Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

325
KEMAJUAN INDUSTRI OTOMOBIL KOREA SELATAN: PERAN NEGARA, CHAEBOL, SERTA JEPANG DALAM PROSES PEMBANGUNAN DAN INDUSTRIALISASI TESIS Dosen Pembimbing: Dr. Maharani Hapsari, MA. Disusun Oleh: Alfian Eikman 11/326453/PSP/04298 PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

Transcript of Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Page 1: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

KEMAJUAN INDUSTRI OTOMOBIL KOREA SELATAN: PERAN NEGARA, CHAEBOL, SERTA JEPANG DALAM

PROSES PEMBANGUNAN DAN INDUSTRIALISASI

TESISDosen Pembimbing: Dr. Maharani Hapsari, MA.

Disusun Oleh:

Alfian Eikman11/326453/PSP/04298

PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA

2014

Page 2: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembahasan tentang proses pembangunan ekonomi merupakan salah satu hal

yang menarik untuk diperbincangkan, terutama menyangkut kegagalan atau

keberhasilan suatu negara. Salah satu negara yang berhasil menarik banyak minat

adalah Korea Selatan. Negara yang pernah menjadi salah satu yang termiskin di dunia

ini, mampu melakukan transformasi ke arah yang lebih baik berubah menjadi negara

yang lebih sejahtera. Seiring dengan perjalanan proses industrialisasinya, Korea

Selatan disebut sebagai negara industri baru atau masuk ke dalam kategori NIC1.

Bahkan saat ini, tidak sedikit anggapan yang menyatakan bahwa Korea Selatan telah

berhasil mencapai tahapan negara industri maju. Menurut data Bank Dunia, sejak

tahun 2010 Korea Selatan telah menjadi negara ekonomi terbesar kelima belas di

dunia dengan GNI2 per kapita sebesar US$ 22,670 (World Bank, 2014).

Atas prestasi keberhasilannya yang dikenal juga sebagai “the miracle on the

han river”, topik-topik mengenai proses pembangunan ekonomi khususnya proses

industrialisasi di Korea Selatan mendapat perhatian dari banyak kalangan. Berbagai

pandangan dari para peneliti dan akademisi telah mencoba untuk menjawab faktor-

faktor apa saja yang menentukan keberhasilan proses tersebut. Hal ini menandakan

bahwa pembangunan ekonomi dan industri di Korea Selatan yang mengiringi

1 Newly Industrialising Country.2 Gross National Income.

1

Page 3: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

berjalannya transformasi negara tersebut dari negara berkembang menjadi negara

maju merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas.

Setelah pecahnya Korea pasca perang saudara, Korea Selatan mengalami

permasalahan ekonomi yang serius. Perbaikan ekonomi setelah perang tersebut

selama periode 1953-1961 berjalan sangat lambat dan sangat bergantung kepada

bantuan finansial dari Amerika Serikat (Harvie & Lee, 2003: 1). Pada masa itu

perhatian pemerintah lebih difokuskan kepada permasalahan politik untuk melakukan

rekonsiliasi pasca perang daripada masalah ekonomi. Pergantian kepemimpinan pada

pertengahan tahun 1961 membawa angin perubahan bagi arah pembangunan dan

perbaikan ekonomi di Korea Selatan.

Dimulai pada tahun 1962, pembangunan ekonomi berkesinambungan

dilakukan oleh Korea Selatan. Melalui program pembangungan lima tahun yang

merupakan katalisator transformasi perekonomiannya, pada tahun 1970an negara ini

telah mampu meraih status sebagai NIC. Dengan capaian tersebut, Korea Selatan

berhasil melewati Malaysia dan negara-negara Amerika Latin seperti Brasil,

Argentina, dan Meksiko yang sebelumnya diyakini akan muncul sebagai negara

industri baru (Song, 1980: 12) Dalam proses pembangunan tersebut lahir kebijakan-

kebijakan strategis seperti EOI3 dan HCI4, serta lembaga atau institusi penunjang

3 Export Oriented Industrialization.4 Heavy and Chemical Industries.

2

Page 4: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pembangunan seperti EPB5 dan KCIA6 yang merupakan faktor-faktor penting dalam

proses transformasi ekonomi di Korea Selatan.

Kebijakan HCI sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu faktor utama yang

membentuk karakteristik perekonomian Korea Selatan seperti sekarang. Dari

kebijakan tersebut, Korea Selatan yang pada awalnya merupakan negara agraris

berubah bentuk menjadi negara industri manufaktur. Kebijakan yang mengarahkan

pembangunan pada sektor industri berat ini akhirnya melahirkan industri-industri

unggulan seperti baja, kapal, semi konduktor, dan salah satunya yang akan mendapat

perhatian lebih dalam tulisan ini adalah industri otomobil.

Industri otomobil merupakan salah satu industri strategis yang memberikan

kontribusi cukup besar bagi proses perkembangan ekonomi global. Industri ini terkait

dengan berbagai industri lainnya, sehingga Peter Dicken (2011) menyebutnya sebagai

“the key manufacturing industry”. Industri ini mampu menyerap sekitar 8 juta orang

pekerja dalam proses produksi kendaraan. Jika ditambahkan dengan pekerja yang

terlibat dalam pemasaran, penjualan, dan servis, secara keseluruhan jumlah individu

yang dipekerjakan tidak kurang dari 20 juta orang (Dicken, 2011: 278).

Tidak hanya itu, industri otomobil mampu memproduksi sekitar 60 juta

kendaraan dalam setahun, menyumbang hampir separuh dari keseluruhan konsumsi

minyak dunia. Kemudian pembuatannya menggunakan sekitar setengah dari hasil

karet, 25 persen kaca, dan 15 persen produksi baja dunia setiap tahunnya (The

5 Economic Planning Board.6 Korean Central Intelligence Agency.

3

Page 5: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Economist, 2004). Sedangkan dalam lingkup domestik, menurut Korean Automobile

Manufacturers Association pada laporan tahunannya, industri otomobil berada pada

peringkat pertama dari segi penyerapan tenaga kerja, produksi, dan nilai tambah, jika

dibandingkan dengan industri manufaktur lainnya di Korea Selatan (KAMA, 2011:

6). Dikarenakan skala yang besar dan keterkaitannya dengan banyak industri lainnya

industri otomobil menjadi salah satu industri prioritas bagi banyak negara di dunia,

termasuk bagi Korea Selatan.

Dibawah kepemimpinan Park Chung-hee yang memiliki visi untuk

menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu pemimpin perekonomian dunia, industri

otomobil mulai dibangun. Ketika Park Chung-hee menjadi Presiden pada tahun 1963,

dia memutuskan bahwa negaranya akan menjadi salah satu produsen mobil di dunia

(Kim & Jaffe, 2010: 101). Park beranggapan bahwa kontribusi industri ini bagi

penyerapan tenaga kerja dan pembangunan ekonomi, mampu menjadi katalisator bagi

peningkatan status ekonomi Korea Selatan dalam mencapai visinya ke depan.

Industri otomobil Korea Selatan berawal dari industri reparasi kendaraan

selama dan setelah perang Korea ditandai dengan berdirinya pabrik perakitan

kendaraan pertama pada tahun 1955. Rencana Pembangunan Ekonomi Lima Tahun

dan kebijakan EOI yang ditetapkan oleh pemerintah pasca kepemimpinan Park

Chung-hee, mendorong industri ini untuk terus berkembang. Melalui kerjasama

teknik dan joint venture dengan perusahaan asing khususnya dari Jepang, beberapa

perusahaan perakitan mobil dalam negeri lahir. Beberapa diantaranya; Saenara Motor

Company yang bekerjasama dengan Nissan, Shinjin Motor Company dengan Toyota,

4

Page 6: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

kemudian Kia Motor, Asia Motor, Hadonghwan Motor dan Hyundai Motor, yang

kemudian tumbuh dan berkembang menjadi konglomerasi bisnis Korea yang disebut

sebagai chaebol7.

Atas dasar keinginan yang kuat untuk mencapai kemajuan ekonomi

khususnya industrialisasi, pemerintahan era Park Chung-hee memberikan hampir

semua kemudahan bagi para pelaku industri termasuk otomobil dalam menjalankan

roda bisnisnya. Pemerintah kemudian membina dan membesarkan perusahaan-

perusahaan lokal seperti Hyundai, Kia, dan Daewoo. Mereka dan para pelaku industri

lainnya diberikan insentif oleh pemerintah berupa dukungan dana dalam bentuk

kredit dalam jumlah besar dan dikenakan pajak yang sangat rendah. Pada akhirnya,

para pelaku industri tersebut dapat menjadi motor penggerak roda perekonomian dan

menjadi pemain utama dalam proses industrialisasi di Korea Selatan termasuk

industri otomobil. Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah kemudian menjadi

faktor utama pembentuk karakter perekonomian Korea Selatan yang didominasi oleh

konglomerasi bisnis lokal atau chaebol.

Sebagai penunjang kegiatan industrialiasi, pemerintah membangun

infrastruktur yang memadai secara bertahap seperti pelabuhan, jaringan transportasi

dan lain sebagainya. Kemudian, pada tahun 1973 pemerintah mendirikan industri baja

7 Raksasa bisnis atau konglomerasi yang dibina oleh pemerintah yang kemudian menjadi penggerak roda perekonomian disana seperti Daewoo, Kia, dan Hyundai. Pola ini meniru struktur yang sudah ada di Jepang, yaitu zaibatsu yang terdiri dari Toyota, Mitsubishi, Honda dan lainnya.

5

Page 7: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

POSCO8 yang disebut merupakan salah satu tulang punggung bagi perkembangan

industri di Korea Selatan. Dengan cara mengubah daerah Pohang di pesisir timur

Korea yang tadinya merupakan kawasan petani dan nelayan, POSCO kemudian

menjadi pemasok utama bahan baku bagi industri otomobil dan yang lainnya di

dalam negeri. Pasca berdirinya POSCO, proses industrialisasi di Korea Selatan

menjadi semakin terintegrasi dan kemudian hal ini mendorong industri otomobil serta

yang lainnya untuk terus maju.

Seiring dengan perkembangannya, pada tahun 1974 industri otomobil Korea

Selatan telah mampu menciptakan mobil sendiri. Kia Motor memproduksi mobil

pertama produk nasional negara tersebut yang diberi nama the Brisa. Kemudian

setahun setelahnya, Hyundai memperkenalkan mobil dengan sebutan Pony yang

kemudian lebih terkenal dan merupakan mobil domestik pertama yang diekspor ke

luar negeri (Kai-Sun, Leung-Chuen, Lui, & Qiu, 2001: 188). Dalam rentang waktu 5

tahun, industri otomobil Korea Selatan mengalami peningkatan produksi sebanyak 10

kali lipat dari tahun 1974 sampai dengan tahun 1979.

Kebijakan industrialisasi berorientasi ekspor yang ditetapkan oleh pemerintah

melalui EOI, jiga diyakini memberikan peran penting bagi perkembangan industri

otomobil Korea Selatan. Kebijakan ini direspon oleh pelaku industri dengan

melakukan penetrasi ke pasar luar negeri yang dilakukan pertama kali pada tahun

1977. Ekspor industri otomobil Korea Selatan pada saat itu sekitar 1,287 unit (Kai-

Sun, Leung-Chuen, Lui, & Qiu, 2001). Jika dilihat dari jumlahnya, memang angka

8 Pohang Iron and Steel Company.

6

Page 8: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

tersebut terlihat kecil. Namun jika dilihat dari sisi yang lain, hal tersebut merupakan

titik awal keberhasilan bagi Korea Selatan dalam membangun industri otomobil yang

beriorientasi ekspor.

Dinamika ekonomi politik domestik dan internasional yang terjadi pada awal

1980-an membawa perubahan pada arah kebijakan Korea Selatan. Pemerintah

melakuan integrasi industri yang disebabkan oleh krisis minyak dunia dan turunnya

permintaan domestik. Hal ini juga memaksa industri otomobil untuk melakukan

efisiensi dan mengurangi kompetisi dalam negeri yang tidak perlu. Sehingga

pemerintah melakukan restrukturisasi dan reorientasi industri. Kebijakan ini

menyisakan tiga pemain utama dalam industri otomobil Korea Selatan yaitu,

Hyundai, Kia, dan Daewoo.

Kemudian, berdasarkan rekomendasi KIET9, selain melakukan restrukturisasi

dan reorientasi, industri otomobil Korea Selatan juga dianjurkan untuk melakukan

perluasan pasar. Menurut KIET, industri otomobil negara tersebut hanya bisa

bertahan jika melakukan ekspansi produksi ke tempat-tempat yang memiliki volume

yang cukup besar untuk menangkap skala ekonomi agar dapat menyerap kapasitas

produksi yang dimiliki oleh Korea Selatan. Merespon hal tersebut, beberapa tahun

kemudian Industri otomobil Korea Selatan berhasil menembus pasar Amerika.

Ekspor Hyundai ke sana pada tahun 1987 mencapai 346,582 unit. Tidak hanya itu,

Hyundai berhasil memecahkan rekor penjualan terbanyak mobil impor di Amerika

dalam setahun (Green, 1992: 411).

9 Korean Institute of Economics and Technology.

7

Page 9: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Kesuksesan Hyundai di pasar Amerika menjadikan industri otomobil Korea

Selatan sebagai eksportir mobil terbesar di antara negara-negara berkembang yang

sebelumnya sekitar tahun 1970-an didominasi oleh negara-negara Amerika Latin

seperti Brazil, Meksiko dan Argentina. Sejak saat itu industri otomobil Korea Selatan

terus mengalami perkembangan, angka produksi dan ekspor terus bertambah. Output

industri otomobil Korea Selatan meningkat sekitar 20 kali lipat dalam rentang waktu

1978 sampai 1993, dari 85,693 unit menjadi 2,040,000 unit (Chung, 1994, hal. 85).

Dapat dikatakan, kemampuan pemerintah dalam merespon dinamika ekonomi

politik yang terjadi secara domestik maupun internasional berperan dalam membawa

keberhasilan yang telah dicapai industri otomobil Korea Selatan. Kemampuan ini,

terutama yang berkaitan dengan dinamika internasional disebut oleh Linda Weiss

sebagai state capacity yaitu, kemampuan negara untuk merespon berbagai bentuk

tekanan eksternal terhadap ekonomi domestik melalui kebijakan-kebijakan baru yang

dapat mendorong perkembangan proses industrialisasi (Weiss, 1998: 4). Kemampuan

pemerintah merespon kenaikan harga minyak dunia dan turunnya permintaan dengan

melakukan integrasi melalui restrukturisasi dan reorientasi industri dapat dilihat telah

mendorong perkembangan proses industrialisasi otomobil dalam negeri.

Dinamika yang berbeda terjadi pada tahun 1997. Krisis ekonomi yang

melanda Asia pada saat itu membawa perubahan pada wajah industri otomobil Korea

Selatan. Pemerintah yang menerima bantuan dana dari IMF10 untuk mengatasi krisis,

dipaksa untuk mengadopsi kebijakan liberalisasi ekonomi atas rekomendasi lembaga

10 International Monetary Fund.

8

Page 10: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

keuangan tersebut. Kebijakan liberalisasi yang dilakukan pemerintah Korea Selatan

dengan cara menarik diri dari campur tangan dalam perkenomian ini, menyebabkan

peran pemerintah dalam menjamin para pelaku industri tereliminalisir. Chaebol yang

pada masa-masa sebelumnya selalu mendapat back-up dari negara, harus menghadapi

krisis ini tanpa bantuan dari pemerintah.

Daewoo dan Kia yang mengalami kesulitan finansial akibat krisis harus

mencari pemecahan sendiri. Sehingga sebagai jalan keluar dari krisis, perusahaan

tersebut harus melakukan merger atau menjual diri. Hyundai mengakuisisi 51 persen

saham Kia, sedangkan Daewoo dibeli sebagian oleh General Motor. Sedangkan

Samsung Motor yang pada saat itu merupakan pemain baru dalam industri ini, juga

mengalami kesulitan akibat krisis dan melakukan merger dengan Renault.

