PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL (PDP)staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Supardi, S.Si.,...
Transcript of PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL (PDP)staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Supardi, S.Si.,...
Bab VI Supardi, M.Si
BAB VIPERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL (PDP)
1 PendahuluanPersamaan diferensial parsial memegang peranan penting di dalam
penggambaran keadaan fisis, dimana besaran-besaran yang terlibat didalamnya
berubah terhadap ruang dan waktu. Sebagai contoh, jika kita meninjau topik-topik
fisika lanjut (advanced physics), seperti halnya mekanika klasik lanjut yang
membicarakan tentang gelombang elektromagnetik, hidrodinamik dan mekanika
kuantum (gelombang Schroedinger), maka kita akan menemukan penggunaan
persamaan diferensial parsial yang digunakan untuk menggambarkan fenomena fisis
yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut. Masalah-masalah tersebut dalam
kenyataannya sulit untuk dipecahkan dengan cara analitik biasa, sehingga metode
numerik perlu diterapkan untuk menyelesaikannya. Penggunaan persamaan
diferensial tidak terbatas pada masalah fisika saja, tetapi lebih luas lagi dalam bidang
sains dan teknologi.
2 Pendekatan Beda HinggaUntuk memahami dengan benar masalah persamaan diferensial ini,
sebelumnya pada bab 5 kita sudah membahas bahwa suatu derivatif dapat didekati
dengan beda hingga, sehingga persamaan diferensial dapat didekati dengan persamaan
beda hingga pula. Dalam bab ini metode beda hingga yang telah dikenalkan
sebelumnya akan diperluas lagi untuk kasus di dalam ruang multidimensi yang lebih
tepat dikaji dengan menggunakan persamaan diferensial parsial.
Pada bab V yang lalu, kita sudah menggunakan pendekatan beda hingga untuk
mendekati ungkapan turunan pertama dan kedua. Namun pada pembahasan yang lalu
kita masih membatasi pada pendekatan untuk turunan pada ruang dimensi satu. Saat
ini, kita masih akan menggunakan kaidah-kaidah pendekatan tersebut namun
ditingkatkan untuk ruang dimensi dua.
Pada pembahasan tentang persamaan diferensial biasa di bab 7 yang lalu, kita telah
melakukan pendekatan beda hingga pada penyelesaiannya. Nah di bab ini, kita juga
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
akan melakukan hal sama pada bentuk derivatif parsialnya. Mengapa? Karena untuk
masalah-masalah yang melibatkan dua atau lebih variabel bebas, prinsip-prinsip
tersebut masih tetap dapat diterapkan.
Di dalam pembahasan tentang persamaan diferensial biasa, variabel bebas
yang terlibat dalam masalah hanya satu, sedangkan untuk persamaan diferensial
parsial variabel bebas berjumlah lebih dari satu. Tentu saja, hal ini saja membuat
permasalahan akan semakin kompleks. Untuk memberikan ilustrasi dan
mempermudah pemahaman kita tentang masalah ini, sekarang marilah kita tinjau
sebuah jaring kotak yang menggambarkan dua variabel bebas x dan y seperti terlihat
pada gambar 8.1. Setiap kotak dalam jaring tersebut memiliki lebar x∆ dan y∆ . Oleh
karena itu, panjang variabel bebas x setelah langkah ke i dinyatakan oleh
( ) 0,1,......,i xx i x i N= ∆ = (8-5)
dan panjang variabel y setelah langkah ke j adalah
( ) 0,1,.....,j ty j t j N= ∆ = (8-6)
Dengan menggunakan titik-titik jaring pada gambar 8.1, diferensial orde pertama dan
kedua dapat didekati oleh:
Persamaan Diferensial Parsial
Gambar 8.1. Jaring titik-titik hitungan pada pendekatan beda hingga dengan variabel bebas x dan y.
Δy
Δy
Δx Δx
Bab VI Supardi, M.Si
1, ,i j i ju uux x
+ −∂ =∂ ∆
(8-7)
, 1,i j i ju uux x
−−∂ =∂ ∆
(8-8)
1, 1,
2i j i ju uu
x x+ −−∂ =
∂ ∆
(8-9)
( )2
1, , 1,22
2i j i j i ju u uux x
− +− +∂ =∂ ∆
(8-10)
( ) ( )2
1, 1 1, 1 1, 1 1, 1
4i j i j i j i ju u u uu
x y x y+ + − + + − − −− − +∂ =
∂ ∂ ∆ ∆ (8-11)
Dalam beberapa masalah fisika dan teknik persamaan diferensial ada yang
dinyatakan dalam turunan pertama terhadap waktu dan turunan kedua terhadap ruang,
misalnya pada persamaan difusi. Untuk persamaan diferensial parsial yang
mengandung variabel ruang dan waktu ini, pendekatan beda hingga dapat dinyatakan
dalam jaring (jaring) bidang x dan t (lihat gambar 8.2).
Persamaan Diferensial Parsial
Δx Δx
Δ
t
Gambar 8.2. Jaring titik-titik hitungan pada pendekatan beda hingga dengan variabel bebas t dan x.
1,i ju − ,i ju , 1i ju +
, 1i ju +
Bab VI Supardi, M.Si
Jaring kotak yang menyatakan variabel ruang dan waktu dibagi menjadi pias-
pias dengan interval ruang dan waktu x∆ dan t∆ . Panjang variabel ruang x setelah
interval ke i dinyatakan sebagai
( ) 0,1,......,i xx i x i N= ∆ = (8-12)
Sedangkan untuk variabel waktu t setelah interval waktu ke j adalah
( ) 0,1,.....,j tt j t j N= ∆ = (8-13)
Bentuk turunan pertama terhadap waktunya dapat dituliskan sebagai
, 1 ,i j i ju uut t
+ −∂ ≈∂ ∆
(8-14)
Ungkapan (8-14) dapat pula dituliskan sebagai1j j
i iu uut t
+ −∂ ≈∂ ∆
(8-15)
dengan indeks bawah menyatakan harga u pada langkah waktu, dan indeks atas
menunjukkan harga u pada langkah ruang. Sedangkan untuk derivatif kedua terhadap
variabel ruang seperti dinyatakan pada persamaan (8-10) dapat dituliskan kembali
( )2
1 122
2j j ji i iu u uu
x x− +− +∂ =
∂ ∆(8-16)
8.1 Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial
Persamaan diferensial parsial dibagi menjadi tiga jenis, yaitu persamaan
diferensial eliptik, parabolik dan hiperbolik. Untuk membedakan ketiga jenis
persamaan diferensial parsial tersebut, marilah sekarang kita meninjau sebuah
persamaan diferensial parsial orde dua dalam dua variabel ruang x dan waktu t,2 2 2
2 2 , , , , 0u u u u uA B C D x t ux x t t x t
∂ ∂ ∂ ∂ ∂ + + + = ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ (6-1)
dimana A,B dan C merupakan fungsi dari x dan t, dan D adalah fungsi dari u dan
derivatifux
∂∂
dan ut
∂∂
, serta x dan t. Kita juga akan memperkenalkan variabel baru
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
sedemikian hingga suku-suku yang mengandung derivatif campuran akan sama
dengan nol. Selanjutnya, pembedaan atas tiga klas persamaan diferensial parsial
tersebut didasarkan pada harga diskriminan 2 4B AC− dari persamaan (8-1) tersebut.
Pertama, jika kita meninjau pada suatu titik ( )0 0,x t dan di titik tersebut
memenuhi syarat bahwa harga diskriminan
( ) ( ) ( )20 0 0 0 0 0, 4 , , 0B x t A x t C x t− > (8-2)
maka persamaan diferensial parsial tersebut dikatakan hiperbolik pada titik ( )0 0,x t .
Selajutnya, jika persamaan tersebut hiperbolik pada seluruh titik di dalam ranah
(domain) yang ditinjau, maka persamaan diferensial parsial tersebut dikatakan sebagai
persamaan hiperbolik. Sebagai contoh, jika kita meninjau persamaan gelombang
yang mengambil bentuk
Persamaan gelombang2 2
22 2 0u uc
t x∂ ∂− =∂ ∂
Dalam persamaan gelombang tersebut harga 2A c= − , 0B = dan 1C = , sehingga
harga diskriminannya berharga positip. Ini berarti persamaan gelombang benar-benar
masuk dalam klasifikasi persamaan diferensial hiperbolik. Persamaan (8-1) tersebut
memiliki dimensi ruang satu dengan c adalah kecepatan gelombang cahaya di ruang
hampa. Persamaan tersebut menjelaskan dengan sederhana bahwa derivatif kedua dari
penyelesaiannya berbanding lurus dengan derivatif kedua lainnya dengan konstanta
kesebandingan 2c .
Kedua, Jika pada suatu titik ( )0 0,x t memenuhi persyaratan
( ) ( ) ( )20 0 0 0 0 0, 4 , , 0B x t A x t C x t− = (8-3)
maka persamaan tersebut dikatakan parabolik pada titik ( )0 0,x t . Dan jika di seluruh
titik dipenuhi harga diskriminan (8-3), maka persamaan tersebut disebut persamaan
parabolik. Contoh dari persamaan diferensial parabolik adalah persamaan difusi yang
mengambil bentuk
Persamaan difusi2
2 0u ut x
κ∂ ∂− =∂ ∂
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
dengan A κ= − , 0B = dan 0C = . Oleh sebab itu, harga deskriminannya sama
dengan nol. Persamaan ini dikenal dengan persamaan panas, yang menggambarkan
aliran (difusi) panas melalui sebuah penghantar. Dalam kasus ini κ adalah
konduktivitas termal yang merupakan kebalikan dari R yang merupakan hambatan
termal. Di dalam ilmu fisika persamaan diferensial yang mirip dengan persamaan
difusi adalah persamaan Schroedinger yaitu,
Persamaan Schroedinger ( )2
2 , , 02
uV x y z u im t
∂− ∇ + − = ∂
hh
Persamaan Schroedinger ini memegang peran penting di dalam mekanika
kuantum.
