Portofolio ML Fal & Thypoid

51
PORTOFOLIO MALARIA FALCIPARUM DAN DEMAM TIFOID Kasus 2 Topik: Malaria Falciparum dan Demam Tifoid Tanggal (Kasus) : 21 Juli 2015 Presenter : dr. Apriliza Ralasati Tanggal Presentasi : 24 Juli 2015 Pendamping : dr. Sartika Sadikin Tempat Presentasi : RSUD RUPIT Objektif Presentasi : Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatu s Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil Deskripsi : Laki-Laki 30 tahun, Demam tifoid dengan hiperkolsetrolemia Tujuan : Tatalaksana Demam tifoid dengan hiperkolestrolemia, Mengetahui penyebab Demam tifoid dengan hiperkolestrolemia Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit Cara membahas Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos Data Pasie n: Nama : Tn. B Umur : 34 tahun Pekerjaan : Tani Alamat : Ma. Rupit Agama : Islam Bangsa : Indonesia No. Reg : 03_.....

description

portofolio thypoid dan malaria falciparum

Transcript of Portofolio ML Fal & Thypoid

PORTOFOLIO

MALARIA FALCIPARUM DAN

DEMAM TIFOID

Kasus 2

Topik: Malaria Falciparum dan Demam TifoidTanggal (Kasus) : 21 Juli 2015 Presenter : dr. Apriliza RalasatiTanggal Presentasi : 24 Juli 2015 Pendamping : dr. Sartika SadikinTempat Presentasi : RSUD RUPITObjektif Presentasi : Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatus

Bayi Anak Remaja Dewasa

Lansia Bumil

Deskripsi : Laki-Laki 30 tahun, Demam tifoid dengan hiperkolsetrolemia Tujuan : Tatalaksana Demam tifoid dengan hiperkolestrolemia, Mengetahui penyebab Demam tifoid dengan hiperkolestrolemiaBahan Bahasan :

Tinjauan Pustaka

Riset Kasus Audit

Cara membahas Diskusi Presentasi dan diskusi

Email Pos

Data Pasien:

Nama : Tn. B Umur : 34 tahun Pekerjaan : TaniAlamat : Ma. Rupit Agama : Islam Bangsa : Indonesia

No. Reg : 03_.....

Nama RS: RSUD RUPIT Telp : Terdaftar sejak :Data utama untuk bahan diskusi:1. Diagnosis / Gambaran Klinis: Malaria Falciparum dan Demam tifoid / Keadaan Umum Sakit sedang.2. Riwayat Pengobatan : -3. Riwayat Kesehatan / Penyakit : Sejak enam hari sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa badannya

terasa lesu, kemudian pasien mengeluh demam sepanjang hari,demam timbul

mendadak, mengigil pada malam hari. Demam menurun saat pagi hari namun

badan pasien masih terasa hangat . Pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa

pada pagi hari. Pasien juga mengeluh badannya terasa sakit dan pegal-pegal, nafsu

makannya kurang serta mual tidak disertai muntah. Kepala pasien terasa sakit

seperti diikat. Pasien tidak berobat hanya minum obat warung. Keluhan pasien

tidak berkurang.

Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh demamnya

semakin tinggi dan pada malam hari semakin mengigil kemudian demam turun

disertai pasien berkeringat banyak. Pasien mengaku sulit BAB. BAK pasien

normal tidak berwarna kuning. Perut pasien terasa sakit seperti ditusuk di sekitar

ulu hati dan pusar. Pasien mengaku mual , pasien muntah 2 kali, isi apa yang

dimakan, tidak disertai darah. Banyaknya tiap muntah ± ½ gelas belimbing. Lidah

pasien terasa pahit. Badan pasien terasa lemas dan badan pasien mulai terasa

hangat, pasien lalu datang ke RSUD Rupit.

4. Riwayat Keluarga : Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.5. Riwayat Pekerjaan : pasien bekerja sebagai tani6. Lain-lain : Riwayat kencing manis, darah tinggi, dan riwayat penyakit infeksi lainnya. Disangkal7. Riwayat berpergian keluar daerah endemik malaria disangkal.

8. Riwayat transfusi darah disangkal.

8. Riwayat kebiasaan

Penderita jarang mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, setelah buang air besar dan kecil.

Penderita merokok 1 bungkus perhari. Penderita sering makan sayur, buah dan minum air putih. Penderita jarang olahraga.

Daftar Pustaka:Malaria Falciparum

1. Nasroudin, Hadi W, Erwin AT, dkk. Penyakit infeksi di Indonesia. Editor: Nasroudin, Hadi W, Erwin AT, dkk. Fakultas Kedokteran Airlangga:Surabaya; 2009 : 441-48

2. Harijanto PN, Nugroho A, Gunawan CA. Malaria Dari Molekuler ke Klinis. Edisi ke-2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2009 : 1-250

3. Zulkarnaen I, Malaria Berat. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-1. Fakultas Kedokteran Indonesia:Jakarta; 1999 : 504-08

4. Rani AA, Soegondo S, Wijaya IP. Panduan Pelayanan Medik PAPDI. Editor’s. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:Jakarta ; 2006 : 148-

2

51

5. WHO and Unitet Nations International Children’s Emergency Fund. 2005. World Malaria Report.

6. Syafrudin D, Asih PB, Casey GJ, dkk. Moleculer Epidemiology of Plasmodium Falsiparum Resistance to Antimalaria Drugs in Indonesia. 2005; 72 : 174-82

7. Cook GC. Prevntion and Treatment of Malaria. The Lancet. 1988; 2 : 32-38

8. Hofman SL. Diagnosis, Treatment and Prevontion of Malaria. Medical Clinic of North America 1994(6); 76 : 1327-60

Demam Tifoid

1. World Health Organization. [Online].Available from: http://www.who.int/topics/typhoid_fever/en/.

2. Widodo D. DEMAM TIFOID. In Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2006. p. 1752-1757.

3. Nugroho H. NILAI DIAGNOSTIK TYPHOID DIPSTICK ASSAY PADA DEMAM TIFOID. Pendidikan Program Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam. Semarang: Universitas Diponegoro, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran; 1999.

