PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI...
Transcript of PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI...
PLURALISME HUKUM DALAM TRADISI PERKAWINAN
MASYARAKAT SUKU KAJANG
SKIRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
ANDI ENRI ERNA SARI
1150440000018
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam , atas berkat rahmat,
Taufiq, Hidayah dan MagfiraNya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan Judul. “Pluralisme Hukum Dalam Perkawinan
Masyarakat suku Kajang”. Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan manusia.
Penulis menyadari tanpa adanya dukungan, petunjuk, bimbingan serta
bantuan dari berbagai pihak, penulisan skiripsi ini tidak dpat berjlan lancar
sebagaimana yang diharapkan. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan
hati, penulis ingin menghaturkan ucapan terimah kasih yang sebesar-besarnya
atas segala bantuan, bimbingan dan dukungan yang diberikan sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan. Oleh karna itu, penulis secara khusus menyampaikan ucapan
terimah kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H.,M.A, selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr.Hj. Mesraini, M.Ag, selaku ketua program studi Hukum Keluarga
dan juga kepada bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A. Selaku sekertaris
program studi Hukum Keluarga.
3. Bapak Dr.H. Abdul Halim, M.A, selaku dosen pembimbing skripsi
penulis, berkat arahan dan bimbingan beliau penulis dapat menyelesaikan
tulisan ini dengan baik.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya.
5. Kakek dan Nenek Penulis, H. Abdul Razak dan Hj. Ca’mia. Yang telah
membiayai seluruh keperluan pendidikan penulis, Berkat kerja keras dan
dorongan, serta motivasi yang beliau selalu ajarkan kepada penulis.
6. Kedua orang tua penulis, H. Abdul Karim dan Hj. Andi. Suriani. Atas
do’a yang terus menerus beliau panjatkan untuk penulis.
7. Kepada saudara dan saudari penulis, Andi.Saribulan, Andi. Ayu Saputri,
Andi. Ardi Aji Saputra, dan Andi. Nur Indah Putri Susila. Atas dorongan,
yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis.
8. Kepada Khairul Azrar, yang selalu memberikan support dan semangat
untuk penulis dalam berbagai hal.
9. Kepada Tim IKAMAN JAKARTA, Kk Sultan, Kk Sita, Melati, Rahman,
Firman, Iqbal, Agus, Jasri, Fadil, Dila, Arida, Mustari, Risna. Teman
seperjuangan dari kampung ke jakarta untuk menuntut ilmu, yang menjadi
keluarga kedua di tanah rantauan atas bantuan dan supportnya selama ini.
10. Kepada seluruh keluarga besar IKAMI CIPUTAT. Terkhusus kepada Kk
sugi, Nurul, dan Kk Rizal, yang selalu menjadi inpirasi bagi penulis untuk
terus belajar.
11. Kepada seluruh keluarga besar SANDEQ SULBAR JAKARTA.
12. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga Angkatan 2015.
13. Kepada keluarga besar IMM Ciputat. Atas Ilmu dan Pengalaman yang
sangat berharga bagi penulis.
14. Kepada Sahabat-sahabat penulis di Asrama Putri, Titik, Gempita, Intan,
Zahro, Yuni, Riza, Imas, Kisti, Hilda.
Jakarta, 26 juli 2019
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pluralisme hukum berawal dari sebuah realitas masyarakat majemuk dan
saling berintraksi satu sama lain sesuai dengan identitas yang dimiliki. Setiap
masyarakat tidaklah lahir dari sistem nilai tunggal (monovalue), melainkan
terdapat beragam sistem nilai dalam bentuk budaya, adat, suku, maupun ras.
Keberagaman ini bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau dipaksakan dalam
satu wadah hukum yang dikenal dengan hukum sentralistik (legal centralism).1
Hukum dalam presfektif legal centralistik diusung oleh hukum negara dan
memandang sistem hukum saling berkopetensi dengan menjadikan paradigma
positisvitik sehingga pemberi penilaian terhadap perilaku manusia sebagai objek
hukum2. Sebaliknya, keberagaman sistem nilai dapat dikelola dengan baik melalui
cara pandang keberagaman nilai, tanpa melupakan nilai-nilai tertentu sebagai
bagian identitas masyarakat3. Hal ini, memposisikan manusia sebagai subjek
hukum dan saling beriteraksi satu dengan lainnya.
Dalam khazanah Islam, pluralisme hukum bukan hal yang baru, melainkan
terkandung dalam konsep rahmatan lil „alamin, yang berdasarkan pada sejumlah
ayat al-qur’an dan hadits nabi. Konsep hukum dalam Islam berbeda dengan
konsep hukum negara sebagai produk kreasi akal manusia yang kebenarannya
bersifat relatif. Hukum dalam konsep Islam ini tetuang dalam syariah dan fiqih
sebagai pedoman bagi setiap umat muslim dalam bertindak dan melaksanakan
tugas dan tanggun jawabnya dalam kehidupan sehari-hari.4
1 Dedy Sumardi, “Islam, Pluralisme Hukum dan Refleksi Masyarakat Homogen”, Jurnal
Asy-Syir’ah, Vol. 50. Nomor 2, Desember, 2016, h. 482 2 Reza Banakar, “Law Through Sociology‟s Looking Glass: Conflict and Competition in
Sociological Studies of Law”, dikutip dari https://www.researchgate.net/publication, 29, Januari
2016, h. 63, 3 Sunyoto Usman, “Essai-Essai Sosiologi Perubahan Sosial”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar), 2015, h.116-117 4 Wael B Hallaq, “Ancaman Paradiqma Negara Bangsa: Islam, Politik, dan Problem
Moral Modernitas”, terj. Akh. Minhaji, (Yogyakarta: SUKA Press), 2015, h.29
2
Adapun hukum adat yang juga merupakan hukum yang lahir dan tumbuh
dalam masyarakat, hukum adat adalah perilaku yang berlaku dan menjadi sebuah
hukum bagi masyarakat sehingga bagi pelaku yang melanggar akan dikenakan
sangsi bagi para pelanggarnya. Hukum adat ini, bersumber dari suatu kebiasaan
masyarakat tertentu yang mempunyai keyakinan dan kepercayaan akan kebiasaan-
kebiasaan yang di peroleh sebagai warisan dari nenek moyang.5
Hukum yang hidup dalam masyarakat dapat berdampingan dengan hukum
yang diberlakukan oleh negara. Unsur terpenting yang menjadi karakteristik
dalam pluralisme hukum yaitu bekerjanya semua sistem hukum secara utuh,
bukan parsial. Unsur interaksi menjadi suatu yang sangat penting dalam
memahami konsep pluralisme karna erat kaitannya dengan sistem yang hidup
dalam masyarakat majemuk. Hukum yang hidup dalam masyarakat didasarkan
pada sebuah kenyataan sosial masyarakat memiliki keragaman sistem hukum
sebagai wujud dari indentitas sosial budaya masyarakat.6
Konsep pluralisme hukum tidak dimaksudkan untuk membuat sistem
hukum baru, melainkan sebagai paradigma berfikir menekankan pada aspek
pengakuan atas keragaman hukum yang berlaku dalam masyarakat. Pluralisme
hukum menjadi instrumen pembangun hukum masyarakat majemuk yang
memiliki keragaman budaya, indentitas, sistem nilai tanpa mengenal batas
teritorial atau primordial.7
Mengenai berbagai hukum atau pluralisme yang berlaku dalam masyarakat
majemuk. Indonesia memiliki banyak keragaman suku dan budaya. Yang mana
letak geografisnya yang membentuk tingkah pola kepulauan yang menyebabkan
perbedaan-perbedaan dalam tingkah laku masyarakatnya. Terbukti Indonesia
memiliki banyak suku-suku yang tersebar di berbagai wilayah, yang mempunyai
keunikan budaya yang berbeda-beda.
5 Laurensius Arliman, “Hukum Adat di Indonesia dalam Pandangan Para Ahli dan
Konsep Pemberlakuannya di Indonesia”, Jurnal Selat, Vol. 5, Nomor.2, Mei 2018, h.179 6 Dedy Sumardi, “ Islam Pluralisme Hukum dan Refleksi Masyarakat Homogen”, Jurnal
Asy-Syir’ah, Vol. 50, Nomor. 2, Desember, 2016, h.490 7
Sulistyowari Irianto, “Pluralisme Hukum Sebagai Suatu Konsep dan Pendekatan
Teoritis dalam Persfektif Global”, 2007, dikutip dari, https://asslesi.wordpress.com,ggvuuy , 14
Mei 2016
3
Tak terkecuali pada tradisi masyarakat suku Kajang di Bulukumba yang
memiliki keunikan tersendiri pada perkawinannya. Jika suku Kampar di
kepulauan Riau memiliki keunikan tradisi pada perkawinannya yakni terdapat
sebuah hukum adat larangan menikah sesama suku. Bagi suku Kampar, satu suku
artinya satu keturunan dari niniak kebawah yang dihitung dari garis ibu. Semua
keturunan niniak ini disebut “Sepersusuan” atau “Sesuku”. Kelompok
sepersusuan ini dikepalai oleh seorang penghulu suku, Hal tersebut juga
dibenarkan oleh Datuk Naro (Pucuk Adat) desa Tanjung yang mengatakan kata
suku berasal dari kata “susu” yang mana pada zaman dahulu manusia hidup
berkelompok-kelompok dan kelompok tersebut mempunyai seorang ibu yang
menyusui sehingga setiap kelompok itu dianggap sepersusuan. Bagi pelaku yang
melanggar akan dikenakan sangsi adat yang berlaku.8
Adapun pada masyarakat muslim Batak Mandailing. Terdapat sebuah
hukum adat yang berlaku yakni larangan perkawinan semarga pada masyarakat
muslim Batak Mandailing. Dalam hukum adat Mandailing perkawinan semarga
dianggap perkawinan satu darah, satu perut atau satu keturunan yang sama.
Aturan mengenai larangan perkawinan semarga harus ditaati, dan apabila aturan
tersebut dilanggar maka akan muncul konsekuensi hukum yang harus diterimah
bagi siapa saja yang melanggar.9
Berbeda dengan masyarakat suku Kampar di Riau dan masyarakat muslim
Batak Mandailing di Sumatra Barat. yang mempunyai sebuah aturan hukum adat
yakni, larangan perkawinan Sesama Suku atau Semarga. Terdapat sebuah suku, di
pedalaman timur Indonesia tepatnya di kawasan adat Tana Toa, kabupaten
Bulukumba, Sulawesi selatan, yang dikenal dengan suku Kajang. suku Kajang
merupakan salah satu suku trasional yang masih mempertahan nilai-nilai budaya
dan hukum adat dari nenek moyang hingga saat ini. Suku Kajang telah terbagi
menjadi dua wilayah yaitu, Kajang Luar (Modren) dan Kajang (kawsan adat).
8 Ferri Sandy, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku di desa Tangjung Kecamatan
Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar berdasarkan Hukum Adat Kampar”, Jurnal Hukum,Vol.
3, Nomor 2, Oktober, 2016 (Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau), h.6 9 Fatimah Fatmawati Tanjung, “Tinjauang Hukum Islam terhadap Perkawinan Semarga
dalam Masyarakat Batak Mandailing”, Skripsi : Jurusan Study Ahwal Al-Syakhsiyyah, Fakultas
Agama Islam (Universitas Islam Indonesia Yogyakarta), 2018, h.28
4
Kajang luar sudah mulai menerima segala bentuk perkembangan zaman. Namun,
tidak dengan Kajang (Ilalang Emabaya), hingga saat ini masyarakat suku Kajang
Dalam menolak segala bentuk perkembangan zaman, dimana mereka sangat patuh
dengan hukum adat yang berlaku, dari nenek moyang mereka.10
Salah satu aturan hukum adat, suku Kajang (Ilalang Embaya) adalah
mengenai perkawinan. Yang mengharuskan menikah sesama suku Kajang, bagi
masyarakat suku Kajang (Ilalang Embaya), yang melakukan perkawinan tidak
dengan sesama suku Kajang (Ilalang Embaya), akan diberlakukan sangsi adat
yaitu, di keluarkan dari kawasan adat Ammatoa. Masyarakat suku Kajang, sangat
terkenal dengan kesakralannya dan kepatuhannya terhadap Ammatoa (Tetua
Adat).11
Mengenai perkawinan, terdapat sebuah perbedaan dalam pelaksanaannya
dan aturan yang berbeda-beda, serta keunikan tersendiri dalam mempertahankan
nilai-nilai budaya dan hukum adat masing-masing wilayah.12
Melirik terhadap
hukum Islam yang menjadi pedoman bagi seluruh masyarakat muslim,
mempunyai hukum tersendiri terhadap perkawinan yang juga harus dipatuhi.
Di dalam hukum Islam perkawinan merupakan ketentuan yang telah
disyarti’atkan oleh Allah SWT bagi kaum muslimim yang telah memenuhi syarat
dan rukunnya. Perkawinan merupakan sunnatullah yang tidak hanya disyari’atkan
untuk manusia saja, tetapi untuk semua mahkluk baik itu hewan maupun tumbuh-
tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi
mahluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.13
Hal ini juga diatur dalam Undang-undang No.1Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
10
Riswanto, “Implementasi Adat Perkawinan Tana Toa, di Desa Tana Toa, Kecamatan
Kajang, Kabupaten Bulukumba”, Jurnal Islam dan Adat, Vol XIII, Nomor.1, Juni 2015, (PPkn
FIS, Universitas Negeri Makassar), h. 336 11
Wawancara dengan salah satu Tokoh Adat Suku Kajang di Sulawesi Selatan 12
Soejono Soekanto, “Hukum Adat Indonesia”, (Jakarta : Raja Grafindo), 2003, h.12 13
Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, (Bandung : CV Pustaka Setia ),1999, h.10
5
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.14
Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut
selektivitas. Artinya jika seseorang hendak melangsungkan pernikahan terlebih
dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa yang
dilarang menikah. Dikhawatirkan bila perempuan yang hendak dinikahinya
ternyata terlarang untuk dinikahinya dikarenakan perempuan tersebut adalah
mahram nya.15
Tetapi faktanya di dalam hukum adat Kajang Dalam (kawasan adat),
terdapat larangan dalam sistem perkawinan masyarakat kawasan adat Ammanatoa
yang sifatnya memaksa dan harus di patuhi sebagai masyarakat suku Kajang
Dalam. 16
Namun, masyarakat suku Kajang merupakan masyarakat yang beragama
Islam. Ketika seorang lelaki Kajang menikah dengan perempuan suku lain maka,
lelaki Kajang tersebut akan dikeluarkan dari kawasan adat dan diputus dari
keluarga. Karna, kenyakinan masyarakat suku Kajang Dalam turun-temurun dari
nenek moyang terdahulu. Dan larangan perkawinan tersebut, sampai saat ini
masih dipertahankan.
Sedangkan dalam literatur fiqh klasik dan kontemporer dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) maupun Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak
ditemukan adanya larangan bagi perkawinan seorang laki-laki dan perempuan
yang berbeda suku atau satu suku. Di dalam hukum Islam hanya mengatur
larangan melakukan pernikahan dengan mahramnya dan yang berbeda agama
dengannya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, merupakan hal yang sangat
menarik untuk dikaji mengapa perkawinan antara beda suku di Kajang dilarang,
kemudian hal yang penting untuk dibahas juga adalah mengingat bahwa
masyarakat Suku Kajang (Ammantoa), merupakan masyarakat yang beragama
14
UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 15
K.H. Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan
Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Djambatan),1981, h.3 16
Lana septiana, “Implementasi Sanksi Adat Perkawianan Silariang Pada Masyarakat
Suku Kajang : Study di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi
Sulawesi Selatan”, Jurnal
6
islam. dan terletak wilayah hukum Indonesia. Namun, sangat patuh terhadap
hukum adat yang berlaku dari nenek moyang terdahulu. Hal ini menggambarkan
pluralisme hukum yang terjadi pada masyarakat tersebut. Yang penting dikaji
dalam sebuah analisis yang mendalam.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana sistem perkawinan dalam masyarakat Kajang dalam
(Ammatoa)?
2. Bagaimana kedudukan perkawinan suku Kajang dalam (Ammatoa)?
3. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dimata Hukum?
4. Bagaimana proses perkawinan tersebut terjadi?
5. Apakah ada konsekuensi apabila mereka melakukan perkawinan tersebut?
6. Bagaimana pandangan hukum islam tentang larangan kawin dengan suku
lainnya?
7. Bagaimana tanggapan Pemangku Adat suku Kajang tentang perkawinan
tersebut?
