POLA KOMUNIKASI ANTARA MAHASISWA IAIN SALATIGA DENGAN...
Transcript of POLA KOMUNIKASI ANTARA MAHASISWA IAIN SALATIGA DENGAN...
i
POLA KOMUNIKASI ANTARA MAHASISWA IAIN SALATIGA
DENGAN PEMILIK KOS NON-MUSLIM
DI KELURAHAN MANGUNSARI KECAMATAN SIDOMUKTI
KOTA SALATIGA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
OLEH:
WAHYU NOVITASARI
NIM. 43010150024
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN 2019
ii
iii
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lampiran : 4 (Empat) Eksemplar Salatiga, 29 Juli 2019
Hal : Naskah Skripsi
a.n Sdri. Wahyu Novitasari
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Dakwah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikumWr. Wb.
Setelah mengadakan koreksi dan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirimkan
skripsi saudari:
Nama : Wahyu Novitasari
NIM : 43010150024
Program Studi : Komunikasi dan Penyiaran Islam
Judul : POLA KOMUNIKASI ANTARA MAHASISWA IAIN
SALATIGA DENGAN PEMILIK KOS NON-MUSLIM
DI KELURAHAN MANGUNSARI KECAMATAN
SIDOMUKTI KOTA SALATIGA
Selanjutnya saya mohon kepada Bapak Dekan Fakultas Dakwah agar
skripsi saudari tersebut dapat dimunaqasyahkan dan atas perhatian Bapak kami
ucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pembimbing,
Yahya, S.Ag., M.H.I
NIP. 197009152001121001
iv
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS DAKWAH Jalan Lingkar Salatiga KM. 2 Pulutan Sidorejo Salatiga 50716
http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected]
HALAMAN PENGESAHAN
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
PROGRAM STUDI: KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Nama : Wahyu Novitasari
NIM : 43010150024
Program Studi : Komunikasi dan Penyiaran Islam
Tanggal Ujian : 13 Agustus 2019
Judul Skripsi : POLA KOMUNIKASI ANTARA MAHASISWA IAIN
SALATIGA DENGAN PEMILIK KOS NON-MUSLIM
DI KELURAHAN MANGUNSARI KECAMATAN
SIDOMUKTI KOTA SALATIGA
PanitiaMunaqosyahSkripsi
1. Ketua Sidang : Rovi‟in, M.Ag. ______________________
2. Sekretaris : Yahya, S.Ag,. M.H.I ______________________
3. Penguji I : Dr.Mukti Ali,.M.Hum ______________________
4. Penguji II : Dra. Sri Suparwi, M.A ______________________
Mengetahui,
Dekan Fakultas Dakwah IAIN Salatiga
Dr. Mukti Ali, M.Hum.
NIP. 197509052001121001
v
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS DAKWAH Jalan Lingkar Salatiga KM. 2 Pulutan Sidorejo Salatiga 50716
http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected]
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
DAN
KESEDIAAN DIPUBLIKASIKAN
Saya yang bertandatangan di bawahini:
Nama : Wahyu Novitasari
NIM : 43010150024
Fakultas : Dakwah
Program Studi : Komunikasi dan Penyiaran Islam
Judul Skripsi : POLA KOMUNIKASI ANTARA MAHASISWA IAIN
SALATIGA DENGAN PEMILIK KOS NON-MUSLIM
DI KELURAHAN MANGUNSARI KECAMATAN
SIDOMUKTI KOTA SALATIGA
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain. Pendapat temuan orang lain
yang terdapat dalam skripsi ini dikutipataudirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Skripsi ini diperkenankan untuk dipublikasikan pada e-repository Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Salatiga, 29 Juli 2019
Yang Menyatakan
Wahyu Novitasari
NIM.43010150024
vi
MOTTO
ش األصحب ش ة هي ذ خ الخ لك ػل
“Sebaik-baik teman itu ialah yang menujukkan kamu kepada kebaikan”
حفظ اللسب ة ه ل س سبى ف ىاإل
“Keselamatan seseorang tergantung pada lisannya”
vii
PERSEMBAHAN
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi sesuai target. Skripsi ini
saya persembahkan untuk:
Kedua orangtuaku, Bapak Baseri dan Ibu Wahyuni yang telah
membesarkan, mendidik dengan penuh kasih sayang, mengingatkan dan
mendo‟akanku setiap waktu, sehingga aku bisa menyelesaiksan skripsi
tepat waktu.
Kakek dan Nenek tercinta yang teramat aku sayangi. Termakasih atas
segala cinta dan kasih sayang yang kalian berikan kepadaku.
M. Nailurridho dan Afif Nur Azzahwa.
Ari Wibowo yang selalu menemani, menyanyangi, dan menyemangatiku
agar segera wisuda.
Ana Fuqoha, Agus Setiawan, Al Mustofa, Taufiqurrohmah, Ismiyati,
Maria Nur Aini, Sinta Melani Nuriah, Eni Kurnia Sari, M. Hanif Muslih.
Seluruh Bapak/Ibu Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas
Dakwah yang telah memberikan ilmu dan pelajaran yang amat berharga
dari awal perkuliahan hingga detik ini. Terimakasih atas ilmu dan
motivasinya, aku tak akan melupakannya.
Sahabat-sahabati PMII Rayon Dakwah Kota Salatiga. Terimakasih atas
segala kebaikan, ketulusan, ilmu yang kalian tularkan kepadaku. Semoga
kalian selalu dalam lindungan Allah Swt.
viii
Teman-teman Mapala Mitapasa angkatan XXII, Bowel, Bocel, Bobo,
Baong, Pace, Peler, Leteg, Gabug, Pinus, Logok, Bising, danCeker.
Pembaca yang budiman.
ix
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Swt., atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini tepat
waktu. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada jujungan kita Nabi
Agung Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan
menuju zaman terang benerang dalam perantara agama Islam.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai
pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimaksih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Dr.Mukti Ali, M. Hum. Selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Salatiga.
3. Ketua Prodi KPI IAIN Salatiga, Dra. Hj. Maryatin M.Pd.
4. Ketua Prodi PI IAIN Salatiga, Dr. Muna Erawati, M.Si., Dosen pembimbing
Akademik.
5. Ketua Prodi MD IAIN Salatiga, Dosen Pembimbing Skripsi Yahya, S.Ag.,
M.H.I.
6. Para Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik, menularkan ilmu dan
pengetahuan, serta seluruh staf karyawan dan teman-teman Prodi Komunikasi
dan Penyiaran Islam IAIN Salatiga angkatan 2015 yang telah memberikan
energy postitif yang teramat banyak dalam penulisan skripsi ini.
x
Penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa do‟a dan
semangat dari beliau dan kawan-kawan. Terimakasih atas dukungannya
selama ini. Semoga Allah membalas amal baik kalian dikemudian hari.
Penulis
Wahyu Novitasari
xi
ABSTRAK
Novitasari, Wahyu. 2019. Pola Komunikasi antara Mahasiswa IAIN Salatiga
dengan Pemilik Kos Non-muslim di Kelurahan Mangunsari
Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga) Skripsi, Salatiga: Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Dosen pembimbing Yahya, S.Ag,. M.H.I.
Kata Kunci: Komunikasi, Mahasiswa IAIN, Pemilik Kos Non-muslim
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos
non-muslim, dan untuk mengetahui gambaran akomodasi antara mahasiswa IAIN
Salatiga dengan pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif menggunakan
pendekatan studi kasus dengan teori sosio-kultural. Sumber data dalam penelitian
ini meliputi data primer dan data sekunder, metode pengumpulan data dilakukan
melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi, hasil analisis data
dianalisis menggunakan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Teknik validitas data menggunakan teknik triangulasi sumber.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pola komunikasi antara
mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-muslim yaitu pola komunikasi
formal dan informal. Komunikasi formal yaitu komunikasi yang terikat struktur
organisasi, meliputi: a) Pemilik kos non-muslim lebih berperan sebagai orang tua
di perantauan, seperti mengingatkan tentang kewajiban masing-masing; b)
Mahasiswa IAIN Salatiga yang bertempat tinggal di kos non-muslim lebih
berperan sebagai mahasiswa muslim dikarenakan menyampaikan hal-hal tentang
agama Islam; c) Mengur mahasiswa IAIN yang sering membayar uang kos
terlambat; d) Menegur mahasiswa IAIN tentang kebersihan kos; dan e) Mengur
mahasiswa IAIN apabila membawa teman perempuan menginap di kos.
Komunikasi informal yaitu komunikasi yang tidak dilakukan secara resmi atau
tidak terstruktur, meliputi: a) Menganggap anggota kos mahasiswa IAIN Salatiga
seperti anak sendiri; b) Merawat anggota kos mahasiswa IAIN Salatiga apabila
ada yang sakit; c) Memberikan makanan; d) Sharing pengalaman. Gambaran
akomodasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-muslim di
Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga yaitu: member
toleransi waktu pada saat pembayaran uang kos terlambat.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
LOGO INSTITUT .................................................................................................... ii
NOTA PEMBIMBING ............................................................................................ iii
PENGESAHAN. ....................................................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................... v
MOTTO .................................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ix
ABSTRAK ................................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 9
E. Kerangka Berfikir..................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................................. 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI .................................... 15
A. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 15
B. Landasan Teori ......................................................................................... 20
1. Pola Komunikasi dan Komunikasi ..................................................... 20
xiii
a. Definisi Pola Komunikasi dan Komunikasi ................................. 20
b. Syarat-syarat Terjadinya Komunikasi .......................................... 23
c. Proses Komunikasi ....................................................................... 26
d. Bentuk-bentuk Komunikasi ......................................................... 27
e. Faktor Pendukung Komunikasi .................................................... 30
f. Hambatan Komunikasi ................................................................. 31
2. Mahasiswa .......................................................................................... 34
a. Definisi Mahasiswa ...................................................................... 34
b. Definisi Mahasiswa IAIN Salatiga............................................... 34
3. Agama ................................................................................................ 36
a. Definisi Agama ............................................................................ 36
b. Unsur Agama ............................................................................... 37
c. Muslim ......................................................................................... 38
d. Non-muslim ................................................................................. 41
4. Teori Sosiokultural ............................................................................. 42
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 44
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian............................................................... 44
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 46
C. Fokus Penelitian ....................................................................................... 46
D. Sumber dan Jenis Data ............................................................................. 47
E. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 48
F. Teknik Analisis Data ................................................................................ 50
G. Teknik Validasi Data................................................................................ 51
xiv
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 53
A. Kondisi Objektif Kelurahan Mangunsari .................................................. 53
1. Data Geografis ................................................................................... 53
2. Data Demografi ................................................................................. 54
B. Temuan Penelitian ..................................................................................... 54
1. Pola Komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan
Pemilik Kos Non-muslim di Kelurahan Mangunsari ........................ 55
a. Komunikasi Formal ...................................................................... 55
b. Komunikasi Informal ................................................................... 67
2. Gambaran Akomodasi antara Mahasiswa IAIN Salatiga dengan
Pemilik Kos Non-muslim di Kelurahan Mangunsari ......................... 75
a. Memberi toleransi waktu pada saat pembayaran
uang kos terlambat ....................................................................... 75
C. Analisis Data ............................................................................................ 77
BAB V PENUTUP .................................................................................................... 81
A. Kesimpulan .............................................................................................. 81
B. Saran ......................................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 83
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xv
TABEL BAGAN
1.1 Tabel Skema Kerangka Berfikir.............................................................. ............ 13
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah, Tuhan Yang Maha Esa dengan
struktur dan fungsi yang sangat sempurna bila dibandingkan dengan makhluk
Tuhan lainnya. Manusia juga diciptakan sebagai makhluk multidimensional,
memiliki akal pikiran dan kemauan berinteraksi secara personal maupun
sosial. Karena itu manusia disebut sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial (Bungin 2006: 25).
Manusia adalah makhluk sosial yang pada dasarnya tidak mampu
hidup sendiri di dalam dunia ini baik sendiri dalam konteks fisik maupun
dalam dalam konteks sosial-budaya. Dalam konteks sosial-budaya, manusia
membutuhkan manusia lain untuk saling berkloaborasi dalam pemenuhan
kebutuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan lainnya (Bungin 2006: 25).
Fungsi-fungsi sosial manusia lahir dari kebutuhan akan fungsi tersebut
oleh orang lain, dengan demikian produktivitas fungsional dikendalikan oleh
barbagai macam kebutuhan manusia. Setiap manusia memiliki kebutuhan
masing-masing secara individual maupun kelompok, untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka perlu adanya perilaku selaras yang dapat
diadaptasi oleh masing-masing manusia. Peyelarasan kebutuhan dan
penyesuaian kebutuhan individu, kelompok dan kebutuhan sosial satu dan
lainnya (Bungin, 2006: 26).
2
Sosiologi berpendapat bahwa tindakan awal dalam penyelarasan
fungsi-fungsi sosial dan berbagai kebutuhan manusia diawali dengan
melakukan interaksi sosial atau tindakan komunikasi satu dengan lainnya
(Bungin, 2006: 26). Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan oleh
seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau merubah sikap,
pendapat atau perilaku, baik langung secara lisan, maupun tak langsung
melalui media (Uchana, 2008: 5). Komunikasi merupakan suatu proses
interaksi, yaitu suatu stimulus (rangsangan) yang mempunyai arti tertentu
dijawab oleh orang lain (respon) secara lisan, tulisan maupun aba-aba
(Soemardjan dan Soemardi, 1964: 177).
John Lewis Gillin dan John Philip Gillin dalam karyanya, Cultural
Sociologi seperti dikutip oleh Sarwono mengatakan penggolongan terhadap
proses sosial timbul akibat adanya interaksi sosial, yakni asosiasi (Processes
of Association) dan proses disasosiasi (Processes of Diasassociation). Proses
asosiasi merupakan proses interaksi sosial antara satu orang atau lebih atau
kelompok sosial yang mengarah pada kesatuan atau kekompakan, bahakan
terjadinya pembaruan. Proses ini terbagi dalam tiga bentuk yakni akomdasi
(Accomodation), asimilasi (Assimilation) dan akulturasi (Acculturation).
Interaksi yang melahirkan akomodasi menunjukan pada suatu keadaan yang
didalamnya terjadi suatu posisi keseimbangan (Equalibrium) antar mereka
yang berinteraksi, juga menunjukan pada suatu proses terjadinya upaya
meredamkan pertentangan untuk mencapai kestabilan sosial (Sarwono dan
Sarlito, 2000: 82-83).
3
Proses asimilasi atau pembaruan merupakan proses sosial yang
ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan yang ada
dan untuk mempertinggi kesatuan, baik tindakan, sikap maupun mental
sehingga akan terjadi pembaruan. Proses akulturasi merupakan suatu proses
pertemuan unsur-unsur dari berbagai kebudayaan yang berbeda, yang diikuti
dengan percampuran unsur-unsur tersebut, tetapi perbedaan antara unsur-
unsur asing yang asli masih nampak (Suanda, 2016: 3).
Proses yang bersifat disasosiasi atau disebut juga dengan proses
oposisi (Oppositional Processes) merupakan proses interaksi sosial yang
mengarah kepada perpecahan atau disintegrasi pertentangan, bahkan konflik.
Proses ini mencakup: kasus persaingan (Competition), pertentangan
(Contravention), dan pertikaian (Conflict). Interaksi sosial dalam bentuk
persaingan atau kompetisi merupakan proses sosial tempat orang atau
kelompok manusia bersaing, mencari keuntungan melalui berbagai bidang
yang ada baik yang bersifat materi maupun immateri, baik individual maupun
kelompok, tidak dengan cara kekerasan maupun ancaman (Suanda, 2016: 3).
Kasus pertentangan merupakan proses sosial antara proses kompetisi
dengan konflik, kasus ini ditandai dengan gejala-gejala adanya ketidakpastian
mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang
disembunyikan. Pertentangan dapat berupa sikap mental yang tersembunyi
terhadap orang atau kelompok lain, bahkan bisa menjadi suatu kebencian
(Suanda, 2016: 3).
Sementara kasus pertikaian atau konflik merupakan proses interaksi
sosial antar individu atau kelompok dengan cara kekerasan atau ancaman
4
dalam rangka memenuhi tujuan, nilai-nilai atau kepentingan. Perasaan
(amarah, benci, dan sebagainya) memegang peranan penting dalam
mempertajam perbedaan yang ada sehingga tiap-tiap pihak berusaha untuk
saling menghancurkan (Suanda, 2016: 4).
Masyarakat merupakan suatu kesatuan individu yang dipandang dalam
keseluruhannya satu dengan yang lain, berada dalam interaksi yang berulang
tetap. Interaksi itu terjadi kalau satu individu dalam masyarakat berbuat
sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suatu reaksi dan individu atau
individu-individu lain (Koentjaraningrat, 2013: 104). Ralph Linton (Soekanto,
2003: 24) masyarakat merupakan sekelompok manusia yang telah hidup dan
bekerja sama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan
menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas
yang dirumuskan dengan jelas.
Suatu hal yang penting dalam memahami interaksi sosial dalam
masyarakat majemuk adalah, bagaimana individu atau kelompok untuk
menyesuaikan diri dengan latar belakang ekonomi yang berbeda, lingkungan
yang berbeda, suku yang berbeda, agama yang berbeda, dan adat-istiadat yang
berbeda (Suanda, 2016: 4). Kemajemukan masyarakat terutama bercorak
adanya keragaman agama dan kesenjangan ekonomi yang sangat tajam.
Norma-norma atau kaedah-kaedah yang dimiliki oleh setiap suku
dalam berinteraksi berbeda tetapi pada prinsipnya dikembalikan pada konsep
nilai, yang merupakan pandangan relatif abstrak mengenai apa yang baik dan
apa yang buruk. Nilai-nilai atau sistem nilai merupakan abstraksi dalam
berinteraksi. Di lain pihak, nilai tersebut mempunyai pengaruh yang besar
5
terhadap pola pikir, sikap, kaedah-kaedah maupun pola tingkah laku manusia
(Suanda, 2016: 4).
Jadi, pola interaksi sosial tertentu, termasuk yang dimiliki oleh
penduduk lokal dalam menanggapi kehadiran warga pendatang timbul atas
dasar nilai-nilai yang berkembang dalam suatu golongan agama dalam
berinteraksi. Tidak jarang kejadian bahwa pola interaksi yang menjadi
golongan khas agama tertentu, dipergunakan di dalam segala macam konteks
pergaulan hidup. Hal semacam ini dapat dimengerti, sebab pola semacam ini
melembaga di dalam diri seseorang atau sesuatu kelompok, ditumbuhkan oleh
faktor pendidikan di rumah sejak kecil (pendidikan non-formal) (Suanda,
2016: 5).
Untuk lebih menyoroti aktifitas interaksi ini, Kelurahan Mangunsari
adalah wilayah yang dijadikan objek penelitian. Kelurahan Mangunsari
terletak di pinggiran Kota Salatiga dan dikelilingi oleh masyarakat dengan
agama yang beragam. Kelurahan Mangunsari adalah tempat yang termasuk
Kecamatan Sidomukti. Pada awalnya Kelurahan Mangunsari merupakan tanah
yang menjadi tempat tinggal masyarakat lokal, kemudian banyak mahasiswa
IAIN Salatiga yang dikarenakan ketertarikan meraka mengembangkan ilmu di
wilayah ini, yaitu dengan berbagai faktor-faktor pendukung yang sangat
berpotensi jika mengacu pada letak strategis wilayah yang dekat dengan
kampus 1 & 2 IAIN Salatiga sebagai salah satu perguruan tinggi yang berada
di Salatiga dengan kesuburan tanah yang memungkinkan pendatang merasa
nyaman untuk tinggal. Banyak hunian sementara atau kos-kosan di daerah ini.
6
Mahasiswa IAIN Salatiga banyak yang menetap sementara di
Kelurahan Mangunsari. Mereka datang berbagai alasan untuk singgah dan
menetap sementara, seperti yang diutarakan oleh, mahasiswa Dina S.:
“Sebelumnya saya kos di sini, saya dulu mondok di Pondok Al-Falah
Grogol Salatiga. Kemudian setelah dari Pondok Al-Falah, saya
memutuskan untuk kos di sekitar kampus 2 IAIN Salatiga”.
Selanjutnya diperkuat lagi oleh penjelasan Bapak Lasimin selaku ketua
RT 07 Rw 07, tentang alasan banyaknya mahasiswa IAIN Salatiga yang
masuk ke Desa Banjaran yang lokasinya tepat di belakang kampus 2 IAIN
Salatiga:
“Memang dulu derah sini cuma pemukiman warga. Seiring
bertambahnya tahun, banyak mahasiswa yang berkuliah di IAIN
Salatiga. hal tersebut dimanfaatkan warga sekitar untuk menyewakan
hunian sementara bagi mahasiswa maupun umum. Kan juga deket dari
RT sini ke kampus IAIN mbak”.
Dengan alasan itu menjadi salah satu motivasi, dan yang paling
penting bagi mahasiswa IAIN Salatiga untuk menetap sementara dan hidup
sebagai masyarakat lokal yang sama-sama berusaha hidup dengan sejahtera,
yang akhirnya minat mereka untuk kembali pulang justru lebih kecil, bahkan
yang ada mahasiswa IAIN Salatiga sampai hari ini terus bertambah.
Mahasiswa IAIN Salatiga ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti
Riau, Jawa, Pati, Boyolali, Demak dan lain-lain. Keadaan penduduk yang
terdiri dari beraneka ragam etnis, kebudayaan, agama, dan bahasa memerlukan
penyesuaian-penyesuaian yang intensif dari kedua belah pihak baik dari
kelompok pribum maupun mahasiswa IAIN Salatiga.
Kenaekaragaman dapat terlihat dari banyaknya agama yang berada di
Kelurahan Mangunsari seperti Islam dan Kristen, mereka berprofesi sebagai
7
pedagang, buruh harian lepas, PNS, dan lain-lain. Berbagai pekerjaan paruh
waktu yang digeluti mahasiswa IAIN Salatiga sebagai penjaga toko, laundry,
dan lain sebagainya. Mahasiswa IAIN Salatiga ini, kebanyakan masih tertutup
(tidak mau membuka diri terhadap masyarakat lokal). Namun peneliti melihat
ada suatu hubungan yang menarik yang layak diteliti, meskipun keberadaan
mereka sebagai mahasiswa IAIN Salatiga dalam kesehariannya tertutup
dengan lainnya, namun keberadaan mereka bisa diterima oleh masyarakat
lokal.
Masyarakat dalam perkembangannya menyebabkan manusia yang satu
dengan manusia lainnya semakin kurang keakraban dan semakin jauh jarak
hubungannya. Kalau masih Nampak keakraban terbetas pada kelompok inti
masyarakat, yakni keluarga (Efendy & Uchana, 1992: 4). Mahasiswa IAIN
Salatiga sebagian bersifat tertutup atau kurang bersosialisasi dengan
masyarakat lokal (pribumi) di Kelurahan Mangunsari. Namun keterbatasan
interaksi ini kebaradaan mereka para pendatang justru tidak menimbulkan
konflik yang nyata atau nampak ada di tengah-tengah mahasiswa IAIN
Salatiga dengan masyarakat lokal. Keadaan ini yang seharusnya jika tidak
berjalan dengan harmonis pastinya akan menyebabkan konflik. Namun
sebaliknya, apabila interaksi berjala dengan harmonis maka akan terjadi
integrasi dalam masyarakat. Mahasiswa IAIN Salatiga yang merantau ke
Kelurahan Mangunsari pada umumnya untuk mencari pendidikan yang bagus
dari kampung halamannya. Untuk dapat melakukan ini, mereka harus bisa
beradaptasi dengan norma-norma, kaedah-kaedah serta kebiasaan yang
berlaku di tempat mereka merantau.
8
Mahasiswa IAIN Salatiga yang merantau ke Kelurahan Mangunsari,
memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Dengan berbagai cara
mereka berinteraksi antara masyarakat pendatang dengan penduduk asli sangat
menarik untuk diteliti. Terutama masalah heterogenitas masyarakat. Seperti
telah diuraikan diatas, komposisi masyarakat Kelurahan Mangunsari yang
terdiri dari atas agama Islam/muslim, non-muslim dan sebagian mereka
menyewakan hunian sementara atau kos-kosan bagi pendatang. Kondisi yang
demikian sangar rawan menimbulkan konflik karena adanya benturan
kepercayaan maupun kebudayaan, hanya saja peneliti menekankan lagi bahwa
komunikasi dalam bentuk interaksi yang terjadi justru sebaliknya, dengan
ketertutupan mereka para mahasiswa IAIN Salatiga malah bisa diterima baik
oleh masyarakat setempat. Bukan hanya itu saja, proses akomodasi yang
terjadi pada masyarakat Kelurahan Mangunsari pun terlihat sangat baik.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan
mengkaji menganai pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan
pemilik kos yang lebih jelasnya penelitian ini di beri judul: “Pola
Komunikasi antara Mahasiswa IAIN Salatiga dengan Pemilik Kos Non-
muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan
pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti
Kota Salatiga?
2. Bagaimana gambaran akomodasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan
pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti
Kota Salatiga?
9
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan
pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti
Kota Salatiga
2. Mengetahui gambaran akomodasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan
pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti
Kota Salatiga
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini ditinjau dari segi teoritis dan praktis
adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Dapat memberikan kontribusi berupa infomasi, data, fakta, analisis
terhadap studi-studi yang terkait dengan kajian komunikasi. Walaupun
penelitian ini berkisar pada pola komunikasi mahasiswa IAIN Salatiga
dengan pemilik kos non-muslim, namun sedikit banyak dapat
digeneralisasikan secara umum.
2. Manfaat praktis
Dapat menambah wawasan bagi pembaca atau mahasiswa
khusunya bagi mahasiswa komunikasi dalam menambah khazanah ilmu.
Selain daripada itu, semoga dengan hasil penelitian ini bisa memberikan
suatu wacana yang dapat mewujudkan mahasiswa hidup dengan penuh
kerukunan dimana saja, dimasa yang akan datang.
10
E. Kerangka Berfikir
Dari konsep yang tertera di atas maka penelitian ini menggunakan teori
evolusi sosiokultural yang dikemukakan oleh Charles Darwin menjelaskan
adaptasi ini dalam bentuk mutasi yang memungkinkan organisme untuk
menghadapi lingkungan sekitarnya. Beberapa orgasnime tidak dapat
beradaptasi dan mati, sedangkan lainnya berubah dan tetap hidup. Campbell
memperluas teori ini untuk menjelaskan proses dimana organisasi dan anggota
mereka beradaptasi dengan kondisi sosial di sekitar mereka. Teori evolusi
sosiokultural mempelajari perubahan yang dibuat oleh individu dalam perilaku
dan harapan sosial mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan dalam
lingkungan sosial mereka. Tiga tahapan dalam proses ini:
1. Orang melihat adanya perbedaan, atau variasi, dalam norma-norma
perilaku yang mereka harapkan dan pengharapan yang dimiliki orang lain
untuk kinerja mereka.
2. Sebagai hasil dari variasi norma, mereka melihat pilihan-pilihan yang
mungkin dan memilih perilaku yang secara sosial paling diterima dalam
kelompok.
3. Sekali perilaku yang diterima telah ditentukan, orang akan cenderung
mempertahankan perilaku ini dan menerapkannya pada interaksi
selanjutnya (West dan Turner, 2008: 338).
Selain itu, penelitian ini terfokus pada kontak dan unsur komunikasi
yang merupakan syarat terjadinya komunikasi. Kontak dan unsur komunikasi
merupakan dua bagian yang tidak terlepaskan dalam sebuah hubungan
11
masyarakat, tanpa adanya kontak atau komunikasi masyarakat tidak akan
berkembang.
Sebagaimana mestinya dalam komunikasi dimasyarakat secara umum,
di dalam penelitian ini pula, yang dimana melibatkan kontak sosial dalam
masyarakat antar ragam umat beragama tidak terlepas dari sekedar bagaimana
seseorang atau beberapa orang dapat memilki hubungan dengan yang lain
sebagai suatu yang menjadi bahan saling ketergantungan atau ketertarikan
sebagai lawan bicara, karena komunikasi merupakan proses penyampaian
pesas dari komunikator kepada komunikaan untuk merubah perilaku atau
sikap baik secara langsung maupun tak langsung.
Dalam suatu proses sosial, dapat dikatakan terjadi interaksi sosial, jika
telah memenuhi syarat sebagai aspek kehidupan bersama, yaitu dengan
adanya kontak sosial dan komunikasi sosial (Abdulsyani, 2012: 154). Kontak
sosial adalah hubungan yang melibatkan satu orang atau lebih, melalui
berbagai cara dalam kehidupan masyarakat, berupa percakapan meskipun
terkadang kontak sosial dapat terjadi secara langsung maupun tak langsung.
Dalam hal ini, kontak sosial tidak semata-mata terjadi karena ada hunungan,
akan tetapi karena adanya aksi dari keduanya sehingga menimbulkan reaksi
dari puhak lain guna memenuhi syarat kontak sosial.
Dalam kontak sosial, dapat terjadi hubungan yang sifatya positif dan
hubungan negatif (Abdulsyani, 2012: 154). Bentuk hubungan positif terjadi
karena kedua belah pihak terdapat pengertian, saling menguntungkan yang
pada akhirnya dapat memungkinkan terjadi berulang-ulang waktu yang lama.
Kemudian, sebagaimana hubungan positif, hubungan negatif digambarkan
12
sebagai keterbalikannya, dimana seseorang atau keduanya tidak adanya
pengertian yang berujung saling merugikan yang apada kenyataannya dapat
menimbulkan perselisihan (Suanda, 2016: 14-15). Namun sama halnya bahwa
hubungan keduanya dapat terjadi secara primer artinya hubungan yang
dilakukan secara langsung: tatap muka, bercakap-cakap antara keduanya dan
saling bertemu. Dan dengan bentuk hubungan sekunder, yaitu: hubungan
dengan menggunakan media komunikasi berupa handphone dan sebagainya
(Suanda, 2016: 15).
Komunikasi sosial adalah syarat lain dari proses sosial (Abdulsyani,
2012: 154), komunikasi mempunyai arti persamaan pendangan antara orang-
orang yang berinteraksi terhadap suatu hal (Suanda, 2016: 15). Bahwa
seseorang memberikan tafsiran pada prikelakuan orang lain yang kemudian
adanya reaksi terhadap peerasaan yang memang ingin dan akan disampaikan
oleh orang lain tersebut. Dengan demikian apabila suatu komunikasi tidak
memberikan tafsiran yang diteruskan pada pemahaman dan reaksi antar
komunikan maka hal itu tidak bisa dikatakan kontak sosial (Suanda, 2016:
15).
Untuk lebih jelasnya, kerangka berfikir ini dapat digambarkan dengan
gambaran umum sebagai berikut, yaitu: ketika mahasiswa IAIN Salatiga
singgah disuatu lingkungan maka akan ada sebuah kontak sosial/interaksi dan
komunikasi yang dibangun dengan pemilik kos non-muslim. Begitupun
dengan pemilik kos non-muslim bahwa mereka juga melakukan
kontak/interaksi dan komunikasi untuk mendapatkan informasi dari
13
mahasiswa IAIN Salatiga pendatang supaya mereka dapat diterima di
lingkungan baru tersebut.