Ketiga, jika pada suatu titik ( )0 0,x t berlaku syarat
( ) ( ) ( )20 0 0 0 0 0, 4 , , 0B x t A x t C x t− < (8-4)
maka persamaan tersebut dikatakan eliptik pada titik ( )0 0,x t , dan jika di seluruh titik
dipenuhi syarat tersebut, maka persamaan tersebut masuk dalam klas persamaan
eliptik. Contoh dari persamaan eliptik adalah persamaan Poisson dan Laplace yang di
dalam ruang dimensi dua masing-masing mengambil bentuk
Persamaan Poisson ( )2 2
2 2 ,u u S x yx y
∂ ∂+ =∂ ∂
Persamaan Laplace2 2
2 2 0u ux y
∂ ∂+ =∂ ∂
Persamaan Poisson memperkenalkan sumber panas ke dalam sistem yang
ditinjau. Sedangkan persamaan Laplace merupakan kasus khusus dari persamaan
Poisson tanpa sumber. Disamping itu, persamaan Laplace juga bisa diturunkan dari
persamaan difusi. Jika sebuah objek diisolasi dari lingkungan, maka akan dicapai
distribusi suhu dalam keadaan mantap, suatu kondisi setimbang yang digambarkan
oleh derivatif waktu sama dengan nol pada persamaan difusi. Keadaan mantap suatu
aliran panas ditunjukkan oleh kuantitas yang sama antara panas yang keluar dan
masuk suatu tampang lintang. Dari kenyataan bahwa derivatif waktu pada persamaan
difusi sama dengan nol, maka diperoleh persamaan Laplace. Oleh karena tidak ada
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
variabel waktu yang gayut, maka penyelesaian untuk persamaan Laplace maupun
Poisson tersebut adalah tak gayut waktu.
Persamaan menarik lain yang menggambarkan persamaan eliptik dan agak
mirip dengan persamaan Poisson adalah persamaan Helmholtz yaitu,
Persamaan Helmotz2 2
2 2 0u u ux y
λ∂ ∂+ + =∂ ∂
8.1 Persamaan Beda Hingga
8.1.1 Persamaan Hiperbolik
Persamaan Gelombang
Contoh klasik dari persamaan hiperbolik adalah persamaan gelombang yang
dinyatakan oleh2 2
22 2
u uct x
∂ ∂=∂ ∂
(8-17)
Persamaan ini muncul dalam berbagai masalah dari elastisitas dan akustik sampai
hidraulika. Oleh sebab itu, dari tiga bentuk persamaan diferensial parsial yang kita
ketahui, persamaan hiperbolik merupakan persamaan yang paling banyak dikaji oleh
ilmuwan komputasi. Jika persamaan gelombang (8-17) didekati menggunakan
pendekatan beda hingga, maka dapat dituliskan sebagai
( ) ( )1 1
2 1 12 2
2 2 0j j j j j j
i i i i i iu u u u u uct x
+ −+ −− + − +− =
∆ ∆(8-18)
dengan
( ),ji i ju u x t= (8-19)
Dengan memecahkannya untuk variabel 1jiu + maka kita memperoleh
( )( )
( ) ( )( )
2 22 21 1
1 12 22 1j j j j ji i i i i
t c t cu u u u u
x x+ −
+ −
∆ ∆= + + − − ∆ ∆
(8-20)
Persamaan ini menjelaskan kepada kita bahwa apabila kita mengetahui u pada
seluruh ix pada saat-saat jt dan 1jt − , maka kita dapat menentukan harga u pada
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
seluruh ix pada langkah waktu berikutnya. Hal ini disebut dengan metode eksplisit.
Tetapi, ada sedikit masalah pada permulaan perhitungan, karena secara umum kita
tidak mengetahui harga u pada dua waktu berturut-turut. Sedangkan, kita harus
mengetahui harga ( ),0iu x dan derivatif ( ),0iu x t∂ ∂ di seluruh harga ix . Oleh sebab
itu, dengan mengetahui ungkapan
( )( )
1 1
0
,2 t
i i i
t
u x t u ut
−
=
∂ −=∂ ∆ (8-21)
atau
( ) ( )1 1
0
,2 i
i it
u x tu u t
t−
=
∂= − ∆
∂ (8-22)
maka, kita dapat menyatakan 1iu sebagai
( )( )
( ) ( )( )
( ) ( )2 22 21 0 0 0
1 12 2
,01
2i
i i i i
t c t c u xu u u u t
tx x+ −
∆ ∆ ∂= + + − + ∆ ∂∆ ∆
(8-23)
Persamaan Adveksi
Persamaan adveksi merupakan satu-satunya persamaan di dalam dinamika
fluida yang munculnya lebih sering dibandingkan persamaan difusi. Persamaan ini
memerikan cara suatu besaran kekal (conserved) seperti halnya suhu potensial
ataupun momentum dibawa bersama aliran udara atau air.
Untuk menjelaskan secara fisika tentang masalah adveksi ini, sekarang
misalnya ada seorang pengamat berdiri di suatu lapangan dengan membawa sebuah
termometer. Di tempat tersebut bertiup angin dari arah barat membawa udara lebih
hangat menuju ke arah timur yang bersuhu udara lebih dingin. Dalam hal ini sebut
saja bahwa arah barat ke timur adalah x . Selajutnya, apa yang dilihat oleh pengamat
tersebut dengan termometer yang dibawanya? Ternyata angka yang ditunjukkan oleh
termometer semakin besar, yang berarti bahwa keadaan suhu di tempat tersebut
semakin hangat. Hal ini disebabkan oleh pergantian udara yang terjadi di tempat
tersebut, yaitu dari keadaan udara yang dingin diganti dengan udara yang lebih
hangat.
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Jika yang terjadi adalah bahwa angin yang berhembus ke arah pengamat
tersebut tidak mengalami perubahan suhu, maka pengamat tersebut tidak dapat
memberi informasi bahwa terjadi kenaikan suhu. Nah, karena kenyataannya terjadi
perubahan suhu maka ada yang disebut gradien suhu. Laju perubahan suhu yang
terjadi di tempat itu bergantung kepada besarnya gradien maupun laju perpindahan
udara, yaitu
Laju perubahan suhu = -(Laju perpindahan udara) x (Gradien suhu)
Tanda minus menyatakan bahwa suhu hanya akan naik apabila gradien suhu
turun, atau dengan kata lain udara akan menjadi lebih hangat jika kita bergerak ke
arah x atau dari arah timur ke barat, yakni bergerak ke arah berlawanan dengan arah
angin. Dalam bahasa matematika, pernyataan di atas dapat diungkapkan dalam bentuk
u uct x
∂ ∂= −∂ ∂
(8-24)
dengan u menyatakan suhu potensial yang merupakan besaran kekal yang dalam hal
ini merupakan variabel yang diadveksi. Dalam kaitannya dengan masalah ini, maka
kita hanya akan membahas untuk harga c konstan. Penyelesaian umum untuk
persamaan (8-24) adalah
( )u F x ct= − (8-25)
dengan F merupakan fungsi sembarang bernilai tunggal.
Persamaan Diferensial ParsialGambar 8.3. Angin bertiup dari arah barat ke timur
membawa udara hangat
Bab VI Supardi, M.Si
Persamaan adveksi diatas merupakan contoh yang sangat bagus bahwa antara
pendekatan numerik dengan analitis tidak selalu menemukan hasil yang sama. Di
dalam pasal ini kita akan membahas beberapa pendekatan numerik yang dapat
digunakan untuk mendekati persamaan (8-24) tersebut dan setiap metode akan kita
kaji stabilitas dan akurasinya
Metode FTCS (Forward-Time Centered-Space)
Untuk menyelesaikan persamaan (8-24) kita akan mengimplementasikan
sebuah metode dengan menggunakan pendekatan beda terpusat (metode Leap-Frog)
untuk derivatif ruangnya dan metode Euler maju untuk derivatif waktunya.
( ) ( ) ( )1
21 1 02
n nn nj jj j u uu u
O t c O xt x
++ −
−− + ∆ + + ∆ =
∆ ∆ (8-26)
atau
( )11 12
n n n nj j j j
c tu u u ux
++ −
∆≈ − −∆
(8-27)
dimana indeks bawah j menyatakan langkah ruang dan indeks atas n menyatakan
langkah waktu. Dengan menggunakan analogi terhadap pembahasan tentang metode
Euler dan metode Leap-Frog pada bab yang lalu, maka kita dapat menyimpulkan
bahwa ketelitian untuk metode ini adalah orde pertama untuk t -nya dan orde kedua
untuk x ,
Pendekatan beda hingga untuk persamaan adveksi (8-26) inilah yang disebut
dengan forward in time, centered in space atau lebih dikenal dengan metode FTCS.
Pertanyaan selanjutnya apakah metode ini stabil saat mendekati persamaan adveksi
tersebut?
Untuk mengetahui apakah metode yang kita gunakan untuk mendekati
persamaan tersebut stabil atau tidak, maka kita perlu melakukan uji kestabilan dengan
menggunakan analisa stabilitas Von Neuman. Ide dari bentuk analisis kestabilan ini,
kita dapat membayangkan bahwa koefisien-koefisien dari persamaan beda berubah
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
sangat lambat ketika diperlakukan sebagai konstanta dalam ruang dan waktu. Dalam
kasus demikian, penyelesaian bebasnya atau swamode dari persamaan beda
mengambil bentuk
( )expn nju ikj xξ= ∆ (8-28)
dengan k menyatakan bilangan gelombang ruang real yang dapat berharga sembarang,
sedangkan ( )kξ ξ= adalah bilangan komplek yang bergantung pada k.
