KONSEP DAYN PERSPEKTIF AL-QUR’AN: STUDI
Transcript of KONSEP DAYN PERSPEKTIF AL-QUR’AN: STUDI
KONSEP DAYN PERSPEKTIF AL-QUR’AN: STUDI
KOMPARATIF TAFSȊR AL-SYA‘RȂWȊ DAN TAFSIR AL-
MISHBAH
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Dewi Roichatul Mardliyah
NIM. 11140340000217
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
v
ABSTRAK
Dewi Roichatul Mardliyah
KONSEP DAYN PERSPEKTIF AL-QUR’AN: STUDI KOMPARATIF
TAFSȊR AL-SYA‘RȂWȊ DAN TAFSIR AL-MISHBAH
Mudȃyanah atau utang piutang merupakan problematika yang hidup di
masyarakat, namun lebih banyak ditafsirkan dengan corak fiqih yang sarat dengan
pendapat para ahli fikih dan pembahasannya yang rumit, sehingga terkesan lebih
membosankan. Terlebih tidak semua kalangan mampu memahami perdebatan
fikih tersebut. Oleh karena itu, penulis akan mengangkat suatu topik yang biasa
bercorak fiqih, dengan corak yang lebih dekat dengan masyarakat yaitu corak al-
adabȋ al-ijtimȃ„ȋ.
Penulis memilih Tafsȋr al-Sya„rȃwȋ dan Tafsir al-Mishbah dalam
penelitian ini karena kedua kitab ini sama-sama bercorak al-adabȋ al-ijtimȃ„ȋ dan
kedua mufassirnya sama-sama menghadapi masyarakat modern yang memiliki
problematika perekonomian yang beragam. Selain itu, keduanya juga aktif
sebagai da‟i yang disegani oleh masyarakatnya. Dengan demikian, diharapkan
ditemukannya titik perbedaan pada tafsir yang bercorak sama, serta adanya solusi
yang ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut dalam tafsirnya.
Secara keseluruhan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data kepustakaan (Library
Research). Sedangkan, dalam metode analisis data, penulis menggunakan metode
komparatif (perbandingan) yang telah dirumuskan oleh „Abd al-Hay al-Farmâwî.
Hasil dari penelitian ini, penulis menemukan tiga konsep dayn menurut
Tafsîr al-Sya‟rawi dan Tafsir al-Mishbah, pertama, kewajiban bagi orang yang
akan berhutang ada empat yaitu: mencatat, menghadirkan dua orang saksi laki-
laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, memberikan jaminan, dan
amanah. Kedua, apabila yang bertransaki memiliki kekurangan seperti lemah akal
(safîh) dan lemah keadaan (ḏa‟îf), maka hendaknya walinya mengimlakkannya
dengan jujur. Ketiga, Pelunasan hutang bagi orang yang telah meninggal dunia
harus dilakukan sebelum pembagian warisan oleh ahli warisnya, karena
merupakan kewajiban. Selain itu, penulis menemukan perberbedaan kecondongan
penafsiran di antara keduanya. Al-Sya„râwî dalam penafsirannya terlihat condong
kepada manusia sebagai pelaku ekonomi dalam sebuah institusi perekonomian
yang besar yang harus saling membangun dan menjamin. Sedangkan, M. Quraish
Shihab lebih condong melihat manusia sebagai individu pelaku ekonomi yang
harus menjaga keseimbangan hak dan kewajiban untuk menjaga perputaran roda
kehidupan.
vi
KATA PENGANTAR
م الرحي بسم الله الرحن
Segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt., yang telah memberikan
taufik, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “KONSEP
DAYN PERSPEKTIF AL-QUR’AN: STUDI KOMPARATIF TAFSȊR AL-
SYA‘RȂWȊ DAN TAFSIR AL-MISHBAH” dapat penulis selesaikan. Demikian
juga, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah Saw., beserta
keluarga, shahabatnya, dan juga para pengikutnya.
Kemudian, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa
adanya bantuan dan juga dukungan dari keluarga, dosen, pembimbing, dan teman-
teman yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Prof. Dr. Hj.
Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA. (Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta); Dr. Yusuf Rahman, MA. (Dekan Fakultas
Ushuluddin); Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. (Ketua Jurusan Ilmu al-
Qur„an dan Tafsir); dan Banun Binaningrum, M.Pd (Sekretaris Jurusan
Ilmu al-Qur„an dan Tafsir).
2. Dr. Hasani Ahmad Said, MA., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah bersedia meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukan beliau
untuk membantu, membimbing, dan mengarahkan penulisan skripsi ini.
Semoga bapak dan keluarga selalu dalam lindungan Allah Swt.
vii
3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen jurusan Ilmu
Al-Qur„an dan Tafsir, yang telah sabar dalam mendidik dan telah banyak
memberikan berbagai macam ilmu. Semoga ilmu yang penulis dapatkan
bermanfaat untuk kehidupan dunia akherat.
4. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan Iman Jama‟ yang telah
memberikan pelayanan dalam memberikan literatur kepada penulis dalam
menyusun skripsi ini.
5. Kepada kedua orang tua penulis, Ibu Binti Mukayatin dan Bapak Mat
Rokhim yang senantiasa mendoakan, memberikan semangat, dan juga
motivasi kepada penulis. Semoga senantiasa Allah berikan kesehatan,
panjang umurnya, dimudahkan rezekinya dan selalu dalam lindungan
Allah Swt.
6. Untuk saudara kandung penulis yaitu Fifin Violita Bijaksani, Alfi Ziadatul
Khoiroh, Ani Mawaddatur Rohmah, Muhammad Bahrul Aminuddin
Ashofari. Semoga dimudahkan dalam menuntut ilmu.
7. Untuk Mba Siti Ainur Rohmah dan Mba Nourmaidah Chasanah yang
selalu memberikan motivasi dan dukungannya untuk dapat menyelesaikan
skripsi ini. Semoga selalu diberikan keberkahan kepada mereka.
8. Kepada teman-teman jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir angkatan 2014,
khususnya kelas F, dan juga teman-teman seperjuangan penulis yaitu Nur
Istiqomah, Mba Mutmainnah, Munawwaroh, Hikmah, Himma, Mom Dit,
Mia, Lutfah, Yuni, Maslahah, dan lain-lain.
viii
9. Seluruh anggota KKN SEMPURNA yaitu Niswatun Nafi‟ah, Qonita
Lutfianti, Sofa Fajriamantika, Cahayatun Nisa, Risma, Anggi, Yasmin,
Infa, dan semua teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Akhirnya, penulis berharap kepada Allah Swt., semoga karya ini dapat
menambah wawasan mengenai „ulûm al-Qur„ân, dan bermanfaat bagi semua yang
mau membacanya, terkhusus penulis.
Ciputat, 22 April 2019
Hormat saya,
Dewi Roichatul M.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 13
C. Pembatasan Masalah ...................................................................... 13
D. Perumusan Masalah ....................................................................... 14
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ..................................... 14
F. Kajian Pustaka ................................................................................ 15
G. Metodologi Penelitian .................................................................... 20
H. Sistematika Penelitian .................................................................... 23
BAB II KAJIAN DAYN SECARA TEORITIS
A. Pengertian Dâyn dan Qarḏ ............................................................ 25
B. Tujuan Berhutang .......................................................................... 27
C. Ketentuan dan Etika dalam Berhutang .......................................... 29
D. Ancaman Tidak Melunasi Hutang................................................. 30
E. Hutang di Zaman Kontemporer..................................................... 31
BAB III PROFIL TAFSÎR AL-SYA‘RȂWÎ DAN TAFSIR AL-MISHBAH
A. Profil Mutawallî Al-Sya„râwî dan Tafsîr Al-Sya„râwî
1. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan dan Karir Mutawallî
al-Sya„râwî .............................................................................. 33
2. Metodologi Penulisan Kitab Tafsîr Al-Sya„râwî
a. Latar Belakang Penulisan ................................................. 35
b. Metode dan Corak Penafsiran ........................................... 36
B. Profil Muhammad Quraish Shihab dan Tafsir Al-Mishbah
x
1. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan dan Karir Muhammad
Quraish Shihab ......................................................................... 39
2. Metodologi Penulisan Kitab Tafsir Al-Mishbah
a. Latar Belakang Penulisan .................................................. 41
b. Metode dan Corak Penafsiran ........................................... 42
BAB IV KONSEP DAYN PERSPEKTIF AL-QUR’AN: STUDI
KOMPARATIF TAFSȊR AL-SYA‘RȂWȊ DAN TAFSIR AL-
MISHBAH
A. Profil Ayat Dayn .......................................................................... 47
B. Kewajiban Bagi yang Berhutang................................................... 51
C. Ḏa‟îf dan Safîh pada Penghutang .................................................. 68
D. Hutang Tidak Memenuhi Syarat .................................................. 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 73
B. Saran-saran ............................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara,
antara lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementrian
Agama dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina.
Penulis mengikuti Pedoman Transliterasi versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang disusun tidak mengikuti ketentuan salah satu versi di atas, melainkan dengan
mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri hurufnya.
A. Padanan Aksara
ARAB LATIN KETERANGAN
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dangan garis bawah ص
ḏ de dengan garis bawah ض
ṯ te dengan garis bawah ط
ẕ zet dengan garis bawah ظ
xii
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ؼ
Q Ki ؽ
K Ka ؾ
L El ؿ
M Em ـ
N En ف
W We ك
H Ha ق
Apostro ‟ ء
Y Ye م
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal dan monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U ḏammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i م
xiii
ك Au a dan u
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
اٮ ى Â a dengan topi di atas
م ٮ Î i dengan topi di atas
ك ٮ ي Û u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata Sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf
yaitu ال, dialihaksarakan menjadi /l/, baik diikuti oleh huruf syamsiyyah ataupun
huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضريكرىة tidak
ditulis aḏ-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an adalah kitab yang sebagian ayat-ayatnya bersifat yahtamil
wujûh al-ma„nâ (memungkinkan banyak makna atau penafsiran), atau dalam
ungkapan Martin Whittingham “one book many meanings” (satu kitab banyak
makna).1 Itulah yang menyebabkan seiring perjalanan sejarah peradaban umat
Islam, tafsir mulai menggunakan berbagai perangkat dan pendekatan penafsiran.
Perbedaan latar belakang keilmuan dan konteks sosio historis penafsirnya akan
ikut mewarnai penafsiran yang pada akhirnya akan melahirkan warna-warni
penafsiran.2
Dengan demikian, setiap mufassir tentu memiliki ciri khas penafsirannya
masing-masing.3 Hal tersebut akan mewarnai seluruh penafsirannya, yang sering
disebut sebagai corak tafsir (lawn4). Terdapat bermacam-macam corak tafsir,
diantaranya tafsir sufî, fiqhî, falsafî,„ilmî, dan al-adabî al-Ijtimâ„î. Dalam
1 Martin Whittingham, al-Ghazali and The Qur‟an: One Book, Many Meanings (USA
dan Canada: Rouledge, 2007); Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur‟an: Studi
Aliran-aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, hingga Modern-Kontemporer, Cet.II
(Yogyakarta: Idea Pres, 2016), h.10. 2 Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur‟an: Studi Aliran-aliran Tafsir dari Periode
Klasik, Pertengahan, hingga Modern-Kontemporer, h.11. 3 Abdul Aziz Kamil juga menjelaskan sebagaimana yang telah dikutip oleh M. Quraish
Shihab, bahwa setiap wilayah mengambil corak dan bentuk yang berbeda dengan yang lain, yang
dikarenakan perbedaan agama dan peradaban yang pernah hidup dan dianut oleh penduduk
masyarakat tersebut. Sehingga pemahamannya terhadap Islam sedikit atau banyak tercampur oleh
budaya setempat. Lihat: M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2003) 87. 4 Lawn termasuk dalam pembahasan metodologi penafsiran dalam buku-buku Ulûm al-
Qur„ân atau Ulûm al-Tafsîr. Istilah lawn dicetuskan oleh Iyâzî, tetapi ia tidak memberikan
contoh.
2
prakteknya, seorang mufassir dapat menggunakan satu corak (corak khusus)5,
kombinasi6, atau corak umum
7.
Corak tafsir yang akan penulis angkat adalah al-adabî al-ijtimâ„î, yaitu
tafsir yang berorientasi pada social budaya dan kemasyarakatan, atau biasa disebut
dengan tafsir sosio-cultural. Al-adabî al-ijtimâ„î menurut al-Farmawî merupakan
tafsir yang berupaya menyingkap keindahan bahasa al-Qur‟an dan mukjizat-
mukjizatnya, lalu menjelaskan makna dan maksudnya, memperlihatkan aturan-
aturan al-Qur‟an tentang kemasyarakatan, hingga mengatasi persoalan-persoalan
yang dihadapi umat Islam secara khusus dan permasalahan umat manusia secara
umum. Corak tafsir ini berusaha mengkompromikan antara pengetahuan al-
Qur‟an dan teori pengetahuan yang valid. Penguraiannya pun memperhatikan
petunjuk al-Qur‟an. Corak ini juga mampu mengingatkan manusia bahwa al-
Qur‟an merupakan kitab Allah yang abadi yang sanggup menyetir perkembangan
zaman dan kemanusiaan. Selain itu corak tafsir ini berupaya menjawab keraguan-
keraguan musuh terhadap al-Qur‟an dan berupaya menjawabnya dengan argument
yang kuat.8
Seorang tokoh orientalis, Ignaz Goldziher sempat menyatakan bahwa,
apabila umat muslim dapat menghadapi masalah yang relative temporal secara
5Contoh Tafsir al-Marâghî Qs. al-An„âm ayat 103, al-Marâghî menafsirkan ayat ini
memakai bentuk tafsir al-ra‟y, melalui corak khusus social kemasyarakatan. Lihat: Nasharuddin
Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000),h.78-82. 6 Contoh Tafsir al-Azhar Qs. al-An„âm ayat 103, penafsiran Hamka lebih berwarna sufi
dan al-adabî al-ijtimâ„î. Lihat: Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, h.82-86. 7 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur„ân al-„Aẕîm, Cet. II (Beirut: Dâr al-Fikr,1992), h. 27-28.; Abû
al-Faḏl Shihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmud al-Ȃlûsî, Tafsîr Rūh al-Ma‟ānî, Juz VI, Cet. III (t.tp: Dār
al-Fikr, t.th), h.66.; Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, h.87-95. 8 M. Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, J. II (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts,
2005), h. 410.; al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mauḏû„î, h. 41. Lihat: al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu‟i: Dan Cara Penerapannya, terj. Rosihon Anwar, h. 37-38.
3
proporsional, tentu umat Islam tidak akan menjadi batu sandungan bagi sistem
sosial yang selalu menuntut adanya dinamisasi dan kesinambungan zaman, bukan
sekedar menerapkan produk-produk pemikiran belaka.9
Seperti yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab bahwa dakwah
diharapkan dapat memberi jawaban, baik berupa pengertian atau solusi yang
memuaskan bagi pertanyaan atau masalah yang menghadang pemahaman dan
pengalaman agama dalam benak umat. Kemudian dapat mendorongnya untuk
meraih kesejahteraan lahir dan batin, sekaligus menyediakan sarana dan
mekanismenya.10
Kemudian penulis memilih topik utang-piutang, karena masih
menimbulkan problematika di masyarakat sampai saat ini. Di dalam bahasa
Indonesia kata utang memiliki makna yang umum, yaitu mencakup semua jenis
utang atau pinjaman.11
Namun, di dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang
apabila diterjemahkan ke bahasa Indonesia memiliki arti yang sama yaitu utang,
tetapi dalam fiqih muamalah keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Istilah
tersebut adalah dayn dan qarḏ.
9 Goldziher, Madzhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern, , terj. M.Alaika
Salamullah, dkk., Cet. III (Depok: Elsaq Press, 2006),h. 380-400. Ignaz Goldziher merupakan
tokoh orientalis besar pada abad ke 19. Beliau merupakan Bapak Orientalis asal Hungaria dari
keturunan Yahudi terpandang yang lahir pada 22 Juni 1850 di Szekesfehervar. Lihat: H. Idris,
Hadis dan Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis Tentang Hadis Nabi (Depok:
Prenamedia, 2017), h. 145.; Murtadha Mutahari, Islam Dan Tantangan Zaman (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), h.130.; Rosihon Anwar dan Asep Muharom, Ilmu Tafsir Edisi Revisi (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), h. 174-175. 10
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, h. 88. 11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
Keempat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utara, 2008), h. 1540.
4
Memahami perbedaan kedua istilah tersebut menjadi penting, karena
masing-masing istilah memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Perbedaan
mendasar antara kedua istilah tersebut terletak pada cakupan maknanya. Dayn
mencakup segala jenis utang, baik akibat dari suatu akad, transaksi, merusakkan,
menghabiskan, termasuk juga tanggungan karena akad qarḏ (pinjaman).12
Oleh
karena itu dayn lebih luas cakupannya dari pada qarḏ.
Penulis mengambil istilah mudâyanah karena beberapa mufassir
menjelaskan bahwa Qs. al-Bâqarah (2): 282 menjelaskan tentang mudâyanah atau
utang piutang.13
Sedangkan, Mutawalli al-Sya‟râwî menyebutnya sebagai ayat
terpanjang dalam al-Qur‟an.14
Ayat ini berkaitan dengan perekonomian dan aturannya yang telah banyak
dibahas oleh beberapa ulama tafsir dengan berbagai metode dan corak. Menurut
Umar Shihab nas-nas yang berkaitan dengan perekonomian hanya menegaskan
adanya hak orang miskin pada orang kaya, yakni menekankan pentingnya
pemerataan hak-hak penguasaan sumber daya ekonomi.15
Selain itu, ayat ini juga
sarat akan hukum, karena di dalamnya terdapat kata perintah dan larangan yaitu
لاتسئموا-لايأب-استشهدك-اكتبو . Sehingga tidak heran apabila banyak mufassir
yang menafsirkan ayat ini dengan corak fiqih.
12
Ibn „Abdin, Radd al-Muhtâr „alâ al-Dur al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-Absâr, Juz 7,
(Bairût: Dâr al-Kutub al- „Ilmiyah, 1423 H/2003 M), h. 383. 13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol.1
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h.562 dan 730. 14
Muhammad Mutawallî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh
Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2 (Qâhirah: Akhbar al-Yawm,
1991), h.1226. Lihat: Muhammad Mutawally al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar,
J.II (Jakarta: Duta Azhar, 2004), h.137. 15
Seperti Qs. al-Taubah/9: 103 dan al-Ma„ârij/70:24. Lihat: h. Umar Shihab,
Kontekstualitas al-Qur‟an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟an (Jakarta: Pena
Madani, 2005), h. 230.
5
Ulama-ulama tafsir tersebut diantaranya adalah al-Syanqiṯî (1393 H/1972
M), dalam Aḏwa‟ al-Bayân fî Iḏâh al-Qur„ân bî al-Qur„ân, ia menafsirkan al-
Bâqarah ayat 282, dengan pendekatan tafsir bî al-ma„tsûr bercorak fiqih.
Menurutnya, secara lahir perintah menulis yang berasal dari kata kataba,
hukumnya wajib. Namun ayat ini menurutnya hanyalah tuntunan atau anjuran.16
Begitupun pada persaksian كىأىشهديكا إذىا تػىبىايػىعتيم “dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli”. Ayat ini secara lahir mengandung perintah wajib17
, namun setelah
mengutip pendapat dari beberapa ulama fiqih dan tafsir maka disimpulkan bahwa
ayat ini hanya sebuah anjuran. Penafsiran yang disajikan oleh al-Syanqiṯî sangat
cocok disajikan kepada para pengkaji hukum dan kalangan yang terpelajar, karena
langsung kepada dalil-dalil baik dari Qur‟an, hadis, atsar ataupun pendapat
ulama-ulama tafsir maupun fiqih.
Kemudian, Al-Sa„dî (1313-1376 H) dalam Tafsîr al-Karîm al-Rahmân fî
Tafsîr Kalâm al-Mannân menjelaskan Qs. al-Bâqarah ayat 282 secara ringkas.
Beliau menjelaskan makna dari ayat tersebut dalam 33 poin dengan bahasa yang
singkat dan kental akan corak fiqihnya. Di antara penjelaskan beliau adalah
tentang perintah untuk mencatat dan mempersaksikan transaksi utang piutang
yang hukumnya bisa wajib bisa sunnah. Mengingat beratnya kebutuhan untuk
mencatatnya. Karena jika tidak dicatat, rentan tercampur oleh bahaya besar,
kesalahan, lupa, sengketa, dan pertikaian.18
Berikutnya, mufassir kontemporer yang juga seorang ahli fikih, Prof. Dr.
Wahbah al-Zuhailî (w. 1932 M) dalam kitab tafsirnya al-Munîr menjelaskan Qs.
16
Al-Syanqîṯî, Aḏwâ‟ al-Bayân fî Ȋḏâh al-Qur„ân, Terj. Fathurazi (Jakarta: Pustaka
Azam, 2006), h. 283. 17
Al-Syanqîṯî, Aḏwâ‟ al-Bayân fî Ȋḏâh al-Qur„ân, Terj. Fathurazi, h. 517. 18
Abdurrahim Hamdi, “Model Piutang dalam Bingkai Fiqih dan Tafsir.” Adzkiya 3, no.1.
Maret (2015): h. 111.; Lihat : Abd al-Rahmân b. Nasîr al-Sa„di, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî
Tafsîr Kaâam al-Mannân (Riyâdh:Dâr al-Salâm), h. 118.; Lihat: Abd al-Rahmân b. Nasir al-Sa‟dî,
Tafsir al-Sa‟di, h. 444.
6
Al-Bâqarah ayat 282 dan 283 dengan sangat sistematis, metodis dan kental
dengan nuansa fikihnya. Nuansa fikih telihat dari banyaknya menukil pendapat
ulama fikih dan adanya pembahasan tersendiri atau sub bab tentang fikih. Bahkan
Wahbah al-Zuhailî juga mensinyalir dalam footnote-nya tentang lebih banyaknya
kata yang muncul yaitu kata al-Syahadah dalam dua ayat utang (282 dan 283)
yaitu delapan kali, sedangkan kata yang berasal dari al-kitabah sebanyak sepuluh
kali.19
Hal ini tentu mensinyalir sesuatu, yang kemudian muncul disertasi terkait
bukti keotentikan pencatatan dan persaksaksian dalam transaksi utang piutang
oleh Faizatul Mukrimah yang berjudul “Kedudukan Bukti Autentik (Tertulis) dan
Saksi dalam Transaksi Utang Piutang: Studi Terhadap Tafsir Ibn Kathir, Tafsir
Al-Munir dan Tafsir Fi Zilalil Qur‟an Surat Al-Baqarah Ayat 282” dari UIN
Sunan Ampel Surabaya tahun 2016.
