PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN...

123
i PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun oleh : OKY WASRIKANINGRUM E1A011065 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015

Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN...

i

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT

PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8

TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Disusun oleh :

OKY WASRIKANINGRUM

E1A011065

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

ii

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT

PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8

TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Disusun oleh :

OKY WASRIKANINGRUM

E1A011065

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

iii

LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Disusun Oleh :

OKY WASRIKANINGRUM

E1A011065

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan Disahkan Pada Tanggal : Februari 2015

Pembimbing I/ Penguji I

Pembimbing II/ Penguji II

Penguji III

Hj. Rochani U.S., S.H.,M.S. NIP. 19520603 198003 2 001

H. Suyadi, S.H.,M.Hum. NIP. 19611010 198703 1 001

Agus Mardianto, S.H.,M.H. NIP. 19650831 200312 1 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul :

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA

OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”

Yang diajukan untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto merupakan

hasil karya saya sendiri dan semua data yang terdapat di dalam skripsi ini dapat

saya pertanggungjawabkan secara hukum.

Demikian pernyataan ini saya buat jika kemudian hari terbukti bahwa skripsi

saya ini tidak sesuai dengan pernyataan saya tersebut di atas, saya bersedia

menerima semua sanksi yang akan dijatuhkan termasuk pencabutan gelar sarjana

yang telah saya peroleh.

Purwokerto, Februari 2015

Oky Wasrikaningrum E1A011065

v

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Obat Pelangsing Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. Latar belakang masalah penelitian ini adalah hak-hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing yang masih belum terpenuhi secara maksimal dikarenakan saat ini masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine yang dapat merugikan keamanan dan keselamatan konsumen.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis posivistis. Metode analisis yang digunakan adalah normatif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Dinas Kesehatan dan Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas, serta Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum dan UPT Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan telah berupaya memberikan perlindungan hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun mengenai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa belum terpenuhi secara maksimal karena masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan tidak mematuhi peraturan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Mengenai ha k atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang digunakan juga belum terpenuhi secara maksimal, karena masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan tidak mencantumkan komposisi atau komponen obat dalam penandaan obat pelangsing sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan mengenai syarat-syarat pencantuman penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan secara obyektif, lengkap serta tidak menyesatkan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut hendaknya pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya harus menaati syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, supaya tidak ada lagi konsumen yang merasa dirugikan karena hak-haknya telah dilanggar.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Konsumen, Obat Pelangsing.

vi

ABSTRACT

This research entitles “The Law Protection to the Consumer of the Slim Medicine User Based on the Article 4 Ordinance Number 8 in 1999 about the Consumer Protection”. The background of the problem in this research is the consumers rights as the slim medicine user that still has not been fulfilled maximally it is caused recently there still the businessman who produces the dangerous slim medicine with the dangerous ingredient mixture such as sibutramine that can damage the security and consumer safety.

Method of approach in this research uses the method of normative juridical, it is the approach that uses the conception of legistis positivis. Method of analysis uses the qualitative normative. This research was conducted in the Department of Health and Department of Trade in the Regency of Banyumas, and the Scientific Central Information in the Faculty of Law and UPT Library in the Jenderal Soedirman University.

Based on the result of research that the Department of Health cooperates with the Board of Medicine and Food Controlling has tried to give the law protection as explained in the Article 4 Ordinance Number 8 in 1999 about the Consumer Protection, but about the right and comfort, and safety in using the goods and/service before being fulfilled maximally because ther e is still businessman that produces the dangerous slim medicine without obeying the regulation in the Government Regulation in Republic of Indonesia Number 72 in 1998 about the Safety Pharmacy Supply and Health tool. About the information right which is trusted, clear and honest about the condition and guarantee the good and/or service that is used it also has not be fulfilled maximally, because there is the business actor that produces the dangerous slim medicine without explaining the composition or component of medicines in the slim medicine where it is regulated in the regulation in Article 28 Government Regulation in Republic of Indonesia Number 72 in 1998 about the Pharmacy Supply Safety and Health Tool about the explanation requirement and information of the pharmacy and health tool objectively, detail and not cheating.

Based on the result of research it is supposed to the businessman in running their business activities must obey the conditions and regulation in the regulation of Ordinance and there is no any consumers that feel being cheated because their rights have been broken.

Keywords : Law Protection, Consumer, Slim Medicine.

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii

SURAT PERNYATAAN .................................................................................. iv

ABSTRAK ......................................................................................................... v

ABCTRACT ...................................................................................................... vi

PRAKATA ......................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 9

C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 9

D. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Hukum ........................................................................... 11

B. Hukum Perlindungan Konsumen

1. Perlindungan Konsumen ............................................................... 13

2. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen ............ 14

3. Tujuan Perlindungan Konsumen .................................................. 15

4. Para Pihak dalam Perlindungan Konsumen .................................. 17

5. Konsumen ..................................................................................... 20

6. Pelaku Usaha ................................................................................ 24

7. Hak dan Kewajiban ....................................................................... 25

viii

8. Hubungan Hukum antara Konsumen dengan Pelaku Usaha ........ 28

9. Perbuatan yang dilarang Bagi Pelaku Usaha ................................ 31

10. Tanggung Jawab Pelaku Usaha .................................................... 33

11. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen .................................... 36

C. Obat

1. Definisi ......................................................................................... 41

2. Obat Pelangsing ............................................................................ 49

BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan .............................................................................. 56

B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................... 56

C. Lokasi Penelitian ................................................................................. 56

D. Sumber Data ........................................................................................ 57

E. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 58

F. Metode Penyajian Data ........................................................................ 58

G. Metode Analisis Data ........................................................................... 58

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian .................................................................................... 59

B. Pembahasan ......................................................................................... 82

BAB V. PENUTUP A. Simpulan ............................................................................................... 112

B. Saran .................................................................................................... 113

DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konsumen merupakan pihak yang sangat berperan dalam perkembangan

dunia perdagangan. Hampir setiap orang menjadi konsumen bahkan pelaku usaha

sekali pun dapat menjadi konsumen dalam memenuhi kebutuhan untuk

kehidupannya sehari-hari. Kedudukan konsumen di Indonesia saat ini masih

lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha, meskipun sudah ada peraturan

yang mengatur mengenai perlindungan konsumen, tetapi masih ada pelaku usaha

yang menyimpang dari peraturan dalam melakukan kegiatan usahanya yang dapat

merugikan konsumen.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyebutkan bahwa:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Akhir -akhir ini sering terdengar masalah yang berkaitan dengan konsumen,

dimulai dari hak-hak konsumen yang tidak terpenuhi dan sering terabaikan oleh

pelaku usaha atau pun dari sikap pelaku usaha yang berbuat curang dalam

menjalankan kegiatan usahanya. Konsumen yang haknya tidak terpenuhi akan

merasa dirugikan dan hal inilah yang membuat permasalahan dalam perlindungan

konsumen tidak kunjung selesai.

2

Kerugian-kerugian yang dialami konsumen dapat ditimbulkan sebagai akibat

dari adanya hubungan hukum perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen,

maupun akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh

pelaku usaha. Tidak hanya itu, kerugian yang dialami konsumen juga dapat

disebabkan karena kurang kritisnya konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang

ditawarkan. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya tingkat pendidikan konsumen

yang rendah, sedangkan teknologi komunikasi semakin maju, kondisi seperti ini

pula yang dapat dimanfaatka n oleh pelaku usaha untuk memberikan informasi

yang tidak benar atau bahkan menyesatkan tentang produk yang dipasarkan dan

menggunakan segala cara agar produknya dapat terjual di pasaran.

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen disebutkan bahwa :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Semakin hari jumlah pelaku usaha semakin meningkat, hal ini juga dapat

menyebabkan adanya persaingan yang semakin ketat antar pelaku usaha, dimana

mereka melakukan berbagai cara supaya produknya dapat terjual di pasaran tanpa

memperhatikan apakah ada hak konsumen yang dilanggarnya atau tidak. Pelaku

usaha dalam melakukan kegiatan usahanya sebagai pihak yang kuat diharapkan

mampu untuk beritikad baik dalam memberikan pelayanan kepada konsumen dan

jangan hanya untuk mengejar keuntungan semata.

3

Tidak hanya dilihat dari sisi konsumen dan pelaku usaha saja, perkembangan

zaman juga mempengaruhi adanya sengketa dalam perlindungan konsumen, yakni

di era globalisasi saat ini dengan adanya perdagangan bebas membuat banyak

produk barang atau pelayanan jasa bermunculan. Produk barang yang dihasilkan

oleh para pelaku usaha menjadi beraneka ragam dan dikemas sedemikian rupa

untuk menarik perhatian konsumen.

“Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi antara lain, menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya.”1 Konsumen diharapkan untuk lebih berhati-hati dan pintar dalam memilih

barang dan/atau jasa yang akan dibeli atau dikonsumsi, jika tidak berhati-hati

dalam memilih produk barang dan/atau jasa maka konsumen hanya akan menjadi

objek yang akan dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab,

dimana konsumen hanya akan menerima begitu saja barang dan/atau jasa yang

akan dikonsumsinya meskipun informasinya tidak jelas bahkan menyesatkan

mengenai barang dan/atau jasa tersebut.

Permasalahan yang dihadapi konsumen sebenarnya tidak hanya sekedar

bagaimana memilih barang dan/atau jasa yang diinginkan, tetapi jauh lebih dari

itu yakni menyangkut pada kesadaran semua pihak antara lain baik pengusaha,

1 Sri Redjeki Hartono, Makalah Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam buku

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, hlm. 34

4

pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan

konsumen.

Menurut Adrian Sutedi bahwa:

“Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan di antara keduanya.” 2 Perlindungan konsumen merupakan bagian yang tidak terpisahka n dari

kegiatan perekonomian yang sehat, dimana dalam kegiatan perekonomian yang

sehat terdapat adanya keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen

dengan pelaku usaha. Artinya, apabila tidak ada perlindungan yang seimbang

antara konsumen dengan pelaku usaha maka akan menyebabkan konsumen berada

pada posisi atau kedudukan yang lemah. Pelaku usaha hendaknya menyadari

bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan

jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti standar

yang berlaku, dengan harga yang sesuai.

Menurut hukum positif di Indonesia, perlindungan hukum terhadap

konsumen sudah diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun pada

kenyataannya konsumen di Indonesia saat ini belum merasa cukup terlindungi,

karena masih ada pelaku usaha yang melakukan berbagai macam penyimpangan

dalam melakukan kegiatan usahanya.

2 Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, hlm. 9.

5

Masih ada pelaku usaha yang dalam menjalankan kegiatan usahanya

menghasilkan produk-produk yang justru membahayakan konsumen, contohnya

adalah seperti memproduksi produk obat pelangsing berbahaya. Obat pelangsing

dikatakan berbahaya karena terdapat campuran dengan bahan berbahaya seperti

sibutramine yang efeknya dapat mengga nggu keamanan dan keselamatan

konsumen, karena penggunaan dosis yang belum tentu tepat. Berbagai cara

dilakukan seperti melakukan penawaran dengan kata-kata yang menarik perhatian

konsumen, melalui iklan dengan kata -kata yang begitu meyakinkan,

menggunakan model sebagai contoh dalam iklannya yang sebenarnya itu tidak

benar karena model yang digunakan hanyalah untuk mempengaruhi konsumen

supaya berkeinginan untuk membeli produk obat pelangsing tersebut.

Sekarang ini kehidupan masyarakat memang banyak mengalami perubahan,

salah satunya adalah bahwa seseorang akan lebih percaya diri apabila memiliki

postur tubuh yang langsing. Kodrat wanita untuk selalu mempercantik dan

memperindah tubuh itulah yang menjadi sasaran pelaku usaha yang memproduksi

alat-alat kecantikan untuk memasarkan produknya , termasuk produk-produk obat

pelangsing ilegal. Seorang wanita yang memiliki tubuh terlalu gemuk maka akan

terganggu kegesitannya dan memang terkesan kurang menarik saat dipandang.

Tren “langsing” seperti menjadi suatu keharusan terutama bagi seorang wanita,

sehingga bagi sebagian orang diantaranya wanita tidak dapat dipungkiri usaha

untuk memiliki tubuh dengan berat badan ideal adalah dambaan. Adanya persepsi

yang seperti ini juga dapat menjebak konsumen, yakni untuk mendapatkan postur

tubuh langsing sesuai dengan keinginan maka berbagai cara dilakukan seperti diet

6

ketat, olahraga secara rutin, bahkan dengan cara instan sekali pun yakni dengan

mengkonsumsi obat pelangsing yang tanpa disadari bahwa obat pelangsing

tersebut mengandung bahan berbahaya yang dapat membahayakan keamanan dan

keselamatan konsumen.

Sisi lain dari tren “langsing” juga dijadikan sebagai salah satu celah bagi

pelaku usaha untuk meyakinkan kepada konsumen bahwa obat pelangsing yang

dihasilkannya tidak berbahaya, namun pada kenyataannya di dalam obat

pelangsing tersebut dicampur dengan bahan-bahan yang membahayakan diri

konsumen, seperti yang sudah sering ditemukan adalah bahan berbahaya seperti

sibutramine.

Berdasarkan keterangan pers Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor PN

: PN.01.04.1.31.10.10.9829 yang menyatakan bahwa sibutramine merupakan obat

yang dihasilkan sebagai pengobatan adjuvant dalam membantu penurunan

kelebihan berat badan (overweight dan obesity) disamping olah raga dan

pengaturan diet, adanya informasi mengenai aspek keamanan penggunaan

sibutramine jangka panjang dari hasil studi Sibutramine on Cardiovascular

Outcomes Trial (SCOUT) yang menunjukkan adanya peningkatan risiko kejadian

kardiovaskular pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular, oleh karena

itu penjualan segala bentuk obat jadi seperti obat pelangsing yang mengandung

sibutramine telah dilarang. Sibutramine merupakan salah satu bahan obat keras

yang digunakan untuk campuran obat pelangsing, dimana obat ini dapat diperoleh

dan digunakan berdasarkan resep dokter untuk menentukan dosis yang tepat,

tetapi pada kenyataannya obat ini banyak ditemukan dan dijual bebas di pasaran.

7

Obat merupakan salah satu hasil sediaan farmasi, sehingga dalam pembuatan

sediaan farmasi dalam hal ini adalah obat pelangsing pelaku usaha atau badan

usaha harus memiliki izin usaha industri dalam melaksanakan kegiatan

produksinya. Sediaan farmasi dalam hal ini adalah obat pelangs ing yang

diedarkan di pasaran juga harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan

kemanfaatan.

Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi menyebutkan bahwa:

“Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia”. Tidak semua obat pelangsing aman untuk dikonsumsi, bisa saja obat

pelangsing dari luar kemasannya terlihat menarik iklannya pun meyakinkan,

namun tanpa disadari di dalamnya mengandung bahan berbahaya yang dapat

membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen.

Beberapa efek samping dari penggunaan obat pelangsing berbahaya dengan

campuran bahan berbahaya seperti sibutramine adalah sakit kepala, insomnia,

konstipasi, migrain, depresi, hipertensi, takikardia, mulut kering.

“Resiko lain mengkonsumsi obat-obat diet tanpa pengawasan dokter ialah : membuat tubuh lemas dan sistem kekebalan tubuh menurun karena jarang makan (tetapi tidak merasa lapar), jantung berdebar-debar, dehidrasi, sulit tidur, diare, penurunan tekanan darah, nyeri kepala, dan gula darah menurun drastis. Namun, resiko yang timbul pada setiap orang tidak sama, karena itu konsumsi obat-obat diet harus di bawah pengawasan dokter.”3

3 https://yosefw.wordpress.com/2009/03/20/usir-gemuk -dengan-obat-2/, diakses tanggal 20

November 2014.

8

“Menurut pengakuan salah seorang konsumen yang diwawancarai oleh tim Sigi dari SCTV menyatakan bahwa dalam waktu tiga bulan setelah mengkonsumsi kapsul Arma Sin Gang San, satu di antara banyak obat pelangsing tubuh, berat badannya turun namun disertai dengan rasa gelisah, sulit untuk tidur dan tidak mempunyai nafsu makan. Produk PT. Warisan Jaya, Semarang, Jawa Tengah itu memang topcer. Harganya pun relatif murah, sekitar Rp 10 ribu per kapsul. Tapi, Badan Pengawas Obat dan Makanan telah melarang peredaran jamu ini. Pasalnya, berdasarkan hasil uji laboratorium, Arma Sin Gang San mengandung sibutramine, bahan kimia obat berbahaya.”4 Hal tersebut di atas dapat dijadikan sebagai contoh bahwa tidak semua obat

pelangsing yang beredar di pasaran itu aman, karena bisa mengandung campuran

dengan bahan berbahaya yang tidak diketahui oleh konsumen, selain itu

mengkonsumsi obat pelangsing tanpa menggunakan resep dokter juga berbahaya.

Informasi mengenai komposisi dan penggunaan obat, serta efek samping obat

juga merupakan hal yang sangat penting untuk diberitahukan kepada konsumen

sebagai pengguna obat pelangsing supaya tidak ada lagi konsumen yang merasa

haknya dirugikan yakni hak yang berkaitan untuk mendapatkan keamanan dan

keselamatan dari barang yang dikonsumsinya.

Pelaku usaha sering memberikan informasi ya ng tidak benar atau bahkan

menyesatkan yang dapat merugikan konsumen sebagai pihak pembeli, hal seperti

ini lah yang dapat menimbulkan adanya sengketa antara konsumen dengan pelaku

usaha. Konsumen akan merasa dirugikan karena hak-haknya tidak terpenuhi,

dikarenakan pelaku usaha yang tidak memperhatikan kepentingan dan hak-hak

konsumen karena didesak dengan adanya persaingan antar pelaku usaha untuk

mencari keuntungan.

4 Ibid.

9

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merasa tertarik untuk

membahas permasalahan mengenai obat pelangsing berbahaya yang menimbulkan

beberapa efek negatif terhadap penggunanya yang mana di dalamnya mengandung

bahan berbahaya seperti sibutramine. Dalam hal ini konsumen sebagai pihak yang

dirugikan karena hak-haknya sebagai konsumen tidak terpenuhi, terutama hak atas

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau

jasa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, konsumen mempunyai hak yang secara tertulis dituangkan dalam

Pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu,

penulis menyusun skripsi dengan judul : Perlindungan Hukum Terhadap

Konsumen Pengguna Obat Pelangsing berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

B . Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna

obat pelangsing berbahaya berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelit ian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum

terhadap konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya berdasarkan

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen.

10

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoretis

Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu

pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya terutama

hukum perlindungan konsumen.

2. Kegunaan Praktis

Untuk dapat memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai hak-haknya

sebagai konsumen dalam Hukum Perlindungan Konsumen terhadap

pengguna dan pemakai obat pelangsing.

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Hukum

Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk

pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat

keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada

korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak

manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan, dan atas

pemeriksaan di sidang pengadilan.

Secara umum yang dimaksud dengan hukum adalah keseluruhan

kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan

bersama, yakni keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku

dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya

dengan suatu sanksi.

“Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sasaran atau alat untuk

mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena

rangsangan dari luar hukum. Faktor-faktor di luar hukum itulah yang

membuat hukum itu dinamis.”5

Menurut Surojo Wignojodipuro:

“Hukum mempunyai peranan dalam mengatur dan menjaga ketertiban masyarakat, yang diantaranya adalah mengatur hubungan antara sesama warga masyarakat yang satu dengan yang lain. Adanya kaidah hukum itu

5 Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Edisi Ke-5), Yogyakarta:

Liberty Yogyakarta, hlm. 40.

12

bertujuan untuk mengusahakan kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam masyarakat.”6 Beberapa sarjana hukum di Indonesia yang mendefinisikan hukum

sebagai berikut:7

a. S. M. Amin

Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari

norma-norma dan sanksi-sanksi dan tujuan hukum itu adalah

mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia.

b. J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto

Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang

menentukan tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat yang

dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana

terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan

hukum tertentu.

c. M. H. Tirtaatmadja

Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam

semua tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup

dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-

aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya

orang akan hilang kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.

6 Surojo Wignojodipuro, 1974, Pengantar Ilmu Hukum , Alumni, Bandung, hlm. 1. 7 CST. Kansil, 1997, Pengantar Hukum Indonesia (Cetakan Ke-6), Jakarta: Balai Pustaka,

hlm. 38.

13

Pengertian hukum dari beberapa sarjana tersebut dapat disimpulkan

bahwa hukum terdiri dari berbagai unsur yaitu:

a) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dan pergaulan masyarakat;

b) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan yang berwajib;

c) Peraturan itu bersifat memaksa;

d) Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

Sudikno Mertokusumo memberikan gambaran terhadap pengertian

perlindungan hukum sebagai berikut:

“Segala upaya yang dilakukan untuk menjamin adanya kepastian hukum berdasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan ini dapat dilihat baik di Undang-Undang maupun Diratifikasi dari Konvensi Internasional.”8

B. Hukum Perlindungan Konsumen

1. Perlindungan Konsumen

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud

dengan perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen disebutkan bahwa:

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen.”

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

8 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 20.

14

tentang Perlindungan Konsumen tersebut diharapkan sebagai benteng

untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku

usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.

Shidarta berpendapat bahwa :

“Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, sehingga perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Materi yang mendapatkan perlindungan bukan sekedar fisik, melainkan juga hak-haknya yang bersifat abstrak, dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen”.9

2. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

Konsumen memiliki kedudukan lemah jika dibandingkan dengan

pelaku usaha, oleh karena itu kosumen harus dilindungi oleh hukum.

Perlindungan yang diberikan oleh hukum ini dituangkan dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sekaligus

sebagai pelaksanaan dari tujuan hukum yakni memberikan perlindungan

(pengayoman) kepada masyarakat.

“Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen”

sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja

yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua

“cabang” hukum itu identik.” 10

Az. Nasution berpendapat bahwa :

“Hukum konsumen yang memuat asas -asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur

9 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Grasindo, hlm. 19. 10 Ibid., hlm. 9.

15

hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa kosumen, di dalam pergaulan hidup.”11 Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari

hukum konsumen yang memuat asas -asas atau kaidah-kaidah bersifat

mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan

konsumen.

“Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan peraturan-

peraturan yang mengatur segala tingkah laku manusia yang

berhubungan dengan konsumen dan pelaku usaha yang disertai

sanksi bagi pelanggarnya.” 12

Dapat disimpulkan bahwa hukum konsumen lebih luas dari pada

hukum perlindungan konsumen, karena hukum perlindungan konsumen

merupakan bagian dari hukum konsumen yang mengatur lebih rinci asas-

asas perlindungan bagi konsumen sebagai pihak yang lebih lemah jika

dibandingkan dengan pelaku usaha.

3. Tujuan Perlindungan Konsumen

Tujuan perlindungan konsumen merupakan sebagai sasaran akhir

yang memang harus dicapai dalam bidang hukum perlindungan

konsumen. Masing-masing undang-undang yang dibentuk pasti memiliki

tujuan khusus dalam pelaksanannya. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini megatur mengenai

tujuan dari perlindungan konsumen itu sendiri.

11 Ibid., hlm. 9-10. 12 Suyadi, 2007, Buku Ajar Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum

Unsoed, Purwokerto, hlm. 6.

16

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Ta hun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen berbunyi:

Perlindungan konsumen bertujuan :

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan permberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di

atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum,

maka:

1. tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e.

2. tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a dan b, termasuk juga huruf c dan d, serta huruf f.

3. tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.13

Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, karena seperti yang dapat

kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat

tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.

13 Ahmadi Miru dan Sutarma Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Rajawali

Pers, hlm. 34.

17

4. Para Pihak dalam Perlindungan Konsumen

Pihak yang ikut berperan dalam perlindungan konsumen sebenarnya

tidak hanya konsumen dan pelaku usaha saja, tetapi ada juga peran

pemerintah. Pemerintah, konsumen dan pelaku usaha harus dapat

memahami perannya masing-masing dan melaksanakan asas

perlindungan hukum supaya tercipta perekonomian yang baik serta

bersih dan stabil dan tidak ada yang dirugikan dalam proses kegiatan

perekonomian.

Secara umum pihak-pihak yang berkaitan dalam praktik

perlindungan konsumen dapat dibedakan antara lain:

a. Konsumen

Hakikatnya setiap or ang adalah konsumen, bahkan pelaku usaha

juga menjadi konsumen untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya

sehari-hari. Konsumen memiliki kedudukan yang lemah jika

dibandingkan dengan pelaku usaha, oleh karena itu perlu adanya

jaminan untuk memperoleh perlindungan secara hukum.

Disebutkan dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah

konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah

pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan

konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk

sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.

Konsumen akhir berbeda dengan pembeli akhir, karena

pengertian konsumen akhir lebih luas daripada pembeli akhir.

18

Artinya, bahwa konsumen akhir tidaklah harus berperan sebagai

pembeli barang atau produk, ka rena bisa saja menerima barang

karena pemberian dari orang lain. Konsumen yang cerdas harus

sadar akan hak-hak yang dimilikinya sebagai seorang konsumen,

sehingga dapat melakukan kontrol sosial terhadap perilaku pelaku

usaha yang berbuat curang dalam kegia tan usahanya.

b. Pelaku Usaha

Pelaku usaha juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam

perlindungan konsumen, karena hak-hak konsumen akan terpenuhi

apabila pelaku usaha menjalankan kewajiban kegiatan usahanya

dengan penuh rasa tanggung jawab. Pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan usahanya diharapkan dapat menghormati hak-

hak konsumen dengan memproduksi barang dan jasa yang

berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, serta mengikuti

standar peraturan yang berlaku dengan harga yang sesuai.

c. Pemerintah

Pemerintah adalah pihak yang mempunyai wewenang untuk

membuat suatu peraturan kebijakan, peraturan itu dibuat agar ditaati

oleh para pihak yang ada dalam wilayah kekuasannya, dalam hal ini

adalah masyarakat Indonesia. Pemerintah dalam perlindungan

konsumen ini berperan untuk mengawasi jalannya peraturan undang-

undang tersebut dengan baik, supaya tidak ada lagi pihak yang

merasa dirugikan.

19

Disamping pihak-pihak yang telah disebutkan di atas, ada juga

beberapa pihak yang terkait satu dengan yang lainnya, antara lain sebagai

berikut:

a. Departemen atau Instansi Pemerintah yang terkait dengan produk

yang dihasilkan oleh pelaku usaha.

Departemen atau instansi yang dimaksud di sini adalah departemen

atau instansi yang terkait dengan produk yang menangani produk

yang bersangkutan, antara lain mengenai masalah peirizinan,

pemenuhan standar mutu dan sebagainya.

b. Organisasi Pelaku Usaha

Merupakan organisasi yang secara khusus memberikan perlindungan

maupun secara khusus mengatur tentang kegiatan pelaku usaha yang

bersangkutan. Pelaku usaha sebagai anggota dari suatu organisasi

wajib mentaati ketentuan yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut,

organisasi itu juga wajib menegur anggotanya jika melakukan suatu

kesalahan, jika perlu menerapkan sanksi yang tegas.

c. Organisasi Konsumen

Merupakan organisasi yang dibentuk khusus dengan tujuan untuk

melindungi hak-hak konsumen. Mewakili konsumen jika ada

permasalahan dengan pelaku usaha. Hal ini diwujudkan dengan

dibentuknya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sejak

tahun 1973.

20

5. Konsumen

Konsumen merupakan salah satu pelaku kegiatan perekonomian

dalam suatu negara. Konsumen merupakan individu atau sekelompok

orang yang mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa yang disediakan

oleh produsen atau pelaku usaha.

“Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukkan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris -Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.” 14 Ada beberapa ahli yang memberikan pengertian tentang konsumen,

antara lain adalah :

a. Munir Fuady

Konsumen adalah pengguna terakhir (end user) dari suatu

produk, yaitu setiap pemakai barang dan jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga,

orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan.

b. Homby

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa

yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri

14 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit

Media, hlm. 3.

21

sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan.

c. Az. Nasution

Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah

dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan

tertentu.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan.”

Berdasarkan pengertian konsumen yang ada dalam Pasal 1 angka 2

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, maka dapat diberikan

rumusan definisi terhadap konsumen, yaitu:15

a. Setiap Orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang

berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian

konsumen tidak hanya pada orang perorangan namun juga

mencakup badan hukum.

15 Shidarta, Op. Cit., hlm. 4-9.

22

b. Pemakai

Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang tentang Perlindungan Konsumen, kata “pemakai”

menekankan konsumen adalah konsumen akhir (ultimate

consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan

dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan

barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta -merta hasil dari

transaksi jual beli.

c. Barang dan/atau jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti

terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk

sudah berkonotasi barang dan/atau jasa.

d. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah

harus tersedia di pasaran. Perdagangan yang ma kin kompleks

dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat

konsumen.

e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk

hidup lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang

diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas

pengertian kepentingan.

23

f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang tentang

Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni hanya konsumen

akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan

perlindungan konsumen di berbagai negara.

Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen,

yakni:

a. konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;

b. konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/ jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

c. konsumen akhir, adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial). 16

Konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang

Perlindungan Konsumen ini adalah konsumen akhir, dimana konsumen

akhir adalah pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk. Kalimat

tidak untuk diperdagangkan dari rumusan pasal tersebut di atas

merupakan konsumen akhir yang tujuan penggunaan barang atau jasa

bukan untuk dijual kembali. Artinya, konsumen yang sebagai pemakai

atau pengguna suatu barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat

digunakan baik untuk diri sendiri, keluarga, orang lain maupun untuk

makhluk hidup lain karena tidak untuk dijual kembali, sehingga tidak

mempunyai tujuan yang komersia l.

16 Az. Nasution, Op. Cit. hlm. 13.

24

Menurut Az. Nasution, berbagai studi yang dilakukan berkaitan

dengan perlindungan konsumen telah berhasil membuat batasan

mengenai konsumen akhir, antara lain:

a. Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan sendiri atau orang lain dan tidak untuk diperjualbelikan.

b. Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain tidak untuk diperdagangkan kembali.

c. Setiap orang atau keluarga yang mendapat barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan. 17

6. Pelaku Usaha

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi.” “Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku

usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir,

pedagang, distributor dan lain-lain.”18

Menurut Az. Nasution pelaku usaha berdasarkan pasal tersebut

terdiri dari :

a. Pelaku usaha sebagai pencipta/pembuat barang yang menjadi sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen.

b. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen.

c. Pengusaha jasa.19

17 Ibid., 18 Ibid., hlm. 17. 19 Ibid., hlm. 10.

25

Pelaku usaha yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang

Perlindungan Konsumen merupakan pelaku usaha yang dapat berupa

perorangan atau badan hukum. Pengertian pelaku usaha tersebut tidaklah

mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri, karena Undang-

Undang tentang Perlindungan Konsumen membatasi orang perseorangan

atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan

badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.

7. Hak dan Kewajiban

a. Hak dan Kewajiban Konsumen

Kondisi konsumen yang masih banyak merasa dirugikan

memerlukan adanya peningkatan upaya untuk melindunginya,

sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin

adanya hak-hak konsumen. Kepastian menjamin hak-hak konsumen

yang diperkuat dengan undang-undang khusus ini memberikan

harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang melakukan

perbuatan yang dapat merugikan konsumen.

Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:

1. Hak untuk mendapat keamanan (the right to safety ); 2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be

informed); 3. Hak untuk memilih (the right to choose); 4. Hak untuk didengar (the right to be heard).20

20 Shidarta, Op. Cit., hlm. 16-27.

26

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :

Hak konsumen adalah : a. hak atas kenyamanan, keamana n, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan

barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya

mengatur mengenai hak-hak konsumen saja, tetapi juga mengatur

mengenai kewajiban sebagai penyeimbang hak konsumen.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :

Kewajiban konsumen adalah : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

27

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Tidak hanya hak dan kewajiban konsumen saja yang diatur

dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, mengenai

hak dan kewajiban pelaku usaha juga diatur didalamnya. Pengaturan

mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha ini untuk menciptakan

kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai

keseimbangan atas hak dan kewajiban yang diberikan kepada

konsumen, karena Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

ini bukan semata -mata untuk membalikan kedudukan konsumen dari

kedudukan yang lemah menjadi kuat dan sebaliknya pelaku usaha

yang menjadi lemah, oleh karena itu hak dan kewajiban pelaku usaha

juga diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :

Hak pelaku usaha adalah : a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan

kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

28

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :

Kewajiban pelaku usaha adalah : a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutubarang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji barang dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

f. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan

kegiatan usahanya sebagai upaya perlindungan konsumen

merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian

yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.

Pasal 1338 ayat (3) berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

8. Hubungan Hukum antara Konsumen dengan Pelaku Usaha

Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan

hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan. Hubungan

tersebut terjadi karena antara pelaku usaha dan konsumen memang saling

29

menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi

antara pelaku usaha dengan konsumen.

“Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung pada dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak mungkin pelaku usaha dapat mempertahankan kelangsungan usahanya. Sebaliknya kebutuhan konsumen sangat tergantung dari hasil produksi pelaku usaha.”21 Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha dapat

dibedakan menjadi dua, yakni:

1. Hubungan Langsung

“Hubungan langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah

hubungan antara produsen dengan konsumen yang terikat secara

langsung dengan perjanjian.”22

Hubungan antara pelaku usaha yang memproduksi barang

dan/atau jasa dengan konsumen adalah hubungan perjanjian jual beli.

Pengertian jual beli sesuai dengan Pasal 1457 KUHPerdata adalah

suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya

untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk

membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pengertian

tersebut, maka terdapat unsur-unsur jual beli yakni perjanjian,

penjual dan pembeli, harga dan barang.

Suatu perjanjian sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

21 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, ed., 2000, Hukum Perlindungan Konsumen,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 36. 22 Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia

(Edisi I, Cetakan Ke-2), Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 34.

30

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Mengenai sahnya suatu

perjanjian diperlukan empat syarat, yakni sesuai dengan Pasal 1320

KUHPerdata, yaitu :

1. sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal.

Hubungan langsung yang terjadi antara konsumen dengan

pelaku usaha yang memproduksi barang dan/atau jasa merupakan

hubungan kontraktual (perjanjian). Artinya, apabila produk yang

dihasilkan oleh pelaku usaha menimbulkan kerugian pada

konsumen, maka konsumen dapat meminta ganti rugi kepada pelaku

usaha atas dasar tanggung jawab kontraktual (contractual liability).

Tanggung jawab kontraktual ini didasarkan pada tanggung jawab

atas dasar wanprestasi atau ingkar janji, karena salah satu pihak tidak

memenuhi perikatan yang timbul dari perjanjian tersebut.

2. Hubungan Tidak Langsung

Hubungan tidak langsung di sini merupakan transaksi usaha

yang berkembang ke arah hubungan yang tidak langsung yakni

melalui suatu kegiatan distribusi, dimana dari pelaku usaha

disalurkan atau didistribusikan kepada agen, lalu ke pengecer baru

sampai ke konsumen. Hubungan tidak langsung ini di dalamnya

tidak terdapat hubungan kontraktual (perjanjian) antara pelaku usaha

dengan konsumen.

31

Konsumen di sini tidak bisa untuk meminta ganti rugi dari

pelaku usaha atas dasar tanggung jawab kontraktual, karena

konsumen hanya memiliki hubungan kontraktual dengan pengecer,

padaha l produk yang menimbulkan kerugian dihasilkan oleh pelaku

usaha bukan pengecer. Artinya, apabila ternyata bahwa pelaku usaha

adalah pihak yang merugikan konsumen, maka pelaku usaha wajib

bertanggung jawab atas kerugian yang timbul tersebut.

Pertanggungjawaban pelaku usaha atas produknya yang

menimbulkan kerugian kepada konsumen dinamakan tanggung

jawab produk (product liability ). Pertanggungjawaban produk tidak

didasarkan pada contractual liability, tetapi didasarkan pada

tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum.

9. Perbuatan yang dilarang Bagi Pelaku Usaha

Salah satu tujuan dalam perlindungan konsumen adalah untuk

mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut

berbagai hal yang membawa akibat negatif sebagai akibat dari pemakaian

barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari segala aktivitas perdagangan

pelaku usaha. Upaya yang dilakukan untuk menghindarkan akibat negatif

dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut dalam Undang-Undang

tentang Perlindungan Konsumen diatur juga mengenai perbuatan yang

dilarang bagi pelaku usaha. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

diatur dalam Bab IV Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

32

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen disebutkan bahwa :

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan

jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yangmemuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atau barang dimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang mempegunakan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.”

33

Menurut Gunawan Widjaja, secara garis besar larangan yang

dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang tentang Perlindungan

Konsumen dapat dibagi dalam dua larangan pokok, yaitu:

1) Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak dipenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;

2) Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat yang menyesatkan konsumen.23

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merumuskan

tentang beberapa larangan bagi pelaku usaha sebagai bagian dari kaidah

hukum Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Adanya

larangan tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa produk yang

dipasarkan atau diperjualbelikan di masyarakat tidak dilakukan dengan

cara melanggar hukum.

10. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang tentang

Perlindungan Konsumen adalah tanggung jawab untuk melaksanakan

kewajiban-kewajiban pelaku usaha. Tanggung jawab tersebut adalah

“minimal” dalam arti tanggung jawab pelaku usaha tidak sekedar yang

ada dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen saja, dapat

meliputi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan sebagaimana

mestinya seba gai pelaku usaha, dapat berdasarkan undang-undang selain

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut, seperti dalam

ketentuan-ketentuan lain yakni kebiasaan, doktrin dan lain-lain.

23 Johanes Gunawan, 1994, “Produk Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta:

Projustisia, Tahun XII, hlm. 39.

34

Tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Bab VI Pasal 19 sampai

dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

Shidarta mengatakan bahwa :

“Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus -kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.”24 Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha

seba gaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang

Perlindungan Konsumen, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang

seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku

usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut:

a. yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan.

b. apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri.

c. apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut. 25

Urutan-urutan di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu

produk mengalami cacat pada saat diproduksi, karena kemungkinan

barang mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau

di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut.

24 Shidarta, Op. Cit., hlm. 59. 25 Ahmadi Miru, Op. Cit ., hlm. 31-32.

35

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut:26

a. Kesalahan (liability based on fault)

Seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya

secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal

tentang perbuatan melawan hukum mengharuskan terpenuhinya

empat unsur pokok, yaitu:

1. adanya perbuatan; 2. adanya unsur kesalahan; 3. adanya kerugian yang diderita; 4. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan

kerugian.

Kesalahan di sini adalah unsur yang bertentangan dengan

hukum, dimana hukum itu artinya tidak hanya bertentangan

dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan di

dalam masyarakat.

b. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability)

Tergugat yang dalam hal ini adalah pelaku usaha selalu

dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle),

sampai pelaku usaha dapat membuktikan bahwa dirinya tidak

bersalah. Beban pembuktian dalam prinsip praduga selalu

bertanggung jawab ini ada pada pelaku usaha sebagai tergugat.

26 Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika,

hlm. 92.

36

c. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of

nonliability)

“Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability principle ) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.”27

d. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Tanggung jawab mutlak merupakan prinsip tanggung jawab

yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang

menentukan, namun terhadap prinsip tanggung jawab mutlak ini

ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk

dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force

majeur.

e. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of

liability principle) disenangi oleh pelaku usaha untuk

dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian

standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat

merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku

usaha. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen bahwa pelaku usaha seharusnya tidak

boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan

konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya.

27 Shidarta, Op. Cit., hlm. 62-63.

37

11. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen

Happy Susanto menyatakan bahwa:

“Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang dan/atau jasa.”28

Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen

dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) Undang-Undang

tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:

“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat

penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.

“Penjelasan resmi Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen itu pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen.” 29

28 Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visi Media, hlm. 2. 29 Suyadi, Op. Cit ., hlm. 6.

38

Beberapa peraturan yang dijadikan sumber hukum perlindungan

konsumen diantaranya sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar 1945

1) Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Penjelasan dari pasal ini bahwa ketentuan ini mengenai hak

warga negara yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 ini

adalah warga negara yang menjamin agar mereka dapat hidup

sebagai manusia seutuhnya, yakni hak untuk mendapatkan

pengetahuan yang benar tentang segala barang dan/atau jasa

yang ditawarkan.

2) Pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi:

“Kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan

pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan

dengan undang-undang.”

Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa pasal ini mengenai

kedudukan penduduk. Pasal ini juga memuat hasrat bangsa

Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis

dan hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan

perikemanusiaan.

Berbagai hak yang dimiliki konsumen telah masuk dalam kedua

pasal tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa UUD 1945

39

merupakan suatu sumber hukum bagi perlindungan konsumen

karena hak konsumen terdapat di dalamnya.

b. Ketetapan MPR

Menurut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun

1993 (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) secara eksplisit

dicantumkan kata “Perlindungan Konsumen”, sekalipun tidak

diuraikan lebih jauh mengenai pengertian dan substansinya. Secara

implisit dapat ditemukan berbagai hal yang berhubungan dengan

kepentingan konsumen seperti keharusan menghasilkan atau

meningkatkan:

1) Barang yang bermutu; 2) Kualitas dan pemerataan pendidikan; 3) Kualitas pelayanan kesehatan; 4) Kualitas hunian dan lingkungan hidup; 5) Sistem transportasi yang tertib, lancar, aman, dan nyaman; 6) Kompetisi yang sehat; 7) Kesadaran hukum. 30

c. Berbagai peraturan perundang-undangan lain, diantaranya:

1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar

Perusahaan.

3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

30 Shidarta, Op. Cit., hlm 92-93.

40

5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.

6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang

Ketenagalistrikan.

7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Penglolaan Lingkungan Hidup.

8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

9) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

10) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merupakan

undang-undang yang dapat menambah kepastian hukum bagi konsumen,

walaupun demikian masih perlu adanya peraturan pemerintah untuk

menunjang pelaksanaan perlindungan konsumen, sebab Undang-Undang

tentang Perlindungan Konsumen sifatnya masih umum dan pelaksanaan

beberapa pasal harus dengan peraturan pemerintah seperti Pasal 29, Pasal

30, Pasal 44 dan Pasal 46. Adapun peraturan pemerintah yang menunjang

berlakunya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen antara lain:

a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001

tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

b. Peraturan Pemerintah Repbulik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001

tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan

Konsumen.

41

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001

tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

C. Obat

1. Definisi

Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi

bahwa :

“Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.” Peraturan Menter i Kesehatan Republik Indonesia Nomor

949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi, obat digolongkan

dalam lima golongan, yaitu:31

1. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep

dokter. Penandaan obat bebas diatur berdasarkan SK Menkes RI

Nomor 2380/A/SKA/I/1983 tentang tanda khusus untuk obat bebas

dan obat bebas terbatas. Di Indonesia, obat golongan ini ditandai

dengan lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam.

Obat bebas disertai dengan brosur yang berisi nama obat, nama dan

isi zat berkhasiat, indikasi, dosis dan aturan pakai, nomor batch,

31 http://dentalhealthridhafajarnugroho.blogspot.com/2013/03/penggolongan-obat-menurut-uu-

farmasi.html, diakses tanggal 26 November 2014.

42

nomor registrasi, nama dan alamat pabrik serta cara

penyimpanannya.

2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual atau dipasarkan

tanpa resep dokter, tetapi dengan menggunakan izin dari Dinas

Kesehatan dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada

kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan

garis tepi berwarna hitam.

3. Obat Wajib Apotek

Obat wajib apotek merupakan obat keras yang dapat diberikan

oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien. Obat-obat

yang digolongkan dalam obat wajib apoteker ini adalah obat yang

diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang diderita oleh pasien.

