PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

122
PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL-QUR’AN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh: Nama : Dadan Haerudin NIM : 11140340000180 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLA JAKARTA 1442 H/2020 M

Transcript of PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

Page 1: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ

TENTANG PEMELIHARAAN AL-QUR’AN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Nama : Dadan Haerudin

NIM : 11140340000180

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLA

JAKARTA

1442 H/2020 M

Page 2: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ

TENTANG PEMELIHARAAN AL-QUR’AN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Dadan Haerudin

NIM : 11140340000180

Pembimbing,

Syahrullah, M.A.

197802182009010016

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLA JAKARTA

1442 H/2020 M

Page 3: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL-QUR’AN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Maret 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta, 23 Juni 2020

Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Kusmana, Ph. D Roswan Rio Utomo, M.A NIP. 19650424 199503 1 001 NIP. 19880502 201903 1009

Anggota, Penguji I, Penguji II,

Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A Dr. Hasani Muhammad Said, M.A NIP. 19530107 198303 100 1 NIP. 19820221 200901 1024

Pembimbing,

Syahrullah, M.A. NIP. 1978021 820090 1001 6

Page 4: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Dadan Haerudin

NIM : 11140340000180

Program Studi : Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan

untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar

Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini

telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil

karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya

orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Januari 2020

Dadan Haerudin

Page 5: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

iv

ABSTRAK

Dadan Haerudin

Penelitian ini membahas tentang bagaimana bentuk

ekspresi pemeliharaan al-Qur’an dengan menggunakan perspektif

al-Suyūṭī di dalam kitab al-Dur al-Manṡūr. Pengambilan sumber

utama sebagai perspektif interpretasi dari al-Dur al-Manṡūr, sebab

al-Suyūṭī tidak hanya menjelaskan penafsiran ayat-ayat terkait

pemeliharaan al-Qur’an tetapi ia juga menulis setiap bidang

keilmuan, seperti penjelasan tentang pemeliharaan berupa

penulisan dan penghafalan yang ditulis dalam bentuk buku

tersendiri.

Penelitian ini dikategori sebagai penelitian pustaka

(Library Research). Sumber data primer dalam penelitian ini

adalah Tafsir al-Dur al-Manṡūr fi Tafsīr al-Ma’ṡūr ditulis oleh

Jalāluddīn al-Suyūṭī. Sedangkan sumber data sekunder, peneliti

mengambil buku-buku dan jurnal terkait dengan tema judul

pembahasan yaitu tentang histori bahasa Arab, sejarah penulisan,

sejarah hafalan, dan tafsir-tafsir ulama sebagai mengkomparasikan

interpretasi al-Suyūṭī terkait ayat-ayat pemeliharan al-Qur’an.

Penelitian ini menyimpulkan, pemeliharaan al-Qur’an

sudah menjadi tugas kaum muslimin agar al-Qur’an akan tetap

terjaga dari tindakan yang destruktif (taḥrīf). Cara atau ekspresi

yang masih tetap dilakukan oleh kaum muslimin sampai saat ini

adalah dengan mengahafal dan menulis. Melakukan pemeliharaan

dengan kedua cara ini juga merupakan tradisi yang telah dilakukan

sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Argumentasi yang dibangun

adalah tradisi mengahafal sudah dijelaskan di dalam QS. al-

Ankabūt [29]: 49, yaitu Allah telah mempermudah seseorang

untuk menulis dan menghafal al-Qur’an, sehingga kaum muslimin

dengan mudahnya untuk tetap menjaga autentisitas al-Qur’an. Dan

tradisi menulis juga sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW.

Ekspresi penulisan ini sangat penting sebagaimana dijelaskan di

dalam QS. al-Baqarah [2]: 282, menurut al-Suyūṭī ayat ini

menunjukkan bahwa melakukan penulisan sebagai bentuk

persaksian untuk menjaga dari hal-hal yang lupa.

Page 6: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

v

KATA PENGANTAR

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha

Penyayang.”

Segala puji serta rasa syukur yang sangat mendalam penulis

panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Menguasai

segala sesuatu, di bumi maupun di langit. Tuhan Yang Maha

Memudahkan segala urusan hamba-Nya. Atas kuasa-Nya penulis

akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Selawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada

Nabi Muḥammad SAW. yang telah memberikan tauladan bagi

umat manusia dengan perilaku qur’ānī. Atas izin-Nya pula ia

memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan syafaat kepada

umatnya.

Penulisan skripsi ini tentu melibatkan berbagai pihak yang

turut membantu dari awal proses penulisan hingga skripsi ini

selesai. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. Amany Lubis, MA. selaku Rektor Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Lebih khusus, penulis ingin menyampaikan terima kasih

kepada Dr.Eva Nugraha.M.Ag. selaku Ketua Program

Studi Ilmu al-Qu’an dan Tafsir.

Page 7: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

vi

4. Syahrullah, M.A. sebagai dosen pembimbing skripsi

terbaik bagi penulis. Terima kasih telah meluangkan

banyak waktunya untuk membimbing, menasehati,

sekaligus memberikan gagasan-gagasannya kepada

penulis sehingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan

dengan baik.

5. Seluruh dosen dan guru besar Fakultas Ushuluddin yang

telah memberikan begitu banyak pengetahuan sekaligus

bimbingannya.

6. Terima kasih kepada Mafri Amir, M.A. selaku dosen

pembimbing akademik.

7. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh

pimpinan dan segenap civitas academica Fakultas

Ushuluddin, segenap pegawai Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin dan Perpustakaan Utama Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut

membantu penulis dalam menemukan buku-buku

referensi untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga penulis,

khususnya kedua orang tua penulis yang telah

membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih

sayang, perjuangan, dan pengorbanan yang begitu luar

biasa. Teruntuk Ayahanda dan Ibunda tercinta,

Komarudin dan Dewi Alawiyah yang telah menanamkan

semangat berjuang, yang selalu mendampingi penulis

sampai akhir penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT

Page 8: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

vii

senantiasa memberikan umur panjang, kesehatan dan

kelapangan rezeki.

9. Kepada adik-adik penulis, Muhamad TB. Amaludin,

Neng Intan Ramadani, Riva Nurfadilah terima kasih

untuk doa, semangat, dan dukungannya kepada penulis

selama proses penyelesaian skripsi ini.

10. Teman-teman terbaik penulis di Program Studi Ilmu al-

Qur’an dan Tafsir Angkatan 2014, khususnya kepada

Bagus Erianto S.Ag., Irfan Hazri, S.Ag., Bahaluddin

Siregar, S.Ag., Aprido, S.Ag., Alwi Abdussalam, S.Ag.,

Agung Rif’at, Yudi Setiadi, dan Khoeruddin.

11. Kepada temen-temen seperjuangan Ruzqi Afriansani,

M. Syarifuddin, dan Aep Muslih Saepudin terima kasih

karena telah menjadi teman yang selalu memberi

motivasi dan semangat.

Hanya kepada Allah penulis berharap, siapapun yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,

semoga Allah membalasnya, memberikan kesehatan,

optimisme, kemudahan segala urusan, dan takdir baik.

Ciputat, 10 Februari 2020

Dadan Haerudin

NIM. 11140340000180

Page 9: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI

dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158/1987 dan

0543 b/U/1987, Tanggal 22 Januari 1988.

A. Konsonan Tunggal

Huruf

Arab Nama Huruf Latin Keterangan

alif tidak dilambangkan ا

ba’ b be ب

ta’ t te ت

sa’ ṡ es (dengan titik di atas) ث

jim j je ج

ha’ ḥ حha (dengan titik di

bawah)

kha’ kh ka dan ha خ

dal d de د

zal ż ذzet (dengan titik di

atas)

ra’ r er ر

zai z zet ز

sin s es س

syin sy es dan ye ش

Page 10: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

ix

sad ṣ صes (dengan titik di

bawah)

dad ḍ ضde (dengan titik di

bawah)

ta’ ṭ طte (dengan titik di

bawah)

za’ ẓ ظzet (dengan titik di

bawah)

ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع

gain g ge غ

fa f ef ف

qaf q qi ق

kaf k ka ك

lam l el ل

mim m em م

nun n en ن

wawu w we و

ha’ h ha ه

hamzah ’ apostrof ء

ya y ye ي

B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap

ditulis muta‘aqqidin متعقدين

Page 11: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

x

ditulis ‘iddah عدة

C. Ta’ Marbutah

1. Bila dimatikan ditulis h

ditulis hibbah هبة

ditulis jizyah جزية

(Ketentuan ini tidak diberlakukan terhadap kata-kata Arab

yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat,

zakat, dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).

Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua

itu terpisah, maka ditulis dengan h.

الأولياء كرامة ditulis karāmah al-auliyā

2. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah

dan ḍammah, ditulis t

الفطر زكاة ditulis zakātul fitri

D. Vokal Pendek

kasrah ditulis i

_____ fathah ditulis a

ḍammah ditulis u ___ۥ__

E. Vokal Panjang

fathah + alif ditulis ā

Page 12: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

xi

هلية جا ditulis jāhiliyah

fathah + ya’ mati ditulis ā

ditulis yas` ā يسعى

kasrah + ya’ mati ditulis ī

ditulis karīm كريم

ḍammah + wawu

mati ditulis

ū

F. Vokal Rangkap

fathah + ya’ mati ditulis ai

ditulis bainakum بينكم

fathah + wawu

mati ditulis au

ditulis qaulun قول

G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata

Dipisahkan dengan

Apostrof

ditulis a’antum أأنتم

ditulis u‘iddat ت أعد

ditulis la’in syakartum شكرتم لئن

Page 13: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

xii

H. Kata Sandang Alif + Lam

a. Bila diikuti huruf Qamariyyah

ditulis al-Qur’ān القرأن

ditulis al-qiyās القياس

b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan

menggandakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya serta

menghilangkan huruf l (el)-nya

’ditulis as-samā السماء

ditulis asy-syams الشمس

I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat

Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis

penulisannya

الفوض ذوي ditulis żawī al-furūd

السنة أهل ditulis ahl as-sunnah

Page 14: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

ix

DAFTAR ISI

COVER ................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................... iii

ABSTRAK .............................................................................. iv

KATA PENGANTAR ............................................................ v

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................... viii

DAFTAR ISI ........................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ....................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................... 1

B. Permasalahan Penelitian ........................................... 9

1. Identifikasi Masalah ............................................ 9

2. Pembatasan Masalah ............................................ 9

3. Perumusan Masalah ............................................ 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................. 10

D. Tinjauan Pustaka ....................................................... 10

E. Metodologi Penelitian ............................................... 15

1. Jenis Penelitian ................................................... 15

2. Sumber Data ....................................................... 15

3. Teknik Pengumpulan Data ................................. 16

4. Teknik Analisis ................................................... 16

5. Langkah-langah dalam Penelitian ....................... 17

F. Sistematika Penulisan ............................................... 17

Page 15: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

x

BAB II AL-SUYŪṬĪ: BIOGRAFI DAN KARAKTERISTIK

TAFSIR AL-DUR AL-MANṠŪR FĪ TAFSĪR AL-MA’ṠŪR . 19

A. Riwayat Hidup al-Suyūṭī ........................................ 19

B. Latar Sosial-Pendidikan ......................................... 22

C. Karya-karya al-Suyūṭī ............................................ 27

D. Karakteristik Tafsir al-Suyūṭī ................................. 31

1. Sistematika Penulisan

Tafsīr al-Dur al-Manṡūr .................................. 33

2. Metode Penafsiran ............................................ 38

3. Corak Penafsiran .............................................. 39

4. Sumber Penafsiran ........................................... 40

BAB III AUTENTISITAS AL-QUR’AN ............................. 43

A. Bahasa Arab, Tradisi Tulis dan Lisan ....................... 43

B. Teori tentang Turunya al-Qur’an .............................. 56

C. Pengumpulan dan Kodifikasi al-Qur’an ................... 62

1. Priode Nabi Muhammad SAW ........................... 62

2. Priode Abū Bakar al-Ṣiddīq ................................ 64

3. Priode ‘Uṡmān b. ‘Affān ..................................... 67

BAB IV PEMELIHARAAN AL-QUR’AN PERSPEKTIF AL-

SUYŪṬĪ ................................................................................... 73

A. Pemeliharaan dengan Hafalan .................................. 77

B. Pemeliharaan dengan Penulisan ............................... 80

C. Terhindar dari Tafrīf (Destruktif)

dan Tafdīl (Fanatisme) ............................................... 90

D. Perkembangaan Pengunaan al-Qur’an ...................... 94

Page 16: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

xi

BAB V PENUTUP .................................................................. 98

A. Kesimpulan ............................................................... 98

B. Saran ......................................................................... 99

DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 101

Page 17: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam berisi kumpulan

firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, sebagian

pendapat ada yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah kalām

Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat

Jibril sebagai mukjizat dan berfungsi sebagai hidāyah (petunjuk).1

Di antara tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah untuk

menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka agar

memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Di dalamnya juga

berisikan nilai-nilai universal kemanusiaan, bukan hanya untuk

sekelompok manusia ketika ia diturunkan, tetapi juga untuk

seluruh manusia hingga akhir zaman.2

Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia maka al-

Qur’an datang dengan petunjuk-petunjuk, aturan-aturan, prinsip-

prinsip dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang

terinci, yang eksplisit maupun yang implisit dalam berbagai

persoalan kehidupan.3 al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci

yang masih terjaga keoutentikannya (keasliannya). Mulai dari

1Muhammad ‘Abd al-‘Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-

Qur’ān, jilid 1 (Bairut: Dār al-Kitab al-‘Arabī, 1995), 297. 2 Hasani Ahmad Said, Menggagas Munāsabah al-Qur’an: Peran dan

Model Penafsiran al-Qur’an, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 13, No. 1,

Juni 2016, 1-34. https://doi.org/10.24239/jsi.v13i1.412.1-34.

https://scholar.google.com/citations?user=W_OyN8IAAAAJ&hl=en 3M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pusataka

Firdaus, 2008), 13.

Page 18: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

2

proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan

periwayatannya dilakukan melalui tradisi oral dan hafalan. Proses

transmisi seperti ini dengan Isnād yang Mutawattir dari generasi

ke generasi, telah menjamin keutuhan dan keasliannya. Untuk

tetap terjaga keasliannya al-Qur’an, perlakuan ini merupakan

kategori membela al-Qur’an dengan cara dimulai dari menjaga al-

Qur’an, menghafal al-Qur’an, dan mengedukasi al-Qur’an kepada

generasi-generasi muda umat Islam. Apabila hal ini tidak

dilakukan kepada bisa saja al-Qur’an hilang dari keoutentikannya

seperti kitab-kitab sebelumnya.

Pemeliharaan al-Qur’an sudah dilakukan pada masa Nabi

Muhammad SAW, secara kalkulasi, pada masa Nabi Muhammad

SAW cukup banyak penghafal al-Qur’an, hanya sebagian sahabat

yang melakukan pemeliharaan al-Qur’an dengan bentuk penulisan.

Penulisan pada masa Nabi Muhammad inilah langkah kedua dalam

pemeliharaan al-Qur’an. Setelah wafatnya Nabi Muhammad,

pemeliharaan al-Qur’an dilanjutkan oleh masa Khalifah Abū

Bakar al-Siddīq sebagai inisiator adalah ‘Umar b. Khaṭṭāb agar

dilakukan kodifikasi al-Qur’an. Hal ini disebabkan banyaknya para

penghafal al-Qur’an yang gugur di dalam peperangan.

Dikhawatirkan nantinya al-Qur’an akan berangsur-angsur hilang

bila hanya mengandalkan hafalan semata. Kebijakan yang

diusulkan oleh ‘Umar belum langsung direnspon dengan cepat,

karena dalam menanggapi usulan ‘Umar tersebut, Abū Bakar

merasa ragu lantaran pada masa Rasulullah hal tersebut tidak lazim

untuk dilakukan. Akan tetapi karena desakan ‘Umar untuk tetap

melakukan kodifikasi al-Qur’an, akhirnya Abū Bakar menyetujui

Page 19: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

3

dengan menunjuk Zaid b. Ṡābit sebagai ketua tim kodifikasi al-

Qur’an.4

Pemeliharaan yang tidak begitu sempurna dilakukan oleh masa

Abū bakar al-Siddīq serta dilanjutkan dengan perlakuan yang sama

oleh ‘Umar b. Khaṭṭāb yaitu hanya sebatas pengumpulan

kodifikasi yang kurang memadai, sehingga disempurnakan oleh

masa khalifah ‘Uṡmān b. ‘Affān. Keinginan ini terjadi dikarenakan

situasi yang mengkhawatirkan khalifah ‘Uṡmān b. ‘Affān yang

pada masanya terjadi perselisihan dalam menanggapi kalangan

umat Islam yang kontradiktif mengklaim versi bacaan mereka lah

yang benar. Oleh karenanya ia segera mengundang para sahabat,

baik dari kalangan Anṣar maupun Muhājirīn. Akhirnya, dari

mereka diperoleh suatu kesepakatan, agar mushaf yang ditulis

pada masa Abū Bakar disalin kembali menjadi beberapa mushaf

dengan dialek Quraisy. Dalam hal ini, ‘Uṡmān b. ‘Affān menunjuk

suatu tim yang terdiri empat orang sahabat pilihan, yaitu: Zaid b.

Ṡābit, ‘Abdullah b. Zubair, Sa’īd b. al-‘Āṣ, dan ‘Abd al-Rahmān b.

al-Ḥarīs b. Hisyām. Kodifikasi yang dilakukan pada masa periode

‘Uṡmān b. ‘Affān diselesaikan dengan sangat cermat dan teliti. Hal

ini terlihat pada pengambilan derivasi kata yang diriwayatkan

secara mutawattir dan mengesampingkan riwayat secara ahad.

Menyingkirkan lafal yang di nasakh (dihapus) dan lafal yang

musytarak (ambiguitas). Penyusunan al-Qur’an dilakukan dengan

sistematika al-Qur’an sesuai dengan susunan surah dan ayat

sebagaimana terlihat saat ini. Sebelum menetapkan dan

4Mustafa Murad, Kisah Hidup ‘Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad

Ginanjar & Lulu M. Sunman, cet. IV (Jakarta: Zaman, 2013), 72.

Page 20: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

4

menuliskan lafal yang disepakati, tim kodifikasi menghimpun dan

memusyawarahkan semua versi bacaan (qirā’at) yang dikenal oleh

para sahabat, dan jika tetap terjadi perselisihan maka dipilihlah

qirā’at Quraish. Selain itu, tim juga menyisihkan segala sesuatu

yang bukan al-Qur’an, misalnya catatan-catatan kaki (footnote)

yang ditulis oleh para sahabat sebagai penjelasan atas suatu bagian

al-Qur’an, penjelasan tentang nāsikh dan mansūkh.5

Dari penjelasan di atas merupakan bentuk pemeliharaan yang

dilakukan masa Nabi Muhammad SAW hingga masa khilafah.

Tidak hanya ini, tetapi masih banyak bentuk pemeliharaan yang

dilakukan generasi sebelumnya hingga sekarang baik itu dengan

cara menghafalnya maupun mengkodifikasi secara mencetak ulang

untuk disebarluaskan. Bahkan di Indonesia banyak sekali

penghafal al-Qur’an baik itu dilakukan di lembaga yang legal

formal maupun tidak, bahkan di Indonesia memiliki lembaga

khusus untuk menyusun tim penulis al-Qur’an baik itu dengan cara

menteliti susunan penulisan maupun meneliti kesalahan di dalam

penulisan, seperti Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an

Kementrian Agama RI. Pemeliharaan ini merupakan pemeliharaan

manusia terhadap al-Qur’an agar tetap terjaga keorisinalitasnya

sehingga tidak bisa upaya jahat untuk mendekstruktifkan isi

substansi al-Qur’an.

Tetapi sebaliknya, ada sebagian kelompok memberikan

statement bahwa al-Qur’an tidak perlu dibela yang diambil dari

5Musthafa Murad, Kisah Hidup ‘Utsmān b. ‘Affān, terj. Ahmad Ginanjar

& Lulu M. Sunman, cet. IV (Jakarta: Zaman, 2013), 67.

Page 21: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

5

peryataan Gus Dur6 bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Lanjutannya

apabila ada informasi atau ekspresi diri yang dianggap merugikan

Islam sebenarnya tidak perlu dilayani. Cukup diimbangi dengan

informasi dan ekpresi diri yang positif konstruktif.7

Padahal al-Qur’an pelu dibela apabila terjadi yang sifatnya

merugikan umat Islam, di dalam al-Qur’an sendiri, Allah

berfirman QS. Muhammad [47]: 7:

ا الذينا آمانوا اماكم إن تانصروا اللا يا يا أاي ها نصركم واي ث اب ت أاقدا

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama)

Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan

kedudukanmu”

Menurut al-Qurtubī (w. 671H), apabila seseorang

menolong agama Allah, maka Ia akan menolongmu dari

kekufuran, begitupun jika menolong nabinya Allah maka Allah

akan menolongmu.8 Hemat penulis, jika dimaksud dari kata

“Allah” itu adalah Zat Allah itu sendiri dan Sifat-Nya, maka ini

jelas tidak tepat, karena Allah Maha Kuasa sehingga tidak butuh

pertolongan untuk Zat atau Sifat-Nya. Kemudian dijelaskan juga

dalam al-Qur’an sebagai taukīd (penguat) QS. al-Ḥajj [22]: 40:

6Nama asli beliau ada Dr. (H.C.) K. H. Abdurrahman Wahid, lahir di

Jombang, Jawa Timur 7 September 1940 wafat 30 Desember 2009. Beliau

tokoh muslim Indonesia dan pernah menjadi Presiden Indonesia ke-4. Lihat

Wikipedia, “Abdurrahman Wahid,” Diakses, 22 Januari 2019,

https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid. 7Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak perlu dibela (Yogyakarta 1999), 56. 8Muhammad b. Ahmad al-Anṣārī al-Qurtubī Abū ‘Abdillah, al-Jāmi’ li

Ahkām al-Qur’ān, jilid 19 (Muassasah al-Risālah 2006), 706.

Page 22: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

6

مان ي انصره والاي انصران الل

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang

menolong (agama)-Nya”.

Dari kedua ayat di atas memberikan kesimpulan, bahwa

jika yang dimaksud adalah aturan-aturan baik itu syariat dan

hukum Islam termasuk al-Qur’an maka jelas sekali ayat ini akan

menjadi bantahan terkuat untuk pihak yang mengatakan al-Qur’an

tidak butuh pemeliharaan lantaran Allah lah yang menjaganya.

Kemudian ditemukan penjelasan dari QS. al-Ḥijr [15]: 9:

إن نان ن ازلناا الذ كرا واإن لاه لاااف ظونا

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.

Secara harfiah, ayat ini memberikan informasi bahwa Allah

yang menjaga al-Qur’an tidak ada campur tangan manusia

khususnya umat muslim untuk ikut menjaga. Tetapi kalau

dicermati apakah ayat di atas memberikan pernyataan bahwa

penjaga al-Qur’an itu hanya Allah sehingga tidak perlu lagi

dilindungi oleh umat Islam? Jika diteliti dengan menggunakan Ilm

Page 23: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

7

al-Ma’ānī,9 kita temukan gaya bahasa yang menunjukkan al-Qaṣr

atau al-Haṣr10 pada redaksi ini:

واإن لاه لااافظونا

Potongan ayat ini tidak ditemukan Qaṣr (pembatasan)

tetapi hanya memberikan makna penegasan, sehingga redaksi ini

memberikan informasi penegasan bahwa Allah adalah penjaga al-

Qur’an bukan sebaliknya yang memberikan pembatasan bahwa

yang menjaga al-Qur’an hanya Allah.

Tetapi pada redaksi awal ayat sebelumnya yaitu:

إن نان ن ازلناا الذ كرا

9Ilmu Ma’ānī adalah merupakan bentuk jamak dari (معنى). Secara

leksikal kata tersebut berarti maksud, arti atau makna. Para ahli ilmu Bayan

mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang

ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran. Sedangkan

menurut istilah Ilmu Ma’ānī adalah sebagai berikut.

