PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI...

80
PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI PERKAWINAN MASYARAKAT SUKU KAJANG SKIRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : ANDI ENRI ERNA SARI 1150440000018 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Transcript of PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI...

Page 1: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI PERKAWINAN

MASYARAKAT SUKU KAJANG

SKIRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

ANDI ENRI ERNA SARI

1150440000018

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 3: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 4: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 5: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 6: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam , atas berkat rahmat,

Taufiq, Hidayah dan MagfiraNya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi dengan Judul. “Pluralisme Hukum Dalam Perkawinan

Masyarakat suku Kajang”. Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada

Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan manusia.

Penulis menyadari tanpa adanya dukungan, petunjuk, bimbingan serta

bantuan dari berbagai pihak, penulisan skiripsi ini tidak dpat berjlan lancar

sebagaimana yang diharapkan. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan

hati, penulis ingin menghaturkan ucapan terimah kasih yang sebesar-besarnya

atas segala bantuan, bimbingan dan dukungan yang diberikan sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan. Oleh karna itu, penulis secara khusus menyampaikan ucapan

terimah kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H.,M.A, selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr.Hj. Mesraini, M.Ag, selaku ketua program studi Hukum Keluarga

dan juga kepada bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A. Selaku sekertaris

program studi Hukum Keluarga.

3. Bapak Dr.H. Abdul Halim, M.A, selaku dosen pembimbing skripsi

penulis, berkat arahan dan bimbingan beliau penulis dapat menyelesaikan

tulisan ini dengan baik.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya.

5. Kakek dan Nenek Penulis, H. Abdul Razak dan Hj. Ca’mia. Yang telah

membiayai seluruh keperluan pendidikan penulis, Berkat kerja keras dan

dorongan, serta motivasi yang beliau selalu ajarkan kepada penulis.

6. Kedua orang tua penulis, H. Abdul Karim dan Hj. Andi. Suriani. Atas

do’a yang terus menerus beliau panjatkan untuk penulis.

Page 7: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

7. Kepada saudara dan saudari penulis, Andi.Saribulan, Andi. Ayu Saputri,

Andi. Ardi Aji Saputra, dan Andi. Nur Indah Putri Susila. Atas dorongan,

yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis.

8. Kepada Khairul Azrar, yang selalu memberikan support dan semangat

untuk penulis dalam berbagai hal.

9. Kepada Tim IKAMAN JAKARTA, Kk Sultan, Kk Sita, Melati, Rahman,

Firman, Iqbal, Agus, Jasri, Fadil, Dila, Arida, Mustari, Risna. Teman

seperjuangan dari kampung ke jakarta untuk menuntut ilmu, yang menjadi

keluarga kedua di tanah rantauan atas bantuan dan supportnya selama ini.

10. Kepada seluruh keluarga besar IKAMI CIPUTAT. Terkhusus kepada Kk

sugi, Nurul, dan Kk Rizal, yang selalu menjadi inpirasi bagi penulis untuk

terus belajar.

11. Kepada seluruh keluarga besar SANDEQ SULBAR JAKARTA.

12. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga Angkatan 2015.

13. Kepada keluarga besar IMM Ciputat. Atas Ilmu dan Pengalaman yang

sangat berharga bagi penulis.

14. Kepada Sahabat-sahabat penulis di Asrama Putri, Titik, Gempita, Intan,

Zahro, Yuni, Riza, Imas, Kisti, Hilda.

Jakarta, 26 juli 2019

Penulis

Page 8: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 9: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 10: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan

saling berintraksi satu sama lain sesuai dengan identitas yang dimiliki. Setiap

masyarakat tidaklah lahir dari sistem nilai tunggal (monovalue), melainkan

terdapat beragam sistem nilai dalam bentuk budaya, adat, suku, maupun ras.

Keberagaman ini bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau dipaksakan dalam

satu wadah hukum yang dikenal dengan hukum sentralistik (legal centralism).1

Hukum dalam presfektif legal centralistik diusung oleh hukum negara dan

memandang sistem hukum saling berkopetensi dengan menjadikan paradigma

positisvitik sehingga pemberi penilaian terhadap perilaku manusia sebagai objek

hukum2. Sebaliknya, keberagaman sistem nilai dapat dikelola dengan baik melalui

cara pandang keberagaman nilai, tanpa melupakan nilai-nilai tertentu sebagai

bagian identitas masyarakat3. Hal ini, memposisikan manusia sebagai subjek

hukum dan saling beriteraksi satu dengan lainnya.

Dalam khazanah Islam, pluralisme hukum bukan hal yang baru, melainkan

terkandung dalam konsep rahmatan lil „alamin, yang berdasarkan pada sejumlah

ayat al-qur’an dan hadits nabi. Konsep hukum dalam Islam berbeda dengan

konsep hukum negara sebagai produk kreasi akal manusia yang kebenarannya

bersifat relatif. Hukum dalam konsep Islam ini tetuang dalam syariah dan fiqih

sebagai pedoman bagi setiap umat muslim dalam bertindak dan melaksanakan

tugas dan tanggun jawabnya dalam kehidupan sehari-hari.4

1 Dedy Sumardi, “Islam, Pluralisme Hukum dan Refleksi Masyarakat Homogen”, Jurnal

Asy-Syir’ah, Vol. 50. Nomor 2, Desember, 2016, h. 482 2 Reza Banakar, “Law Through Sociology‟s Looking Glass: Conflict and Competition in

Sociological Studies of Law”, dikutip dari https://www.researchgate.net/publication, 29, Januari

2016, h. 63, 3 Sunyoto Usman, “Essai-Essai Sosiologi Perubahan Sosial”, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar), 2015, h.116-117 4 Wael B Hallaq, “Ancaman Paradiqma Negara Bangsa: Islam, Politik, dan Problem

Moral Modernitas”, terj. Akh. Minhaji, (Yogyakarta: SUKA Press), 2015, h.29

Page 11: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

2

Adapun hukum adat yang juga merupakan hukum yang lahir dan tumbuh

dalam masyarakat, hukum adat adalah perilaku yang berlaku dan menjadi sebuah

hukum bagi masyarakat sehingga bagi pelaku yang melanggar akan dikenakan

sangsi bagi para pelanggarnya. Hukum adat ini, bersumber dari suatu kebiasaan

masyarakat tertentu yang mempunyai keyakinan dan kepercayaan akan kebiasaan-

kebiasaan yang di peroleh sebagai warisan dari nenek moyang.5

Hukum yang hidup dalam masyarakat dapat berdampingan dengan hukum

yang diberlakukan oleh negara. Unsur terpenting yang menjadi karakteristik

dalam pluralisme hukum yaitu bekerjanya semua sistem hukum secara utuh,

bukan parsial. Unsur interaksi menjadi suatu yang sangat penting dalam

memahami konsep pluralisme karna erat kaitannya dengan sistem yang hidup

dalam masyarakat majemuk. Hukum yang hidup dalam masyarakat didasarkan

pada sebuah kenyataan sosial masyarakat memiliki keragaman sistem hukum

sebagai wujud dari indentitas sosial budaya masyarakat.6

Konsep pluralisme hukum tidak dimaksudkan untuk membuat sistem

hukum baru, melainkan sebagai paradigma berfikir menekankan pada aspek

pengakuan atas keragaman hukum yang berlaku dalam masyarakat. Pluralisme

hukum menjadi instrumen pembangun hukum masyarakat majemuk yang

memiliki keragaman budaya, indentitas, sistem nilai tanpa mengenal batas

teritorial atau primordial.7

Mengenai berbagai hukum atau pluralisme yang berlaku dalam masyarakat

majemuk. Indonesia memiliki banyak keragaman suku dan budaya. Yang mana

letak geografisnya yang membentuk tingkah pola kepulauan yang menyebabkan

perbedaan-perbedaan dalam tingkah laku masyarakatnya. Terbukti Indonesia

memiliki banyak suku-suku yang tersebar di berbagai wilayah, yang mempunyai

keunikan budaya yang berbeda-beda.

5 Laurensius Arliman, “Hukum Adat di Indonesia dalam Pandangan Para Ahli dan

Konsep Pemberlakuannya di Indonesia”, Jurnal Selat, Vol. 5, Nomor.2, Mei 2018, h.179 6 Dedy Sumardi, “ Islam Pluralisme Hukum dan Refleksi Masyarakat Homogen”, Jurnal

Asy-Syir’ah, Vol. 50, Nomor. 2, Desember, 2016, h.490 7

Sulistyowari Irianto, “Pluralisme Hukum Sebagai Suatu Konsep dan Pendekatan

Teoritis dalam Persfektif Global”, 2007, dikutip dari, https://asslesi.wordpress.com,ggvuuy , 14

Mei 2016

Page 12: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

3

Tak terkecuali pada tradisi masyarakat suku Kajang di Bulukumba yang

memiliki keunikan tersendiri pada perkawinannya. Jika suku Kampar di

kepulauan Riau memiliki keunikan tradisi pada perkawinannya yakni terdapat

sebuah hukum adat larangan menikah sesama suku. Bagi suku Kampar, satu suku

artinya satu keturunan dari niniak kebawah yang dihitung dari garis ibu. Semua

keturunan niniak ini disebut “Sepersusuan” atau “Sesuku”. Kelompok

sepersusuan ini dikepalai oleh seorang penghulu suku, Hal tersebut juga

dibenarkan oleh Datuk Naro (Pucuk Adat) desa Tanjung yang mengatakan kata

suku berasal dari kata “susu” yang mana pada zaman dahulu manusia hidup

berkelompok-kelompok dan kelompok tersebut mempunyai seorang ibu yang

menyusui sehingga setiap kelompok itu dianggap sepersusuan. Bagi pelaku yang

melanggar akan dikenakan sangsi adat yang berlaku.8

Adapun pada masyarakat muslim Batak Mandailing. Terdapat sebuah

hukum adat yang berlaku yakni larangan perkawinan semarga pada masyarakat

muslim Batak Mandailing. Dalam hukum adat Mandailing perkawinan semarga

dianggap perkawinan satu darah, satu perut atau satu keturunan yang sama.

Aturan mengenai larangan perkawinan semarga harus ditaati, dan apabila aturan

tersebut dilanggar maka akan muncul konsekuensi hukum yang harus diterimah

bagi siapa saja yang melanggar.9

Berbeda dengan masyarakat suku Kampar di Riau dan masyarakat muslim

Batak Mandailing di Sumatra Barat. yang mempunyai sebuah aturan hukum adat

yakni, larangan perkawinan Sesama Suku atau Semarga. Terdapat sebuah suku, di

pedalaman timur Indonesia tepatnya di kawasan adat Tana Toa, kabupaten

Bulukumba, Sulawesi selatan, yang dikenal dengan suku Kajang. suku Kajang

merupakan salah satu suku trasional yang masih mempertahan nilai-nilai budaya

dan hukum adat dari nenek moyang hingga saat ini. Suku Kajang telah terbagi

menjadi dua wilayah yaitu, Kajang Luar (Modren) dan Kajang (kawsan adat).

8 Ferri Sandy, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku di desa Tangjung Kecamatan

Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar berdasarkan Hukum Adat Kampar”, Jurnal Hukum,Vol.

3, Nomor 2, Oktober, 2016 (Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau), h.6 9 Fatimah Fatmawati Tanjung, “Tinjauang Hukum Islam terhadap Perkawinan Semarga

dalam Masyarakat Batak Mandailing”, Skripsi : Jurusan Study Ahwal Al-Syakhsiyyah, Fakultas

Agama Islam (Universitas Islam Indonesia Yogyakarta), 2018, h.28

Page 13: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

4

Kajang luar sudah mulai menerima segala bentuk perkembangan zaman. Namun,

tidak dengan Kajang (Ilalang Emabaya), hingga saat ini masyarakat suku Kajang

Dalam menolak segala bentuk perkembangan zaman, dimana mereka sangat patuh

dengan hukum adat yang berlaku, dari nenek moyang mereka.10

Salah satu aturan hukum adat, suku Kajang (Ilalang Embaya) adalah

mengenai perkawinan. Yang mengharuskan menikah sesama suku Kajang, bagi

masyarakat suku Kajang (Ilalang Embaya), yang melakukan perkawinan tidak

dengan sesama suku Kajang (Ilalang Embaya), akan diberlakukan sangsi adat

yaitu, di keluarkan dari kawasan adat Ammatoa. Masyarakat suku Kajang, sangat

terkenal dengan kesakralannya dan kepatuhannya terhadap Ammatoa (Tetua

Adat).11

Mengenai perkawinan, terdapat sebuah perbedaan dalam pelaksanaannya

dan aturan yang berbeda-beda, serta keunikan tersendiri dalam mempertahankan

nilai-nilai budaya dan hukum adat masing-masing wilayah.12

Melirik terhadap

hukum Islam yang menjadi pedoman bagi seluruh masyarakat muslim,

mempunyai hukum tersendiri terhadap perkawinan yang juga harus dipatuhi.

Di dalam hukum Islam perkawinan merupakan ketentuan yang telah

disyarti’atkan oleh Allah SWT bagi kaum muslimim yang telah memenuhi syarat

dan rukunnya. Perkawinan merupakan sunnatullah yang tidak hanya disyari’atkan

untuk manusia saja, tetapi untuk semua mahkluk baik itu hewan maupun tumbuh-

tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi

mahluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.13

Hal ini juga diatur dalam Undang-undang No.1Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan bahwa:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

10

Riswanto, “Implementasi Adat Perkawinan Tana Toa, di Desa Tana Toa, Kecamatan

Kajang, Kabupaten Bulukumba”, Jurnal Islam dan Adat, Vol XIII, Nomor.1, Juni 2015, (PPkn

FIS, Universitas Negeri Makassar), h. 336 11

Wawancara dengan salah satu Tokoh Adat Suku Kajang di Sulawesi Selatan 12

Soejono Soekanto, “Hukum Adat Indonesia”, (Jakarta : Raja Grafindo), 2003, h.12 13

Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, (Bandung : CV Pustaka Setia ),1999, h.10

Page 14: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

5

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.14

Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut

selektivitas. Artinya jika seseorang hendak melangsungkan pernikahan terlebih

dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa yang

dilarang menikah. Dikhawatirkan bila perempuan yang hendak dinikahinya

ternyata terlarang untuk dinikahinya dikarenakan perempuan tersebut adalah

mahram nya.15

Tetapi faktanya di dalam hukum adat Kajang Dalam (kawasan adat),

terdapat larangan dalam sistem perkawinan masyarakat kawasan adat Ammanatoa

yang sifatnya memaksa dan harus di patuhi sebagai masyarakat suku Kajang

Dalam. 16

Namun, masyarakat suku Kajang merupakan masyarakat yang beragama

Islam. Ketika seorang lelaki Kajang menikah dengan perempuan suku lain maka,

lelaki Kajang tersebut akan dikeluarkan dari kawasan adat dan diputus dari

keluarga. Karna, kenyakinan masyarakat suku Kajang Dalam turun-temurun dari

nenek moyang terdahulu. Dan larangan perkawinan tersebut, sampai saat ini

masih dipertahankan.

Sedangkan dalam literatur fiqh klasik dan kontemporer dan Kompilasi

Hukum Islam (KHI) maupun Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak

ditemukan adanya larangan bagi perkawinan seorang laki-laki dan perempuan

yang berbeda suku atau satu suku. Di dalam hukum Islam hanya mengatur

larangan melakukan pernikahan dengan mahramnya dan yang berbeda agama

dengannya.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, merupakan hal yang sangat

menarik untuk dikaji mengapa perkawinan antara beda suku di Kajang dilarang,

kemudian hal yang penting untuk dibahas juga adalah mengingat bahwa

masyarakat Suku Kajang (Ammantoa), merupakan masyarakat yang beragama

14

UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 15

K.H. Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan

Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Djambatan),1981, h.3 16

Lana septiana, “Implementasi Sanksi Adat Perkawianan Silariang Pada Masyarakat

Suku Kajang : Study di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi

Sulawesi Selatan”, Jurnal

Page 15: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

6

islam. dan terletak wilayah hukum Indonesia. Namun, sangat patuh terhadap

hukum adat yang berlaku dari nenek moyang terdahulu. Hal ini menggambarkan

pluralisme hukum yang terjadi pada masyarakat tersebut. Yang penting dikaji

dalam sebuah analisis yang mendalam.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana sistem perkawinan dalam masyarakat Kajang dalam

(Ammatoa)?

2. Bagaimana kedudukan perkawinan suku Kajang dalam (Ammatoa)?

3. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dimata Hukum?

4. Bagaimana proses perkawinan tersebut terjadi?

5. Apakah ada konsekuensi apabila mereka melakukan perkawinan tersebut?

6. Bagaimana pandangan hukum islam tentang larangan kawin dengan suku

lainnya?

7. Bagaimana tanggapan Pemangku Adat suku Kajang tentang perkawinan

tersebut?