Bagan 1.1 Skema Kerangka Berfikir
H. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk mempermudah memahami isi skripsi, penulis memaparkan
sistematika skripsi sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan. Bab ini membahas tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka
berfikir, dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II: Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori yang didalamnya dibagi
menjadi empat sub bab. Pertama, berisi pola komunikasi dan definisi
komunikasi, syarat-syarat terjadinya komunikasi, pola komunikasi, bentuk-
bentuk komunikasi, faktor pendukung komunikasi, dan faktor penghambat
komunikasi. Kedua, membahas tentang mahasiswa, definisi mahasiswa, dan
definisi mahasiswa IAIN Salatiga. Ketiga, membahas tentang agama,
pengertian agama, unsyr agama, pengertian muslim, dan pengertian non-
muslim dan Keempat, membahas tentang teori sosiokultural.
Mahasiswa IAIN Salatiga
Kontak Komunikasi dan Interaksi
Pemilik Kos Non-
muslim
14
Bab III: Metodologi penelitian, yang meliputi jenis dan pendekatan
penelitian, lokasi dan waktu penelitian, fokus penelitian, sumber dan jenis
data, metode pengumpulan data, analisis data, dan teknik validitas data.
Bab IV: Hasil penelitian dan pembahasan yang memuat pemaparan
data temuan penelitian dan analisis data penelitian tentang pola komunikasi
mahasiswa dengan pemilik kos non-muslim.
Bab V: Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan
penelitian dan saran.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini berjudul Pola Komunikasi antara Mahasiswa IAIN Salatiga
dengan Pemilik Kos Non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga, sehingga peneliti menggunakan rujukan penelitian
terdahulu yang relevan untuk menjadi bahan pembanding atau bahan rujukan
dalam penelitian ini.
1. Penelitian Nengsi Martalingga, Wahyu Pramono, Rinel Fitlayeni (STKIP
PGRI Sumatera Barat Prodi Pendidikan Sosiologi Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial tahun 2014) yang berjudul “Pola Interaksi Masyarakat
Muslim dan Non Muslim di Pulau Karam Pondok Kecamatan Padang Barat
Kota Padang”. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan
penelitian deskriptif berupa kata-kata tulisan atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati, informan dalam penelitian ini berjumlah 17 orang.
Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian itu adalah observasi,
wawancara mendalam, dan dokumen. Teknik analisis data dalam penelitian
ini menggunakan model interaktif dari Miles dan Huberman melalui tiga
tahap, diantaranya: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Adapun hasil penelitian tersebut adalah pola interaksi masyarakat muslim
dan nonmuslim di Pulau Karam Pondok Kecamatan Padang Barat Kota
Padang dilihat dari bentuk interaksi ada yang bersifat asosiatif yaitu berupa
16
kerjasama masyarakat. Di sini terjadi kerjasama antar agama yang satu
dengan agama lainnya. Salah satu bentuk kerjasamanya adalah gotong
royong.
2. Penelitian Anggun Kusumawardhani (Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Semarang tahun 2013) yang berjudul “Interaksi Sosial antara Siswa
Muslim dengan Non Muslim di SMA Katolik Yos Soedarso Pati”. Metode
analisis yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik
pengumpulan data yaitu teknik triangulasi data. Adapun analisis data yang
digunakan mencakup 3 hal yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)
bentuk interaksi yang terjalin antar siswa muslim dengan siswa nonmuslim
yaitu diskusi, rapat rutin dalam organisasi, persaingan dalam hal akademik
dan pertikaian antar siswa baik dalam hal pelajaran maupun di luar mata
pelajaran, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi siswa muslim dan
nonmuslim yaitu adanya pemberian mata pelajaran religiositas, adanya
aturan yang mewajibkan siswa mengikuti kegiatan halal bi halal, serta
adanya tujuan pribadi dari masing-masing siswa, (3) hambatan dalam
interaksi siswa muslim dan siswa nonmuslim yaitu adanya perbedaan sikap
siswa seperti perbedaan sikap siswa muslim dan nonmuslim dalam kegiatan
kerja kelompok, sifat pemalu atau sulit bergaul dan adanya konflik antar
siswa.
3. Penelitian Krisno Agung Suanda, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung yang berjudul “Pola
17
Interaksi Masyarakat Pendatang dengan Masyarakat Lokal dalam
Keragaman Etnis (Studi Deskriptif di RW 04 & RT 06 Desa Rancapanggung
Kec. Cililin Kab. Bandung Barat)”. Teori yang digunakan dalam penelitian
adalah Teori Interaksionalisme Simbolik. Sumber data berasal dari Aparat
Desa Rancapanggung Bagian Kemasyarakatan serta masyarakat. Adapaun
informan untuk wawancara berjumlah 13 orang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hasil interkasi yang dibangun baik oleh masyarakat
pendatang maupun pribumi ialah kerjasama (Cooperation), hal tersebut
dapat terlihat dari interaksi masyarakat pendatang yang dapat berbaur dan
berkerja sama dengan masyarakat pribumi. Selain itu, adanya penyesuaian
lingkungan yang dilakukan oleh pendatang dengan mengikuti kebudayan
masyarakat sekitar. Gambaran asimiliasi dan akulturasi masyarakat
pendatang dengan masyarakat lokal dapat terlihat dari perubahan adat
kebiasaan. Perubahan adat dan kebiasaan tersebut yaitu penggabungan adat
istiadat masyarakat pendatang dan masyarakat lokal. Hal tersebut
menunjukkan bahwa teori simbolik sebagai pisau analisis dalam penelitian,
dan sangat berkesinambungan dengan dibuktikannya interkasi yang rekatif
baik. Meskipun dengan simbol-simbol (bahasa) yang berbeda di masyarakat,
sehingga dari segi budaya bersifat asosiatif.
4. Penelitian H. Darwis Muhdina (Pengajar Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar) dalam
Jurnal al-Adyaan yang berjudul “Orang-orang Non Muslim Dalam al-
Qur’an” tahun 2015. Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa, (1) Term Ahl
18
al-Kitab (non muslim) adalah sebutan yang dipakai al-Qur‟an untuk
menunjuk dua komunitas pemeluk agama samawi sebelum Islam, yaitu
Yahudi dan Nasrani. Sebutan Ahl al-Kitab dengan sendirinya tertuju pada
golongan bukan muslim, dan tidak ditunjukkan kepada muslim sendiri,
meskipun mereka ingin juga meganut kitab suci yaitu al-Qur‟an. (2) Jumhur
ulama sepakat bahwa memberi pengertian Ahl al-Kitab adalah agama
Yahudi dan Narani. Para Ulama berbeda pendapat dalam meyikap agama
kaum Majusi dan Shabi‟un apakah termasuk Ahl al-Kitab atau tidak. (3) Ahl
al-Kitab tidak tergolong kaum muslimin, karena mereka tidak mengakui atau
bahkan menentang, kenabian dan kerasulan Muhammad saw serta ajaran
yang beliau sampaikan. Oleh karena itu, terminologi al-Qur‟an mereka
disebut “kafir” (atau dengan istilah lain nonmuslim), yakni yang menentang
atau yang menolak ajaran yang dibawa Rasulullah Muhammad.
5. Penelitian Deden, Yohanes Bahari, Imran (Program Studi Pendidikan
Sosiologi FKIP UNTAN Pontianak) yang berjudul “Interaksi Sosial Antar
Siswa Muslim dengan Non Muslim di Kelas XI IPS”. Metode yang
digunakan dalam penelitian adalah kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan
data yang digunakan peneliti yaitu teknik obeservasi, wawancara, dan studi
dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial antar
siswa muslim dan nonmuslim melalui kerjasama spontan, yang dilakukan
siswa atas perintah oleh guru, siswa tidak membedakan antar muslim
maupun nonmuslim. Akomodasi berupa toleransi, saling menghargai dan
19
menghormati, kompromi saat siswa berdikusi kelompok untuk mendapat
keberhasilan dalam belajar, dan bersaing untuk mendapatkan prestasi.
6. Penelitian Mahfudlah Fajrie dalam INJECT: Interdiscilinary Journal of
Communication Volume 2, No. 1, Juni 2017: h. 53-76 Dosen Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UNISNU Jepara yang berjudul “Gaya Komunikasi
Masyarakat Pesisir Wedung Jawa Tengah”. Metode yanag diggunakan
dalam penelitian adalah pendekatan etnografi. Dalam pendekatan etnografi
ini peneliti mengamati orang (subjek penelitian) dengan cara berinteraksi
langsung bersama dalam keadaan wajar dan dengan berusaha menilai gaya
komnunikasi, gaya hidup dan kebudayaannya. Teknik pengumpulan data
menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Keabsahan data
menggunakan truangulasi sumber. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
masyarakat pesisir Kecamatan Wedung dalam berkomunikasi dengan
masyarakat sesame pesisir, turis (wisatawan) dan masyarakat luar wilayah
pesisir Kecamatan Wedung terjalin dengan baik dan sopan, walaupun
terkadang bahasa dan nada suara yang digunakan terdengar kasar dank eras,
hal ini tidak terlepas dari faktor geografis masyarakat pesisir. Selain itu,
penggunaan bahasa dalam berkomunikasi yang dilakukan masyarakat pesisir
Kecamatan Wedung adalah bahasa Jawa (Jawa karma dan Jawa ngoko).
Gaya yang digunakan adalah the equalitarian style dan the relinguishing
style.
Perbedaan penelitian ini dari penelitian sebelumnya adalah: (1) lokasi
penelitian ini berada di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota
20
Salatiga (2) Subjek yang diteliti adalah mahasiswa IAIN Salatiga serta
pemilik kos non-muslim (3) Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan
studi kasus dengan menggunakan teori sosiokultural.
B. Landasan Teori
1. Pola Komunikasi dan Komunikasi
a. Definisi Pola Komunikasi dan Komunikasi
Pola komunikasi (patterns of communication) adalah suatu jaringan
(network) di mana informasi disalurkan (West & Turner, 2008: 37). Pola
komunikasi secara umum dapat dibedakan menjadi saluran formal (formal
communications channel) dan saluran komunikasi nonformal (informal
communications channel) (Purwanto, 2006: 40).
Komunikasi formal adalah komunikasi yang dilakukan dalam
lingkup lembaga resmi, melalui garis perintah, berdasarkan struktur
lembaga, oleh pelaku yang berkomunikasi sebagai petugas lembaga
dengan status masing-masing, dengan tujuan untuk menyampaikan pesan
yang berkaitan dengan kepentingan dinas dan dengan bentuk resmi yang
berlaku pada lembaga resmi pada umumnya (Hardjana, 2003: 29).
Dari arah komunikasi, pada komunikasi formal ditemukan
komunikasi ke bawah, ke atas, ke samping, dan menyilang (Hardjana,
2003: 29). Komunikasi ke bawah (downward communication) adalah
komunikasi yang mengalir dari bagian atas lembaga kepada bagian bawah
lembaga yang dilakukan oleh pejabat atas (atasan) ke petugas bawah
(bawahan), melalui rantai perintah resmi lembaga dari mana rantai atas ke
21
mata rantai paling bawah (Hardjana, 2003: 30). Bentuk komunikasi ke
bawah dapat berupa lisan (percakapan, dialog atau wawancara
interpersonal satu lawan satu orang; pembicaraan dalam kelompok kecil,
rapat, konferensi; atau pembicaraan publik), dan tertulis (memo, surat
laporan, pengumuman, surat edaran, majalah) (Hardjana, 2003: 30).
Komunikasi ke atas (upward communication) adalah komunikasi
dari bagian bawah, atau petugas bawah ke bagian atas lembaga atau
pejabat atas yang dilakukan bawahan dan disampaikan ke atasan melalui
rantai perintah resmi lembaga dari bawah ke atas. Komunikasi ke atas
berasal dari bawahan untuk atasan, dan mengalir dari bagian bawah ke
bagian atas lembaga (Hardjana, 2003: 30). Bentuk komunikasi ke atas
seperti bentuk komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas dapat berbentuk
lisan (usulan, laporan, permintaan, atau keluhan secara lisan), atau tertulis
(usulan, laporan, permintaan, atau keluhan secara tertulis) (Hardjana,
2003: 30).
Komunikasi menyamping, komunikasi lateral, atau komunikasi
horizontal adalah komunikasi antar rekan kerja sejawat dalam bagian atau
kelompok yang sama, atau antar petugas antar bagian yang sama
tingkatannya. Misalnya, antar manajer produksi dengan manajer
personalia (Hardjana, 2003: 33). Pada dasarnya komunikasi menyamping
berguna untuk koordinasi kerja dan kerja tim. Dasar pemikirannya adalah
sistem kerja tim, dan meluasnya kelompok-kelompok khusus dalam
lembaga seperti tim proyek (team project), panitia (committee), kelompok
22
tugas (task force) yang anggota-anggotanya diambil dari beberapa bagian
yang setingkat (Hardjana, 2003: 34).
Komunikasi menyilang atau diagonal adalah komunikasi yang
menyilang memotong rantai perintah organisasi dan dilakukan oleh
petugas dari bagian yang berbeda dan tingkat yang berbeda pula.
Misalnya, kepala gudang yang ada di bawah manajer produksi
berkomunikasi dengan manajer personalia. Manajer keuangan dengan
kepala promosi. Komunikasi menyilang terjadi juga antar staf dan bagian.
Misalnya, kepala sekretariat direksi dengan kepala pembukuan di bagian
keuangan. Komunikasi keuangan digunakan untuk meningkatkan efisiensi
kerja, memecahkan masalah-masalah atarbagian, dan meminta
pertimbangan dari bagian staf direksi (Hardjana, 2003: 34).
Komunikasi informal adalah komunikasi dari atas ke bawah atau
sebaliknya yang mengalir di luar rantai perintah formal lembaga.
Komunikasi informal tidak dilakukan orang secara resmi sebagai petugas
berdasarkan jabatan yang dipegang, pangkat yang dipunyai, dan status
dalam lembaga ((Hardjana, 2003: 35).
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal
dari kata Latin communis yang berarti “sama,” communico,
communication, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make
common) (Mulyana, 2016: 46). Secara etimologi, komunikasi berasal dari
bahasa Latin yaitu communis yang berarti „membuat kebersamaan‟ atau
„membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih‟. Akar kata
23
communico yang artinya „berbagi‟. Dalam hal ini yang dibagi adalah
pemahaman bersama melalui pertukaran pesan yang dilakukan oleh
komunikator dengan komunikan (Nuraini, 2010: 55).
Adapun pengertian menurut istilah banyak dikemukakan oleh
sarjana-sarjana yang menekuni ilmu komunikasi yaitu:
1) Everett M. Rogers mendefinisikan “komunikasi adalah proses dimana
suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih
dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka” (Cangara,
2014: 35).
2) Tubbs dan Moss mendefinisikan komunikasi adalah suatu “proses
penciptaan makna antara dua orang (komunikator 1 dengan
komunikator 2) atau lebih (Mulyana, 2016: 65).
3) Gerald R. Miller mengartikan bahwa “komunikasi terjadi ketika
sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang
disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima” (Mulyana, 2016:
68).
Jadi dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses
penyampaian pesan berupa gambar, isyarat, informasi dari komunikator
kepada komunikan dengan maksud dan tujuan tertentu.
b. Syarat-syarat Terjadinya Komunikasi
Dari pengertian komunikasi yang telah dikemukakan, jelas bahwa
komunikasi antar manusia hanya bisa terjadi, jika ada seseorang
menyampaikan suatu pesan dari komunikator kepada komunikan dengan
24
maksud dan tujuan tertentu, artinya komunikasi hanya bisa terjadi kalau
didukung oleh adanya komunikator, pesan, media, komunikan, efek,
umpan balik, dan lingkungan. Unsur-unsur ini bisa juga disebut komponen
atau elemen komunikasi yaitu:
1) Komunikator (communicator)
Komunikator atau sumber adalah pihak yang menyampaikan pesan
kepada penerima (Cangara, 2014: 37). Sumber informasi adalah
seseorang atau institusi yang memiliki bahan informasi (pemberitaan)
untuk disebarkan kepada masyarakat luas (Bungin, 2006: 57).
2) Pesan (message)
Pesan ialah penyataan atau keinginan yang disampaikan pengirim
kepada penerima. Pernyataan bisa dalam bentuk verbal (bahasa tertulis
atau lisan) maupun nonverbal (isyarat) yang bisa dimengerti oleh
penerima. Dalam bahasa Inggris pesan biasa diartikan dengan kata
message, content atau information (Cangara, 2014: 37).
3) Media (media)
Media adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan
pesan dari sumber kepada penerima. Media dalam pengertian di sini
berupa media massa yang mencakup surat kabar, radio, film, televisi
dan internet (Cangara, 2014: 37). Saluran yakni alat atau wahana yang
digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.
Saluran boleh jadi merujuk pada bentuk pesan yang disampaikan
kepada penerima, apakah saluran verbal atau saluran nonverbal
25
(Mulyana, 2016: 70). Saluran adalah media yang digunakan untuk
kegiatan pemberitaan oleh sumber berita, berupa media interpersonal
yang digunakan secara tatap muka maupun media massa yang
digunakan untuk khalayak umum (Bungin, 2006: 58).
4) Komunikan (communicant)
Komunikan atau penerima adalah per orang atau kelompok dan
masyarakat yang menjadi sasaran informasi atau yang menerima
informasi (Bungin, 2006: 58). Penerima atau komunikan adalah pihak
yang menjadi sasaran pesan yang dikirim dari sumber kepada
penerima. Penerima biasa disebut dengan berbagai macam sebutan,
antara lain khalayak, sasaran, target, adopter, dan komunikan. Dalam
bahasa Inggris penerima biasa disebut dengan nama receiver,
audience, atau decoder (Cangara, 2014: 37).
5) Efek
Efek yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima
pesan tersebut (Mulyana, 2016:71). Pengaruh atau efek ialah
perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh
penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh bisa terjadi
pada pengetahuan, sikap, dan tingkah laku seseorang. Karena itu,
pengaruh bisa juga diartikan perubahan atau penguatan keyakinan
pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai akibat
penerimaan pesan. Pengaruh biasa disebut dengan nama akibat atau
dampak (Cangara, 2014: 37).
26
6) Umpan balik
Umpan balik ialah tanggapan yang diberikan oleh penerima
sebagai akibat penerimaan pesan dari sumber. Ada juga yang
beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah efek atau
pengaruh. Dalam bahasa Inggris umpan balik sering disebut dengan
istilah feedback, reaction, response, dan sebagainya (Cangara, 2014:
38).
7) Lingkungan
Lingkungan ialah situasi yang mempengaruhi jalannya
komunikasi. Lingkungan dapat diartikan dalam bentuk fisik, sosial
budaya, psikologis dan dimensi waktu (Cangara, 2014: 38).
c. Proses Komunikasi
Harlod D. Laswell dalam buku Oktarina & Abdullah (2017: 52-
53), membedakan proses komunikasi menjadi dua tahapan yaitu:
1) Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer merupakan proses penyampaian
pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan lambang sebagai media. Dalam proses komunikasi
primer, lambang meliputi pesan verbal (bahasa), dan pesan nonverbal
(kial/isyarat badaniah (gestural), begambar dan lain sebagainya.
2) Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder merupakan proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan
27
menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai
lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator atau sender
menggunakan media untuk menyampaikan komunikasi, karena
komunikasi sebagai sasaran berada di tempat yang relatif jauh atau
jumlahnya banyak. Surat, telepon, surat kabar, majalah, televisi, film,
dan lainnya adalah media kedua yang digunakan dalam komunikasi.
Proses komunikasi secara sekunder menggunakan media yang dapat
diklasifikasikan sebagai media massa, meliputi (surat kabar, tabloid,
majalah, televisi, radio, media online) dan media nirmassa (telepon,
surat, poster, spanduk, dan lain-lain).
d. Bentuk-bentuk Komunikasi
1) Komunikasi Personal (Personal Communication)
a) Komunikasi Intrapersonal (intrapersonal communication)
Komunikasi Intrapersonal merupakan komunikasi dengan
penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam diri-sendiri.
Contohnya berfikir untuk melakukan sesuatu pencapaian.
Komunikasi intrapersonal merupakan salah satu pendukung
komunikasi interpersonal, meskipun dalam disiplin komunikasi
tidak dibahas secara rinci dan tuntas. Dengan kata lain, komunikasi
intrapersonal melekat pada komunikasi dua-orang, tiga-orang, dan
seterusnya, karena sebelum berkomunikasi dengan orang lain kita
biasanya berkomunikasi dengan diri-sendiri (mempersepsi dan
memastikan makna pesan orang lain), hanya saja caranya sering
28
tidak disadari. Keberhasilan komunikasi kita dengan orang lain
bergantung pada keefektifan komunikasi kita dengan diri sendiri
(Mulyana, 2016: 80).
b) Komunikasi Interpersonal (interpersonal communication)
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-
orang secara tatap-muka, yang memungkinkan setiap pesertanya
menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal
ataupun nonverbal. Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini
adalah komunikasi diadik (dyadic communication) yang
melibatkan hanya dua orang, seperti suami-istri, dua sejawat, dua
sahabat dekat, guru-murid, dan sebagainya (Mulyana, 2016: 81).
2) Komunikasi kelompok (group communication)
Komunikasi kelompok merupakan sekumpulan orang bersama,
mengenal satu sama lain, mempunyai tujuan bersama, dan saling
berinteraksi untuk mewujudkan tujuan bersama (bergantung satu sama
lain) (Mulyana, 2016: 82).
a) Komunikasi kelompok kecil
Komunikasi kelompok kecil adalah sekumpulan orang yang
mempunyai tujuan bersama dan saling berkomunikasi satu sama
lain dalam lingkup yang keci, seperti diskusi.
29
b) Komunikasi kelompok besar
Komunikasi kelompok besar adalah sekumpulan orang yang
mempunyai tujuan bersama saling berkomunikasi dalam lingkup
yang besar, seperti seminar.
3) Komunikasi Publik (public communication)
Komunikasi publik adalah komunikasi antar seorang
pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak), yang tidak bisa
dikenali satu persatu. Komunikasi demikian sering juga disebut pidato,
ceramah, atau kuliah (umum) (Mulyana, 2016: 82).
4) Komunikasi Organisasi (organizational communication)
Komunikasi organisasi ialah komunikasi yang terjadi dalam
suatu organisasi, baik bersifat formal dan juga informal, berlangsung
dalam lingkup jaringan yang lebih besar daripada komunikasi
kelompok. Oleh karena itu, organisasi dapat diartikan sebagai
kelompok dari kelompok-kelompok. Komunikasi formal adalah
komunikasi menurut struktur organisasi, yakni komunikasi ke bawah,
komunikasi ke atas, dan komunikasi horizontal, sedangkan
komunikasi informal tidak bergantung pada struktur organisasi
(Mulyana, 2016: 83).
5) Komunikasi Massa (mass communication)
Komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan
media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio,
televisi), berbiaya relatif mahal, yang dikelola oleh suatu lembaga atau
30
orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada orang yang
jumlahnya besar yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan
heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat,
serentak dan selintas (khususnya media elektronik) (Mulyana, 2016:
84).
e. Faktor Pendukung Komunikasi
Ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan komunikasi
dilihat dari sudut komunikator, komunikan, dan pesan, sebagai berikut
(Suranto, 2010):
1) Komunikator memiliki kredibilitas/kewibawaan yang tinggi, daya tarik
fisik maupun nonfisik yang mengundang simpati, cerdas dalam
menganalisis suatu kondisi, memiliki integritas/keterpaduan antara
ucapan dan tindakan, dapat dipercaya, mampu memahami situasi di
lingkungan kerja, mampu mengendalikan emosi, memahami kondisi
psikologis komunikasi, bersikap supel, ramah, dan tegas, serta mampu
menyesuaikan diri dengan masyarakat dimana ia berbicara.
2) Komunikan memiliki pengetahuan yang luas, memiliki kecerdasan
menerima dan mencerna pesan, bersikap ramah, supel, dan pandai
bergaul, memahami dengan siapa ia berbicara, bersikap bersahabat
dengan komunikan. Pesan komunikasi dirancang dan disampaikan
sedemikian rupa, disampaikan secara jelas sesuai kondisi dan situasi,
lambang-lambang yang digunakan dapat dipahami oleh komunikator
31
dan komunikan, dan tidak menimbulkan multi interpretasi/penfsiran
yang berlainan.
f. Hambatan Komunikasi
Menurut Shanon Weaver dalam buku Hafied Cangara (2014:40-
43), gangguan komunikasi terjadi jika terdapat intervensi terhadap salah
satu komponen komunikasi, sehingga proses komunikasi tidak dapat
berlangsung secara efektif. Sedangkan rintangan komunikasi dimaksudkan
yakni adanya hambatan yang membuat proses komunikasi tidak
berlangsung sebagaimana harapan komunikator dan penerima.
Meski gangguan dan rintangan komunikasi dapat dibedakan, akan
tetapi sebenarnya rintangan komunikasi bisa juga terjadi disebabkan
karena adanya gangguan. Gangguan dan rintangan komunikasi pada
dasarnya dapat dibedakan atas delapan macam, yakni:
1) Gangguan teknis
Gangguan teknis merupakan gangguan yang berasal dari alat yang
digunakan dalam berkomunikasi, seperti gangguan jaringan telepon,
sound system radio susranya tidak jelas, dan lain-lain.
2) Gangguan semantik
Gangguan semantik sering terjadi karena:
a) Kata-kata yang digunakan terlalu banyak memakai jargon bahasa
asing sehingga sulit dimengerti oleh masyarakat tertentu.
b) Bahasa yang digunakan oleh pembicara berbeda dengan bahasa
yang digunakan penerima.
32
c) Struktur bahasa yang digunakan tidak sebagaimana mestinya,
sehingga membingungkan penerima.
d) Latar belakang budaya yang menyebabkan terjadinya salah
persepsi terhadap simbol-simbol bahasa yang digunakan.
3) Gangguan psikologis
Gangguan psikologis adalah gangguan yang terjadi karena adanya
persoalan yang timbul dalam diri individu. Misalnya, perasaan curiga
kepada sumber, situasi berduka atau karena gangguan kejiwaan,
sehingga dalam pengiriman dan penerimaan informasi tidak sempurna.
4) Rintangan fisik dan organik
Rintangan fisik adalah rintangan yang disebabkan oleh kondisi
geografis. Misalnya, tempat yang jauh dan terpencil sehingga sulit
dicapai, tidak ada signal, jalur transportasi yang sulit, dan
semacamnya. Dalam komunikasi antarmanusia, rintangan fisik bisa
juga diartikan adanya gangguan organik pada fisik manusia. Misalnya
salah satu panca indra si penerima tidak berfungsi karena buta, tuli,
atau bisu.
5) Rintangan status
Rintangan status adalah rintangan yang disebabkan oleh jarak
sosial diantara peserta komunikasi. Misalnya, perbedaan status antara
senior dan junior atau antara atasan dan bawahan. Perbedaan tersebut
biasanya menuntut perilaku komunikasi yang selalu memperhitungkan
kondisi dan etika yang sudah membudaya dalam masyarakat, yakni
33
bahwa cenderung hormat pada atasannya, atau rakya pada raja yang
memimpinnya.
6) Rintangan kerangka berfikir
Rintangan kerangka berpikir adalah rintangan yang disebabkan
adanya perbedaan persepsi antara komunikator dan khayalak. Hal ini
disebabkan karena latar belakang pengalaman dan pendidikan yang
berbeda.
7) Rintangan budaya
Rintangan budaya adalah rintangan yang terjadi disebabkan oleh
adanya perbedaan norma, nilai, dan kebiasaan yang dianut oleh pihak-
pihak yang berkomunikasi. Di negara-negara sedang berkembang,
orang cenderung menerima informasi dari sumber yang banyak
memiliki kesamaan dengan dirinya, seperti kesamaan bahasa, agama,
dan kebiasaan-kebiasaan lainnya.
8) Rintangan birokrasi
Rintangan birokrasi adalah terhambatnya suatu proses komunikasi
yang disebabkan oleh struktur organisasi. Dalam organisasi,
pemerintahan atau perusahaan yang begitu besar seringkali terjadi
kendala, yakni penyampaian informasi dari pimpinan puncak (top
manager) tidak sampai pada karyawan di tingkat eselon bawah. Hal
ini bisa disebabkan karena proses penyampaiannya melalui jenjang
birokrasi yang terlalu panjang.
34
2. Mahasiswa
a. Definisi Mahasiswa
Mahasiswa adalah sebutan bagi orang yang sedang dalam proses
menimba ilmu atau sedang belajar dan terdaftar sedang menjalani
pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi yang terdiri dari
akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji,
2012: 5). Caly (2012:1) berpendapat bahawa mahasiswa juga dikatakan
sebagai suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya
karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dalam suatu lapisan
masyarakat disebut juga sebagai calon intelektual atau cendekiawan muda
yang sering kali syarat dengan berbagai predikat.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
1990 (PP RI No. 30 Tahun 1990) dikatakan bahwa, mahasiswa adalah
peserta didik yang terdaftar di perguruan tinggi tertentu.
b. Definisi Mahasiswa IAIN Salatiga
1) Profil IAIN Salatiga
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga merupakan satu-
satunya perguruan tinggi Islam yang berada di Kota Salatiga. IAIN
Salatiga memiliki 3 (tiga) kampus; kampus I berlokasi di Jalan
Tentara Pelajar No. 2, Salatiga, kampus II di Jalan Nakula Sadewa V
No. 09 Kembang Arum Salatiga, dan kampus III berada di Jalan
Lingkar Selatan (JLS), Pulutan, Kecamatan Sidorejo, Salatiga, Jawa
35
Tengah (Buku Pedoman Akademik dan Kemahasiswaan IAIN
Salatiga tahun 2019).
IAIN Salatiga merupakan lembaga yang berada di bawah naungan
Kementerian Agama Republik Indonesia yang merupakan peralihan
dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo Semarang di Salatiga. Peralihan bentuk ke Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga tertuang dalam keputusan
Presiden Indonesia Nomor 11 Tahun 1997, tanggal 21 Maret Tahun
1997 (Buku Pedoman Akademik dan Kemahasiwaan IAIN Salatiga
tahun 2015).
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga berubah
bentuknya menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
berdasarkan pada Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 143
Tahun 2014 tentang Perubahan Sekolah Agama Islam Negeri menjadi
Institut Agama Islam Negeri Salatiga pada tanggal 17 Oktober tahun
2014. Peraturan tersebut ditandatangani secara langsung oleh Dr. Soesilo
Bambang Yudhoyono selaku Presiden Republik Indonesia. Selanjutnya
tanggal 17 Oktober ditetapkan sebagai lahirnya IAIN Salatiga dan
Diesnatalis IAIN Salatiga diperingati untuk yang pertama kali pada tahun
2015 (Buku Pedoman Akademik dan Kemahasiwaan IAIN Salatiga tahun
2015). Dapat disimpulkan bahwa mahasiswa IAIN Salatiga adalah
sebutan bagi orang yang sedang menimba ilmu di IAIN Salatiga.
