Referat Peritonitis

35
REFERAT PERITONITIS GENERALISATA DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SYARAT KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD KOTA SEMARANG Oleh : Clement Drew 406107045 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA JAKARTA

description

peritonitis

Transcript of Referat Peritonitis

Peritonitis GeneralisataClement Drew ( 406107045 )REFERATPERITONITIS GENERALISATA

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SYARATKEPANITERAAN KLINIKILMU BEDAH RSUD KOTA SEMARANG

Oleh :Clement Drew406107045

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TARUMANAGARAJAKARTA2012

LEMBAR PENGESAHAN

Nama: Clara Verlina SuhardiNIM: 406147043Fakultas : KedokteranUniversitas: Universitas Tarumanagara JakartaTingkat: Program Pendidikan Profesi DokterBidang Pendidikan: Ilmu Bedah dan AnestesiPeriode Kepaniteraan Klinik: 2 Februari 2015 11 April 2015

Judul Referat: Anestesi RegionalDiajukan: Maret 2015Pembimbing: dr. Rizqan,SpAn

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL : ..................................

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah dan AnestesiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRSUD Ciawi

Pembimbing

dr. Rizqan,SpAn

Mengetahui,Kepala SMF Anestesi

dr. Rudi, SpAn.

.

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah dengan judul Peritonitis Generalisata ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya.Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir Kepaniteraan Klinik Bidang Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di BLUD RSUD Kota Semarang periode 21 Mei 28 Juli 2012. Di samping itu, makalah ini ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita semua.Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang telah diberikan selama penyusunan referat ini, kepada :1. Dr. Hj. Nanik Sri Mulyani, SpM, selaku Plt Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang.2. Dr. Riyanto, Sp.B, selaku Ka. SMF dan pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah RSUD Kota Semarang.3. Dr. Tanto E.H.N., Sp.BO, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah RSUD Kota Semarang.4. Dr. Radian Tunjung Baroto, Sp.B, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah RSUD Kota Semarang.5. Rekan- rekan Anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Kota Semarang.Penulis menyadari masih banyak kekurangan, maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, supaya referat ini dapat menjadi lebih baik dan dapat berguna bagi semua yang membacanya. Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila masih banyak kesalahan maupun kekurangan dalam makalah ini.Semarang, Juli 2012 Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHANiKATA PENGANTARiiDAFTAR ISIiiiBAB I PENDAHULUAN1BAB II TINJAUAN PUSTAKA3BAB II.1. Definisi3BAB II.2. Klasifikasi dan Etiologi3BAB II.3. Patofisiologi4BAB II.3.1. Peritonitis Primer5BAB II.3.2. Peritonitis Sekunder6BAB II.3.3. Peritonitis Tersier7BAB II.4. Tanda dan Gejala Klinis8BAB II.5. Diagnosa8BAB II.6. Diagnosa Banding11BAB II.7. Penatalaksanaan13BAB III KESIMPULAN17DAFTAR PUSTAKA18

