BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah - Welcome...
-
Upload
duongquynh -
Category
Documents
-
view
218 -
download
1
Transcript of BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah - Welcome...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada zaman dahulu penyelenggaraan rumah sakit berorientasi pada
kemurnian rasa kasih sayang, kesadaran sosial dan naluri untuk saling tolong
menolong diantara sesama, serta samangat keagamaan yang tinggi dalam
kehidupan umat manusia. Sejalan dengan peradaban umat manusia serta
perkembangan tatanan sosio budaya masyarakat, rumah sakit yang telah
berkembang menjadi suatu lembaga berupa “unit sosio ekonomi “ yang majemuk
seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi pada umumnya, khususnya dalam
bidang kedokteran dan kesehatan.1 Perkembangan rumah sakit menjadi suatu
lembaga unit sosio ekonomi menyebabkan mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan oleh pasien yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan terutama
pelayanan kesehatan dirumah sakit.
Tingkat kemiskinan yang ada di Indonesia menyebabkan masih banyak
masyarakat miskin yang belum mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Kondisi
ini tentu tidak sebanding dengan ekonomi masyarakat miskin yang harus
mengeluarkan biaya tinggi untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pemerintah
seharusnya lebih cepat tanggap akan pentingnya kesehatan, sebab kesehatan
merupakan bagian terpenting untuk mencapai kesejahteraan.
1 Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, Prestasi
Publisher, Jakarta, hlm. 51.
2
Berdasarkan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
menyatakan bahwa:
“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
dan fasilitas pelayanan umum yang layak “.
Amanat kedua pasal diatas menunjukan bahwa negara yang harus
bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan dan penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan bagi setiap orang termasuk masyarakat miskin.
Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan
nasional, dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.2 Kesehatan merupakan
faktor utama dalam kehidupan, maka pemerintah harus melakukan tindakan nyata
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Kenyataanya derajat kesehatan di Indonesia masih rendah hal ini
digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi
masyarakat miskin tiga setengah sampai dengan empat kali lebih tinggi dari
2 Sundoyo, Jaminan Kesehatan Masyarakat Salah Satu Cara Menyejahterakan Rakyat, Vol.
2. No. 4. Jurnal Hukum Kesehatan. Jakarta. hlm. 15.
3
masyarakat tidak miskin.3 Salah satu penyebabnya karena mahalnya biaya
pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan. Pemerintah seharusnya lebih
tanggap dengan kondisi ini, mahalnya biaya pelayanan kesehatan dapat
mengakibatkan kematian. Upaya preventif sebenarnya sangat perlu dilakukan oleh
pemerintah untuk dapat mencegah timbulnya penyakit, kematian ibu dan atau
bayi.
Masyarakat miskin biasanya rentan terhadap penyakit dan mudah terjadi penularan penyakit karena berbagai kondisi seperti kurangnya kebersihan lingkungan dan perumahan yang saling berhimpitan, perilaku hidup bersih masyarakat yang belum membudaya, pengetahuan terhadap kesehatan dan pendidikan yang umumnya masih rendah.4 Keadaan tersebut tentu mencerminkan rendahnya tingkat kesehatan yang
ada di Indonesia. Tingginya angka kesakitan berakibat terhadap biaya yang harus
dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama tingginya biaya
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pasien rawat inap.
Surat kabar Kompas dalam penerbitanya akhir Desember 1978, dalam laporannya mengesankan adanya hal-hal yang tidak perlu didalam penyediaan obat-obatan. Hal-hal yang tidak perlu ini ditambah dengan sifat-sifat perdagangan, membuat harga obat menjadi tinggi, yang sebenarnya tidak relevan dengan kebutuhan medis dalam suatu pengobatan. Tidak jarang bahwa harga obatnya sendiri cukup mahal, tetapi kepentingan perdagangan, obat-obatan tersebut diberikan rasa yang lebih enak, bungkus yang lebih bagus, sehingga harga tambahan dari faktor-faktor ini melampaui harga dari obatnya sendiri.5
3 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/ SK/ II/ 2008 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. hlm. 1. 4 Ibid. 5 Sulastomo, 2003, Manajemen Kesehatan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 9.
4
Biaya pelayanan kesehatan bukan hanya mencangkup harga obat yang
harus dibayar, tetapi juga termasuk imbalan jasa keahlian maupun tempat
perawatan (rumah sakit). Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk berobat
tentunya tidak semua masyarakat mampu untuk membayar, terutama masyarakat
miskin.
Beban finansial bagi pasien rawat inap yang tentunya besar
mengakibatkan masyarakat miskin cenderung tidak pergi ke rumah sakit.
Ketakutan untuk membayar pelayanan kesehatan yang tinggi mengakibatkan
mereka juga tidak ingin pergi ke rumah sakit pemerintah, walaupun rumah sakit
pemerintah menerima subsidi dari pemerintah, orang miskin tidak mendapatkan
subsidi yang cukup karena berbagai alasan. Fakta bahwa orang miskin diharuskan
membayar tarif kamar perawatan, prosedur pengobatan dan obat serta peralatan
medis menjadi hambatan bagi mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang sesuai. Masyarakat mengetahui bahwa ketika mereka pergi ke rumah sakit
pemerintah, mereka harus membayar biaya dalam jumlah yang besar. Kebutuhan
akan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin sangat diperlukan apalagi bila
salah satu anggota keluarga diharuskan memperoleh pelayanan kesehatan rawat
inap di rumah sakit. Biaya pelayanan kesehatan rumah sakit bagi pasien rawat
inap yang tidak memiliki asuransi kesehatan, tidak ada keluarga yang membantu,
tidak memiliki tabungan bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari belum
dapat mencukupi akan menghancurkan keluarga sebab anggota keluarga yang lain
5
juga memerlukan biaya untuk kebutuhan hidup bukan hanya untuk membayar
biaya pelayanan kesehatan rawat inap.
Amanat dari Pasal 28 H ayat (1) dan 34 ayat (3) Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia diwujudkan dengan adanya Program Jaminan
Kesehatan Masayarakat (Jamkesmas). Dikeluarkanya program ini diharapkan
masyarakat miskin dan tidak mampu dapat memperoleh pelayanan kesehatan
yang diperlukan.
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
menyatakan bahwa:
Ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan; Ayat (2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan diatas, mempertegas bahwa Pemerintah
bertanggung jawab atas pelaksanaan program jaminan kesehatan masyarakat
melalui sistem jaminan sosial nasional yang dilaksanakan sesuai peraturan
perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, belum dapat diimplementasikan mengingat aturan
pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan
Presiden sampai dengan saat ini belum diundangkan kecuali Keputusan Presiden
tentang Pengangkatan Dewan Jaminan Sosial Nasional. Belum dapat
diimplementasikannya undang-undang tersebut semakin mempersulit masyarakat
6
untuk mendapatkan jaminan, terutama jaminan kesehatan yang sangat diperlukan
bagi masyarakat miskin.
Kementrian Kesehatan mengeluarkan program jaminan kesehatan untuk
masyarakat miskin sebagai wujud pemenuhan hak rakyat atas kesehatan. Menteri
Kesehatan sebagai penanggung jawab langsung masalah bidang kesehatan
mengeluarkan suatu program Jamkesmas. Pedoman yang menjadi acuan
pelaksanaan Jamkesmas adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 903/ Menkes/ PER/ V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan
Kesehatan.
Tahun 2007 dan 2008 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin yang
dijamin oleh Jamkesmas, jumlah penduduk miskin dan hampir miskin yang
dijamin pemerintah terus meningkat hingga menjadi 76,4 juta jiwa. Peningkatan
pemanfaatan program Jamkesmas menunjukan bahwa tujuan program tersebut
telah tercapai.6 Peningkatan peserta Jamkesmas harus tetap diperhatikan oleh
pemerintah terutama mengenai pelayanan kesehatan yang diberikan. Rumah sakit
sebagai salah satu tempat yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap
masyarakat juga perlu mendapatkan perhatian atas segala tindakan-tindakan yang
dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu.
Banyak kasus yang ditemukan dalam survey Citizen Report Cards (CRC) 2010. Survei ini dilakukan ICW pada 986 pasien miskin pemegang kartu Jamkesmas, Jamkesda, Gakin, dan SKTM pada 19 rumah sakit pemerintah dan swasta di Jabodetabek, periode 13 Oktober-13 November 2010.
6 Sundoyo dan Siti Maimunah Siregar, Tinjauan Yuridis Penyelenggaraan Jamkesmas 2008.
Vol.1. No.2. 2008. Jurnal Hukum Kesehatan. Jakarta. hlm. 21.
7
Berdasarkan CRC masih ditemukan pasien miskin yang enggan menggunakan kartu Jamkesmas, Jamkesda, dan Gakin diawal pengobatan karena dikawatirkan ditolak berobat secara halus oleh pihak rumah sakit. Penolakan tersebut disertai alasan seperti tempat tidur penuh, tidak punya peralatan kesehatan, dokter atau obat yang memadai untuk tidak menerima pengobatan pasien tersebut. Hal ini membuktikan bahwa pelayanan rumah sakit bagi pasien miskin belum kunjung membaik. Pasien miskin masih menganggap rumah sakit belum memprioritaskan pelayanan bagi mereka. Diantara jenis pelayanan rumah sakit, pengurusan administrasi merupakan pelayanan paling banyak dikeluhkan oleh pasien miskin. Dari 989 total responden, 47,3 persen masih mengeluhkan pelayanan tersebut. Sementara keluhan terhadap pelayanan dokter, perawat, petugas rumah sakit lain, keluhan uang muka, keluhan penolakan rumah sakit, dan keluhan fasilitas-sarana rumah sakit disampaikan berturut-turut oleh 18,2 persen, 18,7 persen, 10,2 persen dan 13,6 persen pasien miskin.7 Berdasarkan hasil survey dari Citizen Report Cards (CRC) 2010
menggambarkan belum membaiknya pelayanan kesehatan yang diberikan bagi
peserta Jamkesmas. Hasil survey yang dilakukan di Jabodetabek yang seharusnya
dapat dijadikan sebagai percontohan bagi pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi
daerah lain justru belum berhasil. Penegakan hukum yang masih tebang pilih
juga ternyata berlaku dalam pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Sistem tebang pilih ternyata juga berlaku di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sampang. Kali ini menimpa Mariyah (17), pasien bersalin pengguna jaminan kesehatan masyarakat ( Jamkesmas) asal desa Padiyangan Kecamatan Robatal. Anehnya, semenjak masuk RSUD Sampang pukul 22.00 wib hari Minggu 24 juli 2011 hingga 28 juli 2011, pasien sama sekali tidak disentuh oleh petugas Rumah Sakit. Akibatnya, kondisi pasien saat ini semakin memprihatinkan. 8
7 Pelaksanaan Sistem Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin, http // news.okezone.com,
Masih_Sebelah_Mata_Pandang_Kelas_Bawah, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011. 8 Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http// beritajatim.com, 4_ Hari_ Pasien_ Jamkes
mas_ Ditelankarkan_RSUD_Sampang, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011.
8
Peristiwa yang dialami oleh Mariyah menunjukan bahwa pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada masyarakat miskin peserta Jamkesmas sangat
buruk. Empat hari dirumah sakit tidak diberikan pelayanan kesehatan yang
semestinya, tentunya mencerminkan bahwa pelayanan kesehatan bagi pasien
rawat inap peserta Jamkesmas tidak berjalan semestinya.
Sejumlah pasien program Jamkesmas di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo, milik Pemkab Bojonegoro, Jawa Timur (Jatim), sejak sepekan terakhir dirawat dilorong rumah sakit. Direktur RSUD Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro, Sunhadi yang diminta konfirmasi mengaku, belum tahu adanya pasien yang dirawat dilorong ruangan perawatan Asoka dan Sakura. Secara terpisah, seorang pasien Jamkesmas asal Desa Nglarangan, kecamatan Kanor, Yitno mengaku, sudah menjalani perawatan dilorong ruangan Sakura, sejak masuk rumah sakit, sepekan yang lalu. Dilorong tersebut, selain Yitno, juga ada seorang pasien lainnya lengkap dengan berbagai peralatan medis, termasuk tempat tidur. Sementara itu, ruangan Asoka yang merawat penyakit dalam, juga ada dua pasien yang dirawat dilorong.9 Pasien rawat inap peserta Jamkesmas seharusnya mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu ditempatkan diruang kelas
III bukan dilorong ruangan. Penempatan pasien peserta Jamkesmas tersebut
tentunya sangat menyimpang dengan ketentuan yang ada semestinya bila alasan
dirawat dilorong ruangan karena tidak tersedianya tempat tidur, peserta terpaksa
dirawat dikelas yang lebih tinggi dari kelas III dan biaya pelayanannya tetap
diklaimkan menurut biaya kelas III. Gambaran yang lebih memprihatinkan
tentang pelayanan kesehatan dirumah sakit yaitu mengenai penolakan pasien
masyarakat miskin peserta Jamkesmas.
9 Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http// antaranews.com, ,Pasien_ Jamkesmas_
Dirawat_ di_lorong_RS, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011.
9
Penolakan terhadap pasien miskin kembali terulang. Said, salah seorang pasien miskin dibawa pulang keluarganya, baru-baru ini. Sebab, pihak rumah sakit menolak mengoperasi pasien yang hanya mengantongi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) itu tanpa alasan yang jelas. Warga Balaraja, Tangerang, Banten.10
Peristiwa diatas mencerminkan bahwa adanya ketidakadilan pelayanan
kesehatan yang diperuntukan bagi masyarakat miskin pasien rawat inap peserta
Jamkesmas. Fakta yang terjadi dari beberapa peristiwa diatas dapat di
identifikasikan mengenai masalah yang terjadi di rumah sakit terkait dengan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin peserta Jamkesmas, yaitu:
1. Keterbatasan ruangan bagi pasien rawat inap khususnya bagi pasien yang
menggunakan kartu Jamkesmas. Sehingga banyak terjadi penolakan terhadap
masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan rawat inap
dengan alasan ruangan penuh dan juga berakibat ada pasien rawat inap di
rumah sakit yang mendapatkan pelayanan kesehatan di lorong ruangan.
2. Penerapan kendali mutu pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit perlu
diperhatikan. Peristiwa yang dialami Mariyah, pasien dari RSUD Kabupaten
Sampang yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dirumah sakit
tentunya mengakibatkan kondisi pasien lebih memprihatinkan.
3. Pengurusan administrasi, hal ini banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Survey
dari Citizen Report Cards (CRC) 2010 yang dilakukan pada 986 pasien
miskin pengguna kartu Jamkesmas, Jamkesda, Gakin dan SKTM di 19 rumah
10 Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http//kesehatan.liputan6.com, tiada-biaya-pasien-
miskin-dibawa-pulang, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011.
10
sakit pemerintah dan swasta di Jabodetabek, periode 13 Oktober – 13
November 2010. Hasil survey menyatakan 47, 3 persen banyak mengeluhkan
tentang pengurusan administrasi yang harus dilakukan. Survey tersebut
tentunya dapat mengidikasikan bahwa pengurusan administrasi bagi pasien
Jamkesmas belum kunjung membaik.
Aturan mengenai Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat
telah dua kali mengalami perubahan karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan.
Beberapa kendala dalam pelaksanaan Jamkesmas tahun 2010 meliputi
kepersertaan, pelayanan kesehatan, pendanaan program, pengorganisasian, peran
dan fungsi pemerintah daerah.
Salah satu kendala dalam pelaksanaan Jamkesmas tahun 2010 adalah kendala dalam pelayanan kesehatan antara lain: a) masih terdapat (meskipun kasusnya sangat sedikit) penolakan pasien Jamkesmas dengan alasan kapasitas RS sudah penuh, b) sistem rujukan belum berjalan dengan optimal, c) belum semua RS menerapkan kendali mutu dan kendali biaya, d) peserta masih dikenakan urun biaya dalam mendapat obat, AMHP atau darah, e) penyediaan dan distribusi obat belum mengakomodasi kebutuhan pelayanan obat program Jamkesmas, f) penetapan status kepesertaan Jamkesmas atau bukan peserta Jamkesmas sejak awal masuk Rumah Sakit, belum dipatuhi sepenuhnya oleh peserta.11 Dikeluarkanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 903/
MENKES/ PER/ V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan
Kesehatan diharapkan dapat mengatasi kendala yang ada. Rumah sakit sebagai
salah satu pelaksana Jamkesmas harus dapat memberikan pelayanan kesehatan
11 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), hlm. 3.
11
bagi masyarakat miskin yang mengacu pada ketentuan yang ada. Jamkesmas
dikeluarakan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat miskin dibidang
kesehatan, dengan adanya Jamkesmas diharapkan masyarakat miskin dapat
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang layak.
Hasil pencacahan sensus penduduk 2010, menyebutkan bahwa jumlah
penduduk di Kabupaten Banyumas adalah 1.553.902 orang dan berdasarkan pada
data BPS Kabupaten Banyumas memiliki jumlah penduduk miskin sebesar
62.500 orang. Kesehatan merupakan faktor utama dalam meningkatkan SDM,
dengan SDM yang lebih baik tentunya dapat mencapai kesejahteraan.
Ketersediaan sarana kesehatan sangat penting dalam meningkatkan kesehatan
masyarakat. Pada tahun 2010 jumlah rumah sakit baik negeri maupun swasta
yang ada di Kabupaten Banyumas sebanyak 22 buah. Pada setiap kecamatan
secara umum sudah terdapat Puskesmas dan Puskesmas Pembantu.12 Jumlah
sarana rumah sakit yang tidak sebanding dengan jumlah masyarakat yang ada di
Kabupaten Banyumas tentunya menjadi suatu hambatan untuk meningkatkan
kesehatan. Jumlah rumah sakit yang terbatas tentunya berakibat bagi masyarakat
miskin yang harus berusaha untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Sarana dan
prasarana yang ada dirumah sakit tentunya sangat berpengaruh terhadap
pelayanan kesehatan yang diberikan untuk pasien. Terutama bagi pasien yang
12 Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, 2011, Kabupaten Banyumas Dalam Angka
2011 Banyumas In Figures, Banyumas. hlm. 89.
12
harus memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap, keterbatasan sarana pelayanan
kesehatan di Banyumas seharusnya lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah.
Masyarakat miskin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat
miskin yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Masyarakat yang kondisi ekonominya tidak mampu
2. Masyarakat yang memiliki kartu Jamkesmas
3. Masyarakat yang telah mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah
sakit
Asumsi masyarakat mengenai pelayanan kesehatan yang kurang baik,
terutama pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien rawat inap peserta
Jamkesmas dirumah sakit tentunya membuat citra kurang baik bagi rumah sakit.
Asumsi masyarakat tersebut tidak harus diterapkan pada semua rumah sakit,
karena rumah sakit sebagai suatu unit yang memberikan pelayanan kesehatan juga
memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu.
Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dirumah sakit bagi
pasien rawat inap peserta Jamkesmas tidak semestinya menelan asumsi tersebut,
sebab dalam implementasinya banyak faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin bagi pasien rawat inap
dalam memperoleh pelayanan kesehatan.
Mengingat masyarakat miskin dari waktu ke waktu justru semakin
berkembang terutama dalam kuantitasnya maka jaminan kesehatan masyarakat
bagi masyarakat miskin sangat diperlukan karena pada umumnya masyarakat
13
miskin belum sepenuhnya mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana yang
diharapkan oleh pembentuk undang-undang. Dalam pelayanan kesehatan tidak
jarang ditemukan berbagai pelayanan kesehatan yang diskriminatif antara
masyarakat miskin dengan masyarakat yang tidak miskin bahkan banyak pula
masyarakat miskin yang ingin berobat ke rumah sakit tertentu ditolak karena
hanya tidak bisa menunjukan bukti sebagai masyarakat miskin sehingga jaminan
kesehatan bagi masyarakat miskin hampir tidak bisa dinikmati meskipun dalam
peraturan menteri secara tegas diatur pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin. Hal inilah yang menjadi arti penting dalam penelitian ini. Sehingga
penelitian ini memberikan kontribusi terutama bagi pembuat kebijakan-kebijakan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Berdasarkan pada pemikiran diatas, penulis menjadi tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “ IMPLEMENTASI SISTEM JAMINAN
KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN PASIEN RAWAT INAP DALAM
PELAYANAN KESEHATAN ( STUDI DI RSUD. PROF. DR. MARG ONO
SOEKARJO)”.
14
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik suatu perumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi sistem jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin
pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono
Soekarjo?
2. Faktor-faktor apa yang cenderung mempengaruhi implementasi sistem
jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan
kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin
pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono
Soekarjo.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap
dalam pelayanan kesehatan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
15
D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan dan tujuan penelitian sebagaimana
dipaparkan diatas, maka hasil penelitian berguna baik untuk kepentingan teoritis
maupun praktis.
1. Kegunaan Teoritis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan hukum kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin peserta Jamkesmas.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi dan
praktisi dibidang hukum kesehatan, dalam mengembangkan ilmu
dibidangnya sesuai dengan falsafah yang ada, dimana masyarakat miskin
pasien rawat inap peserta Jamkesmas harus dipandang sebagai warga
negara yang memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
bermutu dan nondiskriminatif.
2. Kegunaan Praktis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan (input),
bagi RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo dalam melaksanakan tanggung
jawab hukumnya mengenai implementasi sistem jaminan kesehatan bagi
masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi
ilmiah dan dapat menjadi acuan serta bahan perbandingan bagi penelitian-
penelitian sejenis dimasa mendatang.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pelayanan Kesehatan
1. Pengertian dan Pengaturan Pelayanan Kesehatan
Hukum kesehatan merupakan hukum yang secara khusus berisikan
perangkat kaidah maupun keteraturan sikap tindakan yang berkaitan dengan
kesehatan.13 Pelayanan kesehatan merupakan tindakan yang terkaitan dengan
kesehatan, maka pelayanan kesehatan masuk didalam hukum kesehatan.
Pelayanan kesehatan dalam tulisan ini hanya dibatasi pada kegiatan-kegiatan
yang berhubungan langsung dengan penerapan ilmu dan teknologi kesehatan
saja, khususnya pada masalah implementasi sistem jaminan kesehatan
masyarakat miskin pasien rawat inap dalam memperoleh pelayanan kesehatan
di rumah sakit.
Pada masa lampau ada anggapan kuat bahwa kedudukan hukum
pasien lebih rendah daripada tenaga kesehatan (misalnya dokter).14 Dokter
dianggap tahu segalanya dan pasien tidak sadar memiliki hak dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang disarankan oleh dokter. Kemajuan
ilmu kesehatan saat ini tentunya dapat mengakibatkan resiko yang tinggi bagi
pasien. Tenaga kesehatan juga dapat melakukan kesalahan dalam memberikan
13 Soerjono Soekanto dan Herkutanto,1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadja,
Bandung, hlm. 27. 14 Ibid.,hlm. 35.
17
pelayanan kesehatan, tindakan keliru atau kelalaian juga bisa dilakukan oleh
tenaga kesehatan. Perlindungan hukum bagi pasien penting supaya tenaga
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan bertindak hati-hati, maka
dalam rangka mewujudkan perlindungan bagi pasien kemudian diatur didalam
peraturan perundang-undangan.
Ditinjau dari aspek hukum, pelayanan kesehatan secara formal diatur
didalam Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam
Undang-Undang tersebut tidak secara tegas mengatur tentang pengertian
pelayanan kesehatan. Ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Nomor.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan hanya ada pengertian mengenai upaya
kesehatan, yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 11, yang menyatakan bahwa :
“ Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”. Ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, menyebutkan bahwa:
“ Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan
menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perorangan dan upaya
kesehatan masyarakat”.
18
Kedua ketentuan diatas dipertegas dengan adanya Pasal 47 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa :
“ Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan
pendekatan promotif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan
secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan”.
Berdasarkan pada ketentuan diatas maka dapat diinterprestasikan
bahwa, masalah pelayanan kesehatan sudah diatur secara tegas didalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, karena pada
dasarnya pelayanan kesehatan merupakan bagian yang integral dari upaya
kesehatan, dengan tujuan untuk mewujudkan kesehatan secara perorangan
maupun kelompok yang dilakukan dengan berbagai pendekatan upaya
kesehatan. Hal ini terkandung dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) huruf a,
yang menyatakan bahwa:
“ Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kesehatan”.
Pengertian pelayanan kesehatan menurut pendapat beberapa ahli
hukum adalah sebagai berikut:
Pengertian pelayanan kesehatan menurut Soerjono Soekamto adalah:
” Pelayanan kesehatan merupakan suatu usaha profesi kesehatan untuk mewujudkan dan meningkatkan derajat kesehatan pada setiap orang atau masyarakat yang lebih baik dari keadaan sebelumnya, secara terus menerus dan berkesinambungan agar dapat hidup sejahtera secara
19
produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai kondisi, situasi dan kemampuan yang nyata dari setiap orang atau pun masyarakat.”15
Menurut Wiku Adisasmito, dalam studinya tentang analisis kebijakan
kesehatan berpendapat bahwa pengertian pelayanan kesehatan adalah:
“ Segala bentuk kegiatan yang ditunjukan untuk meningkatkan derajat suatu masyarakat yang mencangkup kegiatan penyuluhan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan kesehatan yang diselenggarakan secara terpadu dan berkesinambungan yang secara sinergis berhasil guna dan berdaya guna sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya”.16
Menurut Lavey dan Loomba yang dimaksud dengan pelayanan
kesehatan adalah
“ Setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditunjukan terhadap perorangan, kelompok atau masyarakat”.17 Pengertian pelayanan kesehatan menurut pendapatnya Abdul Bari
Syaifudin yang menyatakan bahwa:
“ Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat”.18
15 Soerjono Soekanto,1990. Segi-Segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien Dalam Kerangka
Hukum Kesehatan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 12. 16 Wiku Adisasmito,2008, Kebijakan standar pelayanan Medik dan Diagnosis related Group
(DRG), Kelayakan Penerapanya di Indonesia, Jakarta,Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia,hlm.9.
17 Alexandra Indriyanti Dewi,2008,Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, hlm. 136.
18 Abdul Bari Syaifudin, 2002, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, hlm. 17.
20
Batasan-batasan pelayanan kesehatan diatas, agak berbeda dengan
pendapat Lumentana yang membedakan antara pelayanan kesehatan dengan
pelayanan medik, yang menyatakan bahwa:
“ Pelayanan medik adalah suatu kegiatan mikrososial yang berlaku antara perorangan, sedangkan pelayanan kesehatan adalah suatu kegiatan makrososial yang berlaku antara pranata atau lembaga dengan populasi tertentu, masyarakat dan komunitas. Baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan medik mempunyai tujuan yang sama yaitu memenuhi kebutuhan individu atau masyarakat untuk mengatasi, menetralisasi atau menormalisasi semua masalah atau penyimpangan terhadap keadaan kesehatan yang normatif”.19 Berdasarkan pengertian pelayanan kesehatan tersebut diatas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa, bentuk dan jenis pelayanan kesehatan
mengandung banyak ragamnya, oleh karena sangat ditentukan oleh:
a) Pengorganisasian pelayanan, apakah diselenggarakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi;
b) Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya;
c) Sasaran pelayanan kesehatan, apakah untuk perorangan, keluarga, kelompok ataupun untuk masyarakat secara keseluruhan.20
Dilihat dari segi bentuk dan jenis pelayanan kesehatan, Hodgetts dan
Cascio sebagaimana dikutip oleh Azrul Azwar menjabarkan pelayanan
kesehatan menjadi 2 (dua) macam, yakni:
a) Pelayanan kesehatan masyarakat, yakni bagian dari pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya memelihara dan meningkatkan
19 B. Lumentana, 1989, Pelayanan Medis, Citra, Konflik dan Harapan, Kanisius, Kanisius,
Yogyakarta, hlm.15. 20 Azrul Azwar, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara,
Jakarta, hlm. 36.
21
kesehatan dan mencegah penyakit serta sasaran utamanya adalah kelompok dan masyarakat;
b) Pelayanan medis, yakni bagian dari pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan serta sasaran utamanya adalah perorangan dan keluarga.21
2. Asas-Asas Hukum Pelayanan Kesehatan
Menurut Veronika Komalawati yang mengatakan bahwa asas-asas
hukum yang mendasari pelayanan kesehatan adalah sebagi berikut :
a) Asas Legalitas
Asas ini tersirat didalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan
bahwa:
1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan;
2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki;
3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.
Berdasarkan pada ketentuan diatas, maka pelayanan kesehatan
hanya dapat terselenggara jika tenaga kesehatan yang bersangkutan telah
memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.22
21 Azrul Azwar, 2008, Kebijakan dan Sistem Kesehatan, Materi Kuliah Kebijakan dan Sistem
Kesehatan, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana UNSOED, Purwokerto, hlm. 2. 22 Anny Isfandyarie, Op. Cit., hlm. 75.
22
b) Asas Keseimbangan
Menurut asas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus
diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan
masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan sepiritual.
Didalam pelayanan kesehatan, dapat pula diartikan sebagai
keseimbanagan antara tujuan dan sasaran, antara sasaran dan hasil, antara
manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya yang dilakukan. Asas ini
erat kaitannya dengan masalah keadilan.
Menurut Mertokusumo, penilaian keadilan yang pada umumnya subyektif dan hanya dapat dilihat dari pihak yang menerima perlakuan saja. Kaitanya dengan pelayanan kesehatan, keadilan yang dimaksud bersifat kasuistis karena sangat terkait dengan alokasi sumber daya dalam pelayananan kesehatan.23
c) Asas Tepat Waktu
Asas ini merupakan asas yang penting dalam memberikan
pelayanan kesehatan karena akibat dari kelalaian memberikan pelayanan
kesehatan tepat pada saat yang dibutuhkan dapat mengakibatkan kondisi
pasien memburuk bahkan nyawa pasien dapat terancam. Asas ini perlu
diperhatikan oleh tenaga kesehatan mengingat hukum tidak bisa menerima
alasan apapun dalam hal keselamatan nyawa pasien yang terancam yang
disebabkan karena keterlambatan tenaga kesehatan dalam menangani
pasien.24
23 Ibid., hlm. 78. 24 Ibid.
23
d) Asas Iktikad Baik
Asas ini bersumber pada prinsip etis untuk berbuat baik (beneficence) pada umumnya perlu diaplikasikan dalam pelaksanaaan kewajinan tenaga kesehatan terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. Penerapan asas iktikad baik akan tercermin dengan penghormatan terhadap hak pasien dan pelaksanaan praktik tenaga kesehatan yang selalu berpegang teguh pada standar profesi. Kewajiban berbuat baik tentunya bukan tanpa batas, karena berbuat baik harus tidak boleh sampai menimbulkan kerugian bagi diri sendiri.25
e) Asas Kejujuran
Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat
menumbuhkan kepercayaan pasien kepada tenaga kesehatan. Asas
kejujuran mewajibkan tenaga kesehatan untuk memberikan pertolongan
sesuai kebutuhan pasien, yakni sesuai dengan standar profesinya.
Penggunaan berbagai sarana yang tersedia didalam lembaga pelayanaan
kesehatan hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien yang
bersangkutan.26 Asas ini juga merupakan dasar bagi tenaga kesehatan dan
pasien untuk dapat menyampaikan informasi yang benar dalam
berkomunikasi. Kejujuran dalam menyampaikan informasi akan sangat
membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini terkait erat
dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran.
Kejujuran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk
menyampaikan keadaan pasien juga ada pengecualian, tenaga kesehatan
25 Ibid. 26 Ibid., hlm. 80-81.
24
tidak berarti harus memberitahukan keadaan yang sebenarnya yang
dialami oleh pasien karena tenaga kesehatan berpendapat bahwa
pemberitahuan keadaan yang sebenarnya tentang pasien dapat merugikan
pasien yang bersangkutan.
f) Asas Kehati-hatian
Sebagai seorang yang profesional dibidang kesehatan, tindakan
tenaga kesehatan harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan
fungsi dan tanggung jawabnya, karena kecerobohaan dalam melakukan
tindakan yang berakibat terancamnya jiwa pasien, dapat mengakibatkan
tenaga kesehatan terkena tuntutan pidana. Asas ini tersirat didalam Pasal
58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
yang menyebutkan bahwa:
“ Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,
tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterima”.
Asas kehati-hatian ini diterapkan dengan mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien terutama hak atas informasi dan hak untuk
memberikan persetujuan yang erat kaitannya dengan informed consent
dalam transaksi terapeutik.27
g) Asas Keterbukaan
27 Ibid., hlm. 82.
25
Salah satu asas yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah asas penghormatan
terhadap hak dan kewajiban, yang secara tersirat di dalamnya terkandung
asas keterbukaan. Hal ini dapat diinterprestasikan dari penjelasan Pasal 2
angka (9) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
yang berbunyi:
“ Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa
pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban
masyarakat sebagi bentuk kesamaan kedudukan hukum”
Pelayanan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna hanya dapat tercapai apabila ada keterbukaan dan kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien dengan berlandaskan sikap saling percaya. Sikap ini dapat tumbuh jika terjalin komunikasi secara terbuka antara tenaga kesehatan dengan pasien dimana pasien memperoleh penjelasan atau informasi dari dokter dalam komunikasi yang transparan ini.28
Sedikit berbeda dengan pendapat Veronica Komalawati, Munir
Fuandy sebagaimana dikutip oleh Anny Isfandyarie mengemukakan
pendapatnya bahwa, didalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan terdapat
beberapa asas etika modern dari praktik kedokteran yang disebutkan oleh
Catherien Tay swee Kiaan antara lain sebagai berikut:
a) Asas Otonom
Asas otonom menghendaki agar pasien yang mempunyai kapasitan
sebagai subyek hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan untuk
28 Ibid., hlm. 83.
26
menentukan pilihannya secara rasional, sebagai wujud penghormatan
terhadap hak asasinya untuk menentukan nasibnya sendiri.29
Pilihan pasien yang salah atas tindakan yang dilakukannya
meskipun hal tersebut merupakan hak dari pasien, tenaga kesehatan harus
tetap menghormati dan menjelaskan sesuai dengan ilmu pengetahuanya
kepada pasien tentang akibat yang dapat ditimbulkan dari pilihan tindakan
pasien.
Tenaga kesehatan dalam memberikan informasi terhadap pasien
hendaknya menyadari bahwa kurangnya pengetahuan tentang kesehatan
dan rasa takut terhadap penyakitnya serta latar belakang keyakinan, adat
istiadat, sosial ekonomi pasien akan mempengaruhi persetujuan yang
diberikan.
b) Asas Murah Hati
Asas ini menganjurkan tenaga kesehatan untuk bermurah hati
terhadap pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan. Berbuat
kebajikan, kebaikan dan dermawan merupakan anjuran yang berlaku
umum bagi setiap individu.30 Asas ini, hendaknya dapat diterapkan oleh
tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya yang dilakukan terhadap
pasien.
c) Asas Tidak Menyakiti
29 Ibid., hlm. 83-84. 30 Ibid., hlm. 84.
27
Tenaga kesehatan dalam melakaukan pelayanan kesehatan
hendaknya berusaha tidak menyakiti pasien meskipun hal ini sangat sulit
dilakukan, karena dalam melakukan pengobatan terhadap pasien justu
tenaga kesehatan harus menyakiti pasien. Tindakan tersebut bila dilakukan
maka tenaga kesehatan harus memberitahukan terlebih dahulu kepada
pasien bahwa akan menimbulkan rasa sakit untuk kesembuhan pasien.
d) Asas Keadilan
Keadilan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan harus memberikan
pelayanan kesehatan secara adil kepada pasien tanpa memandang status
ekonomi, suku dan agama. Asas ini juga mengharuskan tenaga kesehatan
untuk menghormati semua hak pasien antara lain hak atas kerahasiaan,
hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan dalam pelayanan
kesehatan.31
e) Asas Kesetiaan
Asas Kesetiaan berarti tenaga kesehatan harus dapat dipercaya dan
setia terhadap amanah yang diberikan pasien kepada dirinya. Pasien
berobat kepada tenaga kesehatan karena pasien percaya bahwa tenaga
kesehatan akan menolong untuk menyembuhkan dirinya. Hal ini
merupakan amanah yang harus dilaksanakan oleh tenaga kesehatan
dengan penuh tanggung jawab untuk menyelamatkan pasien.
31 Ibid., hlm. 85.
28
f) Asas Kejujuran
Asas kejujuran menghendaki adanya kejujuran antara tenaga
kesehatan dengan pasien. Tenaga kesehatan harus memberikan informasi
yang sejujurnya kepada pasien tentang hasil pengamatan dan pemeriksaan
terhadap kesehatan pasien, dan sebaliknya pasien juga harus secara jujur
memberitahukan tentang riwayat penyakit yang dideritannya kepada
tenaga kesehatan.
Ditinjau dari Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, maka pada dasarnya asas-asas hukum tentang penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sudah mempunyai kekuatan mengikat bagi
penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berbunyi bahwa:
“Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan
perikemanusiaan,keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan
terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender, nondiskriminasi serta
norma-norma agama”.
