KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK...

128
KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga) SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Penulisan Skripsi Disusun Oleh : Bayu Dwi Mulyanto E1A008184 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012

Transcript of KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK...

KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN

(Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Penulisan Skripsi

Disusun Oleh :

Bayu Dwi Mulyanto

E1A008184

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2012

1

KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN

(Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Oleh :

Bayu Dwi Mulyanto

E1A008184

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2012

2

KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN

(Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.PBG)

Oleh:

BAYU DWI MULYANTO

E1A008184

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan disahkan

Pada tanggal November 2012

Para Penguji/Pembimbing

Penguji I/ Penguji II/ Penguji III

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H. Handri Wirastuti .S., S.H.,M.H. Pranoto, S.H.,M.H.

NIP. 19640724 199002 1 001 NIP. 19581019 198702 2 001 NIP. 19540305 198901 1 001

Mengetahui

Dekan,

Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.

NIP. 19640923 198901 1 001

3

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN

(Studi Terhadap Putusan Nomor: 07/Pid.B/2009/PN.PBG)

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta

informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa

kebenaranya.

Apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk

pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Purwokerto, November 2012

Bayu Dwi Mulyanto

E1A008184

4

ABSTRAK Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar dan ia

alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya, sesuai dengan

ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP. Pada umumnya alat bukti saksi adalah yang

paling menentukan dalam menilai apakah tindak pidana pembunuhan itu benar-benar

terjadi dan dilakukan oleh terdakwa. Namun dalam kasus tindak pidana pembunuhan

sebagaimana diputuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor :

07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, hakim menghadirkan saksi yang memiliki hubungan

keluarga dengan terdakwa yakni istri terdakwa sendiri. Berdasarkan uraian diatas

penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul : KEKUATAN ALAT BUKTI

SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi

Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga).

Didalam meneliti skripsinya, ditemukan permasalahan yang dapat dirumuskan

sebagai berikut, 1. Mengapa saksi keluarga dihadirkan dalam persidangan pada Putusan

Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian

keterangan saksi keluarga dalam tindak pidana pembunuhan terhadap Putusan Nomor :

07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga tersebut?

Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga

Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, alasan hakim menghadirkan saksi keluarga

dalam persidangan karena Keterangan istri terdakwa atas kehendaknya sendiri sebagai

saksi yang merupakan alat bukti utama pada ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dapat

membuat terang duduk persoalan yang timbul dalam persidangan setelah disetujui secara

tegas oleh Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan Pasal 169 KUHAP, mengenai

terjadinya tindak pidana pembunuhan tersebut.

Sedangkan keterangan dari saksi keluarga tersebut setelah mendapat

persetujuan secara tegas dari Jaksa Penuntut Umun maka dapat berlaku sebagai alat

bukti yang sah yang diserahkan kepada kebijakan hakim untuk menambah

keyakinannya sepanjang keterangannya bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain

berdasarkan pada Pasal 185 ayat (7) KUHAP, dan tidak termasuk dalam Testimonium

de auditu.

Kata Kunci : Pembuktian, Saksi Keluarga, Tindak Pidana Pembunuhan

5

ABSTRACT Eyewitness description is one of the evidence appliance in criminal which in the

form of description of eyewitness regarding a crime which he hears and he experienced

of by himself with mentioned the reason from the knowledge he has, pursuant to

Section 1 number 27 Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP). Generally

eyewitness evidence appliance is most determining in assessing do that is murdering of

an criminal act really do and conducted by defendant. But in murdering of an criminal

act case as decided in Decision District Court Of Purbalingga Number :

07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, judge attended the eyewitness who she has owning

blood relationship with defendant that is the defendant wife himself. Based on above

description, writter interest to compile the thesis with title is : STRENGTH OF

APPLIANCE EVIDENCE EYEWITNESS FAMILY IN THE MURDERING OF AN

CRIMINAL ACT ( Study To Decision Number : 07/Pid.B/2009/

PN.PURBALINGGA).

In the research, found any problems which can formulated as follows 1. Why

does family eyewitness attended in conference at Decision Number : 07/Pid.B/2009/

PN.PURBALINGGA 2. How does the strength of verification of family eyewitness

description in murdering of an criminal act at Decision Number : 07/Pid.B/2009/

PN.Purbalingga?

Pursuant to research result at Decision District Court Of Purbalingga Number

: 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, the judge reason attended family eyewitness in

conference because Description from defendants wife of his own will desire as

eyewitness was the first evidence appliance at the rule of Section 184 sentence ( 1)

Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP) can make boldly of arising out

case position in conference after agreed expressly by The Publik Procecutor pursuant

to Section 169 Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP), about the

happening of murdering of an criminal act.

Awhile description of the family eyewitness after getting the expressly

permission from Publik Procecutor so can apply as a means of valid evidence which

delivered to policy of the judge to added the confidence of as long as their description

chiming in with other eyewitness description pursuant to Section 185 sentence ( 7)

Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP), and was not the included in the

Testimonium auditu de.

Keyword : Verification, Eyewitness Family, Murdering of an Criminal Act

6

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan

rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

dengan judul “KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK

PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/

PN.Purbalingga)”.

Berbagai kesulitan dan hambatan Penulis hadapi dalam penyusunan

skripsi ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini juga tidak lepas dari

bimbingan, dorongan, bantuan materiil dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak,

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, Penulis ingin

menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin terhadap penelitian ini.

2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah

memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat

membangun serta banyak menambah wawasan dan ilmu pengetahuan

khususnya dalam lingkup Hukum Acara Pidana bagi penulis, sehingga penulis

mendapatkan kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan skripsi sampai

selesai.

3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Skripsi II yang telah

memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat

membangun dalam penyusunan skripsi ini.

7

4. Pranoto, S.H.,M.H. selaku Dosen Penguji Skripsi yang turut menilai dan

memberi masukan pada skripsi penulis.

5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah

memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

6. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang

telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan.

7. Kedua orang tua tercinta, yang selalu mendoakan, memberi nasihat dan

motivasi selama penulis mengerjakan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan terdapat

banyak kekurangan karena keterbatasan Penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Purwokerto, November 2012

Bayu Dwi Mulyanto

E1A008184

8

PERSEMBAHAN

Sebelumnya saya ucapkan terlebih dahulu terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada Alloh SWT yang telah memberikan selalu jalan yang terbaik untuk saya.

Dan kemudian skripsi ini saya persembahkan untuk orang-orang yang saya

sayangi....

Kedua Orang Tua Tercinta

Bapak Joko S dan Ibu Puji P yang aku sayangi dan selalu memberi nasihat,

motivasi, senantiasa menyemangati ku, dan yang terpenting adalah memberiku

biaya selama menyelesaikan skripsi, hehe . Dan pastinya doa yang tak pernah

putus yang membawaku menyandang gelar Sarjana Hukum. Thank You and

Love you so much !

Sahabat-Sahabat Tersayang

Untuk Siho, Anas, Johan, Woko, Boneto, dan semua yang belum bisa aku sebutin

satu persatu yang selalu menemaniku hingga akhir kuliah, dan khususnya untuk

Lusiana Tamimatus,S.H., terima kasih karena telah banyak sekali membantuku,

memberi saran dan motivasi selama aku mengerjakan skripsi. Adanya kalian

membuatku tak pernah bosan dan stres dalam mengerjakan skripsiku setiap

harinya. Miss You All .

Seseorang Yang Kucinta

Dwi Agestin N.A,. terima kasih c’Putku karna selalu memberikan semangat,

motivasi, nasihat, doa, dan juga selalu setia mendengarkan segala keluh kesah ku

pada saat mengerjakan skripsi. Terima kasih juga untuk ibuku tercinta yang

selalu mendoakan dan memberi semangat. Love You.

9

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN................................................................... i

HALAMAN JUDUL………………………………………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….. iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI…………………………………. iv

ABSTRAK…………………………………………………………………. v

ABSTRACT……………………………………………………………….. vi

PRAKATA………………………………………………………………... vii

PERSEMBAHAN……………………………………………....…………. ix

DAFTAR ISI………………………………………………………………. x

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................. 3

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4

D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 4

BAB II. TINJAUAN UMUM

A. Pengertian Hukum Acara Pidana ............................................ 6

B. Tujuan Hukum Acara Pidana .................................................. 7

C. Asas-asas Hukum Acara Pidana .............................................. 9

D. Teori dan Sistem Pembuktian ................................................ 21

E. Alat Bukti

1. Pengertian Alat Bukti ....................................................... 26

2. Jenis Alat Bukti ................................................................ 28

F. Keterangan Saksi

1. Pengertian Keterangan Saksi ............................................ 30

2. Hak-Hak Saksi .................................................................. 34

3. Syarat Sah Keterangan Saksi ............................................ 34

4. Keterangan Saksi Yang Berdiri Sendiri ............................ 39

5. Cara Penilaian Kebenaran Keterangan Saksi ................... 40

6. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi ................. 41

10

G. Keterangan Ahli

1. Pengertian Keterangan Ahli .............................................. 42

2. Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli .............................. 42

3. Bentuk Keterangan Ahli .................................................... 43

H. Alat Bukti Surat

1. Pengertian Surat ................................................................ 45

2. Nilai Kekuatan Pembuktian Surat ..................................... 46

I. Alat Bukti Petunjuk

1. Pengertian Alat Bukti Petunjuk ......................................... 48

2. Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk ............................. 48

3. Syarat Alat Bukti Petunjuk ................................................ 49

4. Nilai Kekuatan Pembuktian Petunjuk ................................ 49

J. Keterangan Terdakwa ............................................................ 50

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Pendekatan ................................................................ 52

B. Spesifikasi Penelitian .............................................................. 52

C. Lokasi Penelitian .................................................................... 53

D. Sumber Data ........................................................................... 53

E. Metode Pengumpulan Data .................................................... 53

F. Metode Penyajian Data .......................................................... 54

G. Metode Analisis Data ............................................................. 54

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ...................................................................... 55

B. Pembahasan ........................................................................... 92

BAB V. PENUTUP

A. Simpulan ............................................................................... 102

B. Saran ..................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses penyelesaian perkara pidana terdiri dari penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan dan pemberian putusan pengadilan serta pelaksanaannya. Keseluruhan

proses tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain dan dalam tiap

tingkatan proses terdapat aparat penegak hukum yang memiliki tugas khusus dalam

proses tersebut menurut yang diatur dalam KUHAP1.

Proses peradilan hakim dalam menentukan siapa yang bersalah karena telah

melakukan tindak pidana tidaklah mudah, untuk itu hakim dalam melakukan

pemeriksaan harus melihat tentang alat-alat bukti sah. Artinya hakim pada

prinsipnya dalam menjatuhkan putusan selalu mendasarkan pada alat-alat bukti

yang sah, oleh karena itu dalam usaha membuktikan apakah tindak pidana yang

didakwakan penuntut umum itu terbukti atau tidak. Hakim harus berhati-hati

dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian, karena dengan

pembuktian ini ditentukan nasib seorang terdakwa, dengan terciptanya KUHAP

maka untuk menentukan seseorang itu bersalah maka kesalahannya harus

dibuktikan terlebih dahulu. Dengan demikian polisi, jaksa dan hakim sebagai

aparat penegak hukum tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana, tetapi

harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana2.

1 Irdan Dahlan, 1997,Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Jakarta, Bina Aksara, hal. 9

2 Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, CV. Sapta

Artha Jaya,.hal. 8

12

Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut

Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) yang dalam hal ini sesuai

ketentuan Pasal 183 KUHAP yang dirumuskan :

"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh kenyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya”

Ketentuan Pasal 183 KUHAP dapat diketahui bahwa pada acara

pembuktian penyidik Polri atau penuntut umum harus menyampaikan sekurang-

kurangnya dua alat bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP

ialah :

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa.

Salah satu alat bukti yang sering dipergunakan oleh penyidik, jaksa dan

hakim adalah keterangan saksi dan pada umumnya, alat bukti keterangan saksi

merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan,

tidak ada perkara yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir

semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan

keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti

yang lain, masih diperlukan pembuktian dengan keterangan saksi3.

Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan yang

sesuai dengan yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP :

3 M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta, Sinar

Grafika,.hal 265

13

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari

pengetahuannya.

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi yang menentukan dalam menilai

apakah tindak pidana pembunuhan itu benar-benar terjadi dan dilakukan oleh

terdakwa. Kasus tindak pidana pembunuhan sebagaimana diputuskan dalam

Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga,

berawal korban (SSW) hendak membunuh anak terdakwa (Ro), untuk melindungi

anaknya maka terdakwa mendahului membunuh korban. Pada sidang pengadilan

terdakwa menerangkan bahwa terdakwa tidak bermaksud untuk membunuh korban

tetapi semata-mata untuk melindungi keluarganya dan dilakukan dalam keadaan

terpaksa, sehingga dalam perkara tersebut hakim mendasarkan pada alat bukti

keterangan saksi keluarga yaitu isteri terdakwa dan kemenakan terdakwa yang

menerangkan bahwa terdakwa selalu membawa pisau lipat untuk melindungi

keluarganya dari ancaman korban. Berdasarkan keterangan saksi keluarga tersebut

hakim memperoleh petunjuk dan menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak

pidana pembunuhan.

Uraian di atas terdapat dalam Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/

PN.Purbalingga dan sekaligus menjadi bahan judul skripsi yakni : KEKUATAN

ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN

B. Perumusan Masalah

14

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diambil suatu

permasalahan sebagai berikut :

1. Mengapa saksi keluarga dihadirkan dalam persidangan pada Putusan

Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga?

2. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi keluarga dalam tindak

pidana pembunuhan terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga

tersebut?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui alasan saksi keluarga dihadirkan dalam persidangan pada

Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga.

2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi yang memberatkan

dalam tindak pidana pada pembunuhan Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/

PN.Purbalingga.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun yang menjadi kegunaan penelitian dalam penulisan karya tulisan ini

adalah:

1. Kegunaan Teoritis

Memberikan sebuah informasi, menambah wacana berpikir dan

kesadaran bersama dalam berbagai bidang keilmuan, khususnya di bidang

ilmu hukum pidana berkenaan dengan kekuatan alat bukti saksi keluarga

dalam tindak pidana pembunuhan.

2. Kegunaan Praktis

15

Karya tulis ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pemikiran

terutama dalam rangka menyempurnakan peraturan – peraturan di bidang

hukum pidana khususnya tentang kekuatan alat bukti. Bagi Penulis secara

pribadi, hal ini merupakan salah satu bentuk latihan menyusun suatu karya

ilmiah walaupun masih sangat sederhana. Penulisan ini juga diharapkan dapat

memberikan informasi dan masukan kepada praktisi, civitas akademik,

masyarakat, dan pihak pemerintah Indonesia sendiri.

16

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Pengertian Hukum Acara Pidana

Ruang lingkup hukum pidana yang luas baik hukum pidana substantif

(materiil) maupun hukum pidana (formal) disebut hukum acara pidana, yang

berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga disebut

hukum pidana formal atau hukum acara pidana.

Pemerintah merumuskan hukum pidana (materiil) sebagai keseluruhan

peraturan yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakkan

pidana dan dimana pidana itu seharusnya menjelma. Hukum acara pidana

biasa disebut juga sebagai hukum pidana formal yaitu : hukum yang

mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk

memidana dan menjatuhkan pidana4.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya tidak

memberikan definisi tentang hukum acara pidana tetapi bagian-bagiannya seperti

penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan, upaya hukum, penyitaan,

penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain.

Memahami apa hukum acara pidana itu, maka dibawah ini diberikan

beberapa definisi baik menurut Sarjana Barat maupun Sarjana Timur.

a. R. Soesilo

Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara

bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana

materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana

cara putusan itu harus dilakukan5.

b. Simons

4 Andi, Hamzah, 2009, Hukum Acara Pidana Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 4

5 R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut

KUHAP Bagi Penegak Hukum), Bogor: Politea, hal. 3

17

Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat

perlengkapan mempergunakan haknya untuk memidana dan menjatuhi

pidana.

c. Wiryono Prodjodikoro

Hukum acara pidana berhubungan dengan adanya hukum pidana, maka

dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat

cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu

kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna

mencapaitujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.

d. Sudarto

Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk

apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak

atau orang-orang lain yang terlibat di dalamnya, apabila ada persangkaan

bahwa hukum pidana dilanggar6.

Secara singkat dapat diartikan bahwa norma hukum acara pidana menjadi

saluran tertentu untuk menyelesaikan kepentingan apabila terjadi perbuatan

melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana. Pada dasarnya norma hukum

acara pidana mengatur, atau memerintahkan, atau melarang untuk bertindak, dalam

mennyelenggarakan upaya manakala ada sangkaan/terjadi perbuatan pidana agar

dapat dilakukan penyelidikan, penyidikan, tuntutan hukum, pemeriksaan perkara,

putusan hakim dan pelaksanaan keputusan oleh petugas yang berwenang dengan

keharusan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia serta Negara7.

B. Tujuan Hukum Acara Pidana

6 Suryono, Sutarto , 1987, Sari Hukum Acara Pidana1, Semarang: Yayasan Cendikia Dharma,

hal. 5 7 Bambang, Poernomo, 1988, Orientasi Hukum Acara Pidana, Jogjakarta: Amarta Buku, hal. 2

18

Setiap peraturan hukum yang dibentuk pasti memiliki suatu tujuan yang

hendak dicapai. Sebuah peraturan hukum yang dibentuk tidak memiliki tujuan akan

tidak memiliki nilai kegunaan. Semakin baik tujuan yang hendak dicapai semakin

bernilai dan ditaati pula peraturan itu oleh masyarakat pencari keadilan.

Tujuan hukum acara pidana seperti dikutip dalam buku Moch. Faisal Salam

dalam pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman,

memberi penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana sebagai berikut:

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan

ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk

mencari siapakah pelakunya yang dapat didakwakan melakukan suatu

pelanggaran hukum, dan selanjutnya memintakan pemeriksaan dan putusan

dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana

telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.

Kebenaran yang hendak dicari dan didapatkan oleh hukum acara pidana itu

sendiri sudah barang tentu kebenaran yang selengkap-lengkapnya sesuai dengan

sifat keterbatasan aparat penegak hukum yang melaksanakan hukum acara pidana itu

sendiri. Untuk mencapai suatu kebenaran yang mutlak adalah suatu hal yang berada

di luar jangkauan kemampuan manusia8.

Tujuan hukum acara pidana mencari dan menemukan kebenaran material itu

hanya merupakan tujuan antara dan tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai suatu

ketertiban dan ketentraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam

masyarakat9.

8 Suryono Sutarto, Op. Cit, hal. 4

9 Andi Hamzah, 2009, Op.Cit, hal. 19

19

Bambang Poernomo10

memberikan penjelasan tujuan hukum acara pidana

sebagai berikut:

Tujuan ilmu hukum acara pidana mempunyai kesamaan dengan tujuan ilmu

hukum dengan sifat kekhususan yaitu mempelajari hukum mengenai tatanan

penyelenggaraan proses perkara pidana dengan memperhatikan perlindungan

masyarakat serta menjamin hak asasi manusia dan mengatur susunan serta

wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum untuk mencapai

kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sarana peraturan hukum

acara pidana itu susunan dan wewenang alat perlengkapan negara penegak

hukum dalam proses perkara pidana mempunyai tugas mencari dan

menemukan fakta menurut kebenaran, mengadakan tindakan penuntutan

secara tepat dan memberikan putusan dan pelaksanaannya secara adil.

