PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT TERHADAP …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI...
-
Upload
vuongkhanh -
Category
Documents
-
view
269 -
download
0
Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT TERHADAP …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI...
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT
TERHADAP TINDAKAN PEMERINTAH
BERDASARKAN KONSEP HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
(Studi Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah
di Sidang Pengadilan Pada Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt)
SKRIPSI
Oleh :
DANI HABIBI E1A011272
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
i
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT
TERHADAP TINDAKAN PEMERINTAH
BERDASARKAN KONSEP HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
(Studi Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah
di Sidang Pengadilan Pada Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
DANI HABIBI E1A011272
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama : Dani Habibi
NIM : E1A011272
Angkatan : 2011
Judul : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT
TERHADAP TINDAKAN PEMERINTAH
BERDASARKAN KONSEP HUKUM
ADMINISTRASI NEGARA (Studi Mengenai
Gugatan Terhadap Pemerintah di Sidang
Pengadilan Pada Putusan No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah benar merupakan hasil dari
karya saya sendiri dan bukan saduran dari karya orang lain.
Apabila di kemudian hari terbukti bahwa saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, Maret 2015
DANI HABIBI
E1A011272
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas semua Karunia,
Hidayah, serta Kemudahan-Nya yang selalu diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini sehingga bisa selesai dengan baik dan
sempurna.
Penulis dalam menulis skripsi dengan judul :
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT
TERHADAP TINDAKAN PEMERINTAH
BERDASARKAN KONSEP HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
(Studi Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah
di Sidang Pengadilan Pada Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt)
Dalam Proses penyelesaian Skripsi ini, Penulis mendapatkan berbagai
semangat, dukungan, dan support dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bapak Prof. Dr. H. Muh. Fauzan, S.H., M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing
Skripsi I Penulis.
3. Bapak Weda Kupita, S.H., M.H. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II dan
sebagai Dosen Pembimbing Akademik Penulis.
4. Bapak Dr. Kartono, S.H., M.H. sebagai Dosen Penguji Skripsi Penulis.
5. Seluruh Dosen-Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang
telah memberikan ilmu dan pengalamanan yang berharga kepada Penulis.
6. Kedua Orang Tua yang Penulis sangat cintai yaitu Papa (Alm. Suhariyono)
dan Mama (Rusila Madah) yang tidak henti-hentinya memberikan semangat
dan mendoakan Penulis agar sukses dalam menuntut ilmu.
v
7. Faradillah Haryani, S.pd. sebagai kakak kandung yang Penulis cintai, yang
saat ini studi S2 di Inggris, University of Birmingham.
8. Sahabat-sahabat terbaik Penulis yang selalu memberikan semangat kepada
Penulis dan menjadi tempat keluh-kesah Penulis selama menjadi Mahasiswa
hingga saat penyelesaian penulisan Skripsi ini.
9. All Beloved My Family Justitia English Club yaitu seluruh Organizer dan
Members yang terus setia di JEC, Justitia English Club One Big Family.
10. Teman-teman KKN Posdaya 2014 Desa Petarangan Kecamatan Kemranjen
yang selalu semangat dan ceria.
11. Teman-teman seperjuangan All PLKH Pidana, PTUN, dan Perdata demi
mendapatkan nilai terbaik.
12. Seluruh teman-teman kelas C Angkatan 2011 yang sama-sama berjuang
ketika kuliah bersama, l already miss you all...
13. Seluruh Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Hukum (KBMFH) Universitas
Jenderal Soedirman.
14. Petugas Transit, Akademik, Satpan dan seluruh Keluarga Besar Fakultas
Hukum Univerisitas Jenderal Soedirman.
Penulis mengutip sebuah Pepatah yang Penulis sendiri jadikan sebagai
suatu pembelajaran untuk lebih baik. yaitu, “Semakin Engkau Mengetahui Ilmu
yang Telah Dipelajari, Semakin Pula Engkau Mengetahui Kekurangan yang
Terdapat di Dalam Dirimu”. Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini
sudah diselesaikan dengan sebaik-baiknya pasti masih terdapat banyak
kekurangan, karena kritik dan saran yang membangun Penulis harapkan demi
kesempurnaan penulisan Skripsi yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Purwokerto, Maret 2015
DANI HABIBI
E1A011272
vi
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT TERHADAP TINDAKAN
PEMERINTAH BERDASARKAN KONSEP
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
(Studi Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah di Sidang Pengadilan Pada
Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt)
Oleh :
DANI HABIBI
E1A011272
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Terhadap
Tindakan Pemerintah Berdasarkan Konsep Hukum Administrasi Negara (Studi
Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah di Sidang Pengadilan Pada Putusan No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt).Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bentuk
perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah di bidang Hukum
Administrasi Negara, untuk mengetahui penentuan kewenangan pengadilan untuk
mengadili terhadap tindakan hukum pemerintah yang menimbulkan akibat hukum
kepada rakyat, dan untuk mengetauhi pertimbangann hukum hakim dalam perkara
No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt dalam menentukan kewenangan mengadili sudah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini
menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan
dan konsep.
Penelitian ini menjabarkan bahwa salah satu perlindungan hukum bagi
rakyat yakni dengan cara menggugat pemerintah ke Pengadilan Negeri atas dasar
PMH (Pasal 1365 KUH Perdata) yang dilakukan pemerintah, yang merugikan
rakyat. Oleh karena yang digugat adalah pemerintah, maka akan bersinggungan
dengan tindakan pemerintah yang diatur dalam HAN. Persinggungan hukum
tersebut berpotensi pula menimbulkan persoalan yuridis mengenai kewenangan
pengadilan. Sebagai bahan analisis penting dikemukakan konsep mengenai
kedudukan hukum pemerintah dan konsep mengenai tindakan pemerintahan.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu perlindungan hukum yang diberikan
kepada rakyat dapat dilakukan dengan cara menggugat pemerintah ke Pengadilan
sesuai dengan kewenangan masing-masing Pengadilan, dan harus memperhatikan
konsep kedudukan hukum pemerintah dan konsep tindakan pemerintahan.
Berdasarkan kedua hal tersebut, pertimbangan hukum Hakim PN Purwokerto
yang menyatakan tidak berwenang mengadili perkara a-quo, sudah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Tindakan Pemerintah, Hukum Administrasi
Negara
vii
LEGAL PROTECTION FOR THE PEOPLE'S ACTION AGAINST
GOVERNMENT BASED ON CONCEPT OF
STATE ADMINISTRATIVE LAW
(Study Regarding Lawsuit Against Government in the Court of Session In
Decision No. 73 / Pdt.G / 2013 / PN.Pwt)
By :
DANI HABIBI
E1A011272
ABSTRACT
This research, entitled "Legal Protection for the People's Action Against
Government Based on Concept of State Administrative Law (Study Regarding
Lawsuit Against Government in the Court of Session In Decision No. 73 / Pdt.G /
2013 / PN.Pwt). The purpose of this study is to determine the form of legal
protection for people against the government's actions in the law of State
Administration, to determine the determination of the court authority to adjudicate
against government legal action, which arises the law consequences to people and
for knowing the law consideration of judge in the case No. 73 / Pdt.G / 2013 /
PN.Pwt in determining whether the jurisdiction used has suited with the
applicable legislations or not. This study uses normative juridical approach to
legislation and concepts.
This research outlines that one of the legal protection for the people is the
way to sue the government to the District Court based on Presence of Unlawful
Acts (Article 1365 of the Civil Code) by the government, which is detrimental to
the people. Therefore, the accused party is the government, then it will intersect
with the government's actions set out in the State Administration Law . The law
intersection also potentially causes problems on the authority of the court
jurisdiction. The important analysis of this case is the concept of the legal position
of the government and the concept of government action.
The conclusion from this study is the legal protection given to the people
can be done in a way to sue the government to court in accordance with the
authority of each court, and must pay attention to the concept of the legal position
of government and the concept of government action. Based on these two things,
the consideration of Navan District Court law that states no authority to hear the
case a quo, is in conformity with the relevant legislation
Keywords: Protection Law, actions of the Government, the State Administration
Law
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................................ xiv
ABSTRACT ............................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ...................................................................................... 8
C. Kerangka Teori ............................................................................................. 8
D. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 11
E. Kegunaan Penelitian ................................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Negara Hukum
1. Pengertian Negara Hukum ................................................................... 13
2. Unsur-Unsur Negara Hukum ................................................................ 15
3. Indonesia sebagai Negara Hukum ........................................................ 19
B. Hukum Administrasi Negara
1. Pengertian Hukum Administrasi Negara ............................................... 21
2. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara ....................................... 25
3. Kedudukan Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Lainnya ....... 30
C. Kedudukan Hukum Pemerintah
1. Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Privat ....................................... 36
2. Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Publik ...................................... 40
ix
D. Tindakan Pemerintahan
1. Pengertian Tindakan Hukum Pemerintahan .......................................... 44
2. Unsur-Unsur Tindakan Hukum Pemerintahan ...................................... 47
3. Macam-Macam Tindakan Hukum Pemerintahan .................................. 48
4. Karakteristik Tindakan Hukum Pemerintahan ...................................... 49
E. Keputusan Tata Usaha Negara
1. Pengertian Keputusan ........................................................................... 54
2. Unsur-Unsur Keputusan ....................................................................... 57
3. Macam-Macam keputusan.................................................................... 60
F. Perlindungan Hukum
1. Pengertian Perlindungan Hukum .......................................................... 65
2. Perlindungan Hukum dalam Bidang Perdata......................................... 67
3. Perlindungan Hukum dalam Bidang Publik .......................................... 71
G. Tinjauan Terhadap Kewenangan Pengadilan ............................................... 76
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ..................................................................................... 81
B. Spesifikasi Penelitian .................................................................................. 82
C. Lokasi Penelitian ........................................................................................ 82
D. Sumber Bahan Hukum ................................................................................ 82
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum .......................................................... 84
F. Metode Penyajian Bahan Hukum ................................................................ 84
G. Metode Analisis Bahan Hukum ................................................................... 85
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ........................................................................................... 86
B. Pembahasan .............................................................................................. 163
1. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Terhadap Tindakan
Pemerintah Berdasarkan Konsep Hukum Administrasi Negara ............ 159
x
2. Kesesuaian Antara Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Perkara
No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt Dalam Menentukan Kewenangan
Mengadili dengan Konsep Hukum Administrasi Negara...................... 192
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 214
B. Saran ........................................................................................................ 216
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara Hukum, hal ini telah dijelaskan di dalam Pasal
1 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. hal ini mendasarkan pada penjelasan UUD 1945 bahwa Negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan
semata (machstaat). Oleh karena itu negara tidak boleh melaksanakan
aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasar pada hukum.1
di Indonesia pengaturan kepada rakyat yang dilakukan oleh pemerintah
mendasarkan pada Hukum Administrasi Negara.
Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat peraturan yang
memungkinkan administrasi negara menjalankan fungsi-fungsinya, yang
sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara,
dan melindungi administrasi negara itu sendiri.2
Di dalam melakukan suatu hubungan hukum (rechtsbetrekking), subjek
hukum selaku pemilik hak-hak dan kewajiban-kewajiban (de drager van de
rechten en plichten), baik itu manusia (naturlijke persoon), badan hukum
(rechtpersoon), maupun jabatan (ambt), dapat melakukan tindakan-tindakan
hukum berdasarkan kemampuan (bekwaan) atau kewenangan (bevoegdheid)
yang dimilikinya. Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak terjadi
1 C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1986,
hlm. 86. 2 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara,
Alumni, Bandung, 1992, hlm. 4.
2
hubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan
hukum dari subjek hukum itu. Tindakan hukum ini merupakan awal lahirnya
hubungan hukum (rechtsbetrekking), yakni interaksi antarsubjek hukum yang
memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum. Agar
hubungan hukum antar subjek hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang
dan adil, dalam arti setiap subjek hukum mendapatkan apa yang menjadi
haknya dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum
tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan-hubungan hukum
tersebut.3
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur
hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum, agar masing-masing subjek
hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan
haknya secara wajar. Di samping itu, hukum juga berfungsi sebagai instrumen
perlindungan bagi subjek hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum
berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat
berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena
pelanggaran hukum.4 Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu
tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena
melanggar hak-hak subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar hak-
haknya harus mendapatkan perlindungan hukum.
3 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2011, hlm. 265. 4 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hlm. 140.
3
Fungsi hukum sebagai instrumen pengatur dan instrumen perlindungan
ini, di samping fungsi lainnya sebagaimana akan disebutkan di bawah,
diarahkan pada suatu tujuan, yaitu untuk menciptakan suasana hubungan
hukum antarsubjek hukum secara harmonis, seimbang, damai, dan adil. Ada
pula yang mengatakan bahwa “Doel van het recht is een vreedzame ordening
van samenleving. Het recht wil de vrede... den vrede onder de mensen,
bewaart het recht door bepalde menselijk belangen (materiele zowel als
ideele), eer vriijheid, leven, vermogen enz. Tegen benaling te beschermen”5
(tujuan hukum adalah mengatur masyarakat secara damai. Hukum
menghendaki perdamaian... Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh
hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu {baik
material maupun ideal}, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan
sebagainya terhadap yang merugikannya). Tujuan-tujuan hukum itu akan
tercapai jika masing-masing subjek hukum mendapatkan hak-haknya secara
wajar dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku.
Hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan
dengan warga negara adalah Hukum Administrasi Negara atau hukum perdata,
tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan tindakan
hukum tersebut. Telah disebutkan bahwa pemerintah memiliki dua kedudukan
hukum yaitu sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek rechtpersoon,
public legal entity) dan sebagai pejabat (ambtsdrager) dari jabatan
5 Van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie ven het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk
Willink, Zwolle, 1966, hlm. 9-10.
4
pemerintahan. Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum dalam
kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum, maka tindakan tersebut diatur
dan tunduk pada ketentuan hukum keperdataan, sedangkan ketika pemerintah
bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat, maka tindakan itu diatur dan
tunduk pada Hukum Administrasi Negara.6
Baik tindakan hukum keperdataan maupun publik dari pemerintah dapat
menjadi peluang munculnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
yang melanggar hak-hak warga negara. Oleh karena itu, hukum harus
memberikan perlindungan hukum bagi warga negara. F.H. van Der Burg dan
kawan-kawan mengatakan bahwa, “De mogelijkheden van
rechtsbescherming zijn van belang wanner de overheid iets heeft gedaan of
nagelaten of voornemens is bepaalde handelingen te verrichten en bepaalde
persoonen of groepen zich daardoor gegriefd achten”7 (Kemungkinan untuk
memberikan perlindungan hukum adalah penting ketika pemerintah
bermaksud untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu terhadap
sesuatu, yang oleh karena tindakan atau kelalaiannya itu melanggar {hak}
orang-orang atau kelompok tertentu).
Salah satu permasalahan mengenai perlindungan hukum bagi rakyat
dari tindakan hukum pemerintah yang merugikan rakyat dapat dijumpai pada
perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN. Pwt. Permasalahan perlindungan hukum
dalam perkara tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut :
6 Ridwan HR, op cit, hlm. 112.
7 Van der Burg et.al., Rechtsbescherming Tegen de Overheid, Nijmegen, 1985, hlm. 2.
5
1. Para pihak dalam perkara tersebut Fransiscus Xaverius Untung Gunawan
dan Fransisca Lana Riani berkedudukan sebagai Penggugat, melawan
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) berkedudukan sebagai
Tergugat sedangkan Ditjen Dikti, Kantor Pertanahan Kabupaten
Banyumas, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas, dan Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLN) Purwokerto masing-
masing menjadi Turut Tergugat I-IV.
2. Pokok persoalan yaitu Penggugat mendalilkan dia memiliki sebidang tanah
persawahan, di mana tanah tersebut tidak memperoleh akses Jalan HR
Bunyamin karena terhalang oleh bangunan milik UNSOED dalam hal ini
sebagai Tergugat. Menurut Penggugat, UNSOED telah melakukan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) karena mendirikan bangunan yang
menghalangi akses jalan ke arah milik Penggugat, sehingga Penggugat
merasa sebagai pihak yang dirugikan dan merasa berhak mendapatkan
perlindungan hukum dari tindakan pemerintah (UNSOED) yang
merugikan kepentingan Penggugat.
3. Dalam posita maupun dalam petitumnya Penggugat mendalilkan bahwa
bangunan UNSOED tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB),
dibangun di atas wilayah jalur hijau dan sempadan jalan serta juga
mempermasalahkan keabsahan Sertifikat Hak Pakai dan Surat Keputusan
yang dikeluarkan oleh Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas,
bahwa kedua produk hukum ini termasuk dalam pengertian Keputusan
Tata Usaha Negara atau Beschikking.
6
4. UNSOED sebagai pihak Tergugat mendalilkan bahwa membantah dalil
yang disampaikan oleh Penggugat sebagai berikut :
a. Penggugat tidak mempunyai hubungan hukum dengan bangunan milik
UNSOED dan Penggugat adalah bukan pihak yang kepentingannya
dilindungi oleh Perda mengenai Garis Sempadan Jalan dan UU tentang
Jalan, sehingga Penggugat tidak mempunyai kepentingan (Legal
Standing) dalam mengajukan gugatan dalam perkara ini.
b. Bangunan UNSOED sudah didirikan sebelum Penggugat membeli
tanah persawahan, yaitu dimulai sejak tahun 1967, sedangkan
Penggugat membeli tanah miliknya sekitar tahun 1986.
c. Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang mengadili perkara a-
quo karena posita maupun petitum dari Penggugat
mempermasalahkan mengenai keabsahan suatu KTUN dalam hal ini
berupa Sertifikat Hak Pakai dan SK Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Banyumas, dan yang berwenang mengadilinya adalah
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
d. Bangunan UNSOED sudah terdaftar dalam bangunan milik negara,
sehingga untuk pembongkaran maupun untuk penghapusannya tunduk
pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penghapusan
milik negara.
e. Menurut UU No. 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara dan
menurut doktrin Hukum Administrasi Negara, disebutkan bahwa
benda milik publik tidak dapat ditempatkan dalam sita jaminan dan
tidak dapat diletakkan dalam sita eksekusi.
7
Berdasarkan pokok masalah tersebut di atas, menimbulkan suatu
persoalan yuridis dalam kaitannya dengan konsep perlindungan hukum bagi
rakyat sebagai salah satu materi bahasan dalam Hukum Administrasi Negara.
Persoalan-persoalan yuridis mengenai perlindungan hukum tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh UNSOED adalah
Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga
konsep Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana yang diatur dalam
Hukum Perdata akan bersinggungan dengan perbuatan hukum pemerintah
berdasarkan Hukum Administrasi Negara.
2. Penggugat mempermasalahkan adanya Perbuatan Melawan Hukum dan
menggugatnya ke Pengadilan Negeri, akan tetapi berbarengan dengan itu
Penggugat mempermasalahkan keabsahan suatu KTUN sehingga dengan
demikian akan menimbulkan persoalan yuridis mengenai pengadilan mana
yang berwenang mengadilinya.
Berdasarkan persoalan-persoalan yuridis di atas, penulis tertarik untuk
mengadakan suatu penelitian dan menuangkanya dalam bentuk Skripsi dengan
judul “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Terhadap Tindakan
Pemerintah Berdasarkan Konsep Hukum Administrasi Negara (Studi
Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah di Sidang Pengadilan Pada
Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt).
8
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka
penulis merumuskan suatu perumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan
pemerintah berdasarkan konsep Hukum Administrasi Negara ?
2. Apakah pertimbangan hukum hakim dalam perkara No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt dalam menentukan kewenangan mengadili sudah
sesuai dengan konsep Hukum Administrasi Negara ?
C. Kerangka Teori
Pembahasan mengenai pengertian negara hukum dapat dilihat dari
pengertian dari negara hukum dalam arti yang sempit (formil) dan negara
hukum dalam arti yang luas (materiil).8 Terlepas dari berbagai pandangan di
atas, melihat pada Negara kita Indonesia dikenal sebagai negara hukum dalam
arti materiil atau Welfare state, yakni suatu negara yang secara intensif
mencampuri seluruh perikehidupan individu warganegaranya, dengan tujuan
agar para individu yang hidup dalam negara tersebut mencapai derajat hidup
yang sejahtera.
Indonesia sebagai negara hukum dengan tujuan mencapai
kesejahteraan masyarakatnya membutuhkan suatu hukum yang digunakan
oleh pemerintah untuk mengatur masyarakat tersebut agar tercipta suatu
kesejahteraan yang dikehendaki. hukum tersebut yaitu Hukum Administrasi
8 Joeniarto, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, 1968,
hlm. 18.
9
Negara, suatu hukum yang mengatur hubungan hukum antara perangkat-
perangkat negara dengan warga negara.9
Di dalam pergaulan hukum di masyarakat, pemerintah dapat
menempatkan dirinya sebagai subjek hukum yang melakukan hubungan
hukum dengan warga negara baik di dalam hukum publik maupun hukum
privat. Kedudukan pemerintah dalam hukum privat adalah sebagai wakil dari
badan hukum publik, sedangkan kedudukan hukum pemerintah berdasarkan
hukum publik adalah sebagai wakil (vertegenwoordiger) dari jabatan
pemerintahan.
Kedudukan pemerintah dalam hukum privat sebagai wakil dari badan
hukum publik pastinya selalu melakukan hubungan hukum dengan rakyat
baik itu berupa melakukan jual beli, sewa menyewa, dan perbuatan hukum
perdata lainnya. Ketika perbuatan pemerintah tersebut ternyata merugikan
rakyat karena pemerintah melakukan suatu Perbuatan Melawan Hukum
(PMH), maka dapat diberlakukan Pasal 1365 KUHPerdata karena muncul
tindakan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige overheidsdaad).
Pasal 1365 KUHPerdata mengalami pergeseran penafsiran melalui
Yurisprudensi yang berlaku di Indonesia. Di Indonesia terdapat dua
Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menunjukkan kriteria perbuatan
melawan hukum oleh penguasa; pertama, Putusan MA dalam perkara Kasum
(Putusan No. 66K/Sip/1952) dan kedua, Putusan MA dalam perkara
Josopandojo (Putusan No. 838K/Sip/1970). Kedua putusan MA ini
9 Soehino, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm. 2.
10
menunjukkan kriteria perbuatan melawan hukum oleh penguasa adalah : a)
Perbuatan penguasa itu melanggar undang-undang dan peraturan formal yang
berlaku; b) perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat
yang seharusnya dipatuhinya.10
Perlindungan hukum bagi rakyat di bidang hukum perdata terhadap
tindakan hukum pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan
hukum publik dilakukan melalui peradilan umum. Kedudukan pemerintah
atau administrasi negara dalam hal ini tidak berbeda dengan seseorang atau
badan hukum perdata, yaitu sejajar.
Pemerintah dalam melakukan suatu hubungan hukum dengan warga
negara membutuhkan suatu instrumen hukum yang dibuat agar bisa
melaksanakan hubungan hukum tersebut. Hal ini dapat berupa Peraturan
(regeling) maupun Keputusan (Beschikking). Ketika pemerintah mengeluarkan
instrumen hukum tersebut ternyata menimbulkan kerugian bagi seseorang
ataupun badan hukum perdata maka dapat diselesaikan di badan peradilan
sebagai konsep perlindungan hukum kepada rakyat.
Jika pemerintah mengeluarkan peraturan (regeling) yang menimbulkan
suatu kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata, perlindungan
hukum akibat dikeluarkannya peraturan perundang-undangan ditempuh
melalui Mahkamah Agung, dengan cara hak uji materiil. Peraturan di sini
yaitu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang berdasarkan
hierarki peraturan perundang-undangan, contohnya Peraturan Pemerintah;
10
Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 28.
11
Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Sedangkan jika pemerintah mengeluarkan suatu Keputusan
(Beschikking) yang ternyata menimbulkan suatu kerugian bagi seseorang atau
badan hukum perdata, Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan
dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui upaya administratif dan
melalui PTUN.
Kewenangan Peradilan yang berwenang untuk mengadili tindakan
pemerintah yang menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum
perdata dilihat apakah kedudukan pemerintah berada dalam hukum privat
ataukah berada dalam hukum publik. Jika kedudukan pemerintah dalam
hukum privat maka kewenangan peradilan yang berwenang mengadili adalah
Peradilan Umum, sedangkan jika kedudukan pemerintah dalam hukum publik
maka kewenangan peradilan yang berwenang mengadili adalah Peradilan Tata
Usaha Negara.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi rakyat terhadap
tindakan pemerintah berdasarkan konsep Hukum Administrasi Negara.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam perkara No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt dalam menentukan kewenangan mengadili sudah
sesuai dengan konsep Hukum Administrasi Negara.
12
E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Diharapkan penelitian ini akan memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu hukum Hukum Administrasi
Negara pada umumnya dan khususnya pada hal-hal yang terkait dengan
perlindungan hukum bagi rakyat.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi mereka
para dosen, hakim, praktisi hukum, dan pengacara.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Negara Hukum
1. Pengertian Negara Hukum
Pembahasan mengenai pengertian negara hukum dapat dilihat dari
pengertian dari negara hukum dalam arti yang sempit (formil) dan negara
hukum dalam arti yang luas (materiil).
Bahwa faham yang kuno dari pada para Sarjana Hukum abad 19,
terutama sekali di negara-negara kontinental yang sistem hukumnya
adalah tertulis, menganggap bahwa negara hukum adalah negara yang
segala sesuatu tindakannya didasarkan semata-mata pada hukum yang
tertulis, yaitu hukum formil yang konkretnya diwujudkan dalam bentuk
perundang-undangan saja. Hukum diartikan dalam artian yang sempit,
yang formil, yaitu undang-undang.11
Berhubung dengan hal tersebut oleh para Sarjana Hukum, negara
yang demikian ini dianggap sebagai “nachtwakerststaat” (negara penjaga
malam). Negara kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada
pelanggaran terhadap ketentraman dan ketertiban umum seperti yang
telah ditentukan dalam hukum yang tertulis (undang-undang). Oleh
karena itu untuk menyebut negara yang demikian ini sebaiknya
pergunakan saja nama “Negara Undang-Undang” atau dapat juga disebut
“Negara Hukum dalam arti formil atau sempit”.
11
Joeniarto, Ibid., hlm. 19.
14
Tetapi faham negara hukum dalam arti formil ini dalam abad
berikutnya, yaitu abad 20, tidak mungkin lagi dapat dipertahankan.
Negara yang tidak lagi hanya akan melaksanakan dan menjaga undang-
undang saja, tetapi akan menyelenggarakan kesejahteraan umum atau
disebut “Welfare state”. Di dalam Welfare state ini Freies Ermessen
(Kebebasan bertindak dari Pemerintah) mempunyai peranan yang banyak.
Di sini dikemukakan bahwa para penguasa itu boleh mengambil tindakan
sesuai dengan kebijaksanaan sendiri sepanjang itu belum ada
peraturannya dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan umum, hal
tersebut tidak berarti bahwa dalam mengambil tindakan semau sendiri.
Prinsip negara hukum ini dalam mengambil tindakan tentu masih
harus didasarkan kepada pedoman-pedoman tertentu yaitu asas-asas
umum pemerintahan yang berlaku di dalam negara hukum. Tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sekalipun belum diadakan
peraturannya, tindakan-tindakan tersebut tentu tidak boleh menyimpang
daripada peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis sepanjang itu
tidak meninggalkan kebenaran dan keadilan hukumnya serta juga
kepatutan.
Negara hukum yang demikian ini disebut “Negara Hukum dalam
arti luas” atau dapat juga disebut dengan “Negara Hukum dalam arti yang
Materiil”. Dalam zaman modern abad 20 ini pada umumnya negara-
negara yang telah meningkatkan menjadi Welfare state, telah
15
meninggalkan faham Negara Hukum yang Formil dan mempergunakan
Negara Hukum dalam arti yang Materiil.12
Penjabaran mengenai pengertian negara hukum dikenal di Eropa
terdiri dari dua tipe pokok Negara Hukum, yaitu :
a. Type Anglo Saxon (Inggris, Amerika), yang berintikan Rule of Law
yang dimana harus memenuhi syarat: 1) Supremacy before the law,
artinya bahwa hukum diberi kedudukan yang tertinggi, hukum
berkuasa penuh atas negara dan rakyat. Konsekuensinya negara tidak
dapat dituntut apabila bersalah, karena yang bersalah hanyalah pejabat
negara, dan dialah yang dihukum; 2) Equality before of the law,
artinya baik orang, baik pejabat pemerintah maupun masyarakat biasa
adalah sama statusnya menurut pandangan hukum.
b. Type Eropa Kontinental (Jerman, Belanda, Belgia, Skandinavia), yang
berdasarkan pada kedaulatan hukum (Rechtsouvereiniteit), jadi
berintikan Rechstaat (Negara Hukum). Dalam tipe ini hukumlah yang
berdaulat. Negara dipandang sebagai subjek hukum, dan apabila
negara salah, maka dapat dituntut di muka pengadilan sebagaimana
halnya dengan subjek hukum yang lain.13
2. Unsur-Unsur Negara Hukum
Gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia
menulis Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya,
sementara dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum
12
Joeniarto, Ibid., hlm. 20-21. 13
C.S.T. Kansil, op.cit., hlm. 83-84.
16
muncul istilah negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan
bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada
pengaturan (hukum) yang baik.14
Gagasan Plato tentang negara hukum
ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang
menuliskannya dalam buku Politica. Menurut Aristoteles, suatu negara
yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan
berkedaulatan hukum.
Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan
tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali
secara lebih eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan munculnya konsep
rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh pemikiran
Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat)
adalah sebagai berikut :
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.15
Pada wilayah Anglosaxson, muncul pula konsep negara hukum
(rule of law) dari A.V. Dicey, dengan unsur-unsur sebagai berikut :
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti
bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;
14
Azhary, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1995, hlm. 20-21. 15
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, hlm. 57-58.
17
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the
law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat;
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain
oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.16
Adanya unsur “peradilan administrasi dalam perselisihan” pada
konsep rechtsstaat, sementara pada konsep rule of law unsur itu tidak ada,
menunjukkan adanya hubungan historis anatra konsep negara hukum
Kontinental dengan sistem hukum Romawi dan kemunculan Hukum
Administrasi Negara.
Berkenaan dengan adanya hubungan historis ini, Philipus M.
Hadjon mengemukakan sebagai berikut :
“Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang
disebut “civil law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep
rule of law bertumpu atas sistem yang disebut “common law”.
Karakteristik civil law adalah administratif sedangkan karakteristik
common law adalah judicial. Perbedaan karakteristik yang demikian
disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada
zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat
peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan
kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-
pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu
sengketa. Begitu besar peranan administrasi, sehingga tidaklah
mengherankan kalau dalam sistem kontinentallah mula pertama
muncul cabang hukum baru yang disebut “dorit administratif” dan
inti dari droit administratif adalah hubungan antara administrasi
dengan rakyat...di Kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk
membatasi kekuasaan administrasi negara (Hukum Administrasi dan
peradilan administrasi).17
16 Mirian Budiardjo, op.cit., hlm. 58. 17
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, hlm. 73.
18
Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum tersebut kemudian
mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat unsur-
unsurnya sebagai berikut :
a. Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke
controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan
tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah
pengaruh eksekutif;
f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga
negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan
kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah; dan
g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang
merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga
negara.18
Perumusan unsur-unsur negara hukum dalam sistem Kontinental dan
Anglosakson di atas tidak terlepas dari falsafah dan sosio-politik yang
melatarbelakanginya, terutama pengaruh falsafah individualisme, yang
bertumpu pada kebebasan (liberty) individu dan hanya dibatasi oleh
18
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992,
hlm. 29-30.
19
kehendak bebas pihak lain termasuk bebas dari kesewenang-wenangan
penguasa.
3. Indonesia Sebagai Negara Hukum
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD negara Republik
Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang
menganut desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan,
sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah
daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan
pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku
(wetmatigheid van bestuur). Sebagai negara yang menganut desentralisasi
mengandung arti bahwa urusan pemerintahan itu terdiri atas urusan
pemerintahan pusat dan urusan pemerintahan daerah. Artinya ada
perangkat pemerintah pusat dan ada perangkat pemerintah daerah, yang
diberi otonomi yakni kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan
mengurus urusan rumah tangga daerah.
Terlepas dari berbagai pandangan di atas, melihat pada Negara kita
Indonesia dikenal sebagai negara hukum dalam arti materiil atau Welfare
state, yakni suatu negara yang secara intensif mencampuri seluruh
perikehidupan individu warganegaranya, dengan tujuan agar para individu
20
yang hidup dalam negara tersebut mencapai derajat hidup yang
sejahtera.19
Dilihat dari fungsi dan tugas negara tersebut, maka unsur terpenting
dalam negara hukum material (Welfare state) adalah :
1) Jaminan terhadap hak asasi manusia;
2) Pemisahan/pembagian kekuasaan;
3) Legalitas pemerintahan;
4) Peradilan Administrasi yang bebas dan tidak berpihak;
5) Terwujudnya kesejahteraan umum warga negaranya;20
Ditemukan beberapa ketentuan dalam UUD 1945 yang
menunjukkan bahwa negara hukum Indonesia yang menganut
desentralisasi dan berorientasi kesejahteraan. Pertama, pengakuan dan
perlindungan hak asasi manusia sebagaimana terdapat dalam Pasal 28 A
sampai 28 J UUD 1945; Kedua, pemencaran kekuasaan negara, yang
berbentuk pemencaran dan pembagian kekuasaan secara horizontal dan
vertikal. Pemencaran dan pembagian kekuasaan secara horizontal tampak
pada pembentukan dan pemberian kekuasaan kepada DPR (Pasal 19, 20,
21, 22 UUD 1945), kekuasaan Presiden (Pasal 4 sampai 15 UUD 1945),
kekuasaan kehakiman (Pasal 24 UUD 1945), dan beberapa suprastruktur
politik lainnya. Pemencaran dan pembagian kekuasaan secara vertikal
muncul dalam wujud desentralisasi yaitu dengan pembentukan dan
pembagian kewenangan kepada satuan pemerintahan daerah (Pasal 18
UUD 1945). Ketiga, prinsip “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
19
S.F. Marbun, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, 2002, hlm. 7. 20 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Universitas Atmajaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 14.
21
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”; Keempat,
penyelenggaraan negara dan pemerintahan berdasarkan atas hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; Kelima, pengawasan oleh
hakim yang merdeka, yang merupakan implementasi dari Pasal 24 UUD
1945 dan beberapa undang-undang organik tentang kekuasaan kehakiman
dan lembaga-lembaga peradilan.; Keenam, pemilihan umum yang
dilakukan secara periodik; Ketujuh, tersedianya tempat pengaduan bagi
rakyat atas tindakan pemerintah yang merugikan warga negara, yakni
upaya administratif, PTUN, dan Ombudsman.
Dengan merujuk pada konsep negara hukum yang diselenggarakan
melalui mekanisme demokrasi, Indonesia tergolong pula sebagai negara
hukum demokratis.21
Hukum yang dijadikan aturan main (spelregel)
dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta untuk mengatur
hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara penyelenggara negara dan
pemerintahan di Indonesia adalah Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara.
B. Hukum Administrasi Negara
1. Pengertian Hukum Administrasi Negara
Apa itu hukum pemerintahan (bestuursrecht) ? apakah hukum
untuk pemerintahan ataukah hukum dari pemerintah ? , dengan kata lain
apakah hukum ini diletakkan (untuk mengatur) pemerintah ataukah
21 Kenyataan bahwa Indonesia adalah sebagai negara hukum demokratis dikemukakan
oleh Bagir Manan, Hubungan Anatara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi
Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1990, hlm. 245.
22
hukum yang diletakkan oleh pemerintah ? Pertanyaan-pertanyaan ini
dikemukakan oleh A.M. Donner, pada halaman awal bukunya.22
Guna
memahami secara lebih mendalam terhadap Hukum Administrasi Negara
ini, pertanyaan-pertanyaan itu harus diberikan jawaban sebaik-baiknya.
Untuk dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut,
terlebih dahulu dikemukakan mengenai definisi HAN yang dikemukakan
oleh para sarjana berikut ini :
a. Deskrpisi Hukum Aministrasi Negara oleh J.H.A. Logemaan ialah:
hukum administrasi meliputi peraturan-peraturan khusus, yang di
samping hukum perdata positif yang berlaku umum, mengatur cara-
cara organisasi negara ikut serta dalam lalu lintas masyarakat. (de
bijzondere regels, die naast het voor allen geldende burgerlijk recht,
beheersen de wijze, waarop de staatsorganisatie aan het
maatschappelijk verkeer deelneemt).23
Hukum Administrasi Negara
meliputi peraturan-peraturan yang berkenaan dengan administrasi.
Administrasi berarti sama dengan pemerintahan. Oleh karena itu HAN
disebut juga hukum tata pemerintahan. Perkataan Pemerintahan dapat
disamakan dengan kekuasaan eksekutif, artinya pemerintahan
merupakan bagian dari organ dan fungsi pemerintahan, yang bukan
organ dan fungsi pembuat undang-undang dan peradilan. (Het
administratief recht omvat regels, die betrekking hebben op de
22
Soehardjo, Pengantar Hukum Administrasi Negara Pertumbuhan dan
Perkembangannya, Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, Semarang, 1994, hlm. 11. 23
Philipus M. Hadjon et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 23.
23
administratie. Administratie betekent hetzelfde als bestuur.
Administratief recht wordt daarom ook wel bestuursrecht genoemd.
Het woord bestuur pleegt te worden gelijkgesteldmet uitvoerende
macht. Het betekent dan het gedeelte van de overheidsorganen en van
de overheidsfuncties, die niet zijn wetgevende en rechtsprekende
organen en functies).24
b. Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Pemerintahan pada
dasarnya dapat dibedakan berdasarkan tujuannya dari hukum tata
negara menurut peraturan-peraturan hukum yang menentukan (tugas-
tugas yang dipercayakan) kepada organ-organ pemerintahan itu,
menentukan tempatnya dalam negara, menentukan kedudukan
terhadap warga negara, dan peraturan-peraturan hukum yang
mengatur tindakan-tindakan organ pemerintahan itu. (Het
Administratief recht of bestuursrecht-hoofdzakelijk om doelmatig-
heidsredenen van het staatsrecht te onderscheiden-omvat de
rechtsregelen, dei bepalen, aan welke organen het bestuur is
toevertrouwd, welke hun plaats is in de staat, tegenover elkander en
tegenover de burgerij, en welke rechtsregelen het handelen van die
organen beheersen).25
c. HAN sebagai menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan
memungkinkan para pejabat (ambtsdrager) administrasi negara
24
A.D. Belinfante, Kort Begrip van het Administratief Recht, Samsom Uitgeverij, Alphen
aan de Rijn, 1985, hlm. 11. 25
Van Poelje, Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde, Samsom, Alphen aan de Rijn,
1964, hlm. 4.
