24987318 Peritonitis Radang Selaput Rongga Perut DEFINISI Peritonitis
2. Peritonitis
-
Upload
risna-irviani -
Category
Documents
-
view
125 -
download
1
description
Transcript of 2. Peritonitis
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HELLP
SYNDROME
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel
yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia
membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya.
Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk
ke organ sebagai peritoneum viseralis (Marshall, 2003). Lapisan peritonium
dibagi menjadi 3, yaitu (Darmawan, 1995):
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika
serosa)
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Peritonitis 1
Gambar 2. Lapisan Peritonium
Luas permukaan peritoneum mendekati luas permukaan tubuh yang pada
orang dewasa mencapai 1,7m2. Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel
untuk difusi 2 arah untuk cairan dan partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas
± 1m2 (Heemken, 1997). Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat ± 100cc
cairan peritoneal yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa
albumin. Jumlah sel normal adalah 33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45%
sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya
terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat
meningkat sampai > 3000/mm3 (Marshall, 2003). Dalam keadaan normal, 1/3
cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma sedang sisanya
melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001).
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan
partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel
difragma yang berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe
substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke
mediastinum (Hau, 2003). Oleh karena itu, sangat penting menjamin
berlangsungnya pernapasan spontan yang baik agar clearance bakteri peritoneum
dapat berlangsung (Evans, 2001). Dalam keadaan normal, peritoneum dapat
mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum
menangani infeksi dengan 3 cara:
1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma
Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah
stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah,
Peritonitis 2
bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat
menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas yang
disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii (Evans, 2001).
Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel
ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam
lambung, dan enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken,
1997).
2. Penghancuran bakteri oleh sel imun
Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag,
sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi (Iwagaki, 1997).
Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat
vasoaktif yang mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan
prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan
eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan, dan
fibrin (Marshall, 2003).
3. Lokalisasi infeksi sebagai abses
Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein
yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang
mengubah protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin.
Fibrin akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses.
Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum
dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat
dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak
berfungsi (Evans, 2001).
B. DEFINISI
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan Membran serosa rongga
abdomen dan meliputi viresela. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri: Organisme
berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ
Peritonitis 3
reproduktif internal (Brunner & suddarth, 2002). Peritonitis adalah peradangan
yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis
disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat
daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut
peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus
(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis (Fauci et al,
2008).
C. ETIOLOGI
Penyebab peritonitis yaitu (Nurarif, 2013):
1. Infeksi bakteri
1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2) Appendisitis yang meradang dan perforasi
3) Tukak peptik (lambung / dudenum)
4) Tukak thypoid
5) Tukak disentri amuba / colitis
6) Tukak pada tumor
7) Salpingitis
8) Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya
adalah clostridium wechii.
2. Secara langsung dari luar.
1) Operasi yang tidak steril : Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium,
sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan
granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga
peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
2) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati, melalui tuba
fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
Peritonitis 4
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.
D. KLASIFIKASI
Peritonitis diklasifikasikan menjadi (Nurarif, 2013):
1. Peritonitis primer
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.
Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan
berkembang menjadi peritonitis bakterial. Terjadi biasanya pada anak-anak
dengan syndroma nefritis atau sirosis hati lebih banyak terdapat pada anak-
anak perempuan dari pada laki-laki. Peritonitis terjadi tanpa adanya sumber
infeksi di rongga peritonium, kuman masuk ke rongga peritonium melalui
aliran darah atau pada pasien perempuan melalui saluran alat genital.
