KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK...
Transcript of KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK...
KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN
(Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Penulisan Skripsi
Disusun Oleh :
Bayu Dwi Mulyanto
E1A008184
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
1
KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN
(Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
Bayu Dwi Mulyanto
E1A008184
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
2
KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN
(Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.PBG)
Oleh:
BAYU DWI MULYANTO
E1A008184
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan
Pada tanggal November 2012
Para Penguji/Pembimbing
Penguji I/ Penguji II/ Penguji III
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H. Handri Wirastuti .S., S.H.,M.H. Pranoto, S.H.,M.H.
NIP. 19640724 199002 1 001 NIP. 19581019 198702 2 001 NIP. 19540305 198901 1 001
Mengetahui
Dekan,
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
3
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN
(Studi Terhadap Putusan Nomor: 07/Pid.B/2009/PN.PBG)
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenaranya.
Apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk
pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto, November 2012
Bayu Dwi Mulyanto
E1A008184
4
ABSTRAK Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar dan ia
alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya, sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP. Pada umumnya alat bukti saksi adalah yang
paling menentukan dalam menilai apakah tindak pidana pembunuhan itu benar-benar
terjadi dan dilakukan oleh terdakwa. Namun dalam kasus tindak pidana pembunuhan
sebagaimana diputuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor :
07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, hakim menghadirkan saksi yang memiliki hubungan
keluarga dengan terdakwa yakni istri terdakwa sendiri. Berdasarkan uraian diatas
penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul : KEKUATAN ALAT BUKTI
SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi
Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga).
Didalam meneliti skripsinya, ditemukan permasalahan yang dapat dirumuskan
sebagai berikut, 1. Mengapa saksi keluarga dihadirkan dalam persidangan pada Putusan
Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian
keterangan saksi keluarga dalam tindak pidana pembunuhan terhadap Putusan Nomor :
07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga tersebut?
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga
Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, alasan hakim menghadirkan saksi keluarga
dalam persidangan karena Keterangan istri terdakwa atas kehendaknya sendiri sebagai
saksi yang merupakan alat bukti utama pada ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dapat
membuat terang duduk persoalan yang timbul dalam persidangan setelah disetujui secara
tegas oleh Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan Pasal 169 KUHAP, mengenai
terjadinya tindak pidana pembunuhan tersebut.
Sedangkan keterangan dari saksi keluarga tersebut setelah mendapat
persetujuan secara tegas dari Jaksa Penuntut Umun maka dapat berlaku sebagai alat
bukti yang sah yang diserahkan kepada kebijakan hakim untuk menambah
keyakinannya sepanjang keterangannya bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain
berdasarkan pada Pasal 185 ayat (7) KUHAP, dan tidak termasuk dalam Testimonium
de auditu.
Kata Kunci : Pembuktian, Saksi Keluarga, Tindak Pidana Pembunuhan
5
ABSTRACT Eyewitness description is one of the evidence appliance in criminal which in the
form of description of eyewitness regarding a crime which he hears and he experienced
of by himself with mentioned the reason from the knowledge he has, pursuant to
Section 1 number 27 Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP). Generally
eyewitness evidence appliance is most determining in assessing do that is murdering of
an criminal act really do and conducted by defendant. But in murdering of an criminal
act case as decided in Decision District Court Of Purbalingga Number :
07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, judge attended the eyewitness who she has owning
blood relationship with defendant that is the defendant wife himself. Based on above
description, writter interest to compile the thesis with title is : STRENGTH OF
APPLIANCE EVIDENCE EYEWITNESS FAMILY IN THE MURDERING OF AN
CRIMINAL ACT ( Study To Decision Number : 07/Pid.B/2009/
PN.PURBALINGGA).
In the research, found any problems which can formulated as follows 1. Why
does family eyewitness attended in conference at Decision Number : 07/Pid.B/2009/
PN.PURBALINGGA 2. How does the strength of verification of family eyewitness
description in murdering of an criminal act at Decision Number : 07/Pid.B/2009/
PN.Purbalingga?
Pursuant to research result at Decision District Court Of Purbalingga Number
: 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, the judge reason attended family eyewitness in
conference because Description from defendants wife of his own will desire as
eyewitness was the first evidence appliance at the rule of Section 184 sentence ( 1)
Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP) can make boldly of arising out
case position in conference after agreed expressly by The Publik Procecutor pursuant
to Section 169 Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP), about the
happening of murdering of an criminal act.
Awhile description of the family eyewitness after getting the expressly
permission from Publik Procecutor so can apply as a means of valid evidence which
delivered to policy of the judge to added the confidence of as long as their description
chiming in with other eyewitness description pursuant to Section 185 sentence ( 7)
Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP), and was not the included in the
Testimonium auditu de.
Keyword : Verification, Eyewitness Family, Murdering of an Criminal Act
6
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
dengan judul “KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/
PN.Purbalingga)”.
Berbagai kesulitan dan hambatan Penulis hadapi dalam penyusunan
skripsi ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini juga tidak lepas dari
bimbingan, dorongan, bantuan materiil dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, Penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin terhadap penelitian ini.
2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah
memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat
membangun serta banyak menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
khususnya dalam lingkup Hukum Acara Pidana bagi penulis, sehingga penulis
mendapatkan kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan skripsi sampai
selesai.
3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Skripsi II yang telah
memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat
membangun dalam penyusunan skripsi ini.
7
4. Pranoto, S.H.,M.H. selaku Dosen Penguji Skripsi yang turut menilai dan
memberi masukan pada skripsi penulis.
5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah
memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
6. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang
telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan.
7. Kedua orang tua tercinta, yang selalu mendoakan, memberi nasihat dan
motivasi selama penulis mengerjakan skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan terdapat
banyak kekurangan karena keterbatasan Penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Purwokerto, November 2012
Bayu Dwi Mulyanto
E1A008184
8
PERSEMBAHAN
Sebelumnya saya ucapkan terlebih dahulu terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Alloh SWT yang telah memberikan selalu jalan yang terbaik untuk saya.
Dan kemudian skripsi ini saya persembahkan untuk orang-orang yang saya
sayangi....
Kedua Orang Tua Tercinta
Bapak Joko S dan Ibu Puji P yang aku sayangi dan selalu memberi nasihat,
motivasi, senantiasa menyemangati ku, dan yang terpenting adalah memberiku
biaya selama menyelesaikan skripsi, hehe . Dan pastinya doa yang tak pernah
putus yang membawaku menyandang gelar Sarjana Hukum. Thank You and
Love you so much !
Sahabat-Sahabat Tersayang
Untuk Siho, Anas, Johan, Woko, Boneto, dan semua yang belum bisa aku sebutin
satu persatu yang selalu menemaniku hingga akhir kuliah, dan khususnya untuk
Lusiana Tamimatus,S.H., terima kasih karena telah banyak sekali membantuku,
memberi saran dan motivasi selama aku mengerjakan skripsi. Adanya kalian
membuatku tak pernah bosan dan stres dalam mengerjakan skripsiku setiap
harinya. Miss You All .
Seseorang Yang Kucinta
Dwi Agestin N.A,. terima kasih c’Putku karna selalu memberikan semangat,
motivasi, nasihat, doa, dan juga selalu setia mendengarkan segala keluh kesah ku
pada saat mengerjakan skripsi. Terima kasih juga untuk ibuku tercinta yang
selalu mendoakan dan memberi semangat. Love You.
9
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN................................................................... i
HALAMAN JUDUL………………………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….. iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI…………………………………. iv
ABSTRAK…………………………………………………………………. v
ABSTRACT……………………………………………………………….. vi
PRAKATA………………………………………………………………... vii
PERSEMBAHAN……………………………………………....…………. ix
DAFTAR ISI………………………………………………………………. x
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4
D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 4
BAB II. TINJAUAN UMUM
A. Pengertian Hukum Acara Pidana ............................................ 6
B. Tujuan Hukum Acara Pidana .................................................. 7
C. Asas-asas Hukum Acara Pidana .............................................. 9
D. Teori dan Sistem Pembuktian ................................................ 21
E. Alat Bukti
1. Pengertian Alat Bukti ....................................................... 26
2. Jenis Alat Bukti ................................................................ 28
F. Keterangan Saksi
1. Pengertian Keterangan Saksi ............................................ 30
2. Hak-Hak Saksi .................................................................. 34
3. Syarat Sah Keterangan Saksi ............................................ 34
4. Keterangan Saksi Yang Berdiri Sendiri ............................ 39
5. Cara Penilaian Kebenaran Keterangan Saksi ................... 40
6. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi ................. 41
10
G. Keterangan Ahli
1. Pengertian Keterangan Ahli .............................................. 42
2. Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli .............................. 42
3. Bentuk Keterangan Ahli .................................................... 43
H. Alat Bukti Surat
1. Pengertian Surat ................................................................ 45
2. Nilai Kekuatan Pembuktian Surat ..................................... 46
I. Alat Bukti Petunjuk
1. Pengertian Alat Bukti Petunjuk ......................................... 48
2. Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk ............................. 48
3. Syarat Alat Bukti Petunjuk ................................................ 49
4. Nilai Kekuatan Pembuktian Petunjuk ................................ 49
J. Keterangan Terdakwa ............................................................ 50
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ................................................................ 52
B. Spesifikasi Penelitian .............................................................. 52
C. Lokasi Penelitian .................................................................... 53
D. Sumber Data ........................................................................... 53
E. Metode Pengumpulan Data .................................................... 53
F. Metode Penyajian Data .......................................................... 54
G. Metode Analisis Data ............................................................. 54
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ...................................................................... 55
B. Pembahasan ........................................................................... 92
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................... 102
B. Saran ..................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses penyelesaian perkara pidana terdiri dari penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan dan pemberian putusan pengadilan serta pelaksanaannya. Keseluruhan
proses tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain dan dalam tiap
tingkatan proses terdapat aparat penegak hukum yang memiliki tugas khusus dalam
proses tersebut menurut yang diatur dalam KUHAP1.
Proses peradilan hakim dalam menentukan siapa yang bersalah karena telah
melakukan tindak pidana tidaklah mudah, untuk itu hakim dalam melakukan
pemeriksaan harus melihat tentang alat-alat bukti sah. Artinya hakim pada
prinsipnya dalam menjatuhkan putusan selalu mendasarkan pada alat-alat bukti
yang sah, oleh karena itu dalam usaha membuktikan apakah tindak pidana yang
didakwakan penuntut umum itu terbukti atau tidak. Hakim harus berhati-hati
dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian, karena dengan
pembuktian ini ditentukan nasib seorang terdakwa, dengan terciptanya KUHAP
maka untuk menentukan seseorang itu bersalah maka kesalahannya harus
dibuktikan terlebih dahulu. Dengan demikian polisi, jaksa dan hakim sebagai
aparat penegak hukum tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana, tetapi
harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana2.
1 Irdan Dahlan, 1997,Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Jakarta, Bina Aksara, hal. 9
2 Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, CV. Sapta
Artha Jaya,.hal. 8
12
Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut
Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) yang dalam hal ini sesuai
ketentuan Pasal 183 KUHAP yang dirumuskan :
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh kenyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya”
Ketentuan Pasal 183 KUHAP dapat diketahui bahwa pada acara
pembuktian penyidik Polri atau penuntut umum harus menyampaikan sekurang-
kurangnya dua alat bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP
ialah :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa.
Salah satu alat bukti yang sering dipergunakan oleh penyidik, jaksa dan
hakim adalah keterangan saksi dan pada umumnya, alat bukti keterangan saksi
merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan,
tidak ada perkara yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir
semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan
keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti
yang lain, masih diperlukan pembuktian dengan keterangan saksi3.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan yang
sesuai dengan yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP :
3 M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta, Sinar
Grafika,.hal 265
13
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannya.
Pada umumnya alat bukti keterangan saksi yang menentukan dalam menilai
apakah tindak pidana pembunuhan itu benar-benar terjadi dan dilakukan oleh
terdakwa. Kasus tindak pidana pembunuhan sebagaimana diputuskan dalam
Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga,
berawal korban (SSW) hendak membunuh anak terdakwa (Ro), untuk melindungi
anaknya maka terdakwa mendahului membunuh korban. Pada sidang pengadilan
terdakwa menerangkan bahwa terdakwa tidak bermaksud untuk membunuh korban
tetapi semata-mata untuk melindungi keluarganya dan dilakukan dalam keadaan
terpaksa, sehingga dalam perkara tersebut hakim mendasarkan pada alat bukti
keterangan saksi keluarga yaitu isteri terdakwa dan kemenakan terdakwa yang
menerangkan bahwa terdakwa selalu membawa pisau lipat untuk melindungi
keluarganya dari ancaman korban. Berdasarkan keterangan saksi keluarga tersebut
hakim memperoleh petunjuk dan menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana pembunuhan.
Uraian di atas terdapat dalam Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/
PN.Purbalingga dan sekaligus menjadi bahan judul skripsi yakni : KEKUATAN
ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN
B. Perumusan Masalah
14
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diambil suatu
permasalahan sebagai berikut :
1. Mengapa saksi keluarga dihadirkan dalam persidangan pada Putusan
Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi keluarga dalam tindak
pidana pembunuhan terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga
tersebut?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan saksi keluarga dihadirkan dalam persidangan pada
Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga.
2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi yang memberatkan
dalam tindak pidana pada pembunuhan Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/
PN.Purbalingga.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan penelitian dalam penulisan karya tulisan ini
adalah:
1. Kegunaan Teoritis
Memberikan sebuah informasi, menambah wacana berpikir dan
kesadaran bersama dalam berbagai bidang keilmuan, khususnya di bidang
ilmu hukum pidana berkenaan dengan kekuatan alat bukti saksi keluarga
dalam tindak pidana pembunuhan.
2. Kegunaan Praktis
15
Karya tulis ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pemikiran
terutama dalam rangka menyempurnakan peraturan – peraturan di bidang
hukum pidana khususnya tentang kekuatan alat bukti. Bagi Penulis secara
pribadi, hal ini merupakan salah satu bentuk latihan menyusun suatu karya
ilmiah walaupun masih sangat sederhana. Penulisan ini juga diharapkan dapat
memberikan informasi dan masukan kepada praktisi, civitas akademik,
masyarakat, dan pihak pemerintah Indonesia sendiri.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Ruang lingkup hukum pidana yang luas baik hukum pidana substantif
(materiil) maupun hukum pidana (formal) disebut hukum acara pidana, yang
berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga disebut
hukum pidana formal atau hukum acara pidana.
Pemerintah merumuskan hukum pidana (materiil) sebagai keseluruhan
peraturan yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakkan
pidana dan dimana pidana itu seharusnya menjelma. Hukum acara pidana
biasa disebut juga sebagai hukum pidana formal yaitu : hukum yang
mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk
memidana dan menjatuhkan pidana4.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya tidak
memberikan definisi tentang hukum acara pidana tetapi bagian-bagiannya seperti
penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan, upaya hukum, penyitaan,
penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain.
Memahami apa hukum acara pidana itu, maka dibawah ini diberikan
beberapa definisi baik menurut Sarjana Barat maupun Sarjana Timur.
a. R. Soesilo
Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara
bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana
materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana
cara putusan itu harus dilakukan5.
b. Simons
4 Andi, Hamzah, 2009, Hukum Acara Pidana Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 4
5 R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut
KUHAP Bagi Penegak Hukum), Bogor: Politea, hal. 3
17
Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat
perlengkapan mempergunakan haknya untuk memidana dan menjatuhi
pidana.
c. Wiryono Prodjodikoro
Hukum acara pidana berhubungan dengan adanya hukum pidana, maka
dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna
mencapaitujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.
d. Sudarto
Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk
apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak
atau orang-orang lain yang terlibat di dalamnya, apabila ada persangkaan
bahwa hukum pidana dilanggar6.
Secara singkat dapat diartikan bahwa norma hukum acara pidana menjadi
saluran tertentu untuk menyelesaikan kepentingan apabila terjadi perbuatan
melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana. Pada dasarnya norma hukum
acara pidana mengatur, atau memerintahkan, atau melarang untuk bertindak, dalam
mennyelenggarakan upaya manakala ada sangkaan/terjadi perbuatan pidana agar
dapat dilakukan penyelidikan, penyidikan, tuntutan hukum, pemeriksaan perkara,
putusan hakim dan pelaksanaan keputusan oleh petugas yang berwenang dengan
keharusan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia serta Negara7.
B. Tujuan Hukum Acara Pidana
6 Suryono, Sutarto , 1987, Sari Hukum Acara Pidana1, Semarang: Yayasan Cendikia Dharma,
hal. 5 7 Bambang, Poernomo, 1988, Orientasi Hukum Acara Pidana, Jogjakarta: Amarta Buku, hal. 2
18
Setiap peraturan hukum yang dibentuk pasti memiliki suatu tujuan yang
hendak dicapai. Sebuah peraturan hukum yang dibentuk tidak memiliki tujuan akan
tidak memiliki nilai kegunaan. Semakin baik tujuan yang hendak dicapai semakin
bernilai dan ditaati pula peraturan itu oleh masyarakat pencari keadilan.
Tujuan hukum acara pidana seperti dikutip dalam buku Moch. Faisal Salam
dalam pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman,
memberi penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana sebagai berikut:
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelakunya yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya memintakan pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Kebenaran yang hendak dicari dan didapatkan oleh hukum acara pidana itu
sendiri sudah barang tentu kebenaran yang selengkap-lengkapnya sesuai dengan
sifat keterbatasan aparat penegak hukum yang melaksanakan hukum acara pidana itu
sendiri. Untuk mencapai suatu kebenaran yang mutlak adalah suatu hal yang berada
di luar jangkauan kemampuan manusia8.
Tujuan hukum acara pidana mencari dan menemukan kebenaran material itu
hanya merupakan tujuan antara dan tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai suatu
ketertiban dan ketentraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam
masyarakat9.
8 Suryono Sutarto, Op. Cit, hal. 4
9 Andi Hamzah, 2009, Op.Cit, hal. 19
19
Bambang Poernomo10
memberikan penjelasan tujuan hukum acara pidana
sebagai berikut:
Tujuan ilmu hukum acara pidana mempunyai kesamaan dengan tujuan ilmu
hukum dengan sifat kekhususan yaitu mempelajari hukum mengenai tatanan
penyelenggaraan proses perkara pidana dengan memperhatikan perlindungan
masyarakat serta menjamin hak asasi manusia dan mengatur susunan serta
wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum untuk mencapai
kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sarana peraturan hukum
acara pidana itu susunan dan wewenang alat perlengkapan negara penegak
hukum dalam proses perkara pidana mempunyai tugas mencari dan
menemukan fakta menurut kebenaran, mengadakan tindakan penuntutan
secara tepat dan memberikan putusan dan pelaksanaannya secara adil.
Sedangkan menurut Tanusubroto11
:
Hukum acara pidana mempunyai tujuan mengemban isi mencari kebenaran
sejati tentang pelaku tindak pidana untuk memperoleh imbalan atas
perbuatannya serta membebaskan mereka yang tidak bersalah dari tindakan
yang seharusnya tidak dikenakan atas dirinya.
Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana seperti yang
dikutip oleh Andi Hamzah12
yaitu sebagai berikut:
1. Mencari dan menemukan kebenaran.
2. Pemberian keputusan oleh hakim.
3. Pelaksana keputusan.
C. Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Suatu kegiatan baik itu kegiatan masyarakat, berbangsa maupun bernegara
harus mempunyai cita-cita yang menjadi dasar agar tujuan kegiatan tersebut dapat
tercapai dengan baik. Cita-cita yang menjadi dasar ataupun sesuatu kebenaran yang
10
Bambang, Poernomo, 1993, Pola Dasar Teori Asas Umum Acara Pidana dan Penegakan
Hukum Pidana, Jogjakarta: Liberty, hal. 29 11
Tanusubroto, 1984, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung: Armioo, hal. 2 12
Andi Hamzah, 2009, Op. Cit, hal. 8
20
menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir/berpendapat lazim disebut asas. Asas itu
mempunyai peranan yang sangat penting di dalam suatu kegiatan.
Demikian pula dalam hukum acara pidana juga ditemukan asas-asas yang
menjadi prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam
melaksanakan/menyelesaikan suatu perkara di Badan-Badan Peradilan. Asas-asas
hukum acara pidana tumbuh berkembang dari nilai-nilai hukum, dan kesadaran hak
asasi, serta peradaban dalam kehidupan manusia di tengah-tengah kelompok
masyarakat atau bangsa-bangsa yang tertuang sebagaian besar ke dalam hukum
positif.
KUHAP dilandasi oleh asas atau prinsip hukum tersebut diartikan sebagai
dasar patokan hukum sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran
aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Mengenai hal
tersebut, bukan hanya kepada aparat hukum saja, asas atau prinsip yang dimaksud
menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat yang
terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP.
Adapun asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana adalah:
1. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009, yang menghendaki agar pelaksanaan
penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas: cepat, tepat, sederhana,
dan biaya ringan. Tidak bertele-tele dan berbelit-belit. Apalagi jika keterlambatan
penyelesaian kasus terhadap hukum dan martabat manusia.
21
Asas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif,
sehingga tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada
tersangka/terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Asas ini juga terdapat
dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf e KUHAP yang berbunyi:
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan
serta bebas, jujur dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen
dalam seluruh tingkat peradilan”.
Beberapa ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang cepat,
tepat, dan biaya ringan, antara lain, tersangka atau terdakwa berhak:
a. Segera mendapat pemeriksaan dari penyidik,
b. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik,
c. Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum,
d. Berhak segera diadili oleh pengadilan.
Hak mendapat pemeriksaan segera ini diatur dalam Pasal 50 KUHAP.
Mengenai pelimpahan ke pengadilan negeri ke pengadilan tinggi sebagai tingkat
banding juga telah ditentukan batas waktu dalam KUHAP agar terlaksana
penyelesaian yang tepat. Tentang asas sederhana dan biaya ringan dalam KUHAP
diatur:
a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi
yang bersifat perdata adalah seorang korban yang mengalami kerugian
akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa (Pasal
98);
b. Banding tidak dapat diminta terhadap putusan dalam “acara cepat”;
22
c. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi
pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksanaan dari
prinsip mempercepat dan menyederhanakan proses penahanan;
d. Peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-nyata memberi makna
menyederhanakan penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar
tidak terjadi penyidikan bolak-balik, tumpang tindih atau overlapping,
dan saling bertentangan.
Menurut Bambang Poernomo13
:
Proses perkara pidana yang dilaksanakan dengan cepat diartikan
menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural agar tercapai
efisiensi kerja dalam waktu yang singkat. Proses yang sederhana diartikan
penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu agar pemberkasan
perkara dari masing-masing instansi yang berwenang berjalan dalam satu
kesatuan yang tidak memberikan peluang saluran dalam bekerja yang
berbelit-belit. Biaya yang murah diartikan menghindarkan sistem
administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang
mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan tidak sebanding
dengan hasil yang diharapkan.
2. Asas Praduga Tak bersalah atau Presumption of Innocent
Asas ini kita jumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP. Asas
ini juga dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
“Setiap orang yang disangka, diatngkap, ditahan, dituntut, dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”
Menurut M. Yahya Harahap14
:
Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi
teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator” atau accusatory procedure
13
Bambang, Poernomo, 1988, Op. Cit, hal.66 14
M. Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan
dan Penuntutan) Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Garfika, hal. 40
23
(accusatorial system). Prinsip akusator enempatkan kedudukan
tersangka/terdakwa dalm setiap tingkat pemeriksaan:
- Adalah subjek: bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu tersangka
atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan
manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri,
- Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah
“kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah
itulah pemeriksaan ditujukan.
Asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada
aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap
tingkat pemeriksaan. Aparat hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan
yang “inkisitur” atau inquisitorial system yang menempatkan tersangka atau
terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan
sewenang-wenang.
Jaminan terhadap asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan
akusatur dalam penegakan hukum, terlihat dalam KUHAP adanya seperangkat
hak-hak kemanusiaan terhadap tersangka atau terdakwa yang wajib dihormati dan
dilindungi pihak aparat penegak hukum. Maka secara teoritis pemberian hak ini
telah menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa berada dalam posisi yang
sama derajat dengan pejabat aparat penegak hukum.
3. Asas Oportunitas
Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi
kewenangan untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut
penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa diatur dalam
Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137 KUHAP.
24
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli,
artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di
tangan penuntut umum atau jaksa. Sehingga hakim hanya menunggu saja
penuntutan dari penuntut umum.
Hubungan penuntut umum dengan hak penuntutan dikenal dua asas, yaitu
yang disebut asas legalitas (penuntut umum wajib menuntut suatu delik) dan asas
oportunitas (penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan
delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum).
Menurut A.Z. Abidin Farid seperti yang dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut yaitu asas
hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut
atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah
mewujudkan delik demi kepentingan umum.
Pasal 35 c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia denga tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di
Indonesia, berbunyi:
“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan
umum”.
Andi Hamzah15
menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
Menurut asas oportunitas penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang
yang melakukan delik jika menuntut pertimbangannya akan merugikan
kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang
melakukan delik tidak dituntut.
15
Andi, Hamzah, 2009, Op. Cit, hal. 16
25
Mengenai kriteria kepentingan umum itu, di dalam pedoman pelaksanaan
KUHAP dijelaskan adalah didasarkan untuk kepentingan negara dana masyarakat
dan bukan untuk kepentingan pribadi.
4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Landasan persamaan hak dan kedudukan antara tersangka/terdakwa dengan
aparat penegak hukum, ditambah dengan sifat keterbukaan perlakuan oleh aparat
penegak hukum terhadap tersangka/terdakwa, tidak ada atau tidak boleh
dirahasiakan segala sesuatu yang menyangkut pemeriksaan terhadap diri
tersangka/terdakwa. Semua hasil pemeriksaan yang menyangkut diri dan
kesalahan yang disangkakan kepada tersangka sejak mulai pemeriksaan
penyidikan harus terbuka kepadanya.
Pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum dapat dilihat dalam
Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP sebagai berikut:
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Pasal 153 ayat (4) KUHAP menyebutkan:
“Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan
batalnya putusan demi hukum”.
Jadi, pada saat membuka persidangan pemeriksaan perkara seseorang
terdakwa, hakim ketua harus menyatakan “terbuka untuk umum”. Pelanggaran
atas ketentuan tersebut atau tidak terpenuhinya ketentuan itu mengakibatkan
putusan pengadilan “batal demi hukum”.
26
Kekecualian terhadap kesusilaan dan anak-anak persidangan dilakukan
dengan “pintu tertutup” alasannya karena kesusilaan dianggap masalah pribadi.
Tidak patut untuk mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka dimuka
umum. Begitu juga dengan anak-anak, melakukan kejahatan karena kenakalan,
ditakutkan jiwa batin si anak akan mengalami goresan atau luka.
Asas terbuka untuk umum ini memang tepat karena persidangan dapat
dihadiri oleh umum, sehingga dapat lebih menjamin obyektifitas peradilan dan
tujuannya memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi terdakwa. Dilain
pihak juga ditentukan pengecualian apabila kesusilaan dan terdakwanya anak-
anak.
Menurut Andi Hamzah16
:
Ketentuan tersebut terlalu limitatif. Seharusnya kepada hakim diberikan
kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang
terbuka atau tertutup untuk umum.
Hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau
sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di
belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada
hakim. Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan
hakim dinyatakan dalm sidang yang terbuka untuk umum.
5. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini
tegas tercantum dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat (1)
16
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Sapta Artha Jaya), hal. 19
27
dan Penjelasan Umum butir 3 huruf a KUHAP. Asas ini lazim disebut sebagai
asas isonomia atau equality before the law. Penjelasan umum butir 3 huruf a
berbunyi:
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak
mengadakan perbedaan perlakuan”.
Sedangkan Pasal 4 ayat (1) berbunyi:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang”
Menurut Andi Hamzah17
:
Dalam bahasa Sansekerta ”tan hana dharma manrua”yang dijadikan motto
Persaja (Persatuan Jaksa).
6. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum
Asas ini berkaitan dengan hak dari seseorang yang tersangkut dalam suatu
perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi pembelaannya maupun
untuk mendapatkan nasehat/penyuluhan tentang jalan yang dapat ditempuhnya
dalam menegakkan hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa.
Mengenai pemberian bantuan hukum ini diatur di dalam Pasal 69 sampai
dengan Pasal 74 KUHAP yang pada dasarnya tersangka/terdakwa mendapat
kebebasan-kebebasan yang sangat luas antara lain:
a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka/terdakwa ditangkap atau
ditahan.
b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
c. Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkar
pemeriksaan dan pada setiap waktu.
17
Ibid, hal. 20
28
d. Penyidik dan penuntut umum tidak mendengarkan pembicaraan antara
penasehat hukum dan tersangka kecuali pada perkara/kejahatan terhadap
keamanan negara.
e. Tersangka atau penasehat hukum berhak mendapat turunan berita guna
kepentingan pembelaan.
f. Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari
tersangka/terdakwa.18
7. Asas Akusator dan Inkisitor (accusatoir dan inqisitoir)
Asas akusator adalah asas atau prinsip akusator yang menempatkan
kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan:
1. Adalah subjek: bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu tersangka
atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan
manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri,
2. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip inkisator adalah
“kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah
itulah pemeriksaan ditujukan.
Kebebasan memberi dan mendapatkan penasihat hukum menunjukkan
bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti perbedaan antara
pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah
dihilangkan.
Menurut Andi Hamzah19
:
Sebagaimana yang telah diketahui, asas akusator itu berarti tersangka
dipandang sebagai objek pemeriksaan.
18
M. Yahya, Harahap, 2010, Op. Cit, hal. 21 19
Ibid, hal. 24
29
Definisi asas inkisitor yaitu asas yang menempatkan tersangka atau
terdakwa sebagai objek dalam setiap pemeriksaan. Asas ini masih dianut oleh
HIR untuk pemeriksaan pendahuluan. Asas inkisator ini saat ini sudah
ditinggalkan oleh aparat penegak hukum karena tidak adanya perlindungan hak-
hak bagi tersangka atau terdakwa. Karena dalam asas inkisitor pengakuan
tersangka atau terdakwa merupakan alat bukti yang sangat penting sehingga
seringkali tersangka atau terdakwa diperlakukan sewenang-wenang tanpa
mempedulikan hak-hak asasi kemanusiaan. Hal ini sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum acara pidana.
Asas inkisitor, Andi Hamzah20
berpendapat:
Asas inkisitor sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka
merupakan alat bukti terpenting. Dalam pemeriksaan selalu pemeriksa
berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Kadang-kadang untuk
mencapai maksud tersebut pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau
penganiayaan. Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi
ketentuan universal, maka asas inkisitor telah ditinggalkan oleh banyak
negara beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem pembuktian yang
alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan keterangan terdakwa,
begitu pula penambahan alat bukti berupa keterangan ahli.
8. Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung,
artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini beda dengan acara perdata
dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan juga dilakukan
secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.
M. Yahya Harahap21
juga berpendapat:
20
Andi Hamzah, 1996, Op. Cit, hal. 24 21
M. Yahya, Harahap, 2010, Op. Cit, hal.113
30
Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP menegaskan ketua sidang dalam
memimpin sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan. Tidak
boleh pemeriksaan dengan perantaraan tulisan baik terhadap terdakwa
maupun saksi-saksi. Kecuali bagi mereka yang bisu atau tuli, pertanyaan
dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Prinsip pemeriksaan dalam
persidangan dilakukan secara langsung berhadap-hadapan dalam ruang
sidang. Semua pertanyaan diajukan dengan lisan dan jawaban atau
keteranganpun disampaikan dengan lisan, tiada lain untuk memenuhi tujuan
agar persidangan benar-benar menemukan kebenaran yang hakiki. Sebab
dari pemeriksaan secara langsung dan lisan, tidak hanya keterangan
terdakwa atau saksi saja yang dapat didengar dan diteliti, tetapi sikap dan
cara mereka memberikan keterangan dapat menentukan isi dan nilai
keterangan.
Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan dijatuhkan
tanpa hadirnya terdakwa (in absentia), yaitu dalam acara pemeriksaan perkara
pelanggaran lalu lintas jalan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 213 KUHAP, yang
berbunyi: Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakili
disidang.22
D. Teori atau Sistem Pembuktian
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada
beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan23
.
Teori dan sistem pembuktian dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut:
a. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction-in
Time)
Menurut Djoko Prakoso yang dikutip dari buku Makarao24
:
22
Andi Hamzah, 1996, Op. Cit, hal. 23 23
Andi Hamzah, 2009, Op Cit, hal. 251 24
Makarao Taufik.M, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Ghalia
Indonesia, hal. 37
31
Sistem ini dianggap cukuplah, bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu
keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan.
Dalam sistem ini hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan apa
suatu keadaan harus dianggap telah terbukti.
Arti teori ini adalah jika dalam pertimbangan keputusan hakim telah
menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari
hati nurani atau sifat bijaksana seorang hakim, maka dapat dijatuhkan putusan.
Sistem pembuktian ini sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti.
Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan
terdakwa. Sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim yang terlalu besar,
sehingga sulit untuk diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukum
sulit untuk melakukan pembelaan. Keyakinan hakimlah yang menentukan
wujud kebenaran sejati.
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim.
Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dalam
sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada
keyakinan hakim semata-mata.
b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas dasar keyakinan
logis (Conviction-Raisonee)
Sistem inipun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang
peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi,
dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam
sistem conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka
32
pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan
“alasan-alasan yang jelas”. Tegasnya dalam sistem ini keyakinan hakim harus
dilandasi reasoning atau alasan-alasan dan reasoning itu harus “reasonable”
yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima akal sehat.
c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif
Pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah merupakan
pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan hakim atau conviction-in time. Pembuktian menurut Undang-undang
secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam pembuktian
kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo25
:
Sistem positief wettlijk merupakan sistem dimana pada pembuktian didasarkan
pada semata-mata alat bukti yang sah yang disebutkan oleh undang-undang,
akan tetapi tidak didukung dengan oleh keyakinan hakim.
Teori ini disebut teori pembuktian menurut undang-undang melulu. Keyakinan
hakim dalam sistem ini tidak berperan menentukan salah atau tidaknya
terdakwa.
Menurut D. Simon yang dikutip dari buku Andi Hamzah26
:
25
Martiman Prodjohamidjojo, 1990, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti jilid 2, Jakarta:
Ghalia, hal.133 26
Ibid, hal. 247
33
Sistem atau teori berdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk
menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim
secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.
M. Yahya Harahap27
memberi pendapat:
Pada pokoknya apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menyatakan
keyakinan hati nurani akan kesalahan terdakwa. Sistem ini benar-benar
menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya
terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah
ditentukan undang-undang.
d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negative wettelijk
stelsel)
Sistem pembuktian ini merupakan teori antara sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut
keyakinan hakim, yaitu sistem pembuktian berdasarkan undang-undang dan
harus didukung oleh keyakinan hakim. Dimana untuk menentukan salah atau
tidaknya seorang terdakwa menurut sistem ini pembuktian undang-undang
secara negatif, terdapat dua komponen :
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang.
b. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti
prinsip dari teori pembuktian negative wettelijk bewijs teori seperti terdapat
27
M. Yahya, Harahap, 2000, Op. Cit, hal.257
34
dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman No.48 Tahun 2009.
Pasal 183 KUHAP menyebutkan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009
menyebutkan :
“Tiada seorangpun dapat di jatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab
telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Menurut Martiman Prodjohamidjojo28
:
Istilah negatif wettelijk berarti wettelijk adalah berdasarkan alat-alat
bukti yang sah dan ditetapkan oleh undnag-undang. Sedangkan negatief
adalah walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan
undang-undang, belum cukup untuk memaksa hakim pidana
menganggap bukti sudah diberikan, akan tetap masih dibutuhkan adanya
keyakinan hakim.
Sistem ini, salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang. Betitik tolak dari uraian tersebut , untuk
menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa, terdapat dua komponen:
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang;
28
Martiman Prodjohamidjojo, 1983 , Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta: Ghalia,
hal.14
35
b. Dengan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang .
Sistem ini memadukan unsur-unsur objektif dan unsur subjektif dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan
diantara unsur tersebut. Jika salah satunya itu tidak ada, maka tidak cukup untuk
mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.
Menelaah dari ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang terkandung di
dalamnya yaitu :
a. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,
b. Dan dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin, bahwa :
1. Tindak pidana telah terjadi; dan
2. Terdakwa telah bersalah.
Kata “sekurang-kurangnya” dua alat bukti, yang memberikan limitatif
dari bukti minimum, yang harus disimpulkan pada acara pembuktian.
Sebenarnya prinsip minimum pembuktian bukan saja diatur dan
ditegaskan dalam Pasal 183 KUHAP, tapi dijumpai dalam pasal lain. Namun
sebagai aturan umum (general rule) dari prinsip minimum pembuktian, diatur
dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal-pasal lain yang menegaskan prinsip umum,
antara lain:
1. Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Atau lebih dikenal dengan istilah “unus testis nully testis”.
36
2. Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan atau pengakuan terdakwa (confession
by on accused) saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
E. Alat Bukti
1. Pengertian Alat Bukti
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu
perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai
bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya
suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa29
. Alat – alat bukti yang
sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana
alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna
menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana
yang telah dilakukan oleh terdakwa30
.
1. Menurut Waluyo
Alat bukti adalah sesuatu hal (barang atau non barang) yang ditentukan
oleh undang-undang yang dapat digunakan untuk memperkuat dakwaan.
2. Menurut Andi Hamzah
Alat bukti adalah upaya pembuktian melalui alat-alat yang
diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara
pidana dakwaan di sidang pengadilan misalnya keterangan terdakwa, saksi,
29
R. Atang, Ranoemihardja, 1980, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Tarsito)., hal.57. 30
Darwan, Prints. 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan)., hal.
107.
37
ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan
sumpah31
.