8. Adakah peran KUA dalam pernikahan tersebut?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Studi ini di batasi, agar ruang lingkup bahasannya tidak terlalu luas
maka penulis, membatasi penelitian ini hanya pada perkawinan
masyarakat suku Kajang.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana relasi hukum Islam, hukum Adat, dan Hukum Posotif
pada perkawinan masyarakat suku Kajang?
b. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang larangan perkawinan
dengan suku lainnya?
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat penelitian yang hendak dicapai penulis dengan
melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan penelitian.
a. Untuk mengetahui pandangan hukum islam tentang larangan
perkawinan dengan suku lainnya.
b. Untuk mengetahui sinergi hukum adat, hukum islam, dan hukum positif
pada masyarakat kajang dalam konteks kelembagaan.
2. Manfaat Penelitian.
a. Secara akademis. Mengaplikasikan disiplin ilmu sesuai dengan
program studi penulis. Sebagai tambahan referensi guna
pengaplikasian serta kontribusi untuk data perpustakaan.
b. Secara praktis. Kontribusi hasanah bagi masyarakat islam dan
golongan education pada umumnya. Lebih khusus terhadap lembaga-
lembaga yang menangani masalah perkawinan agar lebih merujuk
pada aturan-aturan yang telah ditetapkan.
E. Kajian Pustaka (Review Studi Terdahulu).
Dalam penulisan ini dana penjelasan karya ilmiah ini, sebelum penulis
mengadakan penelitian lebih langjut dan menyusun menjadi sebuah karya ilmiah
berupa skipsi, maka sebelumnya penulis akan mengkaji Skripsi, Thesis, jurnal,
dan Artikel-artikel yang terkait dengan apa yang penulis ingin teliti. Tujuan dari
ini, dengan maksud agar dapat kita ketahui bersama bahwa apa yang penulis teliti
berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Riswanto,” Implementasi adat Perkawinan Tana Toa di Desa Tana Toa,
Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba”. Jurnal, Sangkala Ibsik, Jurusan
PPKN, Universitas Negeri Makassar 2016. fokus pembahasan pada jurnal ini
yaitu mengenai pelaksanaan perkawinan adat pada masyarakat suku Kajang dan
faktor-faktor yang mendukung upacara adat perkawinan di desa Tana Toa.
8
Sedangkan, fokus penulis dalam penelitian ini adalah mengenai pluralisme
hukum terhadap perkawinan masyarakat suku Kajang dan keharusan menikah
sesama suku Kajang.
Muhammad Yusuf, “Integrasi Islam Dalam Panggadakkan pada Sistem
Pemerintahan Adat Kajang (Ammatoa)”, Skripsi: Jurusan Sejarah Kebudayaan
Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Makassar,2017.
Focus pada skiripsi menjelaskan bagaimana pemerintahan dalam sistem adat suku
Kajang di Tana Toa, dan integrasi Islam dalam Panggandakkan.
Sedangkan, fokus penulis dalam penelitian ini adalah mengenai pluralisme
hukum terhadap perkawinan masyarakat suku Kajang dan pandangan hukum
islam mengenai hukum adat Kajang yakni keharusan menikah sesama suku
Kajang.
Lana Septiana, “Sangsi Adat Perkawinan Silariang Pada Masyarakat Suku
Kajang (Studi di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba
Provinsi Sulawesi Selatan), Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu
Hukum, Universitas Brawijaya, Agustus 2015.
Sudirman, “Proses Interaksi Sosial Komunitas Adat Kajang di Desa Tana
Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba”, Skiripsi: Jurusan Konsentrasi
Kesejahtraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam Negeri Alaluddin
Makassar, 2017. Focus pada skripsi ini adalah menjelaskan bagaimana proses
intraksi sosial masyarakat komunitas adat Kajang dengan masyarakat lainnya.
Sedangkan, fokus penulis dalam penelitian ini adalah mengenai pluralisme
hukum terhadap perkawinan masyarakat suku Kajang dan pandangan hukum
islam mengenai hukim adat Kajang yakni keharusan menikah sesama suku
Kajang.
F. Kerangka Teori
Kebudayaan, perubahan sosial dan agama merupakan tiga konsep kajian
Etnografi. Kebudayaan telah menjadi konsep utama dan salah satu yang paling
banyak dikaji dalam perkembangan disiplin ini. Fokus perhatian kepada
masyarakat atau komunitas yang dalam perjalanan filosofinya mengalami
9
dinamika yang berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain,
membawa persoalan mengenai perubahan menjadi suatu hal yang tak mungkin
dihindari. Sementara agama menjadi isu yang juga banyak mewarnai ruang-ruang
akademisi\peneliti sosial budaya, sejak perkembangan awal hingga kini.
Untuk memahami keterkaitan antara ketiga konsep besar tersebut. Maka,
penulis hendak mengargumentasikan bagaimana kebudayaan dalam suatu
masyarakat, perubahan sosial, dan agama saling berkomunikasi sehingga dapat
menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat, terdapat berbagai Hukum yang berlaku yang
dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Serperti
hukum Adat, hukum Islam dan hukum positif yang berlaku dalam masyarakat.
Berbagai hukum yang menjadi pedoman masyarakat dalam bertingkah laku saling
berinteraksi satu sama lain, yang kemudian menjadi sebuah ketetapan bersama
untuk dipatuhi (Pluralisme Hukum).
Pluralisme hukum adalah suatu keadaan dimana terdapat lebih dari satu
tatanan hukum dalam suatu arena sosial. Lebih langjut menurut Griffit, dalam
kenyataan sistem hukum bekerja dalam arena sosial, terjadi intraksi yang tidak
dapat dihindarkan antara hukum negara dengan berbagai hukum lainnya meskipun
situasi pluralisme hukum secara potensial memang merupakan situasi konflik baik
bentuk struktur, isi, fungsi politik dan efektivitasnya, namun tidak berarti harus
selalu memunculkan konflik, karena ada juga terjadi saling mempengaruhi dan
adaptasi.
Definisi Griffit memiliki keterkaitan dengan hukum perkawinan
masyarakat suku Kajang. Dimana pada perkawinan masyarakat suku Kajang
tertapat beberapa hukum yang terlibat dalam pelaksanaan perkawinannya yaitu
Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum Positif. Ketiga hukum saling berintraksi
satu sama lain dalam pelaksanaan prosesi perkawinan suku Kajang. Ketiga
hukum tersebut saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Dikarnakan,
perkawinan tidak dapat terlaksanakan sebelum upacara adat, sebagaimana yang
tercantum dalam hukum adat mereka (Pasanri Kajang) sudah terlaksana,
kemudian dapat dilaksanakan sesuai hukum Islam yaitu melakukan prosesi ijab
10
dan qobul, setelah d<inyatakan sah oleh ketua adat yaitu Ammatoa, barulah kedua
pasangan, yang telah melaksanakan perkawinan tersebut dapat dicatatkan
perkawinannya oleh pengurus Kantor Urusan Agama setempat. Sebagaimana
yang tertera dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 2 (2)
yang dinyatakan bahwa, Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Menurut hukum adat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat,
keluarga, persekutuan martabat, bisa merupakan uruasan pribadi, tergantung tata
susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok-kelompok wangsa yang
mnyatkan diri sebagai kesatuan-kesatauan dari sebagai persekutuan hukum,
perkawinan para warganya adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompok-
kelompok secara tertib dan teratur; sarana yang melahirkan generasi baru yang
melangjutkan garis hidup kelompoknya. Namun, di dalam lingkungan
pesenkutuan kerabat itu perkawinan juga selalu merupakan cara meneruskan garis
keturunan yang termaksuk persekutuan tersebut.17
Mengenai tentang perkawinan, banyak adat yang mengatur di setiap daerah
baik yang bertentanngan dengan syariat Islam bahkan tidak bertengtangan dengan
syariat Islam. Tidak dapat kita pungkiri bahwa perkawinan harus mengikuti adat
yang berlaku di daerah tersebut, perkawinan merupakan salah satu adat yang
berkembang dan megikuti perkembngan dalam masyarakat. Namun kepercayaan
dan kenyakinan masyarakat tetap berpegan teguh pada hukum adat yang masih
berlaku di dalam adat perkawianan tersebut.18
Masyarakat suku Kajang dalam (Ammatoa) merupakan salah satu warisan
nenek moyang terdahulu yang masih terjaga hingga saat ini. Seiring perkembngan
zaman , dengan berbagai kemajuan teknologi dan modern telah mempengaruhi
dan menyentuh berbagai masyarakat Indonesia. Namun, tdak dengan suku kajang
dalam (Ilalang Embaya), dimana suku tersebut, menolak segala bentuk
perkembangan zaman dan kemajuan teknologi hingga saat ini suku Kajang masih
17
Iman Suduyat, “ Hukum Adat Sketsa Asas” (Liberty : Yogyakarta)1981.h.108 18
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo),2003,.h.12
11
sangat kental akan hukum adat Pappasang dari nenek moyang.19
Hitam menjadi
warna kesakralan bagi masyrakat Kajang, dimana dalam kehidupan sehari-hari
mereka mengenakan pakaian serba hitam, sebagai bentuk keharusan. Dan sisi lain
mereka mengatasnamakan diri mereka sebagai masyarakat yang beragama Islam.
Terdapat sebuah hukum adat suku kajang dalam yakni larangan melangsungkan
perkawinan dengan suku lain. Bagi yang melangar aturan adat tersebut akan
dikenalan sangsi adat yaitu dikeluarkan dari kawasan adat/wilayah tempat
tinggal.20
Di dalam hukum Islam perkawinan merupakan ketentuan yang telah
disyarti’atkan oleh Allah SWT bagi kaum muslimim yang telah memenuhi syarat
dan rukunnya. Perkawinan merupakan sunnatullah yang tidak hanya disyari’atkan
untuk manusia saja, tetapi untuk semua mahkluk baik itu hewan maupun tumbuh-
tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi
mahluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Hal ini juga diatur dalam Undang-undang No.1Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antaran seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut
selektivitas. Artinya jika seseorang hendak melangsungkan pernikahan terlebih
dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa yang
dilarang menikah. dikhawatirkan bila perempuan yang hendak dinikahinya
ternyata terlarang untuk dinikahinya dikarenakan perempuan tersebut adalah
mahram nya (orang yang haram dinikahi). Mengenai larangan perkawinan, Al-
Qur’an telah memberikan aturan yang tegas dan terperinci di dalam surah An-nisa
ayat 22-24.
19
Satriani, “Studi Kawasan Adat Ammatoa Kajang Sebagai Kawasan Strategis
Pemukiman Adat Provinsi Sulawesi Selatan”, Jurnal Hukum Diktum, Vol 9, Nomor 1, Januari
2011, (UIN Alauddin Makassar), h.57 20
M.Yusuf, “Integrasi Islam dalam Panggandakkan Pada Sistem Pemerintahan Adat
Kajang Ammatoa”, Skripsi: Jurusan Tehnik Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Sains dan
Teknologi (UIN Alauddin Makassar), 2017, h.44
12
G. Metode Penelitian
Ketika membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, diperlukan suatu
metode untuk data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas secara
jelas. Terdapat beberapa metode yang akan penyusun gunakan antara lain:
1) Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penyusun menggunakan field research (penelitian
lapangan). Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif yang sumber
datanya diambil dari objek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) secara
langsung di daerah penelitian. Untuk memahami dan mengetahui Tradisi
perkawinan adat suku Kajang dalam (Ammatoa).
2) Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan Etnografi. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang
meliputi tehnik penelitian, teori etnografi dan berbagai macam deskripsi
kebudayaan. Etnografi berulang kali bermakna untuk membangun suatu
pengertian yang sistematik mengenai kesemua kebudayaan manusia dan presfektif
orang yang mempelajari kebudayaan itu. Etnografi menjadi sebuah metode
penelitian yang unik karna memharuskan partisipasi peneliti secara lansung dalam
sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Etnografi dilakukan untuk
tujuan-tujuan tertentu. Pertama, untuk memahami rumpun manusia, kedua
etnografi ditujukan untuk melayani manusia. Metode etnografi adalah prosedur
penelitian kualitatif untuk menggambarkan, menganlisa, dan menafsirkan unsur-
unsur dari sebuah kelompok budaya seperti pola perilaku, kepercayaan, dan
bahasa yang berkembang dari waktu ke waktu. Fokus dari penelitian ini adalah
budaya.
3) Sifat Penelitian.
Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian
deskriptif yaitu, bukan hanya itu saja dibahas, tetapi juga menganalisa dan
membahas bagaimana dan apa itu, serta mengapa hal tersebut dapat terjadi.
13
4) Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Tana Towa, Kecamatan Kajang,
Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pemilihan sampel ini dilakukan secara
purposive dengan mempertimbangkan keterwalian etnis, latar belakang sejarah,
dan faktor-faktor sosial kultural.
1. Tehnik pengumpulan data
a. Wawancara.
Wawancara merupakan salah satu tehnik yang digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian. Yaitu percakapan tatap muka anatara
pewancara dengan sumber informasi.
Peneliti akan melakukan wawancara kepada pelaku perkawinan
Kajang luar dan Kajang dalam dan dengan narasumber yang tau dengan
perkawinan tersebut. Serta peneliti juga ingin melakukan wawancara
dengan ketua adat di daerah tersebut, agar peneliti dapat mendapatkan
informasi dan data yang cukup untuk kepentingan penelitian.
b. Observasi.
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu objek
dengan sistematika fenomena yang diselidiki. Observasi dapat dilakukan
dengan sesaat dan dapat di ulang-ulang dengan informan yang tepat.
c. Dokumentasi.
Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara memotret setiap objek yang merupakan informasi
atau data untuk kepentingan penelitian.
2. Kriteia dan Sumber Data.
Pada penelitian kualitatif ini sumber datanya ialah hasil wawancara,
observasi, dokumentasi disebut data primer, kedua Sumber data sekunder yaitu
data yang telah tersedia seperti dokumen-dokumen yang ada di kantor.
a. Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber kata yang dimabil dari penelitian
lapangan yang diperoleh dari hasil wawancara, obeservasi kepada ketua adat
14
setempat atau tokoh yang memahami Tradisi perkawinan Adat suku Kajang
Dalam (Ammanatoa).
b. Data Sekunder.
Data sekunder merupakan data pendukung dari primer yang diperoleh dari
Buku, Artikel, Jurnal, dan wawancara tersebut.
H. Rancangan Sistematika Penulisan.
Skripsi ini ditulis berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Sistematika yang
dibagi 5 bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan
dan materi yang teliti adapun perinciannya adlah sebagai berikut:
Bab pertama, berisi tentang Latar Belakang masalah, indentifikasi
masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan mamfaat, review studi
terdahulu, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, mengenai persinggungan antara hukum islam, yakni ketentuan
perkawinan menurut hukum islam (KHI, Al-quran, As-sunnah, hukum Adat dan
Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974),
Bab ketiga, gambaran umum desa suku kajang, membahas system hukum
perkawinan masyarakat kajang, kedudukan perkawinan pada masyarakat kajang,
Bab keempat, membahas relasi hukum Islam dan hukum adat dalam tradisi
hukum perkawinan suku kajang dan pandangan hukum Islam terhadap larangan
menikah dengan suku lainnya.
Bab kelima, yang merupakan bab penutup, yang diisi kesimpulan dan saran
terkait kajian yang dimaksud yang dibahas dari awal hingga akhir pembahasan
beserta lampiran-lampiran tersebut.
15
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A. Perkawinan Menurut Hukum Islam
1. Pengertian
Kata nikah atau zawaj berasal dari bahasa Arab yang dilihat secara makna
etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih”, atau dengan kata lain “aqad
dan setubuh” yang secara syara’ berarti aqad pernikahan. Secara terminologi
(istilah) nikah atau zawaj21
adalah :
a. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan
biologis dari seorang dengan bersetubuh22
b. Akad yang ditetapkan Allah bagi seorang laki-laki atas diri seorang
perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis
anatara keduanya.23
Dalam bahasa indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membngun keluarga dengan lawan jenis, dan melakukan
hubungan badan. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nakaha
yang berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti
bersetubuh (wathi).24
Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan pencampuran.