Pasca krisis Asia, industri otomobil Korea Selatan secara meyakinkan terus

mengalami perkembangan. Pada tahun 2003 Hyundai berhasil menjadi salah satu

perusahaan otomobil yang berada dalam jajaran sepuluh besar dunia berdasarkan

tingkat produksi (Lihat Gambar 1). Kemudian pada tahun 2008, Kia Motor berhasil

menjadi perusahan otomobil yang memiliki jumlah produksi yang cukup besar dalam

hitungan skala global. Oleh karena itu, industri otomobil Korea Selatan dianggap

telah mampu bersaing dan berada sejajar dengan industri otomobil Jepang, Amerika,

dan Eropa. Perkembangan industri otomobil di kawasan Asia Timur terutama di

Korea Selatan dan Jepang ini, disebut oleh Peter Dicken (2011) sebagai the rise of

Japanese and Korean automobile manufacturers.

9

Page 11: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Gambar 1.Perusahaan Otomobil Dunia Berdasarkan Produksi

Sumber: Dicken (2011).

Berdasarkan Gambar 1 diatas, dapat dilihat bahwa perkembangan industri

otomobil Korea Selatan pasca krisis Asia mengalami kemajuan dimana Hyundai yang

pada tahun 1994 masih berada jauh dibawah Honda dan Nissan secara kuantitas

produksi, pada tahun 2003 Hyundai dapat melewati kapasitas produksi kedua

perusahaan otomobil asal Jepang tersebut. Sedangkan Kia Motor, pada tahun 2008

berhasil berada pada jajaran lima belas besar produsen otomobil dunia.

Pada tahun 2008 krisis terjadi lagi. Dunia dilanda krisis global, namun

industri otomobil Korea Selatan terus tumbuh dan berkembang meskipun

menghadapi sedikit rintangan. Hyundai terus mengalami peningkatan produksi dari

tahun 2009 sampai dengan 2011. Tercatat produksi mobil Hyundai pada tahun 2009

10

Page 12: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

mencapai 1,606,879 unit, pada tahun 2010 berada di angka 1,743,375 unit, sedangkan

tahun 2012 produksinya menembus angka 1,892,254 unit.

Selain terus meningkatkan kuantitas produksi, industri otomobil Korea

Selatan juga melakukan peningkatan kualitas. Industri yang pada awalnya masuk

pasar Amerika sebagai mobil murah dengan kualitas rendah, melakukan transformasi

dan upgrading11 dengan masuk ke pasar mobil premium. Pada tahun 2009 Hyundai

genesis, mendapatkan penghargaan paling bergengsi bagi produsen mobil di pasar

Amerika yaitu, North American Car of The Year. Acuan yang digunakan dalam

penghargaan tersebut untuk menentukan siapa peraihnya adalah rekomendasi dari

para wartawan otomotif terkemuka di Amerika. Penghargaan tersebut merupakan

salah satu lambang keberhasilan industri otomobil Korea Selatan, dimana belum

pernah ada satupun mobil asal Korea yang berhasil memenangkan sebuah

penghargaan bergengsi sejak negara tersebut masuk ke pasar Amerika beberapa

dekade yang lalu.

B. Rumusan Permasalahan

Dengan berbagai macam dinamika ekonomi politik yang terjadi selama fase

pembangunan dan pengembangan industrialisasi di Korea Selatan, baik itu yang

bersifat domestik maupun internasional, saat ini industri otomobil Korea Selatan

11 Usaha untuk melakukan optimalisasi pembelajaran dan penciptaan nilai guna meningkatkan kapabilitas pelaku industri dengan tujuan agar dapat menciptakan produk yang lebih baik, lebih efisien, dan mampu melakukan aktivitas produksi yang lebih tinggi di dalam rantai produksi (Gereffi & Fernandez-Stark, 2011: 12).

11

Page 13: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

mampu mempertahankan eksistensinya dan menjadi salah satu kekuatan utama di

kawasan Asia. Tidak hanya mengalami kemajuan yang signifikan, Korea Selatan

disebut telah mampu berada sejajar dengan industri-industri otomobil dari negara

maju seperti Jepang, Amerika, dan Eropa.

Keberhasilan proses industrialisasi di Korea Selatan sudah tentu memberikan

kontribusi yang besar bagi pembangunan ekonomi disana. Melalui pengembangan

industrialisasi, pemerintah Korea Selatan mampu meningkatkan kesejahteraan

masyarakatnya yang ditunjukan oleh angka GDP12 yang terus meningkat selama

proses pembangunan ekonomi disana. Tercatat dari tahun 1970 hingga sebelum krisis

Asia 1997, GDP Korea Selatan tumbuh rata-rata 8,4 persen per tahun (The

Economist, 1998). Korea Selatan telah berhasil melakukan transformasi dari yang

sebelumnya merupakan negara miskin menjadi negara dengan ekonomi terbesar

kelima belas di dunia.

Selama beberapa dekade terakhir industri otomobil Korea Selatan telah

mengalami perkembangan pesat, dari yang tadinya hanya merupakan industri kecil

dibawah kontrol pemerintah menjadi pemain penting di dalam pasar global (Lee,

2011: 428). Negara tersebut mampu menjadi salah satu yang bersinar di antara

negara-negara lainnya yang datang belakangan dalam pembangunan industri

otomobil. Keberhasilan Korea Selatan diantara negara-negara Amerika Latin seperti

Brazil, Meksiko, dan Argentina yang dalam waktu relatif bersamaan berangkat

sebagai negara berkembang di dalam industri otomobil, kemudian memunculkan

12 Gross Domestic Product.

12

Page 14: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pertanyaan mengenai keberhasilan itu sendiri. Bagaimana negara-negara yang pada

awalnya memiliki latar belakang sama, yaitu negara berkembang yang melakukan

proses industrialisasi dalam konteks pembangunan ekonomi ini, bermuara pada

tingkat kesukesan yang relatif jauh berbeda.

Keberhasilan Korea Selatan diantara negara-negara berkembang lainnya dan

capaian yang telah diraih, melahirkan pemikiran bahwa Korea Selatan telah dapat

disejajarkan dengan industri otomobil dari negara-negara ekonomi maju. Hal inilah

yang kemudian menjadi latar belakang munculnya pertanyaan penelitian di dalam

tulisan ini.

Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

Mengapa industri otomobil Korea Selatan berhasil mencapai kemajuan

sehingga mampu melakukan transformasi, dari yang tadinya merupakan industri kecil

dibawah kontrol pemerintah, menjadi pemain penting di dalam pasar global, dan

bagaimana peran para aktor yang terlibat dalam proses pembangunan dan

industrialisasi disana, terhadap kemajuan yang telah dicapai?

C. Tinjauan Pustaka

Seperti yang telah disampaikan diawal, bahwa keberhasilan proses

industrialisasi dalam konteks pembangunan ekonomi di Korea Selatan yang mampu

memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat, telah mengundang

minat banyak kalangan untuk mengkaji lebih mendalam mengenai faktor penentu

13

Page 15: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

keberhasilan proses tersebut. Berbagai pandangan memberikan argumentasinya

masing-masing mengenai keberhasilan yang telah dicapai oleh Korea Selatan.

Terdapat tiga pandangan tradisional dalam ilmu ekonomi politik internasional yang

telah mencoba untuk mengelaborasi faktor-faktor penentu keberhasilan industri dan

ekonomi di Korea Selatan.

Ketiga sudut pandang tersebut adalah perspektif neoklasik atau liberal,

developmental state, dan perspektif dependensi. Perspektif liberal menitikberatkan

pada peran pasar sebagai mekanisme utama dalam pengalokasian sumber daya.

Perspektif developmental state mengedepankan peran negara dalam proses tersebut.

Sedangkan perspektif dependensi, menitikberatkan pada struktur internasional yang

tercipta dari interaksi sosial masyarakat internasional yang menyebabkan

ketergantungan dalam proses pembangunan industri dan ekonomi.

Menurut pemikiran neoklasik atau liberal, pasar memegang peranan penting

dalam keberhasilan perekonomian dan industri, yang dalam konteks Korea Selatan

dapat dilihat dengan kebijakan pemerintah yang berorientasi ekspor. Korea Selatan

pada masa pemerintahan Park Chung-hee menerapkan sistem kebijakan industri yang

berorientasi ekspor dalam proses pembangunan ekonomi di negara tersebut.

Kebijakan pemerintah berupa industri berorientasi pada penjualan luar negeri ini,

dapat diartikan sebagai kebijakan yang outward looking.

Bella Balassa dalam tulisannya Outward versus Inward Orientation Once dan

Korea’s Development Strategy, melihat bagaimana kebijakan outward looking

menjadi faktor penentu yang membawa Korea Selatan keluar menjadi negara dengan

14

Page 16: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

capaian industri dan perekonomian yang jauh lebih baik daripada negara-negara di

Amerika Selatan dan negara lainnya yang pada saat bersamaan menempuh kebijakan

Import Substitution Industry. Strategi outward looking yang diterapkan di Korea

selatan menjadikan perekonomian dan industri disana menjadi semakin terintegrasi

dengan pasar yang merupakan kunci keberhasilan ekonomi menurut pandangan

liberal (Balassa, 1983: Balassa, 1990).

Berdasarkan argumen perspektif neoklasik, strategi outward looking yang

diterapkan melalui kebijakan industri berorientasi ekspor membuka peluang bagi

Korea Selatan untuk memanfaatkan pasar yang tersedia diluar sehingga dapat

memperbesar skala ekonomi, mengembangkan atau membangun teknologi baru, dan

menambah kapabilitas sosial. Selain itu, EOI juga akan meningkatkan jumlah ekspor

dengan memaksimalkan potensi sumber daya dan teknologi berdasarkan comparative

advantage yang dimiliki oleh Korea Selatan.

Kebijakan outward looking berupa industri berorientasi ekspor menghasilkan

industri-industri yang efisien dan pada akhirnya mampu bersaing secara internasional

dan global, sehingga kemudian industri di Korea Selatan dapat memberikan

kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi. Selain itu, pandangan

liberal juga melihat bahwa dalam menjamin keberhasilan perekonomian, peran

terbesar harus dialamatkan kepada swasta atau privat, sehingga Industri yang

dijalankan oleh Chaebol di Korea Selatan memberikan dukungan terhadap argumen

neoklasik atau liberal mengenai penjelasan tentang keberhasilan industri dan

pembangunan ekonomi di Korea Selatan

15

Page 17: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Kemudian perspektif yang lain melihat, keberhasilan industri dan

pembangunan ekonomi di Korea Selatan bukan hanya terkait dengan kebijakan pasar

semata, yang diimplemestasikan melalui kebijakan outward looking atau industri

berorientasi ekspor, seperti yang dijelaskan oleh perspektif neoklasik atau liberal.

Menurut perspektif developmental state yang digambarkan oleh Alice H. Amsden

dalam tulisannya Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialization.

Keberhasilan industri dan pembangunan ekonomi di Korean Selatan disebabkan oleh

peran Pemerintah dalam menerapkan kebijakan dan aturan yang terintegrasi untuk

mendukung kemajuan proses industrialisasi, dalam bentuk dukungan dana yang besar

kepada industri, mengarahkan fokus kegiatan ekonomi dan industri, serta melakukan

intervensi terhadap mekanisme pasar (Amsden, 1989). Pemerintah dengan kapasitas

keuangan yang dimiliki dapat mengalokasikan dana yang besar untuk kemajuan

industri dan mendukung pelaku usaha lokal dalam hal permodalan sehingga dapat

mengembangkan usahanya. Dalam mendukung perkembangan industri, Korea

Selatan membentuk lembaga finansial dibawah kendali pemerintah untuk menjamin

akses terhadap modal bagi para pengusaha.

Selain itu, pemerintah juga dapat mengarahkan tujuan industrialisasi sehingga

pihak-pihak yang terlibat dalam industrialisasi dapat melaksanakan program sesuai

dengan sasaran dan fokus kepada tujuan yang telah ditetapkan, serta terjadi sinergi

dalam proses kegiatan industri sehingga kemajuan yang ingin dicapai dapat

terealisasi. Lembaga-lembaga seperti EPB dan KCIA dibentuk oleh pemerintah untuk

16

Page 18: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

melakukan koordinasi dan kooperasi dalam menjalankan program pembangunan

ekonomi dan industri di Korea Selatan.

Pemerintah juga dapat melakukan intervensi terhadap mekanisme pasar dalam

konteks melindungi industri lokal dari persaingan langsung dengan kompetitor luar

yang lebih maju. Pada awal kemunculan industri otomobil di Korea Selatan,

Pemerintah menerapkan kebijakan larangan impor mobil dalam bentuk jadi dari luar

negeri. Akan tetapi pemerintah kemudian memperbolehkan impor suku cadang

kendaraan yang bertujuan untuk meningkatkan minat pelaku industri otomobil yang

merupakan industri perakitan untuk terus mengembangkan diri.

Pandangan developmental state berpendapat bahwa keberhasilan

pembangunan ekonomi dan industri di Korea Selatan tercipta karena efektifitas dari

institusi nasional dan kebijakan negara yang mendukung proses kemajuan tersebut.

Pada masa pemerintahan Park Chung-hee dan Chun Doo-hwan yang merupakan

masa-masa awal Korea Selatan membangun perekonomian dan industrinya, peran

pemerintah dalam kegiatan ekonomi dan indutri sangatlah sentral. Sehingga

kemudian, hal ini dianggap sebagai penentu keberhasilan proses pembangunan

ekonomi dan kemajuan industri di Korea Selatan.

Perspektif lainnya yang melihat tentang keberhasilan industri dan

pembangunan ekonomi di Korea Selatan datang dari perspektif dependensi.

Perspektif ini berangkat dari metodologi strukturalis yang melihat keberhasilan Korea

Selatan dalam kemajuan industri dan pembangunan ekonomi disebabkan oleh faktor

ketergantungan Korea Selatan terhadap teknologi dan kapital serta perdagangan luar

17

Page 19: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

negeri yang disupport oleh Jepang. Robert Castley dalam tulisannya Korea’s

Economic Miracle: The Crucial Role of Japan, melihat bahwa Jepang memegang

peranan penting dalam proses kemajuan industri dan pembangunan ekonomi di Korea

Selatan. Transfer teknologi dari Jepang sangat berperan dalam membantu kemajuan

industri di Korea Selatan. Bentuk-bentuk transfer teknologi dilakukan melalui

berbagai program kerjasama antara lain seperti joint venture dan lisensi teknologi

(Castley, 1997).

Struktur internasional yang terbentuk dari interaksi sosial dan ekonomi

membentuk suatu pengelompo`kan yang terdiri dari negara maju dan negara

berkembang yang biasa disebut sebagai negara core dan periphery. Negara maju

digambarkan sebagai negara yang mengusai modal, faktor-faktor produksi, dan

penghasil barang-barang industri, sedangkan negara berkembang merupakan

penghasil kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan-bahan mentah untuk

kepentingan industri.

Pada masa awal berdirinya industri di Korea Selatan, struktur internasional

menempatkan Jepang sebagai negara maju dan tentu saja Korea Selatan sebagai

negara berkembang di dalam kawasan regional Asia (Timur). Sebagai negara

berkembang yang baru saja memulai proses industrialisasi, Korea Selatan memiliki

banyak keterbatasan dalam hal modal dan teknologi. Untuk mengembangkan industri

dalam negeri, sebagai negara berkembang, Korea Selatan bergantung kepada modal

dan teknologi yang dimiliki oleh negara maju, dalam hal ini Jepang. Sehingga

kemudian dilakukan kerjasama ekonomi antara kedua negara dalam proses

18

Page 20: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

industrialisasi. Ketergantungan dan proses kerjasama tersebut menggambarkan peran

Jepang dalam perkembangan dan kemajuan industri di Korea Selatan.

Ketika pertama kali membangun pabrik baja, Korea Selatan sama sekali tidak

memiliki kemampuan dan pengalaman, sehingga hal ini dianggap oleh banyak

kalangan sebagai proyek ambisius pemerintahan saat itu. Pembangunan pabrik baja

yang diberi nama POSCO ini dilakukan dengan cara belajar dari Jepang dan

mendatangkan tenaga ahli dari sana, yang pada saat itu diakui sebagai salah satu

penghasil baja terbaik di dunia. Sedangkan dalam membangun industri otomobil,

pada awalnya perusahaan otomobil Korea Selatan melakukan pekerjaan perakitan

dari pabrikan utama Jepang dan Amerika. Kerjasama yang dilakukan pada saat itu

melibatkan Hyundai yang merupakan subkontrak dari Ford dan Daewoo yang

merupakan subkontrak dari Mitsubishi.