Jika kita mensubstitusikan persamaan (8-28) ke persamaan hampiran (8-27),
maka dengan mudah diperoleh
( )1 sin2c ti k x
xξ ∆= − ∆
∆(8-29)
Dari persamaan (8-29) dapat diketahui modulus dari ξ yaitu
( )2
2 1 sin2c t k x
xξ ∆ = + ∆ ∆
(8-30)
Persamaan (8-30) memberi arti bahwa penguatan (amplification)
penyelesaiannya berhrga 1≥ , ini berarti bahwa metode FTCS tidak stabil mutlak
untuk mendekati persamaan adveksi. Skema untuk metode FTCS dapat diilustrasikan
seperti gambar 8.4
Dalam gambar (8-4) tersebut bulatan kosong menggambarkan titik baru yang
akan ditentukan nilainya, sedangkan bulatan hitam merupakan harga-harga fungsi
yang sudah diketahui yang akan digunakan untuk memperoleh penyelesaian pada
bulatan kosong. Garis sambung menghubungkan antara titik-titik yang akan
Persamaan Diferensial Parsial
Gambar 8.4. gambaran tentang metode FTCS.
Bab VI Supardi, M.Si
digunakan untuk menghitung derivatif ruang, sedangkan garis putus-putus
menghubungkan titik-titik yang akan digunakan untuk menghitung derivatif waktu
Metode BTCS (Backward-Time Centered-Space)
Dengan menggunakan pendekatan beda mundur untuk langkah waktunya dan
beda terpusat untuk langkah ruangnya, maka persamaan adveksi dapat didekati
dengan
( ) ( ) ( )1 11
21 1 02
n nn nj jj j u uu u
O t c O xt x
+ +++ −
−− + ∆ + + ∆ =
∆ ∆ (8-31)
atau dapat disusun kembali menjadi
( )1 1 11 12
n n n nj j j j
c tu u u ux
+ + ++ −
∆≈ − −∆
(8-32)
Penggunaan analisa stabilitas Von Nouman pada pendekatan BTCS untuk persamaan
adveksi ini menghasilkan
( )12
ik x ik xc t e ex
ξ ξ ξ∆ − ∆∆= + −∆
(8-33)
atau
( )1
1 sin2c ti k x
x
ξ = ∆+ ∆∆
(8-34)
Persamaan (8-34) menunjukkan bahwa faktor penguatannya adalah
( )
1 11 sin
2c t k x
x
ξ = ≤∆+ ∆∆
(8-35)
yang berarti, skema (8-31)) adalah stabil mutlak.
Metode Centered-Time Centered-Space (CTCS)
Untuk persamaan adveksi, penggunaan metode Euler maju untuk langkah
waktu (forward-time) tidak stabil mutlak, apakah ini berarti dengan menggunakan
pendekatan beda terpusat (centered-space) akan stabil? Untuk menjawab pertanyaan
ini, marilah kita lakukan pendekatan persamaan adveksi tersebut dengan skema CTCS
ini.
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Dengan menggunakan skema CTCS, maka persamaan adveksi dapat didekati
menjadi
( ) ( )1 1
2 21 1 02 2
n n n nj j j ju u u u
O t O xt x
+ −+ −− −
+ ∆ − + ∆ =∆ ∆
(8-36)
Persamaan (8-36) dapat disusun kembali menjadi bentuk
( )1 11 1
n n n nj j j j
c tu u u ux
+ −+ −
∆≈ − −∆
(8-37)
Stabilitas
Kita dapat mengetes stabilitas dari skema ini dengan analisa stabilitas Von
Nouman. Dengan mensubstitusi mode Fourier adveksi yang didefinisikan (8-28) pada
persamaan (8-37) maka diperoleh
( )2 1 sinc ti k xx
ξ ξ ∆= − ∆∆
(8-38)
Persamaan (8-38) merupakan persamaan kuadrat dalam ξ , sehingga harga-harga
untuk ξ dapat dinyatakan oleh
( ) ( )2
12
sin sin 4
2
c t c ti k x k xx xξ
∆ ∆ − ∆ ± − ∆ + ∆ ∆ =(8-39)
Modulus dari masing-masing akar adalah 1, sedangkan syarat stabil adalah 2 1ξ ≤ ,
ini berarti bahwa metode CTCS stabil untuk menyelesaikan persamaan adveksi.
8.7 Metode Lax
Metode Lax merupakan sebuah metode yang dimaksudkan untuk
memodifikasi metode FTCS dari sisi perbaikan terhadap stabilitasnya. Caranya adalah
dengan mengganti jnu dalam derivatif waktu dengan rerata ruangnya
( )1 112
n n nj j ju u u+ −→ + (8-40)
sehingga persamaan adveksi menjadi
( ) ( )11 1 1 1
12 2
n n n n nj j j j j
c tu u u u ux
++ − + −
∆= + − −∆
(8-42)
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Dengan mensubstitusi bentuk mode Fourier ke persamaan (8-28) ke persamaan beda
(8-42) diperoleh
cos sinc tk x i k xx
ξ ∆= ∆ − ∆∆
(8-43)
Modulus dari ξ adalah
( ) ( )2
2 2 2cos sinc tk x k xx
ξ ∆ = ∆ + ∆ ∆ (8-44)
Pernyataan (8-44) mengisyaratkan kepada kita bahwa metode Lax stabil untuk
1c tx
∆ ≤∆
. Untuk harga 1c tx
∆ <∆
faktor penguatannya berkurang. Faktor penguatan ini
dinyatakan oleh
( ) ( )2
2 2cos sinc tk x k xx
ξ ∆ = ∆ + ∆ ∆ (8-45)
Untuk harga 1tx
υ ∆ =∆
, penyelesaiannya adalah eksak karena faktor penguatannya
berharga 1 atau tidak mengalami penguatan, sehingga1
1n nj ju u+
−= (8-46)
Kriteria stabilitas 1c tx
∆ ≤∆
dikenal dengan syarat Courant. Secara intuitif, syarat
stabilitas ini dapat dideskripsikan seperi pada gambar (8.6). Gambar tersebut
menerangkan bahwa kuantitas 1nju + dalam persamaan (8-42) dapat diketahui setelah
diperoleh informasi titik-titik 1j − dan 1j + pada saat n . Dengan kata lain, 1jx − dan
Persamaan Diferensial Parsial
Gambar 8.5. Deskripsi untuk skema beda Lax
Gambar 8.6 Daerah dibawah garis putus-putus secara fisis adalah menurut
Bab VI Supardi, M.Si
1jx + merupakan batas yang memungkinkan untuk memberikan informasi pada
besaran 1nju + .
Hasil yang mengagumkan pada pendekatan Lax adalah bahwa penggantian nju
dengan reratanya seperti terlihat pada ungkapan (8-41) dapat menstabilkan skema
FTCS. Skema Lax pada (8-42) selajutnya dapat ditampilkan dalam bentuk1
1 1 1 1212 2
n n n n n n nj j j j j j ju u u u u u u
ct x t
++ − + − − − − +
= − + ∆ ∆ ∆ (8-47)
yang merupakan representasi dari metode FTCS
( ) 2 2
22xu u uc
t x t x∆∂ ∂ ∂= − +
∂ ∂ ∆ ∂(8-48)
Dalam persamaan (8-48) ini, kita memiliki suku difusi. Oleh sebab itu, skema Lax ini
dikatakan memiliki disipasi numerik.
8.8 Skema Lax-Wendroff
Skema Wendroff merupakan metode dengan akurasi orde kedua terhadap
waktu. Jika kita mendefinisikan suatu harga intermediet 1 21 2
nju +
+ pada langkah waktu
1 2nt + dan langkah ruang 1 2jx + . Jika ini dihitung dengan menggunakan metode Lax,
maka akan diperoleh
( ) ( )1 21 2 1 1
12 2
n n n n nj j j j j
tu u u F Fx
++ + +
∆= + − −∆
(8-49)
Sedangkan, harga terbaru untuk 1nju + dapat dihitung dengan pernyataan terpusat
sebagai
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
( )1 1 2 1 21 2 1 2
n n n nj j j j
tu u F Fx
+ + ++ −
∆= − −∆
(8-50)
Selanjutnya, kita akan mengkaji stabilitas dari metode ini untuk persamaan adveksi
dengan mensubstitusi F cu= . Dengan mensubstitusi pernyataan (8-49) ke ungkapan
(8-50), maka diperoleh
( ) ( )11 1
1 12 2
n n n n n nj j j j j j
c t c tu u u u u ux x
++ +
∆ ∆= − + − −∆ ∆
( ) ( )1 11 12 2
n n n nj j j j
c tu u u ux− −
∆ − + + − ∆ (8-51)
Dengan menggunakan uji stabilitas Von Nouman, maka dengan mudah diperoleh
Persamaan Diferensial Parsial
Gambar 8.8. Deskripsi skema Lax-Wendorf
Gambar 8.7. Titik-titik jaring pada skema Lax-Wendroff
Bab VI Supardi, M.Si
( )2
1 sin 1 cosc t c ti k x k xx x
ξ ∆ ∆ = − ∆ − − ∆ ∆ ∆ (8-52)
Harga modulus dari ξ adalah
( )22 2
2 1 1 cos sinc t c tk x k xx x
ξ ∆ ∆ = − − ∆ + ∆ ∆ ∆
(8-53)
atau
( )2 2
22 1 1 1 cosc t c t k xx x
ξ ∆ ∆ = − − − ∆ ∆ ∆
(8-54)
Kriteria stabilitas yang harus dipenuhi adalah 2 1ξ ≤ , hal ini mensyaratkan harga
2
1c tx
∆ ≤ ∆ atau lebih dikenal sebagai kriteria Courant.
