PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …
Transcript of PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …
PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ
TENTANG PEMELIHARAAN AL-QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Nama : Dadan Haerudin
NIM : 11140340000180
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLA
JAKARTA
1442 H/2020 M
PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ
TENTANG PEMELIHARAAN AL-QUR’AN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Dadan Haerudin
NIM : 11140340000180
Pembimbing,
Syahrullah, M.A.
197802182009010016
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLA JAKARTA
1442 H/2020 M
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL-QUR’AN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Maret 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 23 Juni 2020
Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Kusmana, Ph. D Roswan Rio Utomo, M.A NIP. 19650424 199503 1 001 NIP. 19880502 201903 1009
Anggota, Penguji I, Penguji II,
Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A Dr. Hasani Muhammad Said, M.A NIP. 19530107 198303 100 1 NIP. 19820221 200901 1024
Pembimbing,
Syahrullah, M.A. NIP. 1978021 820090 1001 6
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Dadan Haerudin
NIM : 11140340000180
Program Studi : Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini
telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil
karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya
orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Januari 2020
Dadan Haerudin
iv
ABSTRAK
Dadan Haerudin
Penelitian ini membahas tentang bagaimana bentuk
ekspresi pemeliharaan al-Qur’an dengan menggunakan perspektif
al-Suyūṭī di dalam kitab al-Dur al-Manṡūr. Pengambilan sumber
utama sebagai perspektif interpretasi dari al-Dur al-Manṡūr, sebab
al-Suyūṭī tidak hanya menjelaskan penafsiran ayat-ayat terkait
pemeliharaan al-Qur’an tetapi ia juga menulis setiap bidang
keilmuan, seperti penjelasan tentang pemeliharaan berupa
penulisan dan penghafalan yang ditulis dalam bentuk buku
tersendiri.
Penelitian ini dikategori sebagai penelitian pustaka
(Library Research). Sumber data primer dalam penelitian ini
adalah Tafsir al-Dur al-Manṡūr fi Tafsīr al-Ma’ṡūr ditulis oleh
Jalāluddīn al-Suyūṭī. Sedangkan sumber data sekunder, peneliti
mengambil buku-buku dan jurnal terkait dengan tema judul
pembahasan yaitu tentang histori bahasa Arab, sejarah penulisan,
sejarah hafalan, dan tafsir-tafsir ulama sebagai mengkomparasikan
interpretasi al-Suyūṭī terkait ayat-ayat pemeliharan al-Qur’an.
Penelitian ini menyimpulkan, pemeliharaan al-Qur’an
sudah menjadi tugas kaum muslimin agar al-Qur’an akan tetap
terjaga dari tindakan yang destruktif (taḥrīf). Cara atau ekspresi
yang masih tetap dilakukan oleh kaum muslimin sampai saat ini
adalah dengan mengahafal dan menulis. Melakukan pemeliharaan
dengan kedua cara ini juga merupakan tradisi yang telah dilakukan
sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Argumentasi yang dibangun
adalah tradisi mengahafal sudah dijelaskan di dalam QS. al-
Ankabūt [29]: 49, yaitu Allah telah mempermudah seseorang
untuk menulis dan menghafal al-Qur’an, sehingga kaum muslimin
dengan mudahnya untuk tetap menjaga autentisitas al-Qur’an. Dan
tradisi menulis juga sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW.
Ekspresi penulisan ini sangat penting sebagaimana dijelaskan di
dalam QS. al-Baqarah [2]: 282, menurut al-Suyūṭī ayat ini
menunjukkan bahwa melakukan penulisan sebagai bentuk
persaksian untuk menjaga dari hal-hal yang lupa.
v
KATA PENGANTAR
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang.”
Segala puji serta rasa syukur yang sangat mendalam penulis
panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Menguasai
segala sesuatu, di bumi maupun di langit. Tuhan Yang Maha
Memudahkan segala urusan hamba-Nya. Atas kuasa-Nya penulis
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Selawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muḥammad SAW. yang telah memberikan tauladan bagi
umat manusia dengan perilaku qur’ānī. Atas izin-Nya pula ia
memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan syafaat kepada
umatnya.
Penulisan skripsi ini tentu melibatkan berbagai pihak yang
turut membantu dari awal proses penulisan hingga skripsi ini
selesai. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Amany Lubis, MA. selaku Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Lebih khusus, penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada Dr.Eva Nugraha.M.Ag. selaku Ketua Program
Studi Ilmu al-Qu’an dan Tafsir.
vi
4. Syahrullah, M.A. sebagai dosen pembimbing skripsi
terbaik bagi penulis. Terima kasih telah meluangkan
banyak waktunya untuk membimbing, menasehati,
sekaligus memberikan gagasan-gagasannya kepada
penulis sehingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan
dengan baik.
5. Seluruh dosen dan guru besar Fakultas Ushuluddin yang
telah memberikan begitu banyak pengetahuan sekaligus
bimbingannya.
6. Terima kasih kepada Mafri Amir, M.A. selaku dosen
pembimbing akademik.
7. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh
pimpinan dan segenap civitas academica Fakultas
Ushuluddin, segenap pegawai Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin dan Perpustakaan Utama Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut
membantu penulis dalam menemukan buku-buku
referensi untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga penulis,
khususnya kedua orang tua penulis yang telah
membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih
sayang, perjuangan, dan pengorbanan yang begitu luar
biasa. Teruntuk Ayahanda dan Ibunda tercinta,
Komarudin dan Dewi Alawiyah yang telah menanamkan
semangat berjuang, yang selalu mendampingi penulis
sampai akhir penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT
vii
senantiasa memberikan umur panjang, kesehatan dan
kelapangan rezeki.
9. Kepada adik-adik penulis, Muhamad TB. Amaludin,
Neng Intan Ramadani, Riva Nurfadilah terima kasih
untuk doa, semangat, dan dukungannya kepada penulis
selama proses penyelesaian skripsi ini.
10. Teman-teman terbaik penulis di Program Studi Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir Angkatan 2014, khususnya kepada
Bagus Erianto S.Ag., Irfan Hazri, S.Ag., Bahaluddin
Siregar, S.Ag., Aprido, S.Ag., Alwi Abdussalam, S.Ag.,
Agung Rif’at, Yudi Setiadi, dan Khoeruddin.
11. Kepada temen-temen seperjuangan Ruzqi Afriansani,
M. Syarifuddin, dan Aep Muslih Saepudin terima kasih
karena telah menjadi teman yang selalu memberi
motivasi dan semangat.
Hanya kepada Allah penulis berharap, siapapun yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
semoga Allah membalasnya, memberikan kesehatan,
optimisme, kemudahan segala urusan, dan takdir baik.
Ciputat, 10 Februari 2020
Dadan Haerudin
NIM. 11140340000180
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI
dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158/1987 dan
0543 b/U/1987, Tanggal 22 Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Keterangan
alif tidak dilambangkan ا
ba’ b be ب
ta’ t te ت
sa’ ṡ es (dengan titik di atas) ث
jim j je ج
ha’ ḥ حha (dengan titik di
bawah)
kha’ kh ka dan ha خ
dal d de د
zal ż ذzet (dengan titik di
atas)
ra’ r er ر
zai z zet ز
sin s es س
syin sy es dan ye ش
ix
sad ṣ صes (dengan titik di
bawah)
dad ḍ ضde (dengan titik di
bawah)
ta’ ṭ طte (dengan titik di
bawah)
za’ ẓ ظzet (dengan titik di
bawah)
ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع
gain g ge غ
fa f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
lam l el ل
mim m em م
nun n en ن
wawu w we و
ha’ h ha ه
hamzah ’ apostrof ء
ya y ye ي
B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap
ditulis muta‘aqqidin متعقدين
x
ditulis ‘iddah عدة
C. Ta’ Marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h
ditulis hibbah هبة
ditulis jizyah جزية
(Ketentuan ini tidak diberlakukan terhadap kata-kata Arab
yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat,
zakat, dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua
itu terpisah, maka ditulis dengan h.
الأولياء كرامة ditulis karāmah al-auliyā
2. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah
dan ḍammah, ditulis t
الفطر زكاة ditulis zakātul fitri
D. Vokal Pendek
kasrah ditulis i
_____ fathah ditulis a
ḍammah ditulis u ___ۥ__
E. Vokal Panjang
fathah + alif ditulis ā
xi
هلية جا ditulis jāhiliyah
fathah + ya’ mati ditulis ā
ditulis yas` ā يسعى
kasrah + ya’ mati ditulis ī
ditulis karīm كريم
ḍammah + wawu
mati ditulis
ū
F. Vokal Rangkap
fathah + ya’ mati ditulis ai
ditulis bainakum بينكم
fathah + wawu
mati ditulis au
ditulis qaulun قول
G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata
Dipisahkan dengan
Apostrof
ditulis a’antum أأنتم
ditulis u‘iddat ت أعد
ditulis la’in syakartum شكرتم لئن
xii
H. Kata Sandang Alif + Lam
a. Bila diikuti huruf Qamariyyah
ditulis al-Qur’ān القرأن
ditulis al-qiyās القياس
b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan
menggandakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya serta
menghilangkan huruf l (el)-nya
’ditulis as-samā السماء
ditulis asy-syams الشمس
I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat
Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis
penulisannya
الفوض ذوي ditulis żawī al-furūd
السنة أهل ditulis ahl as-sunnah
ix
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................... iii
ABSTRAK .............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................... 1
B. Permasalahan Penelitian ........................................... 9
1. Identifikasi Masalah ............................................ 9
2. Pembatasan Masalah ............................................ 9
3. Perumusan Masalah ............................................ 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................. 10
D. Tinjauan Pustaka ....................................................... 10
E. Metodologi Penelitian ............................................... 15
1. Jenis Penelitian ................................................... 15
2. Sumber Data ....................................................... 15
3. Teknik Pengumpulan Data ................................. 16
4. Teknik Analisis ................................................... 16
5. Langkah-langah dalam Penelitian ....................... 17
F. Sistematika Penulisan ............................................... 17
x
BAB II AL-SUYŪṬĪ: BIOGRAFI DAN KARAKTERISTIK
TAFSIR AL-DUR AL-MANṠŪR FĪ TAFSĪR AL-MA’ṠŪR . 19
A. Riwayat Hidup al-Suyūṭī ........................................ 19
B. Latar Sosial-Pendidikan ......................................... 22
C. Karya-karya al-Suyūṭī ............................................ 27
D. Karakteristik Tafsir al-Suyūṭī ................................. 31
1. Sistematika Penulisan
Tafsīr al-Dur al-Manṡūr .................................. 33
2. Metode Penafsiran ............................................ 38
3. Corak Penafsiran .............................................. 39
4. Sumber Penafsiran ........................................... 40
BAB III AUTENTISITAS AL-QUR’AN ............................. 43
A. Bahasa Arab, Tradisi Tulis dan Lisan ....................... 43
B. Teori tentang Turunya al-Qur’an .............................. 56
C. Pengumpulan dan Kodifikasi al-Qur’an ................... 62
1. Priode Nabi Muhammad SAW ........................... 62
2. Priode Abū Bakar al-Ṣiddīq ................................ 64
3. Priode ‘Uṡmān b. ‘Affān ..................................... 67
BAB IV PEMELIHARAAN AL-QUR’AN PERSPEKTIF AL-
SUYŪṬĪ ................................................................................... 73
A. Pemeliharaan dengan Hafalan .................................. 77
B. Pemeliharaan dengan Penulisan ............................... 80
C. Terhindar dari Tafrīf (Destruktif)
dan Tafdīl (Fanatisme) ............................................... 90
D. Perkembangaan Pengunaan al-Qur’an ...................... 94
xi
BAB V PENUTUP .................................................................. 98
A. Kesimpulan ............................................................... 98
B. Saran ......................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 101
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam berisi kumpulan
firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, sebagian
pendapat ada yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah kalām
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat
Jibril sebagai mukjizat dan berfungsi sebagai hidāyah (petunjuk).1
Di antara tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah untuk
menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka agar
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Di dalamnya juga
berisikan nilai-nilai universal kemanusiaan, bukan hanya untuk
sekelompok manusia ketika ia diturunkan, tetapi juga untuk
seluruh manusia hingga akhir zaman.2
Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia maka al-
Qur’an datang dengan petunjuk-petunjuk, aturan-aturan, prinsip-
prinsip dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang
terinci, yang eksplisit maupun yang implisit dalam berbagai
persoalan kehidupan.3 al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci
yang masih terjaga keoutentikannya (keasliannya). Mulai dari
1Muhammad ‘Abd al-‘Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-
Qur’ān, jilid 1 (Bairut: Dār al-Kitab al-‘Arabī, 1995), 297. 2 Hasani Ahmad Said, Menggagas Munāsabah al-Qur’an: Peran dan
Model Penafsiran al-Qur’an, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 13, No. 1,
Juni 2016, 1-34. https://doi.org/10.24239/jsi.v13i1.412.1-34.
https://scholar.google.com/citations?user=W_OyN8IAAAAJ&hl=en 3M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pusataka
Firdaus, 2008), 13.
2
proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan
periwayatannya dilakukan melalui tradisi oral dan hafalan. Proses
transmisi seperti ini dengan Isnād yang Mutawattir dari generasi
ke generasi, telah menjamin keutuhan dan keasliannya. Untuk
tetap terjaga keasliannya al-Qur’an, perlakuan ini merupakan
kategori membela al-Qur’an dengan cara dimulai dari menjaga al-
Qur’an, menghafal al-Qur’an, dan mengedukasi al-Qur’an kepada
generasi-generasi muda umat Islam. Apabila hal ini tidak
dilakukan kepada bisa saja al-Qur’an hilang dari keoutentikannya
seperti kitab-kitab sebelumnya.
Pemeliharaan al-Qur’an sudah dilakukan pada masa Nabi
Muhammad SAW, secara kalkulasi, pada masa Nabi Muhammad
SAW cukup banyak penghafal al-Qur’an, hanya sebagian sahabat
yang melakukan pemeliharaan al-Qur’an dengan bentuk penulisan.
Penulisan pada masa Nabi Muhammad inilah langkah kedua dalam
pemeliharaan al-Qur’an. Setelah wafatnya Nabi Muhammad,
pemeliharaan al-Qur’an dilanjutkan oleh masa Khalifah Abū
Bakar al-Siddīq sebagai inisiator adalah ‘Umar b. Khaṭṭāb agar
dilakukan kodifikasi al-Qur’an. Hal ini disebabkan banyaknya para
penghafal al-Qur’an yang gugur di dalam peperangan.
Dikhawatirkan nantinya al-Qur’an akan berangsur-angsur hilang
bila hanya mengandalkan hafalan semata. Kebijakan yang
diusulkan oleh ‘Umar belum langsung direnspon dengan cepat,
karena dalam menanggapi usulan ‘Umar tersebut, Abū Bakar
merasa ragu lantaran pada masa Rasulullah hal tersebut tidak lazim
untuk dilakukan. Akan tetapi karena desakan ‘Umar untuk tetap
melakukan kodifikasi al-Qur’an, akhirnya Abū Bakar menyetujui
3
dengan menunjuk Zaid b. Ṡābit sebagai ketua tim kodifikasi al-
Qur’an.4
Pemeliharaan yang tidak begitu sempurna dilakukan oleh masa
Abū bakar al-Siddīq serta dilanjutkan dengan perlakuan yang sama
oleh ‘Umar b. Khaṭṭāb yaitu hanya sebatas pengumpulan
kodifikasi yang kurang memadai, sehingga disempurnakan oleh
masa khalifah ‘Uṡmān b. ‘Affān. Keinginan ini terjadi dikarenakan
situasi yang mengkhawatirkan khalifah ‘Uṡmān b. ‘Affān yang
pada masanya terjadi perselisihan dalam menanggapi kalangan
umat Islam yang kontradiktif mengklaim versi bacaan mereka lah
yang benar. Oleh karenanya ia segera mengundang para sahabat,
baik dari kalangan Anṣar maupun Muhājirīn. Akhirnya, dari
mereka diperoleh suatu kesepakatan, agar mushaf yang ditulis
pada masa Abū Bakar disalin kembali menjadi beberapa mushaf
dengan dialek Quraisy. Dalam hal ini, ‘Uṡmān b. ‘Affān menunjuk
suatu tim yang terdiri empat orang sahabat pilihan, yaitu: Zaid b.
Ṡābit, ‘Abdullah b. Zubair, Sa’īd b. al-‘Āṣ, dan ‘Abd al-Rahmān b.
al-Ḥarīs b. Hisyām. Kodifikasi yang dilakukan pada masa periode
‘Uṡmān b. ‘Affān diselesaikan dengan sangat cermat dan teliti. Hal
ini terlihat pada pengambilan derivasi kata yang diriwayatkan
secara mutawattir dan mengesampingkan riwayat secara ahad.
Menyingkirkan lafal yang di nasakh (dihapus) dan lafal yang
musytarak (ambiguitas). Penyusunan al-Qur’an dilakukan dengan
sistematika al-Qur’an sesuai dengan susunan surah dan ayat
sebagaimana terlihat saat ini. Sebelum menetapkan dan
4Mustafa Murad, Kisah Hidup ‘Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad
Ginanjar & Lulu M. Sunman, cet. IV (Jakarta: Zaman, 2013), 72.
4
menuliskan lafal yang disepakati, tim kodifikasi menghimpun dan
memusyawarahkan semua versi bacaan (qirā’at) yang dikenal oleh
para sahabat, dan jika tetap terjadi perselisihan maka dipilihlah
qirā’at Quraish. Selain itu, tim juga menyisihkan segala sesuatu
yang bukan al-Qur’an, misalnya catatan-catatan kaki (footnote)
yang ditulis oleh para sahabat sebagai penjelasan atas suatu bagian
al-Qur’an, penjelasan tentang nāsikh dan mansūkh.5
Dari penjelasan di atas merupakan bentuk pemeliharaan yang
dilakukan masa Nabi Muhammad SAW hingga masa khilafah.
Tidak hanya ini, tetapi masih banyak bentuk pemeliharaan yang
dilakukan generasi sebelumnya hingga sekarang baik itu dengan
cara menghafalnya maupun mengkodifikasi secara mencetak ulang
untuk disebarluaskan. Bahkan di Indonesia banyak sekali
penghafal al-Qur’an baik itu dilakukan di lembaga yang legal
formal maupun tidak, bahkan di Indonesia memiliki lembaga
khusus untuk menyusun tim penulis al-Qur’an baik itu dengan cara
menteliti susunan penulisan maupun meneliti kesalahan di dalam
penulisan, seperti Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an
Kementrian Agama RI. Pemeliharaan ini merupakan pemeliharaan
manusia terhadap al-Qur’an agar tetap terjaga keorisinalitasnya
sehingga tidak bisa upaya jahat untuk mendekstruktifkan isi
substansi al-Qur’an.
Tetapi sebaliknya, ada sebagian kelompok memberikan
statement bahwa al-Qur’an tidak perlu dibela yang diambil dari
5Musthafa Murad, Kisah Hidup ‘Utsmān b. ‘Affān, terj. Ahmad Ginanjar
& Lulu M. Sunman, cet. IV (Jakarta: Zaman, 2013), 67.
5
peryataan Gus Dur6 bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Lanjutannya
apabila ada informasi atau ekspresi diri yang dianggap merugikan
Islam sebenarnya tidak perlu dilayani. Cukup diimbangi dengan
informasi dan ekpresi diri yang positif konstruktif.7
Padahal al-Qur’an pelu dibela apabila terjadi yang sifatnya
merugikan umat Islam, di dalam al-Qur’an sendiri, Allah
berfirman QS. Muhammad [47]: 7:
ا الذينا آمانوا اماكم إن تانصروا اللا يا يا أاي ها نصركم واي ث اب ت أاقدا
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama)
Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu”
Menurut al-Qurtubī (w. 671H), apabila seseorang
menolong agama Allah, maka Ia akan menolongmu dari
kekufuran, begitupun jika menolong nabinya Allah maka Allah
akan menolongmu.8 Hemat penulis, jika dimaksud dari kata
“Allah” itu adalah Zat Allah itu sendiri dan Sifat-Nya, maka ini
jelas tidak tepat, karena Allah Maha Kuasa sehingga tidak butuh
pertolongan untuk Zat atau Sifat-Nya. Kemudian dijelaskan juga
dalam al-Qur’an sebagai taukīd (penguat) QS. al-Ḥajj [22]: 40:
6Nama asli beliau ada Dr. (H.C.) K. H. Abdurrahman Wahid, lahir di
Jombang, Jawa Timur 7 September 1940 wafat 30 Desember 2009. Beliau
tokoh muslim Indonesia dan pernah menjadi Presiden Indonesia ke-4. Lihat
Wikipedia, “Abdurrahman Wahid,” Diakses, 22 Januari 2019,
https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid. 7Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak perlu dibela (Yogyakarta 1999), 56. 8Muhammad b. Ahmad al-Anṣārī al-Qurtubī Abū ‘Abdillah, al-Jāmi’ li
Ahkām al-Qur’ān, jilid 19 (Muassasah al-Risālah 2006), 706.
6
مان ي انصره والاي انصران الل
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama)-Nya”.
Dari kedua ayat di atas memberikan kesimpulan, bahwa
jika yang dimaksud adalah aturan-aturan baik itu syariat dan
hukum Islam termasuk al-Qur’an maka jelas sekali ayat ini akan
menjadi bantahan terkuat untuk pihak yang mengatakan al-Qur’an
tidak butuh pemeliharaan lantaran Allah lah yang menjaganya.
Kemudian ditemukan penjelasan dari QS. al-Ḥijr [15]: 9:
إن نان ن ازلناا الذ كرا واإن لاه لاااف ظونا
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
Secara harfiah, ayat ini memberikan informasi bahwa Allah
yang menjaga al-Qur’an tidak ada campur tangan manusia
khususnya umat muslim untuk ikut menjaga. Tetapi kalau
dicermati apakah ayat di atas memberikan pernyataan bahwa
penjaga al-Qur’an itu hanya Allah sehingga tidak perlu lagi
dilindungi oleh umat Islam? Jika diteliti dengan menggunakan Ilm
7
al-Ma’ānī,9 kita temukan gaya bahasa yang menunjukkan al-Qaṣr
atau al-Haṣr10 pada redaksi ini:
واإن لاه لااافظونا
Potongan ayat ini tidak ditemukan Qaṣr (pembatasan)
tetapi hanya memberikan makna penegasan, sehingga redaksi ini
memberikan informasi penegasan bahwa Allah adalah penjaga al-
Qur’an bukan sebaliknya yang memberikan pembatasan bahwa
yang menjaga al-Qur’an hanya Allah.
Tetapi pada redaksi awal ayat sebelumnya yaitu:
إن نان ن ازلناا الذ كرا
9Ilmu Ma’ānī adalah merupakan bentuk jamak dari (معنى). Secara
leksikal kata tersebut berarti maksud, arti atau makna. Para ahli ilmu Bayan
mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang
ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran. Sedangkan
menurut istilah Ilmu Ma’ānī adalah sebagai berikut.
الال مقتضى يطابق الطيبه العربي اللفظ أحوال به تعرف علمYaitu “Ilmu untuk mengetahui hal-ihwal lafazh bahasa Arab yang sesuai
dengan tuntutan situasi dan kondisi”. Lihat Jalaluddin ‘Abd al-Rahmān al-
Suyūtī, Syarah ‘Uqud al-Jumān (semarang: Al-munawwar), 8. 10Menurut al-Suyūṭī, al-Qaṣr adalah:
شيء أخر بواحد من طرق مخصوصة من طرق القول الفيد للقصر maksudnya adalah upaya penegasan, atau penekanan pada salah satu unsur atau
bagian kalimat yang dipentingkan. Selanjutnya ada juga gaya bahasa
pemfokusan dilakukan dengan penempatan pada awal kalimat atau memakai
kata pemisah atau dengan menggunakan alat/ huruf fokus. Kesimpulannya, Al-
Qaṣr ialah mengkhususkan suatu perkara dengan perkara yang lain dengan cara
tertentu. Jadi dalam Qaṣr ini nanti ada yang mengkhususkan dan ada yang
dikhususkan, dan tentunya ada cara-cara tertentu dalam pengkhususan, paling
tidak itulah yang dinamakan Qaṣr. Sebelum dikhususkan, sesuatu yang
dikhususkan itu merupakan sesuatu yang umum, dan dengan Qaṣr akan menjadi
khusus. Lihat Mustofa Thomun, Qawāid al-lughah al-‘Arābiyyah (Semarang:
Maktabah Al uluwiyah), 210, dan Jalāluddīn ‘Abdurrahmān al-Suyūtī, Syarah
‘Uqud al-Jumān (Semarang: Al-munawwar), 43.