36
3. Agama
a. Definisi Agama
Dari segi bahasa (lughat), agama berasal dari bahasa Arab, yaitu
ad-din (Kurniawan, tth: 2). Agama berasal dari bahasa Sansekerta dari
kata a berarti tidak dan gama berarti kacau, sehingga agama berarti
sesuatu yang tidak kacau. Agama dalam bahasa Inggris yaitu religion,
yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berarkar pada kata
religare yang berarti mengikat (Ali, 2016: 36). Menurut Sumardi (dalam
Ali, 2016: 36) pengertian religio termuat arti peraturan tentang bagaimana
seorang manusia membangkitkan dan mengutuhkan hubungannya dengan
realitas tinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara
horizontal.
Secara antropologis Ceertz (dalam Scharf, 2004: 36)
mendefinisikan agama sebagai sistem lambang yang berfungsi
menegakkan berbagai perasaan dan motivasi yang kuat, berjangkauan
luas dan abadi pada manusia dengan merumuskan berbagai konsep
keteraturan umum eksistensi, dan dengan menyelubungi konsepsi-
konsepsi ini dengan sejenis tuangan faktualitas sehingga perasaan-
perasaan dan motivasi-motivasi itu secara unik tampak realistik.
Menurut Elizabeth K. Nottingham dalam buku Jalaludin,
mengartikan bahwa agama adalah suatu gejala yang begitu sering
“terdapat di mana-mana”, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha
manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri
37
dan keberadaan alam semesta. Selain itu, agama juga dapat
membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga
perasaan takut dan ngeri. Perhatian agama tertuju kepada adanya suatu
dunia yang tak dapat dilihat mata (akhirat), namun agama melibatkan
dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari (Jalaludin, 2012:
317).
Sedangkan menurut Max Muller dalam buku Allan Menzies
mengartikan bahwa:
“Agama adalah suatu keadaan mental atau kondisi pikiran yang
bebas dari nalar dan pertimbangan sehingga menjadikan manusia
mampu memahami Tuhan Maha Tak Terbatas melalui berbagai
nama dan perwujudan. Tanpa kondisi seperti . . . . tidak akan ada
agama yang muncul” (Menzies, 2014: 11).
b. Unsur Agama
Prof. Dr. Harun Nasution (Wahyuddin ddk, tth : 13), menyatakan
bahwa agama dapat disebut agama jika memenuhi empat unsur penting
yang harus ada dalam agama.
1) Unsur keyakinan atau kepercayaan (credial)
Adanya keyakinan manusia terhadap sesuatu yang gaib yang
memiliki kekuatan untuk menciptakan dan mengatur alam semesta
ini, dan keyakinan tentang adanya Tuhan.
2) Unsur penyembahan atau peribadatan (ritual)
Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada Tuhan sebagai
tempat minta tolong. Maka dari itu, manusia harus mengadakan
hubungan baik atau menyembah kepada Tuhan yang telah mereka
38
yakini tersebut. Hubungan baik tersebut dapat diwujudkan dengan
mematuhi segala perintah dan menjauhi larangannya.
3) Unsur aturan dalam peribadatan (ritus)
Adanya atutran hukum yang berupa Kitab Suci yang mengandung
ajaran-ajaran agama tersebut dan sekaligus mengatur tata cara
penyembahan kepada Tuhan yang mereka yakini tersebut. Bukan
hanya diyakini dan disembah, akan tetapi tata cara dalam
penyembahan terhadap yang diyakini tersebut juga diatur dalam kitab
suci.
4) Respons yang bersifat emosionil dari manusia
Respons dapat berupa perasaan takut atau perasaan cinta yang
sangat mendalam terhadap agama yang telah dipeluknya (fanatik
beragama) yang kadang kala sampai ekstrim membela agamanya
dengan berlebihan jika agamanya dihina oleh agama atau golongan
lain.
c. Muslim
1) Definisi Muslim
Menurut Kuniawan (tth: 2), kata Islam barasal dari bahasa
Arab, dapat berarti aslama-yuslimu-islaman yang bisa diartikan
dengan keselamatan kesejahteraan. Islam bisa pula berarti sullamun,
yaitu tangga, jenjang ke atas. Islam bisa pula diartikan sebagai
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Swt., asal kata salima-
39
yaslamu, sebagaimana dalam Al-Qur‟an surah al-An‟am ayat 71
Allah berfirman:
ؼ ف بل ه للا ى د ي ا ه ػ ذ قل ا ش ض ل ب ذ ؼ ب ث ب ث ق ػ ا لػ د ش ب
ت ح ص ا ل اى ش ح ض س ل ا ف ي ط الش ت ت اس ز بل ك ب للا ذا ى ر ا
ب ت ائ ذ ل ا ل ا ػ ذ قل ذ ل ا للا ذ ى ا ل ق
قلن ل س ب ل ش ه ا
ي و ل لؼ ا ة ش ل ل
Artinya:
Katakanlah: “Apakah kita akan menyeru selain daripada
Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan
kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan
kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang,
sesudah Allah member petunjuk kepada kita, seperti orang
yang telah disesatkan oleh syaitan di persawahan yang
menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-
kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan
mengatakan): “Marilah ikuti kami”. Katakanlah:
“Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya)
petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada
Tuhan semesta alam”.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), agama Islam adalah
seluruh ajaran dan hukum-hukumnya yang terdapat di dalam Al-
Qur‟an yang diturunkan dari Allah, yang diwahyukan kepada Rasul-
Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw., untuk disampaikan dan
didakwahkan kepada segenap umat manusia yang ada di muka bumi
ini akan memperoleh kebahagiaan hakiki dan bermakna baik ketika
hidup di dunia, maupun di akhirat (Kuniawan, tth: 3). Islam adalah
40
penyerahan diri sepenuhnya kepada segala ketentuan Allah
(Kurniawan, tth: 4)
Dasar dari pengertian ini dapat kita lihat dalam Al-Qur‟an
surah Ali Imran ayat 19 sebagai berikut:
ذ للا السلم ي ػ اى الذ قل
هي االكتت ال ت ي ا هباختلف ال ذ مثؼذ
هبجبء ن الؼلن ثغبمن ث
قلغ ا هي كفشثبت للا فبى للا سش لحسبة
Artinya:
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah
Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab
kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang
kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya sangat
cepat hisab-Nya”.
Begitu juga dalam Al-Qur‟an surah As-Saff ayat 9 sebagai berikut:
ي كل ش ػل الذ ي الحق لظ د ل ثبلذ اسسل سس ال ز ل
كش ال ل ى وششك
ع
Artinya:
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa
petunjuk dan agama yang benar agar dia menenangkannya di
atas segala agama-agama meskipun orang musyrik
membenci”.
41
d. Non-muslim
Non-muslim yakni orang yang memeluk agama selain agama
Islam. Baik Yahudi1, Nasrani maupun umat beragama lainnya, menurut
Quraish Shihab dalam bukunya wawasan Al-Qur‟an, dijelaskan mengenai
non-muslim seperti Yahudi dan Nasrani, dua kelompok masyarakat yang
minimal disepakati oleh seluruh ulama. Sebagian ahl al-kitab. Selain
istilah ahl al-Kitab, al-Qur‟an juga menggunakan istilah Utu al-Kitab,
Utu nasiban minal al-kitab, al-Yahud, al-Lazina Hadu, Bani Israil, an-
Nashara, dan istilah lainnya.
Kata “ahl al-Kitab” di dalam al-Qur‟an terulang sebanyak tiga
puluh satu kali. Utu al-Kitab delapan belas kali, Utu-Nasiban minal kitab
tiga kali, Al-Yahud delapan kali, al-Lazina Hadu sepuluh kali, an-
Nashara empat belas kali, dan Bani/Banu Israil empat puluh satu kali
(Shihab, 2013: 458). Al-Qur‟an menggunakan kata al-Yahud, maka pasti
ayat tersebut berupa kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika
menggunakan kata Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman,
sama halnya dengan al-Ladzina Hadu (Shihab, 2013: 459).
1Penamaan Yahudi menurut sebuah riwayat mereka dinamakan Yahudi karena mereka
bergerak-gerak (yatahawwad) ketika membaca Taurat. Menurut riwayat lain, mereka dinamakan
Yahudi karena dinisbatkan kepada Yahuda, anak keempat Yakuba.s, yang nama aslinya adalah
Yehuza, pemimpin bagi sebelas anak Yakub lainnya. Bebrapa ilmuan membenarkan pendapat ini. Dr.
Jawwad Ali mengatakan Istilah “Yahudi” lebih luas maknanya daripada istilah „Ibran‟ dan „Bani
Israel‟. Hal ini dikarenakan bahwa iatilah Yahudi selain diselamatkan kepada kaum Ibrani, juga
diselamatkan kepada orang-orang non-Ibrani yang memeluk agama Yahudi. Sedangkan mengenai asal-
usul Yahudi, mereka itu termasuk bengsa semit. (lihat buku: Mahir Ahmad Agha, Yahudi (Catatan
Hitam Sejarah), Penerjemah Yodi Indrayadi, (Jakarta: Qisthi Press, 2011), h. 11-12
42
Firman Allah dalam al-Qur‟an Surah al-Hajj ayat 17, menyebut
kelompok non-muslim sebagai berikut:
بثئي إ الص ال زي بدا ال زي ى ال زي آها الوجس ال صبس
ء كل ش ػل م القبهة إى للا ن فصل ث ذ أششكا إى للا ش
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-
orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi
keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu." (QS. al-Hajj:17).
4. Teori Sosiokultural
Teori sosiokultural adalah teori evolusi sosiokultural (theory
sociocultural evolution) yang dikemukakan oleh Charles Darwin (1948)
menjelaskan adaptasi ini dalam bentuk mutasi yang memungkinkan
organisme untuk menghadapi lingkungan sekitarnya. Beberapa organisme
tidak dapat beradaptasi dan mati, sedangkan lainnya berubah dan tetap hidup.
Campbell (1965) memperluas teori ini untuk menjelaskan proses dimana
organisasi dan anggota mereka beradaptasi dengan kondisi sosial di sekitar
mereka. Teori evolusi sosiokultural mempelajari perubahan yang dibuat oleh
individu dalam perilaku dan harapan sosial mereka untuk beradaptasi terhadap
perubahan dalam lingkungan sosial mereka. ada tiga tahapan yang terlibat
dalam proses ini: a. Orang melihat adanya suatu perbadaan, variasi, dalam
norma-norma peilaku yang mereka harapkan dan pengharapan yang dimiliki
orang lain untuk kinerja mereka. b. Sebagai suatu hasil dari variasi norma,
kemudian merka dapat melihat pilihan-pilihan yang mungkin dan memilih
43
perilaku yang secara sosial dapat diterima dalam kelompok. Sekali perilaku
yang diterima telah ditentukan, orang-orang akan cenderung mempertahankan
perilaku ini dan menerapkannya pada interaksi selanjutnya.
44
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang menghasilkan
data deskriptif melalui pendekatan studi kasus yaitu meneliti suatu kasus atau
fenomena tertentu yang ada dalam suatu masyarakat. Penelitian kualitatif
dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang hasil temuan-temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur analisis statistik atau bentuk hitungan. Misalnya
dapat berupa penelitian tentang perilaku seseorang, hubungan timbalbalik dan
sebagainya.
Kata penelitian dalam bahasa Inggris disebut dengan research, terdiri
dari suku kata yaitu re yang berarti melakukan kembali atau pengulangan, dan
search yang berarti melihat, mengamati, atau mencari. Sehingga research
diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
pemahaman baru yang lebih kompleks, lebih mendetail, dan lebih
komprehensif dari suatu hal yang diteliti (Johan & Albi, 2018:7).
Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan
suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Penelitian
deskriptif memusatkan perhatian pada masalah aktual sebagaimana adanya
pada saat penelitian berlangsung (Noor, 201:34-35).
45
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tipe deskriptif kualitatif
karena untuk mengetahui pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga
dengan pemilik kos non-muslim maka dalam penelitian ini diperlukan teknik
pengumpulan data melalui observasi dengan cara peneliti secara langsung
terjun ke lapangan serta melakukan pengamatan tentang komunikasi
mahasiwa IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-muslim, wawancara yang
bersifat terbuka, dan dokumentasi untuk mendapatkan data primer maupun
sekunder. Sehingga penelitian ini dapat menggambarkan bagaimana Pola
Komunikasi antara Mahasiswa IAIN Salatiga dengan Pemilik Kos Non-
muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.
2. Pendekatan Penelitian
Selain menggunakan jenis penelitian deskriptif, penulis juga
menggunakan pendekatan kualitatif. Bodgan dan Taylor dalam buku Moleong
(2009:4), mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam penelitian kualitatif ini,
diperlukan identifikasi partrisipan guna memberi informasi yang mendalam
berkaitan dengan penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif yang kemudian dapat dilakukan analisis dengan cara:
a. Mendeskripsikan data dari informan.
b. Menganalisi data yang diperoleh peneliti.
c. Menyimpulkan hasil penelitian untuk menjawab tujuan penelitian.
46
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian bertempat di Kelurahan Mangunsari Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 23 Juni -
24 Juli 2019.
C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian merupakan batasan masalah dalam penelitian yang berisi
pokok masalah yang mesih berifat umum (Sugiyono, 2008:285-286). Penuturuan
fokus dapat didasarkan pada tingkat kebaruan informasi yang akan diperoleh dari
situasi sosial. Dalam situasi sosial, ada beberapa aspek seperti tempat (place),
pelaku (actor) dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono,
2015: 285).
Dalam penelitian ini, penulis ingin memfokuskan masalah yang ingin
dikaji supaya tidak terjadi perluasan permasalahan yang nantinya tidak sesuai
dengan tujuan penelitian. Penelitian ini difokuskan hanya pada bagaiaman pola
koumunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-muslim.
Karena pola komunikasi dapat berbentuk komunikasi ke bawah, komunikasi ke
atas, komunikasi horizontal dan komunikasi menyilang.
Indiaktor penelitian dalam pola komunikasi antara mahasiswa IAIN
Salatiga dengan pemilik kos non-muslim yaitu dengan bagaimana pola
komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-muslim,
bentuk akomodasi dalam komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan
pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota
Salatiga. Indikator penelitian tersebut mempermudah peneliti menjawab rumusan
47
masalah dan mempermudah penelitian yang sudah dilaksanakan dilapangan,
sesuai dengan fokus penelitian dan indikator penelitian.
D. Sumber dan Jenis Data
Menurut Lofland dan Lofland (1948: 47) sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal ini, pada bagian ini
jenis dapat dibagi kedalam kata-kata, tindakan, sumber data tertulis, foto, dan
statistik.
Sumber data dari kata-kata dan tindakan yang dimaksud adalah kata-kata
dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai secara langsung.
Yakni mahasiswa IAIN Salatiga dan pemilik kos non-muslim di Kelurahan
Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. Sumber data tertulis adalah
berasal dari buku, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. Sumber foto
adalah hasil gambar yang diambil dari sebuah objek. Yakni gambar yang diambil
saat dilaksanakannya komunikasi interpersonal antara mahasiswa IAIN Salatiga
dengan pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti
Kota Salatiga. Sumber statistik adalah gambaran yang memberikan
kecenderungan bertambah atau berkurangnya sebuah objek yang diteliti (Basrowi
dan Suwandi 2008: 169-172).
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapat secara langsung dari sumber
pertama baik dari individu maupun kelompok atau data yang diberikan
secara langsung. Data primer diperoleh peneliti melalui penelitian lapangan
48
dengan melakukan observasi dan melalui prosedur dan teknik pengumpulan
data melalui wawancara, dan dokumentasi (Hanafi, 2018: 80). Dalam hal ini
yang menjadi sumber data primer adalah subjek penelitian yaitu Mahasiswa
IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari
Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan 12 orang informan yang terdiri dari 9 Mahasiswa IAIN
Salatiga dan 3 pemilik kos non-muslim.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sata yang diperoleh secara tidak langsung atau
data primer yang dioleh lebih lanjut dan disajikan oleh pengumpul data
primer atau pihak lain yang dikaitkan sumber tidak langsung dari
pengumpulan data. Data tersebut melalui buku, arsip, dokumentasi, serta
web yang berkaitan dengan penelitian. Hal ini dapat dilakukan dengan
mencarai data melalui informan (Hanafi, 2018: 80).
E. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ialah bagian instrumen pengumpulan data yang
menentukan berhasil atau tidaknya suatu penelitian. Kesalahan penggunaan
metode pengumpulan data atau metode pengumpulan data yang tidak digunakan
semestinya, berakibat fatal terhadap hasil penelitian yang dilakukan (Bungin,
2005: 133). Berikut metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
49
1. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia
dengan menggunakan panca indra mata sebagai alat bantu utamanya selain
panca indra penciuman, mulut, dan kulit. Oleh karean itu, observasi adalah
kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil
kerja panca indra mata serta dibantu dengan panca indra lainnya (Bungin,
2005: 143). Observasi dilakukan oleh peneliti dengan mengamati pola
komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-muslim
di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.
2. Wawancara
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data dengan melibatkan
minimal dua orang yang saling bertukar informasi mengenai suatu kejadian,
peristiwa, dan lain sebagainya. wawancara merupakan percakapan tatap muka
atau face to face. Dalam hal ini, wawancara dilakukan guna memperoleh data
dan informasi tentang pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga
dengan pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumentasi berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari
seseorang (Hikmawati, 2017: 84). Dokumentasi adalah suatu teknik
pengumpulan data dengan mengabadikan suatu peristiwa yang hasilnya
berupa dokumen, seperti foto, video, atau yang sejenisnya. Teknik
50
dokumentasi merupakan taknik mengumpulkan data, mengambil bukti-bukti,
seperti: informan, nama peserta, dan jenis kelamin.
F. Teknik Analisis Data
Menurut Moleong (2007: 280) dalam buku Albi dan Johan (2008: 183)
yang berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif, analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan
uraian dasar. Sebagaimana Moleong (2009: 248) mengutip perkataan Bodgan &
Biklen, 1982), tetang Analisis Data Kualitatif adalah upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
mejadi satuan yang dapat dikelola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Dalam penelitian ini peneliti mengunakan data kualitatif. Data kualitatif
adalah data yang bersifat tidak struktur atau abastrak. Sehingga dalam mengolah
data, penulis menggunakan teknik analisis data tiga jalur yang dikemukakan oleh
Miles & Huberman dalam buku Albi & Johan (2018: 243) Metodologi Penelitian
Kualitatif adalah sebagai berikut:
1. Data Reduction (Reduksi Data)
Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu dan
mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga simpulan final
dapat ditarik dan diverifikasi. Reduksi data diartikan sebagai proses
pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrak, dan
transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
51
lapangan. Sebagimana kita ketahui, reduksi data, berlangsung terus-menerus
selama proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung.
2. Penyajian Data
Penyajian data dimaksudkan untuk menemukan pola-pola yang
bermakna serta memberikan kemungkinan adanya penarikan simpulan serta
memberikan tindakan. Miles dan Huberman membatasi “penyajian” sebagai
sekumpulan informasi tersusun yang member kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan.
3. Penarikan Kesimpulan/verifikasi
Penarikan kesimpulan merupakan bagian dari suatu kegiatan
konfigurasi yang utuh.
G. Teknik Validasi Data
Menurut Sugiyono (2013) dalam jurnal Pendidikan Konvergensi (2018:
114-115), validitas merupakan derajat ketetapan antara data yang terjadi pada
objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Suatu data
dikatakan valid apabila tidak ada perbedaan antar data yang dilaporkan peneliti
dengan data yang sesungguhnya.
Validitas penelitian ada dua macam yaitu validitas internal dan eksternal.
Validitas internal berbicara mengenai sejauh mana kesesuaian hasil penelitian
dengan keadaan yang sebenarnya, validitas ini deperoleh dengan penggunaan
instrument pengambilan data yang memenuhi persyaratan ilmiah (valid dan
reliabel). Validitas eksternal mebicarakan sejauh mana kesesuaian antara
generalisasi hasil penelitian dan keadaan yang sebenarnya, validitas ini dapat
52
terpenuhi dengan baik apabila pengambil sampel yang dilakukan representatif
(Nisfiannoor, 2009:212)
Untuk memperoleh keabsahan data, peneliti menggunakan teknik
triangulasi. Triangualsi adalah teknik pemeriksaan keabsahan sata yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar
data yang ada untuk kepentingan pengecekan keabsahan data atau sebagai bahan
perbandingan terhadap data yang ada.
1. Triangulasi dengan sumber data
Mencari kebenaran informasi tertentu melalui berbagai sumber dalam
perolehan data. Dalam hal ini selain dengan menggunakan metode wawancara
dan observasi, peneliti juga bisa terlibat langsung sebagai partisipan dan
melalukan observasi. Untuk itu, dengan metode sumber data dapat diperoleh
dengan jalan: (a) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara; (b) membandingkan dengan apa yang dikatakan orang di depan
umum (orang lain) dengan apa yang dikatakannya secara pribadi (mahasiswa
IAIN Salatiga); (c) membandingkan dengan apa yang dikatakan orang-orang
tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
2. Perpanjangan Pengamatan
Menambah pengamatan lapangan secara langsung, karena dengan
adanya perpanjangan pengamatan sangat sering terjadi dan kemungkinan
terjadi hubungan lebih lanjut antara narasumber dengan informan sehingga
menjadikan saling akrab dan silaturahim dapat terjalin sepanjang waktu.
53
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Objektif Kelurahan Mangunsari
1. Data Geografis
Lokasi penelitian berlokasi di Kelurahan Mangunsari Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga. Adapun uraian rincian keadaan Kelurahan
Mangunsari adalah sebagai berikut:
a. Letak Wilayah
Kelurahan Mangunsari terletak di Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.
Luas wilayah Kelurahan Mangunsari 290,770 Ha, dengan total 5%.
Kelurahan Mangunsari berbatasan dengan:
1) Bagian Timur : Kelurahan Kalicacing
2) Bagian Selatan: Kelurahan Tegalrejo
3) Bagian Barat : Kelurahan Dukuh
4) Bagian Utara : Kelurahan Kecandran
b. Perhubungan
Alat transportasi di Kelurahan Mangunsari mayoritas menggunakan
sepeda motor.
c. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Data dari Desa menunjukkan mata pencaharian di Kelurahan
Mangunsari mayoritas berprofesi sebagai wiraswasta, akan tetapi ada
54
yang berprofesi sebagai buruh harian lepas, Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dan lain-lain.
2. Data Demografi
a. Data Penduduk
Kelurahan Mangusari dengan jumlah penduduk mencapai 17.322
orang. Penduduk mayoritas berusia 0-60 tahun baik laki-laki maupun
perempuan.
1) Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan Formal
Sebagian besar penduduk Kelurahan Mangunsari yang menempati
wilayah tersebut memiliki pendidikan setara SMA, ada juga sebagian
yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri.
2) Komposisi Kepala Keluarga Berdasarkan Agama
Warga Kelurahan Mangunsari mayoritas beragama Islam atau
muslim, akan tetapi ada juga yang beragama non-muslim
B. Temuan Penelitian
Dari hasil penelitian dengan metode wawancara antara mahasiswa IAIN
Salatiga dan pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga, yang bertujuan untuk mengetahui pola komunikasi
tersebut. Maka dari itu, pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan
pemilik kos non-muslim memang penting dilakukan untuk mecapai tujuan dan
kepentingaan bersama. Jika di dalam sebuah komunikasi tidak mempunyai pola
komunikasi maka tujuan komunikasi tidak akan berjalan dengan apa yang di
inginkan tanpa adanya pola komunikasi yang baik. Untuk itu dalam suatu
55
komunikasi dibutuhkan pola komunikasi yang dilakukan untuk mencapai tujuan
bersama.
1. Pola Komunikasi antara Mahasiswa IAIN Salatiga dengan Pemilik Kos Non-
muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga
Komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari, karena sangat dipengaruhi oleh adanya komunikasi yang efektif
didalamnya. Dalam setiap komunikasi tentunya memiliki pola komunikasi
guna menyalurkan tujuan. Tujuan tersebut telah disepakati oleh anggota
komunikasi. Dengan begitu, didalam suatu komunikasi membutuhkan pola
untuk menyalurkan tujuan komunikasi. Pola komunikasi adalah suatu jaringan
di mana informasi disalurkan (West & Turner, 2008: 37). Secara umum, pola
komunikasi dapat dibedakan menjadi saluran formal (dari bawah ke atas, dari
atas ke bawah, menyilang dan menyamping) dan saluran komunikasi
informal. Pola komunikasi formal dari atasan ke bawahan, bawahan ke atasan,
dan pola komunikasi informal yang digunakan mahasiswa IAIN Salatiga
dengan pemilik kos non-muslim.
a. Pola Komunikasi Formal
Pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik
kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota
Salatiga berlangsung secara formal. Komunikasi formal yaitu komunikasi
yang terstruktur dari atasan ke bawahan, atau melalui garis perintah, yaitu:
1) Pemilik kos non-muslim mengingatkan untuk melakukan ibadah dan
mengingatkan larangangan untuk minuman keras
56
Pada saat mahasiswa mengulur-ulur waktu untuk melaksanakan
ibadah, seringkali pemilik kos mengingatkan untuk melaksanakan
ibadah terlebih dahulu dan melarang ketika ada anak kos yang minum-
minuman keras.
“Saya seringkali diingatkan untuk beribadah sholat ketika kami
masih asyik ngobrol dan pemilik kos non-muslim mengetahui kalau
kami mengulur waktu untuk beribadah...” (L, 22 tahun, Mahasiswa
IAIN Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara, Mangunsari, 11
Juli 2019).
“Waktu itu saya sedang bertamu ke rumah pemilik kos non-muslim
trus biasa lah mba, abis bayar kos gitu biasanya saya sama bapak
kos/ibuk kos ngobrol gitu. Dan pernah waktu itu pemilik kos
memberitahu saya perihal ibadah. Beliau menjelaskan kepada saya
kalau ibadah Kepada Tuhan masing-masing itu harus sungguh-
sungguh, jangan setengah-setengah, gitu mba. Pernah waktu itu
istri bapak kos juga menyinggung tentang hal berpuasa. Istri bapak
kos cerita tentang manfaat puasa mba...” (AN, 19 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Demak, Wawancara,
Mangunsari, 23 Juni 2019).
Hal tersebut serupa dengan ungkapan bapak kos non-muslim terkait
mengiatkan untuk beribadah kepada Tuhan.
“Iya mba, saya waktu itu pernah bilang ke salah satu anak kos
mahasiswa IAIN Salatiga tetang ibadah mba. Waktu itu saya
menjelaskan bahwa kalau ibadah kepada Tuhan masing-masing itu
harus sunggung-sungguh, ndaboleh setengah-setangah. Pernah juga
menyinggung tentang hal puasa mba saya tu. saya jelaskan manfaat
puasa juga. Waktu dulu istri saya pernah sakit, dan salah satu faktor
pendukung istri saya agar sembuh iia itu mba puasa. Saya jelaskan
sedikit waktu itu tentang manfaat puasa yang lain yang saya tau...”
(K, 58 tahun, Pemilik kos non-muslim, Wawancara, Mangunsari,
23 Juni 2019).
2) Peran mahasiswa IAIN yang kos di tempat non-muslim
Dalam komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan
pemilik kos non-muslim, mahasiswa IAIN Salatiga seringkali
57
mencoba menyampaikan tentang baiknya agama Islam. Seperti
toleransi agama Islam ke agama yang lain.
“Ketika saya dilingkungan kos, saya mencoba memberi persepsi
bahwa agama Islam adalah agama yang benar. Saya ngobrol
dengan beliau tentang sedekah atau memberi kepada orang lain
mba. Saya membagi pengalaman saya tentang memberi kepada
orang lain tanpa mengarap imbalan...” (AN, 19 tahun, Mahasiswa
IAIN Salatiga pendatang asal Demak, Wawancara, Mangunsafi, 23
Juni 2019).
3) Pemilik kos non-muslim memberikan teguran pada saat mahasiswa
IAIN Salatiga sering telat bayar kos
Pada saat mahasiswa IAIN Salatiga sering telat bayar kos tanpa
bilang terlebih dahulu kepada pemilik kos non-muslim, tak segan
pemilik kos non-muslim datang ke kamar masing-masing mahasiswa
IAIN Salatiga untuk menanyakan perihal pembayaran kos yang telat
atau memberitahukan pembayaran lewat grup whatsapp. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh mahasiswa IAIN Salatiga F (21 tahun) seperti
berikut:
“Iya, diingatkan lewat grup whatsapp, tapi bapak kos
menyampaikanya sambil guyon gitu mba, dibawa santai. jadinya
kita-kita langsung membalas chat di grup dengan guyon juga...” (F,
22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Bekasi,
Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Ibuk kos saya Alhamdulillah cuma mengingatkan mba, dan saya
bersyukurnya ibuk bapak selalu memberikan kelonggaran bagi
mahasiswa yang memang bener-benar belum bisa membayar
kos....” (AN, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal
Demak, Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Kalo ada yang telat bayar kos, biasanya ibuk meminta tolong
anggota kos mahasiswa lain untuk member tahu si anak tersebut
agar segara membayar uang kos jika sudah ada uangnya...” (E, 19
58
tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Boyolali,
Wawancara, Mangunsari,12 Juli 2019).
“Kalo bapak kos menegur anggota kos biasanya lewat whatsapp
mba. Soalnya bapak sibuk kerja, jadinya cuma lewat whatsapp itu.
Kalaupun bertemu langsung itu hanya kemungkinan kecil....” (R,
21 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Magelang,
Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Pemilik kos biasanya menegur mahasiswa IAIN Salatiga yang
telat membayar uang kos secara langsung mba. Soalnya kan rumah
pemlik kos-non muslim sama kos kan jaraknya deket banget....”
(NR, 22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati,
Wawancara, Mangunsari, 11 Juli 2019).
“Alhamdulillah saya tepat waktu kalo bayar kos mba, jadi belum
pernah tau kalo ibuk menagih atau segala macem. Setau saya bapak
ibuk kos juga memaklumi jika ada mahasiswa sik bayar telat gitu.
Yang penting kata ibuk kos tu „bilang dulu‟ alasan yang sebenernya
mba....” (D, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal
Boyolali, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Kalau bapak dan ibuk kos santai sih mba, yang penting ada
obrolan dulu atau alasan mahasiswa telat dan belum membayar kos.
Biasasnya ibuk langsung memaklumi alasan tersebut....” (N, 19
tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Sragen,
Wawancara, Banjaran, 23 Juli 2019).