الال مقتضى يطابق الطيبه العربي اللفظ أحوال به تعرف علمYaitu “Ilmu untuk mengetahui hal-ihwal lafazh bahasa Arab yang sesuai

dengan tuntutan situasi dan kondisi”. Lihat Jalaluddin ‘Abd al-Rahmān al-

Suyūtī, Syarah ‘Uqud al-Jumān (semarang: Al-munawwar), 8. 10Menurut al-Suyūṭī, al-Qaṣr adalah:

شيء أخر بواحد من طرق مخصوصة من طرق القول الفيد للقصر maksudnya adalah upaya penegasan, atau penekanan pada salah satu unsur atau

bagian kalimat yang dipentingkan. Selanjutnya ada juga gaya bahasa

pemfokusan dilakukan dengan penempatan pada awal kalimat atau memakai

kata pemisah atau dengan menggunakan alat/ huruf fokus. Kesimpulannya, Al-

Qaṣr ialah mengkhususkan suatu perkara dengan perkara yang lain dengan cara

tertentu. Jadi dalam Qaṣr ini nanti ada yang mengkhususkan dan ada yang

dikhususkan, dan tentunya ada cara-cara tertentu dalam pengkhususan, paling

tidak itulah yang dinamakan Qaṣr. Sebelum dikhususkan, sesuatu yang

dikhususkan itu merupakan sesuatu yang umum, dan dengan Qaṣr akan menjadi

khusus. Lihat Mustofa Thomun, Qawāid al-lughah al-‘Arābiyyah (Semarang:

Maktabah Al uluwiyah), 210, dan Jalāluddīn ‘Abdurrahmān al-Suyūtī, Syarah

‘Uqud al-Jumān (Semarang: Al-munawwar), 43.

Page 24: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

8

Justru pada redaksi ini memberikan penegasan dan

pembatasan, maksudnya memberikan informasi penegasan

sekaligus pembatasan bahwa yang telah menurunkan al-Qur’an

hanya Allah, karena redaksi ayat ini menggunakan huruf taukīd

(penguat) yang berupa Jumlah Ismiyyah yang berupa Lam Taukīd

dan berupa huruf Inna sekaligus huruf Qaṣr yang menggunakan

Ḍamīr al-Faṣl (kata pemisah). Sehingga redaksi pertama bahwa

Allah memang menurunkan al-Qur’an yang merupakan penegasan

dan pembatasan, tetapi redaksi lanjutannya, yang menjaga al-

Qur’an adalah Allah yang berupa penegasan tetapi tidak

pembatasan, maksudnya bukan hanya Allah yang menjaga sendiri

tetapi para malaikat dan umat Muslim.

Menurut al-Suyūṭī (w. 911 H), menafsirkan QS. al- Ḥijr

[15]: 9 sebagai berikut:

س أن يزيد فيه باطلا الباطل إبليس، قال: فأنزله الله ثم حفظه فلا يستطيع إبليو

ولا ينقص منه حقا حفظه الله من ذلك

Ayat ini memberikan penegasan bahwa al-Qur’an akan

tetap terjaga dari kebatilan iblis, maka turunlah ayat ini sebagai

bentuk argumentatif bahwa Allah menjaga al-Qur’an dan tidak

bisa ditambah dan tidak bisa juga dikurangi.11

Pada kasus ini, al-Suyūṭī tendensi beranggapan bahwa

Allah menjaga al-Qur’an ketika turun kepada Nabi Muhammad.

Tetapi tidak menegasikan bahwa al-Qur’an dijaga oleh manusia.

11Al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi Tafsīr al-Ma’tsūr, jilid VIII (al-

Qāhirah, 2003), 593-594.

Page 25: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

9

Salah satu cara menjaga dan memelihara al-Qur’an agar tetap eksis

sampai ini adalah dengan cara mengahafalnya dan reproduksi

kembali dalam mencetak al-Qur’an.

B. Permasalahan Penelitian

1. Identifikasi Masalah

Adapun beberapa hal yang menjadi identifikasi masalah

adalah:

a. Bagaimana perbedaan pendapat mengenai

pemeliharaan terhadap al-Qur’an?

b. Bagaimana uraian ulama tafsir tentang al-Qur’an yang

akan selalu tetap dijaga oleh kaum muslimin?

2. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan ini, penulis lebih membahas tentang

bagaimana konteks pemaknaan pemeliharaan al-Qur’an.

Namun, penulis mengambil penafsiran al-Suyūṭī dalam kitab

al-Dur al-Manṡūr fi Tafsīr al-Ma’ṡūr untuk menafsirkan QS.

Al-Baqarah [2]: 282, QS. al-Ankabut [29]: 49, dan QS. al-Hijr

[15]: 9 dan diikuti dengan beberapa ayat yang memperkuat

argumen pemeliharaan al-Qur’an. Alasan pengambilan al-

Suyūṭī adalah penafsiran yang digunakan al-Suyūṭī cukup

berbeda dengan ulama lainnya, dan memiliki kejelasan

tersendiri dari penafsiran ulama lainnya. Alasan yang lain, al-

Suyūṭī memiliki karya-karya lain untuk membantu

menyelesaikan penelitian ini yang dijadikan sebagai sumber

sekunder dalam penelitian ini.

3. Perumusan Masalah

Page 26: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

10

Dalam skripsi ini penulis membatasi permasalahan yaitu,

bagaimana pandangan al-Suyūṭī tentang pemeliharaan al-

Qur’an?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan

yang mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mengelaborasi penafsiran ulama dalam memahami

ayat-ayat pemeliharaan terhadap al-Qur’an

2. Untuk mengkritik sebagian kalangan umat muslim yang

mengikuti klaim bahwa al-Qur’an tidak butuh

pemeliharaan.

Sedangkan kegunaannya, yaitu sebagai berikut:

1. Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan

keilmuan khususnya dalam bidang tafsir.

2. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah-

mudahan dapat dijadikan sebagai literatur dan dorongan

untuk mengkaji masalah tersebut lebih lanjut.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini perlu dikaji dan diteliti dari berbagai aspek,

karena bersinggungan langsung dengan sosial kemasyarakatan

yang bermayoritas beragama Islam di negara ini. Penelitian yang

berjudul “Perspektif al-Suyūṭī Tentang Pemeliharaan al-Qur’an ”.

Judul ini ingin menjelaskan argumentasi yang diberikan kepada

kelompok yang memiliki statement al-Qur’an tidak butuh

Page 27: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

11

pembelaan dan membahas argumentasi sebagai kritikan, sehingga

al-Qur’an membutuhkan pembelaan. Dari hasil penelusuran yang

telah dilakukan ditemukan literatur yang berbentuk buku, jurnal,

dan skripsi yaitu:

1. Saat al-Qur’an Butuh Pembelaan oleh Buku yang ditulis oleh

Prof. Dr. Abdul Shabur Syahin. Buku ini menjelaskan tentang

sebuah analisis sejarah sekaligus menepis tuduhan-tuduhan

palsu para orientalis tentang al-Qur’an dengan menghadirkan

fakta-fakta sejarah yang justru mengukuhkan kesucian al-

Qur’an. Melalui buku ini, pembaca akan menemukan

pemahaman yang benar tentang definisi al-Qur’an,

kesejarahan mushaf, sebab-sebab diturunkannya al-Qur’an

(asbab al-nuzūl), bacaan tujuh huruf, asal-usul tulisan Arab,

serta jawaban ilmiah terhadap tuduhan-tuduhan palsu para

orientalis yang skeptis terhadap kemurnian al-Qur’an.

Bersama buku ini pembaca diajak menyelam lebih jauh dalam

memahami al-Qur’an mulai dari aspek historisnya, bagaimana

al-Qur’an dibentuk, bagaimana menjaga keotentikan al-

Qur’an, al-Qur’an pada masa setelah Nabi Muhammad,

metodologi, Al-Qur’an, sampai kepada tantangan apa saja

yang akan dihadapi al-Qur’an.12

2. Al-Qur’an Itu Menjaga Diri: Perangan Regulasi Iri Penghafal

al-Qur’an oleh Faisal Tanjung, Lukmawati, dan Jhon

Supriyanto, yang diambil dari jurnal. Penelitian ini membahas

12Abdul Shabur Syahim, Saat al-Qur’an butuh pembelaan, (Jakarta:

Erlangga, 2006).

Page 28: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

12

tentang regulasi diri penghafal al-Qur’an dengan

menggunakan metodologi kualitatif desain fenomenologi.13

3. Pembukuan dan Pemeliharaan al-Qur’an oleh Moh.

Muslimin, yang diambil dari jurnal. Penelitian ini membahas

al-Qur'an yang berada di tangan kita sekarang ini adalah al-

Qur'an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad, tanpa

adanya perubahan, karena keberadaan al-Quran yang demikian

ini berkaitan dengan sifat dan cirinya, yang tetap sebagaimana

keadaannya dahulu. al-Qur'an sekarang ini tidak berbeda

sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah, dan

didengar dan dibaca oleh para sahabat. Terjaganya al-Qur’an

karena dihafal oleh jutaan umat Islam di seluruh dunia dan

tidak tertinggal di Negara Indonesia, dengan munculnya

pondok pesantren Hufādz di mana-mana. Dengan munculnya

banyak pondok pesantren Hufādz tersebut, setiap tahunnya

menghasilkan penghafal-penghafal baru yang jumlahnya

semakin bertambah.14

4. ke-Mutawatiran al-Qur’an: Metode Periwayatan Dalam

Sejarah al-Qur’an oleh Uun Yusufa yang diambil dari jurnal.

Penelitian ini membahas metode periwayatan dalam al-Qur’an,

sebab terjaganya keoutentikannya dikarenakan periwayatan al-

Qur’an dengan mutawatir.15

13Faisal Tanjung, Lukmawati, dan Jhon Suriyanto, “al-Qur’an Itu

Menjaga Diri: Perangan Regulasi Iri Penghafal al-Qur’an,” Jurnal Psikologi

Islami, vol. 3, no. 2 (2017): 94-105. 14Moh. Muslimin, “Pembukuan dan Pemeliharaan al-Qur’an,” Jurnal

Pemikiran Islam, vol. 25, no. 2 (2014): 245-260. 15Uun Yusufa, “Ke-Mutawatira-an al-Qur’an: Metode Periwayatan

dalam Sejarah al-Qur’an,” Hermeunetika, vol. 7, no. 2 (2013).

Page 29: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

13

5. Pemeliharaan al-Qur’an: Suatu Tinjauan Histori oleh

Nihayatul Masykuroh, yang diambil dari jurnal. Tulisan ini

membahas tentang sejarah awal masa turun al-Qur’an, hingga

al-Qur’an sudah mulai dikodifikasikan.16

6. Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan al-Qur’an Pada Masa

Nabi Muhammad SAW dan Sahabat oleh Muhammad Ichsan,

yang diambil dari jurnal. Tulisan ini membahas sejarah

penulisan pemeliharan al-Qur’an. Penulisan dimulai masa

Nabi Muhammad hingga masa Sahabat. Pemeliharaan al-

Qur’an yang dilakukan di masa Nabi Muhammad dengan cara

menghafal al-Qur’an17

7. Konsep keterjagaan al-Qur’an menurut al-Sya’rāwī (kajian

atas makna lahāfidzūn) skripsi yang ditulis oleh Ali Muharrom

berjudul. Penelitian ini membahas penafsiran al-Sya’rāwī QS.

al-Ḥijr [15]: 9 sekaligus membantah pendapat Eva Nugraha

dalam Disertasinya mengenai eksistensifikasi struktur

lahāfiẓūn.18

8. Hadis tentang menjaga hafalan al-Qur’an (studi ma’ānī al-

Hadīṡ) oleh Fauziatul Ummayah berjudul. Penelitian ini

membahas tentang makna hadits menjaga hafalan al-Qur’an..

16Nihayatul Masykuroh, “Pemeliharaan al-Qur’an: Suatu Tinjuan

Histori,” al-Qalam, vol. 13, no. 72 (1998). 17Muhammad Ichsan, “Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan al-Qur’an

Pada Kasa Nabi Muhammad SAW dan Sahabat,” Jurnal Substantia, vol. 14, no

1 (2012). 18Ali Muharrom, “Konsep Keterjagaan al-Qur’an Menurut al-

Sya’rāwī: kajian atas makna lahāfdzūn)” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019).

Page 30: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

14

berangkat dari problematika lupanya seorang penghafal al-

Qur’an, sebab menjaga al-Qur’an merupakan sunnatullah.19

9. Budaya menjaga hafalan al-Qur’an bagi hāfidz hāfidzah di

lingkungan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta oleh Riswandi. Penelitian ini membahas fenomena

budaya menjaga hafalan al-Qur’an. Tulisan ini juga ingin

melihat dua dinamika budaya yang berbeda yaitu agama dan

akademik.20

10. Keterlibatan manusia dalam memelihara keotentikan al-

Qur’an: sebuah kajian histori oleh Bunyamin. Penelitian ini

membahas tentang bagaimana proses pengkodifikasi al-Qur’an

dan sejauh mana ketelibatan manusia dalam memelihara

keotentikan al-Qur’an.21

Dari literatur ini, penulisan tidak menemukan adanya

kesamaan secara khusus yang dibahas oleh penulis dalam

penulisan ini adalah “Perspektif Al-Suyūṭī Tentang Pemeliharaan

Al-Qur’an.”

19Fauziatul Ummayah, “Hadits Tentang Menjaga Hafalan al-Qur’an :

Studi Ma’ani al-Hadits” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2015). 20Riswandi, “Budaya menjaga hafalan al-Qur’an bagi hāfidz hāfidzah

di lingkungan (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)” (Skripsi

S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013). 21Bunyamin, “Keterlibatan Manusia dalam Memelihara Keotentikan

al-Qur’an: Sebuah Kajian Histori” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif

Hiayatullah Jakarta, 1999).

Page 31: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

15

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif,

yaitu penelitian dengan mengumpulkan kata atau kalimat dari

individu, buku atau sumber yang lain.22 Penulis menggunakan

metode pendekatan penafsiran al-Qur’an dari segi tafsir

tematik. Yakni, menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang

memiliki tujuan yang sama, menyusunnya secara kronologis

selama memungkinkan dengan memperhatikan sebab

turunnya, menjelaskannya, mengaitkannya dengan surah

tempat ia berada, menyimpulkan dan menyusun kesimpulan

tersebut ke dalam kerangka pembahasan sehingga tampak dari

segala aspek, dan menilainya dengan kriteria pengetahuan

yang sahih.

Untuk lebih jelasnya, penulis menghimpun ayat-ayat

Alquran yang berkenaan dengan pemeliharaan terhadap al-

Qur’an, kemudian menyusunnya berdasarkan kronologis serta

sebab turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga diketahui

pengklasifikasiannya. Apakah ia tergolong ayat-ayat makkiyah

atau madaniyyah.

2. Sumber Data Penelitian

Sumber utama yang menjadi data primer adalah penafsiran

ulama seperi al-Suyūṭī. Sedangkan data sekunder didapat dari

tulisan orang lain yang membicarakan dan mendiskusikan

tentang pemeliharaan terhadap al-Qur’an melalui buku, artikel,

22Nanang Martono, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Grafindo

Persada, 2010), 19.

Page 32: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

16

jurnal dan lainnya yang memiliki korespondensial dengan tema

penelitian.

3. Teknik Pengumpulan data

Mengenai pengumpulan data, penulis menggunakan

metode atau teknik library research, yaitu mengumpulkan

data-data melalui bacaan dan literatur-literatur yang ada

kaitannya dengan pembahasan penulis. Teknik ini bisa disebut

juga sebagai studi dokumen yang merupakan salah satu proses

kajian penelitian untuk melihat dan menganalisis pernyataan

atau data seseorang atau kelompok. Studi dokumen ini

dilakukan dengan melihat hasil data dari para penelitian yang

sudah ada untuk melihat gejala perubahan sosial di masyarakat

mengenai penelitian penulis.23 Sebagai sumber pokoknya

adalah al-Qur’an dan penafisrannya, serta sebagai

penunjangnya yaitu buku-buku keislaman yang membahas

secara khusus tentang tafsir, disiplin Ilmu Bahasa dan buku-

buku yang membahas secara umum dan implisitnya mengenai

masalah yang dibahas.

4. Teknis Analisis Data

Metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini

adalah deskriptif-analitik, yaitu mendeksripsikan keseluruhan

data yang sudah ada.24

23Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja

Posdakarya), 216-217. 24Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B

(Bandung: Alfabeta, 2017), 245.

Page 33: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

17

5. Langkah-langkah Penelitian

Langkah-langkah dalam penelitian ini sebaga berikut:

Pertama, mereduksi yaitu kegiatan merangkum atau

memilih data-data penting sehingga dapat memberikan

gambaran secara spesifik dalam menentukan permasalah

penelitian. Penulis memilih tema umum tentang pemeliharaan

terhadap al-Qur’an.

Kedua, penyajian data. Kegiatan ini dilakukan setelah

mereduksi data. Selanjutnya data yang sudah direduksi

disajikan dengan diagram yang akan mempermudah dalam

memahami penjelasan deskriptif di atasnya.

Ketiga, penarikan kesimpulan, kegiatan ini merupakan

kegiatan terakhir yang dilakukan dalam penelitian. Setelah

melakukan dua kegiatan di atas maka harus dilakukan

kesimpulan sebagai gambaran umum hasil penelitian tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran

materi yang terkandung dalam skripsi ini, maka penulis menyusun

dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang teridiri dari latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan

pustaka, tujuan penelitian, metode penelitian dan penulisan serta

sistematika penulisan.

Bab II merupakan landasan teori dari penelitian ini beserta

gambaran umum perihal argumentasi pro dan kontradiktif

pemeliharaan terhadap al-Qur’an.

Page 34: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

18

Bab III berbicara sepintas tentang definisi al-Quran, nama-

nama al-Qur’an, sejarah turunnya al-Qur’an dan fungsi al-Qur’an.

Bab IV sebagai pembahasan inti yang berisikan argumentasi

pemeliharaan terhadap al-Qur’an, yang merupakan hasil dari

analisis penulis berdasarkan pendekatan kualitatif berupa telaah

dari pendapat mufasir tentang ayat-ayat pemeliharaan terhadap al-

Qur’an.

Bab V merupakan bab penutup terdiri dari kesimpulan dan

saran-saran.

Page 35: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

19

BAB II

BIOGRAFI AL-SUYŪṬĪ DAN KARAKTERISKTIK

TAFSĪR AL-DUR AL-MANṠŪR

A. Riwayat Hidup Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī

Al-Suyūṭī memiliki nama lengkap ‘Abd al-Rahmān b. Kamal

b. Abū Bakr b. Muhammad b. Sabīq al-Dīn b. Fakhr ‘Uṡmān b.

Naziruddīn Muhammad b. Saifuddin, Hadīr b. Najmuddīn, Abī

Ṣalah ‘Ayūb b. Nashīruddīn, Muhammad b. Syaikh Hamamuddīn

al-Hamam al-Hudhairī al-Suyūṭī al-Syafi’ī.1 Sebagian ada yang

menambahkan dengan sebutan Abū al-Faḍl al-Syafi’ī.2 Penulis

Mu’jam al-Mallifīn menambahkan dengan sebutan Aṭalunī al-

Miṣrī Al-Syafi’ī, dan diberi gelar Jalāl al-Dīn. Nama al-Khudhairī

diambil dari nama desa al-Khudhairiyyah dekat Baghdad. Hal ini

diakui oleh Suyūṭī sendiri meskipun semasa hidupnya terdapat dua

nama al-Khudhairiyyah masing-masing di al-Suṭ dan Kairo.

Barangkali penegasan Suyūṭī ini untuk mengembalikan jejak

nenek moyangnya dari sebuah wilayah yang jauh dan terkenal.3

Sedangkan panggilan al-Suyūṭī diambil dari nama wilayah tempat

ia dilahirkan yaitu Suyuṭ yang merupakan satu daerah pedalaman

di Mesir, karena ketika itu Ayahnya pindah ke kota al-Syuṭ.

1Jalāl al-Dīn Suyūṭī, al-Asybāh wa al-Naẓā’ir (al-Qahirah: Maktabah

al-Tsaqafī, 2007), 15. 2Muhammad Husain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I (al-

Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000), 180. 3Yusrin Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam Dari Klasik

Hingga Modern, cet. 1 (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2004), 85.

Page 36: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

20

Ia juga diberi gelar Ibn al-Kutb alasannya adalah karena

dilahirkan di antara buku-buku milik Ayahnya dan ketika ia lahir

diletakkan oleh ibunya di atas buku. Al-Suyūṭī hidup pada masa

dinasti Mamlūk pada abad ke-15 M dan berasal dari keluarga

keturunan Persia yang pada awalnya bermukim di Baghdad

kemudian pindah ke Asyuī. Keluarga al-Suyūṭī merupakan orang

terhormat pada masanya dan ditempatkan pada posisi-posisi

penting dalam pemerintahan.4

Al-Suyūṭī lahir pada awal bulan Rajab tahun 849 H/1445 M,

setelah ia lahir duka menyelimuti al-Suyūṭī ditinggalkan oleh

ibunya bahkan setelah usianya lima tahun Ayahnya pun pergi

menyusul Ibunya. Kepergian kedua orang tuanya tidak membuat

ia putus asa. Selain itu juga Ia hidup di lingkungan akademisi

keilmuan serta ketakwaan. Ketika ayahnya meninggal pada tahun

855 H, ia telah hafal al-Qur’an sampai surat al-Tahrim padahal

usianya masih kurang dari 6 tahun, dan ketika usianya kurang dari

8 tahun, ia telah menghafal seluruh al-Qur’an. Setelah Ayahnya

meninggal, ia dibimbing oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahīd

sampai usia 11 tahun. Dengan ini terbukti bahwa ia menghilangkan

keputusasaanya dengan membangkitkan semangat untuk

memperdalam ilmu agama.

Al- Żahabi menjelaskan bahwa Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī

merupakan orang yang paling alim di zamannya dalam segala

disiplin ilmu, baik yang berkaitan dengan al-Qur’an, hadits, rijāl

dan gharīb al-hadīṡ. Bahkan Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī pernah

4Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid I, cet. 1

(Mesir: Dār al-Salam, 2008), 6-7.

Page 37: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

21

mengungkapkan bahwa ia hafal hadis sebanyak 200.000 hadits,

bahkan beliau pernah mengatakan “Sekiranya saya menemukan

lagi hadis yang labih banyak dari jumlah tersebut, saya pasti bisa

menghafalnya”.5 Salah satu kelebihan al-Suyūṭī adalah pernah

bermimpi bertemu dengan Rasulullah, dalam mimpi tersebut ia

bertanya kepada Nabi “Apakah saya termasuk ahli surga?

Kemudian Nabi Muhammad menjawab “Iya”, kemudian ia

bertanya lagi “Apakah saya akan diazab terlebih dahulu ya

Rasul?” Kemudian Rasul menjawab “Tidak”.6

Selain menghafal al-Qur’an dan hadis ia juga telah

menyelesaikan hafalan berbagai kitab, di antaranya: ‘Umdah al-

Ahkām, al-Fiyyah b. Malik, Minhāj al-Ṭalibīn, dan lain-lain.

Ketika berusia 40 tahun, al-Suyūṭī meninggalkan kegiatan yang

sifatnya publik baik itu kajian jama’ah, fatwa, mengajar dan

lainnya. Meninggalkan itu semua dengan menuju misi yang lebih

penting baginya adalah beribadah dan mendekatkan diri kepada

Allah. Kemudian genap berusia 61 tahun 10 bulan 18 hari,

seminggu sebelum wafat beliau sempat menderita sakit di bagian

tangan kiri sehingga mengakibatkan beliau berpulang ke

rahmatullah. Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī dimakamkan di Husy

Qushun di luar pintu Qarafah Kairo Mesir. Jasad al-Suyūṭī

disemayamkan dekat dengan makam Imam Syafi’ī dan Imam

Waqī’. Makamnya selalu tertutup, tidak bisa masuk ke dalam

kecuali dengan menghubungi juru kunci. Namun menurut al-

5Muhammad Husain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I (al-

Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000), 180. 6‘Abd al-Hayy b. Ahmad b. Muhammad b. al-‘Imād, Syazarāt al-

Żahab fi Akhbār min Żahab, jilid VIII (Bairūt: Dār Ibn Katsīr, 2010), 52.