29
3. Syarat-Syarat Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) macam, yakni
pelayanan medis dan pelayanan kesehatan masyarakat, yang masing-masing
memiliki ciri-ciri yang berbeda. Pembagaian pelayanan kesehatan diatas
sesuai dengan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, yang menyatakan sebagai berikut:
a) Pelayanan kesehatan terdiri atas: 1) Pelayanan kesehatan perorangan; dan 2) Pelayanan kesehatan masyarakat.
b) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, menyatakan antara lain bahwa:
a) Pelayanan kesehatan perorangan ditunjukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perorangan dan keluarga;
b) Pelayanan kesehatan masyarakat ditunjukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
Berkaitan dengan hal diatas, Azrul Azwar mengatakan bahwa, ciri-ciri
utama dari pelayanan kesehatan meliputi antara lain sebagai berikut:
a) Tenaga pelaksanannya terutama adalah para dokter; b) Perhatian utamanya pada penyembuhan penyakit; c) Sasaran utamanya adalah perseorangan atau keluarga; d) Kurang memperhatikan efisiensi; e) Tidak boleh menarik perhatian karena bertentangan dengan etika
kedokteran;
30
f) Menjalankan fungsi perseorangan dan terkait dengan undang-undang;
g) Penghasilan diperoleh dari imbalan jasa; h) Bertanggung jawab hanya kepada penderita; i) Tidak dapat monopoli upaya kesehatan dan bahkan mendapat
saingan; j) Masalah administrasi sangat sederhana;32
Dikatakan oleh Azrul Azwar bahwa ciri-ciri utama dari pelayanan
kesehatan masyarakat antara lain mencakup:
a) Tenaga pelaksananya terutama ahli kesehatan masyrakat; b) Perhatian utamanya pada pencegahan penyakit; c) Sasaran utamanya adalah masyarakat secara keseluruhan; d) Selalu berupaya mencari cara yang efisien; e) Dapat menarik perhatian masyarakat misalnya dengan penyuluhan
kesehatan; f) Menjalankan fungsi dengan mengorganisir masyarakat dan
mendapatkan dukungan undang-undang; g) Penghasilan berupa gaji dari pemerintah; h) Bertanggung jawab kepada seluruh masyarakat; i) Dapat memonopoli upaya kesehatan; j) Menghadapi berbagai persoalan kepemimpinan.33
Berdasarkan hal diatas, dapat disimpulkan bahwa sekalipun pelayanan
medis tersebut memiliki ciri yang berbeda dengan pelayanan kesehatan
masyarakat, tetapi untuk dapat disebut sebagai suatu pelayanan kesehatan
yang baik, kedua jenis pelayanan kesehatan tersebut harus memenuhi berbagai
persyaratan pokok, antara lain:
a) Tersedia dan berkesinambungan
Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia didalam masyarakat serta bersifat berkesinambungan, artinya, semua jenis pelayanan kesehatan yang
32 Azrul Azwar, 1996, Op. Cit., hlm. 37. 33 Ibid.
31
dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaanya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.34
b) Dapat diterima dan Wajar
Pelayanan kesehatan yang baik adalah yang dapat diterima oleh masyarakat serta kersifat wajar, artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan masyarakat, serta tidak wajar, bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik.35
c) Mudah dicapai
Pelayanan kesehatan yang baik adalah mudah dicapai oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi, dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatana yang baik, maka pengaturan distribusi sasaran kesehatan menjadi sangat penting adanya. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi didaerah perkotaan saja, tetapi tidak ditemukan didaerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.36
d) Mudah dijangkau
Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang dimaksudkan disini terutama dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan seperti ini harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan hanya mungkin dinikmati sebagaian kecil masyarakat saja, bukannlah pelayanan kesehatan yang baik.37
34 Ibid., hlm. 38. 35 Ibid. 36 Ibid. 37 Ibid., hlm. 39.
32
e) Bermutu
Pelayanan kesehatan yang baik adalah yang bermutu. Pengertian mutu yang dimaksudkan disini adalah yang menunjukan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan dilain pihak tata cara penyelenggaraannnya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.38
Ditinjau dari segi hukum, persyarantan pokok pelayanan kesehatan
diatas merupakan penjabaran dari ketentuan pasal 54 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa:
“ Penyelengggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara
bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non
diskrinimatif”.
Secara filosofis ketentuan ini bertujuan untuk mewujudkan salah satu
hak asasi manusia dibidang kesehatan, yakni memperoleh akses atas
pelayanan kesehatan yang baik dan dijamin oleh undang-undang. Hal ini
tercermin dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa:
“ Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau”.
Ketentuan tersebut menyiratkan persyaratan pokok dari pelayanan
kesehatan wajib diperhatikan terutama oleh tenaga kesehatan yang bertindak
sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat (pasien) sebagai
38 Ibid.
33
penerima jasa pelayanan kesehatan serta sekaligus menjadi nilai-nilai
pelayanan kesehatan, sehingga masyarakat dapat memperoleh pelayanan
kesehatan yang berbasis pada kebutuhan dan menjadi instrument hukum
untuk mencegah tindakan tenaga kesehatan yang salah.
4. Standar Profesi Medik dan Standar Pelayanan Rumah Sakit
Tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien harus sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang ada. Standar
pelayanan kesehatan bagi tenaga kesehatan diperuntukan supaya tenaga
kesehatan ketika memberikan pelayanan kesehatan tidak melakukan tindakan
yang keliru kepada pasien.
Menurut Leenen, yang dikenal dalam dunia kedokteran sebagai “ Lege
artis” adalah:
“ hakikatnya sebagai suatu tindakan yang dilakukan sesuai dengan Standar Profesi Medis (SPM) yang terdiri dari beberapa unsur utama meliputi : 1. Bekerjanya dengan teliti, hati-hati dan seksama. 2. Sesuai dengan ukuran medis 3. Sesuai dengan kemampuan rata-rata/ sebanding dengan dokter
dengan kategori keahlian medis yang sama; 4. Dalam keadaaan yang sebanding; 5. Dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan tujuan
konkrit tindakan medis tersebut;39 Standar pelayanan medis sangat diperlukan dalam memberikan
pelayanan kesehatan, karena dalam prakteknya sering dijumpai adanya
39 Tedi Sudrajat,2010. Materi Kuliah Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman
34
penanganan dan pemeriksaan yang berbeda, maupun perbedaan sarana
atau peralatan yang digunakan. Tanpa adanya standar pelayanan medis,
maka penyimpangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan akan sulit
untuk diketahui.
Pendapat Nasution sebagaimana yang dikutip oleh Anny
Isfandyarie bahwa :
“ Tolak ukur dari perilaku yang memenuhi standar pelayanan medik dari seorang dokter saat ini hanya bisa dinilai dari kesungguhan upaya pengobatan yang dilakukannya dengan segenap kemampuan, pengalaman dan keahlian yang dimilikinya setelah memeriksa, dan menilai keadaan pasiennya. Dengan perkataan lain, bila dokter tidak memeriksa, tidak menilai dan tidak berbuat sebagaimana yang diperbuat oleh sesama dokter terhadap pasien, maka dokter tersebut dapat dikategorikan sebagai melakukan tindakan yang melanggar standar pelayanan medis yang berlaku’.40 Komalawati juga mengemukakan bahwa standar pelayanan medis
mencangkup standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan
penunjang. Kedua hal ini akan selalu berkembang seiring dengan
perkembangan teknologi.41
Selain standar pelayanan medis, dalam Undang-Undang juga
menyebutkan mengenai standar prosedur operasional. Penjelasan Pasal 50
Undang-Undang Praktik kedokteran menyebutkan bahwa:
40 Anny Isfandyarie, Op. Cit., hlm. 203.
41 Ibid., hlm. 203.
35
“ Standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/
langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu
proses kerja rutin”.
Komalawati menyebut standar prosedur operasional sebagai prosedur yang diuraikan oleh pemberi pelayanan kesehatan dari setiap spesialisasi, yang dalam aplikasinya disesuaikan dengan fasilitas dan sumber daya yang ada. Standar proses ini merupakan acuan atau pelengkap bagi rumah sakit karena dapat mengikuti kondisi rumah sakit mana prosedur tersebut diterapkan.42 Tujuan dibuatnya standar prosedur operasional ini adalah untuk
memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus
bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan.
Pemberian pelayanan kesehatan harus mengacu pada standar prosedur
yang ada di tiap sarana pemberi pelayanan kesehatan. Standar operasional
prosedur tetap harus mengacu pada standar profesi yang telah ditetapkan.
B. Jaminan Kesehatan Masyarakat
1. Pengertian dan Pengaturan Jaminan Kesehatan Masyarakat
Askeskin (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin) merupakan
program yang sebelumnya dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Evaluasi pelaksanaan
program Askeskin dilakukan oleh pemerintah, maka dalam rangka
efektivitas kemudian pada tahun 2008, program Askeskin berganti nama
menjadi Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat).
42 Ibid., hlm. 202.
36
Kementrian Kesehatan mengeluarkan program jaminan kesehatan
untuk masyarakat miskin sebagai wujud pemenuhan hak rakyat atas
kesehatan. Menteri Kesehatan sebagai penanggung jawab langsung
masalah bidang kesehatan mengeluarkan suatu Keputusan untuk dapat
terlaksananya program Jamkesmas. Pedoman yang menjadi acuan
pelaksanaan Jamkesmas kemudian dituangkan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 125/ Menkes/ SK/ II/ 2008 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Perkembangan
masyarakat akan kebutuhan pelayanan Jamkesmas menyebabkan
dikeluarkanya aturan baru yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
686/ Menkes/ SK/ VI/ 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Masyarakat. Keputusan Menteri ini kemudian dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkanya Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 903/ Menkes/ PER/ V/2011 tentang
Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan.
Pengertian jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) tidak ada
didalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 903/
Menkes/ PER/ V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan
Kesehatan, sehingga menggunakan pengertian yang ada didalam
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/ SK/ II/ 2008 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat.
37
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2008, pengertian
Jamkesmas adalah “ program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan
secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan
pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin.”43
Upaya pelaksanaan Jamkesmas merupakan perwujudan
pemenuhan hak rakyat atas kesehatan dan amanat Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan
merupakan salah satu komitmen pemerintah dalam pembangunan
kesehatan di Indonesia. Namun hingga saat ini peraturan pelaksana dan
lembaga yang harus dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) belum
terbentuk. Departemen Kesehatan mengeluarkan suatu program
Jamkesmas sebagai wujud pemenuhan hak rakayat dibidang kesehatan,
supaya masyarakat miskin dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukan.
Implementasi program Jamkesmas dilaksanakan sebagai amanah
Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa masyarakat, terutama
masyarakat miskin sulit untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
43 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/ SK/ II/ 2008 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, hlm. 5.
38
Kementrian Kesehatan telah mengalokasikan dana bantuan sosial sektor
kesehatan yang digunakan sebagai pembiyaan bagi masyarakat, khususnya
masyarakat miskin. Dasar hukum penyelenggaraan program Jamkesmas
adalah:
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
2. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN Tahun 2008
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Penjelasan dari landasan hukum diatas dapat disimpulkan bahwa
penyelenggaraan program Jamkesmas telah sesuai dengan kondor hukum
yang berlaku. Menteri Kesehatan memiliki kekuasaan pengelolaan
keuangan Negara dibidang kesehatan, dan pengelolaan tersebut
diwujudkan dalam bentuk bantuan sosial yang diberikan kepada
masyarakat untuk melindungi resiko sosial. 44
2. Prinsip-Pinsip dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
Masyarakat di Rumah Sakit
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran,
ternyata juga berpengaruh terhadap rumah sakit. Perubahan peranan
rumah sakit menjadi unit sosial ekonomis memerlukan patokan nilai-nilai
44 Sundoyo dan Siti Maimunah Siregar., Op. Cit., hlm. 27.
39
dalam mengoperasionalkan rumah sakit sehingga dapat memberikan
pelayanan yang terbaik. Rumah sakit menjadi suatu lembaga yang
berperan sebagai organisasi yang merupakan pusat pelayanan kesehatan
bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin yang menggunakan
jaminan kesehatan masyarakat untuk berobat juga memerlukan prinsip-
prinsip dalam menyelenggarakan jaminan kesehatan masyarakat dirumah
sakit supaya tidak terjadi ketidakadilan.
Penyelenggaran pelayanan kesehatan bagi peserta program
Jamkesmas mengacu pada prinsip-prinsip asuransi sosial yaitu:
1. Dana amanat nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata peningkatan derajat kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu.
2. Menyeluruh (komperhensif) sesuai dengan standar pelayanan medis yang cost effective dan rasional.
3. Pelayanan terstruktur, berjenjang dengan prortabilitas dan ekuitas.
4. Transparan dan akuntabel.45
Masyarakat miskin yang mendapatkan pelayanan kesehatan
dirumah sakit juga harus diperlakukan sama dengan pasien yang lain. Hal
ini tercantum pada pasal 1 Bab II Keputusan Menteri Kesehatan R.I.
Nomor 924/Menkes/SK/XII/1986 tertanggal 18 Desember 1986 telah
ditetapkan Kode Etik Rumah Sakit bagi rumah sakit diseluruh Indonesia,
yang perlu mendapat perhatian pula adalah bahwa dalam pelayanan
kesehatan, rumah sakit:
45 Sundoyo., Op. Cit., hlm 53.
40
“…..menghormati dan memperlakukan pasien sebagai manusia
seutuhnya dengan tidak dipengaruhi oleh pertimbangan
keagamaan, kebangsaan, kesukuan, adat-istiadat, perbedaan
kelamin, politik partai dan kedudukan sosial”.
Keputusan Menteri diatas mempertegas bahwa perilaku karyawan
dan tenaga professional yang ada dirumah sakit, seharusnya
memperlakukan setiap pasien dengan perlakuan yang sama. Mengenai
tanggung jawab moral dan operasional, hal itu ada pada pimpinan rumah
sakit. Disamping itu, kewajiban pimpinan rumah sakit adalah menjaga dan
selalu meningkatkan mutu pelayanan untuk mencapai standarisasi yang
telah ditentukan, sesuai dengan upaya akreditasi rumah sakit dikemudian
hari.
3. Sasaran Jaminan Kesehatan Masyarakat
Sasaran jaminan kesehatan masyrakat adalah masyarakat miskin
dan tidak mampu diseluruh Indonesia sejumlah 76,4 juta jiwa, tidak
termasuk penduduk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnnya.
Berdasarkan Ketentuan Umum angka (2) Pedoman Pelaksanaan
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, menyebutkan bahwa :
“ Peserta Program Jamkesmas adalah masyarakat miskin dan orang
yang tidak mampu dan peserta lainnya yang iurannya dibayari oleh
pemerintah sejumlah 76, 4 juta jiwa. Jumlah kuota data sasaran
Jamkesmas 2011 adalah sama dengan jumlah kuota tahun 2010.”
41
Menurut Ketentuan Umum angka (3) Pedoman Pelaksanaan
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, menyatakan bahwa :
“ Peserta yang dijamin dalam program Jamkesmas tersebut meliputi : a. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang telah ditetapkan
dengan Keputusan Bupati/Walikota mengacu pada: 1) Data masyarakat miskin sesuai dengan data BPS 2008 dari
Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang telah lengkap dengan nama dan alamat yang jelas ( by name by address ).
2) Sisa kuota: total kuota dikurangi data BPS 2008 untuk kabupaten/kota setempat ditetapkan sendiri oleh kabupaten/kota setempat lengkap dengan nama dan alamat ( by name by address ).
b. Gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar, masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas.
c. Peserta program Keluarga Harapan (PKH) yang tidak memiliki kartu Jamkesmas.
d. Masyarakat miskin yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1185/ Menkes/ SK/XII/2009 tentang Peningkatan Kepersertaan Jamkesmas bagi Panti Sosial, Penghuni Lembaga Permasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara serta Korban Bencana Pasca Tanggap Darurat. Tata laksana pelayanan diatur dengan petunjuk teknis (juknis) tersendiri sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1259/Menkes/SK/XII/2009 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Jamkesmas Bagi Masyarakat Miskin Akibat Bencana, Masyarakat Miskin Penghuni Panti Sosial, dan Masyarakat Miskin Penghuni Lembaga Permasyarakatan serta Rumah Tahanan Negara.
e. Ibu hamil dan melahirkan serta bayi yang dilahirkan ( sampai umur 28 hari ) yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Tata laksana pelayanan mengacu pada Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan.
f. Penderita Thalassaemia Mayor yang sudah terdaftar pada Yayasan Thalassaemia Indonesia (YTI) atau belum terdaftar namun telah mendapat surat keteranagan Direktur RS
42
sebagaimana diatur dalam Petunjuk Teknis Jaminan Pelayanan Penggobatan Thalassaemia.46
Berdasarkan BPS Kabupaten Banyumas, adapun kriteria variable
kemiskinan rumah tangga yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal < 8 m per kapita 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal tanah/ bambu/ kayu
murahan 3. Jenis bangunan tempat tinggal bambu/rumbai/kayu berkualitas
rendah/tembok tanpa plester 4. Fasilitas tempat buang air besar tidak punya/ bersama rumah
tangga lainnya 5. Sumber penerangan rumah tangga bukan listrik 6. Sumber air minum sumur/mata air tidak terlindungi/sungai/air
hujan 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari kayu bakar/arang/
minyak tanah 8. Konsumsi daging atau ayam per minggu tidak pernah/ satu kali
seminggu 9. Pembelian pakaian baru setiap anggoata rumah tangga dalam
setahun tidak pernah membeli/ satu stel 10. Frekuensi makan dalam sehari untuk setiap anggota rumah
tangga satu kali/ dua kali makan sehari 11. Kemampuan untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik tidak
mampu berobat 12. Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga Petani dengan
luas lahan < 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerja lain dengan pendapatan rumah tangga < Rp. 600.000,00 per bulan
13. Pendidikan kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/ tamat SD
14. Pemilikian asset/harta bergerak/harta tidak bergerak, tidak mempunyai tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000,00 seperti sepeda motor, emas perhiasan, ternak, kapal/perahu motor, atau barang modal lainnya.