Wahbah sendiri berpendapat bahwa ayat ini membahas pengukuhan
transaksi tidak secara tunai, utang-piutang dan akad al-salâm (pesanan), dengan
cara mencatat, mempersaksikan, dan dengan barang jaminan. Selain itu, apabila
tidak bisa dikuatkan dengan tiga cara sebelumnya, bisa atas dasar al-Amânah
(saling percaya).20
Di akhir pembahasan beliau menyimpulkan bahwa, Allah Swt.
memerintahkan untuk mempersaksikan dan menuliskan muamalah yang
dilakukan tidak secara tunai.21
Walaupun dalam bab fikihnya ia mengutip
19
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al- Munir, J.2 terj. Abdul Hayyie Al-Kattani,dkk. (Jakarta:
Gema Insani, 2013),h. 157. 20
al-Zuhaili, Tafsir Al Munir, J.2 terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., h.147. 21
al-Zuhaili, Tafsir Al Munir, J.2 terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., h.157.
7
pendapat jumhur ulama bahwa perintah untuk menuliskan dan mempersaksikan
muamalah tidak secara tunai ini bersifat al-Nadbu (sunnah).22
Secara garis besar, penafsiran yang bercorak fiqih di atas, banyak
mengutip pendapat para ahli fiqih tentang perbedaan pendapat terkait hukum di
dalamnya. Hal ini dalam sebuah jurnal dijelaskan bahwa perbedaan tersebut
dikarenakan, para ahli tafsir memandang ayat tersebut dari segi keumuman
lafadznya, sehingga banyak menimbulkan penafsiran yang berbeda.23
Di zaman modern, tafsir ayat-ayat hukum sangat dibutuhkan untuk
membentuk pemahaman serta pedoman berperilaku. Penjelasan yang terlalu rumit
dan kaku dalam tafsir yang bercorak fiqih membutuhkan waktu lebih dan dasar
keilmuan yang mumpuni. Sedangkan, problematika terutama tentang utang-
piutang, sudah menjalar di berbagai kalangan masyarakat. Hal ini membutuhkan
solusi yang lebih cepat, tepat, dan menyeluruh. Karena, tidak semua masyarakat
memiliki waktu lebih dan kemampuan bahasa arab yang mumpuni, maka
dibutuhkan corak tafsir yang lebih dekat dengan bahasa masyarakat sehari-hari.
Sehingga diharapkan makna yang disampaikan al-Qur‟an dapat dipahami juga
oleh berbagai kalangan di masyarakat dengan mudah.
Utang piutang sampai saat ini masih menimbulkan masalah dalam
masyarakat. Problematika utang piutang yang kita saksikan saat ini sangatlah
beragam. Hal ini dapat terlihat jelas pada masyarakat menengah ke bawah yang
22
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-„Aqîdah wa al-Syarî„ah wa al-Manhaj, J. 3,
Maktabah Syamilah, h.118-119. Lihat: al-Zuhaili, Tafsir Al Munir j.2 terj. Abdul Hayyie al-
Kattani,dkk., h.150. 23
Herian Sani, “Jual Beli Kredit (Tafsir Ayat Ahkam Para Fuqaha),” Al-Muamalat II,
no.1. (2006): 291.
8
hidupnya sangat bergantung kepada hutang. Akibat buruk dari hutang juga dapat
disaksikan di berbagai media masa.
Terdapat salah satu kisah di Jember baru-baru ini, seorang suami tega
membunuh istrinya. Diduga hal itu karena pelaku sering dimarahi korban karena
terlilit utang usai dipecat dari pekerjaanya.24
Utang menjadi pemicu kejengkelan
istri, sehingga membuatnya marah-marah ke suami. Suami yang menanggung
semua beban yang seharusnya ingin mendapatkan ketenangan dari istrinya, justru
malah disulut emosinya, sehingga melakukan perbuatan yang seharusnya tidak ia
lakukan.
Hutang ini selain merugikan si peminjam bisa juga merugikan si pemberi
pinjaman. Seperti terlihat dalam salah satu kisah nyata, tersangka Hakim Baidowi
(34) membayar dua orang pembunuh bayaran untuk membunuh Silviana. Pelaku
(Hakim B.) merasa sakit hati karena Silviana (korban) mengenakan bunga tinggi
pada uang yang Dia pinjam sejak bulan April 2017. Awalnya dia hanya berhutang
Rp 69.000.000,00 dan setelah tujuh bulan, jumlahnya menjadi Rp137.000.000,00.
Selain itu korban juga marah-marah saat datang menagih ke kediamannya.25
Pada
kisah ini, kembali hutang menjadi sebab pertikaian bahkan berujung percobaan
pembunuhan.
Masyarakat menengah ke bawahlah kini yang menjadi ladang bagi para
pemberi utang yang sering disebut lintah darat atau rentenir. Tak hanya itu,
mungkin di sekeliling kita juga banyak orang muslim yang menjadi lintah darat
24
Bambang Sugiarto, “Diduga Sering Dimarahi, Suami di Jember Tusuk Leher Istri
Hingga Tewas”, artikel diakses pada 22 April 2018 dari www.inews.id/daerah/ 25
Heri Fulistiawan, “Terlilit Utang Warga Lampung Bayar 2 Pria Bunuh Ibu Rumah
Tangga,” artikel diakses pada 17 April 2018 dari https://www.inews.id/daerah
9
tersebut. Namun, seorang muslim yang taat seharusnya tidak akan mencekik
pelanggannya dengan mengambil untung yang berlebihan.26
Bahkan jika sudah
tidak dapat membayar, alangkah lebih mulia apabila diberikan saja. Dibalik semua
itu, seorang manusia pun harus dapat me-manage segala kebutuhan dan
keinginannya agar tidak terlalu banyak berhutang apalagi sampai sulit membayar.
Sebenarnya, masalah ini juga terletak pada manusia yang terlalu
berlebihan dalam mengejar harta27
atau materi dan kebanyakan manusia
menjadikan materi sebagai tujuan bukan perantara terhadap kehidupan akherat.28
Keserakahan manusia sendirilah yang akan merugikannya. Hal ini dapat dilihat
pada perilaku orang-orang yang berhutang pada barang-barang atau tujuan yang
tidak terlalu mereka butuhkan, kemudian mereka sulit untuk membayarnya.
Di dalam sebuah transaksi utang-piutang seharusnya terdapat unsur tolong
menolong sesama manusia atau antara si peminjam dengan yang meminjamkan
bukan malah saling merugikan. Memberikan pinjaman merupakan perbuatan yang
terpuji, namun ada pula yang tercela. Dalam pembahasan pinjaman tersendiri ada
yang boleh dan tidak. Pinjaman yang dianjurkan oleh al-Qur‟an adalah memberi
pinjaman yang baik (Qarḏan Hasanah)29
dan pinjaman yang dilarang oleh Allah
adalah pinjaman yang buruk.
Terkait perilaku berutang, sebuah penelitian psikologi menyatakan
semakin positif sikap seseorang terhadap uang, semakin tinggi kecenderungan
26
Yusuf al-Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta: Gema Insani,1997), h.
36. 27
Wahbah Zuhaili, Al-Qur‟an Paradiqma Hukum dan Peradaban , terj. (Surabaya:
Risalah Gusti, 1995), h.126. 28
Qs.al-Bâqarah (2): 43,83,110; Qs.al-Nisâ (4):77; Qs. Nûr (24): 56; Qs.al-Muzammil
(73): 20. 29
Qs. al-Bâqarah (2) :280.
10
perilaku berhutangnya, begitu pula sebaliknya. Perilaku berhutang ini harus
diberengi dengan pertimbangan yang matang. Karena sikap terhadap uang yang
tidak proporsional akan menimbulkan masalah lain, seperti finansial (tidak dapat
membayar), social (memiliki konflik dengan yang meminjamkan), dan psikologis
(strees dan depresi).30
Utang memang sampai saat ini masih menjadi masalah utama ekonomi
masyarakat terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang notebene
mayoritas penduduknya umat muslim. Padahal, Allah telah memberikan petunjuk
terkait utang-piutang di ayatnya yang terpanjang. Tentu dalam ayat tersebut
tersimpan hikmah bahkan solusi terkait masalah hutang yang selalu membelenggu
masyarakat yang tidak pernah berhenti hingga saat ini. Terbukti pentingnya ayat
tersebut, dalam ilmu hukum konvensional saja terdapat prinsip yuridis yang
berlaku terhadap suatu jaminan utang.31
Selain itu dalam ilmu umum yang
berkembang saat ini juga terdapat Sistem Pengikatan Jaminan Utang.32
Hal ini
membuktikan betapa pentingnya pencatatan, persaksian dan jaminan dalam utang
piutang.33
Melihat sekian banyaknya masalah yang timbul dalam masyarakat
disebabkan oleh utang piutang, penting rasanya untuk mengungkap kembali
sebuah tafsiran yang pembahasannya mudah dicerna masyarakat dan lebih dekat
dengan masyarakat agar lebih mudah diambil hikmah dalam kehidupan sehari-
sehari. Sehingga, diharapkan bisa menjadi solusi dari masalah yang memang
30
Muhammad Shohib, “Sikap terhadap uang dan Perilaku berhutang,” JIPT III, no.
(2015): 140-141. 31
Munir Fuady, Hukum Jaminan Hutang (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 28-29. 32
Munir Fuady, Hukum Jaminan Hutang, h. 34-41. 33
Munir Fuady, Hukum Jaminan Hutang, h. 8.
11
sedang dihadapi masyarakat saat ini. Tafsiran tentang ayat ini sebagian besar
kental dengan corak fiqhihnya saja (wajib dan sunnahnya). Namun, kini penulis
akan mengungkap sisi social budaya kemasyarakatan yang diusung oleh dua
orang mufassir kontemporer yang berasal dari dua negara yang berbeda, yaitu
Mutawally al-Sya„rawî berdomisili dari Mesir dan M. Quraish Shihab dari
Indonesia.
Mutawally al-Sya„rawî adalah ulama yang sudah tidak diragukan lagi
kemampuannya. Metode penyampaiannya yang bagus membuat pesan yang ia
sampaikan mudah meresap kedalam hati masyarakat. Menurut Yusuf al-
Qardhawî,“ al-Sya„rawî adalah penafsir yang handal. Penafsirannya tidak terbatas
oleh ruang dan waktu, tetapi juga mencakup kisi-kisi kehidupan lainnya, bahkan
dalam kehidupan kesehariannya ia terkesan menggandrungi sufisme, kendati
sebagian orang menentang kehidupan sufi. Ia tetap bersi kukuh dengan
prinsipnya.”34
M. Quraish Shihab juga merupakan salah satu mufassir handal Indonesia.
Beliau pernah mengutip pendapat Shahrur bahwa al-Qur‟an perlu ditafsirkan
sesuai dengan tuntutan zaman kontemporer yang dihadapi oleh umat Islam dan
umat manusia. Pemeliharaan dilakukan dengan pengkajian yang menyentuh
realitas dan mencoba menyapa realitas lebih sensitive, dan memfungsikannya
34
Riesti Yuni Mentari, “Penafsiran al-Sya‟rawi Terhadap al-Qur‟an Tentang Wanita
Karir,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2011), h.33. Lihat: Ahmad al-Marsi Husein
Jauhar, Muhammad Mutawally al-Sya‟rawi: Imām al-Asr (Qāhirah: Handat Misr,1990), h. 53.;
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarrta, 2011), h. 158.
12
dalam memahami realitas-realitas yang ada dengan interpretasi yang baru sesuai
dengan wilayah setempat.35
Hasil penafsiran dari dua tokoh di atas akan mewakili perkembangan
corak al-adabî al-ijtimâ„î di masa kontemporer. Karena kedua mufassirnya sama-
sama hidup di masa kontemporer dan sama-sama bercorak al-adabî al-ijtimâ„î,
namun berada pada wilayah yang berbeda yaitu Mesir dan Indonesia dengan
kondisi masyarakat yang tentu berbeda, sehingga akan membawa warna tersendiri
pada karya tafsirnya. Dengan demikian, akan dibuktikan benar tidaknya sebuah
tafsir yang bercorak al-adabî al-ijtimâ„î mengandung solusi persoalan yang
dihadapi umat Islam secara khusus dan permasalahan umat lainnya secara umum,
yang pada penelitian ini adalah tentang mudâyanah.
Kedua penafsiran dari dua tokoh tersebut akan dianalisis dan dibandingkan
agar mencapai solusi yang diharapkan. Membandingkan unsur penafsiran dari
seorang mufassir dengan mufassir lainnya akan memiliki banyak
manfaat,diantaranya membawa kepada pemahaman yang lebih lengkap, dengan
menggabungkan berbagai pemahaman ulama tafsir dari berbagai aliran.36
Al-Sya‟rawi dan M. Quraish Shihab yang sama-sama bercorak al-adabî
al-ijtimâ„î tentu memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan focus penafsiran
keduanya. Dengan demikian diharapkan dapat memperkaya solusi yang berguna
untuk menjawab berbagai problematika masyarakat terkait utang piutang. Selain
itu penulis dapat mengungkap eksistensi tafsir kontemporer dan corak barunya ini
35
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat), h. 88. 36
Yudhie Haryono, Nalar Al-Qur‟an (Jakarta: PT. Intimedia Cipta Nusantara, 2001), h.
66-167.
13
dalam berkontribusi terhadap penyelesaian problematika umat. Sehingga seperti
ungkapan M. Quraish Shihab, al-Qur‟an dapat „dibumikan‟ kembali.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, terdapat berbagai
masalah yang terdeteksi, diantaranya sebagai berikut.
1. Bagaimanakah konsep dayn menurut Tafsîr al-Sya‟rawi dan Tafsir al-
Mishbah?
2. Bagaimanakah solusi yang ditawarkan al-Qur‟an menurut para mufasir
terkait problematika mudâyanah saat ini?
3. Bagaimanakah eksistensi tafsir di era kontemporer ?
4. Bagaimanakah perkembangan corak tafsir al-adabî al-ijtimâ„î ?
5. Bagaimanakah corak tafsir al-adabî al-ijtimâ„î dalam Tafsîr al-Sya‟rawi?
6. Bagaimanakah corak tafsir al-adabî al-ijtimâ„î dalam Tafsir al-Mishbah?
7. Bagaimanakah keadaan lingkungan suatu daerah dapat mempengaruhi
penafsiran seorang mufassir?
C. Pembatasan Masalah
Ayat tentang mudâyanah atau utang piutang yang diambil dari akar kata
dalam al-Mu„jam al-Mufahras Lî al-Fâẕ al-Qur„ân al-Karîm terdapat dalam 3 دىينه
ayat.37
Yaitu pada Qs. al-Bâqarah (2): 28238
yang membahas tentang hutang
37
Qs. al-Nisâ (4): 12. Dibatasi pada akar kata tersebut karena masih terdapat ayat lain
yang membahas tentang utang. 38
Qs. al-Bâqarah (2): 282
ايػىنتيم ب ا الذينى آمىنيوا إذىا تىدى ينو يىا أىيػهى ....إلى أىجىلو ميسىمى فىاكتيبيوهي دىArti: Wahai orang-orang yang beriman !Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ….
14
secara umum dan rinci, Qs. al-Nisâ (4):11 dan 1239
tentang wajibnya membayar
utang bagi ahli waris.40
Ayat ini seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah lebih
banyak ditafsirkan dengan corak fikihnya. Oleh karena itu penulis akan
membatasi hanya focus membahas pada corak al-adabî al-ijtimâ„î- nya. Agar
menghasilkan solusi yang dapat diaplikasikan oleh masyarakat.
D. Perumusan Masalah
Dari berbagai identifikasi masalah yang telah dicantumkan di atas dan
batasan masalah yang telah dipaparkan, maka penulis merumuskan masalah yang
akan dibahas yaitu, bagaimanakah konsep dayn menurut Tafsîr al-Sya‟rawi dan
Tafsir al-Mishbah?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Menjelaskan konsep dayn dari seorang mufassir kontemporer yang bercorak
al-adabî al-ijtimâ„î terhadap ayat yang sarat fikih.
b. Menjelaskan persamaan dan perbedaan konsep dayn dalam Tafsîr al-Sya„rawî
dan Tafsir al-Mishbah
39
Qs. al-Nisa (4): 11
… دىينو من بػىعد كىصيةو ييوصي بىا أىك …Arti: … (pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau
(dan setelah dibayar) hutangnya ….
Qs. al-Nisâ (4): 12
... دىينو من بػىعد كىصيةو ييوصىى بىا أىك ... دىينو من بػىعد كىصيةو تيوصيوفى بىا أىك ... دىينو من بػىعد كىصيةو ييوصينى بىا أىك …Arti: … setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya …
setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu … setelah
(dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak
menyusahkan (kepada ahli waris) … 40
Muhammad Fu„âd „Abd al-Bâqî, al-Mu„jam al-Mufahras Lî al-Fâẕ al-Qur„ân al-Karîm
(Dâr al-Fikr, tt), h.340.
15
c. Menggali solusi terkait problematika mudâyanah yang meresahkan
masyarakat dalam Tafsîr al-Sya„rawî dan Tafsir Al-Mishbah.
Kemudian, manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Terungkap kembali eksistensi tafsir dalam memberikan solusi terhadap
problem masyarakat.
b. Terungkap perbedaan titik fokus penafsiran walaupun dengan corak yang
sama (al-adabî al-ijtimâ„î).
c. Memberikan solusi terkait transaksi utang piutang yang sedang dihadapi
masyarakat muslim perspektif Tafsîr al-Sya„rawî dan Tafsir Al-Mishbah.
F. Kajian Pustaka
Kajian terdahulu yang sesuai dengan topik utang piutang diantaranya,
pertama, karya Faizatul Mukrimah dengan judul Disertasi “Kedudukan Bukti
Autentik (Tertulis) dan Saksi dalam Transaksi Hutang Piutang: Studi Terhadap
Tafsir Ibn Kathir, Tafsir Al-Munir dan Tafsir Fi Zilalil Qur‟an Surat Al-Baqarah
Ayat 282”. Disertasi UIN Sunan Ampel tahun 2016 ini focus pada pembahasan
kedudukan penulisan dan persaksian dalam transaksi utang-piutang, dan dibatasi
pada tiga kitab tafsir yaitu Tafsîr Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Munîr dan Tafsîr Fî Ẓilâl
al-Qur„ân yang bertujuan untuk menganalisis data tafsiran Ibn Katsîr, Wahbah al-
Zuhailî, dan Sayyid Quṯb dengan metode „amm khas dari ulûm al-Qur„ân, sebagai
salah satu bentuk yang bisa menjadi wacana dan dijadikan hujjah oleh umat
Islam.41
41
Faizatul Mukrimah, “Kedudukan Bukti Autentik (Tertulis) dan Saksi dalam Transaksi
Hutang Piutang: Studi Terhadap Tafsir Ibn Kathir, Tafsir Al-Munir dan Tafsir Fi Zilalil Qur‟an
Surat Al-Baqarah Ayat 282,” (Disertasi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016).
16
Titik persamaannya adalah sama-sama menggunakan Qs. al-Bâqarah/2
ayat 282 sebagai obyek penelitian, yang mana ayat tersebut sarat dengan aturan
utang piutang. Titik perbedaannya, pada jurnal ini menggunakan metode „amm
khas dari ulûm al-Qur„ân. Sedangkan dalam penelitian penulis, menggunkan
corak al-adabî al-ijtimâ„î sebagai pisau bedahnya. Selain itu, kitab tafsir yang
penulis gunakan juga berbeda.
Kedua, Arif Riyadi dengan skripsinya yang berjudul “Penafsiran Quraish
Shihab Tentang Qarḏ dan Dayn dalam Tafsir Al-Mishbah”. Skripsi tahun 2014
ini menjelaskan tentang penafsiran M. Quraish Shihab terkait topik Qarḏ dan
Dayn di dalam Tafsir al-Misbah. Fokus tujuannya adalah untuk membedakan
makna Qarḏ dan Dayn di dalam Tafsir al-Mishbah.42
Penelitian ini memiliki
persamaan pada pembahasan dayn dalam Tafsir Al-Mishbah. Namun, memiliki
perbedaan pada metode dan adanya tafsir tambahan pada penelitian penulis.
Ketiga, Irwan Sah dengan skripsinya yang berjudul “Dayn dalam Al-
Qur‟an (Studi atas Tafsir Al-Qur„ân Al-„Aẕîm karya Ibn Katsîr”. Skripsi UIN
Sunan Kalijaga tahun 2016 ini, mengangkat topik dayn menurut Ibn Katsîr.
Kajiannya disusun dalam bentuk tafsir tematik menurut satu mufassir klasik.43
Hal
ini memiliki titik persamaan pada pembahasan dayn-nya, namun memiliki
perbedaan pada metode serta obyek karya tafsir yang digunakan.
Keempat, Sofian Muhlisin dan Taufik dengan jurnalnya yang berjudul
“Hutang Piutang Dalam Transaksi Tawarruq Ditinjau dari Perspektif Al-Qur‟an
42
Arif Riyadi, “Penafsiran Qirash Shihab Tentang Qard dan Dayn dalam Tafsir Al
Misbah,” (2014). 43
Irwan Sah, “Dayn dalam Al-Qur‟an (Studi Atas Tafsir Al-Qur‟an Al-‟Adzim Karya Ibn
Katsir,” Fak. Ushuluddin dan Pemikiran, UIN Sunan Kalijaga (2016).
17
Surat Al-Bâqarah Ayat 282”. Jurnal Syarikah tahun 2015 ini mengangkat topik
hutang piutang dalam Qs. al-Bâqarah ayat 282 juga, namun dalam ruang lingkup
transaksi tawarruq saja.44
Kelima, jurnal karya dari Jamîlah „Abd al-Qâdir al-Rifâ„î dan al-Sayid
Sahîl Huwâmidah yang berjudul al-Dayn al-Ma„dûm Fî Fiqh al-Islâmî: Asbâbah
wa „Alâjah. Al-majallah al-Ardiniyyah fî al-Dirâsah al-Islâmiyyah atau Jurnal
Studi Islam Yordania tahun 2010 ini, menjelaskan tentang subjek, pemahaman,
konsep, adaptasi, dan alasan-alasan dalam pelaksanaan hutang dari perspektif
Fiqh Islam.45
Penelitian ini memiliki persamaan terkait pembahasan dayn.