8. Adakah peran KUA dalam pernikahan tersebut?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Studi ini di batasi, agar ruang lingkup bahasannya tidak terlalu luas

maka penulis, membatasi penelitian ini hanya pada perkawinan

masyarakat suku Kajang.

2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana relasi hukum Islam, hukum Adat, dan Hukum Posotif

pada perkawinan masyarakat suku Kajang?

b. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang larangan perkawinan

dengan suku lainnya?

Page 16: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat penelitian yang hendak dicapai penulis dengan

melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan penelitian.

a. Untuk mengetahui pandangan hukum islam tentang larangan

perkawinan dengan suku lainnya.

b. Untuk mengetahui sinergi hukum adat, hukum islam, dan hukum positif

pada masyarakat kajang dalam konteks kelembagaan.

2. Manfaat Penelitian.

a. Secara akademis. Mengaplikasikan disiplin ilmu sesuai dengan

program studi penulis. Sebagai tambahan referensi guna

pengaplikasian serta kontribusi untuk data perpustakaan.

b. Secara praktis. Kontribusi hasanah bagi masyarakat islam dan

golongan education pada umumnya. Lebih khusus terhadap lembaga-

lembaga yang menangani masalah perkawinan agar lebih merujuk

pada aturan-aturan yang telah ditetapkan.

E. Kajian Pustaka (Review Studi Terdahulu).

Dalam penulisan ini dana penjelasan karya ilmiah ini, sebelum penulis

mengadakan penelitian lebih langjut dan menyusun menjadi sebuah karya ilmiah

berupa skipsi, maka sebelumnya penulis akan mengkaji Skripsi, Thesis, jurnal,

dan Artikel-artikel yang terkait dengan apa yang penulis ingin teliti. Tujuan dari

ini, dengan maksud agar dapat kita ketahui bersama bahwa apa yang penulis teliti

berbeda dengan penelitian sebelumnya.

Riswanto,” Implementasi adat Perkawinan Tana Toa di Desa Tana Toa,

Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba”. Jurnal, Sangkala Ibsik, Jurusan

PPKN, Universitas Negeri Makassar 2016. fokus pembahasan pada jurnal ini

yaitu mengenai pelaksanaan perkawinan adat pada masyarakat suku Kajang dan

faktor-faktor yang mendukung upacara adat perkawinan di desa Tana Toa.

Page 17: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

8

Sedangkan, fokus penulis dalam penelitian ini adalah mengenai pluralisme

hukum terhadap perkawinan masyarakat suku Kajang dan keharusan menikah

sesama suku Kajang.

Muhammad Yusuf, “Integrasi Islam Dalam Panggadakkan pada Sistem

Pemerintahan Adat Kajang (Ammatoa)”, Skripsi: Jurusan Sejarah Kebudayaan

Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Makassar,2017.

Focus pada skiripsi menjelaskan bagaimana pemerintahan dalam sistem adat suku

Kajang di Tana Toa, dan integrasi Islam dalam Panggandakkan.

Sedangkan, fokus penulis dalam penelitian ini adalah mengenai pluralisme

hukum terhadap perkawinan masyarakat suku Kajang dan pandangan hukum

islam mengenai hukum adat Kajang yakni keharusan menikah sesama suku

Kajang.

Lana Septiana, “Sangsi Adat Perkawinan Silariang Pada Masyarakat Suku

Kajang (Studi di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba

Provinsi Sulawesi Selatan), Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu

Hukum, Universitas Brawijaya, Agustus 2015.

Sudirman, “Proses Interaksi Sosial Komunitas Adat Kajang di Desa Tana

Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba”, Skiripsi: Jurusan Konsentrasi

Kesejahtraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam Negeri Alaluddin

Makassar, 2017. Focus pada skripsi ini adalah menjelaskan bagaimana proses

intraksi sosial masyarakat komunitas adat Kajang dengan masyarakat lainnya.

Sedangkan, fokus penulis dalam penelitian ini adalah mengenai pluralisme

hukum terhadap perkawinan masyarakat suku Kajang dan pandangan hukum

islam mengenai hukim adat Kajang yakni keharusan menikah sesama suku

Kajang.

F. Kerangka Teori

Kebudayaan, perubahan sosial dan agama merupakan tiga konsep kajian

Etnografi. Kebudayaan telah menjadi konsep utama dan salah satu yang paling

banyak dikaji dalam perkembangan disiplin ini. Fokus perhatian kepada

masyarakat atau komunitas yang dalam perjalanan filosofinya mengalami

Page 18: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

9

dinamika yang berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain,

membawa persoalan mengenai perubahan menjadi suatu hal yang tak mungkin

dihindari. Sementara agama menjadi isu yang juga banyak mewarnai ruang-ruang

akademisi\peneliti sosial budaya, sejak perkembangan awal hingga kini.

Untuk memahami keterkaitan antara ketiga konsep besar tersebut. Maka,

penulis hendak mengargumentasikan bagaimana kebudayaan dalam suatu

masyarakat, perubahan sosial, dan agama saling berkomunikasi sehingga dapat

menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat, terdapat berbagai Hukum yang berlaku yang

dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Serperti

hukum Adat, hukum Islam dan hukum positif yang berlaku dalam masyarakat.

Berbagai hukum yang menjadi pedoman masyarakat dalam bertingkah laku saling

berinteraksi satu sama lain, yang kemudian menjadi sebuah ketetapan bersama

untuk dipatuhi (Pluralisme Hukum).

Pluralisme hukum adalah suatu keadaan dimana terdapat lebih dari satu

tatanan hukum dalam suatu arena sosial. Lebih langjut menurut Griffit, dalam

kenyataan sistem hukum bekerja dalam arena sosial, terjadi intraksi yang tidak

dapat dihindarkan antara hukum negara dengan berbagai hukum lainnya meskipun

situasi pluralisme hukum secara potensial memang merupakan situasi konflik baik

bentuk struktur, isi, fungsi politik dan efektivitasnya, namun tidak berarti harus

selalu memunculkan konflik, karena ada juga terjadi saling mempengaruhi dan

adaptasi.

Definisi Griffit memiliki keterkaitan dengan hukum perkawinan

masyarakat suku Kajang. Dimana pada perkawinan masyarakat suku Kajang

tertapat beberapa hukum yang terlibat dalam pelaksanaan perkawinannya yaitu

Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum Positif. Ketiga hukum saling berintraksi

satu sama lain dalam pelaksanaan prosesi perkawinan suku Kajang. Ketiga

hukum tersebut saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Dikarnakan,

perkawinan tidak dapat terlaksanakan sebelum upacara adat, sebagaimana yang

tercantum dalam hukum adat mereka (Pasanri Kajang) sudah terlaksana,

kemudian dapat dilaksanakan sesuai hukum Islam yaitu melakukan prosesi ijab

Page 19: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

10

dan qobul, setelah d<inyatakan sah oleh ketua adat yaitu Ammatoa, barulah kedua

pasangan, yang telah melaksanakan perkawinan tersebut dapat dicatatkan

perkawinannya oleh pengurus Kantor Urusan Agama setempat. Sebagaimana

yang tertera dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 2 (2)

yang dinyatakan bahwa, Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Menurut hukum adat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat,

keluarga, persekutuan martabat, bisa merupakan uruasan pribadi, tergantung tata

susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok-kelompok wangsa yang

mnyatkan diri sebagai kesatuan-kesatauan dari sebagai persekutuan hukum,

perkawinan para warganya adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompok-

kelompok secara tertib dan teratur; sarana yang melahirkan generasi baru yang

melangjutkan garis hidup kelompoknya. Namun, di dalam lingkungan

pesenkutuan kerabat itu perkawinan juga selalu merupakan cara meneruskan garis

keturunan yang termaksuk persekutuan tersebut.17

Mengenai tentang perkawinan, banyak adat yang mengatur di setiap daerah

baik yang bertentanngan dengan syariat Islam bahkan tidak bertengtangan dengan

syariat Islam. Tidak dapat kita pungkiri bahwa perkawinan harus mengikuti adat

yang berlaku di daerah tersebut, perkawinan merupakan salah satu adat yang

berkembang dan megikuti perkembngan dalam masyarakat. Namun kepercayaan

dan kenyakinan masyarakat tetap berpegan teguh pada hukum adat yang masih

berlaku di dalam adat perkawianan tersebut.18

Masyarakat suku Kajang dalam (Ammatoa) merupakan salah satu warisan

nenek moyang terdahulu yang masih terjaga hingga saat ini. Seiring perkembngan

zaman , dengan berbagai kemajuan teknologi dan modern telah mempengaruhi

dan menyentuh berbagai masyarakat Indonesia. Namun, tdak dengan suku kajang

dalam (Ilalang Embaya), dimana suku tersebut, menolak segala bentuk

perkembangan zaman dan kemajuan teknologi hingga saat ini suku Kajang masih

17

Iman Suduyat, “ Hukum Adat Sketsa Asas” (Liberty : Yogyakarta)1981.h.108 18

Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo),2003,.h.12

Page 20: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

11

sangat kental akan hukum adat Pappasang dari nenek moyang.19

Hitam menjadi

warna kesakralan bagi masyrakat Kajang, dimana dalam kehidupan sehari-hari

mereka mengenakan pakaian serba hitam, sebagai bentuk keharusan. Dan sisi lain

mereka mengatasnamakan diri mereka sebagai masyarakat yang beragama Islam.

Terdapat sebuah hukum adat suku kajang dalam yakni larangan melangsungkan

perkawinan dengan suku lain. Bagi yang melangar aturan adat tersebut akan

dikenalan sangsi adat yaitu dikeluarkan dari kawasan adat/wilayah tempat

tinggal.20

Di dalam hukum Islam perkawinan merupakan ketentuan yang telah

disyarti’atkan oleh Allah SWT bagi kaum muslimim yang telah memenuhi syarat

dan rukunnya. Perkawinan merupakan sunnatullah yang tidak hanya disyari’atkan

untuk manusia saja, tetapi untuk semua mahkluk baik itu hewan maupun tumbuh-

tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi

mahluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.

Hal ini juga diatur dalam Undang-undang No.1Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan bahwa:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antaran seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut

selektivitas. Artinya jika seseorang hendak melangsungkan pernikahan terlebih

dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa yang

dilarang menikah. dikhawatirkan bila perempuan yang hendak dinikahinya

ternyata terlarang untuk dinikahinya dikarenakan perempuan tersebut adalah

mahram nya (orang yang haram dinikahi). Mengenai larangan perkawinan, Al-

Qur’an telah memberikan aturan yang tegas dan terperinci di dalam surah An-nisa

ayat 22-24.

19

Satriani, “Studi Kawasan Adat Ammatoa Kajang Sebagai Kawasan Strategis

Pemukiman Adat Provinsi Sulawesi Selatan”, Jurnal Hukum Diktum, Vol 9, Nomor 1, Januari

2011, (UIN Alauddin Makassar), h.57 20

M.Yusuf, “Integrasi Islam dalam Panggandakkan Pada Sistem Pemerintahan Adat

Kajang Ammatoa”, Skripsi: Jurusan Tehnik Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Sains dan

Teknologi (UIN Alauddin Makassar), 2017, h.44

Page 21: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

12

G. Metode Penelitian

Ketika membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, diperlukan suatu

metode untuk data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas secara

jelas. Terdapat beberapa metode yang akan penyusun gunakan antara lain:

1) Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penyusun menggunakan field research (penelitian

lapangan). Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif yang sumber

datanya diambil dari objek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) secara

langsung di daerah penelitian. Untuk memahami dan mengetahui Tradisi

perkawinan adat suku Kajang dalam (Ammatoa).

2) Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan Etnografi. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang

meliputi tehnik penelitian, teori etnografi dan berbagai macam deskripsi

kebudayaan. Etnografi berulang kali bermakna untuk membangun suatu

pengertian yang sistematik mengenai kesemua kebudayaan manusia dan presfektif

orang yang mempelajari kebudayaan itu. Etnografi menjadi sebuah metode

penelitian yang unik karna memharuskan partisipasi peneliti secara lansung dalam

sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Etnografi dilakukan untuk

tujuan-tujuan tertentu. Pertama, untuk memahami rumpun manusia, kedua

etnografi ditujukan untuk melayani manusia. Metode etnografi adalah prosedur

penelitian kualitatif untuk menggambarkan, menganlisa, dan menafsirkan unsur-

unsur dari sebuah kelompok budaya seperti pola perilaku, kepercayaan, dan

bahasa yang berkembang dari waktu ke waktu. Fokus dari penelitian ini adalah

budaya.

3) Sifat Penelitian.

Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian

deskriptif yaitu, bukan hanya itu saja dibahas, tetapi juga menganalisa dan

membahas bagaimana dan apa itu, serta mengapa hal tersebut dapat terjadi.

Page 22: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

13

4) Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Tana Towa, Kecamatan Kajang,

Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pemilihan sampel ini dilakukan secara

purposive dengan mempertimbangkan keterwalian etnis, latar belakang sejarah,

dan faktor-faktor sosial kultural.

1. Tehnik pengumpulan data

a. Wawancara.

Wawancara merupakan salah satu tehnik yang digunakan untuk

mengumpulkan data penelitian. Yaitu percakapan tatap muka anatara

pewancara dengan sumber informasi.

Peneliti akan melakukan wawancara kepada pelaku perkawinan

Kajang luar dan Kajang dalam dan dengan narasumber yang tau dengan

perkawinan tersebut. Serta peneliti juga ingin melakukan wawancara

dengan ketua adat di daerah tersebut, agar peneliti dapat mendapatkan

informasi dan data yang cukup untuk kepentingan penelitian.

b. Observasi.

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu objek

dengan sistematika fenomena yang diselidiki. Observasi dapat dilakukan

dengan sesaat dan dapat di ulang-ulang dengan informan yang tepat.

c. Dokumentasi.

Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara memotret setiap objek yang merupakan informasi

atau data untuk kepentingan penelitian.

2. Kriteia dan Sumber Data.

Pada penelitian kualitatif ini sumber datanya ialah hasil wawancara,

observasi, dokumentasi disebut data primer, kedua Sumber data sekunder yaitu

data yang telah tersedia seperti dokumen-dokumen yang ada di kantor.

a. Data Primer

Sumber data primer yaitu sumber kata yang dimabil dari penelitian

lapangan yang diperoleh dari hasil wawancara, obeservasi kepada ketua adat

Page 23: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

14

setempat atau tokoh yang memahami Tradisi perkawinan Adat suku Kajang

Dalam (Ammanatoa).

b. Data Sekunder.

Data sekunder merupakan data pendukung dari primer yang diperoleh dari

Buku, Artikel, Jurnal, dan wawancara tersebut.

H. Rancangan Sistematika Penulisan.

Skripsi ini ditulis berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Sistematika yang

dibagi 5 bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan

dan materi yang teliti adapun perinciannya adlah sebagai berikut:

Bab pertama, berisi tentang Latar Belakang masalah, indentifikasi

masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan mamfaat, review studi

terdahulu, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, mengenai persinggungan antara hukum islam, yakni ketentuan

perkawinan menurut hukum islam (KHI, Al-quran, As-sunnah, hukum Adat dan

Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974),

Bab ketiga, gambaran umum desa suku kajang, membahas system hukum

perkawinan masyarakat kajang, kedudukan perkawinan pada masyarakat kajang,

Bab keempat, membahas relasi hukum Islam dan hukum adat dalam tradisi

hukum perkawinan suku kajang dan pandangan hukum Islam terhadap larangan

menikah dengan suku lainnya.

Bab kelima, yang merupakan bab penutup, yang diisi kesimpulan dan saran

terkait kajian yang dimaksud yang dibahas dari awal hingga akhir pembahasan

beserta lampiran-lampiran tersebut.

Page 24: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

15

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Perkawinan Menurut Hukum Islam

1. Pengertian

Kata nikah atau zawaj berasal dari bahasa Arab yang dilihat secara makna

etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih”, atau dengan kata lain “aqad

dan setubuh” yang secara syara’ berarti aqad pernikahan. Secara terminologi

(istilah) nikah atau zawaj21

adalah :

a. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan

biologis dari seorang dengan bersetubuh22

b. Akad yang ditetapkan Allah bagi seorang laki-laki atas diri seorang

perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis

anatara keduanya.23

Dalam bahasa indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya membngun keluarga dengan lawan jenis, dan melakukan

hubungan badan. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nakaha

yang berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti

bersetubuh (wathi).24

Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan pencampuran.

Sedangkan menurut istilah syariat, nikah itu berarti akad antara pihak laki-laki dan

wali perempuan dan karenanya hubungan badan menjadi halal. Nikah berarti akad

dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam arti majazi

(metafora).25

Berdasarkan firman Allah SWT:

21

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia), 2000,h.11 22

Abd Rahcman Assegaf, Studi Islam Kontekstual Elaborasi Paradigma Baru Muslim

Kaffa, (Yogyakarta: Gama Media),2005,h.131 23

Zakiayah Darajat, Ilmu Fikih Jilid II, (Jakarta: Departemen Agama RI), 1985, h.48 24

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenamedia), 2003,h.7 25

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar) 2006.h.3

Page 25: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

16

باذناهلهنف ن .كحوهنArtinya: “Karna itu, kawinilah mereka dengan seizin Tuhan

mereka..”.( an-Nisa’: 25).

1. Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa:

26اعهقصد المت كعقديفيدملبأنهاحكن ال"Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan untuk mendapatkan

kesenangan".

2. Ulama Syafi’iyah, menyebutkan bahwa:

.اهومعناات زويجأوحفظأنكالءبعقدي تضمنملكالوطبأنهاحكن لا"Nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki

kesenangan (wathi) disertai lafadz nikah, kawin atau yang semakna".

3. Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa nikah adalah:

.يةأدمبذذالتلةعدمت عقدعلىمربأنهحكاالن

"Nikah adalah aqad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan

dengan sesama manusia".

4. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa nikah adalah:

فعأوت زويجعحنكافظألحعقدبكان لا 27عستمتاالةلىمن "Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin untuk mendapatkan

manfaat bersenang-senang".

Menurut Shihabuddin Ahmad Ibn Ahmad Bin Salamah Qolyubi

mendefinisikan nikah adalah “sebuah akad yang mengandung kebolehan berijma‟

26

Abdur Rahman al-Zuhaili, al-fiqh ala al-Mazzahib al-Arba‟ah, Cet ke-1, (Beirut: Dar

Al-Fikr), 2002, h.3 27

Abdul Basit Mutawally, Muhadharah Al-Fiqh Al-Muqaran, (Mesir: T.p,t.t), h.120

Page 26: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

17

dengan lafadz nikah atau tazwij yaitu akad kepemilikan intifa‟bukan kepemilikan

manfaat”28

. Menurut Taquyyudin Abu Bakar Ibn Muhammad Al-Damsyiqy

mengartikan nikah adalah “suatu ibarat dari sebuah aqad yang masyur yang

mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat di mutlakkan atas aqad dan di

mutlakkan atas wathi secara bahasa”.29

2. Dasar Hukum Pernikahan.

a) Syari’at Nikah.

Dasar hukum dianjurkan pernikahan dalam agama islam terdapat

dalam firman Allah SWT dan hadis-hadis Muhammad SAW.

b) Menurut firman Allah SWT

Adapun syariat nikah berdasarkan Firman Allah SWT yaitu:

وا ح ك ن وأ م ادك ب ع ن م الني والص م ك ن م ى ام الي م ك ائ م وإ ن إ

ه ل ض ف ن م الله م ه ن غ ي راء ق واف ون ك يم ي ل ع ع واس .والله

Artinya: “Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara

kamu, dan orang-orang yang layak( berkawin) dari hamba-hamba

sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang peerempuan.

Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-

Nya. Dan Allah maha luas(pemberianNya) lagi Maha mengetahui”.(an-

Nur:32)

ن م م ك ل اب ط ا م وا ح ك ان ف ى ام ت ي ل ا ف وا ط س ق ت ل أ م ت ف خ ن وإ

اع ورب ث ل وث ن ث م اء ا الن س م و ة أ د واح ف وا ل د ع ت ل أ م ت ف خ ن إ ف

م ك ن ا ي أ ت ك ل وا م ول ع ت ل أ ن د أ ك ل .ذ

28

Sihabuddin Ahmad Ibn Ahmad Bin Salamah Qolyubi, Hasyiatani Qolyubi Wa

Umairah Juz III, (Surabaya: PT Irama Minasari,t.t), h.206 29

Taquyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad Al-Damsyiqi, Kifayatul Akhyar Fi Hilli

Ghoyatil Ikhtishor, Juz II, (Semarang: Maktabah Toha Putra,t.t), h.36

Page 27: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

18

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka

kawinilah wanita-wanita yang senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian

jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, Maka kawinilah seorang saja,

atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat

kepada tidak berbuat aniaya”.(an-Nisa:3).

c) Hukum Nikah.

Sunnah, jika seorang mempunyai keinginan untuk berumah

tangga, dengan niat yang baik, bukan karna dikhawatirkan dirinya akan

terjerumus kepada perbuatan zina, dan seorang tersebut juga telah mampu

membiayai rumah tangga. Maka baginya menjadi Sunnalah hukumnya

untuk melakukan perkawinan. Bagi wanita yang belum mempunyai

keinginan untuk kawin tapi butuh perlindungan atau nafkah dari seorang

suami maka Sunnalah hukumnya untuk melakukan perkawinan.

Wajib, jika seorang sudah mampu untuk berumah tangga. Mampu

disini dalam artian, siap jiwa dan raganya untuk berumah tangga, siap

materi untuk berkeluarga, dan takut terjerumus ke dalam perbuatan zina.

Maka baginya diwajibkan untuk kawin. Sebab, menjaga diri dari perbuatan

haram, wajib hukumnya.

Haram, jika seorang yang melaksanakan pernikahan dengan niat

yang tidak baik seperti, dengan niat untuk membunuh, atau menyakiti

perempuan atau lelaki yang hendak dinikahinya maka hukumnya haram.

Makruh, jika seorang secara jasmani cukup umur walau belum

terlalu mendesak. Tetapi belum mempunyai penhasilan yang tetap

sehingga ia jika kawin akan membawa kesengsaraan hidup bagi anak dan

istrinya. Dimana ia mengkhawatirkan perkawinannya yang dapat

berpengaruh kepada pada semangat beribadah kepada Allah SWT dan

semangat kerja, maka hukumnya Makruh baginya dalam melaksanakan

perkawinan.30

30

Mohammad R Hasan,” Kajian Prinsip Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974

dalam Persfektif Hukum Islam”, Jurnal Lex Administratum, Vol.IV, Nomor.3, Maret, 2016, h.166

Page 28: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

19

d) Prinsip-prinsip perkawinan.

Prinsip-prinsip perkawinan yang bersumber dari al-quran dan al-

hadits yang kemudian dituankan kedalam garis-garis hukum melalui

undamg-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI tahun 1991

mengandung 7 asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut31

:

1) Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal Suami dan istri

harus saling bekerja sama dan saling melengkapi agar dapat saling

memahami hak dan kewajiban antara suami dan istri untuk mencapai

kesejahtraan spiritual dan material.

2) Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan

kepercayaan terhadap pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus

dicatat oleh petugas yang berwenang.

3) Asas monogami terbuka. Artinya, jika suami tidak mampu berlaku

adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka, cukup seorang

saja.

4) Asas calon suami dan istri telah matang jiwa raganya dan dapat

melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara

baik dan dapat keturunan yang baik dan sehat sehingga, tidak berfikir

kepada perceraian.

5) Asas mempersulit terjadinya perceraian.

6) Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik

dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulang masyarakat.

7) Asas pencatatan perkawinan.32

e) Rukun nikah dan Syarat Sahnya Nikah.

Rukun dan syarat dalam merupakan hal yang tidak dapat

dipisahkan antara satu dengan lainnya, dalam setiap aktivitas ibadah selalu

ada rukun dan syarat. Syarat merupakan cara yang harus di penuhi

sebelum suatu perbuatan itu dilaksanakan, sedangkan rukun merupakan

suatu hal yang harus ada atau dipenuhi pada saat perbuatan itu

31

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), 2006, h.7 32

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika),2006, h.8

Page 29: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

20

dilaksanakan. Karna, perkawinan merupakan suatu bentuk ibadah maka di

dalamnya terdapat rukun dan syarat. Yaitu, sebagai berikut:

1) Rukun Nikah

a. Calon suami

b. Calon istri

c. Wali Nikah

d. Dua orang saksi

e. Ijab dan qobul

Kelima rukun tersebut, masing-masing harus memenuhi syarat:33

a. Syarat Calon Suami

1. Beragama islam

2. Jelas bahwa calon suami benar-benar laki-laki

3. Orangnya diketahui

4. Calon mempelai laki-laki jelas halal halal kawin dengan calon istri

5. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal dengan calon istri serta

mengetahui calon istrinya halal baginya.

6. Calon suami rela ( tidak dipaksa) untuk melaksanakan perkawinan

7. Tidak sedang melakukan ihram

8. Tidak memiliki istri yang haram di madu dengan calon istri

9. Tidak seang memiliki istri empat.

b. Syarat Calon mempelai wanita:

1. Beragama islam atau ahli kitab.

2. Jelas bahwa dia seorang wanita, bukan Khuntsa (banci).

3. Wanita itu tentu orangnya.

4. Halal bagi calon suami.

5. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam masa

iddah.

6. Tidak dipaksa/ikhtiyar.

7. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.

c. Syarat wali nikah:

33

Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Rajawali),2014, h.12-13

Page 30: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

21

1. Laki-laki.

2. Muslim.

3. Baliq.

4. Berakal.

5. Adil (tidak fasik)

d. Syarat saksi nikah:

1. Dua orang laki-laki.

2. Muslim.

3. Baliq.

4. Berakal.

5. Dapat mendengar dan melihat (paham) akan maksud akad nikah

e. Syarat ijab dan qobul:

1. Ada ijab (pernyataan) dari pihak wali.

2. Ada qobul (pernyataan) menerima dari pihak calon suami.

3. Memakai kata “nikah”, “tazwij” atau terjemahannya seperti “kawin”.

4. Antara ijad dan qobul bersambungan tidak boleh terputus.

5. Orang yang terikat dalam ijab dan qobul tidak dalam keadaan haji atau

umrah.

6. Majelis ijab dan qobul itu paling tidak dihadiri paling kurang empat

orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon.

7. Mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.

Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sah perkawinan tersebut dan dalam

perkawinan ini akan menimbulkan kewajiban dan hak bagi suami istri. Dan

mereka akan dapat meraih kehidupan dengan bahagia dalam jalinan kehidupan

rumah tangga.

B. Perkawinan Menurut Hukum Adat

1. Arti perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan

manusia, sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai

Page 31: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

22

suami istri. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama, dengan

demikan perkawinan tidak hanya memiliki unsur bathin saja tetapi juga memiliki

peran yang penting.34

Menurut hukum adat perkawinan adalah suatu ikatan antara seorang laki-

laki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang

dilaksanakan secara adat dan agamamnya dengan melibatkan pihak saudara,

maupun kerabat. Yang juga merupakan peristiwa yang sangat pentin dalam

kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyankut kedua

mempelai saja, kedua keluarga, tetapi juga menyangkut masyarakat bahkan

menyangkut arwah leluhur-leluhur kedua belah pihak.35

Hubungan kekeluargaan yang dekat dipengaruhi oleh adat yang masih

sama-sama dipegan teguh oleh setiap masyarakat adat tersebut, sehingga segala

sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat masih berpegang teguh pada adat

istiadat, termasuk di dalamnya, mengenai perkawinan.36

Bagi masyarakat hukum adat tujuan perkawinan yang bersifat kekerabatan

adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis

kebapaan atau keibuan atau keibuan-bapakan, untuk kebahagian rumah tangga

keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, serta

untuk mempertahankan kewarisan.37

2. Bentuk-bentuk perkawinan (Perkawinan dalam sifat kekeluargaan).

Masyarakat hukum adat membagi sistem penarikan kerurunan dalam

sistem kekeluargaan, yaitu sebagai berikut:38

a. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Patrilineal.

Perkawinan dalam susunan kekeluargaan di sini di sebut sebagai

perkawinan jujur, seperti perkawinan yang terjadi pada masyarakat di Batak, Nias,

34

Tengku Erwinsyahbana, “Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum

Berdasarkan Pancasila”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Negeri Medan, Medan, Vol

III. Nomor. 1, juli 2013, h..5 35

Soerjono Wignjodipoere, Asas-asas Hukum Adat. (Jakarta: Gunung Agung) 1988, h.55 36

Ulfia Hasanah, Hukum Adat, Pusat pendidikan Universitas Riau, 2012, h.5 37

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju) 2007,

h.22 38

Tholib Septiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan),

(Bandung: Alfabeta) 2003, Cet Ketiga, h.225

Page 32: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

23

Lampung, Bali, Timor dn Maluku, dimana bentuk perkawinannya bertujuan untuk

secara konsekuen melangjutkan atau mempertahankan keturunan dari pihak laki-

laki (bapak atau ayah).

b. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Matrilineal.

Perkawinan dengan susunan kekeluargaan Matrilineal ini dikenal dengan

sebutan perkawinan semendo (samendo atau semanda), yaitu bentuk perkawinan

yang bertujuan secara konsekuen melangjutkan atau mempertahankan garis

keturunan dari pihak ibu. Disebut samendo (semendo atau semanda) artinya

adalah bahwa pihak laki-laki dari luar yang didatangkan (pergi ke) tempat

perempuan, ”ia adalah orang luar”.

c. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Parental.

Bentuk perkawinan dalam susunan kekeluargaan parental (bilateral),

disebut sebagai perkawinan bebas, bentuk perkawinan seperti ini biasanya

dilakukan pada masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, kalimantan dan Sulawesi

dan kalangan masyarakat indonesia modern. Perkawinan ini tidak mengenal

persoalan eksogami maupun endogami. Dimana, seseorang bebas kawin dengan

siapa saja, dan yang menjadi halangan hanyalah pada ketentuan-ketentuan yang

di timbulkan oleh kaidah-kaidah kesusilaan agama.

3. Sistem Perkawinan

Secara umum sistem perkawinan di bagi menjadi tiga yakni, sebagai

berikut:39

a. Sistem Endogami

Pada sistem perkawinan seperti ini, seseorang hanya diperbolehkan kawin

dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Perkwinan seperti ini, sudah sangat

jarang dilaksanakan di indonesia, saat ini sistem seperti ini hanya berlaku di

daerah Toraja. Yang kemudian, sudah jarang dilakukan oleh masyarakat tersebut.

Karna, pada dasarnya perkawinan endogami ini tidak sesuai dengan tata susunan

masyarakatnya yang menganut sistem kekeluargaan parental.

39

Limboy Alex Candra, “Perkawinan Hukum Adat Suku Anak dalam Ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Desa Sanglap Kecamatan Batang

Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu”, JOM, Fakultas Hukum, Vol.V, Nomor 2, Oktober, 2018, h.7-

8

Page 33: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

24

b. Sistem Eksogami

Pada sistem ini seorang diharuskan kawin dengan seseorang yang berbeda

suku dengan suku keluarganya. Sistem ini terdapat didaerah Minangkabau,

Sumatra Selatan, Buru dan Seram. Perkembangan pada sistem ini juga terjadi

pelunakan hanya pada lingkungan yang sangat kecil saja, sehingga diprediksikan

akan mendekati sistem Eleutherogami.

c. Sistem Eleutherogami

Pada sistem ini, tidak mengenal larangan atau keharusan sebagai mana

dalam sistem endogami dan eksogami. Larangan ini hanya larangan bertalian

darah ikatan kekeluargaan yakni larangan karna Nasab dan Musyahara. Sistem

perkawinan seperti ini banyak sebagian besar dilaksanakan di indonesia seperti

terdapat di Aceh, Bangka-Belitung, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, dan

Sebagiannya.

C. Perkawinan Menurut Hukum Positif

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu dimensi yang sangat penting bagi

kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Begitu pentingnya suatu

perkawinan, maka tidak mengherankan negara-negara di dunia mengatur masalah

perkawinan. Termasuk indonesia, dimana negara ikut andil dalam mengatur

perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakat.40

Aturan tata tertip perkawinan

sudah ada sejak dulu yang kemudian dipaertahankan oleh masyarakat, pemuka

agama dan atau pemuka masyarakat adat, aturan tata tertib tersebut terus

berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan

dan di dalam suatu negara.41

Perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah Iaktan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

40

Santoso, “ Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam

dan Hukum Adat”, Jurnal Yudisia, Vol.VII, Nomor.2. Desember, 2016, h.414 41

Mohammad R.Hasan, “ Kajian Prinsip Perkawinan Menurut UUNo.1 Tahun 1974

dalam Persfektif Hukum Islam, Jurnal Lex Administratum, Vol.IV,No.3, Maret 2016, h.164

Page 34: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

25

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa. Selanjutnya, dijelaskan bahwa untuk itu suami isteri perlu saling membantu

dan mencapai kesejahtraan spiritual dan material.42

Bentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dimaksud berdasarkan ajaran

agama yang dianut oleh msayarakat indonesia seperti ajaran islam. Sebagaimana

yang dijelaskan dari pasal 1 tersebut bahwa perkawinan mempunyai hubungan

yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja

mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai

peranan yang penting.43

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), penegertian perkawinan dan

tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan pasal 3 yaitu,44

Pasal 2, perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad

yang sangat kuat atau mistsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakan merupakan ibadah.

