Peritonitis
-
Upload
mardiyyah-wahab -
Category
Documents
-
view
5 -
download
0
description
Transcript of Peritonitis
BAB 1
PENDAHULUAN
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut
yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini
memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada
perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna
sehingga terjadilah peritonitis.
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis,
perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi
kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi
kecil-kecilan.Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi,
dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang
memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan
melakukan analisis pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi Peritoneum
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.
Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang melapisi dinding
rongga abdominal dan berhubungan dengan fascia muscular, dan peritoneum visceral, yang
menyelaputi semua organ yang berada di dalm rongga itu. Peritoneum parietale mempunyai
komponen somatic dan visceral yang memungkinkan lokalisasi yang berbahaya dan
menimbulkan defans muscular dan nyeri lepas.1,2 Ruang yang bisa terdapat di antara dua
lapis ini disebut ruang peritoneal atau cavitas peritonealis. Ruang di luarnya disebut Spatium
Extraperitoneale. Di dalam cavitas peritonealis terdapat cairan peritoneum yang berfungsi
sebagai pelumas sehingga alat-alat dapat bergerak tanpa menimbulkan gesekan yang berarti.
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
1.Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2.Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3.Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Cavitas peritonealis pada laki-laki tertutup seluruhnya tetapi pada perempuan
mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui tuba uterina, uterus dan vagina. Spatium
Extraperitoneale dapat dibedakan menurut letaknya , di depan (spatium praepitoneale), di
belakang (spatium retroperitoneale) dan dibawah (spatium subperitoneale). Alat yang terletak
di dalam cavitas peritoneale disebut letak intraperitoneale, seperti pada lambung, jejunum,
ileum, dan limpa. Sedangkan yang terletak di belakang peritoneum disebut retroperitoneale
seperti pada ginjal dan pancreas.1
Omentum adalah dua lapisan peritoneum yang menghubungkan lambung dengan alat
viscera lainnya seperti dengan hepar (omentum minus), dengan colon transversum (omentum
majus), dan dengan limpa (omentum gastrosplenicum). Peritoneum dari usus kecil disebut
mesenterium, dari appendik disebut mesoappendix dari colon transversum dan sigmoideum
disebut mesocolon transversum dan sigmoideum. Mesenterium dan omentum berisi
pembuluh darah dan limfe serta saraf untuk alat viscera yang bersangkutan.2,3
2
Gambar 2. Struktur peritoneum 12
Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur, perabaan dan tekanan dan
mendapat persarafan dari saraf-saraf segmental yang juga mempersarafi kulit dan otot yang
ada di sebelah luarnya. Iritasi pada peritoneum parietale memberikan rasa nyeri lokal, namun
insici pada peritoneum viscerale tidak memberikan rasa nyeri.1,2 Peritoneum viscerale sensitif
terhadap regangan dan sobekan tapi tidak sensitif untuk perabaan, tekanan maupun
temperature.4,5
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh
perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal
terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior.
Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa
menimbulkan gangguan perdarahan.1,2,3 Persarafan dinding perut dipersyarafi secara
segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis I. 2
Sangat penting untuk memahami posisi dari alat-alat viscera abdomen agar dapat
segera mengetahui atau memperkirakan alat apa yang terkena tusukan pada perut: .
Hepar merupakan suatu organ yang besar yang mengisi bagian atas rongga abdomen.
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah per melekat pada permukaan
visceral lobus kanan hepar. Ujung buntunya (fundus) menonjol di bawah pinggir bawah
hepar.
Esophagus di daerah abdomen pendek, 1,25 cm terletak di belakang lobus kiri hepar.
Gaster (ventriculus) terletak pada regio hypochondriaca kiri, epigastrica dan umbilicalis
Duodenum terletak di regio epigastrica dan umbilicalis
3
Merupakan bagian pertama dari usus halus, berbentuk C, melekat pada caput
pankreas, panjang 20-25 cm
Terdiri dari 4 bagian:
o Pars I (superior)
o Pars II (desenden)
o Pars III (horizontal/inferior)
o Pars IV (asenden)
Duodenum pars Superior
Memanjang dari orificium piloricum gaster hingga collum vesica felea, tepat di sisi kanan
corpus vertebra L1. Panjang ± 5 cm.