8
Justru pada redaksi ini memberikan penegasan dan
pembatasan, maksudnya memberikan informasi penegasan
sekaligus pembatasan bahwa yang telah menurunkan al-Qur’an
hanya Allah, karena redaksi ayat ini menggunakan huruf taukīd
(penguat) yang berupa Jumlah Ismiyyah yang berupa Lam Taukīd
dan berupa huruf Inna sekaligus huruf Qaṣr yang menggunakan
Ḍamīr al-Faṣl (kata pemisah). Sehingga redaksi pertama bahwa
Allah memang menurunkan al-Qur’an yang merupakan penegasan
dan pembatasan, tetapi redaksi lanjutannya, yang menjaga al-
Qur’an adalah Allah yang berupa penegasan tetapi tidak
pembatasan, maksudnya bukan hanya Allah yang menjaga sendiri
tetapi para malaikat dan umat Muslim.
Menurut al-Suyūṭī (w. 911 H), menafsirkan QS. al- Ḥijr
[15]: 9 sebagai berikut:
س أن يزيد فيه باطلا الباطل إبليس، قال: فأنزله الله ثم حفظه فلا يستطيع إبليو
ولا ينقص منه حقا حفظه الله من ذلك
Ayat ini memberikan penegasan bahwa al-Qur’an akan
tetap terjaga dari kebatilan iblis, maka turunlah ayat ini sebagai
bentuk argumentatif bahwa Allah menjaga al-Qur’an dan tidak
bisa ditambah dan tidak bisa juga dikurangi.11
Pada kasus ini, al-Suyūṭī tendensi beranggapan bahwa
Allah menjaga al-Qur’an ketika turun kepada Nabi Muhammad.
Tetapi tidak menegasikan bahwa al-Qur’an dijaga oleh manusia.
11Al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi Tafsīr al-Ma’tsūr, jilid VIII (al-
Qāhirah, 2003), 593-594.
9
Salah satu cara menjaga dan memelihara al-Qur’an agar tetap eksis
sampai ini adalah dengan cara mengahafalnya dan reproduksi
kembali dalam mencetak al-Qur’an.
B. Permasalahan Penelitian
1. Identifikasi Masalah
Adapun beberapa hal yang menjadi identifikasi masalah
adalah:
a. Bagaimana perbedaan pendapat mengenai
pemeliharaan terhadap al-Qur’an?
b. Bagaimana uraian ulama tafsir tentang al-Qur’an yang
akan selalu tetap dijaga oleh kaum muslimin?
2. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini, penulis lebih membahas tentang
bagaimana konteks pemaknaan pemeliharaan al-Qur’an.
Namun, penulis mengambil penafsiran al-Suyūṭī dalam kitab
al-Dur al-Manṡūr fi Tafsīr al-Ma’ṡūr untuk menafsirkan QS.
Al-Baqarah [2]: 282, QS. al-Ankabut [29]: 49, dan QS. al-Hijr
[15]: 9 dan diikuti dengan beberapa ayat yang memperkuat
argumen pemeliharaan al-Qur’an. Alasan pengambilan al-
Suyūṭī adalah penafsiran yang digunakan al-Suyūṭī cukup
berbeda dengan ulama lainnya, dan memiliki kejelasan
tersendiri dari penafsiran ulama lainnya. Alasan yang lain, al-
Suyūṭī memiliki karya-karya lain untuk membantu
menyelesaikan penelitian ini yang dijadikan sebagai sumber
sekunder dalam penelitian ini.
3. Perumusan Masalah
10
Dalam skripsi ini penulis membatasi permasalahan yaitu,
bagaimana pandangan al-Suyūṭī tentang pemeliharaan al-
Qur’an?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan
yang mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengelaborasi penafsiran ulama dalam memahami
ayat-ayat pemeliharaan terhadap al-Qur’an
2. Untuk mengkritik sebagian kalangan umat muslim yang
mengikuti klaim bahwa al-Qur’an tidak butuh
pemeliharaan.
Sedangkan kegunaannya, yaitu sebagai berikut:
1. Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan
keilmuan khususnya dalam bidang tafsir.
2. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah-
mudahan dapat dijadikan sebagai literatur dan dorongan
untuk mengkaji masalah tersebut lebih lanjut.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini perlu dikaji dan diteliti dari berbagai aspek,
karena bersinggungan langsung dengan sosial kemasyarakatan
yang bermayoritas beragama Islam di negara ini. Penelitian yang
berjudul “Perspektif al-Suyūṭī Tentang Pemeliharaan al-Qur’an ”.
Judul ini ingin menjelaskan argumentasi yang diberikan kepada
kelompok yang memiliki statement al-Qur’an tidak butuh
11
pembelaan dan membahas argumentasi sebagai kritikan, sehingga
al-Qur’an membutuhkan pembelaan. Dari hasil penelusuran yang
telah dilakukan ditemukan literatur yang berbentuk buku, jurnal,
dan skripsi yaitu:
1. Saat al-Qur’an Butuh Pembelaan oleh Buku yang ditulis oleh
Prof. Dr. Abdul Shabur Syahin. Buku ini menjelaskan tentang
sebuah analisis sejarah sekaligus menepis tuduhan-tuduhan
palsu para orientalis tentang al-Qur’an dengan menghadirkan
fakta-fakta sejarah yang justru mengukuhkan kesucian al-
Qur’an. Melalui buku ini, pembaca akan menemukan
pemahaman yang benar tentang definisi al-Qur’an,
kesejarahan mushaf, sebab-sebab diturunkannya al-Qur’an
(asbab al-nuzūl), bacaan tujuh huruf, asal-usul tulisan Arab,
serta jawaban ilmiah terhadap tuduhan-tuduhan palsu para
orientalis yang skeptis terhadap kemurnian al-Qur’an.
Bersama buku ini pembaca diajak menyelam lebih jauh dalam
memahami al-Qur’an mulai dari aspek historisnya, bagaimana
al-Qur’an dibentuk, bagaimana menjaga keotentikan al-
Qur’an, al-Qur’an pada masa setelah Nabi Muhammad,
metodologi, Al-Qur’an, sampai kepada tantangan apa saja
yang akan dihadapi al-Qur’an.12
2. Al-Qur’an Itu Menjaga Diri: Perangan Regulasi Iri Penghafal
al-Qur’an oleh Faisal Tanjung, Lukmawati, dan Jhon
Supriyanto, yang diambil dari jurnal. Penelitian ini membahas
12Abdul Shabur Syahim, Saat al-Qur’an butuh pembelaan, (Jakarta:
Erlangga, 2006).
12
tentang regulasi diri penghafal al-Qur’an dengan
menggunakan metodologi kualitatif desain fenomenologi.13
3. Pembukuan dan Pemeliharaan al-Qur’an oleh Moh.
Muslimin, yang diambil dari jurnal. Penelitian ini membahas
al-Qur'an yang berada di tangan kita sekarang ini adalah al-
Qur'an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad, tanpa
adanya perubahan, karena keberadaan al-Quran yang demikian
ini berkaitan dengan sifat dan cirinya, yang tetap sebagaimana
keadaannya dahulu. al-Qur'an sekarang ini tidak berbeda
sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah, dan
didengar dan dibaca oleh para sahabat. Terjaganya al-Qur’an
karena dihafal oleh jutaan umat Islam di seluruh dunia dan
tidak tertinggal di Negara Indonesia, dengan munculnya
pondok pesantren Hufādz di mana-mana. Dengan munculnya
banyak pondok pesantren Hufādz tersebut, setiap tahunnya
menghasilkan penghafal-penghafal baru yang jumlahnya
semakin bertambah.14
4. ke-Mutawatiran al-Qur’an: Metode Periwayatan Dalam
Sejarah al-Qur’an oleh Uun Yusufa yang diambil dari jurnal.
Penelitian ini membahas metode periwayatan dalam al-Qur’an,
sebab terjaganya keoutentikannya dikarenakan periwayatan al-
Qur’an dengan mutawatir.15
13Faisal Tanjung, Lukmawati, dan Jhon Suriyanto, “al-Qur’an Itu
Menjaga Diri: Perangan Regulasi Iri Penghafal al-Qur’an,” Jurnal Psikologi
Islami, vol. 3, no. 2 (2017): 94-105. 14Moh. Muslimin, “Pembukuan dan Pemeliharaan al-Qur’an,” Jurnal
Pemikiran Islam, vol. 25, no. 2 (2014): 245-260. 15Uun Yusufa, “Ke-Mutawatira-an al-Qur’an: Metode Periwayatan
dalam Sejarah al-Qur’an,” Hermeunetika, vol. 7, no. 2 (2013).
13
5. Pemeliharaan al-Qur’an: Suatu Tinjauan Histori oleh
Nihayatul Masykuroh, yang diambil dari jurnal. Tulisan ini
membahas tentang sejarah awal masa turun al-Qur’an, hingga
al-Qur’an sudah mulai dikodifikasikan.16
6. Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan al-Qur’an Pada Masa
Nabi Muhammad SAW dan Sahabat oleh Muhammad Ichsan,
yang diambil dari jurnal. Tulisan ini membahas sejarah
penulisan pemeliharan al-Qur’an. Penulisan dimulai masa
Nabi Muhammad hingga masa Sahabat. Pemeliharaan al-
Qur’an yang dilakukan di masa Nabi Muhammad dengan cara
menghafal al-Qur’an17
7. Konsep keterjagaan al-Qur’an menurut al-Sya’rāwī (kajian
atas makna lahāfidzūn) skripsi yang ditulis oleh Ali Muharrom
berjudul. Penelitian ini membahas penafsiran al-Sya’rāwī QS.
al-Ḥijr [15]: 9 sekaligus membantah pendapat Eva Nugraha
dalam Disertasinya mengenai eksistensifikasi struktur
lahāfiẓūn.18
8. Hadis tentang menjaga hafalan al-Qur’an (studi ma’ānī al-
Hadīṡ) oleh Fauziatul Ummayah berjudul. Penelitian ini
membahas tentang makna hadits menjaga hafalan al-Qur’an..
16Nihayatul Masykuroh, “Pemeliharaan al-Qur’an: Suatu Tinjuan
Histori,” al-Qalam, vol. 13, no. 72 (1998). 17Muhammad Ichsan, “Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan al-Qur’an
Pada Kasa Nabi Muhammad SAW dan Sahabat,” Jurnal Substantia, vol. 14, no
1 (2012). 18Ali Muharrom, “Konsep Keterjagaan al-Qur’an Menurut al-
Sya’rāwī: kajian atas makna lahāfdzūn)” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019).
14
berangkat dari problematika lupanya seorang penghafal al-
Qur’an, sebab menjaga al-Qur’an merupakan sunnatullah.19
9. Budaya menjaga hafalan al-Qur’an bagi hāfidz hāfidzah di
lingkungan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta oleh Riswandi. Penelitian ini membahas fenomena
budaya menjaga hafalan al-Qur’an. Tulisan ini juga ingin
melihat dua dinamika budaya yang berbeda yaitu agama dan
akademik.20
10. Keterlibatan manusia dalam memelihara keotentikan al-
Qur’an: sebuah kajian histori oleh Bunyamin. Penelitian ini
membahas tentang bagaimana proses pengkodifikasi al-Qur’an
dan sejauh mana ketelibatan manusia dalam memelihara
keotentikan al-Qur’an.21
Dari literatur ini, penulisan tidak menemukan adanya
kesamaan secara khusus yang dibahas oleh penulis dalam
penulisan ini adalah “Perspektif Al-Suyūṭī Tentang Pemeliharaan
Al-Qur’an.”
19Fauziatul Ummayah, “Hadits Tentang Menjaga Hafalan al-Qur’an :
Studi Ma’ani al-Hadits” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2015). 20Riswandi, “Budaya menjaga hafalan al-Qur’an bagi hāfidz hāfidzah
di lingkungan (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)” (Skripsi
S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013). 21Bunyamin, “Keterlibatan Manusia dalam Memelihara Keotentikan
al-Qur’an: Sebuah Kajian Histori” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif
Hiayatullah Jakarta, 1999).
15
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif,
yaitu penelitian dengan mengumpulkan kata atau kalimat dari
individu, buku atau sumber yang lain.22 Penulis menggunakan
metode pendekatan penafsiran al-Qur’an dari segi tafsir
tematik. Yakni, menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang
memiliki tujuan yang sama, menyusunnya secara kronologis
selama memungkinkan dengan memperhatikan sebab
turunnya, menjelaskannya, mengaitkannya dengan surah
tempat ia berada, menyimpulkan dan menyusun kesimpulan
tersebut ke dalam kerangka pembahasan sehingga tampak dari
segala aspek, dan menilainya dengan kriteria pengetahuan
yang sahih.
Untuk lebih jelasnya, penulis menghimpun ayat-ayat
Alquran yang berkenaan dengan pemeliharaan terhadap al-
Qur’an, kemudian menyusunnya berdasarkan kronologis serta
sebab turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga diketahui
pengklasifikasiannya. Apakah ia tergolong ayat-ayat makkiyah
atau madaniyyah.
2. Sumber Data Penelitian
Sumber utama yang menjadi data primer adalah penafsiran
ulama seperi al-Suyūṭī. Sedangkan data sekunder didapat dari
tulisan orang lain yang membicarakan dan mendiskusikan
tentang pemeliharaan terhadap al-Qur’an melalui buku, artikel,
22Nanang Martono, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Grafindo
Persada, 2010), 19.
16
jurnal dan lainnya yang memiliki korespondensial dengan tema
penelitian.
3. Teknik Pengumpulan data
Mengenai pengumpulan data, penulis menggunakan
metode atau teknik library research, yaitu mengumpulkan
data-data melalui bacaan dan literatur-literatur yang ada
kaitannya dengan pembahasan penulis. Teknik ini bisa disebut
juga sebagai studi dokumen yang merupakan salah satu proses
kajian penelitian untuk melihat dan menganalisis pernyataan
atau data seseorang atau kelompok. Studi dokumen ini
dilakukan dengan melihat hasil data dari para penelitian yang
sudah ada untuk melihat gejala perubahan sosial di masyarakat
mengenai penelitian penulis.23 Sebagai sumber pokoknya
adalah al-Qur’an dan penafisrannya, serta sebagai
penunjangnya yaitu buku-buku keislaman yang membahas
secara khusus tentang tafsir, disiplin Ilmu Bahasa dan buku-
buku yang membahas secara umum dan implisitnya mengenai
masalah yang dibahas.
4. Teknis Analisis Data
Metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini
adalah deskriptif-analitik, yaitu mendeksripsikan keseluruhan
data yang sudah ada.24
23Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Posdakarya), 216-217. 24Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B
(Bandung: Alfabeta, 2017), 245.
17
5. Langkah-langkah Penelitian
Langkah-langkah dalam penelitian ini sebaga berikut:
Pertama, mereduksi yaitu kegiatan merangkum atau
memilih data-data penting sehingga dapat memberikan
gambaran secara spesifik dalam menentukan permasalah
penelitian. Penulis memilih tema umum tentang pemeliharaan
terhadap al-Qur’an.
Kedua, penyajian data. Kegiatan ini dilakukan setelah
mereduksi data. Selanjutnya data yang sudah direduksi
disajikan dengan diagram yang akan mempermudah dalam
memahami penjelasan deskriptif di atasnya.
Ketiga, penarikan kesimpulan, kegiatan ini merupakan
kegiatan terakhir yang dilakukan dalam penelitian. Setelah
melakukan dua kegiatan di atas maka harus dilakukan
kesimpulan sebagai gambaran umum hasil penelitian tersebut.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran
materi yang terkandung dalam skripsi ini, maka penulis menyusun
dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang teridiri dari latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan
pustaka, tujuan penelitian, metode penelitian dan penulisan serta
sistematika penulisan.
Bab II merupakan landasan teori dari penelitian ini beserta
gambaran umum perihal argumentasi pro dan kontradiktif
pemeliharaan terhadap al-Qur’an.
18
Bab III berbicara sepintas tentang definisi al-Quran, nama-
nama al-Qur’an, sejarah turunnya al-Qur’an dan fungsi al-Qur’an.
Bab IV sebagai pembahasan inti yang berisikan argumentasi
pemeliharaan terhadap al-Qur’an, yang merupakan hasil dari
analisis penulis berdasarkan pendekatan kualitatif berupa telaah
dari pendapat mufasir tentang ayat-ayat pemeliharaan terhadap al-
Qur’an.
Bab V merupakan bab penutup terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran.
19
BAB II
BIOGRAFI AL-SUYŪṬĪ DAN KARAKTERISKTIK
TAFSĪR AL-DUR AL-MANṠŪR
A. Riwayat Hidup Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī
Al-Suyūṭī memiliki nama lengkap ‘Abd al-Rahmān b. Kamal
b. Abū Bakr b. Muhammad b. Sabīq al-Dīn b. Fakhr ‘Uṡmān b.
Naziruddīn Muhammad b. Saifuddin, Hadīr b. Najmuddīn, Abī
Ṣalah ‘Ayūb b. Nashīruddīn, Muhammad b. Syaikh Hamamuddīn
al-Hamam al-Hudhairī al-Suyūṭī al-Syafi’ī.1 Sebagian ada yang
menambahkan dengan sebutan Abū al-Faḍl al-Syafi’ī.2 Penulis
Mu’jam al-Mallifīn menambahkan dengan sebutan Aṭalunī al-
Miṣrī Al-Syafi’ī, dan diberi gelar Jalāl al-Dīn. Nama al-Khudhairī
diambil dari nama desa al-Khudhairiyyah dekat Baghdad. Hal ini
diakui oleh Suyūṭī sendiri meskipun semasa hidupnya terdapat dua
nama al-Khudhairiyyah masing-masing di al-Suṭ dan Kairo.
Barangkali penegasan Suyūṭī ini untuk mengembalikan jejak
nenek moyangnya dari sebuah wilayah yang jauh dan terkenal.3
Sedangkan panggilan al-Suyūṭī diambil dari nama wilayah tempat
ia dilahirkan yaitu Suyuṭ yang merupakan satu daerah pedalaman
di Mesir, karena ketika itu Ayahnya pindah ke kota al-Syuṭ.
1Jalāl al-Dīn Suyūṭī, al-Asybāh wa al-Naẓā’ir (al-Qahirah: Maktabah
al-Tsaqafī, 2007), 15. 2Muhammad Husain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I (al-
Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000), 180. 3Yusrin Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam Dari Klasik
Hingga Modern, cet. 1 (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2004), 85.
20
Ia juga diberi gelar Ibn al-Kutb alasannya adalah karena
dilahirkan di antara buku-buku milik Ayahnya dan ketika ia lahir
diletakkan oleh ibunya di atas buku. Al-Suyūṭī hidup pada masa
dinasti Mamlūk pada abad ke-15 M dan berasal dari keluarga
keturunan Persia yang pada awalnya bermukim di Baghdad
kemudian pindah ke Asyuī. Keluarga al-Suyūṭī merupakan orang
terhormat pada masanya dan ditempatkan pada posisi-posisi
penting dalam pemerintahan.4
Al-Suyūṭī lahir pada awal bulan Rajab tahun 849 H/1445 M,
setelah ia lahir duka menyelimuti al-Suyūṭī ditinggalkan oleh
ibunya bahkan setelah usianya lima tahun Ayahnya pun pergi
menyusul Ibunya. Kepergian kedua orang tuanya tidak membuat
ia putus asa. Selain itu juga Ia hidup di lingkungan akademisi
keilmuan serta ketakwaan. Ketika ayahnya meninggal pada tahun
855 H, ia telah hafal al-Qur’an sampai surat al-Tahrim padahal
usianya masih kurang dari 6 tahun, dan ketika usianya kurang dari
8 tahun, ia telah menghafal seluruh al-Qur’an. Setelah Ayahnya
meninggal, ia dibimbing oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahīd
sampai usia 11 tahun. Dengan ini terbukti bahwa ia menghilangkan
keputusasaanya dengan membangkitkan semangat untuk
memperdalam ilmu agama.
Al- Żahabi menjelaskan bahwa Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī
merupakan orang yang paling alim di zamannya dalam segala
disiplin ilmu, baik yang berkaitan dengan al-Qur’an, hadits, rijāl
dan gharīb al-hadīṡ. Bahkan Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī pernah
4Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid I, cet. 1
(Mesir: Dār al-Salam, 2008), 6-7.
21
mengungkapkan bahwa ia hafal hadis sebanyak 200.000 hadits,
bahkan beliau pernah mengatakan “Sekiranya saya menemukan
lagi hadis yang labih banyak dari jumlah tersebut, saya pasti bisa
menghafalnya”.5 Salah satu kelebihan al-Suyūṭī adalah pernah
bermimpi bertemu dengan Rasulullah, dalam mimpi tersebut ia
bertanya kepada Nabi “Apakah saya termasuk ahli surga?
Kemudian Nabi Muhammad menjawab “Iya”, kemudian ia
bertanya lagi “Apakah saya akan diazab terlebih dahulu ya
Rasul?” Kemudian Rasul menjawab “Tidak”.6
Selain menghafal al-Qur’an dan hadis ia juga telah
menyelesaikan hafalan berbagai kitab, di antaranya: ‘Umdah al-
Ahkām, al-Fiyyah b. Malik, Minhāj al-Ṭalibīn, dan lain-lain.
Ketika berusia 40 tahun, al-Suyūṭī meninggalkan kegiatan yang
sifatnya publik baik itu kajian jama’ah, fatwa, mengajar dan
lainnya. Meninggalkan itu semua dengan menuju misi yang lebih
penting baginya adalah beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah. Kemudian genap berusia 61 tahun 10 bulan 18 hari,
seminggu sebelum wafat beliau sempat menderita sakit di bagian
tangan kiri sehingga mengakibatkan beliau berpulang ke
rahmatullah. Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī dimakamkan di Husy
Qushun di luar pintu Qarafah Kairo Mesir. Jasad al-Suyūṭī
disemayamkan dekat dengan makam Imam Syafi’ī dan Imam
Waqī’. Makamnya selalu tertutup, tidak bisa masuk ke dalam
kecuali dengan menghubungi juru kunci. Namun menurut al-
5Muhammad Husain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I (al-
Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000), 180. 6‘Abd al-Hayy b. Ahmad b. Muhammad b. al-‘Imād, Syazarāt al-
Żahab fi Akhbār min Żahab, jilid VIII (Bairūt: Dār Ibn Katsīr, 2010), 52.