Pasal 3, pekawinan bertujuan untuk mewujubkan kehidupan rumah tangga

yang sakinah, mawaddah, dan rahma.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perkawinan merupakan jalan

yang diberikan oleh Allah SWT bagi manusia untuk berkembang biak, dan

melastarikan hidupnya setelah pasangan siap melaksanakan tugasnya yang positif

dalam mewujudkan tujuan perkawinan

2. Prinsip perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok

Perkawinan.

Suatu perkawinan dapat dikatakan “sah” apabila dalam pelaksanaannya

berdasarkan hukum yang berlaku dalam masyarakat atau hukum yang telah

ditetapkan berdasaarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga

suatu perkawinan tersebut diakui dan “sah”.

42

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Perkawinan 43

Juliana Pretty Sanger, “ Akibat Hukum Perkawinan yang sah di Dasarkan Pada Pasal

2 UU.Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Lex Administratum, Vol.III, Nomor.VI,

Agustus,2015 h.196 44

Abdul Rahman, Komplikasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV,Akademika

Pressindo),1995 Cet Ke-2, h.114

Page 35: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

26

Prinsip perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Pokok Perkawinan, sebagai berikut:

1. Syarat Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan

Pasal 6 mengenai syarat-syarat perkawinan yaitu:

1. Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21

tahun harus mendapat izin kedua orang.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka

izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang

mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin di peroleh

dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai

hubungan darah dalam garis atas garis keturunan lurus ke atas selama

mereka masih hidup dan dalam keadaaan dapat menyatakan

kehendakanya.

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih di antara

mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam

daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan

atas permintaab orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih

dahulu mendengar oranf orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan

(4) pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat(1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

dari yang bersangkutan tidak menetukan lain.

2. Pencatatan Perkawinan

Page 36: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

27

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa,

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan-perundang-undangan yang

berlaku.

Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan ini merupakan suatu hal

yang wajib dilakukan bagi pasangan yang ingin melangsungkan

perkawinan. Dimana setiap pasangan tersebut, mencatatkan perkawinannya

dngan mendaftarkan terlebih dahulu kepada pegawai yang bertugas

mencatatkan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Hal ini

dimasudkan dengan tujuan sebagai syarat administratif yang juga

menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.

3. Larangan perkawinan

Negara juga merumuskan menegenai larangan perkawinan yang

kemudian telah di tuangkan ke dalam pasal 8 UU No.1 Tahun 1974

tentang perkawinan yang berbunyi.

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan keatas.

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpan yaitu antara

saudara dan antara seorang dengan saudara orang tua dan antara

saudara dengan saudara neneknya.

c. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak

tiri.

d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak

susuan, dan bibi susuan/paman susuan.

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan

dari istri, dalam hal seorang seorang suami beristri lebih dari seorang.

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin.

Pada dasarnya keabsahan suatu perkawinan diatur dalam Undang-Undang

No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlandaskan Al-qur’an dan Al-

hadits. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa hukum adat turut andil dalam

pelaksanaan sebuah perkawinan di indonesia.

Page 37: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

28

BAB III

WILAYAH ADAT SUKU KAJANG DAN TRADISI PERKAWINANNYA

A. Suku Kajang Sebagai Wilayah Adat

1. Gambaran Umum Desa

Desa Tana Toa terletak disebuah wilayah utara dalam wilayah Kecamatan

Kajang, Kabupaten Dati II Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa Tana Toa

ini merupakan tempat bermukim sekelompok masyarakat yang mengindentifikasi

dirinya sebagai komunitas adat Kajang yang meliputi dua pembagian wilayah adat

yaitu Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya yang berarti di dalam dan di luar,

kata Emba dapat diartikan sebgai wilayah kekuasaan. Dalam konteks

kewilayahan, Ilalang Embaya dapat dipahami sebagai wilayah yang berada dalam

kekuasaan Ammatoa. Sebaliknya wilayah Ipantarang Embaya bermakna wilayah

yang berada di luar.45

Kekuasaan Ammatoa. Dalam kawasan adat Kajang terdapat tiga jenis

borong (hutan) yaitu:46

Pertama, Hutan Keramat (borong Karama’). Hutan keramat ini merupakan

milik adat yang sama sekali tidak di perkenankan untuk masuk didalamnya.

Menurutt pasang (ketentuan adat) untuk menebang dan mengambil kayu ataupun

apa saja yang ada di dalam hutan tersebut. Borong karama‟ itu hanya bisa

dimasuki oleh Ammatoa dan anggota adat apabila ada upacara adat, seperti

upacara pelantikan atau pengukuhan Ammatoa, dan upacara Pa‟nganroang.

Konon kabarnya, apabila ada orang dari luar masuk ke dalam hutan tersebut orang

tersebut tidak bisa keluar, kalaupun keluar orang tersebut akan meninggal.

Kedua, hutan penyangga/perbatasan (borong battasayya). Hutan ini

merupakan wilayah kedua dari Borong Karama‟. Antara borong Karama‟ dan

Burong Battasayya yang dibatasi oleh jalan setapak yang di gunakan oleh

Ammatoa dan Anggota adat sebagai jalan untuk masuk di Burong karama‟.

45

Abdul Hafid, “Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, (Makassar:

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. 2013, h.9 46

Abdul Hafid, “ Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, Makassar:

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah provinsi Sulawesi Selatan, 2013,h.10

Page 38: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

29

Masyarakat diperbolehkan untuk mengambil kayu dengan syarat mendapatkan ijin

dari Ammatoa.

Ketiga. Hutan masyarakat (burong Luarayya), merupakan hutan rakyat.

Hutan ini terletak di sekitar kebun masyarakat adat Kajang dengan luas kurang

lebih 100 Ha. Dari hutan itulah masyarakat adat Kajang bisa memenuhi kebutuhan

hidup mereka.

Secara geografis wilayah Desa Tana Toa, berada pada daerah perbukitan

dan bergelombang. Ketinggian wilayah desa Tana Toa sekitar 50-200 di atas

permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 575mm/tahun. Luas wilayah desa

Tana Toa secara keseluruhan tercatat 972 ha, yang terdiri atas beberapa

peruntukan, seperti luas pemukiman 169 ha, untuk persawahan 93 ha, perkebunan

30 ha, kuburan 5ha, pekarangan 95 ha, perkantoran 1 ha, prasarana umum lainnya

5 ha, dan luas hutan 331 ha.47

Secara administrasi, di desa Tana Toa ini dibatasi oleh desa-desa tetangga,

yaitu berbatasan dengan Desa Batunilamung sebelah utara, berbatasan dengan

Desa Bontobaji disebelah selatan, berbatasan dengan Desa Malleleng di sebelah

timur, dan berbatasan dengan Desa Pattiroang.

Adapun jarak antara pusat lokasi administratif pemerintahan Kecamatan

Kajang dengan lokasi Pemukiman warga masyarakat komunitas adat Kajang,

kurang lebih 25 km. Sedangkan dari ibu kota kabupaten Bulukumba jaraknya

sekitar 57 km, dan 270 km dari Makassar. Jalan menuju ke pusat lokasi

pemerintahan Desa Tana Toa sudah beraspal sepanjang lima kilometer.

Dalam perkembangannya, pihak pemerintah setempat berupaya melakukan

penggeseran batas wilayah Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya, dahulu batas

wilayah adat tersebut pada bagian barat dibatasi oleh sebuah parit dengan wilayah

luar, sekarang ini sudah di geser masuk ke dalam sejauh kurang lebih satu

kilometer. Kendaraan bermotor yang sebelumnya harus berhenti di luar dan kini

sudah dapat menembus lebih jauh ke dalam kawasan Ipantarang yang

sebelumnya masih merupakan daerah komunitas adat Kajang.

47

Abdul Hafid, “ Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, Makassar:

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2013. h.11-14

Page 39: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

30

Batas antara wilayah Ilalang Embaya dengan Ipantarang Embaya hanya

dibatasi sebuah pintu gerbang di bagian barat. Pergeseran batas wilayah tersebut

dilakukan bersamaan dengan dilakukannya perluasan dan pergeseran jalan desa

menuju kawasan adat. Sehingga dengan demikian batas wilayah itu telah terjadi

percampuran model rumah warga luar Embaya. Untuk memasuki kawasan adat

Ammatoa, hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki, hal ini sesuai dengan

ketentuan adat yang ada dalam pasang, yakni memasuki kawasan adat Ammatoa

haruslah dilakukan dengan berjalan kaki.

Bertani, berkebun atau pekerjaan agraris lainnya adalah sektor pekerjaan

yang ditekuni mayoritas masyarakat di desa Tana Toa, disamping berternak,

berburu, dan meramu hasil hutan.

2. Sejarah Suku Kajang.

Asal usul manusia pertama Kajang adalah manusia yang diturunkan dari

kanyangan atas kehendak Turi‟e A‟ra‟na (Tuhan yang Maha Kuasa). Manusia

pertama ini disebut Tomanurung, yang menjadi awal mula orang Kajang.

Tomanurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung Koajang. Yang

mengakibatkan nama komunitas ini di sebut sebagai suku Kajang. Kemudian

manusia pertama ini, di yakini telah melahirkan sebuah keturunan yang banyak

dan menyebar keseluruh permukaan bumi.48

Banyak pendapat yang tersebar mengenai manusia pertama Kajang, untuk

mengetahui manusia pertama di Kajang ada tiga versi yaitu,49

a. Versi pertama, bahwa Tu‟rie A‟ra‟na (Tuhan Yang Maha Kuasa),

memerintahkan kepada Batara guru untuk melihat keadaan di bumi, kemudian

Batara guru ini, melaporkan kepada Tu’rie A’ra’na bahwa perlu ada manusia di

bumi untuk meramaikan. Maka, diturunkanlah manusia pertama yang disebut

Tomanurung ke bumi dengan mengendarai burung yang berkepala dua yaitu

burung Koajang. Kata inilah yang mengawali asal mulanya nama Kajang seperti

yang di kenal sekarang.

48

Zanuddin Dkk, “Ammatoa”, Makassar: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi

Sulawesi Selatan, 2014, h.3 49

Abdul Hafid, “ Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, Makassar:

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2013, h.27-29

Page 40: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

31

b. Versi kedua, menjelaskan bahwa, manusia pertama atau Tomanurung

adalah Batara guru yang di turunkan ke bumi. Kemudian, Batara guru ini bertemu

dengan salah seorang putri dari kerajaan pertiwi, yang kemudian menikah dan

melahirkan tiga orang anak, yakni Batara Lattu, Sawerigading, dan Jabeng.

c. Versi ketiga, menceritakan bahwa ada sepasang suami istri yakni

Tamparang Daeng Maloan dan Puangbinanga hidup di sebuah tempat yang

bernama tombolo. Mereka tidak memiliki anak, mengisi tempayan dengan air

merupakan kebiasaan mereka pada malam hari. Dalam beberapa hari berturut-

turut, setiap pagi mereka mendapati tempayan yang mereka isi dalam keadaan

kosong. Pada suatu malam, sang suami mengawasi tempayan yang berisi air itu,

sang suami mendapati seorang perempuan yang cantik sedang mandi di dekat

tempayannya. Lalu gadis tersebut di tangkapnya dan dijadikan istri, sang istri ini

di pandangnya sebagai Tomanurung. Yang kemudian melahirkan tiga orang putra

yakni, raja Kajang, raja Laikang, dan raja Lembangan.

Berdasarkan ketiga versi tersebut di atas, maka cerita versi pertama

menganggap bahwa manusia pertama itulah yang disebut sebagai Tomanurung

sekaligus dianggap sebagai Ammatoa Mariolo (raja pertama). Kemudian versi

kedua, menanpilkan konsep manusia pertama sebagai Tomanurung, dan versi

ketiga, menampilkan Tomanurung, tanpa menyebutkan konsep manusia pertama

dan Ammatoa. Namun, versi yang paling diyakini oleh masyarakat setempat

adalah versi yang pertama.

Kepercayaan lainnya yang berkembang di daerah tersebut, bahwa

Tomanurung ini mendiami suatu tempat yakni hutan adat Tana Toa dimana

wilayah hutan tersebut hanya berupa sembulan-sembulan tanah dengan luas hanya

sejengkal yang dikelilingi oleh air laut. Sembulan-sembulan tanah tersebut

kemudian melebar seiring oleh perkembangan waktu dan perkembangan manusia

yang ada di atasnya. Karna tanah tersebut gundul, maka Ammatoa pertama

tersebut mengistruksikan pada warganya untuk menanam pohon, dan menjaganya

agar tidak terjadi hal yang dapat merusak kehidupan warganya. Dari usaha

menanam pohon itu, membuat kawsan adat terseubut menjadi subur. Kesbuburan

tanah itu menciptakan sumber air bersih yang di kenal dengan sebutan Buhung.

Page 41: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

32

Pada Buhung itulah sebagai tempat oleh warga untuk mengambil air untuk

kebutuhan sehari-hari.50

Bagi masyarakat adat Kajang kepercayaan tentang Tomanurung diterimah

sebagai sebuah realitas. Mereka mempercayai bahwa dialah yang menjadi

Ammatoa pertama yang diciptakan oleh Turi‟e A‟ra‟na‟ di bumi. Yang kemudian

Turi‟e A‟ra‟na meciptakan seorang perempuan pendamping Ammatoa yang

disebut Anrongta. Masyarakat adat Kajang menyakini bahwa Tomanurung

sebagai Ammatoa yakni pemimpin pertama dan tertinggi bagi masyarakat adat

Kajang yang mengikuti segala ajarang yang dibawanya, yaitu Pasangri. Dimana

Pasangri ini menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah sekian lama memimpin Ammatoa (raja Pertama) tersebut meninggal

dunia, selanjutnya kepemimpinan Tana Toa adat Kajang dipimpin oleh raja kedua

bernama Anrong Bungasayya. Yang bertugas melanjutkan pesan-pesan atau

petuah yang menjadi Pasantri adat Kajang.

Seiring perkembangan zaman, kerajaan Gowa Tallo di Sulawesi Selatan

mengalami fase-fase perkembangan atau periode, yang juga berdampak bagi

komunitas adat Kajang yakni sebagai berikut:51

Pada periode penaklukan kerajaan Gowa dibagi atas dua fase, yaitu

sebelum masuknya agama islam di kerajaan Gowa dan fase sesudah agama Islam

menjadi agama resmi di kerajaan Gowa. Ekspansi Gowa terhadap komunitas adat

Kajang dapat terlihat pada masa pemerintahan I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng

Lakiung (1546), yang merupakan raja Gowa ke X. Peristiwa ini terjadi sebelum

agama islam masuk di kerajaan Gowa. Fase berikutnya adalah sesudah kerajaan

Gowa menyatakan Islam sebagai agama resmi kerajaan.

Pada fase ini ditandai dengan seruan raja Gowa kepada Kerajan-kerajaan

Bugis untuk memeluk agama Islam, yang kemudian disusul dengan penaklukan,

kerajaan Bone pada tahun 1611.tetapi untuk daerah-daerah seperti Bangtaeng,

Bulukumba, dan Sinjai menerima agama islam tanpa peperangan, bahkan dari

50

Zainuddin Tika Dkk, Ammatoa,(Makassar: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah

Provinsi Sulawesi Selatan),2013,h.3 51

Mas Alim Katu, Tasawuf Kajang, (Makassar: PT Pustaka Nusantara Padaidi),

2005,h.9-10

Page 42: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

33

pihak komunitas adat Kajang pada saat itu, mengutus tiga orang untuk belajar

agama islam. Yaitu, Janggo Towa, Janggo Tojarra, dan wajo. Yang kemudian

menyebarkan agama islam di Tana Toa.

Kemudian pada masa pejajahan Belanda, wilayah Kajang merupakan distrik

yang bernaung di bawah Onder Afdeling Bulukumba, sistem pemerintahan ini

berlangsung sampai penyerahan kemerdekaan. Disamping, pemerintahan tersebut

masyarakat Kajang tetap patuh dan taat akan aturan yang telah ditetapkan oleh

Pasangri Kajang.

Setelah Indonesia merdeka, sistem pemerintahan berubah sesuai dengan

peraturan-peraturan yang di tetapkan oleh UUD tahun 1945 pada saat itu. Pada

tahun 1959, distrik Kajang berubah menjadi sebuah kecamatan sesuai dengan

Undang-undang No. 29 tahun 1959 tentang pembentukan kecamatan, dan seiring

perkembangan zaman, pemerintah setempat membentuk lagi desa-desa di

kecamatan Kajang tersebut, berdasarkan Surat keputusan gubernur Sulawesi

selatan No.450 tahun 1965, yakni desa Posi Tanah, desa Tana Toa, desa

Tambangan, desa Lembana, dan desa Tana Jaya. Lima desa tersebut dibagi lagi

atas dua bagian berdasarkan adat dan ajaran Pasang bagian pertama adalah Tanah

Toa, yang merupakan wilayah adat, terdiri dari delapan kampung yaitu, Balagana,

Balambina, Sebbu, Sapiri, Bunja, Sangkala, Balo-balo, dan Teteka. Kemudian,

bagian kedua Tanah Kosayya, tanah ini merupakan wilayah adat yang

penduduknya boleh memilih mengikuti ajaran Pasang atau tidak. Yang sekarang

dikenal dengan wilayah Kajang luar.