Batas:
o Posterior oleh ductus biliaris komunis, arteri gastroduodenalis, vena porta, dan
vena cava inferior.
o Anterior oleh lobus quadratus hepar.
4
o Superior oleh foramen epiploica
o Inferior oleh caput pankreas
o Setengah bagian proksimalnya bebas bergerak dan setengah bagian distalnya
terfiksasi
Duodenum pars descendens
Berada tepat di sisi kanan linea mediana dan memanjang dari collum vesica fellea
hingga batas inferior dari vertebra L3. Panjangnya sekitar 7,5 cm.
Batas:
o Anterior oleh kolon transversum, lobus hepar dekstra, dan jejunum,
o Posterior oleh ginjal kanan,
o Medial oleh caput pankreas,
o Lateral oleh kolon asenden dan fleksura kolika dekstra.
o Di pertengahan pars II (sisi posteromedial) terdapat traktus pankreatikobiliaris
terdapat papila duodeni mayoris (muara dari duktus biliaris dan duktus pankreatikus)
serta papila duodeni minoris (muara duktus pankreatikus asesorius).
Duodenum pars horizontal/inferior
Bagian duodenum terpanjang, memanjang dari sisi kanan vertebra lumbal 3 atau 4 ke
sisi kiri aorta. Panjangnya 10 cm.
Batas :
Superior : caput dan prosessus uncinatus pankreas, dengan arteri pankreatikoduodenalis
inferior terletak pada sulkus di antara pankreas dan duodenum.
Anteroinferior : jejunum.
Duodenum pars ascendens
Panjangnya sekitar 2,5 cm. Melengkung secara oblik ke atas, atau ke sisi kiri aorta
hingga kira-kira batas atas dari vertebra lumbal II dan berakhir pada duodenojejunal junction.
Sambungan ini berada sekitar 4 cm di inferomedial dari ujung kartilago costa IX, dikelilingi
oleh lipatan peritoneum yang mengandung kumpulan serabut otot yang disebut
muskulus/ligamentum suspensoria (ligamentum Treitz).
5
Batas posterior dari pars IV adalah trunkus simpatikus sinistra, muskulus psoas serta
arteri/vena renalis dan gonadalis.
Pancreas terbentang dari regio umbilicalis sampai ke regio hypochondriaca kiri pada lien.
Lien terletak pada bagian atas kiri dari rongga abdomen antara lambung dan diaphragma di
regio sepanjang sumbu iga x kiri.
Ren terletak pada dinding belakang abdomen posterior dari peritoneum parietale di sisi kanan
dan kiri columna transversalis.
Glandula suprarenalis terletak pada dinding belakang abdomen di sisi kana dan kiri columna
vertebralis.
Jejunum mengisi bagian atas kiri rongga abdomen dan ileum mengisi bagian kanan bawah
rongga abdomen dan rongga pelvis.
Colon terbentang mengelilingi jejunum dan ileum, terbagi atas caecum, colon ascendens,
colon tranversum, colom desendens dan colon sigmoid.
II. PERFORASI DUODENUM
Perforasi usus halus dapat berupa perforasi bebas atau terbatas. Perforasi bebas terjadi ketika
isi usus halus keluar secara bebas kedalam rongga abdomen, menyebabkan terjadi peritonitis difuse
misalnya perforasi duodenum. Perforasi terbatas terjadi peradangan akut menyebabkan perlekatan
dengan organ sekitar sehingga terbentuk abses (penetrasi ulkus duodenum ke pankreas).
6
Diagnosa dan penatalaksanaan perforasi pada duodenum lebih sulit karena posisinya
retroperitoneum. Biasanya tanda fisik dan gejala tidak mengesankan. Pemeriksaan fisik menunjukkan
nyeri tekan ringan.
2.1 Etiologi
1.Trauma tajam abdomen seperti pada luka tusuk oleh pisau.
Usus halus paling sering cedera pada rongga intra abdominal karena bentuknya yang
melingkar di abdomen dan menempati daerah rongga peritoneal.
2.Trauma tumpul abdomen.
Trauma berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas, sindrome pemakaian sabuk pengaman.
3.Obat-obatan seperti aspirin, non steroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs), dan steroid.