Page 38: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

22

Żahabi, Imam al-Suyūṭī meninggal pada malam jumat tanggal 19

Jumadil Ula tahun 911 H/1505 M.7

B. Latar Sosio-Pendidikan

al-Suyūṭī banyak mendapatkan pendidikan dari beberapa

ulama besar di zamannya, ini disebabkan keinginan dan semangat

yang abisius dalam menuntut ilmu sehingga menjadikannya

sebagai ulama yang sangat diperhitungkan dan karya-karya banyak

dijadikan referensi baik itu di ruang akademisi ataupun non-

akademisi. Adapun ulama yang pernah ia kunjungi di antaranya:

Imam Sirāj al-Dīn al-Qalyūbi dan Syaikh al-Islām ‘Ilm al-Dīn al-

Bulqainī dari kedua ulama ini al-Suyūṭī mempelajari fiqh, Taqī al-

Dīn al-Samnī dan Syihab al-Dīn mendidiknya ilmu farā’id, Imam

Taqī al-Dīn al-Hanafī belajar kepadanya ilmu Hadis dan

gramatikal Arab, dalam bidang ilmu Tafsir ia berguru kepada

tokoh ulama terkenal dikalangan madzhab Syafi’ī yaitu Imam Jalāl

al-Dīn al-Mahallī yang merupakan seorang penulis tafsīr jalalain.8

Selain itu, Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī juga pernah menekuni kitab

Ṣahīh Muslīm kepada al-Syamsy al-Syairamī. Tidak hanya disiplin

agama, al-Suyūṭī juga menekuni keilmuan kedokteran yang belajar

langsung dari Muhammad b. al-Dawanī yakni seorang pakar

kedokteran berasal dari Roma yang pindah ke Mesir. imam al-

Suyūṭī tidak hanya berguru kepada gender laki-laki, tetapi Imam

7Muhammad Husain al- Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I,

180. Lihat pula, ‘Abd al-Hayy b. Ahmad b. Muhammad b. al-‘Imād, Syazarāt

al- Żahab fi Akhbār min Żahab, jilid VIII, 51-55. 8Mani ‘Abdul Halim Ahmad, Manhaj al-Mufassirīn, terj: Faisal Saleh

dan Syahdianor, cet.1 (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), 126.

Page 39: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

23

Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī juga memiliki guru dari kalangan

perempuan, di antaranya: ‘Aisyah b. Alī, Niswan b. Abdullah al-

Kananī, Hajar b. Muhammad al-Misriyyah. Kebiasaan ulama

dahulu untuk mencari pengetahuan adalah rihlah (bepergian)

sehingga tidak stagnasi di satu tempat melainkan berpindah

ketempat lain untuk mencari ilmu. Tradisi ini juga diikuti oleh

Imam al-Suyūṭī dalam menimba ilmu pengetahuan. Sebagian di

antaranya wilayah yang pernah dikunjungi oleh al-Suyūṭī adalah

Syam (Syiria), Hijaz, Yaman, India, Maroko, dan lain-lain.

Agar lebih mudah penulis menyusun nama-nama gurunya baik

itu laki-laki maupun perempuan di antaranya:

a. Syaikh Ahmad b. Ibrāhīm b. Naṣr b. Ahmad b. Muhammad

b. Abū al-Fatḥ al-Kinani al-Asqālanī al-Qahirī al- Ṣalihī al-

Hanbalī.

b. Syaikh Syihāb al-Dīn Ahmad b. Alī b. Abū Bakar al-

Syarimsahi al-Syafi’ī

c. Syaikh Taqī al-Dīn Ahmad b. Muhammad b. Muhammad

b. Hasan b. Alī b. Yahyā al-Tsumunnī

d. Syaikh Taqī al-Dīn al-Syiblī al-Hanafī

e. Imam ‘Alam al-Dīn al-Bulqunī Ṣalih b. ‘Umar b. Ruslān.

f. Syaikh ‘Abd al-Azīz b. ‘Abd Wahīd b. Abdullah b.

Muhammad al-‘Izz b. al-Tāj al-Takrūrī al-Syafi’ī.

g. Syaikh Abū Faḍl ‘Abd al-‘Azīz b. Muhammad b.

Muhammad b. al-‘Izz al-Miqātī.

h. Syaikh ‘Abd al-Qadīr b. Abū al-Qāsim b. Ahmad b.

Muhammad b. ‘Abd al-Mu’ṭi al-Anṣarī al-Sa’di al-‘Ubaidi

al-Malikī.

Page 40: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

24

i. Imam Jalāl al-Dīn Al-Mahalli Muhammad b. Ahmad b.

Ibrāhim al-Mahalli al-Syafi’ī.

j. Syaikh Muhammad b. Sulaiman b. Sa’ad b. Mas’ūd al-

Rumī al-Bar’Ami al-Kafijī al-Hanafī

k. Imam Kamal al-Dīn al-Hammam al-Hanafī Muhammad b.

‘Abd al-Wahīd b. ‘Abd al-Hamīd al-Iskandarī.

l. Imam al-Munawi Syarafuddin Yahyā b. Muhammad b.

Muhammad b. Muhammad

Adapun guru-guru Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī yang berasal

dari wanita di antaranya:

a. Amatul Kholiq (Umm al-Khair).

b. Amatul ‘Aziz b. Muhammad b. Yunus Al-Amanī.

c. Umm al-Faḍl b. Muhammad al-Maqdisī.

d. Umm al-Hanī’ b. Abū al-Hasan Al-Hurinī

e. Khādijah b. Abū al-Hasan b. Al-Mulqīn.

f. Faṭīmah b. Alī b. Al-Yasīr

g. Kamaliyyah b. Muhammad b. Abū Bakar al-Marjanī

h. Nasywan b. Abdullah al-Kananī

i. Hajar b. Muhammad al-Mishriyyah

j. Hajar b. Muhammad al-Maqdisī9

Imam al-Suyūṭī memiliki profesi sebagai tenaga pengajar di

madrasah al- Syaikhuniqah selama 12 tahun dan menjabat sebagai

mufti (pemberi fatwa) pada waktu yang sangat lama. Sewaktu

mengabdi di al-Syaikhuniqah al-Suyūṭī sempat mendapatkan gelar

9Muhammad Ismā’īl Shaleh Batubara “Konsistensi Imam Jalaluddīn

al-Suyūṭī Menafsirkan Ayat-ayat Sumpah” (Tesis: Universitas Islam Negeri

Sumatera Utara Medan, 2016), 45-47.

Page 41: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

25

al-Ustaż oleh pimpinan madrasah tersebut, dan sempat berpindah

tugas ke madrasah yang lebih terkenal yaitu al-Bibersiyah. Di

tempat ini ini ia juga mendapatkan gelar yang sama, namun gelar

tersebut tidak lama disandangnya, sebab ia dianggap ulama yang

menentang pemerintah Dinasti Mamluk pada abad ke-15 M yang

sewaktu dengan Daulah Jarakisah tahun 789- 992 H. Sehingga

dengan tudingan yang dilontarkan kepada al-Suyūṭī akhirnya gelar

al-Ustaż yang disandangkan, beliau tanggalkan pada tahun 906

H.10

Dengan kapasitas keilmuannya yang ia pelajari, Al-Suyūṭī

telah menghasilkan karya tulis yang sangat banyak, mencapai 600

atau lebih karangan dari berbagai ilmu. Beberapa karangan yang

terkenal adalah bidang tafsir dan ilmu tafsir seperti Tafsīr Jalalain,

al-Itqān, Lubab al-Nuqūl, dan lainnya. Dari banyak karya ini, al-

Suyūṭī mendapat julukan Punggawa al-Qur’an abad ke-8, meski ini

bukan satu-satunya julukan yang disematkan beliau. Menurut as-

Sā’id Mamduh, karya Al-Suyūṭī mencapai 725 kitab.

Begitu banyak karya-karya yang ia tulis, menunjukkan bahwa

ia memiliki kredibelitas sebagai tokoh intlektual Islam yang

mempunyai prestise dan bisa melakukan dalam masalah ijtihad.

Imam al-Suyūṭī pernah mengeluarkan diktum bahwa keilmuan

yang dimilikinya sudah sampai kepada derajat seorang mujtahid.

Diktum ini diutarakan oleh al-Suyūṭī bukan karena

kesombongannya, tetapi karena kenikmatan diberikan oleh Allah

kepadanya. Setelah mengeluarkan diktum tersebut, al-Suyūṭī

10Saiful Amin Ghofur, M. Alaika Salamullah (Ed.), Profil Para

Mufassir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 112.

Page 42: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

26

menginterpolasi bahwa upaya mencapai keilmuan tersebut bukan

karena kemampuannya, sebab tiada daya upaya kecuali dengan

Allah.11 al-Suyūṭī berpandangan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka

di setiap zaman dan tidak boleh ada zaman yang kosong dari

mujtahid, karena naṣ terbatas, sementara persoalan yang menuntut

jawaban hukum tidak terbatas. Menurut al-Suyūṭī ada beberapa

disipllin ilmu yang mesti dikuasai oleh seseorang yang melakukan

ijtihad, diantaranya: ilmu al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh,

ilmu Gramatika Arab, ilmu tentang Ijma’ Khilafiyyah, ilmu

Hitung, ‘ilm al-Nafs, dan ilmu Akhlak. Ilmu-ilmu tersebut sudah

dikuasai oleh al-Suyūṭī dengan metode hafalan.

Pernyataan Imam al-Suyūṭī ini mendapat kritikan dari para

ulama sezamannya. Sebagian diantara mereka mengatakan bahwa

walaupun al-Suyūṭī memiliki multidisiplin keilmuan mumpuni

tetapi kekuranganya tidak menguasai ilmu mantiq (logika).

Menurut jumhur ulama salah satu syarat absolut yang harus

dimiliki oleh seorang mujtahid hendaklah ia memiliki pengetahuan

segala disiplin ilmu termasuk bidang ilmu mantiq.12 Menurut ‘Abd

al-Wahab ‘Abd seorang guru besar al-Azhar Mesir, yang

memberikan kritikan kepada al-Suyūṭī disebabkan karena

beberapa faktor antara lain: pengakuannya bahwa ia adalah

seorang mujtahid dan pembaharu keagamaan pada abad ke 9 H,

disamping itu al-Suyūṭī juga mempunyai pendapat-pendapat fiqh

yang tidak sejalan dengan kebanyakan fuqaha pada masanya,

11Mani ‘Abdul Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirīn, terj. Faisal

Saleh dan Syahdianor, cet. I (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2006), 128. 12Mani ‘Abdul Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirīn, terj. Faisal

Saleh dan Syahdianor, cet. I (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2006), 128.

Page 43: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

27

seperti al-Suyūṭī berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi

Muhammad akan selamat dari siksaan pada hari akhir dan diktum

orang yang telah meninggal akan ditanya oleh malaikat sebanyak

tujuh kali.13

Sebagai sosok yang multidisipliner, pasti banyak orang yang

ingin belajar kepadanya. Adapun murid-muridnya di antaranya:

Muhammad b. ‘Alī a;-Dawudi (w. 945 H) penulis Thabaqāt al-

Mufassirīn, Zain al-Dīn Abū Hafẓ ‘Umar b. Ahmad al-Syama’ (w.

936 H), seorang ahli hadis di Halaba dan penulis al-Kawākib al-

Niraṭ fi al-‘Arbā’īn al-Buldaniyyāt, Muhammad b. Ahmad b. Iyas

(w. 930 H), penulis Badā’i al-Zhuhūr, Muhammad b. Yūsuf al-

Syami al- Ṣalihi al-Miṣri, Ibn Thulūn b. ‘Alī b. Ahmad (w. 953 H),

dan al-Sya’ranī ‘Abd al-Wahhab Ibn Ahmad (w. 973 H).14

C. Karya-karya al-Suyūṭī

Ketekunan al-Suyūṭī dalam menempuh kegiatan rihlah

intlektual membuah hasil dengan mengekspresikan dalam bentuk

buku. Banyak sekali karya-karya al-Suyūṭī dalam berbagai bidang,

bahkan setiap kalangan berbeda-beda dalam menjumlahi karya-

karya yang telah ditulis olehnya. Misalnya menurut Haji Kholifah

dalam Kasyf al- Żunūn, bahwa karya yang ditulis oleh Imam al-

Suyūṭī mencapai 540 kitab. Dalam al-Nūr al-Safīr ‘an Akhbār al-

Qur’ān al-Asyīr yang ditulis oleh Syaikh al-Sayyīd ‘Abd Qadīr b.

‘Abdullah al-Idrūs dijelaskan bahwa karya-karya al-Suyūṭī telah

13‘Abd al-Hayy b. Ahmad b. Muhammad b. al-‘Imād, Syazarāt al-

Żahab fi Akhbār min Żahab, jilid VIII (Bairūt: Dār Ibn Katsīr, 2010), 53. 14Yusrin Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam Dari Klasik

Hingga Modern, cet. 1 (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2004), 88.

Page 44: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

28

mencapai jumlah hingga 600 karya selain yang dia perbaiki

kembali dan tidak jadi diedarkan. Sedangkan menurut Sayyid

Muhammad ‘Abd Hayy al-Kaṭṭani, jumlah keseluruhan karya

Imam al-Suyūṭī adalah 904 kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Di

antara karya-karyanya yang fenomenal bahkan sangat sering dikaji

di Indonesia, di antaranya: Pertama, al-Itqān fi ’Ulūm al-Qur’ān.

Kitab ini merupakan referensi utama untuk dijadikan rujukan

dalam mengetahui disiplin ilmu ‘ulūm al-Qur’ān. Kitab ini

sebenarnya merupakan muqaddimah (kata pengantar) kitab tafsir

yang ia tulis yaitu Majma’ al-Bahra’īn wa Maṭla’ al-Badrain al-

Jamī’ li Tahrīr al-Riwāyah wa Taqrīr al-Dirāyah, salah satu kitab

tafsir yang mengakumulasikan tafsir bi al-Ma’ṡūr dan tafsir bi al-

ra’yī yang direncanakan untuk ditulis sebelumnya tiba wafatnya.15

Kedua, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’ṡūr. Kitab ini

berisakan tentang tafsir al-Qur’an yang mengikuti metode tafsir bi

ma’tsūr. Kitab ini dicetak dalam 16 jilid sebagai ringkasan dari

kitab tafsir yang lebih besar lagi yang bernama Tarjuman al-

Qur’an.16 Sayang sekali sampai sekarang kitab Tarjuman al-

Qur’an tidak diketahui keberadaannya. Ketiga, Tafsīr Jalalain.

Kitab ini juga merupakan tafsir al-Qur’an yang dikenal dan

diajarkan diseluruh kawasan dunia Islam bahkan di pesantren-

pesantren yang ada di Indonesia. Alasannya kitab ini tidak terlalu

tebal dan menafsirkan dengan metode mujmal (universal). Kitab

ini ditulis oleh Imam Suyūṭī yang menyempurnakan kitab tafsir

15Muhammad Husain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I,

181. 16Imam al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, jilid 1 (al-

Qāhirah, 2003), 3.

Page 45: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

29

yang ditulis oleh gurunya yaitu Imam Mahalli yang wafat sebelum

merampungkan penulisannya. Karena itulah kitab ini dikenal

dengan nama Tafsīr Jalalain artinya kitab tafsir yang ditulis oleh

dua orang yaitu Imam Jalāl al-Dīn al-Mahalli dan Imam Jalāl al-

Dīn al-Suyūṭī.

Keempat, al-Iklīl fī Istinbāṭ al-Tanzīl. Kitab ini termasuk dalam

kategori Tafsīr Ahkām, maksudnya kitab tafsir berisikan tentang

konten secara spesifikasi tentang hukum. Kelima, Alfiyyah al-

Suyūṭī fi ‘Ilm al-Hadīṡ. Nama lain dari kitab ini adalah Nażm al-

Durār fī ‘Ilm al-Aṡār”, namun lebih populer dengan sebutan

Alfiyyah al-Suyūṭī. Isi konten kitab ini memuat 1000 nadzaman

yang lebih tepatnya bilangan tepatnya 994 nadzaman yang

menjelaskan tentang ilmu hadits. Keenam, Tadrīb al-Rāwī Syarah

Taqrīb al-Nawawī”. Kitab ini merupakan syarah dari kitab al-

Taqrīb wa al-Taisīr li Ma’rifah Sunan al-Basyīr al-Nadzīr atau

yang lebih dikenal dengan sebutan Taqrīb al-Nawawī. Kitab ini

merupakan referensi utama dalam rujukan bidang ilmu hadis.

Ketujuh, Jamī’ al-Ṣaghīr. Kitab ini merupakan kitab hadis yang

mencantumkan lebih dari 10.000 hadis yang disusun berdasarkah

huruf hija’iyyah. Kitab ini dijadikan referensi utama dalam

mencari keberadaan hadis dengan menggunakan teori takhrīj al-

hadīṡ. Kedelapan, al-Asybah wa al-Naḍā’ir fī Qawā’id wa Furū’

al-Syafi’iyyah”. Kitab ini merupakan kitab induk dalam bidang

metodologi fiqih dalam madzhab syafi’ī.

Page 46: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

30

Agar lebih mudah, penulis mengklasifikasikan karya-karyanya

sebagai berikut sesuai dengan bidang dsiplin keilmuan, di

antaranya:

1. Bidang Tafsir

a. Tafsir Turjumān al-Qur’ān

b. Tafsir Jalalain

c. Tafsir al-Dur al-Manṡūr fī Tafsīr bi al-Ma’ṡūr

2. Bidang ‘Ulūm al-Qur’ān

a. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān

b. Mutasyabih al-Qur’ān

c. Lubab al-Nuqūl fi Asbab al-Nuzūl

d. Al-Mażhab fī Ma Waqā’a fī al-Qur’ān Min al-Mu’rāb

e. Mufhāmat al-Aqrān fī Mubhamāt al-Qur’ān.

3. Bidang Hadis

a. Al-Dibāj ’Ala Ṣahīh Muslīm bin al-Hajjaj

b. Tanwīr al-Hawalīk Syarh Muwaṭṭa’ al-Imām Malik

c. Jamī’ al-Shaghīr

d. Jam’u al-Jawāmi’ (Jamī’ al-Kabīr)

e. Misbāh al-Zujājah fī Syarh Sunan ibn Majah

4. Bidang ‘Ulum al-Hadiṡ

a. Tadrīb al-Rawī

b. Al-Alfiyyah fī Muṣṭalāh al-Hadīṡ

c. Iṭmām al-Dirāyyah li Qurrā’ al-Niqāyah

d. Al-Ahādiṡ al-Manfiyyah.

e. Al-Dur al-Munaṡṡarah fī al-Ahādiṡ al-Musytahārah

5. Bidang Fiqih

a. Syarh al-Taqrīb al-Nawawī

Page 47: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

31

b. Al-Arjū fī al-Farjī

c. Nahzah al-Julāsa’ fī Asyā’ar al-Nisā’

6. Bidang Ushul Fiqh

a. al-Asybāh wa al-Nazhā’ir

7. Bidang Bahasa Arab

a. Asybāh wa Al-Nazhā’ir fī al-Arabiyyah

b. AlFiyyah fī al-Nahwī

c. Bughiyyah al-Wi’at fī Thabaqāt al-Nuhāt

d. Al-Iqtirah fī Ushūl al-Nahwī

e. Al-Taj fī I’rab Musykīl al-Minhāj

f. Ham’ al-Hawām’i

g. Al-Muzīr fī ‘Ulūm al-Lughat

8. Bidang Sejarah

a. Manāqib Abī Hanifah

b. Manāqib Malik

c. Tarīkh al-Ṣuyūṭ.

d. Tarīkh al-Khulafah

e. Husn al-Muhādarāh fī Akhbār Misr wa al-Qahirah

D. Karakteristik Tafsīr al-Dur al- Manṡūr

Kitab ini Menurut al-Dzahabi merupakan kitab musnad hadis

yang berisikan tentang konten tafsir atau penjelasan terhadap al-

Qur’an dengan memuat sekitar 10.000 hadis marfū’ dan hadis

mauqūf. Sebelumnya ia menulis kitab Tarjumān al-Qur’ān sebagai

Page 48: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

32

ringkasannya adalah ia menulis kitab al-Dur al- Manṡūr.17 Bidang

tafsir tidak hanya ini, masih banyak beberapa kitab ltafsir lainnya

yang ia tuliskan. Semua tafsir yang ia tulis memiliki etos masing-

masing termasuk kitab al-Dur al- Manṡūr. Tetapi kitab ini sangat

eksis digunakan oleh tokoh-tokoh intlektual muslim, di antaranya:

‘Abd al-Majīd al-Syaikh ‘Abd al-Barī dalam kitabnya Al-Riwāyat

al-Tafsiriyyah fī Fath al-Barī, ‘Abd al-Ghaffur Mahmud Musṭafa

Ja’far dalam kitabnya Tafsīr wa al-Mufassirūn, Muhammad Amin

b. Muhammad b. Mukhtar al-Jiknī al-Syinqitī (1393-1415) dalam

kitabnya Aḍwā’ al-Bayān fī Idāh al-Qur’ān bi al-Qur’ān, Abū

Muhammad al-Husain b. Mas’ud al-Baghāwī (516) dalam

kitabnya Tafsīr al-baghāwī, Muhammad b. Jarīr b. Yazīd b. Kaṡīr

b. Ghalib al-Amalī (220-310 H) Tafsīr al-Thabārī (Ed: Ahmad

Abdul Razaq, dkk), Muhammad b. Ṣalih al-‘Utsaimīn dalam

kitabnya Tafsīr Qur’ān li al-’Utsaimīn, Syaikh Musā’id al-ṭayār

dalam kitabnya Tafsīr Juz ‘Amma, ‘Abd al-Rahmān b. Muhammad

b. ‘Abd al-Hamīd al-Qammasy Jamī’ Laṭā’if al-Tafsīr,

Muhammad al-Alusī Abī al-Faḍl dalam kitabnya Tafsīr Rūh al-

Ma’ānī fī tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm wa al-Sab’ al-Maṡāni, dan

lainnya.

17Muhammad Husain al- Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I,

180. Lihat pula, Imam al-Suyūṭī, al-Dur al-Matsūr fi al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, jilid

1 (al-Qāhirah, 2003), 3.

Page 49: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

33

Untuk melihat perbedaan dengan tafsir lainnya, penulis

memberikan klasifikasi, di antaranya:

1. Sistematika Penulisan Tafsīr al-Dur al-Manṡūr

Tafsir al-Dur al-Manṡūr yang ditulis oleh Imam al-Suyūṭī

disusun dengan tartīb mushafī, yaitu ditulis berdasarkan urutan

surat dan ayat dalam Mushaf Utsmani yaitu dimulai QS. al-

Fātihah [1] sampai dengan QS. al-Nās [114]. Sistematika

dalam kitab tafsir al-Suyūṭī ini bisa ditelusuri dari berabagai

aspek, di antaranya:

a. Formulasi sistem ayat dengan ayat

Metode ini dikenal dengan istilah al-ma’tsūr, yaitu

interpretasi berbasis naqli (ayat dengan ayat). dari judul

tafsir sudah memberikan informasi bahwa metode yang

digunakan adalah al-ma’tsūr. Misalnya menjelaskan kata

dzulmun dalam QS. al-‘An’ām [6]: 82. Al-Suyūṭī dalam

dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini dengan menggunakan

ayat yang lain, yaitu kata dzulmun diartikan sebagai syirik

yang terdapat di dalam QS. Luqmān [31]: 13.18

b. Penjelasan al-mufradat

Meskipun kitab tafsir ini menggunakan interpretasi al-

ma’tsūr, dalam tafsir ini juga ditemukan penjelasan kata

seperti yang dilakukan dalam penafsiran yang

menggunakan tahlili secara dominan. Misalnya kata

waswas al-khannas dalam QS. al-Nās [114]: 4. Seperti

biasa ia menggunakan jalur periwayatan, misalnya dari Ibn

18 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,

Jilid VI, 116-117

Page 50: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

34

Jarīr dari Ibn Zaid bahwa di dalam hatinya anak adam

memiliki bisikan kejahatan. Dalam periwayatan yang lain

dari Abū al-Dunyā, Ibn Jarīr, Ibn al-Munzir dan al-Hākim,

bahwa setiap anak yang dilahirkan kecuali dalam hatinya

ada bisikan kejahatan. Apabila ia berakal maka ia

mengingat Allah, sebaliknya apabila ia lalai maka dalam

hatinya penuh dengan kejahatan.19

c. Penjelasan dengan ma’na al-jumālī (global)

Makna ini biasanya menggunakan penjelasan secara

ringkas dan padat makanya dinamakan dengan makna

global. Dalam kitab ini ia juga memberikan penjelasan kata

dengan menggunakan makna al-jumalī (global). Sebagai

contoh, ia menjelasakan kata tabāraka di dalam QS. al-

Furqān [25]: 1. Ciri khas yang tidak terlupakan dalam kitab

ini adalah transmisi (sanad) yang menjadikan tafsir ini al-

ma’tsūr. Dalam menjelaskan kata mufradat pun ia juga

menggunakan periwayatan mufradat tabāraka, ia

mengambil periwayatan dari Ibn Hātim dari Ibn ‘Abbas “

lafadz tabāraka merupakan bentuk kata dari timbangan

tapā’ala yang memiliki asal usul kata dari al-barakah.