22
Żahabi, Imam al-Suyūṭī meninggal pada malam jumat tanggal 19
Jumadil Ula tahun 911 H/1505 M.7
B. Latar Sosio-Pendidikan
al-Suyūṭī banyak mendapatkan pendidikan dari beberapa
ulama besar di zamannya, ini disebabkan keinginan dan semangat
yang abisius dalam menuntut ilmu sehingga menjadikannya
sebagai ulama yang sangat diperhitungkan dan karya-karya banyak
dijadikan referensi baik itu di ruang akademisi ataupun non-
akademisi. Adapun ulama yang pernah ia kunjungi di antaranya:
Imam Sirāj al-Dīn al-Qalyūbi dan Syaikh al-Islām ‘Ilm al-Dīn al-
Bulqainī dari kedua ulama ini al-Suyūṭī mempelajari fiqh, Taqī al-
Dīn al-Samnī dan Syihab al-Dīn mendidiknya ilmu farā’id, Imam
Taqī al-Dīn al-Hanafī belajar kepadanya ilmu Hadis dan
gramatikal Arab, dalam bidang ilmu Tafsir ia berguru kepada
tokoh ulama terkenal dikalangan madzhab Syafi’ī yaitu Imam Jalāl
al-Dīn al-Mahallī yang merupakan seorang penulis tafsīr jalalain.8
Selain itu, Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī juga pernah menekuni kitab
Ṣahīh Muslīm kepada al-Syamsy al-Syairamī. Tidak hanya disiplin
agama, al-Suyūṭī juga menekuni keilmuan kedokteran yang belajar
langsung dari Muhammad b. al-Dawanī yakni seorang pakar
kedokteran berasal dari Roma yang pindah ke Mesir. imam al-
Suyūṭī tidak hanya berguru kepada gender laki-laki, tetapi Imam
7Muhammad Husain al- Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I,
180. Lihat pula, ‘Abd al-Hayy b. Ahmad b. Muhammad b. al-‘Imād, Syazarāt
al- Żahab fi Akhbār min Żahab, jilid VIII, 51-55. 8Mani ‘Abdul Halim Ahmad, Manhaj al-Mufassirīn, terj: Faisal Saleh
dan Syahdianor, cet.1 (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), 126.
23
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī juga memiliki guru dari kalangan
perempuan, di antaranya: ‘Aisyah b. Alī, Niswan b. Abdullah al-
Kananī, Hajar b. Muhammad al-Misriyyah. Kebiasaan ulama
dahulu untuk mencari pengetahuan adalah rihlah (bepergian)
sehingga tidak stagnasi di satu tempat melainkan berpindah
ketempat lain untuk mencari ilmu. Tradisi ini juga diikuti oleh
Imam al-Suyūṭī dalam menimba ilmu pengetahuan. Sebagian di
antaranya wilayah yang pernah dikunjungi oleh al-Suyūṭī adalah
Syam (Syiria), Hijaz, Yaman, India, Maroko, dan lain-lain.
Agar lebih mudah penulis menyusun nama-nama gurunya baik
itu laki-laki maupun perempuan di antaranya:
a. Syaikh Ahmad b. Ibrāhīm b. Naṣr b. Ahmad b. Muhammad
b. Abū al-Fatḥ al-Kinani al-Asqālanī al-Qahirī al- Ṣalihī al-
Hanbalī.
b. Syaikh Syihāb al-Dīn Ahmad b. Alī b. Abū Bakar al-
Syarimsahi al-Syafi’ī
c. Syaikh Taqī al-Dīn Ahmad b. Muhammad b. Muhammad
b. Hasan b. Alī b. Yahyā al-Tsumunnī
d. Syaikh Taqī al-Dīn al-Syiblī al-Hanafī
e. Imam ‘Alam al-Dīn al-Bulqunī Ṣalih b. ‘Umar b. Ruslān.
f. Syaikh ‘Abd al-Azīz b. ‘Abd Wahīd b. Abdullah b.
Muhammad al-‘Izz b. al-Tāj al-Takrūrī al-Syafi’ī.
g. Syaikh Abū Faḍl ‘Abd al-‘Azīz b. Muhammad b.
Muhammad b. al-‘Izz al-Miqātī.
h. Syaikh ‘Abd al-Qadīr b. Abū al-Qāsim b. Ahmad b.
Muhammad b. ‘Abd al-Mu’ṭi al-Anṣarī al-Sa’di al-‘Ubaidi
al-Malikī.
24
i. Imam Jalāl al-Dīn Al-Mahalli Muhammad b. Ahmad b.
Ibrāhim al-Mahalli al-Syafi’ī.
j. Syaikh Muhammad b. Sulaiman b. Sa’ad b. Mas’ūd al-
Rumī al-Bar’Ami al-Kafijī al-Hanafī
k. Imam Kamal al-Dīn al-Hammam al-Hanafī Muhammad b.
‘Abd al-Wahīd b. ‘Abd al-Hamīd al-Iskandarī.
l. Imam al-Munawi Syarafuddin Yahyā b. Muhammad b.
Muhammad b. Muhammad
Adapun guru-guru Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī yang berasal
dari wanita di antaranya:
a. Amatul Kholiq (Umm al-Khair).
b. Amatul ‘Aziz b. Muhammad b. Yunus Al-Amanī.
c. Umm al-Faḍl b. Muhammad al-Maqdisī.
d. Umm al-Hanī’ b. Abū al-Hasan Al-Hurinī
e. Khādijah b. Abū al-Hasan b. Al-Mulqīn.
f. Faṭīmah b. Alī b. Al-Yasīr
g. Kamaliyyah b. Muhammad b. Abū Bakar al-Marjanī
h. Nasywan b. Abdullah al-Kananī
i. Hajar b. Muhammad al-Mishriyyah
j. Hajar b. Muhammad al-Maqdisī9
Imam al-Suyūṭī memiliki profesi sebagai tenaga pengajar di
madrasah al- Syaikhuniqah selama 12 tahun dan menjabat sebagai
mufti (pemberi fatwa) pada waktu yang sangat lama. Sewaktu
mengabdi di al-Syaikhuniqah al-Suyūṭī sempat mendapatkan gelar
9Muhammad Ismā’īl Shaleh Batubara “Konsistensi Imam Jalaluddīn
al-Suyūṭī Menafsirkan Ayat-ayat Sumpah” (Tesis: Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara Medan, 2016), 45-47.
25
al-Ustaż oleh pimpinan madrasah tersebut, dan sempat berpindah
tugas ke madrasah yang lebih terkenal yaitu al-Bibersiyah. Di
tempat ini ini ia juga mendapatkan gelar yang sama, namun gelar
tersebut tidak lama disandangnya, sebab ia dianggap ulama yang
menentang pemerintah Dinasti Mamluk pada abad ke-15 M yang
sewaktu dengan Daulah Jarakisah tahun 789- 992 H. Sehingga
dengan tudingan yang dilontarkan kepada al-Suyūṭī akhirnya gelar
al-Ustaż yang disandangkan, beliau tanggalkan pada tahun 906
H.10
Dengan kapasitas keilmuannya yang ia pelajari, Al-Suyūṭī
telah menghasilkan karya tulis yang sangat banyak, mencapai 600
atau lebih karangan dari berbagai ilmu. Beberapa karangan yang
terkenal adalah bidang tafsir dan ilmu tafsir seperti Tafsīr Jalalain,
al-Itqān, Lubab al-Nuqūl, dan lainnya. Dari banyak karya ini, al-
Suyūṭī mendapat julukan Punggawa al-Qur’an abad ke-8, meski ini
bukan satu-satunya julukan yang disematkan beliau. Menurut as-
Sā’id Mamduh, karya Al-Suyūṭī mencapai 725 kitab.
Begitu banyak karya-karya yang ia tulis, menunjukkan bahwa
ia memiliki kredibelitas sebagai tokoh intlektual Islam yang
mempunyai prestise dan bisa melakukan dalam masalah ijtihad.
Imam al-Suyūṭī pernah mengeluarkan diktum bahwa keilmuan
yang dimilikinya sudah sampai kepada derajat seorang mujtahid.
Diktum ini diutarakan oleh al-Suyūṭī bukan karena
kesombongannya, tetapi karena kenikmatan diberikan oleh Allah
kepadanya. Setelah mengeluarkan diktum tersebut, al-Suyūṭī
10Saiful Amin Ghofur, M. Alaika Salamullah (Ed.), Profil Para
Mufassir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 112.
26
menginterpolasi bahwa upaya mencapai keilmuan tersebut bukan
karena kemampuannya, sebab tiada daya upaya kecuali dengan
Allah.11 al-Suyūṭī berpandangan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka
di setiap zaman dan tidak boleh ada zaman yang kosong dari
mujtahid, karena naṣ terbatas, sementara persoalan yang menuntut
jawaban hukum tidak terbatas. Menurut al-Suyūṭī ada beberapa
disipllin ilmu yang mesti dikuasai oleh seseorang yang melakukan
ijtihad, diantaranya: ilmu al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh,
ilmu Gramatika Arab, ilmu tentang Ijma’ Khilafiyyah, ilmu
Hitung, ‘ilm al-Nafs, dan ilmu Akhlak. Ilmu-ilmu tersebut sudah
dikuasai oleh al-Suyūṭī dengan metode hafalan.
Pernyataan Imam al-Suyūṭī ini mendapat kritikan dari para
ulama sezamannya. Sebagian diantara mereka mengatakan bahwa
walaupun al-Suyūṭī memiliki multidisiplin keilmuan mumpuni
tetapi kekuranganya tidak menguasai ilmu mantiq (logika).
Menurut jumhur ulama salah satu syarat absolut yang harus
dimiliki oleh seorang mujtahid hendaklah ia memiliki pengetahuan
segala disiplin ilmu termasuk bidang ilmu mantiq.12 Menurut ‘Abd
al-Wahab ‘Abd seorang guru besar al-Azhar Mesir, yang
memberikan kritikan kepada al-Suyūṭī disebabkan karena
beberapa faktor antara lain: pengakuannya bahwa ia adalah
seorang mujtahid dan pembaharu keagamaan pada abad ke 9 H,
disamping itu al-Suyūṭī juga mempunyai pendapat-pendapat fiqh
yang tidak sejalan dengan kebanyakan fuqaha pada masanya,
11Mani ‘Abdul Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirīn, terj. Faisal
Saleh dan Syahdianor, cet. I (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2006), 128. 12Mani ‘Abdul Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirīn, terj. Faisal
Saleh dan Syahdianor, cet. I (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2006), 128.
27
seperti al-Suyūṭī berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi
Muhammad akan selamat dari siksaan pada hari akhir dan diktum
orang yang telah meninggal akan ditanya oleh malaikat sebanyak
tujuh kali.13
Sebagai sosok yang multidisipliner, pasti banyak orang yang
ingin belajar kepadanya. Adapun murid-muridnya di antaranya:
Muhammad b. ‘Alī a;-Dawudi (w. 945 H) penulis Thabaqāt al-
Mufassirīn, Zain al-Dīn Abū Hafẓ ‘Umar b. Ahmad al-Syama’ (w.
936 H), seorang ahli hadis di Halaba dan penulis al-Kawākib al-
Niraṭ fi al-‘Arbā’īn al-Buldaniyyāt, Muhammad b. Ahmad b. Iyas
(w. 930 H), penulis Badā’i al-Zhuhūr, Muhammad b. Yūsuf al-
Syami al- Ṣalihi al-Miṣri, Ibn Thulūn b. ‘Alī b. Ahmad (w. 953 H),
dan al-Sya’ranī ‘Abd al-Wahhab Ibn Ahmad (w. 973 H).14
C. Karya-karya al-Suyūṭī
Ketekunan al-Suyūṭī dalam menempuh kegiatan rihlah
intlektual membuah hasil dengan mengekspresikan dalam bentuk
buku. Banyak sekali karya-karya al-Suyūṭī dalam berbagai bidang,
bahkan setiap kalangan berbeda-beda dalam menjumlahi karya-
karya yang telah ditulis olehnya. Misalnya menurut Haji Kholifah
dalam Kasyf al- Żunūn, bahwa karya yang ditulis oleh Imam al-
Suyūṭī mencapai 540 kitab. Dalam al-Nūr al-Safīr ‘an Akhbār al-
Qur’ān al-Asyīr yang ditulis oleh Syaikh al-Sayyīd ‘Abd Qadīr b.
‘Abdullah al-Idrūs dijelaskan bahwa karya-karya al-Suyūṭī telah
13‘Abd al-Hayy b. Ahmad b. Muhammad b. al-‘Imād, Syazarāt al-
Żahab fi Akhbār min Żahab, jilid VIII (Bairūt: Dār Ibn Katsīr, 2010), 53. 14Yusrin Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam Dari Klasik
Hingga Modern, cet. 1 (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2004), 88.
28
mencapai jumlah hingga 600 karya selain yang dia perbaiki
kembali dan tidak jadi diedarkan. Sedangkan menurut Sayyid
Muhammad ‘Abd Hayy al-Kaṭṭani, jumlah keseluruhan karya
Imam al-Suyūṭī adalah 904 kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Di
antara karya-karyanya yang fenomenal bahkan sangat sering dikaji
di Indonesia, di antaranya: Pertama, al-Itqān fi ’Ulūm al-Qur’ān.
Kitab ini merupakan referensi utama untuk dijadikan rujukan
dalam mengetahui disiplin ilmu ‘ulūm al-Qur’ān. Kitab ini
sebenarnya merupakan muqaddimah (kata pengantar) kitab tafsir
yang ia tulis yaitu Majma’ al-Bahra’īn wa Maṭla’ al-Badrain al-
Jamī’ li Tahrīr al-Riwāyah wa Taqrīr al-Dirāyah, salah satu kitab
tafsir yang mengakumulasikan tafsir bi al-Ma’ṡūr dan tafsir bi al-
ra’yī yang direncanakan untuk ditulis sebelumnya tiba wafatnya.15
Kedua, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’ṡūr. Kitab ini
berisakan tentang tafsir al-Qur’an yang mengikuti metode tafsir bi
ma’tsūr. Kitab ini dicetak dalam 16 jilid sebagai ringkasan dari
kitab tafsir yang lebih besar lagi yang bernama Tarjuman al-
Qur’an.16 Sayang sekali sampai sekarang kitab Tarjuman al-
Qur’an tidak diketahui keberadaannya. Ketiga, Tafsīr Jalalain.
Kitab ini juga merupakan tafsir al-Qur’an yang dikenal dan
diajarkan diseluruh kawasan dunia Islam bahkan di pesantren-
pesantren yang ada di Indonesia. Alasannya kitab ini tidak terlalu
tebal dan menafsirkan dengan metode mujmal (universal). Kitab
ini ditulis oleh Imam Suyūṭī yang menyempurnakan kitab tafsir
15Muhammad Husain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I,
181. 16Imam al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, jilid 1 (al-
Qāhirah, 2003), 3.
29
yang ditulis oleh gurunya yaitu Imam Mahalli yang wafat sebelum
merampungkan penulisannya. Karena itulah kitab ini dikenal
dengan nama Tafsīr Jalalain artinya kitab tafsir yang ditulis oleh
dua orang yaitu Imam Jalāl al-Dīn al-Mahalli dan Imam Jalāl al-
Dīn al-Suyūṭī.
Keempat, al-Iklīl fī Istinbāṭ al-Tanzīl. Kitab ini termasuk dalam
kategori Tafsīr Ahkām, maksudnya kitab tafsir berisikan tentang
konten secara spesifikasi tentang hukum. Kelima, Alfiyyah al-
Suyūṭī fi ‘Ilm al-Hadīṡ. Nama lain dari kitab ini adalah Nażm al-
Durār fī ‘Ilm al-Aṡār”, namun lebih populer dengan sebutan
Alfiyyah al-Suyūṭī. Isi konten kitab ini memuat 1000 nadzaman
yang lebih tepatnya bilangan tepatnya 994 nadzaman yang
menjelaskan tentang ilmu hadits. Keenam, Tadrīb al-Rāwī Syarah
Taqrīb al-Nawawī”. Kitab ini merupakan syarah dari kitab al-
Taqrīb wa al-Taisīr li Ma’rifah Sunan al-Basyīr al-Nadzīr atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Taqrīb al-Nawawī. Kitab ini
merupakan referensi utama dalam rujukan bidang ilmu hadis.
Ketujuh, Jamī’ al-Ṣaghīr. Kitab ini merupakan kitab hadis yang
mencantumkan lebih dari 10.000 hadis yang disusun berdasarkah
huruf hija’iyyah. Kitab ini dijadikan referensi utama dalam
mencari keberadaan hadis dengan menggunakan teori takhrīj al-
hadīṡ. Kedelapan, al-Asybah wa al-Naḍā’ir fī Qawā’id wa Furū’
al-Syafi’iyyah”. Kitab ini merupakan kitab induk dalam bidang
metodologi fiqih dalam madzhab syafi’ī.
30
Agar lebih mudah, penulis mengklasifikasikan karya-karyanya
sebagai berikut sesuai dengan bidang dsiplin keilmuan, di
antaranya:
1. Bidang Tafsir
a. Tafsir Turjumān al-Qur’ān
b. Tafsir Jalalain
c. Tafsir al-Dur al-Manṡūr fī Tafsīr bi al-Ma’ṡūr
2. Bidang ‘Ulūm al-Qur’ān
a. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān
b. Mutasyabih al-Qur’ān
c. Lubab al-Nuqūl fi Asbab al-Nuzūl
d. Al-Mażhab fī Ma Waqā’a fī al-Qur’ān Min al-Mu’rāb
e. Mufhāmat al-Aqrān fī Mubhamāt al-Qur’ān.
3. Bidang Hadis
a. Al-Dibāj ’Ala Ṣahīh Muslīm bin al-Hajjaj
b. Tanwīr al-Hawalīk Syarh Muwaṭṭa’ al-Imām Malik
c. Jamī’ al-Shaghīr
d. Jam’u al-Jawāmi’ (Jamī’ al-Kabīr)
e. Misbāh al-Zujājah fī Syarh Sunan ibn Majah
4. Bidang ‘Ulum al-Hadiṡ
a. Tadrīb al-Rawī
b. Al-Alfiyyah fī Muṣṭalāh al-Hadīṡ
c. Iṭmām al-Dirāyyah li Qurrā’ al-Niqāyah
d. Al-Ahādiṡ al-Manfiyyah.
e. Al-Dur al-Munaṡṡarah fī al-Ahādiṡ al-Musytahārah
5. Bidang Fiqih
a. Syarh al-Taqrīb al-Nawawī
31
b. Al-Arjū fī al-Farjī
c. Nahzah al-Julāsa’ fī Asyā’ar al-Nisā’
6. Bidang Ushul Fiqh
a. al-Asybāh wa al-Nazhā’ir
7. Bidang Bahasa Arab
a. Asybāh wa Al-Nazhā’ir fī al-Arabiyyah
b. AlFiyyah fī al-Nahwī
c. Bughiyyah al-Wi’at fī Thabaqāt al-Nuhāt
d. Al-Iqtirah fī Ushūl al-Nahwī
e. Al-Taj fī I’rab Musykīl al-Minhāj
f. Ham’ al-Hawām’i
g. Al-Muzīr fī ‘Ulūm al-Lughat
8. Bidang Sejarah
a. Manāqib Abī Hanifah
b. Manāqib Malik
c. Tarīkh al-Ṣuyūṭ.
d. Tarīkh al-Khulafah
e. Husn al-Muhādarāh fī Akhbār Misr wa al-Qahirah
D. Karakteristik Tafsīr al-Dur al- Manṡūr
Kitab ini Menurut al-Dzahabi merupakan kitab musnad hadis
yang berisikan tentang konten tafsir atau penjelasan terhadap al-
Qur’an dengan memuat sekitar 10.000 hadis marfū’ dan hadis
mauqūf. Sebelumnya ia menulis kitab Tarjumān al-Qur’ān sebagai
32
ringkasannya adalah ia menulis kitab al-Dur al- Manṡūr.17 Bidang
tafsir tidak hanya ini, masih banyak beberapa kitab ltafsir lainnya
yang ia tuliskan. Semua tafsir yang ia tulis memiliki etos masing-
masing termasuk kitab al-Dur al- Manṡūr. Tetapi kitab ini sangat
eksis digunakan oleh tokoh-tokoh intlektual muslim, di antaranya:
‘Abd al-Majīd al-Syaikh ‘Abd al-Barī dalam kitabnya Al-Riwāyat
al-Tafsiriyyah fī Fath al-Barī, ‘Abd al-Ghaffur Mahmud Musṭafa
Ja’far dalam kitabnya Tafsīr wa al-Mufassirūn, Muhammad Amin
b. Muhammad b. Mukhtar al-Jiknī al-Syinqitī (1393-1415) dalam
kitabnya Aḍwā’ al-Bayān fī Idāh al-Qur’ān bi al-Qur’ān, Abū
Muhammad al-Husain b. Mas’ud al-Baghāwī (516) dalam
kitabnya Tafsīr al-baghāwī, Muhammad b. Jarīr b. Yazīd b. Kaṡīr
b. Ghalib al-Amalī (220-310 H) Tafsīr al-Thabārī (Ed: Ahmad
Abdul Razaq, dkk), Muhammad b. Ṣalih al-‘Utsaimīn dalam
kitabnya Tafsīr Qur’ān li al-’Utsaimīn, Syaikh Musā’id al-ṭayār
dalam kitabnya Tafsīr Juz ‘Amma, ‘Abd al-Rahmān b. Muhammad
b. ‘Abd al-Hamīd al-Qammasy Jamī’ Laṭā’if al-Tafsīr,
Muhammad al-Alusī Abī al-Faḍl dalam kitabnya Tafsīr Rūh al-
Ma’ānī fī tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm wa al-Sab’ al-Maṡāni, dan
lainnya.
17Muhammad Husain al- Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I,
180. Lihat pula, Imam al-Suyūṭī, al-Dur al-Matsūr fi al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, jilid
1 (al-Qāhirah, 2003), 3.
33
Untuk melihat perbedaan dengan tafsir lainnya, penulis
memberikan klasifikasi, di antaranya:
1. Sistematika Penulisan Tafsīr al-Dur al-Manṡūr
Tafsir al-Dur al-Manṡūr yang ditulis oleh Imam al-Suyūṭī
disusun dengan tartīb mushafī, yaitu ditulis berdasarkan urutan
surat dan ayat dalam Mushaf Utsmani yaitu dimulai QS. al-
Fātihah [1] sampai dengan QS. al-Nās [114]. Sistematika
dalam kitab tafsir al-Suyūṭī ini bisa ditelusuri dari berabagai
aspek, di antaranya:
a. Formulasi sistem ayat dengan ayat
Metode ini dikenal dengan istilah al-ma’tsūr, yaitu
interpretasi berbasis naqli (ayat dengan ayat). dari judul
tafsir sudah memberikan informasi bahwa metode yang
digunakan adalah al-ma’tsūr. Misalnya menjelaskan kata
dzulmun dalam QS. al-‘An’ām [6]: 82. Al-Suyūṭī dalam
dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini dengan menggunakan
ayat yang lain, yaitu kata dzulmun diartikan sebagai syirik
yang terdapat di dalam QS. Luqmān [31]: 13.18
b. Penjelasan al-mufradat
Meskipun kitab tafsir ini menggunakan interpretasi al-
ma’tsūr, dalam tafsir ini juga ditemukan penjelasan kata
seperti yang dilakukan dalam penafsiran yang
menggunakan tahlili secara dominan. Misalnya kata
waswas al-khannas dalam QS. al-Nās [114]: 4. Seperti
biasa ia menggunakan jalur periwayatan, misalnya dari Ibn
18 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,
Jilid VI, 116-117
34
Jarīr dari Ibn Zaid bahwa di dalam hatinya anak adam
memiliki bisikan kejahatan. Dalam periwayatan yang lain
dari Abū al-Dunyā, Ibn Jarīr, Ibn al-Munzir dan al-Hākim,
bahwa setiap anak yang dilahirkan kecuali dalam hatinya
ada bisikan kejahatan. Apabila ia berakal maka ia
mengingat Allah, sebaliknya apabila ia lalai maka dalam
hatinya penuh dengan kejahatan.19
c. Penjelasan dengan ma’na al-jumālī (global)
Makna ini biasanya menggunakan penjelasan secara
ringkas dan padat makanya dinamakan dengan makna
global. Dalam kitab ini ia juga memberikan penjelasan kata
dengan menggunakan makna al-jumalī (global). Sebagai
contoh, ia menjelasakan kata tabāraka di dalam QS. al-
Furqān [25]: 1. Ciri khas yang tidak terlupakan dalam kitab
ini adalah transmisi (sanad) yang menjadikan tafsir ini al-
ma’tsūr. Dalam menjelaskan kata mufradat pun ia juga
menggunakan periwayatan mufradat tabāraka, ia
mengambil periwayatan dari Ibn Hātim dari Ibn ‘Abbas “
lafadz tabāraka merupakan bentuk kata dari timbangan
tapā’ala yang memiliki asal usul kata dari al-barakah.