8.1.2 Persamaan Parabolik
Persamaan difusi, konduksi panas dan persamaan Schroedinger gayut waktu
merupakan contoh dari persamaan diferensial parabolik. Persamaan parabolik
memilki kemiripan dengan persamaan hiperbolik yakni batasnya yang terbuka. Di
dalam Geofisika, persamaan difusi merupakan salah satu persamaan yang sangat
penting yang muncul dalam berbagai konteks yang berbeda-beda. Di bawah ini
diberikan bebarapa contoh persamaan diferensial parabolik yang dinyatakan dalam
ungkapan matematis
a. Persamaan netron transien dalam ruang satu dimensi
( ) ( )2
2
,T x tTc k Q xt x
ρ∂∂ = +
∂ ∂
b. Persamaan konduksi panas transien dalam ruang satu dimensi
( )2
2
1 ,a f
x t D St x
ψψ ψ υ ψυ
∂ ∂= + +∂ ∂ ∑ ∑
dengan ψ menyatakan fluks netron.
c. Persamaan difusi untuk transpot konvektif spesies kimia
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
( )2
2u x Dt t t
ψ ψ ψ∂ ∂ ∂= − +∂ ∂ ∂
dengan ψ menyatakan rapat fluks spesies kimia, ( )u x adalah kecepatan
aliran dan D adalah konstanta difusi.
8.1.2.1 Metode Eksplisit (Euler Maju)
Marilah kita ditinjau sebuah persamaan difusi yang mengambil bentuk2
2 0u ut x
κ∂ ∂− =∂ ∂
(8-55)
Dengan mengimpementasikan metode Euler maju untuk derivatif waktu
seperti yang telah kita bahas pada bab persamaan diferensial biasa yang lalu, serta
menggunakan pendekatan derivatif orde kedua terpusat pada turunan kedua terhadap
variabel ruangnya, maka diskritisasi terhadap ungkapan (8-55) tersebut mengambil
bentuk
( )( )
11 1
2
2n n nn nj j jj j u u uu u
t xκ
++ −− +−
=∆ ∆
(8-56)
atau dapat dituliskan kembali sebagai
( )( )1
1 12 2n n n n nj j j j j
tu u u u ux
κ++ −
∆= + − +∆ (8-57)
Skema ini disebut sebagai metode eksplisit, karena jika niu diketahui untuk seluruh nt
pada titik-titik jaring, maka kita dapat menghitung 1niu + pada waktu 1nt + tanpa
menyelesaikan melalui persamaan simultan. Deskripsi skema ini dapat dilihat pada
gambar 8.9.
Persamaan Diferensial Parsial
Gambar 8.9 Deskripsi metode eksplisit pada persamaan difusi
Bab VI Supardi, M.Si
Apabila pendekatan penyelesaian persamaan difusi (8-57) dilakukan uji
stabilitas menggunakan prosedur analisa stabilitas Von Nueman, maka dengan mudah
dapat diperoleh bahwa
( )( )( )21 2 cos 1k t kx
xξ ∆= + −
∆ (8-58)
atau
( )2
211 4 sin2
t k xx
κξ ∆ = − ∆ ∆(8-59)
Dari hasil analisa stabilitas dapat ketahui bahwa metode yang kita gunakan
untuk mendekati persamaan difusi tersebut stabil karena syarat stabil 1ξ ≤ dipenuhi.
Metode Implisit (Euler Mundur)
Untuk memberikan gambaran tentang pendekatan metode implisit pada
persamaan difusi yang kita miliki, sekarang marilah kita mengingat kembali tentang
kemungkinan pendekatan persamaan tersebut dengan beda mundur. Jika persamaan
difusi tersebut kita dekati dengan beda mundur, maka diperoleh
( )1
1 12
2n n n n ni i i i iu u u u u
t xκ
−+ −− − +=
∆ ∆(8-60)
yang dapat disusun kembali menjadi ungkapan
( )( ) 1
1 12 2n n n n ni i i i i
tu u u u ux
κ −+ −
∆− − + =∆ (8-61)
Ungkapan (8-61) sebenarnya mengikuti suatu perjanjian, bahwa kuantitas
yang belum diketahui harganya ditempatkan di ruas kiri, sedangkan besaran yang
sudah diketahui ditempatkan diruas kanan. Dalam kasus ini, harga-harga u pada
langkah waktu n dianggap tidak dketahui, harga-harga yang diketahui adalah pada
langkah waktu ke 1n − . Deskripsi skema implisit ini dapat dilihat pada gambar 8.10.
Persamaan Diferensial ParsialGambar 8.10 Deskripsi metode implisit pada persamaan difusi
Bab VI Supardi, M.Si
Dengan mengambil
( ) 2t
xκα ∆≡∆ (8-62)
maka untuk setiap titik ruang jx dengan 1,2,3,..., 1j N= − , kita memperoleh
( ) 11 11 2n n n n
i i i iα ψ α ψ α ψ ψ −− +− + + − = (8-63)
Jika syarat batas pada ujung-ujungnya diberikan yaitu 0u dan Nu , maka kita
persamaan (8-63) dapat ditampilkan dalam bentuk persamaan simultan linier sebagai
berikut1n n−Ψ = ΨAg (8-64)
dengan
1 0 0 . . 01 2 0 . 0
0 . . . 0 .. . . . . .. . . 1 2. . . 0 0 1
α α α
α α α
− + −
= − + −
A (8-65)
Kita juga akan menggunakan analisa stabilitas Von Nouman untuk
meyakinkan apakah skema implisit ini stabil atau tidak stabil. Jika kita
mensubstitusikan mode Fourier ke persamaan (8-61), maka dengan mudah diperoleh
( )( ) 1
21 cos 2t k xx
κ ξ −∆− ∆ − =∆ (8-66)
atau dapat disusun kembali menjadi
( ) 2
111 sin2
t k xx
ξ κ= ∆+ ∆∆
(8-67)
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Faktor penguatan yang memiliki bentuk semacam ini, tentunya harus berharga
≤ 1. Ini menunjukkan bahwa skema implisit yang kita gunakan untuk mendekati
persamaan difusi adalah stabil mutlak.
8.1.2.2 Metode Dufort-Frankle
Metode ini merupakan salah satu dari beberapa metode yang digunakan untuk
mengatasi masalah stabilitas yang ditemukan pada metode Euler maju atau FTCS.
Metode Dufort-Frankle merupakan satu teknik yang memanfaatkan stabilitas tak
bersyarat dari metode intrinsic untuk persamaan diferensial sederhana.
Selanjutnya kita dapat memodifikasi persamaan (8-61) menggunakan metode
Dufort-Frankle sebagai berikut
( )( )1 1 1 1
1 12
2n n n n n nj j j j j j
tu u u u u ux
κ+ − + −+ −
∆ = − − + + ∆ (8-68)
Jika diambil ( ) 2
2 tx
κβ ∆=∆ , maka persamaan (8-68) dapat disusun kembali menjadi
bentuk
( )1 11 1
11 1
n n n nj j j ju u u uα α
α α+ −
+ −−= − ++ +
(8-69)
Pengujian stabilitas terhadap pendekatan Dufort-Frankle menggunakan analisa
Von Nouman memunculkan persamaan kuadrat dalamξ , hal ini dikarenakan
Persamaan Diferensial Parsial
Gambar 8.11. Deskripsi metode Dufort-Frankle
Bab VI Supardi, M.Si
munculnya tiga pangkat konskutif pada ξ ketika prosedur Von Nueman disubstitusi
ke dalam persamaan tersebut. Persamaan kuadrat tersebut adalah
2 2 1cos 01 1
k xα αξ ξα α
−+ ∆ − =+ +
(8-70)
Selanjutnya persamaan (8-70) memiliki dua penyelesaian yaitu
( )2 21 cos 1 sin1
k x k xξ α αα
= ∆ ± − ∆+
(8-71)
Untuk mengetahui kestabilan skema ini, maka kita dapat mengecek bagaimana
modulus dari ξ tersebut. Dengan menganggap 2 2sin 1k xα ∆ ≥ dan 2 2sin 1k xα ∆ < ,
maka kita akan memperoleh bahwa 2 1ξ ≤ . Ini menunjukkan bahwa skema Dufort-
Frankle tersebut stabil mutlak.