24
melakukan tugas mereka yang khusus. Lebih lanjut Utrecht
menyebutkan bahwa HAN adalah hukum yang mengatur sebagian
lapangan pekerjaan administarsi negara. Bagian lain diatur oleh
Hukum Tata Negara (hukum negara dalam arti sempit), Hukum
Privat, dan sebagainya.26
d. Hukum Administrasi Negara, hukum tata pemerintahan adalah
keseluruhan hukum yang berkaitan dengan (mengatur) administrasi,
pemerintah, dan pemerintahan. Secara global dikatakan, Hukum
Administrasi Negara merupakan instrumen yuridis yang digunakan
oleh pemerintah untuk secara aktif terlibat dalam kehidupan
kemasyarakatan, dan di sisi lain HAN merupakan hukum yang dapat
digunakan oleh anggota masyarakat untuk memengaruhi dan
memperoleh perlindungan dari pemerintah. Jadi HAN memuat
peraturan mengenai aktivitas pemerintahan. (Administratief recht,
bestuursrecht het heft alles te maken met administrare, het besturen.
Global gezged; het is het recht dat de overheid die zich actief bemoeit
met de samenleving het daardoor nodige, juridische instrumentarium
biedt; en tegelijkkertijd het recht dat de leden van de samenleving
invloed op en bescherming tegen diezelfde, zich met hen en hun
omgeving bemoeiende overheid moet geven. Het recht betreffende de
actieve overheidsbemoeiing dus)27
26
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas,
Surabaya, 1988, hlm. 8-9. 27
H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht,
Uitgeverij Lemma BV, Utrecht, 1995, hlm. 1.
25
e. Hukum Administrasi Negara adalah hukum mengenai pemerintah di
dalam kedudukan, tugas, dan fungsinya sebagai Administrator Negara
yang di mana pemerintah adalah “pengurus harian” negara dan
pemerintah adalah keseluruhan daripada jabatan-jabatan (pejabat-
pejabat) di dalam suatu negara yang mempunyai tugas dan wewenang
POLITIK NEGARA serta PEMERINTAHAN.28
f. Pendapat kami adalah bahwa Hukum Administrasi Negara berkenaan
dengan organisasi dan fungsionalisasi pemerintahan umum dalam
hubungannya dengan masyarakat. (Onze opvatting is dat het
bestuursrecht betrekking heeft op de organisatie en functioneren van
het openbaar bestuur in zijn relatie met de sameleving).29
Mendasarkan beberapa definisi tersebut di atas, tampak bahwa
dalam Hukum Administrasi Negara terkandung dua aspek, yaitu:
pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana
alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya; kedua, aturan-
aturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara
alat perlengkapan administrasi negara atau pemerintah dengan warga
negaranya.30
2. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara
Berkaitan mengenai pembahasan tentang ruang lingkup dari
Hukum Administrasi Negara, Prajudi Atmosudirdjo membagi HAN
28
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994,
hlm. 11. 29 P. De Haan, et al., Bestuursrecht in de Sociale Rechtstaat, deel 1, Kluwer, Devender,
1986, hlm. 21. 30
Soehino, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan, loc.cit., hlm. 2.
26
dalam dua bagian; HAN heteronom dan HAN otonom. HAN heteronom
bersumber pada UUD, TAP MPR, dan UU adalah hukum yang mengatur
seluk-beluk organisasi dan fungsi administrasi negara. HAN otonom
adalah hukum operasional yang diciptakan pemerintah dan administrasi
negara.31
Sementara penulis HAN lain, membagi bidang HAN menjadi
HAN umum (algemeen deel) dan HAN khusus (bijzonder deel).32
HAN umum berkenaan dengan peraturan-peraturan umum
mengenai tindakan hukum dan hubungan Hukum Administrasi Negara
atau peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip yang berlaku untuk semua
bidang Hukum Administrasi Negara,33
dalam arti tidak terikat pada
bidang tertentu. Sedangkan HAN khusus adalah peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan bidang-bidang tertentu seperti peraturan tentang tata
ruang, peraturan tentang kepegawaian, peraturan tentang pertanahan,
peraturan kesehatan, peraturan perpajakan, peraturan bidang pendidikan,
peraturan pertambangan dan sebagainya.
P. de Haan dan kawan-kawannya mengklasifikasikan HAN yang
menurutnya ada bagian-bagian pokok (hoofdgebieden) dari Hukum
Administrasi Negara khusus, yaitu hukum ketertiban dan keamanan
umum (recht openbare orde en veiligheid), Hukum Administrasi Negara
tentang tata ruang (ruimtelijk bestuursrecht), Hukum Administrasi Negara
bidang ekonomi (economisch bestuursrecht), Hukum Administrasi
31
Prajudi Atmosudirdjo, op.cit., Cetakan 1, 1981, hlm. 35. 32
Dapat dilihat di H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, op.cit., hlm. 5. dan A.M. Donner,
Nedherlands Bestuursrecht, Samsom H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan Rijn, 1987, hlm. 56. 33
A.D. Belinfante, op.cit., hlm. 17, P. Nicolai, et.al., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994,
hlm. 8.
27
Negara bidang sosial (sociaal bestuursrecht), Hukum Administrasi
Negara bidang kebudayaan (cultureel bestuursrecht), Hukum
Administrasi Negara bidang kesehatan (medisch bestuursrecht), Hukum
Administrasi Negara bidang keuangan (fiscaal bestuursrecht).34
C.J.N Versteden menyebutkan bahwa secara garis besar Hukum
Administrasi Negara meliputi bidang pengaturan sebagai berikut :
a. Peraturan mengenai penegakan ketertiban dan keamanan kesehatan,
kesopanan, dengan menggunakan aturan tingkah laku bagi warga
negara yang ditegakkan dan ditentukan lebih lanjut oleh pemerintah;
b. Peraturan yang ditujukan untuk memberikan jaminan sosial bagi
rakyat;
c. Peraturan-peraturan mengenai tata ruang yang ditetapkan
pemerintah;
d. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas pemeliharaan
dari pemerintah termasuk bantuan terhadap aktivitas swasta dalam
rangka pelayanan umum;
e. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemungutan pajak;
f. Peraturan-peraturan mengenai perlindungan hak dan kepentingan
warga negara terhadap pemerintah;
g. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penegakan hukum
administrasi;
34
P. de Haan, et.al., op.cit., hlm. 84-90.
28
h. Peraturan-peraturan mengenai pengawasan organ pemerintahan yang
lebih tinggi terhadap organ yang lebih rendah;
i. Peraturan-peraturan mengenai kedudukan hukum pegawai
pemerintahan.35
Philipus M. Hadjon dan kawan-kawan membagi Hukum
Administrasi Negara menjadi menjadi 2 bagian, yaitu Lapangan Hukum
Administrasi Khusus dan Lapangan Hukum Administrasi Umum. Yang
dimaksud dengan hukum administrasi khusus adalah peraturan-peraturan
hukum yang berhubungan dengan bidang tertentu dari kebijaksanaan
seperti contoh : hukum atas tata ruang dan hukum perizinan bangunan.
Sebaliknya yang dimaksud dengan hukum administrasi umum adalah
peraturan-peraturan hukum yang tidak terikat pada suatu bidang tertentu
dari kebijaksanaan penguasa, seperti contoh : algemene beginselen van
behoorlijk bestuur (asas-asas umum pemerintahan yang baik), dan
undang-undang peradilan tata usaha negara.36
Di Indonesia Hukum Administrasi Negara Khusus ini telah
dihimpun dalam Himpunan Peraturan-Perundang-Undangan Republik
Indonesia, yang disusun berdasarkan sistem Engelbrecht, yang
didalamnya dimuat tidak kurang dari 88 bidang.37
Mendasarkan dari pemaparan beberapa pendapat sarjana di atas,
dapatlah disebutkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum
35
C.J.N. Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samsom H.D. Tjeenk Willink,
Alphen aan de Rijn, 1984, hlm.16-17. 36
Philipus M. Hadjon et.al., op.cit., hlm. 32. 37
Dapat dilihat di Philipus M. Hadjon et.al., op.cit., hlm. 35-38.
29
yang berkenaan dengan pemerintahan (dalam arti sempit) {Bestuursrecht
of administratief recht omvat regels, die betrekking heben op de
administratie}; yaitu hukum yang cakupannya - secara garis besar -
mengatur hal-hal sebagai berikut :
a. Perbuatan pemerintah (pusat dan daerah) dalam bidang publik;
b. Kewenangan pemerintahan (dalam melakukan perbuatan di bidang
publik tersebut); di dalamnya mengatur mengenai dari mana, dengan
cara apa, dan bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya;
penggunaan kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrumen
hukum, karena itu diatur pula tentang pembuatan dan penggunaan
instrumen hukum;
c. Akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan
kewenangan pemerintahan itu;
d. Penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidang
pemerintahan.38
Sehubungan dengan adanya Hukum Administrasi Negara tertulis,
yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan
Hukum Administrasi Negara tidak tertulis, yang lazim disebut asas-asas
umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk
bestuur), maka keberadaan dan sasaran dari Hukum Administrasi Negara
adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang tugas dan
kewenangan pemerintahan dalam berbagai dimensinya sehingga tercipta
38
Ridwan HR, op.cit., hlm. 45-46.
30
penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan yang baik dalam
suatu negara hukum. Dengan demikian, keberadaan Hukum Administrasi
Negara dalam suatu negara hukum merupakan conditio sine quanom.
3. Kedudukan Hukum Administrasi Negara Dengan Hukum Lainnya
a. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara
Berbagai pendapat para ahli hukum mendapatkan kesamaan
pendapat bahwa antara HAN dan HTN itu memiliki keterkaitan yang
erat. Hal ini dapat dilihat dari pendapat J.B.J.M. ten Berge bahwa
Hukum Administrasi Negara adalah sebagai perpanjangan dari
Hukum Tata Negara atau hukum sekunder dari HTN. Pendapat
J.B.J.M. ten Berge ini agaknya dipengaruhi pada abad ke-19 Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara merupakan satu
kesatuan, dan Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai
tambahan dari Hukum Tata Negara (aanhangsel van het staatsrecht)
atau sebagai bagian dari Hukum Tata Negara (als een deelgebied van
het staatsrecht).39
Bahsan Mustafa mengatakan bahwa Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara itu merupakan dua jenis hukum yang
dapat dibedakan akan tetapi tidak dapat dipisahkan yang satu dari
yang lainnya.40
Kalaupun dilakukan pembedaan, pembedaan antara
Hukum Tata Negara dan Hukum Adminisgtrasi Negara ini
39
E.M.H. Hirsch Ballin, Rechstaat & Beleid, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1991, hlm.
100. 40
Bahsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990, hlm. 60.
31
sesungguhnya tidaklah prinsipil melainkan berdasarkan satu
“doelmatige arbeidsverdeling” akbat perkembangan sejarah.41
Menurut WF. Prins, tidak mungkin untuk menarik garis batas
yang tegas antara kedua jenis hukum ini.42
Karena kedua bidang
hukum ini memiliki keterkaitan yang erat, maka Kranenburg
berpendapat bahwa, “kita tidak mungkin mempelajari Hukum
Administrasi Negara, tanpa didahului (dengan pelajaran) Hukum Tata
Negara”. Hubungan semacam ini agaknya sama yang terjadi pada
Hukum Dagang dan Hukum Perdata, “Geen wetenschappelijke studie
van het handelsrecht mogelijk, zal zijn zonder voorafgaande inleiding
in het burgelijk recht”, tidak mungkin mengkaji secara ilmiah hukum
dagang tanpa didahului dengan (pelajaran) hukum perdata.43
Untuk lebih memahami korelasi antara HTN dan HAN, patut
diperhatikan pendapat F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, yang
menyebutkan bahwa susunan dan kegiatan organ pemerintahan dan
kenegaraan diatur dalam konstitusi yang merupakan hukum tertulis.
Lebih lanjut disebutkan sebagai berikut :44
“Naast de geschreven (grond) wettelijke regels bestaan regels van
ongeschreven recht die de geschreven grondwet aanvullen... Dit
geheel van geschreven en ongeschreven regels wordt wel
constitutioneel recht genoemd. Deze term kan men synoniem achten
met staatsrecht (in enge zin). Staatsrecht ( in enge zin) en
41 Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1975, hlm. 17. 42
WF. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara,
Prandya Paramita, Jakarta, 1983, hlm. 10. 43 Kuntjoro Purbopranoto, loc.cit., hlm. 17. 44
F.A.M. Stoink en J.G. Steenbeek, Inleiding in Het Staats-en Administratief Recht,
Samsom H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan de Rijn, 1985, hlm. 15.
32
administratief recht worden te zamen ook wel staatsrecht (inruime
zin) genoemd”. (Di samping peraturan-perundang-undangan {UUD}
tertulis ada peraturan-peraturan tidak tertulis yang melengkapi
konstitusi tertulis. Keseluruhan dari peraturan tertulis dan peraturan
tidak tertulis ini dinamakan hukum konstitusi. Istilah ini sinonim
dengan Hukum Tata Negara {dalam arti sempit}. Hukum Tata Negara
{dalam arti sempit} dan bersama-sama Hukum Administrasi Negara
dinamakan Hukum Tata Negara {dalam arti luas}).
Lebih lanjut disebutkan bahwa, “aan het onderscheid tussen
staatsrecht (in enge zin) en administratief recht zijn geen
rechtsgevolgen verbonden. Beide delen van het recht zijn nauw bij
elkaar betrokken. Staatsrecht (in engen zin) is zonder inzicht in het
administratiefrecht niet te begrijpen. Het omgekeerde geldt ook”,
(membedakan antara Hukum Tata Negara {dalam arti sempit} dengan
Hukum Administrasi Negara tidak menimbulkan akibat-akibat hukum
tertentu. Kedua bagian hukum {Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi, pen.} saling berhubungan erat. Hukum negara {dalam
arti sempit} tanpa bantuan Hukum Administrasi tidak dapat dipahami,
begitu pula sebaliknya).
b. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Perdata
Hubungan Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata
menurut beebrapa ahli adalah sebagai berikut :
1. Menurut Van Vraag : HAN dan hukum perdata tidak saling
berhubungan, jadi berdiri sendiri.
2. Scholten : bagian dari HAN yang dapat dibedakan dari hukum
perdata (hukum yang bersifat sendiri) adalah : hukum tentang
organisasi masayarakat (hukum konstitusi). Beliau berpendapat
bahwa hukum perdata adalah cadangan HAN, dengan artian apa
yang belum diatur leh HAN dapat menggunakan peraturan
Hukum Perdata.
3. Prins : HAN dapat dilengkapi oleh Hukum Perdata.
33
Dari keterangan para ahli di atas terlihat bahwa sepanjang
hukum publik tidak mengadakan aturan-aturan mengenai sesuatu hal,
maka hukum perdata dapat diberlakukan sebagai hukum umum atau
privat, tetapi bila hukum publik (HAN) mengaturnya, maka yang
diapakai adalah ketentuan hukum publik. Terlihat di sini bahwa
kedudukan HAN adalah hukum khusus, sedangkan perdata hukum
umum, sehingga berlaku asas Lex Specialis Derogate Lex Generalis,
yaitu hukum khusus mengesampingkan hukum umum.
Jadi bila HAN tidak mengatur maka yang dipakai adalah
ketentuan hukum perdata, umpamanya saja seperti peraturan-peraturan
yang berhubungan dengan perjanjian, pemakaian peraturan-peraturan
tentang badan-badan hukum perdata seperti PT, CV, dan lain-lain.
Bila terjadi suatu peristiwa hukum, maka hakim perdata dapat
memutuskan dengan hukum perdata.
Dalam hubungan hukum perdata, negara dapat turut campur
(Freies Ermessen) yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan
negara yaitu negara kesejahteraan. Contohnya saja : Hukum Pajak.
Menurut Cluysenaer dalam bidang hukum pajak, hubungan jelas
dikuasai oleh hukum publik, tetapi dikuasai pula oleh hukum harta
kekayaan (perdata). Ketentuan hukum publik terlihat dari hak untuk
menetapkan pajak yang sifatnya adalah menurut hukum publik.45
45
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm. 29.
34
Viktor Situmorang berpendapat, bahwa terjadinya hubungan
antara HAN dan hukum perdata diantaranya :
1. Saat/waktu terjadi adopsi/pengangkatan kaidah hukum perdata
menjadi kaidah HAN;
2. Badan Administrasi Negara melakukan perbuatan-perbuatan yang
dikuasai oleh hukum perdata;
3. suatu kasus dikuasai oleh hukum perdata dan HAN maka kasus
ini diselesaikan berdasarkan ketentuan-ketentuan HAN.46
c. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana
Hubungan antara HAN dan hukum pidana menurut para ahli
adalah sebagai berikut :47
1. H.J. Romeyn, beliau adalah seorang ahli pidana yang menurutnya
hukum pidana dipandang sebagai badan pembantu (hulprecht) bagi
HAN, karena penetapan sanksi pidana merupakan salah satu sarana
untuk menegakkan HAN. Sebaliknya, peraturan-peraturan hukum
di dalam peraturan perundang-undangan administrasi dapat
dimasukkan dalam lingkungan hukum pidana.
2. Scholten, berpendapat bahwa hukum pidana memberikan sanksi
luar biasa, baik kepada beberapa kaidah hukum umum, maupun
kepada peraturan administrasi negara.
Scholten membagi hukum pidana menjadi dua yaitu:
a. Hukum pidana umum yang mengatur pelanggaran hukum;
46 Viktor Situmorang, Dasar-dasar Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta,
1989, hlm. 57. 47
Jum Anggriani, op.cit., hlm. 30-31.
35
b. Hukum pidana pemerintahan yang mengatur pelanggaran
peraturan perundang-undangan.
3. E. Utrecht, berpendapat bahwa hukum pidana memberi sanksi
istimewa baik atas pelanggaran kaidah hukum privat maupun
hukum atas pelanggaran kaidah hukum publik yang ada. Contoh
Pasal 558 KUHP yang isinya “pegawai cacatan sipil yang alpa
menuliskan suatu akta dalam daftar/yang menuliskan suatu akta
pada sehelai kertas yang terlepas di pidana dengan denda
sebanyak-banyaknya seribu lima ratus rupiah”.
4. Van Kan mengatakan bahwa hukum pidana pada hakekatnya tidak
memuat kaidah-kaidah baru, hukum pidana tidak mengadakan
kewajban-kewajiban hukum baru, kaidah-kaidah yang telah ada di
bagian lain seperti HAN, hukum perburuhan, hukum pajak, HTN
dan sebagainya dipertahankan dengan ancaman hukuman atau
dengan penjatuhan hukuman yang berat.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan
antara HAN dengan hukum pidana adalah bila terjadi pelanggaran
terhadap HAN, maka sanksinya terdapat dalam hukum pidana. Karena
perkembangan HAN begitu cepat sehingga banyak terjadi pelanggaran-
pelanggaran terhadap administrasi negara (peraturan-peraturan) yang
dapat dikenakan sanksi secara pidana. Biasanya berupa sanksi
administrasi atau denda administrasi. Badan hukum juga dapat dijatuhi
36
hukuman, yaitu yang dapat dikenakan sanksi adalah anggota pengurus
dan kuasanya.48
C. Kedudukan Hukum Pemerintah
1. Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Privat
Negara, provinsi, dan lain-lain dalam perspektif hukum perdata
disebut sebagai badan hukum publik. Badan hukum (rechtspersoon)
adalah; “Personen al wat (buiten den enkelen mensch) zich in het
maatschappelijk leven door wetsbepaling als een persoon voordoet, als
zodanig rechten heeft en bevoegdheden bezit, zedelijk lichaam, naamloze
vennotschap, rederij, vereeniging, enz”.,49
(kumpulan orang, yaitu yang
semua di dalam kehidupan masyarakat {dengan beberapa perkecualian}
sesuai dengan ketentuan undang-undang dapat bertindak sebagaimana
manusia, yang memiliki hak-hak dan kewenangan-kewenangan, seperti
kumpulan orang {dalam suatu badan hukum}, perseroan terbatas,
perusahaan perkapalan, perhimpunan, {sukarela}, dan sebagainya).
Dalam ungkapan lain, “Wat in wettelijken zin als een persoon
beschouwd wordt en waaran alzoo volkomen rechtsbevoegdheidwordt
verschaft, om rechtshandelingen te verrichten, in rechten te verschijnen
en vermoegensrechten uit te oefenen, iedere vereeniging die
rechtspersoonlijkheid verkregen heeft”,50
yaitu (apa yang dalam
48
Jum Anggriani, loc.cit., hlm. 31. 49
R.K. Kuipers, Geillusteerd Woordenboek Nederlandsche Taal, Maatschappy
“Elssevier”, Amsterdam, 1901, hlm. 1133. 50
Van Dale’s, Groot Woordenboek der Nederlandsche Taal, ‘s-Gravenhage en Leiden,
1914, hlm. 1501.
37
pengertian undang-undang dianggap seperti orang dan kepada siapa yang
dengan sepenuhnya diberikan wewenang untuk melakukan tindakan
hukum dan secara hukum tampil dan bertindak dengan harta kekayaan
{terpisah}; badan hukum adalah setiap perhimpunan yang diberi status
badan hukum).
Menurut Bothlingk, “Dan is rechtpersoon een niet mens zijn
plicht-en bevoegdheidssubject”,51
(badan hukum adalah subjek kewajiban
dan kewenangan yang bukan manusia). Sebagai subjek hukum bukan
manusia, perbuatan badan hukum tidak seperti perbuatan manusia (dat de
rechtspersoon derhalve is een niet-menselijk daadsubject). Lebih lanjut
Bothlingk mengatakan, “De rechtspersoon, zo kunnen wij besluiten, is de
juriese personificatie van een uit de maatschappelijke werkelijkheid
geconstrueerde identiteit, die daden kan verrichten”,52
(kita tentukan
bahwa badan hukum adalah penjelmaan yuridis dari identitas yang
dibentuk dari realitas masyarakat, yang dapat melakukan berbagai
tindakan).
Bila berdasarkan hukum publik negara, provinsi, dan kabupaten
adalah organisasi jabatan atau kumpulan dari organ-organ kenegaraan dan
pemerintahan, maka berdasarkan hukum perdata negara, provinsi, dan
kabupaten adalah kumpulan dari badan-badan hukum yang tindakan
hukumnya dijalankan oleh pemerintah. Menurut J.B.J.M. ten Berge, “De
51
Frederick Robert Bothlingk, Het Leerstuk der Vertegenwoordiging en Zijn Toepassing
op Ambtsdragers in Nederland en in Indonesia, Juridische Boekhandel en Uitgeverij A. Jongbloed
& Zoon ‘s-Gravenhage, 1954, hlm. 23. 52
Frederick Robert Bothlingk, op.cit., hlm. 26.
38
overheid kan net als natuurlijke personen en privaatrechtelijke
rechtspersonen deelnemen aan het privaatrechtelijke rechtsverkeer. De
overheid koopt en verkoopt, huurt en verhuurt, pacht en verpacht, sluit
overeenkomsten en bezit eigendom”,53
Pemerintah sebagaimana manusia
dan badan hukum privat terlibat dalam lalu lintas pergaulan hukum.
Pemerintah menjual dan membeli, menyewa dan menyewakan,
menggadai dan menggadaikan, membuat perjanjian, dan mempunyai hak
milik).
Hal senada juga dikemukakan pula oleh C.J.N. Versteden berikut
ini :
“De overheid-en het bijzonder het bestuur-komt op allerlei wijzen met
privaatrecht in aanraking. Soms neemt zij aan het privaatrechtelijke
rechtsverkeer deel op gelijke voet als particulieren, zonder dat haar
bijzonder positie als overheid en behartiging van het algemeen
belang daarbij in het geding. Zo treedt de overheid op als eigenares
van gronden en gebouwen.... We zien de overheid ook geldleningen
afsluiten, apparaten en machines kopen. In deze gevallen de
overheid evenals de particuliere personen aan de regels van het
privaatrecht onderworpen”.54
(Pemerintah-dan dalam kedudukannya yang spesifik sebagai
pemerintah-menggunakan berbagai ketentuan hukum privat dalam
pergaulannya. Kadang-kadang mereka terlibat dalam lalu lintas
pergaulan keperdataan dalam kedudukan yang sama dengan pihak
swasta, tanpa kedudukan spesifiknya sebagai pemerintah dan yang
melindungi kepentingan umum dalam hal terjadi sengketa. Dengan
demikian, pemerintah dapat betindak sebagai pemilik tanah dan
bangunan.... kita juga menyaksikan pemerintah meminjam uang,
membeli mesin-mesin dan peralatan. Dalam hal ini pemerintah
seperti halnya seorang swasta tunduk pada peraturan hukum
keperdataan).
53 J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door de Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer,
1996, hlm. 85. 54
C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 283.
39
Ketika pemerintah bertindak dalam lapangan hukum keperdataan
dan tunduk pada peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai
wakil dari badan hukum (publik), bukan wakil dari jabatan. Oleh karena
itu, kedudukan pemerintah dalam pergaulan hukum keperdataan tidak
berbeda dengan seseorang atau badan hukum privat, tidak memiliki
kedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa
keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan
hukum perdata (equality before the law) dalam peradilan umum.
Untuk mengetahui kapan pemerintah bertindak sebagai wakil dari
jabatan dan kapan mewakili badan hukum (publik) dapat diperhatikan dari
penjelasan sebagai berikut :
“Orgaan en rechtspersoon dienen scherp onderscheiden te worden. In
verreweg de meeste gevallen vallen zij niet samen. Op gemeentelijk
niveau zijn bij voorbeeld de raad, het college van burgemeester en
wethouders en de burgemeester organen. De rechspersoon is het
openbaar lichaam gemeente. Men kan dus geen privaatrechtelijke
contracten afsluiten met het college van burgemeester en wethouders
of de gemeenteraad, maar alleen met de gemeente. Voor die
gemeente wordt dan privaatrechtelijk beslist door de raad of,
krachtens delegatie, door burgemeester en wethouders, terwijl de
burgemeester als formele representaant optreedt. Dit onderscheid is
onder meer belangrijk voor het procesrecht. In gevallen van
administratief beroep of administratief rechtspraak wordt het beroep
ingesteld tegen het besluit van het (beschikkende) orgaan. Dit
orgaan is dan procespartij (verweerder). Civilrechtelijk is de
rechtspersoon procespartij en moet, bij gemeente, de burgeemester
aantreden”.55
(Organ dan badan hukum dapat dibedakan dengan tegas. Dalam
berbagai hal keduanya tidak sama. Pada wilayah kabupaten terdapat
organ-organ seperti DPRD, pemerintahan harian, dan
bupati/walikota. Badan hukumnya adalah badan umum kabupaten.
Artinya kita tidak dapat membuat perjanjian dengan DPRD,
55
F.A.M. Stoink en J.G. Steenbeek, op.cit., hlm. 34.
40
pemerintahan harian, dan bupati/walikota, tetapi hanya dengan
kabupaten. Pembuatan keputusan yang bersifat privat bagi kabupaten
dilakukan oleh dewan, atau berdasarkan delegasi, oleh pemerintahan
harian. Dalam berbagai hal, bupati/walikota bertindak sebagai wakil
{dari kabupaten}. Perbedaan antara organ dengan badan hukum ini
sangat penting dalam proses hukum. Dalam hal upaya administratif
atau badan peradilan administrasi, gugatan ditujukan terhadap organ
yang membuat keputusan tersebut. Organ inilah yang menjadi pihak
dalam proses hukum. sementara dalam hal keperdataan, badan
hukumlah yang menjadi pihak, misalnya pada kabupaten, bupati
tampil bertindak {untuk mewakili badan hukum}, yaitu kabupaten).
Berdasarkan keterangan tersebut tampak bahwa tindakan hukum
pemerintah di bidang keperdataan adalah sebagai wakil dari badan hukum
(rechtspersoon), yang tunduk dan diatur dengan hukum perdata. Dengan
demikian, kedudukan pemerintah dalam hukum privat adalah sebagai
wakil dari badan hukum (publik). 56
2. Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Publik
Prespektif hukum publik menyebutkan bahwa negara adalah
organisasi jabatan. Di antara jabatan-jabatan kenegaraan ini ada jabatan
pemerintahan. Menurut pendapat H.D. van Wijk/Willem
Konijnenbelt57
bahwa, “Di dalam hukum mengenai badan hukum kita
mengenal perbedaan antara badan hukum dan organ-organnya. Badan
hukum adalah pendukung hak-hak kebendaan (harta kekayaan). Badan
hukum melakukan perbuatan melalui organ-organnya, yang mewakilinya.
Perbedaan antara badan hukum dan organ berjalan paralel dengan
perbedaan antara badan umum (openbaar lichaam) dengan organ
pemerintahan.
56
Ridwan H.R., op. cit., hlm. 90 57
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, op.cit., hlm. 97.
41
Paralelitas perbedaan itu kurang lebih tampak ketika menyangkut
hubungan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan dari badan umum
(yang digunakan oleh badan pemerintahan). Indroharto menyebutkan
bahwa lembaga-lembaga hukum publik itu memiliki kedudukan yang
mandiri dalam statusnya sebagai badan hukum (perdata). Lembaga-
lembaga hukum publik yang menjadi induk dari Badan atau Jabatan TUN
ini yang besar-besar di antaranya adalah Negara, Lembaga-lembaga
Tertinggi dan Tinggi Negara, Departemen, Badan-badan Non
Departemen, Provinsi, Kabupaten, Kotamadya, dan sebagainya dimana
menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dapat
melakukan perbuatan/tindakan hukum perdata.58
Meskipun organ atau jabatan pemerintahan dapat melakukan
hukum perdata, mewakili badan hukum induknya, namun yang
terpenting-dalam konteks Hukum Administrasi Negara-adalah mengetahui
organ atau jabatan pemerintahan dalam melakukan hukum yang besifat
publik. Dalam Hukum Administrasi yang menempatkan organ atau
jabatan pemerintahan sebagai salah satu objek kajian utama, mengenal
karakteristik jabatan pemerintahan merupakan sesuatu yang tak
terelakkan.
P. Nicolai dan kawan-kawan menyebutkan beberapa ciri atau
karakteristik yang terdapat pada jabatan atau organ pemerintahan, yaitu :59
58
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993. hlm. 65-66. 59
Ciri-ciri organ pemerintahan ini disarikan dari P. Nicolai, et.al., op.cit., hlm. 2-26.
Sebagaimana dikutip oleh Ridwan H.R., op. cit., hlm 74 – 75.
42
a. Het bestuursorgaan oefent de beovegdheid uit op eigen naam en
verantwoordelijkheid. Dat laatste betekent dat als politiek of ambtelijk
verantwoording moet worden afgelegd, of als het bestuur zich
tegenover de rechter heeft te veranwoorden voor de wijze van
uitoefening van de bevoegdheid, het bestuursorgaan drager is van de
verantwoordingsplicht.
b. Wordt een bevoegdheidsuitoefening via een bestuursrechtelijke
voorziening, dat wil zeggen in bezwaar of beroep, bestreden, dan
treedt het bestuursorgaan als verwerende procespartij op.
c. Bestuursorganen kunnen, zoals reeds aan de orde is gemoken, in een
bestuursrechtelijke voorziening ook als klagende partij optreden.
d. Bestuursorganen bezitten in het algemeen geen eigen vermoegen, Wel
maken die organen deel uit van een privaatrechtelijke rechtspersoon
met vermoegen. Zo zijn de bergemeester, het college van B en W en de
gemeenteraad organen van het openbare lichaam “de gemeente”, een
lichaam waaraan, zoals we gezien hebben, op grond van art. 2:1 BW
privaatrechtelijke rechtspersoonlijkheid toekomt. Besluit de rechter
om aan het bestuur een dwangsom op te leggen of om het bestuur tot
vergoeding van schade te veroordelen, dan zal hij aan een
privaatrechtelijke rechtspersoon (als drager van vermoegen) de
vereiste verplichtingen moeten opleggen.
Terjemahannya :
a. Organ pemerintahan menjalankan wewenang atas nama dan tanggung
jawab sendiri, yang dalam pengertian modern, diletakkan sebagai
pertanggungjawaban politik dan kepegawaian atau tanggung jawab
pemerintah sendiri di hadapan Hakim. Organ pemerintah adalah
pemikul kewajiban tanggung jawab.
b. Pelaksanaan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan
norma hukum administrasi, organ pemerintahan dapat bertindak
sebagai pihak tergugat dam proses peradilan, yaitu dalam hal ada
keberatan, banding, atau perlawanan.
c. Di samping sebagai pihak tergugat, organ pemerintahan juga dapat
tampil menjadi pihak yang tidak puas, artinya sebagai penggugat.
d. Pada prinsipnya organ pemerintahan tidak memiliki harta kekayaan
sendiri. Organ pemerintahan merupakan bagian (alat) dari badan
hukum menurut hukum privat dengan harta kekayaannya. Jabatan
Bupati atau Walikota adalah organ-organ dari badan umum
“Kabupaten”. Berdasarkan aturan hukum badan umum inilah yang
dapat memiliki harta kekayaan, bukan organ pemerintahannya.
Olegh karena itu, jika ada putusan hakim yang berupa denda atau uang
paksa (dwangsom) yang dibebankan kepada organ pemerintah atau
hukuman ganti kerugian dari kerusakan, maka kewajiban membayar
dan ganti kerugian itu dibebankan kepada badan hukum (seabgai
pemegang harta kekayaan).
43
Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan
kewajiban atau diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum,
namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Jabatan hanyalah fiksi.
Perbuatan hukum jabatan dilakukan melalui perwakilan
(vertegenwoordiging), yaitu pejabat (ambtdrager). Pejabat bertindak
untuk dan atas nama jabatan.
Menurut E. Utrecht, oleh karena diwakili pejabat, maka jabatan itu
berjalan. Yang menjalankan hak dan kewajiban yang didukung oleh
jabatan ialah pejabat. Jabatan bertindak dengan perantaraan pejabatnya.
Jabatan walikota berjalan (= menjadi konkret = menjadi bermanfaat bagi
kota) oleh karena diwakili oleh Walikota.60
Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan tugas
dan wewenang, karena pejabat tidak “memiliki” wewenang. Yang
memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini
Logemaan mengatakan :
“Het is dan door het ganse staatsrecht heen het ambt, waaraan
plichten worden opgelegd, dat tot rechtshandelingen wordt bevoegd
gemaakt. Plichten en rechten werken door, ongeacht de wisseling
der ambtsdragers”.61
(Berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani dengan
kewajiban, berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Hak dan
kewajiban terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat).
F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek memberikan ilustrasi
mengenai perbuatan hukum dari jabatan dan pejabat ini, “De
60 E. Utecht, op.cit., hlm. 202 61
J.H.A. Logemaan, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954,
hlm. 89.
44
overheidsbevoegdheden (rechten en plichten) zijn verbonden aan het
ambt. Indien bij voorbeeld een burgeemester een bepaalde beschikking
afgeeft, wordt rechtens die beschikking afgegeven door het ambt
burgeemester, en niet door naruurlijke persoon die op dat moment dat
ambt bekleedt, de ambstdrager”62
(Kewenangan pemerintahan {hak-hak
dan kewajiban-kewajiban} itu melekat pada jabatan. Jika-sebagai contoh-
bupati/walikota memberikan keputusan tertentu, maka berdasarkan
hukum, keputusan itu diberikan oleh jabatan bupati/walikota, dan bukan
oleh orang yang pada saat itu diberi jabatan, yakni bupati/walikota).
Mendasarkan uraian di atas, dalam Hukum Administrasi Negara,
tindakan hukum jabatan pemerintahan dijalankan oleh pejabat
pemerintah. Dengan demikian, kedudukan hukum pemerintah
berdasarkan hukum publik adalah sebagai wakil (vertegenwoordiger) dari
jabatan pemerintahan.
D. Tindakan Pemerintahan (Bestuur Handelingen)
1. Pengertian Tindakan Hukum Pemerintahan
Pemerintah atau administrasi negara adalah sebagai subjek hukum,
sebagai drager van de en plichten atau pendukung hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. Sebagai subjek hukum, pemerintah sebagaimana
subjek hukum lainnya melakukan berbagai tindakan baik tindakan nyata
(feiterlijkhandelingen) maupun tindakan hukum (rechtshandelingen).
62
F.A.M. Stoink en J.G. Steenbeek, op.cit., hlm. 36.
45
Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak ada
relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan
akibat hukum,63
sedangkan tindakan hukum menurut R.J.H.M.
Huisman,64
tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu, atau “Een rechtshandeling is gericht
op het scheppen van rechten of plichten “,65
(tindakan hukum adalah
tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban).
Istilah tindakan hukum ini semula berasal dari ajaran hukum perdata (het
woord rechtshandeling is ontleend aan de dogmatiek van het burgerlijk
recht),66
yang kemudian digunakan dalam Hukum Administrasi Negara,
sehingga dikenal istilah tindakan hukum administrasi (administatieve
rechtshandeling).
Menurut H.J. Romeijn, “Een administratieve rechtshandelingis
dan een wilsverklaring in een bijzonder geval uitgaande van een
administratief orgaan, gericht op het in het leven roepen van een
rechtsgevolg op het gebeid van administratief recht”.67
(tindakan hukum
administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ
administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan
akibat hukum dalam bidang Hukum Administrasi Negara).
63
C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 55, lihat pula H.D. van Wijk/Willem Konjinenbelt,
op.cit., hlm. 177. 64
R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, en Inleiding, Kobra, Amsterdam, tt, hlm.
13. 65
J.B.J.M. ten Berge, op.cit., hlm. 137. 66 A.D. Belinfante, op.cit., hlm. 49. 67
H.J. Romeijn, Administratiefrecht, Hand-en Leerboek, Noorman’s Periodieke Pers
N.V., Den Haag, 1934, hlm. 89.
46
Akibat hukum yang lahir dari tindakan hukum adalah akibat-akibat
yang memiliki relevansi dengan hukum seperti “het scheppen van een
nieuwe, het wijzigen of het opheffen van een bestaande
rechtsverhouding”68
(penciptaan hukum baru, perubahan atau
pengakhiran hubungan hukum yang ada). Dengan kata lain, akibat-akibat
hukum (rechtsgevolgen) itu dapat berupa hal-hal sebagai berikut :69
a. Indien er een verandering optreedt in de bestaande rechten,
verplichtingen of bevoegdheid van sommigen; (jika menimbulkan
beberapa perubahan hak, kewajiban atau kewenangan yang ada);
b. Wanner er verandering opteedt in jurisdische status van een persoon
of (van) object; (bilamana menimbulkan perubahan kedudukan
hukum bagi seseorang atau objek yang ada);
c. Wanner het bestaan van zerke rechten, verplichtingen,
bevoegdheden of status bindend wordt vastgesteld; (bilamana
terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan, ataupun status tertentu
yang ditetapkan).
Bila dikatakan bahwa tindakan hukum pemerintahan itu merupakan
pernyataan kehendak sepihak dari organ pemerintahan (eenzijdige
wilsverklaring van de bestuursorgaan) dan membawa akibat pada
hubungan hukum atau keadaan hukum yang ada, maka kehendak organ
tersebut tidak boleh mengandung cacat seperti kekhilafan (dwaling),
68
Ibid., hlm. 90. 69
H.D. van Wijk/Willem Konjinenbelt, op.cit., hlm. 178.