3. Menurut Sabuan dkk
Mendefinisikan alat bukti dengan lebih sederhana yaitu alat yang dipakai
untuk dapat membantu hakim dalam menggambarkan kembali tentang
kepastian pernah terjadinya tindak pidana32
.
4. Menurut Hari Sasangka
Pengertian alat bukti tersebut kemudian ditambahkan dengan adanya
satu unsur lagi yaitu berkenaan dengan tujuan diajukannya alat bukti tersebut
yaitu untuk memberi keyakinan kepada Hakim atas kebenaran adanya suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa33
.
2. Jenis Alat Bukti
Ilmu hukum acara perdata dalam membuktikan suatu dalih tentang hak dan
kewajiban di dalam sengketa pengadilan, macamnya telah ditentukan oleh
Undang-Undang yaitu:
1. Alat bukti tertulis;
2. Alat bukti saksi;
3. Alat bukti persangkaaan;
4. Alat bukti pengakuan;
5. Alat bukti sumpah.
31
Andi Hamzah, 1996, Op Cit, hal. 158 32
Sabuan, Ansori dkk, 1990. Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa)., hal 56 33
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung;
Mandar Maju, hal. 74.
38
Dalam hukum acara perdata penyebutan alat bukti tertulis (surat) merupakan alat
bukti yang utama, karena surat justru dibuat untuk membuktikan suatu keadaan,
atau kejadian yang telah terjadi atau perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh
seseorang nantinya (Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW).
Hal ini berbeda dengan penyebutan alat-alat bukti dalam hukum acara pidana
yang urutan alat bukti itu diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Keterangan saksi disini adalah alat bukti yang utama, karena seseorang didalam
melakukan kejahatan tentu akan berusaha menghilangkan jejaknya, sehingga
dalam perkara pidana, pembuktian akan dititikberatkan pada keterangan saksi
(Pasal 184 ayat (1) KUHAP).
Pentingnya kedudukan saksi telah dimulai pada saat proses awal
pemeriksaan, begitu pula dalam proses selanjutnya di Kejaksaan maupun
Pengadilan, keterangan saksi menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau
tidaknya terdakwa34
. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat
besar dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Perluasan pengertian alat
bukti yang sah dalan KUHAP sesuai dengan perkembangan teknologi telah diatur
dalam Pasal 26 A UU No. 31 Tahun 1999 yaitu: Alat bukti yang sah dalam
34
http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28 juni 2012
39
bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) UU No.8 tahun
1981 tentang KUHAP, khususnya untuk tindak pidana korupsi juga dapat
diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu;
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca,
dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang
memiliki makna. Semua alat bukti tersebut tentunya untuk dipergunakan
membuktikan peristiwa yang dikemukakan di muka persidangan.
F. Keterangan Saksi
1. Pengertian Saksi
Saksi memiliki pengertian orang yang melihat atau mengetahui , seperti:
a. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya, supaya
bilamana perlu dapat memberi keterangan yang membenarkan bahwa
peristiwa tadi sungguh-sungguh terjadi;
b. Orang yang mengetahui sendiri suatu kejadian, hal;
c. Orang yang memberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa
atau terdakwa.
40
Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam
Pasal 1 butir 26 pengertian saksi adalah:
Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
saksi dan korban, saksi adalah:
Orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia
alami sendiri.
Perbedaannya dengan rumusan KUHAP adalah bahwa rumusan saksi dalam
Undang-undang ini mulai dari tahap penyelidikan sudah dianggap sebagai saksi,
sedangkan menurut KUHAP mulai tahap penyidikan.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti ialah
keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP
ialah:
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur terpenting yaitu:
a. Adanya peristiwa pidana;
b. Dengar sendiri;
c. Lihat sendiri;
d. Alami sendiri;
e. Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
41
Kesaksian berdasarkan apa yang didengar sendiri oleh saksi sebagai
keterangan yang bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang lain. Harus
secara langsung didengar sendiri oleh saksi terkait dengan tindak pidana yang
bersangkutan. Sementara kesaksian yang berdasarkan pada apa yang dilihat
sendiri oleh saksi diartikan sebagai saksi yang melihat suatu tindak pidana
dengan mata kepalanya sendiri baik sebagian maupun secara keseluruhan.
Sedangkan kesaksian yang berdasarkan pada apa yang dialami sendiri oleh saksi
diartikan sebagai saksi yang sekaligus menjadi korban dari suatu tindak pidana,
terutama dalam bentuk-bentuk tindak pidana seperti perkosaan maupun
penganiayaan, korban yang dapat dijadikan saksi utama dari tindak pidana yang
bersangkutan35
.
Seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi haruslah
memenuhi syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa pidana
yang didengarnya sendiri, dilihat sendiri, dan dialaminya sendiri. Pengertian kata
“sendiri” berarti setiap hal-hal yang secara langsung diketahui oleh saksi, akan
tetapi baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja
bukan merupakan keterangan saksi dan tidak mencakup keterangan yang
diperoleh dari orang lain. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP,
memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat
bukti dengan redaksional, bahwa :
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
35
M. Yahya Harapan, 2000, Op.Cit, hal.141-142
42
Saksi dalam memberikan keterangan hanya boleh mengenai keadaan yang
didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap persaksian harus
disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan seorang saksi mengetahui hal-hal
sesuatu. Bahwa suatu pendapat atau suatu persangkaan yang disusun secara
memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap sebagai keterangan
saksi. Keterangan saksi tidak
termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium de auditu,
maksudnya agar hakim lebih cermat dan memperhatikan keterangan yang
diberikan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur, dan objektif.
Selain itu Leden Marpaung juga menegaskan bahwa36
:
” Keterangan saksi diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam
bentuk apapun”.
Azas dalam pemeriksaan saksi adalah unus testis nullus testis artinya satu
saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tetapi
azas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat (3) KUHAP bahwa
ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti lain yang
sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi cukup untuk
membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain.
Suatu hal yang sangat perlu dikemukakan dalam pembicaraan saksi adalah
yang berhubungan dengan keterangan saksi itu sendiri yaitu seberapa jauh luas
dan mutu saksi yang harus diperoleh atau digali oleh penyidik dalam
36
Leden Marpaung,1992, Proses Penangaan Perkara Pidana Bagian Pertama Penyidikan dan
Penyelidikan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 81
43
pemeriksaan. Kemudian seberapa banyak saksi yang diperlukan ditinjau dari
daya guna kesaksian tersebut. Oleh karena itu, para penyidik harus benar-benar
selektif untuk memilih untuk memeriksa saksi-saksi yang berbobot sesuai dengan
patokan landasan hukum yang ditentukan, yang dianggap memenuhi syarat
keterangan saksi yang yustisial37
.
2. Hak-hak Saksi
Adapun Hak-hak saksi dalam KUHAP, yaitu:
1. Hak untuk diperiksa tanpa hadirrnya terdakwa pada saat saksi diperiksa (Pasal
173 KUHAP);
2. Hak untuk mendapatkan penterjemah atas saksi yang tidak paham bahasa
indonesia (Pasal 177 ayat 1 KUHAP);
3. Hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk mendapatkan
penerjemah (Pasal 178 ayat 1 KUHAP);
4. Hak untuk mendapatkan pemberitahuan sebelumnya selambat-lambatnya 3
hari sebelum menghadiri sidang (Pasal 227 ayat 1 KUHAP);
5. Hak untuk mendapatkan biaya pengganti atas kehadiran di sidang pengadilan
(Pasal 229 ayat 1 KUHAP).
3. Syarat sah keterangan saksi
Syarat sahnya keterangan saksi, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai
berikut :
(1). Harus mengucapkan sumpah atau janji, hal ini diatur dalam :
37
Adji, Oemar Seno, 1980, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, hal.42
44
Ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum memberikan keterangan,
saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji :
a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenar-
sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.
Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP pada prinsipnya wajib
diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi Pasal 160 ayat
(4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji
setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan
sumpah atau janji:
a. Pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi keterangan,
b. Tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji
dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi keterangan38
.
(2). Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti,
dan keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai
dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP :
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannya itu.
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui yaitu:
38
M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Jakarta,
Sinar Grafika, hal. 286
45
a. Adanya peristiwa pidana;
b. Dengar sendiri;
c. Lihat sendiri;
d. Alami sendiri;
e. Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Pasal 185 ayat (1) KUHAP, menyebutkan:
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
Dalam penjelasannya dalam keterangan saksi itu tidak termasuk
keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de
auditu.
Ditegaskan pula dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP dan dihubungkan dengan
Pasal 185 ayat (1) KUHAP menurut M.Yahya Harahap disimpulkan:
a. Setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi atau diluar apa yang dilihat atau dialami
sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan
diluar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu
peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat
bukti. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian.
b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil
dari pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan saksi
seperti ini tidak dapat dianggap sebagai saksi.
c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan
merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketetntuan Pasal
185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu keterangan saksi yang bersifat
pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari
pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang
bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat
dinilai sebagai alat bukti.
Agar seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi haruslah
memenuhi syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa
pidana yang didengarnya sendiri, dilihat sendiri, dan dialaminya sendiri.
Pengertian kata “sendiri” berarti setiap hal-hal yang secara langsung
46
diketahui oleh saksi, akan tetapi baik pendapat maupun rekaan, yang
diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi dan
tidak mencakup keterangan yang diperoleh dari orang lain39
.
(3). Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Supaya dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang
“dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal
185 ayat (1) KUHAP. Keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa
yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri
mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti
apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan
yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat
bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
(4). Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
Pasal 185 ayat (2) KUHAP menentukan keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya. Keterangan seorang saksi saja
belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa. Hal ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan
penuntut umum hanya terdiri dari seorang saja, tanpa ditambah dengan
keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal
seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk
39
Darwan, Prints, 1989, Op.Cit, hal. 76
47
membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP, adalah:
a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa, paling sedikit harus
didukung dengan dua orang saksi;
b. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka
kesaksian tadi harus dicukupi atau ditambah dengan satu alat bukti yang
lain.
Untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling
sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang
saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti permulaan yang harus
ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lainnya, hal ini berkaitan dengan
Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang menegaskan bahwa:
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah
dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lainnya sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Azas dalam pemeriksaan saksi adalah unus testis nullus testis artinya
satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2)
KUHAP tetapi azas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat (3)
KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu
48
alat bukti lain yang sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi
cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain40
.
Selain itu saksi dalam memberikan keterangan hanya boleh mengenai
keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap
persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan seorang saksi
mengetahui hal-hal sesuatu. Suatu pendapat atau suatu persangkaan yang
disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap
sebagai keterangan saksi41
.
Keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari
orang lain atau Testimonium de auditu, maksudnya agar hakim lebih cermat
dan memperhatikan keterangan yang diberikan saksi harus benar-benar
diberikan secara bebas, jujur, dan objektif42
.
Pada dasarnya setiap orang yang melihat, mendengar, atau mengalami
sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan tindak pidana dapat
menjadi saksi, namun demikian agar di dalam persidangan bisa didapatkan
keterangan saksi yang sejauh mungkin objektif dalam arti tidak memihak atau
merugikan terdakwa.
4. Keterangan Saksi Yang Berdiri Sendiri-Sendiri
Pasal 185 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa:
Keterangan saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan, dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah apabila
keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya kejadian atau
keadaan tertentu.
40
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, 2003, hal. 42. 41
Wirjono Prodjodikoro,1983, Op.Cit, hal. 118 42
H. R. Abdussalam, 2006, Op.Cit, hal. 142
49
Ketentuan tersebut jelaslah keterangan saksi baru dapat dinilai
sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian apabila keterangan para
saksi tersebut mempunyai hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran
suatu keadaan atau kejadian tertentu.
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri antara
keterangan saksi yang satu dengan yang lain tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti. Saksi yang banyak tetapi berdiri sendiri-sendiri, masing-masing dari
mereka hanya akan dikategorikan sebagai saksi tunggal yang tidak mempunyai
nilai kekuatan pembuktian, karena keterangan saksi tunggal harus dinyatakan
tidak cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
5. Cara Penilaian Kebenaran Keterangan Saksi
Melihat kebenaran saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP, yaitu:
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. Saling
persesuaian ini harus jelas nampak penjabarannya dalam pertimbangan
hakim. Penjabaran persesuaian ini harus sedemikian rupa jelasnya diuraikan
secara terperinci dan sistematis.
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain. Dalam hal
ini, jika yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan di pengadilan
terdiri dari saksi dengan alat-alat bukti yang lain baik berupa ahli, surat atau
petunjuk, maka hakim dalam sidang pengadilan maupun dalam
pertimbangannya harus meneliti dengan sungguh-sungguh saling persesuaian
maupun pertentangan antara keterangan saksi tadi dengan alat bukti yang
lain tersebut.
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan
keterangan tertentu. Disinilah hendaknya hakim mencoba mencari alasan
saksi, mengapa saksi memberikan keterangan yang seperti itu. Tanpa
mengetahui alasan saksi yang pasti, maka akan memberikan gambaran yang
kabur bagi hakim tentang keadaan yang diterangkan saksi.
6. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi
50
a. Mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas.
Pada alat bukti keterangan saksi, tidak melekat sifat pembuktian yang
sempurna dan juga tidak melekat di dalamnya sifat pembuktian yang mengikat
dan menentukan. Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah
mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Oleh karena itu, alat bukti
kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna dan juga memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan.
b. Nilai kekuatan pembuktian tergantung pada penilaian hakim.
Menurut M.Yahya Harahap43
:
Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas, yang tidak
mempunyai nilai kekauatan pembuktian yang sempurna dan tidak
menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai
kesempurnaan dan kebenarannya. Hal tersebut tergantung pada penilaian
hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi
hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas
menilai kekuatan pembuktian atau kebenaran yang melekat pada keterangan
itu. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya.
G. Keterangan Ahli
Keterangan seorang ahli diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang menyatakan
keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan44
.
1. Pengertian Keterangan Ahli
Pengertian keterangan ahli diatur dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP, yaitu:
Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan ol seorang ahli yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
43
M. Yahya Harahap, 2009, Op Cit, hal. 273-274 44
Lamintang, , 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan dan Yurisprudensi,
Sinar Grafika, Jakarta, hal 112
51
Menurut Wiryono Prodjodikoro45
perbedaan antara keterangan saksi
dengan keterangan ahli adalah:
Bahwa keterangan saksi mengenai hal-hal yang dialami oleh saksi itu
sendiri (eigen waarneming), sedangkan keterangan ahli ialah keterangan
yang diberikan atas dasar kehalian yang dimiliki, yang memberikan
suatu penghargaan (waardering) dari hal-hal yang sudah nyata ada dan
pengambilan kesimpulan dari hal-hal itu, seperti hal kematian, maka
saksi ahli akan memberikan pendapat tentang sebab-sebab kematian
apakah dari keracunan misalnya, atau karena hal lainnya.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, dalam Pasal 161 ayat (2) KUHAP,
yaitu:
Kedua keterangan ini oleh KUHAP dinyatakan sebagai alat bukti yang
sah, tetapi keterangan saksi dan ahli yang diberikan tanpa sumpa tidak
mempunyai kekuatan pembuktian, melainkan hanya dapat dipergunakan
untuk menambah atau menguatkan keyakinan hakim.
2. Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli
Pada pemeriksaan penyidikan, demi kepentingan peradilan, pennyidik
berwenang mengajukan permintaan seorang ahli dan hal ini ditegaskan dalam
Pasal 133 KUHAP. Jika keterangan ahli bersifat diminta, maka ahli tersebut
membuat laporan sesuai yang dikehendaki penyidik. Laporan keterangan ahli
dimasukkan dalam Berita Acara Penyidikan. Hal ini diatur dalam penjelasan
Pasal 186 KUHAP.
Alinea kedua penjelasan Pasal 186 KUHAP menegaskan:
Jika hal itu tidak dibenarkan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum, pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan
keterangan dan dicatat dalam Berita Acara Peeriksaan. Keterangan
tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan
hakim.
45
Wirjono Prodjodikoro,1983, Op.Cit, hal. 120
52
M.Yahya Harahap berpendapat mengenai ketentuan Pasal 133 KUHAP
dan dihubungkan dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara
pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, dapat melalui prosedur
sebagai berikut:
a. Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan, dan
b. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan disidang.
3. Bentuk Keterangan Ahli
Martiman Prodjohamidjojo berpendapat :
Keterangan ahli dapat diberikan dalam dua bentuk, yaitu tulisan dalam
bentuk laporan dan secara lisan yang diberikan.
Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP bahwa:
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk
laporan dan dibuat dengan mengingat suumpah pada waktu ia menerima
jabatan atau pekerjaan.
Jika dalam hal ini tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik
atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang pengadilan diminta
untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan.
Keterangan tersebut setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan
hakim.
Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, alat bukti ini
sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yang sah:
a. Pada segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et
repertum dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli. Hal ini ditegaskan
dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP alinea pertama yang berbunyi:
53
“Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan
dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau
pekerjaan”.
Bentuk alat bukti yang diatur dalam Pasal 186 KUHAP yakni, laporan yang
dibuat oleh seorang ahli atas permintaan penyidik pada taraf pemeriksaan
penyidikan.
b. Pada sisi lain, alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga
menyentuh alat bukti surat. Alasannya, ketentuan Pasal 187 huruf c KUHAP
telah menentukan salah satu diantara alat bukti surat, yakni surat keterangan
dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai
suatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.
4. Nilai Kekuatan Pembuktian Yang Melekat Pada Alat Bukti Keterangan
Ahli
Menurut M.Yahya Harahap46
:
a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, di dalamnya tidak
melekat nilai pembuktian yang sempurna dan menentukan. Hal
tersebut terserah kepada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya
dan tidak terikat kepada alat bukti keterangan ahli. Tidak ada
keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli
tersebut.
b. Disamping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang
diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri
saja tanpa didukung oleh salah satu buku yang lain, tidak cukup dan
tidak memadai untuk mebuktikan kesalahan terdakwa. Apabila Pasala
183 KUHAP ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2)
KUHAP, yang menegaskan seorang saksi saja tidak cukup untuk
mebuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini juga berlaku bagi
keterangan ahli.
H. Alat Bukti Surat
46
M. Yahya Harahap, 2009, Op Cit, hal. 283-284
54
1. Pengertian Surat
Menurut Asser Anema yang dikutip oleh Andi Hamzah47
mendefinisikan suratsebagai berikut:
“Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang
dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran”.
Seperti alat bukti, alat bukti suratpun hanya diatur dalam satu Pasal yaitu
dalam Pasal 187 KUHAP, M.Yahya Harahap berpendapat:
Surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-
undang adalah:
a. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan;
b. Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.
Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 ayat (1) KUHAP, yaitu surat
sebagaimana tersebut dalam Pasal 187 ayat (1) huruf c KUHAP yaitu surat yang
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengarnya,
dilihat, atau dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan
tegas tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk
dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang mamuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi kepadanya;
d. Surat lain yanghanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dan alat pembuktian yang lain.
