Pluralisme Hukum Waris Lombok

27
1 PLURALISME HUKUM WARIS : STUDI KASUS HAK WANITA DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Erman Rajagukguk 1. Pengantar Suku Sasak adalah penduduk asli pulau Lombok, sebuah pulau terletak disebelah Timur Bali. Berlainan dengan suku Bali yang beragama Hindu, suku Sasak beragama Islam, jumlahnya sekarang sekitar 2.878.917 jiwa 1 Islam mulai datang ke pulau Lombok pada abad ke 16, sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit. Agama Islam ini dibawa pengikut para wali dari pulau Jawa dengan bahasa pengantar Jawa Kuno. Sekarang Lombok terkenal dengan nama “pulau seribu mesjid”, karena banyak mesjid, tempat suci untuk bersembayang bagi pemeluk agama Islam. Jumlah mesjid sekarang ini diseluruh pulau Lombok sebanyak 3975 bangunan. 2 Namun dalam hal mewaris bagi wanita, masyarakat Sasak tunduk pada tiga sistem hukum : Hukum Adat, Hukum Islam yang bersumber kepada Quran dan Hadist, serta hukum negara yang bersumber pada putusan hakim Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Berdasarkan Hukum Adat, wanita Sasak tidak mempunyai hak untuk mewaris harta orang tuanya. Ini adalah konsekwensi dari masyarakat Patriachat, yaitu masyarakat yang menarik garis keturunan menurut garis kebapaan atau pihak laki-laki. Namun banyak wanita Sasak yang tunduk pada hukum Islam dimana hukum Islam membagi warisan 2 untuk laki-laki dan 1 untuk wanita. Semua putusan Pengadilan Agama Islam mengikuti Al Quran dalam pembagian warisan. Dalam pada itu sejak Mahkamah Agung Indonesia menyatakan dalam putusannya pada tahun 1978 dan diulangi dalam putusan tahun 1985, bahwa hak wanita dan pria dalam alam Indonesia merdeka adalah sama, maka wanita Sasak mempunyai hak yang sama dalam mewaris harta orang tuanya. Mahkamah Agung berpendapat pula telah terjadi perubahan sosial mengenai hak wanita pada masyarakat Sasak, yaitu wanita dulunya menurut Hukum Adat Sasak tidak berhak mewaris, sekarang masyarakat adat Sasak sendiri yang mengakui hak wanita untuk mewaris harta orang tuanya. Namun Mahkamah Agung tidak menyebutkan apakah kemajuan hak wanita tersebut karena perjuangan kaum 1 Data BPS dan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2007. 2 Ibid.

Transcript of Pluralisme Hukum Waris Lombok

Page 1: Pluralisme Hukum Waris Lombok

1

PLURALISME HUKUM WARIS : STUDI KASUS HAK WANITA DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

Erman Rajagukguk

1. Pengantar

Suku Sasak adalah penduduk asli pulau Lombok, sebuah pulau terletak disebelah

Timur Bali. Berlainan dengan suku Bali yang beragama Hindu, suku Sasak beragama

Islam, jumlahnya sekarang sekitar 2.878.917 jiwa1 Islam mulai datang ke pulau

Lombok pada abad ke 16, sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit. Agama Islam ini

dibawa pengikut para wali dari pulau Jawa dengan bahasa pengantar Jawa Kuno.

Sekarang Lombok terkenal dengan nama “pulau seribu mesjid”, karena banyak mesjid,

tempat suci untuk bersembayang bagi pemeluk agama Islam. Jumlah mesjid sekarang

ini diseluruh pulau Lombok sebanyak 3975 bangunan.2 Namun dalam hal mewaris bagi

wanita, masyarakat Sasak tunduk pada tiga sistem hukum : Hukum Adat, Hukum Islam

yang bersumber kepada Quran dan Hadist, serta hukum negara yang bersumber pada

putusan hakim Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan

Mahkamah Agung.

Berdasarkan Hukum Adat, wanita Sasak tidak mempunyai hak untuk mewaris

harta orang tuanya. Ini adalah konsekwensi dari masyarakat Patriachat, yaitu

masyarakat yang menarik garis keturunan menurut garis kebapaan atau pihak laki-laki.

Namun banyak wanita Sasak yang tunduk pada hukum Islam dimana hukum Islam

membagi warisan 2 untuk laki-laki dan 1 untuk wanita. Semua putusan Pengadilan

Agama Islam mengikuti Al Quran dalam pembagian warisan. Dalam pada itu sejak

Mahkamah Agung Indonesia menyatakan dalam putusannya pada tahun 1978 dan

diulangi dalam putusan tahun 1985, bahwa hak wanita dan pria dalam alam Indonesia

merdeka adalah sama, maka wanita Sasak mempunyai hak yang sama dalam mewaris

harta orang tuanya. Mahkamah Agung berpendapat pula telah terjadi perubahan sosial

mengenai hak wanita pada masyarakat Sasak, yaitu wanita dulunya menurut Hukum

Adat Sasak tidak berhak mewaris, sekarang masyarakat adat Sasak sendiri yang

mengakui hak wanita untuk mewaris harta orang tuanya. Namun Mahkamah Agung

tidak menyebutkan apakah kemajuan hak wanita tersebut karena perjuangan kaum

1 Data BPS dan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2007. 2 Ibid.

Page 2: Pluralisme Hukum Waris Lombok

2

wanita sendiri? Pengakuan masyarakat terhadap hak wanita Sasak dalam zaman yang

sudah modern ini terjadi dengan sendirinya dan pengadilan menjadikan putusannya

sebagai a tool of social engineering.

Paragrap-paragrap berikut ini akan menerangkan perkembangan terjadinya

pluralisme hukum tersebut sebagai hasil wawancara dengan berbagai anggota

masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok, penelitian putusan Pengadilan Agama, dan

Pengadilan Negeri sampai putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Page 3: Pluralisme Hukum Waris Lombok

3

2. Hukum Adat Sasak Tradisional Bercirikan Patrilineal

Menurut Hukum Adat Sasak Tradisional, Suku Sasak menarik garis keturunan

dari pihak laki-laki (patriachat). Pada kaum bangsawan Suku Sasak, perempuan diberi

gelar Baiq dan kaum laki-lakinya mendapat gelar Lalu. Namun pada masyarakat lapisan

bawah baik perempuan maupun laki-laki tidak mempunyai gelar, namun kaum

perempuannya dipanggil Inaq dan laki-laki dipanggil Amaq. Masyarakat Sasak di Desa

Sade, misalnya, tidak mempunyai lapisan bangsawan. Seluruh penduduknya adalah

bagian bawah dari masyarakat Sasak. Menurut masyarakat desa Sade, suatu desa yang

masih tradisional, walaupun seluruh mereka beragama Islam, mereka tetap tunduk pada

Hukum Adat Sasak Tradisional.3 Menurut Hukum Adat di desa ini wanita tidak

menerima warisan dari orang tuanya yang telah meninggal dunia. Pada dasarnya

masyarakat Sasak Desa Sade menganut sistem patrilineal, bahwa garis keturunan ditarik

dari pihak laki-laki atau bapak. Anak perempuan dianggap keluar dari keluarganya dan

pindah menjadi keluarga suaminya, karena ia mengikuti suaminya setelah mereka

kawin.

Jika wanita Sasak di desa Sade menikah, ia tinggal pada keluarga suaminya.

Untuk itu ia boleh membawa barang-barang perhiasan dari emas atau perak berbentuk

cincin dijarinya, giwang atau anting-anting, kalung di lehernya dan gelang yang dipakai

pada tangannya. Ia tidak akan mendapatkan tanah atau rumah. Tanah dan rumah hanya

untuk anak laki-laki.4

Penduduk Desa Sade sudah ada selama lima belas generasi terdiri dari 150 kepala

keluarga atau 750 jiwa. Dalam percakapan saya dengan seorang warga desa ini,

perkawinan antar keluarga, misalnya, antar saudara misan atau saudara sepupu menjadi

kebiasaan untuk mempertahankan garis keturunan. Pekerjaan di desa ini adalah bertani

yang hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari. Disamping itu para wanita melakukan

pekerjaan menenun, misalnya membuat sarung, selendang dan penutup leher untuk

dijual, dengan alat tenun yang amat sederhana. Wanita-wanitanya mebuat benang dari

kapas yang ditanam di sawah mereka bersama-sama dengan tanaman padi. Sebagian

besar dari mereka telah membeli benang berbagai warna di pasar. Pihak laki-laki

mengerjakan sawah mereka. Hasil padi tidak untuk dijual tetapi untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Wanita di desa Sade, harus kawin dengan lelaki di desa tersebut.

