Peritonitis

25
Peritonitis Et Causa Perforasi Typhoid Enrico Esbianto Syahputra Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510.Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) 563- 1731 [email protected] Pendahuluan Latar Belakang Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan (alimentar), yaitu tuba muscular panjang yang merentang dari mulut sampai anus, dan organ-organ aksesoris, seperti gigi, lidah, kelenjar saliva, hati, kandung empedu, dan pancreas. Saluran pencernaan yang terletak di bawah area diafragma disebut saluran gastrointestinal (GI). 1 Banyak sekali penyakit gastrointestinal yang dapat terjadi, dari yang ringan sampai yang berat, bahkan menimbulkan kematian.Salah satunya adalah peritonitis.Peritonitis merupakan penyakit inflamasi peritoneum (membrane serosa terbesar di dalam tubuh), dan mungkin disebabkan oleh bakteri atau akibat pelepasan iritan kimiawi, misalnya empedu, asam lambung, atau enzim pancreas.Peritonitis dapat terjadi akibat perforasi organ, obstruksi usus, inflamasi visceral, luka tembus abdomen, dan 1

description

rtgrtg

Transcript of Peritonitis

Peritonitis Et Causa Perforasi TyphoidEnrico Esbianto SyahputraFakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana, JakartaJln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510.Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) [email protected]