“Memang bener mba ibu pernah dateng ke kos. Saya juga waktu itu
ndelalah di kos, dan posisi itu saya telat membayar uang kos 1
bulan, langsung saya meminta maaf kepada pemilik kos terkait
pembayaran kos yang terlambat karena bulan lalu saya belum
dikirim uang untuk bayar kos....” (L, 22 tahun, Mahasiswa IAIN
Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara, Mangunsari, 11 Juli
2019).
Hal serupa juga di ungkapkan oleh salah satu anggota kos
mahasiswa IAIN Salatiga.
“Biasanya ibuk menegur lewat grup terlebih dahulu sebelum jatuh
tempo pembayaran kos mba. Pokoknya kalo di kos ini bayarnya
sebelum tanggal 10 mba...” (RU, 21 tahun, Mahasiswa IAIN
Salatiga pedatang asal Pati, Wawancara, Mangunsari 11 Juli 2019).
59
Hal tersebut serupa dengan ungkapan ibu dan bapak kos non-
muslim terkait pembayaran yang harus dibayar tepat waktu, jika
terlambat pun harus ada obrolan terlebih dahulu.
“Kalau saya mewanti-wanti mahasiswa jika bisa membayar tepat
waktu, kenapa tidak. Tetapi kalaupun belum bisa, saya dan ibuk
berusaha memakluminya, yang penting dengan alasan yang benar
mba...” (K, 58 tahun, Pemilik kos non-muslim, Wawancara,
Banjaran, 23 Juni 2019).
“Saya memberikan teguran biasanya lewat grup whatsapp mba.
Saya kan sibuk dengan pekerjaan saya mba, jadi saya memantau
apapun dari grup whatsapp dan dari pekerja yang saya pekerjakan
untuk menjaga kos....” (E, 45 tahun, Pemilik kos non-muslim,
Wawancara, Mangunsari, 24 Juli 2019).
“Saya juga menegurnya lewat grup whatsapp mba. Saya juga sibuk,
jadi saya hanya bisa menegur lewat grup. Kalaupun secara
langsung itu pasti hanya kebetulan....” (I, 38 tahun, Pemilik kos
non-muslim, Wawancara, Mangunsari, 5 Juli 2019).
Ketika kesadaran akan membayar uang kos berkurang, maka tak
segan pemilik kos akan menegur mahasiswa IAIN Salatiga yang
sering telat membayar uang kos. Hal itu tidak hanya dilakukan untuk
mengetahui penyebab terjaidnya mahasiswa terlambat membayar kos,
tetapi juga untuk meluruskan alasan yang sebenarnya. Ini
menunjukkan keterkaitan dengan asumsi Talcot Parsons (dalam Ritzer,
2003: 65) yang menjelaskan bahwa dalam bertindak manusia
menggunakan cara, teknik, prosedur, metode serta perangkat yang
diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tertentu. Cara mahasiswa
IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-muslim dalam menyelesaikan
permasalahan dengan bertemu secera langsung untuk menyelesaikan
60
permasalahan tersebut dan memperbaiki perilaku dan komunikasi
mahasiswa IAIN Salatiga agar menjadi lebih baik
4) Menegur mahasiswa IAIN Salatiga terkait kebersihan kos
Pada saat mahasiswa mengabaikan tentang kebersihan kos
terutama di lingkungan kamar, kamar mandi, dan dapur, tak segan
ibuk menegur anggota mahasiswa IAIN Salatiga secara langsung. Hal
tersebut seperti yang diungkapkan oleh F (21 tahun) sebagai berikut:
“Ditegur secara langsung mba. Soalnya kan kita hidup bareng nih
kos, pemilik kos menyuruh kita untuk menjaga kebersihan di
lingkungan kamar masing-masing ataupun di kamar mandi dan
dapur. Dulu sih pernah ada yang di pekerja yang bersih-bersih di
kos mba satu minggu sekali, sekarang nda pernah sama sekali,
sekarang semua diserahkan ke anggota kos mahasiswa IAIN
mba...” (F, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal
Bekasi, Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
Hal serupa juga di ungkapkan oleh anggota kos mahasiswa IAIN
Salatiga.
“Iya pernah pemilik ke kos dan marah-marah mba terkait dapur dan
kamar mandi yang kotor. Tetapi saya menyadari itu juga salah dari
kita sebagai anggota kos sih mba. Dulunya memang ada jadwal
piket, tetapi sudah lama nda berjalan. Semenjak itu kita-kita
inisiatif sendiri untuk membersihkan sendiri, karena kita juga yang
memakainya..” (R, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang
asal Magelang, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Iya ke kos mba sampe kita semua diem mendengarkan beliau yang
sedang memarahi kami, karena kita menyadari kita yang salah.
Akhirnya kita meminta maaf kepada ibuk kos dan kita berusaha
membersihkan lingkungan kos....” (RU, 22 tahun, Mahasiswa IAIN
Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara, Mangunsari, 11 Juli
2019).
“Disuruh untuk jaga kebersihan kamar beserta lingkungannya mba.
soalnya kan rumah sama kosnya kan satu komplek, jadi mau tidak
mau kita harus menaati peraturan yang berlaku di kos ini. Biasanya
61
kalo ada mahasiswa yang melanggar tentang kebersihan dan ibuk
mengetahui, ibuk langsung menegur mahasiswa tersebut mba...”
(L, 21 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati,
Wawancara, Mangunsari, 11Juli 2019).
“Bapak ibuk kos cuma memberitahu untuk menjaga lingkungan di
depan kamar dan kamar pribadi masing-masing mba, soalnya ada
ibuk-ibuk yang diperkerjakan oleh bapak kos untuk bersih-bersih
dapur sama depan TV, 1-2 kali dalam 1 bulan kayaknya mba kalo
nda salah...” (AN, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang
asal Demak, Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Iya mba, ken menjaga lingkungan kamar dan kamar pribadi. Kan
saya sekamar dua orang tuh mba, jadi biasanya saya bagi tuga sama
temen saya perihal bersih-bersih gitu. Jadi kalo dibagi dua kan kita
nda begitu capek...” (E, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Boyolali, Wawancara, Mangunsari, 12 Juli 2019).
“Iya mba, ibuk dan bapak kos selalu mengingatkan untuk selalu
menjaga kebersihan kamar masing-masing...” (D, 19 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Boyolali, Wawancara,
Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Iya sih mba. Pemilik pernah bilang ke saya untuk bersih-bersh
lingkungan kamar masing-masing. Kebetulan saya kamar sendiri,
jadi iia saya sendiri yang bersihin kamar mba....” (N, 21 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Sragen, Wawancara,
Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Kalo di sin ibuk cuma mengingatkan untuk kebersihan lingkungan
kamar. Kalo untuk halaman kos biasanya sudah dibersihkan sama
pemilik kos...” (NR, 22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang
asal Pati, Wawancara, Mangunsari, 11 Juli 2019).
Hal tersebut serupa dengan ungkapan ibu dan bapak kos non-
muslim terkait mahasiswa IAIN Salatiga untuk selalu menjaga
kebersihan lingkungan kamar dan kos.
“Iya mba, saya selalu mewanti-wanti mahasiswa IAIN untuk selalu
menjaga kebersihan. Soalnya kan cewe mba, cewe harus menjaga
kebersihan lingkungan mba. Apalagi di kos mba. Pernah saya
marahin itu anak kos yang suka meninggalkan piring-piring kotor
62
yang masih berserakan di dapur mba...” (I, 38 tahun, Pemilik kos
non-muslim, Wawancara, Mangunsari, 5 Juli 2019).
“Saya juga memberi pesan kepada mahasiswa untuk menjaga
lingkungan sekitar kamar. Terlebih kamar yang didalamnya ada
kamar mandi, jadi mau tidak mau mahasiswa harus menjaga
kebersihan sendiri. Tetapi saya juga memperkerjakan orang untuk
bersih-bersih dapur 1-2 kali dalam 1 bulan untuk membersihkan
ruang TV dan dapur mba, jadi mahasiswa cuma saya suruh untuk
membersihkan lingkungan kamar beserta kamar tidur masing-
masing...” (K, 58 tahun, Pemilik kos non-muslim, Wawancara,
Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Untuk kebersihan, saya serahkan untuk anggota kamar masing-
masing. Saya kan nda selalu mengontrol 24 jam mba di kos, jadi
saya serahkan ke penjaga kos yang menjaga di kos mba. Kalau ada
apa-apa atau tentang kebersihan gitu saya pasti menghubungi
penjaga kos....” (E, 45 tahun, Pemilik kos non-muslim, Wawancara,
Mangunsari, 24 Juli 2019).
5) Menegur mahasiswa IAIN Salatiga ketika sering membawa teman
perempuan menginap di kos
Pada saat mahasiswa IAIN ketahuan membawa teman perempuan
untuk menginap di kos, tak segan pemilik kos menegur mahasiswa
IAIN Salatiga secara langsung. Hal tersebut seperti yang diungkapkan
oleh F (21 tahun) sebagai berikut:
“Pas aku di kos sendirian, aku yang ditanya pemilik kos apakah ada
yang menginap di kos, aku jawab nda ada. Soalnya emang setau
saya nda ada sih mba....” (F, 21 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Bekasi, Wawancara, Mangunsari 23 Juni 2019).
“Kalau peraturan di kos ini ndaboleh mambawa teman kos cewe
untuk menginap mba, karena nanti bisa keterusan untuk menginap
disini. Disini kan fasilitasnya enak mba, ada Wi-Wi juga....” (R, 21
tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga asal Magelang, Wawancara,
Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Di kos ini kalo ada yang menginap, dikenakan tarif mba. Kalo
yang menginap cewe dua atau tiga dan masih ada hubungan
63
saudara, ibuk kos mengizinkan mba...” (NR, 22 tahun, Mahasiswa
IAIN Salatiga asal Pati, Wawancara, Mangunsari 11 Juli 2019).
“Alhamdulillah ibuk kos saya rumahnya jauh dari kos, dan ibuk
tidak pernah tanya tentang anak kos lain yang menginap, paling
ibuk cuma tanya tentang fasilitas kos dan lain-lain...” (RU, 22
tahun, mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara,
Mangunsari, 11 Juli 2019)
“Kalo di kos ini kalau ketahuan ada yang menginap juga ditegur
sih. Waktu itu teman saya cuma main tapi sering sih, trus saya
waktu itu di tanya dan dimarahin sama pemilik kos karena
keseringan bawa temen cewe untuk main di kos...” (L, 22 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara,
Banjaran 11 Juli 2019).
“Kalo di kos saya belum ada si mba yang disuruh bayar mba. Tapi
ada tambahan peraturan baru dilarang nyuci di kos selain anggota
kos...” (AN, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal
Demak, Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Eh, belum pernah denger sama sekali mba aku. Aku yang kurang
update apa gimana iia mba, soalnya saya belum pernah denger
tentang itu....” (D, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang
asal Boyolali, Wawancara, Banjaran, 23 Juli 2019).
“Belum pernah liat dan denger ibuk kos menegur anggota kos
mahasiswa IAIN terkait membawa temen kos menginap mba. Apa
mungkin waktu itu saya lagi nda di kos kayaknya mba, jadi saya
ndatau..” (E, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal
Boyolali, Wawancara, Mangunsari, 12 Juli 2019).
“Saya belum pernah lihat bapak atau ibuk menegur mahasiswa lain
yang menginap disini mba. Setau saya juga nda ada yang pernah
bawa mahasiswa lain untuk menginap disini....” (N, 19 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Sragen, Wawancara,
Banjaran, 23 Juli 2019).
Hal tersebut serupa dengan ungkapan ibu dan bapak kos terkait jika
ada mahasiswa IAIN Salatiga atau umum yang ketahuan menginap
dikos, maka akan ditegur oleh pemilik kos.
64
“Memang benar mba, saya sebisa mungkin, malah kalau saya tau,
saya langsung menegur mahasiswa yang menginap di kos.
Biasanya saya langsung meminta tarif untuk membayar air dan
listrik yang mereka gunakan selama menginap di kos...” (K, 58
tahun, Pemilik kos non-muslim, Wawancara, Mangunsari, 23 Juni
2019).
“Kalo ada yang membawa teman menginap di kos, saya kenakan
tarif juga mba. Saya berikan tarif karena saya tidak ingin teman
anggota kos terus-menerus menginap disini...” (E, 45 tahun,
Pemilik kos non-muslim, Wawancara, Mangunsari, 24 Juli 2019).
“Kalau misal ada yang membawa teman cewe untuk menginap di
kos, saya berikan tarif mba. Tarif tersebut saya gunakan untuk
mengganti fasilitas yang ia gunakan saat menginap di kos...” (I, 38
tahun, Pemilik kos non-muslim, Wawancara, Mangunsari, 5 Juli
2019).
6) Mahaiswa IAIN memberikan keluh-kesah kepada pemilik kos non-
muslim
Para mahasiswa IAIN Salatiga memberikan saran, keluh-kesah
secara langsung kepada pemilik kos terkait dengan fasilitas yang perlu
diperbaiki. Keluh-kesah yang disampaikan mahasiswa IAIN Salatiga
kepada pemilik kos yaitu untuk memberitahu apa yang dialami oleh
mahasiswa IAIN Salatiga.
“Iya mba, menyampaikan keluh-kesah yang selama ini dirasakan
oleh anggot kos mahasiswa IAIN kepada pemilik kos. Dulu pernah
ada masalah kran air yang patah dan harus segera diperbaiki.
Langsung dari kita bilang ke pemilik kos. Soalnya waktu itu kalo
kran air nda segera diperbaiki, maka air nda akan bisa ngalir...” (F,
21 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Bekasi,
Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Menyampaikan keluh kesah atau saran-saran, dulu sering mba satu
bulan sekali. Tapi karena kesibukan bapak kos karena pekerjaan,
sekarang udah jarang mba, dan kami memaklumi hal tersebut...”
(R, 21 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga asal Magelang,
Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
65
“Kalau saya lebih seringnya menyampaikan keluh kesah secara
pribadi atau chat peribadi mba. Ibuk kan juga kadang pergi, jadi iia
lebih mudah bilangnya lewat chat itu..” (NR, 22 tahun, mahasiswa
IAIN Salatiga asal Pati, Wawancara, Mangunsari 11 Juli 2019).
“Kalo saya sering menyampaikan keluh kesahnya secara langsung
mba. Biasanya pagi, atau nda malem sehabis maghrib gitu mba...”
(L, 22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga asal Pati, Wawancara,
Mangunsari, 11 Juli 2019).
“Misal ada kendala tentang kos atau apa gitu, biasanya kita chat
pribadi sama pemilik kos. Kalo mau ketemu ibuk iia harusjanjian
dulu sama ibuk mba....” (RU, 22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Pati, Wawancara, Mangunsari, 11 Juli 2019).
“Kalau ada apa-apa tentang kos mba, biasanya langsung bilang ke
pemilik kos. Pemilik kos memberi pesan kepada anggota kos untuk
segera memberitahu pemilik kos agar segera diperbaiki...” (D, 19
tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Boyolali,
Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Berkaitan dengan kos, bapak kos berpesan untuk segera
memberitahu beliau. Misal nda segera diperbaiki iia kita yang
susah sebenernya mba. Jadi secepat mungkin kita matur ke bapak
kos....” (E, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal
Boyolali, Wawancara, Banjaran 12 Juli 2019).
“Alhamdulillah, selama saya kos disisni dan ada kendala, biasanya
bapak kos langsung memperbaikinya mba. Pernah dulu sumbatan
air tersendat, langsung bapak kos segera memperbaikinya...” (N, 19
tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Sragen,
Wawancara, Banjaran, 23 Juli 2019).
Hal serupa juga di ungkapkan oleh anggota kos mahasiswa IAIN
Salatiga.
“Betul sekali, dulu pernah televisi nda bisa dihudupin beberapa
hari. Waktu itu belum juga dibener-benerin karena pemilik kos
masih sibuk dan belum sempet ngeservice televisinya...” (AN, 19
tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Jawa Demak,
Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
66
Masukan atau saran-saran dan informasi dari mahasiswa IAIN
Salatiga berkaitan dengan fasilitas kos demi kepentingan bersama,
disampaikan secara langsung kepada pemilik kos non-muslim.
Kemudian dari pemilik kos non-muslim langsung memberikan solusi
terhadap permasalahan yang berkaitan dengan fasilitas kos.
“Memang benar mba, biasanya kalo ada masalah atau apa gitu
yang berkaitan dengan kos, langsung dari mahasiswa bilang ke
saya. Kalo tukangnya ada, biasanya saya langsung meminta beliau
untuk memperbaiki, kalo nda ada iia nunggu tukang sampai
longgar waktunya...” (E, 45 tahun, Pemilik kos non-muslim,
Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
Sependapat dengan hasil wawancara diatas, hal yang sama juga
disampaikan oleh pemilik kos non-muslim yang lain.
“Iya, langsung saya perbaiki kalo ada fasilitas yang kos yang
rusak. Kalo kerusakannya perlu tukang juga saya tukang, kalo saya
bisa iia saya kejakan sendiri. Dari awal masuk kos sini memang
saya sudah memberitahu calon anggota kos terkait fasilitas yang
rusak, dan secepatnya harus bilang ke saya begitu. Dan sampai
sekarang langsung itu anak-anak datang ke saya bilang kalo ada
fasilitas yang rusak....” (K, 58 tahun, Pemilik kos non-muslim,
Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Kalau ada kendala tentang kos, biasanya dari anak-anak langsung
memberuitahukan ke saya baik melalui chat ataupun secara
langsung. Kalau saya bisa memperbaikinya sendiri, saya langsung
memeperbaikinya mba, kalaupun harus tukang iia saya carikan
tukang...” (I, 38 tahun, Pemilik kos non-muslim, Wawancara,
Mangunsari, 5 Juli 2019).
Keluh-kesah dan saran oleh masing-masing mahasiswa IAIN
Salatiga kepada pemilik kos non-muslim yaitu untuk mengembalikan
fungsi fasilitas kos seperti semula. Saran-saran atau masukan dan
informasi apapun dari mahasiswa IAIN Salatiga yang berkaitan dengan
67
fasilitas kos, disampaikan secara langsung kepada pemilik kos non-
muslim. Setelah pemilik kos tidak sibuk, maka pemilik kos akan
segera memperbaiki fasilitas yang rusak. Selain melakukan pola
komunikasi secara struktural, sesama mahasiswa IAIN Salatiga juga
harus menjain suatu hubugan yang baik dengan cara berkomunikasi
yang bertujuan untuk memperkuat rasa ikatan antar satu dengan yang
lain agar saling memahami.
b. Pola Komunikasi Informal
Pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik
kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota
Salatiga berlangsung secara informal. Komunikasi informal adalah
komunikasi yang tidak dilakukan secara resmi, atau tidak terikat struktur,
seperti:
1) Menganggap anggota kos seperti anak sendiri
Ketika mahasiswa sedang bertamu ke kediaman pemilik kos non-
muslim, tanpa sungkan langsung berbicara seperti berbicara ke bapak
sendiri. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh mahasiswa IAIN
Salatiga AN (19 tahun) seperti berikut:
“Bapak kos non-muslim ramah banget mba, anggep semua
anggota kos baik mahasiswa/umum seperti anak sendiri. Kamipun
sebagai mahasiswa merasa senang mba, disini ada yang
mengawasi lah istilahnya....” (AN, 19 tahun, mahasiswa IAIN
Salatiga pendatang asal Demak, Wawancara, Mangunsari, 23 Juni
2019).
“Kalo disini si nda iia mba. Soalnya kan jarak rumah ibuk kos
sama kos kan jauh mba. jadi iia biasa aja mba...” (RU, 22 tahun,
68
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara,
Mangunsari, 11 Juli 2019).
“Dianggep anak sendiri menurut saya mba. Soalnya kalau ada apa-
apa ibuk berpesan ken matur gitu. Tapi kalo aku matur sama ibuk
sih kebanyakan pas pagi....” (L, 22 tahun, Mahasiswa IAIN
Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara, Mangunsari, 11 Juli
2019).
“Dianggep anak sendiri mba. Misal ada masalah atau apa gitu ken
segera bilang ke ibuk sih...” (NR, 22 tahun, Mahasiswa IAIN
Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara, Mangunsari, 11 Juli
2019).
“Wah, dianggep kek anak sendiri banget mba malah, kayak anak
sama bapak sendiri...” (F, 22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendang asal Bekasi, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Kos sini menurut saya juara mba. bapak kos care banget sama
anak-anak. Pokoknya kalo bapak di kos tu ngobrolnya sampe
berjam-jam betah...” (R, 21 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Magelang, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
Hal serupa juga di ungkapkan oleh salah satu anggota kos
mahasiswa IAIN Salatiga.
“Dianggep anak sendiri mba, kalo ada apa-apa gitu ken langsung
bilang. Dulu perah mba, ada kendala air wastafel bumpet, langsung
saya ambil kerudung dan langsung bilang ke Bapak kos. Padahal
waktu itu biasanya jam-jam beliau istirahat siang, dan malah saya
ganggu. Itu yang paling saya inget sampe sekarang mba, soalnya
bapak baik banget...” (E, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Boyolali , Wawancara, Mangunsari, 12 Juli 2019).
“Iya mba, dianggep seperti anak sendiri. Misal ada masalah atau
keluhan gitu ken ngomong sama pemilik kos mba. Langsung kalo
ada kendala, saya cuss kerumah bapak buat bilang mba...” (D, 19
tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Boyolali,
Mangunsari 23 Juli 2019).
“Dianggep anak sendiri mba beneran, kalo punya makanan apa gitu
langsung dikasihke ke anak kos mahasiswa mba..” (N, 21 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Sragen, Mangunsari 23
Juli 2019).
69
Hal tersebut serupa dengan ungkapan Bapak kos non-muslim
terkait mahasiswa IAIN Salatiga yang dianggap seperti anak sendiri.
“Saya lebih suka ngomong ke anggota kos loss mba, kayak nda
ada sekat gitu. Saya anggap mereka seperti anak sendiri. Saya juga
punya anak mba, jadi saya tau bagaimana kondisi mereka (yang
merantau) pastinya butuh orang tua untuk mengawasi keseharian
mereka. Kalau ada kendala apa-apa gitu biasanya langsung bilang
ke saya tanpa sungkan. Biasanya malah bareng-bareng gitu
ngomong ke saya malah kayak mau kondangan, tapi saya suka
tingkah mereka yang juga bisa loss ke saya. Jarang-jarang loh mba
anggota kos bisa ngobrol loss sama pemilik kos...” (K, 58 tahun,
pemilik kos non-muslim, Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Saya sama anak-anak kos tu saya naggap seperti anak sendiri.
Kalau ada perlu bantuan pribadi tentang tugas kuliah gitu, sebisa
mungkin saya bantu. Pernah ngobrol juga gita bisa sampe berjam-
jam sama mereka...” (E, 45 tahun, Pemilik kos non-muslim,
Wawancara, Mangunsari, 24 Juli 2019).
“Saya menganggap anak kos di tempat saya itu sebagai anak yang
dititipakan kepada saya iia mba. jadi saya berusaha menjaga
amanah tersebut sebaik mungkin...” (I, 38 tahun, Pemilik kos non-
muslim, Wawancara, Mangunsari, 5 Juli 2019).
2) Merawat anggota kos Mahasiswa IAIN Salatiga apabila ada yang sakit
Ketika ada anggota kos mahasiswa IAIN Salatiga yang sakit dan
pemilik kos non-muslim mengetahui, langsung pemilik kos non-
muslim merawat anggota yang sakit tanpa diminta. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh mahasiswa IAIN Salatiga E (19 tahun) seperti
berikut:
“Aku dulu juga pernah sakit mba, trus istri bapak kos tau, langsung
deh aku disaranin buat minum obat dan istirahat. Pernah juga
ditawarin kerok, tapi saya ndamau hehe...” (E, 19 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga asal Boyolali, Wawancara, Mangunsari,
12 Juli 2019).
70
“Memang benar mba biasanya kalo istri pemilik kos non-muslim
tau kalo ada anggota kos Mahasiswa/umum yang sakit, istri
pemilik kos non-muslim langsung merawatnya tanpa diminta.
Pernah dulu ada yang sakit lumayan lama dan dia tidak punya
saudara di Salatiga, alhasil ibuk merawatnya. Diberikan sarapan,
obat, dan pernah dikerokin juga mba...” (AN, 19 tahun, Mahasiswa
IAIN Salatiga pendatang asal Demak, Wawancara, Mangunsari, 23
Juni 2019).
“Nda pernah sih mba. Ibuk jarang banget main ke kos, jadinya
kalo ada yang sakit ibuk nda tau..” (RU, 22 tahun, Mahasiswa
IAIN Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara, Mangunsari, 11
Juli 2019).
“Kalau ibuk tau ada anggota kos yang sakit, biasanya ibuk
memberikan obat mba, dan disaranin untuk istirahat terlebih
dahulu mengurangi aktivitas...” (L, 22 tahun, Mahasiswa IAIN
Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara, Mangunsari, 11 Juli
2019).
“Misal ada anggota kos ada yang sakit dan ibuk tau, langsung ibuk
memberikan obat mba, dan biasanya ibuk menyarankan untuk
istirahat dulu biar cepet sembuh penyakitnya...” (NR, 22 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara,
Mangunsari, 11 Juli 2019).
“Kalau ada yang sakit, biasanya ibuk penjaga kos yang memberi
obat mba...” (F, 22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendang asal
Bekasi, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Kalau pemilik kos tau ada yang sakit, pasti langsung dicarikan
obat sama pemilik kos...” (R, 21 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Magelang, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Iya mba, pemilik kos sampai mencarikan obat gitu buat yang
sakit. Pernah dulu ada yang sakit, terus sampai minta tolong warga
sekitar. Pak RT juga pernah dimintain tolong untuk ke kos karena
ada yang sakit itu mba. Waktu itu karena yang sakit belum
sembuh-sembuh, akhirnya pemilik kos meminta bantuan ke orang
yang lebih bisa mba....” (D, 19 tahun, mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Boyolali, Wawancara, Mangunsari).
“Ngerawat orang sik sakit sih mba kalau beliau tau. Dulu pernah
ada yang sakit parah, trus dirawat sama pemilik kos, dikasih obat,
71
dibuatin sarapan mba....” (N, 21 tahun, mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Sragen, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
Hal tersebut serupa dengan ungkapan bapak ibuk kos non-muslim
terkait mahasiswa IAIN Salatiga yang di rawat beliau saat sakit.
“Iya mba, kalau istri saya tau ada anggota kos mahasiswa
IAIN/umum yang sakit, pasti istri saya langung rawat. Dikasih
obat, sarapan, kerok juga mba. Saya kan juga punya anak mba,
jadinya kasihan juga kalo hal tersebut terjadi pada anak saya.
Sebisa mungkin saya dan istri membantu walaupun bantuannya
kecil. Kita diberi hidup juga untuk saling tolong menolong untuk
orang disekeliling kita mba...” (K, 58 tahun, pemilik kos non-
muslim, Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Iya mba, sebisa mungkin saya membentu anggota kos walaupun
cuma memberikan obat warung..” (E, 45 tahun, Pemilik kos non-
muslim, Wawancara, Mangunsari, 24 Juli 2019).
“Kalau ada yang sakit dan saya tau, pasti saya langsung
memberikan obat untuk mahasiswa yang sakit. Sebisa mungkin
saya membantu anak-anak...” (I, 38 tahun, Pemilik kos non-
muslim, Wawancara, Mangunsari, 5 Juli 2019).
3) Memberikan makanan
Ketika pemilik kos mempunyai makanan, ibuk dan bapak kos tak
segan membagi makanan tersebut kepada anak kos mahasiswa. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh mahasiswa IAIN Salatiga D (19 tahun)
seperti berikut:
“Kalo aku dulu belum pernah mba. Kalo anak kos yang lain ndatau
hehe..” (D, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal
Boyolali, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Pernah mba dulu malem-malem Ibuk ke kos bawain tela, dan
langsung saya makan sama anak-anak kos mahasiswa. Ibuk sering
banget tau mba nagsih makana atau jajanan gitu ke mahasiswa
yang kos disini...” (AN, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Demak , Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
72
“Kalo aku dulu pernah dikasih roti mba, langsung saya bagi-bagi
juga ke anak kos mahasiswa lain. Alhamdulillah waktu itu aku pas
laper, eeh dapet rezeki lewat ibuk kos. Langsung hilang lapernya
mba..” (E, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal
Boyolali, Wawancara, Mangunsari, 12 Juli 2019).
“Kalau saya belum pernah sih mba kalo di kasih makanan....” (RU,
22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati,
Wawancara, Mangunsari, 11 Juli 2019).
“Pernah mba waktu anak kos semua di suruh ke rumah ibuk kos
untuk makan-makan...” (L, 22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Pati, Wawancara, Mangunsari, 11 Juli 2019).
“Pernah mba waktu itu anak kos di suruh ke rumah pemilik kos, eh
ternyata dikasih makanan banyak mba...” (NR, 22 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara,
Mangunsari, 11 Juli 2019).
“Iya mba, pernah dikasih makanan sama bapak kos, dan langsung
dibagi-bagi sama anggota kos mahasiswa lain...” (F, 22 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendang asal Bekasi, Wawancara,
Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Dikasih mba dikasih walaupun kadang-kadang tapi
Alhamdulillah..” (R, 21 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Magelang, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Iya mba, itu liat yang dikardus tadi, aku dikasih ibuk minuman
gelas. Ibuk kalo punya apa gitu nda eman-eman dikasihke sama
anak kos mba. Sering mba ngasih-ngasih apa gitu ke mahasiswa.
Ibuk kalo punyanya itu iia dikasihke mahasiswa iia itu mba....” (N,
21 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Sragen,
Wawancara, Mangunsari 23 Juli 2019).
Hal tersebut serupa dengan ungkapan pemilik kos non-muslim
terkait mahasiswa IAIN Salatiga yang beliau beri makanan.
“Benar mba, saya kasih makanan walaupun sedikit. Kalau punya
makanan gitu saya nda eman-eman tak kasihke mba, daripada
mubadzir kan. Toh kita hidup juga harus berbagi sama orang mba,
biar hidup lebih berkah...” (K, 58 tahun, pemilik kos non-muslim,
Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
73
“Saya memberikan makanan sih mba, tapi iia jarang-jarang.
soalnya kan saya rumah saya nda satu lokasi sama anak kos. Sebisa
mungkin saya sering mengunjungi mereka walaupun cuma
sebentar...” (E, 45 tahun, Pemilik kos non-muslim, Wawancara,
Mangunsari, 24 Juli 2019).
“Kalo makanan sih jarang juga mba, tapi iia penah saya kasih
makanan...” ((I, 45 tahun, Pemilik kos non-muslim, Wawancara,
Mangunsari, 5 Juli 2019).
4) Sharing Pengalaman
Sharing pengalaman terjadi pada saat seusai pembayaran uang kos
di rumah pemilik kos. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
mahasiswa IAIN Salatiga N (21 tahun) seperti berikut:
“Iya mba. ibuk atau bapak sering sharing-sharing cerita gitu mba
ke saya. Saya juga ndelalah orangnya banyak bicara, jadinya iia
enjoy kalo cerita gitu. Lama mba biasanya kalo cerita itu..” (N, 21
tahun, mahasiswa IAIN Salatiga asal Sragen, Wawancara,
Mangunsari 23 Juli 2019).