Bila ia kawin dengan laki-laki luar desa, wanita itu harus keluar dari desa tersebut.

3 Interview 17 Oktober 2007. 4 Interview 17 Oktober 2007.

Page 4: Pluralisme Hukum Waris Lombok

4

Wanita menenun sarung di Dusun Sade

Begitu juga pihak pria yang kawin dengan wanita luar desa, ia harus meninggalkan desa

Sade. Belum ada sengketa waris yang dibawa ke pengadilan sampai saat ini dari desa

tersebut. 5

Membuat Kapas menjadi benang di Dusun Sade

5 Interview 2 Oktober 2008

Page 5: Pluralisme Hukum Waris Lombok

5

3. Hukum Islam Mengenai Waris

Hampir seluruh suku Sasak beragama Islam, walau ada di antara mereka,

kelompok kecil dibeberapa tempat seperti, Bayan, Kopang, Narmada dan Lingsar

menganut Islam Waktu Telu. Penganut Islam Waktu Telu ini bersembahyang tiga atau

dalam bahasa Sasak Telu kali sehari, daripada lima waktu Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib

dan Isya seperti agama Islam pada umumnya. Sembahyang tersebut hanya wajib untuk

pemimpin agama mereka saja dan tidak untuk orang biasa. Namun Pemerintah berusaha

agar penganut Islam Waktu Telu ini mengikuti ajaran Islam yang umum, yaitu shalat 5

waktu, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.6

Sebagian besar masyarakat Sasak mengikuti Hukum Islam yang bersumber dari

Quran dan Hadist (perkataan Nabi Muhammad). Hukum Waris Islam bersumber dari

Quran dengan mengutip Surat An-Nisa ayat 11, yang artinya :

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) anak-anakmu, bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.

Dalam bahasa Sasak dikatakan bagian wanita itu “sepersonan” yaitu bagian barang

yang dijunjung di atas kepala perempuan. Bagian laki-laki adalah “sepelembah” atau

dua pikulan yang diletakan di atas bahu. Maka dikatakan dalam bahasa daerah Sasak

bagian laki-laki dan bagian wanita adalah “sepelembah sepersoanan” yaitu 2

berbanding 1. Wanita menjunjung 1 bakul di kepalanya, sedangkan laki-laki yang

membawa pikulan di bahunya selalu terdiri dari 2 bakul atau keranjang.

Dalam wawancara saya dengan seorang ibu di desa Banyu Muleh, Kecamatan

Kediri, Lombok Barat anak laki-laki mendapat warisan 2 bagian dan perempuan 1

bagian mengikuti “sepelembah sepersonan”. Kalau tidak ada anak laki-laki maka semua

warisan tersebut jatuh kepada anak perempuan. Jika anak perempuan lebih dari satu

orang, harta warisan dibagi sama diantara mereka. Warisan itu tidak dibagikan kepada

saudara laki-laki dari almarhum bapaknya. Bila anak perempuan itu hanya satu-satunya

semua harta warisan jatuh kepada anak perempuan satu-satunya itu. Desa Banyu Muleh

terkenal dengan pembuatan gerabah yang tidak saja dipasarkan di Lombok tetapi juga

ke daerah Bali dan diekspor ke berbagai negara. Kaum wanita dipanggil “Inaq” atau

6 Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Pusat

Penelitian Sejarah Dan Budaya, Proyek Penelitian Dan Pencatatan, 1977-1978, h. 75

Page 6: Pluralisme Hukum Waris Lombok

6

juga “Umi” bila sudah menjadi hajjah, yaitu pergi naik haji ke Mekkah. Untuk bapak di

panggil “Amaq”. 7

Mesjid berdekatan di Banyu Muleh

Dipantai Cemara suatu kampung nelayan di Kecamatan Lembar, Lombok Barat,

penduduknya juga mengikuti Hukum Islam dalam hal mewaris. Kalau tidak ada anak

laki-laki, semua harta warisan adalah untuk anak perempuan. Harta warisan tidak

pernah jatuh kepada saudara laki-laki ayahnya. Di desa ini sengketa waris jarang terjadi.

Kalaupun ada sengketa, sengketa tersebut diselesaikan oleh Kepala Dusun. Sengketa

yang dibawa ke Pengadilan Agama hanya soal perceraian.8

Di desa Sembalun (Lombok Tengah), daerah pegunungan Rinjani seluruh suku

Sasak didaerah ini beragama Islam dan pembagian warisan mengikuti Hukum Islam,

yang dalam bahasa daerah disebut “sepelembah sepersonan” atau dua untuk laki-laki

dan satu bagian untuk wanita.9

Dalam wawancara saya dengan seorang wanita di desa Kediri yang terletak hanya

5 kilometer dari Ibu Kota Provinsi, Mataram (Lombok Barat); wanita tersebut

mengatakan bahwa ia baru saja menerima seluruh harta warisan dari almarhum orang

7 Interview 17 Oktober 2007 8 Interview 5 Oktober 2008 9 Interview 10 Oktober 2008

Page 7: Pluralisme Hukum Waris Lombok

7

tuanya karena ia satu-satunya anak perempuan. Warisan tersebut berupa 2 ha sawah dan

rumah. Masalah warisan tersebut diselesaikan setelah mendapat petunjuk dari Tuan

Guru, pemimpin Agama Islam di desa tersebut. Menurut seorang penjual kopiah yang

menjadi ciri khas produksi desa Kediri, mayoritas penduduk Kediri beragama Islam

dimana pembagian harta warisan adalah “sepelembah sepersonan” dalam bahasa

daerah, yaitu dua untuk laki-laki berbanding satu untuk perempuan.10

Sepelembah (memikul dua bakul)

Sengketa warisan dikalangan suku Sasak tidak jarang pula dibawa ke Pengadilan

Agama. Menurut data pada tahun 2008 Pengadilan Agama Mataram (Lombok Barat)

memutuskan 6 sengketa, Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) memutuskan 29

sengketa, dan Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) 58 sengketa. Sampai bulan

Mei 2009 Pengadilan Agama Mataram (Lombok Barat) memeriksa 2 perkara,

Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) 7 perkara, dan Pengadilan Agama Selong

(Lombok Timur) 38 perkara.11 Data tersebut menunjukkan bahwa Pengadilan Agama

Selong (Lombok Timur) yang paling banyak memeriksa perkara sengketa warisan.

10 Interview 26 Januari 2009. 11 Pengadilan Tinggi Agama di Mataram, Juni 2009

Page 8: Pluralisme Hukum Waris Lombok

8

Sementara pendapat mengatakan bahwa keadaan itu mungkin disebabkan karena Selong

merupakan tempat para pendidik Agama Islam, sehingga kaum wanita didaerah itu

menuntut haknya mewaris, yang menurut Hukum Adat Sasak Tradisional mereka tidak

mempunyai hak. Adapula yang mengatakan sengketa perkara warisan itu melalui

Pengadilan Agama Selong berjumlah besar, karena adanya para pengacara yang

berjalan ke desa-desa dan menginformasikan hak-hak pria dan wanita mewaris menurut

Hukum Islam.12

Sepersonan (menjunjung satu bakul)

Berikut ini beberapa contoh perkara warisan yang diputus oleh Pengadilan Agama

dan selesai sampai pada pengadilan tersebut saja. Tidak ada pihak yang naik banding ke

Pengadilan Tinggi Agama dan tidak naik kasasi ke Mahkamah Agung Indonesia.

12 Interview di Mataram 17 Juli 2009.

Page 9: Pluralisme Hukum Waris Lombok

9

Pada tahun 2005 Pengadilan Agama Praya memeriksa perkara Sumenah v. Inaq

Sini et.al. Perkara ini bermula dari gugatan Sumenah, karena dalam perkawinannya

dengan almarhum Insun alias Haji Mahsun telah memiliki harta kekayaan berupa tanah

sawah, tanah kebun, rumah, sepeda motor, dan 8 ekor sapi. Mereka tidak dikaruniai

anak. Almarhum Haji Mahsun meninggalkan 4 saudara kandung yaitu para tergugat.

Pada waktu berunding untuk pembagian warisan dimana hadir beberapa tokoh

masyaralat (Tuan Guru) perundingan tersebut gagal. Para tergugat tetap

mempertahankan apa yang telah dikuasainya.