Sedangkan menurut istilah syariat, nikah itu berarti akad antara pihak laki-laki dan
wali perempuan dan karenanya hubungan badan menjadi halal. Nikah berarti akad
dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam arti majazi
(metafora).25
Berdasarkan firman Allah SWT:
21
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia), 2000,h.11 22
Abd Rahcman Assegaf, Studi Islam Kontekstual Elaborasi Paradigma Baru Muslim
Kaffa, (Yogyakarta: Gama Media),2005,h.131 23
Zakiayah Darajat, Ilmu Fikih Jilid II, (Jakarta: Departemen Agama RI), 1985, h.48 24
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenamedia), 2003,h.7 25
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar) 2006.h.3
16
باذناهلهنف ن .كحوهنArtinya: “Karna itu, kawinilah mereka dengan seizin Tuhan
mereka..”.( an-Nisa’: 25).
1. Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa:
26اعهقصد المت كعقديفيدملبأنهاحكن ال"Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan untuk mendapatkan
kesenangan".
2. Ulama Syafi’iyah, menyebutkan bahwa:
.اهومعناات زويجأوحفظأنكالءبعقدي تضمنملكالوطبأنهاحكن لا"Nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki
kesenangan (wathi) disertai lafadz nikah, kawin atau yang semakna".
3. Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa nikah adalah:
.يةأدمبذذالتلةعدمت عقدعلىمربأنهحكاالن
"Nikah adalah aqad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan
dengan sesama manusia".
4. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa nikah adalah:
فعأوت زويجعحنكافظألحعقدبكان لا 27عستمتاالةلىمن "Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin untuk mendapatkan
manfaat bersenang-senang".
Menurut Shihabuddin Ahmad Ibn Ahmad Bin Salamah Qolyubi
mendefinisikan nikah adalah “sebuah akad yang mengandung kebolehan berijma‟
26
Abdur Rahman al-Zuhaili, al-fiqh ala al-Mazzahib al-Arba‟ah, Cet ke-1, (Beirut: Dar
Al-Fikr), 2002, h.3 27
Abdul Basit Mutawally, Muhadharah Al-Fiqh Al-Muqaran, (Mesir: T.p,t.t), h.120
17
dengan lafadz nikah atau tazwij yaitu akad kepemilikan intifa‟bukan kepemilikan
manfaat”28
. Menurut Taquyyudin Abu Bakar Ibn Muhammad Al-Damsyiqy
mengartikan nikah adalah “suatu ibarat dari sebuah aqad yang masyur yang
mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat di mutlakkan atas aqad dan di
mutlakkan atas wathi secara bahasa”.29
2. Dasar Hukum Pernikahan.
a) Syari’at Nikah.
Dasar hukum dianjurkan pernikahan dalam agama islam terdapat
dalam firman Allah SWT dan hadis-hadis Muhammad SAW.
b) Menurut firman Allah SWT
Adapun syariat nikah berdasarkan Firman Allah SWT yaitu:
وا ح ك ن وأ م ادك ب ع ن م الني والص م ك ن م ى ام الي م ك ائ م وإ ن إ
ه ل ض ف ن م الله م ه ن غ ي راء ق واف ون ك يم ي ل ع ع واس .والله
Artinya: “Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara
kamu, dan orang-orang yang layak( berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang peerempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-
Nya. Dan Allah maha luas(pemberianNya) lagi Maha mengetahui”.(an-
Nur:32)
ن م م ك ل اب ط ا م وا ح ك ان ف ى ام ت ي ل ا ف وا ط س ق ت ل أ م ت ف خ ن وإ
اع ورب ث ل وث ن ث م اء ا الن س م و ة أ د واح ف وا ل د ع ت ل أ م ت ف خ ن إ ف
م ك ن ا ي أ ت ك ل وا م ول ع ت ل أ ن د أ ك ل .ذ
28
Sihabuddin Ahmad Ibn Ahmad Bin Salamah Qolyubi, Hasyiatani Qolyubi Wa
Umairah Juz III, (Surabaya: PT Irama Minasari,t.t), h.206 29
Taquyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad Al-Damsyiqi, Kifayatul Akhyar Fi Hilli
Ghoyatil Ikhtishor, Juz II, (Semarang: Maktabah Toha Putra,t.t), h.36
18
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita yang senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, Maka kawinilah seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya”.(an-Nisa:3).
c) Hukum Nikah.
Sunnah, jika seorang mempunyai keinginan untuk berumah
tangga, dengan niat yang baik, bukan karna dikhawatirkan dirinya akan
terjerumus kepada perbuatan zina, dan seorang tersebut juga telah mampu
membiayai rumah tangga. Maka baginya menjadi Sunnalah hukumnya
untuk melakukan perkawinan. Bagi wanita yang belum mempunyai
keinginan untuk kawin tapi butuh perlindungan atau nafkah dari seorang
suami maka Sunnalah hukumnya untuk melakukan perkawinan.
Wajib, jika seorang sudah mampu untuk berumah tangga. Mampu
disini dalam artian, siap jiwa dan raganya untuk berumah tangga, siap
materi untuk berkeluarga, dan takut terjerumus ke dalam perbuatan zina.
Maka baginya diwajibkan untuk kawin. Sebab, menjaga diri dari perbuatan
haram, wajib hukumnya.
Haram, jika seorang yang melaksanakan pernikahan dengan niat
yang tidak baik seperti, dengan niat untuk membunuh, atau menyakiti
perempuan atau lelaki yang hendak dinikahinya maka hukumnya haram.
Makruh, jika seorang secara jasmani cukup umur walau belum
terlalu mendesak. Tetapi belum mempunyai penhasilan yang tetap
sehingga ia jika kawin akan membawa kesengsaraan hidup bagi anak dan
istrinya. Dimana ia mengkhawatirkan perkawinannya yang dapat
berpengaruh kepada pada semangat beribadah kepada Allah SWT dan
semangat kerja, maka hukumnya Makruh baginya dalam melaksanakan
perkawinan.30
30
Mohammad R Hasan,” Kajian Prinsip Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
dalam Persfektif Hukum Islam”, Jurnal Lex Administratum, Vol.IV, Nomor.3, Maret, 2016, h.166
19
d) Prinsip-prinsip perkawinan.
Prinsip-prinsip perkawinan yang bersumber dari al-quran dan al-
hadits yang kemudian dituankan kedalam garis-garis hukum melalui
undamg-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI tahun 1991
mengandung 7 asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut31
:
1) Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal Suami dan istri
harus saling bekerja sama dan saling melengkapi agar dapat saling
memahami hak dan kewajiban antara suami dan istri untuk mencapai
kesejahtraan spiritual dan material.
2) Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan
kepercayaan terhadap pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus
dicatat oleh petugas yang berwenang.
3) Asas monogami terbuka. Artinya, jika suami tidak mampu berlaku
adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka, cukup seorang
saja.
4) Asas calon suami dan istri telah matang jiwa raganya dan dapat
melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik dan dapat keturunan yang baik dan sehat sehingga, tidak berfikir
kepada perceraian.
5) Asas mempersulit terjadinya perceraian.
6) Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulang masyarakat.
7) Asas pencatatan perkawinan.32
e) Rukun nikah dan Syarat Sahnya Nikah.
Rukun dan syarat dalam merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan lainnya, dalam setiap aktivitas ibadah selalu
ada rukun dan syarat. Syarat merupakan cara yang harus di penuhi
sebelum suatu perbuatan itu dilaksanakan, sedangkan rukun merupakan
suatu hal yang harus ada atau dipenuhi pada saat perbuatan itu
31
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), 2006, h.7 32
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika),2006, h.8
20
dilaksanakan. Karna, perkawinan merupakan suatu bentuk ibadah maka di
dalamnya terdapat rukun dan syarat. Yaitu, sebagai berikut:
1) Rukun Nikah
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali Nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan qobul
Kelima rukun tersebut, masing-masing harus memenuhi syarat:33
a. Syarat Calon Suami
1. Beragama islam
2. Jelas bahwa calon suami benar-benar laki-laki
3. Orangnya diketahui
4. Calon mempelai laki-laki jelas halal halal kawin dengan calon istri
5. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal dengan calon istri serta
mengetahui calon istrinya halal baginya.
6. Calon suami rela ( tidak dipaksa) untuk melaksanakan perkawinan
7. Tidak sedang melakukan ihram
8. Tidak memiliki istri yang haram di madu dengan calon istri
9. Tidak seang memiliki istri empat.
b. Syarat Calon mempelai wanita:
1. Beragama islam atau ahli kitab.
2. Jelas bahwa dia seorang wanita, bukan Khuntsa (banci).
3. Wanita itu tentu orangnya.
4. Halal bagi calon suami.
5. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam masa
iddah.
6. Tidak dipaksa/ikhtiyar.
7. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
c. Syarat wali nikah:
33
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Rajawali),2014, h.12-13
21
1. Laki-laki.
2. Muslim.
3. Baliq.
4. Berakal.
5. Adil (tidak fasik)
d. Syarat saksi nikah:
1. Dua orang laki-laki.
2. Muslim.
3. Baliq.
4. Berakal.
5. Dapat mendengar dan melihat (paham) akan maksud akad nikah
e. Syarat ijab dan qobul:
1. Ada ijab (pernyataan) dari pihak wali.
2. Ada qobul (pernyataan) menerima dari pihak calon suami.
3. Memakai kata “nikah”, “tazwij” atau terjemahannya seperti “kawin”.
4. Antara ijad dan qobul bersambungan tidak boleh terputus.
5. Orang yang terikat dalam ijab dan qobul tidak dalam keadaan haji atau
umrah.
6. Majelis ijab dan qobul itu paling tidak dihadiri paling kurang empat
orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon.
7. Mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sah perkawinan tersebut dan dalam
perkawinan ini akan menimbulkan kewajiban dan hak bagi suami istri. Dan
mereka akan dapat meraih kehidupan dengan bahagia dalam jalinan kehidupan
rumah tangga.
B. Perkawinan Menurut Hukum Adat
1. Arti perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan
manusia, sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai
22
suami istri. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama, dengan
demikan perkawinan tidak hanya memiliki unsur bathin saja tetapi juga memiliki
peran yang penting.34
Menurut hukum adat perkawinan adalah suatu ikatan antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang
dilaksanakan secara adat dan agamamnya dengan melibatkan pihak saudara,
maupun kerabat. Yang juga merupakan peristiwa yang sangat pentin dalam
kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyankut kedua
mempelai saja, kedua keluarga, tetapi juga menyangkut masyarakat bahkan
menyangkut arwah leluhur-leluhur kedua belah pihak.35
Hubungan kekeluargaan yang dekat dipengaruhi oleh adat yang masih
sama-sama dipegan teguh oleh setiap masyarakat adat tersebut, sehingga segala
sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat masih berpegang teguh pada adat
istiadat, termasuk di dalamnya, mengenai perkawinan.36
Bagi masyarakat hukum adat tujuan perkawinan yang bersifat kekerabatan
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis
kebapaan atau keibuan atau keibuan-bapakan, untuk kebahagian rumah tangga
keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, serta
untuk mempertahankan kewarisan.37
2. Bentuk-bentuk perkawinan (Perkawinan dalam sifat kekeluargaan).
Masyarakat hukum adat membagi sistem penarikan kerurunan dalam
sistem kekeluargaan, yaitu sebagai berikut:38
a. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Patrilineal.
Perkawinan dalam susunan kekeluargaan di sini di sebut sebagai
perkawinan jujur, seperti perkawinan yang terjadi pada masyarakat di Batak, Nias,
34
Tengku Erwinsyahbana, “Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum
Berdasarkan Pancasila”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Negeri Medan, Medan, Vol
III. Nomor. 1, juli 2013, h..5 35
Soerjono Wignjodipoere, Asas-asas Hukum Adat. (Jakarta: Gunung Agung) 1988, h.55 36
Ulfia Hasanah, Hukum Adat, Pusat pendidikan Universitas Riau, 2012, h.5 37
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju) 2007,
h.22 38
Tholib Septiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan),
(Bandung: Alfabeta) 2003, Cet Ketiga, h.225
23
Lampung, Bali, Timor dn Maluku, dimana bentuk perkawinannya bertujuan untuk
secara konsekuen melangjutkan atau mempertahankan keturunan dari pihak laki-
laki (bapak atau ayah).
b. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Matrilineal.
Perkawinan dengan susunan kekeluargaan Matrilineal ini dikenal dengan
sebutan perkawinan semendo (samendo atau semanda), yaitu bentuk perkawinan
yang bertujuan secara konsekuen melangjutkan atau mempertahankan garis
keturunan dari pihak ibu. Disebut samendo (semendo atau semanda) artinya
adalah bahwa pihak laki-laki dari luar yang didatangkan (pergi ke) tempat
perempuan, ”ia adalah orang luar”.
c. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Parental.
Bentuk perkawinan dalam susunan kekeluargaan parental (bilateral),
disebut sebagai perkawinan bebas, bentuk perkawinan seperti ini biasanya
dilakukan pada masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, kalimantan dan Sulawesi
dan kalangan masyarakat indonesia modern. Perkawinan ini tidak mengenal
persoalan eksogami maupun endogami. Dimana, seseorang bebas kawin dengan
siapa saja, dan yang menjadi halangan hanyalah pada ketentuan-ketentuan yang
di timbulkan oleh kaidah-kaidah kesusilaan agama.
3. Sistem Perkawinan
Secara umum sistem perkawinan di bagi menjadi tiga yakni, sebagai
berikut:39
a. Sistem Endogami
Pada sistem perkawinan seperti ini, seseorang hanya diperbolehkan kawin
dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Perkwinan seperti ini, sudah sangat
jarang dilaksanakan di indonesia, saat ini sistem seperti ini hanya berlaku di
daerah Toraja. Yang kemudian, sudah jarang dilakukan oleh masyarakat tersebut.
Karna, pada dasarnya perkawinan endogami ini tidak sesuai dengan tata susunan
masyarakatnya yang menganut sistem kekeluargaan parental.
39
Limboy Alex Candra, “Perkawinan Hukum Adat Suku Anak dalam Ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Desa Sanglap Kecamatan Batang
Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu”, JOM, Fakultas Hukum, Vol.V, Nomor 2, Oktober, 2018, h.7-
8
24
b. Sistem Eksogami
Pada sistem ini seorang diharuskan kawin dengan seseorang yang berbeda
suku dengan suku keluarganya. Sistem ini terdapat didaerah Minangkabau,
Sumatra Selatan, Buru dan Seram. Perkembangan pada sistem ini juga terjadi
pelunakan hanya pada lingkungan yang sangat kecil saja, sehingga diprediksikan
akan mendekati sistem Eleutherogami.
c. Sistem Eleutherogami
Pada sistem ini, tidak mengenal larangan atau keharusan sebagai mana
dalam sistem endogami dan eksogami. Larangan ini hanya larangan bertalian
darah ikatan kekeluargaan yakni larangan karna Nasab dan Musyahara. Sistem
perkawinan seperti ini banyak sebagian besar dilaksanakan di indonesia seperti
terdapat di Aceh, Bangka-Belitung, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, dan
Sebagiannya.
C. Perkawinan Menurut Hukum Positif
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu dimensi yang sangat penting bagi
kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Begitu pentingnya suatu
perkawinan, maka tidak mengherankan negara-negara di dunia mengatur masalah
perkawinan. Termasuk indonesia, dimana negara ikut andil dalam mengatur
perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakat.40
Aturan tata tertip perkawinan
sudah ada sejak dulu yang kemudian dipaertahankan oleh masyarakat, pemuka
agama dan atau pemuka masyarakat adat, aturan tata tertib tersebut terus
berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan
dan di dalam suatu negara.41
Perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah Iaktan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
40
Santoso, “ Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam
dan Hukum Adat”, Jurnal Yudisia, Vol.VII, Nomor.2. Desember, 2016, h.414 41
Mohammad R.Hasan, “ Kajian Prinsip Perkawinan Menurut UUNo.1 Tahun 1974
dalam Persfektif Hukum Islam, Jurnal Lex Administratum, Vol.IV,No.3, Maret 2016, h.164
25
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Selanjutnya, dijelaskan bahwa untuk itu suami isteri perlu saling membantu
dan mencapai kesejahtraan spiritual dan material.42
Bentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dimaksud berdasarkan ajaran
agama yang dianut oleh msayarakat indonesia seperti ajaran islam. Sebagaimana
yang dijelaskan dari pasal 1 tersebut bahwa perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai
peranan yang penting.43
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), penegertian perkawinan dan
tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan pasal 3 yaitu,44
Pasal 2, perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mistsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakan merupakan ibadah.
Pasal 3, pekawinan bertujuan untuk mewujubkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahma.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perkawinan merupakan jalan
yang diberikan oleh Allah SWT bagi manusia untuk berkembang biak, dan
melastarikan hidupnya setelah pasangan siap melaksanakan tugasnya yang positif
dalam mewujudkan tujuan perkawinan
2. Prinsip perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok
Perkawinan.