“Kalo saya pernah cerita bareng sama ibuk, yang intinya kita harus
bener-bener ibadah mba kepada Tuhan, manfaatkan waktu sebaik
mungkin, jangan hanya kos main kos main gitu mba...” (AN, 19
tahun, mahasiswa IAIN Salatiga asal Demak, Wawancara,
Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Kalo sama aku ceritanya itu tentang adab kepada orang tua. Ibuk
mencontohkan bagaimana menjadi anak yang beradab kepada
orang tua tu seperti ini itu mba...” (E, 19 tahun, mahasiswa IAIN
Salatiga pendatang asal Boyolali, Wawancara, Mangunsari, 12 Juli
2019).
“Sharing-sharing pengalaman belum pernah sih mba. Ibuk kos
sibuk terus, paling bisa ngobrol kalau pas bayar uang kos di rumah
beliau...” (RU, 22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal
Pati, Wawancara, Mangunsari, 11 Juli 2019).
“Sharing pengalaman pernah sih satu kali seinget saya. Waktu itu
membicarakan untuk jadi anak harus berbakti sama orang tua...”
(L, 22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati,
Wawancara, Mangunsari, 11 Juli 2019).
74
“Belum pernah sih mba. soalnya saya kalau bertamu di rumah
beliau itu cuma sebentar dan dan lama...” (NR, 22 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara,
Mangunsari, 11 Juli 2019).
“Sering banget sharing macem-mecem, pastinya yang mendidik,
sampai berjam-jam lamanya kalo membahas tentang sharing
pengalaman...” (F, 22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendang
asal Bekasi, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Kalau itu mah sering banget mba. kalau cerita sampai berjam-jam
lamanya. Pokoknya ada aja yang dibahas...” (R, 21 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Magelang, Wawancara,
Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Aku ndak mba, aku jarang omong atau ngobrol gitu. Aku grogian
orang e...” (D, 19 tahun, mahasiswa IAIN Salatiga asal pendatang
asal Boyolali, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
Hal tersebut serupa dengan ungkapan pemilik kos non-muslim
terkait sharing-sharing yang dilakukan kepada mahasiswa IAIN
Salatiga:
“Betul, saya sering ajak obrol mahasiswa IAIN. Biasanya
ngobrolnya kalo mereka pas bayar uang kos ke rumah. Ngomong
ini itu mba, bahkan sampai berjam-jam kita betah. Biasanya saya
sharing tentang pengalaman hidup. Intinya sharing yang saya
berikan bersifat positif. Seperti bagaimana adab kepada orang tua,
taat kepada Tuhan (masing-masing), dan lain-lain...” (K, 58 tahun,
pemilik kos non-muslim, Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Kalo sharing-sharing mah sering mba. Biasanya kalo saya kesitu
banyak anak-anak kos ngumpul dan ngajak sharing ke saya. Tema
yang dibahas macem-macem mba dari A-Z sampe berjam-jam.
Pada intinya sharing-sahring kita itu mendidik mba..” (E, 45 tahun,
Pemilik kos non-muslim, Wawancara, Mangunsari, 24 Juli 2019).
“Sharing pengalaman jarang sih mba. Soalnya juga anak kos
mahasiswa dan saya juga sama-sama sibuk, jadinya kalo bisa
sharing pun kalo seusai pembayaran uang kos...” (I, 45 tahun,
Pemilik kos non-muslim, Wawancara, Mangunsari, 5 Juli 2019).
75
2. Gambaran Akomodasi antara Mahasiswa IAIN Salatiga dengan Pemilik Kos
Non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga
a) Memberi toleransi waktu saat pembayaran uang kos terlambat
Ketika ada mahasiswa IAIN Salatiga yang terlambat membayar
uang kos, pemilik kos tak segan memberikan toleransi waktu kepada
mahasiwa dengan syarat mahasiswa memberitahu alasan yang sebenarnya.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh mahasiswa IAIN Salatiga AN (19
tahun) seperti berikut:
“Iya mba, kalo ada dari kami ada yang telat bayar uang kos,
biasanya kita ngomong ke Bapak/Ibuk kos non-muslim dengan
alasan masing-masing...” (AN, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Demak, Wawancara, Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Memang betul, Bapak Ibuk pernah bilang ke saya misalnya ada
mahasiswa IAIN yang telat bayar kos, secepatnya mahasiswa IAIN
memberitahu alasan mereka dengan alasan yang sebenar-
benarnya....” (E, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang
asal Boyolali, Wawancara, Mangunsari, 12 Juli 2019).
“Kalau terkait tentang pemberian toleransi waktu pembayaran
uang kos itu ada mba, tapi harus dengan alasan yang benar mba,
nda boleh mengada-ada alasannya...” (RU, 22 tahun, Mahasiswa
IAIN Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara, Mangunsari, 11
Juli 2019).
“Dikasi toleransi waktu mba. yang penting sama ibuk tu harus ada
obrolan dahulu misal telat membayar kos, gitu mba...” (L, 22
tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara,
Mangunsari, 11 Juli 2019).
“Selama ini setau saya ibuk kos selalu memberikan toleransi
kepada mahasiswa yang telat memebayar kos. dengan syarat
menyertakan alasan yang sebenarnya....” (NR, 22 tahun,
Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Pati, Wawancara,
Mangunsari, 11 Juli 2019).
76
“Dikasi mba, insyaAllah bapak member toleransi waktu asal
disertai alasan yang benar mba. pernah saya waktu itu telat
mebayar kos dan saya memberi alasan, trus bapak kos
memakluminya...” (F, 22 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendang asal Bekasi, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Bapak kos memberikan toleransi kepada mahasiswa dengan
syarat memberikan alasan yang tepat. Soalnya pernah kejadian
dulu pernah ada yang pura-pura belum bisa membayar kos padahal
dia membeli barang-barang yang banyak. Dari itu, bapak
memberikan toleransi kepada anggota kos yang beliau percaya...”
(R, 21 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga pendatang asal Magelang,
Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
“Dikasih toleransi waktu mba. Pokoknya harus ngasih tau pemilik
kos dulu mba misal belum bisa bayar atau belum kiriman gitu.....”
(D, 19 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga asal Boyolali, Wawancara,
Mangunsari, 23 Juni 2019).
“Yang penting bilang dulu mba, misal kalo jatuh tempo belum bisa
bayar, gitu mba....” (N, 21 tahun, Mahasiswa IAIN Salatiga
pendatang asal Sragen, Wawancara, Mangunsari, 23 Juli 2019).
Hal tersebut serupa dengan ungkapan Bapak/Ibuk kos non-muslim
terkait toleransi waktu yang mereka berikan terkait pembayaran uang kos
kepada mahasiswa IAIN Salatiga dengan alasan yang benar.
“Setiap anggota kos baik mahasiswa IAIN/umum, saya berikan
toleransi waktu pada saat pembayaran uang kos dengan syarat
memberikan alasan yang benar mba. Soalnya kan rezeki orang nda
ada yang tau. Kadang di atas kadang di bawah. Saya mencoba
berfikiran positif dengan alasan yang mahasiswa IAIN berikan.
Akan tetapi jangan semena-mena memanfaatkan toleransi yang
saya berikan. Pernah kejadian ada mahasiswa yang berbohong
belum dikirim uang kos, padahal dia sering keluar kos dan malah
membeli barang-barang mba. Hal tersebut membuat saya berfikir
ulang dua kali kepada sebagian anggota kos yang tercermin pada
saat mereka sering menunda-nunda pembayaran kos...” (K, 58
tahun, Pemilik kos non-muslim, pukul WIB).
“Saya memberikan toleransi memang hanya untuk anak kos yang
bener-bener belum bisa mebayar uang kos mba. Tetapi tiap tanggal
awal atau tanggal muda, biasanya saya sudah mengingatkan anak-
77
anak terkait pembayaran uang kos melalui grup whatsapp...” (I, 38
tahun, Pemilik kos non-muslim, Wawancara, Mangunsari, 5 Juli
2019).
“Benar mba, saya memberikan toleransi kepada anak kos
mahasiswa IAIN yang belum bisa membayar uang kos. Kalo sama
saya tu yang penting anak-anak memberitahu saya dahulu alasan
telat bayar kos....” (E, 45 tahun, Pemilik kos non-muslim,
Wawancara, Mangunsari, 24 Juli 2019).
C. Analisis Data
1. Pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-
muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga
Pola komunikasi formal ke bawah adalah komunikasi yang terjadi
antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-muslim. Komunikasi
ke bawah berasal dari seseorang yang mempunyai posisi jabatan lebih tinggi
kepada mereka yang berotoritas lebih rendah. Komunikasi kebawah biasanya
berupa kebijakan perintah, petunjuk dan informasi yang bersifat umum.
Komunikasi ini dapat dilakukan melaui tatap muka, malelui telepon, papan
bulletin, pengumuman, dan sebagainya (Ruliana, 2016:104-105).
Pola komunikasi formal ke bawah terjadi ketika ada mahasiswa IAIN
Salatiga yang sering telat mebayar uang kos tanpa bilang terlebih dahulu
kepada pemilik kos. Ketika kesadaran akan membayar uang kos berkurang,
maka tak segan pemilik kos akan menegur mahasiswa IAIN Salatiga yang
sering telat membayar uang kos. Dengan hal tersebut diharapkan dapat memicu
dan memperbaiki perilaku dan komunikasi mahasiswa IAIN Salatiga agar
menjadi lebih baik.
78
Pola komunikasi formal ke bawah berikutnya yaitu ketika pemilik kos
menegur mahasiswa IAIN Salatiga secara langsung terkait kebersihan kos. Pada
saat mahasiswa mengabaikan tentang kebersihan kos terutama di lingkungan
kamar, kamar mandi, dan dapur, tak segan ibuk menegur anggota mahasiswa
IAIN Salatiga secara langsung. Dengan hal tersebut diharapkan dapat memicu
dan memperbaiki perilaku mahasiswa agar menjaga kebersihan dengan baik.
Pola komunikasi formal ke bawah yang selanjutnya yaitu ketika pemilik
kos mengetahui ada mahasiswa IAIN Salatiga yang ketahuan membawa teman
cewe menginap di kos, maka secara langsung pemilik kos akan menegur orang
tesebut dan meminta uang ganti untuk mengganti fasilitas yang ia gunakan saat
menginap di kos. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera kepada
mahasiswa IAIN Salatiga, khususnya orang-orang yang menginap tanpa izin
terlebih dahulu kepada pemilik kos.
Pola komunikasi formal ke bawah tersebut sesuai dengan hasil
wawancara beberapa mahasiswa IAIN Salatiga yaitu komunikasi ke bawah
yang dilakukan pemilik kos disampaikan kepada mahasiswa IAIN Salatiga agar
dapat dilaksanakan. Informasi yang disampaikan berupa intruksi untuk
membayar uang kos tepat waktu, dan dilarang membawa teman cewe untuk
menginap di kos dll. Komunikasi yang baik mampu untuk mempererat tali
silaturahim.
Pola komunikasi merupakan suatu jaringan dimana informasi disalurkan
dengan adanya batasan-batasan. Pola komunikasi terdiri dari komunikasi formal
79
(komunikasi ke bawah, ke atas) dan komunikasi informal yaitu komunikasi
yang dilakukan tanpa terikat struktur.
Pola komunikasi formal ke atas yang selanjutnya terjadi antara
mahasiswa IAIN Salatiga kepada pemilik kos non-muslim. Dalam hal ini
peneliti dapat menggambarkan pola komunikasi formal ke atasa berdasarkan
data hasil wawancara dan observasi ke lapangan. Semua mahasiswa IAIN
Salatiga berhak mememberikan saran, keluh-kesah ketika ada fasilitas yang
perlu diperbaiki.
Keluh-kesah dan saran oleh masing-masing mahasiswa IAIN Salatiga
kepada pemilik kos non-muslim yaitu untuk mengembalikan fungsi fasilitas kos
seperti semula. Saran-saran atau masukan dan informasi apapun dari mahasiswa
IAIN Salatiga yang berkaitan dengan fasilitas kos, disampaikan secara langsung
kepada pemilik kos non-muslim. Setelah pemilik kos non-muslim tidak sibuk,
maka pemilik kos non-muslim akan segera memperbaiki fasilitas yang rusak.
Selain melakukan pola komunikasi secara struktural, sesama mahasiswa IAIN
Salatiga juga harus menjain suatu hubugan yang baik dengan cara
berkomunikasi yang bertujuan untuk memperkuat rasa ikatan antar satu dengan
yang lain agar saling memahami.
Pola komunikasi informal antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan
pemilik kos non-muslim terjadi ketika: Pemilik kos menganggap seperti anak
sendiri, Sharing pengalaman, Memberi makanan, Merawat mahasiswa IAIN
Salatiga apabila ada yang sakit. Pola komunikasi informal tersebut sesuai
80
dengan hasil wawancara dari beberapa mahasiswa IAIN Salatiga. Komunikasi
yang baik mampu meningkatkan rasa kebersamaan antar sesama.
2. Gambaran Akomodasi antara Mahasiswa IAIN Salatiga dengan Pemilik Kos
Non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga
Gambaran akomodasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik
kos non-muslim yaitu memberikan toleransi waktu pada saat pembayaran uang
kos terlambat. Tak bisa dipungkiri bahawa diri kita sebagai mahasiswa IAIN
Salatiga pendatang di Kelurahan Mangunsari seharusnya harus menyadari dan
harus bisa mengatur uang dengan baik, karena dengan kita mengatur uang
dengan baiki maka kita sudah berusaha untuk membayar uang kos tepat waktu.
81
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penelitian yang berjudul Pola Komunikasi antara Mahasiswa IAIN
Salatiga dengan Pemilik Kos Non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-
muslim yaitu pola komunikasi formal dan informal. Komunikasi formal yaitu
komunikasi yang terikat struktur organisasi. Meliputi: a) Pemilik kos non-
muslim lebih berberan sebagai orang tua di perantauan, seperti mengingatkan
tentang kewajiban masing-masing; b) Mahasiswa IAIN Salatiga yang
bertempat tinggal di kos non-muslim lebih berperan sebagai mahasiswa
muslim dikarenakan menyampaikan hal-hal tentang agama Islam; c) Mengur
mahasiswa IAIN yang sering membayar uang kos terlambat; d) Menegur
mahasiswa IAIN tentang kebersihan kos; dan e) Mengur mahasiswa IAIN
apabila membawa teman perempuan menginap di kos. Komunikasi informal
yaitu komunikasi yang tidak dilakukan secara resmi atau tidak terstruktur,
meliputi: a) Menganggap anggota kos mahasiswa IAIN Salatiga seperti anak
sendiri; b) Merawat anggota kos mahasiswa IAIN Salatiga apabila ada yang
sakit; c) Memberikan makanan; d) Sharing pengalaman.
82
2. Gambaran akomodasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos
non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga
yaitu: memberi toleransi waktu pada saat pembayaran uang kos terlambat.
B. SARAN
Saran yang dapat penulis rekomendasikan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi mahasiswa IAIN Salatiga hendaknya bisa lebih mengakrabkan diri lagi
kepada pemilik kos non-muslim agar hubungan komunikasi lebih baik lagi.
2. Bagi pemilik kos non-muslim hendaknya mempertahankan kepeduliannya
terhadap anggota kos mahasiswa IAIN Salatiga, agar mahasiswa baru yang
kos dapat merasakan hal serupa.
3. Bagi peneliti selanjutnya hendaknya membuat penelitian ini menjadi salah
satu rujukan dan membuat penelitian yang berbeda dan lebih baik.
83
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 2012. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
Agha, Mahir Ahmad. Catatan Hitam Sejarah. Penerjemah Yodi Indrayadi. Jakarta:
Qisthi Press 2011.
Albi Anggito & Johan Setiawan. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif. Sukabumi:
CV Jejak.
Ali, Mukti. 2016. Komunikasi Antarbudaya dalam Tradisi Agama Jawa. Yogyakarta:
Pustaka Ilmu.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Bungin, Burhan. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Prenadamedia.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: KENCANA PRENAMEDIA
GRUP.
Caly, Sadli. 2012. Mahasiswa dan Menulis.
Cangara, Hafied. 2014. Perencanaan Dan Strategi Komunikasi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Deden, Bahri Yohanes, Imran. “Interaksi Sosial Antar Siswa Muslim dengan Non
Muslim di KELAS XI IPS”. Jurnal. Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP
UNTAN Pontianak.
Efendy, Onong Uchana. 1992. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikasi.
Bandung: PT. Remaja Rodakarya.
84
Fajrie, Mahfudlah. 2017. “Gaya Komunikasi Masyarakat Pesisir Wdung Jawa
Tengah. Jurnal INJECT (Interdiscilinary Journal of Communication) Volume
2, No. 1. Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UNISNU Jepara.
Hanafi, Muhammad. 2018. Strategi Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa Seni
Musik Club IAIN Salatiga dalam Meningkatkan Perilaku Solidaritas Sosial.
Skripsi. Komunikasi dan Penyiaran Islam, IAIN Salatiga.
Hardjana, Agus M. 2003. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta:
PENERBIT KANISIUS.
Hartaji, Damar A. 2012. Motivasi Belajar Pada Mahasiswa yang Berkuliah Dengan
Jurusan Pilihan Orang Tua. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Hikmawati, Fenti. 2017. Metodologi Penelitian. Depok: PT Raja Grafindo Persada.
Jalaludin. 2012. Psikologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Koentjaraningrat. 2013. Pengantar Ilmu Antropologi Cet ke-9. Jakarta: Rineka Cipta.
Kurniawan, Beni. _____. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. ______
Kusumawardhani, Anggun. 2013. “Interaksi Sosial antara Siswa Muslim dengan Non
Muslim di SMA Katolik Yos Soedarso Pati”. Skripsi. Sosiologi dan
Antropologi, Univesitas Negeri Semarang.
Lofland, John & Lyn H. Lofland. 1984. Analyzing Social Setting: A Guide To
Qualitative Observation And Analysis (Belment Cal: Wadsworth Publishing
Company).
Martalingga Nengsi, Pramono Wahyu, Fitlayeni Rinel. 2014. “Pola Interaksi
Masyarakat Muslim dan Non Muslim di Pulau Karam Pondok Kecamatan
85
Padang Barat Kota Padang. Jurnal. Program Studi Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial, STKIP PGRI Sumatera Barat.
Menzies, Allan. 2014. Sejarah Agama Agama. Terjemahan: Muhammad Syukri.
Yogyakarta: Forum.
Moleong, Lexy, Prof. Dr. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhdina, H. Darwis. 2015. “Orang-orang Non Muslim dalam Al-Qur‟an. Jurnal al-
adyan. Pengajar Perbandingan Agama UIN Alauddin Makassar.
Mulyana, Deddy. 2002. Ilmu Komunikasi suatu pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2016. Ilmu Komunikasi suatu pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nisfiannoor, Muhammad. 2009. Pendekatan Statistik modern untuk Ilmu Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika.
Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian Skripsi, Tesisi, Disertasi dan Karya
Ilmian Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.
Nuraini, Soyomukti. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jogjakarta: Ar-Ruz Media.
Oktarina, Yetty & Abdullah, Yudi. 2017. Komunikasi dalam Perspektif Teori dan
Praktik. Yogyakarta: Deepublish Publisher.
Purwanto, Djoko. 2006. Komunikasi Bisnis Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Prenadamedia. 2003.
86
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2000. Pengantar Ilmu Psikologi Cet ke-8. Jakarta: PT.
Bulan Bintang.
Scharf, Betty R. Sosiologi Agama. Penerjemah Machnum Husein, Cetakan ke-2.
Jakarta: Prenada Media 2004.
Shihab, M. Quraish. 2013. Wawasan Al-Qur’an, (Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat) Cetakan ke-1. Bandung: PT. Mizaan Pustaka.
Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Soemardjan, Selo dan Soemardi, Soelaeman. 1964. Setangkai Bungan Sosiologi.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Suanda, Krisno Agung. 2016. “Pola Interaksi Masyarakat Pendatang dengan
Masyarakat Lokal dalam Keragaman Etnis”. Skripsi. FISIP, Universitas Islam
Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono. 2013. Jurnal Pendidikan Konvergensi 2018
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suranto, Aw. 2010. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Uchana, Onong. 2008. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Cet ke-
7.
Wahyuddin dkk. 2009. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. _____
87
West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan
Aplikasi/Richard West dan Lynn H. Turner. Jakarta: Salemba Humanika.
Buku Pedoman Akademik dan Kemahasiwaan IAIN Salatiga tahun 2015.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
SURAT PERMOHONAN MENJADI INFORMAN
Kepada Yth:
Bapak/Ibu Pemilik Kos Non-muslim, Mahasiswa IAIN
Di Salatiga
Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini mahasiswa Program Studi Komunikasi
Penyiaran Islam (KPI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga:
Nama : Wahyu Novitasari
NIM : 43010150024
Akan mengadakan penelitian dengan judul “POLA KOMUNIKASI
ANTARA MAHASISWA IAIN SALATIGA DENGAN PEMILIK KOS NON-
MUSLIM DI KELURAHAN MANGUNSARI KECAMATAN SIDOMUKTI
KOTA SALATIGA”. Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan dalam
menyelesaikan Skripsi Program Studi KPI IAIN Salatiga.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pola komunikasi dan
gambaran akomodasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos non-
muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. Penelitian ini
tidak menimbulkan akibat yang merugikan bagi informan dan kerahasiaan informasi
yang diberikan akan dijaga, serta hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Partisipasi dalam penelitian bersifat bebas ikut atau tanpa ada paksaan apapun.
Bila telah menjadi informan dan terjadi hal-hal yang memungkinkan untuk
mengundurkan diri, informan berhak untuk mengundurkan diri sebagai informan
dalam penelitian ini.Apabila anda memahami dan menyetujui, maka saya mohon
kesediaannya untuk menandatangani persetujuan dan bersedia untuk diwawancarai
lebih lanjut.
Atas perhatian dan kesediaan saudara menjadi informan saya ucapkan terima
kasih.
Peneliti,
Wahyu Novitasari
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI INFORMAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bersedia menjadi
Informan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Komunikasi
Penyiaran Islam (KPI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga yang bernama
Wahyu Novitasari, dengan judul “POLA KOMUNIKASI ANTARA
MAHASISWA IAIN SALATIGA DENGAN PEMILIK KOS NON-MUSLIM DI
KELURAHAN MANGUNSARI KECAMATAN SIDOMUKTI KOTA
SALATIGA”.
Saya mengerti bahwa penelitian ini tidak menimbulkan dampak negatif dan
mengenai diri saya dalam penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya oleh peneliti.
Semua berkas yang mencantumkan identitas saya hanya akan digunakan untuk
kepentingan pengolahan data dan bila sudah tidak digunakan akan dimusnahkan.
Hanya peneliti yang dapat mengetahui kerahasiaan data-data penelitian.
Demikian, Secara suka rela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun saya
bersedia berperan serta dalam penelitian ini.
Salatiga, 2019
( )
PEDOMAN WAWANCARA SEMI TERSTRUKTUR
Judul Penelitian: “Pola Komunikasi antara Mahasiswa IAIN Salatiga dengan
Pemilik Kos Non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota
Salatiga”.
A. Identitas Informan
Nama Informan :
Jenis kelamin :
Usia :
Tanggal Penelitian :
B. Pendahuluan
1. Memperkenalkan diri
2. Menjelaskan maksud dan tujuan wawancara disertai dengan manfaat
penelitian dan menjelaskan bahwa kerahasiaan informan terjamin
3. Meminta kesediaan calon informan menandatangani surat pernyataan
kesediaan menjadi informan
4. Melakukan kontrak wawancara, menawarkan waktu wawancara 20 menit
sampai 30 menit
C. Pertanyaan Wawancara
1. Bagaimana Pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik
kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota
Salatiga?
2. Gambaran akomodasi pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga
dengan pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga?
D. Penutup
1. Menyimpulkan hasil wawancara
2. Menyampaikan terima kasih
3. Mengakhiri wawancara
Pedoman Wawancara
1. Bagaimana pola komunikasi antara mahasiswa IAIN Salatiga dengan pemilik kos
non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga?
2. Bagaimana gambaran akomodasi pola komunikasi antara mahasiswa IAIN
Salatiga dengan pemilik kos non-muslim di Kelurahan Mangunsari Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga?
Hasil Wawancara
Nama : Lilis (22 tahun)
Tanggal : 11 Juli 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Saya seringkali diingatkan untuk beribadah sholat ketika kami masih
asyik ngobrol dan pemilik kos non-muslim mengetahui kalau kami
mengulur waktu untuk beribadah...”
2) “Memang bener mba ibu pernah dateng ke kos. Saya juga waktu itu
ndelalah di kos, dan posisi itu saya telat membayar uang kos 1 bulan,
langsung saya meminta maaf kepada pemilik kos terkait pembayaran kos
yang terlambat karena bulan lalu saya belum dikirim uang untuk bayar
kos....”
3) “Disuruh untuk jaga kebersihan kamar beserta lingkungannya mba.
soalnya kan rumah sama kosnya kan satu komplek, jadi mau tidak mau
kita harus menaati peraturan yang berlaku di kos ini. Biasanya kalo ada
mahasiswa yang melanggar tentang kebersihan dan ibuk mengetahui, ibuk
langsung menegur mahasiswa tersebut mba...”
4) “Kalo di kos ini kalau ketahuan ada yang menginap juga ditegur sih.
Waktu itu teman saya cuma main tapi sering sih, trus saya waktu itu di
tanya dan dimarahin sama pemilik kos karena keseringan bawa temen
cewe untuk main di kos...”
5) “Kalo saya sering menyampaikan keluh kesahnya secara langsung mba.
Biasanya pagi, atau nda malem sehabis maghrib gitu mba...”
b. Komunikasi Informal
1) “Dianggep anak sendiri menurut saya mba. Soalnya kalau ada apa-apa ibuk
berpesan ken matur gitu. Tapi kalo aku matur sama ibuk sih kebanyakan
pas pagi...”
2) “Kalau ibuk tau ada anggota kos yang sakit, biasanya ibuk memberikan
obat mba, dan disaranin untuk istirahat terlebih dahulu mengurangi
aktivitas...”
3) “Pernah mba waktu anak kos semua di suruh ke rumah ibuk kos untuk
makan-makan...”
4) “Sharing pengalaman pernah sih satu kali seinget saya. Waktu itu
membicarakan untuk jadi anak harus berbakti sama orang tua...”
2. Gambaran Akomodasi
a. “Dikasi toleransi waktu mba. yang penting sama ibuk tu harus ada obrolan
dahulu misal telat membayar kos, gitu mba...”
Hasil Wawancara
Nama : Fajriyati (22 tahun)
Tanggal : 23 Juli 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Iya, diingatkan lewat grup whatsapp, tapi bapak kos menyampaikanya
sambil guyon gitu mba, dibawa santai. Jadinya kita-kita langsung
membalas chat di grup dengan guyon juga...”
2) “Ditegur secara langsung mba. Soalnya kan kita hidup bareng nih kos, lah
pemilik kos menyuruh kita untuk menjaga kebersihan di lingkungan
kamar masing-masing ataupun di kamar mandi dan dapur. Dulu sih pernah
ada yang di pekerja yang bersih-bersih di kos mba satu minggu sekali,
sekarang nda pernah sama sekali, sekarang semua diserahkan ke anggota
kos mahasiswa IAIN mba...”
3) “Pas aku di kos sendirian, aku yang ditanya pemilik kos apakah ada yang
menginap di kos, aku jawab nda ada. Soalnya emang setau saya nda ada
sih mba....”
4) “Iya mba, menyampaikan keluh-kesah yang selama ini dirasakan oleh
anggot kos mahasiswa IAIN kepada pemilik kos. Dulu pernah ada
masalah kran air yang patah dan harus segera diperbaiki. Langsung dari
kita bilang ke pemilik kos. Soalnya waktu itu kalo kran air nda segera
diperbaiki, maka air nda akan bisa ngalir...”
b. Komunikasi Informal
1) “Wah, dianggep kek anak sendiri banget mba malah, kayak anak sama
bapak sendiri....”
2) “Kalau ada yang sakit, biasanya ibuk penjaga kos yang memberi obat
mba...”
3) “Iya mba, pernah dikasih makanan sama bapak kos, dan langsung dibagi-
bagi sama anggota kos mahasiswa lain...”
4) “Sering banget sharing macem-mecem, pastinya yang mendidik, sampai
berjam-jam lamanya kalo membahas tentang sharing pengalaman...”
2. Gambaran Akomodasi
a. “Dikasi mba, insyaAllah bapak member toleransi waktu asal disertai alasan
yang benar mba. Pernah saya waktu itu telat mebayar kos dan saya memberi
alasan, trus bapak kos memakluminya...”
Hasil Wawancara
Nama : Alrida Nova (19 tahun)
Tanggal : 23 Juni 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Ketika saya dilingkungan kos, saya mencoba memberi persepsi bahwa
agama Islam adalah agama yang benar. Saya ngobrol dengan beliau
tentang sedekan atau memberi kepada orang lain mba. Saya membagi
pengalaman saya tentang memberi kepada orang lain tanpa mengarap
imbalan...”
2) “Ibuk kos saya Alhamdulillah cuma mengingatkan mba, dan saya
bersyukurnya ibuk bapak selalu memberikan kelonggaran bagi mahasiswa
yang memang bener-benar belum bisa membayar kos....”
3) “Bapak ibuk kos cuma memberitahu untuk menjaga lingkungan di depan
kamar dan kamar pribadi masing-masing mba, Soalnya ada ibuk-ibuk
yang diperkerjakan oleh bapak kos untuk bersih-bersih dapur sama depan
TV, 1-2 kali dalam satu bulan kayaknya mba kalo nda salah...”
4) “Kalo di kos saya belum ada si mba yang disuruh bayar. Tapi ada
tambahan peraturan baru dilarang nyuci di kos selain anggota kos...”
5) “Betul sekali, dulu pernah televisi nda bisa dihudupin beberapa hari.
Waktu itu belum juga dibener-benerin karena pemilik kos masih sibuk dan
belum sempet ngeservice televisinya...”
b. Komunikasi Informal
1) “Bapak kos non-muslim ramah banget mba, anggep semua anggota kos
baik mahasiswa/umum seperti anak sendiri. Kamipun sebagai mahasiswa
merasa senang mba, disini ada yang mengawasi lah istilahnya....”
2) “Memang benar mba biasanya kalo istri pemilik kos non-muslim tau kalo
ada anggota kos Mahasiswa/umum yang sakit, istri pemilik kos non-
muslim langsung merawatnya tanpa diminta. Pernah dulu ada yang sakit
lumayan lama dan dia tidak punya saudara di Salatiga, alhasil ibuk
merawatnya. Diberikan sarapan, obat, dan pernah dikerokin juga mba...”