4.Adanya kondisi pencetus
Ulkus peptikum, apendisitis akut, divertikulitis akut.
Apendisitis akut, penyebab paling sering perforasi usus halus pada pasien lanjut usia.
5.Cedera usus halus berhubungan dengan endoskopi.
6.Infeksi bakteri
Infeksi bakteri seperti demam tifoid bisa menyebabkan perforasi usus halus sekitar 5%.
7.Perforasi usus halus oleh keganasan intra abdominal.
8.Substansi kimia
Masuknya substansi kimia secara kebetulan atau disengaja bisa menyebabkan perforasi akut
usus halus dan peritonitis.
9.Benda asing bisa menyebabkan perforasi esophagus, lambung dan usus halus dengan infeksi
intra abdominal, peritonitis, dan sepsis.
2.2 Patofisiologi
PERFORASI BEBAS
7
Pelepasan cairan asam lambung atau duodenum ke dalam rongga peritoneal disebut fase
peritonitis kimiawi. Jika kebocoran tidak ditutup maka partikel makanan ikut masuk dalam rongga
peritoneal dan menjadi tempat berkembang biak bakteri disebut peritonitis bakterial. Pasien dapat
bebas dari gejala untuk beberapa jam diantara peritonitis kimiawi dan peritonitis bakterial karena
reaksi peritoneum berupa pengenceran zat asam yang merangsang.
Bakteri sedikit ditemukan pada duodenum. Sedangkan pada jejunum dan ileum mengandung
organisme aerobik (Escherichia coli) dan persentase tinggi organisme anaerobik (Bacteroides
fragilis).
PERFORASI LOKALISATA
Adanya bakteri dalam rongga peritoneal merangsang sel inflamasi akut. Peradangan akut
hebat menginduksi perlekatan dengan organ sekeliling dan omentum melokalisasir daerah inflamasi
dengan membentuk phlegmon. Hipoksia yang timbul pada daerah tersebut menyebabkan tumbuhnya
bakteri anaerob dan kelemahan aktivitas bakterisidal dari granulosit. Aktivitas fagositosis granulosit
meningkat, degradasi sel, cairan di jaringan interstitial hipertonik membentuk abses, efek osmotik
jaringan interstitial tinggi menyebabkan perpindahan banyak cairan ke daerah abses kemudian terjadi
pembesaran abses abdominal. Jika tidak diobati bisa terjadi bakteremia, sepsis generalisata, kegagalan
organ multiple dan terjadi syok.
2.3 Manifestasi Klinis
Riwayat :
1.Trauma tajam atau tumpul pada bagian abdomen
2.Konsumsi aspirin, NSAIDs, atau steroid, sebagian terjadi pada pasien lanjut usia
3.Riwayat pengobatan ulkus peptikum
4.Nyeri abdomen : Onset, durasi, lokasi, karakteristik.
Pemeriksaan fisik
Ø Tanda vital
Ø Pemeriksaan abdomen
8
1.Inspeksi : terdapat luka eksternal/tidak, pola pernafasan pasien, pergerakan abdomen ketika
bernafas, distensi abdomen dan perubahan warna (pada pasien perforasi ulkus peptikum,
pasien berbaring kaku biasanya dengan fleksi pada lutut dan abdomen keras seperti papan)
2.Palpasi : berupa nyeri tekan, nyeri ketok dan nyeri lepas, serta kekakuan dinding perut.
Takikardia, demam, dan kekakuan abdomen bisa dicurigai sebagai peritonitis.
3.Perkusi : shifting dulnes untuk adanya cairan/darah dan bila ada udara bebas terdapat
perubahan suara pekak hati.
4.Auskultasi : bising usus pada peritonitis umum tidak ada.
2.4 Diagnosa Banding
1.Ulkus peptikum
2.Pankreatitis akut
3.Kolesistitis
4.Apendisitis akut
5.Demam tifoid
2.5 Pemeriksaan Penunjang
1.Darah lengkap
2.Kultur darah untuk organisme aerobik atau anaerobik.
3.Pencitraan :
a.Radiografi adalah pilihan pertama untuk membantu diagnosa perforasi usus halus.