Sedangkan menurut Tanusubroto11

:

Hukum acara pidana mempunyai tujuan mengemban isi mencari kebenaran

sejati tentang pelaku tindak pidana untuk memperoleh imbalan atas

perbuatannya serta membebaskan mereka yang tidak bersalah dari tindakan

yang seharusnya tidak dikenakan atas dirinya.

Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana seperti yang

dikutip oleh Andi Hamzah12

yaitu sebagai berikut:

1. Mencari dan menemukan kebenaran.

2. Pemberian keputusan oleh hakim.

3. Pelaksana keputusan.

C. Asas-Asas Hukum Acara Pidana

Suatu kegiatan baik itu kegiatan masyarakat, berbangsa maupun bernegara

harus mempunyai cita-cita yang menjadi dasar agar tujuan kegiatan tersebut dapat

tercapai dengan baik. Cita-cita yang menjadi dasar ataupun sesuatu kebenaran yang

10

Bambang, Poernomo, 1993, Pola Dasar Teori Asas Umum Acara Pidana dan Penegakan

Hukum Pidana, Jogjakarta: Liberty, hal. 29 11

Tanusubroto, 1984, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung: Armioo, hal. 2 12

Andi Hamzah, 2009, Op. Cit, hal. 8

20

menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir/berpendapat lazim disebut asas. Asas itu

mempunyai peranan yang sangat penting di dalam suatu kegiatan.

Demikian pula dalam hukum acara pidana juga ditemukan asas-asas yang

menjadi prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam

melaksanakan/menyelesaikan suatu perkara di Badan-Badan Peradilan. Asas-asas

hukum acara pidana tumbuh berkembang dari nilai-nilai hukum, dan kesadaran hak

asasi, serta peradaban dalam kehidupan manusia di tengah-tengah kelompok

masyarakat atau bangsa-bangsa yang tertuang sebagaian besar ke dalam hukum

positif.

KUHAP dilandasi oleh asas atau prinsip hukum tersebut diartikan sebagai

dasar patokan hukum sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran

aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Mengenai hal

tersebut, bukan hanya kepada aparat hukum saja, asas atau prinsip yang dimaksud

menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat yang

terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP.

Adapun asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana adalah:

1. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009, yang menghendaki agar pelaksanaan

penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas: cepat, tepat, sederhana,

dan biaya ringan. Tidak bertele-tele dan berbelit-belit. Apalagi jika keterlambatan

penyelesaian kasus terhadap hukum dan martabat manusia.

21

Asas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif,

sehingga tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada

tersangka/terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Asas ini juga terdapat

dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf e KUHAP yang berbunyi:

“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan

serta bebas, jujur dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen

dalam seluruh tingkat peradilan”.

Beberapa ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang cepat,

tepat, dan biaya ringan, antara lain, tersangka atau terdakwa berhak:

a. Segera mendapat pemeriksaan dari penyidik,

b. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik,

c. Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum,

d. Berhak segera diadili oleh pengadilan.

Hak mendapat pemeriksaan segera ini diatur dalam Pasal 50 KUHAP.

Mengenai pelimpahan ke pengadilan negeri ke pengadilan tinggi sebagai tingkat

banding juga telah ditentukan batas waktu dalam KUHAP agar terlaksana

penyelesaian yang tepat. Tentang asas sederhana dan biaya ringan dalam KUHAP

diatur:

a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi

yang bersifat perdata adalah seorang korban yang mengalami kerugian

akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa (Pasal

98);

b. Banding tidak dapat diminta terhadap putusan dalam “acara cepat”;

22

c. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi

pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksanaan dari

prinsip mempercepat dan menyederhanakan proses penahanan;

d. Peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-nyata memberi makna

menyederhanakan penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar

tidak terjadi penyidikan bolak-balik, tumpang tindih atau overlapping,

dan saling bertentangan.

Menurut Bambang Poernomo13

:

Proses perkara pidana yang dilaksanakan dengan cepat diartikan

menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural agar tercapai

efisiensi kerja dalam waktu yang singkat. Proses yang sederhana diartikan

penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu agar pemberkasan

perkara dari masing-masing instansi yang berwenang berjalan dalam satu

kesatuan yang tidak memberikan peluang saluran dalam bekerja yang

berbelit-belit. Biaya yang murah diartikan menghindarkan sistem

administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang

mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan tidak sebanding

dengan hasil yang diharapkan.

2. Asas Praduga Tak bersalah atau Presumption of Innocent

Asas ini kita jumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP. Asas

ini juga dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

“Setiap orang yang disangka, diatngkap, ditahan, dituntut, dan/atau

dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada

putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh

kekuatan hukum tetap”

Menurut M. Yahya Harahap14

:

Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi

teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator” atau accusatory procedure

13

Bambang, Poernomo, 1988, Op. Cit, hal.66 14

M. Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Garfika, hal. 40

23

(accusatorial system). Prinsip akusator enempatkan kedudukan

tersangka/terdakwa dalm setiap tingkat pemeriksaan:

- Adalah subjek: bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu tersangka

atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan

manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri,

- Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah

“kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah

itulah pemeriksaan ditujukan.

Asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada

aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap

tingkat pemeriksaan. Aparat hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan

yang “inkisitur” atau inquisitorial system yang menempatkan tersangka atau

terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan

sewenang-wenang.

Jaminan terhadap asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan

akusatur dalam penegakan hukum, terlihat dalam KUHAP adanya seperangkat

hak-hak kemanusiaan terhadap tersangka atau terdakwa yang wajib dihormati dan

dilindungi pihak aparat penegak hukum. Maka secara teoritis pemberian hak ini

telah menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa berada dalam posisi yang

sama derajat dengan pejabat aparat penegak hukum.

3. Asas Oportunitas

Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi

kewenangan untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut

penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa diatur dalam

Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137 KUHAP.

24

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli,

artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di

tangan penuntut umum atau jaksa. Sehingga hakim hanya menunggu saja

penuntutan dari penuntut umum.

Hubungan penuntut umum dengan hak penuntutan dikenal dua asas, yaitu

yang disebut asas legalitas (penuntut umum wajib menuntut suatu delik) dan asas

oportunitas (penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan

delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum).

Menurut A.Z. Abidin Farid seperti yang dikutip dalam bukunya Andi

Hamzah memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut yaitu asas

hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut

atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah

mewujudkan delik demi kepentingan umum.

Pasal 35 c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia denga tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di

Indonesia, berbunyi:

“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan

umum”.

Andi Hamzah15

menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

Menurut asas oportunitas penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang

yang melakukan delik jika menuntut pertimbangannya akan merugikan

kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang

melakukan delik tidak dituntut.

15

Andi, Hamzah, 2009, Op. Cit, hal. 16

25

Mengenai kriteria kepentingan umum itu, di dalam pedoman pelaksanaan

KUHAP dijelaskan adalah didasarkan untuk kepentingan negara dana masyarakat

dan bukan untuk kepentingan pribadi.

4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum

Landasan persamaan hak dan kedudukan antara tersangka/terdakwa dengan

aparat penegak hukum, ditambah dengan sifat keterbukaan perlakuan oleh aparat

penegak hukum terhadap tersangka/terdakwa, tidak ada atau tidak boleh

dirahasiakan segala sesuatu yang menyangkut pemeriksaan terhadap diri

tersangka/terdakwa. Semua hasil pemeriksaan yang menyangkut diri dan

kesalahan yang disangkakan kepada tersangka sejak mulai pemeriksaan

penyidikan harus terbuka kepadanya.

Pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum dapat dilihat dalam

Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP sebagai berikut:

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan

menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai

kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.

Pasal 153 ayat (4) KUHAP menyebutkan:

“Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan

batalnya putusan demi hukum”.

Jadi, pada saat membuka persidangan pemeriksaan perkara seseorang

terdakwa, hakim ketua harus menyatakan “terbuka untuk umum”. Pelanggaran

atas ketentuan tersebut atau tidak terpenuhinya ketentuan itu mengakibatkan

putusan pengadilan “batal demi hukum”.

26

Kekecualian terhadap kesusilaan dan anak-anak persidangan dilakukan

dengan “pintu tertutup” alasannya karena kesusilaan dianggap masalah pribadi.

Tidak patut untuk mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka dimuka

umum. Begitu juga dengan anak-anak, melakukan kejahatan karena kenakalan,

ditakutkan jiwa batin si anak akan mengalami goresan atau luka.

Asas terbuka untuk umum ini memang tepat karena persidangan dapat

dihadiri oleh umum, sehingga dapat lebih menjamin obyektifitas peradilan dan

tujuannya memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi terdakwa. Dilain

pihak juga ditentukan pengecualian apabila kesusilaan dan terdakwanya anak-

anak.

Menurut Andi Hamzah16

:

Ketentuan tersebut terlalu limitatif. Seharusnya kepada hakim diberikan

kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang

terbuka atau tertutup untuk umum.

Hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau

sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di

belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada

hakim. Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan

hakim dinyatakan dalm sidang yang terbuka untuk umum.

5. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum

Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini

tegas tercantum dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat (1)

16

Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Sapta Artha Jaya), hal. 19

27

dan Penjelasan Umum butir 3 huruf a KUHAP. Asas ini lazim disebut sebagai

asas isonomia atau equality before the law. Penjelasan umum butir 3 huruf a

berbunyi:

“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak

mengadakan perbedaan perlakuan”.

Sedangkan Pasal 4 ayat (1) berbunyi:

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

orang”

Menurut Andi Hamzah17

:

Dalam bahasa Sansekerta ”tan hana dharma manrua”yang dijadikan motto

Persaja (Persatuan Jaksa).

6. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum

Asas ini berkaitan dengan hak dari seseorang yang tersangkut dalam suatu

perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi pembelaannya maupun

untuk mendapatkan nasehat/penyuluhan tentang jalan yang dapat ditempuhnya

dalam menegakkan hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa.

Mengenai pemberian bantuan hukum ini diatur di dalam Pasal 69 sampai

dengan Pasal 74 KUHAP yang pada dasarnya tersangka/terdakwa mendapat

kebebasan-kebebasan yang sangat luas antara lain:

a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka/terdakwa ditangkap atau

ditahan.

b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.

c. Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkar

pemeriksaan dan pada setiap waktu.

17

Ibid, hal. 20

28

d. Penyidik dan penuntut umum tidak mendengarkan pembicaraan antara

penasehat hukum dan tersangka kecuali pada perkara/kejahatan terhadap

keamanan negara.

e. Tersangka atau penasehat hukum berhak mendapat turunan berita guna

kepentingan pembelaan.

f. Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari

tersangka/terdakwa.18

7. Asas Akusator dan Inkisitor (accusatoir dan inqisitoir)

Asas akusator adalah asas atau prinsip akusator yang menempatkan

kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan:

1. Adalah subjek: bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu tersangka

atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan

manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri,

2. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip inkisator adalah

“kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah

itulah pemeriksaan ditujukan.

Kebebasan memberi dan mendapatkan penasihat hukum menunjukkan

bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti perbedaan antara

pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah

dihilangkan.

Menurut Andi Hamzah19

:

Sebagaimana yang telah diketahui, asas akusator itu berarti tersangka

dipandang sebagai objek pemeriksaan.

18

M. Yahya, Harahap, 2010, Op. Cit, hal. 21 19

Ibid, hal. 24

29

Definisi asas inkisitor yaitu asas yang menempatkan tersangka atau

terdakwa sebagai objek dalam setiap pemeriksaan. Asas ini masih dianut oleh

HIR untuk pemeriksaan pendahuluan. Asas inkisator ini saat ini sudah

ditinggalkan oleh aparat penegak hukum karena tidak adanya perlindungan hak-

hak bagi tersangka atau terdakwa. Karena dalam asas inkisitor pengakuan

tersangka atau terdakwa merupakan alat bukti yang sangat penting sehingga

seringkali tersangka atau terdakwa diperlakukan sewenang-wenang tanpa

mempedulikan hak-hak asasi kemanusiaan. Hal ini sangat bertentangan dengan

prinsip-prinsip hukum acara pidana.

Asas inkisitor, Andi Hamzah20

berpendapat:

Asas inkisitor sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka

merupakan alat bukti terpenting. Dalam pemeriksaan selalu pemeriksa

berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Kadang-kadang untuk

mencapai maksud tersebut pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau

penganiayaan. Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi

ketentuan universal, maka asas inkisitor telah ditinggalkan oleh banyak

negara beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem pembuktian yang

alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan keterangan terdakwa,

begitu pula penambahan alat bukti berupa keterangan ahli.

8. Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan

Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung,

artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini beda dengan acara perdata

dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan juga dilakukan

secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.

M. Yahya Harahap21

juga berpendapat:

20

Andi Hamzah, 1996, Op. Cit, hal. 24 21

M. Yahya, Harahap, 2010, Op. Cit, hal.113

30

Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP menegaskan ketua sidang dalam

memimpin sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan. Tidak

boleh pemeriksaan dengan perantaraan tulisan baik terhadap terdakwa

maupun saksi-saksi. Kecuali bagi mereka yang bisu atau tuli, pertanyaan

dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Prinsip pemeriksaan dalam

persidangan dilakukan secara langsung berhadap-hadapan dalam ruang

sidang. Semua pertanyaan diajukan dengan lisan dan jawaban atau

keteranganpun disampaikan dengan lisan, tiada lain untuk memenuhi tujuan

agar persidangan benar-benar menemukan kebenaran yang hakiki. Sebab

dari pemeriksaan secara langsung dan lisan, tidak hanya keterangan

terdakwa atau saksi saja yang dapat didengar dan diteliti, tetapi sikap dan

cara mereka memberikan keterangan dapat menentukan isi dan nilai

keterangan.

Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan dijatuhkan

tanpa hadirnya terdakwa (in absentia), yaitu dalam acara pemeriksaan perkara

pelanggaran lalu lintas jalan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 213 KUHAP, yang

berbunyi: Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakili

disidang.22

D. Teori atau Sistem Pembuktian

Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada

beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan23

.

Teori dan sistem pembuktian dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut:

a. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction-in

Time)

Menurut Djoko Prakoso yang dikutip dari buku Makarao24

:

22

Andi Hamzah, 1996, Op. Cit, hal. 23 23

Andi Hamzah, 2009, Op Cit, hal. 251 24

Makarao Taufik.M, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Ghalia

Indonesia, hal. 37

31

Sistem ini dianggap cukuplah, bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu

keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan.

Dalam sistem ini hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan apa

suatu keadaan harus dianggap telah terbukti.

Arti teori ini adalah jika dalam pertimbangan keputusan hakim telah

menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari

hati nurani atau sifat bijaksana seorang hakim, maka dapat dijatuhkan putusan.

Sistem pembuktian ini sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti.

Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan

terdakwa. Sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim yang terlalu besar,

sehingga sulit untuk diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukum

sulit untuk melakukan pembelaan. Keyakinan hakimlah yang menentukan

wujud kebenaran sejati.

Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang

terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim.

Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dalam

sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada

keyakinan hakim semata-mata.

b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas dasar keyakinan

logis (Conviction-Raisonee)

Sistem inipun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang

peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi,

dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam

sistem conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka

32

pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan

“alasan-alasan yang jelas”. Tegasnya dalam sistem ini keyakinan hakim harus

dilandasi reasoning atau alasan-alasan dan reasoning itu harus “reasonable”

yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima akal sehat.

c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif

Pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah merupakan

pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut

keyakinan hakim atau conviction-in time. Pembuktian menurut Undang-undang

secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam pembuktian

kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan

alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo25

:

Sistem positief wettlijk merupakan sistem dimana pada pembuktian didasarkan

pada semata-mata alat bukti yang sah yang disebutkan oleh undang-undang,

akan tetapi tidak didukung dengan oleh keyakinan hakim.

Teori ini disebut teori pembuktian menurut undang-undang melulu. Keyakinan

hakim dalam sistem ini tidak berperan menentukan salah atau tidaknya

terdakwa.

Menurut D. Simon yang dikutip dari buku Andi Hamzah26

:

25

Martiman Prodjohamidjojo, 1990, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti jilid 2, Jakarta:

Ghalia, hal.133 26

Ibid, hal. 247

33

Sistem atau teori berdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk

menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim

secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.

M. Yahya Harahap27

memberi pendapat:

Pada pokoknya apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menyatakan

keyakinan hati nurani akan kesalahan terdakwa. Sistem ini benar-benar

menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya

terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah

ditentukan undang-undang.

d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negative wettelijk

stelsel)

Sistem pembuktian ini merupakan teori antara sistem pembuktian

menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut

keyakinan hakim, yaitu sistem pembuktian berdasarkan undang-undang dan

harus didukung oleh keyakinan hakim. Dimana untuk menentukan salah atau

tidaknya seorang terdakwa menurut sistem ini pembuktian undang-undang

secara negatif, terdapat dua komponen :

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang

sah menurut undang-undang.

b. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti

prinsip dari teori pembuktian negative wettelijk bewijs teori seperti terdapat

27

M. Yahya, Harahap, 2000, Op. Cit, hal.257

34

dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman No.48 Tahun 2009.

Pasal 183 KUHAP menyebutkan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009

menyebutkan :

“Tiada seorangpun dapat di jatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan

karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat

keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab

telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Menurut Martiman Prodjohamidjojo28

:

Istilah negatif wettelijk berarti wettelijk adalah berdasarkan alat-alat

bukti yang sah dan ditetapkan oleh undnag-undang. Sedangkan negatief

adalah walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan

undang-undang, belum cukup untuk memaksa hakim pidana

menganggap bukti sudah diberikan, akan tetap masih dibutuhkan adanya

keyakinan hakim.

Sistem ini, salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh

keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang

sah menurut undang-undang. Betitik tolak dari uraian tersebut , untuk

menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa, terdapat dua komponen:

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang

sah menurut undang-undang;

28

Martiman Prodjohamidjojo, 1983 , Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta: Ghalia,

hal.14

35

b. Dengan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang .

Sistem ini memadukan unsur-unsur objektif dan unsur subjektif dalam

menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan

diantara unsur tersebut. Jika salah satunya itu tidak ada, maka tidak cukup untuk

mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.

Menelaah dari ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang terkandung di

dalamnya yaitu :

a. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,

b. Dan dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin, bahwa :

1. Tindak pidana telah terjadi; dan

2. Terdakwa telah bersalah.

Kata “sekurang-kurangnya” dua alat bukti, yang memberikan limitatif

dari bukti minimum, yang harus disimpulkan pada acara pembuktian.

Sebenarnya prinsip minimum pembuktian bukan saja diatur dan

ditegaskan dalam Pasal 183 KUHAP, tapi dijumpai dalam pasal lain. Namun

sebagai aturan umum (general rule) dari prinsip minimum pembuktian, diatur

dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal-pasal lain yang menegaskan prinsip umum,

antara lain:

1. Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan

kepadanya. Atau lebih dikenal dengan istilah “unus testis nully testis”.

36

2. Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan atau pengakuan terdakwa (confession

by on accused) saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa.

E. Alat Bukti

1. Pengertian Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu

perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai

bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya

suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa29

. Alat – alat bukti yang

sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana

alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna

menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana

yang telah dilakukan oleh terdakwa30

.

1. Menurut Waluyo

Alat bukti adalah sesuatu hal (barang atau non barang) yang ditentukan

oleh undang-undang yang dapat digunakan untuk memperkuat dakwaan.