4. Parry CM, Hien TT, Doughan G, Farrar JD. TYPHOID FEVER. New England Journal of Medicine. 2002 November; 347(20).

5. Bhutta ZA, Khan MI, Soofi SB, Ochiai RL. New Advances in Typhoid Fever. In Curtis N, Finn A, Pollard AJ, editors. Hot Topics in Infection and Immunity in Children VII. NewYork: Springer; 2011. p. 17-35.

6. Prasetyo RV, I. Pediatric.com. [Online]. Available from: www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.doc.

7. Background document:The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever Geneva: WHO; 2003.

8. Nelwan RHH. Demam: Tipe dan Pendekatan. In Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiadi S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2006. p. 1697-1706.

9. Guyton AC, Hall EJ. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11 th ed. Rachman LY, editor. Jakarta: EGC; 2007.

10. Khosla SN AASUKA. PubMed. [Online].Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7502322.

11. WHO. World Health Organization. [Online].; Available from:

3

http://www.who.int/topic/typhoid_fever/en/.

Hasil Pembelajaran1. Diagnosis Malaria falciparum dan Demam Tifoid2. Mekanisme terjadinya Malaria falciparum dan demam tifoid3. Edukasi pada keluarga mengenai Malaria falciparum dan demam tifoid4. Langkah-Langkah Penatalaksanaan Malaria falciparum dan demam tifoid5. Motivasi kepatuhan pencegahan berulang

1. Subjektif : Sejak enam hari sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa badannya

terasa lesu, kemudian pasien mengeluh demam sepanjang hari,demam timbul

mendadak, mengigil pada malam hari. Demam menurun saat pagi hari namun

badan pasien masih terasa hangat . Pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa

pada pagi hari. Pasien juga mengeluh badannya terasa sakit dan pegal-pegal, nafsu

makannya kurang serta mual tidak disertai muntah. Kepala pasien terasa sakit

seperti diikat. Pasien tidak berobat hanya minum obat warung. Keluhan pasien

tidak berkurang.

Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh demamnya

semakin tinggi dan pada malam hari semakin mengigil kemudian demam turun

disertai pasien berkeringat banyak. Pasien mengaku sulit BAB. BAK pasien

normal tidak berwarna kuning. Perut pasien terasa sakit seperti ditusuk di sekitar

ulu hati dan pusar. Pasien mengaku mual , pasien muntah 2 kali, isi apa yang

dimakan, tidak disertai darah. Banyaknya tiap muntah ± ½ gelas belimbing.Lidah

pasien terasa pahit. Badan pasien terasa lemas, pasien lalu datang ke RSUD Rupit.

Gejala – gejala yang pasien alami menunjukkan manifestasi klinis malaria dengan

diagnosis banding demam tifoid.

2. Objektif :

Dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium dapat ditegakkan diagnosis Malaria

4

falciparum dan demam tifoid

o Gejala Klinis :

Pasien mengalami demam terus menerus selama enam hari yang dirasakan naik

turun dan menggigil pada malam hari serta timbul banyak keringat ketika demam

turun. Pasien juga mengeluh badannya terasa pegal dan sakit, pasien juga

mengeluh sakit kepala seperti diikat. Pasien mengeluh sulit BAB, muntah, nafsu

makan menurun, lidah terasa pahit dan pasien merasa badannya lemas. Dari gejala

ini menunjukkan klinis mengarah ke malaria falciparum dan demam tifoid.

Dari kondisi tersebut, kita menilai bahwa pasien pertama mengalami gejala

prodromal berupa badan pasien terasa lesu. Pasien kemudian mengalami demam

yang meningkat dan mengigil pada malam hari, demam turun disertai keringat

serta demam turun tapi badan masih terasa hangat pada pagi hari dan kondisi ini

berlangsung selama enam hari sebelum pasien masuk rumah sakit. Dari gejala

klinis ini, kita menilai bahwa pasien mengalami pola demam khas pada malaria,

yaitu trias malaria dimana terdapat tiga fase yaitu fase panas, fase dingin dan fase

berkeringat. Pasien juga mengalami pola demam seperti pada demam tifoid yaitu

demam menurun pada pagi hari namun badan masih terasa hangat dan pasien

masih dapat beraktivitas seperti biasa.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan Umum

Keadaan sakit : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis, GCS 15

Tekanan Darah : 140/90 mmHg

Nadi : 68 kali per menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Pernafasan : 20 kali per menit, thoracoabdominal

Suhu : 37,5o C (aksila)

Status generalisata o Kepala :

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil isokor,

5

RC (+/+) Ø 3mm/3mm.

Hidung : Nafas cuping hidung (-/-)

Mulut : Coated tongue (+), atrofi papil lidah (-)

o Leher : JVP(5-2) mmHg, pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)

o Thorak : Bentuk dada normal, retraksi (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok(-)

krepitasi (-), penggunaan otot bantu nafas (-)

Paru Inspeksi : Statis simetris kanan dan kiri, dinamis kanan = kiri, tidak ada yang tertinggal Palpasi : Stemfremitus kanan=kiri Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru Auskultasi: Vesikuler (+) normal kanan = kiri, ronkhi (-) kedua paru, wheezing (-)

Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat Palpasi : ictus cordis teraba linea axilaris anterior sinistra ICS VI Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis dextra, batas kiri linea axilaris anterior sinistra ICSVI Auskultasi :HR 96 x/menit, reguler, Bunyi Jantung I dan II normal, Murmur (-), Gallop (-)

o Abdomen

Inspeksi : datar, scar (-)

Palpasi : lemas, nyeri tekan (+) epigastium , hepar tidak teraba,

Lien teraba shuffner 1.

Auskultasi: bising usus (+) normal

Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

o Genital (Tidak diperiksa)

o Ekstremitas

Ekstremitas atas : Gerakan bebas, edema (-/-), jaringan parut (-),

pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), jari

tabuh (-), turgor < 2 detik, sianosis (-).

Ekstremitas bawah : Gerakan bebas, jaringan parut (-), pigmentasi

6

normal, telapak kaki pucat (-), jari tabuh (-),

turgor kembali lambat (-), edema pretibia dan

pergelangan kaki (-/-).