Contoh lain dengan ayat yang sama, kata al-furqān
diartikan dengan mengambil jalur periwayatan dari ‘Abd b.
Humaid, Ibn al-Munzir, Ibn Abī Hātim dari Qatādah yaitu
diartikan dengan al-Qur’an.20
19 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,
jilid XV, 806-807 20 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,
jilid XI, 133-135
35
d. Penjelasan dengan ma’na tahlilī
Makna tahlili biasanya diartikan sebagai penjelasan
secara analitis. Penjelasan secara mendetail dan padat.
Dalam kitab ini juga ditemukan penjelan makna secara
tahlili. Misalnya lafadz sittah ayyām pada QS. al-‘Arāf [7]:
54. Redaksi ini diartikan satu hari perkiraan di dunia
selama seribu tahun. Menurutnya hari-hari tersebut
memiliki nama masing-masing, sebagaimana ia mengutip
periwayatan dari Sammuwaih dalam kitab fawā’idih bahwa
enam hari di sini memiliki nama masing di antaranya Abū
Jād, Haawz, Huṭṭī, Kalamūna, Sa’faṣ, dan Qarsyāt. Selain
itu, al-Suyūṭī juga menjelaskan penciptaan apa saja dalam
enam hari. Sebagaimana ia mengutip dari Sa’īd, Ibn Abī
Syaibah, Ibn Jarīr, Ibn al-Munzir, Ibn Abī Hātim dan al-
Baihaqī, hal yang pertama kali diciptakan adalah ‘arasy,
air, dan hawa nafsu. Kemudian ia juga menjelaskan tentang
penciptaan bumi dari air, setelah itu hari yang diciptakan
sampai dengan penjelasan hari sabtu yang merupakan hari
istimewa bagi orang Yahudi. Pada periwayatn lain sari Abī
Syaibah dari Ka’ab, bahwa Allah memulai menciptakan
langit dan bumi pada hari minggu sampai kepada hari
jum’at. Setiap hari-hari tersbut perkiraa di dunia satu hari
sama dengan seribu tahun.21
Tafsir Dur al-Manṡūr diterbitkan tiga kali yaitu: pertama,
diterbit oleh Dār al-Kutub al-Islami di Bairut Libanon pada
21 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,
jilid VI, 419-420
36
tahun 1990 yang disusun menjadi enam jilid. Kedua, diterbit
oleh Dār al-Fikr Bairut yang disusun menjadi delapan jilid.
Ketiga, diterbitkan oleh Qahirah Markaz Ḥijr li Buhūṡ wa al-
Dirasāt al-‘Arabiyyah wa al-Islamiyyah pada tahun 2003 yang
terdiri dari 17 jilid. Agar lebih mudah penulis memberikan
klasifikasi, di antaranya:
Pertama, cetakan al-Dār al-Kutūb:
a. Jilid I terdiri dari QS. al-Fātihah [1] sampai QS. al-
Baqarah [2]
b. Jilid II terdiri dari QS. Alī ‘Imran [3] sampai QS. al-
Mā’idah [5]
c. Jilid III terdiri dari QS. al-An’ām [6] sampai QS. Hūd
[11]
d. Jilid IV terdiri dari QS. Yūsuf [12] sampai QS. al- Ḥajj
[22]
e. Jilid V terdiri dari QS. al-Mu’minūn [23] sampai QS.
al-Jāṡiyah [45]
f. Jilid VI terdiri dari QS. al-Aḥqāf [46] sampai QS. al-
Nās [114]
Kedua, cetakan al-Dār al-Fikr:
a. Jilid I terdiri dari QS. al-Fātihah [1] sampai QS. al-
Baqarah [2] 252
b. Jilid II terdiri dari QS. al-Baqarah [2] 253 sampai QS.
al-Nisā [4]
c. Jilid III terdiri dari QS. al-Mā’idah [5] sampai QS. al-
A’rāf [7]
37
d. Jilid IV terdiri dari QS. al-Anfāl [8] sampai QS. al-Ra’d
[13]
e. Jilid V terdiri dari QS. Ibrāhīm [14] sampai QS. al-
Anbiyā’ [21]
f. Jilid VI terdiri dari QS. al- Ḥajj [22] sampai QS. Saba’
[34]
g. Jilid VII terdiri dari QS. Fāṭir [35] sampai QS. al-
Rahmān [55]
h. 8. Jilid VIII terdiri dari QS. al-Waqī’ah [[56] sampai
QS. al-Nās [114]
Ketiga, cetakan Qāhira:
a. Jilid I membahas QS. al-Fātihah-al-Baqarah [2] 141
b. Jilid II membahas QS. al-Baqarah [2] 142-232
c. Jilid III membahas QS. al-Baqarah [2] 233 sampai QS.
Āli Imrān [3] 132
d. Jilid IV membahas QS. Āli Imrān [3] 132 sampai QS.
al-Nisā’ [4] 113
e. Jilid V membahas QS. al-Nisā’ [4] 114 sampai QS. al-
Mā’idah [5] 120
f. Jilid VI membahas QS. al-An’ām [6] sampai QS. al-
‘Arāf [7] 206
g. Jilid VII membahas QS. al-‘Anfāl [] sampai QS. Yūnus
[]
h. Jilid VIII membahas QS. Hūd [] sampai QS. al- Ḥijr []
i. Jilid X membahas QS. al-Nahl [] sampai QS. al-Kahf []
j. Jilid IX membahas QS. Maryam [] sampai QS. al-Nūr
[] 26
38
k. Jilid XI membahas QS. al-Nūr [] 29 sampai QS. al-
Aḥzāb [] 22
l. Jilid XII membahas QS. al-Aḥzāb [] 23 sampai QS. al-
Zumar [] 75
m. Jilid XIII membahas QS. Ghāfir [] sampai QS. al-Ṭūr
[]
n. Jilid XIV membahas QS. al-Najm [] sampai QS. al-
Ma’ārij []
o. Jilid XV membahas QS. al-Jinn [] sampai QS. al-Nās
[114]
p. Jilid XVI dan XVII membahas daftar pustaka dan
bibliografi
2. Metode Penafsiran
Dalam kajian disiplin ilmu tafsir memiliki beberapa
metode yang digunakan para ulama tafsir dalam menyusun
karya tafsir mereka, sebagaimana yang diregulasikan oleh al-
Farmawi, bahwa metode penafsiran diklasifikasikan menjadi
empat bagian antaranya: Ijmāli, Tahlīli, Muqarran, dan
Mauḍū’i.22 Dari empat metode ini, tafsir al-Dur al-Manṡūr
tendensi kepada metode tahlīlī.23
22Abū al-Hayy Al-Farmawī, al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mauḍū’i (Mesir:
Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), 25. 23Metode tahlili (analitis) adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayatyang
ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayatayat
tersebut. Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 32. Lihat pula, Syahrin Harahap,
Metodologi Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin, cet. 2 (Jakarta: Raja Grapindo
Persada, 2002), 17.
39
Interpretasi analitik ciri-cirinya adalah menafsirkan
berbagai aspek yang dimulai dengan makna kosa kata,
munasabah (kolerasi), asbab al-nuzūl (sebab turunya ayat),
interpretasi substansi ayat dan lainnya. Metode ini sangat
dominan sekali di kalangan ulama tafsir, tetapi di tinjau lebih
jauh tafsir al-Dur al-Manṡūr tidak bisa dikatakan sepenuhnya
menggunakan metodologi tahlīli sebab tidak memenuhi unsur-
unsur. Kitab ini hanya memenuhi menafsirkan ayat sesuai
tartīb mushāfi, tetapi menafsirkan dengan menjelaskan makna
kosa kata, munasabah, dan lainnya jarang sekali dilakukan oleh
al-Suyūṭī. Lebih dominan adalah memberikan periwayatan
sebagai interpretasi ayat. Sehingga penulis berasumsi bahwa
pola metodologi penafsirannya satu sisi ijmāli (interpretasi
universal) di sisi lainnya yaitu menggunakan metode tahlīli
(interpretasi analitik). Tetapi ditinjau dengan melihat dominasi
dalam menggunakan metodologi penafsiran al-Suyūṭī dalam
kitab al-Dur al- Manṡūr yaitu (tahlīli).
3. Corak Penafsiran
Langkah utama dalam mengetaui corak (laun) dalam suatu
tafsir adalah mengetahui dan membaca substansi interpretasi
setiap ayat. Sehingga bisa diambil inferensi bahwa
pengarangnya dan karya tafsirnya dihegemoni dari berbagai
sudut pandang di bidang keilmuan. Pada kitab al-Dur al-
Manṡūr, sulit diketahui corak penafsirannya disebabkan al-
Suyūṭī terlalu banyak mengutif periwayatan yang menjadi
diktum utama dalam menafsirkan setiap ayat dengan
40
menggunakan istilah akhraja. Sehingga tidak ditemukan
sedikitpun diktum ataupun statement yang dijadikan sebagai
interpretasi al-Suyūṭī. Sebagai contoh ia menafsirkan QS. al-
Fātihah [1] ia menafsirkan setiap ayat ini dengan
menghadirkan periwayatan sebagai jawaban untuk
menafsirkan ayat al-Qur’an.
4. Sumber Tafsir
Sumber tafsir atau dikenal dengan istilah maṣādir al-tafsīr
diklasifikasian oleh para ulama menjadi dua bagian: tafsīr bi
ma’ṡūr dan bi al-ra’yī. Adapun tafsīr bi al-ma’ṡūr merupakan
salah satu jenis penafsiran yang muncul petama kali dalam
sejarah khazanah intelektual Islam. Praktik penafsirannya
adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran ditafsirkan
dengan ayat-ayat yang lain atau dengan riwayat dari Nabi
Muhammad, para sahabat dan juga para tabi’in.24 Karya-karya
tafsir yang menggunakan al-Ma’ṡūr seperti Ibn Katsīr, al-
Ṭabarī.
Sedangkan bi al-ra’yī yaitu sumber yang berpusat kepada
rasionalitas yang ilmiah. Penafsiran ini tidak hanya menguras
akal saja tetapi juga menggunakan dalil al-Ma’ṡūr hanya saja
yang menjadi dominasi adalah rasionalitas. Pada sumber kedua
ini sangat banyak ditemukan di tafsir-tasir para ulama seperti,
Fakhr al-Dīn al-Rāzi (mafātih al-ghaib), al-Qurtubī (Jāmi’ li
ahkām al-Qur’ān), Ibn ‘Asyūr (tahrīr wa tanwīr), al-Sya’rāwī
(khawātir al-Qur’ān), dan lain sebagainya. Pada kasus tafsir
24Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), 42.
41
al-Dur al- Manṡūr yang ditulis oleh al-Suyūṭī justru bersumber
kepada bi al-Ma’ṡūr ditambah lagi dari judul kitab yang ia tulis
adalah al-Ma’ṡūr. Sebagai contoh ia menafsirkan QS. al-
Baqarah [2] 1, pada lafadz alif-lam-mim ia memberikan
beberapa periwayatan di antaranya: al-Bukhāri, al-Tirmiżī, Ibn
al-Dhurais, Muhammad b. Naṣr, Ibn al-Anbārī, dan al-Hākim.
Secara keseluruhan kitab tafsir al-Dur al- Manṡūr fi at-
Tafsīr al- Ma’sūr ini menggunakan penjelasan Nabi
Muhammad maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari
kitab-kitab hadis dan tafsir. Menurut ad- Żahabi riwayat-
riwayat dalam kitab ini diambil dari karya al-Bukhāri (w. 256
H/ 870 M), Muslīm b. Al-Hajjāj (w. 261 H/ 875 M), al-Nasā’i
(w. 303 H/ 915 M), al-Turmuzi (w. 279 H/ 892 M), Ahmad (w.
241 H/ 855 M), Abū Dāwud (275 H/ 892 M), Ibn Jarīr (w. 310
H/ 923), Ibn Abī Hātim (w. 327 H), ‘Abd b. Hamīd, dan Ibn
Abī al-Dunya (w. 281 H/ 894 M).25
Hemat penulis, penafsiran al-Suyūṭī adalah sebuah etos
yang jarang ditemukan dalam karya-karya kitab tafsir lain,
bahkan secara konsisten Imam al-Suyūṭī menggunakan
riwayat-riwayat yang terkait tanpa sedikit pun ijtihad pribadi.
Meskipun secara awal ditulisnya kitab ini tidak terkontaminasi
dengan pola bi al-ra’yi (sumber menggunakan rasionalitas),
suatu tafsir akan mencerminkan keterbatasan kemampuan
penafsirnya dan tidak akan terlepas dari subyektifitas dirinya
sendiri. Ketika seseorang menafsirkan sebuah ayat, dalam
25Muhammad Husain al-Żahabī, al-Tafsīr wa Mufassirūn, jilid I 181.
42
benaknya juga hadir sekian banyak subyek sebagai
rujukannya.26
26Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996), 141.
40
BAB III
AUTENTISITAS AL-QUR’AN
A. Bahasa Arab, Tradisi Tulis, dan Lisan
Bahasa pada esensinya adalah sebagai mediator untuk
menyampaikan keinginan, pikiran dan perasaan kepada orang lain,
baik itu berupa oral (suara) maupun dalam bentuk tulisan. Setiap
bahasa di dunia ini memiliki ciri-ciri etos masing-masing yang
membedakan dengan bahasa lain, baik dari segi strutur gramatika
bahasanya maupun dari segi kuantitas masyarakat
mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu
yang kita kenal dari berbagai bahasa adalah bahasa Arab. Di dalam
kajian Islam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-lughah al-
‘Arabiyyah. Sebelum mengenal lebih jauh tentang bahasa Arab,
terlebih dahulu perlu diketahui mengenai defenisi mengenai
bahasa Arab.
Prestise atau kemampuan berbahasa merupakan ciri sepesifik
bagi manusia. Manusia dapat berkomunikasi dengan baik melalui
penguasaan dan penggunaan bahasa. Oleh karena itu, Bahasa
merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial. Pada prinsipnya, makhluk sosial adalah akan
selalu membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri.
Sehingga bahasa dijadikan alat dan mediator untuk
menyampaikan, mengekspresikan, atau menjelaskan sesuatu yang
dapat dimengerti atau dipahami orang lain.1
1Dardjowidjoyo, Psikolinguistik: Pemahaman Bahasa Manusia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 51.
43
41
Menurut KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), bahasa
didefinisikan sebagai sistem lambang bunyi berartikulasi yang
bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai
alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran, atau
perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa,
negara, daerah, dsb), dan bahasa juga didefinisikan sebagai
percakapan (perkataan) yang baik, sopan santun, dan tingkah laku
yang baik.2
Menurut pakar bahasa dari Eropa, bahasa adalah suatu sistem
simbol-simbol bunyi yang arbitrer (konsesus), yang dipergunakan
oleh suatu kelompok sosial untuk berkomunikasi. Bagi Ferdinand
de Saussure (w.1913), bahasa juga merupakan suatu sistem tanda
(sign).3 Dalam mu’jam al-wasīṭ bahasa (al-lughah) diartikan
dengan
و لغات بها كلر قوم عن أعراضهم )ج( لغي)اللغة( اصوات يعبر
Menurutnya, bahasa adalah suara-suara yang diucapkan bagi
setiap kelompok terhadap objek-objek yang dibicarakan. Derivasi
al-lughah bentuk pluralnya (jama’) adalah lughā wa lughāt.4
Sedangkan kata Arab merupakan penyandaran wilayah Arab
dibagian timur tengah, seperti Yaman, Aljazair, Qatar, Saudi
Arabia dan lainnya. Dapat dipahami dan diinferensikan bahwa
2Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa
Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 119 . 3Kaelan, Filsafat Bahasa, Semiotika, dan Hermeneutika (Yogyakarta:
Paradigma), 159. 4Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ (Maktabah al-
Syurūq al-Dauliyyah, 2004), 831.
44
42
bahasa Arab merupakan komunikasi dan simbol-simbol
pengucapan di wilayah Arab.
Asal usul adanya bahasa Arab ditinjau dari teori tipologi
genetik5 yang memiliki serumpun dengan bahasa Semit. Penamaan
ini diambil dari Sam (al-Samiyun) diambil dari tiga keturunan Nabi
Nūh yang bernama Sam, Ham, dan Yapet. Akan tetapi dalam
perkembangan keturunan ini hanya Sam b. Nūh yang telah
melakukan melakukan perjalanan panjang sehingga mendapat
kekuasaan dan juga ekspansi wilayah yang pada akhirnya
membentuk dan melahirkan berbagai bangsa dan bahasa, di
antaranya bangsa Akkadia, Kan’an, Arab, Aram dan Etopia.6
Bahasa Arab ditinjau dari segi genetika adalah serumpun dengan
bahasa Semit, dan dilihat dari segi geografis wilayah
diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama, bahasa timur dan
barat. Bahasa timur terdiri dari Babilonia dan Assur yang sering
disebut Akkadia. Kedua, bahasa barat diklasifikasi kepada utara
dan selatan, yaitu bahasa utara terbagi atas dua bahasa besar, yaitu
Kan’an dan Aramin. Bahasa yang termasuk bagian dari Kan’an
adalah bahasa Kan’an Kuno, Muab, Finiq, dan Ibriah. Sedangkan
bagian selatan diklasfikasikan juga menjadi dua bagian yaitu Arab
selatan dan Arab utara. Adapun yang termasuk bahasa Arab selatan
yaitu: Main, Saba’, Himyar Quataban, dan Hadramaut (Yaman),
sedangkan bahasa Arab utara terbagi kepada bahasa Arab Baidah
5Tipologi genetik ialah dasar yang mempertimbangkan hubungan
kerabat bahasa yang akan diidentifikasi coraknya. Lihat, Sudaryanto, Predikat-
Objek dalam Bahasa Indonesia (Yogyakarta, 1980), 32. 6Bambang Yudi, Kristal-kristal Ilmu Bahasa, cet. I (Surabaya:
Airlangga University Press, 1995), 379.
45
43
yang terdiri dari Lahyan, Samud, dan Shafa, sedang bahasa Arab
Baqiyah diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu: Arab Aribah
yang terdiri dari Kahlan dan Himyar, dan Arab Musta’ribah, dari
Musta’ribah turun ke Bani Adnan, kemudian ke Bani Kinanah dan
baru sampai kepada suku Bani Quraisy.7
Pembagian bahasa Arab juga ditemukan dalam dua bentuk.
Pertama, bahasa Arab Bā‘idah yang disebut pula bahasa Arab al-
Nuqusy, karena informasi tentang bahasa ini hanya diperoleh
melalui tulisan pada lempengan batu, dan bahasa Arab Bā‘idah ini
tidak ditemukan lagi. Bahasa Arab Bā‘idah ini dituturkan oleh
orang Arab yang berdomisili di sebelah utara Hijaz atau berdekatan
bangsa Aramiah. Bahasa Arab Bā‘idah ini terbagi atas 3 (tiga)
bagian, di antaranya: Lihyan, Samud, dan Shafa.8
a. Lihyaniayah, dinisbahkan dari nama kabilah atau suku yang
bernama Lihyan yang tinggal di bagian utara Hijaz.
b. Samudiah, dinisbahkan kepada suku Samud sebagaimana
yang dikisahkan dalam al-Qur’an dan direkam pula dalam
kitab perjanjian lama baik Yunani maupun Roma, dan
masyhur disebut di dalam sejarah jahili. Suku ini diperkirakan
berdomisili di wilayah antara Hijaz dan Nejed dekat
Damaskus. Bahasa Samud ini diperkirakan pada abad ketiga
dan keempat masehi.
7Latifah Salim, “Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Bahasa
Arab,” Jurnal Diwan, vol. 3, no. 1 (2017): 79. 8‘Abd al-Wahīd Wa’fī, Ilmu al-lughah, cet.V (Misr: Maktabah
Nahdhah Misr, 1962), 98-101.
46
44
c. Safawiyah, adapun informasi tentang suku ini diperoleh
melalui prasasti yang penulisannya diperkirakan antara abad
ketiga dan keenam masehi.
Kedua, bahasa Arab Bāqiyah. Bahasa ini masih dipergunakan
oleh bangsa Arab baik dalam tulisan, kesusastraan dan sebagainya.
Bahasa ini tumbuh dan berkembang di negeri Nejed, dan Hijaz.
Kemudian tersebar luas ke sebagian besar negeri Semit dan Hamit.
Dari sini timbul dialek-dialek yang dipergunakan di masa kini
seperti, Hijaz, Nejd, Yaman, dan daerah sekitarnya seperti Emirat
Arab, Palestina, Yordan, Syria, Libanon, Irak, Kuwait, Mesir,
Sudan, Libia, al-Jazair dan Maroko. Bahasa Bāqiyah
diklasifikasikan menjadi dua bagian, di antaranya:9
a. Arab al-‘Āribah, ditemukan dari Qahtan. Kelompok ini
memiliki dua suku induk yaitu, Kahlan dan Himyar,
mendirikan Himyar dan Tababi’at. Disebut dalam al-
Qur’an “Tabba”. Selain itu mereka juga mendirikan
kerajaan Saba’ pada tahun perkiraan abad ke-8 SM. Bani
Qahtan inilah yang memerintah semenanjung Arabiyah
sesudah al-Arab al-Bā’idah.
b. Arab al-Musta’ribah, berasal dari keturunan Nabi Ismā’il.
Merekalah yang kemudian dikenal dengan nama “banī
‘Adnan”. suku inilah yang merebut kekuasaan bani Qahtan.
Bani Adnan tinggal di Hijaz, Nejed dan Tihamah. Bani
9Mustafa Inaniy, al- Wasīṭ fī al-Adab al-‘Arabī wa Tārikhuhu (Mesir:
Dār al-Ma’rif, t.th), 5-6. Lihat juga, ‘Abd al-Wahīd Wa’fī, Ilmu al- lughah cet.
V (Misr: Maktabah Nahdhah Misr, 1962), 98-101.
47
45
Adnan mempunyai empat suku induk yaitu Rabi’ah,
Mudhar, Iyad, dan Anmar.
Setelah melakukan penjelasan asal usul bahasa Arab,
kesimpulannya bahasa al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad SAW adalah bahasa Arab yang memiliki
genetika dengan bahasa Semit. Bahkan Allah mengakui di dalam
al-Qur’an bahwa bahasa yang digunakan kitab suci yang
diturunkan oleh Allah kepada Muhammad SAW adalah bahasa
Arab, sebagaimana dijelaskan di dalam QS. Yusūf [12]: 2:
أنزلنـه قـرء ا لاعلاكم تـعقلون عرب ن إنا یر
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Quran
dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”
Pada ayat lain juga dijelasakan di dalam QS. al-Ahqāf [46]: 12
ا لرینذر ق لرسان عربیر وهـذا كتـب مصدرومن قـبلهۦ كتـب موسى إماما ورحة
ٱلاذين ظلموا وبشرى للمحسنی
“Dan sebelum al-Quran itu telah ada kitab Musa sebagai
petunjuk dan rahmat. Dan ini (al-Quran) adalah kitab yang
membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi
peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi
kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Turunya al-Qur’an dan ajaran Islam pada saat itu membuat
perkembangan bahasa Arab menjadi naik. Bukan hanya diguakan
untuk memahami da;am ruang lingkup agama, bahkan bahasa
Arab menjadi bahasa pusat pemerintahan dan administrasi. Sampai
Pada abad III H runtuhnya Dinasti ‘Abbasyiah sehingga membuat
bahasa Arab mulai hilang karena banyak kalangan saat itu
48
46
berpindah dengan menggunakan bahasa ‘Amiyyah tampak lebih
jelas pada kelompok awam, bahkan sudah mulai terdapat buku-
buku ilmiyah ditulis dengan bahasa yang kurang murni, karena
mengandung gaya bahasa dan kata-kata bahasa Arab Muwalladah.