3. Adat Istiadat

Suku Kajang merupakan suku tradisional dengan masyarakat yang dari

waktu ke waktu tidak mengenal perubahan seperti masyarakat modern yang selalu

mengikuti perkembangan zaman. Uniknya suku Kajang berada di tengah-tengah

masyarakat modern yang seiring perkembangan zaman bertambah pula gaya

hidup praktisnya.

Page 43: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

34

Suku Kajang juga sering diistilahkan dengan nama Tana Kammase-masea

yang berarti hidup dalam kesedehanaan dengan tetap memelihara tradisi seperti

yang dianut oleh nenek monyang mereka dulu.52

Lain hal dengan masyarakat modern. Suku Kajang memengan prinsip

“Kammase-mase”merupakan generasi yang hidup penuh dengan kesederhanaan,

ketaatan, keikhlasan dalam mempertahankan dan melaksanakan tradisi serta

amanat leluhurnya.

Dalam Pasangri Kajang disebutkan ”Kupalabbakkangko Tunaya Anne,

Iami Tuna Kammase-masea” (saya berikan kehidupan, yakni kehidupan yang

sangat sederhana). Bagi masyarakat Kajang sekali hidup sederhana, tetap

sederhana, tidak bisa diubah. Hingga kini masyarakat suku Kajang masih terus

memegan teguh Pasangri Kajang mereka tetap mengikuti tradisi Bohe (raja)

pertama. Baik cara berpakaian serba hitam, penggunaan peralatan sehari-hari yang

serba tradisional, menjaga kelestarian hutan merupakan bagian dari hidup

mereka.53

Masyarakat suku Kajang kini terbagi menjadi dua, yakni Kajang dalam

(Ilalang Embaya) dan Kajang luar (Ipantarang Embaya). Kajang dalam adalah

kawasan adat Ammatoa yang masih yang sangat terikat oleh hukum adat dan

menolak segala bentuk perkembangan zaman, sedangkan Kajang luar adalah

Kawasan masyarakat suku Kajang yang sudah menerimah segala bentuk

perkembangan zaman seperti listrik, memakai sendal dan sebagainya. Bukan

hanya itu, bentuk rumah Kajang dalam dan luar sangat berbeda. Di Kajang luar

dapur dan toilet terletak dibagian belakang rumah sama halnya dengan rumah-

rumah pada umumnya, tidak seperti Kajang dalam yang menempatkan dapur dan

toilet di depan rumah.54

Bahasa yang mereka gunakan sehari-hari adalah bahasa Kongjo.

Masyarakat suku Kajang sulit berkomunikasi dengan masyarakat luar, mereka

52

Yusuf Akib,” Potret Manusia Kajang”, Makassar: Badan Arsip dan Perpustakaan

Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2004, h.5. 53

Zanuddin DKk, “ Ammatoa”, Makassar: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah

Provibsi Sulawesi Selatan, 2014.h.6. 54

Yusuf Akib, Potret Manusia Kajang, (Makassar: Badan Perpustakaan dan Arsib

Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2004,h.1

Page 44: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

35

tidak mengetahui bahasa Indonesia disebabkan mereka tidak mendapatkan

pengetahuan tersebut dari sekolah, mereka tidak mengenal budaya tulis sehingga

adat istiadat, kepercayaan, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam

tuturan lisan saja.55

Dalam rangka menjaga kelestarian dan stabilitas serta kontinitas adat

Kajang, maka di tetapkanlah Ammatoa (pemimpin) sebagai bapak yang dituakan

yang diyakini, mempunyai pengetahuan yang luas akan hukum adat Kajang, dan

mampu mengambil keputusan dengan penuh pertimbangan yang bijak,dan

sekaligus pula wakil Turi‟e A‟ra‟na (Tuhan Yang Maha Kuasa) di atas bumi.

Ammatoa dalam kapasitasnya sebagai pemimpin adat mempunyai andil besar

dalam mengurusi masyarakatnya bersama dengan perangkat adat lainnya, artinya

Ammatoa adalah pelindung, pengayom, dan suri tauladan bagi semua warga

komunitas adat Kajang serta bertanggun jawab terhadap pelaksanaan kelestarian

Pasangri Kajang serta membawahi aturan-aturan adat yang bersumber dari

Pasang dan norma-norma adat Kajang.56

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Ri Loheya dan

Ri Kaseseya (pembantu Ammatoa), yang khusus bertugas mengurusi adat

(Pallabaki Cidong), yang beranggotakan lima pejabat yang bergelar Galla, dan

masing-masing mempunyai tugas dan tanggun jawab: (1). Galla‟ Pantama,

bertugas untuk mengurusi tanah dan merancang strategi pertanian diwilayahnya,

(2) Galla‟ Kajang, bertugas dalam pegendalian pemerintahan dalam pesta-pesta

adat atau ritual, (3) Galla‟ Lambo, bertugas mengurusi pemerintahan pada daerah-

daerah penaklukan Ammatoa, (4) Galla‟ Anjuru, bertugas untuk mengurus para

nelayang, (5) Galla‟ Puto, bertugas sebagai juru bicara Ammatoa dan sebagai

pengawas langsung tentang pelaksanaan Pasangri Kajang.57

55

Hasil Wawancara dengan Irham Bulukumba, Sejarawan (Makassar, 15 Januari,2019) 56

Abdul Hafid, Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang, (Makassar:

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2013,h.31 57

Abdul Hafid,” Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, Makassar:

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2013,h.35.

Page 45: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

36

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat suku Kajang terdapat lima

ajaran di dalam Pasangri yang menjadi pedoman bagi mereka dan pemimpin adat

adalah sebagai berikut:58

a) Ta‟ngu‟rangi mangeri Turie‟ A‟ra‟na. Artinya, Senantiasa ingat pada

Tuhan Yang Berkehendak.

b) A‟lemo sibatu,a‟bulo sipappa‟, tallang sipahua manyu‟siparampe,

sipakatau tang sipakasiri,Bunting sipabasa, mate siroko‟ bulaeng.

Artinya, memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan

dan saling memuliakan, berpesta saling membantu dan mati berkafan kain

emas.

c) Lambusu kigattang sa‟bara ki peso‟na. Artinya, bertindak tegas tapi juga

sabar dan tawakkal.

d) Sallu rijauka, ammulu riaddakang Ammaca‟ere anreppe‟ batu,

alla‟buirurung, alla‟batu cideng. Artinya, harus taat pada aturan yang

telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan

memecahkan batu gunung.

e) Nan digaukang sikontu passuroang to ma‟buttayya. Artinya,

melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen. Dari kelima

Pasang inilah yang lahir dari prinsip sederhana dan saling menyanyngi

diantara mereka.

Penerapan aturan dan hukum-hukum di dalam masyarakat adat Kajang,

memegang prinsip hukum yang diwariskan nenek monyang, terutama terjadi suatu

peristiwa atau masalah yang terjadi dalam kawasan adat Kajang. Bentuk sanksi

hukum yang disebut Ba‟bala (cambuk). Adapun berat sanksi hukum yang di

terima, tergantung berat ringannya pelanggaran yang mereka lakukan. Dalam hal

ini terdapat tiga kategori sanksi hukum, yaitu Cappa‟ba‟bala (ujung cambuk),

jenis hukuman ini sifatnya ringan. Selangjutnya, Tang‟nganga‟ Ba‟bala (bagian

tengah cambuk), jenis hukuman ini sifatnya sedang.dan terakhir adalah Poko

ba‟bala (Pangkal cambuk), jenis hukuman ini tergolong berat. Sanksi, hukum

58

Zainuddin Dkk, “Ammatoa”, Makaassar: Badan Perpustakaan Daerah dan Arsip

Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2014,h.43.

Page 46: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

37

diatas adapun bentuk larangan-larangan yang bersumber dari Pasang yang tidak

boleh dilanggar oleh masyarakat Kajang dalam (Ilalang Embaya), yaitu larangan

(kasipali) memakai kendaraan memasuki kawasan Ilalang Embaya, bukan hanya

untuk para tamu, tetapi berlaku bagi setiap masyarakat kawasan adat Ilalang

Embaya.59

Bagi mereka yang melanggar hukum-hukum adat yang telah tercantum

dalam Pasang akan dikenakan sanksi sosial atau sanksi yang berupa denda

(Passala) yang berdasarkan hukum adat setempat, maupun sanksi masyarakat

dengan cara pengusiran (Nipaopangi Butta) dari kawasan adat Kajang.

Adapun keunikan yang ada di dalam berbagai unsur dalam kehidupan

sehari-hari, mulai cara berpakaian, bentuk rumah, pola pemukiman, dan lain

sebagainya. Adapun keunikan tersebut antara lain60

:

1. Tata Cara Berpakaian.

Cara berpakaian masyarakat suku Kajang mempunyai jati diri mereka

sebagai kelompok Kajang luar (Ipatarang Embaya) dan Kajang dalam (Ilalang

Embaya). Pakaian yang digunakan masyarakat Kajang luar adalah pakaian yang

digunakan masyarakat pada umumnya. Seperti, pakaian dengan warna yang

berbeda-beda, dengan gaya yang mengikuti perkembangan zaman, dan sudah

menggunakan sepatu atau sendal. Sedangkan, masyarakat Kajang dalam

menggunakan pakaian yang serba hitam, dan tidak memakai sendal.61

Hitam

merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita

memasuki kasawan adat Ammatoa pakaian kita harus berwarna serba hitam. Bagi

masyarakat suku Kajang dalam warna hitam bermakna sebagai bentuk persamaan

dalam segala hal, termasuk kesederhanaan, kekuatan, dan kesamaan derajat bagi

setiap orang di depan pencipta.

2. Bentuk Rumah.

Bentuk rumah suku Kajang dalam sangat berbeda dengan bentuk rumah

Kajang luar. Jika bentuk rumah suku Kajang luar sudah seperti dengan bentuk

59

Abdul Hafid,” Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”,( Makassar:

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2013, h.36. 60

Yusuf Akib, Potret Manusia Kajang, (Makassar : Badan Perpustakaan dan Arsip

Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2004, h.22-24 61

Halilintar Lathief,” Berkunjung ke Pusat Bumi Kajang”, (Makassar: Badan

Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2016,h.91

Page 47: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

38

rumah warga pada umumnya dengan bentuk yang berbeda-beda dengan hiasan

dan warna yang indah. Ada yang berbentuk seperti rumah panggun bahkan ada

juga yang berbentuk seperti rumah duduk dengan lantai diatasnya. Sebaliknya,

bentuk rumah masyarakat suku Kajang dalam, harus mengikuti bentuk rumah

yang sudah di tetapkan oleh Pasang atau hukum adat, semua rumah yang terletak

di kawasan adat mempunyai bentuk rumah yang sama. Rumah dengan tiang yang

di tanam berjumlah 16 batang. Di dalam rumah terdiri atas tiga bagian yang

masing-masing dipsahkan oleh pappamuntulan latia riolo (tempat untuk tamu),

latia tangnga (tempat tuan rumah menerimah tamu), dan tala-tala (tempat tidur

kaum wanita). Lantainya terbuat dari bilahan bambu yang di ikat satu sama lain,

beratap daun rumbia, dapur dan tempat buang air kecil (pa‟bisang) terletak di

bagian depan rumah (latia riolo) sebelah kiri pintu dan pada bagian ujung atas

terdapat hiasan dari ekor ayam (anjong).62

3. Pola pemukiman

Pola pemukiman masyarakat suku Kajang dalam, mempunyai pola

pemukiman yang unik, disebabkan karena pola pemukiman harus sesuai dengan

pasang atau hukum adat yang telah di tentukan. Yaitu, dengan pola pemukiman

yang berkelompok menghadap ke barat. Penenpatan rumah seperti ini bermakna

agar rezki yang berasal dari Tu Rie‟A‟ra‟na (Tuhan Yang maha Kuasa) dapat

diterimah secara langsung tanpa singgah di tempat lain yang dapat menyebabkan

rezki tersebut tidak tercemar/tidak murni atau haram.

4. Keadaan Penduduk dan Pendidikan

Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Tana Toa, jumlah

penduduk secara keseluruhan meliputi kawasan Ilalang Embaya maupun

Ipantarang Embaya adalah sebanyak 4.073 jiwa, terdiri atas laki-laki 1.904 jiwa

dan perempuan berjumlah 2.169 jiwa. Jumllah penduduk itu tersebar ke dalam 9

dusun, yakni Dusun Balagana, Jannaya, Sobbu, Benteng, Pangi, Bongkina,

Tombolo, Luraya, dan Dusun Balambi. Dari jumlah penduduk 4.073 jiwa itu,

dimana tujuh dusun termasuk kawasan Ilalang Embaya memepunyai penduduk

62

Yusuf Akib, “Ammatoa Komunitas Berbaju Hitam”, (Makassar: Pustaka Refleksi),

2008, h.27-30

Page 48: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

39

sebanyak 3.208 jiwa, sedangkan dua dusun lainnya Ipantarang Embaya

mempunyai penduduk sebanyak 865 jiwa.63

Kawasan adat Kajang luar (Ipantarang Embaya) telah membentuk

perkampungan tersendiri, berbeda dengan pola perkampungan masyarakat dalam

(Ilalang Embaya) dimana posisi rumah tersebut diatur terderet sebelah

menyebelah sepanjang jalan. Sedang pola perkampungan kawasan Ilalang

Embaya berkelompok, rumah didirikan di tengah-tengah kebun keluarga dengan

arah bangunan rumah berlawanan arah dengan Borong karama‟ (hutan keramat).

Sehingga semua rumah menghadap ke barat dan tertata rapi serta berjejer dari

utara ke selatan, pada barisan depan rumah terdapat batu kali setinggi satu meter.

Pagar ini dibuat dengan tujuan untuk menhindari pandangan ke arah Borong

Karama‟. Sebagai mana ketentuan adat.

Pendidikan formal bagi komunitas adat Kajang dalam wilayah Desa Tana

Toa, bukanlah merupakan sesuatu kebutuhan yang mendesak. Semua pengetahuan

dan teknologi yang dimiliki oleh masyarakat adat Kajang, khususnya yang berada

di Ilalang Embaya pada dasarnya bersumber dari Pasang. Sebelumnya penduduk

komunitas adat Kajang tidak pernah mengecap pendidikan formal, dalam

melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mengizinkan anak-

anak mereka untuk bersekolah pada waktu itu. Hal ini disebabkan karena berbagai

alasan-alasan tertentu, seperti anak-anak diharuskan membantu orang tua mereka

di ladang atau di sawah atau untuk mengembala ternak. Selain itu, ada juga orang

tua dalam kawasan ini yang enggan menyekolahkan anaknya, karena khawatir

akan muncul perubahan sikap, akibat pengaruh yang di peroleh dari sekolah.64

Perubahan sikap yang terjadi dapat menodai ketaatan terhadap Pasang dan dapat

pula menyebabkan masuknya hal-hal yang tidak pantas, seperti yang disinyalir

dalam Pasang: “Bulu tansing bulu sa‟ra tansing sa‟ra” (kulit yang bukan kulit,

suara yang bukan suara). Maksud dari pasang tersebut untuk memperingatkan

63

Abdul Hafid, “ Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”,( Makassar:

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2013, h.14 64

Abdul Hafid, “Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, (Makassar:

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2013, h.15-16

Page 49: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

40

pada komunitas pengamalnya agar tidak menerima atau menolak segala yang

tidak ada dalam pasang.

Menyadari akan hal ini pemerintah setempat. Mengusahakan pendidikan

dengan model khusus yang disesuaikan dengan keberadaan mereka.

Karna sangat minimnya tingkat pendidikan dan ketatnya tradisi pasang

yang menyebabkan penduduk tidak punya banyak pilihan atas pekerjaan yang

memerlukan ijazah. Bagi komunitas adat Kajang menjadi petani, peladan, atau

meramu hasil hutan dan berburu, serta menyadap nira merupakan pekerjaan

mencari nafkah.65

Menyadari kenyataan ini, pemerintah setempat dalam hal ini dinas

pendidikan Kabupaten Bulukumba, mengusahakan pendidikan dengan model

khusus yang disesuaikan dengan kondisi keberadaan mereka, dan ternyata usaha

ini cukup membawa hasil. Berdasarkan data desa tanah toa, telah dibangun tiga

sekolah dasar (SD), satu sekolah tinkat pertama (SLTP), dan satu sekolah tingkat

menengah atas (SMA), kesemua bangunan sekolah ini terdapat diluar kawasan

adat kajang. Adanya sarana pendidikan dikawasan adat kajang menyebabkan anak

mereka khususnya yang ada dikawasan ilalang embaya di desa tanah toa. Sudah

banyak yang disekolahkan, dengan harapan bahwa kedepannya anak-anak mereka

memiliki pendidikan formal dan ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat untuk

masa depan mereka.

