POLICY PAPER 2 - TCSC Indonesiatcsc-indonesia.org/wp-content/uploads/2012/08/Tembakau-dan... ·...

6
1 2 SERI: Tembakau ‘dikampanyekan’ oleh sebagian kalangan dengan alasan menyumbang perekonomian negara. Namun faktanya, tembakau justru berkontribusi terhadap kemiskinan di tingkat individu, rumah tangga, bahkan negara. Sementara industri rokok menikmati margin yang besar, masyarakat miskin perokok dan keluarganya justru menanggung beban penderitaan akibat konsumsi tembakau yang menyebabkan mereka semakin sulit keluar dari perangkap kemiskinan. Poster kampanye WHO pada Hari Tanpa Tembakau tahun 2004 dengan slogan “Tobacco and poverty: a vicious circle” 1 , yang dapat diterjemahkan sebagai “Tembakau dan Kemiskinan: Lingkaran Setan”. Berbagai literatur telah menunjukkan dampak negatif konsumsi tembakau bagi kesehatan. Berbagai macam penyakit kanker, kardiovaskular (jantung - pembuluh darah), penyakit paru-paru, dan impotensi, adalah diantara sekian banyak gangguan kesehatan akibat tembakau. Konsumsi tembakau menyebabkan kematian lebih dari 5 juta orang di dunia setiap tahunnya atau setara dengan satu kematian setiap enam detik 2 . Pada saat banyak penduduk di negara maju mulai berhenti merokok, perkembangan penggunaan tembakau saat ini bergeser menjadi epidemik di negara- negara miskin dan menengah, yang menyumbang sekitar 82% dari total pengguna tembakau di dunia. Indonesia memiliki posisi signifikan dalam atlas tembakau di dunia karena Indonesia berada di posisi ketiga terbesar jumlah perokok di dunia. Dampak konsumsi tembakau mempunyai dimensi yang luas, tidak hanya pada aspek kesehatan, tetapi juga pada dimensi sosial dan ekonomi. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengulas kaitan masalah tembakau dengan kemiskinan dan memberikan usulan bagaimana kebijakan pemerintah dalam pengendalian tembakau dapat berperan untuk lebih melindungi masyarakat miskin, dan negara. TEMBAKAU DAN KEMISKINAN Bukan tanpa sebab, pastinya, WHO mengangkat isu tembakau dan kemiskinan dalam kampanye tingkat global. Berikut adalah beberapa fakta tentang kaitan antara masalah tembakau dan kemiskinan. Fakta 1: Proporsi merokok lebih besar pada penduduk miskin, dibanding penduduk kaya. Fakta ini konsisten di berbagai negara, baik di negara berkembang maupun negara maju. Hasil systematic review WHO terhadap berbagai studi menunjukkan bahwa kelompok penduduk berpendapatan rendah memiliki risiko 1,4 kali lebih tinggi untuk merokok dibandingkan kelompok dengan pendapatan tinggi (OR= 1.415, 95% CI 1.276–1.569) 3 . Kelompok keluarga termiskin mempunyai proporsi belanja rokok lebih besar (12%) dibandingkan kelompok terkaya (7%). Survei yang dilakukan selama tahun 1999-2003 pada lebih dari 175.000 keluarga miskin perkotaan menunjukkan bahwa tiga dari empat kepala keluarga (73,8%) adalah perokok aktif 4 . Pengendalian Masalah Tembakau yang Efektif akan Mencegah Semakin Miskinnya Penduduk Miskin POLICY PAPER

Transcript of POLICY PAPER 2 - TCSC Indonesiatcsc-indonesia.org/wp-content/uploads/2012/08/Tembakau-dan... ·...

Page 1: POLICY PAPER 2 - TCSC Indonesiatcsc-indonesia.org/wp-content/uploads/2012/08/Tembakau-dan... · Indonesia memiliki posisi signifikan dalam atlas tembakau di dunia karena Indonesia

1

2SERI:

Tembakau ‘dikampanyekan’ oleh sebagian kalangan dengan alasan menyumbang perekonomian negara. Namun faktanya, tembakau justru berkontribusi terhadap kemiskinan di tingkat individu, rumah tangga, bahkan negara. Sementara industri rokok menikmati margin yang besar, masyarakat miskin perokok dan keluarganya justru menanggung beban penderitaan akibat konsumsi tembakau yang menyebabkan mereka semakin sulit keluar dari perangkap kemiskinan.

