecepatan mengeringnya

berbeda.

A B

Gambar 5 Tepung badan (A) dan kepala (B) ikan lele dumbo

2. Sifat Fisik Tepung Ikan Selain analisis sifat kimia, dilakukan pula analisis sifat fisik tepung.

Analisis sifat fisik tepung yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kadar aw,

densitas kamba tepung dan derajat putih tepung. Data analisis sifat fisik tepung

ikan dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 8.

a. aw Menurut Bluestein dan Labuza (1988), air terdistribusi dalam bahan

pangan walaupun pangan telah dikeringkan. Kandungan air dalam bahan

pangan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroorganisme

yang dinyatakan dengan aw. Menurut Winarno (1997), aw adalah jumlah air bebas

yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai

mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh. Hasil pengukuran

aw tepung badan dan kepala ikan lele dumbo disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat aw tepung badan (0.71) ikan lebih besar daripada tepung kepala ikan (0.66). Menurut Bluestein dan Labuza (1988), mikroorganisme yang mungkin tumbuh kisaran aw tersebut adalah kapang.

b. Densitas Kamba Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan

volume bahan itu sendiri dengan satuan g/ml. Semakin tinggi densitas kamba

menunjukkan produk semakin ringkas atau padat. Nilai densitas juga

menunjukkan porositas bahan. Bahan yang lebih ringkas memiliki porositas yang

lebih sedikit karena lebih sedikit rongga antar partikel. Banyaknya rongga antar

partikel dan besarnya ukuran partikel akan menyebabkan banyak ruang kosong

tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah

partikel yang menempati suatu volume ruang lebih sedikit (Khalil 1999).

Gambar 7 Densitas kamba tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Berdasarkan hasil pengukuran (gambar 7), diketahui bahwa densitas

kamba tepung badan ikan (0.3710) lebih kecil daripada tepung kepala ikan

(0.4537). Densitas kamba menunjukan kepadatan partikel yang menempati

ruang pada volume tertentu. Nilai densitas kamba yang lebih rendah

menunjukkan pada volume yang sama jumlah partikel yang menempati ruang

pada volum tersebut adalah lebih ringan daripada tepung dengan densitas yang

lebih tinggi. Berarti dalam berat yang sama, volume tepung badan ikan dengan

densitas kamba lebih rendah adalah lebih besar daripada volume tepung kepala

ikan dengan densitas kamba yang lebih tinggi.

Wirakartakusumah et al (1999) menyatakan bahwa densitas kamba

makanan pada umumnya adalah antara 0.3-0.8 g/ml. Berdasarkan rentang

tersebut, densitas kamba tepung ikan, baik tepung kepala maupun tepung badan

berada dalam kisaran densitas kamba pangan secara umum.

c. Derajat Putih Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang erat

kaitanya dengan mutu penerimaan konsumen. Bahan pangan yang memiliki

warna cerah umumnya lebih disukai oleh konsumen. Tepung ikan lele dumbo

diukur derajat putihnya untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh

penambahan tepung ikan terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Menurut

Faridah et al. (2008), prinsip pengukuan Whiteness Meter adalah melalui

pengukuran indeks refleksi dari permukaan contoh dengan sensor foto dioda.

Semakin putih contoh, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak dan

semakin tinggi derajat putih contoh. Berdasarkan pengukuran dengan Whiteness

Meter, derajat putih tepung dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo

Jenis Tepung Derajat Putih (%)

Tepung badan ikan lele 30.9575

Tepung kepala ikan lele 28.9975

Tepung Terigu* 74.7*

Keterangan: *Antarlina (1998)

Hasil diatas menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan memiliki

derajat putih jauh dibawah tepung terigu. Derajat putih tepung kepala ikan lele

memiliki nilai yang lebih rendah daripada tepung badan ikan lele. Hal ini

menunjukkan tepung kepala ikan lele memiliki warna yang lebih gelap

dibandingkan tepung badan ikan lele. Penambahan tepung badan dan tepung

kepala ikan lele pada produk biskuit akan menyebabkan warna biskuit menjadi

lebih gelap.

3. Sifat kimia tepung ikan Tepung ikan yang digunakan pada pembuatan biskuit dibedakan menjadi

2 bagian yaitu tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo.

Sifat kimia yang dianalisis dari tepung ikan yaitu kadar air, kadar abu, kadar

protein, kadar karbohidrat, dan kadar lemak tepung. Data analisis sifat kimia

tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 9 sampai 13.

a. Kadar Air Gambar 8 menunjukkan hasil analisis kadar air tepung. Kadar air tepung

badan ikan sebesar 7.99% bb dan kadar air tepung kepala ikan sebesar 8.72%

bb. Kadar air ini menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan adalah tepung

ikan berkualitas tinggi. Hal ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan

bahwa tepung ikan yang berkualitas tinggi memiliki kandungan air antara 6%

sampai dengan 10%. Kadar air tepung yang dihasilkan juga sesuai dengan

Moeljanto (1982a) yang menyatakan jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar

air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis.

Apabila kadar air tepung terlalu rendah, maka akan terjadi keseimbangan

dengan kelembaban tempat penyimpanan.

Gambar 8 Kadar air tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

4.83

14.1

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Kadar Abu

%

Tepung badan ikan

Tepung kepala ikan

b. Kadar Abu Menurut Winarno (1997), abu merupakan unsur mineral atau zat

anorganik yang terkandung dalam bahan pangan. Abu juga merupakan zat

dalam bahan pangan selain air dan bahan organik. Gambar 9 merupakan grafik

hasil analisis kadar abu tepung ikan.

Gambar 9 Kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Berdasarkan hasil uji kadar abu berbasis kering didapat kadar abu tepung

badan ikan adalah sebesar 4.83% bk sedangkan kadar abu tepung kepala ikan

adalah 14.1% bk. Kadar abu tepung kepala ikan lebih tinggi daripada kadar abu

tepung badan ikan. Hal ini dikarenakan kepala ikan lebih banyak mengandung

tulang sehingga sesuai dengan Moeljono (1982) yang menyatakan bahwa

sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang

ikan. Pada tepung badan ikan, tulang hanya berasal dari tulang tengah ikan saja

sehingga kandungan abu pada tepung badan adalah lebih rendah.

c. Kadar Protein

Hasil analisis kadar protein tepung menunjukkan bahwa kadar protein

tepung badan ikan sebesar 63.83% bk lebih besar daripada kadar protein tepung

kepala ikan sebesar 56.04% bk (Gambar 10). Perbedaan ini dikarenakan badan

ikan mengandung lebih banyak daging ikan. Daging ikan sebagian besar

tersusun atas protein miofibrilar yang digunakan untuk pergerakan ikan. Menurut

Mendez dan Albuin (2006), protein miofibrilar menyusun 60-75% total protein

dalam otot yang merupakan kombinasi dari protein kontraktil (aktin dan myosin),

protein pengatur (troponin dan tropomiosin), serta beberapa protein dalam

jumlah minor. Daging ikan juga mengandung sekitar 3% protein jaringan ikat

yang membentuk tekstur daging.

Gambar 10 Kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Pada bagian kepala ikan yang digunakan dalam pembuatan tepung,

daging dalam jumlah kecil yang menempel pada kepala tidak dipisahkan. Hal ini

menyebabkan kandungan protein pada tepung kepala ikan masih cukup tinggi.

Pembersihan daging dari kepala ikan tidak dilakukan karena membutuhkan

waktu yang cukup lama sehingga dikhawatirkan akan menurunkan mutu ikan.

d. Kadar Lemak Pada pembuatan tepung ikan, kandungan lemak direduksi pada saat

pengepresan menggunakan hidrolik press. Berdasarkan hasil analisis lemak

pada tepung badan ikan lele adalah sebesar 10.83% bk dan pada tepung kepala

ikan lele adalah sebesar 9.93% bk (Gambar 11). Hasil ini sesuai dengan LIPI

(1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan bermutu baik memiliki kadar lemak

antara 5-12%.

Gambar 11 Kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Hasil analisis kadar lemak menunjukkan tepung badan ikan memiliki

kandungan lemak yang lebih tinggi daripada tepung kepala ikan. Hal ini

disebabkan badan ikan mengandung lebih banyak daging dibandingkan bagian

kepala ikan, dimana Mendez dan Albuin (2006), menjelaskan bahwa kandungan

asam lemak tak jenuh pada daging ikan cukup tinggi sehingga tepung ikan yang

dihasilkan dari daging ikan akan menunjukkan kadar lemak yang lebih tinggi dari

tepung yang dibuat dari kepala dan tulang ikan.

e. Kadar Karbohidrat Menurut Adawyah (2007), kandungan karbohidrat dalam daging ikan

berupa polisakarida, yaitu yang terdapat di dalam sarkoplasma diantara miofibril-

miofibril. Kadar karbohidrat tepung ikan cukup tinggi dibandingkan pada ikan

segar. Hal ini dikarenakan terjadi pengurangan sejumlah besar air dan lemak

pada proses pengepresan ikan sehingga kadar karbohidrat meningkat.

Gambar 12 Hasil analisis kadar karbohidrat tepung badan ikan

dan tepung kepala ikan

Kadar karbohidrat tepung ikan pada penelitian ini ditentukan dengan

metode by difference yang merupakan penghitungan kadar karbohidrat secara

kasar. Menurut LIPI (1999), tepung ikan (campuran antara kepala dan badan)

kualitas baik memiliki kandungan air minimal 6%, lemak minimal 5%, protein

minimal 60%, dan abu minimal 10%. Bila dihitung menggunakan metode by

difference nilai karbohidrat tepung ikan berkualitas baik menurut LIPI maksimal

sebesar 19%. Dari Gambar 12, diketahui kadar karbohidrat pada tepung badan

ikan sebesar 20.51% bk dan pada tepung kepala ikan sebesar 16.47% bk atau

setelah dirata-ratakan antara tepung badan ikan dan kepala ikan adalah sebesar

18.49%. Karena nilai kadar karbohidrat masih berada dibawah 19%, maka

tepung ikan yang dihasilkan memenuhi syarat LIPI (1999).

Biskuit Balita dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat Protein Kedelai

Biskuit dalam penelitian ini ditujukan untuk anak balita dengan usia antara

1 sampai 5 tahun. Menurut Khomsan (2004), bayi sampai anak usia 5 tahun

yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan

terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Selain itu menurut Winarno (1997),

usia dua tahun merupakan usia yang sangat rawan karena masa ini merupakan

masa peralihan dari ASI (air susu ibu) ke PASI (pengganti air susu ibu) atau ke

makanan sapihan. Makanan sapihan pada umumnya mengandung karbohidrat

dalam jumlah besar tetapi sangat sedikit kandungan protein atau sangat rendah

mutu proteinnya. Padahal pada usia tersebut protein sangat diperlukan bagi

pertumbuhan anak.

1. Formulasi Biskuit

Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu

protein rendah, gula bubuk, tepung susu, telur, mentega, margarin, baking

powder dan soda kue. Formulasi awal didasarkan pada hasil penelitian Wiyati

(2004) dalam pembuatan biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan

teri (Stolephorus sp.) pada biskuit untuk anak balita yang dapat dilihat pada

Tabel 12.

Tabel 12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan

Komposisi Gram

Konsentrat protein ikan 200

Tepung terigu 350

Gula bubuk 200

Tepung susu 90

Telur 40

Margarin 120

Baking powder 1

Sumber: Wiyati 2004

Formula pada Tabel 12 setelah diujikan dengan mengganti konsentrat

protein ikan dengan menggunakan tepung ikan lele dumbo didapatkan hasil yang

berbeda karakteristiknya sehingga tidak sesuai untuk anak balita. Dengan

menggunakan formula diatas, biskuit dengan tepung ikan lele dumbo lebih keras

dan basah. Oleh karena itu, dilakukan formulasi lebih lanjut.

