(I)Reduksi Data( II )Sajian Data file/Data... · Web viewSetelah proses pengumpulan data selesai,...
Transcript of (I)Reduksi Data( II )Sajian Data file/Data... · Web viewSetelah proses pengumpulan data selesai,...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pemerintah perlu mengadakan pembangunan dalam segala aspek
kehidupan masyarakat. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka
pembangunan nasional adalah pembangunan umum, seperti pembangunan
jalan raya, pemukiman rakyat, pembangunan pasar tradisional, pembangunan
gedung-sekolah dan sebagainya.
Pembangunan nasional untuk kepentingan umum seperti ini
diperlukan lahan yang luas dan pemiliknya sangat banyak. Dalam rangka
memenuhi kebutuhan tanah tersebut dilakukan pembebasan tanah yang
pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip yang terkandung
di dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
hukum tanah nasional1. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat2. Hak menguasai negara tersebut,
memberikan wewenang kepaa negara, diantaranya untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa3.
Untuk melaksanakan wewenang tersebut, hal yang sudah disadari oleh
pembentuk Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa hukum tanah yang
dibangun itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
1Penjelasan Umum Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
2Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 333Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal
3 ayat (2) huruf a.
1
Indonesia sendiri, yaitu hukum adat, secara teoretik, hukum tanah yang
dibangun berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat4, dan
pencabutan hak atas tanah oleh negara untuk kepentingan umum harus
dilakukan dengan pemberian ganti rugi yang layak dan sebaiknya harus
diperoleh melalui musyawarah, maka pengambilan hak atas tanah untuk
kepentingan umum, seharusnya akan diterima dan dipatuhi oleh masyarakat,5
sehingga sengketa akan relatif jarang terjadi. Akan tetapi kenyataannya,
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, ternyata banyak menimbulkan
sengketa6, antara pemerintah dengan pemilik tanah baik sebagai perseorangan
maupun badan hukum yang terkena proyek pembebasan tanah.
Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia,
yaitu karena kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari
tanah. Manusia hidup di atas tanah (bermukim) dan memperoleh bahan
pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Manusia akan hidup senang
serba kecukupan kalau mereka dapat menggunakan tanah yang dimilikinya
sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia akan dapat hidup
tenteram dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak dan
kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku
untuk mengatur kehidupan manusia itu dalam masyarakat.
Tanah memiliki hukumnya sendiri yaitu keberadaannya tak dapat di
tambah namun sebaliknya kebutuhan atas tanah selalu meningkat seiring
dengan jumlah penduduk. Betapa pentingnya arti sebuah tanah sehingga
sesuai dengan falsafah atau kultur masyarakat Jawa ”Sedumuk bathuk senyari
bumi”.Tersedianya tanah merupakan kunci eksistensi manusia dan
4Freiderich Carl Von Savigny, menyatakan bahwa hukum itu bukan hanya dikeluarkan oleh penguasa publik dalam bentuk perundang, namun hukum adalah jiwa bangsa (volgeist). Satjipto Rahardjo, “Membedah Hukum Progresif”, Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2006,hlm. 164.
5Harbermas mengatakan bahwa validitas hukum ditentukan oleh konsensus yang dibuat oleh elemen-elemen masyarakat. ia tidak melihat nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi acuan validitas hukum itu sebagai nilai- nilai obyektif, karena itu, maka nilai-nilai itu harus ditemukan melalui concencus bersama, Rezaa A.A Wattimena, Melampaoi Negara hukum Klasik, Locke Rausseau Harbermas, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. xvi-xvii.
6 Darwin Ginting, Kapita Selekta Hukum Agraria, Jakarta: Fokussindo Mandiri, 2013, hlm. 122
2
pengaturan serta penggunaannya merupakan kebutuhan yang sangat penting.
Tanah dalam pembangunan nasional merupakan salah satu modal dasar yang
strategis. Hal ini untuk menopang tujuan nasional sesuai yang termaktub
dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yaitu memajukan
kesejahteraan umum, sehingga akan terwujud suatu masyarakat adil dan
makmur baik dalam materiil maupun spirituil berdasarkan Pancasila dalam
ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan
berkedaulatan rakyat serta kehidupan berbangsa bernegara yang tertib, aman
dan dinamis untuk mewujudkan kesejahteraan yang adil dan merata bagi
segenap rakyat Indonesia. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan tersebut
maka dilaksanakan suatu program pembangunan yang terpadu dan
menyeluruh dan berkelanjutan termasuk dalam bidang pertanahan.
Di satu sisi tanah dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara lahir, batin, dan merata,
di sisi lain perlu dijaga kelestariaannya. Tanah merupakan karunia Tuhan
yang dapat digunakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat bangsa Indonesia, maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk
mewujudkan hal tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya ditulis Undang-
UndangDasar 1945) yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat “. Dari bunyi Pasal tersebut dapat
diketahui bahwa penggunaan bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang
terkandung didalam harus dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yaitu untuk mewujudkan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh batang tubuh Undang-UndangDasar 1945 merupakan suatu
penjabaran dari Pancasila, maka dengan sendirinya kesejahteraan yang
dimaksud adalah kesejahteraan lahir batin, adil, dan merata bagi seluruh
rakyat Indonesia. Melihat materi dari Pasal 33 ayat (3) Undang-UndangDasar
1945 di atas maka tujuan negara di sini merupakan tujuan dari negara
3
Republik Indonesia yang bersifat mendasar dan abadi, juga bersifat filosofi
dan keadilan7. Dengan demikian, antara dikuasai negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara, semata-mata
dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan elit tertentu dari instansi
pemerintah yang memerlukan tanah tersebut.8
Betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga diatur
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-UndangDasar 1945 yang menyatakan “Bumi
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Berdasarkan ketentuan
tersebut kita mengetahui bahwa kemakmuran masyarakat adalah tujuan utama
dalam pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia.
Sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat (3) Undang-UndangDasar
1945, pada tanggal 24 September 1960 pemerintah mengundangkan Undang-
Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang
lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang termuat dalam
Lembaran Negara No.104 tahun 1960.
Menurut Herma Yulis dalam Achmad Rubaeie, tanah mempunyai arti
penting karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan
capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan
sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan,
sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam
pembangunan dan tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat
penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi9.
7Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan. Media Abadi. Yogyakarta, 2005, hlm.1
8Achmad Rubaeie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk KepentinganUmum , Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 2
9Ibid, hlm. 1
4
Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai hubungan
magis religius selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak hanya antara
individu dengan tanah tetapi juga antar kelompok anggota masyarakat suatu
persekutuan hukum adat (Rechtgemeenschap) di dalam hubungan dengan hak
ulayat10.Di satu sisi tanah dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara lahir, batin, dan merata,
di sisi lain perlu dijaga kelestariaannya. Tanah merupakan karunia Tuhan
yang dapat digunakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat bangsa Indonesia, maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk
mewujudkan hal tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945) yang
berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat “. Dari bunyi Pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan bumi
(tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung didalam harus dikuasai oleh
negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu
penjabaran dari Pancasila, maka dengan sendirinya kesejahteraan yang
dimaksud adalah kesejahteraan lahir batin, adil, dan merata bagi seluruh
rakyat Indonesia. Melihat materi dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 di atas maka tujuan negara di sini merupakan tujuan dari negara
Republik Indonesia yang bersifat mendasar dan abadi, juga bersifat filosofi
dan keadilan11. Dengan demikian, antara dikuasai negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara, semata-mata
dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
10Ibid, hlm.4011Ibid, hlm.1
5
bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan elit tertentu dari instansi
pemerintah yang memerlukan tanah tersebut12.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya ditulis UUPA)
menegaskan, bahwa kewenangan negara terkait hak menguasai tanah dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 adalah :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
atau pemeliharaannya;
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian
(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; dan
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat adil dan makmur.
Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam
Pasal 2 ayat (3) UUPA diartikan sebagai kebahagiaan, kesejahteraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka
berdaulat, adil, dan makmur. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, maka
penggunaan tanah tidak hanya untuk kepentingan individu saja tetapi juga
kepentingan masyarakat luas di Indonesia. Bunyi Pasal tersebut tersirat
bahwa penggunaan tanah juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan
kepentingan sosial.
Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi dalam
konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan13. Unsur
kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas
tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung
bersumber pada hak bangsa, yang merupakan hak bersama. Pasal 6 UUPA,
menyatakan : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Dari
ketentuan tersebut berarti penggunaan tanah tidak hanya menyangkut
12Achmad Rubaei, Op. Cit. hlm. 213 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi).Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 231
6
kepentingan individu atau golongan pemegang hak atas tanah tersebut,
melainkan juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Sebab,
kepentingan pribadi sudah termasuk juga di dalam kepentingan masyarakat.
Jadi harus ada keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan
umum (masyarakat) dalam pemanfaatan serta penggunaan tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
Juncto Pasal 2 ayat (3) Juncto Pasal 6 UUPA, maka terkait hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial, negara perlu melakukan berbagai ragam kebijakan
dan kegiatan yang memerlukan berbagai macam ketrampilan dan keahlian,
termasuk mengatur penggunan tanah bagi kepentingan umum dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan, di mana tujuan utamanya tetap harus
untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Sebagaimana dalam Pasal
18 UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah
dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur dengan Undang-Undang.
Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah yang membutuhkan
tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pelaksanaanya
harus mempertimbangkan banyak hal. Argumentasinya, menurut Imam
Koeswahyono yang mengutip pendapat Soemarjono dan Oloan Sitorus,
bahwa pengadaan tanah harus berdasarkan atau mencangkup prinsip14:
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan
apapun harus ada landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber
pada hak bangsa (ini kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 Juncto Pasal 1 dan 2 UUPA);
3. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dimiki haknya oleh seseorang
atau badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan
14 Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam Artikel Jurnal Konstitusi. Vol.1 Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2008. Hlm. 5
7
(kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia ( selanjutnya ditulis UU HAM));dan
4. Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh gagal, maka
presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak tanpa
persetujuan subyek hak menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda yang Ada di
Atasnya (selanjutnya ditulis UU No 20 Tahun 1961).
Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam Pasal 9
ayat (2) UUPA sewaktu-waktu dapat digugurkan karena berhadapan dengan
pembangunan bagi kepentingan umum. Adapun di lain pihak sebagian dari
masyarakat memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata
pencahariannya. Bilamana hal tersebut diambil begitu saja dan dipergunakan
untuk keperluan pembangunan, maka dapat berdampak mengesampingkan
kepentingan perseorangan yang dikhawatirkan akan menghilangkan hak
perseorangan untuk hidup secara layak. Secara tegas Hak Milik telah
mendapatkan perlindungan yang kuat dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar
1945, dinyatakan “Setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan Hak
Milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun”. Pasal 36 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hak Asasi Manausia,
menyatakan: “(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga,
bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak
seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara
melawan hukum”.
Salah satu persoalan yang masih dihadapi sehubungan dengan
pelaksanaan kepentingan umum adalah menentukan keseimbangan antara
kepentingan umum dan kepentingan pribadi pemegang hak atas tanah.
Pembangunan yang tengah dilaksanakan oleh pemerintah seringkali
berbenturan berbagai masalah pengadaan tanah yang mengabaikan hak atas
tanah yang dimiliki masyarakat. Permasalahan ini muncul baik dalam tahap
awal, pelaksanaan maupun pemberian ganti rugi yang kurang layak yang tanpa
8
melibatkan masyarakat pemegang hak atas tanah
(http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2014/04/hambatan-fungsi-sosial.html ,
3 April 2014, jam 16.00 WIB), sehingga pengadaan tanah yang berdalih untuk
kepentingan umum sering kali melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, persoalan yang paling disorot adalah kriteria pembatasan
“kepentingan umum” yang membuka kemungkinan pengadaan tanah oleh
swasta difasilitasi oleh Pemerintah. Pengertian kepentingan umum
dikhawatirkan akan diartikan secara luas sehingga dapat melanggar hak milik
atas tanah di Indonesia yang belum sepenuhnya dilindungi sistem hukum15.
Demikian juga selain perangkat aturan yang ada saat ini dilihat belum
mengakomodasi keperluan kepentingan pembangunan. Wadahnya pun disorot
tidak layak, lantaran persoalan tanah yang terkait hak asasi manusia tidak
dihimpun dalam Undang-Undang.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diadakan oleh
Pemerintah, apabila melalui pembebasan tanah tidak bisa tercapai maka
melalui pencabutan hak milik. Hal demikian diatur dalam Pasal 1 Undang-
Undang No 20 Tahun 1961, menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam
keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri
Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah
dan benda-benda yang ada diatasnya”.
Terkait dengan pelaksanaan pencabutan hak atas tanah, terkadang organ
Pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatige
overheidsdaad) publik, seperti dalam hal pelaksanaan pencabutan Hak Milik.
Pelanggaran hukum tersebut seperti dalam hal16:
1. Penetapan ganti rugi oleh panitia penaksir telah ditetapkan dengan tidak
mengindahkan dasar-dasar pertimbangan yang layak, sehingga dirasa sangat
mustahil untuk diterima oleh yang bersangkutan;dan/atau
15 Mohammad Hatta, Op. Cit, hlm 15716 Marmin M.Roosadijo. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda
yang Ada di Atasnya. Ghalia Indonesia, Jakarta,1979, hlm. 31
9
2. Daerah penampungan yang ditunjuk Pemerintah ternyata tidak memenuhi
persyaratan hidup untuk dihuni berhubung tiada sumber air atau air yang
terdapat di daerah itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena adanya
pencemaran lingkungan.
Apabila kita ikuti kasus-kasus seputar pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, yang kebanyakan pemicunya terkait dengan pemberian
ganti rugi, baik dalam bentuk, pelaksanaan pembayarannya maupun
besarnya ganti rugi. Pembayarannya terkadang tidak langsung tunai dan
diundur-undur dan besarnya ganti rugi tidak layak. Guna menghindari
konflik terkait pemberian ganti rugi baik mengenai bentuk maupun besarnya
harus ditetapkan berdasarkan musyawarah antara kedua belah pihak yang
mempunyai kedudukan sama dan sederajad, sehingga antara pihak
pemerintah dengan pemegang hak atas tanah terjadi keseimbangan.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang dilaksanakan
dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah harus memperhatikan
peran tanah dalam kehidupan manusia dan dilakukan berdasarkan prinsip
penghormatan terhadap hak atas tanah. Pemerintah tidak boleh mengambil
atau mencabut hak atas tanah sewenang-wenang dengan berdalih untuk
kepentingan umum tanpa mempertimbangkan prinsip penghormatan hak
atas tanah. Termasuk pengadaan tanah untuk kepentinganm umum yang
terjadi di Wilayah Hukum Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo yaitu
pengadaan tanah untuk sarana pendidikan yang dipergunakan untuk
pendirian Kampus yang memerlukan lahan seluas 90 hektar.
Berdasarkan uraian di atas, maka menarik penulis untuk mempelajari
dan mengakaji lebih dalam terkait hal tersebut dalam sebuah penulisan
penelitian hukum dengan judul : IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DITINJAU
DARI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN. (Studi Kasus di Kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo).
10
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria, maka dalam
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
harus berdasarkan prinsip penghormatan hak atas tanah, yang mencangkup
untuk kepentingan umum, ganti rugi yang layak dan tata caranya yang diatur
dengan Undang-Undang. Adapun permasalahan yang dikaji dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang dapat memberikan perlindungan hukum
bagi pemegang hak atas tanah?
2. BagaimanaPengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan?
3. Permasalahan apakah yang dihadapi Kantor Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Wonosobo dalam Pengimplementasian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam
suatu penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam pelaksanaan
penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Tujuan Objektif
Tujuan Objektif dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang dapat memberikan perlindungan
hukum bagi pemegang hak atas tanah.
b. MengetahuiPengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
11
c. Untuk Mengetahui Permasalahan yang dihadapi Kantor Badan
Pertanahan NasionalKabupaten Wonosobo dalam
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
2. Tujuan Subjektif
Tujuan Subjektif penelitian ini adalah :
a. Menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan analitis penulis
mengenai Hukum Agraria, terutama menyangkut prinsip
penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
Pembangunan demi kepentingan umum;
b. Melatih kemampuan penulis dalam menerapkan teori ilmu hukum,
mengembangkan, dan memperluas wacana pemikiran serta
pengetahuan yang didapat selama perkuliahan guna menganalisis
permasalahan-permasalahan yang muncul dalam hal prinsip
penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum; di lihat dari sisi teeori hukum pembangunan.
c. Memperoleh bahan dan informasi secara lebih jelas dan lengkap
sebagai bahan untuk menyusun Tesis, guna memenuhi persyaratan
akademis dalam mencapai Magister Hukum Konsentrasi Hukum
Kebijakan Publik di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan mempunyai manfaat bukan hanya
bagi penulis saja, tapi diharapkan juga dapat berguna bagi pihak-pihak lain.
Adapun manfaat dalam penelitian ini, yaitu :
12
1. Manfaat Teoretis
Manfaat Teoretis dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menambah pengetahuan mengenai ilmu hukum agraria terutama
mengenai masalah Pengadaan Tanah untuk pembangunan demi kepentingan
umum.
b. Untuk mengembangkan wawasan ilmiah yang dapat digunakan dalam
penulisan ilmiah di bidang hukum terutama hukum agraria.
a. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum Hukum Agraria
tentang prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah
untuk Pembangunan demi kepentingan umum.
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis dari penelitian ini adalah:
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh;dan
b. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna bagi
para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat untuk
mengkaji permasalahan yang sejenis.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah
a. Pengertian Hak Atas Tanah
Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak
penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang,
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau
dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah
yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan
atas tanah yang diatur dalam hukum tanah17.
Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno
Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau
mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “menggunakan”
mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk
kepentingan pembangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan
pabrik. Kata “ mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak
atas tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan,
peternakaan, perkebunan18.
b. Macam Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pokok
Agrariadinyatakan bahwa atas dasar menguasai dari negara ditentukan
adanya macam-macam hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai baik sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain
17Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 28318 Urip Santosa, Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta, 2010,
hlm. 49
14
serta badan-badan hukum di mana hak atas tanah ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian
rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara diatasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang
Pokok Agrariadan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16
Undang-Undang Pokok Agrariadan Pasal 53 Undang-Undang Pokok
Agrariadikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu:
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku selama
Undang-Undang Pokok Agrariamasih berlaku atau belum dicabut
dengan Undang-Undang yang baru. Macam hak atas tanah ini
adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak memungut
hasil hutan.
2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan ditetapkan
dengan Undang-Undang. Hak macam tanah ini belum ada.
Berkaitan dengan hak atas tanah ini, menurut Emelan Ramelan
dalam Urip Santosa menyatakan bahwa pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria menyadari bahwa dalam perkembangannya
nanti akan sangat dimungkinkan timbulnya hak atas tanah yang baru
sebagai konsekuensi dari adanya perkembangan masyarakat, hanya
saja pengaturannya harus dalam bentuk Undang-Undang.
3) Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu yang
singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat
pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa
Undang-Undang Pokok Agraria. Macam hak atas tanah ini adalah
15
Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Sewa
Tanah Pertanian.
Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu:19
1) Hak atas tanah yang bersifat primer.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-macam
hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan atas tanah negara, dan hak pakai atas tanah negara.
2) Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-
macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan atas tanah hak
pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak milik, hak pakai
atas tanah hak milik, hak sewa untuk bangunan, hak gadai, hak
usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah Pertanian.
Berdasarkan macam hak atas tanah di atas, lebih jelasnya
sebagai berikut :
1) Hak milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap mengingat
ketentuan tentang hak atas tanah untuk fungsi sosial (Pasal 20 ayat
(2) Undang-Undang Pokok Agraria). Hak milik merupakan hak yang
paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada
pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang
tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna
bangunan atau hak pakai, dengan pengecualian hak guna usaha),
yang hampir sama kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk
memberi hak atas tanah kepada warganya20.
Hak milik berjangka waktu selama-lamanya (tidak dibatasi
oleh jangka waktu). Selama pemegang haknya masih memenuhi
syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik tersebut tetap 19Ibid, hlm. 52-5320 Kartini Muljadi,dkk., . Hak-Hak Atas Tanah. Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm.30
16
berlaku. Sebaliknya, kalau pemegang haknya tidak lagi memmenuhi
syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik tersebut menjadi
hapus.
Sifat khas dari hak milik yaitu turun temurun, terkuat, dan
terpenuh. Turun-temurun artinya hak milik tidak hanya berlangsung
selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan
oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia. Terkuat
menunjukkan:
a) Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan dengan
hak guna usaha atau hak guna bangunan, jangka waktunya
tertentu.
b) Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak”. Hak milik
juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan yang mempunyai
diberi “tanda hak milik”.
Terpenuh artinya:
a) Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang empunya,
yang paling luas jika dibandingkan dengan hak lain.
b) Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak lainnya.
Artinya seseorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada
pihak lain dengan hak-hak yang kurang daripada hak milik:
menyewakan, membagi hasilkan, menggadaikan, menyerahkan
tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak
pakai.
c) Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain.
d) Dilihat dari peruntukannya, hak milik juga tak terbatas. Hak
guna bangunan untuk keperluan bangunan saja, hak guna usaha
terbatas hanya untuk pertanian sedangkan hak milik dapat
digunakan untuk usaha pertanian maupun untuk bangunan.21
Subyek hak milik atas tanah yaitu WNI dan badan hukum.
Hal demikian, sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang
21 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, Alumni, Bandung, 1989, hlm. 236-237
17
Pokok Agrariayang menyatakan bahwa oleh pemerintah ditetapkan
badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan
syarat-syarat. Pemberian landasan hukum yang terkuat kepada
badan-badan hukum untuk medapatkan hak milik atas tanah,
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah22. Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 1963 menyatakan bahwa Badan-badan hukum
yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan
pembatasan yang disebut pada Pasal 1,2, dan 4 peraturan ini :
a) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut bank
negara);
b) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan
berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun 1958;
c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; dan
d) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan
Sosial.
Hapusnya hak milik diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang
Pokok Agrariayang menyatakan bahwa Hak Milik Hapus apabila:
a) Tanahnya jatuh kepada negara :
(1) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 Undang-
Undang Pokok Agraria;
(2) Karena penyerahan sukarela oleh pihak pemiliknya;
(3) Karena ditelantarkan; dan
(4) Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) (hilangnya
kewarganegaraan) dan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang
Pokok Agraria.
b) Tanahnya musna.
22Supriyadi,Hukum Agraria. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 66
18
2) Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha (selanjutnya disebut HGU) adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasasi langsung oleh Negara, dalam
jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan (Pasal 28 Undang-Undang Pokok Agraria). HGU
merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang memiliki
spesifikasi. Spesifikasi HGU tidak bersifat terkuat dan terpenuh,
dalam artian bahwa HGU ini terbatas daya berlakunya walaupun
dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain23. Penjelasan Undang-
Undang Pokok Agraria telah diakui dengan sendirinya bahwa HGU
ini sebagai hak-hak baru guna memenuhi kebutuhan masyarakat
modern dan hanya diberikan terhadap tanah-tanah yang dikuasai
langsung oleh negara. Jadi, tidak dapat terjadi atas suatu perjanjian
antara pemilik suatu hak milik dengan orang lain.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
Pasal 8 ayat (1), HGU diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan
dapat diperpanjang 25 tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu 35
tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan
perusahannya.
HGU diberikan atas tanah yang paling sedikit 5 hektar,
dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus
memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang
baik, sesuai dengan perkembangan zaman. HGU dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain, dengan cara: jual beli, tukar-menukar,
penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan (Pasal 16 ayat (2) PP
No.40 tahun 1996).
Subyek HGU diatur dalam Pasal 2 PP No. 40 Tahun 1996,
dinyatakan bahwa yang dapat mempunyai HGU adalah:
a) Warga Negara Indonesia;
23Ibid, hlm 110
19
b) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
Berkaitan dengan subyek HGU di atas, maka bagaimana
kalau subyek pemegang HGU tersebut beralih menjadi warga negara
lain atau status badan hukum tersebut berubah, yaitu yang tadinya
nasional Indonesia menjadi berstatus asing atau pemilikan sebuah
Perseroan Terbatas (PT) telah beralih ke tangan pihak asing.
Bagaimana status HGU-nya tersebut. Menurut Supriadi yang
mengutip pendapat Sudargo Gautama, berlaku teori ketiga tentang
status badan hukum yaitu teori tentang siapa yang memegang
managing control, pengawasan atau manajemen dan kontrol atas PT
bersangkutan. Dengan demikian, lebih lanjut dikatakan24:
Jika jatuh semua dalam tangan asing, maka dipandang Perseroan Terbatas bersangkutan ini sebagai sudah berstatus asing. Dengan demikian, maka harus dilepaskan HGU yang telah dimilikinya semula sesuai ketentuan Pasal 3 PP Nomor 40 Tahun 1996. Jika tidak dilakukan pelepasan ini dalam waktu 1 tahun setelah perubahan status dari pemegangnya, maka karena hukum HGU bersangkutan menjadi hapus dan tanh menjadi tanah negara (ayat (2) dari Pasal 3).
HGU mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Pokok
Agrariadinyatakan bahwa, HGU hapus karena:
a) Jangka waktunya berakhir;
b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuai
syarat tidak dipenuhi;
c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir;
d) Dicabut untuk kepentingan umum;
e) Ditelantarkan;
f) Tanahnya musnah;
24Ibid, hlm. 111
20
g) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).
Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Pokok Agrariaini diatur
kembali dalam Pasal 17 PP Nomor 40 Tahun 1996, HGU Hapus
karena:
a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya;
b) Dibatalkan hanya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka
waktunya berakhir karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban-
kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuan-
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13
dan/atau 14; (2) putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
c) Dicabut berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 1961;
d) Ditelantarkan;
e) Tanahnya musnah; dan
f) Ketetapan Pasal 3 ayat (2), yaitu apabila dalam jangka waktu
satu tahun HGU itu tidak dilepaskan atau dialihkan.
3) Hak Guna Usaha (HGB)
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri (Pasal 35 Undang-Undang Pokok Agraria), dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang haknya
dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan bangunannya.
HGB atas tanah hak milik tidak dapat diperpanjang jangka
waktunya, akan tetapi atas kesepakatan dengan pemilik tanah dapat
diperbaharui haknya.
Subyek yang dapat menjadi pemegang HGB adalah: warga
negara indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 19 PP No. 40
21
Tahun 1996). HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain,
peralihan HGB terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan
modal, hibah, dan pewarisan. (Pasal 34 ayat (1) dan (2) No. 40
Tahun 1996).
HGB mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 35 PP No. 40 tahun 1996 dinyatakan bahwa,
HGB hapus karena:
a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam
perjanjian pemberiannya;
b) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau hak milik, sebelum jangka waktunya berakhir,
karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban pemegang hak
dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30, dan Pasal 32; atau (2) tidak
dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang
tertuang dalam pemberian HGB antara pemegang HGB dan Hak
milik atau perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan; atau
(3) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekeuatan hukum
yang tetap;
c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum
janghka waktu berakhir;
d) Dicabut berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 1961;
e) Ditelantarkan;
f) Tanahnya musnah;
g) Ketentuan Pasal 20 ayat (2) (pemegang HGB yang tidak lagi
memnuhi syaratdalam satu tahun yang tidak melepaskan atau
mengalihkan haknya).
4) Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
22
tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan Undang-Undang. Hak pakai diatur dalam
Pasal 39-58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.
Hak pakai berjangka waktu untuk pertama kalinya paling
lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama
20 tahun, dan dapat diperbaharui haknya untuk jangka waktu paling
lama 25 tahun. Untuk perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan
hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus ada persetujuan tertulis
terlebih dahulu pemegang hak pengelolaan. Hak pakai atas tanah
hak milik tidak dapat diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi
atas kesepakatan dengan pemilik tanah dapat diperbabaharui haknya.
5) Hak Sewa
Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar kepada
pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. Jangka waktu Hak
Sewa untuk bangunan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik
tanah. Hapusnya hak ini sesuai dalam ketentuan perjanjian sewa-
menyewa dalam Kitap Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata).
2. Tinjauan Tentang Fungsi Sosial Hak Atas Tanah
Konsep fungsi sosial baru timbul sekitar abad ke-19 sebagai reaksi
daripada penerapan dan penggunaan hak milik secara mutlak dan formalistis
di dalam masa puncak perkembangan kapitalis (Hoch kapitalismus) dan
industrialisme di Eropa. Menurut Wolfgang Friedman yang dikutip
Sunarjati Hartono, menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang sederhana
(pra-industri) hak milik mempunyai fungsi memenuhi kebutuhan seseorang,
23
sesuai dengan pekerjaannya dalam rangka pencarian nafkah. Di dalam
masyarakat pra-industri yang sederhana, seperti di dalam hukum adat
Indonesia, apabila orang berbicara tentang hak milik atau kepunyaan, maka
yang dimaksud olehnya adalah barang yang dikuasai sepenuhnya dan yang
dapat dinikmati sepenuhnya pula25.
Sebagai makhluk sosial yang merdeka, setiap orang mempunyai
berbagai macam hak untuk menjamin dan mempertahankan kehidupannya
di tengah-tengah masyarakat, dimana salah satunya adalah hak atas tanah.
Hak atas tanah merupakan hak yang dipunyai seseorang yang menurut
sifatnya termasuk hak yang secara wajar boleh dimiliki oleh suatu pihak
karena hubungannya yang khusus dengan orang atau pihak lain pada suatu
tempat dan waktu tertentu serta situasi dan kondisi yang dianggap tepat.
Hak ini masih dapat dikesampingkan dari kehidupan seseorang karena
adanya suatu atau beberapa kepentingan yang memaksa26. Artinya hak atas
tanah dapat diperoleh berdasarkan hukum tetapi masih dapat diganggu gugat
melalui hukum itu sendiri bila ada satu atau beberapa kepentingan sebagai
sebabnya yang lebih memaksa, yang antara lain adalah kepentingan umum.
Bangsa Indonesia yang sejak semula hidup dalam suasana
kekeluargaan dan hukum adat tidak pernah memberi tekanan kepada
kepentingan perseorangan, manusia Indonesia selamanya hanya berarti
dalam lingkungan suatu kelompok masyarakat yaitu sebagai warga
masyarakat. Boedi Harsono merumuskan bahwa konsepsi hukum adat
adalah komunalistik-religius, yang juga memungkinkan penguasaan tanah
secara individual sekaligus mengandung unsur kebersamaan27. Ini berarti
bahwa hak atas tanah yang dikuasai secara individual tidak dibenarkan
penggunaan tanah tersebut untuk kepentingan pribadi, melainkan
penggunaannya harus disesuaikan dengan manfaat bagi masyarakat dan
negara. Hak milik atas tanah dalam hukum adat yang berkembang sebelum 25 Sunarjati Hartono, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah. Alumni,
Bandung, 1978, hlm. 16-1726 Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan, 1982. Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran
Tinjauan Falsafah Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 7-827Boedi Harsono, OP. Cit, hlm. 79
24
bangsa barat datang adalah hukum adat yang merupakan hukum asli
golongan pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak
tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta
diliputi oleh suasana keagamaan.
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agrariamenyebutkan bahwa “semua
hak tanah mempunyai fungsi sosial”. Di dalam penjelasan umum fungsi
sosial hak-hak atas tanah tersebut dinyatakan bahwa:
ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan seseorang akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. (Penjelasan Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria).