2

BAB IPENDAHULUAN

Peritonitis adalah peradangan dari jaringan peritoneum yang dapat bersifat terlokalisir atau difus, akut atau kronik, dan bersifat infeksius atau aseptik. Peritonitis akut umumnya bersifat infeksius dan berhubungan dengan perforasi viskus ( peritonitis sekunder ). Bila tidak ditemukan sumber intra-abdomen, peritonitis tersebut dikatakan bersifat primer atau spontan. Peritonitis akut berhubungan dengan penurunan aktivitas motorik usus, mengakibatkan distensi dari lumen usus oleh gas dan udara. Peningkatan jumlah cairan di didalam usus yang disertai dengan menurunnya asupan secara oral akan menyebabkan menurunnya volume darah di dalam sistem sirkulasi tubuh. (1)Peritonitis sendiri dibagi menjadi tiga berdasarkan penyebabnya, yakni peritonitis primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer umumnya terjadi akibat infeksi pada cairan intraperitoneal yang sering ditemukan pada pasien dengan gangguan hati. Peritonitis sekunder ditemukan pada pasien yang mengalami suatu perforasi dan menyebabkan terjadi kontaminasi peritoneum. Peritonitis tersier terjadi pada pasien yang menjalani dialisis peritoneum secara rutin. (2)Kontaminasi bakteri pada peritoneum akan menimbulkan reaksi peradangan dan cenderung menjadi sepsis. Hal tersebut terjadi apabila mekanisme pertahanan peritoneum gagal melokalisasi infeksi tersebut. Berdasarkan mekanisme infeksinya, bakteri penyebab peritonitis berbeda-beda, dimana pada peritonitis primer seringkali bakteri yang bersifat hematogen, pada peritonitis sekunder umumnya yang menyebabkan infeksi adalah flora usus, dan pada peritonitis tersier umumnya disebabkan oleh mikroba kulit. Hal ini memandatkan penggunaan antibiotik yang berbeda-beda pada peritonitis. (2)Manifestasi umum dari peritonitis adalah nyeri perut yang hebat, dephans muskuler pada keempat kuardran perut, demam, dehidrasi, mual, muntah, takikardi, letargi, dan malaise. Berdasarkan pemeriksaan fisik, seorang dokter dapat menentukan sifat dari peritonitis tersebut, apakah bersifat difus, ataukah bersifat terlokalisir. Dari data-data yang dikumpulkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi, diharapkan seorang dokter dapat menegakan diagnosa peritonitis dengan tepat dan tidak luput dalam mendiagnosa penyebabnya. (2)Secara umum penatalaksanaan dari peritonitis adalah dengan resusitasi, terapi antimikroba, dan terapi operasi. Tujuan terapi adalah untuk mengjilangkan kontaminasi terhadap peritoneum dan mencegah terjadinya sepsis yang dapat bersifat fatal. Berdasarkan jenis peritonitis, terdapat berbagai pilihan antibiotik yang dianjurkan. Pada peritonitis sekunder, seringkali digunakan kombinasi antibiotik aerobik dan nonaerobik, sedangkan pada peritonitis primer, seringkali digunakan antibiotik yang berspektrum luas.. (2)Tujuan referat ini dibuat, adalah untuk memahami peritonitis dari patofisiologi hingga tata laksananya, sehingga pasien dapat segera ditangani dengan cepat dan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan penyakit ini.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Bab II.1.DefinisiPeritonitis adalah peradangan pada peritoneum.(1) Peritoneum adalah membran serosa terbesar dalam tubuh manusia yang terdiri dari epitel skuamosa simpel dengan jaringan ikat aerolar sebagai jaringan penyokong dibawahnya. Peritoneum dibagi menjadi peritoneum parietal yang melapisi dinding rongga abdominopelvis, dan peritoneum viseral yang menyelubungi beberapa organ di dalam rongga dan bertindak sebagai lapisan serosanya.(3)Bab II.2.Klasifikasi dan EtiologiPeritonitis dibagi menjadi tiga berdasarkan penyebabnya, yakni (2) :1. Peritonitis PrimerUmumnya terjadi berkesinambungan dengan sirosis hati. Ascites yang terjadi memberikan medium pertumbuhan yang baik untuk mikroba yang menyebar secara hematogen. Umumnya ditemukan bakteri gram negatif seperti Eschericia coli. 2. Peritonitis SekunderTerjadi akibat adanya kontaminasi bakteri intra-abdominal dari perforasi viskus. Umumnya terdapat berbagai jenis mikroba yang menginfeksi secara bersamaan yang berasal dari flora normal usus. Umumnya ditemukan E. coli, Bacteroides fragilis. Selain bakteri, peritonitis sekunder dapat terjadi akibat iritasi kimia dari perforasi gaster. 3. Peritonitis TersierPeritonitis tersier terjadi akibat intervensi medis seperti dialisa peritonitis, sehingga umumnya terjadi infeksi oleh mikroba flora kulit. Mikroba tersering adalah Staphylococcus spp.