47
penipuan (bedrog), paksaan (dwaang), dan lain-lain yang menyebabkan
akibat-akibat hukum yang tidak sah.
2. Unsur-unsur Tindakan Hukum Pemerintahan
Muchsan menyebutkan unsur-unsur tindakan hukum pemerintahan
sebagai berikut :
1) Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah, dalam kedudukannya
sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan
(bestuursorganen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
2) Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan;
3) Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan
akibat hukum di bidang Hukum Administrasi Negara;
4) Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan negara dan rakyat.70
Unsur-unsur yang dikemukakan oleh Muchsan ini perlu ditambah,
terutama dalam kaitannya dengan negara hukum yang mengedepankan
asas legalitas atau wetmaitgheid van bestuur, yaitu perbuatan hukum
administrasi negara harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, “Administratiefrechtelijke rechts handelingen kunnen in
principe allen verricht worden in de gevallen waarin en op de wijze
waaop een wettelijk voorschrift dat heeft voorzien of toelaat”71
(pada
prinsipnya, tindakan hukum administrasi hanya dapat dilakukan dalam hal
70 Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan
Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 18-19. 71
A.D. belinfante, loc.cit., hlm. 50.
48
dan dengan cara yang telah diatur dan diperkenankan oleh peraturan
perundang-undangan).
3. Macam-macam Tindakan Hukum Pemerintahan
Telah jelas bahwa pemerintah atau administrasi negara adalah
subjek hukum yang mewakili dua institusi yaitu jabatan pemerintahan dan
badan hukum. Karena mewakili dua institusi maka dikenal ada dua
macam tindakan hukum, yaitu tindakan-tindakan hukum publik
(publiekrechtshandelingen) dan tindakan hukum privat
(privaatrechtshandelingen). Di dalam ABAR, tindakan hukum
pemerintahan dijelaskan sebagai berikut :
“De rechtshandelingen door de overheid in haar bestuursfunctie,
kunnen worden onderscheiden in privaatrechtelijke en
publiekrechtelijke rechtshandelingen. Onder publiekrechtelijke
rechtshandelingen worden hier verstaan de rechtshandelingen die
verricht worden op de grondslag van het publiekrecht; onder
privaatrechtelijke rechtshandelingen; rechtshandelingen die verricht
worden op grondslag van het privaatrecht”.72
(Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan
fungsi pemerintahannya dapat dibedakan dalam tindakan hukum
publik dan tindakan hukum privat. Tindakan hukum publik berarti
tindakan hukum yang dilakukan tersebut didasarkan pada hukum
publik, sedangkan tindakan hukum privat adalah tindakan hukum
yang didasarkan pada ketentuan hukum keperdataan)
Berkenaan dengan tindakan hukum publik organ pemerintahan ini,
A.F.A. Korsten dan F.P.C.L. Tonnaer mengatakan sebagai berikut :73
“Publiekrechtelijke rechtshandelingen, waarvan de overheid voor de
uitoegfening van haar bestuursfunctie gebruik maakt, zijn te
onderscheiden in eenzijdige en meerzijdige publiekrechtelijke
72
Algemene Bepalingen van Administratief Recht, Rapport van De Commissie Inzake
Algemene Bepalingen van Administratief Recht, Samsom H.D. Tjeenk Willink B.V., Alphen aan
den Rijn, 1984, hlm. 3. 73
A.F.A. Korsten dan F.P.C.L. Tonnaer, Lokale Regelgeving, dalam Lokaal Bestuurin
Nederland, Samsom Tjeenk Willink, Alphen aan de Rijn, 1989, hlm. 234-235.
49
rechtshandelingen. Gemeenschappelijke regelingen tussen gemeenten
en tussen gemeenten en een provincie zijn voorbeelden van
meerzijdige publiekerechtelijke rechtshandelingen”. Eenzijdige
publiekerechtelijke rechtshandelingen doen zich voor in de vorm van
handeling van een bestuursorgaan waardoor een publiekrechtelijke
rechtsgevolg ontstaat. Voorbeelden zijn het verlenen van een
bouwvergunning door burgemeester en wethouders,
bijstandsverlening, bevel tot on truiming van een onbewoonbaar
verklaarde woning”
(Tindakan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah dalam
menjalankan fungsi pemerintahannya, dapat dibedakan dalam
tindakan hukum publik yang bersifat sepihak dan tindakan banyak
pihak. Peraturan bersama antarkabupaten atau antara kabupaten
dengan provinsi adalah contoh dari tindakan hukum publik beberapa
pihak. Tindakan hukum publik sepihak berbentuk tindakan yang
dilakukan sendiri oleh organ pemerintahan yang menimbulkan akibat
hukum publik, contohnya adalah pemberian izin bangunan dari
Walikota, pemberian bantuan {subsidi}, perintah pengosongan
bangunan/rumah, dan sebagainya).
4. Karakteristik Tindakan Hukum Pemerintahan
Di kalangan para sarjana terjadi perbedaan pendapat mengenai sifat
tindakan hukum pemerintahan ini. Sebagian menyatakan bahwa
perbuatan hukum yang terjadi dalam lingkup hukum publik selalu bersifat
sepihak atau hubungan hukum bersegi satu (eenzijdige). Indroharto
bahkan menyebutkan bahwa tindakan hukum tata usaha negara itu selalu
bersifat sepihak. Tindakan tata usaha negara itu dikatakan bersifat sepihak
karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum tata usaha negara yang
memiliki kekuatan hukum itu pada akhirnya tergantung kepada kehendak
sepihak dari badan atau jabatan tata usaha negara yang memiliki
wewenang pemerintahan untuk berbuat demikian.74
74
Indroharto, op.cit., hlm. 147-148.
50
Pada perjanjian kerja jangka pendek (kortverband contract), yang
dijadikan contoh hubungan hukum dua pihak dalam hukum publik, harus
dianggap sebagai cara pelaksanaan tindakan pemerintahan bukan esensi
dari tindakan hukum pemerintahan itu sendiri. Dengan kata lain,
sebagaimana disebutkan W.F. Prins,75
yang lebih lazim terjadi ialah
pernyataan kehendak pemerintah dijadikan titik berat dalam
pelaksanaannya, yang melahirkan awal usahanya, menjadi tergeser ke
belakang, sekalipun kemudian ditentukan bahwa pihak yang bersangkutan
harus menyetujui penawaran yang diberikan pemerintah kepadanya.
Dalam Hukum Administrasi Negara, hubungan hukum
(rechtsbetrekking) antara pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil
dari jabatan pemerintahan bukan dalam kapasitasnya selaku wakil dari
badan pemerintahan, dengan seseorang atau badan hukum perdata tidak
berada dalam kedudukan yang sejajar. Pemerintah memiliki kedudukan
khusus (de overheid als bijzonder persoon), sebagai satu-satunya pihak
yang diserahi kewajiban untuk mengatur dan menyelenggarakan
kepentingan umum di mana dalam rangka melaksanakan kewajiban ini
kepada pemerintah diberikan wewenang membuat peraturan perundang-
undangan, menggunakan paksaan pemerintahan, atau menerapkan sanksi-
sanksi hukum.76
Berbeda halnya dengan hubungan hukum berdasarkan hukum
perdata, yang bertumpu pada asas otonomi dan kebebasan berkontrak.
75
WF. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, op.cit., hlm. 58. 76
Ridwan HR, op cit., hlm. 119-120.
51
Hubungan hukum berdasarkan hukum perdata bersifat sejajar.
Pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum
pemerintahan, bukan sebagai wakil dari jabatan pemerintahan, dapat
mengadakan hubungan hukum berdasarkan hukum perdata dengan
kedudukan yang sejajar atau tidak berbeda dengan seseorang atau badan
hukum perdata. Meskipun hubungan hukumnya bersifat ordinatif,
pemerintah tidak dapat melakukan tindakan hukum secara bebas dan
semena-mena terhadap warga negara. Sebagaimana telah disebutkan,
tindakan hukum pemerintah tetap terikat pada asas yang mendasari pada
tindakan tersebut yaitu asas legalitas.77
Pada kenyataannya, tidak semua urusan pemerintahan dapat
diselenggarakan sendiri oleh organ pemerintahan yang diberi kewenangan
untuk menjalankan tugas dan urusan tersebut, serta tidak semua tugas dan
urusan pemerintahan dapat dijalankan secara bersama-sama dengan organ
pemerintahan lainnya. Hal ini karena ruang lingkup urusan pemerintahan
itu demikian luas dan kompleks, sehingga untuk efektivitas dan efisiensi
diperlukan pula keterlibatan pihak swasta, yang diwujudkan dengan cara
kerja sama atau perjanjian. Tindakan hukum pemerintahan yang
dilakukan dengan melibatkan pihak swasta ini disebut sebagai tindakan
hukum campuran (de gemengd rechtshandeling).
E. Utrecht menyebutkan beberapa cara pelaksanaan urusan
pemerintahan, yaitu :
77
Ridwan HR, loc.cit., hlm. 120.
52
1) Yang bertindak adalah administrasi negara sendiri;
2) Yang bertindak ialah subjek hukum (=badan hukum) lain yang
tidak termasuk administrasi negara dan yang mempunyai hubungan
istimewa atau hubungan biasa dengan pemerintah;
3) Yang bertindak ialah subjek hukum lain yang tidak termasuk
administrasi negara dan yang menjalankan pekerjaannya
berdasarkan suatu konsesi atau berdasarkan izin. (vergunning) yang
diberikan oleh pemerintah;
4) Yang bertindak ialah subjek hukum lain yang tidak termasuk
administrasi negara dan yang diberi subsidi pemerintah;
5) Yang bertindak ialah pemerintah bersama-sama dengan subjek
hukum lain yang bukan administrasi negara dan kedua belah pihak
itu tergabung dalam bentuk kerja sama (vorm van samenwerking)
yang diatur oleh hukum privat;
6) Yang bertindak ialah yayasan yang didirikan oleh pemerintah atau
diawasi pemerintah;
7) Yang bertindak ialah subjek hukum lain yang bukan administrasi
negara, tetapi diberi suatu kekuasaan memerintah (delegasi
perundang-undangan).78
Sepanjang prinsip negara hukum, yaitu asas wetmatigheid van
bestuur masih dijadikan sendi utama penyelenggaraan pemerintahan,
maka tetaplah bahwa prinsip tindakan hukum pemerintahan yang bersifat
78
E. Utrecht, op.cit., hlm. 86-87.
53
sepihak tersebut tidak dapat dikesampingkan, meskipun tugas-tugas dan
pekerjaan pemerintahan dapat dijalankan dengan cara kerja sama
(samenwerking), perjanjian (overeenkomst), perizinan (vergunning),
konsesi (consessie), dan sebagainya.
Untuk lebih jelas dapat dilihat dari skema tindakan pemerintahan
berikut ini :
Skema Tindakan Hukum Pemerintahan79
Keterangan/Terjemah
1. Bestuurshandelingen : Tindakan-tindakan pemerintahan
2. Feitelijke handelingen : Tindakan-tindakan nyata
79
Ridwan HR, op.cit., hlm. 123.
Bestuurshandelingen
Feitelijke
Handeling
en
Rechtshandelingen
Privaatrechtelijke
Rechtshandelingen
Publiekrechtelijke
Rechtshandelingen
Eenzijdige
Publiekrechtelijke
Rechtshandelingen
Meerzijdige
Publiekrechtelijke
Rechtshandelingen
Besluiten van Algemene
Strekking
Beschikkingen
54
3. Rechtshandelingen : Tindakan-tindakan hukum
4. Privaatrechtelijke rechshandelingen : Tindakan-tindakan keperdataan
5. Publiekrechtelijke rechshandelingen : Tindakan-tindakan hukum publik
6. Meerzijdige publiekrechtelijke : Tindakan-tindakan hukum publik
rechshandelingen beberapa pihak
7. Eenzijdige pubkliekrechtelijke : Tindakan-tindakan hukum publik
rechshandelingen sepihak
8. Besluiten van algemene strekking : Keputusan yang ditujukan untuk
umum (keputusan yang bersifat
umum)
9. Bescihkking : Keputusan (yang bersifat konkret,dan
Individual)
E. Keputusan Tata Usaha Negara
1. Pengertian Keputusan
Keputusan tata usaha negara pertama kali diperkenalkan oleh
seorang sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt.
Istilah ini diperkenalkan di negeri Belanda dengan nama Beschikking oleh
van Vollenhoven dan C.W. van der Pot, yang oleh beberapa penulis,
seperti AM. Donner, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, dan lain-
lain, dianggap sebagai “de vader van het moderne beschikkingsbegrip”,80
(bapak dari konsep beschikking yang modern).
Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking
merupakan keputusan pemerintahan untuk hal yang bersifat konkret dan
individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu telah dijadikan
instrumen yuridis pemerintahan yang utama.81
Menurut P. de Haan dan
kawan-kawan, “De administratieve beschikking is de meest
80 F.C.M.A. Michiels, De Arob – Beschikking, Vuga Uitgeverij B.V., ‘s-Gravenhage,
1987, hlm. 23. 81
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, op.cit., hlm. 202.
55
voorkomende en ook meest bestudeerde bestuurshandeling”,82
(Keputusan administrasi merupakan {bagian} dari tindakan pemerintahan
yang paling banyak muncul dan paling banyak dipelajari).
Terdapat perbedaan dalam mendefinisikan istilah keputusan.
Berikut ini akan disajikan beberapa definisi tentang beschikking.:
a. De beschikking is dus de wilsverklaring van een bestuursorgaan voor
een bijzonder geval, gericht op het scheppen van een nieuwe, het
wijzigen of het opheffen van een bestaande rechtsverhouding.83
(Keputusan adalah pernyataan kehendak dari organ pemerintahan
untuk {melaksanakan} hal khusus, ditujukan untuk menciptakan
hubungan hukum baru, mengubah, atau menghapus hubungan hukum
yang ada).
b. Beschikking; een wilsverklaring naar aanleiding van een ingediend
verzoekschrift, of althans een gebleken wensch of behoefte.84
(Keputusan adalah suatu pernyataan kehendak yang disebabkan oleh
surat permohonan yang diajukan, atau setidak-tidaknya keinginan atau
keperluan yang dinyatakan).
c. “ ... Eenvoudig geworden een definitie van het begrip beschikking to
geven: Een eenzijdige publiekrechtelijke rechtshandeling van een
bestuursorgaan gericht op een concreet geval”.85
(... secara
sederhana, definisi keputusan dapat diberikan suatu tindakan hukum
82
P. de Haan, et.al., op.cit., hlm. 17. 83 C.W. van der Pot, Nederlandsch Bestuursrecht, Alphen aan de Rijn, 1932, hlm. 198. 84
H.J. Romeijn, op.cit., hlm. 91. 85
C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 60.
56
publik sepihak dari organ pemerintahan yang ditujukan pada peristiwa
konkret).
d. Een beschikking is een individuele of concrete publiekrechtelijke
rechts-beslissing: een beslissing van een bestuursorgaan, gebaseerd
op een publiek-rechtelijke bevogheid.... Geschapen voor een of meer
individuen of met betrekking tot een of meer concrete zaken of
situaties. Die beslissing verplicht mensen of organisaties tot iets, geeft
ze bevoegdheden of geeft ze aanspraken.86
(Beschikking adalah
keputusan hukum publik yang bersifat konkret dan individual:
keputusan itu berasal dari organ pemerintahan, yang didasarkan pada
kewenangan hukum publik.... Dibuat untuk satu atau lebih individu
atau berkenaan dengan satu atau lebih perkara atau keadaaan.
Keputusan itu memberikan suatu kewajiban pada seseorang atau
organisasi, memberikan kewenangan atau hak kepada mereka).
e. Onder ‘beschikking’ kan in zijn algemeenheid worden verstaan: een
besluit afkomstig van een bestuursorgaan, dat gericht is op
rechtsgevolg.87
(Secara umum, beschikking dapat diartikan;
keputusan yang berasal dari organ pemerintahan yang ditujukan untuk
menimbulkan akibat hukum).
f. Beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi negara yang
mempunyai akibat hukum.88
86
J.B.J.M. ten Berge, op.cit., hlm. 156. 87 R.J.H.M. Huisman, op.cit., hlm. 14. 88
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Negara,
Alumni, Bandung, 1985, hlm. 230.
57
g. Beschikking adalah perbuatan hukum publik bersegi satu (yang
dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan
istimewa).89
h. Beschikking adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam
bidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah
berdasarkan wewenang yang luar biasa).90
Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara di dalam Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 Perubahan Kedua atas Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 angka 9
menyebutkan, “Keputusan Tata Usaha Negara dalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata”.91
2. Unsur-unsur Keputusan
Sebelum mengetahui mengenai unsur-unsur keputusan, akan
dijabarkan terlebih dahulu mengenai pengertian keputusan berdasarkan
Pasal 2 UU Administrasi Negara (AwB) dan menurut Pasal 1 angka 3 UU
No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang
perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, yaitu sebagai berikut :
89
E. Utrecht, op.cit., hlm. 94. 90 WF. Prins dan Kosim Adisapoetra, op.cit., hlm. 42. 91
Lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
58
“De eenzijdig, naar buiten gerichte schriftelijke wilsverklaring van
een administratief orgaan van de central overheid, gegeven krachtens
een in enig staats-of administatiefrechtelijk voorschrif vervatte
bevoegdheid of verplichting en gericht op de vaststelling, de wijziging
of de opheffing van de een bestaande rechtsverhouding of het
scheppen van een nieuwe rechtsverhouding dan wel inhoudende de
weigering tot zodanig vaststellen wijzigen, opheffen of scheppen”.
(Pernyataan kehendak tertulis secara sepihak dari organ pemerintahan
pusat, yang diberikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari
Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara, yang
dimaksudkan untuk penentuan, penghapusan, atau pengakhiran
hubungan hukum yang sudah ada, atau menciptakan hubungan hukum
baru, yang memuat penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan,
penghapusan, atau penciptaan).
Berdasarkan definisi ini tampak ada enam unsur keputusan, yaitu
sebagai berikut :
a. Een naar buiten gerichte schriftelijke wilsverklaring;
b. Gegeven krachtens een in enig staats-of administratiefrechtelijk
voorschrift vervatte bevoegdheid of verplichting;
c. Eenzijdig;
d. Met zondering van besluiten van algemene strekking;
e. Gericht op de vaststelling, de wijziging of de opheffing van een
bestaande rechtsverhouding of het scheppen van een nieuwe
rechtsverhouding dan wel inhoudende de weigering tot zodanig
vaststellen, wizjigen, opheffen of scheppen;
f. Afkomstig van een administratief orgaan.92
Terjemahannya :
a. Suatu pernyataan kehendak tertulis;
92
P. de Haan, et.al., op.cit., hlm. 19. Dengan sedikit perbedaan redaksi, unsur-unsur
beschikking dapat dilihat pada F.C.M.A. Michiels, op.cit., hlm. 63.
59
b. Diberikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari Hukum
Tata Negara atau hukum administrasi;
c. Bersifat sepihak;
d. Dengan mengecualikan keputusan yang bersifat umum;
e. Yang dimaksudkan untuk penentuan, penghapusan, atau
pengakhiran hukum yang sudah ada, atau menciptakan hubungan
hukum baru, yang memuat penolakan, sehingga terjadi penetapan,
perubahan, penghapusan, atau penciptaan;
f. Berasal dari organ pemerintahan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, keputusan
didefinisikan sebagai: “Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata”.93
Berdasarkan definisi ini tampak bahwa KTUN memiliki
unsur-unsur sebagai berikut :
a. Penetapan tertulis;
b. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
c. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Bersifat konkret, individual, dan final;
e. Menimbulkan akibat hukum;
f. Seseorang atau badan hukum perdata.
93
Dalam UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang
PTUN, ketentuan Pasal 1 angka 3 ini tidak mengalami perubahan.
60
3. Macam-macam Keputusan
Secara teoretis dalam Hukum Administrasi Negara, dikenal ada
beberapa macam dan sifat keputusan, yaitu sebagai berikut.
a. Keputusan Deklaratoir dan Keputusan Konstitutif
Keputusan deklaratoir adalah keputusan yang tidak mengubah
hak dan kewajiban yang telah ada, tetapi sekadar menyatakan hak
dan kewajiban tersebut (rechtsvaststellende beschikking).
Penetapan/keputusan itu dikatakan sifatnya deklaratoir artinya
penetapan tersebut dimaksudkan untuk menetapkan mengikatnya
suatu hubungan hukum.94
Keputusan yang bersifat konstitutif dapat berupa hal-hal
sebagai berikut :
1) Beschikking die een verplichting opleggen om iets te doen, te
laten, of te dulden, (keputusan-keputusan yang meletakkan
kewajiban untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu,
atau memperkenalkan sesuatu);
2) Beschikking welke aan een persoon, een instelling of een zaak
een status verlemen, waardoor op die persoon of die zaak
bepalde rechtsregel van toepassing worden, (keputusan-
keputusan yang memberikan status pada seseorang, lembaga,
atau perusahaan, dan oleh karena itu seseorang atau
perusahaan itu dapat menerapkan aturan hukum tertentu);
94
Indroharto, op.cit., hlm. 181.
61
3) Beschikking welke een prestatie van de overheid in het
vooruitzicht stellen, (keputusan-keputusan yang meletakkan
prestasi atau harapan pada perbuatan pemerintah = subsidi atau
bantuan, pen);
4) Beschikking welke iets toestaan wat tevoren niet geoorlofd
was, (keputusan yang mengizinkan sesuatu yang sebelumnya
tidak diizinkan);
5) Beschikking welke aan beschikkingen van lagere organen
werking verlenen of bestaande werking ontnemen, (keputusan-
keputusan yang menyetujui atau membatalkan berlakunya
keputusan organ yang lebih rendah = pengesahan
{goedkeuring} atau pembatalan {vernietiging}, pen).95
b. Keputusan yang Menguntungkan dan yang Memberi Beban
Keputusan yang bersifat menguntungkan (begunstigende
beschikking) artinya keputusan itu memberikan hak-hak atau
memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu yang tanpa
adanya keputusan itu tidak akan ada atau bilamana keputusan itu
memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin ada.96
Juga
dikatakan oleh Indroharto,97
bersifat menguntungkan artinya
penetapan/keputusan itu memberikan hak-hak yang sebelumnya
tidak ada seperti pemberian subsidi, pengangkatan, pemberian SIM
dll.
95 C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 68-69. 96
Ridwan HR, op.cit., hlm. 158. 97
Indroharto, op.cit., hlm. 182.
62
Keputusan yang memberi beban (belastende beschikking)
adalah keputusan yang meletakkan kewajiban yang sebelumnya
tidak ada atau keputusan mengenai penolakan terhadap permohonan
untuk memperoleh keringanan.98
c. Keputusan Eenmalig dan Keputusan yang Permanen
Keputusan Eenmalig adalah keputusan yang hanya berlaku
sekali atau keputusan sepintas lalu, yang dalam istilah lain disebut
keputusan yang bersifat kilat (vluctige beschikking) seperi IMB atau
izin untuk mengadakan rapat umum. Sedangkan keputusan
permanen adalah keputusan yang memiliki masa berlaku yang relatif
lama. WF. Prins menyebutkan beberapa keputusan yang dianggap
sebagai keputusan ‘sepintas lalu’, yaitu :
1) Keputusan yang bermaksudkan mengubah teks keputusan yang
terdahulu;
2) Keputusan negatif. Sebab, keputusan semacam ini maksudnya
untuk tidak melaksanakan sesuatu hal dan tidak merupakan
halangan untuk bertindak, bilamana terjadi perubahan dalam
anggapan atau keadaan;
3) Penarikan kembali atau pembatalan. Seperti halnya dengan
keputusan negatif, penarikan kembali atau pembatalan tidak
membawa hasil yang positif dan tidak menjadi halangan untuk
mengambil keputusan yang identik dengan yang dibatalkan itu;
98
Ridwan HR, op.cit., hlm. 159.
63
4) Pernyataan dapat dilaksanakan.99
d. Keputusan yang Bebas dan yang Terikat
Keputusan yang bersifat bebas adalah keputusan yang
didasarkan pada kewenangan bebas (vrije bevoegdheid) atau
kebebasan bertindak yang dimiliki oleh pejabat tata usaha negara
baik dalam bentuk kebebasan kebijaksanaan maupun kebebasan
interpretasi. Juga dikatakan bersifat bebas apabila peraturan dasarnya
itu memberikan kebebasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang bersangkutan untuk menentukan sendiri bagaimana
atau perlu tidaknya ia mengeluarkan penetapan yang
bersangkutan.100
Keputusan yang terikat adalah keputusan yang didasarkan pada
kewenangan pemerintahan yang bersifat terikat (gebonden
bevoegdheid), artinya keputusan itu hanya melaksanakan ketentuan
yang sudah ada tanpa adanya ruang kebebasan bagi pejabat yang
bersangkutan.101
e. Keputusan Positif dan Negatif
Keputusan positif adalah keputusan yang menimbulkan hak
dan kewajiban bagi yang dikenai keputusan, sedangkan keputusan
negatif adalah keputusan yang tidak menimbulkan perubahan
keadaan hukum yang telah ada. Keputusan positif terbagi dalam lima
golongan, yaitu :
99 WF. Prins dan Kosim Adisapoetra, op.cit., hlm. 68. 100
Indroharto, op.cit., hlm. 183. 101
Ridwan HR, op.cit., hlm. 160.
64
1) Keputusan, yang pada umumnya melahirkan keadaan hukum
baru;
2) Keputusan, yang melahirkan keadaan hukum baru bagi objek
tertentu;
3) Keputusan, yang menyebabkan berdirinya atau bubarnya
badan hukum;
4) Keputusan, yang membebankan kewajiban baru kepada
seseorang atau beberapa orang (perintah);
5) Keputusan, yang memberikan hak baru kepada seseoang atau
beberapa orang (keputusan yang menguntungkan).102
Keputusan negatif dapat berbentuk pernyataan tidak berkuasa
(onbevoegd verklaring), pernyataan tidak diterima (nietontvankelijk
verklaring) atau suatu penolakan (afwijzing. Keputusan negatif yang
dimaksudkan di sini adalah keputusan yang ditinjau dari akibat
hukumnya yakni tidak menimbulkan perubahan hukum yang telah
ada.
f. Keputusan Perorangan dan Kebendaan
Keputusan perorangan (prsoonlijk beschikking) adalah
keputusan yang diterbitkan berdasarkan kualitas pribadi orang
tertentu atau keputusan yang berkaitan dengan orang, seperti
keputusan tentang pengangkatan atau pemberhentian seseorang
102
WF. Prins dan Kosim Adisapoetra, op.cit., hlm. 60.
65
sebagai pegawai negeri, atau sebagai pejabat negara, keputusan
mengenai surat izin mengemudi, dan sebagainya.
Sedangkan keputusan kebendaan (zakelijk beschikking) adalah
keputusan yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan atau
keputusan yang berkaitan dengan benda, misalnya sertifikat hak
tanah. Dapat terjadi suatu keputusan itu dikategorikan bersifat
perorangan sekaligus kebendaan, misalnya surat izin mendirikan
bangunan atau izin mendirikan industri. Dalam hal ini keputusan itu
memberikan hak kepada seseorang yang akan mendirikan bangunan
atau industri (tertuju pada orang), dan di sisi lain keputusan itu
memberikan keabsahan didirikannya bangunan atau industri (tertuju
pada benda).103
F. Perlindungan Hukum
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Kata perlindungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
berarti tempat berlindung atau merupakan perbuatan (hal) melindungi,
misalnya memberi perlindungan kepada orang yang lemah.104
Menurut
Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan
peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan
normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena
menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh
103 Ridwan HR, op.cit., hlm. 161. 104
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan XI, Balai Pustaka,
Jakarta, 1986, hlm. 600
66
dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya
melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.105
Jadi perlindungan hukum adalah suatu perbuatan hal melindungi
subjek-subjek hukum dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi.
Menurut Philipus M. Hadjon, Negara Indonesia sebagai negara
hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum
terhadap warga masyarakatnya yang sesuai dengan Pancasila. Oleh
karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan
dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan,
Permusyawaratan, serta Keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah negara
kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai
kesejahteraan bersama.
Perlindungan hukum di dalam negara yang berdasarkan Pancasila
maka asas yang penting ialah asas kerukunan berdasarkan
kekeluargaan.106
Asas kerukunan berdasrkan kekeluargaan menghendaki
bahwa upaya-upaya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan
masyarakat sedapat mungkin ditangani oleh pihak-pihak yang
bersengketa. Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep
universal, dalam arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang
105 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
1991, hlm. 38. 106
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum..., op.cit., hlm. 84.
67
mengedepankan diri sebagai negara hukum. Namun sepeti disebutkan
Paulus E. Lotulung, masing-masing negara mempunyai cara dan
mekanismenya sendiri tentang bagaimana mewujudkan perlindungan
hukum tersebut, dan juga sampai seberapa jauh perlindungan hukum itu
diberikan.107
Berkaitan dengan perlindungan hukum di bidang Hukum
Administrasi Negara akan dijabarkan mengenai macam-macam perbuatan
pemerintah yang memungkinkan lahirnya kerugian bagi masyarakat
dan/atau bagi seseorang atau badan hukum perdata. Secara umum ada tiga
macam perbuatan pemerintahan yaitu perbuatan pemerintahan dalam
bidang pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling), perbuatan
pemerintah dalam penerbitan keputusan (beschikking) dan perbuatan
pemerintah dalam bidang keperdataan (materiele daad). Dua bidang
pertama terjadi dalam bidang publik, dan karena itu tunduk dan diatur
berdasarkan hukum publik, dan yang terakhir khusus dalam bidang
perdata, dan karenanya tunduk dan diatur berdasarkan hukum perdata.108
2. Perlindungan Hukum dalam Bidang Perdata
Kedudukan pemerintah yang serba khusus terutama karena sifat-
sifat istimewa yang melekat padanya, yang tidak dimiliki oleh manusia
biasa, telah menyebabkan perbedaan-pendapat yang berkepanjangan
dalam sejarah pemikiran hukum, yaitu berkenaan dengan apakah negara
dapat digugat atau tidak di depan hakim. Pemerintah dalam melaksanakan
107 Paulus E. Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap
Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 123. 108
Ridwan HR, op.cit., hlm. 268.
68
tugasnya memerlukan kebebasan bertindak dan mempunyai kedudukan
istimewa dibandingkan dengan rakyat biasa.109
Berkenaan dengan kedudukan pemerintah sebagai wakil dari badan
hukum publik yang dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dalam
bidang keperdataan seperti jual beli, sewa menyewa, membuat perjanjian,
dan sebagainya, maka dimungkinkan muncul tindakan pemerintah yang
bertentangan dengan hukum (onrechtmatige overheidsdaad).
Berkenaan dengan perbuatan pemerintah yang bertentangan dengan
hukum ini disebutkan bahwa; “De burgerlijke rechter is-op het gebied
van de onrechtmatige overheidsdaad-bevoedg de overheid te veoordelen
tot betaling van schadevergoeding. Daarnaast kan hij in veel gevallen de
overheid verbienden of gebeiden bepaalde gedragingen te verrichten”.110
(Hakim perdata-berkenaan dengan Perbuatan Melawan Hukum oleh
Pemerintah- berwenang menghukum pemerintah untuk membayar ganti
kerugian. Di samping itu, hakim perdata dalam berbagai hal dapat
mengeluarkan larangan atau perintah terhadap pemerintah untuk
melakukan tindakan tertentu).
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah
tersebut merujuk pada pasal yang berlaku terhadap perseorangan, yakni
Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi; “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
109
Ibid., hlm. 269-270. 110
J. Spier, Onrechmatige Overheidsdaad, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1987, hlm. 30.
69
tersebut”. Ketentuan Pasal 1365 ini telah mengalami pergeseran
penafsiran, sebagaimana tampak dari beberapa yurisprudensi. Secara garis
besar munculnya pergeseran penafsiran ini terbagi dalam dua periode,
yaitu periode sebelum 1919 dan sesudah 1919.
Pada periode sebelum 1919 ketentuan Pasal 1365 ditafsirkan secara
sempit, dengan unsur-unsur: pertama, perbuatan melawan hukum; kedua,
timbulnya kerugian; ketiga, hubungan kausal antara perbuatan melawan
hukum dengan kerugian; keempat, kesalahan para pelaku.111
Berdasarkan
penafsiran demikian, tampak bahwa perbuatan melawan hukum berarti
sama dengan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang
(onrechtmatigedaad onwetmatigedaad).
Interpretasi perbuatan melawan hukum sama artinya dengan
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut disebabkan
oleh aliran legisme, yang dominan pada saat itu. Aliran ini menganggap
bahwa hukum hanyalah apa yang tercantum dalam undang-undang, di
luar undang-undang tidak terdapat hukum. penafsiran yang sempit
terhadap unsur-unsur perbuatan melawan hukum ini berakibat pada
sempitnya perlindungan hukum yang diberikan kepada warga negara.
Setelah tahun 1919 kriteria perbuatan melawan hukum adalah
sebagai berikut: pertama, mengganggu hak orang lain; kedua,
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; ketiga, bertentangan
dengan kesusilaan; keempat, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian
111
N.E. Algra/H.C.J.G. Janssen, Rechtsingan een Orientatie in het Recht, H.D. Tjeenk
Willinkn bv, Groningen, 1974, hlm. 85.
70
dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan
dengan sesama warga masyarakat atau terhadap benda orang lain.112
Dengan adanya perluasan penafsiran ini, maka perlindungan hukum yang
dapat diberikan kepada warga negara juga semakin luas. Adanya
perluasan penafsiran ini dalam praktik peradilan mengalami kesulitan.
Menurut Indroharto, kesulitan ini muncul karena cara pemerintah ikut
dalam pergaulan masyarakat itu dilakukan menurut cara-cara yang serba
khusus, sedangkan ukuran kepatutan yang ingin diterapkan tersebut
sebenarnya hanya bisa 100% berlaku bagi pergaulan antarwarga
masyarakat saja dan sulit dikatakan bahwa telah tumbuh dan berkembang
norma-norma kelakuan dalam pergaulan antarwarga masyarakat dengan
pemerintah.113
Di Indonesia ada dua yurisprudensi Mahkamah Agung yang
menunjukkan pergeseran kriteria perbuatan melawan hukum oleh
penguasa; pertama, putusan MA dalam perkara Kasum (putusan No.
66K/Sip/1952), yang dalam kasus ini MA berpendirian bahwa perbuatan
melawan hukum terjadi apabila ada perbuatan sewenang-wenang dari
pemerintah atau merupakan tindakan yang tiada cukup anasir kepentingan
umum; kedua, putusan MA dalam perkara Josopandojo (putusan No.
838K/Sip/1970), yang dalam kasus ini MA berpendirian bahwa kriteria
onrechmatige overheidsdaad adalah undang-undang dan peraturan formal
yang berlaku, kepatutan dalam masyarakat yang harus dipatuhi oleh
112 P.J.P. Tak, Rechtsvorming in Nedeland, Samsom H.D. Tjeek Willink, Open
Universiteit, 1991, hlm. 349. 113
Indroharto, op.cit., hlm. 248.
71
penguasa, dan perbuatan kebijakan dari pemerintah tidak termasuk
kompetensi pengadilan.114
Bahwa putusan MA ini jelas menunjukkan bahwa kriteria
perbuatan melawan hukum oleh pemerintah adalah : a) perbuatan
penguasa itu melanggar undang-undang dan peraturan formal yang
berlaku; b) perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat
yang seharusnya dipatuhinya.115
Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan hukum
pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik,
dilakukan melalui peradilan umum. Kedudukan pemerintah atau
administrasi negara dalam hal ini tidak berbeda dengan seseorang atau
badan hukum perdata, yaitu sejajar. Sehingga pemerintah dapat menjadi
tergugat maupun penggugat. Dalam konteks inilah prinsip kedudukan
yang sama di deopan hukum terimplementasi. Dengan kata lain, hukum
perdata memberikan perlindungan yang sama baik kepada pemerintah
maupun seseorang atau badan hukum perdata.116
3. Perlindungan Hukum dalam Bidang Publik
Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang
berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling
penting dari tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah
keputusan-keputusan pemerintah yang bersifat sepihak. Dikatakan bersifat
sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum pemerintahan
114 Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 118-119. 115
Muchsan, Ibid., hlm. 28. 116
Ridwan HR, op.cit., hlm. 274.
72
itu tergantung pada kehendak pihak lain dan tidak diharuskan ada
persesuaian kehendak (wilsovereenstemming) dengan pihak lain.
Mengapa warga negara harus mendapat perlindungan hukum dari
tindakan pemerintah ? Ada beberapa alasan, yaitu pertama, karena dalam
berbagai hal warga negara dan badan hukum perdata tergantung pada
keputusan-keputusan pemerintah, seperti kebutuhan terhadap izin yang
diperlukan untuk usaha perdagangan, perusahaan, atau pertambangan.
Karena itu warga negara dan badan hukum perdata perlu mendapat
perlindungan hukum, terutama untuk memperoleh kepastian hukum dan
jaminan keamanan, yang merupakan faktor penentu bagi kehidupan dunia
usaha; kedua, hubungan antara pemerintah dengan warga negara tidak
berjalan dalam posisi sejajar, warga negara sebagai pihak yang lebih
lemah dibandingkan dengan pemerintah; ketiga, berbagai perselisihan
warga negara dengan pemerintah itu berkenaan dengan keputusan,
sebagai instrumen pemerintah yang bersifat sepihak dalam melakukan
intervensi terhadap kehidupan warga negara. Perbuatan keputusan yang
didasarkan pada kewenangan bebas (vrije bevoegdheid), akan membuka
peluang terjadinya pelanggaran hak-hak warga negara.117
Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu
perlindungan hukum preventif dan represif. Pada perlindungan hukum
preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
117
Van Wijk, H.D., en Willem Konjinenbelt, op cit, hlm. 533-535.
73
pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Artinya perlindungan hukum
yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan
sebaliknya perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi
tindak pemerintahan yang didasarkan kepada kebebasan bertindak karena
dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong
untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan
pada diskresi.118
Di Indonesia perlindungan hukum bagi rakyat akibat tindakan
hukum pemerintah ada beberapa kemungkinan, tergantung dari instrumen
hukum yang digunakan pemerintah ketika melakukan tindakan hukum.
Telah disebutkan bahwa instrumen hukum yang lazim digunakan adalah
peraturan perundang-undangan dan keputusan. Perlindungan hukum
akibat dikeluarkannya peraturan perundang-undangan ditempuh melalui
Mahkamah Agung, dengan cara hak uji materiil, sesuai dengan Pasal 5
ayat (2) TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa
“Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undanagn
di bawah undang-undang”. Ketentuan bahwa Mahkamah Agung
berwenang menguji secara materiil peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terdapat pula dalam Pasal 20 ayat 2 huruf b UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
118
Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 2.