Poster kampanye WHO pada Hari Tanpa Tembakau tahun 2004 dengan slogan “Tobacco and poverty: a vicious circle”1, yang dapat diterjemahkan sebagai “Tembakau dan Kemiskinan: Lingkaran Setan”.

Berbagai literatur telah menunjukkan dampak negatif konsumsi tembakau bagi kesehatan. Berbagai macam penyakit kanker, kardiovaskular (jantung - pembuluh darah), penyakit paru-paru, dan impotensi, adalah diantara sekian banyak gangguan kesehatan akibat tembakau. Konsumsi tembakau menyebabkan kematian lebih dari 5 juta orang di dunia setiap tahunnya atau setara dengan satu kematian setiap enam detik2. Pada saat banyak penduduk di negara maju mulai berhenti merokok, perkembangan penggunaan tembakau saat ini bergeser menjadi epidemik di negara-negara miskin dan menengah, yang menyumbang sekitar 82% dari total pengguna tembakau di dunia. Indonesia memiliki posisi signifikan dalam atlas tembakau di dunia karena Indonesia berada di posisi ketiga terbesar jumlah perokok di dunia.

Dampak konsumsi tembakau mempunyai dimensi yang luas, tidak hanya pada aspek kesehatan, tetapi juga pada dimensi sosial dan ekonomi. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengulas kaitan masalah tembakau dengan kemiskinan dan memberikan usulan bagaimana kebijakan pemerintah dalam pengendalian tembakau dapat berperan untuk lebih melindungi masyarakat miskin, dan negara.

TEMBAKAU DAN KEMISKINAN

Bukan tanpa sebab, pastinya, WHO mengangkat isu tembakau dan kemiskinan dalam kampanye tingkat global. Berikut adalah beberapa fakta tentang kaitan antara masalah tembakau dan kemiskinan.

Fakta 1: Proporsi merokok lebih besar pada penduduk miskin, dibanding penduduk kaya.

Fakta ini konsisten di berbagai negara, baik di negara berkembang maupun negara maju. Hasil systematic review WHO terhadap berbagai studi menunjukkan bahwa kelompok penduduk berpendapatan rendah memiliki risiko 1,4 kali lebih tinggi untuk merokok dibandingkan kelompok dengan pendapatan tinggi (OR= 1.415, 95% CI 1.276–1.569)3. Kelompok keluarga termiskin mempunyai proporsi belanja rokok lebih besar (12%) dibandingkan kelompok terkaya (7%). Survei yang dilakukan selama tahun 1999-2003 pada lebih dari 175.000 keluarga miskin perkotaan menunjukkan bahwa tiga dari empat kepala keluarga (73,8%) adalah perokok aktif4.

Pengendalian Masalah Tembakau yang Efektif akan Mencegah Semakin Miskinnya Penduduk Miskin

POLICY PAPER

Page 2: POLICY PAPER 2 - TCSC Indonesiatcsc-indonesia.org/wp-content/uploads/2012/08/Tembakau-dan... · Indonesia memiliki posisi signifikan dalam atlas tembakau di dunia karena Indonesia

2

Fakta 2: Pengeluaran rumah tangga untuk rokok mereduksi pengeluaran untuk kebutuhan pokok.

Lebih dari 60 juta orang membelanjakan uang setiap hari untuk membeli rokok. Perokok rata-rata menghabiskan 11 batang rokok setiap hari. Pada tahun 2008, Kosen dkk5 menghitung biaya rata-rata yang dibelanjakan oleh individu perokok untuk membeli tembakau dalam satu bulan adalah Rp 216.000. Secara nasional, belanja bulanan rokok pada keluarga perokok menempati urutan terbesar kedua (9%) setelah beras (12%) (BPS, 2006). Bagi keluarga miskin, situasi ini lebih buruk karena proporsi pengeluaran untuk rokok justru lebih besar dari makanan pokok. Belanja mingguan untuk membeli rokok menempati peringkat tertinggi (22%), lebih besar dari pengeluaran makanan pokok, yaitu beras (19%), jauh lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk telur (3%) dan ikan (4%) yang merupakan makanan kaya sumber zat gizi. Proporsi pengeluaran untuk rokok pada keluarga perokok ternyata setara dengan pengeluaran untuk beras pada keluarga non-perokok (22%)4.