Bab II.3.PatofisiologiBerdasarkan penyebabnya, peritonitis dibagi menjadi tiga, yakni peritonitis primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer terjadi bila terdapat peritonitis yang tidak ditemui sumber kontaminasinya. Peritonitis sekunder terjadi bila terdapat perpindahan bakteri ke dalam rongga peritoneum akibat perforasi viskus atau saluran pencernaan. Peritonitis tersier terjadi karena penggunaan tindakan medis tertentu seperti dialisis peritoneum yang memberikan akses flora kulit ke dalam rongga peritoneum.(2)Pertahanan jaringan peritoneum terhadap infeksi terdiri dari 3 bagian, yakni (4) : 1. Penyaringan secara mekanis oleh jaringan limfatikMekanisme yang pertama berkaitan dengan menyingirkan bakteri secara fisik. Mikroorganisme yang berada di dalam rongga peritoneum akan berikatan dengan cephalad dan disaring oleh jaringan limfatik dan dibawa kedalam peredaran darah. Interakksi bakteri dan produknya dengan makrofag yang letaknya jauh dari rongga peritoneum dipercaya bertanggung jawab akan terjadinya respon imun spesifik pada kasus infeksi peritoneum2. Fagositosis dan destruksi bakteri oleh sel-sel fagositik didalam peritoneumRespon peritoneum setelah mekanisme tersebut adalah terjadinya peradangan lokal yang melibatkan hiperemia jaringan vaskuler yang memperdarahi peritoneum, eksudasi cairan ke dalam rongga peritoneum, dan masuknya sel-sel fagositik dalam jumlah yang banyak ke dalam rongga peritoneum. Dalam 2 4 jam, bakteri yang tidak berhasil dieliminasi melalui mekanisme mekanik, umunya akan melekat pada sel-sel atau sudah difagosit oleh makrofag didalam peritoneum. Setelah 4 jam, neutrofil akan menjadi sel fagositik yang dominan di dalam rongga peritoneum. Selain itu, pada peritoneum akan terjadi reaksi peradangan akibat dilepaskannya sitokin-sitokin oleh sel-sel imun didalamnya. 3. Sekuestrasi dan lokalisasi bakteri yang didukung sel-sel fagositikPada akhirnya suatu respon pro-koagulasi, yang dimanifestasikan dengan adanya eksudat yang mengandung fibrin, akan nampak pada infeksi peritoneum. Kehadiran fibrin merupakan hal yang penting dalam proses sekuestrasi infeksi, tidak hanya dengan memerangkap bakteri didalam jaring-jaring fibrin, namun dengan menyebabkan lipatan-lipatan usus dan omentum untuk membentuk dinding secara fisik untuk mencegah diseminasi bakteri. Penumpukan fibrin didukung oleh sel-sel mesotel dan makrofag peritoneum, dan berkurangnya aksi anti-fibrin di dalam eksudat.Walau dalam keadaan tertentu sekuestrasi bakteri didalam eksudat fibrin ini mendukung terjadinya infeksi residual, pemberian antibiotik dan pembedahan yang tepat umumnya dapat mengeliminasi bakteri.Selain itu juga terdapat respon sistemik yang berupa dehidrasi akibat keluarnya cairan ke dalam rongga peritoneum dan dapat menyebabkan gangguan hemodinamik. Selain itu pelepasan sitokin dan mediator kimiawi akan menyebabkan reaksi peradangan sistemik yang berupa peningkatan suhu tubuh, perubahan metabolisme, dan perubahan hemodinamik. (4)Bab II.3.1.Peritonitis PrimerPeritonitis primer umumnya berhubungan dengan sirosis hepar, dimana pasien dengan sirosis hepar mengalami ascites akibat hipertensi vena portal dan merembesnya plasma darah ke dalam rongga peritoneum. Namun berdasarkan laporan terkini, peritonitis primer juga terjadi pada pasien dengan kelainan metastase yang ganas, sirosis post-nekrotik, hepatitis kronis, hepatitis akut, gagal jantung kongestif, systemic lupus erythematosus, dan limfedema.(2)Meskipun demikian, peritonitis primer merupakan keadaan yang jarang terjadi. Penyebab infeksi pada peritoneum belum dapat dipastikan, namun dipercaya bila sumber infeksi berasal dari peredaran bakteri secara hematogen pada pasien yang mengalami gangguan vena portal dan defek pada fungsi filtrasinya. Mikroba dapat tumbuh dengan subur di dalam cairan ascites. Selain itu, pasien yang mengalami gangguan hati, umumnya memiliki jumlah komplemen dan sel polimorfonuklear ( PMN ) yang sedikit, sehingga mengganggu proses imun non-spesifik untuk mencegah infeksi peritoneum. (2)Bab II.3.2.Peritonitis SekunderPeritonitis sekunder terjadi akibat munculnya akses bakteri yang bervariasi ke dalam rongga peritoneum akibat perforasi viskus atau saluran pencernaan. Organisme yang ditemukan umumnya bervariasi dengan bakteri fakultatif gram negatif dan bakteri anaerob yang mendominasi, terutama bila sumbernya berasal dari kolon. Kematian pada pasien dengan peritonitis sekunder umumnya terjadi karena spesis oleh bakteri basiler gram negatif dan endotoksin yang bersirkulasi dalam peredaran darah. Bakteri gram negatif seperti E. coli merupakan bakteri yang paling sering ditemukan dalam kultur. (2)Selain itu, peritonitis sekunder dapat terjadi akibat iritasi kimiawi yang dapat disertai atau tidak disertai infeksi. Contohnya, selama pasien tersebut tidak mengalami aklorhidria, sebuah perforasi ulkus gaster akan menghasilkan asam kuat yang beraksi sebagai bahan kimiawi yang iritatif. (2)Penyebab peritonitis sekunder tersering adalah perforasi appendiks, perforasi ulkus duodenum, perforasi kolon sigmoid akibat divertikulitis, volvulus, atau kanker, strangulasi usus kecil, dan peritonitis post-operatif. (4)Tabel 2.1. Beberapa Kondisi yang Mendukung Terjadinya Peritonitis Sekunder ( diambil dari daftar pustaka nomor 1 )Perforasi Usus