PendahuluanLatar BelakangSistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan (alimentar), yaitu tuba muscular panjang yang merentang dari mulut sampai anus, dan organ-organ aksesoris, seperti gigi, lidah, kelenjar saliva, hati, kandung empedu, dan pancreas. Saluran pencernaan yang terletak di bawah area diafragma disebut saluran gastrointestinal (GI).1Banyak sekali penyakit gastrointestinal yang dapat terjadi, dari yang ringan sampai yang berat, bahkan menimbulkan kematian.Salah satunya adalah peritonitis.Peritonitis merupakan penyakit inflamasi peritoneum (membrane serosa terbesar di dalam tubuh), dan mungkin disebabkan oleh bakteri atau akibat pelepasan iritan kimiawi, misalnya empedu, asam lambung, atau enzim pancreas.Peritonitis dapat terjadi akibat perforasi organ, obstruksi usus, inflamasi visceral, luka tembus abdomen, dan infeksi hematogen.Peritonitis dapat berupa generalisata maupun lokalisata disertai pembentukan abses.Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal maupun generalisata, bacterial ataupun kimiawi.Peradangan peritoneum dapt disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing. Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi mikrobial, peritonitis diklasifikasikan menjadi: primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi monomikrobial.Sumber infeksi umumnya ekstraperitonial yang menyebar secara hematogen.Ditemukan pada penderita serosis hepatis yang disertai asites, sindrom nefrotik, metastasis keganasan, dan pasien dengan peritoneal dialisis. Peritonitis sekunder merupakan infeksi yang berasal dari intraabdomen yang umumnya berasal dari perforasi organ berongga Peritonitis sekunder merupakan jenis peritonitis yang paling umum, lebih dari 90% kasus bedah. Peritonitis tersier dapat terjadi akibat peritonitis sekunder yang telah dilakukan interfensi pembedahan ataupun medikamentosa.Kejadian peritonitis tersier kurang dari 1% kasus bedah.SkenarioSeorang laki-laki berusia 20 tahun dibawa ke UGD RS dengan keluhan nyeri perut hebat pada seluruh perutnya sejak 6 jam yang lalu. Orang tua pasien tersebut mengatakan sejak 10 hari yang lalu, pasien demam yang naik turun terutama pada malam hari, disertai mual, konstipasi, dan anoreksia.Sejak 3 hari yang lalu, keadaan pasien semakin melemah dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum lemah, tekanan darah 190/70 mmHg, nadi 100x/menit, frekuensi napas 24x/menit, suhu 39C. Pada pemeriksaan fisik abdomen, tampak distensi abdomen, nyeri tekan pada seluruh region abdomen, defense muscular (+), bising usus (-).PembahasanAnamnesisAnamnesis terbagi menjadi 2, yaitu auto-anamnesis dan allo-anamnesis.Pada umumnya, anamnesis dilakukan secara auto-anamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan secara langsung terhadap pasiennya dan pasiennya sendirilah yang menjawab dan menceritakan keluhannya kepada dokter. Inilah cara yang terbaik untuk melakukan anamnesis karena pasien bisa secara langsung menjelaskan apa yang sesungguhnya ia rasakan.Tetapi ada kalanya dimana dilakukan allo-anamnesis, seperti pada pasien yang tidak sadar, lemah, atau sangat kesakitan, pasien anak-anak, dan manula, maka perlu orang lain untuk menceritakan keluhan atau permasalahan pasien kepada dokter. Tidak jarang juga dalam praktek, auto dan allo-anamnesis dilakukan secara bersama-sama.Tujuan utama anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua informasi dasar yang berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap penyakitnya.Kemudian dapat dibuat penilaian keadaan pasien. Prioritasnya adalah memberitahukan nama, jenis kelamin, dan usia pasien, menjelaskan secara rinci keluhan utama, menjelaskan riwayat penyakit dahulu yang signifikan, riwayat keluarga, pengobatan dan alergi, temuan positif yang relevan dengan penyelidikan fungsional, dan menempatkan keadaan sekarang dalam konteksi situasi sosial pasien. Presentasi anamnesis harus mengarah pada keluhan atau masalah. Saat melakukan anamnesis, hindari penggunaan kata-kata medis yang tidak dimengerti oleh pasien.2Anamnesa pada penderita gawat abdomen, perlu ditanyakan terlebih dahulu permulaan timbulnya nyeri (kapan mulai, mendadak, atau berangsur), letaknya (menetap, pindah, atau beralih), keparahannya, dan sifatnya (seperti ditusuk, tekanan, terbakar, irisan, dan bersifat kolik), perubahannya (bandingkan dengan permulaan), lamanya, apakah berkala, adakah faktor yang mempengaruhi (faktor memperberat atau memperingan seperti sikap tubuh, makanan, minuman, napas dalam, batik, bersin, defekasi dan miksi). Harus ditanyakan juga apakah pasien pernah mengalami hal yang serupa dahulunya.Muntah sering ditemukan pada penderita gawat abdomen.Pada obstruksi usus tinggi, muntah tidak berhenti, malahan biasanya bertambah hebat.Sembelit (konstipasi) didapatkan pada obstruksi usus besar dan peritonitis umum.Nyeri tekan didapatkan pada letak iritasi peritoneum. Jika ada radang peritoneum setempat, ditemukan tanda rangsang peritoneum yaitu defens muscular. Pertanyaan mengenai defekasi, miksi, daur haid, dan gejala lain seperti keadaan sebelum diserang tanda gawat abdomen, harus dimasukkan dalam anamnesis.3a. Identitas pasien: laki-laki 20 tahunb. Keluhan utama: nyeri perut hebat pada seluruh perutnya sejak 6 jam yang lalu.c. Riwayat penyakit sekarang: demam naik turun sejak 10 hari yang lalu terutama pada malam hari, disertai mual, konstipasi, dan anoreksia. Sejak 3 hari yang lalu, keadaan pasien semakin melemah dan hanya bisa berbaring di tempat tidur.d. Obat-obatan: apakah sudah mengkonsumsi obat? Kondisi membaik atau tidak?e. Riwayat penyakit dahulu: apakah pernah memiliki keluhan yang sama dahulunya?f. Riwayat keluarga: apakah di keluarga ada yang pernah mengalami hal yang sama?g. Riwayat personal dan sosial terkait: gaya hidup, pola makan, keadaan lingkungan sekitar, dan lain sebagainya.Pemeriksaan Fisik2,3,4Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan empat modus dasarnya, yaitu Inspeksi yang membutuhkan penggunaan mata pemeriksa secara kritis, dimulai dengan pengamatan umum selama wawancara medik (anamnesis) dan merupakan modus utama pemeriksaan fisik. Kemungkinan adanya peritonitis akibat perforasi perlu dicurigai bila tampak pernafasan torakal pada penderita yang abdomennya terlihat tegang. Distensi perut bagian atas disertai peristaltis lambung menunjukkan adanya obstruksi pilorus. Tonjolan di epigastrium yang tampak jelas sering disebabkan oleh tumor ganas lambung yang sudah lanjut yang tidak layak operasi. palpasiyaitu mode meraba dan merasakan, dimana palpasi ringan digunakan untuk menilai kulit dan struktur permukaan, variasi dari suhu permukaan, kelembaban, serta kekeringan. Palpasi dilakukan di organ-organ visera, seperti pada abdomen.Palpasi untuk menentukan kelainan lambung dan duodenum hendaknya dipandu oleh anamnesis tentang nyeri. Defans muskular menunjukkan adanya iritasi peritoneum, misalnya karena perforasi. Bila perut tidak tegang dengan palpasi yang cermat mungkin teraba adanya tumor.