Adanya perubahan sikap sebagian komunitas adat kajang, maka terlihatlah

anak-anak mereka semakin hari semakin banyak yang mengikuti pendidikan,

walaupun menggunakan pakaian warna-warni, dimana dalam penilaian adat

kamase-masea pada masa lalu adalah tabu (kasipalli) untuk memakai pakaian

berwarna. Namun sekarang ini sudah dapat diterima dengan penuh toleransi,

sehingga sedikit demi sedikit gugurlah keharusan berpakaian hitam bagai anak-

anak sekolah.

65

Abdul Hafid, “ Ammatoa Dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”,( Makassar:

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2013, h. 16-17

Page 50: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

41

5. Agama dan Kepercayaan

Masyarakat suku Kajang menempatkan agama Islam sebagai satu-satunya

agama yang di anut oleh mereka. Akan tetapi, pelaksanaan syariat-syariat Islam

tidak seperti masyarakat muslim pada umumnya.66

Berbeda dengan masyarakat

suku Kajang luar yang sudah melaksanakan syariat-syariat Islam secara utuh,

bahkan di wilayah masyarakat Kajang luar saat ini, sudah banyak bangunan

mesjid, dan pelaksanaan pengajian-pengajian, serta pelaksanaan amalan-amalan

lainnya sebagaimana yang telah di tetapkan oleh syariat islam. Sebaliknya,

masyarakat di kawasan adat Ammatoa, Kajang dalam, tidak mengerjakannya.

Namun, di satu sisi mereka menolak sebutan bukan muslim. Paradoksal ini terjadi

akibat adanya bentuk pengamalan keagamaan (Islam) yang di padu dengan

kebiasaan-kebiasaan para pendahulu mereka (Tu Mariolo). 67

Pengaruh konsepsi Islam versi masyarakat kawasan adat Ammatoa. Sedikit

banyak memberi dampak terhadap masyarakat. Pengaruhnya terlihat terutama

bagi kalangan tua dan sebagian kecil terhadap generasi mudanya.

Kondisi pengamalan Islam di kawasan adat ini, sebagai Islam singkrenitas,

syariat Islam tidak dilaksanakan kecuali pada tata cara perkawinan, kematian,

sunat, zakat, dan tahlilan. Mereka masih memengan kuat kepercayaan Patuntung

yaitu sebuah kepercayaan animisme yang dianut oleh masyarakat suku Kajang

dalam, sebelum Islam datang. hingga saat ini, mereka percaya adanya kekuatan

pada benda-benda tertentu dan terhadap roh-roh nenek moyang.

Kepercayaan Patuntung yang mereka anut sangat diyakini dan ditaati.

Dalam kepercayaan Patuntung ini berdasar pada Pasangri Kajang yang berisikan

adanya hubungan vertikal pada Tu Rie‟ A‟ra‟na (Tuhan Yang Maha Kuasa) dan

hubungan horizontal ke sesama mahluk. Pasang itu berisi pesan-pesan atau

petuah, pedoman hidup untuk kebahagian dunia dan pesan-pesan untuk

mempercayai adanya akhirat.68

66

Mas Alim Katu, Tasawuf Kajang, (Makassar: PT Pustaka Nusantara Padaidi),

2005,h.13 67

Yusuf Akib, Ammatoa Komunitas Berbaju Hitam,(Makassar: Pustaka Refleksi),

2008,h.30 68

Zainuddin Tika Dkk, Ammatoa, (Makassar: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah

Provinsi Sulawesi Selatan), 2013, h.42

Page 51: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

42

Salah satu bentuk kepercayaan Patuntung yang mereka selalu amalkan

yaitu, Akkalapika merupakan pesta adat yang dilaksanakan khusus untuk

memaneng hasil perkebunan. Sifat acara ini adalah untuk syukuran dan

persembahan69

. Dimana dalam proses upacara ini, semua hidangan jenis hidangan

diambil di letakkan di atas daun waru, kemudian hidangan tersebut di beri darah

ayam lalu di letakkan di empat sudut rumah, empat sudut kebun, satu di pinggir

sungai, satu di sumur dan satu di jalan. Sesudah seluruh rangkaian telah

dilaksanakan kemudian membaca doa dan diakhiri dengan makan bersama.

Secara singkat dapat dikatakan dari segi agama dan kepercayaan

masyarakat suku Kajang dalam yang berada dalam kawasan adat Ammatoa

mengakui islam sebagai agama mereka, dan patuntung sebagai kepercayaan yang

mereka yakini. Kepatuhan mereka terhadap syariat islam hanya sebatas pada

Perkawinan, kematia, sunnat, zakat, dan tahlilan. Berbeda dengan Kajang luar

yang sudah menjalankan syariat islam secara keseluruhan.

B. Tradisi Perkawinan Masyarakat Suku Kajang.

1. Perkawinan Suku Kajang.

Bagi masyarakat suku Kajang sendiri, perkawinan merupakan sesuatu

yang sakral dan peristiwa yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Oleh

karna itu, maka tata cara perkawinan pun dimulai dari proses peminangan sampai

pada membina rumah tangga juga diatur dalam ketentuan adat suku Kajang yang

mengikat.

Masyarakat suku Kajang mempunyai ikatan kekerabatan dan ikatan

emosional yang sangat kuat karna perkawinan yang endogami, selain itu juga

karna, dipersatukan dalam satu komunitas adat yang dipimpin oleh Ammatoa.70

Bagi masyarakat suku Kajang perkawinan bukan lagi sebagai kewajiban,

melainkan suatu kebutuhan yang harus di penuhi oleh setiap masyarakat suku

Kajang yang telah tiba waktunya untuk melaksanakan perkawinan. Bentuk

69

Mas Alim Katu, Tasawuf Kajang, (Makassar: PT Pustaka Nusantara Padaidi), 2005,

h.50 70

Halilintar Lathief,” Berkunjung ke Pusat Bumi Kajang”, (Makassar: Badan

Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2016, h.70

Page 52: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

43

perkawinan masyarakat suku Kajang diataur dalam Pasangri Kajang yakni, segala

peraturan yang telah di tetapkan oleh Ammatoa ( pemimpin) berdasarkan

kepercayaan Patuntung71

. Mengenai aturan adat perkawinan tidak hanya berlaku

pada masyarakat suku Kajang dalam (Ilalang Embaya). Namun, berlaku juga bagi

masyarakat Kajang luar (Ipantarang Emabaya), karna walaupun masyarakat suku

Kajang luar (Ipantarang Embaya), tidak lagi berada dalam kawasan adat

Ammatoa, dan sudah mengikuti segala bentuk perkembangan zaman.Tetapi, untuk

urusan perkawinan mereka tetap terikat oleh hukum adat yang tertuang dalam

Pasangri Kajang.72

2. Tahapan Mencari Jodoh.

Pada dasarnya, masyarakat suku Kajang, dalam tahap mencari jodohnya di

kenal dengan Ni‟duta atau dijodohkan oleh orang tua mereka. Ni‟duta disini sudah

sangat melekat bagi masyarakat suku Kajang sendiri dan juga menjadi tradisi

turun-temurun, khususnya masyarakat yang berada dalam kawasan adat (Ilalang

Embaya).73

Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat sakral bagi masyarakat

suku Kajang. Olehnya itu, dalam proses memilih jodoh merupakan tanggun jawab

orang tua. Bagi masyarakat suku Kajang ketika seorang perempuan telah tiba

masa pubertasnya (baliq) sedangkan seorang lelaki sudah mampu untuk

membantu orang tuanya di ladang atau di sawah kemudian sudah baliq. Maka,

sudah waktunya untuk dikawinkan. Orang tua biasanya akan mencarikan

pasangan dari kalangan kerabat terdekat yang bukan nasabnya atau kerabat yang

berasal dari kalangan yang sama (sesuku) untuk di jodohkan kepada anaknya. Hal

ini, merupakan pertimbangan yang sangat penting bagi masyarakat suku Kajang.

Karna menurut hukum adat mereka sebaik-baik pasangan adalah pasangan yang

berasal dari sesama suku mereka. Akan menjadi beban moral tersendiri bagi orang

tua yang belum mengawinkan anaknya yang telah baliq. Hal ini, juga yang

memicu maraknya perkawinan dini di suku Kajang baik dalam kawasan adat

71

Yusuf Akib, “Potret Manusia Kajang”, (Makassaar: Badan Perpustakaan dan Arsip

Daerah Provinsi Sulawesi Selatan),2004, h.35 72

Wawancara dengan Kanne Dati, Tokoh masyarakat suku Kajang Luar, 26 Januari 2019 73

Halilintar lathief, “Berkunjung ke Pusat Bumi Kajang”,( Makassar: Badan

Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2016, h.72

Page 53: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

44

Ammatoa maupun di kawasan Kajang luar. Setelah orang tua sudah memilih

seseorang yang dijodohkan untuk anaknya, kemudian kedua belah pihak setuju.

Maka akan diadakan prosesi lamaran.74

Bagi masyarakat suku Kajang saling menghormati satu dengan yang

lainnya merupakan sebuah kewajiban. Hal ini, menimbulkan akibat hukum

tersendiri. Karna, menurut hukum adat, perjodohan merupakan sebuah

penghormatan. Maka terdapat sebuah atauran hukum adat kewajiban membanyar

denda bagi setiap pihak yang menolak dijodohkan. Kewajiban membayar denda

ini, berlaku bagi pihak yang menolak untuk diberikan kepada pihak yang di tolak.

Aturan hukum adat ini hanya berlaku pada masyarakat suku Kajang dalam

(Ilalang Embaya) atau masyarakat yang berada dalam kawasan adat Ammatoa.

Berbeda dengan masyarakat suku Kajang luar (Ipantarang Embaya) yang sudah

dapat memilih jodoh berdasarkan pilihannya sendiri.75

3. Upacara Lamaran dan Penentuan Mahar.

Lamaran merupakan langkah awal dari suatu perkawinan. Hal ini telah

disyariatkan oleh Allah SWT sebelum diadakannya akad nikah antara suami istri.

Dengan tujuan, agar masing-masing pihak mengetahui pasangan yang akan

menjadi pendamping hidupnya. Lamaran atau khitbah mengandung arti

permintaan. Peminangan dilakukan sebagai permintaan secara resmi kepada

wanita yang akan dijadikan calon istri atau melalui wali wanitanya itu. Sesudah

itu baru dipertimbangkan apakah lamaran itu dapat diterima atau tidak.76

Prosesi lamaran masyarakat suku Kajang diawali dengan kedatangan

rombongan keluarga besar pihak laki-laki yang di pimpin oleh Galla Puto

(pimpinan adat suku Kajang yang bertugas mengurusi perkawinan) sebagai

perwakilan dari Ammatoa (ketua adat) ke kediaman pihak wanita. Galla Puto

disini bertugas untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka.

Kemudian Galla Puto akan memanggil Suronu (utusan) pihak wanita untuk

Angnganta‟ sunrang.77

74

Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, 25 Januari 2019 75

Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, 25 Januari 2019 76

Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”, (Jakarta: Kencana), 2003, h. 73 77

Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, 25 Januari 2019

Page 54: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

45

Angnganta‟ artinya menetapkan dan sunrang berarti mahar. Jadi,

Angnganta‟ sunrang adalah menetapkan mahar yang akan dibawa ke tempat

mempelai wanita pada upacara perkawinan. Selain mahar, terdapat uang panai‟

(uang belanja) dan 2 ekor kerbau yang menjadi keharusan bagi pihak laki-laki

untuk diberikan kepada pihak wanita. Mengenai uang panai‟ ditentukan

berdasarkan kesepakatan bersama kedua belah pihak dengan mempertimbangkan

kesanggupan pihak laki-laki. Kemudian 2 ekor kerbau ini, berlaku bagi

masyarakat suku Kajang. Lain halnya, pada keturunan Ammatoa dan pimpinan

adat Kajang lainnya, jumlah kerbau dibawah sebanyak 7 ekor.78

Setelah acara lamaran dan penentuan mahar, serta uang panai‟ telah

disepakati kedua belah pihak. Selangjutnya adalah penentuan hari baik untuk

melangsungkan perkawinan.

4. Upacara Perkawinan

Mengenai upacara perkawinan banyak tahapan yang harus dilalui oleh

masyarakat suku Kajang khususnya masyarakat yang terdapat dalam kawasan

adat Ammatoa. Pelaksanaan upacara adat perkawinan tersebut meliputi:79

a) Songka Bala (Tulak Bala).

Proses tulak bala merupakan rangkaian acara yang dilakukan di sore hari

sebelum acara mapapacing. Kegiatan ini dilaksanakan dan dipercayai oleh

masyarakat setempat. Tujuan dari kegiatan ini untuk memhindarkan diri dari

segala musibah atau bahaya, bagi calon penganting beserta keluarganya.

Adapun proses tulak bala adalah membawa kedua calon pengantin ke sumur

terdekat untuk dimandikan oleh Tetuah adat yang dipercayakan. Peralatan yang

dibawah berupa jeruk, kelapa, dan pakaian pengganti.

b) Pakanre Bunting.

Pakanre bunting merupakan rangkaian acara yang dilaksankan sebalum

acara mappacing di mulai dan pada saat berlangsungnya hari perkawinan. Adapun

proses acara pakanre bunting dilakukan pada malam hari yaitu calon pengantin di

78

Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang dan Galla Puto Suku Kajang, 25 Januari

2019 79

Riswanto, “ Implementasi Adat Perkawinan Tana Toa, di Desa Tana Toa, Kecematan

Kajang, Kabupaten Bulukumba”, Jurnal Sangkala Ibsik, h.119-120

Page 55: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

46

suap oleh mama/ibu pengantin (anrong bunting). Sedangkan pada acara pakanre

bunting pada hari berlangsungnya acara yaitu pengantin laki-laki menyuap

pengantin perempuan. Begitupun sebaliknya, pelaksanaan pakanre bunting yang

dilakukan pada malam hari bertujuan untuk memberikan berkah bagi calon

pengantin laki-laki atau perempuan yang dilakukan oleh mama/ibu (anrong

bunting).

Adapun jenis makanan yang disajikan untuk proses pakanre bunting

berupa nasi, ikan, dan ayam. Tujuan dari ritual ini adalah untuk mempererat tali

kekeluargaan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan dengan harapan

untuk menambah kasih sayang anatara pengantin laki-laki dan perempuan agar

saling menghargai satu sama lain.

c) Mappacing.

Acara mappacing merupakan rangkaian acara yang sangat penting

dilakukan dan merupakan kewajiban bagi setiap adanya pesta perkawinan pada

masyarakat suku Kajang. Tujuan dari ritual ini untuk mensucikan diri calon

pengantin. Acara ini juga dilakukan oleh kerabat terdekat beserta para tamu yang

ingin terlibat. Adapun bahan-bahan yang disiapkan untuk melaksanakan acara ini

yaitu minyak lilin, gula merah, daun pandang, daun pacci, daun sirih, bedak,

beras, cermin dan sisir.

Adapun proses pelaksanaannya dimulai dengan mengambil bahan-bahan

yang telah disediakan diatas talang dan membubukan satu persatu bahan tersebut,

adapun cermin dan sisir digunakan pada bagian akhir mappacing. Dengan

menghadapakan cermin dan sisir tepat pada wajah pengantin.

d) Pakanre Adat.

Acara pakanre adat merupakan proses yang dilakukan dua kali yaitu pada

saat sesudah mappacing dan malam pesta perkawinan. Maksud dari acara ini

untuk melaksanakan acara turun temurun serta untuk menghargai dan

menghormati tokoh-tokoh adat yang terdiri dari Ammatoa, Iman, Kepala desa,

Kepala dusun, dan Galla puto.

Proses acara ini dimulai dengan menyediakan makanan dalam talang dengan

tiga macam makanan (nasi, ayam, dan sayur). Acara ini dimulai dengan kelong

Page 56: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

47

jaga artinya menyanyi dengan diiringi gendang dan harus menyediakan tuak.

Setelah itu baru dilaksanakan acara makan bersama atau pakanre adat yang

dilakukan oleh tokoh adat.

Setelah segala prosesi adat tersebut telah dilaksanakan, selanjutnya

memasuki prosesi akad nikah. Dalam proses akad nikah masyarakat suku Kajang

cukup menarik. Karna terdapat aturan adat yang harus di patuhi sebagaimana yang

telah terdapat dalam Pasangri (hukum adat) mereka. Namun, tetap

memperhatikan aturan agama dalam melaksanakan akad nikah yakni rukun dan

syaratnya harus terpenuhi terlebih dahulu untuk menyatakan “sah” tidaknya suatu

perkawinan tersebut. Rukun terdiri dari calon suami, wali, dua orang saksi, dan

sighat akad nikah. Kemudian syarat sahnya perkawinan yakni calon mempelai

wanitanya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya sebagai istri

serta akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.