Pasal 187 KUHAP membedakan surat menjadi tiga, yaitu:
1. Akta Otentik
47
Andi Hamzah, 2009, Op Cit, hal. 271
55
Pasal 187 huruf a dan huruf b KUHAP, berupa berita acara atau surat
resmi yang dibuat oleh pejabat umum seperti notaris, juru sita, hakim
dan lain-lain yang dibuat dengan sengaja untuk menjadi alat bukti.
2. Akta Dibawah Tangan
Akta dibawah tangan, berupa surat keterangan dari seorang ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya.
3. Surat Biasa
Surat biasa atau surat lain jika ada hubungannya dengan isi alat bukti
yang lain (Pasal 187 huruf d). Surat ini tidak sengaja dibuat untuk
menjadi bukti, akan tetapi karena isinya ada hubungannya dengan alat
bukti lain, maka surat tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti
tambahan yang memperkuat alat bukti lain.
2. Nilai Kekuatan Pembuktian Surat
1. Ditinjau dari segi formal
Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang tersebut dalam Pasal
187 huruf a, b, dan c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna. Hal ini
disebabkan karena bentuk-bentuk surat yang disebut didalamnya dibuat
secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-
undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formil perbuatannya, serta dibuat
dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang dan
pembuatan surat keterangan yang terkandung dalam surat tadi dibuat atas
sumpah jabatan, maka ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut
dalam Pasa 187 huruf a, b, dan c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna.
Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai pembuktian formal
sempurna.
Bentuk dan isinya tersebut yaitu:
a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain.
56
b. Semua pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan
perbuatannya.
c. Juga tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan
pejabat yang berwenang di dalamnya, sepanjang isi keterangan tersebut
tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain.
d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang
di dalamnya hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain baik berupa
keterangan saksi, keterangan terdakwa, atau keterangan ahli.
2. Ditinjau dari segi materiil
Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti surat yang disebut dalam
Pasal 187 KUHAP, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat.
Pada diri alat bukti surat ini tidak melekat kekuatan yang mengikat. Nilai
kekuatan pembuktian surat inipun sama halnya dengan nilai kekuatan
pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan saksi. Hal ini sama-
sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Sifat
kesempurnaan formil tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai
kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas dalam mempergunakan
atau menyingkirkannya.
Menurut M. Yahya Harahap48
, dasar alasan ketidakterikatan hakim
atas bukti surat tersebut didasarkan pasa beberapa asas, yaitu:
a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari
kebenaran atau menemukan kebenaran materiil. Dengan hakim
bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat;
48
M. Yahya Harahap, 2000, Op Cit, hal. 288-290
57
b. Asas keyakinan hakim;
c. Asas batas minimum pembuktian.
Bertitik tolak pada prinsip ini, bagaimanapun sempurnanya
suatu alat bukti surat, kesempurnaannya itu tidak dapat berdiri
sendiri. Dia harus dibantu lagi dengan dukungan paling sedikit
satu alat bukti lain guna emenuhi apa yang ditentukan oleh asas
batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
I. Alat Bukti Petunjuk
1. Pengertian Alat Bukti Petunjuk
KUHAP mengatur mengenai alat bukti petunjuk, dapat dilihat dalam
Pasal 188 KUHAP. Pengertiannya diatur dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP,
yaitu:
Perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaian, baik antara
yang satu dengan yang lain karena persesuaian, baik antara yang satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2. Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk
Pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu
alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP. Hakim diwajibkan
menghukum orang, apabila hakim berkeyakinan bahwa peristiwa pidana yang
bersangkutan adalah terbukti. Hakim tidak boleh sesuka hati mencari petunjuk
dari segala sumber. Sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti
petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal
188 ayat (2) KUHAP yang menentukan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh
dari:
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
58
3. Syarat-syarat Alat Bukti Petunjuk
Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti yang sah
haruslah:
1. Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi;
2. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan
yang terjadi;
3. Berdasarkan pengamatan hakim, baik dari keterangan terdakwa maupun saksi
dipersidangan.
4. Nilai Kekuatan Pembuktian Petunjuk
Terdapat pada Pasal 188 ayat (3) KUHAP mengenai:
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan pebuh kecermatan dan keseksamaan
hati nuraninya.
Menurut M.Yahya Harahap49
, adapun mengenai kekuatan pembuktian
alat bukti petunjuk, serupa dengan sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang
lain:
1. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh
petunjuk. Oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan
mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.
2. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Dia tetap terikat pada prinsip batas
minimum pembuktian. Agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya
satu alat bukti yang lain.
J. Keterangan Terdakwa
49
M. Yahya Harahap, 2000, Op Cit, hal. 296
59
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP. Penempatan terakhir ini merupakan salah satu alasan yang
dipergunakan untuk menempatkan proses peeriksaan terdakwa dilakukan
belakangan, sesudah pemeriksaan saksi. Keterangan terdakwa diatur dalam Pasal
189 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa keterangan terdakwa adalah apa
yang terdakwa nyatakan di dalam sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia
lakukan, yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
Menurut M.Yahya Harahap50
, untuk memahami pengertian terdakwa
sebagai alat bukti, adalah sebagai berikut:
1. Keterangan itu dinyatakan di dlalam sidang pengadilan;
2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia
alami sendiri;
3. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti bagi dirinya
sendiri.
KUHAP menggunakan istilah “keterangan terdakwa”, sedangkan HIR
menggunakan istilah “pengakuan terdakwa”. Ditinjau dari segi yuridis,
pengertian keterangan lebih uas dari istilah pengakuan terdakwa dan juga
barangkali lebih simpatik dengan alasan sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi keleluasaan pengertian
Pada istilah “keterangan terdakwa” sekaligus meliputi
“pengakuan” dan “pengingkaran”. Sedangkan istilah “pengakuan
tertuduh” hanya terbatas pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa
mencakup pengertian pengingkaran. Oleh karena itu, keterangan
terdakwa sebagai alat bukti, sekaligus meliputi pernyataan
50
Ibid, hal.298-299
60
“pengakuan” dan “pengingkaran” dan menyerahkan penilainnya pada
hakim, yang mana dari keterangan itu bagian yang berisi
pengingkaran.
2. Istilah keterangan terdakwa lebih simpatik dan manusiawi
Pada istilah pengakuan terdakwa, seolah-olah terdapat unsur
paksaan kepada terdakwa untuk mengakui saja kesalahannya. Istilah
ini juga mengandung kekuranguasaan mengutarakan segala sesuatu
yang ia perbuat, dilihat, dan dialami sendiri oleh terdakwa dan
bertendensi seolah-olah pemeriksaan itu semata-mata mengejar
pengakuan terdakwa. Lain halnya dengan istilah keterangan terdakwa
yang dirasa lebih simpatik dan manusiawi dan bertendensi
memberikan kebebasan yang luas kepada terdakwa untuk
mengutarakan segala sesuatu yang diketahuinya.
K. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu
pendekatan yang menggunakan konsepsi yang legistis positivistis. Konsepsi ini
memandang hukum sebagai identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. Selain itu
konsepsi tersebut melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat
otonom, terhadap dan terlepas dari kehidupan masyarakat51
.
51 Rony Hanitijo Soemitro, 2005, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang,
hal.11
61
2. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi dalam penelitian yang digunakan adalah perskriptif, yaitu
dimana ilmu hukum mempelajari tujutan hukum, nilai-nilai keadilan,validitas
aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum52
.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan masalah
sesuai dengan keadaan atau fakta hukum yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum
sebagai suatu gejala sosial yang hanya dipandang dari luar, melainkan masuk ke
sisi instrinsik dari hukum.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Pengadilan Negeri Purbalingga.
4. Sumber Data
a. Data sekunder
Data yang bersumber dari bahan hukum, meliputi
1) Bahan hukum primer
Bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,
buku, literatur, dokumen-dokumen yang berkaitan pokok
permasalahan dan Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga.
2) Bahan hukum sekunder
Bahan-bahan yang bersumber dari literatur-literatur, artikel, makalah
seminar, dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan
permasalahan yang diteliti guna mendukung penelitian.
52
Peter, Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana,, hal. 22.
62
b. Data Primer
Data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dengan
mengadakan wawancara dengan panitera Pengadilan Negeri Purbalingga.
5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dengan menginventarisasi peraturan perundang-
undangan, mempelajari keputusan, buku literature, artikel, makalah,
seminar, maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan penelitian
tersebut.
b. Data primer
Data primer diperoleh dengan cara wawancara dengan hakim Pengadilan
Negeri Purbalingga.
6. Metode Penyajian Data
Deskriptif analitif diuraikan atau disajikan secara sistematis. Untuk bahan
hukum sekunder akan disajikan sesuai dengan kebutuhan analisis namun tidak
menghilangkan maksud yang terkandung dalam bahan hukum tersebut, Penyajian
bahan ini dapat ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada karya tulis
ini sesuai dengan relevansinya pada hal yang bersangkutan.
7. Analisis Data
Bahan hukum yang diperoleh dan diinventarisir akan dianalisis secara
kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai bahan
hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang akhirnya akan
ditarik kesimpulan pada karya tulis ini.
64
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Identitas Terdakwa
TURSINO Alias TURSIN Bin BADRUN, beralamat Dukuh Karangso Desa
Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purblingga, dalam hal
berdasarkan Surat Penetapan Nomor : 02/Pan.Pid.PH/2009 PN.Pbg. tertanggal
29 Januari 2009 didampingi Penasihat Hukum EKO YULI PRIHATIN, SH
Advokat berkantor di 31. Jasara I No. 07 Klampok, Purwareja Klampok
Banjamegara, selanjutnya disebut terdakwa.
2. Duduk Perkara
Terdakwa TURISNO Alias TUR.SIN Bin BADRUN pada hari Minggu
tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 W1B atau setidak-tidaknya pada
suatu waktu masih dalam tahun 2008 bertempat di Dukuh Karangso Desa Blater
Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga atau setidak-
tidaknya pada sustu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan, sengaja dan dengan rencana lebih dahuiu merampas nyawa orang
lain yaitu korban SISWANTO yang dilakukan dengan awal mulanya adanya
ketidak cocokan dan perselisihan antara terdakwa TURISNO Alias TURSIN Bin
BADRUN dengan adik iparnya yaitu korban SISWANTO.
Sebelumnya korban SISWANTO tinggal dalam satu rumah ikut ibunya
yang bernama MAINEM di Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08
Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga tetapi sejak terdakwa tinggal
65
serumah dengan mertuanya kemudian korban SISWANTO pindah rumah
kerumah orang tua istrinya dan dengan adanya keadaan hubungan antara
terdakwa dengan korban SISWANTO yang tidak rukun ditambah perilaku
korban yang suka minum-minuman keras dan sering membuat masalah dirumah
sehingga terdakwa merasa tidak nyaman dengan keberadaan korban
SISWANTO dan merasa dirinya terancam sehingga terdakwa sehingga selalu
mengantongi pisau lipat yang akan digunakan untuk menjaga keselamatannya.
Hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WIB korban
SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan semua orang
yang ada dirumah bahkan, mengancam anak terdakwa dengan mengacungkan
sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri terdakwa yaitu saksi
RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta pertolongan sehingga
terdakwa yang sedang menggendong anaknya yang masih bayi diluar rumah
menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI INDRIANI kemudian dengan
memegang sebilah pisau Iipat, terdakwa mendobrak pintu kamar dimana korban
berada didalam dengan anak terdakwa setelah itu korban yang sedang
memegang golok menyerang terdakwa tetapi dapat ditangkis oleh terdakwa yang
selanjutnya terdakwa menusukan bagian dacla sebelah kiri korban sebanyak 2
(dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dengan
menggunakan tangan kanan sehingga korban mengaduh kesakitan sehingga
korban membalikan badan untuk menjauh dari terdakwa tetapi pada saat posisi
korban membelakangi terdakwa kemudian terdakwa menusuk punggung korban
sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang
66
dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban terjatuh di atas tempat tidur
yang ada dikamar tersebut dan dengan sisa tenaganya korban SISWANTO
berusaha bangkit dan berjalan keluar kamar untuk mencari pertolongan akan
tetapi karena luka-luka yang diderita cukup parah sehingga korban SISWANTO
terjatuh dipintu kamar sedang terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit
yang terdakwa simpan dilemari dapur didalam kantong kandi dan menuju
kedalam rumah untuk menyerang korban SISWANTO lagi tetapi niat terdakwa
tersebut dicegah saksi RONIASIH dengan merebut clurit tersebut dan dibuang
dipekarangan belakang rumah dan dengan adanya keributan dirumah saudara
MAINEM tersebut membuat beberapa warga ingin melihat kejadian sebenarnya
dan pada saat mereka masuk ke dalam rumah, mereka menemukan korban
SISWANTO dalam keadaan terelungkup didepan pintu kamar dengan kondisi
luka parah dan diketahui telah meninggal dunia.
Akibat perbuatan terdakwa tersebut diatas mengakibatkan korban
SISWANTO meninggal dunia sebagaimana Visum Et Repertum Nomor :
133/VER/RSUD/52/XI/98 tanggal 4 Nopember 2008 yang dibuat oleh dr. Yusuf
Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga dengan kesimpulan hasil pemeriksaan
korban meninggal karena adanya robekan jantung oleh karena benda tajam yang
mengenai dada korban sehingga menimbulkan perdarahan banyak. Dikarenakan
dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain maka sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam pasal 338 KUHP.
3. Dakwaan Penuntut Umum
67
Jaksa Penuntut Umum mengajukan terdakwa dengan bentuk surat dakwaan
subsidair adalah sebagai berikut :
1. Primair
Terdakwa TURISNO Alias TUR.SIN Bin BADRUN pada hari Minggu
tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17,00 W1B atau setidak-tidaknya pada
suatu waktu masih dalam tahun 2008 bertempat di Dukuh Karangso Desa Blater
Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga atau setidak-
tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan, sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang
lain yaitu korban SISWANTO yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut
:
a. Awal mulanya adanya ketidak cocokan dan perselisihan antara terdakwa
TURISNO Alias TURSIN Bin BADRUN dengan adik iparnya yaitu korban
SISWANTO yang sebelumnya korban SISWANTO tinggal dalam satu
rumah ikut ibunya yang bernama MAINEM di Dukuh Karangso Desa
Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga tetapi
sejak terdakwa tinggal serumah dengan mertuanya kemudian korban
SISWANTO pindah rumah kerumah orang tua istrinya dan dengan adanya
keadaan hubungan antara terdakwa dengan korban SISWANTO yang tidak
rukun ditambah perilaku korban yang suka mihum-minuman keras dan
sering membuat masalah dirumah sehingga terdakwa merasa tidak nyaman
dengan keberadaan korban SISWANTO dan merasa dirinya terancam
68
sehingga terdakwa selalu mengantongi pisau lipat yang akan digunakan
untuk menjaga keselamatannya ;
b. Hari Minggu tanggal Nopember 2008 sekitar pukul 17,00 WIB korban
SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan. semua
orang yang ada dirumah bahkan mengancam anak terdakwa dengan
mengacungkan sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri
terdakwa yaitu saksi RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta
pertolongan sehingga terdakwa yang sedang menggendong anaknva yang
masih bayi diluar rumah menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI
INDRIANI kemudian dengan memegang sebilah pisau lipat terdakwa
mendobrak pintu kamar dimana korban berada di dalam dengan anak
terdakwa setelah itu korban yang sedang memegang golok menyerang
terdakwa tetapi dapat ditangkis oleh terdakwa yang selanjutnya terdakwa
menusukan bagian dada sebelah kiri korban sebanyak 2 (dua) kali dengan
menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dengan menggunakan
tangan kanan sehingga korban mengaduh kesakitan sehingga korban
membalikan badan untuk menjauh dari terdakwa tetapi pada saat posisi
korban membelakangi terdakwa kemudian terdakwa menusuk punggung
korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang
dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban terjatuh
diatas tempat tidur yang ada dikamar tersebut dan dengan sisa tenaganya
korban SISWANTO berusaha bangkit dan berjalan keluar kamar untuk
mencari pertolongan akan tetapi karena luka-luka yang diderita cukup
69
parah sehingga korban SISWANTO terjatuh dipintu kamar sedang
terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit yang terdakwa simpan
dilemari dapur di dalam kantong kandi dan menuju dan merasa dirinya
terancam sehingga terdakwa setiap harinya selalu mengantongi pisau lipat
yang akan digunakan untuk menjaga keselamatannya ;
c. Hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WIB korban
SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan semua
orang yang ada dirumah bahkan, mengancam anak terdakwa dengan
mengacungkan sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri
terdakwa yaitu saksi RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta
pertolongan sehingga terdakwa yang sedang menggendong anaknya yang
masih bayi diluar rumah menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI
INDRIANI kemudian dengan memegang sebilah pisau Iipat, terdakwa
mendobrak pintu kamar dimana korban berada didalam dengan anak
terdakwa setelah itu korban yang sedang memegang golok menyerang
terdakwa tetapi dapat ditangkis oleh terdakwa yang selanjutnya terdakwa
menusukan
bagian dada sebelah kiri korban sebanyak 2 (dua) kali dengan
menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dergan menggunakan
tangan kanan sehingga korban mengaduh kesakitan sehingga korban
membalikan badan untuk menjauh dari terdakwa tetapi pada saat posisi
korban membelakangi terdakwa kemudian terdakwa menusuk punggung
korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang
70
dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban terjatuh
diatas tempat tidur yang ada dikamar tersebut dan dengan sisa tenaganya
korban SISWANTO berusaha bangkit dan berjalan keluar kamar untuk
mencari pertolongan akan tetapi karena luka-luka yang diderita cukup
parah sehingga korban SISWANTO terjatuh dipintu kamar sedang
terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit yang terdakwa simpan
dilemari dapur didalam kantong kandi dan menuju kedalam rumah untuk
menyerang korban SISWANTO lagi tetapi niat terdakwa tersebut dicegah
saksi RONIASIH dengan merebut clurit tersebut dan dibuang dipekarangan
belakang rumah dan dengan adanya keributan dirumah saudara MAINEM
tersebut membuat beberapa warga ingin melihat kejadian sebenarnya dan
pada saat mereka masuk ke dalam rumah, mereka menemukan korban
SISWANTO dalam keadaan terelungkup didepan pintu kamar dengan
kondisi luka parah dan diketahui telah meninggal dunia ;
d. Akibat perbuatan terdakwa tersebut diatas mengakibatkan korban
SISWANTO meninggal dunia sebagaimana Visum Et Repertum Nomor :
183/VER/RSUD/52/XI/98 tanggal 4 Nopember 2008 yang dibuat oleh dr.
Yusuf Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga dengan kesimpulan hasil
pemeriksaan korban meninggal karena adanya robekan jantung oleh karena
benda tajam yang mengenai dada korban sehingga menimbulkan
perdarahan banyak. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 340 KUHP.
