POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DI RUMAH SAKIT ISLAM KLATEN

download POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA  PENDERITA  DEMAM TIFOID  DI RUMAH SAKIT ISLAM KLATEN

of 16

description

tugas metopen

Transcript of POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DI RUMAH SAKIT ISLAM KLATEN

BAB I

BAB I

PENDAHULUANA. Latar Belakang

Infeksi merupakan penyakit yang sering terjadi di daerah tropis seperti di Indonesia karena keadaan udara yang banyak berdebu, temperatur yang hangat dan lembab sehingga mikroba dapat tumbuh subur. Keadaan tersebut ditunjang dengan kemudahan transportasi dan keadaan sanitasi yang buruk sehingga lebih memudahkan penyakit infeksi. Pengatasan penyakit infeksi dapat dilakukan dengan terapi terutama dengan penggunaan berbagai macam antibiotik (Kuswandi, dkk, 2001).

Salah satu masalah terpenting dalam dunia kesehatan dewasa ini adalah masalah pengobatan terhadap penyakit infeksi. Hal ini disebabkan banyak munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik.Tehnik pengobatan dengan kombinasi antibiotik yang semula dipercaya sebagai obat yang mampu memusnahkan bakteri penyebab infeksi, ternyata juga menimbulkan permasalahan baru yaitu munculnya bakteri yang multi resisten terhadap antibiotik. Bakteri yang resisten terhadap antibiotik mudah ditularkan dari pasien satu kepasien yang lain terutama dari rumah sakit yang dikenal dengan nosocomial infection (Kuswandi dkk, 2000).

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasa terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala panas lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran yang disebabkan oleh Salmonella typhosa, Salmonella parathyphi (Anonim, 2001).

Menurut penelitian sebanyak 12,5 juta orang penduduk dunia terserang demam tifoid setiap tahunnya. Angka kejadian di Indonesia tidak jauh berbeda yaitu mencapai 3 - 5 kasus per 1.000 penduduk setiap tahunnya. Penelitian di Palembang pada periode 5 tahun (1990 - 1994) di dapat 83 kasus (21,5 %) penderita demam tifoid dengan hasil biakan darah Salmonella typhi bakteri Gram negatif. Demam tifoid jika lambat ditangani bisa menimbulkan masalah besar. Di Indonesia angka kematiannya mencapai 10 %, namun jika penangannya tidak terlambat angka kematiannya hanya 1 %. Jadi rata - rata angka kematian deam tifoid di Indonesia 1,5 % per tahun (Syam, 2005).

Antibiotik bertujuan untuk mencegah dan mengobati penyakit-penyakit infeksi. Pemberian pada kondisi yang bukan disebabkan oleh bakteri banyak ditemukan dalam praktek sehari - hari, baik di pusat kesehatan primer (puskesmas), rumah sakit, maupun praktek swasta. Ketidak tepatan diagnosis, pemilihan antibiotik, indikasi dosis, cara pemberian, frekuensi, dan lama pemberian menjadi penyebab tidak akuratnya pengobatan infeksi dengan antibiotika (Nelson, 1995).

Berdasarkan uraian di atas demam tifoid merupakan penyakit yang perlu mendapatkan perhatian khusus, dengan demikian pula halnya dengan penggunaan antibiotik untuk pengobatan tifoid. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pola penggunaan antibiotik untuk pengobatan demam tifoid pasien rawat inap di Rumah Sakit Islam Klaten.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah seperti apakah gambaran penggunaan antibiotik yang meliputi jenis antibiotik, frekuensi, kekuatan sediaan, bentuk sediaan, lama pemberian dan variasi lama perawatan pada penderita penyakit tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Islam Klaten pada tahun 2004.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan antibiotik yang meliputi jenis antibiotik, frekuensi, kekuatan sediaan, bentuk sediaan, lama pemberian dan variasi lama perawatan pada penderita penyakit tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Islam Klaten pada tahun 2004.

D. Tinjauan Pustaka

1. Antibiotika. Definisi

Antibiotik yang dimaksud dalam buku Pedoman Penggunaan Antibiotik Nasional adalah antimikroba (Anonim, 1992)

Antibiotik yaitu zat yang dihasilkan oleh mikroba, terutama fungi yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba jenis lain (Anonim, 2000).