Dari ketentuan di atas berarti hak atas tanah bukanlah bersifat pribadi
semata-mata. Penggunaannya juga harus memperhatikan kepentingan
bersama yaitu kepentingan umum, karena bidang tanah yang dikuasai itu
adalah sebagian dari tanah bersama.
Dalam konsep hukum barat, pengertian fungsi sosial pada
hakikatnya berupa pengurangan atau pembatasan kebebasan individu bagi
kepentingan bersama. Sebaliknya konsep fungsi sosial dalam hukum adat
dan hukum tanah nasional merupakan bagian dari alam pikiran asli orang
Indonesia. Bahwa manusia Indonesia adalah manusia pribadi yang
sekaligus makhluk sosial, yang mengusahakan terwujudnya keseimbangan,
25
keserasian, dan keselarasan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
bersama, kepentingan masyarakatnya28.
Fungsi sosial hak atas tanah adalah salah satu dari tiga kewajiban
dalam Undang-Undang Pokok Agrariayang bersifat umum yang
dibebankan pada setiap pemegang hak atas tanah, yakni:
a. Kewajiban menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6);
b. Kewajiban memelihara tanah (Pasal 52 ayat (1));dan
c. Kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah pertanian
(Pasal 10)29.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agrariamengandung beberapa prinsip
keutamaan antara lain30:
a. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang
merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-
hak atas tanah menurut konsepsi hukum tanah nasional;
b. Tanah seseorang tidak mempunyai fungsi sosial bagi yang punya hak itu
saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Sebagai konsekuensinya, dalam
mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan
individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga kepentingan
masyarakat; dan
c. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan hak untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan
tanahnya, sifatnya, dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut
dimaksudkan agar tanah harus dipelihara dengan baik dan dijaga
kualitas, kesuburan serta kondisi tanah sehingga dapat dinikmati tidak
hanya pemilik tanah saja tetapi juga masyarakat lainnya. Oleh karena itu
kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya
atau pemegang hak yang bersangkutan, melainkan juga beban dari setiap
28Ibid, hlm. 30229Ibid, hlm. 42-4330Ibid, hal. 299
26
orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan
hukum dengan tanah.
Maria S.W. Soemardjono yang mengemukakan bahwa interpretasi
asas fungsi sosial hak atas tanah, di samping mengandung makna bahwa
hak atas itu harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya,
sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi masyarakat, juga
berarti bahwa harus terdapat keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dan kepentingan umum, dan bahwa kepentingan
perseorangan diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan
masyarakat secara keseluruhan31. Maka jika kepentingan umum
menghendaki didesaknya kepentingan individu, hingga yang terakhir ini
mengalami kerugian, maka kepadanya harus diberikan ganti rugi32.
3. Tinjauan Tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
a. Pengertian Pengadaan Tanah
Menurut John Salindeho pengadaan tanah adalah menyediakan
tanah atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau keperluan
pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek atau pembangunan
sesuatu sesuai program pemerintah yang telah ditetapkan33.
Pada dasarnya pengertian di atas dimaksudkan untuk
menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau keperluan
Pemerintah, dalam rangka proyek atau pembangunan infrastruktur
negara sesuai program pemerintah yang telah ditentukan. Bukan tidak
ada tanah yang tersedia, tetapi tanah bebas dari hak orang atau badan
hukum yang justru dibutuhkan oleh pemerintah untuk kepentingan
pembangunan sesuai strategi pembangunan nasional, diperlukan (tanah)
demi terlaksananya program bertalian dengan proyek yang telah
direncanakan34.31 Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implentasi
(Edisi Revisi +). PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hlm. 7932Boedi Harsono,Op. Cit. hlm. 298-29933 John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta, 1993,
hlm. 3134Ibid, hal. 31-32
27
Sementara menurut Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993
dikatakan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada
yang berhak atas tanah tesebut”.
Pasal 1 angka (3) Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 65 Tahun
2006, menyebutkan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada
yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (2)Undang-Undang No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, menyebutkan bahwa Pengadaan adalah kegiatanh
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang layak adan
adil kepada pihak yang berhak. Dalam Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan mendasarkan pada
asas: Kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan,
kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan serta
kesetaraan.
b. Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
1) Pengertian Kepentingan Umum :
Istilah kepentingan umum, pertama kali bermula dari
ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria, “...kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat,,,,”. Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang No. 20
Tahun 1961 sebagai pelaksana Pasal 18 Undang-Undang Pokok
Agraria, menyatakan “ ,,,kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersamadari rakyat, sedemikian
pula kepentingan pembangunan,,,”. Pasal 1 butir 5 Peraturan
Presiden No 36 tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi
28
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Perpres No 36 Tahun
2005), menyatakan, “ Kepentingan umum adalah kepentingan
sebagian besar lapisan masyarakat”. Hakikat Kepentingan Umum
dapat dikatakan untuk keperluan, kebutuhan, atau kepentingan orang
banyak atau tujuan sosial yang luas. John Salindeho telah
merumuskan bahwa kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa
dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan
memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas
atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan
ketahanan nasional serta wawasan nusantara35.
Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (6)Undang-Undang No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, yang dimaksud kepentingan umum dalah
kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan
oleh Pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan
rakyat.
Ketentuan Pasal 1 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973
(sudah tidak berlaku), menyebutkan apa yang dimaksud dengan
kepentingan umum, yakni :
a) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan
mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan tersebut
menyangkut kepentingan bangsa dan negara, dan/atau
kepentingan masyarakat luas dan/atau kepentingan rakyat
banyak/bersama dan/atau, kepentingan pembangunan.
b) Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum meliputi bidang-bidang pertahanan,
pekerjaan umum, jasa umum, keagamaan, ilmu pengetahuan
dan seni budaya, kesejahteraan olahraga, keselamatan umum
terhadap bencana alam, kesejahteraan sosisal, makam/kuburan,
35Ibid, hal. 40
29
pariwisata dan rekreasi, usaha-isaha ekonomi yang bermanfaat
bagi kesejahteraan umum.
Pasal 5 Perpres No 65 tahun 2006, menyatakan bahwa
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan
Pemerintah atau pemerintah daerah, yang selanjutnya dimiliki atau
akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
a) jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang
atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/
air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b) waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan
lainnya;
c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d) fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan
bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e) tempat pembuangan sampah;
f) cagar alam dan cagar budaya; atau
g) pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
2) Karakteristik Kepentingan Umum ;
Menurut Adrian Suteji, ada tiga prinsip suatu kegiatan benar-
benar untuk kepentingan umum, yaitu :
a) Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah.
Bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dapat dimiliki oleh
perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan
perorangan tidak dapat memiliki jenis-jenis kegiatan kepentingan
umum yang membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak maupun
negara.
b) Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah.
30
Bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan untuk
kepentingan umum hanya dapat diperankan oleh pemerintah.
c) Tidak mencari keuntungan.
Bahwa Fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum sehingga
benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta yang bertujuan
untuk mencari keuntungan sehingga terkualifikasi bahwa
kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali tidak boleh
mencari keuntungan.
Adrian Suteji, juga berpendapat bahwa kriteria sifat, kriteria
bentuk, dan kriteria karakteristik dari kegiatan untuk kepentingan
umum, yaitu :36
a) Penerapan untuk kriteria sifat suatu kegiatan untuk kepentingan
umum agar memiliki kualifikasi untuk kepentingan umum harus
memenuhi salah satu sifat dari beberapa sifat yang telah
ditentukan dalam daftar sifat kepentingan sebagaimana tercantum
dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yaitu
untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan
Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula
kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang
memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri
Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut
hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya;
b) Penerapan untuk kriteria bentuk suatu kegiatan untuk kepentingan
umum agar mempunyai kualifikasi sebagai kegiatan untuk
kepentingan umum harus memenuhi syarat bentuk kepentingan
umum sebagaimana Pasal 2 lampiran Instruksi Presiden 1973
(bahwa sebelumnya proyek tersebut sudah termasuk dalam
rencana pembangunan yang telah diberitahukan kepada
masyarakat yang bersangkutan, sudah termasuk dalam rencana
36 Adrian Suteji, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 75
31
induk pembangunan dari daerah yang bersangkutan dan yang telah
mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
setempat) dan Pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 2005; dan
c) Penerapan untuk kriteria ciri-ciri suatu kegiatan untuk kepentingan
umum sehingga benar-benar berbeda dengan bukan kepentingan
umum, maka harus memasukkan ciri-ciri kepentingan umum,
yaitu bahwa kegiatan tersebut benar-benar dimiliki pemerintah,
dikelola oleh pemerintah dan tidak untuk mencari keuntungan.
c. Tata Cara Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Menurut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku,
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan
cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak
atas tanah. Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang
disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Perpres No. 65 tahun 2006 mengatakan
bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (tiga ) macam, yakni: Pertama,
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Kedua, jual-beli, tukar-
menukar, atau cara lain yang disepakati secara suka rela oleh pihak-
pihak yang bersangkutan.
Pengadaan tanah yang dilakukan dengan yang pertama dan
kedua di atas masuk dalam katagori pengadaan tanah secara sukarela
(voluntary land acquisition). Dalam klasifikasi teoritis cara pengadaan
dengan jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara
suka rela oleh pihak-pihak yang bersangkutan ini disebut sebagai
pemindahan hak, dengan cara pemindahan hak tersebut, hak atas tanah
langsung berpindah dari pihak yang empunya kepada pihak yang
membutuhkan. Jika yang ditempuh adalah cara pelepasan atau
32
penyerahan hak, maka setelah tanah “dilepaskan” atau “diserahkan”
status tanah menjadi tanah negara, yang selanjunya dilakukan
permohonan hak oleh pihak yang membutuhkan tanah37. Cara
pengadaan yang dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah, yang
telah diatur sebelumnya dalam Undanag-Undang No. 20 tahun 1961
merupakan pengadaan tanah yang dilakukan tanpa persetujuan yang
empunya tanah (compulsory acquisition of land).
Jelaslah bahwa hukum tanah di negara Republik Indonesia
sesungguhnya sudah mengatur berbagai cara pengadaan tanah, baik
untuk kepentingan umum, usaha maupun pribadi. Cara yang digunakan
tergantung pada (Boedi Harsono, 2005: 5):38
1) Status hukum tanah yang diperlukan;
2) Status hukum pihak yang memerlukan tanah;
3) Peruntukan tanah yang diperlukan;
4) Ada atau tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk menyerahkan
tanah yang bersangkutan.
Meskipun ada 4 (empat) faktor yang harus diperhatikan dalam
menentukan cara pengadaan tanah, namun untuk menetapkan sistem
tata cara pengadaan tanah sekarang ini cukup jika sudah diketahui39:
1) Status (hukum) tanah yang tersedia, apakah merupakan tanah
negara, tanah ulayat masyarakat hukum adat atau tanah hak;
2) Ada-tidaknya kesediaan yang empunya tanah. Artinya, kalau yang
tersedia tanah hak, apakah yang empunya tanah:
a) Bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak atas tanah
yang dipunyainya,atau
b) Tidak bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak atas
tanah yang dipunyainya;
3) Status hukum yang memerlukan tanah
37 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Mitra Kebijakan Tanah Indonesia. Yogyakarta, 2004, hlm. 14
38Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 539Ibid, hal. 5-6
33
kalau yang tersedia tanah hak dan pihak yang mempunyai bersedia
menyerahkan atau melepaskan hak atas tanah yang dipunyainya,
apakah yang memerlukannya:
a) Memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang
diterimanya, atau
b) Tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak yang akan
diperolehnya.
Berdasar kreteria di atas, maka cara pengadaan tanah dapat
disusun dalam suatu sistem sebagai berikut40:
1) Jika tanah yang tersedia/diperlukan berstatus tanah negara, maka
tanah yang harus digunakan adalah acara permohonan dan
pemberian hak atas tanah;
2) Jika tanah yang tersedia berstatus tanah ulayat, maka acaranya
adalah meminta kesediaan Penguasa Masyarakat Hukum Adat yang
bersangkutan untuk melepaskan hak ulayatnya, dengan pemberian
ganti-rugi atas tanam tumbuh rakyat yang ada diatasnya.
Tanah tersebut kemudian dimohonkan hak atas tanh sesuai dengan
status pihak yang akan menggunakannya melalui cara permohonan
pemberian hak tersebut di atas.
3) Jika tanah yang dimohon berstatus tanah hak, maka acara yang
digunakan, tergantung pada ada atau tidaknya kesediaan yang
empunya tanah untuk menyerahkan kepada yang memerlukan,
dengan ketentuan:
a) Jika ada kesediaan untuk menyerahkan secara suka rela, maka
ditempuh:
(1)Acara perpemindahan hak, melalui jual-beli, tukar-menukar
atau hibah, yaitu jika yang memerlukan memenuhi syarat
sebagai subyek hak tanah yang dipindahkan itu;
(2)Acara penyerahan atau pelepasan hak, diikuti dengan
permohonan hak baru yang sesuai, yaitu jika pihak yang
40Ibid, hlm. 6-7
34
memerlukan tidak memenuhi syarat sebagagi subyek hak
yang semula menentukan status tanah tersebut.
b) Jika yang empunya tanah tidak bersedia menyerahkannya
dengan suka rela, apabila syarat-syarat telah terpenuhi, maka
dapat ditempuh acara pencabutan hak, sebagai cara
pengambilan tanah secara paksa41.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan oleh
Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6 Perpres
No. 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No 65
Tahun 2006, bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum di
wilayah Daerah Istimewa/kota dilakukan dengan bantuan panitia
pengadaan tanah Daerah Istimewa/kota yang dibentuk oleh
Bupati/Walikota, sedangkan untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dibentuk oleh Gubernur. Panitia pengadaan tanah bertugas
(Pasal 7):
1) Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan,
tanaman dan benda –benda lain yang ada kaitannya dengan tanah
yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
2) Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya
akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang
mendukungnya;
3) Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan;
4) Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang
terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah
mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam
bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak
maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh
masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang
hak atas tanah;
41 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op. Cit, hlm. 14
35
5) Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah
dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang
memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau
besarnya ganti rugi;
6) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para
pemegang hak atas tanah,bangunan, tanaman, dan benda-benda lain
yang ada di atas tanah;
7) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
dan
8) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas
pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang
berkompeten.
Pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah,
sehingga didapat kesepakatan baik mengenai pelaksanaan
pembangunannya dan juga mengenai ganti ruginya. Berdasarkan Pasal
12, ganti rugi diberikan untuk: hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Pasal 20 mengatur mengenai pengadaan tanah skala kecil,
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dapat dilakukan
langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para
pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau
cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
Berkaitan dengan prosedur, peraturan presiden ini telah
memperkenalkan perusahaan penilai (appraisal) yang secara
independen akan menetapkan harga tanah, yang selanjutnya akan
digunakan sebagai acuan oleh Panitia Pengadaan Tanah. Sementara itu
berkaitan dengan waktu, peraturan presiden ini telah memperkenalkan
pembatasan waktu (120 hari) dan konsepsi konsinyasi (penitipan uang
di Pengadilan Negeri setempat). Perpaduan antara kinerja perusahaan
penilai, batasan waktu, dan konsepsi konsinyasi akan dapat
36
menghindarkan berlarut-larutnya pengadaan tanah, yang sekaligus
untuk menghindari pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.
Secara garis besar dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah, yaitu:
pengadaan tanah untuk kepentingan Pemerintah dan pengadaan tanah
untuk kepentingan swasta. Pengadaan tanah yang dilakukan Pemerintah
dibagi atas pengadaan tanah bagi kepentingan umum dan pengadaan
tanah bukan untuk kepentingan umum (misalnya: kepentingan
komersial). Selanjutnya pengadaan tanah bagi kepentingan swasta bisa
pula digolongkan menjadi kepentingan komersial dan bukan komersial,
yakni yang bersifat menunjang kepentingan umum termasuk
pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial lainnya42.
d. Prinsip Penghormatan Hak Atas Tanah dan Ganti Kerugian dalam
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Di dalam diktum pertimbangan Perpres No. 36 tahun 2005
sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006,
menyatakan “bahwa dengan meningkatnya pembangunan untuk
kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu
dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan
prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah”. Pasal 4
menyatakan “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan
terhadap hak atas tanah.”.Maria S.W. Soemardjono berpendapat prinsip
penghormatan ini diberikan kepada pemegang hak atas tanah (subyek),
karena konstitusi menjamin hak seseorang atas tanah yang merupakan
hak ekonominya.
Kebijakan pengambilalihan tanah dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum harus bertumpu pada prinsip demokrasi dan
42Ibid, hlm. 5
37
menjunjung tinggi hak asasi manusia, di mana perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut43:
1) Pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang
berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik
maupun non-fisik, dan hilangnya harta benda untuk sementara
waktu atau selama-lamanya, tanpa membedakan bahwa mereka
yang tergusur tetap tinggal di tempat semula atau pindah ke lokasi
lain;
2) Ganti kerugian sebagai upaya mewujudkan penghormatan kepada
hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan
untuk kepentingan umum44, maka ganti kerugian yang diberikan
harus memperhitungkan:
(3) Hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-
benda lain yang berkaitan dengan tanah;
(4) Hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya;
(5) Bantuan untuk pindah ke lokasi lain, dengan memberikan
alternatif lokasi baru yang dilengkapai dengan fasilitas dan
pelayanan yang layak; dan
(6) Bantuan pemulihan pendapatan agar tercapai keadaan yang
setara dengan keadaan sebelum terjadi pengambil alaihan.
Besarnya ganti kerugian untuk tanah dan bangunan
seyogyanya didasarkan pada biaya pengggantian nyata. Bila
diperlukan dapat diminta jasa penilai independent untuk
melakukan taksiran ganti kerugian.
3) Mereka yang tergusur karena mengambilalihan tanah dan harus
diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus diperluas,
mencangkup:
a) Pemegang hak atas tanah yang bersertifikat;
b) Mereka yang menguasai tanah tanpa sertifikat dan bukti
pemilikan lain; 43 S.W. Soemardjono, Op. Cit. hlm. 90-9144Ibid, hlm. 80
38
c) Penyewa bangunan;
d) Buruh tani atau tunawisma yang akan kehilanagan pekerjaan;
e) Pemakai tanah tanpa hak yang akan kehilangan lapangan kerja
atau penghasilan; dan
f) Masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional yang akan
kehilangan tanah dan sumber penghidupannya.
4) Untuk memperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena
penggusuran dan besarnya ganti kerugian, mutlak dilaksanakan
survei dasar dan survei sosial ekonomi;
5) Perlu ditetapkan instansi yang bertanggung jawab untuk
pelaksanaan pengambilalihan tanah dana permukiman kembali,
dengan catatan bahwa keikutsertaan masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan sungguh-sungguh
terjamin;
6) Cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus
ditumbuhkembangkan dalam hal terjadi pemukiman kembali,
integrasi dengan masyarakat setempat perlu disiapkan semenjak
awal untuk menghindari hal-hal yang diharapkan oleh kedua belah
pihak;dan
7) Perlu adanya sarana untuk menampung keluhan dan
menyelesaiakan perselisihan yang timbul dalam proses
pengambilalihan tanah dan permukiman kembali, beserta tatacara
penyampaiannya.
Ganti kerugian merupakan bukti terhadap pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia. Keadilan dalam
memberi ganti kerugian diterjemahkan sebagai mewujudkan
penghormatan kepada seorang yang haknya dikurangi dengan
memberikan imbalan berupa sesuatu yang setara dengan keadaannya
sebelum hak tersebut dikurangi atau diambil, sehingga yang
39
bersangkutan tidak mengalami degradasi kesejahteraan. Karena
setidaknya kerugian yang akan terjadi itu meliputi45 :
1) Kehilangan tanah (tanah pertanian, pekarangan, akses ke hutan dan
sumber-sumber alam lain, kehilangan tanah kepunyaan bersama);
2) Kehilangan bangunan (untuk rumah atau bangunan fisik lain);
3) Kehilangan penghasilan dan sumber penghidupan (karena
ketergantungannya kepada hutan dan sumber-sumber alam lainnya);
dan
4) Kehilangan pusat-pusat kehidupan dan budaya masyarakat (tempat-
tempat religius, tempat ibadah, kuburan, hak atas sumber daya
alam).
Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat
fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang
mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup
yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena
pengadaan tanah. Bentuk ganti rugi dapat berupa (Pasal 13 Perpres No
65 tahun 2006) :
1) Uang; dan/atau
2) Tanah pengganti; dan/atau
3) Pemukiman kembali; dan/atau
4) Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
5) Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas (Pasal 15
ayat (1) Perpres No.65 tahun 2006):
1) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan
penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh
panitia;
45 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op. Cit, hlm. 33
40
2) Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan;dan
3) Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab di bidang pertanian.
4. Tinjauan tentang Kebijakan
a. Kebijakan Publik
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini dengan segala
kegiatan pemerintahan tidak dapat lepas dari apa yang disebut sebagai
kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat ditemukan dalam
bidang antara lain kesejahteraan sosial (social welfare), di bidang
kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi,
hubungan luar negeri, pendidikan nasional dan lain sebagainya.
Menurut Carl Fredrich, kebijakan sebagai suatu arah tindakan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan
kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan,
atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu46 .
Harold D. Laswell memberikan definisi kebijakan publik
sebagai berikut :47
1) Kebijakan Publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah.
2) Kebijakan publik adalah apa saja yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah.
Lebih lanjut James Anderson menyatakan 4 (empat) aspek
kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi : 48
46 Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta, 2002, hlm.1647 Setiono, Materi Matrikulasi Hukum dan Kebijakan Publik, Pascasarjana UNS, Surakarta, 2004, hlm. 448 Budi Winarno, Loc. Cit. hlm. 18
41
1) Kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan.
2) Kebijakan publik merupakan pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan Undang-Undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya.
3) Kebijakan publik adalah apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah dan bukan apa yang diinginkan pemerintah.
4) Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif dan negatif. Positif : kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Negatif : kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.
b. Implementasi Kebijakan
1) Definisi Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas
merupakan alat administrasi hukum dan berbagai aktor, organisasi,
prosedur dan teknik untuk bekerja sama menjalankan kebijakan guna
meraih dampak atau tujuan yang diinginkan49. Menurut Masmanian
bahwa implementasi kebijakan adalah pelaksanaan putusan kebijakan
dasar, dalam bentuk Undang-Undang atau keputusan-keputusan
eksekutif. Keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang ingin
diatasi, menyebut secara tegas tujuannya dari berbagai cara untuk
mengatur proses implementasinya.
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier menjelaskan makna
implementasi ini dengan mengatakan bahwa : “memahami apa yang
senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau
dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan yakni
kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan timbul sesudah disahkannya
pedoman-pedoman kebijakan Negara, mencakup baik usaha-usaha
untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan
49 Budi Winarno, Op. Cit. hlm. 101
42
akibat/dampak nyata pada masyarakat/kejadian-kejadian”50
2) Konsep atau Model Implementasi Kebijakan
a) Model Meter dan Horn
Implementasi merupakan proses yang dinamis, Van Meter
dan Van Horn membuat ikatan (linkages) yang dibentuk antara
sumber-sumber kebijakan dan tiga komponen lainnya. Menurut
mereka tipe dan tingkatan sumber daya yang disediakan oleh
keputusan kebijakan akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan
komunikasi dan pelaksanaan. Pada sisi lain, kecenderungan para
pelaksana dapat dipengaruhi secara langsung oleh tersedianya
sumber daya.51
b) Model Grindle
Implementasi kebijakan menurut Grindle didasarkan oleh isi
kebijakan dan konteksnya. Ide dasar Grindle muncul setelah
kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek
individual dan biaya telah disediakan maka implementasi
kebijakan dilaksanakan52
c) Model Sabatier dan Mazmanian
Menurut Sabatier dan Mazmanian implementasi kebijakan
mempunyai fungsi dari tiga variabel yaitu (1) karakteristik
masalah, (2) struktur manajemen program tercermin dalam
berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan
dan (3) faktor-faktor diluar aturan. Implementasi akan efektif
apabila dalam pelaksanaannya mematuhi apa yang sudah
digariskan oleh peraturan atau petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis.53
Konsep yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah Model
50Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebiajkan Publik, Alumni, Bandung, 2004. hlm. 6551Budi Winarno, Loc. Cit. hlm. 11952Ibid, hlm. 11353 Ibid, hlm. 114
43
Grindle. Dalam pengimplementasian kebijakan tentang pengadaan
tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum (Studi kasus di
Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo).
3) Pendekatan Implementasi
Menurut Solichin Abdul Wahab ada empat pendekatan dalam
implementasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas implementasi
yaitu :
1. Pendekatan StrukturalPendekatan ini ada dua bentuk yaitu struktur yang bersifat organis dan pendekatan struktur matrik.
2. Pendekatan Prosedural dan Manajerial Perlu dibedakan antara merencanakan perubahan dan merencanakan untuk melakukan perubahan. Dalam hal pertama, implementasi dipandang sebagai semata-mata masalah teknis atau masalah manajerial, prosedur-prosedur yang dimaksud termasuk diantaranya menyangkut penjadwalan (scheduling), perenacanaan (planning) dan pengawasan (control). Teknik manajerial merupakan perwujudan dari pendekatan ini ialah perencanaan jaringan kerja dan pengawasan (network planning and control-MPC) yang menyajikan suatu kerangka kerja, proyek dapat dilaksanakan dan implementasinya dapat diawasi dengan cara identifikasi tugas-tugas dan urutan-urutan logis, sehingga tugas tersebut dapat dilaksanakan.
3. Pendekatan KeperilakuanAda dua bentuk dalam pendekatan ini : Pertama, OD (organisitional development/pengembangan organisasi). OD adalah suatu proses untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan dalam suatu organisasi melalui penerapan dalam ilmu-ilmu kepribadian; Kedua, bentuk management by objectives (MBO). MBO adalah suatu pendekatan penggabungan unsur-unsur yang terdapat dalam pendekatan prosedural/manajerial dengan unsur-unsur yang termuat dalam analisis keperilakuan. Jelasnya MBO berusaha menjembatani antara tujuan yang telah dirumuskan secara spesifik dengan implementasinya.
4. Pendekatan PolitikPendekatan politik secara fundamental menentang asumsi yang diketengahkan oleh ketiga pendekatan terdahulu khususnya pendekatan perilaku. Keberhasilan suatu kebijakan pada akhirnya akan tergantung pada kesediaan dan kemampuan kelompok-kelompok dominan/berpengaruh. Situasi tertentu distribusi kekuasaan kemungkinan dapat pula menimbulkan kemacetan pada
44
saat implementasi kebijakan, walaupun sebenarnya kebijakan tersebut secara formal telah disahkan 54
c. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik
Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat dilihat dari :55
1) Formulasi Hukum dan Kebijakan Publik
Hubungan pembentukan hukum dan kebijakan public saling
memperkuat satu dengan yang lain. Sebuah produk hukum tanpa ada
proses kebijakan publik di dalamnya maka produk hukum itu akan
kehilangan makna substansinya. Sebaliknya sebuah proses kebijakan
publik tanpa ada legalisasi hukum, akan lemah pada tatanan
operasionalnya.
2) Penerapan/implementasi hukum dan kebijakan public.
Menurut Setiono56 pada dasarnya di dalam penerapan hukum
tergantung pada 4 unsur :
a) Unsur hukum
Unsur hukum disini oleh Setiono diartikan sebagai produk atau
kalimat, aturan-aturan hukum. Kalimat-kalimat hukum harus ditata
sedemikian rupa hingga maksud yang diinginkan oleh pembentuk
hukum dapat terealisasikan di lapangan yang luas dengan tetap
mengacu kepada satu pemaknaan hukum. Namun bukan berarti
pemaknaan yang diberikan oleh pembentuk hukum harus
dipaksanakan sedemikian rupa, sehingga di semua tempat harus
direalisasikan sama persis dengan apa yang dimaksud oleh para
pembentuk hukum. Modifikasi-modifikasi oleh penerap hukum
dilapangan diperlukan sebatas semua itu dilakukan untuk menuju
pemaknaan ideal dari aturan hukum yang dimaksud.
54Solichin Abdul Wahab, Loc. Cit, hal 11055 Setiono, Loc. Cit. hal 5 56 Ibid, hal. 4
45
b) Unsur Struktural
Unsur struktural adalah berkaitan dengan lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi yang diperlukan dalam penerapan hukum.
Pentingnya unsur struktural pada penerapan hukum ada dua :
(1) Organisasi atau institusi seperti apa yang tepat untuk
melaksanakan Undang-Undang tertentu.
(2) Bagaimana organisasi itu dapat menjalankan tugasnya
dengan baik.
Berkaitan dengan aspek pemilihan organisasi atau institusi
maka pengambilan keputusan harus ekstra hati-hati untuk memilih
organisasi atau institusi mana yang dianggap relevan dengan
produk hukum yang hendak diterapkan itu. Kemudian berkaitan
dengan aspek bagaimana organisasi yang telah ditunjuk mampu
optimal dalam menjalankan tugasnya, ini berkaitan dengan
manajemen yang ada pada perusahaan. Tidak jarang terjadi
organisasi yang ditunjuk sudah tepat namun kinerja organisasi
sangat lemah dan tidak professional, sehingga tugas-tugas yang
dibebankan tidak dapat dijalankan dengan baik. Kebijakan publik
dalam hal ini lebih berperan dalam bagaimana organisasi atau
instansi pelaksana itu seharusnya ditata dan bertindak agar tugas-
tugas yang dibebankan hukum kepadanya dapat dijalankan dengan
baik. Menunjuk orang yang dipercaya untuk mengendalikan
organisasi tersebut harus dipilih yang mempunyai kemampuan
dalam unsur structural ini lebih dominant berposisi sebagai sebuah
seni, yaitu bagaimana ia mampu melaksanakan kreasi sedemikian
rupa sehingga organisasi dapat tampil dengan baik.
c) Unsur Masyarakat
Unsur ini berkaitan dengan kondisi sosial politik dan sosial
ekonomi dari masyarakat yang akan terkena dampak atas
diterapkannya sebuah aturan hukum. Kondisi masyarakat yang ada
46
harus diselesaikan lebih dahulu demi terselenggara dan lancarnya
penerapan hukum.
d) Unsur budaya
Dalam unsur ini ada dua hal. Pertama : sedapat mungkin
diupayakan bagaimana agar produk hukum atau Undang-Undang
yang dibuat itu dapat sesuai dengan budaya yang ada dalam
masyarakat. Kedua : bagaimana produk hukum yang tidak sesuai
dengan budaya dalam masyarakat dapat diterima masyarakat.
Disinilah kebijakan publik akan sangat berperan. Namun harus
diingat bahwa kebijakan publik yang diambil harus berdasar
hukum dibutuhkan improvisasi dan kreasi.
3) Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi kebijakan publik adalah suatu evaluasi yang akan
menilai apakah kebijakan publik sudah sesuai dengan yang diharapkan
atau belum. Evaluasi kebijakan publik adalah sebagai hakim yang
menentukan kebijakan yang ada telah sukses atau telah gagal mencapai
tujuan. Evaluasi publik juga sebagai dasar apakah kebijakan yang ada
layak diteruskan, direvisi, atau bahkan dihentikan sama sekali.