2. Peritonitis sekunder
Di sini peritonitis terjadi bila kuman masuk ke rongga peritonium dalam
jumlah yang cukup banyak. Biasanya dari lumen saluran cerna. Peritonium
biasanya dapat masuknya bakteri melalui saluran getah bening diafragma
tetapi bila banyak kuman masuk secara terus-menerus akan terjad peritonitis,
apabila ada rangsangan kimiawi karena masuknya asam lambung, makanan,
tinja, Hb dan jaringan nekrotik atau bila imunitas menurun. Biasanya terdapat
campuran jenis kuman yang menyebabkan peritonitis, sering kuman-kuman
aerob dan anaerob, peritonitis juga sering terjadi bila ada sumber intra
peritoneal seperti appendixitis, divertikulitis, salpingitis, kolesistitis,
pangkreatitis, dan sebagainya. Bila ada trauma yang menyebabkan ruptur
pada saluran cerna / perforasi setelah endoskopi, kateterisasi. Biopsi atau
polipektomi endoskopik, tidak jarang pula setelah perforasi spontan pada
tukak peptik atau peganasan saluran cerna, tertelannya benda asing yang
tajam juga dapat menyebabkan perforasi dan peritonitis.
Peritonitis 5
3. Peritonitis karena pemasangan benda asing ke dalam rongga peritoneon yang
menimbulkan peritonitis adalah :
1) Kateter ventrikulo – peritoneal yang dipasang pada pengobatan hidro
sefalus
2) Kateter peritoneal – jugular untuk mengurangi asites
3) Continous ambulatory peritoneal dialysis
E. PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler
dan membran mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara
cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ.
Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan
elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia
(Fauci et al, 2008).
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus,
Peritonitis 6
lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang
menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar,
dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang
kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan
oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus (Fauci et al, 2008).
Gambar 3. Skema Patofisiologi Peradangan dari Peritoneum
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. Tifus abdominalis
adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang
masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan
Peritonitis 7
mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami
hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat
terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam
selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang
disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang
merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang
mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat
seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah
epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau
enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh
perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase
peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan
peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini
akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis
bacteria. Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran
limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan
obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren
dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan
peritonitis baik lokal maupun general. Pada trauma abdomen baik trauma tembus
abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai
dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan
peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari
Peritonitis 8
gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan
kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi
dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera
sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian
bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala
akut abdomen karena perangsangan peritoneum (Fauci et al, 2008).
Peritonitis 9
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Resiko Intak nutrisi tidak Mual, muntah, Gangguan
Penurunan curah jantung
Suplai darah ke otak menurunResiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Syok sepsis
Respon kardiovaskular
distensi abdomen
Nyeri
Kerusakan jaringan pasca bedah
Penurunan kemampuan batuk efektif
Port de entre pasca bedah
Respon lokal saraf terhadap inflamasi
Pasca operatif
Resiko infeksi
Resiko psikologis misintepretasi perawatan dan penatalaksanaan pengobatan
Defisiensi pengetahuan
AnsietasPembentukan eksudat fibrinosa atau
abses pada peritonium
Peningkatan suhu tubuh
Hipertermia
Respons sistematik
Pembentukan eksudat fibrinosa atau abses pada peritoneum
Peritonitis
Penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen
Respons peradangan pada peritoneum dan organ didalamnya
Invasi kuman kelapisan peritoneum oleh berbagai kelainan pada sistem gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen atau perforasi organ pascatraum abdomen
Invasi bedah laparatomi
Preoperatif
Kecemasan pemenuhan informasi
Ketidakefektifan bersihan jalan napasPerubahan tingkat
kesadaran
Gambar 4. Patofisisologi Peritonitis (Nurarif, 2013)
F. MANIFESTASI KLINIK
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam
rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu:
lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan
tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara umum (Cole
et al,1970). Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi tanda abdomen yang berasal
dari awal peradangan dan manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal
meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi,
adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang
merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus.
Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu,
gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok
(Doherty, 2006).
1. Gejala
1) Nyeri abdomen : nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu
ada pada peritonitis. Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba,
hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada
seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006). Seiring dengan berjalannya
penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa
seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya
lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya
lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
Peritonitis 10
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Resiko Intak nutrisi tidak Mual, muntah, Gangguan
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan
penyebaran dari peritonitis (Schwartz et al, 1989).
2) Anoreksia, mual, muntah dan demam: pada penderita juga sering
didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah. Penderita
biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering
diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh
biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989).