Pemeriksaan Penunjang :Pemeriksaan darah rutin

Hemoglobin : 15,9 (dbn) Eritrosit 5,4 juta sel (dbn)

Hematokrit 4 vol % (dbn) Leukosit 8600/ mm3 (dbn)

Trombosit 135.000 (dbn).

Pemeriksaan Serologik widal tes :

Widal tes O : 1/320 (positif infeksi akut S.thypi)

Widal tes S. Thypi H : 1/160

pemeriksaan mikrobiologi : malaria falciparum (+)

3. Assessment :Tuan B, laki-laki berusia 34 tahun sudah menikah, pekerjaan petani datang dengan

keluhan utama demam dan badan terasa lemas. Keluhan pasien pertama didahului

dengan badan pasien terasa lesu, lalu timbul demam yang berlangsung sejak enam

hari sebelum pasien masuk rumah sakit, hilang timbul, hangat pada malam hari

namun pasien merasa mengigil pada malam hari,demam turun disertai keringat

banyak.

Dari kondisi tersebut, kita menilai bahwa pasien pertama mengalami gejala

prodromal berupa badan pasien terasa lesu. Pasien kemudian mengalami demam

yang meningkat dan mengigil pada malam hari, demam turun disertai keringat

serta demam turun tapi badan masih terasa hangat pada pagi hari. Dari gejala

klinis ini, kita menilai bahwa pasien mengalami pola demam khas pada malaria,

yaitu trias malaria dimana terdapat tiga fase yaitu fase dingin, fase panas dan fase

berkeringat.

Hal ini disebabkan oleh pecahnya sel darah merah yang terinfeksi Plasmodium

dapat menyebabkan timbulnya gejala demam disertai menggigil. Periodisitas

7

demam pada malaria berhubungan dengan waktu pecahnya sejumlah skizon

matang dan keluarnya merozoit yang masuk aliran darah (sporulasi). Respon yang

terjadi bila organisme penginveksi telah menyebar di dalam darah, yaitu

pengeluaran suatu bahan kimia oleh makrofag yang disebut pirogen endogen

(TNF alfa dan IL-1).

Gambar 1 : siklus malaria (gambar diperoleh dari cdc.gov)

Pirogen endogen ini menyebabkan pengeluaran prostaglandin, suatu perantara

kimia lokal yang dapat menaikan termostat hipotalamus yang mengatur suhu

tubuh. Setelah terjadi peningkatan titik patokan hipotalamus, terjadi inisiasi

respon dingin, dimana hipotalamus mendeteksi suhu tubuh di bawah normal,

sehingga memicu mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu. Respon

dingin tersebut berupa menggigil dengan tujuan agar produksi panas meningkat

dan vasokonstriksi kulit untuk segera mengurangi pengeluaran panas. Pasien juga

mengalami pola demam seperti pada demam tifoid yaitu demam menurun pada

8

pagi hari namun badan masih terasa hangat dan pasien masih dapat beraktivitas

seperti biasa.

Pada keluhan tambahan didapatkan keluhan berupa kepala pasien terasa sakit

yang umumnya disebabkan oleh infeksi Plasmodium melepaskan toksin malaria

atau GPI sehingga mengaktifasi makrofag dan mensekresikan IL 2 dan terjadi

sintesis bradikinin mestimulus /respon serabut saraf di otak sehingga timbullah

sakit kepala. Pasien juga mengeluh sulit BAB, sakit perut, muntah dan nafsu

makan menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi dari malaria maupun

salmonella thypii yang menginvasi sistem pencernaan pasien. Seperti yang sudah

kita ketahui bahwa pada demam tifoid terjadi mekanisme dimana masuknya

kuman Salmonella typhi (S typhi) dan Salmonella paratyphi (S.paratyphi) ke

dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.

Sebagian kuman dimusnahkan di dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam

usus dan selanjutnya berkembang biak.

Pada riwayat penyakit dahulu pasien menyangkal pernah mengalami penyakit

yang sama sebelumnya. Pasien juga menyangkal pada keluarga dan lingkungan

sekitar menderita penyakit yang sama. Pasien tidak mendapatkan transfuse darah

sebelumnya. Pasien tidak berpergian ke daerah endemis malaria. Dari anamnesis

ini pasien masih dalam diagnosis malaria dengan diagnosis banding demam tifoid.

Pada riwayat kebiasaan pasien diketahui bahwa pasien menjalani pola kebersihan

lingkungan dan higienitas yang kurang baik. Hal ini dapat mengarahkan pasien

pada kemungkinan terjadinya infeksi salmonella thypii yang masuk melalui

perantara makanan maupun minuman pasien yang kurang higienis.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital pasien dalam batas normal,

kesadaran pasien baik. Pada pemeriksaan status generalisata didapatkan lidah

kotor (+) , nyeri tekan pada epigastrium serta lien shuffner 1. Lidah kotor disini

disebabkan oleh penumpukan bakteri pada epitel lidah dan terjadi deskuamasi sel

epitel. Lien teraba shuffner 1 menunjukkan adanya banyak parasit dalam

makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang

tidak terinfeksi. Hal ini menunjukkan pemeriksaan yang mengarah pada malaria

dan tifoid karena tifoid juga dapat ditemukan splenomegali.

9

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan pada pemeriksaan widal titer O yang

meningkat yaitu sebesar 1/360 yang menunjukkan peningkatan antibodi tubuh

terhadap bakteri salmonella thypii. Pemeriksaan darah pada demam tifoid

terutama titer O paling baik ditemukan pada seminggu pertama pasien mengalami

keluhan demam.

Pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan adanya malaria falciparum pada pasien.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang maka diagnosis

mengarah kepada Malaria Falciparum dan demam tifoid.

4. Plan : Diagnosis : Malaria falciparum dan demam tifoid

Penatalaksanaan :Non farmakologi :

- Tirah baring- Diet lunak rendah serat

Farmakologi :- IVFD RL gtt xxx/menit- Ranitidin 2x50mg (iv)- Tiamfenikol 4 x 500mg (p.o)- FDC (Fixed Drug Combination) DHP 1 x 3 tablet (p.o) dan Primakuin

1 x 2 tablet (p.o) -

Prognosis Vitam : dubia ad bonamFunctionam : dubia ad bonam Edukasi keluarga :

1. Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit dan tatalaksana yang akan diberikan

2. Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien mengenai kondisi klinis pasien jika penyakit pasien terulang kembali dan tanda-tanda yang mengharuskan pasien dibawa secepatnya kerumah sakit.