Evaluasi kebijakan dibedakan dalam 3 (tiga) macam:
a) Evaluasi AdministratifEvaluasi administrative adalah evaluasi kebijakan publik yang dilakukan di dalam lingkup pemerintahan atau instansi-instansi yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah yang terkait dengan program tertentu.
b) Evaluasi yudisialEvaluasi terhadap kebijakan publik yang berkaitan dengan obyek-obyek hukum: apa ada pelanggaran hukum atau tidak dari kebijakan yang dievaluasi tersebut. Yang melakukan evaluasi
47
yudicial adalah lembaga-lembaga hukum seperti pengacara, pengadilan, kejaksaan, PTUN dan sebagainya.
c) Evaluasi PolitikEvaluasi politik pada umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga politik, baik parlemen maupun parpol. Namun sesungguhnya evaluasi politik bisa juga dilakukan oleh masyarakat scara umum.57
Penelitian ini dapat dikatakan mengkaji Implementasi Undang-
Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk pembangunan
demi kepentingan umum. Mengingat evaluasi yang dipergunakan lebih
kepada apa yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo
terkait dalam pengimplementasian Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan tanah Untuk pembangunan demi kepentingan umum
oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo. Seperti halnya pemikiran
Thomas R. DYE tentang kebijakan. Teori Thomas R.DYE dalam
penelitian ini dapat dikatakan menyangkut kepentingan orang banyak.
Sehingga apa yang diperbuat oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Wonsobo
sehubungan dengan kebijakan di bidang pengadaan tanah untuk
pembangunan sudah meupakan suatu kebijakan, Sehingga relevan dengan
pemikiran atau Teori Thomas R. DYE.
Berbicara tentang perspektif kebijakan publik mengarahkan
perhatian, untuk mengkaji proses pembuatan kebijakan (policy making
process) oleh pemerintah (government) atau pemegang kekuasaan dan
dampaknya terhadap masyarakat luas (public). Thomas R. Dye
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “ is whatever government choose
to do or not to do” (Thomas R. Dye dalam Esmi Warasih
Pujirahayu) .secara sederhana pengertian kebijakan publik dirumuskan
dalam kalimat sebagai berikut:58
a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What government do?)b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why government do?)
57Ibid, hal.. 658 Esmi Warassih Pujirahayu, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 8
48
c. Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyatan (what defference it makes?)
Sistem kebijakan publik adalah produk manusia yang subjektif
yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku
kebijakan sekaligus realitas objektif yang diwujudkan dalam tindakan-
tindakan yang dapat diamati akibat-akibat yang ditimbulkannya, setidak-
tidaknya menyangkut tiga hal penting dalam menyusun agenda kebijakan
yaitu :
(1) Membangun persepsi di kalangan stakeholder bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan dianggap sebagai masalah;
(2) Membuat batasan masalah;
(3) Mobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. 59
Ketertiban antara hukum dan kebijakan publik akan semakin
relevan pada saat hukum diimplementasikan. Proses implementasi selalu
melibatkan lingkungan dan kondisi yang berbeda di tiap tempat, karena
memiliki ciri-ciri struktur sosial yang tidak sama. Demikian pula
keterlibatan lembaga di dalam proses implementasi selalu akan bekerja di
dalam konteks sosial tertentu sehingga terjadi hubungan timbal balik yang
dapat saling mempengaruhi.
d. Kebijakan Yuridis Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum merupakan Undang-
Undang yang ditunggu tunggu, peraturan perUndang-Undangan
59 A.G Subarsomo, Evaluasi kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm.11
49
sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang
kehilangan tanahnya. Undang-Undang ini diharapankan pelaksanaannya
dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang yang tanahnya direlakan atau
wajib diserahkan bagi pembangunan. Bagi pemerintah yang memerlukan
tanah, peraturan perUndang-Undangan sebelumnya dipandang masih
menghambat atau kurang untuk memenuhi kelancaran pelaksanaan
pembangunan sesuai rencana.
Ada beberapa Pasal yang perlu mendapat perhatian antara lain:
Bunyi Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 Undang-Undang ini: “Pengadaan
tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti
kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”. Pasal 1 angka 10
menegaskan lagi: “Ganti Kerugian adalah penggantian layak dan adil
kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah”. memang indah
terdengarnya apabila dapat dilaksanakan demikian.
Asas pengadaan tanah yang diatur Pasal 2 lebih indah lagi
menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan,
kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan,
keberlanjutan, dan keselarasan. Dari sekian banyak asas haruslah asas
keadilan diutamakan karena asas ini telah ditegaskan dua kali pada
Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10 Undang-Undang ini. Kalimat:
“Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul
pada peraturan perUndang-Undangan yang mengatur tentang pengadaan
tanah sebelumnya.
Pasal 5 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan
tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. kata wajib
ditegaskan pada Undang-Undang ini. Seharusnya ada keseimbangan
hukum yaitu bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil
dan layak oleh pihak yang berhak.
50
Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai tanah
dilakukan bidang per bidang tanah. Penilaian bidang per bidang tanah ini
dimaksudkan untuk dapatnya memenuhi rasa keadilan, oleh karena pada
bidang tanah yang berdampingan dalam keadaan tertentu yang satu harus
dinilai lebih tinggi sedang yang lain lebih rendah. Dimungkinkan dalam
pelaksanaan suatu bidang setelah pelebaran jalan nilainya akan naik, tetapi
di lain pihak ada suatu bidang tanah habis tidak tersisa atau tersisa sedikit.
Bidang tanah yang karena pelebaran jalan nilainya akan naik, oleh karena
itu nilai ganti ruginya harus lebih rendah daripada bidang tanah yang
tergusur habis.
Diatur pada Pasal 35, apabila dalam hal bidang tanah tertentu
yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat
difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang
Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya.
Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.
Setelah penetapan lokasi pembangunan Pihak yang Berhak hanya
dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang memerlukan
tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk menghindari “calo” dan
spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah muncul pada peraturan
perUndang-Undangan sebelumnya.
Selanjutnya bila kita perhatikan Pasal 41:
Pasal 41
1) Ganti Kerugian diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan
hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dan/atau putusan pengadilan
negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (5).
2) Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima
Ganti Kerugian wajib:
a. melakukan pelepasan hak; dan
51
b. menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek
Pengadaan Tanah kepada instansi yang memerlukan tanah
melalui Lembaga Pertanahan.
3) Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan
satu-satunya alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat
diganggu gugat di kemudian hari.
4) Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian bertanggung jawab
atas Kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan
yang diserahkan.
Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) tersebut di atas yang menyatakan
bahwa Pihak yang Berhak harus menyerahkan bukti penguasaan atau
kepemilikan yang merupakan satu-satunya bukti yang sah menurut
hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari hal ini
mencerminkan Undang-Undang ini represif. Kalimat “tidak dapat
diganggu gugat di kemudian hari “ ini bertentangan dengan fakta
hukum yang sedang berlangsung di Indonesia dalam hal ini Pasal 19
ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria sebagai berikut:
Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.
Bahwa Pasal 19 ayat (2) huruf c. Undang-Undang Pokok
Agrariamenegaskan surat-surat tanda bukti hak sebagai alat
pembuktian yang kuat, dalam hal ini belum sebagai alat pembuktian
yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di Indonesia yang sudah
52
berupa Sertipikat Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di kemudian
hari masih dapat diganggu gugat.
Terhadap kalimat Pasal 41 ayat (3) ini perlu dilakukan
“yudicial review”, dengan menghapus kalimat “tidak dapat diganggu
gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang menerbitkan
sertipikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat itu
tidak dapat digugat di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik
tanah yang tanahnya wajib diserahkan bagi pembangunan untuk
kepentingan umum menjamin sertipikat itu tidak dapat diganggu gugat
di kemudian hari.
Pasal Pasal 43 Undang-Undang ini menyatakan: Pada saat
pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah
dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),
kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi
hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlakudan tanahnya
menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari pihak yang
berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan
keberatan sebagaimana diatur Pasal 43 di atas, menunjukkan
represifnya Undang-Undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak
Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya. Pasal 43 ini jelas tidak
sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang,
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 Undang-
Undang ini sendiri.
5. Teori Hukum Pembangunan
53
Teori hukum pembangunan yang berkembang di Indonesia tak bisa
dilepaskan dari nama Mochtar Kusuma Atmadja. Pengadiannya di kampus
dan di birokrat telah ikut membantu penyebaran pandangan-pandangannya
tentang hukum. Dikenal sebagai pakar hukum internasional, Mochtar
pernah diangkat menjadi Menteri Kehakiman (1974-1978) dan Menteri
Luar Negeri (1978-1988).Gagasan-gagasan Mochtar telah dimasukkan
sebagai materi hukum dalam Pelita I (1970-1975). Pada intinya teori
hukum pembangunan menegaskan hukum harus bisa didayagunakan untuk
kepentingan pembangunan. Pemikiran Mochtar sedikit banyak
mengenalkan mahasiswa hukum di Indonesia dengan sebutan law is a tool
of social engineering.
Pokok-pokok pikiran Mochtar terkait dengan fase kedua dari Teori
Hukum Pembangunan dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a. Filsafat Pancasila digunakan sebagai landasan fundamental untuk
menggantikan posisi teori-teori dari pemikir asing, seperti Northrop,
Pound, Lassswell, dan McDougal yang sebelumnya diakui Mochtar
sempat mempengaruhi pandangannya. Ia mulai menulis dan
menggunakan istilah cita hukum Pancasila, filsafat hukum Pancasila,
dan Negara hukum Pancasila.
b. Mochtar tetap setuju bahwa tujuan utama hukum pada umumnya adalah
ketertiban dan keadilan. Tujuan keadilan ini dikaitkan Mochtar dengan
tujuan hukum dalam suatu Negara hukum Pancasila. Dalam setiap
Negara hukum, kekuasaan diatur dan oleh karena itu, harus pula tunduk
pada hukum. Tujuan keadilan ini mencakup di dalamnya keadilan social
(sila kelima dari Pancasila)
c. Selain itu keadilan sebagai tujuan hukum juga berkaitan dengan
kedudukan dan hak yang sama bagi semua orang di dalam hukum. Hal
ini dapat dihubungkan dengan sila kerakyatan dalam Pancasila (asas
persamaan). Apabila tujuan hukum dalam Negara pancasila pada
54
analisis di atas adalah keadilan social, maka fungsi hukum jadinya
adalah untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita dalam kenyataan.
d. Hukum suatu Negara, bagaimanapun baiknya tujuannya, tidak akan
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat kalau tidak ditegakkan.
Penegakkan hukum dilakukan dalam hal terjadi pelanggaran hukum,
yaitu ketika hukum yang mengatur tidak berhasil atau terganggu dalam
menjalankan fungsinya. Instansi terakhir dalam penegakkan hukum ini
dijalankan oleh hakim. Hakim memeriksa perkara dan memberi
keputusannya berdasarkan hukum dan demi keadilan.
e. Penegakkan hukum tidak hanya menjadi urusan aparat penegak hukum
(polisi, jaksa, atau advokat) melainkan pada instansi terkait terakhir
juga bergantung pada pencari keadilan itu sendiri. Untuk itulah perlu
ditumbuhkan kesadaran bahwa berpekara itu adalah demi menegakkan
hukum dan keadilan, tidak semata-mata demi memenangan perkara.
f. Dalam menumbuhkan kesadaran ini, ada peran etika di dalamnya. Etika
dan hukum sama-sama merupakan kaidah yang mengatur kehidupan
manusia di dalam masyarakat. Etika mengatur tindakan manusia dari
dalam diri manusia tersebut, sedangkan hukum mengatur aspek
tindapan lahiriah manusia dalam masyarakat. Khusus bagi aparat
penegak hukum, etika ini berhubungan dengan etika profesi, yang
dijalankan demi penegakkan Undang-Undang dan hukum, demi
melindungi/membela kepentingan terdakwa atau klien, dan demi
memegang kerahasiaan profesi.
g. Mochtar mengakui ada penekanan tahap pertama pembangunan yang
diberikan pada upaya pelembagaan (institutionalization) pada usaha-
usaha besar pembinaan bangsa (a great nation building effort). Pada
tahap pertama memang tekanan diberikan pada pelembagaan usaha-
usaha atau proses ini, sehingga orang perorangan mungkin terdesak,
namun hal ini tidak berarti individualitas dari orang perorangan tersebut
tidak boleh diberi kesempatan untuk berkembang, mengingat analisis
55
terakhir terhadap satua-satuan masyarakat itu akan berujung pada
individu juga.
h. Persoalan manusia di dalam pembangunan Indonesia tersebut
didasarkan pada asumsi penerimaan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 sebagai suatu kenyataan
dan landasan berpikir dan bertindak manusia Indonesia.
i. Pembangunan manusia Indonesia harus dilakukan dengan prinsip-
prinsip sebagi berikut:
1) Selain percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, juga harus percaya
pada kemampuan diri sendiri dan pada hari dpan Indonesia yang
lebih baik;
2) Sebagai insan politik, harus committed pada sistem politik Negara
yang pada titik puncaknya telah menerima pancasila sebagai asas
tunggal yang cocok bagi bangsa Indonesia; dan
3) Sadar pada hak dan kewajiban, baik sebagai orang perorangan
maupun sebagai anggota masyarakat, sehingga pengertian individu
tidak bisa dilepaskan dari pengertian masyarakat tempat individu
itu mendapat kesempatan berkembang sepenuhnya.
j. Manusia Indonesia “masa kini” yang terlibat dalam pembangunan
tersebut diupayakan agar memiliki karakter sebagai insan modern, yang
mencakup sifat-sifat ideal sebagai berikut:
1) Cermat, sebagai lawan dari kecerobohan dan “asal saja”;
2) Hemat, dalam arti dapat mengatur kekayaannya (termasuk Negara,
pikiran, dan waktu) untuk tujuan-tujuan produktif;
3) Rajin, dalam arti suka bekerja untuk memenangkan persaingan;
4) Jujur, sebagai sifat terpuji yang menjadi keharusan untuk
mendapatkan kepercayaan sebagai modal dalam berusaha, terlepas
dari apakah ada tidaknya anjuran sifat jujur ini dalam agama atau
norma-norma etika;
56
5) Tepat waktu (tepat janji), sebagai sifat untuk menghormati rekan
pergaulan dan hal ini juga menjadi modal dasar yang penting dalam
usaha dana perdagangan;
6) Tegas tetapi bijaksaja, mengingat tegas penting untuk
menghilangkan keragu-raguan pada pihak ketiga dalam
berhubungan dengan kita dan bijaksana perlu karena terkait dengan
pihak ketiga yang menjadi sasaran ketegasan tersebut;
7) Berani tetapi berhati-hati, dalam arti siap menghadapi resiko demi
perubahan dan perbaikan serta berhati-hati agar resiko tersebut
dilandasi perhitungan yang matang;
8) Teguh memegang prinsip (prinsipiil), yakni sifat untuk tidak mudah
goyah atau tergoda melakukan hal-hal yang kurang baik dan
menjerumuskan.60
Mochtar memang belum sempat menuliskan secara detail
perkembangan dari fase pertama pemikirannya tentang Teori Hukum
Pembangunan ini. Cukup banyak prinsip-prinsip pokok dari fase
pertama pemikiran tersbeut yang masih dipertahankan, misalnya,
konsep tentang fungsi hukum sebagai law as a tool of social
engineering, tetap dipertahankan.61
Perhatian Mochtar terhadap hukum kebiasaan juga masih cukup
menonjol. Tampaknya ia melihat hukum kebiasaan ini lebih cocok
dengan kondisi Indonesia dalam iklim globalisasi dewasa ini. Mochtar
memang tidak lari kea rah penekanan hukum adat gaya lama, tetapi
lebih ke konsep hukum adat dalam masyarakat modern Indonesia
sebagaimana dapat di baca dalam tulisan-tulisan M.B.Hooker.62
Dalam pandangan penulis, apa yang disampaikan oleh Mochtar
ini selayaknya direspons secara positif oleh para ahli hukum Indonesia.
Harus diakui bahwa apa yang dulu dikenal sebagai ciri-ciri hukum adat
60 Shidarta, dkk, Mochtar Kusuma Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi. HuMa, Jakarta, 2012, hlm. 124-128
61Ibid, hlm. 29-3062Ibid, hlm. 30
57
di Indonesia, yakni kongkret, kontan, dan komunal, seiring dengan
perjalanan zaman telah mengalami pergeseran-pergeseran tajam. Saat
ini, misalnya, di desa-desa jual beli sepeda motor telah dilakukan
dengan sistem kredit. Sikap-sikap individualistic juga terlihat makin
menonjol. Artinya, temuan-temuan tokoh-tokoh hukum adat tradisional
tersebut perlu dikaji ulang, kendati teori-teori lama ini tetap berguna
sebagai hipotesis.63
Teori Hukum Pembangunan pada fase kedua pemikiran Mochtar
dapat dikatakan telah memberi inspirasi bagi para ahli hukum Indonesia
agar mau menukik kepada pencarian teori dan filsafat hukum Indonesia
yang lebih membumi. Pada fase kedua ini Mochtar telah beranjak dari
seorang pemikir teoretikan menuju pemikir filosofikal. Apabila
seseorang ilmuwan mengambil dasar-dasar filsafat, maka sesungguhnya
ia sedang bergerak menjadi filsuf. Dalam posisi demikian, semua
pikirannya tentang berbagai persoalan (hukum, ekonomi, politik, dan
sebagainya) telah dipengaruhi sudut pandang dari dasar-dasar
filsafatnya itu. Jadi, untuk mendalami filsafat Pancasila versi Mochtar,
sebenarnya tidak cukup hanya menganalisisnya dari sudut filsafat
hukum saja, tetapi juga pandangan-pandangan yang menyeluruh tentang
aspek kehidupan lainnya. Dari sudut ini, maka filsafat Pancasila
(termasuk filsafat hukum Pancasila) ala Mochtar akan berbeda dengan
filsafat Pancasila dari tokoh-tokoh hukum lainnya. Dalam konteks ini,
Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusuma Atmadja bias
didekati pada fase kedua ini dengan menggunakan kerangka berfikir
filsafat Pancasila, sehinggan hasil analisis kita terhadap Teori Hukum
Pembangunan ini bukan tidak mungkin suatu saat akan berkembang
menjadi kajian Filsafat Hukum Pembangunan.64
5. Teori Implementasi
63Ibid, hlm. 3064Ibid, hlm. 30-31
58
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi berarti :65
a. Pelaksanaan yaitu Pelaksanaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan
oleh suatu badan atau wadah secara berencana, teratur dan terarah guna
mencapai tujuan yang diharapkan.
b. Penerapan, Kamus Webster merumuskan secara pendek bahwa to
implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for
carrying out (menimbulkan dampak/ akibat terhadap sesuatu). Kalau
pandangan ini diikuti, maka implementasi kebijaksanaan keputusan
dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanaan keputusan
kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk Undang-Undang, peraturan
pemerintah, keputusan peradilan, pemerintah eksekutif atau dekrit
persiden).
Dalam hubungannya dengan penulisan ini, implementasi diberi
batasan : berlakunya suatu hukum atau peraturan perUndang-
Undangan di dalam masyarakat.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses implementasi adalah
keputusan dasar biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun dapat
pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang
penting atau keputusan badan peradilan. Pada umumnya, keputusan
tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi dengan
menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan
berbagai cara untuk menstruktur atau mengatur proses
implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui beberapa
tahapan tertentu, yang biasanya diawali dengan kebijakan dalam
bentuk kebijakan bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan
pelaksananya.
Memperhatikan pendapat tersebut di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pengertian implementasi adalah suatu proses yang
melibatkan sejumlah sumber-sumber didalamnya termasuk manusia, 65Kanus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2003, hlm 319
59
dana, kemampuan organisional, baik oleh pemerintah maupun oleh
swasta (individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan).
Sebagai suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan, yang
memperhitungkan baik keputusan yang fundamental maupun
keputusan yang inkramental dan memberikan urutan teratas bagi
proses pembuatan kebijakan fundamental yang memberikan arahan
dasar dan proses-proses pembuatan kebijaksanaan dan inkramental
yang melapangkan jalan bagi keputusan-keputusan itu tercapai.66
6. Penelitian yang Relevan.
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah :
a. Penelitian skripsi (2008) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta, oleh Malikhah Rusdiyati dengan judul Pelaksanaan Pengadaan
tanah untuk Pembangunan Pelebaran jalan Perintis Kemerdekaan Jakarta
Utara. Penelitian tersebut membahas masalah hukum yang dihadapi oleh
masyarakat Jakarta Utara sehubungan denganPembangunan Pelebaran jalan
Perintis Kemerdekaan Jakarta Utara.
b. Penelitian Skripsi (2011) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Oleh
Ahmad Akbar Risantyo tentang Prinsip Penghormatan Hakk Atas tanah dalam
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan Tol Solo – Ngawi di Kabupaten
Karanganyar.
Kedua Penelitian tersebut lebih mengarah pada proses pemberian ganti rugi
dalam melindungi Masyarakatnya terhadap masalah hukum yang dihadapi
terkait Pembebasan Tanah.
c. Penelitian Tesis Wahyu Candra Alam (2010), Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tentang
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Kurang dari satu hektar
dan penetapan ganti kerugiannya (Studi Kasus Pelebaran Jalan Gatot
Subroto di Kota Tangerang). Penelitian ini meneliti tentang pelaksanaan
66Ibid, hlm. 193
60
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum yang Luasnya Kurang
Dari Satu Hektar dan Penetapan Ganti Kerugiannya dalam
pembangunan Pelebaran Jalan Gatot Subroto dan pembuatan Over Pass
di Kota Tangerang apakah sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku
dan memenuhi rasa keadilan masyarakat yang terkena pembangunan
tersebut.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian tesis ini meneliti
tentang Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau
dari Teori Hukum Pembangunan dan jugauntuk Mengetahui Permasalahan
yang dihadapi Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Wonosobo dalam
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau
dari Teori Hukum Pembangunan.
E. Kerangka Pemikiran
Betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga diatur dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945
yang manyatakan “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Melalui
hak menguasai dari negara ini maka negara akan dapat senantiasa mengendalikan
atau mengarahkan pengelolaan fungsi tanah sesuai dengan peraturan dan kebijakan
yang ada. Hal ini memberikan hak bagi negara untuk campur tangan, dengan
pengertian bahwa setiap pemegang hak atas tanah tidak akan terlepas dari hak
menguasai negara tersebut, karena kepentingan nasional diatas kepentingan individu
atau kelompok. Atau dengan kata lain, setiap pemegang hak atas tanah tidak boleh
mengabaikan fungsi sosial dari tanah tersebut (Pasal 6 Undang-Undang Pokok
Agraria).
Alur pemikiran Penulis tentang Implementasi Undang-Undang No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum di tinjau
dari Teori Hukum Pembangunan yang terjadia di kantor Pertanahan
61
Kabupaten Wonosobo dapat digambarkan bahwa pengadaan tanah untuk
Pembangunan demi kepentingan umum bermula dari konsep dalam Undang-
Undang Pokok Agrariadan konsep fungsi sosial hak atas tanah. Pasal 6 Undang-
Undang Pokok Agrariamenyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Dari ketentuan tersebut, penggunaan hak tanah tidak hanya
menyangkut kepentingan individu atau golongan pemegang hak atas tanah
tersebut, melainkan harus memperhatikan kepentingan masyarakat luas
(kepentingan umum). Interpretasi asas fungsi sosial hak atas tanah, disamping
mengandung makna bahwa hak atas itu harus digunakan sesuai dengan sifat
dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi
masyarakat, juga berarti bahwa harus terdapat keseimbangan antara
kepentingan perseorangan dan kepentingan umum dengan berdasarkan asas
kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan,
keikutsertaan,kesejahteraan, keberlanjutans serta asas keselarasan.
Dalam hal ini penulis menganalisis penjabaran prinsip penghormatan
hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan
ajaran teori Theo Hujbers, ajaran Michael G. Kitay, pengiterpretasikan
peraturan perUndang-Undangan yang terkait, dan putusan pengadilan serta
mengkaitkan dengan teori-teori, doktrin-doktrin maupun asas-asas yang
berkaitan dengan prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan umum. Prinsip penghormatan hak atas tanah tersebut
dapat tercemin melalui interpretasi konsep kepentingan umum, musyawarah
dalam pelaksanaannya, dan ganti kerugian bagi pemegang hak atas tanah.
Konsep kepentingan umum dalam peraturan perUndang-Undangan di
Indonesia harus dapat menyeimbangkan antara kepentingan umum
(Pemerintah) dengan kepentingan pribadi pemegang hak atas tanah.
Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti kerugian maupun masalah lain yang timbul dari kegiatan
pengadaan tanah tersebut, atas dasar kedudukan yang setara dan sederajad
antara pihak yang membutuhkan tanah dalam hal ini pemerintah dengan
62
pemegang hak atas tanah. Pemberian ganti rugi sebagai penghormatan dari
segi ekonomi dari pemegang hak atas tanah supaya tidak mengalami
kemunduran kondisi ekonomi maupun sosialnya.
Dari analisis konsep kepentingan umum, musyawarah dan pemberian
ganti kerugian pengadaan tanah dalam peraturan perUndang-Undangan di
Indonesia maka dapat ditarik kesimpulan mengenai konstruksi hukum prinsip
penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan
umum.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat membuat suatu
kerangka pemikiran yang diwujudkan dalam skema sebagai berikut :
63
1. Konsep fungsi sosial hak atas tanah
2. Kepentingan umum menurut
3. UUPA (Undang-Undang No.5 Th 1960)
4. Undang-Undang No. 20 Th 1961
5. Undang-UndangNo 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Teori Hukum Pembangunan
Teori Implementasi Hukum
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
64
Prinsip Penghormatan hak atas tanah :
1. Konsep Kepentingan Umum
2. Musyawarah3. Ganti kerugian
Fakta Hukum:Prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk Pembangunan demi kepentingan umum:
Prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan untuk Pembangunan demi kepentingan umum
1. Konsep fungsi sosial hak atas tanah
2. Kepentingan umum menurut
3. UUPA (Undang-Undang No.5 Th 1960)
4. Undang-Undang No. 20 Th 1961
5. Undang-UndangNo 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi
bentuk konkret dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang
tertentu. Metode Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi67.Penelitian hukum dilakukan untuk
mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul dan hasil yang dicapai adalah
untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum
yang diajukan68.Sebelum penulis mengemukakan jenis penelitian yang akan
digunakan, maka terlebih dahulu perlu diuraikan secara singkat mengenai
metode, demikian pula penelitian.
Metode menurut Setiono69 adalah suatu alat untuk mencari jawaban
dari pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alatnya harus
jelas terlebih dahulu apa yang akan dicari. Penelitian dalam penulisan ini
termasuk jenis penelitian hukum sosiologis atau non doktrinal serta di dukung
dengan data sekunder, sedangkan dilihat dari sifatnya termasuk penelitian
yang deskriptif kualitatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan
mendeskripsikan tentang Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan di Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonosobo .
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif, yaitu suatu
tata cara penelitian yang menghasilkan data diskriptif-analitis. Data diskriptif
yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga
67 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 35
68Ibid, hlm. 4169Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta: Program
Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, 2002, hlm. 1
65
perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang
utuh70.
Metode penelitian kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan
manusia dalam kasus-kasus terbatas, kasuistis sifatnya, namun mendalam,
total menyeluruh, dalam arti tidak mengenal pemilihan-pemilihan gejala
secara konseptual ke dalam aspek-aspeknya yang eksklusif (disebut variabel).
Metode kualitatif dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan
masyarakat itu sendiri dan diberi kondisi mereka tanpa diintervensi oleh
peneliti atau naturlistik71
Dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5 (lima)
konsep hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto seperti
dikembangkan oleh Setiono adalah sebagai berikut:72
1. Hukum adalah asas-asas moral atau kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai hukum alam)
2. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif di dalam sistem perUndang-Undangan;
3. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam penyelesaian kasus atau perkara (in concreto) atau apa yang diputuskan oleh hakim;
4. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variable sosial yang empiric ;
5. Manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai hukum yang ada dalam benak manusia).
Penelitian ini mendasarkan pada konsep hukum yang ke-5, yang
menurut Soetandyo Wignjosoebroto, seperti yang dikembangkan oleh
Setiono73 yaitu hukum yang ada dalam benak manusia. Penelitian ini akan
70Soerjono Soekanto, Op.Cit. hlm. 250
71 Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia, Jakarta, 2001, hlm. 54
72Setiono. OP. Cit. hlm. 373 Setiono, Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Program Pascasarjana UNS. 2005, hlm.
7
66
menggali pendapat-pendapat, ide-ide, pikiran-pikiran dari pelaku peristiwa
secara langsung dan mendalam sehingga diperoleh informasi dan data-data
yang akurat, yang penulis perlukan dalam penulisan ini.
Apabila dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk ke dalam
bentuk penelitian evaluatif. Menurut Setiono74, yang dimaksud dengan
penelitian yang berbentuk evaluatif adalah penelitian yang dimaksudkan
untuk menilai program-program yang dijalankan. Penelitian hukum empiris
ini dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam (in depth
interview) dengan para responden dan narasumber yang berkompeten dan
terkait dengan masalah yang diteliti (objek yang diteliti), untuk mendapatkan
data primer dan akan dilakukan pula dengan studi kasus.
B. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu penelitian yang mempelajari
ilmu hukum yang preskriptif yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
hukum75. Tujuan dari penelitian ini untuk mencapai hasil yang memberikan
preskripsi mengenai apa yang seyogyanya mengenai prinsip penghormatan hak
atas tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih oleh penulis adalah :
a. Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
b. Perpustakaan Pascasarjana UNS
c. Perpustakaan Universitas Sebelas Maret
d. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS
74Ibid, hlm. 675 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005,
hlm. 22
67
Alasan pemilihan lokasi adalah:
a. Kasus yang diteliti relatif baru
b. Data tersedia Lengkap dan layak untuk diteliti.
c. Tersedia akses internet
d. Mudah membandingkan literatur yang satu dengan literatur lainnya
D. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Data yang dikumpulkan terutama merupakan data pokok yaitu data yang
paling relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Namun untuk
kelengkapan dan keutuhan dari masalah yang diteliti, maka akan disempurnakan
dengan penggunaan data pelengkap yang berguna untuk melengkapi data pokok
dan data pelengkap tersebut adalah sebagai berikut:
a. Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau data
dasar76. Adapun yang termasuk dalam data primer dalam penelitian ini adalah
pihak-pihak yang terkait dalam pengambilan tentang Pengimplementasian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum
Pembangunandi Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
b. Data sekunder, adalah data yang berasal dari data-data yang sudah tersedia
misalnya, dokumen resmi, surat perjanjian atau buku-buku. Data Sekunder
dapat berupa bahan hukum Primer, Sekunder maupun Tertier77. Adapun yang
termasuk Bahan Hukum Primer dalam penelitian ini meliputi :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria;
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
76 Soerjono Soekanto, Op. Cit. hlm. 1277 Setioo, Op. Cit. hlm. .6
68
5) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
6) Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional
7) Perpres No. 71 Tahun 2012
8) Per.Ka. BPN No. 5 Tahun 2012
9) Permendagri No. 72 Tahun 2012
10) Per.Menkeu No. 13 Tahun 2013
11) Per.Gub. Jateng No. 18 Tahun 2013
12) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Tentang Ketentuan Pelaksanaam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah
13) Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan
14) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan
pertanahan
2. Sumber Data
Sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Sumber Data Primer
Sumber Data Primer adalah sumber data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan yang meliputi keterangan atau data hasil
wawancara kepada pejabat yang berwenang dalam hal
Pengimplementasian Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunandi Kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo. Sumber data primer adalah data atau
keterangan yang diperoleh semua pihak terkait langsung dengan
permasalahan yang menjadi objek penelitian. Dalam hal ini, bertindak
69
sebagai informan adalah pejabat dan staf di lingkungan Kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber Data Sekunder merupakan sumber data yang didapatkan
secara langsung berupa keterangan yang mendukung data primer.