Contoh lain dengan ayat yang sama, kata al-furqān

diartikan dengan mengambil jalur periwayatan dari ‘Abd b.

Humaid, Ibn al-Munzir, Ibn Abī Hātim dari Qatādah yaitu

diartikan dengan al-Qur’an.20

19 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,

jilid XV, 806-807 20 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,

jilid XI, 133-135

Page 51: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

35

d. Penjelasan dengan ma’na tahlilī

Makna tahlili biasanya diartikan sebagai penjelasan

secara analitis. Penjelasan secara mendetail dan padat.

Dalam kitab ini juga ditemukan penjelan makna secara

tahlili. Misalnya lafadz sittah ayyām pada QS. al-‘Arāf [7]:

54. Redaksi ini diartikan satu hari perkiraan di dunia

selama seribu tahun. Menurutnya hari-hari tersebut

memiliki nama masing-masing, sebagaimana ia mengutip

periwayatan dari Sammuwaih dalam kitab fawā’idih bahwa

enam hari di sini memiliki nama masing di antaranya Abū

Jād, Haawz, Huṭṭī, Kalamūna, Sa’faṣ, dan Qarsyāt. Selain

itu, al-Suyūṭī juga menjelaskan penciptaan apa saja dalam

enam hari. Sebagaimana ia mengutip dari Sa’īd, Ibn Abī

Syaibah, Ibn Jarīr, Ibn al-Munzir, Ibn Abī Hātim dan al-

Baihaqī, hal yang pertama kali diciptakan adalah ‘arasy,

air, dan hawa nafsu. Kemudian ia juga menjelaskan tentang

penciptaan bumi dari air, setelah itu hari yang diciptakan

sampai dengan penjelasan hari sabtu yang merupakan hari

istimewa bagi orang Yahudi. Pada periwayatn lain sari Abī

Syaibah dari Ka’ab, bahwa Allah memulai menciptakan

langit dan bumi pada hari minggu sampai kepada hari

jum’at. Setiap hari-hari tersbut perkiraa di dunia satu hari

sama dengan seribu tahun.21

Tafsir Dur al-Manṡūr diterbitkan tiga kali yaitu: pertama,

diterbit oleh Dār al-Kutub al-Islami di Bairut Libanon pada

21 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,

jilid VI, 419-420

Page 52: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

36

tahun 1990 yang disusun menjadi enam jilid. Kedua, diterbit

oleh Dār al-Fikr Bairut yang disusun menjadi delapan jilid.

Ketiga, diterbitkan oleh Qahirah Markaz Ḥijr li Buhūṡ wa al-

Dirasāt al-‘Arabiyyah wa al-Islamiyyah pada tahun 2003 yang

terdiri dari 17 jilid. Agar lebih mudah penulis memberikan

klasifikasi, di antaranya:

Pertama, cetakan al-Dār al-Kutūb:

a. Jilid I terdiri dari QS. al-Fātihah [1] sampai QS. al-

Baqarah [2]

b. Jilid II terdiri dari QS. Alī ‘Imran [3] sampai QS. al-

Mā’idah [5]

c. Jilid III terdiri dari QS. al-An’ām [6] sampai QS. Hūd

[11]

d. Jilid IV terdiri dari QS. Yūsuf [12] sampai QS. al- Ḥajj

[22]

e. Jilid V terdiri dari QS. al-Mu’minūn [23] sampai QS.

al-Jāṡiyah [45]

f. Jilid VI terdiri dari QS. al-Aḥqāf [46] sampai QS. al-

Nās [114]

Kedua, cetakan al-Dār al-Fikr:

a. Jilid I terdiri dari QS. al-Fātihah [1] sampai QS. al-

Baqarah [2] 252

b. Jilid II terdiri dari QS. al-Baqarah [2] 253 sampai QS.

al-Nisā [4]

c. Jilid III terdiri dari QS. al-Mā’idah [5] sampai QS. al-

A’rāf [7]

Page 53: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

37

d. Jilid IV terdiri dari QS. al-Anfāl [8] sampai QS. al-Ra’d

[13]

e. Jilid V terdiri dari QS. Ibrāhīm [14] sampai QS. al-

Anbiyā’ [21]

f. Jilid VI terdiri dari QS. al- Ḥajj [22] sampai QS. Saba’

[34]

g. Jilid VII terdiri dari QS. Fāṭir [35] sampai QS. al-

Rahmān [55]

h. 8. Jilid VIII terdiri dari QS. al-Waqī’ah [[56] sampai

QS. al-Nās [114]

Ketiga, cetakan Qāhira:

a. Jilid I membahas QS. al-Fātihah-al-Baqarah [2] 141

b. Jilid II membahas QS. al-Baqarah [2] 142-232

c. Jilid III membahas QS. al-Baqarah [2] 233 sampai QS.

Āli Imrān [3] 132

d. Jilid IV membahas QS. Āli Imrān [3] 132 sampai QS.

al-Nisā’ [4] 113

e. Jilid V membahas QS. al-Nisā’ [4] 114 sampai QS. al-

Mā’idah [5] 120

f. Jilid VI membahas QS. al-An’ām [6] sampai QS. al-

‘Arāf [7] 206

g. Jilid VII membahas QS. al-‘Anfāl [] sampai QS. Yūnus

[]

h. Jilid VIII membahas QS. Hūd [] sampai QS. al- Ḥijr []

i. Jilid X membahas QS. al-Nahl [] sampai QS. al-Kahf []

j. Jilid IX membahas QS. Maryam [] sampai QS. al-Nūr

[] 26

Page 54: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

38

k. Jilid XI membahas QS. al-Nūr [] 29 sampai QS. al-

Aḥzāb [] 22

l. Jilid XII membahas QS. al-Aḥzāb [] 23 sampai QS. al-

Zumar [] 75

m. Jilid XIII membahas QS. Ghāfir [] sampai QS. al-Ṭūr

[]

n. Jilid XIV membahas QS. al-Najm [] sampai QS. al-

Ma’ārij []

o. Jilid XV membahas QS. al-Jinn [] sampai QS. al-Nās

[114]

p. Jilid XVI dan XVII membahas daftar pustaka dan

bibliografi

2. Metode Penafsiran

Dalam kajian disiplin ilmu tafsir memiliki beberapa

metode yang digunakan para ulama tafsir dalam menyusun

karya tafsir mereka, sebagaimana yang diregulasikan oleh al-

Farmawi, bahwa metode penafsiran diklasifikasikan menjadi

empat bagian antaranya: Ijmāli, Tahlīli, Muqarran, dan

Mauḍū’i.22 Dari empat metode ini, tafsir al-Dur al-Manṡūr

tendensi kepada metode tahlīlī.23

22Abū al-Hayy Al-Farmawī, al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mauḍū’i (Mesir:

Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), 25. 23Metode tahlili (analitis) adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an

dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayatyang

ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya

sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayatayat

tersebut. Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 32. Lihat pula, Syahrin Harahap,

Metodologi Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin, cet. 2 (Jakarta: Raja Grapindo

Persada, 2002), 17.

Page 55: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

39

Interpretasi analitik ciri-cirinya adalah menafsirkan

berbagai aspek yang dimulai dengan makna kosa kata,

munasabah (kolerasi), asbab al-nuzūl (sebab turunya ayat),

interpretasi substansi ayat dan lainnya. Metode ini sangat

dominan sekali di kalangan ulama tafsir, tetapi di tinjau lebih

jauh tafsir al-Dur al-Manṡūr tidak bisa dikatakan sepenuhnya

menggunakan metodologi tahlīli sebab tidak memenuhi unsur-

unsur. Kitab ini hanya memenuhi menafsirkan ayat sesuai

tartīb mushāfi, tetapi menafsirkan dengan menjelaskan makna

kosa kata, munasabah, dan lainnya jarang sekali dilakukan oleh

al-Suyūṭī. Lebih dominan adalah memberikan periwayatan

sebagai interpretasi ayat. Sehingga penulis berasumsi bahwa

pola metodologi penafsirannya satu sisi ijmāli (interpretasi

universal) di sisi lainnya yaitu menggunakan metode tahlīli

(interpretasi analitik). Tetapi ditinjau dengan melihat dominasi

dalam menggunakan metodologi penafsiran al-Suyūṭī dalam

kitab al-Dur al- Manṡūr yaitu (tahlīli).

3. Corak Penafsiran

Langkah utama dalam mengetaui corak (laun) dalam suatu

tafsir adalah mengetahui dan membaca substansi interpretasi

setiap ayat. Sehingga bisa diambil inferensi bahwa

pengarangnya dan karya tafsirnya dihegemoni dari berbagai

sudut pandang di bidang keilmuan. Pada kitab al-Dur al-

Manṡūr, sulit diketahui corak penafsirannya disebabkan al-

Suyūṭī terlalu banyak mengutif periwayatan yang menjadi

diktum utama dalam menafsirkan setiap ayat dengan

Page 56: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

40

menggunakan istilah akhraja. Sehingga tidak ditemukan

sedikitpun diktum ataupun statement yang dijadikan sebagai

interpretasi al-Suyūṭī. Sebagai contoh ia menafsirkan QS. al-

Fātihah [1] ia menafsirkan setiap ayat ini dengan

menghadirkan periwayatan sebagai jawaban untuk

menafsirkan ayat al-Qur’an.

4. Sumber Tafsir

Sumber tafsir atau dikenal dengan istilah maṣādir al-tafsīr

diklasifikasian oleh para ulama menjadi dua bagian: tafsīr bi

ma’ṡūr dan bi al-ra’yī. Adapun tafsīr bi al-ma’ṡūr merupakan

salah satu jenis penafsiran yang muncul petama kali dalam

sejarah khazanah intelektual Islam. Praktik penafsirannya

adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran ditafsirkan

dengan ayat-ayat yang lain atau dengan riwayat dari Nabi

Muhammad, para sahabat dan juga para tabi’in.24 Karya-karya

tafsir yang menggunakan al-Ma’ṡūr seperti Ibn Katsīr, al-

Ṭabarī.

Sedangkan bi al-ra’yī yaitu sumber yang berpusat kepada

rasionalitas yang ilmiah. Penafsiran ini tidak hanya menguras

akal saja tetapi juga menggunakan dalil al-Ma’ṡūr hanya saja

yang menjadi dominasi adalah rasionalitas. Pada sumber kedua

ini sangat banyak ditemukan di tafsir-tasir para ulama seperti,

Fakhr al-Dīn al-Rāzi (mafātih al-ghaib), al-Qurtubī (Jāmi’ li

ahkām al-Qur’ān), Ibn ‘Asyūr (tahrīr wa tanwīr), al-Sya’rāwī

(khawātir al-Qur’ān), dan lain sebagainya. Pada kasus tafsir

24Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), 42.

Page 57: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

41

al-Dur al- Manṡūr yang ditulis oleh al-Suyūṭī justru bersumber

kepada bi al-Ma’ṡūr ditambah lagi dari judul kitab yang ia tulis

adalah al-Ma’ṡūr. Sebagai contoh ia menafsirkan QS. al-

Baqarah [2] 1, pada lafadz alif-lam-mim ia memberikan

beberapa periwayatan di antaranya: al-Bukhāri, al-Tirmiżī, Ibn

al-Dhurais, Muhammad b. Naṣr, Ibn al-Anbārī, dan al-Hākim.

Secara keseluruhan kitab tafsir al-Dur al- Manṡūr fi at-

Tafsīr al- Ma’sūr ini menggunakan penjelasan Nabi

Muhammad maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari

kitab-kitab hadis dan tafsir. Menurut ad- Żahabi riwayat-

riwayat dalam kitab ini diambil dari karya al-Bukhāri (w. 256

H/ 870 M), Muslīm b. Al-Hajjāj (w. 261 H/ 875 M), al-Nasā’i

(w. 303 H/ 915 M), al-Turmuzi (w. 279 H/ 892 M), Ahmad (w.

241 H/ 855 M), Abū Dāwud (275 H/ 892 M), Ibn Jarīr (w. 310

H/ 923), Ibn Abī Hātim (w. 327 H), ‘Abd b. Hamīd, dan Ibn

Abī al-Dunya (w. 281 H/ 894 M).25

Hemat penulis, penafsiran al-Suyūṭī adalah sebuah etos

yang jarang ditemukan dalam karya-karya kitab tafsir lain,

bahkan secara konsisten Imam al-Suyūṭī menggunakan

riwayat-riwayat yang terkait tanpa sedikit pun ijtihad pribadi.

Meskipun secara awal ditulisnya kitab ini tidak terkontaminasi

dengan pola bi al-ra’yi (sumber menggunakan rasionalitas),

suatu tafsir akan mencerminkan keterbatasan kemampuan

penafsirnya dan tidak akan terlepas dari subyektifitas dirinya

sendiri. Ketika seseorang menafsirkan sebuah ayat, dalam

25Muhammad Husain al-Żahabī, al-Tafsīr wa Mufassirūn, jilid I 181.

Page 58: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

42

benaknya juga hadir sekian banyak subyek sebagai

rujukannya.26

26Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian

Hermeneutika (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996), 141.

Page 59: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

40

BAB III

AUTENTISITAS AL-QUR’AN

A. Bahasa Arab, Tradisi Tulis, dan Lisan

Bahasa pada esensinya adalah sebagai mediator untuk

menyampaikan keinginan, pikiran dan perasaan kepada orang lain,

baik itu berupa oral (suara) maupun dalam bentuk tulisan. Setiap

bahasa di dunia ini memiliki ciri-ciri etos masing-masing yang

membedakan dengan bahasa lain, baik dari segi strutur gramatika

bahasanya maupun dari segi kuantitas masyarakat

mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu

yang kita kenal dari berbagai bahasa adalah bahasa Arab. Di dalam

kajian Islam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-lughah al-

‘Arabiyyah. Sebelum mengenal lebih jauh tentang bahasa Arab,

terlebih dahulu perlu diketahui mengenai defenisi mengenai

bahasa Arab.

Prestise atau kemampuan berbahasa merupakan ciri sepesifik

bagi manusia. Manusia dapat berkomunikasi dengan baik melalui

penguasaan dan penggunaan bahasa. Oleh karena itu, Bahasa

merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia sebagai

makhluk sosial. Pada prinsipnya, makhluk sosial adalah akan

selalu membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri.

Sehingga bahasa dijadikan alat dan mediator untuk

menyampaikan, mengekspresikan, atau menjelaskan sesuatu yang

dapat dimengerti atau dipahami orang lain.1

1Dardjowidjoyo, Psikolinguistik: Pemahaman Bahasa Manusia

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 51.

43

Page 60: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

41

Menurut KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), bahasa

didefinisikan sebagai sistem lambang bunyi berartikulasi yang

bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai

alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran, atau

perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa,

negara, daerah, dsb), dan bahasa juga didefinisikan sebagai

percakapan (perkataan) yang baik, sopan santun, dan tingkah laku

yang baik.2

Menurut pakar bahasa dari Eropa, bahasa adalah suatu sistem

simbol-simbol bunyi yang arbitrer (konsesus), yang dipergunakan

oleh suatu kelompok sosial untuk berkomunikasi. Bagi Ferdinand

de Saussure (w.1913), bahasa juga merupakan suatu sistem tanda

(sign).3 Dalam mu’jam al-wasīṭ bahasa (al-lughah) diartikan

dengan

و لغات بها كلر قوم عن أعراضهم )ج( لغي)اللغة( اصوات يعبر

Menurutnya, bahasa adalah suara-suara yang diucapkan bagi

setiap kelompok terhadap objek-objek yang dibicarakan. Derivasi

al-lughah bentuk pluralnya (jama’) adalah lughā wa lughāt.4

Sedangkan kata Arab merupakan penyandaran wilayah Arab

dibagian timur tengah, seperti Yaman, Aljazair, Qatar, Saudi

Arabia dan lainnya. Dapat dipahami dan diinferensikan bahwa

2Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa

Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 119 . 3Kaelan, Filsafat Bahasa, Semiotika, dan Hermeneutika (Yogyakarta:

Paradigma), 159. 4Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ (Maktabah al-

Syurūq al-Dauliyyah, 2004), 831.

44

Page 61: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

42

bahasa Arab merupakan komunikasi dan simbol-simbol

pengucapan di wilayah Arab.

Asal usul adanya bahasa Arab ditinjau dari teori tipologi

genetik5 yang memiliki serumpun dengan bahasa Semit. Penamaan

ini diambil dari Sam (al-Samiyun) diambil dari tiga keturunan Nabi

Nūh yang bernama Sam, Ham, dan Yapet. Akan tetapi dalam

perkembangan keturunan ini hanya Sam b. Nūh yang telah

melakukan melakukan perjalanan panjang sehingga mendapat

kekuasaan dan juga ekspansi wilayah yang pada akhirnya

membentuk dan melahirkan berbagai bangsa dan bahasa, di

antaranya bangsa Akkadia, Kan’an, Arab, Aram dan Etopia.6

Bahasa Arab ditinjau dari segi genetika adalah serumpun dengan

bahasa Semit, dan dilihat dari segi geografis wilayah

diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama, bahasa timur dan

barat. Bahasa timur terdiri dari Babilonia dan Assur yang sering

disebut Akkadia. Kedua, bahasa barat diklasifikasi kepada utara

dan selatan, yaitu bahasa utara terbagi atas dua bahasa besar, yaitu

Kan’an dan Aramin. Bahasa yang termasuk bagian dari Kan’an

adalah bahasa Kan’an Kuno, Muab, Finiq, dan Ibriah. Sedangkan

bagian selatan diklasfikasikan juga menjadi dua bagian yaitu Arab

selatan dan Arab utara. Adapun yang termasuk bahasa Arab selatan

yaitu: Main, Saba’, Himyar Quataban, dan Hadramaut (Yaman),

sedangkan bahasa Arab utara terbagi kepada bahasa Arab Baidah

5Tipologi genetik ialah dasar yang mempertimbangkan hubungan

kerabat bahasa yang akan diidentifikasi coraknya. Lihat, Sudaryanto, Predikat-

Objek dalam Bahasa Indonesia (Yogyakarta, 1980), 32. 6Bambang Yudi, Kristal-kristal Ilmu Bahasa, cet. I (Surabaya:

Airlangga University Press, 1995), 379.

45

Page 62: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

43

yang terdiri dari Lahyan, Samud, dan Shafa, sedang bahasa Arab

Baqiyah diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu: Arab Aribah

yang terdiri dari Kahlan dan Himyar, dan Arab Musta’ribah, dari

Musta’ribah turun ke Bani Adnan, kemudian ke Bani Kinanah dan

baru sampai kepada suku Bani Quraisy.7

Pembagian bahasa Arab juga ditemukan dalam dua bentuk.

Pertama, bahasa Arab Bā‘idah yang disebut pula bahasa Arab al-

Nuqusy, karena informasi tentang bahasa ini hanya diperoleh

melalui tulisan pada lempengan batu, dan bahasa Arab Bā‘idah ini

tidak ditemukan lagi. Bahasa Arab Bā‘idah ini dituturkan oleh

orang Arab yang berdomisili di sebelah utara Hijaz atau berdekatan

bangsa Aramiah. Bahasa Arab Bā‘idah ini terbagi atas 3 (tiga)

bagian, di antaranya: Lihyan, Samud, dan Shafa.8

a. Lihyaniayah, dinisbahkan dari nama kabilah atau suku yang

bernama Lihyan yang tinggal di bagian utara Hijaz.

b. Samudiah, dinisbahkan kepada suku Samud sebagaimana

yang dikisahkan dalam al-Qur’an dan direkam pula dalam

kitab perjanjian lama baik Yunani maupun Roma, dan

masyhur disebut di dalam sejarah jahili. Suku ini diperkirakan

berdomisili di wilayah antara Hijaz dan Nejed dekat

Damaskus. Bahasa Samud ini diperkirakan pada abad ketiga

dan keempat masehi.

7Latifah Salim, “Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Bahasa

Arab,” Jurnal Diwan, vol. 3, no. 1 (2017): 79. 8‘Abd al-Wahīd Wa’fī, Ilmu al-lughah, cet.V (Misr: Maktabah

Nahdhah Misr, 1962), 98-101.

46

Page 63: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

44

c. Safawiyah, adapun informasi tentang suku ini diperoleh

melalui prasasti yang penulisannya diperkirakan antara abad

ketiga dan keenam masehi.

Kedua, bahasa Arab Bāqiyah. Bahasa ini masih dipergunakan

oleh bangsa Arab baik dalam tulisan, kesusastraan dan sebagainya.

Bahasa ini tumbuh dan berkembang di negeri Nejed, dan Hijaz.

Kemudian tersebar luas ke sebagian besar negeri Semit dan Hamit.

Dari sini timbul dialek-dialek yang dipergunakan di masa kini

seperti, Hijaz, Nejd, Yaman, dan daerah sekitarnya seperti Emirat

Arab, Palestina, Yordan, Syria, Libanon, Irak, Kuwait, Mesir,

Sudan, Libia, al-Jazair dan Maroko. Bahasa Bāqiyah

diklasifikasikan menjadi dua bagian, di antaranya:9

a. Arab al-‘Āribah, ditemukan dari Qahtan. Kelompok ini

memiliki dua suku induk yaitu, Kahlan dan Himyar,

mendirikan Himyar dan Tababi’at. Disebut dalam al-

Qur’an “Tabba”. Selain itu mereka juga mendirikan

kerajaan Saba’ pada tahun perkiraan abad ke-8 SM. Bani

Qahtan inilah yang memerintah semenanjung Arabiyah

sesudah al-Arab al-Bā’idah.

b. Arab al-Musta’ribah, berasal dari keturunan Nabi Ismā’il.

Merekalah yang kemudian dikenal dengan nama “banī

‘Adnan”. suku inilah yang merebut kekuasaan bani Qahtan.

Bani Adnan tinggal di Hijaz, Nejed dan Tihamah. Bani

9Mustafa Inaniy, al- Wasīṭ fī al-Adab al-‘Arabī wa Tārikhuhu (Mesir:

Dār al-Ma’rif, t.th), 5-6. Lihat juga, ‘Abd al-Wahīd Wa’fī, Ilmu al- lughah cet.

V (Misr: Maktabah Nahdhah Misr, 1962), 98-101.

47

Page 64: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

45

Adnan mempunyai empat suku induk yaitu Rabi’ah,

Mudhar, Iyad, dan Anmar.

Setelah melakukan penjelasan asal usul bahasa Arab,

kesimpulannya bahasa al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah

kepada Nabi Muhammad SAW adalah bahasa Arab yang memiliki

genetika dengan bahasa Semit. Bahkan Allah mengakui di dalam

al-Qur’an bahwa bahasa yang digunakan kitab suci yang

diturunkan oleh Allah kepada Muhammad SAW adalah bahasa

Arab, sebagaimana dijelaskan di dalam QS. Yusūf [12]: 2:

أنزلنـه قـرء ا لاعلاكم تـعقلون عرب ن  إنا یر

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Quran

dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”

Pada ayat lain juga dijelasakan di dalam QS. al-Ahqāf [46]: 12

ا لرینذر ق لرسان عربیر وهـذا كتـب مصدرومن قـبلهۦ كتـب موسى إماما ورحة

ٱلاذين ظلموا وبشرى للمحسنی

“Dan sebelum al-Quran itu telah ada kitab Musa sebagai

petunjuk dan rahmat. Dan ini (al-Quran) adalah kitab yang

membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi

peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi

kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Turunya al-Qur’an dan ajaran Islam pada saat itu membuat

perkembangan bahasa Arab menjadi naik. Bukan hanya diguakan

untuk memahami da;am ruang lingkup agama, bahkan bahasa

Arab menjadi bahasa pusat pemerintahan dan administrasi. Sampai

Pada abad III H runtuhnya Dinasti ‘Abbasyiah sehingga membuat

bahasa Arab mulai hilang karena banyak kalangan saat itu

48

Page 65: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

46

berpindah dengan menggunakan bahasa ‘Amiyyah tampak lebih

jelas pada kelompok awam, bahkan sudah mulai terdapat buku-

buku ilmiyah ditulis dengan bahasa yang kurang murni, karena

mengandung gaya bahasa dan kata-kata bahasa Arab Muwalladah.