Dari literatur-literatur sebelumnya yang telah dijabarkan diatas, dapat dilihat

bahwa mekanisme pasar, peran negara, dan ketergantungan terhadap modal dan

teknologi yang menghasilkan kerjasama internasional, merupakan faktor-faktor yang

menjadi kunci keberhasilan pembangunan ekonomi dan perkembangan industri di

Korea Selatan. Kemudian konsep-konsep yang menjelaskan tentang keberhasilan

pembangunan ekonomi dan perkembangan industri di Korea Selatan dalam literatur

tersebut akan menjadi pijakan bagi tulisan ini untuk melihat dan menjelaskan

kemajuan industri otomobil Korea Selatan, terlebih lagi dalam melihat transformasi

yang dilakukan dalam proses pembangunan dan industrialisasi melalui fase-fase atau

19

Page 21: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

tahapan yang dipengaruhi oleh dinamika ekonomi politik baik itu dalam tataran

domestik maupun internasional.

Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mengenai kemajuan industri

otomobil di Korea Selatan dengan menggunakan konsep Economic Backwardness,

dan konsep-konsep di dalam teori GVC13 serta menjadikan literatur-literatur terdahulu

yang telah dipaparkan diatas sebagai acuan. Lalu kemudian. melihat relevansi

konsep-konsep yanga ada di dalam literatur tersebut untuk digunakan dalam

membantu menjelaskan permasalahan yang akan dibahas pada bagian-bagian

berikutnya pada tulisan ini.

D. Kerangka Pemikiran

Dilihat dari kacamata ekonomi politik internasional, keberhasilan

pembangunan ekonomi dan industri (otomobil) yang terjadi di Korea Selatan

berdasarkan tinjauan literatur yang telah dipaparkan sebelumnya adalah produk dari

interaksi antara negara dengan pasar. Dalam ranah ekonomi politik internasional ada

beberapa perspektif yang berkembang dan dapat digunakan untuk melihat bagaimana

interaksi antara negara dengan pasar, seperti merkantilis, liberal, radikal (marxis), dan

reformis (Mas'oed, 2003).

Jika melihat konektivitas antara konsep yang terdapat dalam tinjauan literatur

dengan perspektif ekonomi politik internasional, konsep developmental state

merupakan bentuk lain dari merkantilisme, outward looking sudah tentu mengacu

13 Global Value Chain.

20

Page 22: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pada liberalisme. Sedangkan dependensi dari segi struktur internasional yang

terbentuk mengacu kepada pandangan radikal atau marxis, akan tetapi pemanfaatan

struktur internasional untuk kemajuan ekonomi dan perkembangan industri di Korea

Selatan dapat dikatakan lebih mengacu kepada perspektif reformis.

Konsep-konsep diatas biasa disebut sebagai pendekatan tradisional, yang telah

lazim digunakan sebagai konsep dasar untuk memahami fenomena ekonomi politik

internasional yang terjadi. Demikian halnya ketika menjelaskan tentang keberhasilan

atau kegagalan suatu negara dalam melakukan proses pembangunan ekonomi. Setiap

pendekatan yang berbeda ketika melihat suatu fenomena ini, memiliki argumennya

masing-masing untuk menjelaskan keberhasilan atau kegagalan tersebut. Berkaitan

dengan konteks Korea Selatan, cara pandang dari pendekatan tradisional tersebut

telah dijelaskan sebelumnya pada bagian tinjauan pustaka.

Kemajuan ekonomi dan industri yang telah dicapai oleh Korea Selatan

merupakan hasil dari sebuah proses panjang yang berjalan selama beberapa dekade.

Untuk mencapai apa yang telah diraih oleh Korea Selatan saat ini, negara tersebut

telah menapaki berbagai tahapan dan dinamika yang terjadi di dalam proses

pembangunan. Dalam menjelaskan proses yang panjang tersebut, ketiga pendekatan

tradisional yang lazim digunakan tersebut berkontribusi dengan memberikan

pemahaman yang relevan dengan masing-masing konsep. Akan tetapi, konsep-konsep

yang terdapat pada pendekatan tradisional juga memiliki keterbatasan dalam

menjelaskan keberhasilan Korea Selatan (Shim & Lee, 2008: 2).

21

Page 23: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Pendekatan neoklasik yang menekankan peran pasar dalam keberhasilan

pembangunan ekonomi dan industri di Korea Selatan, cenderung mengabaikan peran

pemerintah dalam menentukan arah kebijakan pembangunan disana. Sebagai suatu

proses yang menyeluruh, terdapat satu fase di dalam periode pembangunan ekonomi

dan industri di Korea Selatan yang berlangsung dibawah pemerintahan yang sangat

otoriter seperti pada masa kepemimpinan Chun Doo-hwan dan Park Chung-hee.

Sejarah menunjukan bahwa dibawah kepemimpinan yang otoriter, peran pemerintah

dalam perekonomian relatif besar bahkan tidak jarang pemerintah menjadi aktor

dominan dalam proses pembangunan.

Sebaliknya, terdapat suatu fase dalam tahapan pembangunan ekonomi di

Korea Selatan yang menunjukan absennya peran pemerintah. Ketika terjadi krisis

Asia pada tahun 1997, pemerintah Korea Selatan dipaksa untuk mengadopsi

kebijakan yang dianjurkan oleh IMF. Deregulasi kebijakan pemerintah yang

mengarah kepada liberalisasi ini, dilakukan sebagai kompensasi atas dana bantuan

penanggulangan krisis yang dipinjamkan oleh lembaga keuangan tersebut. Pada saat

itu pemerintah Korea Selatan benar-benar menarik diri dari perekonomian. Dukungan

dana dan kemudahan pinjaman yang selalu diberikan kepada pelaku usaha pada

masa-masa sebelumnya, akhirnya dihentikan. Keadaan ini, mengakibatkan para

pelaku usaha kesulitan, tak terkecuali pengusaha yang bergerak di sektor industri

otomobil. Daewoo salah satu chaebol yang merupakan pelaku utama dalam industri

tersebut, mengalami kebangkrutan sehingga harus menjual sahamnya kepada

perusahaan luar negeri.

22

Page 24: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Dengan berkurangnya peran pemerintah dalam proses perekonomian, negara

ini berhasil keluar dari krisis Asia 1997. Selain membawa Korea Selatan keluar dari

krisis ekonomi, deregulasi anjuran IMF itu juga mampu meningkatkan angka

pertumbuhan ekonomi negara tersebut setelah keluar dari krisis. Jika melihat fase ini,

dapat dikatakan bahwa pendekatan developmental state kurang relevan dalam

menjelaskan keberhasilan tersebut, mengingat konsep ini menekankan peran sentral

pemerintah dalam perekonomian. Hal ini menunjukan keterbatasan pendekatan-

pendekatan tersebut dalam menjelaskan kemajuan ekonomi dan industri di Korea

Selatan secara menyeluruh.

Secara umum pendekatan neoklasik dan developmental state memiliki

kesamaan yaitu fokus kepada faktor internal. Kedua pendekatan ini melihat seberapa

besar atau jauh suatu pemerintahan dalam mengadopsi prinsip-prinsip pasar.

Perbedaannya adalah salah satu melihat perlunya peran pemerintah yang sentral,

sedangkan yang lainnya melihat sebaliknya, bahwa peran pemerintah justru akan

mendistorsi mekanisme pasar. Dengan fokus kepada permasalahan internal, kedua

pendekatan ini cenderung mengabaikan faktor eksternal dalam melihat keberhasilan

Korea Selatan. Para pendukung ide dependensi seperti Robert Castley (1997),

beranggapan bahwa sukses Korea Selatan ditentukan oleh faktor-faktor eksternal

seperti modal asing dan teknologi dari luar. Ketika meletakan porsi yang sangat besar

pada faktor eksternal, pendekatan dependensi memberikan perhatian sangat kecil

pada faktor internal dalam melihat keberhasilan Korea.

23

Page 25: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Keterbatasan pendekatan tradisional dalam memahami faktor penentu

kemajuan Korea Selatan secara meyeluruh, terletak pada cara pandang masing-

masing konsep ini yang relatif statis. Pendekatan developmental state menekankan

peran dominan pemerintah dari awal hingga akhir, sedangkan pendekatan neoklasik

percaya bahwa proses panjang dari keberhasilan Korea Selatan terjadi karena

pemerintah yang melepaskan proses tersebut kepada mekanisme pasar dan industri

berorientasi ekspor. Pada kenyataanya, proses pembangunan ekonomi dan industri di

Korea Selatan berjalan sangat dinamis. Proses industrialisasi yang diawali oleh

pemerintahan otoriter, kemudian bergerak ke arah pemerintahan demokratis, lalu

cenderung liberal setelah krisis Asia, menggambarkan proses ekonomi politik yang

dinamis di Korea Selatan.

Terlepas dari keterbatasan pendekatan tradisional dalam menjawab pertanyaan

yang berkaitan dengan keberhasilan Korea Selatan, pandangan tersebut telah

memberi kontribusi besar sebagai pijakan atau acuan dasar untuk menjelaskan

fenomena-fenomena dalam kajian studi ekonomi politik internasional. Untuk

memahami keberhasilan pembangunan ekonomi dan industri, khususnya industri

otomobil di Korea Selatan secara menyeluruh, perlu pengkajian yang lebih

komprehensif dengan melihat relevansi antara realita empiris dengan konsep-konsep

yang relevan, dan menggunakan pendekatan tradisional sebagai acuan. Kemudian,

tulisan ini akan mencoba untuk mengelaborasi dan mengidentifikasi proses panjang

tersebut berdasarkan konsep yang ada, sehingga diharapkan mampu menjelaskan

24

Page 26: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dinamika yang terjadi di dalamnya dan menjelaskan keberhasilan Korea Selatan

secara komprehensif.

Sebagai negara yang datang belakangan dalam proses industrialisasi, dapat

dikatakan Korea Selatan telah mampu berdiri sejajar dengan negara-negara yang telah

datang sebelumnya, seperti Jepang, Negara-negara di Eropa, dan Amerika.

Menjelaskan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba melihatnya dengan menggunakan

konsep economics backwardness yang dikemukakan oleh Alexander Gerschenkron

(1962). Korea Selatan, seperti yang dijelaskan sebelumnya adalah negara yang datang

belakangan dalam proses industrialisasi dapat disebut sebagai latecomer. Kemudian,

negara tersebut melakukan sesuatu yang dikenal sebagai proses catching-up agar

mampu berada sejajar dengan negara-negara yang telah lebih dahulu berhasil dalam

proses industrialiasi.

Salah satu argumen yang dikemukakan oleh Gerschenkron di dalam konsep

economic backwardness mengenai latecomer adalah, semakin belakangan suatu

negara melakukan industrialisasi maka semakin besar intervensi pemerintah yang

diperlukan (Gerschenkron, 1962). Intervensi pemerintah diperlukan karena semakin

belakangan suatu negara melakukan kegiatan industri maka kompetitor yang dihadapi

juga semakin besar jumlahnya, artinya persaingan yang terjadi semakin ketat.

Sehingga modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk dapat bersaing dengan

kompetitor-kompetitor dari luar tersebut juga semakin tinggi.

Dalam melakukan proses catching-up, pemerintah merupakan institusi yang

dapat memenuhi kebutuhan industri akan kapital dengan jumlah besar dan

25

Page 27: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

menyediakan teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan proses

industrialisasi. Penyediaan dan pengembangan teknologi guna menghasilkan inovasi

yang dibutuhkan untuk menopang proses kegiatan industrialisasi membutuhkan

lembaga research and development yang sudah tentu memerlukan alokasi dana dalam

jumlah yang sangat besar. Argumen Gerschenkron ini, dalam konteks intervensi

negara terhadap proses kegiatan industrialisasi juga sejalan dengan preskripsi

pandangan merkantilis dalam kacamata ekonomi politik internasional dimana negara

lemah harus intervensi pasar demi melindungi ekonomi domestik dari dominasi asing

(Mas'oed, 2003: 36)

Untuk melihat sejauh mana intervensi pemerintah suatu negara dalam proses

industrialisasi, kita dapat mengacu pada realitas empirik yang terjadi berdasarkan

fakta sejarah. Dalam proses industrialisasi yang terjadi di antara negara-negara di

dunia, dapat diidentifikasi bahwa pemerintah Jepang jauh lebih intens melakukan

intervensi terhadap industrinya dibandingkan pemerintah Amerika dan Inggris.

Secara sederhana saja dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena diantara ketiga

negara tersebut, Jepang merupakan negara yang datang paling belakangan dalam

proses industrialisasi. Sehingga untuk bersaing dengan Amerika dan Inggris yang

telah lebih dahulu melakukan proses industrialisasi, Jepang memerlukan peran

pemerintah yang lebih besar.

Jika dilihat dari prosesnya, tahapan negara-negara di dunia dalam melakukan

industrialiasi dapat dibagi menjadi empat periode. Inggris termasuk ke dalam periode

pertama melakukan industrialisasi. Ketika itu intervensi dari pemerintah sangat

26

Page 28: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

minim karena kompetitor dari luar juga tidak banyak. Kemudian Amerika dan Jerman

merupakan dua negara yang termasuk ke dalam periode kedua dalam melakukan

industrialisasi sehingga intervensi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap

industrinya dapat dikategorikan sebagai medium atau sedang. Jepang merupakan

salah satu negara yang masuk ke dalam periode ketiga dalam tahapan industrialisasi

negara di dunia, peran pemerintah dalam tahapan ini dikategorikan high atau tinggi.

Yang terakhir adalah negara-negara berkembang dan Korea Selatan termasuk

didalamnya, merupakan negara-negara yang masuk ke dalam periode keempat, dan

dalam periode ini intervensi pemerintah dikategorikan very high atau sangat tinggi.

Dari tahapan-tahapan tersebut dapat diasumsikan bahwa peran pemerintah dalam

kemajuan industri otomobil Korea Selatan sangat tinggi agar dapat bersaing dengan

negara-negara lain yang telah lebih dulu berada di dalam industri tersebut.

Uraian berdasarkan konsep Gerschenkron tersebut diatas, memberikan

gambaran lebih jauh bahwa perdebatan yang kemudian muncul bukan hanya terletak

pada harus atau tidaknya intervensi pemerintah, bukan juga perlu atau tidaknya

campur tangan pemerintah dalam pembangunan. Akan tetapi, yang terpenting adalah

bagaimana intervensi yang dilakukan oleh pemerintah harus tepat dan sesuai, karena

negara yang datang belakangan dalam proses industrialisasi memang harus

melakukan intervensi untuk dapat bersaing didalam pasar global. Sehingga, diskusi

selanjutnya bukan lagi hanya mengenai perlu atau tidaknya peran pemerintah dalam

proses pembangunan, akan tetapi bergerak menuju diskusi tentang bagaimana suatu

negara memilih strategi yang tepat dalam menjalankan proses pembangunan itu

27

Page 29: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

sendiri. Hal ini terkait dengan pilihan kebijakan atau policy choice yang diambil oleh

pemerintah. Pilihan kebijakan yang tepat sudah tentu akan memberikan kemajuan

dalam proses industrialisasi dan pembangunan ekonomi di dalam sebuah negara.

Dalam menentukan pilihan kebijakan yang tepat dalam proses industrialisasi

dan pembangunan, diperlukan sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha. Sinergi

antara kedua aktor penting dalam proses pembangunan industri ini terdapat di dalam

pembahasan konsep Global Value Chain. Konsep ini menekankan pada perlunya

sinergi antara pemerintah dan sektor swasta dengan tujuan agar potensi industri lokal

dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan value added agar

produksi yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif di tingkat domestik maupun

global. Terdapat empat bentuk sinergi, yaitu (Kaplinsky & Morris, 2000): disciplined

support, public risk absorption, private sector governance, serta aliansi inovasi

pemerintah dan bisnis.

Melalui discipline support, pemerintah memberikan kemudahan akses bagi

kelompok bisnis dengan menerapkan sistem monitoring agar kemudahan yang

diberikan dapat dimanfaatkan dengan optimal. Public risk absorption, berupa peran

pemerintah didalam membantu pendirian industri baru, dukungan dalam bentuk dana

investasi awal dan penyediaan modal. Kemudian private sector governance, suatu

kondisi berupa adanya hubungan yang positif antara kelompok bisnis dengan

pemerintah, dimana pemerintah berperan dalam memberikan akses mengenai

informasi pasar, sebaliknya kelompok bisnis memberikan input inisiasi dan alternatif

kebijakan bagi pemerintah. Sedangkan aliansi inovasi pemerintah dan bisnis

28

Page 30: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

merupakan bentuk sinergi berupa upaya kerjasama pemerintah dengan kelompok

bisnis untuk mengembangkan research and development melalui pembentukan

tempat-tempat riset.

Sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha dalam konteks proses

industrialisasi di Korea Selatan, dapat diidentifikasi dengan melihat hubungan antara

pemerintah dengan chaebol. Kedua aktor penting dalam proses pembangunan industri

tersebut mengalami pola hubungan yang gradual. Hal ini merupakan cerminan dari

sistem pemerintahan yang berjalan di Korea Selatan selama beberapa dekade. Seperti

yang dikemukakan oleh Alice H. Amsden (1989) bahwa, pada awal 1960-an pada

masa pemerintahan otoriter di Korea, pola hubungan antara pemerintah dengan

chaebol membentuk pola vertikal atau hierarki yang didominasi oleh pemerintah.

Seiring dengan tahapan industrialisasi selama periode pembangunan ekonomi di

Korea Selatan, hubungan antara pemerintah dengan chaebol berubah secara gradual

menjadi saling melengkapi kemudian kompetitif (Shim & Lee, 2008: 62).

Penjelasan Alice H. Amsden (1989) mengenai pola hubungan antara

pemerintah dengan chaebol yang hierarkis pada periode awal proses pembangunan

industri di Korea Selatan, sejalan dengan argumentasi Alexander Gerschenkron

(1962) yang telah dijelaskan sebelumnya, dimana pada fase awal industrialisasi peran

pemerintah adalah suatu keharusan. Sinergi antara pemerintah dengan chaebol

kemudian menghasilkan output pilihan kebijakan yang tepat dalam menjalankan

proses industrialisasi. Pentingnya sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha

dalam proses catching-up yang dilakukan Korea Selatan sebagai latecomer dalam

29

Page 31: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pembangunan industri, diperkuat oleh pemikiran yang dikemukakan oleh Jang-Sup

Shin (2002). Melalui tulisannya, Shin berpendapat bahwa pilar dasar dalam proses

catching-up yang dilakukan oleh Korea Selatan adalah nexus antara pemerintah

dengan chaebol (Shin, 2002: 19).

Sinergi antara pemeritah dengan para pelaku industri dan pola hubungan yang

terjadi diantara keduanya membentuk sekaligus merepresentasikan formasi state

capacity yang terjadi di Korea Selatan. State capacity yang dimaksud merujuk kepada

kemampuan pembuat kebijakan dalam melakukan penyesuaian terhadap strategi

domestik dengan cara bekerja sama dengan para pelaku industri yang bertujuan untuk

melakukan transformasi dan upgrading guna mencapai kemajuan industri (Weiss,

1998: 7). Kemampuan dalam melakukan penyesuaian atau memberikan respon

terhadap dinamika ekonomi melalui kerjasama dengan chaebol merupakan salah satu

faktor penentu keberhasilan proses industrialisasi di Korea Selatan.

Pembangunan ekonomi melalui industri manufaktur yang dilakukan oleh

Korea Selatan digagas pertama kali oleh pemerintahan Park Chung-hee yang

berkuasa sejak tahun 1962 hingga 1979. Salah satu terobosan penting yang diterapkan

oleh pemerintahan yang juga merupakan bagaian dari state capacity adalah penerapan

kebijakan HCI. Untuk mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi, pemerintah

mendukung para pelaku industri untuk melakukan investasi pada sektor-sektor

strategis sehingga Korea Selatan bergerak dari negara yang menjalankan industri

ringan menuju negara yang menjalankan industri berat dan strategis.

30

Page 32: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Dalam bentuk public risk absorption, pemerintah memberikan jaminan modal

melalui berbagai bentuk kemudahan meminjam dari bank untuk mendorong

pengusaha dalam melakukan bisnis yang berbasis ekspor. Ketersediaan modal

memudahkan para pelaku industri untuk melakukan ekspansi industri, sehingga lahir

raksasa-raksasa bisnis yaitu chaebol yang memiliki peran penting dalam

pembangunan ekonomi di Korea Selatan.

Kemudian dalam bentuk discipline support, pemerintah memberikan

kemudahan untuk mendapatkan lisensi dalam kegiatan industri, sehingga kegiatan

industri tumbuh pesat dan banyak pelaku industri bermunculan. Sebagai hasilnya,

Korea Selatan menjadi negara berkembang yang memiliki tingkat pertumbuhan

pelaku industri terbesar diantara negara-negara berkembang lainnya di dunia pada

periode tersebut.

Selain itu, masih pada masa pemerintahan Park Chung-hee, dibangun lembaga

koordinasi perdagangan EPB yang merupakan lembaga koordinasi pembangunan

yang bertujuan untuk melakukan koordinasi dalam proses pembangnunan dan

industrialisasi dengan semua pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha.

Pendirian EPB, dapat dilihat sebagai sinergi antara pemerintah dengan chaebol dalam

bentuk private sector governance.

Sementara aliansi inovasi antara pemerintah dengan pelaku usaha di Korea

Selatan, dilakukan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan investasi pada

kegiatan R&D di universitas agar menghasilkan peneliti yang kreatif (Yun, 2007: 42).

Kemudian, pelaku usaha melakukan kerjasama R&D dengan universitas yang

31

Page 33: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dimaksud untuk menghasilkan inovasi dalam rangka mengembangkan usaha mereka.

Pemerintah juga menjadi sponsor bagi program pengembangan R&D nasional.

Dengan menjadi sponsor, pemerintah berusaha membangun sistem inovasi nasional

yang dikemudikan oleh sektor swasta.

Selain menekankan perlunya sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha,

konsep GVC juga melihat penyebaran pengetahuan dan inovasi sebagai sesuatu yang

penting dalam proses pembangunan ekonomi. Proposisi mengenai hal ini

dikemukakan oleh Dieter Ernst (2000) dalam konsep NIS14. Menurutnya, inovasi

merupakan faktor krusial untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan

masyarakat, dan ini merupakan proses interaktif yang melekat secara sosial (Ernst,

2000: 2). National Innovation Systems itu sendiri dipahami sebagai upaya untuk

menganalisa faktor yang menentukan proses belajar, pengembangan pengetahuan,

dan inovasi secara institusional (Ernst, 2000: 2).

Proses belajar, pengembangan pengetahuan, dan inovasi yang digambarkan

dalam konsep NIS oleh Dietr Ernst memerlukan sumber yang menyediakan informasi

untuk mengembangkan ketiga hal tersebut. Sebagai negara berkembang, Korea

Selatan tidak memiliki sumber untuk melakukan proses belajar, pengembangan

pengetahuan, dan inovasi yang bisa dieksplorasi dari dalam. Jepang sebagai negara

maju yang telah lebih dulu mengembangkan proses tersebut bisa dijadikan tumpuan

bagi negara berkembang untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Oleh sebab

itu, dengan menggunakan konsep NIS, tulisan ini akan melihat peran penting Jepang

14 National Innovation Systems.

32

Page 34: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dalam menyediakan sumber informasi yang digunakan oleh Korea Selatan dalam

proses pengembangan industrialisasi dan pembangunan ekonomi.

Mengacu pada penjelasan diatas, jika dilihat dari kacamata ekonomi politik

internasional, analisa NIS dapat disebut berangkat dari pehamanan teoritik

strukturalis, dimana menurut pandangan ini, disparitas yang membentuk struktur

negara maju dengan negara berkembang sebagai core dan periphery, menggambarkan

kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat internasional. Dalam konteks Asia

Timur bahkan dengan cakupan yang lebih luas, Jepang diposisikan atau berperan

sebagai inti dan negara-negara lainnya termasuk Korea Selatan sebagai periferinya.

Dengan memanfaatkan negara inti dalam struktur internasional sebagai sumber

pembelajaran untuk melakukan inovasi, konsep NIS menjelaskan bahwa hal ini dapat

menjadi jalan untuk mengatasi keterbatasan informasi dan pengetahuan yang dimiliki

oleh negara-negara berkembang atau perifery.

Pandangan optimis mengenai (pereduksian) disparitas ekonomi internasional

ala teori strukturalis berasal dari perspektif reformis yang datang dari tokoh-tokoh

seperti Mahbul ul Haq, Gunnar Myrdal, dan Raul Prebisch. Seperti yang telah

disampaikan sebelumnya, persepektif reformis percaya bahwa struktur internasional

dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan perkembangan ekonomi negara berkembang.

Optimisme juga datang dari pandangan teori “angsa terbang” yang diajukan oleh

Saburo Okita. Menurutnya, perkembangan regional Asia merupakan suatu proses

tinggal landas yang berurutan seperti halnya seekor angsa yang melompat terbang dan

diikuti angsa-angsa lain yang masing-masing mengejar dan menempatkan diri dalam

33

Page 35: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

kelompok yang dipimpin oleh angsa pertama (Mas'oed, 2003: 106). Dengan

memanfaatkan pengalaman yang dimiliki oleh “angsa pertama” dalam hal ini Jepang,

Saburo Okita percaya bahwa negara-negara lain yang merupakan perifery dapat

mengejar ketertinggalannya. Sehingga formasi antara negara maju sebagai core

dengan negara berkembang sebagai perifery yang tadinya vertikal akan berubah

menjadi horizontal atau sejajar.

Namun tidak sedikit pula yang berpandangan pesimis bahkan skeptis terhadap

disparitas struktur ekonomi internasional ini. Menurut Mochtar Mas’oed (2003),

hubungan ekonomi di Asia Timur digambarkan sebagai hubungan yang bersifat

hierarkis dengan tiga ciri utama, ketergantungan teknologi, ketimpangan pembagian

kerja, dan backward integration. Lebih lanjut, Mochtar Mas’oed menganggap

pandangan Saburo Okita mengabaikan dampak subordinasi dari pengintegrasian

ekonomi dari Jepang terhadap negara-negara yang lebih kecil dan lebih lemah.

Negara-negara lain yang kecil atau lemah seperti Taiwan, Korea Selatan, Hongkong

dan Asia Tenggara hanya berfungsi sebagai penyedia tempat bagi industri padat karya

dari Jepang. Karena itu industrialisasi di wilayah ini sangat tergantung pada teknologi

dan kapital Jepang (Mas'oed, 2003: 107).

Subordinasi yang tercipta dari pola hubungan bersifat hierarkis, pada akhirnya

hanya akan membawa keuntungan bagi negara maju sebagai core dan berpotensi

melebarkan disparitas antara negara core dengan negara perifery. Dengan demikian

negara berkembang akan sangat sulit memperoleh hasil optimal dari interaksi

ekonomi dalam struktur internasional. Hal ini menjadi dasar acuan bagi kalangan

34

Page 36: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

yang berpandangan pesimis mengenai peluang negara-negara berkembang untuk

dapat berdiri sejajar dengan negara-negara maju.

Keberhasilan Korea Selatan dalam melakukan transformasi dari negara

berkembang menuju ke negara maju, tidak terlepas dari peran Jepang sebagai negara

inti di wilayah Asia Timur dan sekitarnya seperti yang digambarkan oleh teori

strukturalis. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat tahapan dalam proses

transformasi tersebut dimana Korea Selatan merupakan subordinasi dari pola

hubungan yang bersifat hierarkis dengan Jepang. Tapi kemudian harus diakui pula

bahwa Korea Selatan telah berhasil melakukan transformasi yang dimaksud dengan

melihat keberhasilan yang telah dicapai saat ini. Namun proses menuju keberhasilan

tersebut tidak juga sesederhana apa yang digambarkan oleh Saburo Okita melalui

teori “angsa terbang” yang bersandar hanya kepada pembelajaran dari pengalaman

negara inti yaitu Jepang.

Menurut Mike Hobday (1995), sebagai negara berkembang yang melakukan

transformasi melalui industrialisasi, Korea Selatan sangat bergantung dari sumber

pengetahuan dan teknologi dari luar. Ketergantungan tersebut kemudian menjadi

pintu masuk bagi proses pembelajaran dan pembentukan kapabilitas sehingga dapat

menghasilkan inovasi yang diperlukan untuk memajukan industri otomobil maupun

industri lainnya di Korea Selatan. Dalam mengubah ketergantungan tersebut menjadi

sebuah peluang atau kesempatan untuk berhasil, dibutuhkan peran aktif dari institusi

pemerintah. Dalam memastikan keberhasilan proses pembangunan dan industrialisasi,

pemerintah mendorong pelaku industri untuk fokus melakukan pembelajaran dan

35

Page 37: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

akumulasi pengetahuan melalui berbagai macam koneksi dengan penyedia peralatan

dan komponen yang memiliki teknologi dari luar negeri (Ernst, 2000: 5).

Selain teknologi dan sumber pengetahuan, proses transformasi ekonomi juga

membutuhkan modal finansial yang besar untuk membangun basis pengetahuan

dalam negeri secara luas. Dengan menyediakan kebutuhan penting dalam proses

penyerapan pengetahuan dan modal seperti informasi, pelatihan, biaya serta

dukungan lainnya, pemerintah Korea Selatan dapat membesarkan para pelaku usaha

untuk dapat bersaing (Ernst, 2000: 5).

Jepang dapat dikatakan berperan penting dalam menyediakan sumber daya,

baik berupa pengetahuan, teknologi maupun finansial yang dibutuhkan oleh Korea

Selatan dalam proses transformasi dari negara berkembang menjadi negara maju.

Namun, peran pemerintah dalam mengartikulasi kesempatan tersebut menjadi sebuah

peluang merupakan bagian terpenting dalam keberhasilan pembangunan industri di

negara tersebut. Hal ini juga dapat menjadi jawaban atas pandangan pesimis yang

berpandangan bahwa negara-negara berkembang seperti Korea Selatan, Taiwan, dan

Singapura, yang hanya dapat menjadi subordinasi negara maju seperti Jepang dalam

pembangunan ekonomi di kawasan, dengan melihat keberhasilan yang telah dicapai

oleh negara-negara tersebut.

E. Argumen Utama

Dengan mengacu kepada kerangka pemikiran yang telah dijabarkan

sebelumnya, posisi atau argumen tulisan ini mengenai kemajuan industri otomobil di

36

Page 38: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Korea Selatan didasarkan atas konsep economic backwardness, sinergi dalam GVC,

dan National Innovation System (NIS). Sebagai latecomer dalam proses

industrialisasi, Korea Selatan membutuhkan peran pemerintah yang sangat besar

untuk dapat melakukan proses industrialisasi agar dapat bersaing dan sejajar dengan

negara-negara maju yang telah berada lebih dulu di dalam poses tersebut.

Tidak hanya peran pemerintah yang besar, keberhasilan Korea Selatan juga

ditentukan oleh kemampuan pemerintah mengkonversi peran tersebut ke dalam

pilihan kebijakan yang tepat, sehingga mampu mendorong para pelaku industri

otomobil di Korea Selatan untuk bersaing agar dapat mencapai keberhasilan dalam

proses indusrialisasi dan pembangunan ekonomi. Pilihan kebijakan yang tepat dalam

proses tersebut dihasilkan melalui berbagai sinergi yang dilakukan oleh pemerintah

dengan para pelaku usaha dalam negeri atau chaebol.

Kemudian, faktor lainnya yang juga memegang peranan penting dalam

keberhasilan pembangunan industri otomobil di Korea Selatan adalah, kemampuan

pemerintah dan pelaku usaha dalam melakukan penyerapan teknologi dan informasi

serta perluasan basis pengetahuan untuk meningkatkan kapabilitas industri. Jepang

sebagai negara inti dalam struktur internasional merupakan sumber pengetahuan

teknologi dan modal bagi negara berkembang dalam proses industrialisai dan

pembangunan ekonomi. Dengan memanfaatkan teknologi dan modal dari Jepang

untuk mendorong kemajuan proses industrialisasi dan pembangunan ekonomi, Korea

Selatan berhasil menjadi salah satu negara berkembang yang bertransformasi menjadi

37

Page 39: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

negara maju dan berhasil membangun industri-industri raksasa dalam negeri termasuk

industri otomobil.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif analitis,

yaitu dengan cara menggambarkan dan menjelaskan keadaan atau fakta-fakta yang

aktual dan mencari korelasi diantara data-data dan fakta-fakta yang ditemukan serta

kemudian menganalisanya dengan konsep yang ada. Penelitian ini ditunjang dengan

pengumpulan data melalui library research, data-data yang digunakan bersumber dari

berbagai literature, buku-buku yang membahas tentang perkembangan ekonomi dan

industri di Korea Selatan, jurnal-jurnal yang berhubungan dengan industri otomobil,

data statistik dari OICA15, data penunjang lainnya dari KOTRA16 dan KAMA17, serta

data-data lainnya termasuk data dari internet, yang memiliki relevansi dengan objek

yang akan diteliti.