74
Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Dalam rangka perlindungan hukum, sebagaimana tampak di atas,
terdapat tolok ukur untuk menguji secara materiil suatu peraturan
perundang-undangan yaitu bertentangan atau tidak dengan peraturan yang
lebih tinggi dan bertentangan atau tidak dengan kepentingan umum,
“Vernietiging kan plaatsvinden wegens; a) strijd met de het recht, zelfs de
wet in formele zin; b) strijd met het algemeen belang”.119
Khusus
mengenai peraturan perundang-undangan tingkat daerah, pembatalan
sering diterapkan dalam arti pembatalan spontan, yakni pembatalan atas
dasar inisiatif sendiri dari organ yang berwenang menyatakan pembatalan,
tanpa melalui proses peradilan,120
dan tujuan utama dari pembatalan ini
adalah untuk pengawasan jalannya pemerintahan tingkat daerah dan untuk
perlindungan hukum (rechtsbescherming).121
Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan
(beschikking) ditempuh melalui dua kemungkinan, yaitu upaya
administratif (administratief beroep) dan peradilan administrasi
(administatieve rechtspraak). Hal tersebut juga diatur di Indonesia
berdasarkan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
di mana perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan dapat
ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui upaya administartif dan melalui
119 C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 232. 120
Ibid, hlm. 231. 121
Algemene Bepalingen van Administratief Recht, op.cit., hlm. 281.
75
PTUN. Ketentuan mengenai upaya administratif ini terdapat dalam Pasal
48 UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi sebagai berikut:
1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara
tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan
melalui upaya administratif yang tersedia;
2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika
seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Upaya administratif ini ada dua macam, yaitu banding administratif
dan prosedur keberatan. Banding administratif, yaitu penyelesaian
sengketa tata usaha negara dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain
dari yang mengeluarkan keputusan yang disengketakan, sedangkan
prosedur keberatan adalah penyelesaian sengketa tata usaha negara
dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa tata usaha negara
melalui peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU
No. 9 Tahun 2004 yang berbunyi; ”Seseorang atau badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha
negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atu tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”.
Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5
Tahun 1986 tentang PTUN alasan mengajukan gugatan, yang terdapat
pada Pasal 53 ayat (2) ini ada perubahan, yaitu menjadi sebagai berikut.
76
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam penjelasan huruf b disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“Asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah meliputi asas :
a. Kepastian hukum;
b. Tertib penyelenggaraan negara;
c. Kepentingan umum;
d. Keterbukaan;
e. Proporsionalitas;
f. Profesionalitas;
g. Akuntabilitas.
G. Tinjauan Terhadap Kewenangan Pengadilan
Di Indonesia, pengaturan tentang Kekuasaan Kehakiman telah
dirumuskan dalam amandemen Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan : (1)
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; (2)
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer,
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
77
Juga di dalam Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dari Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 18 UU
No. 48 Tahun 2009 tersebut antara lain dapat diketauhi bahwa di Indonesia
terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu Lingkungan Peradilan
Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer,
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Mengenai relevansi terhadap
pembahasan yang akan dibahas lebih lanjut adalah Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara.
1. Lingkungan Peradilan Umum
Di dalam ketentuan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 25 ayat (2) menyebutkan bahwa “Peradilan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan” serta dalam Pasal 50 UU No 2 Tahun
1986 yang menentukan :
“Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat
pertama.”
Sekarang di Indonesia pengaturan tentang Peradilan Umum diatur
dengan UU No. 2 Tahun 1986, kemudian diperbarui dengan UU No. 8
78
Tahun 2004 dan diperbarui kembali dengan UU No. 49 Tahun 2009
tentang Peradilan Umum. Peradilan umum meliputi:
1. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota,
dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota;
2. Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan
daerah hukum meliputi wilayah provinsi;
3. Pengadilan Khusus diatur berasarkan Pasal 8 ayat (1) UU No. 49
Tahun 2009, “Di lingkungan Peradilan Umum dapat dibentuk
pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang. Pengadilan
tersebut terdiri dari :
a. Pengadilan Anak;
b. Pengadilan Niaga;
c. Pengadilan Hak Asasi Manusia;
d. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berkedudukan di ibukota
provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi;
e. Pengadilan Hubungan Industrial;
f. Pengadilan Perikanan.
2. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
Di dalam ketentuan UU No 48. Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 25 ayat (5) menyebutkan bahwa “Peradilan tata
usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
79
undangan.” Saat ini undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara adalah UU No. 5 Tahun 1986 lalu diperbarui dengan UU No.
9 Tahun 2004, dan diperbarui kembali dengan UU No. 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Berkaitan dengan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara
terdapat di dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa : “Pengadilan
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara”.
Pengertian sengketa Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 1
angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang menyebutkan :
“Sengketa TUN adalah sengketa dalam bidang TUN antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara”.
Berdasarkan pengertian sengketa Tata Usaha Negara tersebut
berarti terjadinya sengketa Tata Usaha Negara disebabkan oleh karena
keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara. Adapun pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara ditentukan dalam Pasal 1 angka 9 UU
No. 51 Tahun 2009 yang menentukan bahwa : “KTUN adalah
penetapan tertulis yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN,
yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, final dan
menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata”.
80
Keputusan Tata Usaha Negara sebagai suatu tindakan
pemerintah tentunya dapat menimbulkan kerugian bagi kepentingan
orang atau badan hukum perdata, apabila Keputusan Tata Usaha
Negara merugikan kepentingan orang atau badan hukum perdata maka
pihak yang dirugikan mempunyai hak gugat sebagaimana diatur dalam
Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa :
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi. “
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka
berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dapat
dideskripsikan sebagai berikut :
1) Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu mengadili
sengketa Tata Usaha Negara;
2) Sengketa Tata Usaha Negara hanya dapat terjadi sebagai akibat
keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara;
3) Subjek hukum Penggugat yakni orang atau badan hukum
perdata;
4) Subjek hukum Tergugat yakni badan atau pejabat Tata Usaha
Negara;
5) Tuntutan pokoknya yakni agar Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat dinyatakan batal atau tidak sah.
81
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah
penelitian Yuridis Normatif. Menurut Jhony Ibrahim, metode pendekatan
yuridis normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dan sisi normatifnya. Logika keilmuan
yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin
ilmiah dan cara-cara kerja ilmu normatif, yaitu ilmu hukum yang obyeknya
hukum itu sendiri.122
1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
Untuk itu peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya
terkait antara satu dengan lain secara logis.
b. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada
kekurangan hukum.
c. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.
122
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia
Publishing, Malang, 2006, hlm. 57.
82
2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)
Konsep memiliki banyak pengertian yang diantaranya adalah
unsure-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu
bidang studi yang kadangkala merujuk pada hal-hal yang universal yang
diabstraksikan dari hal-hal yang partikular.123
Pendekatan ini berfungsi
untuk memunculkan suatu objek yang menarik perhatian dari sudut
pandang praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut
tertentu. Dalam menggunakan pendekatan ini, peneliti perlu merujuk
pada prinsip-prinsip hukum. Prinsip ini dapat diketemukan dalam
undang-undang maupun padangangan (doktrin) para sarjana.124
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian inventarisasi peraturan perundang-undangan dan penelitian
terhadap taraf sinkronisasi
C. Lokasi Penelitian
Pencarian bahan hukum akan dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Fakultas Hukum Unsoed serta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan
Universitas Jenderal Soedirman dan Pengadilan Negeri Purwokerto.
D. Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian normatif, data sekunder merupakan data pokok atau
utama yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku
literatur maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan objek
123
Ibid., hlm. 306.
124
Ibid., hlm. 318.
83
penelitian. Menurut Soerjono dan Sri Mamudji, data sekunder (bahan-
bahan pustaka) terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier.125
Diantaranya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki Undang-
Undang Dasar 1945, Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP),
Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah(Perda), dan Peraturan
Bupati (Perbup). Peraturan perundang-undangan yang digunakan penulis
sebagai bahan hukum primer yaitu :
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
c. UU No. 5 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
d. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
e. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
f. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
g. UU No. 2 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman;
h. UU No. 2 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 8 Tahun 2004 dan
diperbarui kembali dengan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Umum;
i. UU No. 5 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan
diperbarui kembali dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara;
j. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan hukum yang terdiri atas buku-buku
teks (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-
jurnal hukum, kasus-kasus hukum, dan yurisprudensi. Dalam penulisan
ini, bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku teks yang
125
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 14
84
berkaitan dengan Hukum Administrasi Negara dari berbagai para ahli
Hukum Administrasi Negara serta Putusan perkara No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt. .
3. Bahan Hukum Tersier, adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.126
Dalam
penelitian ini, bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus umum
bahasa Indonesia.
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Data Sekunder yang berupa bahan hukum primer (Peraturan Perundang-
undangan, bahan hukum yang dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat dan
bahan hukum lainnya), bahan hukum sekunder (hasil penelitian, buku-buku
hukum, dan hasil karya ilmiah di bidang hukum) dan bahan hukum tersier
(KBBI, kamus hukum, ensiklopedia) dipelajari guna mendapatkan landasan
teori berupa pendapat atau tulisan-tulisan para ahli dan juga untuk
memperoleh informasi yang ada relevansinya dengan penulis dengan cara
mengutip baik itu mengutip peraturan perundang-undangan, buku, doktrin
para ahli, serta dari sumber bahan hukum lainnya.
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Bahan hukum berupa Data Sekunder (primer, sekunder, dan tersier)
yang didapat oleh penulis kemudian dilakukan klasifikasi dan inventarisasi
terhadap bahan hukum tersebut. Data yang diperoleh akan disusun secara
126
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1981, hlm. 296.
85
sistematis dan logis. Sehingga antara bahan hukum yang satu dengan yang
lain memiliki hubungan yang dapat menjawab permasalahan hukum yang ada
pada penelitian ini. Peneliti akan menggunakan sistem kartu, dimana bahan
hukum yang berhubungan dengan masalah yang dipaparkan, disistematisasi,
kemudian dilakukan analisis untuk menemukan jawaban permasalahan yang
ada dan penelitian ini dapat menjawab dan mengungkap kebenaran yang
ada.127
G. Metode Analisis Bahan Hukum
Analisis terhadap bahan hukum dalam penelitian ini logika deduktif
dengan menggunakan silogisme untuk membangun preskripsi kebenaran
hukum. Menempatkan peraturan perundang-undangan, asas-asas, serta
doktrin menjadi premis mayor. Sedangkan premis minor menggunakan
peristiwa atau fakta hukum yang ada. Analisis tehadap bahan hukum
dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.128
127
Jhony Ibrahim, op cit., hlm. 296. 128
Ibid, hlm. 393.
86
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Hasil Penelitian yang berupa Putusan Majelis Hakim Pengadilan
Neageri Purwokerto No.: 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt diuraikan secara sistematis
sebagai berikut :
1. Para Pihak yang Berperkara
1.1. Penggugat
a. Fransiscus Xaverius Untung Gunawan, Laki-laki, lahir di
Banjarnegara, 05 Desember 1944 (± 65 tahun) beragama
Katholik, pekerjaan wiraswasta, beralamat di Jln. RA.
Wiryaatmaja No. 25 RT. 001/RW. 004 Desa Kedungwuluh,
Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, Provinsi
Jawa Tengah, sekarang beralamat di Perum Limnas Agung P-5
No. 11 RT. 003 RW. 012 Kelurahan Bancarkembar, Kecamatan
Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah
untuk selanjutnya disebut sebagai Penggugat I;
b. Fransisca Lana Riani, Perempuan, lahir di Purwokerto 28
Oktober 1946 (± 63 tahun) beragama Katholik, pekerjaan
wiraswasta, beralamat di Jln. RA. Wiryaatmaja No. 25 RT.
001/RW. 004 Desa Kedungwuluh, Kecamatan Purwokerto
Barat, Kabupaten Basnyumas, Provinsi Jawa Tengah, sekarang
beralamat di Perum Limnas Agung P-5 No. 11 RT. 003 RW.
87
012 Kelurahan Bancarkembar, Kecamatan Purwokerto Utara,
Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah untuk selanjutnya
disebut sebagai Penggugat II;
1.2. Tergugat
a. Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purowkerto,
Jln. Prof. Dr. H. Bunyamin No. 708 Kotak Pos 115 Purwokerto
Kabupaten Banyumas 5312, selanjutnya disebut sebagai
Tergugat I;
b. Pemerintah Republik Indonesia C/q Menteri Pendidikan
Dan Kebudayaan Republik Indonesia , C/q Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (DITJEN DIKTI), berkedudukan
di Jakarta, beralamat di Jln. Jenderal Sudirman Pintu I Senayan
Jakarta Pusat, selanjutnya disebut sebagai Turut Tergugat I;
c. Kantor Pertanahan Kebupaten Banyumas Pada Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Dati II Kabupaten Banyumas;
berkedudukan di Purwokerto, beralamat di Jln. Jenderal
Sudirman No. 35-358 Purwokerto Kabupaten Banyumas,
selanjutnya disebut sebagai Turut Tergugat II;
d. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas, berkedudukan di
Purwokerto, beralamat di Jln. Alun-alun No. 1 Purwokerto
Kabupaten Banyumas selanjutnya disebut sebagai Turut
Tergugat III;
88
e. Pemerintah Republik Indonesia C/q. Menteri Keuangan
Republik Indonesia; Pada Kementerian Keuangan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN),
Kantor Wilayah Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta, Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLN)
Purwokerto, beralamat di Jln. Pahlawan No. 876 Purwokerto
53143, selanjutnya disebut sebagai Turut Tergugat IV.
2. Objek Gugatan
Berdasarkan dalil Penggugat, yang menjadi objek gugatannya
yaitu: Tanah seluas ± 122,5 m2 (Kuang lebih Seratus dua puluh dua
setengah meter persegi) tersebut masuk dan tertulis dalam Sertifikat
Hak Pakai No. 0001/Kel. Pabuaran Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No.
00031/Pabuaran /2008 NIB : 11.27.74.05.01645 seluas 1.919 m2 tertulis
atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta.
Dalam gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH),
seharusnya yang dijadikan objek gugatan adalah suatu perbuatan, bukan
suatu benda (benda tersebut umpamanya berupa sebidang tanah). Dalam
perkara aquo, seharusnya yang dijadikan objek gugatan adalah berupa
“perbuatan/tindakan Tergugat (UNSOED) mendirikan bangunan” yang
menurut dalil Penggugat tindakan berupa mendirikan bangunan tersebut
termasuk dalam PMH yang merugikan Penggugat.
3. Kasus Posisi menurut Pihak Penggugat
Kasus posisi menurut Penggugat dapat dijabarkan sebagai berikut :
89
3.1. Bahwa Para Penggugat adalah pasangan Suami Istri dan pemilik
yang sah terhadap tanah pekarangan sebagaimana tersebut dalam :
a. Sertifikat Hak Milik No. 02158/Kel. Bancarkembar Surat Ukur
tanggal 20-03-1999 No. 1011/BANCARKEMBAR/1999 luas
760 m2 tertulis atas nama Franciscus Xaverius UNTUNG
GUNAWAN dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Tanah Pekrangan Ny. Lana Riani
- Sebelah Timur : Saluran Irigasi dan Objek sengketa /
UPT Percetakan dan Penerbitan UNSOED / Toko Borneo;
- Sebelah Selatan : Tanah Negara dalam pengelolaan
UNSOED;
- Sebelah Barat : Sungai Caban;
b. Serifikat Hak Milik No. 02718/Kel. Bancarkembar Suart Ukur
tanggal 12-08-2003 No. 00047/2003 luas 2.512 m2 tertulis atas
nama FRANSISCA LANA RIANI dengan batas-batas sebagai
berikut :
- Sebelah Utara : Tanah Pekarangan Ariston;
- Sebelah Timur : Saluran Irigasi dan Objek sengketa
- Sebelah Selatan : tanah pekarangan FX. Untung
Gunawan;
- Sebelah Barat : Sungai Caban;
3.2. Bahwa disebelah depan atau Timur dari Tanah-tanah Pekarangan
Milik Para Penggugat tersebut terdapat Tanah Sepanjang 24,5 m2
90
(Dua Puluh Empat Setengah Meter) dan lebar 5 m (Lima Meter)
yang oleh karenanya Seluas ± 122.5 m2 (Kurang Lebih Seratus Dua
Puluh Dua setengah meter pesegi) tertulis atas nama Tergugat I
(Kesatu) yang dalam pengelolaan Tergugat dan tanpa ijin
pemanfaatan dari Turut Tergugat IV (Keempat) yang batas-batasnya
adalah :
- Utara : Awalnya adalah jalur hijau sekarang masuk dalam
Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran Suart Ukur
tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2
tertulis atas nama : Departemen Pendidikan Nasional
berkedudukan di Jakarta;
- Timur : Jalan Prof. Dr. Boenyamin;
- Sealatan : Gedung UPT Percetakan dan Penerbitan
UNSOED;
- Barat : Saluran Irigasi/Tanah Pekarangan Para Penggugat;
Bahwa tanah Seluas ± 122.5 m2 (Kurang Lebih Seratus Dua Puluh
Dua setengah meter pesegi) tersebut masuk dan tertulis dalam
Serifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran Suart Ukur tanggal
09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 NIB : 11.27.74.05.01645
seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan nasional
berkedudukan di Jakarta;
Selanjutnya mohon disebut dengan = Objek Sengketa;
91
3.3. Bahwa pada waktu Para Penggugat membeli tanah-tanah miliknya
kira-kira pada tahun 1986-an Akses untuk masuk ke Tanah milik
Para Penggugat tersebut hanyalah Parit/Selokan Saluran Irigasi yang
membatasi bahu dan Sempadan Jalan Prof. Dr. Boenyamin dan pada
waktu itu hanya ada satu bangunan paling Selatan yakni : Gedung
yang awalnya digunakan untuk Radio Unsoed kemudian dipakai
Gedung Menwa dan Sekarang Gedung UPT Percetakan dan
Penerbitan UNSOED Purwokerto yang lama-kelamaan di sebelah
Utaranya yang merupakan Objek sengketa berdiri bangunan-
bangunan semi permanen yang dahulu digunakan untuk (dari
sebelah utara ke selatan) :
a. Gedung yang disewakan untuk sebagian Kopkun, sekarang
sudah tidak digunakan lagi;
b. Gedung yang disewakan untuk BNI 46 kemudian Warung Ayam
Goreng, Warung Kelapa Muda, Warung Pisang Coklat dan
sekarang sudah tidak digunakan lagi;
c. Gedung yang dahulu disewakan untuk Kantor Pos Wilayah
Purwokerto Utara sekarang sudah tidak digunakan lagi;
d. Gedung yang disewakan untuk Wartel sekaranag sudah tidak
digunakan lagi.
3.4. Bahwa ternyata bangunan-bangunan Semi permanen di atas Objek
sengketa tersebut di-daku Milik UNSOED/Tergugat dan
keberadaannya menutup akses Jalan ke tanah Pekarangan milik Para
92
Penggugat sehingga sudah sejak tahun 2004 Para Penggugat
mempunyai permasalahan/sengketa dengan pihak Tergugat dan Para
Penggugat berusaha untuk menyelesaikan baik dengan Pihak
UNSOED (Tergugat) langsung maupun melalui Fasilitator dari Turut
Tergugat III (Ketiga) yang hingga Gugatan ini diajukan tidak pernah
ada titik temu penyelesaian;
3.5. Bahwa Para Penggugat Inpersona sejak tahun 2004 berusaha
mencari tahu dan mencari Solusi penyelesaian atas tanah-tanah
yang pada awalnya Para Penggugat Ketahui sebagai Jalur Hijau
atau Sempadan jalan dan berdasarkan Keterangan-keterangan
Kepala Dinas Cipta Karya pada tanggal 2 Desember 2004 yang
semuanya termuat dalam Notulen Resume Rapat di Aula Dinas Cipta
Karya memberikan keterangan sebagai berikut :
“Lokasi tersebut berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2002 Tentang
Rencana Umum Tata Ruang Kota dengan rencana Kedalaman
rencana Detail Tata Ruang Kota Purwokerto Jo. Perda No. 6 Tahun
2002 bahwa sepanjang Jalan Prof. Bunyamin adalah jalan kolektor
Primer dengan rencana pemanfaatan ruang di kawasan tersebut
merupakan kawasan campuran”
3.6. Bahwa berdasarkan dari Informasi dan Keterangan dari berbagai
Instansi terkait yang ada pada Turut Tergugat III (Ketiga) jelas dapat
disimpulkan bahwa Pada awalnya kawasan yang merupakan Objek
93
sengketa tersebut adalah Jalur Hijau atau Sempadan Jalan yang ada
pada jalan Prof. Dr. Boenyamin Purwokerto;
3.7. Bahwa karena sejak tahun 2004 tidak ada Solusi penyelesaian yang
berarti maka sejak 22 Maret 2010 para Penggugat melalui Kami
penasehat Hukumnya berusaha mencari tahu dan memohon
Konfirmasi atas Objek Sengketa baik mengenai Stastus-nya maupun
ijin-ijin yang menyertainya dan baru mendapatkan Konfirmasi dari
Kepala Badan Penanaman Modal dan pelayanan PerIjinan (BPMPP)
Kabupaten Banyumas melalui suratnya No. 503/999/2010 tertanggal
18 Mei 2010 menjawab dan memberi penegasan bahwa :
“Dengan ini kami beritahukan bahwa setelah diadakan penelitian
data administrasi dan hasil klarifikasi peninjauan di lokasi terhadap
bangunan-bangunan :
- Bangunan Gedung UPT Percetakan dan Penerbitan Universitas
Jenderal Soedirman;
- Bangunan Kantor Pos Purwokerto Utara;
- Bangunan Koperasi Mahasiswa;
- Bangunan Toko Serba Ada;
Terhadap bangunan-bangunan tersebut ternyata belum memiliki Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB);
3.8. Bahwa terhadap Kejelasan dan Konfirmasi akan Status hak atas
Tanah dalam Objek Sengketa, Kantor Pertanahan Kabupaten
banyumas (Turut Tergugat II/KEDUA) tidak pernah menanggapi
94
dan atau memberi Jawaban atas Konfirmasi Kami dan karena tidak
pernah mendapat Konfirmasi yang jelas dan tertulis akan Status
Tanah yang ada disebelah Timur Tanah Milik Para Penggugat
akhirnya Para Penggugat melaporkan dan meminta bantuan dari
Pihak Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Tengah dan
DIY dimana Turut Tergugat II (KEDUA) selaku Birokrasi dan
Administrasi Pemerintah yang Sah dan berwenang untuk itu tidak
memberikan Pelayanan publik secara baik dan benar serta
transparansi akan Status Hak Kepemilikan Tanah yang ada di
sebelah Timur milik PARA PENGGUGAT. Hasilnya Para
Penggugat sangat terkejut di mana di sebelah Timur/dekat
Tanah-tanah milik Para Penggugat yang diatasnya berdiri
bangunan Semi Permanen yang pada waktu itu di-daku milik
Tergugat dan tidak pernah mempunyai Ijin Mendirikan
Bangunan yang awalnya merupakan Jalur Hijau/Sepadan Jalan
dimana bangunan-bangunan tersebut melanggar Garis Sepadan
Bangunan (GSB) serta Garis Sepadan Sungai/Saluran Irigasi
(GSS) di belakangnya dan pada saat itu sudah tidak digunakan
lagi dan sudah sejak tahun 2004 timbul sengketa dan
permasalahan dengan Para Penggugat secara diam-diam telah
diajukan permohonan oleh Rektor UNSOED dan terbit Surat
Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas
tanggal 31/12/2008 No. : SK29/530.3/11.27/2008 yakni Pemberian
95
Hak atas Tanah yang merupakan Jalur Hijau/Sepadan Jalan
dan telah terbit sebagaimana dalam : Sertifikat Hak Pakai No.
00016/Pabuaran Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. :
00031/Pabuaran/2008 NIB : 11.27.74.05.01645 seluas 1.919 m2
tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional
berkedudukan di Jakarta diterbitkan tanggal 12-03-2009 ttd Ir.
YUSWANTO DWI KRISMASTONO NIP. 010164363 di mana
di kolom Petunjuk tertulis :
a. Pemberian hak atas Tanah Negara;
b. Penggunaannya untuk Kampus Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto.
3.9. Bahwa Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Banyumas tanggal 31-12-2008 No.: SK29/530.3/11.27/2008 yang
diputuskan berdasarkan Surat Permohonan Rektor Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto sepanjang menyangkut Objek
Sengketa adalah didasari Itikad Tidak Baik dan Tidak Sah
KARENA jelas bahwa Pemberian Hak tersebut adalah diatas
Jalur Hijau/Sepadan Jalan dan pada saat diberikan masih
terdapat sengketa dengan Para Penggugat, dimana kalau dilihat
dari kolom Petunjuk jelas Penggunaannya Tanah tersebut tidak
dapat dipergunakan yakni untuk Kampus Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto Karena Tidak mungkin terbit Ijin
Mendirikan Bangnan (IMB) Sehingga jelas bahwa terbitnya
96
Sertifikat Hak Pakai No. 0001/Kel. Pabuaran/2008 NIB :
11.27.74.05.01645 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen
Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta yang di dalamnya
terdapat Objek Sengketa adalah didasari atas Perbuatan yang di
manipulasi untuk melegalkan Jalur Hijau/Sepadan Jalan sebagai
Tanah Negara yang dikelola oleh UNSOED Padahal secara
senyatanya hanya untuk menghalang-halangi masuk ke Tanah
Pekarangan milik Para Penggugat dan mengesampingkan
Fungsi Tanah sebagai Fungsi Sosial;
3.10. Bahwa telah ternyata Hasil pengelolaan atas Asset Negara tersebut
pada Objek Sengketa tersebut telah dilakukan oleh “Oknum-oknum”
tertentu yang mempunyai kepentingan pribadi karena nyata-nyata
pengelolaan Objek Sengketa telah beberapa kali disewakan kepada
pihak ketiga tanpa dapat dipertanggung-jawabkan secara jelas dan
transparan. Selain daripada itu Sertifikat Hak Pakai No.
00016/Kel.Pabuaran/2008 Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No.
00031/Pabuaran/2008 NIB : 11.27.74.05.01645 seluas 1.919 m2
tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional
berkedudukan di Jakarta yang di dalamnya terdapat Objek
Sengketa dan berdiri bangunan Semi permanen yang tidak
memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) tersebut tidak
dilaporkan dan atau dicatatkan dalam Daftar Inventaris Asset
Negara Secara Resmi dan Sah, Namun disamarkan dengan
97
pelaporan atas Sertifikat Hak Pakai No. 00015/Pabuaran Surat
Ukur tanggal 09/10/2008 No. : 00030/Pabuaran/2008 seluas
11.965 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional
berkedudukan di Jakarta, dimana kalau di lihat dari Gambarnya
adalah sama Namun memiliki No. Induk Bidang yang berlainan
yakni NIB : 11.27.74.05.01647;
3.11. Bahwa selain daripada itu Turut Tergugat II (KEDUA) dalam
memberikan Surat Keputusan yang menerbitkan akan Hak atas
Tanah tersebut tidak pernah meminta Keterangan-keterangan dan
atau mempertimbangkan keterangan terhadap :
a. Pemilik Tanah-tanah yang berbatasan dengan Objek yang akan
diberi Keputusan termasuk diantaranya adalah Para Penggugat;
b. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas;
c. Badan Pemangku Jalan yang Berwenang baik dari Instansi Bina
Marga yanga ada pada Kementerian Pekerjaan Umum Republik
Indonesia.
Serta melihat Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Pemerintah
lainnya baik tentang Jalan dan atau Peraturan-Peraturan yang
berhubungan dengan pemberian Hak tersebut;
3.12. Bahwa karenanya Surat Permohonan Tergugat yang melahirkan
Surat Keputusan Turut Tergugat II (KEDUA) Sepanjang
menyangkut Objek Sengketa adalah dilandasi itikad tidak baik
(Kwade Trouw), Cacat Yuridis dengan mengandung unsur
98
kekhilafan (Dwaling), kecurangan (bedrog), tipu daya dan
merupakan Perbuatan Melawan Hukum serta sangat merugikan
Para Penggugat dalam Kedudukannya sebagai Pemilik Tanah yang
ada di belakangnya yang oleh karenanya harus dinyatakan Batal
demi hukum atau mohon dibatalkan dengan segala konsekuensinya;
3.13. Bahwa begitu juga dengan Terbitnya Sertifikat Hak Pakai No.
00016/Kel.Pabuaran/2008 Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. :
00031/Pabuaran/2008 Sepanjang menyangkut Objek Sengketa
haruslah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat berikut dengan segala konsekuensinya;
3.14. Bahwa Objek Sengketa haruslah dikembalikan Fungsinya sebagai
Jalur Hijau atau Sepadan Jalan yang mempunyai Fungsi Sosial oleh
Tergugat dengan dibantu oleh Para Turut Tergugat;
3.15. Bahwa terhadap Bangunan-bangunan yang berdiri di atas Objek
Sengketa karena telah beberapa kali Para Penggugat meminta Baik
kepada tergugat dan atau melalui Turut Tergugat III (Ketiga) untuk
memberikan Fasilitator untuk mencari Win-Win Solusi penyelesaian,
namun tidak didapatkan titik temu dimana Tergugat melalui
Wakilnya selalu “membuang” permasalahan tersebut pada
Kewenangan Pusat yakni Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia;
3.16. Bahwa Para Penggugat melalui Kami Kuasanya telah Melaporkan
dan Menulis Suart Kepada Menteri Pendidikan Nasional
99
Sebagaimana Surat Kami No. 07/B&P/XII/2011 tanggal 10
Desember 2011 dan telah ternyata Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia C/q Dirjen Dikti Republik Indonesia telah
menunjuk Tim untuk melakukan Investigasi di Lapangan dan
menghasilkan rekomendasi Kepada Rektor UNSOED yang pada
pokoknya :
“.... Dengan ini Saya sarankan agar Saudara membongkar
bangunan gedung seluas 24,5 m X 5 m yang berlokasi di Jln. Prof.
Dr. H. Bunyamin sesuai prosedur penghapusan barang milik
Negara dan peraturan-perundang-undangan yang berlaku, karena
tidak memiliki bukti Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan
melanggar Garis Sempadan Bangunan (GSB) serta Garis
Sempadan Sungai (GSS) Jika dibiarkan bangunan gedung
tersebut berpotensi menjadi temuan Tim Pemeriksa/Auditor yang
berwenang .....”
3.17. Bahwa namun demikian Pihak Tergugat tidak mau mengindahkan
Suart Rekomendasi tersebut dengan berbagai alasan-alasan yang
berbeli-belit yang dibuatnya sendiri untuk menyulitkan Para
Penggugat meskipun telah beberapa kali di berikan Somasi baik dari
Para Penggugat maupun pendekatan-pendekatan untuk mencari titik
temu baik dari pihak DPRD Kabupaten Banyumas, maupun Pihak
Turut Tergugat III (KETIGA) Sebagai Pihak pemegang Otoritas atas
tanah-tanah dalam Objek Sengketa, Sehingga tidak ada jalan lain
100
bagi Para Penggugat untuk menempuh jalur hukum dengan Putusan
Pengadilan agar para Pihak tunduk atas Putusan ini;
3.18. Bahwa berdasarkan pada ketentuan yang ada pada :
1. Pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang berisi :
a. Bagunan Gedung dapat dibongkar apabila :
- Tidak Laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
- Dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan
lingkungannya;
- Tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan;
2. Pasal 61 UU RI No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang yang
berisi :
Dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib :
a. Menaati rencana Tata ruang yang telah ditetapkan;
b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan Ijin pemanfaatan ruang
dari pejabat yang berwenang;
c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Ijin
pemanfaatan ruang, dan;
d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum;
3. Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Pokok-Pokok Dasar Agraria : Semua hak atas
tanah mempunyai fungsi Sosial;
101
3.19. Bahwa sampai dengan saat ini di atas Objek Sengketa masih berdiri
bangunan Semi permanen yang tidak mempunyai Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan melanggar GSB dan GSS serta tidak juga
mendapatkan ijin pemanfaatan atas Objek Sengketa dari Turut
Tergugat IV (KEEMPAT) yang oleh karenanya Mohon kepada yang
terhormat Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk
menghukum Kepada Tergugat dengan dibantu oleh Para Tergugat
guna memulihkan dan mengembalikan Objek Sengketa pada
kedudukan semula dengan membongkar seluruh bangunan yang ada
di atasnya selambat-lambatnya 1 (satu) Minggu Setelah Putusan ini
dapat dijalankan menurut hukum yang berlaku dengan tanpa syarat
dan beban apapun juga dan bilamana perlu dengan bantuan Alat
Negara;
3.20. Bahwa selain daripada itu, Apabila Objek Sengketa telah digunakan
dan dipakai oleh Tergugat dan atau Orang-orang yang telah
mendapat ijin darinya dan atau Siapapun yang berada dan mengelola
Objek Sengketa maka Mohon kepada yang Terhormat Majelis
Hakim yang memeriksa perkara ini untuk berkenaan mengosongkan
Objek Sengketa dari penguasaan dan pengelolaan Tergugat dan atau
Siapapun yang telah mendapat ijin dari Tergugat dan atau Siapapun
yang berada dan menguasai serta mengelola Objek Sengketa untuk
dikembalikan menjadi Kawasan Jalur Hijau/Sepadan Jalan selambat-
lambatnya 1 (satu) minggu Setelah Putusan ini dapat dijalankan
102
sebagaimana Ketentuan Hukum yang berlaku dengan tanpa syarat
dan beban apapun juga dan bilamana perlu dengan bantuan alat
Negara;
3.21. Bahwa dengan terhalangnya Jalan Masuk ke Pekarangan milik Para
Penggugat dengan bangunan-bangunan Semi permanen yang tidak
akan pernah mungkin mempunyai Ijin Mendirikan Bangunan karena
telah melanggar Garis Sepadan Bangunan (GSB) dan Garis Sepadan
Sungai (GSS) dan tidak juga mendapatkan ijin pemanfaatan atas
Objek Sengketa dari Turut Tergugat IV (KEEMPAT) yang
bangunan tersebut didaku milik Tergugat adalah merupakan
Perbuatan Melawan Hukum dan sangat merugikan Para Penggugat
yang kerugian tersebut apabila diperhtungkan dengan uang terhitung
sejak tahun 2005 sampai dengan diajukannya Gugatan ini adalah
tidak kurang dari Rp. 3.700.000.000,- (Tiga Milyar Tujuh ratus Juta
Rupiah) dengan perincian sebagai berikut :
Kerugian Materiil :
Apabila Tanah Pekarangan milik Para Penggugat tersebut digunakan
untuk bisnis sejak 1 Januari 2005 sampai dengan diajukannya
Gugatan ini (± 9 tahun) adalah sebesar 9 × Rp. 300.000.0000,-
(Perhitungan Keuntungan @ per-tahun) adalah Sebesar Rp.
2.700.000.000,- (Dua Milyar Tujuh Ratus Juta Rupiah)
103
Kerugian Immateriil :
Para Penggugat merasa dipermainkan serta disepelekan sebagai yang
berhak untuk menggunakan Fasilitas Umum berupa Jalur
Hijau/Sepadan Jalan sebagaimana Objek Sengketa yang apabila
diperhitungkan dengan uang tidak kurang dari Rp. 1.000.000.000,-
(Satu Milyar Rupiah);
3.22. Bahwa selain kerugian di atas, Para Penggugat juga mengalami
kerugian berupa hilangnya Peluang Bisnis apabila tidak terhalang
Jalan Masuk ke Pekarangan milik Para Penggugat sebagai miliknya
tersebut yang apabila diperhitungkan dengan uang sejak diajukannya
Gugatan ini tidak kurang dari Rp. 300.000.000,- (Tiga Ratus Juta
Rupiah) setiap tahunnya sampai dengan nanti dikembalikannya
Objek Sengketa tersebut menjadi sebagaimana kedudukan semula
yaitu sebagai Jalur Hijau/Sepadan Jalan oleh Tergugat;
3.23. Bahwa seiap perubahan atas bentuk dan wujud bangunan pada Objek
Sengketa adalah dilakukan Tergugat dengan seenaknya sendiri tanpa
harus mendapat ijin dari yang berwenang yakni Turut Tergugat III
(KETIGA) sehingga “pembiaran” atas Penegakan Hukum dan
Peraturan dianggap hal yang biasa bagi Tergugat yang seharusnya
sebagai Universitas Negeri terbesar di Kota Purwokerto berkenan
untuk menjaganya dan menjadi contoh yang baik bagi penegakan
hukum dan peraturan BUKAN malah menjadi seakan akan “kebal
hukum” karen merasa tidak akan ada yang berani untuk
104
mengingatkan apalagi menegurnya dalam membangun bangunan di
atas Objek Sengketa tanpa IMB sehingga Norma dan tatanan
kehidupan bermasyarakat dengan tetangganya akan “tercoreng”
karena adanya budaya “ewuh pekewuh” dalam penegakan hukum
dan peraturan yang seharusnya harus “tegas dan tegas” serta
memiliki nilai Keadilan dan Kepastian hukum dalam Masyarakat;
3.24. Bahwa untuk menjamin pemenuhan atas isi putusan ini sampai nanti
dapat dilaksanakan secara hukum, mohon kepada yang Terhormat
Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto C/q Majelis Hakim yang
memeriksa perkara ini berkenan meletakkan Sita Jaminan
(Conservatoir Beslaag) terhadap Objek Sengketa yakni : Tanah
Sepanjang 24,5 m × 5 m = ± 122, 5 m2 (Kurang lebih Seratus Dua
Puluh Dua setengah meter persegi) Tertulis atas nama Turut
Tergugat I (KESATU) yang dalam pengelolaan Tergugat dan tanpa
ijin Pemanfaatan dari Turut Tergugat IV (KEEMPAT) yang batas-
batasnya adalah :
- Utara : Awalnya adalah Jalur Hijau sekarang masuk dalam
Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran Surat Ukur
tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2
tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional
berkedudukan di Jakarta;
- Timur : Jalan Prof. Dr. Bunyamin;
- Selatan : Gedung UPT Percetakan dan Penerbitan UNSOED;
105
- Barat : Tanah pekarangan Para Penggugat;
Bahwa Tanah seluas ± 122,5 m2 (Kurang lebih seratus dua puluh
dua setengah meter persegi) termasuk masuk dan tertulis dalam
Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran Surat Ukur
tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2
tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan
di Jakarta; Selanjutnya mohon disebut dengan : Objek Sengketa,
serta barang-barang bergerak maupun barang-barang-barang tidak
bergerak milik Tergugat yang bentuk dan jenisnya akan kami
susulkan kemudian;
3.25. Bahwa untuk menjamin agar Tergugat memenuhi isi putusan perkara
ini, kepada yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto
C/q Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk mengenakan
uang paksa (dwangsom) kepada tergugat sebesar Rp. 1.000.000,-
(Satu Juta rupiah) setiap hari keterlambatan Kepada Para Penggugat
Apabila Tergugat tidak melaksanakan isi putusan ini, terhitung sejak
putusan ini dapat dilaksanakan menurut hukum sampai dengan
dilaksanakannya oleh Tergugat;
3.26. Bahwa Gugatan ini adalah didasarkan bukti-bukti yang otentik dan
dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dan kebenaran serta
untuk kepentingan Umum yang lebih luas lagi, mohon kiranya yang
terhormat Majelis Hakim Pemeriksa Perkara ini berkenan
menjatuhkan putusan serta merta (Uitvoerbaar bij vooraad)
106
meskipun ada upaya hukum verzet, banding maupun kasasi baik dari
Tergugat maupun pihak lainnya;
Berdasarkan hal-hal tersebut Penggugat mengajukan
petitum/tuntutan sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan Gugatan Para Penggugat untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharga Siata Jaminan (Conservatoir
beslaag) terhadap Objek Sengketa yakni : Tanah-Tanah
Sepanjang 24,5 m x 5 m = ± 122,5 m2 (Kurang lebih Seratus dua
puluh dua setengah meter persegi) tertulis atas nama Turut
Tergugat I (KESATU) yang dalam pengelolaan Tergugat dan
tanpa ijin pemanfaatan dari Turut Tergugat IV (KEEMPAT)
yang batas-batasnya adalah :
a. Utara : Awalnya adalah Jalur Hijau sekarang masuk dalam
Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran Surat Ukur
tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 seluas
1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan
Nasional berkedudukan di Jakarta;
b. Timur : Jalan Prof. Dr. Bunyamin;
c. Selatan : Gedung UPT Percetakan dan Penerbitan
UNSOED;
d. Barat : Tanah Pekarangan Para Penggugat
107
Bahwa Tanah seluas ± 122,5 m2 (Kurang lebih seratur dua
puluh dua setengah meter persegi) tersebut masuk dan tertulis
dalam Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran/ Surat
Ukur tanggal 09/10/2008 No. 00031/Pabuaran/2008 seluas
1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional
berkedudukan di Jakarta;
Selanjutnya mohon disebut dengan : Objek Sengketa.