Dalam prosesi akad nikah masyarakat suku Kajang, yang mempunyai hak

untuk menikahkan adalah seorang Iman dan yang harus menjadi saksi nikah

adalah Ammatoa atau pimpinan adat lainnya (Galla Puto), jika Ammatoa

berhalangan untuk hadir. Setelah akad nikah telah dilaksanakan, selangjutnya

Ammatoa akan menyerahkan kedua mempelai kepada petugas Kantor Urusan

Agama (KUA) setempat yang turut hadir untuk dicatatkan perkawinannya. 80

Saat upacara perkawinan tersebut belangsung, Ammatoa atau pimpinan

adat bertugas menyampaikan “Pudeppo” atau nasehat-nasehat. Isi deppo tersebut

antara lain:81

Kammanea tepu jaimi topemu

Tattannammi jori pabisa bangkennu

Nasekkokko sara,

Napatokko ada

Jari urangi talasannu

Ambuai dallea sarai dalle

Pakabaji minasannu barang calluru tojako

80

Wawancara dengan Galla Puto, salah satu pimpinan adat Suku Kajang, 25 Januari 2019 81

Halilintar lathief, “Berkunjung Ke Pusat Bumi Kajang”, Makassar: Badan

Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2016,h.73

Page 57: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

48

Jako parenta deppoi bahinennu

Deppoa jintu nilisapi nalambusu

Ako parenta bilasangngi bahinennu

Bilasangajintu niepppepi nammatti

Punna minroko riballa mata kanrea

Ako lanrroi ka anumata napallu

Pecal kanrea anu are nanrang

Mutungi kanre anu api rittujunna

Lari urangilaloi tanring kaju matea

Dampenganngi raung kaju lolo tammengoa.

Terjemahannya:

Sekarang usai dijahit sarungmu

Telah ada tempat mencuci kakimu

Engkau terikat hukum agama dan disimpul oleh adat

Jadi ingat tentang kehidupanmu

Baik dalam suka maupun duka

Perbaiki niatmu dan semoga engkau seperti Cukkuru dan Kariango

Jangan memerintah mengatur istri seperti membuat pematang.

Pematang itu nanti di injak baru akan menjadi lurus atau rata

Jangan mengatur istri seperti memukul mayang enau

Mayang enau nanti di pukul baru akan menetas

Bila engkau pulang ke rumah dan mendapatkan nasi mentah,

Jangan marah, sebab memang beras mentah yang dimasak.

Atau nasinya lembek jangan, marah sebab dimasak bersama air.

Atau nasinya hangus, jangan marah sebab dimasak sebab dimasak diatas

api.

Dan ingat selalu untuk mencari kayu bakar

Sertakan juga daun muda yang tak beracun untuk sayuran.

Nasehat-nasehat atau pudeppo tersebut, mengandung makna bahwa

kehidupan rumah tangga suami istri harus saling pengertian yang disertai dengan

Page 58: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

49

tanggug jawab kedua belah pihak. Kegiatan ini merupakan rangkaian upacara

perkawinan masyarakat suku Kajang yang harus dilakukan.

Setelah resmi menjadi pasangan suami istri, kedua mempelai tersebut akan

mengadakan “ajjaga roa”, yang berarti berpesta ramai. Maksud dari acara ini

untuk menjamu para tamu dan acara mengadat, yaitu menyuguhkan makanan dan

minuman kepada para pemangku adat secara khusus di tempat yang khusus

disediakan juga untuk mereka. Kemudian, acara “mange basa” yaitu kedua

mempelai beserta rombongan menuju ke kediaman laki-laki, sebelum berangkat

mempelai wanita tersebut harus menyediakan 20 biji sarung hitam (pakaian asli

kajang) untuk diberikan kepada orang tua mempelai laki-laki, hal ini merupakan

kewajiban bagi setiap mempelai wanita kajang. Tujuan dari bawaan sarung ini

adalah sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga mempelai. Setelah tiba di

kediaman mempelai laki-laki. Rombongan akan disambut dengan siraman beras

dari keluarga besar mempelai laki-laki. Setelah memasuki rumah, sang istri akan

di perkenalkan kepada seluruh keluarga besar yang dilangjutkan do’a bersama

yang akan dipimpin oleh Iman.82

82

Wawancara dengan Galla Puto salah satu Pimpinan Adat Suku Kajang, 25 Januari 2019

Page 59: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

50

BAB IV

PLURALISME HUKUM PADA TRADISI PERKAWINAN

MASYARAKAT SUKU KAJANG

A. Relasi hukum Islam, hukum Adat, dan hukum Positif pada Masyarakat

Suku Kajang dalam Tradisi Perkawinan.

Pluralisme hukum atau berbagai hukum yang berlaku pada masyarakat

hadir sebagai pilihan hukum bagi masyarakat majemuk yang masih

mempertahankan tradisi-tradisi adat mereka.

Hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat dapat berdampingan dengan

hukum yang diberlakukan oleh negara. Unsur terpenting yang terdapat dalam

prluralisme hukum adalah bekerjanya semua sistem hukum secara utuh, bukan

parsial. Unsur interaksi menjadi hal dalam memahami konsep pluralisme karena

erat kaitannya dengan sistem hukum yang hidup dalam masyarakat majemuk.

Hukum yang hidup dalam masyarakat di dasarkan pada sebuah kenyataan sosial

masyarakat memiliki keragaman sistem hukum, sebagai wujud dari indentitas

sosial budaya masyarakat.83

Seperti halnya pada perkawinan masyarakat suku Kajang terdapat berbagai

hukum yang terlibat dalam proses perkawinannya. Dimana hukum Islam, hukum

Positif dan hukum Adat berkalaborasi menjadi satu dalam sebuah prosesi

perkawinan masyarakat suku Kajang. Hal ini diakibatkan karna masyarakat suku

Kajang merupakan masyarakat muslim yang mempunyai kepercayaan Patuntung,

yang tertuan dalam Pasanri Kajang atau aturan-aturan hukum adat yang harus

dipatuhi, kemudian disisi lain mereka adalah kelompok masyarakat yang hidup di

wilayah konstitusi Indonesia.

Dalam kehidupan masyarakat suku Kajang terdapat lima ajaran di dalam

Pasangri Kajang yang menjadi pedoman hidup bagi mereka, yaitu:84

83

Dedy Sumardi, “ Islam, Pluralisme Hukum dan Refleksi Masyarakat Homogen”, Junal

Asy-Syir’ah, Vol 50, No.2, Desember 2016 84

Zainuddin Dkk, “Ammatoa”, (Makaassar: Badan Perpustakaan Daerah dan Arsip

Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2014,h.43.

Page 60: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

51

a. Ta‟ngu‟rangi mangeri Turie‟ A‟ra‟na. Yang bermakna, senantiasa

mengingat Tuhan, dan percaya bahwa Tuhan yang Maha Berkehendak

terhadap apapun yang terjadi.

b. A‟lemo sibatua‟bulo sipappa‟. Tallang sipahua manyu‟siparape, sipkatau

tang sipakasiri, bunting sipahasa, mate siroko‟bualeng. Yang bermakna,

menjaga persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan, saling

menghargai satu sama lain, saling bergotong royang dalam hal apapun.

Agar hidup menjadi damai dan sejahtera yang menjadi amalan baik untuk

diri diakhirat kelak.

c. Lambusu kigattang sa‟bara ki peso‟na. Yang berarti, menjadi manusia

yang selalu bertindak tegas, selalu sabar dengan segala cobaan, dan

percaya akan Kebesaran Tuhan.

d. Sallu rijauka ammunu riadakkang Ammaca‟ere‟ anreppe‟ batu, alla

„buirurung, alla batu cideng. Yang bermakna sudah menjadi kewajiban

bagi setiap masyarakat suku Kajang untuk patuh dan taat terhadap segala

aturan hukum adat yang berlaku.

e. Nan digaukan sikontu passuroang to ma‟butayya. Yang berarti

melaksanakan segala aturan-aturan yang terdapat dalam Pasangri Kajang

dengan baik dan penuh rasa tanggun jawab.

Bedasarkan pedoman hidup tersebut masyarakat suku Kajang memengan

teguh aturan-aturan yang sudah disepakati bersama termaksud yang tertuang

dalam Pasangri Kajang. Salah satunya adalah mengenai Perkawinan.

Perkawinan masyarakat suku Kajang merupakan perkawinan dalam ajaran

Pasang yang dipandang sebagai suatu jenjang untuk hidup saling bergantungan

antara laki-laki dan perempuan, dimana dalam ikatan itu mereka saling

membutuhkan satu sama lain. Dalam pasang diungkapkan bahwa Buntung

Sipubasa yang berarti kawin itu saling membantu. Untuk itu dalam pelaksanaan

perkawinan bagi masyarakat suku Kajang semua pihak akan dibebani tanggung

jawab. Baik mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan. Sebab, perkawinan

Page 61: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

52

menurut masyarakat Kajang adalah suatu upacara yang harus di persiapkan

dengan baik.85

Adapun korelasi antara hukum Islam dan hukum Adat dalam prosesi

perkawinan masyarakat suku Kajang. Antara lain sebagai berikut:

a. Tahapan mencari jodoh.

Dalam tahapan mencari jodoh masyarakat suku Kajang dikenal dengan

sebutan Ni‟duta atau dijodohkan oleh orang tua mereka.86

Ketika anak sudah

baliq, orang tua akan langsung mencarikan jodoh untuk anaknya. Kemudian orang

tua akan mencari anak laki-laki atau perempuan dengan mendatangi kerabat

terdekat yang ingin dijodohkan untuk anaknya. Sudah menjadi keharusan

tersendiri bagi masyarakat adat Kajang yang bermukim dalam kawasan adat

Ammatoa untuk menikahkan anaknya dengan sesama masyarakat suku Kajang.

Artinya perjodohan hanya dilakukan bagi sesama suku Kajang.87

Dalam hukum

Islam mengenai tahap mencari jodoh, tidak ada keharusan untuk memilih jodoh

sesama suku dan berdasarkan pilihan orang tua. Islam memberikan pemahaman

dalam menjari jodoh dengan melihat agamnya, akidahnya. 88

Tahap menacari

jodoh masyarakat adat suku Kajang ini tidak sesuai dengan tahap mecari jodoh

bersadarkan hukum Islam namun, juga tidak menyalahi aturan dalam hukum

Islam.

b. Upacara lamaran

Prosesi lamaran masyarakat suku Kajang dimulai dengan kedatangan

keluarga pihak laki-laki kekediaman pihak perempuan yang di pimpin oleh Galla

Puto yaitu pimpinan adat yang bertugas mengurusi perkawinan. Galla disini

bertugas untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Dalam

prosesi lamaran tidak ada tukar cincin atau mengikat seperti perkawinan

masyarakat pada umumnya. Pada prosesi lamaran masyarakat suku Kajang juga di

penentuan hari tanggal perkawinan, serta mahar dan uang pana‟i atau uang

85

Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, di kediaman Ammatoa, Tana Toa, 25

Januari 2019 86

Halilintar lathief, “Berkunjung ke Pusat Bumi Kajang”, Makassar: Badan Perpustakaan

dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2016,h.72 87

Wawancara dengan Galla Puto Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019

Page 62: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

53

belanja yang harus di bawah oleh calon mempelai laki-laki. Selain itu, terdapat

juga 2 ekor kerbau yang menjadi kewajiban bagi calon mempelai laki-laki untuk

dibawah pada saat lamaran. Hal ini sudah menjadi ketentuan adat yang tidak

boleh dilanggar.89

Dalam hukum Islam lamaran disebut sebagai khitbah yang berarti

pemintaan oleh laki-laki atau yang mewakili untuk dijadikan istri pada seorang

perempuan. Adapun mengenai mahar, Islam sangat memperhatikan dan

menghargai seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya adalah

hak untuk menerima mahar atau maskawin. Pemberian mahar ini merupakan

kewajiban bagi setiap laki-laki muslim yang ingin menikah yang juga merupakan

salah-satu rukun nikah dalam Islam. Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah

sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Namun, bagaimana

kesanggupan seorang laki-laki.

Dalam prosesi lamaran masyarakat suku Kajang ini, terdapat relasi antara

hukum adat yang berlaku dengan hukum Islam yang menjadi ketentuan. Dimana,

terdapat kewajiban adat yang harus terpenuhi yakni membawa uang panai‟i atau

uang belanja yang akan diserahkan kepada pihak perempuan dan keharusan

membawa dua ekor kerbau bagi rakyat biasa dan tujuh ekor kerbau bagi keturunan

Ammatoa atau pemimpin adat dan berlaku juga bagi seluruh keluarga pimpinan-

pimpinan adat suku Kajang. Walaupun hal ini tidak menjadi persyaratan dalam

hukum Islam untuk melangsungkan sebuah perkawinan namun, sudah menjadi

keharusan adat yang harus dipatuhi dan bagi yang melanggar akan di kenakan

sangsi adat.

c. Upacara Perkawinan

Pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat suku Kajang melalui

beberapa tahap antara lain:90

89

Wawancara dengan Galla Puto Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019 90

Wawancara dengan Galla Puto Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019

Page 63: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

54

1. Songka Bala atau Tulak bala

Songka bala atau tulak bala merupakan kegiatan dimana kedua calom

mempelai beserta keluarga di bawah ke sumur untuk dimandikan oleh Tetuah

adat. Dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari segala musibah dan bahaya,

bagi calon pengantin dan keluarganya.

2. Pakangre Bunting

Pakangre bunting merupakan rangkain acara yang dilaksanakan pada

malam hari, dimana calon pengantin disuap oleh angrong bunting atau ibu

pengantin dengan makanan-makanan tertentu yang telah disediakan yang

bertujuan untuk memberikan berkah bagi calon pengantin laki-laki maupun

perempuan dari angrong bunting atau ibu mereka.

3. Mappacing

Acara mappacing merupakan rangkaian acara yang sangat penting untuk

dilaksanakan. Tujuan dari acara ini untuk mensucikan diri calon penganting.

Adapun proses pelaksanaannya yaitu dengan mencampur setiap bahan-bahan yang

telah disediakan berdasarkan ketentuan adat seperti minyak, lilin, gula merah,

daun pandang, daun pacci, daun sirih, bedak, beras, cermin dan sisir. Kemudian di

bubukan pada kedua telapak tangan dan jidat kedua mempelai.

4. Pakangre Adat

Pakangre adat merupakan acara yang dilakukan turun temurun serta

dilakukan untuk menghargai dan bentuk penghormatan kepada Ammatoa beserta

jajarannya. Proses acara ini dimulai dengan menyediakan makanan dalam talang

untuk Ammatoa beserta jajarannya kemudian, kelong jaga yaitu menyanyi

dengan diiringi gendang.

Setelah seluruh rangkaian adat telah dilaksanakan, selanjutnya memasuki

prosesi akad nikah. Dalam prosesi akad nikah masyarakat suku Kajang cukup

menarik. Tidak jauh berdeda dengan akad nikah masyarakat pada umumnya yaitu

terdapat calon suami, dua orang saksi, wali, dan sighat akad nikah. Namun, yang

membedakan disini, yang wajib menjadi saksi nikah adalah pimpinan adat yang

telah ditungjuk oleh Ammatoa yaitu Galla puto yang bertugas mengurusi

perkawinan, hal ini sudah menjadi aturan hukum adat kajang. Bahkan, konon

Page 64: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

55

ketika yang menjadi saksi perkawinan bukan dari pimpinan adat yang ditunjuk

langsung oleh Ammatoa maka, perkawinan tersebut tidak sah.91

Yang menikahkan

adalah Iman setempat. Setelah ijab dan qobul telah terlaksanakan. Barulah

perkawinan mereka dicatatkan oleh petugas Kantor Urusan Agama yang turut

hadir. Artinya setelah seluruh rangkain adat telah terlaksana barulah urusan

lainnya baru dapat dilaksanakan.92

Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang

perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam ujud aturan-aturan yang disebut

sebagai hukum. Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibnu Rusyd menjelaskan:

segolongan fuqaha‟, yakni jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya

sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa bahwa nikah itu wajib. Para

ulama Malikiyah mutaakhairin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian

orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain.

Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran dirinya. Adapun

rukun sah perkawinan yang diatur dalam hukum Islam yakni rukun perkawinan

terdiri dari adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan, adanya wali, adanya

dua orang saksi, dan sighat akad nikah.93

Dengan demikian terdapat relasi antara hukum adat, hukum Islam dan

hukum positif pada perkawinan masyarakat suku Kajang. Dimana, secara umum

prosesi perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat suku Kajang merupakan

ritual adat yang menjadi keharusan bagi mereka, namun tidak menyalahi aturan

perkawinan yang terdapat dalam rukun dan syarat sah dalam melangsungkan

perkawinan menurut hukum Islam, kemudian setelah seluruh rangkaian adat telah

dilaksanakan dan dinyatakan sah oleh pemimpin adat, barulah kedua mempelai

tersebut dapat dicatatkan perkawinnya oleh pengurus Kantor Urusan Agama

setempat, sebagaimana peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang

Perkawinan No.1 Tahun 1974. Terdapat relasi antara hukum-hukum tersebut

yakni hukum Islam, hukum adat, dan hukum positif menyatu dalam sebuah

91

Wawancara dengan Galla Puto Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019 92

Wawancara dengan Bapak Huzain, Hakim di Pengandilan Agama Kabupaten

Bulukumba, 20 Januari 2019. 93

Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”, Jakarta:Kencana, 2003, h.16-17

Page 65: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

56

perkawinan masyarakat suku Kajang dan tidak ada persinggungan antara hukum

tersebut. Dikarnakan semua adalah prosesi adat yang tidak menyalahi aturan

dalam hukum Islam, serta memenuhi segala bentuk persyaratan dalam peraturan

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 2 (2) yang menyatakan,

setiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku.

B. Pandangan Hukum Islam tentang Larangan Perkawinan Suku Kajang

dengan Suku Lainnya.

Perkawinan merupakan kebutuhan fitrah setiap manusia, hasil dari sebuah

perkawinan akan melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dan

seorang wanita. Oleh sebab itu, Islam mengatur sebuah perkawinan dengan

penuh pertimbangan yang berdasarkan hukum yang berlaku.

Di dalam hukum Islam perkawinan merupakan ketentuan yang telah

disyariatkan oleh Allah SWT bagi kaum muslimin yang telah memenuhi syarat

dan rukunnya.94

Hal ini juga ddiatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974

tentang perkawinan, yang merumuskan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir

bathin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.95

Dalam Hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut

selektivitas. Artinya jika seorang hendak melangsungkan perkawinan terlebih

dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia

dilarang menikah. Adapun larangan perkawinan dalam Islam disebut dengan

mahram. Mahram adalah wanita-wanita yang haram dikawini seorang laki-laki,

baik bersifat selamanya maupun sementara.96

94

Fery Sandi, “ Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku di Desa Tanjung Kecematan

Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar Berdasarkan Hukum Adat Kampar”, Jurnal, JOM

Fakultas Hukum, Vol.III Nomor.2, Oktober, 2016, h.2 95

Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1974 96

K.H. Hasbullah Bakry, “Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan

Perkawinan di Indonesia”, (Jakarta: Djambatan), 1981, h.3

Page 66: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

57

Dalam Islam mahram yang dilarang menikah terbagi menjadi dua, yaitu:97

a. Larangan yang bersifat tetap (Mahram Muabbad),

Larangan yang dimaksud yaitu mahram yang diharamkan kawin

untuk selama-lamanya, walau bagaimanapun keadaannya. Larangan kawin

tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 23.

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu,anak-

anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,

saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari

saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-

saudaramu yang perempuan”. (QS. An-Nisa’: 23).

Berdasarkan ayat di atas, wanita-wanita yang haram untuk dinikahi

selamanya karna pertalian nasab adalah:

1. Ibu: Yang dimaksud ialah perempuan yang ada hubungan darah dalam

garis keturunan garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah

maupun ibu dan seterusnya ke atas.

2. Anak perempuan: Yang dimaksud ialah wanita yang mempunyai

hubungan darah dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan,

cucu perempuan dan seterusnya ke bawah.

3. Saudara Perempuan: Baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.

4. Bibi: Yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung

ayah atau seibu dan seterusnya ke atas.

5. Kemenakan (keponakan) perempuan: Yaitu anak perempuan saudara

laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya kebawah.

b. Larangan karna hubungan persusuan (Radha’ah).

Diharamkan kawin karna sepersusuan yaitu, apabilah seorang ibu

menyusui anak orang lain, maka anak yang disusukan itu telah menjadi

mahram bagi keluarganya yang lain. Sebagaimana dijelaskan Allah

dalam surah An-Nisa’ ayat 23.

97

Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”, (Jakarta: Prenamedia Group), 2003,

h.104-108

Page 67: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

58

Artinya: “....Dan diharamkan bagimu mengawini ibu-ibu yang

menyusukanmu, dan saudara perempuan sepersusuan”. (QS. An-Nisa’:

23).

Berdasarkan ayat diatas menunjukkan bahwa yang diharamkan

karena susuan hanya ibu dan saudara sesusuan saja.

c. Larangan karna hubungan perkawinan (Mushaharah).

Mahram karna adanya hubungan kekeluargaan yang

disebakan oleh perkawinan yaitu:

1. Ibu dari istri (Ibu mertua), nenek dari pihak ibu atau ayah

si istri.

2. Anak perempuan dari istri yang sudah dicampuri atau

anak tiri, termasuk anak-anak perempuan mereka atau

cucu tiri.

3. Istri anaknya (menantu) atau istri cucu dan seterusnya.

4. Istri ayah (ibu tiri). Seseorang laki-laki haram mengawini

janda ayahnya. Haramnya itu semata-mata karna adanya

akad, meskipun si ayah belum pernah menyetubuhinya.

d. Larangan yang bersifat sementara (Mahram Muaqqad).

Keharaman menikah untuk sementara waktu berarti

haramnya pernikahan selama ada keadaan-keadaan tertentu pada

seorang wanita. Akan tetapi apabila keadaan itu tidak ada, maka

hukumnya menjadi mubah.

Adapun larangan perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam pasal 8 yaitu sebagai berikut:98

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas.

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang

dengan saudara neneknya.

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau

bapak tiri.

98Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1974

Page 68: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

59

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan

dan bibi/paman susuan.

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakann dari

istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang.

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin.

Berdasarkan penjelasan diatas menegaskan bahwa hukum Islam,

sebagaimana yang tertuan dalam Undang-Undang perkawinan memberikan

landasan hukum mengenai larangan-larangan perkawinan. Namun, suatu

kenyataan yang tidak dapat dipungkiri disebagian besar kalangan masyarakat adat

masih berlaku dan tata upacara perkawinan yang berbeda-beda. Undang-Undang

Nomor.1 Tahun 1974 merupakan unifikasi hukum perkawinan yang secara aturan

umum berlaku untuk perkawinan di Indonesia.99

Syariat Islam di masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau

tradisi yang tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Kedatangan Islam bukan menhapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu

dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta

ada pula yang dihapuskan. Misalnya adat kebiasaan diakui adalah kerja sama

dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah

berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para

ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan

landasan hukum, bilamana tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam dan

membawa kemaslahatan umat.100

Adanya tradisi yang dilakukan oleh umat islam di luar sayri’at Islam tidak

serta merta harus disalahkan. Hal ini berhubungan dengan manfaat dalam islam

serta adanya pernghormatan Islam terhadap budaya lokal masyarakat. Hukum

Islam sendiri mengenal „Urf yang merupakan penetapan hukum Islam yang

99

Wahyuni Malina Harahap, “Perkawinan Semarga dalam Adat Mandailing di Desa

Simanosor Kabupaten Tapanuli Selatan dalam Presfektif Hukum Adat Batak Mandailing”, Jurnal,

JoM Fakultas Hukum, Vol. V, Nomor.1, Februari, 2018, h.2 100

Salamah Eka Susanti, “Pendekatan Sistem dalam Teori Hukum Islam, Membaca

Pemikiran Jasser Auda”, Jurnal Hukum Islam, 2018, h.6-8

Page 69: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

60

berdasar pada adat istiadat yang berkembang. Tradisi atau urf adalah suatu

ketentuan mengenai cara yang telah dibiasakan oleh masyarakat di suatu tempat

dan masalah yang tidak ada ketentuannya secara jelas dalam al-qur’an dan

sunnah.

Tak terkecuali pada tradisi perkawinan masyarakat suku Kajang di

Bulukumba yang masih tetap mempertahankan hukum adatnya yakni larangan

perkawinan dengan suku lainnya atau keharusan menikah sesama suku Kajang.

Hal ini, tertera dalam Pasangri Kajang yaitu aturan-aturan hukum adat yang

berlaku bagi masyarakat suku Kajang khususnya yang berada dalam kawasan adat

Ammatoa atau Ialang Embaya.101

Yang mengakibatkan adanya sangsi adat bagi

masyarakat yang melanggar. Bagi yang melanggar aturan tersebut akan di panggil

oleh Ammatoa (Pimpinan Adat) untuk di adili. Jika dulu, tidak ada toleransi bagi

pelaku yang melanggar dengan aturan adat tersebut. Sekarang ini, seiring

perkembangan zaman, Ammatoa akan memberikan dua pilihan terhadap pelaku

perkawinan yang melakukan perkawinan selain dengan masyarakat suku Kajang

yakni, jika ingin tetap tinggal di kawasan adat atau wilayah Kajang pasangan

tersebut harus tinggal di kawasan adat dan menaati segala peraturan adat yang

tertera dalam Pasangri Kajang, artinya salah satu pasangan yang bukan suku

Kajang diharuskan masuk sebagai masyarakat suku Kajang (pindah suku) dan

mengakui bahwa suku Kajang adalah sukunya, serta menaati segala atauran

hukum adat yang belaku. jika tidak bisa menaati aturan tersebut pasangan

tersebut akan dikeluarkan dari kawasan adat atau wilayah adat suku Kajang.

Tujuan dari hukum adat yang berlaku tersebut agar masyarkat suku Kajang dapat

selalu mempertahankan garis turunannya dan untuk menjaga kesakralan hukum-

hukum adat yang sudah berlaku.102

Masyarakat suku Kajang dikenal dengan kepatuhannya terhadap hukum

adat yang berlaku, bagi mereka melanggar Pasangri Kajang merupakan dosa

besar. Kepatuhan terhadap hukum adat masih berlaku hingga saat ini, khususnya

bagi mereka yang masih bertahan di kawasan adat Ammatoa, dengan menolak

101

Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019 102

Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019

Page 70: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

61

segala bentuk perkembangan zaman, hidup beriringan dangan masyrakat modren.

Masyarakat suku Kajang adalah masyarakat yang mengatas namakan dirinya

sebagai seorang muslim atau kelompok yang beragama Islam. Namun, tetap patuh

dan taat terhadap hukum adat yang dibawah oleh nenek moyang mereka.103

Perkawinan sesama suku ini merupakan bentuk perjodohan pada masyarakat

adat suku Kajang. Latar belakang berlakunya perkawinan ini disebabkan oleh

beberapa faktor yaitu:104

1. Untuk menjaga keutuhan garis keturunan dan mempertahankan kekuasaan

kerajaan pada zaman dahulu. Yaitu pada masa Ammatoa pertama yaitu

Bohe Mula Tau. Yang menganjurkan anak-anak mereka kawin dengan

saudara terdekat mereka karna dianggap memiliki derajat yang sama sebagai

keluarga kerajaan.

2. Untuk mempertahankan keutuhan harta dan kekayaan kerajaan agar tidak

beralih kepada pihak lain.

3. Antara kedua keluarga yang mengawinkan anaknya merupakan saudara

sehingga proses perkenalan antara pasangan menjadi sangat sederhana.

Sekarang ini, larangan perkawinan tersebut hanya berlaku pada masyarakat

suku Kajang yang berada dalam kawasan adat Ammatoa atau Ilalang Embaya.

Namun, terdapat juga sebagian kecil masyarakat suku Kajang yang berada di luar

kawasan adat (Ipantarang Embaya) yang masih mempertahankan keharusan

perkawinan sesama suku Kajang tersebut, tetapi tidak mengakibatkan sangsi adat

bagi yang melanggar.105

Perkawinan masyarakat suku Kajang ini terbilang menarik, dan tidak

sejalan dengan hukum Islam. Sebab, tidak ada larangan dalam hukum Islam untuk

menikah dengan suku lainnya ataupun keharusan menikah sesama suku. Namun,

masyarakat muslim yang ada di wilayah adat Ammatoa ini justru membuatnya

sebagai sebuah aturan hukum adat yang harus dipatuhi.

103

Wawancara dengan Bapak Husain, Hakim di Pengandilan Agama Bulukumba, 20

Januari 2019 104

Wawancara dengan Puto Palasa, Sejarawan Suku Kajang, di Bulukumba, 21 Januari

2019 105

Wawancara dengan Kanne Dati, Tokoh Masyarakat Suku Kajang luar, 26 Januari 2019

Page 71: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

62

Menurut Drs. Muhammad Yakup selaku tokoh agama di Bulukumba,

tradisi perkawinan masyarakat suku Kajang sudah sejak dulu di jalani. Tradisi

perkwinan tersebut berdasarkan Pasangri Kajang dari nenek monyang yang harus

di patuhi dan akan dikenakan sangsi adat bagi pelaku yang melanggar. Menurut

beliau tradisi perkawinan tersebut merupakan suatu adat istiadat yang hanya

berlaku bagi masyarakat suku Kajang khususnya masyarakat yang berada dalam

kawasan adat Ammatoa yang menjadi keistimewaan tersendiri bagi mereka. Hal

tersebut dibenarkan oleh tokoh agama setempat dikarnakan larangan tersebut

merupakan suatu adat istiadat yang tidak menyalahi hukum Islam walaupun tidak

ada larangan perkawinan beda suku dalam hukum Islam. 106

106

Wawancara dengan Bapak Muhammad Yakub, Tokoh Agama, di Bulukumba , 27

Januari 2019

Page 72: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

63

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dalam kesimpulan skiripsi “Pluralisme Hukum Dalam Perkawinan

Masyarakat Suku Kajang” ini penulis ini membagi kepada beberapa point penting

yaitu:

1) Dalam proses perkawinan masyarakat Suku Kajang khususnya masyarakat

yang berdiam diri didalam kawasan adat Ammatoa atau Ilalang Embaya,

terdapat relasi antara hukum Islam, hukum Positif, dan Hukum adat yang

mengikat. Yang disebabkan karna masyarakat suku Kajang adalah

masyarakat Muslim, yang patuh dan taat terhadap hukum adat yang

dibawah oleh nenek monyang mereka, namun disisi lain mereka juga

adalah masyarakat yang dalam wilayah konstitusi Indonesia, yang

mengharuskan mereka tunduk pada hukum yang berlaku namun tidak

menlanggar hukum adat yang mereka telah anut. Khususnya dalam hal

melangsungkan perkawinan. Dalam proses perkawinan masyarakat suku

Kajang diawali dengan upacara adat yang berlaku, setelah seluaruh

rangkaian upacara adat selesai, barulah proses akad nikah dapat

dilangsungkan, dalam prosesi akad nikah yang berkewajiban untuk

menikahkan adalah iman setempat, yang berkewajiban menjadi saksi

nikah adalah Ammatoa atau Galla Puto. Setelah dinyatakan sah oleh

pimpinan adat tersebut, barulah di serahkan kepada pengurus Kantor

Urusan Agama Setempat untuk dicatatkan perkawinannya.

2) Terdapat suatu aturan hukum adat Suku Kajang yang melarang menikah

selain masyarakat suku Kajang, hal ini disebabkan karna beberapa faktor

yaitu:

a. Untuk menjaga keutuhan garis keturunan dan mempertahankan

kekuasaan kerajaan pada zaman dahulu. Yaitu pada masa Ammatoa

pertama yaitu Bohe Mula Tau. Yang menganjurkan anak-anak mereka

Page 73: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi

64

kawin dengan saudara terdekat mereka karna dianggap memiliki derajat

yang sama sebagai keluarga kerajaan.

b. Untuk mempertahankan keutuhan harta dan kekayaan kerajaan agar

tidak beralih kepada pihak lain.

c. Antara kedua keluarga yang mengawinkan anaknya merupakan saudara

sehingga proses perkenalan antara pasangan menjadi sangat sederhana.

B. Saran.

1) Untuk masyarakat Suku Kajang khususnya, hendaknya agar lebih terbuka

akan segala sesuatu yang baru dan mungkin bertentangan dengan adat

ataupun tradisi di daerah kalian. Karna hakikatnya tidak ada larangan

untuk melakukan suatu hal yang baik, perkawinan, jangan terlalu di

benturkan oleh adat dan tradisi, yang pada dasarnya hal tersebut sudah

sangat tiadak mungki untuk diterapkan pada masyarakat sekarang

khususnya masyarakat Kajang yang sudah memeluk agama Islam secara

keseluruhan dan umumnya masyarakat suku Kajang.

2) Kepada para pimpinan adat atau tetua-tetua adat di desa tana toa yang

masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat dan tradisi di daerah

masing-masing. Berikanlah pemahaman dan dasar-dasar ilmu agama

kepada para masyarakat yang tinggal di daerah tersebut bahwasahnya

penting nya perkawinan dianggap sah secara agama dan negara bukan

hanya sah secara adat istiadat saja.

Page 74: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 75: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 76: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 77: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 78: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 79: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi
Page 80: PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47159...Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan saling berintraksi