G. Sistematika Penulisan

Bab pertama merupakan pendahuluan dari tulisan ini, terdiri dari latar

belakang masalah yang menunjukan mengapa isu yang diangkat ini merupakan

15 Organisation Internationale des Constructeurs d’ Automobiles.16 Korean Trade-Investment Promotion Agency. 17 Korea Automobile Manufacturers Association.

38

Page 40: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

permasalahan yang penting dan menarik untuk diteliti, lalu kemudian perumusan

masalah, kerangka pemikiran, argumen utama, tinjauan pustaka, metode peneltian

dan sistematika penulisan.

Bab kedua menggambarkan tentang perkembangan industri otomobil di Korea

Selatan dari awal terbentuk hingga mencapai keberhasilan yang signifikan dengan

melihat proses tersebut melalui bagaimana peran pemerintah dalam industri. Sebagai

latecomer dalam proses industrialisasi. Gerschenkron menekankan perlunya peran

pemerintah untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju yang sudah lebih

dulu menjadi pemain dalam proses tersebut.

Bab ketiga menjelaskan bagaimana sinergi antara pemerintah dengan para

pelaku industri dalam negeri atau chaebol sehingga dapat memberikan kontribusi

bagi kemajuan pembangunan, melalui pilihan kebijakan yang tepat dalam proses

industrialisasi. Selain itu, dilihat juga bagaimana posisi keduanya dalam proses

tersebut, bagaimana formasi state capacity serta pengaruhnya terhadap arah

pembangunan ekonomi di Korea Selatan.

Bab keempat membahas peran atau pengaruh Jepang sebagai negara inti

dalam struktur internasional terhadap kemajuan proses industrialisasi sehingga dapat

memberikan kontribusi bagi proses industrialisas dan pembangunan ekonomi di

Korea Selatan. Seperti yang digambarkan dalam konsep NIS dimana sebagai negara

berkembang, Korea Selatan memiliki keterbatasan sumber pembelajaran,

pengetahuan, dan inovasi untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industrinya.

Sehingga Jepang sebagai negara maju yang secara geografis berada dalam satu

39

Page 41: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

kawasan dengan Korea Selatan, memiliki peran penting dalam menyediakan sumber-

sumber tersebut.

Bab kelima berisi pokok-pokok kesimpulan dari penelitian ini dan refleksi

teoritis terhadap konsep-konsep yang digunakan dalam tulisan ini seperti, economic

backwardness, sinergi dalam GVC maupun national innovation system.

BAB IIDINAMIKA INDUSTRI OTOMOBIL KOREA SELATAN

40

Page 42: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Keberhasilan ekonomi yang telah dicapai oleh Korea Selatan, menjadikannya

dianggap sebagai negara berkembang yang paling sukses dalam melakukan proses

pembangunan. Negara ini, dapat melakuan transformasi ekonomi dari negara

berkembang menjadi negara ekonomi maju dalam kurun waktu yang relatif singkat.

Dengan bertumpu pada pembangunan industri manufaktur, Korea Selatan mampu

mengembangkan perekonomiannya sehingga dapat berada sejajar dengan negara-

negara ekonomi maju.

Salah satu sektor industri manufaktur yang dibangun oleh Korea Selatan dan

memberikan pengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian negara tersebut adalah

industri otomobil. Kontribusi industri ini bagi penyerapan tenaga kerja, nilai ekspor

dan nilai tambah yang tinggi menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk

mengembangkan industri otomobil. Selain itu, industri ini juga berperan dalam proses

vitalisasi ekonomi dalam negeri. Industri otomobil berada pada peringkat pertama

dalam hal menyediakan lahan pekerjaan, produksi, dan pertambahan nilai dalam

industri manufaktur. Total nilai ekspor industri ini mencapai 13,4 persen dari total

ekspor Korea Selatan pada tahun 2007 (KAMA, 2008: 5) dan 11,7 persen pada tahun

2010 (KAMA, 2011: 6).

Keberhasilan Korea Selatan dalam mengembangkan industri otomobil

ditandai dengan masuknya Hyundai sebagai salah satu operator industri otomobil

terbesar di dunia, sejajar dengan pelaku industri dari negara maju seperti Jepang dan

Amerika Serikat. Hyundai berada pada posisi lima besar dunia diukur dari segi

kapasitas produksi dan volume ekspor unit ke luar negeri. Prestasi ini merupakan

41

Page 43: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

capaian yang sangat besar, mengingat Korea Selatan berangkat sebagai negara

berkembang dan berada satu atau bahkan dua tahapan dibelakang Jepang dan

Amerika ketika mulai membangun industri otomobil dalam negeri.

Pencapaian ini kemudian menyebabkan perkembangan industri otomobil di

Korea Selatan menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas. Dalam melihat hal

tersebut, tulisan ini mendasarkan argumen pada konsep economic backwardness

mengenai latecomer yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian kerangka

pemikiran. Dalam penjelasan tersebut dijabarkan bahwa sebagai negara berkembang

yang datang belakangan dalam proses industrialisasi, Korea Selatan memerlukan

peran pemerintah yang sangat besar untuk dapat mengejar ketertinggalan dari negara

maju. Hal ini terlihat ketika pada awal dimulainya proses industrialisasi di Korea

Selatan, yaitu tahun 1960an dan 1970an, setiap langkah penting berkenaan dengan

proses tersebut merupakan inisiasi dari pemerintah (Amsden, 1989: 80).

Oleh karena itu, elaborasi peran pemerintah dalam bentuk konfigurasi

kebijakan akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya bab ini. Kemudian, dari

konfigurasi tersebut akan dikaitkan dengan perkembangan industri otomobil dalam

negeri yang pada akhirnya menghasilkan Hyundai sebagai “national champion”

industri otomobil Korea Selatan.

A. Konfigurasi Kebijakan Pemerintah

A.1. Peran Pemerintah Mengawali Proses Industrialisasi

42

Page 44: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Sejak awal 1960-an pemerintah Korea Selatan telah mengarahkan

kebijakannya untuk mendukung terciptanya proses industrialisasi. Salah satu langkah

yang diambil yaitu dengan menerapkan kebijakan Export Oriented Industries (EOI)

(Harvie & Lee, 2003: 1). Dengan kebijakan ini, industri-industri di Korea Selatan

dipaksa untuk mampu bersaing secara global dan menjadi industri yang memiliki

standar internasional. Secara tidak langsung, hal ini juga mendorong perkembangan

dan kemajuan industri otomobil di Korea Selatan untuk dapat meraih kesuksesan.

Dikarenakan oleh persaingan di pasar internasional, kebijakan industri yang

berorientasi ekspor menuntut produk yang mampu bersaing di pasar global. Oleh

karena itu, Korea Selatan membutuhkan basis industri yang dapat menghasilkan

produk berkualitas internasional. Sehingga dapat dipahami ketika industri otomobil

Korea Selatan berdiri, para pelaku industri dalam negeri melakukan kerjasama atau

joint venture dengan operator industri otomobil dari negara maju. Selain sebagai

respon dari kebijakan EOI agar dapat bersaing secara internasional, pada saat awal

berdiri pengetahuan pelaku industri lokal masih sangat minim dalam proses

pengembangan industi otomobil.

Untuk memfasilitasi kerjasama atau joint venture yang dilakukan para pelaku

usaha dalam negeri dengan operator dari luar, pemerintah memberlakukan kebijakan

special law18 yang ditetapkan pada tahun 1962. Kebijakan promosi ini merupakan

bagian dari program Five Year Economic Development Plan (FYEDP)19 periode

18 Dikenal juga sebagai The Automotive Industry Promotion Law yang mengikuti model kebijakan serupa di Jepang pada tahun 1936, yaitu Automobile Industri Act.19 Rencana Pembangunan Ekonomi Lima Tahun.

43

Page 45: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pertama yang dicanangkan oleh pemerintahan. Dengan diterapkannya special law

tersebut, dapat diartikan bahwa industri otomobil merupakan salah satu fokus utama

dalam mengembangkan proses industrialisasi dan pembangunan ekonomi di Korea

Selatan. Menurut Linsu Kim, kebijakan ini juga menandai lahirnya industri otomobil

modern di Korea Selatan (Kim, 1997: 107).

Dalam kebijakan special law tersebut diatur bahwa, kementerian perdagangan

dan industri memiliki otoritas penuh dalam menentukan pengusaha mana saja yang

memiliki hak untuk menjadi pemain di dalam industri otomobil (Ravenhill, 2001: 5).

Untuk mendukung pengusaha yang telah ditunjuk sebagai pemain, pemerintah

melarang impor kendaraan dalam bentuk jadi. Pembatasan ini secara tidak langsung

memaksa operator industri otomobil dari luar mengekspor kendaraannnya dalam

bentuk bagian-bagian terpisah ke Korea Selatan, sehingga pelaku industri tersebut

harus menggandeng pelaku industri lokal untuk merakit kendaraan dalam rantai

produksi mereka. Kebijakan pembatasan impor juga memberikan ruang kepada

operator industri otomobil lokal yang masih pemula untuk memanfaatkan pasar

domestik dalam meningkatkan kapabilitas dan kapasitas produksi. Dengan

memanfaatkan pasar lokal, operator dalam negeri dapat melakukan proses

pembelajaran dalam produksi, mengoreksi kekurangan produknya sebelum dilempar

ke pasar global.

Kemudian, pemerintah menyediakan pinjaman modal bersubsidi dan insentif

pajak investasi kepada para pelaku industri dalam negeri. Untuk meningkatkan

volume penjualan luar negeri, pemerintah juga memberikan subsidi yang

44

Page 46: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

memungkinkan hasil produksi yang di ekspor dijual sekurang-kurangnya setengah

dari harga pasar domestik. Sementara itu, komponen produksi yang dibutuhkan oleh

pelaku industri lokal dan disediakan melalui impor, dibebaskan dari tarif masuk.

Berbagai insentif yang diberikan oleh pemerintah melalui kebijakan special law

dianggap sebagai faktor penting dibalik sukses lahirnya pelaku-pelaku industri lokal

di Korea Selatan (Ravenhill, 2001: 6).

Pada periode ketiga program pembangunan lima tahun pemerintahan Park

Chung-hee, tepatnya pada tahun 1973 dikeluarkan kebijakan Heavy and Chemical

Industries. Kebijakan ini semakin menegaskan komitmen Korea Selatan dalam

melakukan proses industrialisasi dan menandai awal transformasi industri dalam

negeri dari yang tadinya bergerak pada sektor industri ringan beralih ke sektor

industri berat. Selain itu, kebijakan HCI juga bisa dlihat sebagai pondasi dasar bagi

pembangunan industri manufaktur yang sedang dikerjakan oleh Korea Selatan pada

periode tersebut.

Melalui kebijakan HCI, pemerintah menetapkan industri manufaktur yang

menjadi prioritas utama agar program industrialisasi yang dilakukan menjadi fokus

dan tepat sasaran. Sektor-sektor industri yang menjadi perhatian pemerintah antara

lain baja, mesin, elektronik, shipbuilding, dan otomobil. Fokus dan perhatian

pemerintah terhadap industri-industri tersebut diwujudkan dengan berbagai hak

istimewa kepada para pelaku usaha. Hak istimewa tersebut berupa pemberian surat

jaminan kredit, alokasi preferensi kredit, pelonggaran regulasi exchange rate,

liberalisasi impor, proteksi terhadap sektor-sektor HCI, jaminan penjualan atas

45

Page 47: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

produk-produknya, serta menjaga monopoli pelaku usaha tersebut di pasar domestik

(Winanti, 2003: 187).

Penerapan kebijakan HCI dengan berbagai hak istimewa kepada para pelaku

industri memberikan ruang bagi tumbuhnya raksasa-raksasa bisnis di Korea Selatan

yang biasa disebut sebagai chaebol. Kontrol ketat pemerintah terhadap investasi asing

dalam menunjang hak istimewa yang diberikan melalui kebijakan HCI, diwujudkan

dengan hanya memberi ruang pada investasi dalam sektor yang tidak dikuasai oleh

pelaku industri dalam negeri dan memerlukan bantuan pelaku industri asing.

Dengan adanya kontrol tersebut, tidak kurang dari separuh pelaku industri luar

negeri yang ingin berinvestasi di Korea Selatan melakukan joint venture dengan

pengusaha lokal dimana sebagian besar dari kerjasama tersebut persentase

kepemilikan sahamnya berada di tangan pengusaha lokal. Sebagai hasilnya, industri

di Korea Selatan mengalami perkembangan dengan jumlah pelaku industri lokal

paling banyak diantara negara-negara industri baru lainnya. Banyak kalangan

meyakini bahwa kebijakan HCI memberikan kontribusi besar terhadap tingginya

pertumbuhan ekonomi Korea Selatan selama rentang waktu satu sampai dua dekade

setelah kebijakan tersebut diterapkan pada awal 1970an (Shim & Lee, 2008: 37).

Selain berbagai kemudahan dalam bentuk insentif, pemerintah juga

memberikan kemudahan akses terhadap bahan dasar dalam proses pembangunan

industri berat. Bersamaan dengan penerapan kebijakan HCI, pemerintah mendirikan

POSCO yang bertujuan untuk dapat menyediakan bahan baku bagi proses

pembangunan industri berat yang sebagian besar membutuhkan baja atau steel.

46

Page 48: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Keberadaan Pohang Iron and Steel Company kemudian menjadi tulang punggung

bagi pembangunan industri manufaktur di Korea Selatan.

Disamping itu, berdirinya POSCO juga dapat dilihat sebagai manifestasi dari

usaha pemerintah agar dapat melakukan proses industrialisasi dalam negeri secara

lebih mandiri. Fasilitas kemudahan lainya yang diberikan oleh pemerintah kepada

para pelaku usaha dalam negeri adalah sarana prasarana yang memadai dalam

menjalankan proses industri berupa infrastruktur. Pemerintah kemudian melakukan

pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jaringan transportasi, lahan industri

dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya.

Program FYEDP yang diterapkan oleh pemerintah secara berkesinambungan,

dapat dilihat sebagai upaya pemerintah Korea Selatan untuk merancang tujuan-tujuan

pembangunan jangka pendek dan jangka panjang yang ingin dicapai dengan

melakukan integrasi dalam proses tersebut. Untuk menjamin terciptanya integrasi

yang dimaksud, pemerintah membentuk organisasi atau lembaga koordinasi yaitu,

Korean Central Intelligence Agency dan Economic Planning Board. Kedua lembaga

pemerintah yang berfungsi sebagai organisasi koordinasi pembangunan ini dibentuk

pada tahun 1961.

Ketika dibentuk, KCIA merupakan lembaga intelijen negara akan tetapi

dibawah pemerintahan Park Chung-hee, lembaga ini diberikan perluasan kewenangan

secara politis dalam konteks pembangunan ekonomi di Korea Selatan. KCIA

bertransformasi menjadi lembaga yang memiliki kendali pada sektor ekonomi,

47

Page 49: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

lembaga intelijen ini berperan sebagai lembaga kontrol atas kelancaran proses

pembangunan di Korea Selatan, termasuk mengontrol gerakan buruh.

Lembaga ini kemudian menjelma menjadi lembaga yang memiliki kekusaaan

yang sangat besar tidak hanya dalam arena politik namun juga pada sektor ekonomi.

Bahkan lembaga ini tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melakukan

kontrol terhadap gerakan buruh maupun masyarakat (Winanti, 2003: 185). Park

Chung-hee sangat percaya bahwa kemajuan pembangunan hanya dapat dicapai

dengan kondisi negara yang stabil. Sehingga fungsi KCIA yang diperluas oleh

pemerintah untuk menjamin stabilitas dalam negeri, diyakini dapat memberikan

kontribusi dalam kemajuan proses industrialisasi di Korea Selatan.

Sedangkan EPB merupakan lembaga yang kemudian didesain oleh Park

Chung-hee sebagai pusat koordinasi pembangunan ekonomi. EPB mengontrol

lembaga-lembaga lain, seperti badan statistik, kementrian dalam negeri, dan Bank of

Korea dalam rangka koordinasi proses pembangunan ekonomi. Pada saat itu, EPB

diproyeksikan sebagai lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam menetukan arah

pembangunan Korea Selatan. EPB kemudian menjadi lembaga yang sangat berkuasa

dan hanya bertanggung jawab kepada Presiden (Winanti, 2003, hal. 185).