Serta barang-barang bergerak maupun barang-barang tidak
bergerak milik Tergugat yang bentuk dan jenisnya akan kami
susulkan kemudian.
3. Menyatakan secara hukum Bahwa Objek Sengketa dalam perkara
A-quo ini adalah Jalur Hijau/Sepadan Jalan yang pengelolaan dan
kewenangannya ada pada Turut Tergugat III (KETIGA) dan
merupakan Fasilitas Umum yang mempunyai Fungsi Sosial;
4. Menyatakan secara hukum bahwa Tergugat telah melakukan
Perbuatan Melawan Hukum dan Sangat Merugikan Para
Penggugat yakni dengan sengaja mengajukan dan atau
memasukkan Objek Sengketa dalam Permohonan Hak yang
merupakan Jalur Hijau/Sepadan Jalan dan mendirikan atau
membiarkan bangunan-bangunan tanpa ijin di atas Objek
Sengketa yang tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB) dan menghalang-halangi serta menutup jalan ke Tanah
Pekarangan milik Para penggugat
108
5. Menyatakan secara hukum bangunan-bangunan yang berdiri di atas
Objek Sengketa adalah Bangunan yang tidak memiliki Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB) yang telah melanggar Garis Sepadan
Bangunan (GSB) dan Garis Sepadan Sungai (GSS) dan tidak
memiliki Ijin Pemanfaatan dari Turut Tergugat IV (KEEMPAT)
yang oleh karenanya harus dibongkar;
6. Menghukum kepada Tergugat dengan dibantu Para Turut Tergugat
lainnya serta atau Siapapun yang berada pada Objek Sengketa
untuk memulihkan dan mengembalikan pada kedudukan semula
Objek sengketa dengan Membongkar seluruh Bangunan yang tidak
sah dan mengembalikan Fungsinya sebagai Jalur Hijau/Sepadan
Jalan selambat-lambatnya 1 (satu) minggu Setelah Putusan ini
dapat dijalankan secara hukum dengan tanpa syarat dan beban
apapun juga dan bilamana perlu dengan bantuan Alat Negara;
7. Menghukum kepada Tergugat dengan dibantu Turut Tergugat
lainnya serta dan atau Siapapun yang menguasai, menghuni dan
mengelola Objek Sengketa untuk mengosongkan dan
mengembalikan fungsi semula menjadi Jalur Hijau/Sepadan Jalan
selambat-lambatnya 1 (satu) minggu Setelah Putusan ini dapat
dijalankan menurut hukum dengan tanpa syarat dan beban apapun
juga dan bilamana perlu dengan bantuan Alat Negara;
8. Menyatakan secara hukum bahwa Surat Keputusan Kepala kantor
Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. :
109
SK.29/530.3/11.27/2008 sepanjang menyangkut Objek Sengketa
adalah Tidak Sah, Cacat Yuridis, Batal Demi Hukum dan atau
mohon dibatalkan berikut dengan konsekuensinya;
9. Menyatakan secara hukum Sertifikat Hak Pakai No.
00016/Pabuaran/2008 Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. :
00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama
Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta
Sepanjang menyangkut Objek Sengketa adalah tidak
mempunyai Kekuatan Hukum yang Mengikat;
10. Menghukum kepada Tergugat untuk membayar ganti
kerugian moril dan materiil kepada Para Penggugat sejak 1
Januari 2005 s/d diajukannya Gugatan ini yang apabila
diperhitungkan dengan uang tidak kurang dari sebesar Rp.
3.700.000.000,- (Tiga Milyar Tujuh Ratus Juta Rupiah)
selambat-lambatnya satu minggu setelah putusan ini
mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
11. Menghukum kepada Tergugat untuk membayar kerugian atas
terhalangnya jalan masuk ke Tanah Pekarangan milik Para
Penggugat yang menyebabkan Kehilangan peluang Bisnis
yakni sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus Juta Rupiah) setiap
tahunnya terhitung sejak dimasukkannya gugatan ini sampai
dengan nanti di penuhinya gugatan ini oleh Tergugat;
110
12. Menghukum kepada Tergugat untuk membayar uang paksa
(dwangsom) sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) setiap
hari keterlambatan Kepada Para Penggugat apabila tidak
membongkar dan memulihkan Objek Sengketa dalam
kedudukan dan Keadaan sebagaimana semula Jalur Hijau
atau Sepadan Jalan sejak Putusan ini dapat dilaksanakan
menurut hukum dan dijalankan oelh Tergugat;
13. Menyatakan secara hukum bahwa putusan perkara ini dapat
dijalankan secara serta merta dahulu (Uitoerbaar bij vooraad)
meskipun ada upaya hukum Verzet, banding maupun Kasai;
14. Menghukum kepada Tergugat untuk membayar semua biaya yang
timbul dalam perkara ini;
15. Menghukum kepada semua pihak untuk tunduk dan patuh pada
putusan ini;
4. Kasus Posisi menurut Pihak Tergugat
Bahwa setelah Penggugat menyampaikan Gugatannya, Tergugat
telah mengajukan Jawaban Gugatan yang pada pokonya menerangkan
sebagai berikut :
4.1. Jawaban Dalam Eksepsi
Sebelum Tergugat menyampaikan jawaban gugatan dalam
eksepsi ini, perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa telah terjadi
kesalahan yang sangat fatal dan mendasar dalam gugatan Para
Penggugat, yaitu :
111
1) Dalam “Hal” Gugatan (Halaman 1) Para Penggugat
bermaksud mengajukan gugatan mengenai “Gugatan
Perbuatan Melawan Hukum”, akan tetapi yang dijadikan
“Objek Sengketa” oleh Para Penggugat adalah berupa
“tanah” (lihat posita 02 dan 24, serta petitum No. 2).
Seharusnya gugatan Perbuatan Melawan Hukum adalah
gugatan-gugatan yang ditujukan terhadap suatu “tindakan”,
bukan terhadap suatu “benda”;
2) Dalam petitum No. 8 Para Penggugat memohon pembatalan
Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Banyumas No. : SK.29/530.3/11.27/2008; dan dalam petitum
No. 9 memohon pembatalan Sertifikat Hak Pakai No. :
00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 atas nama
Departemen Pendidikan Nasional. Kedua produk hukum
tersebut jelas-jelas merupakan Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) sehingga Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
menyatakan “batal” suatu KTUN, karena yang berwenang
adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Berdasarkan hal tersebut di atas, telah menimbulkan kekacauan
dan ketidakjelasan dalam menentukan objek sengketa, yakni mengenai
: “apa yang sebenarnya akan dijadikan objek sengketa oleh Para
Penggugat, apakah berupa suatu benda berupa “tanah” ataukah berupa
112
suatu perbuatan yang berupa “mendirikan bangunan” ? ataukah
keabsahan suatu KTUN ?”.
Atas kesalahan fatal, kekacauan, dan ketidakjelasan dalam
Gugatan Para Pengugat tersebut, dapat disusun Jawaban Gugatan
Dalam Eksepsi sebagai berikut :
4.1.1. Eksepsi Mengenai Pengadilan Negeri Purwokerto Tidak
Berwenang Mengadili Perkara A-quo;
Bahwa Pengadilan Negeri Purwokerto, tidak berwenang mengadili
perkra A-quo, berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1) Bahwa menurut Para Penggugat (dalam posita No. 8, 9 dan 10,
serta dalam petitum No. 8 dan 9.) yang dipermasalahkan oleh
Para Penggugat adalah mengenai keabsahan Sertifikat Hak
Pakai No. 00016/Paburan dengan Surat Ukur tanggal 09/10/2008
No. 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 atas nama
Departemen Pendidikan Nasional yang diterbitkan oleh Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Kantor Pertanahan
Kabupaten Banyumas, dan Surat Keputusan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten Banyumas No. SK.29/530.3/11.27/2008;
oleh karena Sertifikat Hak Pakai dan SK No.
SK.29/530.3/11.27/2008 adalah termasuk dalam pengertian
KTUN (Keputusan Tata Usaha Negara), sehingga sengketa yang
timbul akibat terbitnya SHP dan SK tersebut adalah merupakan
Sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 47 UU No. 5
113
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN),
Pengadilan yang berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara adalah Pengadilan
Tata Usaha Negara.
Bahwa gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat termasuk
dalam wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara dapat
dijelaskan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 menentukan
bahwa : “PERATUN bertugas dan berwenang
memerikasa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata
Usaha Negara (TUN)”.
b. Sedangkan oengertian “Sengketa TUN” ditentukan dalam
Pasal 1 angka 10 UU No. 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 yang
menentukan bahwa : “Sengketa TUN adalah sengketa
dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum
perdata dengan badan atau pejabat TUN, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara”.
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 51 tahun 2009 ini,
berarti terjadinya “sengketa TUN” sebagai akibat
dikeluarkannya KTUN.
c. Sedangkan pengertian KTUN ditentukan dalam Pasal 1
angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 yang menentukan bahwa :
114
“KTUN adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan
badan atau pejabat TUN, yang berisi tindakan hukum
TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bersifat konkret, individual, final dan
menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum
perdata”.
Berdasarkan pengertian KTUN sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 ini, maka
Serifikat Hak Pakai No. 00061 (yang menjadi objek
perkara a-quo) adalah JELAS-JELAS termasuk dalam
pengertian KTUN !
d. Bahwa berdasarkan point huruf a, b, dan c di atas, maka
dapat disimpukan :
- Sertifikat Hak Pakai No. 00061 dan Surat Keputusan
No. : SK.29/530.3/11.27/2008 termasuk dalam
pengertian KTUN;
- Terhadap suatu perkara yang ditimbulkan oleh terbitnya
suatu KTUN, berarti merupakan “sengketa TUN”;
- Bahwa yang berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan “sengketa TUN” adalah
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA;
- Dengan demikian dapat disimpulkan secara PASTI,
bahwa Pengadilan Negeri Purwokerto TIDAK
115
BERWENANG MEMERIKSA, MEMUTUS, DAN
MENYELESAIKAN PERKARA A-QUO.
2) Bahwa menurut Para Penggugat (dalam posita no. 24) meminta
sita jaminan atas tanah yang menurut Para Penggugat adalah
objek sengketa, hal tersebut tidak benar. Yang benar adalah
Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang melakukan
sita jaminan terhadap BARANG MILIK NEGARA (Vide
Pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara).
Karena sita pada hakekatnya adalah merupakan tindakan
pendahuluan dari eksekusi, maka dengan demikian Pengadilan
Negeri Purwokerto juga tidak berwenang melakukan eksekusi
atas barang-barang milik negara.
3) Bahwa gugatan Para Penggugat (dalam posita no. 19 dan petitum
no. 6) pada hakikatnya adalah memohon agar Pengadilan Negeri
Purwokerto menghukum Tergugat dan Turut Tergugat (mungkin
yang dimaksud Para Penggugat adalah Turut Tergugat III) untuk
membongkar bangunan milik Tergugat.
Bahwa dalam ranah Hukum Administrasi Negara, setiap
tindakan pemerintah (dalam hal ini Turut Tergugat III) untuk
membongkar suatu bangunan harus didahului dengan
menerbitkan suatu produk hukum dalam bentuk Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN), sedangkan mengenai kewenangan
116
memerintahkan terbitnya suatu KTUN adalah kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara, oleh karena itu maka Pengadilan
Negeri Purwokerto tidak berwenang memerintahkan Turut
Tergugat III untuk menerbitkan KTUN yang berisi perintah
pembongkaran bangunan milik Tergugat.
Bahwa apabila Turut Tergugat III (PEMKAB Banyumas)
menerbitkan KTUN tentang pembongkaran bangunan milik
Tergugat dengan alasan karena mendirikan bangunan di
sempadan jalan/sempadan sungai dan tidak memiliki Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB); maka berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik (AUPB), PEMKAB Banyumas HARUS memperlakukan
hal yang sama terhadap semua bangunan yang berdiri di
sepanjang jalan Prof. Bunyamin yang melanggar Sempadan
Jalan dan Sempadan Sungai serta tidak memiliki Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB);
4) Bahwa dalam petitum No. 3 Para Penggugat memohon agar
Pengadilan Negeri Purwokerto menetapkan suatu kawasan
sebagai wilayah jalur hijau, hal tersebut adalah tidak benar dan
harus ditolak dengan tegas.
Bahwa yang benar adalah Pengadilan Negeri tidak berwenang
menyatakan secara hukum bahwa tanah yang menurut Para
117
Penggugat sebagai objek sengketa dalam perkara a-quo adalah
merupakan Jalur Hijau.
Berdasarkan Eksepsi mengenai Kewenangan Pengadilan
Negeri Untuk Mengadili tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara a-quo. Dengan demikian
gugatan Para Penggugat harus dinyatakan “Ditolak” atau setidak-
tidaknya dinyatakan TIDAK DAPAT DITERIMA (Niet
Onvankelijkeverklaar).
Bahwa apabila Pengadilan Negeri Purwokerto berpendapat
berwenang memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara a-quo,
maka Tergugat akan menyampaikan eksepsi sebagai berikut :
4.1.2. Eksepsi Mengenai Kurangnya Pihak Tergugat (Plurium
Litis Consortium);
Bahwa menurut Para Penggugat (posita No. 05 mengenai
Notulen Rapat di Aula Dinas Cipta Karya, pasda baris ke-3 sampai
dengan ke-6, yang dapat Tergugat tulis sebagai berikut :
“............bahwa sepanjang jalan Prof Bunyamin adalah jalan kolektor
Primer dengan rencana Garis Sepadan Bangunan (GSB) adalah 14 m
dari As jalan dengan rencana pemanfaatan ruang di kawasan tersebut
merupakan kawasan campuran”, menurut Para Penggugat tindakan
Tergugat mendirikan bangunan melanggar Perda No. 6 Tahun 2002
tentang RTRK dan Rencana Detail Kota Purwokerto.
118
Padahal tindakan mendirikan bangunan di lokasi tersebut tidak
hanya dilakukan oleh Tergugat, sehingga apabila pihak lain yang
juga mendirikan bangunan di lokasi sepanjang jalan Prof Bunyamin
tidak ditarik sebagai pihak dalam perkara a-quo, maka gugatan Para
Penggugat harus dinyatakan “kurang pihak Tergugat (Plurium
Litis Consortium)”.
Bahwa, seharusnya gugatan Para Penggugat tidak hanya
ditujukan kepada Tergugat saja tetapi ditujukan kepada siapa saja
(temasuk pemilik Toko Borneo) yang memiliki bangunan di lokasi
sebagaimana yang ditulis Para Penggugat dalam posita 05.
Bahwa termasuk bangunan yang berada dalam lokasi
sebagaimana posita Para Penggugat No. 05 yaitu Masjid Nurul
Umum yang berdiri di atas tanah Sertifikat Hak Pakai No.
00016/Pabuaran.
Bahwa oleh karena gugatan Para Penggugat “kurang pihak
Tergugat” (Plurium Litis Consortium), maka Gugatan Para
Penggugat harus dinyatakan “TIDAK DAPAT DITERIMA (Niet
Onvankelijkeverklaar)”.
4.1.3. Eksepsi Mengenai Gugatan Penggugat Kabur (Obscuur
libel) :
Bahwa Gugatan PENGGUGAT kabur (Obscuur libel) sehingga
tidak dapat dikongkritisir dalam petitum yang jelas dan tegas.
Contohnya :
119
1) Bahwa mengenai “hal” dalam Gugatan PARA
PENGGUGAT, terdapat kesalahan yang amat mendasar.
Bahwa gugatan Para Penggugat tersebut adalah mengenai
hal : Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Pembongkaran
Bangunan yang tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB), dan mengembalikan Objek sengketa Sebagai Jalur
Hijau/Sepadan Jalan.
Kesalahan mendasar dalil Para Penggugat tersebut di atas
adalah karena yang dimaksud Para Penggugat sebagai
Objek Sengketa ternyata BUKAN merupakan Jalur
Hijau/Sepadan Jalan. Berdasarkan PERDA No. 6 Tahun
2002, tanah tersebut ternyata adalah “kawasan
campuran”.
2) Bahwa dalam posita Gugatan Para Penggugat disebutkan
bahwa gugatan yang diajukan adalah mengenai
“Perbuatan Melawan Hukum”, akan tetapi yang
dijadikan objek sengketa oleh Para Penggugat adalah
mengenai “tanah”, serta Para Penggugat juga mengajukan
permohonan “pembatalan sertifikat”.
Berdasarkan hal tersebut, berarti telah terjadi ketidak
jelasan atau kekaburan (obscuur libel) dalam Gugatan
Para Penggugat, karena tidak jelas apa yang sebenarnya
120
diinginkan Para Penggugat dengan mengajukan dalam
perkara a-quo.
3) Bahwa mengani “hal” dalam Gugatan Para Penggugat,
terdapat kesalahan yang amat mendasar yaitu bahwa
bangunan-bangunan milik Pemerintah c/q UNSOED
(TERGUGAT) yang berdiri di atas tanah yang menurut
Para Penggugat sebagai objek sengketa tersebut, oleh Para
Penggugat tidak disebutkan sebagai Objek Sengketa.
Justru yang oleh Para Penggugat dijadikan objek sengketa
adalah mengenai “tanah”-nya. Sehingga berarti
“tindakan” Tergugat mendirikan bangunan bukan objek
sengketa.
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum adalah gugatan-
gugatan yang ditujukan terhadap suatu “tindakan”, bukan
terhadap suatu “benda”, sehingga dengan demikian
Gugatan Para Penggugat harus dinyatakan kabur (obscuur
libel) karena tidak jelas mengenai apa yang diinginkan
Para Penggugat dengan mengajukan gugatan dalam
perkara a-quo.
4) Bahwa tidak benar Tergugat mendirikan bangunan semi
permanen di atas tanah yang dimaksud Penggugat
sebagai Objek sngketa, sebagaimana yang didalilkan Para
Penggugat di dalam gugatannya pada posita 03, posta 04,
121
posita 19 dan posita 21, karena yang Tergugat dirikan
adalah bangunan-bangunan permanen. Bahkan Para
Penggugat mendalilkan bangunan-bangunan tersebut
sebagai gedung-gedung sebagaimana didalilkan dalam
posita 03 gugatannya pada huruf a, b, c dan d.
Berdasarkan hal-hal di atas terbukti bahwa Gugatan Para
Penggugat kabur, karena tidak ada bangunan semi
permanen berupa gedung.
5) Bahwa posita 21 dan 22 Gugatan Para Penggugat
mendalilkan bahwa Para Penggugat menderita kerugian
sejak 1 Januari 2005 sampai dengan gugatan diajukan,
yaitu berupa kerugian materiil sebesar Rp. 2.700.000.000,-
(dua milyar tujuh ratus juta rupiah) dan immateriil sebesar
Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), serta kerugian
berupa hilangnya peluang bisnis sebesar Rp. 300.000.000,-
(tiga ratus juta rupiah).
Dalam ranah Hukum Perdata, perihal tuntutan ganti rugi
adalah didasarkan atas beberapa hal sebagai berikut :
a. Adanya kerugian yang nyata-nyata diderita
(kerugian senyatanya);
b. Keugian senyatanya dibuktikan atas perhitungan
yang pasti dan riil (schade staad) yang didasarkan
122
atas rincian berkurangnya harta kekayaan dan/atau
adanya keuntungan yang diharapkan;
c. Yang dimaksud dengan kerugian immateriil adalah
kerugian-kerugian yang bukan materi berupa
kerugian psikis atau moril yang di dalam teori
hukum maupun dalam KUH Perdata tidak menjadi
dasar tuntutan ganti rugi.
Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka gugatan
yang diajukan oleh Para Penggugat pada posita 21 dan 22
adalah kabur, karena tidak didasarkan pada parameter dan
indikator yang membuktikan adanya kerugian.
Misalnya kegiatan bisnis apa, modal berapa, dapat
pemasukan berapa sehingga jelas untung stsu rugi, tidak
serta merta menyatakan besarnya kerugian sebesar yang
disebutkan di atas. Padahal Para Penggugat tidak pernah
berbisnis apapun di atas tanah-tanah milik Para Penggugat
tersebut, selain pertanian. Kalau ada kerugian, Para
Penggugat harus membuktikan berdasarkan audit akuntan
publik.
Berdasarkan Jawaban Dalam Eksepsi Mengenai Gugatan
Penggugat Kabur (Obscuur libel) tersebut di atas, maka Gugatan
Para Penggugat HARUS dinyatakan kabur (Obscuur libel),
sehingga oleh karenanya Gugatan Para Penggugat harus
123
dinyatakan TIDAK DAPAT DITERIMA (Niet
Onvankelijkeverklaar).
4.1.4. Eksepsi Mengenai Error in Objecto dalam Gugatan
Penggugat :
Bahwa Gugatan PARA PENGGUGAT adalah Error in
Objecto, berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1) Bahwa pada halaman 3, pada posita 1 huruf a pada baris
ke-2 Gugatan PARA PENGGUGAT yang kemudian
dirubah oleh PARA PENGGUGAT dalam permohonan
renvoinya yang ke-2 pada huruf b tertulis sebagai berikut :
“Sebelah Timur : Saluran Irigasi dan Objek Sengketa /
UPT Percetakan dan Penerbitan UNSOED / Toko
Borneo”.
Dalil Para Penggugat tersebut adalah tidak benar karena
tanah yang dimaksud oleh Para Penggugat sebagai Objek
Sengketa / UPT Percetakan dan Penerbitan UNSOED /
Toko Borneo tersebut tidak berbatasan dengan tanah milik
Para Penggugat. Tanah milik Para Penggugat tersebut di
Sebelah Timur hanya berbatasan dengan saluran air.
2) Bahwa pada halaman 3, pada posita 1 huruf b pada baris
ke-2 Gugatan Para Penggugat tertulis sebagai berikut :
“Sebelah Timur : Saluran Irigasi dan Objek Sengketa”.
124
Dalil Para Penggugat tersebut adalah tidak benar karena
tanah yang oleh Para Penggugat didalilkan sebagai Objek
Sengketa ternyata tidak berbatasan dengan tanha milik
Para Penggugat. Tanha milik Para Penggugat tersebut di
sebelah timur hanya berbatasan dengan saluran air;
3) Bahwa pada halaman 3, pada posita 2 pada baris ke-13
Gugatan Para Penggugat tertulis sebagai berikut : Sebelah
Barat : Saluran Irigasi / Tanah Pekarangan Para
Penggugat.
Dalil Para Penggugat tersebut adalah tidak benar karena
tanah yang didalilkan oleh Para Penggugat sebagai objek
sengketa ternyata tidak berbatasan dengan tanah milik
Para Penggugat. Tanah tersebut di sebelah barat hanya
berbatasan dengan saluran air (saluran irigasi).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Gugatan Para
Penggugat HARUS dinyatakan Error in Objecto, sehingga oleh
karenanya Gugatan Para Penggugat harus dinyatakan TIDAK
DAPAT DITERIMA (Niet Onvankelijkeverklaar).
4.1.5. Eksepsi Mengenai Error in Subjecto dalam Gugatan Para
Penggugat :
Bahwa Gugatan Para Penggugat sudah selayaknya
dinyatakan tidak dapat diterima karena Gugatan Para Penggugat
error in subjecto, berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
125
1) Bahwa Para Penggugat telah keliru dalam hal menentukan
para pihak yang ditarik dalam gugatan tersebut, yakni
UNSOED dijadikan sebagai TERGUGAT dan DITJEN
DIKTI ditarik menjadi TURUT TERGUGAT I, padahal
secara struktural baik UNSOED maupun DITJEN DIKTI
adalah sebenarnya merupakan satu entitas di bawah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang
sebenarnya merupakan satu pihak. Sehingga keduanya tidak
dapat didudukan sebagai pihak yang berbeda yaitu sebagai
Tergugat dan Turut Tergugat I.
Dengan demikian, tidak bisa dalam sebuah gugatan ada 1
(satu) pihak / subjek yang ditarik 2 (dua) kali.
2) Bahwa Para Penggugat tidak mempunyai hubungan hukum
apapun dengan Tergugat yang berkaitan dengan tanah yang
menurut Para Penggugat sebagai objek sengketa, sehingga
Para Penggugat tidak mempunyai hak dan/atau
kepentingan apapun terhadap tanah tersebut. Oleh karena itu
Para Penggugat tidak mempunyai Kedudukan Hukum (legal
standing) untuk mengajukan gugatan dalam perkara a-quo.
Bahwa Para Penggugat tidak mempunyai legal standing atau
kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan perdata dalam
perkara a-quo, karena tanah yang menurut Para Penggugat
126
adalah objek sengketa tersebut ternyata tidak berbatasan
secara langsung dengan tanah-tanah milik Para Penggugat.
Bahwa oleh karena Para Penggugat tidak mempunyai legal
standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan
perdata dalam perkara a-quo, maka Para Penggugat tidak
mempunyai hak untuk menggugat agar bangunan milik
tergugat dibongkar
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Gugatan Para
Penggugat HARUS dinyatakan Error in Subjecto, sehingga oleh
karenanya Gugatan Para Penggugat harus dinyatakan TIDAK
DAPAT DITERIMA (Niet Onvankelijkeverklaar).
4.2. Jawaban Dalam Pokok Perkara
Bahwa sebelum Tergugat menguraikan lebih lanjut mengenai
Jawaban Tergugat Dalam Pokok Perkara, terlebih dahulu akan
disampaikan hal-hal yang sangat mendasar dan hakiki yang
berkaitan dengan persoalan “Perbuatan Melawan Hukum (PMH)”.
Bahwa kasus posisi dalam perkara a-quo dapat dideskripsikan secara
singkat sebagai berikut :
“Para Penggugat membeli dan akhirnya mempunyai sebidang
tanah pertanian/persawahan, Para Penggugat mendalilkan
bangunan yang didirikan Tergugat menutup akses masuk ke
tanah milik Para Penggugat, padahal bangunan tersebut sudah
berdiri sejak sebelum Para Penggugat membeli tanah Para
Penggugat. Para Penggugat memohon agar bangunan yang
didirikan oleh Tergugat tersebut dibongkar, karena menurut Para
Penggugat bangunan tersebut melanggar Peraturan Daerah
mengenai IMB, dan Peraturan Daerah mengenai Garis
Sempadan Jalan. Peraturan Daerah merupakan sekumpulan
127
norma-norma yang berisi norma perintah maupun norma
larangan. Peraturan Daerah sebagai suatu norma, dimaksudkan
sebagai sarana perlindungan hukum terhadap subjek hukum
tertentu (tidak seluruh subjek hukum) “.
Para Penggugat salah menafsirkan bahwa seolah-olah ia
adalah merupakan oknum yang harus dilindungi oleh norma-norma
yang terdapat dalam PERDA-PERDA tersebut, oleh karenanya Para
Penggugat mengajukan Gugatan PMH. Anehnya yang dijadikan
sebagai objek sengketa oleh Para Penggugat adalah “tanahnya”,
bukan “tindakan Tergugat mendirikan bangunan”, serta dalam
petitum tidak terdapat permohonan agar Para Penggugat diberi akses
jalan masuk ke tanah milik Para Penggugat”.
Terdapat kasus posisi sebagaimana diuraikan di atas, dapat
dianalisis secara normatif dengan menggunakan Teori Norma
Perlindungan (Schutznormtheorie), yang akan diuraikan secara
singkat sebagai berikut :
1) Schutznormtheorie digunakan untuk menjawab pertanyaan :
“siapa sebetulnya yang hendak dilindungi oleh suatu norma ?”.
menurut Schutznormtheorie, yang dapat menuntut ganti rugi
atas dasar pelanggaran suatu norma hukum tertentu adalah
mereka-mereka, untuk siapa norma itu bermaksud memberikan
perlindungan.
2) Menurut pendapat yang luas yang dimaksud dengan Perbuatan
Melawan Hukum adalah perilaku :
- Yang melanggar hak orang lain;
128
- Yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
- Yang bertentangan dengan kesusilaan;
- Yang bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan
kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup.
3) Yang dimaksud dengan perilaku “yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku” adalah perilaku yang bertentangan
dengan suatu peraturan undang-undang dalam arti yang formil
maupun materiil (termasuk Peraturan Daerah) yang bersifat
memerintah atau melarang.129
Sehingga apabila subjek hukum
yang dianggap berbuat melanggar Peraturan Daerah, maka dapat
digolongkan sebagai perilaku “yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku”.
4) Adanya kewajiban hukum yang diletakkan atas diri seseorang,
adalah dimaksudkan untuk membatasi perilaku orang yang
bersangkutan, agar tidak melanggar hak (subjektif) orang lain.
Kewajiban hukum seringkali merupakan kewajiban yang
ditujukan kepada orang-orang tertentu, demi perlindungan
kepentingan orang lain.
5) Dalam hal adanya perilaku yang bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku, maka yang dapat menuntut ganti rugi atas
dasar pelanggaran suatu norma hukum yang bersifat memerintah
129
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang, Bagian
Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1984, hlm. 213.
129
atau melarang, adalah mereka-mereka, untuk siapa norma itu
bermaksud untuk memberikan perlindungan.
6) Atas dasar pemahaman yang demikian maka dalam Ilmu
Hukum Perdata lahir apa yang disebut dengan “Teori Norma”,
yang pada intinya menyatakan bahwa : hak untuk menuntut
ganti rugi atas dasar pelanggaran terhadap norma hukum (yang
memerintah atau melarang) digantungkan dari bunyi norma itu
ditujukan kepada siapa. Sebaliknya ditinjau dari segi
perlindungan yang diberikan oleh norma yang bersangkutan,
atau segi “siapa yang hendak dilindungi oleh norma itu”, teori
tersebut disebut Teori norma Perlindungan (Schutznorm
theorie). Dengan teori ini berarti, bahwa perilaku terhadap yang
satu bisa merupakan onrechtmatig daad, sedangkan bagi yang
lain bukan, inilah yang disebut bahwa perilaku tersebut menjadi
“relatif merupakan onrechtmatig daad” (Teori Relativitas).
7) Jadi intinya : pelanggaran atas suatu norma (yang memerintah
atau melarang) tidak memberikan hak kepada “setiap orang”
untuk menuntut ganti rugi, melainkan hanya orang-orang kepada
siapa perlindungan diberikan oleh norma yang bersangkutan.
8) Berdasarkan kasus posisi dan Schutznormtheorie dalam
kaitannya dengan perkara a-quo maka dapat diambil deskripsi
mengenai siap yang hendak dilindungi oleh PERDA-PERDA
tersebut di atas.
130
9) Bahwa norma perintah maupun larangan yang terdapat dalam
PERDA-PERDA yang telah disebutkan di atas adalah
dimaksudkan untuk :
a. PERDA tentang Garis Sempadan Jalan dimaksudkan untuk
melindungi mereka para pengguna jalan, agar ketika
melalui jalan tersebut ia mendapat perlindungan berupa
pandangan yang jelas dan cukup, dan tidak terhalang oleh
bangunan-bangunan di sebelah kanan atau kirinya jalan
tersebut;
b. PERDA yang berisi ketentuan mengenai IMB dimaksudkan
untuk melindungi mereka yang akan mendirikan dan
pemilik bangunan, yakni agar pemilik bangunan terlindung
dari konstruksi bangunan yang keliru, agar pemilik
bangunan terlindung dari instalasi listrik yang
membahayakan, agar pemilik bangunan terlindung dari
kesalahan pembuatan saluran air. Ketentuan mengenai IMB
sebenarnya merupakan bentuk pelayanan dari Pemerintah
terhadap pemilik bangunan, agar pemilik bangunan
terlindung dari hal-hal yang telah disebutkan.
10) Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan :
a. Tidak setiap orang mempunyai hak untuk mengajukan
Gugatan PMH dan atau tuntutan ganti rugi. Yang dapat
mengajukan gugatan tersebut hanyalah orang yang
131
termasuk mereka-mereka untuk siapa norma itu bermaksud
memberikan perlindungan;
b. PERDA-PERDA tersebut di atas berupa norma
perlindungan yang dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan kepada pengguna jalan dan pemilik bangunan;
c. Dalam konteks perkara a-quo, Para Penggugat jelas-jelas
bukan termasuk orang yang dimaksud diberi perlindungan
oleh norma-norma yang terdapat dalam PERDA-PERDA
tersebut di atas.
5. Pendapat Ahli dari Penggugat
Pada persidangan perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt, sebelum
pemeriksaan pokok perkara, Hakim berketetapan untuk terlebih dahulu
membuktikan apakah Pengadilan Negeri Purwokerto mempunyai
kewenangan absolut untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara a-quo.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Majelis Hakim memerintahkan para
pihak untuk mengajukan alat-alat bukti yang berkaitan dengan persoalan
kewenangan Pengadilan.
Selanjutnya Penggugat mengajukan alat bukti berupa Keterangan
Ahli bernama Dr. RIDWAN, S.H., M.Hum yang memberikan
pendapatnya yang pada pokoknya sebagai berikut :
5.1. Bahwa mengenai asas legalitas dan hubungan hukum dengan
seseorang atau badan hukum perdata, 1. Asas legalitas yang
132
kaitannya dengan pemerintah adalah asas dalam pengertian hukum
administrasi bukan asas legalitas dalam hukum pidana. Dalam
hukum administrasi asas legalitas berarti setiap tindakan pemerintah
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan itu harus berdasarkan
wewenang yang diberikan oleh undang-undang atau harus
berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Asas
legalitas dalam hukum administrasi ini berkaitan dengan tindakan
pemerintah di bidang publik; 2. Hubungan hukum pemerintah
dengan seseorang atau badan hukum perdata, hubungan hukum
adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang berdasarkan pada
aturan hukum tertentu atau hubungan yang menimbulkan itu
munculnya hak dan kewajiban, hubungan hukum pemerintah dengan
seseorang atau badan hukum perdata dapat bersifat publik (publiek
en privaat rechtsbetrekking) sehingga apabila pemerintah melakukan
melanggar hukum atau melanggar hak-hak pihak lain dan atau
menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata
tersebut maka bisa dituntut;
5.2. Bahwa perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah
(Onrechtmatige daad) merupakan ajaran hukum perdata yang berarti
tindakan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan norma hukum.
dalam pengertian umum Onrechtmatige daad adalah setiap
perbuatan yang tidak sesuai dengan norma hukum baik hukum
pidana, hukum administrasi, hukum perdata dan sebagainya, namun
133
dalam penegakan hukum dalam sistem hukum Kontinental termasuk
di Indonesia istilah Onrechtmatige daad diterjemahkan dengan
perbuatan melanggar hukum dalam bidang perdata, dengan kata lain
Onrechtmatige daad adalah konsep hukum perdata, sedangkan
dalam konsep hukum publik khususnya hukum pidana digunakan
istilah Wererrechtelijkheid. Apabila pelaku dari Onechtmatige daad
itu pemerintah atau badan publik (publiek lichaam) disebut
Onrechtmatige overheidsdaad. Onrechtmatige daad dapat pula
muncul karena tindakan faktual (feitelijke handeling) dari organ
pemerintah, pengertian feitelijke handeling adalah tindakan-tindakan
yang tidak dimaksudkan untuk suatu akibat hukum. comtoh
diantaranya membangun gedung, membuat jalan, menebang pohon
di pinggir jalan, namun pemerintah melakukan perbuatan melanggar
hukum (Onrechtmatige overheidsdaad) bisa di bidang hukum
perdata, hukum pidana maupun tata negara;
5.3. Bahwa pemerintah dapat terlibat dengan kegiatan yang besifat
keperdataan sebagaimana manusia dan badan-badan hukum privat
terlibat dalam lalu lintas pergaulan hukum, pemerintah menjual dan
membeli, menyewa dan menyewakan, menggadai dan
menggadaikan, membuat perjanjian dan mempunyai hak milik, dan
juga banyak urusan-urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh
pihak swasta, contohnya perkumpulan perusahaan dan lembaga
pendidikan khusus, dan dalam bidang sosial ekonomi dimana
134
organisasi swasta untuk sebagian dipublikan melalui organisasi
perusahaan publik pada bidang pertanian atau perkebunan,
pendidikan, pelayanan kesehatan dan angkutan jalan. Dengan
demikian pemerintah dapat melibatkan diri dalam kegiatan yang
bersifat keperdataan (bestuur als particuleren) dan pihak swasta
sering menjalankan urusan-urusan pemerintah tertentu (particuleren
als overheid) oleh karena itu muncul istilah teori campuran
(oplostheori) yang kadang sering menyulitkan dalam penegakan
hukum;
5.4. Bahwa tolok ukur atau kriteria untuk menentukan ada tidaknya
onrechtmatige daad adalah norma hukum perdata yaitu Pasal 1365
KUH Perdata yang mana pasal tersebut terjemahan dari Pasal 1410
BW, kriteria untuk menemukan ada tidaknya onrechtmatige daad
adalah dengan menganalisis isi Pasal 1365 KUH Perdata yaitu : 1.
Perbuatan Melawan Hukum; 2. Timbulnya kerugian; 3. Hubungan
kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, dan; 4.