3. Memperbaiki higienitas maupun sanitasi di lingkungan keluarga agar preventif terhadap penyakit tifoid menyeluruh.

Edukasi pasien :Modifikasi gaya hidup, modifikasi pola makan, edukasi agar pasien berobat teraturKonsultasi : Jika terjadi komplikasi lebih lanjut, pasien dirujuk ke penyakit dalam.

10

TINJAUAN PUSTAKA

1. Malaria Falciparum

11

1.1 Definisi

Plasmodim falsiparum adalah salah satu organisme penyebab malaria.

Plasmodium ini merupakan jenis yang paling berbahaya dibanding dengan

plasmodium yang lain yang menginfeksi manusia seperti P. vivax, P. malariae dan

P. ovale. Saat ini P. falciparum merupakan salah satu spesies penyebab malaria

yang paling banyak diteliti. Hal tersebut karena spesies ini banyak menyebabkan

angka kematian dan kesakitan pada manusia, selain itu juga karena dapat

ditumbuhkan dalam jangka waktu yang lama secara in vitro.1, 2

1.2 Epidemiologi

Penyakit ini pernah diberantas di banyak negara, namun kemudian muncul

kembali. Saat ini malaria berjangkit di 103 negara dan separuh penduduk dunia

hidup di tempat beresiko mengalami malaria. Dari 300 juta penduduk yang

terjangkit malaria, 3 juta diantaranya meninggal dunia yang berarti beberapa ratus

dalam tiap jamnya.1

Selain kemunculannya kembali, masalah lainnya adalah resisitensi parasit

terhadap obat anti malaria dan resistensi nyamuk terhadap pestisida. Malaria juga

mengancam daerah-daerah yang sebelumnya bukan daerah endemic malaria,

mengancam kesehatan traveler serta member beban kepada masyarakat.1

Pada tahun 2006 terjadi Kejadian Luar Biasa malaria di beberapa daerah.

Upaya penanggulangan baik dengan pengobatan secara massal, survey demam,

penyemprotan rumah, penyelidikan vector penyakit dan tindakan lain telah

dilakukan dengan baik. Beberapa factor yang turut membuat terjadinya KLB ini

disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan tempat perindukan potensial

semakin meluas atau semakin bertambah. Salah satu yang menyebabkan KLB

(Kejadian Luar Biasa) ini adalah malaria Falsiparum.2

1.3 Patogenesis

12

Patogenesis malaria sangat kompleks dan seperti pathogenesis penyakit

infeksi pada umumnya melibatkan factor parasit, factor penjamu, factor social dan

lingkungan. Ketiga factor tersebut saling terkait satu sama lain dan menentukan

manisfestasi klinis malaria yang bervasiasimulai dari yang terberat seperti malaria

serebral sampai infeksi yang paling ringan, yaitu infeksi asimtomatik.2, 3

Pada factor parasit berbagai factor menentukan dalam terjadinya infeksi ini

meliputi resistensi terhadap obat anti malaria, kemampuan parasit dalam

menghindari diri dari respon system imun tubuh host melalui variasi antigenic.

Factor yang paling penting dari parasit adalah pembentukkan sitoadherens dan

pembentukan roset serta berbagai toksin dalam malaria. Sitoadherens adalah

ikatan antara eritrosit yang terinfeksi dengan endotel vascular terutama kapiler

postvenula, menyebabkan terjadinya sekuestrasi parasit pada kapiler-kapiler

organ. Hal ini menyebabkan eritrosit yang terinfeksi melekat pada kapiler-kapiler

13

organ tubuh, menimbulkan gangguan aliran darah local dan jika berat akan

menimbulkan iskemia dan hipoksia dengan hasik akhir adalah kegagalan organ.

Sedangkan roseting adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi dengan beberapa

eritrosit yang tidak terinfeksi membentuk suatu gumpalan yang disebut roset.

Roseting terjadi karena eritrosit yang terinfeksi melepaskan protein tertentu yang

menimbulkan perlekatan dengan eritrosit yang tidak terinfeksi. Hal ini akan

mengakibatlkan rusaknya eritrosit lain yang normal sehingga asupan oksigen

menjadi terganggu, terjadi hipoksia organ dan terjadi gagal organ.1, 2

Toksin parasit sebagian berasal dari parasit sendiri sebagian berasal dari

eritrosit terinfeksi yang pecah sewaktu proses skizogoni yang mengeluarkan

toksin seperti glycosylphosphatidylinositols (GPI), hemozosin atau yang berasal

dari antigen parasit seperti MSP-1, MSP-2, RAP-1. Toksin tersebut akan

merangsang pengeluaran NO dengan memicu enzim inducible nitric oxide

synthase (iNOS). Pengeluaran NO dalam jumlah berebihan akan mengganggu

berbagai fungsi sel tubuh. Kadar NO yang terlalu tinggi juga akan meningkatkan

sitoadherens dan sekuasterasi parasit.3, 4, 6

Faktor pejamu yang berperan meningkatkan infeksi malaria adalah seperti

umur, genetic, nutrisi, imunitas dan terutama peran dari mediator yang dihasilkan

oleh makrofag, limfosit, leokosit, sel endotel, trombosit akibat rangsangan dari

toksin ataupun antigen parasit. Di daerah endemis stabil, malaria berat terutama

malaria serebral umumnya diderita oleh anak-anak umur 1-4 tahun , setelah itu

hanya ditemukan anemia pada usia pubertas sedangkan pada dewasa umumnya

adalah asimtomatik. Hal ini mungkin disebabkan respon imun terhadap malaria

pada anak terbentuk lebih lambat. Di daerah endemis tidak stabil malaria berat

dapat ditemukan hampir pada semua umur. Selain itu ada beberapa penelitian

bahwa orang dewasa non-imun lebih peka terhadap malaria berat dibanding

dengan anak-anak non-imun, tetapi orang dewasa non-imun mampu membentuk

imunitas klinik dan parasitologis lebih cepat dibanding anak-anak non-imun.2, 4

14

Faktor nutrisi mungkin berperan menentukan kepekaan dalam malaria

berat. Pada beberapa penelitian malaria berat sangat jarang ditemukan pada anak-

anak. Defisiensi besi, riboflavin, PABA mungkin mempunyai efek protektif

terhadap malaria berat karena kekurangan zat gizi tersebut akan menghambat pula

pertumbuhan parasit.1

1.4 Gejala Klinis

Gejala klinis malaria meliputi keluhan dan tanda klinis yang merupakan

petunjuk penting dalam diagnosis malaria. Gejala klinis tersebut dipengaruhi oleh

