PNEUMOTORAKS

15

Click here to load reader

Transcript of PNEUMOTORAKS

Page 1: PNEUMOTORAKS

PNEUMOTORAKS

1. Definisi

Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum pleura.

Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat

leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat

ditimbulkan oleh :

Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari

alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini disebut

sebagai closed pneumotoraks. Apabila kebocoran pleura viseralis berfungsi

sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar

dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama

semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan

menyebabkan terjadinya tension pneumotoraks.

Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan

antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih

besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang

tersebut dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi,

tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke

kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru

ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat akibatnya

udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini disebut

sebagai open pneumotoraks (Berck, 2010).

2. Epidemiologi

Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan dan traumatik.

Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa atau

dengan adanya penyakit paru yang mendasari. Pneumotoraks jenis ini dibagi lagi

menjadi pneumotoraks primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari)

maupun sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).

Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder, namun pria lebih

banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada pria, resiko

pneumotoraks spontan akan meningkat pada perokok berat dibanding non perokok.

Pneumotoraks spontan sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak pada

dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun).

Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma langsung

maupun tidak langsung pada dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi iatrogenik

maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks iatrogenik merupakan tipe pneumotoraks

yang sangat sering terjadi (Berck, 2010).

Page 2: PNEUMOTORAKS

Umur : Biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun

Seks : Lebih sering pada pria

Pneumotoraks spontan primer

Biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia 10-30

tahun

Incidens pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per tahun pada

laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada perempuan

Pneumotoraks spontan sekunder

Umur : Puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus per 100.000

orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000 orang per tahun pada

perempuan 26 per 100.000 pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik per

tahun (McCool FD, 2008)

Kejadian pneumotoraks spontan primer adalah 18 per 100.000 orang per

tahun dan 6 per 100.000 perempuan per tahunnya.

Hal ini terjadi paling sering di usia 20-an, dan pneumotoraks spontan primer

jarang terjadi di atas usia 40.

Pneumotoraks spontan sekunder biasanya terjadi antara usia 60 dan 65.

3. Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadiana. Pneumotoraks spontan

a) Pneumotoraks Spontan PrimerPneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-

paru yang sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari.

Angka kejadian pneumotoraks spontan primer (PSP) sekitar 18-28 per

100.000 pria pertahun dan 1,2-6 per 100.000 wanita pertahun (Mackenzie and

Gray, 2007). Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi, kurus,

dan berusia antara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari

terjadinya PSP adalah ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru (Heffner

and Huggins, 2004). Udara yang terdapat di ruang intrapleura tidak didahului

oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan radiologis. Namun banyak

pasien yang dinyatakan mengalai PSP mempunyai penyakit paru-paru

subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok

meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini (Heffner and Huggins,

2004).

Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP

adalah terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya.

Page 3: PNEUMOTORAKS

Peningkatan porositas menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau

tanpa perubahan emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan

dengan peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan

pleura meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks

paru-paru orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang

dapat mendahului proses pembentukan kista subpleura (Mackenzie and Gray,

2007).

PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya

karena tidak adanya penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and

Huggins, 2004). Pada sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang

atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi spontan

udara dari rongga pleura sekitar 1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari,

dan suplementasi oksigen sebesar 10 lpm akan meningkatkan kecepatan

absorpsi sampai dengan empat kali lipat (Mackenzie and Gray, 2007).

Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan pada pasien PSP antara lain

observasi, drainase interkostal dengan atau tanpa pleurodesis, dan video-

assisted thoracoscopic surgery (VATS) (Heffner and Huggins, 2004).

b) Pneumotoraks Spontan SekunderPSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan

penyakit paru yang mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi

COPD, fibrosis kistik, tuberkulosis, pneumocystits pneumonia, dan

menstruasi. PSS juga dapat terjadi ada penyakit intersisiel paru seperti

sarcoidosis, lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and

tuberous sclerosis. Secara umum udara pada PSS memasuki rongga pleura

melalui alveoli yang melebar atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae

biasanya terjadi akibat adanya kondisi komorbid.

Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-berat.

Apabila pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas yang

progresif muncul dan biasanya bersamaan dengan nyeri pleuritik. PSS

merupakan penanda signifikan untuk mortalitas pasien COPD. Setiap

kejadian pneumotoraks meningkatkan resiko kematian sampai dengan empat

kali lipat. Sekitar 40-50% pasien akan mengalami PSS yang kedua apabila

pleurodesis tidak dilakukan (Heffner and Huggins, 2004).

Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest

tube untuk setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS

guna mencegaj rekurensi. Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan

aspirasi dengan syringe dan kateter untuk pasien pneumotoraks kecil dengan

penyakit paru yang mendasari ringan. Sebagian besar pasien

Page 4: PNEUMOTORAKS

membutuhkan drainase melalui chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan

setelah terjadi re-ekspansi paru dan resolusi kebocoran udara.

Pleurodesis merupakan terapi pilihan terakhir dan dilakukan pada pasien

dengan kebocoran udara yang tidak teratasi dan mengalami pneumotoraks

rekuren (Mackenzie and Gray, 2007).

b. Pneumotoraks Traumatika) Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik

Pneumotoraks iatrogenikmerupakan pneumotoraks yang terjadi akibat

pembukaan rongga paru secara paksa saat tidakan dianosis atau terapi invasif

dilakukan . Tindakan seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan

kateter vena sentral, biopsi paru perkutan, bronkoskopi dengan biopsi

transbronkial, aspiasi transtoracic, dan ventilasi tekanan positif dapat menjadi

etiologinya. Akibatnya, pasien perlu lebih lama dirawat di rumah sakit (Yilmaz,

et al, 2002).

Penyebab utama terjadinya pneumotoraks iatrogeni adalah aspirasi

jarm halus transthoracic. Dua faktor yang memegang perang penting adalah

ukuran dan kedalaman lesi. Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko

pneumotoraks meningkat. Penyebab kedua terbanyak adalah pemasangan

kateter vena sentral. Penyebab lainnya antara lain akupunkktur transthoracic,

resusitasi jantung-paru, dan penyalahgunaan obat melalui vena leher

(Sharma, 2009).

b) Pneumotoraks Traumatik Non IatrogenikPneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang

merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka

menyebabkan udara dapat masuk ke rongga pleura langsung ke dinding

toraks atau memenuju pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial.

Luka tusuk atau luka tembak secara langsung melukai paru-paru perifer

menyebabkan terjadinya hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi

di dada akibat benda ajam (Sharma, 2009).

Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis

terobek oleh fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba

menyebabkan peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian

terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intersisiel dan

terjadi diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks terjadi

saat terjadi ruptur pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara

masuk ke rongga pleura. Manifestasi klinisnya dapat berupa Fallen lung

sign/peptic lung sign di mana hilus paru terletak lebih rendah dari normal atau

Page 5: PNEUMOTORAKS

terdapat pneumotoraks persisten dengan chest tube terpasang dan berfungsi

dengan baik (Sharma, 2009).

Pneumotoraks traumatik noniatrogenik juga dapat terjadi akibat

barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik

dengan tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m,

volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada

saat di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut, udara

yang terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan

pneumotoraks. Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan

pada penyelam, udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui

regulator dan sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat terjadi seiring

dengan penurunan tekanan secara cepat sehingga udara yang terdapat di

paru-paru dapat menyebabkan pneumotoraks (Sharma, 2009)

4. Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistulanyaa. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada

dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam

rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi

negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru

belum mengalami reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan

di dalamnya sudah kembali negatif.Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan

udara di rongga pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan

paru atau jalan nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan

vakum pleura negatif (Alsagaff, 2009).

b. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara

rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar karena

terdapat luka terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama

dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar

nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh

gerakan pernapasan.Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu

ekspirasi tekanan menjadi positif.Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam

keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding

dada yang terluka (sucking wound) (Alsagaff, 2009).

c. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang

positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis

yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta

Page 6: PNEUMOTORAKS

percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka.

Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya

tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan

atmosfer.Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru

sehingga sering menimbulkan gagal napas (Alsagaff, 2009).

5. Patofisiologi Pneumotoraks

Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik,

iatrogenik. Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan

primer dan sekunder. Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ

paru dan pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi diagnostic

ataupun terapeutik.

Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru

yang mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula

subpleural ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan

tindakan video-assisted thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus pneumotoraks

spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari

pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitian dengan komputasi

tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan bula subpleural adalah

perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan perokok.

Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah

teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh

rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini

menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan-

antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses

inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi kebocoran

udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan

pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura parietalis

pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks. Rongga pleura memiliki

tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh udara akibat rupturnya bula

subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya keseimbangan tekanan

tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil

dengan bertambah luasnya pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah

timbulnya sesak akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.

Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam

patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus

pneumotoraks spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti:

sindrom marfan, homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.

Page 7: PNEUMOTORAKS

Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru yang

sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan

alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan berpindah

ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Selanjutnya

udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan

menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya pneumotoraks spontan

sekunder adalah:

Penyakit saluran napas:

PPOK

Kistik fibrosis

Asma bronchial

Penyakit infeksi paru:

Pneumocystic carinii pneumonia

Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram

negatif atau staphylokokus)

Penyakit paru interstitial:

Sarkoidosis

Fibrosis paru idiopatik

Granulomatosis sel Langerhans

Limfangioleimiomatous

Sklerosis tuberus

Penyakit jaringan penyambung

Artritis rheumatoid

Spondilitis ankilosing

Polimiositis dan dermatomiosis

Sleroderma

Sindrom Marfan

Sindrom Ethers-Danlos

Kanker

Sarkoma

Kanker paru

6. Diagnosis Pneumotoraksa. Anamnesis

a) Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya

padasaat bernafas dalam atau batuk.

Page 8: PNEUMOTORAKS

b) Sesak, dapat samapai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam,

apabila sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali

c) Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat.

d) Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen

(cyanosis)

b. Pemeriksaan Fisika) Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan

nafas, tertinggal pada sisi yang sakit

b) Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau

melebar, iktus jantung terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus

suara melemah atau menghilang.

c) Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi tympani dan tidak bergetar,

batas jantung terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya

tinggi

d) Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat

amforik apabila ada fistel yang cukup besar

c. Pemeriksaan Penunjanga) Radiologis:

1. Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general

2. Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi

avaskuler.

3. Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya

kolaps dari paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang

terdesak ini lebih padat dengan densitas seperti bayangan tumor.

4. Biasanya arah kolaps ke medial

5. Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan

pada jantung misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang kita

kenal sebagai tension pneumothorax

6. Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang

berlawanan.

b) ABG: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien

7. Penatalaksanaan Pneumotoraksa. Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks

Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan stabiisasi

leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan cara

memasang cervical collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat

Page 9: PNEUMOTORAKS

kesadaran dengan menyapa pasien dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC

(airway, breathing, circulation) (Boon, 2008).

Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw thrust

(bila dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head tilt chin lift

dilanjutkan dengan membersihkan rongga mulut dengan swab mengunakan jari

telunjuk, mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada pasien tidak sadar

dilakukan pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah lidah jatuh dan menutup

jalan nafas (Boon, 2008).

Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan dilakukan

secara bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan dinding

dada asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara nafas

menurun bahkan menghilang dan pada perkusi didapatkan hipersonor. Bila

didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan tindakan needle thoracostomy

(Boon, 2008).

Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan

memeriksa capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila

terjadi perdarahan masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan

kristaloid (Boon, 2008).

b. Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)Kebanyakan simple pneumothoraces akan membutuhkan pemasangan

intecostal chest drain sebagai terapi definitif. Pneumothoraces kecil, khususnya

yang hanya terlihan dengan CT dapat diobservasi. Keputusan untuk data diobservasi

berdasarkan status klinis pasien prosedur yang direncanakan berikutnya.

Pemasangan chest tube cocok pada kasus yang terdapat multiple injury, pasien yang

menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau pasien yang akan ditransfer dengan

jarak yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension pneumothorax mungkin

sulit atau tertunda (Brohi, 2004).

c. Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus

dipertimbangkan bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh

menunda pemasangan chest tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada

open pneumotoraks adalah menutup luka dan segera memasang intercostal

chest drain (Brohi, 2004).

Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa

melakukan terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada tiga

sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk memungkinkan

udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak masuk selama

Page 10: PNEUMOTORAKS

inspirasi. Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang luas dan efeknya sangat

bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus dipasang dan luka ditutup (Brohi,

2004)

d. Penatalaksanaan Tension Pneumothoraxa) Needle Thoracostomy

Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada

emergensi dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan

pada Intercostal Space (ICS) II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum

dipertahankan hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang terhubung

dengan jarum. Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara yang

keluar dengan cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax.

Manuver ini mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax

(Brohi, 2004).

b) Pemasangan Chest TubePemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension

pnemothorax. Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan

pemasangannnya biasanya cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih

baik untuk blind needle thoracostomy. Hal ini menyebabkan status respiratori

dan hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit tambahan untuk

melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi

tumpul), tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat

dilakukan tanpa terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang

terventilasi manual dengan tekanan positif (Brohi, 2004).