Kesalahan para pelaku. Bahwa pertanggungjawaban atas Perbuatan
Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam Pasal 1410 BW atau
1365 KUH Perdata didasarkan pada prinsip adanya kesalahan si
pelaku atau pertanggungjawaban atas dasar kesalahan
(schuldaansprakelijkheid), pelaku dari onrechtmatige daad dapat
berupa seseorang (natuurlijk persoon), badan hukum
(rechtspersoon), maupun pemerintah (overheid), dalam hal
135
pelakunya pemerintah (onrechtmatige overheid daad) maka dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata;
5.5. Bahwa contoh perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
pemerintah, antara lain : putusan tentang perbuatan melawan hukum
(PMH) di antaranya 1. Putusan No. 256/K/Pdt/2002 antara
Departemen Agama RI c/q. Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi Jawa Tengah yang digugat oleh warga karena telah
menggunakan tanah milik warga tanpa alas hak; 2. Putusan No. 352
PK/Pdt/2010, Pemerintah RI c/q. Menteri Kesehatan RI c/q. Direktur
Utama Rumah Sakit Umum dr. Muhammad Husein Palembang yang
digugat Abuyani Roni dalam kasus operasi mata yang gagal; 3.
Putusan No. 2975 K/Pdt/2009 dalam perkara susu formula dan
putusan-putusan Mahkamah Agung tentang perbuatan melanggar
hukum dapat diakses di putusan mahkamahagung.go.id;
5.6. Bahwa asas praduga rechtmatige atau het vermoeden van
rechtsmatigheid itu berlaku dalam tindakan pemerintah yang bersifat
publik seperti membuat peraturan atau mengeluarkan keputusan tata
usaha negara, dengan kata lain setiap tindakan organ pemerintah di
bidang publik dianggap sah menurut hukum sampai dibuktikan
sebaliknya melalui proses peradilan, tindakan pemerintah di bidang
perdata tidak disyaratkan adanya asas legalitas, dalam hubungan
hukum keperdataan, asas yang mendasarinya adalah asas kebebasan
berkontrak (contractvrijheid beginsel), asas konsensual (consensuale
136
beginsel), dan asas itikad baik (goede trouw), asas pacta sunt
servanda (het principe van pacta sunt servanda) dan asas
kepribadian (personaliteisbeginsel);
5.7. Bahwa konsep Onrechtamige daad atau Onrechtmatige
overheidsdaad adalah konsep hukum perdata dalam arti tindakan
yang tidak sesuai atau bertentangan dengan norma-norma hukum
perdata, adapun istilah penyalahgunaan wewenang (detournement de
pouvoir) dan tindakan sewenang-wenang (willekeur) merupakan
konsep hukum administrasi yaitu tindakan organ pemerintah yang
tidak sesuai dengan norma hukum administrasi. Parameter untuk
menguji penyalahgunaan wewennag (detournement de pouvoir)
adalah asas spesialitas (specialiteitbeginsel) yaitu asas yang
menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada subjek hukum
dengan tujuan tertentu, yang menyimpang dari tujuan diberikannya
wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang
(detournement de pouvoir), terjadinya penyalahgunaan wewenang
bukanlah karena suatu kealpaan, tetapi dilakukan secara sadar yaitu
mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenangnya itu
dengan didasari atas interest pribadi, baik untuk kepentingan dirinya
sendiri ataupun untuk orang lain. Adapun sewenang-wenang
(willekeur) adalah tidak dilakukannya perbuatan menimbang-
nimbang terhadap semua kepentingan yang terkait dengan keputusan
yang dikeluarkan atau telah dilakukan perbuatan menimbang-
137
nimbang tersebut yang sedemikian tidak masuk akal, sehingga
mengakibatkan dikeluarkannya keputusan yang sama sekali tidak
bisa diterima atau dibenarkan. Maka penyalahgunaan wewenang
(detournement de pouvoir) dan tindakan sewenang-wenang
(willekeur) itu tidak sama dengan perbuatan melanggar hukum oleh
pemerintah (onrechtmatige overheid daad) dan norma hukum yang
diterapkan juga berbeda;
5.8. Bahwa mungkin saja organ pemerintah melakukan tindakan
keperdataan yang menimbulkan akibat hukum di bidang publik,
misalnya pegawai pemerintah atau panitia lelang melakukan
pelelangan benda-benda publik (publiek domain) kemudian hasil
lelangnya tidak disetorkan ke kas negara, pemerintah menyewakan
bangunan atau gedung, tetapi uangnya yang merupakan pendapatan
negara bukan pajak (PNPB) tidak disetorkan ke kas negara, pejabat
pemerintah mengadakan jual beli untuk keperluan sarana dan
prasarana instansi pemerintah, yang dalam pelaksanaannya ada unsur
kongkalingkong dengan penjual atau pembeli;
5.9. Bahwa ada beberapa jenis atau macam tindakan pemerintah yaitu : 1.
Tindakan pemerintah di bidang Regeling, produksinya berupa
peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah (PP),
Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan
Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbup) atau Peraturan
Walikota (Perwal), dans sebagainaya. Jika ada penyimpangan norma
138
hukum, pengujiannya dilakukan melalui Judicial Review dan
menjadi kewenangan absolut Mahkamah Agung; 2. Tindakan
Pemerintah di bidang Beschkking, produksinya berupa Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN), lembaga yang berwenang menguji
KTUN adalah instansi yang mengeluarkan KTUN itu atau instansi
lain atau instansi atasan (administratief beroep) dan Pengadilan Tata
Usaha Negara (administratieve rechtsspraak); 3. Tindakan
pemerintah di bidang kebijakan, produksinya berupa peraturan
kebijakan (beleidsregel), dalam praktik, keberatan terhadap
peraturan yang menimbulkan kerugian digugat atas dasar Perbuatan
Melawan Hukum yaitu melalui Peradilan Umum; dan 4. Tindakan
pemerintahan di bidang perdata (materiale daad) dan tindakan
faktual (feitelijke handeling) Lembaga yang berwenang menguji
adalah Peradilan Umum;
5.10. Instansi publik dibebani tanggung gugat dan tanggung jawab atas
kerugian yang dilakukan organ-organnya, bilamana organ dalam
kedudukannya sebagian organ itu telah melakukan perbuatannya
demi menunaikan tugas yang diberikan kepadanya, atau dalam
lingkungan formil dari wewenangnya, organ yang melakukan
perbuatan melanggar hukum dapat dipertanggungjawabkan secara
pribadi, bilamana organ tersebut telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan statuta atau peraturan rumah tangga badan
139
hukum itu atau perbuatan yang tidak sesuai dengan sikap kecermatan
yang seharusnya dilakukan terhadap pihak yang dirugikan;
5.11. Bahwa sepengetahuan Ahli, tidak ada mata anggaran yang bernama
“anggaran untuk ganti kerugian”. Jika ada dan tertulis anggaran
untuk ganti kerugian, ada kesan memberikan peluang bagi pejabat
publik untuk melakukan pelanggaran hukum. persoalan ganti rugi
oleh negara ini memang ada problem. Berdasarkan ilmu hukum,
telah menjadi pendapat umum para ahli hukum (communis opinio
doctorum) bahwa Negara, Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan
badan hukum yang bersifat publik (publiek rechtspersoon), yakni
sebagai subjek hukum yang dapat bertindak dalam pergaulan hukum
(rechtsverkeer) dalam bidang keperdataan, dapat menuntut dan
dituntut, memiliki harta kekayaan, memiliki pengurus dan
sebagainya. Namun dalam hal ganti rugi, menurut beberapa problem.
Berbeda halnya dengan badan hukum yang berbentuk seperti PT,
yayasan, atau persero, di mana pembayaran ganti rugi itu berasal dari
aset atau modal milik badan hukum yang bersangkutan. Persoalan
ganti rugi yang berkenaan dengan badan hukum publik seperti
Negara, provinsi, Kabupaten/Kota tidak ditemukan kejelasannya
seperti darimana sumbernya, apa dan bagaimana wujud kekayaan
yang terpisah dari badan hukum publik ini, apakah normanya sama
dengan badan hukum pada umumnya, bagaimana pengaturannya dan
140
sebagainya. Oleh karena itu, persoalan ini membutuhkan penelitian
hukum tersendiri;
5.12. Bahwa asas yang mendasari Pasal 1365 KUH Perdata , yang
dijadikan dasar untuk menuntut ganti rugi, adalah asas
“schuldaansprakelijkheid” (Pertanggung-jawaban atas dasar
kesalahan). Artinya ganti rugi itu diberikan jika aktivitas yang
dilakukan oleh pemerintah itu ada unsur kesalahan. Dengan kata
lain, jika unsur kesalahan itu tidak ada, ganti rugi tidak dapat
diberikan meskipun tindakan pemerintah itu merugikan pihak lain.
Pemerintah sering menggunakan tanah warga secara terbatas tanpa
perlu memberikan ganti rugi bagi pemilik tanah, misalnya untuk
pemasangan tiang-tiang listrik, saluran pipa perusahaan air minum
milik pemerintah, pemasangan pipa pertamina, dan sebagainya.
Dapat ditambahnkan, pemadaman aliran listrik oleh PLN dalam
rangka perbaikan instalasi atau pemasangan kabel, kemungkinan
besar menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu atau tidak
mendapatkan keuntungan yang semestinya diperoleh bagi beberapa
perusahaan, pertokoan, dan sebagainya. Dalam hal demikian, PLN
tidak dapat dibebani kewajiban memberikan ganti rugi;
5.13. Bahwa dalam pengertian umum, Onrechtmatige daad adalah setiap
perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum, baik
itu Hukum Pidana, Hukum Administrasi, Hukum Perdata, dan
sebagainya. Dengan pengertian umum ini, pemilik bangunan dapat
141
dikategorikan telah melakukan perbuatan melanggar hukum, yakni
melanggar Hukum Perijinan (bijzonder deel van bestuursrecht);
5.14. Bahwa Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) itu dituangkan dalam
bentuk Keputusan. Oleh karena itu, kewenangan penegakan
hukumnya terletak pada siapa yang berwenang menerbitkan
keputusan ijin itu, apakah ia Pejabat Pusat atau Pejabat Daerah. Pada
umumnya, IMB itu diterbitkan oleh Pemerintah Daerah dan
karenanya kewenangan penegakannya ada pada Pemerintah Daerah,
melalui perangkatnya;
5.15. Bahwa sanksi yang dapat diberikan terhadap pemilik bangunan tanpa
ijin atau yang melanggar syarat-syarat perijinan itu tergantung pada
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendirian
bangunan itu. Pada umumnya dalam peraturan perundang-undangan
tersebut sudah dicantumkan macam-macam sanksi yang akan
diterapkan sesuai dengan jenis pelanggarannya. Biasanya sanksi
yang dapat diterapkan berupa : penundaan pelayanan administrasi,
penangguhan keputusan, pencabutan keputusan, paksaan
pemerintahan (bestuursdwang), dan pengenaan uang paksa
(dwangsom). Berkenaan dengan pelanggaran norma perijinan ini
harus dilihat secara kasuistis, artinya harus dilihat apakah
pelanggaran itu bersifat substansial atau tidak. Dalam hal
pelanggaran bersifat substansial, sanksi berupa penundaan pelayanan
administrasi, penangguhan keputusan, dan pencabutan keputusan ijin
142
tidak memadai (ontoereikend), sehingga sanksi yang relevan adalah
bestuursdwang atau dwangsom. Dalam hal sanksi berupa pencabutan
ijin, berlaku asas contrarius actus, dalam arti kewenangan tentang
perubahan dan pencabutan keputusan itu ada pada pejabat yang
berwenang menerbitkannya. Adapun sanksi terhadap penegak
hukum yang tidak melaksanakan tugasnya atau membiarkan
terjadinya pelanggaran, umumnya tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Secara teoretik maupun
praktik, hal ini merupakan salah satu kelemahan atau kekurangan
peraturan perundang-undangan dan karenanya perlu pembenahan
sehingga ada jaminan perlindungan hukum yang lebih baik bagi
warga negara atau pihak-pihak yang berkepentingan (belang
hebben);
5.16. Berdasarkan unsur-unsur yang disebutkan dalam hukum positif
terhadap hak pakai 1. Penetapan tertulis; 2. Dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara; 3. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; 4. Bersifat konkret, individual,
dan final. Sertifikat hak pakai atau sertifikat hak milik biasanya
ditujukan untuk persoon tertentu, namanya sudah tercantum dalam
sertifikat; 5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang, sehingga
menurut Ahli, suatu Sertifikat Hak Pakai ataupun Surat Keputusan
Kepala Kantor Pertanahan yang mendasarinya terbitnya sertifikat
143
tersebut telah memenuhi kriteria unsur-unsur tersebut, sehingga
termasuk KTUN;
5.17. Bahwa contoh tindakan pemerintah di bidang hukum privat misalnya
pemerintah membeli komputer lalu harganya disepakati adanya
persyaratan, hal ini terjadi hubungan perdata persesuaian kehendak
dan bila terjadi tindakan faktual yang merugikan pihak lain, maka
hal itu menjadi kompetensi Peradilan Umum;
5.18. Bahwa apabila ada semacam keberatan dari pihak ketiga dan bukan
Pemohon terhadap suatu KTUN, menurut Ahli, pihak ketiga tersebut
mengajukan gugatannya ke PTUN;
6. Penjabaran Ahli dari Tergugat
Selanjutnya Tergugat mengajukan alat bukti berupa Keterangan
Ahli bernama WEDA KUPITA, S.H., M.H. yang memberikan
pendapatnya yang pada pokoknya sebagai berikut :
6.1 Bahwa hubungan antara Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan
oleh Pemerintah di satu sisi dengan Hukum Administrasi Negara dan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di sisi lain dapat
dijelaskan sebagai berikut : Bahwa di dalam Hukum Administrasi
Negara dikenal ajaran tentang tindakan pemerintahan atau
bestuurshandelingen. tindakan pemerintah pada hakekatnya dapat
digolongkan menjadi dua yaitu tindakan nyata atau
feitelijkhandelingen dan tindakan hukum pemerintah atau
rechtshandelingen, tindakan pemerintahan berupa hukum perdata
144
atau privat dan tindakan hukum publik, tindakan hukum publik dapat
dogolongkan menjadi dua yaitu yang ditujukan kepada umum yang
disebut Besluit atau keputusan yang ditujukan untuk umum atau
peraturan contoh peraturan perundang-undangan dan yang kedua
hukum publik yang ditujukan untuk individual disebut Beschikking
atau penetapan contohnya Keputusan Tata Usaha Negara, apabila
pemerintah melakukan suatu tindakan yang merugikan warga negara
maka pemerintah dapat digugat bisa melalui PMH atau apabila
melakukan tindakan KPUN maka dapat digugat melalui Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) dan yang terkait dengan masalah
perlindungan hukum yang diberikan kepada subjek hukum dalam hal
itu tergantung dari kedudukan hukum pemerintah ketika melakukan
tindakan tersebut;
6.2 Bahwa dengan perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada
rakyat dari tindakan hukum yang merugikan rakyat dari tindakan
hukum yang dilakukan oleh pemerintah, perlindungan hukum
apabila atas tindakan hukum yang dilakukan Pemerintah maka
kepadanya harus diberikan perlindungan hukum itu tergantung dari
tindakan hukum pemerintah, kedudukan perbuatan hukum
pemerintah digolongkan menjadi dua yaitu dalam bidang hukum
publik dan dalam bidang hukum privat. Dalam bidang publik apabila
pemerintah melakukan tindakan hukum publik berupa keputusan
atau penetapan maka rakyat diberikan satu perlindungan hukum
145
dapat mengajukan gugatan kepadanya, apabila yang dirugikan
merupakan KTUN maka digugatnya melalui PTUN, apabila
pemerintah kedudukannya sebagai wakil dari badan hukum (publik)
maka tindakan hukum pemerintah itu diatur dalam hukum perdata
apabila pemrintah melakukan hukum perdata merugikan subjek
hukum lain maka subjek hukum yang dirugikan itu dapat
mengajukan gugatannya ke Peradilan Umum;
6.3 Bahwa kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Undang-
Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Psal 47 yang
menjelaskan bahwa pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa
memutus menyelesaikan sengketa tata usaha negara, pengertian
sengketa tata usaha negara adalah sengketa antara orang atau badan
hukum dengan pejabat hukum tata usaha negara sebagai akibta
diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau
Beschikking sehingga hubungan antara yang digugat dengan pejabat
tata usaha negara menyelesaikan suatu sengketa tata usaha negara
yang diakibatkan oleh diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara;
6.4 Bahwa pengertian KTUN yang diatur pada Pasal 1 angka 9 Undang-
Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
KTUN adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata
usaha negara yang bersifat konkret, individual dan final. Unsur-
unsurnya yaitu 1. Tertulis; 2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat
146
Negara; 3. Berisi tindakan hukum TUN yang bersifat konkret
dilindungi oleh negara, sifat induvidual, stau KTUN/Beschikking
beda dengan peraturan perundang-undangan, contoh dalam
kehidupan sehari-hari surat keputusan pengangkatan seseorang
sebagai pegawai negeri atau surat keputusan tentang pemberhentian
sebagai pegawai negeri, sertifikat hak milik, sertifikat hak guna
usaha, sertifikat hak pakai, atau keputusan-keputusan lain yang
ditujukan untuk individual dan suatu keputusan sebagai KTUN tidak
harus memerlukan suatu golongan tertentu contoh Ijazah, kartu studi
seorang mahasiswa;
6.5 Bahwa Sertifikat Hak Pakai jelas termasuk KTUN dasar hukumnya
adalah Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang
pengertian dari KTUN karena telah memenuhi unsur-unsurnya yaitu
1. Tertulis; 2. Dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara; 3. Berisi
tindakan hukum tata usaha negara; 4. Konkret; 5. Individual; 6. Final
(Tidak memerlukan persetujuan dari pihak lain), dan mengenai
kewenangannya apabila diajukan gugatan pembatalam sertifikat hak
pakai maka jelas pengadilan yang berwenang mengadili gugatan
pembatalan sertifikat hak pakai adalah Pengadilan Tata Usaha
Negara;
6.6 Bahwa Surat Keputusan tentang pembongkaran yang dikeluarkan
oleh Pemerintah dalam hal ini Bupati ini jelas merupakan KTUN dan
karena telah memenuhi unsur-unsur Pasal 1 angka 9 Undang-
147
Undang No. 51 Tahun 2009, maka yang berwenang mengadili
sengketanya tentang penerbitan perintah pembongkaran suatu
bangunan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara karena yang
diperintahkan itu adalah agar Pemda menerbitkan suatu KTUN
berdasarkan Hukum Acara Tata Usaha Negara maupun dalam
praktek Tata Usaha Negara. Contohnya Pemda diperintahkan
dihukum untuk menerbitkan Surat Ijin Mendirikan Bangunan maka
perintah untuk menrbitkan KTUN maka kewenangan dari Peradilan
Tata Usaha Negara;
6.7 Bahwa ada beberapa Yurisprudensi PTUN Semarang antara lain No.
33 Tahun 2012 putusan sengketa antara seseorang yang menempati
suatu bangunan dalam hal ini adalah rumah dinas SMP Negeri 2
Purwokerto melawan Bupati Banyumas, itu mengenai Surat
keputusannya tentang pengosongan/pembongkaran bangunan;
6.8 Bahwa instrumen pemerintahan dalam Hukum Administrasi Negara
pada hakekatnya dibagi 2 yaitu 1. Instrumen yuridis pemerintahan; 2.
Domein Publik atau yang digunakan untuk kepentingan umum. Ad.
1. Instrumen Yuridis Pemerintahan terdiri dari : 1. Peraturan
Perundang-Undangan; 2. Ketetapan atau KTUN (Beschikking); 3.
Peraturan kebijaksanaan; 4. Perijinan; 5. Insrumen pemerintah yang
bersifat hukum privat. Bahwa instrumen peraturan perundang-
undangan atau instrumen pemerintahan yang berupa Beschikking
artinya suatu instrumen yang dapat digunakan oleh pemerintah
148
dalam pemerintah menjalankan tugas-tugasnya yaitu menggunakan
instrumen yuridis yang menggunakan barang milik publik atau
barang milik negara, contohnya peraturan pemerintah, negara
menggunakan barang milik negara sebagai suatu sarana untuk
menjalankan tugas dan fungsinya;
6.9 Bahwa yang berwenang menentukan kawasan wilayah jalur hijau
atau tidak adalah harus melalui dengan peraturan daerah dan yang
berwenang menetapkan peraturan daerah adalah Bupati bersama
DPR;
6.10 Bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang berisi
aturan pemerintah mengenai bagaimana pemerintah melaksanakan
tugas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, urusan
pemerintahan meliputi mengelola barang milik publik atau barang
milik negara mengenai pembuatannya, perwujudannya,
penghapusannya, pengaplikasiannya tunduk pada Hukum
Administrasi Negara bisa berupa undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan menteri, dan sebagainya hal itu menjadi
domein Hukum Administrasi Negara;
6.11 Bahwa Surat Keputusan Kantor Pertanahan yang mendasari terbitnya
suatu Sertifikat Hak Pakai merupakan KTUN, dan demikian pula
dengan Sertifikat Hak Pakainya tersebut juga merupakan KTUN;
6.12 Bahwa dalam mengajukan suatu gugatan ke Peradilan Tata Usaha
Negara ada batasan waktunya yaitu 90 (sembilan puluh) hari, dan
149
menurut Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara diatur gugatan diproses hanya harinya
90 (sembilan puluh) hari sejak KTUN itu diterima dan diumumkan,
apabila KTUN itu ditujukan kepada Penggugat maka 90 (sembilan
puluh) hari itu dihitung sejak KTUN itu diumumkan, apabila
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya
KTUN mewajibkan atau mengharuskan suatu KTUN itu diumumkan
maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari dihitung sejak
KTUN itu diumumkan, yang ketiga Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 2 Tahun 1991 mengenai tenggang waktu penggugat, apabila
penggugat bukan pihak yang dituju oleh KTUN itu maka 90
(sembilan puluh) hari itu dihitung sejak penggugat mengetahui dan
merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya KTUN tersebut;
6.13 Bahwa pengaturan tenggang waktu tersebut untuk menentukan
kepastian hukum, kalu gugatan diajukan telah lampau waktu maka
gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijkeverklaar) sehingga
sudah tidak ada solusi bagi pencari keadilan untuk mengajukan
proses peradilan;
6.14 Bahwa menurut Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004
tentang perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa orang atau badan hukum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN
dapat mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang yang
150
berisi tuntutan agar KTUN itu dinyatakan batal atau tidak sah
dengan atau tanpa disertai ganti rugi, berdasarkan Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tersebut dengan petitum pokok
dan petitum tambahan, pada petitum pokoknya adalah tentang
batalnya atau tidak sahnya suatu KTUN lalu petitum tambahannya
berupa ganti rugi atau rehabilitasi;
6.15 Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah, maka ganti rugi tersebut
maksimal besarnya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) ketika gugatan
dikabulkan. Artinya KTUN batal maka kepada Penggugat diberi hak
untuk mengajukan gugatan secara keperdataan di pengadilan negeri;
6.16 Bahwa apabila mengajukan ganti kerugian lebih dari lima juta rupiah
tetapi yang dikabulkan maksimal hanya lima juta rupiah sesuai
peraturan di PTUN, tetapi kalau di Peradilan Umum ganti ruginya
obyektif sesuai kerugian;
6.17 Bahwa dalam ajaran hukum tindakan pemerintahan yang berkaitan
dengan kedudukan hukum pemerintah, sebetulnya merupakan salah
satu materi perlindungan hukum, kedudukan pemerintah itu sebagai
wakil dari suatu jabatan, suatu jabatan tindakan pemerintah tunduk
dan diatur oleh Hukum Administrasi Negara, apabila pemerintah
melanggar Hukum Administrasi Negara maka subjek hukum yang
dirugikan dapat diberikan suatu perlindungan hukum dengan kaidah
Hukum Administrasi Negara, yang kedua kedudukan dalam hukum
151
privat, pemerintah dalam hal ini sebagai wakil dari badan hukum
publik;
6.18 Bahwa pemerintah juga dapat melakukan tindakan dalam hukum
privat, contohnya pemerintah melakukan jual beli;
6.19 Bahwa apabila ada asetnya, maka yang memiliki adalah badan
hukumnya;
6.20 Bahwa tidak semua Keputusan pejabat Tata Usaha Negara itu
termasuk keputusan tata usaha negara, dalam konsep ajaran tindakan
hukum pemerintahan, bahwa tindakan pemerintahan bisa tindakan
hukum privat dam tindakan hukum publik. Tindakan hukum publik
ada yang ditujukan kepada individu, contohnya Beschikking atau
KTUN ada yang ditujukan kepada umum (Besluit) contohnya
peraturan perundang-undangan, keputusan Bupati mengenai tata cara
pengajuan ijin ini Besluit bukan KTUN karena ditujukan untuk
umum;
6.21 Bahwa terhadap barang milik negara yang untuk kepentingan umum
terhadapnya tidak dapat diletakkan sita jaminan dan berdasarkan
Pasal 50 Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara No. 1
Tahun 2004 disebutkan larangan melakukan penyitaan terhadap
barang milik negara atau barang yang dikuasai oleh Negara;
6.22 Bahwa redaksi tidak sah, pembatalan dan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat secara hukum juga sama artinya
152
7. Pertimbangan Hukum Hakim
7.1 Menimbang, bahwa eksepsi kewenangan dari Tergugat, Tuurt
Tergugat I dan turut Tergugat II adalah sebagaimana tersebut di atas;
7.2 Menimbang, bahwa oleh karena tergugat, Turut Tergugat I dan Turut
Tergugat II mengajukan eksepsi kewenangan mengadili, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 136 HIR, Majelis terlebih dahulu
mempertimbangkan dan kemudian memutus tentang eksepsi
kewenangan mengadili tersebut;
7.3 Menimbang, bahwa mencermati dalil-dalil eksepsi kewenangan yang
diajukan oleh Tergugat, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II pada
pokoknya adalah sama, yaitu bahwa Pengadilan Negeri Purwokerto
tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.
7.4 Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis akan menilai apakah eksepsi
kewenangan mengadili yang diajukan Para Tergugat tersebut
beralasan menurut hukum, ataukah tidak ?
7.5 Menimbang, bahwa sebagaimana posita gugatan angka (2) dan
petitum gugatan angka (2) yang menjadi Objek Sengketa adalah tanah
seluas ± 122,5 m2 yang masuk dan tertulis dalam Sertifikat Hak Pakai
No. 00016/Kel. Pabuaran, Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No.
00031/Pabuaran seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen
Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta;
7.6 Menimbang, bahwa selanjutnya dalam posita gugatan angka (13) dan
petitum gugatan angka (9) meminta agar Sertifikat Hak Pakai No.
153
00016/Kel. Pabuaran, Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No.
00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen
Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta sepanjang menyangkut
Objek Sengketa dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
7.7 Menimbang, bahwa di samping itu, dalam posita gugatan angka (8)
sampai dengan angka (12), dan petitum angka (8) terhadap Surat
Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal
31/12/2008 No. SK 29/530.3/11.27/2008 yang menjadi dasar terbitnya
Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran tersebut, sepanjang
menyangkut objek sengketa, Para Penggugat juga meminta agar
dinyatakan tidak sah dan dibatalkan;
7.8 Menimbang, bahwa yang menjadi pertanyaannya adalah : apakah
produk hukum yang diminta supaya dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat dan/atau diminta supaya dinyatakan
tidak sah dan/atau dibatalkan tersebut, in casu Sertifikat Hak Pakai
No. 00016/Kel. Pabuaran dan Surat Keputusan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No.
SK29/530.3/11.27/2008 tersebut merupakan Keputusan Tata Usaha
Negara ? dan selanjutnya apakah yang disengketakan para pihak
tersebut dikategorikan sebagai Sengketa Tata Usaha Negara ?
7.9 Menimbang, bahwa batasan/pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 1 angka (9) Undang-Undang
154
No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu : “suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata
Usaha Negara, yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badann hukum perdata”;
7.10 Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “konkret” adalah
keputusan tersebut nyata-nyata diterbitkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, keputusan tersebut tidak abstrak tetapi berwujud
keputusan tertulis, sedangkan “individual” berarti keputusan tersebut
tidak ditujukan untuk umum, tetapi ditujukan khusus kepada person
hukum tertentu, baik orang atau badan/lembaga, selanjutnya “final”
berarti keputusan Tergugat tersebut sudah tidak lagi memerlukan
persetujuan instansi lainnya, tetapi telah definitif dan telah
menimbulkan akibat hukum kepada person hukum tertentu;
7.11 Menimbang, bahwa apabila batasan-pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut dikaitkan dengan produk hukum berupa : Sertifikat
Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran dan Surat Keputusan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No.
SK29/530.3/11.27/2008 sebagaimana tersebut di atas, menurut
Majelis Hakim kedua produk hukum tersebut termasuk dalam kategori
Keputusan Tata Usaha Negara;
155
7.12 Menimbang, bahwa baik Ahli dari Pihak Tergugat dan Turut Tergugat
I maupun Ahli dari Pihak Penggugat, di persidangan juga memberikan
pendapatnya, bahwa kedua produk hukum tersebut termasuk dalam
kategori Keputusan Tata Usaha Negara;
7.13 Menimbang, bahwa lebih daripada itu, mencermati anasir penetapan
tertulis, yang konkret, yang individual, dan yang final dari kriteria
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tersebut, menurut Majelis,
kedua produk hukum tersebut juga tidak termasuk produk Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikecualikan undang-undang, yaitu tidak
merupakan keputusan fiktif-negatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 3
UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan juga
bukan Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan
hukum perdata, atau Keputusan Tata Usaha Negara yang masih
memerlukan persetujuan, atau Keputusan Tata Usaha Negara yang
didasarkan pada peraturan perundangan pidana, atau KTUN yang
didasarkan atas hasil pemeriksaan badan peradilan, atau Keputusan
Tata Usaha Negara yang terkait dengan Tentara Nasional Indonesia,
atau Keputusan Tata Usaha Negara Komisi Pemilihan Umum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tentang
perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986;
7.14 Menimbang, bahwa selanjutnya pasal 1 angka (10) Undang-Undang
No. 51 Tahun 2009 menegaskan tentang pengertian Sengketa Tata
Usaha Negara, dimana ditentukan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara
156
adalah : “sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan dan atau pejabat Tata
Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara............”;
7.15 Menimbang, bahwa perihal permintaan sita jaminan, penentuan Jalur
Hijau, perintah pembongkaran atas apa yang didalilkan sebagai Aset
Negara atau Barang Milik Negara, sebagaimana petitum angka (2),
(3), dan angka (6), oleh karena itu merupakan turunan (derivasi) dan
bersifat assesoir dari hal-hal pokok tersebut di atas, maka tidak
dipertimbangkan lebih lanjut;
7.16 Menimbang, bahwa dari fakta dan uraian pertimbangan tersebut di
atas, menunjukkan bahwa materi pokok sengketa antara pihak
Penggugat dengan pihak Tergugat dan Turut Tergugat tersebut adalah
masuk dalam lingkup sengketa Tata Usaha Negara;
7.17 Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jelas
ditegaskan, bahwa : “Peradilan Tata Usaha Negara berwennag
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara”;
7.18 Menimbang, bahwa oleh karena pokok sengketa para pihak,
sebagaimana diuraikan di atas masuk dalam lingkup “sengketa Tata
Usaha Negara”, maka lembaga yang berwenang mengadili perkara a-
quo adalah Peradilan Tata Usaha Negara, dan dengan demikian, maka
157
eksepsi kewenangan dari Tergugat dan Turut Tergugat I serta Turut
Tergugat II tersebut adalah beralasan menurut hukum, dan karenanya
harus diterima;
7.19 Menimbang, bahwa pendapat Majelis tersebut di atas, bersesuaian
dengan Putusan Mahkamah Agung RI berikut :
- Putusan MA RI No. 140 K/tun/2000 tanggal 11 Februari 2002
(Kompilasi Kaidah Hukum, Putusan Mahkamah Agung, Hukum
Acara Perdata Masa Setengah Abad, M. Ali Boediarto);
- Putusan Mahkamah Agung RI No. 330 K/TUN/2004 tanggal 10
Mei 2002 (Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2008,
Mahkamah Agung RI 2007);
- Putusan MA RI No. 213 K/TUN/2007 tanggal 6 November
2007 (Yirsprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2010, Badan
Litbang & Diklat Hukum dan Peradilan, MA RI 2010);
7.20 Menimbang, bahwa karena eksepsi kewenangan dari Tergugat dan
Turut Tergugat I serta Turut Tergugat II tersebut beralasan menurut
hukum dan diterima, maka harus dinyatakan, bahwa Pengadilan
Negeri in casu Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang untuk
mengadili perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt. ini;
7.21 Menimbang, bahwa karena Pengadilan Negeri in casu Pengadilan
Negeri Purwokerto tidak berwenang untuk mengadili perkara No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt. ini, maka terhadap materi pokok gugatan a
quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Majelis;
158
7.22 Menimbang, bahwa karena Para Penggugat berada di pihak yang
kalah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 181 HIR, Para Penggugat
dihukum untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara
ini, yang besarnya akan disebutkan dalam amar putusan;
7.23 Menimbang, bahwa karena eksepsi kewenangan tersebut diterima, dan
karenanya Pengadilan Negeri in casu Pengadilan Negeri Purwokerto
tidak berwenang untuk mengadili perkara ini, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 190 ayat (2) HIR, bentuk putusan ini dipandang
sebagai PUTUSAN AKHIR;
7.24 Mengingat Pasal 1 angka (9) dan angka (10) Undang-Undang No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 47 Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986, Pasal 136 HIR, Pasal 190 ayat (2) HIR,
dan pasal-pasal lain dari peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan;
8. Diktum Putusan Majelis Hakim
8.1. Menerima eksepsi Tergugat dan Turut Tergugat I serta Turut Tergugat
II;
8.2. Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili
perkara tersebut;
8.3. Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 1.521.000,- (satu juta lima ratus dua puluh satu ribu
rupiah);
159
B. PEMBAHASAN
1. Bentuk Perlindungan Hukum bagi rakyat terhadap Tindakan
Pemerintah berdasarkan Konsep Hukum Administrasi Negara
Abad ke-21 ini mulai berkembang dengan adanya konsep negara
hukum yang kini mulai dianut oleh banyak negara di dunia. Konsep
negara hukum tersebut juga diterapkan di Indonesia dengan tidak terlepas
dari konsep negara hukum kontinental. Hal tersebut dikarenakan
Indonesia dijajah oleh Belanda yang menganut konsep negara hukum
Eropa Kontinental. Salah satu unsur yang melekat dari negara hukum
(rechtstaat) menurut Stahl, yaitu pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan,130
artinya bahwa segala tindakan pemerintahan
harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di
negara tersebut.
Pemerintah dalam melakukan hubungan dengan warga negara
senantiasa terjadi setiap waktu karena pemerintahan tidak bisa
melaksanakan tanpa adanya rakyat. Setiap tindakan pemerintahan
haruslah dilandaskan pada suatu peraturan perundang-undangan sebagai
bentuk pencegahan pemerintah tidak melakukan perbuatan sewenang-
wenang terhadap rakyat.
Tujuan adanya pemerintahan harus dijalankan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, dimaksudkan untuk menjamin
perlindungan hak-hak asasi manusia jika tindakan pemerintah tersebut
130
Pendapat ini dikutip dari Miriam Budiardjo, op.cit., 76.
160
ternyata merugikan rakyat. Untuk menjamin hak-hak asasi tersebut
konsep negara hukum (rechtstaat) juga memberikan suatu perlindungan
hukum kepada rakyat yaitu adanya peradilan administrasi di dalam
perselisihan antara pemerintah dengan rakyat yang dirugikan.
Berdasarkan konsep Hukum Administrasi Negara (HAN), ajaran
perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada rakyat dari tindakan
pemerintah yang melanggar hukum dan merugikan rakyat, dapat
digolongkan menjadi dua yaitu :
1. Perlindungan hukum dalam bidang hukum publik (publiek
rechtsbecherming);
2. Perlindungan hukum dalam bidang hukum privat (private
rechtsbecherming).
Perlindungan hukum baik dalam bidang hukum publik (dalam hal
ini HAN), maupun dalam bidang hukum privat, erat kaitannya dengan
konsep kedudukan hukum pemerintah dan konsep tindakan pemerintah
(Bestuur handelingen).
Berdasarkan konsep kedudukan hukum pemerintah, maka
pemerintah memiliki 2 (dua) kedudukan hukum, yaitu :
1. Kedudukan pemerintah dalam bidang hukum publik, maka
pemerintah berkapasitas sebagai “pejabat” (ambtsdrager) dari
“jabatan pemerintahan”
Ketika pemerintah melakukan tindakan dalam kapasitasnya
sebagai pejabat, tindakan tersebut tunduk dan diatur berdasarkan
161
ketentuan HAN. Tindakan pemerintah dalam bidang HAN dapat
mengakibatkan terjadinya perbuatan yang melanggar/bertentangan
dengan HAN, yang merugikan hak-hak warga negara. Apabila
terjadi pelanggaran hukum ini, terhadap warga negara diberikan
perlindungan hukum berdasarkan HAN.
2. Kedudukan pemerintah dalam bidang hukum privat, maka
pemerintah berkapasitas sebagai wakil dari “badan hukum
publik” (publiek rechtspersoon/ public legal entity).
Ketika pemerintah melakukan tindakan dalam kapasitasnya
sebagai wakil dari badan hukum, tindakan tersebut tunduk dan
diatur berdasarkan ketentuan hukum keperdataan. Tindakan
pemerintah dalam bidang hukum keperdataan dapat mengakibatkan
terjadinya perbuatan yang melanggar/bertentangan dengan hukum
perdata, yang merugikan hak-hak warga negara. Apabila terjadi
pelanggaran hukum ini, terhadap warga negara diberikan
perlindungan hukum berdasarkan hukum perdata.
Dalam pembahasan yang pertama ini yakni mengenai bentuk
perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dalam
konsep Hukum Administrasi Negara, akan diawali dari perlindungan
hukum dalam bidang hukum publik.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dalam bidang hukum
publik, kedudukan pemerintah berkapasitas sebagai wakil dari suatu
”jabatan”. Ketika pemerintah melakukan tindakan dalam kapasitasnya
162
sebagai pejabat, tindakan tersebut tunduk dan diatur berdasarkan
ketentuan HAN. Tindakan pemerintah dalam bidang HAN dapat
mengakibatkan terjadinya perbuatan yang melanggar/bertentangan
dengan HAN, yang merugikan hak-hak warga negara. Apabila terjadi
pelanggaran hukum ini, terhadap warga negara diberikan perlindungan
hukum berdasarkan HAN.
Perlindungan Hukum yang ditujukan terhadap rakyat juga harus
lebih dipahami bahwa suatu tindakan pemerintah tidak hanya didasarkan
atas suatu keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau hal ini
pejabat atau tata usaha negara. Namun yang harus lebih ditekankan yaitu
jenis tindakan pemerintah apa yang dilakukan di dalam melakukan
hubungan hukum dengan rakyat. Hal ini penting dengan tujuan
mengarahkan pada suatu konsep perlindungan hukum dan bagaimana
konsep penyelesaian hukumnya terhadap suatu tindakan pemerintah yang
merugikan rakyat.