Antibiotik adalah substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme dengan konsentasi rendah dapat menghambat secara selektif atau membunuh bakteri atau mikroorganisme lainnya dengan mekanisme membentuk anti metabolik (Tyler, 1988).b. Klasifikasi

Berdasarkan pada buku Pedoman Penggunaan Antibiotik Nasional golongan antibiotik yang paling banyak digunakan dirumah sakit dapat dipilah pilah dalam golongan sebagai berikut:

1) Betalaktam

Obat dalam golongan ini mempunyai struktur kimia yang serupa dan efek kerja pada dinding sel bakteri. Obat ini bila dikombinasikan dengan golongan betalaktam yang mudah dirusak oleh enzim betalaktamase, menghasilkan efek bakterisidal yang kuat. Tetapi golongan betalaktam jarang menimbulkan efek samping, kecuali pada orang orang hipersensitif terhadap golongan obat tersebut. Golongan dari betalaktam antara lain: penisilin, karbapenem, monobaktam, sefalosporin.

2) Aminoglikosid

Golongan tersebut termasuk dalam golongan streptomisin, gentamisin, tobramisin, netilmisin, amikasin dan spektinomisin.

3) Sulfonamid dan Trimetopim

Golongan sulfonamid sekarang jarang digunakan sebagai obat tunggal, karena adanya efek samping dan efektivitas untuk beberapa penyebab penyakit sudah menurun. Trimetoprin mempunyai efektifitas yang sama dan efek sampingnya lebih sedikit karena tidak mengikut sertakan komponen sulfonamid.

4) Kinolon

Kinolon aktif terhadap kuman gram negatif sedangkan terhadap kuman gram positif aktivitasnya lebih lemah. Golongan ini terdiri dari norfloksasin, enoksasin, siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin.

5) Makrolid

Termasuk dalam kelompok ini adalah eritromisin dan spiramisin. Eritromisin yang paling banyak digunakan untuk pengobatan infeksi dengan bakteri gram positif, mikroplasma dan pada penderita yang hipersensitif terhadap penisilin.

6) Linkosamid

Golongan dalam obat tersebut adalah linkomisin dan klindamisin. Obat tersbut penggunaannya harus hatihati karena menyebabkan supresi dari bakteri anaerob gram negatif dalam saluran cerna yang biasa mengakibatkan terjadinya enterokolitis pseudomonas.

7) Antivirus

Obatobat tersebut mempnyai evektivitas seperti indoksuridin, amantadin, asiklovir dan ribavirin pada infeksi virus adalah terbatas.

8) Antijamur

Pemberian obat untuk infeksi (jamur) membutuhkan waktu yang lama, sehingga harus dipertimbangkan benar resikonya. Karena efek samping yang toksik maka penggunaan beberapa obat memerlukan kewaspadaan (Anonim, 1992).

Berdasarkan manfaatnya susunan kerja antibiotik dapat dibedakan menjadi:

1) Antibiotik yang terutama efektif terhadap bakteri gram positif, cenderung memiliki spektrum aktif yang sempit.

2) Antibiotik yang terutama efektif terhadap bakteri gram negatif.

3) Antibiotik yang secara relatif memiliki spektrum kerja yang luas, efektif terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.

Berdasarkan mekanisme kerjanya antibiotik dapat dikelompokkan dalam lima kelompok, yaitu:

a)Antibiotik yang menginhibisi sintesis atau mengaktifasi enzim dengan merusak dinding sel bakteri sehingga menghilangkan kemampuan berkembang biak dan sering kali lisis.

b)Antibiotik yang bekerja langsung terhadap membran sel, mempengaruhi permeabilitas sehingga menimbulkan kebocoran dan kehilangan senyawa intraseluler.

c)

Antibiotik yang menggagu fungi ribosom bakteri, meyebabkan inhibisi protein secara reversibel.

d) Antibiotik difiksasi pada sub unit 30 S menyebabkan timbunan kompleks pemula sintesis protein, salah tafsir kode mRNA, dan produksi polipeptida abnormal.

e) Antibiotik yang menganggu metabolisme asam nukleat(Jawetz, 2001).