Kemudian, perbedaannya adalah sudut pandang jurnal ini dari segi fiqih, dan
sudut pandang penelitian penulis dari segi tafsirannya.
Keenam, terdapat jurnal yang berjudul “Enduring Financial: An Islamic
Perspective” karya Benaouda Bensaid, dkk. Middle-East Journal of Scientific
Research tahun 2013 ini menjelaskan konsep utama utang dalam Islam. Di
dalamnya berisi implikasi spiritual dan moral yang terkait dengan utang, baik
untuk debitur maupun pemberi pinjaman. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan
bahwa, Islam memiliki bekal yaitu nilai-nilai spiritual dan moral dalam menjalani
kehidupan.46
Penelitian ini memiliki titik persamaan pada pembahasan terkait
utang dalam kacamata Islam. Perbedaannya, penelitian penulis lebih focus untuk
44
Taufik, dan Sofian Muhlisin, “Hutang Piutang dalam Transaksi Tawarruq Ditinjau dari
Perspektif Al-Qur‟an Surat Al-Bâqarah Ayat 282,” Jurnal Syarikah, 1.1 (2015). 45
Jamîlah „Abd al-Qâdir al-Rifâ„î dan al-Sayid Sahîl Huwâmidah, “al-Dayn al-Ma„dûm
Fî Fiqh al-Islâmî: Asbâbah wa „Alâjah,” Al-majalah al-Ardiniyyah fî al-Dirâsah al-Islâmiyyah VI,
No. 2 (1431 H/ 2010 M): 211-236. 46
Benaouda Bensaid, dkk., “Enduring Financial: An Islamic Perspective,” Middle-East
Journal of Scientific Research 13, No. 2 (2013): 167-170.
18
membandingkan corak al-adabî al-ijtimâ„î pada dua kitab tafsir yang membahas
tentang topik hutang.
Ketujuh, jurnal yang berjudul “Eksploring the Concept of Debt From the
Perspective of the Objectives of the Shariah”. International Journal of Economics
and Financial Issues tahun 2016 ini, memiliki tujuan untuk mengeksplorasi
konsep hutang dalam Islam dari perspektif tujuan Syariah. Di dalamnya
menjelaskan bahwa aturan dibolehkannya utang itu berbeda-beda, sesuai dengan
keadaannya. Hutang seharusnya hanya dikeluarkan untuk keperluan yang
mendesak (ḏaruriyyah), namun disisi lain ketiadaan hutang tersebut dapat
membahayakan orang yang membutuhkan.47
Sedangkan kajian terdahulu terkait pembahasan corak al-adabî al-ijtimâ„î
pada kitab tafsir diantaranya yaitu pertama, jurnal yang berjudul “Analisis
Terhadap Corak Tafsir Al-Adaby Al-Ijtima‟i” karya Abdurrahman Rusli Tanjung.
Jurnal Analitica Islamica tahun 2014 ini mengangkat tentang contoh tafsiran yang
bercorak al-adabî al-ijtimâ„î. Contoh penafsiran tersebut diambil dari Tafsir karya
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Ahmad Mustafa al-Maraghi, Sayyid Qutb,
Abdullah Yusuf Ali, M. Quraish Shihab, yang kemudian dianalisis. Kesimpulan
dari analisis tersebut menyatakan bahwa secara umum karakteristik corak al-
adabî al-ijtimâ„î pada kitab tafsir sesuai dengan apa yang telah dinyatakan oleh al-
Dzahabî.48
47
Zainal et. all, “Eksploring the Concept of Debt From the Perspective of the Objectives
of the Shariah,” International Journal of Economics and Financial Issues VI (2016): 304-312. 48
Abdurrahman Rusli Tanjung, “Analisis Terhadap Corak Tafsir Al-Adaby Al-Ijtima‟I,”
Analytica Islamica 3, No. 1 (2014): 162-177.
19
Titik persamaan keduanya adalah tentang analisis corak al-adabî al-
ijtimâ„î pada kitab tafsir. Kemudian titik perbedaannya adalah yang pertama,
metode penelitiannya berbeda, karena dalam penelitiannya ini penulis
menggunakan metode perbandingan sedang pada jurnal ini menggunakan metode
analisis. Kedua, objeknya berbeda, yang mana pada penelitian ini hanya terpaku
pada dua penafsiran saja, yaitu Tafsîr al-Sya„rawî dan Tafsir al-Mishbah. Ketiga,
alur penelitian yang digunakan juga berbeda. Pada jurnal tersebut berangkat dari
menghadirkan contoh-contoh tafsiran yang bercorak al-adabî al-ijtimâ„î, yang
kemudian baru menganalisis karakteristik corak al-adabî al-ijtimâ„î, dan
menghasilkan kesimpulan yang sama dengan karakteristik yang diusulkan oleh al-
Dzahabî. Sedangkan dalam penelitian ini berangkat dari karakteristik yang telah
diusung oleh al-Dzahabî, yang kemudian menjadi pisau bedah untuk
membandingkan kedua penafsiran yang penulis angkat.
Kedua, Wartini Atik dengan jurnalnya yang berjudul “Corak penafsiran
M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah”. Jurnal Studi Islamika, tahun 2014
ini membahas corak penafsiran yang terkandung dalam Tafsir Al-Mishbah karya
M. Quraish Shihab. Corak karya tafsir pada jurnal ini berangkat dari dari
pemetaan corak karya tafsir dengan menggunakan teori obyektifis tradisionalis,
yang kemudian dikembangkan menjadi obyektifis tradisonalis dan obyektifis
modernis. Kemudian, kesimpulan dari jurnal ini, penafsiran M. Quraish Shihab
menggunakan corak tafsir quasi obyektifis modernis. 49
Hal ini jelas berbeda
apabila dibandingkan dengan penelitian penulis.
49
Atik Wartini, “Corak penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah,” Jurnal
Studia Islamica, Vol. 11, No.1. (2014): 123.
20
Ketiga, jurnal karya Achmad dengan judul “Mutawally Al-Sya„rawî dan
Metode Penafsirannya: Studi Atas Surah al-Maidah Ayat 27-30”. Jurnal Alauddin
Makasar tahun 2013 ini membahas tentang Mutawally al-Sya„rawî dan metode
penafsirannya dalam Surat al-Maidah ayat 27 sampai 30. Di dalam penelitian
tersebut terdapat semua unsur metode tafsir, termasuk corak dari tafsirannya yaitu
corak al-adabî al-ijtimâ„î.50
Dari penelusuran penulis, tidak menemukan penelitian yang secara
spesifik membahas tentang Corak al-adabî al-ijtimâ„î dalam Tafsîr al-Sya„rawî
dan Tafsir al-Mishbah: Kajian Ayat-ayat Mudâyanah. Sehingga penulis terdorong
untuk membahas topik tersebut.
G. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ilmiah, metode merupakan cara bertindak agar penelitian
dapat terlaksana secara obyektif, terarah dan dapat mendapatkan hasil yang
optimal. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kepustakaan (Library
Research)51
, karena yang menjadi sumber adalah literatur-literatur kepustakaan.
Baik yang berasal dari sumber-sumber pokok pembahasan skripsi ini, maupun
dari karya orang lain yang menyangkut pembahasan penelitian ini.
a. Sumber Primer dan Sekunder
Terdapat dua sumber yang menjadi landasan penelitian, yaitu data primer
dan sekunder. Data Primer adalah data yang memberikan keterangan langsung
50
Achmad, “Mutawally Al-Sya‟rawi dan Metode Penafsirannya: Studi atas Surah al-
Maidah Ayat 27-34,” AL-DAULAH 1, no. 2 (2013). 51
Sebuah penelitian yang obyeknya merupakan sumber-sumber tertulis yang valid. Tidak
hanya buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan, namun juga bisa yang sudah dalam bentuk
elektronik ataupun koran, majalah, dll.
21
dari orang pertama, dalam hal ini yang gunakan adalah Tafsir al-Sya‟rawî dan
Tafsir al-Mishbah. Kitab tafsir, al-Sya„râwî, Muhammad Mutawallî. Tafsîr al-
Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî haula
al-Qur‟ân al-Karîm, vol.2. Qâhirah: Akhbar al-Yawm, 1991., dan terjemahan
edisi Indonesianya, Sya‟rawi, Mutawally. Tafsir Sya‟rawi: Renungan Sebuah
Kitab Suci al-Qur‟an. Jilid 2. Terj.Tim Safir al-Azhar. Jakarta: PT. Khasanah
Nusantara Agung. 2004.; dan, Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati. Vol.1, Cet.V. 2012.
Selanjutnya sumber sekunder yakni sumber yang mengutip dari sumber
lain yang mendukung. Seperti yang terdapat dalam buku, jurnal, artikel atau
tulisan lain yang mendukung penelitian ini.
b. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan yaitu komparatif atau muqârin, yang mana
perbandingan yang menjadi ciri utamanya.52
Al-Farmawî menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan tafsir al-Muqârin adalah نى م عه جى وي بى تى ا كى مى ىلى عى ة ي ن اى ر القي ات يى الاى افي يى بػى yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan pada yang telah نى ي ر س فى مي ال
ditulis oleh sejumlah mufassir. Selain itu menurut al-Farmawî terdapat arti yang
lebih luas, sebagai berikut.
: لى إ ره س فى مي و ي ف وي ج ت يػى ذ , إ حى سى ف أى و جى , كى عى سى ك أى اؿو ا مىى : ذى ف ار قى مي ال ي س ف التػ نى م عي و النػ كى ال ذى في و كي يى د قى كى ة نى ارى قى : مي لى إ رو خ اى . كى ضو ع ا بػى هى ض ع بػى – دو اح كى عو و ضي و مى ح ة كى تى ش مي ال – ة ي ن اى ر القي ص و صي ن ال ةي نى ارى قى مي اثو بى الى نى م كى ل اذى ي غى لى , إ ؼى لى ال هي ري اى ظى افى ا كى مى ي , ف ة ي و بى الن ث ي اد حى لى با ة ي ن اى ر القي ص و صي ن ال
52
Nasharuddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat
yang Beredaksi Mirip (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 63.
22
Yaitu, membandingkan ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang tema tertentu,
atau membandingkan ayat al-Qur‟an dengan hadis Nabi, atau dengan kajian
lainnya. 53
Metode ini terbagi menjadi tiga aspek menurut Nasharuddin Baidan, yaitu
membandingkan ayat dengan ayat, membandingkan ayat dengan hadis, dan
membandingkan pendapat para mufassir.54
Pada penelitian ini peneliti akan
mengkomparasikan bagian yang terakhir, yaitu membandingkan pendapat
mufassir dengan mufassir lainnya.
Langkah-langkah pada metode ini diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Mengumpulkan sejumlah ayat al-Qur‟an.
2. Mengemukakan penjelasan para mufassir.
3. Membandingkan pendapat-pendapat yang mereka kemukakan,
4. Menjelaskan siapa di antara mereka yang penafsirannya dipengaruhi -
secara subyektif- oleh madzhab tertentu, untuk meligitimasi golongan
tertentu, yang penafsirannya diwarnai oleh disiplin ilmu yang dimilikinya,
didominasi oleh uraian-uraian yang dianggap tidak perlu, dipengaruhi
paham-paham atau teori-teori ilmiah.55
c. Metode Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, saya merujuk pada Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang terdapat dalam Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 507
53
al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mauḏû„î, h. 45. Lihat: al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu‟i: dan Cara Penerapannya,terj. Rosihon anwar, h. 39. 54
Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang
Beredaksi Mirip,h. 59-60. 55
al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mauḏû„î, h. 45. Lihat: al-Farmawi, Metode Tafsir
Maudhu‟i: dan Cara Penerapannya,terj. Rosihon anwar, h. 39.; Baidan, Metode Penafsiran Al-
Qur‟an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang Beredaksi Mirip,h. 59-60
23
tahun 2017 dan Buku Pedoman Penulisan Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2013.
H. Sistematika Penulisan
Bab pertama, saya mengawali dengan Pendahuluan yang di dalamnya
terdapat latar belakang masalah yang berisi tentang adanya perdebatan akademik
yang mengantarkan pada alasan betapa pentingnya topik yang diajukan.
Dilanjutkan dengan identifikasi masalah, supaya masalah yang akan diangkat
terlihat lebih jelas. Selanjutnya adalah batasan masalah, yaitu membatasi masalah
yang akan dibahas dari seluruh masalah yang diidentifikasi sebelumnya. Lalu
rumusan masalah, yang diajukan dalam butir pertanyaan mulai dari yang umum
ke yang lebih khusus. Kemudian dilanjutkan dengan tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Semua
langkah tersebut diperlukan untuk mempermudah proses penelitian.
Bab kedua, berisi kajian dayn secara teoritis. Di dalamnya terdapat
pembahasan tentang pengertian dayn dan qarḏ, tujuan berhutang, kewajiban
penghutang, ancaman tidak melunasi hutang, dan hutang di zaman kontemporer.
Bab ketiga, menguraikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kitab
Tafsîr al-Sya„rawî dan Tafsir al-Mishbah. Di antara kedua kitab di atas dijelaskan
mengenai latar belakang kehidupan mufassirnya, baik tentang pendidikannya,
karya-karyanya, dan yang terakhir adalah hal-hal yang berkaitan kitab tafsir
mereka. Hal ini penting untuk lebih memahami tentang psikologi, konteks, dan
keilmuan mufassir.
24
Bab keempat, menjelaskan konsep dayn perspektif al-Qur‟an: studi
komparatif Tafsir al-Sya„rawi dan Tafsir al-Mishbah. Di dalamnya terdapat inti
dari penelitian ini yaitu profil ayat dayn, kewajiban bagi yang berhutang, Ḏa‟îf dan
Safîh pada Penghutang, hutang yang tidak memenuhi syarat.
Bab kelima, merupakan bab terakhir atau penutup yang terdiri dari
kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran dari peneliti. Kesimpulan disusun
dalam pernyataan-pernyataan yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang
diajukan dalam rumusan masalah dalam penelitian ini. Sedangkan saran-saran
dikemukakan dengan tujuan dapat berguna sebagai rekomendasi untuk penelitian
selanjutnya.
25
BAB II
KAJIAN DAYN SECARA TEORITIS
A. Pengertian Dayn dan Qarḏ
Kata yang tersusun dari huruf dal, ya, dan na, mengandung beberapa
makna, diantaranya adalah, pertama, al-dayyân, yang berasal dari nama Allah
Swt., yang bermakna “hakim yang bijaksana”. Kedua, kata itu mengandung
makna al-qahhâr yang berarti “Maha Memaksa dan Membuat Patuh”. Ketiga,
kata dayn yang berarti “segala sesuatu yang tidak ada atau tidak hadir”. Kata
mudâyanah merupakan bentuk masdar dari kata dâyana, yang mana kata itu
mengikuti wazan (timbangan kata) fâ„ala, yang mengandung makna li al-
musyârakah baina itsnayn atau “saling melakukan antara dua orang”. Sehingga
dâyana memiliki makna “saling menghutang”, dan masdar-nya adalah
mudâyanah yang memiliki arti “utang-piutang”.1
Secara istilah dayn menurut Ibn „Abdin sebagai berikut:
مة بعىقدو ، كىمىا صىارى ح ذمتو دىيػننا باستقرىاضو مىا كىجىبى ح الذ ؾو 2 أىك استهلى“Tanggungan wajib yang dipikul seseorang, yang disebabkan oleh adanya
akad, atau akibat dari mengkonsumsi atau merusakkan (barang orang
lain), atau karena pinjaman.”
Menurut al-Qurṯubî, sebagai berikut:
1 Abû Faḏl Jamâl al-Dîn Muhammad b. Makram b. Manẕûr, Lisân al-„Arab, J.13 (Bairût:
Dâr al-Sâdr, tt), h. 166.; A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Surabaya: Pustaka Progresif,1997), h. 437. 2 Ibn „Abdin, Radd al-Muhtâr „alâ al-Dur al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-Absâr, Juz 7, h.
383.
26
ا كىالخىري ح الذمة نىس كى ين عبىارىةه عىن كيل ميعىامىلىةو كىافى أىحىدي العوىضىين فيهىا نػىقدن يئىةن ، كىالدينى حىقيقىةي الد3 مىا كىافى غىائبنا
.
“Dayn hakekatnya adalah semua jenis interaksi dimana salah satu pihak
membayar dengan tunai dan pihak yang lainnya dalam tanggungan secara
tempo. Dayn merupakan semua harta yang tidak ada dalam genggaman.”
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa dayn mencakup segala jenis utang,
baik akibat dari suatu akad, seperti jual beli secara kredit, akad sewa yang
upahnya diakhirkan, dan lain-lain. Dayn juga bisa disebabkan dari menghabiskan
atau merusakkan barang orang lain. Selain itu dayn juga mencakup akad qarḏ
(pinjaman atau utang piutang) di dalamnya.
Di dalam bahasa Arab, terdapat dua istilah yang jika diterjemahkan ke
bahasa Indonesia memiliki arti yang sama yaitu utang. Kata tersebut adalah dayn
dan qarḏ. Secara bahasa qard berasal dari kata قػىرضنا-يػىقرضي -قػىرىضى yang memiliki
persamaan arti dengan طىعى قى artinya memutus atau memotong.4 Wahbah Zuhaili
menjelaskan kata qarḏ merupakan bentuk masdar yang berarti potongan. Harta
yang diberikan kepada peminjam disebut al-qardh karena ia adalah potongan dari
harta si pemberi pinjaman.5 Secara istilah adalah sebagai berikut.
6.و ي لى عى و ت رى د قي دى ن ع و ي لى إ وي لى ثػ م د ري يػى ل ضي تى ق مي ل ل ضي ر ق مي ال و ي ط ع يػي م ذ ال اؿي مى ال وى ىي ضي ر القى
“Al-Qarḏ adalah harta yang diberikan oleh pemberi utang (muqriḏ) kepada
penerima utang (muqtariḏ) untuk kemudian dikembalikan kepadanya
(muqriḏ) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa dayn memiliki arti yang
lebih luas dari pada qarḏ7. Segala sesuatu yang termasuk dalam tanggungan
3 „Abdullah Muhammad b. Ahmad al-Ansârî al-Qurṯubî, Tafsîr al-Jâmi„ Li ‟Ahkâm al-
Qur„ân, J.3, h. 733. Maktabah Syamilah. 4 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 1108. 5 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa ‟Adallatuh, J.4 (Dimasq: Dâr al-Fikr, Cet.3,
1989 M/ 1409 H), h. 720. 6 Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, J.3 (Bairût: Dâr al-Fikr, 1403 H/1983 M), h. 182.
27
berdasarkan sifatnya, disebutt dayn. Sedangkan tanggungan berdasarkan dzatnya,
seperti uang, adalah qarḏ.
Utang sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah uang yang
dipinjam dari orang lain dan kewajiban membayar kembali apa yang sudah
diterima.8 Sedangkan piutang adalah uang yang dipinjamkan (yang dapat ditagih
dari seseorang), lalu utang-piutang adalah uang yang dipinjam dari orang lain dan
yang dipinjamkan kepada orang lain.9
Dengan demikian, dayn mencakup segala jenis utang, baik akibat dari
suatu akad (seperti jual beli secara kredit, akad sewa yang upahnya diakhirkan,
dll.), menghabiskan atau merusakkan barang orang lain, atupun qarḏ (pinjaman).
Mudâyanah ini dapat juga diartikan semua jenis transaksi yang ditangguhkan
ataupun semua harta yang tidak ada dalam genggaman.
B. Tujuan Berhutang
Tujuan utama adanya utang adalah untuk menjaga perputaran roda
kehidupan. Di dalam transaksi utang piutang mengandung sisi social yaitu
ta‟awun atau tolong-menolong. Yang mana akan terjadi interaksi antara si kaya
dan si miskin. Interaksi tersebut akan mendatangkan banyak manfaat (baik
disengaja atau tidak) dalam berjalannya roda kehidupan. Al-Sya„rawi
menjelaskannya sebagai berikut.
7 Muhammad Amîn ibn „Ȃbidîn dan Ibn „Abdin, Radd al-Muhtâr „alâ al-Dur al-Mukhtâr
Syarh Tanwîr al-Absâr, Juz 7, h. 383. 8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
Keempat, h. 1540. 9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
Keempat, h. 1083.
28
“Contoh bahwa seorang yang ingin membangun Gedung dan dia memiliki
harta, kemudian Allah merubah niatnya, sesuai dengan firman Allah: “Dan
tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu kecuali Dia,” (Qs.al-
Muddatstsir [74]: 31) sampai dia berkata, “untuk apa saya menimbun
harta? Mengapa saya tidak membangun Gedung kemudian saya sewakan?
Dengan demikian hartaku tidak berkurang justru bertambah.” Tidak pernah
tersirat dalam benaknya untuk menolong seseorang, yang ada hanyalah
memperkaya pribadinya. Akan tetapi langkahnya itu sangat bermanfaat
bagi orang lain, walaupun tanpa dia sengaja. Orang yang menggali tanah
akan mendapatkan uang dari penggaliannya, seorang pemecah batu akan
mendapatkan upah dari hasil pekerjaanya, begitu pula para pekerja lain
yang terlibat dalam pembangunan gedung tersebut akan mendapat upah
dari apa yang telah ia kerjakan. Dengan begitu, bangunan tersebut
bermanfaat bagi orang banyak, walaupun hal tersebut tidak direncanakan.” 10
Contoh ini dapat memudahkan pembaca dalam memahami makna pentingnya
selalu bermanfaat bagi orang lain sehingga dapat tetap menjaga perputaran roda
kehidupan.
Untuk menjelaskan pentingnya berbagi, al-Sya„râwî mengawalinya dengan
sebuah pertanyaan, kemudian menghadirkan perumpamaan. Itu semua agar
pembaca lebih mudah menerima maksud yang dituju.
C. Ketentuan dan Etika dalam Berhutang
Ketika seseorang akan melakukan transaksi utang-piutang, maka terdapat
tiga ketentuan yang mengikat. Ketentuan ini terdapat pada Qs. al-Bâqarah/2 ayat
282 dan 283. Pertama, melakukan persetujuan utang piutang secara tertulis.