Formulasi lebih lanjut dilakukan dengan menambahkan jumlah lemak dan

telur di dalam adonan. Menurut Matz dan Matz (1978), lemak pada pembuatan

biskuit berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur

produk yang renyah. Lemak yang ditambahkan dalam formula adalah mentega.

Tujuan penggunaan mentega ini adalah untuk memberikan aroma khas biskuit

yang lebih kuat. Penambahan jumlah telur ditujukan untuk melembutkan biscuit,

sehingga diperoleh biskuit yang renyah dan lembut.

Seiring dengan penambahan lemak dan telur ada komponen-komponen

dalam formula yang dikurangi, yaitu gula, susu dan tepung terigu. Kemudian,

konsentrat protein ikan pada penelitian Wiyati (2004), diganti dengan tepung ikan

lele dumbo dan isolat protein kedelai. Penggunaan isolat protein kedelai, selain

untuk memperbaiki tekstur yang kasar akibat penambahan tepung ikan juga

untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit yang dihasilkan.

Sumber protein yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung

ikan lele dumbo (kombinasi antara tepung badan dan tepung kepala ikan lele

dumbo), isolat protein kedelai, dan susu. Tepung ikan dan isolat protein kedelai

digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada adonan, sehingga

kandungan protein biskuit meningkat sesuai yang diharapkan, sedangkan susu

merupakan variabel tetap yang tidak diubah dalam formula.

Selain berdasarkan pada karakteristik fisik biskuit, formula juga

didasarkan pada kebutuhan energi dan protein balita. Kecukupan energi dan

protein untuk anak balita menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004),

umur 1 sampai 3 tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram

protein per hari. Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi

dan protein meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi

1550 kkal energi per hari dan 39 gram protein per hari. Biskuit diharapkan dapat

menjadi pangan potensial sumber protein untuk anak balita. Selain itu biskuit

diharapkan juga memenuhi syarat formula makanan tambahan yang telah

ditetapkan FAO, kriteria biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), dan

dapat diterima oleh anak balita. BPOM (2004), menyatakan bahwa makanan

dapat dikatakan sebagai sumber protein yang sangat baik bila mengandung

sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per saji. Jadi untuk

memenuhi kriteria tersebut, biskuit yang dihasilkan minimal mengandung 5 gram

protein per sajian. Selain berdasarkan aspek gizi diatas, WHO menganjurkan

kriteria makanan tambahan dimana per 100 gram makanan tambahan harus

mengandung minimal 400 kkal energi dan 15 gram protein.

Setelah dilakukan langkah-langkah trial and error ditetapkan empat

formula biskuit. Formula tersebut merupakan hasil pengembangan formula dasar

yang telah dilakukan sebelumnya. Faktor perlakuan yang digunakan pada

rancangan formula adalah perbedaan jumlah substitusi tepung badan ikan,

tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai. Banyaknya tepung ikan dan isolat

protein kedelai yang digunakan adalah sebesar 15% dari jumlah adonan atau

maksimal menggantikan 37.5% dari jumlah tepung terigu. Jumlah ini merupakan

jumlah dari penambahan ketiga tepung diatas dimana setiap jenis tepung yang

ditambahkan maksimal 10% dari jumlah adonan. Penambahan tepung kepala

ikan diatas 5% menyebabkan tekstur biskuit keras dan warna biskuit menjadi

gelap, karena menurut Manley (1998) semakin tinggi kadar abu pada tepung

maka warna tepung akan semakin gelap dan produk yang dihasilkan akan

semakin gelap pula. Penambahan tepung badan ikan diatas 10% akan membuat

tekstur biskuit menjadi kasar sehingga sulit dilumat oleh anak-anak. Hal ini

dikarenakan perbedaan ukuran partikel antara tepung terigu (100 mesh) dan

tepung ikan (60 mesh). Tepung ikan yang memiliki partikel lebih besar daripada

tepung terigu memiliki densitas kamba yang lebih kecil daripada tepung terigu

sehingga memberikan banyak ruang dalam biskuit yang dihasilkan sehingga

biskuit bersifat poros dan akan terasa kasar. Penambahan isolat protein kedelai

diatas 10% akan menyebabkan adonan menjadi lengket dan sulit dicetak.

Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala, dan isolat protein kedelai yang

digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4 (3.5:1.5:10).

Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung badan ikan,

tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan.

Komposisi zat gizi bahan yang digunakan diperoleh dari hasil analisis dan

dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004). Bahan yang dianalisis adalah

bahan–bahan sumber protein yang memberikan kontribusi besar terhadap

kandungan protein biskuit antara lain tepung badan ikan lele, tepung kepala ikan

lele, isolat protein kedelai dan tepung susu. Bahan lain seperti tepung terigu,

gula, margarin, mentega, dan telur diperoleh dari DKBM. Perhitungan zat gizi

biskuit tiap formula dapat dlihat pada Lampiran 19 sampai 22.

Biskuit yang dibuat pada penelitian ini adalah jenis short dough dimana

menurut Manley (1998) short dough biscuits dicirikan oleh pembentukan adonan

yang tidak elastis. Pembentukan gluten pada pembuatan adonan diminimalkan

sehingga menghasilkan adonan kalis.

Tahapan pertama dalam pembuatan biskuit adalah proses mixing atau

pencampuran dan pengadukan bahan. Proses mixing dibagi menjadi dua tahap,

yaitu tahap pembentukan krim dan pencampuran bahan kering. Pada tahap

pembentukan krim, gula, lemak (margarin dan mentega), dan telur diaduk

dengan kecepatan yang cukup tinggi selama beberapa menit sehingga

membentuk krim yang mengembang dan berwarna pucat. Selanjutnya bahan-

bahan kering seperti tepung terigu, tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung

susu, baking powder dan soda kue dimasukkan ke dalam adonan krim lalu

diaduk kembali sebentar sampai terbentuk dispersi krim yang seragam pada

tepung. Pengadukan yang terlalu lama menurut Manley (1998) dapat

memungkinkan pembentukan matriks gluten. Oleh karena itu untuk

menghasilkan biskuit yang berkualitas, setelah dimasukkan tepung terigu

pengadukan dilakukan seminimal mungkin. Matz dan matz (1978) juga

menyatakan bahwa pengadukan dua tahap yang didahului oleh pembentukan

krim baik digunakan pada pembuatan biskuit yang dicetak karena menghasilkan

adonan yang bersifat membatasi pengembangan matriks gluten yang berlebihan.

Setelah itu, adonan diistirahatkan didalam lemari es selama 15 menit. Tujuan

dari penyimpanan ini adalah untuk mengeringkan adonan agar lebih mudah

dicetak. Menurut Manley (1998), tahap pencampuran yang dilakukan dalam

waktu singkat akan menyebabkan adonan lembut dan agak lengket sehingga

sulit dicetak, oleh sebab itu diperlukan tahap pengistirahatan agar air dalam

adonan menguap ke atmosfer sehingga adonan menjadi tidak terlalu lengket.

Proses berikutnya adalah proses pemipihan dan pencetakan. Adonan

digiling menggunakan rolling pin menjadi lembaran dan memiliki ketebalan yang

seragam yaitu 0.5 cm. Setelah berbentuk lembaran, adonan dicetak. Menurut

Manley (1998) prinsip pencetakan adalah adonan mendapat tekanan dari alat

pencetak. Cetakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetakan

berbentuk lingkaran dengan diameter 5 cm.

Tahap selanjutnya adalah pemanggangan. Pemanggangan dilakukan

menggunakan oven. Pada penelitian ini pemanggangan dilakukan selama 20

menit dengan suhu awal 1400C dan suhu akhir 1600. Menurut Matz (1992), suhu

dan waktu pemanggangan di dalam oven tergantung pada jenis oven dan jenis

produk. Menurut Manley (1998), pemanggangan menyebabkan perubahan

terhadap tekstur menjadi yang diinginkan, membentukan warna permukaan dan

pengurangan kadar air. Ukuran biskuit setelah pemanggangan berubah dimana

terjadi pengembangan selama pemanggangan. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi pengembangan antara lain ukuran partikel tepung, ukuran

partikel gula, pengadukan adonan, dan penggunaan pelumas pada loyang.

Ketika pemanggangan selesai, biskuit segera didinginkan untuk menurunkan

suhu dan mengeraskan produk akibat memadatnya gula dan lemak (Matz dan

Matz, 1978).

2. Sifat Organoleptik Biskuit

Pengujian sifat organoleptik digunakan untuk memilih formula terbaik,

melihat daya terima serta kesukaan panelis. Sifat organoleptik biskuit diuji

sebanyak 2 kali yaitu dengan panelis semi terlatih dan panelis balita.

a. Uji pada Panelis Semi-Terlatih Data pada Tabel 13 memperlihatkan hasil penerimaan panelis semi-

terlatih pada uji organoleptik. Atribut (warna, aroma, tekstur dan rasa) formula F4

merupakan formula yang paling dapat diterima oleh panelis. Uji keragaman

Kruskal Wallis menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05)

antar formula untuk atribut aroma, tetapi untuk atribut warna, tekstur dan rasa

terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05).

Tabel 13 Jumlah panelis yang dapat menerima biskuit

Atribut Uji

Formula

F1 F2 F3 F4

Σ Presentase Σ Presentase Σ Presentase Σ Presentase

Warna 23 76.67 18 60.00 26 86.67 30 100.00

Aroma 25 83.33 25 83.33 28 93.33 29 96.67

Tekstur 15 50.00 26 86.67 24 80.00 30 100.00

Rasa 19 63.33 23 76.67 25 83.33 30 100.00

Keseluruhan 24 80.00 25 83.33 27 90.00 30 100.00

Keterangan: F1 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 5 : 5 : 5 F2 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 7.5 : 2.5 : 5 F3 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 2.5 : 2.5 : 10 F4 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 3.5 : 1.5 : 10

Warna memegang peranan penting dalam menentukan penerimaan

konsumen karena merupakan kesan pertama yang diperoleh oleh konsumen.

Menurut Meilgaard et al. (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan

produk yang sering menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk

secara keseluruhan. Warna biskuit dipengaruhi oleh bahan-bahan dalam

pembuatan biskuit. Pada umumnya warna biskuit berkisar antara warna coklat

muda sampai coklat. Warna biskuit pada penelitian ini dipengaruhi oleh

penambahan tepung ikan. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling

rendah untuk atribut warna adalah formula F2. Menurut uji lanjut Tukey, formula

F2 untuk atribut warna tidak berbeda nyata dengan formula F1 pada selang

kepercayaan 95%. Hal ini diduga karena pada formula F2 dan formula F1 tepung

ikan yang digunakan lebih banyak daripada formula F3 dan F4 yaitu 10% dari

jumlah adonan sedangkan pada formula F3 dan F4 tepung ikan yang digunakan

adalah 5%. Berdasarkan pengukuran derajat keputihan tepung, tepung ikan

mempunyai nilai derajat keputihan yang lebih rendah daripada terigu, berarti

semakin banyak penambahan tepung ikan semakin gelap biskuit yang

dihasilkan.

Menurut Winarno (1997), aroma atau bau yang menguap merupakan

atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam

hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls lisrik. Aroma juga ikut

menentukan penerimaan sebuah produk. Aroma biskuit dipengaruhi oleh bahan-

bahan penyusunnya. Data pada Tabel 13 menunjukan penerimaan aroma biskuit

untuk semua formula berada diatas 80%, yang berarti mayoritas panelis dapat

menerima aroma biskuit. Uji keragaman Kruskal Wallis menunjukan tidak ada

perbedaan yang nyata antar formula untuk atribut aroma pada selang

kepercayaan 95%. Formula yang mendapat nilai tertinggi untuk atribut aroma

adalah formula F4 dimana 96.67% panelis menerima aroma biskuit.