Dari segi daya kerjanya antibiotik dapat dibedakan dalam kelompok antibiotik bakteriostatik dan antibiotik bakterisid. Kelompok yang pertama menghambat pertumbuhan atau perkembangan bakteri, kelompok kedua bekerja mematikan bakteri (Wattimena, dkk, 1991).

Cara untuk mencegah efek samping dan resiko lain yang timbul karena manggunakan obat maka pemberian obat oleh dokter dalam penulisan resep harus didasarkan pada suatu seri tahapan rasional (Sastramiharja, 1997).

Menurut buku Pedoman Penggunaan Antibiotik Nasional (1992) pengertian penggunaan antibiotika secara rasional disini adalah tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis regimen, dan waspada terhadap efek samping obat, yang dalam arti konkritnya adalah:

1. Pemberian resep yang tepat.

2. Penggunaan dosis yang tepat

3. Lama pemberian obat yang tepat.

4. Interval pemberian obat yang tepat.

5. Kualitas obat yang tepat.

6. Efikasi harus sudah terbukti.

7. Aman pada pemberiannya.

8. Tersedia bila diperlukan.

9. Terjangkau oleh penderita

(Anonim, 1992).2. Demam Tifoid

a. Definisi

Demam tifoid adalah suatu jenis penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi dan gejala yang ditimbulkan paling dominan adalah panas yang tinggi 39 40o C, sakit kepala, perut terasa tak enak, kembung, obstipasi (diare), 30 40 % mengalami bradikhardi, terdapat bercak merah karakteristik tifoid yangdisebut rose spot ini terjadi pada minggu ke 2, pada minggu pertama terjadi pembesaran limfa dan hati (Horrison, 1987).

Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit endemik dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena hal ini disebabkan dengan keadaan sanitasi dan higiene yang kurang baik (Simanjuntak, 1993).

Masih banyaknya penderita demam tifoid karena tingkat pengetahuan masyarakat yang masih rendah tentang pencegahan penyakit tersebut dan masih rendah status sosial ekonomi masyarakat serta masih banyaknya pembawa kuman (carier) di masyarakat (Sabdoadi dkk, 1991).

b. Penyebab Demam Tifoid

Berdasarkan definisi demam tifoid dapat diketahui bahwa penyebab timbulnya demam tifoid berasal dari genus Salmonella agen penyebab bermacam macam infeksi, mulai dari gastroenteritis yang ringan sampai dengan demam tifoid yang berat disertai bakteremia (Anonim, 1994a).

Menurut Ari (2005) penyakit demam tifoid adalah kuman. Kuman yang tergolong bakteri yang menyerang bagian usus halus. Pasien yang terkena penyakit ini akan merasakan demam tinggi yang naik turun. Demam yang dialami penderita biasanya mulai naik menjelang sore dan malam hari, kadang-kadang disertai masalah pencernaan. Gejala lain adalah penderita demam tifoid sering buang air besar bahkan mencret, dikarenakan infeksinya menyerang usus halus sehingga muncul gejala mual, buang air besar dan mencret yang disertai demam. Demam tifoid sangat berkaitan dengan daya tahan tubuh, semakin rentan daya tahan tubuh seseorang berarti semakin rapuh pertahananya terhadap demam tifoid. Dalam kondisi lemah kuman Salmonella typhi dengan mudah masuk ke tubuh manusia melalui berbagai pintu, salah satunya lewat makanan yang kebersihannya kurang terjaga atau tercemar debu (Syam, 2005).

c. Mekanisme Tifoid

Penularan penderita demam tifoid adalah secara faeco - oral dan banyak terdapat di masyarakat dengan higienis dan sanitasi yang kurang baik. Kuman Salmonella typhi masuk ke tubuh melalui mulut bersama dengan makanan atau minuman yang tercemar. Sesudah melewati asam lambung, kuman menembus mukosa usus dan masuk ke peredaran darah melalui aliran limfe.