2. Menurut Andi Hamzah

Alat bukti adalah upaya pembuktian melalui alat-alat yang

diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara

pidana dakwaan di sidang pengadilan misalnya keterangan terdakwa, saksi,

29

R. Atang, Ranoemihardja, 1980, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Tarsito)., hal.57. 30

Darwan, Prints. 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan)., hal.

107.

37

ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan

sumpah31

.

3. Menurut Sabuan dkk

Mendefinisikan alat bukti dengan lebih sederhana yaitu alat yang dipakai

untuk dapat membantu hakim dalam menggambarkan kembali tentang

kepastian pernah terjadinya tindak pidana32

.

4. Menurut Hari Sasangka

Pengertian alat bukti tersebut kemudian ditambahkan dengan adanya

satu unsur lagi yaitu berkenaan dengan tujuan diajukannya alat bukti tersebut

yaitu untuk memberi keyakinan kepada Hakim atas kebenaran adanya suatu

tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa33

.

2. Jenis Alat Bukti

Ilmu hukum acara perdata dalam membuktikan suatu dalih tentang hak dan

kewajiban di dalam sengketa pengadilan, macamnya telah ditentukan oleh

Undang-Undang yaitu:

1. Alat bukti tertulis;

2. Alat bukti saksi;

3. Alat bukti persangkaaan;

4. Alat bukti pengakuan;

5. Alat bukti sumpah.

31

Andi Hamzah, 1996, Op Cit, hal. 158 32

Sabuan, Ansori dkk, 1990. Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa)., hal 56 33

Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung;

Mandar Maju, hal. 74.

38

Dalam hukum acara perdata penyebutan alat bukti tertulis (surat) merupakan alat

bukti yang utama, karena surat justru dibuat untuk membuktikan suatu keadaan,

atau kejadian yang telah terjadi atau perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh

seseorang nantinya (Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW).

Hal ini berbeda dengan penyebutan alat-alat bukti dalam hukum acara pidana

yang urutan alat bukti itu diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut:

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Keterangan saksi disini adalah alat bukti yang utama, karena seseorang didalam

melakukan kejahatan tentu akan berusaha menghilangkan jejaknya, sehingga

dalam perkara pidana, pembuktian akan dititikberatkan pada keterangan saksi

(Pasal 184 ayat (1) KUHAP).

Pentingnya kedudukan saksi telah dimulai pada saat proses awal

pemeriksaan, begitu pula dalam proses selanjutnya di Kejaksaan maupun

Pengadilan, keterangan saksi menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau

tidaknya terdakwa34

. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat

besar dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Perluasan pengertian alat

bukti yang sah dalan KUHAP sesuai dengan perkembangan teknologi telah diatur

dalam Pasal 26 A UU No. 31 Tahun 1999 yaitu: Alat bukti yang sah dalam

34

http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28 juni 2012

39

bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) UU No.8 tahun

1981 tentang KUHAP, khususnya untuk tindak pidana korupsi juga dapat

diperoleh dari:

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,

atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa

dengan itu;

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca,

dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan

suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain

kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara,

gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang

memiliki makna. Semua alat bukti tersebut tentunya untuk dipergunakan

membuktikan peristiwa yang dikemukakan di muka persidangan.

F. Keterangan Saksi

1. Pengertian Saksi

Saksi memiliki pengertian orang yang melihat atau mengetahui , seperti:

a. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya, supaya

bilamana perlu dapat memberi keterangan yang membenarkan bahwa

peristiwa tadi sungguh-sungguh terjadi;

b. Orang yang mengetahui sendiri suatu kejadian, hal;

c. Orang yang memberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa

atau terdakwa.

40

Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam

Pasal 1 butir 26 pengertian saksi adalah:

Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

saksi dan korban, saksi adalah:

Orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyelidikan,

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang

suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia

alami sendiri.

Perbedaannya dengan rumusan KUHAP adalah bahwa rumusan saksi dalam

Undang-undang ini mulai dari tahap penyelidikan sudah dianggap sebagai saksi,

sedangkan menurut KUHAP mulai tahap penyidikan.

Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti ialah

keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP

ialah:

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut

alasan dari pengetahuannya itu.

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur terpenting yaitu:

a. Adanya peristiwa pidana;

b. Dengar sendiri;

c. Lihat sendiri;

d. Alami sendiri;

e. Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

41

Kesaksian berdasarkan apa yang didengar sendiri oleh saksi sebagai

keterangan yang bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang lain. Harus

secara langsung didengar sendiri oleh saksi terkait dengan tindak pidana yang

bersangkutan. Sementara kesaksian yang berdasarkan pada apa yang dilihat

sendiri oleh saksi diartikan sebagai saksi yang melihat suatu tindak pidana

dengan mata kepalanya sendiri baik sebagian maupun secara keseluruhan.

Sedangkan kesaksian yang berdasarkan pada apa yang dialami sendiri oleh saksi

diartikan sebagai saksi yang sekaligus menjadi korban dari suatu tindak pidana,

terutama dalam bentuk-bentuk tindak pidana seperti perkosaan maupun

penganiayaan, korban yang dapat dijadikan saksi utama dari tindak pidana yang

bersangkutan35

.

Seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi haruslah

memenuhi syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa pidana

yang didengarnya sendiri, dilihat sendiri, dan dialaminya sendiri. Pengertian kata

“sendiri” berarti setiap hal-hal yang secara langsung diketahui oleh saksi, akan

tetapi baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja

bukan merupakan keterangan saksi dan tidak mencakup keterangan yang

diperoleh dari orang lain. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP,

memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat

bukti dengan redaksional, bahwa :

Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di

sidang pengadilan.

35

M. Yahya Harapan, 2000, Op.Cit, hal.141-142

42

Saksi dalam memberikan keterangan hanya boleh mengenai keadaan yang

didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap persaksian harus

disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan seorang saksi mengetahui hal-hal

sesuatu. Bahwa suatu pendapat atau suatu persangkaan yang disusun secara

memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap sebagai keterangan

saksi. Keterangan saksi tidak

termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium de auditu,

maksudnya agar hakim lebih cermat dan memperhatikan keterangan yang

diberikan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur, dan objektif.

Selain itu Leden Marpaung juga menegaskan bahwa36

:

” Keterangan saksi diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam

bentuk apapun”.

Azas dalam pemeriksaan saksi adalah unus testis nullus testis artinya satu

saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tetapi

azas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat (3) KUHAP bahwa

ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti lain yang

sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi cukup untuk

membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain.

Suatu hal yang sangat perlu dikemukakan dalam pembicaraan saksi adalah

yang berhubungan dengan keterangan saksi itu sendiri yaitu seberapa jauh luas

dan mutu saksi yang harus diperoleh atau digali oleh penyidik dalam

36

Leden Marpaung,1992, Proses Penangaan Perkara Pidana Bagian Pertama Penyidikan dan

Penyelidikan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 81

43

pemeriksaan. Kemudian seberapa banyak saksi yang diperlukan ditinjau dari

daya guna kesaksian tersebut. Oleh karena itu, para penyidik harus benar-benar

selektif untuk memilih untuk memeriksa saksi-saksi yang berbobot sesuai dengan

patokan landasan hukum yang ditentukan, yang dianggap memenuhi syarat

keterangan saksi yang yustisial37

.

2. Hak-hak Saksi

Adapun Hak-hak saksi dalam KUHAP, yaitu:

1. Hak untuk diperiksa tanpa hadirrnya terdakwa pada saat saksi diperiksa (Pasal

173 KUHAP);

2. Hak untuk mendapatkan penterjemah atas saksi yang tidak paham bahasa

indonesia (Pasal 177 ayat 1 KUHAP);

3. Hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk mendapatkan

penerjemah (Pasal 178 ayat 1 KUHAP);

4. Hak untuk mendapatkan pemberitahuan sebelumnya selambat-lambatnya 3

hari sebelum menghadiri sidang (Pasal 227 ayat 1 KUHAP);

5. Hak untuk mendapatkan biaya pengganti atas kehadiran di sidang pengadilan

(Pasal 229 ayat 1 KUHAP).

3. Syarat sah keterangan saksi

Syarat sahnya keterangan saksi, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai

berikut :

(1). Harus mengucapkan sumpah atau janji, hal ini diatur dalam :

37

Adji, Oemar Seno, 1980, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, hal.42

44

Ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum memberikan keterangan,

saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji :

a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,

b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan

keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenar-

sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.

Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP pada prinsipnya wajib

diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi Pasal 160 ayat

(4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji

setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan

sumpah atau janji:

a. Pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi keterangan,

b. Tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji

dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi keterangan38

.

(2). Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.

Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti,

dan keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai

dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP :

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana

yang ia dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari

pengetahuannya itu.

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui yaitu:

38

M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Jakarta,

Sinar Grafika, hal. 286

45

a. Adanya peristiwa pidana;

b. Dengar sendiri;

c. Lihat sendiri;

d. Alami sendiri;

e. Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Pasal 185 ayat (1) KUHAP, menyebutkan:

Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di

sidang pengadilan.

Dalam penjelasannya dalam keterangan saksi itu tidak termasuk

keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de

auditu.

Ditegaskan pula dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP dan dihubungkan dengan

Pasal 185 ayat (1) KUHAP menurut M.Yahya Harahap disimpulkan:

a. Setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam

peristiwa pidana yang terjadi atau diluar apa yang dilihat atau dialami

sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan

diluar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu

peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat

bukti. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian.

b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil

dari pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti.

Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan saksi

seperti ini tidak dapat dianggap sebagai saksi.

c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan

merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketetntuan Pasal

185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu keterangan saksi yang bersifat

pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari

pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang

bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat

dinilai sebagai alat bukti.

Agar seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi haruslah

memenuhi syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa

pidana yang didengarnya sendiri, dilihat sendiri, dan dialaminya sendiri.

Pengertian kata “sendiri” berarti setiap hal-hal yang secara langsung

46

diketahui oleh saksi, akan tetapi baik pendapat maupun rekaan, yang

diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi dan

tidak mencakup keterangan yang diperoleh dari orang lain39

.

(3). Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.

Supaya dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang

“dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal

185 ayat (1) KUHAP. Keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa

yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri

mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti

apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan

yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat

bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

(4). Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.

Pasal 185 ayat (2) KUHAP menentukan keterangan seorang saksi saja

tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap

perbuatan yang didakwakan kepadanya. Keterangan seorang saksi saja

belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan

kesalahan terdakwa. Hal ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan

penuntut umum hanya terdiri dari seorang saja, tanpa ditambah dengan

keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal

seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk

39

Darwan, Prints, 1989, Op.Cit, hal. 76

47

membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya.

Persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP, adalah:

a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa, paling sedikit harus

didukung dengan dua orang saksi;

b. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka

kesaksian tadi harus dicukupi atau ditambah dengan satu alat bukti yang

lain.

Untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling

sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang

saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti permulaan yang harus

ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lainnya, hal ini berkaitan dengan

Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang menegaskan bahwa:

Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu

kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah

dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu

dengan yang lainnya sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan

adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Azas dalam pemeriksaan saksi adalah unus testis nullus testis artinya

satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2)

KUHAP tetapi azas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat (3)

KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu

48

alat bukti lain yang sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi

cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain40

.

Selain itu saksi dalam memberikan keterangan hanya boleh mengenai

keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap

persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan seorang saksi

mengetahui hal-hal sesuatu. Suatu pendapat atau suatu persangkaan yang

disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap

sebagai keterangan saksi41

.

Keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari

orang lain atau Testimonium de auditu, maksudnya agar hakim lebih cermat

dan memperhatikan keterangan yang diberikan saksi harus benar-benar

diberikan secara bebas, jujur, dan objektif42

.

Pada dasarnya setiap orang yang melihat, mendengar, atau mengalami

sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan tindak pidana dapat

menjadi saksi, namun demikian agar di dalam persidangan bisa didapatkan

keterangan saksi yang sejauh mungkin objektif dalam arti tidak memihak atau

merugikan terdakwa.

4. Keterangan Saksi Yang Berdiri Sendiri-Sendiri

Pasal 185 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa:

Keterangan saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau

keadaan, dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah apabila

keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain

sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya kejadian atau

keadaan tertentu.

40

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, 2003, hal. 42. 41

Wirjono Prodjodikoro,1983, Op.Cit, hal. 118 42

H. R. Abdussalam, 2006, Op.Cit, hal. 142

49

Ketentuan tersebut jelaslah keterangan saksi baru dapat dinilai

sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian apabila keterangan para

saksi tersebut mempunyai hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran

suatu keadaan atau kejadian tertentu.

Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri antara

keterangan saksi yang satu dengan yang lain tidak mempunyai nilai sebagai alat

bukti. Saksi yang banyak tetapi berdiri sendiri-sendiri, masing-masing dari

mereka hanya akan dikategorikan sebagai saksi tunggal yang tidak mempunyai

nilai kekuatan pembuktian, karena keterangan saksi tunggal harus dinyatakan

tidak cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

5. Cara Penilaian Kebenaran Keterangan Saksi

Melihat kebenaran saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh

memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP, yaitu:

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. Saling

persesuaian ini harus jelas nampak penjabarannya dalam pertimbangan

hakim. Penjabaran persesuaian ini harus sedemikian rupa jelasnya diuraikan

secara terperinci dan sistematis.

b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain. Dalam hal

ini, jika yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan di pengadilan

terdiri dari saksi dengan alat-alat bukti yang lain baik berupa ahli, surat atau

petunjuk, maka hakim dalam sidang pengadilan maupun dalam

pertimbangannya harus meneliti dengan sungguh-sungguh saling persesuaian

maupun pertentangan antara keterangan saksi tadi dengan alat bukti yang

lain tersebut.

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan

keterangan tertentu. Disinilah hendaknya hakim mencoba mencari alasan

saksi, mengapa saksi memberikan keterangan yang seperti itu. Tanpa

mengetahui alasan saksi yang pasti, maka akan memberikan gambaran yang

kabur bagi hakim tentang keadaan yang diterangkan saksi.

6. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi

50

a. Mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas.

Pada alat bukti keterangan saksi, tidak melekat sifat pembuktian yang

sempurna dan juga tidak melekat di dalamnya sifat pembuktian yang mengikat

dan menentukan. Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah

mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Oleh karena itu, alat bukti

kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian

yang sempurna dan juga memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan.

b. Nilai kekuatan pembuktian tergantung pada penilaian hakim.

Menurut M.Yahya Harahap43

:

Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas, yang tidak

mempunyai nilai kekauatan pembuktian yang sempurna dan tidak

menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai

kesempurnaan dan kebenarannya. Hal tersebut tergantung pada penilaian

hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi

hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas

menilai kekuatan pembuktian atau kebenaran yang melekat pada keterangan

itu. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya.

G. Keterangan Ahli

Keterangan seorang ahli diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang menyatakan

keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan44

.

1. Pengertian Keterangan Ahli

Pengertian keterangan ahli diatur dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP, yaitu:

Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan ol seorang ahli yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

43

M. Yahya Harahap, 2009, Op Cit, hal. 273-274 44

Lamintang, , 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan dan Yurisprudensi,

Sinar Grafika, Jakarta, hal 112

51

Menurut Wiryono Prodjodikoro45

perbedaan antara keterangan saksi

dengan keterangan ahli adalah:

Bahwa keterangan saksi mengenai hal-hal yang dialami oleh saksi itu

sendiri (eigen waarneming), sedangkan keterangan ahli ialah keterangan

yang diberikan atas dasar kehalian yang dimiliki, yang memberikan

suatu penghargaan (waardering) dari hal-hal yang sudah nyata ada dan

pengambilan kesimpulan dari hal-hal itu, seperti hal kematian, maka

saksi ahli akan memberikan pendapat tentang sebab-sebab kematian

apakah dari keracunan misalnya, atau karena hal lainnya.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, dalam Pasal 161 ayat (2) KUHAP,

yaitu:

Kedua keterangan ini oleh KUHAP dinyatakan sebagai alat bukti yang

sah, tetapi keterangan saksi dan ahli yang diberikan tanpa sumpa tidak

mempunyai kekuatan pembuktian, melainkan hanya dapat dipergunakan

untuk menambah atau menguatkan keyakinan hakim.

2. Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli

Pada pemeriksaan penyidikan, demi kepentingan peradilan, pennyidik

berwenang mengajukan permintaan seorang ahli dan hal ini ditegaskan dalam

Pasal 133 KUHAP. Jika keterangan ahli bersifat diminta, maka ahli tersebut

membuat laporan sesuai yang dikehendaki penyidik. Laporan keterangan ahli

dimasukkan dalam Berita Acara Penyidikan. Hal ini diatur dalam penjelasan

Pasal 186 KUHAP.

Alinea kedua penjelasan Pasal 186 KUHAP menegaskan:

Jika hal itu tidak dibenarkan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau

penuntut umum, pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan

keterangan dan dicatat dalam Berita Acara Peeriksaan. Keterangan

tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan

hakim.

45

Wirjono Prodjodikoro,1983, Op.Cit, hal. 120

52

M.Yahya Harahap berpendapat mengenai ketentuan Pasal 133 KUHAP

dan dihubungkan dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara

pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, dapat melalui prosedur

sebagai berikut:

a. Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan, dan

b. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan disidang.

3. Bentuk Keterangan Ahli

Martiman Prodjohamidjojo berpendapat :

Keterangan ahli dapat diberikan dalam dua bentuk, yaitu tulisan dalam

bentuk laporan dan secara lisan yang diberikan.

Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP bahwa:

Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan

oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk

laporan dan dibuat dengan mengingat suumpah pada waktu ia menerima

jabatan atau pekerjaan.

Jika dalam hal ini tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik

atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang pengadilan diminta

untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan.

Keterangan tersebut setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan

hakim.

Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, alat bukti ini

sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yang sah:

a. Pada segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et

repertum dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli. Hal ini ditegaskan

dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP alinea pertama yang berbunyi:

53

“Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh

penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan

dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau

pekerjaan”.

Bentuk alat bukti yang diatur dalam Pasal 186 KUHAP yakni, laporan yang

dibuat oleh seorang ahli atas permintaan penyidik pada taraf pemeriksaan

penyidikan.

b. Pada sisi lain, alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga

menyentuh alat bukti surat. Alasannya, ketentuan Pasal 187 huruf c KUHAP

telah menentukan salah satu diantara alat bukti surat, yakni surat keterangan

dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai

suatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.

4. Nilai Kekuatan Pembuktian Yang Melekat Pada Alat Bukti Keterangan

Ahli

Menurut M.Yahya Harahap46

:

a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, di dalamnya tidak

melekat nilai pembuktian yang sempurna dan menentukan. Hal

tersebut terserah kepada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya

dan tidak terikat kepada alat bukti keterangan ahli. Tidak ada

keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli

tersebut.

b. Disamping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang

diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri

saja tanpa didukung oleh salah satu buku yang lain, tidak cukup dan

tidak memadai untuk mebuktikan kesalahan terdakwa. Apabila Pasala

183 KUHAP ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2)

KUHAP, yang menegaskan seorang saksi saja tidak cukup untuk

mebuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini juga berlaku bagi

keterangan ahli.

H. Alat Bukti Surat

46

M. Yahya Harahap, 2009, Op Cit, hal. 283-284

54

1. Pengertian Surat

Menurut Asser Anema yang dikutip oleh Andi Hamzah47

mendefinisikan suratsebagai berikut:

“Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang

dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran”.