Metode Cranck-Nicolson
Pendekatan metode Cranck-Nicolson untuk menyelesaikan persamaan
diferensial parabolik didasarkan pada metode Euler termodifikasi seperti yang telah
dibahas pada bab yang lalu. Dengan menggunakan metode ini, maka pendekatan pada
persamaan difusi selanjutnya dapat ditulis kembali menjadi
( )( ) ( )
11 1 1
1 1 1 12 2 22
n nn n n n n ni ii i i i i it x
ψ ψ κ ψ ψ ψ ψ ψ ψ+
+ + +− + − +
− = − + + − + ∆ ∆(8-72)
atau
( )( ) ( )1 1 1 1
1 1 1 12 2 22
n n n n n n n ni i i i i i i i
tx
κψ ψ ψ ψ ψ ψ ψ ψ+ + + +− + − +
∆ = + − + + − + ∆ (8-73)
Persamaan Diferensial Parsial
Gambar 8.12. Deskripsi skema Cranck-Nicolson
Bab VI Supardi, M.Si
Dengan mendefinisikan ( ) 22tx
κγ ∆=∆ , maka ungkapan (8-73) juga dapat dinyatakan
dalam bentuk persamaan simultan sebagai berikut
( ) ( )1 1 11 1 1 11 2 1 2n n n n n n
j j j j j jγ ψ γ ψ γ ψ γ ψ γ ψ γ ψ+ + +− + − +− + + − = + − + (8-74)
atau1n n+ =Aψ B ψg g (8-75)
dengan matriks A dan B didefinisikan sebagai
1 0 0 . . 01 2 0 . 0
0 . . . 0 .. . . . . .. . . 1 2. . . 0 0 1
γ γ γ
γ γ γ
− + −
= − + −
A (8-76)
dan
1 0 0 . . 01 2 0 . 0
0 . . . 0 .. . . . . .. . . 1 2. . . 0 0 1
γ γ γ
γ γ γ
−
= −
B (8-77)
Dengan menggunakan analisa stabilitas Von Nouman seperti yang telah kita
terapkan pada metode-metode sebelumnya, maka diperoleh faktor penguatannya
sebesar
( )( )
2
2
1 2 sin 21 2 sin 2
k xk x
γξ
γ− ∆
=+ ∆
(8-78)
Faktor penguatan tersebut menunjukkan bahwa harganya selalu 1≤ . Ini
menunjukkan bahwa skema ini stabil mutlak. Lebih lanjut lagi, karena pendekatan
beda yang digunakan dalam metode ini adalah metode Euler termodifikasi, maka
ketelitian metode ini lebih tinggi dibanding metode Euler maju ataupun mundur.
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Contoh penggunaan skema Cranck-Nicolsan adalah pada penyelesaian persamaan
Schroedinger.
8.13 Persamaan Schroedinger
Jika kita mengkaji secara serius ilmu fisika, maka kadang-kadang kita
menemukan suatu masalah yang mengandung kendala (constraint), sebagai contoh
persamaan Scrhoedinger gayut waktu di dalam Mekanika
Persamaan ini termasuk ke dalam persamaan diferensial parabolik untuk
evolusi besaran kompleks ψ . Untuk persamaan diferensial parsial yang memerikan
hamburan paket gelombang yang disebabkan oleh potensial ( )xV dalam ruang 1D,
maka persamaannya memiliki bentuk
( )2 2
22i V x
t m xψ ψ ψ∂ ∂= − +
∂ ∂h (8-79)
Jika kita menggunakan satuan universal, sedemikian hingga konstanta Planck
1= dan massa partikel 2/1=m , maka persamaan Schroedinger (8-79) akan
mengmbil bentuk
( )ψψψ xVxt
i +∂∂−=
∂∂
2
2
(8-80)
Pengenaan syarat batas untuk masalah di atas adalah harga ψ pada saat awal atau
( )0, =txψ bersama dengan x → ± ∞ yaitu 0ψ → . Selanjutnya langkah diskritisasi
untuk persamaan gelombang (8-71) dapat dinyatakan dalam bentuk
( )
1 1 1 11 1 1
2
2 2n n n n nj j j j j n
j ji Vt x
ψ ψ ψ ψ ψψ
+ + + ++ − +
− − += − + ∆ ∆
(8-81)
Skema yang ditunjukkan pada persamaan beda (8-81) menggunakan skema implisit
atau metode BTCS. Oleh sebab itu, factor penguatannya adalah
( )2
2
1
41 sin2 j
t k xi V tx
ξ = ∆ ∆ + + ∆ ∆
(8-82)
atau
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
( )
2
22
1
41 sin2 j
t k x V tx
ξ = ∆ ∆ + + ∆ ∆
(8-83)
Dengan harga 2ξ di atas menunjukkan bahwa skema ini stabil mutlak. Sayangnya,
skema ini tidak uniter. Mengapa harus uniter? Hal ini disebabkan oleh suatu syarat
bahwa probabilitas total suatu partikel ditemukan dalam suatu range daerah yang
terbentang dari − ∞ sampai ∞ adalah satu.
2 1dxψ∞
− ∞
=∫ (8-84)
Persamaan (8-84) mensyaratkan fungsi gelombang awal ( ),0xψ ternormalisir.
Jika ungkapan persamaan Schroedinger (8-80) dinyatakan dalam bentuk
i Ht
ψ ψ∂ =∂
(8-85)
dengan H adalah operator hamiltonian yang mengambil bentuk
( )2
2H V xx
∂= − +∂
(8-86)
maka penyelesaian persamaan (8-85) tersebut secara analitik adalah
( ) ( ), ,0iHtx t e xψ ψ−= (8-87)
Implementasi algoritma FTCS untuk mendekati persamaan (8-87) berbentuk
( )1 1n nj jiH tψ ψ+ = − ∆ (8-88)
dimana H dinyatakan oleh pendekatan beda hingga terpusat dalam x . Sedangkan,
penggunaan skema implisit BTCS akan mengambil bentuk berbeda yaitu
( ) 11 1n nj jiH tψ ψ−+ = + ∆ (8-89)
Dua metode yang digunakan di atas memiliki akurasi orde pertama dalam
waktu, seperti telah dibahas di depan.
Dengan kenyataan bahwa metode eksplisit maupun implisit bukan metode
yang baik untuk menyelesaikan persamaan Schroedinger gayut waktu ini, maka kita
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
akan menggunakan bentuk Cayleys untuk menyatakan wakilan beda hingga iHte−
yang memiliki akurasi orde dua dan uniter yaitu
112112
iHtiH t
eiH t
−− ∆
+ ∆; (8-90)
dengan kata lain,
11 11 12 2
n nj jiH t iH tψ ψ+ + ∆ = − ∆
(8-91)
Selanjutnya dari persamaan (8-91), maka kita memiliki sistem tridiagonal. Skema
tersebut adalah stabil, uniter dan memiliki akurasi orde kedua. Nah cara ini disebut
sebagai metode Crank-Nicolson.
Contoh source code untuk menyelesaikan persamaan difusi
Program Difusi Integer*4 maxn, maxnplot parameter( maxn = 300, maxnplot = 500 ) integer*4 n, i, j, iplot, nlangkah, plot_langkah, nplot, ilangkah real*8 tau, l, h, kappa, koef, tt(maxn), tt_baru(maxn) real*8 xplot(maxn), tplot(maxnplot), ttplot(maxn,maxnplot)
C initialisasi parameter (langkah waktu, pias, dll). write(*,*) ‘masukkan langkah waktu: ' read(*,*) tau write(*,*) ‘masukkan jumlah jaring: ' read(*,*) n l = 1. h = l/(n-1) kappa = 1. koef = kappa*tau/h**2 if( koef .lt. 0.5 ) then write(*,*) 'penyelesaian diharapkan stabil' else write(*,*) 'warning: apakah penyelesaian diharapkan tidak stabil’ endif
C set syarat awal dan syarat batas. do i=1,n tt(i) = 0.0
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
tt_baru(i) = 0.0 enddo tt(n/2) = 1/h iplot = 1 nlangkah = 300 plot_langkah = 6 nplot = nlangkah/plot_langkah + 1 do i=1,n xplot(i) = (i-1)*h - l/2 enddo
do ilangkah=1,nlangkah do i=2,(n-1) tt_baru(i) = tt(i) + koef*(tt(i+1) + tt(i-1) - 2*tt(i)) enddo do i=2,(n-1) tt(i) = tt_baru(i) enddo if( mod(ilangkah,plot_langkah) .lt. 1 ) then do i=1,n ttplot(i,iplot) = tt(i) enddo tplot(iplot) = ilangkah*tau iplot = iplot+1 endif enddo nplot = iplot-1
open(11,file='tplot.txt',status='unknown') open(12,file='xplot.txt',status='unknown') open(13,file='ttplot.txt',status='unknown') do i=1,nplot write(11,*) tplot(i) enddo do i=1,n write(12,*) xplot(i) do j=1,(nplot-1) write(13,1001) ttplot(i,j) enddo write(13,*) ttplot(i,nplot) enddo1001 format(e12.6,', ',$) stop end
8.2 Persamaan Eliptik
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Contoh umum dari persamaan diferensial eliptik adalah persamaan Poisson
yang berbentuk
( )2 2
2 2 ,u u x yx y
ρ∂ ∂+ = −∂ ∂
(8-92)
Jika ( ), 0x yρ = , maka disebut persamaan Laplace yang berbentuk
2 2
2 2 0u ux y
∂ ∂+ =∂ ∂
(8-93)
Untuk menyelesaikan persamaan eliptik dibutuhkan syarat batas di ujung-
ujungnya. Oleh sebab itu penyelesaian persamaan eliptik masuk dalam kategori
masalah nilai batas.
Metode penyelesaian numerik untuk persamaan diferensial eliptik
diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu metode beda hingga dan elemen hingga.
Tetapi dalam pasal ini kita hanya akan menggunakan metode beda hingga untuk
menangani persamaan ini. Metode beda hingga diturunkan dari jaring kotak.
Penggunaan metode ini untuk menyelesaikan masalah diferensial eliptik memiliki
banyak keuntungan. Adapun keuntungan metode elemen hingga diantaranya adalah
bahwa persamaan diskritnya tidak terganggu oleh bentuk geometri yang rumit,
sehingga metode ini fleksibel untuk diterapkan dalam bentuk geometri apapun.
Namun akhir-akhir ini, metode beda hingga juga telah dikembangkan untuk
mengatasi masalah geometri ini yaitu dengan cara transformasi koordinat.