2. Subsidair
71
Terdakwa TURISNO Alias TURSIN Bin BADRUN pada hari Minggu
tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WIB atau setidak-tidaknya pada
suatu waktu masih dalam tahun 2008 bertempat di Dukuh Karangso Desa Blater
Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga atau setidak-
tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan, melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian yaitu
korban SISWANTO yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Awal mulanya adanya ketidak cocokan dan perselisihan antara terdakwa
TURISNO Alias TURSIN Bin BADRUN dengan adik iparnya yaitu korban
SISWANTO yang sebelumnya korban SISWANTO tinggal dalam satu
rumah ikut ibunya yang bernama MAINEM di Dukuh Karangso Desa Blater
Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga tetapi sejak
terdakwa tinggal serumah dengan mertuanya kemudian korban SISWANTO
pindah rumah kerumah orang tua istrinya dan dengan adanya keadaan
hubungan antara terdakwa dengan korban SISWANTO yang tidak rukun
ditambah perilaku korban yang suka minum-minuman keras dan sering
membuat masalah dirumah sehingga terdakwa merasa ttdak nyaman dengan
keberadaan korban SISWANTO dan merasa dirinya terancam sehingga
terdakwa setiap harinya selalu mengantongi pisau lipat yang akan digunakan
untuk menjaga keselamatannya;
b. Hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17,00 WIB korban
SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan semua orang
yang ada dirumah bahkan mengancam anak terdakwa dengan mengacungkan
72
sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri terdakwa yaitu
saksi RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta pertolongan
sehingga terdakwa yang sedang menggendong anaknya yang masih bayi di
rumah menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI INDRIANl
kemudian dengan memegang sebilah pisau lipat, terdakwa mendobrak pintu
kamar dimana korban berada didalam dengan anak terdakwa setelah itu
korban yang sedang memegang golok menyerang terdakwa tetapi dapat
ditangkis oleh terdakwa yang selanjutnya terdakwa menusukan bagian dada
sebelah kiri korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau
lipat yang dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban
mengaduh kesakitan sehingga korban membalikan badan untuk menjauh dari
terdakwa tetapi pada saat posisi korban membelakangi terdakwa kemudian
terdakwa menusuk punggung korban sebanyak 2 (dua) kali dengan
menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dengan menggunakan
tangan kanan sehingga korban terjatuh diatas tempat tidur yang ada dikamar
tersebut dan dengan sisa tenaganya korban SISWANTO berusaha bangkit
dan berjalan keluar kamar untuk mencari pertolongan akan tetapi karena
luka-luka yang diderita cukup parah sehingga korban SISWANTO terjatuh
dipintu kamar sedang terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit yang
terdakwa simpan dilemari dapur didalam. kantong kandi dan menuju
kedalam rumah untuk menyerang korban SISWANTO lagi tetapi niat
terdakwa tersebut dicegah saksi RONIASIH dengan merebut clurit tersebut
dan dibuang dipekarangan belakang rumah dan dengan adanya keributan
73
dirumah saudara MAINEM tersebut membuat beberapa warga ingin melihat
kejadian sebenarnya dan pada saat mereka masuk kedalam rumah, mereka
menemukan korban SISWANTO dalam keadaan tertelungkup didepan pintu
kamar dengan kondisi luka parah dan diketahui telah meninggal dunia;
c. Akibat perbuatan terdakwa tersebut diatas mengakibatkan korban
SISWANTO meninggal dunia sebagaimana Visum Et Repertum Nomor :
183/VER/RSUD/52/XI/08 tanggal 4 Nopember 2008 yang dibuat oleh dr,
Yusuf Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga dengan kesimpulan hasil
pemeriksaan korban meninggal karena adanya robekan jantung oleh karena
benda tajam yang mengenai dada korban sehingga menimbulkan perdarahan
banyak. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pasal 338
KUHP.
4. Pembuktian
Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang bukti
dalam persidangan, yaitu :
1. Alat Bukti Saksi
1. Saksi WINARJO Bin SUTASANTANA;
Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita
Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa serta tidak ada
hubungan keluarga sedarah ataupun semenda, tidak ada hubungan kerja
dengan terdakwa. Saksi mengetahui tentang perkara ini yaitu adanya
pembunuhan yang melakukan adalah terdakwa lalu korban dalam
74
pembunuhan tersebut adalah SISWANTO. Pembunuhan itu terjadi
dirumah sdr, MAINEM di Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08
Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga pada hari Minggu
tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 16.45. WIB. Saksi tidak melihat
sendiri pembunuhan tersebut, tapi diberitahu oleh MUSTIRAH kalau di
rumahnya MAINEM ada percekcokkan antara terdakwa dengan korban.
Setelah mendengar kabar tersebut, saksi segera menuju TKP (Tempat
Kejadian Perkara). Setelah sampai di TKP (Tempat Kejadian Perkara)
saksi melihat korban terkapar dilantai berlumuran darah antara ruang
tengah dan tamu.
Atas kejadian tersebut saksi keluar untuk meminta tolong kepada
masyarakat dan kebetulan ada Pak Lurah. Saksi bertanya terdakwa
bilang "Tur ini bagaimana ?" . Kejadian selanjutnya terdakwa mendekati
saksi dengan berkata "Mas biar mati-mati sekalian" tindakan saksi
selanjutnya adalah telepon Polsek Kailmanah untuk melaporkan
kejadian tersebut. Selanjutnya saksi perintahkan kepada pemuda
setempat untuk mengamankan terdakwa supaya tidak melarikan diri dan
diamankan dirumah Pak RT sambil menunggu kedatangan petugas dari
Kepolisian datang. Lalu posisi korban telungkup dengan kepala
disebelah timur, saksi melihat korban luka-luka dibagian punggung
bekas tusukan.
Pada saat saksi di TKP (Tempat Kejadian Perkara) saksi melihat
terdakwa di tempat tersebut. Saksi mengetahui yang melakukan
75
pembunuhan terhadap SISWANTO adalah terdakwa dari Mustirah. Pada
saat saksi di TKP (Tempat Kejadian Perkara) melihat terdakwa
membawa senjata tapi tidak melihat korban memegang golok. Saat saksi
di TKP (Tempat Kejadian Perkara) melihat golok tergeletak disebelah
tembok, dan alat yang digunakan untuk menusuk korban adalah pisau.
Jarak rumah saksi dengan TKP (Tempat Kejadian Perkara) sekitar 100
meter. Saksi tidak kenal dengan barang bukti berupa pisau dan clurit,
sedangkan bendo tahu yang dilihat di TKP (Tempat Kejadian Perkara),
kaos putih dan celana pendek adalah mllik terdakwa sedangkan kaos
merah dan celana jeans panjang adalah milik korban. Atas keterangan
saksi tersebut terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.
2. Saksi EVI INDRIANI Binti SUMONO HADI;
Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita
Acara Penyidik sudah benar. Saksi kenal dengan terdakwa dan ada
hubungan keluarga karena istri terdakwa adalah kakak sepupu saksi serta
tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Lalu saksi mengetahui
tentang perkara ini adalah masalah pembunuhan, yang melakukan
pembunuhan adalah terdakwa, korbannya dalam pembunuhan tersebut
SISWANTO. Pembunuhan terjadi pada hari Minggu tanggal 2
Nopember 2008 sekitar pukul 16.45 WIB, di rumah lbu HAINEM di
Desa Blater Rt.02 Rw.03 Kecamatan Kalimanah Kabupaten
Purbalingga.
76
Awal kejadiannya ketika itu saksi sedang duduk-duduk diteras
rumahnya saksi MUSTIRAH, terdakwa keluar dari rumahnya dengan
membopong anaknya yang terkecil dan anak tersebut diserahkan kepada
saksi. Terdakwa itu tinggal serumah dengan Ibu KALNEM dan rumah
saksi dekat dengan rumah korban yaitu teras rumah korban. Setelah
terdakwa menyerahkan bayinya kepada saksi tidak lama kemudian saksi
mendengar pintu rumah dikunci dari dalam oleh korban. Beberapa menit
setelah pintu ditutup oleh korban tidak lama kemudian terdengar suara
saksi RONIASIH dari dalam rumah "Sis jangan begitu !". Yang berada
dirumah tersebut adalah korban, saksi RONIASIH (Istri terdakwa) dan 2
orang anak korban serta anak terdakwa, tidak lama kemudian terdakwa
keluar dari rumah bersama istrinya. Terdakwa masuk kedalam rumah
setelah mendengar suara istrinya dengan mendobrak pintu belakang
yang dikunci oleh korban dari dalam.
Setelah melihat kejadian tersebut saksi pulang kerumah dengan
mengajak suami saksi supaya jangan ikut-ikutan, setelah dirumah saksi
melihat terdakwa di halaman rumah saksi dengan membawa pisau lipat
dan clurit setelah keluar dari rumah korban. Dari pisau yang dibawa oleh
terdakwa itu saksi melihat ujungnya ada darahnya, pada saat kejadian
terdakwa memakai kaos putih dan celana pendek hitam. Saksi tidak
masuk kerumah korban karena takut dan masuk setelah korban dibawa
kerumah sakit, tidak lama kemudian saksi melihat korban dibawa
kerumah sakit. Dirumah korban tersebut saksi melihat darah yang
77
berceceran ditempat korban jatuh, setelah saksi masuk kedalam rumah
korban, tidak terdengar suara apa-apa.
Sebelum kejadian saksi masuk kerumah korban dengan
membawa anaknya yang bernama Windi, saksi masuk kerumah lewat
pintu depan, terdakwa masuk kedalam rumah melalui pintu belakang
yang sebelumnya telah ditutup dari dalam oleh korban. Sebelumnya
terdakwa mengatakan, ketika menyerahkan anaknya kepada saksi
dengan kata-kata "saya titip anak saya untuk digendong”. Saksi tidak
tahu apakah ada permasalahan antara terdakwa dengan korban ataukah
tidak, sikap terdakwa dalam kehidupan kesehariannya biasa-biasa saja
karena ia baru pulang dari Jakarta. Saksi kenal dengan barang bukti yang
diajukan dipersidangan berupa pisau lipat, clurit adalah yang dibawa
terdakwa pada saat itu, sedangkan kaos putih, celana pendek adalah yang
dipakai oleh terdakwa dan kaos merah serta celana jeans adalah yang
dipakai korban. Atas keterangan saksi tersebut di atas terdakwa
membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.
3. Saksi SUTARYONO Bin SARIDI;
Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita
Acara Penyidik sudah benar. Saksi kenal dengan terdakwa dan tidak ada
hubungan keluarga sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan
kerja dengan terdakwa, yang saksi ketahui tentang perkara ini adalah
masalah pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa dan korbannya
78
SISWANTO. Korban bertempat tinggal dirumah Ibunya bernama
KAMINEM. Pembunuhan tersebut terjadi pada hari Minggu tanggal 2
Nopember 2008 sekitar pukul 16.45 WIB di rumahnya Ibu KAMINEM
di Desa Slater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten
Purbalingga.
Awal mula kejadian yang saksi ketahui ketika sedang duduk-
duduk diteras rumah Ibu Muslinah bersama istri saksi tiba-tiba korban
menutup pintu rumah belakang dari dalam. Setelah korban menutup
pintu belakang dari dalam, saksi mendengar suara istri terdakwa yang
berada didalam rumah korban dengan kata-kata “Sis Jangan begitu"
disusul dengan kata-kata "Pak tolong pak". Setelah terdakwa mendengar
suara istrinya, terdakwa masuk kedalam rumah korban dengan
mendobrak pintu belakang yang tadinya ditutup oleh korban. Lalu
terdakwa masuk ke rumah korban saksi pulang kerumah bersama istri,
setelah "sampai dirumah saksi melihat terdakwa membawa pisau lipat
yang diujungnya ada darahnya.
Tindakan masyarakat karena keadaan terdakwa mencurigakan
maka pisau yang dibawa terdakwa diamankan oleh Pak Jiran. Pada saat
itu saksi tidak melihat korban ditempat kejadian. Saksi melihat korban
setelah diotopsi dirumah sakit, dan setelah korban diotopsi saksi melihat
luka-luka pada korban yaitu di punggung yang menembus sampai ke
jantung. Di TKP Polisi telah memasang garis pembatas ketika korban
masih di TKP sebelum dibawa kerumah sakit, posisi rumah saksi dengan
79
rumah korban berjajaran. Ibu Kaminem (Ibunya korban), korban dan
anaknya serta terdakwa bersama istrinya tinggal di rumah korban.
Sebelah rumah korban adalah rumahnya saksi Mustinah, sedangkan
jarak rumah saksi dengan namah korban sekitar 1 meter, dibelakang
rumah saksi adalah rumahnya Ibu Hustinah dan selanjutnya rumahnya
Tukirman.
Saat kejadian saksi sedang duduk-duduk diteras rumahnya Ibu
Mustinah, sebelum kejadian pembunuhan saksi bersama terdakwa
sedang duduk-duduk diteras rumahnya Ibu Mustinah bersama terdakwa
sambil ngobrol-ngobrol. Pada saat saksi bersama terdakwa duduk -
duduk di teras korban sedang mencuci sepeda motor didepan rumahnya,
rumah saksi tembus dengan rumahnya saksi Mustinah. Sesaat sebelum
kejadian pembunuhan tersebut terdakwa menyerahkan anak bayinya
kepada istri saksi untuk digendong, lalu korban menutup pintu belakang
dan menguncinya dari dalam Roniasih istri terdakwa bilang "Sis jangan
begitu" dan disusui dengan kata-kata "Pak tolong pak". Pada saat itu
saksi tidak melihat saksi Roniasih, hanya mendengar suaranya saja "Pak
tolong pak" terdakwa bangkit dari duduknya dan masuk kerumah dengan
mendobrak pintu belakang. Saat terdakwa masuk kedalam rumah dengan
mendobrak pintu belakang saksi tidak melihat terdakwa membawa pisau
tapi setelah terdakwa keluar, saksi melihat kalau terdakwa membawa
pisau di tangan kanan. Ketika pintu didobrak oleh Terdakwa, saksi dan
istrinya pulang dan masuk kerumah sendiri, dan setelah terdakwa masuk
80
kerumah saksi tidak tahu apa yang terjadi. Waktu kurang lebih 5 menit
terdakwa keluar rumah dan di pojok rumah, saksi melihat terdakwa
membawa clurit dan pisau, selanjutnya untuk mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan pisau dan clurit diamankan oleh saksi Tukirman Fikan.
Selanjutnya setelah terdakwa masuk ke rumah korban, saksi Mustinah
memberitahukan hal itu kepada saksi Minarjo untuk minta tolong.
Atas pemberitahuan tersebut saksi Minarjo lalu datang ke TKP
(Tempat Kejadian Perkara), ketika terdakwa keluar dengan membawa
pisau dan clurit bersama istrinya, saksi jiran berkata kepada terdakwa
"Istighfar sing waras ngalah" (yang membaca Istigfar orang yang waras
supaya mengalah).
Bahwa saksi kenal dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan
berupa pisau lipat, clurit yang dibawa terdakwa, kaos putih dan celana
pendek adalah yang dipakai terdakwa serta kaos warna merah dan celana
jeans yang dipakai korban. Atas keterangan saksi tersebut diatas
terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.
4. Saksi MUSTINAH Binti REBIN;
Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita
Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa karena saksi
kemenakannya dan tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Yang
saksi ketahui dalam perkara ini adalah masalah pembunuhan yang
dilakukan oleh terdakwa dan korbannya Siswanto. Pembunuhan tersebut
81
terjadi pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukui 16.45
WIB dirumahnya Ibu Mainem di Desa Blater, Kabupaten Purbalingga .
Sebelum kejadian pembunuhan saksi melihat korban masuk kerumah
dengan menjewer anaknya yang bernama Winardi, pada saat itu saksi
sedang duduk-duduk diteras rumah bersama saksi Evi Indrianti,
terdakwa, saksi Sutaryono dan Yu Misem. Saat kejadian itu saksi bilang
kepada terdakwa bahwa korban sedang mabuk, kamu jangan ikut
campur, selanjutnya dari dalam rumah korban terdengar suara saksi
Roniasih (Istri terdakwa) berteriak "Jangan begitu Sis, pak tolong pak".
Setelah mendengar suara istrinya tersebut terdakwa terus masuk
kerumah lewat belakang dengan mendobrak pintu, kemudian saksi terus
pergt untuk meminta tolong kepada saksi Winarjo.
Sewaktu saksi pulang dari rumah saksi Winarjo, saksi melihat
terdakwa sedang ribut-ribut dengan istrinya di depan rumah saksi Evi
dan saksi bilang "Diapakan Sin ko kejem temen" (Korban diapakan ko
kamu kejam sekali). Setelah itu saksi masuk ke rumah korban dan
melihat korban sudah jatuh tertelungkup dan banyak darah berceceran,
saksi melihat ada luka-luka bekas tusukan di punggung korban. Saksi
melihat hanya ada satu luka pada korban yaitu dipunggung, saksi tidak
bertanya kepada terdakwa karena dia terus pergi. Sebelum masuk
kedalam rumah korban Siswanto terdakwa teiah menitipkan anaknya.
Terdakwa ikut duduk-duduk di teras rumah saksi, pada saat sedang
duduk-duduk di teras yang dibicarakan masalah biasa saja. Atas
82
keterangan saksi-tersebut diatas terdakwa membenarkan dan
menyatakan tidak keberatan.
5. Saksi TUKIRMAN Bin MANGUNWIREJA;
Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita
Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa dan tidak ada
hubungan keluarga sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan
kerja dengan terdakwa. Saksi mengetahui dalam perkara ini adalah
masalah pembunuhan, yang melakukan pembunuhan adalah terdakwa,
korbannya Siswanto. Pembunuhan tersebut terjadi pada hari Minggu
tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 16.45 WIB, di rumahnya Ibu
Mainem di Desa Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten
Purbalingga. Pada saat itu saksi sedang mencuci sepeda motor di depan
rumah yang jaraknya tidak jauh dari TKP (Tempat Kejadian Perkara.
Saksi baru tahu ada pembunuhan setelah dipanggil oleh saksi Minarjo
saat itu saksi Minarjo keluar dari dalam rumah korban sambil meminta
tolong kepada saksi. Sebelumnya saksi sudah pernah bertemu terdakwa,
saksi melihat terdakwa karena ada suara teriakan dari istri terdakwa
sambil merebut pisau yang dipegang oleh terdakwa.
Pada saat itu saksi bilang kepada terdakwa "lepaskan dulu", atas
kata-kata saksi tersebut terdakwa terus melepaskan pisaunya dan
diamankan. Korban kesehariannya sering mabuk-mabukan dan suka
bikin onar dalam keluarga, karena sering minta uang kepada orang
83
tuanya untuk beli minum-minuman. Saksi tidak tahu hubungan terdakwa
dengan korban karena terdakwa baru pulang dari Jakarta beberapa bulan
sebelumnya. Terdakwa mempunyai sifat tertutup dan jarang bergaul
sedangkan korban suka bergaul dan senang mabuk-mabukan. Pada saat
kejadian saksi mengenal saksi Roniasih (istri terdakwa) berteriak
meminta tolong dan melihat saksi Roniasih berusaha merebut pisau yang
dipegang suaminya. Saksi lalu merebut pisau yang dipegang oleh
terdakwa, kemudian saksi amankan, dan pisau tersebut oleh saksi
kemudian diserahkan kepada Pak RT . Pada saat itu yang diteriakan oleh
saksi Roniasih adalah "Pak tolong pak", dan terdakwa memegang pisau
dan clurit yang diujungnya ada darahnya. Setelah kejadian saksi baru
tahu kalau terdakwa telah melakukan pembunuhan terhadap korban.