Gambaran situasi di atas terkait erat dengan risiko terjadinya gizi kurang pada bayi dan balita dari keluarga perokok. Bayi dan balita yang mengalami gizi kurang berisiko lebih tinggi mengalami keterlambatan perkembangan, meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat kerentanan terhadap penyakit. Konsekuensi jangka panjangnya adalah ’hilangnya’ sebuah generasi (loss generation).

Argumen bagi perokok: ”Rokok adalah hak asasi”

Namun, fakta membuktikan bahwa pengeluaran yang tinggi untuk rokok pada keluarga miskin telah mengesampingkan hak anggota keluarga (terutama ibu dan anak) untuk mendapatkan kehidupan yang

lebih baik.

Perokok menghabiskan pengeluaran untuk rokok sekitar tujuh kali lebih tinggi dibandingkan pengeluaran per kapita untuk kesehatan. Pada kelompok yang berada di bawah garis kemiskinan, ratio ini jauh lebih besar, dimana pengeluaran untuk tembakau 19,2 kali lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk kesehatan, dan 7 kali pengeluaran untuk pendidikan6.

Kematian bayi dan balita pada keluarga miskin perokok lebih tinggi dibandingkan non-perokok.

Studi pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin di perkotaan dan pedesaan menunjukkan bahwa

kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok daripada yang tidak merokok. Di perkotaan, proporsi kematian bayi dengan ayah perokok adalah 6,3% vs 5,3% pada

keluarga dengan ayah tidak merokok. Di pedesaan, perbedaannya lebih besar, yaitu 9,2% (dengan ayah

perokok) vs 6,4% (dengan ayah bukan perokok). Gambaran serupa terlihat pada kematian balita.

Perbandingan angka kematian balita pada keluarga dengan ayah perokok dan bukan perokok adalah 8,1%

vs 6,6% di perkotaan; 10,9% vs 7,6% di pedesaan7.

Fakta 3: Rokok memperburuk derajat kemiskinan.

Dampak negatif rokok terhadap kesehatan menyebabkan beban pengeluaran kesehatan bagi keluarga menjadi lebih besar. Beban ini diperburuk lagi dengan fakta bahwa dampak kesehatan dari rokok menyebabkan lebih tingginya risiko kematian dan hilangnya produktivitas. Bagi penduduk miskin, situasi ini menyebabkan mereka semakin terjerat dalam lingkaran kemiskinan. Selain itu, penduduk miskin akan semakin sulit keluar dari kecanduan rokok karena untuk sebagian mereka, rokok merupakan ’pelarian’ dari masalah hidup. Hubungan antara merokok dan kemiskinan dapat dijabarkan sebagai berikut8:

Gbr 1. Pengeluaran Mingguan Keluarga Miskin Perkotaan dengan Ayah Perokok

POLICY PAPER

Page 3: POLICY PAPER 2 - TCSC Indonesiatcsc-indonesia.org/wp-content/uploads/2012/08/Tembakau-dan... · Indonesia memiliki posisi signifikan dalam atlas tembakau di dunia karena Indonesia

Gbr 2. Hubungan antara Merokok dan Kemiskinan

Kaitan antara rokok dan kemiskinan dapat mengarah pada terjadinya kemiskinan struktural yang pengaruhnya berlanjut secara intergenerasi. Bayangkan suatu keluarga miskin dengan ayah perokok, maka kebutuhan dasar anak-anaknya (makanan, kesehatan, dan pendidikan) akan teralihkan untuk memenuhi kepuasan merokok sang ayah. Kondisi ini diperberat lagi dengan buruknya status kesehatan anak akibat infeksi yang merupakan dampak asap rokok di dalam rumah. Anak-anak tersebut akan tumbuh menjadi sumber daya manusia dengan kualitas yang rendah, yang pada akhirnya berpeluang menambah deretan penduduk miskin.

Fakta 4: Rokok tidak hanya memperburuk kemiskinan di tingkat rumah tangga, tetapi juga bagi negara.

Tembakau tidak hanya memperburuk kemiskinan penggunanya, tetapi secara umum menyebabkan beban finansial yang sangat besar bagi negara. Di tingkat nasional, biaya yang diakibatkan oleh penggunaan tembakau diantaranya meningkatnya pembiayaan kesehatan, hilangnya produktivitas sebagai akibat kesakitan dan kematian usia produktif, menurunnya nilai tukar mata uang asing, dan kerusakan lingkungan1.