3) “Pernah mba dulu malem-malem Ibuk ke kos bawain tela, dan langsung
saya makan sama anak-anak kos mahasiswa. Ibuk sering banget tau mba
nagsih makana atau jajanan gitu ke mahasiswa yang kos disini...”
4) “Kalo saya pernah cerita bareng sama ibuk, yang intinya kita harus bener-
bener ibadah mba kepada Tuhan, manfaatkan waktu sebaik mungkin,
jangan hanya kos main kos main gitu mba...”
2. Gambaran Akomodasi
a. Iya mba, kalo ada dari kami ada yang telat bayar uang kos, biasanya kita
ngomong ke Bapak/Ibuk kos non-muslim dengan alasan masing-masing...”
Hasil Wawancara
Nama : Rofidhotul Ummah (22 th)
Tanggal : 11 Juli 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Biasanya ibuk menegur lewat grup terlebih dahulu sebelum jatuh tempo
pembayaran kos mba. Pokoknya kalo di kos ini bayarnya sebelum tanggal
10 mba...”
2) “Iya ke kos mba sampe kita semua diem mendengarkan beliau yang sedang
memarahi kami, karena kita menyadari kita yang salah. Akhirnya kita
meminta maaf kepada ibuk kos dan kita berusaha membersihkan
lingkungan kos....”
3) “Alhamdulillah ibuk kos saya rumahnya jauh dari kos, dan ibuk tidak pernah
tanya tentang anak kos lain yang menginap, paling ibuk cuma tanya tentang
fasilitas kos dan lain-lain...”
4) “Misal ada kendala tentang kos atau apa gitu, biasanya kita chat pribadi sama
pemilik kos. Kalo mau ketemu ibuk iia harusjanjian dulu sama ibuk
mba....”
b. Komunikasi Informal
1) “Kalo disini si nda iia mba. Soalnya kan jarak rumah ibuk kos sama kos kan
jauh mba. jadi iia biasa aja mba...”
2) “Nda pernah sih mba. ibuk jarang banget main ke kos, jadinya kalo ada yang
sakit ibuk nda tau...”
3) “Kalau saya belum pernah sih mba kalo di kasih makanan....”
4) “Sharing-sharing pengalaman belum pernah sih mba. Ibuk kos kan sibuk
juga mba, paling bisa ngobrol kalau pas bayar uang kos di rumah beliau...”
2. Gambaran Akomodasi
a. “Kalau terkait tentang pemberian toleransi waktu pembayaran uang kos itu ada
mba, tapi harus dengan alasan yang benar mba, nda boleh mengada-ada
alasannya...”
Hasil Wawancara
Nama : Endang (19 th)
Tanggal : 12 Juli 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Kalo ada yang telat bayar kos, biasanya ibuk meminta tolong anggota kos
mahasiswa lain untuk memberi tahu si anak tersebut agar segara membayar
uang kos jika sudah ada uangnya...”
2) “Iya mba, ken menjaga lingkungan kamar dan kamar pribadi. Kan saya
sekamar 2 orang tuh mba, jadi biasanya saya bagi tuga sama temen saya
perihal bersih-bersih gitu. Jadi kalo dibagi dua kan kita nda begitu capek...”
3) “Belum pernah liat dan denger ibuk kos menegur anggota kos mahasiswa
IAIN terkait membawa temen kos menginap mba. Apa mungkin waktu itu
saya lagi nda di kos kayaknya mba, jadi saya ndatau...”
4) “Berkaitan dengan kos, bapak kos berpesan untuk segera memberitahu
beliau. Misal nda segera diperbaiki iia kita yang susah sebenernya mba. Jadi
secepat mungkin kita matur ke bapak kos....”
a. Komunikasi Informal
1) “Dianggep anak sendiri mba, kalo ada apa-apa gitu ken langsung bilang.
Dulu perah mba, ada kendala air wastafel bumpet, langsung saya ambil
kerudung dan langsung bilang ke Bapak kos. Padahal waktu itu biasanya
jam-jam beliau istirahat siang, dan malah saya ganggu. Itu yang paling saya
inget sampe sekarang mba, soalnya bapak baik banget...”
2) “Aku dulu juga pernah sakit mba, trus istri bapak kos tau, langsung deh aku
disaranin buat minum obat dan istirahat. Pernah juga ditawarin kerok, tapi
saya ndamau hehe...”
3) “Kalo aku dulu pernah dikasih roti mba, langsung saya bagi-bagi juga ke
anak kos mahasiswa lain. Alhamdulillah waktu itu aku pas laper, eeh dapet
rezeki lewat ibuk kos. Langsung hilang lapernya mba....”
4) “Kalo sama aku ceritanya itu tentang adab kepada orang tua. Ibuk
mencontohkan bagaimana menjadi anak yang beradab kepada orang tua tu
seperti ini itu mba...”
2. Gambaran Akomodasi
a. “Memang betul, Bapak Ibuk pernah bilang ke saya misalnya ada mahasiswa
IAIN yang telat bayar kos, secepatnya mahasiswa IAIN memberitahu alasan
mereka dengan alasan yang sebenar-benarnya....”
Hasil Wawancara
Nama : Dina (19 th)
Tanggal : 23 Juli 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Alhamdulillah saya tepat waktu kalo bayar kos mba. jadi belum pernah tau
kalo ibuk menagih atau segala macem. Setau saya bapak ibuk kos juga
memaklumi jika ada mahasiswa sik bayar telat gitu. Yang penting kata ibuk
kos tu „bilang dulu‟ alasan yang sebenernya mba....”
2) “Iya mba, ibuk dan bapak kos selalu megingatkan untuk selalu menjaga
kebersihan kamar masing-masing....”
3) “Eh, belum pernah denger sama sekali mba aku. Aku yang kurang update apa
gimana iia mba, soalnya saya belum pernah denger tentang itu....”
4) “Kalau ada apa-apa tentang kos mba, biasanya langsung bilang ke pemilik
kos. pemilik kos memebri pesan kepada anggota kos untu segera memberitahu
pemilik kos agar segera diperbaiki...”
b. Komunikasi Informal
1) “Iya mba, dianggep seperti anak sendiri. Misal ada masalah atau keluhan
gitu ken ngomong sama pemilik kos mba. Langsung kalo ada kendala, saya
cuss kerumah bapak buat bilang mba...”
2) “Iya mba, pemilik kos sampai mencarikan obat gitu buat yang sakit. Pernah
dulu ada yang sakit, terus sampai minta tolong warga sekitar. Pak RT juga
pernah dimintain tolong untuk ke kos karena ada yang sakit itu mba. Waktu
itu karena yang sakit belum sembuh-sembuh, akhirnya pemilik kos
meminta bantuan ke orang yang lebih bisa mba....”
3) “Kalo aku dulu belum pernah mba. Kalo anak kos yang lain ndatau hehe...”
4) “Aku ndak mba, aku jarang omong atau ngobrol gitu. Aku grogian orang
e...”
2. Gambaran Akomodasi
a. “Dikasih toleransi waktu mba. Pokoknya harus ngasih tau pemilik kos dulu
mba misal belum bisa bayar atau belum kiriman gitu.....”
Hasil Wawancara
Nama : Nisa (21 tahun)
Tanggal : 23 Juli 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Kalau bapak dan ibuk kos santai sih mba, yang penting ada obrolan dulu
atau alasan mahasiswa telat dan belum membayar kos. Biasasnya ibuk
langsung memaklumi alasan tersebut....”
2) “Iya sih mba. Pemilik pernah bilang ke saya untuk bersih-bersh lingkungan
kamar masing-masing. Kebetulan saya kamar sendiri, jadi iia saya sendiri
yang bersihin kamar mba....”
3) “Saya belum pernah lihat bapak atau ibuk menegur mahasiswa lain yang
menginap disini mba. Setau saya juga nda ada yang pernah bawa
mahasiswa lain untuk menginap disini....”
4) “Alhamdulillah, selama saya kos disisni dan ada kendala, biasanya bapak
kos langsung memperbaikinya mba. Pernah dulu sumbatan air tersendat,
langsung bapak kos segera memperbaikinya...”
b. Komunikasi Infromal
1) “Dianggep anak sendiri mba beneran, kalo punya makanan apa gitu langsung
dikasihke ke anak kos mahasiswa mba..”
2) “Ngerawat orang sik sakit sih mba kalau beliau tau. Dulu pernah ada yang
sakit parah, trus dirawat sama pemilik kos, dikasih obat, dibuatin sarapan
mba....”
3) “Iya mba, itu liat yang dikardus tadi, aku dikasih ibuk minuman gelas. Ibuk
kalo punya apa gitu nda eman-eman dikasihke sama anak kos mba. sering
mba ngasih-ngasih apa gitu ke mahasiswa. Ibuk kalo punyanya itu iia
dikasihke mahasiswa iia itu mba....”
4) “Iya mba. Ibuk atau bapak sering sharing-sharing cerita gitu mba ke saya.
Saya juga ndelalah orangnya banyak bicara, jadinya iia enjoy kalo cerita
gitu. Lama mba kalo biasanya cerita itu...”
2. Gambaran Akomodasi
b. “Yang penting bilang dulu mba, misal kalo jatuh tempo belum bisa bayar, gitu
mba....”
Hasil Wawancara
Nama : Rosdyana (21 th)
Tanggal : 23 Juli 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Kalo bapak kos menegur anggota kos biasanya lewat whatsapp mba.
Soalnya bapak sibuk kerja, jadinya cuma lewat whatsapp itu. Kalaupun
bertemu langsung itu hanya kemungkinan kecil....”
2) “Iya pernah pemilik ke kos dan marah-marah mba terkait dapur dan kamar
mandi yang kotor. Tetapi saya menyadari itu juga salah dari kita sebagai
anggota kos sih mba. Dulunya memang ada jadwal piket, tetapi sudah
lama nda berjalan. Semenjak itu kita-kita inisiatif sendiri untuk
membersihkan sendiri, karena kita juga yang memakainya..”
3) “Kalau peraturan di kos ini ndaboleh mambawa teman kos cewe untuk
menginap mba, karena nanti bisa keterusan untuk menginap disini. Disini
kan fasilitasnya enak mba, ada Wi-Wi juga....”
4) “Menyamapaikan keluh kesah atau saran-saran, dulu sering mba satu
bulan sekali. Tapi karena kesibukan bapak kos karena pekerjaan, sekarang
udah jarang mba, dan kami memaklumi hal tersebut...”
b. Komunikasi Informal
1) “Kos sini menurut saya juara mba. Bapak kos care banget sama anak-anak.
Pokoknya kalo bapak di kos tu ngobrolnya sampe berjam-jam betah...”
2) “Kalau pemilik kos tau ada yang sakit, pasti langsung dicarikan obat sama
pemilik kos...”
3) “Dikasih mba dikasih walaupun kadang-kadang tapi Alhamdulillah..”
4) “Kalau itu mah sering banget mba. kalau cerita sampai berjam-jam lamanya.
pokoknya ada aja yang dibahas...”
2. Gambaran Akomodasi
a. “Bapak kos memberikan toleransi kepada mahasiswa dengan syarat
memberikan alasan yang tepat. Soalnya pernah kejadian dulu pernah ada yang
pura-pura belum bisa membayar kos padahal dia membeli barang-barang yang
banyak. Dari itu, bapak memberikan toleransi kepada anggota kos yang beliau
percaya...”
Hasil Wawancara
Nama : Nia R (22 th)
Tanggal : 11 Juli 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Pemilik kos biasanya menegur mahasiswa yang telat membayar uang kos
secara langsung mba. Soalnya kan rumah pemlik kos-non muslim sama kos
kan jaraknya deket banget....”
2) “Kalo di sin ibuk cuma mengingatkan untuk kebrihan lingkungan kamar.
Kalo untuk halaman kos biasanya sudah dibersihkan sama pemilik kos...”
3) “Di kos ini kalo ada yang menginap, dikenakan tarif mba. Kalo yang
menginap cewe dua atau tiga dan masih ada hubungan saudara, ibuk kos
mengizinkan mba...”
4) “Kalau saya lebih seringnya menyampaikan keluh kesah secara pribadi atau
chat peribadi mba. Ibuk kan juga kadang pergi, jadi iia lebih mudah
bilangnya lewat chat itu..”
b. Komunikasi Informal
1) “Dianggep anak sendiri mba. Misal ada masalah atau apa gitu ken segera
bilang ke ibuk sih...”
2) “Misal ada anggota kos ada yang sakit dan ibuk tau, langsung ibuk
memberikan obat mba, dan biasanya ibuk menyarankan untuk istirahat dulu
biar cepet sembuh penyakitnya...”
3) “Pernah mba waktu itu anak kos di suruh ke rumah pemilik kos, eh ternyata
dikasih makanan banyak mba...”
4) “Belum pernah sih mba. soalnya saya kalau bertamu di rumah beliau itu
cuma sebentar dan dan lama...”
2. Gambaran Akomodasi
a. “Selama ini setau saya ibuk kos selalu memberikan toleransi kepada
mahasiswa yang telat memebayar kos, dengan syarat menyertakan alasan yang
sebenarnya....”
Hasil Wawancara
Nama : Kusno (58 tahun)
Tanggal : 23 Juni 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Iya mba, saya waktu itu pernah bilang ke salah satu anak kos mahasiswa
IAIN Salatiga tetang ibadah mba. Waktu itu saya menjelaskan bahwa
kalau ibadah kepada Tuhan masing-masing itu harus sunggung-sungguh,
ndaboleh setengah-setangah. Pernah juga menyinggung tentang hal puasa
mba saya tu. Saya jelaskan manfaat puasa juga. Waktu dulu istri saya
pernah sakit, dan salah satu faktor pendukung istri saya agar sembuh iia
itu mba puasa. Saya jelaskan sedikit waktu itu tentang manfaat puasa yang
lain yang saya tau...”
2) “Kalau saya mewanti-wanti mahasiswa jika bisa membayar tepat waktu,
kenapa tidak. Tetapi kalaupun belum bisa, saya dan ibuk berusaha
memakluminya, yang penting dengan alasan yang benar mba...”
3) “Saya juga memberi pesan kepada mahasiswa untuk menjaga lingkungan
sekitar kamar. Terlebih kamar yang didalamnya ada kamar mandi, jadi
mau tidak mau mahasiswa harus menjaga kebersihan sendiri. Tetapi saya
juga memperkerjakan orang untuk bersih-bersih dapur 1-2 kali dalam 1
bulan untuk membersihkan ruang TV dan dapur mba, jadi mahasiswa
cuma saya suruh untuk membersihkan lingkungan kamar beserta kamar
tidur masing-masing...”
4) “Memang benar mba, saya sebisa mungkin, malah kalau saya tau, saya
langsung menegur mahasiswa yang menginap di kos. Bisanya saya
langsung meminta tarif untuk membayar air dan listrik yang mereka
gunakan selama menginap di kos...”
5) “Iya, langsung saya perbaiki kalo ada fasilitas yang kos yang rusak. Kalo
kerusakannya perlu tukang juga saya tukang, kalo saya bisa iia saya
kejakan sendiri. Dari awal masuk kos sini memang saya sudah
memberitahu calon anggota kos terkait fasilitas yang rusak, dan
secepatnya harus bilang ke saya begitu. Dan sampai sekarang langsung itu
anak-anak datang ke saya bilang kalo ada fasilitas yang rusak....”
b. Komunikasi Informal
1) “Saya lebih suka ngomong ke anggota kos loss mba, kayak nda ada sekat
gitu. Saya anggap mereka seperti anak sendiri. Saya juga punya anak mba,
jadi saya tau bagaimana kondisi mereka (yang merantau) pastinya butuh
orang tua untuk mengawasi keseharian mereka. Kalau ada kendala apa-apa
gitu biasanya langsung bilang ke saya tanpa sungkan. Biasanya malah
bareng-bareng gitu ngomong ke saya malah kayak mau kondangan, tapi
saya suka tingkah mereka yang juga bisa loss ke saya. Jarang-jarang loh
mba anggota kos bisa ngobrol loss sama pemilik kos...”
2) “Iya mba, kalau istri saya tau ada anggota kos mahasiswa IAIN/umum
yang sakit, pasti istri saya langung rawat. Dikasih obat, sarapan, kerok juga
mba. Saya kan juga punya anak mba, jadinya kasihan juga kalo hal tersebut
terjadi pada anak saya. Sebisa mungkin saya dan istri membantu walaupun
bantuannya kecil. Kita diberi hidup juga untuk saling tolong menolong
untuk orang disekeliling kita mba...”
3) “Benar mba, saya kasih makanan walaupun sedikit. Kalau punya makanan
gitu saya nda eman-eman tak kasihke mba, daripada mubadzir kan. Toh
kita hidup juga harus berbagi sama orang mba, biar hidup lebih berkah...”
4) “Betul, saya sering ajak obrol mahasiswa IAIN. Biasanya ngobrolnya kalo
mereka pas bayar uang kos ke rumah. Ngomong ini itu mba, bahkan
sampai berjam-jam kita betah. Biasanya saya sharing tentang pengalaman
hidup. Intinya sharing yang saya berikan bersifat positif. Seperti bagaimana
adab kepada orang tua, taat kepada Tuhan (masing-masing), dan lain-
lain...”
2. Gambaran Akomodasi
a. “Setiap anggota kos baik mahasiswa IAIN/umum, saya berikan toleransi
waktu pada saat pembayaran uang kos dengan syarat memberikan alasan yang
benar mba. Soalnya kan rezeki orang nda ada yang tau. Kadang di atas kadang
di bawah. Saya mencoba berfikiran positif dengan alasan yang mahasiswa
IAIN berikan. Akan tetapi jangan semena-mena memanfaatkan toleransi yang
saya berikan. Pernah kejadian ada mahasiswa yang berbohong belum dikirim
uang kos, padahal dia sering keluar kos dan malah membeli barang-barang
mba. Hal tersebut membuat saya berfikir ulang dua kali kepada sebagian
anggota kos yang tercermin pada saat mereka sering menunda-nunda
pembayaran kos...”
Hasil Wawancara
Nama : Ike (38 tahun)
Tanggal : 5 Juli 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Saya juga menegurnya lewat grup whatsapp mba. saya juga sibuk, jadi
saya hanya bisa menegur lewat grup. Kalaupun secara langsung itu pasti
hanya kebetulan....”
2) “Iya mba, saya selalu mewanti-wanti mahasiswa untuk selalu menjaga
kebersihan. Soalnya kan cewe mba, cewe harus menjaga kebersihan
lingkungan mba. Apalagi di kos mba, pernah saya marahin itu anak kos
yang suka meninggalkan piring-piring kotor yang masih berserakan di
dapur mba...”
3) “Kalau misal ada yang membawa teman cewe untuk menginap di kos,
saya berikan tarif mba. Tarif tersebut saya gunakan untuk mengganti
fasilitas yang ia gunakan saat menginap di kos...”
4) “Kalau ada kendala tentang kos, biasanya dari anak-anak langsung
memberuitahukan ke saya baik melalui chat ataupun secara langsung.
Kalau saya bisa memperbaikinya sendiri, saya langsung memeperbaikinya
mba, kalaupun harus tukang iia saya carikan tukang...”
b. Komunikasi Informal
1) “Saya menganggap anak kos di tempat saya itu sebagai anak yang
dititipakan kepada saya iia mba. Jadi saya berusaha menjaga amanah
tersebut sebaik mungkin...”
2) “Kalau ada yang sakit dan saya tau, pasti saya langsung memberikan obat
untuk mahasiswa yang sakit. Sebisa mungkin saya membantu anak-
anak...”
3) “Kalo makanan sih jarang juga mba. tapi iia penah saya kasih makanan....”
4) “Sharing pengalaman jarang sih mba. Soalnya juga anak kos mahasiswa
dan saya juga sama-sama sibuk, jadinya kalo bisa sharing pun kalo seusai
pembayaran uang kos...”
2. Gambaran Akomodasi
a. “Saya memebrikan toleransi memang hanya untuk anak kos yang bener-bener
belum bisa membayar uang kos mba. tapi tiap tanggal awal atau tanggal
muda, biasanya saya sudah mengingatkan anak-anak terkait pembayaran uang
kos melalui grup whatsapp...”
Hasil Wawancara
Nama : Eko S (45 tahun)
Tanggal : 23 Juli 2019
1. a. Komunikasi Formal
1) “Saya memberikan teguran biasanya lewat grup whatsapp mba. Saya kan
sibuk dengan pekerjaan saya mba, jadi saya memantau apapun dari grup
whatsapp dan dari pekerja yang saya pekerjakan untuk menjaga kos....”
2) “Untuk kebersihan, saya serahkan untuk anggota kamar masing-masing.
Saya kan nda selalu mengontrol 24 jam mba di kos, jadi saya serahkan ke
penjaga kos yang menjaga di kos mba. kalau ada apa-apa atau tentang
kebersihan gitu saya pasti menghubungi penjaga kos....”
3) “Kalo ada yang membawa teman menginap di kos, saya kenakan tarif juga
mba. Saya berikan tarif karena saya tidak ingin teman anggota kos terus-
menerus menginap disini...”
4) “Memang benar mba, biasanya kalo ada masalah atau apa gitu yang
berkaitan dengan kos, langsung dari mahasiswa bilang ke saya. Kalo
tukangnya ada, biasanya saya langsung meminta beliau untuk
memperbaiki, kalo nda ada iia nunggu tukang sampai longgar
waktunya...”
b. Komunikasi Informal
1) “Saya sama anak-anak kos tu saya naggap seperti anak sendiri. Kalau ada
perlu bantuan prtibadi tentang tugas kuliah gitu, sebisa mungkin saya
bantu. Pernah ngobrol juga gita bisa sampe berjam-jam sama mereka...”
2) “Iya mba, sebisa mungkin saya membentu anggota kos walaupun cuma
memberikan obat warung..”
3) “Saya memberikan makanan sih mba, tapi iia jarang-jarang. soalnya kan
saya rumah saya nda satu lokasi sama anak kos. Sebisa mungkin saya
sering mengunjungi mereka walaupun cuma sebentar...”
4) “Kalo sharing-sharing mah sering mba. Biasanya kalo saya kesitu banyak
anak-anak kos ngumpul dan ngajak sharing ke saya. Tema yang dibahas
macem-macem mba dari A-Z sampe berjam-jam. Pada intinya sharing-
sahring kita itu mendidik mba..”
2. Gambaran Akomodasi
a. “Benar mba, saya memberikan toleransi kepada anak kos mahasiswa IAIN
yang belum bisa membayar uang kos. Kalo sama saya tu yang penting anak-
anak memberitahu saya dahulu alasan telat bayar kos....”
Foto 1.1 Anggota kos mahasiswa IAIN Salatiga sedang ngobrol
dengan pemilik kos non-muslim
Foto 1.2 Anggota kos mahasiswa IAIN Salatiga sedang ngobrol
dengan pemilik kos non-muslim
Foto 1.3 Anggota kos mahasiswa IAIN Salatiga sedang ngobrol
dengan pemilik kos non-muslim
Foto 1.4 Abggota kos mahasiswa IAIN Salatiga sedang ngobrol
dengan pemilik kos non-muslim
Foto 1.5 Peneliti sedang mewawancarai mahasiswa IAIN Salatiga
Foto 1.6 Peneliti sedang mewawancarai mahasiswa IAIN Salatiga
Foto 1.7 Peneliti sedang mewawancarai mahasiswa IAIN Salatiga
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Wahyu Novitasari
TTL : Boyolali, 16 April 1998
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat Asal : Ds. Sumurduren, Kel. Sumberagung, Kec. Klego,
Kab. Boyolali
E-mail : [email protected]
Latar Belakang Pendidikan
Formal
2003-2004 : TK/RA TARBIYATUL ATHFAL KARANG PAKEL
2004-2009 : MI ISLAMIYAH KARANG PAKEL
2009-2012 : SMP NEGERI 1 KLEGO
2012-2015 : SMA ISLAM BINA INSANI
2015-2019 : IAIN SALATIGA
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya, semoga dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Hormat Saya,
Wahyu Novitasari
NIM. 43010150024
REDUKSI DATA
No. Rumusan
Masalah
Pertanyaan Jawaban
1.
Bagaimana
pola
komunikasi
antara
mahasiswa
IAIN dengan
pemilik kos
non-muslim
di Kelurahan
Mangunsari
Kecamatan
Sidomukti
Kota
Salatiga?
Apa saja
pola
komunikasi
yang biasa
dilakukan
oleh
mahasiswa
IAIN
dengan
pemilk kos
non-muslim
di
Kelurahan
Mangunsari
Kecamatan
Sidomukti
Kota
Salatiga?
Komunikasi Formal: Pemilik kos non-
muslim mengingatkan untuk melakukan
ibadah dan mengingatkan larangangan untuk
minuman keras
(1) “Saya seringkali diingatkan untuk
beribadah sholat ketika kami masih asyik
ngobrol dan pemilik kos non-muslim
mengetahui kalau kami mengulur waktu
untuk beribadah...” (L, 22 tahun); (2) “Iya
mba, saya waktu itu pernah bilang ke salah
satu anak kos mahasiswa IAIN Salatiga
tetang ibadah mba. Waktu itu saya
menjelaskan bahwa kalau ibadah kepada
Tuhan masing-masing itu harus sunggung-
sungguh, ndaboleh setengah-setangah.
Pernah juga menyinggung tentang hal puasa
mba saya tu. saya jelaskan manfaat puasa
juga. Waktu dulu istri saya pernah sakit, dan
salah satu faktor pendukung istri saya agar
sembuh iia itu mba puasa. Saya jelaskan
sedikit waktu itu tentang manfaat puasa
yang lain yang saya tau...” (K, 58 tahun);
Komunikasi Formal: Peran mahasiswa IAIN
yang kos di tempat non-muslim
(1) “Ketika saya dilingkungan kos, saya
mencoba memberi persepsi bahwa agama
Islam adalah agama yang benar. Saya
ngobrol dengan beliau tentang sedekah atau
memberi kepada orang lain mba. Saya
membagi pengalaman saya tentang memberi
kepada orang lain tanpa mengarap
imbalan...” (AN, 19 tahun)
Komunikasi Formal: Pemilik Kos non-
muslim memberikan teguran pada saat
mahasiswa IAIN Salatiga sering telat bayar
kos
(1) “Iya, diingatkan lewat grup whatsapp,
tapi bapak kos menyampaikanya sambil
guyon gitu mba, dibawa santai. jadinya kita-
kita langsung membalas chat di grup dengan
guyon juga...” (F, 22 tahun); (2) “Ibuk kos
saya Alhamdulillah cuma mengingatkan
mba, dan saya bersyukurnya ibuk bapak
selalu memberikan kelonggaran bagi
mahasiswa yang memang bener-benar
belum bisa membayar kos....” (AN, 19
tahun); (3) “Kalo ada yang telat bayar kos,
biasanya ibuk meminta tolong anggota kos
mahasiswa lain untuk member tahu si anak
tersebut agar segara membayar uang kos jika
sudah ada uangnya...” (E, 19 tahun); (4)
“Kalo bapak kos menegur anggota kos
biasanya lewat whatsapp mba. Soalnya
bapak sibuk kerja, jadinya cuma lewat
whatsapp itu. Kalaupun bertemu langsung
itu hanya kemungkinan kecil....” (R, 21
tahun); (5) “Pemilik kos biasanya menegur
mahasiswa IAIN Salatiga yang telat
membayar uang kos secara langsung mba.
Soalnya kan rumah pemlik kos-non muslim
sama kos kan jaraknya deket banget....”
(NR, 22 tahun); (6) “Alhamdulillah saya
tepat waktu kalo bayar kos mba, jadi belum
pernah tau kalo ibuk menagih atau segala
macem. Setau saya bapak ibuk kos juga
memaklumi jika ada mahasiswa sik bayar
telat gitu. Yang penting kata ibuk kos tu
„bilang dulu‟ alasan yang sebenernya
mba....” (D, 19 tahun); (7) “Kalau bapak dan
ibuk kos santai sih mba, yang penting ada
obrolan dulu atau alasan mahasiswa telat
dan belum membayar kos. Biasasnya ibuk
langsung memaklumi alasan tersebut....” (N,
19 tahun); (8) “Memang bener mba ibu
pernah dateng ke kos. Saya juga waktu itu
ndelalah di kos, dan posisi itu saya telat
membayar uang kos 1 bulan, langsung saya
meminta maaf kepada pemilik kos terkait
pembayaran kos yang terlambat karena
bulan lalu saya belum dikirim uang untuk
bayar kos....” (L, 22 tahun); (9) “Biasanya
ibuk menegur lewat grup terlebih dahulu
sebelum jatuh tempo pembayaran kos mba.
Pokoknya kalo di kos ini bayarnya sebelum
tanggal 10 mba...” (RU, 21 tahun); (10)
“Kalau saya mewanti-wanti mahasiswa jika
bisa membayar tepat waktu, kenapa tidak.
Tetapi kalaupun belum bisa, saya dan ibuk
berusaha memakluminya, yang penting
dengan alasan yang benar mba...” (K, 58
tahun); (11) “Saya memberikan teguran
biasanya lewat grup whatsapp mba. Saya
kan sibuk dengan pekerjaan saya mba, jadi
saya memantau apapun dari grup whatsapp
dan dari pekerja yang saya pekerjakan untuk
menjaga kos....” (E, 45 tahun); (12) “Saya
juga menegurnya lewat grup whatsapp mba.
Saya juga sibuk, jadi saya hanya bisa
menegur lewat grup. Kalaupun secara
langsung itu pasti hanya kebetulan....” (I, 38
tahun)
Komunikasi Formal: Menegur mahasiswa
IAIN Salatiga terkait kebersihan kos
(1) “Ditegur secara langsung mba. Soalnya
kan kita hidup bareng nih kos, pemilik kos
menyuruh kita untuk menjaga kebersihan di
lingkungan kamar masing-masing ataupun
di kamar mandi dan dapur. Dulu sih pernah
ada yang di pekerja yang bersih-bersih di
kos mba satu minggu sekali, sekarang nda
pernah sama sekali, sekarang semua
diserahkan ke anggota kos mahasiswa IAIN
mba...” (F, 19 tahun); (2) “Iya pernah
pemilik ke kos dan marah-marah mba terkait
dapur dan kamar mandi yang kotor. Tetapi
saya menyadari itu juga salah dari kita
sebagai anggota kos sih mba. Dulunya
memang ada jadwal piket, tetapi sudah lama
nda berjalan. Semenjak itu kita-kita inisiatif
sendiri untuk membersihkan sendiri, karena
kita juga yang memakainya..” (R, 19 tahun);
(3) “Iya ke kos mba sampe kita semua diem
mendengarkan beliau yang sedang
memarahi kami, karena kita menyadari kita
yang salah. Akhirnya kita meminta maaf
kepada ibuk kos dan kita berusaha
membersihkan lingkungan kos....” (RU, 22
tahun); (4) “Disuruh untuk jaga kebersihan
kamar beserta lingkungannya mba. soalnya
kan rumah sama kosnya kan satu komplek,
jadi mau tidak mau kita harus menaati
peraturan yang berlaku di kos ini. Biasanya
kalo ada mahasiswa yang melanggar tentang
kebersihan dan ibuk mengetahui, ibuk
langsung menegur mahasiswa tersebut
mba...” (L, 21 tahun); (5) “Bapak ibuk kos
cuma memberitahu untuk menjaga
lingkungan di depan kamar dan kamar
pribadi masing-masing mba, soalnya ada
ibuk-ibuk yang diperkerjakan oleh bapak
kos untuk bersih-bersih dapur sama depan
TV, 1-2 kali dalam 1 bulan kayaknya mba
kalo nda salah...” (AN, 19 tahun); (6) “Iya
mba, ken menjaga lingkungan kamar dan
kamar pribadi. Kan saya sekamar dua orang
tuh mba, jadi biasanya saya bagi tuga sama
temen saya perihal bersih-bersih gitu. Jadi
kalo dibagi dua kan kita nda begitu capek...”