Seperti alat bukti, alat bukti suratpun hanya diatur dalam satu Pasal yaitu

dalam Pasal 187 KUHAP, M.Yahya Harahap berpendapat:

Surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-

undang adalah:

a. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan;

b. Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.

Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 ayat (1) KUHAP, yaitu surat

sebagaimana tersebut dalam Pasal 187 ayat (1) huruf c KUHAP yaitu surat yang

dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang

memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengarnya,

dilihat, atau dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan

tegas tentang keterangan itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk

dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang

diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang mamuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan

yang diminta secara resmi kepadanya;

d. Surat lain yanghanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi

dan alat pembuktian yang lain.

Pasal 187 KUHAP membedakan surat menjadi tiga, yaitu:

1. Akta Otentik

47

Andi Hamzah, 2009, Op Cit, hal. 271

55

Pasal 187 huruf a dan huruf b KUHAP, berupa berita acara atau surat

resmi yang dibuat oleh pejabat umum seperti notaris, juru sita, hakim

dan lain-lain yang dibuat dengan sengaja untuk menjadi alat bukti.

2. Akta Dibawah Tangan

Akta dibawah tangan, berupa surat keterangan dari seorang ahli yang

memuat pendapat berdasarkan keahliannya.

3. Surat Biasa

Surat biasa atau surat lain jika ada hubungannya dengan isi alat bukti

yang lain (Pasal 187 huruf d). Surat ini tidak sengaja dibuat untuk

menjadi bukti, akan tetapi karena isinya ada hubungannya dengan alat

bukti lain, maka surat tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti

tambahan yang memperkuat alat bukti lain.

2. Nilai Kekuatan Pembuktian Surat

1. Ditinjau dari segi formal

Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang tersebut dalam Pasal

187 huruf a, b, dan c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna. Hal ini

disebabkan karena bentuk-bentuk surat yang disebut didalamnya dibuat

secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-

undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formil perbuatannya, serta dibuat

dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang dan

pembuatan surat keterangan yang terkandung dalam surat tadi dibuat atas

sumpah jabatan, maka ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut

dalam Pasa 187 huruf a, b, dan c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna.

Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai pembuktian formal

sempurna.

Bentuk dan isinya tersebut yaitu:

a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain.

56

b. Semua pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan

perbuatannya.

c. Juga tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan

pejabat yang berwenang di dalamnya, sepanjang isi keterangan tersebut

tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain.

d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang

di dalamnya hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain baik berupa

keterangan saksi, keterangan terdakwa, atau keterangan ahli.

2. Ditinjau dari segi materiil

Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti surat yang disebut dalam

Pasal 187 KUHAP, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat.

Pada diri alat bukti surat ini tidak melekat kekuatan yang mengikat. Nilai

kekuatan pembuktian surat inipun sama halnya dengan nilai kekuatan

pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan saksi. Hal ini sama-

sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Sifat

kesempurnaan formil tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai

kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas dalam mempergunakan

atau menyingkirkannya.

Menurut M. Yahya Harahap48

, dasar alasan ketidakterikatan hakim

atas bukti surat tersebut didasarkan pasa beberapa asas, yaitu:

a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari

kebenaran atau menemukan kebenaran materiil. Dengan hakim

bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat;

48

M. Yahya Harahap, 2000, Op Cit, hal. 288-290

57

b. Asas keyakinan hakim;

c. Asas batas minimum pembuktian.

Bertitik tolak pada prinsip ini, bagaimanapun sempurnanya

suatu alat bukti surat, kesempurnaannya itu tidak dapat berdiri

sendiri. Dia harus dibantu lagi dengan dukungan paling sedikit

satu alat bukti lain guna emenuhi apa yang ditentukan oleh asas

batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

I. Alat Bukti Petunjuk

1. Pengertian Alat Bukti Petunjuk

KUHAP mengatur mengenai alat bukti petunjuk, dapat dilihat dalam

Pasal 188 KUHAP. Pengertiannya diatur dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP,

yaitu:

Perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaian, baik antara

yang satu dengan yang lain karena persesuaian, baik antara yang satu

dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,

menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

2. Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk

Pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu

alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP. Hakim diwajibkan

menghukum orang, apabila hakim berkeyakinan bahwa peristiwa pidana yang

bersangkutan adalah terbukti. Hakim tidak boleh sesuka hati mencari petunjuk

dari segala sumber. Sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti

petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal

188 ayat (2) KUHAP yang menentukan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh

dari:

a. Keterangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan terdakwa.

58

3. Syarat-syarat Alat Bukti Petunjuk

Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti yang sah

haruslah:

1. Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi;

2. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan

yang terjadi;

3. Berdasarkan pengamatan hakim, baik dari keterangan terdakwa maupun saksi

dipersidangan.

4. Nilai Kekuatan Pembuktian Petunjuk

Terdapat pada Pasal 188 ayat (3) KUHAP mengenai:

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam keadaan

tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia

mengadakan pemeriksaan dengan pebuh kecermatan dan keseksamaan

hati nuraninya.

Menurut M.Yahya Harahap49

, adapun mengenai kekuatan pembuktian

alat bukti petunjuk, serupa dengan sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang

lain:

1. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh

petunjuk. Oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan

mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.

2. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri untuk

membuktikan kesalahan terdakwa. Dia tetap terikat pada prinsip batas

minimum pembuktian. Agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan

pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya

satu alat bukti yang lain.

J. Keterangan Terdakwa

49

M. Yahya Harahap, 2000, Op Cit, hal. 296

59

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal

184 ayat (1) KUHAP. Penempatan terakhir ini merupakan salah satu alasan yang

dipergunakan untuk menempatkan proses peeriksaan terdakwa dilakukan

belakangan, sesudah pemeriksaan saksi. Keterangan terdakwa diatur dalam Pasal

189 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa keterangan terdakwa adalah apa

yang terdakwa nyatakan di dalam sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia

lakukan, yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.

Menurut M.Yahya Harahap50

, untuk memahami pengertian terdakwa

sebagai alat bukti, adalah sebagai berikut:

1. Keterangan itu dinyatakan di dlalam sidang pengadilan;

2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia

alami sendiri;

3. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti bagi dirinya

sendiri.

KUHAP menggunakan istilah “keterangan terdakwa”, sedangkan HIR

menggunakan istilah “pengakuan terdakwa”. Ditinjau dari segi yuridis,

pengertian keterangan lebih uas dari istilah pengakuan terdakwa dan juga

barangkali lebih simpatik dengan alasan sebagai berikut:

1. Ditinjau dari segi keleluasaan pengertian

Pada istilah “keterangan terdakwa” sekaligus meliputi

“pengakuan” dan “pengingkaran”. Sedangkan istilah “pengakuan

tertuduh” hanya terbatas pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa

mencakup pengertian pengingkaran. Oleh karena itu, keterangan

terdakwa sebagai alat bukti, sekaligus meliputi pernyataan

50

Ibid, hal.298-299

60

“pengakuan” dan “pengingkaran” dan menyerahkan penilainnya pada

hakim, yang mana dari keterangan itu bagian yang berisi

pengingkaran.

2. Istilah keterangan terdakwa lebih simpatik dan manusiawi

Pada istilah pengakuan terdakwa, seolah-olah terdapat unsur

paksaan kepada terdakwa untuk mengakui saja kesalahannya. Istilah

ini juga mengandung kekuranguasaan mengutarakan segala sesuatu

yang ia perbuat, dilihat, dan dialami sendiri oleh terdakwa dan

bertendensi seolah-olah pemeriksaan itu semata-mata mengejar

pengakuan terdakwa. Lain halnya dengan istilah keterangan terdakwa

yang dirasa lebih simpatik dan manusiawi dan bertendensi

memberikan kebebasan yang luas kepada terdakwa untuk

mengutarakan segala sesuatu yang diketahuinya.

K. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu

pendekatan yang menggunakan konsepsi yang legistis positivistis. Konsepsi ini

memandang hukum sebagai identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan

diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. Selain itu

konsepsi tersebut melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat

otonom, terhadap dan terlepas dari kehidupan masyarakat51

.

51 Rony Hanitijo Soemitro, 2005, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang,

hal.11

61

2. Spesifikasi penelitian

Spesifikasi dalam penelitian yang digunakan adalah perskriptif, yaitu

dimana ilmu hukum mempelajari tujutan hukum, nilai-nilai keadilan,validitas

aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum52

.

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan masalah

sesuai dengan keadaan atau fakta hukum yang ada dalam kehidupan

bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum

sebagai suatu gejala sosial yang hanya dipandang dari luar, melainkan masuk ke

sisi instrinsik dari hukum.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Pengadilan Negeri Purbalingga.

4. Sumber Data

a. Data sekunder

Data yang bersumber dari bahan hukum, meliputi

1) Bahan hukum primer

Bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,

buku, literatur, dokumen-dokumen yang berkaitan pokok

permasalahan dan Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan-bahan yang bersumber dari literatur-literatur, artikel, makalah

seminar, dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan

permasalahan yang diteliti guna mendukung penelitian.

52

Peter, Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana,, hal. 22.

62

b. Data Primer

Data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dengan

mengadakan wawancara dengan panitera Pengadilan Negeri Purbalingga.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dengan menginventarisasi peraturan perundang-

undangan, mempelajari keputusan, buku literature, artikel, makalah,

seminar, maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan penelitian

tersebut.

b. Data primer

Data primer diperoleh dengan cara wawancara dengan hakim Pengadilan

Negeri Purbalingga.

6. Metode Penyajian Data

Deskriptif analitif diuraikan atau disajikan secara sistematis. Untuk bahan

hukum sekunder akan disajikan sesuai dengan kebutuhan analisis namun tidak

menghilangkan maksud yang terkandung dalam bahan hukum tersebut, Penyajian

bahan ini dapat ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada karya tulis

ini sesuai dengan relevansinya pada hal yang bersangkutan.

7. Analisis Data

Bahan hukum yang diperoleh dan diinventarisir akan dianalisis secara

kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai bahan

hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang akhirnya akan

ditarik kesimpulan pada karya tulis ini.

63

64

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Identitas Terdakwa

TURSINO Alias TURSIN Bin BADRUN, beralamat Dukuh Karangso Desa

Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purblingga, dalam hal

berdasarkan Surat Penetapan Nomor : 02/Pan.Pid.PH/2009 PN.Pbg. tertanggal

29 Januari 2009 didampingi Penasihat Hukum EKO YULI PRIHATIN, SH

Advokat berkantor di 31. Jasara I No. 07 Klampok, Purwareja Klampok

Banjamegara, selanjutnya disebut terdakwa.

2. Duduk Perkara

Terdakwa TURISNO Alias TUR.SIN Bin BADRUN pada hari Minggu

tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 W1B atau setidak-tidaknya pada

suatu waktu masih dalam tahun 2008 bertempat di Dukuh Karangso Desa Blater

Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga atau setidak-

tidaknya pada sustu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum

Pengadilan, sengaja dan dengan rencana lebih dahuiu merampas nyawa orang

lain yaitu korban SISWANTO yang dilakukan dengan awal mulanya adanya

ketidak cocokan dan perselisihan antara terdakwa TURISNO Alias TURSIN Bin

BADRUN dengan adik iparnya yaitu korban SISWANTO.

Sebelumnya korban SISWANTO tinggal dalam satu rumah ikut ibunya

yang bernama MAINEM di Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08

Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga tetapi sejak terdakwa tinggal

65

serumah dengan mertuanya kemudian korban SISWANTO pindah rumah

kerumah orang tua istrinya dan dengan adanya keadaan hubungan antara

terdakwa dengan korban SISWANTO yang tidak rukun ditambah perilaku

korban yang suka minum-minuman keras dan sering membuat masalah dirumah

sehingga terdakwa merasa tidak nyaman dengan keberadaan korban

SISWANTO dan merasa dirinya terancam sehingga terdakwa sehingga selalu

mengantongi pisau lipat yang akan digunakan untuk menjaga keselamatannya.

Hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WIB korban

SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan semua orang

yang ada dirumah bahkan, mengancam anak terdakwa dengan mengacungkan

sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri terdakwa yaitu saksi

RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta pertolongan sehingga

terdakwa yang sedang menggendong anaknya yang masih bayi diluar rumah

menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI INDRIANI kemudian dengan

memegang sebilah pisau Iipat, terdakwa mendobrak pintu kamar dimana korban

berada didalam dengan anak terdakwa setelah itu korban yang sedang

memegang golok menyerang terdakwa tetapi dapat ditangkis oleh terdakwa yang

selanjutnya terdakwa menusukan bagian dacla sebelah kiri korban sebanyak 2

(dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dengan

menggunakan tangan kanan sehingga korban mengaduh kesakitan sehingga

korban membalikan badan untuk menjauh dari terdakwa tetapi pada saat posisi

korban membelakangi terdakwa kemudian terdakwa menusuk punggung korban

sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang

66

dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban terjatuh di atas tempat tidur

yang ada dikamar tersebut dan dengan sisa tenaganya korban SISWANTO

berusaha bangkit dan berjalan keluar kamar untuk mencari pertolongan akan

tetapi karena luka-luka yang diderita cukup parah sehingga korban SISWANTO

terjatuh dipintu kamar sedang terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit

yang terdakwa simpan dilemari dapur didalam kantong kandi dan menuju

kedalam rumah untuk menyerang korban SISWANTO lagi tetapi niat terdakwa

tersebut dicegah saksi RONIASIH dengan merebut clurit tersebut dan dibuang

dipekarangan belakang rumah dan dengan adanya keributan dirumah saudara

MAINEM tersebut membuat beberapa warga ingin melihat kejadian sebenarnya

dan pada saat mereka masuk ke dalam rumah, mereka menemukan korban

SISWANTO dalam keadaan terelungkup didepan pintu kamar dengan kondisi

luka parah dan diketahui telah meninggal dunia.

Akibat perbuatan terdakwa tersebut diatas mengakibatkan korban

SISWANTO meninggal dunia sebagaimana Visum Et Repertum Nomor :

133/VER/RSUD/52/XI/98 tanggal 4 Nopember 2008 yang dibuat oleh dr. Yusuf

Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga dengan kesimpulan hasil pemeriksaan

korban meninggal karena adanya robekan jantung oleh karena benda tajam yang

mengenai dada korban sehingga menimbulkan perdarahan banyak. Dikarenakan

dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain maka sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam pasal 338 KUHP.

3. Dakwaan Penuntut Umum

67

Jaksa Penuntut Umum mengajukan terdakwa dengan bentuk surat dakwaan

subsidair adalah sebagai berikut :

1. Primair

Terdakwa TURISNO Alias TUR.SIN Bin BADRUN pada hari Minggu

tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17,00 W1B atau setidak-tidaknya pada

suatu waktu masih dalam tahun 2008 bertempat di Dukuh Karangso Desa Blater

Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga atau setidak-

tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum

Pengadilan, sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang

lain yaitu korban SISWANTO yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut

:

a. Awal mulanya adanya ketidak cocokan dan perselisihan antara terdakwa

TURISNO Alias TURSIN Bin BADRUN dengan adik iparnya yaitu korban

SISWANTO yang sebelumnya korban SISWANTO tinggal dalam satu

rumah ikut ibunya yang bernama MAINEM di Dukuh Karangso Desa

Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga tetapi

sejak terdakwa tinggal serumah dengan mertuanya kemudian korban

SISWANTO pindah rumah kerumah orang tua istrinya dan dengan adanya

keadaan hubungan antara terdakwa dengan korban SISWANTO yang tidak

rukun ditambah perilaku korban yang suka mihum-minuman keras dan

sering membuat masalah dirumah sehingga terdakwa merasa tidak nyaman

dengan keberadaan korban SISWANTO dan merasa dirinya terancam

68

sehingga terdakwa selalu mengantongi pisau lipat yang akan digunakan

untuk menjaga keselamatannya ;

b. Hari Minggu tanggal Nopember 2008 sekitar pukul 17,00 WIB korban

SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan. semua

orang yang ada dirumah bahkan mengancam anak terdakwa dengan

mengacungkan sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri

terdakwa yaitu saksi RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta

pertolongan sehingga terdakwa yang sedang menggendong anaknva yang

masih bayi diluar rumah menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI

INDRIANI kemudian dengan memegang sebilah pisau lipat terdakwa

mendobrak pintu kamar dimana korban berada di dalam dengan anak

terdakwa setelah itu korban yang sedang memegang golok menyerang

terdakwa tetapi dapat ditangkis oleh terdakwa yang selanjutnya terdakwa

menusukan bagian dada sebelah kiri korban sebanyak 2 (dua) kali dengan

menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dengan menggunakan

tangan kanan sehingga korban mengaduh kesakitan sehingga korban

membalikan badan untuk menjauh dari terdakwa tetapi pada saat posisi

korban membelakangi terdakwa kemudian terdakwa menusuk punggung

korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang

dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban terjatuh

diatas tempat tidur yang ada dikamar tersebut dan dengan sisa tenaganya

korban SISWANTO berusaha bangkit dan berjalan keluar kamar untuk

mencari pertolongan akan tetapi karena luka-luka yang diderita cukup

69

parah sehingga korban SISWANTO terjatuh dipintu kamar sedang

terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit yang terdakwa simpan

dilemari dapur di dalam kantong kandi dan menuju dan merasa dirinya

terancam sehingga terdakwa setiap harinya selalu mengantongi pisau lipat

yang akan digunakan untuk menjaga keselamatannya ;

c. Hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WIB korban

SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan semua

orang yang ada dirumah bahkan, mengancam anak terdakwa dengan

mengacungkan sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri

terdakwa yaitu saksi RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta

pertolongan sehingga terdakwa yang sedang menggendong anaknya yang

masih bayi diluar rumah menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI

INDRIANI kemudian dengan memegang sebilah pisau Iipat, terdakwa

mendobrak pintu kamar dimana korban berada didalam dengan anak

terdakwa setelah itu korban yang sedang memegang golok menyerang

terdakwa tetapi dapat ditangkis oleh terdakwa yang selanjutnya terdakwa

menusukan

bagian dada sebelah kiri korban sebanyak 2 (dua) kali dengan

menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dergan menggunakan

tangan kanan sehingga korban mengaduh kesakitan sehingga korban

membalikan badan untuk menjauh dari terdakwa tetapi pada saat posisi

korban membelakangi terdakwa kemudian terdakwa menusuk punggung

korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang

70

dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban terjatuh

diatas tempat tidur yang ada dikamar tersebut dan dengan sisa tenaganya

korban SISWANTO berusaha bangkit dan berjalan keluar kamar untuk

mencari pertolongan akan tetapi karena luka-luka yang diderita cukup

parah sehingga korban SISWANTO terjatuh dipintu kamar sedang

terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit yang terdakwa simpan

dilemari dapur didalam kantong kandi dan menuju kedalam rumah untuk

menyerang korban SISWANTO lagi tetapi niat terdakwa tersebut dicegah

saksi RONIASIH dengan merebut clurit tersebut dan dibuang dipekarangan

belakang rumah dan dengan adanya keributan dirumah saudara MAINEM

tersebut membuat beberapa warga ingin melihat kejadian sebenarnya dan

pada saat mereka masuk ke dalam rumah, mereka menemukan korban

SISWANTO dalam keadaan terelungkup didepan pintu kamar dengan

kondisi luka parah dan diketahui telah meninggal dunia ;

d. Akibat perbuatan terdakwa tersebut diatas mengakibatkan korban

SISWANTO meninggal dunia sebagaimana Visum Et Repertum Nomor :

183/VER/RSUD/52/XI/98 tanggal 4 Nopember 2008 yang dibuat oleh dr.