Kedua, menghadirkan saksi. Saksi sebaiknya dua orang laki-laki. Apabila tidak
ada dua orang laki-laki, makaboleh satu laki-laki dan dua orang perempuan.
Ketiga, apabila sedang dalam perjalanan, dan tidak menemukan penulis dan saksi,
10
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 145.; Al-Sya„râwî, Tafsîr
al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-
Karîm, J.2, h. 1235.
29
maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Keempat, Apabila pelaku
utang piutang telah saling percaya satu sama lain, maka mereka harus
melaksanakan amanahnya dengan baik.11
Kemudian, selain ketentuan diatas, terdapat hal yang tidak kalah penting
dalam transaksi utang piutang, yaitu etika bagi pemberi utang (muqriḏ) dan etika
bagi orang yang berhutang (muqtariḏ).
Etika bagi pemberi utang (muqriḏ) diantaranya, pertama, wajib memberi
tempo pembayaran bagi yang meminta, agar ada kemudahan untuk membayar.
Kedua, tidak boleh menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan.
Ketiga, hendaknya menagih dengan sikap yang lembut dan penuh maaf. Keempat,
memberikan penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam
melunasi utangnya setelah jatuh tempo sebagaimana firman Allah Surat al-
Bâqarah/2 ayat 280.12
Berikutnya, etika bagi orang yang berhutang (muqtariḏ) yaitu, pertama,
diwajibkan kepada orang yang berhutang untuk sesegera mungkin melunasi
utangnya jika telah mampu melunasinya. Kedua, berhutang dengan niat yang
baik. Keempat, jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaknya
orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan utang,
karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan merubah
hutang yang awalnya sebagai wujud tolong-menolong menjadi permusuhan.
11
Muhammad Mutawally al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J.II,
h.148-149. 12
Evi Ariyani, Hukum Perjanjian (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 57-58.
30
Kelima, wajib mengembalikan utangnya dalam jumlah dan keadaan yang sama,
serta pada waktu yang telah ditentukan.13
D. Ancaman Tidak Melunasi Hutang
Ancaman bagi orang yang tidak melunasi hutang terdapat dalam hadis yang
menyatakan tentang jiwa seorang mukmin tertahan karena hutangnya hingga
hutang tersebut dilunasi
ب أى ن عى مى ي اى رى بػ إ ن ب د ع سى ن عى ةى دى ائ زى ب أى ن ا ب ي ر كى زى ن عى ةى امى سى أي و بػي ا أى نى رى بػى خ أى ف لى ي غى ني ب دي و مي مى افى ثى د حى ينو حىت ؤ مي ال سي ف صلى الله عليو كسلم "نػى الله ؿي و سي رى اؿى : قى اؿى قى ةى رى يػ رى ىي ب أى ن عى ةى مى لى سى من ميعىلقىةه بدى
"يػىقضىى عىنوي
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami, Mahmud b. Ghailan, telah
mengabarkan kepada kami Abu Usamah, dari Zakariya b. Abi Zaidah dari
Sa‟ad b. Ibrahim dari Abi Salamah dari Abi Hurairah, dia berkata:
Rasulullah Saw bersabda, jiwa seorang mukmin itu tetahan karena
hutangnya, samapai hutang itu dilunasi”14
Dengan demikian, melunasi hutang hukumnya wajib. Apabila yang
bersangkutan sudah meninggal, dan hutangnya belum lunas, maka ahli warislah
yang wajib menanggung beban utang tersebut.
E. Mudâyanah Di Zaman Kontemporer
Kegiatan utang piutang menjadi salah satu kebutuhan yang sangat diminati
masyarakat bahkan suatu negara, demi menjalankan roda perekonomiannya.
Dewasa ini, utang piutang telah memiliki prosedur yang baik. Di dalamnya sudah
13
Evi Ariyani, Hukum Perjanjian, h. 58. 14
Abû „Isa Muhammad b. „Isa b. Saurah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî wa huwa al-
Jâmi‟ al-Shahîh, J. 2 (Maktabah Dahlan, tt), h. 270.
31
terdapat pencatatan, persaksian, jaminan, survei, dll. Hal ini telah dipraktekkan
oleh lembaga-lembaga keuangan baik konvensional ataupun syari‟ah. Namun,
pada bank konvensional banyak mengandung riba15
yang memberatkan nasabah.
Sebagaimana diketahui Allah mengharamkan praktek riba.16
Oleh karena itu,
masyarakat muslim lebih condong kepada Perbankan Syariah, yang mana di
dalamnya terdapat konsep bagi hasil17
, qarḏ al-hasan18
, dll., yang membantu
meringankan beban masyarakat.
Bank Syariah kini menjadi salah satu rantai perputaran ekonomi umat
muslim. Agar akad utang piutang yang terjadi di masyarakat sesuai dengan
syariah, maka Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)
mengeluarkan fatwa Nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang qarḏ agar menjadi
pedoman Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam memberikan pinjaman kepada
masyarakat. Di dalamnya DSN MUI menyatakan bahwa LKS disamping sebagai
15
Riba dari segi bahasa memili arti yang sama dengan ziyâdah yaitu tambahan. Yang
dalam istilah teknis adalah pengambilan tambahan dari harta pokok (modal) dengan cara baṯil.
Riba sendiri secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu riba utang piutang dan riba jual beli.
Riba utang piutang terbagi menjadi dua, yaitu riba qarḏ (suatu manfaat / tingkat kelbihan tertentu
yang disyariatkan terhadap yang berhutang) dan riba jahiliah (utang dibayar lebih dari pokoknya,
karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan). Riba jual beli
juga terbagi menjadi dua, yaitu riba fadl (pertukaran antara barang yang sejenis dg kadar yang
berbeda dan barang yang dipertukarkan termask dalam jenis barang ribawi) dan riba nasi‟ah
(penangguhan penyerahan / penerimaan jenis barang ribawi dengan jenis barang ribawi lainya,
seperti emas, perak, dan makanan pokok.). Lihat: Karnaen Perwaatmadja dan Muhammad Syfi‟I
Antonio, Apa & Bagaimana BANK ISLAM, Cet. III (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1992),
h. 10-11. 16
Ayat tentang riba yiatu Qs. al-Bâqarah (2): 275 dan Qs. Ali Imrân: 130, yang dimaksud
dalam ayat ini adalah riba nasi‟ah. 17
Investasi atas dasar bagi hasil mudharabah, yaitu suatu perjanjian usaha antara pemilik
modal dengan pengusaha, yang mana pemilik modal menyediakan seluruh dana yang diperlukan,
dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan atas usaha itu, kemudian, hasil dari usaha tersebut
dibagi sesuai dengan kesepakatan awal yang dituangkan dalam bentuk nisbah 70:30; 65:35; dll.
Apabila terjadi kerugian, maka penyedia dana akan menanggung kerugian, dan pengusaha juga
mengalami kerugian managerial skill, waktu, serta kehilangan nisbah bagi hasil yang akan
diperolehnya. Lihat: Karnaen Perwaatmadja dan Muhammad Syfi‟I Antonio, Apa & Bagaimana
BANK ISLAM, h. 21-22. 18
Qarḏ al-Hasan atau Benevolent Loan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas
dasar kewajiban social semata, dimana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun
kecuali modal pinjaman. Lihat: Karnaen Perwaatmadja dan Muhammad Syfi‟I Antonio, Apa &
Bagaimana BANK ISLAM, h. 33.
32
lembaga komersial, harus berperan sebagai lembaga social yang dapat
meningkatkan perekonomian secara maksimal. Salah satu cara peningkatan
perekonomian yang dapat dilakukannya adalah melalui prinsip qarḏ.19
DSN MUI memutuskan bahwa qarḏ merupakan pinjaman yang diharus
diberikan kepada nasabah (muqtariḏ) yang memerlukan, nasabah wajib
mengembalikan jumlah pokok pada waktu yang telah disepakati bersama, biaya
administrasi dibebankan kepada nasabah, LKS dapat meminta kepada nasabah
bilamana dipandang perlu, nasabah juga bisa memberikan tambahan (sumbangan)
dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad, dan apabila
nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada
saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS
dapat melakukan dua hal, yaitu: (1) memperpanjang jangka waktu pengembalian;
atau (2) menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.20
19
Mardani, Fiqh Ekonomi Syari‟ah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Prenada Media, 2012), h.
340. 20
Mardani, Fiqh Ekonomi Syari‟ah: Fiqh Muamalah, h. 341.
33
BAB III
PROFIL TAFSȊR AL-SYA‘RȂWȊ DAN TAFSIR AL-MISHBAH
A. Profil Mutawallȋ al-Sya‘rȃwȋ dan Tafsȋr al-Sya‘rȃwȋ
1. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan dan Karir Mutawallî al-Sya‘râwî
a. Latar Belakang Keluarga
Nama beliau adalah Muhammad Mutawally al-Sya„rawî, beliau salah
seorang pakar Bahasa Arab dan seorang mufassir kenamaan kontemporer
bermadzhab Sunni.1 Beliau dilahirkan pada hari Ahad tanggal 17 Rabi„ al-Tsânî
tahun 1329 H. bertepatan dengan tanggal 16 April 1911 M di desa Daqadus,
sebuah perkampungan kecil di Kecamatan Mait al-Ghumair wilayah Kabupaten
al-Daqhîliyyah.2
Al-Sya„rawî dalam kitab Anâ min Sulâlah ahl al-Bayt, disebutkan masih
memiliki pertalian darah dengan „Ahl al-Bayt‟ yaitu cucu Rasulullah Saw., Husain
ra.3
Beliau berasal dari keluarga sederhana yang memiliki keturunan terhormat
dan mencintai ilmu pengetahuan. Ayah dan ibunya adalah seorang petani yang
menitikberatkan pendidikan agama, mencintai pengetahuan dan para ulama.4
b. Latar Belakang Pendidikan al-Sya„râwî
1„Alî Iyâzî, Al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, h. 268.
2 Husain „Abd al-Hamîd Nîl, Imam al-Du„âh Qissah al-Hayâh al-Syaikh Muhammad
Mutawallî al-Sya„rawî (Bairut: Dâr al-Qalam, 1989), h. 28.; Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan:
Relasi Jender menurut Tafsir al-Sya„râwî (Jakarta: Teraju, 2004), h. 21. 3Abû al-„Aynîn et al., Anâ min Sulâlah ahl al-Bayt (Qâhirah: Dâr Akhbâr al-Yawm, t.t.),
h. 9. 4Selamat b. Amir, “Elemen Saintifik dalam Al-Qur‟an: Analisis Terhadap Tafsir Al-
Sya„rawi Karangan Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi” (Thesis, Akademi Pengajian Islam Kuala
Lumpur, 2016): 134.
34
Mutawally al-Sya„râwî merupakan mufassir kenamaan di abad 20-an.5
Pendidikan beliau dimulai dari menghafal al-Qur‟an kepada ulama di daerahnya
yaitu Syekh „Abd al-Majid Pasya. Dengan kesungguhannya, al-Sya‟rawî berhasil
menyelesaikan hafalannya pada usian 11 tahun.6 Pendidikan formalnya di mulai
di sekolah dasar al-Azhar Zaqaziq pada tahun 1926 M. Lalu, beliau melanjutkan
sekolah menengahnya di Zaqaziq dan meraih ijazah sekolah menengah al-Azhar
pada tahun 1936 M. Kemudian melanjutkan Pendidikan di Universitas al-Azhar
jurusan Bahasa Arab pada tahun 1937 sampai tahun 1941 M. pada jenjang
doctoral ia lulus pada tahun 1940 M dan memperoleh gelar „Alamiyyat dalam
bidangnya yaitu Bahasa dan Sastra Arab.7
c. Karir al-Sya„râwî
Al-Sya„râwî memangku berbagai jabatan semasa hidupnya. Mulai dari
mengajar di sekolah al-Azhar Thanta, kemudian ia dipindah ke sekolah al-Azhar
Iskandariah, kemudian di Zaqaziq. Semakin hari karirnya semakin melejit, ia
diangkat menjadi dosen jurusan Tafsir Hadis di Fakultas Syariah Universitas
Malik Abdul Aziz di Makkah pada tahun 1951 M, dan ia mengajar di universitas
tersebut selama Sembilan tahun lamanya.8 Kemudian, jabatan pemerintah juga
banyak dipegang oleh al-Sya„rawi, diantaranya menjadi Menteri Wakaf, Menteri
5Philip K. Hitti, Sejarah Ringkas Dunia Arab (Yogyakarta: Iqra‟, 2001), h. 240.;
Kamarruddin Salleh, “Pengaruh Gerakan Islam Mesir Terhadap Gerakan Islam Malaysia, dalam
Budaya Pemikiran Islam: Mesir – Malaysia.” ed. Ahmad Sunwari Long et al. (Kuala Lumpur:
Jabatan Ushuluddin dan Falsafah, Fakulty Pengajian Islam, Unversity Kebangsaan Malaysia,
2006), h. 223. 6 Hikmatiar Pasya, “Studi Metodologi Tafsir al-Sya‟rawi,” Studia Qurani, Vol.1, No. 2
(Januari 2017): h. 145. 7 Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyyah dalam Tafsir al-Sya‟rawi,” (Tesis UIN Alauddin
Makassar, 2016), h. 24. 8 Husain „Abd al-Hamîd Nîl, Imam al-Du„âh Qissah al-Hayâh al-Syaikh Muhammad
Mutawallî al-Sya„ra, h. 31.
35
Negara, Majelis Syuro dan dilantik pula sebagai ahli Pusat Bahasa Arab (Majma‟
al-Khâlidîn), dll.9
Al-Sya‟rawi merupakan ulama yang sangat luas ilmunya. Oleh karena itu,
orang-orang yang dekat dengannya berusaha menyebarkan ilmu-ilmu tersebut
dengan membukukannya. Sebagaimana, karya yang telah tersebar saat ini
merupakan hasil olahan dari rekaman kuliah, forum pada acara televisi, radio, dan
ketika al-Sya‟rawi berceramah di masjid-masjid. Orang yang berjasa mengolah
atau membukukan sebagian kuliah dan ceramah beliau tidak lain tidak bukan
adalah anaknya sendiri dan murid-muridnya.10
2. Metodologi Penulisan Kitab Tafsîr al-Sya‘râwî
a. Latar Belakang Penulisan
Menurut Alî Iyâzî, al-Sya‟rawî tidak memberi sebutan karyanya tersebut
dengan tafsir, namun ia mengenalkannya dengan sebutan Khawâṯir al-Sya„râwî.11
Karya tulis ini memiliki judul asli Tafsîr al-Sya„râwî Khawâṯir al-Sya„râwî
Haula al-Qur„ân al-Karîm.12
Namun, lebih masyhurnya disebut Tafsîr al-
Sya„râwî. Al-Sya„rawi dalam muqaddimahnya menjelaskan bahwa sebenarnya dia
lebih setuju jika karyanya ini tidak disebut sebagai tafsir al-Qur‟an. Ia lebih
9 Husain „Abd al-Hamîd Nîl, Imam al-Du„âh Qissah al-Hayâh al-Syaikh Muhammad
Mutawallî al-Sya„ra, h. 34-35.; Selamat b. Amir,“Elemen Saintifik dalam Al-Qur‟an: Analisis
Terhadap Tafsir Al-Sya„rawi Karangan Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi”, h. 159. 10
Selamat b. Amir,“Elemen Saintifik dalam Al-Qur‟an: Analisis Terhadap Tafsir Al-
Sya„rawi Karangan Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi,” 147.; „Alî Iyâzî, Al-Mufassirûn:
Hayâtuhum wa Manhajuhum, 268-269. 11
„Alî Iyâzî, Al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, 269. 12
„Alî Iyâzî, Al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, 268.
36
menyetujui jika karyanya tersebut sebagai Khawâṯir al-Sya„râwî Haula al-Qur„ân
(telepati disekitar makna-makna al-Qur‟an).13
Dalam menjelaskan apa yang beliau pahami dari isi al-Qur‟an, al-Sya„râwî
berpegang pada dua aspek, yaitu: (a) Komitmen kepada Islam sebagai metode
atau landasan untuk memperbaiki kemerosotan umat, terutama dalam bidang
pemikiran dan keyakinan. (b) Dalam menafsirkan al-Qur‟an beliau mengikuti
perkembangan saat itu.14
Tafsîr al-Sya„râwî ini ditulis oleh suatu lajnah diantara anggotanya adalah
Muhammad al-Sinrâwî dan „Abdul Wâris al-Dâsukî. Kitab tafsir ini diterbitkan
oleh Akhbâr al-Yawm pada tahun 1991, dan termuat dalam majalah al-Liwâ„ al-
Islâmy dari tahun 1986 sampai tahun 1989 nomor 251 sampai 332, sedangkan
yang mentakhrij hadisnya adalah Ahmad „Umar Hâsyim.15
b. Metode dan Corak Penafsiran
Abdul Hayy al-Farmawî mencetuskan empat bentuk metode penulisan
tafsir yaitu tahlîlî, ijmâlî, muqâran, dan, mauḏû„î. Selanjutnya apabila dilihat dari
empat metode tersebut, karya Tafsîr al-Sya„râwî termasuk dalam kategori metode
tahlîlî16
dari segi runtutan pemaparannya. Hal ini ditinjau dari ciri-ciri penulisan
dalam metode tersebut adalah penafsiran yang penyusunan surat dan ayatnya
mengikuti Mushhaf al-Qur‟an, yaitu dimulai dari al-Fâtihah dan diakhiri dengan
13
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.1, h. 5.; al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-
Azhar, J. 1, h. 5.
و لى .. كى اتو ايى ع ض ب ك أى ةو يى اى ج ن م ؤ مي ب ل ى قػى لى عى ري ط .. تى ةه ي ائ فى ص اته بى ى ىى ا ى نى إ .. كى ف اى ر قي ل ل ارن يػ س ف تػى ن ع تػى لاى ي ر الكى اف ر القي ؿى و ل حى ر اط وى خى .. كى لى م عى كى مى ل عى و ب كى غى ل بػى وي لى كى لى عى فى نػ ا و ب كى ؿى ز ني و ي لى عى وي ن ... لى ه ي س ف تػى س ب ا الن لى ك أى الله ؿي و سي رى افى كى .. لى رى س فى يػي ف اى ن ك م مي ال نى م افى ر القي ف أى .وي اتى زى ج ع مي ت رى ه ظى وي لى
14„Alî Iyâzî, Al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, h. 269.; Faizah Ali
Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 152-153. 15
„Alî Iyâzî, Al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, h. 268. 16
Hikmatiar Pasya, “Studi Metodologi Tafsir al-Sya‟rawi,” Sudia Qurani 1, no. 2 (2017):
153.
37
al-Nâs. Namun, secara substansi tafsir ini lebih condong ke pola tafsir tematik
(maudû„i). Hal ini karena sense of language (hâssah lughawiyah) beliau sangat
tajam, membuatnya mampu memahami suatu kata secara detail dengan
membandingkan kata tersebut dengan kata yang sama di lain ayat sehingga
membentuk satu pengertian yang utuh.17
Dalam penafsirannya al-Sya„râwî cenderung menggunakan pendekatan
tafsîr bi al-ra‟yi. Menurut Hikmatiar Pasya, hal tersebut dapat dilihat dari sumber
yang digunakan dalam menafsirkan. Menurut beliau, terdapat dua sumber yang
konsisten digunakan al-Sya„râwî ketika menafsirkan, yaitu kaidah kebahasaan dan
rekonstruksi ayat dengan ayat.18
Kaidah kebahasaan merupakan salah satu kaidah dasar yang sangat
penting bagi seorang mufassir untuk menemukan esensi makna dari ayat al-
Qur„an. al-Sya„râwî sangat teliti dalam mencermati kaidah kebahasaan suatu ayat,
yang kemudian beliau jelaskan dengan penyampaian yang baik dan penggunaan
bahasa yang ringan, sehingga setiap kalangan akan mudah dalam memahami apa
maksud dari suatu ayat. Sumber lain yang digunakan al-Sya„râwî adalah
rekonstruksi ayat dengan ayat, yaitu menafsirkan suatu ayat dengan ayat-ayat
lain yang dianggap memiliki korelasi pada tema yang sedang dibahas, agar
memperoleh pemahaman yang lebih baik, sehingga lebih mudah dipahami.19
Terkait dengan corak yang terdapat dalam Tafsîr al-Syarawî, setiap
peneliti memiliki pendapat yang berbeda-beda. Hal ini memang tidak dapat
dipungkiri, karena dalam suatu karya tafsir dengan metode tahlîlî yang tentunya
17
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir al-Sya„râwî, h. 51. 18
Hikmatiar Pasya, “Studi Metodologi Tafsir al-Sya‟rawi,” h. 148. 19
Hikmatiar Pasya, “Studi Metodologi Tafsir al-Sya‟rawi,” h. 149 dan 151.
38
mencakup berbagai hal, dan untuk coraknya tentu dapat dilihat dari berbagai segi
yang paling sering muncul. Dan peniliti itu pun bisa bebas menyebutkan warna
tafsir dengan istilahnya.
Seperti halnya Alî Iyâzî berpendapat bahwa corak Tafsîr al-Sya‟rawî
adalah tarbawî (pendidikan) dan islâhî (reformasi).20
Kemudian, Faizah Ali
Sibromalisi dan Jauhar Azizy menjelaskan bahwa al-Sya‟rawi mengikuti corak
tafsir Muhammad Abduh, yaitu al-adab al-Ijtimâ‟.21
Lalu, Hikmatiar Pasya dalam
jurnalnya menyebutkan tafsir ini bercoak adabî dan i„jâzî.22
Di dalam Tafsîr al-Sya‟rawi terdapat pemahaman kebahasaan, fiqh al-
lughah, dan i„jâz lughah dengan penalaran yang menarik. Tetapi, hal yang lebih
menonjol dalam tafsir ini adalah segi ijtimâ‟î atau sosialnya. Beliau mencurahkan
perhatian yang cukup besar untuk memberikan nasehat, didikan, ceramah, dll.
Sebagai solusi terhadap berbagai problem masyarakat muslim dan pemerintahan
saat itu.23
Dengan demikian, secara garis besar Tafsîr al-Sya„rawî bercorak al-
adab al-Ijtimâ‟ atau sastra dan social kemasyarakatan.
20
„Alî Iyâzî, Al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, h. 269. 21
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.
154. 22
Hikmatiar Pasya, “Studi Metodologi Tafsir al-Sya‟rawi,” h. 153. 23
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.
154 dan 155.