Selain menjadi pusat koordinasi pembangunan ekonomi, EPB berfungsi

sebagai lembaga yang menentukan rencana atau rancangan pembangunan di Korea

Selatan yang merupakan pengejawantahan dari keinginan Presiden. Park Chung-hee

memiliki komitmen yang kuat dalam melakukan pembangunan ekonomi dan

keberhasilan proses industrialisasi di Korea Selatan, sehingga EPB selaku

48

Page 50: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

perpanjangan tangan Presiden diberikan wewenang yang sangat besar dalam proses

pembangunan ekonomi di negara tersebut.

Untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri, pemerintah

mendukung pengembangan institusi research and development untuk dapat

melahirkan inovasi dalam proses industrialisasi. Melalui kementerian yang

menangani masalah ilmu pengetahuan dan teknologi atau MOST20, pemerintah

melakukan program pengembangan teknologi yang berbasis pembangunan R&D

nasional (Yun, 2007: 40). Melalui program tersebut, pemerintah mengalokasikasikan

dana untuk menunjang kegiatan riset nasional yang berhubungan dengan

pengembangan industri dan memberikan potongan pajak kepada pelaku usaha yang

melakukan investasi dalam kegiatan R&D.

Keterlibatan pemerintah pada pengembangan riset dalam proses industrialisasi

dapat juga dilhat dari terciptanya kolaborasi antara pemerintah dengan pelaku usaha

yang disebut sebagai public-private R&D. Kolaborasi antara pemerintah dan pelaku

usaha ini dimulai dari tahun 1960an dan 1970an, yaitu ketika proses imitasi atau

reverse engineering21 teknologi dari luar, menjadi sumber utama dari kemajuan

proses industrialisasi di Korea Selatan (Shapiro, 2007: 98).

Dari sisi finansial, pemerintah juga memegang peranan penting dalam

mengatur bagaimana posisi institusi tersebut dalam proses pembangunan

industrialisasi di Korea Selatan. Sejak awal, institusi finansial berada dalam kontrol

20 Ministry of Science and Technology.21 Proses penemuan prinsip-prinsip teknologi dari suatu perangkat, objek, atau sistem melalui analisis struktur, fungsi, dan cara kerjanya (Eilam & Chikofsky, 2007: 3).

49

Page 51: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pemerintah dan digunakan sebagai alat dalam pendekatan carrot and stick22 untuk

menarik perhatian pelaku industri agar menjalankan industri yang ditargetkan atau

diinginkan oleh pemerintah (Shim & Lee, 2008: 103).

Pemerintah menggunakan institusi finansial sebagai instrumen dalam

melakukan alokasi sumber daya selama proses industrialisasi berlangsung. Dengan

menguasai institusi finansial yang merupakan salah satu kebutuhan utama para pelaku

industri dalam menjalankan bisnisnya, pemerintah memiliki power untuk mengatur

perilaku para pengusaha tersebut. Dengan kebijakan ini, pemerintah dapat dengan

mudah menentukan arah pembangunan ekonomi dan industri di Korea Selatan.

A.2. Stabilisasi Menuju Liberalisasi Ekonomi

Dinamika ekonomi politik yang terjadi di dalam dan luar negeri, kemudian

mengubah arah kebijakan pemerintah dalam proses pembangunan ekonomi. Pada

akhir 1979, pergantian rezim kepemimpinan menjadi awal perubahan haluan

kebijakan industri di Korea Selatan. Rezim dibawah kepemimpinan Chun Doo-hwan

mengubah arah kebijakan yang pada masa rezim sebelumnya bertumpu pada export

oriented industry dengan tujuan mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya,

bergeser menjadi kebijakan yang lebih yang lebih menekankan stabilitas ekonomi

(Winanti, 2003: 188). Kebijakan stabilisasi perekonomian diawali pemerintah dengan

22 Bentuk kebijakan yang menawarkan perpaduan antara reward and punishment untuk mempengaruhi perilaku (agar lebih baik).

50

Page 52: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

mengeluarkan sejumlah peraturan seperti pengetatan moneter dan pajak, rasionalisasi

dan efiseiensi kebijakan HCI, dan yang terakhir stabilisasi harga.

Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Korea Selatan menyebabkan terjadinya

masalah baru seperti terjadinya ekses produksi. Euforia yang sangat besar dalam

proses industrialisasi melahirkan terlalu banyak pemain di tiap-tiap sektor industri tak

terkecuali pada industri otomobil. Hal ini menyebabkan persaingan yang tidak perlu

diantara para pelaku industri dalam negeri. Pemerintah meresponnya dengan

melakukan pembatasan jumlah pelaku usaha industri otomobil, dimana pada tahun

1980 pemerintah hanya memberikan lisensi kepada Hyundai, Kia dan Daewoo.

Pembatasan ini bertujuan untuk mengurangi persaingan di dalam negeri sehingga

para pelaku industri lokal dapat fokus melakukan pengembangan dan menghadapi

persaingan internasional. Selain itu, kebijakan pembatasan tersebut dilakukan untuk

mengantisipasi kelebihan kapasitas produksi mengingat terbatasnya pasar domestik di

Korea Selatan.

Penerapan kebijakan stabilitas ekonomi pada masa rezim Chun Doo-hwan

disebut juga sebagai pintu masuk bagi penerapan kebijakan liberalisasi ekonomi.

Relaksasi terhadap berbagai campur tangan pemerintah dalam kegiatan industri dan

ekonomi menjadi alasan kuat dibalik berkembangnya pandangan tersebut.

Liberalisasi institusi finansial yang sebelumnya berada dibawah kontrol pemerintah

ditandai dengan proses privatisasi sejumlah bank milik pemerintah.

Rasionalisasi industri yang dilakukan oleh pemerintah juga dapat dilihat

sebagai pintu masuk penerapan kebijakan liberalisme. Dimana dengan melakukan

51

Page 53: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

rasionalisasi, negara mulai mengurangi perannya dalam menentukan prioritas

industri. Meski terjadi perubahan kebijakan yang mengarah kepada liberalisme

ekonomi pada rezim pemerintahan Chun Doo-hwan, namun perubahan-perubahan

tersebut belum sepenuhnya melepaskan intervensi negara dalam bidang ekonomi

(Winanti, 2003: 189).

Proses demokratisasi, perubahan struktur industri dalam negeri, dan desakan

internasional yang mendorong liberalisasi ekonomi, memberikan pengaruh terhadap

arah pilihan kebijakan Korea Selatan dalam perkembangan proses industrialisasi.

Penolakan terhadap kebijakan intervensionis dalam pembangunan oleh rezim

ekonomi internasional seperti GATT, WTO, dan IMF memaksa pemerintah untuk

sedikit demi sedikit mengurangi peranannya dalam pembangunan di Korea Selatan

yang bermuara pada penetapan kebijakan Segyewha23 pada tahun 1995.

Kebijakan Segyewha yang lahir pada rezim pemerintahan Kim Young-sam,

dipahami sebagai kebijakan keterbukaan di bidang politik, budaya, sosial, dan

ekonomi. Segyehwa merupakan konsep unik Korea Selatan yang bertujuan untuk

menempatkan negara tersebut sejajar dengan negara-negara industri maju. Hal ini

ditandai dengan bergabungnya Korea Selatan ke dalam OECD24 pada tahun 1996,

yang merupakan organisasi internasional perkumpulan negara-negara maju yang

menerima atau menjalankan prinsip-prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar

bebas (Yeung, 2002: 302). Keanggotaan dalam OECD mengharuskan Korea Selatan

23 Globalisasi.24 The Organisation for Economic Co-operation and Development.

52

Page 54: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

untuk setuju menjalankan konsep ekonomi liberal dengan membuka pasarnya bagi

aliran dana atau investasi luar negeri (Kalinowski & Cho, 2009: 225).

Liberalisasi pada industri otomobil Korea terjadi pasca krisis ekonomi yang

melanda Asia pada akhir 1990an. Proses ini ditandai dengan diperbolehkannya

kepemilikan asing terhadap perusahaan otomobil dalam negeri yang mengalami

kebangkrutan akibat krisis. Perusahaan raksasa seperti Daewoo dibeli sebagian besar

sahamnya oleh GM dan Samsung Motor sebagian besar dibeli oleh Renault.

Pemberian akses kepada asing untuk membeli perusahaan dalam negeri selama proses

pembangunan industri di Korea Selatan sangat terbatas. Perusahaan luar negeri hanya

diperbolehkan memiliki saham perusahaan Korea tidak lebih dari 7 persen secara

individu dan dibawah 26 persen secara kolektif (Kalinowski & Cho, 2009: 228).

Dari sejak awal berdiri hingga akhir 1990an, Industri otomobil Korea Selatan

selalu didominasi oleh pelaku industri lokal, sebagai manifestasi dari kebijakan yang

ditempuh oleh pemerintah pada sektor tersebut (Park, 2003: 173). Perubahan berupa

pemberian akses kepada Renault yang membeli sekitar 70 persen saham Samsung

Motor, dan GM yang mengakuisi sebagaian besar saham Daewoo Motor,

menandakan adanya pergeseran arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dimana

pada awalnya berorientasi nasionalis proteksionis bergerak menuju liberalisme.

Ketika krisis Asia terjadi, keadaan keuangan dalam negeri memaksa

pemerintah Korea Selatan untuk melakukan pinjaman kepada IMF. Sebagai lembaga

peminjam IMF mengajukan berbagai syarat, pemerintah diharuskan melepaskan

perannya atau menarik diri dalam kegiatan perekonomian. Dengan kata lain, IMF

53

Page 55: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

memaksa pemerintah Korea Selatan untuk menerapkan kebijakan liberalisasi

ekonomi. Pemerintahan yang pada saat itu berada dibawah rezim Kim Young-sam,

tidak memilki banyak pilihan dan menerima syarat yang diajukan oleh IMF. Reduksi

peran pemerintah dalam ekonomi pada sektor otomobil ditandai dengan akusisi yang

dilakukan oleh GM dan Renault. Dengan berbagai ekses yang terjadi akibat krisis

Asia 1997, dapat dikatakan bahwa krisis tersebut merupakan momentum penting dan

faktor utama dibalik akselerasi liberalisasi ekonomi di Korea Selatan.

Dengan dijalankannya kebijakan yang mengarah kepada liberalisasi ekonomi

dan akselerasi yang terjadi pasca krisis Asia, Ekonomi, pasar, dan industri Korea

Selatan menjadi lebih terbuka. Seiring dengan berjalannya kebijakan pemerintah

tersebut, lalu lintas modal atau FDI25 meningkat secara drastis. Pergeseran kebijakan

menuju liberalisasi ekonomi, mengakhiri kontrol ketat pemerintah terhadap keluar

masuknya investasi asing di Korea Selatan.

Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa ketika akhir 1980an dan awal

1990an dimana Korea Selatan mulai memasuki tahapan awal liberalisasi ekonomi,

terjadi peningkatan perlahan lalu lintas FDI secara konstan dari tahun ke tahun.

Namun pada saat krisis Asia 1997 dapat dilihat terjadi perubahan drastis lalu lintas

FDI, terutama yang masuk ke dalam negeri. Hal ini merupakan gambaran dari hasil

kebijakan liberalisasi ekonomi yang dijalankan oleh Korea Selatan pasca krisis.

Gambar 2.Lalu Lintas FDI Korea Selatan

25 Foreign Direct Investment.

54

Page 56: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Sumber: United Nations Conference on Trade and Development (2001).

Selain itu, sebagai respon terhadap krisis Asia dan masalah yang ditimbulkan

krisis tersebut terhadap industri otomobil, pemerintah kemudian menerapkan

kebijakan restrukturisasi. Kebijakan ini perlu dilakukan karena pada tahun 2001

industri otomobil Korea Selatan mengalami kelebihan suplai produksi sekitar 3,45

juta kendaraan (Park, 2003: 184). Masalah kelebihan suplai ini, dipercaya akan dapat

menyebabkan industri otomobil mengalami kehancuran. Sehingga menjadi sangat

penting bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan untuk dapat mengatasi

permasalahan tersebut.

55

Page 57: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Dalam melakukan restrukturisasi industri, pemerintah menginisiasi suatu

program yang diberi nama “Big Deal26” dalam upaya untuk mengatur para pelaku

industri domestik. Program ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dalam

ruang lingkup nasional seperti organisasi bisnis dan media masa. Pemerintah

mengadakan sebuah kesepakatan dengan lima konglomerasi atau chaebol terbesar di

Korea Selatan. Kesepakatan ini, mengarahkan chaebol agar melakukan pertukaran

aktivitas dalam sembilan sektor industri, termasuk otomobil, semikonduktor dan

petrokimia seperti yang ditunjukan pada Tabel 1.

Restrukturisasi dalam sektor industri otomobil dilakukan oleh pemerintah

dengan mendorong Samsung untuk memberikan perusahaan otomobilnya (Samsung

Motors) kepada Daewoo yang ditukar dengan perusahaan elektronik (Daewoo

Electronics) milik Daewoo. Pemerintah mengklaim bahwa pertukaran ini akan

menguntungkan bagi industri otomobil dalam negeri karena akan mengatasi masalah

kelebihan kapasitas produksi. Samsung menjadi target pemerintah saat itu, karena

dalam industri otomobil domestik, Samsung dilihat sebagai pelaku usaha yang

terlemah dilihat dari segi produktivitas, kapabilitas teknologi, dan kontribusi pada

ekonomi nasional (Korea Herald, 1998).

Tabel 1.Konten Perjanjian Program “Big Deal”

26 Program bertujuan untuk melakukan revitalisasi industri domestic dengan melakukan rasionalisasi yang disebut hampir sama dengan kebijakan rasionalisasi pada masa rezim pemerintahan Chun Doo-hwan. Dengan kebijakan ini pemerintah mendorong atau memaksa chaebol untuk melakukan pergantian aktivitas bisnis atau melakukan swap dengan yang lain.

56

Page 58: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Sumber: Samsung Economic Research Institute (2001).

Ditengah-tengah dukungan banyak pihak dan keberhasilan program “Big

Deal”, kesepakatan antara Samsung dan Daewoo dalam sektor otomobil tidak dapat

tercapai. Negosiasi antara Samsung dengan Daewoo tidak berjalan seperti keinginan

pemrintah yang disebabkan oleh berbagai macam faktor, sehingga akhirnya gagal

pada tahun 1999. Kegagalan kesepakatan antara Daewoo dan Samsung

mengakibatkan restrukturisasi industri otomobil yang berorientasi nasionalis di Korea

Selatan mengalami jalan buntu.

Kondisi Samsung Motor yang dihadapkan dengan masalah finansial dan

memiliki banyak utang, memaksa perushaan ini membuka diri terhadap investasi

pelaku industri otomobil luar negeri. Akhirnya pada tahun 2000, sebagian besar

saham Samsung Motor dibeli oleh Renault, dan menyusul kemudian Daewoo

diakuisisi oleh GM pada tahun 2001. Keputusan ini menandakan bahwa pemerintah

57

Page 59: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

akhirnya menyerah setelah sebelumnya selalu menerapkan kebijakan proteksionis

nasionalis dalam membangun industri otomobil dalam negeri. Dengan kata lain,

pemerintah tidak lagi menjadi agen pendukung bagi chaebol sebagai penjamin

pinjaman modal dalam jumlah besar untuk menjalankan industri atau melakukan

ekspansi (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 26).

Kebijakan restrukturisasi yang mendorong chaebol untuk melakukan

spesialisasi atau menentukan prioritas core bisnis yang mereka jalankan, akhirnya

menyisakan Hyundai sebagai satu-satunya Chaebol dalam industri otomobil yang

paling dominan dan mayoritas sahamnya masih dikuasai konglomerasi lokal. Bahkan

Hyundai kemudian membeli 51 persen saham Kia Motor yang juga mengalami

kesulitan finansial akibat krisis Asia 1997. Restrukturisasi pasca krisis Asia ini juga

menjadi salah satu faktor yang menentukan wajah pereknomian Korea Selatan saat

ini. Selain mereduksi peran pemerintah dalam perekonomian, kebijakan ini juga

menghasilkan chaebol-chaebol yang sekarang menjadi salah satu kekuatan utama

domestik maupun global pada core bisnis masing-masing seperti Samsung pada

sektor industri elektronik dan Hyundai beserta Kia pada sektor industri otomobil.