4. Obat Keras

Obat keras yaitu obat yang berkhasiat keras yang untuk

memperolehnya harus menggunakan resep dokter, berdasarkan

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 02396/A/SKA/III/1986

penandaan obat keras dengan lingkaran bulat berwarna merah dan

garis tepi berwarna hitam serta huruf “K” yang menyentuh garis tepi.

5. Obat Psikotropika dan Narkotika

Psikotropika adalah zat atau obat yang dapat menurunkan

aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan

menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya

43

halusinasi (mengkhayal), ilusi, perubahan alam perasaan dan dapat

menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi

(merangsang) bagi para pemakainya.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat

menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-

golongan.

Berbagai bentuk dan tujuan penggunaan obat yaitu:

1. Serbuk (pulvis)

Serbuk (pulvis) merupakan campuran kering bahan obat atau zat

kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian luar.

2. Pulveres

Merupakan serbuk yang dibagi bobot kurang lebih sama, dibungkus

menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali minum.

3. Tablet (compressi)

Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam

bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaan rata atau

cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa

bahan tambahan.

44

a. Tablet kempa : paling banyak digunakan, ukuran dapat

bervariasi, bentuk serta penandaannya tergantung desain

cetakan.

b. Tablet cetak : dibuat dengan memberikan tekanan rendah pada

massa lembab dalam lubung cetakan.

c. Tablet trikurat : tablet kempa atau cetak bentuk kecil umumnya

silindris dan ini sudah jarang ditemukan.

d. Tablet hipodermik : dibuat dari bahan yang mudah larut atau

melarut sempurna dalam air, dulu untuk membuat sediaan

injeksi hipodermik tetapi sekarang diberikan secara oral.

e. Tablet sublingual : dikehendaki efek cepat (tidak lewat hati),

digunakan dengan meletakan tablet di bawah lidah.

f. Tablet bukal : digunakan dengan meletakkan diantara pipi dan

gusi.

g. Tablet effervescent : tablet yang larut dalam air, harus dikemas

dalam wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab. Pada

etiket tertulis “tidak untuk langsung ditelan”.

h. Tablet kunyah : cara penggunaannya dikunyah.

4. Pil (pilulae)

Merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kencil, mengandung

bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini sudah

jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul, namun pil

(pilulae) masih banyak ditemukan pada seduhan jamu.

45

5. Kapsul (capsule)

Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang

keras atau lunak yang dapat dilarut.

6. Kaplet (kapsul tablet)

Merupakaan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak,

bentuknya oval seperti kapsul.

7. Larutan (solutiones)

Merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia

yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air. Dapat juga dikatakan

sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang larut,

misalnya terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai

dengan campuran pelarut yang saling bercampur.

8. Suspensi (suspensiones)

Merupakan sediaan cair, mengandung partikel padat tidak larut

terdispersi dalam fase cair.

9. Emulsi (emulsiones)

Merupakaan sediaan berupa campuran dari dua fase dalam sistem

dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan merata

dalam fase cairan lainnya, umunya distabilkan oleh zat pengemulsi.

10. Generik

Merupakan sediaan farmasi yang dibuat dari bahan baku yang

berasal dari hewan atau tumbuhan yang disari.

11. Ekstrak (extractum)

46

Merupakaan sediaan yang pekat yang diperoleh dengan

mengekstraksi zat dari simplisia nabati atau simplisia hewani,

menggunakan zat pelarut yang sesuai.

12. Infus

Merupakaan sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi

simplisia nabati dengan air pada suhu 90o C selama 15 menit.

13. Imunoserum ( immunosera)

Merupakan sediaan yang mengandung imunoglobulin khas yang

diperoleh dari serum hewan dengan pemurnian. Berkhasiat

menetralkan toksin kuman (bisa ular) dan mengikat kuman, virus

dan antigen.

14. Salep

Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian

topikal pada kulit atau selaput lendir. Salep dapat juga dikatakan

sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan

sebagai obat luar.

15. Suppositoria

Merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang

diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya meleleh,

melunak atau melarut pada suhu tubuh.

16. Obat tetes (guttae)

Merupakan sediaan cair berupa larutan, emulsi atau suspensi,

dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar. Digunakan dengan

47

cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan

setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan

farmakope Indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa antara lain:

a. Tetes mata (guttae opthalmicae)

b. Tetes telinga (guttae auriculares)

c. Tetes hidung (guttae nasales)

d. Obat dalam (guttae)

e. Tetes mulut (guttae oris)

17. Injeksi

Merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau

sebuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu

sebelum digunakan, yang disuntikan dengan cara merobek jaringan

ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Injeksi ini dapat

diberikan kepada pasien yang tidak dapat mene rima pengobatan

melalui mulut.

18. Larutan (solution)

Larutan adalah sediaan cair yang dibuat dengan melarutkan satu

jenis obat atau lebih dalam pelarut, dimaksudkan untuk digunakan

sebagai obat dalam, obat luar atau untuk dimasukan ke dalam rongga

tubuh.

19. Obat kumur (gargle)

48

Obat kumur adalah obat yang digunakan dengan cara berkumur

dengan tujuan untuk mengobati ataupun membersihkan rongga

mulut dan biasanya obat kumur mengandung bahan antiseptik.

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa sediaan farmasi adalah obat,

bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Keamanan dan kenyamanan

penggunaan sediaan farmasi termuat dalam:

Pasal 98

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, berm utu, dan terjangkau.

(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 104

(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/manfaat.

(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional.

Obat dapat dibuat dari sumber alam atau sintetis oleh pabrik farmasi.

Sebelum suatu obat dijual atau diedarkan di pasaran, tentunya obat telah

melalui beberapa proses atau tahapan supaya obat dapat dipasarkan di

kalangan masyarakat. Proses tersebut adalah proses penyediaan bahan,

49

pengolahan, pengujian dan perizinan, perdagangan, pengorderan,

pembelian dan pemakaian.

Berbagai hal yang menyangkut pengawasan obat, makanan dan

minuman, kosmetika dan alat kesehatan, obat tradisional, narkotika dan

bahan berbahaya diatur berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh

Menteri Kesehatan. Pengorganisasian tugas-tugas yang menyangkut

pengawasan obat dan makanan ini diberikan kepada Direktorat Jendral

Pengawasan Obat dan Makanan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah sebuah

lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan

dan makanan di Indonesia. Badan Pengawan Obat dan Makanan ini

dalam pelaksanaannya dibantu oleh Dinas Kesehatan yang ada di setiap

kabupaten untuk lebih mempermudah pengawasan terhadap peredaran

obat dan makanan yang ada di kalangan masyarakat. Obat dan makanan

yang beredar di kalangan masyarakat ini harus memenuhi standar yang

telah ditentukan dan memperoleh izin edar.

2. Obat Pelangsing

Obat pelangsing adalah sebuah ramuan zat sintetis yakni suatu bahan

atau paduan bahan-bahan yang dapat meringankan atau mengurangi berat

badan. Telah banyak beredar berbagai jenis obat pelangsing di pasaran.

Obat pelangsing atau obat anti-obesitas sebenarnya adalah obat keras,

sehingga memerlukan resep dokter dan diperlukan konsultasi untuk

menentukan dosis yang tepat. Obat pelangsing yang berbahaya dikatakan

50

sebagai obat keras, karena di dalamnya terdapat campuran dengan bahan

berbahaya sibutramine yang mempunyai efek samping terhadap

kesehatan dan juga menimbulkan resiko yang berbeda pada setiap orang,

sehingga konsumsi obat pelangsing harus di bawah pengawasan dokter.

Obat pelangsing merupakan produk sediaan obat jadi yang dapat

langsung dikonsumsi. Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000

tentang Registrasi Obat Jadi menyebutkan bahwa :

“Obat jadi adalah sediaan atau paduan bahan-bahan termasuk produk biologi dan kontrasepsi, yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan.” Konsumen harus mengetahui apakah produk obat pelangsing yang

dikonsumsinya itu benar-benar aman untuk digunakan atau tidak. Seperti

halnya untuk mengkonsumsi obat pelangsing, konsumen harus jeli

apakah obat pelangsing yang dibeli itu merupakan obat yang benar-benar

aman untuk dikonsumsi atau justru obat pelangsing tersebut mengandung

bahan berbahaya yang menimbulkan efek samping terhadap keamanan

dan keselamatan konsumen. Obat pelangsing yang mengandung bahan

berbahaya biasanya tidak mencantumkan secara detail dan jelas

komposisi kandungan bahan-bahannya, karena obat pelangsing yang

berada di pasaran legal akan selalu menuliskan dan mencantumkan

kandungan bahan-bahan, waktu produksi, dan juga masa

kadaluwarsanya.

51

Masih banyaknya produk obat pelangsing yang berbahaya beredar di

pasaran membuat konsumen harus lebih berhati-hati untuk memilih mana

obat pelangsing yang benar-benar aman untuk dikonsumsi dan tidak

merugikan bagi keamanan dan keselamatan konsumen.

Adapun ciri-ciri dari obat pelangsing yang berbahaya antara lain:32

1. Adanya kandungan bahan kimia sibutramine atau phenolphthalein

Sibutramine dapat menyebabkan berbagai efek samping, yakni

yang berkaitan dengan masalah pencernaan (sakit perut, mual,

hyperacidity, sembelit), gejala pernafasan (nasal dan pe radangan

sinus, eksaserbasi batuk, sakit tenggorokan, mulut kering), gejala

kulit (rash), selain itu juga gejala-gejala neurologis (pusing, sakit

kepala, depresi, gugup, gelisah, insomnia) dan dismenore.

Phenolphtalein merupakan penekan nafsu makan, phenolpthalein

merupakan karsinogen yang dapat meningkatkan risiko pertumbuhan

tumor.

2. Tidak mencantumkan kandungan obat

Komposisi kandungan obat pelangsing sangat perlu untuk

diketahui, baik dalam obat pelangsing herbal mau pun obat

pelangsing sintetis. Obat pelangsing yang tidak mencantumkan

secara jelas komposisi kandungan bahan-bahan dan tidak ada

rekomendasi dari dokter atau ahlinya maka obat tersebut temasuk

golongan obat pelangsing berbahaya yang bisa menimbulkan efek

32 http://senyumbunda.com/page-blog/waspada-obat -pelangsing-berbahaya-beredar-di-sekitar-

anda/, diakses yanggal 26 November 2014.

52

samping bagi kesehatan. Obat pelangsing yang dijual di pasar secara

legal pasti akan selalu menuliskan dan mencantumkan kandungan

bahan-bahan, waktu produksi, dan juga masa kadaluwarsa.

3. Tidak jelas asal produksi dan alamat kantornya

Setiap obat, baik itu obat herbal mau pun obat sintetis pasti

memiliki tempat dan subjek yang memproduksi obat tersebut, karena

tidak mungkin obat pelangsing akan muncul dengan sendirinya tanpa

ada yang memproduksinya.

4. Tidak mempunyai izin

Setiap makanan dan obat yang beredar atau diperjualbelikan

wajib dan harus mempunyai izin dari institusi terkait yang

berwenang yaitu Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Obat

pelangsing yang dijual di pasaran haruslah memuat petunjuk yang

memberitahukan dan juga menyatakan bahwa obat tersebut

mempunyai izin dan berada di bawah pengawasan ahli.

5. Menimbulkan reaksi-reaksi yang aneh.

Obat pelangsing berbahaya yang dikonsumsi akan menimbulkan

reaksi-reaksi aneh seperti sering merasakan lemas, malas

beraktifitas, sering buang air besar dan urin menjadi sangat bau.

Tidak hanya ciri-ciri dari obat pelangsing berbahaya saja yang harus

diketahui, tetapi beberapa zat kimia atau bahan berbahaya yang sering

disalahgunakan untuk campuran obat pelangsing juga harus diketahui.

53

Berikut ada beberapa bahan berbahaya yang biasanya

disalahgunakan untuk campuran pada obat-obat pelangsing:33

1. Sibutramine

Sibutramine dapat menyebabkan berbagai efek samping, yakni yang

berkaitan dengan masalah pencernaan (sakit perut, mual,

hyperacidity, sembelit), gejala pernafasan (nasal dan peradangan

sinus, eksaserbasi batuk, sakit tenggorokan, mulut kering), gejala

kulit (rash), selain itu juga gejala-gejala neurologis (pusing, sakit

kepala, depresi, gugup, gelisah, insomnia), dan dismenore.

Sibutramine juga menyebabkan tekanan darah tinggi, jantung

berdebar dan takikardia, meningkatkan risiko serangan jantung atau

stroke.

2. Phenolphthalein

Phenolphtalein dikenal sebagai penekan nafsu makan, tapi

phenolphthalein ini juga dapat meningkatkan risiko pertumbuhan

tumor.

3. Metampiron

Metampiron dapat menyebabkan gangguan salura n pencernaan

seperti mual, pendarahan lambung, rasa terbakar, serta gangguan

sistem saraf seperti tinitus (telinga berdenging) dan neuropati,

gangguan darah, pembentukan sel darah terhambat (anemia aplastik),

agranulositosis, gangguan ginjal, shock , kematian.

33http://m.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Diet/Zat -Kimia-Pada-Obat -Pelangsing-Ini-

Berbahaya, diakses tanggal 26 November 2014.

54

4. Fenilbutason

Fenilbutason dapat menyebabkan mual, muntah, ruam kulit, retensi

cairan dan elektrolit (ederma), pendarahan lambung, nyeri lambung,

dengan pendarahan atau perforasi, reaksi hipersensitivitas, hepatitis,

nefritis, gagal ginjal, leukopenia, anemia aplastik, agranulositosis.

5. Deksametason

Deksametason dapat menimbulkan anemia plastis, trombositopenia,

dan gangguan fungsi ginjal.

6. Allupurinol

Allupurinol adalah obat penyakit priai (gout) yang dapat

menurunkan kadar asam urat dalam darah. Efek samping dari

penggunaan allupurinol adalah reaksi hipersensitifitas yang ditandai

dengan ruam mokulopapular didahului pruritus, urtikaria, eksfoliatif

dan lesi pupura, dermatitis, nefritis, faskulitis dan sindrome

poliartrtis. Demam, eosinofilia, kegagalan hati dan ginjal, mual,

muntah, diare, rasa mengantuk, sakit kepala, dan rasa logam.

7. Sildenafit sitrat

Sildenafit sitrat dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, dispepsia,

mual, nyeri perut, gangguan penglihatan, rinitis (radang hidung),

infark miokard, nyeri dada, palpitasi (denyut jantung cepat), dan

kematian.

8. Fenfluramin dan dexfenfluramine

55

Fenfluramine dan dexfenfluramine adalah salah satu jenis bahan

kimia obat yang bisa membuat kelainan pada katup jantung.