perkusiyaitu menggunakan suara untuk menentukan densitas dan isi struktur. Perkusi dilakukan dengan mengetuk permukaan tubuh dan menimbulkan getaran, mendengar, dan merasakan adanya perbedaan dalam penghantaran gelombang suara.Pekak hati yang hilang pada perkusi menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, dan ini menandakan terjadinya perforasi saluran cerna. Perkusi meteoristik yang terbatas di bagian atas perut biasanya disebabkan oleh obstruksi tinggi. auskultasidilakukan dengan menggunakan stetonyerskop untuk menilai pergerakan gas, cairan, atau organ di dalam kompartemen tubuh.Pada peritonitis akibat perforasi, peristaltis sering lemah atau hilang sama sekali karena terjadi ileus paralitik. Pada obstruksi pilorus didengar adanya kecipak air akibat geseran cairan dan gas dalam lambung yang distensi. Suara ini biasanya terdengar juga tanpa stetoskop.Selain itu, pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan keadaan umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring. Gejala dan tanda dehidrasi, pendarahan, syok, dan infeksi atau sepsis perlu juga diperhatikan.Suatu tanda adanya peritonitis dengan pemeriksaan fisik : Nyeri tekan: nyeri pada penekanan dalam, sebagai reaksi peradangan peritoneum. Defans muskular: dinding perut bereaksi pada penekanan dan pasien mengeluh nyeri lalu peregangkan perut. Nyeri tekan lepas: bila abdomen ditekan dengan pelan dan hati-hati, lalu tiba-tiba penekanan dilepaskan akan terasa sakit seperti disayat atau ditusuk jarum. Nyeri ketok: dengan perkusi daerah yang mengalami peradangan akan terasa nyeri seperti disayat atau ditusuk.Pada kasus ini, pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 95x/menit, frekuensi napas 24x/menit, suhu 38,5C. Pada pemeriksaan fisik abdomen, tampak distensi abdomen, nyeri tekan pada seluruh region abdomen, defense muscular (+), bising usus (-).DiagnosisWorking DiagnosisPeritonitisPeritonitis didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat di dalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal maupun generalisata, bacterial ataupun kimiawi.Peradangan peritoneum dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing.Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi microbial, peritonitis diklasifikasikan menjadi primer, sekunder, dan tersier.Namun untuk working diagnosis pada kasus ini termasuk dalam peritonitis sekunder yang dikarenakan perforasi demam tifoid.Pada demam tifoid, divertikulum Meckel mengalami peradangan karena pada plak Peyer terjadi peradangan dan mengalami ulserasi, kadang juga menyebabkan perforasi ke pada rongga peritoneal. Hal ini karena bakteri yang hidup dalam sistem pencernaan dapat pindah ke dalam abdomen dan menginfeksi lapisan peritoneum, atau yang dikenal dengan peritonitis.5 Dalam kasus peritonitis, infeksi dengan cepat dapat menyebar ke dalam darah (sepsis) sebelum menyebar ke organ lain. Hal ini membawa risiko kegagalan organ multiple dan, jika tidak diobati secara agresif, hal itu dapat menyebabkan kematian.Gejala yang paling sering dari peritonitis adalah nyeri perut mendadak yang semakin memburuk.Differential DiagnosisWorking diagnosis dari kasus ini adalah peritonitis sekunder et causa perforasi tifoid. Oleh karena itu, untuk differential diagnosis kami akan menjelaskan tentang peritonitis primer, peritonitis tersier, dan peritonitis TB yang memiliki beberapa kesamaan dengan gejala yang dikeluhkan dalam kasus.7Peritonitis primer8Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.Kontaminasi rongga abdomen merupakan translokasi kuman dari dinding intestin atau KGB mesenterika dan kadang secara hematogen dari bakteriemi.10-30% penderita dengan sirosis dan asiter didapatkan SBP.90% kasus SBP disebabkan oleh infeksi monomikroba.Patogen yang paling sering adalah organisme gram negatif (Eschericia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomona spp, Proteus spp), dan organisme gram positif (Streptococcus pneumoniae).Peritonitis tersier8Peritonitis tersier adalah peritonitis yang rekurens atau persisten setalah dilakukan terapi yang adekuat terhadap SBP (Spontaneous bacterial peritonitis) ataupun peritonitis sekunder.Penderita dengan tersier peritonitis biasanya didapatkan abses atau flegmon dengan atau tanpa adanya fistel.Sering muncul pada penderita dengan imunocompromised atau pada penderita dengan kondisi komorbid.Penderita dengan peritonitis tersier memerlukan perawatan di ICU. Organisme yang resisten dan tidak biasa sering ditemukan pada peritonitis tersier (mis: Enterococcus, Candida, Staphylococcus, Enterobacter, dan Pseudomonas). Penderita dengan peritonitis tersier didapatkan komplek abses dan poorly localized peritonitis sehingga tidak dapat dilakukan percutaneous drainage. Terapi antibiotik kurang efektif pada peritonitis tersier, 90% dari kasus ini diperlukan pembedahan ulang utuk kontrol dari sumber infeksi.Peritonitis TuberkulosisBakteri penyebab menyebar ke peritoneum secara langsung dari KGB mesenterika, regio ileosaekal atau piosalfingitis tuberkulosis.Namun bisa juga melalui darah atau udara, berasal dari TB paru.Gejala yang ditunjukkan dapat akut (menyerupai gejala peritonitis bakterial) maupun kronik (onsetnya tersembunyi, dengan nyeri perut, demam, penurunan berat badan, asites, keringat malam hari, massa di abdomen). Secara makros, terdapat 4 jenis penyakit: ascitis, encysted, plastic, purulent. Terapinya meliputi: anti-tuberkulosa kemoterapi, dengan laparotomi (jika terdapat indikasi) untuk komplikasi intar abdomen.