Konsep perlindungan hukum dalam bidang hukum publik, erat
kaitannya dengan konsep tindakan pemerintahan (bestuur handelingen),
oleh karena itu sebelum membahas konsep Perlindungan Hukum bagi
rakyat, terlebih dahulu akan penulis jabarkan mengenai Skema Tindakan
Pemerintahan yang akan mengarah pada konsep Perlindungan Hukum
bagi rakyat dalam ranah Hukum Administrasi Negara.
Tindakan Pemerintah dalam hubungannya dengan rakyat dapat
dijabarkan dengan skema Tindakan Hukum Pemerintahan:
163
Skema Tindakan Hukum Pemerintahan131
Keterangan/Terjemah
1. Bestuurshandelingen : Tindakan-tindakan pemerintahan
2. Feitelijke handelingen : Tindakan-tindakan nyata
3. Rechtshandelingen : Tindakan-tindakan hukum
4. Privaatrechtelijke rechshandelingen : Tindakan-tindakan keperdataan
5. Publiekrechtelijke rechshandelingen : Tindakan-tindakan hukum publik
6. Meerzijdige publiekrechtelijke : Tindakan-tindakan hukum publik
rechshandelingen beberapa pihak
7. Eenzijdige pubkliekrechtelijke : Tindakan-tindakan hukum publik
rechshandelingen sepihak
8. Besluiten van algemene strekking : Keputusan yang ditujukan untuk
umum (keputusan yang bersifat
umum)
9. Bescihkking : Keputusan (yang bersifat konkret,dan
Individual)
131
Ridwan HR, op.cit., hlm. 123.
Bestuurshandelingen
Feitelijke
Handeling
en
Rechtshandelingen
Privaatrechtelijke
Rechtshandelingen
Publiekrechtelijke
Rechtshandelingen
Eenzijdige
Publiekrechtelijke
Rechtshandelingen
Meerzijdige
Publiekrechtelijke
Rechtshandelingen
Besluiten van Algemene
Strekking
Beschikkingen
164
Skema di atas menunjukkan bahwa Bestuurshandelingen
(tindakan-tindakan pemerintahan) terdiri dari 2 (dua) yaitu : 1. Feitelijke
handelingen (tindakan-tindakan nyata); dan 2. Rechtshandelingen
(tindakan-tindakan hukum). Pengertian Feitelijke Handelingen (tindakan-
tindakan nyata) yaitu merupakan suatu tindakan yang tidak ada
relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan
akibat-akibat hukum.132
Sedangkan pengertian Rechtshandelingen (tindakan-tindakan
hukum) adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu, yaitu menciptakan adanya suatu hak
dan kewajiban.133
Di sini penulis akan menjabarkan dari unsur
Rechtshandelingen (tindakan-tindakan hukum) dikarenakan unsur ini
yang akan menurunkan unsur yang berkaitan dengan tindakan
pemerintah dengan kaitannya perlindungan hukum terhadap rakyat.
Rechtshandelingen (tindakan-tindakan hukum) dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) macam yaitu :
1. Privaatrechtelijke rechtshandelingen (tindakan-tindakan
keperdataan); dan
2. Publiekrechtelijke rechtshandelingen (tindakan-tindakan hukum
publik).
Baik Privaatrechtelijke rechtshandelingen (tindakan-tindakan
keperdataan) maupun Publiekrechtelijke rechtshandelingen (tindakan-
132
Dikutip dari C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 55. 133
Dikutip dari R.J.H.M. Huisman, op.cit., hlm. 13.
165
tindakan hukum publik) telah penulis uraikan pada Bab II Tinjauan
Pustaka, yang pada intinya adalah untuk menentukan apakah tindakan
pemerintahan itu diatur oleh hukum privat atau hukum hukum publik
adalah dengan melihat kedudukan pemerintah dalam menjalankan
tindakan tersebut.
Jika pemerintah bertindak dalam kualitasnya sebagai pemerintah,
maka hanya hukum publiklah yang berlaku, sedangkan jika pemerintah
bertindak tidak dalam kualitas pemerintah, maka hukum privatlah yang
berlaku,134
dengan kata lain, ketika pemerintah terlibat dalam pergaulan
keperdataan dan bukan dalam kedudukannya sebagai pihak yang
memelihara kepentingan umum, ia tidak berbeda dengan pihak swasta,
yaitu tunduk pada hukum privat.
Contoh dari penjabaran di atas yaitu ketika Kabupaten membeli
beberapa mobil bus baru untuk kepentingan perusahaannya, kabupaten
melaksanakan perjanjian jual beli yang didasarkan pada hukum perdata.
Disebutkan juga bahwa “Als zodanig is de gemeente draagster van
privaatrechtelijke rechten en plichten, zij kan deelnemen an het
“gewone” rechtsverkeer. En wanner zij dat doet neemt zijn in beginsel
dezelfde positie in als elke andere natuurlijke of rechtspersoon”
(sebagaimana badan hukum privat, kabupaten adalah pemikul hak dan
kewajiban keperdataan. Kabupaten dapat melakukan berbagai tindakan
hukum berdasarkan hukum perdata, ia dapat terlibat dalam lalu lintas
134
N.E. Algra, et.al., op.cit., hlm. 173-174.
166
pergaulan hukum “biasa”. Apabila kabupaten melakukan tindakan
tersebut, secara prinsip kedudukannya sama dengan seseorang atau badan
hukum).135
Berdasarkan contoh dan keterangan tersebut tampak bahwa
pemerintah atau pemerintah daerah - sebagai wakil dari negara atau
kabupaten – dapat melakukan perbuatan atau tindakan hukum publik dan
tindakan hukum keperdataan.
Lebih lanjut penulis jabarkan bahwa di dalam Publiekrechtelijke
rechtshandelingen (tindakan-tindakan hukum publik) terdiri dari 2 (dua)
bentuk macam yaitu : 1. Eenzijdige Publiekrechtelijke Rechtshandelingen
(tindakan-tindakan hukum publik sepihak); dan 2. Meerzijdige
Publiekrechtelijke Rechtshandelingen (tindakan-tindakan hukum publik
beberapa pihak).
Indroharto berpendapat berkaitan dengan tindakan hukum publik
sepihak bahwa :
“Tindakan hukum tata usaha negara itu selalu bersifat sepihak, dan
tindakan hukum tata usaha negara itu bersifat sepihak karena dilakukan
tidaknya suatu tindakan hukum tata usaha negara yang memiliki
kekuatan hukum itu pada akhirnya tergantung pada kehendak sepihak
dari badan atau jabatn tata usaha negara yang memiliki wewenang
pemerintahan untuk berbuat demikian” 136
Pernyataan Indroharto tersebut dapat dijabarkan bahwa inti dari
tindakan hukum publik sepihak menurut penulis yaitu hanya adanya satu
kehendak untuk dapat terlaksananya tindakan pemerintah itu, yaitu
135
W.G. Verkruisen en B.C. Vis, Gemeente en Gemeentewet, Nijmegen, 1987, hlm. 240. 136
Indroaharto, op.cit., hlm. 147-18.
167
kehendak tersebut berasal dsari pemerintah yang berwenang
mengeluarkan wewenang melakukan tindakan pemerintah tersebut.
Sedangkan penjabaran mengenai tindakan-tindakan hukum publik
beberapa pihak yaitu penulis memberikan pendapat berdasarkan pada
Pendapat Indroharto yang pada pokonya tindakan-tindakan hukum
publik beberapa pihak (Meerzijdige Publiekrechtelijke
Rechtshandelingen) yaitu tindakan Hukum Tata Usaha Negara tersebut
berdasarkan pada dua kehendak atau lebih baik dari itu badan atau
jabatan tata usaha negara maupun pihak yang berkepentingan untuk dapat
terlaksananya tindakan hukum publik tersebut.
Penjabaran mengenai tindakan-tindakan hukum publik sepihak
(Eenzijdige Publiekrechtelijke rechtshandelingen) mengacu pada turunan
dari tindakan hukum publik beberapa pihak ini yang terbagi menjadi 2
(dua) macam yaitu : 1. Besluiten van Algemene Strekking (keputusan
yang ditujukan untuk umum/keputusan yang bersifat umum); dan 2.
Beschikking (Keputusan yang bersifat konkret dan individual).
Baik Keputusan yang bersifat umum / keputusan yang ditujukan
untuk umum (Besluiten van Algemene Strekking), maupun Keputusan
yang bersifat konkret dan individual (Beschikking) pada hakikatnya
merupakan suatu Instrumen Yuridis / Instrumen Hukum yang bertujuan
untuk menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan urusan
pemerintahan dan kemasyarakatan. Dalam hal ini berupa peraturan
perundang-undangan, keputusan-keputusan, peraturan kebijakan,
168
perizinan, instrumen hukum keperdataan dan sebagainya.137
Mendasarkan hal tersebut baik Besluiten van Algemene Strekking
maupun Beschikking masuk dalam kategori Instrumen Yuridis /
Instrumen Hukum di dalam Hukum Administrasi Negara.
Penulis disini akan memulai dengan menjabarkan dua produk
Instrumen Hukum tersebut. Pada keputusan yang bersifat umum /
ditujukan untuk umum (Besluiten van Algemene Strekking) merupakan
suatu bentuk peraturan perundang-undangan.
Mengenai pengertian peraturan perundang-undangan, A. Hamid S.
Attamimi mengemukakan sebagai berikut :
“Istilah perundang-undangan (wettelijkeregels) secara harfiah dapat
diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik
peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih
rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian undang-
undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-
undangan maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di
negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah daripadanya seperti Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden yang berisi peraturan, Keputusan Menteri yang
berisi peraturan, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-
Departemen yang berisi peraturan, Keputusan Direktur Jenderal
Departemen yang dibentuk dengan Undang-Undang yang berisi
peraturan, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan gubernur Kepala
Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan
Daerah Tingkat I, Peraturan Daerah Tingkat II, dan Keputusan
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang berisi peraturan yang
melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat II”. 138
Menurut Satjipto Raharjo, Peraturan perundang-undangan
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
137
Ridwan HR, op.cit., hlm. 125. 138
A. Hamid S. Attamimi, op.cit., hlm. 3.
169
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian
merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas;
2. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-
peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya.
Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi
peristiwa-peristiwa tertentu saja;
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya
sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan
klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan
kembali.139
Selanjutnya pengertian peraturan perundang-undangan secara
yuridis normatif terdapat dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menjelaskan
bahwa peraturan perundang-perundangan adalah :
“ semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang
dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah
baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah, yang mengikat umum. “
Pengertian peraturan perundang-undangan tersebut dalam
Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tersebut
di atas, paralel dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau diterapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan.
139
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1996, hlm. 83-84.
170
Berdasarkan pengertian peraturan perundang-undangan tersebut di
atas, terlihat bahwa ciri khas atau unsur utama peraturan perundang-
undangan adalah “mengikat secara umum”. Peraturan perundang-
undangan yang bersifat mengikat umum (algemeen verbindend
voorschrift ) disebut juga dengan istilah undang-undang dalam arti
materiil (wet in materiele zin), yaitu ieder rechtsvoorschrift van de
overheid met algemeen strekking, (semua hukum tertulis dari pemerintah
yang mengikat umum).
Berdasarkan kualifikasi norma hukum di atas, peraturan
perundang-undangan itu bersifat umum-abstrak. Perkataan bersifat
umum-abstrak dicirikan oleh unsur-unsur sebagai berikut :
1. Tijd (een regel geldt niet slechts op een moment); Waktu (tidak
berlaku pada saat tertentu);
2. Plaats (een regel geldt niet slechts op een plaants); Orang (tidak
hanya berlaku pada tempat tertentu);
3. Persoon (een regel geldt niet slechts voor bepaalde persoon); Orang
(tidak hanya berlaku pada orang tertentu); dan
4. Rechtsfeit (een regel geldt niet voor een enkel rechtsfeit, maar voor
rechtsfeiten die herhaalbaar zijn, dat wil zeggen zich telkens voor
kunnen doen). Fakta hukum (tidak hanya ditujukan pada fakta
hukum tertentu, tetapi untuk berbagai fakta hukum yang dapat
berulang-ulang, atau untuk perbuatan yang berulang-ulang). 140
Setelah penjabaran mengenai peraturan perundang-undangan
/Regeling atau jenis tindakan pemerintahan yang digolongkan sebagai
Besluiten van Algemene Strekking (keputusan yang ditujukan/bersifat
umum) di atas, maka penjabaran berikutnya yaitu mengenai Beschikking
(Keputusan yang bersifat konkret dan individual). Telah dijabarkan
140
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 131.
171
secara lengkap mengenai Keputusan (Beschikking) di Bab II Tinjauan
Pustaka.
Pengertian Beschikking atau ketetapan atau Keputusan Tata Usaha
Negara, secara yuridis normatif dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1
angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 ( sebelumnya diatur dalam
Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986), yang menyebutkan bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara adalah :
“Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata”.
Unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara dapat dijabarkan
sebagai berikut :
1. Penetapan tertulis;
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
3. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Bersifat konkret, individual, dan final;
5. Menimbulkan akibat hukum;
6. Seseorang atau badan hukum perdata.
Penulis memberikan penjelasan terhadap Instrumen Hukum baik
itu Besluiten van Algemene van Strekking maupun Beschikking. Jika
Besluiten van Algemene Strekking (keputusan yang ditujukan/bersifat
umum) merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan baik itu
berupa undang-undang maupun peraturan di bawahnya, yang mana
172
peraturan-peraturan tersebut bersifat “umum”. Sedangkan Beschikking
atau Keputusan Tata Usaha Negara (keputusan yang bersifat konkret dan
individual) merupakan suatu penetapan yang dibuat oleh badan/pejabat
tata usaha negara yang menimbulkan suatu akibat hukum, yang mana
penetapan tersebut bersifat “individual” karena hanya ditujukan kepada
seseorang atau badan hukum perdata tertentu saja.
Kedua produk hukum tersebut berasal dari pemerintah, dalam arti
produk hukum tersebut adalah sebagai alat untuk menjalankan tindakan-
tindakan hukum publik (Publiekrechtelijke rechtshandelingen). Sehingga
ketika tindakan hukum publik tersebut ditujukan kepada rakyat maka
berlaku hukum publik dalam menjalankan tindakan hukum tersebut.
Hubungan antara Konsep Perlindungan Hukum bagi rakyat dengan
tindakan pemerintah di bidang Hukum Administrasi Negara baik
tindakan hukum keperdataan maupun tindakan hukum publik yaitu
melihat tindakan pemerintah itu sendiri.
Sedangkan perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada
rakyat terhadap tindakan pemerintah dalam bidang hukum publik dapat
dibedakan berdasarkan jenis dari tindakan pemerintah ketika pemerintah
melakukan hubungan hukum dengan rakyat, tindakan pemerintah
tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan atau Regeling yaitu:
1. Suatu tindakan pemerintah yang digolongkan dalam Besluiten van
Algemen strekking (keputusan yang bersifat/ditujukan kepada
173
umum), dalam hal ini yakni tindakan berupa menerbitkan peraturan
perundang-undangan;
2. Suatu tindakan pemerintah yang digolongkan dalam Beschikking
atau ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara (keputusan yang
bersifat/ditujukan kepada individu).
Di Indonesia perlindungan hukum bagi rakyat akibat tindakan
hukum pemerintah ada beberapa kemungkinan, tergantung dari
instrumen hukum yang digunakan pemerintah ketika melakukan tindakan
hukum. Telah disebutkan bahwa instrumen hukum yang lazim digunakan
adalah peraturan perundang-undangan dan keputusan. Perlindungan
hukum akibat dikeluarkannya peraturan perundang-undangan ditempuh
melalui Mahkamah Agung, dengan cara hak uji materiil, sesuai dengan
Pasal 5 ayat (2) TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan
bahwa “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-
undanagn di bawah undang-undang”. Ketentuan bahwa Mahkamah
Agung berwenang menguji secara materiil peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terdapat pula dalam Pasal 20 ayat (2)
huruf b UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
“Mahkamah Agung berwenang untuk menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang”. Ketentuan
yang sama juga terdapat dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun
174
2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, yang menentukan bahwa :
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan
perundang undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang.
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya mengenai siapa (subjek hukum) yang dapat
mengajukan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan
/Yudicial Review ditentukan dalam Pasal 31A ayat (2) UU Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, yang menentukan :
Permohonan (pengujian peraturan perundang-undangan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh
pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
atau
c. badan hukum publik atau badan hukum privat.
Dalam rangka perlindungan hukum, sebagaimana tampak di atas,
terdapat tolok ukur untuk menguji secara materiil suatu peraturan
perundang-undangan yaitu bertentangan atau tidak dengan peraturan
yang lebih tinggi dan pengujian secara formil tolok ukurnya yakni
apakah pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Khusus mengenai peraturan perundang-undangan tingkat daerah,
pembatalan sering diterapkan dalam arti pembatalan spontan, yakni
175
pembatalan atas dasar inisiatif sendiri dari organ yang berwenang
menyatakan pembatalan, tanpa melalui proses peradilan,141
dan tujuan
utama dari pembatalan ini adalah untuk pengawasan jalannya
pemerintahan tingkat daerah dan untuk perlindungan hukum
(rechtsbescherming).142
Perlindungan hukum bagi rakyat dari suatu peraturan perundang-
undangan di tingkat Daerah (Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota,
serta Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota) dapat dilihat
dari adanya ketentuan mengenai pembatalan terhadap peraturan
perundang-undangan di tingkat Daerah tersebut, ketentuan tersebut
terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Adanya ketentuan mengenai pembatalan suatu peraturan
perundang-undangan di tingkat Daerah tersebut sebagaimana yang
terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hal
ini menunjukan bahwa khusus pembatalan terhadap produk hukum
daerah tersebut diatur tersendiri berdasarkan ketentuan yang secara
specialis terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-undang organik mengenai Pemerintahan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yakni
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
141
Ibid, hlm. 231. 142 Algemene Bepalingen van Administratief Recht, Rapport van De Commissie Inzake
Algemene Bepalingen van Administratief Recht, Samsom H.D. Tjeenk Willink B.V., Alphen aan
den Rijn, 1984, hlm. 281.
176
Undang-undang ini dapat dikatakan sebagai undang-undang yang relatif
masih baru, yang merupakan pergantian dari Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam kaitan hubungan antara UU Nomor 23 Tahun 2014 dengan
UU Nomor 32 Tahun 2004, ditentukan dalam Pasal 409 huruf b UU
Nomor 23 Tahun 2014 yang menentukan bahwa:
“ Sejak mulai berlakunya (diundangkannya) undang-undang ini, maka
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”
Dalam UU No. 23 Tahun 2014 terdapat ketentuan yang berkaitan
dengan perlindungan hukum bagi rakyat akibat dirugikan oleh peraturan
perundang-undangan daerah yang berupa Peraturan Daerah Provinsi,
Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota, serta yang berupa peraturan kepala
daerah (Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota)).
Pasal 249 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
mengatur ketentuan mengenai kewajiban kepala daerah untuk
melaporkan/menyampaikan produk hukum daerah kepada pejabat
pemerintah yang secara hierarkis lebih tinggi, ketentuan tersebut adalah
sebagai berikut :
(1) Gubernur wajib menyampaikan Perda Provinsi dan peraturan
gubernur kepada Menteri paling lama 7 (tujuh) Hari setelah
ditetapkan.
177
(2) Gubernur yang tidak menyampaikan Perda Provinsi dan peraturan
gubernur kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dari Menteri.
(3) Bupati/Walikota wajib menyampaikan Perda Kabupaten/Kota dan
peraturan bupati/wali kota kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat paling lama 7 (tujuh) Hari setelah ditetapkan.
(4) Bupati/walikota yang tidak menyampaikan Perda Kabupaten/Kota
dan peraturan bupati/wali kota kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai
sanksi administratif berupa teguran tertulis dari gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat.
Berdasarkan hal tersebut di dalam Pasal 250 UU No. 23 Tahun
2014 menyebutkan mengenai kriteria yang dilarang dalam penyusunan
peraturan tersebut sebagaimana dijelaskan pada Pasal 249 di atas,
diantaranya sebagai berikut :
(1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat
(1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,
dan/atau kesusilaan.
(2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. terganggunya kerukunan antar-warga masyarakat;
b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-
golongan, dan gender.
Berdasarkan isi dari pasal-pasal tersebut di atas, maka jika Perda
ataupun Perkada itu ternyata dalam pembuatannya bertentangan dengan
Peraturan perundang-undangan, ketentuan umum, dan kesusilaan
sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 250, maka pembatalannya diatur
di dalam Pasal 251 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang menentukan sebagai berikut :
178
(1) Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.
(2) Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan
dibatalkan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau Peraturan
Bupati/Walikota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,
dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau Peraturan
Bupati/Walikota.
(4) Pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
keputusan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(5) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama
kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala daerah
mencabut Perkada dimaksud.
(7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak
dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan
gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan
gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan, gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden
paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan
Perda atau peraturan gubernur diterima.
(8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota
tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
Kabupaten/Kota dan bupati/wali kota tidak dapat menerima
keputusan pembatalan peraturan bupati/wali kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan, bupati/wali kota dapat
mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat 14 (empat
belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota
atau peraturan bupati/wali kota diterima.
179
Selanjutnya Pasal 252 UU Nomor 23 Tahun 2014 mengatur
mengenai adanya sanksi yang dijatuhkan kepada kepala daerah yang
tetap memberlakukan produk hukum daerah yang telah dibatalkan. Pasal
252 menentukan sebagai berikut :
(1) Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota
yang masih memberlakukan Perda yang dibatalkan oleh Menteri
atau oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 251 ayat (4), dikenai sanksi.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. sanksi administratif; dan/atau
b. sanksi penundaan evaluasi rancangan Perda;
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dikenai kepada kepala Daerah dan anggota DPRD berupa tidak
dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan selama 3 (tiga) bulan.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterapkan pada
saat penyelenggara Pemerintahan Daerah masih mengajukan
keberatan kepada Presiden untuk Perda Provinsi dan kepada
Menteri untuk Perda Kabupaten/Kota.
(5) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau
kabupaten/kota masih memberlakukan Perda mengenai pajak
daerah dan/atau retribusi daerah yang dibatalkan oleh Menteri
atau dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat,
dikenai sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH
bagi Daerah bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, tampak bahwa peraturan
perundang-undangan baik itu di tingkat Provinsi dan di tingkat
Kabupaten/Kota mempunyai mekanisme pembatalan yang berbeda.
Untuk Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur pembatalannya dilakukan
oleh menteri, dan jika dapat membuktikan bahwa Perda Provinsi atau
Peraturan Gubernur tersebut tidak bertentangan dengan Peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, ketertiban umum, dan/atau
kesusilaan maka dapat mengajukan keberatannya kepada Presiden paling
180
lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau
peraturan gubernur diterima.
Sedangkan untuk Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali
kota pembatalannya dilakukan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat, dan jika dapat membuktikan bahwa Perda Kabupaten/Kota dan
peraturan bupati/wali kota Peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan maka dapat mengajukan
keberatannya kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak
keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali
kota diterima.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 249, Pasal 250,
Pasal 251, dan Pasal 252 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah erat kaitannya dengan konsep perlindungan hukum
bagi rakyat dari suatu tindakan pemerintah yang berupa peraturan
perundang-undangan di tingkat Daerah yang berupa Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota serta yang berupa
Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.
Perlindungan hukum bagi rakyat yang secara implisit terdapat
dalam ketentuan-ketentuan Pasal 249, Pasal 250, Pasal 251, dan Pasal
252 UU Nomor 23 Tahun 2014, dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1. Dari ketentuan Pasal 249, terdapat perlindungan hukum bagi rakyat
yang berupa mekanisme pengawasan dari pejabat lebih tinggi yang
berwenang, mekanisme kontrol tersebut berupa adanya kewajiban
181
melaporkan produk hukum daerah kepada pejabat yang berwenang,
dimana apabila kewajiban laporan tersebut tidak dilakukan, maka
kepada pejabat yang melanggar akan dikenai sanksi administratif
berupa “Tegugran Tertulis”;
2. Dari ketentuan Pasal 250, terdapat semangat perlindungan hukum
bagi rakyat dari suatu produk hukum di tingkat daerah yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Perlindungan
hukum bagi rakyat tersebut nampak dari ketentuan yang menentukan
bahwa suatu Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.
Arti penting dari ketentuan ini, dalam perspektif perlindungan
hukum bagi rakyat yakni karena suatu produk hukum yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, biasanya
bersifat merugikan kepentingan rakyat;
3. Dari ketentuan Pasal 251, semangat perlindungan hukum bagi rakyat
nampak dari adanya pembatalan oleh pejabat yang berwenang
terhadap peraturan perundang-undangan di tingkat daerah yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Ketentuan
Pasal 251 inilah yang merupakan inti dari upaya perlindungan
182
hukum bagi rakyat, yakni berupa pembatalan suatu peraturan
perundang-undangan di tingkat Daerah. Artinya apabila terdapat
suatu peraturan perundang-undangan di tingkat Daerah yang
merugikan rakyat, maka sebagai bentuk perlindungan hukum, rakyat
diberi hak untuk mengajukan permohonan/gugatan kepada pejabat
yang berwenang, agar peraturan perundang-undangan tersebut
dibatalkan.
4. Dari ketentuan Pasal 252, terlihat adanya perlindungan hukum bagi
rakyat dari tetap diberlakukannya suatu peraturan perundang-
undangan di tingkat Daerah yang telah dibatalkan oleh pejabat yang
berwenang. Karena menurut ketentuan Pasal 252 ini, apabila
Gubernur atau Bupati/Walikota serta anggota DPRD yang tetap
“nekat” memberlakukan peraturan perundang-undangan tersebut,
maka kepadanya dikenai sanksi yang cukup keras yakni berupa
tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan selama 3 (tiga) bulan”. Bahkan lebih
dari pada itu, dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah
provinsi atau kabupaten/kota masih memberlakukan Perda mengenai
pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang dibatalkan oleh Menteri
atau dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat,
dikenai sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH
bagi Daerah bersangkutan. Sanksi berupa “sanksi penundaan atau
pemotongan DAU dan/atau DBH” adalah merupakan yang lebih
183
keras dan serius, karena hal tersebut dapat menimbulkan dampak
serius bagi keuangan Daerah yang bersangkutan.
Pembahasan selanjutnya yakni bentuk perlindungan bagi rakyat
dari tindakan pemerintah yang berupa “ketetapan (Beschikking)” atau
Keputusan Tata Usaha Negara.
Perlindungan Hukum akibat dikeluarkannya ketetapan
(Beschikking) ditempuh melalui dua kemungkinan, yaitu melalui
peradilan administrasi atau Peradilan Tata Usaha Negara
(administratieve rechtspraak) dan upaya administratif atau banding
administrasi (administratief beroep). Dalam konsep Hukum Administrasi
Negara, apabila terdapat suatu beschikking yang merugikan subjek
hukum, maka subjek hukum yang dirugikan diberi suatu perlindungan
hukum dengan cara mengajukan gugatan ke lembaga yang berwenang,
lembaga tersebut yakni administratief beroep dan administratieve
rechtspraak.
Administratief beroep (upaya administratif) merupakan badan yang
berwenang menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yang
penyelesaiannya dilakukan masih dalam lingkungan pemerintah
(eksekutif) itu sendiri. Sedangkan administratieve rechtspraak
merupakan suatu penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, yang
penyelesaiannya dilakukan oleh suatu peradilan administrasi (di
Indonesia disebut Peradilan Tata Usaha Negara ), yakni suatu lembaga
yang berasal dari lingkungan kekuasaan kehakiman (yudikatif).
184
Adapun perbedaan antara Administratief beroep dengan
administratieve rechtspraak dapat dideskripsikan sebagai berikut :
Unsur-unsur Peradilan Tata Usaha Negara / Peradilan Administrasi
(Administratieve Rechtspraak), yaitu:
1. Adanya hukum, yakni Hukum Administrasi Negara/Hukum Tata
Usaha Negara yang dapat diterapkan terhadap suatu perkara;
2. Adanya sengketa hukum yang konkrit, yang pada dasarnya
disebabkan oleh keluarnya KTUN;
3. Adanya minimal 2 (dua) pihak, dan sekurang-kurangnya salah
pihak harus administrasi negara;
4. Adanya badan peradilan yang berdiri sendiri dan terpisah,
yang berwenang memutuskan perkara secara netral atau tidak
memihak;
5. Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum,
menemukan ”hukum in concreto” untuk ditaatinya hukum materiil.
Unsur-unsur Upaya Administratif (Administratief Beroep), yaitu :
1. Adanya suatu perselisihan yang diajukan oleh seseorang atau badan
hukum perdata, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN atau tidak
dikeluarkannya KTUN.
2. Penyelesaian sengketa/perselisihan dilakukan di lingkungan
pemerintahan sendiri, baik melalui prosedur keberatan maupun
melalui banding administrasi;
185
3. Adanya hukum, yakni Hukum Administrasi Negara yang dapat
diterapkan terhadap suatu perkara;
4. Minimal dua pihak dan salah satu pihak adalah badan/pejabat
administrasi;
5. Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum in
concreto untuk menjamin ditaatinya hukum material.
Perbedaan yang utama antara Administratief beroep dengan
administratieve rechtspraak yakni terletak pada kedudukan lembaganya
dan kedudukan hakim yang mengadilinya. Pada Administratief beroep,
lembaganya berasal dari kekuasaan eksekutif (pemerintah) dan hakimnya
berasal dari pejabat pemerintah (eksekutif), sehingga lembaganya
maupun hakimnya bukan berasal dari kekuasaan yang netral atau
independen karena merupakan bagian (terpengaruh) dari kekuasaan
eksekutif. Bahwa oleh karena tidak berasal dari lembaga yudikatif, maka
Administratief beroep disebut juga sebagai “Pengadilan Semu” atau
“Quasi Pengadilan” atau diartikan sebagai “pengadilan tidak
sesungguhnya”, karena syarat-syarat untuk disebut sebagai pengadilan
sesungguhnya tidak terpenuhi, syarat tersebut yakni “independensi
kekuasaan peradilan” atau “kemerdekaan kekuasaan peradilan”. Dalam
konsep negara hukum, pilar utama yang harus dipenuhi bagi kekuasaan
kehakiman adalah adanya “kemerdekaan kekuasaan
kehakiman/peradilan”. Sedangkan “peradilan administrasi (Peradilan
Tata Usaha Negara)” dapat disebut sebagai peradilan yang sesungguhnya
186
karena memang berasal dari kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif),
bahkan berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 Jo. Pasal 18 ayat (2)
UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan
bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lingkungan
peradilan dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang kedudukannya
berada di bawah Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi.
Eksistensi upaya administratif, sebagai lembaga untuk
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara semakin diakui sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Ketentuan
mengenai upaya administratif ini terdapat dalam Pasal 48 UU No. 5
Tahun 1986 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha
negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan
telah digunakan.
Upaya administratif ini ada dua macam, yaitu banding administratif
dan prosedur keberatan. Banding administratif, yaitu penyelesaian
sengketa tata usaha negara dilakukan oleh instansi lain dari yang
mengeluarkan keputusan yang disengketakan, sedangkan prosedur
keberatan adalah penyelesaian sengketa tata usaha negara dilakukan oleh
instansi yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
187
Selanjutnya ketentuan mengenai penyelesaian sengketa tata usaha
negara melalui Peradilan Tata Usaha Negara (administratieve
rechtspraak) terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9Tahun 2004 yang
berbunyi : “Seseorang atau hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan
agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi”. Pasal 53 ayat (1) merupakan ketentuan mengenai hak gugat
yang dimiliki oleh orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabata Tata Usaha Negara.
Mengenai alasan diajukannya gugatan, Pasal 53 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan bahwa :
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam penjelasan huruf b disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “Asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah meliputi asas :
a. Kepastian hukum;
b. Tertib penyelenggaraan negara;
c. Kepentingan umum;
d. Keterbukaan;
e. Proporsionalitas;
f. Profesionalitas;
g. Akuntabilitas.
188
Berdasarkan keterangan mengenai penyelesaian sengketa terhadap
keputusan tata usaha negara yang berlaku di Indonesia tampak bahwa
tolok ukur yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hukum tertulis dan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik atau hukum tidak tertulis. Asas-asas umum tidak tertulis
digunakan sebagai batu uji dalam proses peradilan ini terutama
sehubungan dengan diberikannya kewenangan bebas (vrije bevoegdheid)
kepada pemerintah.
Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai bentuk perlindungan
hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dalam bidang hukum
privat (keperdataan).
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dalam bidang hukum
privat, kedudukan pemerintah berkapasitas sebagai wakil dari suatu
”badan hukum (publik)” (publiek rechtspersoon/ public legal entity).
Ketika pemerintah melakukan tindakan dalam kapasitasnya sebagai
wakil dari badan hukum, tindakan tersebut tunduk dan diatur
berdasarkan ketentuan hukum keperdataan. Tindakan pemerintah dlm
bidang hukum keperdataan dapat mengakibatkan terjadinya perbuatan
yang melanggar/bertentangan dengan hukum perdata, yang merugikan
hak-hak warga negara. Apabila terjadi pelanggaran hukum ini, terhadap
warga negara diberikan perlindungan hukum berdasarkan hukum perdata.
Perlindungan Hukum yang dapat diberikan kepada rakyat terhadap
tindakan pemerintah di bidang keperdataan yaitu berdasarkan pada
189
kedudukan pemerintah sebagai wakil dari badan hukum publik dapat
melakukan tindakan-tindakan hukum dalam bidang keperdataan seperti
jual beli, sewa menyewa, membuat perjanjian dan sebagainya. Dalam
melakukan tindakan pemerintah tersebut, dimungkinkan muncul tindakan
pemerintah yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige
overheidsdaad). Berdasarkan dengan hal tersebut maka pemerintah dapat
digugat di muka persidangan karena di dalam melakukan hubungan
dengan warga dalam kapasitasnya sebagai pemerintah yang melakukan
hubungan perdata yang menimbulkan adanya tindakan pemerintah yang
bertentangan dengan hukum.
Perlindungan hukum yang diberikan kepada rakyat ketika
pemerintah berkedudukan sebagai wakil badan hukum (publik) dilakukan
melalui sarana yangg disediakan oleh hukum perdata. Apabila tindakan
pemerintah melanggar hukum perdata, maka warga negara yang
dirugikan dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Umum dengan
menggunakan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata.
Pasal 1365 KUH Perdata menentukan :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Penafsiran perbuatan melawan hukum secara sempit terhadap
unsur-unsur pasal tersebut yakni : 1). Perbuatan melawan hukum; 2).
Timbulnya kerugian; 3). Hubungan kausal antara perbuatan melawan
hukum dengan kerugian; 4). Kesalahan pada pelaku.
190
Sebelum tahun 1919, perbuatan melawan hukum tersebut
ditafsirkan secara sempit, hal ini sebagai akibat pengaruh aliran legisme
yang dominan pada saat itu. Menurut aliran legisme, hukum
dipersamakan dengan undang-undang, sehingga perbuatan melawan
hukum disamakan dengan perbuatan melanggar undang-undang.
Akibatnya tidak akan pernah ada perbuatan melawan hukum, apabila
perbuatan tersebut tidak melanggar undang-undang. Jadi sekalipun ada
perbuatan pemerintah yang merugikan orang, akan tetapi apabila
perbuatan tersebut tidak melanggar undang-udang, maka perbuatan
pemerintah tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang
melawan hukum. Konsekuensinya rakyat tidak dapat menggugat
perbuatan pemerintah yang seperti itu (yang tidak melanggar uu).
Perlindungan hukum dalam bidang hukum perdata yang diberikan
kepada rakyat yakni dengan cara menggugat pemerintah di Peradilan
Umum. Apabila perbuatan melawan hukum ditafsirkan secara sempit,
maka hal tersebut mengakibatkan perlindungan hukum diberikan kepada
warganegara menjadi semakin sempit juga.
Sesudah tahun 1919, perbuatan melawan hukum ditafsirkan secara
luas, sehingga kriteria perbuatan melawan hukum diantaranya adalah
sebagai berikut: 1). Mengganggu hak orang lain; 2). Bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku; 3). Bertentangan dengan kesusilaan; 4).
Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati yang
191
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga
masyarakat atau terhadap benda orang lain.
Di Indonesia kriteria Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan
oleh pemerintah telah dikuatkan di dalam Yurisprudensi dan
menghasilkan patokan-patokan untuk menentukan kriteria Perbuatan
Melawan Hukum yang dilakukan oleh pemerintah.
Beberapa Yurisprudensi telah menjelaskan tentang kriteria
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan
berdasarkan pada Putusan Mahkamah Agung No. 66K/Sip/1952 dan
Putusan Mahkamah Agung No. 838 K/Sip/1970 yang menunjukkan
kriteria perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah
adalah : a) perbuatan-penguasa itu melanggar undang-undang dan
peraturan formal yang berlaku; b) perbuatan penguasa melanggar
kepentingan dalam masayarakat yang seharusnya dipatuhinya.143
Dengan berdasarkan pada yurisprudensi tersebut, maka
Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan hukum pemerintah,
dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik, yang
melaksanakan perbuatan hukum keperdataan dan ketika menimbulkan
kerugian bagi rakyat maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui
Peradilan Umum.
Hal ini karena kedudukan pemerintah atau administrasi negara
dalam hal ini tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata,
143
Dikutip dari Muchsan, op.cit., hlm. 28.
192
yaitu sejajar. Sejajar dalam arti pemerintah dapat sebagai tergugat
maupun penggugat. Sehingga penjabaran mengenai konsep Perlindungan
Hukum terhadap tindakan hukum pemerintah di bidang keperdataan,
harus dilihat bahwa pemerintah tersebut berkedudukan sebagai wakil
badan hukum publik ketika pemerintah tersebut melakukan perbuatan
hukum keperdataan dengan rakyat, baik itu nerupa jual beli, sewa
menyewa, membuat perjanjian dan sebagainya. Sehingga ketika
melakukan hubungan hukum tersebut ternyata pemerintah melakukan
tindakan pemerintah yang bertentangan dengan hukum dan merugikan
rakyat, maka dapat dituntut pemerintah melakukan perbuatan melawan
hukum dengan berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung
No. 66K/Sip/1952 dan Putusan Mahkamah Agung No. 838 K/Sip/1970
mengenai kriteria perbuatan melawan hukum dari pemerintah dan
penyelesaiannya di Pengadilan Negeri tempat pemerintah itu berada.
2. Kesesuaian Antara Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara
No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt dalam Menentukan Kewenangan
Mengadili, dengan Konsep dalam Hukum Administrasi Negara
Pembahasan ini hendak mendeskripsikan kesesuian antara
pertimbangan hukum Hakim dalam menentukan kewenangan mengadili,
dengan konsep dalam Hukum Administrasi Negara.