Beberapa bahan berbahaya yang telah disebutkan di atas, bahwa

bahan berbahaya yang paling sering dijumpai untuk campuran obat

pelangsing adalah bahan berbahaya sibutramine, dimana sibutramine

dapat memicu sistem saraf simpatik yang kemudian menekan rasa lapar,

tetapi juga dapat meningkatkan denyut jantung normal seseorang.

56

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan yuridis normatif.

“Metode pendekatan yuridis normatif yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis posivistis, yang mengemukakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat yang berwenang. Konsep ini juga melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat dengan mengabaikan norma selain norma hukum.”34

B. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif analitis.

Deskriptif dalam arti melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu

gambaran secara menyuluruh dan sistematis tentang pokok permasalahan yang

diteliti. Analitis akan dilakukan suatu analisa terhadap berbagai aspek yang

diteliti, yang kemudian dihubungkan dengan asas-asas hukum, kaidah hukum dan

berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum,

UPT Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman, Dinas Kesehatan Kabupaten

Banyumas, dan Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas.

34 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: PT.

Ghalia Indonesia, hlm. 13.

57

D. Sumber Data

1. Data Sekunder

Sumber data dari penelitian ini adalah data sekunder yang berupa

peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, dan buku-buku literatur

yang berhubungan dengan objek penelitian.

Menurut Soerjono dan Sri Mamudji:

“Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

dan bahan hukum tersier.” 35

Data sekunder meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat berupa peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan bahan

hukum primer be rupa peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, meliputi hasil-hasil penelitian, hasil karya dari

kalangan hukum, buku-buku literatur, karya ilmiah dari para sarjana, dan

dokumen resmi yang terkait dengan pokok permasalahan yang diteliti.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, meliputi kamus

hukum dan kamus Bahasa Indonesia yang diperlukan.

2. Data Primer

Data primer adalah data pendukung data sekunder yaitu keterang-

keterangan dari pejabat atau pihak-pihak atau staf yang bidang kerjanya

35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Rajawali, hlm. 14-15.

58

berkaitan dengan masalah yang diteliti di lingkungan Kantor Dinas Kesehatan

dan Kantor Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas.

E. Metode Pengumpulan Data

1. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan cara inventarisasi terhadap peraturan

perundang-undangan, buku-buku literatur, artikel-artikel dan dokumen-

dokumen yang berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan untuk

selanjutnya dipelajari sebagai pedoman penyusunan data.

2. Data Primer

Data primer diperoleh dengan mengadakan penelitian lapangan langsung

pada objek yang dijadikan masalah, dengan cara mengadakan wawancara

dengan pihak atau staf di Kantor Dinas Kesehatan dan Kantor Dinas

Perdagangan Kabupaten Banyumas.

F. Metode Penyajian Data

Metode penyajian data dalam penyusunan penelitian ini disajikan dalam

bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis logis dan rasional. Dalam arti

keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya

disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu

kesatuan yang utuh.

G. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisa secara normatif kualitatif yaitu dengan

menjabarkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah

yang relevan dengan pokok permasalaha n.

59

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Dinas Kesehatan dan Dinas

Perdagangan Kabupaten Banyumas diperoleh data sebagai berikut:

1. Data Sekunder

1.1 Pengertian

1.1.1 Pasal 1 Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22

Desember 1949)

Yang dimaksud dengan:

1. Obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan

untuk keperluan tekhnik, yang mempunyai khasiat

mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan

dan lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan atau

tidak, yang ditetapkan oleh Secretaris Van Staat, Hoofd van

set Departement van Gesondheid, menurut ketentuan pada

Pasal 2.

2. Apoteker adalah mereka yang sesuai dengan peraturan yang

berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek

peracikan obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker

sambil memimpin sebuah Apotek.

3. Pedagang-pedagang kecil yang diakui adalah mereka yang

bukan Apoteker atau Dokter, atau Dokter Hewan yang

60

sesuai dengan Pasal 6 memperoleh izin dan berwenang

untuk menyerahkan obat-obat keras tertentu.

4. Pedagang-pedagang besar yang diakui adalah mereka yang

bukan Apoteker yang sesuai dengan Pasal 7 berwenang

untuk menyerahkan obat-obat keras tertentu.

5. Menyerahkan adalah termasuk penjualan, menawarkan

untuk penjualan dan penjualan keliling.

6. Secretaris van St adalah Secretarist van staat, Kepala D.V.D

Jakarta.

7. Obat-obat G adalah obat-obat keras yang oleh Sec. V. St.

didaftar pada daftar obat-obat berbahaya (gevaarlijk; daftar

G).

8. Obat-obatan W adalah obat-obat keras yang oleh Sec. V. St.

didaftar pada daftar peringatan (werschuwing; daftar W).

1.1.2 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Yang dimaksud dengan:

1. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional

dan kosmetika.

2. Alat kesehatan adalah bahan, instrumen, aparatus, mesin,

implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk

mencegah, mendiagnosa, menyembuhkan dan meringankan

penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan

61

pada manusia dan/atau membentuk struktur dan

memperbaiki fungsi tubuh.

3. Produksi adalah kegiatan atau proses menghasilkan,

menyiapkan, mengolah, membuat, mengemas, dan/atau

mengubah bentuk sediaan farmasi dan alat kesehatan.

4. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan

penyaluran atau penyerahan sediaan farmasi dan alat

kesehatan baik dalam rangka perdagangan, bukan

perdagangan atau pemindahtanganan.

5. Kemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah bahan

yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus

sediaan farmasi dan alat kesehatan baik yang bersentuhan

langsung maupun tidak.

1.1.3 Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat jadi untuk

dapat diedarkan di wilayah Indonesia.

2. Obat jadi adalah sediaan atau paduan bahan-bahan termasuk

produk biologi dan kontrasepsi, yang siap digunakan untuk

mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau

keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,

62

pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan

kesehatan.

3. Penandaan adalah keterangan yang lengkap mengenai obat

jadi, khasiat, keamanan, cara penggunaannya serta informasi

lain yang dianggap perlu dicantumkan pada etiket, brosur

dan kotak yang disertakan pada obat jadi.

4. Obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak

berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru

identitas obat lain yang memiliki izin edar.

1.1.4 Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi

1. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk

biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau

menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam

rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemilihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk

manusia.

2. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin

dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan

pembuatan obat atau bahan obat.

3. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam

menghasilkan obat, yang meliputi pengadaan bahan awal

63

dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan

mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk

didistribusikan.

4. Cara Pembuatan Obat yang Baik, yang selanjutnya

disingkat CPOB adalah cara pembuatan obat yang bertujuan

untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai

dengan persyaratan dan tujuan penggunaannya.

1.2 Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat

Kesehatan

1.2.1 Pasal 98 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,

berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.

(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan

dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah,

mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang

berkhasiat obat.

(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,

promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan

harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

1.2.2 Pasal 104 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan

64

(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan

diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya

yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat

kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau

keamanan dan/atau khasiat/manfaat.

1.2.3 Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan

setelah mendapat izin edar.

(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan

harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan

serta tidak menyesatkan.

(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan

memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi

dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang

kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu

dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan

dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

1.3 Persyaratan Mutu, Keamanan dan Kemanfaatan Sediaan Farmasi

dan Alat Kesehatan

1.3.1 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

65

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi

dan/atau diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu,

keamanan, dan kemanfaatan.

(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk:

a. Sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat

sesuai dengan persyaratan dalam buku Farmakope atau

buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri;

b. Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sesuai

dengan persyaratan dalam buku Materia Medika

Indonesia yang ditetapkan okeh Menteri;

c. Sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan

persyaratan dalam buku Kodeks Kosmetika Indonesia

yang ditetapkan oleh Menteri;

d. Alat kesehatan sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan oleh Menteri.

1.4 Produksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

1.4.1 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Sediaan Farmasi dan alat kesehatan hanya da pat diproduksi oleh

badan usaha yang telah memiliki izin usaha industri sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

66

1.4.2 Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

a. Ketentuan seba gaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak

berlaku bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional

yang diproduksi oleh perorangan.

b. Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi sediaan farmasi

yang berupa obat tradisional oleh perorangan diatur oleh

Menteri.

1.5 Kriteria Obat Jadi

1.5.1 Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

949/Menkes//Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi

Obat jadi yang dapat memiliki izin edar harus memenuhi kriteria

berikut:

(1) Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai

dibuktikan melalui percobaan hewan dan uji klinis atau

bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu

pengetahuan yang bersangkutan.

(2) Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses

produksi sesuai CPOB, spesifikasi dan metoda pengujian

terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi

dengan bukti yang sahih.

67

(3) Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang

dapat menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional dan

aman.

(4) Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.

1.6 Izin Industri Farmasi

1.6.1 Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi

(1) Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat yang hanya

dapat dilakukan oleh Industri Farmasi.

(2) Selain Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat melakukan proses

pembuatan obat untuk keperluan pelaksanaan pelayanan

kesehatan di rumah sakit yang bersangkutan.

(3) Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan CPOB

yang dibuktikan dengan sertifikat CPOB.

1.6.2 Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi

(1) Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin

industri farmasi dari Direktur Jenderal.

(2) Industri Farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat

yang termasuk dalam golongan narkotika wajib

68

memperoleh izin khusus untuk memproduksi narkotika

sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

1.6.3 Pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi

(1) Syarat untuk memperoleh izin industri farmasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri atas :

a. berbadan usaha berupa perseroan terbatas;

b. memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan

obat;

c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

d. memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang

apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing

sebagai penganggung jawab pemastian mutu, produksi,

dan pengawasan mutu; dan

e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik

langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran

peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.

1.6.4 Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi

(1) Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB.

(2) Pemenuhan persyaratan CPOB sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat CPOB.

69

(3) Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang

memenuhi persyaratan.

1.7 Penyelenggaraan Industri Farmasi

1.7.1 Pasal 20 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi

(1) Industri Farmasi yang menghasilkan obat dapat

mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya

langsung kepada pedagang besar farmasi, apotek, instalasi

farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik,

dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(2) Industri Farmasi yang menghasilkan bahan obat dapat

mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya

langsung kepada pedagang besar bahan baku farmasi, dan

instalasi farmasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

1.8 Izin Edar

1.8.1 Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan

setelah memperoleh izin edar dari Menteri.

70

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional

yang diproduksi oleh perorangan.

1.8.2 Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk

memperoleh izin edar diuji dari segi mutu, keamanan, dan

kemanfaatan.

1.9 Penandaan dan Informasi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

1.9.1 Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

(1) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan

dilaksanakan untuk melindungi masyarakat dari informasi

sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak obyektif,

tidak lengkap serta menyesatkan.

(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan

dapat berbentuk gambar, warna, tulisan atau kombinasi

antara atau ketiganya atau bentuk lainnya yang disertakan

pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, atau

merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.

1.9.2 Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

71

Badan usaha yang mengedarkan sediaan farmasi dan alat

kesehatan harus mencantumkan penanda an dan informasi

sediaan farmasi dan alat kesehatan.

1.9.3 Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

(1) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan

yang harus dicantumkan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 harus memenuhi persyaratan berbentuk tulisan

yang berisi keterangan mengenai sediaan farmasi dan alat

kesehatan secara obyektif, lengkap serta tidak menyesatkan.

(2) Keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

sekurang-kurangnya berisi:

a. nama produk dan/atau merek dagang;

b. nama badan usaha yang memproduksi atau

memasukkan sediaan farmasi dan alat kesehatan ke

dalam wilayah Indonesia;

c. komponen pokok sediaan farmasi dan alat kesehatan;

d. tata cara penggunaan;

e. tanda peringatan atau efek samping;

f. batas waktu kadaluwarsa untuk sediaan farmasi

tertentu.

72

1.10 Iklan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

1.10.1 Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Iklan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan harus

memuat keterangan mengenai sediaan farmasi dan alat

kesehatan secara obyektif, lengkap, dan tidak menyesatkan.

1.10.2 Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Sediaan farmasi yang berupa obat untuk pelayanan kesehatan

yang penyerahannya dilakukan berdasarkan resep dokter hanya

dapat dilakukan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media

cetak ilmiah farmasi.

1.10.3 Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Iklan mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan pada media

apapun yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan

dilaksanakan dengan memperhatikan etika periklanan.

1.11 Penyerahan Obat Keras

1.11.1 Pasal 3 Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22

Desember 1949)

(1) Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran

untuk penjualan dari bahan-bahan G, demikian pula

memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa

73

sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-

bahan ini hanya diperuntukkan pemakaian pribadi, adalah

dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagang-

pedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker, yang

memimpin Apotek dan Dokter Hewan.

(2) Penyerahan dari bahan-bahan G, yang menyimpang dari

resep Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang,

larangan ini tidak berlaku bagi penyerahan-penyerahan

kepada Pedagang-pedagang besar yang diakui, Apoteker-

apoteker, Dokter-dokter Gigi dan Dokter-dokter Hewan

demikian juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan

menurut ketentuan pada Pasal 7 ayat (5).

1.12 Pengujian Kembali Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

1.12.1 Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh

penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak

memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan,

dilakukan pengujian kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan

yang diedarkan.

1.12.2 Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

74

Pengujian kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan yang

diedarkan dilaksanakan:

a. secara berkala; atau

b. karena adanya data atau informasi baru berkenaan dengan

efek samping sediaan farmasi dan alat kesehatan bagi

masyarakat.

1.13 Tanggung Jawab Pelaku Usaha

1.13.1 Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

(1) Penarikan kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari

peredaran karena dicabut izin edarnya dilaksanakan oleh

dan menjadi tanggung jawab badan usaha yang

memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan

alat kesehatan.

1.14 Peran Serta Masyarakat

1.14.1 Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta yang

seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan masyarakat

dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi

dan alat kesehatan yang tidak tepat dan/atu tidak memenuhi

persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.

75

1.14.2 Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Peran serta masyarakat dilaksanakan melalui:

a. penyelenggaraan produksi dan peredaran sediaan farmasi

dan alat kesehatan yang memenuhi persyaratan mutu,

keamanan, dan kemanfaatan;

b. penyelenggaraan, pemberian bantuan, dan/atau kerja sama

dalam kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang

sediaan farmasi dan alat kesehatan;

c. sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan

penentuan kebijaksanaan dan/atau pelaksanaan program

pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan;

d. melaporkan kepada instansi Pemerintah yang berwenang

dan/atau melakukan tindakan yang diperlukan atas

terjadinya penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan

yang tidak rasional dan/atau memenuhi persyaratan mutu,

keamanan, dan kemanfaatan;

e. keikutsertaan dalam penyebarluasan informasi kepada

masyarakat berkenaan dengan penggunaan sediaan farmasi

dan alat kesehatan yang tepat serta memenuhi persyaratan

mutu, keamanan, dan kemanfaatan.