Pemeriksaan Penunjang9Penatalaksanaan nyeri akut abdomen dengan tanda-tanda ileus dan/atau peritonitis sangat sering merupakan suatu kedaruratan bedah, dan sangat sering memerlukan asisten bedah, karena itu pemeriksaan rutin yang teliti harus dilakukan secara dini. Hitung darah lengkap dan hitung jenisKeduanya merupakan indikasi untuk menentukan jumlah dan rincian respons leukosit pasien dan hematokrit dasar.Diperlukan urinalisis untuk mencari perdarahan atau bukti infeksi.Berat jenis urin juga membantu penilaian volume cairan intravascular.Dengan riwayat muntah dan diare, tanda fisik deplesi volume darah (hipotensi ortostatik, takikardia, dan lain-lain), ileus atau udara-cairan berbatas intra-abdomen, elektrolit serum ditentukan bersama dengan indeks fungsi ginjal. Foto polos abdomenFungsi dari radiografi ini adalah menentukan adanya daerah terisolasi yang terangkap dalam batas udara atau udara-cairan di usus yang menunjukkan lokasi obstruksi. Apabila dicurgai adanya perforasi viskus, foto dada atau abdomen posisi tegak dapat menunjukkan udara bebas di dalam rongga peritoneum, tetapi pasien harus dalam posisi tegak di depan film selama 20 menit untuk mengoptimalkan pemotretan. Apabila pemeriksaan fisik memberi kesan asites, tetapi etiologinya tidak jelas, maka peresentesis abdomen dengan analisis dan biakan spesimen asites dapat dilakukan untuk menegakan diagnosis yang pasti. USG juga dapat dilakukan untuk melihat asites dan dapat menunjukkan masa kistik. Parasentesis diagnostic dengan studi lengkap cairan spesimen.PatofisiologiReaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalahkeluarnya eksudat fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses)terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadisatu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapidapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapatmengakibatkan obstuksi usus.Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler danmembran mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksisecara cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan kematian sel.Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapatmemulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa keperkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karenatubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensicairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikutmenumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapiini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dindingabdomen mengalami oedem.Oedem disebabkan olehpermeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebutmeninggi.Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum danlumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal danoedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitonealmenyebabkan hipovolemia.Hipovolemia bertambah denganadanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebihlanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usahapernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunanperfusi.Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaanperitoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitisumum.Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitasperistaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudianmenjadi atoni dan meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalamlumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasidan oliguria.Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkungusus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnyapergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapatmenimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan)maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untukmengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dandapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksidisertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yangakan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadiperforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada ronggaabdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.10