Yusuf Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga dengan kesimpulan hasil

pemeriksaan korban meninggal karena adanya robekan jantung oleh karena

benda tajam yang mengenai dada korban sehingga menimbulkan

perdarahan banyak. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 340 KUHP.

2. Subsidair

71

Terdakwa TURISNO Alias TURSIN Bin BADRUN pada hari Minggu

tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WIB atau setidak-tidaknya pada

suatu waktu masih dalam tahun 2008 bertempat di Dukuh Karangso Desa Blater

Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga atau setidak-

tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum

Pengadilan, melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian yaitu

korban SISWANTO yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

a. Awal mulanya adanya ketidak cocokan dan perselisihan antara terdakwa

TURISNO Alias TURSIN Bin BADRUN dengan adik iparnya yaitu korban

SISWANTO yang sebelumnya korban SISWANTO tinggal dalam satu

rumah ikut ibunya yang bernama MAINEM di Dukuh Karangso Desa Blater

Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga tetapi sejak

terdakwa tinggal serumah dengan mertuanya kemudian korban SISWANTO

pindah rumah kerumah orang tua istrinya dan dengan adanya keadaan

hubungan antara terdakwa dengan korban SISWANTO yang tidak rukun

ditambah perilaku korban yang suka minum-minuman keras dan sering

membuat masalah dirumah sehingga terdakwa merasa ttdak nyaman dengan

keberadaan korban SISWANTO dan merasa dirinya terancam sehingga

terdakwa setiap harinya selalu mengantongi pisau lipat yang akan digunakan

untuk menjaga keselamatannya;

b. Hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17,00 WIB korban

SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan semua orang

yang ada dirumah bahkan mengancam anak terdakwa dengan mengacungkan

72

sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri terdakwa yaitu

saksi RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta pertolongan

sehingga terdakwa yang sedang menggendong anaknya yang masih bayi di

rumah menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI INDRIANl

kemudian dengan memegang sebilah pisau lipat, terdakwa mendobrak pintu

kamar dimana korban berada didalam dengan anak terdakwa setelah itu

korban yang sedang memegang golok menyerang terdakwa tetapi dapat

ditangkis oleh terdakwa yang selanjutnya terdakwa menusukan bagian dada

sebelah kiri korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau

lipat yang dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban

mengaduh kesakitan sehingga korban membalikan badan untuk menjauh dari

terdakwa tetapi pada saat posisi korban membelakangi terdakwa kemudian

terdakwa menusuk punggung korban sebanyak 2 (dua) kali dengan

menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dengan menggunakan

tangan kanan sehingga korban terjatuh diatas tempat tidur yang ada dikamar

tersebut dan dengan sisa tenaganya korban SISWANTO berusaha bangkit

dan berjalan keluar kamar untuk mencari pertolongan akan tetapi karena

luka-luka yang diderita cukup parah sehingga korban SISWANTO terjatuh

dipintu kamar sedang terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit yang

terdakwa simpan dilemari dapur didalam. kantong kandi dan menuju

kedalam rumah untuk menyerang korban SISWANTO lagi tetapi niat

terdakwa tersebut dicegah saksi RONIASIH dengan merebut clurit tersebut

dan dibuang dipekarangan belakang rumah dan dengan adanya keributan

73

dirumah saudara MAINEM tersebut membuat beberapa warga ingin melihat

kejadian sebenarnya dan pada saat mereka masuk kedalam rumah, mereka

menemukan korban SISWANTO dalam keadaan tertelungkup didepan pintu

kamar dengan kondisi luka parah dan diketahui telah meninggal dunia;

c. Akibat perbuatan terdakwa tersebut diatas mengakibatkan korban

SISWANTO meninggal dunia sebagaimana Visum Et Repertum Nomor :

183/VER/RSUD/52/XI/08 tanggal 4 Nopember 2008 yang dibuat oleh dr,

Yusuf Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga dengan kesimpulan hasil

pemeriksaan korban meninggal karena adanya robekan jantung oleh karena

benda tajam yang mengenai dada korban sehingga menimbulkan perdarahan

banyak. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pasal 338

KUHP.

4. Pembuktian

Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang bukti

dalam persidangan, yaitu :

1. Alat Bukti Saksi

1. Saksi WINARJO Bin SUTASANTANA;

Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut :

Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita

Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa serta tidak ada

hubungan keluarga sedarah ataupun semenda, tidak ada hubungan kerja

dengan terdakwa. Saksi mengetahui tentang perkara ini yaitu adanya

pembunuhan yang melakukan adalah terdakwa lalu korban dalam

74

pembunuhan tersebut adalah SISWANTO. Pembunuhan itu terjadi

dirumah sdr, MAINEM di Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08

Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga pada hari Minggu

tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 16.45. WIB. Saksi tidak melihat

sendiri pembunuhan tersebut, tapi diberitahu oleh MUSTIRAH kalau di

rumahnya MAINEM ada percekcokkan antara terdakwa dengan korban.

Setelah mendengar kabar tersebut, saksi segera menuju TKP (Tempat

Kejadian Perkara). Setelah sampai di TKP (Tempat Kejadian Perkara)

saksi melihat korban terkapar dilantai berlumuran darah antara ruang

tengah dan tamu.

Atas kejadian tersebut saksi keluar untuk meminta tolong kepada

masyarakat dan kebetulan ada Pak Lurah. Saksi bertanya terdakwa

bilang "Tur ini bagaimana ?" . Kejadian selanjutnya terdakwa mendekati

saksi dengan berkata "Mas biar mati-mati sekalian" tindakan saksi

selanjutnya adalah telepon Polsek Kailmanah untuk melaporkan

kejadian tersebut. Selanjutnya saksi perintahkan kepada pemuda

setempat untuk mengamankan terdakwa supaya tidak melarikan diri dan

diamankan dirumah Pak RT sambil menunggu kedatangan petugas dari

Kepolisian datang. Lalu posisi korban telungkup dengan kepala

disebelah timur, saksi melihat korban luka-luka dibagian punggung

bekas tusukan.

Pada saat saksi di TKP (Tempat Kejadian Perkara) saksi melihat

terdakwa di tempat tersebut. Saksi mengetahui yang melakukan

75

pembunuhan terhadap SISWANTO adalah terdakwa dari Mustirah. Pada

saat saksi di TKP (Tempat Kejadian Perkara) melihat terdakwa

membawa senjata tapi tidak melihat korban memegang golok. Saat saksi

di TKP (Tempat Kejadian Perkara) melihat golok tergeletak disebelah

tembok, dan alat yang digunakan untuk menusuk korban adalah pisau.

Jarak rumah saksi dengan TKP (Tempat Kejadian Perkara) sekitar 100

meter. Saksi tidak kenal dengan barang bukti berupa pisau dan clurit,

sedangkan bendo tahu yang dilihat di TKP (Tempat Kejadian Perkara),

kaos putih dan celana pendek adalah mllik terdakwa sedangkan kaos

merah dan celana jeans panjang adalah milik korban. Atas keterangan

saksi tersebut terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.

2. Saksi EVI INDRIANI Binti SUMONO HADI;

Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut :

Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita

Acara Penyidik sudah benar. Saksi kenal dengan terdakwa dan ada

hubungan keluarga karena istri terdakwa adalah kakak sepupu saksi serta

tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Lalu saksi mengetahui

tentang perkara ini adalah masalah pembunuhan, yang melakukan

pembunuhan adalah terdakwa, korbannya dalam pembunuhan tersebut

SISWANTO. Pembunuhan terjadi pada hari Minggu tanggal 2

Nopember 2008 sekitar pukul 16.45 WIB, di rumah lbu HAINEM di

Desa Blater Rt.02 Rw.03 Kecamatan Kalimanah Kabupaten

Purbalingga.

76

Awal kejadiannya ketika itu saksi sedang duduk-duduk diteras

rumahnya saksi MUSTIRAH, terdakwa keluar dari rumahnya dengan

membopong anaknya yang terkecil dan anak tersebut diserahkan kepada

saksi. Terdakwa itu tinggal serumah dengan Ibu KALNEM dan rumah

saksi dekat dengan rumah korban yaitu teras rumah korban. Setelah

terdakwa menyerahkan bayinya kepada saksi tidak lama kemudian saksi

mendengar pintu rumah dikunci dari dalam oleh korban. Beberapa menit

setelah pintu ditutup oleh korban tidak lama kemudian terdengar suara

saksi RONIASIH dari dalam rumah "Sis jangan begitu !". Yang berada

dirumah tersebut adalah korban, saksi RONIASIH (Istri terdakwa) dan 2

orang anak korban serta anak terdakwa, tidak lama kemudian terdakwa

keluar dari rumah bersama istrinya. Terdakwa masuk kedalam rumah

setelah mendengar suara istrinya dengan mendobrak pintu belakang

yang dikunci oleh korban dari dalam.

Setelah melihat kejadian tersebut saksi pulang kerumah dengan

mengajak suami saksi supaya jangan ikut-ikutan, setelah dirumah saksi

melihat terdakwa di halaman rumah saksi dengan membawa pisau lipat

dan clurit setelah keluar dari rumah korban. Dari pisau yang dibawa oleh

terdakwa itu saksi melihat ujungnya ada darahnya, pada saat kejadian

terdakwa memakai kaos putih dan celana pendek hitam. Saksi tidak

masuk kerumah korban karena takut dan masuk setelah korban dibawa

kerumah sakit, tidak lama kemudian saksi melihat korban dibawa

kerumah sakit. Dirumah korban tersebut saksi melihat darah yang

77

berceceran ditempat korban jatuh, setelah saksi masuk kedalam rumah

korban, tidak terdengar suara apa-apa.

Sebelum kejadian saksi masuk kerumah korban dengan

membawa anaknya yang bernama Windi, saksi masuk kerumah lewat

pintu depan, terdakwa masuk kedalam rumah melalui pintu belakang

yang sebelumnya telah ditutup dari dalam oleh korban. Sebelumnya

terdakwa mengatakan, ketika menyerahkan anaknya kepada saksi

dengan kata-kata "saya titip anak saya untuk digendong”. Saksi tidak

tahu apakah ada permasalahan antara terdakwa dengan korban ataukah

tidak, sikap terdakwa dalam kehidupan kesehariannya biasa-biasa saja

karena ia baru pulang dari Jakarta. Saksi kenal dengan barang bukti yang

diajukan dipersidangan berupa pisau lipat, clurit adalah yang dibawa

terdakwa pada saat itu, sedangkan kaos putih, celana pendek adalah yang

dipakai oleh terdakwa dan kaos merah serta celana jeans adalah yang

dipakai korban. Atas keterangan saksi tersebut di atas terdakwa

membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.

3. Saksi SUTARYONO Bin SARIDI;

Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut :

Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita

Acara Penyidik sudah benar. Saksi kenal dengan terdakwa dan tidak ada

hubungan keluarga sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan

kerja dengan terdakwa, yang saksi ketahui tentang perkara ini adalah

masalah pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa dan korbannya

78

SISWANTO. Korban bertempat tinggal dirumah Ibunya bernama

KAMINEM. Pembunuhan tersebut terjadi pada hari Minggu tanggal 2

Nopember 2008 sekitar pukul 16.45 WIB di rumahnya Ibu KAMINEM

di Desa Slater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten

Purbalingga.

Awal mula kejadian yang saksi ketahui ketika sedang duduk-

duduk diteras rumah Ibu Muslinah bersama istri saksi tiba-tiba korban

menutup pintu rumah belakang dari dalam. Setelah korban menutup

pintu belakang dari dalam, saksi mendengar suara istri terdakwa yang

berada didalam rumah korban dengan kata-kata “Sis Jangan begitu"

disusul dengan kata-kata "Pak tolong pak". Setelah terdakwa mendengar

suara istrinya, terdakwa masuk kedalam rumah korban dengan

mendobrak pintu belakang yang tadinya ditutup oleh korban. Lalu

terdakwa masuk ke rumah korban saksi pulang kerumah bersama istri,

setelah "sampai dirumah saksi melihat terdakwa membawa pisau lipat

yang diujungnya ada darahnya.

Tindakan masyarakat karena keadaan terdakwa mencurigakan

maka pisau yang dibawa terdakwa diamankan oleh Pak Jiran. Pada saat

itu saksi tidak melihat korban ditempat kejadian. Saksi melihat korban

setelah diotopsi dirumah sakit, dan setelah korban diotopsi saksi melihat

luka-luka pada korban yaitu di punggung yang menembus sampai ke

jantung. Di TKP Polisi telah memasang garis pembatas ketika korban

masih di TKP sebelum dibawa kerumah sakit, posisi rumah saksi dengan

79

rumah korban berjajaran. Ibu Kaminem (Ibunya korban), korban dan

anaknya serta terdakwa bersama istrinya tinggal di rumah korban.

Sebelah rumah korban adalah rumahnya saksi Mustinah, sedangkan

jarak rumah saksi dengan namah korban sekitar 1 meter, dibelakang

rumah saksi adalah rumahnya Ibu Hustinah dan selanjutnya rumahnya

Tukirman.

Saat kejadian saksi sedang duduk-duduk diteras rumahnya Ibu

Mustinah, sebelum kejadian pembunuhan saksi bersama terdakwa

sedang duduk-duduk diteras rumahnya Ibu Mustinah bersama terdakwa

sambil ngobrol-ngobrol. Pada saat saksi bersama terdakwa duduk -

duduk di teras korban sedang mencuci sepeda motor didepan rumahnya,

rumah saksi tembus dengan rumahnya saksi Mustinah. Sesaat sebelum

kejadian pembunuhan tersebut terdakwa menyerahkan anak bayinya

kepada istri saksi untuk digendong, lalu korban menutup pintu belakang

dan menguncinya dari dalam Roniasih istri terdakwa bilang "Sis jangan

begitu" dan disusui dengan kata-kata "Pak tolong pak". Pada saat itu

saksi tidak melihat saksi Roniasih, hanya mendengar suaranya saja "Pak

tolong pak" terdakwa bangkit dari duduknya dan masuk kerumah dengan

mendobrak pintu belakang. Saat terdakwa masuk kedalam rumah dengan

mendobrak pintu belakang saksi tidak melihat terdakwa membawa pisau

tapi setelah terdakwa keluar, saksi melihat kalau terdakwa membawa

pisau di tangan kanan. Ketika pintu didobrak oleh Terdakwa, saksi dan

istrinya pulang dan masuk kerumah sendiri, dan setelah terdakwa masuk

80

kerumah saksi tidak tahu apa yang terjadi. Waktu kurang lebih 5 menit

terdakwa keluar rumah dan di pojok rumah, saksi melihat terdakwa

membawa clurit dan pisau, selanjutnya untuk mencegah hal-hal yang

tidak diinginkan pisau dan clurit diamankan oleh saksi Tukirman Fikan.

Selanjutnya setelah terdakwa masuk ke rumah korban, saksi Mustinah

memberitahukan hal itu kepada saksi Minarjo untuk minta tolong.

Atas pemberitahuan tersebut saksi Minarjo lalu datang ke TKP

(Tempat Kejadian Perkara), ketika terdakwa keluar dengan membawa

pisau dan clurit bersama istrinya, saksi jiran berkata kepada terdakwa

"Istighfar sing waras ngalah" (yang membaca Istigfar orang yang waras

supaya mengalah).

Bahwa saksi kenal dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan

berupa pisau lipat, clurit yang dibawa terdakwa, kaos putih dan celana

pendek adalah yang dipakai terdakwa serta kaos warna merah dan celana

jeans yang dipakai korban. Atas keterangan saksi tersebut diatas

terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.

4. Saksi MUSTINAH Binti REBIN;

Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:

Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita

Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa karena saksi

kemenakannya dan tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Yang

saksi ketahui dalam perkara ini adalah masalah pembunuhan yang

dilakukan oleh terdakwa dan korbannya Siswanto. Pembunuhan tersebut

81

terjadi pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukui 16.45

WIB dirumahnya Ibu Mainem di Desa Blater, Kabupaten Purbalingga .

Sebelum kejadian pembunuhan saksi melihat korban masuk kerumah

dengan menjewer anaknya yang bernama Winardi, pada saat itu saksi

sedang duduk-duduk diteras rumah bersama saksi Evi Indrianti,

terdakwa, saksi Sutaryono dan Yu Misem. Saat kejadian itu saksi bilang

kepada terdakwa bahwa korban sedang mabuk, kamu jangan ikut

campur, selanjutnya dari dalam rumah korban terdengar suara saksi

Roniasih (Istri terdakwa) berteriak "Jangan begitu Sis, pak tolong pak".

Setelah mendengar suara istrinya tersebut terdakwa terus masuk

kerumah lewat belakang dengan mendobrak pintu, kemudian saksi terus

pergt untuk meminta tolong kepada saksi Winarjo.

Sewaktu saksi pulang dari rumah saksi Winarjo, saksi melihat

terdakwa sedang ribut-ribut dengan istrinya di depan rumah saksi Evi

dan saksi bilang "Diapakan Sin ko kejem temen" (Korban diapakan ko

kamu kejam sekali). Setelah itu saksi masuk ke rumah korban dan

melihat korban sudah jatuh tertelungkup dan banyak darah berceceran,

saksi melihat ada luka-luka bekas tusukan di punggung korban. Saksi

melihat hanya ada satu luka pada korban yaitu dipunggung, saksi tidak

bertanya kepada terdakwa karena dia terus pergi. Sebelum masuk

kedalam rumah korban Siswanto terdakwa teiah menitipkan anaknya.

Terdakwa ikut duduk-duduk di teras rumah saksi, pada saat sedang

duduk-duduk di teras yang dibicarakan masalah biasa saja. Atas

82

keterangan saksi-tersebut diatas terdakwa membenarkan dan

menyatakan tidak keberatan.

5. Saksi TUKIRMAN Bin MANGUNWIREJA;

Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut :

Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita

Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa dan tidak ada

hubungan keluarga sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan

kerja dengan terdakwa. Saksi mengetahui dalam perkara ini adalah

masalah pembunuhan, yang melakukan pembunuhan adalah terdakwa,

korbannya Siswanto. Pembunuhan tersebut terjadi pada hari Minggu

tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 16.45 WIB, di rumahnya Ibu

Mainem di Desa Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten

Purbalingga. Pada saat itu saksi sedang mencuci sepeda motor di depan

rumah yang jaraknya tidak jauh dari TKP (Tempat Kejadian Perkara.

Saksi baru tahu ada pembunuhan setelah dipanggil oleh saksi Minarjo

saat itu saksi Minarjo keluar dari dalam rumah korban sambil meminta

tolong kepada saksi. Sebelumnya saksi sudah pernah bertemu terdakwa,

saksi melihat terdakwa karena ada suara teriakan dari istri terdakwa

sambil merebut pisau yang dipegang oleh terdakwa.

Pada saat itu saksi bilang kepada terdakwa "lepaskan dulu", atas

kata-kata saksi tersebut terdakwa terus melepaskan pisaunya dan

diamankan. Korban kesehariannya sering mabuk-mabukan dan suka

bikin onar dalam keluarga, karena sering minta uang kepada orang

83

tuanya untuk beli minum-minuman. Saksi tidak tahu hubungan terdakwa

dengan korban karena terdakwa baru pulang dari Jakarta beberapa bulan

sebelumnya. Terdakwa mempunyai sifat tertutup dan jarang bergaul

sedangkan korban suka bergaul dan senang mabuk-mabukan. Pada saat

kejadian saksi mengenal saksi Roniasih (istri terdakwa) berteriak

meminta tolong dan melihat saksi Roniasih berusaha merebut pisau yang

dipegang suaminya. Saksi lalu merebut pisau yang dipegang oleh

terdakwa, kemudian saksi amankan, dan pisau tersebut oleh saksi

kemudian diserahkan kepada Pak RT . Pada saat itu yang diteriakan oleh

saksi Roniasih adalah "Pak tolong pak", dan terdakwa memegang pisau

dan clurit yang diujungnya ada darahnya. Setelah kejadian saksi baru

tahu kalau terdakwa telah melakukan pembunuhan terhadap korban.