76

1.15 Pembinaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

1.15.1 Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Menteri melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang

berhubungan dengan pengamanan sediaan farmasi dan alat

kesehatan.

1.16 Pengawasan

1.16.1 Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan

pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan

oleh Menteri.

1.16.2 Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Menteri dalam melaksanakan pengawasan, mengangkat tenaga

pengawas yang bertugas melakukan pemeriksaan di bidang

pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

1.17 Ganti Rugi

1.17.1 Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

(1) Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan ganti rugi

apabila sediaan farmasi dan alat kesehatan yang digunakan

mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau

77

kematian yang terjadi karena sediaan farmasi dan alat

kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu,

kemanan, dan kemanfaatan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

1.18 Sanksi

1.18.1 Pasal 26 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat

dikenanakan sanksi administratrif berupa:

a. peringatan secara tertulis;

b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau

perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan

bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat

yang tidak memenuhi standar dan persyaratan

keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;

c. perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti

tidak memenuhi persyaratan keamanan,

khasiat/kemanfaatan, atau mutu;

d. penghentian sementara kegiatan;

e. pembekuan izin industru farmasi; atau

f. pencabutan izin industri farmasi.

78

(2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf d dapat dikenakan untuk seluruh

kegiatan atau sebagian kegiatan.

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a sampai dengan huruf d diberikan oleh Kepala

Badan.

(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf e dan huruf f diberikan oleh Direktur Jenderal atar

rekomendasi Kepala Badan.

2. Data Primer

2.1 Berdasarkan wawancara dengan ibu Andina Padmaningrum dari seksi

farmasi, makanan, minuman dan perbekalan kesehatan dari pihak Dinas

Kesehatan di Kabupaten Banyumas, diperoleh data -data sebagai

berikut:

2.1.1 Dinas Kesehatan dalam menjalankan tugasnya bekerjasama

dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yakni

berkaitan dengan penilaian khasiat/kemanfaatan, kemanan,

mutu, dan penandaan serta analisis laboratorium dalam rangka

pemberian izin edar obat termasuk narkotika, bahan obat, obat

tradisional, kosmetika, dan makanan.

2.1.2 Dinas Kesehatan melakukan pengawasan dibidang obat dan

makanan dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari obat

dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan masyarakat serta

79

menjamin agar obat dan makanan aman, bermanfaat dan

bermutu.

2.1.3 Pengawasan produk obat yang dilakukan Dinas Kesehatan yaitu:

a. Petugas Dinas Kesehatan memberikan pembinaan terhadap

pelaku usaha melalui penyuluhan keamanan sediaan farmasi

dan alat kesehatan yang terkait dengan persoalan sediaan

farmasi dan alat kesehatan dan sanksi bagi pelanggaran

ketentuan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

b. Pembinaan terhadap pelaku usaha disertai dengan peringatan

lisan agar pelaku usaha menetapkan standar minimal

prosedur, tempat, dan peralatan pembuatan sediaan obat

dalam hal ini obat pelangsing sebagai produk obat jadi,

sehingga kebersihan dan ketepatan penggunaannya dapat

memenuhi standar.

2.1.4 Kegiatan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh

Dinas Kesehatan terhadap obat-obatan yang beredar di

masyarakat adalah :

a. Penjadwalan secara rutin yang dibuat sesuai dengan waktu

yang telah ditentukan yakni tiga bulan sekali.

b. Pengawasan di luar jadwal dilakukan apabila ada laporan

atau pengaduan dari masyarakat terkait dengan adanya obat

yang membahayakan kesehatan.

80

2.1.5 Dalam hal terjadi kerugian atau korban akibat penggunaan obat

pelangsing yang mengandung bahan berbahaya seperti

sibutramine, maka dapat mengadukan hal tersebut kepada Unit

Layanan Pengaduan Konsumen Obat dan Makanan (ULPK)

BPOM.

2.1.6 Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas akan meminta

bantuan pengujian terhadap obat pelangsing yang mengandung

bahan berbahaya kepada BPOM Semarang. BPOM Semarang

akan melakukan pengujian terhadap obat pelangsing yang

diduga mengandung bahan berbahaya yang telah merugikan

konsumen. Apabila terbukti bahwa obat pelangsing tersebut

mengandung bahan yang berbahaya maka obat pelangsing

tersebut akan ditarik dan dilarang untuk diedarkan.

2.1.7 Penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dapat

diselesaikan melalui peradilan yang berada di lingkungan

peradilan umum maupun penyelesaian sengketa secara damai

karena di Kabupaten Banyumas belum terdapat Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

2.1.8 Konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi produk barang

dan/atau jasa dari pelaku usaha, maka pelaku usaha wajib untuk

memberikan ganti rugi kepada konsumen yang mengalami

kerugian.

81

2.1.9 Peraturan khusus yang mengatur mengenai obat pelangsing

memang belum ada, oleh karena itu masih mengacu pada

beberapa peraturan yang berkaitan dengan sediaan farmasi dan

alat kesehatan seperti peraturan mengenai produk sediaan obat

jadi dan obat keras.

2.2 Berdasarkan wawancara dengan Bapak Dian Eri Rahmadi sebagai

Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian Usaha Perdagangan dari

pihak Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas, diperoleh data -data

sebagai berikut:

2.2.1 Setiap produk termasuk obat pelangsing sebagai produk obat

jadi yang dihasilkan oleh pelaku usaha harus diberi label berupa

informasi dan penandaan yang berisi mengenai tanggal

kadaluwarsa, merek, nama produsen dan tidak boleh

menggunakan kata-kata yang menyesatkan serta dibuat dalam

bahasa Indonesia.

2.2.2 Konsumen yang cerdas tidak mudah terpengaruh dengan iklan

dari suatu produk atau pun merek yang ditawarkan oleh pelaku

usaha, namun pada kenyataannya kesadaran konsumen saat ini

memang masih rendah, sehingga masih banyak konsumen yang

terjebak untuk menggunakan produk yang sebena rnya

berbahaya, oleh karena itu dinas melakukan pembinaan dan

pendidikan salah satunya dengan melakukan penyuluhan kepada

masyarakat.

82

2.2.3 Dinas Perdagangan memberikan fasilitas mediasi antara pelaku

usaha dengan konsumen apabila kasusnya tidak mau untuk

dibawa ke jalur hukum, jadi Dinas Perdagangan mempunyai

fasilitas penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

2.2.4 Konsumen yang merasa dirugikan karena penggunaan obat

pelangsing berbahaya yang dibelinya secara on-line dapat

melaporkannya ke dinas perdagangan dengan membawa bukti

transaksi dengan produk obat pelangsing yang telah dibeli dan

digunakannya.

B. Pembahasan

Perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna obat pelangsing

berbahaya berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen ini adalah sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap

hak-hak konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya serta bentuk

perlindungan hukum kepada konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi obat

pelangsing berbahaya tersebut.

Konsumen merupakan pihak yang sangat berperan dalam perkembangan

dunia perdagangan, namun kedudukan konsumen saat ini masih lemah jika

dibandingkan dengan pelaku usaha dikarenakan masih banyak konsumen ya ng

belum mengetahui dan sadar akan hak-hak yang dimilikinya, selain itu perilaku

pelaku usaha yang sering menyimpang dari peraturan dalam memproduksi suatu

barang juga menjadi salah satu faktor tidak terpenuhinya hak-hak konsumen

dengan baik.

83

Pengertian konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Az. Nasution memberikan rumusan pengertian konsumen sebagai berikut :

“Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah dan

menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu.”36

Uraian mengenai pengertian konsumen di atas bahwa konsumen adalah setiap

orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat serta

diperoleh secara sah, jadi yang dimaksud konsumen adalah sebagai konsumen

akhir, karena barang dan/atau jasa yang diperolehnya untuk dipakai dan tidak

untuk diperdagangkan kembali.

Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.2 angka 1 tentang pengertian sediaan

farmasi bahwa sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan

kosmetika, data sekunder nomor 1.1.4 angka 1 tentang pengertian obat bahwa

obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan

untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi

dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia, apa bila dikaitkan dengan

pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang

Perlindungan Konsumen serta pendapat Az. Nasution maka dapat dideskripsikan

36 Az. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum, Jakarta : CV. Muliasari, hlm. 69.

84

bahwa yang dimaksud dengan konsumen dalam penelitian ini adalah manusia

sebagai konsumen pengguna obat yang dalam hal ini adalah obat pelangsing

berbahaya yang tersedia di dalam masyarakat.

Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa:

“Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi”. Menurut penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang tentang Perlindungan

Konsumen pelaku usaha termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan,

korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.

Menurut Az. Nasution pelaku usaha berdasarkan pasal tersebut terdiri dari :

a. Pelaku usaha sebagai pencipta/pembuat barang yang menjadi sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen.

b. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen. c. Pengusaha jasa. 37

Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.4 angka 2 tentang pengertian industri

farmasi bahwa industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari

Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat,

data sekunder nomor 1.4.1 tentang produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan,

serta data sekunder nomor 1.7.1 tentang penyelenggaraan industri farmasi, apabila

dikaitkan dengan pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

tentang Perlindungan Konsumen serta didukung oleh pendapat Az. Nasution maka

dapat dideskripsikan bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam penelitian ini

37 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Op. Cit., hlm. 10.

85

adalah badan usaha yang telah memiliki izin, serta pedagang sebagai pihak yang

menyampaikan barang kepada konsumen juga dapat dikatakan sebagai pelaku

usaha, sehingga mereka bertanggungjawab apabila obat pelangsing yang mereka

produksi atau mereka jual ternyata merugikan konsumen, karena mengandung

bahan berbahaya seperti sibutramine. Pelaku usaha sebagai pihak yang

bertanggungjawab atas diproduksinya atau pun beredarnya suatu barang dalam hal

ini obat pelangsing wajib menjaga keamanan dan keselamatan dari penggunaan

obat pelangsing tersebut.

Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha telah memunculkan

adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Konsumen yang merasa

haknya dilanggar dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pelaku usaha yang

telah menerbitkan kerugian tersebut, sehingga konsumen yang merasa dirugikan

akibat penggunaan obat pelangsing berbahaya dapat mengajukan tuntutan ganti

rugi sebagai bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha. Tanggung jawab ini

disebut dengan tanggung jawab produk yakni bentuk pertanggungjawaban atas

dasar perbuatan melawan hukum.

Agnes M. Toar:

“Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk

yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan

kerugian karena cacad yang melekat pada produk tersebut.”38

38 Agnes M. Toar, Penyalahgunaan Keadaan dan Tanggung Jawab atas Produk di Indonesia,

Makalah, Disajikan Dalam Seminar Dua Hari tentang Pertanggungan Jawab Produk dan Kontrak Bangunan yang Diselenggarakan oleh Yayasan Pusat Pengkajian Indonesia Bekerjasama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 25-26 Agustus, 1988., hlm. 6 dalam buku Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia (Edisi I, Cetakan Ke-2, Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 31.

86

Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata bahwa :

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut”.

Perbuatan melawan hukum tidak lagi hanya sebagai perbuatan (aktif), tetapi

juga sebagai kealpaan atau tidak berbuat (pasif), dan tidak hanya bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga bertentangan atau tidak sesuai

dengan kesusilaan dan kepantasan yang hidup di dalam masyarakat. Artinya

bahwa konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya yang mengalami kerugian

karena mengkonsumsi obat pelangsing tersebut dapat meminta ganti rugi kepada

pelaku usaha yakni badan usaha yang telah memproduksi obat pelangsing

berbahaya yang disebut dengan tanggung jawab produk. Hubungan hukum antara

pelaku usaha dengan konsumen ini adalah hubungan tidak langsung, sehingga

pertanggungjawaban pelaku usaha atas produknya yang menimbulkan kerugian

kepada konsumen dinamakan dengan tanggung jawab produk (product liability).

Pertanggungjawaban produk tidak didasarkan pada contractual liability, tetapi

didasarkan pada tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum.

Pedagang dapat dikatakan sebagai pelaku usaha karena pedagang adalah

sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen, sehingga konsumen

juga dapat meminta ganti rugi kepada pedagang yang telah menjual obat

pelangsing berbahaya, karena kesalahannya obat pelangsing berbahaya tersebut

bisa sampai ke tangan konsumen tanpa pedagang terlebih dulu memastikan

87

apakah obat pelangsing yang dijualnya itu benar -benar aman. Hubungan antara

pedagang sebagai pelaku usaha dengan konsumen ini adalah hubungan langsung,

atas dasar adanya hubungan langsung inilah konsumen yang merasa dirugikan

dapat meminta ganti rugi kepada peda gang karena telah menjual produk yang

membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen, karena produk obat

pelangsing yang diterima tidak sebagaimana mestinya seperti yang telah

diharapkan oleh konsumen. Sikap kurang hati-hati yang dimiliki oleh pedagang

inilah menyebabkan obat pelangsing berbahaya yang dijualnya dapat sampai ke

tangan konsumen.

Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha sebagaimana yang

dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, sebaiknya

ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala

dirugikan oleh pelaku usaha, yakni :

a. yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan.

b. apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri.

c. apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut. 39

Artinya, konsumen yang merasa dirugikan akibat me nggunakan produk obat

pelangsing berbahaya dapat meminta tanggung jawab atau ganti rugi kepada

pelaku usaha, karena perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku usaha baik

39 Ahmadi Miru, 2000, Prinsip-Prinsip Per lindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,

Op. Cit., hlm. 31-32

88

sebagai pe rbuatan aktif maupun karena kealpaannya telah merugikan orang lain

yakni konsumen yang mengkonsumsi obat pelangsing berbahaya tersebut.

Penelitian ini menggunakan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen sebagai dasar karena berdasarkan hubungan

hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yang telah dijabarkan di atas bahwa

konsumen yang merasa dirugikan karena penggunaan obat pelangsing berbahaya

dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine telah dilanggar hak-

haknya sebagai konsumen, oleh karena itu konsumen yang merasa haknya

dilanggar dan merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha.

Pelaku usaha dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena

telah menimbulkan kerugian kepada konsumen sebagai pengguna obat pelangsing

berbahaya, selain itu pelaku usaha juga telah melakukan perbuatan yang dilarang

bagi pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-

Undang tentang Perlindungan Konsumen.

Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyebutkan bahwa :

“Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang

rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan

informasi secara lengkap dan benar.”

Atas dasar kerugian ya ng diderita oleh konsumen karena hak-haknya tidak

terpenuhi yang disebabkan adanya pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku

usaha , maka konsumen dapat menggunakan Undang-Undang tentang

89

Perlindungan Konsumen sebagai dasar bahwa pelaku usaha telah merugikan dan

melanggar hak-hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing.