Pengadilan Agama Praya akhirnya memutuskan masing-masing ahli waris dan

bagiannya adalah Sumenah (istri) mendapat 3/13 bagian, Inaq Sini (saudari perempuan),

Inaq Napi (saudari perempuan), dan Hj. Alminah (saudari perempuan) secara bersama-

sama mendapat 8/13 bagian, dan Kemat (saudara seibu) mendapat 2/13 bagian.13

Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) pada tahun 2007 telah memeriksa

perkara Amirah v. Ande et.al. Duduk perkaranya bermula dari meninggalnya Mia pada

tahun 1966 dan Istrinya Sadiah pada tahun 2005. Mereka meninggalkan anak 3 orang,

masing-masing Ilah anak perempuan (tergugat V), Amirah anak perempuan (pengugat),

dan Sahan yang telah meniggal dunia pada tahun 1991. Sahan meninggalkan istrinya

Ande tergugat I dan tiga orang anak masing-masing Azhar anak laki-laki tergugat II,

Ramdan anak laki-laki tergugat III, dan Marini anak perempuan tergugat IV. Mia dan

Sadiah almarhum meninggalkan tanah warisan berupa tanah pekarangan, tanah sawah,

dan tanah kebun.

Pengadilan Agama Praya dalam putusannya mengutip Al Quran surat An-Nisa

ayat 11, yang artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka)

anak-anakmu, bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”,

dan Pasal 176 serta 185 Kompilasi Hukum Islam. Pengadilan Agama Praya selanjutnya

memutuskan bagian masing-masing ahli waris sebagai berikut14 :

1. Ilah (anak perempuan) ¼ bagian

2. Amirah (anak perempuan) ¼ bagian

3. Sahan (anak laki-laki) 2/4 bagian, masing-masing dari harta warisan, dan khusu

bagian Sahan oleh karena telah meninggal dunia maka digantikan oleh ahli warisnya,

yaitu :

a. Ande (isteri) 1/16 bagian

13 Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 30/Pdt.G/2005/PA.PRA, tanggal 22 Agustus 2005. 14 Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 262/Pdt.G/2006/PA.PRA., tanggal 4 April 2007.

Page 10: Pluralisme Hukum Waris Lombok

10

b. Azhar (anak laki-laki) 6/16 bagian

c. Ramdan (anak laki-laki) 6/16 bagian

d. Marini (anak perempuan) 3/16 bagian

Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) juga telah memberikan putusan

dalam perkara Inaq Suni et.al. v. Hj. Salmah et.al. Sengketa timbul setelah Syamsudin

meninggal dunia isterinya Salmah (tergugat) mempunyai 3 orang saudara kandung

masing-masing Inaq Kamariah perempuan (tergugat 2), Inaq Kamran perempuan

(penggugat 2), dan Inaq Suni perempuan (penggugat 1). Almarhum Syamsudin dan

isterinya tidak mempunyai anak, tetapi meninggalkan tanah sawah seluas 1,452 ha yang

dikuasai oleh Hj. Salmah (tergugat 1) seluas 1 ha dan Inaq Kamariah (tergugat 2) seluas

0.452 ha. Penggugat sudah sering meminta kepada tergugat bagiannya secara

kekeluargaan, namun tergugat tidak mau memberikannya tanpa alasan yang jelas.

Pengadilan Agama Praya dalam putusannya menetapkan ahli waris yaitu :

1. Hj. Rakmah (isteri) mendapat 1/4 bagian atau 3/12 bagian.

2. Inaq Kamariah (saudara perempuan) mendapat 3/12 bagian.

3. Inaq Kamran (saudara perempuan) mendapat 3/12 bagian.

4. Inaq Suni (saudara perempuan) mendapat 3/12 bagian.

Pengadilan Agama Praya berpendapat pula bahwa tanah sawah seluas 14.520 M2

terletak di Setumbak, Desa Jelatik Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah

adalah harta yang berasal dari almarhum H. Syamsudin.15

Penyelesaian melalui Pengadilan Agama tidak jarang juga sampai pada tingkat

banding ke Pangadilan Tinggi Agama, bahkan sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah

Agung Indonesia. Kasus-kasus berikut in menunjukkan hal tersebut.

Pada tahun 1992 Pengadilan Agama Mataram memeriksa sengketa antara Inaq

Putrahimah et.al. v. Amaq Mukminah et.al., dimana Mahkamah Agung Indonesia pada

tingkat kasasi berpendapat selama masih ada anak laki-laki atau anak perempuan dari

almarhum orang tuanya maka saudara-saudaranya yang lain tidak mempunyai hak untuk

mewaris.

Perkara ini bermula dari gugatan Nursaid et.al cucu dari Amaq Itriawan yang

telah meninggal dunia pada tahun 1930. Tergugat adalah Le Putrahimah anak

perempuan dari Amaq Nawiyah yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta

15 Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 306/Pdt.G/2007/PA.PRA, 17 Maret 2008.

Page 11: Pluralisme Hukum Waris Lombok

11

warisan berupa 2 bidang tanah kebun seluas 6 ha. Orang tua Nursaid sendiri meninggal

pada tahun 1950. Pada waktu Amaq Nawiyah meninggal dunia Le Putrahimah masih

kecil sehingga tanah kebun seluas 6 ha tersebut dikuasai oleh Amaq Itriawan. Setelah

Amaq Itriawan meninggal dunia tanah itu dikuasai oleh Nursaid beserta saudara-

saudaranya.

Pengadilan Agama Mataram berpendapat antara lain, bahwa batas-batas tanah

yang menjadi obyek sengketa tidak dapat dibuktikan oleh penggugat, sedangkan

tergugat telah menunjukkan pipil garuda sebagai tanda bukti hak milik tergugat. Oleh

karena itu Pengadilan Agama Mataram menolak gugatan pengugat.16

Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram memutuskan, bahwa

ternyata tanah-tanah kebun sengketa milik Amaq Nawiyah telah dibalikkan namakan

oleh anak perempuannya Le Putrahimah dengan telah memperoleh pipil garuda atas

namanya sendiri. Ternyata tanah sengketa itu belum dibagi waris antara Le Putrahimah

dan saudara laki-laki bapaknya atau pamannya Amaq Itriawan. Amaq Itriawan telah

meninggal dunia tahun 1930 sehingga bagiannya jatuh kepada anak-anaknya. Anak-

anaknya telah meninggal dunia pula sehingga harta warisan itu jatuh kepada cucu-

cucunya Nursaid et.al. Pengadilan Tinggi Agama kemudian menetapkan tanah kebun

pipil No. 2534/7002, Persil No. 375 luas 3.260 ha dan tanah kebun pipil No. 2532/7002,

Persil No. 375 luas 3.440 ha terletak di Dusun Malimbu Desa Pemenang Barat,

Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat adalah harta peninggalan Amaq

Nawiyah yang belum dibagi waris. Dengan demikian Inaq Putrahimah anak perempuan

Amaq Nawiyah (tergugat) mendapat setengah bagian dari kedua tanah kebun di atas.

Almarhum Amaq Itriawan mendapat setengah bagian juga dari kedua kebun tersebut

tetapi karena telah meninggalkan ahli waris seorang istri, 3 (tiga) orang anak laki-laki

dan 4 (empat) orang anak perempuan, maka masing-masing mendapat seperdelapan.17

Pada tinggkat kasasi Mahkamah Agung Indonesia berpendapat selama masih ada

anak laki-laki dan anak perempuan maka hak waris dari orang yang mempunyai

hubungan darah dengan pewaris menjadi tertutup. Oleh karena itu Mahkamah Agung

menetapkan Inaq Putrahimah tergugat menjadi ahli waris satu-satunya.18

Pada tahun 1997 Pengadilan Agama di Praya (Lombok Tengah) memeriksa

perkara Amaq Rede v. Serem et.al. Perkara ini bermula dari gugatan Amaq Rede anak

16 Putusan Pengadilan Agama Mataram, No. 85/Pdt.G/92/PA.Mtr., tanggal 5 Nopember 1992. 17 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr., tanggal 15

September 1993. 18 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 86 K/AG/1994, tanggal 27 Juli 1995.

Page 12: Pluralisme Hukum Waris Lombok

12

dari Amaq Rabik yang telah meninggal dunia tahun 1947. Amaq Rabik mempunyai

anak laki-laki Amaq Rede dan saudaranya Amaq Gande. Amaq Gande telah meninggal

dunia dan meninggalkan sepuluh orang anak yang sekarang menjadi para tergugat. Pada

tahun 1996 para tergugat langsung mengambil alih tanah sawah dan tanah kebun yang

semuanya berjumlah 1.0768 ha yang sedang dikerjakan oleh Ibu penggugat Inaq Rabik

bersama dengan penggugat.