Atas kejadian tersebut saksi terus datang kerumah korban, dan melihat

korban dalam keadaan telungkup berlumuran darah, pada saat itu saksi

melihat darah yang berceceran dilantai disekitar korban. Sebelum saksi

menyerahkan terdakwa kepada pemuda untuk diamankan saksi tidak

sempat bertanya kepada terdakwa mengenai kronologis kejadiannya.

Saksi kenal dengan barang bukti yang diajukan di persidangan

berupa pisau lipat, clurit adalah yang dibawa terdakwa pada saat itu,

kaos putih, celana pendek adalah yang dipakai oleh terdakwa dan kaos

merah serta celana jeans adalah yang dipakai korban serta Visum Et

Repertum Nomor : 183/VER/RSUD/52/XI/08 tanggal 4 Nopember 2008

yang dibuat oleh dr. Yusuf Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga

84

adalah benar Visum korban. Atas keterengan saksi tersebut diatas

terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.

6. Saksi JIRAN Bin YASMAREJA;

Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai bertkut :

Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita

Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa dan tidak

keluarga sedarah ataupun semenda dengan terdakwa. Pada hari Minggu

tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WlB di Dukuh Karangso

Desa Blater Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga telah terjadi

pembunuhan. Awal mula kejadian pada saat itu saksi mendengar ada

ribut-ribut yang datangnya dari rumah korban, selanjutnya saksi

berusaha ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ketika saksi

berada didepan rumah saksi Evi, saksi melihat terdakwa kedua

tangannya -memegang senjata tajam, tangan kanan memegang clurit dan

tangan kiri memegang pisau. Pada saat itu saksi juga melihat istri

terdakwa memegangi terdakwa dan diajak menjauh dari rumah korban,

melihat kejadian itu saksi bilang “Sin sing waras ngalah" (Sin jangan

emosi berfikirlah yang sehat). Beberapa saat kemudian datang saksi

Winarjo yang memberitahu kalau Siswanto (korban) sudah

"nglempuruk" (tergeletak) berlumuran darah.

Kehidupan sehari-hari korban senang mabok-mabokan. Saksi

sudah lama kenai dengan terdakwa sejak kecil karena tetangga. Pada

saat kejadian pembunuhan saksi sedang duduk-duduk diteras sendirian.

85

Selanjutnya dari arah utara saksi mendengar suara ribut-ribut, dan saksi

melihat terdakwa dipegangi istrinya, selanjutnya saksi bilang "Sin sing

waras ngalah”, jarak rumah saksi dengan rumah korban sekitar 50 meter.

Pada saat itu terdakwa dalam keadaan takut. Saksi tidak masuk ke dalam

rumah korban untuk melihat keadaan korban. Saksi tidak masuk

kerumah korban karena takut korban berdarah dan diketahui kalau

korban meninggal dunia karena ditusuk oleh terdakwa dari cerita orang-

orang. Sebelumnya saksi tidak melihat antara terdakwa dengan korban

tidak ada permasalahan / perselisihan. Ketika melihat terdakwa

membawa senjata tajam, saksi menyuruh supaya senjata tajam

diamankan. Pada saat mengamankan pisau yang dibawa terdakwa saksi

tidak meneliti apakah ada darahnya ataukah tidak. Terhadap barang

bukti yang diajukan dipersidangan berupa clurit, pisau adalah yang

dipegang oleh terdakwa saat itu, tapi tidak tahu siapa pemiliknya, kaos

putih, celana hitam, celana jeans dan kaos merah saksi tidak tahu. Atas

keterangan saksi tersebut diatas terdakwa membenarkan dan menyatakan

tidak keberatan.

7. Saksi RONIASIH Alias NY TURSINO Binti SANWIREJA;

Saksi adalah istri terdakwa, tetapi oleh karena terdakwa dan

Jaksa Penuntut Umum tidak berkeberatan, maka saksi memberikan

keterangannya dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut :

Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita

Acara Penyidik sudah benar. Pada hari Minggu tanggal 2 Nopember

86

2008 sekitar pukul 16.45 WlB telah terjadinya pembunuhan di Desa

Blater Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga di rumah korban

Siswanto yang dilakukan oleh terdakwa. Pada waktu kejadian yang ada

di rumah korban Siswanto adalah saksi, terdakwa dan anak saksi

bernama Rachman, korban Siswanto dan anaknya bernama Widi. Ketika

korban masuk ke rumah, saksi tidak melihat apakah korban membawa

anaknya ataukah tidak tapi anak korban datang sambil menangis katanya

habis dijewer sama korban/ melihat anak korban menangis, saksi lalu

menyuruh mandi sekalian karena kebetulan saksi sedang memandikan

anaknya. Setelah anak saksi selesai mandi, saksi mendengar anak saksi

berteriak dan waktu itu saksi melihat korban sedang mengancam anak

saksi dengan bendo sambil berkata "kamu nantang saya". Melihat

kejadian seperti itu saksi berteriak minta tolong sambil keluar lewat

pintu belakang pada waktu keluar berpapasan dengan terdakwa dipintu

karena terdakwa akan rumah. Setelah beberapa saat saksi di luar melihat

terdakwa dan korban sedang dorong-dorongan pintu, setelah saksi

masuk ke dalam dan keluar rumah.

Saksi melihat terdakwa yang memegang pisau yang ada

darahnya, tindakan saksi selanjutnya ketika saksi melihat terdakwa

keluar dari dalam rumah dan sambil membawa pisau. Kemudian saksi

menarik keluar terdakwa untuk mencegah jangan sampai terjadi lagi

perkelahian anrara terdakwa dengan korban. Lalu terdakwa saksi

amankan di rumah saksi Jiran, tetapi saksi tidak melihat terdakwa masuk

87

ke dalam rumah dengan membawa pisau ataupun clurit. Setelah

terdakwa dorong-dorongan dipintu dengan korban terdakwa masuk ke

rumah, saat terjadi dorong-dorongan dipintu saksi tidak melihat korban

membawa senjata tajam atau tidak. Saksi melihat sendiri terdakwa

melakukan penusukkan kepada korban karena pada saat itu saksi berada

di rumah korban, tempat melakukan pembunuhan di rumah Ibu saksi.

Orang yang tinggal di rumah ibu saksi adalah ibu saksi, saksi, suami

beserta anak saksi, korban Siswanto, istri dan anak korban.

Awal kejadian pembunuhan didahului korban meminta uang

kepada ibu saksi dengan cara mau menjual padi yang ada di rumah,

tetapi padi tersebut belum dijual karena korban dibohongi dengan

mengatakan padi itu milik saksi. Tujuan dibohongi seperti itu agar

korban membatalkan niatnya, karena tidak diijinkan menjual padi maka

korban bilang minta uang untuk beli minuman kepada ibu saksi.

Keinginan korban untuk menjual padi dilanjutkan pada hari berikutnya

ketika Minggu pagi sekitar puku; 16.00 WIB saksi menelpon kaka saksi

di Jakarta memberitahukan kalau korban sering minta uang kepada ibu.

Atas berita tersebut dijawab oleh kakak saksi, ibu disuruh ke Jakarta

saja; kemudian ibu saksi terus pergi ke Jakarta. Ketika saksi berada

didapur saksi melihat terdakwa pintu sambil sempoyongan dan berkata

"kalau ibu mau saya bunuh”. Tidak lama kemudian saksi mendengar

teriakan anak saksi sedang diancam oleh korban sambil memegang

88

golok, melihat kejadian seperti itu saksi lari membuka pintu untuk minta

tolong, namun dikejar oleh korban.

Pada waktu terdakwa keluar rumah dengan mengendong

anaknya, setelah pintu, dibuka terdakwa dan korban berpapasan didepan

pintu dan saling mendorong pintu. Saksi keluar rumah untuk minta

tolong kepada tetangganya saksi keluar rumah sekitar satu menit, dan

ketika masuk ke rumah lagi saksi melihat korban sudah telungkup

ditempat tidur. Lalu melihat korban telungkup ditempat tidur dari jarak

kurang lebih 6 meter sehingga tidak melihat luka-luka pada tubuh

korban. Kemudian saksi memegang terdakwa yang sudah membawa

senjata tajam tujuannya untuk menghalang-halangi terdakwa supaya

tidak menganiaya korban. Saksi tidak melihat pisau yang dipegang oleh

terdakwa ada darahnya atau tidak. Melihat kejadian ini saksi menangis

karena terdakwa dan korban jadi berantem.

Beberapa saat setelah keluar dari rumah korban, terdakwa

diamankan di rumah saksi Jiran. Ketika mengamankan terdakwa saksi

bilang senjata supaya di Ietakkan. Sebelum kejadian pembunuhan

tersebut antara terdakwa dengan korban tidak ada masalah. Dalam

kesehariannya korban suka minum-minum, bergaulnya dengan anak-

anak pengangguran sedangkan terdakwa tidak bekerja. Pada waktu

berpapasan dengan terdakwa saksi tidak melihat terdakwa membawa

senjata tajam. Saksi tidak melihat korban berjalan keluar, namun melihat

ketika korban tengkurap ditempat tidur. Sebelum kejadian antara

89

terdakwa dengan korban tidak saling bertegur sapa. Saksi kenal dengan

barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa clurit, golok milik adik

saksi yang bernama Windianto, pisau, kaos putih celana pendek milik

terdakwa, kaos merah dan celana panjang jeans milik korban. Atas

keterangan saksi tersebut diatas membenarkan dan menyatakan tidak

keberatan.

8. Saksi SUSIANTI Alias NY. SISWANTO Binti KUSWANTO.

Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut :

Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan Rerita Acara

Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa dan tidak ada keluarga

sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan

terdakwa yang saksi ketahui dalam perkara ini adalah suaminya telah

meninggal dunia karena dibunuh dan yang melakukan pembunuhan

terhadap suami saksi adalah terdakwa. Saksi mengetahui kejadian

pembunuhan pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul

19.00 WIB, karena disuruh pulang katanya anak saksi sedang sakit.

Setelah pulang ke Blater ternyata suami saksi (korban) sudah meninggal

dunia dan pada saat kejadian saksi sedang berada di rumah orang tuanya

di desa Slinga. Terakhir bertemu dengan korban pada hari Minggu

sekitar pukul 10.00 WIB, korban pamit mau ke rumah orng tuanya di

Blater. Saat kejadian pembuuhan saksi tidak melihat langsung, saksi

tahunya pada malam harinya dari cerita orang-orang, kalau suami

meninggal dunia karena ditusuk oleh terdakwa. Ketika saksi datang

90

kerumah orang tua korban di Desa Blater ternyata korban sudah tidak

ada, dirumah orang tua korban sudah tidak ada bekas-bekas darah karena

sudah dibersihkan.

Kesehariannya korban suka minum-minuman keras korban tidak

mempunyai pekerjaan tetap, pekerjaan serabutan pernah juga bekerja di

Jakarta. Antara saksi dengan terdakwa tidak ada permasalahan.

Meninggalnya suami saksi saksi pasrah, tidak ada rasa dendam kepada

terdakwa. Kejadian yang telah dilakukan terdakwa sudah saksi maafkan,

masalah pemakaman korban sudah diurus oleh saudara-saudaranya di

Desa Blater. Saksi tidak tahu siapa yang membawa korban kerumah

sakit. Terhadap barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa clurit,

golok, pisau, kaos putih celana pendek saksi tidak kenal, kaos merah dan

celana panjang jeans milik korban. Atas keterangan saksi tersebut diatas

terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.

a. Keterangan Terdakwa

Dipersidangan terdakwa TURSINO Alias TURSINO Bin BADRUN

memberikan keterangan sebagai berikut :

Terdakwa sudah pernah diperiksa di KepoLisian sebungan dengan

perkara ini. Keterangan yang telah terdakwa berikan sesuai dengan BAP

(Berita Acara Penyidikan) sudab benar dan pembunuhan terjadi pada hari

Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 16.30 WIB, terdakwa telah

melakukan pembunuhan dengan korban Siswanto. Tempat kejadian

pembunuhan tersebut di Dukuh Karangso Desa Blater Keramatan

91

Kalimanah Kabupaten Purbalingga, tepatnya dirumah Ibu mertua terdakwa.

Orang yang tinggal dirumah tersebut adalah terdakwa, istri dan anak-anak

terdakwa serta Ibu mertua terdakwa. Korban sudah pindah ke Desa Slinga

sekitar 2 (dua) bulan sebelum kejadian. Sebelumnya antara terdakwa dan

korban tidak ada masalah. Tingkah laku korban dalam keluarga sering

membuat onar antara lain minum dan mabuk-mabukan serta sering

mengancam terhadap keluarga terdakwa jika meminta uang. Keluarga

terdakwa, korban tidak pernah mengganggu istri dan anak terdakwa.

Sebelum kejadian terdakwa sedang menidurkan anak-anak yang kecil di

rumah tiba-tiba korban masuk samsil memarahi anaknya.

Ketika anak korban sedang menangis oleh istri terdakwa sedang

dimandikan di kamar mandi. Terdakwa kemudian keluar rumah sambil

membopong anak terdakwa yang kemudian dititipkan kepada saksi Evi

tetangga terdakwa. Saat sedang duduk-duduk di teras rumah mbak Mis,

tiba-tiba istri terdakwa keluar rumah lewat pintu belakang dengan berteriak

minta tolong "Pak minta tolong si Rakhman" . Istri terdakwa keluar lewat

pintu belakang, sedangkan korban membuntuti sampai depan pintu,

kemudian terdakwa masuk dari dipintu berpapasan dengan istri terdakwa.

Setelah masuk terdakwa melihat korban memegang kemudian terdakwa

mengamhil pisau yang disimpan di rak almari kemudian keluar rumah dan

saat itu dicegah oleh istri terdakwa. Tindakan terdakwa selanjutnya masuk

kedalam rumah lagi, ketika masuk dari pintu melihat anak terdakwa

didalam sedang diancam oleh korban dengan membawa bendo. Melihat

92

kejadian seperti itu terdakwa berusaha menyelamatkan anaknya, atas

tindakan tersebut korban menyerang terdakwa, atas serangan korban

tersebut kemudian terdakwa menangkis dan menusuk perut korban. Setelah

terdakwa menusuk perut depan kemudian menusuk perut samping dan

punggung, terus korban jatuh ditempat tidur dan tidak lama kemudian

korban mau lari.

Melihat korban mau lari, terdakwa khawatir jangan-jangan mau

menyerang, kemudian terdakwa mengambil clurit yang disimpan didekat

pintu;

Bahwa terdakwa menusuk korban sebanyak dua kali, pada saat terdakwa

menusuk punggung korban, terdakwa tidak tahu tembus ataukah tidak.

Maksud terdakwa mengambil clurit tersebut untuk membela diri barang

kali korban mau membalas, setelah menusuk korban terdakwa keluar dan

diluar saksi Jiran bilang yang waras ngalah. Korban datang dari Slinga ke

Blater sekitar pukul 11.00 WIB, ketika korban datang yang dicari ibu

mertua terdakwa dan ia minta uang. Pada saat itu korban dalam keadaan

mabuk karena habis minuman keras. Terdakwa menaruh pisau ditempat itu

sekitar dua hari sebelum kejadian dan biasa ditaruh disitu. Pisau tersebut

dipergunakan untuk mengupas mangga, terdakwa, merasa tidak senang

dengan korban sejak 2 (dua) hari sebelum kejadian karena suka memeras

kepada ibu mertua terdakwa. Terdakwa menusuk perut korban sebanyak 2

(dua) kali dan punggung 1 (satu) kali, terdakwa mengambil clurit setelah

korban jatuh ditempat tidur, karena takut korban mau membalas maka

93

terdakwa mengambil clurit yang dikeluarkan dari kantongnya tetapi

dicegah istri terdakwa, setelah pisau dan clurit diamankan kemudian

terdakwa menyerahkan diri kepada kepala desa. Terdakwa menusuk korban

karena takut mau ditusuk korban, tujuan terdakwa mengambil pisau karena

korban sudah membawa golok, akibat tusukan terdakwa korban terjatuh

dan mengerang minta tolong. Setelah korban ditusuk masih mengejar anak

terdakwa, pada waktu terdakwa menusuk korban yang ada di dalam adalah

anak terdakwa dan anak korban.

Ketika terjadi perkelahian korban menggunakan golok kemudian

ditangkis korban ditusuk perutnya dengan pisau, tujuan terdakwa

mengambil clurit untuk membela diri. Setelah terdakwa menusuk korban

kemudian ditangkap oleh saksi Tukirman dan saksi Jiran, setelah terdakwa

ditangkap kemudian dilaporkan kepada ketua RT. Sebelum kejadian

tersebut antara terdakwa dengan korban tidak ada masalah, sebelum

melakukan pembunuhan terhadap korban terdakwa tidak terpikirkan / niat

terlebih dahulu. Terdakwa mengambil pisau ditempatnya karena tahu kalau

disitu ada pisau yang biasa untuk mengupas mangga, ketika terjadi

perkelahian terdakwa menangkis tangan korban yang memegang golok,

perkelahian terjadi di dalam rumah. Saat terdakwa ditanya oleh saksi

Winarjo "Tur ini bagaimana?” dan terdakwa jawab biar mati-mati

sekalian", maksudnya korban mau dibawa ke rumah sakit tidak punya uang

/ biaya juga takut korban mau membunuh Ibu mertua. Ketika Istri terdakwa

melihat terdakwa memegang pisau setelah masuk yang kedua kalinya,

94

terdakwa menusuk korban dua kali dan setelah korban membalik terdakwa

menusuk punggungnya. Setelah mengambil pisau terdakwa keluar

tujuannya untuk melindungi istri dan terdakwa sendiri, ketika pintu dikunci

terdakwa mendobrak kemudian masuk dan melihat korban masih

mengancam anak terdakwa. Atas kejadian tersebut terdakwa merasa

bersalah, menyesal, tidak akan mengulangi lagi perbuatannya dan belum

pernah dihukum. Terhadap barang bukti yang diajukan dipersidangan

berupa pisau, kaos putih celana hitam adalah milik terdakwa, clurit, golok

miliknya adik terdakwa, kaos merah celana jeans, sandal milik korban dan

karpet miliknya anak terdakwa serta terdakwa membenarkan foto

rekontruksi yang diajukan dipersidangan.

b. Bukti surat berupa Visum Et Repertum atas nama korban SISWANTO,

Nomor : Visum Et Repertum Nomor : 183/VER/RSUD/52/XI/08 tanggal 4

Nopember 2008 yang dibuat oleh dr Yusuf Avianto, dokter pada RSUD

Purbalingga.

c. Barang bukti berupa :

1) 1 (satu) bilah pisau lipat stenlist panjang 30 cm;

2) 1 (satu) bilah clurit stenlist panjang 50 cm;

3) 1 (satu) potong pakaian/baju kaos oblong warna putih;

4) 1 (satu) potong kaos oblong warna merah bagian depan ada tulisan Cl

BF warna putih;

5) 1 (satu) potong celana panjang jeans warna biru berikut satu ikat

pinggang plastik warna hitam panjang satu meter dengan timangan besi;

95

6) Bercak darah yang berada dilantai diambil dengan kapas dan karpet satu

stel sandal slop ada bercak darah, perlak plastik.