39
B. Profil Muhammad Quraish Shihab dan Tafsir Al-Mishbah
1. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan dan Karir Muhammad Quraish
Shihab
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA., lahir di Rappang, Sulawesi
Selatan, pada 16 Februari 1944.24
Merupakan keturunan Arab terpelajar. Ayahnya
bernama Prof. KH. Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang ulama dan guru
besar bidang tafsir.25
Dari sosok beliaulah M. Shihab mulai belajar bahasa al-
Qur‟an dan mendengarkan petuah-petuah agama yang biasa disampaikan sang
Ayah selepas magrib. Ternyata dari sinilah munculnya rasa cinta terhadap studi
al-Qur‟an.26
Usai menamatkan sekolah dasarnya di Ujung Pandang, ia melanjukan
sekolah menengahnya di Kota Malang, Jawa Timur, sambil menjadi santri di
Pondok Pesantren Dâr al-Hadîts al-Faqihiyyah. Di tahun 1958 yang bertepatan
dengan umurnya yang menginjak 14 tahun, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan
diterima di kelas Tsanawiyah al-Azhar. Lalu di tahun 1967, dia meraih gelar Lc
(S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas al-Azhar.
Selanjutnya pada tahun 1969 meraih gelar M.A. untuk spesialisasi bidang Tafsir
al-Qur‟an dengan Tesis berjudul al-I„jaz al-Tasyri„î lî al-Qur‟an al-Karim. 27
24
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, h. 6. 25
Kusmana, Membangun Citra Institusi: dalam Badri Yatim dan Hamid Nasuhi, (Ed),
Membangun Pusat Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan Iain Syarif Hidayatullah Jakarta),
Cet. I (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002), h. 254. 26
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, h. 14. 27
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, h. 6.
40
Ketika M. Quraish Shihab tiba di Ujung Pandang, ia diangkat menjadi
Wakil Rektor Bidang Akademis dan Kemahasiswaan di IAIN Alauddin, Ujung
Pandang, dan berbagai jabatan-jabatan lain yang diamanahkan kepadanya. Pada
tahun 1980, ia kembali ke Kairo untuk melanjutkan studi pada almamater
lamanya, yaitu Universitas al-Azhar. Dua tahun kemudian ia berhasil meraih gelar
doctor pada ilmu-ilmu al-Qur‟an dengan Disertasi yang berjudul Nazhm al-Durâr
li al-Biqa‟î, Tahqiq wa Dirâsah dan mendapatkan yudisium summa cum laude
disertai penghargaan tingkat 1 (Mumtaz ma„a Martabat al-Syaraf al- „ûla).28
Setelah kembali ke Indonesia, pada tahun 1984 M. Quraish Shihab
ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan diluar kampus dan dipercayakan
menduduki berbagai jabatan. Diantaranya adalah: Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih al-Qur‟an Departemen
Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak
1989, dll.29
Adapun latar belakang penulisan karya-karya tersebut secara garis besar
adalah dorongan dari rekan-rekannuya serta merespon kebutuhan masyarakat. Hal
ini terlihat dalam sekapur sirihnya, antara lain dalam bukunya Mukjizat al-Qur‟an,
ia menjelaskan bahwa ide penulisan buku tersebut berasal dari rekan-rekannya
untuk menulis buku yang mudah dicerna menyangkut mukjizat dan keistimewaan
al-Qur‟an. Selain itu, menurutnya selama ini banyak diantara umat muslim yang
28
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, h. 6. 29
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, h. 6.
41
hanya memfungsikan al-Qur‟an sebagai mukjizat, padahal al-Qur‟an bagi umat
muslim tidak dimaksudkan sebagai mukjizat saja namun sebagi hûdan atau
petunjuk.30
2. Metodologi Penulisan Tafsir al-Mishbah
a. Latar Belakang Penulisan
Latar belakang penulisan Tafsir Al-Misbah adalah semangat
menghadirkan karya tafsir al-Qur'an kepada masyarakat secara normatif yang
didorong oleh suatu fenomena yang dianggap melemahnya kajian al-Qur'an,
sehingga al-Qur'an tidak lagi menjadi pedoman hidup dan sumber rujukan dalam
bertindak dan mengambil keputusan. Menurutnya masyarakat lebih tertarik
kepada lantunan bacaan al-Qur'an, seakan-akan kitab suci al-Qur'an hanya
diturunkan untuk dibaca.31
Tujuan M. Quraish Shihab dalam menulis tafsir ini diantaranya adalah
pertama, memberikan langkah yang mudah bagi umat Islam dalam memahami isi
dan kandungan ayat-ayat al-Qur'an, dengan memberikan penjelasan yang rinci
tentang pesan yang dibawa al-Qur'an disertai dengan tema-tema terkait
perkembangan peradaban manusia.32
30
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Cet, IV (Bandung: Mizan, 1998), h. 7-8. 31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, h. vi
dan ix 32
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, h.
vii.
42
Kedua, perlunya memberikan bacaan baru yang menjelaskan tema-tema
atau pesan-pesan al-Qur'an. Hal ini dilatarbelakangi adanya kesalahan umat Islam
dalam memahami fungsi al-Qur'an.33
Ketiga, adanya dorongan dari umat Islam Indonesia yang menggugah hati
dan membulatkan tekat M. Quraish Shihab untuk menulis karya tafsir.34
Dalam menyusun kitab Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab mengemukakan
sejumlah kitab tafsir yang ia jadikan sebagai rujukan atau sumber pengambilan.
Kitab-kitab rujukan tersebut secara umum telah disebutan dalam “Sekapur Sirih”
dan “Pengantar” kitab tafsirnya yaitu pada volume I, Tafsir al-Mishbah.
Selanjutnya buku-buku rujukan lain dapat ditemukan bertebaran di berbagai
tempat ketika ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an.
Sumber pernafsiran tersebut diantaranya: Nazm al-Durâr fî Tanâsub al-
Ȃyât wa al-Suwâr karya Ibrâhim b. „Umar al-Biqâ„I (w. 885 H/ 1480 M), Sayyid
Muhammad Ṯhanṯâwi, Syaikh Mutawalli al-Sya„râwi; Fî Ẕilâl al-Qur‟ân karya
Sayyid Quṯb, Muhammad Ṯâhir b. „Ȃsyûr; Tafsîr al-Mizân karya Sayyid
Muhammad Husein Ṯabâṯabâ‟i, Bayân I„jâz al-Qur‟an karya al-Khaṯṯabi (319-388
H); Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddîn al-Râzi (606 H/1210 M); Tafsîr Jalalain
karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyûṯi, dll.35
33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, h. vi
dan ix. 34
Hal ini dapat dilihat dalam Tafsir al-Mishbah jilid 15 halaman 645, bahwa M.Quraish
Shihab pernah menerima surat dari seseorang yang tidak dikenal berisi “Kami menunggu karya
ilmiah pak Quraish yang lebih serius.” 35
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an Vol. I,
Cet. V (Ciputat: Lentera Hati, 2012), h. 18-31.
43
b. Metode dan Corak Penafsiran
Apabila dilihat dari segi orientasi penafsirannya, tafsir terbagi menjadi
tiga, yaitu tafsir al-riwâyah, tafsir dirâyah36
, dan tafsir Isyârah. Ketiga pendekatan
tafsir ini muncul dan berkembang seiring dengan kebutuhan umat dan tuntutan
zaman.
Dalam hal ini M. Quraish Shihab lebih cenderung menggunakan
pendekatan dirâyah. Menurut Hasani Ahmad Said, pendekatan tersebut akan
terlihat ketika memasuki wilayah penafsirannya. Pada saat masuk penafsiran suatu
ayat, hampir dipastikan selalu mengurai sisi kebahasaanya dari berbagai bentuk.37
Selanjutnya apabila dilihat dari empat metode dan enam corak di atas,
Hasani Ahmad Said menghasilkan tiga kesimpulan. Pertama, dalam praktek
penafsiran yang tersebar melalui berbagai buku yang telah ditulis, M. Quraish
Shihab menggunakan metode mauḏû„î. Kedua, secara khusus M. Quraish Shihab
juga mengaplikasikan metode tahlîlî melalui beberapa karyanya, salah satunya
adalah Tafsir Al-Mishbah. Ketiga, Tafsir Al-Mishbah yang ia tulis dengan metode
tahlîlî bercorak al-adabî al-ijtimâ‟î (sastra budaya kemasyarakatan).38
C. Corak al-Adabî al-Ijtimâ’î
Corak dalam bahasa Arab berasal dari kata alwân yang merupakan bentuk
plural dari kata lawn. Dalam Lisân al-„Arab, Ibn Manẕûr menyebutkan, ل كي في و لى كى ه ي غى ينى بػى كى وي نى يػ بػى لى مىاصى فى يءو شى , artinya warna setiap sesuatu merupakan pembeda
36
Tafsir dirâyah atau al-ma„qûl, atau tafsir al-Ra„yi atau tafsir al-ijtihad ialah penafsiran
berdasarkan ijtihad mufassir. Lihat: Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an, h.440. 37
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Misbah, h. 120. 38
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Misbah, h. 124.
44
antara sesuatu dengan sesuatu yang lain.39 Corak merupakan salah satu istilah
dalam metodologi penafsiran al-Qur‟an.40
Istilah lawn, menurut Hasani Ahmad Said pertama kali digunakan oleh Alî
Iyâzî.41
Lawn menurut Alî Iyâzî sendiri adalah sebagai berikut. ا النصى و لى خصى الذم يػيفىسري نىصا, يػي الش ميرىادي منى اللوف ىيوى أىف ال بتػىفسيه ىيوى كى فػىهىموي إياهي, إذ في ىىذى
عيني الىفىقى لىىا, كى ىيوى الذم يي ميستػىوىل الفكرم دي بشىخصيتة ال مى لعبىارىة مىا ىيوى الذم ييىد تػىفىه مي ال اىف تىد إلىيو مىعنىاىىا كى مى العىقلي 42رمىاىىا., الذم يى
Yang dimaksud dengan lawn menurut Alî Iyâzî di atas, bahwasannya orang yang
menjelaskan nas (ayat al-Qur‟an) dan mewarnainya dengan penjelasannya, yaitu
dengan memasukkan pemahamannya kedalam penjelasannya tersebut. Dengan
kata lain memahami frasa dalam nas tersebut dan menyesuaikannya dengan
tingkat keilmuan yang dimilikinya dan dalam menafsirkan ia menyesuaikan
dengan cakrawala akalnya, lalu meluaskan makna dan tujuannya.
Kemudian, kata al-adab yang terdiri dari huruf hamzah, dal, dan ba
menurut Ibn Manẕûr dalam Lisân al-„Arab adalah:
إلى مىقىبيح عىن ال بي أىدىبنا لىنوي يىأدبي الناسى كىيػىنػهىاىيم بي منى الناس، سييى الىدى الذم يػىتىأىدبي بو الىدى امد ال 43مىحى
Yakni sesuatu yang mengajarkan perilaku baik kepada manusia. Dia dinamakan
seperti itu karena mengarahkan manusia kepada kebaikan dan menjauhkan mereka
dari keburukan. Kemudian, menurut pendapat Abu Zayd yang juga dikutip oleh
39
Ibn Manẕûr, Lisân al-„Arab, J.13, h. 393. 40
Secara umum terdapat enam istilah dalam metodologi penafsiran al-Qur‟an, yaitu: (1)
Qism (pembagian); (2) Ittijah (kecenderungan);(3) Masdar (sumber); (4) Manhaj (pendekatan); (5)
Ṯarîqah (metode); (6) lawn (warna). Lihat: Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur‟an
dalam Tafsir al-Misbah (Jakarta: Amzah, 2015), h. 121. 41
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur‟an dalam Tafsir al-Misbah, h.121. 42
Muhammad „Alî Iyâzî, Al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum (Teheran: Wizârat
al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Islâmî, 1373 H), h. 33. 43
Ibn Manẕûr, Lisân al-„Arab, J.1, h. 206.; A.W. Munawir, Kamus al-Munawwir Arab-
Indonesia Terlengkap, h. 12.
45
Ibn Manẕûr, terdapat kata aduba (dengan harakat dhammah pada huruf dal), yang
dimaknai sebagai “sastra”. Dinamakan demikian karena karya sastra dalam tradisi
linguistik Arab dominan mengajak kepada perilaku yang baik dan terhormat dan
para penutur karya-karya tersebut juga merupakan kalangan yang berperilaku baik
dan terhormat. Oleh karena itu, al-adab kerap digunakan dalam makna social
yaitu sebagai sesuatu yang berkaitan dengan perilaku manusia, budaya, yaitu
suatu cara hidup yang berkembang di masyarakat, dan sastra. Kemudian, dengan
adanya ya nisbah, yang dinisbatkan kepada term lawn, akan ditemukan istilah
“corak social atau budaya atau sastra”. Maksudnya corak yang mengandung
unsur-unsur sosial yang berkenaan dengan perilaku masyarakat atau pun yang
mengandung kaidah-kaidah kebahasaan.
Adapun kata al-Ijtimâ„ berasal dari kata جمع yang berarti mengumpulkan.
Kata tersebut kemudian dikembangkan menggunakan timbangan kata ifta„ala –
ifti„âlan sehingga menjadi ijtimâ„an yang dapat diartikan sebagai “perkumpulan.”
Kata ini kemudian dipergunakan dalam bahasa Arab modern sebagai padanan
bagi kata “masyarakat”.44
Jadi, secara etimologi tafsir al-adabî al-ijtimâ„î adalah
tafsir yang berorientasi pada sastra sosial dan kemasyarakatan, atau menurut M.
Quraish Shihab sastra budaya dan kemasyarakatan.
Berikutnya secara istilah, menurut al-Dzahabî, corak al-adabî al-Ijtimâ„î
adalah sebagai berikut.
ب دى الى ف و للى ب وي ن أى ب ر ص ا العي ىذى ح ري يػ س ف التػ ازي تى : يى ر اض ا الى نى ر ص عي ح ي س ف لتػ ل ي اع مى ت ج الا ب دى الى في و اللى م الذ اؼي الى عي اب الط كى ل اذى ر ص ا العي ىذى ح و ي لى عى ري هى ظ يى د عي يػى لى رى يػ س ف التػ ف : أى كى ال ذى ب ن ع نػى , كى ي اع مى ت ج الا
44
Ibn Manẕûr, Lisân al-„Arab, J 8 , h. 53
46
ا كى دن ي د جى في و كي يى ادي كى يى فو و لى ب في و لى تػي كى ره خى اى عه اب طى و ي لى عى رى هى ا ظى نى إ , كى ي ر الكى ف اى ر القي ة ايى دى ى ن عى اسى الن ؼي ر صى يي ي لى عى ئو ي شى ل كي لى ب قػى كى لان ك اى يـ و قي تػى ةن الىى عى مي ة ي ن اى ر القي ص و صي الن ةي الىى عى مي وى ىي كى ل ا, ذى ي س ف التػ ىلى ا عى ئن ار طى ا ح هى يػ لى إ في اى ر القي ؼي دى ه يػى ت ال ان عى مى ال اغي صى تي كى ل اذى دى ع بػى ثي ,ن اى ر القي ي ب ع تػى الح ة ق الد ع اض وى مى ار هى ظ إ م ظي ني , كى ي اع مى ت ج ال ن نى سي ن م ف و كى ال ا ح مى ىلى عى اىن ر القي ص الن قي ب ط يى أخاذ, ثي ؽو و شى ب و لي س أي
45.اف رى م العي
“ Corak social-budaya kemasyarakatan dalam tafsir masa kini: tafsir pada
masa kini memiliki keunggulan karena memiliki corak sosial
kemasyarakatan. Maksudku adalah: tafsir pada masa kini tidak lagi
menampakkan tabiatnya yang kering yang memalingkan manusia dari
petunjuk al-Qur‟an, melainkan menampakkan tabiat lain dan
menggunakan corak yang hampir-hampir merupakan sesuatu yang baru
dalam diskursus tafsir. Yaitu penafsiran yang dalam menjelaskan ayat-ayat
al-Qur‟an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan
bahasa yang lugas, setelah itu, merumuskan makna-makna yang
ditunjukan al-Qur„an dalam balutan gaya penuturan yang menarik, lalu
mengaplikasikannya pada tatanan social, dan peradaban kaum kota
(urban).” 46
Pernyataan dari al-Dzahabî diatas merupakan karakteristik yang menjadi
rumusan untuk corak al-adabî al-Ijtimâ„î. Beliau memberikan empat ciri, yaitu
berdasarkan ketelitian ungkapan, menyampaikan makna sesuai dengan tujuan
diturunkannya al-Qur„an, dengan gaya penuturan yang menarik, dan
mengaplikasikannya dengan tatanan social.
45
M. Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, J. II, h. 410. 46
Menurut Rachmat Syafei, al-Dzahabi tidak bermaksud untuk memberikan definisi
formal terkait corak ini. Beliau hanya menjelaskan bahwa ini adalah salah satu era baru dalam
tafsir. Lihat: Rachmat Syafe‟I, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 254.; Abdurrahman Rusli Tanjung,
“Analisis Terhadab Corak Tafsir al-Adabî al-Ijtimâ‟î,” Jurnal Anlytica Islamica, vol.3, no.1
(2014): 173-174.
47
BAB IV
KONSEP DAYN PERSPEKTIF AL-QUR’AN: STUDI KOMPARATIF
TAFSȊR AL-SYA‘RȂWȊ DAN TAFSIR AL-MISHBAH
A. Profil Ayat Dayn
Ayat tentang mudâyanah atau utang piutang yang diambil dari akar kata
dalam al-Mu„jam al-Mufahras Lî al-Fâẕ al-Qur„ân al-Karîm terdapat dalam 3 دىينه
ayat. Yaitu pada Qs. al-Bâqarah (2): 282 yang membahas tentang hutang secara
umum dan rinci, yang mana penjelasan tentang dain-nya dilanjutkan pula pada
ayat berikutnya yaitu ayat 283, lalu pada Qs. al-Nisâ (4):11 dan 12 tentang
wajibnya membayar utang bagi ahli waris.1
Qs. al-Bâqarah (2): 282
ينو إلى أىجىلو ميسىمى فىاكتيبيوهي ايػىنتيم بدى ا الذينى آمىنيوا إذىا تىدى نىكيم كىاتبه بالعىدؿ كىلاى يىا أىيػهى كىليىكتيب بػىيػا عىلمىوي اللوي فػىليىكتيب كىلييملل الذم عىلىيو الىق كىليىتق اللوى رىبوي كىلاى يػىبخىس منوي يىأبى كىاتبه أىف يىكتيبى كىمى
يئنا فىإف كىافى الذم عىلىيو الىق سىف ل ىيوى فػىلييملل كىليوي بالعىدؿ شى ا أىك ضىعيفنا أىك لاى يىستىطيعي أىف يي يهنين من رجىالكيم فىإف لى يىكيونىا رىجيلىين فػىرىجيله كىامرىأىتىاف من تػىرضىوفى منى اء أىف كىاستىشهديكا شىهيدى الشهىدى
اهيىا اءي إذىا مىا ديعيوا كىلاى تىسأىميوا أىف تىكتيبيوهي صىغينا أىك تىضل إحدى اهيىا اليخرىل كىلاى يىأبى الشهىدى فػىتيذىكرى إحدى
1 Muhammad Fu„âd „Abd al-Bâqî, al-Mu„jam al-Mufahras Lî al-Fâẕ al-Qur„ân al-Karîm
(Dâr al-Fikr, tt), h.340.
48
يـ للشهىادىة كىأىدنى أىلا تػىرتىابيوا إلا أىف تى لو ذىلكيم أىقسىطي عندى اللو كىأىقػوى بينا إلى أىجى فى تىارىةن حىاضرىةن كيو كىنىكيم فػىلىيسى عىلىيكيم جينىاحه أىلا تىكتيبيوىىا كىأىشهديكا إذىا تػىبىايػىعتيم كىلاى ييضىار كىات به كىلاى شىهيده تيديريكنػىهىا بػىيػ
لوي بكيل شىيءو عىليمه كىإف تػىفعىليوا فىإنوي فيسيوؽه بكيم كىاتػقيوا اللوى كىيػيعىلميكيمي اللوي كىال
Arti: “ Wahai orang-orang yang beriman !Apabila kamu melakukan utang-
piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah
orang yang berutang itu mendektekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada
Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya.
Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaanya),
atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya
mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua saksi laki-
laki diantara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh)
seorang laki-laki dan dua orang perempuan diantara orang-orang yang
kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka
yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak
apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas
waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil
di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan
kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan
tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu
jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual
beli, dan janganlah penulis dipersulit, dan begitu pula saksi. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu.
Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran padamu,
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Qs. al-Bâqarah (2): 283
اتبنا فىرىىافه ديكا كى نى أىمىانػىتىوي كىإف كينتيم عىلىى سىفىرو كىلى تى مىقبيوضىةه فىإف أىمنى بػىعضيكيم بػىعضنا فػىليػيؤىد الذم اؤتيا فىإنوي آثه قػىلبيوي كىاللوي بىا تػىعمىلي ادىةى كىمىن يىكتيمهى وفى عىليمه كىليىتق اللوى رىبوي كىلاى تىكتيميوا الشهى
Arti: “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapat seorang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya.. Dan janganlah kamu menyembunyikan
49
kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya
kotor (berdosa). Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Qs. al-Nisâ‟ (4): 11
ر مثلي حىظ الينػثػىيػىين فىإف كين نسىاءن فػىوؽى اثػنىتػىين فػىلىهين دكيم للذكى ثػيليثىا مىا تػىرىؾى كىإف ييوصيكيمي اللوي ح أىكلاىا السديسي ما تػىرىؾى إ ةن فػىلىهىا النصفي كىلىبػىوىيو لكيل كىاحدو منػهيمى ف كىافى لىوي كىلىده فىإف لى يىكين كىانىت كىاحدى
ييوصي بىا أىك دىينو لىوي كىلىده كىكىرثىوي أىبػىوىاهي فىليمو الثػليثي فىإف كىافى لىوي إخوىةه فىليمو السديسي من بػىعد كىصيةو ا آبىاؤيكيم كىأىبػنىاؤيكيم لاى تىدريكفى أىيػهيم أىقػرىبي لىكيم نػىفعنا فىريضىةن منى اللو إف اللوى كىافى عىليمنا حىكيمن
Arti: “Allah mensyari‟atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian wariasan
untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian anak seorang laki-laki sama dengan bagian
dua anak perempuan. Dan jika anak itu semua perempuan yang jumlahnya lebih
dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia
(anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak bagian masing-masing seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia
(yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-
bapaknya (saja), makai bunya mendapatkan sepertiga. Jika dia (yang meninggal)
mempunyai beberapa keluarga, makai bunya mendapat seperenam. (pembagian-
pembagian tersebut diatas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan
setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui Maha Bijaksana”
Qs. al-Nisâ‟ (4): 12
ما تػىرىكنى من بػىعد كىلىكيم نصفي مىا تػىرىؾى أىزكىاجيكيم إف لى يىكين لىين كىلىده فىإف كىافى لىين كىلىده فػىلىكيمي الربيعي كىلىده فػىلىهين الثميني ما كىصيةو ييوصينى بىا أىك دىينو كىلىين الربيعي ما تػىرىكتيم إف لى يىكين لىكيم كىلىده فىإف كىافى لىكيم
لىةن أىك امرىأىةه كىلىوي أىخه أىك أيخته فىلكيل تػىرىكتيم من بػىعد كىصيةو تيوصيوفى بىا أىك دىينو كىإف كى افى رىجيله ييورىثي كىلىا السديسي فىإف كىانيوا أىكثػىرى من ذىلكى فػىهيم شيرىكىاءي ح الثػليث من بػىعد كىصيةو ييوصىى بى ا أىك كىاحدو منػهيمى
ليمه دىينو غىيػرى ميضىار كىصيةن منى الل و كىاللوي عىليمه حى
Arti: “Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah
dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
50
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah
dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu.
Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anaktetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian
yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah
ketentuan Allah. Allah Maha mengetahui, Maha Penyantun.”
Ayat al-Qur„an yang berkaitan dengan harta cenderung lebih panjang,
karena mengandung penjelasan yang lebih rinci dan detail. Hal ini dikarenakan
harta merupakan suatu komponen yang sangat penting dan rawan menimbulkan
perpecahan antar manusia. Seperti yang terdapat dalam Qs. al-Bâqarah (2): 282
tentang utang yang dilanjutkan pula pada ayat berikutnya, 283, yang merupakan
ayat terpanjang dalam al-Qur„an dan dalam Qs. al-Nisâ ayat 11 dan 12 tentang
warisan.
M. Quraish Shihab menyebut Qs. al-Bâqarah (2): 282 sebagai ayat
mudâyanah yang berarti utang piutang.2 Sedangkan, Mutawalli al-Sya‟râwî
menyebutnya sebagai ayat terpanjang dalam al-Qur‟an. Beliau juga menggunakan
istilah mudâyanah dalam tafsirnya.3
2 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol.1
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h.562 dan 730. 3 Muhammad Mutawallî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh
Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2 (Qâhirah: Akhbar al-Yawm,
1991), h.1226. Lihat: Muhammad Mutawally al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar,
J.II (Jakarta: Duta Azhar, 2004), h.137.
51
Kemudian surat al-Nisâ merupakaan surat madâniyah yang terdiri dari 176
ayat4, yang mana diantaranya mengandung berbagai aturan terkait harta dengan
rinci pula.5
B. Kewajiban yang Berhutang
1. Mencatat Transaksi Utang Piutang
a. Tafsir al-Sya„râwî
Kata faktubûh artinya hendaknya kamu menuliskannya. Kata ini menurut
al-Sya„râwî “ اء ب ح الى نى م اء ب ح الى ج رى لى عه ف رى يى ى ” dinyatakan “untuk menutup
ketidakpastian dalam pembayaran utang, walaupun hal itu terjadi kepada
saudara sendiri”. Selanjutnya, untuk menunjukkan pentingnya anjuran menulis
utang ini, beliau menjelaskannya dengan sangat luas, dilengkapi dengan berbagai
analogi dan menggunakan bahasa yang menarik serta mudah dipahami
masyarakat.6 Beliau juga menjelaskan bahwa Allah ingin memberikan
kenyamanan dalam kehidupan ini, selamanya dengan terhormat dan bersih.7
Menurut al-Sya„rawî perintah untuk menuliskan hutang tersebut adalah
hukum dari Tuhan, beliau menyatakan ة يى ي ر الى دى حى أى ذ خي أ تى لى ، فى م اك سىى عي ي ر ش تى ,8 yang
artinya “Hukum Tuhan, maka jangan dianggap sepele” 9 Ayat ini termasuk
4 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al- Munir, J.2 terj. Abdul Hayyie Al-Kattani,dkk, h. 557.
5 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al- Munir, J.2 terj. Abdul Hayyie Al-Kattani,dkk, h. 558-559.
6 Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-
Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1227-1228.; Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj.
Safir al-Azhar, J. 2, h. 138-140. 7 Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-
Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1237; Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-
Azhar, J. 2, h. 146-147. 8 Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-
Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1227. 9 Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 138-139.
52
bagian yang menonjolkan tujuan diturunkannya al-Qur‟an, karena berisi nasehat
tentang adanya hukum Tuhan yang tidak boleh disepelekan.10
Hal yang ditulis ketika transaksi utang piutang merupakan hasil dari
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan yang paling penting merupakan
batasan pelunasan utang. Al-Sya„râwî menjelaskan bahwa Allah membatasi
hutang dengan ilâ ajalin musammâ, yaitu untuk waktu yang telah ditentukan.
Kata musammâ memberikan penegasan batasan waktu. Batasan menurut beliau
terbagi menjadi dua, yaitu batasan waktu dan batasan kejadian. Untuk
menjelaskan batasan waktu yang terbagi menjadi dua tersebut, beliau
menghadirkan perumpamaan terlebih dahulu. Perumpamaan tersebut menjelaskan
tentang batasan kejadian yaitu apabila berkata ج ي ج الى يـ د قى م مي د ن ع لي جى الى “akan
kubayar setelah pulang haji” maka pernyataan tersebut menunjukkan batasan
kejadian yaitu haji. Batasan kejadian ini tentu tidak pasti, karena masih
mengandung kemungkinan-kemungkinan yang belum diketahui. Selanjutnya,
dalam menjelaskan batasan waktu beliau menyatakan sebuah pernyataan, لي جى الى رو هي ش أى ةي ثى لى ثى ك أى اف رى ه م شى د ن ع , “Batas waktu pembayaran buatku adalah dua bulan,
atau tiga bulan”. Artinya batas waktunya adalah waktu itu sendiri. Batasan inilah
yang benar.11
Allah Swt., tetap memerintahkan orang yang mengetahui tentang tulis-
menulis untuk menyumbangkan jasanya, walaupun tidak ada yang memintanya,
menulis itu tetap wajib dilaksanakan. Ia menjelaskan dengan perumpamaan
berikut.
10
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1227.; Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir
al-Azhar, J. 2, h. 138-139. 11
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1227.; Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir
al-Azhar, J. 2, h. 138
53
ري يػ غى وى ىي ك ، أى ؽ رى ك الز ة ف دى ب كى س م يىى الذ ت قى ر غ أي كى ، ةن فى اص عى ت اءى جى كى ل اذى دى ع بػى كى ؽو رى ك زى ح م كي ن أى ب ىي لى ، فى ل مى عى ل ل وي سى ف نػى بي د ن يػي وي ن ، إ ةى ف الد رى يػ د يي ل ؼي ر ع يػى ن مى ىـ د قى تػى يػى ف أى بي ا يى نى ، ىي ة ف الد ة ارى دى ى إ لى عى رو اد قى
12.ة بى ر ج لت ل اؿى مىى
Maksud dari pernyataannya tersebut adalah apabila kamu berada di dalam sampan
kecil, kemudian datang angin kencang yang menenggelamkan nahkodanya,
sehingga tidak ada yang bisa mengendalikan sampan tersebut. Maka, orang yang
merasa mampu, harus menggantikan nahkoda mengendalikan sampan tersebut
dan mendermakan dirinya untuk itu, sedang yang tidak mampu diharap mundur
karena disini bukan tempat untuk belajar.13
Kemudian, untuk menjelaskan subyek yang lemah dalam transaksi utang
piutang, yang mana orang tersebutlah yang berhak mendiktekan ketika pencataan
hutang, al-Sya„râwî menjelaskan sebagai berikut. Beliau memulainya dengan
sebuah pertanyaan “fa man al-Ḏa„îf”? yaitu, siapa yang lemah?. Beliaupun
menjawab “‟innahu al-madîn” yaitu, yang berhutanglah yang lemah. Kemudian
ketika akan menjelaskan anjuran kepada penerima hutang untuk mendikte ketika
proses transaksi, beliau bertanya kembali “wa limâdzâ lâ yumlî al-dâ‟in?” yaitu,
mengapa yang mendikte bukan yang memberi hutang?. Beliaupun menjawab
“lianna al-madîn „âdatan fî markaz al-ḏa„if,” yaitu karena penerima hutang
berada pada posisi yang lemah.14
Tanya jawab yang ditampilkan memperjelas
posisi antara si pemberi hutang dan penerima hutang. Hal ini juga dapat
menambah rasa penasaran pembaca untuk mencari jawaban dari pertanyaan
tersebut.
12
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1228. 13
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 139 14 Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1229.; Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir
al-Azhar, J. 2, h. 140.
54
Pada pernyataan di atas dapat dipahami bahwa orang yang berhak
mendiktekan adalah orang yang posisinya lebih lemah. Pada transaksi utang
piutang orang yang berhutanglah yang memiliki posisi lebih lemah. Penulisan
hutang tersebut sebagai bukti penerimaan hutang atas pemberi hutangnya tersebut.
Oleh karena itu, penerima hutang harus mendiktekan isi teks yang dijadikan
barang bukti. Hal ini lebih lanjut beliau jelaskan dengan corak
kemasyarakatannya.15
Berikutnya, al-Sya„râwî membahas orang yang berhak menuliskan
transaksi utang tersebut dan ketentuannya.
ري يػ غى به ات كى تى أ يى ف أى د بي لاى ن ك لى ، كى نى ي د مى ا ال هى يػ أى تى ن أى لاى ، كى بي تي ك م تى ذ ال نى ائ ا الد هى يػ أى تى ن أى : لاى ةى ق الد ر ظي ن اي 16.ن ي الد ة يى ل مى عى ن م ث ال ا الث ذى لى ةى حى لى ص مى لى ، فى ين نػى ثػ الا
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa orang yang berhak menuliskan transaksi
utang piutang tersebut adalah selain dari pihak yang berhutang dan yang memberi
hutang.17
Jadi, orang yang berhutang dan yang memberi hutang tidak boleh
menjadi penulis ketika transaksi tersebut sedang berlangsung. Selanjutnya, beliau
menambahkan ketentuan bagi penulis hutang, sebagai berikut.
كى ل اذى ن عى عى نى تػى يى لا ينان أى دى بى تي ك يى ف أى وي ن م بى إف طيل ةى ابى تى الك ؼي ر ع م يػى الذ افى سى ن ال ف أى ب احه ضى ي إ كى ل اذى ح كى وي سى ف نػى بى دي ن يػى ف أى وي مي زى ل يػى عي ر الش ، فى ةن بى ر تى لي م تى يى لاى ؼي ر الظ ، كى لى مى ع يػى ف أى وي ن ي م ض تى ق يػى ره م أى اؾى نى ىي افى ا كى ا مى ذى إ 18ل مى عى ل ل
Dari penafsiran di atas dapat disimpulkan ketentuan bagi penulis hutang, pertama,
orang yang memiliki pengetahuan tentang penulisan tidak boleh menolak apabila
15
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 140. 16
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1228. 17
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 139. 18
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1228.
55
diminta untuk menuliskan hutang. Kedua, apabila tidak ada yang memintanya,
anjuran menulis itu tetap harus dilaksanakan.19
Fakta di masyarakat, saudara adalah orang yang paling dekat dan paling
dipercaya, sehingga menimbulkan rasa segan yang terkadang berlebihan. Hal ini
berdampak pada tidak terlaksananya pencatatan hutang diantara mereka. Oleh
karena itu, al-Sya„rawî menegaskan bahwa ini adalah hukum Tuhan, maka tidak
boleh dianggap mudah atau sepele, dengan mengatakan kepada si pemberi hutang
sebagai berikut.
ني نى :»ل قي تػى لاى ، كى ينى الد ب تي ك : اي كى لى ؿي و قي يػى مه اك سىى عه ي ر ش تى وي ن ، إ «ابه حى ص أى ني نى : »و ب اح صى ل ؿي و قي يػى فػى ك ، أى لي ام رى الى ك ، أى اءي نى بػ الى لي عى ف ا يػى اذى مى جان فى رى حى ينى الد ب تي ك تى لى ف إ ا فى مى كي ن م ده اح كى تي و يىي د قى فػى « اء قى د ص أى
20؟ .ةي ثى رى الوى Dari pernyataan di atas al-Sya„awî berusaha menampilkan problematika
yang sering terjadi di masyarakat dalam bentuk percakapan yang sering muncul
dalam sebuah transaksi utang piutang sepasang sahabat dan dalam bentuk hak dan
kewajiban dalam hidup bermasyarakat. Beliau menjelaskan bahwa biasanya
seorang yang memiliki kedekatan mengatakan kepada temannya atau pemberi
hutang, “kita kan kawan,” namun hukum Allah menetapkan “tulislah hutang” dan
janganlah mengatakan, “kamikan sahabat.” Kemudian, al-Sya„rawî memberikan
alasan yang menonjolkan problematika dalam masyarakat dalam bentuk hak dan
kewajiban. Kita ketahui dalam transaksi utang piutang terdapat harta yang
merupakan hak milik pemberi hutang dan kewajiban si penghutang untuk
membayarnya. Perintah pencatatan di atas untuk menjaga agar hak dan kewajiban
mereka terpenuhi. Jika yang berhutang telah wafat maka kewajiban beralih kepada
19
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 139. 20
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1227.
56
ahli warisnya. Oleh karena itu, apabila satu diantara penghutang wafat dan hutang
tidak tertulis, maka apa yang akan dilakukan ahli waris atau anak atau para janda
untuk melunasi hutang tersebut.21
b. Tafsir al-Mishbah
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini mengisyaratkan
pentingnya tulis menulis, karena di dalam kehidupan seseorang dapat mengalami
kebutuhan pinjam dan meminjamkan. Hal ini diisyaratkan oleh penggunaan kata
idzâ yang berarti “apabila” pada awal penggalan ayat ini, yang lazim untuk )إذا(
menunjukkan kepastian akan terjadinya sesuatu.22
Ketika M. Quraish Shihab menjelaskan “untuk waktu yang ditentukan”
menggunakan contoh pernyataan yang biasa muncul di masyarakat. Menurut
beliau pernyataan itu bukan saja mengisyaratkan batas waktu pelunasan ketika
berhutang, dan bukan dengan berkata, “kalau saya ada uang,” atau “kalau si A
datang,” karena ucapan seperti ini tidak pasti, rencana kedatangan si A pun dapat
ditunda atau tertunda. Bahkan menurut beliau, ayat ini tidak hanya mengandung
isyarat tersebut, tetapi juga mengesankan bahwa ketika berhutang seharusnya
sudah harus tergambar dalam benak penghutang, bagaimana cara dan dari sumber
manakah pembayarannya diandalkan.23
Perumpamaan tersebut memperjelas
maksud dari batasan waktu, yang mana hal ini belum dijelaskan di Tafsîr al-
21
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 139. 22
M. Quraish Shihab, al-Misbah, h. 565. 23
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 564.; al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî:
Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h.
1227.; Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 138.
57
Sya„rawî, bahwa ketika berhutang selain harus menentukan waktu juga harus
sudah terbayang terlebih dahulu sumber sekaligus cara membayar hutang tersebut.
Kemudian, ketika menjelaskan orang yang berhutanglah yang berhak
mengimlak dalam proses transaksi utang piutang, M. Quraish Shihab
mempertegas aspek tujuan diturunkannya al-Qur‟an yaitu sebagai petunjuk. Pada
penjelasan ini, beliau lebih ke arah nasehat bagi yang berhutang agar bertakwa
kepada Allah dan tidak mengurangi sesuatu yang berkaitan dengan kadar hutang,
sebagai berikut.
“… sambil mengimlakkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan
transaksi, Allah mengingatkan yang berhutang agar hendaknya ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya. Demikian ia diingatkan untuk
bertakwa dengan menyebut dua kata yang menunjuk kepada Tuhan, sekali
Allah yang menampung seluruh sifat-sifat-Nya yang Maha Indah,
termasuk sifat Maha Perkasa, Maha Pembalas, Maha Keras siksa-Nya, dan
dikali kedua rabbahû, yakni Tuhan Pemeliharanya. Ini untuk
mengingatkan yang berhutang bahwa utang yang diterimanya serta
kesediaan pemilik uang untuk mengutanginya tidak terlepas dari tarbiyah,
yakni pemeliharaan dan pendidikan Allah terhadapnya, karena itu lanjutan
nasehat tersebut menyatakan, janganlah ia mengurangi sedikitpun dari
hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara
pembayaran, dll, yang dicakup oleh ksepakatan bersama.”24
2. Menghadirkan Saksi
a. Tafsir al-Sya„râwî
Allah memberikan batasan tentang suatu kesaksian, dengan kata
syahîdain. Al-Sya„râwî melanjutkan dengan sebuah pertanyaan bahwa kenapa
Allah menggunakan kata ين dua orang saksi (dalam bentuk superlatif), bukan شىهيدى
kata ف اىدى اشى dua orang saksi (dalam bentuk biasa). Lalu, beliau menjawab bahwa
syahîdain adalah sebagai berikut.
24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 566.
58
ة الى دى عى ب اسي الن وي فى رى عى ده اى شى وي ن أى . كى ة غى الى بى مي ال ة غى يػ ص ب ق الى اءى جى كى ل اذى ران، لى ك زي في و كي يى د قى دو اى شى قى لى ط مي ف لى ، كى ل اى ذى لى عى اسي الن وي نى مى أ تى س ا ؛ كى ةي لى اد العى ةي ادى هى الش وي ن م ت رى ر كى تى افه سى ن إ وي ن ا. إ دن ي ه شى ارى صى ت حى ة ادى هى الش
25.ده ي ه شى وي ن ى أى لى عى له ي ل ا دى ىذى كى Syahîdayni menurut al-Sya„rawî adalah orang yang sering menjadi saksi dan
terkenal dengan kejujurannya, karena seringnya menjadi saksi dan jujur, maka
saksi menjadi profesinya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang
dimaksud al-Sya„râwî batasan untuk seorang saksi harus orang yang sering
menjadi saksi dan terkenal kejujurannya dan bahkan menjadi saksi adalah
profesinya. Sehingga kesaksiannya dapat dipertanggungjawabkan.26
Ketika akan menjelaskan tentang posisi saksi, al-Sya„râwî mengawali
dengan dua pertanyaan yang merupakan ruang lingkup dari apa yang akan
dijelaskannya terkait topik tersebut. pertanyaan tersebut adalah ةي ادى هى الش في و كي تى فى ي كى كى ،
؟ل م حى التى ك أى اء دى الى ح يى ى ل ىى , apakah status saksi, apakah dia sebagai penanggung
jawab atau pelaksana?. Kemudian al-Sya„râwi pun menjawab, singkatnya adalah
اءو دى أى ةي لى حى ر مى ، كى لو م تىى ةي لى حى ر : مى ين تػى لى حى ر ا مى نى ىي ف إ , jawabannya adalah memiliki status ganda,
sebagai penanggung jawab sekaligus sebagai pelaksana.27
Status saksi juga
merupakan hal yang penting, maka al-Sya„râwî menekankan pembahasan tersebut
dengan diawali sebuah pertanyaan, agar pembaca dapat lebih focus.
25 Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1230. 26 Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 141. 27 Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1231.; Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir
al-Azhar, J. 2, h. 141-142.
59
Lalu, ketika menjelaskan potongan ayat wa istasyhidû, yaitu maka mintalah
saksi, beliau menjelaskan sebagai berikut.
ي غى دى ن ع ةى يى اد صى ت ق الا اةى يى الى ن ى م ؤى يػي ف أى ق ي ث و ا التػى ذى بى دي ي ر يي وي انى حى ب سي وي ن ، لى بي تي ك نى كى دي ه ش تى س نى او د ه ش ت اس و اة يى الى ةى كى رى حى ري يػ س تي ي كى ش يى بي لاى ك الد فى د اج الوى ي غى دى ن ع منىةن ؤى مي في و كي ا تى مى دى ن ع ةى اجى الى ف ؛ لى د اج الوى ة ائى م لى إ اجي تى يى دو ي ف مي كى ادو جى رو ك ف ل كي ، فى ري يػ ث الكى وى ىي د اج الوى ري يػ غى ، كى لي ي ل القى وى ىي دى اج الوى ف ؛ لى ة يى اد صى ت ق الا
في و كي ا تى ذى ل ا، كى ك ذي في نػ يػى ل ةو ائى م لى إ اجي تى يى ؼي ر صى م يي الذ دى اج الوى بى ي الى ف . أى طى ي ط خ التى فى ك ذي فى نػ يػى افو سى ن إ يـ ظى ن رى يػ س يى ت حى كى ذل ، كى فى ك دي يى لاى نى ي ذ ال نى م ةي رى هى م الى يـ ظى ن فى و كي يى ف أى دي ي ر يي لاى اللهى ف ؛ لى اة يى الى ا اة يى الى اىـ ظى ن اللهي دي ي ر ا يي نى ، إ ق ل ى الى لى عى ق ل الى نى م لن ض فى تػى ةن رى س أي ؿي و عى يػي م لاى الذ لي ام عى ال ا؛ فى ي ر ك ري ا ضى امن ظى ن اة يى الى اى لاى د قى ـعى الط لى إ اجي تى يى وي ن . إ و ت اجى بى ل امى العى جى ك ري خي طي بي ر يػى ق الى فى كى ل اذى ل ، ل مى العى لى إ جي ري و س ف نػى ة ايى عى ر كى ا لى مى العى ب يي وى هي فػى لي مى العى قي شى ع يػى ينى ح ، كى وي لي مى عى قى شى ع يػى رى م الى ار رى ك ت ب ، كى ل مى العى لى ا إ ارن رى ط ض ا جي ري خ يى فػى و ت رى س أي كى
ح ل مى العى ب حى ا أى ا مى ذى إ ، كى و ات ذى ح ل مى العى ب حي لى ، إ ل مى العى لى إ ة اجى الى نى م لي ق تى ن يػى كى ل اذى ب . كى و ات ذى ح .ري يػ س تى اة يى الى ةي لى ج عي ، فػى و ات ذى
28
“Adanya pengambilan saksi dan kemudian menulisnya, dikarenakan Allah
menginginkan tetap terjaminnya kehidupan ekonomi bagi si miskin dalam
sebuah perjanjian. Disaat kehidupan hidup terjamin, maka sendi-sendi
perekonomian akan berjalan dengan baik. karena jumlah orang yang kaya
jumlahnya sangat sedikit dan yang miskin sangat banyak. Orang kaya
membutuhkan ratusan orang untuk melaksankan keinginannya.