Trauma, tumpul atau tembus

Inflamasi

Appendisitis

Divertikulitis

Ulkus peptida

Inflammatory bowel disease

Iatrogenik

Perforasi endoskopi

Kebocoran anastomosis

Perforasi kateter

Vaskuler

Embolus

Iskemia

Obstruksi

Adhesi

Hernia strangulata

Volvulus

Intususepsi

Keganasan

Benda asing ( tusuk gigi, tulang ikan, dsb )

Perforasi atau Kebocoran dari Organ Lain

Pankreas Pankreatitis

Kantung empedu Kolesistitis

Kandung kemih Trauma, ruptur

Hati Kebocoran cairan empedu setelah biopsi

Tuba Falopi Salpingitis

Perdarahan ke rongga peritoneum

Disrupsi integritas rongga peritoneum

Trauma

Dialisis peritoneum

Kemoterapi intraperitoneal

Abses perinefrik

Iatrogenik ( post operatif, benda asing )

Bab II.3.3.Peritonitis TersierUmumnya peritonitis ini terjadi pada pasien yang menjalani dialisis peritoneum secara kontinyu. Tidak seperi peritonitis primer atau sekunder yang umumnya disebabkan bakteri endogen, peritonitis tersier disebabkan oleh bakteri kulit. Secara patogenesis, peritonitis tersier seripa dengan infeksi yang terjadi secara intravaskuler, dimana mikroba kulit tersebut bermigrasi sepanjang kateter yang berfungsi sebagai pintu masuk dan menghasilkan efek benda asing. (2)Bab II.4.Tanda dan Gejala KlinisTanda dan gejala klinis peritonitis dibagi berdasarkan penyebabnya, yakni (2) :1. Peritonitis Primer Demam Ascites Nyeri Abdomen Malaise Lethargi Ensefalopati tanpa sebab yang jelas2. Peritonitis Sekunder Nyeri abdomen yang bergantung pada letak ruptur viskus ( nyeri epigastrik bila terjadi perforasi gaster ) Rasa tidak nyaman pada perut Mual Dephans muskuler dikeempat kuardran Posisi tubuh yang meringkuk Rebound tenderness Demam Takikardi3. Peritonitis Tersier Serupa dengan peritonitis sekunderBab II.5.DiagnosaPenegakan diagnosis peritonitis dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat. Secara umum pemeriksaan penunjang untuk peritonitis meliputi pemeriksaan darah lengkap, yang memiliki karakteristik berupa leukositosis shift to the left. Foto polos abdomen dapat menunjukan gambaran ileus dengan distensi dari ileum maupun kolon, air-fluid level, dan cairan bebas di dalam rongga peritoneum. Foto abdomen dalam posisi duduk dapat memperlihatkan udara bebas dibawah diafragma pada 80% pasien dengan perforasi duodenum.(1,2,4)Anamnesa riwayat penyakit sekarang dan dahulu pasien sangat penting, termasuk didalamnya adalah riwayat sakit berat yang lampau, riwayat operasi, dan obat-obatan yang dikonsumsi saat ini. Gejala-gejala yang dirasakan pasien juga perlu ditanyakan secara lengkap dan jelas. Rasa nyeri merupakan keluhan yang sering dirasakan pasien, dan bila kita dapat memperoleh informasi letak nyerinya, hal ini dapat membantu penegakan diagnosa, sebab nyeri abdomen dimediasikan melalui sistem saraf otonom dan somatik.(5)Nyeri viseral ditimbulkan dari organ abdomen yang dipersarafi sistem otonom. Umumnya rasa nyerinya berupa kram, kurang terlokalisir dengan baik, dan sering disertai rasa mual dan muntah. Hal-hal yang menimbulkan nyeri viseral adalah peregangan dinding usus oleh udara atau benda padat, iskemia, dan zat kimiawi tertentu. Nyeri viseral juga terbagi berdasarkan pola pertumbuhan, nyeri epigastrium berasal dari organ foregut ( lambung, duodenum, hati, sistem empedu, pankreas, limpa ), nyeri periumbilikus berasal dari midgut ( usus halus, appendiks, kolon ascendens ), dan nyeri hipogastrium dari organ hindgut ( Kolon tranversal, kolon descenden, rektum ). Pola ini terlihat karena sistem persarafan otonom mengikuti distribusi vaskularisasi arteri splanchnic mayor ( celiaca, mesenterium superior, mesenterium inferior ).(5)