Sumber data sekunder merupakan pendapat para ahli, dokumen-
dokumen, tulisan-tulisan dalam buku ilmiah, dan literatur-literatur yang
mendukung data. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi :
1) Bahan-bahan hukum Primer :
a) Undang-Undang Dasar 1945;
b) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
d) Peraturan pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
e) Peraturan presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional
f) Keputusan Presaiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan
g) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Tentang Ketentuan
Pelaksanaam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah
h) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan
Pengaturan Pertanahan
i) Perpres No. 71 Tahun 2012
j) Per.Ka. BPN No. 5 Tahun 2012
k) Permendagri No. 72 Tahun 2012
l) Per.Menkeu No. 13 Tahun 2013
70
m) Per.Gub. Jateng No. 18 Tahun 2013
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer adalah :
a) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan Kewenangan Pertanahan
di Indonesia;
b) Buku-buku terkait dengan Hukum Agraria
3) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan sekunder,
misalnya :
a) Kamus Besar Bahasa Indonesia
b) Kamus Umum Lengkap Inggris –Indonesia, Indonesia- Inggris
c) Kamus Hukum
E. Teknik Pengumpulan data
Teknik Pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Wawancara
Dalam studi lapangan ini penulis melaksanakan kegiatan wawancara, yaitu
suatu metode pengumpulan data dengan cara mendapatkan keterangan secara lisan
dari seorang responden dengan bercakap-cakap secara langsung. Wawancara ini
bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta
pendapat-pendapat mereka78. Secara umum ada dua jenis teknik wawancara, yaitu
wawancara terpimpin (terstruktur) dan wawancara dengan teknik bebasa (tidak
terstruktur) yang disebut wawancara mendalam (in-depth interviewing)79. Dalama
wawancara ini dilakukan dengan cara mengadakan komunikasi langsung dengan
pihak-pihak yang dapat mendukung diperolehnya data yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti guna memperoleh data baik lisan maupun tulisan atas
sejumlah data yang diperlukan.
78 Burhan Ashofa, Op. Cit. hlm. 9579 HB. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif. UNS Press. Surakarta, 2002, hlm. . 58
71
Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
campuran, dengan menggabungkan metode terpimpin (terstruktur) dengan metode
bebas (tidak terstruktur) dengan cara, penulis membuat pedoman wawancara
dengan pengembagan secara bebas sebanyak mungkin sesuai kebutuhan data yang
ingin diperoleh. Metode wawancara ini dilakukan dalam rangka memperoleh data
primer serta pendapat-pendapat dari para pihak yang berkaitan dengan
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau
dari Teori Hukum Pembangunandi Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
Selain itu juga mempergunakan metode Observasi yaitu dengan cara mengamati
suatu obyek yang diteliti, setelah itu mencatat dan mencocokkan dengan teori agar
tercapai sasaran penelitian. Cara ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan
adanya beberapa hal yang tidak sempat poneliti tanyakan ataupun tidak
terjawabnya pertanyaan pada saat wawancara dilakukan, sehingga peneliti bisa
mendapatkan data yang lengkap. Wawancara dilakaukan kepada Karjono, APtnh
selaku Kepala Seksi Survei Pengukuran dan Pemetaan Tanah Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonosobo serta Santosa, SH. MKn selaku Kepala seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
2. Studi Pustaka
Dalam studi ini penulis mengumpulkan data dengan cara membaca,
memahami dan mengumpulkan bahan-bahan Hukum yang akan diteliti, yaitu
dengan membuat lembar dokumen yang berfungsi untuk mencatat informasi atau
data dari bahan-bahan Hukum yang diteliti yang berkaitan dengan masalah
penelitian yang sudah dirumuskan terhadap:
a. Buku-buku literatur.
b. Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan penelitian
ini.
c. Dokumen
F. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul dengan lengkap dari lapangan harus dianalisis.
Dalam tahap analisis data, data yang telah terkumpul diolah dan dimanfaatkan
sehingga dapat dipergunakan untuk menjawab persoalan penelitian. Analisis data yang
72
dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena data yang diperoleh bukan
angka atau yang akan di-angkakan secara statistik. Menurut Soerjono Soekanto,
analisis data kualitatif adalah suatu cara analisis yang menghasilkan data diskriptif
analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga
perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh80.
Dalam operasionalisasinya, peneliti membatasi permasalahan yang diteliti dan
juga membatasi pada pertanyaan-pertanyaan pokok yang perlu dijawab dalam
penelitian. Dari hasil penelitian tersebut data yang sudah diperoleh disusun sesuai
dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian data tersebut diolah dalam bentuk
sajian data. Setelah pengumpulan data selesai, peneliti melakukan penarikan
kesimpulan atau verifikasi berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data
maupun sajian datanya. Misalnya untuk mengetahui jawaban, tentang bagaimana
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau dari
Teori Hukum Pembangunan di Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo, maka
penulis menanyakan langsung ke pokok permasalahannya. Kemudian dari jawaban
yang diperoleh tersebut diolah menjadi sajian data untuk kemudian dianalisis. Setelah
data tersebut selesai dianalisis kemudian disimpulkan. Apabila di dalam
kesimpulannya dirasa kurang mantap, maka penulis kembali melakukan kegiatan
pengumpulan data yang sudah terfokus dan juga pendalaman data.
Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis interaktif yaitu
model analaisis data yang dilaksanakan dengan menggunakan tiga tahap/komponen
berupa reduksi data, sajian data serta penarikan kesimpulan/verivikasi dalam suatu proses
siklus antara tahap-tahap tersebut sehingga data terkumpul akan berhuibungan satu dengan
lainnya secara oromatis81.
Dalam penelitian ini proses analisis sudah dilakukan sejak proses pengumpulan
data masih berlangsung. Peneliti terus bergerak di antara tiga komponen analisis dengan
proses pengumpulan data selama proses data terus berlangsung. Setelah proses
pengumpulan data selesai, peneliti bergerak diantara tiga komponen analisis dengan
menggunakan waktu penelitian yang masih tersisa..
80Soerjono Soekanto, Op. Cit. hal. 15481 HB. Sutopo, Op. Cit. hlm. 86
73
Agar lebih jelas proses/siklus kegiatan dari analisis tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:82
Gambar : 2
Bagan model analisis data interaktif (Interactive Model Of Analysis)
Ketiga Komponen tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
a. Reduksi data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan di lapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus
bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sampai sesudah penelitian
lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Reduksi data bukanlah
merupakan suatu hal yang terpisah dari analisis dan merupakan bagian dari
analisis.
b. Penyajian Data
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi82Ibid, hlm. 87
74
Pengumpulan Data
( II )
Sajian Data
(I)
Reduksi Data
(III ) Penarikan KKesimpulan/Verifikasi
Dari permulaan pengumpulan data, seorang analis kualitatif mulai
mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan,
konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proposisi. Kesimpulan-
kesimpulan itu akan ditangani dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis,
tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas meningkat lebih
terperinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan-kesimpulan juga di
verifikasi selama penelitian berlangsung. Singkatnya makna-makna yang
muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan
kecocokannya yakni merupakan validitasnya83
Model analisis ini merupakan proses siklus dan interaktif. Seorang
peneliti harus bergerak diantara empat sumbu kumparan itu selama
pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara kegiatan
reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi selama sisa waktu
penelitiannya. Kemudian komponen-komponen yang diperoleh adalah
komponen-komponen yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan
permasalahan yang diteliti. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan
disajikan secara deskriptif yaitu secara apa adanya sesuai dengan
permasalahan yang diteliti dan data-data yang diperoleh.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
83Soerjono Soekanto,, Op. Cit. hal. 18-19
75
1. Tata Cara Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum yang dapat memberikan Perlindungan Hukum
bagi Pemegang Hak Atas Tanah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonosobo, tentu saja berbeda dengan pengadaan barang dan
jasa. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pengadaan Tanah Untuk
pembangunan di Kabupaten Wonosobo mengacu pada ketentuan atau
tata cara yang berlaku. Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan demi
Kepentingan Umum di Kabupaten Wonosobo, salah satunya adalah
Pengadaan tanah Pemerintah daerah untuk Pembangunan sarana
Pendidikan di Wonosobo, berupa kawasan kampus sarana pendidikan di
Kabupaten Wonosobo. Tujuannya adalah :
a. Mendukung peningkatan status sarana pendidikan menjadi Universitas
Negeri.
b. Dengan statusnya yang merupakan Perguruan Tinggi Negeri
diharapkan biayanya relatif lebih murah sehingga terjangkau
masyarakat menengah ke bawah.
Lokasi Pembangunan Sarana Pendidikan di Kabupaten Wonosobo ini
berada di Desa Sidorejo, Kecamatan Selomarto, Kabupaten Wonosobo,
Provinsi Jawa Tengah dengan luas 9 (sembilan) hektar.
Tabel. 1
Luas Penggunaan lahan untuk pembangunan sarana pendidikan di
Kabupaten Wonosobo
KODE UNSUR PENUNJANG LUAS ( M2)
A Ruang kantor Administrasi FTP 500
76
B Gedung Multimedia FTP 1.500
C Rauang Laboratorium FTP 10.000
D Gedung perkuliahan FTP 2.000
E Gedung Serbaguna untuk FTP dan FPT 2.000
F Kebun Praktek/ Percobaan FTP 17.000
G Gedung Perpustakaan untuk FTP dan FPT 1.000
H Ruang Dosen FTP 500
I Sarana Olah Raga Untuk FTP dan FPT 2.000
J Ruang Komputer FTP 500
K Masjid 500
L Lahan parkir untuk FTP dan FPT 10.000
M Jalan dan drainase 12.500
N Ruang Kantor Administrasi FPT 500
O Gedung Multimedia FPT 1.500
P Lahan Laboratorium FPT 10.000
Q Lahan terbuka (Kandang dan Kolam) 15.000
R Gedung Perkuliahan FPT 2.000
S Ruang Dosen FPT 500
T Ruang komputer FPT 500
Jumlah lahan yang dibutuhkan 90.000
Sumber : Dokumen Pelaksanaan Pengadaan Tanah oleh Pemerintah
Kabupaten Wonosobo untuk pembangunan Prasarana
Pendidikan di Desa Sidorejo, Kecamatan Selomerto,
Kabuypaten Wonosobo Tahun 2013.
Tata cara pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan
umum di Kabupaten Wonosobo berdasarkan Undang-UndangNomor 2
Tahun 2012. Kita ketahui bahwa pada tahun 2012 awal bulan Januari,
Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Semula pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur oleh strata
77
perundangan yang lebih rendah yaitu, Keppres 55 tahun 1994, Perpres 36
thn 2005 dan perubahannya, Perpres No. 65 tahn 2006. Terdapat
perbedaan yang cukup mendasar antara ketentuan perundangan yang
lama dan yang baru (Undang-Undang). Perbedaan paling nyata terdapat
pada proses penetapan lokasi hingga pemberian ganti kerugian. Untuk
jelasnya saya uraikan sebagai berikut :
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di
Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo, khususnya pengadaan tanah
untuk pendidikan (kampus) yang terletak di Desa Sidorejo, Kecamatan
Selomarto, Kabupaten Wonosobo terdiri dari tahapan :
a. Perencanaan
Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum menurut ketentuan
peraturan perUndang-Undangan. Perencanaan Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah
dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja
Pemerintah Instansi yang bersangkutan (yang memerlukan tanah).
Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
disusun dalam bentuk dokumen perencanaan Pengadaan Tanah, yang
paling sedikit memuat: maksud dan tujuan rencana pembangunan,
kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana
Pembangunan Nasional dan Daerah, letak tanah, luas tanah yang
dibutuhkan, gambaran umum status tanah, perkiraan waktu
pelaksanaan Pengadaan Tanah, perkiraan jangka waktu pelaksanaan
pembangunan, perkiraan nilai tanah; dan rencana
penganggaran. Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah disusun
berdasarkan studi kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perUndang-Undangan, ditetapkan oleh Instansi
yang memerlukan tanah.diserahkan kepada pemerintah provinsi.
78
b. Persiapan
Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi,
berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan Tanah melaksanakan:
1) pemberitahuan rencana pembangunan
Pemberitahuan rencana pembangunan disampaikan kepada
masyarakat pada rencana lokasi pembangunan untuk Kepentingan
Umum, baik langsung maupun tidak langsung.
2) pendataan awal lokasi rencana pembangunan
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan meliputi kegiatan
pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan
Tanah dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan
awal lokasi rencana pembangunan digunakan sebagai data untuk
pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan.
3) Konsultasi publik rencana pembangunan.
Konsultasi publik rencana pembangunan, dilaksanakan
untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari
pihak yang berhak. Konsultasi publik dilakukan dengan melibatkan
pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta
dilaksanakan di tempat rencana pembangunan kepentingan umum
atau di tempat yang disepakati. Pelibatan pihak yang berhak dapat
dilakukan melalui perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh
pihak yang berhak atas lokasi rencana pembangunan. Kesepakatan
dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan. Atas dasar
kesepakatan , instansi yang memerlukan tanah mengajukan
permohonan penetapan lokasi kepada gubernur. Gubernur
menetapkan lokasi dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan
penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
79
Konsultasi publik rencana pembangunan dilaksanakan
dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. Apabila
sampai dengan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja
pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan terdapat
pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan,
dilaksanakan Konsultasi publik ulang dengan pihak yang keberatan
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.Apabila dalam konsultasi
publik ulang masih terdapat pihak yang keberatan mengenai
rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah
melaporkan keberatan kepada gubernur setempat. Gubernur
membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan rencana
lokasi pembangunan.
Tim terdiri atas:
(a) Sekretaris Daerah Provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai
ketua merangkap anggota;
(b) Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai
sekretaris merangkap anggota;
(c) Instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan
pembangunan daerah sebagai anggota;
(d) Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia sebagai anggota;
(e) Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;
dan
(f) Akademisi sebagai anggota.
Hasil kajian tim berupa rekomendasi diterima atau
ditolaknya keberatan rencana lokasi pembangunan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya
permohonan oleh gubernur. Gubernur, berdasarkan rekomendasi
tim mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas
rencana lokasi pembangunan. Dalam hal ditolaknya keberatan atas
rencana lokasi pembangunan, gubernur menetapkan lokasi
80
pembangunan. Dalam hal diterimanya keberatan atas rencana
lokasi pembangunan, gubernur memberitahukan kepada Instansi
yang memerlukan tanah untuk mengajukan rencana lokasi
pembangunan di tempat lain.
Setelah penetapan lokasi pembangunan masih terdapat
keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan lokasi dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya
penetapan lokasi. Pengadilan Tata Usaha Negara memutus diterima
atau ditolaknya gugatan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak diterimanya gugatan. Pihak yang keberatan
terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi
diterima. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau tidaknya pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Penetapan
lokasi pembangunan untuk kepentingan umum diberikan dalam
waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu)
tahun. Jika dalam jangka waktu penetapan lokasi pembangunan
untuk kepentingan umum tidak terpenuhi, maka penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan proses ulang
terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya.
Setelah penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum ditetapkan, Gubernur bersama instansi yang memerlukan
tanah mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum. Pengumuman dimaksudkan untuk
81
pemberitahuan kepada masyarakat bahwa di lokasi tersebut akan
dilaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Bersamaan
dengan telah diumumkannya penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum, Pihak yang berhak hanya dapat mengalihkan
hak atas tanahnya kepada instansi yang memerlukan tanah melalui
lembaga pertanahan. Beralihnya hak dilakukan dengan
memberikan ganti kerugian yang nilainya ditetapkan saat nilai
pengumuman penetapan lokasi
c. Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum yang telah ditetapkan,, instansi yang memerlukan tanah
mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada lembaga
pertanahan.
Berdasarkan wawancara dengan Santosa, SH. MKn selaku Kepala
seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten
Wonosobo pada tanggal 6 Januari 2015, menyatakan bahwa Pelaksanaan
pengadaan tanah meliputi:
1) inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
2) penilaian ganti kerugian;3) musyawarah penetapan ganti kerugian;4) pemberian ganti kerugian; dan5) pelepasan tanah Instansi.
Kelima hal tersebut di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Inventarisasi dan Identifikasi Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan, serta Pemanfaatan Tanah
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah dilaksanakan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang meliputi kegiatan:
(1) Pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tana.
82
(2) Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan objek pengadaan
tanah.
Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah wajib diumumkan di kantor
desa/kelurahan, kantor kecamata, dan tempat pengadaan tanah
dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
yang dilakukan secara bertahap, parsial, atau keseluruhan.
Pengumuman hasil inventarisasi dan identifikasi meliputi subjek
hak, luas, letak, dan peta bidang tanah objek pengadaan tanah.
Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi, pihak yang
berhak dapat mengajukan keberatan kepada Lembaga Pertanahan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak diumumkan hasil inventarisasi. Apabila keberatan atas hasil
inventarisasi dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
diterimanya pengajuan. Dalam hal masih juga terdapat keberatan
atas hasil inventarisasi inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan. Hasil
pengumuman atau verifikasi dan perbaikan ditetapkan oleh
Lembaga Pertanahan dan selanjutnya menjadi dasar penentuan
pihak yang berhak dalam pemberian ganti kerugian.
b) Penilaian Ganti Kerugian
Lembaga Pertanahan menetapkan penilai sesuai dengan
ketentuan peraturan perUndang-Undangan. Lembaga Pertanahan
mengumumkan penilai yang telah ditetapkan untuk melaksanakan
penilaian objek pengadaan tanah. Penilai yang ditetapkan wajib
bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan dan
apabila terdapat pelanggaran dikenakan sanksi administratif
dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-
Undangan.
83
Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh penilai dilakukan
bidang per bidang tanah, meliputi:
(1) Tanah
(2) Ruang atas tanah dan bawah tanah
(3) Bangunan
(4) Tanaman
(5) Benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau
(6) Kerugian lain yang dapat dinilai.
Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan
nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum. Besarnya nilai ganti kerugian berdasarkan
hasil penilaian Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan
dengan berita acara dan menjadi dasar musyawarah penetapan
ganti kerugian. Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena
Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan
sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, pihak yang berhak
dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
(a) Uang
(b) Tanah pengganti
(c) Permukiman kembali
(d) kepemilikan saham, atau
(e) bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
c) Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian
Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan pihak
yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak hasil penilaian dari penilai disampaikan kepada Lembaga
Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian. Berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian. Hasil
kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti
84
kerugian kepada pihak yang berhak yang dimuat dalam berita
acara kesepakatan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat
mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam
waktu paling lama 14(empat belas) hari kerja setelah musyawarah
penetapan ganti kerugian. Pengadilan Negeri memutus bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan.
Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan
kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah
Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan
Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian
kepada pihak yang mengajukan keberatan. Dalam hal Pihak yang
Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, tetapi
tidak mengajukan keberatan dalam waktu tersebut, pihak yang
berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian.
d) Pemberian Ganti Kerugian
Pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah
diberikan langsung kepada pihak yang perhak. Ganti kerugian
diberikan kepada pihak yang berhak berdasarkan hasil penilaian
yang ditetapkan dalam musyawarah dan/atau putusan Pengadilan
Negeri/Mahkamah Agung. Pada saat pemberian Ganti Kerugian
Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib:
(1) Melakukan pelepasan hak dan
85
(2) Menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek
pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah
melalui Lembaga Pertanahan.
Bukti yang dimaksud merupakan satu-satunya alat bukti yang
sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat dikemudian
hari. Pihak yang berhak menerima ganti kerugian bertanggung
jawab atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau
kepemilikan yang diserahkan.Tuntutan pihak lain atas objek
pengadaan tanah yang telah diserahkan kepada Instansi yang
memerlukan tanah menjadi tanggung jawab pihak yang berhak
menerima ganti kerugian.
Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau
putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung, Ganti Kerugian
dititipkan di Pengadilan Negeri setempat.
Penitipan ganti kerugian Di Pengadilan Negeri juga dapat
dilakukan terhadap:
(1) Pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui
keberadaannya, atau
(2) Objek pengadaan tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
(a) Sedang menjadi objek perkara di pengadilan
(b) Masih dipersengketakan kepemilikannya
(c) diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang, atau
(d) menjadi jaminan di bank.
Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan
Hak telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah
dititipkan di Pengadilan Negeri, kepemilikan atau Hak Atas Tanah
dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya
dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara.
86
e) Pelepasan Tanah Instansi
Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang dimiliki pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perUndang-Undangan yang mengatur pengelolaan
barang milik negara/daerah. Pelepasan objek pengadaan tanah
untuk kepentingan umum yang dikuasai oleh pemerintah atau
dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha
Milik Daerah dilakukan berdasarkan Undang-Undang NO. 2
Tahun 2012.
Pelepasan Objek Pengadaan Tanah dilakukan oleh pejabat
yang berwenang atau pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan
untuk itu. Pelepasan objek pengadaan tanah tidak diberikan Ganti
Kerugian, kecuali:
a) Objek pengadaan tanah yang telah berdiri bangunan yang
dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan;
b) Objek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
c) Objek pengadaan tanah kas desa.
Ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan dalam
bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi. Pelepasan objek
pengadaan tanah dilaksanakan paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja sejak penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum. Apabila pelepasan objek pengadaan tanah belum selesai
dalam waktu tersebut, dinyatakan telah dilepaskan dan menjadi
tanah negara dan dapat langsung digunakan untuk pembangunan
bagi kepentingan umum.
d. Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah
Lembaga Pertanahan menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada
Instansi yang memerlukan tanah setelah:
87
1) Pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak dan
pelepasan hak dilaksanakan; dan/atau
2) Pemberian ganti kerugian telah dititipkan di Pengadilan
Negeri.
Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan
kegiatan pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil
pengadaan tanah. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
karena keadaan mendesak akibat bencana alam, perang, konflik
sosial yang meluas, dan wabah penyakit dapat langsung
dilaksanakan pembangunannya setelah dilakukan penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum.Sebelum penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum terlebih dahulu
disampaikan pemberitahuan kepada pihak yang berhak. Dalam hal
terdapat keberatan atau gugatan atas pelaksanaan pengadaan tanah,
Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat melaksanakan
kegiatan pembangunan. Instansi yang memperoleh tanah wajib
mendaftarkan tanah yang telah diperoleh sesuai dengan ketentuan
peraturan perUndang-Undangan.
e. Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilakukan oleh Pemerintah. Pemantauan dan
evaluasi hasil penyerahan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang telah diperoleh, dilakukan oleh Lembaga Pertanahan.
Kesemuanya tersebut juga diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 72 Tahun 2012. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.
Perpres ini mengatur tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan
pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil. Hal ini merupakan
amanat dari pelaksanaan amanat Pasal 53 dan Pasal 59 Undang-
88
UndangNomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Hal-hal pokok yang diatur dalam Perpres tersebut, antara
lain:
Keharusan setiap instansi yang memerlukan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, untuk menyusun dokumen
perencanaan pengadaan tanah, yang antara lain memuat tujuan rencana
pembangunan, kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah
(RTRW), letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan, gambaran umum
status tanah, dan perkiraan nilai tanah, dan untuk selanjutnya diserahkan
kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak tanah berada;
1) Pembentukan Tim Persiapan oleh Gubernur, yang
beranggotakan Bupati/Walikota, SKPD Provinsi terkait,
instansi yang memerlukan tanah dan instansi terkait lainnya,
untuk antara lain melaksanakan pemberitahuan rencana
pembangunan, melakukan pendataan awal lokasi rencana
pembangunan, dan melaksanakan konsultasi publik rencana
pembangunan;
2) Ketentuan dan tata cara pelaksanaan konsultasi publik oleh
Tim Persiapan dengan melibatkan pihak yang berhak dan
masyarakat yang terkena dampak pembangunan secara
langsung, untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana
pembangunan;
3) Keharusan bagi Gubernur untuk membentuk Tim Kajian
Keberatan sebelum mengeluarkan penetapan lokasi
pembangunan, dalam hal masih terdapat pihak yang tidak
sepakat atau keberatan atas lokasi rencana pembangunan;
4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah oleh
Kepala BPN, yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh Kepala
Kantor Wilayah BPN selaku Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah (dengan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi
89
geografis dan sumber daya manusia, dapat didelegasikan
kepada Kepala Kantor Pertanahan);
5) Ketentuan dan tata cara pelaksanaan pengadaan tanah oleh
pelaksana pengadaan tanah, meliputi antara lain inventarisasi
dan identifikasi data fisik penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah serta data pihak yang berhak termasuk
obyek pengadaan tanah; penyusunan Peta Bidang Tanah dan
daftar nominatif; penetapan besarnya nilai ganti kerugian yang
didasarkan pada hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik;
pelaksanaan musyawarah; dan pemberian ganti kerugian;
pelepasan hak obyek pengadaan tanah; serta penyerahan hasil
pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah;
6) Pengaturan pemberian ganti kerugian yang dapat diberikan
dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali,
kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui kedua
belah pihak, baik berdiri sendiri maupun gabungan dari
beberapa bentuk ganti kerugian tersebut (namun demikian
dalam musyawarah, pelaksana pengadaan tanah
mengutamakan pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang);
7) Pengaturan ganti kerugian dalam keadaan khusus, yaitu
meliputi pengaturan dimana sejak ditetapkannya lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum, Pihak yang berhak
hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada pelaksana
pengadaan tanah; dan ketentuan bahwa pelaksana pengadaan
tanah dapat memprioritaskan atau mendahulukan pemberian
ganti kerugian kepada pihak yang berhak yang membutuhkan
pemberian ganti kerugian dalam keadaan mendesak, maksimal
25% dari perkiraan ganti kerugian berdasarkan NJOP tahun
sebelumnya;
8) Syarat dan ketentuan penitipan ganti kerugian di pengadilan
negeri, yaitu dalam hal adanya penolakan dari pihak yang
90
berhak, padahal hasil musyawarah yang telah dilaksanakan,
tidak ada keberatan sebelumnya; pihak yang berhak tidak
diketahui keberadaannya; dan obyek pengadaan tanah menjadi
obyek perkara di Pengadilan, masih disengketakan
kepemilikannya, diletakkan sita, atau menjadi jaminan bank;
9) Penegasan bahwa obyek pengadaan tanah yang telah dititipkan
di Pengadilan Negeri dan obyek tanah yang telah diberikan
ganti kerugian, maka hubungan hukum antara pihak yang
berhak dengan tanahnya menjadi putus;
10) Pengaturan sumber pendanaan pengadaan tanah yang berasal
dari APBN dan/atau APBD;
11) Ketentuan yang memungkinkan pemberian insentif perpajakan
kepada pihak yang berhak, yang mendukung penyelenggaraan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,
dan tidak melakukan gugatan atas putusan penetapan lokasi
dan putusan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian.
12) Pengaturan kembali bahwa pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1 hektar,
dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah
dengan pihak yang berhak, dengan cara jual beli atau tukar
menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
Selain pengaturan pokok di atas, Perpres ini juga mengatur
durasi waktu setiap tahapan dalam proses pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum secara tegas dan konkrit.
Dalam Perpres itu ditegaskan, bahwa durasi waktu keseluruhan
penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan umum
paling lama (maksimal) 583 hari.
f. Sumber dana Pengadaan Tanah
91
Dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan demi
kepentingan umum di Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo
tidak terlepas adanya pendanaan. Berdassaarkan wawancara
dengan Santosa, SH. MKn selaku Kepala seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo. Pada
tanggal 12 Januari 2015 menyatakan bahwa :
“Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.
Dana pengadaan tanah yang dimaksud meliputi dana:
1) Perencanaa
2) Persiapan
3) Pelaksanaan
4) Penyerahan hasil
5) Administrasi dan pengelolaan; dan
6) Sosialisasi.
Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
oleh Instansi dan dituangkan dalam dokumen penganggaran
sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan.
g. Perlindungan Hukum
Dalam hal pemberina perlindungan hukum kepada pemegang hak
atas tanah ada beberapa hak yang diberikan kepada memegang hak
atas tanah, khususnya masyarakat yang tekena pembebasan lahan
yang diperuntukkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Hal ini penting agar masyarakat yang terkena penggusuran
mengetahui dan mendapatkan hak-haknya serta perlindungan
hukumnya. Dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, pihak yang
berhak mempunyai hak:
1) Mengetahui rencana penyelenggaraan pengadaan tanah; dan
2) Memperoleh informasi mengenai pengadaan tanah.
Dalam penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum, setiap orang wajib mematuhi ketentuan pengadaan tanah
92
bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam
penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
masyarakat dapat berperan serta, antara lain:
(a) Memberikan masukan secara lisan atau tertulis mengenai
pengadaan tanah; dan
(b) Memberikan dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan
tanah.
Dengan demikian Proses pengadaan Tanmah demi
kepentingan umum terkait pembangunan sarana pendidikan
(kampus) dapat berjalan dengan baik dan masyarakat merasa
terlindungi hak-haknya secara hukum.
.
2. Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
Dalam hal Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan dari hasil penelitian
dapat dijelaskan bahwa :
Teori Hukum Pembangunan tidak terlepas adanya fungsi dan peranan
hukum dalam pembangunan nasional, semua masyarakat yang sedang
membangun selalu dicirikan oleh perubahan dan hukum berfungsi agar
dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi secara teratur yang dapat
dibantu oleh perUndang-Undangan atau keputusan pengadilan atau
kombinasi keduanya. Hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang
tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law)
dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Sungguh
ideal, akan tetapi Teori Hukum Pembangunan justru dalam praktik
pembentukan hukum dan penegakan hukum masih mengalami hambatan-
93
hambatan yang dikarenakan sukarnya menentukan tujuan dari
perkembangan hukum (pembaruan), sedikitnya data empiris yang dapat
digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif, dan
sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur
berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum. Yang lebih parah lagi,
adanya upaya destruktif pengambil kebijakan yang kerap memanfaatkan
celah untuk menggunakan hukum sekedar sebagai alat dengan tujuan
memperkuat dan mendahulukan kepentingan kekuasaan daripada
kepentingan dan manfaat bagi masyarakat.
Pengadaan tanah Untuk Pembangunan demi kepentingan Umum
dalam pengadaan tanah untuk sarana pendidikan di Kabupaten
Wonosobo mengacu pada Undang-Undang No. 2 tahun 2012 Usaha
kegiatan yang dilakukan yang menimbulkan dampak besar dan penting
adalah pada tahap sosialisasi dan pembebasan lahan. Usaha yang
dilakukan antara lain :
a. Sosialisasi.
Sosialisasi merupakan upaya pengenalan kepada masyarakat tentang
kegiatan pengadaan tanah Pemerintah daerah untuk pembangunan
Sarana Pendidikan di Kabupaten Wonosobo. hal ii penting dilakukan
agar supaya secara dini masyarakat telah mengetahuinya, sehingga
kegiatan-keegiatan yang hendak dilakukan oleh proyek mendapat
respon yang positif dari masyarakat serta dapat berjalan dengan wajar
dan lancar. Sosialisasi yang dilakuan dalam pengadaan tanah untuk
sarana pendidikan di Kabupaten Wonosobo dengan cara :
1) Pemasaangan papan pengumuman di lokasi calon kampus.
2) Pemasangan pengumuman melalui spanduk, ditempatkan pada ruas
jalan yang relatif banyak dilewati orang
3) tatap muka langsung dengan masyarakat dengan cara
mengumpulkan warga masyarakat, khususnya mereka yang
lahannya dibutuhkan untuk pembangunan
94
4) Menginformsikan melalui perangkat desa untuk disampaikan
kepada warga masyarakat.
Sasaran sosialisasi pada kegiatan pengadaan tanah pemerintah
Daerah untuk pembangunan Sarana Pendidikan di Kabupaten
Wonosobo adalah masyarakat di Desa Sidorejo Kecamatan Selomarto.