Negara menanggung beban pembiayaan kesehatan dan kehilangan produktivitas yang sangat besar sebagai dampak dari penyakit dan kematian usia dini akibat penggunaan tembakau. Di negara maju, biaya kesehatan tahunan yang terkait penggunaan tembakau berkisar 6% dan 15% dari total biaya kesehatan. Di Cina, suatu studi pada pertengahan tahun 1990an mengestimasikan biaya kesehatan langsung dan tidak langsung sebagai akibat merokok adalah US$ 6,5 miliar per tahun. Sedangkan di Mesir, biaya langsung per tahun untuk pengobatan penyakit yang diakibatkan penggunaan tembakau diestimasikan sebesar US$ 545,5 juta. Jika tren penggunaan tembakau tidak mengalami penurunan, diperkirakan sebanyak 650 juta orang dari populasi dunia saat ini akan meninggal akibat tembakau, dan separuhnya meninggal dalam usia produktif, kehilangan 20 – 25 tahun hidupnya1.

Kerugian ekonomi total penduduk Indonesia dalam setahun akibat konsumsi produk-produk tembakau mencapai Rp. 338,75 triliun, atau lebih dari enam kali pendapatan cukai rokok Pemerintah yang hanya Rp. 53,9 triliun. Jumlah tersebut setara dengan belanja Kementerian Pendidikan Nasional RI lebih dari lima tahun atau sama dengan belanja

Kementerian Kesehatan RI selama lebih dari 15 tahun.5

Fakta 5: Dengan menurunkan penggunaan tembakau pada kelompok miskin, akan berdampak signifikan terhadap pencapaian MDGs.

Pengendalian tembakau berperan dalam mencapai MDGs melalui9:

• Mengurangi besarnya yang dibelanjakan untuk rokok dibandingkan untuk makanan (MDG 1).

• Mendorong pergeseran dalam penggunaan uang yang tadinya untuk rokok menjadi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikn (MDGs 1,2,3,4,5).

• Menurunkan jumlah anak yang tidak dapat bersekolah sebagai akibat dari pertanian tembakau atau hand-rolling tobacco products (MDG 2).

• Menurunkan jumlah perempuan yang merokok dan terpapar dengan secondhand smoke (MDG 3).

3

POLICY PAPER

Page 4: POLICY PAPER 2 - TCSC Indonesiatcsc-indonesia.org/wp-content/uploads/2012/08/Tembakau-dan... · Indonesia memiliki posisi signifikan dalam atlas tembakau di dunia karena Indonesia

4

• Menurunkan paparan secondhand smoke bagi populasi secara keseluruhan, dan terutama bagi anak-anak dan wanita hamil (MDG 4 dan MDG 5).

• Menurunkan angka kematian akibat HIV/AIDS dan tuberkulosis yang terkait dengan penggunaan tembakau (MDG 6).

• Mengurangi kerusakan lingkungan akibat penanaman, konsumsi, dan sampah tembakau dan produknya (MDG 7).

• Mengembangkan koalisi yang efektif untuk pengendalian tembakau (MDG 8).

Pemahaman bahwa upaya penurunan penggunaan tembakau pada kelompok miskin akan berdampak signifikan terhadap pencapaian MDGs merupakan salah satu pertimbangan penting bagi pemerintah dalam menyusun program-program yang lebih efisien.

TANTANGAN KEBIJAKAN SAAT INI

Argumen utama yang menghambat penerapan kebijakan pemerintah dalam pengendalian masalah tembakau adalah adanya kekawatiran bahwa penurunan konsumsi rokok berdampak langsung pada turunnya jumlah pekerja industri rokok dan petani tembakau yang berarti naiknya jumlah pengangguran, ditambah dengan turunnya pendapatan pemerintah. Nampaknya pemerintah perlu mengkaji lagi fakta ini. Lebih lanjut, pemerintah perlu membandingkan kontribusi industri rokok dengan kerugian ekonomi yang diakibatkannya. Data menunjukkan kontribusi industri rokok, pertanian tembakau dan cengkeh terhadap total penerimaan dalam negeri pada tahun 2005 hanyalah sebesar 1,64%. Sedangkan daya serap industri pengolahan tembakau pada tahun 2006 hanya 1,4%10. Dari aspek kesehatan, perkiraan total biaya kesehatan yang dibelanjakan oleh rakyat Indonesia (14.904.226 kasus) dalam setahun untuk penyakit yang dikaitkan dengan tembakau berjumlah total Rp 18,5 triliun, terdiri dari Rp 15,4 triliun untuk pelayanan rawat inap dan Rp 3,1 triliun untuk pelayanan rawat jalan. Dampak dari konsumsi