Majelis Hakim telah memberikan nasehat kepada kedua belah pihak untuk

berdamai, tetapi tidak berhasil. Majelis Hakim telah melaksanakan pemeriksaan

setempat pada tanggal 19 April 1997 dan mendengarkan keterangan saksi-saksi. Majelis

Hakim Pengadilan Agama Praya berkeyakinan bahwa tanah-tanah kebun tersebut

adalah milik Amaq Rabik dan bukan peninggalan Amaq Gande. Karena Amaq Rabik

telah meninggal dunia maka bagiannya jatuh kepada Rabik dan Amaq Rede. Setelah

Rabik meninggal dunia bagian Rabik jatuh kepada anak-anaknya, Hamsiah (perempuan)

dan Nuriah (laki-laki). Bahwa tanah sawah dan kebun milik Amaq Rabik yang belum

dibagi waris wajib dibagi kepada ahli waris sesuai Hukum Faraid Islam, yaitu19 :

Tanah Sawah :

a. Rabik mendapat ½ X + 1.000 ha = + 0,500 ha;

b. Amaq Rede mendapat ½ X + 0.0768 ha = + 0.0384 ha.

Menetapkan bagian masing-masing ahli waris Rabik sebagian :

Tanah Sawah :

a. Hamsiah = 1/3 X + 0.500 ha = + 0.1666 ha.

b. Nuriah = 2/3 X + 0.500 ha = + 0.0512 ha.

Tanah Kebun :

a. Hamsiah = 1/3 X + 0.768 ha = + 0.0258 ha.

b. Nuriah = 2/3 X + 0.768 ha = + 0.0512 ha.

Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram menyatakan bahwa

yang menjadi sengketa adalah apakah tanah sawah seluas 1 ha hak milik ayah

penggugat atau hak milik ayah tergugat. Maka berdasarkan Pasal 50 UU No. 7 Tahun

1989 sengketa tersebut bukan termasuk wewenang Pengadilan Agama, tetapi wewenang

Pengadilan Negeri untuk memeriksanya. Oleh karena itu Pengadilan Tinggi Agama

19 Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 45/Pdt.G/1997/PA.PRA., tanggal 21 Mei 1997.

Page 13: Pluralisme Hukum Waris Lombok

13

Mataram tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan Agama Praya dan

membatalkan putusan Pengadilan Agama Praya.20

Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menyatakan bahwa Pengadilan Agama

Mataram telah salah menerapkan hukum, karena sengketa harta peninggalan tidak

termasuk sengketa milik.21

Pada tahun 2006 Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) telah memeriksa

perkara Lalu Purwadi v. Baiq Nursam et.al. Lalu Purwadi (Penggugat) adalah anak

kandung Mamiq Nursam, begitu juga para tergugat saudara perempuannya dari bapak

dan ibu yang sama yang telah meninggal dunia. Kedua orang tuanya telah

meninggalkan beberapa bidang tanah sawah dan tanah pekarangan. Pengadilan Agama

Selong memutuskan bagian masing-masing penggugat dan tergugat sebagai berikut :

1. Lalu Purwadi bin Mamiq Nursam memperoleh 2/5 bagian.

2. Hajjah Baiq Nursam bin Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian.

3. Hajjah Baiq Sahnun binti Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian.

4. Baiq Hadijah binti Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian.

Pengadilan Agama Selong juga menetapkan Lalu Purwadi (penggugat) telah menjual 5

are tanah sawah dan 5 are tanah pekarangan, yang kesemuanya itu harus diperhitungkan

menjadi bagiannya.22

Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah menguatkan putusan Pengadilan Agama

Selong tersebut.23 Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung Indonesia memutuskan bahwa

Pengadilan Agama Selong tidak salah menerapkan hukum sehingga Mahkamah Agung

memperkuat putusan tersebut.24

Pada tahun 2006 juga Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) telah

memeriksa perkara. Ishak et.al. v. Mahyin et.al. Duduk perkaranya adalah Ishak et.al.

telah menggugat Mahyin et.al. karena yang terakhir ini telah menguasai satu bidang

sawah dan tiga tanah kebun. Para penggugat telah berulang kali meminta bagian secara

kekeluargaan dari tergugat dengan bantuan kepala desa dan camat, tetapi tidak berhasil.

Pengadilan Agama Praya kemudian dalam putusannya tanggal 5 September 200525,

telah mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Menetapkan bahwa ahli waris dari

20 Putusan Pengadilan Agama Mataram, No. 72/Pdt.G/1997/PTA.MTR., tanggal 13 Oktober 1997.

21 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 111 K/AG/1998, tanggal 13 September 1999. 22 Putusan Pengadilan Agama Selong, No. 121/Pdt.G/2005/PA.SEL., 21 September 2005. 23 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 11/Pdt.G/2006/PTA.MTR, tanggal 23

Februari 2006. 24 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 387 K/AG/2006, tanggal 5 Mei 2008. 25 Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 61/Pdt.G/2005/PA.Pra, tanggal 5 September 2005

Page 14: Pluralisme Hukum Waris Lombok

14

Amaq Sediah adalah Amaq Nursidah (anak laki-laki), Amaq Mun (anak laki-laki),

Amaq Muriah (anak laki-laki), Raminah (anak perempuan), dan Amaq Darsiah (anak

laki-laki). Pengadilan Agama Praya juga menetapkan bagian masing-masing ahli waris

sebagai berikut :

1. Amaq Nursidah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya

dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan.

2. Amaq Mun mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya dengan

ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.

3. Amaq Ariah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya dengan

ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.

4. Raminah mendapat 1/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anaknya.

5. Amaq Darsiah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya, dengan

ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.

Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram membatalkan putusan

Pengadilan Agama Praya tersebut.26 Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menguatkan

putusan Pengadilan Tinggi Agama karena Pengadilan Agama Praya telah keliru dalam

pertimbangan hukumnya. Menurut Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung

masih menjadi pertanyaan apakah obyek sengketa merupakan harta peninggalan Amaq

Sediah atau harta benda milik pribadi dari anak dan/atau cucu Amaq Sediah, karena

tidak terbukti dalam proses pemeriksaan Amaq Sediah meninggalkan harta warisan

yang belum dibagi waris, dan Pengadilan Agama Praya hanya berwenang menetapkan

siapa ahli waris dari Amaq Sediah. Oleh karena obyek sengketa dalam perkara ini

menyangkut hak, maka menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.27

Pengadilan Agama Mataram (Lombok Barat) pada tahun 2007 memeriksa perkara

antara Inaq Illah et.al. v. Lemin et.al. Para penggugat dan para tergugat adalah ahli

waris dari almarhum Amaq Ruminah yang meninggal dunia tahun 1986. Amaq

Ruminah semasa hidupnya telah kawin sebanyak tiga kali. Perkawinan pertama dengan

seorang perempuan Inaq Tilem yang meninggal dunia tahun 1960. Amaq Ruminah

kawin lagi dengan seorang perempuan bernama Inaq Saleha. Kemudian ia kawin lagi

untuk ketiga kalinya dengan Inaq Illah (penggugat I). Dalam perkawinan dengan Inaq

Tilem mereka mempunyai dua orang anak yaitu Ruminah dan Lemin (tergugat).

26 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 18/Pdt.G/2006/PTA.Mtr, tanggal 21 Maret

2006. 27 Putusan Mahkamah Agung, No. 368 K/AG/2006, tertanggal 3 Januari 2007.