Kegioatan sosialisasi ini akan menimbulkan damapak terjadinya
persepsi dan sikap masyarakat yang terpolarisasi di desa tersebut.
Tentu ada sebagaian warga masyarakat yang sangat antusias terhadap
kegiatan ini, sementara ada juga yang merasa khawatir.
Antusias masyarakat timbul karena adanya harapan bisa
memperoleh manfaat dari adanya kegiatan pengadaan tanah
Pemerintah daerah untuk pembangunan saran Pendidikan di
Wonosobo, seperti mendapatkan pekerjaan di kampus, atau adanya
dampak pembangunan kampus yang meningkatkan pendapatan
melalui penyediaan kos, mendirikan kantin, membuka usaha fotocopy.
Adapun kekhawatiran bisa timbul karena takut ada penggusuran, ada
pemaksaan jual tanah dengan harga rendah, atau pengaruh khodupan
mahasiswa yang dinilai negatif.
b. Pembebasan Lahan
Pembebasan lahan pada kegiatan pengadaan tanah pemerintah Daerah
untuk pembangunan Sarana Pendidikan di kabupaten Wonosobo
digunakan untuk pembangunan kampus yang memerlukan lahan
seluas 90.000 m2 atau 9 Ha.
Pembebasan lahan berdampak pada alih fungsi lahan serta
kemungkinan timbul gangguan ketertiban dan keamanan. Alih fungsi
lahan terjadi dari lahan tegalan menjadi kawasan kampus sarana
pendidian di Kabupaten Wonosobo. Selain alih fungsi lahan dampak
selanjutnya adalah pengurangan luas lahan untuk usaha tani yang
bersifat permanen.
Sementara uang ganti lahan yang dibebaskan sering kali
digunakan untuk membeli barang-barang konsumtif maupun barang
95
mewah yang dapat mengakibatkan rasa irihati orang-orang
disekitarnya. Bahkan tidak jarang mereka menjadi sasaran pencurian,
perampokan, sehingga ketertiban dan keamanan yang semula tenang
menjadi terusik.
c. Pemasangan Patok Batas Lokasi Kampus
Luas lahan yang dibebaskan untuk pembangunan kampus Sarana
Pendidikan di Kabupaten Wonosobo mencapai 9 Ha. Pada lahan
peruntukan kampus ini perlu dibuat batas lokasi dengan lahan milik
pihak lain. Dengan membuat pagar keliling disamping dengan
membuat patok batas lokasi kampus.
d. Pengaturan Pemanfaatan lahan
Lahan peruntukan pembangunan sarana pendidkan di Wonosobo
mencapai ( Ha. Lahan seluas itu tidak serta merta dibangun kampus
sekaligus, sehingga masih tersisa lahan yang belum dibangun. Agar
terhindar dari lahana tidur, lahan tersebut tetap digarap dengan model
kemitraan yaitu melibatkan petani di sekitar lokasi kampus.
3. Permasalahan yang dihadapi Kantor Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Wonosobo dalam Pengimplementasian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
Sekarang ini tanah menjadi suatu barang yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi, khususnya yang berada dikawasan strategis.
Mengetahui hal itu seseorang akan rela mempertahankan tanahnya secara
mati-matian jika hak kepemilikan tanahnya direbut oleh orang lain.
Berbagai macam cara akan ditempuh sebagian orang untuk
mempertahankan kepemilikan tanahnya. Padahal sesuai dengan Undang-
Undang Pokok Agraria tanah mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata
96
untuk kepentinggan pribadinya, apalagi jika hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat
Pembangunan infrastruktur seperti : jalan, pembangkit tenaga listrik berperan sangat penting dalam menunjang berkembangnya perekonomian suatu bangsa. Tanpa adanya fasilitas tersebut gerakan ekonomi akan sangat lambat. Akan tetapi, tanah yang merupakan suatu wadah bagi pembangunan telah banyak dilekati dengan hak (tanah hak) ,sementara tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya. Untuk itu, sebagai salah satu solusi dari masalah tersebut adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah.
Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Sedangkan kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum seringkali terhambat pada proses pengadaan tanah.
Menurut Karjono, APtnh selaku Kepala Seksi Survei Pengukuran
dan Pemetaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo dalam wawancara tanggal 12 Januari 2015 menyatakan bahwa :
“ada 2 (dua) kendala yang terdapat dalam pelaksanaan pengadaan tanah yaitu faktor psikologis masyarakat dan faktor dana, selama ini sering menjadi masalah dalam pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak lebih dikarenakan oleh faktor dana daripada faktor psikologis masyarakat. Ini terbukti bahwa selama ini yang menjadi
97
permasalahan dalam pengadaan tanah bukan mengenai ada-tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum, melainkan karena para pemilik tanah menganggap bahwa ganti-rugi yang ditawarkan tidak sesuai dengan harga pasar setempat”.
Selama ini terhambatnya pelaksanaan pengadaan tanah pada
umumnya disebabkan oleh ketidaksesuaian harga yang ditetapkan
pemerintah dengan harga yang dikehendaki oleh masyarakat. Masyarakat
selaku pemilik tanah biasanya menolak harga dari pemerintah yang
menurut mereka terlalu murah. Mereka akan mematok harga lebih tinggi
dari harga pasar atau paling tidak sesuai dengan harga pasar, bahkan ada
masyarakat yang menetapkan harga ganti rugi itu didasarkan pada harga
sekian tahun kedepan atau setelah tanahnya dibebaskan dan telah
dijadikan sarana umum.
Pemerintah dalam menetapkan besarnya ganti rugi selama ini
hanya menghitung pada aspek fisik saja. Besarnya ganti rugi seharusnya
juga memperhitungkan aspek non fisik terhadap warga yang terkena
dampak dari pembangunan tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 65 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (11).
Karjono, APtnh selaku Kepala Seksi Survei Pengukuran dan
Pemetaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo Boedi Harsono
menambahkan bahwa :
“kebijakan mengenai pemberian ganti rugi sebenarnya tidaklah terbatas pada penggantian nilai tanah, bangunan, dan tanam-tanaman, tetapi juga meliputi penilaian kerugian yang bersifat immaterial dan kerugian yang timbul, seperti kegiatan usahanya, akibat perpindahan ke tempat lain, jumlah pelanggan dan keuntungan yang berkurang”.
Sering juga memperkeruh masalah dalam proses pengadaan
tanah adalah adanya campur tangan pihak-pihak tertentu yang ingin
mendapatkan keuntungan pribadi dengan memanas-manasi masyarakat
untuk meminta harga yang sangat tinggi/ tidak wajar, yang
mengakibatkan pembangunan terhambat karena penyelesaian menjadi
berlarut-larut dan berkepanjangan. Pihak ini bisa saja dari warga yang
tidak mau diganti rugi dan mempengaruhi warga yang lain agar menolak
98
harga ganti rugi dari pemerintah. Dan tak jarang pula kondisi tersebut
memicu suatu benturan antar warga.
Sejak berlakunya Keppres Nomor 34 tahun 2003 maka
penanganan permasalahan pengadaan tanah termasuk kegiatan
pengadaan tanah lebih banyak dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
Dari 10 Kota/Kab yang menjadi sample, hanya kota Surabaya dan
Sidoarjo yang masih tetap eksis melaksanakan kegiatan tersebut dengan
adanya surat dari Walikota/Bupati yang isinya tetap menyerahkan
pelaksanaannya pada BPN terutama dari segi administrasi.
Peran Pemda dalam kegiatan Pengadaan Tanah cukup tinggi, seperti :
a. melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat sebelum
kegiatan dilaksanakan,
b. melakukan inventarisasi tanah yang akan terkena kegiatan,
c. memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya
kegiatan pengadaan tanah tersebut untuk dilaksanakan melalui
pertemuan dengan masyarakat,
d. mengadakan rapat dikecamatan, dan
e. menfasilitasi rapat koordinasi dengan instansi terkait pelaksanaan
pengadaan tanah tersebut.
Akibat adanya Keppres tersebut maka segala administrasi yang
berkaitan dengan pengadaan tanah dilaksanakan oleh Pemda, BPN sama
sekali tidak memiliki arsip mengenai kegiatan pengadaan tanah yang ada
di wilayahnya karena semua arsip ada di Pemerintah Daerah.
Kelemahannya jika terjadi permasalahan BPN kesulitan untuk membantu
menanganinya.
Peran BPN saat ini dalam kegiatan pengadaan tanah dapat
dikatakan hanya membantu Pemda melaksanakan berbagai kegiatan
pengadaan tanah seperti sosialisasi, penyuluhan dan mediasi dengan para
pihak jika terjadi permsalahan, BPN hanya memberikan saran atau
masukan dalam pelaksanaan atau dalam rapat koordinasi.
BPN tetap berperan terutama dalam penelitian data administrasi dan
99
peninjauan lapangan, dan dalam kepanitiaan Wakil Ketua II dipegang
Kakan Pertanahan dan Sekretaris II ada pada BPN.
Selain itu keberhasilan suatu kegiatan pengadaan tanah juga
ditentukan oleh penyuluhan yang dilakukan apakah dapat memberikan
pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya pembangunan
yang akan dilaksanakan.
Pelaksanaan penyuluhan sebelum dilaksanakannya kegiatan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
frekwensinya berkisar rata-rata 3 x di setiap daerah, yang menjadi
pelaksana dari setiap kegiatan penyuluhan adalah Pemerintah daerah dan
instansi yang terkait dan masuk dalam kepanitiaan Pengadaan Tanah.
Dan lokasi penyuluhan pada umumnya dilakukan dilokasi pengadaan
tanah atau di kantor Desa tempat dilaksanakannya kegiatan pengadaan
tanah.
Pengumuman dilaksanakan di Kantor Pertanahan Kabupaten/kota,
kantor camat dan kantor Kelurahan/Desa setempat selama 1 bulan. Jika
ada keberatan yang diajukan dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan itu,
yang oleh Panitia dianggap beralasan, maka Panitia mengadakan
perubahan terhadap daftar dan peta tersebut.
Dari hasil penelitian ini diperoleh data penentuan bentuk dan
besarnya ganti rugi melalui musyawarah antara instansi pengguna tanah
dan masyarakat pemilik tanah yang difasilitasi oleh panitia dilakukan
secara langsung kepada pemilik tanah dengan frekwensi pada umumnya
berjalan 1-3 x pertemuan, bahkan ada yang 2 x musyawarah sudah
tercapai kesepakatan.
Hanya saja proses musyawarah yang terjadi tidak ada komunikasi
dua arah, Pemerintah sudah menetapkan harga atau biaya ganti rugi yang
akan diberikan, dan masyarakat harus bisa menerima harga ganti rugi
yang ditawarkan itu. Sehingga musyawarah yang dilaksanakan selama ini
terkesan hanya merupakan mekanisme formal saja, dilaksanakan namun
100
kurang memperhatikan aspirasi pemilik tanah sehingga akhirnya setelah
kegiatan berjalan muncul keberatan dari pemilik tanah.
Adapun Jangka waktu musyawarah dalam Keppres Nomor 55
tahun 1993 tidak ditetapkan, hal ini berbeda dengan Peraturan Presiden
Nomor 36 tahun 2005 yang menetapkan jangka waktu 90 hari dan
Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 yang menetapkan jangka waktu
musyawarah lebih lama yaitu 120 hari.
Selain itu mekanisme pembayaran ganti rugi kepada pemilik tanah
yang diperoleh dalam penelitian ini bervariasi, sebagian besar responden
(60 %) menyatakan pembayaran ganti rugi selama ini melalui
bank/panitia, sisanya menggunakan pembayaran langsung dengan
menerima cek cash dari pimpro. Dalam penetapan ganti rugi selama ini
yang menjadi dasar penetapan adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
tahun berjalan dan harga pasar, hal ini sejalan dengan peraturan yang
digunakan pada waktu pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah yaitu
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 dan peraturan pelaksananya
PMNA Nomor 1 tahun 1994.
Yang sering menjadi persoalan manakala pemegang hak atas tanah
menuntut besarnya ganti rugi atas berdasarkan harga pasar karena hal ini
dinilai layak olehnya, sedangkan Pemerintah atau pemerintah daerah
yang memerlukan tanah menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah
berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Pajak Bumi Dan Bangunan
(PBB) tahun terakhir karena hal ini sesuai dengan pasal 15 ayat 1 Perpres
Nomor 36 tahun 2005. Kalau dasar perhitungan ganti rugi atas tanah
didasarkan atas NJOP PBB tahun terakhir, maka hal ini kurang
memberikan penghargaan terhadap hak atas tanah karena NJOP PBB
sangat jauh dari harga pasar.
Ada perangkat baru yang tugasnya membantu Panitia Pengadaan
Tanah dalam menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yaitu
Lembaga/Tim Penilai harga tanah. Dalam pasal 1 angka 12 Perpres
Nomor 36 tahun 2005 dinyatakan bahwa Lembaga/Tim Penilai harga
101
tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan independen untuk
menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna
mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi.
Panitia Pengadaan Tanah dalam kegiatan pengadaan tanah jika
terjadi permasalahan antara para pihak mengenai besaran ganti rugi kalau
diperlukan menjadi mediator para pihak yang bersengketa (50 %),
sisanya menyatakan selalu menjadi mediator jika terjadi permasalahan.
Sebagai mediator, keputusan yang ditetapkannya adalah keputusan
sebagai pihak ketiga yang sifatnya hanya membantu terwujudnya
kesepakatan diantara para pihak. Bagi mediator tidak ada kewenangan
untuk memaksakan keputusannya agar dipatuhi oleh para pihak yang
dibantunya.
Adapun yang menjadi Kendala Panitia Pengadaan Tanah dalam
pelaksanaan tugas, adalah :
a. Norma/peraturan :
1) petunjuk pelaksanaan kurang lengkap
2) berbenturan dengan hak ulayat
b. Personil :kurang memadai, kurang keahlian
c. Sarana/Prasarana/peta: tidak memadai
d. Pembiayaan : tidak memadai, belum mendukung, terbentur anggaran
belanja daerah
B. Pembahasan
1. Tata Cara Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum yang dapat Memberikan Perlindungan Hukum
bagi Pemegang Hak Atas Tanah.
Prosedur pengadaan tanah yang ada pada Undang-Undang ini
adalah hanya untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Hal
tersebut sudah disebutkan secara limitatif dalam Undang-Undangini.
Diluar dari yang disebutkan oleh Undang-Undangini tidak dapat
102
dilaksanakan menurut Undang-Undangini, namun dilaksanakan menurut
peraturan perUndang-Undangan lainnya.
Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum di
Kabupaten Wonosobodiketuai oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
yang diangkat oleh Kepala Kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Jawa tengah dengan mempertimbangkan efisiensi, efektifitas,
kondisi geografis dan sumber daya manusia. Kepala Kantor pertanahan
Kabupaten sebagai ketua Pelaksana Pengadaan Tanah betugas
melaksanakan tahapan pelaksanaan pengadaan tanah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan :
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum;
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum;
3. Peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 2012 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan
tanah;
4. Dokumen pengadaan tanah berdasarkan kepada keputusan Gubernur
Jawa tengah tentang penetapan lokasi pengadaan tanah untuk
pembangunan;
5. Ketentuan lain yang terkait dengan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum.
Dokumen tanahapan pelaksanaan pengadaan tanah dalam pembangunan
Kampus di Kabupaten Wonosobo antara lain meliputi :
a. Penyiapan pelaksanaan;
b. Inventarisasi dan identifikasi;
c. Penetapan penilai;
d. Musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian;
e. Pemberian ganti kerugian;
f. Pemberian ganti kerugian dalam keadaan khusus;
103
g. Penitipan ganti kerugian;
h. Pelepasan obyek pengadaan tanah;
i. Pemutusan hubungan hokum antara pihak yang berhak dengan objek
pengadaan tanah;
j. Pendokumentasi peta bidang, daftar nominative dan data administrasi
pengadaan tanah; dan
k. Penyerahan hasil pengadaan tanah.
Kepala kantor pertanahan kabupaten sebagai Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah akan melaporka pelaksanaan pengadaan tanah kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui kepala
kantor wilayah badan pertanahan nasional profinsi Jawa Tengah.
Menyangkut biaya pelaksanaan pengadaan tanah dibebankan pada
anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) kabupaten.
Instansi yang terlibat dalam penyediaan tanah serta kapasitas
kewenangan dalam menentukan kebijakan antara lain adalah :
a. Prasjatakim/Bapeda berwenang dalam hal tata ruang.
b. Instansi yang memerlukan tanah berwewenang dalam hal penyiapan
dokumen.
c. Kehutanan berwenang dalam kawasan hutan
d. BPN berwewenang dalam pertimbangan teknis pertanahan dalam
pelaksanaan pengadaan tanah.
e. Gubernur berwewenang dalam penetapan lokasi.
f. Bupati/walikota terkait apabila penetapan lokasi didelegasikn oleh
Gubernur.
Penetapan lokasi adalah penetapan atas lokasi pembangunan
untuk kepentingan umum yang ditetapkan dengan keputusan Gubernur,
yang dipergunakan sebagai izin untuk pengadaan tanah, perubahan
penggunaan tanah, dan peralihan hak atas tanah dalam pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Persyaratan dalam permohonan penetapan lokasi pembangunan:
1. Surat permohonan dari instansi yang memerlukan tanah
104
2. Dokumen perencanaan
3. Surat rekomendasi dari instansi yang berwewenang atas kesesuaian
RT,RW
Pelaksanaan pengadaan tanah di Kabupaten Wonosobo saat ini
terhadap program pengadaan tanah yang sedang berjalan atau belum
selesai setelah lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 masih
menggunakan aturan lama yaituPerpres No.36 Tahun 2005 jo Perpres
No.65 Tahun 2006 jo Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007, yang
berlaku sampai tahun 2014, tapi bagi program pengadaan tanah yang
dibuat sejak Januari 2012 telah menggunakan ketentuan baru.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam pelaksanaan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum selama ini
belum semuanya sesuai dengan konsep ideal, seperti dalam penentuan
ganti kerugian yang bersifat nonfisik belum reakomodasi sepenuhnya,
dalam hal ini harus ada keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan
pengadaan tanah tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam proses
pengadaan tanah sangat menetukan sekali demi kelancaran pelaksanaan
pengadaan tanah. Sebaliknya sudah ada kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah yang mendukung masyarakat seperti pembebasan lahan yaitu
sebelum dilakukan pembebasan lahan dalam tahap konstruksi telah
dilakukan survey, penetapan lokasi dan perijinan. Pada tahap
prakonstruksi terlebih dahulu telah dilakukan :
1. Survey, penetapan lokasi dan perijinan dengan memperhatikan
a. Keresahan masyarakat
b. Sikap dan persepsi masyarakat
2. Pembebasan lahan dengan memperhatikan :
a. Keresahan masyarakat
b. Sikap dan persepsi masyarakat
Pada saat survey, penetapan lokasi dan perijinan diperkirakan
menimbulkan dampak terhadap keresahan masyarakat. Penetuan
batas lahan yang akan dipergunakan telah selesai pelepasan hak
105
kepemilikan lama kepada pemilikan baru. Suvey didampingi
aparat setempat yang benar-benar mengetahui kepemilikan dan
luasnya.
Apabila terjadi suatu dampak negative dari suatu kejadian, maka
masyarakat terdekat dengan kegiatan tersebut yang pertama kali
kena imbasnya, karena itu dampak terhadap keresahan
masyarakat perlu dikelola.Begitupun pada kegiatan pembebasan
lahan diperkirakan menimbulkan dampak pada keresahan
masyarakat, terutama pada masyarakat yang lahannya terkena
pembebasan lahan. Walaupun cara pembebasan lahan dilakukan
tanpa perantara dan sesuai dengan kesepakatan bersama, namun
dampak terhadap keresahan masyarakat saat pembebasan lahan
perlu dikelola.
Prosedur untuk pengadaan tanah demi kepentingan umum ini
sangatlah rumit dan sulit bagi instansi yang memerlukan tanah. Untuk
Instansi ang memerlukan pengadaan tanah butuh waktu yang lama untuk
bisa mencapai kesepakatan dengan banyak keberatan dari pihak yang
berhak. Selain itu juga terlalu banyak izin dari lembaga – lembaga lain.
Selain waktu yang lama, dana yang habis untuk mendapatkan pengadaan
atas tanah menurut Undang-Undang ini juga sangat besar. Prosedur yang
ada di dalam Undang-Undang ini sangat rentan akan terjadi perselisihan
antara pihak yang berhak dengan instansi yang memerlukan, maupun
dengan pemerintah. Prosedur yang rumit dan sulit ini yang dapat
menghambat pembangunan nasional untuk semakin maju.
Terlalu banyak izin yang dilakukan dalam Undang-Undangini,
sangat rentan terjadi gratifikasi atau hal – hal melanggar hukum lainnya.
Jika sudah terjadi hal tersebut, maka yang akan dirugikan adalah pihak
yang berhak. Namun, tidak juga harus dengan mudah bagi instansi
melakukan pengadaan tanah, hal tersebut akan mengorbankan pihak yang
berhak juga.
106
Sebagaimana yang akan dibangun adalah demi kepentingan umum,
seharusnya dapat dilaksanakan dengan mudah dan cepat. Apabila
dilaksanakan dengan mudah dan cepat maka akan langsung dapat
dirasakan hasilnya. Namun, perlulah dilakukan ganti kerugian yang adil
dan layak bagi para pihak yang berhak. Agar dapat dilakukan dengan
mudah dan cepat serta adil bagi para pihak yang berhak, maka diperlukan
pengawasan dari masyarakat agar tidak dihambat – hambat oleh pihak-
pihak yang memberikan izin untuk pengadaan tanah.
.Pembangunan untuk kepentingan umum memerlukan tanah yang
pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip yang
terkandung di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan hukum tanah nasional, antara lain prinsip kemanusiaan,
keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan,
keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan sesuai dengan
nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Hukum tanah nasional mengakui dan
menghormati hak masyarakat atas tanah dan benda yang berkaitan dengan
tanah, serta memberikan wewenang yang bersifat publik kepada Negara
berupa kewenangan untuk mengadakan pengaturan, membuat kebijakan,
mengadakan pengelolaan, serta menyelenggarakan dan mengadakan
pengawasan yang tertuang dalam pokok-pokok pengadaan tanah sebagai
berikut:
1.Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya tanah untuk
kepentingan umum dan pendanaannya.
2.Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan sesuai
dengan:
a.Rencana tata ruang wilayah
b.Rencana pembangunan nasional/daerah
c.Rencana strategis
d.Rencana kerja setiap instansi yang memerlukan tanah
3.Pengadaan tanah diselenggarakan melalui perencanaandengan
melibatkan semua pemangku dan pengampu kepentingan.
107
4.Penyelenggaraan pengadaan tanah memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
5.Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakandengan
pemberian ganti kerugian yang layak dan adil. (vide Penjelasan Umum
UU 2/2012)
Dilhat dari kriteria pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Tanah untuk kepentingan umum yang digunakan untuk pembangunan,
antara lain:
a. Pertahanan dan keamanan nasional
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api,stasiun kereta
api,dan fasilitas operasi kereta api.
c. Waduk, bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya.
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal.
e. Infrastrusktur minyak, gas dan panas bumi
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik
g. Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah
h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah
i. Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah
j. Fasilitas keselamatan umum
k. Tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah.
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum dan ruang terbukahijau publik
m. Cagar alam dan cagar budaya
n. Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa
o. Penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah,
serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status
sewa
p. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah
q. Prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah, dan
r. Pasar umum dan lapangan parkir umum (vide Pasal 10 UU 2/2012)
108
Dari kriteria tersebeut diatas, Pembebasan lahan di Kabupaten
Wonosobo, termasuak dalam kriteria pembangunan u ntuk kepentingan
umum. Penyelenggara pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah
Pemerintah. Tanahnya selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah atau
Pemerintah daerah.
Tahapan dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
diselenggarakan melalui 4 tahapan, yaitu:
a.Perencanaan
b.Persiapan
c.Pelaksanaan
d.Penyerahan hasil (videPasal 13 UU 2/2012)
Perencanaan Pengadaan Tanah Perencanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum didasarkan atas rencana tata ruang wilayah dan
prioritaspembangunan yang tercantum dalam rencana pembangunan
jangka menengah, rencana strategis, rencana kerja pemerintah instansi
yang bersangkutan (vide Pasal 14 UU 2/2012).
Perencanaan tersebut disusun dalam bentuk dokumen perencanaan
pengadaan tanah yang paling sedikit memuat:
a.Maksud dan tujuan rencana pembangunan
b.Kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana
pembangunan nasional dan daerah.
c.Letak tanah
d.Luas tanah yang dibutuhkan
e.Gambaran umum status tanah
f.Perkiraaan waktu pelaksanaan pengadaan tanah
g.Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan
h.Perkiraaan nilai tanah
i.Rencana penganggaran Penyusunan dokumen perencanaan pengadaan
tanah dapat dilakukan secara bersama-sama oleh instansi yang
memerlukan tanah bersama dengan instansi teknis terkait atau dapat
109
dibantu oleh lembaga professional yang ditunjuk oleh instansi yang
memerlukan tanah.
Dokumen perencanaan pengadaan tanah disusun berdasarkan studi
kelayakan yang ditetapkan oleh instansi yang memerlukan tanah dan
mencakup: diserahkan kepada pemerintah provinsi.
Studi kelayakan
a.Survey sosial ekonomi
b.Kelayakan lokasi
c.Analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat
d. Perkiraan nilai tanah
e. Dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat
dari pengadaan tanah dan pembangunan, dan
f.Studi lain yang diperlukan (videPasal 15 UU 2/2012)
Persiapan Pengadaan Tanah, Instansi yang memerlukan tanah
bersama pemerintah provinsi berdasarkan dokumen perencanaan
pengadaan tanah melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan,
pendataan awal lokasi rencana pembangunan dan konsultasi publik
rencana pembangunan. (videPasal 16 UU 2/2012).
Pemberitahuan rencana pembangunan disampaikan
kepadamasyarakat pada rencana lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum, baik langsung (sosialisasi, tatapmuka atau surat pemberitahuan)
maupun tidak langsung (melalui media cetak atau media elektronik).
(videPasal 17 UU 2/2012)
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan meliputi kegiatan
pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah.
Pendataan awal tersebut dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 hari
kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan awal
lokasi rencana pembangunan digunakan sebagai data untuk pelaksanaan
konsultasi publik rencana pembangunan. (vide Pasal 18 UU 2/2012)
Konsultasi publik rencana pembangunan dilaksanakan untuk
mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang
110
berhak. Dalam konsultasi publik, instansi yang memerlukan tanah
menjelaskan anatara lain menegenai rencana pembangunan dan cara
penghitungan ganti kerugian yang akan dilakukan oleh penilai. Konsultasi
publik tersebut dilakukan dengan melibatkan pihak yang berhak dan
masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana
pembangunan kepentingan umum atau ditempat yang disepakati.
Keterlibatan pihak yang berhak dapat dilakukan melalui perwakilan
dengan surat kuasa dari dan oleh pihak yang berhak atas lokasi rencana
pembangunan. Kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang
berhak dituangkankedalam bentuk berita acara kesepakatan. atas dasar
kesepakatan, instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan
penetapan lokasi kepada gubernur. Gubernur menetapkan lokasi dalam
waktu paling lama 14 hari terhitung sejak diterimanya pengajuan
permohonan penetapan oleh instansi yang memerlukan tanah. (vide Pasal
19 UU 2/2012).
Perlu diketahui bahwa konsultasi publik ialah proses komunikasi
dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai
kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum. (videPasal 1 ayat (8) UU
2/2012). Konsultasi publik rencana pembangunan dilaksanakan dalam
waktu paling lama 60 hari kerja. (vide Pasal 20 ayat (1) UU 2/2012).
Apabila sampai dengan jangka waktu 60 hari kerja pelaksanaan
konsultasi publik recana pembangunan terdapat pihak yang keberatan
mengenai rencana lokasi pembangunan, dilaksanakan konsultasi publik
ulang dengan pihak yang keberatanpaling lama 30 hari kerja. (vide Pasal
20 UU 2/2012).
Dalam hal konsultasi ulang masih terdapat pihak yang keberatan
mengenai rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah
melaporkan keberatan dimaksud kepada gubernur setempat. Untuk
menanggapi keberatan rencana lokasi pembangunan tersebut, Gubernur
membentuk tim yang terdiri atas:
111
a.Sekretaris daerah propinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua
merangkap anggota
b.Kepala kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai sekretaris
merangkap anggota
c.Instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan
sebagai anggota
d.Kepala kantor wilayah Kementrian Hukum dan HAM sebagai anggota
e.Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota
f.Akademisi sebagai anggota Tim yang dibentuk oleh gubernur tersebut
mempunyai tugas menginventarisasi masalah yang menjadi keberatan
dan melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan,
serta membuat rekomendasi diterima atau di tolaknya keberatan. Hasil
dari kajian tim berupa rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan
rencana lokasi pembangunan dalam waktu 14 hari kerja terhitung sejak
diterimanya permohonan oleh gubernur. Gubernur dengan berdasar
rekomendasi tersebut, mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya
keberatan atas rencana lokasi pembangunan. (vide Pasal 21 UU 2/2012).
Dalam hal gubernur mengeluarkan keputusan menolak
keberatanatas rencana lokasi pembangunan maka gubernur menetapkan
lokasi pembangunan. Sebaliknya apabila diterima, gubernur
memberitahukan kepada instansi yang memerlukan tanah untuk
mengajukan rencana lokasi pembangunan di tempat lain. (videPasal 22 UU
2/2012).
Penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umumdiberikan
dalam waktu diberikan dalam waktu 2 tahun dan dapat diperpanjang paling
lama 1 tahun. Dalam hal jangka waktu penetapan lokasi tersebut tidak
terpenuhi, penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum
dilaksanakan proses ulang terhadap sisa tanah (tanah yang belum
dilepaskan haknya dari pihak yang berhak sampai jangka waktu penetapan
berakhir) yang belum selesai pengadaannya. Terhadap sisa tanah, apabila
instansi yang memerlukan tanah tetap membutuhkan tanah tersebut, proses
112
pengadaan tanah harus diajukan dari awal. Hal tersebut dimaksudkan
untuk menjamin keabsahan pengadaan tanah sisa. (videPasal 25 UU
2/2012).
Gubernur bersama dengan instansi yang memerlukan tanah
mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum.
Hal ini dimaksudkan untuk pemberitahuan kepada masyarakat bahwa di
lokasi tersebut akan dilaksanakan pembanguna untuk kepentingan umum.
(videPasal 26 UU 2/2012).
Pelaksanaan Pengadaan Tanah berdasarkan penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum, instansi yang memerlukan tanah
mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada lembaga pertanahan.
Pengajuan pelaksanaan pengadaan tanah tersebut meliputi:
(1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah
(2) Penilaian ganti kerugian
(3) Musyawarah penetapan ganti kerugian
(4) Pemberian ganti kerugian
(5) Pelepasan tanah instansi
Setelah penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum,
pihak yang berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada
instansi yang memerlukan tanah melalui lembaga pertanahan. Beralihnya
hak tersebut dilakukan dengan memberikan ganti kerugian yang nilainya
ditetapkan saat nilai pengumuman penetapan lokasi. Yang dimaksud
dengan nilai pengumuman penetapan lokasi ialah bahwa penilai dalam
menentukan ganti kerugian didasarkan nilai objek pengadaan tanah pada
tanggal pengumuman penetapan lokasi. (vide Pasal 27 UU 2/2012).