Atribut tekstur merupakan salah satu atribut yang paling penting dalam

penerimaan biskuit. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling

rendah untuk atribut tekstur adalah formula F1. Berdasarkan uji lanjut Tukey

diketahui bahwa formula F1 memiliki perbedaan yang nyata dengan formula F2,

F3 dan F4 dengan selang kepercayaan 95%. Formula F1 merupakan formula

yang paling banyak menggunakan tepung kepala ikan lele yaitu 5%. Hal ini

mengindikasikan adanya kecenderungan seiring penambahan jumlah tepung

kepala ikan lele tekstur biskuit menjadi kurang baik. Selain itu, jumlah isolat

protein kedelai yang ditambahkan pada formula F1 lebih sedikit dibandingkan

dengan formula F3 dan F4. Menurut Koswara (1995), isolat protein kedelai dalam

bahan pangan dapat berperan sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur

produk. Adapun menurut Manley (1998), kedelai mempunyai lesitin sehingga

penambahan isolat protein kedelai dalam produk bakery berperan sebagai

emulsifier dan dapat memperbaiki tekstur produk.

Rasa makanan merupakan atribut penilaian makanan yang melibatkan

panca indra lidah. Rasa makanan dapat dikenali dibedakan oleh kuncup cecap

yang terletak pada papilla. Pada biskuit rasa yang dominan adalah rasa manis.

Berdasarkan hasil uji organoleptik formula F1 mempunyai penerimaan atribut

rasa yang paling rendah, yaitu sebesar 63.33%, diikuit oleh formula F2 sebesar

76.67%, dan formula F3 sebesar 83.33%. Formula F4 merupakan formula yang

dapat diterima oleh seluruh panelis. Seluruh panelis memberikan penilaian 3 dan

atau di atas 3 pada rasa formula F4. Menurut hasil uji keragaman Kruskal Wallis,

terdapat perbedaan nyata antar formula untuk atribut rasa dengan selang

kepercayaan 95%. Uji lanjut Tukay menunjukkan bahwa formula F1 berbeda

nyata dengan formula F2 dan F3 dan berbeda nyata dengan formula F4 dengan

selang kepercayaan 95%.

Berdasarkan penjabaran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa formula

F4 merupakan formula yang paling baik penerimaannya dalam semua atribut

yang diujikan. Oleh karena itu formula F4 merupakan formula terpilih yang akan

dianalisis lebih lanjut. Gambar 14 berikut merupakan gambar biskuit formula F4.

Gambar 13 Biskuit formula terpilih (F4)

b. Uji pada Panelis Anak Balita Setelah diperoleh formula terpilih, dilakukan uji kesukaan terhadap anak

balita. Menurut Winarno (1987) dalam Muchtadi (1994), salah satu kriteria yang

dapat digunakan untuk menguji apakah suatu formula makanan tambahan untuk

anak kecil dapat diterima atau tidak adalah kriteria penerimaan anak. Kriteria

penerimaan anak terdiri dari: (1) Jumlah presentase anak yang menolak

makanan tambahan harus kurang dari 25% dan (2) anak-anak harus mampu

mengkonsumsi makanan tambahan tersebut. Untuk memudahkan penilaian,

penilaian dilakukan hanya untuk atribut keseluruhan dan nilai hanya

dikategorikan menjadi 3 yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Pengujian dilakukan 2

kali yaitu biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai dan

biskuit komersil yang banyak dijual dipasaran sebagai kontrol. Pengujian

dilakukan dengan memperlihatkan gambar wajah kepada anak dan setelah anak

mencicipi anak diminta untuk memberikan penilaian sesuai gambar sambil

diilustrasikan. Lembar pengujian dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 14 Rekapitulasi kesukaan biskuit

Jenis Biskuit

Biskuit Ikan +

Isolat Protein Kedelai Biskuit komersial

n % n %

Suka 26 86.66 26 86.66

Biasa 2 6.66 1 3.33

Tidak Suka 2 6.66 3 6.66

Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa jumlah anak yang menyukai

biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai sama dengan

jumlah anak yang menyukai biskuit komersial, yaitu sebesar 86.66%. Setelah

dianalisis menggunakan statistik Paired Samples T-Test tingkat kesukaan anak

terhadap biskuit percobaan tidak berbeda nyata dengan biskuit komersial pada

taraf signifikansi 5%. Selain itu berdasarkan presentase anak yang menyukai

biskuit percobaan (86.66%), maka biskuit percobaan dapat dikatakan sebagai

makanan tambahan yang dapat diterima oleh anak.

c. Uji pada Panelis Ibu Balita

Uji organoleptik juga dilakukan pada ibu balita terhadap biskuit formula

F4. Menurut Winarno (1987) di dalam Muchtadi (2002), makanan tambahan anak

kecil dapat dilihat penerimaannya berdasarkan kriteria ibu. Salah satu Kriteria

menyebutkan bahwa makanan tambahan anak kecil dapat diterima apabila ibu

menyenangi rasa makanan tambahan tersebut. Tabel 15 merupakan presentasi

jumlah ibu balita yang menyukai biskuit substitusi (memberikan nilai 4 dan 5).

Penilaian diberikan pada 4 aspek yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur biskuit.

Tabel 15 Presentasi ibu balita yang menyukai biskuit

Warna Aroma Rasa Tekstur

∑ % ∑ % ∑ % ∑ %

% Kesukaan 26 86.67 22 73.33 21 70 23 76.67

Berdasarkan uji dapat dilihat bahwa ibu balita menyukai seluruh atribut

biskuit yang diujikan. Hal ini dapat dilihat dari ibu balita yang memberikan

penilaian menyukai biskuit substitusi untuk semua atribut berada di kisaran 70-

86.67% dari 30 orang ibu yang menjadi responden. Sehingga berdasarkan

kriteria ibu, biskuit substitusi yang dihasilkan dapat diterima sebagai makanan

tambahan anak.

3. Sifat Fisik Biskuit Biskuit formula terpilih dianalisis sifat fisiknya yang meliputi analsis

rendemen, daya serap air, dan tekstur biskuit. Data hasil analisis fisik biskuit

dapat dilihat pada Lampiran 31 sampai 33.

a. Penetapan Rendemen Biskuit Penetapan rendemen dilakukan dengan membandingkan berat produk

yang diperoleh dengan adonan awal. Berdasarkan perhitungan, nilai rendemen

biskuit adalah sebesar 84.29 % dari berat bahan awal. Pengurangan berat ini

disebabkan oleh bahan tepung-tepungan yang terbang ketika diaduk dengan

menggunakan mixer, adonan yang menempel pada alat pengaduk dan

penguapan air yang terjadi pada proses pemanggangan, sehingga berat akhir

yang didapat pada pembuatan biskuit lebih kecil daripada berat bahan yang

digunakan. Berat satu buah biskuit kurang lebih 12.5 gram dengan diameter 5

cm.

b. Daya Serap Air Fennema (1996) menyatakan bahwa daya serap air adalah istilah untuk

mendeskripsikan kemampuan dari molekul matriks untuk secara fisik menjebak

air dalam jumlah besar tetapi tidak sampai menetes. Menurut Zayas (1997), daya

serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang

ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses yang

dilakukan terhadap pangan tersebut. Zayas menambahkan protein

mempengaruhi daya serap air. Interaksi antara protein dan air terjadi pada gugus

asam amino polar seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfhidril.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap mekanisme interaksi protein air adalah

bentuk protein yang tidak melipat atau berbentuk serabut akan mengikat air lebih

banyak daripada bentuk protein globular. Tetapi Hutton dan Campbel (1981)

menyatakan karbohidrat juga mempengaruhi daya serap air pangan. Molekul

karbohidrat memiliki kemampuan menyerap air enam hingga tujuh kali lebih

besar daripada protein.

Berdasarkan penjelasan diatas maka penyerapan air biskuit akan

menurun dengan semakin meningkatnya kandungan protein biskuit. Dengan kata

lain, semakin banyak tepung ikan dan isolat protein kedelai yang mensubstitusi

tepung terigu dalam pembuatan biskuit, semakin berkurang kadar karbohidrat

biskuit, maka semakin kecil daya serap air biskuit. Inayati (1991), menyatakan

bahwa penyerapan air oleh biskuit mempengaruhi tekstur biskuit di dalam mulut

pada waktu dimakan. Berdasarkan hasil pengujian daya serap air, daya serap air

formula terpilih adalah 1.79 ml/g. Semakin rendah daya serap air, maka

diasumsikan lebih sedikit air liur yang dibutuhkan untuk melunakkan biskuit,

sehingga lebih mudah ketika dimakan. Hasil penelitian Fernando (2008) pada

produk bubur susu kacang tanah instan, daya serap air bubur susu adalah 1.99-

3.47 ml/g. Biskuit formula terpilih memiliki daya serap air yang lebih rendah

daripada bubur susu. Fernando menambahkan semakin rendah daya serap air

pada makanan balita semakin baik, karena menyebabkan bayi tidak mudah

kenyang dan rehidrasinya lebih mudah.

c. Tekstur Biskuit Menurut Peleg dan Bagley (1983), produk pangan yang bersifat padat

bervariasi bentuk, ukuran, dan responsnya terhadap gaya yang mengenainya.

Ditinjau dari sifat reologinya, produk pangan dapat dikelompokkan menjadi

produk yang bersifat padat, semi padat, dan viskoelastis. Biskuit termasuk ke

dalam produk yang bersifat padat. Produk pangan yang padat adalah produk

yang tidak mengalami perubahan bentuk (deformasi) apabila dikenakan gaya

tarik atau gaya tekan.

Gambar 14 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer

Prinsip pegukuran tekstur bahan pangan dengan teksturometer adalah

dengan memberikan gaya pada bahan pangan dengan besaran tertentu

sehingga profil tekstur bahan pangan tersebut dapat diukur. Pengukuran

parameter reologi dapat dilakukan dengan instrument Tekstur Analyzer seperti

yang digunakan dalam penelitian ini. Parameter reologi yang diukur pada produk

biskuit adalah kekerasan dan kerapuhan. Kekerasan ditentukan dari gaya

maksimum (nilai puncak), sedangkan kerenyahan ditentukan dari puncak yang

pertama kali terbaca pada tekanan yang pertama (Faridah et al. 2008). Profil

perbedaan kerenyahan dan kekerasan pada sampel secara umum juga dapat

dilihat pada Gambar 15. Hasil uji menunjukan, untuk parameter kerenyahan nilai

rata-rata yang diperoleh adalah 246.6 N/mm, dimana berdasarkan hasil

penelitian Sulaeman (1993) pada makanan balita, nilai kekerasan antara 237-

299 masuk dalam kategori renyah.

4. Sifat Kimia Biskuit Biskuit formula terpilih dianalisis sifat kimianya yang meliputi analisis

proksimat, perhitungan kandungan energi dan daya cerna protein biskuit. Data

hasil analisis sifat kimia biskuit dapat dilihat pada Lampiran 34 sampai 40.

Gay

a

Jarak

a. Analisis Proksimat Biskuit Kandungan gizi pada biskuit diuji dengan melakukan analisis proksimat

dan daya cerna protein. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air,

kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Selain itu dilakukan

juga penghitungan energi yang terkandung dalam biskuit. Hasil analisis

proksimat biskuit dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Hasil analisis sifat kimia dan perhitungan energi biskuit formula terpilih

Komponen Jumlah

Basis Basah Basis Kering

Air 3.96 4.13

Abu 2.42 2.52

Protein 18.77 19.55

Lemak 21.12 21.99

Karbohidrat 53.72 55.94

Energi 480

Menurut Winarno (1997), kandungan air dalam bahan pangan ikut

menentukan penerimaan, kesegaran dan daya tahan pangan tersebut. Pada

proses pemanggangan biskuit, terjadi proses pemanasan dan proses

pengurangan kadar air. Kandungan air pada biskuit akan mempengaruhi

penerimaan konsumen terutama pada atribut tekstur (kerenyahan). Biskuit

dengan kadar air tinggi cenderung tidak renyah sehingga teksturnya kurang

disukai.