Page 15: Pluralisme Hukum Waris Lombok

15

Perkawinan dengan Inaq Saleha tidak memiliki anak. Perkawinan antara Amaq

Ruminah dengan Inaq Illah (penggugat I) melahirkan tiga orang anak yaitu Sahabudin

laki-laki (penggugat II), Aminullah laki-laki (penggugat III), dan Haeriah perempuan

(penggugat IV). Pada tahun 1982, Ruminah meninggal dunia dan meninggalkan lima

orang anak, yaitu Sajidin (laki-laki), Marjuki (laki-laki), Saeniah (perempuan), Asiah

(perempuan), dan Sapiah (perempuan). Almarhum Amaq Ruminah meninggalkan harta

warisan berupa tanah sawah 3.813 M2 yang dikuasai oleh Lemin. Penggugat meminta

harta warisan tersebut di bagi menurut hukum Islam. Tergugat menyatakan dalam

jawabannya terhadap gugatan itu bahwa penggugat Inaq Illah telah diceraikan oleh

Amaq Ruminah dan kemudian telah kawin lagi dengan Ketut Brata yang beragama

Hindu. Karena keluar dari agama Islam maka menurut tergugat Inaq Illah tidak berhak

terhadap harta warisan. Pengadilan Agama Mataram dalam putusan tanggal 22 Februari

2006 menolak gugatan para penggugat untuk seluruhnya.28

Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam putusannya

membatalkan putusan Pengadilan Agama Mataram tersebut dan menetapkan ahli waris

Amaq Ruminah almarhum yaitu Sahabuddin, Aminullah, Haeriah, Lemin, Sajidin,

Marzuki, Saeniah, Asiah, Sapiah.29 Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menyatakan

bahwa Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum dan menolak permohonan

kasasi dari Inaq Illah dan lain-lainnya.30

Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) telah memeriksa sengketa warisan

dalam perkara Amaq Munasih et.al. v. Amaq Subur et.al. Bahwa yang menjadi pewaris

dalam perkara ini adalah almarhum Papuq Sap yang meninggal dunia tahun 1964 dan

isterinya Inaq Herman yang juga telah meninggal dunia tahun 1981. Pewaris

meninggalkan lima orang anak yaitu Amaq Inah, Inaq Samiah, Inaq Nang, Amaq

Kesim, Amaq Munasih, anak-anak itu semua telah meninggal dunia sehingga sekarang

yang menjadi ahli waris adalah cucu-cucunya. Pewaris meninggalkan pula dua bidang

tanah sawah yang luasnya 136 Are atau 1.340 ha. Tanah tersebut sekarang dikuasai oleh

para tergugat yang juga cucu pewaris almarhum. Penggugat yang juga cucu pewaris

meminta pembagain harta warisan tersebut.

28 Putusan Pengadilan Agama Mataram, No. 144/Pdt.G/2005/PA.MTR, tanggal 22 Pebruari

2006. 29 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 38/Pdt.G/2006/PTA.MTR, tanggal 19 Juli

2006. 30 Putusan Mahkamah Agung, No. 15 K/AG/2007, tanggal 30 Mei 2007.

Page 16: Pluralisme Hukum Waris Lombok

16

Pengadilan Agama Selong menetapkan bagian ahli waris masing-masing yaitu

Amaq Inah 2/7, Inaq Samiah 1/7, Inaq Nang 1/7, Amaq Kesim 2/7, Amaq Munasih 2/7.

Anak-anak mereka yang perempuan mendapat satu bagian dan anak laki-laki dua

bagian.31 Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram memperbaiki

putusan Pengadilan Agama Selong tersebut.32 Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung

menyatakan, bahwa Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum.33

Pada tahun 2008 Pengadilan Agama Selong telah memeriksa perkara sengketa

warisan Rohini et.al v. H. Sajidi, yang melibatkan harta bersama pewaris dan isterinya.

Pewaris H. Faturahman telah meninggal dunia pada tahun 1981, dan meninggalkan

seorang isteri serta 4 orang anak yaitu Redah, Rohini, Hj. Rehanah, H. Sajidi, dan Hj.

Nurhasanah. Pewaris meninggalkan juga tanah sawah dan tanah kebun sebagai harta

bersama. Tanah tersebut dikuasai oleh tergugat II. Penggugat telah berusaha untuk

menyelesaikan perkara ini secara kekeluargaan, namun selalu ditolak oleh tergugat.

Oleh karena itu penggugat meminta kepada Pengadilan Agama agar harta warisan

dibagikan menurut Hukum Islam, dimana terlebih dahulu harta dibagi dua antara suami

(pewaris) dengan isterinya karena merupakan harta bersama. Pengadilan Agama Selong

dalam putusannya menetapkan bahwa setengah dari harta bersama tersebut merupakan

hak dari Redah isteri almarhum dan setengah lagi adalah hak almarhum H. Faturahman,

yang harus dibagi kepada semua ahli waris. Pengadilan Agama Selong kemudian

menetapkan bagian masing-masing ahli waris H. Faturahman almarhum yaitu34 :

1. Redah (isteri) mendapat 1/8 dari seluruh harta warisan.

2. Rohini (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.

3. Hj. Rehanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.

4. H. Sajidi (anak laki-laki) 2/5 X 7/8 harta warisan.

5. Hj. Nurhasanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.

Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram memperbaiki putusan

Pengadilan Agama Selong tersebut dan menetapkan masing-masing ahli waris sebagai

berikut :

1. Redah (isteri) mendapat 5/40.

2. Rohini (anak perempuan) mendapat 7/40.

31 Putusan Pengadilan Agama Selong, No. 407/Pdt.G/2006/PA.SEL, tanggal 29 Maret 2007. 32 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 37/Pdt.G/2007/PTA.MTR, tanggal 28 Juni

2007. 33 Putusan Mahkamah Agung, No. 121 K/AG/2008, tanggal 6 Juni 2008. 34 Putusan Pengadilan Agama Selong, No. 118/Pdt.G/2007/PA.SEL, tanggal 19 Juli 2007

Page 17: Pluralisme Hukum Waris Lombok

17

3. Hj. Rehanah (anak perempuan) mendapat 7/40.

4. H. Sajidi (anak laki-laki) mendapat 14/40.

5. Hj. Nurhasanah (anak perempuan) mendapat 7/40.

Selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama Mataram juga menetapkan perolehan Redah

(isteri) adalah ½ harta bersama ditambah 5/40, Hj. Rehanah adalah 7/40 dikurangi Rp.

75.000.000,-, dan H. Sajidi adalah 14/40 ditambah bagian senilai Rp. 75.000.000.-.35

Mahkamah Agung pada tingkat kasasi mendengarkan permohonan pemohon

kasasi dahulunya tergugat II dalam memori kasasinya yang pada pokoknya menyatakan

antara lain :

1. Judex facti pada pertimbangan hukumnya yang mengambil alih begitu saja

pertimbangan hukum Pengadilan Agama Selong, dan tidak mempertimbangkan

fakta-fakta nyata yang terjadi antar para pihak dan fakta-fakta hukum yang terungkap

di persidangan. Pengadilan Agama Selong tidak mempertimbangkan dengan lengkap

akan keseluruhan fakta-fakta hukum tersebut.

2. Permasalahan hukum antara pihak yang berperkara haruslah dipertimbangkan sesuai

dengan rasa keadilan dan fakta akan kebenaran dari apa yang telah terjadi baik secara

formil ataupun meteril di antara kedua belah pihak. Kenyataanya pihak termohon

kasasi/penggugat/terbanding sebelumnya sudah setuju dan menerima pemberian dari

pemohon kasasi/tergugat/pembanding berupa hasil-hasil dari objek sengketa dengan

kata lain bersedia diberikan sebagian dari hasil objek sengketa saja, bukan

mendapatkan tanahnya tetapi cukup hasilnya saja, sebagaimana kebiasaan atau adat

di Dusun Pringgajurang sendiri, bahwa keturunan atau laki-laki saja yang berhak atas

“tanah” sedangkan yang anak perempuan cukup “hasilnya” dari tanah warisan orang

tuanya.

3. Dalam perkara ini baik Majelis Hakim Pengadilan Agama Selong maupun

Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah tidak mempertimbangkan bahwa kelebihan

dari bagian yang telah dijual oleh salah satu pihak berperkara harus pula ditanggung

olehnya.

Mahkamah Agung berpendapat terlepas dari alasan kasasi tersebut di atas, dengan

tidak perlu mempertimbangkan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh pemohon

kasasi, menurut pendapat Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah

salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut :

35 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 64/Pdt.G/2007/PTA.MTR, tanggal 15

Nopember 2007.

Page 18: Pluralisme Hukum Waris Lombok

18

1. Objek sengketa dalam surat gugatan berupa tanah sawah seluas 33 are yang telah

diperjual belikan oleh tergugat I kepada tergugat II harus diperhitungkan sebagai

harta bersama antara pewaris (H. Faturahman) dengan Raedah.

2. Objek sengketa tersebut juga harus dibagi dua antara pewaris (H. Faturahman)

dengan Raedah.

3. ½ (seperdua) bagian pewaris (H. Faturahman) dari objek sengketa tersebut

merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada para ahli warisnya.

4. Penyelesaian jual beli terhadap objek sengketa tersebut merupakan urusan antara

tergugat I dengan tergugat II.

5. Oleh karena objek sengketa merupakan harta bawaan harus ditetapkan sebagai harta

bawaan pewaris (almarhum H. Faturahman) yang harus dibagi waris dengan ahli

warisnya.