Gambar 2. Skema patofisiologi peradangan dari peritoneum (Sumber: Schwarts, Seymour I, principle of surgery : 1461)

Tifus abdominalis (demam tifoid) adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang diawali di selaput lendir usus dan jika tidak diobati, secara progresif menyerbu jaringan di seluruh tubuh.Aspek paling penting dari infeksi ini adalah kemungkinan terjadinya perforasi usus, karena satu kali organisme masuk ke dalam rongga perut, pasti timbul peritonitis yang mengganas.Bila ini terjadi, prognosisnya sangatlah jelek.Komplikasi dapat juga terjadi seperti pendarahan peranum dan infeksi terlokalisir (meningitis, dll).Kuman penyebabnya ialah Salmonella typhi (basil gram negatif) yang memasuki tubuh melalui mulut dengan perantaraan makanan dan minuman yang telah terkontaminasi.Singkatnya, kuman ini terdapat dalam tinja, kemih, ataupun darah.Masa inkubasinya sekitar 10 hari.

Gambar 3. Patofosiologi peritonitis et causa perforasi tifoid (Sumber: Soegijanto, 2002)

EtiologiSalmonella sering bersifat pathogen bagi manusia ataupun hewan jika didapat melalui jalur oral.Salmonella ditularkan dari hewa dan produk hewan ke manusia, yang sering menyebabkan enteritis, infeksi sistemik, dan demam enterik.Salah satu spesies salmonella yang menyebabkan demam enterik adalah Salmonella Typhi pada demam tifoid.Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dinamakan endotoksin.Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu yang menghambat bakteri enterik lainnya.Kuman mati pada suhu 56 C juga pada keadaan kering. Dalam air bisa tahan selama 4 minggu.11