Persamaan Beda dalam Geometri Rectangular
Dalam pasal ini kita tidak akan membahas metode beda hingga dalam
geometri yang rumit, tetapi kita hanya akan membahas metode tersebut di dalam
gometri kotak saja. Untuk memudahkan pemahaman kita tentang metode ini, sekarang
marilah kita tinjau sebuah persamaan Laplace dalam koordinat kartesan seperti
terlihat pada persamaan (8-93).
Untuk mempermudah pemahaman kita tentang masalah yang kita bahas ini,
sekarang ditinjau untuk domain 0 xx L≤ ≤ dan 0 yy L≤ ≤ seperti terlihat pada
gambar 8.10. Syarat batas yang dikenakan pada sisi-sisinya adalah
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Batas kiri 0ux
∂ =∂
(syarat batas Neumann)
Batas kanan 0u = (syarat Dirichlet)
Batas atas 0u =
Batas bawah 0uy
∂ =∂
Untuk menurunkan persamaan beda hingga pada persamaan Laplace, maka
kita perlu membuat jaring pada kotak tersebut. Jika kita mengasumsikan bahwa lebar
pias x y∆ = ∆ = ∆ , maka persamaan Poisson tersebut dapat didekati dengan
pendekatan beda terpusat yang mengambil bentuk
( )2 2, , ,2
1i i j j i j i ju uδ δ ρ+ =
∆(8-94)
atau secara eksplisit dapat ditunjukkan dalam bentuk deskrit
1, , 1, , 1 , , 1 ,2 2
1 12 2i j i j i j i j i j i j i ju u u u u u ρ+ − + − − + + − + = ∆ ∆(8-95)
dengan ( ), ,i j i ju u x y≡
Masalah yang timbul dalam menangani persamaan beda (8-95) adalah
bagaimana cara memberikan perlakuan pada titik-titik di syarat batas pada sisi kiri
Persamaan Diferensial Parsial
0ux
∂ =∂ ∆
∆
i=1 2 3 4 … i
max
j=1
2
3
4
…
j max
xL
yL
0x =0y =0u
y∂ =∂
0u =
0u =
Gambar 8.14. Persamaan Laplace dalam geometri kotak bersama dengan syarat batasnya
Bab VI Supardi, M.Si
dan bawah. Sedangkan persamaan beda di sisi atas dan kanan tidak penting, karena
kita sudah mengetahui harga dari u.
Sekarang kita akan meninjau untuk persamaan beda di perbatasan sisi kiri.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa syarat batas di sebelah kiri adalah 0ux
∂ =∂
.
Derivatif kedua dari u atau 2
2u
x∂∂
pada titik-titik batas sebelah kiri selanjutnya dapat kita
dekati dengan
12 , ,22
1,2
i j i j
j
u ux yu
x+
∂ ∂ − ∂ ∂ ∂ ≈ ∆∂ (8-96)
Sekarang, bagaimana cara kita mendekati derivatif pertama u terhadap x pada
suku pertama pembilang pada persamaan beda (8-96) tersebut? Lihatlah gambar 8.15.
Pada gambar tersebut tampak tiga titik terdekat yang mengelilingi titik (1,j). Dengan
kenyataan itu, kita memang tidak bisa menerapkan persamaan beda untuk derivatif
kedua seperti terlihat pada persamaan (8-95), karena kita harus memiliki empat titik
yang mengitari titik pusat. Oleh sebab itu, kita berharap dengan pendekatan beda (8-
96) tersebut permasalahan tersebut teratasi.
Persamaan Diferensial Parsial
1,j+1
1,j
1,j-1
2,j
Gambar 8.16. Titik-titik di perbatasan kiri
i,j+1
i,j
i,j-1
i+1,j
Gambar 8.15. Titik (i,j) dikelilingi empat titik terdekat. Pendekatan beda untuk derivatif kedua u terhadap x dinyatakan pada persamaan (88).
i-1,j
Bab VI Supardi, M.Si
Selajutnya, suku pertama pembilang pada persamaan (8-96) dapat didekati
dengan
2, 1,
11 ,2
j j
j
u uux +
−∂ ≈ ∂ ∆ (8-97)
Oleh karena suku kedua pembilang pada persamaan beda (8-96) berharga sama
dengan nol, maka pendekatan beda 2
2u
x∂∂
adalah
22, 1,
21,
2 2j j
j
u uux
− ∂ ≈ ∂ ∆ (8-98)
Selanjutnya, persamaan beda derivatif kedua u terhadap x di perbatasan sisi kiri
mengambil bentuk
2, 1, 1, 1 1, 1, 1 1,2 2
1 12 2 2j j j j j ju u u u u ρ+ − − + − + = ∆ ∆(8-99)
Dengan menggunakan cara yang sama, maka kita dapat mendekati derivatif
pertama u terhadap x di perbatasan sisi bawah kotak adalah
2,2 ,1
2,1
2 2i i
i
u uuy
− ∂ ≈ ∂ ∆ (8-100)
sehingga derivatif kedua u dapat didekati dengan persamaan beda
1,1 ,1 1,1 ,2 ,1 ,12 2
1 12 2 2i i i i i iu u u u u ρ+ − − + + − = ∆ ∆(8-101)
Persamaan Diferensial Parsial
i-1,j I,j i+1,j
I,j+1
Gambar 8.16. Titik-titik di perbatasan kiri
Bab VI Supardi, M.Si
Dengan menggunakan persamaan beda () dan () untuk derivatif pertama u
terhadap x, maka kita dapat menentukan pendekatan derivatif kedua dari u yang
mengambil bentuk
2,1 1,1 1,2 1,1 1,12 2
1 1u u u u ρ − + − = ∆ ∆(8-102)
Contoh
Ditinjau sebuah persamaan Laplace dalam ruang dimensi dua dengan domain
0 8x≤ ≤ dan 0 6y≤ ≤ mengambil bentuk2 2
2 2 0x yϕ ϕ∂ ∂+ =
∂ ∂
dengan syarat batas yang diberikan adalah
Batas kiri 0ux
∂ =∂
Batas kanan 1u =
Batas atas 0u =
Batas bawah 0uy
∂ =∂
Penyelesaian
Untuk menyelesaikan persamaan di atas, maka kita membuat jaring dengan
lebar pias sama yaitu 2. Harga titik-titik di perbatasan kotak atas dan kanan berharga
0ϕ = , sedangkan titik-titik di perbatasan kiri dan bawah memenuhi 0xϕ∂ ∂ = dan
0yϕ∂ ∂ = . Dengan syarat batas yang diberikan tadi, kita akan menghitung titik-titik
Persamaan Diferensial Parsial 2
2
i=1 2 3 4 5
j=
1
2
3
4
0u =
xL
yL
0x =0y = 0u
y∂ =∂
0u =
8
0ux
∂ =∂
6
Bab VI Supardi, M.Si
yang lain kecuali pada perbatasan atas dan kanan, karena di perbatasan ini harga ϕ
sudah diketahui.
Dengan menggunakan persamaan beda hingga (8-95), (8-99) dan (8-101), maka kita
dapat menuliskan persamaan simultan dalam ϕ yaitu
1. Titik (1,1) 1,1 2,1 1,24 2 2 0ϕ ϕ ϕ− + + =
2. Titik (2,1) 1,1 2,1 3,1 2,24 2 0ϕ ϕ ϕ ϕ− + + =
3. Titik (3,1) 2,1 3,1 4,1 3,24 2 0ϕ ϕ ϕ ϕ− + + =
4. Titik (4,1) 3,1 4,1 4,24 2 1ϕ ϕ ϕ− + = −
5. Titik (1,2) 1,1 1,2 2,2 1,34 2 0ϕ ϕ ϕ ϕ− + + =
6. Titik (2,2) 2,1 1,2 3,2 2,2 2,34 0ϕ ϕ ϕ ϕ ϕ+ + − + =
7. Titik (3,2) 3,1 2,2 3,2 4,2 3,34 0ϕ ϕ ϕ ϕ ϕ+ − + + =
8. Titik (4,2) 4,1 3,2 4,2 4,34 1ϕ ϕ ϕ ϕ+ − + = −
9. Titik (1,3) 1,2 1,3 2,34 2 0u u u− + =
10. Titik (2,3) 2,2 1,3 2,3 3,34 0u u u u+ − + =
11. Titik (3,3) 3,2 2,3 3,3 4,34 0u u u u+ − + =
12. Titik (4,3) 4,2 3,3 4,34 1ϕ ϕ ϕ+ − = −
Jika persamaan simultan di atas dinyatakan dalam bentuk matriks, maka
bentuknya
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
114 2 0 0 2 0 0 0 0 0 0 01 4 1 0 0 2 0 0 0 0 0 00 1 4 1 0 0 2 0 0 0 0 00 0 1 4 0 0 0 2 0 0 0 01 0 0 0 4 2 0 0 1 0 0 00 1 0 0 1 4 1 0 0 1 0 00 0 1 0 0 1 4 1 0 0 1 00 0 0 1 0 0 1 4 0 0 0 10 0 0 0 1 0 0 0 4 2 0 00 0 0 0 0 1 0 0 1 4 1 00 0 0 0 0 0 1 0 0 1 4 10 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 4
ϕϕ
− − − − −
− −
− − − − −
21
31
41
12
22
32
42
13
23
33
43
0001
0001
0001
ϕϕϕϕϕϕϕϕϕϕ
− =
− −
Jika persamaan simultan linier yang dinyatakan dalam bentuk matriks tersebut
dinyakan oleh
=A X bg
maka untuk menemukan harga setiap elemen matriks X dapat dilakukan dengan cara−= 1X A bg
Dengan menggunakan kaidah ini, maka elemen-elemen matriks X maka kita dapat
menentukan harga ϕ pada setiap titik yaitu
11 21 31
41 12 22
32 42 13
23 33 43
0.3377, 0.3799, 0.51180.7379, 0.2955, 0.33510.4647, 0.7199, 0.17400.2003, 0.2920, 0.5030
ϕ ϕ ϕϕ ϕ ϕϕ ϕ ϕϕ ϕ ϕ
= = == = == = == = =
Metode Iteratif Jacobi
Sesuai dengan namanya, ide dari metode iteratif Jacobi adalah menemukan
harga setiap titik-titik dalam kotak melalui jalan iterasi hingga ditemukan harga yang
optimum. Iterasi awal dimulai dengan memberikan nilai tebakan pada variabel-
variabelnya. Iterasi dilakukan terus menerus hingga selisih harga elemen kini dan
sebelumnya melebihi toleransi yang diberikan.