46 Peraturan Menteri Kesehatan., Op. Cit., hlm. 9-10.
43
Klasifikasi Status Kemiskinan Rumah Tangga47 Kriteria Status Kemiskinan Karakteristik miskin = 13-14 Sangat Miskin Karakteristik miskin = 11-13 Miskin Karakteristik miskin = 9-10 Hampir Miskin
Kriteria masyarakat miskin yang telah ditetapkan oleh pemerintah
seharusnya dijadikan sebagai patokan bagi para petugas yang berwenang
untuk membuat kartu Jamkesmas, sehingga benar-benar masyarakat
miskin yang mendapatkan kartu Jamkesmas. Program Jamkesmas harus
tepat sasaran supaya masyarakat miskin yang tidak mampu untuk berobat
terutama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap memperoleh
haknya dibidang kesehatan. Kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang
ini, penduduk yang relatif mampu terkadang ikut serta dalam
memanfaatkan program Jamkesmas, seharusnya aparat yang berwenang
untuk memberikan persyaratan dan mengeluarkan kartu Jamkesmas lebih
memiliki kesadaran hukum supaya pemanfaatan program Jamkesmas tepat
untuk masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
4. Prosedur Pelayanan Pasien Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas)
Peserta Jamkesmas berhak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan terutama pelayanan kesehatan rawat inap. Pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada peserta jaminan kesehatan masyarakat juga
47 Sumber data BPS Kabupaten. Banyumas
44
memiliki prosedur yang harus ditaati. Prosedur untuk memperoleh
pelayanan tingkat lanjutan bagi peserta Jamkesmas pasien rawat inap
yaitu:
a. Peserta Jamkesmas yang memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan (RJTL dan RITL), dirujuk dari puskesmas dan jaringannya ke FASKES tingkat lanjutan secara berjenjang dengan membawa kartu peserta Jamkesmas/ identitas kepesertaan lainnya/ surat rekomendasi dan surat rujukan yang ditunjukan sejak awal. Pada kasus emergency tidak memerlukan surat rujukan.
b. Kartu peserta Jamkesmas/ identitas kepesertaan lainnya/ surat rekomendasi dan surat rujukan dari puskesmas yang dibawa ke Pusat Pelayanan Administrasi Terpadu Rumah Sakit (PPARTS) untuk diverivikasi kebenarannya dan kelengkapannya, selanjutnya dikeluarkan surat keabsahan peserta (SKP) oleh petugas PT. Askes (Persero), dan peserta selanjutnya memperoleh pelayanan kesehatan.
c. Bayi dan anak dari pasangan peserta Jamkesmas (suami dan istri mempunyai kartu Jamkesmas yang memerlukan pelayanan menggunakan identitas kepesertaan orang tuanya dan diharapkan surat keterangan lahir dan Kartu keluarga orang tuannya.
d. Pelayanan tingkat lanjutan sebagaimana diatas meliputi: 1) Pelayanan rawat jalan lanjutan (spesialistik) dirumas sakit dan
balkesmas. 2) Pelayanan rawat jalan lanjutan yang dilakukan pada balkesmas
bersifat pasif (dalam gedung) sebagai FASKES penerima rujukan. Pelayanan balkesmas yang ditanggung oleh program Jamkesmas adalah upaya kesehatan perorangan (UKP) dalam gedung.
3) Pelayanan rawat inap bagi peserta diberikan dikelas III (tiga) dirumah sakit
4) Pelayanan obat-obatan, alat dan bahan medis habis dipakai serta pelayanan rujukan spesimen dan penunjangan diagnostic lainnya.
e. Untuk kasus kronois yang memerlukan perawatan berkelanjutan dalam waktu lama, seperti diabetes mellitus, gagal ginjal dan lain-lain, surat rujukan dapat berlaku selama satu bulan. Untuk kasus kronis lainnya seperti kasus gangguan jiwa, kusta, kasus paru dengan komplikasi, kanker, surat rujukan berlaku selama
45
tiga bulan. Pertimbangan pemberlakuan waktu surat rujukan ( 1 atau 3 bulan ) didasarkan pada pola pemberian obat.
f. Rujukan pasien antar RS termasuk rujukan RS antar daerah dilengkapi surat rujukan dari rumah sakit asal pasien dan membawa identitas kepersertaannya untuk dikeluarkan SKP oleh petugas PT. Akses (Persero) pada tempat tujuan rujukan. 48
Bagan 1 : Alur Pelayanan Kesehatan
Pulang
Pulang Rujukan Verifikasi Kepesertaan
Pulang
Kasus Gawat Darurat 48 Peraturan Menteri Kesehatan., Op. Cit., hlm. 14-18.
Peserta
Loket Pendaftaran di FASKES dasar
Pelayanan Kesehatan
FASKES lanjutan (PPATRS)
SKP oleh PT. Askes SIP oleh
RS
Pelayanan Kesehatan
RJT
RIT
Pelayanan Kesehatan Yankes
IGD
Peserta
Data Base Peserta
(PT.Askes)
46
C. Implementasi Hukum
Implementasi hukum jika ditinjau dari aspek sosiologi hukum, pada
asasnya merupakan proses bekerjanya hukum dalam masyarakat yang dalam
interaksinya tidak terlepas keterkaitannya dengan faktor-faktor personal dan
sosial yang melingkupinya.
1. Pengertian Implementasi Hukum
Beberapa pendapat para sarjana tentang pengertian hukum, yaitu:
Menurut pendapat Soerjono Soekanto, hukum dapat diartikan
sebagai :
“ Patokan untuk berperilaku pantas dalam hal ini hukum diartikan sebagai suatu kaidah yang mengatur hubungan antar pribadi. Hukum itu diartikan sebagai tatanan hukum atau hukum positif tertulis. Kemungkinan lainnya, hukum diartikan sebagai keputusan pejabat, hukum sebagai petugas dan hukum merupakan jaminan nilai-nilai, yakni nilai-nilai sosial, utamanya adalah nilai ketertiban dan nilai ketentraman yang senantiasa harus diserasikan”.49
Pengertian hukum menurut pendapat E. Utrecht, dalam bukunya
Pengantar dalam Hukum Indonesia :
“ Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu”.50
Leon Deguit, dalam bukunya Traite De Drot Constutional
berpendapat tentang pengertian hukum, yaitu :
49 Soerjono Soekamto, 1991, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Cipta Aditiya Bakti,
Bandung, hlm. 55. 50 Yulies tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6.
47
“ Aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaanya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu”.51 Hasil penelitian yang selama ini dilakukan oleh Soerjono
Soekamto, dapat diidentifikasikan sepuluh pengertian yang diberikan
pada hukum, yaitu:
1. Hukum dalam arti disiplin, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan yang idiel dan yang riel; 2. Hukum dalam arti ilmu pengetahuan; 3. Hukum dalam arti kaidah atau patokan sikap pantas; 4. Hukum dalam arti tata hukum, yakni hukum positif tertulis; 5. Hukum dalam arti keputusan pejabat; 6. Hukum dalam arti petugas; 7. Hukum dalam arti proses pemerintahan; 8. Hukum dalam arti sikap tindak yang teratur dan unik; 9. Hukum dalam arti jalinan nilai-nilai; 10. Hukum dalam arti seni.52 Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan
pandangannya bahwa hukum bukan saja merupakan gejala normatif,
melainkan juga merupakan gejala sosial atau empiris. Hal ini dapat
diketahui dari pengertian hukum yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumatmadja yang antara lain mengatakan :
“ Jika kita artikan dalam arti yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalaam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (instution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Dengan lain perkataan, suatu pendekatan yang normatif
51 Ibid., hlm 7. 52 Soerjono Soekamto dan Herkutanto., Op. Cit., hlm. 4..
48
semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila kita hendak melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh”.53 Berdasarkan konsepsi hukum tersebut tampak bahwa Mochtar
Kusumatmadja memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang
tersusun atas tiga komponen (sub sistem) yakni: a. Asas-asas dan kaidah-
kaidah hukum; b. kelembagaan hukum; dan c. proses perwujudan
hukum.54Implementasi hukum pada dasarnya termasuk dalam pengertian “
proses perwujudan hukum “, yaitu ketika hukum menjadi sarana untuk
mewujudkan tujuan hukum menjadi suatu kenyataan, dengan demikian
implementasi hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses
bekerjanya hukum.
Kamus Webster merumuskan secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Dalam hal ini, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan pengadilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden).55 Hukum dibuat untuk dilaksanakan dalam kehidupan
bermasyarakat, oleh karena itu hukum tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum. Kaitannya dengan masalah
53 Mochtar Kusumaatmadja, 1975, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional, LPH Fakultas Hukum UNPAD, Bina Cipta, Bandung, hlm. 11. 54 Ibid., hlm 13. 55 Joko Widodo, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Banyumedia, Malang, hlm. 14.
49
bekerjanya hukum didalam masyarakat, Bernard Arief Sidharta
menjelaskan bahwa :
“ Bekerjanya hukum adalah suatu proses dari semua kegiatan manusia berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkrit, yang meliputi proses pembuatan hukum, proses implementasi hukum dan proses bantuan hukum bagi masyarakat”.56 Pendapat Bernard Arief Sidharta, menunjukan bahwa
implementasi hukum merupakan bagian dari poses bekerjanya hukum
didalam masyarakat. Soerjono Soekanto mengetengahkan konsepsi
bekerjannya hukum mirip dengan konsep yang dikemukakan oleh Bernard
Arief Sidharta, yang antara lain menyatakan :
“ Bekerjanya hukum pada pokoknya merupakan keseluruhan kegiatan yang berhubungan dengan hal melaksanakan dan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah hukum yang mantap dan perilaku sebagai penjabaran nilai-nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”. 57 Dari konsep-konsep yang diuraikan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa implemetasi hukum merupakan bagian dari proses bekerjannya
hukum didalam masyarakat. Hukum dibuat untuk dapat dilaksanakan, oleh
karena itu hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis
bekerjanya hukum.
56 Bernard Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum; Sebuah Penelitian
Tentang Fungsi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 116.
57 Soerjono Soekanto, Op. Cit., 1989, hlm. 277.
50
2. Teori-Teori Implementasi Hukum
Kaitannya dengan masalah implementasi hukum yang merupakan
bagian integral dari proses bekerjanya hukum didalam masyarakat,
Lawrence M. Friedman mengemukakan teorinya bahwa ada tiga unsur
sistem hukum, yaitu:
a. Struktur hukum, yakni kerangka atau rangkaian dari hukum itu sendiri
b. Substansi hukum, yakni aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang nyata dalam sistem hukum
c. Kultur hukum, yakni sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, yang didalamnya terdapat kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan.58
Menurut Julius Stone, tindakan seseorang didalam masyarakat senantiasa dilakukan dengan memperhitungkan apa yang diharapkan oleh orang lain daripadanya. Tindakan seseorang itu tidak berdiri sendiri, melainkan terangkum dalam suatu jalinan sistem dari peranan yang diharapkan (role-expectation). Peranan-peranan yang diharapkan ini kemudian memaksakan diterimanya nilai-nilai yang hendaknya diikuti didalam interaksi sosial oleh anggota-anggota masyarakat. Peranan-peranan yang diharapkan serta nilai-nilai standar itu kemudian menjadi melembaga. Motif perorangan untuk bertindak dalam proses pelembagaan ini kemudian dipengaruhi oleh keharusan-keharusan untuk memenuhi peranan-peranan yang diharapkan berikut nilai-nilai standarnya.59 Pendekatan yang dikemukakan oleh Stone, antara lain dapat
dijumpai penerapannnya didalam hukum pada pendekatan yang dilakukan
oleh Robert B. Seidman. Seidmen mencoba utntuk menerapkan
pandangan tersebut dalam analisisnya mengenai “ bekerjannya hukum
didalam masyarakat”. menurut Robert B. Seidmen, bekerjanya hukum
58 Ibid. 59 Satjipto Raharjo, Op. Cit., 1986. hlm 26.
51
didalam masyarakat melibatkan tiga unsur dasar yakni: pembuatan
hukum, pelaksanaan hukum dan pemegang peran.60 Secara lebih lengkap
model bekerjannya hukum menurut Robert B. Seidmen ini dilukiskan
dalam bagan sebagai berikut:
Bagan 2: Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat
Model Robert B. Seidman
60 Satjipto Raharjo, 1983, Hukum dan Pembaharuan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis serta
Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 161.
Kekuatan Personal dan Sosial
dan lainnya.
LEMBAGA PEMBUAT HUKUM
PEMEGANG PERANAN
AKTIVITAS PENERAPAN
LEMBAGA PENERAPAN
HUKUM
Kekuatan Personal
dan Sosial lainnya
Kekuatan Personal
dan Sosial lainnya
Norma Norma
52
Melihat bagan tersebut, oleh Seidmen diuraikan kedalam dalil-dalil
sebagai berikut:
a) Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seseorang pemegang peran (role accupant) itu diharapkan bertindak;
b) Bagaimana seseorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditunjukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktifitas dari lembaga-lembaga pelaksana hukum serta keseluruhan komplek kekuatan sosial, politik dan lain-lainnnya mengenai dirinya;
c) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditunjukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-keuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peran;
d) Bagaimana para pembuat hukum itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik, idiologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemenngang peran serta birokrasi.61
Kutipan diatas memperjelas bahwa setiap anggota masyarakat
sebagai pemegang peran ditentukan tingkah lakunya oleh pola peranan
yang dimainkan baik oleh norma-norma hukum maupun kekuatan-
kekuatan diluar hukum.
Menurut Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan dalam
mengkaji tentang “Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum”
mengemukakan teori unsur-unsur penting didalam proses implementasi
hukum, yang menyatakan bahwa “ Implementasi hukum merupakan suatu
61 Satjipto Rahardjo, Op. Cit., 1986, hlm. 26.
53
proses menjalankan hukum dalam praktek ehidupan masyarakat untuk
mewujudkan keinginan-keinginan dan harapan-harapan hukum secara
kenyataan. Proses ini menghadirkan tiga unsur penting yang membentuk
sistem implementasi hukum, yakni ; (1) Pelaksanaan hukum sebagai
pemegang fungsi dari hukum; (2) Sarana dan fasilitas lainnya sebagai
pendukung berjalannya hukum, dan (3) Masyarakat pengemban hak dan
kewajiban hukum. Ketiga unsur tersebut dalam menjalankan hukum
cenderung dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.62
3. Faktor-Faktor Implementasi Hukum
Hukum diharapkan dapat mengatur kehidupan dalam
bermasyarakat supaya tercapainya keadilan dan kedamaian, meskipun bila
diterapkan terkadang sebaliknya tidak sesuai dengan yang diharapkan,
hukum justru menimbulkan ketidakadilan. Nilai keadilan hukum yang
dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor yang ada, sehingga menimbulkan
ketidak serasian antara tujuan hukum.
Suatu hal yang pasti bahwa, usaha untuk mewujudkan ide atau
nilai selalu melibatkan lingkungan serta berbagai pengaruh lainnya. Oleh
karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat dari suatu yang
berdiri sendiri, melainkan selau berada diantara faktor, atau dengan kata
62 Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan, 1987, Pendekatan Sosiologis Terhadap
Hukum, Penterjemah Widyaningsih dan G. Kartasapoetra, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 401-402.
54
lain titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak sekedar sebagai suatu
rumusan hitam diatas putih yang ditetapkan dalam berbagai bentuk
peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu
gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain melalui tingkah
laku warga masyarakat. Hal ini berarti bahwa, titik perhatian harus
ditujukan kepada hubungan antara hukum dengan faktor-faktor non
hukum lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan
masyarakat.
Norma hukum berbeda dengan norma-norma yang lain, adaanya
unsur memaksa yang membedakannya. Unsur memaksa ini diwujudkan
dengan adanya sanksi hukum yang tegas.
Sanksi pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap pelanggaran kaedah-kaedah kelompok. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi positif maupun sanksi negatif. Sanksi-sanksi positif adalah unsur-unsur yang mendorong terjadinya kepatuhan atau perikelakuan yang sesuai dengan kaedah-kaedah. Sebaliknya sanksi-sanksi negatif menjatuhkan hukuman kepada pelanggar-pelanggar kaedah-kaedah kelompok. Dengan demikian maka proses pemberian sanksi-sanksi mencangkup suatu sistem imbalan dan hukuman, yang akibanya adalah suatu dukungan yang efektif untuk mematuhi kaedah-kaedah. 63 Sehubungan dengan efektivitas sanksi-sanksi tersebut, terutama
sanksi-sanksi negatif Schwartz dan Orleans pernah mengadakan suatu
penelitian yang menghasilkan beberapa hipotesa sebagai berikut:
63 Soerjono Soekamto,1977, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta, Rajawali,
hlm. 233.
55
a. Sanksi negatif (c.q.hukuman) mengurangi pelanggaran, baik yang dilakukan oleh pelanggar maupun pihak-pihak lainnya.
b. Semakin keras sanksi negatif, semakin tinggi derajat efektivitasnya.
c. Sanksi negatif dapat diterapkan tanpa mengakibatkan terjadinya kerugian-kerugian.
d. Kemungkinan-kemungkinan lain tidak dapat dianggap sebagai suatu alternatif yang sederajat dengan penerapan sanksi negatif. 64
Penetapan tentang perikelakuan yang melanggar hukum,
senantiasa disertai dengan pembentukan organ-organ penegaknya. Akan
tetapi apakah penegakannya tersebut akan berjalan secara efektif atau
tidak, sangat tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut:
1. Harapan-harapan masyarakat; yaitu, apakah penegakan hukum tersebut sesuai atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat.
2. Adanya motivasi dari warga-warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan melanggar hukum, kepada organ-organ penegak hukum tersebut.
3. Kemampuan dan kewibawaan daripada organ-organ penegak hukum.65
Hukum itu hanya dapat berjalan melalui manusia. Manusia yang
menciptakan hukum, tetapi manusia pula yang menjalankan hukum. Oleh
karena itu, hukum harus dijalankan dalam masyarakat supaya tercapai
tujuan hukum yaitu ketertiban, keadilan dan kedamaian hidup.
Pola-pola penyelenggaran hukum oleh badan-badan yang diberi
tugas untuk melaksanakan hukum (enforcement agencies) telah
memperlihatkan terjadinya kelalaian-kelalaian atau penyimpangan-
64 Ibid., hlm. 234-235. 65 Ibid., hlm. 72.
56
penyimpangan antara hal-hal yang tertera dalam ketentuan-ketentuan
hukum, yang memberi batasan atau uraian tentang tugas pekerjaan badan-
badan tersebut dengan praktek-praktek yang dijalankan oleh badan-badan
tersebut sehari-hari.
Menurut Soerjono Soekanto sebagaimana yang dikutip oleh
Saryono Hanadi mengatakan bahwa, faktor-faktor yang sering kali dapat
mempengaruhi efektivitas hukum dapat diperinci sebagai berikut:
a. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal dibatasi pada hukum perundang-undangan saja;
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;
c. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung efektivitas hukum; d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau ditetapkan; e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.66
Bekerjanya kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan satu sama
lainnya, sehingga dalam kajian implementasi hukum harus memperhatikan
keterkaitan faktor-faktor tersebut, karena implementasi suatu aturan
hukum dalam interaksinya tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor
personal dan sosial lainnya.
66 Saryono Hanadi, 2004, Bekerjanya Hukum Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Studi di Kabupaten Banyumas), Sebuah Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, hlm. 131.
57
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan yuridis
sosiologis. Digunakan metode ini didasarkan pada alasan bahwa, dalam penelitian
hukum diartikan sebagai pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis
sebagai variable sosial yang empirik. Asumsi ini senada dengan pendapat Ronny
Hanitiyo Soemitro yang menyatakan bahwa, dalam studi hukum yang empirik,
hukum tidak dikonsepsikan sebagai gejala normatif yang otonom, tetapi sebagai
suatu pranata sosial yang secara rill dikaitkan dengan variable-variabel sosial
lainnya.67
Penelitian yuridis sosiologis dengan pendekatan kuantitatif dimaksudkan
untuk melihat fakta yang ada. Perhatian peneliti dalam penelitian ini akan
berfokus pada implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien
rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo dan
faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo.