Inventarisasi dan Identifikasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan
dan Pemanfaatan Tanah Inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan untuk
mengetahui pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah. Inventarisasi
dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah meliputi kegiatan:
113
a) Pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah, dan
b) Pengumpulan data pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 hari kerja.
(Vide Pasal 28 UU 2/2012)
Hasil inventarisasi dan identifikasi memuat daftar nominasi pihak
yang berhak dan objek pengadaan tanah. Pihak yang berhak meliputi
nama, alamat, dan pekerjaan pihak yang menguasai/memiliki tanah. Objek
pengadaan tanah meliputi letak, luas, status serta jenis pengguanaan dan
pemanfaatan tanah. Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah wajib diumumkan di
kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan dan tempat pengadaan tanah
dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja. Hasil inventarisasi dan
identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
wajib diumumkan secara bertahap, parsial atau keseluruhan meliputi
subjek hak, luas, letak dan peta bidang tanah objek pengadaan tanah.
(Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3) UU 2/2012).
Penilaian Ganti Kerugian, dalam hal ini Lembaga pertanahan
menetapkan penilai sesuai denganketentuan mengenai pengadaan
barang/jasa instansi pemerintah dan mengumumkan penilai yang telah
ditetapkan untuk melaksanakan penilaian objek pengadaan tanah. (vide
Pasal 31 UU 2/2012).
Penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh penilai dilakukan
bidang per bidang tanah, meliputi:
a) Tanah
b) Ruang atas tanah dan bawah tanah
c) Bangunan
d) Tanaman
e) Benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau
f) Kerugian lain yang dapat dinilai (kerugian non fisik yang dapat
disetarakan dengan nilai uang, misalnya kerugian karena kehilangan
114
usaha atau pekerjaan, biaya pemindahan tempat, biaya alih profesi dan
nilai atasproperti sisa). (videPasal 33 UU 2/2012)
Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
a.Uang
b.Tanah Pengganti
c. Permukiman kembali (Proses kegiatan penyediaan tanah pengganti
kepada pihak yang berhak ke lokasi lain sesuai dengan kesepakatan
dalam proses pengadaan tanah)
d.Kepemilikan saham (penyertaan saham dalam kegiatan pembangunan
untuk kepentingan umum terkait dan/atau pengelolaannya yang
didasari kesepakatan antar pihak)
e. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak (videPasal 36 UU
2/2012)
Selain itu Lembaga pertanahan melakukan musyawarah dengan
pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 haru kerja sejak hasil
penilaian dari penilai disampaikan kepada lembaga pertanahan untuk
menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian. Hasil kesepakatan
dalam musyawarah tersebut, menjadi dasar pemberian ganti kerugian
kepada pihak yang berhak dalam berita acara kesepakatan. (vide Pasal 37
UU 2/2012)
Pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan
langsung kepada pihak yang berhak. Pemberian ganti kerugian pada
prinsipnya harus diserahkan langsung kepada pihak yang berhak atas ganti
kerugian. Apabila berhalangan, pihak yang berhak karena hukum dapat
memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris.
Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang
berhak atas ganti kerugian. Yang berhak antara lain:
a)Pemegang hak atas tanah
b)Pemegang hak pengelolaan
c)Nadzir, untuk tanah wakaf
d)Pemilik tanah bekas milik adat
115
e)Masyarakat hukum adat
f)Pihak yang menguasai tanah Negara dengan itikad baik
g)Pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan
dengan tanah.
Ganti kerugian diberikan kepada pihak yang berhak berdasarkan
hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah penetapan ganti
kerugian dan/atau putusanPengadilan Negeri/Mahkamah Agung.
(videPasal 40 jo. Pasal 41 ayat (1) UU 2/2012). Pada saat pemberian ganti
kerugian, pihak yang berhak menerima ganti kerugian wajib:
a) Melakukan pelepasan hak
b) Menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan
tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui lembaga
pertanahan.
Bukti penguasaan merupakan satu-satunya alat bukti yang sah
menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat. Apabila terdapat pihak
lain menuntut atas objek pengadaan tanah yang telah diserahkan kepada
instansi yang memerlukan tanah, maka hal tersebut menjadi tanggung
jawab pihak yang berhak. (vide Pasal 41 ayat (3) & (5) UU No. 12 Tahun
2012).
Pihak yang berhak menerima ganti kerugian bertanggung jawab
atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang
diserahkan. Dan bagi ada yang melanggar hal tersebut, akan dikenai sanksi
pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(videPasal 41 ayat (4) & (6) UU 2/2012).
Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan Pengadilan
Negeri/Mahkamah Agung, maka ganti kerugian dititipkan di Pengadilan
Negeri setempat. Penitipan ganti kerugian juga dilakukan terhadap:
a) Pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui
keberadaannya, atau
b) Objek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian:
116
- Sedang menjadi objek perkara di pengadilan
- Masih dipersengketakan kepemilikannya
- Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang, atau
- Menjadi jaminan di bank
(vide Pasal 42 UU 2/2012)
Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak
telah dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan di
Pengadilan Negeri, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang
berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan
tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. (vide Pasal
43 UU 2/2012).
Selanjutnya Lembaga pertanahan menyerahkan hasil pengadaan
tanahkepada instansi yang memerlukan tanah setelah:
a) Pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak danpelepasan hak
serta menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan
tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui lembaga
pertanahan telah dilaksanakan. Dan/atau
b) Pemberian ganti rugi yang telah dititpkan di pengadilan negeri. Instansi
yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan kegiatan
pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil pengadaan tanah
sebagaimana dimaksud diatas.(videPasal 48 UU 2/2012) .
Instansi yang memperoleh tanah wajib mendaftarkan tanah yang
telah diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(vide Pasal 50 UU 2/2012)
Pada tahap akhirnya adalah Pemantauan dan evaluasi
penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
oleh pemerintah. Pemantauan dan evaluasi hasil penyerahan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum yang telah diperoleh dilakukan oleh
lembaga pertanahan. (vide Pasal 51 UU 2/2012).
Hal tersebut diatas merupakan tata cara pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan demi kepentingan Umum berupa tempat Pendidikan
117
(Kampus) di Kabupaten Wonosobo, tepatnya di desa Sidorejo, Kecamatan
Selomerto, Kabupaten Wonosobo yang menghabiskan lahan seluas 90 Ha.
2. Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk kepentingan umum berupa
sarana pendidikan yang terletak di Desa Sidorejo, Kecamatan Selomerto
Kabupaten Wonosobo Provoinsi Jawa Tengah, dalam pelaksanaannya
tidak terlepas dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam Pengimplementasiannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan ada beberapa tahapa,
sebagaimana dalam ketentuan pengadaan tanah untuk pembangunan pada
umumnya. Tahapan pengimplementasiannya dalah meliputi:
a. Sosialisasi.
Sosialisasi merupakan upaya pengenalan kepada masyarakat tentang
kegiatan pengadaan tanah Pemerintah daerah untuk pembangunan
Sarana Pendidikan di Kabupaten Wonosobo. Sosialisasi yang dilakuan
dalam pengadaan tanah untuk sarana pendidikan di Kabupaten
Wonosobo dengan cara :
1) Pemasaangan papan pengumuman di lokasi calon kampus.
2) Pemasangan pengumuman melalui spanduk, ditempatkan pada
ruas jalan yang relatif banyak dilewati orang
3) tatap muka langsung dengan masyarakat dengan cara
mengumpulkan warga masyarakat, khususnya mereka yang
lahannya dibutuhkan untuk pembangunan
4) Menginformsikan melalui perangkat desa untuk disampaikan
kepada warga masyarakat.
118
Sasaran sosialisasi pada kegiatan pengadaan tanah pemerintah
Daerah untuk pembangunan Sarana Pendidikan di Kabupaten
Wonosobo adalah masyarakat di Desa Sidorejo Kecamatan Selomarto.
Kegioatan sosialisasi ini akan menimbulkan damapak terjadinya
persepsi dan sikap masyarakat yang terpolarisasi di desa tersebut.
Tentu ada sebagaian warga masyarakat yang sangat antusias terhadap
kegiatan ini, sementara ada juga yang merasa khawatir.
b. Pembebasan Lahan
Pembebasan lahan pada kegiatan pengadaan tanah pemerintah Daerah
untuk pembangunan Sarana Pendidikan di kabupaten Wonosobo
digunakan untuk pembangunan kampus yang memerlukan lahan
seluas 90.000 m2 atau 9 Ha.
Pembebasan lahan ini tentunya juga selalu mengacu pada ketentuan
hukum yang berlaku sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Masyarakat diberi pengertian serfta ganti rugi sesuai dengan
kesepakatan serta ketentuan yang berlaku.
e. Pemasangan Patok Batas Lokasi Kampus
Luas lahan yang dibebaskan untuk pembangunan kampus Sarana
Pendidikan di Kabupaten Wonosobo mencapai 9 Ha. Pada lahan
peruntukan kampus ini perlu dibuat batas lokasi dengan lahan milik
pihak lain. Dengan membuat pagar keliling disamping dengan
membuat patok batas lokasi kampus.
f. Pengaturan Pemanfaatan lahan
Lahan peruntukan pembangunan sarana pendidkan di Wonosobo
mencapai ( Ha. Lahan seluas itu tidak serta merta dibangun kampus
sekaligus, sehingga masih tersisa lahan yang belum dibangun. Agar
terhindar dari lahana tidur, lahan tersebut tetap digarap dengan model
kemitraan yaitu melibatkan petani di sekitar lokasi kampus.
Pada Prinsipnya pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak. Dalam Undang-Undang ini pengadaan tanah adalah
119
untuk kepentingan Umum, artinya menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum pihak yang berhak. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
diselenggarakan oleh Pemerintah.Pihak yang berhak wajib melepaskan
tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum setelah pemberian ganti kerugian yang layak dan adil atau
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Tanah yang selanjutnya dibangun sesuatu untuk kepentingan
umum akan menjadi milik Pemerintah/Pemerintah Daerah atau menjadi
mili BUMN apabila dipergunakan untuk kepentingannya.
Sehubungan dengan teori hukum pembangunan, bahwa hakikat
pembangunan dalam arti seluas-luasnya yaitu meliputi segala segi dari
kehidupan masyarakat dan tidak terbatas pada satu segi kehidupan.
Masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan sehingga
peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur
demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan
pengadilan atau bahkan kombinasi dari kedua-duanya, sehingga dapat
dikatakan bahwa hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan
dalam proses pembangunan. Adapun masalah-masalah dalam suatu
masyarakat yang sedang membangun yang harus diatur oleh hukum
secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu : Pertama,
masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang
dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spritual masyarakat,
Kedua, masalah-masalah yang bertalian dengan masyarakat dan
kemajuan pada umumnya dikaitkan dengan faktor-faktor lain dalam
masyarakat terutama faktor ekonomi, sosial dan kebudayaan, serta
bertambah pentingnya peranan teknologi dalam kehidupan masyarakat
moderen.
120
Jika dikaji secara substansial, maka teori hukum pembangunan
merupakan hasil modifikasi dari Teori Roscoe Pound Law as a tool of
social enginering yang di negara Barat yang dikenal sebagai aliran
Pragmatig legal realism yang kemudian diubah menjadi hukum sebagai
sarana pembangunan. Hukum sebagai sarana pembangunan adalah
bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum berfungsi sebagai
alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan disamping
fungsi hukum untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban (order).
Pengembangan teori hukum sebagai sarana pembangunan
masyarakat di Indonesia memiliki jangkauan dan ruang lingkup yang
lebih lebih luas jika dibandingkan dari tempat asalnya sendiri karena
beberapa alasan, yaitu: Pertama, bahwa dalam proses pembaruan hukum
di Indonesia lebih menonjolkan pada perundang-undangan walaupun
yurisprudensi juga memegang peranan, berbeda dengan keadaan di
Amerika dimana teori Roscoe Pound ditujukan pada pembaruan dari
keputusan-keputusan pengadilan khususya Supreme Court sebagai
mahkamah tertinggi. Kedua, bahwa dalam pengembangan di Indonesia,
masyarakat menolak pandangan aplikasi mechanistis yang teradapat pada
konsepsi Law as a tool of social engineering yang digambarkan dengan
kata tool yang akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda
dengan penerapan legisme dalam sejarah hukum yang dahulu pernah
diterapkan oleh Hindia Belanda, namun masyarakat Indonesia lebih
memaknai hukum sebagai sarana pembangunan serta dipengaruhi pula
oleh pendekatan-pendekatan filasafat budaya dari Northrop dan
pendekatan Policy oriented. Ketiga, bahwa bangsa Indonesia sebenarnya
telah menjalankan asas hukum sebagai alat pembaruan, sehingga pada
hakikatnya konsepsi tersebut lahir dari masyarakat Indonesia sendiri
berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-faktor
yang berakar dalam sejarah masyarakat bangsa Indonesia.
121
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran dari teori hukum
pembangunan yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa teori
hukum pembangunan didukung oleh aliran-aliran filsafat hukum mulai
sejak era Yunani hingga sekarang yaitu : hukum itu berlaku universal dan
abadi, aliran hukum positif (Positivisme hukum) yang berarti hukum
sebagai perintah penguasa, hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat (living law), hukum harus memberikan
perlindungan bagi masyarakat golongan rendah serta hukum dapat
mencerminkan nilai sosial budaya masyarakat dan mengadung sistem
nilai. Namun ada hambatan-hambatan yang dihadapi teori hukum
pembangunan adalah sebagai berikut :
a. Sukarnya menentukan tujuan dari pembangungan hukum
(pembaruan);
b. Sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan
suatu analisis dekriptif dan prediktif;
c. Sukarnya mengadakan ukuran yang obyektif untuk mengukur
berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum.
3. Permasalahan yang dihadapi Kantor Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Wonosobo dalam Pengimplementasian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan
Permasalahan atau hambatan Dalam Proses Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum berdasarkan penelitian yang tim
lakukan di Kabupaten Wonosobo dengan berlakunya Undang-undang No.
2 Tahun 2012, saat ini program pengdaan tanah belum tersosialisasikan
secara lebih baik, mengingat Undang-Undang tersebut masih baru. Oleh
karena itu dirasa perlu kajian dan penyamaan persepsi dalam menafsirkan
amanat Undang-Undang dan pemahaman yang sama dalam pelaksanaan
Undang-Undang tersebut. Hambatan lainnya berkaitan dengan penetapan
lokasi oleh Gubernur melalui proses relative panjang, begitupun proses
122
pembebasan tanah dihadapkan dengan kepentingan masyarakat dari proses
penilaian ganti kerugian serta musyawarah penetapan ganti kerugian
dengan warga masyarakat relative sulit untuk titik temu dan kesepakatan.
Praktek penggantian kerugian selama ini ada kecenderungan ganti
kerugian ini ditekankan sedemikian rupa sehingga menyulitkan bagi
pelaksana kegiatan atau panitia menyepakati ganti kerugian dengan
pemilik tanah, tidak jarang hal ini memicu sengketa bahkan cenderung
menjadi momok bagi panitia atas tuduhan korupsi.
Sebetulnya pada saat proses pembebasan tanah dihadapkan dengan
kepentingan warga masyarakat hambatannya ada seperti :
a. Prokontra masyarakat dalam pengadaan tanah tetap ada.
b. Sulitnya menentukan harga setempat sesuai dengan lokasi.
c. faktor psikologis masyarakat dan faktor dana, selama ini sering menjadi
masalah dalam pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak lebih
dikarenakan oleh faktor dana daripada faktor psikologis masyarakat. Ini
terbukti bahwa selama ini yang menjadi permasalahan dalam pengadaan
tanah bukan mengenai ada-tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk
menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum, melainkan karena
para pemilik tanah menganggap bahwa ganti-rugi yang ditawarkan
tidak sesuai dengan harga pasar setempat.
d. Selama ini terhambatnya pelaksanaan pengadaan tanah pada umumnya
disebabkan oleh ketidaksesuaian harga yang ditetapkan pemerintah
dengan harga yang dikehendaki oleh masyarakat. Masyarakat selaku
pemilik tanah biasanya menolak harga dari pemerintah yang menurut
mereka terlalu murah. Mereka akan mematok harga lebih tinggi dari
harga pasar atau paling tidak sesuai dengan harga pasar, bahkan ada
masyarakat yang menetapkan harga ganti rugi itu didasarkan pada harga
sekian tahun kedepan atau setelah tanahnya dibebaskan dan telah
dijadikan sarana umum.
e. Adanya campur tangan pihak-pihak tertentu yang ingin mendapatkan
keuntungan pribadi dengan memanas-manasi masyarakat untuk
123
meminta harga yang sangat tinggi/ tidak wajar, yang mengakibatkan
pembangunan terhambat karena penyelesaian menjadi berlarut-larut dan
berkepanjangan. Pihak ini bisa saja dari warga yang tidak mau diganti
rugi dan mempengaruhi warga yang lain agar menolak harga ganti rugi
dari pemerintah. Dan tak jarang pula kondisi tersebut memicu suatu
benturan antar warga.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden No.
71 Tahun 2012 pelaksanaannya di daerah lebih lanjut diatur dengan
peraturan Gubernur bukan dengan Peraturan Daerah.
Adanya kelemahan terhadap undang-undang ini, dimana Undang-Undang
No.2 Tahun 2012 tidak membedakan antara pengadaan tanah dan
pencabutan hak atas tanah, akibatnya Undang-Undang No. 20 Tahun 1961
seakan tidak Berfungsi lagi, pada hal undang-undang tersebut tidak
dicabut oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2012. Lainnya undang-undang
ini menggunakan pengadilan sebagai tempat legitimasi pemaksaan dalam
pengadaan tanah.
Dilihat dari teori Hukum Pembangunan, Teori hukum
pembangunan memiliki pokok-pokok pikiran tentang hukum yaitu fungsi
hukum dalam masyarakat direduksi pada satu hal yakni ketertiban (order)
yang merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan
terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya
suatu masyarakat yang teratur dan merupakan fakta objektif yang berlaku
bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Untuk mencapai
ketertiban dalam masyarakat maka diperlukan adanya kepastian dalam
pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Disamping itu, tujuan lain dari
hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya,
menurut masyarakat dan zamannya, serta sebagai kaidah sosial, tidak
berarti pergaulan antara manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh
hukum, namun juga ditentukan oleh agama, kaidah-kaidah susila,
kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-kaidah sosial lainya. Oleh
karenanya, antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya terdapat jalinan
124
hubungan yang erat antara yang satu dan lainnya. Namun jika ada
ketidaksesuaian antara kaidah hukum dan kaidah sosial, maka dalam
penataan kembali ketentuan-ketentuan hukum dilakukan dengan cara yang
teratur, baik mengenai bentuk, cara maupun alat pelaksanaannya. Selian
itu bahwa hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik,
dimana hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaanya karena tanpa
kekuasaan hukum itu tidak lain akan merupakan kaidah sosial yag
berisikan anjuran belaka. Sebaliknya kekuasaan ditentukan batas-batasnya
oleh hukum. Secara populer dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman, dan juga
hukum sebagai kaidah sosial tidak terlepas dari nilai (values) yang berlaku
di suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga
dapat dikatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup (The living law) dalam masyarakat yang
tentunya merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat itu sendiri.
Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat artinya hukum
merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Fungsi hukum tidak hanya memelihara dan mempertahankan dari apa
yang telah tercapai, namun fungsi hukum tentunya harus dapat membantu
proses perubahan masyarakat itu sendiri. Penggunaan hukum sebagai alat
untuk melakukan perubahan-perubahan kemasyarakatan harus sangat
berhati-hati agar tidak timbul kerugian dalam masyarakat sehingga harus
mempertimbangkan segi sosiologi, antroplogi kebudayaan masyarakat.
Dengan adanya aturan Hukum berupa Undang-Undang No. 2
Tahun 2012, maka aturan ini dapat dikatakan :
1. Hukum tidak dipandang sebagai seperangkat norma yang harus di
patuhi oleh masyarakat melainan juga harus dipandang sebagai
sarana hukum yang membatasi wewenang dan perilaku aparat hukum
dan pejabat publik;
125
2. Hukum bukan hanya diakui sebagai sarana pembaharuan masyarakat
semata-mata, akan tetapi juga sebagai sarana pembaharuan birokrasi.
3. Kegunaan dan kemanfaatan hukum tidak hanya dilihat dari kacamata
kepentingan pemengan kekuasaan (negara) melainkan juga harus
dilihat dari kacamata kepentingan-kepentingan pemangku kepentingan
(stakeholder), dan kepentingan korban-korban (victims);
4. Fungsi hukum dalam kondisi masyarakat yang rentan (vulnerable) dan
dalam masa peralihan (transisional), baik dalam bidang sosial,
ekonomi dan politik, tidak dapat dilaksanakan secara optimal hanya
dengan menggunakan pendekatan preventif dan represif semata,
melainkan juga diperlukan pendekatan restoratif dan rehabilitatif;
5. Agar fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal
dalam pembangunan nasional, maka hukum tidak semata-mata
dipandang sebagai wujud dari komitmen politik melainkan harus
dipandang sebagai sarana untuk mengubah sikap dan cara berpikir
(mindset) dan perilaku (behavior) aparatur birokrasi dan masyarakat
bersama-sama.
126
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan1. Tata cara Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum yang dapat memberikan Perlindungan Hukum
bagi Pemegang Hak Atas Tanah.
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di
Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo, khususnya pengadaan tanah
untuk pendidikan yang terletak di Desa Sidorejo, Kecamatan Selomarto,
Kabupaten Wonosoboterdiri dari tahapan yaitu Perencanaan, Persiapan
meliputi pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal lokasi
rencana pembangunan, Konsultasi publik rencana pembangunan serta
Pelaksanaan Pengadaan Tanah meliputi Inventarisasi dan Identifikasi
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, serta Pemanfaatan Tanah, Penilaian
Ganti Kerugian, Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian, Pemberian
Ganti Kerugian serta Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah.
Serta Mengacu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum; Peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 2012 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan
tanah; Dokumen pengadaan tanah berdasarkan kepada keputusan
Gubernur Jawa tengah tentang penetapan lokasi pengadaan tanah untuk
pembangunan; Ketentuan lain yang terkait dengan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum.
Dokumen tanahapan pelaksanaan pengadaan tanah antara lain meliputi :
127
g. Penyiapan pelaksanaan;
h. Inventarisasi dan identifikasi;
i. Penetapan penilai;
j. Musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian;
k. Pemberian ganti kerugian;
l. Pemberian ganti kerugian dalam keadaan khusus;
m. Penitipan ganti kerugian;
n. Pelepasan obyek pengadaan tanah;
o. Pemutusan hubungan hokum antara pihak yang berhak dengan objek
pengadaan tanah;
p. Pendokumentasi peta bidang, daftar nominative dan data administrasi
pengadaan tanah; dan
q. Penyerahan hasil pengadaan tanah.
2. Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan diawali dengan :
a. Sosialisasi.
Sosialisasi yang dilakuan dalam pengadaan tanah untuk sarana
pendidikan di Kabupaten Wonosobo dengan cara :
1) Pemasaangan papan pengumuman di lokasi calon kampus.
2) Pemasangan pengumuman melalui spanduk, ditempatkan pada ruas
jalan yang relatif banyak dilewati orang
3) tatap muka langsung dengan masyarakat dengan cara
mengumpulkan warga masyarakat, khususnya mereka yang
lahannya dibutuhkan untuk pembangunan
4) Menginformsikan melalui perangkat desa untuk disampaikan
kepada warga masyarakat.
128
b. Pembebasan Lahan
Pembebasan lahan pada kegiatan pengadaan tanah pemerintah Daerah
untuk pembangunan Sarana Pendidikan di kabupaten Wonosobo
digunakan untuk pembangunan kampus yang memerlukan lahan
seluas 90.000 m2 atau 9 Ha.
c. Pemasangan Patok Batas Lokasi Kampus
Luas lahan yang dibebaskan untuk pembangunan kampus Sarana
Pendidikan di Kabupaten Wonosobo mencapai 9 Ha, dibuat batas
lokasi dengan lahan milik pihak lain. Dengan membuat pagar keliling
disamping dengan membuat patok batas lokasi kampus.
d. Pengaturan Pemanfaatan lahan
Agar terhindar dari lahana tidur, lahan yang belum dipergunakan
tetap digarap dengan model kemitraan yaitu melibatkan petani di
sekitar lokasi kampus.
3. Permasalahan yang dihadapi Kantor Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Wonosobo dalam Pengimplementasian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
Permasalahan yang dihadapi Kantor Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Wonosobo dalam Pengimplementasian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan antara lain :
Prokontra masyarakat dalam pengadaan tanah tetap ada serta sulitnya
menentukan harga setempat sesuai dengan lokasi.
129
B. Implikasi
Konsekuensi logis dari kesimpulan yang diperoleh khususnya menyangkut
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan demi kepentingan Umum di Kabupaten
Wonosobo maka mengandung implikasi, yaitu:
1. Dengan Tata Berlandaskan Undang-Undang No.2 Tahun 2012 dapat
memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah, telah
mengacu pada Peraturan Hukum yang berlaku.
2. Dengan diimplementasikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau
dari Teori Hukum Pembangunan maka Pengadaan Tanah yang
diperuntukkan bagi kepentingan umum berupa sarana pendidikan di
Kabupaten Wonosobo dapat berjalan dengan lancar.
3. Dengan adanya Permasalahan yang dihadapi Kantor Badan Pertanahan
Nasional Kabupaten Wonosobo dalam Pengimplementasian Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum
Pembangunan, pengadaan Tanah Untuk Pembangunan di Kabupaten
Wonosobo mengalami kendala namun dapat diselesaikan sehingga
masyarakat merasa terlin dungi dari sisi hukum.
C. Saran
Saran yang dapat disampaikan antara lain adalah :
1. Perlu dilakukan sosialisasi secara maksimal tentang Undang-Undang No.
2 Tahun 2012, baik terhadap panitia pelaksanan maupun terhadap
masyarakat, sehingga terdapat suatu persamaan persepsi mengenai
pengertian, makna, tujuan, dan prosedur pengadaan tanah untuk
pembangunan demi kepentingan umum.
130
2. Pemerintah Hendaknya memberikan kesempatan kepada masyarakat yang
terkena lahan pembebasan tanah, untuk turut mengembangkan Kampus
yang ada, misalnya menjadi tenaga kerja baik tenaga tetap maupun
honorer.
3. Perlu ada Pelatihan bagi Pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN)
terkait dengan Proses Penanganan Kasus-kasus pembebasn tanah yang
berpijak pada Hak Asasi Manusia.
131
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sulistiyono. 2006. Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Adrian Suteji. 2007. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.
Achmad Rubaie. 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Malang : Bayumedia Publishing.
Ari Purwadi. “Implikasi Pencabutan Hak Atas Tanah terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia”Dimuat dalam Jurnal Legality.http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/295
Bambang Sadono. 3 April 2014. Hambatan Fungsi Sosial. Sosiologi Pertanahan. http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2014/04/hambatan-fungsi-sosial.html. [26 Februari 2014 pukul 12:17 WIB].
Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publising.
Burhan Ashofa, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia, Jakarta
Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi). Jakarta : Djambatan.
Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo
Citorejo Waciman dan Kawan-Kawan v. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah, Menteri Pekerjaan Umum, Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 2263 K/Pdt/1991 tanggal 20 Juli 1991 (Perkara Kedungombo).
Esmi Warassih Pujirahayu,2005. Pranata Hukum sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama
H. B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
132
Hadjon, Philipus M.. 1988. “Hak-Hak dan Kewajiban Dasar” Yuridika. No. 5 Th. III November 1988
Harry Stephan, dkk. 2014. “Land Acquisitions in Africa: A Return to Franz Fanon?”. Tawarikh: International Journal for Historical Studies. 2(1) 2014. http://www.tawarikh-journal.com/files/File/Harry.pdf
Imam Koeswahyono. “Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam Artikel Jurnal Konstitusi. Vol.1 Halm 5. Jakarta:Mahkamah Konstitusi RI.
John Salindeho. 1993. Masalah Tanah dalam Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.
Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (edisi Revisi). Malang : Bayumedia Publishing.
John Rawls. 2006. Teori Keadilan (Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maria S.W. Sumardjono. “Perpres No 36/2005, Langkah Maju atau Mundur?” Kompas, 11 Mei 2005.
. . 2008. Tanah dalam Perspektif Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara.
. 2009. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implentasi (Edisi Revisi +). Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara.
Marmin M. Roosadijo. 1979. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Mohamad Hatta. 2005. Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan. Yogyakarta : Media Abadi.
Kartini Muljadi,dkk. 2004. Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Prenada Media.
Kitap Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).
Lili Rasjidi. 1988. Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?. Bandung: Remaja Karya.
Oloan sitorus dan Dayat Limbong. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.
133
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim. 1982. Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Satjipto Raharjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT.Citra Adtya Bakti.
Setiono. 2002. Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta: Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS.
________. 2005. Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Program Pascasarjana UNS.
Shidarta, dkk, 2012, Mochtar Kusuma Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi. Jakarta: HuMa.
Soedikno Mertokusumo. 1988. Hukum Dan Politik Agraria. Jakarta: Karunia-Universitas Terbuka.
Soetandyo Wognjosoebroto. 2002. Hukum. Paradigma dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perklumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa)
Subekti. 1979. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermedia.
Sunarjati Hartono. 1978. Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah. Bandung: Alumni.
Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
Supriadi S,. 2005. “Pembaharuan Pengaturan Pertanahan Nasioanal sebagai Wujud Gerakan Sosial”., Jurnal Reformasi Hukum. Vol.VII No. 1. Jakarta: Jurnal Mimbar Universitas Islam Jakarta.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
Solichin Abdul Wahab, 2004. Analisis Kebiajkan Publik, Bandung, Alumni
_______.2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
Thomas R. DYE, 1981, Understanding Public Policy. Florida: State University
Tukgalii, Lieke Lianadevi. 2010. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Kertas Putih Communication.
134
Yusriyadi. 2010. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas Tanah. Yogyakarta: Genta Publishing.
Urip Santosa. 2010. Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana.
Undang-Undang Dasar Republik Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan Beserta Peraturan Pelaksananya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda di Atasnya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
135
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Diatasnya.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
136
\
LAMPIRAN
137
Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum di Kabupaten
Wonosobo
Pada saat ini pengadaan tanah untuk daerah kabupaten yang ada di kabupaten
Wonosobo diketuai oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten yang diangkat oleh
Kepala Kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa tengah dengan
mempertimbangkan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis dan sumber daya
manusia. Kepala kantor pertanahan Kabupaten sebagai ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah betugas melaksanakan tahapan pelaksanaan pengadaan tanah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan :
6. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum;
7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum;
8. Peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5
tahun 2012 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan tanah;
9. Dokumen pengadaan tanah berdasarkan kepada keputusan Gubernur Jawa
tengah tentang penetapan lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan;
10. Ketentuan lain yang terkait dengan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum.
Dokumen tanahapan pelaksanaan pengadaan tanah antara lain meliputi :
5) Penyiapan pelaksanaan;
6) Inventarisasi dan identifikasi;
7) Penetapan penilai;
8) Musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian;
9) Pemberian ganti kerugian;
10) Pemberian ganti kerugian dalam keadaan khusus;
138
11) Penitipan ganti kerugian;
12) Pelepasan obyek pengadaan tanah;
13) Pemutusan hubungan hokum antara pihak yang berhak dengan
objek pengadaan tanah;
14) Pendokumentasi peta bidang, daftar nominative dan data
administrasi pengadaan tanah; dan
15) Penyerahan hasil pengadaan tanah.