Dengan foto polos abdomen 3 posisi (tegak/setengah duduk, supine/terlentang, left
lateral decubitus). Temuan yang mengarah untuk perforasi adalah :
Ø Posisi tegak/setengah duduk.
Ada udara bebas yang terjebak pada daerah subdiafragma kanan.
9
Ø Posisi supine/telentang
1. Bila ada cairan bebas extraluminer, dapat terlihat diantara 2 loop usus dan
di daerah praperitoneal.
2. Terlihatnya garis psoas/psoas shadow :
Muncul sebagai struktur oblique memanjang dari kuadran kanan atas ke
umbilikus, terutama ketika terdapat jumlah gas yang besar disalah satu sisi
/kedua sisi ligamen.
Ø Posisi left lateral decubitus (LLD)
Terdapat udara bebas terutama bila jumlah udara sedikit, yang tidak terlihat pada
posisi tegak.
b.USG (Ultrasonografi)
1. Dapat diketahui lokalisasi kumpulan gas yang berhubungan dengan perforasi.
2. Dapat diketahui lokasi perforasi.
3. Selain itu bisa juga mengevaluasi hati, limpa, pankreas, ginjal, ovarium,
adrenal, uterus.
c. Laparaskopi
Signifikan untuk memutuskan dilakukan operasi pada pasien dengan nyeri abdomen
akut.
2.6 Terapi
1.Bedah (Laparotomi Eksplorasi)
a.Memperbaiki kelainan anatomi
b.Memperbaiki penyebab peritonitis
10
c.Untuk membuang benda asing pada rongga peritoneal yang dapat memungkinkan
pertumbuhan bakteri seperti feses, makanan, empedu, sekresi gaster atau intestinal,
darah.
2.Medikamentosa
Untuk mengurangi infeksi setelah operasi dan pada pasien infeksi intra peritoneal dan
septikemia.
a.Metronidazole, biasanya di kombinasi dengan aminoglikosida, bisa untuk gram
negatif dan anaerobik.
b.Gentamisin, untuk gram negatif.
c.Cefotetan dan cefoxitin generasi kedua cephalosporin.
d.Cefoferazone sodium, generasi ketiga cephalosporin.
2.7 Komplikasi
1.Abses abdominal yang terlokalisasi.
2.Peritonitis.
3.kegagalan organ multiple dan syok septik.
a.Septikemia didefinisikan sebagai proliferasi bakteri kedalam aliran darah
menghasilkan manifestasi sistemik seperti rigor, demam, hipotermi (pada septikemia
gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau leukopenia, takikardia, dan
kolaps sirkulasi.
b.Syok septik berhubungan dengan kombinasi dari beberapa dibawah ini:
1. Peningkatan permeabilitas kapiler.
2. Kerusakan endothelium kapiler.
3. Hilangnya volume darah sirkulasi.
4. Depresi miokardial dan syok.
11
c.Infeksi pada gram negatif biasanya lebih buruk prognosisnya daripada gram positif,
karena gram negatif bisa menimbulkan endotoksemia.
4.Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan elektrolit dan pH.
5.Perdarahan mukosa gastroinstestinal
biasanya berhubungan dengan kegagalan organ multiple dan berhubungan dengan defek pada
mukosa lambung.
6.Obstruksi instestinal mekanik
Sering terjadi setelah operasi disebabkan perlekatan setelah operasi.
2.8 Prognosis
Resiko kematian meningkat pada :
1.Usia tua
2.Penyakit yang menyertai
3.Malnutrisi
4.Adanya komplikasi lanjut.
III. PERITONITIS
3.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( membran serosa yang melapisi rongga
abdomen dan menutupi visera abdomen ) merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi
dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme
yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon (pada kasus ruptura
appendik) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides. Sedangkan stafilokokus dan
streptokokus sering kali masuk dari luar.1,2
12
III.2 Etiologi
Peritonitis yang merupakan suatu peradangan membran serosa rongga abdomen dan
organ-organ yang terkandung di dalamnya. Peritonitis bisa terjadi karena proses infeksi atau
proses steril dalam abdomen melalui perforasi dinding perut, misalnya pada ruptur apendiks
atau divertikulum colon. Penyakit ini bisa juga terjadi karena adanya iritasi bahan kimia,
misalnya asam lambung dari perforasi ulkus gastrikum atau kandung empedu dari kantong
yang pecah atau hepar yang mengalami laserasi. Pada wanita, peritonitis juga terjadi terutama
karena terdapat infeksi tuba falopii atau ruptur kista ovarium.