67 Ronny Hanitiyo Soemitro, 1985, Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, hlm.
123.
58
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa metode penelitian yaitu sebagai
berikut:
a. Metode Survei, yaitu suatu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh
fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan
secara faktual, guna membedah dan mengenal masalah-masalah serta
mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang
beralngsung.68 Hasil survey berupa data primer, yaitu data yang bersumber
dari individu peserta Jamkesmas yang telah mendapatkan pelayanan
kesehatan rawat inap.
b. Metode Kepustakaan, yaitu suatu cara penelitian dengan menelusuri literature
yang ada serta menelaahnya secara tekun guna memperoleh informasi yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.69 Tujuan digunakan metode ini
untuk mencari teori-teori, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi yang
dijadikan sebagai landasan teoritis penelitian ini. Hasil dari peneluruan
dengan menggunakan metode ini berupa data sekunder.
c. Metode Dokumenter, yakni suatu penelitian dengan cara menelusuri
dokumen-dokumen resmi yang berhubungan dengan masalah yang sedang
68 Moh. Nasir, 1999, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm. 65. 69 Sumadi Suryabrata, 1989, Metode Penelitian Sosial, Rajawali, Jakarta, hlm.72.
59
diteliti pada institusi-institusi terkait.70 Hasil dari penelusuran metode ini
berupa data sekunder.
C. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara
deskriptif, dimaksud untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan atau gejala-gejala lainnya. Spesifikasi penelitian secara deskriptif
bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo dan faktor-faktor yang cenderung
mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien
rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo, Jl. Dr. Gumbreg No. 1 Purwokerto. Lokasi tersebut diambil
dengan dasar pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo merupakan salah satu rumah sakit umum
daerah yang besar di wilayah Banyumas.
70 Sanapiah Faesal, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasinya, Yayasan Asih
Asah Asuh, Malang, hlm. 158.
60
2. RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo merupakan rumah sakit rujukan bagi
peserta Jamkesmas sehingga dapat mengetahui bagaimana implementasi
sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam
pelayanan kesehatan dan faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap
dalam memperoleh pelayanan kesehatan.
E. Populasi Penelitian
Populasi adalah kumpulan atau himpunan dari individu dengan kualitas
serta ciri-ciri yang telah ditetapkan.71 Populasi dalam penelitian ini adalah
anggota masyarakat miskin pasien rawat inap yang terdaftar sebagai peserta
jamkesmas yang telah menerima pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo.
F. Metode Pengambilan Sampel
Penelitian ini sampel sasaran dipilih menggunakan metode purposive
sampling yaitu suatu metode pengambilan sampel yang disesuaikan dengan
kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Jumlah
dari masyarakat miskin peserta Jamkesmas pasien rawat inap yang mendapatkan
pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, tidak diketahui
secara pasti maka pengambilan jumlah sampel hanya dapat diperkirakan telah
71 Moh. Nasir, 1999, Metode Penelitian, Galia Indonesia, Jakarta, hlm. 325.
61
mencukupi untuk mewakili populasi. Jumlah populasi yang akan diteliti sebanyak
40 (empat puluh) orang, dengan pertimbangan bahwa jumlah tersebut telah
mencukupi untuk mewakili populasi yang ada karena populasi yang diteliti
bersifat homogen.
Pengambilan sampel didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
mengenai karakteristik (ciri-ciri umum) populasi yang mengarah pada tingkat
homoginitas populasi, antara lain:
a. Semua sampel adalah peserta program Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas).
b. Semua sampel merupakan pasien rawat inap yang telah mendapatkan
pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo.
c. Semua sampel secara ekonomi tergolong sebagai masyarakat miskin.
Berdasarkan pada ciri-ciri homoginitas populasi diatas, maka dapat
diasumsikan bahwa jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini cukup
mewakili (representatif) karena sampel yang diambil sesuai dengan tujuan
penelitian serta populasi yang bersifat homogen tidak perlu dipersoalkan
jumlahnya secara kuantitatif, sehingga akurasi data yang diperoleh cukup valid
dan menjawab rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Sampel
bersifat representatif apabila terdiri dari unsur-unsur yang memiliki seluruh sifat-
sifat populasi, walaupun jumlahnya lebih sedikit. 72
72 Ibid., hlm 144.
62
G. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini, peneliti menggunakan 2 (dua) macam data agar tercapai
kelengkapan dan keterpaduan data untuk dapat memecahkan rumusan masalah
yang ada yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data utama yang bersumber dari masyarakat miskin
peserta Jamkesmas pasien rawat inap yang telah mendapatkan pelayanan
kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo yang menjadi sampel dalam
penelitian ini, meliputi data hasil angket maupun wawancara.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu informasi atau penjelasan yang mendukung data
primer, terdiri dari :
1. Peraturan Perundang-undangan, meliputi: Undang-Undang Dasar Tahun
1945 Amandemen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 903/ MENKES/ PER/V/
2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat.
2. Buku-buku kepustakaan,
3. Artikel-artikel ilmiah, baik dari jurnal ilmiah, majalah ilmiah, internet dan
dokumen-dokumen resmi pada sistem informasi dan dokumentasi RSUD.
Prof. Dr. Margono Soekarjo.
63
H. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Yang Digunakan
Penelitian dalam skripsi ini, data yang dikumpulkan dengan
menggunakan metode :
a. Metode Angket
Penelitian berupa Angket (kuesioner) berisi pertanyaan-pertayaan
yang bersifat tertutup maupun terbuka, yang telah disiapkan terlebih dahulu
untuk diisi oleh semua sampel. Angket (kuesioner) adalah suatu alat
penelitian yang dilakukan dengan jalan mengedarkan suatu daftar pertanyaan
berupa formulir-formulir yang diajukan secara tertulis kepada sejumlah
subyek untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan (respon) tertulis
seperlunya.73
b. Metode Dokumentar
Metode dokumentar, dengan instrument penelitian yang berupa form
dokumentasi dalam wujud metrik yang berisi informasi narasi yang diperoleh
dari sumber-sumber dan data sekunder.
c. Metode Kepustakaan
Metode kepustakaan untuk dapat menemukan teori-teori, konsep-
konsep yang akan dijadikan sebagai landasan analisis dari hasil penelitian
yang diperoleh. Instrument yang digunakan adalah buku literatur yang terkait
dengan penelitian yang dilakukan.
73 Kartini Kartono, 1986, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Alumni, Bandung, hlm. 200.
64
I. Metode Pengolahan Data
Dalam penelitian data diolah dengan menggunakan metode sebagai
berikut:
a. Koding data, yaitu suatu pengelolaan data yang dilakukan dengan cara mempelajari jawaban responden, memutuskan perlu tidaknya jawaban responden dan memberikan simbol berupa angka pada jawanan responden.
b. Tabulasi data,yakni suatu pengolahan data yang dilakukan dengan cara mengelompokan jawaban responden dan memasukannya kedalam tabel-tabel,baik tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang yang tiap-tiap tally atau kolom tabel tersebut.
c. Editing data,yaitu suatu pengolahan data yang dilakukan dengan cara mengadakan evaluasi atau mengecek jawaban-jawaban semua responden dengan menekankan pada konsistensi jawaban satu dengan yang lain,terutama untuk pertanyaan-pertanyaan yang saling berhubungan guna menghilangkan kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul.74
J. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel-tabel, terutama
tabel distribusi frekuensi dan tabel silang, disamping itu, data akan disajikan
dalam bentuk ”teks naratif”, yakni suatu uraian pertanyaan-pertanyaan yang
disusun secara sistematis, logis, konsisten dan rasional. Penyajian data dalam
bentuk teks naratif ini digunakan untuk menjelaskan data yang berupa angka-
angka dalam tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang.
74 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 2008, Metode Penelitian Survei, Pustaka LP3ES,
Jakarta, hlm. 219-220.
65
K. Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini berfokus pada variabel pokok yakni variabel
implementasi jamkesmas, persyaratan administrasi, fasilitas kesehatan,
pengetahuan dan komunikasi, yang dapat didefinisi operasionalkan sebagai
berikut :
1. Implementasi Jamkesmas adalah semua kegiatan tenaga medis yang
berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam kenyataan kehidupan
secara kongkrit melalui penerapan pedoman aturan bagi penyelenggaraan
pelayanaan kesehatan melalui program jaminan kesehatan masyarakat
miskin pasien rawat inap di rumah sakit yang dinyatakan dengan ukuran
efektif, kurang efektif dan tidak efektif.
2. Persyaratan Administratif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
persyaratan administratrif yang telah ditentukan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas di rumah sakit
yang dapat dinyatakan dalam ukuran tidak sederhana, kurang sederhana
dan sederhana.
3. Fasilitas Kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kondisi,
kelengkapan fasilitas kesehatan yang ada dirumah sakit guna menunjang
pelayanan kesehatan rawat inap yang dinyatakan dalam ukuran tidak
memadai, kurang memadai dan memadai.
4. Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan
pasien terhadap alur persyaratan, prosedur yang harus dilalui serta
66
perawatan mandiri yang dilakukan pasien rawat inap di rumah sakit, yang
dinyatakan dalam ukuran rendah, sedang dan tinggi.
5. Komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komunikasi yang
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan pasien rawat inap peserta
Jamkesmas untuk memperoleh informasi mengenai penyakit yang
diderita, resiko tindakan kesehatan yang dilakukan, dan persetujuan
tindakan medis, yang dinyatakan dalam ukuran rendah, sedang dan tinggi.
L. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode “kuantitatif dan
kualitatif”. Analisis kuantitatif dipilih model analisis statistik sederhana,
yang menekankan pada metode distribusi frekuensi analisis dan tabel silang
analisis.75 Sedangkan dalam analisis kualitatif, dengan model analisis isi
(content analysis) dan analisis perbandingan (comparative analisis).
Menurut pendapat Noeng Muhadjir, content analysis merupakan
analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.76 Secara teknis content
analysis mencangkup upaya : a. klasifikasi tanda yang dipakai dalam
komunikasi, b. menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi dan c.
menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi.77 Content
75 Supranto J., 1995, Pengantar Statistik Bidang Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 48. 76 Noeng Muhadjir, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III, Rake Karasin,
Yogyakarta, hlm. 49. 77 Ibid.,
67
analysis digunakan untuk mencangkup isi dari suatu data baik hasil survey,
dokumentasi atau kepustakaan maupun data sekunder, dimana didalamnya
ditemukan suatu tema yang berkaitan dengan masalah yang terisi.
Comparative analysis method menurut Soerjono Soekanto adalah the
comparison of matched societies and institution for the discovery of
associations and correlations.78 Comparative analysis digunakan untuk
membandingkan antara data yang satu dengan yang lainnya. Sehingga
ditemukan kelemahan maupun keunggulannya.
Mengupas lebih mendalam analisis diatas, maka digunakan metode
theoretical interprestation, yakni suatu analisis dengan cara membandingkan
antara data disatu pihak dengan teori hukum, doktrin hukum dan norma
hukum dilain pihak. Dengan dialog yang demikian diharapkan pengambilan
keputusan yang menyimpan sekecil mungkin dapat dihindari.
78 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,
hlm. 250.
68
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Pasien Rawat Inap Dalam Pelayanan Kesehatan
Diskriminasi adalah hal umum yang menjadi tontonan menarik di bangsal-
bangsal rumah sakit, terutama pada rumah sakit pemerintah. Orang-orang miskin
yang terakomodasi Gakin dan dijamin dengan Askeskin atau Jamkesmas, meski
mendapat pembebasan biaya dengan segala keterbatasan fasilitas, sama sekali
tidak diperlakukan layak dari segi pelayanan, kenyamanan, perhatian, dan
kesamaan hak. Bangsal kotor dan kumuh, dokter pemarah, perawat yang selalu
cemberut, administrasi yang berbelit belit dan dipersulit, serta penanganan yang
kasar dibawah standard care dan standar medis yang harus diterima. 79 Gambaran
yang menyedihkan terhadap pelayanan kesehatan yang harus diterima oleh
peserta Jamkesmas dirumah sakit tidak seharusnya diasumsikan sama terhadap
seluruh rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan bagi peserta
Jamkesmas.
Hukum kesehatan yang merupakan hukum yang berkaitan dengan aspek
pelayanan kesehatan berpengaruh penting terhadap pembangunan hukum.
Munculnya hukum kesehatan tentunya sangat berpengaruh terhadap pelayanan
kesehatan, terutama dalam pembentukan apa yang dikenal dengan hak-hak pasien.
79 Alexandra Ide, 2012, Etika dan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan, Grasia Publisher,
Yogyakarta, hlm. 357-358.
69
Hukum kesehatan memberikan perlindungan terhadap hak-hak pasien, dan
dengan munculnya aturan normatif tentang pelayanan kesehatan tentunya menjadi
pengaruh bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan supaya dalam melakukan
tindakan-tindakan yang terkait dengan pelayanan kesehatan lebih berhati-hati
sebab pelayanan kesehatan itu sendiri telah ada payung hukum yang melindungi.
Adanya sangsi yang tegas dari aturan hukum normatif dalam bidang kesehatan
tentunya membuat tenaga kesehatan lebih sadar bahwa tindakan yang
dilakukannya terkait dengan kesehatan akan memiliki akibat hukum. Masyarakat
miskinpun memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang bermutu, tidak diskriminan, sesuai dengan standar pelayanan medis yang
ada karena pada hakekatnya dihadapan hukum semua sama.
Implementasi sistem jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit, secara sosiologis
merupakan proses penyelenggaraan hukum yang dalam interaksinya tidak terlepas
kaitannya dengan faktor-faktor non hukum, seperti politik, ekonomi, sosial,
budaya dan sebagainya. Oleh karenanya implementasi Jamkesmas pada dasarnya
termasuk dalam pengertian proses bekerjanya hukum dalam masyarakat,
disamping tahap pembuatan hukum dan evaluasi hukum.
Terkait dengan masalah bekerjanya hukum dalam masyarakat, dalam
Sosiologi Hukum dikenal suatu teori yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman
sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, mengatakan bahwa “
Bekerjanya hukum di dalam masyarakat melibatkan 3 (tiga) komponen dasar,
70
yakni ; (a) Lembaga Pembuat Hukum; (b) Lembaga Penerap Hukum; dan (c)
Pemegang peran atau pihak yang dikenai hukum. Selanjutnya dalam interaksi
ketiga komponen dasar tersebut selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan
sosial lainnya. Demikian pula aksi-aksi lembaga penerap hukum dan pemegang
peranan akan selalu memberikan umpan balik kepada lembaga pembuat hukum
dalam rangka melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum atau evaluasi hukum
yang berlaku.
Teori bekerjanya hukum model Robert B. Seidman ini bila diaplikasikan ke
dalam permasalahan implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin
pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, maka dapat dirumuskan suatu
formulasi bahwa, pelaksanaan sistem jaminan kesehatan masyarakat dalam
pelayanan kesehatan rawat inap melibatkan aksi-aksi atau tindakan-tindakan
rumah sakit sebagai organisasi yang bertugas dan berwenang menerpakan
peraturan-peraturan hukum jaminan kesehatan masyarakat dan aksi-aksi atau
tindakan-tindakan individu masyarakat miskin pasien rawat inap sebagai pihak
yang dikenai peraturan hukum jaminan kesehatan masyarakat yang dalam
kedudukannya selaku peserta program Jamkesmas, yang dalam interaksi antar
mereka cenderung dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan sosial lainnya,
sedangkan Peraturan Menteri dalam hal ini Menteri Kesehatan sebagai pihak
pembuat peraturan hukum jaminan kesehatan masyarakat tidak menghadapi
permaslahan yang berarti.
71
Dengan demikian dalam penelitian ini yang menjadi fokus perhatian adalah
aksi-aksi atau tindakan-tindakan rumah sakit sebagai organisasi pelaksana hukum
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan aksi-aksi atau tindakan-
tindakan peserta program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sebagai
pihak yang dikenai peraturan dengan segala aspek pengaruhnya faktor-faktor
personal dan sosial lainnya.
Mendasarkan pada formulasi diatas, maka rumah sakit sebagai pelaksana
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) harus melakukan kewajiaban-
kewajiaban (tindakan-tindakan medis) Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) yang mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan
Jaminan Kesehatan Masyarakat, untuk mewujudkan hak-hak peserta Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), terutama bagi masyarakat miskin yang
secara resmi terdaftar sebagai peserta Jamkesmas. Dengan demikian,
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap
dalam pelayanan kesehatan, pada dasarnya merupakan proses pelaksanaan
kewajiban rumah sakit dalam rangka merealisasikan hak-hak peserta program
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Dalam hubungannya dengan masalah implementasi hukum, Adam
Podgorecki dan Christopher J. Whelan sebagaimana yang telah dipaparkan di bab
sebelumnya dalam mengkaji tentang “Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum”
mengemukakan teori unsur-unsur penting didalam proses implementasi hukum,
72
yang menyatakan bahwa “ Implementasi hukum merupakan suatu proses
menjalankan hukum dalam praktek kehidupan masyarakat untuk mewujudkan
keinginan-keinginan dan harapan-harapan hukum secara kenyataan. Proses ini
menghadirkan tiga unsur penting yang membentuk sistem implementasi hukum,
yakni ; (1) Pelaksanaan hukum sebagai pemegang fungsi dari hukum; (2) Sarana
dan fasilitas lainnya sebagai pendukung berjalannya hukum, dan (3) Masyarakat
pengemban hak dan kewajiban hukum. Ketiga unsur tersebut dalam menjalankan
hukum cenderung dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.
Teori yang dikemukakan oleh Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan
bila diaplikasikan dalam masalah implementasi sistem jaminan kesehatan
masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, maka dapat
diinterprestasikan bahwa, proses menjalankan program Jamkesmas dalam
mewujudkan keinginan dan harapan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam
kedudukannya sebagai peserta Jamkesmas dapat dilihat dari unsur-unsur antara
lain :
1. Unsur pelaksana hukum, meliputi indikator persyaratan administratif untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas di
rumah sakit, prosedur yang harus dilalui peserta Jamkesmas untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit, dan pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada pasien rawat inap peserta Jamkesmas di
rumah sakit.
73
2. Unsur Sarana dan fasilitas, meliputi indikator sarana dan prasarana medis
yang tersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin
pasien rawat inap peserta Jamkesmas di rumah sakit.
3. Unsur Masyarakat, yakni peserta Jamkesmas pasien rawat inap, yang meliputi
indikator tingkat kepuasan peserta Jamkesmas pasien rawat inap.
Dengan demikaian, implementasi sistem jamianan kesehatan masyarakat
miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, dalam penelitian ini
merupakan suatu konsep yang terintegrasi dari kelima indikator tersebut.