Kepala kantor pertanahan kabupaten sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
akan melaporka pelaksanaan pengadaan tanah kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia melalui kepala kantor wilayah badan pertanahan
nasional profinsi Jawa Tengah. Menyangkut biaya pelaksanaan pengadaan tanah
dibebankan pada anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) kabupaten.
Instansi yang terlibat dalam penyediaan tanah serta kapasitas kewenangan dalam
menentukan kebijakan antara lain adalah :
c. Prasjatakim/Bapeda berwenang dalam hal tata ruang.
d. Instansi yang memerlukan tanah berwewenang dalam hal penyiapan
dokumen.
e. Kehutanan berwenang dalam kawasan hutan
f. BPN berwewenang dalam pertimbangan teknis pertanahan dalam
pelaksanaan pengadaan tanah.
g. Gubernur berwewenang dalam penetapan lokasi.
h. Bupati/walikota terkait apabila penetapan lokasi didelegasikn oleh
Gubernur.
Penetapan lokasi adalah penetapan atas lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum yang ditetapkan dengan keputusan Gubernur, yang
dipergunakan sebagai izin untuk pengadaan tanah, perubahan penggunaan
tanah, dan peralihan hak atas tanah dalam pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum.
Persyaratan dalam permohonan penetapan lokasi pembangunan:
4. Surat permohonan dari instansi yang memerlukan tanah
5. Dokumen perencanaan
139
6. Surat rekomendasi dari instansi yang berwewenang atas kesesuaian
RT,RW
Pelaksanaan pengadaan tanah di kabupaten Wonosobo saat ini terhadap
program pengadaan tanah yang sedang berjalan atau belum selesai setelah
lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 masih menggunakan aturan
lama yaituPerpres No.36 Tahun 2005 jo Perpres No.65 Tahun 2006 jo
Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007, yang berlaku sampai tahun
2014, tapi bagi program pengadaan tanah yang dibuat sejak Januari 2012
telah menggunakan ketentuan baru.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam pelaksanaan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum selama ini belum semuanya
sesuai dengan konsep ideal, seperti dalam penentuan ganti kerugian yang
bersifat nonfisik belum reakomodasi sepenuhnya, dalam hal ini harus ada
keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pengadaan tanah tersebut.
Keterlibatan masyarakat dalam proses pengadaan tanah sangat menetukan
sekali demi kelancaran pelaksanaan pengadaan tanah.
Sebaliknya sudah ada kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang
mendukung masyarakat seperti pembebasan lahan yaitu sebelum dilakukan
pembebasan lahan dalam tahap konstruksi telah dilakukan survey,
penetapan lokasi dan perijinan. Pada tahap prakonstruksi terlebih dahulu
telah dilakukan :
3. Survey, penetapan lokasi dan perijinan dengan memperhatikan
c. Keresahan masyarakat
d. Sikap dan persepsi masyarakat
4. Pembebasan lahan dengan memperhatikan :
c. Keresahan masyarakat
d. Sikap dan persepsi masyarakat
Pada saat survey, penetapan lokasi dan perijinan diperkirakan
menimbulkan dampak terhadap keresahan masyarakat. Penetuan
batas lahan yang akan dipergunakan TPST telah selesai
pelepasan hak kepemilikan lama kepada pemilikan baru. Suvey
140
didampingi aparat setempat yang benar-benar mengetahui
kepemilikan dan luasnya.
Apabila terjadi suatu dampak negative dari suatu kejadian, maka
masyarakat terdekat dengan kegiatan tersebut yang pertama kali
kena imbasnya, karena itu dampak terhadap keresahan
masyarakat perlu dikelola.
Begitupun pada kegiatan pembebasan lahan diperkirakan
menimbulkan dampak pada keresahan masyarakat, terutama pada
masyarakat yang lahannya terkena pembebasan lahan. Walaupun
cara pembebasan lahan dilakukan tanpa perantara dan sesuai
dengan kesepakatan bersama, namun dampak terhadap keresahan
masyarakat saat pembebasan lahan perlu dikelola.
Provinsi Jawa Barat
Siapapun pasti merasa keberatan ketika tanah dan bangunan
tempat tinggalnya harus dipindahkan secara paksa. Apalagi
dengan berpindah, para korban langsung harus memulai menata
kehidupannya dari nol ditempat yang baru. Itulah yang
diungkapkan oleh Bowie Tarigan, aktivis dan pendamping
masyarakat yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA). Sehari-hari, pria 35 tahun ini banyak melakukan
pendampingan dalam kasus-kasus penggusuran masyarakat
askibat proyek kepentingan umum di Jawa Barat.
Istilah ganti kerugian kemudian banyak berubah menjadi diganti
tetapi tetap rugi. Pada waktu awal-awal kemerdekaan hingga
awal Orde Baru masyarakat masih menerima hal tersebut. Sebab,
tidak ada prasangka bahwa tanah-tanah masyarakat korban
gusuran akan diselewengkan menjadi proyek bukanuntuk
kepentingan umum. Bowie mengungkapkan bahwa pada waktu
itu mungkin masyarakat merasa bahwa menyerahkan tanah
141
dengan harga yang kurang pantas dianggap sebagai kontribusi
warga Negara terhadap pembangunan. Namun sekarang keadaan
sudah lain, masyarakat telah melihat berbagai bentuk
penyelewengan pengadaan tanah atas nama hokum, atas nama
pembangunan dan atas nama kepentingan umum. Sehingga,
masyarakat kerap melawan dan menolak penggusuran atas nama
kepentingan umum.
Masalah yang kerap dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat
dalam proses pengadaan tanah telah dimulai sejak dari definisi
kepentingan umum yang dianggap longgar dan multi intreprestasi
dan tersebar dalam beberapa UU.
Masalah definisi kepentingan umum, menurut UUPA
kepentingan umum terkait dengan fungsi social hak atas tanah
seperti disebut di dalam pasal 6 UUPA : Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi social.
Dalam penjelasan pasal ini diuraikan :
Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, baha tanahnya itu akan
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan
dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat
baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya
maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.
Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa
kepentinga perseorangan akan terdesak sama sekali oleh
kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok
Agraria memperhatika pula kepentingan-kepentingan
perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan
perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada
142
akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan
dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).
Selanjutnya, kepentingan umum seara eksplisit juga disebutkan di dalam UUPA:
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah
yang melampaui batas tidak diperkenankan dalam pasal 7. Pasal ini dijabarkan ke
dalam pasal 17 :
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam
pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hokum.
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan
dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat,
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud
dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian,
untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut
ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan
ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-
angsur.
Penjelasan pasal 17:
Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang ditentukan dalam
pasal 7 . penetapan, batas luas maksimum akan dilakukan didalam waktu yang
singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan
kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh
pemerintah dengan ganti kerugian. Tanah-tanah tersebut selanjutnya akan
dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada
bekas pemilik tersebut diatas pada asasnya harus dibayar oleh mereka yang
memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak
mampu untuk membayar harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka
oleh pemerintah akan disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya para
143
bekas pemilik tidak terlalu lama menunggu uang ganti kerugian yang
dimaksudkan itu.
Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang-orang yang
mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya.
Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah
pemecah belaha (“versplintering”) tanah lebih lanjut. Disamping itu akan
diadakan usaha-usaha misalnya : transmigrasi, pembukaan tanah besar-
besaran di luar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat
dicapai secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan “keluarga” ialah
suami, istri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya
dan yang jumlahnya berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun waita
dapat menjadi kepala keluarga.
Pelaksanaan pasal 7 dan pasal 17 ini kemudian melahirkan peraturan-
peraturan yang terkait dengan pelaksanan land reform. Jadi, fungsi social
dalam kerangka kepentingan umum ats tanah
dimaksudkan untuk menciptakan keadilan social melalui pelaksanaan reforma
agrarian.
Selanjutnya, kepentingan umum juga secara eksplisit disebutkan di dalam
pasal 18 :
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentngan bangsa san Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
member ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang.
Penjelasan :
Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah.
Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya
harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak.
Pelaksanaan dari pasal ini melahirkan UU No. 20/1961 tentang pencabutan
hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.
Dengan mengacu kepada UUPA No.5 /1960, kita dapat menarik kesimpulan
bahwa pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum mempunyai
144
dua hal pokok yaitu dalam rngka menciptakan keadilan social bagi rakyat dan
sudah tentu bukan untuk kepentingan komersial dan dalam pelaksanaannya
harus memberikan jaminan ganti kerugian yang layak bagi rakyat yang
tanahnya diambil demi kepentingan umum.
Rambu-rambu yang diberikan oleh UUPA 1960 di atas dalam praktiknya
banyak mengalami penyelewengan dimasa orde baru hingga sekarang,
sehingga proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum banyak
menimbulkan masalah khususnya konflik dan sengketa pertanahan yang
berkepanjangan.
Dalam perkembangannya menurut Gunawan Wiradi, pakar politik agrarian
dari IPB, mengutip dari Idham Arsyad (2009) mengatakan bahwa proyek
untuk kepentingan umum adalah sebuah proyek yang kegunaannya lintas
batas batas segmen social, dibiayai dan dijalankan oleh anggaran pemerintah
dan dalam penggunaannya bukan untuk kepentingan komersial.
Pengertian tersebut berubah di dalam UU No. 2Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dimana
proyek-proyek komersial seperti jalan tol dikategorikan sebagai kepentingan
umum.
Selain dari masalah definisi kepentingan umum sebagaimana di uraikan di atas
juga dalam proses pengadaan tanah dilpangan yang kerap dihadapi oleh
pemerintah dan masyarakat adalah masalah pengadaan tanah.
Dalam kasus pembangunan waduk yang merupakan bagian dari untuk
kepentingan umum di dalam kasus ini mencermnkan beberapa masalah dalam
proses pengadaan tanah :
1. Proses sosialisasi dan penetapan ganti kerugian atas tanah garapan
masyarakat tidak dijalankan dengan benar sehingga memicu perlawanan
masyarakat petani yang tanahnya akan terpakai. Lokasi tanah yang akan
dipakai oleh pemerintah dalam pembangunan waduk adalah lokasi
sengketa antara masyarakat penggarap dengan perum perhutani.
145
2. Masyarakat mencurigai bahwa pendekatan yang dipakai pemerintah
daerah dalam pembangunan waduk adalah pendekatan proyek semata.
Sebab, masyarakat melihat bahwa terdapat waduk lama yang sudah tidak
terawatt tidak direvitalisasi dan didekatnya akan dibangun waduk baru
yang akan menggusur tanah-tanah garapan masyarakat.
3. Pro-kontra masyarakat yang setuju dan menolak pembangunan waduk
tidak dijembatani dengan baik sehingga menimbulkan konflik terbuka.
4. Terdapat ketidaksesuaian dalam fungsi waduk selama ini yang
mengakibatkan adanya mafia air yang mengatur distribusi air dan tidak
ditindak oleh pemerintah.
Rendahnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam sebuah
proyek yang secara definisibegitu lekat dengan kepentingan umum yaitu
pembangunan waduk untuk pengairan pertanian telah menjadikan proyek
ini mendapatkan perawanan dari masyarakat. Ini mencerminkan bahwa
kebudayaan hokum, kepatuhan masyarakat sangat ditentukan oleh rekam
jejak proyek-proyek yang selama ini diklaim sebagai proyek kepentingan
umum berbeda dari tujuan awalnya.
146
Prosedur Kompensasi atau Ganti Rugi Pembebasan Hak, Pelepasan Hak
dan Pencabutan Hak terhadap Tanah untuk Kepentintan Umum
Kabupaten Wonosobo
Sebagian dari tokoh masyarakat maupun instansi pemerintah menyebutkan
bahwa sepanjang yang mereka ketehui selama ini pada beberapa daerah
Kabupaten, pembebasan hak (tanah) untuk pembangunan bagi kepentingan
umum tidak ada yang diganti rugi selama tanah mereka tidak diambil
seluruhnya, seperti untuk jalan, sekolah, masjid, puskesmas dan lain-lain,
mereka merasa tidak rugi kalau sebagian dari harta (tanah) mereka
diserahkan untuk kepentingan umum.
Konsep ganti kerugian Pembebasan Hak, Pelepasan Hak dan Pencabutan
Hak terhadap Tanah untuk Kepentingan Umum di Kabupaten Wonosobo
pada saat ini sudah disesuaikan dengan amanat yang termuat dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 yaitu : nilai ganti kerugian ditetapkan
oleh Lembaga Independen melalui jasa Penilai Tanah aau Penilai Publik,
BPN hanya memusyawarahkan bentuk dari kompensasi / ganti kerugian.
Persepsi masyarakat selama ini terhadap prosedur penggantian kerugian
atau kompensasi terhadap pembebasan tanah untuk kepentingan umum
adalah menginginkan ganti kerugian yang layak dan adil. Standar yang
digunakan daerah ini dalam pemberian ganti kerugian atau kompensasi
terhadap pembebasan tanah untuk kepentingan umum adalah Lembaga
Independen Penilai Tanah menggunakan standar NJOP PBB dan aau harga
pasar. Sedangkan menurut Martias Wanto standar yang digunakan dalam
pemberian ganti kerugian terhadap pelepasan tanah untuk kepentingan
umum berkaitan dengan pelebaran jalan untuk kepentingan umum
berpedoman kepada Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 2007, SK Bupati
khusus tanaman dan bangunan berpedoman kepaa HSBGN dan HSPK
yang dikeluarkan oleh Dinas PU.
Pembebasan hak terhadap tanah di Kabupaten Wonosobo Tim Pengadaan
Tanah selalu memperhatikan keharifan local yang dimiliki yaitu dengan
adanya keberadaan tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat untuk
147
pembebasannya sesuai dengan kesepakatan dan persetujuan penguasa dan
ninik mamak selaku penguasa tanah ulayat sesuai dengan adat istiadat
Wonosobo.
Prosedur yang dialami masyarakat sebelum pembebasan tanah adalah
adanya kesepakatan bersama antara pemerintah/BUMN/Badan Milik
swasta sebagai pihak yang berkepentingan atas tanah membentuk tim
pembebasan tanah yang terdiri dari berbagai unsure dan melibatkan
masyarakat adat dengan mengadakan pendekatan kepada mereka yang
puya tanah oleh tokoh masyarakat. Tim pembebasan tanah kemudian
mensosialisasikan rencana pembebasan tanah kepada pemilik tanah dan
menetapkan besaran ganti kerugian/pembayaran ganti kerugian yang
disepakati bersama. Namun dalam beberapa kasus pembebasan tanah
masyarakat pemilik tanah tidak dilibatkan dalam menentukan besaran
ganti kerugian dan prosedur kompensasi sering tidak transpaan terutama
menyangkut tanah ulayat serta sering terjadi izin penggunaan tanah dari
Lembaga pemerintah yang berwenang sudah terbut sementara proses ganti
kerugian di Lapangan belum tuntas dan tak jarang masih dalam sengketa.
Melihat kepada jawaban koesioner yang disampaikan kepada SPI (SErikat
Petani Indonesia Wonosobo) disitu disebutkan bahwa pembebasan hak
terhadap tanah di Wonosobo sering menimbulkan konflik pertanahan
antara masyarakat dengan pemerintah, seperti diketahui kepemilikan tanah
di Kabupaten Wonosobo terdiri dari milik individu dan tanah ulayat
(ulayat kaum dan ulayat nagari), konflik pertanahan timbul ketika
pembebasan hak menyangkut tanah ulayat atau tanah kaum tidak
transparan. Misalnya satu hamparan tanah yang dikelola oleh banyak
orang dalam satu komunitas persukuan, tiba-tiba ketika pelepasan hak atas
tanah pemerintah melalui tim pembebasan tanah tidak melihat seluruh
anggota komunitas tapi hanya melihat kepala suku atau kepala kaum saja.
Belum tentu kepala suku bisa bertindak adil kepada anggota kaumnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pembebasan tanah ulayat dalam
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum perlu
148
melibatkan seluruh anggota kaum yang mengelola tanah yang akan
dibebaskan haknya, dan tim pembebasan tanah perlu melibatkan beberapa
orang perwakilan anggota suku/kaum.
Mengingat kurang jelasnya batas administrasi tanah ulayat suatu kaum
dengan tanah kaum lainnya, batas nagari dengan nagari lainnya yang
ditemukan pada beberapa kasus, perlu dilakukan pemetaan batas-batas
tanah ulayat dan nagari, agar ketika terjadi pelepasan hak tidak berhadapan
dengan tanah yang sedang bersengketa.
Dalam menentukan standar ganti kerugin terhadap pelepasan hak dari
tanah untuk kepentingan umum pemerintah selalu mendasarkan pada
harga sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Masalahnya disini adalah
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak selalu
menetapkan nilai NJOP di bawah harga jual objek yang sesungguhnya
sesuai harga pasar ketika pelepasan hak sedang berlangsung, selisih harga
ini menjadi persoalan antara pemilik tanah dengan pemerintah. Dengan
masalah ini apakah sesuai dengan yang dirasakan adil bagi masyarakat
tentu hal tersebut oleh masyarakat akan dijawab bahwa kompensasi tidak
memenuhi rasa keadilan masyarakat. Untuk pembangunan fasilitas
pemerintah dan fasilitas yang benar-benar menyangkut hajat orang banyak
hendaknya besarnya ganti kerugian disesuaikan dengan harga pasar ketika
proses pelepasan hak sedang berlangsung.
Ketua Walhi Wonosobo menyarankan agar dalam menentukan standar
ganti rugi terhadap pelepasan hak dari tanah untuk kepentingan umum
hendaknya memperhatikan : pertama, efisiensi kedua belah pihak pemilik
dan pemakai lahan tersebut. Kedua, keadilan yang bisa dilihat dari
efisiensi atau tidaknya ganti rugi yang diberikan oleh pemakai pada
penguaa ulayat.
Menurut masyarakat yang dirasakan adil itu ada yang sesuai dan yang
tidak, adil yang tidak sesuai seperti untuk beberapa kasus masyarakat
sering mengeluhkan besaran ganti rugi tidak sesuai dengan keadilan sebab
beberapa waktu terkadang penentuan ganti rugi hanya dilakukan oleh
149
sepihak dan kurang dari harga yang telah ditetapkan oleh Tim penilai
harga yang ditetapkan pemerintah daerah.
Ganti kerugian atau kompensasi dalam setiap pelepasan hak atas tanah
belum tentu dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan
rakyat akan terpenuhi jika fasilitas umum yang akan dibangun benar-benar
untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara. Rasa keadilan
masyarakat akan ternodai jika fasilitas yang dibangun justru untuk
mendukung kepentingan swasta yang berujung pada penggusuran tanah-
tanah rakyat dengan dalih kepentingan umum. Disaat penguasaan tanah di
Indonesia yang timpang saat ini, dimana penguasaan tanah terkonsentrasi
pada segelintir orang (modal swasta nasional dan modal asing), sementara
jutaan petani kekuarangan tanah.
Penentuan besarnya ganti rugi sebaiknya lebih memperhatikan masyarakat
sebagai pemilik lahan dan pemerinta lebih memperhatikan lagi bagaimana
sebelumnya masyarakat memanfaatkan lahan tersebut, sebab selama ini
kebanyakan pembebasan lahan berada pada tempat pemanfaatan
masyarakat yang semula adalah lahan mata pencarian masyarakat tersebut.
Jika lahan tersebut harus dibebaskan juga sebaiknya memperhatikan ganti
rugi yang layak dan adil.
Kemudian realisasi pengganti kerugian seharusnya dibayarkan langsung
oleh instansi pemerintah yang membutuhkan tanah kepada pemilik atau
kuasanya, dan setiap instansi pemerintah yang merencanakan
pembangunan kepentingan umum harus sekaligus menyediakan anggaran
untuk ganti kerugian dengan tidak membebankan keinstansi lain.
Persepsi masyarakat terhadap penentuan ganti kerugian atau kompensasi
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum sesuai atau tidak dengan
rasa keadilan relative ada masyarakat yang merasa sudah cukup dengan
ganti rugi yang diberikan. Ada juga yang memperhatikan bagaimana
kedepannya sebab ketika lahan mata pencaharian masyarakat yang
digunakan tentu ganti rugi yang diberikan harus sesuai, misalnya
masyarakat pertanian yang jika lahan pertanian mereka dibebaskan untuk
150
berbagai kepentingan umum dengan tentunya ganti rugi tersebut harus
sesuai dengan pendapatan ataupun pengelolaan oleh masyarakat yang
sebelumnya mereka dapatkan.
Penentuan ganti kerugian disarankan untuk mengadakan kompensasi
sebab biasanya seperti di daerah Kabupaten Wonosobo mereka tidak mau
menghilangkan harta pusakany, sebab kalau adanya penggantian kerugian
maka gantinya itu tetap akan menjadi harta pusaka yang akan
dipergunakan secara turun temurun sampai akhir zaman.
Dalam kompensasi yang telah ditentukan juga memperhitungkan
kepentingan-kepentingan warga masyarakat yang kehidupannya
tergantung pada tanah yang dibebaskan tersebut, sebagian besar
masyarakat meski sudah mendapatkan kompensasi tetap mengeluhkan
ganti rugi dan kompensasi yang mereka dapatkan sebab terkadang
masyarakat terpaksa memberkan lahan mereka untuk diberikan pada pihak
lain. Ada yang memperhatikan kepentingan masyarakat akan tetapi
terkadang perealisasian kompensasi yang terkendala padahal masyarakat
sudah merelakan lahan mata mencaharian mereka digarap oleh pihak lain.
Keluhan masyarakat diantaranya adalah proses ganti rugi tidak sesuai
dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Seperti pelepasan tanah
pembangunan jalan Bypass di Wonosobo sistim konsolidasi kelalaian
pemerintah yang sudah klear, tidak betul-betul diselesaikan sehingga
menimbulkan konflik, yang tadinya tanahnya untuk kepentingan umum
besoknya sudah menjadi milik orang lain, dang anti kerugian tanah
nilainya tidak sebanding dengan penggantiannya. Ketika sawah lading
petani dilepaska bahwa sementara si petani tidak mendapatkan lagi tanah
sebagai tempat berusaha, tidak semua petani mampu bertahan ketika
mencoba alih profesi.
151
Hambatan Dalam Proses Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
Berdasarkan penelitian yang tim lakukan di Kabupaten Wonosobo dengan
berlakunya Undang-undang No. 2 Tahun 2012, saat ini program pengdaan
tanah belum tersosialisasikan secara lebih baik, mengingat UU tersebut
masih baru. Oleh karena itu dirasa perlu kajian dan penyamaan persepsi
dalam menafsirkan amanat UU dan pemahaman yang sama dalam
pelaksanaan UU tersebut. Hambatan lainnya berkaitan dengan penetapan
lokasi oleh Gubernur melalui proses relative panjang, begitupun proses
pembebasan tanah dihadapkan dengan kepentingan masyarakat dari proses
penilaian ganti kerugian serta musyawarah penetapan ganti kerugian
dengan warga masyarakat relative sulit untuk titik temu dan kesepakatan.
Praktek penggantian kerugian selama ini ada kecenderungan ganti
kerugian ini ditekankan sedemikian rupa sehingga menyulitkan bagi
pelaksana kegiatan atau panitia menyepakati ganti kerugian dengan
pemilik tanah, tidak jarang hal ini memicu sengketa bahkan cenderung
menjadi momok bagi panitia atas tuduhan korupsi.
Sebetulnya pada saat proses pembebasan tanah dihadapkan dengan
kepentingan warga masyarakat hambatannya ada seperti :
i. Prokontra masyarakat dalam pengadaan tanah tetap ada.
j. Sulitnya menentukan harga setempat sesuai dengan lokasi.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden No. 71
Tahun 2012 pelaksanaannya di daerah lebih lanjut diatur dengan
peraturan Gubernur bukan dengan Peraturan Daerah.
Adanya kelemahan terhadap undang-undang ini, dimana Undang-Undang
No.2 Tahun 2012 tidak membedakan antara pengadaan tanah dan
pencabutan hak atas tanah, akibatnya Undang-Undang No. 20 Tahun 1961
seakan tidak Berfungsi lagi, pada hal undang-undang tersebut tidak
dicabut oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2012. Lainnya undang-undang
ini menggunakan pengadilan sebagai tempat legitimasi pemaksaan dalam
pengadaan tanah.
152
BAB V
ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Secara yuridis kewenangan pemerintah untuk mengatur pelaksanaan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum harus didasarkan kepada aturan yang berlaku.
Landasan hokum yang sekarang berlaku sebagai hokum positif masih peralihan
aturan hokum lama terhadap aturan hokum yang baru, secara formal aturan
hokum yang berlaku sekarang ini adalah UU No.2 Tahun 2012 tetapi untuk
pelepasan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang
telah dilakukan menjelang berlakunya undang-undang tersebut masih memakai
ketentuan aturan lama dan hal ini terbukti dilapangan selain itu banyak hal-hl
yang menjadi kendala didalam pelaksanaan hokum karena dihadapkan pada
aspek-aspek non hokum yang terjadi di lapangan, untuk jelasnya seperti terurai di
bawah ini:
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 saat ini.
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 dinyatakan bahwa pemerintah tidak
bisa lagi sewenang-wenang mengambil tanah warga untuk proyek pembangunan.
Undang-undang ini merupakan peraturan pertama yang mengatur secara detail
tentang masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sebelumnya,
pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya didasarkan pada
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan
umum ini juga mengakomodasi kepentingan pembangunan sekaligus melindungi
hak-hak masyarakat akan tanah mereka. Dengan peraturan baru ini, pemerintah
tidak bisa mencabut hak tanah warga secara sewenang-wenang, namun sebaliknya
warga juga tidak bisa memikirkan kepentingan sendiri. Jika tanah warga
153
dibutuhkan oleh Negara untuk kepentingan umum, warga wajib menyerahkannya.
Tentu saja dalam prosesnya pemerintah tidak boleh sewenang-wenang.
Masyarakat dilibatkn dari mulai perencanaan, penetapan hingga pembebasan
lahan. Bahkan jika masih ada yang keberatan, warga juga bisa mengajukan
gagutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hak mengajukan gugatan
diatur dalam pasal 23 ayat 1 undang-undang ini. Selain itu, warga juga dilibatkan
dalam penetapan ganti kerugian. Penetapan dilakuka melalui proses musyawarah
yang dilakukan paling lama 30 hari sejak penyampaian hasil penelitian (pasal 37
ayat 1)
Kemudian, warga juga bisa memilih bentuk ganti rugi tanah, tidak hanya berupa
uang tapi bisa juga berupa tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan
saham atau kombinasi lain yang disetujui oleh kedua belah pihak (pasal 36).
Undang-undang tidak mengenal istilah pemegang hak, tetapi yang berhak atas
tanah, termasuk tanah akan diatur di situ.
Dalam penjelasan pasal 40 disebutkan, pemberian ganti rugi harus diserahkan
langsung kepada pihak yang berhak atas ganti rugi. Undang-undang Pengadaan
Tanah ini pada akhirnya akan memberikan kepastian dan keadilan bagi semua
pihak. Jika ada rencana proyek, pemerintah akan mengumumkan kepada
masyarakat, pemilik lahan akan diajak bicara. Warga bisa menyaakan tidak setuju
lalu dibicarakan. Harganya ditentukan melalui appraisal yang independent.
Undang-undang ini dapat memperjelas implementasi pembangunan infrastruktur
umum, sehingga tidak ada lagi alas an tidak mampu untuk membebaskan tanah.
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pihak yang melepaskasn
hak atas tanahnya karena digunakan untuk kegiatan pembangunan, hanya dibatasi
pada orang atau badan hokum yang mempunyai hubungan hokum yang konkrit
dengan tanah haknya. Batasan ini dinilai kurang memberikan perlindungan
kepada warga masyarakat bukan pemegang hak atas tanah, tetapi menggunakan
tanah tersebut seperti penyewa, penggarap, pihak yang menguasai dan menempati
tanah serta pemilik bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah.
154
Peran serta masyarakat, hendaknya dilakukan tidak hanya pada saat akan
menetapkan besarnya ganti rugi, tetapi juga pada tahap-tahap sebelumnya, seperti
inventarisasi, penyuluhan dan konsultasi dan lain-lain.
Musywarah harus sungguh-sungguh dijadikan sarana untuk mempertemukan
perbedaan kepentingan dan keinginan dari pihak yang memerlukan tanah dengan
pihak yang tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum.
Oleh karena itu musyawarah dalam pengertian sebagai kegiatan yang
mengandung proses saling mendengar, saling member, menerima pendapat serta
keinginan atas dasar sukarela dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, dengan
pihak yang memerlukan tanah, dilaksanakan dengan sukarela dan menjauhkan
kondisi psikologis yang menghalangi terjadinya proses tersebut.
Jenis ganti rugi harus memperhatikan factor-faktor yang bersifat fisik, seperti
tanah, bangunan, tanaman, benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, da
yang bersifat non fisik. Bentuk ganti rugi harus sesuai dengan kesepakatan yang
dicapai dalam musyawarah, bentuk ganti rugi juga harus komprehensif. Ganti
kerugian seyogjanya idak bertumpu hanya pada bentuk uang, tetapi juga bentuk-
bentuk lain yang dibutuhkan pemegang hak seperti tanah pengganti, pemukiman
kembali, gabungan dari kedua atau ketiganya dan bentuk lain yang disepakati.
Setelah itu baru ditentukan besarnya ganti kerugian berdasarkan bentuk-bentuk
yang disepakati. Jika dalam bentuk uang berapa jumlahnya, dalam bentuk tanah
penggantinya berapa luasnya, dalam bentuk pemukiman kembali seperti apa
kualitas lokasi dan sebagainya.
Dengan diterimanya ganti rugi tersebut, maka kehidupan pihak yang melepaskan
tanah, menjadi lebih baik, atau minimal setara dengan tingkat kehidupan social
ekomoni sebelum tanahnya dilepaskan untuk kepentingan umum.
Kepentingan umum
Pasal 18 UUPA menyebutkan bahwa “Untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas tanah dapat dicabut, dengan member ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur dengan Undang-undang”. Pelaksanaan pasal 18 ini diatur dalam
155
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan
Benda-benda yang ada diatasnya dan oeprasionalnya berdasarkan pada instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan
pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.
Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 menyebutkan bahwa : Untuk
kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka PResiden
dalam keadaan memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman
dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-
benda yang ada diatasnya.”
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa kepentingan umum
menurut UUPA dan Undang-undang No. 20 Tahun 1961 adalah dalam arti
peruntukannya, yaitu untuk kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan
pembangunan. Dengan kata lain kepentingan umum adalah kepentingan yang
harus memenuhi peruntukannya dan harus dirasakan kemanfaatanyya, dalam arti
dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan baik langsung maupun tidak
langsung.
Dalam penjelasan pasal 49 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara disebutkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan
Negara atau kepentingan masyarakat bersama dan atau kepentingan
pembangunan. Kemudian UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia dalam penjelasan huruf c menyebutkan pula bahwa kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa dan Negara dan atau kepentingan masyarakat luas.
Meurut Arie Sukanti, kepentingan umum adalah kepentingan yang menyangkut
hajat hidup orang banyak, berfungsi melayani dan memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Karena pengadaan tanah merupakan perbuatan hokum public maka kegiatan
pengadaan tanah pada prinsipnya ditujukan untuk kepentingan umum, bukan
kepentingan swasta. Oleh karena itu, setiap hokum pengadaan tanah selalu
berjudul tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
156
Pengertian kepentingan umum merupakan salah satu isu sentral dalam pengadaan
tanah, karenanya hokum harus memberikan batasan yang tegas supaya tidak
ditafsirkan oleh pemerintah untuk kepentingan lain.pada masa lalu baik Orde lama
maupun orde baru, istilah kepentingan umum sering dijadikan tameng bagi
pengusaha dengan menggunakan corong pemerintah agar kepentingannya dalam
perolehan tanah lancer. Hal inilah yang pertama kali diterobos oleh Keppres No.