Gejala KlinisMasa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39 C hingga 40 C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti.Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi.Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor.Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.3Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiaphari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung.Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh.Gejala septikemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, merah mengkilat, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi.Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali di akhir minggu.Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperature mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin.Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut.Penderita kemudian mengalami kolaps.Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.3,12Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intra-abdomen, infeksi, dan obstruksi. Perforasi usus adalah komplikasi yang cukup serius, terjadi pada 1-3 % kasus.Terdapat lubang di usus, akibatnya isi usus dapat masuk ke dalam rongga perut dan menimbulkan gejala.Tanda-tanda perforasi usus adalah nyeri perut yang tidak tertahankan (acute abdomen), atau nyeri perut yang sudah ada sebelumnya mengalami perburukan, denyut nadi meningkat dan tekanan darah menurun secara tiba-tiba.Gawat abdomen ini membutuhkan penanganan segera.Perforasi intestinal dapat dibagi menjadi perforasi non trauma, misalnya pada ulkus peptik, tifoid dan apendisitis; dan perforasi oleh trauma (tajam dan tumpul). Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium.Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan.Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek.Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.12Tata Laksana12,13Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.Penanganan Preoperatif Resusitasi CairanPengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh.Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells)atau WB (Whole Blood).Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi. AntibiotikAntibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi. Agar terapi menjadi lebih efektif, terapi antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan.Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma.Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua. Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob. Intubasi dan Monitoring HemodinamikPemasangannasogastric tubedilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus.Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi danrespiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam.Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.Penanganan OperatifTerapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi atau biasa menggunakan laparatomi.Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum.Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen. Kontrol SepsisTujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut.Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang.Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum. Peritoneal LavagePada peritonitis difus,lavagedengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersamalavage. Terlebih lagi,lavagedengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction.Setelah dilakukanlavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.KomplikasiKomplikasi dini yang bisa terjadi seperti septikemia dan syok septik, syok hipovolemik, sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem, abses residual intraperitoneal, portal Pyemia (misal abses hepar). Sedangkan komplikasi lanjutnya adalah adhesi, obstruksi intestinal rekuren.13PrognosisAngka mortalitas peritonitis tetap tinggi antara 10%-40%.Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum prognosisnya lebih buruk akibat adanya organisme virulen. Prognosis lebih buruk terjadi pada usia lanjut dan bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam. Namun jika dilakukan penanganan dengan segera, bisa menimbulkan prognosis yang lebih baik.PenutupBerdasarkan kasus yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa laki-laki tersebut terkena peritonitis et causa perforasi tifoid. Oleh karena itu, untuk menegakan diagnosis pasti dapat dilakukan anamnesis yang baik dan lengkap, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai (seperti pemeriksaan darah lengkap, foto polos abdomen, dsb).selain itu, pemberian obat juga diperlukan yaitu penggantian cairan, pemberian antibiotik, dan dilakukan tindakan bedah/laparatomi.

Daftar Pustaka1. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC; 2004.h.281.2. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005,h.191.3. Sjamsuhidrajat R. Buku ajar ilmu bedah. Ed 3. Jakarta: EGC; 2010.h.237-42.4. Setiyohadi B. Bukuajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006,.h..20-5.5. William SM. Pedoman klinis pediatri. Jakarta: EGC; 2005.h.145-6.6. Kavanagh S;The acute abdomen assessment, diagnosis and pitfalls. UK MPS Casebook 2004 Feb;12(1):11-177. Grace PA, Borley NR. At a glace ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.h.28-9.8. Bernstein D, Shelov SP. Pediatrics for medical student. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.h.360-1.9. Wilms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnosis fisik: evaluasi diagnosis & fungsi di bangsal. Jakarta: EGC;2005.h.306.10. Isselbacher, Brauwald, Wilson, et all. Harisson: prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Vol 1. Jakarta: EGC; 2008.h.74,270-1.11. Jawets, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta: EGC; 2013.h.232-4.12. Mitchell, Richard N. Buku saku dasar patologis penyakit robbins& cotran. Jakarta:EGC; 2008. h492-3.13. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. Ed 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.h.599-612.16