Penelitian ini selanjutnya diajukan dengan pertanyaan sebanyak 50
pertanyaan kepada 40 responden yang diambil sebagai sempel, yang terbagi
masing-masing indikatornya 10 pertanyaan, indikator persyaratan administratif
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas di
rumah sakit sebanyak 10 pertanyaan, indikator prosedur yang harus dilalui peserta
Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit
sebanyak 10 pertanyaan, indikator pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
pasien rawat inap peserta Jamkesmas di rumah sakit sebanyak 10 pertanyaan,
indikator sarana dan prasarana sebanyak 10 pertanyaan dan indikator tingkat
kepuasan sebanyak 10 pertanyaan. Terkaitan dengan faktor-faktor yang
cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat
miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan ada beberapa faktor yang
cenderung mempengaruhi, seperti faktor persyaratan administratif, fasilitas
kesehatan, pengetahuan dan komunikasi. Tingkat masing-masing faktor tersebut
74
dapat diketahui dengan mengajukan pertanyaan kepada seluruh responden.
Pertanyaan yang diajukan kepada responden sebanyak 40 pertanyaan tentang
faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan yang
terdiri dari faktor persyaratan administratif sebanyak 10 pertanyaan, faktor sarana
dan prasaran sebanyak 10 pertanyaan, faktor pengetahuan pasien sebanyak 10
pertanyaan dan faktor komunikasi sebanyak 10 pertanyaan. Kemudian setiap
pertanyaan tersebut nantinya akan diberi nilai antara 1-3 berdasarkan jawaban
yang diberikan oleh responden.
Sejumlah pertanyaan tersebut diajukan kepada responden yang menjadi
sampel dalam penelitian ini yaitu peserta Jamkesmas yang telah mendapatkan
pelayanan kesehatan rawat inap di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan dan berdasarkan hasil skor
(penilaian) pada masing-masing responden, maka dapat data yang dituangkan
dalam tabel berikut :
Tabel 1: Distribusi Nilai Masing – Masing Indikator Implementasi
Jamkesmas dan Variabel menurut 40 responden
Implementasi Jamkesmas Y 1 Y 2 Y 3 Y 4
X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 ∑ X
1 22 29 26 25 22 124 26 10 15 23
2 25 27 29 22 27 130 27 28 24 30
3 24 30 29 29 30 142 17 12 14 30
4 26 29 29 28 30 142 18 10 15 29
No
75
No Implementasi Jamkesmas
Y 1 Y 2 Y 3 Y 4 X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 ∑ X
5 23 28 25 26 26 128 20 17 22 24
6 23 21 26 20 21 111 26 30 24 27
7 24 30 28 30 30 142 12 10 10 28
8 25 30 27 28 30 140 27 28 25 30
9 25 29 29 30 28 141 20 18 16 24
10 26 26 29 26 27 134 24 27 25 29
11 23 30 29 27 28 137 12 25 18 28
12 26 27 23 28 28 132 24 14 20 27
13 25 19 23 18 26 111 29 30 28 30
14 24 24 27 23 23 121 30 30 26 30
15 26 29 29 27 30 141 24 17 24 27
16 26 30 29 27 30 143 24 11 18 25
17 24 26 29 27 29 135 25 15 22 29
18 26 30 29 28 30 143 22 11 19 28
19 26 30 29 28 30 143 22 11 21 29
20 26 27 26 29 26 134 28 14 23 27
21 26 24 27 23 25 125 23 18 22 23
22 26 29 28 27 30 140 25 12 21 29
23 25 30 29 28 30 142 24 14 21 25
24 24 30 29 29 30 142 21 10 15 29
25 22 24 29 23 26 124 24 28 24 30
26 25 19 23 18 26 111 29 30 28 30
27 22 29 29 25 22 127 26 10 15 23
28 24 30 29 29 30 142 17 12 14 30
29 23 21 26 20 21 111 26 30 24 27
76
No Implementasi Jamkesmas
Y 1 Y 2 Y 3 Y 4 X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 ∑ X
30 21 29 28 27 28 133 23 12 18 29
31 23 30 29 27 28 137 12 25 18 28
32 25 29 29 30 28 141 20 18 16 24
33 26 26 29 26 27 134 24 27 25 2
34 24 24 27 23 23 121 30 30 26 30
35 25 30 27 28 30 140 27 28 25 30
36 26 30 29 28 30 143 22 11 19 28
37 24 29 29 27 30 139 24 17 24 27
38 24 30 30 29 30 143 20 10 18 28
39 24 30 29 28 30 141 24 14 20 30
40 22 30 28 29 30 139 14 20 22 28
Sumber : Data primer yang diolah
Keterangan :
� X1 :Persyaratan pelayanan kesehatan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas di
rumah sakit
� X2 : Prosedur yang harus yang harus dilalui peserta Jamkesmas
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah
sakit
� X3 : Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien rawat inap
peserta Jamkesmas di rumah sakit
� X4 : Sarana dan prasarana
� X5 : Tingkat kepuasan
� ∑ X : Implementasi Jamkesmas
� Y 1 : Variabel Persyaratan Administratif
77
� Y 2 : Variabel Fasilitas Kesehatan
� Y 3 : Variabel Pengetahuan
� Y 4 : Variabel Komunikasi
Data tabel tersebut diatas, diperhitungkan interval kelas masing-masing
variabel dan indikatornya dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
I = �
�
Dimana :
I : interval klas yang dikehendaki.
R : range yang merupakan simbol pengurangan nilai tertinggi dikurangi
nilai terendah
K : klas yang dikehendaki dalam setiap variabel dan indikator yang dapat
dinyatakan dalam 3 klas
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut diatas,
maka dapat diperoleh interval klas masing-masing variabel dan indikator-
indikator sebagai berikut :
a. Implementasi Jamkesmas, yang dapat dinyatakan dalam implementasi
Jamkesmas tidak efektif, kurang, dan efektif, dengan interval klas sebagai
berikut:
- Nilai 111-121 adalah tidak efektif.
- Nilai 122-132 adalah kurang efektif.
78
- Nilai 133-143 adalah efektif.
b. Indikator Persyaratan Administratif, yang dapat dinyatakan dalam persyaratan
administratif sulit, kadang-kadang sulit dan tidak sulit dengan interval klas
sebagai berikut:
- Nilai 21-22 adalah tidak terpenuhi.
- Nilai 23-24 adalah kurang terpenuhi.
- Nilai 25-26 adalah terpenuhi.
c. Indikator Prosedur Pelayanan Kesehatan, yang dapat dinyatakan dalam
prosedur pelayanan kesehatan tidak cepat, kurang cepat dan cepat, dengan
interval klas sebagai berikut:
- Nilai 19-22 adalah tidak sederhana
- Nilai 23-26 adalah kurang sederhana
- Nilai 27-30 adalah sederhana
d. Indikator Pelayanan Kesehatan, yang dapat dinyatakan dalam pelayanan
kesehatan tidak baik, kurang baik dan baik, dengan interval klas sebagai
berikut:
- Nilai 23-25 adalah tidak baik.
- Nilai 26-28 adalah kurang baik.
- Nilai 29-30 adalah baik.
e. Indikator Sarana dan Prasarana, yang dapat dinyatakan dalam sarana dan
prasarana tidak lengkap, kurang lengkap dan lengkap, dengan interval klas
sebagai berikut:
79
- Nilai 18-21 adalah tidak memadai.
- Nilai 22-26 adalah kurang memadai.
- Nilai 27-30 adalah memadai.
f. Indikator Tingkat Kepuasan, yang dapat dinyatakan dalam tidak puas, kurang
puas dan puas, dengan interval klas sebagai berikut:
- Nilai 21-23 adalah tidak puas.
- Nilai 24-27 adalah kurang puas.
- Nilai 28-30 adalah puas.
g. Variabel Persyaratan Administratif, yang dapat dinyatakan dalam persyaratan
administratif rendah, sedang dan tinggi, dengan interval klas sebagai berikut:
- Nilai 12-17 adalah tidak sederhana.
- Nilai 18-24 adalah kurang sederhana.
- Nilai 25-30 adalah sederhana.
h. Variabel Fasilitas Kesehatan, yang dapat dinyatakan dalam sarana dan
prasarana rendah, sedang dan tinggi, dengan interval klas sebagai berikut:
- Nilai 10-16 adalah tidak baik.
- Nilai 17-23 adalah kurang baik.
- Nilai 24-30 adalah baik.
i. Variabel Pengetahuan, yang dapat dinyatakan dalam pengetahuan rendah,
sedang dan tinggi, dengan interval klas sebagai berikut:
- Nilai 10-15 adalah rendah.
- Nilai 16-22 adalah sedang.
80
- Nilai 23-28 adalah tinggi.
j. Variabel Komunikasi, yang dapat dinyatakan dalam komunikasi rendah,
sedang dan tinggi, dengan interval klas sebagaai berikut:
- Nilai 23-25 adalah rendah.
- Nilai 26-28 adalah sedang.
- Nilai 29-30 adalah tinggi.
Untuk mengetahui implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat
miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo, hasil penelitian secara umum menggambarkan bahwa
implementasi Jamkesmas adalah efektif, hal ini dapat dibuktikan dengan melihat
data yang dituangkan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 2 : Implementasi Sistem Jamkesmas Pasien Rawat Inap Dalam Pelayanan Kesehatan
Implementasi Jamkesmas
Interval Klas
Frekuensi (F)
Presentase (%)
Tidak Efektif Kurang Efektif
Efektif
111-121 122-132 133-143
6 6 28
15 15 70
Jumlah 40 100 Sumber : Data primer yang diolah
Tabel di atas mengungkapkan bahwa, sebanyak 40 responden terdapat
sejumlah 6 (15%) responden menyatakan implementasi sistem Jamkesmas dalam
pelayanan kesehatan adalah tidak efektif, dan sejumlah 6 (15%) responden
menyatakan kurang efektif serta sejumlah 28 (70%) responden menyatakan
efektif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, sebagaian besar responden
81
dalam hal ini peserta program Jamkesmas menyatakan, implementasi sistem
Jamkesmas pasien rawat inap adalah efektif. Hal ini mengandung arti bahwa,
sebagian besar peserta Jamkesmas pasien rawat inap relatif terpenuhi hak-haknya
dalam pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pihak RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo.
Berkaitan dengan kenyataan diatas, Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No
36 Tahun 2009 tentang kesehatan menyatakan bahwa:
“ Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Masyarakat melalui sistem jaminan sosial”.
Mengingat Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional belum dapat diimplementasikan maka aturan yang menjadi
pedoman penyelenggaraan Jamkesmas menggunakan acuan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/ MENKES/ PER/ V/ 2011 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat.
Dalam hubungannnya dengan implementasi hukum secara umum,
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa implementasi hukum dapat diartikan
dengan kemampuan hukum untuk menciptakan atau melahirkan keadaan atau
situasi seperti yang dikehendaki atau diharapkan oleh hukum. Sementara Bernard
Arief Sidharta menyatakan pendapatnya bahwa, implementasi hukum merupakan
suatu proses dari semua kegiatan (tindakan) manusia berkenaan dengan hal
mewujudkan hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkrit bagi
masyarakat yang dikenainya.
82
Hasil data penelitian yang ada di tabel 2 diatas berdasarkan kedua
pendapat tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, program Jamkesmas
sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 903/ Menkes/ Per/ V/ 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, secara umum dalam implementasinya
sebagian besar telah mampu mewujudkan hak-hak pasien atas pelayanan
kesehatan rawat inap di rumah sakit, hal ini ditunjukan dengan melihat data hasil
penelitian bahwa sebanyak 28 (70%) responden menyatakan efektif implementasi
sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan
kesehatan.
Efektifnya implementasi sistem jamiman kesehatan masyarakat miskin
pasien rawat inap dalam mengakses pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo tersebut dapat dilihat dari indikator persyaratan administratif
bagi peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap.
Maka dapat diperoleh gambaran sebagaimana yang terdapat dalam tabel berikut:
Tabel 3 : Persyaratan Administratif Peserta Jamkesmas untuk mendapatkan Pelayanan Kesehatan Rawat Inap di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Persyaratan Administratif
Interval Klas
Frekuensi (F)
Presentase (%)
Tidak Terpenuhi Kurang Terpenuhi
Terpenuhi
21-22 23-24 25-26
5 15 20
12,5 37,5 50
Jumlah 40 100
Sumber : Data primer yang diolah
83
Tabel diatas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 40
orang, sejumlah 5 (12,5%) responden menyatakan bahwa persyratan administratif
tidak terpenuhi, sejumlah 15 (37,5%) responden menyatakan kurang terpenuhi
persyaratan administratif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di
rumah sakit bagi peserta Jamkesmas dan sejumlah 20 (50%) responden
menyatakan persyaratan administratif terpenuhi.
Berdasarkan data diatas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa
peserta Jamkesmas memenuhi persyaratan administratif yang telah ditetapkan.
Terpenuhinya persyaratan administratif memudahkan peserta Jamkesmas untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Hal ini menunjukan
bahwa rumah sakit memberikan kemudahan akses untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan rawat inap di rumah sakit, hal ini diwujudkan dengan adanya
kemudahan untuk memenuhi persyaratan administratif untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Terkadang petugas rumah sakit
memberi kemudahan terhadap pasien, persyaratan administratif yang belum
lengkap dapat disusul untuk melengkapinya karena peserta Jamkesmas tersebut
membutuhkan pelayanan kesehatan secepatnya. Hal ini tentunya sangat
membantu masyarakat miskin untuk lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan
rawat inap di rumah sakit.
84
Kenyataan diatas mengandung arti bahwa, kemudahan persyaratan
administratif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap dirumah sakit,
menentukan pula efektifnya implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat
miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Dengan demikian dapat di
interprestasikan bahwa, semakin mudah persyaratan administratif untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit sebagai organisasi
penyelenggara program Jamkesmas, maka akan semakin efektif implementasi
sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan
kesehatan.
Apabila kenyataan tersebut diinterprestasikan berdasarkan Pasal 1
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/Menkes/Per/V/2011
tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat, maka dapat
diperoleh gambaran bahwa sebagian petugas rumah sakit sebagai wakil dari
lembaga penerap hukum jaminan kesehatan masyarakat telah memberikan
kemudahan dan akses pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas.
Persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh peserta Jamkesmas
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit merupakan
perwujudan dari persyaratan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap
melalui program Jamkesmas, sehingga yang memperoleh pelayanan kesehatan
rawat inap di rumah sakit memang benar merupakan peserta Jamkesmas.
Persyaratan administratif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap
sebagai peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo adalah
85
1. Fotocopy KTP (Kartu Tanda Penduduk)
2. Kartu Peserta Jamkesmas
3. Surat Rujukan dari Puskesmas
4. Fotocopy Kartu Keluarga
Adanya persyaratan yang telah ditentukan ini sebenarnya juga merupakan
wujud kehati-hatian dari petugas rumah sakit supaya benar-benar masyarakat
miskin peserta Jamkesmas yang memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap
dengan adanya bukti kepemilikan kartu Jamkesmas dan pemenuhan persyaratan
administratif yang lain.
Jika data dalam tabel 3 ini dihubungkan dengan data dalam tabel 2 diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa, efektifnya implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan sangat
ditentukan oleh terpenuhinya persyaratan administratif yang harus dipenuhi
peserta Jamkesmas tersebut. Artinya terpenuhinya persyaratan administratif yang
harus dipenuhi pasien, maka semakin efektif implementasi sistem Jamkesmas
tersebut.
Implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat
inap dalam pelayanan kesehatan ini ditinjau dari indikator prosedur peserta
Jamkesmas untuk memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit,
maka dapat diperoleh gamabaran sebagaimana tertuang dalam tabel berikut:
86
Tabel 4 : Prosedur Peserta Jamkesmas untuk memperoleh Pelayanan Kesehatan Rawat Inap di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Prosedur Pelayanan Kesehatan
Interval Klas
Frekuensi (F)
Presentase (%)
Tidak Sederhana Kurang Sederhana
Sederhana
19-22 23-26 27-30
4 7 29
10 17,5 72,5
Jumlah 40 100 Sumber : Data primer yang diolah
Tabel 4 diatas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 40
orang, sejumlah 4 (10%) responden menyatakan bahwa prosedur peserta
Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap dirumah sakit
tidak sederhana. Sebanyak 7 (17,5%) responden menyatakan bahwa prosedur
peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap dirumah
sakit kurang sederhana dan sebanyak 29 (72,5%) responden menyatakan bahwa
prosedur yang harus dilalui peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan rawat inap dirumah sakit adalah sederhana.
Berdasarkan pada fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa, sebagian
besar responden menilai sederhana prosedur bagi peserta Jamkesmas untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Kenyataan ini
membuktikan bahwa sebagaian besar peserta Jamkesmas diberikan kemudahan
dalam mengakses pelayanan kesehatan rawat inap dirumah sakit. Hal ini tentunya
sesuai dengan tujuan yang ada di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 903/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan
Jaminan Kesehatan Masyarakat yaitu memberikan kemudahan akses untuk
87
mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai unit yang
menyelenggarakan program Jamkesmas.
Dari kenyataan tersebut diatas dapat diinterprestasikan bahwa, dengan
adanya prosedur yang sederhana bagi peserta Jamkesmas untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan rawat inap dirumah sakit, menjadikan implementasi sistem
jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan
kesehatan efektif.
Pasal 5 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa :
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas
sumber daya dibidang kesehatan.
Dikaitkan dengan prosedur bagi peserta Jamkesmas untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit tentunya berhubungan dengan
akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Pasal 5 angka (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menunjukan bahwa masyarakat miskin peserta Jamkesmas juga memiliki hak
yang sama untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
Prosedur pelayanan yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.80 Adanya
kemudahan alur bagi peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
rawat inap di rumah sakit tentunya mencerminkan perwujudan adanya kemudahan
80 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Op., Cit, hlm 105.
88
akses yang diberikan pihak rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan
rawat inap bagi peserta Jamkesmas.
Apabila data dari tabel 4 dihubungkan dengan data dalam tabel 2 diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa, prosedur yang sederhana untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan menentukan pula efektifnya sistem jaminan kesehatan
masyarakat miskin pasien rawat inap dalam memperoleh pelayanan kesehatan di
rumah sakit tersebut. Artinya, semakin sederhana prosedur yang harus dilalui
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap peserta Jamkesmas, maka
semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien
rawat inap dalam memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut.
Efektifnya implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat pasien
rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
tersebut dapat di lihat dari indikator pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
pasien rawat inap peserta Jamkesmas, yang dapat dilihat dari hasil penelitian
sebagai berikut:
Tabel 5 : Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Pelayanan Kesehatan
Interval Klas
Frekuensi (F)
Presentase (%)
Tidak Baik Kurang Baik
Baik
23-25 26-28 29-30
4 13 23
10 32,5 57,5
Jumlah 40 100 Sumber : Data primer yang diolah
89
Dari tabel 5 diatas dapat dideskripsikan bahwa, dari sebanyak 40
responden yang menjadi sempel penelitian, terdapat sebanyak 4 (10%) responden
menilai pelayanan kesehatan rawat inap yang diterima peserta Jamkesmas tidak
baik, sebanyak 13 (32,5%) responden menilai kurang baik atas pelayanan
kesehatan rawat inap yang diperoleh, serta sebanyak 23 (57,5%) responden
menyatakan penilaian yang baik terhadap pelayanan kesehatan rawat inap melalui
program Jamkesmas.