B. Perkembangan Industri Otomobil Korea Selatan

Industri otomobil Korea Selatan berawal dari industri reparasi kendaraan yang

dipergunakan selama berlangsung dan berakhirnya perang Korea. Pusat perakitan

kendaraan pertama didirikan pada pada tahun 1955, dengan kapasitas 1500 unit

dalam setahun (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 32). Pada tahun 1962, bersamaan

58

Page 60: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dengan penerapan program FYEDP periode pertama, pemerintah mulai

mempromosikan industri otomobil dengan memperkenalkan Automobile Industry

Protection Law. Promosi yang dilakukan oleh pemerintah kemudian menarik minat

banyak pelaku industri dalam negeri untuk melakukan investasi. Sehingga pada masa

awal diberlakukannya special law tersebut muncul banyak pemain baru dalam

industri otomobil. Dalam penerapan Automobile Industry Protection Law, pemerintah

memiliki kontrol atau peran yang besar terhadap jalannya proses industri.

Pembangunan industri otomobil Korea Selatan sejak tahun 1962 dapat dilihat

melalui tiga tahapan (Lynn, 1991: 62). Tahapan pertama merupakan fase persiapan

untuk melakukan produksi lokal yang dimulai dari tahun 1962 sampai dengan 1971.

Kemudian tahapan berikutnya, berlangsung selama sepuluh tahun dari tahun 1972

sampai dengan 1982, adalah fase pembangunan desain atau model sendiri. Tahapan

terakhir, yang bisa dikatakan dimulai dari tahun 1983 sampai sekarang, merupakan

fase dimana industri otomobil Korea Selatan melakukan ekspansi produksi secara

masal dan globalisasi industri.

B.1. Persiapan Melakukan Produksi Lokal

Selama tahapan pertama berlangsung, lahir beberapa pelaku industri otomobil

lokal yang melakukan kerjasama teknik atau joint venture dengan pelaku industri dari

negara maju terutama Jepang dan Amerika. Pada tahun 1962 berdiri Saenara Motor

dengan melakukan kerjasama teknik bersama Nissan dari Jepang. Kemudian

59

Page 61: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

menyusul berdiri Shinjin Motor yang melakukan joint venture dengan Toyota, lalu

Kia, Asia Motor dan Hadonghwan Motor melakukan kerjasama dengan pelaku

industri otomobil luar negeri lainnya. Hyundai Motor datang belakangan dalam

industri ini, berdiri pada tahun 1967 dan melakukan kerjasama teknik dengan pelaku

industri otomobil asal Amerika Ford Motor.

Dalam melakukan kerjasama teknik, pelaku industri otomobil dalam negeri

bertindak sebagai perakit kendaraan pelaku industri dari luar tersebut. Shinjin Motor

yang menjadi rekanan Toyota, merakit varian Corona dengan sistem Complete

Knock-Down atau CKD27. Hyundai Motor yang melakukan joint venture dengan Ford

merakit varian Cortina, sedangkan Asia Motor merakit Fiat, Kia Motor merakit truk

kecil, dan Hadonghwan Motor merakit bus. Perusahan yang pertama kali berdiri

dalam industri ini, Saenara Motor mengalami masalah finansial dan kemudian

bangkrut, sehingga diambil alih oleh Shinjin Motor.

Dengan muncul dan beroperasinya para pelaku industri otomobil lokal, pasar

domestik kemudian menjadi tulang punggung bagi mereka untuk dapat menyerap

hasil produksi. Proteksi yang diberikan oleh pemerintah melalui penerapan kebijakan

special law, menjadikan pasar domestik dapat diandalkan untuk menopang

perkembangan proses industrialisasi otomobil dalam negeri. Mengingat pada saat itu

industri otomobil Korea Selatan tergolong masih infant, proteksi sangat membantu

27 Proses pembuatan kendaraan dengan cara dirakit satu persatu dari bagian-bagian kecil yang terpisah sehingga menjadi satu bagian utuh.

60

Page 62: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

para pelaku industri lokal agar tidak terlibat persaingan langsung dengan pelaku

industri dari luar.

Kerjasama dengan pelaku industri dari negara maju yang ditopang oleh

kebijakan dan insentif dari pemerintah pada periode awal ini, memberikan hasil bagi

industri otomobil Korea Selatan berupa peningkatan kapabalitas produksi. Output

industri ini meningkat tajam hanya dalam waktu dua tahun, dari 6,604 unit pada tahun

1967 menjadi hampir mendekati 31,000 unit pada tahun 1969 (McDermott, 1996:

25). Selain itu, target pemerintah untuk melakukan lokalisasi rasio produksi yang

disosialisasikan pada akhir 1960an, dapat direaliasikan sebesar 50 persen pada tahun

1972.

B.2. Pembangunan Model atau Desain Sendiri

Memasuki tahapan kedua, industri otomobil Korea Selatan mulai mengalami

perkembangan signifikan dan tumbuh dengan cepat. Penerapan kebijakan HCI yang

dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1973 diikuti dengan ‘A Long-term Plan to

Promote the Automobile Industry’28 pada tahun 1974, menjadi faktor penting dibalik

perkembangan tersebut. Kebijakan HCI yang mempelopori dibangunnnya POSCO

industri baja milik pemerintah, memberikan kemudahan kepada para pelaku industri

untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku produksi secara mudah dan mandiri.

28 Program kebijakan pemerintah yang terdiri dari tiga target utama, yaitu; mencapai rasio lokal sebesar 85 persen pada tahun 1975, penjualan 80 persen pasar domestik untuk kendaraan kecil dibawah 1500cc, dan mencapai target ekspor sebanyak 75,000 unit pada tahun 1981. Dalam implementasinya, perkembangan program ini harus dilaporkan langsung kepada Presiden secara reguler (Kim, 1998: 511).

61

Page 63: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Kemudian, hal ini berimplikasi pada kemampuan industri dalam berproduksi

sehingga kapasitas produksi dapat ditingkatkan. Dengan demikian target pemerintah

untuk dapat melakukan perdagangan kendaraan ke luar negeri dalam jumlah besar

menjadi lebih mudah tercapai.

Pada pertengahan 1970an, Toyota melakukan divestasi dan keluar dari Korea

Selatan. Shinjin Motor mendirikan GM Korea dengan melakukan joint venture

bersama General Motor yang pada akhirnya dibeli oleh Daewoo. Setelah Asia motor

diambil alih oleh Kia, industri otomobil Korea Selatan memiliki tiga produsen utama

dalam negeri yaitu; Hyundai, Kia, dan Daewoo. Pada tahun 1976, ketiga produsen

utama tersebut telah berhasil mencapai rasio lokal produksi sebesar 85 persen.

Kemudian pada tahun 1979, total produksi lokal industri otomobil Korea Selatan

mencapai 112,314 unit (Green, 1992: 414), meningkat drastis dari yang semula hanya

mampu mendekati 31,000 unit pada tahun 1969.

Hyundai Motor yang mulai mengembangkan model atau desainnya sendiri

yaitu Pony, pada tahun 1976 melakukan ekspor pertamanya ke Ekuador sebanyak

enam unit yang juga merupakan penjualan pertama industri otomobil Korea Selatan

ke luar negeri. Dari segi jumlah memang sangat sedikit, akan tetapi hal ini merupakan

simbolisasi keberhasilan negara tersebut dalam membangun industri otomobilnya

sendiri. Jumlah penjualan ke luar negeri ini kemudian terus meningkat, dimana pada

tahun 1977 ekspor Hyundai mencapai 1,287 unit ke negara-negara di Amerika Latin

dan Timur Tengah.

62

Page 64: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Dinamika ekonomi politik domestik dan internasional berupa resesi global

dan kudeta atas rezim Park Chung-hee yang terjadi pada akhir 1970an dan awal

1980an memberikan dampak terhadap perkembangan industri otomobil Korea

Selatan. Pergantian rezim yang diawali dengan pembunuhan Park Chung-hee oleh

orang kepercayaanya sendiri yang merupakan pimpinan KCIA berimbas kepada

stabilitas politik dalam negeri. Goncangan terhadap stabilitas politik kemudian

memberikaan pengaruh buruk dalam berjalannya proses industrialisasi. Meskipun

keadaan dapat diatasi oleh pimpinan militer saat itu, munculnya rezim baru kemudian

mengubah arah kebijakan yang selama ini sudah diambil oleh pemerintah sebelumnya

di dalam menjalankan proses industrialiasi.

Resesi global yang terjadi saat itu menyebabkan kenaikan harga minyak

sebesar tiga kali lipat. Resesi juga mengakibatkan turunnya permintaan domestik

terhadap kendaraan secara drastis hingga mencapai diatas 50 persen. Penurunan

permintaan ini menyebabkan para pelaku industri otomobil dalam negeri yang sangat

bergantung pada pasar dalam negeri mengalami kesulitan dan terancam mengalami

kebangkrutan. Sebagai respon dari permasalahan ini, Korean Institue of Economics

and Technology (KIET) memberikan rekomendasi yang berdasarkan hasil studi

mereka kepada pemerintah untuk melakukan restrukturisasi dan reorientasi industri.

Menurut KIET, industry otomobil Korea Selatan hanya bisa bertahan jika

melakukan ekspansi produksi ke tempat-tempat yang memiliki volume yang cukup

besar untuk menangkap skala ekonomi atau dengan kata lain tempat-tempat yang

masih memiliki pasar potensial (Green, 1992: 415). Hal ini kemudian menjadi salah

63

Page 65: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

satu faktor yang mendorong pemerintahan di bawah rezim Chun Doo-hwan untuk

melakukan restrukturisasi dan reorientasi industri seperti yang direkomendasikan oleh

KIET melalui penerapan kebijakan stabilisasi perekonomian.

Restrukturisasi dan reorientasi industri otomobil yang dijalankan saat itu

adalah dengan melakukan konsolidasi bersama para pelaku industri otomobil dalam

negeri, dan menekankan spesialisasi produk pada setiap produser. Konsolidasi yang

telah direncanakan dari tahun 1980 namun baru dikonfirmasi pada Juli 1982 ini,

mengarahkan Kia untuk berkonsentrasi pada pembuatan kendaraan komersial

berukuran kecil ke menengah. Kemudian pemerintah hanya memberikan lisensi

kepada Hyundai dan Daewoo untuk memproduksi kendaraan berpenumpang kecil,

sedangkan produksi bus serta truk berukuran besar dibebaskan dengan kompetisi

secara terbuka. Konsolidasi ini dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi

persaingan antar pelaku industri dalam negeri yang tidak perlu dan menekan

kelebihan suplai produksi.

Selain itu, dengan menekankan spesialisasi kepada setiap produser, dapat

tercipta peningkatan kapabilitas produksi. Dengan peningkatan kapabilitas, maka

produk yang dihasilkan menjadi lebih berkualitas, sehingga mampu bersaing di pasar

internasional. Cara ini ditempuh oleh pemerintah agar ekspansi yang dilakukan oleh

pelaku industri otomobil Korea Selatan seperti yang direkomendasikan oleh KIET,

dapat memetik hasil yang optimal. Meskipun pada awalnya mengekspor Pony yang

merupakan desain Hyundai ke pasar Amerika Selatan, pada tahun 1982 ekspansi

ekspor industri otomobil Korea Selatan lebih banyak diserap oleh pasar negara-

64

Page 66: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

negara yang ada di dalam komunitas Eropa seperti, Belanda, Belgia, Yunani dan

Inggris. Total ekspor yang dicapai Korea Selatan ke wilayah tersebut, terhitung

sebesar 52 persen dari total ekspor industri tersebut secara keseluruhan.

B.3. Ekspansi Produksi dan Globalisasi Industri

Terbatasnya kemampuan pasar domestik untuk dapat menyerap volume

produksi industri otomobil dalam negeri, mendorong Korea Selatan untuk melihat

potensi pasar yang ada di luar negeri. Dengan kebijakan pemerintah yang mendorong

chaebol untuk melakukan spesialisasi guna meningkatkan kapabilitasnya, pada

tahapan ketiga ini industri otomobil mulai melakukan ekspansi ke pasar internasional.

Untuk menunjang proses ekspansi para pelaku industri otomobil Korea Selatan

berusaha meningkatkan kapasitas produksi. Oleh karena itu, pada periode ini para

pelaku industri mulai menekankan untuk melakukan produksi secara masal.

Pada tahun 1985 Hyundai Motor membangun pusat produksi dengan

kapasitas 300,000 unit dalam setahun, sementara Daewoo membangun pabrik

perakitan dengan kapasitas produksi tahunan sebesar 170,000 unit. Kemudian,

Hyundai mendirikan pabrik produksi pertamanya di luar negeri, yaitu di Canada

dengan kapasitas produksi 100,000 unit per tahun. Ketika pemerintah menarik

kembali larangan terhadap produksi kendaraan berpenumpang kecil pada tahun 1987,

Kia mulai membangun kendaraan dengan spesifikasi tersebut yang diberi nama Pride.

Kemudian Kia juga meningkatkan kapasitas produksinya dengan membangun pabrik

yang mampu menghasilkan kendaraan sebanyak 120,000 unit dalam satu tahun.

65

Page 67: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Dengan melakukan produksi masal, produksi kendaraan meningkat drastis

sehingga para pelaku industri semakin agresif dalam mencari pasar di luar mengingat

pasar domestik telah mengalami saturasi. Agresifitas para pelaku industri kemudian

menghasilkan peningkatan volume ekspor kendaraan Korea Selatan yang pada

pertengahan 1980an persentasenya mampu melebihi penjualan domestik (Lihat Tabel

2). Besarnya volume ekspor ini menjadikan industri otomobil sebagai salah satu

industri ekspor utama di Korea Selatan.

Berdasarkan Tabel, volume ekspor industri otomobil Korea Selatan pada

tahun 1986 sampai dengan 1988 berada di atas level penjualan domestik. Hal ini

menandakan ekspansi yang dilakukan industri tersebut memberikan hasil positif.

Selain itu, usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi dengan melakukan produksi

masal berhasil menggenjot total produksi. Seperti yang dapat diliat pada tabel diatas

dimana produksi dari tahun 1985 ke 1986 meningkat drastis, hampir mencapai dua

kali lipat. Begitu juga pada tahun-tahun berikutnya peningkatan volume produksi

secara signifikan masih tetap terjadi

Dikarenakan mengalami surplus perdagangan selama beberapa tahun berturut-

turut, negara tujuan ekspor yang kebanyakan negara maju, mulai memberikan

tekanan terhadap ekpor industri otomobil Korea Selatan. Tekanan ini mengakibatkan

Tabel 2.Produksi dan Penjualan Industri Otomobil Korea Selatan 1976-2001

66

Page 68: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Sumber: Korea Automobile Manufacturers Association (2001).

turunnya volume perdagangan luar negeri industri otomobil Korea Selatan secara

substansial mulai akhir tahun 1989. Sementara itu, selama beberapa tahun setelahnya,

pertumbuhan industri otomobil berbasis penjualan dalam negeri terus meningkat yang

mengakibatkan jarak dengan penjualan luar negeri semakin melebar dan semakin

memperkecil presentasi ekspor sampai dengan pertengahan 1990an. Namun setelah

itu, persentase ekspor industri otomobil Korea Selatan kembali meningkat dan

mampu melebihi persentase perdagangan domestik (Lihat Tabel 2).

67

Page 69: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Setelah sebelumnya mengandalkan pasar Eropa, pada tahun 1987 Industri

Otomobil Korea Selatan melalui Hyundai melakukan ekspansi ke pasar Amerika

Utara. Dengan mengandalkan Pony generasi kedua atau yang lebih dikenal sebagai

Excel untuk pasar Amerika, Hyundai dikatakan berhasil dalam debut perdananya

tersebut. Banyak anggapan bahwa keberhasilan Hyundai di Amerika dibantu dengan

kebijakan VAR29, yaitu pembatasan ekspor mobil Jepang ke pasar Amerika sejak

awal 1980an, yang disebabkan oleh rendahnya neraca perdagangan negara adidaya

tersebut terhadap Jepang. Dengan diberlakukannya kebijakan VAR tersebut,

memberikan peluang kepada Hyundai untuk mengisi niche market yang biasa diisi

oleh produsen otomobil asal Jepang, yaitu segmen kendaraan berpenumpang kecil.