Jual beli produk obat jadi seperti obat pelangsing tidaklah dilarang sepanjang

obat pelangsing tersebut telah melalui proses dan prosedur sesuai dengan

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor

HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan

Obat Yang Baik. Obat pelangsing sebagai produk sediaan obat jadi yang siap

diedarkan kepada masyarakat harus memiliki sertifikat CPOB yakni dokumen sah

yang merupakan bukti bahwa badan usaha yang memproduksi obat pelangsing

telah memenuhi persyaratan CPOB dalam membuat satu jenis bentuk sediaan obat

yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Tidak semua produk obat pelangsing yang beredar di masyarakat aman untuk

dikonsumsi, karena pada kenyataannya masih ada obat pelangsing berbahaya

yakni obat pelangsing dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine

dengan dosis yang belum tentu tepat sehingga dapat membahayakan keamanan

dan keselamatan konsumen. Sibutramine adalah obat dengan senyawa kimia yang

bekerja dengan cara menghambat ambilan (reuptake) norepinefrin, serotonin, dan

dopamin. Sibutramine ini merupakan obat yang membantu melangsingkan yang

mempunyai efek negatif lebih banyak dari pada efek positifnya. Efek samping

yang sering muncul terhadap penggunaan sibutramine dalam obat pelangsing

adalah sakit kepala, insomnia, konstipasi, migrain, depresi, hipertensi, takikardia,

mulut kering. Sibutramin e merupakan golongan obat keras yang digunakan dalam

pengobatan obesitas, dimana ini hanya dapat diperoleh dan dapat digunakan

90

berdasarkan resep dokter untuk menentukan dosis yang tepat, namun

kenyataannya obat ini banyak ditemukan dan dijual secara bebas di pasaran.

Obat pelangsing yang mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine

inilah merupakan obat pelangsing berbahaya yang tidak diperbolehkan untuk

dijadikan objek dalam perjanjian jual beli, namun dikarenakan kesadaran

konsumen yang dirasa masih rendah sehingga masih banyak konsumen yang

percaya terhadap produk-produk obat pelangsing yang dijual secara ilegal dan

sebenarnya membahayaka n keamanan dan keselamatan konsumen. Obat

pelangsing yang diperbolehkan untuk menjadi objek jual beli adalah obat

pelangsing yang legal dan mempunyai izin BPOM, serta harus memuat nama

produk dan/atau merek dagang, nama badan usaha yang memproduksi, komponen

pokok, tata cara penggunaan, tanda peringatan atau efek samping, batas waktu

kadaluwarsa.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri melalui keterangan

persnya nomor : PN.01.04.1.31.10.10.9829 telah melakukan pembatalan izin edar

dan penarikan produk obat yang mengandung sibutramine, dalam hal ini termasuk

produk sediaan obat pelangsing yang mengandung sibutramine. Sibutramine

merupakan obat yang dihasilkan sebagai pengobatan adjuvant dalam membantu

penurunan kelebihan berat badan (overweight dan obesity) disamping olah raga

dan pengaturan diet. Artinya, bahwa pembatalan izin edar dan penarikan sediaan

obat jadi juga dilakukan terhadap bentuk sediaan obat pelangsing yang

mengandung bahan berbahaya sibutramine, sehingga peredaran obat pelangsing

dengan campuran bahan berbahaya sibutramine sudah jelas tidak diperbolehkan.

91

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyebutkan bahwa:

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen.”

Shidarta berpendapat bahwa :

“Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, sehingga perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Materi yang mendapatkan perlindungan bukan sekedar fisik, melainkan juga hak-haknya yang bersifat abstrak, dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen”.40 Perlindungan konsumen dimaksudkan untuk melindungi hak-hak konsumen

dari perilaku curang yang dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pihak yang

mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari konsumen. Pelaku usaha diwajibkan

untuk melaksanakan kewajibannya dalam memproduksi suatu barang dan/atau

jasa sebagai suatu upaya untuk terwujudnya perlindungan terhadap hak-hak

konsumen. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha ini untuk

menciptakan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai keseimbangan

atas hak dan kewajiban yang diberikan kepada konsumen, karena Undang-Undang

tentang Perlindungan Konsumen bukan semata-mata untuk membalikan

kedudukan konsumen dari kedudukan yang lemah menjadi kuat dan sebaliknya

pelaku usaha yang menjadi lemah.

Perlindungan konsumen dapat terwujud dengan pemenuhan hak-hak

konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha, selain itu konsumen sendiri juga

harus mempunyai kesadaran akan hak-haknya sebagai konsumen.

40 Shidarta, Op. Cit., hlm. 19.

92

Hak-hak konsumen yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jsa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang ditermia tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Masing-masing hak yang telah disebutkan di atas dapat diuraikan sebagai

berikut :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang

ditawarkan kepadanya. Produk barang dan/atau jasa itu tidak boleh

membahayakan, sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan

rohani. Konsumsi obat sangat erat kaitannya dengan keamanan dan

keselamatan penggunanya. Mengkonsumsi obat yang aman dan bermutu

dapat menjaga kesehatan dan dapat dirasakan kemanfaatannya secara nyata,

selain itu keselamatannya pun akan terlindungi dari bahaya -bahaya yang

93

ditimbulkan dari obat yang mengandung bahan berbahaya dan tidak

memenuhi persyaratan.

Produk yang bermutu adalah produk yang memenuhi spesifikasi,

identitas dan karakteristik yang ditetapkan, dan produk yang aman adalah

produk yang tidak mengandung bahan-bahan yang dapat membahayakan

kesehatan dan keselamatan manusia seperti menimbulkan penyakit atau

keracunan.

Faktor kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

obat sangatlah penting. Obat pelangsing sebagai salah satu sediaan obat yang

dapat dikonsumsi oleh konsumen haruslah nyaman, aman dan tidak

membahayakan diri konsumen. Pelaku usaha yang memproduksi obat

pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine

bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen akibat

menggunakan obat pelangsing berbahaya tersebut.

Pasal 4 huruf a Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni:

“Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa :

“Hak atas keamanan dan keselamatan dimaksudkan untuk menjamin

keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau

94

jasa yang diperolehnya sehingga terhindar dari kerugian fisik maupun

psikis apabila mengkonsumsi suatu produk”.41

Berdasarkan data sekunder nomor 1.2.1 tentang pengamanan dan

penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, data sekunder nomor 1.3.1

tentang persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi dan

alat kesehatan, data sekunder nomor 1.8.2 tentang izin edar, apabila dikaitkan

dengan Pasal 4 huruf a Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen,

pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, serta data primer nomor 2.1.1

tentang kerjasama antara Dinas Kesehatan dengan BPOM dalam melakukan

penilaian khasiat/manfaat, keamanan, mutu dan penandaan terhadap izin edar

obat supaya obat pelangsing yang beredar di masyarakat memang benar-benar

obat yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, sesuai dengan

tujuan penggunaannya, dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan

dikarenakan adanya kandungan bahan berbahaya ataupun karena mutunya

rendah, maka dapat dideskripsikan bahwa secara normatif hak atas

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

berupa obat pelangsing sudah mendapatkan perlindungan hukum, namun

pada kenyataan yang ada di lapanga n, bahwa ternyata masih ada

penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha, yakni masih

ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing dengan campuran bahan

berbahaya, sehingga sebagai konsumen pengguna obat pelangsing di

Kabupaten Banyumas belum memperoleh perlindungan secara maksimal atas

41 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit ., hlm. 41.

95

haknya untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi obat pelangsing dikarenakan masih terdapat adanya campuran

dengan bahan berbahaya seperti sibutramine yang dapat membahayakan

keamanan serta keselamatan konsumen, sehingga konsumen akan merasa

dirugikan.

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

Hak untuk memilih ini dapat terwujud apabila konsumen dihadapkan

pada beberapa merek produk obat pelangsing, kemudian pada saat itulah

konsumen dapat memilih sesuai dengan keinginan dan kemampuannya

produk obat pelangsing mana yang akan dibelinya.

Pasal 4 huruf b Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :

“Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan”.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa :

“Hak memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya. Hak untuk memilih yang dimiliki oleh konsumen hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada

96

pilihan lain (baik barang maupun jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih ini tidak akan berfungsi”. 42

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai

hak dan kewajiban konsumen dalam memilih barang dan/atau jasa yakni

dalam Pasal 4 huruf b sebagai hak untuk memilih dan Pasal 5 huruf c sebagai

kewajiban untuk membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

terhadap barang dan/jasa yang telah dipilih oleh konsumen tersebut.

Peredaran produk obat pelangsing di Kabupaten Banyumas tidaklah

dilarang, dengan syarat obat pelangsing tersebut telah mempunyai izin edar,

memuat informasi dalam penandaan yang benar, dan dibuat sesuai dengan

CPOB. Obat pelangsing yang dilarang adalah obat pelangsing berbahaya

yang mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine yang efek

sampingnya mengganggu keamanan dan keselamatan konsumen.

Pencantuman informasi dalam penandaan mengenai komposisi obat

pelangsing sangat diperlukan, dengan adanya informasi dalam penandaan

tersebut maka dapat memberikan kebebasan kepada konsumen untuk

memilih, serta supaya konsumen lebih mengenal dan mengetahui produk obat

pelangsing yang akan dikonsumsinya, sehingga setelah membaca informasi

yang terdapat dalam penandaan obat pelangsing tersebut konsumen dapat

memilih obat pelangsing mana yang akan dikonsumsinya dengan berdasarkan

pada kualitas dan kemampuannya untuk membayar.

Berdasarkan data sekunder nomor 1.5.1 tentang kriteria obat jadi dan

data sekunder nomor 1.9.2 tentang kewajiban penandaan dan informasi

42 Ibid., hlm. 42.

97

sediaan farmasi dan alat kesehatan, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf b

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen serta pendapat dari

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, didukung dengan data primer nomor 2.1.2

tentang pengawasan dibidang obat dan makanan untuk menjamin agar obat

dan makanan aman, bermanfaat dan bermutu yang dilakukan oleh Dinas

Kesehatan, maka dapat dideskripsikan bahwa secara normatif hak konsumen

untuk memilih barang dan/atau jasa sudah terpenuhi, karena konsumen dalam

hal ini sudah diberikan kebebasan untuk memilih obat pelangsing mana yang

akan dikonsumsinya dengan berdasarkan pada kualitas dan kemampuan nilai

tukarnya untuk membayar. Konsumen sebagai pengguna obat pelangsing di

sini selain mendapat jaminan dari pelaku usaha bahwa produknya aman untuk

dikonsumsi, juga mendapat jaminan dari Dinas Kesehatan karena telah

melakukan pengawasan terhadap peredaran obat serta menjamin bahwa obat

pelangsing yang beredar di masyarakat adalah obat pelangsing yang aman,

bermanfaat dan bermutu, sehingga konsumen dapat menggunakan haknya

untuk memilih obat pelangsing mana yang akan dikonsumsinya, lain halnya

yakni obat pelangsing berbahaya yang dapat beredar di masyarakat

dikarenakan produk obat pelangsing tersebut tidak melalui pengujian dari

BPOM dan beredar di masyarakat secara ilegal serta biasanya tidak

mempunyai izin. Artinya, bahwa hak konsumen untuk memilih obat

pelangsing yang akan digunakan atau dikonsumsinya sudah terpenuhi,

dengan pencantuman informasi dan penandaan pada obat pelangsing maka

98

konsumen dapat berpikir dan memilih produk obat pelangsing yang akan

dikonsumsinya.

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan ju jur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

Hak konsumen ini merupakan suatu kewajiban bagi pelaku usaha untuk

memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan mengenai

penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, karena pemberian informasi

disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan atau

ketidakjelasan informasi dari pelaku usaha merupakan salah satu cacat produk

yang merugikan konsumen.

Informasi dan penandaan tentang produk obat pelangsing sangat

memegang peranan penting, karena informasi yang benar dan jujur

merupakan kebutuhan pokok bagi konsumen sebelum konsumen itu

mengambil suatu keputusan untuk membeli atau tidak obat pelangsing

tersebut. Informasi yang setengah benar, menyesatkan apalagi menipu,

dengan sendirinya menghasilkan keputusan yang dapat menimbulkan

kerugian materiil atau bahkan membahayakan kesehatan tubuh atau jiwa

konsumen yang salah membeli produk obat pelangsing berbahaya itu.

Informasi yang tercantum dalam penandaan produk obat pelangsing

merupakan salah satu cara bagi pelaku usaha untuk melakuka n keterbukaan

informasi dan merupakan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang

benar, jelas dan jujur.

99

Pasal 4 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :

“Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa”.

Pasal 7 huruf b Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa salah satu kewajiban pelaku usaha yakni :

“Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan”.

Tujuan dengan adanya informasi dalam suatu produk adalah untuk

memberikan tentang kejelasan agar konsumen dapat mengenal suatu barang

dan/atau jasa yang diedarkan di masyarakat. Kejelasan mengenai informasi

suatu barang dan/atau jasa dapat menciptakan sistem perlindungan konsumen

yang mengandung unsur kepastian hukum.

Pasal 3 huruf d Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa salah satu tujuan perlindungan konsumen antara lain

adalah :

“Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi”.

Shidarta berpendapat bahwa:

“Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti

100

secara lisan kepada konsumen melalui iklan, berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang)”.43

Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.3 angka 3 tentang pengert ian

mengenai penandaan, data sekunder nomor 1.9.1; 1.9.2; 1.9.3 tentang

penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan, apabila

dikaitkan dengan Pasal 3 huruf d, Pasal 4 huruc c, dan Pasal 7 huruf b

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen serta pendapat Shidarta,

maka dapat dideskripsikan bahwa secara normatif hak konsumen atas

informasi yang benar, jelas, dan jujur sudah mendapatkan perlindungan

hukum, namun pada kenyataannya masih ada pelaku usaha yang

memproduksi obat pelangsing denga n campuran bahan berbahaya seperti

sibutramine yang sebenarnya hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan, dan

juga mengenai komposisi obat pelangsing sering tidak dicantumkan dalam

informasi dan penandaan, sehingga konsumen sebagai pengguna produk obat

pelangsing berbahaya belum mendapatkan perlindungan hukum secara

maksimal karena tidak adanya kejelasan informasi mengenai kandungan obat

pelangsing yang di dalamnya mengandung bahan berbahaya seperti

sibutramine dimana sebenarnya tidak boleh digunakan sebagai campuran

karena dosisnya belum tentu tepat. Pelaku usaha yang pada penandaan produk

obatnya tidak mencantumkan mengenai tanggal produksi dan kadaluwarsa

obat, efek samping bahkan tidak memberikan kejelasan informasi mengenai

komposisi obat pelangsing, dimana ternyata dalam obat pelangsing tersebut

terdapat campuran dengan bahan berbahaya bagi keamanan dan keselamatan

43 Shidarta, Op. Cit., hlm. 23.

101

konsumen, hal tersebut dapat merugikan konsumen karena informasi yang

benar, jelas dan jujur mengenai obat pelangsing tidak didapatkan. Artinya,

hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya untuk

mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa belum terpenuhi secara maksimal.