Pada pertengahan abad III H, bahasa Arab untuk komunikasi

mengalami degradasi yang membuat menyedihkan, banyak

kalangan pejabat yang berbicara dengan menggunakan bahasa

‘Amiyyah, akibat unsur non-Arab semakin banyak menduduki

jabatan penting dan semakin jauh mencampuri masalah-masalah

politik dan pemerintahan dengan menggunakan bahasa Arab.

Bahkan para ahli naḥwu (paham gramatika arab: sintaksis) pun

pada akhir abad ini menggunakan bahasa ‘Amiyyah dalam bahasa

komunikasi mereka sehari-hari. Peristiwa ini muncullah pemikiran

baru untuk mengoreksi penggunaan yang salah dalam bahasa

percakapan dengan menggunakan bahasa ‘Amiyyah, maka para

pemerhati menulis kritikan-kritikan dan menuangkan tulisan-

tulisannya dalam bentuk buku-buku tentang penggunaan bahasa

Arab Fuṣhāh di kalangan masyarakat. Kehadiran buku-buku

tersebut mencerminkan suatu langkah maju bagi orang yang ingin

mempelajari bahasa Arab, maka pada abad IV H. dapat dikatakan

hampir tidak ada lagi orang mempelajari bahasa Arab dengan

mendatangkan dan menerima langsung dari orang-orang Badui.

Bahasa Arab dipelajari melalui buku-buku pelajaran mulai saat itu

banyak tersebar dimana-mana.10 Terjaganya bahasa Arab sampai

saat ini, disebabkan banyak kalangan intlektual muslim yang

10Latifah Salim, “Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Bahasa

Arab,” Jurnal Diwan, vol. 3, no. 1 (2017): 80-83.

49

Page 66: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

47

memahami agama Islam dengan membutuhkan pemahaman

bahasa Arab yang kuat, bahkan tradisi menulis dan hafalan sangat

dipergunakan dalam memahami teks-teks agama Islam.

Sebagai contoh, terjaganya bahasa Arab adalah dengan

merealisasikan tradisi tulisan dalam memahami teks-teks agama

Islam. Maka tak heran banyak sekali karangan-karangan para

ulama dalam membahas kajian-kajian Islam, baik itu ulama

priodesasi konservatif klassik, maupun ulama yang dipriodesasi

kontemporer. Jika melihat Sebelum datang Islam, penduduk Arab

dilabelisasi sebagai masyarakat jāhiliyyah (bodoh). jāhil dapat

dimaknai dengan tidak memiliki ilmu bahkan belum pernah

tersentuh terhadap disiplin ilmu. Oleh karena itu, Arab pra-Islam

dikenal sebagai masyarakat jahl (bodoh), maka mereka dianggap

tidak mampu menulis.

Menurut al-Zarqanī, buta huruf (tidak bisa membaca) sebagai

etos bagi suku Quraisy, hanya saja ada beberapa orang saja yang

belajar menulis. Kalangan Quraisy belajar menulis dari seorang

bernama Harb b. ‘Umayyah b. ‘Abd al-Syāms. Al-Zarqanī

mengutip pendapat Abū ‘Amr al-Dāni, bahwa Harb belajar

menulis dari ‘Abdullah b. Jad’ān. Diriwayatkan bahwa Jad’ān

adalah warga Anbār. Warga Anbār sendiri belajar menulis dari

seorang yang muncul di Kandah dan berasal dari Yaman. Adapun

pengajarnya adalah al-Khaljān b. al-Mu’mīn, sekertaris Nabi

Hūd.11 Jauh sebelum al-Zarqanī, al-Zarkasī, mengutip riwayat

11Muhammad ‘Abd al-‘Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-

Qur’ān jilid 1 (Bairut: Dār al-Kitab al-‘Arabī, 1995), 294-295. Lihat juga:

Muhammad Abū Suḥbah, Madkhāl Li Dirāsah al-Qur’ān al-Karīm, (Riyadh:

Dār al-Liwa’, 1987), 335.

50

Page 67: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

48

yang menyebutkan jika penulisan Arab pertama dilakukan oleh

Nabi Adam dan Ismail.12

Dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai

kondisi orang jāhiliyyah, bahwa derivasi jahl (bodoh) diartikan

dengan orang yang tidak mampu menulis dan membaca. Menurut

Eva Nugraha, kata jāhiliyyah dalam al-Qur’an tidak menunjukkan

ketidakmampuan masyarakat pra-Islam dalam menulis. Dalam

beberapa ayat QS. al-Māi’dah [5]: 50, QS. Āli ‘Imran [3]: 154, QS.

al-Aḥzāb [33]: 33 dan QS. al-Fatḥ [48]: 26 tidak ada petunjuk

khusus bahwa jāhiliyyah diartikan tidak mampu menulis.13 Al-

Qur’an memberi penegasan bahwa masyarakat Arab adalah

masyarakat ummī (buta huruf). Hal ini didasari dalam QS. al-

Jum’ah [62]: 2

ه لوا علیهم ءايـتهۦ وي ـهو ٱلاذی بـعث فی ٱلمریرـن رسول مرنـ یهم ويـعلرمهم م يـتـ زكر

ی ضلـل مبی ٱلكتـب وٱلكمة وإن كانوا من قـبل لف

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang

Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya

kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka

Kitab dan Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka

sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

12Badruddīn Muhammad b. ‘Abdullah al-Zarkasī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-

Qur’ān, (Mesir: Dār al-Hadīs, 2006), 259. 13Eva Nugraha “Konsep al-Nabi al-Ummi dan Implikasinya dalam

Penulisan Rasm,” Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuludddin, vol. 12, no. 2 (2011):

102.

51

Page 68: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

49

Menurut al-Zarqānī, Nabi Muhammad SAW memberikan

komentar kondisi umatnya saat itu

إنر أمة أمیرة ل نكتب ول نحسب

Penjelasan teks ini adalah, Nabi Muhammad SAW mengatakan

bahwa sebenarnya umatnya tidak dapat menulis dan berhitung.14

Kesimpulannya, pada saat Nabi Muhammad SAW hidup kondisi

orang-orang Arab saat itu tidak bisa menulis dan berhitung.

Wilayah Arab bagian utara identik tidak mempunyai budaya

tulis. Meski demikian, sebelum kelahiran Nabi Muhammad

mereka perlahan mulai mengembangkan dan menumbuhkan

budaya tulis. Hal ini dibuktikan dengan temuan tulisan Arab pra-

Islam, yakni tulisan Zabad di sebelah Tenggara Aleppo (521),

Harran di Laja (568) dan Umm al-Jimal. Wilayah Arab pra-Islam

yang dikenal dengan seni puisinya juga memberi pengaruh pada

budaya menulis. Di Ukaz, sebuah tempat di daerah Hijaz terdapat

festival bagi para penyair dalam berpuisi. Puisi yang mendapat

penghargaan kemudian ditulis dengan tinta emas dan ditempel di

dinding-dinding Ka’bah.15

Tidak hanya bidang tulisan, mereka juga mulai mengembangi

dalam bidang perhitungan, dikarenakan etos masyarakat Arab

yang suka berdagang bahkan mereka berniaga dengan ekspansi

kewilayah-wilayah lain. Sehingga kegiatan perniagaan

membutuhkan sekali bidang keilmuan perhitungan. Salah satu kota

14Muhammad ‘Abd al-‘Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-

Qur’ān, jilid. 1, 297. 15Philip K. Hitti, History Of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin-Dedi

Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 116.

52

Page 69: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

50

yang menjadi pusat peniagaan adalah Makkah sekaligus kegiatan

spritualitas penyembah berhala (pagan), bahkan pada abad ke 6,

Mekkah mendapat kekuasaan kegiatan perdagangan. Adanya

kegiatan perdagangan mengharuskan padagangnya memiliki

prestise dalam kelimuan ḥisāb (hitungan) dan tentunya menulis.16

Berkaitan dengan penulisan al-Qur’an, A’zami memberi jawaban

bagi para orientalis yang meragukan tulisan Kuffi hanya didapati

pada abad dua dan tiga hijriyah. Ia menunjukkan bukti-bukti

ditemukannya skrip mushhaf Kuffi pada abad sebelumnya. Hal ini

dapat dijadikan pijakan bahwa sebelum datang Islam, masyarakat

Arab telah mengenal tulisan.17

Dari argumentasi di atas, maka inferensinya meskipun

masyarakat Arab ketika sebelum datangnya Islam dikategorikan

sebagai orang yang jāhiliyyah (bodoh) tetapi mereka tetap

memiliki kemampuan dalam menulis. Bahkan lebih hebatnya lagi

setelah datangnya Islam, kemampuan menulis sudah berkembang

pesat diberbagai kalangan yang sampai turun-menurun hingga saat

ini. Hal ini didasari atas kegiatan pencatatan wahyu yang

disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya.

Penulisan wahyu yang besar-besaran menjadi mushhaf al-Qur’an

di tulis para sahabat pasca wafatnyanya Nabi Muhammad SAW.

Tidak hanya itu, terbukti banyak sekali karya-karya para ulama di

berbagai wilayah arab seperti Iraq (Baghdad), Yaman, dan lainnya

16Ali Sodikin, Antropologi Al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan

Budaya (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 37. 17Musthafa A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai

Kompilasi (Depok: Gema Insani Press, 2005), 142.

53

Page 70: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

51

yang menulis tentang kajian Islam, seperti kodifikasi al-Qur’an,

kodifikasi hadits, kitab tafsir, dan lainnya.

Menurut Mustafa al-‘Adzami, dalam penulisan al-Qur’an dari

masa Nabi Muhammad hingga ke generasi berikutnya terjadi

perubahan-perubahan. Sebelumnya menulis al-Qur’an tanpa tanda

titik (nuqat) kemudian generasi berikutnya sudah diberikan tanda

titik dan diakritikal sebagai bentuk pemudahan dalam pembacaan

al-Qur’an. tradisi menulis ini sudah menjadi lebih baik pada

generasi setelah sahabat.18 Tradisi penulisan ini membuktikan

sudah terjadi pada masa sahabat. Bahkan ptaktik penulisan yang

biasa berlaku di kalangan sahabat tentang penulisan al-Qur’an

membuat Nabi Muhammad melarang orang-orang menulis suatu

dari kecuali al-Qur’an. Nabi tidak ingin al-Qur’an dan Hadits

ditulis dalam kertas yang sama agar tidak terjadi campur aduk serta

keliru.19 Gambaran ini membuktikan tradisi menulis sudah

menjadi kebiasaan sahabat hingga puncaknya generasi berikutnya.

Bahkan tradisi lainnya adalah menghafal (lisan), tetapi tradisi

ini tidak ditemukan sebelum islam (pra-Islam). Dikarenakan, tidak

ditemukan literatur yang menjelaskan tradisi hafalan pada masa

pra-Islam di wilayah Arab. Probalitas yang terjadi dikarenakan

tidak ada objek yang mau dihafal. Berbeda sekali pada masa pasca-

Islam hadir, tradisi hafalan sangatlah dibutuhkan, sebab objeknya

adalah wahyu al-Qur’an. Para huffāẓ (penghafal al-Qur’an) sebagai

18 M. Mustafa al-‘Adzami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai

Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian

Baru, Terj. Sohirin Solihin, (Jakarta, Gema Insani, 2014), 134-135 19 M. Mustafa al-‘Adzami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai

Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian

Baru, Terj. Sohirin Solihin, 67

54

Page 71: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

52

aktor penting dalam menjaga keautensitas al-Qur’an. Sebelum

dilakukan kodifikasi al-Qur’an, pada masa Nabi Muhammad

banyak dari kalangan sahabat yang diperintahkan Nabi

Muhammad untuk melakukan penghafalan al-Qur’an.

Literatur yang menjelaskan mengenai penghafal al-Qur’an,

dijelaskan di dalam kitab Ṭabāqat al-Huffāẓ yang ditulis oleh

Imam Suyūṭī. Di dalam kitab ini Imam Suyūṭī menulis sebanyak

1.188 penghafal al-Qur’an yang diklasifikasikan dari berbagai

lintas generasi. Penulis memberikan sample penghafal al-Qur’an

dari berbagai generasi, di antaranya:

1. Generasi sahabat, di antaranya: Abū Bakar al-Siddīq,

‘Umar b. Khaṭṭāb, ‘Uṡmān b. ‘Affān, ‘Alī b. Abī Ṭālib,

Said b. Abī Waqās, ‘Abdullah b. Abī Mas’ūd, Ubay b.

Ka’ab, Abū Zar al-Ghifārī, Mu’az b. Jabal, Abū Musa al-

Asy’arī.

2. Generasi tabi’īn senior, di antaranya: ‘Ilqimah b. Qīs b.

‘Abdullah b. Mālik, Abū Muslīm al-Khulānī al-Yamānī al-

Zāhid ‘Abdullah b. Ṡaub, Masrūq b. Ajda’ b. Al-Hamdanī,

‘Ubaidah b. ‘Umar, ‘Abīd b. ‘Amīr b. Qatādah al-Laiṡī.

3. Generasi tabi’īn mutawassīṭ (pertengahan), di antaranya:

al-Hasan b. Abī al-Hasan Yasār al-Baṣrī, Jābir b. Zaid Abū

al-Sya’ṡā’al-Azdī al-Yahmidī al-Jūfī, Abū al-Khair Murṡad

b. ‘Abdullah al-Yazinī, Ibrāhīm al-Taimī b. Yazīd b.

Syarīk, Ibrāhīm al-Nakh’īb. Yazīd b. Qīs b. Aswād.

4. Generasi tabi’īn junior, di antaranya: Makhūl al-Dimasyqī,

al-Zuhrī, ‘Umar b. Al-Dinār al-Makkī, Abū Ishāq al-Sabī’ī

55

Page 72: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

53

‘Umar b. ‘Abdullah b. ‘Abīd al-Hamdanī al-Kūfī, Habīb b.

Abī Ṡābit Qīs b. Dinār al-Asadī.

5. Sampailah kepada Generasi kelima hinga generasi ke-24,

di antaranya: Ibnu Hajar, Ibn al-Khiyāṭ, al-Syihāb al-

Būṣirī, al-Burhān al-Halabī, Abū Hāmid al-Dzahīrah.20

B. Teori tentang Turunnya al-Qur’an

Teori turunnya al-Qur’an sangat berpengaruh kepada

keimanan seseorang, bahkan orang-orang kafir mekkah mereka

tidak menerima wahyu dari Nabi Muhammad SAW bagi mereka

adalah itu buatan Nabi sendiri. Oleh karena itu, pembahasan

mengenai turunnya al-Qur’an (nuzūl al-Qur’ān) sangat lah penting

untuk dibahas. Pertama, langkah pertama adalah mengetahui

defenisi nuzūl al-Qur’ān. Di dalam al-Qur’an derivasi yang

digunakan sangat beragam, di antaranya derivasi نزل dan أنزل

(nazzala dan anzala). Meskipun kedua kata ini memiliki kesamaan

bahkan dari asal kata yang sama, tetapi makna yang digunakan

sangatlah berbeda. Kata nazzala diartikan dengan turunnya al-

Qur’an secara mutatābi’ (bertahap), sedangkan kata anzala

diartikan dengan daf’atan wāhidatan (turun sekaligus).21

Turunnya al-Qur’an menggunakan kedua kata ini hanya saja

perbedaannya adalah derivasi anzala diartikan dengan turunnya al-

20Al-Suyūṭī, Ṭabaqāt al-Huffāẓ (Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah,

1983), 13-552. 21Muhammad ‘Abd al-Azīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-

Qur’ān, jilid. 1, 47.

56

Page 73: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

54

Qur’an ke lauḥ al-maḥfūẓ sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-

Burūj [85]: 21-22:

“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’an yang

mulia, yang tersimpan dalam lauḥ al-maḥfūẓ.”

Kejadian ini tidak ada satupun makhluk yang mengetahui

kecuali yang Maha Mengetahui yakni Allah. Turunya al-Qur’an ke

lauḥ al-maḥfūẓ secara langsung sekaligus tanpa ada terpisah-pisah.

Maka derivasi yang digunakan adalah kata anzala. Di ayat lain

juga dijelaskan, bahwa kitab-kitab samawi lainnya seperti taurat

diturunkan oleh Allah dengan menggunakan redaksi anzala yang

menunjukkan bahwa Allah menurunkannya secara langsung

sekaligus tanpa ada terpisah-pisah. Adapun perbedaan yang sangat

signifikan adalah dijelaskan di dalam QS. Āli ‘Imran [3]: 3:

قا لر نجیل ه وأنزل ٱلتـاو ما بی يدي نـزال علیك ٱلكتـب بٱلقر مصدر رىة وٱل

“Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan

sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan

sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.”

Al-Qurṭubī (w.671 H) menafsirkan ayat ini sebagai berikut:

احدة فلذلك قال و دفعة نجیل نزلالترنزيل مررة بعد مررة والتـاوراة والو نـزال ال ق

أنزل

al-Qurṭubī (w.671 H) menjelaskan bahwa redaksi yang

menggunakan derivasi nazzala diartikan dengan turunnya secara

bertahap. Sedangkan turunnya kitab Taurat dan Injil menggunakan

57

Page 74: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

55

derivasi anzala, karena turunnya secara sekaligus utuh tanpa

bertahap-tahap.22

Tahap kedua, yaitu turunnya al-Qur’an dari lauḥ al-maḥfūẓ ke

bait al-‘izzah yaitu langitnya dunia. Sebagaimana dijelaska di

dalam QS. al-Dukhān [44]: 3, QS. al-Qadr [97]: 1, dan QS. al-

Baqarah [2]: 185. Redaksi yang digunakan adalah derivasi anzala

yang berarti turun secara sekaligus. Sedangkan tahap terakhir

adalah turunnya kepada Jibril yang disampaikan langsung kepada

Nabi Muhammad, maka derivasi yang digunakan adalah nazzala

dengan arti turunnya al-Qur’an dari Jibril kepada Nabi Muhammad

secara bertahap-tahap tidak secara sekaligus seperti sebelumnya.23

Banyak sekali ayat-ayat yang mendukung al-Qur’an diturunkan

secara bertahap-tahap, seperti di dalam QS. al-Furqān [25]: 32:

لة و وقال ٱلاذين كفروا لول نـزرل علیه ٱل قرءان ج به نـثـبرت ل لك  كذ حدة

ۦ فـؤادك

ورتاـلنـه تـرتیل

“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu

tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah

supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami

membacanya secara tartil (teratur dan benar).”

Turunnya al-Qur’an tidak semata-mata turun begitu saja

kepada Nabi Muhammad, tetapi turunya kepada Nabi Muhammad

SAW melalui perentara Jibril. Diturunkannya al-Qur’an dari Jibril

kepada Nabi Muhammad menuai perbedaan di kalangan para

22Muhammad b. Ahmad al-Anṣārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah, Jāmi’ li

Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005). 23Muhammad ‘Abd al-Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-

Qur’ān, jilid. 1, 39-42.

58

Page 75: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

56

ulama. Menurut al-Zarqānī ada dua pandangan ulama mengenai

penyampain al-Qur’an oleh Jibril kepada Nabi Muhammad.

kelompok pertama, bahwa yang disampaikan oleh Jibril kepad

Nabi Muhammad adalah lafaz yang haqiqi (nyata). Maka

dipastikan keautentisitas al-Qur’an terjaga, sehingga Jibril dan

Muhammad tidak memberikan penambahan kata atau sebaliknya.

Kelompok kedua, bahwa yang disampaikan oleh Jibril kepada

Nabi Muhammad adalah makna al-Qur’an bukan bentuk lafaz,

sehingga Nabi Muhammad lah yang memberikan ta’bīr

(menguraikan) dengan menggunakan bahasa Arab. Bahkan

sebagian dari mereka bahwa yang disampaikan oleh Jibril kepada

Nabi Muhammad adalah makna al-Qur’an yang Jibril memberikan

ta’bīr lafaz kepada Nabi Muhammad, argumentasi yang mereka

gunakan adalah QS. al-Taubah [9]: 6. Argumentasi dan diktum

pendapat kelompok kedua ini adalah batil (sesat). Jelas sekali

bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Jibril dengan konsep utuh

tanpa ada perubahan dari Jibril dan Nabi Muhammad sebagaimana

dijelaskan di dalam QS. al-‘Arāf [7]: 203:

“Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat al-Qur’an

kepada mereka, mereka berkata: “Mengapa tidak kamu buat

sendiri ayat itu?” Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya

mengikuti apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al-

Qur’an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari tuhanmu,

petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

Secara fundamen menurut al-Juwainī, kalām Allah

diklasifikasikan menjadi dua bagian: pertama, Allah berkata

kepada Jibril, “Katakanlah kepada Nabi bahwa dia adalah

Utusannya, sesungguhnya Allah berkata seperti ini dan

59

Page 76: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

57

memerintahkanmu seperti ini”. Setelah Jibril memahami apa yang

diperintahkan oleh Allah, kemudian ia turun menemui Nabi

Muhammad dengan membawa perkataan Allah untuk disampaikan

kepada Nabi Muhammad.

Kedua, Allah berkata kepada Jibril “Bacakaan ini kitab kepada

Nabi Muhammad” maka Jibril turun menemui Nabi Muhammad,

sebagai contoh seorang Raja menulis ungkapan, kemudian seorang

Raja berkata “Bacakan ini kepada si Fulan”. Tanpa mengubah satu

huruf sedikitpun. Menurut Suyūṭī, al-Qur’an dikategorikan pada

bagian kedua, sedangkan bagian pertama adalah Sunnah. Pada

konsep kedua segala bentuk kalam yang diturunkan oleh Allah

kepada Nabi Muhammad melalui Jibril untuk dibacakan dan

diaktualisasikan sebagai pedoman hidup maka itulah al-Qur’an

sebab tidak ada perubahan apapun yang diberikan oleh Allah baik

itu lafaznya maupun maknanya. Sedangkan bagian kedua

dikategorikan sebagai sunnah melalui riwayat bi al-maknā. Makna

sebagai perintah Allah, sedangkan bentuk ungkapanya (lafaz)

dibuat oleh Nabi Muhammad.24

Turunya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad secara bertahap-

tahap tentunya memiliki hikmah tersendiri. Menurut al-Zarqānī,

hikmahnya diklasifikasikan menjadi dua bagian: pertama, hikmah

diberikan kepada Nabi Muhammad SAW agar memperkuat

hatinya dan keimanannya. Dari sini dibagikan lagi menjadi lima

bagian, di antaranya:

24Al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’an, jilid I (Suria: Muassasah al-

Risālah Nāsyirūn, 2008), 140-141.

60

Page 77: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

58

1. Pembaharuan wahyu dan pengulangan dalam penurunan

wahyu. Satu sisi mmberikan kebenaran kepada Nabi

Muhammad SAW, tetapi juga mengisi kekosongan hati

Nabi.

2. Penurunan al-Qur’an secara berangsur-angsur untuk

mempermudah Nabi Muhammad SAW dalam memelihara

dan memahami al-Qur’an

3. Bahwasanya circle (putaran) penurunan al-Qur’an secara

berangsur-angsur sebagai mukjizat untuk membantah

kelompok yang bisa menghadirkan tandingan seperti al-

Qur’an. Tentunya memiliki misi memperlemah lawan yang

tidak mempercayai al-Qur’an

4. Memperkuat kebenaran yang diturunkan oleh Allah

sekaligus membantah musuh dari mereka yang tidak

mmpercayai al-Qur’an

5. Dan hikmah selanjutnya, Allah memelihara dari musuh-

musuh yang merragukan kebenaran al-Qur’an.25

Klasifikasi di atas merupakan hikmah untuk pribadi Nabi

Muhammad SAW, sedangkan yang kedua yaitu hikmah untuk

ummat Nabi Muhammad SAW, di antaranya:

1. Mempermudah dalam menghafal al-Qur’an bagi kelompok

Arab. Telah diketahui bahwa orang Arab kebanyakan

mereka ummī (buta huruf)

2. Mempermudah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an

25al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid. 1, 48-49.