Gambar 2.1. Gambar Foto Roentgen Upright Position Memperlihatkan Free Air di Atas Hepar ( diambil dari daftar pustaka nomor 2 )

Penegakan diagnosa peritonitis primer cukup sulit, sebab untuk menegakannya, penyebab infeksi intra-abdomen harus disingkirkan terlebih dahulu sebelumnya. CT scan dengan kontras memiliki keuntungan dalam menemukan sumber infeksi intra-abdomen. Pengambilan sampel untuk kultur dari cairan peritoneum sering kali sulit, sebab konsentrasinya yang tidak terlalu banyak. Namun hal tersebut dapat ditanggulangi dengan memasukan 10 mL cairan peritoneum sampel ke dalam botol kultur berisi darah. Untuk peritonitis primer, tidak didapatkan studi radiologi yang spesifik untuk mendiagnosanya.(2)Kultur mikroba pada peritonitis sekunder lebih mudah karena jumlah mikroba yang lebih tinggi didalamnya, namun pungsi abdomen bukan prosedur pilihan utama. Namun pada keadaan tertentu terutama trauma, diagnosa hemoperitoneum harus segera disingkirkan. Penggunaan CT scan dapat dipertimbangkan bila keadaan hemodinamik pasien stabil.(2)

Bab II.6.Diagnosa BandingPenegakan diagnosis peritonitis harus memperhatikan kemungkinan penyebab akut abdomen secara umum. Pada kasus akut abdomen, secara umum pasien masuk ke dalam salah satu dari keempat kategori berikut (5) :1. Diagnosa diketahui Indikasi operasiPasien dengan peritonitis dan abdominal catastrophe ( contohnya seperti ruptur atau diseksi aneurisme, infark mesenterium, obstruksi strangulata usus, volvulus, perforasi sistem gastrointestinal, torsi adneksa atau testis, kehamilan ektopik, ruptur limpa ) masuk ke dalam kategori ini. Setelah dilakukan stabilisasi awal, pasien segera diintervensi secara operatif untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas2. Diagnosa diketahui Indikasi non-operatifPasien dengan kolesistitis, divertikulitis, obstruksi usus, dan pasien dengan dialisa peritoneum masuk ke dalam kategori ini. Pasien-pasien ini menjalani resusitasi awal dan dimonitar ketat untuk melihat apakah terjadi resolusi keadaannya, atau terjadi penurunan keadaan umum yang memerlukan intervensi segera. Mayoritas pasien ini perlu menjalani intervensi secara operatif seusai keadaan akut abdomen berlalu