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

Hak ini erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi, karena

konsumen dapat menyampaikan keluhannya mengenai suatu produk barang

dan/atau jasa kepada pemerintah atau pelaku usaha yang dapat disebabkan

karena kurangnya informasi mengenai produk yang menyebabkan konsumen

dapat mengalami kerugian.

Hak untuk didengar pendapatnya dapat disampaikan secara perseorangan

maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun

diwakili oleh suatu lembaga tertentu.

Pasal 4 huruf d Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :

“Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan”.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa :

“Hak untuk didengar dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hak yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan adanya kerugian yang dialami akibat penggunaan suatu

102

produk atau berupa pernyataan atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen”.44

Berdasarkan data sekunder nomor 1.14.1; 1.14.2 tentang peran serta

masyarakat bila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf d Undang-Undang tentang

Perlindungan Konsumen, serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo

dan didukung dengan data primer nomor 2.1.5 tentang adanya Unit Layanan

Pengaduan Konsumen Obat dan Makanan (ULPK) BPOM yang menampung

segala bentuk pengaduan konsumen akibat terjadinya kerugian dari

penggunaan obat pelangsing yang membahayakan kesehatan konsumen, serta

data primer nomor 2.2.6 tentang pengaduan konsumen yang dirugikan akibat

penggunaan barang yang dibelinya secara on-line dapat mengadukannya

kepada Dinas Perdagangan dengan membawa produk barang yang dalam hal

ini adalah obat pelangsing berbahaya dan membawa bukti transaksi, maka

dapat dideskripsikan bahwa hak konsumen untuk didengar pendapat dan

keluhannya atas barang berupa produk obat pelangsing berbahaya di

Kabupaten Banyumas telah terpenuhi.

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa ini berkaitan dengan pemberian ganti rugi kepada konsumen yang

mengalami kerugian akibat mengkonsumsi dan/atau menggunakan barang

yang dalam hal ini adalah produk obat pelangsing.

44 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit ., hlm. 43.

103

Pasal 4 huruf e Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :

“Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut”.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa :

“Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum secara patut

dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan

akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum”.45

Berdasarkan data sekunder nomor 1.18.1 tentang sanksi administratif,

bila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf e Undang-Undang tentang Perlindungan

Konsumen serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dan didukung

dengan data primer nomor 2.1.7 tentang penyelesaian sengketa konsumen di

Kabupaten Banyumas diselesaikan melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum maupun penyelesaian secara damai karena di

Kabupaten Banyumas belum terdapat Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK), dan data primer nomor 2.2.3 dimana Dinas Perdagangan

memberikan fasilitas mediasi antara pelaku usaha yang memproduksi obat

pelangsing berbahaya dengan konsumen pengguna obat pelangsing apabila

kasusnya tidak mau untuk dibawa ke jalur hukum, jadi Dinas Perdagangan

mempunyai fasilitas penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka dapat

dideskripsikan bahwa di Kabupaten Banyumas hak konsumen sebagai

45 Ibid., hlm. 46.

104

pengguna obat pelangsing berbahaya untuk memperoleh advokasi,

perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen telah terpenuhi.

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

Setiap orang sudah menjadi konsumen sejak ia dilahirkan, namun masih

banyak konsumen yang belum mengetahui dan mengerti arti penting dari

perlindungan konsumen itu sendiri. Adanya pemenuhan terhadap hak-hak

konsumen inilah maka perlindungan konsumen dapat terwujud.

Pasal 4 huruf f Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :

“Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen”.

Shidarta mengatakan bahwa :

“Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenja ng pendidikan formal tetapi dapat melalui media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat”. 46 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa :

“Hak tersebut dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih produk yang dibutuhkan”.47

Berdasarkan data sekunder nomor 1.15.1 tentang pembinaan sediaan

farmasi dan alat kesehatan, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf f Undang-

46 Shidarta, Op. Cit., hlm. 33. 47 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 44.

105

Undang tentang Perlindungan Konsumen dan pendapat Shidarta serta

pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo didukung dengan data primer

nomor 2.2.2 tentang pembinaan dan pendidikan yang dilakukan dengan

melakukan penyuluhan kepada masyarakat, maka dapat dideskripsikan bahwa

di Kabupaten Banyumas hak konsumen untuk mendapat pembinaan dan

pendidikan konsumen telah terpenuhi. Adanya penyuluhan yang dilakukan

oleh dinas merupakan salah satu bentuk pembinaan dan pendidikan kepada

konsumen, karena pendidikan konsumen yang dimaksud bukanlah jenjang

pendidikan secara formal, sehingga dengan adanya penyuluhan yang

dilakukan oleh dinas maka kesadaran konsumen terhadap hak-haknya akan

semakin meningka t.

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

Pasal 4 huruf g Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :

“Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif”.

Pasal 7 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menentukan bahwa :

“Pelaku usaha harus memperlakukan atau melayani konsumen secara

benar dan jujur serta tidak diskriminatif”.

Penjelasan Pasal 7 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan

Konsumen menyatakan bahwa :

106

“Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan

pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda -bedakan mutu pelayanan

kepada konsumen”.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan bahwa :

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli

yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang

harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama”.

Berdasarkan data sekunder nomor 1.9.2 tentang kewajiban untuk

mencantumkan penandaan dan informasi pada kemasan sediaan farmasi dan

alat kesehatan, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf g, Pasal 7 huruf c

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, dan Pasal 6 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka dapat dideskripsikan bahwa di

Kabupaten Banyumas hak konsumen pengguna obat pelangsing untuk

diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

sudah terpenuhi. Adanya pelarangan untuk membuat perjanjian antara

pembeli obat pelangsing dengan pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli

obat pelangsing yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari

harga yang seharusnya dibayar oleh pembeli obat pelangsing lain untuk

barang yang sama yakni obat pelangsing, artinya bahwa pelaku usaha

dilarang untuk melakukan praktik diskriminatif terhadap konsumen dalam

melakukan kegiatan usahanya. Hak konsumen pengguna obat pelangsing

107

untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif sudah terpenuhi, karena pelaku usaha dilarang untuk melakukan

perjanjian dengan konsumen obat pelanging yang menyebabkan konsumen

obat pelangs ing lain membayar harga yang berbeda untuk produk obat

pelangsing yang sama.

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian

merupakan hak konsumen yang menderita kerugian sebagai akibat

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha.

Kerugian yang dialami oleh konsumen dalam hal ini bukan hanya kerugian

materi saja, tetapi kerugian fisik juga seperti sakit, cacat atau bahkan

kematian. Konsumen yang mengalami kerugian baik materi maupun kerugian

fisik sebagai akibat mengkonsumsi obat pelangsing yang mengandung bahan

berbahaya yakni seperti sibutramine dapat meminta ganti rugi kepada pelaku

usaha.

Pasal 4 huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :

“Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya”.

108

Pasal 7 huruf f Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan salah satu kewajiban konsumen adalah :

“Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atau kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan”.

Ganti rugi juga diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi :

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan;

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang

sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau

pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 1365 KUHPerdata menjelaskan bahwa :

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Shidarta menyatakan bahwa :

109

“Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/jasa yang

dikonsumsi tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak

mendapatkan ganti kerugian yang pantas”.48

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa :

“Hak atas ganti kerugian dimaksud untuk memulihkan kesehatan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa kerugia n materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan”.49

Berdasarkan data sekunder nomor 1.13.1 tentang tanggung jawab pelaku

usaha untuk menarik kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari

peredaran karena dicabut izin edarnya, data sekunder nomor 1.17.1 tentang

ganti rugi apabila sediaan farmasi dan alat kesehatan yang digunakan

mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian, apabila

dikaitkan dengan Pasal 4 huruf h dan Pasal 7 huruf f Undang-Undang tentang

Perlindungan Konsumen, dan Pasal 1365 KUHPerdata, serta pendapat

Shidarta, pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo didukung dengan data

primer nomor 2.1.8 tentang penggantian kerugian yang dialami konsumen

ditanggung oleh pelaku usaha, maka dapat dideskripsikan bahwa di

Kabupaten Banyumas hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing

berbahaya untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian

telah terpenuhi, yang dikarenakan obat pelangsing yang diterima tidak

48 Shidarta, Op. Cit., hlm. 28. 49 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 44.

110

sebagaimana mestinya seperti yang diharapkan konsumen, sehingga

menimbulkan kerugian kepada konsumen.

Hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen

menimbulkan adanya hak dan kewajiban baik bagi konsumen maupun pelaku

usaha, sehingga konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya yang merasa

haknya dilanggar dan dirugikan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada

pelaku usaha yang telah menerbitkan kerugian tersebut. Konsumen yang

mengalami kerugian akibat penggunaan obat pelangsing yang mengandung

bahan berbahaya seperti sibutramine akan mendapatkan penggantian kerugian

apabila terbukti kerugian konsumen berupa terganggunya keamanan dan

keselamatan konsumen tersebut merupakan akibat dari kesalahan yang

dilakukan oleh pelaku usaha , maka dalam hal seperti ini pelaku usaha wajib

untuk memberikan penggantian kerugian kepada konsumen pengguna obat

pelangsing berbahaya yang dirugikan. Hak konsumen untuk mendapat

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila produk obat pelangsing

yang dikonsumsi menimbulkan kerugian di Kabupaten Banyumas telah

terpenuhi. Artinya, apabila obat pelangsing yang dikonsumsi oleh konsumen

terbukti mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine dan merugikan

keamanan serta keselamatan konsumen maka konsumen yang dirugikan

berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas obat

pelangsing yang merugikan keamanan dan keselamatan konsumen.

Berdasarkan pada masing-masing hak konsumen yang sudah dijelaskan ada

dua hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing yang masih belum terpenuhi

111

secara maksimal, yakni Pasal 4 huruf a tentang hak atas kenyamanan, kemanan,

dan keselamata n dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta Pasal 4 huruf c

tentang hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa, karena pada kenyataannya masih ada pelaku usaha

yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya

seperti sibutramine yang efeknya dapat mengganggu keamanan dan kesehatan

konsumen, sehingga konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya ini akan

merasa dirugikan.

Bentuk perlindungan hukum untuk konsumen yang mengalami kerugian

sebagai akibat dari mengkonsumsi atau menggunakan obat pelangsing berbahaya

dengan campuran bahan berbahaya sibutramine dapat meminta ganti rugi kepada

pelaku usaha yang telah menerbitkan kerugian tersebut. Ganti rugi yang diberikan

merupakan pertanggungjawaban pelaku usaha kepada konsumen sebagai bentuk

adanya hubungan hukum yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha, baik

hubungan langsung atau pun hubungan tidak langsung, dimana pelaku usaha telah

melanggar hak konsumen dengan melakukan perbuatan melawan hukum karena

telah memproduksi atau menjual produk obat pelangsing berbahaya dengan

campuran bahan berbahaya seperti sibutramine yang efeknya dapat mengganggu

keamanan dan keselamatan konsumen, sehingga konsumen merasa dirugikan.

112

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan data, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna obat

pelangsing berbahaya di Kabupaten Banyumas sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

khususnya Pasal 4 mengenai hak-hak konsumen belum sepenuhnya terpenuhi,

karena masih ada hak konsumen yang belum sepenuhnya terpenuhi secara

maksimal. Hak-hak konsumen yang masih belum terpenuhi secara maksimal

adalah Pasal 4 huruf a tentang hak konsumen atas kenyamanan, kemanan, dan

keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta Pasal 4 huruf c

tentang hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa, walaupun secara normatif sudah diatur mengenai

perlindungan konsumen namun masih ada pelaku usaha yang menyimpangi dan

belum melaksana kan peraturan tersebut. Hak konsumen yang belum terpenuhi

secara maksimal yang menyebabkan konsumen merasa dirugikan dapat meminta

ganti rugi kepada pelaku usaha yang menerbitkan kerugian tersebut sebagai

bentuk pertanggungjawaban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

113

B. Saran

Konsumen hendaknya untuk lebih berhati-hati dalam memilih barang

dan/atau jasa yang akan dikonsumsinya, serta lebih mengerti dan memahami

terhadap hak-haknya sebagai konsumen supaya dapat terhindar dari kerugian.

Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya juga harus menaati

syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-

undangan, supaya tidak ada lagi konsumen yang merasa dirugika n karena hak-

haknya telah dilanggar.

114

DAFTAR PUSTAKA Literatur : Gunawan, Johanes. 1994. “Produk Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia .

Jakarta : Projustisia, Tahun XII. Kansil, CST. 1997. Pengantar Hukum Indonesia (Cetakan Ke-6). Jakarta : Balai

Pustaka. Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen . Jakarta: Sinar

Grafika. Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Edisi Ke-5).

Yogyakarta : Liberty Yogyakarta. Miru, Ahmadi dan Sutarma Yodo. 2011. Hukum Perlindungan Konsumen.

Jakarta: Rajawali Pers. Miru, Ahmadi. 2013. Prinsip -Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di

Indonesia (Edisi I, Cetakan Ke-2). Jakarta : Rajawali Pers. Nasution, Az. 1995. Konsumen dan Hukum. Jakarta : CV. Muliasari. -----------------. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta:

Diadit Media. Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen . Jakarta : Grasindo. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri.

Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visi Media. Sutedi, Adrian. 2008. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan

Konsumen. Jakarta : PT. Ghalia Indonesia. Suyadi. 2007. Buku Ajar Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen . Fakultas

Hukum Unsoed. Purwokerto. Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, ed. 2000. Hukum Perlindungan

Konsumen. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

115

Wignojodipuro, Surojo. 1974. Pengantar Ilmu Hukum. Alumni, Bandung. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi Literatur lain : https://yosefw.wordpress.com/2009/03/20/usir-gemuk-dengan-obat-2/,diakses

tanggal 20 November 2014. http://dentalhealthridhafajarnugroho.blogspot.com/2013/03/penggolongan-obat-

menurut -uu-farmasi.html, diakses tanggal 26 November 2014. http://senyumbunda.com/page -blog/waspada-obat-pelangsing-berbahaya -beredar-

di-sekitar-anda/, diakses yanggal 26 November 2014. http://m.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Diet/Zat-Kimia -Pada-Obat-Pelangsing-

Ini-Berbahaya , diakses tanggal 26 November 2014.