Suatu perkawinan dapat dikatakan “sah” apabila dalam pelaksanaannya
berdasarkan hukum yang berlaku dalam masyarakat atau hukum yang telah
ditetapkan berdasaarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga
suatu perkawinan tersebut diakui dan “sah”.
42
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Perkawinan 43
Juliana Pretty Sanger, “ Akibat Hukum Perkawinan yang sah di Dasarkan Pada Pasal
2 UU.Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Lex Administratum, Vol.III, Nomor.VI,
Agustus,2015 h.196 44
Abdul Rahman, Komplikasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV,Akademika
Pressindo),1995 Cet Ke-2, h.114
26
Prinsip perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Pokok Perkawinan, sebagai berikut:
1. Syarat Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan
Pasal 6 mengenai syarat-syarat perkawinan yaitu:
1. Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21
tahun harus mendapat izin kedua orang.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin di peroleh
dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis atas garis keturunan lurus ke atas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaaan dapat menyatakan
kehendakanya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih di antara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan
atas permintaab orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih
dahulu mendengar oranf orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan
(4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat(1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menetukan lain.
2. Pencatatan Perkawinan
27
Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa,
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan-perundang-undangan yang
berlaku.
Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan ini merupakan suatu hal
yang wajib dilakukan bagi pasangan yang ingin melangsungkan
perkawinan. Dimana setiap pasangan tersebut, mencatatkan perkawinannya
dngan mendaftarkan terlebih dahulu kepada pegawai yang bertugas
mencatatkan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Hal ini
dimasudkan dengan tujuan sebagai syarat administratif yang juga
menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.
3. Larangan perkawinan
Negara juga merumuskan menegenai larangan perkawinan yang
kemudian telah di tuangkan ke dalam pasal 8 UU No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan yang berbunyi.
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan keatas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpan yaitu antara
saudara dan antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
saudara dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri.
d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak
susuan, dan bibi susuan/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang seorang suami beristri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
Pada dasarnya keabsahan suatu perkawinan diatur dalam Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlandaskan Al-qur’an dan Al-
hadits. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa hukum adat turut andil dalam
pelaksanaan sebuah perkawinan di indonesia.
28
BAB III
WILAYAH ADAT SUKU KAJANG DAN TRADISI PERKAWINANNYA
A. Suku Kajang Sebagai Wilayah Adat
1. Gambaran Umum Desa
Desa Tana Toa terletak disebuah wilayah utara dalam wilayah Kecamatan
Kajang, Kabupaten Dati II Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa Tana Toa
ini merupakan tempat bermukim sekelompok masyarakat yang mengindentifikasi
dirinya sebagai komunitas adat Kajang yang meliputi dua pembagian wilayah adat
yaitu Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya yang berarti di dalam dan di luar,
kata Emba dapat diartikan sebgai wilayah kekuasaan. Dalam konteks
kewilayahan, Ilalang Embaya dapat dipahami sebagai wilayah yang berada dalam
kekuasaan Ammatoa. Sebaliknya wilayah Ipantarang Embaya bermakna wilayah
yang berada di luar.45
Kekuasaan Ammatoa. Dalam kawasan adat Kajang terdapat tiga jenis
borong (hutan) yaitu:46
Pertama, Hutan Keramat (borong Karama’). Hutan keramat ini merupakan
milik adat yang sama sekali tidak di perkenankan untuk masuk didalamnya.
Menurutt pasang (ketentuan adat) untuk menebang dan mengambil kayu ataupun
apa saja yang ada di dalam hutan tersebut. Borong karama‟ itu hanya bisa
dimasuki oleh Ammatoa dan anggota adat apabila ada upacara adat, seperti
upacara pelantikan atau pengukuhan Ammatoa, dan upacara Pa‟nganroang.
Konon kabarnya, apabila ada orang dari luar masuk ke dalam hutan tersebut orang
tersebut tidak bisa keluar, kalaupun keluar orang tersebut akan meninggal.
Kedua, hutan penyangga/perbatasan (borong battasayya). Hutan ini
merupakan wilayah kedua dari Borong Karama‟. Antara borong Karama‟ dan
Burong Battasayya yang dibatasi oleh jalan setapak yang di gunakan oleh
Ammatoa dan Anggota adat sebagai jalan untuk masuk di Burong karama‟.
45
Abdul Hafid, “Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, (Makassar:
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. 2013, h.9 46
Abdul Hafid, “ Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, Makassar:
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah provinsi Sulawesi Selatan, 2013,h.10
29
Masyarakat diperbolehkan untuk mengambil kayu dengan syarat mendapatkan ijin
dari Ammatoa.
Ketiga. Hutan masyarakat (burong Luarayya), merupakan hutan rakyat.
Hutan ini terletak di sekitar kebun masyarakat adat Kajang dengan luas kurang
lebih 100 Ha. Dari hutan itulah masyarakat adat Kajang bisa memenuhi kebutuhan
hidup mereka.
Secara geografis wilayah Desa Tana Toa, berada pada daerah perbukitan
dan bergelombang. Ketinggian wilayah desa Tana Toa sekitar 50-200 di atas
permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 575mm/tahun. Luas wilayah desa
Tana Toa secara keseluruhan tercatat 972 ha, yang terdiri atas beberapa
peruntukan, seperti luas pemukiman 169 ha, untuk persawahan 93 ha, perkebunan
30 ha, kuburan 5ha, pekarangan 95 ha, perkantoran 1 ha, prasarana umum lainnya
5 ha, dan luas hutan 331 ha.47
Secara administrasi, di desa Tana Toa ini dibatasi oleh desa-desa tetangga,
yaitu berbatasan dengan Desa Batunilamung sebelah utara, berbatasan dengan
Desa Bontobaji disebelah selatan, berbatasan dengan Desa Malleleng di sebelah
timur, dan berbatasan dengan Desa Pattiroang.
Adapun jarak antara pusat lokasi administratif pemerintahan Kecamatan
Kajang dengan lokasi Pemukiman warga masyarakat komunitas adat Kajang,
kurang lebih 25 km. Sedangkan dari ibu kota kabupaten Bulukumba jaraknya
sekitar 57 km, dan 270 km dari Makassar. Jalan menuju ke pusat lokasi
pemerintahan Desa Tana Toa sudah beraspal sepanjang lima kilometer.
Dalam perkembangannya, pihak pemerintah setempat berupaya melakukan
penggeseran batas wilayah Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya, dahulu batas
wilayah adat tersebut pada bagian barat dibatasi oleh sebuah parit dengan wilayah
luar, sekarang ini sudah di geser masuk ke dalam sejauh kurang lebih satu
kilometer. Kendaraan bermotor yang sebelumnya harus berhenti di luar dan kini
sudah dapat menembus lebih jauh ke dalam kawasan Ipantarang yang
sebelumnya masih merupakan daerah komunitas adat Kajang.
47
Abdul Hafid, “ Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, Makassar:
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2013. h.11-14
30
Batas antara wilayah Ilalang Embaya dengan Ipantarang Embaya hanya
dibatasi sebuah pintu gerbang di bagian barat. Pergeseran batas wilayah tersebut
dilakukan bersamaan dengan dilakukannya perluasan dan pergeseran jalan desa
menuju kawasan adat. Sehingga dengan demikian batas wilayah itu telah terjadi
percampuran model rumah warga luar Embaya. Untuk memasuki kawasan adat
Ammatoa, hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki, hal ini sesuai dengan
ketentuan adat yang ada dalam pasang, yakni memasuki kawasan adat Ammatoa
haruslah dilakukan dengan berjalan kaki.
Bertani, berkebun atau pekerjaan agraris lainnya adalah sektor pekerjaan
yang ditekuni mayoritas masyarakat di desa Tana Toa, disamping berternak,
berburu, dan meramu hasil hutan.
2. Sejarah Suku Kajang.
Asal usul manusia pertama Kajang adalah manusia yang diturunkan dari
kanyangan atas kehendak Turi‟e A‟ra‟na (Tuhan yang Maha Kuasa). Manusia
pertama ini disebut Tomanurung, yang menjadi awal mula orang Kajang.
Tomanurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung Koajang. Yang
mengakibatkan nama komunitas ini di sebut sebagai suku Kajang. Kemudian
manusia pertama ini, di yakini telah melahirkan sebuah keturunan yang banyak
dan menyebar keseluruh permukaan bumi.48
Banyak pendapat yang tersebar mengenai manusia pertama Kajang, untuk
mengetahui manusia pertama di Kajang ada tiga versi yaitu,49
a. Versi pertama, bahwa Tu‟rie A‟ra‟na (Tuhan Yang Maha Kuasa),
memerintahkan kepada Batara guru untuk melihat keadaan di bumi, kemudian
Batara guru ini, melaporkan kepada Tu’rie A’ra’na bahwa perlu ada manusia di
bumi untuk meramaikan. Maka, diturunkanlah manusia pertama yang disebut
Tomanurung ke bumi dengan mengendarai burung yang berkepala dua yaitu
burung Koajang. Kata inilah yang mengawali asal mulanya nama Kajang seperti
yang di kenal sekarang.
48
Zanuddin Dkk, “Ammatoa”, Makassar: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan, 2014, h.3 49
Abdul Hafid, “ Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, Makassar:
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2013, h.27-29
31
b. Versi kedua, menjelaskan bahwa, manusia pertama atau Tomanurung
adalah Batara guru yang di turunkan ke bumi. Kemudian, Batara guru ini bertemu
dengan salah seorang putri dari kerajaan pertiwi, yang kemudian menikah dan
melahirkan tiga orang anak, yakni Batara Lattu, Sawerigading, dan Jabeng.
c. Versi ketiga, menceritakan bahwa ada sepasang suami istri yakni
Tamparang Daeng Maloan dan Puangbinanga hidup di sebuah tempat yang
bernama tombolo. Mereka tidak memiliki anak, mengisi tempayan dengan air
merupakan kebiasaan mereka pada malam hari. Dalam beberapa hari berturut-
turut, setiap pagi mereka mendapati tempayan yang mereka isi dalam keadaan
kosong. Pada suatu malam, sang suami mengawasi tempayan yang berisi air itu,
sang suami mendapati seorang perempuan yang cantik sedang mandi di dekat
tempayannya. Lalu gadis tersebut di tangkapnya dan dijadikan istri, sang istri ini
di pandangnya sebagai Tomanurung. Yang kemudian melahirkan tiga orang putra
yakni, raja Kajang, raja Laikang, dan raja Lembangan.
Berdasarkan ketiga versi tersebut di atas, maka cerita versi pertama
menganggap bahwa manusia pertama itulah yang disebut sebagai Tomanurung
sekaligus dianggap sebagai Ammatoa Mariolo (raja pertama). Kemudian versi
kedua, menanpilkan konsep manusia pertama sebagai Tomanurung, dan versi
ketiga, menampilkan Tomanurung, tanpa menyebutkan konsep manusia pertama
dan Ammatoa. Namun, versi yang paling diyakini oleh masyarakat setempat
adalah versi yang pertama.
Kepercayaan lainnya yang berkembang di daerah tersebut, bahwa
Tomanurung ini mendiami suatu tempat yakni hutan adat Tana Toa dimana
wilayah hutan tersebut hanya berupa sembulan-sembulan tanah dengan luas hanya
sejengkal yang dikelilingi oleh air laut. Sembulan-sembulan tanah tersebut
kemudian melebar seiring oleh perkembangan waktu dan perkembangan manusia
yang ada di atasnya. Karna tanah tersebut gundul, maka Ammatoa pertama
tersebut mengistruksikan pada warganya untuk menanam pohon, dan menjaganya
agar tidak terjadi hal yang dapat merusak kehidupan warganya. Dari usaha
menanam pohon itu, membuat kawsan adat terseubut menjadi subur. Kesbuburan
tanah itu menciptakan sumber air bersih yang di kenal dengan sebutan Buhung.
32
Pada Buhung itulah sebagai tempat oleh warga untuk mengambil air untuk
kebutuhan sehari-hari.50
Bagi masyarakat adat Kajang kepercayaan tentang Tomanurung diterimah
sebagai sebuah realitas. Mereka mempercayai bahwa dialah yang menjadi
Ammatoa pertama yang diciptakan oleh Turi‟e A‟ra‟na‟ di bumi. Yang kemudian
Turi‟e A‟ra‟na meciptakan seorang perempuan pendamping Ammatoa yang
disebut Anrongta. Masyarakat adat Kajang menyakini bahwa Tomanurung
sebagai Ammatoa yakni pemimpin pertama dan tertinggi bagi masyarakat adat
Kajang yang mengikuti segala ajarang yang dibawanya, yaitu Pasangri. Dimana
Pasangri ini menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah sekian lama memimpin Ammatoa (raja Pertama) tersebut meninggal
dunia, selanjutnya kepemimpinan Tana Toa adat Kajang dipimpin oleh raja kedua
bernama Anrong Bungasayya. Yang bertugas melanjutkan pesan-pesan atau
petuah yang menjadi Pasantri adat Kajang.
Seiring perkembangan zaman, kerajaan Gowa Tallo di Sulawesi Selatan
mengalami fase-fase perkembangan atau periode, yang juga berdampak bagi
komunitas adat Kajang yakni sebagai berikut:51
Pada periode penaklukan kerajaan Gowa dibagi atas dua fase, yaitu
sebelum masuknya agama islam di kerajaan Gowa dan fase sesudah agama Islam
menjadi agama resmi di kerajaan Gowa. Ekspansi Gowa terhadap komunitas adat
Kajang dapat terlihat pada masa pemerintahan I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng
Lakiung (1546), yang merupakan raja Gowa ke X. Peristiwa ini terjadi sebelum
agama islam masuk di kerajaan Gowa. Fase berikutnya adalah sesudah kerajaan
Gowa menyatakan Islam sebagai agama resmi kerajaan.
Pada fase ini ditandai dengan seruan raja Gowa kepada Kerajan-kerajaan
Bugis untuk memeluk agama Islam, yang kemudian disusul dengan penaklukan,
kerajaan Bone pada tahun 1611.tetapi untuk daerah-daerah seperti Bangtaeng,
Bulukumba, dan Sinjai menerima agama islam tanpa peperangan, bahkan dari
50
Zainuddin Tika Dkk, Ammatoa,(Makassar: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan),2013,h.3 51
Mas Alim Katu, Tasawuf Kajang, (Makassar: PT Pustaka Nusantara Padaidi),
2005,h.9-10
33
pihak komunitas adat Kajang pada saat itu, mengutus tiga orang untuk belajar
agama islam. Yaitu, Janggo Towa, Janggo Tojarra, dan wajo. Yang kemudian
menyebarkan agama islam di Tana Toa.
Kemudian pada masa pejajahan Belanda, wilayah Kajang merupakan distrik
yang bernaung di bawah Onder Afdeling Bulukumba, sistem pemerintahan ini
berlangsung sampai penyerahan kemerdekaan. Disamping, pemerintahan tersebut
masyarakat Kajang tetap patuh dan taat akan aturan yang telah ditetapkan oleh
Pasangri Kajang.
Setelah Indonesia merdeka, sistem pemerintahan berubah sesuai dengan
peraturan-peraturan yang di tetapkan oleh UUD tahun 1945 pada saat itu. Pada
tahun 1959, distrik Kajang berubah menjadi sebuah kecamatan sesuai dengan
Undang-undang No. 29 tahun 1959 tentang pembentukan kecamatan, dan seiring
perkembangan zaman, pemerintah setempat membentuk lagi desa-desa di
kecamatan Kajang tersebut, berdasarkan Surat keputusan gubernur Sulawesi
selatan No.450 tahun 1965, yakni desa Posi Tanah, desa Tana Toa, desa
Tambangan, desa Lembana, dan desa Tana Jaya. Lima desa tersebut dibagi lagi
atas dua bagian berdasarkan adat dan ajaran Pasang bagian pertama adalah Tanah
Toa, yang merupakan wilayah adat, terdiri dari delapan kampung yaitu, Balagana,
Balambina, Sebbu, Sapiri, Bunja, Sangkala, Balo-balo, dan Teteka. Kemudian,
bagian kedua Tanah Kosayya, tanah ini merupakan wilayah adat yang
penduduknya boleh memilih mengikuti ajaran Pasang atau tidak. Yang sekarang
dikenal dengan wilayah Kajang luar.