tembakau menyebabkan kehilangan tahun produktif (DALYs Loss/Disability Adjusted Life Years Loss). Dengan menggunakan GDP per capita pada tahun 2008 (sebesar US$ 1,420), maka secara makro total tahun poduktif yang hilang akibat konsumsi tembakau menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$ 18,5 milyar (setara dengan Rp 166,5 triliun)5.

Saat ini pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat melalui program jaminan perlindungan. Namun menjadi ironi jika faktanya sebagian besar biaya kesehatan tersebut digunakan untuk membiayai penyakit yang dikaitkan dengan konsumsi rokok.

REKOMENDASI

Sebagai bagian dari kesungguhan pemerintah dalam melindungi masyarakatnya, terutama masyarakat miskin, diperlukan serangkaian kebijakan spesifik untuk mengendalikan masalah rokok pada masyarakat miskin. Kebijakan yang dikembangkan harus difokuskan untuk: (1) mencegah konsumsi rokok bagi yang belum merokok, (2) memperkecil akses terhadap konsumsi rokok, dan (3) membantu mereka yang sudah merokok untuk dapat berhenti. Dalam kebijakan pengendalian masalah tembakau terkait dengan dampaknya terhadap kemiskinan, maka kebijakan yang dikembangkan harus menjadi tanggung jawab bersama antara Parlemen, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial.

Usulan kebijakan diantaranya:

1. Meningkatkan harga dan cukai rokok

Kebijakan peningkatan harga rokok akan melindungi penduduk termiskin dari kecanduan dan perangkap akibat konsumsi rokok. Hasil estimasi data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004 menunjukkan bahwa peningkatan 10% harga rokok akan menurunkan konsumsi rokok perokok termiskin sebanyak 16%, sementara konsumsi rokok perokok kaya hanya akan turun 6%. Ini menunjukkan bahwa perokok termiskin lebih sensitif terhadap harga dibandingkan

POLICY PAPER

Page 5: POLICY PAPER 2 - TCSC Indonesiatcsc-indonesia.org/wp-content/uploads/2012/08/Tembakau-dan... · Indonesia memiliki posisi signifikan dalam atlas tembakau di dunia karena Indonesia

perokok terkaya11. Kebijakan kenaikan cukai yang ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara harus juga diarahkan untuk menurunkan konsumsi rokok pada orang miskin.

Melihat besarnya masalah sosial dampak rokok, terutama pada penduduk miskin, maka kebijakan peningkatan harga dan cukai rokok merupakan kebutuhan yang mendesak. Penetapan kebijakan ini pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 (sebelum 2012) dapat menjadi salah satu contoh keberhasilan pemerintahan ini.

2. Melakukan monitoring penggunaan dana bantuan tunai pada kelompok miskin untuk memastikan dana tersebut tidak digunakan untuk membeli rokok.

Memang monitoring yang dilakukan memang tidak akan bisa sepenuhnya mencegah penggunaan dana tersebut untuk membeli rokok, tetapi diharapkan dapat menjadi sarana edukasi bagi masyarakat dan meningkatkan kesadaran yang pada akhirnya berdampak pada pengurangan konsumsi rokok. Hal ini diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk lebih bertanggung jawab dalam penggunaan dana tersebut.

3. Menyusun program bantuan sosial lain dengan prasyarat tidak merokok.

Dalam peluncuran Peraturan Daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok, Walikota Pontianak sudah mengemukakan wacana pemberian bantuan perbaikan rumah layak huni dan beasiswa sekolah kepada keluarga yang orang tuanya tidak merokok. Saat ini DKI Jakarta juga sedang menyusun kebijakan serupa. Prasyarat tidak merokok untuk pemberian bantuan bisa dilakukan, walaupun kajian mendalam tentang hal ini masih harus dilakukan.

4. Menyusun program promosi kesehatan dan penghentian adiksi rokok yang terintegrasi pada program perlindungan masyarakat, misalnya pada jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin. Targetnya adalah masyarakat miskin yang menggunakan jaminan kesehatan untuk pembiayaan penyakit akibat rokok akan diberikan program promosi kesehatan dan penghentian rokok yang intensif. Hal ini dapat dilakukan melalui kerjasama pemerintah dengan berbagai LSM ataupun institusi yang bergerak dalam pengendalian masalah tembakau.