3) Facies Hipocrates: pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies
Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan
kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang
tampak pucat (Cole et al,1970). Penderita dengan peritonitis lanjut
dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal.
Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan
dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989). Tanda ini
merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian
yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan
perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang
(Cole et al,1970).
4) Syok : pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua
factor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum
peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan
terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970). Yang utama dari
septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative
diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok.
Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian
diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat
memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran
yang terlihat pada manusia (Cole et al,1970).
2. Tanda
Peritonitis 11
1) Tanda Vital : Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan
atau komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis
metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat
daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan
ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan
tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok
hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan
yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat
perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartz et
al, 1989).
2) Inspeksi : Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah
adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi
abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika
penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3
hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat
penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen
terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).
Gambar 5. Distensi Abdomen
3) Auskultasi : Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh
perhatian. Suara usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada
seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising
usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan
peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut
yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen
akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang
mengalami strangulasi (Cole et al,1970).
Peritonitis 12
4) Perkusi : Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari
pengalaman pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari
adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas
dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami
perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et
al,1970). Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ
berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah
diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang
(Schwartz et al, 1989).
5) Palpasi : Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan
abdomen pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah
dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum
berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama
dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah
yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang
dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah
sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk
menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.
Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap
lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih
luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter.
Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah,
tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari
peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada
apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti
pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada
daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal (Cole et
al,1970). Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut
melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan.
Peritonitis 13
Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan
(Schwartz et al, 1989).
G. PEMERIKSAAN
1. Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat
penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan
adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung
sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang
sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak
dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970). Pada
perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh
polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun
jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al,
1989). Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes
fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup
foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat
memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan
proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat
terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas
dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen
(Cole et al,1970). Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada
peritonitis, usus halus dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat
terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan
dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau
keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi
dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus
halus (Cole et al,1970).
Peritonitis 14
Gambar 6. Pneumoperitoneum pada foto thorax posisi berdiri
H. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik
(Doherty, 2006).
1. Penanganan Preoperatif
1) Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang
intersisial (Schwartz et al, 1989). Pengembalian volume dalam jumlah
yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga
produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat
anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi
PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan
koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty,
2006). Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan
cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan
kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang
lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al,
1989). Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari
jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty,
2006).
2) Antibiotik
Peritonitis 15
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan
Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah
Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan
penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus
dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum
(Schwartz et al, 1989). Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan
sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil
kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita
baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan
menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan
dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas
(Cole et al,1970). Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung
kondisi-kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2)
penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman
oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai
antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz
et al, 1989). Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1
gram harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika
dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin
dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif.
Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin
sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang
logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis
tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada
chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970). Pemberian
clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida
sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua (Schwartz et
al, 1989). Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga
untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme
anaerob (Doherty, 2006). Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan
Peritonitis 16
anerob lebih penting daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi.
Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam
kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-
hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari
peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas
obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak
didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty,
2006).
3) Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis
cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari
metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi
paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti
(1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai
dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2)
hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya
nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).
4) Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah
udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari
kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan
darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi
biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah,
bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).
2. Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan
ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer
Peritonitis 17
atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa
yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan
dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus
lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari
bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).
1) Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi
penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada
peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang
terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik
atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang
rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak
meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan
mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung
empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut).
Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun
anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty,
2006).
2) Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)
dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin,
serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi
tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal:
tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral
akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada
efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage
dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas
dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari
neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum
peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme
Peritonitis 18
pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang
permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).
3) Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase
yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat
menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus
tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu
terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal
residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk
peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi
(Doherty, 2006).
3. Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak
stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk
perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping
pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada
keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin
yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan
umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan
keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric)
lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006 dalam
Pratinia K, 2012).