Kadar air biskuit yang dihasilkan adalah 3.96% (bb). Syarat mutu biskuit

berdasarkan SNI 01-2973-1992 menyatakan kadar air maksimum yang terdapat

pada biskuit adalah 5% (bb). Kadar air biskuit yang dihasilkan masih berada di

bawah persyaratan SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar air biskuit

dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memenuhi

persyaratan mutu biskuit berdasarkan SNI.

Menurut Soebito (1988), kadar abu merupakan unsur mineral sebagai

sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas unsur karbon. Kadar

abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap

tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Syarat mutu biskuit

berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar abu maksimum pada biskuit adalah 1.5%

(bb). Kadar abu biskuit yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 2.42% (bb).

Kadar abu biskuit percobaan berada di atas persyaratan mutu biskuit SNI. Hal ini

disebabkan oleh tepung ikan yang ditambahkan dalam formula. Kadar abu

tepung kepala ikan adalah 16.52% (bb), kadar abu tepung badan ikan 4.44%

(bb), dan kadar abu isolat protein kedelai adalah 4.36% (bb) sedangkan menurut

SNI kadar abu tepung terigu maksimal 0.6% (bb). Oleh sebab itu substitusi

tepung ikan dan isolat protein kedelai terhadap terigu pada formula biskuit akan

meningkatkan kandungan abu dalam biskuit yang dihasilkan.

Winarno (1997) menyatakan, protein merupakan suatu zat gizi yang amat

penting bagi tubuh, karena zat ini selain berfungsi sebagai penghasil energi

dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Sifat protein

sebagai zat pengatur dimiliki oleh enzim. Sebagai zat pembangun, protein

merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh. Tetapi bila asupan

energi tubuh tidak dipenuhi oleh karbohidrat, maka protein akan berperan

sebagai energi. Hal ini menyebabkan perannya sebagai zat pengatur dan

pembangun akan terganggu. Selain itu bila terjadi kekurangan konsumsi protein

pertumbuhan juga akan terganggu, terutama pada anak yang sedang dalam

masa pertumbuhan. Oleh sebab itu, pada biskuit yang ditujukan untuk anak

balita gizi kurang ini, penambahan jumlah protein pada biskuit menjadi prioritas

yang utama.

Menurut Winarno (1997), protein adalah sumber asam amino yang

mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan

karbohidrat. Pengukuran kadar protein biskuit mengunakan metode Kjeldhal

yang didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total. Kandungan protein dapat

dihitung dengan mengasumsikan rasio tertentu antara protein terhadap nitrogen

untuk contoh biskuit. Karena unsur nitrogen bukan hanya berasal dari protein,

maka metode ini mendasarkan pada asumsi kandungan nitrogen adalah protein

adalah 16%. Untuk mengubah dari kadar nitrogen ke dalam kadar protein maka

digunakan angka faktor konversi sebesar 100/16 atau 6.25.

Protein yang terdapat dalam biskuit sebagian besar berasal dari tepung

ikan, isolat protein kedelai, telur, susu dan tepung terigu. Menurut syarat mutu

biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar protein minimum dalam biskuit

adalah 9.00% (bb). kadar protein biskuit yang dihasilkan pada penelitian adalah

18.77% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan kadar protein minimum

biskuit dengan bahan dasar tepung terigu saja (SNI), kadar protein biskuit

penelitian berada diatas kadar minimum protein pada SNI biskuit. Peningkatan

kadar protein ini dikarenakan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai

yang merupakan bahan makanan tinggi protein. Tujuan utama dari substitusi

adalah untuk meningkatkan kandungan protein biskuit, sehingga dengan kadar

protein biskuit sebesar 18.77%, penggunaan tepung ikan dan isolat protein

kedelai dapat dikatakan berhasil meningkatkan kadar protein biskuit.

Menurut Manley (1998), lemak merupakan bahan baku paling penting

dalam pembuatan biskuit. Lemak merupakan komponen terbesar selain tepung

dan gula. Pada pembuatan biskuit, digunakan dua jenis sumber lemak, yaitu

margarine dan mentega. Fungsi utama lemak dalam pembuatan biskuit adalah

sebagai pengemulsi, tetapi selain itu lemak juga berfungsi sebagai pembentuk

cita rasa dan memberikan tekstur pada biskuit. Semakin banyak lemak yang

ditambahkan pada adonan, semakin rapuh biskuit yang dihasilkan.

Kandungan lemak biskuit yang dihasilkan adalah 21,99% (bk), sedangkan

menurut SNI 01-2973-1992, kadar lemak minimum dalam biskuit adalah 9.5%.

Jila dibandingkan dengan persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, kadar

lemak produk berada di atas persyaratan kadar lemak minimum pada SNI,

sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kadar lemaknya, biskuit yang

dihasilkan telah memenuhi persyaratan mutu biskuit jika mengacu pada

persyaratan mutu biskuit pada SNI.

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Menurut

Fennema (1996), 90% karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat

merupakan sumber energi yang sangat banyak ditemui, ketersediaannya amat

luas dan murah. Karbohidrat juga memiliki peranan penting dalam menentukan

karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain

(Winarno 1997).

Bahan yang menjadi sumber karbohidrat pada pembuatan biskuit antara

lain tepung terigu, gula, dan susu. Kadar karbohidrat pada biskuit dihitung

dengan penentuan kadar karbohidrat secara kasar menggunakan metode by

difference. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar karbohidrat biskuit yang

dihasilkan adalah 53.72% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan minimum

kadar karbohidrat biskuit terigu yang tercantum pada SNI (70%), kadar

karbohidrat biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai lebih

rendah. Pengurangan kadar karbohidrat ini dikarenakan terjadi penggantian

sebagian tepung terigu yang menjadi sumber utama karbohidrat pada biskuit

dengan tepung ikan dan isolat protein kedelai yang tinggi protein dan rendah

karbohidrat.

Jika dibandingkan dengan persyaratan mutu biskuit terigu pada SNI,

kandungan gizi yang dimiliki biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat

protein kedelai memang berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan kandungan gizi

yang dimiliki bahan baku penyusunnya, yaitu tepung ikan dan isolat protein

kedelai. Pada dasarnya perbedaan nilai gizi bukan suatu permasalahan. Menurut

Manley (2000), biskuit merupakan produk yang tepat untuk dijadikan pangan

sehat atau pangan fungsional yang menyediakan zat gizi tertentu yang

dibutuhkan oleh tubuh. Dalam pembuatan biskuit ini zat gizi yang dimaksud

adalah protein. Biskuit yang diperkaya protein akan menurunkan proporsi

kandungan zat gizi lain. Dalam percobaan ini, zat gizi yang mengalami

penurunan adalah karbohidrat.

b. Kandungan Energi Biskuit Kandungan energi pada biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat

protein kedelai diperoleh dengan mengkonversikan protein, lemak, dan

karbohidrat menjadi energi. Lemak merupakan sumber energi yang paling besar,

dimana 1 gram lemak dapat dikonversi menjadi 9 kkal. Sedangkan protein dan

karbohidrat menghasilkan energi 4 kkal per gram (Fennema 1996).

Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata nilai energy biskuit adalah

sebesar 480 kkal per 100 gram biskuit. Menurut SNI 01-2973-1992, syarat

kandungan energi pada biskuit terigu minimal 400 kkal per 100 gram. Demikian

pula menurut FAO/WHO (1994), energi pada komposisi makanan tambahan

untuk balita minimal mengandung 400 kkl per 100 gram makanan. Jika mengacu

pada persyaratan diatas, maka nilai energi biskuit yang dihasilkan berada di atas

persyaratan minimum nilai energi.

c. Daya Cerna Protein Biskuit Daya cerna menurut Fennema (1996) adalah proporsi nitrogen pangan

yang dapat diserap setelah proses pencernaan. Ditambahkan pula bahwa daya

cerna protein yang berasal dari pangan hewani lebih tinggi daripada daya cerna

protein yang berasal dari pangan nabati. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi daya cerna protein, antara lain: (1) konformasi protein, (2) faktor

antinutrisi, (3) ikatan dengan senyawa lain seperti polipeptida dan serat, serta (4)

proses pengolahan. Proses pemanasan dengan pemanggangan pada biskuit

menurut Ranhotra dan Bock (1988) dapat menyebabkan denaturasi protein dan

meningkatkan daya cerna. Tetapi ditambahkan pula, dengan pemanggangan

daya cerna dapat menurun karena asam amino bebas dapat berikatan dengan

gugus karboksil gula pereduksi seperti fruktosa, laktosa, dan maltosa

membentuk reaksi nonensimatik Maillard. Reaksi Maillard bertanggung jawab

dalam pembentukan aroma dan cita rasa produk yang melalui proses

pemanggangan. Produk dari reaksi Maillard tidak mempunyai nilai gizi pada

mamalia.

Analisis daya cerna protein dapat dilakukan secara biologis,

mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatik. Pada penelitian ini digunakan metode

enzimatik secara in vitro untuk melihat bioavailabilitas protein pada biskuit. Hsu

et al. (1977) menyatakan prinsip dasar pengukuran daya cerna secara in vitro

dengan teknik multienzim adalah dengan menghidrolisis sampel protein dengan

larutan multienzim, proses hidrolisis ini akan membebaskan gugus karboksil

asam amino yang menyebabkan penurunan pH. pH suspensi protein pada menit

ke-10 setelah hidrolisis berkorelasi baik dengan daya cerna protein secara

biologis. Analisis in vitro dipilih karena menurut Fennema (1996), analisis dengan

metode biologis atau secara in vivo membutuhkan biaya yang besar dan waktu

yang lama.

Menurut Muchtadi (1989), protein yang mudah dicerna menunjukkan

tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu

juga sebaliknya. Berdasarkan hasil pengukuran daya cerna protein biskuit

dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai adalah sebesar 89.34%.

Daya cerna ini dapat dikatakan sedang, karena nilainya menyerupai daya cerna

kacang-kacangan dan nasi menurut FAO/WHO/UNU (1995).

5. Analisis Kontribusi Zat Gizi Biskuit Terhadap AKG Balita Menurut Almatsier (2001), angka kecukupan gizi (AKG) atau biasa juga

dikenal dengan recommended daily allowance (RDA) merupakan taraf konsumsi

zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk

memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kecukupan nilai energi

ditetapkan dengan cara berbeda daripada kecukupan untuk zat gizi lain. AKG

untuk energi mencerminkan rata-rata kebutuhan tiap kelompok penduduk,

sedangkan angka kecukupan protein dan zat gizi lainnya dinyatakan sebagai

taraf asupan yang aman (safe level of intake). Suatu produk dapat memberikan

kontribusi sejumlah zat gizi tertentu dengan menghitung kontribusinya terhadap

AKG. Untuk itu diperlukan penentuan jumlah saji sehingga angka kecukupan gizi

per saji dan kontribusinya terhadap AKG dapat dihitung.

Produk biskuit pada penelitian ini hanya menekankan kontribusi protein

yang diberikan biskuit terhadap pemenuhan AKG balita. Menurut Widya Karya

Pangan dan Gizi (2004), AKG untuk energi dan protein balita umur 1 sampai 3

tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari.

Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi dan protein

meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi 1550 kkal

energi per hari dan 39 gram protein per hari. Menurut BPOM (2004), pangan

dapat dikatakan “tinggi” protein bila memenuhi sedikitnya 20% dari AKG yang

dianjurkan per saji. Bila AKG untuk balita yang digunakan adalah AKG untuk

anak usia 4-6 tahun maka, 20% dari 39 gram protein adalah 7.8 gram protein

yang harus dipenuhi dari sajian.

Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai,

berdasarkan hasil proksimat dan penghitungan energi, per 100 gram sajian

menyumbangkan 480 kkal energi dan 18.8 gram (bb) protein. Berarti untuk

memenuhi target tinggi protein jumlah biskuit yang harus dikonsumsi adalah

41.56 gram biskuit (perhitungan disajikan pada lampiran 41). Dengan kata lain,

untuk memenuhi 20% AKG protein, balita harus mengkonsumsi biskuit sebanyak

41.56 gram biskuit.