Demikianlah mayoritas orang miskin dibutuhkan satu orang kaya, agar
roda kehidupan mereka berjalan dengan baik. Allah tidak ingin roda
kehidupan berjalan atas dasar belas kasihan orang kaya kepada orang
miskin belaka, tapi yang diinginkan berjalan atas dasar saling
membutuhkan. Seseorang yang tidak mempunyai beban untuk mencari
nafkah bagi keluarganya terkadang tidak mau bekerja. Oleh karena itu,
Allah memaksa seseorang keluar dari rumah untuk bekerja guna memenuhi
kebutuhan pangan, kebutuhanya, dan kebutuhan keluarganya. Dengan
seringnya dia bekerja, maka dia akan menyukai pekerjaannya itu, dan kalau
dia sudah suka dengan pekerjaan tersebut, maka dia akan selalu bekerja.
Dengan demikian beralihlah dari keterpaksaan bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup kepada bekerja karena dia cinta pekerjaan tersebut.
Apabila dia sudah cinta maka roda kehidupan akan berjalan dengan
lancar.” 29
28
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1230. 29
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 140-141.
60
Pada pernyataan di atas al-Sya„rawî mengaitkan dengan sunnatullâh dalam
masyarakat, bahwa jika kehidupan orang miskin terjamin maka sendi-sendi
kehidupan akan berjalan dengan baik. Potongan ayat wa istasyhidû, yaitu maka
mintalah saksi, pengambilan saksi dan penulisan dalam transaksi utang piutang
merupakan sarana untuk menjamin kehidupan orang yang miskin. Orang miskin
biasanya menjadi golongan yang tertindas karena posisinya yang lemah.
Sehingga, ketika kebutuhan hidup mereka terjamin, maka sendi-sendi
perekonomian akan berjalan dengan baik.30
Ketika menjelaskan hal tersebut, beliau menampilkan dua nilai moral dan
satu fakta dalam masyarakat. Dua nilai moral tersebut adalah, pertama,
berjalannya roda kehidupan bukan atas dasar kasihan, namun atas dasar saling
membutuhkan. Kedua, suatu pekerjaan yang awalnya dilakukan dengan terpaksa,
apabila sering dilakukan, maka lambat laut akan timbul rasa cinta, dan jika sudah
cinta maka roda kehidupan akan berjalan dengan baik. Hal lain yang dicantumkan
dalam penjelasan al-Sya„rawî di atas adalah sebuah fakta bahwa di dalam hidup
bermasyarakat terdapat orang yang tidak memili beban sehingga dia tidak mau
bekerja dan orang yang memiliki beban sehingga diam au bekerja atau berusaha.
31
Selanjutnya, ketika menjelaskan potongan ayat امرىأىتىاف فىإف لى يىكيونىا رىجيلىين فػىرىجيله كىاء jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang , من تػىرضىوفى منى الشهىدى
30
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1230; Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir
al-Azhar, J. 2, h. 140. 31
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1230; Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir
al-Azhar, J. 2, h. 140.
61
laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, al-
Sya„rawî menjelaskan alasan satu laki-laki yang digantikan dengan dua
perempuan, sebagai berikut.
اه م االأخرىي: ل ا يى بى لو جي رى ل ابى قى مي ح ين تػى أى ر مى ال ءى ي مى ق الى لى ل عى كى د إ ح اه م اف ت ذ كر د لإ ح ؛ أ نت ض ا.بن ال غى كى ل اذى ل كي ن عى ةه دى ي ع بى ةي أى ر مى ال . كى ثي دى ا يى مى ؼي ر ع تػى كى يو ف دى هي ش تى ل عو مى تى ج بي اؾه كى ت ح ا يى ى ةى ادى هى الش ف لى ا ا مى ذى إ ، فى ات يى ل مى العى ه ذ ب فه أ ا شى لىى سى ي لى ، كى اؿ مى ع الى ه ىذ ل ث ا ب لىى ةى قى لى عى لا أى ة أى ر مى ال ح لى ص الى ف أى ري يػ غى وي ن أى ة أى ر مى ال ر ك ف ح لى ص الى ف ؛ لى ين تػى أى رى ام كى لو جي رى ل ةي ادى هى الش ن كي تى ل فػى ة أى ر مى ال ة ادى هى شى لى إ ري و مي الي ت رى طى ض ا ا اهيى دى ح إ رى ك ذى تي ا فػى اهيى دى ح ى إ سى ن تػى ك أى ل ض تى د قى ا، فػى بى طي ي م يي م الذ اد صى ت ق الا ع مى تى ج مي ال ب ؿو و غي ش مى
اس الن ة رى هى م بى اؾي كى ت ح الا ة أى ر مى ال ب اج كى ن م سى ي لى وي ن ، لى فى ق و مى ا ال ا ىذى اهيى تى ل ك سي ارى دى تى تػى ل، كى رى خ الي 32.اؿ مى ع الى ب لي ص ت ا يػى مى ةو اص بى كى
Al-Sya„rawî pada pernyataan di atas menjelaskan sebab Allah
memposisikan dua perempuan dengan satu laki-laki dengan menampilkan
sunnatullâh dalam bentuk efek dari gerak hidup bermasyarakat. Ayat ini seakan-
akan menimbulkan pertanyaan mengapa seorang laki-laki digantikan dengan dua
orang perempuan. Kemudian, beliau menegaskan dengan potongan ayat
selanjutnya, اهيىا الخرلأىف اهيىا فػىتيذىكرى إحدى تىضل إحدى , yang artinya “supaya jika seorang
lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” Al-Sya„rawî mengaitkan penjelasan
tersebut dengan sunnatullâh dalam masyarakat, bahwa kesaksian merupakan efek
dari gerak hidup bermasyarakat. Para saksi memberikan kesaksian atas apa yang
mereka ketahui dari peristiwa yang tengah terjadi di masyarakat.
Menurut beliau, perempuan pada umumnya jauh dari hal-hal tersebut,
karena mereka lebih banyak menetap di dalam rumah. Oleh karena itu, apabila
tidak ditemukan lagi saksi laki-laki, maka harus ada satu laki-laki dan dua
perempuan untuk menggantikannya. Satu laki-laki diposisikan dengan dua
perempuan karena perempuan pada dasarnya lebih sibuk di dalam rumah dan
32
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1230-1231.
62
tidak pernah sibuk dengan urusan social ekonomi, berbeda dengan laki-laki yang
memang sibuk dengan urusan social ekonomi. Hal ini adalah yang biasa terjadi di
masyarakat. Dengan demikian, bagi perempuan harus dua orang, agar jika salah
satu lupa, maka yang lain bisa mengingatkannya dan keduanya saling berdiskusi
terkait masalah tersebut. Bagi perempuan pun pada umumnya tidak berkewajiban
untuk ikut andil dalam masalah-masalah yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pencarian rizeki.33
Masyarakat
memang pada umumnya sibuk mengurus segala sesuatu yang ada di dalam
rumahnya, laki-lakilah yang biasa mengurus hal-hal diluar rumah. Ketika
perempuan harus menjadi saksi pada hal yang bukan merupakan tugas pokoknya
maka perlu pendukung, agar jika ada kekurangan, lupa atau yang lainnya dapat
saling berdiskusi dan mengingatkan.
b. Tafsir al-Mishbah
Kata saksi yang digunakan pada ayat ini adalah syahîdain bukan syâhidân.
Beliau menjelaskan penggunaan kata syahîdain memiliki makna bahwa saksi
yang dimaksud pada ayat ini benar-benar yang wajar serta telah dikenal
kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas
tersebut.34
M. Quraish Shihab menjelaskan pula bahwa, tidak menutup kemungkinan
adanya kesaksian wanita baik secara luas, terbatas, ataupun sempit. Beliau
mengawalinya dengan sebuah pertanyaan sederhana, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, hal ini menandakan pentingnya hal akan disampaikan. Pertanyaan
tersebut adalah “mengapa kesaksian dua orang lelaki diseimbangkan dengan satu
33
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 141. 34
M. Quraish Shihab, al-Misbah, h. 566.
63
orang lelaki dan dua orang perempuan?”. Beliau pun menjawab singkat dan
jelas, yang mana point dari jawaban tersebut adalah “supaya jika salah seorang
diantara perempuan tersebut lupa maka seorang lagi, yakni yang menjadi saksi
bersamanya mengingatkannya.”35
Penjelasan ini termasuk hal penting karena
termasuk dalam inti ayat mudâyanah. Selanjutnya, beliau membahas dengan
bahasan yang lebih luas terkait kesaksian pada pembahasaan selanjutnya.
Seperti sebelumnya, juga diawali dengan pertanyaan sederhana, “mengapa
kemungkinan itu disebutkan dalam konteks persaksian wanita? apakah karena
kemampuan intelektualnya yang kurang, seperti diduga sementara ulama? atau
karena emosinya yang tidak terkendali?” Lalu beliau juga memberikan jawaban
inti dari apa yang akan dia jelaskan selanjutnya dengan bahasa yang singkat yaitu
“hemat penulis tidak ini dan tidak itu.”.36
Dari beberapa umpan berupa
pertanyaan-pertanyaan singkat tersebut, kemudian beliau mulai menjelaskan inti
persoalan. Bahwa persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang
tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan kepadanya. Penjelasan ini
kemudian dijelaskan lebih luas dengan nilai nilai yang lebih dekat dengan
masyarakat, yang akan dijelaskan pada penjelasan berikutnya.
Saksi menurut beliau adalah sebagai berikut.
“Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi,
walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga
secara aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat suatu peristiwa-
katakanlah tabrakan- maka ketika itu anda telah berpotensi memikul tugas
kesaksian, sejak saat itu juga anda telah dapat dinamai saksi walaupun
belum lagi melaksanakan kesaksian itu di pengadilan.” 37
35
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 567. 36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 567. 37
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 568.
64
Penjelasan di atas memperjelas tentang siapakah yang dapat disebut saksi.
Beliau menjelaskan dengan perumpamaan yang sering terjadi dan menarik hati
masyarakat sehingga mudah dipahami. Beliau menggunakan bahasa-bahasa yang
sederhana sehingga mudah dipahami oleh semua kalangan. Seperti adanya
penggunaan kata „tabrakan‟ yang berarti kecelakaan. Istilah ini adalah yang
familiar dalam masyarakat.
Seorang saksi tidak boleh menolak memberikan keterangan. Beliau juga
menjelaskan bahwa perintah menjadi saksi dalam kegiatan utang piutang tersebut
adalah sebuah anjuran. Menurut beliau, menjadi saksi ini juga bisa menjadi wajib
apabila kesaksiannya mutlak dalam hal menegakkan keadilan, beliau menjelaskan
sebagai berikut.
“… Karena itu mereka perlu dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi
apabila sudah ada orang yang memberikan keterangan, dan wajib
hukumnya jika kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan. Nanti
dalam ayat berikut akan ada larangan tegas disertai ancaman bagi saksi-
saksi yang menyembunyikan kesaksian, yang mengakibatkan kerugian
pihak lain.” 38
Kemudian, beliau mengakhiri penjelasan tentang saksi dengan sebuah
nasihat, “Sebagaimana Allah berpesan kepada penulis, kepada para saksipun
Allah berpesan, janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil, karena keenggananya dapat mengakibatkan hilangnya hak,
atau terjadi korban.”39
38
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 568. 39
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 568.
65
3. Memberikan Jaminan
a. Tafsir al-Sya„râwî
Sebagaimana diketahui seorang musafir adalah orang yang keluar dari suatu
daerah menuju daerah lain. Seseorang dapat mengetahui dengan pasti kebutuhan
hidupnya ketika dia berada di daerahnya sendiri, namun ketika dia keluar
merantau dari daerahnya, maka dia tidak akan leluasa melakukan sesuatu
sebagaimana dikampungnya. Sebagai contoh, orang yang sedang bepergian,
kemudian keadaan memaksanya untuk berhutang, sementara tidak ada juru tulis
serta saksi. Maka, yang harus dilakukan orang tersebut adalah memberikan barang
jaminan, sebagaimana yang terdapat dalam Qs. al-Bâqarah (2) ayat 283.
Menurut al-Sya„rawi dalam firman Allah, فىرىىافه مىقبيوضىةه artinya, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Allah
tidak membiarkan masalah utang piutang ini begitu saja, sekalipun dalam keadaan
musafir. Oleh karena itu, dianjurkan adanya saksi bagi orang yang bermukim dan
jaminan yang dipegang bagi musafir. Hal ini, sebagai perlindungan untuk semua
pihak. Beliau juga menjelaskan, di dalam praktek utang piutang terdapat dua
masalah, yaitu hutang dan jaminan hutang. Dengan demikian, salah satu pihak
merasa terjamin dengan adanya jaminan ditangannya, dan yang lain terjamin
dengan hutangnya. 40
b. Tafsir Al-Mishbah
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa pencatatan dan persaksian tidak sulit
dilaksanakan, jika orang tersebut berada di dalam kota, dimana para saksi dan
40
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 148.
66
penulis berada. Tetapi, jika orang tersebut dalam sebuah perjalanan dan akan
bermuamalah tidak secara tunai, dan tidak dapat menemukan penulis, maka
dianjurkan adanya barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).41
Memberi barang tanggungan sebagai jaminan pinjaman lebih masyhur
dengan istilah menggadai, yang mana dalam Qs. al-Bâqarah (2) ayat 283,
dikaitkan dengan perjalanan. Tetapi, itu bukan berarti menggadaikan hanya
dibenarkan dalam perjalanan. Nabi Saw., pernah menggadaikan perisai beliau
kepada seorang Yahudi, padahal ketika itu beliau sedang berada di Madinah.
Dengan demikian, penyebutan kata dalam perjalanan, hanya karena seringnya
tidak ditemukan penulis dalam perjalanan.42
4. Hutang yang Tidak Memenuhi Syarat
a. Tafsir al-Sya„râwî
Hutang yang tidak memenuhi syarat, yaitu hutang yang tidak dapat
menghadirkan saksi, juru tulis, dan jaminan. Apabila seseorang mengalami hal
tersebut maka langkah terakhir yang dapat ia lakukan adalah amanah,
sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam Qs. al-Bâqarah (2) ayat 283.
Amanat sebenarnya merupakan tanggung jawab setiap individu di setiap
aspek kehidupan. Allah menginginkan agar masalah utang ditulis dengan surat-
surat yang valid (kuat), dan dia tidak menjadikan seseorang hanya tunduk pada
jaminan keimanan saja, akan tetapi juga harus tunduk pada peraturan diluar iman
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 570. 42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 570.
67
yaitu penulisan batas akhir pembayaran utang, baik besar atau kecil.43
Yang mana
setiap pelakunya juga harus memiliki sifat amanah.
b. Tafsir al-Mishbah
Amanah menurut M. Quraish Shihab adalah kepercayaan dari yang
memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang diberikan atau
dititipkan kepadanya itu akan terpelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat
yang menyerahkan memintanya kembali, maka ia akan menerimanya utuh
sebagaimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang menerimanya pun
menerimanya atas dasar kepercayaan dari pemberi bahwa apa yang diterimanya,
diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi atau si penitip tidak akan
meminta melebihi apa yang diberikan atau disepakati kedua pihak.44
Kepada para saksi pun, pada hakekatnya juga memikul amanah kesaksian.
Jangan sampai seorang saksi mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan
sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak
diketahuinya. Kemudian, akhir ayat dayn yaitu, Qs. al-Bâqarah (2) ayat 282 dan
283, Allah mengingatkan semua pihak, bahwa Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan, walau sekecil apapun, pekerjaan yang nyata maupun tersembunyi,
yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati.45
5. Persamaan dan Perbedaan tentang Kewajiban yang Berutang
Secara garis besar, penafsiran al-Sya‟rawi dan M. Quraish Shihab memiliki
banyak kesamaan. Terkait dengan kewajiban bagi orang yang berutang keduanya
43
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 150. 44
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 571. 45
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 571.
68
sama-sama menjelaskan anjuran untuk mencatat, menghadirkan saksi,
memberikan jaminan , dan yang terakhir amanah.
Namun, hal yang sangat berbeda adalah Al-Sya„râwî dalam penafsirannya
terlihat condong kepada manusia sebagai pelaku ekonomi dalam sebuah institusi
perekonomian yang besar. Di dalam institusi perekonomian tersebut beliau
menggunakan prinsip membangun dan menjamin. Setiap pelaku memiliki
kewajiban masing-masing yang harus dilaksanakan dengan baik. Semua itu dalam
rangka untuk tetap menjaga perputaran roda kehidupan.
Sedangkan, M. Quraish Shihab terlihat lebih melihat manusia sebagai
individu pelaku ekonomi yang memang harus lebih mawas diri. Menurut beliau,
ketika seseorang berhutang seharusnya sudah harus tergambar dalam benak
penghutang, bagaimana cara dan dari sumber manakah pembayarannya
diandalkan.46
C. Ḏa‘îf dan Safîh pada Penghutang
a. Tafsir al-Sya„râwî
Beliau menjelaskan tentang perbedaan antara kata safîhan dan ḏa„îfan .
Menurutnya, kata ini memiliki arti yang sama-sama lemah, namun terdapat
perbedaan diantara keduanya. Kata safîhan menurut beliau,
47ؼ ر صى الت ةى يى ل ى أى كي ل مى تى يػى لاى وي ن أى لا إ اؿ جى الر غى لي بػ مى غي ال البى وى ىي
46
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 564.; al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî:
Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h.
1227.; Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 138. 47
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1229.
69
“seorang yang sudah baligh akan tetapi memiliki kelemahan akalnya,
sehingga tidak memiliki kemampuan keahlian untuk berbuat.” 48
Kata ḏa„îfan menurut beliau adalah orang yang lemah fisiknya atau
keadaannya, seperti anak kecil atau orang yang sudah sangat tua.49 al-Sya„râwî
menyampaikannya sebagai berikut.
لن ف ط فى و كي يى ف أى ، كى ل امي عى لتػ ل ي ل ق العى ج ض ا الن جن اض نى فى و كي يى ف أى وي غي ل تػيب ت ال ةى رى د القي كي ل يى م لاى الذ وى ىي 50 بى ك ال نى م غى ل ا بػى خن ي شى ك ا، أى رن يػ غ صى
b. Tafsir Al-Mishbah
M. Quraish Shihab mengawali penjelasan dengan sebuah pertanyaan.
“Bagaimana kalau yang berhutang, karena suatu dan lain hal tidak mampu
mengimlakkan?.” Pertanyaan tersebut untuk menjelaskan potongan ayat,
ل ىيوى فػىلييملل كىليوي ب … …العىدؿ فىإف كىافى الذم عىلىيو الىق سىفيهنا أىك ضىعيفنا أىك لاى يىستىطيعي أىف يي“… Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaknya walinya mengimlakkan dengan jujur….”
Beliaupun menjawab bahwa lemah akal adalah orang yang tidak pandai
mengurus harta, karena suatu dan lain sebab. Berikutnya, lemah keadaan menurut
beliau seperti sakit, atau sangat tua. Sedangkan dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, menurut beliau bisa karena dia bisu atau atau tidak mengetahui
bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, oleh karena itu dapat diwakilkan
48
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 140. 49
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 140. 50
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-Syaikh Muhammad Mutawallî
al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm, J.2, h. 1229.
70
dengan wali yang jujur.51
Pembahasan yang diawai dengan pertanyaan, memberi
rambu-rambu bahwa apa yang akan diberitakan adalah hal yang penting. Suatu hal
yang penting memerlukan konsentrasi dalam membaca. Oleh karena itu, adanya
pernyataan tersebut adalah cara yang baik untuk menambah rasa ingin tahu
pemabaca.
c. Persamaan dan Perbedaan tentang Ḏa‟îf dan Safîh
Al-Sya„rawi dan M. Quraish Shihab sama-sama menjelaskan pengertian
ḏa‟îf dan safîh. Tidak ada perbedaan yang menonjol terkait penjelasan ini. Kedua
mufassirnya sama-sama berkesimpulan lemah akal atau safîh adalah orang yang
tidak pandai mengurus harta, karena suatu dan lain sebab. Berikutnya, lemah
keadaan atau ḏa‟îf digambarkan seperti sakit, atau sangat tua.
Keduanya menekankan apabila orang yang berhutang itu lemah akalnya
(safîh) atau lemah keadaannya (ḏa„îf), maka hendaknya walinya
mengimlakkannya dengan jujur. Hal ini agar tidak terjadi kesalahpahaman atau
bahkan hal-hal lain yang tidak diinginkan, mengingat salah satu atau kedua pihak
yang bertransaksi memiliki kekurangan.
D. Hutang Bagi Orang yang Meninggal Dunia
a. Tafsir al-Sya„râwî
Hutang merupakan tanggungan yang wajib dibayar, walaupun yang
berhutang tersebut sudah meninggal dunia. Hal ini terdapat dalam Qs. al-Nisâ
ayat 11 dan 12. Di dalam ayat ini Allah telah menjelaskan dengan detail aturan
tentang waris.
51
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 566.