5. Meningkatkan pendidikan dan informasi bagi masyarakat (termasuk penggunaan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar).

Masyarakat, terutama konsumen, tidak sepenuhnya menyadari risiko penyakit dan kematian dini akibat merokok. Hal ini terutama karena rentang waktu untuk munculnya gejala penyakit akibat rokok umumnya lama, sekitar 20-25 tahun. Untuk itu diperlukan program pendidikan masyarakat yang komprehensif. Program pendidikan ini dapat dilakukan melalui media, film, pendidikan lingkungan sekolah, dan sebagainya. Salah satu sarana pendidikan masyarakat yang efektif dan tidak memerlukan biaya dari pemerintah adalah Peringatan Kesehatan berbentuk gambar di bungkus rokok. Pendekatan ini efektif diantaranya karena: menjangkau segala lapisan; memiliki efek repetitif karena dilihat hampir 6.000 kali/tahun oleh perokok yang merokok 1 bungkus/hari; biaya produksi menjadi tanggungan industri rokok, dan mudah dipahami oleh kelompok masyarakat berpendidikan rendah dan buta huruf10.

Di tingkat masyarakat, inisiatif pengendalian masalah tembakau sudah mulai terlihat, diantaranya dari dibentuknya kampung-kampung bebas rokok di Lampung Selatan, Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan), Jogyakarta, Surabaya, dan Bogor.

5

POLICY PAPER

Page 6: POLICY PAPER 2 - TCSC Indonesiatcsc-indonesia.org/wp-content/uploads/2012/08/Tembakau-dan... · Indonesia memiliki posisi signifikan dalam atlas tembakau di dunia karena Indonesia

6

Gbr 3. Kampung Bebas Rokok di Dusun Bone-Bone, Kabupaten Enrekang (http://itdhoery.blogspot.com/2011/02/menengok-kampung-bebas-asap-rokok-di.html)

DAFTAR PUSTAKA:

1. WHO. Tobacco and Poverty: A Vicious Circle. 2004.

2. WHO. Report on the Global Tobacco Epidemic. 2008.

3. WHO.SystematicReviewoftheLinkBetweenTobaccoandPoverty.2011.

4. Sembaetal.PaternalsmokingisassociatedwithincreasedriskofchildmalnutritionamongpoorurbanfamiliesinIndonesia.PublicHealthNutrition:10(1),7–15.2007

5. Kosendkk.StudyonMedicalExpenditureandBurdenofMajorTobaccoAttributedDiseaseinIndonesia.FinalReportsubmittedtoWHOIndonesia.NIHRD.CenterforHealthSystemsandPolicyResearchandDevelopment,Jakarta.2009.

6. CenterforHealthResearch.Smoking,Poverty,andLossGeneration.2006.

7. SembaRD,etal.PaternalSmokingandIncreasedRiskofInfantandUnder-5ChildMortalityinIndonesia.JPublicHealth;98:1824-1826.2008.

8. Teh-weiHu.TradingTobaccoforHealthInitiative:SmokingandPoverty.PresentationmaterialpresentedinBangkok,March2002.

9. TheUnion.FactSheet:TobaccoandPoverty.

10. TCSC.2009.BungaRampaiFaktaTembakau,PermasalahannyadiIndonesia.TobaccoControlSupportCenter(TCSC),IkatanAhliKesehatanMasyarakatIndonesia(IAKMI)danPusatPenelitiandanPengembanganEkologidanStatusKesehatan.

11. Ahsan,AbdillahdanMuliaH.L.Tobing.Studyoftheimpactoftobaccoconsumptionamongthepoor.FacultyofEconomics,UniversityofIndonesia,Depok,ID.2008.Diaksesdari:http://web.idrc.ca/en/ev-157406-201-1-DO_TOPIC.html

12. TCSC-IAKMI.FactSheet:KonsumsiRokokdanBalitaKurangGizi.

Informasi:TCSCJl. Jati Padang Raya No. 41 Pasar Minggu - Jakarta 12540Telp.: 021 - 7806261, Fax: 021 - 781 0188Website: www.tcscindo.orgEmail: [email protected] [email protected]

POLICY PAPER