Apabila memperhitungkan daya cerna protein produk sebesar 89.34%,

maka biskuit yang harus dikonsumsi untuk memenuhi 20% AKG adalah

sebanyak 46.52 gram (perhitungan disajikan pada Lampiran 40). Bila satu keping

biskuit beratnya sekitar 12.5 gram, untuk memenuhi target, balita harus

mengkonsumsi 4 keping biskuit atau 50 gram biskuit. Dengan asumsi jumlah

biskuit yang dikonsumsi sebanyak 50 gram, maka diperoleh kandungan zat gizi

per takaran penyajian yang disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram)

Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian (gram)

Energi (kkal) 240

Protein (gram) 9.8

Karbohidrat (gram) 26.9

Lemak (gram) 10.6

Setelah diketahui kandungan energi dan zat gizi per takaran penyajian,

maka dapat dibuat penentuan AKG per takaran penyajian. Perhitungan AKG

didasarkan pada kecukupan energi dan protein balita menurut WNPG (2004)

yang dibagi menjadi 2 golongan, yaitu usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun.

Perhitungan AKG per sajian disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Angka kecukupan zat gizi per takaran penyajian (50 gram)

Zat Gizi Zat gizi per takaran saji AKG (%)

Usia 1-3 tahun Usia 4-6 tahun

Protein 9.8 gram 39.20 25.12

Energi 240 kkal 24 15.48

Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai memiliki

kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi.

Dengan memberikan kontribusi protein 25.12% dan 39.20% dari AKG, produk

biskuit dapat dikatakan biskuit tinggi protein. Selain itu biskuit juga memenuhi

kriteria WHO sebagai makanan tambahan karena per 100 gram biskuit

mengandung lebih dari 400 kkal energi dan 15 gram protein. Oleh karena itu,

biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai dapat

dikatakan makanan tambahan untuk balita yang tinggi protein.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Proses pembuatan tepung ikan dibagi menjadi dua bagian yaitu pembuatan

tepung kepala dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan tepung dimulai

dari sortasi ikan, lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi

(presto), pengepresan, pengeringan dengan drum dryer dan penggilingan

dengan willey mill.

2. Analisis sifat kimia tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) didapat hasil,

untuk tepung kepala ikan kadar air 8.72% (bb), kadar abu 18.10% (bk),

kadar protein 56.04 % (bk), kadar lemak 9.39% (bk) dan kadar karbohidrat

7.84% (bk), sedangkan hasil analisis untuk tepung badan ikan adalah kadar

air 7.99% (bb), kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk), kadar lemak

10.83% (bk) dan kadar karbohidrat 11.83% (bk). Berdasarkan pengukuran aw

menggunakan aw-meter diketahui Aw tepung badan ikan adalah 0.7068,

sedangkan aw tepung kepala ikan adalah 0.6612. Pengukuran densitas

kamba menunjukan bahwa tepung kepala ikan mempunyai densitas kamba

yang tebih tinggi daripada tepung badan ikan. Densitas kamba tepung kepala

ikan adalah 0.45 g/ml sedangkan densitas kamba tepung badan ikan adalah

0.37 g/ml. Hasil pengukuran derajat putih tepung menunjukan bahwa tepung

ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung terigu. Tepung

kepala ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung badan

ikan. Derajat putih tepung kepala dan tepung badan ikan masing-masing

adalah 29.00% dan 30.96%.

3. Biskuit yang dibuat dalam penelitian ini adalah jenis short dough. Tahapan

dalam pembuatan biskuit diawali dengan pencampuran bahan, pemipihan,

pencetakan dan pemanggangan. Pencampuran bahan dibagi menjadi tahap

creaming dan pencampuran bahan kering. Pemipihan dilakukan dengan

rolling pin sehingga didapat ketebalan adonan 0.5 cm. Pencetakan dilakukan

dengan cetakkan lingkaran berdiameter 5 cm. Suhu awal pemanggangan

adalah 140oC dan suhu akhir 160oC.

4. Pemilihan formula dilakukan melalui uji organoleptik pada biskuit dengan

penambahan sumber protein. Hal ini didasarkan pada sasaran pembuatan

biskuit ini adakah bagi anak yang menderita KEP (Kekurangan Energi

Protein). Hasil uji organoleptik menentukan bahwa formula F4 yang memiliki

penerimaan paling tinggi. Formula F4 memiliki frekuensi penerimaan panelis

paling tinggi untuk atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Formula F4 juga

menunjukkan nilai beda nyata dengan selang kepercayaan 95% untuk atribut

warna, rasa, dan tekstur setelah diuji dengan uji kergaman Kruskal Wallis

Formula F4 mensubstitusi 15% tepung terigu (dari jumlah adonan) oleh 3.5%

tepung badan ikan, 1.5% tepung kepala ikan dan 10% isolat protein kedelai.

5. Hasil uji organoleptik oleh panelis balita terhadap formula F4 dan biskuit

balita komersil yang terdapat dipasaran menunjukan penerimaan balita

terhadap kedua biskuit tersebut tidak beda nyata ketika dianalisis

menggunakan statistik Paired Samples T-Test pada taraf signifikansi 5%.

Hasil organoleptik oleh panelis ibu balita terhadap formula F4 menunjukan

bahwa ≥70% ibu menyukai biskuit formula F4.

6. Analisis biskuit formula F4 adalah kadar air 4.13% (bk), kadar abu 2.52%

(bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar

karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi

per 100 gram biskuit. Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan

metode enzimatik secara in vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah

sebesar 89.34%. Sifat fisik biskuit diukur rendemen, daya serap air dan

analisis tekstur. Rendemen biskuit adalah 84,29%. Daya serap ait biskuit

adalah 1.79 ml/g. Sedangkan hasil uji tekstur menunjukan nilai untuk

parameter kerenyahan 246.60.

7. Berdasarkan analisis kontribusi zat gizinya, formula terpilih dapat dikatakan

sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20% protein

berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang harus

dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau 50 gram biskuit.

50 gram biskuit dapat memberikan 240 kkal energi, 9.8 gram protein, 26.9

gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak.

Saran Tepung ikan belum terlalu dikembangkan, padahal dengan kandungan

gizi yang tinggi tepung ikan sangat berpotensi diaplikasikan dalam makanan.

Oleh karena itu pengembangan aneka ragam pangan berbasis tepung ikan

sangat disarankan.

Tepung ikan yang dihasilkan memiliki ukuran partikel tepung ikan juga

kurang halus, oleh sebab itu disarankan untuk mencari metode penggilingan lain

untuk mendapatkan tepung ikan yang lebih halus. Selain itu disarankan juga

untuk dilakukan uji daya cerna protein dan pengukuran asam amino pada tepung

ikan untuk melengkapi informasi mengenai tepung ikan lele dumbo.

Saran untuk penelitian lanjutan mengenai pengaruh lama penyimpanan

terhadap nilai gizi, keamanan dan daya terima biskuit dengan substitusi tepung

ikan dan isolat protein kedelai. Hal ini dibutuhkan karena balita adalah kelompok

umur yang sensitif terhadap cemaran.

DAFTAR PUSTAKA

Annonymous. 2006. Pembenihan Ikan Lele Dumbo. http://viewtopic.ptp.htm/lele dumbo/ Pembenihan_Ikan_Lele_Dumbo [13 September 2008].

Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama. Antarlina SS. 1998. Teknolohi Pengolahan Tepung Komposit Terigu-Ubi Jalar

sebagai Bahan Baku Industri Pangan. Di dalam: Winarno FG, W Lukito, Abdurrahman, MM Ardana dan B Wijaya. 2003. Kumpulan Hasil Peneliti Terbaik Bogasari Nugraha 1998-2001. Jakarta: Bogasari Flour Mills.

Apriantono A, D Fardiaz & N Puspitasari, S Budiyanto. 1989. Analisis Pangan.

Bogor: IPB Press. Astawan M. Lele bantu pertumbuhan janin. http://wilystra2007.multiply.com/

journal/item/62/Lele_Bantu_Pertumbuhan_Janin [13 September 2008] Azhar TN, dkk. 2006. Rekayasa kadar omega-3 pada ikan lele melalui modifikasi

pakan. http://animaldiversity.ummz.umich.edu /site/accounts/ information/Clarias_gariepinus [13 September 2008]

Bluestein PM & TP Labuza. 1988. Effect of Moisture Removal on Nutriens.

Dalam E. Kermas dan RS Harris (ed.) Nutritional Evaluation of Food Processing 3th Edition. New York: Van Nostrand Reinhold.

Brennan JG. 1974. Food Engineering Operations. London: Applied Science Publ.

Ltd. Cheftel JC, JL Cuq & D Lorient. 1985. Proteines Alimentaries. Paris: Tech and

Doc., Lavoisier. [DKBM] Daftar Komposisi Bahan Makanan. 2004. Jakarta: LIPI FAO/WHO. 1994. Guidelines on Formulated Suplementary Food for Older Infants

and Young Children. Roma: FAO/WHO. Faridah DN et al. 2008. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Fakultas Teknologi

Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Faridi H & JM Faubion. 1990. Dough Reology and Baked Product Texture.

Nostrand Reinhold, USA. Fennema. 1996. Food Chemistry. 3th Edition. New York: Marcel Dekker, Inc. Fernando ER. 2008. Formulasi susu kacang tanah instan sebagai alternatif

makanan pendamping ASI. [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty. Ilyas S. 1993. Kemungkinan Membuat Makanan dengan Kadar Protein Ikan

Tinggi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian.

Inayati I. 1991. Biskuit berprotein tinggi dari campuran tepung terigu, singkong

dan tempe kedelai. [skripsi]. Program Studi Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Khomsan A. 2004. Peran Pangan dan Gizi untuk Kuaitas Hidup. Jakarta: PT

Grasindo.

Khumaidi M. 1987. Angka kecukupan energi dan protein, nilai dan penggunaanya. Media Gizi dan Keluarga. XI (1-2):16-21.

Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Lehninger. 1992. Dasar Dasar Biokimia. Maggy Thenawijaya, penerjemah.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama LIPI. 2004. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia.

___. 1999. Tepung Ikan. Jakarta: Proyek Sistem Informasi Nasional Guna Menunjang Pembangunan.

Mahyuddin K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar

Swadaya. Manley D. 1998. Technology of Biscuit, Cracker, and Cookies Third Edition.

Washington: CRC Press . 2000. Biscuit, Cracker, and Cookie Recipes for the Food Industry.

Washington: CRC Press Matthews RH. 1989. Legumes (Chemistry, Technology and Human Nutrition).

New York: Marcel Dekker Inc.,.

Matz SA & T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. Texas: The AVI Publishing Co., Inc.

Meilgaard M, GV Civille & BT Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques New

York: CRC Press. Mendez IM & JMG Abuin. 2006. Thermal Processing of Fishery Product. Dalam

Sun DW (ed.) Thermal Food Processing: New Technologies and Quality Issues. New York: CRC Press.

Moeljanto. 1982a. Pengolahan Hasil-Hasil Samping Ikan. Jakarta: PT Penebar Swadaya.

. 1982b. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: PT Penebar Swadaya. . 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta:

Penebar Swadaya. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

_________. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

_________. 1994. Gizi untuk Bayi: ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Pearson AM & RB Young. 1989. Muscle and Meat Biochemistry. San Diego:

Acad. Press Inc. Peleg M & EB Bagley. 1983. Physical Properties of Food. Connecticut: AVi

Publishing Company, Inc. Rieuwpassa F. 2005. Biskuit konsentrat protein ikan dan prebiotik sebagai

makanan tambahan untuk meningkatkan antibodi IgA dan status gizi anak balita. [tesis] Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Setiawati. 1984. Pembuatan biskuit konsentrat dedak padi. [skripsi]. Program

Studi Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Soebito S. 1988. Analisis Farmasi. Yogyakarta: UGM Prss. Sikorski ZE, A Kalakowski & B Pan. 1990. The Nutritive Composition of The

Major Groups of Marine Food Organism. Di dalam Z. E. Sikorski (ed.). Seafood : Resources, Nutritional Composition and Preservation. Florida: CRC Press Inc.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil

Pertanian. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya: untuk Keluarga dan Masyarakat.