71
Merupakan suatu hal yang menarik dalam dua ayat tersebut, setiap ayat
yang berkaitan dengan waris selalu ditutup dengan penggalan ayat من بػىعد كىصيةو artinya sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau ,ييوصي بىا أىك دىينو
sesudah dibayar hutangnya, walaupun dengan kata ganti orang yang berbeda. Hal
ini menurut al-Sya‟rawi memiliki arti bahwa warisan tidak dibagikan kecuali
setelah dilaksankannya wasiat dan hutang. Beliau juga menegaskan dengan tanya
jawab, “mana yang harus didahulukan, pelunasan wasiat atau pelunasan
utang?.” Beliau menjawab bahwa hutang harus didahulukan karena merupakan
kewajiban, sedangkan wasiat sedekah sunah. Pernyataanya didahulukan karena
Allah ingin agar manusia tidak melupakan wasiat.52
Jadi, seorang yang telah meninggal dunia dan masih meninggalkan hutang,
maka ahli waris wajib melunasi hutang tersebut sebelum wasiat orang meninggal
tersebut ditunaikan.
b. Tafsir al-Mishbah
Di dalam Tafsir al-Mishbah, juga dijelaskan bahwa warisan akan dibagikan
setelah dipenuhi wasiat yang dibuat sebelum kematiannya dan juga sesudah
dilunasi hutang-hutangnya. Beliau juga menegaskan hal ini pada ayat keduabelas
ketika berbicara tentang warisan suami dan istri, hal ini bertujuan agar tidak
timbul kesan bahwa suami saja yang boleh berwasiat atau berutang, sedang istri
tidak dibenarkan. Allah, dengan pengulangan tersebut, ingin menunjukkan adanya
persamaan hak pria dan wanita, suami dan istri.53
52
Al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawi, Terj. Safir al-Azhar, J. 2, h. 762-766. 53
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur„an, J. 2,
Cet. V (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 434, 436, 440 .
72
M. Quraish Shihab kemudian menjelaskan penyebutan wasiat yang
didahulukan atas penyebutan utang, yang mana dalam pelaksanaannya yang
paling utama diselesaikan adalah utang. Sehingga, jika harta yang ditinggalkan
hanya cukup untuk membayar hutang, siapapun keluarga yang ditinggal tidak
akan memperoleh sesuatu. Didahulukannya kata wasiat disini adalah untuk
menunjukkan betapa pentingnya berwasiat, dan untuk mengingatkan para waris
agar memerhatikannya. Berbeda dengan utang yang sulit disembunyikan karena
pasti yang memberi utang akan menuntut dan seharusnya dia memiliki bukti-bukti
utang piutang itu.54
c. Persamaan dan Perbedaan tentang Hutang bagi Orang yang Meninggal
Keduanya sama-sama menjelaskan bahwa hutang merupakan komponen
yang wajib diperhatikan ketika seseorang meninggal dunia. Pelunasan hutang
tersebut harus dilakukan sebelum pembagian warisan, karena merupakan
kewajiban, sedangkan wasiat adalah sedekah sunah. Pernyataanya didahulukan
karena Allah ingin agar manusia tidak melupakan wasiat.
Pada penjelasan ini, M. Quraish shihab terlihat lebih menampakkan hal-hal
yang sering terjadi di masyarakat. Seperti, jika harta yang ditinggalkan hanya
cukup untuk membayar hutang, siapapun keluarga yang ditinggal tidak akan
memperoleh sesuatu. Hal, ini sering sekali terjadi dalam masyarakat.
54 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur„an, J. 2,
Cet. V, h. 434 dan 436.
73
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,
maka penulis menyimpulkan tiga konsep dayn menurut Tafsîr al-Sya‟rawi dan
Tafsir al-Mishbah, selain itu juga ditemukan perbedaan kecondongan dalam
menafsirkan dari kedua mufassir tersebut, sebagai berikut.
Pertama, kewajiban bagi orang yang akan berhutang ada empat yaitu:
pertama, mencatat transaksi utang piutang dengan batasan waktu yang jelas;
kedua, menghadirkan dua orang saksi laki-laki, atau jika tidak ditemukan, boleh
digantikan dengan seorang laki-laki dan dua orang perempuan; ketiga,
memberikan jaminan ketika bertransaksi utang piutang, terutama ketika dalam
perjalanan dan tidak menemukan penulis serta saksi; keempat, amanah, ketika
bertransaksi utang piutang semua pihak baik saksi, penulis, pemberi hutang
ataupun yang menghutang harus memiliki sifat amanah dalam melaksanakan
perannya. Selain itu, ketika seorang yang bertransaksi tersebut tidak dapat
74
memenuhi ketiga syarat sebelumnya, yaitu penulis, saksi, dan pemberian jaminan,
maka amanah merupakan jalan terakhir bagi mera yang bertransaksi.
Kedua, apabila yang bertransaki memiliki kekurangan seperti lemah akal
atau safîh dan lemah keadaan atau ḏa‟îf sehingga tidak pandai mengurus harta.
Maka, hendaknya walinya mengimlakkannya dengan jujur. Hal ini agar tidak
terjadi kesalahpahaman atau bahkan hal-hal lain yang tidak diinginkan, mengingat
salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi memiliki kekurangan.
Ketiga, hutang bagi orang yang meninggal dunia. Pelunasan hutang bagi
orang yang telah meninggal dunia harus dilakukan sebelum pembagian warisan
oleh ahli warisnya, karena merupakan kewajiban, sedangkan wasiat adalah
sedekah sunah. Pernyataanya didahulukan karena Allah ingin agar manusia tidak
melupakan wasiat.
Kemudian, hasil dari perbandingan kedua tafsiran ini, al-Sya„râwî dalam
penafsirannya terlihat condong kepada manusia sebagai pelaku ekonomi dalam
sebuah institusi perekonomian yang besar. Di dalam institusi perekonomian
tersebut beliau menggunakan prinsip membangun dan menjamin. Manusia yang
telah memiliki kesadaran untuk berusaha atau bekerja, harus berusaha membantu
menggerakkan atau membangun keyakinan seseorang yang belum memiliki
kesadaran untuk berusaha. Setelah itu, seluruh manusia yang terlibat sebagai
pelaku ekonomi tersebut harus saling menjamin atau menjaga keamanan bagi
orang-orang yang sudah mau atau memiliki keyakinan dalam berusaha atau
bekerja. Semua itu dalam rangka untuk tetap menjaga perputaran roda kehidupan.
75
Sedangkan, M. Quraish Shihab lebih condong melihat manusia sebagai
individu pelaku ekonomi yang harus tetap menjaga keseimbangan hak dan
kewajiban agar perputaran roda kehidupan tetap terpelihara. Setiap manusia harus
memiliki kesadaran social yang tinggi, ilmu yang matang dan semangat dalam
berusaha memperjuangkan kehidupannya. Beliau menekankan prinsip bahwa,
orang yang akan berhutang, harus terlebih dahulu memiliki gambaran yang
matang terkait bagaimana cara serta sumber untuk melunasi hutangnya tersebut.
Kemudian, beliau juga menekankan pentingnya menjaga kesimbangan hak dan
kewajiban, agar tidak ada yang merasa dirugikan.
Konsep dari ayat dayn ini, masing-masing poinya merupakan solusi yang
ditawarkan mufassir tersebut kepada masyarakat. Hal ini dapat memberikan bekal
ilmj kepada masyarakat, sehingga dapat meminimalisir hal-hal yang tidak
diinginkan.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai
berikut: Pertama, umat Islam diharapkan terus menggali pendapat mufassir
khususnya yang bercorak al-adabî al-ijtimâ„î agar memperoleh wawasan
keislaman yang lebih luas dan dapat mengaplikasikan solusi yang ditawarkan
dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Penelitian lebih lanjut disarankan untuk
meneliti perkembangan corak al-adabî al-ijtimâ„î dalam kurun waktu dan di suatu
daerah tertentu serta dampak dari tafsir tersebut kepada masyarakat sekitar,
76
sehingga terlihat jelas korelasi dan eksistensi tafsir dalam merespon problematika
yang terjadi di suatu masyarakat.
Demikian skripsi ini penulis susun. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu dimohon kritik dan saran yang
membangun.
DAFTAR PUSTAKA
„Abduh, Muhammad. Fâtihah al-Kitâb. Kairo: Kitab al-Tahrîr, 1382 H.
Achmad, “Mutawally Al-Sya‟rawi dan Metode Penafsirannya: Studi Atas Surah
al-Maidah Ayat 27-34”. AL-DAULAH 1, no. 2 (2013).
al-Ȃlûsî, Abû al-Faḏl Shihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmud. Tafsîr Rūh al-Ma‟ānî,
Cet. ke-III, vol.VI. ttp: Dār al-Fikr, tt.
Amir, Selamat b. “Elemen Saintifik Dalam Al-Qur‟an: Analisis Terhadap Tafsîr
Al-Sya„rawi Karangan Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi.” Thesis,
Akademi Pengajian Islam Kuala Lumpur, 2016.
Amrullah, Haji Abdul Malik Karim. Tafsir Al-Azhar. J. III. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983.
Anwar, Rosihon dan Muharom, Asep. Ilmu Tafsir Edisi Revisi. Bandung: Pustaka
Setia, 2015.
al-Asfahanî, Abî al-Qâsim Husain b. Muhammad/al-Râghib. al-Mufradât fī
Gharîb al-Qur‟ân,vol.II. Mesir: Maktabah Nazâr Mustafâ al-Bâz, tt.
_______. al-Raghib. Kamus al-Qur‟an: Makna Kosakata Asing (Gharib) dalam
al-Qur‟an, vol. I. terj. Ahmad Zaini Dahlan, Lc. Depok: Pustaka
Khazanah Fawa‟id, 2017.
al-„Aynîn, Abû et al. Anâ min Sulâlah ahl al-Bayt. Qâhirah: Dâr Akhbâr al-
Yawm, t.t.
Baidan, Nasharuddin. Metode Penafsiran Al-Qur‟an: Kajian Kritis Terhadap
Ayat-ayat Yang Beredaksi Mirip.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
_______. Nasharuddin. Rekonstruksi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa, 2000.
77
al-Bâqî, Muhammad Fu„âd „Abd. al-Mu„jam al-Mufahras Lî al-Fâẕ al-Qur„ân al-
Karîm. Dâr al-Fikr,tt.
Bukley, Erie. The Oxford English Dictionary, Vol.VI L-M. Cet. IV. Oxford: The
Clarendon Pres, 1978.
Bunyamin, Abun. Dinamika Tafsîr Ijtimâ„î Sayyid Quṯb. Purwakarta: Taqaddum,
2012.
al-Dzahabî, M. Husain. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. II. al-Qâhirah: Dâr al-
Hadîts, 2005.
_______. M. Husain. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, J. III. Qâhirah: Dâr al-Hadîts,
2005.
al-Farmâwî, „Abd al-Hay. al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mauḏû„î. al-Qâhirah: Dirâsah
Manhajiyyah Mauḏû„iyyah, Cet. II, 1397 H/ 1977 M.
_______. Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu‟i: Dan Cara Penerapannya, terj.
Rosihon Anwar. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Fiderspiel, Howard M. Kajian Al-Qur'an di Indonesia; dari Muhammad Yunus
Hingga Quraish Shihab, terjemah Drs. Tajul Arifin, M.A, cet. 1.
Bandung: Mizan, 1996.
Fuady, Munir, Hukum Jaminan Hutang. Jakarta: Erlangga, 2013.
Goldziher, Ignaz. Madzhab Tafsir: dari Aliran Klasik Hingga Modern, terj.
M.Alaika Salamullah, dkk. Cet. ke-III. Depok: Elsaq Press, 2006.
Hamdi, Abdurrahim. “Model Piutang dalam Bingkai Fiqih dan Tafsir.” Adzkiya 3,
no.1 (Maret 2015):
Haryono, Yudhie. Nalar Al-Qur‟an. Jakarta: PT. Intimedia Ciptanusantara, 2001.
Hidayat, Nasrul. “Konsep Wasatiyyah dalam Tafsir al-Sya‟rawi”. Tesis, UIN
Alauddin Makassar, 2016.
Hitti, Philip K. Sejarah Ringkas Dunia Arab. Yogyakarta: Iqra‟, 2001.
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur„ân al-„Aẕîm, Cet. Ke-II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992.
Ibn Manẕûr, Abû Faḏl Jamâl al-Dîn Muhammad b. Makram. Lisân al-„Arab,
vol.I. Bairût: Dâr al-Sâdr, tt.
_______. Abû Faḏl Jamâl al-Dîn Muhammad b. Makram. Lisân al-„Arab, vol.
XIII. Bairût: Dâr al-Sâdr, tt.
Idris, H. Hadis dan Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis
Tentang Hadis Nabi. Depok: Prenamedia, 2017.
Istibsyaroh. Hak-Hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir al-Sya„râwî.
Jakarta: Teraju, 2004.
78
Iyâzî, Muhammad „Alî. Al-Mufassirûn:Hayâtuhum wa Manhajuhum. Teheran:
Wizârat al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Islâmî, 1373 H.
Jansen, J.J.G. The Interpretation of the Koran In Modern Egypt. Leiden: E.J.Brill,
1980.
Jauhar, Ahmad al-Marsi Husein. Muhammad Mutawally al-Sya‟rawi: Imām al-
Asr. Qāhirah: Handat Misr,1990.
Kusmana. Membangun Citra Institusi: Dalam Badri Yatim Dan Hamid Nasuhi,
(Ed), Membangun Pusat Studi Islam (Sejarah Dan Profil Pimpinan Iain
Syarif Hidayatullah Jakarta), Cet. I. Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002.
Malik, Muhammad. “Tiga Golongan Manusia Dalam Surat Al-Waqi‟ah Ayat 7-
56: Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Maraghi Dan Tafsir
Al-Misbah.” Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Mentari, Riesti Yuni. “Penafsiran al-Sya‟rawi Terhadap al-Qur‟an Tentang
Wanita Karir”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin. UIN Syarif Jakarta,
2011.
Mukrimah, Faizatul. “Kedudukan Bukti Autentik (Tertulis) Dan Saksi Dalam
Transaksi Hutang Piutang: Studi Terhadap Tafsir Ibn Kathir, Tafsir Al-
Munir Dan Tafsir Fi Zilalil Qur‟an Surat Al-Baqarah Ayat 282.”
Disertasi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya:
Pustaka Progresif,1997.
Mustaqim, Abdul dan Baidlowi, Ahmad. “Paradiqma Tafsir Kontemporer dan
Implikasinya terhadap Akseptabilitas Islam”. Dinamika: Jurnal
Dialektika Peradaban Islam, No.I, (Juli, 2003): h. 8-9.
_______. Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur‟an: Studi Aliran-aliran Tafsir
dari Periode Klasik, Pertengahan, hingga Modern-Kontemporer, Cet.
Ke-II. Yogyakarta: Idea Pres. 2016.
_______. Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer, Cet. III. Bantul: PT. LKiS
Printing Cemerlang, 2010.
Mutahari, Murtadha. Islam dan Tantangan Zaman. Bandung: Pustaka Hidayah,
1996.
Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utara, 2008.
Nawawi, Rif‟at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah
Akidah dan Ibadat. Jakarta: Paramadina, 2002.
Nîl, Husain „Abd al-Hamîd. Imam al-Du„âh Qissah al-Hayâh al-Syaikh
Muhammad Mutawallî al-Sya„rawî. Bairut: Dâr al-Qalam, 1989.
79
Pasya, Hikmatiar. “Studi Metodologi Tafsir al-Sya‟rawi”. Studia Qurani, vol.1,
No. 2 (Januari 2017):h. 145.
al-Qardhawi,Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani,1997.
al-Qaththan, Manna‟. Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an. Jakarta: Pustaka Kautsar,
Cet.II, 2007.
al-Qaṯṯân, Mannâ„. Mabâhits Fî ‟Ulûm al-Qur‟ân. Riyâḏ: Mansyûrât al-„Asr al-
Ḥadîts, 1411 H/1990 M.
al-Qur‟an, Tim Penyususn Lajnah Pentashihan Mushaf. Tafsir Al-Qur„an
Tematik:Pembangunan Ekonomi Umat. Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur‟an, 2009.
al-Qurṯubî, Abû „Abdullah b. Ahmad al-Ansârî. al-Jâmi„ li Ahkâm al-Qur„ân, J3.
Maktabah Syamilah.
_______. Abû „Abdullah b. Ahmad al-Ansârî. Tafsir Al-Qurtubi, J3. Terj.
Fathurrahman, dkk. Jakarta: Pustaka Azam, 2008.
Rahmanto, Eko. “Kewajiban Seorang Mukmin Melunasi Hutang: Studi Ma‟ani
Al-Hadist.” al-A‟raf , vol. XIII, no.1 (Januari-Juni 2016): h. 95.
Riḏâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Qur„ân al-Hakîm al- Musytahir bi Tafsîr al-
Manâr, J.I, Cet. II. Kairo: Dâr al-Manâr, 1947 M/1366 H.
_______. Muhammad Rasyîd. Tarîkh al-Ustâdz al-Imâm Muḥammad „Abduh,
Juz.1. Cet. II. Kairo: Dâr al-Faḏîlah, 2006 M. / 1427 H.
Riyadi, Arif. “Penafsiran Qirash Shihab Tentang Qard Dan Dayn Dalam Tafsir
Al Misbah” (2014).
al-Sabunî, Muhammad „Alî. Safwah al-Tafâsîr. al-Qâhirah: Dâr al-Sâbûnî,
1396/1976.
_______. Muhammad Ali. Shafwatut Tafasir: Tafsis-tafsir Pilihan, J.1. Terj.
Yasin. Jakarta: Pustaka Kautsar, 2001.
al-Sa„dî, „Abd al-Rahmân b. Nâsir. Tafsîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-
Mannân. Dâr al-Manâr, 1416 H.
_______. Abdurrahman b. Nashir. Tafsir al-Sa‟di, Jilid 1, Terj. Muhammad Iqbal,
Lc. Et al. Jakarta: Pustaka Sahifa, 2006.
Sah. Irwan. “Dayn Dalam Al-Qur‟an (Studi Atas Tafsir Al-Qur‟an Al-‟Adzim
Karya Ibn Katsir”. Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, 2016.
Said, Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah al-Qur‟an Dalam Tafsir al-Misbah.
Jakarta: Amzah, 2015.
80
Said, Hasani Ahmad. “Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi
Perekonomian Umat di Indonesia”, Bimbas Islam 7, no. 3 (2014): 410-
541.
Salleh, Kamarruddin “Pengaruh Gerakan Islam Mesir Terhadap Gerakan Islam
Malaysia, dalam Budaya Pemikiran Islam: Mesir - Malaysia”, ed. Ahmad
Sunwari Long et al. Kuala Lumpur: Jabatan Ushuluddin dan Falsafah,
Fakulty Pengajian Islam, Unversity Kebangsaan Malaysia, 2006.
Sani, Herian. “Jual Beli Kredit (Tafsir Ayat Ahkam Para Fuqaha).” Al-Muamalat
II, no.1. (2006): 291.
Shihab, Muhammad Quraish. Hidangan Ilahi: Ayat-ayat Tahlil. Jakarta: Lentera
Hati, 1996.
_______. Muhammad Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat Ketentuan, dan Aturan
Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur‟an.
Tangerang: Lentera Hati, 2013.
_______. Muhammad Quraish. Lentera Al-Qur‟an: Kisah Dan Hikmah
Kehidupan. Bandung: Mizan,2008.
_______. Muhammad Quraish. Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2003.
_______. Muhammad Quraish. Membumikan al-Qur‟an Jilid 2: Memfungsikan
wahyu dalam kehidupan. Ciputat: Lentera Hati, 2011.
_______. Muhammad Quraish. “Metode Tafsir Tak Ada yang Terbaik”, Jurnal
Pesantren, VII, no. 1, (1991): h.75.
_______. M. Quraish. Mukjizat Al-Qur‟an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan
Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, cet. ke-IV. Bandung: Mizan,
1998.
_______. Muhammad Quraish. Rasionalitas Al-Qur‟an: Studi Kritis atas Tafsir
al-Manar. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
_______. Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur‟an, Vol. I. Ciputat: Lentera Hati, 2000.
_______. Muhammad Quraish. Tafsir al-Amanah. Jakarta: Pustaka Kartini, 1992.
_______. Muhammad Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Kesarasian,
vol.I, Cet. I. Jakarta: Lentera Hati, 2000.
_______. Muhammad Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan Kesan, dan Keserasian
al-Qur‟an, J.I, cet.V. Ciputat: Lentera Hati, 2012.
81
_______. Muhammad Quraish. Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Tematik Atas
Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan,2007.
Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur‟an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum
Dalam Al-Qur‟an, Cet. III. Jakarta: Pena Madani, 2005.
Shohib, Muhammad. “Sikap terhadap uang dan Perilaku berhutang” JIPT III
(2015):140-141.
Syafe‟I, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi Ulumul Qur‟an. Jakarta: Zikra-Press, 2009.
Al-Syanqîṯî. Aḏwâ‟ al-Bayân fî Ȋḏâh al-Qur„ân, Terj. Fathurazi. Jakarta: Pustaka
Azam, 2006.
al-Sya„râwî, Muhammad Mutawallî. Tafsîr al-Sya‟râwî: Khawâtir Faḏîlah al-
Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî haula al-Qur‟ân al-Karîm,
vol.2. Qâhirah: Akhbar al-Yawm, 1991.
_______. Muhammad Mutawally. Tafsir al-Sya‟rawi, vol. II. Terj. Safir al-Azhar.
Jakarta: Duta Azhar, 2004.
Syibromalisi, Faizah Ali dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011.
al-Ṯabarî, Abû Ja„far Muhammad b. Jarîr. Tafsîr al-Ṯabarî, J. 6. Maktabah
Syamilah.
_______. Abû Ja„far Muhammad b. Jarîr. Tafsir al-Tabari, J.4. Terj. Ahsan
Askan. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008
Tanjung, Abdurrahman Rusli. “Analisis Terhadab Corak Tafsir al-Adabî al-
Ijtimâ‟î”. Jurnal Anlytica Islamica, vol.3, no.1 (2014): 173-174.
Taufik, dan Muhlisin, Sofian. “Hutang Piutang Dalam Transaksi Tawarruq
Ditinjau dari Perspektif Al-Qur‟an Surat Al-Bâqarah Ayat 282.” Jurnal
Syarikah, 1, no.1 (2015).
Wartini, Atik. “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah.”
Jurnal Studia Islamica, Vol.11, No. 1 (2014): 123.
Whittingham, Martin. al-Ghazali and The Qur‟an: One Book, Many Meanings.
USA dan Canada: Rouledge, 2007.
Yusuf, Muhammad Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah
Telaah Tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam.
al-Zuhailî, Wahbah. al-Fiqh al-Islâmî wa ‟Adallatuh, vol. IV. Cet. ke- III.
Dimasq: Dâr al-Fikr, 1989 M/ 1409 H.
82
_______. Wahbah. Al-Qur‟an Paradiqma Hukum dan Peradaban , terj. Surabaya:
Risalah Gusti, 1995.
_______. Wahbah. al-Tafsîr al-Munîr fî al-„Aqîdah wa al-Syarî„ah wa al-Manhaj.
Maktabah Syamilah.
www.inews.id/daerah/
https://kbbi.web.id.