Pada pertengahan abad III H, bahasa Arab untuk komunikasi
mengalami degradasi yang membuat menyedihkan, banyak
kalangan pejabat yang berbicara dengan menggunakan bahasa
‘Amiyyah, akibat unsur non-Arab semakin banyak menduduki
jabatan penting dan semakin jauh mencampuri masalah-masalah
politik dan pemerintahan dengan menggunakan bahasa Arab.
Bahkan para ahli naḥwu (paham gramatika arab: sintaksis) pun
pada akhir abad ini menggunakan bahasa ‘Amiyyah dalam bahasa
komunikasi mereka sehari-hari. Peristiwa ini muncullah pemikiran
baru untuk mengoreksi penggunaan yang salah dalam bahasa
percakapan dengan menggunakan bahasa ‘Amiyyah, maka para
pemerhati menulis kritikan-kritikan dan menuangkan tulisan-
tulisannya dalam bentuk buku-buku tentang penggunaan bahasa
Arab Fuṣhāh di kalangan masyarakat. Kehadiran buku-buku
tersebut mencerminkan suatu langkah maju bagi orang yang ingin
mempelajari bahasa Arab, maka pada abad IV H. dapat dikatakan
hampir tidak ada lagi orang mempelajari bahasa Arab dengan
mendatangkan dan menerima langsung dari orang-orang Badui.
Bahasa Arab dipelajari melalui buku-buku pelajaran mulai saat itu
banyak tersebar dimana-mana.10 Terjaganya bahasa Arab sampai
saat ini, disebabkan banyak kalangan intlektual muslim yang
10Latifah Salim, “Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Bahasa
Arab,” Jurnal Diwan, vol. 3, no. 1 (2017): 80-83.
49
47
memahami agama Islam dengan membutuhkan pemahaman
bahasa Arab yang kuat, bahkan tradisi menulis dan hafalan sangat
dipergunakan dalam memahami teks-teks agama Islam.
Sebagai contoh, terjaganya bahasa Arab adalah dengan
merealisasikan tradisi tulisan dalam memahami teks-teks agama
Islam. Maka tak heran banyak sekali karangan-karangan para
ulama dalam membahas kajian-kajian Islam, baik itu ulama
priodesasi konservatif klassik, maupun ulama yang dipriodesasi
kontemporer. Jika melihat Sebelum datang Islam, penduduk Arab
dilabelisasi sebagai masyarakat jāhiliyyah (bodoh). jāhil dapat
dimaknai dengan tidak memiliki ilmu bahkan belum pernah
tersentuh terhadap disiplin ilmu. Oleh karena itu, Arab pra-Islam
dikenal sebagai masyarakat jahl (bodoh), maka mereka dianggap
tidak mampu menulis.
Menurut al-Zarqanī, buta huruf (tidak bisa membaca) sebagai
etos bagi suku Quraisy, hanya saja ada beberapa orang saja yang
belajar menulis. Kalangan Quraisy belajar menulis dari seorang
bernama Harb b. ‘Umayyah b. ‘Abd al-Syāms. Al-Zarqanī
mengutip pendapat Abū ‘Amr al-Dāni, bahwa Harb belajar
menulis dari ‘Abdullah b. Jad’ān. Diriwayatkan bahwa Jad’ān
adalah warga Anbār. Warga Anbār sendiri belajar menulis dari
seorang yang muncul di Kandah dan berasal dari Yaman. Adapun
pengajarnya adalah al-Khaljān b. al-Mu’mīn, sekertaris Nabi
Hūd.11 Jauh sebelum al-Zarqanī, al-Zarkasī, mengutip riwayat
11Muhammad ‘Abd al-‘Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-
Qur’ān jilid 1 (Bairut: Dār al-Kitab al-‘Arabī, 1995), 294-295. Lihat juga:
Muhammad Abū Suḥbah, Madkhāl Li Dirāsah al-Qur’ān al-Karīm, (Riyadh:
Dār al-Liwa’, 1987), 335.
50
48
yang menyebutkan jika penulisan Arab pertama dilakukan oleh
Nabi Adam dan Ismail.12
Dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai
kondisi orang jāhiliyyah, bahwa derivasi jahl (bodoh) diartikan
dengan orang yang tidak mampu menulis dan membaca. Menurut
Eva Nugraha, kata jāhiliyyah dalam al-Qur’an tidak menunjukkan
ketidakmampuan masyarakat pra-Islam dalam menulis. Dalam
beberapa ayat QS. al-Māi’dah [5]: 50, QS. Āli ‘Imran [3]: 154, QS.
al-Aḥzāb [33]: 33 dan QS. al-Fatḥ [48]: 26 tidak ada petunjuk
khusus bahwa jāhiliyyah diartikan tidak mampu menulis.13 Al-
Qur’an memberi penegasan bahwa masyarakat Arab adalah
masyarakat ummī (buta huruf). Hal ini didasari dalam QS. al-
Jum’ah [62]: 2
ه لوا علیهم ءايـتهۦ وي ـهو ٱلاذی بـعث فی ٱلمریرـن رسول مرنـ یهم ويـعلرمهم م يـتـ زكر
ی ضلـل مبی ٱلكتـب وٱلكمة وإن كانوا من قـبل لف
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
Kitab dan Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
12Badruddīn Muhammad b. ‘Abdullah al-Zarkasī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-
Qur’ān, (Mesir: Dār al-Hadīs, 2006), 259. 13Eva Nugraha “Konsep al-Nabi al-Ummi dan Implikasinya dalam
Penulisan Rasm,” Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuludddin, vol. 12, no. 2 (2011):
102.
51
49
Menurut al-Zarqānī, Nabi Muhammad SAW memberikan
komentar kondisi umatnya saat itu
إنر أمة أمیرة ل نكتب ول نحسب
Penjelasan teks ini adalah, Nabi Muhammad SAW mengatakan
bahwa sebenarnya umatnya tidak dapat menulis dan berhitung.14
Kesimpulannya, pada saat Nabi Muhammad SAW hidup kondisi
orang-orang Arab saat itu tidak bisa menulis dan berhitung.
Wilayah Arab bagian utara identik tidak mempunyai budaya
tulis. Meski demikian, sebelum kelahiran Nabi Muhammad
mereka perlahan mulai mengembangkan dan menumbuhkan
budaya tulis. Hal ini dibuktikan dengan temuan tulisan Arab pra-
Islam, yakni tulisan Zabad di sebelah Tenggara Aleppo (521),
Harran di Laja (568) dan Umm al-Jimal. Wilayah Arab pra-Islam
yang dikenal dengan seni puisinya juga memberi pengaruh pada
budaya menulis. Di Ukaz, sebuah tempat di daerah Hijaz terdapat
festival bagi para penyair dalam berpuisi. Puisi yang mendapat
penghargaan kemudian ditulis dengan tinta emas dan ditempel di
dinding-dinding Ka’bah.15
Tidak hanya bidang tulisan, mereka juga mulai mengembangi
dalam bidang perhitungan, dikarenakan etos masyarakat Arab
yang suka berdagang bahkan mereka berniaga dengan ekspansi
kewilayah-wilayah lain. Sehingga kegiatan perniagaan
membutuhkan sekali bidang keilmuan perhitungan. Salah satu kota
14Muhammad ‘Abd al-‘Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-
Qur’ān, jilid. 1, 297. 15Philip K. Hitti, History Of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin-Dedi
Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 116.
52
50
yang menjadi pusat peniagaan adalah Makkah sekaligus kegiatan
spritualitas penyembah berhala (pagan), bahkan pada abad ke 6,
Mekkah mendapat kekuasaan kegiatan perdagangan. Adanya
kegiatan perdagangan mengharuskan padagangnya memiliki
prestise dalam kelimuan ḥisāb (hitungan) dan tentunya menulis.16
Berkaitan dengan penulisan al-Qur’an, A’zami memberi jawaban
bagi para orientalis yang meragukan tulisan Kuffi hanya didapati
pada abad dua dan tiga hijriyah. Ia menunjukkan bukti-bukti
ditemukannya skrip mushhaf Kuffi pada abad sebelumnya. Hal ini
dapat dijadikan pijakan bahwa sebelum datang Islam, masyarakat
Arab telah mengenal tulisan.17
Dari argumentasi di atas, maka inferensinya meskipun
masyarakat Arab ketika sebelum datangnya Islam dikategorikan
sebagai orang yang jāhiliyyah (bodoh) tetapi mereka tetap
memiliki kemampuan dalam menulis. Bahkan lebih hebatnya lagi
setelah datangnya Islam, kemampuan menulis sudah berkembang
pesat diberbagai kalangan yang sampai turun-menurun hingga saat
ini. Hal ini didasari atas kegiatan pencatatan wahyu yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya.
Penulisan wahyu yang besar-besaran menjadi mushhaf al-Qur’an
di tulis para sahabat pasca wafatnyanya Nabi Muhammad SAW.
Tidak hanya itu, terbukti banyak sekali karya-karya para ulama di
berbagai wilayah arab seperti Iraq (Baghdad), Yaman, dan lainnya
16Ali Sodikin, Antropologi Al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan
Budaya (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 37. 17Musthafa A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai
Kompilasi (Depok: Gema Insani Press, 2005), 142.
53
51
yang menulis tentang kajian Islam, seperti kodifikasi al-Qur’an,
kodifikasi hadits, kitab tafsir, dan lainnya.
Menurut Mustafa al-‘Adzami, dalam penulisan al-Qur’an dari
masa Nabi Muhammad hingga ke generasi berikutnya terjadi
perubahan-perubahan. Sebelumnya menulis al-Qur’an tanpa tanda
titik (nuqat) kemudian generasi berikutnya sudah diberikan tanda
titik dan diakritikal sebagai bentuk pemudahan dalam pembacaan
al-Qur’an. tradisi menulis ini sudah menjadi lebih baik pada
generasi setelah sahabat.18 Tradisi penulisan ini membuktikan
sudah terjadi pada masa sahabat. Bahkan ptaktik penulisan yang
biasa berlaku di kalangan sahabat tentang penulisan al-Qur’an
membuat Nabi Muhammad melarang orang-orang menulis suatu
dari kecuali al-Qur’an. Nabi tidak ingin al-Qur’an dan Hadits
ditulis dalam kertas yang sama agar tidak terjadi campur aduk serta
keliru.19 Gambaran ini membuktikan tradisi menulis sudah
menjadi kebiasaan sahabat hingga puncaknya generasi berikutnya.
Bahkan tradisi lainnya adalah menghafal (lisan), tetapi tradisi
ini tidak ditemukan sebelum islam (pra-Islam). Dikarenakan, tidak
ditemukan literatur yang menjelaskan tradisi hafalan pada masa
pra-Islam di wilayah Arab. Probalitas yang terjadi dikarenakan
tidak ada objek yang mau dihafal. Berbeda sekali pada masa pasca-
Islam hadir, tradisi hafalan sangatlah dibutuhkan, sebab objeknya
adalah wahyu al-Qur’an. Para huffāẓ (penghafal al-Qur’an) sebagai
18 M. Mustafa al-‘Adzami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai
Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, Terj. Sohirin Solihin, (Jakarta, Gema Insani, 2014), 134-135 19 M. Mustafa al-‘Adzami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai
Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, Terj. Sohirin Solihin, 67
54
52
aktor penting dalam menjaga keautensitas al-Qur’an. Sebelum
dilakukan kodifikasi al-Qur’an, pada masa Nabi Muhammad
banyak dari kalangan sahabat yang diperintahkan Nabi
Muhammad untuk melakukan penghafalan al-Qur’an.
Literatur yang menjelaskan mengenai penghafal al-Qur’an,
dijelaskan di dalam kitab Ṭabāqat al-Huffāẓ yang ditulis oleh
Imam Suyūṭī. Di dalam kitab ini Imam Suyūṭī menulis sebanyak
1.188 penghafal al-Qur’an yang diklasifikasikan dari berbagai
lintas generasi. Penulis memberikan sample penghafal al-Qur’an
dari berbagai generasi, di antaranya:
1. Generasi sahabat, di antaranya: Abū Bakar al-Siddīq,
‘Umar b. Khaṭṭāb, ‘Uṡmān b. ‘Affān, ‘Alī b. Abī Ṭālib,
Said b. Abī Waqās, ‘Abdullah b. Abī Mas’ūd, Ubay b.
Ka’ab, Abū Zar al-Ghifārī, Mu’az b. Jabal, Abū Musa al-
Asy’arī.
2. Generasi tabi’īn senior, di antaranya: ‘Ilqimah b. Qīs b.
‘Abdullah b. Mālik, Abū Muslīm al-Khulānī al-Yamānī al-
Zāhid ‘Abdullah b. Ṡaub, Masrūq b. Ajda’ b. Al-Hamdanī,
‘Ubaidah b. ‘Umar, ‘Abīd b. ‘Amīr b. Qatādah al-Laiṡī.
3. Generasi tabi’īn mutawassīṭ (pertengahan), di antaranya:
al-Hasan b. Abī al-Hasan Yasār al-Baṣrī, Jābir b. Zaid Abū
al-Sya’ṡā’al-Azdī al-Yahmidī al-Jūfī, Abū al-Khair Murṡad
b. ‘Abdullah al-Yazinī, Ibrāhīm al-Taimī b. Yazīd b.
Syarīk, Ibrāhīm al-Nakh’īb. Yazīd b. Qīs b. Aswād.
4. Generasi tabi’īn junior, di antaranya: Makhūl al-Dimasyqī,
al-Zuhrī, ‘Umar b. Al-Dinār al-Makkī, Abū Ishāq al-Sabī’ī
55
53
‘Umar b. ‘Abdullah b. ‘Abīd al-Hamdanī al-Kūfī, Habīb b.
Abī Ṡābit Qīs b. Dinār al-Asadī.
5. Sampailah kepada Generasi kelima hinga generasi ke-24,
di antaranya: Ibnu Hajar, Ibn al-Khiyāṭ, al-Syihāb al-
Būṣirī, al-Burhān al-Halabī, Abū Hāmid al-Dzahīrah.20
B. Teori tentang Turunnya al-Qur’an
Teori turunnya al-Qur’an sangat berpengaruh kepada
keimanan seseorang, bahkan orang-orang kafir mekkah mereka
tidak menerima wahyu dari Nabi Muhammad SAW bagi mereka
adalah itu buatan Nabi sendiri. Oleh karena itu, pembahasan
mengenai turunnya al-Qur’an (nuzūl al-Qur’ān) sangat lah penting
untuk dibahas. Pertama, langkah pertama adalah mengetahui
defenisi nuzūl al-Qur’ān. Di dalam al-Qur’an derivasi yang
digunakan sangat beragam, di antaranya derivasi نزل dan أنزل
(nazzala dan anzala). Meskipun kedua kata ini memiliki kesamaan
bahkan dari asal kata yang sama, tetapi makna yang digunakan
sangatlah berbeda. Kata nazzala diartikan dengan turunnya al-
Qur’an secara mutatābi’ (bertahap), sedangkan kata anzala
diartikan dengan daf’atan wāhidatan (turun sekaligus).21
Turunnya al-Qur’an menggunakan kedua kata ini hanya saja
perbedaannya adalah derivasi anzala diartikan dengan turunnya al-
20Al-Suyūṭī, Ṭabaqāt al-Huffāẓ (Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah,
1983), 13-552. 21Muhammad ‘Abd al-Azīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-
Qur’ān, jilid. 1, 47.
56
54
Qur’an ke lauḥ al-maḥfūẓ sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-
Burūj [85]: 21-22:
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’an yang
mulia, yang tersimpan dalam lauḥ al-maḥfūẓ.”
Kejadian ini tidak ada satupun makhluk yang mengetahui
kecuali yang Maha Mengetahui yakni Allah. Turunya al-Qur’an ke
lauḥ al-maḥfūẓ secara langsung sekaligus tanpa ada terpisah-pisah.
Maka derivasi yang digunakan adalah kata anzala. Di ayat lain
juga dijelaskan, bahwa kitab-kitab samawi lainnya seperti taurat
diturunkan oleh Allah dengan menggunakan redaksi anzala yang
menunjukkan bahwa Allah menurunkannya secara langsung
sekaligus tanpa ada terpisah-pisah. Adapun perbedaan yang sangat
signifikan adalah dijelaskan di dalam QS. Āli ‘Imran [3]: 3:
قا لر نجیل ه وأنزل ٱلتـاو ما بی يدي نـزال علیك ٱلكتـب بٱلقر مصدر رىة وٱل
“Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan
sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan
sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.”
Al-Qurṭubī (w.671 H) menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
احدة فلذلك قال و دفعة نجیل نزلالترنزيل مررة بعد مررة والتـاوراة والو نـزال ال ق
أنزل
al-Qurṭubī (w.671 H) menjelaskan bahwa redaksi yang
menggunakan derivasi nazzala diartikan dengan turunnya secara
bertahap. Sedangkan turunnya kitab Taurat dan Injil menggunakan
57
55
derivasi anzala, karena turunnya secara sekaligus utuh tanpa
bertahap-tahap.22
Tahap kedua, yaitu turunnya al-Qur’an dari lauḥ al-maḥfūẓ ke
bait al-‘izzah yaitu langitnya dunia. Sebagaimana dijelaska di
dalam QS. al-Dukhān [44]: 3, QS. al-Qadr [97]: 1, dan QS. al-
Baqarah [2]: 185. Redaksi yang digunakan adalah derivasi anzala
yang berarti turun secara sekaligus. Sedangkan tahap terakhir
adalah turunnya kepada Jibril yang disampaikan langsung kepada
Nabi Muhammad, maka derivasi yang digunakan adalah nazzala
dengan arti turunnya al-Qur’an dari Jibril kepada Nabi Muhammad
secara bertahap-tahap tidak secara sekaligus seperti sebelumnya.23
Banyak sekali ayat-ayat yang mendukung al-Qur’an diturunkan
secara bertahap-tahap, seperti di dalam QS. al-Furqān [25]: 32:
لة و وقال ٱلاذين كفروا لول نـزرل علیه ٱل قرءان ج به نـثـبرت ل لك كذ حدة
ۦ فـؤادك
ورتاـلنـه تـرتیل
“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu
tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah
supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacanya secara tartil (teratur dan benar).”
Turunnya al-Qur’an tidak semata-mata turun begitu saja
kepada Nabi Muhammad, tetapi turunya kepada Nabi Muhammad
SAW melalui perentara Jibril. Diturunkannya al-Qur’an dari Jibril
kepada Nabi Muhammad menuai perbedaan di kalangan para
22Muhammad b. Ahmad al-Anṣārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah, Jāmi’ li
Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005). 23Muhammad ‘Abd al-Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-
Qur’ān, jilid. 1, 39-42.
58
56
ulama. Menurut al-Zarqānī ada dua pandangan ulama mengenai
penyampain al-Qur’an oleh Jibril kepada Nabi Muhammad.
kelompok pertama, bahwa yang disampaikan oleh Jibril kepad
Nabi Muhammad adalah lafaz yang haqiqi (nyata). Maka
dipastikan keautentisitas al-Qur’an terjaga, sehingga Jibril dan
Muhammad tidak memberikan penambahan kata atau sebaliknya.
Kelompok kedua, bahwa yang disampaikan oleh Jibril kepada
Nabi Muhammad adalah makna al-Qur’an bukan bentuk lafaz,
sehingga Nabi Muhammad lah yang memberikan ta’bīr
(menguraikan) dengan menggunakan bahasa Arab. Bahkan
sebagian dari mereka bahwa yang disampaikan oleh Jibril kepada
Nabi Muhammad adalah makna al-Qur’an yang Jibril memberikan
ta’bīr lafaz kepada Nabi Muhammad, argumentasi yang mereka
gunakan adalah QS. al-Taubah [9]: 6. Argumentasi dan diktum
pendapat kelompok kedua ini adalah batil (sesat). Jelas sekali
bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Jibril dengan konsep utuh
tanpa ada perubahan dari Jibril dan Nabi Muhammad sebagaimana
dijelaskan di dalam QS. al-‘Arāf [7]: 203:
“Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat al-Qur’an
kepada mereka, mereka berkata: “Mengapa tidak kamu buat
sendiri ayat itu?” Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya
mengikuti apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al-
Qur’an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari tuhanmu,
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Secara fundamen menurut al-Juwainī, kalām Allah
diklasifikasikan menjadi dua bagian: pertama, Allah berkata
kepada Jibril, “Katakanlah kepada Nabi bahwa dia adalah
Utusannya, sesungguhnya Allah berkata seperti ini dan
59
57
memerintahkanmu seperti ini”. Setelah Jibril memahami apa yang
diperintahkan oleh Allah, kemudian ia turun menemui Nabi
Muhammad dengan membawa perkataan Allah untuk disampaikan
kepada Nabi Muhammad.
Kedua, Allah berkata kepada Jibril “Bacakaan ini kitab kepada
Nabi Muhammad” maka Jibril turun menemui Nabi Muhammad,
sebagai contoh seorang Raja menulis ungkapan, kemudian seorang
Raja berkata “Bacakan ini kepada si Fulan”. Tanpa mengubah satu
huruf sedikitpun. Menurut Suyūṭī, al-Qur’an dikategorikan pada
bagian kedua, sedangkan bagian pertama adalah Sunnah. Pada
konsep kedua segala bentuk kalam yang diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad melalui Jibril untuk dibacakan dan
diaktualisasikan sebagai pedoman hidup maka itulah al-Qur’an
sebab tidak ada perubahan apapun yang diberikan oleh Allah baik
itu lafaznya maupun maknanya. Sedangkan bagian kedua
dikategorikan sebagai sunnah melalui riwayat bi al-maknā. Makna
sebagai perintah Allah, sedangkan bentuk ungkapanya (lafaz)
dibuat oleh Nabi Muhammad.24
Turunya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad secara bertahap-
tahap tentunya memiliki hikmah tersendiri. Menurut al-Zarqānī,
hikmahnya diklasifikasikan menjadi dua bagian: pertama, hikmah
diberikan kepada Nabi Muhammad SAW agar memperkuat
hatinya dan keimanannya. Dari sini dibagikan lagi menjadi lima
bagian, di antaranya:
24Al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’an, jilid I (Suria: Muassasah al-
Risālah Nāsyirūn, 2008), 140-141.
60
58
1. Pembaharuan wahyu dan pengulangan dalam penurunan
wahyu. Satu sisi mmberikan kebenaran kepada Nabi
Muhammad SAW, tetapi juga mengisi kekosongan hati
Nabi.
2. Penurunan al-Qur’an secara berangsur-angsur untuk
mempermudah Nabi Muhammad SAW dalam memelihara
dan memahami al-Qur’an
3. Bahwasanya circle (putaran) penurunan al-Qur’an secara
berangsur-angsur sebagai mukjizat untuk membantah
kelompok yang bisa menghadirkan tandingan seperti al-
Qur’an. Tentunya memiliki misi memperlemah lawan yang
tidak mempercayai al-Qur’an
4. Memperkuat kebenaran yang diturunkan oleh Allah
sekaligus membantah musuh dari mereka yang tidak
mmpercayai al-Qur’an
5. Dan hikmah selanjutnya, Allah memelihara dari musuh-
musuh yang merragukan kebenaran al-Qur’an.25
Klasifikasi di atas merupakan hikmah untuk pribadi Nabi
Muhammad SAW, sedangkan yang kedua yaitu hikmah untuk
ummat Nabi Muhammad SAW, di antaranya:
1. Mempermudah dalam menghafal al-Qur’an bagi kelompok
Arab. Telah diketahui bahwa orang Arab kebanyakan
mereka ummī (buta huruf)
2. Mempermudah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
25al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid. 1, 48-49.