Atas kejadian tersebut saksi terus datang kerumah korban, dan melihat
korban dalam keadaan telungkup berlumuran darah, pada saat itu saksi
melihat darah yang berceceran dilantai disekitar korban. Sebelum saksi
menyerahkan terdakwa kepada pemuda untuk diamankan saksi tidak
sempat bertanya kepada terdakwa mengenai kronologis kejadiannya.
Saksi kenal dengan barang bukti yang diajukan di persidangan
berupa pisau lipat, clurit adalah yang dibawa terdakwa pada saat itu,
kaos putih, celana pendek adalah yang dipakai oleh terdakwa dan kaos
merah serta celana jeans adalah yang dipakai korban serta Visum Et
Repertum Nomor : 183/VER/RSUD/52/XI/08 tanggal 4 Nopember 2008
yang dibuat oleh dr. Yusuf Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga
84
adalah benar Visum korban. Atas keterengan saksi tersebut diatas
terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.
6. Saksi JIRAN Bin YASMAREJA;
Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai bertkut :
Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita
Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa dan tidak
keluarga sedarah ataupun semenda dengan terdakwa. Pada hari Minggu
tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WlB di Dukuh Karangso
Desa Blater Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga telah terjadi
pembunuhan. Awal mula kejadian pada saat itu saksi mendengar ada
ribut-ribut yang datangnya dari rumah korban, selanjutnya saksi
berusaha ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ketika saksi
berada didepan rumah saksi Evi, saksi melihat terdakwa kedua
tangannya -memegang senjata tajam, tangan kanan memegang clurit dan
tangan kiri memegang pisau. Pada saat itu saksi juga melihat istri
terdakwa memegangi terdakwa dan diajak menjauh dari rumah korban,
melihat kejadian itu saksi bilang “Sin sing waras ngalah" (Sin jangan
emosi berfikirlah yang sehat). Beberapa saat kemudian datang saksi
Winarjo yang memberitahu kalau Siswanto (korban) sudah
"nglempuruk" (tergeletak) berlumuran darah.
Kehidupan sehari-hari korban senang mabok-mabokan. Saksi
sudah lama kenai dengan terdakwa sejak kecil karena tetangga. Pada
saat kejadian pembunuhan saksi sedang duduk-duduk diteras sendirian.
85
Selanjutnya dari arah utara saksi mendengar suara ribut-ribut, dan saksi
melihat terdakwa dipegangi istrinya, selanjutnya saksi bilang "Sin sing
waras ngalah”, jarak rumah saksi dengan rumah korban sekitar 50 meter.
Pada saat itu terdakwa dalam keadaan takut. Saksi tidak masuk ke dalam
rumah korban untuk melihat keadaan korban. Saksi tidak masuk
kerumah korban karena takut korban berdarah dan diketahui kalau
korban meninggal dunia karena ditusuk oleh terdakwa dari cerita orang-
orang. Sebelumnya saksi tidak melihat antara terdakwa dengan korban
tidak ada permasalahan / perselisihan. Ketika melihat terdakwa
membawa senjata tajam, saksi menyuruh supaya senjata tajam
diamankan. Pada saat mengamankan pisau yang dibawa terdakwa saksi
tidak meneliti apakah ada darahnya ataukah tidak. Terhadap barang
bukti yang diajukan dipersidangan berupa clurit, pisau adalah yang
dipegang oleh terdakwa saat itu, tapi tidak tahu siapa pemiliknya, kaos
putih, celana hitam, celana jeans dan kaos merah saksi tidak tahu. Atas
keterangan saksi tersebut diatas terdakwa membenarkan dan menyatakan
tidak keberatan.
7. Saksi RONIASIH Alias NY TURSINO Binti SANWIREJA;
Saksi adalah istri terdakwa, tetapi oleh karena terdakwa dan
Jaksa Penuntut Umum tidak berkeberatan, maka saksi memberikan
keterangannya dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut :
Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita
Acara Penyidik sudah benar. Pada hari Minggu tanggal 2 Nopember
86
2008 sekitar pukul 16.45 WlB telah terjadinya pembunuhan di Desa
Blater Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga di rumah korban
Siswanto yang dilakukan oleh terdakwa. Pada waktu kejadian yang ada
di rumah korban Siswanto adalah saksi, terdakwa dan anak saksi
bernama Rachman, korban Siswanto dan anaknya bernama Widi. Ketika
korban masuk ke rumah, saksi tidak melihat apakah korban membawa
anaknya ataukah tidak tapi anak korban datang sambil menangis katanya
habis dijewer sama korban/ melihat anak korban menangis, saksi lalu
menyuruh mandi sekalian karena kebetulan saksi sedang memandikan
anaknya. Setelah anak saksi selesai mandi, saksi mendengar anak saksi
berteriak dan waktu itu saksi melihat korban sedang mengancam anak
saksi dengan bendo sambil berkata "kamu nantang saya". Melihat
kejadian seperti itu saksi berteriak minta tolong sambil keluar lewat
pintu belakang pada waktu keluar berpapasan dengan terdakwa dipintu
karena terdakwa akan rumah. Setelah beberapa saat saksi di luar melihat
terdakwa dan korban sedang dorong-dorongan pintu, setelah saksi
masuk ke dalam dan keluar rumah.
Saksi melihat terdakwa yang memegang pisau yang ada
darahnya, tindakan saksi selanjutnya ketika saksi melihat terdakwa
keluar dari dalam rumah dan sambil membawa pisau. Kemudian saksi
menarik keluar terdakwa untuk mencegah jangan sampai terjadi lagi
perkelahian anrara terdakwa dengan korban. Lalu terdakwa saksi
amankan di rumah saksi Jiran, tetapi saksi tidak melihat terdakwa masuk
87
ke dalam rumah dengan membawa pisau ataupun clurit. Setelah
terdakwa dorong-dorongan dipintu dengan korban terdakwa masuk ke
rumah, saat terjadi dorong-dorongan dipintu saksi tidak melihat korban
membawa senjata tajam atau tidak. Saksi melihat sendiri terdakwa
melakukan penusukkan kepada korban karena pada saat itu saksi berada
di rumah korban, tempat melakukan pembunuhan di rumah Ibu saksi.
Orang yang tinggal di rumah ibu saksi adalah ibu saksi, saksi, suami
beserta anak saksi, korban Siswanto, istri dan anak korban.
Awal kejadian pembunuhan didahului korban meminta uang
kepada ibu saksi dengan cara mau menjual padi yang ada di rumah,
tetapi padi tersebut belum dijual karena korban dibohongi dengan
mengatakan padi itu milik saksi. Tujuan dibohongi seperti itu agar
korban membatalkan niatnya, karena tidak diijinkan menjual padi maka
korban bilang minta uang untuk beli minuman kepada ibu saksi.
Keinginan korban untuk menjual padi dilanjutkan pada hari berikutnya
ketika Minggu pagi sekitar puku; 16.00 WIB saksi menelpon kaka saksi
di Jakarta memberitahukan kalau korban sering minta uang kepada ibu.
Atas berita tersebut dijawab oleh kakak saksi, ibu disuruh ke Jakarta
saja; kemudian ibu saksi terus pergi ke Jakarta. Ketika saksi berada
didapur saksi melihat terdakwa pintu sambil sempoyongan dan berkata
"kalau ibu mau saya bunuh”. Tidak lama kemudian saksi mendengar
teriakan anak saksi sedang diancam oleh korban sambil memegang
88
golok, melihat kejadian seperti itu saksi lari membuka pintu untuk minta
tolong, namun dikejar oleh korban.
Pada waktu terdakwa keluar rumah dengan mengendong
anaknya, setelah pintu, dibuka terdakwa dan korban berpapasan didepan
pintu dan saling mendorong pintu. Saksi keluar rumah untuk minta
tolong kepada tetangganya saksi keluar rumah sekitar satu menit, dan
ketika masuk ke rumah lagi saksi melihat korban sudah telungkup
ditempat tidur. Lalu melihat korban telungkup ditempat tidur dari jarak
kurang lebih 6 meter sehingga tidak melihat luka-luka pada tubuh
korban. Kemudian saksi memegang terdakwa yang sudah membawa
senjata tajam tujuannya untuk menghalang-halangi terdakwa supaya
tidak menganiaya korban. Saksi tidak melihat pisau yang dipegang oleh
terdakwa ada darahnya atau tidak. Melihat kejadian ini saksi menangis
karena terdakwa dan korban jadi berantem.
Beberapa saat setelah keluar dari rumah korban, terdakwa
diamankan di rumah saksi Jiran. Ketika mengamankan terdakwa saksi
bilang senjata supaya di Ietakkan. Sebelum kejadian pembunuhan
tersebut antara terdakwa dengan korban tidak ada masalah. Dalam
kesehariannya korban suka minum-minum, bergaulnya dengan anak-
anak pengangguran sedangkan terdakwa tidak bekerja. Pada waktu
berpapasan dengan terdakwa saksi tidak melihat terdakwa membawa
senjata tajam. Saksi tidak melihat korban berjalan keluar, namun melihat
ketika korban tengkurap ditempat tidur. Sebelum kejadian antara
89
terdakwa dengan korban tidak saling bertegur sapa. Saksi kenal dengan
barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa clurit, golok milik adik
saksi yang bernama Windianto, pisau, kaos putih celana pendek milik
terdakwa, kaos merah dan celana panjang jeans milik korban. Atas
keterangan saksi tersebut diatas membenarkan dan menyatakan tidak
keberatan.
8. Saksi SUSIANTI Alias NY. SISWANTO Binti KUSWANTO.
Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan Rerita Acara
Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa dan tidak ada keluarga
sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan
terdakwa yang saksi ketahui dalam perkara ini adalah suaminya telah
meninggal dunia karena dibunuh dan yang melakukan pembunuhan
terhadap suami saksi adalah terdakwa. Saksi mengetahui kejadian
pembunuhan pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul
19.00 WIB, karena disuruh pulang katanya anak saksi sedang sakit.
Setelah pulang ke Blater ternyata suami saksi (korban) sudah meninggal
dunia dan pada saat kejadian saksi sedang berada di rumah orang tuanya
di desa Slinga. Terakhir bertemu dengan korban pada hari Minggu
sekitar pukul 10.00 WIB, korban pamit mau ke rumah orng tuanya di
Blater. Saat kejadian pembuuhan saksi tidak melihat langsung, saksi
tahunya pada malam harinya dari cerita orang-orang, kalau suami
meninggal dunia karena ditusuk oleh terdakwa. Ketika saksi datang
90
kerumah orang tua korban di Desa Blater ternyata korban sudah tidak
ada, dirumah orang tua korban sudah tidak ada bekas-bekas darah karena
sudah dibersihkan.
Kesehariannya korban suka minum-minuman keras korban tidak
mempunyai pekerjaan tetap, pekerjaan serabutan pernah juga bekerja di
Jakarta. Antara saksi dengan terdakwa tidak ada permasalahan.
Meninggalnya suami saksi saksi pasrah, tidak ada rasa dendam kepada
terdakwa. Kejadian yang telah dilakukan terdakwa sudah saksi maafkan,
masalah pemakaman korban sudah diurus oleh saudara-saudaranya di
Desa Blater. Saksi tidak tahu siapa yang membawa korban kerumah
sakit. Terhadap barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa clurit,
golok, pisau, kaos putih celana pendek saksi tidak kenal, kaos merah dan
celana panjang jeans milik korban. Atas keterangan saksi tersebut diatas
terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.
a. Keterangan Terdakwa
Dipersidangan terdakwa TURSINO Alias TURSINO Bin BADRUN
memberikan keterangan sebagai berikut :
Terdakwa sudah pernah diperiksa di KepoLisian sebungan dengan
perkara ini. Keterangan yang telah terdakwa berikan sesuai dengan BAP
(Berita Acara Penyidikan) sudab benar dan pembunuhan terjadi pada hari
Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 16.30 WIB, terdakwa telah
melakukan pembunuhan dengan korban Siswanto. Tempat kejadian
pembunuhan tersebut di Dukuh Karangso Desa Blater Keramatan
91
Kalimanah Kabupaten Purbalingga, tepatnya dirumah Ibu mertua terdakwa.
Orang yang tinggal dirumah tersebut adalah terdakwa, istri dan anak-anak
terdakwa serta Ibu mertua terdakwa. Korban sudah pindah ke Desa Slinga
sekitar 2 (dua) bulan sebelum kejadian. Sebelumnya antara terdakwa dan
korban tidak ada masalah. Tingkah laku korban dalam keluarga sering
membuat onar antara lain minum dan mabuk-mabukan serta sering
mengancam terhadap keluarga terdakwa jika meminta uang. Keluarga
terdakwa, korban tidak pernah mengganggu istri dan anak terdakwa.
Sebelum kejadian terdakwa sedang menidurkan anak-anak yang kecil di
rumah tiba-tiba korban masuk samsil memarahi anaknya.
Ketika anak korban sedang menangis oleh istri terdakwa sedang
dimandikan di kamar mandi. Terdakwa kemudian keluar rumah sambil
membopong anak terdakwa yang kemudian dititipkan kepada saksi Evi
tetangga terdakwa. Saat sedang duduk-duduk di teras rumah mbak Mis,
tiba-tiba istri terdakwa keluar rumah lewat pintu belakang dengan berteriak
minta tolong "Pak minta tolong si Rakhman" . Istri terdakwa keluar lewat
pintu belakang, sedangkan korban membuntuti sampai depan pintu,
kemudian terdakwa masuk dari dipintu berpapasan dengan istri terdakwa.
Setelah masuk terdakwa melihat korban memegang kemudian terdakwa
mengamhil pisau yang disimpan di rak almari kemudian keluar rumah dan
saat itu dicegah oleh istri terdakwa. Tindakan terdakwa selanjutnya masuk
kedalam rumah lagi, ketika masuk dari pintu melihat anak terdakwa
didalam sedang diancam oleh korban dengan membawa bendo. Melihat
92
kejadian seperti itu terdakwa berusaha menyelamatkan anaknya, atas
tindakan tersebut korban menyerang terdakwa, atas serangan korban
tersebut kemudian terdakwa menangkis dan menusuk perut korban. Setelah
terdakwa menusuk perut depan kemudian menusuk perut samping dan
punggung, terus korban jatuh ditempat tidur dan tidak lama kemudian
korban mau lari.
Melihat korban mau lari, terdakwa khawatir jangan-jangan mau
menyerang, kemudian terdakwa mengambil clurit yang disimpan didekat
pintu;
Bahwa terdakwa menusuk korban sebanyak dua kali, pada saat terdakwa
menusuk punggung korban, terdakwa tidak tahu tembus ataukah tidak.
Maksud terdakwa mengambil clurit tersebut untuk membela diri barang
kali korban mau membalas, setelah menusuk korban terdakwa keluar dan
diluar saksi Jiran bilang yang waras ngalah. Korban datang dari Slinga ke
Blater sekitar pukul 11.00 WIB, ketika korban datang yang dicari ibu
mertua terdakwa dan ia minta uang. Pada saat itu korban dalam keadaan
mabuk karena habis minuman keras. Terdakwa menaruh pisau ditempat itu
sekitar dua hari sebelum kejadian dan biasa ditaruh disitu. Pisau tersebut
dipergunakan untuk mengupas mangga, terdakwa, merasa tidak senang
dengan korban sejak 2 (dua) hari sebelum kejadian karena suka memeras
kepada ibu mertua terdakwa. Terdakwa menusuk perut korban sebanyak 2
(dua) kali dan punggung 1 (satu) kali, terdakwa mengambil clurit setelah
korban jatuh ditempat tidur, karena takut korban mau membalas maka
93
terdakwa mengambil clurit yang dikeluarkan dari kantongnya tetapi
dicegah istri terdakwa, setelah pisau dan clurit diamankan kemudian
terdakwa menyerahkan diri kepada kepala desa. Terdakwa menusuk korban
karena takut mau ditusuk korban, tujuan terdakwa mengambil pisau karena
korban sudah membawa golok, akibat tusukan terdakwa korban terjatuh
dan mengerang minta tolong. Setelah korban ditusuk masih mengejar anak
terdakwa, pada waktu terdakwa menusuk korban yang ada di dalam adalah
anak terdakwa dan anak korban.
Ketika terjadi perkelahian korban menggunakan golok kemudian
ditangkis korban ditusuk perutnya dengan pisau, tujuan terdakwa
mengambil clurit untuk membela diri. Setelah terdakwa menusuk korban
kemudian ditangkap oleh saksi Tukirman dan saksi Jiran, setelah terdakwa
ditangkap kemudian dilaporkan kepada ketua RT. Sebelum kejadian
tersebut antara terdakwa dengan korban tidak ada masalah, sebelum
melakukan pembunuhan terhadap korban terdakwa tidak terpikirkan / niat
terlebih dahulu. Terdakwa mengambil pisau ditempatnya karena tahu kalau
disitu ada pisau yang biasa untuk mengupas mangga, ketika terjadi
perkelahian terdakwa menangkis tangan korban yang memegang golok,
perkelahian terjadi di dalam rumah. Saat terdakwa ditanya oleh saksi
Winarjo "Tur ini bagaimana?” dan terdakwa jawab biar mati-mati
sekalian", maksudnya korban mau dibawa ke rumah sakit tidak punya uang
/ biaya juga takut korban mau membunuh Ibu mertua. Ketika Istri terdakwa
melihat terdakwa memegang pisau setelah masuk yang kedua kalinya,
94
terdakwa menusuk korban dua kali dan setelah korban membalik terdakwa
menusuk punggungnya. Setelah mengambil pisau terdakwa keluar
tujuannya untuk melindungi istri dan terdakwa sendiri, ketika pintu dikunci
terdakwa mendobrak kemudian masuk dan melihat korban masih
mengancam anak terdakwa. Atas kejadian tersebut terdakwa merasa
bersalah, menyesal, tidak akan mengulangi lagi perbuatannya dan belum
pernah dihukum. Terhadap barang bukti yang diajukan dipersidangan
berupa pisau, kaos putih celana hitam adalah milik terdakwa, clurit, golok
miliknya adik terdakwa, kaos merah celana jeans, sandal milik korban dan
karpet miliknya anak terdakwa serta terdakwa membenarkan foto
rekontruksi yang diajukan dipersidangan.
b. Bukti surat berupa Visum Et Repertum atas nama korban SISWANTO,
Nomor : Visum Et Repertum Nomor : 183/VER/RSUD/52/XI/08 tanggal 4
Nopember 2008 yang dibuat oleh dr Yusuf Avianto, dokter pada RSUD
Purbalingga.
c. Barang bukti berupa :
1) 1 (satu) bilah pisau lipat stenlist panjang 30 cm;
2) 1 (satu) bilah clurit stenlist panjang 50 cm;
3) 1 (satu) potong pakaian/baju kaos oblong warna putih;
4) 1 (satu) potong kaos oblong warna merah bagian depan ada tulisan Cl
BF warna putih;
5) 1 (satu) potong celana panjang jeans warna biru berikut satu ikat
pinggang plastik warna hitam panjang satu meter dengan timangan besi;
95
6) Bercak darah yang berada dilantai diambil dengan kapas dan karpet satu
stel sandal slop ada bercak darah, perlak plastik.