strain plasmodium, imunitas tubuh dan jumlah parasit yang menginfeksi. Gejala

tersebut juga dipengaruhi oleh endemisitas tempat infeksi (berhubungan dengan

imunitas) dan pengaruh pemberian pengobatan profilaksis atau pengobatan yang

tidak adekuat. Gejala P. falciparum umumnya lebih berat dan lebih akut

dibandingkan dengan jenis lain, sedangkan gejala oleh P. malariae dan P. ovale

ditemukan yang paling ringan.4

Gejala-gejala prodormal malaria hampir sama dengan penyakit infeksi

lain, yaitu adanya lesu, malaise, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri tulang

dan otot, anorexia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa

dingin di punggung. Keluhan ini dapat sering terjadi pada infeksi P. vivax dan P.

ovale. Sedangkan pada P. falciparum dan P. malariae gejala ini dapat tidak jelas

bahkan dapat muncul mendadak. Setelah itu dapat terjadi gejala khas Trias

Malaria yang secara berurutan, yaitu menggigil, demam, berkeringat. Trias

malaria ini dapat berlangsung 6-10 jam dan lebih sering terjadi pada infeksi P.

vivax. Pada P. falciparum menggigil dapat berlangsung lebih berat ataupun tidak

ada. Periode bebas panas pada P. falciparum berlangsung 12 jam, pada P. vivax

dan P. Ovale berlangsung 36 jam, pada P. Malariae berlangsung 60 jam.1, 2

Beberapa gejala klinis khas dari keempat jenis parasit yang menyebabkan

malaria antara lain:

15

Plasmodium Manisfestasi klinis

Falciparum Gejala gastrointestinal (mual muntah),

hemolisis, anemia, ikterus,

hemoglobinuria, syok, algid malaria,

gejala serebral (sakit kepala, kejang),

edema paru, hipoglikemi, gagal ginjal

akut, kelainan retina, kematian

Vivax Anemia kronik, splenomegali, rupture

limpa

Ovale Sama dengan vivax

Malariae Splenomegali menetap, limpa jarang

rupture, sindrom nefrotik

1.5 Diagnosis dan Penatalaksaan

Diagnosis malaria yang cepat dan tepat merupakan hal yang sangat

diperlukan dalam penatalaksanaan kasus malaria. Hal tersebut terutama

berhubungan dengan infeksi P. falciparum yang dapat menyebabkan malaria berat

ataupun malaria dengan komplikasi. Bagi seorang dokter umum anamnesis

adanya riwayat bepergian ke daerah endemis malaria selama lebih kurang 2

minggu sebelum timbul gejala klinis dapat sangat membantu dalam diagnosis.

Gejala klinis yang khas antara lain demam tinggi yang dapat disertai gangguan

kesadaran, ikterik, gangguan berkemih, muntah-muntah hebat, pembesaran limpa

dan trias Malaria dapat terjadi pada seseorang yang baru pertama terinfeksi

malaria. Bagi orang yang bertempat tinggal di daerah endemis biasanya penderita

sudah mempunyai kekebalan walaupun tidak spesifik sehingga gejalanya hanya

berupa demam, sakit kepala, lemah, kadang menggigil dan sebagainya.2

Meskipun anamnesis dan pemeriksaan fisis sangat mendorong kearah

malaria, diagnosis pasti tetap harus ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium.

Bila pada hapusan darah dan laboratorium terdapat plasmodium dan antibody

16

terhadap malaria maka diagnosis pasti malaria dapat ditegakkan. Bila pada

hapusan darah dan laboratorium negative, maka pemeriksaan perlu dilakukan

berulang-ulang. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan yang sangat sensitive

dan spesifik untuk deteksi Plasmodium seperti melalui Moleculer Assay, ELISA

dan PCR. Pemeriksaan PCR sangat berguna pada kasus-kasus dengan derajat

parasitemia yang rendah.2, 6, 8

Pengobatan malaria falsiparum

Lini pertama: dengan Fixed Dose Combination = FDC yang terdiri dari

Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) tiap tablet mengandung 40 mg

Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin.

            

Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) sampai dengan 59 kg  diberikan DHP

peroral 3 tablet satu kali per hari  selama 3 hari dan Primakuin 2 tablet sekali

sehari satu kali pemberian, sedang untuk BB > 60 kg diberikan 4 tablet DHP satu

kali sehari selama 3 hari dan Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali pemberian. 

Dosis DHA = 2 - 4 mg / kgBB (dosis tunggal), Piperakuin = 16 - 32 mg / kgBB

(dosis tunggal), Primakuin = 0,75 mg / kgBB (dosis tunggal). 

Pengobatan malaria falsiparum yang tidak respon terhadap pengobatan DHP.

Lini kedua: Kina + Doksisiklin / Tetrasiklin + Primakuin. Dosis kina = 10 mg /

kgBB / kali (3x / hari selama 7 hari), Doksisiklin = 3,5 mg / kgBB per hari  

(dewasa, 2x / hr selama 7 hari), 2,2 mg / kgBB / hari (8-14 tahun, 2x / hr selama 7

hari), Tetrasiklin = 4-5 mg / kgBB / kali (4x / hari selama 7 hari).

Pengobatan malaria vivax dan ovale  

Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP), diberikan peroral

satu kali per hari  selama 3 hari, primakuin= 0,25mg / kgBB / hari (selama 14

hari). 

17

Pengobatan malaria vivax yang tidak respon terhadap pengobatan DHP.  

Lini kedua: Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg / kgBB / kali (3x / hr selama 7

hari), Primakuin = 0,25 mg / kgBB (selama 14 hari).