(E, 19 tahun); (7) “Iya mba, ibuk dan bapak
kos selalu mengingatkan untuk selalu
menjaga kebersihan kamar masing-
masing...” (D, 19 tahun); (8) “Iya sih mba.
Pemilik pernah bilang ke saya untuk bersih-
bersh lingkungan kamar masing-masing.
Kebetulan saya kamar sendiri, jadi iia saya
sendiri yang bersihin kamar mba....” (N, 21
tahun); (9) “Kalo di sin ibuk cuma
mengingatkan untuk kebersihan lingkungan
kamar. Kalo untuk halaman kos biasanya
sudah dibersihkan sama pemilik kos...” (NR,
22 tahun); (10) “Iya mba, saya selalu
mewanti-wanti mahasiswa IAIN untuk
selalu menjaga kebersihan. Soalnya kan
cewe mba, cewe harus menjaga kebersihan
lingkungan mba. Apalagi di kos mba.
Pernah saya marahin itu anak kos yang suka
meninggalkan piring-piring kotor yang
masih berserakan di dapur mba...” (I, 38
tahun); (11) “Saya juga memberi pesan
kepada mahasiswa untuk menjaga
lingkungan sekitar kamar. Terlebih kamar
yang didalamnya ada kamar mandi, jadi mau
tidak mau mahasiswa harus menjaga
kebersihan sendiri. Tetapi saya juga
memperkerjakan orang untuk bersih-bersih
dapur 1-2 kali dalam 1 bulan untuk
membersihkan ruang TV dan dapur mba,
jadi mahasiswa cuma saya suruh untuk
membersihkan lingkungan kamar beserta
kamar tidur masing-masing...” (K, 58
tahun); (12) “Untuk kebersihan, saya
serahkan untuk anggota kamar masing-
masing. Saya kan nda selalu mengontrol 24
jam mba di kos, jadi saya serahkan ke
penjaga kos yang menjaga di kos mba.
Kalau ada apa-apa atau tentang kebersihan
gitu saya pasti menghubungi penjaga kos....”
(E, 45 tahun)
Komunikasi Formal: Menegur mahasiswa
IAIN Salatiga ketika sering membawa
teman cewe menginap di kos
(1)“Pas aku di kos sendirian, aku yang
ditanya pemilik kos apakah ada yang
menginap di kos, aku jawab nda ada.
Soalnya emang setau saya nda ada sih
mba....” (F, 21 tahun); (2) “Kalau peraturan
di kos ini ndaboleh mambawa teman kos
cewe untuk menginap mba, karena nanti
bisa keterusan untuk menginap disini. Disini
kan fasilitasnya enak mba, ada Wi-Wi
juga....” (R, 21 tahun); (3) “Di kos ini kalo
ada yang menginap, dikenakan tarif mba.
Kalo yang menginap cewe dua atau tiga dan
masih ada hubungan saudara, ibuk kos
mengizinkan mba...” (NR, 22 tahun); (4)
“Alhamdulillah ibuk kos saya rumahnya
jauh dari kos, dan ibuk tidak pernah tanya
tentang anak kos lain yang menginap, paling
ibuk cuma tanya tentang fasilitas kos dan
lain-lain...” (RU, 22 tahun); (5) “Kalo di kos
ini kalau ketahuan ada yang menginap juga
ditegur sih. Waktu itu teman saya cuma
main tapi sering sih, trus saya waktu itu di
tanya dan dimarahin sama pemilik kos
karena keseringan bawa temen cewe untuk
main di kos...” (L, 22 tahun); (6) “Kalo di
kos saya belum ada si mba yang disuruh
bayar mba. Tapi ada tambahan peraturan
baru dilarang nyuci di kos selain anggota
kos...” (AN, 19 tahun); (7) “Eh, belum
pernah denger sama sekali mba aku. Aku
yang kurang update apa gimana iia mba,
soalnya saya belum pernah denger tentang
itu....” (D, 19 tahun); (8) “Belum pernah liat
dan denger ibuk kos menegur anggota kos
mahasiswa IAIN terkait membawa temen
kos menginap mba. Apa mungkin waktu itu
saya lagi nda di kos kayaknya mba, jadi saya
ndatau..” (E, 19 tahun); (9) “Saya belum
pernah lihat bapak atau ibuk menegur
mahasiswa lain yang menginap disini mba.
Setau saya juga nda ada yang pernah bawa
mahasiswa lain untuk menginap disini....”
(N, 19 tahun); (10) “Memang benar mba,
saya sebisa mungkin, malah kalau saya tau,
saya langsung menegur mahasiswa yang
menginap di kos. Biasanya saya langsung
meminta tarif untuk membayar air dan listrik
yang mereka gunakan selama menginap di
kos...” (K, 58 tahun); (11) “Kalo ada yang
membawa teman menginap di kos, saya
kenakan tarif juga mba. Saya berikan tarif
karena saya tidak ingin teman anggota kos
terus-menerus menginap disini...” (E, 45
tahun); (12) “Kalau misal ada yang
membawa teman cewe untuk menginap di
kos, saya berikan tarif mba. Tarif tersebut
saya gunakan untuk mengganti fasilitas yang
ia gunakan saat menginap di kos...” (I, 38
tahun)
Komunikasi Formal: Memberikan keluh-
kesah kepada pemilik kos non-muslim
(1) “Iya mba, menyampaikan keluh-kesah
yang selama ini dirasakan oleh anggot kos
mahasiswa IAIN kepada pemilik kos. Dulu
pernah ada masalah kran air yang patah dan
harus segera diperbaiki. Langsung dari kita
bilang ke pemilik kos. Soalnya waktu itu
kalo kran air nda segera diperbaiki, maka air
nda akan bisa ngalir...” (F, 21 tahun); (2)
“Menyampaikan keluh kesah atau saran-
saran, dulu sering mba satu bulan sekali.
Tapi karena kesibukan bapak kos karena
pekerjaan, sekarang udah jarang mba, dan
kami memaklumi hal tersebut...” (R, 21
tahun); (3) “Kalau saya lebih seringnya
menyampaikan keluh kesah secara pribadi
atau chat peribadi mba. Ibuk kan juga
kadang pergi, jadi iia lebih mudah bilangnya
lewat chat itu..” (NR, 22 tahun); (4) “Kalo
saya sering menyampaikan keluh kesahnya
secara langsung mba. Biasanya pagi, atau
nda malem sehabis maghrib gitu mba...” (L,
22 tahun); (5) “Misal ada kendala tentang
kos atau apa gitu, biasanya kita chat pribadi
sama pemilik kos. Kalo mau ketemu ibuk
iia harusjanjian dulu sama ibuk mba....”
(RU, 22 tahun); (6) “Kalau ada apa-apa
tentang kos mba, biasanya langsung bilang
ke pemilik kos. Pemilik kos memberi pesan
kepada anggota kos untuk segera
memberitahu pemilik kos agar segera
diperbaiki...” (D, 19 tahun); (7) “Berkaitan
dengan kos, bapak kos berpesan untuk
segera memberitahu beliau. Misal nda
segera diperbaiki iia kita yang susah
sebenernya mba. Jadi secepat mungkin kita
matur ke bapak kos....” (E, 19 tahun); (8)
“Alhamdulillah, selama saya kos disisni dan
ada kendala, biasanya bapak kos langsung
memperbaikinya mba. Pernah dulu
sumbatan air tersendat, langsung bapak kos
segera memperbaikinya...” (N, 19 tahun);
(9) “Betul sekali, dulu pernah televisi nda
bisa dihudupin beberapa hari. Waktu itu
belum juga dibener-benerin karena pemilik
kos masih sibuk dan belum sempet
ngeservice televisinya...” (AN, 19 tahun);
(10) “Memang benar mba, biasanya kalo ada
masalah atau apa gitu yang berkaitan dengan
kos, langsung dari mahasiswa bilang ke
saya. Kalo tukangnya ada, biasanya saya
langsung meminta beliau untuk
memperbaiki, kalo nda ada iia nunggu
tukang sampai longgar waktunya...” (E, 45
tahun); (11) “Iya, langsung saya perbaiki
kalo ada fasilitas yang kos yang rusak. Kalo
kerusakannya perlu tukang juga saya tukang,
kalo saya bisa iia saya kejakan sendiri. Dari
awal masuk kos sini memang saya sudah
memberitahu calon anggota kos terkait
fasilitas yang rusak, dan secepatnya harus
bilang ke saya begitu. Dan sampai sekarang
langsung itu anak-anak datang ke saya
bilang kalo ada fasilitas yang rusak....” (K,
58 tahun); (12) “Kalau ada kendala tentang
kos, biasanya dari anak-anak langsung
memberuitahukan ke saya baik melalui chat
ataupun secara langsung. Kalau saya bisa
memperbaikinya sendiri, saya langsung
memeperbaikinya mba, kalaupun harus
tukang iia saya carikan tukang...” (I, 38
tahun)
Komunikasi Informal: Menganggap anak
kos seperti anak sendiri
(1) “Bapak kos non-muslim ramah banget
mba, anggep semua anggota kos baik
mahasiswa/umum seperti anak sendiri.
Kamipun sebagai mahasiswa merasa senang
mba, disini ada yang mengawasi lah
istilahnya....” (AN, 19 tahun); (2) “Kalo
disini si nda iia mba. Soalnya kan jarak
rumah ibuk kos sama kos kan jauh mba. jadi
iia biasa aja mba...” (RU, 22 tahun); (3)
“Dianggep anak sendiri menurut saya mba.
Soalnya kalau ada apa-apa ibuk berpesan
ken matur gitu. Tapi kalo aku matur sama
ibuk sih kebanyakan pas pagi....” (L, 22
tahun); (4) “Dianggep anak sendiri mba.
Misal ada masalah atau apa gitu ken segera
bilang ke ibuk sih...” (NR, 22 tahun); (5)
“Wah, dianggep kek anak sendiri banget
mba malah, kayak anak sama bapak
sendiri...” (F, 22 tahun); (6) “Kos sini
menurut saya juara mba. bapak kos care
banget sama anak-anak. Pokoknya kalo
bapak di kos tu ngobrolnya sampe berjam-
jam betah...” (R, 21 tahun); (7) “Dianggep
anak sendiri mba, kalo ada apa-apa gitu ken
langsung bilang. Dulu perah mba, ada
kendala air wastafel bumpet, langsung saya
ambil kerudung dan langsung bilang ke
Bapak kos. Padahal waktu itu biasanya jam-
jam beliau istirahat siang, dan malah saya
ganggu. Itu yang paling saya inget sampe
sekarang mba, soalnya bapak baik banget...”
(E, 19 tahun); (8) “Iya mba, dianggep seperti
anak sendiri. Misal ada masalah atau
keluhan gitu ken ngomong sama pemilik kos
mba. Langsung kalo ada kendala, saya cuss
kerumah bapak buat bilang mba...” (D, 19
tahun); (9) “Dianggep anak sendiri mba
beneran, kalo punya makanan apa gitu
langsung dikasihke ke anak kos mahasiswa
mba..” (N, 21 tahun); (10) “Saya lebih suka
ngomong ke anggota kos loss mba, kayak
nda ada sekat gitu. Saya anggap mereka
seperti anak sendiri. Saya juga punya anak
mba, jadi saya tau bagaimana kondisi
mereka (yang merantau) pastinya butuh
orang tua untuk mengawasi keseharian
mereka. Kalau ada kendala apa-apa gitu
biasanya langsung bilang ke saya tanpa
sungkan. Biasanya malah bareng-bareng
gitu ngomong ke saya malah kayak mau
kondangan, tapi saya suka tingkah mereka
yang juga bisa loss ke saya. Jarang-jarang
loh mba anggota kos bisa ngobrol loss sama
pemilik kos...” (K, 58 tahun); (11) “Saya
sama anak-anak kos tu saya naggap seperti
anak sendiri. Kalau ada perlu bantuan
pribadi tentang tugas kuliah gitu, sebisa
mungkin saya bantu. Pernah ngobrol juga
gita bisa sampe berjam-jam sama mereka...”
(E, 45 tahun); (12) “Saya menganggap anak
kos di tempat saya itu sebagai anak yang
dititipakan kepada saya iia mba. jadi saya
berusaha menjaga amanah tersebut sebaik
mungkin...” (I, 38 tahun)
Komunikasi Informal: Merawat anggota kos
mahasiswa IAIN Salatiga apabila ada yang
sakit (1) “Aku dulu juga pernah sakit mba,
trus istri bapak kos tau, langsung deh aku
disaranin buat minum obat dan istirahat.
Pernah juga ditawarin kerok, tapi saya
ndamau hehe...” (E, 19 tahun); (2) “Memang
benar mba biasanya kalo istri pemilik kos
non-muslim tau kalo ada anggota kos
Mahasiswa/umum yang sakit, istri pemilik
kos non-muslim langsung merawatnya tanpa
diminta. Pernah dulu ada yang sakit
lumayan lama dan dia tidak punya saudara
di Salatiga, alhasil ibuk merawatnya.
Diberikan sarapan, obat, dan pernah
dikerokin juga mba...” (AN, 19 tahun); (3)
“Nda pernah sih mba. Ibuk jarang banget
main ke kos, jadinya kalo ada yang sakit
ibuk nda tau..” (RU, 22 tahun); (4) “Kalau
ibuk tau ada anggota kos yang sakit,
biasanya ibuk memberikan obat mba, dan
disaranin untuk istirahat terlebih dahulu
mengurangi aktivitas...” (L, 22 tahun); (5)
“Misal ada anggota kos ada yang sakit dan
ibuk tau, langsung ibuk memberikan obat
mba, dan biasanya ibuk menyarankan untuk
istirahat dulu biar cepet sembuh
penyakitnya...” (NR, 22 tahun); (6) “Kalau
ada yang sakit, biasanya ibuk penjaga kos
yang memberi obat mba...” (F, 22 tahun);
(7) “Kalau pemilik kos tau ada yang sakit,
pasti langsung dicarikan obat sama pemilik
kos...” (R, 21 tahun); (8) “Iya mba, pemilik
kos sampai mencarikan obat gitu buat yang
sakit. Pernah dulu ada yang sakit, terus
sampai minta tolong warga sekitar. Pak RT
juga pernah dimintain tolong untuk ke kos
karena ada yang sakit itu mba. Waktu itu
karena yang sakit belum sembuh-sembuh,
akhirnya pemilik kos meminta bantuan ke
orang yang lebih bisa mba....” (D, 19 tahun);
(9) “Ngerawat orang sik sakit sih mba kalau
beliau tau. Dulu pernah ada yang sakit
parah, trus dirawat sama pemilik kos,
dikasih obat, dibuatin sarapan mba....” (N,
21 tahun); (10) “Iya mba, kalau istri saya tau
ada anggota kos mahasiswa IAIN/umum
yang sakit, pasti istri saya langung rawat.
Dikasih obat, sarapan, kerok juga mba. Saya
kan juga punya anak mba, jadinya kasihan
juga kalo hal tersebut terjadi pada anak saya.
Sebisa mungkin saya dan istri membantu
walaupun bantuannya kecil. Kita diberi
hidup juga untuk saling tolong menolong
untuk orang disekeliling kita mba...” (K, 58
tahun); (11) “Iya mba, sebisa mungkin saya
membentu anggota kos walaupun cuma
memberikan obat warung..” (E, 45 tahun);
(12) “Kalau ada yang sakit dan saya tau,
pasti saya langsung memberikan obat untuk
mahasiswa yang sakit. Sebisa mungkin saya
membantu anak-anak...” (I, 38 tahun)
Komunikasi Informal: Memberikan
makanan
(1) “Kalo aku dulu belum pernah mba. Kalo
anak kos yang lain ndatau hehe..” (D, 19
tahun); (2) “Pernah mba dulu malem-malem
Ibuk ke kos bawain tela, dan langsung saya
makan sama anak-anak kos mahasiswa. Ibuk
sering banget tau mba nagsih makana atau
jajanan gitu ke mahasiswa yang kos
disini...” (AN, 19 tahun); (3) “Kalo aku dulu
pernah dikasih roti mba, langsung saya bagi-
bagi juga ke anak kos mahasiswa lain.
Alhamdulillah waktu itu aku pas laper, eeh
dapet rezeki lewat ibuk kos. Langsung
hilang lapernya mba..” (E, 19 tahun); (4)
“Kalau saya belum pernah sih mba kalo di
kasih makanan....” (RU, 22 tahun); (5)
“Pernah mba waktu anak kos semua di suruh
ke rumah ibuk kos untuk makan-makan...”
(L, 22 tahun); (6) “Pernah mba waktu itu
anak kos di suruh ke rumah pemilik kos, eh
ternyata dikasih makanan banyak mba...”
(NR, 22 tahun); (7) “Iya mba, pernah
dikasih makanan sama bapak kos, dan
langsung dibagi-bagi sama anggota kos
mahasiswa lain...” (F, 22 tahun); (8)
“Dikasih mba dikasih walaupun kadang-
kadang tapi Alhamdulillah..” (R, 21 tahun);
(9) “Iya mba, itu liat yang dikardus tadi, aku
dikasih ibuk minuman gelas. Ibuk kalo
punya apa gitu nda eman-eman dikasihke
sama anak kos mba. Sering mba ngasih-
ngasih apa gitu ke mahasiswa. Ibuk kalo
punyanya itu iia dikasihke mahasiswa iia itu
mba....” (N, 21 tahun); (10) “Benar mba,
saya kasih makanan walaupun sedikit. Kalau
punya makanan gitu saya nda eman-eman
tak kasihke mba, daripada mubadzir kan.
Toh kita hidup juga harus berbagi sama
orang mba, biar hidup lebih berkah...” (K,
58 tahun); (11) “Saya memberikan makanan
sih mba, tapi iia jarang-jarang. soalnya kan
saya rumah saya nda satu lokasi sama anak
kos. Sebisa mungkin saya sering
mengunjungi mereka walaupun cuma
sebentar...” (E, 45 tahun); (12) “Kalo
makanan sih jarang juga mba, tapi iia penah
saya kasih makanan...” ((I, 45 tahun)
Komunikasi Informal: Sharing Pengalaman
(1) “Iya mba. ibuk atau bapak sering
sharing-sharing cerita gitu mba ke saya.
Saya juga ndelalah orangnya banyak bicara,
jadinya iia enjoy kalo cerita gitu. Lama mba
biasanya kalo cerita itu..” (N, 21 tahun); (2)
“Kalo saya pernah cerita bareng sama ibuk,
yang intinya kita harus bener-bener ibadah
mba kepada Tuhan, manfaatkan waktu
sebaik mungkin, jangan hanya kos main kos
main gitu mba...” (AN, 19 tahun); (3) “Kalo
sama aku ceritanya itu tentang adab kepada
orang tua. Ibuk mencontohkan bagaimana
menjadi anak yang beradab kepada orang
tua tu seperti ini itu mba...” (E, 19 tahun);
(4) “Sharing-sharing pengalaman belum
pernah sih mba. Ibuk kos sibuk terus, paling
bisa ngobrol kalau pas bayar uang kos di
rumah beliau...” (RU, 22 tahun); (5)
“Sharing pengalaman pernah sih satu kali
seinget saya. Waktu itu membicarakan untuk
jadi anak harus berbakti sama orang tua...”
(L, 22 tahun); (6) “Belum pernah sih mba.
soalnya saya kalau bertamu di rumah beliau
itu cuma sebentar dan dan lama...” (NR, 22
tahun); (7) “Sering banget sharing macem-
mecem, pastinya yang mendidik, sampai
berjam-jam lamanya kalo membahas tentang
sharing pengalaman...” (F, 22 tahun); (8)
“Kalau itu mah sering banget mba. kalau
cerita sampai berjam-jam lamanya.
Pokoknya ada aja yang dibahas...” (R, 21
tahun); (9) “Aku ndak mba, aku jarang
omong atau ngobrol gitu. Aku grogian orang
e...” (D, 19 tahun); (10) “Betul, saya sering
ajak obrol mahasiswa IAIN. Biasanya
ngobrolnya kalo mereka pas bayar uang kos
ke rumah. Ngomong ini itu mba, bahkan
sampai berjam-jam kita betah. Biasanya
saya sharing tentang pengalaman hidup.
Intinya sharing yang saya berikan bersifat
positif. Seperti bagaimana adab kepada
orang tua, taat kepada Tuhan (masing-
masing), dan lain-lain...” (K, 58 tahun); (11)
“Kalo sharing-sharing mah sering mba.
Biasanya kalo saya kesitu banyak anak-anak
kos ngumpul dan ngajak sharing ke saya.
Tema yang dibahas macem-macem mba dari
A-Z sampe berjam-jam. Pada intinya
sharing-sahring kita itu mendidik mba..” (E,
45 tahun); (12) “Sharing pengalaman jarang
sih mba. Soalnya juga anak kos mahasiswa
dan saya juga sama-sama sibuk, jadinya kalo
bisa sharing pun kalo seusai pembayaran
uang kos...” (I, 45 tahun)
Bagaimana
gambaran
Apakah ada
gambaran
akomodasi
dalam
komunikasi
antara
mahasiswa
Gambaran akomodasi: Memberi toleransi
waktu pada saat pembayaran uang kos
terlambat
(1) “Iya mba, kalo ada dari kami ada yang
telat bayar uang kos, biasanya kita ngomong
ke Bapak/Ibuk kos non-muslim dengan
alasan masing-masing...” (AN, 19 tahun);
(2) “Memang betul, Bapak Ibuk pernah
bilang ke saya misalnya ada mahasiswa
IAIN yang telat bayar kos, secepatnya
mahasiswa IAIN memberitahu alasan
mereka dengan alasan yang sebenar-
benarnya....” (E, 19 tahun); (3) “Kalau
terkait tentang pemberian toleransi waktu
pembayaran uang kos itu ada mba, tapi
harus dengan alasan yang benar mba, nda
boleh mengada-ada alasannya...” (RU, 22
tahun); (4) “Dikasi toleransi waktu mba.
yang penting sama ibuk tu harus ada obrolan
dahulu misal telat membayar kos, gitu
mba...” (L, 22 tahun); (5) “Selama ini setau
saya ibuk kos selalu memberikan toleransi
kepada mahasiswa yang telat memebayar
kos. dengan syarat menyertakan alasan yang
sebenarnya....” (NR, 22 tahun); (6) “Dikasi
mba, insyaAllah bapak member toleransi
waktu asal disertai alasan yang benar mba.
pernah saya waktu itu telat mebayar kos dan
saya memberi alasan, trus bapak kos
memakluminya...” (F, 22 tahun); (7) “Bapak
2.
akomodasi
pola
komunikasi
antara
mahasiswa
IAIN Salatiga
dengan
pemilik kos
non-muslim
di Kelurahan
Mangunsari
Kecamatan
Sidomukti
Kota
Salatiga?
IAIN
Salatiga
dengan
pemilik kos
non-muslim
di
Kelurahan
Mangunsari
Kecamatan
Sidomukti
Kota
Salatiga?
jika ada,
apa saja
gambaran
akomodasin
ya?
kos memberikan toleransi kepada
mahasiswa dengan syarat memberikan
alasan yang tepat. Soalnya pernah kejadian
dulu pernah ada yang pura-pura belum bisa
membayar kos padahal dia membeli barang-
barang yang banyak. Dari itu, bapak
memberikan toleransi kepada anggota kos
yang beliau percaya...” (R, 21 tahun); (8)
“Dikasih toleransi waktu mba. Pokoknya
harus ngasih tau pemilik kos dulu mba misal
belum bisa bayar atau belum kiriman
gitu.....” (D, 19 tahun); (9) “Yang penting
bilang dulu mba, misal kalo jatuh tempo
belum bisa bayar, gitu mba....” (N, 21
tahun); (10) “Setiap anggota kos baik
mahasiswa IAIN/umum, saya berikan
toleransi waktu pada saat pembayaran uang
kos dengan syarat memberikan alasan yang
benar mba. Soalnya kan rezeki orang nda
ada yang tau. Kadang di atas kadang di
bawah. Saya mencoba berfikiran positif
dengan alasan yang mahasiswa IAIN
berikan. Akan tetapi jangan semena-mena
memanfaatkan toleransi yang saya berikan.
Pernah kejadian ada mahasiswa yang
berbohong belum dikirim uang kos, padahal
dia sering keluar kos dan malah membeli
barang-barang mba. Hal tersebut membuat
saya berfikir ulang dua kali kepada sebagian
anggota kos yang tercermin pada saat
mereka sering menunda-nunda pembayaran
kos...” (K, 58 tahun); (11) “Saya
memberikan toleransi memang hanya untuk
anak kos yang bener-bener belum bisa
mebayar uang kos mba. Tetapi tiap tanggal
awal atau tanggal muda, biasanya saya
sudah mengingatkan anak-anak terkait
pembayaran uang kos melalui grup
whatsapp...” (I, 38 tahun); (12) “Benar mba,
saya memberikan toleransi kepada anak kos
mahasiswa IAIN yang belum bisa
membayar uang kos. Kalo sama saya tu
yang penting anak-anak memberitahu saya
dahulu alasan telat bayar kos....” (E, 45
tahun)
TRIANGULASI DATA
No. Rumusan
Masalah
Pertanyaan Jawaban Kesimpulan
1.
Bagaimana
pola
komunikasi
antara
mahasiswa
IAIN dengan
pemilik kos
non-muslim
di Kelurahan
Mangunsari
Kecamatan
Sidomukti
Kota
Salatiga?
Apa saja
pola
komunikasi
yang biasa
dilakukan
oleh
mahasiswa
IAIN
dengan
pemilk kos
non-muslim
di
Kelurahan
Mangunsari
Kecamatan
Sidomukti
Kota
Salatiga?
Komunikasi Formal:
Pemilik kos non-muslim
mengingatkan untuk
melakukan ibadah dan
mengingatkan larangangan
untuk minuman keras
(1) “Saya seringkali
diingatkan untuk beribadah
sholat ketika kami masih
asyik ngobrol dan pemilik
kos non-muslim mengetahui
kalau kami mengulur waktu
untuk beribadah...” (L, 22
tahun); (2) “Iya mba, saya
waktu itu pernah bilang ke
salah satu anak kos
mahasiswa IAIN Salatiga
tetang ibadah mba. Waktu
itu saya menjelaskan bahwa
kalau ibadah kepada Tuhan
masing-masing itu harus
sunggung-sungguh,
ndaboleh setengah-setangah.
Pernah juga menyinggung
tentang hal puasa mba saya
tu. saya jelaskan manfaat
puasa juga. Waktu dulu istri
saya pernah sakit, dan salah
satu faktor pendukung istri
saya agar sembuh iia itu
mba puasa. Saya jelaskan
sedikit waktu itu tentang
manfaat puasa yang lain
yang saya tau...” (K, 58
tahun);
Bahwa
pemilik kos
pernah
mengingatka
n mahasiswa
IAIN untuk
beribadah
dan pemilik
kos
memberikan
pengertian
manfaat
puasa kepada
mahasiswa
IAIN Salatiga
Komunikasi Formal: Peran
mahasiswa IAIN yang kos
di tempat non-muslim
Mahasiswa
IAIN Salatiga
secara tidak
(1) “Ketika saya
dilingkungan kos, saya
mencoba memberi persepsi
bahwa agama Islam adalah
agama yang benar. Saya
ngobrol dengan beliau
tentang sedekah atau
memberi kepada orang lain
mba. Saya membagi
pengalaman saya tentang
memberi kepada orang lain
tanpa mengarap imbalan...”
(AN, 19 tahun)
langsung
memberikan
pengertian
tentang
agama Ialam
kepada
pemilik kos-
non-muslim
berkaitan
dengan
berbagi tanpa
mengahrap
imbalan
Komunikasi Formal:
Pemilik Kos non-muslim
memberikan teguran pada
saat mahasiswa IAIN
Salatiga sering telat bayar
kos
(1) “Iya, diingatkan lewat
grup whatsapp, tapi bapak
kos menyampaikanya
sambil guyon gitu mba,
dibawa santai. jadinya kita-
kita langsung membalas
chat di grup dengan guyon
juga...” (F, 22 tahun); (2)
“Ibuk kos saya
Alhamdulillah cuma
mengingatkan mba, dan
saya bersyukurnya ibuk
bapak selalu memberikan
kelonggaran bagi
mahasiswa yang memang
bener-benar belum bisa
membayar kos....” (AN, 19
tahun); (3) “Kalo ada yang
telat bayar kos, biasanya
ibuk meminta tolong
anggota kos mahasiswa lain
untuk member tahu si anak
tersebut agar segara
Pemilik kos
non-muslim
memang
memberikan
teguran bagi
mahasiswa
IAIN yang
sering telat
membayar
uang kos
tanpa alasan
yang jelas.
membayar uang kos jika
sudah ada uangnya...” (E, 19
tahun); (4) “Kalo bapak kos
menegur anggota kos
biasanya lewat whatsapp
mba. Soalnya bapak sibuk
kerja, jadinya cuma lewat
whatsapp itu. Kalaupun
bertemu langsung itu hanya
kemungkinan kecil....” (R,
21 tahun); (5) “Pemilik kos
biasanya menegur
mahasiswa IAIN Salatiga
yang telat membayar uang
kos secara langsung mba.
Soalnya kan rumah pemlik
kos-non muslim sama kos
kan jaraknya deket
banget....” (NR, 22 tahun);
(6) “Alhamdulillah saya
tepat waktu kalo bayar kos
mba, jadi belum pernah tau
kalo ibuk menagih atau
segala macem. Setau saya
bapak ibuk kos juga
memaklumi jika ada
mahasiswa sik bayar telat
gitu. Yang penting kata ibuk
kos tu „bilang dulu‟ alasan
yang sebenernya mba....”
(D, 19 tahun); (7) “Kalau
bapak dan ibuk kos santai
sih mba, yang penting ada
obrolan dulu atau alasan
mahasiswa telat dan belum
membayar kos. Biasasnya
ibuk langsung memaklumi
alasan tersebut....” (N, 19
tahun); (8) “Memang bener
mba ibu pernah dateng ke
kos. Saya juga waktu itu
ndelalah di kos, dan posisi
itu saya telat membayar
uang kos 1 bulan, langsung
saya meminta maaf kepada
pemilik kos terkait
pembayaran kos yang
terlambat karena bulan lalu
saya belum dikirim uang
untuk bayar kos....” (L, 22
tahun); (9) “Biasanya ibuk
menegur lewat grup terlebih
dahulu sebelum jatuh tempo
pembayaran kos mba.