7) 1 (satu) buah ssrung clurit terbuat dari kulit warna coklat sarung golok
dan;
8) 1 (satu) buah golok tanpa sarung.
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim
1. Hal-hal yang memberatkan :
Perbuatan terdakwa mengakihatkan orang lain meninggal dunia.
2. Hal-hal yang meringankan :
a. Terdakwa terus terang mengakui perbuatannya dan berjanji tidak
akan mengulangi lagi perbuatannya;
b. Terdakwa melakukan perbuatan tersebut semata-mata karena untuk
melindungi anak dan istri terdakwa;
c. Terdakwa mempunyai tanggung jawab keluarga.
3. Mengingat ketentuan Pasal 338 KUHP, Undang-Undang Nomor ; 8
Tahun 1981 Tentang KUHAP, serta peraturan lain yang bersangkutan.
B. Amar Putusan Pengadilan Negeri :
1. Menyatakan terdakwa TURSINO Ailas TURSIN bin BADRUN tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam dakwaaan Primair;
2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan Primair tersebut;
96
3. Menyatakan terdakwa TURISNO alisas TURSIN bin BADRUN terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “PEMBUNUHAN";
4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana 8 (delapan) tahun;
5. Menetapkan lamanya terdakwa, berada dalam tahanan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa;
6. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
7. Menetapkan barang bukti berupa :
a. 1 (satu) bilah pisau lipat stenlis panjang 30 cm gagang lapis kayu;
b. 1 (satu) bilah clurit stenlis panjang 50 cm bergagang kayu;
c. 1 (satu) buah sarung clurit terbuat dari kulit warna coklat;
d. 1 (satu) buah sarung golok terbuat dari kayu;
e. 1 (satu) bilah golok tanpa sarung panjang 40 cm;
f. 1 (satu) potong pakaian/baju kaos oblong warna putih;
g. 1 (satu) potong celana pendek kolor jean 3 warna hitam;
h. 1 (satu) potong kaos oblong warna merah bagian depan ada tulisan
GLOBE warna putih tanpa krah dalam keadaan sobek dan ada bercak
darah serta terdapat beberapa lobang;
i. 1 (satu) potong celana panjang jeans warna biru berikut ikat pinggang
plastik warna hitam panjang 1 meter dengan timangan besi;
j. Bercak darah dilantai yang diambil dengan kapas dan karpet;
k. 1 (satu) stel sandal slop ada bercak darah;
l. 1 (satu) lembar perlak plastik warna merah dan ada bercak darah.
97
8. Poin 6 s/d 12 dikembalikan kepada ahli warisnya atau keluarga korban
Siswanto;
9. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
B. Pembahasan
1. Alasan Hakim Pengadilan Negeri dapat menghadirkan saksi keluarga dalam
persidangan pada Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga
Menentukan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui
pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu
memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan
masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana
(KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang
setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa
terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga tidak ada
seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman dan hukuman itu harus seimbang
dengan kesalahannya.
Hakim dalam menentukan siapa yang bersalah karena telah melakukan
tindak pidana dalam proses peradilan tidaklah mudah, untuk itu hakim dalam
melakukan pemeriksaan harus melihat tentang alat-alat bukti sah. Artinya hakim
pada prinsipnya dalam menjatuhkan putusan selalu mendasarkan pada alat-alat
bukti yang sah, oleh karena itu dalam usaha membuktikan apakah tindak pidana
yang didakwakan penuntut umum itu terbukti atau tidak. Hakim harus berhati-hati
dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian, karena dengan
98
pembuktian ini ditentukan nasib seorang terdakwa, dengan terciptanya KUHAP
maka untuk menentukan seseorang itu bersalah maka kesalahannya harus
dibuktikan terlebih dahulu. Dengan demikian polisi, jaksa dan hakim sebagai
aparat penegak hukum tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana, tetapi
harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana53
.
Memeriksa perkara pidana di sidang pengadilan Hakim senantiasa berusaha
untuk membuktikan.
a. Apakah betul suatu peristiwa itu telah terjadi;
b. Apakah betul peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana;
c. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi, dan;
d. Siapa orangnya yang telah bersalah berbuat peristiwa itu 54
.
Alat bukti yang sah (Wettige Bewijsmiddlen) dan keyakinan hakim
(Overtuiging des recyters) satu sama lain saling berhubungan sedemikian rupa,
dalam arti bahwa keyakinan hakim adalah dilahirkan atau timbul karena adanya
alat-alat bukti yang sah. Alat – alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada
hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim,
atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa55.
Menurut Bambang Poernomo56
:
53
Andi Hamzah, 1996, Op.Cit,.hal. 8 54
Soesilo, R,1992,Tugas Kewajiban Dan Wewenang Penyidik, Jaksa, Hakim (Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP), Bogor,Politeia, 1.hal. 120
55
Darwan, Prints, 1989, Op.Cit, hal. 107. 56
Poernomo, Bambang, 1986, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia,
Yogyakarta,Liberty, hal.43
99
Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti
prinsip teori pembuktian negatief wettelijk bewijs theori seperti yang
dimaksud dalam Pasal 294 ayat (1) HIR. Pasal 6 Undang-Undang Pokok
Kehakiman No.14 Tahun 1970, dan Pasal 183 KUHAP.
Hukum Acara Pidana Indonesia yang menganut sistem pembuktian
menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) yang dalam hal ini
sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP yang dirumuskan :
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh kenyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang
bersalah melakukannya”
Berdasarkan definisi pembuktian tersebut, dapat diketahui sebagai berikut:
a. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,
b. Dan dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin, bahwa :
1. Tindak pidana telah terjadi; dan
2. Terdakwa telah bersalah.
Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP dapat diketahui bahwa pada acara pembuktian
penyidik Polri atau penuntut umum harus menyampaikan sekurang-kurangnya dua
alat bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP ialah :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa.
Menurut Sabuan dkk57
:
Mendefinisikan alat bukti dengan lebih sederhana yaitu alat yang dipakai
untuk dapat membantu hakim dalam menggambarkan kembali tentang
kepastian pernah terjadinya tindak pidana.
57
Sabuan, Ansori dkk. Op.Cit, hal 56
100
Salah satu alat bukti yang sering dipergunakan oleh penyidik, jaksa dan
hakim adalah keterangan saksi dan pada umumnya, alat bukti keterangan saksi
merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Pentingnya
kedudukan saksi telah dimulai pada saat proses awal pemeriksaan, begitu pula
dalam proses selanjutnya di Kejaksaan maupun Pengadilan, keterangan saksi
menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa58
. Jadi jelas
bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya penegakan
hukum. Boleh dikatakan, tidak ada perkara yang luput dari pembuktian alat bukti
keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar
kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian
dengan alat bukti yang lain, masih diperlukan pembuktian dengan keterangan
saksi59
. Saksi memiliki pengertian orang yang melihat atau mengetahui , seperti:
a. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya,
supaya bilamana perlu dapat memberi keterangan yang membenarkan
bahwa peristiwa tadi sungguh-sungguh terjadi;
b. Orang yang mengetahui sendiri suatu kejadian/hal;
c. Orang yang memberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan
pendakwa atau terdakwa.
Proses pengungkapan suatu tindak pidana mulai dari tahap penyelidikan
sampai pembuktian di persidangan, keberadaan dan peran saksi sangatlah penting.
Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasus
58
http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28 juni 2012 59
M. Yahya Harahap, 2000, Loc.Cit,.hal 265
101
pidana dimaksud60
. Kemudian agar suatu kesaksian mempunyai kekuatan sebagai
alat bukti, maka harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut61
:
a. Syarat objektif, merupakan syarat untuk objektifitas suatu kesaksian yang
diberikan oleh seorang saksi, yaitu :
- Tidak boleh ada hubungan kekeluargaan dengan salah satu pihak;
- Tidak boleh ada hubungan kerja;
- Mampu bertanggung jawab yakni sudah dewasa, sudah berumur 15 tahun ke
atas, atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan.
b. Syarat formal, merupakan syarat yang secara formal harus dipenuhi dan
dilakukan oleh seorang saksi, yaitu :
- Harus datang di sidang pengadilan;
- Harus menerangkan dibawah sumpah;
- Tidak unus testis nullus testis.
c. Syarat subjektif / material, merupakan syarat mengenai materi yang harus
diterangkan oleh seorang saksi, yaitu :
- Menerangkan tentang apa yang dilihat, yang didengar dan dialami oleh
seorang saksi;
- Dasar - dasar atau alasan seorang saksi mengapa ia dapat melihat, mendengar
dan mengalami apa yang diterangkan.
Saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah sepanjang saksi tersebut memenuhi
syarat-syarat yang telah dientukan. Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP:
60
Andi, Hamzah, 2009, Op.Cit, hal.269 61
Hari Sasangka, Op.Cit, hal.91
102
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan , penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, maka pengertian saksi mengandung beberapa unsur
yang harus dimiliki sebagai alat bukti yang sah, yakni sebagai berikut :
a. Ada seseorang;
b. Dapat memberikan keterangan atau kesaksian;
c. Keterangan atau kesaksian lisan maupun tertulis (tanda tangan) yang
menerangkan apa yang dialami, disaksikan, dilihat atau didengar sendiri dalam
suatu keadaan atau kejadian;
d. Guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan.
Sehingga hakim dalam memberikan putusannya haruslah mempunyai keyakinan
dengan melihat dan menilai berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan kemuka
sidang pengadilan.
Kegiatan pembuktian sangat mendukung untuk memperoleh kebenaran dan
keadilan materil menurut hukum. Dari pembuktian inilah hakim memperoleh
keyakinan yang kuat tentang bersalah atau tidaknya seorang terdakwa yang
dihadapkan di depan persidangan, sehingga dengan demikian hakim dapat
memberi putusan (vonis) yang seadil-adilnya62
. Keterangan saksi yang mempunyai
nilai pembuktian ialah keterangan yang sesuai dengan yang dijelaskan Pasal 1
angka 27 KUHAP :
62 Op Cit. http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28
juni 2012.
103
Ketererangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannya.
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui yaitu:
- Adanya peristiwa pidana;
- Dengar sendiri;
- Lihat sendiri;
- Alami sendiri;
- Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Kesaksian berdasarkan apa yang didengar sendiri oleh saksi sebagai
keterangan yang bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang lain. Harus
secara langsung didengar sendiri oleh saksi terkait dengan tindak pidana yang
bersangkutan. Sementara kesaksian yang berdasarkan pada apa yang dilihat sendiri
oleh saksi diartikan sebagai saksi yang melihat suatu tindak pidana dengan mata
kepalanya sendiri baik sebagian maupun secara keseluruhan. Sedangkan kesaksian
yang berdasarkan pada apa yang dialami sendiri oleh saksi diartikan sebagai saksi
yang sekaligus menjadi korban dari suatu tindak pidana, terutama dalam bentuk-
bentuk tindak pidana seperti perkosaan maupun penganiayaan, korban yang dapat
dijadikan saksi utama dari tindak pidana yang bersangkutan63
.
Hal tersebut mengartikan bahwa saksi dalam memberikan keterangan hanya
boleh mengenai keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri,
dan tiap-tiap persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan
seorang saksi mengetahui hal-hal sesuatu. Bahwa suatu pendapat atau suatu
63
Op.Cit, M. Yahya Harapan, 2000, hal.141-142
104
persangkaan yang disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak
dianggap sebagai keterangan saksi64.
Leden Marpaung juga menegaskan bahwa65
:
” Keterangan saksi diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam
bentuk apapun”.
Keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau
Testimonium de auditu, maksudnya agar hakim lebih cermat dan memperhatikan
keterangan yang diberikan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur,
dan objektif66.
Kasus tindak pidana pembunuhan sebagaimana diputuskan dalam Putusan
Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, berawal
korban (SSW) hendak membunuh anak terdakwa, untuk melindungi anaknya maka
terdakwa (TSN) mendahului membunuh korban yang disaksikan oleh istri
terdakawa sendiri (Ro). Pada sidang pengadilan terdakwa menerangkan bahwa
terdakwa tidak bermaksud untuk membunuh korban tetapi semata-mata untuk
melindungi keluarganya dan dilakukan dalam keadaan terpaksa, sehingga dalam
perkara tersebut hakim mendasarkan pada alat bukti keterangan saksi keluarga
yaitu isteri terdakwa yang menerangkan bahwa terdakwa selalu membawa pisau
lipat untuk melindungi keluarganya dari ancaman korban. Berdasarkan keterangan
saksi keluarga tersebut hakim memperoleh petunjuk dan dapat menambah
keyakinannya.
64
Wirjono Prodjodikoro,1983, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung; Sumur ,
hal.118 65
Leden Marpaung, Op.Cit, hlm 81 66
H. R. Abdussalam, 2006, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa
Keadilan Masyarakat Jilid 2, Jakarta, Restu Agung,., hal. 142.
105
Namun pada dasarnya ada 3 (tiga) golongan pengecualian, yakni ketentuan
Pasal 168 KUHAP menjelaskan mengenai orang-orang yang dikecualikan untuk
menjadi saksi yaitu:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama sama sebagai
terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa.
Akan tetapi pada pasal 168 KUHAP memberikan celah kepada saksi yang
mempunyai hubungan darah dengan terdakwa untuk dimintai keterangannya. Hal
tersebut dapat terjadi apabila adanya persetujuan Penuntut Umum atau terdakwa
yang menghendaki keterangan dari saksi yang mempunyai hubungan keluarga
tersebut.
Orang-orang yang disebutkan pada Pasal 168 KUHAP tetap dapat
memberikan keterangan dalam acara persidangan berdasarkan pada ketentuan
Pasal 169 KUHAP yang menyebutkan bahwa:
1. Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168
menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas
menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.
2. Tanpa persetujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1),
mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.
Selain itu, dengan posisi pasal 169 KUHAP ini memberikan kemudahan dalam
penyelesaian suatu perkara tindak pidana seperti tindak pidana pembunuhan yang
terdapat pada Putusan Nomor : 07/Pid.b/2009/PN.Purbalingga dan pasal ini juga
106
mendukung azas beracara di pengadilan yakni azas beracara cepat, mudah dan
biaya murah.
Prosedur pemeriksaannya, Hakim ketua sidang yang memeriksa istri
terdakwa sebagai saksi (dan juga orang-orang lain seperti tersebut dalam Pasal
168 KUHAP)67
:
a. Pertama kali Hakim ketua sidang harus menanyakan kepada istri yang
menjadi saksi tersebut, apakah ia tetap akan menjadi saksi atau akan
menggunakan haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi.
b. Kalau istri terdakwa tersebut menggunakan haknya untuk
mengundurkan diri dari menjadi saksi, maka istri terdakwa tersebut tidak
didengar sebagai saksi dan dipersilakan meninggalkan kursi tempat
memeriksa saksi;
c. Kalau istri terdakwa tersebut tidak menggunakan haknya untuk
mengundurkan diri dari menjadi saksi, maka Hakim Ketua sidang
selanjutnya wajib menanyakan kepada penuntut umum dan terdakwa,
apakah penuntut umum dan terdakwa setuju jika istri terdakwa tersebut
menjadi saksi.
d. Kalau penuntut umum dan terdakwa dengan tegas menyetujui istri
terdakwa menjadi saksi, maka istri terdakwa tersebut, sebelum
memberikan keterangannya harus disumpah terlebih dahulu (Vide Pasal
169 ayat (1) KUHAP);
e. Kalau penuntut umum dan atau terdakwa tidak menyetujui istri terdakwa
menjadi saksi, maka istri terdakwa tersebut didengar keterangannya di
luar sumpah.
Orang yang berhak menentukan apakah ia mau bersaksi atau tidak adalah si
istri terdakwa sendiri, bukan terdakwa dan penuntut umum. Keberatan terdakwa
atau penuntut umum tidak membuat istri terdakwa itu meninggalkan kursi saksi,
tapi mengakibatkan istri terdakwa tidak perlu bersumpah.
67
http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/info-hukum/artikel-hukum/2074-saksi-yang-
memiliki-hubungan-darah-dan-orang-yang-mempunyai-ikatan-kerja-dengan-terdakwa.html, diakses
tanggal 1 Oktober 2012, jam 12.45
107
Saksi keluarga juga sama halnya dengan saksi-saksi biasa yang memiliki
kewajiban sebagai seorang saksi, adalah sebagai berikut :
a. Kewajiban untuk menghadap
Dalam suatu proses peradilan jika diperlukan adanya saksi maka hakim
menyuruh memanggil para saksi untuk menghadap hadir dalam sidang
peradilan, dan kepada saksi yang dipanggil wajib menghadap dalam proses
peradilan tersebut. Adanya kewajiban tersebut karena adanya sanksi, dengan
demikian kewajiban panggilan menghadap terhadap saksi harus dipenuhi
karena adanya sanksi tersebut. Dalam hal ini Prof. R. Subekti juga
berpendapat68
:
1) Dihukum untuk membayar biaya - biaya yang telah dikeluarkan untuk
memanggil saksi;
2) Secara paksa dibawa ke muka Pengadilan;
3) Dimasukkan dalam penyanderaan (“gijzeling”).
Dari uraian tersebut jelas terlihat bahwa kewajiban untuk menghadap di muka
persidangan harus dipenuhi oleh seseorang yang menjadi saksi dalam suatu
perkara, agar tidak terjerat hukuman atau sanksi yang telah ditetapkan oleh
peraturan perundang - undangan yang ada, sebagaimana yang diuraikan dalam
Pasal 159 ayat (2) KUHAP :
“Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan
hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa
saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat
memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.”
68
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1978), hlm. 39
108
dan terhadap pembebasan hukuman dimaksud hanya dapat dilakukan apabila
terdapat alasan yang sah dan dipenuhi oleh pengadilan.
b. Kewajiban untuk bersumpah atau berjanji
Dalam suatu perkara kewajiban saksi untuk mengucapkan sumpah atau
janji merupakan syarat mutlak untuk suatu kesaksian. Jadi sebelum memberi
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing - masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
Selanjutnya jika ternyata seorang saksi menolak untuk melakukan
pengucapan sumpah yang merupakan syarat mutlak untuk memberikan
kesaksian, maka menurut ketentuan Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP, saksi
tersebut dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama
empat belas hari dan jika setelah masa penyanderaan berakhir saksi tetap tidak
mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim. Dengan
demikian adanya sanksi terhadap saksi yang tidak mau disumpah atau
mengucapkan janji maka pengucapan sumpah atau janji merupakan suatu
kewajiban.
c. Kewajiban memberikan keterangan yang benar
Seorang saksi juga memiliki kewajiban untuk memberikan keterangan
yang benar dalam proses perkara di pengadilan. Dalam KUHAP hal tersebut
109
tidak diatur dengan tegas, akan tetapi dari ketentuan yang diatur dalam Pasal
148 H.I.R. tersirat bahwa saksi wajib memberikan keterangan yang benar.
Mengenai keterangan yang diberikan oleh saksi pada Putusan Pengadilan
Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga yaitu istri terdakwa
(Ro) yang melihat terdakwa (TSN) menyimpan pisau lipat yang sudah
dipersiapkan mengingat korban (SSW) yang suka mabuk dan ugal-ugalan setiap
pulang kerumah, sehingga pisau lipat tersebut dipersiapkan untuk melakukan
pembelaan. Istri terdakwa tahu secara jelas dan runtut mengenai asal usul duduk
perkara juga melihat sendiri terdakwa melakukan penusukan kepada korban dan
keterangan tersebut dibenarkan oleh terdakwa serta jaksa penuntut umum,
sehingga keterangannya tersebut menjadi alasan mengapa istri terdakwa perlu
dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi yang sah karena pada dasarnya
keterangan saksi adalah hal utama yang dapat membuat terang suatu tindak
pidana.