3. Diagnosa tidak diketahui Suspek peritonitisPada kelompok pasien ini, diagnosa pasti belum ditegakan, namun adanya peritonitis merupakan mandat untuk melakukan operasi segera. Contoh sederhana adalah pasien yang dibawa ke dalam ruang operasi untuk menyingkirkan appendisitis akut. Pada pasien dengan keadaan umum yang buruk, begitu diagnosis peritonitis ditegakan, pasien harus segera dipersiapkan untuk operasi, dan menghindari berlama-lama dengan studi diagnostik lainnya4. Diagnosa tidak diketahui Bukan peritonitisPada kelompok pasien ini, dokter penanggung jawab dapat melakukan observasi dalam menentukan diagnosa pasti. Bila peritonitis atau keadaan yang memerlukan tindakan operasi timbul, pasien harus segera dioperasi.Gambar 2.2. Alur Penentuan Perlunya Tindakan Operatif ( Diambil dari daftar pustaka nomor 4 )

Berikut beberapa penyebab akut abdomen yang dapat menyulitkan penegakan diagnosa (5) : Kolesistitis akalkulosaKolesistitis akalkulosa adalah peradangan kantung empedu yang tidak disebabkan oleh batu empedu. Kadang kala peradangan ini dapat terjadi pada pasien dengan trauma bakar, trauma luas, atau seusai operasi besar. Spesis dan stasis bilier juga merupakan faktor yang mendukung. Insidensi gangren dan perforasi lebih tinggi pada kasus kolesistitis ini. Diagnosanya cukup sulit ditegakan dan kecurigaan didasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan fisik. Kolesistitis akalkulosa memerlukan intervensi yang segera. Iskemia mesenterium akutIskemia mesenterium akut merupakan keadaan akut abdomen yang paling sulit ditegakan diagnosanya, hal ini disebabkan anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak dapat secara tegas menunjukan kecurigaan ke arah keadaan ini. Umumnya iskemia mesenterium akut disebabkan oleh tiga hal, yakni emboli, trombosis, dan insufisiensi mesenterium non-oklusif. Emboli seringkali berasal dari kelainan jantung dan pembuluh darah ( 90% ). Emboli tersebut kemudian paling sering mengobstruksi pada arteri mesenterika superior bagian proksimal, hanya beberapa sentimeter dari muaranya, sehingga tidak mengenai arteri colic tengah dan percabangan arteri jejunal proksimal dari arteri mesenterika superior. Trombosis pada arteri mesenterika superior umumnya disebabkan plak arterosklerotik yang luas, sehingga usus mengalami iskemia dari duodenum hingga kolon tranversal bagian tengah. Insufisiensi mesenterium non-oklusif umumnya terjadi pada pasien dengan gangguan jantung atau disritmia. Penegakan diagnosanya dilakukan dengan arteriografi PankreatitisWalau beberapa pasien dapat segera didiagnosa dengan pankreatitis,namun pankreatitis akut dapat menyebabkan komplikasi dalam berbagai operasi. Diperlukan kepekaan yang tinggi untuk dapat mencurigai kemungkinan pankraeatitis. Manifestasi yang umum adalah takikardia, nyeri abdomen, dan efusi pleura pada paru-paru bagian kiri. Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukan hiperamilasemia atau peningkatan lipase, namun hal tersebut tidak bersifat spesifik. Pasien dengan pankreatitis tidak membaik dengan terapi konservatif. Kemungkinan terjadinya necrotizing pancreatitis dengan pembentukan abses perlu dicurigai. Hal ini dapat dikonfirmasi dengan CT scan dinamik dan aspirasi. Pengurangan kadar hemoglobin yang tidak ditemukan sebabnya dapat mengarahkan pada diagnosa perdarahan pankreas.Bab II.7.PenatalaksanaanPrinsip penatalaksanaan peritonitis bergantung pada jenis peritonitis yang dialami. Prinsip tata laksana peritonitis primer adalah dengan memberikan antibiotik yang sesuai dengan hasil isolasi sampel darah atau cairan peritoneum. Pewarnaan gram seringkali menunjukan hasil yang negatif, karena itu sebelum hasil kultur didapat, terapi antibiotik yang dapat diberikan harus meliputi basil aerobik gram negatif dan kokus gram positif. Sefalosporin generasi ketiga seperti cefotaxime ( 2 gram setiap 8 jam, IV ) memberikan daya cakup yang cukup pada pasien yang sakit ringan hingga sedang. Antibiotik spektrum luas seperti penicillin / -laktamase inhibitor ( contohnya piperacillin / tazobactam, 3.375 g setiap 6 jam, IV ) atau ceftriaxone ( 2 gram setiap 24 jam, IV ) juga dapat dipertimbangkan pengunaannya. Cakupa empiris untuk bakteri anaerob tidak dianjurkan. Setelah mikroba yang menyebabkan infeksi diketahui, terapi harus segera dipersempit untuk menyerang agen patogen tersebut. Pasien dengan peritonitis primer umumnya merespon dalam 72 jam terhadap pemberian antibiotik yang tepat. Terapi antimikroba dapat diberikan paling sedikit selama 5 hari bila terdapat pemulihan yang cepat dan hasil kultur darah negatif, namun dapat mencapai 2 minggu bila pasien mengalami bakteremia dan yang mengalami pemulihan lambat.(2)Prinsip terapi untuk peritonitis sekunder adalah :1. ResusitasiSemua pasien dengan peritonitis memiliki keadaan hipovolemia dengan berbagai derajat dikarenakan kehilangan cairan ke dalam rongga ketiga yakni rongga peritoneum. Pasien harus diresusitasi dengan cairan seperti kristaloid sebelum operasi (2,4). terapi cairan yang diberikan dapat berupa bolus kristaloid hangat 1 2 liter untuk dewasa atau 20 mL/kg untuk anak-anak (6). 2. Terapi antimikrobaUmumnya hasil pemeriksaan mikrobiologi akan menunjukan berbagai jenis mikroba di dalam sampel yang didapat dan umumnya berupa gabungan dari bakteri enterik gram negatif dan bakteri anaerob. Berdasarkan uji secara klinis dan eksperimental, dianjurkan bila terapi antimikroba yang diberikan mencakup bakteri aerobik maupun anaerobik, dimana yang tersering adalah E.coli dan bacteroides fragilis. Pemberian terapi antimikroba harus disesuaikan dengan keadaan klinis pasien, dimana bila ditemukan pasien afebris, leukosit normal, maka kemungkinan sepsis setelah penghentian obat tidak ada. Namun bila didapatkan keadaan demam atau leukositosis, maka kemungkinan terjadinya infeksi rekuren atau residual berkisar antara 33 50 %. Dengan pendekatan ini, pemberian antibiotik dapat dihentikan paling cepat 4 hari setelah operasi. Bila didapatkan pasien tetap demam dan mengalami leukositosis setelah lebih dari 7 hari, maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi infeksi residual (2,4)