61
59
3. Terhidar dari hal-hal yang destruktif baik itu akidah yang
menyimpang maupun spiritual ibadah yang rusak (fāsid)
4. Memperkuat dalam hal akidah yang benar, Ibadah yang
sahih, dan moral yang baik
5. Menyakini hati orang-orang mukmin serta membentengi
diri mereka dengan kesabaran dan keyakinan terhadap
ajran-ajaran Islam.26
C. Pengumpulan dan Kodifikasi al-Qur’an (Jam` al-Qur’ān)
Inisator para sahabat dalam mengkodifikasikan al-Qur’an
merupakan hasil pemikiran yang sangat berjasa bagi umat-umat
Islam sekarang. Sebab dengan adanya al-Qur’an yang ditulis
dalam bentuk mushaf menambah keimanan dan mempermudah
bagi umat dalam memahami agama. Dalam hal ini penulis
memberikan tiga periode dalam kodifikasi al-Qur’an sebagai
berikut:
1. Periodisasi Nabi Muhammad SAW
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dipelihara dengan dua cara, yaitu menghafalkannya dan
dilakukan penulisan sebagaimana yang dilakukan oleh
sahabat-sahabat melakukan penulisan di pelepah korma, batu,
tulang-belulang, dan lain-lain.27 Pada masa Nabi Muhammad
belum ada seruan untuk penulis al-Qur’an dengan alasan yang
lain, al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur dan
terdapat beberapa ayat yang di nasakh (hapus). Pada masa Nabi
26al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid. 1, 49-50. 27Manna’ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāhis fī ‘Ulūm al-Qur’an, 179.
62
60
juga masih berada dalam lembaran secara terpisah dalam tujuh
huruf, belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.
Bahkan susunan atau tertib penulisan ayat dan surat al-Qur’an
tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi dituliskan sesuai dengan
petunjuk Nabi Muhammad SAW. Sebab, wahyu-wahyu
diturunkan sesuai dengan munculnya masalah yang
melatarbelakangi turunnya wahyu. Oleh karena itu, ayat-ayat
yang ditulis masa Nabi Muhammad SAW tidak ditulis secara
sistematis yang berbeda sekali dengan penulisan mushaf
sekarang maka ditemukan perbedaan yang sangat signifikan.
Secara kalkulasi, pada masa Nabi Muhammad masih
banyak agen-agen penghafal al-Qur’an, hanya sebagian
sahabat yang melakukan penulisan. Penulisan pada masa Nabi
Muhammad SAW ini lah langkah kedua dalam pemeliharaan
al-Qur’an. Informasi paling awal tentang penyalinan al-Qur’an
untuk dikodifikasikan, ditemukan dalam histori masuknya
‘Umar b. Khaṭṭāb, empat tahun menjelang hijrahnya Nabi
Muhammad SAW ke kota Madinah.
Pada masa Nabi bisa di bedakan antara selama priode
Makkah dan Madinah. Di kota Mekkah tidak banyak yang
melakukan praktik penulisan al-Qur’an. Pada priode Mekkah
sudah dilakukan prkatik penulisan, hanya saja banyak
kejanggalan yang menjadikan tuduhan dalam pemalsuan al-
Qur’an. padahal itu tidak dibenarkan. Puncak penulisannya
terjadi pada masa priode madinah yang membentuk tim penulis
63
61
yang ditugaskan oleh Nabi sebanyak enam puluh lima
sahabat.28
Bahkan dalam pada masa Nabi, beliau secara langsung
untuk mendiktekan kepada sahabat. Saat wahyu turun Nabi
secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar
mencatat ayat itu. Misalnya sahabat Zaid b. Tsabit sering sekali
dipanggil untuk menulis al-Qur’an yang langsung didikte oleh
Nabi Muhammad.29
2. Periodisasi Abū Bakar al-Sidīq
Setelah wafatnya Rasulullah, kekuasaan Khalīfah dikuasai
oleh Abū Bakar al-Siddīq. Setelah terpilihnya Abū Bakar
terjadi kekacauan dan pembrontakan pada masanya, di
antaranya yaitu kelompok pengekang zakat, kaum keluar dari
Islam (murtad) dan kelompok pengaku menjadi Nabi dia
adalah Musailamah al-Kazzāb. Ketiga kelompok ini kemudian
diperangi oleh seruan Abū Bakar dengan mengirimkan
pasukan tentara dibawah kepimpinan perang Khālid b. Walīd,
maka terjadilah perang yang disebut perang Yamamah pada
tahun 12 H.30 Peperangan ini memakan korban yang banyak di
kalangan para sahabat penghafal al-Qur’an. Korban di dalam
28 M. Mustafa al-‘Adzami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai
Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, Terj. Sohirin Solihin, 65-67 29 M. Mustafa al-‘Adzami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai
Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, Terj. Sohirin Solihin, 67 30 Hasani Ahmad Said, Potret Studi al-Qur’an di Mata Orientalis, At-
Tibyan: Jurnal Ilmu Alqur’an Dan Tafsir, Vol. 3, No. 1, 2018, 22-41.
https://doi.org/10.32505/tibyan.v3i1.474.https://scholar.google.com/citations?u
ser=W_OyN8IAAAAJ&hl=en
64
62
peperangan tersebut lebih kurang dari 70 penghafal al-Qur’an
mati syahid.31 Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa
sahabat penghafal al-Qur’an yang mati syahid sekitar 500
orang.32
Dari kejadian inilah ‘Umar b. Khaṭṭāb memiliki inisiator
untuk mengusulkan agar dilakukan kodifikasi al-Qur’an. Hal
ini disebabkan banyaknya para penghafal al-Qur’an yang
gugur di dalam peperangan. Dikhawatirkan nantinya al-Qur’an
akan berangsur-angsur hilang bila hanya mengandalkan
hafalan semata. Kebijakan yang diusulkan oleh ‘Umar belum
langsung direnspon dengan cepat, karena dalam menanggapi
usulan ‘Umar tersebut, Abū Bakar merasa ragu lantaran pada
masa Rasulullah hal tersebut tidak lazim untuk dilakukan.
Akan tetapi karena desakan ‘Umar untuk tetap melakukan
kodifikasi al-Qur’an, akhirnya Abū Bakar menyetujui dengan
menunjuk Zaid b. Ṡābit sebagai ketua tim kodifikasi al-
Qur’an.33
Sistem pengumpulan al-Qur’an yang dilakuakan oleh Zaid
pada periode ini berpijak pada empat hal, yaitu: pertama, ayat-
ayat al-Qur’an yang ditulis dihadapan Nabi Muhammad SAW
dan yang disimpan dirumahnya. Kedua, ayat-ayat yang ditulis
adalah yang dihafal para sahabat yang penghafal al-Qur’an.
Ketiga, tidak menerima ayat yang hanya terdapat pada tulisan
31Muhammad Quraish Shihab, Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an, cet. 4
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 28. 32al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid. 1, 249. 33Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad
Ginanjar & Lulu M. Sunman, cet. IV (Jakarta: Zaman, 2013), 72 .
65
63
atau hafalan saja, melainkan harus harus ada bukti empirik
bahwa itu tertulis dan dihafal. Keempat, penulisan
dipersaksikan kepada dua orang sahabat bahwa ayat-ayat
tersebut benar-benar ditulis dihadapan Nabi Muhammad SAW
pada saat Nabi Muhammad SAW masih hidup.34
Setelah Abū Bakar wafat, teks yang sudah ditulis oleh tim
Zaid b. Ṡābit terjaga dengan ketat di bawah tanggung jawab
‘Umar b. Khaṭṭāb, sebagai khalifah kedua. Di masa Umar bin
Khaṭṭāb, mushaf itu diperintahkan untuk disalin ke dalam
lembaran (ṣaḥīfah). Umar tidak menggandakan lagi ṣaḥīfah
itu, karena memang hanya untuk dijadikan naskah orisinil,
bukan sebagai bahan hafalan. Kemudian pada akhirnya, naskah
tersebut diserahkan kepada Ḥafṣah b. ‘Umar (istri Nabi
Muhammad SAW) untuk disimpan.35
Dari sejarah ini, ‘Umar b. Khaṭṭāb sebagai penggagas
intelektual (Intellektuelle Urheber) dikarenakan inisiatornya
yang cemerlang, sedangkan Abū Bakar merupakan orang yang
memerintahkan pengumpulan (memiliki otoritas) dan
menunjuk pelaksana tim kodifikasi penyusunan al-Qur’an.
Kesimpulannya, pada masa ‘Umar tidak ada progress untuk
kodifikasi al-Qur’an sebagaimana pada masa Abū Bakar. Pada
masa ini hanya dilakukan penjagaan, karena al-Qur’an sudah
tersebar ke berbagai wilayah. Sehingga al-Qur’an masa ini
mengalami stagnasi, artinya tidak ada pembaruan apapun, baik
34Mawardi ‘Abdullah, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), 25. 35Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad
Ginanjar & Lulu M. Sunman, cet. IV (Jakarta: Zaman, 2013), 147.
66
64
pengkodifikasian atau pengantian tulisan. Kompilasi al-Qur’an
pada masa ini disebut dengan istilah ṣuhuf, merupakan kata
plural yang artinya, keping atau kertas. Adapun pembukuan al-
Qur’an masa Abu Bakar ini disebut sebagai pembukuan al-
Qur’an kedua setelah masa Rasulullah.
3. Periodisasi ‘Uṡmān b. ‘Affān
Pada pemerintahan khalifah ‘Uṡmān b. ‘Affān terjadi
peluasan dalam pengkodifikasi al-Qur’an. Pada masa ini juga
merupakan perkembangan umat Islam. Pada masa
pemerintahan ‘Uṡmān bin ‘Affān juga banyak para sahabat
penghafal Al-Qur’an yang tinggal berpencar di berbagai
daerah. Hal ini disebabkan daerah Islam waktu itu sudah
semakin meluas dan melakukan ekspansi di berbagai wilayah.
Bahkan umat Islam saat itu di setiap daerah mempelajari serta
menerima periwayatan mengenai bacaan al-Qur’an dari
sahabat yang ahli dalam bidang qirā’at. Misalnya Penduduk
Syām, berguru dan membaca al-Qur’an dengan qirā’at ‘Ubay
b. Ka’ab, penduduk Kuffah pada ‘Abdullah b. Mas’ūd,
sementara penduduk Baṣrah pada Abū Mūsa al-‘Asy’arī.
Adanya perbedaan bacaan al-Qur’an sebenarnya bukanlah
hal yang baru, sebab Umar sudah mengantisipasi bahaya
perbedaan ini sejak zaman pemerintahaanya. Dalam
permasalahan ini komentar Ibnu Hajar dirasa sangat penting,
bagi kalangan umat Islam bukan Arab yang ingin membaca al-
Qur’an maka pilihan bacaan yang paling tepat adalah
berdasarkan dialek Quraisy. Karena pilihan dialek ini
67
65
merupakan pilihan terbaik bagi kalangan muslim bukan Arab
karena dialek lainya sangat susah untuk dipahami. Kasus ini
kemudian muncul kembali pada pemerintahan ‘Utsmān,
setidaknya adaa dua periwayat bagaimana ‘Utsmān bergerak
hatinya untuk melakukan tugas penyusunan al-Qur’an.
pertama, mebuat naskah mushaf semata-mata berdasarkan
kepada suhuf yang disimpan di bawah penjagaan Hafsah,
mantan istri Nabi Muhammad. Kedua, yang tidak begitu
terkenal menyatakan, bahwa ‘Utsman terlebih dahulu
memberikan wewenang pengumpulan mushaf dengan
menggunakan sumber utama sebelum membandingkan dengan
suhuf yang sudah ada. dua periwayatan ini memainkan peranan
penting dalam pembuatan Mushaf ‘Utsmāni.36
Harus diketahui, setiap versi qirā’at yang dimiliki dan
diajarkan oleh masing-masing sahabat ahli bidang qirā’at
tersebut satu sama lain berlainan. sehingga menimbulkan
dampak negatif di kalangan umat Islam saat itu. Masing-
masing di antara mereka saling membanggakan dan
mengkultuskan versi qirā’at mereka, dan saling mengaku
bahwa versi qirā’at mereka lah yang paling baik dan benar.
Bahkan sahabat Hudzaifah b. al-Yaman yang ikut dalam
pembukaan Armenia dan Azerbaijan, ketika itu ia mendengar
bacaan al-Qur’an penduduk setempat yang berbeda satu sama
lain, bahkan saling membenarkan versi qirā’at masing-masing,
36 M. Mustafa al-‘Adzami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai
Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, Terj. Sohirin Solihin, 88-89
68
66
sehingga mengakibatkan pertngkaran sesama umat. Melihat
hal ini Hudzaifah berkata kepada ‘Uṡmān, “Wahai amīr al-
mu’minīn! Satukanlah umat ini sebelum mereka berselisih
dalam al-Qur’an seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani”.37
Situasi seperti ini mengkhawatirkan khalifah ‘Uṡmān b.
Affān, karenanya ia segera mengundang para sahabat, baik dari
kalangan Anṣar maupun Muhājirīn. Akhirnya, dari mereka
diperoleh suatu kesepakatan (mufaqāt), agar mushaf yang
ditulis pada masa Abū Bakar disalin kembali menjadi beberapa
mushaf dengan dialek Quraisy. Dalam hal ini, ‘Uṡmān b. Affān
menunjuk suatu tim yang terdiri empat orang sahabat pilihan,
yaitu: Zaid b. Ṡābit, ‘Abdullah b. Zubair, Sa’īd b. Al-‘Āṣ, dan
‘Abd al-Rahman b. Al-Ḥaris b. Hisyām.
Setelah menyelesaikan tugasnya, ‘Uṡmān b. Affān segera
mengembalikan mushaf orisinal kepada Hafṣah, kemudian
beberapa mushaf hasil kerja tim tersebut dikirim ke berbagai
kota untuk dijadikan referensi utama, terutama ketika terjadi
perselisihan tentang qirā’at dalam bacaan al-Qur’an,
sementara mushaf-mushaf lainnya yang ada pada saat itu
diperintahkan oleh ‘Uṡmān b. Affān untuk dibakar.38
Kodifikasi yang dilakukan pada masa periode ‘Uṡmān b.
‘Affān diselesaikan dengan sangat cermat dan teliti. Hal ini
terlihat pada pengambilan derivasi kata yang diriwayatkan
secara mutawatir dan mengesampingkan riwayat secara ahad.
37Al-Qaṭṭan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Lentera, 2013),
193. 38Muhammad Quraish Shihab, Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an, cet. 4
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 30.
69
67
Menyingkirkan lafal yang dinasakh (dihapus) dan lafaz yang
musytarak (ambiguitas). Penyusunan al-Qur’an dilakukan
dengan sistematika al-Qur’an sesuai dengan susunan surah dan
ayat sebagaimana terlihat saat ini. Sebelum menetapkan dan
menuliskan lafaz yang disepakati, tim kodifikasi menghimpun
dan memusyawarahkan semua versi bacaan (qirā’at) yang
dikenal oleh para sahabat, dan jika tetap terjadi perselisihan
maka dipilihlah qirā’at Quraish. Selain itu, tim juga
menyisihkan segala sesuatu yang bukan al-Qur’an, misalnya
catatan-catatan kaki (footnote) yang yang ditulis oleh para
sahabat sebagai penjelasan atas suatu bagian al-Qur’an,
penjelasan tentang nāsikh dan mansukh.39
Kodifikasi yang dilakukan perintah khalifah ‘Uṡmān b.
‘Affān ini, maka kaum muslimin di seluruh wilayah
menyalinnya dengan bentuk yang sama. Sementara model dan
metode tulisan yang digunakan didalam mushaf ‘Uṡmān ini
kemudian dikenal dengan sebutan “Rasm ‘Uṡmāni”.40 Adapun
teori yang dipakai dalam metode Rasm ‘Uṡmāni adalah sebagai
berikut: pertama, khazaf (membuang huruf) seperti huruf ya’
nidā’. Kedua, ziyādah (penambahan) kasusu ini terjadi
penambahan huruf seperti penambahan alif setelah waw
diakhir isim jama’. Ketiga, huruf hamzah yang diberikan
39Musthafa Murad, Kisah Hidup Utsmān b. Affān, terj. Ahmad
Ginanjar & Lulu M. Sunman, cet. IV (Jakarta: Zaman, 2013), 67. Lihat juga, al-
Qaṭṭan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, 200. 40Kata rasm berasal dari kata rasama, yarsumu, rasma, berarti
menggambar atau melukis. Lihat, Muhammad Quraish Shihab, Sejarah &
‘Ulum al-Qur’an. cet. 4 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 91. Lihat juga, Al-
Suyūṭī, al-Itqān, jilid 1, 1163-1180.
70
68
harakat ketika huruf hamzah berharakat sukun. Keempat, badal
(mengubah) dengan cara mengantikan tulisan alif dengan huruf
waw. Kelima,kaidah fasal dan wasal dengan cara beberapa
huruf yang dibaca sambung dan terpisah dengan kalimat
setelahnya.41 Keenam, mengakumulasikan kedua qiraat dalam
satu teks kalimat.
Dari pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan tentang
motivasi dan proses modifikasi antara Abū Bakar al-Siddīq dan
‘Uṡmān bin ‘Affān dengan table sebagai berikut:
Khalifah Abū Bakar Khalifah ‘Uṡmān b. ‘Affān
1. Motivasi pengkodifikasi
karena kekhawatiran
hilangnya al-Qur’an
disebabkan banyak
wafatnya beberapa
sahabat penghafal al-
Qur’an pada perang
Yamamah
2. Abū Bakar
melakukannya dengan
mengumpulkan tulisan-
tulisan al-Qur’an yang
masih terpisah-pisah
pada pelepah kurma,
kulit, tulang dan
sebagainya.
1. Motivasi penulisannya
yang dilakukan oleh
‘Ustmān b. ‘Affān adalah
karena terjadinya
perselisihan cara
membaca al-Qur’an
(qirā’at). Sehingga umat
Islam saat itu terjadi
perselisihan bahkan
menyebabkan timbulnya
sikap saling
menyalahkan.
2. ‘Uṡmān mengumpulkan
al-Qur’an dengan
membentuk tim dengan
cara mengsimplifikasi
tulisan mushaf
seblumnya kemudian
menggunakan satu versi
yaitu Quraish, dengan
tujuan mulia yakni
mempersatukan kaum
41al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid. 1, 301-309.
71
69
muslimin dalam satu
mushaf
72
67
BAB IV
PEMELIHARAAN AL-QUR’AN
DALAM TINJAUAN AL-SUYŪṬĪ
Penyebaran al-Qur’an ke seluruh dunia bahkan hingga ke
Indonesia itu disebabkan terjaganya al-Qur’an dengan cara melalui
hafalan dan penulisan baik itu dengan skala besar maupun kecil.
Di Indonesia banyak sekali kesadaran masyarakat muslim
melakukan aktivitas hafalan al-Qur’an dengan mendaftarkan anak-
anaknya untuk menghafal al-Qur’an di pondok pesantren. Tidak
hanya melalui tradisi hafalan, bahkan Indonesia memiliki lembaga
khusus untuk melakukan penulisan dan pencetakan ulang al-
Qur’an untuk disirkulasikan ke daerah-daerah. Melakukan
penulisan ini dilakukan oleh Lembaga Lajnah Pentashihan Mushaf
al-Qur’an dari Kementrian Agama RI. Lembaga ini juga
melakukan sosialisasi di berbagai kampus Islam negri seperti UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan melakukan pelatihan-pelatihan
kepada mahasiswa-mahasiswa yang terpilih.
Diktum di atas merupakan bentuk pemeliharaan al-Qur’an agar
tetap terjaga keautentitasnya, meskipun hal ini merupakan
kesadaran dan tanpa ada paksaan bagi setiap muslim. Jika ditinjau
dari ayat-ayat al-Qur’an tidak ada satu ayatpun yang menjelaskan
kewajiban seorang muslim untuk memelihara al-Qur’an, hanya
saja ditemukan penjelasan dari ayat tentang pemeliharaan al-
Qur’an hanya diperuntukan oleh Allah yang tidak melibatkan
setiap muslim, bahkan Nabi Muhammad SAW. Seperti dijelaskan
di dalam QS. al-Hijr [15]: 9:
73
68
ل هل افظون و إنا ن نن زالن االذ كر إنا
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
Ayat ini diinterpretasikan oleh al-Suyūṭī sebagai berikut:
وأخرجعبدالرزاق،وابنجرير،وابنالمنذر،وابنأبيحاتم،عنقتادةفيقوله
تیهٱلب طلمنی فيآي ةأخرى)لا ل هل افظون (وقال و إنا ن نن زالن االذ كر )إنا
لفه(ب ی منخ يهو ل ث أل:فوالباطلإبلیس،قاي د فلايستطیعهحفظنزلهاللا
مبلیسأنيزيدفیهباطلاولينقصمنهحق احفظهإ كنذلاللا
Al-Suyūṭī mengambil periwayatan dari ‘Abd al-Razzāq, Ibn
Jarīr, Ibn al-Munzīr, Ibn Abī Hātim yang mengambil dari Qatādah,
bahwa ayat ini ditafsirkan dengan QS. al-Fussilat [41]: 42. Secara
umum, al-Suyūṭī menjelaskan bahwa al-Qur’an terpelihara dari
kebatilan Iblis,1 maka ketika turunnya al-Qur’an Allah langsung
menjaganya sehingga Iblis tidak bisa melakukan kejahatan baik itu
menambahi isi al-Qur’an sekalipun itu kebenaran maupun
mengurangi isi al-Qur’an dengan kebatilan. Itu semua dikarenakan
1Iblis merupakan kepala kepemimpinan para syaitan yang tugasnya
menyesatkan umat Islam untuk meninggalkan perintah Allah dan selalu senang
ketika melihat korbanya melakukan kejahatan. Lihat, Jumhuriyyah Mesri al-
‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasīṭ (Maktabah al-Syurūq al-Dauliyyah, 2004), 3.
74
69
Allah yang menjaganya dan memeliharanya dari segala bentuk
kejahatan yang dilakukan oleh Iblis.2
Hemat penulis, penjelasan al-Suyūṭī terhadap ayat ini bahwa
Allah menjaga al-Qur’an pada saat awal turunnya al-Qur’an
kepada Nabi Muhammad SAW. Masa turun yang secara bertahap
kepada Nabi Muhammad maka perlu penjagaan dan pemeliharaan
dari Allah agar Iblis tidak dapat melakukan kejahatannya.
Pertayaannya apakah keautentitas al-Qur’an hingga sekarang
hanya dijaga oleh Allah? Jawabannya tentu tidak, karena umat
Islam sangat berkontribuksi menjaga al-Qur’an merupakan hal
yang penting untuk menjaga keautentitas al-Qur’an. Maka pada
QS. al-Hijr [15]: 9 jika tinjau dengan pendekatan teori Ilmu Ma’ānī
ditemukan temukan gaya bahasa yang menunjukkan al-Qaṣr atau
al-Haṣr3 pada redaksi ini. Seperti kalimat
ل هل افظون و إنا
Potongan ayat ini tidak ditemukan term Qaṣr (pembatasan)
yang memberikan makna penegasan, sehingga redaksi ini
memberikan informasi penegasan bahwa Allah adalah penjaga al-
Qur’an bukan sebaliknya yang memberikan pembatasan bahwa
2Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,
jilid VIII (al-Qāhirah: Markaz li Buhūṡ wa al-Dirasāt al-‘Arabiyyah wa al-
Islamiyyah, 2003), 594. 3Menurut al-Suyūṭī, al-Qaṣr adalah sebagai berikut:
بواحدمنطرقمخصوصةمنطرقالقولالفیدللقصرشيءأخر Secara umum al-Qaṣr diartikan sebagai upaya penegasan, atau penekanan pada
salah satu unsur atau bagian kalimat yang dipentingkan. Selanjutnya ada juga
gaya bahasa pemfokusan dilakukan dengan penempatan pada awal kalimat atau
memakai kata pemisah atau dengan menggunakan alat/ huruf fokus. Lihat, Jalāl
al-Dīn ‘Abd al-Rahman al-Suyūṭī, Syarah ‘Uqūd al-Jumān (Semarang: Al-
munawwar), 43.