61

Page 78: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

59

3. Terhidar dari hal-hal yang destruktif baik itu akidah yang

menyimpang maupun spiritual ibadah yang rusak (fāsid)

4. Memperkuat dalam hal akidah yang benar, Ibadah yang

sahih, dan moral yang baik

5. Menyakini hati orang-orang mukmin serta membentengi

diri mereka dengan kesabaran dan keyakinan terhadap

ajran-ajaran Islam.26

C. Pengumpulan dan Kodifikasi al-Qur’an (Jam` al-Qur’ān)

Inisator para sahabat dalam mengkodifikasikan al-Qur’an

merupakan hasil pemikiran yang sangat berjasa bagi umat-umat

Islam sekarang. Sebab dengan adanya al-Qur’an yang ditulis

dalam bentuk mushaf menambah keimanan dan mempermudah

bagi umat dalam memahami agama. Dalam hal ini penulis

memberikan tiga periode dalam kodifikasi al-Qur’an sebagai

berikut:

1. Periodisasi Nabi Muhammad SAW

Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW

dipelihara dengan dua cara, yaitu menghafalkannya dan

dilakukan penulisan sebagaimana yang dilakukan oleh

sahabat-sahabat melakukan penulisan di pelepah korma, batu,

tulang-belulang, dan lain-lain.27 Pada masa Nabi Muhammad

belum ada seruan untuk penulis al-Qur’an dengan alasan yang

lain, al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur dan

terdapat beberapa ayat yang di nasakh (hapus). Pada masa Nabi

26al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid. 1, 49-50. 27Manna’ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāhis fī ‘Ulūm al-Qur’an, 179.

62

Page 79: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

60

juga masih berada dalam lembaran secara terpisah dalam tujuh

huruf, belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.

Bahkan susunan atau tertib penulisan ayat dan surat al-Qur’an

tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi dituliskan sesuai dengan

petunjuk Nabi Muhammad SAW. Sebab, wahyu-wahyu

diturunkan sesuai dengan munculnya masalah yang

melatarbelakangi turunnya wahyu. Oleh karena itu, ayat-ayat

yang ditulis masa Nabi Muhammad SAW tidak ditulis secara

sistematis yang berbeda sekali dengan penulisan mushaf

sekarang maka ditemukan perbedaan yang sangat signifikan.

Secara kalkulasi, pada masa Nabi Muhammad masih

banyak agen-agen penghafal al-Qur’an, hanya sebagian

sahabat yang melakukan penulisan. Penulisan pada masa Nabi

Muhammad SAW ini lah langkah kedua dalam pemeliharaan

al-Qur’an. Informasi paling awal tentang penyalinan al-Qur’an

untuk dikodifikasikan, ditemukan dalam histori masuknya

‘Umar b. Khaṭṭāb, empat tahun menjelang hijrahnya Nabi

Muhammad SAW ke kota Madinah.

Pada masa Nabi bisa di bedakan antara selama priode

Makkah dan Madinah. Di kota Mekkah tidak banyak yang

melakukan praktik penulisan al-Qur’an. Pada priode Mekkah

sudah dilakukan prkatik penulisan, hanya saja banyak

kejanggalan yang menjadikan tuduhan dalam pemalsuan al-

Qur’an. padahal itu tidak dibenarkan. Puncak penulisannya

terjadi pada masa priode madinah yang membentuk tim penulis

63

Page 80: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

61

yang ditugaskan oleh Nabi sebanyak enam puluh lima

sahabat.28

Bahkan dalam pada masa Nabi, beliau secara langsung

untuk mendiktekan kepada sahabat. Saat wahyu turun Nabi

secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar

mencatat ayat itu. Misalnya sahabat Zaid b. Tsabit sering sekali

dipanggil untuk menulis al-Qur’an yang langsung didikte oleh

Nabi Muhammad.29

2. Periodisasi Abū Bakar al-Sidīq

Setelah wafatnya Rasulullah, kekuasaan Khalīfah dikuasai

oleh Abū Bakar al-Siddīq. Setelah terpilihnya Abū Bakar

terjadi kekacauan dan pembrontakan pada masanya, di

antaranya yaitu kelompok pengekang zakat, kaum keluar dari

Islam (murtad) dan kelompok pengaku menjadi Nabi dia

adalah Musailamah al-Kazzāb. Ketiga kelompok ini kemudian

diperangi oleh seruan Abū Bakar dengan mengirimkan

pasukan tentara dibawah kepimpinan perang Khālid b. Walīd,

maka terjadilah perang yang disebut perang Yamamah pada

tahun 12 H.30 Peperangan ini memakan korban yang banyak di

kalangan para sahabat penghafal al-Qur’an. Korban di dalam

28 M. Mustafa al-‘Adzami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai

Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian

Baru, Terj. Sohirin Solihin, 65-67 29 M. Mustafa al-‘Adzami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai

Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian

Baru, Terj. Sohirin Solihin, 67 30 Hasani Ahmad Said, Potret Studi al-Qur’an di Mata Orientalis, At-

Tibyan: Jurnal Ilmu Alqur’an Dan Tafsir, Vol. 3, No. 1, 2018, 22-41.

https://doi.org/10.32505/tibyan.v3i1.474.https://scholar.google.com/citations?u

ser=W_OyN8IAAAAJ&hl=en

64

Page 81: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

62

peperangan tersebut lebih kurang dari 70 penghafal al-Qur’an

mati syahid.31 Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa

sahabat penghafal al-Qur’an yang mati syahid sekitar 500

orang.32

Dari kejadian inilah ‘Umar b. Khaṭṭāb memiliki inisiator

untuk mengusulkan agar dilakukan kodifikasi al-Qur’an. Hal

ini disebabkan banyaknya para penghafal al-Qur’an yang

gugur di dalam peperangan. Dikhawatirkan nantinya al-Qur’an

akan berangsur-angsur hilang bila hanya mengandalkan

hafalan semata. Kebijakan yang diusulkan oleh ‘Umar belum

langsung direnspon dengan cepat, karena dalam menanggapi

usulan ‘Umar tersebut, Abū Bakar merasa ragu lantaran pada

masa Rasulullah hal tersebut tidak lazim untuk dilakukan.

Akan tetapi karena desakan ‘Umar untuk tetap melakukan

kodifikasi al-Qur’an, akhirnya Abū Bakar menyetujui dengan

menunjuk Zaid b. Ṡābit sebagai ketua tim kodifikasi al-

Qur’an.33

Sistem pengumpulan al-Qur’an yang dilakuakan oleh Zaid

pada periode ini berpijak pada empat hal, yaitu: pertama, ayat-

ayat al-Qur’an yang ditulis dihadapan Nabi Muhammad SAW

dan yang disimpan dirumahnya. Kedua, ayat-ayat yang ditulis

adalah yang dihafal para sahabat yang penghafal al-Qur’an.

Ketiga, tidak menerima ayat yang hanya terdapat pada tulisan

31Muhammad Quraish Shihab, Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an, cet. 4

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 28. 32al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid. 1, 249. 33Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad

Ginanjar & Lulu M. Sunman, cet. IV (Jakarta: Zaman, 2013), 72 .

65

Page 82: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

63

atau hafalan saja, melainkan harus harus ada bukti empirik

bahwa itu tertulis dan dihafal. Keempat, penulisan

dipersaksikan kepada dua orang sahabat bahwa ayat-ayat

tersebut benar-benar ditulis dihadapan Nabi Muhammad SAW

pada saat Nabi Muhammad SAW masih hidup.34

Setelah Abū Bakar wafat, teks yang sudah ditulis oleh tim

Zaid b. Ṡābit terjaga dengan ketat di bawah tanggung jawab

‘Umar b. Khaṭṭāb, sebagai khalifah kedua. Di masa Umar bin

Khaṭṭāb, mushaf itu diperintahkan untuk disalin ke dalam

lembaran (ṣaḥīfah). Umar tidak menggandakan lagi ṣaḥīfah

itu, karena memang hanya untuk dijadikan naskah orisinil,

bukan sebagai bahan hafalan. Kemudian pada akhirnya, naskah

tersebut diserahkan kepada Ḥafṣah b. ‘Umar (istri Nabi

Muhammad SAW) untuk disimpan.35

Dari sejarah ini, ‘Umar b. Khaṭṭāb sebagai penggagas

intelektual (Intellektuelle Urheber) dikarenakan inisiatornya

yang cemerlang, sedangkan Abū Bakar merupakan orang yang

memerintahkan pengumpulan (memiliki otoritas) dan

menunjuk pelaksana tim kodifikasi penyusunan al-Qur’an.

Kesimpulannya, pada masa ‘Umar tidak ada progress untuk

kodifikasi al-Qur’an sebagaimana pada masa Abū Bakar. Pada

masa ini hanya dilakukan penjagaan, karena al-Qur’an sudah

tersebar ke berbagai wilayah. Sehingga al-Qur’an masa ini

mengalami stagnasi, artinya tidak ada pembaruan apapun, baik

34Mawardi ‘Abdullah, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), 25. 35Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad

Ginanjar & Lulu M. Sunman, cet. IV (Jakarta: Zaman, 2013), 147.

66

Page 83: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

64

pengkodifikasian atau pengantian tulisan. Kompilasi al-Qur’an

pada masa ini disebut dengan istilah ṣuhuf, merupakan kata

plural yang artinya, keping atau kertas. Adapun pembukuan al-

Qur’an masa Abu Bakar ini disebut sebagai pembukuan al-

Qur’an kedua setelah masa Rasulullah.

3. Periodisasi ‘Uṡmān b. ‘Affān

Pada pemerintahan khalifah ‘Uṡmān b. ‘Affān terjadi

peluasan dalam pengkodifikasi al-Qur’an. Pada masa ini juga

merupakan perkembangan umat Islam. Pada masa

pemerintahan ‘Uṡmān bin ‘Affān juga banyak para sahabat

penghafal Al-Qur’an yang tinggal berpencar di berbagai

daerah. Hal ini disebabkan daerah Islam waktu itu sudah

semakin meluas dan melakukan ekspansi di berbagai wilayah.

Bahkan umat Islam saat itu di setiap daerah mempelajari serta

menerima periwayatan mengenai bacaan al-Qur’an dari

sahabat yang ahli dalam bidang qirā’at. Misalnya Penduduk

Syām, berguru dan membaca al-Qur’an dengan qirā’at ‘Ubay

b. Ka’ab, penduduk Kuffah pada ‘Abdullah b. Mas’ūd,

sementara penduduk Baṣrah pada Abū Mūsa al-‘Asy’arī.

Adanya perbedaan bacaan al-Qur’an sebenarnya bukanlah

hal yang baru, sebab Umar sudah mengantisipasi bahaya

perbedaan ini sejak zaman pemerintahaanya. Dalam

permasalahan ini komentar Ibnu Hajar dirasa sangat penting,

bagi kalangan umat Islam bukan Arab yang ingin membaca al-

Qur’an maka pilihan bacaan yang paling tepat adalah

berdasarkan dialek Quraisy. Karena pilihan dialek ini

67

Page 84: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

65

merupakan pilihan terbaik bagi kalangan muslim bukan Arab

karena dialek lainya sangat susah untuk dipahami. Kasus ini

kemudian muncul kembali pada pemerintahan ‘Utsmān,

setidaknya adaa dua periwayat bagaimana ‘Utsmān bergerak

hatinya untuk melakukan tugas penyusunan al-Qur’an.

pertama, mebuat naskah mushaf semata-mata berdasarkan

kepada suhuf yang disimpan di bawah penjagaan Hafsah,

mantan istri Nabi Muhammad. Kedua, yang tidak begitu

terkenal menyatakan, bahwa ‘Utsman terlebih dahulu

memberikan wewenang pengumpulan mushaf dengan

menggunakan sumber utama sebelum membandingkan dengan

suhuf yang sudah ada. dua periwayatan ini memainkan peranan

penting dalam pembuatan Mushaf ‘Utsmāni.36

Harus diketahui, setiap versi qirā’at yang dimiliki dan

diajarkan oleh masing-masing sahabat ahli bidang qirā’at

tersebut satu sama lain berlainan. sehingga menimbulkan

dampak negatif di kalangan umat Islam saat itu. Masing-

masing di antara mereka saling membanggakan dan

mengkultuskan versi qirā’at mereka, dan saling mengaku

bahwa versi qirā’at mereka lah yang paling baik dan benar.

Bahkan sahabat Hudzaifah b. al-Yaman yang ikut dalam

pembukaan Armenia dan Azerbaijan, ketika itu ia mendengar

bacaan al-Qur’an penduduk setempat yang berbeda satu sama

lain, bahkan saling membenarkan versi qirā’at masing-masing,

36 M. Mustafa al-‘Adzami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu Sampai

Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian

Baru, Terj. Sohirin Solihin, 88-89

68

Page 85: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

66

sehingga mengakibatkan pertngkaran sesama umat. Melihat

hal ini Hudzaifah berkata kepada ‘Uṡmān, “Wahai amīr al-

mu’minīn! Satukanlah umat ini sebelum mereka berselisih

dalam al-Qur’an seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani”.37

Situasi seperti ini mengkhawatirkan khalifah ‘Uṡmān b.

Affān, karenanya ia segera mengundang para sahabat, baik dari

kalangan Anṣar maupun Muhājirīn. Akhirnya, dari mereka

diperoleh suatu kesepakatan (mufaqāt), agar mushaf yang

ditulis pada masa Abū Bakar disalin kembali menjadi beberapa

mushaf dengan dialek Quraisy. Dalam hal ini, ‘Uṡmān b. Affān

menunjuk suatu tim yang terdiri empat orang sahabat pilihan,

yaitu: Zaid b. Ṡābit, ‘Abdullah b. Zubair, Sa’īd b. Al-‘Āṣ, dan

‘Abd al-Rahman b. Al-Ḥaris b. Hisyām.

Setelah menyelesaikan tugasnya, ‘Uṡmān b. Affān segera

mengembalikan mushaf orisinal kepada Hafṣah, kemudian

beberapa mushaf hasil kerja tim tersebut dikirim ke berbagai

kota untuk dijadikan referensi utama, terutama ketika terjadi

perselisihan tentang qirā’at dalam bacaan al-Qur’an,

sementara mushaf-mushaf lainnya yang ada pada saat itu

diperintahkan oleh ‘Uṡmān b. Affān untuk dibakar.38

Kodifikasi yang dilakukan pada masa periode ‘Uṡmān b.

‘Affān diselesaikan dengan sangat cermat dan teliti. Hal ini

terlihat pada pengambilan derivasi kata yang diriwayatkan

secara mutawatir dan mengesampingkan riwayat secara ahad.

37Al-Qaṭṭan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Lentera, 2013),

193. 38Muhammad Quraish Shihab, Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an, cet. 4

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 30.

69

Page 86: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

67

Menyingkirkan lafal yang dinasakh (dihapus) dan lafaz yang

musytarak (ambiguitas). Penyusunan al-Qur’an dilakukan

dengan sistematika al-Qur’an sesuai dengan susunan surah dan

ayat sebagaimana terlihat saat ini. Sebelum menetapkan dan

menuliskan lafaz yang disepakati, tim kodifikasi menghimpun

dan memusyawarahkan semua versi bacaan (qirā’at) yang

dikenal oleh para sahabat, dan jika tetap terjadi perselisihan

maka dipilihlah qirā’at Quraish. Selain itu, tim juga

menyisihkan segala sesuatu yang bukan al-Qur’an, misalnya

catatan-catatan kaki (footnote) yang yang ditulis oleh para

sahabat sebagai penjelasan atas suatu bagian al-Qur’an,

penjelasan tentang nāsikh dan mansukh.39

Kodifikasi yang dilakukan perintah khalifah ‘Uṡmān b.

‘Affān ini, maka kaum muslimin di seluruh wilayah

menyalinnya dengan bentuk yang sama. Sementara model dan

metode tulisan yang digunakan didalam mushaf ‘Uṡmān ini

kemudian dikenal dengan sebutan “Rasm ‘Uṡmāni”.40 Adapun

teori yang dipakai dalam metode Rasm ‘Uṡmāni adalah sebagai

berikut: pertama, khazaf (membuang huruf) seperti huruf ya’

nidā’. Kedua, ziyādah (penambahan) kasusu ini terjadi

penambahan huruf seperti penambahan alif setelah waw

diakhir isim jama’. Ketiga, huruf hamzah yang diberikan

39Musthafa Murad, Kisah Hidup Utsmān b. Affān, terj. Ahmad

Ginanjar & Lulu M. Sunman, cet. IV (Jakarta: Zaman, 2013), 67. Lihat juga, al-

Qaṭṭan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, 200. 40Kata rasm berasal dari kata rasama, yarsumu, rasma, berarti

menggambar atau melukis. Lihat, Muhammad Quraish Shihab, Sejarah &

‘Ulum al-Qur’an. cet. 4 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 91. Lihat juga, Al-

Suyūṭī, al-Itqān, jilid 1, 1163-1180.

70

Page 87: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

68

harakat ketika huruf hamzah berharakat sukun. Keempat, badal

(mengubah) dengan cara mengantikan tulisan alif dengan huruf

waw. Kelima,kaidah fasal dan wasal dengan cara beberapa

huruf yang dibaca sambung dan terpisah dengan kalimat

setelahnya.41 Keenam, mengakumulasikan kedua qiraat dalam

satu teks kalimat.

Dari pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan tentang

motivasi dan proses modifikasi antara Abū Bakar al-Siddīq dan

‘Uṡmān bin ‘Affān dengan table sebagai berikut:

Khalifah Abū Bakar Khalifah ‘Uṡmān b. ‘Affān

1. Motivasi pengkodifikasi

karena kekhawatiran

hilangnya al-Qur’an

disebabkan banyak

wafatnya beberapa

sahabat penghafal al-

Qur’an pada perang

Yamamah

2. Abū Bakar

melakukannya dengan

mengumpulkan tulisan-

tulisan al-Qur’an yang

masih terpisah-pisah

pada pelepah kurma,

kulit, tulang dan

sebagainya.

1. Motivasi penulisannya

yang dilakukan oleh

‘Ustmān b. ‘Affān adalah

karena terjadinya

perselisihan cara

membaca al-Qur’an

(qirā’at). Sehingga umat

Islam saat itu terjadi

perselisihan bahkan

menyebabkan timbulnya

sikap saling

menyalahkan.

2. ‘Uṡmān mengumpulkan

al-Qur’an dengan

membentuk tim dengan

cara mengsimplifikasi

tulisan mushaf

seblumnya kemudian

menggunakan satu versi

yaitu Quraish, dengan

tujuan mulia yakni

mempersatukan kaum

41al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid. 1, 301-309.

71

Page 88: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

69

muslimin dalam satu

mushaf

72

Page 89: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

67

BAB IV

PEMELIHARAAN AL-QUR’AN

DALAM TINJAUAN AL-SUYŪṬĪ

Penyebaran al-Qur’an ke seluruh dunia bahkan hingga ke

Indonesia itu disebabkan terjaganya al-Qur’an dengan cara melalui

hafalan dan penulisan baik itu dengan skala besar maupun kecil.

Di Indonesia banyak sekali kesadaran masyarakat muslim

melakukan aktivitas hafalan al-Qur’an dengan mendaftarkan anak-

anaknya untuk menghafal al-Qur’an di pondok pesantren. Tidak

hanya melalui tradisi hafalan, bahkan Indonesia memiliki lembaga

khusus untuk melakukan penulisan dan pencetakan ulang al-

Qur’an untuk disirkulasikan ke daerah-daerah. Melakukan

penulisan ini dilakukan oleh Lembaga Lajnah Pentashihan Mushaf

al-Qur’an dari Kementrian Agama RI. Lembaga ini juga

melakukan sosialisasi di berbagai kampus Islam negri seperti UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dengan melakukan pelatihan-pelatihan

kepada mahasiswa-mahasiswa yang terpilih.

Diktum di atas merupakan bentuk pemeliharaan al-Qur’an agar

tetap terjaga keautentitasnya, meskipun hal ini merupakan

kesadaran dan tanpa ada paksaan bagi setiap muslim. Jika ditinjau

dari ayat-ayat al-Qur’an tidak ada satu ayatpun yang menjelaskan

kewajiban seorang muslim untuk memelihara al-Qur’an, hanya

saja ditemukan penjelasan dari ayat tentang pemeliharaan al-

Qur’an hanya diperuntukan oleh Allah yang tidak melibatkan

setiap muslim, bahkan Nabi Muhammad SAW. Seperti dijelaskan

di dalam QS. al-Hijr [15]: 9:

73

Page 90: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

68

ل هل افظون و إنا ن نن زالن االذ كر إنا

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.

Ayat ini diinterpretasikan oleh al-Suyūṭī sebagai berikut:

وأخرجعبدالرزاق،وابنجرير،وابنالمنذر،وابنأبيحاتم،عنقتادةفيقوله

تیهٱلب طلمنی فيآي ةأخرى)لا ل هل افظون (وقال و إنا ن نن زالن االذ كر )إنا

لفه(ب ی منخ يهو ل ث أل:فوالباطلإبلیس،قاي د فلايستطیعهحفظنزلهاللا

مبلیسأنيزيدفیهباطلاولينقصمنهحق احفظهإ كنذلاللا

Al-Suyūṭī mengambil periwayatan dari ‘Abd al-Razzāq, Ibn

Jarīr, Ibn al-Munzīr, Ibn Abī Hātim yang mengambil dari Qatādah,

bahwa ayat ini ditafsirkan dengan QS. al-Fussilat [41]: 42. Secara

umum, al-Suyūṭī menjelaskan bahwa al-Qur’an terpelihara dari

kebatilan Iblis,1 maka ketika turunnya al-Qur’an Allah langsung

menjaganya sehingga Iblis tidak bisa melakukan kejahatan baik itu

menambahi isi al-Qur’an sekalipun itu kebenaran maupun

mengurangi isi al-Qur’an dengan kebatilan. Itu semua dikarenakan

1Iblis merupakan kepala kepemimpinan para syaitan yang tugasnya

menyesatkan umat Islam untuk meninggalkan perintah Allah dan selalu senang

ketika melihat korbanya melakukan kejahatan. Lihat, Jumhuriyyah Mesri al-

‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasīṭ (Maktabah al-Syurūq al-Dauliyyah, 2004), 3.

74

Page 91: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

69

Allah yang menjaganya dan memeliharanya dari segala bentuk

kejahatan yang dilakukan oleh Iblis.2

Hemat penulis, penjelasan al-Suyūṭī terhadap ayat ini bahwa

Allah menjaga al-Qur’an pada saat awal turunnya al-Qur’an

kepada Nabi Muhammad SAW. Masa turun yang secara bertahap

kepada Nabi Muhammad maka perlu penjagaan dan pemeliharaan

dari Allah agar Iblis tidak dapat melakukan kejahatannya.

Pertayaannya apakah keautentitas al-Qur’an hingga sekarang

hanya dijaga oleh Allah? Jawabannya tentu tidak, karena umat

Islam sangat berkontribuksi menjaga al-Qur’an merupakan hal

yang penting untuk menjaga keautentitas al-Qur’an. Maka pada

QS. al-Hijr [15]: 9 jika tinjau dengan pendekatan teori Ilmu Ma’ānī

ditemukan temukan gaya bahasa yang menunjukkan al-Qaṣr atau

al-Haṣr3 pada redaksi ini. Seperti kalimat

ل هل افظون و إنا

Potongan ayat ini tidak ditemukan term Qaṣr (pembatasan)

yang memberikan makna penegasan, sehingga redaksi ini

memberikan informasi penegasan bahwa Allah adalah penjaga al-

Qur’an bukan sebaliknya yang memberikan pembatasan bahwa

2Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,

jilid VIII (al-Qāhirah: Markaz li Buhūṡ wa al-Dirasāt al-‘Arabiyyah wa al-

Islamiyyah, 2003), 594. 3Menurut al-Suyūṭī, al-Qaṣr adalah sebagai berikut:

بواحدمنطرقمخصوصةمنطرقالقولالفیدللقصرشيءأخر Secara umum al-Qaṣr diartikan sebagai upaya penegasan, atau penekanan pada

salah satu unsur atau bagian kalimat yang dipentingkan. Selanjutnya ada juga

gaya bahasa pemfokusan dilakukan dengan penempatan pada awal kalimat atau

memakai kata pemisah atau dengan menggunakan alat/ huruf fokus. Lihat, Jalāl

al-Dīn ‘Abd al-Rahman al-Suyūṭī, Syarah ‘Uqūd al-Jumān (Semarang: Al-

munawwar), 43.