Selanjutnya, kuman menyebar keseluruh tubuh dalam sistem retikulo endotelial (hati, limfa, dan organ - organ lain), kuman berkembang biak masuk ke peredaran darah menimbulkan bakteriemi keduakalinya. Meskipun melalui peredaran darah kuman menyebar ke jaringan beberapa organ tubuh terutama limfa, usus dan kandung empedu juga menimbulkan berbagai gejala, proses utamanya adalah di ileum terminalis. Bila berat seluruh ileum dapat terkena dan mungkin terjadi perforasi atau pendarahan.

Kuman melepaskan endotoksin yang merangsang terbentuknya pirogen endogen. Zat ini mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus dan menimbulkan gejala demam. Di vagositosis kuman dapat berkembang biak di makrofag karena adanya hambatan metabolisme oksidatif (Anonim, 1988).

d. Diagnosis

Diagnosis kerja demam tifoid berdasarkan pada pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan klinis di dapat dari anamnesa dan pemeriksaan fisik. Hasil pemeriksaan klinis ini kemudian dibuat diagnosis observasi demam tifoid dan pemeriksaan laboraorium terdiri dari :

pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis dan pemeriksaan untuk membuat diagnosis (Hassan, 1985).

Maksud dari pemeriksaan klinik dan pemeriksaan laboratorium yaitu:

1. Pemeriksaan Klinik

Masa tunas demam tifoid rata - rata 6 - 14 hari, gejalanya sangat bervariasi dan tidak spesifik. Selama inkubasi mungkin ditemuka gejala prodormal, yaitu perasaan tak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak bersemangat (Hassan, 1985). Pada minggu pertama keluhan dan gejala serupa dengan infeksi akut pada umumnya, yaitu: nyeri kepala, pusing nyeri otot, anoreksi, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis.

Hasil pemeriksaan fisik hanya ditemukan suhu badan yang meningkat. Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung merah atau tremor), hepatomegali. Splenomegali dan gangguan mental berupa : somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis (Yuwono, 1984).

Secara keseluruhan pemeriksaan klinis yang biasa di temukan yaitu:

a) Demam

b) Gangguan pada saluran pencernaan

c) Gangguan kesadaran

2. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan yang berguna untuk membuat diagnosa dan pemeriksaan untuk menyokong diagnosa. Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosa :

a) Biakan empedu

Basil Salmonella typhi dapat ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urine dan faeces dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu pemeriksaa yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosa, sedangkan pemeriksaan negative dari contoh urine dan faeces 2 kali berturut - turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman (Hassan, 1985).

b) Uji Gumpal Widal

Maksud uji gumpal Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin (antibodi) dalam serum penderita yang disangka menderita demam tifoid (Yuwono, 1994).

e. Pengobatan

Antibiotik yang dimaksud dalam buku Pedoman Penggunaan Anibiotik Nasional adalah antimikroba (Anonim, 1992).

Antibiotik yang sering digunakan untuk pengobatan demam tifoid antara lain:

1) Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah merupakan suatu antibiotika spectrum aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Antibiotika ini dihasilkan oleh Streptomyces venezuela dan merupakan antibiotik yang terpilih untuk mengobati penyakit demam tifoid, selanjutnya kloramfenikol juga digunakan untuk mengobati penyakit infeksi lainnya seperti : batuk rejan (kinkhoes), kolera dan yang digolongkan penyakit berat lainnya (Widjajanti, 1989).

2) Tiamfenikol

Tiamfenikol adalah antibiotik yang terhadap kuman gram positif maupun gram negatif umumnya kurang aktif dibandingkan dengan kloramfenikol tetapi aktifitasnya sama dengan kloramfenikol dan tiamfenikol digunakan untuk indikasi yang sama dengan kloramfenikol. Efek samping yang timbul ialah depresi sum-sum tulang belakang yang reversibel dan berhubungan dengan besarnya dosis yang diberikan. Dari pengalaman klinik yang terbatas kelihatannya obat ini jarang menimbulkan aplasia sum-sum tulang, efek samping yang sering dijumpai adalah depresi eritro poesis, efek hematologi lainnya ialah : leukopenia, trombositopenia dan peningkatan kadar serum iron.

3) Kotrimoksazol Kotrimoksazol adalah antibiotik yang efektif untuk Carrier S. typhi dan Salmonela spesies lain. Terjadinya penyakit kronis pada kandung empedu diduga karena kegagalan menghilangkan carrier state ini, diare akut dapat dicegah dengan memberikan obat trimetropin tunggal atau kotrimoksazol.