Kehadiran istri terdakwa pada pesidangan yang telah memenuhi syarat
sebagai saksi seperti yang dijelaskan pada Pasal 1 Angka 27 KUHAP adalah
untuk memberikan keterangan mengenai penyebab utama terjadinya tindak
pidana pembunuhan yang terdapat pada Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga
Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, dan keterangan saksi tidak termasuk
keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium de auditu.
Keterangan saksi diberikan di bawah sumpah sehingga keterangan saksi tersebut
dapat dijadikan hakim sebagai bahan petimbangan untuk menyatakan bahwa
terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
110
pembunuhan terhadap korban (SSW) serta untuk menjatuhkan pidana penjara
kepada terdakwa (TSN) selama 8 (delapan) tahun.
2. Kekuatan pembuktian keterangan saksi keluarga dalam tindak pidana
pembunuhan terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga
Pembuktian merupakan hal terpenting dalam suatu proses pemeriksaan
dalam persidangan, karena dalam pembuktian inilah ditentukan nasib dari
terdakwa. Tujuan dari pembuktian ini adalah untuk mencari kebenaran yang ada
dalam perkara yang diharapkan dapat mendekati kebenaran yang sebenar-
benarnya atau disebut dengan kebenaran materiil.
Menurut M. Yahya Harahap69
:
“Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman
tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Melalui pembuktian
ditentukan nasib terdakwa, apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti
yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan bersalah”.
Sedangkan Menurut Martiman Prodjohamidjojo70
:
“Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan
kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal
terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara
pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP
menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui :
a. Penyidikan;
b. Penuntutan;
c. Pemeriksaan di persidangan;
d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.
Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam
hukum acara pidana secara keseluruhan.”
69
M. Yahya Harahap, 2009, Op.Cit, Hal.252. 70
Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit, hlm. 12.
111
Majelis hakim yang hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam
putusan yang akan dijatuhkan, harus menguji kebenaran itu dengan alat bukti,
dengan cara, dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat
bukti yang ditemukan. Hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang
akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah
ditentukan undang-undang secara limitatif sebagaimana yang disebut dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
dan keterangan terdakwa. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan
pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti dilakukan dalam batas-batas
yang dibenarkan undang-undang, agar dapat mewujudkan kebenaran sejati.
Kebenaran yang diwujudkan dalam putusan harus berdasar pada hasil perolehan
dan penjabaran yang tidak keluar dari garis yang dibenarkan sistem pembuktian,
dan tidak diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim. Alat bukti yang
dihadirkan di persidangan harus saling bersesuaian satu sama lain, tidak boleh
saling berdiri sendiri.
Sistem pembuktian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Indonesia mengikuti prinsip dari teori pembuktian negative wettelijk bewijs teori
seperti terdapat dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman No.48 Tahun 2009.
Pasal 183 KUHAP menyebutkan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
112
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009
menyebutkan :
“Tiada seorangpun dapat di jatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah
bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Menurut Martiman Prodjohamidjojo71
:
Istilah negatif wettelijk berarti wettelijk adalah berdasarkan alat-alat bukti
yang sah dan ditetapkan oleh undnag-undang. Sedangkan negatief adalah
walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang,
belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah
diberikan, akan tetap masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim.
Sistem ini, salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan
hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Betitik tolak dari uraian tersebut , untuk menentukan salah atau
tidaknya seorang terdakwa, terdapat dua komponen:
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang;
b. Dengan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang .
Sistem ini memadukan unsur-unsur objektif dan unsur subjektif dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan
diantara unsur tersebut. Jika salah satunya itu tidak ada, maka tidak cukup untuk
mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.
Menelaah dari ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang terkandung di dalamnya
yaitu :
71
Ibid, hal.14
113
a. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,
b. Dan dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin, bahwa :
1. Tindak pidana telah terjadi; dan
2. Terdakwa telah bersalah.
Kata “sekurang-kurangnya” dua alat bukti, yang memberikan limitatif dari
bukti minimum, yang harus disimpulkan pada acara pembuktian. Sebenarnya
prinsip minimum pembuktian bukan saja diatur dan ditegaskan dalam Pasal 183
KUHAP, tapi dijumpai dalam pasal lain. Namun sebagai aturan umum (general
rule) dari prinsip minimum pembuktian, diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal-
pasal lain yang menegaskan prinsip umum, antara lain:
1. Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Atau lebih dikenal dengan istilah “unus testis nullus testis”.
2. Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan atau pengakuan terdakwa (confession
by on accused) saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan
pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada proses
persidangan. Pada Putusan Nomor 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, terdapat
beberapa alat bukti yang diajukan di persidangan, diantaranya alat bukti
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan juga keterangan terdakwa.
Membuktikan kesalahan dari terdakwa maka penyidik mengunakan alat-
alat yang ditentukan oleh undang-undang yaitu Pasal 184 KUHAP. Salah satu
114
alat bukti yang digunakan oleh penyidik adalah alat bukti keterangan saksi.
KUHP dan KUHAP mengatur kewajiban setiap orang untuk menjadi saksi. Pasal
224 KUHP dan Pasal 522 KUHP mengancam sanksi pidana kepada setiap orang
yang tidak memenuhi kewajiban untuk menjadi saksi, ahli, atau juru bahasa.
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang berkedudukan paling utama dalam
Pasal 184 KUHAP, karena keterangan dari saksi dapat membuat terang suatu
tindak pidana. Terlebih lagi apabila keterangan saksi tersebut dapat dinyatakan
dalam persidangan dan menjadi alat bukti yang sah menurut pasal 185 KUHAP.
Untuk mengetahui nilai keterangan saksi keluarga yang tergolong pada
Pasal 168 KUHAP di atas, harus memperhatikan kembali pada Pasal 161 ayat (2)
dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, yaitu :
a. Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.
b. Tetapi dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim.
c. Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan menguatkan alat
bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan tersebut mempunyai
persesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya, dan alat bukti yang sah
itu telah memenuhi batas minimum pembuktian.
Dari uraian di atas dapat diketahui keterangan yang disampaikan oleh
keluarga dapat digunakan meyakinkan hakim dan atau dapat bernilai serta dapat
digunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah, sepanjang keterangan saksi
tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah yang sudah
memenuhi batas minimum pembuktian dan tidak termasuk dalam Testimonium de
auditu72
. Namun
72
Lamintang, , 2010, Op.Cit, hal 112
115
Keterangan saksi keluarga tersebut yaitu isteri terdakwa yang tergolong
dalam orang yang dikecualikan untuk menjadi saksi berdasarkan Pasal 168
KUHAP, dapat diketahui bahwa alat bukti keterangan saksi tersebut merupakan
alat bukti yang sah dan utama dalam perkara pidana Putusan Pengadilan Negeri
Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga karena telah ditentukan oleh
Pasal 169 KUHAP yang menyatakan bahwa :
1. Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 168
menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas
menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.
2. Tanpa persetujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1),
mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.
Syarat sahnya keterangan saksi, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai
berikut :
Syarat sahnya keterangan saksi, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai
berikut :
(1). Harus mengucapkan sumpah atau janji, hal ini diatur dalam :
Ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum memberikan keterangan,
saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji :
a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenar-
sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.
Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP pada prinsipnya wajib
diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi Pasal 160 ayat
116
(4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji
setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan
sumpah atau janji:
a. Pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi keterangan,
b. Tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji
dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi keterangan73
.
(2). Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti,
dan keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai
dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP :
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannya itu.
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui yaitu:
a. Adanya peristiwa pidana;
b.Dengar sendiri;
c. Lihat sendiri;
d.Alami sendiri;
e. Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Pasal 185 ayat (1) KUHAP, menyebutkan:
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
Dalam penjelasannya dalam keterangan saksi itu tidak termasuk
keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de
auditu.
73
M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Jakarta,
Sinar Grafika, hal. 286
117
Ditegaskan pula dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP dan dihubungkan dengan
Pasal 185 ayat (1) KUHAP menurut M.Yahya Harahap disimpulkan:
a. Setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi atau diluar apa yang dilihat atau dialami
sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan
diluar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai
suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai
sebagai alat bukti. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan
pembuktian.
b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai
hasil dari pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai
alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan
ulangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai saksi.
c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan
merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketetntuan
Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu keterangan saksi yang
bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari
pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang
bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat
dinilai sebagai alat bukti.
Agar seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi haruslah
memenuhi syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa
pidana yang didengarnya sendiri, dilihat sendiri, dan dialaminya sendiri.
Pengertian kata “sendiri” berarti setiap hal-hal yang secara langsung
diketahui oleh saksi, akan tetapi baik pendapat maupun rekaan, yang
diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi dan
tidak mencakup keterangan yang diperoleh dari orang lain74
.
(3). Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Supaya dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang
“dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal
74
Darwan, Prints, 1989, Op.Cit, hal. 76
118
185 ayat (1) KUHAP. Keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa
yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri
mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti
apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan
yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat
bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
(4). Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
Pasal 185 ayat (2) KUHAP menentukan keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya. Keterangan seorang saksi saja
belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa. Hal ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan
penuntut umum hanya terdiri dari seorang saja, tanpa ditambah dengan
keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal
seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP, adalah:
c. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa, paling sedikit harus
didukung dengan dua orang saksi;
d. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka
kesaksian tadi harus dicukupi atau ditambah dengan satu alat bukti yang
lain.
119
Untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling
sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang
saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti permulaan yang harus
ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lainnya, hal ini berkaitan dengan
Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang menegaskan bahwa:
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah
dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lainnya sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Azas dalam pemeriksaan saksi adalah unus testis nullus testis artinya
satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2)
KUHAP tetapi azas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat (3)
KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu
alat bukti lain yang sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi
cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain75
.
Selain itu saksi dalam memberikan keterangan hanya boleh mengenai
keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap
persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan seorang saksi
mengetahui hal-hal sesuatu. Suatu pendapat atau suatu persangkaan yang
disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap
sebagai keterangan saksi76
. Pada dasarnya setiap orang yang melihat,
mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya
dengan tindak pidana dapat menjadi saksi, namun demikian agar di dalam
75
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, 2003, hal. 42. 76
Wirjono Prodjodikoro,1983, Op.Cit, hal. 118
120
persidangan bisa didapatkan keterangan saksi yang sejauh mungkin objektif
dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa.
Kasus tindak pidana pembunuhan sebagaimana diputuskan dalam Putusan
Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, berawal
korban (SSW) hendak membunuh anak terdakwa, untuk melindungi anaknya
maka terdakwa (TSN) mendahului membunuh korban. Pada sidang pengadilan
terdakwa menerangkan bahwa terdakwa tidak bermaksud untuk membunuh
korban tetapi semata-mata untuk melindungi keluarganya dan dilakukan dalam
keadaan terpaksa, sehingga dalam perkara tersebut hakim mendasarkan pada alat
bukti keterangan saksi keluarga yaitu isteri terdakwa (Ro) yang menerangkan
bahwa terdakwa selalu membawa pisau lipat untuk melindungi keluarganya dari
ancaman korban. Berdasarkan keterangan saksi keluarga tersebut hakim dapat
memperoleh petunjuk dan dapat menambah keyakinannya. Dalam praktiknya
untuk melihat kebenaran saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP, yaitu:
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. Saling persesuaian
ini harus jelas nampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim. Penjabaran
persesuaian ini harus sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara terperinci dan
sistematis.
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain. Dalam hal ini,
jika yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan di pengadilan
terdiri dari saksi dengan alat-alat bukti yang lain baik berupa ahli, surat atau
petunjuk, maka hakim dalam sidang pengadilan maupun dalam
pertimbangannya harus meneliti dengan sungguh-sungguh saling persesuaian
maupun pertentangan antara keterangan saksi tadi dengan alat bukti yang lain
tersebut.
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan
tertentu. Disinilah hendaknya hakim mencoba mencari alasan saksi, mengapa
saksi memberikan keterangan yang seperti itu. Tanpa mengetahui alasan saksi
yang pasti, maka akan memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang
keadaan yang diterangkan saksi.
121
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/
2009/PN.Purbalingga, keterangan yang disampaikan oleh saksi keluarga tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, yaitu diserahkan kepada kebijakan
hakim karena hakim wajib mendengar keterangan dari kedua belah pihak77.
Menurut M.Yahya Harahap78
:
Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas, yang tidak
mempunyai nilai kekauatan pembuktian yang sempurna dan tidak
menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk
menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Hal tersebut tergantung pada
penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada
keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan
saksi. Hakim bebas menilai kekuatan pembuktian atau kebenaran yang
melekat pada keterangan itu. Hakim dapat menerima atau
menyingkirkannya.
Keterangan dari saksi tersebut dapat digunakan meyakinkan hakim dan
bernilai sebagai alat bukti yang sah setelah mendapat pesetujuan dari Jaksa
Penuntut Umum sesuai ketentuan Pasal 169 KUHAP serta dapat digunakan
sebagai alat bukti petunjuk karena memliki persesuaian dengan keterangan saksi-
saksi lain dan keterangan dari terdakwa sehingga alat bukti saksi tersebut
diperlukan oleh hakim sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan bahwa
terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
pembunuhan terhadap korban (SSW) serta menjatuhkan pidana penjara kepada
terdakwa (TSN) selama 8 (Delapan) tahun. Hakim dalam mempertimbangkan
keterangan dari saksi yang dihadirkan di persidangan harus dapat
77
Adji, Oemar Seno, 1980, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, hal.42 78
M. Yahya Harahap, 2009, Op Cit, hal. 273-274
122
mempertanggungjawabkan keputusannya, apakah akan menggunakan keterangan
saksi sebagai pendapatnya sendiri yang kemudian dipergunakan dalam
pertimbangan putusan, ataukah menolak keterangan saksi karena tidak sesuai
dengan pendapatnya. Hakim tidak bisa menolak atau menerima keterangan
seorang saksi semata-mata tanpa landasan yang jelas.
123
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1) Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga menghadirkan saksi keluarga
dalam persidangan pada Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/
PN.Purbalingga karena :
a. Keterangan istri terdakwa atas kehendaknya sendiri sebagai saksi yang
merupakan alat bukti utama yang dapat membuat terang duduk persoalan
yang timbul dalam persidangan setelah disetujui secara tegas oleh Jaksa
Penuntut Umum, untuk menjelaskan mengenai terjadinya tindak pidana
pembunuhan tersebut.
b. Untuk menjelaskan lebih lanjut duduk perkara secara sebenar-benarnya
di bawah sumpah mengenai penyebab terjadinya tindak pidana
pembunuhan tersebut.
2) Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Keluarga dalam Putusan Nomor
: 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga merupakan alat bukti yang sah setelah
disetujui secara tegas oleh Penuntut Umum dan hakim bebas untuk
mempergunakan atau menolak keterangan saksi. Keterangan saksi
keluarga tersebut dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk
meyakinkan hakim karena keterangan saksi tersebut mempunyai
persesuaian dengan keterangan saksi-saksi lain dan alat bukti lain yang
124
sah yang sudah memenuhi batas minimum pembuktian sesuai ketentuan
Pasal 185 ayat (6) KUHAP dan tidak termasuk dalam Testimonium de
auditu.
B. Saran
Sebaiknya hakim tetap objektif dalam mempertimbangkan dan memutus suatu
perkara. Selalu jeli dalam menilai keterangan saksi-saksi, walaupun saksi yang
memiliki hubungan darah dengan terdakwa namun selama keterangannya tersebut
memiliki persesuaian dengan alat bukti lainnya, keterangan tersebut harus tetap
dapat diterima hakim sebagai dasar petimbangan dan keyakinan hakim dalam
memutus suatu perkara.
125
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Abdussalam, H. R, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa
Keadilan Masyarakat Jilid 2, Restu Agung, Jakarta, 2006.
Adji, Oemar Seno, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980.
Ansori, Sabuan, dkk. Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990.
Atang, Ranoemihardja. R, Hukum Acara Pidana,Tarsito, Bandung, 1980.
Dahlan, Irdan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1997.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, CV. Sapta Artha
Jaya,1996.
_______, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
_______, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali),
Jakarta, Sinar Grafika, 2000.
_______, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Jakarta,
Sinar Grafika, 2009.
_______, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, Jakarta,Pustaka
Kartini, 2010.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung;
Mandar Maju, 2003.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,
Malang, 2008.
Dahlan, Irdan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1997.
Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan dan Yurisprudensi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010.
Makarao, Taufik Mohammad, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2004.
126
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2005.
Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan
Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi). Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Poernomo, Bambang, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia,
Yogyakarta,Liberty, 1986.
________, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku Yogyakarta,
Yogyakarta, 1988.
_________, Pola Dasar Teori Asas Umum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana,
Liberty, Jogjakarta, 1993.
Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta, Djambatan, 1989.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung, 1983.
Prodjohamidjojo, Martiman, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti jilid 2, Ghalia,
Jakarta, 1990.
_________ , Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Ghalia, Jakarta, 1983
R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut
KUHAP bagi Penegak Hukum), Politea, Bogor, 1982.
Soemitro, Rony Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang,
2005.
Sutarto, Suryono, Sari Hukum Acara Pidana1, Yayasan Cendikia Dharma, Semarang,
1987.
Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Armioo, Bandung, 1984.
B. Peraturan Perundang – undangan :
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
________, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
________, Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, No. 27 Tahun 1983, LN No. 10 Tahun 195, TLN No. 27.
127
C. Sumber Hukum Lain
Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor: 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga
Artikel nonpersonal, 2007, “Tipologi Penelitian Hukum”.
http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28
juni 2012.
Artikel hukum, 2008, “Kekuatan Pembuktian Saksi Keluarga”.
http://www.google.co.id/url.kekuatanpembuktiansaksikeluarga&source, diakses
tanggal 11 juli 2012, jam 12.28
Satyawati Yuni Irianti, S.H., M.Hum, 2008, “Saksi Yang Memiliki Hubungan Darah
Dan Orang Yang Mempunyai Ikatan Kerja Dengan Terdakwa”.
http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/info-hukum/artikel-hukum/2074-saksi-yang-
memiliki-hubungan-darah-dan-orang-yang-mempunyai-ikatan-kerja-dengan-
terdakwa.html, diakses tanggal 1 Oktober 2012, jam 12.45