Berdasarkan pada data yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa,
sebagian besar responden menilai baik terhadap pelayanan kesehatan rawat inap
yang diberikan rumah sakit melalui program Jamkesmas. Kenyataan ini
membuktikan bahwa sebagian besar pasien rawat inap peserta Jamkesmas dalam
mengakses pelayanan kesehatan rawat inap telah mendapatkan hak-haknya sesuai
dengan standar pelayanan kesehatan yang berlaku.
Berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang baik, Azrul Azwar
sebagaimana yang telah disinggung dalam bab sebelumnya, menyatakan bahwa, “
Pelayanan kesehatan disebut sebagai pelayanan kesehatan yang baik, harus
memenuhi berbagai persyaratan, antara lain:
1. Pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat serta bersifat
berkesinambungan;
2. Pelayanan kesehatan tersebut harus dapat diterima oleh masyarakat serta
bersifat wajar;
3. Pelayanan kesehatan tersebut harus mudah dicapai oleh masyarakat;
90
4. Pelayanan kesehatan harus mudah dijangkau oleh masyarakat;
5. Pelayanan kesehatan tersebut harus bermutu.
Data pada tabel 5 diatas ditafsirkan berdasarkan pendapat Azrul Azwar
ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo kepada masyarakat miskin pasien rawat
inap peserta Jamkesmas, pada dasarnya telah memenuhi persyaratan pelayanan
kesehatan yang baik. Artinya, pelayanan kesehatan rawat inap yang diperlukan
peserta Jamkemas tidak sulit untuk ditemukan. Pelayanan kesehatan rawat inap
yang diberikan RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo secara nyata tidak
bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan peserta Jamkesmas serta bersifat
wajar. Lokasi pelayanan kesehtan rawat inap yang tersedia mudah dicapai dan
tidak dipunggut biaya. Pelayanan kesehatan yang diberikan harus bermutu serta
dapat memuaskan peserta Jamkesmas dan tata cara penyelenggaraan sesuai
dengan kode etik serta standar minimal yang telah ditetapkan.
Amanat dari pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Kemudian dipertegas dengan Pasal 1 Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 tentang
Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang menyatakan
bahwa tujuan dari pedoman pelaksanaan program jaminan kesehatan masyarakat
salah satunya adalah mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang
berstandar bagi peserta, tidak berlebihan sehingga terkendali mutu dan biaya.
91
Hasil penelitian pada tabel 5 menunjukan adanya hak yang terpenuhi dari
pasien sebagai masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah
sakit. Pelayanan kesehatan yang baik diwujudkan dengan 23 (57,5%) responden
menyatakan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan bagi peserta Jamkesmas
pasien rawat inap adalah baik.
Apabila data dalam tabel 5 ini dihubungkan dengan data dalam tabel 2
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, efektifnya implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di
dukung pula oleh pelayanan kesehatan yang baik terhadap peserta Jamkesmas
pasien rawat inap tersebut. Artinya, semakin baik pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada pasien rawat inap peserta Jamkesmas, maka semakin efektif
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap
dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Selanjutnya, jika implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat
miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, ini dilihat dari indikator
sarana dan prasarana yang mendukung berjalannya hukum menurut pandangan
peserta Jamkesmas pasien rawat inap, hasil penelitian memperoleh gambaran
sebagai berikut:
92
Tabel 6 : Sarana dan Prasarana yang digunakan untuk menunjang Pelayanan Kesehatan bagi Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Sarana dan Prasarana
Interval Klas
Frekuensi (F)
Presentase (%)
Tidak Memadai Kurang Memadai
Memadai
18-21 22-26 27-30
4 9 27
10 22,5 67,5
Jumlah 40 100 Sumber : Data primer yang diolah
Dari tabel 6 diatas dapat dijelaskan bahwa, dari sebanyak 40 responden,
terdapat sejumlah 4 (10%) responden menyatakan kelengkapan sarana dan
prasarana medis yang ada ternyata tidak memadai dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan melalui program Jamkesmas, dan sejumlah 9 (22,5%)
responden menyatakan kurang memadai sarana dan prasarana medis untuk
menunjang pelaksanaan program Jamkesmas, serta sejumlah 27 (67,5%)
responden menyatakan memadai kelengkapan sarana dan prasarana medis yang
tersedia dalam menunjang penyelenggaraan pelayanan kesehatan rawat inap bagi
peserta Jamkesmas.
Dari tabel 6 diatas dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar pasien rawat
inap peserta Jamkesmas mengakui kelengkapan sarana dan prasarana medis di
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo relatif memadai dalam menunjang pelayanan
kesehatan rawat inap melalui program Jamkesmas, yang pada akhirnya dapat
berimplikasi terhadap kelancaran penyelenggaraan pelayanan kesehatan rawat
inap, yang pada gilirannya akan berpengaruh pula secara positif terhadap tingkat
93
efektifitas implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien
rawat inap dalam pelayanan kesehatan.
Hasil penelitian diatas mengandung arti bahwa, unsur sarana dan
prasarana kesehatan yang tersedia dan memadai, menentukan pula derajat
efektifitas implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien
rawat inap dalam pelayanan kesehatan yang baik. Dengan demikian dapat di
interprestasikan bahwa, semakin lengkap saran dan prasarana medis yang tersedia
di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo sebagai organisasi pelaksana program
Jamkesmas, maka akan semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan
masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan.
Masalah pelayanan kesehatan lebih banyak disorot, karena adanya
tuntutan tingkat pelayanan yang sesempurna mungkin. Kritik-kritik terhadap
fasilitas kesehatan bnayak dijumpai di surat-surat kabar. Anehnya kritik-kritik
tersebut tanpa ada kemauan ingin tahu bahwa dibalik pelayanan kesehatan yang
sempurna ada jaringan prasarana yang harus diciptakan.81
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Kelengkapan dan memadainya sarana dan prasarana medis yang tersedia tersebut,
menyangkut tentunya menjadi tanggung jawab negara. Aspek sarana dan
prasarana medis yang tersedia tentunya berkaitan dengan pendanaan untuk
81 Sulastomo, Op., Cit, hlm. 270.
94
memenuhi ketersediaan sarana dan prasarana medis guna menunjang pelayanan
kesehatan rawat inap yang diberikan rumah sakit.
Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan
tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik sebagai fungsi
sebagai faktor pendukung. Memang sering terjadi suatu peraturan sudah
difungsikan, padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula
bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya
kemacetan. Mungkin ada baiknya, ketika hendak menerapkan suatu peraturan
secara resmi maupun memberikan tugas kepada peraturan dipikirkan mengenai
fasilitas-fasilitas yang ada.82 Jumlah peserta Jamkesmas yang banyak tentunya
harus disesuaikan dengan jumlah sarana dan prasarana yang ada dirumah sakit
sehingga pelayanan kesehatan rawat inap khususnya yang membutuhkan ruangan
yang layak dapat terpenuhi.
Jika data dalam tabel 6 dihubungkan dengan data dalam tabel 2 diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa, efektifnya implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan
ditentukan oleh memadainya sarana dan prasarana yang mendukung. Artinya
semakin memadainya sarana dan prasarana yang ada di rumah sakit, maka
semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien
rawat inap dalam memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit.
82 Zainuddin Ali, 2006, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 64.
95
Di samping ke empat indikator diatas, indikator kepuasan peserta
Jamkesmas atas pelayanan kesehatan rawat inap yang diperoleh, tidak kalah
pentingnya sebagai indikasi efektifnya implementasi sistem jaminan kesehatan
masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan.
Berkaitan dengan hal diatas, hasil penelitian mengungkapkan bahwa
sebagaian besar peserta Jamkesmas yang memperoleh pelayanan kesehatan rawat
inap di rumah sakit RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo mengaku merasakan
puas. Hal ini dibuktikan dengan melihat data hasil penelitian sebagaimana yang
tertuang dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 7 : Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Tingkat Kepuasan
Interval Klas
Frekuensi (F)
Presentase (%)
Tidak Puas Kurang Puas
Puas
21-23 24-27 28-30
6 9 25
15 22,5 62,5
Jumlah 40 100 Sumber : Data primer yang diolah
Tabel 5 diatas menjelaskan bahwa, sebanyak 6 (15%) responden mengaku
bahwa pelayanan kesehatan rawat inap yang diperoleh melalui program
Jamkesmas tidak memuaskan, sebanyak 9 (22,5%) responden merasakan kurang
puas terhadap pelayanan kesehatan rawat inap yang diperolehnya dari program
Jamkesmas dan sebanyak 25 (62,5%) responden merasakan puas terhadap
pelayanan kesehatan rawat inap yang diperoleh melalui program Jamkesmas
dirumah sakit RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo.
96
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar peserta
Jamkesmas menyatakan puas terhadap pelayanan kesehatan rawat inap di rumah
sakit. Hal ini mengandung arti bahwa, program Jamkesmas dalam
implementasinya di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo mampu mewujudkan
hak-hak pasien rawat inap peserta Jamkesmas yang dapat melahirkan perasaan
puas terhadap pelayanan kesehatan yang diperoleh. Timbulnya perasaan puas ini
merupakan indikasi adanya mutu pelayanan kesehatan rawat inap yang baik.
Dengan demikian tingkat kepuasan pasien rawat inap peserta Jamkesmas
merupakan unsur yang menentukan implementasi sistem jaminan kesehatan
masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena itu,
tingkat kepuasan pasien rawat inap peserta Jamkesmas atas pelayanan kesehatan
yang diperolehnya, mempunyai korelasi secara positif terhadap implementasi
sistem Jamkesmas. Artinya, semakin tinggi tingkat kepuasan pasien rawat inap
peserta Jamkesmas, maka semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan
masyarakat pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan.
Terkait dengan masalah kepuasan peserta atas pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh pihak rumah sakit melalui penyelenggaraan program Jamkesmas,
Kolter berpendapat bahwa “ Kepuasan merupakan perasaan senang atau kecewa
seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesan terhadap kinerja (hasil)
suatu produk atau jasa dengan harapan yang dimiliki. Apabila kinerja yang
dihasilkan suatu produk atau jasa berada dibawah harapan, maka konsumen
merasa kecewa dan tidak puas. Sebaliknya bila kinerja yang dihasilakan oleh
97
suatu produk atau jasa dapat memenuhi atau melampau harapan, maka konsumen
akan meras puas. Demikian juga perasaan pasien terhadap kinerja yang dihasilkan
oleh perawat. Jika perawat menghasilkan kinerja yang memenuhi atau melampaui
harapan dari pasiennya dengan memberikan pelayanan yang baik, maka pasien
akan merasakan kepuasaan yang tinggi. Tetapi sebaliknya jika kinerja perawat
dalam memberikan pelayanan kespada pasiennya buruk, maka pasien akan
merasakan ketidakpuasan dan hal ini akan mempengaruhi penilaian pasien
terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit, terutama perawat
yang merawatnya”. 83
Masih dalam hubungannya dengan hal di atas, Engel sebagaimana yang
dikutip oleh Musanto, menyatakan bahwa “ kepuasan merupakan evaluasi setelah
pemakaian dimana pelayanan yang diberikan sekurang-kurangnya sama atau
melampaui harapan pasien. Pasien yang dirawat di rumah sakit melakukan
evaluasi terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya dan dari evaluasi itulah
pasien mengetahui apakah mereka merasa puas dengan pelayanan yang diberikan
perawat atau tidak. Bagi pasien, kepuasan selalu dikaitkan dengan lingkungan
rumah sakit, suhu udara, kenyamanan, kebersihan. Kecepatan pelayanan,
keramahan perawat dan perhatian dari perawat. Pelayanan yang diberikan oleh
perawat dan perhatian dari perawat. Pelayan yang diberikan oleh perawat yang
83 Kolter P., 1997, Menejemen Prmasaran; Analisis Perencanaan, Implementasi dan
Pengendalian, Prenhallindo, Jakarta, hlm. 116.
98
tidak sesuai dengan harapan pasien akan menimbulkan perasaan
ketidakpuasan.”84
Hasil data dalam tabel 7 diatas, di interprestasikan berdasarkan pada kedua
teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa, tingkat kepuasan peserta Jamkesmas
terhadap pelayanan kesehatan rawat inap di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo,
memiliki hubungan dengan hasil kerja dari perawat dan dokter yang memberikan
pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit.
Kepuasan pasien rawat inap peserta Jamkesmas dapat diwujudkan dengan
hasil kinerja dari perawat yang merawatnya di rumah sakit, dokter yang
memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai atau tidak dengan harapan
yang di inginkan pasien. Tingkat kepuasan akan berpengaruh terhadap rumah
sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan rawat inap melalui program
Jamkesmas.
Tingkat kepuasan yang tinggi yang dirasakan oleh pasien rawat inap
peserta Jamkesmas akan menimbulkan kelekatan emosional antara peserta
Jamkesmas dengan RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, yang mengakibatkan
peserta Jamkesmas akan selalu mendukung implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap karena hal tersebut merupakan
kebutuhan mereka. Tetapi sebaliknya apabila kinerja yang dilakukan oleh rumah
sakit sebagai organisasi penyelenggara program Jamkesmas dalam memberikan
84 Musanto T, 2004, Faktor-faktor Kepuasan Pelangan dan loyalitas Pelanggan; Studi Kasus
pada CV. Sarana Media Advertising Surabaya, Jurnal Menejemen dan Kewirausahaan, Vol. 6, Jakarta, hlm. 123-136.
99
pelayan ksehatan rawat inap buruk, maka peserta Jamkesmas pasien rawat inap
akan merasakan ketidakpuasan yang pada akhirnya akan membuat reputasi rumah
sakit buruk.
Apabila data dalam tabel 7 dihubungkan dengan data dalam tabel 2 diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa, efektifnya implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan sangat
ditentukan oleh kepuasan yang didapat peserta Jamkesmas. Artinya semakin puas
pasien rawat inap peserta Jamkesmas di rumah sakit, maka semakin efektif
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap
dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut.
B. Faktor-faktor yang Cenderung Mempengaruhi Implementasi Sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Pasien Rawat Inap Dalam Pelayanan Kesehatan
Sebagaimana dipaparkan dimuka bahwa implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan
merupakan suatu proses bekerjanya hukum dalam masyarakat, yang melibatkan
komponen pembuat hukum, pelaksana hukum dan pihak yang dikenai hukum.
Ketiga komponen ini dalam bekerjanya selalu dipengaruhi oleh kekuatan-
kekuatan personal dan sosial lainnya.
Kekuatan diluar hukum yang cenderung berpengaruh terhadap
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap
dalam pelayanan kesehatan adalah faktor persyaratan administratif, fasilitas
kesehatan, pengetahuan dan komunikasi.
100
Masing-masing faktor tersebut diatas dapat digambarkan secara berturut-
turut sebagaimana tertuang dalam tabel-tabel berikut ini:
Tabel 8 : Tingkat Persyaratan Administratif Persyaratan
Administratif Interval
Klas Frekuensi
(F) Presentase
(%) Tidak Sederhana
Kurang Sederhana Sederhana
12-17 18-24 25-30
6 18 16
15 45 40
Jumlah 40 100 Sumber : Data primer yang diolah
Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa sebanyak 40 responden
menunjukan sebanyak 6 (15%) responden menyatakan bahwa faktor persyaratan
administratif tidak sederhana, sebanyak 18 (45%) responden menyatakan bahwa
faktor persyaratan administratif kurang sederhana, dan sebanyak 16 (40%)
responden menyatakan bahwa faktor persyaratan administratif sederhana.
Tingkat persyaratan administratif berdasarkan data tabel 8 diatas dapat
dilihat bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa persyaratan
administratif kurang sederhana, yakni dibuktikan dengan hasil responden terbesar
yaitu 18 (45%) responden. Apabila tingkat persyaratan administratif responden
dihubungkan dengan tingkat implementasi Jamkesmas bagi pasien rawat inap
dalam pelayanan kesehatan sebagaimana yang tercantum dalam tabel 2, maka
dapat diperoleh kecenderungan bahwa faktor persyaratan administratif cenderung
berpengaruh positif terhadap implementasi Jamkesmas. Hal ini dapat diperjelas
dengan melihat data yang tertuang dalam tabel dibawah ini:
101
Tabel 9: Pengaruh Faktor Persyaratan Administratif terhadap Implementasi Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Tidak Efektif
Kurang Efektif
Efektif Jumlah
F % F % F % F % Tidak Sederhana
Kurang Sederhana Sederhana
0 0 6
0 0 15
0 3 3
0 7,5 7,5
6 15 7
15 37,5 17,5
6 18 16
15 45 40
Jumlah 6 15 6 15 28 70 40 100 Sumber : Data primer yang diolah
Berdasarkan tabel diatas dapat dideskripsikan bahwa faktor persyaratan
administratif cenderung berpengaruh secara positif terhadap implementasi sistem
jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan
kesehatan. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam tabel diatas dimana pada
pengaruh faktor persyaratan administratif tidak sederhana, diperoleh gambaran
bahwa sejumlah 0 (0%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak
efektif, sejumlah 0 (0%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas kurang
efektif dan sebanyak 6 (15%) responden menunjukan tingkat implementasi
Jamkesmas yang efektif.
Apabila dilihat dari pengaruh faktor persyaratan administratif yang kurang
sederhana, diperoleh gamabaran bahwa sejulah 0 (0%) responden menunjukan
implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 3 (7,5%) responden menunjukan
implementasi Jamkesmas kurang efektif, dan sebanyak 15 (37,5%) responden
menunjukan implementasi Jamkesmas efektif dalam memberikan pelayanan
kesehatan rawat inap di rumah sakit.
102
Apabila dilihat dari faktor persyaratan administratif yang sederhana,
diperoleh gamabaran bahwa sejumlah 6 (15%) responden menunjukan
implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 3 (7,5%) responden menunjukan
implementasi Jamkesmas kurang efektif, dan sejumlah 7 (17,5%) responden
menunjukan implementasi Jamkesmas efektif dalam memberikan pelayanan
kesehatan rawat inap di rumah sakit.
Berdasarkan data tersebut diatas dapat disimpulkan sementara bahwa
faktor persyaratan administratif cenderung berpengaruh secara positif terhadap
implementasi Jamkesmas pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, artinya
semakin sederhana tingkat persyaratan administratif, maka semakin efektif pula
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap
dalam pelayanan kesehatan.