7) 1 (satu) buah ssrung clurit terbuat dari kulit warna coklat sarung golok

dan;

8) 1 (satu) buah golok tanpa sarung.

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim

1. Hal-hal yang memberatkan :

Perbuatan terdakwa mengakihatkan orang lain meninggal dunia.

2. Hal-hal yang meringankan :

a. Terdakwa terus terang mengakui perbuatannya dan berjanji tidak

akan mengulangi lagi perbuatannya;

b. Terdakwa melakukan perbuatan tersebut semata-mata karena untuk

melindungi anak dan istri terdakwa;

c. Terdakwa mempunyai tanggung jawab keluarga.

3. Mengingat ketentuan Pasal 338 KUHP, Undang-Undang Nomor ; 8

Tahun 1981 Tentang KUHAP, serta peraturan lain yang bersangkutan.

B. Amar Putusan Pengadilan Negeri :

1. Menyatakan terdakwa TURSINO Ailas TURSIN bin BADRUN tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana dalam dakwaaan Primair;

2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan Primair tersebut;

96

3. Menyatakan terdakwa TURISNO alisas TURSIN bin BADRUN terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “PEMBUNUHAN";

4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana 8 (delapan) tahun;

5. Menetapkan lamanya terdakwa, berada dalam tahanan dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa;

6. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;

7. Menetapkan barang bukti berupa :

a. 1 (satu) bilah pisau lipat stenlis panjang 30 cm gagang lapis kayu;

b. 1 (satu) bilah clurit stenlis panjang 50 cm bergagang kayu;

c. 1 (satu) buah sarung clurit terbuat dari kulit warna coklat;

d. 1 (satu) buah sarung golok terbuat dari kayu;

e. 1 (satu) bilah golok tanpa sarung panjang 40 cm;

f. 1 (satu) potong pakaian/baju kaos oblong warna putih;

g. 1 (satu) potong celana pendek kolor jean 3 warna hitam;

h. 1 (satu) potong kaos oblong warna merah bagian depan ada tulisan

GLOBE warna putih tanpa krah dalam keadaan sobek dan ada bercak

darah serta terdapat beberapa lobang;

i. 1 (satu) potong celana panjang jeans warna biru berikut ikat pinggang

plastik warna hitam panjang 1 meter dengan timangan besi;

j. Bercak darah dilantai yang diambil dengan kapas dan karpet;

k. 1 (satu) stel sandal slop ada bercak darah;

l. 1 (satu) lembar perlak plastik warna merah dan ada bercak darah.

97

8. Poin 6 s/d 12 dikembalikan kepada ahli warisnya atau keluarga korban

Siswanto;

9. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

B. Pembahasan

1. Alasan Hakim Pengadilan Negeri dapat menghadirkan saksi keluarga dalam

persidangan pada Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga

Menentukan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui

pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu

memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan

masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana

(KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang

setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa

terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga tidak ada

seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman dan hukuman itu harus seimbang

dengan kesalahannya.

Hakim dalam menentukan siapa yang bersalah karena telah melakukan

tindak pidana dalam proses peradilan tidaklah mudah, untuk itu hakim dalam

melakukan pemeriksaan harus melihat tentang alat-alat bukti sah. Artinya hakim

pada prinsipnya dalam menjatuhkan putusan selalu mendasarkan pada alat-alat

bukti yang sah, oleh karena itu dalam usaha membuktikan apakah tindak pidana

yang didakwakan penuntut umum itu terbukti atau tidak. Hakim harus berhati-hati

dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian, karena dengan

98

pembuktian ini ditentukan nasib seorang terdakwa, dengan terciptanya KUHAP

maka untuk menentukan seseorang itu bersalah maka kesalahannya harus

dibuktikan terlebih dahulu. Dengan demikian polisi, jaksa dan hakim sebagai

aparat penegak hukum tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana, tetapi

harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana53

.

Memeriksa perkara pidana di sidang pengadilan Hakim senantiasa berusaha

untuk membuktikan.

a. Apakah betul suatu peristiwa itu telah terjadi;

b. Apakah betul peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana;

c. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi, dan;

d. Siapa orangnya yang telah bersalah berbuat peristiwa itu 54

.

Alat bukti yang sah (Wettige Bewijsmiddlen) dan keyakinan hakim

(Overtuiging des recyters) satu sama lain saling berhubungan sedemikian rupa,

dalam arti bahwa keyakinan hakim adalah dilahirkan atau timbul karena adanya

alat-alat bukti yang sah. Alat – alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada

hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat

dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim,

atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa55.

Menurut Bambang Poernomo56

:

53

Andi Hamzah, 1996, Op.Cit,.hal. 8 54

Soesilo, R,1992,Tugas Kewajiban Dan Wewenang Penyidik, Jaksa, Hakim (Dalam

Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP), Bogor,Politeia, 1.hal. 120

55

Darwan, Prints, 1989, Op.Cit, hal. 107. 56

Poernomo, Bambang, 1986, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia,

Yogyakarta,Liberty, hal.43

99

Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti

prinsip teori pembuktian negatief wettelijk bewijs theori seperti yang

dimaksud dalam Pasal 294 ayat (1) HIR. Pasal 6 Undang-Undang Pokok

Kehakiman No.14 Tahun 1970, dan Pasal 183 KUHAP.

Hukum Acara Pidana Indonesia yang menganut sistem pembuktian

menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) yang dalam hal ini

sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP yang dirumuskan :

"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh kenyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang

bersalah melakukannya”

Berdasarkan definisi pembuktian tersebut, dapat diketahui sebagai berikut:

a. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,

b. Dan dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin, bahwa :

1. Tindak pidana telah terjadi; dan

2. Terdakwa telah bersalah.

Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP dapat diketahui bahwa pada acara pembuktian

penyidik Polri atau penuntut umum harus menyampaikan sekurang-kurangnya dua

alat bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP ialah :

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa.

Menurut Sabuan dkk57

:

Mendefinisikan alat bukti dengan lebih sederhana yaitu alat yang dipakai

untuk dapat membantu hakim dalam menggambarkan kembali tentang

kepastian pernah terjadinya tindak pidana.

57

Sabuan, Ansori dkk. Op.Cit, hal 56

100

Salah satu alat bukti yang sering dipergunakan oleh penyidik, jaksa dan

hakim adalah keterangan saksi dan pada umumnya, alat bukti keterangan saksi

merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Pentingnya

kedudukan saksi telah dimulai pada saat proses awal pemeriksaan, begitu pula

dalam proses selanjutnya di Kejaksaan maupun Pengadilan, keterangan saksi

menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa58

. Jadi jelas

bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya penegakan

hukum. Boleh dikatakan, tidak ada perkara yang luput dari pembuktian alat bukti

keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar

kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian

dengan alat bukti yang lain, masih diperlukan pembuktian dengan keterangan

saksi59

. Saksi memiliki pengertian orang yang melihat atau mengetahui , seperti:

a. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya,

supaya bilamana perlu dapat memberi keterangan yang membenarkan

bahwa peristiwa tadi sungguh-sungguh terjadi;

b. Orang yang mengetahui sendiri suatu kejadian/hal;

c. Orang yang memberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan

pendakwa atau terdakwa.

Proses pengungkapan suatu tindak pidana mulai dari tahap penyelidikan

sampai pembuktian di persidangan, keberadaan dan peran saksi sangatlah penting.

Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasus

58

http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28 juni 2012 59

M. Yahya Harahap, 2000, Loc.Cit,.hal 265

101

pidana dimaksud60

. Kemudian agar suatu kesaksian mempunyai kekuatan sebagai

alat bukti, maka harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut61

:

a. Syarat objektif, merupakan syarat untuk objektifitas suatu kesaksian yang

diberikan oleh seorang saksi, yaitu :

- Tidak boleh ada hubungan kekeluargaan dengan salah satu pihak;

- Tidak boleh ada hubungan kerja;

- Mampu bertanggung jawab yakni sudah dewasa, sudah berumur 15 tahun ke

atas, atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan.

b. Syarat formal, merupakan syarat yang secara formal harus dipenuhi dan

dilakukan oleh seorang saksi, yaitu :

- Harus datang di sidang pengadilan;

- Harus menerangkan dibawah sumpah;

- Tidak unus testis nullus testis.

c. Syarat subjektif / material, merupakan syarat mengenai materi yang harus

diterangkan oleh seorang saksi, yaitu :

- Menerangkan tentang apa yang dilihat, yang didengar dan dialami oleh

seorang saksi;

- Dasar - dasar atau alasan seorang saksi mengapa ia dapat melihat, mendengar

dan mengalami apa yang diterangkan.

Saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah sepanjang saksi tersebut memenuhi

syarat-syarat yang telah dientukan. Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP:

60

Andi, Hamzah, 2009, Op.Cit, hal.269 61

Hari Sasangka, Op.Cit, hal.91

102

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan , penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Berdasarkan uraian diatas, maka pengertian saksi mengandung beberapa unsur

yang harus dimiliki sebagai alat bukti yang sah, yakni sebagai berikut :

a. Ada seseorang;

b. Dapat memberikan keterangan atau kesaksian;

c. Keterangan atau kesaksian lisan maupun tertulis (tanda tangan) yang

menerangkan apa yang dialami, disaksikan, dilihat atau didengar sendiri dalam

suatu keadaan atau kejadian;

d. Guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di

sidang pengadilan.

Sehingga hakim dalam memberikan putusannya haruslah mempunyai keyakinan

dengan melihat dan menilai berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan kemuka

sidang pengadilan.

Kegiatan pembuktian sangat mendukung untuk memperoleh kebenaran dan

keadilan materil menurut hukum. Dari pembuktian inilah hakim memperoleh

keyakinan yang kuat tentang bersalah atau tidaknya seorang terdakwa yang

dihadapkan di depan persidangan, sehingga dengan demikian hakim dapat

memberi putusan (vonis) yang seadil-adilnya62

. Keterangan saksi yang mempunyai

nilai pembuktian ialah keterangan yang sesuai dengan yang dijelaskan Pasal 1

angka 27 KUHAP :

62 Op Cit. http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28

juni 2012.

103

Ketererangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari

pengetahuannya.

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui yaitu:

- Adanya peristiwa pidana;

- Dengar sendiri;

- Lihat sendiri;

- Alami sendiri;

- Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Kesaksian berdasarkan apa yang didengar sendiri oleh saksi sebagai

keterangan yang bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang lain. Harus

secara langsung didengar sendiri oleh saksi terkait dengan tindak pidana yang

bersangkutan. Sementara kesaksian yang berdasarkan pada apa yang dilihat sendiri

oleh saksi diartikan sebagai saksi yang melihat suatu tindak pidana dengan mata

kepalanya sendiri baik sebagian maupun secara keseluruhan. Sedangkan kesaksian

yang berdasarkan pada apa yang dialami sendiri oleh saksi diartikan sebagai saksi

yang sekaligus menjadi korban dari suatu tindak pidana, terutama dalam bentuk-

bentuk tindak pidana seperti perkosaan maupun penganiayaan, korban yang dapat

dijadikan saksi utama dari tindak pidana yang bersangkutan63

.

Hal tersebut mengartikan bahwa saksi dalam memberikan keterangan hanya

boleh mengenai keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri,

dan tiap-tiap persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan

seorang saksi mengetahui hal-hal sesuatu. Bahwa suatu pendapat atau suatu

63

Op.Cit, M. Yahya Harapan, 2000, hal.141-142

104

persangkaan yang disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak

dianggap sebagai keterangan saksi64.

Leden Marpaung juga menegaskan bahwa65

:

” Keterangan saksi diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam

bentuk apapun”.

Keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau

Testimonium de auditu, maksudnya agar hakim lebih cermat dan memperhatikan

keterangan yang diberikan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur,

dan objektif66.

Kasus tindak pidana pembunuhan sebagaimana diputuskan dalam Putusan

Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, berawal

korban (SSW) hendak membunuh anak terdakwa, untuk melindungi anaknya maka

terdakwa (TSN) mendahului membunuh korban yang disaksikan oleh istri

terdakawa sendiri (Ro). Pada sidang pengadilan terdakwa menerangkan bahwa

terdakwa tidak bermaksud untuk membunuh korban tetapi semata-mata untuk

melindungi keluarganya dan dilakukan dalam keadaan terpaksa, sehingga dalam

perkara tersebut hakim mendasarkan pada alat bukti keterangan saksi keluarga

yaitu isteri terdakwa yang menerangkan bahwa terdakwa selalu membawa pisau

lipat untuk melindungi keluarganya dari ancaman korban. Berdasarkan keterangan

saksi keluarga tersebut hakim memperoleh petunjuk dan dapat menambah

keyakinannya.

64

Wirjono Prodjodikoro,1983, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung; Sumur ,

hal.118 65

Leden Marpaung, Op.Cit, hlm 81 66

H. R. Abdussalam, 2006, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa

Keadilan Masyarakat Jilid 2, Jakarta, Restu Agung,., hal. 142.

105

Namun pada dasarnya ada 3 (tiga) golongan pengecualian, yakni ketentuan

Pasal 168 KUHAP menjelaskan mengenai orang-orang yang dikecualikan untuk

menjadi saksi yaitu:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah

sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama sama sebagai

terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai

hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai

derajat ketiga;

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa.

Akan tetapi pada pasal 168 KUHAP memberikan celah kepada saksi yang

mempunyai hubungan darah dengan terdakwa untuk dimintai keterangannya. Hal

tersebut dapat terjadi apabila adanya persetujuan Penuntut Umum atau terdakwa

yang menghendaki keterangan dari saksi yang mempunyai hubungan keluarga

tersebut.

Orang-orang yang disebutkan pada Pasal 168 KUHAP tetap dapat

memberikan keterangan dalam acara persidangan berdasarkan pada ketentuan

Pasal 169 KUHAP yang menyebutkan bahwa:

1. Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168

menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas

menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.

2. Tanpa persetujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1),

mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.

Selain itu, dengan posisi pasal 169 KUHAP ini memberikan kemudahan dalam

penyelesaian suatu perkara tindak pidana seperti tindak pidana pembunuhan yang

terdapat pada Putusan Nomor : 07/Pid.b/2009/PN.Purbalingga dan pasal ini juga

106

mendukung azas beracara di pengadilan yakni azas beracara cepat, mudah dan

biaya murah.

Prosedur pemeriksaannya, Hakim ketua sidang yang memeriksa istri

terdakwa sebagai saksi (dan juga orang-orang lain seperti tersebut dalam Pasal

168 KUHAP)67

:

a. Pertama kali Hakim ketua sidang harus menanyakan kepada istri yang

menjadi saksi tersebut, apakah ia tetap akan menjadi saksi atau akan

menggunakan haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi.

b. Kalau istri terdakwa tersebut menggunakan haknya untuk

mengundurkan diri dari menjadi saksi, maka istri terdakwa tersebut tidak

didengar sebagai saksi dan dipersilakan meninggalkan kursi tempat

memeriksa saksi;

c. Kalau istri terdakwa tersebut tidak menggunakan haknya untuk

mengundurkan diri dari menjadi saksi, maka Hakim Ketua sidang

selanjutnya wajib menanyakan kepada penuntut umum dan terdakwa,

apakah penuntut umum dan terdakwa setuju jika istri terdakwa tersebut

menjadi saksi.

d. Kalau penuntut umum dan terdakwa dengan tegas menyetujui istri

terdakwa menjadi saksi, maka istri terdakwa tersebut, sebelum

memberikan keterangannya harus disumpah terlebih dahulu (Vide Pasal

169 ayat (1) KUHAP);

e. Kalau penuntut umum dan atau terdakwa tidak menyetujui istri terdakwa

menjadi saksi, maka istri terdakwa tersebut didengar keterangannya di

luar sumpah.

Orang yang berhak menentukan apakah ia mau bersaksi atau tidak adalah si

istri terdakwa sendiri, bukan terdakwa dan penuntut umum. Keberatan terdakwa

atau penuntut umum tidak membuat istri terdakwa itu meninggalkan kursi saksi,

tapi mengakibatkan istri terdakwa tidak perlu bersumpah.

67

http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/info-hukum/artikel-hukum/2074-saksi-yang-

memiliki-hubungan-darah-dan-orang-yang-mempunyai-ikatan-kerja-dengan-terdakwa.html, diakses

tanggal 1 Oktober 2012, jam 12.45

107

Saksi keluarga juga sama halnya dengan saksi-saksi biasa yang memiliki

kewajiban sebagai seorang saksi, adalah sebagai berikut :

a. Kewajiban untuk menghadap

Dalam suatu proses peradilan jika diperlukan adanya saksi maka hakim

menyuruh memanggil para saksi untuk menghadap hadir dalam sidang

peradilan, dan kepada saksi yang dipanggil wajib menghadap dalam proses

peradilan tersebut. Adanya kewajiban tersebut karena adanya sanksi, dengan

demikian kewajiban panggilan menghadap terhadap saksi harus dipenuhi

karena adanya sanksi tersebut. Dalam hal ini Prof. R. Subekti juga

berpendapat68

:

1) Dihukum untuk membayar biaya - biaya yang telah dikeluarkan untuk

memanggil saksi;

2) Secara paksa dibawa ke muka Pengadilan;

3) Dimasukkan dalam penyanderaan (“gijzeling”).

Dari uraian tersebut jelas terlihat bahwa kewajiban untuk menghadap di muka

persidangan harus dipenuhi oleh seseorang yang menjadi saksi dalam suatu

perkara, agar tidak terjerat hukuman atau sanksi yang telah ditetapkan oleh

peraturan perundang - undangan yang ada, sebagaimana yang diuraikan dalam

Pasal 159 ayat (2) KUHAP :

“Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan

hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa

saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat

memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.”

68

R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1978), hlm. 39

108

dan terhadap pembebasan hukuman dimaksud hanya dapat dilakukan apabila

terdapat alasan yang sah dan dipenuhi oleh pengadilan.

b. Kewajiban untuk bersumpah atau berjanji

Dalam suatu perkara kewajiban saksi untuk mengucapkan sumpah atau

janji merupakan syarat mutlak untuk suatu kesaksian. Jadi sebelum memberi

keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara

agamanya masing - masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang

sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.

Selanjutnya jika ternyata seorang saksi menolak untuk melakukan

pengucapan sumpah yang merupakan syarat mutlak untuk memberikan

kesaksian, maka menurut ketentuan Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP, saksi

tersebut dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama

empat belas hari dan jika setelah masa penyanderaan berakhir saksi tetap tidak

mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan

merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim. Dengan

demikian adanya sanksi terhadap saksi yang tidak mau disumpah atau

mengucapkan janji maka pengucapan sumpah atau janji merupakan suatu

kewajiban.

c. Kewajiban memberikan keterangan yang benar

Seorang saksi juga memiliki kewajiban untuk memberikan keterangan

yang benar dalam proses perkara di pengadilan. Dalam KUHAP hal tersebut

109

tidak diatur dengan tegas, akan tetapi dari ketentuan yang diatur dalam Pasal

148 H.I.R. tersirat bahwa saksi wajib memberikan keterangan yang benar.

Mengenai keterangan yang diberikan oleh saksi pada Putusan Pengadilan

Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga yaitu istri terdakwa

(Ro) yang melihat terdakwa (TSN) menyimpan pisau lipat yang sudah

dipersiapkan mengingat korban (SSW) yang suka mabuk dan ugal-ugalan setiap

pulang kerumah, sehingga pisau lipat tersebut dipersiapkan untuk melakukan

pembelaan. Istri terdakwa tahu secara jelas dan runtut mengenai asal usul duduk

perkara juga melihat sendiri terdakwa melakukan penusukan kepada korban dan

keterangan tersebut dibenarkan oleh terdakwa serta jaksa penuntut umum,

sehingga keterangannya tersebut menjadi alasan mengapa istri terdakwa perlu

dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi yang sah karena pada dasarnya

keterangan saksi adalah hal utama yang dapat membuat terang suatu tindak

pidana.