75

Page 92: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

70

yang menjaga al-Qur’an hanya Allah. Tetapi pada redaksi awal

ayat sebelumnya yaitu:

ن نن زالن االذ كر إنا

Pada teks ini justru memberikan penegasan dan pembatasan

sebagai informasi penegasan sekaligus pembatasan bahwa yang

telah menurunkan al-Qur’an hanya Allah, karena redaksi ayat ini

menggunakan huruf taukid (penguat) yang berupa jumlah ismiyyah

yang berupa huruf lam taukīd (penguat) dan berupa huruf inna

sekaligus huruf Qaṣr yang menggunakan kata pronomina (Ḍamīr

al-faṣl). Sehingga inferensinya pada redaksi pertama memberikan

informasi bahwa Allah menurunkan al-Qur’an sebagai penegasan

dan pembatasan, tetapi redaksi lanjutannya, yang menjaga al-

Qur’an adalah Allah yang berupa penegasan tetapi tidak

pembatasan yang bukan hanya Allah yang menjaga sendiri tetapi

para malaikat dan umat muslim. Dari penjelasan ini maka al-

Qur’an harus dilakukan penjagaan oleh umat muslim sebagai

upaya menolong agama Allah, sebagaimana dijelaskan di dalam

QS. Muhammad [47]: 7:

ام كم ي نصركمو ي ث ب تأ قد االاذين آم نواإنت نصروااللا أ ي ه ي

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama)

Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan

kedudukanmu”

Dari penjelasan ini, penulis membangun argumentasi tentang

bentuk-bentuk pemeliharaan al-Qur’an yang dilakukan oleh setiap

muslim sebagai bentuk menjaga keautentisitas al-Qur’an di setiap

waktu dan tempat.

76

Page 93: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

71

A. Pemeliharaan dengan Hafalan

Tradisi hafalan sudah dilakukan pada zaman Nabi Muhammad

SAW seperti yang dilakukan oleh sahabat Nabi di antaranya, Zaid

b. Ṡābit, Sa’id b. Abī Waqās, ‘Abdullah b. Abī Mas’ūd, Ubay b.

Ka’ab, Abū Zar al-Ghifārī, Mu’adz b. Jabal, Abū Musa al-Asy’arī

dan lainnya. Tradisi hafalan dilakukan oleh generasi sahabat

sebagai bentuk pemeliharaan pertama dalam menjaga al-Qur’an,

hingga melakukan pemeliharaan bentuk kedua dalam penulisan

dikarenakan banyak penghafal al-Qur’an yang meninggal dalam

keadaan perang.4 Tradisi ini sudah menjadi turun-menurun hingga

saat ini, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya oleh al- Suyūṭī

di dalam kitab ṭabaqāt al-huffāẓ yang menulis tokoh-tokoh

penghafal al-Qur’an yang dimulai dari generasi pertama hingga

generasi ke-24. Dalam kitab yang ditulis oleh al-Suyūṭī tidak

menulis sampai kepada generasinya, ini membuktikan betapa

banyaknya penghafal al-Qur’an. Bahkan di Indonesiapun memiliki

lembaga khusus penghafal al-Qur’an yang tersebar diberbagai

daerah Indonesia.

Tradisi ini bukanlah kewajiban seorang individual muslim,

hanya saja kesadaran umat muslim agar al-Qur’an tetap dijaga.

Syarat paling utama melakukan hafalan al-Qur’an adalah

memenuhi kredibelitas ilmu, sebab al-Qur’an tidak akan bisa

masuk ke dalam diri seseorang apabila masih dalam keadaan

4Muhammad ‘Abd al-Azīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-

Qur’ān, jilid. 1, 39-42.

77

Page 94: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

72

bodoh yang tidak dihiasi dengan ilmu, sebagaimana dijelaskan di

dalam QS. al-‘Ankabūt [29]: 48

ب ول تخ ـ ا لٱ نك یم ی ب ۥطه وما كنت تتلوا من قبله من كت رتاب إذ

لمبطلون ٱ

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran)

sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab

dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan

menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).

Menurut al-Tabari, bahwa Nabi Muhammad tidak bisa menulis

dan membaca sebagaimana Allah menjadikan seperti itu juga

dengan kitab Injil dan Taurat yang Nabi pembawanya tidak bisa

menulis dan membaca. Ayat ini menjelaskan bawa kitab suci sudah

terlebih dahulu berada di dalam hati orang-orang yang berilmu

dengan demikian al-Qur’an sudah terlebih dahulu dihafal.5

Di ayat yang lain juga dijelaskan begitu pentingnya hafalan al-

Qur’an terdapat dalam QS. al-‘Ankabut [29]: 49

ب ی ن تفیصدورٱلاذيء اي ت و م اب لهو

دبن أوتواٱلعلم ح

ی اي تن اإلا

ٱلظا لمون

“Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di

dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang

mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang

zalim.”

Menurut interpretasi Ibn Katsīr, al-Qur’an adalah ayat-ayat

yang jelas yang menunjukkan kepada perkara yang hak, di

dalamnya terkandugn perintah, larangan, dan kebaikan, dihafa oleh

5 Al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’an, (al-Qāhirah: Markaz al-

Buhūts wa al-Dirāsāt al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2001), jilid XVIII, 424-

426

78

Page 95: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

73

semua ulama. Allah telah memberikan kemudahan kepada mereka

untuk membacanya, menghafalnya dan menafsirkannya

sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Qamar [54]: 17, 22, 32, dan

40:

لمنمداكر للذ كرف ه ٱلقرء ان و ل ق دي سارن

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk

pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”

Karena al-Qur’an itu telah dihafal di dalam dada para

penghafalnya, sering dibaca oleh lisan dan menarik hati serta

mengandung mukjizat, baik dari segi lafadz maupun maknanya.

Untuk itulah maka disebutkan di dalam kitab-kitab terdahulu

sehubungan dengan sifat umat Nabi Muhammad SAW ini, bahwa

kitab-kitab mereka berada di dalam mereka.6

Pendapat ini sejalan dengan al-Qurtubī (w.671H), ia

menafsirkan ayat di atas sebagai berkut:

لمؤمنونبه،واوهيكذلكفيصدورالذينأوتواالعلم،وهمأصحابمحمد

يحفظونهويقرءونه

Secara umum, yang memiliki peran penting dalam menghafal

al-Qur’an adalah sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW serta

orang-orang mukmin setelahnya. Merekalah yang senantiasa

melakukan pengahafalan dan membaca al-Qur’an.7 Sedangkan

6Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr,

jilid X (Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Ṭurās, 2000), 521. 7Muhammad b. Ahmad al-Anṣārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah, Jāmi’ li

Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī, jilid XVI (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005),

376-377.

79

Page 96: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

74

interpretasi yang dibangun al-Suyūṭī terhadap ayat ini memiliki

kesamaan dengan penafsiran ulama sebelumnya. Ia mengutip

diktum al-Hasan bahwa tokoh yang melakukan penghafalan adalah

orang-orang mukmin.8

Hemat penulis, umat muslim harus turut andil dalam

melakukan penghafalan al-Qur’an sebagai bentuk pemeliharaan al-

Qur’an agar tetap terjaga keautentisitasnya. Mengahafal al-Qur’an

merupakan prototipe orang yang memiliki keilmuan, sebab al-

Qur’an hanya bisa dihafal secara murni bagi mereka yang memiliki

keilmuan.

B. Pemeliharaan dengan Penulisan

Pemeliharaan kedua adalah penulisanal-Qur’an. Tradisi

menulis sudah dilakukan di zaman Nabi Muhammad SAW oleh

sebagian para sahabat, tetapi penulisan utuh dilakukan oleh masa

khalifah Abū Bakar al-Siddīq dan disempurnakan oleh ‘Uṡmān b.

‘Affān. Penulisan sangatlah penting dan memiliki peran untuk

menjadi pemeliharaan keautentisitas al-Qur’an. Pentingnya lagi

untuk zaman sekarang banyak kalangan umat muslim sedikir

sekali yang menghafal al-Qur’an bahkan membacapun masih

butuh bimbingan. Berbeda di zaman Nabi Muhammad yang

dominasi adalah mengahafal al-Qur’an ketimbang menulis, ini

disebakan banyak sebagaian sahabat tidak pandai menulis.

Menulis al-Qur’an tidak dilarang oleh Nabi Muhammad

bahkan Nabi sendiri melarang sahabat-sahabat menulis selain al-

8Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr, jilid

VII (al-Qāhirah: Markaz li Buhūṡ wa al-Dirasāt al-‘Arabiyyah wa al-

Islamiyyah, 2003), 561-562.

80

Page 97: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

75

Qur’an. Larangan secara umum ini adalah untuk menjaga

kemurnian tulisan al-Qur’an agar tidak bercampur-baur dengan

tulisan-tulisan lain selain al-Qur’an, baik bersumber dari Nabi

Muhammad SAW maupun sahabat. Namun demikian, ada

beberapa sahabat yang memang pandai baca tulis, menuliskan

ucapan-ucapan Rasul sebagai interpretasi al-Qur’an dan catatan

mereka, seperti ‘Abdullah b. ‘Umar, ‘Abdullah b. Mas’ūd, Alī b.

Abī Ṭalib, Ibn ‘Abbās dan lain-lainnya. Mengingat pentingnya

peran penulis dalam menjaga autentisitas al-Qur’an, Nabi

Muhammad SAW sangat menghargai orang-orang yang bisa baca

tulis dan menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk

mempelajarinya. Setelah Perang Badar, Nabi Muhammad SAW

memanfaatkan para tawanan perang Badar yang pandai baca tulis

untuk menebus dirinya dengan mengajar baca tulis 10 orang anak-

anak muslim. Dengan keputusan Rasul ini, semakin banyak orang

yang bisa baca tulis, semakin banyak pula orang yang bisa

mencatat dan mengahafal al-Qur’an.9

Untuk menjaga kemurnian al-Qur’an, di Indonesia juga

melakukan bermacam-macam usaha, di antaranya ialah:

1. Membentuk “Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an” yang

bertugas antara lain meneliti semua mushaf yang akan

dicetak sebelum diedarkan ke masyarakat. Tim ini berada

di bawahh pengawasan Kementrian Agama RI

2. Pemerintah telah mempunyai naskah al-Qur’an yang

menjadi standar dalam penerbitan al-Qur’an di Indonesia

9Kementrian Agama RI, Tafsir dan Terjemahnya, jilid V (Jakarta:

Lentera Abadi, 2010), 210.

81

Page 98: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

76

yang telah disesuaikan dengan muṣḥaf imām atau muṣḥaf

‘Uṡmānī

3. Mengadakan Musabaqah Tilawah al-Qur’an setiap tahun

yang ditangi dan diurus oleh Negara

4. Usaha-usaha lain yang dilakukan oleh masyarakat muslim,

seperti membentuk lembaga pendidikan, kajian, dan tahfīẓ

al-Qur’ān.

Menurut Tafsir Kementrian Agama RI, ada tiga faktor yang

membantu menjaga kelestarian tulisan dan bacaan al-Qur’an, di

antaranya:

1. Tulisan atau naskah yang ditulis para penulis wahyu

2. Hafalan dari para sahabat yang sangat antusias

menghafalnya

3. Tulisan atau naskah yang ditulis oleh para sahabat yang

sudah lebih dulu pandai baca tulis seperti, ‘Abdullah b.

‘Umar, ‘Abdullah b. Mas’ūd, Alī b. Abī Ṭalib, Ibn ‘Abbās

dan lain-lainnya

Penulisan al-Qur’an yang disempurnakan pada masa khalifah

‘Uṡmān b. ‘Affān atau dikenal sebagai muṣḥaf imām atau muṣḥaf

‘Uṡmān ī yang disirkulasikan dan dipakai di seluruh dunia. Itu pun

belum dikategorikan sebagai muṣḥaf yang sempurna bagi

paradigma masyarakat non-arab, sebab membacanya sulit yang

tidak memiliki harakat dan tanda. Pada masa sahabat, al-Qur’an

yang tidak ditulis menggunakan titik dan harakat tidak

mempengaruhi bacaan al-Qur’an karena para sahabat dan tabi’īn

selain hafal al-Qur’an juga orang-orang yang fasih menggunakan

bahasa Arab. Setelah terjadi diseminasi Islam diseluruh dunia,

82

Page 99: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

77

mereka yang non-arab merasa sangat kesuliatn, di satu sisi tidak

menghafal al-Qur’an di sisi lain tidak fasih berbahasa Arab. Maka

Abū al-Aswad al-Dualī mengambil inisiator untuk memberikan

tanda-tanda baca dalam al-Qur’an dengan tinta yang berlainan

warnanya. Tanda titi ialah titik di atas untuk fatḥāḥ, titik di bawah

untuk kasrāh, titik sebelah kiri atas untuk ḍammah, dan dua titik

untuk tanwīn. Hal ini terjadi masa ‘Alī b. Abī Ṭalib.10

Kemudian di masa khalifah ‘Abd al-Malīk b. Marwan, Nasr b.

Aṣim, dan Yahya b. Ya’mar menambahkan tanda-tanda untuk

huruf-huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan

al-Qur’an untuk membedakan antara maksud dari titik ‘Abu

Aswad al-Dualī dengan titik yang baru. Titik Abu al-Aswad adalah

untuk tanda baca dan titik Nasr b. ‘Aṣim adalah titik huruf. Cara

penulisan semacam ini tetap berlaku pada masa Bani Umayyah,

dan pada pemulaan kerjaan ‘Abbasiyah, bahkan tetap pula dipakai

di Spanyol sampai pertengahan abah keempat hijriah. Kemudian

ternyata cara pemberian tanda seperti ini masih menimbulkan

kesulitan bagi para pembaca al-Qur’an karena terlalu banyak titik,

sedang titik itu lama kelamaan hampir menjadi serupa warnanya.

Maka al-Khalil mengambil inisiator untuk membuat tanda-

tanda yang baru, yaitu wau kecil (و) di atas untuk ḍammah, huruf

alif kcil (ا) untuk tanda fatḥāḥ, huruf ya’ kecil (ي) untuk tanda

kasrāh, kepala huruf sin (س) untuk tanda syiddah, kepada ha (ه)

untuk sukun dan kepala ‘ain (ع) untuk hamzah. Kemudian tanda-

10Kementrian Agama RI, Tafsir dan Terjemahnya, jilid V (Jakarta:

Lentera Abadi, 2010), 213-214.

83

Page 100: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

78

tanda ini dipermudahkan dengan dipotong dan ditambah sehingga

terjadi bentuk yang ada sekarang.11

Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa

pemeliharaan dengan cara penulisan sebagai sikap yang efesien

untuk mmelihara autentisitas al-Qur’an. Bagi pengahafal al-

Qur’an juga membutuhkan teks-teks al-Qur’an tertulis untuk

murāja’ah (mengulang) hafalan, sebab teks atau tulisan

merupakan bentuk empiris. Penulisan al-Qur’an sebagai bentuk

pemeliharaan al-Qur’an dijelaskan di dalam QS. al-Baqarah [2]:

282:

ى مس م أ ج ل

ينإل اي نتمبد ن كمي أ ي ه اٱلاذين ء ام ن واإذ ات د ف ٱكت بوهو لی كتبب ای

ف لی كتبو لیمللٱلاذیهٱللا ك م اع لام ك اتبأ ني كتب ب

ی بٱلع دلو ل

اتب ك

ك ان ٱلاذیع ل ی ف إنی ا ي بخ سمنهش ر باهۥو ل فیهاع ل یهٱل قو لی تاقٱللا هٱل قس

ين ف لیمللو لیهۥبٱلع دلو ٱست شهدواش هید ي ست طیعأ نیلاهو أ وض عیفاأ ول

اءأ ن من ٱلشه د نمانت رض ون ر جل یف ر جلو ٱمر أ ت الكمف إنلاي كون منر ج

ت ض اءإذ ام ادعواو ل ٱلشه د ب ی هم اٱلخر ىو ل ى إحد ر اف تذ ك هم ى لاإحد

ذ لهۦ أ ج بیراإل ك ةعند أ قس طلكم ت س مواأ نت كت بوهص غیراأ و د و مللشاه

و أ ق ٱللا

أ لا ع ل یكمجن احو أ دن ن كمف ل یس اضر ةتديرون اب ی ت ر ةح أ نت كون ب واإلا ت رت

11Kementrian Agama RI, Tafsir dan Terjemahnya, jilid V (Jakarta:

Lentera Abadi, 2010), 214.

84

Page 101: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

79

ش هیدو إنت فع لواف إناهۥ اتبو ل ك يض ارا ت كت بوه او أ شهدواإذ ات ب اي عتمو ل أ لا

بكمو ٱت اقبكل ش یءع لیمفسوق و ٱللا و ي ع ل مكمٱللا واٱللا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah

tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah

kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di

antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah

penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah

mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah

orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan

ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah

Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada

hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya

atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu

mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan

dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari

orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang

lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan

dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa

maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi

itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;

dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil

maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang

demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan

persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)

keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika

mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di

antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu

tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual

beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.

Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal

itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah

kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha

Mengetahui segala sesuatu.”

Menurut Ibn Katsīr (w. 774H), redaksi ف ٱكت بوه diartikan

“hendaklah kalian menulis”, ia menambakan, melalui ayat ini

85

Page 102: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

80

Allah memerintahkan adanya catatan untuk memperkuat dan

memelihara apabila timbul suatu pernyataan bahwa telah dittapkan

di dalam kitab ṣaḥiḥain dari ‘Abdullah b. ‘Umar :

أمةأم یةلنكتبولنسب إن

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi (buta huruf),

kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghitung.”

Menurutnya, bagaimanakah mengakumulasikan pengertian

antara hadits ini dan perintah mengadakan tulisan? Sebagai

jawabanya dapat dikatakan bahwa utang piutang itu bila dipandang

dari segi hakikatnya memang tidak memerlukan catatan pada

asalnya. Dikatakan demikian karena kitabullah telah dimudahkan

pula Sunnah-sunnah, semua dihafal dari Rasulullah SAW hal yang

diperintahkan oleh Allah untuk dicatat hanyalah masalah-masalah

rinci yang biasa terjadi di antara manusia. Maka mereka

diperintahkan untuk melakukan hal tersebut dengan perintah yang

mengandung arti petunjuk, bukan perintah yang berarti wajib

seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama.12

Sejalan dengan al-Qurtubī, menurutnya ayat ini

diinterpretasikan sebagai berikut:

نالكتابةبغیرشهودويقال:أمربالكتابةولكنالمرادالكتابةوالإشهاد،ل

لتكونحجة.ويقال:أمرنبالكتابةلكیلاننسى

Secara umum, ayat ini bukan perintah menulis melainkan

memberikan saksi dalam bentuk tulisan. Karena apabila tulisan

12Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn

Katsīr, jilid II (Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Ṭurās, 2000), 506-507.

86

Page 103: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

81

tidak nyata yang tidak menggunakan benda (saksi) maka tidak bisa

dipertahankan argumentasinya. Satu sisi diperintahkan untuk

menulis agar tidak terjadi lupa.

Pandangan al-Suyūṭī (w.911H), memiliki perbedaan ketika

manafsirkan ayat di atas. Ulama sebelumnya data yang mesti

dibangun untuk dijadikan argumentasi adalah tulisan yang nyata,

sedangkan al-Suyūṭī memaknainya hanya menggunakan makna

umum sebagaimana dijelaskan berikut ini:

:أمرفيالآيباسوأخرجابنجرير،وابنالمنذر،وابنأبيحاتم،عنابنع ةقال

منليشهد،فانبالشاهادةعندالمداينةلكیلايدخلفيذلكجحودولنسی

منالمسلمیإلیهعني:مناحتیج(ش هداءلٱیبلصى)وع لىذلكفق دع

ةكانتعندهشهادأويشهدعلىشهادة

al-Suyūṭī menjelaskan ayat ini, mengutip periwayatan dari Ibn

Jarīr, Ibn al-Munzīr, Ibn Abī Hātim dari Ibn ‘Abbās bahwa

perintah memberikan persaksian terhadap utang piutang agar tidak

terjadi penyangkalan dan lupa bahkan apabila tidak diberikan saksi

maka bisa terjadi pelanggaran. Maka memberikan persaksian

sangat dibutuhkan, baik itu menyaksikan persaksian orang lain

atau memiliki persaksian.13 Pandangan al-Suyūṭī menggunakan

redaksi persaksian yang lebih universal, bisa jadi menggunakan

teks (penulisan) maupun dengan menggunakan ekpresi yang lain.

13Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,

jilid III (al-Qāhirah: Markaz li Buhūṡ wa al-Dirasāt al-‘Arabiyyah wa al-

Islamiyyah, 2003jilid III, h. 393-394.

87

Page 104: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

82

Sehingga tujuan dari persaksian itu adalah agar tidak terjadi lupa,

sebagaimana dijelaskan juga oleh al-Qurtubī dan Ibn Katsīr.

Hemat penulis, secara umum ayat ini menjelaskan tentang

utang piutang. Agar utang piutang itu tetap terjaga sampai pada

kepelunasan, maka perlu ada catatan tulisan sebagai saksi bahwa

korban memang benar melakukan hutang. Tapi ayat ini juga para

ulama mengkaitkan tentang penulisa al-Qur’an sebagaimana

dijelaskan oleh al-Suyūṭi, Ibn Katsīr, dan al-Qurtubī. Penulisan

terhadap al-Qur’an sangatlah penting untuk dilakukan untuk

terhindar dari lupa, hilangnya keautentisitas al-Qur’an. Maka

dengan adanya catatan dan tulisan al-Qur’an dijadikan sebagai

saksi apabila terjadi kejahatan untuk mengubah al-Qur’an.

Perlu diketahui, pemeliharan dalam bentuk penulisan harus

didasari dengan pentingnya untuk menjaga dari hal destruktif.

Sangat dilarang apabila penulisan dengan tujuan komoditi

sebagaimana yag dilakukan oleh agama lain dengan kitab-kitab

mereka. Misalna dijelaskan di dalam QS. al-Baqarah [2]: 79

ی فو ـب ٱ كتبون ی ن ی ل لٱذ ل لكت ذا من عند قولون ی ثمٱ هم ید ی بأ ـ ٱه شتروا ی ل للٱ

ا قل ۦبه ا یثمن

ی فو ل

ا كتبت أ ل مٱ ی وو هم ید ی لٱهم م

ا ل مٱ كسبون ی لٱهم م

Maka kecelakaan yAng besarlah bagi orang-orang yang

menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu

dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk

memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka

kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis

oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi

mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.

Menurut Fakhruddin al-Razi, penulisan kitab dengan apa yang

mereka usahakan merupakan kesesatan yang diperbuat oleh

mereka terhadap agama. Sebab mereka bermaksud untuk

88

Page 105: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

83

memperjual belikan atas nama Allah. Padahal ini bukankah

kehendak Allah.14 Sejalan dengan Ibn Katsir, kasus ini terjadi pada

kelompok Yahudi yang suka menulis kitab mereka untuk diperjual

belikan. Mereka mempromosikan dengan atas nama Allah supaya

mendapatkan keuntungan yang besar.15 Begitu juga dengan al-

Suyuti, bahwa ayat ini menjelaskan prilaku orang Yahudi yang

suka mengubah-ngubah kitab Taurat, menambah sesuka mereka.

Apabila ditemukan redaksi yang tidak disekuai dengan segeranya

mereka menghapusnya. Dan tak tangung-tangung, mereka dengan

mudahnya menghapus nama Muhammad di dalam Taurat.16

Hemat penulis, pada dasarnya penulisan terhadap kitab itu

diperbolehkan dan diwajibkan. Namun kewajiban itu bisa berubah

status menjadi haram apabila memiliki niat dan tujuan yang buruk.

Pada kasus ayat di atas merupakan bukti bahwa menulis harus

bertujuan untuk pemeliharaan al-Qur’an bukalah bertujuan untuk

memperjual belikan yang mendapatkan keuntungan komoditi,

apalagi mengatas namakan kehendak Allah yang bisa

mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat. Secara implisit ayat

di atas bisa diambil hikmah dan mafhum mukhalafah, bahwa

penulisan dengan tujuan baik itu diharuskan sebagaimana menulis

surat tanda bukti hutang. Sebab dengan menulis bisa minimalisir

kealfaan dan lupa terhadap ayat-ayat al-Qur’an.

14 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tafsīr

al-Kabīr wa Mafātiḥ al-Ghaib (Damaskus: Dār al-Fikr, 1981), jilid III, 150-151 15 Abū al-Fidā’ Ismā’īl Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm, jilid I,

464-466 16 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr,

jilid I, 437

89

Page 106: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

84

C. Terhindar dari Tafrīf (Destruktif) dan Tafdīl (Fanatisme)

Al-Qur’an sebagai kitab karya magnum opus Allah yang dijaga

oleh-Nya dan umat-Nya dari kejahatan baik itu penambahan

maupun pengurangan isi substansi al-Qur’an. Turunnya al-Qur’an

sebagai petunjuk dan pedoman umat Islam, tetapi banyak

sebagaian muslim melakukan kesalahan baik mempolitisasi ayat-

ayat al-Qur’an untuk keuntungannya, menginterpretasikan ayat-

ayat al-Qur’an tanpa ada bekal keilmuan yang mapan, maupun

terlalu fanatisme terhadap teks tanpa melihat maqāṣid al-

syarī’ah17 (tujuan ayat) terhadap ayat-ayat al-Qur’an.