Untuk lebih jelasnya, sekarang kita akan meninjau kembali persamaan Laplace
seperti pada contoh 8.1 tetapi dengan syarat batas sebagai berikut
Batas kiri 0=u
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Batas kanan 1u =
Batas atas 0u =
Batas bawah 1=u
Dengan syarat batas yang diberikan tersebut, maka kita dapat membentuk
persamaan simultan baru sebagai berikut
1. Titik (2,2) 2,2 1,2 3,2 2,1 2,3
3,2 2,32,2
4 0
atau4
ϕ ϕ ϕ ϕ ϕϕ ϕ
ϕ
− − − − =+
=
2. Titik (3,2)3,2 2,2 4,2 3,1 3,3
2,2 4,2 3,33,2
4 0
atau4
ϕ ϕ ϕ ϕ ϕϕ ϕ ϕ
ϕ
− − − − =+ +
=
3. Titik (4,2)4,2 3,2 5,2 4,1 4,3
3,2 4,34,2
4 01
atau4
ϕ ϕ ϕ ϕ ϕϕ ϕ
ϕ
− − − − =+ +
=
4. Titik (2,3)2,3 1,3 3,3 2,2 2,4
2,2 3,32,3
4 01
atau4
ϕ ϕ ϕ ϕ ϕϕ ϕ
ϕ
− − − − =+ +
=
5. Titik (3,3)3,3 2,3 4,3 3,2 3,4
2,3 4,3 3,23,3
4 01
atau4
ϕ ϕ ϕ ϕ ϕϕ ϕ ϕ
ϕ
− − − − =+ + +
=
6. Titik (4,3)4,3 3,3 5,3 4,2 4,4
3,3 4,24,3
4 02
atau4
ϕ ϕ ϕ ϕ ϕϕ ϕ
ϕ
− − − − =+ +
=
Persamaan Diferensial Parsial
0 1
0
0
0
00 0
1
1
1 111
Bab VI Supardi, M.Si
Sebagai langkah awal, kita berikan tebakan awal seluruh titik sama dengan
nol, kecuali pada batas-batas yang telah kita tentukan. Dari langkah ini, kita memiliki
harga-harga pada setiap titik antara lain 02,2 0ϕ = , 0
3,2 0ϕ = , 04,2 0,25ϕ = , 0
2,3 0,25ϕ = ,
03,3 0,25ϕ = , 0
4,3 0,50ϕ = . Dengan menggunakan bahasa pemrograman, maka arga
titik-titik pada iterasi berikutnya dapat kita temukan sampai toleransi yang diberikan.
Program Iterasi_jacobi dimension pa(5,4),pb(5,4) real phip character*10 fname write(*,5) read 9,fname 9 format(15a) 5 format(23x,'nama file output:',\) open(8,file=fname)c tebakan awal untuk seluruh titik diberikan sama dengan nolc kecuali pada batas-batas yang telah ditentukanc syarat batas pada titik-titik jaring adalah
pa(2,4)=1. pa(3,4)=1. pa(4,4)=1. pa(5,4)=1. pa(5,2)=1. pa(5,3)=1.c pb(2,4)=1. pb(3,4)=1. pb(4,4)=1. pb(5,2)=1. pb(5,3)=1. pb(5,4)=1.c do 25 iter=1,100 write(8,90)iter do 30 i=2,4 do 40 j=2,3 pb(i,j)=(pa(i-1,j)+pa(i+1,j)+pa(i,j-1)+pa(i,j+1))/4.
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
40 continue 30 continue do 35 i=2,4 do 45 j=2,3 pa(i,j)=pb(i,j) 45 continue 35 continue c write (8,22) pb(1,4),pb(2,4),pb(3,4),pb(4,4),pb(5,4) write (8,22) pb(1,3),pb(2,3),pb(3,3),pb(4,3),pb(5,3) write (8,22) pb(1,2),pb(2,2),pb(3,2),pb(4,2),pb(5,2) write (8,22) pb(1,1),pb(2,1),pb(3,1),pb(4,1),pb(5,1) write (*,22) pb(1,4),pb(2,4),pb(3,4),pb(4,4),pb(5,4) write (*,22) pb(1,3),pb(2,3),pb(3,3),pb(4,3),pb(5,3) write (*,22) pb(1,2),pb(2,2),pb(3,2),pb(4,2),pb(5,2) write (*,22) pb(1,1),pb(2,1),pb(3,1),pb(4,1),pb(5,1) 25 continue 90 format(i4) 22 format(5f10.6) close(8) stop end
Tabel 8.1 Contoh eksekusi program iterasi Jacobi
Iterasi ke-1 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .250000 .250000 .500000 1.000000 .000000 .000000 .000000 .250000 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000 Iterasi ke-4 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .406250 .574219 .738281 1.000000 .000000 .148438 .265625 .480469 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000 Iterasi ke-7 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .451660 .634094 .784973 1.000000 .000000 .190125 .330688 .523438 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000 Iterasi ke-10 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .460958 .648406 .794291 1.000000 .000000 .200234 .343851 .533567 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000 Iterasi ke-13 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
.000000 .463182 .651300 .796516 1.000000 .000000 .202281 .346998 .535614 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000 Iterasi ke-16 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463632 .651992 .796966 1.000000 .000000 .202770 .347634 .536103 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000 Iterasi ke-19 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463740 .652132 .797073 1.000000 .000000 .202869 .347786 .536202 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000 Iterasi ke-22 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463762 .652165 .797095 1.000000 .000000 .202892 .347817 .536226 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000 Iterasi ke-25 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463767 .652172 .797100 1.000000 .000000 .202897 .347824 .536230 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000 Iterasi ke-27 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463768 .652173 .797101 1.000000 .000000 .202898 .347825 .536231 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000 Iterasi ke-28 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463768 .652174 .797101 1.000000 .000000 .202898 .347826 .536232 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000
8.10 Metode Relaksasi
Konsep dari metode relaksasi didasarkan pada suatu ide bahwa konvergensi ke
suatu penyelesaian dari pemberian terkaan awal tertentu dapat dicapai dengan cara
mengulang-ulang iterasi setiap titiknya. Konsep dari iterasi berasal dari suatu ide
bahwa perubahan perlahan-lahan (evolusi) terhadap waktu dapat dilihat ketika
persamaan diferensial parsial eliptik dinyatakan dalam bentuk persamaan diferensial
parabolik.
8.10.1 Metode RelaksasiGauss-Seidel
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Metode relaksasi Gauss-Seidel telah terbukti memperoleh sukses besar dalam
keberhasilannya menyelesaikan persamaan diferensial parsial eliptik. Untuk lebih
jelasnya, sekarang kita akan menyatakan persamaan eliptik sebagai persamaan difusi
( )2 2
2 2 ,u u x yx y
ρ∂ ∂+ =∂ ∂
(8-72)
menjadi
( )2 2
2 2 ,u u u x yt x y
ρ∂ ∂ ∂= + −∂ ∂ ∂
(8-73)
Apabila pada 0t = terdapat distribusi awal, maka kita dapat mengatakan
bahwa bahwa ketika t → ∞ penyelesaian sudah merelaks ke arah keadaan setimbang.
Saat t → ∞ tersebut, maka dipenuhi / 0u t∂ ∂ → . Jika persamaan (8-73) kita lakukan
diskritisasi menggunakan metode FTCS, maka ungkapan tersebut akan menjadi
bentuk
( )1, , 1, 1, , 1 , 1 , ,2 4n n n n n n n
j j j j j j j jtu u u u u u u t
xρ+
− + − +∆= + + + + − − ∆
∆ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ (8-74)
dengan indeks atas n mewakili variabel waktu, sedangkan indeks bawah menyatakan
variabel ruang.
Dengan mengingat kembali bahwa di dalam ruang 1D metode FTCS stabil
hanya jika dipenuhi 2 1/2
t∆ ∆ ≤ , dan stabil dalam ruang 2D hanya jika 2 1/4
t∆ ∆ ≤ ,
maka ungkapan (8-74) dapat dinyatakan kembali dalam bentuk
( )2
1, 1, 1, , 1 , 1 ,
14 4
n n n n nj j j j j ju u u u u ρ+
− + − +∆= + + + −ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ (8-75)
Dari ungkapan (8-75), kita dapat menemukan harga terbaru dari u pada
langkah ( )1n + dengan menggunakan empat harga lama yang mengelilinginya pada
langkah n dan suku sumbernya. Prosedur menemukan harga terbaru tersebut
dilakukan dengan cara menyapu titik-titik yang diawali dari baris demi baris titik dan
menghitung harga baru u dengan mengunakan ungkapan (8-75). Prosedur ini diulang-
ulang hingga ketelitian yang diharapkan dicapai. Metode ini disebut dengan iterasi
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Jacobi seperti yang telah dibahas di atas. Sayangnya, metode ini masih cukup lambat
mencapai konvergen.