Tabel 2.2. Anjuran Antibiotik untuk Peritonitis Sekunder (Diambil dari daftar pustaka nomor 4 )Agen Tunggal

Ampicillin / Sulbactam

Cefotetan

Cefoxitin

Ertapenem

Imipenem / Cilastatin

Meropenem

Piperacillin / Tazobactam

Ticarcillin / Clavulonic acid

Agen Kombinasi

Aminoglikosida ( Amikacin, Gentamicin, Netilmicin, Tobramycin ) dan antianaerob

Aztreonam dan Clindamycin

Cefuroxime dan Metronidazole

Ciprofloxacin dan Metronidazole

Sefalosporin generasi ketiga / keempat ( Cefepime, Cefotaxime, Ceftazidime, Ceftizoxime, Ceftriaxone ) dan antianaerob

3. Intervensi bedahTujuan pembedahan pada peritonitis adalah untuk mengeliminasi sumber kontaminasi, mengurangi jumlah inokulum bakteri, dan mencegah rekurensi atau infeksi persisten. Teknik yang digunakan untuk mengkontrol kontaminasi bergantung pada lokasi dan sumber keadaan patologisnya. Secara umum, pembersihan peritoneum secara menerus dilakukan dengan menutup, mengeksklusi, atau memotong viskus yang perforasi. Kolon yang patologis ditangani dengan efektif dengan cara reseksi segmen yang bermasalah dengan eksteriorisasi ujung proksimal sebagai bagian akhir kolostomi, dan membentuk fistula bermukosa. Sebuah anastomosis primer pada pasien dengan peritonitis difus, diasosiasika dengan peningkatan pembukaan luka operasi dan harus dihindari. Sebuah kelainan patologis pada usus halus perlu ditangani dengan cara yang serupa, yakni reseksi segmen yang bermasalah. Bila terdapat kontaminasi peritoneum yang ekstensif atau keadaan usus menjadi tidak stabil, pembentukan stoma lebih dianjurkan. Ulkus duodenum yang mengalami perforasi dapat ditangani dengan menambalnya dengan omentum atau dilakukan pyloroplasty. Perforasi ulkus gaster ditangani dengan reseksi gaster bagian distal dengan pembentukan anastomosis gastroduodenal atau gastrojejunal, atauu dengan eksisi lokal dan penutupan secara primer. Appendisitis ditangani dengan appendektomi (2,4).Sebagai tambahan untuk mengatasi keadaan patologis yang mendasari, eksudat purulen yang banyak diaspirasi, dan lokalisasi pada pelvis, celah parakolik, dan daerah subfrenik dibuka secara halus dan dilakukan debridement. Benda-benda kontaminan seperti feses, barium, jaringan nekrotik, dan darah harus dikeluarkan dalam prosedur ini. Pencucian peritonium intraoperatif dengan cairan saline dapat mendukung hasil debridement. Pada kasus-kasus dengan kontaminasi berat, penutupan luka dihindari dengan cara membiarkan kulit dan jaringan subkulit terbuka dan menutupnya secara perlahan (4).