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. Jakarta:

Dewan Standarisasi Nasional. Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Bogor: Fakultas

Teknologi Pertanian IPB. Sultan WJ. 1983. Modern Pastry Chef Vol.1. Connecticut: The AVI Publishing,

Westport.

Suyanto S & NY Rachmatun. 2007. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penebar Swadaya.

Suzuki T. 1981 Fish & Krill Proteins. Processing Technology. London: Appl. Sci

Publ. Tarwotjo CS. 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. Jakarta: Gramedia Widiasarana

Vail GE, JA Philips, LO Rust, RM Griswold & M Justin. 1978. Foods. 7th edition.

Boston: Houghton Mifflin Company. Winarno. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia. Wirakartakusumah MA, K Abdullah & AM Syarief. 1992. Sifat Fisik Pangan.

Bogor. PAU Pangan dan Gizi IPB. Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufacture Fundamental of in-live Production.

London: Applied Science Publishers. Wiyati D. 2004. Pengaruh Penambahan Konsentrat Protein Ikan Teri

(Stolephorus sp.) Terhadap Karakteristik dan Daya Terima Biskuit untuk Anak Balita. Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Panagan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Wilkens WF et al. 1967. Effect of Processing Method on Oxidative Off Flavour of

Soybean Milk. Food Technol. 21:1630. Soekirman et al. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI. Zayas JF. 1997. Functionality of Protein in Food. New York: Springer.

Lampiran 1 Dokumentasi Pembuatan Tepung Ikan

Gambar 15 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Gambar 16 Ikan lele dumbo yang telah dipisahkan kepala, kulit dan

badannya

Gambar 18 Kepala ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama

pengangkutan

Gambar 17 Badan ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama

pengangkutan

Gambar 19 Ikan lele dumbo dalam autoklaf untuk proses pemasakan

Gambar 20 Badan ikan lele dumbo matang

Gambar 21 Kepala ikan lele dumbo matang

Gambar 22 Pengepresan dengan hidrolik pres

Gambar 23 Ikan yang telah dipress Gambar 24 Ikan yang sedang dikeringkan menggunakan drum

dryer

Lampiran 2 Analisis sifat kimia dan fisik

1. Analisis Derajat Putih Tepung dengan Whiteness Meter (Faridah et al. 2008)

Whiteness Meter Model C-100 digunakan untuk mengukur tingkat warna

putih (derajat putih) dari contoh tepung-tepungan. Alat ini dikalibrasi dengan

standar derajat putih yang diperoleh dari asap pembakaran pita MgO.

Pengukuran dimulai dengan persiapan (kalibrasi) alat. Pertama pastikan alat

dalam kondisi mati, lalu penutup contoh dibuka dan dipastikan filter telah

terpasang pada tempatnya. Plat kalibrasi dimasukkan ke dalam cawan contoh

dengan warna putih menghadap keatas, kemudian ditutup. Alat dinyalakan

dengan menekan tombol on, lalu ditunggu selama 6 menit hingga tanda”WAIT”

hilang. LED akan menampilkan nilai derajat putih dari plat kalibrasi tersebut. Alat

siap digunakan.

Sebelum pengukuran, filter gelas dari wadah contoh harus dibersihkan

dengan lap dan kuas khusus yang telah disediakan. Contoh ditempatkan ke

cawan contoh dengan jumlah sedikit melebihi bibir cawan. Lalu cawan yang

berisi contoh dimasukkan ke wadah contoh. Kemudian suhu contoh

diseimbangkan dengan menekan wadah contoh ke atas tempat pengukuran. Lalu

masukkan wadah contoh ke tempat pengukuran hingga alat menyala. LED akan

menampilkan nilai derajat putih. Nilai derajat putih diukur dengan

membandingkan nilai derajat putih yang dibaca pada alat dengan nilai derajat

putih BaSO4 sebagai standar yaitu sebesar 110.8.

Nilai derajat putih contoh = Nilai derajat putih

2. Uji Densitas Kamba (Wiyati 2004)

x 100%

Nilai derajat putih BaSO4

Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur.

Bahan yang akan diukur ditimbang sebanyak 10 gram, kemudian dimasukkan ke

dalam gelas ukur 50 ml dan dibaca volumenya. Adapun densitas kamba dihitung

sebagai perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan yang dibaca

pada gelas ukur dengan satuan gram per ml.

Densitas Kamba = Berat Bahan (gram)

Volume Bahan (ml)

3. Uji Daya Serap Air (Wiyati 2004)

Sebanyak 1 gram contoh dicampur dengan 10 ml aquades menggunakan

pengaduk magnetik. Campuran didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar

lalu disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Selanjutnya

volume supernatan diukur.

Jumlah air yang diserap (g/g)= berat air awal – berat supernatant

berat contoh

4. Uji Kekerasan (Wiyati 2004)

Kekerasan berhubungan dengan kerenyahan biskuit, yaitu mudah

tidaknya biskuit menjadi remuk (pecah) ataupun membelah. Kekerasan biskuit

ditentukan secara objektif menggunakan Texture Analyzer. Alat diset terlebih

dahulu khusus untuk biskuit.

Nilai kekerasan merupakan tinggi puncak pada saat biscuit pecah atau

belah dengan menggunakan alat seperti pisau (blade). Nilai deformasi (mm)

merupakan jarak horizontal awal silinder menyentuh biskuit sampai titik tengah

puncak kurva. Perhitungan nilai kekerasan dinyatakan dengan satuan force.

Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit

Type Plain Dough Biscuits Objective Hardness Measurement of Biscuit by Probing TA- XT2 Mode Measure Force in Compression Option Return to Start Pre- test Speed 2.0 mm/s Test Speed 0.5 mm/s Post - test Speed 10.0 mm/s Distance 4 mm Trigger type Auto - 5 g Data Acquistion 200 pps Rate Probe 2 mm cylinder Probe (P/2)

5. Nilai aw (Wiyati 2004)

Pengukuran aw dilakukan dengan aw-meter. Mula-mula alat distandarisasi

dengan NaCl jenuh, yang memiliki aw 0.7547; 0.7529; 0.7509 pada suhu 20, 25,

dan 29oC, lalu ditempatkan di dalam wadah yang terbuka dan dimasukkan ke

tempat pengukuran aw lalu ditutup rapat. Nilai aw dapat dibaca beberapa lama

setelah tertulis “completed”. Bila aw kurang dari 0.750 maka swich diputar sampai

mencapai 0.750. Setelah itu diukur lagi sampai tertulis “ completed”. Pengukuran

aw sample dilakukan dengan cara yang sama yaitu dengan menempatkan

sample pada wadah dan diletakan di dalam aw-meter sampai tertulis “completed”.

6. Penentuan Kadar Air (Apriyantono et al. 1989)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 15

menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Ditimbang cawan

dengan neraca analitik (a gram). Ditimbang sampel dengan neraca analitik

sebanyak 5 gram (b gram). Dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama

kurang lebih 6 jam, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (c gram).

Dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali.

Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat

dianggap konstan jika selish berat sampel kering yang ditimbang ≤0.0003 gram).

Kadar air (basis kering) = b – (c-a)

7. Penentuan Kadar Abu (Apriyantono et al. 1989)

x 100 % c-a

Keterangan :

b= bobot sampel (g)

c= bobot sampel dan cawan sesudah dikeringkan (g)

a= bobot cawan kosong (g)

Sampel ditimbang 2.0-3.0 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan

porselen dan dipanaskan dalam oven selama 30 menit. Setelah itu dimasukkan

ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 4-5 jam. Sampel lalu dimasukkan ke

dalam desikator dan ditimbang. Pengabuan diulangi hingga diperoleh berat

sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel

kering yang ditimbang ≤0.0003 gram).

% kadar abu =

8. Penentuan Kadar Protein (AOAC 1995)

berat abu x 100 %

berat sampel

Penentuan kadar protein sampel menggunakan metode mikro Kjeldhal.

Sampel ditimbang 0.2 g. Sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu

ditambahkan 10 gram selenium mix dan 7 ml H2SO4 pekat kemudian didestruksi

selama 1 jam (sampai larutan berwarna jernih). Labu Kjeldhal didinginkan dan

dipindahkan ke labu didihsambil ditambah air (250-300 ml) lalu diberi indicator

mm-mb sebanyak 3 tetes. Setelah itu, sampel ditambahkan larutan NaOH 30%

sampai berubah warna menjadi hijau, lalu dimasukkan ke dalam alat destilasi.

Digunakan asam borat yang telah ditambahkan indikator campuran merah metil

dan metil biru 3 tetes. Destilasi sampai mendapatkan 75 ml destilat. Hasil ini

kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai titik akhir dari titrasi. Titik akhir

titrasi ketika warna titrat berubah dari hijau menjadi ungu. Kadar protein dihitung

dengan rumus;

9. Penentuan Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992)

Penentuan kadar lemak sampel menggunakan metode ekstraksi

langsung dengan alat Soxhlet. Sampel ditimbang ± 5 gram kemudian

dimasukkan kedalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas dan

disumbat dengan kapas. Setelah itu, dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang

telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah diketahui bobotnya. Ekstraksi

dilakukan selama 6 jam dengan menggunakan pelarut heksan. Setelah diperoleh

labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi dan pelarut, labu dikeringkankan dengan

oven 105°C. Labu lemak dimasukkan dalam desikator dan setelah itu ditimbang

berat labu berisi lemak. Kadar lemak dihitung dengan rumus;

10. Penentuan Kadar Karbohidrat (by difference)

Penentuan kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunakan

perhitungan Carbohydrate by Difference. Perhitungan ini bukan berdasarkan

analisis tetapi berdasarkan perhitungan sebagai berikut:

% Karbohidrat = 100% - %(protein + lemak + abu + air)

11. Uji Daya Cerna Protein Teknik Multienzim (Hsu et al. 1977 dalam Muchtadi

1993)

Sampel digiling halus, lalu sampel disuspensikan dalam air destilata

sampai diperoleh 6.25 mg protein/ml. Sebanyak 50 ml suspense dituang ke

dalam gelas piala, kemudian diatur pH-nya menjadi 8.0 dengan menambahkan

HCl atau NaOH 0.1N. Letakkan gelas piala dalam penangas air bersuhu 37oC

dan diaduk dengan magnetic stirrer selama 5 menit. Lalu tambahkan 5 ml larutan

%100(%) xsampelbobotlemakbobot

lemakKadar =

( )contoh

blankocontoh

mgxHClxxNHClmlHClml

N100007.14

%−

=

Kadar Protein = 6.25 x %N

multienzim (saat penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke nol, stopwatch

dijalankan) kedalam suspense sampel protein sambil tetap diaduk dalam

penangas air 37oC. Kemudian catat pH suspense sampel pada menit ke 10.

12. Perhitungan Jumlah Energi

Jumlah energi dapat dihitung dengan mengkonfersikan kandungan kimia

(kadar karbohidrat, kadar protein, dan kadar lemak) biskuit dengan faktor konfersi

masing-masing kandungan. Karbohidrat dan protein memiliki faktor konfersi

sebesar 4 kkal/g, sedangkan faktor konfersi lemak adalah 9 kkal/g. Hasil konversi

dijumlah dan hasil penjumlahan tersebut merupakan kandungan energi dari

biskuit. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.

Jumlah Energi/100gram = (4xA)+(4xB)+(9xC)

Keterangan: A = kadar karbohidrat

B = kadar protein

C = kadar lemak

13. Uji Organoleptik

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji penerimaan untuk menilai daya

terima konsumen terhadap biskuit. Daya terima konsumen dimulai dari skor 1

(tidak suka) sampai 5 (sangat suka).