Satu metode yang barangkali lebih baik dibandingkan dengan metode iterasi
Jacobi membuat algoritma tersebut menjadi bentuk semi implisit
( )2
1 1 1, 1, 1, , 1 , 1 ,
14 4
n n n n nj j j j j ju u u u u ρ+ + +
+ − + −∆= + + + −ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ (8-76)
Dalam skema ini, harga-harga baru dari u digunakan segera setelah harga-
harga tersebut ada, artinya bahwa titik-titik yang sudah ter-update akan digunakan
segera dalam perhitungan untuk memperoleh harga terbaru u pada titik berikutnya.
Skema yang diperlihatkan pada (8-76) tersebut dikenal dengan metode relaksasi
Gauss-Seidel. Sayangnya, metode ini juga masih lambat konvergensinya.
8.10.2 Metode Over-Relaksasi Simultan
Untuk memperoleh metode relaksasi lebih baik dalam hal kecepatan
konvergensi, maka kita perlu mengkoreksi secara over metode Gauss-Seidel. Kita
akan melakukan generalisasi terhadap skema (8-76) sehingga setiap langkah relaksasi
,j lϕ akan digantikan dengan kombinasi linier antara harga lamanya dan harga
terupdatenya. Jadi
( ) ( )1 1 1 2, , 1, 1, , 1 , 1 ,1
4n n n n n nj j l j j j j ju u u u u uωω ρ+ + +
+ − + − = − + + + + − ∆ ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ (8-76)
dimana ω merupakan parameter over relaksasi. Metode ini konvergen hanya dalam
ranah 0 2ω< < . Untuk harga 0 1ω< < , maka skema (8-76) disebut dengan under
relaxation , sedangkan untuk ranah1 2ω< < skema tersebut dikenal dengan over
relaxation. Untuk harga ω dalam ranah 1 2ω< < memberikan konvergensi lebih
cepat dibandingkan dengan metode Gauss-Seidel.
Contoh source code untuk menyelesaikan Persamaan Laplace menggunakanIterasi Gauss-Seidel dan over relaksasi
Program Laplace Integer max real omega
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Parameter(max1=4,max2=5,omega=1.25) Real*8 x, p(max2,max1),phip Integer i, j, iter, yc membuka file output Open(8, File='laplace.dat', Status='Unknown')c sisi-sisi jaring dengan potensial konstan Do 10 i=1, max2 p(i,1)=0.0 p(i,4)=1.0 10 Continue Do 11 j=1, max1 p(1,j)=0.0 p(5,j)=1.0 11 Continue c algoritma iterasi Do 20 iter=1, 100 write(8,21)iter
Do 30 i=2,(max2-1) Do 40 j=2,(max1-1)c menentukan harga titik-titik pada jaring c dengan metode Gauss-Seidel p(i,j)=0.25*(p(i+1,j) * +p(i-1,j)+p(i,j+1)+p(i,j-1)) c menentukan harga titik-titik pada jaring c dengan metode over relaksasi dengan parameter relaksasic omega=1.25
c phip=0.25*(p(i+1,j)c * +p(i-1,j)+p(i,j+1)+p(i,j-1)) c p(i,j)=(1.-omega)*p(i,j)+omega*phip 40 Continue 30 Continue Write (8,22) p(1,4),p(2,4),p(3,4),p(4,4),p(5,4) Write (8,22) p(1,3),p(2,3),p(3,3),p(4,3),p(5,3) Write (8,22) p(1,2),p(2,2),p(3,2),p(4,2),p(5,2) Write (8,22) p(1,1),p(2,1),p(3,1),p(4,1),p(5,1) Write (*,22) p(1,4),p(2,4),p(3,4),p(4,4),p(5,4) Write (*,22) p(1,3),p(2,3),p(3,3),p(4,3),p(5,3) Write (*,22) p(1,2),p(2,2),p(3,2),p(4,2),p(5,2)
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Write (*,22) p(1,1),p(2,1),p(3,1),p(4,1),p(5,1) 20 continue 21 Format(i4) 22 Format(5f10.6) Close(8) Stop 'data tersimpan dalam laplace.dat’ End
Contoh eksekusi untuk penyelesaian persamaan Laplacemenggunakan metode iterasi Gauss-Seidel
Iterasi ke-1 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .250000 .312500 .640625 1.000000 .000000 .000000 .000000 .250000 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-3 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .415039 .609619 .778870 1.000000 .000000 .125000 .277344 .505859 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-5 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .457157 .646527 .794691 1.000000 .000000 .191956 .338470 .532238 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-7 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .462890 .651425 .796782 1.000000 .000000 .201444 .346585 .535702 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-9 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463652 .652074 .797059 1.000000 .000000 .202706 .347661 .536162 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-11 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463753 .652161 .797096 1.000000 .000000 .202873 .347804 .536223 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-13 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463766 .652172 .797101 1.000000 .000000 .202895 .347823 .536231 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-15 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463768 .652174 .797101 1.000000 .000000 .202898 .347826 .536232 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
Iterasi ke-16 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463768 .652174 .797101 1.000000 .000000 .202898 .347826 .536232 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000
Contoh eksekusi untuk penyelesaian persamaan Laplacemenggunakan metode relaksasi dengan parameter relaksasi omega =1.25
Iterasi ke-1 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .300000 .390000 .807000 1.000000 .000000 .000000 .000000 .300000 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-3 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .468270 .659511 .799566 1.000000 .000000 .167400 .363960 .538470 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-5 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463300 .651879 .796899 1.000000 .000000 .202917 .348104 .536191 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-7 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463740 .652166 .797104 1.000000 .000000 .202854 .347799 .536242 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-9 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463770 .652174 .797102 1.000000 .000000 .202902 .347827 .536232 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-10 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463768 .652174 .797101 1.000000 .000000 .202899 .347826 .536232 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000 Iterasi ke-11 .000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 .000000 .463768 .652174 .797101 1.000000 .000000 .202898 .347826 .536232 1.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 1.000000
SOAL LATIHAN
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
1. Jelaskan dengan singkat perbedaan antara persamaan diferensial hiperbolik,
parabolik dan eliptik serta berikan contoh masing-masing. Apakah perbedaan fisis
terpenting antara persamaan hiperbolik dan parabolik di satu sisi dan persamaan
eliptik di sisi lain.
2. Apakah persamaan-persamaan diferensial berikut merupakan persamaan
hiperbolik, parabolik atau elipti?
( )
2 2 2
2 2
2 2 2
2 2
2 2 2
2 2
2 2 2
2 2
3
. 3 2 0
. 7 2 0
. 3 6
. 2 2 0
. 3 2 sin
x
f f fat x t xf f f fbt t t x xf f f fc e
x t t x tf f f f fd
t x t x x tf f f fe f x t
t t x x t x
∂ ∂ ∂+ − =∂ ∂ ∂ ∂∂ ∂ ∂ ∂+ − − =∂ ∂ ∂ ∂ ∂
∂ ∂ ∂ ∂+ + + =∂ ∂ ∂ ∂ ∂
∂ ∂ ∂ ∂ ∂+ − + + =∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ + − + − = + ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂
3. Persamaan 3
3
f ft x
β∂ ∂=∂ ∂
dapat dinyatakan dalam persamaan beda hingga sebagai berikut
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )( )12 1 1 33 3m m m m m m
n n n n n ntf f f f f f
xβ δµ µδ
++ + −= + − + − =
tentukan kesalahan pembulatan dari persamaan beda tersebut.
4. Jelaskan dengan singkat, apa yang saudara ketahui tentang masalah nilai awal dan
masalah nilai batas. Apa yang mmbedakan keduanya, dan berikan contohnya
masing-masing.
5. Skema Lax ditulis sebagai
( ) ( )ni
ni
ni
ni
ni uuuuu 1111
1
27
21
−+−++ +−+=
dengan xt ∆∆≡ /αγ . Tunjukkan bahwa skema tersebut stabil jika 10 << γ .
6. Persamaan diferensial parsial diberikan oleh
Persamaan Diferensial Parsial
Bab VI Supardi, M.Si
( ) ( )txsxutxa
tu ,, =
∂∂+
∂∂
dengan ( )( ) txtxs
xtxa1.01,
1.03,2 +−=
+=
Dengan mengasumsikan syarat awal diberikan oleh ( ) 1, =txu untuk 0=t ,
tentukan penyelesaiaan untuk masalah tersebut.
7. Persamaan difusi dalam suatu ruang, dimana konstanta difusi D berubah terhadap
ruang ( )D D x= dinyatakan oleh
2
2
f f f f D fD atau Dt x x t x x x
∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ = = + ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂
Tunjukkan bahwa persamaan beda dinyatakan sebagai1
1 1 1 1 1 12
22 2
m m m m m m mn n n n n n n n n
nf f f f f D D f fD
t x x xδ δ δ δ
++ − + − + − − − + − − = +
tidak konservatif, yaitu bahwa fdx∫ tidak kekal.
8. Buatlah suatu skema alternatif yang menunjukkan bahwa persamaan difusi yang
dinyatakan pada soal nomor 1 tersebut konservatif.
9. Tunjukkan bahwa skema Lax untuk penyelesaiam persamaan adveksi ekivalen
dengan2 2
22
12 2
f f x fu u t suku orde lebih tinggit x t x
δ δδ
∂ ∂ ∂= − + − + ∂ ∂ ∂
10. Ujilah perilaku penyelesaian like- gelombang ( )( )expf i kx tω= − dalam skema
Lax dan jelaskan perilaku dalam suku-suku difusi.
Persamaan Diferensial Parsial