Selain faktor persyaratan administratif, ternyata faktor fasilitas kesehatan
juga mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin
pasien rawat inap. Di dalam penelitiaan ini, faktor fasilitas kesehatan juga
sebagai salah satu independent variabel karena merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin
pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Hasil penelitian penulis
menunjukan sebagaimana yang terdapat dalam tabel 10 dibawah ini:
103
Tabel 10 : Faktor Fasilitas Kesehatan Sarana dan Prasarana
Interval Klas
Frekuensi (F)
Presentase (%)
Tidak Baik Kurang Baik
Baik
10-16 17-23 24-30
19 6 15
47,5 15
37,5 Jumlah 40 100
Sumber : Data primer yang diolah
Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa sebanyak 40 responden
menunjukan sebanyak 19 (47,5%) responden menyatakan bahwa faktor fasilitas
kesehatan tidak baik, sebanyak 6 (15%) responden menyatakan bahwa faktor
fasilitas kesehatan kurang baik, dan sebanyak 15 (37,5%) responden menyatakan
bahwa faktor fasilitas kesehatan baik.
Berdasarkan pada data tabel 10 memperlihatkan bahwa sebanyak 19
(47,5%) responden menyatakan bahwa faktor fasilitas kesehatan tidak baik.
Apabila tingkat responden ini dihubungkan dengan tingkat implementasi
Jamkesmas sebagaimana yang tercantum dalam tabel 2, maka akan diperoleh
gambaran bahwa faktor fasilitas kesehatan berpengaruh terhadap implementasi
sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan
kesehatan. Hal ini dapat dijelaskan sebagaimana yang tercantum dalam tabel 11
dibawah ini:
104
Tabel 11 : Pengaruh Faktor Fasilitas Kesehatan terhadap Implementasi Jamkesmas bagi Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Tidak Efektif
Kurang Efektif
Efektif Jumlah
F % F % F % F % Tidak Baik
Kurang Baik Baik
0 0 6
0 0 15
3 2 1
7,5 5
2,5
16 4 8
40 10 20
19 6 15
47,5 15
37,5 Jumlah 6 15 6 15 28 70 40 100
Sumber : Data primer yang diolah
Berdasarkan pada tabel 11 diatas, dapat digambarkan bahwa faktor
fasilitas kesehatan dalam implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat
miskin pasien rawat inap cenderung berpengaruh positif. Hal tersebut dapat
dibuktikan dalam tabel diatas, dimana pada pengaruh faktor fasilitas kesehatan
tidak baik, diperoleh gambaran bahwa sejumlah 0 (0%) responden menunjukan
implementasi Jamkesmas yang tidak efektif, sejumlah 3 (7,5%) responden
menunjukan implementasi Jamkesmas kurang efektif dan sejumah 16 (40%)
responden menunjukan implemntasi Jamkesmas efektif.
Apabila dilihat dari pengaruh faktor fasilitas kesehatan yang kurang baik,
diperoleh gamabaran bahwa sejumlah 0 (0%) responden menunjukan
implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 2 (5%) responden menunjukan
implementasi Jamkesmas kurang efektif, dan sejumlah 4 (10%) responden
menunjukan tingkat implementasi efektif.
105
Dilihat dari faktor fasilitas kesehatan yang baik, diperoleh gambaran
bahwa sejumlah 6 (15%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak
efektif, sejumlah 1 (2,5%) responden menunjukan implemntasi Jamkesmas
kurang efektif, dan sejumlah 8 (20%) responden menunjukan implementasi
Jamkesmas efektif.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa faktor
fasilitas kesehatan cenderung berpengaruh positif terhadap tingkat implementasi
Jamkesmas, artinya semakin baik fasilitas kesehatan, maka semakin efektif
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap
dalam pelayanan kesehatan.
Bila diaplikasikan dengan teori Soerjono Soekanto dimana telah
dipaparkan pada bab sebelumnya, salah satu faktor yang mempengaruhi
efektivitas hukum adalah faktor sarana dan fasilitas yang mendukung efektifitas
hukum. Penyelenggaraan sistem jaminan kesehatan masyarakat tidak akan
berlangsung dengan lancar dan tertib jika tanpa adanaya sarana dan prasarana
yang mendukung.
Berdasarakan teori diatas apabila diinduksikan dengan tingkat
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap
dalam pelayanan kesehatan, maka dapat dikatakan masih relevan untuk
diterapkan dalam penelitian ini, karena fasilitas kesehatan cenderung berpengaruh
positif terhadap implementasi Jamkesmas. Semakin baik fasilitas kesehatan yang
106
tersedia, maka akan semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan
masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan.
Selain faktor persyaratan administratif dan fasilitas kesehatan, ternyata
faktor pengetahuan pasien juga mempengaruhi implementasi sistem jaminan
kesehatana masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayan kesehatan. Hasil
penelitian penulis menunjukan sebagaimana yang terdapat dalam tabel dibawah
ini:
Tabel 12 : Faktor Pengetahuan Pengetahuan Interval
Klas Frekuensi
(F) Presentase
(%) Rendah Sedang Tinggi
10-15 16-22 23-28
7 17 16
17,5 42,5 40
Jumlah 40 100 Sumber : Data primer yang diolah
Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa dari sebanyak 40 responden
menunjukan sebanyak 7 (17,5%) responden memiliki tingkat pengetahuan yang
relatif rendah, sebanyak 17 (42,5%) responden menyebutkan tingkat pengetahuan
yang relatif sedang dan sejumlah 16 (40%) responden menunjukan tingkat
pengetahuan yang relatif tinggi.
Tingkat pengetahuan berdasarkan data tabel 12 diatas dapat dilihat bahwa
sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan yang relatif sedang,
yakni dibuktikan dengan hasil responden terbesar yaitu 17 (42,5%) responden.
Akan tetapi, tingkat pengetahuan yang sedang tersebut, sebagian besar juga
tergolong tingkat pengetahuan yang tinggi. Apabila tingkat pengetahuan
107
responden dihubungkan dengan tingkat implementasi Jamkesmas bagi pasien
rawat inap dalam pelayanan kesehatan sebagaimana yang tercantum dalam tabel
2, maka dapat diperoleh kecenderungan pengaruh faktor pengetahuan terhadap
implementasi Jamkesmas. Hal ini dapat diperjelas dengan melihat data yang
tertuang dalam tabel dibawah ini :
Tabel 13 : Pengaruh Faktor Pengetahuan terhadap Implementasi Jamkesmas bagi Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Tidak Efektif
Kurang Efektif
Efektif Jumlah
F % F % F % F % Rendah Sedang Tinggi
0 0 6
0 0 15
2 3 1
5 7,5 2,5
5 14 9
12,5 35
22,5
7 17 16
17,5 42,5 40
Jumlah 6 15 6 15 28 70 40 100 Sumber : Data primer yang diolah
Berdasarkan tabel diatas dapat dideskripsikan bahwa pengetahuan
cenderung berpengaruh secara positif terhadap implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Hal
tersebut dapat dibuktikan dalam tabel diatas dimana pada pengaruh faktor
pengetahuan rendah, diperoleh gambaran bahwa sejumlah 0 (0%) responden
menunjukan implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 2 (5%) responden
menunjukan implementasi Jaamkesmas kurang efektif dan sebanyak 5 (12,5%)
responden menunjukan implementasi Jamkesmas efektif.
Apabila dilihat dari pengaruh faktor pengetahuan yang sedang, diperoleh
gamabaran bahwa sejulah 0 (0%) responden menunjukan implementasi
108
Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 3 (7,5%) responden menunjukan
implementasi Jamkesmas kurang efektif, dan sebanyak 14 (35%) responden
menunjukan implementasi Jamkesmas efektif dalam memberikan pelayanan
kesehatan rawat inap di rumah sakit.
Apabila dilihat dari faktor pengetahuan yang tinggi, diperoleh gamabaran
bahwa sejumlah 6 (15%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak
efektif, sejumlah 1 (2,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas
kurang efektif, dan sejumlah 9 (22,5%) responden menunjukan tingkat
implementasi Jamkesmas efektif dalam memberikan pelayanan kesehatan rawat
inap di rumah sakit.
Berdasarkan data tersebut diatas dapat disimpulkan sementara bahwa
faktor pengetahuan cenderung berpengaruh secara positif terhadap implementasi
Jamkesmas pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, artinya semakin tinggi
tingkat pengetahuan, maka semakin efektif pula implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan.
Selain faktor persyaratan administratif, fasilitas kesehatan, pengetahuan,
ternyata faktor komunikasi juga sering kali mempengaruhi implementasi sistem
jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan
kesehatan. Hasil penelitian penulis menunjukan sebagimana yang terdapat dalam
tabel di bawah ini:
109
Tabel 14 : Faktor Komunikasi Komunikasi Interval
Klas Frekuensi
(F) Presentase
(%) Rendah Sedang Tinggi
23-25 26-27 28-30
8 13 19
20 32,5 47,5
Jumlah 40 100 Sumber : Data primer yang diolah
Tabel 14 tersebut diatas dapat dijelaskan dari sebanyak 8 (20%) responden
menyebutkan tingkat komunikasi yang rendah antara tenaga medis dengan pasien
rawat inap peserta Jamkesmas , sebanyak 13 (32,5%) responden menyatakan
tingkat komunikasi sedang antara tenaga medis di rumah sakit dengan pasien
rawat inap peserta Jamkesmas dan sebanyak 19 (47,5%) responden menyebutkan
tingkat komunikasi tinggi yang terjadi antara tenaga medis dengan pasien rawat
inap peserta Jamkesmas.
Komunikasi adalah pertukaran pikiran atau keterangan dalam rangka
menciptakan rasa saling mengerti serta saling percaya demi terwujudnya
hubungan yang baik antara seseorang dengan orang lain.85 Terkait dengan
komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komunikasi yang terjadi
antara tenaga kesehatan yang ada dirumah sakit dengan pasien rawat inap peserta
Jamkesmas. Adanya komunikasi yang baik antara pasien rawat inap peserta
Jamkesmas dengan tenaga kesehatan yang ada dirumah sakit tentunya akan
melahirkan pelayanan kesehatan yang bermutu.
85 Azrul Azwar., Op. Cit., hlm. 297.
110
Pengertian tentang komunikasi diatas memberikan batasan bahwa tujuan
utama komunikasi adalah untuk menimbulkan saling pengertian, bukan
persetujuan. Seseorang yang tidak setuju terhadap sesuatu hal, tetapi paham benar
apa yang tidak disetujuinya tersebut, juga telah mempunyai komunikasi yang
baik.86 Komunikasi yang dilakukan antara tenaga kesehatan dirumah sakit dengan
pasien rawat inap peserta Jamkesmas tentunya memiliki tujuan agar pasien rawat
inap mendapatkan informasi-informasi tentang pelayanan kesehatan yang
diberikan serta resiko dari pelayanan kesehatan yang dilakukan tenaga kesehatan.
Dapat disimpulkan sementara bahwa tingkat komunikasi responden,
sebagaian besar memiliki tingkat komunikasi yang tinggi anatara tenaga medis
yang ada di rumah sakit dengan pasien rawat inap peserta Jamkesmas. Kenyataan
diatas mengandung arti bahwa, komunikasi yang tinggi menentukan pula derajat
efektifitas implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien
rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Dengan demikian dapat diinterprestasikan
bahwa, semakin tinggi komunikasi yang terjadi antara tenaga medis dengan
pasien rawat inap peserta Jamkesmas maka akan semakin efektif implementasi
sistem jamianan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan
kesehatan.
Bilamana tingkat implementasi Jamkesmas dilihat dari pngeruh faktor
komunikasi, maka akan diperoleh hasil penelitian sebagaimana tercantum dalam
tabel berikut:
86 Ibid.,
111
Tabel 15 : Pengaruh Faktor Komunikasi terhadap Implementasi Jamkesmas bagi Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Tidak
Efektif Kurang Efektif
Efektif Jumlah
F % F % F % F % Rendah Sedang Tinggi
0 2 4
0 5 10
4 1 1
10 2,5 2,5
4 10 14
10 25 35
8 13 19
20 32,5 47,5
Jumlah 6 15 6 15 28 70 40 100 Sumber : Data primer yang diolah
Berdasarkan data tabel 15 diatas, dapat dideskripsikan bahwa faktor
komunikasi yang terjadi anatara tenaga medis dengan pasien rawat inap peserta
Jamkesmas cenderung berpengaruh positif terhadap implementasi sistem jaminan
kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Hal
tersebut dapat dibuktikan dalam tabel 15 diatas, dimana pada pengaruh faktor
komunikasi rendah, diperoleh gambaran yang menunjukan implementasi
Jamkesmas yang tidak efektif, sejumlah 4 (10%) responden menunjukan
implementasi Jamkesmas yang kurang efektif dan sebanyak 4 (10%) responden
menunjukan implementasi Jamkesmas efektif.
Apabila dilihat dari pengaruh faktor komunikasi yang sedang, diperoleh
gambaran bahwa sejumlah 2 (5%) responden menunjukan implementasi
Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 1 (2,5%) responden menunjukan implementasi
Jamkesmas kurang efektif dan sebanyak 10 (25%) responden menunjukan tingkat
implementasi Jamkesmas efektif.
112
Apabila dilihat dari faktor komunikasi yang tinggi, diperoleh gambaran
bahwa sejumlah 4 (10%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak
efektif, sejumlah 1 (2,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas
kurang efektif, dan sejumlah 14 (35%) responden menunjukan implementasi
Jamkesmas efektif.
Berdasarkan data tersebut diatas dapat disimpulkan sementara bahwa
faktor komunikasi cenderung berpengaruh positif terhadap implementasi sistem
jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan
kesehatan, artinya semakin tinggi tingkat komunikasi maka semakin efektif
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap
dalam pelayanan kesehatan.
Berdasarkan pada pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan secara
garis besar bahwa faktor persyaratan administratif, fasilitas kesehatan,
pengetahuan dan komunikasi merupakan faktor yang cenderung berpengaruh
positif terhadap implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien
rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo.
113
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Implementasi Sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Pasien Rawat
Inap dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
adalah efektif, hal ini dapat dibuktikan dengan indikator-indikator sebagai
berikut :
a. Terpenuhinya Persyaratan Administratif Peserta Jamkesmas untuk
mendapatkan Pelayanan Kesehatan Rawat Inap di RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo
b. Kesederhanan Prosedur Peserta Jamkesmas untuk memperoleh Pelayanan
Kesehatan Rawat Inap di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
c. Baiknya Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada Pasien Rawat Inap
Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
d. Memadainya Sarana dan Prasarana yang digunakan untuk menunjang
Pelayanan Kesehatan bagi Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
e. Puasnya Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
2. Faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi Implementasi Sistem Jaminan
Kesehatan Masyarakat Miskin Pasien Rawat Inap dalam Pelayanan Kesehatan
di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, yaitu faktor persyaratan administratif,
114
fasilitas kesehatan, pengetahuan dan komunikasi yang cenderung berpengaruh
secara positif dalam implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat
miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit, artinya
semakin sederhana persyaratan administratif, semakin baik fasilitas kesehatan
dan semakin tinggi tingkat pengetahuan dan komunikasi maka semakin efektif
implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap
dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo.
B. Saran
Berdasarakan pada hasil penelitian penulis mengenai implementasi sistem
jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan
kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo beserta faktor-faktor yang
cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat
miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo mengajukan saran agar rumah sakit sebagai penyelenggara
program Jamkesmas tetap memberikan kemudahan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, dan tetap mempertahankan pelayanan kesehatan yang baik bagi pasien
rawat inap peserta Jamkesmas sebab masyarakat miskin peserta Jamkesmas juga
memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
115
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Azwar, Azrul, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara, Jakarta
Adisasmito, Wiku, 2008, Kebijakan standar pelayanan Medik dan Diagnosis related Group (DRG), Kelayakan Penerapanya di Indonesia, Jakarta,Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia,
Ali, Zainuddin, 2006, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, 2011, Kabupaten Banyumas Dalam Angka 2011 Banyumas In Figures, Banyumas
Dewi, Alexandra Indriyanti, 2008,Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta
Faesal, Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasinya, Yayasan Asih Asah Asuh, Malang
Hanadi, Saryono, 2004, Bekerjanya Hukum Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Studi di Kabupaten Banyumas), Sebuah Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP, Semarang
Isfandyarie, Anny, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, Prestasi Publisher, Jakarta
J, Supranto, 1995, Pengantar Statistik Bidang Hukum, Rineka Cipta, Jakarta Sumadi Suryabrata, 1989, Metode Penelitian Sosial, Rajawali, Jakarta
Kartono, Kartini, 1986, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Alumni, Bandung
Kusumaatmadja, Mochta, 1975, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, LPH Fakultas Hukum UNPAD, Bina Cipta, Bandung
Lumentana, B, 1989, Pelayanan Medis, Citra, Konflik dan Harapan, Kanisius, Kanisius, Yogyakarta
116
Masriani , Yulies Tiena, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Muhadjir, Noeng, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III, Rake Karasin, Yogyakarta
Nasir , Moh, 1999, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta
P, Kolter, 1997, Menejemen Prmasaran; Analisis Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian, Prenhallindo, Jakarta
Podgorecki, Adam dan Christopher J. Whelan, 1987, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Penterjemah Widyaningsih dan G. Kartasapoetra, Bina Aksara, Jakarta
Sidharta, Bernard Arief, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum; Sebuah Penelitian Tentang Fungsi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung
Syaifudin, Abdul Bari, 2002, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 2008, Metode Penelitian Survei, Pustaka LP3ES, Jakarta
Soemitro, Ronny Hanitiyo, 1985, Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung
Soekanto, Soerjono dan Herkutanto,1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadja, Bandung
Sudrajat, Tedi, 2010. Materi Kuliah Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Sulastomo, 2003, Manajemen Kesehatan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Sundoyo, Jaminan Kesehatan Masyarakat Salah Satu Cara Menyejahterakan Rakyat, Vol. 2. No. 4. Jurnal Hukum Kesehatan. Jakarta
117
T, Musanto, 2004, Faktor-faktor Kepuasan Pelangan dan loyalitas Pelanggan; Studi Kasus pada CV. Sarana Media Advertising Surabaya, Jurnal Menejemen dan Kewirausahaan, Vol. 6, Jakarta
Widodo, Joko, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Banyumedia, Malang
2. Peraturan Perundang Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/ SK/ II/ 2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
3. Internet
Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http// antaranews.com, ,Pasien_ Jamkesmas_ Dirawat_ di_lorong_RS, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011.
Pelaksanaan Sistem Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin, http // news.okezone.com, Masih_Sebelah_Mata_Pandang_Kelas_Bawah, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011
Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http//kesehatan.liputan6.com, tiada-biaya-pasien-miskin-dibawa-pulang, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011
Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http// beritajatim.com, 4_ Hari_ Pasien_ Jamkesmas_ Ditelankarkan_RSUD_Sampang, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011.
118