•        Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh):

-        Diberikan lagi regimen DHP yang sama tetapi dosis primakuin ditingkatkan

menjadi 0,5 mg / kgBB / hari.

-        Dugaan relaps pada malaria vivax adalah apabila pemberian Primakiun dosis 0,25

mg / kgBB / hr sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit kembali dengan

parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan. 

Pengobatan malaria malariae  

Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan dosis sama dengan

pengobatan malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan pengobatan malaria

lainnya dan tidak diberikan Primakuin. 

Pengobatan infeksi campuran antara malaria falsiparum dengan malaria

vivax / malaria ovale dengan DHP.

Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan DHP 1 kali per hari selama 3

hari, serta DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta Primakuin dosis 0,25 mg /

kgBB selama 14 hari.

Pengobatan malaria pada ibu hamil 

•        Trimester pertama:

-        Kina tablet 3x 10 mg / kg BB + Klindamycin 10 mg / kgBB selama 7 hari.

•        Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP tablet selama 3 hari.

•        Pencegahan / profilaksis digunakan Doksisiklin 1 kapsul 100 mg / hari diminum 2

hari sebelum pergi hingga 4 minggu setelah keluar / pulang dari daerah endemis.

18

2. Demam Tifoid

2.1 DEFINISI

Demam tifoid adalah penyakit, yang disebabkan oleh Salmonella typhi.

Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang

terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi..  Demam tifoid adalah

penyakit infeksi pada usus halus. Demam tifoid disebut juga paratyphoid fever,

enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis. (1)

Gejala biasanya berkembang 1-3 minggu setelah terpapar  dan

menunjukkan gejala yang mungkin ringan atau berat. Gejala termasuk demam

tinggi, malaise, sakit kepala, konstipasi atau diare, muncul bintik merah pada

dada, dan pembesaran limpa dan hati. Carrier yang sehat dapat memperlihatkan

gejala penyakit akut. (1)

Demam tifoid dapat diobati dengan antibiotik. Namun, resistansi terhadap

antimikroba telah meluas. (1)

2.2                EPIDEMIOLOGI

Demam tifoid terjadi diseluruh dunia, terutama di Negara berkembang

yang memiliki sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia, Afrika,

Amerika latin, dan pasifik. Demam tifoid merupakan penyakit endemik di

Indonesia. Insidensi demam  tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait

dengan sanitasi lingkungan. Di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000

penduduk sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.

Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih

yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang

kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. (2)

2.3 ETIOLOGI

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sedangkan demam

paratifoid disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan

Salmonella paratyphi C. (3)

19

Salmonella typhi tergolong dalam famili Enterobacteriaceae, adalah

kuman  gram negatif  berbentuk batang, memiliki flagella, tidak membentuk

spora, fakultatif anaerobik bergerak aktif. Bakteri ini mempunyai panjang kurang

lebih 3 mikron lebar 0,5 mikron. Kuman ini memiliki 3 macam antigen. Antigen

somatik O atau antigen somatik berasal dari dinding sel kuman, antigen flagelar

(H) berasal dari cambuk kuman dan antigen Vi berupa bahan termolabil yang

diduga sebagi pelapis tipis dinding sel kuman. Antigen O merupakan bahan

kompleks polisakarida yang penting untuk menentukan virulensi kuman. (3)

2.4 PATOGENESIS

Masuknya kuman Salmonella typhi (S typhi) dan Salmonella paratyphi

(S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang

terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan di dalam lambung,

sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila

respons imunitas humral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan

menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di

lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama

oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam  makrofag dan

selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian  ke kelenjar getah

bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torakikus kuman yang terdapat di

dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia

pertama yang asimtomatik), dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotial

tubuh terutama hati dan limpa . Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel

fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan

selanjutnya masuk ke dalam  sirkulasi darah lagi mengakibakan bakterimia yang

kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. (2)

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak

dan bersama cairan empedu dieksresikan secara “intermitten” ke dalam lumen

usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke

dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,

berhubung  makrofag  telah teraktivasi dan hiperaktif  maka saat fagositosis

20

kuman  Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang

selanjutnya akan  menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,

malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental,

dan koagulasi. (2)

Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hyperplasia  jaringan (S.typhi  intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas

tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna

dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang

mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di

dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke

lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. (2)

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,

pernapasan, dan gangguan organ lainnya. (2)

2.5 DIAGNOSIS

Penegakan kasus sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan

terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis

penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secar dini. Walaupun

pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu

menegakkan diagnosis. (2)

Untuk Mendiagnosis klinis demam tifoid cukup sulit. Di area endemik

tifoid, demam yang tidak deketahui penyebabnya yang berlangsung lebih dari satu

minggu dapat di curigai demam tifoid. Kultur darah dapat dijadikan diagnosis

standar. Kultur sumsum tulang lebih sensitif. Kultur darah kurang sensitif

dibandingkan dengan  kultur  sumsum  tulang karena jumlah mikroorganisme

yang ditemukan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang ditemukan di

sumsum tulang. Kultur darah lebih sensitif pada minggu pertama yang dapat

menurun dengan  pemberian antibiotik. Kultur tinja ditemukan positif pada 30%

kasus dan memiliki sensitivitas tergantung pada jumlah tinja dan lama

penyakit. (4)

21

Penggunaan tes widal masih kontroversial karena sensitivitas, spesifitas

dan nilai prediksi yang digunakan sangat bervariasi tergantung letak area

geografis. Tes ini mendeteksi aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dari

Salmonella enterica serotype typhi. Meskipun begitu, tes widal masih digunakan

pada daerah lokal yang telah diketahui cut of point nya. (4)

A.    MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis demam tifoid bervariasi mulai dari yang ringan hingga

yang bentuk yang berat seperti syok toksik. Gejala yang ditimbulkan seperti

demam tinggi (104oF), keringat banyak, gangguan buang air besar berupa

konstipasi pada dewasa dan diare pada anak, malaise, mialgia, batuk kering yang

menyerupai bronkhitis, anoreksia, mual, dan pada pada beberapa kasus ditemukan

non-bloody diarrhea. Jika demam  lebih darai 5 hari, bintik-bintik merah mungkin

ditemukan.