Mahkamah Agung akhirnya memutuskan, antara lain36 :

a. Menetapkan ½ (seperdua) dari harta warisan merupakan hak Redah dan ½ (seperdua)

lainnya menjadi hak almarhum H. Faturahman yang harus dibagi waris kepada ahli

warisnya.

b. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris H. Faturahman adalah sebagai berikut:

1. Redah (isteri) mendapat 1/8 dari seluruh harta warisan.

2. Rohin (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.

3. Hj. Rehanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.

4. H. Sajidi (anak laki-laki) 2/5 X 7/8 harta warisan.

5. Hj. Nurhasanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.

4. Penyelesaian Sengketa Warisan di Pengadilan Negeri

Walaupun masyarakat Sasak beragama Islam, mereka yang bersengketa soal

warisan tidak selalu pergi ke Pengadilan Agama, melainkan mencari keadilan ke

Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung Indonesia telah melakukan perubahan terhadap

hak wanita Sasak untuk mewaris dengan putusannya dalam Inaq Rasini v. Amaq Atimah

et.al, (1978)37. Mahkamah Agung memutuskan bahwa sesuai dengan yurisprudensi

Mahkamah Agung terhadap anak perempuan di Tapanuli (Sumatera Utara), juga di

Lombok adilnya anak perempuan dijadikan ahli waris, sehingga dalam perkara ini

36 Putusan Mahkamah Agung, No. 515 K/AG/2008, tanggal 6 Maret 2009. 37 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 1589 K/Sip/1974, tanggal 9-2-1978.

Page 19: Pluralisme Hukum Waris Lombok

19

penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya anak perempuan, mewarisi seluruh harta

peninggalan dari bapaknya.

Mahkamah Agung Indonesia sebelumnya telah melakukan perubahan terhadap

Hukum Adat Batak Karo di Sumatera Utara yang menganut garis keturunan patrilineal,

dalam perkara Sitepu v. Ginting (1961)38. Menurut Hukum Adat Batak Karo di

Sumatera Utara pada waktu itu, harta warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki

sesuai dengan masyarakat patrilineal. Namun Mahkamah Agung Indonesia dalam

tingkat kasasi telah memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri

Kabanjahe dan Pengadilan Tinggi Medan, dan menetapkan anak perempuan mendapat

warisan dalam perkara itu. Menurut Mahkamah Agung Indonesia, berdasarkan rasa

perikemanusian dan keadilan umum atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria

sebagai hukum yang hidup di Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari

seorang peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti, bahwa

bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan, maka juga di tanah Karo

seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima

bagian atas harta warisan dari orang tuanya. Putusan Mahkamah Agung ini semula

mengguncangkan masyarakat Batak Karo di Sumatera Utara, namun mendapat

sambutan hangat dari kaum wanita masyarakat tersebut. Putusan ini dianggap sebagai

tonggak bersejarah dalam proses pencapaian persamaan hak antara kaum wanita dan

kaum pria. Dengan putusan ini Mahkamah Agung telah membuat yurisprudensi baru

dalam soal warisan di Tapanuli (Sumatera Utara).

Kembali kepada Putusan Mahkamah Agung di Lombok dalam Inaq Rasini v.

Amaq Atimah et.al (1974), Mahkamah Agung mengutip putusannya dalam Ginting v,

Sitepu di tanah Karo, dengan mengatakan sebagaimana putusan Mahkamah Agung di

Batak Karo, maka wanita Sasak di Lombok juga adalah sebagai ahli waris dari orang

tuanya almarhum.

Kaum laki-laki suku Sasak yang saya tanya tentang putusan Mahkamah Agung

tersebut berpendapat bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut sudah adil dan tepat.

Pada zaman sekarang ini kaum wanita Sasak sudah ikut bekerja seperti kaum laki-laki

untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, maka sudah tepatlah bila wanita Sasak juga

menjadi ahli waris dari orang tuanya.39

38 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 179/Sip/1961, tanggal 1-11-1961 39 Interview 4 Oktober 2007

Page 20: Pluralisme Hukum Waris Lombok

20

Dalam kasus Inaq Supar et.al. v. Amaq Mali et.al. (1976)40, Makamah Agung

Indonesia kembali menyatakan bahwa perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya

almarhum. Dalam perkara ini Inaq Supar (wanita) dan Inaq Kamar (wanita) tinggal di

Desa Peresak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat telah mengajukan gugatan kepada

Amaq Mali (laki-laki), Amaq Sani (laki-laki), Amaq Su (laki-laki), dan Amaq Mulinah

(laki-laki). Duduk perkaranya adalah Amaq Siti (laki-laki) telah meninggal dunia dan

bersaudara kandung dengan Amaq Ipah (laki-laki) dan bersaudara sepupu dengan Amaq

Radiah. Kakek penggugat telah meninggalkan harta warisan berupa tanah sawah

sejumlah 1,060 ha yang dikuasai oleh tergugat I dan tanah kebun jumlahnya 1,225 ha

yang dikuasai oleh tergugat II, tergugat III, dan tergugat IV. Penggugat telah meminta

bagian dari tanah-tanah itu dengan baik-baik tetapi tidak dikabulkan. Pengadilan Negeri

Mataram dalam pertimbangan hukumnya, antara lain menyatakan, bahwa terhadap suku

Sasak di Lombok Barat berdasarkan yurisprudensi maupun kenyataan hukum adat yang

masih hidup menjadi dasar penyelesaian sengketa waris-mewaris. Bahwa menurut

Hukum Adat sekarang ini, diakui bahwa anak perempuan adalah ahli waris. Hal ini

dipertegas oleh hasil penelitian Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat tentang Hukum

Adat Waris di Lombok Barat bulan Pebruari 1974.

Terbukti bahwa Amaq Siti yang meninggal tahun 1956 tidak mempunyai

keturunan yang lain selain Le Siti yang telah meninggal dunia terlebih dahulu. Le Siti

sebelum meninggal telah kawin dan mempunyai dua anak perempuan bernama Inaq

Supar dan Inaq Kamar, para penggugat. Dengan demikian para penggugat adalah cucu

dari almarhum Amaq Siti. Bahwa sekiranya Le Siti masih hidup dan Amaq Siti

meninggal lebih dahulu, maka menurut Hukum Adat Sasak, Le Siti adalah satu-satunya

ahli waris dari almarhum Amaq Siti. Oleh karena para penggugat adalah cucu almarhum

Amaq Siti maka para penggugat adalah ahli waris yang sah dari Amaq Siti.

Para penggugat baik sejak hidupnya Amaq Siti dan setelah meninggalnya Ibu

penggugat (Le Siti), penggugat tidak pernah menikmati atau memanfaatkan harta-harta

peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut, sehingga penggugat ahli waris yang berhak

atas harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut, keadaanya sangat menyedihkan.

Oleh karena itu dipandang sangat tidak adil, apabila penggugat yang semestinya berhak

atas harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut keadaanya menjadi terlantar,

karena sama sekali tidak menikmati harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut.

40 Putusan Pengadilan Negeri Mataram, No. 049/PN.Mtr/Pdt/1970, tanggal 27 Desember 1976.

Page 21: Pluralisme Hukum Waris Lombok

21

Oleh karena tergugat telah cukup menikmati dan memanfaatkan harta peninggalan

almarhum Amaq Siti, yang bahkan dari harta-harta itu mereka dapat membeli tanah-

tanah sawah baru, maka pengadilan berpendapat bahwa sangat adil kalau masa

menikmati atau memanfaatkan harta peninggalan almarhum Amaq Siti sehingga dapat

membeli tanah sawah sendiri dari hasil harta-harta peninggalan almarhum tersebut

sebagai bagian dari tergugat, sehingga terhadap seluruh harta peninggalan almarhum

Amaq Siti, para tergugat tidak berhak lagi dan harus menyerahkan kembali tanah-tanah

sengketa dalam perkara ini kepada para penggugat sebagai ahli waris sah dari almarhum

Amaq Siti yang berhak memiliki tanah-tanah sengketa tersebut.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka gugatan penggugat harus

dikabulkan. Akhirnya Pengadilan Negeri Mataram menyatakan, oleh karena sengketa

ini adalah masalah hak, yakni berdasarkan pertimbangan tersebut di atas bahwa

penggugat adalah yang berhak dan pemilik atas tanah sengketa ini.

Pengadilan Tinggi Denpasar pada tingkat banding dalam putusannya tanggal 27

Juni 1977 menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mataram, dan menyatakan bahwa

para penggugat adalah ahli waris dari Amaq Siti.41

Mahkamah Agung Indonesia pada tingkat kasasi menyatakan bahwa Pengadilan

Tinggi Denpasar tidak salah menerapkan hukum dan memperkuat putusan tersebut,

artinya para penggugat yakni Inaq Supar dan Inaq Kamar berhak atas tanah warisan

itu.42

Pengadilan Negeri Selong pada tahun 1977 dalam perkara Baiq Fadlah et.al., v.