75
70
yang menjaga al-Qur’an hanya Allah. Tetapi pada redaksi awal
ayat sebelumnya yaitu:
ن نن زالن االذ كر إنا
Pada teks ini justru memberikan penegasan dan pembatasan
sebagai informasi penegasan sekaligus pembatasan bahwa yang
telah menurunkan al-Qur’an hanya Allah, karena redaksi ayat ini
menggunakan huruf taukid (penguat) yang berupa jumlah ismiyyah
yang berupa huruf lam taukīd (penguat) dan berupa huruf inna
sekaligus huruf Qaṣr yang menggunakan kata pronomina (Ḍamīr
al-faṣl). Sehingga inferensinya pada redaksi pertama memberikan
informasi bahwa Allah menurunkan al-Qur’an sebagai penegasan
dan pembatasan, tetapi redaksi lanjutannya, yang menjaga al-
Qur’an adalah Allah yang berupa penegasan tetapi tidak
pembatasan yang bukan hanya Allah yang menjaga sendiri tetapi
para malaikat dan umat muslim. Dari penjelasan ini maka al-
Qur’an harus dilakukan penjagaan oleh umat muslim sebagai
upaya menolong agama Allah, sebagaimana dijelaskan di dalam
QS. Muhammad [47]: 7:
ام كم ي نصركمو ي ث ب تأ قد االاذين آم نواإنت نصروااللا أ ي ه ي
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama)
Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu”
Dari penjelasan ini, penulis membangun argumentasi tentang
bentuk-bentuk pemeliharaan al-Qur’an yang dilakukan oleh setiap
muslim sebagai bentuk menjaga keautentisitas al-Qur’an di setiap
waktu dan tempat.
76
71
A. Pemeliharaan dengan Hafalan
Tradisi hafalan sudah dilakukan pada zaman Nabi Muhammad
SAW seperti yang dilakukan oleh sahabat Nabi di antaranya, Zaid
b. Ṡābit, Sa’id b. Abī Waqās, ‘Abdullah b. Abī Mas’ūd, Ubay b.
Ka’ab, Abū Zar al-Ghifārī, Mu’adz b. Jabal, Abū Musa al-Asy’arī
dan lainnya. Tradisi hafalan dilakukan oleh generasi sahabat
sebagai bentuk pemeliharaan pertama dalam menjaga al-Qur’an,
hingga melakukan pemeliharaan bentuk kedua dalam penulisan
dikarenakan banyak penghafal al-Qur’an yang meninggal dalam
keadaan perang.4 Tradisi ini sudah menjadi turun-menurun hingga
saat ini, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya oleh al- Suyūṭī
di dalam kitab ṭabaqāt al-huffāẓ yang menulis tokoh-tokoh
penghafal al-Qur’an yang dimulai dari generasi pertama hingga
generasi ke-24. Dalam kitab yang ditulis oleh al-Suyūṭī tidak
menulis sampai kepada generasinya, ini membuktikan betapa
banyaknya penghafal al-Qur’an. Bahkan di Indonesiapun memiliki
lembaga khusus penghafal al-Qur’an yang tersebar diberbagai
daerah Indonesia.
Tradisi ini bukanlah kewajiban seorang individual muslim,
hanya saja kesadaran umat muslim agar al-Qur’an tetap dijaga.
Syarat paling utama melakukan hafalan al-Qur’an adalah
memenuhi kredibelitas ilmu, sebab al-Qur’an tidak akan bisa
masuk ke dalam diri seseorang apabila masih dalam keadaan
4Muhammad ‘Abd al-Azīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-
Qur’ān, jilid. 1, 39-42.
77
72
bodoh yang tidak dihiasi dengan ilmu, sebagaimana dijelaskan di
dalam QS. al-‘Ankabūt [29]: 48
ب ول تخ ـ ا لٱ نك یم ی ب ۥطه وما كنت تتلوا من قبله من كت رتاب إذ
لمبطلون ٱ
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran)
sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab
dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan
menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).
Menurut al-Tabari, bahwa Nabi Muhammad tidak bisa menulis
dan membaca sebagaimana Allah menjadikan seperti itu juga
dengan kitab Injil dan Taurat yang Nabi pembawanya tidak bisa
menulis dan membaca. Ayat ini menjelaskan bawa kitab suci sudah
terlebih dahulu berada di dalam hati orang-orang yang berilmu
dengan demikian al-Qur’an sudah terlebih dahulu dihafal.5
Di ayat yang lain juga dijelaskan begitu pentingnya hafalan al-
Qur’an terdapat dalam QS. al-‘Ankabut [29]: 49
ب ی ن تفیصدورٱلاذيء اي ت و م اب لهو
دبن أوتواٱلعلم ح
ی اي تن اإلا
ٱلظا لمون
“Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di
dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang
mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang
zalim.”
Menurut interpretasi Ibn Katsīr, al-Qur’an adalah ayat-ayat
yang jelas yang menunjukkan kepada perkara yang hak, di
dalamnya terkandugn perintah, larangan, dan kebaikan, dihafa oleh
5 Al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’an, (al-Qāhirah: Markaz al-
Buhūts wa al-Dirāsāt al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2001), jilid XVIII, 424-
426
78
73
semua ulama. Allah telah memberikan kemudahan kepada mereka
untuk membacanya, menghafalnya dan menafsirkannya
sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Qamar [54]: 17, 22, 32, dan
40:
لمنمداكر للذ كرف ه ٱلقرء ان و ل ق دي سارن
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk
pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”
Karena al-Qur’an itu telah dihafal di dalam dada para
penghafalnya, sering dibaca oleh lisan dan menarik hati serta
mengandung mukjizat, baik dari segi lafadz maupun maknanya.
Untuk itulah maka disebutkan di dalam kitab-kitab terdahulu
sehubungan dengan sifat umat Nabi Muhammad SAW ini, bahwa
kitab-kitab mereka berada di dalam mereka.6
Pendapat ini sejalan dengan al-Qurtubī (w.671H), ia
menafsirkan ayat di atas sebagai berkut:
لمؤمنونبه،واوهيكذلكفيصدورالذينأوتواالعلم،وهمأصحابمحمد
يحفظونهويقرءونه
Secara umum, yang memiliki peran penting dalam menghafal
al-Qur’an adalah sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW serta
orang-orang mukmin setelahnya. Merekalah yang senantiasa
melakukan pengahafalan dan membaca al-Qur’an.7 Sedangkan
6Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr,
jilid X (Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Ṭurās, 2000), 521. 7Muhammad b. Ahmad al-Anṣārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah, Jāmi’ li
Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī, jilid XVI (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005),
376-377.
79
74
interpretasi yang dibangun al-Suyūṭī terhadap ayat ini memiliki
kesamaan dengan penafsiran ulama sebelumnya. Ia mengutip
diktum al-Hasan bahwa tokoh yang melakukan penghafalan adalah
orang-orang mukmin.8
Hemat penulis, umat muslim harus turut andil dalam
melakukan penghafalan al-Qur’an sebagai bentuk pemeliharaan al-
Qur’an agar tetap terjaga keautentisitasnya. Mengahafal al-Qur’an
merupakan prototipe orang yang memiliki keilmuan, sebab al-
Qur’an hanya bisa dihafal secara murni bagi mereka yang memiliki
keilmuan.
B. Pemeliharaan dengan Penulisan
Pemeliharaan kedua adalah penulisanal-Qur’an. Tradisi
menulis sudah dilakukan di zaman Nabi Muhammad SAW oleh
sebagian para sahabat, tetapi penulisan utuh dilakukan oleh masa
khalifah Abū Bakar al-Siddīq dan disempurnakan oleh ‘Uṡmān b.
‘Affān. Penulisan sangatlah penting dan memiliki peran untuk
menjadi pemeliharaan keautentisitas al-Qur’an. Pentingnya lagi
untuk zaman sekarang banyak kalangan umat muslim sedikir
sekali yang menghafal al-Qur’an bahkan membacapun masih
butuh bimbingan. Berbeda di zaman Nabi Muhammad yang
dominasi adalah mengahafal al-Qur’an ketimbang menulis, ini
disebakan banyak sebagaian sahabat tidak pandai menulis.
Menulis al-Qur’an tidak dilarang oleh Nabi Muhammad
bahkan Nabi sendiri melarang sahabat-sahabat menulis selain al-
8Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr, jilid
VII (al-Qāhirah: Markaz li Buhūṡ wa al-Dirasāt al-‘Arabiyyah wa al-
Islamiyyah, 2003), 561-562.
80
75
Qur’an. Larangan secara umum ini adalah untuk menjaga
kemurnian tulisan al-Qur’an agar tidak bercampur-baur dengan
tulisan-tulisan lain selain al-Qur’an, baik bersumber dari Nabi
Muhammad SAW maupun sahabat. Namun demikian, ada
beberapa sahabat yang memang pandai baca tulis, menuliskan
ucapan-ucapan Rasul sebagai interpretasi al-Qur’an dan catatan
mereka, seperti ‘Abdullah b. ‘Umar, ‘Abdullah b. Mas’ūd, Alī b.
Abī Ṭalib, Ibn ‘Abbās dan lain-lainnya. Mengingat pentingnya
peran penulis dalam menjaga autentisitas al-Qur’an, Nabi
Muhammad SAW sangat menghargai orang-orang yang bisa baca
tulis dan menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk
mempelajarinya. Setelah Perang Badar, Nabi Muhammad SAW
memanfaatkan para tawanan perang Badar yang pandai baca tulis
untuk menebus dirinya dengan mengajar baca tulis 10 orang anak-
anak muslim. Dengan keputusan Rasul ini, semakin banyak orang
yang bisa baca tulis, semakin banyak pula orang yang bisa
mencatat dan mengahafal al-Qur’an.9
Untuk menjaga kemurnian al-Qur’an, di Indonesia juga
melakukan bermacam-macam usaha, di antaranya ialah:
1. Membentuk “Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an” yang
bertugas antara lain meneliti semua mushaf yang akan
dicetak sebelum diedarkan ke masyarakat. Tim ini berada
di bawahh pengawasan Kementrian Agama RI
2. Pemerintah telah mempunyai naskah al-Qur’an yang
menjadi standar dalam penerbitan al-Qur’an di Indonesia
9Kementrian Agama RI, Tafsir dan Terjemahnya, jilid V (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), 210.
81
76
yang telah disesuaikan dengan muṣḥaf imām atau muṣḥaf
‘Uṡmānī
3. Mengadakan Musabaqah Tilawah al-Qur’an setiap tahun
yang ditangi dan diurus oleh Negara
4. Usaha-usaha lain yang dilakukan oleh masyarakat muslim,
seperti membentuk lembaga pendidikan, kajian, dan tahfīẓ
al-Qur’ān.
Menurut Tafsir Kementrian Agama RI, ada tiga faktor yang
membantu menjaga kelestarian tulisan dan bacaan al-Qur’an, di
antaranya:
1. Tulisan atau naskah yang ditulis para penulis wahyu
2. Hafalan dari para sahabat yang sangat antusias
menghafalnya
3. Tulisan atau naskah yang ditulis oleh para sahabat yang
sudah lebih dulu pandai baca tulis seperti, ‘Abdullah b.
‘Umar, ‘Abdullah b. Mas’ūd, Alī b. Abī Ṭalib, Ibn ‘Abbās
dan lain-lainnya
Penulisan al-Qur’an yang disempurnakan pada masa khalifah
‘Uṡmān b. ‘Affān atau dikenal sebagai muṣḥaf imām atau muṣḥaf
‘Uṡmān ī yang disirkulasikan dan dipakai di seluruh dunia. Itu pun
belum dikategorikan sebagai muṣḥaf yang sempurna bagi
paradigma masyarakat non-arab, sebab membacanya sulit yang
tidak memiliki harakat dan tanda. Pada masa sahabat, al-Qur’an
yang tidak ditulis menggunakan titik dan harakat tidak
mempengaruhi bacaan al-Qur’an karena para sahabat dan tabi’īn
selain hafal al-Qur’an juga orang-orang yang fasih menggunakan
bahasa Arab. Setelah terjadi diseminasi Islam diseluruh dunia,
82
77
mereka yang non-arab merasa sangat kesuliatn, di satu sisi tidak
menghafal al-Qur’an di sisi lain tidak fasih berbahasa Arab. Maka
Abū al-Aswad al-Dualī mengambil inisiator untuk memberikan
tanda-tanda baca dalam al-Qur’an dengan tinta yang berlainan
warnanya. Tanda titi ialah titik di atas untuk fatḥāḥ, titik di bawah
untuk kasrāh, titik sebelah kiri atas untuk ḍammah, dan dua titik
untuk tanwīn. Hal ini terjadi masa ‘Alī b. Abī Ṭalib.10
Kemudian di masa khalifah ‘Abd al-Malīk b. Marwan, Nasr b.
Aṣim, dan Yahya b. Ya’mar menambahkan tanda-tanda untuk
huruf-huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan
al-Qur’an untuk membedakan antara maksud dari titik ‘Abu
Aswad al-Dualī dengan titik yang baru. Titik Abu al-Aswad adalah
untuk tanda baca dan titik Nasr b. ‘Aṣim adalah titik huruf. Cara
penulisan semacam ini tetap berlaku pada masa Bani Umayyah,
dan pada pemulaan kerjaan ‘Abbasiyah, bahkan tetap pula dipakai
di Spanyol sampai pertengahan abah keempat hijriah. Kemudian
ternyata cara pemberian tanda seperti ini masih menimbulkan
kesulitan bagi para pembaca al-Qur’an karena terlalu banyak titik,
sedang titik itu lama kelamaan hampir menjadi serupa warnanya.
Maka al-Khalil mengambil inisiator untuk membuat tanda-
tanda yang baru, yaitu wau kecil (و) di atas untuk ḍammah, huruf
alif kcil (ا) untuk tanda fatḥāḥ, huruf ya’ kecil (ي) untuk tanda
kasrāh, kepala huruf sin (س) untuk tanda syiddah, kepada ha (ه)
untuk sukun dan kepala ‘ain (ع) untuk hamzah. Kemudian tanda-
10Kementrian Agama RI, Tafsir dan Terjemahnya, jilid V (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), 213-214.
83
78
tanda ini dipermudahkan dengan dipotong dan ditambah sehingga
terjadi bentuk yang ada sekarang.11
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa
pemeliharaan dengan cara penulisan sebagai sikap yang efesien
untuk mmelihara autentisitas al-Qur’an. Bagi pengahafal al-
Qur’an juga membutuhkan teks-teks al-Qur’an tertulis untuk
murāja’ah (mengulang) hafalan, sebab teks atau tulisan
merupakan bentuk empiris. Penulisan al-Qur’an sebagai bentuk
pemeliharaan al-Qur’an dijelaskan di dalam QS. al-Baqarah [2]:
282:
ى مس م أ ج ل
ينإل اي نتمبد ن كمي أ ي ه اٱلاذين ء ام ن واإذ ات د ف ٱكت بوهو لی كتبب ای
ف لی كتبو لیمللٱلاذیهٱللا ك م اع لام ك اتبأ ني كتب ب
ی بٱلع دلو ل
اتب ك
ك ان ٱلاذیع ل ی ف إنی ا ي بخ سمنهش ر باهۥو ل فیهاع ل یهٱل قو لی تاقٱللا هٱل قس
ين ف لیمللو لیهۥبٱلع دلو ٱست شهدواش هید ي ست طیعأ نیلاهو أ وض عیفاأ ول
اءأ ن من ٱلشه د نمانت رض ون ر جل یف ر جلو ٱمر أ ت الكمف إنلاي كون منر ج
ت ض اءإذ ام ادعواو ل ٱلشه د ب ی هم اٱلخر ىو ل ى إحد ر اف تذ ك هم ى لاإحد
ذ لهۦ أ ج بیراإل ك ةعند أ قس طلكم ت س مواأ نت كت بوهص غیراأ و د و مللشاه
و أ ق ٱللا
أ لا ع ل یكمجن احو أ دن ن كمف ل یس اضر ةتديرون اب ی ت ر ةح أ نت كون ب واإلا ت رت
11Kementrian Agama RI, Tafsir dan Terjemahnya, jilid V (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), 214.
84
79
ش هیدو إنت فع لواف إناهۥ اتبو ل ك يض ارا ت كت بوه او أ شهدواإذ ات ب اي عتمو ل أ لا
بكمو ٱت اقبكل ش یءع لیمفسوق و ٱللا و ي ع ل مكمٱللا واٱللا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu
tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal
itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah
kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
Menurut Ibn Katsīr (w. 774H), redaksi ف ٱكت بوه diartikan
“hendaklah kalian menulis”, ia menambakan, melalui ayat ini
85
80
Allah memerintahkan adanya catatan untuk memperkuat dan
memelihara apabila timbul suatu pernyataan bahwa telah dittapkan
di dalam kitab ṣaḥiḥain dari ‘Abdullah b. ‘Umar :
أمةأم یةلنكتبولنسب إن
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi (buta huruf),
kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghitung.”
Menurutnya, bagaimanakah mengakumulasikan pengertian
antara hadits ini dan perintah mengadakan tulisan? Sebagai
jawabanya dapat dikatakan bahwa utang piutang itu bila dipandang
dari segi hakikatnya memang tidak memerlukan catatan pada
asalnya. Dikatakan demikian karena kitabullah telah dimudahkan
pula Sunnah-sunnah, semua dihafal dari Rasulullah SAW hal yang
diperintahkan oleh Allah untuk dicatat hanyalah masalah-masalah
rinci yang biasa terjadi di antara manusia. Maka mereka
diperintahkan untuk melakukan hal tersebut dengan perintah yang
mengandung arti petunjuk, bukan perintah yang berarti wajib
seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama.12
Sejalan dengan al-Qurtubī, menurutnya ayat ini
diinterpretasikan sebagai berikut:
نالكتابةبغیرشهودويقال:أمربالكتابةولكنالمرادالكتابةوالإشهاد،ل
لتكونحجة.ويقال:أمرنبالكتابةلكیلاننسى
Secara umum, ayat ini bukan perintah menulis melainkan
memberikan saksi dalam bentuk tulisan. Karena apabila tulisan
12Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn
Katsīr, jilid II (Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Ṭurās, 2000), 506-507.
86
81
tidak nyata yang tidak menggunakan benda (saksi) maka tidak bisa
dipertahankan argumentasinya. Satu sisi diperintahkan untuk
menulis agar tidak terjadi lupa.
Pandangan al-Suyūṭī (w.911H), memiliki perbedaan ketika
manafsirkan ayat di atas. Ulama sebelumnya data yang mesti
dibangun untuk dijadikan argumentasi adalah tulisan yang nyata,
sedangkan al-Suyūṭī memaknainya hanya menggunakan makna
umum sebagaimana dijelaskan berikut ini:
:أمرفيالآيباسوأخرجابنجرير،وابنالمنذر،وابنأبيحاتم،عنابنع ةقال
منليشهد،فانبالشاهادةعندالمداينةلكیلايدخلفيذلكجحودولنسی
منالمسلمیإلیهعني:مناحتیج(ش هداءلٱیبلصى)وع لىذلكفق دع
ةكانتعندهشهادأويشهدعلىشهادة
al-Suyūṭī menjelaskan ayat ini, mengutip periwayatan dari Ibn
Jarīr, Ibn al-Munzīr, Ibn Abī Hātim dari Ibn ‘Abbās bahwa
perintah memberikan persaksian terhadap utang piutang agar tidak
terjadi penyangkalan dan lupa bahkan apabila tidak diberikan saksi
maka bisa terjadi pelanggaran. Maka memberikan persaksian
sangat dibutuhkan, baik itu menyaksikan persaksian orang lain
atau memiliki persaksian.13 Pandangan al-Suyūṭī menggunakan
redaksi persaksian yang lebih universal, bisa jadi menggunakan
teks (penulisan) maupun dengan menggunakan ekpresi yang lain.
13Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,
jilid III (al-Qāhirah: Markaz li Buhūṡ wa al-Dirasāt al-‘Arabiyyah wa al-
Islamiyyah, 2003jilid III, h. 393-394.
87
82
Sehingga tujuan dari persaksian itu adalah agar tidak terjadi lupa,
sebagaimana dijelaskan juga oleh al-Qurtubī dan Ibn Katsīr.
Hemat penulis, secara umum ayat ini menjelaskan tentang
utang piutang. Agar utang piutang itu tetap terjaga sampai pada
kepelunasan, maka perlu ada catatan tulisan sebagai saksi bahwa
korban memang benar melakukan hutang. Tapi ayat ini juga para
ulama mengkaitkan tentang penulisa al-Qur’an sebagaimana
dijelaskan oleh al-Suyūṭi, Ibn Katsīr, dan al-Qurtubī. Penulisan
terhadap al-Qur’an sangatlah penting untuk dilakukan untuk
terhindar dari lupa, hilangnya keautentisitas al-Qur’an. Maka
dengan adanya catatan dan tulisan al-Qur’an dijadikan sebagai
saksi apabila terjadi kejahatan untuk mengubah al-Qur’an.
Perlu diketahui, pemeliharan dalam bentuk penulisan harus
didasari dengan pentingnya untuk menjaga dari hal destruktif.
Sangat dilarang apabila penulisan dengan tujuan komoditi
sebagaimana yag dilakukan oleh agama lain dengan kitab-kitab
mereka. Misalna dijelaskan di dalam QS. al-Baqarah [2]: 79
ی فو ـب ٱ كتبون ی ن ی ل لٱذ ل لكت ذا من عند قولون ی ثمٱ هم ید ی بأ ـ ٱه شتروا ی ل للٱ
ا قل ۦبه ا یثمن
ی فو ل
ا كتبت أ ل مٱ ی وو هم ید ی لٱهم م
ا ل مٱ كسبون ی لٱهم م
Maka kecelakaan yAng besarlah bagi orang-orang yang
menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu
dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk
memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka
kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis
oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi
mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.
Menurut Fakhruddin al-Razi, penulisan kitab dengan apa yang
mereka usahakan merupakan kesesatan yang diperbuat oleh
mereka terhadap agama. Sebab mereka bermaksud untuk
88
83
memperjual belikan atas nama Allah. Padahal ini bukankah
kehendak Allah.14 Sejalan dengan Ibn Katsir, kasus ini terjadi pada
kelompok Yahudi yang suka menulis kitab mereka untuk diperjual
belikan. Mereka mempromosikan dengan atas nama Allah supaya
mendapatkan keuntungan yang besar.15 Begitu juga dengan al-
Suyuti, bahwa ayat ini menjelaskan prilaku orang Yahudi yang
suka mengubah-ngubah kitab Taurat, menambah sesuka mereka.
Apabila ditemukan redaksi yang tidak disekuai dengan segeranya
mereka menghapusnya. Dan tak tangung-tangung, mereka dengan
mudahnya menghapus nama Muhammad di dalam Taurat.16
Hemat penulis, pada dasarnya penulisan terhadap kitab itu
diperbolehkan dan diwajibkan. Namun kewajiban itu bisa berubah
status menjadi haram apabila memiliki niat dan tujuan yang buruk.
Pada kasus ayat di atas merupakan bukti bahwa menulis harus
bertujuan untuk pemeliharaan al-Qur’an bukalah bertujuan untuk
memperjual belikan yang mendapatkan keuntungan komoditi,
apalagi mengatas namakan kehendak Allah yang bisa
mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat. Secara implisit ayat
di atas bisa diambil hikmah dan mafhum mukhalafah, bahwa
penulisan dengan tujuan baik itu diharuskan sebagaimana menulis
surat tanda bukti hutang. Sebab dengan menulis bisa minimalisir
kealfaan dan lupa terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
14 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tafsīr
al-Kabīr wa Mafātiḥ al-Ghaib (Damaskus: Dār al-Fikr, 1981), jilid III, 150-151 15 Abū al-Fidā’ Ismā’īl Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm, jilid I,
464-466 16 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,
jilid I, 437
89
84
C. Terhindar dari Tafrīf (Destruktif) dan Tafdīl (Fanatisme)
Al-Qur’an sebagai kitab karya magnum opus Allah yang dijaga
oleh-Nya dan umat-Nya dari kejahatan baik itu penambahan
maupun pengurangan isi substansi al-Qur’an. Turunnya al-Qur’an
sebagai petunjuk dan pedoman umat Islam, tetapi banyak
sebagaian muslim melakukan kesalahan baik mempolitisasi ayat-
ayat al-Qur’an untuk keuntungannya, menginterpretasikan ayat-
ayat al-Qur’an tanpa ada bekal keilmuan yang mapan, maupun
terlalu fanatisme terhadap teks tanpa melihat maqāṣid al-
syarī’ah17 (tujuan ayat) terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Berkembangnya zaman kejahatan itu bisa dilakukan dengan
cara apapun termasuk kejahatan detruktif terhadap agama. Salah
satunya adalah mengkomentari al-Qur’an dengan penistaan,
kelompok elit menggunakan pawang ayat-ayat al-Qur’an sebagai
kepentingan pribadi, bahkan menjual ayat untuk memperkaya diri.