3. Adat Istiadat
Suku Kajang merupakan suku tradisional dengan masyarakat yang dari
waktu ke waktu tidak mengenal perubahan seperti masyarakat modern yang selalu
mengikuti perkembangan zaman. Uniknya suku Kajang berada di tengah-tengah
masyarakat modern yang seiring perkembangan zaman bertambah pula gaya
hidup praktisnya.
34
Suku Kajang juga sering diistilahkan dengan nama Tana Kammase-masea
yang berarti hidup dalam kesedehanaan dengan tetap memelihara tradisi seperti
yang dianut oleh nenek monyang mereka dulu.52
Lain hal dengan masyarakat modern. Suku Kajang memengan prinsip
“Kammase-mase”merupakan generasi yang hidup penuh dengan kesederhanaan,
ketaatan, keikhlasan dalam mempertahankan dan melaksanakan tradisi serta
amanat leluhurnya.
Dalam Pasangri Kajang disebutkan ”Kupalabbakkangko Tunaya Anne,
Iami Tuna Kammase-masea” (saya berikan kehidupan, yakni kehidupan yang
sangat sederhana). Bagi masyarakat Kajang sekali hidup sederhana, tetap
sederhana, tidak bisa diubah. Hingga kini masyarakat suku Kajang masih terus
memegan teguh Pasangri Kajang mereka tetap mengikuti tradisi Bohe (raja)
pertama. Baik cara berpakaian serba hitam, penggunaan peralatan sehari-hari yang
serba tradisional, menjaga kelestarian hutan merupakan bagian dari hidup
mereka.53
Masyarakat suku Kajang kini terbagi menjadi dua, yakni Kajang dalam
(Ilalang Embaya) dan Kajang luar (Ipantarang Embaya). Kajang dalam adalah
kawasan adat Ammatoa yang masih yang sangat terikat oleh hukum adat dan
menolak segala bentuk perkembangan zaman, sedangkan Kajang luar adalah
Kawasan masyarakat suku Kajang yang sudah menerimah segala bentuk
perkembangan zaman seperti listrik, memakai sendal dan sebagainya. Bukan
hanya itu, bentuk rumah Kajang dalam dan luar sangat berbeda. Di Kajang luar
dapur dan toilet terletak dibagian belakang rumah sama halnya dengan rumah-
rumah pada umumnya, tidak seperti Kajang dalam yang menempatkan dapur dan
toilet di depan rumah.54
Bahasa yang mereka gunakan sehari-hari adalah bahasa Kongjo.
Masyarakat suku Kajang sulit berkomunikasi dengan masyarakat luar, mereka
52
Yusuf Akib,” Potret Manusia Kajang”, Makassar: Badan Arsip dan Perpustakaan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2004, h.5. 53
Zanuddin DKk, “ Ammatoa”, Makassar: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
Provibsi Sulawesi Selatan, 2014.h.6. 54
Yusuf Akib, Potret Manusia Kajang, (Makassar: Badan Perpustakaan dan Arsib
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2004,h.1
35
tidak mengetahui bahasa Indonesia disebabkan mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah, mereka tidak mengenal budaya tulis sehingga
adat istiadat, kepercayaan, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam
tuturan lisan saja.55
Dalam rangka menjaga kelestarian dan stabilitas serta kontinitas adat
Kajang, maka di tetapkanlah Ammatoa (pemimpin) sebagai bapak yang dituakan
yang diyakini, mempunyai pengetahuan yang luas akan hukum adat Kajang, dan
mampu mengambil keputusan dengan penuh pertimbangan yang bijak,dan
sekaligus pula wakil Turi‟e A‟ra‟na (Tuhan Yang Maha Kuasa) di atas bumi.
Ammatoa dalam kapasitasnya sebagai pemimpin adat mempunyai andil besar
dalam mengurusi masyarakatnya bersama dengan perangkat adat lainnya, artinya
Ammatoa adalah pelindung, pengayom, dan suri tauladan bagi semua warga
komunitas adat Kajang serta bertanggun jawab terhadap pelaksanaan kelestarian
Pasangri Kajang serta membawahi aturan-aturan adat yang bersumber dari
Pasang dan norma-norma adat Kajang.56
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Ri Loheya dan
Ri Kaseseya (pembantu Ammatoa), yang khusus bertugas mengurusi adat
(Pallabaki Cidong), yang beranggotakan lima pejabat yang bergelar Galla, dan
masing-masing mempunyai tugas dan tanggun jawab: (1). Galla‟ Pantama,
bertugas untuk mengurusi tanah dan merancang strategi pertanian diwilayahnya,
(2) Galla‟ Kajang, bertugas dalam pegendalian pemerintahan dalam pesta-pesta
adat atau ritual, (3) Galla‟ Lambo, bertugas mengurusi pemerintahan pada daerah-
daerah penaklukan Ammatoa, (4) Galla‟ Anjuru, bertugas untuk mengurus para
nelayang, (5) Galla‟ Puto, bertugas sebagai juru bicara Ammatoa dan sebagai
pengawas langsung tentang pelaksanaan Pasangri Kajang.57
55
Hasil Wawancara dengan Irham Bulukumba, Sejarawan (Makassar, 15 Januari,2019) 56
Abdul Hafid, Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang, (Makassar:
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2013,h.31 57
Abdul Hafid,” Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, Makassar:
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2013,h.35.
36
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat suku Kajang terdapat lima
ajaran di dalam Pasangri yang menjadi pedoman bagi mereka dan pemimpin adat
adalah sebagai berikut:58
a) Ta‟ngu‟rangi mangeri Turie‟ A‟ra‟na. Artinya, Senantiasa ingat pada
Tuhan Yang Berkehendak.
b) A‟lemo sibatu,a‟bulo sipappa‟, tallang sipahua manyu‟siparampe,
sipakatau tang sipakasiri,Bunting sipabasa, mate siroko‟ bulaeng.
Artinya, memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan
dan saling memuliakan, berpesta saling membantu dan mati berkafan kain
emas.
c) Lambusu kigattang sa‟bara ki peso‟na. Artinya, bertindak tegas tapi juga
sabar dan tawakkal.
d) Sallu rijauka, ammulu riaddakang Ammaca‟ere anreppe‟ batu,
alla‟buirurung, alla‟batu cideng. Artinya, harus taat pada aturan yang
telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan
memecahkan batu gunung.
e) Nan digaukang sikontu passuroang to ma‟buttayya. Artinya,
melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen. Dari kelima
Pasang inilah yang lahir dari prinsip sederhana dan saling menyanyngi
diantara mereka.
Penerapan aturan dan hukum-hukum di dalam masyarakat adat Kajang,
memegang prinsip hukum yang diwariskan nenek monyang, terutama terjadi suatu
peristiwa atau masalah yang terjadi dalam kawasan adat Kajang. Bentuk sanksi
hukum yang disebut Ba‟bala (cambuk). Adapun berat sanksi hukum yang di
terima, tergantung berat ringannya pelanggaran yang mereka lakukan. Dalam hal
ini terdapat tiga kategori sanksi hukum, yaitu Cappa‟ba‟bala (ujung cambuk),
jenis hukuman ini sifatnya ringan. Selangjutnya, Tang‟nganga‟ Ba‟bala (bagian
tengah cambuk), jenis hukuman ini sifatnya sedang.dan terakhir adalah Poko
ba‟bala (Pangkal cambuk), jenis hukuman ini tergolong berat. Sanksi, hukum
58
Zainuddin Dkk, “Ammatoa”, Makaassar: Badan Perpustakaan Daerah dan Arsip
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2014,h.43.
37
diatas adapun bentuk larangan-larangan yang bersumber dari Pasang yang tidak
boleh dilanggar oleh masyarakat Kajang dalam (Ilalang Embaya), yaitu larangan
(kasipali) memakai kendaraan memasuki kawasan Ilalang Embaya, bukan hanya
untuk para tamu, tetapi berlaku bagi setiap masyarakat kawasan adat Ilalang
Embaya.59
Bagi mereka yang melanggar hukum-hukum adat yang telah tercantum
dalam Pasang akan dikenakan sanksi sosial atau sanksi yang berupa denda
(Passala) yang berdasarkan hukum adat setempat, maupun sanksi masyarakat
dengan cara pengusiran (Nipaopangi Butta) dari kawasan adat Kajang.
Adapun keunikan yang ada di dalam berbagai unsur dalam kehidupan
sehari-hari, mulai cara berpakaian, bentuk rumah, pola pemukiman, dan lain
sebagainya. Adapun keunikan tersebut antara lain60
:
1. Tata Cara Berpakaian.
Cara berpakaian masyarakat suku Kajang mempunyai jati diri mereka
sebagai kelompok Kajang luar (Ipatarang Embaya) dan Kajang dalam (Ilalang
Embaya). Pakaian yang digunakan masyarakat Kajang luar adalah pakaian yang
digunakan masyarakat pada umumnya. Seperti, pakaian dengan warna yang
berbeda-beda, dengan gaya yang mengikuti perkembangan zaman, dan sudah
menggunakan sepatu atau sendal. Sedangkan, masyarakat Kajang dalam
menggunakan pakaian yang serba hitam, dan tidak memakai sendal.61
Hitam
merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita
memasuki kasawan adat Ammatoa pakaian kita harus berwarna serba hitam. Bagi
masyarakat suku Kajang dalam warna hitam bermakna sebagai bentuk persamaan
dalam segala hal, termasuk kesederhanaan, kekuatan, dan kesamaan derajat bagi
setiap orang di depan pencipta.
2. Bentuk Rumah.
Bentuk rumah suku Kajang dalam sangat berbeda dengan bentuk rumah
Kajang luar. Jika bentuk rumah suku Kajang luar sudah seperti dengan bentuk
59
Abdul Hafid,” Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”,( Makassar:
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2013, h.36. 60
Yusuf Akib, Potret Manusia Kajang, (Makassar : Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2004, h.22-24 61
Halilintar Lathief,” Berkunjung ke Pusat Bumi Kajang”, (Makassar: Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2016,h.91
38
rumah warga pada umumnya dengan bentuk yang berbeda-beda dengan hiasan
dan warna yang indah. Ada yang berbentuk seperti rumah panggun bahkan ada
juga yang berbentuk seperti rumah duduk dengan lantai diatasnya. Sebaliknya,
bentuk rumah masyarakat suku Kajang dalam, harus mengikuti bentuk rumah
yang sudah di tetapkan oleh Pasang atau hukum adat, semua rumah yang terletak
di kawasan adat mempunyai bentuk rumah yang sama. Rumah dengan tiang yang
di tanam berjumlah 16 batang. Di dalam rumah terdiri atas tiga bagian yang
masing-masing dipsahkan oleh pappamuntulan latia riolo (tempat untuk tamu),
latia tangnga (tempat tuan rumah menerimah tamu), dan tala-tala (tempat tidur
kaum wanita). Lantainya terbuat dari bilahan bambu yang di ikat satu sama lain,
beratap daun rumbia, dapur dan tempat buang air kecil (pa‟bisang) terletak di
bagian depan rumah (latia riolo) sebelah kiri pintu dan pada bagian ujung atas
terdapat hiasan dari ekor ayam (anjong).62
3. Pola pemukiman
Pola pemukiman masyarakat suku Kajang dalam, mempunyai pola
pemukiman yang unik, disebabkan karena pola pemukiman harus sesuai dengan
pasang atau hukum adat yang telah di tentukan. Yaitu, dengan pola pemukiman
yang berkelompok menghadap ke barat. Penenpatan rumah seperti ini bermakna
agar rezki yang berasal dari Tu Rie‟A‟ra‟na (Tuhan Yang maha Kuasa) dapat
diterimah secara langsung tanpa singgah di tempat lain yang dapat menyebabkan
rezki tersebut tidak tercemar/tidak murni atau haram.
4. Keadaan Penduduk dan Pendidikan
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Tana Toa, jumlah
penduduk secara keseluruhan meliputi kawasan Ilalang Embaya maupun
Ipantarang Embaya adalah sebanyak 4.073 jiwa, terdiri atas laki-laki 1.904 jiwa
dan perempuan berjumlah 2.169 jiwa. Jumllah penduduk itu tersebar ke dalam 9
dusun, yakni Dusun Balagana, Jannaya, Sobbu, Benteng, Pangi, Bongkina,
Tombolo, Luraya, dan Dusun Balambi. Dari jumlah penduduk 4.073 jiwa itu,
dimana tujuh dusun termasuk kawasan Ilalang Embaya memepunyai penduduk
62
Yusuf Akib, “Ammatoa Komunitas Berbaju Hitam”, (Makassar: Pustaka Refleksi),
2008, h.27-30
39
sebanyak 3.208 jiwa, sedangkan dua dusun lainnya Ipantarang Embaya
mempunyai penduduk sebanyak 865 jiwa.63
Kawasan adat Kajang luar (Ipantarang Embaya) telah membentuk
perkampungan tersendiri, berbeda dengan pola perkampungan masyarakat dalam
(Ilalang Embaya) dimana posisi rumah tersebut diatur terderet sebelah
menyebelah sepanjang jalan. Sedang pola perkampungan kawasan Ilalang
Embaya berkelompok, rumah didirikan di tengah-tengah kebun keluarga dengan
arah bangunan rumah berlawanan arah dengan Borong karama‟ (hutan keramat).
Sehingga semua rumah menghadap ke barat dan tertata rapi serta berjejer dari
utara ke selatan, pada barisan depan rumah terdapat batu kali setinggi satu meter.
Pagar ini dibuat dengan tujuan untuk menhindari pandangan ke arah Borong
Karama‟. Sebagai mana ketentuan adat.
Pendidikan formal bagi komunitas adat Kajang dalam wilayah Desa Tana
Toa, bukanlah merupakan sesuatu kebutuhan yang mendesak. Semua pengetahuan
dan teknologi yang dimiliki oleh masyarakat adat Kajang, khususnya yang berada
di Ilalang Embaya pada dasarnya bersumber dari Pasang. Sebelumnya penduduk
komunitas adat Kajang tidak pernah mengecap pendidikan formal, dalam
melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mengizinkan anak-
anak mereka untuk bersekolah pada waktu itu. Hal ini disebabkan karena berbagai
alasan-alasan tertentu, seperti anak-anak diharuskan membantu orang tua mereka
di ladang atau di sawah atau untuk mengembala ternak. Selain itu, ada juga orang
tua dalam kawasan ini yang enggan menyekolahkan anaknya, karena khawatir
akan muncul perubahan sikap, akibat pengaruh yang di peroleh dari sekolah.64
Perubahan sikap yang terjadi dapat menodai ketaatan terhadap Pasang dan dapat
pula menyebabkan masuknya hal-hal yang tidak pantas, seperti yang disinyalir
dalam Pasang: “Bulu tansing bulu sa‟ra tansing sa‟ra” (kulit yang bukan kulit,
suara yang bukan suara). Maksud dari pasang tersebut untuk memperingatkan
63
Abdul Hafid, “ Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”,( Makassar:
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2013, h.14 64
Abdul Hafid, “Ammatoa dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”, (Makassar:
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2013, h.15-16
40
pada komunitas pengamalnya agar tidak menerima atau menolak segala yang
tidak ada dalam pasang.
Menyadari akan hal ini pemerintah setempat. Mengusahakan pendidikan
dengan model khusus yang disesuaikan dengan keberadaan mereka.
Karna sangat minimnya tingkat pendidikan dan ketatnya tradisi pasang
yang menyebabkan penduduk tidak punya banyak pilihan atas pekerjaan yang
memerlukan ijazah. Bagi komunitas adat Kajang menjadi petani, peladan, atau
meramu hasil hutan dan berburu, serta menyadap nira merupakan pekerjaan
mencari nafkah.65
Menyadari kenyataan ini, pemerintah setempat dalam hal ini dinas
pendidikan Kabupaten Bulukumba, mengusahakan pendidikan dengan model
khusus yang disesuaikan dengan kondisi keberadaan mereka, dan ternyata usaha
ini cukup membawa hasil. Berdasarkan data desa tanah toa, telah dibangun tiga
sekolah dasar (SD), satu sekolah tinkat pertama (SLTP), dan satu sekolah tingkat
menengah atas (SMA), kesemua bangunan sekolah ini terdapat diluar kawasan
adat kajang. Adanya sarana pendidikan dikawasan adat kajang menyebabkan anak
mereka khususnya yang ada dikawasan ilalang embaya di desa tanah toa. Sudah
banyak yang disekolahkan, dengan harapan bahwa kedepannya anak-anak mereka
memiliki pendidikan formal dan ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat untuk
masa depan mereka.