Pokoknya kalo di kos ini
bayarnya sebelum tanggal
10 mba...” (RU, 21 tahun);
(10) “Kalau saya mewanti-
wanti mahasiswa jika bisa
membayar tepat waktu,
kenapa tidak. Tetapi
kalaupun belum bisa, saya
dan ibuk berusaha
memakluminya, yang
penting dengan alasan yang
benar mba...” (K, 58 tahun);
(11) “Saya memberikan
teguran biasanya lewat grup
whatsapp mba. Saya kan
sibuk dengan pekerjaan saya
mba, jadi saya memantau
apapun dari grup whatsapp
dan dari pekerja yang saya
pekerjakan untuk menjaga
kos....” (E, 45 tahun); (12)
“Saya juga menegurnya
lewat grup whatsapp mba.
Saya juga sibuk, jadi saya
hanya bisa menegur lewat
grup. Kalaupun secara
langsung itu pasti hanya
kebetulan....” (I, 38 tahun)
Komunikasi Formal:
Menegur mahasiswa IAIN
Pemilik kos
memang
Salatiga terkait kebersihan
kos
(1) “Ditegur secara
langsung mba. Soalnya kan
kita hidup bareng nih kos,
pemilik kos menyuruh kita
untuk menjaga kebersihan
di lingkungan kamar
masing-masing ataupun di
kamar mandi dan dapur.
Dulu sih pernah ada yang di
pekerja yang bersih-bersih
di kos mba satu minggu
sekali, sekarang nda pernah
sama sekali, sekarang semua
diserahkan ke anggota kos
mahasiswa IAIN mba...” (F,
19 tahun); (2) “Iya pernah
pemilik ke kos dan marah-
marah mba terkait dapur dan
kamar mandi yang kotor.
Tetapi saya menyadari itu
juga salah dari kita sebagai
anggota kos sih mba.
Dulunya memang ada
jadwal piket, tetapi sudah
lama nda berjalan.
Semenjak itu kita-kita
inisiatif sendiri untuk
membersihkan sendiri,
karena kita juga yang
memakainya..” (R, 19
tahun); (3) “Iya ke kos mba
sampe kita semua diem
mendengarkan beliau yang
sedang memarahi kami,
karena kita menyadari kita
yang salah. Akhirnya kita
meminta maaf kepada ibuk
kos dan kita berusaha
membersihkan lingkungan
kos....” (RU, 22 tahun); (4)
memberikan
teguran bagi
mahasiswa
IAIN terkait
kebersihan
kos. Hal
tersebut
beliau
terapkan
untuk
menghindari
hewan kecil
yang masuk
ke dalam kos.
“Disuruh untuk jaga
kebersihan kamar beserta
lingkungannya mba. soalnya
kan rumah sama kosnya kan
satu komplek, jadi mau
tidak mau kita harus
menaati peraturan yang
berlaku di kos ini. Biasanya
kalo ada mahasiswa yang
melanggar tentang
kebersihan dan ibuk
mengetahui, ibuk langsung
menegur mahasiswa
tersebut mba...” (L, 21
tahun); (5) “Bapak ibuk kos
cuma memberitahu untuk
menjaga lingkungan di
depan kamar dan kamar
pribadi masing-masing mba,
soalnya ada ibuk-ibuk yang
diperkerjakan oleh bapak
kos untuk bersih-bersih
dapur sama depan TV, 1-2
kali dalam 1 bulan kayaknya
mba kalo nda salah...” (AN,
19 tahun); (6) “Iya mba, ken
menjaga lingkungan kamar
dan kamar pribadi. Kan saya
sekamar dua orang tuh mba,
jadi biasanya saya bagi tuga
sama temen saya perihal
bersih-bersih gitu. Jadi kalo
dibagi dua kan kita nda
begitu capek...” (E, 19
tahun); (7) “Iya mba, ibuk
dan bapak kos selalu
mengingatkan untuk selalu
menjaga kebersihan kamar
masing-masing...” (D, 19
tahun); (8) “Iya sih mba.
Pemilik pernah bilang ke
saya untuk bersih-bersh
lingkungan kamar masing-
masing. Kebetulan saya
kamar sendiri, jadi iia saya
sendiri yang bersihin kamar
mba....” (N, 21 tahun); (9)
“Kalo di sin ibuk cuma
mengingatkan untuk
kebersihan lingkungan
kamar. Kalo untuk halaman
kos biasanya sudah
dibersihkan sama pemilik
kos...” (NR, 22 tahun); (10)
“Iya mba, saya selalu
mewanti-wanti mahasiswa
IAIN untuk selalu menjaga
kebersihan. Soalnya kan
cewe mba, cewe harus
menjaga kebersihan
lingkungan mba. Apalagi di
kos mba. Pernah saya
marahin itu anak kos yang
suka meninggalkan piring-
piring kotor yang masih
berserakan di dapur mba...”
(I, 38 tahun); (11) “Saya
juga memberi pesan kepada
mahasiswa untuk menjaga
lingkungan sekitar kamar.
Terlebih kamar yang
didalamnya ada kamar
mandi, jadi mau tidak mau
mahasiswa harus menjaga
kebersihan sendiri. Tetapi
saya juga memperkerjakan
orang untuk bersih-bersih
dapur 1-2 kali dalam 1
bulan untuk membersihkan
ruang TV dan dapur mba,
jadi mahasiswa cuma saya
suruh untuk membersihkan
lingkungan kamar beserta
kamar tidur masing-
masing...” (K, 58 tahun);
(12) “Untuk kebersihan,
saya serahkan untuk
anggota kamar masing-
masing. Saya kan nda selalu
mengontrol 24 jam mba di
kos, jadi saya serahkan ke
penjaga kos yang menjaga
di kos mba. Kalau ada apa-
apa atau tentang kebersihan
gitu saya pasti menghubungi
penjaga kos....” (E, 45
tahun)
Komunikasi Formal:
Menegur mahasiswa IAIN
Salatiga ketika sering
membawa teman cewe
menginap di kos
(1)“Pas aku di kos
sendirian, aku yang ditanya
pemilik kos apakah ada
yang menginap di kos, aku
jawab nda ada. Soalnya
emang setau saya nda ada
sih mba....” (F, 21 tahun);
(2) “Kalau peraturan di kos
ini ndaboleh mambawa
teman kos cewe untuk
menginap mba, karena nanti
bisa keterusan untuk
menginap disini. Disini kan
fasilitasnya enak mba, ada
Wi-Wi juga....” (R, 21
tahun); (3) “Di kos ini kalo
ada yang menginap,
dikenakan tarif mba. Kalo
yang menginap cewe dua
atau tiga dan masih ada
hubungan saudara, ibuk kos
mengizinkan mba...” (NR,
22 tahun); (4)
“Alhamdulillah ibuk kos
Pemilik kos
memberikan
teguran untuk
mahasiswa
IAIN ketika
sering
membawa
teman
menginap ke
kos. Apabila
hal tersebut
diketahui
oleh pemilik
kos, tak
segan pemilik
kos meminta
tarif bagi
teman/mahasi
swa lain yang
menginap di
kos
saya rumahnya jauh dari
kos, dan ibuk tidak pernah
tanya tentang anak kos lain
yang menginap, paling ibuk
cuma tanya tentang fasilitas
kos dan lain-lain...” (RU, 22
tahun); (5) “Kalo di kos ini
kalau ketahuan ada yang
menginap juga ditegur sih.
Waktu itu teman saya cuma
main tapi sering sih, trus
saya waktu itu di tanya dan
dimarahin sama pemilik kos
karena keseringan bawa
temen cewe untuk main di
kos...” (L, 22 tahun); (6)
“Kalo di kos saya belum ada
si mba yang disuruh bayar
mba. Tapi ada tambahan
peraturan baru dilarang
nyuci di kos selain anggota
kos...” (AN, 19 tahun); (7)
“Eh, belum pernah denger
sama sekali mba aku. Aku
yang kurang update apa
gimana iia mba, soalnya
saya belum pernah denger
tentang itu....” (D, 19
tahun); (8) “Belum pernah
liat dan denger ibuk kos
menegur anggota kos
mahasiswa IAIN terkait
membawa temen kos
menginap mba. Apa
mungkin waktu itu saya lagi
nda di kos kayaknya mba,
jadi saya ndatau..” (E, 19
tahun); (9) “Saya belum
pernah lihat bapak atau ibuk
menegur mahasiswa lain
yang menginap disini mba.
Setau saya juga nda ada
yang pernah bawa
mahasiswa lain untuk
menginap disini....” (N, 19
tahun); (10) “Memang benar
mba, saya sebisa mungkin,
malah kalau saya tau, saya
langsung menegur
mahasiswa yang menginap
di kos. Biasanya saya
langsung meminta tarif
untuk membayar air dan
listrik yang mereka gunakan
selama menginap di kos...”
(K, 58 tahun); (11) “Kalo
ada yang membawa teman
menginap di kos, saya
kenakan tarif juga mba.
Saya berikan tarif karena
saya tidak ingin teman
anggota kos terus-menerus
menginap disini...” (E, 45
tahun); (12) “Kalau misal
ada yang membawa teman
cewe untuk menginap di
kos, saya berikan tarif mba.
Tarif tersebut saya gunakan
untuk mengganti fasilitas
yang ia gunakan saat
menginap di kos...” (I, 38
tahun)
Komunikasi Formal:
Memberikan keluh-kesah
kepada pemilik kos non-
muslim
(1) “Iya mba,
menyampaikan keluh-kesah
yang selama ini dirasakan
oleh anggot kos mahasiswa
IAIN kepada pemilik kos.
Dulu pernah ada masalah
kran air yang patah dan
harus segera diperbaiki.
Mahasiswa
IAIN Salatiga
meberikan
keluh-kesah
kepada
Langsung dari kita bilang ke
pemilik kos. Soalnya waktu
itu kalo kran air nda segera
diperbaiki, maka air nda
akan bisa ngalir...” (F, 21
tahun); (2) “Menyampaikan
keluh kesah atau saran-
saran, dulu sering mba satu
bulan sekali. Tapi karena
kesibukan bapak kos karena
pekerjaan, sekarang udah
jarang mba, dan kami
memaklumi hal tersebut...”
(R, 21 tahun); (3) “Kalau
saya lebih seringnya
menyampaikan keluh kesah
secara pribadi atau chat
peribadi mba. Ibuk kan juga
kadang pergi, jadi iia lebih
mudah bilangnya lewat chat
itu..” (NR, 22 tahun); (4)
“Kalo saya sering
menyampaikan keluh
kesahnya secara langsung
mba. Biasanya pagi, atau
nda malem sehabis maghrib
gitu mba...” (L, 22 tahun);
(5) “Misal ada kendala
tentang kos atau apa gitu,
biasanya kita chat pribadi
sama pemilik kos. Kalo
mau ketemu ibuk iia
harusjanjian dulu sama ibuk
mba....” (RU, 22 tahun); (6)
“Kalau ada apa-apa tentang
kos mba, biasanya langsung
bilang ke pemilik kos.
Pemilik kos memberi pesan
kepada anggota kos untuk
segera memberitahu pemilik
kos agar segera
diperbaiki...” (D, 19 tahun);
pemilik kos
terkait
fasilitas kos,
contohnya:
pipa bocor,
televisi rusak
dan lain
sebagainya
(7) “Berkaitan dengan kos,
bapak kos berpesan untuk
segera memberitahu beliau.
Misal nda segera diperbaiki
iia kita yang susah
sebenernya mba. Jadi
secepat mungkin kita matur
ke bapak kos....” (E, 19
tahun); (8) “Alhamdulillah,
selama saya kos disisni dan
ada kendala, biasanya bapak
kos langsung
memperbaikinya mba.
Pernah dulu sumbatan air
tersendat, langsung bapak
kos segera
memperbaikinya...” (N, 19
tahun); (9) “Betul sekali,
dulu pernah televisi nda bisa
dihudupin beberapa hari.
Waktu itu belum juga
dibener-benerin karena
pemilik kos masih sibuk dan
belum sempet ngeservice
televisinya...” (AN, 19
tahun); (10) “Memang benar
mba, biasanya kalo ada
masalah atau apa gitu yang
berkaitan dengan kos,
langsung dari mahasiswa
bilang ke saya. Kalo
tukangnya ada, biasanya
saya langsung meminta
beliau untuk memperbaiki,
kalo nda ada iia nunggu
tukang sampai longgar
waktunya...” (E, 45 tahun);
(11) “Iya, langsung saya
perbaiki kalo ada fasilitas
yang kos yang rusak. Kalo
kerusakannya perlu tukang
juga saya tukang, kalo saya
bisa iia saya kejakan sendiri.
Dari awal masuk kos sini
memang saya sudah
memberitahu calon anggota
kos terkait fasilitas yang
rusak, dan secepatnya harus
bilang ke saya begitu. Dan
sampai sekarang langsung
itu anak-anak datang ke
saya bilang kalo ada fasilitas
yang rusak....” (K, 58
tahun); (12) “Kalau ada
kendala tentang kos,
biasanya dari anak-anak
langsung memberuitahukan
ke saya baik melalui chat
ataupun secara langsung.
Kalau saya bisa
memperbaikinya sendiri,
saya langsung
memeperbaikinya mba,
kalaupun harus tukang iia
saya carikan tukang...” (I,
38 tahun)
Komunikasi Informal:
Menganggap anak kos
seperti anak sendiri
(1) “Bapak kos non-muslim
ramah banget mba, anggep
semua anggota kos baik
mahasiswa/umum seperti
anak sendiri. Kamipun
sebagai mahasiswa merasa
senang mba, disini ada yang
mengawasi lah
istilahnya....” (AN, 19
tahun); (2) “Kalo disini si
nda iia mba. Soalnya kan
jarak rumah ibuk kos sama
kos kan jauh mba. jadi iia
biasa aja mba...” (RU, 22
tahun); (3) “Dianggep anak
Pemilik kos
memang
menganggap
anak kos
mahasiswa
sendiri menurut saya mba.
Soalnya kalau ada apa-apa
ibuk berpesan ken matur
gitu. Tapi kalo aku matur
sama ibuk sih kebanyakan
pas pagi....” (L, 22 tahun);
(4) “Dianggep anak sendiri
mba. Misal ada masalah
atau apa gitu ken segera
bilang ke ibuk sih...” (NR,
22 tahun); (5) “Wah,
dianggep kek anak sendiri
banget mba malah, kayak
anak sama bapak sendiri...”
(F, 22 tahun); (6) “Kos sini
menurut saya juara mba.
bapak kos care banget sama
anak-anak. Pokoknya kalo
bapak di kos tu ngobrolnya
sampe berjam-jam betah...”
(R, 21 tahun); (7)
“Dianggep anak sendiri
mba, kalo ada apa-apa gitu
ken langsung bilang. Dulu
perah mba, ada kendala air
wastafel bumpet, langsung
saya ambil kerudung dan
langsung bilang ke Bapak
kos. Padahal waktu itu
biasanya jam-jam beliau
istirahat siang, dan malah
saya ganggu. Itu yang
paling saya inget sampe
sekarang mba, soalnya
bapak baik banget...” (E, 19
tahun); (8) “Iya mba,
dianggep seperti anak
sendiri. Misal ada masalah
atau keluhan gitu ken
ngomong sama pemilik kos
mba. Langsung kalo ada
kendala, saya cuss kerumah
seperti anak
sendiri.
bapak buat bilang mba...”
(D, 19 tahun); (9)
“Dianggep anak sendiri mba
beneran, kalo punya
makanan apa gitu langsung
dikasihke ke anak kos
mahasiswa mba..” (N, 21
tahun); (10) “Saya lebih
suka ngomong ke anggota
kos loss mba, kayak nda ada
sekat gitu. Saya anggap
mereka seperti anak sendiri.
Saya juga punya anak mba,
jadi saya tau bagaimana
kondisi mereka (yang
merantau) pastinya butuh
orang tua untuk mengawasi
keseharian mereka. Kalau
ada kendala apa-apa gitu
biasanya langsung bilang ke
saya tanpa sungkan.
Biasanya malah bareng-
bareng gitu ngomong ke
saya malah kayak mau
kondangan, tapi saya suka
tingkah mereka yang juga
bisa loss ke saya. Jarang-
jarang loh mba anggota kos
bisa ngobrol loss sama
pemilik kos...” (K, 58
tahun); (11) “Saya sama
anak-anak kos tu saya
naggap seperti anak sendiri.
Kalau ada perlu bantuan
pribadi tentang tugas kuliah
gitu, sebisa mungkin saya
bantu. Pernah ngobrol juga
gita bisa sampe berjam-jam
sama mereka...” (E, 45
tahun); (12) “Saya
menganggap anak kos di
tempat saya itu sebagai anak
yang dititipakan kepada
saya iia mba. jadi saya
berusaha menjaga amanah
tersebut sebaik mungkin...”
(I, 38 tahun)
Komunikasi Informal:
Merawat anggota kos
mahasiswa IAIN Salatiga
apabila ada yang sakit (1)
“Aku dulu juga pernah sakit
mba, trus istri bapak kos
tau, langsung deh aku
disaranin buat minum obat
dan istirahat. Pernah juga
ditawarin kerok, tapi saya
ndamau hehe...” (E, 19
tahun); (2) “Memang benar
mba biasanya kalo istri
pemilik kos non-muslim tau
kalo ada anggota kos
Mahasiswa/umum yang
sakit, istri pemilik kos non-
muslim langsung
merawatnya tanpa diminta.
Pernah dulu ada yang sakit
lumayan lama dan dia tidak
punya saudara di Salatiga,
alhasil ibuk merawatnya.
Diberikan sarapan, obat, dan
pernah dikerokin juga
mba...” (AN, 19 tahun); (3)
“Nda pernah sih mba. Ibuk
jarang banget main ke kos,
jadinya kalo ada yang sakit
ibuk nda tau..” (RU, 22
tahun); (4) “Kalau ibuk tau
ada anggota kos yang sakit,
biasanya ibuk memberikan
obat mba, dan disaranin
untuk istirahat terlebih
dahulu mengurangi
aktivitas...” (L, 22 tahun);
Pemilik kos
non-muslim
merawat
mahasiswa
IAIN
Salatiga/umu
m apabila ada
yang sakit
(5) “Misal ada anggota kos
ada yang sakit dan ibuk tau,
langsung ibuk memberikan
obat mba, dan biasanya ibuk
menyarankan untuk istirahat
dulu biar cepet sembuh
penyakitnya...” (NR, 22
tahun); (6) “Kalau ada yang
sakit, biasanya ibuk penjaga
kos yang memberi obat
mba...” (F, 22 tahun); (7)
“Kalau pemilik kos tau ada
yang sakit, pasti langsung
dicarikan obat sama pemilik
kos...” (R, 21 tahun); (8)
“Iya mba, pemilik kos
sampai mencarikan obat
gitu buat yang sakit. Pernah
dulu ada yang sakit, terus
sampai minta tolong warga
sekitar. Pak RT juga pernah
dimintain tolong untuk ke
kos karena ada yang sakit
itu mba. Waktu itu karena
yang sakit belum sembuh-
sembuh, akhirnya pemilik
kos meminta bantuan ke
orang yang lebih bisa
mba....” (D, 19 tahun); (9)
“Ngerawat orang sik sakit
sih mba kalau beliau tau.
Dulu pernah ada yang sakit
parah, trus dirawat sama
pemilik kos, dikasih obat,
dibuatin sarapan mba....”
(N, 21 tahun); (10) “Iya
mba, kalau istri saya tau ada
anggota kos mahasiswa
IAIN/umum yang sakit,
pasti istri saya langung
rawat. Dikasih obat,
sarapan, kerok juga mba.
Saya kan juga punya anak
mba, jadinya kasihan juga
kalo hal tersebut terjadi
pada anak saya. Sebisa
mungkin saya dan istri
membantu walaupun
bantuannya kecil. Kita
diberi hidup juga untuk
saling tolong menolong
untuk orang disekeliling kita
mba...” (K, 58 tahun); (11)
“Iya mba, sebisa mungkin
saya membentu anggota kos
walaupun cuma
memberikan obat warung..”
(E, 45 tahun); (12) “Kalau
ada yang sakit dan saya tau,
pasti saya langsung
memberikan obat untuk
mahasiswa yang sakit.
Sebisa mungkin saya
membantu anak-anak...” (I,
38 tahun)
Komunikasi Informal:
Memberikan makanan
(1) “Kalo aku dulu belum
pernah mba. Kalo anak kos
yang lain ndatau hehe..” (D,
19 tahun); (2) “Pernah mba
dulu malem-malem Ibuk ke
kos bawain tela, dan
langsung saya makan sama
anak-anak kos mahasiswa.
Ibuk sering banget tau mba
nagsih makana atau jajanan
gitu ke mahasiswa yang kos
disini...” (AN, 19 tahun); (3)
“Kalo aku dulu pernah
dikasih roti mba, langsung
saya bagi-bagi juga ke anak
kos mahasiswa lain.
Alhamdulillah waktu itu aku
Pemilik kos
memberikan
makanan
pas laper, eeh dapet rezeki
lewat ibuk kos. Langsung
hilang lapernya mba..” (E,
19 tahun); (4) “Kalau saya
belum pernah sih mba kalo
di kasih makanan....” (RU,
22 tahun); (5) “Pernah mba
waktu anak kos semua di
suruh ke rumah ibuk kos
untuk makan-makan...” (L,
22 tahun); (6) “Pernah mba
waktu itu anak kos di suruh
ke rumah pemilik kos, eh
ternyata dikasih makanan
banyak mba...” (NR, 22
tahun); (7) “Iya mba, pernah
dikasih makanan sama
bapak kos, dan langsung
dibagi-bagi sama anggota
kos mahasiswa lain...” (F,
22 tahun); (8) “Dikasih mba
dikasih walaupun kadang-
kadang tapi
Alhamdulillah..” (R, 21
tahun); (9) “Iya mba, itu liat
yang dikardus tadi, aku
dikasih ibuk minuman gelas.
Ibuk kalo punya apa gitu
nda eman-eman dikasihke
sama anak kos mba. Sering
mba ngasih-ngasih apa gitu
ke mahasiswa. Ibuk kalo
punyanya itu iia dikasihke
mahasiswa iia itu mba....”
(N, 21 tahun); (10) “Benar
mba, saya kasih makanan
walaupun sedikit. Kalau
punya makanan gitu saya
nda eman-eman tak kasihke
mba, daripada mubadzir
kan. Toh kita hidup juga
harus berbagi sama orang
kepada
anggota kos
mahasiswa
walaupun
kadang-
kadang
mba, biar hidup lebih
berkah...” (K, 58 tahun);
(11) “Saya memberikan
makanan sih mba, tapi iia
jarang-jarang. soalnya kan
saya rumah saya nda satu
lokasi sama anak kos.
Sebisa mungkin saya sering
mengunjungi mereka
walaupun cuma sebentar...”
(E, 45 tahun); (12) “Kalo
makanan sih jarang juga
mba, tapi iia penah saya
kasih makanan...” ((I, 45
tahun)
Komunikasi Informal:
Sharing Pengalaman (1)
“Iya mba. ibuk atau bapak
sering sharing-sharing cerita
gitu mba ke saya. Saya juga
ndelalah orangnya banyak
bicara, jadinya iia enjoy
kalo cerita gitu. Lama mba
biasanya kalo cerita itu..”
(N, 21 tahun); (2) “Kalo
saya pernah cerita bareng
sama ibuk, yang intinya kita
harus bener-bener ibadah
mba kepada Tuhan,
manfaatkan waktu sebaik
mungkin, jangan hanya kos
main kos main gitu mba...”
(AN, 19 tahun); (3) “Kalo
sama aku ceritanya itu
tentang adab kepada orang
tua. Ibuk mencontohkan
bagaimana menjadi anak
yang beradab kepada orang
tua tu seperti ini itu mba...”
(E, 19 tahun); (4) “Sharing-
sharing pengalaman belum
pernah sih mba. Ibuk kos
Pemilik kos
non-muslim
dan
mahasiswa
IAIN Salatiga
sering
sharing
pengalaman
dengan waktu
yang cukup
lama
sibuk terus, paling bisa
ngobrol kalau pas bayar
uang kos di rumah beliau...”
(RU, 22 tahun); (5)
“Sharing pengalaman
pernah sih satu kali seinget
saya. Waktu itu
membicarakan untuk jadi
anak harus berbakti sama
orang tua...” (L, 22 tahun);
(6) “Belum pernah sih mba.
soalnya saya kalau bertamu
di rumah beliau itu cuma
sebentar dan dan lama...”
(NR, 22 tahun); (7) “Sering
banget sharing macem-
mecem, pastinya yang
mendidik, sampai berjam-
jam lamanya kalo
membahas tentang sharing
pengalaman...” (F, 22
tahun); (8) “Kalau itu mah
sering banget mba. kalau
cerita sampai berjam-jam
lamanya. Pokoknya ada aja
yang dibahas...” (R, 21
tahun); (9) “Aku ndak mba,
aku jarang omong atau
ngobrol gitu. Aku grogian
orang e...” (D, 19 tahun);
(10) “Betul, saya sering ajak
obrol mahasiswa IAIN.
Biasanya ngobrolnya kalo
mereka pas bayar uang kos
ke rumah. Ngomong ini itu
mba, bahkan sampai
berjam-jam kita betah.
Biasanya saya sharing
tentang pengalaman hidup.
Intinya sharing yang saya
berikan bersifat positif.
Seperti bagaimana adab
kepada orang tua, taat
kepada Tuhan (masing-
masing), dan lain-lain...” (K,
58 tahun); (11) “Kalo
sharing-sharing mah sering
mba. Biasanya kalo saya
kesitu banyak anak-anak
kos ngumpul dan ngajak
sharing ke saya. Tema yang
dibahas macem-macem mba
dari A-Z sampe berjam-jam.
Pada intinya sharing-sahring
kita itu mendidik mba..” (E,
45 tahun); (12) “Sharing
pengalaman jarang sih mba.
Soalnya juga anak kos
mahasiswa dan saya juga
sama-sama sibuk, jadinya
kalo bisa sharing pun kalo
seusai pembayaran uang
kos...” (I, 45 tahun)
2.
Bagaimana
gambaran
akomodasi
pola
komunikasi
antara
mahasiswa
IAIN Salatiga
dengan
pemilik kos
non-muslim
Apakah ada
gambaran
akomodasi
dalam
komunikasi
antara
mahasiswa
IAIN
Salatiga
dengan
pemilik kos
non-muslim
di
Kelurahan
Gambaran akomodasi:
Memberi toleransi waktu
pada saat pembayaran uang
kos terlambat
(1) “Iya mba, kalo ada dari
kami ada yang telat bayar
uang kos, biasanya kita
ngomong ke Bapak/Ibuk
kos non-muslim dengan
alasan masing-masing...”
(AN, 19 tahun); (2)
“Memang betul, Bapak Ibuk
pernah bilang ke saya
misalnya ada mahasiswa
IAIN yang telat bayar kos,
secepatnya mahasiswa IAIN
memberitahu alasan mereka
dengan alasan yang sebenar-
benarnya....” (E, 19 tahun);
(3) “Kalau terkait tentang
pemberian toleransi waktu
Bahwa
gambaran
akomodasi
pola
komunikasi
antara
mahasiswa
IAIN Salatiga
dengan
pemilik kos
yaitu: pemilik
kos
memberikan
toleransi
waktu jika
ada
mahasiswa
IAIN Salatiga
yang belum
bisa
membayar
di Kelurahan
Mangunsari
Kecamatan
Sidomukti
Kota
Salatiga?
Mangunsari
Kecamatan
Sidomukti
Kota
Salatiga?
jika ada,
apa saja
faktor
pendukung
dan
penghambat
nya?
pembayaran uang kos itu
ada mba, tapi harus dengan
alasan yang benar mba, nda
boleh mengada-ada
alasannya...” (RU, 22
tahun); (4) “Dikasi toleransi
waktu mba. yang penting
sama ibuk tu harus ada
obrolan dahulu misal telat
membayar kos, gitu mba...”
(L, 22 tahun); (5) “Selama
ini setau saya ibuk kos
selalu memberikan toleransi
kepada mahasiswa yang
telat memebayar kos.
dengan syarat menyertakan
alasan yang sebenarnya....”
(NR, 22 tahun); (6) “Dikasi
mba, insyaAllah bapak
member toleransi waktu asal
disertai alasan yang benar
mba. pernah saya waktu itu
telat mebayar kos dan saya
memberi alasan, trus bapak
kos memakluminya...” (F,
22 tahun); (7) “Bapak kos
memberikan toleransi
kepada mahasiswa dengan
syarat memberikan alasan
yang tepat. Soalnya pernah
kejadian dulu pernah ada
yang pura-pura belum bisa
membayar kos padahal dia
membeli barang-barang
yang banyak. Dari itu,
bapak memberikan toleransi
kepada anggota kos yang
beliau percaya...” (R, 21
tahun); (8) “Dikasih
toleransi waktu mba.
Pokoknya harus ngasih tau
pemilik kos dulu mba misal
uang kos,
dengan syarat
memberikan
alasan yang
sebenar-
benarnya.
belum bisa bayar atau belum
kiriman gitu.....” (D, 19
tahun); (9) “Yang penting
bilang dulu mba, misal kalo
jatuh tempo belum bisa
bayar, gitu mba....” (N, 21
tahun); (10) “Setiap anggota
kos baik mahasiswa
IAIN/umum, saya berikan
toleransi waktu pada saat
pembayaran uang kos
dengan syarat memberikan
alasan yang benar mba.
Soalnya kan rezeki orang
nda ada yang tau. Kadang di
atas kadang di bawah. Saya
mencoba berfikiran positif
dengan alasan yang
mahasiswa IAIN berikan.
Akan tetapi jangan semena-
mena memanfaatkan
toleransi yang saya berikan.
Pernah kejadian ada
mahasiswa yang berbohong
belum dikirim uang kos,
padahal dia sering keluar
kos dan malah membeli
barang-barang mba. Hal
tersebut membuat saya
berfikir ulang dua kali
kepada sebagian anggota
kos yang tercermin pada
saat mereka sering
menunda-nunda
pembayaran kos...” (K, 58
tahun); (11) “Saya
memberikan toleransi
memang hanya untuk anak
kos yang bener-bener belum
bisa mebayar uang kos mba.
Tetapi tiap tanggal awal
atau tanggal muda, biasanya
saya sudah mengingatkan
anak-anak terkait
pembayaran uang kos
melalui grup whatsapp...” (I,
38 tahun); (12) “Benar mba,
saya memberikan toleransi
kepada anak kos mahasiswa
IAIN yang belum bisa
membayar uang kos. Kalo
sama saya tu yang penting
anak-anak memberitahu
saya dahulu alasan telat
bayar kos....” (E, 45 tahun)