Baiq Saeah menyatakan bahwa penggugat dan tergugat sebagai anak perempuan berhak

mewaris dengan mendapat setengah bagian yang menurut Hukum Adat Sasak disebut

“sepersonan”. Duduk perkaranya adalah Baiq Fadlah dan Lalu Ahmad yang tinggal di

Desa Labuhan Lombok Timur menggugat saudaranya Baiq Saeah yang tinggal di

daerah yang sama. Sengketa ini bermula dari meninggalnya Ibu para penggugat dan

tergugat dengan meninggalkan beberapa bidang tanah sawah dan tanah kebun. Setelah

40 hari upacara kematian Ibu mereka pada tahun 1977, ternyata baru diketahui tanah

sawah yang jumlahnya 5,670 ha dan tanah kebun seluas 2,200 ha telah dihibahkan oleh

Ibu mereka sebelum meninggal dunia atas bujuk rayuan tergugat, Baiq Saeah tanpa

pengetahuan para penggugat. Para penggugat dengan demikian tidak mendapat harta

warisan. Para penggugat minta kepada Pengadilan Negeri agar memberikan putusan

41 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar, No. 102 /PTD/1977/Pdt., tanggal 27 Juni 1977. 42 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 853 K/Sip/1978, tanggal 29 April 1981.

Page 22: Pluralisme Hukum Waris Lombok

22

yang adil. Menurut para penggugat berdasarkan Hukum Adat Sasak pihak laki-laki

mendapat sepelembah atau 2 bagian dan pihak perempuan mendapat sepersonan atau

satu bagian. Tergugat menjawab bahwa menurut Hukum Adat Sasak perempuan tidak

mendapat warisan dan hibah itu diberi dengan keikhlasan Ibunya sendiri yang

dirawatnya selama sakit. Pengadilan Negeri Selong dalam putusannya menyatakan

bahwa menurut azas hukum yang umum, suatu hibah tidak boleh merugikan ahli waris

yang berhak. Sehingga dengan demikian surat hibah itu dibatalkan oleh pengadilan dan

para penggugat dinyatakan sebagai ahli waris juga. Pengadilan Negeri Selong membagi

harta warisan tersebut “sepelembah sepersonan” atau dua bagian untuk anak laki-laki

dan satu bagian untuk anak perempuan.

Pengadilan Tinggi Denpasar pada tingkat banding menguatkan putusan

Pengadilan Negeri tersebut.43 Mahkamah Agung Indonesia memperkuat putusan

Pengadilan Tinggi Denpasar karena sudah sesuai dengan Hukum Adat setempat.44

Pada tahun 1982, Putusan Pengadilan Negeri Selong menyatakan bahwa wanita

Sasak tidak saja sebagai ahli waris, tetapi juga mendapat bagian yang sama dengan

kaum laki-laki sepertinya mendapat sambutan hangat dari kaum wanita Sasak di

Lombok. Dalam perkara Inaq Sanah et.al v. Kadirun et.al (1982)45, Pengadilan Negeri

Selong di Lombok Timur menyatakan perlu dikaji latar belakang sosiologis keadaan

Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok, khususnya mengenai Hukum Waris Adat di

daerah Lombok Timur. Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun juga di daerah ini,

khususnya warga masyarakat persekutuan adat suku Sasak di Pulau Lombok, bahwa

didalam tiga dasawarsa terakhir ini telah terjadi banyak kemajuan yang telah dicapai

didalam hidup dan kehidupan mereka baik di bidang sosial, ekonomi, budaya,

pendidikan, dan lain sebagainya. Menurut Pengadilan Negeri Selong lagi, kemajuan-

kemajuan di atas ternyata telah banyak berpengaruh terhadap pola dan cara berpikir

anggota masyarakat adat suku Sasak. Pengadilan Negeri Selong berpendapat, kita dapat

melihat status dan derajat wanita telah mengalami perubahan-perubahan, yaitu menjadi

setarap dan sejajar dengan kaum lelaki. Kesempatan yang sama diberikan untuk

memperoleh pendidikan antara anak laki-laki dan anak wanita, kemudian diikuti pula

dengan kesempatan dan hak yang sama dalam memperoleh lapangan pekerjaan dan

sebagainya. Maka bukan hal yang aneh lagi berbagai jabatan dan profesi juga terisi oleh

43 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar, No. 187/PTD/1977/Pdt., tanggal 11 April 1979. 44 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 2014 K/Sip/1979, tanggal 19 Mei 1981. 45 Putusan Pengadilan Negeri Selong tanggal 27 Desember 1982 No. 164/P.N.Sel/1982/Pdt.

Page 23: Pluralisme Hukum Waris Lombok

23

wanita-wanita suku ini. Logis dan sudah sewajarnyalah diikuti pula dengan hak dan

kedudukan yang sama dalam hukum, khususnya dalam Hukum Waris.

Menurut Pengadilan Negeri Selong, merupakan suatu ilusi yang kosong jika ada

sementara anggapan yang mau dan akan tetap mempertahankan pola dan nilai-nilai

hidup sebagaimana tercermin didalam ketentuan Hukum Adat lama yang telah usang,

ketinggalan zaman, yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan

masa sekarang dan tidak pula sesuai dengan rasa keadilan hukum dari masyarakat Sasak

sendiri di zaman sekarang. Kalaupun ada yang beranggapan nilai-nilai hukum Waris

lama itu masih tetap hidup dan tetap terpelihara, itu hanya hidup dalam pola berpikir

sementara orang-orang yang mempunyai pamrih material semata-mata yang ingin

mendominier harta warisan untuk diri sendiri tanpa memberikan hak waris kepada anak

wanita atau saudara-saudara wanitanya.

Pengadilan Negeri Selong mengutip pula penelitian “Perkembangan Hukum Adat

Suku Sasak” yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Mataram pada tahun

1979. Sejak tahun 1951 di daerah pulau Lombok, khususnya di daerah Kecamatan

Masbagik (Lombok Timur) telah terjadi pergeseran nilai dalam Hukum Waris Adat

khususnya tentang kedudukan anak wanita. Jika menurut Hukum Adat yang lama anak

wanita bukan ahli waris serta tidak berhak untuk mewaris barang-barang tidak bergerak

seperti tanah, maka kini dalam perkembangannya sudah diakui dimana kedudukan

wanita sebagai ahli waris dan berhak pula memperoleh harta warisan peninggalan orang

tuanya bersama-sama dengan saudara laki-lakinya.

Keadaan-keadaan di atas mau tidak mau haruslah ditafsir sebagai telah terjadi

pergeseran pola berpikir di kalangan warga suku ini kearah kemajuan (modernisasi).

Dari realita-realita yang terjadi di dalam masyarakat adat tersebut di atas, maka secara

filosifis dapat dibaca bahwa persamaan status hak dan kedudukan antara anak laki-laki

dengan anak wanita selama ini telah berjalan. Anak wanita tidak lagi sebagai selalu

berada di belakang keutamaan anak laki-laki. Tetapi keduanya mempunyai harkat dan

martabat yang sama.

Dari segi yuridis dapat dipertimbangkan antara lain, masyarakat adat suku Sasak

telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan dan pertumbuhan

masyarakat tersebut ternyata diikuti pula dengan perkembangan akan kebutuhan hukum.

Di dalam masyarakat adat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai sosial khususnya nilai-

nilai hukumnya.

Page 24: Pluralisme Hukum Waris Lombok

24

Situasi dan kondisinya sekarang telah berubah. Dalam realita di tengah-tengah

masyarakat adat suku ini telah timbul nilai-nilai hukum baru yang selaras dan sejalan

dengan kebutuhan perkembangan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri. Dirasakan

tidak adil lagi anak wanita dianggap sebagai bukan ahli waris. Anak wanita sekarang

sudah diakui sebagai ahli waris. Sebagai konsekuensi logis maka kepadanya haruslah

pula diberikan hak untuk mendapatkan warisan atas peninggalan orang tuanya.

Bertitik tolak dari persamaan harkat dan martabat, serta persamaan hak dan

kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum sesuai falsafah negara kita Pancasila

serta penjabarannya di dalam pasal-pasal UUD 1945 dan mengingat pula akan rasa

keadilan umum, serta nilai-nilai hukum yang hidup serta diindahkan berlakunya di

dalam masyarakat yang bersangkutan (living law), maka didalam kasus ini Pengadilan

sependapat dan layak untuk berpedoman kepada yurisprudensi tetap Mahkamah Agung

Indonesia yang berlaku untuk seluruh Indonesia tertanggal 11 Nopember 1961, No. 179

K/Sip/1961. Intinya sebagai berikut : “Anak perempuan dan anak laki dari seorang

peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian

anak laki sama dengan anak perempuan”.