Masa inkubasi pada demam tifoid tanpa komplikasi berkisar 10-14 hari.

Malaise dan letargi dapat berlanjut hingga beberapa bulan saat penyakit muncul.

Jika tidak di obati, demam tifoid dapat berkembang hingga ke stadium empat

dimana tiap stadium berakhir dalam 1 minggu.

Pada minggu pertama, suhu tubuh meningkat secara perlahan-lahan

dengan  baradikardi relatif, malaise, nyeri kepala dan batuk. Pada beberapa kasus

ditemukan perdarahan dari hidung dan nyeri perut.

Pada minggu kedua demam berkisar 104oF dan denyut jantung yang

lambat.  Delirium kadang di temukan.  Bintik merah pada dada bagian bawah dan

abdomen  ditemukan pada 30% pasien. Gejala abdominal makin jelas dengan di

temukannnya nyeri pada kuadran kanan bawah. Diare dengan frekuensi 6-8 kali

per hari, namun konstipasi juga sering ditemukan. Lien dan hepar teraba dan

tegang.

Pada minggu ketiga demam, komplikasi mulai muncul seperti perdarahan

intestinal, ensefalitis, abses metastase, colesistisis, endokarditis dan osteitis.

Sekitar 10-15% demam  tifoid mengalami komplikasi. Perforasi usus terjadi 1-3%

22

dan menjadi peritonitis dan  menyebabkan  kematian jika tidak segera di

intervensi bedah.

Pada minggu ke empat demam, pasien yang mengalami delirium

menunjukkan gejala dehidrasi. Komplikasi lain termasuk DIC, pneumonia yang

sering terjadi pada anak dan  jarang  pada dewasa. Pada kasus yang jarang terjadi

seperti granuloma hepar, lien dan sum-sum tulang, abses hepar dan lien, efusi

pleura, sindrom fagosit, pseudotumor cerebri, endokarditis hemolitik dan

perikarditis. (5)

B.     PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium  untuk membantu menegakkan diagnosis

demam  tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi;

(2) pemeriksaan  bakteriologis dengan isolasi dan biakan  kuman; (3) uji

serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler. (6)

1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI

            Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit

normal, bisa menurun atau  meningkat, mungkin didapatkan  trombositopenia dan

hitung  jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan

aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh

beberapa ilmuwan mendapatkan  bahwa hitung  jumlah dan jenis leukosit serta

laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal

yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam

tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi

dugaan kuat diagnosis demam tifoid. (6)

            2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN

            Diagnosis pasti demam  tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.

typhi dalam  biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum

atau dari rose spots. Berkaitan dengan  patogenesis penyakit, maka bakteri akan

lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,

sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. (6)

23

            Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil

negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada

beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1)

jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu;

dan (3) waktu pengambilan darah. (6)

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak

kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan

untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih

sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat

menjelaskan  teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila

dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

direkomendasikan  untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana

dikatakan  media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.

typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. (6)

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan

pada  perjalanan  penyakit. Beberapa  peneliti  melaporkan biakan darah positif

40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-

50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel

penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan

volume darah  dan  rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam

feses ditemukan  meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga

(75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.

Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai

sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan

sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah

pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.

Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-

hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang

diambil dari duodenum dan memberikan  hasil yang cukup baik akan tetapi tidak

24

digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah

satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah

dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang. (6)

Kegagalan dalam  isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan

media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang

sangat minimal dalam darah, volume spesimen  yang  tidak mencukupi, dan waktu

pengambilan spesimen yang tidak tepat. (6)

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai

sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang

dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri

sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis

baku dalam pelayanan penderita. (6)

3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS

            Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi

maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji

serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini

meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA);

(4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan

dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan

adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen

spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang

diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang

digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). (6)

3.1       UJI WIDAL

            Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan

sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi

25

aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda

terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah

yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih

menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan

(slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat

dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan

teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji

hapusan.

            Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara

lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status

imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi;

gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-

endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. (6)

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta

sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif

akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda

infeksi).3 Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,

manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada

kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar

titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di

populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan

peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. (6)

            3.2       TES TUBEX®

            Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat  dalam diagnosis infeksi akut karena

26

hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam

waktu beberapa menit

            Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,

beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.

            3.3       METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT

            Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik

IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM

menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi

terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.

Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang

tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-

M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi

dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan

pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-

tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan

dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif

yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa

Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan

kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

            Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang

dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran

nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat

digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan

sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah

bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan

27

diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila

hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

            3.4       METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY

(ELISA)

            Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG

terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji

ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam

spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992)

mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada

sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang

didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan

sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial

serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine

penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada

deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen

Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih

lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada

minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya

nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. (6)

            3.5       PEMERIKSAAN DIPSTIK

            Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi

dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi

sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen

kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak

memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

            4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER

28

            Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan

teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase

chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

A.    Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur

teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang

bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah

serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi

dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis

masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. (6)

2.6 PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini masih di anut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu

istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat

penyembuhan, tatalaksana simtomatik dan suportif seperti pemberian cairan oral

atau intravena, pemberian antipiretik, nutrisi yang tepat dan transfusi darah bila

ada indikasi serta pemberian antimikroba untuk menghentikan dan mencegah

penyebaran kuman. (2)

Lebih dari 90% pasien dapat di berikan tatalaksana dirumah dengan

pemberian antibiotik oral, asuhan terpercaya dan cek up medis jika ada

komplikasi atau respon terapi yang gagal. Namun, pasien dengan muntah, diare

berat dan distensi abdomen harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik

parenteral. (7)

a.       Tatalaksana Demam Tifoid tanpa Komplikasi

Strategi pemberian antibiotik pada kasus tifoid tanpa komplikasi dapat dilihat

pada tabel berikut

Kerentanan

Terapi optimal Obat efektif alternatif Antibiotik Dosis

harian mg/kg

Hari Antibiotik Dosis harian mg/kg

Hari

29

Sensitif Fluorokuinolon mis. Ofloxacin; ciprofloxacin

15 5-7 KloramfenikolAmoxicilin

Cotrimoxazole

50-7575-1008-40

14-211414

MDR FluorokuinolonCefixim

1515-20

5-77-14

AzitromicinCefixime

8-1015-20

77-14

Resisten kuinolon

AzitromicinCeftriaxon

8-1075

710-14

Cefixime 20 7-14

            Berdasarkan data dari Global Distribution to Salmonella enterica Serotype

Typhi tahun 1990-2002, seluruh dunia menjadi area endemik demam tifoid dan

pada beberapa area dilaporkan telah terjadi strain MDR dan strain yang resisten

asam nalidiksat. Di Indonesia sendiri dilaporkan menjadi daerah endemik namun

bukan daerah dengan strain MDR serta strain resisten asam nalidiksat. (4)