1= sangat tidak suka

2= tidak suka

3= biasa/netral

4= suka

5= sangat suka

APD (%) = 210,46 -18,10 pH akhir (10 menit)

Lampiran 3 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Dewasa

Lembar Uji Kesukaan Biskuit

Nama Panelis : Tanggal Pengujian:

Nama Produk : Biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein

kedelai

Di hadapan anda terdapat empat buah biskuit balita dengan

penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai. Anda diminta untuk

memberikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan

dari produk ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini :

1 : Sangat tidak suka

2 : Tidak suka

3 : Biasa

4 : Suka

5 : Sangat suka

Kode Rasa Aroma Warna Tekstur Keseluruhan

555

735

221

311

Komentar : ..........................................................................................................................

Terima Kasih

Lampiran 4 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit Pada anak Balita Nama Panelis : Tanggal Pengujian:

Jenis Kelamin : L / P

Nama Produk : Biskuit dengan penambahan tepung ikan lele dan

isolat protein kedelai

Dihadapan adik telah disajikan biskuit dengan penambahan tepung ikan

lele dan isolat protein kedelai. Cicipilah sebagian biskuit, kunyak baik-baik, lalu

berikan penilaian sesuai bentuk wajah dibawah ini.

Tidak Suka

Netral/biasa

Suka

Lampiran 5 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Ibu Balita

Lembar Uji Kesukaan Biskuit

Nama Ibu : Tanggal Pengujian:

Nama Produk : Biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein

kedelai

Di hadapan anda terdapat empat buah biskuit balita dengan

penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai. Anda diminta untuk

memberikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan

dari produk ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini :

1 : Sangat tidak suka

2 : Tidak suka

3 : Biasa

4 : Suka

5 : Sangat suka

Rasa Aroma Warna Tekstur Keseluruhan

Komentar : ..........................................................................................................................

Terima Kasih

Lampiran 6 aw Tepung Ikan

Sampel Ulangan aw x + SD

Tepung Daging 1

0.728

0.7068 + 0.0252 0.729

2 0.683 0.687

Tepung Kepala 1

0.702

0.6612 + 0.0477 0.703

2 0.617 0.623

Lampiran 7 Densitas Kamba Tepung Ikan

Sampel Ulangan Densitas Kamba (ml/g) x + SD

Tepung Daging 1

0.3800

0.3710 + 0.0066 0.3711

2 0.3686 0.3644

Tepung Kepala 1

0.4579

0.4537 + 0.0043 0.4516

2 0.4566 0.4488

Lampiran 8 Derajat Putih Tepung Ikan Sampel Ulangan Derajat Putih x + SD

Tepung Daging 1

35.46

30.9575 + 5.1543 35.38

2 26.35 26.64

Tepung Kepala 1

33.27

28.9975 + 5.1514 33.64

2 24.72 24.36

Lampiran 9 Kadar Air Tepung Ikan

Sampel Ulangan Kadar Air (% BB)

x + SD (% BB)

Tepung Daging

1 9.1639

7.9936 + 1.4682 9.3623

2 6.7040 6.7443

Tepung Kepala

1 10.9855

8.7237 + 2.7436 11.2100

2 6.2692 6.4303

Lampiran 10 Kadar Abu Tepung Ikan

Sampel Ulangan Kadar Abu (% BB)

x + SD (% BB)

Kadar Abu (% BK)

x + SD (% BK)

Tepung Daging

1 3.5739

4.4441 + 0.9940

3.8844 4.8303 + 1.0804

3.5928 3.9049

2 5.3127 5.7743 5.2971 5.7574

Tepung Kepala

1 19.0131

16.5254 + 2.8767

20.8302 18.1048 +

3.1517 19.0204 20.8383

2 14.0345 15.3758 14.0337 15.3750

Lampiran 11 Kadar Protein Tepung Ikan

Sampel Ulangan Kadar

Protein (% BB)

x + SD (% BB)

Kadar Protein (% BK)

x + SD (% BK)

Tepung Daging

1 59.6565

58.7237 + 0.6478

64.8395524 63.8256 +

0.7040 58.6613 63.7578369

2 58.2349 63.2943604 58.3419 63.4107103

Tepung Kepala

1 56.9189

51.1535 + 4.4089

62.3589406 56.0425 +

4.8303 51.6792 56.6184518

2 46.4253 50.8623443 49.5906 54.3302314

Lampiran 12 Kadar Lemak Tepung Ikan

Sampel Ulangan Kadar Lemak (%BB)

x + SD (% BB)

Kadar Lemak (% BK)

x + SD (% BK)

Tepung Daging

1 11.9137

9.9636 + 2.2038

12.9488 10.8292 +

2.3953 11.8301 12.8579

2 8.0731 8.7745 8.0374 8.7357

Tepung Kepala

1 5.9054

8.5672 + 3.4853

6.4698 9.3860 + 3.8184

5.2141 5.7124

2 11.6830 12.7996 11.4664 12.5623

Lampiran 13 Kadar Karbohidrat Tepung Ikan

Sampel Ulangan Kadar

Karbohidrat (%BB)

x + SD (% BB)

Kadar Karbohidrat (%

BK)

x + SD (% BK)

Tepung Daging

1 15.6920

18.8750 + 3.1976

17.0553 20.5149 +

3.4755 16.5535 17.9917

2 21.6753 23.5584 21.5792 23.4541

Tepung Kepala

1 7.1771

15.0300 + 6.3513

7.8630 16.4665 +

6.9583 12.8763 14.1070

2 21.5572 23.6176 18.5093 20.2783

Lampiran 14 Kadar Air ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu

Sampel Kadar Air (% BB) x + SD (% BB)

Kadar Air (% BK) x + SD (% BK)

ISP 7.8281 7.7668 + 0.0866

8.4929 8.4209 + 0.1018

7.7056 8.3489

Susu 5.3155 5.4015 + 0.1216

5.6139 5.7100 + 0.1359

5.4875 5.8061 Lampiran 15 Kadar Abu ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu

Sampel Kadar Abu

(% BB) x + SD (% BB) Kadar Abu (% BK) x + SD (% BK)

ISP 4.3742

4.3635+ 0.0151 4.7425

4.7309 + 0.0164 4.3528 4.7193

Susu 4.7532

4.7462 + 0.0099 5.0246

5.0172 + 0.0104 4.7393 5.0099

Lampiran 16 Kadar Protein ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu

Sampel Kadar Protein (%

BB) x + SD (% BB) Kadar Protein (%

BK) x + SD (%

BK)

ISP 80.8079 80.7770 +

0.0438 87.6126 87.5791 +

0.0475 80.7460 87.5455

Susu 50.4991 50.5472+

0.0681 53.3825 53.4334 +

0.0720 50.5953 53.4843 Lampiran 17 Kadar Lemak ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu

Sampel Kadar Lemak (%BB) x + SD (% BB) Kadar Lemak (%

BK) x + SD (% BK)

ISP 2.3452 2.3732 +

0.0396 2.5427 2.5731 +

0.0430 2.4012 2.6034

Susu 18.7534 18.8825 +

0.1826 19.8242 20.5230 +

0.1930 19.0116 20.0971 Lampiran 18 Kadar Karbohidrat ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu

Sampel Kadar Karbohidrat (%BB)

x + SD (% BB)

Kadar Karbohidrat (% BK)

x + SD (% BK)

ISP 4.6446 4.7195 +

0.1059 5.0357 5.1169 +

0.1148 4.7944 5.1981

Susu 20.6789 20.4226 +

0.3624 21.8596 21.5887+

0.3831 20.1663 21.3178

Lampiran 19 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F1

Bahan Baku Formula (g)

Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi Harga/1

kg Harga Aktual

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

Tepung Badan Ikan Lele 50 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 4.00 2.22 29.36 4.98 9.44 150000 7500

Tepung Kepala Ikan Lele 50 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 4.36 8.27 25.58 4.29 7.52 75000 3750

Isolat Protein Kedelai 50 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 3.89 2.18 40.12 1.19 2.63 55000 2750

Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502

Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440

Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 133.20 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880

Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600

Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700

Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600

Total 1000 217.20 22.34 171.37 192.07 397.47

Baking Powder 4

0.00 0.00

30000 120

Soda Kue 2 12000 24

Kandungan Zat Gizi Adonan (%) 21.72 2.23 17.1 19.21 39.747 21.72 2.23 17.14 19.21 39.75 Kandungan Zat Gizi Biskuit(%) 4.2 2.73 21 23.51 48.642 3.85 2.73 20.97 23.51 48.64

Kontribusi Energi 0.00 0.00 83.89 211.55 194.57

Total Energi 490.01

Harga per resep 29866

Lampiran 20 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F2

Bahan Baku Formula (g)

Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi Harga/1

kg Harga Aktual

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

Tepung Badan Ikan Lele 70 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 5.59 3.11 41.10 6.97 13.22 150000 10500

Tepung Kepala Ikan Lele 30 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 2.62 4.96 15.35 2.57 4.51 75000 2250

Isolat Protein Kedelai 50 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 3.89 2.18 40.12 1.19 2.63 55000 2750

Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502

Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440

Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 133.20 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880

Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600

Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700

Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600

Total 1000 217.05 19.92 172.89 192.35 398.24

Baking Powder 4

0.00 0.00

30000 120

Soda Kue 2 12000 24

Kandungan Zat Gizi Adonan (%) 21.7054 1.99 17.3 19.23 39.82 21.71 1.99 17.29 19.23 39.82

Kandungan Zat Gizi Biskuit(%) 4.2 2.44 21.2 23.54 48.73 4.20 2.44 21.15 23.54 48.73

Kontribusi Energi 0.00 0.00 84.62 211.82 194.91

Total Energi 491.34

Harga per resep 31366

Lampiran 21 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F3

Bahan Baku Formula (g)

Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi Harga/1

kg Harga Aktual

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

Tepung Badan Ikan Lele 25 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 2.00 1.11 14.68 2.49 4.72 150000 3750

Tepung Kepala Ikan Lele 25 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 2.18 4.13 12.79 2.14 3.76 75000 1875

Isolat Protein Kedelai 100 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 55000 5500

Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502

Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440

Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 133.2

0 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880

Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600

Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700

Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600

Total 1000 216.9

1 19.2

8 184.02 188.62 391.62

Baking Powder 4

0.00 0.00

30000 120

Soda Kue 2 12000 24

Kandungan Zat Gizi Adonan (%) 21.691

1.93

18.4 18.86

39.162 21.25 2.03 17.55 19.36 39.85

Kandungan Zat Gizi Biskuit(%) 4.2

2.36

22.5 23.07

47.909 4.20 2.36 22.51 23.07 47.91

Kontribusi Energi 0.00 0.00 90.05 207.67 191.64

Total Energi 489.36

Harga per resep 26991

Lampiran 22 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F4

Bahan Baku Formula (g)

Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi Harga/1 kg

Harga Aktual Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

Tepung Badan Ikan Lele 35 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 2.80 1.55 20.55 3.49 6.61 150000 5250

Tepung Kepala Ikan Lele 15 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 1.31 2.48 7.67 1.29 2.25 75000 1125

Isolat Protein Kedelai 100 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 55000 5500

Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502

Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440

Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 133.20 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880

Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600

Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700

Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600

Total 1000 216.83 18.07 184.78 188.76 392.00

Baking Powder 4

0.00 0.00

30000 120

Soda Kue 2 12000 24

Kandungan Zat Gizi Adonan (%) 21.683 1.81 18.5 18.876 39.2 21.24 1.91 17.63 19.38 39.89

Kandungan Zat Gizi Biskuit(%) 4.2 2.21 22.6 23.09 47.95 4.20 2.21 22.60 23.09 47.95