Konsep dalam Hukum Administrasi Negara yang dimaksud dalam
konteks ini yakni mengenai konsep perlindungan hukum bagi rakyat dari
tindakan pemerintah yang melanggar hukum dan merugikan rakyat.
193
Menurut Philipus M. Hadjon, ada 2 (dua) macam perlindungan
bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang melanggar hukum yaitu
perlindungan preventif dan perlindungan hukum represif. Pada
perlindungan hukum preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan
untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Artinya
perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan yang represif bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa.144
Perlindungan hukum represif disini
dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan hukum dengan cara
menggugat atau mempermasalahkan atau memperkarakan pemerintah ke
pengadilan (sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman/yudikatif).
Untuk lebih memperjelas penelaahan konsep perlindungan hukum
bagi rakyat sebagai bagian dari konsep dalam Hukum Administrasi
Negara, dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) kriteria yakni:
1. Kedudukan hukum pemerintah (bestuur rechtspotitie) dan
tindakan pemerintahan (bestuur handelingen);
2. Ketentuan mengenai kewenangan mengadili suatu badan
peradilan menurut peraturan perundang-undangan.
Dengan menggunakan dua ktiteria tersebut di atas, akan dapat
diketahui ketepatan mengenai :
144
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum… op.cit., hlm. 2.
194
1. Kedudukan hukum pemerintah, dalam arti kapasitas pemerintah
ketika melakukan suatu tindakan sebagai wakil dari suatu badan
hukum (publik) ataukah dalam kapasitasnya sebagai pejabat yang
merupakan wakil dari suatu jabatan. Dimana tindakan pemerintah
tersebut bersifat melanggar hukum dan merugikan rakyat,
sehingga yakyat perlu mendapatkan suatu perlindungan hukum.
2. Kriteria tindakan pemerintahan dijadikan sebagai sarana untuk
menentukan jenis tindakan pemerintah, dalam arti apakah
tindakan pemerintah tersebut termasuk dalam tindakan hukum
privat ataukah tindakan hukum publik. Bahkan lebih daripada itu,
akan dapat diketahui pula apakah tindakan tersebut ditujukan
kepada umum sehingga tindakan pemerintah tersebut
dikategorikan sebagai besluit/regeling/peraturan perundang-
undangan, ataukah ditujukan kepada individu tertentu sehingga
tindakan pemerintah tersebut termasuk dalam pengertian
beschikking/ketetapan/Keputusan Tata Usaha Negara.
3. Berdasarkan kedudukan hukum pemerintah dan tindakan
pemerintah tersebut dalam point nomor 1 dan 2 di atas, maka
dapat diketahui dengan jelas mengenai jenis tindakan pemerintah
tersebut apakah termasuk dalam perbuatan keperdataan, ataukah
termasuk dalam jenis tindakan besluit/regeling, ataukah termasuk
dalam jenis beschikking/Keputusan Tata Usaha Negara. Setelah
diketahui jenis-jenis tindakan tersebut, selanjutnya akan dapat
195
ditentukan secara tepat pengadilan mana yang berwenang
digunakan sebagai sarana untuk menyalurkan perlindungan
hukum bagi rakyat. Untuk mengetahui pengadilan mana yang
berwenang mengadili suatu perkara harus didasarkan pada kriteria
mengenai ketentuan tentang kewenangan mengadili suatu badan
peradilan menurut peraturan perundang-undangan, dalam arti
yang berwenang mengadili perkara tersebut apakah Mahkamah
Agung, peradilan umum, ataukah Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, pembahasan ini hendak
mendeskripsikan kesesuian antara pertimbangan hukum Hakim dalam
menentukan kewenangan mengadili, dengan konsep dalam Hukum
Administrasi Negara. Untuk memperjelas hal tersebut, berikut dalam
paragraph di bawah ini akan dipaparkan secara singkat mengenai kasus
posisi dan pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan PN
Purwokerto Nomor : 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt.
Para pihaknya yaitu Para Penggugat bernama Fransiscus Xaverius
Untung Gunawan dan Fransisca Lana Riani, melawan Universitas
Jenderal Soedirman sebagai Tergugat. Juga adanya pihak-pihak yang
berkedudukan sebagai Turut Tergugat yaitu Ditjen Dikti sebagai Turut
Tergugat I, Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas sebagai Turut
Tergugat II, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas sebagai Turut
Tergugat III, dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
196
(KPKLN) Purwokerto sebagai Turut Tergugat IV. Perkara ini
disidangkan di Pengadilan Negeri Purwokerto.
Permasalahan yang muncul antara Peggugat dengan Tergugat di
sini adalah bahwa Penggugat mendalilkan Tergugat telah melakukan
Perbuatan Melawan Hukum yaitu berupa perbuatan mendirikan
bangunan yang menghalang-halangi serta menutup akses jalan ke tanah
pekarangan berupa sawah milik Para Penggugat. Bangunan tersebut
didirikan oleh Tergugat di atas wilayah Jalur Hijau/Sempadan Jalan, serta
tidak dilengkapi persyaratan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Menurut
dalil Para Penggugat, Para Turut Tergugat membiarkan bangunan-
bangunan tersebut, dan tidak menanggapi keberatan dan protes yang
telah disampaikan oleh Para Penggugat.
Bangunan yang dipermasalahkan oleh Para Penggugat didirikan di
atas Tanah seluas ± 122,5 m2, tanah tersebut masuk dan tertulis dalam
Sertifikat Hak Pakai (SHP) No. 00016/Kel. Pabuaran/ Surat Ukur
tanggal 09/10/2008 No. 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2, tertulis
atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta.
SHP ini diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Banyumas (dalam perkara a-quo sebagai Turut Tergugat II). Adapun
dasar dari didirikannya bangunan oleh Tergugat tersebut adalah Surat
Keputusan Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal
31/12/2008 No. : SK.29/530.3/11.27/2008 tentang Pemberian Hak atas
Tanah yang tersebut dalam SHP No. 00016/Kel. Pabuaran.
197
Para Penggugat pada mulanya memang mempermasalahkan
mengenai PMH yang dilakukan oleh Tergugat yakni berupa mendirikan
bangunan yang merugikan Para Penggugat, akan tetapi juga dalam posita
maupun dalam petitum dipermasalahkan mengenai keabsahan SHP No.
00016/Kel. Pabuaran dan Surat Keputusan Kepala kantor Pertanahan
Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. : SK.29/530.3/11.27/2008
tentang Pemberian Hak atas Tanah. Dan menuntut agar SHP dan Surat
Keputusan tersebut agar dinyatakan batal atau tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Padahal kedua produk hukum
tersebut merupakan produk hukum yang termasuk dalam jenis Keputusan
Tata Usaha Negara.
Untuk lebih jelasnya berikut ini diuraikan sebagian petitum dari
Para Penggugat yang relevan dengan pembahasan ini, yaitu :
1. Menyatakan secara hukum bahwa Surat Keputusan Kepala kantor
Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. :
SK.29/530.3/11.27/2008 sepanjang menyangkut Objek Sengketa
adalah Tidak Sah, Cacat Yuridis, Batal Demi Hukum dan atau
mohon dibatalkan berikut dengan konsekuensinya.
2. Menyatakan secara hukum Sertifikat Hak Pakai No.
00016/Pabuaran/2008 Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. :
00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama
Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta
Sepanjang menyangkut Objek Sengketa adalah tidak mempunyai
Kekuatan Hukum yang Mengikat.
Selanjutnya berikut ini diuraikan jawaban gugatan dari Tergugat,
dan yang relevan dengan pembahasan ini akan disampaikan jawaban
dalam eksepsi, sebagai berikut :
198
1. Para Penggugat telah keliru dalam menentukan “objek sengketa”,
karena yang dijadikan sebagai objek sengketa oleh Para Penggugat
adalah berupa “tanah”, dan tanah dalam hukum perdata adalah
merupakan suatu “benda”. Padahal maksud gugatan Para Penggugat
adalah mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH),
seharusnya yang dijadikan objek sengketa adalah berupa suatu
“perbuatan”, bukan suatu “benda”.
2. Dalam posita maupun dalam petitum, Para Penggugat
mempermasalahkan keabsahan Sertifikat Hak Pakai dan Surat
Keputusan Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas , dan
menuntut agar kedua produk hukum tersebut dibatalkan atau
dinyatakan tidak sah atau agar dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Padahal kedua produk hukum tersebut termasuk
dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga yang
berwenang mengadili perkara a-quo adalah Peradilan Tata Usaha
Negara, sehingga PN Purwokerto tidak berwenang mengadilinya.
3. Berdasarkan Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan menurut asas-asas Hukum Administrasi
Negara terkait dengan Publik Domein, Pengadilan Negeri Purwokerto
tidak berwenang melakukan sita jaminan terhadap bangunan milik
Tergugat, karena bangunan milik Tergugat merupakan benda milik
publik (public domein) atau barang milik negara.145
145
Lihat di dalam Ridwan HR, op.cit., hlm. 353 dan Indroharto, Usaha Memahami
Undang-Undang PTUN , Buku II, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 244.
199
Dalam pembuktian mengenai kewenangan Pengadilan, masing-
masing pihak mengajukan alat bukti berupa surat dan keterangan Ahli.
Terhadap pembuktian dalam sidang tersebut, Majelis Hakim menyatakan
dalam pertimbangan hukumnya, pada intinya sebagai berikut :
1. Menimbang, bahwa Penggugat meminta agar Sertifikat Hak Pakai
No. 00016/Kel. Pabuaran, Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No.
00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Menimbang, Penggugat memohon Surat Keputusan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No.
SK 29/530.3/11.27/2008 yang menjadi dasar terbitnya Sertifikat
Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran agar dinyatakan tidak sah
dan dibatalkan;
3. Menimbang, bahwa yang menjadi pertanyaannya adalah : apakah
produk hukum yang diminta supaya dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat dan/atau diminta supaya
dinyatakan tidak sah dan/atau dibatalkan tersebut, merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara ? dan selanjutnya apakah yang
disengketakan para pihak tersebut dikategorikan sebagai Sengketa
Tata Usaha Negara ?
4. Menimbang, bahwa batasan/pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 1 angka (9) UU
No. 51 Tahun 2009 yaitu : “suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”;
5. Menimbang, Majelis Hakim berpendapat bahwa kedua produk
hukum berupa SHP dan SK Kantor Pertanahan Kabupaten
Banyumas tersebut termasuk dalam kategori Keputusan Tata
Usaha Negara;
6. Menimbang, bahwa baik Ahli dari Pihak Tergugat dan Turut
Tergugat I maupun Ahli dari Pihak Penggugat, di persidangan
juga memberikan pendapatnya, bahwa kedua produk hukum
tersebut termasuk dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara;
7. Menimbang, bahwa selanjutnya pasal 1 angka (10) UU No. 51
Tahun 2009 menegaskan tentang pengertian sengketa Tata Usaha
Negara, dimana ditentukan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara
adalah : “sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan adan atau pejabat
200
Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara............”;
8. Menimbang, bahwa dari fakta dan uraian pertimbangan tersebut
di atas, menunjukkan bahwa materi pokok sengketa antara pihak
Penggugat dengan pihak Tergugat dan Turut Tergugat tersebut
adalah masuk dalam lingkup sengketa Tata Usaha Negara;
9. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jelas
ditegaskan, bahwa : “Peradilan Tata Usaha Negara berwennag
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara”;
10. Menimbang, bahwa oleh karena pokok sengketa para pihak,
sebagaimana diuraikan di atas masuk dalam lingkup “sengketa
Tata Usaha Negara”, maka lembaga yang berwenang mengadili
perkara a-quo adalah Peradilan Tata Usaha Negara, dan dengan
demikian, maka eksepsi kewenangan dari Tergugat adalah
beralasan menurut hukum, dan karenanya harus diterima;
11. Menimbang, bahwa karena eksepsi kewenangan dari Tergugat
dan Turut Tergugat I serta Turut Tergugat II tersebut beralasan
menurut hukum dan diterima, maka harus dinyatakan, bahwa
Pengadilan Negeri in casu Pengadilan Negeri Purwokerto tidak
berwenang untuk mengadili perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt.
ini;
Berdasarkan kasus posisi dan pertimbangan hukum Majelis Hakim
yang tersebut di atas, maka kesesuaian antara kasus posisi dan
pertimbangan hukum Majelis Hakim dengan konsep Perlindungan
Hukum bagi rakyat, dapat dianalisis dengan menggunakan 2 (dua)
kriteria yaitu Kriteria Pertama mengenai kedudukan hukum
pemerintah (bestuur rechtspotitie) dan tindakan pemerintahan (bestuur
handelingen); dan Kriteria Kedua mengenai ketentuan mengenai
kewenangan mengadili suatu badan peradilan menurut peraturan
perundang-undangan.
Pembahasan pertama ditujukan terhadap maksud Para Penggugat
mengajukan gugatan PMH atas perbuatan UNSOED (Tergugat)
201
mendirikan bangunan yang merugikan Para Penggugat, dengan
mengesampingkan bahwa ternyata dalam surat gugatannya Para
Penggugat mempersoalkan keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha
Negara dan menuntut pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Sesuai dengan maksud semula Para Penggugat mengajukan
gugatan PMH ke Pengadilan Negeri Purwokerto, dalam surat gugatannya
Para Penggugat antara lain mendalilkan adanya PMH yang dilakukan
oleh Tergugat (UNSOED) berupa mendirikan bangunan-bangunan yang
menutup akses jalan ke arah tanah pekarangan milik Para Penggugat,
dimana bangunan tersebut didirikan di atas wilayah jalur hijau/sempadan
jalan dan bangunan tersebut tidak memiliki IMB.
Dalil Para Penggugat mengenai adanya PMH yang dilakukan oleh
UNSOED (Tergugat), apabila PMH tersebut ditafsirkan dalam penafsiran
yang luas, maka PMH yang dilakukan oleh Tergugat dapat dikategorikan
sebagai sebagai perbuatan yang mengganggu hak Para Penggugat
untuk masuk ke tanah pekarangannya dan sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (Tergugat).
Bertentangan dengan kewajiban hukum si Tergugat maksudnya yakni
kewajiban hukum sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Daerah yang
berkaitan dengan IMB dan berkaitan dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (Perda RTRW).
202
Sesuai dengan dalilnya tersebut di atas, maka Para Penggugat
mengajukan gugatan PMH berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata ke
Pengadilan Negeri Purwokerto.
Pasal 1365 KUH Perdata menentukan :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Dalam konteks gugatan PMH yang diajukan oleh Para Penggugat
di atas, maka berdasarkan konsep perlindungan hukum bagi rakyat dari
tindakan pemerintah yang melanggar hukum, kedudukan hukum
Tergugat (UNSOED) dapat dikategorikan sebagai kedudukan hukum
pemerintah dalam bidang hukum perdata. Dalam bidang hukum perdata,
kedudukan UNSOED sebagai wakil dari ”badan hukum (publik)”.
Sebagai wakil dari ”badan hukum”, tindakan UNSOED tunduk dan
diatur oleh hukum keperdataan, apabila tindakan UNSOED melanggar
hukum perdata, maka kepada pihak subjek hukum yang dirugikan dapat
memperoleh perlindungan hukum berdasarkan hukum perdata. Sesuai
dengan kaidah hukum perdata, suatu perbuatan yang melanggar hukum
dinamakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), sehingga perlindungan
hukumnya berupa mengajukan gugatan keperdataan ke Pengadilan
Negeri dalam perkara PMH sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365
KUH Perdata.
Telah diuraikan di atas mengenai PMH di dalam Pasal 1365 KUH
Perdata yang di dalam perjalanannya perumusan pasal 1365 KUH
203
Perdata menggunakan penafsiran secara luas di antaranya sebagai
berikut:
1) Mengganggu hak orang lain;
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
3) Bertentangan dengan kesusilaan;
4) Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama
warga masyarakat atau terhadap benda orang lain. 146
Yang dimaksud dengan perilaku “yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku” adalah perilaku yang bertentangan dengan
suatu peraturan undang-undang dalam arti yang formil maupun materiil
(termasuk Peraturan Daerah) yang bersifat memerintah atau melarang.147
Sehingga apabila subjek hukum yang dianggap berbuat melanggar
Peraturan Daerah, maka dapat digolongkan sebagai perilaku “yang
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku”. Adanya kewajiban
hukum yang diletakkan atas diri seseorang, adalah dimaksudkan untuk
membatasi perilaku orang yang bersangkutan, agar tidak melanggar hak
(subjektif) orang lain. Kewajiban hukum seringkali merupakan
kewajiban yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, demi
perlindungan kepentingan orang lain.
Dalam hal adanya perilaku yang bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku, maka yang dapat menuntut ganti rugi atas dasar
146 Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 272 147
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang, Bagian
Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1984, hlm. 213.
204
pelanggaran suatu norma hukum yang bersifat memerintah atau
melarang, adalah mereka-mereka, untuk siapa norma itu bermaksud
untuk memberikan perlindungan.
Berdasarkan uraian mengenai unsur dari PMH secara luas khusus
mengenai bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku maka dapat
dideskripsikan bahwa Tergugat telah melanggar Peraturan Daerah yang
mengatur tentang IMB dan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan
Perencanaan Tata Ruang Wilayah. Sehingga menurut Para Penggugat
dengan adanya perbuatan Tergugat yang melanggar Peraturan Daerah
dan perbuatan tersebut merugikan Para Penggugat, maka wajar jika Para
Penggugat mengajukan gugatan PMH berdasarkan Pasal 1365 KUH
Perdata ke Pengadilan Negeri Purwokerto karena perbuatan Tergugat itu
sendiri sudah memenuhi unsur ketentuan dalam Pasal 1365 KUH
Perdata.
Berkaitan dengan kewenangan mengadili suatu badan peradilan
terhadap perkara perdata, hal tersebut dapat ditentukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan mengenai
kewenangan mengadili dari suatu badan peradilan. Pengadilan Negeri
Purwokerto adalah merupakan pengadilan tingkat I (pertama) yang
berada dalam Lingkungan Peradilan Umum. Undang-Undang yang
mengatur Peradilan Umum yakni :
1. UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
205
2. UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
3. UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
Wewenang Peradilan Umum ditentukan dalam Pasal 50 UU No 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang menentukan : “Pengadilan
Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.”
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, berkaitan
dengan maksud semula Para Penggugat untuk mengajukan gugatan PMH
terhadap UNSOED (Tergugat), dan apabila dihubungkan dengan konsep
perlindungan hukum bagi rakyat (yang merupakan konsep dalam Hukum
Administrasi Negara) dari perbuatan pemerintah yang melanggar hukum
keperdataan, maka dapat disimpulkan bahwa sudah tepat jika Para
Penggugat mengajukan gugatan PMH terhadap UNSOED (Tergugat)
berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata ke Pengadilan Negeri Purwokerto,
karena hal tersebut bersesuaian dengan kriteria kedudukan hukum
pemerintah dan tindakan pemerintahan serta bersesuaian pula dengan
kriteria kewenangan mengadili suatu badan peradilan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya setelah pembahasan yang pertama di atas,
Pembahasan kedua dimaksudkan untuk menganalisis kesesuaian antara
pertimbangan hukum Majelis Hakim dengan konsep Perlindungan
206
Hukum bagi rakyat (yang merupakan konsep dalam Hukum Administrasi
Negara), dapat dianalisis dengan menggunakan 2 (dua) kriteria yaitu
Kriteria Pertama mengenai kedudukan hukum pemerintah (bestuur
rechtspotitie) dan tindakan pemerintahan (bestuur handelingen); dan
Kriteria Kedua mengenai ketentuan mengenai kewenangan mengadili
suatu badan peradilan menurut peraturan perundang-undangan.
Untuk memperjelas mengenai substansi pembahasan ini, berikut ini
akan dikutip lagi pertimbangan hukum Majelis Hakim secara singkat,
sebagai berikut :
1. Menimbang, bahwa dalam Posita Gugatan angka 13 dan Petitum
Gugatan angka 9, meminta agar Sertifikat Hak Pakai No.
00016/Kel. Pabuaran, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
2. Menimbang, bahwa dalam Posita Gugatan angka 8 s/d angka 12
dan Petitum Gugatan angka 8, Para Penggugat memohon Surat
Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas
tanggal 31/12/2008 No. SK 29/530.3/11.27/2008 yang menjadi
dasar terbitnya Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran
agar dinyatakan tidak sah dan dibatalkan;
3. Menimbang, bahwa berdasarkan batasan/pengertian Keputusan
Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka
(9) UU No. 51 Tahun 2009, Majelis Hakim berpendapat bahwa
kedua produk hukum berupa SHP dan SK Kantor Pertanahan
Kabupaten Banyumas tersebut termasuk dalam kategori
Keputusan Tata Usaha Negara;
4. Menimbang, bahwa sesuai dengan pengertian sengketa Tata
Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka (10)
UU No. 51 Tahun 2009, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa
materi pokok sengketa antara pihak Penggugat dengan pihak
Tergugat dan Turut Tergugat tersebut adalah masuk dalam
lingkup sengketa Tata Usaha Negara;
5. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jelas
ditegaskan, bahwa : “Peradilan Tata Usaha Negara berwennag
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara”;
207
6. Menimbang, bahwa oleh karena pokok sengketa para pihak,
sebagaimana diuraikan di atas masuk dalam lingkup “sengketa
Tata Usaha Negara”, maka lembaga yang berwenang mengadili
perkara a-quo adalah Peradilan Tata Usaha Negara, dan dengan
demikian, maka eksepsi kewenangan dari Tergugat adalah
beralasan menurut hukum, dan karenanya harus diterima;
7. Majelis hakim menyimpulkan bahwa Pengadilan Negeri in casu
Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang untuk mengadili
perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt. ini;
Pertimbangan hukum Majelis Hakim di atas pada intinya
menyatakan bahwa pokok sengketa yang dipermasalahkan oleh para
pihak adalah mengenai keabsahan SHP dan Surat Keputusan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas (Turut Tergugat II), kedua
produk hukum ini termasuk dalam pengertian KTUN, sehingga sengketa
mengenai keabsahan suatu KTUN termasuk dalam pengertian sengketa
Tata Usaha Negara, dan yang berwenang mengadili sengketa Tata Usaha
Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga PN Purwokerto
tidak berwenang mengedili perkara a-quo.
Dalam konteks tindakan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Banyumas yang menerbitkan SHP dan Surat Keputusan tentang
Pemberian Hak Pakai, maka berdasarkan konsep perlindungan hukum
bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang melanggar hukum, kedudukan
hukum Turut Tergugat II (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Banyumas) dapat dikategorikan sebagai kedudukan hukum pemerintah
dalam bidang hukum publik. Dalam bidang hukum publik, kedudukan
hukum Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas sebagai
”pejabat” wakil dari suatu ”jabatan”. Sebagai wakil dari ”jabatan”,
208
tindakan UNSOED tunduk dan diatur oleh hukum publik yang dalam hal
ini adalah Hukum Administrasi Negara, apabila tindakan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten Banyumas melanggar Hukum Administrasi
Negara, maka kepada pihak subjek hukum yang dirugikan dapat
memperoleh perlindungan hukum berdasarkan Hukum Administrasi
Negara. Sesuai dengan kaidah Hukum Administrasi Negara,
perlindungan hukum bagi rakyat disesuaikan dengan jenis tindakan
pemerintahan. Tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas yaitu berupa menerbitkan SHP
dan Surat Keputusan, yang mana kedua produk hukum ini termasuk
dalam pengertian KTUN, sehingga apabila KTUN tersebut merugikan
Para Penggugat, maka Para Penggugat dapat diberi perlindungan hukum
dengan cara mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara, oleh
karena yang digugat adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Banyumas, gugatan ditujukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum
dari Tergugat.
Pendapat Majelis Hakim yang menyatakan bahwa pengadilan yang
berwenang mengadili perkara a-quo adalah didasarkan pada ketentuan
Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
yang menentukan : “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara”. Adapun
pengertian sengketa Tata Usaha Negara ditentukan dalam Pasal 1 angka
209
10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa
terjadinya sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya
KTUN oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
Selanjutnya apabila Para Penggugat merasa dirugikan oleh
keluarnya suatu KTUN, maka ia mempunyai hak gugat sesuai dengan
ketentuan Pasal 53 Ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yang
mengatur : “Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara,
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan berwenang yang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan
itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau rehabilitasi”.
Berdasarkan hal-hal sudah disebutkan di atas, terlihat hubungan
hukum antara Para Penggugat dengan SHP dan Surat Keputusan yang
dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas, maka
apabila Para Penggugat hendak mengajukan gugatan untuk membatalkan
SHP dan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten Banyumas ke PTUN Semarang, maka hal tersebut
sudah memenuhi kriteria sengketa Tata Usaha Negara, yaitu :
a. Penggugatnya adalah orang yakni Para Penggugat;
b. Tergugatnya adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yakni
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas,;
210
c. Objek gugatannya adalah Keputusan Tata Usaha Negara, yakni
SHP dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Banyumas, ;
d. Tuntutannya atau petitumnya adalah batal atau tidak sahnya suatu
Keputusan Tata Usaha Negara.
Apabila seseorang hendak mengajukan gugatan ke Peradilan Tata
Usaha Negara, ia harus memperhatikan apakah terhadap sengketa Tata
Usaha Negara tersebut harus melalui Upaya Administrasi terlebih dahulu
ataukah dapat langsung menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) sebagai pengadilan tingkat I (pertama), hal ini berkaitan dengan
adanya ketentuan mengenai upaya administrasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi:
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan peraturan perundang-
undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata
usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut
harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan
telah digunakan.
Untuk mengetahui apakah terhadap suatu sengketa Tata Usaha
Negara harus ditempuh upaya administrasi terlebih dahulu, dapat dilihat
dalam penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 yang
menjelaskan bahwa :
“Dari ketentuan dalam peraturan peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan dapat dilihat apakah terhadap
211
suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu terbuka atau tidak terbuka
kemungkinan untuk ditempuh suatu upaya administratif.”
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya
SHP dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Banyumas adalah UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak
terdapat ketentuan yang mengatur adanya upaya administrasi, sehingga
apabila Para Penggugat hendak mengajukan gugatan untuk membatalkan
SHP dan Surat Keputusan tersebut, maka Para Penggugat bisa
mengajukan gugatan langsung ke PTUN Semarang sebagai pengadilan
tingkat I (pertama), tanpa harus terlebih dahulu mengajukan upaya
administrasi.
Adapun Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam konteks
perkara a-quo yaitu UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, sedangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik
meliputi asas :
212
a. Kepastian hukum;
b. Tertib penyelenggaraan negara;
c. Keterbukaan;
d. Proporsionalitas;
e. Profesionalitas;
f. Akuntabilitas.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim yang menyatakan bahwa
pengadilan yang berwenang mengadili perkara a-quo adalah Pengadilan
Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang
mengadili perkara a-quo adalah didasarkan pula pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan
mengadili suatu badan peradilan. Ketentuan tersebut terdapat dalam :
1. Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009 yang menentukan bahwa :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Masing-masing lingkungan pengadilan tersebut di atas mempunyai
kewenangan yang berbeda antara lingkungan peradilan yang satu
dengan lingkungan peradilan yang lain.
2. Pasal 25 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 : Peradilan umum
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan peraturan
perundang-undangan.
3. Pasal 25 ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 : Peradilan Tata
Usaha Negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
213
menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan
peraturan peraturan perundang-undangan.
4. Pasal 50 UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang
menentukan : “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan
perkara perdata di tingkat pertama.”
5. Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang menentukan : “Pengadilan bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha
negara”.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan PN
Purwokerto Nomor : 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt yang menyatakan bahwa
pengadilan yang berwenang mengadili perkara a-quo yaitu Pengadilan
Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang
mengadili perkara a-quo; telah sesuai dengan konsep perlindungan
hukum bagi rakyat, yang juga merupakan konsep dalam Hukum
Administrasi Negara. Kesesuaiannya dapat diukur dari Kriteria
Pertama mengenai kedudukan hukum pemerintah (bestuur
rechtspotitie) dan tindakan pemerintahan (bestuur handelingen), dan
Kriteria Kedua mengenai ketentuan mengenai kewenangan mengadili
suatu badan peradilan menurut peraturan perundang-undangan.
214
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bentuk perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah
berdasarkan konsep Hukum Administrasi Negara dapat disimpulkan
sebagai berikut :
a. Perlindungan Hukum bagi rakyat di bidang Hukum Privat dapat
diberikan melalui pengajuan gugatan ke Peradilan Umum, dalam hal
ini yaitu pengadilan negeri berwenang memeriksa perkara perdata.
Perkara perdata disini yaitu Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang
dilakukan oleh pemerintah berdasrkan Pasal 1365 KUH Perdata dan
Yurisprudensi MA mengenai kriteria Perbuatan Melawan Hukum
yang dilakukan oleh pemerintah yaitu Putusan MA No. 66K/Sip/1952
dan Putusan MA No. 838K/Sip/1970.
b. Perlindungan Hukum bagi rakyat di bidang Hukum Publik dapat
diberikan dengan melihat tindakan pemerintah itu sendiri. Jika
tindakan pemerintah itu berupa Besluit/ peraturan perundang-
undangan maka dapat mengajukan keberatan berdasarkan UU Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan dapat melakukan
permohonan Yudicial Review ke Mahkamah Agung. Sedangkan jika
tindakan pemerintah itu berupa Beschikking/Keputusan Tata Usaha
Negara maka dapat mengajukan upaya hukum berupa Banding
215
Administratif dam mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha
Negara.
2. Pertimbangan Hukum hakim dalam perkara di dalam Putusan No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri
Purwokerto tidak berwenang mengadili perkara a-quo, dan yang
berwenang adalah Peradilan Tata Usaha Negara; sudah sesuai dengan
konsep Hukum Administrasi Negara mengenai perlindungan hukum bagi
rakyat dari tindakan pemerintah yang melanggar hukum dan merugikan
rakyat. Adapun yang menjadi alasannya yaitu :
a. Sesuai dengan posita dan petitum Penggugat yang mempermasalahkan
keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yaitu
mempermasalahkan keabsahan Sertifikat Hak Pakai dan Surat
Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tentang
Pemberian Hak Pakai atas Tanah, dan eksepsi dari Tergugat mengenai
kompetensi absolut mengenai kewenangan pengadilan bahwa
Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang memeriksa perkara a-
quo.
b. Sesuai dengan kriteria kedudukan hukum pemerintah dan tindakan
pemerintahan.
c. Sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan kewenangan mengadili suatu badan peradilan, yaitu:
1) Pasal 18, Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (5) UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
216
2) Pasal 50 UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan
3) Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
B. Saran
1. Perlunya sosialisasi lebih menyeluruh kepada masyarakat luas yang
sekarang masih buta mengenai proses peradilan ketika memperoleh suatu
perlindungan hukum yang diakibatkan tindakan pemerintah yang
melanggar hukum dan merugikan rakyat. Tujuannya yaitu agar bentuk
perlindungan hukum kepada rakyat terhadap tindakan pemerintah dapat
terealisasi dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Cara menentukan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara
yang diakibatkan oleh tindakan pemerintah yang melanggar hukum
merupakan suatu kajian teoretis dan konsep yang dilakukan oleh penulis.
Diharapkan kedepannya hal tersebut semoga dirumuskan lebih tegas
dalam peraturan perundang-undangan yang akan datang untuk
memperjelas kepada rakyat dalam menentukan kewenangan pengadilan
untuk mengadili suatu perkara yang diakibatkan oleh tindakan
pemerintah yang melanggar hukum.
3. Perkara dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt menunjukkan kesalahan penerapan hukum dalam
hal mengajukan gugatan ke suatu pengadilan terhadap suatu tindakan
pemerintah. Sehingga kedepannya khusus Perlindungan Hukum bagi
rakyat terhadap tindakan pemerintah yang merugikan rakyat harus cermat
217
dalam mengajukan gugatan apakah ke Pengadilan Negeri ataukah ke
Pengadilan Tata usaha Negara. Harapannya bagi praktisi hukum dalam
mendampingi rakyat ketika menggugat tindakan pemerintah harus
mengetahui dengan jelas konsep perlindungan mana yang harus dipilih
sehingga diharapkan tidak terjadi yang namanya “Gugataan tidak Dapat
Diterima” dan “Pengadilan Tidak Berwenang Mengadili Perkara
tersebut”.
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Literatur
Algra, N.E./H.C.J.G. Janssen. 1974. Rechtsingan een Orientatie in het Recht.
Groningen. H.D. Tjeenk Willink bv.
Anggriani, Jum. 2012. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Apeldoorn, Van. 1966. Inleiding tot de Studie ven het Nederlandse Recht. Zwolle:
W.E.J. Tjeenk Willink.
Atmosudirjo, Prajudi. 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia. Jakarta: UI-Press.
Basah, Sjachran. 1985. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi
Negara. Bandung: Alumni.
1992. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak
Administrasi Negara. Bandung: Alumni.
Budiardjo, Miriam. 1982. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Belinfante, A.D. 1985. Kort Begrip van het Administratief Recht. Alphen aan de
Rijn: Samsom Uitgeverij.
Dale’s, Van. 1914. Groot Woordenboek der Nederlandsche Taal. Leiden: ‘s-
Gravenhage.
Damen, L.J.A., et.al., 2005. Bestuursrecht, System, Bevoegdheid,
Bevoegdheidsuitoefening, Handhaving. Den Haag. BJU Boom Juridische
Uitgevers. Twede Druk.
De Haan, P., et al., 1986. Bestuursrecht in de Sociale Rechtstaat. deel 1, Kluwer.
Devender.
Donner, A.M., 1987. Nedherlands Bestuursrecht. Alphen aan Rijn. Samsom H.D.
Tjeenk Willink.
Hadjon, Philipus M. et. al., 2011. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
--------------1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina
Ilmu.
Hirsch Ballin, E.M.H. 1991. Rechstaat & Beleid. Zwolle. W.E.J. Tjeenk Willink.
Huisman, R.J.H.M. Algemeen Bestuursrecht, en Inleiding. Amsterdam. Kobra.
Ibrahim, Jhony. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Banyumedia Publishing.
Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Joeniarto. 1968. Negara Hukum. Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gadjah
Mada.
Kuipers, R.K. 1901. Geillusteerd Woordenboek Nederlandsche Taal. Amsterdam:
Maatschappy “Elssevier”.
Korsten, A.F.A. dan F.P.C.L. Tonnaer. 1989. Lokale Regelgeving dalam Lokaal
Bestuurin Nederland. Alphen aan de Rijn. Samsom Tjeenk Willink.
Logemaan, J.H.A. 195. Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht. Jakarta:
Saksama.
Lotulung, Paulus E. 1993. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap
Pemerintah. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Manan, Bagir. 1990. Hubungan Anatara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas
Desentralisasi Menurut UUD 1945. Disertasi. Bandung: Universitas
Padjadjaran.
Mustafa, Bahsan. 1990. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Muchsan. 1981. Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan
Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
1997. Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Michiels, F.C.M.A. 1987. De Arob – Beschikking. ‘s-Gravenhage. Vuga
Uitgeverij B.V.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Mertokusumo, Sudikno. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta:
Liberty.
…………… 1993. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Purbopranoto, Kuntjoro. 1975. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara. Bandung: Alumni.
Poelje, Van. 1964. Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde. Alphen aan de Rijn:
Samsom.
Poerwadaminta, W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cetakan XI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Prins, WF., dan R. Kosim Adisapoetra. 1983. Pengantar Ilmu Hukum
Administrasi Negara. Jakarta: Prandya Paramita.
Ridwan HR. 2013. Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Robert Bothlingk, Frederick. 1954. Het Leerstuk der Vertegenwoordiging en Zijn
Toepassing op Ambtsdragers in Nederland en in Indonesia. Juridische
Boekhandel en Uitgeverij A. Jongbloed & Zoon ‘s-Gravenhage.
Romeijn, H.J. 1934. Administratiefrecht, Hand-en Leerboek. Den Haag.
Noorman’s Periodieke Pers N.V.
Raharjo, Satjipto. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
Satrio, J. 1984. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang,
Bagian Pertama. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Situmorang, Viktor. 1989. Dasar-dasar Hukum Administrasi Negara. Jakarta:
Bina Aksara.
Soehardjo. 1994. Pengantar Hukum Administrasi Negara Pertumbuhan dan
Perkembangannya. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro.
Soehino. 1984. Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan. Yogyakarta: Liberty.
Soemantri, Sri. 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung:
Alumni.
Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Spier, J. 1987. Onrechmatige Overheidsdaad. Zwolle. W.E.J. Tjeenk Willink.
Stoink, F.A.M., en J.G. Steenbeek. 1985. Inleiding in Het Staats-en Administratief
Recht. Alphen aan de Rijn. Samsom H.D. Tjeenk Willink.
Tak, P.J.P. 1991. Rechtsvorming in Nedeland. Open Universiteit. Samsom H.D.
Tjeek Willink.
Ten Berge, J.B.J.M. 1996. Besturen Door de Overheid. Deventer. W.E.J. Tjeenk
Willink.
Utrecht, E. 1988. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Surabaya:
Pustaka Tinta Mas.
Van der Burg et.al., 1985. Rechtsbescherming Tegen de Overheid. Nijmegen.
Algemene Bepalingen van Administratief Recht.
Van der Pot, C.W. 1932. Nederlandsch Bestuursrecht. Alphen aan de Rijn.
Van Wijk, H.D./Willem Konijnenbelt. 1995. Hoofdstukken van Administratief
Recht, Utrecht. Uitgeverij Lemma BV.
Verkruisen en B.C. Vis, W.G. 1987. Gemeente en Gemeentewet. Nijmegen.
Versteden, C.J.N. 1984. Inleiding Algemeen Bestuursrecht. Alphen aan de Rijn.
Samsom H.D. Tjeenk Willink.
Kitab Undang-Undang/Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 1946 Nomor : 7)
Algemene Bepalingen van Administratief Recht. Rapport van De Commissie
Inzake.
Algemene Bepalingen van Administratief Recht. 1984. Alphen aan den Rijn:
Samsom H.D. Tjeenk Willink B.V.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran
Negara Indonesia Tahun 1960 Nomor : 104)
UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Indonesia
Tahun 2002 Nomor : 134)
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 2004 Nomor : 5)
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Indonesia
Tahun 2007 Nomor : 68)
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 2009 Nomor : 157)
UU No. 14 Tahun 1985 diperbarui dengan UU No 5 Tahun 2004 dan diperbarui
kembali dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Indonesia Tahun 1985 Nomor 73)
UU No. 2 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 8 Tahun 2004 dan diperbarui
kembali dengan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
(Lembaran Negara Indonesia Tahun 1986 Nomor : 20)
UU No. 5 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan diperbarui
kembali dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1986 Nomor : 77)
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 2014 Nomor : 244)
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_militer
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/sejarah-peradilan-militer-di-indonesia/
http://www.pa-batang.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=
118&Itemid=117
http://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_tata_usaha_negara
http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/tipologi-penelitian-hukum.html
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No. 73/Pdt.G/2013/PN. Pwt : mengenai
Sengketa Perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) antara Gunawan
melawan Universitas Jenderal Soedirman.