Florokuinolon secara luas dianggap optimal dalam pengobatan penderita

demam tifoid dewasa. Obat ini relatif murah, baik di toleransi serta lebih cepat

dan lebih efektif dibandingkan dengan obat lini pertama seperti kloramfenikol,

ampicilin, amoxicilin dan cotrimoxazole. Penetrasi florokuinolon sangat baik di

jaringan dan membasmih S.typhi pada stadium intraseluler serta lebih efektif di

kandung empedu jika dibandingkan obat lain. Florokuinolon cepat menghasilkan

respon terapi, menghilangkan demam dan gejala lain demam tifoid dalam 3-5 hari

serta jumlah carier setelah pengobatan yang rendah (7). 

b.      Tatalaksana Demam Tifoid dengan Komplikasi

Jika telah terjadi komplikasi pada demam tifoid maka diberikan pengobatan seperti

berikut

Kerentanan

Obat parenteral optimal Obat alternatif parenteral efektifAntibiotik Dosis

harian mg/kg

Hari Antibiotik Dosis harian mg/kg

Hari

Sensitif Fluorokuinolon mis.ofloxacin

15 10-14

KloramfenikolAmoxicilin

Cotrimoxazole

1001008-40

14-211414

MDR Fluorokuinolon 15 10- Ceftriaxone 60 10-

30

14 Cefotaxime 80 1410-14

Resisten kuinolon

CeftriaxoneCefotaxime

6080

10-1410-14

Fluorokuinolone 20 7-14

            Pasien demam  tifoid yang masih dirawat atau  yang  telah  keluar harus

dipantau perkembangan komplikasi. Intervensi secara berkala dapat menurunkan

morbiditas dan mortalitas. Florokuinolon parenteral merupakan antibiotik pilihan

untuk infeksi berat. Pasien demam tifoid disertai dengan perubahan status mental

yang ditandai dengan delirium, stupor harus segera di evaluasi meningitis dengan

memeriksa cairan serebrospinal. Jika hasilnya normal namun dicurigai meningitis

tifoid, pasien dewasa maupun anak harus segera diterapi dengan dexametasone

dosis tinggi secara intravena dikombinasikan dengan antimikroba. Dexametasone

diberikan pada fase awal 3 mg/kg secara i.v infus perlahan selama 30 menit dan

setelah enam jam kemudian diberikan 1 mg/kg dan diulang setiap enam jam.

Penggunaan hidrokortison pada dosis rendah tidak efektif. Penmberian steroid

dosis tinggi dapat diberikan jika hasil kultur darah pasien belum ada dan penyakit

memberat. (7)

            Pasien dengan perdarahan saluran cerna butuh perawatan intensif,

monitoring dan transfusi darah. Intervensi tidak dapat dilakukan jika terjadi

kehilangan darah yang signifikan. Konsultasi dengan bedah di indikasikan jika

dicurigai perforasi intestinal. Jika terjadi perforasi maka penanganan bedah harus

segera dilakukan tidak lebih dari enam jam. Metronidazole dan gentamicin atau

ceftriaxone dapat diberikan sebelum dan setelah pembedahan jika tidak

menggunakan fluorokuinolon untuk mencegah lolosnya bakteri melalui luka pada

usus ke cavum abdominal. (7)

            Sekitar 5-20% kasus akut dilaporkan menjadi relaps pada demam tifoid

yang telah mendapatkan pengobatan yang sempurna. Pada kasus ini terjadi

demam terjadi kembali setelah pengobatan antibiotik tuntas. Manifestasi klinis

lebih ringan dibandingkan pada awal penyakit. Kultur harus tetap dilakukan dan

31

pengobatan diberikan sesuai dengan standar. Pada kasus relaps harus dipastikan

bahwa tidak ada scistosomiasis. (7)

c.       Tatalaksana terhadap Carier

            Seseorang tersangka carier kronik jika tidak menunjukkan gejala namun

terus menunjukkan kultur tinja positif terhadap S.typhi setelah sembuh dari gejala

akut. Sekitar 1-5% pasien menjadi carier kronik. Jumlah carier lebih banyak pada

wanita, usia lebih dari 50 tahun dan pasien dengan colelitiasis atau scistosomiasis.

Jika ditemukan colelitiasis atau scistosomiasis maka perlu dilakukan

colesistectomi atau pengobatan antiparasit di kombinasikan dengan antibiotik

untuk menghilangkan bakteri. Untuk mengeradikasi carier S.typhi, amoxicilin

atau ampicilin (100 mg/kg/hari) ditambah dengan probenecid (Benemid®)(1 gr

oral atau 23 mg /kg untuk anak) atau Cotrimoxazole (160-800 mg 2kali sehari) 

diberikan selama enam minggu. Sekitar 60% hasil kultur menjadi negatif. Sekitar

80% carier kronik sukses dengan pemberian 750 mg ciprofloxacin 2 kali sehari

selama 28 hari atau 400 mg norfloxacin. Obat kuinolon lain mungkin memberikan

hasil yang serupa. (7)

            Carier tidak boleh dilibatkan dalam kegiatan mengolah dan meyajikan

makanan juga pasien yang baru sembuh dan orang yang menunujukkan gejala

demam  tifoid. Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan, pekerjaan yang menyentuh

makanan tidak bolh dilakukan hingga hasil kultur tinja negatif selama tiga kali

pemeriksaan. (7)

Dokter Pendamping

dr. Sartika Sadikin

32