Kontribusi Energi 0.00 0.00 90.41 207.81 191.81

Total Energi 490.03

Harga per resep 27741

Lampiran 23 Rekapitulasi uji hedonik biskuit

No Responden

Formula 555 735 221 311

W A T R K W A T R K W A T R K W A T R K 1 3 4 3 3 3 2 3 4 2 3 4 3 4 4 4 5 4 4 5 4 2 4 4 2 4 4 2 3 2 3 3 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4 3 4 4 2 3 3 4 4 3 2 4 3 3 2 2 3 4 4 3 4 4 4 2 2 3 4 4 1 3 2 4 4 2 2 3 3 4 4 3 4 4 4 5 4 4 1 2 2 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 6 3 4 3 2 3 3 4 3 3 4 4 3 4 3 3 4 4 4 3 4 7 3 3 2 4 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 4 3 4 4 4 8 5 5 5 5 5 3 4 4 4 4 4 4 5 5 4 5 4 3 4 4 9 4 3 3 4 3 3 4 3 2 3 4 4 4 5 4 4 4 4 3 3

10 4 2 2 2 4 2 2 4 4 2 4 3 4 2 4 4 3 4 4 3 11 2 4 2 2 2 4 3 4 2 2 2 4 2 1 2 4 3 4 4 4 12 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 3 3 5 3 13 3 4 2 3 4 2 4 5 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 14 4 5 4 4 2 3 3 3 3 4 4 3 3 4 2 4 4 4 3 4 15 2 4 2 4 4 4 3 4 4 3 3 4 3 4 3 4 3 4 3 3 16 4 3 4 4 4 4 4 3 2 4 4 5 4 3 4 5 4 4 3 4 17 4 4 4 2 2 5 3 4 2 2 4 3 3 4 4 4 3 4 4 4 18 2 4 2 3 3 2 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 19 4 4 3 2 4 3 2 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3 20 4 4 3 3 4 2 4 3 3 3 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4 21 5 4 2 2 2 2 3 3 3 3 4 2 4 3 3 5 3 5 4 4 22 1 3 2 4 4 3 4 3 3 3 2 3 2 5 5 4 5 4 3 3 23 3 4 3 4 3 4 3 2 4 3 5 4 4 2 2 3 4 4 4 4 24 3 4 2 4 5 2 4 2 5 5 2 4 2 4 4 4 4 4 5 3 25 3 5 2 5 2 3 5 3 4 4 3 5 5 4 4 3 3 5 5 5 26 3 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 2 2 3 5 2 5 5 5 27 3 3 2 5 4 2 2 4 4 4 4 3 3 4 4 5 3 4 4 4 28 2 2 4 2 3 2 3 4 2 2 4 4 4 4 4 4 3 3 4 3 29 2 3 2 3 3 2 2 4 3 3 3 4 2 4 4 4 3 5 3 4 30 3 2 3 3 3 3 2 3 4 4 4 3 4 3 4 4 3 4 4 4

Skor Modus

1 1 0 1 3 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2 6 4 14 8 6 11 5 4 7 5 4 2 6 4 3 0 1 0 0 0 3 10 5 9 8 12 10 13 11 10 13 7 12 9 8 8 2 14 4 7 8 4 11 17 5 11 10 7 11 14 12 11 18 14 13 14 18 22 14 22 18 20 5 2 3 1 0 2 1 1 1 1 1 1 2 2 3 1 6 1 4 5 2

Menerima 23 25 15 19 24 18 25 26 23 25 29 28 28 26 29 30 29 30 30 30 Presentasi Penerimaan Panelis 76.67 83.33 50.00 63.33 80.00 60.00 83.33 86.67 76.67 83.33 96.67 93.33 93.33 86.67 96.67 100.00 96.67 100.00 100.00 100.00

Lampiran 24 Hasil Uji Kruskal Wallis organleptik biskuit

Ranking

Formula N Rataan Rangking Warna 1 30 52.90

2 30 40.35 3 30 63.35 4 30 85.40 Total 120

Aroma 1 30 68.02

2 30 51.50 3 30 62.13 4 30 60.35 Total 120

Tekstur 1 30 37.07

2 30 60.98 3 30 60.12 4 30 83.83 Total 120

Rasa 1 30 53.95

2 30 51.12 3 30 60.62 4 30 76.32 Total 120

Statistik Ujia,b Warna Aroma Tekstur Rasa

Chi-Square 31.222 4.116 30.827 10.762

df 3 3 3 3

Asymp. Sig. .000 .249 .000 .013

a. Uji Kruskal Wallis

b. Variabel kelompok: Formula

Lampiran 25 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit

Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan. Lampiran 26 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit

Lampiran 27 Uji lanjut Tukey atribut rasa organoleptik biskuit Rasa

Tukey HSD

Formula N

Subset untuk alpha = 0.05

1 2 3

1 30 2.7000

3 30 3.3667

2 30 3.4000

4 30 4.0000

Sig. 1.000 .998 1.000

Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan.

Warna

Tukey HSD

Formula N

Subset untuk alpha = 0.05

1 2 3

2 30 2.8667

1 30 3.2333 3.2333

3 30 3.5333

4 30 4.1333

Sig. .311 .490 1.000

Tekstur

Tukey HSD

Formula N

Subset untuk alpha = 0.05

1 2 3

1 30 2.7000

3 30 3.3667

2 30 3.4000

4 30 4.0000

Sig. 1.000 .998 1.000

Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan.

Lampiran 28 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik balita No Responden Biskuit Substitusi Biskuit Komersil

1 Suka Suka 2 Suka Suka 3 Suka Suka 4 Tidak Suka Suka 5 Suka Suka 6 Biasa Tidak Suka 7 Suka Suka 8 Suka Tidak Suka 9 Suka Suka

10 Biasa Biasa 11 Tidak Suka Tidak Suka 12 Suka Suka 13 Suka Suka 14 Suka Suka 15 Suka Suka 16 Suka Suka 17 Suka Suka 18 Suka Suka 19 Suka Suka 20 Suka Suka 21 Suka Suka 22 Suka Suka 23 Suka Suka 24 Suka Suka 25 Suka Suka 26 Suka Suka 27 Suka Suka 28 Suka Suka 29 Suka Suka 30 Suka Suka

Skor Modus

Tidak Suka 2 3 Biasa 2 1 Suka 26 26

% Tidak Suka 6.67 10 % Biasa 6.67 3.33 % Suka 86.67 86.67

Lampiran 29 Hasil uji Paired-Samples T-Test penerimaan organoleptik balita

Statistik Sampel Berpasangan

Rataan N Std. Deviasi Std. Rataan Galat

Pasangan 1 Biskuit_Ikan_ISP 2.8000 30 .55086 .10057

Biskuit_Kontrol 2.7667 30 .62606 .11430

Uji Sampel Berpasangan

Perbedaan Pasangan

t df

Sig. (2-

ekor)

Rataan

Std.

Deviasi

Std.

Rataan

galat

95% Interval

Kepercayaan dari

Perbedaan

Batas

Atas

Batas

Bawah

Pasa

ngan

1

Biskuit_Ikan_ISP -

Biskuit_Kontrol .03333 .55605 .10152 -.17430 .24097 .328 29 .745

Lampiran 30 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik ibu balita No Responden Rasa Aroma Warna Tekstur

1 3 4 4 4 2 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 6 4 4 4 4 7 3 4 5 3 8 3 4 5 3 9 3 3 4 4

10 4 4 4 4 11 2 2 3 3 12 4 4 4 4 13 4 4 4 4 14 4 4 4 4 15 2 3 4 2 16 4 4 4 4 17 4 4 4 4 18 3 3 3 3 19 3 2 3 4 20 4 4 4 4 21 4 4 4 4 22 4 4 4 4 23 4 3 4 4 24 4 2 4 4 25 4 4 4 3 26 4 4 4 4 27 3 3 3 3 28 4 4 4 4 29 4 4 4 4 30 4 4 4 4

Skor Modus

Sangat Tidak Suka

- - - -

Tidak Suka

2 3 - 1

Biasa 7 5 4 6 Suka 21 22 24 23 Sangat Suka

- - 2 -

% Sangat Tidak Suka

- - - -

% Tidak Suka 6.67 10 - 3.33 % Biasa 23.33 16.67 13.33 20 % Suka 70 73.33 80 76.67 % Sangat Suka - - 6.67 -

Lampiran 31 Rendemen Biskuit Sampel Ulangan Rendemen (%) x + SD

Biskuit

1 83.49901 84.2942 + 1.1246

2 85.08946 Lampiran 32 Daya Serap Air Biskuit Sampel Ulangan Daya Serap Air (ml/g) x + SD (% BB)

Biskuit 1

1.7408

1.7866 + 0.0544 1.7393

2 1.8441 1.8222

Lampiran 33 Analisis Tekstur Biskuit

Sampel Ulangan Distance

mean first

peak-force

x + SD

Biskuit 1

1.07 246.9 264.6 + 27.9740

1.15 306.1

2 1.697 256.5 1.505 248.9

Lampiran 34 Kadar Air Biskuit

Sampel Ulangan Kadar Air (% BB)

x + SD (% BB)

Kadar Air (% BK)

x + SD (% BK)

Biskuit 1

3.9448 3.9620 + 0.3491

4.1068 4.1265 + 0.3792

3.8534 4.0079

2 4.4407 4.6470 3.6093 3.7445

Lampiran 35 Kadar Abu Biskuit

Sampel Ulangan Kadar Abu (% BB)

x + SD (% BB)

Kadar Abu (% BK)

x + SD (% BK)

Biskuit 1

2.2071 2.4223 + 0.2124

2.2981 2.5223 + 0.2212

2.2727 2.3665

2 2.6090 2.7167 2.6005 2.7078

Lampiran 36 Kadar Protein Biskuit

Sampel Ulangan Kadar Protein (% BB)

x + SD (% BB)

Kadar Protein (% BK)

x + SD (% BK)

Biskuit 1

18.3634 18.7712 +

0.6631

19.1209 19.5456 +

0.6905 18.0854 18.8315

2 19.1128 19.9012 19.5234 20.3289

Lampiran 37 Kadar Lemak Biskuit

Sampel Ulangan Kadar Lemak (%BB)

x + SD (% BB)

Kadar Lemak (% BK)

x + SD (% BK)

Biskuit 1

21.4268 21.1195 +

0.3381

22.3108 21.9908 +

0.3520 21.3928 22.2753

2 20.7780 21.6352 20.8803 21.7417

Lampiran 38 Kadar Karbohidrat Biskuit

Sampel Ulangan Kadar

Karbohidrat (%BB)

x + SD (% BB)

Kadar Karbohidrat (%

BK)

x + SD (% BK)

Biskuit 1

54.0580 53.7249 +

0.6105

56.2881 55.9413 +

0.6357 54.3956 56.6397

2 53.0595 55.2485 53.3863 55.5888

Lampiran 39 Kandungan Energi Biskuit Zat gizi gram/ 100 gram Konversi (kkal/gram) Energi (kkal)/100gram Karbohidrat 53.72 4 215 Protein 18.77 4 75 Lemak 21.12 9 190 Total 480 Lampiran 40 Daya Cerna Protein Biskuit

Sampel Ulangan pH akhir

Daya Cerna Protein (%) x + SD

Biskuit 1 6.793 87.5067

89.3438 + 2.5981 2 6.59 91.181

Lampiran 41 PerhitunganTakaran Saji tanpa Memperhitungkan Daya Cerna Protein Biskuit

Keterangan : X= jumlah biskuit yang harus dikonsumsi (gram)

A= protein yang harus dipenuhi (gram)

B= protein per 100 gram biskuit (gram)

Lampiran 42 PerhitunganTakaran Saji dengan Memperhitungkan Daya Cerna

Protein Biskuit

Keterangan : Y= jumlah biskuit yang harus dikonsumsi dengan

memperhitungkan daya cerna (gram)

C= daya cerna protein biskuit

X= jumlah biskuit yang dikonsumsi tanpa meperhitungkan

daya cerna (gram)