4) Ampisilin

Pada pemberian oral jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya dipengaruhi besarnya dosis dan ada kalanya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis yang lebih kecil presentasi yang diabsorpsi relatif lebih besar. Adanya makanan dalam saluran cerna akan menghambat absorpsi obat. Ester ampisilin diabsorpsi lebih baik dari pada ampisilin berbagai enzim dalam mukosa saluran cerna, serum menghidrolisis ester-ester ini dan membebaskan ampisilin.

5) Amoksisilin

Absorpsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik dari pada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisislin mencapai kadar dalam darah yang tinggi kurang lebih dua kali lebih tinggi daripada yang di capai oleh ampisilin. Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedangkan amoksisilin tidak (Ganiswarna, 1995).

6) Sefalosporin

Sefalosporin termasuk antibiotik betalaktam yang bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel mikroba, selain itu juga aktif terhadap kuman Gram positif dan Gram negatif (Anonim, 2000).

3. Rumah Sakit

a. Rumah Sakit

Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 983 Tahun 1992 tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan.

Misalnya adalah memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Kemudian disebut bahwa yang dimaksud rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanaan kesehatan yang bersifat dasar, spesilistik sub spesilistik (Anonim, 1998).

b. Buku Status Pengobatan Pasien Rawat Inap

Buku status pengobataan pasien rawat inap merupakan dokumen paling penting yang terkait dengan pengobataan pasien dalam pengobatan dalam lingkungan rumah sakit, tujuan buku setatus pengobatan ini adalah:

1) Menyatakan dengan jelas pengobatan apa yang di berikan kepada pasien.

2) Memastikan bahwa obat yang di berikan sesuai dengan instruksinya.

3) Mencatat apa yang telah dilakukan dan tidak dilakukan di sertai alasan.

4) Memungkinkan pemantauan klinis.

5) Membantu menjaga standar kualitas.

Bagi farmasi sangatlah penting untuk mengembangkan suatu pendekatan sistematis terhadap pemantauan resep atau pasien sehingga dapat mencegah, mengidentifikasi, membuat prioritas dan mencari penyelesaian masalah-masalah terkait resep yang aktual dan potensial.

Berbagai masalah yang terkait dengan obat diantaranya:

a) Ketepatan pengobatan

Aturan pengobatan perlu dikaji untuk memastikan kesesuaiannya dengan kondisi yang diobati. Aturan pengobatan perlu dikaji dalam rangka memastikan ketetapan untuk masing-masing individu pasien, mengingat faktor -faktor seperti: keadaaan penyakit yang bersamaan, fungsi hati dan ginjal, kontra indikasi, alergi, persoalan kepatuhan dan lain-lain.

b) Pentingnya pengobatan

Mempertimbangkan apakah pengobatan benar-benar diperlukan oleh pasien.

c) Ketetapan dosis.

d) Efektifitas pengobatan.

e) Efek samping obat.

f) Interaksi obat.

g) Kompatibilitas atau keterampilan (Anonim, 1994b).

c. Rekam Medik

Rekam medik (RM) merupakan salah satu sumber informasi sekaligus sarana komunikasi yang dibutuhkan baik oleh penderita maupun pihak-pihak terkait lain (klinis, manajemen Rumah Sakit Umum, Asuransi dan sebagainya) untuk pertimbangan dalam menentukan suatu kebijakan tata laksana atau tindakan medik.

Beberapa informasi yang seharusnya tertera pada rekam medik antara lain demografi, anmesis, hasil pemriksaan fisik, diagnosis, regimen dosis, hasil pemeriksaan penunjang medik atau diagnostik, lama perawatan, nama dan paraf dokter yang merawat.

Rekam medik dapat menjadi sumber data sekunder yang memadai apabila data yang terekan cukup lengkap, informatif, jelas dan akurat. (Gitawati, dkk, 1996).

E. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan memperoleh informasi yang berkaitan dengan data mengenai jenis antibiotik, frekuensi, kekuatan sediaan, bentuk sediaan, lama pemberian dan variasi lama perawatan pada penderita penyakit tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Islam Klaten periode pada tahun 2004.