Adanya perubahan sikap sebagian komunitas adat kajang, maka terlihatlah
anak-anak mereka semakin hari semakin banyak yang mengikuti pendidikan,
walaupun menggunakan pakaian warna-warni, dimana dalam penilaian adat
kamase-masea pada masa lalu adalah tabu (kasipalli) untuk memakai pakaian
berwarna. Namun sekarang ini sudah dapat diterima dengan penuh toleransi,
sehingga sedikit demi sedikit gugurlah keharusan berpakaian hitam bagai anak-
anak sekolah.
65
Abdul Hafid, “ Ammatoa Dalam Kelembagaan Komunitas Adat Kajang”,( Makassar:
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2013, h. 16-17
41
5. Agama dan Kepercayaan
Masyarakat suku Kajang menempatkan agama Islam sebagai satu-satunya
agama yang di anut oleh mereka. Akan tetapi, pelaksanaan syariat-syariat Islam
tidak seperti masyarakat muslim pada umumnya.66
Berbeda dengan masyarakat
suku Kajang luar yang sudah melaksanakan syariat-syariat Islam secara utuh,
bahkan di wilayah masyarakat Kajang luar saat ini, sudah banyak bangunan
mesjid, dan pelaksanaan pengajian-pengajian, serta pelaksanaan amalan-amalan
lainnya sebagaimana yang telah di tetapkan oleh syariat islam. Sebaliknya,
masyarakat di kawasan adat Ammatoa, Kajang dalam, tidak mengerjakannya.
Namun, di satu sisi mereka menolak sebutan bukan muslim. Paradoksal ini terjadi
akibat adanya bentuk pengamalan keagamaan (Islam) yang di padu dengan
kebiasaan-kebiasaan para pendahulu mereka (Tu Mariolo). 67
Pengaruh konsepsi Islam versi masyarakat kawasan adat Ammatoa. Sedikit
banyak memberi dampak terhadap masyarakat. Pengaruhnya terlihat terutama
bagi kalangan tua dan sebagian kecil terhadap generasi mudanya.
Kondisi pengamalan Islam di kawasan adat ini, sebagai Islam singkrenitas,
syariat Islam tidak dilaksanakan kecuali pada tata cara perkawinan, kematian,
sunat, zakat, dan tahlilan. Mereka masih memengan kuat kepercayaan Patuntung
yaitu sebuah kepercayaan animisme yang dianut oleh masyarakat suku Kajang
dalam, sebelum Islam datang. hingga saat ini, mereka percaya adanya kekuatan
pada benda-benda tertentu dan terhadap roh-roh nenek moyang.
Kepercayaan Patuntung yang mereka anut sangat diyakini dan ditaati.
Dalam kepercayaan Patuntung ini berdasar pada Pasangri Kajang yang berisikan
adanya hubungan vertikal pada Tu Rie‟ A‟ra‟na (Tuhan Yang Maha Kuasa) dan
hubungan horizontal ke sesama mahluk. Pasang itu berisi pesan-pesan atau
petuah, pedoman hidup untuk kebahagian dunia dan pesan-pesan untuk
mempercayai adanya akhirat.68
66
Mas Alim Katu, Tasawuf Kajang, (Makassar: PT Pustaka Nusantara Padaidi),
2005,h.13 67
Yusuf Akib, Ammatoa Komunitas Berbaju Hitam,(Makassar: Pustaka Refleksi),
2008,h.30 68
Zainuddin Tika Dkk, Ammatoa, (Makassar: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan), 2013, h.42
42
Salah satu bentuk kepercayaan Patuntung yang mereka selalu amalkan
yaitu, Akkalapika merupakan pesta adat yang dilaksanakan khusus untuk
memaneng hasil perkebunan. Sifat acara ini adalah untuk syukuran dan
persembahan69
. Dimana dalam proses upacara ini, semua hidangan jenis hidangan
diambil di letakkan di atas daun waru, kemudian hidangan tersebut di beri darah
ayam lalu di letakkan di empat sudut rumah, empat sudut kebun, satu di pinggir
sungai, satu di sumur dan satu di jalan. Sesudah seluruh rangkaian telah
dilaksanakan kemudian membaca doa dan diakhiri dengan makan bersama.
Secara singkat dapat dikatakan dari segi agama dan kepercayaan
masyarakat suku Kajang dalam yang berada dalam kawasan adat Ammatoa
mengakui islam sebagai agama mereka, dan patuntung sebagai kepercayaan yang
mereka yakini. Kepatuhan mereka terhadap syariat islam hanya sebatas pada
Perkawinan, kematia, sunnat, zakat, dan tahlilan. Berbeda dengan Kajang luar
yang sudah menjalankan syariat islam secara keseluruhan.
B. Tradisi Perkawinan Masyarakat Suku Kajang.
1. Perkawinan Suku Kajang.
Bagi masyarakat suku Kajang sendiri, perkawinan merupakan sesuatu
yang sakral dan peristiwa yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Oleh
karna itu, maka tata cara perkawinan pun dimulai dari proses peminangan sampai
pada membina rumah tangga juga diatur dalam ketentuan adat suku Kajang yang
mengikat.
Masyarakat suku Kajang mempunyai ikatan kekerabatan dan ikatan
emosional yang sangat kuat karna perkawinan yang endogami, selain itu juga
karna, dipersatukan dalam satu komunitas adat yang dipimpin oleh Ammatoa.70
Bagi masyarakat suku Kajang perkawinan bukan lagi sebagai kewajiban,
melainkan suatu kebutuhan yang harus di penuhi oleh setiap masyarakat suku
Kajang yang telah tiba waktunya untuk melaksanakan perkawinan. Bentuk
69
Mas Alim Katu, Tasawuf Kajang, (Makassar: PT Pustaka Nusantara Padaidi), 2005,
h.50 70
Halilintar Lathief,” Berkunjung ke Pusat Bumi Kajang”, (Makassar: Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2016, h.70
43
perkawinan masyarakat suku Kajang diataur dalam Pasangri Kajang yakni, segala
peraturan yang telah di tetapkan oleh Ammatoa ( pemimpin) berdasarkan
kepercayaan Patuntung71
. Mengenai aturan adat perkawinan tidak hanya berlaku
pada masyarakat suku Kajang dalam (Ilalang Embaya). Namun, berlaku juga bagi
masyarakat Kajang luar (Ipantarang Emabaya), karna walaupun masyarakat suku
Kajang luar (Ipantarang Embaya), tidak lagi berada dalam kawasan adat
Ammatoa, dan sudah mengikuti segala bentuk perkembangan zaman.Tetapi, untuk
urusan perkawinan mereka tetap terikat oleh hukum adat yang tertuang dalam
Pasangri Kajang.72
2. Tahapan Mencari Jodoh.
Pada dasarnya, masyarakat suku Kajang, dalam tahap mencari jodohnya di
kenal dengan Ni‟duta atau dijodohkan oleh orang tua mereka. Ni‟duta disini sudah
sangat melekat bagi masyarakat suku Kajang sendiri dan juga menjadi tradisi
turun-temurun, khususnya masyarakat yang berada dalam kawasan adat (Ilalang
Embaya).73
Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat sakral bagi masyarakat
suku Kajang. Olehnya itu, dalam proses memilih jodoh merupakan tanggun jawab
orang tua. Bagi masyarakat suku Kajang ketika seorang perempuan telah tiba
masa pubertasnya (baliq) sedangkan seorang lelaki sudah mampu untuk
membantu orang tuanya di ladang atau di sawah kemudian sudah baliq. Maka,
sudah waktunya untuk dikawinkan. Orang tua biasanya akan mencarikan
pasangan dari kalangan kerabat terdekat yang bukan nasabnya atau kerabat yang
berasal dari kalangan yang sama (sesuku) untuk di jodohkan kepada anaknya. Hal
ini, merupakan pertimbangan yang sangat penting bagi masyarakat suku Kajang.
Karna menurut hukum adat mereka sebaik-baik pasangan adalah pasangan yang
berasal dari sesama suku mereka. Akan menjadi beban moral tersendiri bagi orang
tua yang belum mengawinkan anaknya yang telah baliq. Hal ini, juga yang
memicu maraknya perkawinan dini di suku Kajang baik dalam kawasan adat
71
Yusuf Akib, “Potret Manusia Kajang”, (Makassaar: Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan),2004, h.35 72
Wawancara dengan Kanne Dati, Tokoh masyarakat suku Kajang Luar, 26 Januari 2019 73
Halilintar lathief, “Berkunjung ke Pusat Bumi Kajang”,( Makassar: Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2016, h.72
44
Ammatoa maupun di kawasan Kajang luar. Setelah orang tua sudah memilih
seseorang yang dijodohkan untuk anaknya, kemudian kedua belah pihak setuju.
Maka akan diadakan prosesi lamaran.74
Bagi masyarakat suku Kajang saling menghormati satu dengan yang
lainnya merupakan sebuah kewajiban. Hal ini, menimbulkan akibat hukum
tersendiri. Karna, menurut hukum adat, perjodohan merupakan sebuah
penghormatan. Maka terdapat sebuah atauran hukum adat kewajiban membanyar
denda bagi setiap pihak yang menolak dijodohkan. Kewajiban membayar denda
ini, berlaku bagi pihak yang menolak untuk diberikan kepada pihak yang di tolak.
Aturan hukum adat ini hanya berlaku pada masyarakat suku Kajang dalam
(Ilalang Embaya) atau masyarakat yang berada dalam kawasan adat Ammatoa.
Berbeda dengan masyarakat suku Kajang luar (Ipantarang Embaya) yang sudah
dapat memilih jodoh berdasarkan pilihannya sendiri.75
3. Upacara Lamaran dan Penentuan Mahar.
Lamaran merupakan langkah awal dari suatu perkawinan. Hal ini telah
disyariatkan oleh Allah SWT sebelum diadakannya akad nikah antara suami istri.
Dengan tujuan, agar masing-masing pihak mengetahui pasangan yang akan
menjadi pendamping hidupnya. Lamaran atau khitbah mengandung arti
permintaan. Peminangan dilakukan sebagai permintaan secara resmi kepada
wanita yang akan dijadikan calon istri atau melalui wali wanitanya itu. Sesudah
itu baru dipertimbangkan apakah lamaran itu dapat diterima atau tidak.76
Prosesi lamaran masyarakat suku Kajang diawali dengan kedatangan
rombongan keluarga besar pihak laki-laki yang di pimpin oleh Galla Puto
(pimpinan adat suku Kajang yang bertugas mengurusi perkawinan) sebagai
perwakilan dari Ammatoa (ketua adat) ke kediaman pihak wanita. Galla Puto
disini bertugas untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka.
Kemudian Galla Puto akan memanggil Suronu (utusan) pihak wanita untuk
Angnganta‟ sunrang.77
74
Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, 25 Januari 2019 75
Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, 25 Januari 2019 76
Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”, (Jakarta: Kencana), 2003, h. 73 77
Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, 25 Januari 2019
45
Angnganta‟ artinya menetapkan dan sunrang berarti mahar. Jadi,
Angnganta‟ sunrang adalah menetapkan mahar yang akan dibawa ke tempat
mempelai wanita pada upacara perkawinan. Selain mahar, terdapat uang panai‟
(uang belanja) dan 2 ekor kerbau yang menjadi keharusan bagi pihak laki-laki
untuk diberikan kepada pihak wanita. Mengenai uang panai‟ ditentukan
berdasarkan kesepakatan bersama kedua belah pihak dengan mempertimbangkan
kesanggupan pihak laki-laki. Kemudian 2 ekor kerbau ini, berlaku bagi
masyarakat suku Kajang. Lain halnya, pada keturunan Ammatoa dan pimpinan
adat Kajang lainnya, jumlah kerbau dibawah sebanyak 7 ekor.78
Setelah acara lamaran dan penentuan mahar, serta uang panai‟ telah
disepakati kedua belah pihak. Selangjutnya adalah penentuan hari baik untuk
melangsungkan perkawinan.
4. Upacara Perkawinan
Mengenai upacara perkawinan banyak tahapan yang harus dilalui oleh
masyarakat suku Kajang khususnya masyarakat yang terdapat dalam kawasan
adat Ammatoa. Pelaksanaan upacara adat perkawinan tersebut meliputi:79
a) Songka Bala (Tulak Bala).
Proses tulak bala merupakan rangkaian acara yang dilakukan di sore hari
sebelum acara mapapacing. Kegiatan ini dilaksanakan dan dipercayai oleh
masyarakat setempat. Tujuan dari kegiatan ini untuk memhindarkan diri dari
segala musibah atau bahaya, bagi calon penganting beserta keluarganya.
Adapun proses tulak bala adalah membawa kedua calon pengantin ke sumur
terdekat untuk dimandikan oleh Tetuah adat yang dipercayakan. Peralatan yang
dibawah berupa jeruk, kelapa, dan pakaian pengganti.
b) Pakanre Bunting.
Pakanre bunting merupakan rangkaian acara yang dilaksankan sebalum
acara mappacing di mulai dan pada saat berlangsungnya hari perkawinan. Adapun
proses acara pakanre bunting dilakukan pada malam hari yaitu calon pengantin di
78
Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang dan Galla Puto Suku Kajang, 25 Januari
2019 79
Riswanto, “ Implementasi Adat Perkawinan Tana Toa, di Desa Tana Toa, Kecematan
Kajang, Kabupaten Bulukumba”, Jurnal Sangkala Ibsik, h.119-120
46
suap oleh mama/ibu pengantin (anrong bunting). Sedangkan pada acara pakanre
bunting pada hari berlangsungnya acara yaitu pengantin laki-laki menyuap
pengantin perempuan. Begitupun sebaliknya, pelaksanaan pakanre bunting yang
dilakukan pada malam hari bertujuan untuk memberikan berkah bagi calon
pengantin laki-laki atau perempuan yang dilakukan oleh mama/ibu (anrong
bunting).
Adapun jenis makanan yang disajikan untuk proses pakanre bunting
berupa nasi, ikan, dan ayam. Tujuan dari ritual ini adalah untuk mempererat tali
kekeluargaan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan dengan harapan
untuk menambah kasih sayang anatara pengantin laki-laki dan perempuan agar
saling menghargai satu sama lain.
c) Mappacing.
Acara mappacing merupakan rangkaian acara yang sangat penting
dilakukan dan merupakan kewajiban bagi setiap adanya pesta perkawinan pada
masyarakat suku Kajang. Tujuan dari ritual ini untuk mensucikan diri calon
pengantin. Acara ini juga dilakukan oleh kerabat terdekat beserta para tamu yang
ingin terlibat. Adapun bahan-bahan yang disiapkan untuk melaksanakan acara ini
yaitu minyak lilin, gula merah, daun pandang, daun pacci, daun sirih, bedak,
beras, cermin dan sisir.
Adapun proses pelaksanaannya dimulai dengan mengambil bahan-bahan
yang telah disediakan diatas talang dan membubukan satu persatu bahan tersebut,
adapun cermin dan sisir digunakan pada bagian akhir mappacing. Dengan
menghadapakan cermin dan sisir tepat pada wajah pengantin.
d) Pakanre Adat.
Acara pakanre adat merupakan proses yang dilakukan dua kali yaitu pada
saat sesudah mappacing dan malam pesta perkawinan. Maksud dari acara ini
untuk melaksanakan acara turun temurun serta untuk menghargai dan
menghormati tokoh-tokoh adat yang terdiri dari Ammatoa, Iman, Kepala desa,
Kepala dusun, dan Galla puto.
Proses acara ini dimulai dengan menyediakan makanan dalam talang dengan
tiga macam makanan (nasi, ayam, dan sayur). Acara ini dimulai dengan kelong
47
jaga artinya menyanyi dengan diiringi gendang dan harus menyediakan tuak.
Setelah itu baru dilaksanakan acara makan bersama atau pakanre adat yang
dilakukan oleh tokoh adat.
Setelah segala prosesi adat tersebut telah dilaksanakan, selanjutnya
memasuki prosesi akad nikah. Dalam proses akad nikah masyarakat suku Kajang
cukup menarik. Karna terdapat aturan adat yang harus di patuhi sebagaimana yang
telah terdapat dalam Pasangri (hukum adat) mereka. Namun, tetap
memperhatikan aturan agama dalam melaksanakan akad nikah yakni rukun dan
syaratnya harus terpenuhi terlebih dahulu untuk menyatakan “sah” tidaknya suatu
perkawinan tersebut. Rukun terdiri dari calon suami, wali, dua orang saksi, dan
sighat akad nikah. Kemudian syarat sahnya perkawinan yakni calon mempelai
wanitanya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya sebagai istri
serta akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.