Berkembangnya zaman kejahatan itu bisa dilakukan dengan

cara apapun termasuk kejahatan detruktif terhadap agama. Salah

satunya adalah mengkomentari al-Qur’an dengan penistaan,

kelompok elit menggunakan pawang ayat-ayat al-Qur’an sebagai

kepentingan pribadi, bahkan menjual ayat untuk memperkaya diri.

Itu sebabnya al-Qur’an akan selalu dijaga dan dipelihara oleh umat

Islam terutama mereka yang memiliki keilmuan yang kredibelitas

sehingga mampu dalam memberikan interpretasi yang sesuai

dengan regulasi-regulasi seorang mufasir. Sebagaimana dijelaskan

ayat sebelumnya QS. al-Hijr [15]: 9, bahwa al-Qur’an turun

langsung dijaga oleh Allah dari kejahatan apapun itu, sebagaimana

diinterpretasikan oleh al-Zamakhsyarī sebagai berikut:

17Al-Maqāṣid jama’ dari kata مقصد (tujuan), yaitu menghendaki

sesuatu. Adapaun secara terminologi adalah sebagai berikut:

الم ع انالاتأ ت ت الن ات ائجو افو ال هد الغ اي ةو ام,و س ع تإل أ ث ب ت ت ه افيال حك ب االشاري ع ة,و م ك ان او الوصولإل ی ه افيكل ز م انو إی اده او ت قیقه

Lihat. Wahbah al-Zuhailī, Maushū’ah Qadāyā Islāmiyyah

Mu’āshirah, jilid V (Bairut: Dār al-Maktabī Damasqī), 623.

90

Page 107: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

85

ع ل یه االاذين ز ل ردلإنكارهمواستهزائهمفيقولهميأ ي ه ن نن زالن االذ كر إنا

الذ كرولذلكقال:إننن،فأكدعلیهمأنههوالمنزلعلىالقطعوالبتات،

بعثبهجبريلإلمحمدبیيديهومنخلفهرصد،حتىنزلوأنههوالذي

وبلغمحفوظامنالشیاطیوهوحافظهفيكلوقتمنكلزيدةونقصان

وتريفوتبديل،بخلافالكتبالمتقدمة،فإنهليتولحفظها.وإنمااستحفظها

قرآنإلالربانییوالحبارفاختلفوافیمابینهمبغیافكانالتحريفوليكلال

ردالإنكارهم ن نن زالن االذ كر غیرحفظه.فإنقلت:فحیكانقولهإنا

افظون ؟قلت:قدجعلذلكدلیلا ل هل واستهزائهم،فكیفاتصلبهقولهو إنا

كانمنقولالبشرأوغیرآيةلتطرقعلیه علىأنهمنزلمنعندهآية،لنهلو

صانكمايتطرقعلىكلكلامسواه.وقیل:الضمیرفيل هلرسولالزيدةوالنق

ي عصمك اللهكقولهتعالو اللا

Menurut al-Zamakhsyarī (w.538H), bahwa ayat ini sebagai

argumen bagi orang yang orang yang ingkar dan mengejek al-

Qur’an sebagaimana dijelaskan QS. al-Hijr [15]: 6 “Hai orang

yang diturunkan Al Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-

benar orang yang gila”. Adapun maksud redaksi inna nahnu

sebagai taukīd (penguat) bahwa Allah memang benar-benar

menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW melalui

malaikat Jibril yang dijaga di setiap sisinya hingga turun dan

91

Page 108: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

86

sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Allah menjaga disetiap

kejahatan yang melakukan penambahan isi al-Qur’an, mengurangi,

melakukan taḥrīf (destruktif), mengantikan isi al-Qur’an.

Al-Zamakhsyarī (w.538H) membeda-berbeda dengan kitab-

kitab sebelumnya (Injil, Zabur, dan Taurat) yang tidak

membutuhkan penjagaan dari Allah, hanya saja yang melakukan

pemeliharaan adalah tokoh agama mereka, sehingga terjadi

perlakukan yang aksesif (tafdīl/bugh). Al-zamakhsyari

menambahkan bahwa ayat ini sebagai argumentasi al-Qur’an

diturunkan kepada Nabi Muhammad. Seandainya al-Qur’an ini

buatan dan ciptaan manusia pastinya mereka memperlakukan

penambahan, pengurangan, destruktif, dan aksesif.18

Pandangan ini sejalan dengan al-Rāzi, bahwa al-Qur’an akan

selalu dijaga dan dipelihara dari hal-hal yang destruktif, aksesif,

penambahan dan pengurangan. Sebab hal ini sudah merupakan

janji Allah dan tertulis di dalam QS. al-Fussilat [41]: 42:

تیهٱلب طلی يهو ل لا ي د لفهۦت نزيلم نح كیمح منب ی ید منخ

Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari

depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb

Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.

Dari kedua mufasir ini, sangat jelas bahwa al-Qur’an akan

terjaga dari hal-hal yang sifatnya destruktif. Hal yang paling

dominasi untuk bisa menegasikan tindakan kejahatan ini adalah

18Al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq Ghawāmiḍ al-Tanzīl wa

‘Uyūn al-Aqāwīl fi Wujūh al-Ta’wīl, jilid III (al-Riyād: Maktabah al-‘Abīkān,

1998), 558-559.

92

Page 109: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

87

dengan melakukan pemeliharaan baik itu dengan metode hafalan

maupun melakukan penulisan-penulisan.

Selain menegasikan destruktif, hal yang harus dikhawatirkan

adalah berlebihan dan fanatisme terhadap al-Qur’an. Fanatisme

terjadi adalah mengkultuskan teks tanpa memerlukan eksternal

konten untuk memahami al-Qur’an, sebab sumber-sumber Islam

(maṣādir al-islamiyyah) bukan hanya al-Qur’an tetapi juga

Sunnah19, Ijma’ (konsesus) dan Qiyās. Watak seperti ini sudah

terjadi di kalangan Islam salah satu ciri-ciri mereka adalah

menolak hadits (inkār al-hadīṡ) tetapi hanya fokus dengan al-

Qur’an, para ulama menyebutnya kelompok Qur’aniyyūn.

Beberapa ulama mengangap bahwa gagasan penolakan hadits ini

sudah ada pada zaman sahabat yang dikenal dengan khawarij.

Pemikiran ini sama dengan dogma-dogma quraniyyūn yang

mengagap hanya al-Qur’an sebagai sumber utama.20

Padahal Sunnah merupakan memiliki peran penting untuk

memahami al-Qur’an salah satunya adalah al-bayān dan sebagai

media komunikasi untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an.

Perlakuan orang yang terlalu fanatisme, secara tidak langsung

19Menurut istilah ahli hadis, sunnah adalah apa yang ditinggalkan dari

Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat fisik atau akhlak, atau sirah

(sejarah hidup), baik sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul

atau sesudahnya. Menurut istilah ahli ushul fiqh, Sunnah adalah apa saja yang

dinukil dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan atau takrir

(ketetapan). adapaun menurut istilah ahli fiqih, sunnah adalah apa saja

ditetapkan dari Nabi Muhammad SAW tanpa diwajibkan, penerimaan wajib dan

yang lainnya dari hukum yang lima (wajib, Sunnah, mubah, makruh, haram).

Lihat, Mustafa al-Siba’ī, al-Sunnah wa Makānatihā fī al-Tasyrī’ al-Islāmi

(Kairo: Maktabah Dār al-‘Urubah, 1961), 59. 20Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Bairut: Dār al-Kitab al-

‘Alamiyyah, 1992), 106-107.

93

Page 110: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

88

mereka melupakan pundi-pundi pengetahuan Islam secara holistik,

akibatnya adalah melakukan destruktif, seperti menghakimi

sesama muslim dengan tuduhan kafir dan bid’ah. Cara yang utama

untuk menghindari pelakuan ini adalah memahami sumber Islam

secara holistik dan bersifat moderat dan tawasuṭ sehingga tidak

terjadi fanatisme terhadap salah satu sumber utama Islam.

D. Perkembangan Pengunaan al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup harus bisa menjawab

tantangan setiap zaman, bahkan menjawab kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi maju. Kata sains dan teknologi

memang tidak ada di dalam al-Qur’an hanya saja terdapat ayat-

ayat yang memberikan interkelsi untuk melakukan penelitian dan

mencari ilmu pengetahuan, seperti dalam QS. al-Mujādilah [58]:

11:

ي أ ي ه اٱلاذين ء ام ن واإذ ا قیل ل كمت ف ساحوافیٱلم ج لسف ٱفس حواي فس حٱللا

ٱلاذين ء ام نوامنكمو ٱلاذين أوتواٱلعلم و إذ اقیل ٱنشزواف ٱنشزواي رف عٱللال كم

بیر ب ات عم لون خ و ٱللا د ر ج ت

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:

‘Berlapang-lapanglah dalam majlis’, maka lapangkanlah

niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan

apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah,

niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di

antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan

beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang

kamu kerjakan.”

94

Page 111: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

89

Menurut al-Qurtubī (w.671H)., ayat ini menjelaskan sebagai

berikut:

ن ی فيالث او ابفيالآخر ةو فيالك ر ام ةفيال الاذين آم ناد وامنكم(الصاح اب ة)رف عاللا

االعالوالطالبللحقب)و الاذين أوتواالعلم د ر جات(ي رف عالله

Ia menjelaskan bahwa orang yang menuntut ilmu pengetahuan

mendapatkan kebenaran di akhiran dan kemuliaan di dunia,

redaksi ayat pertama ditujukan kepada para sahabat sedangkan

redaksi ayat yang kedua diberikan kepada orang yang mencari ilmu

untuk mencapai kebenarana.21

Al-Qur’an tidak melarang bagi siapaun orang muslim untuk

mencari pengetahuan baik itu sans maupun teknologi, hanya saja

masih di dalam circle dan pengawasan ajaran-ajaran Islam. Yang

harus di hindari adalah apabila ditemukan unsur-unsur dan

paradigm yang tidak sejalan dengan Islam seperti sosialisme

maksudnya paradigma menegasikan eksistensi agama sama sekali.

Agama itu tidak ada hubungan dan kaitan apapun baik itu

teknologi maupun sains dan iptek. Itu semua bisa berjalan secara

independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip

dengan paradigma sekuler, tapi lebih ekstrim. Dalam paradigma

sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak

menegasikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam

hubungan vertikal manusia-tuhan sehingga tidak terjadi dominasi

agama. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara

21Muhammad b. Ahmad al-Anṣārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah, Jāmi’ li

Aḥkām al-Qur’ān Tafsīr al-Qurṭubī, jilid XX (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005),

319.

95

Page 112: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

90

ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama

sekali dari kehidupan. Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran

Karl Marx yang tidak bertuhan dan memandang agama pada masa

itu (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya

membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang

kejam. Karl Marx mengatakan : Agama adalah keluhkesah

makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa,

sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa

ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat.22

Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi tidak

dijelaskan secara eksplisit tetapi ditemukan nilai-nilai secara

implisit yaitu diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi

Muhammad SAW, QS. al-‘Alaq [96]: 1-5

ٱلاذیخ ل ق بٱسمر ب ك ر أٱلإ1)ٱق منع ل ق)(خ ل ق و ر بك (2نس ن

ر أٱل كر مٱق

نس ن 4بٱلق ل م)(ٱلاذیع لام 3) ي عل م(ع لام ٱلإ (5)م ال

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang

Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.

Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang

Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca).

Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Menurut Quraish Shihab, derivasi iqra’ diambil dari akar kata

yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna

seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,

mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun

tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, kata iqra’ memiliki makna

22Eva Iryani, “al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan,” Jurnal Ilmiyah

Universitas Batanghari Jambi, vol. 17, no. 13, (2017): 70.

96

Page 113: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

91

interjeksi (kalimat ‘amar) sehingga mencakup segala sesuatu yang

dapat dijangkau oleh manusia.23 Atas dasar itu, sebenarnya tidak

ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama dan ilmu non

agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling

lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan

yang bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan

umatnya.24

23M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996),

455. 24Jamal Fahri, “Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an dan Implikasinya

dalam Pembelajaran,” Ta’dib, vol. 15, no. 01, (2010): 125.

97

Page 114: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut al-Suyūṭī (w.911H) makna pemelihara al-Qur’an

adalah dengan cara menghafal dan menulis. Kedua cara ini

merupakan tradisi yang telah dilakukan sejak zaman Nabi

Muhammad. Argumentasi yang dibangun adalah sebagai berikut:

Pertama, tradisi mengahafal sudah dijelaskan di dalam QS. al-

‘Ankabūt [29]: 49, yaitu Allah telah mempermudah seseorang

untuk menulis dan menghafal al-Qur’an, sehingga kaum muslimin

dengan mudahnya untuk tetap menjaga autentisitas al-Qur’an.

Korelasi ayat ini dengan menghafal al-Qur’an adalah orang yang

memiliki tradisi keilmuan akan sangat mudah untuk mengahafal

al-Qur’an. Pada ayat ini juga memberikan jaminan, bahwa orang

yang berilmu akan tetap menjaga al-Qur’an dengan cara

mengahafal.

Kedua, tradisi menulis juga sudah ada sejak Nabi

Muhammad SAW. Para sahabat yang melakukan penulisan al-

Qur’an dimulai zaman Nabi Muhammad SAW, Abū Bakar, dan

proses kesempurnaan kodifikasi di zaman ‘Utsmān b. ‘Affān.

Tradisi menulis al-Qur’an sangat penting untuk dilakukan

dibanding hafalan, karena hafalan menjadi bukti nyata untuk

menjaga al-Qur’an agar tetap eksis sampai saat ini sebagaimana

dijelaskan di dalam QS. al-Baqarah [2]: 282. Menurut al-Suyūṭī

(w.911H) ayat ini menunjukkan bahwa melakukan penulisan

99

Page 115: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

adalah sebagai bentuk persaksian untuk menjaga dari hal-hal yang

lupa. Al-Suyūṭi juga menjelaskan bahwa konteks ayat ini

menjelaskan tentang seseorang memberikan hutang kepada orang

lain, maka ia harus memberikan persaksian berupa tulisan. Ayat ini

menjadi dalil, bahwa untuk menjaga sesuatu yang penting agar

tidak terjadi lupa maka harus ada persaksian berupa tulisan. Secara

konteks, ayat ini berbicara tentang pemberian saksi dalam utang-

piutang. Pada kasus ini, orang yang memberikan hutang kepada

orang lain, hendaknya memberikan persaksian berupa tulisan. Dari

ayat ini beberapa ulama memberikan analogi pentingnya menulis

al-Qur’an. Kolerasi ayat ini dengan memelihara al-Qur’an adalah

keharusan untuk menulis agar al-Qur’an pada satu sisi dan hutang

di sisi lainnya agar tetap terjaga dalam bentuk aslinya.

Memberikan saksi tulis pada hutang supaya tidak terjadi

pengurangan dan tambahan dalam bentuk jumlah, begitupun juga

dalam hal pemberian saksi tulis pada al-Qur’an sebagai bentuk

untuk menjaga keasliannya dari penambahan, pengurangan,

destruktif dan penyelewengan.

B. Saran

Penelitian ini berkisar pada penafsiran tentang ayat-ayat yang

berkaitan dengan pemeliharaan al-Qur’an yang merujuk kepada

kitab al-Dur al-Mantsūr al-Suyūṭī yang hanya ditemukan beberapa

ayat saja, yaitu berkaitan dengan hafalan dan penulisan. Saran

penulis, penelitian ini harus ada kelanjutan yang lebih

berkembang. Bukan hanya pemeliharaannya dari aspek hafalan

100

Page 116: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

dan tulisan tetapi juga menyangkut tentang perkembangan

penggunaan al-Qur’an di setiap periode zaman. Selain itu, perlu

ada kajian lanjutan dengan merujuk penafsiran-penafsiran ulama

yang memberikan kontribusi dalam pemeliharaan al-Qur’an,

karena al-Suyūṭī hanya memberikan dua argumen sebagai sebagai

aspek pemeliharaan al-Qur’an. Dari penjelasan ini, perlu kajian

lebih lanjut khususnya dalam bidang ilmu al-Qur’an dan tafsir

untuk meneliti lebih lanjut agar tidak hanya mendapatkan

penjelasan yang monoton, tetapi memiliki penjelasan yang lebih

bervariasi.

101

Page 117: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

92

DAFTAR PUSTAKA

‘Abdillah, Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū.

Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī. Kairo: Maktabah

al-Ṣafa, 2005.

Abdullah, Mawardi. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011.

Abdullah, Yusrin Abdul Ghani. Historiografi Islam Dari Klasik

Hingga Modern. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2004.

Ahmad, Mani ‘Abdul Halim. Manhaj al-Mufassirin, terj. Faisal

Saleh dan Syahdianor. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006.

Al-‘Arabiyyah, Jumhuriyyah Mesri. Mu’jam al-Wasīt. Maktabah

al-Syurūq al-Dauliyyah, 2004.

Al-‘Arabiyyah, Majma’ al-Lughah. Al-Mu’jam al-Wasīt.

Maktabah al-Syurūq al-Dauliyyah, 2004.

A’zami, Musthafa. Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai

Kompilasi. Depok: Gema Insani Press, 2005.

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Batubara, Muhammad Ismail Shaleh. “Konsistensi Imam

Jalaluddīn al-Suyūtī Menafsirkan Ayat-ayat Sumpah” Tesis

S2., UIN Sumatera Utara Medan, 2016.

Dardjowidjoyo. Psikolinguistik: Pemahaman Bahasa Manusia.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.

Al-Dzahabī, Muhammad Husain. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Al-

Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000.

102

Page 118: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

93

Fahri, Jamal. “Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an dan

Implikasinya dalam Pembelajaran.” Ta’dib, vol. 15, no. 01

(2010).

Al-Farmawī, Abū al-Hayy. al-Bidāyah Fī ala Tafsīr al-Maudhū’iy.

Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977.

Ghofur, Saiful Amin, M. Alaika Salamullah (Ed.). Profil Para

Mufassir al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,

2008.

Harahap, Syahrin. Metodologi Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin.

Jakarta: Raja Grapindo Persada,2002.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian

Hermeneutika. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996.

Hitti, Philip K. History Of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin-

Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.

Ichsan, Muhammad. “Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan al-

Qur’an Pada Kasa Nabi Muhammad SAW dan Sahabat.”

Jurnal Substantia, vol. 14, no 1 (2012).

Al-‘Imād, ‘Abd al-Hayy b. Ahmad b. Muhammad b. Syadzarāt al-

Dzahab fi Akhbār min Dzahab. Bairūt: Dār Ibn Katsīr, 2010.

Inaniy, Mustafa. Al- Wasīth Fī al-Adab al-‘Arabī Wa Tārikhuhu.

Mesir: Dār al-Ma’rif, t.th.

Iryani, Eva. “Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan.” Jurnal Ilmiyah

Universitas Batanghari Jambi, vol. 17, no. 13 (2017).

Kaelan, Filsafat Bahasa, Semiotika, dan Hermeneutika.

Yogyakarta: Paradigma.

Katsīr, Ismā’il Ibn ‘Umar b. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn

Katsīr. Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000.

103

Page 119: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

94

Martono, Nanang. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grafindo

Persada, 2010.

Masykuroh, Nihayatul. “Pemeliharaan al-Qur’an: Suatu Tinjuan

Histori.” al-Qalam, vol. 13, no. 72 (1998).

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT

Remaja Posdakarya, t.tt.

Murad, Mustafa. Kisah Hidup Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad

Ginanjar & Lulu M. Sunman. Jakarta: Zaman, 2013.

______, Kisah Hidup Uṡmān b. Affān, terj. Ahmad Ginanjar &

Lulu M. Sunman. Jakarta: Zaman, 2013.

Nasional, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Kamus Bahasa

Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Nugraha, Eva. “Konsep al-Nabi al-Ummi dan Implikasinya dalam

Penulisan Rasm.” Refleksi Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuludddin,

vol. 12, no. 2 (2011)

Al-Qaṭṭan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Lentera, 2013.

RI, Kementrian Agama. Tafsir dan Terjemahnya. Jakarta: Lentera

Abadi, 2010.

Said, H. A Menggagas Munāsabah al-Qur’an: Peran dan Model

Penafsiran al-Qur’an, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.

13, No. 1, Juni (2016) .

https://doi.org/10.24239/jsi.v13i1.412.1-34.

Said, H. A, “Diskursus Munāsabah Al-Qur’an: Menyoal

Perdebatan Otentisitas Al-Qur’an.” Jurnal al dzikra, Vol. 5,

No. 9, (2011).

Said, H. A. Potret Studi al-Qur’an di Mata Orientalis, At-Tibyan:

Jurnal Ilmu Alqur’an Dan Tafsir, Vol. 3, No. 1, (2018) 22 -

41. https://doi.org/10.32505/tibyan.v3i1.474

104

Page 120: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

95

Said, Hasani Ahmad, Studi Islam I: Kajian Islam

Kontemporer, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016).

Salim, Latifah. “Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Bahasa

Arab” Jurnal Diwan, vol. 3, no. (2017)

Shihab, M. Quraish. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta:

Pusataka Firdaus, 2008.

______, Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996

Al-Siba’ī, Mustafa. al-Sunnah wa Makānatihā fī al-Tasyrī’ al-

Islāmi. Kairo: Maktabah Dār al-‘Urubah, 1961.

Sodikin, Ali. Antropologi Al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu

dan Budaya. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.

Sudaryanto, Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia.

Yogyakarta, 1980.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B.

Bandung: Alfabeta, 2017.

Suhbah, Muhammad Abū. Madkhāl Li Dirāsah al-Qur’ān al-

Karīm. Riyadh: Dār al-Liwa’, 1987.

Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.

Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn. Al-Asybah wa al-Naẓā’ir. al-Qahirah:

Maktabah al-Tsaqafī, 2007.

______, al-Dur al-Mantsūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr (al-Qāhirah:

Markaz li Buhūts wa al-Dirasāt al-‘Arabiyyah wa al-

Islamiyyah, 2003)

______, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir: Dār al-Salām, 2008.

______, Syarah ‘Uqūdul Jumān. Semarang: al-Munawwar.

105

Page 121: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

96

______, Ṭabaqāt al-Huffāẓ. Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah,

1983.

Syahim, Abdul Shabur. Saat al-Qur’an butuh pembelaan. Jakarta:

Erlangga, 2006.

Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal. Bairut: Dār al-Kitab al-

‘Alamiyyah, 1992.

Tanjung, Faisal, Lukmawati, dan Jhon Suriyanto. “Al-Qur’an Itu

Menjaga Diri: Perangan Regulasi Iri Penghafal al-Qur’an.”

Jurnal Psikologi Islami, vol. 3 no. 2 (2017).

Wa’fī, Abdul Wahid. Ilmu al-lughah. Misr: Maktabah Nahdhah

Misr, 1962.

Wahid, Abdurrahman. Tuhan tidak perlu dibela. Yogyakarta,

1999.

Yudi, Bambang. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga

University Press, 1995.

Yusufa, Uun. “Ke-Mutawatira-an al-Qur’an: Metode Periwayatan

dalam Sejarah al-Qur’an.” Hermeunetika, vol. 7, no. 2 (2013)

Zamakhsyari. Al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq Ghawāmidh al-Tanzīl wa

‘Uyūn al-Aqāwīl fi Wujūh al-Ta’wīl. Al-Riyād: Maktabah al-

‘Abīkān, 1998.

Al-Zarkasī, Badruddīn Muhammad b. ‘Abdullāh. al-Burhān Fī

‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir: Dār al-Hadīs, 2006.

Al-Zarqānī, Muhammad ‘Abd al-‘Aẓīm. Manāhil al-Irfān Fī

‘Ulūm al-Qur’ān. Bairut: Dār al-Kitab al-‘Arabī, 1995.

Al-Zuhailī, Wahbah. Maushū’ah Qadāyā Islāmiyah Mu’āshirah.

Bairut: Dār al-Maktabī Damasqī.

106

Page 122: PERSPEKTIF AL-SUYŪṬĪ TENTANG PEMELIHARAAN AL- …

97

Wikipedia. “Abdurrahman Wahid.” Diakses, 22 Januari 2019,

https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid.

107