III.3 Klasifikasi
1. Peritonitis primer
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum. Banyak terjadi pada penderita : 3,4
- sirosis hepatis dengan asites
- nefrosis
- SLE
- bronkopnemonia dan TBC paru
- pyelonefritis
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal
atau tractus urinarius. 5
Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti:
Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar,
lien, kehamilan extra tuba yang pecah
Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah, ruptur
buli dan ginjal.
Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman,
danakibat tindakan operasi sebelumnya.
13
3.4 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga
abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,
perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia
serta tingkat kesehatan penderita secara umum.
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal
peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri
abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada
cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum
parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi,
berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat
menjadi syok.
Gejala
· Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis.
Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan
perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada
henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri
biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari
proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan
perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis.
· Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti
demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu
tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC.
· Facies Hipocrates
14
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga
menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada
pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan
lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat
kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan
perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.
· Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama
akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari
intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman
gram negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok.
Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa
efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala
yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia.
Tanda
· Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi
yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari
frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya
volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya
syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang
lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus
untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
· Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi
dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan
15
diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan
penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini
terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
· Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus
dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai
hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya
suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada
suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen
akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi.
· Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini
menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal
yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis.
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara
akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan
ditemukan pekak hepar yang menghilang.
· Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi
ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang
terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri
tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada
daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang
dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering
melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya
kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting
adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut
nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen
secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup
gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan
perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses
16
inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau
dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya
terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal.
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan
spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek
spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.
3.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit
dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel
darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari
20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya
terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya.
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh
polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit
tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan
ginjal dapat dilakukan.
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak
PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses
pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan
menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya
akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto
polos abdomen.
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus
besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos
abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau
lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus
dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus.
3.6 Tata Laksana
17
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Penanganan Preoperatif
Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan
cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial.
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat
diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika
terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC
(Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan
untuk mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah
didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan
lewat ginjal.
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal
telah adekuat dan urin telah diprodukasi.
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob
yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob
yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan
penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan
kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan
dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi.
Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya
hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah
didapatkan hasil dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1)
besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3)
ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai
antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.
18
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera
diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi
dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari
bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin
sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita
yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral
lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida
sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,
metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada
pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang
adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan
dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari
peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel.
Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel
darah putih yang normal.
Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup
diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya
infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat
kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat
ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang
ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.
Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah
muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan
kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital
(temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam.
Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin,
alkali fosfatase dan urinalisis.
Penanganan Operatif
19
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan
untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan
perforasi usus, reseksi usus dengan anastomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur
operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta
membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah,
mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri
virulen.
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua
material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah
komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan
teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi
fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari
seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup.
Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau
kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan
kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan
setelah memasuki kavum peritoneum.
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan
antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat
memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara
parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek
tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan
aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok
obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua
cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme
pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri.
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan
cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak
sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar
20
yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat
mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase
diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.
Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.
Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ
vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik
diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik
ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus
menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada
durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih
awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder.
3.7 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal
dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan
fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang
persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan
merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem
imun.
3.8 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis, antara lain:
a. jenis infeksinya/penyakit primer
b. durasi/lama sakit sebelum infeksi
c. keganasan
d. gagal organ sebelum terapi
e. gangguan imunologis
f. usia dan keadaan umum penderita
21
Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis,
pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang
terdiagnosis lebih awal.
Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas sebanyak 10-30%.
Pasien dengan multipel trauma 80% pasien berakhir dengan kematian. Peritonitis yang
berlanjut, abses abdomen yang persisten, anstomosis yang bocor, fistula intestinal
mengakibatkan prognosis yang jelek.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC.
2. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493
3. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih
bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
4. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita
Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
5. Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal
Sepsis.http://emedicine.medscape.com/article/180234-verview#aw2aab6b2b4aa
23