Peritonitis tersier diobati dengan pemberian antibiotik yang ditujukan untuk S.aureus, Staphylococcus koagulase-negatif, dan basil gram negatif hingga hasil kultur tersedia. Pengunaan cefalosporin seperti cefazolin dan floroquinolone atau sefalosporin generasi ketiga secara tunggal ( ceftazidime ) dapat dipertimbangkan. Loading doses diberikan secara intraperitoneal, dan dosis obat bergantung pada proses dialisis peritoneum dan fungsi ginjal pasien. Antibiotik dapat diberikan secara kontinyu atau secara intermiten. Bila pasien tampak sakit berat, antibiotik IV dapat diberikan. Bila tidak terdapat perbaikan setelah terapi selama 48 jam, dianjurkkan untuk melepas kateter (2).

BAB IIIKESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan peritoneum. Peradangan tersebut umumnya disebabkan oleh infeksi. Berdasarkan mekanisme infeksinya, peritonitis dibagi menjadi tiga, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh bakteri hematogen dan didahului penyakit hati, peritonitis sekunder umumnya disebabkan kontaminasi peritoneum karena perforasi viskus, sehingga terdapat berbagai mikroba yang mengkontaminasi peritoneum, peritonitis tersier disebabkan oleh mikroba kulit yang masuk melalui dialisis peritoneum.Secara umum, manifestasi umum dari peritonitis adalah nyeri perut yang hebat, dephans muskuler pada keempat kuardran perut, demam, dehidrasi, mual, muntah, takikardi, letargi, dan malaise. Pemeriksaan laboratorium yang menunjang adalah leukositosis dengan karakteristik shift to the left. Pemeriksaan radiologi dapat ditemukan free air bergantung pada letak perforasi viskus pada peritonitis sekunder. CT scan dapat dilakukan untuk menentukan apakah terdapat cairan dan free air dalam rongga peritoneum.Penatalaksanaan peritoneum terdiri dari tiga tahap, yaitu resusitasi, terapi antimikroba, dan terapi operasi. Tujuan terapi adalah untuk menghilangkan kontaminasi peritoneum oleh bakteri, baik dengan penggunaan antibiotik yang tepat, ataupun dengan tindakan operatif..

DAFTAR PUSTAKA

1. Atherton JC, Bacon BR, Blumberg RS, et al. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th edition : Acute Appendicitis and Peritonitis. Singapore. McGraw Hill. 2008. p1916-72. Beeching NJ, Calderwood SB, Callahan MV, et al. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th edition : Intraabdominal Infections and Abscesses. Singapore. McGraw Hill. 2008. p807-103. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. Danvers : John Wiley & Sons ; 20064. Rotstein OD, Abrams JH. Surgical Critical Care : Intra-abdominal Infection. Singapore. Taylor&Francis. 2005. p693-85. Pasquale MD, Barke RA. Surgical Critical Care : Acute Abdomen. Singapore. Taylor&Francis. 2005. p591-6016. Fildes J, Meredith JW, Kortbeek JB, et al. Advanced Trauma Life Support for Doctors diterjemahkan oleh [ Pusponegoro AD, Karnadihardja W, Soedarmo S, et al ]. Jakarta: FK UI ; 2008.

Kepaniteraan Klinik Ilmu BedahRumah Sakit Umum Daerah Kota SemarangFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 21 Mei 28 Juli 201218