I. KOMPLIKASI
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan
distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya
Peritonitis 19
infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan,
dan sistem imun (Doherty, 2006 dalam Pratinia K, 2012).
J. PROGNOSIS
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-
faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe
penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel
sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat
mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis,
pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada
pasien yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006 dalam Pratinia K, 2012).
Tabel 1. Penyebab dari Peritonitis dan Prediksi angka Kematian
K. MASALAH KEPERAWATAN YANG PERLU DIKAJI
Masalah keperawatan yang perlu dikaji adalah:
1. Identitas :
1) Identitas pasien
2) Identitas Penanggung Jawab
2. Keluhan utama
Pasien peritonitis mengalami nyeri di perut bagian kanan.
3. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang.
Peritonitis 20
2) Riwayat kesehatan dahulu.
3) Riwayat kesehatan keluarga.
4. Pola kesehatan :
1) Aktivitas / istirahat
Penderita peritonitis mengalami letih, kurang tidur, nyeri perut, dengan
aktivitas.
2) Eliminasi
Pasien mengalami penurunan berkemih
3) Makan dan cairan
Kehilangan nafsu makan, mual/muntah.
4) Hygiene
Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.
5) Nyeri / kenyamanan
Kulit lecet, kehilangan kekuatan, perubahan dalam fungsi mental.
6) Interaksi sosial
Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
5. Pemeriksaan laboratorium
1) CT-scan dan USG
2) Terapi antibiotic
3) Terapi nutrisi dan metabolic
4) Terapi modulasi respon peradangan
L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Masalah keperawatan yang lazim muncul, yaitu :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi : rangsangan peritoneum
oleh asam lambung empedu dan enzim pacreas
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kegagalan dalam mekanisme
pengaturan
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
tidak mampuan memasukkan makanan karena factor biologi
Peritonitis 21
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hal yang mengakibatkan terjaga :
nyeri
5. Kurang perawatan diri mandi / higyen berhubungan dengan nyeri dan
kelemahan
6. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : tindakan laparatomi
7. Resiko ketidakefektifan bersihan jalan napas
M. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
No. Diagnosa NOC NIC1. Nyeri akut b.d dengan
agen cidera biologi : rangsangan peritoneum oleh asam lambung empedu dan enzim pacreas
Definisi: pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the study of pain): awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dipresikdia dan berlangsung <6 bulan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan setiap 2 jam sekali diharapkan nyeri akan berkurang.a. Pain levelb. Pain management
Dengan kriteria hasil:a. Klien
menggunakan teknik relaksasi dan distraksi
b. Klien melaporkan nyeri berkurang dengan menggunakan skala nyeri (rentang 1-10)
c. Klien merasa nyaman
d. Klien menggunakan analgetik jika diperlukan
e. Tekanan darah dalam rentang
Pain Managementa. Kaji level nyeri pada klien
secara benar dan menggunakan alat yang terpercaya,seperti skala nyeri 0-10.
RasionalLangkah pertama mengkaji nyeri untuk menentukan jika klien dapat mempersiapkan dirinya sendiri. Bertanya pada klien tentang intensitas nyeri menggunakan alat yang tepat (Breivik et al, 2008; Pasero et al, 2009)b. Kaji adanya nyeri secara
rutin dengan interval yang sama, pada saat vital sign, selama aktivtas dan istirahat. Kaji nyeri dengan intervens atau prosedur untuk mengetahui penyebab nyeri.