Kehadiran istri terdakwa pada pesidangan yang telah memenuhi syarat

sebagai saksi seperti yang dijelaskan pada Pasal 1 Angka 27 KUHAP adalah

untuk memberikan keterangan mengenai penyebab utama terjadinya tindak

pidana pembunuhan yang terdapat pada Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga

Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, dan keterangan saksi tidak termasuk

keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium de auditu.

Keterangan saksi diberikan di bawah sumpah sehingga keterangan saksi tersebut

dapat dijadikan hakim sebagai bahan petimbangan untuk menyatakan bahwa

terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

110

pembunuhan terhadap korban (SSW) serta untuk menjatuhkan pidana penjara

kepada terdakwa (TSN) selama 8 (delapan) tahun.

2. Kekuatan pembuktian keterangan saksi keluarga dalam tindak pidana

pembunuhan terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga

Pembuktian merupakan hal terpenting dalam suatu proses pemeriksaan

dalam persidangan, karena dalam pembuktian inilah ditentukan nasib dari

terdakwa. Tujuan dari pembuktian ini adalah untuk mencari kebenaran yang ada

dalam perkara yang diharapkan dapat mendekati kebenaran yang sebenar-

benarnya atau disebut dengan kebenaran materiil.

Menurut M. Yahya Harahap69

:

“Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman

tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Melalui pembuktian

ditentukan nasib terdakwa, apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti

yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman.

Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti

yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan bersalah”.

Sedangkan Menurut Martiman Prodjohamidjojo70

:

“Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan

kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal

terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara

pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP

menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui :

a. Penyidikan;

b. Penuntutan;

c. Pemeriksaan di persidangan;

d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.

Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam

hukum acara pidana secara keseluruhan.”

69

M. Yahya Harahap, 2009, Op.Cit, Hal.252. 70

Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit, hlm. 12.

111

Majelis hakim yang hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam

putusan yang akan dijatuhkan, harus menguji kebenaran itu dengan alat bukti,

dengan cara, dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat

bukti yang ditemukan. Hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang

akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah

ditentukan undang-undang secara limitatif sebagaimana yang disebut dalam Pasal

184 ayat (1) KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,

dan keterangan terdakwa. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan

pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti dilakukan dalam batas-batas

yang dibenarkan undang-undang, agar dapat mewujudkan kebenaran sejati.

Kebenaran yang diwujudkan dalam putusan harus berdasar pada hasil perolehan

dan penjabaran yang tidak keluar dari garis yang dibenarkan sistem pembuktian,

dan tidak diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim. Alat bukti yang

dihadirkan di persidangan harus saling bersesuaian satu sama lain, tidak boleh

saling berdiri sendiri.

Sistem pembuktian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

Indonesia mengikuti prinsip dari teori pembuktian negative wettelijk bewijs teori

seperti terdapat dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman No.48 Tahun 2009.

Pasal 183 KUHAP menyebutkan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

112

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009

menyebutkan :

“Tiada seorangpun dapat di jatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan

karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat

keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah

bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Menurut Martiman Prodjohamidjojo71

:

Istilah negatif wettelijk berarti wettelijk adalah berdasarkan alat-alat bukti

yang sah dan ditetapkan oleh undnag-undang. Sedangkan negatief adalah

walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang,

belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah

diberikan, akan tetap masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim.

Sistem ini, salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan

hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang. Betitik tolak dari uraian tersebut , untuk menentukan salah atau

tidaknya seorang terdakwa, terdapat dua komponen:

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah

menurut undang-undang;

b. Dengan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang .

Sistem ini memadukan unsur-unsur objektif dan unsur subjektif dalam

menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan

diantara unsur tersebut. Jika salah satunya itu tidak ada, maka tidak cukup untuk

mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.

Menelaah dari ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang terkandung di dalamnya

yaitu :

71

Ibid, hal.14

113

a. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,

b. Dan dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin, bahwa :

1. Tindak pidana telah terjadi; dan

2. Terdakwa telah bersalah.

Kata “sekurang-kurangnya” dua alat bukti, yang memberikan limitatif dari

bukti minimum, yang harus disimpulkan pada acara pembuktian. Sebenarnya

prinsip minimum pembuktian bukan saja diatur dan ditegaskan dalam Pasal 183

KUHAP, tapi dijumpai dalam pasal lain. Namun sebagai aturan umum (general

rule) dari prinsip minimum pembuktian, diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal-

pasal lain yang menegaskan prinsip umum, antara lain:

1. Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan

kepadanya. Atau lebih dikenal dengan istilah “unus testis nullus testis”.

2. Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan atau pengakuan terdakwa (confession

by on accused) saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa.

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan

pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada proses

persidangan. Pada Putusan Nomor 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, terdapat

beberapa alat bukti yang diajukan di persidangan, diantaranya alat bukti

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan juga keterangan terdakwa.

Membuktikan kesalahan dari terdakwa maka penyidik mengunakan alat-

alat yang ditentukan oleh undang-undang yaitu Pasal 184 KUHAP. Salah satu

114

alat bukti yang digunakan oleh penyidik adalah alat bukti keterangan saksi.

KUHP dan KUHAP mengatur kewajiban setiap orang untuk menjadi saksi. Pasal

224 KUHP dan Pasal 522 KUHP mengancam sanksi pidana kepada setiap orang

yang tidak memenuhi kewajiban untuk menjadi saksi, ahli, atau juru bahasa.

Keterangan saksi merupakan alat bukti yang berkedudukan paling utama dalam

Pasal 184 KUHAP, karena keterangan dari saksi dapat membuat terang suatu

tindak pidana. Terlebih lagi apabila keterangan saksi tersebut dapat dinyatakan

dalam persidangan dan menjadi alat bukti yang sah menurut pasal 185 KUHAP.

Untuk mengetahui nilai keterangan saksi keluarga yang tergolong pada

Pasal 168 KUHAP di atas, harus memperhatikan kembali pada Pasal 161 ayat (2)

dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, yaitu :

a. Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.

b. Tetapi dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim.

c. Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan menguatkan alat

bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan tersebut mempunyai

persesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya, dan alat bukti yang sah

itu telah memenuhi batas minimum pembuktian.

Dari uraian di atas dapat diketahui keterangan yang disampaikan oleh

keluarga dapat digunakan meyakinkan hakim dan atau dapat bernilai serta dapat

digunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah, sepanjang keterangan saksi

tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah yang sudah

memenuhi batas minimum pembuktian dan tidak termasuk dalam Testimonium de

auditu72

. Namun

72

Lamintang, , 2010, Op.Cit, hal 112

115

Keterangan saksi keluarga tersebut yaitu isteri terdakwa yang tergolong

dalam orang yang dikecualikan untuk menjadi saksi berdasarkan Pasal 168

KUHAP, dapat diketahui bahwa alat bukti keterangan saksi tersebut merupakan

alat bukti yang sah dan utama dalam perkara pidana Putusan Pengadilan Negeri

Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga karena telah ditentukan oleh

Pasal 169 KUHAP yang menyatakan bahwa :

1. Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 168

menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas

menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.

2. Tanpa persetujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1),

mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.

Syarat sahnya keterangan saksi, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai

berikut :

Syarat sahnya keterangan saksi, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai

berikut :

(1). Harus mengucapkan sumpah atau janji, hal ini diatur dalam :

Ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum memberikan keterangan,

saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji :

a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,

b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan

keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenar-

sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.

Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP pada prinsipnya wajib

diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi Pasal 160 ayat

116

(4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji

setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan

sumpah atau janji:

a. Pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi keterangan,

b. Tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji

dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi keterangan73

.

(2). Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.

Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti,

dan keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai

dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP :

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana

yang ia dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari

pengetahuannya itu.

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui yaitu:

a. Adanya peristiwa pidana;

b.Dengar sendiri;

c. Lihat sendiri;

d.Alami sendiri;

e. Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Pasal 185 ayat (1) KUHAP, menyebutkan:

Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di

sidang pengadilan.

Dalam penjelasannya dalam keterangan saksi itu tidak termasuk

keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de

auditu.

73

M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Jakarta,

Sinar Grafika, hal. 286

117

Ditegaskan pula dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP dan dihubungkan dengan

Pasal 185 ayat (1) KUHAP menurut M.Yahya Harahap disimpulkan:

a. Setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam

peristiwa pidana yang terjadi atau diluar apa yang dilihat atau dialami

sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan

diluar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai

suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai

sebagai alat bukti. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan

pembuktian.

b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai

hasil dari pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai

alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan

ulangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai saksi.

c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan

merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketetntuan

Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu keterangan saksi yang

bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari

pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang

bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat

dinilai sebagai alat bukti.

Agar seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi haruslah

memenuhi syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa

pidana yang didengarnya sendiri, dilihat sendiri, dan dialaminya sendiri.

Pengertian kata “sendiri” berarti setiap hal-hal yang secara langsung

diketahui oleh saksi, akan tetapi baik pendapat maupun rekaan, yang

diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi dan

tidak mencakup keterangan yang diperoleh dari orang lain74

.

(3). Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.

Supaya dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang

“dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal

74

Darwan, Prints, 1989, Op.Cit, hal. 76

118

185 ayat (1) KUHAP. Keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa

yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri

mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti

apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan

yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat

bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

(4). Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.

Pasal 185 ayat (2) KUHAP menentukan keterangan seorang saksi saja

tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap

perbuatan yang didakwakan kepadanya. Keterangan seorang saksi saja

belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan

kesalahan terdakwa. Hal ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan

penuntut umum hanya terdiri dari seorang saja, tanpa ditambah dengan

keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal

seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk

membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya.

Persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP, adalah:

c. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa, paling sedikit harus

didukung dengan dua orang saksi;

d. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka

kesaksian tadi harus dicukupi atau ditambah dengan satu alat bukti yang

lain.

119

Untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling

sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang

saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti permulaan yang harus

ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lainnya, hal ini berkaitan dengan

Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang menegaskan bahwa:

Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu

kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah

dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu

dengan yang lainnya sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan

adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Azas dalam pemeriksaan saksi adalah unus testis nullus testis artinya

satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2)

KUHAP tetapi azas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat (3)

KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu

alat bukti lain yang sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi

cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain75

.

Selain itu saksi dalam memberikan keterangan hanya boleh mengenai

keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap

persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan seorang saksi

mengetahui hal-hal sesuatu. Suatu pendapat atau suatu persangkaan yang

disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap

sebagai keterangan saksi76

. Pada dasarnya setiap orang yang melihat,

mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya

dengan tindak pidana dapat menjadi saksi, namun demikian agar di dalam

75

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, 2003, hal. 42. 76

Wirjono Prodjodikoro,1983, Op.Cit, hal. 118

120

persidangan bisa didapatkan keterangan saksi yang sejauh mungkin objektif

dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa.

Kasus tindak pidana pembunuhan sebagaimana diputuskan dalam Putusan

Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, berawal

korban (SSW) hendak membunuh anak terdakwa, untuk melindungi anaknya

maka terdakwa (TSN) mendahului membunuh korban. Pada sidang pengadilan

terdakwa menerangkan bahwa terdakwa tidak bermaksud untuk membunuh

korban tetapi semata-mata untuk melindungi keluarganya dan dilakukan dalam

keadaan terpaksa, sehingga dalam perkara tersebut hakim mendasarkan pada alat

bukti keterangan saksi keluarga yaitu isteri terdakwa (Ro) yang menerangkan

bahwa terdakwa selalu membawa pisau lipat untuk melindungi keluarganya dari

ancaman korban. Berdasarkan keterangan saksi keluarga tersebut hakim dapat

memperoleh petunjuk dan dapat menambah keyakinannya. Dalam praktiknya

untuk melihat kebenaran saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh

memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP, yaitu:

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. Saling persesuaian

ini harus jelas nampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim. Penjabaran

persesuaian ini harus sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara terperinci dan

sistematis.

b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain. Dalam hal ini,

jika yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan di pengadilan

terdiri dari saksi dengan alat-alat bukti yang lain baik berupa ahli, surat atau

petunjuk, maka hakim dalam sidang pengadilan maupun dalam

pertimbangannya harus meneliti dengan sungguh-sungguh saling persesuaian

maupun pertentangan antara keterangan saksi tadi dengan alat bukti yang lain

tersebut.

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan

tertentu. Disinilah hendaknya hakim mencoba mencari alasan saksi, mengapa

saksi memberikan keterangan yang seperti itu. Tanpa mengetahui alasan saksi

yang pasti, maka akan memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang

keadaan yang diterangkan saksi.

121

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya

dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/

2009/PN.Purbalingga, keterangan yang disampaikan oleh saksi keluarga tersebut

mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, yaitu diserahkan kepada kebijakan

hakim karena hakim wajib mendengar keterangan dari kedua belah pihak77.

Menurut M.Yahya Harahap78

:

Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas, yang tidak

mempunyai nilai kekauatan pembuktian yang sempurna dan tidak

menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk

menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Hal tersebut tergantung pada

penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada

keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan

saksi. Hakim bebas menilai kekuatan pembuktian atau kebenaran yang

melekat pada keterangan itu. Hakim dapat menerima atau

menyingkirkannya.

Keterangan dari saksi tersebut dapat digunakan meyakinkan hakim dan

bernilai sebagai alat bukti yang sah setelah mendapat pesetujuan dari Jaksa

Penuntut Umum sesuai ketentuan Pasal 169 KUHAP serta dapat digunakan

sebagai alat bukti petunjuk karena memliki persesuaian dengan keterangan saksi-

saksi lain dan keterangan dari terdakwa sehingga alat bukti saksi tersebut

diperlukan oleh hakim sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan bahwa

terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana

pembunuhan terhadap korban (SSW) serta menjatuhkan pidana penjara kepada

terdakwa (TSN) selama 8 (Delapan) tahun. Hakim dalam mempertimbangkan

keterangan dari saksi yang dihadirkan di persidangan harus dapat

77

Adji, Oemar Seno, 1980, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, hal.42 78

M. Yahya Harahap, 2009, Op Cit, hal. 273-274

122

mempertanggungjawabkan keputusannya, apakah akan menggunakan keterangan

saksi sebagai pendapatnya sendiri yang kemudian dipergunakan dalam

pertimbangan putusan, ataukah menolak keterangan saksi karena tidak sesuai

dengan pendapatnya. Hakim tidak bisa menolak atau menerima keterangan

seorang saksi semata-mata tanpa landasan yang jelas.

123

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan

Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1) Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga menghadirkan saksi keluarga

dalam persidangan pada Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/

PN.Purbalingga karena :

a. Keterangan istri terdakwa atas kehendaknya sendiri sebagai saksi yang

merupakan alat bukti utama yang dapat membuat terang duduk persoalan

yang timbul dalam persidangan setelah disetujui secara tegas oleh Jaksa

Penuntut Umum, untuk menjelaskan mengenai terjadinya tindak pidana

pembunuhan tersebut.

b. Untuk menjelaskan lebih lanjut duduk perkara secara sebenar-benarnya

di bawah sumpah mengenai penyebab terjadinya tindak pidana

pembunuhan tersebut.

2) Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Keluarga dalam Putusan Nomor

: 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga merupakan alat bukti yang sah setelah

disetujui secara tegas oleh Penuntut Umum dan hakim bebas untuk

mempergunakan atau menolak keterangan saksi. Keterangan saksi

keluarga tersebut dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk

meyakinkan hakim karena keterangan saksi tersebut mempunyai

persesuaian dengan keterangan saksi-saksi lain dan alat bukti lain yang

124

sah yang sudah memenuhi batas minimum pembuktian sesuai ketentuan

Pasal 185 ayat (6) KUHAP dan tidak termasuk dalam Testimonium de

auditu.

B. Saran

Sebaiknya hakim tetap objektif dalam mempertimbangkan dan memutus suatu

perkara. Selalu jeli dalam menilai keterangan saksi-saksi, walaupun saksi yang

memiliki hubungan darah dengan terdakwa namun selama keterangannya tersebut

memiliki persesuaian dengan alat bukti lainnya, keterangan tersebut harus tetap

dapat diterima hakim sebagai dasar petimbangan dan keyakinan hakim dalam

memutus suatu perkara.

125

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Abdussalam, H. R, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa

Keadilan Masyarakat Jilid 2, Restu Agung, Jakarta, 2006.

Adji, Oemar Seno, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980.

Ansori, Sabuan, dkk. Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990.

Atang, Ranoemihardja. R, Hukum Acara Pidana,Tarsito, Bandung, 1980.

Dahlan, Irdan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1997.

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, CV. Sapta Artha

Jaya,1996.

_______, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

_______, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali),

Jakarta, Sinar Grafika, 2000.

_______, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Jakarta,

Sinar Grafika, 2009.

_______, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, Jakarta,Pustaka

Kartini, 2010.

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung;

Mandar Maju, 2003.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,

Malang, 2008.

Dahlan, Irdan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1997.

Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan dan Yurisprudensi, Sinar

Grafika, Jakarta, 2010.

Makarao, Taufik Mohammad, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 2004.

126

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2005.

Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan

Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi). Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Poernomo, Bambang, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia,

Yogyakarta,Liberty, 1986.

________, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku Yogyakarta,

Yogyakarta, 1988.

_________, Pola Dasar Teori Asas Umum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana,

Liberty, Jogjakarta, 1993.

Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta, Djambatan, 1989.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung, 1983.

Prodjohamidjojo, Martiman, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti jilid 2, Ghalia,

Jakarta, 1990.

_________ , Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Ghalia, Jakarta, 1983

R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut

KUHAP bagi Penegak Hukum), Politea, Bogor, 1982.

Soemitro, Rony Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang,

2005.

Sutarto, Suryono, Sari Hukum Acara Pidana1, Yayasan Cendikia Dharma, Semarang,

1987.

Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Armioo, Bandung, 1984.

B. Peraturan Perundang – undangan :

Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana

________, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana

________, Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, No. 27 Tahun 1983, LN No. 10 Tahun 195, TLN No. 27.

127

C. Sumber Hukum Lain

Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor: 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga

Artikel nonpersonal, 2007, “Tipologi Penelitian Hukum”.

http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28

juni 2012.

Artikel hukum, 2008, “Kekuatan Pembuktian Saksi Keluarga”.

http://www.google.co.id/url.kekuatanpembuktiansaksikeluarga&source, diakses

tanggal 11 juli 2012, jam 12.28

Satyawati Yuni Irianti, S.H., M.Hum, 2008, “Saksi Yang Memiliki Hubungan Darah

Dan Orang Yang Mempunyai Ikatan Kerja Dengan Terdakwa”.

http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/info-hukum/artikel-hukum/2074-saksi-yang-

memiliki-hubungan-darah-dan-orang-yang-mempunyai-ikatan-kerja-dengan-

terdakwa.html, diakses tanggal 1 Oktober 2012, jam 12.45