55 Tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum.
Keppres no. 55 Tahun 1993 memberikan garisan yang tegas terhadap kepentingan
umum. Kepentingan umum adalah seluruh kepentingan lapisan masyarakat.
Keppres ini memberi criteria setiap pembangunan dapat dikatakan sebagai
kepentingan umum. Ada 3 (tiga) criteria pembangunan sebagai kepentingan
umum : (1) pembangunan itu dilakukan oleh pemerintah, (2) selanjutnya dimiliki
oleh pemerintah; serta (3) tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Dalam
Keppres ini disebutkan ada 14 (empat belas) bentuk kegiatan pembangunan untuk
kepentingan umum. Keppres ini memberikan solusi jika kemudian terdapat
pembangunan yang secara substansi sebagai kepentingan umum tetapi tidak
tercantum ke dalam daftar yang 14 tersebut, Presiden dapat mengeluarkan
keputusan (beschikking) yang menyatakan pembangunan tersebut adalah
kepentingan umum. Jika pemerintah menganggap perlu ada kegiatan
pembangunan yang sangat penting (kepentingan umum) tetapi tidak terdapat di
dalam daftar yang 14 tersebut, seperti jalan tol, maka tidak perlu dengan cara
mengganti Keppres No. 55 Tahun 1993. Namun tawaran ini tidak ditempuh oleh
pemerintah, sehingga untuk mengakomodasi jalan tol saja misalnya pemerintah
harus mengeluarkan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 dengan mencabut
Keppres No. 55 Tahun 1993.
Penentuan kepentingan umum di dalam Keppres ini sejalan dengan metode
temuan Michael G. Kitay, yang menyatakan ada 2 (dua) cara untuk penentuan
kepentingan umum : pertama General guidelines, yaitu dengan cara memberikan
ketentuan umum terhadap kepentingan umum seperti kepentingan social,
kepentingan umum, kepentingan kolektif atau bersama. General guidelines ini
157
diberikan oleh legislative, lalu dalam pelaksanaannya eksekutiflah yang
menentukan apa saja bentuk kepentingan umum dimaksud seperti rumah sakit.
Kedu, List provisions yaitu penetunan kepentingan umum secara eksplisit,.
Namun Katay menyatakan selanjutnya bahwa kebanyakan Negara-negara
sekarang menggabungkan kedua cara tersebut dalam pengaturan pengadaan tanah.
Disamping membuat pernyataan umum kepentingan umum juga sudah diturunkan
ke dalam daftar kegiatan secara limitative.
Dalam penentuan pengertian kepentingan umum Perpres No. 36 Tahun 2005,
sebagai pengganti Keppres No. 55 Tahun 1993, memakai metode yang sama
dengan Keppres. Perbedaan di antara keduanya adalah isi ketentuan tersebut.
Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat.
Perpres ini tetap menentukan criteria kepentingan umum, walaupun hanya satu,
yaitu pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
Perpres tersebut juga menentukan daftar kegiatan kepentingan umum. Perpres no.
36 diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 termasuk yang salah satu diubah
adalah tentang penentuan kepentingan umum. Adapun perubahan tentang
kepentingan umum dalam Perpres ini meliputi criteria dan daftar kegiatan
kepentingan umum. Pembangunn kepentingan umum ada 2 (dua) criteria yaitu (1)
yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah ; (2) yang selanjutnya
dimiliki atau “akan dimiliki” oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Perpres No.
65 Tahun 2006 juga memuat daftar kegiatan pembangunan kepentingan umum
yang terbagi atas 7 (tujuh) kegiatan, termasuk juga jalan umum dan jalan tol.
Pengertian kepentingan umum tersebut relative lebih tegas dan berkepastian
hokum sebagaimana ditegaskan lebih lanjut pada pasal 1 angka 6 UU No. 2 Tahun
2012 dan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 pasal 1 angka 6 yaitu
kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, Negara dan masyarakat yang
harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. UU tersebut juga mengubah pengertian dan ruang lingkup
kepentingan umum, pembangunan kepentingan umum meliputi 18 (delapan belas)
kegiatan. Criteria kepentingan umum ditentuan : (1) diselenggarakan oleh
158
pemerintah dan (2) tanahnya selanjutnya dimiliki pemerintah atau pemerintah
daerah.
Melihat kepada beberapa kali perubahan pengertian, criteria dan kegiatan
pembangunan kepentingan umum tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian kepentingan umum menjadi isu sentral dalam pengadaan tanah.
Ganti kerugian
Undang-undang No. 2 Tahun 2012 pada pasal 1 angka 10 telah merumuskan ganti
kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam
proses pengadaan tanah.
Ganti kerugian sebagai suatu upaya mewujudkan penghormatan kepada hak-hak
dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum,
dapat disebut adil, apabila hal tersebut tidak membuat seseorang menjadi lebih
kaya, atau sebaliknya menjadi lebih miskin dari keadaan semula. Agar terasa adil
bagi pemegang hak. Seyogyanya berbagai criteria tertentu itu diterapkan secara
obyektif, dengan standar yang telah ditentukan dicapai secara musyawarah antara
pemegang hak dan instansi yang memerlukan tanah tersebut. Untuk bangunan,
taksiran ganti kerugian hendaknya dengan memperhitungkan biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk perbaikan seperlunya, setelah diumumkannya pengadaan tanah
tersebut.
Kebijakan mengenai pemberian ganti rugi sebenarnya tidaklah terbatas pada
penggantian nilai tanah bangunan dan tanam-tanaman, tetapi juga seharusnya
meliputi penilaian kerugian yang bersifat immaterial dan kerugian yang timbul,
seperti kegiatan usahanya, akibat perpindahan ketempat lain, jumlah pelanggan
dan keuntungan yang berkurang.
Hak pemegang hak atas tanah
Undang-undang relative membatasi hak para pemegang hak yang tanahnya
diperlukan untuk pembangunan. Pasal 55 UU No. 2 Tahun 2012 menyebutkan
bahwa yang berhak atas tanah mempunyai hak untuk mengetahui rencana
penyelenggaraan pengadaan tanah, dan memperoleh informasi mengenai
pengadaan tanah. Diatur lebih lanjut Perpres No. 71 Tahun 2012.
159
Mengingat bahwa musyawarah untuk mencapai kesepakatan dipengaruhi oleh
keterbukaan informasi terkait hal yang paling hakiki bagi pemegang hak, yakni
kesejahteraan social ekonominya pasca tanahnya dilepaskan untuk kepentingan
umum, maka seyogjanya dalam tahap konsultasi public, dibutuhkan dialog terkait
informasi penting mengenai antara lain:
a. Cara penilaian besarnya ganti kerugian terhadap tanah yang meliputi :
1) Tanah
2) Ruang atas dan bawah tanah
3) Bangunan
4) Tanaman
5) Benda yang terkait dengan tanah, dan/atau
6) Kerugian lain yang dapat dinilai (pasal 33 UU ), diatur dalam Perpres
No. 71 tahun 2012
b. Ganti kerugian dapat berbentuk :
1) Uang
2) Tanah pengganti
3) Permukiman kembali
4) Kepemilikan saham; atau
5) Bentuk lain yan disepakati oleh kedua belah pihak
c. Hak untuk mengajukan keberatan, tata cara dan jangka waktunya
1) Keberatan terhadap rencana lokasi pengadaan tanah
2) Keberatan terhadap penawaran ganti kerugian
Sesuai dengan UU No. 14/2008 tentang keterbukaan informasi public,
maka informasi terkait dengan 3 (tiga) hal tersebut di atas wajib
disampaikan kepada masyarakat, utamanya karena kebijakan
pengadaan tanah berpengaruh terhadap masyarakat yang terkena
dampak. Disisi lain, keterbukaan informasi akan mendorong partisipasi
masyarakat dalam proses pengadaan tanah. Oleh karena itu, hasil
penilaian penilai (laporan penilai) terkait besarnya nilai ganti kerugian
(pasal 34) di samping disampaikan kepada Lembaga Pertanahan, wajib
disampaikan kepada masyarakat.
160
Konsultasi public
Konsultasi public merupakan proses komunikasi dialogis atau
musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai
kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum
Dasar hokum pengadaan tanah untuk kepentingan umum
Berdasarkan Hak menguasai Negara sebagaimana ditegaskan dalam
pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pemerintah dapat melakukan perolehan
tanah. Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 perubahan kedua menyebutkan
bahwa : “setiap orang yang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang
oleh siapapun”. Kemudian pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 pada
perubahan kedua menegaskan bahwa “ dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
hokum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Pasal 6 UUPA pasal 18 UUPA dan UU No. 20 Tahun 1961, Peraturan
Pelaksanaan secara berturut-turut atau landasan yuridis yang
digunakan dalam pengadaan tanah adalah :
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15/1975 tentang Ketentuan-
ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah
2. Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2/1976 tentang Penggunaan
Acara Pembebasan Tanah untuk kepentingan Pemerintah bagi
pembebasan tanah oleh pihak swasta
161
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2/1985 tentang tata cara
pengadaan tanah untuk keperluan proyek pembangunan di wilayah
kecamatan. Ketiga peraturan diatas dicabut dengan :
4. Keppres No. 55/1993 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum. Keppres ini juga telah
dicabut
5. Perpres No. 36/2005 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum Perpres ini mencabu
Keppres No.55/1993
6. Perpres No. 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk kepentingan umum Perpres ini mencabut
Perpres No. 36/2005
7. Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2007 tentang Petunjuk teknis
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum
8. Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum
9. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
10. Peraturan kepala badan pertahanan nasional nomor 5 tahun 2012
tentang Petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum
Konsepsi hokum tanah nasional diambil dari hokum adat, yakni
berupa konsepsi yang komunalistik religious yang memungkinkan
penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah
yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsure kebersamaan.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UUPA bahwa, “hak atas
tanah mempunyai fungsi social kemudian dalam penjelasan UUPA
II.4 dijelaskan : “hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,
tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan
(atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
162
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaannya dan sifat dari haknya, hingga bermanfaat bagi
kebahagiaan dan kesejahteraan yang mempunyainya maupun
bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.
Melihat kepada penjelasan UUPA tersebut menurut aturan hokum
Agraria tanah itu mempunyai fungsi social untuk kepentingan
individu dan kepentingan umum. Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi social maksudnya bukan hak milik saja tetapi
semua hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 16 UUPA.
Sehubungan denga hal tersebut bahwa :
Seyogjanya pasal 6 itu semua “hak” agrarian mempunyai fungsi
social. Dalam hal ini tidak hanya tanah saja tetapi hak-hak agrarian
selain tanah yang mencakup bumi, air, ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya mempunyai fungsi
social.
Dasar hokum fungsi social tersebut didasarkan pada pasal 33 ayat 3
UUD 1945 yang menyebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Melihat pada pasal
tersebut, maka tanah yang dimiliki seseorang bukan hanya
memiliki fungsi social da diperutukan bagi pemiliknya saja, tetapi
juga harus bermanfaat bagi bangsa Indonesia seluruhnya dan
sebaliknya setiap tanah tersebut dibutuhkan untuk kepentingan
umum, maka pemilik dengan sukarela harus menyerahkan
tanahnya.
163
Penetapan Harga Kendala Pengadaan Tanah di IndonesiaWednesday 0 comments
Penetapan Harga Menjadi Kendala Utama Pengadaan Tanah di Indonesia
164
sumber gambar : google.com
Sekarang ini tanah menjadi suatu barang yang mempunyai nilai ekonomi tinggi,
khususnya yang berada dikawasan strategis. Mengetahui hal itu seseorang akan
rela mempertahankan tanahnya secara mati-matian jika hak kepemilikan tanahnya
direbut oleh orang lain. Berbagai macam cara akan ditempuh sebagian orang
untuk mempertahankan kepemilikan tanahnya. Padahal sesuai dengan UUPA
tanah mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentinggan pribadinya, apalagi jika hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.[1]
Pembangunan infrastruktur seperti : waduk, jalan, pembangkit tenaga listrik berperan sangat penting dalam menunjang berkembangnya perekonomian suatu bangsa. Tanpa adanya fasilitas tersebut gerakan ekonomi akan sangat lambat. Akan tetapi, tanah yang merupakan suatu wadah bagi pembangunan telah banyak dilekati dengan hak (tanah hak) ,sementara tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.[2] Untuk itu, sebagai salah satu solusi dari masalah tersebut adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” (oleh pemerintahrangka pelaksanaan pembangunan untuk
165
kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah.[3] Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Sedangkan kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[4] Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum seringkali terhambat pada proses pengadaan tanah.
Menurut Ahmad Husein Hasibuan ada 2 (dua) kendala yang terdapat dalam
pelaksanaan pengadaan tanah : faktor psikologis masyarakat dan faktor dana
( Ahmad Husein Hasibuan, 1986 : 6-7). Yang selama ini sering menjadi masalah
dalam pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak lebih dikarenakan oleh faktor
dana daripada faktor psikologis masyarakat.[5] Ini terbukti bahwa selama ini yang
menjadi permasalahan dalam pengadaan tanah bukan mengenai ada-tidaknya
kesediaan pemilik tanah untuk menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum,
melainkan karena para pemilik tanah menganggap bahwa ganti-rugi yang
ditawarkan tidak sesuai dengan harga pasar setempat.
Selama ini terhambatnya pelaksanaan pengadaan tanah pada umumnya
disebabkan oleh ketidaksesuaian harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga
yang dikehendaki oleh masyarakat. Masyarakat selaku pemilik tanah biasanya
menolak harga dari pemerintah yang menurut mereka terlalu murah. Mereka akan
mematok harga lebih tinggi dari harga pasar atau paling tidak sesuai dengan harga
pasar, bahkan ada masyarakat yang menetapkan harga ganti rugi itu didasarkan
pada harga sekian tahun kedepan atau setelah tanahnya dibebaskan dan telah
dijadikan sarana umum.[6]
166
Pemerintah dalam menetapkan besarnya ganti rugi selama ini hanya menghitung
pada aspek fisik saja. Besarnya ganti rugi seharusnya juga memperhitungkan
aspek non fisik terhadap warga yang terkena dampak dari pembangunan tersebut
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 pasal 1 ayat 11. Boedi
Harsono juga berpendapat bahwa yang kebijakan mengenai pemberian ganti rugi
sebenarnya tidaklah terbatas pada penggantian nilai tanah, bangunan, dan tanam-
tanaman, tetapi juga seharusnya meliputi penilaian kerugian yang bersifat
immaterial dan kerugian yang timbul, seperti kegiatan usahanya, akibat
perpindahan ke tempat lain, jumlah pelanggan dan keuntungan yang berkurang.[7]
Yang sering juga memperkeruh masalah dalam proses pengadaan tanah adalah
adanya campur tangan pihak-pihak tertentu yang ingin mendapatkan keuntungan
pribadi dengan memanas-manasi masyarakat untuk meminta harga yang sangat
tinggi/ tidak wajar, yang mengakibatkan pembangunan terhambat karena
penyelesaian menjadi berlarut-larut dan berkepanjangan.[8] Pihak ini bisa saja
dari warga yang tidak mau diganti rugi dan mempengaruhi warga yang lain agar
menolak harga ganti rugi dari pemerintah. Dan tak jarang pula kondisi tersebut
memicu suatu benturan antar warga.
[1] Lihat Penjelasan Umum Undang Undang Pokok Agraria Bab II angka 4
167
[2] http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2011/03/PengadaanTanah.pdf,
Pengadaaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Diakses tanggal 19 Januari 2013
pukul 21.04.
[3] Lihat Pasal 1, Keppres 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum Demi
Pembangunan.
[4] Lihat Pasal 1 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012.
[5] Oloan Sitorus, Pelepasan atau Penyerahan Hak Sebagai Cara Pengadaan Tanah
(Jakarta: Dasamedia Utama, 1995), hlm. 49
[6] Adrian Sutedi, S.H., M.H., Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 355
[7] Boedi Harsono, : “Masalah Kerangka Persoalan dan Pokok-pokok
Kebijaksanaan Pertanahan Nasional, dalam BF Sihombing, Pergeseran Kebijakan
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah dan Swasta (Studi Kasus
Pengaturan Pemilikan, Penguasaan Tanah di Provinsi DKI Jakarta)”, Disertasi,
Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.
[8] Adrian Sutedi, S.H., M.H., Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 354
168
PROSEDUR PENGADAAN TANAH MENURUT UNDANG – UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Dalam
UU ini pengadaan tanah adalah untuk kepentingan Umum, artinya menyediakan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum pihak yang berhak. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
diselenggarakan oleh Pemerintah.Pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya
pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah
pemberian ganti kerugian yang layak dan adil atau berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tanah yang
selanjutnya dibangun sesuatu untuk kepentingan umum akan menjadi milik
Pemerintah/Pemerintah Daerah atau menjadi milik BUMN apabila dipergunakan
untuk kepentingannya.
Tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud adalah untuk
pembangunan:
a) pertahanan dan keamanan nasional;
b) jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api;
c) waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan
air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d) pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g) jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
169
h) tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j) fasilitas keselamatan umum;
k) tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l) fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m) cagar alam dan cagar budaya;
n) kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta
perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p) prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q) prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r) pasar umum dan lapangan parkir umum.
Untuk mengerjakan pembangunan seperti di atas, kecuali untuk pertahanan dan
keamanan nasional yang diatur oleh perundang – undangan, maka hal tersebut
diselenggarakan oleh Pemerintah yang dapat bekerja sama dengan BUMN,
BUMD, dan Badan Usaha Swasta.
Yang harus diperhatikan dalam membangun untuk kepentingan umum adalah :
a. Rencana Tata Ruang Wilayah;
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
c. Rencana Strategis; dan
d. Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui 4 tahapan:
170
1. Perencanaan;
2. Persiapan;
3. Pelaksanaan; dan
4. Penyerahan hasil.
1. Perencanaan Pengadaan Tanah
Perencanaan pengadaan tanah untuk Kepentingan umum didasarkan atas
Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum
dalamRencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana
Kerja Pemerintah Instansi yangbersangkutan.Perencanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam disusun dalam bentuk dokumen
perencanaan pengadaan tanah, yang paling sedikit memuat:
maksud dan tujuan rencana pembangunan;
kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Pembangunan
Nasional dan Daerah;
letak tanah;
luas tanah yang dibutuhkan;
gambaran umum status tanah;
perkiraan waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;
perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
perkiraan nilai tanah; dan
rencana penganggaran.
Dokumen perencanaan pengadaan tanah disusun berdasarkan studi kelayakan
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dokumen perencanaan tersebut dibuat dan ditetapkan oleh Instansi yang
memerlukan tanah kemudian diserahkan kepada pemerintah provinsi.
171
2. Persiapan Pengadaan Tanah
Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi berdasarkan
dokumen perencanaan pengadaan tanah :
a) Pemberitahuan rencana pembangunan
Pemberitahuan rencana pembangunan disampaikan kepada masyarakat pada
rencana lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, baik langsung maupun
tidak langsung.
b) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan meliputi kegiatan pengumpulan
data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah.Pendataan awal
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan awal lokasi rencana
pembangunan digunakan sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi publik
rencana pembangunan.
c) Konsultasi publik rencana pembangunan
Konsultasi publik adalah proses komunikasi dialogis atau musyawarah antar
pihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam
perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Konsultasi publik rencana pembangunan dilaksanakan untuk mendapatkan
kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak dengan
melibatkan pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta
dilaksanakan di tempat rencana pembangunan kepentingan umum atau di tempat
yang disepakati. Pelibatan pihak yang berhak dapat dilakukan melalui perwakilan
dengan surat kuasa dari dan oleh pihak yang berhak atas lokasi rencana
pembangunan. Setelah mencapai kesepakatan, maka dituangkan dalam bentuk
berita acara kesepakatan. Kemudian Instansi yang memerlukan tanah dapat
172
mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada Gubernur sesuai dengan
kesepakatan tersebut. Gubernur menetapkan lokasi dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak di terimanya pengajuan permohonan
penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
Konsultasi publik rencana pembangunan dilaksanakan dalam waktu paling
lama 60 (enam puluh) hari kerja. Apabila sampai dengan jangka waktu 60 (enam
puluh) hari kerja pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan terdapat
pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan, dilaksanakan
konsultasi publik ulang dengan pihak yang keberatan paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja. Apabila masih terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi
pembangunan, Instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud
kepada gubernur setempat. Gubernur akan membentuk tim untuk melakukan atas
keberatan rencana lokasi pembangunan. Tim sebagaimana dimaksud terdiri atas:
Sekretaris Daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua merangkap
anggota;
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai sekretaris merangkap
anggota;
Instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan daerah
sebagai anggota;
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai
anggota;
Bupati/Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; dan
Akademisi sebagai anggota.
Tim bentukan Gubernur tersebut bertugas sebagai berikut :
Menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan
Melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan
Membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan
173
Hasil kajian tim berupa rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan rencana
lokasi pembangunan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak diterimanya permohonan oleh gubernur. Gubernur berdasarkan
rekomendasi mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana
lokasi pembangunan.
Dalam hal ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan, Gubernur
menetapkan lokasi pembangunan. Dalam hal diterimanya keberatan atas rencana
lokasi pembangunan, Gubernur memberitahukan kepada Instansi yang
memerlukan tanah untuk mengajukan rencana lokasi pembangunan di tempat lain.
Dalam hal setelah penetapan lokasi pembangunan masih terdapat keberatan, pihak
yang berhak terhadap penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
dikeluarkannya penetapan lokasi. Pengadilan Tata Usaha Negara memutuskan
diterima atau ditolaknya gugatan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak diterimanya gugatan. Pihak yang keberatan terhadap putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau tidaknya
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Gubernur bersama
Instansi yang memerlukan tanah mengumumkan penetapan lokasi pembangunan
untuk kepentingan umum dimaksudkan untuk pemberitahuan kepada masyarakat
bahwa di lokasi tersebut akan dilaksanakan pembangunan untuk kepentingan
umum.
3. Pelaksanaan Pengadaan Tanah
174
Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum,
Instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah
kepada Lembaga Pertanahan. Pelaksanaan pengadaan tanah meliputi:
a) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah
b) Penilaian ganti kerugian
c) Musyawarah penetapan ganti kerugian
d) Pemberian ganti kerugian, dan
e) Pelepasan tanah Instansi.
Setelah penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, pihak yang
berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang
memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Beralihnya hak dilakukan
dengan memberikan ganti kerugian yang nilainya ditetapkan saat nilai
pengumuman penetapan lokasi.
a) Inventarisasi dan Identifikasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, serta
Pemanfaatan Tanah
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja yang meliputi kegiatan:
(1) Pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah
(2) Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan objek pengadaan tanah.
Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah wajib diumumkan di kantor desa/kelurahan, kantor kecamata,
dan tempat pengadaan tanah dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari kerja yang dilakukan secara bertahap, parsial, atau keseluruhan. Pengumuman
175
hasil inventarisasi dan identifikasi meliputi subjek hak, luas, letak, dan peta
bidang tanah objek pengadaan tanah.
Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi, pihak yang berhak dapat
mengajukan keberatan kepada Lembaga Pertanahan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi. Apabila
keberatan atas hasil inventarisasi dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan.
Dalam hal masih juga terdapat keberatan atas hasil inventarisasi inventarisasi dan
identifikasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan ditetapkan oleh Lembaga
Pertanahan dan selanjutnya menjadi dasar penentuan pihak yang berhak dalam
pemberian ganti kerugian.
b) Penilaian Ganti Kerugian
Lembaga Pertanahan menetapkan penilai sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Lembaga Pertanahan mengumumkan penilai yang telah
ditetapkan untuk melaksanakan penilaian objek pengadaan tanah. Penilai yang
ditetapkan wajib bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan
dan apabila terdapat pelanggaran dikenakan sanksi administratif dan/atau pidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh penilai dilakukan bidang per bidang
tanah, meliputi:
(1) Tanah
(2) Ruang atas tanah dan bawah tanah
(3) Bangunan
(4) Tanaman
176
(5) Benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau
(6) Kerugian lain yang dapat dinilai.
Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat
pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Besarnya
nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai disampaikan kepada
Lembaga Pertanahan dengan berita acara dan menjadi dasar musyawarah
penetapan ganti kerugian. Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena
Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan
peruntukan dan penggunaannya, pihak yang berhak dapat meminta penggantian
secara utuh atas bidang tanahnya.
Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
Uang
Tanah pengganti
Permukiman kembali
kepemilikan saham, atau
bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
.com
c) Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian
Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari
penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian. Berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian.
Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian
kepada pihak yang berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.
177
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
negeri setempat dalam waktu paling lama 14(empat belas) hari kerja setelah
musyawarah penetapan ganti kerugian. Pengadilan Negeri memutus bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan. Pihak yang keberatan terhadap
putusan pengadilan negeri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan Pengadilan
Negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi
dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian,
tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu tersebut, pihak yang berhak
dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian.
d) Pemberian Ganti Kerugian
Pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan langsung
kepada pihak yang perhak. Ganti kerugian diberikan kepada pihak yang berhak
berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah dan/atau putusan
Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung. Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak
yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib:
Melakukan pelepasan hak dan
Menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan tanah kepada
instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.
Bukti yang dimaksud merupakan satu-satunya alat bukti yang sah menurut hukum
dan tidak dapat diganggu gugat dikemudian hari. Pihak yang berhak menerima
178
ganti kerugian bertanggung jawab atas kebenaran dan keabsahan bukti
penguasaan atau kepemilikan yang diserahkan.Tuntutan pihak lain atas objek
pengadaan tanah yang telah diserahkan kepada Instansi yang memerlukan tanah
menjadi tanggung jawab pihak yang berhak menerima ganti kerugian.
Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
berdasarkan hasil musyawarah atau putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah
Agung, Ganti Kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri setempat.
Penitipan ganti kerugian DI Pengadilan Negeri juga dapat dilakukan terhadap:
Pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui keberadaannya,
atau
Objek pengadaan tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
Sedang menjadi objek perkara di pengadilan
Masih dipersengketakan kepemilikannya
diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang, atau
menjadi jaminan di bank.
Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak telah
dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di Pengadilan
Negeri, kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus
dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara.
e) Pelepasan Tanah Instansi
Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimiliki
pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
179
yang mengatur pengelolaan barang milik negara/daerah. Pelepasan objek
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dikuasai oleh pemerintah atau
dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah
dilakukan berdasarkan UU NO. 2 Tahun 2012.
Pelepasan Objek Pengadaan Tanah dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau
pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan untuk itu. Pelepasan objek
pengadaan tanah tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali:
Objek pengadaan tanah yang telah berdiri bangunan yang dipergunakan secara
aktif untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan;
Objek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
Objek pengadaan tanah kas desa.
Ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan dalam bentuk tanah dan/atau
bangunan atau relokasi. Pelepasan objek pengadaan tanah dilaksanakan paling
lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum. Apabila pelepasan objek pengadaan tanah belum selesai
dalam waktu tersebut, dinyatakan telah dilepaskan dan menjadi tanah negara dan
dapat langsung digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah
Lembaga Pertanahan menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada Instansi
yang memerlukan tanah setelah:
a) Pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak dan pelepasan hak
dilaksanakan; dan/atau
180
b) Pemberian ganti kerugian telah dititipkan di Pengadilan Negeri.
Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan kegiatan
pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil pengadaan tanah. Pengadaan
tanah untuk kepentingan umum karena keadaan mendesak akibat bencana alam,
perang, konflik sosial yang meluas, dan wabah penyakit dapat langsung
dilaksanakan pembangunannya setelah dilakukan penetapan lokasi pembangunan
untuk kepentingan umum.Sebelum penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum terlebih dahulu disampaikan pemberitahuan kepada pihak
yang berhak. Dalam hal terdapat keberatan atau gugatan atas pelaksanaan
pengadaan tanah, Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat melaksanakan
kegiatan pembangunan. Instansi yang memperoleh tanah wajib mendaftarkan
tanah yang telah diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dilakukan oleh Pemerintah. Pemantauan dan evaluasi hasil penyerahan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang telah diperoleh, dilakukan oleh
Lembaga Pertanahan.
SUMBER DANA PENGADAAN TANAH
181
Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Dalam hal Instansi yang memerlukan tanah Badan
Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang
mendapatkan penugasan khusus, pendanaan bersumber dari internal perusahaan
atau sumber lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penugasan khusus sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Dana pengadaan tanah yang dimaksud meliputi dana:
a) Perencanaan
b) Persiapan
c) Pelaksanaan
d) Penyerahan hasil
e) Administrasi dan pengelolaan; dan
f) Sosialisasi.
Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan oleh Instansi dan
dituangkan dalam dokumen penganggaran sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, pihak yang berhak mempunyai hak:
a) Mengetahui rencana penyelenggaraan pengadaan tanah; dan
b) Memperoleh informasi mengenai pengadaan tanah.
182
Dalam penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, setiap orang
wajib mematuhi ketentuan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum. Dalam penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
masyarakat dapat berperan serta, antara lain:
Memberikan masukan secara lisan atau tertulis mengenai pengadaan tanah; dan
Memberikan dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah.
TANGGAPAN MENGENAI PROSEDUR PENGADAAN TANAH
MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG
PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN
UMUM
Prosedur pengadaan tanah yang ada pada UU ini adalah hanya untuk pengadaan
tanah untuk kepentingan umum. Hal tersebut sudah disebutkan secara limitatif
dalam UU ini. Diluar dari yang disebutkan oleh UU ini tidak dapat dilaksanakan
menurut UU ini, namun dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan
lainnya.
Prosedur untuk pengadaan tanah demi kepentingan umum ini sangatlah rumit dan
sulit bagi instansi yang memerlukan tanah. Untuk Instansi yang memerlukan
pengadaan tanah butuh waktu yang lama untuk bisa mencapai kesepakatan dengan
banyak keberatan dari pihak yang berhak. Selain itu juga terlalu banyak izin dari
lembaga – lembaga lain. Selain waktu yang lama, dana yang habis untuk
mendapatkan pengadaan atas tanah menurut UU ini juga sangat besar. Prosedur
yang ada di dalam UU ini sangat rentan akan terjadi perselisihan antara pihak
183
yang berhak dengan instansi yang memerlukan, maupun dengan pemerintah.
Prosedur yang rumit dan sulit ini yang dapat menghambat pembangunan nasional
untuk semakin maju.
Terlalu banyak izin yang dilakukan dalam UU ini, sangat rentan terjadi gratifikasi
atau hal – hal melanggar hukum lainnya. Jika sudah terjadi hal tersebut, maka
yang akan dirugikan adalah pihak yang berhak. Namun, tidak juga harus dengan
mudah bagi instansi melakukan pengadaan tanah, hal tersebut akan mengorbankan
pihak yang berhak juga.
Sebagaimana yang akan dibangun adalah demi kepentingan umum, seharusnya
dapat dilaksanakan dengan mudah dan cepat. Apabila dilaksanakan dengan mudah
dan cepat maka akan langsung dapat dirasakan hasilnya. Namun, perlulah
dilakukan ganti kerugian yang adil dan layak bagi para pihak yang berhak. Agar
dapat dilakukan dengan mudah dan cepat serta adil bagi para pihak yang berhak,
maka diperlukan pengawasan dari masyarakat agar tidak dihambat – hambat oleh
pihak-pihak yang memberikan izin untuk pengadaan tanah.
Diposkan oleh M Hanafiah Harahap di 07.51
184