RasionalPengkajian nyeri penting untuk vital sing dan nyeri
Peritonitis 22
Batasan Karakteristik:a. Perubahan selera
makanb. Perubahan tekanan
darahc. Perubahan frekeunsi
jantungd. Perubahan frekuensi
pernapasane. Mengekspresikan
perilaku (gelisah)f. Fokus menyempitg. Melaporkan nyeri
secara verbalh. Gangguan tidur
normal (120/80 mmHg)
f. Frekuensi napas dalam rentang normal (18-24x/menit)
g. Nadi dalam rentang normal (80-100x/menit)
dianggap sebagai vital sign yang kelima (Ackley, 2011).c. Tanyakan pada klien
gambaran tentang nyeri, efektivits managemen nyeri, respon obatan-obatan alagesik, hubungan tentang nyeri, pengobatannya, informasi yang dibutuhkan
RasionalMendapatkan riwayat nyeri klien dapat membantu mengidentfikasi faktor potensial yang mempengaruhi kesehatan klien, faktor yang mungkin mempengaruhi intensitas nyeri, respon klien terhadap nyeri, ansietas dan farmakokinetik analgesic (Kalkman et al, 2003)d. jelaskan pada klien
tentang manajemen nyeri, termasuk farmakologi dan nonfarmakologi, kaji dan ulangi proses pengkajian, pengaruh potensial yang kurang baik.
RasionalSalah satu langkah yang penting mengurangi nyeri adalah mengontrol nyeie. Ajarkan dan
implementasikan interventasi nonfarmakologi ketika nyeri saat nyeri terkontrol dengan intervensi farmakologi.
RasionalIntervensi nonfarmakologi dapat digunakan untuk suplemen, tidak dapt diganti, intervensi farmakologi
Peritonitis 23
f. Pantau efek samping dari obat misal nafsu makan, konstipasi.
RasionalOpioid biasanya mengindukasi konstipasi dan merupakan masalah pada manajement nyeri. Opioid menyebabkan konstipasi karena peningkatan motalitas intestinal dan penuruan sekresi mukosag. Gunakan obat analgesic,
dukung klien menggunakan metode nonfarmakologi untuk mengontrol nyeri, seperti distraksi, relaksasi.
RasionalStrategi kognitif-behavioural dapat memperbaiki perasaan klien, pastisipasi aktif terhadap perawatannya sendiri.h. Anjurkan pemberian
analgetik secara oral/IVRasionalRute pemberian obat yang cepat dapat mengontrolnyeri dengan cepat. Rute IV dianjurkan untuk nyeri karena efeknya yang cepat.i. Anjurkan istirahat yang
cukupRasionalIstirahat dapat membuat klien nyaman
2 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kegagalan dalam mekanisme pengaturan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama3x 24 jam diharapkan kebutuhan akan cairan dapat terpenuhi.
Fluid Managementa. Monitor tanda-tanda vitalRasionalTanda yang membantu mengidentifikasi fluktasi volume intravascular
Peritonitis 24
Fluid Balance
Dengan kriteria hasil :a. TD dalam batas
normalb. Nadi dalam batas
normalc. Tidak haus
berlebihand. Elektrolit serum
dalam batas normal
e. Nilai hematokrit dalam batas normal
b. Monitor status dehidrasiRasionalMenunjukkan status hidrasi dan perubahan pada fungsi ginjal, yang mewaspadakan terjadinya gagal ginjalc. Monitor intake dan outputRasionalMempertahankan volume sirkulasi dan keseimbangan elektrolit
d. Monitor hasil laboratorium berhubungan dengan retensi cairan (peningkatan BUN, penurunan hematokrit)
RasionalMemberikan informasi berbagai ganguan dengan konsekuensi tertentu pada fungsi sistemik sebagai akibat dari perpindahan cairan
Peritonitis 25
DAFTAR PUSTAKA
Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook. An Evidance-Based Guide to Planning Care. Ninth Edition. United States of Amerika: Elsevier
Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM et al. Assesment of pain, Br J Anesth 101 (1): 17-24, 2008
Brunner & Suddart. 2002.Keperawatan Medikal Bedah 5.Jakarta:EGC
Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century Corp, Hal 784-795
Darmawan. M. 1995. Peritonitis dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: FKUI
Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc
Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63
Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill, Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917
Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4
Kalkman Cj, Visser K, Moen J et al. Peroperative predication of severe postoperative pain, Pain 57: 415-423, 2003
Peritonitis 26
Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37
Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Medication
Pratinia Kusumadewi. Referat Peritonitis. Diakses pada 10 Maret 2014. http://pranitiakusuma.blogspot.com/2012/12/referat-peritonitis.html
Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467
Peritonitis 27