Dalam prosesi akad nikah masyarakat suku Kajang, yang mempunyai hak
untuk menikahkan adalah seorang Iman dan yang harus menjadi saksi nikah
adalah Ammatoa atau pimpinan adat lainnya (Galla Puto), jika Ammatoa
berhalangan untuk hadir. Setelah akad nikah telah dilaksanakan, selangjutnya
Ammatoa akan menyerahkan kedua mempelai kepada petugas Kantor Urusan
Agama (KUA) setempat yang turut hadir untuk dicatatkan perkawinannya. 80
Saat upacara perkawinan tersebut belangsung, Ammatoa atau pimpinan
adat bertugas menyampaikan “Pudeppo” atau nasehat-nasehat. Isi deppo tersebut
antara lain:81
Kammanea tepu jaimi topemu
Tattannammi jori pabisa bangkennu
Nasekkokko sara,
Napatokko ada
Jari urangi talasannu
Ambuai dallea sarai dalle
Pakabaji minasannu barang calluru tojako
80
Wawancara dengan Galla Puto, salah satu pimpinan adat Suku Kajang, 25 Januari 2019 81
Halilintar lathief, “Berkunjung Ke Pusat Bumi Kajang”, Makassar: Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2016,h.73
48
Jako parenta deppoi bahinennu
Deppoa jintu nilisapi nalambusu
Ako parenta bilasangngi bahinennu
Bilasangajintu niepppepi nammatti
Punna minroko riballa mata kanrea
Ako lanrroi ka anumata napallu
Pecal kanrea anu are nanrang
Mutungi kanre anu api rittujunna
Lari urangilaloi tanring kaju matea
Dampenganngi raung kaju lolo tammengoa.
Terjemahannya:
Sekarang usai dijahit sarungmu
Telah ada tempat mencuci kakimu
Engkau terikat hukum agama dan disimpul oleh adat
Jadi ingat tentang kehidupanmu
Baik dalam suka maupun duka
Perbaiki niatmu dan semoga engkau seperti Cukkuru dan Kariango
Jangan memerintah mengatur istri seperti membuat pematang.
Pematang itu nanti di injak baru akan menjadi lurus atau rata
Jangan mengatur istri seperti memukul mayang enau
Mayang enau nanti di pukul baru akan menetas
Bila engkau pulang ke rumah dan mendapatkan nasi mentah,
Jangan marah, sebab memang beras mentah yang dimasak.
Atau nasinya lembek jangan, marah sebab dimasak bersama air.
Atau nasinya hangus, jangan marah sebab dimasak sebab dimasak diatas
api.
Dan ingat selalu untuk mencari kayu bakar
Sertakan juga daun muda yang tak beracun untuk sayuran.
Nasehat-nasehat atau pudeppo tersebut, mengandung makna bahwa
kehidupan rumah tangga suami istri harus saling pengertian yang disertai dengan
49
tanggug jawab kedua belah pihak. Kegiatan ini merupakan rangkaian upacara
perkawinan masyarakat suku Kajang yang harus dilakukan.
Setelah resmi menjadi pasangan suami istri, kedua mempelai tersebut akan
mengadakan “ajjaga roa”, yang berarti berpesta ramai. Maksud dari acara ini
untuk menjamu para tamu dan acara mengadat, yaitu menyuguhkan makanan dan
minuman kepada para pemangku adat secara khusus di tempat yang khusus
disediakan juga untuk mereka. Kemudian, acara “mange basa” yaitu kedua
mempelai beserta rombongan menuju ke kediaman laki-laki, sebelum berangkat
mempelai wanita tersebut harus menyediakan 20 biji sarung hitam (pakaian asli
kajang) untuk diberikan kepada orang tua mempelai laki-laki, hal ini merupakan
kewajiban bagi setiap mempelai wanita kajang. Tujuan dari bawaan sarung ini
adalah sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga mempelai. Setelah tiba di
kediaman mempelai laki-laki. Rombongan akan disambut dengan siraman beras
dari keluarga besar mempelai laki-laki. Setelah memasuki rumah, sang istri akan
di perkenalkan kepada seluruh keluarga besar yang dilangjutkan do’a bersama
yang akan dipimpin oleh Iman.82
82
Wawancara dengan Galla Puto salah satu Pimpinan Adat Suku Kajang, 25 Januari 2019
50
BAB IV
PLURALISME HUKUM PADA TRADISI PERKAWINAN
MASYARAKAT SUKU KAJANG
A. Relasi hukum Islam, hukum Adat, dan hukum Positif pada Masyarakat
Suku Kajang dalam Tradisi Perkawinan.
Pluralisme hukum atau berbagai hukum yang berlaku pada masyarakat
hadir sebagai pilihan hukum bagi masyarakat majemuk yang masih
mempertahankan tradisi-tradisi adat mereka.
Hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat dapat berdampingan dengan
hukum yang diberlakukan oleh negara. Unsur terpenting yang terdapat dalam
prluralisme hukum adalah bekerjanya semua sistem hukum secara utuh, bukan
parsial. Unsur interaksi menjadi hal dalam memahami konsep pluralisme karena
erat kaitannya dengan sistem hukum yang hidup dalam masyarakat majemuk.
Hukum yang hidup dalam masyarakat di dasarkan pada sebuah kenyataan sosial
masyarakat memiliki keragaman sistem hukum, sebagai wujud dari indentitas
sosial budaya masyarakat.83
Seperti halnya pada perkawinan masyarakat suku Kajang terdapat berbagai
hukum yang terlibat dalam proses perkawinannya. Dimana hukum Islam, hukum
Positif dan hukum Adat berkalaborasi menjadi satu dalam sebuah prosesi
perkawinan masyarakat suku Kajang. Hal ini diakibatkan karna masyarakat suku
Kajang merupakan masyarakat muslim yang mempunyai kepercayaan Patuntung,
yang tertuan dalam Pasanri Kajang atau aturan-aturan hukum adat yang harus
dipatuhi, kemudian disisi lain mereka adalah kelompok masyarakat yang hidup di
wilayah konstitusi Indonesia.
Dalam kehidupan masyarakat suku Kajang terdapat lima ajaran di dalam
Pasangri Kajang yang menjadi pedoman hidup bagi mereka, yaitu:84
83
Dedy Sumardi, “ Islam, Pluralisme Hukum dan Refleksi Masyarakat Homogen”, Junal
Asy-Syir’ah, Vol 50, No.2, Desember 2016 84
Zainuddin Dkk, “Ammatoa”, (Makaassar: Badan Perpustakaan Daerah dan Arsip
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan), 2014,h.43.
51
a. Ta‟ngu‟rangi mangeri Turie‟ A‟ra‟na. Yang bermakna, senantiasa
mengingat Tuhan, dan percaya bahwa Tuhan yang Maha Berkehendak
terhadap apapun yang terjadi.
b. A‟lemo sibatua‟bulo sipappa‟. Tallang sipahua manyu‟siparape, sipkatau
tang sipakasiri, bunting sipahasa, mate siroko‟bualeng. Yang bermakna,
menjaga persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan, saling
menghargai satu sama lain, saling bergotong royang dalam hal apapun.
Agar hidup menjadi damai dan sejahtera yang menjadi amalan baik untuk
diri diakhirat kelak.
c. Lambusu kigattang sa‟bara ki peso‟na. Yang berarti, menjadi manusia
yang selalu bertindak tegas, selalu sabar dengan segala cobaan, dan
percaya akan Kebesaran Tuhan.
d. Sallu rijauka ammunu riadakkang Ammaca‟ere‟ anreppe‟ batu, alla
„buirurung, alla batu cideng. Yang bermakna sudah menjadi kewajiban
bagi setiap masyarakat suku Kajang untuk patuh dan taat terhadap segala
aturan hukum adat yang berlaku.
e. Nan digaukan sikontu passuroang to ma‟butayya. Yang berarti
melaksanakan segala aturan-aturan yang terdapat dalam Pasangri Kajang
dengan baik dan penuh rasa tanggun jawab.
Bedasarkan pedoman hidup tersebut masyarakat suku Kajang memengan
teguh aturan-aturan yang sudah disepakati bersama termaksud yang tertuang
dalam Pasangri Kajang. Salah satunya adalah mengenai Perkawinan.
Perkawinan masyarakat suku Kajang merupakan perkawinan dalam ajaran
Pasang yang dipandang sebagai suatu jenjang untuk hidup saling bergantungan
antara laki-laki dan perempuan, dimana dalam ikatan itu mereka saling
membutuhkan satu sama lain. Dalam pasang diungkapkan bahwa Buntung
Sipubasa yang berarti kawin itu saling membantu. Untuk itu dalam pelaksanaan
perkawinan bagi masyarakat suku Kajang semua pihak akan dibebani tanggung
jawab. Baik mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan. Sebab, perkawinan
52
menurut masyarakat Kajang adalah suatu upacara yang harus di persiapkan
dengan baik.85
Adapun korelasi antara hukum Islam dan hukum Adat dalam prosesi
perkawinan masyarakat suku Kajang. Antara lain sebagai berikut:
a. Tahapan mencari jodoh.
Dalam tahapan mencari jodoh masyarakat suku Kajang dikenal dengan
sebutan Ni‟duta atau dijodohkan oleh orang tua mereka.86
Ketika anak sudah
baliq, orang tua akan langsung mencarikan jodoh untuk anaknya. Kemudian orang
tua akan mencari anak laki-laki atau perempuan dengan mendatangi kerabat
terdekat yang ingin dijodohkan untuk anaknya. Sudah menjadi keharusan
tersendiri bagi masyarakat adat Kajang yang bermukim dalam kawasan adat
Ammatoa untuk menikahkan anaknya dengan sesama masyarakat suku Kajang.
Artinya perjodohan hanya dilakukan bagi sesama suku Kajang.87
Dalam hukum
Islam mengenai tahap mencari jodoh, tidak ada keharusan untuk memilih jodoh
sesama suku dan berdasarkan pilihan orang tua. Islam memberikan pemahaman
dalam menjari jodoh dengan melihat agamnya, akidahnya. 88
Tahap menacari
jodoh masyarakat adat suku Kajang ini tidak sesuai dengan tahap mecari jodoh
bersadarkan hukum Islam namun, juga tidak menyalahi aturan dalam hukum
Islam.
b. Upacara lamaran
Prosesi lamaran masyarakat suku Kajang dimulai dengan kedatangan
keluarga pihak laki-laki kekediaman pihak perempuan yang di pimpin oleh Galla
Puto yaitu pimpinan adat yang bertugas mengurusi perkawinan. Galla disini
bertugas untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Dalam
prosesi lamaran tidak ada tukar cincin atau mengikat seperti perkawinan
masyarakat pada umumnya. Pada prosesi lamaran masyarakat suku Kajang juga di
penentuan hari tanggal perkawinan, serta mahar dan uang pana‟i atau uang
85
Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, di kediaman Ammatoa, Tana Toa, 25
Januari 2019 86
Halilintar lathief, “Berkunjung ke Pusat Bumi Kajang”, Makassar: Badan Perpustakaan
dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2016,h.72 87
Wawancara dengan Galla Puto Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019
53
belanja yang harus di bawah oleh calon mempelai laki-laki. Selain itu, terdapat
juga 2 ekor kerbau yang menjadi kewajiban bagi calon mempelai laki-laki untuk
dibawah pada saat lamaran. Hal ini sudah menjadi ketentuan adat yang tidak
boleh dilanggar.89
Dalam hukum Islam lamaran disebut sebagai khitbah yang berarti
pemintaan oleh laki-laki atau yang mewakili untuk dijadikan istri pada seorang
perempuan. Adapun mengenai mahar, Islam sangat memperhatikan dan
menghargai seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya adalah
hak untuk menerima mahar atau maskawin. Pemberian mahar ini merupakan
kewajiban bagi setiap laki-laki muslim yang ingin menikah yang juga merupakan
salah-satu rukun nikah dalam Islam. Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah
sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Namun, bagaimana
kesanggupan seorang laki-laki.
Dalam prosesi lamaran masyarakat suku Kajang ini, terdapat relasi antara
hukum adat yang berlaku dengan hukum Islam yang menjadi ketentuan. Dimana,
terdapat kewajiban adat yang harus terpenuhi yakni membawa uang panai‟i atau
uang belanja yang akan diserahkan kepada pihak perempuan dan keharusan
membawa dua ekor kerbau bagi rakyat biasa dan tujuh ekor kerbau bagi keturunan
Ammatoa atau pemimpin adat dan berlaku juga bagi seluruh keluarga pimpinan-
pimpinan adat suku Kajang. Walaupun hal ini tidak menjadi persyaratan dalam
hukum Islam untuk melangsungkan sebuah perkawinan namun, sudah menjadi
keharusan adat yang harus dipatuhi dan bagi yang melanggar akan di kenakan
sangsi adat.
c. Upacara Perkawinan
Pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat suku Kajang melalui
beberapa tahap antara lain:90
89
Wawancara dengan Galla Puto Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019 90
Wawancara dengan Galla Puto Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019
54
1. Songka Bala atau Tulak bala
Songka bala atau tulak bala merupakan kegiatan dimana kedua calom
mempelai beserta keluarga di bawah ke sumur untuk dimandikan oleh Tetuah
adat. Dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari segala musibah dan bahaya,
bagi calon pengantin dan keluarganya.
2. Pakangre Bunting
Pakangre bunting merupakan rangkain acara yang dilaksanakan pada
malam hari, dimana calon pengantin disuap oleh angrong bunting atau ibu
pengantin dengan makanan-makanan tertentu yang telah disediakan yang
bertujuan untuk memberikan berkah bagi calon pengantin laki-laki maupun
perempuan dari angrong bunting atau ibu mereka.
3. Mappacing
Acara mappacing merupakan rangkaian acara yang sangat penting untuk
dilaksanakan. Tujuan dari acara ini untuk mensucikan diri calon penganting.
Adapun proses pelaksanaannya yaitu dengan mencampur setiap bahan-bahan yang
telah disediakan berdasarkan ketentuan adat seperti minyak, lilin, gula merah,
daun pandang, daun pacci, daun sirih, bedak, beras, cermin dan sisir. Kemudian di
bubukan pada kedua telapak tangan dan jidat kedua mempelai.
4. Pakangre Adat
Pakangre adat merupakan acara yang dilakukan turun temurun serta
dilakukan untuk menghargai dan bentuk penghormatan kepada Ammatoa beserta
jajarannya. Proses acara ini dimulai dengan menyediakan makanan dalam talang
untuk Ammatoa beserta jajarannya kemudian, kelong jaga yaitu menyanyi
dengan diiringi gendang.
Setelah seluruh rangkaian adat telah dilaksanakan, selanjutnya memasuki
prosesi akad nikah. Dalam prosesi akad nikah masyarakat suku Kajang cukup
menarik. Tidak jauh berdeda dengan akad nikah masyarakat pada umumnya yaitu
terdapat calon suami, dua orang saksi, wali, dan sighat akad nikah. Namun, yang
membedakan disini, yang wajib menjadi saksi nikah adalah pimpinan adat yang
telah ditungjuk oleh Ammatoa yaitu Galla puto yang bertugas mengurusi
perkawinan, hal ini sudah menjadi aturan hukum adat kajang. Bahkan, konon
55
ketika yang menjadi saksi perkawinan bukan dari pimpinan adat yang ditunjuk
langsung oleh Ammatoa maka, perkawinan tersebut tidak sah.91
Yang menikahkan
adalah Iman setempat. Setelah ijab dan qobul telah terlaksanakan. Barulah
perkawinan mereka dicatatkan oleh petugas Kantor Urusan Agama yang turut
hadir. Artinya setelah seluruh rangkain adat telah terlaksana barulah urusan
lainnya baru dapat dilaksanakan.92
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang
perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam ujud aturan-aturan yang disebut
sebagai hukum. Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibnu Rusyd menjelaskan:
segolongan fuqaha‟, yakni jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya
sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa bahwa nikah itu wajib. Para
ulama Malikiyah mutaakhairin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian
orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain.
Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran dirinya. Adapun
rukun sah perkawinan yang diatur dalam hukum Islam yakni rukun perkawinan
terdiri dari adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan, adanya wali, adanya
dua orang saksi, dan sighat akad nikah.93
Dengan demikian terdapat relasi antara hukum adat, hukum Islam dan
hukum positif pada perkawinan masyarakat suku Kajang. Dimana, secara umum
prosesi perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat suku Kajang merupakan
ritual adat yang menjadi keharusan bagi mereka, namun tidak menyalahi aturan
perkawinan yang terdapat dalam rukun dan syarat sah dalam melangsungkan
perkawinan menurut hukum Islam, kemudian setelah seluruh rangkaian adat telah
dilaksanakan dan dinyatakan sah oleh pemimpin adat, barulah kedua mempelai
tersebut dapat dicatatkan perkawinnya oleh pengurus Kantor Urusan Agama
setempat, sebagaimana peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974. Terdapat relasi antara hukum-hukum tersebut
yakni hukum Islam, hukum adat, dan hukum positif menyatu dalam sebuah
91
Wawancara dengan Galla Puto Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019 92
Wawancara dengan Bapak Huzain, Hakim di Pengandilan Agama Kabupaten
Bulukumba, 20 Januari 2019. 93
Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”, Jakarta:Kencana, 2003, h.16-17
56
perkawinan masyarakat suku Kajang dan tidak ada persinggungan antara hukum
tersebut. Dikarnakan semua adalah prosesi adat yang tidak menyalahi aturan
dalam hukum Islam, serta memenuhi segala bentuk persyaratan dalam peraturan
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 2 (2) yang menyatakan,
setiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku.
B. Pandangan Hukum Islam tentang Larangan Perkawinan Suku Kajang
dengan Suku Lainnya.
Perkawinan merupakan kebutuhan fitrah setiap manusia, hasil dari sebuah
perkawinan akan melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dan
seorang wanita. Oleh sebab itu, Islam mengatur sebuah perkawinan dengan
penuh pertimbangan yang berdasarkan hukum yang berlaku.
Di dalam hukum Islam perkawinan merupakan ketentuan yang telah
disyariatkan oleh Allah SWT bagi kaum muslimin yang telah memenuhi syarat
dan rukunnya.94
Hal ini juga ddiatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan, yang merumuskan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir
bathin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.95
Dalam Hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut
selektivitas. Artinya jika seorang hendak melangsungkan perkawinan terlebih
dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia
dilarang menikah. Adapun larangan perkawinan dalam Islam disebut dengan
mahram. Mahram adalah wanita-wanita yang haram dikawini seorang laki-laki,
baik bersifat selamanya maupun sementara.96
94
Fery Sandi, “ Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku di Desa Tanjung Kecematan
Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar Berdasarkan Hukum Adat Kampar”, Jurnal, JOM
Fakultas Hukum, Vol.III Nomor.2, Oktober, 2016, h.2 95
Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1974 96
K.H. Hasbullah Bakry, “Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan
Perkawinan di Indonesia”, (Jakarta: Djambatan), 1981, h.3
57
Dalam Islam mahram yang dilarang menikah terbagi menjadi dua, yaitu:97
a. Larangan yang bersifat tetap (Mahram Muabbad),
Larangan yang dimaksud yaitu mahram yang diharamkan kawin
untuk selama-lamanya, walau bagaimanapun keadaannya. Larangan kawin
tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 23.
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu,anak-
anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan”. (QS. An-Nisa’: 23).
Berdasarkan ayat di atas, wanita-wanita yang haram untuk dinikahi
selamanya karna pertalian nasab adalah:
1. Ibu: Yang dimaksud ialah perempuan yang ada hubungan darah dalam
garis keturunan garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah
maupun ibu dan seterusnya ke atas.
2. Anak perempuan: Yang dimaksud ialah wanita yang mempunyai
hubungan darah dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan,
cucu perempuan dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara Perempuan: Baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.
4. Bibi: Yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung
ayah atau seibu dan seterusnya ke atas.
5. Kemenakan (keponakan) perempuan: Yaitu anak perempuan saudara
laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya kebawah.
b. Larangan karna hubungan persusuan (Radha’ah).
Diharamkan kawin karna sepersusuan yaitu, apabilah seorang ibu
menyusui anak orang lain, maka anak yang disusukan itu telah menjadi
mahram bagi keluarganya yang lain. Sebagaimana dijelaskan Allah
dalam surah An-Nisa’ ayat 23.
97
Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”, (Jakarta: Prenamedia Group), 2003,
h.104-108
58
Artinya: “....Dan diharamkan bagimu mengawini ibu-ibu yang
menyusukanmu, dan saudara perempuan sepersusuan”. (QS. An-Nisa’:
23).
Berdasarkan ayat diatas menunjukkan bahwa yang diharamkan
karena susuan hanya ibu dan saudara sesusuan saja.
c. Larangan karna hubungan perkawinan (Mushaharah).
Mahram karna adanya hubungan kekeluargaan yang
disebakan oleh perkawinan yaitu:
1. Ibu dari istri (Ibu mertua), nenek dari pihak ibu atau ayah
si istri.
2. Anak perempuan dari istri yang sudah dicampuri atau
anak tiri, termasuk anak-anak perempuan mereka atau
cucu tiri.
3. Istri anaknya (menantu) atau istri cucu dan seterusnya.
4. Istri ayah (ibu tiri). Seseorang laki-laki haram mengawini
janda ayahnya. Haramnya itu semata-mata karna adanya
akad, meskipun si ayah belum pernah menyetubuhinya.
d. Larangan yang bersifat sementara (Mahram Muaqqad).
Keharaman menikah untuk sementara waktu berarti
haramnya pernikahan selama ada keadaan-keadaan tertentu pada
seorang wanita. Akan tetapi apabila keadaan itu tidak ada, maka
hukumnya menjadi mubah.
Adapun larangan perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam pasal 8 yaitu sebagai berikut:98
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang
dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau
bapak tiri.
98Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1974
59
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakann dari
istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
Berdasarkan penjelasan diatas menegaskan bahwa hukum Islam,
sebagaimana yang tertuan dalam Undang-Undang perkawinan memberikan
landasan hukum mengenai larangan-larangan perkawinan. Namun, suatu
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri disebagian besar kalangan masyarakat adat
masih berlaku dan tata upacara perkawinan yang berbeda-beda. Undang-Undang
Nomor.1 Tahun 1974 merupakan unifikasi hukum perkawinan yang secara aturan
umum berlaku untuk perkawinan di Indonesia.99
Syariat Islam di masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi yang tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Kedatangan Islam bukan menhapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu
dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta
ada pula yang dihapuskan. Misalnya adat kebiasaan diakui adalah kerja sama
dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah
berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para
ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan
landasan hukum, bilamana tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam dan
membawa kemaslahatan umat.100
Adanya tradisi yang dilakukan oleh umat islam di luar sayri’at Islam tidak
serta merta harus disalahkan. Hal ini berhubungan dengan manfaat dalam islam
serta adanya pernghormatan Islam terhadap budaya lokal masyarakat. Hukum
Islam sendiri mengenal „Urf yang merupakan penetapan hukum Islam yang
99
Wahyuni Malina Harahap, “Perkawinan Semarga dalam Adat Mandailing di Desa
Simanosor Kabupaten Tapanuli Selatan dalam Presfektif Hukum Adat Batak Mandailing”, Jurnal,
JoM Fakultas Hukum, Vol. V, Nomor.1, Februari, 2018, h.2 100
Salamah Eka Susanti, “Pendekatan Sistem dalam Teori Hukum Islam, Membaca
Pemikiran Jasser Auda”, Jurnal Hukum Islam, 2018, h.6-8
60
berdasar pada adat istiadat yang berkembang. Tradisi atau urf adalah suatu
ketentuan mengenai cara yang telah dibiasakan oleh masyarakat di suatu tempat
dan masalah yang tidak ada ketentuannya secara jelas dalam al-qur’an dan
sunnah.
Tak terkecuali pada tradisi perkawinan masyarakat suku Kajang di
Bulukumba yang masih tetap mempertahankan hukum adatnya yakni larangan
perkawinan dengan suku lainnya atau keharusan menikah sesama suku Kajang.
Hal ini, tertera dalam Pasangri Kajang yaitu aturan-aturan hukum adat yang
berlaku bagi masyarakat suku Kajang khususnya yang berada dalam kawasan adat
Ammatoa atau Ialang Embaya.101
Yang mengakibatkan adanya sangsi adat bagi
masyarakat yang melanggar. Bagi yang melanggar aturan tersebut akan di panggil
oleh Ammatoa (Pimpinan Adat) untuk di adili. Jika dulu, tidak ada toleransi bagi
pelaku yang melanggar dengan aturan adat tersebut. Sekarang ini, seiring
perkembangan zaman, Ammatoa akan memberikan dua pilihan terhadap pelaku
perkawinan yang melakukan perkawinan selain dengan masyarakat suku Kajang
yakni, jika ingin tetap tinggal di kawasan adat atau wilayah Kajang pasangan
tersebut harus tinggal di kawasan adat dan menaati segala peraturan adat yang
tertera dalam Pasangri Kajang, artinya salah satu pasangan yang bukan suku
Kajang diharuskan masuk sebagai masyarakat suku Kajang (pindah suku) dan
mengakui bahwa suku Kajang adalah sukunya, serta menaati segala atauran
hukum adat yang belaku. jika tidak bisa menaati aturan tersebut pasangan
tersebut akan dikeluarkan dari kawasan adat atau wilayah adat suku Kajang.
Tujuan dari hukum adat yang berlaku tersebut agar masyarkat suku Kajang dapat
selalu mempertahankan garis turunannya dan untuk menjaga kesakralan hukum-
hukum adat yang sudah berlaku.102
Masyarakat suku Kajang dikenal dengan kepatuhannya terhadap hukum
adat yang berlaku, bagi mereka melanggar Pasangri Kajang merupakan dosa
besar. Kepatuhan terhadap hukum adat masih berlaku hingga saat ini, khususnya
bagi mereka yang masih bertahan di kawasan adat Ammatoa, dengan menolak
101
Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019 102
Wawancara dengan Ammatoa Suku Kajang, di Tana Toa, 25 Januari 2019
61
segala bentuk perkembangan zaman, hidup beriringan dangan masyrakat modren.
Masyarakat suku Kajang adalah masyarakat yang mengatas namakan dirinya
sebagai seorang muslim atau kelompok yang beragama Islam. Namun, tetap patuh
dan taat terhadap hukum adat yang dibawah oleh nenek moyang mereka.103
Perkawinan sesama suku ini merupakan bentuk perjodohan pada masyarakat
adat suku Kajang. Latar belakang berlakunya perkawinan ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu:104
1. Untuk menjaga keutuhan garis keturunan dan mempertahankan kekuasaan
kerajaan pada zaman dahulu. Yaitu pada masa Ammatoa pertama yaitu
Bohe Mula Tau. Yang menganjurkan anak-anak mereka kawin dengan
saudara terdekat mereka karna dianggap memiliki derajat yang sama sebagai
keluarga kerajaan.
2. Untuk mempertahankan keutuhan harta dan kekayaan kerajaan agar tidak
beralih kepada pihak lain.
3. Antara kedua keluarga yang mengawinkan anaknya merupakan saudara
sehingga proses perkenalan antara pasangan menjadi sangat sederhana.
Sekarang ini, larangan perkawinan tersebut hanya berlaku pada masyarakat
suku Kajang yang berada dalam kawasan adat Ammatoa atau Ilalang Embaya.
Namun, terdapat juga sebagian kecil masyarakat suku Kajang yang berada di luar
kawasan adat (Ipantarang Embaya) yang masih mempertahankan keharusan
perkawinan sesama suku Kajang tersebut, tetapi tidak mengakibatkan sangsi adat
bagi yang melanggar.105
Perkawinan masyarakat suku Kajang ini terbilang menarik, dan tidak
sejalan dengan hukum Islam. Sebab, tidak ada larangan dalam hukum Islam untuk
menikah dengan suku lainnya ataupun keharusan menikah sesama suku. Namun,
masyarakat muslim yang ada di wilayah adat Ammatoa ini justru membuatnya
sebagai sebuah aturan hukum adat yang harus dipatuhi.
103
Wawancara dengan Bapak Husain, Hakim di Pengandilan Agama Bulukumba, 20
Januari 2019 104
Wawancara dengan Puto Palasa, Sejarawan Suku Kajang, di Bulukumba, 21 Januari
2019 105
Wawancara dengan Kanne Dati, Tokoh Masyarakat Suku Kajang luar, 26 Januari 2019
62
Menurut Drs. Muhammad Yakup selaku tokoh agama di Bulukumba,
tradisi perkawinan masyarakat suku Kajang sudah sejak dulu di jalani. Tradisi
perkwinan tersebut berdasarkan Pasangri Kajang dari nenek monyang yang harus
di patuhi dan akan dikenakan sangsi adat bagi pelaku yang melanggar. Menurut
beliau tradisi perkawinan tersebut merupakan suatu adat istiadat yang hanya
berlaku bagi masyarakat suku Kajang khususnya masyarakat yang berada dalam
kawasan adat Ammatoa yang menjadi keistimewaan tersendiri bagi mereka. Hal
tersebut dibenarkan oleh tokoh agama setempat dikarnakan larangan tersebut
merupakan suatu adat istiadat yang tidak menyalahi hukum Islam walaupun tidak
ada larangan perkawinan beda suku dalam hukum Islam. 106
106
Wawancara dengan Bapak Muhammad Yakub, Tokoh Agama, di Bulukumba , 27
Januari 2019
63
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dalam kesimpulan skiripsi “Pluralisme Hukum Dalam Perkawinan
Masyarakat Suku Kajang” ini penulis ini membagi kepada beberapa point penting
yaitu:
1) Dalam proses perkawinan masyarakat Suku Kajang khususnya masyarakat
yang berdiam diri didalam kawasan adat Ammatoa atau Ilalang Embaya,
terdapat relasi antara hukum Islam, hukum Positif, dan Hukum adat yang
mengikat. Yang disebabkan karna masyarakat suku Kajang adalah
masyarakat Muslim, yang patuh dan taat terhadap hukum adat yang
dibawah oleh nenek monyang mereka, namun disisi lain mereka juga
adalah masyarakat yang dalam wilayah konstitusi Indonesia, yang
mengharuskan mereka tunduk pada hukum yang berlaku namun tidak
menlanggar hukum adat yang mereka telah anut. Khususnya dalam hal
melangsungkan perkawinan. Dalam proses perkawinan masyarakat suku
Kajang diawali dengan upacara adat yang berlaku, setelah seluaruh
rangkaian upacara adat selesai, barulah proses akad nikah dapat
dilangsungkan, dalam prosesi akad nikah yang berkewajiban untuk
menikahkan adalah iman setempat, yang berkewajiban menjadi saksi
nikah adalah Ammatoa atau Galla Puto. Setelah dinyatakan sah oleh
pimpinan adat tersebut, barulah di serahkan kepada pengurus Kantor
Urusan Agama Setempat untuk dicatatkan perkawinannya.
2) Terdapat suatu aturan hukum adat Suku Kajang yang melarang menikah
selain masyarakat suku Kajang, hal ini disebabkan karna beberapa faktor
yaitu:
a. Untuk menjaga keutuhan garis keturunan dan mempertahankan
kekuasaan kerajaan pada zaman dahulu. Yaitu pada masa Ammatoa
pertama yaitu Bohe Mula Tau. Yang menganjurkan anak-anak mereka
64
kawin dengan saudara terdekat mereka karna dianggap memiliki derajat
yang sama sebagai keluarga kerajaan.
b. Untuk mempertahankan keutuhan harta dan kekayaan kerajaan agar
tidak beralih kepada pihak lain.
c. Antara kedua keluarga yang mengawinkan anaknya merupakan saudara
sehingga proses perkenalan antara pasangan menjadi sangat sederhana.
B. Saran.
1) Untuk masyarakat Suku Kajang khususnya, hendaknya agar lebih terbuka
akan segala sesuatu yang baru dan mungkin bertentangan dengan adat
ataupun tradisi di daerah kalian. Karna hakikatnya tidak ada larangan
untuk melakukan suatu hal yang baik, perkawinan, jangan terlalu di
benturkan oleh adat dan tradisi, yang pada dasarnya hal tersebut sudah
sangat tiadak mungki untuk diterapkan pada masyarakat sekarang
khususnya masyarakat Kajang yang sudah memeluk agama Islam secara
keseluruhan dan umumnya masyarakat suku Kajang.
2) Kepada para pimpinan adat atau tetua-tetua adat di desa tana toa yang
masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat dan tradisi di daerah
masing-masing. Berikanlah pemahaman dan dasar-dasar ilmu agama
kepada para masyarakat yang tinggal di daerah tersebut bahwasahnya
penting nya perkawinan dianggap sah secara agama dan negara bukan
hanya sah secara adat istiadat saja.