Itu sebabnya al-Qur’an akan selalu dijaga dan dipelihara oleh umat
Islam terutama mereka yang memiliki keilmuan yang kredibelitas
sehingga mampu dalam memberikan interpretasi yang sesuai
dengan regulasi-regulasi seorang mufasir. Sebagaimana dijelaskan
ayat sebelumnya QS. al-Hijr [15]: 9, bahwa al-Qur’an turun
langsung dijaga oleh Allah dari kejahatan apapun itu, sebagaimana
diinterpretasikan oleh al-Zamakhsyarī sebagai berikut:
17Al-Maqāṣid jama’ dari kata مقصد (tujuan), yaitu menghendaki
sesuatu. Adapaun secara terminologi adalah sebagai berikut:
الم ع انالاتأ ت ت الن ات ائجو افو ال هد الغ اي ةو ام,و س ع تإل أ ث ب ت ت ه افيال حك ب االشاري ع ة,و م ك ان او الوصولإل ی ه افيكل ز م انو إی اده او ت قیقه
Lihat. Wahbah al-Zuhailī, Maushū’ah Qadāyā Islāmiyyah
Mu’āshirah, jilid V (Bairut: Dār al-Maktabī Damasqī), 623.
90
85
ع ل یه االاذين ز ل ردلإنكارهمواستهزائهمفيقولهميأ ي ه ن نن زالن االذ كر إنا
الذ كرولذلكقال:إننن،فأكدعلیهمأنههوالمنزلعلىالقطعوالبتات،
بعثبهجبريلإلمحمدبیيديهومنخلفهرصد،حتىنزلوأنههوالذي
وبلغمحفوظامنالشیاطیوهوحافظهفيكلوقتمنكلزيدةونقصان
وتريفوتبديل،بخلافالكتبالمتقدمة،فإنهليتولحفظها.وإنمااستحفظها
قرآنإلالربانییوالحبارفاختلفوافیمابینهمبغیافكانالتحريفوليكلال
ردالإنكارهم ن نن زالن االذ كر غیرحفظه.فإنقلت:فحیكانقولهإنا
افظون ؟قلت:قدجعلذلكدلیلا ل هل واستهزائهم،فكیفاتصلبهقولهو إنا
كانمنقولالبشرأوغیرآيةلتطرقعلیه علىأنهمنزلمنعندهآية،لنهلو
صانكمايتطرقعلىكلكلامسواه.وقیل:الضمیرفيل هلرسولالزيدةوالنق
ي عصمك اللهكقولهتعالو اللا
Menurut al-Zamakhsyarī (w.538H), bahwa ayat ini sebagai
argumen bagi orang yang orang yang ingkar dan mengejek al-
Qur’an sebagaimana dijelaskan QS. al-Hijr [15]: 6 “Hai orang
yang diturunkan Al Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-
benar orang yang gila”. Adapun maksud redaksi inna nahnu
sebagai taukīd (penguat) bahwa Allah memang benar-benar
menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril yang dijaga di setiap sisinya hingga turun dan
91
86
sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Allah menjaga disetiap
kejahatan yang melakukan penambahan isi al-Qur’an, mengurangi,
melakukan taḥrīf (destruktif), mengantikan isi al-Qur’an.
Al-Zamakhsyarī (w.538H) membeda-berbeda dengan kitab-
kitab sebelumnya (Injil, Zabur, dan Taurat) yang tidak
membutuhkan penjagaan dari Allah, hanya saja yang melakukan
pemeliharaan adalah tokoh agama mereka, sehingga terjadi
perlakukan yang aksesif (tafdīl/bugh). Al-zamakhsyari
menambahkan bahwa ayat ini sebagai argumentasi al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi Muhammad. Seandainya al-Qur’an ini
buatan dan ciptaan manusia pastinya mereka memperlakukan
penambahan, pengurangan, destruktif, dan aksesif.18
Pandangan ini sejalan dengan al-Rāzi, bahwa al-Qur’an akan
selalu dijaga dan dipelihara dari hal-hal yang destruktif, aksesif,
penambahan dan pengurangan. Sebab hal ini sudah merupakan
janji Allah dan tertulis di dalam QS. al-Fussilat [41]: 42:
تیهٱلب طلی يهو ل لا ي د لفهۦت نزيلم نح كیمح منب ی ید منخ
Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari
depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Dari kedua mufasir ini, sangat jelas bahwa al-Qur’an akan
terjaga dari hal-hal yang sifatnya destruktif. Hal yang paling
dominasi untuk bisa menegasikan tindakan kejahatan ini adalah
18Al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq Ghawāmiḍ al-Tanzīl wa
‘Uyūn al-Aqāwīl fi Wujūh al-Ta’wīl, jilid III (al-Riyād: Maktabah al-‘Abīkān,
1998), 558-559.
92
87
dengan melakukan pemeliharaan baik itu dengan metode hafalan
maupun melakukan penulisan-penulisan.
Selain menegasikan destruktif, hal yang harus dikhawatirkan
adalah berlebihan dan fanatisme terhadap al-Qur’an. Fanatisme
terjadi adalah mengkultuskan teks tanpa memerlukan eksternal
konten untuk memahami al-Qur’an, sebab sumber-sumber Islam
(maṣādir al-islamiyyah) bukan hanya al-Qur’an tetapi juga
Sunnah19, Ijma’ (konsesus) dan Qiyās. Watak seperti ini sudah
terjadi di kalangan Islam salah satu ciri-ciri mereka adalah
menolak hadits (inkār al-hadīṡ) tetapi hanya fokus dengan al-
Qur’an, para ulama menyebutnya kelompok Qur’aniyyūn.
Beberapa ulama mengangap bahwa gagasan penolakan hadits ini
sudah ada pada zaman sahabat yang dikenal dengan khawarij.
Pemikiran ini sama dengan dogma-dogma quraniyyūn yang
mengagap hanya al-Qur’an sebagai sumber utama.20
Padahal Sunnah merupakan memiliki peran penting untuk
memahami al-Qur’an salah satunya adalah al-bayān dan sebagai
media komunikasi untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Perlakuan orang yang terlalu fanatisme, secara tidak langsung
19Menurut istilah ahli hadis, sunnah adalah apa yang ditinggalkan dari
Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat fisik atau akhlak, atau sirah
(sejarah hidup), baik sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul
atau sesudahnya. Menurut istilah ahli ushul fiqh, Sunnah adalah apa saja yang
dinukil dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan atau takrir
(ketetapan). adapaun menurut istilah ahli fiqih, sunnah adalah apa saja
ditetapkan dari Nabi Muhammad SAW tanpa diwajibkan, penerimaan wajib dan
yang lainnya dari hukum yang lima (wajib, Sunnah, mubah, makruh, haram).
Lihat, Mustafa al-Siba’ī, al-Sunnah wa Makānatihā fī al-Tasyrī’ al-Islāmi
(Kairo: Maktabah Dār al-‘Urubah, 1961), 59. 20Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Bairut: Dār al-Kitab al-
‘Alamiyyah, 1992), 106-107.
93
88
mereka melupakan pundi-pundi pengetahuan Islam secara holistik,
akibatnya adalah melakukan destruktif, seperti menghakimi
sesama muslim dengan tuduhan kafir dan bid’ah. Cara yang utama
untuk menghindari pelakuan ini adalah memahami sumber Islam
secara holistik dan bersifat moderat dan tawasuṭ sehingga tidak
terjadi fanatisme terhadap salah satu sumber utama Islam.
D. Perkembangan Pengunaan al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup harus bisa menjawab
tantangan setiap zaman, bahkan menjawab kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi maju. Kata sains dan teknologi
memang tidak ada di dalam al-Qur’an hanya saja terdapat ayat-
ayat yang memberikan interkelsi untuk melakukan penelitian dan
mencari ilmu pengetahuan, seperti dalam QS. al-Mujādilah [58]:
11:
ي أ ي ه اٱلاذين ء ام ن واإذ ا قیل ل كمت ف ساحوافیٱلم ج لسف ٱفس حواي فس حٱللا
ٱلاذين ء ام نوامنكمو ٱلاذين أوتواٱلعلم و إذ اقیل ٱنشزواف ٱنشزواي رف عٱللال كم
بیر ب ات عم لون خ و ٱللا د ر ج ت
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:
‘Berlapang-lapanglah dalam majlis’, maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
94
89
Menurut al-Qurtubī (w.671H)., ayat ini menjelaskan sebagai
berikut:
ن ی فيالث او ابفيالآخر ةو فيالك ر ام ةفيال الاذين آم ناد وامنكم(الصاح اب ة)رف عاللا
االعالوالطالبللحقب)و الاذين أوتواالعلم د ر جات(ي رف عالله
Ia menjelaskan bahwa orang yang menuntut ilmu pengetahuan
mendapatkan kebenaran di akhiran dan kemuliaan di dunia,
redaksi ayat pertama ditujukan kepada para sahabat sedangkan
redaksi ayat yang kedua diberikan kepada orang yang mencari ilmu
untuk mencapai kebenarana.21
Al-Qur’an tidak melarang bagi siapaun orang muslim untuk
mencari pengetahuan baik itu sans maupun teknologi, hanya saja
masih di dalam circle dan pengawasan ajaran-ajaran Islam. Yang
harus di hindari adalah apabila ditemukan unsur-unsur dan
paradigm yang tidak sejalan dengan Islam seperti sosialisme
maksudnya paradigma menegasikan eksistensi agama sama sekali.
Agama itu tidak ada hubungan dan kaitan apapun baik itu
teknologi maupun sains dan iptek. Itu semua bisa berjalan secara
independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip
dengan paradigma sekuler, tapi lebih ekstrim. Dalam paradigma
sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak
menegasikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam
hubungan vertikal manusia-tuhan sehingga tidak terjadi dominasi
agama. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara
21Muhammad b. Ahmad al-Anṣārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah, Jāmi’ li
Aḥkām al-Qur’ān Tafsīr al-Qurṭubī, jilid XX (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005),
319.
95
90
ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama
sekali dari kehidupan. Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran
Karl Marx yang tidak bertuhan dan memandang agama pada masa
itu (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya
membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang
kejam. Karl Marx mengatakan : Agama adalah keluhkesah
makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa,
sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa
ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat.22
Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi tidak
dijelaskan secara eksplisit tetapi ditemukan nilai-nilai secara
implisit yaitu diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi
Muhammad SAW, QS. al-‘Alaq [96]: 1-5
ٱلاذیخ ل ق بٱسمر ب ك ر أٱلإ1)ٱق منع ل ق)(خ ل ق و ر بك (2نس ن
ر أٱل كر مٱق
نس ن 4بٱلق ل م)(ٱلاذیع لام 3) ي عل م(ع لام ٱلإ (5)م ال
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang
Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca).
Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Menurut Quraish Shihab, derivasi iqra’ diambil dari akar kata
yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna
seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun
tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, kata iqra’ memiliki makna
22Eva Iryani, “al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan,” Jurnal Ilmiyah
Universitas Batanghari Jambi, vol. 17, no. 13, (2017): 70.
96
91
interjeksi (kalimat ‘amar) sehingga mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkau oleh manusia.23 Atas dasar itu, sebenarnya tidak
ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama dan ilmu non
agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling
lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan
yang bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan
umatnya.24
23M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996),
455. 24Jamal Fahri, “Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an dan Implikasinya
dalam Pembelajaran,” Ta’dib, vol. 15, no. 01, (2010): 125.
97
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut al-Suyūṭī (w.911H) makna pemelihara al-Qur’an
adalah dengan cara menghafal dan menulis. Kedua cara ini
merupakan tradisi yang telah dilakukan sejak zaman Nabi
Muhammad. Argumentasi yang dibangun adalah sebagai berikut:
Pertama, tradisi mengahafal sudah dijelaskan di dalam QS. al-
‘Ankabūt [29]: 49, yaitu Allah telah mempermudah seseorang
untuk menulis dan menghafal al-Qur’an, sehingga kaum muslimin
dengan mudahnya untuk tetap menjaga autentisitas al-Qur’an.
Korelasi ayat ini dengan menghafal al-Qur’an adalah orang yang
memiliki tradisi keilmuan akan sangat mudah untuk mengahafal
al-Qur’an. Pada ayat ini juga memberikan jaminan, bahwa orang
yang berilmu akan tetap menjaga al-Qur’an dengan cara
mengahafal.
Kedua, tradisi menulis juga sudah ada sejak Nabi
Muhammad SAW. Para sahabat yang melakukan penulisan al-
Qur’an dimulai zaman Nabi Muhammad SAW, Abū Bakar, dan
proses kesempurnaan kodifikasi di zaman ‘Utsmān b. ‘Affān.
Tradisi menulis al-Qur’an sangat penting untuk dilakukan
dibanding hafalan, karena hafalan menjadi bukti nyata untuk
menjaga al-Qur’an agar tetap eksis sampai saat ini sebagaimana
dijelaskan di dalam QS. al-Baqarah [2]: 282. Menurut al-Suyūṭī
(w.911H) ayat ini menunjukkan bahwa melakukan penulisan
99
adalah sebagai bentuk persaksian untuk menjaga dari hal-hal yang
lupa. Al-Suyūṭi juga menjelaskan bahwa konteks ayat ini
menjelaskan tentang seseorang memberikan hutang kepada orang
lain, maka ia harus memberikan persaksian berupa tulisan. Ayat ini
menjadi dalil, bahwa untuk menjaga sesuatu yang penting agar
tidak terjadi lupa maka harus ada persaksian berupa tulisan. Secara
konteks, ayat ini berbicara tentang pemberian saksi dalam utang-
piutang. Pada kasus ini, orang yang memberikan hutang kepada
orang lain, hendaknya memberikan persaksian berupa tulisan. Dari
ayat ini beberapa ulama memberikan analogi pentingnya menulis
al-Qur’an. Kolerasi ayat ini dengan memelihara al-Qur’an adalah
keharusan untuk menulis agar al-Qur’an pada satu sisi dan hutang
di sisi lainnya agar tetap terjaga dalam bentuk aslinya.
Memberikan saksi tulis pada hutang supaya tidak terjadi
pengurangan dan tambahan dalam bentuk jumlah, begitupun juga
dalam hal pemberian saksi tulis pada al-Qur’an sebagai bentuk
untuk menjaga keasliannya dari penambahan, pengurangan,
destruktif dan penyelewengan.
B. Saran
Penelitian ini berkisar pada penafsiran tentang ayat-ayat yang
berkaitan dengan pemeliharaan al-Qur’an yang merujuk kepada
kitab al-Dur al-Mantsūr al-Suyūṭī yang hanya ditemukan beberapa
ayat saja, yaitu berkaitan dengan hafalan dan penulisan. Saran
penulis, penelitian ini harus ada kelanjutan yang lebih
berkembang. Bukan hanya pemeliharaannya dari aspek hafalan
100
dan tulisan tetapi juga menyangkut tentang perkembangan
penggunaan al-Qur’an di setiap periode zaman. Selain itu, perlu
ada kajian lanjutan dengan merujuk penafsiran-penafsiran ulama
yang memberikan kontribusi dalam pemeliharaan al-Qur’an,
karena al-Suyūṭī hanya memberikan dua argumen sebagai sebagai
aspek pemeliharaan al-Qur’an. Dari penjelasan ini, perlu kajian
lebih lanjut khususnya dalam bidang ilmu al-Qur’an dan tafsir
untuk meneliti lebih lanjut agar tidak hanya mendapatkan
penjelasan yang monoton, tetapi memiliki penjelasan yang lebih
bervariasi.
101
92
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdillah, Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū.
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī. Kairo: Maktabah
al-Ṣafa, 2005.
Abdullah, Mawardi. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
Abdullah, Yusrin Abdul Ghani. Historiografi Islam Dari Klasik
Hingga Modern. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2004.
Ahmad, Mani ‘Abdul Halim. Manhaj al-Mufassirin, terj. Faisal
Saleh dan Syahdianor. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006.
Al-‘Arabiyyah, Jumhuriyyah Mesri. Mu’jam al-Wasīt. Maktabah
al-Syurūq al-Dauliyyah, 2004.
Al-‘Arabiyyah, Majma’ al-Lughah. Al-Mu’jam al-Wasīt.
Maktabah al-Syurūq al-Dauliyyah, 2004.
A’zami, Musthafa. Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai
Kompilasi. Depok: Gema Insani Press, 2005.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Batubara, Muhammad Ismail Shaleh. “Konsistensi Imam
Jalaluddīn al-Suyūtī Menafsirkan Ayat-ayat Sumpah” Tesis
S2., UIN Sumatera Utara Medan, 2016.
Dardjowidjoyo. Psikolinguistik: Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Al-Dzahabī, Muhammad Husain. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Al-
Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000.
102
93
Fahri, Jamal. “Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an dan
Implikasinya dalam Pembelajaran.” Ta’dib, vol. 15, no. 01
(2010).
Al-Farmawī, Abū al-Hayy. al-Bidāyah Fī ala Tafsīr al-Maudhū’iy.
Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977.
Ghofur, Saiful Amin, M. Alaika Salamullah (Ed.). Profil Para
Mufassir al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008.
Harahap, Syahrin. Metodologi Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin.
Jakarta: Raja Grapindo Persada,2002.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996.
Hitti, Philip K. History Of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin-
Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Ichsan, Muhammad. “Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan al-
Qur’an Pada Kasa Nabi Muhammad SAW dan Sahabat.”
Jurnal Substantia, vol. 14, no 1 (2012).
Al-‘Imād, ‘Abd al-Hayy b. Ahmad b. Muhammad b. Syadzarāt al-
Dzahab fi Akhbār min Dzahab. Bairūt: Dār Ibn Katsīr, 2010.
Inaniy, Mustafa. Al- Wasīth Fī al-Adab al-‘Arabī Wa Tārikhuhu.
Mesir: Dār al-Ma’rif, t.th.
Iryani, Eva. “Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan.” Jurnal Ilmiyah
Universitas Batanghari Jambi, vol. 17, no. 13 (2017).
Kaelan, Filsafat Bahasa, Semiotika, dan Hermeneutika.
Yogyakarta: Paradigma.
Katsīr, Ismā’il Ibn ‘Umar b. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn
Katsīr. Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000.
103
94
Martono, Nanang. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grafindo
Persada, 2010.
Masykuroh, Nihayatul. “Pemeliharaan al-Qur’an: Suatu Tinjuan
Histori.” al-Qalam, vol. 13, no. 72 (1998).
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Posdakarya, t.tt.
Murad, Mustafa. Kisah Hidup Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad
Ginanjar & Lulu M. Sunman. Jakarta: Zaman, 2013.
______, Kisah Hidup Uṡmān b. Affān, terj. Ahmad Ginanjar &
Lulu M. Sunman. Jakarta: Zaman, 2013.
Nasional, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Nugraha, Eva. “Konsep al-Nabi al-Ummi dan Implikasinya dalam
Penulisan Rasm.” Refleksi Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuludddin,
vol. 12, no. 2 (2011)
Al-Qaṭṭan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Lentera, 2013.
RI, Kementrian Agama. Tafsir dan Terjemahnya. Jakarta: Lentera
Abadi, 2010.
Said, H. A Menggagas Munāsabah al-Qur’an: Peran dan Model
Penafsiran al-Qur’an, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.
13, No. 1, Juni (2016) .
https://doi.org/10.24239/jsi.v13i1.412.1-34.
Said, H. A, “Diskursus Munāsabah Al-Qur’an: Menyoal
Perdebatan Otentisitas Al-Qur’an.” Jurnal al dzikra, Vol. 5,
No. 9, (2011).
Said, H. A. Potret Studi al-Qur’an di Mata Orientalis, At-Tibyan:
Jurnal Ilmu Alqur’an Dan Tafsir, Vol. 3, No. 1, (2018) 22 -
41. https://doi.org/10.32505/tibyan.v3i1.474
104
95
Said, Hasani Ahmad, Studi Islam I: Kajian Islam
Kontemporer, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016).
Salim, Latifah. “Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Bahasa
Arab” Jurnal Diwan, vol. 3, no. (2017)
Shihab, M. Quraish. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta:
Pusataka Firdaus, 2008.
______, Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996
Al-Siba’ī, Mustafa. al-Sunnah wa Makānatihā fī al-Tasyrī’ al-
Islāmi. Kairo: Maktabah Dār al-‘Urubah, 1961.
Sodikin, Ali. Antropologi Al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu
dan Budaya. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Sudaryanto, Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia.
Yogyakarta, 1980.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B.
Bandung: Alfabeta, 2017.
Suhbah, Muhammad Abū. Madkhāl Li Dirāsah al-Qur’ān al-
Karīm. Riyadh: Dār al-Liwa’, 1987.
Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.
Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn. Al-Asybah wa al-Naẓā’ir. al-Qahirah:
Maktabah al-Tsaqafī, 2007.
______, al-Dur al-Mantsūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr (al-Qāhirah:
Markaz li Buhūts wa al-Dirasāt al-‘Arabiyyah wa al-
Islamiyyah, 2003)
______, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir: Dār al-Salām, 2008.
______, Syarah ‘Uqūdul Jumān. Semarang: al-Munawwar.
105
96
______, Ṭabaqāt al-Huffāẓ. Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah,
1983.
Syahim, Abdul Shabur. Saat al-Qur’an butuh pembelaan. Jakarta:
Erlangga, 2006.
Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal. Bairut: Dār al-Kitab al-
‘Alamiyyah, 1992.
Tanjung, Faisal, Lukmawati, dan Jhon Suriyanto. “Al-Qur’an Itu
Menjaga Diri: Perangan Regulasi Iri Penghafal al-Qur’an.”
Jurnal Psikologi Islami, vol. 3 no. 2 (2017).
Wa’fī, Abdul Wahid. Ilmu al-lughah. Misr: Maktabah Nahdhah
Misr, 1962.
Wahid, Abdurrahman. Tuhan tidak perlu dibela. Yogyakarta,
1999.
Yudi, Bambang. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga
University Press, 1995.
Yusufa, Uun. “Ke-Mutawatira-an al-Qur’an: Metode Periwayatan
dalam Sejarah al-Qur’an.” Hermeunetika, vol. 7, no. 2 (2013)
Zamakhsyari. Al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq Ghawāmidh al-Tanzīl wa
‘Uyūn al-Aqāwīl fi Wujūh al-Ta’wīl. Al-Riyād: Maktabah al-
‘Abīkān, 1998.
Al-Zarkasī, Badruddīn Muhammad b. ‘Abdullāh. al-Burhān Fī
‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir: Dār al-Hadīs, 2006.
Al-Zarqānī, Muhammad ‘Abd al-‘Aẓīm. Manāhil al-Irfān Fī
‘Ulūm al-Qur’ān. Bairut: Dār al-Kitab al-‘Arabī, 1995.
Al-Zuhailī, Wahbah. Maushū’ah Qadāyā Islāmiyah Mu’āshirah.
Bairut: Dār al-Maktabī Damasqī.
106
97
Wikipedia. “Abdurrahman Wahid.” Diakses, 22 Januari 2019,
https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid.
107