Lebih realistis lagi sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus ini

melihat yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia yang diterapkan di daerah Pulau

Lombok ini, tertanggal 9 Februari 1978 No. 1589 K/Sip/1974 dalam perkara antara Inaq

Rasini v. Amaq Atimah et.al., yang isinya adalah sebagai berikut : “Sesuai dengan

yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia terhadap anak perempuan di Tapanuli juga

di Lombok adilnya anak perempuan dijadikan ahli waris, sehingga dalam hal ini

penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya anak mewaris seluruh harta peninggalan

dari bapaknya”.

Pengadilan dalam kasus ini melalui putusannya berusaha mendekati serta

memenuhi kebutuhan hukum masyarakat adat yang bersangkutan, serta dapat pula

memenuhi rasa keadilan masyarakat adat yang bersangkutan. Melalui suatu putusan

hakim yang adalah juga merupakan sumber hukum, berusaha menempatkan hukum

sebagai sarana pembangunan, law is a tool of social engineering.

Bertolak dari pertimbangan-pertimbangan di atas, khususnya kedua buah

yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia di atas, maka Pengadilan Selong didalam

kasus ini berpendapat bahwa sudah sepantasnya, serta adil diberikan hak yang sama

kepada semua anak-anak kandung/anak turunan almarhum Amaq Seniah untuk

Page 25: Pluralisme Hukum Waris Lombok

25

mewarisi tanah sawah dan kebon sengketa peninggalannya, dalam hal ini kepada

penggugat dan tergugat, bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak wanita.

Cara yang tepat untuk melakukan pembagian warisan atas tanah sengketa adalah

dengan terlebih dahulu mengangkat kembali ke posisi semula dari si peninggal warisan

(almarhum Amaq Seniah). Setelah itu baru dibagi sama terhadap semua anak-anak

kandungnya, dan selanjutnya masing-masing bagiannya diteruskan kepada turunan

berikutnya menurut garis ke bawah.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Pengadilan pada

akhirnya memperoleh kesimpulan, bahwa pihak penggugat telah dapat membuktikan

dalil gugatannya. Oleh karena itu gugatan penggugat sudah selayaknya dikabulkan.

Pengadilan Negeri Selong akhirnya menetapkan dan mensahkan para penggugat

dan para tergugat, kedua pihak adalah ahli waris dari almarhum Amaq Seniah dan

berhak mewaris tanah sawah dan kebun sengketa tersebut dengan pembagian yang

sama.

Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat mengambil alih

pertimbangan dan kesimpulan hakim Pengadilan Negeri Selong, menguatkan putusan

Pengadilan Negeri Selong tersebut.46 Pada tingkat kasasi pemohon-pemohon kasasi

dahulu para tergugat menyatakan keberatan atas putusan Pengadilan Negeri Selong dan

Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat dengan alasan :

1. Di Pulau Lombok, di Lombok Timur khususnya di Kecamatan Sukamulia, di desa

Padamara seorang wanita bukanlah sebagai ahli waris, karena menganut sistem

perkawinan yang ditarik dari garis keturunan laki-laki sebab menganut sistem

Patrilineal. Wanita tidak bisa mewarisi harta pusaka yang berasal dari orang tua baik

berupa tanah sawah maupun tanah kebun. Wanita hanya bisa mewarisi terbatas pada

harta benda yang bergerak, misalnya, perhiasan-perhiasan dan barang-barang

kebutuhan sehari-hari.

2. Dasar putusan hakim yang menyamakan kedudukan seorang wanita dan laki-laki ini

hanya berpatokan kepada kemajuan zaman saja. Menurut pemohon-pemohon kasasi

dahulu para tergugat, bagaimanapun kemajuan zaman, kaum wanita tidak bisa

menjadi Kepala Keluarga dan untuk ini selalu dipegang oleh kaum pria. Atas dasar

ini pula maka timbullah suatu perbedaan hak mewaris yang berhubungan dengan

harta pusaka.

46 Putusan Pengadilan Tinggi Mataram, No. 17Pdt/1984/PT.NTB, tanggal 26 Maret 1984.

Page 26: Pluralisme Hukum Waris Lombok

26

3. Bila ditinjau lebih jauh, putusan Pengadilan Negeri tersebut telah bertentangan

dengan hukum waris yang diatur dalam Kitab Al quran surat An Nissa’ ayat 11, dan

bertitik tolak dari kedua sumber hukum tadi yaitu baik ditinjau dari Hukum Adat

maupun Hukum Islam, maka Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah salah

menerapkan hukum materialnya, apalagi di Lombok Timur. Khususnya di desa

Padamara masih kuat berlaku Hukum Adat maupun Hukum Islam sampai sekarang

dan perlu pemohon-pemohon kasasi dahulu para tergugat menjelaskan bahwa

Hukum Waris yang dipergunakan untuk membagi harta warisan yang dipakai adalah

Hukum Adat.

Mahkamah Agung tidak dapat membenarkan keberatan-keberatan tersebut.

Berdasarkan apa yang dipertimbangkan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak

salah menerapkan hukum.47

Setelah putusan Mahkamah Agung itu keluar, gugatan-gugatan perkara waris

lainnya yang dibawa kaum wanita bertambah ke Pengadilan Negeri di Lombok.48

5. Kesimpulan

Masyarakat Sasak dalam hal mewaris terbagi atas tiga macam yaitu pertama,

mereka yang tetap patuh kepada Hukum Adat Tradisional yang bercirikan sistem

patrilineal murni. Pada masyarakat ini, kaum wanita tidak mendapat warisan. Walaupun

golongan ini sudah dalam jumlah yang kecil, misalnya, seperti penduduk desa Sade

(Lombok Tengah), tetapi sistem ini masih tetap berlaku di desa tersebut. Kedua,

golongan masyarakat yang tetap patuh kepada Hukum Islam, dimana wanita mendapat

satu bagian berbanding dua bagian untuk pria. Pengadilan Agama di Lombok selalu

memegang teguh pembagian warisan menurut Hukum Islam ini. Mahkamah Agung

dalam putusan-putusannya belum ada yang mengubah pembagian warisan yang

dilakukan oleh Pengadilan Agama ini pada tingkat kasasi. Mahkamah Agung

kelihatannya berhati-hati benar bila berhadapan dengan Hukum Islam yang bersumber

kepada Quran dan Hadist. Ketiga, golongan masyarakat Sasak yang beragama Islam

tetapi membawa sengketa warisannya ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dalam

suatu putusannya berpendirian bahwa telah terjadi perubahan sosial di Lombok terhadap

kaum wanita. Sekarang ini menurut Pengadilan Negeri dalam putusan tersebut, hak

wanita dan pria adalah sama. Pernah Pengadilan Negeri di Selong memutuskan hak

47 Putusan Mahkamah Agung, No. 2662 K/Pdt/1984, tanggal 26 Nopember 1985. 48 Interview 17 Juli 2009

Page 27: Pluralisme Hukum Waris Lombok

27

wanita dan pria itu dalam mewaris adalah sama, satu berbanding satu. Putusan ini

dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Dengan demikian

pemeriksaan tingkat kasasi dari putusan Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan

Agama tingkat pertama, Mahkamah Agung tetap mengikuti Hukum Islam. Akan tetapi

pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap perkara waris yang datang dari

Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri sudah menerapkan putusan bahwa wanita dan

laki-laki mempunyai hak yang sama, satu berbanding satu. Dalam masyarakat Sasak

sendiri sudah terjadi laki-laki yang kasihan kepada adik perempuannya yang miskin,

sehingga adiknya itu mendapat harta warisan lebih besar. Ada juga bapak yang lebih

sayang kepada anak perempuannya sehingga sewaktu ia hidup telah memberikan

hartanya (hibah) kepada anak perempuannya tersebut.

Perubahan hukum berlangsung secara kualitatif dan bukan kuantitaitf. Artinya

satu putusan Mahkamah Agung saja pada permulaan, berarti telah terjadi perubahan

hukum, seperti putusan Mahkamah Agung pada masyarakat Batak Karo di Kabanjahe.

Dapat dikatakan, pluralisme hukum dalam mewaris bagi wanita Sasak Lombok telah

terjadi sejak beberapa tahun belakangan ini.

________