Disamping memperluas pasarnya ke Amerika Serikat, industri otomobil

Korea Selatan juga tetap mempertahankan eksistensinya di Eropa, bahkan indistri ini

melakukan perluasan ke negara-negara Eropa lainnya. Antara tahun 1990 sampai

tahun 1991 persentase ekspor industri otomobil Korea Selatan ke Eropa meningkat

sangat drastis, yaitu sebesar 141 persen (McDermott, 1996: 25). Kemudian pada

bulan September 1991, Hyundai mulai melakukan ekspansi ke pasar Jerman.

Dengan keberhasilan melakukan produksi masal untuk menopang ekspansi

dan globalisasi industri, pada tahun 1991 industri otomobil Korea Selatan berhasil

menjadi produsen otomobil terbesar kesembilan di dunia (McDermott, 1996: 36).

Pada tahun 1993, produksi kendaraan yang dilakukan oleh industri otomobil Korea

Selatan menyentuh angka 2 juta unit yang 80 persennya merupakan kendaraan

29 Voluntary Auto Restraints.

68

Page 70: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

berpenumpang. Besarnya volume produksi ini berhasil meningkatkan posisi Korea

Selatan dalam daftar teratas produsen industri otomobil terbesar di dunia, yaitu

berada di posisi keenam.

Tabel 3.Peringkat Industri Otomobil Dunia Berdasarkan Produksi

*(Unit dalam seribu)Sumber: Korea Automobile Manufacturers Association (2001).

Berdasarkan Tabel 3, pada tahun 1992, Korea Selatan berada di posisi ketujuh

sebagai negara produsen otomobil terbesar di dunia. Sedangkan jika dilihat pada

tahun 1995, Korea Selatan menempati urutan kelima. Dengan melihat data yang telah

dijabarkan sebelumnya, setiap tahun Korea Selatan selalu berhasil memperbaiki

posisinya sebagai negara produsen otomobil dunia. Dimana pada tahun 1991, Korea

Selatan menempati urutan kesembilan naik menjadi ketujuh dalam waktu setahun.

Kemudian pada tahun 1993 berhasil menempati posisi keenam yang naik lagi menuju

posisi kelima dua tahun kemudian pada 1995. Hal ini menggambarkan bahwa selama

69

Page 71: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

periode tersebut, Korea Selatan dapat selalu tetap menjaga pertumbuhan dan

perkembangan industri otomobilnya.

Memasuki akhir 1990an, krisis ekonomi yang terjadi di Asia membawa

perubahan besar pada konstruksi industrialisasi di Korea Selatan. Pasca krisis

tersebut, peran pemerintah dalam ekonomi semakin terdegradasi dan liberaliasi

ekonomi yang terjadi di Korea Selatan mengalami akselerasi. Hal ini kemudian

memberikan akses yang lebih terbuka kepada modal asing untuk berperan serta dalam

kegiatan perekonomian disana.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ketika beberapa chaebol mengalami

kesulitan finansial, modal asing masuk dengan membeli saham dan melakukan

akusisi. Setelah Samsung Motor dikuasai oleh Renault dan Daewoo dikuasai oleh

GM, Hyundai menjadi satu-satunya chaebol yang sebagian besar sahamnya masih

dimiliki oleh lokal dan paling dominan dalam industri otomobil Korea Selatan,

terutama setelah melakukan akuisisi terhadap Kia Motor pasca krisis tersebut.

Selain membawa perubahan pada konstruksi industri otomobil di Korea

Selatan, krisis Asia juga menyebabkan tingkat produksi kendaraan menurun drastis.

Pada tahun 1998 persentase penurunan total produksi industri otomobil Korea Selatan

akibat krisis Asia mencapai -30,7 persen (Lihat Tabel 4). Produksi kendaraan pada

tahun itu hanya mampu mencapai 1,9 juta unit. Padahal sejak tahun 1993, industri

otomobil Korea Selatan sudah mampu melakukan produksi kendaraan diatas 2 juta

unit setahun dan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Bahkan tepat sebelum

70

Page 72: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

krisis Asia terjadi, yaitu pada tahun 1997, produksi industri ini hampir menembus

angka 3 juta dalam setahun.

Tabel 4.Produksi Industri Otomobil Korea Selatan Pasca Krisis Asia 1998-2000

Sumber: Korea Automobile Manufacturers Association (2008).

Selepas krisis Asia, industri otomobil Korea Selatan kemudian terus

melanjutkan proses globalisasi industri. Hal ini ditandai dengan dibukanya pabrik

produksi luar negeri oleh Hyundai yaitu di Canada yang sempat ditutup pada tahun

1993 karena masalah operasional, dan India, Polandia, Rumania, serta China.

71

Page 73: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Kemudian pada tahun 2002 Hyundai masuk kembali ke pasar Amerika Serikat

dengan melakukan produksi lokal (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 48).

Memasuki periode baru setelah krisis ekonomi Asia, Hyundai menjadi pemain

utama dalam perjalanan industri otomobil di Korea Selatan. Hyundai menjadi satu-

satunya yang kepemilikan sahamnya masih didominasi oleh chaebol dalam negeri.

Dicken bahkan menyebutkan bahwa saat ini, hanya tersisa Hyundai yang menjadi

pemain dalam industri otomobil Korea Selatan (Dicken, 2011: 355).

Dengan melakukan akuisisi terhadap Kia Motor, Hyundai makin

memperbesar dominasinya dalam pembagian pasar domestik. Salah satu alasan utama

dibalik pembelian Kia adalah untuk menjaga pasar dalam negeri dari masuknya

beberapa pelaku industri otomobil luar negeri yang mengakuisisi perusahaan-

perusahaan otomobil lokal. Dengan kata lain, pembelian Kia ditujukan untuk

mengimbangi kekuatan pelaku industri luar yang masuk ke dalam persaingan pasar

domestik, setelah semakin terbukanya ekonomi Korea Selatan pasca krisis Asia.

Dengan kombinasi kapasitas dan kapabilitas keduanya, industri otomobil dalam

negeri Korea Selatan akan semakin kuat dalam menghadapi proses globalisasi

industri (Chung & Park, 2009: 5).

C. Hyundai Sebagai “National Champion”

Berbicara mengenai industri otomobil Korea Selatan tidak mungkin lepas dari

salah satu chaebol yang paling berhasil dalam membangun usahanya dalam sektor ini

yaitu Hyundai. Dikatakan paling berhasil karena Hyundai berada pada peringkat

72

Page 74: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pertama dari segi jumlah produksi, volume ekspor, pengembangan produk dan

sebagainya dibandingkan dengan pelaku industri otomobil lainnya di Korea Selatan.

Hyundai dan Kia yang merupakan anak perusahaannya, memproduksi sekitar 78,1

persen30 dari keseluruhan total produksi industri otombil dalam negeri. Sementara itu

produksi keduanya pada pabrik-pabrik yang tersebar di luar negeri mencapai 2,6 juta

unit pada tahun 2010 (KAMA, 2011: 5).

Gambar 3.Kapasitas Produksi Global Hyundai

Sumber: Korea Automobile Manufacturers Association (2011).

30 Data tahun 2009 yang diambil dari laporan tahunan KAMA.

73

Page 75: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Berdasarkan gambar Gambar 3, dapat dikatakan bahwa Hyundai telah

melakukan globalisasi industri dengan mendirikan beberapa pabrik perakitan di

berbagai negara di dunia seperti Amerika, China, India, Rusia Turki dan Ceko.

Kenyataan ini semakin menegaskan keberhasilan Hyundai dalam membangun

perusahaannya sebagai salah satu pelaku industri otomobil yang berhasil tidak hanya

pada level domestik namun juga pada level global. Oleh karena itu, perjalanan

Hyundai dalam proses industrialiasi di Korea Selatan khususnya industri otomobil,

menjadi salah satu bagian penting untuk dibahas didalam tulisan ini.

C.1. Dari Bengkel Reparasi Menjadi Pembuat Mobil

Hyundai yang dalam bahasa berarti “modern”, awalnya merupakan bengkel

reparasi kendaraan yang didirikan oleh Chung Ju-yung pada tahun 1946. Bengkel

yang beroperasi pada masa kolonial tersebut kemudian menjadi langganan para

perwira atau tentara Jepang. Bisnis reparasai Chung berhasil dan menghasilkan

banyak keuntungan sehingga bisa melakukan ekspansi. Bengkel yang tadinya

merupakan one-man operatian tersebut berkembang dan kemudian mampu

mempekerjakan sekitar lebih dari lima puluh orang (Kim & Jaffe, 2010: 106).

Pada tahun 1947, Chung Ju-yung mengkonversi bengkel reparasi miliknya

tersebut menjadi perusahaan konstruksi dengan mendirikan Hyundai Engineering and

Construction Company (HECC). Selama perang Korea berlangsung hingga

diberlakukannya program FYEDP periode kedua oleh pemerintah, HECC menjadi

pelaku usaha yang memonopoli bisnis konstruksi di Korea Selatan. Pada tahun 1968,

74

Page 76: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

HECC membangun jalan raya terpanjang pertama yang pernah dibangun oleh Korea

Selatan. Jalan tol Kyungbu yang menghubungkan Busan dan Seoul ini merupakan

proyek besar berskala nasional yang sangat monumental bagi masyarakat Korea

Selatan pada saat itu.

Dengan komitmen dan dukungan dari pemerintah yang ingin mengembangkan

industri otomobil dalam negeri, Chung kemudian memutuskan untuk ikut ambil

bagian dalam proses pengembangan industri tersebut dengan mendirikan Hyundai

Motor Company (HMC) pada tahun 1967. Ketika berdiri, Hyundai melakukan bagian

perakitan kendaraan penumpang berkapasitas kecil Cortina yang diproduksi oleh

Ford Motor. Keinginan untuk membangun kendaraan dengan model atau desain

sendiri membuat Hyundai menarik diri dari kerjasama teknik dengan Ford pada awal

1973 (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 51). Ketidaksepahaman mengenai kontrol

manajemen juga menjadi alasan lain yang menyebabkan berakhirnya kerjasama

antara Hyundai dan Ford tersebut.

Sejak melepaskan diri dari Ford, Hyundai menggandeng Mitsubishi dalam

membantu mewujudkan keinginan untuk membangun kendaraannya sendiri.

Mitsubishi memberikan bantuan teknik dan lisensi teknologi pada HMC untuk dapat

merealisasikan keinginanya tersebut. Kemudian Hyundai merekrut George Turnbull,

seorang desainer otomotif asal Inggris yang sebelumnya merupakan salah satu

pejabat eksekutif pada perusahaan otomobil British Motor.

Pada tahun 1976, Hyundai berhasil memproduksi kendaraannya sendiri yang

diberi label Pony. Kendaraan model pertama keluaran Hyundai ini menggunakan 90

75

Page 77: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

persen suku cadang yang disediakan secara lokal. Mitsubishi memberikan kontribusi

berupa dukungan teknologi dan 10 persen modal dalam pembangunan kendaraan ini.

Beberapa saat setelah peluncurannya, Hyundai Pony kemudian menjadi kendaraan

yang paling sering dijumpai melintasi jalan tol Kyungbu.

Keberhasilan Hyundai membangun Pony, menjadikannya salah satu

perusahaan pembuat mobil terbaik di Korea Selatan. Pangsa pasar Hyundai pada

industri otomobil dalam negeri meningkat drastis dari yang hanya 19 persen pada

tahun 1970, menjadi 58 persen pada tahun 1977 (HECC, 1982: 52). Berdasarkan

keberhasilam Pony, Hyundai kemudian mulai bergerak untuk membangun sistem

produksi masal. Pabrik pertama Hyundai yang melakukan proses produksi masal

dibangun di Ulsan dengan kapasitas 100 ribu unit kendaraan setahun. Langkah awal

pembangunan sistem produksi masal ini dimulai dari tahun 1979 bersamaan dengan

pengembangan Pony generasi kedua. Seiring dengan berjalannya sistem produsi

masal, Hyundai kemudian melakukan ekspansi ke luar negeri. Seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya dalam tulisan ini, Pony generasi kedua yang mulai

dikembangkan pada tahun 1985 meraih kesuksesan besar di pasar Amerika.

Penerapan sistem produksi masal dan peluang melakukan ekspansi pasar,

mendorong Hyundai untuk maju lebih jauh lagi dengan mengembangkan beberapa

model lainnya, sehingga produk HMC memiliki beberapa varian yang bertujuan

untuk menangkap peluang pasar serta memperbesar skala ekonomi. Disamping Pony

generasi kedua berkapasitas 1,400cc atau yang lebih dikenal dengan label Excel,

beberapa varian HMC yang dikembangkan antara tahun 1980 sampai dengan 1990

76

Page 78: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

antara lain; Stellar berkapasitas 1439cc dan 1597cc (1982), Sonata berkapasitas

1800cc dan 2000cc (1985), serta Elantra berkapasitas 1500cc dan 1800cc (1990).

Pengembangan varian-varian tersebut, seluruhnya dikerjakan melalui kerjasama

dengan Mitsubishi (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 52).

Dinamika ekonomi politik yang terjadi mulai akhir 1980an memberikan

pengaruh terhadap proses industrialisasi yang dijalani oleh Hyundai dan

menyebabkan beberapa perubahan mendasar. Beberapa dinamika tersebut antara lain;

Pertama, munculnya tuntutan internasional untuk melakukan relaksasi proteksi

pemerintah terhadap industri, disertai dengan tekanan ekspor dari negara-negara maju

yang mengalami defisit perdagangan dengan Korea Selatan. Kedua, terjadinya

restrukturisasi industri otomobil internasional berdampak pada peningkatan kapasitas

produksi yang menghasilkan kelebihan suplai produksi. Ketiga, terkait dengan

terjadinya proses demokratisasi politik dalam negeri yang kemudian memberikan

ruang bagi para pekerja dalam menyuarakan keinginannya untuk mendapatkan upah

yang lebih tinggi.

Tuntutan internasional agar pemerintah mereduksi proteksi terhadap industri

dalam negeri memberi peluang perusahaan luar melakukan ekspansi di Korea Selatan.

Hal ini kemudian menyebabkan berkurangnya pangsa pasar para pelaku industri

domestik. Ditambah lagi dengan tekanan dari negara tujuan ekspor yang mengalami

defisit perdagangan dengan Korea Selatan sehingga mengakibatkan ekspor Hyundai

merosot drastis pada akhir 1980an dan awal 1990an. Kebijakan pemerintah untuk

merevisi kebijakan monopoli pembuatan mobil penumpang berukuran kecil

77

Page 79: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

menyebabkan Daewoo dan Kia ikut masuk kedalam segmen tersebut yang

sebelumnya hanya dikerjakan oleh Hyundai. Hal ini kemudian mematahkan monopoli

Hyundai dan berkontribusi mengurangi pangsa pasar domestik.

Terjadinya kelebihan suplai industri otomobil sejak 1980an yang disebabkan

oleh peningkatan kapasitas produksi secara besar-besaran, mendorong tumbuhnya

kerjasama strategis antara para pelaku industri utama dunia seperti Ford, GM, dan

Chrysler. Kerjasama dilakukan dengan melakukan merger atau akuisisi dengan tujuan

untuk mengatasi masalah kelebihan suplai produksi, lalu memperluas skala ekonomi

dan meningkatkan posisi perusahaan di pasar global. Situasi ini memaksa Hyundai

untuk memastikan strateginya ke depan agar dapat tetap bertahan dalam persaingan

internasional, melalui kerjasama strategis dengan pelaku industri otomobil lainnya

atau dengan melakukan pengembangan industri secara mandiri.

Perkembangan proses demokrasi di dalam negeri yang ditandai dengan

dilakukannya pemilihan Presiden secara demokratis untuk pertama kalinya pada

tahun 1987, membawa perubahan pada wajah pemerintahan yang pada awalnya

otoritarian. Dalam konteks industri, demokratisasi memberikan ruang bagi para

pekerja untuk dapat lebih menyuarakan keinginannya melalui serikat pekerja yang

sebelumnya dilarang. Pekerja yang pada masa sebelumnya selalu ditekan oleh

pemerintah dengan upah rendah, mulai memiliki kekuatan untuk meminta kenaikan

upah. Keadaan ini mengakibatkan daya saing industri otomobil Korea Selatan

menurun terutama yang berkaitan dengan biaya produksi upah buruh rendah. Hal ini

78

Page 80: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

kemudian mendorong Hyundai untuk melakukan relokasi industri ke negara-negara

yang memiliki tenaga kerja murah seperti India dan China.

Berbagai dinamika tersebut, menyebabkan Hyundai kehilangan daya saing di

pasar domestik maupun internasional. Jumlah penjualan domestik turun drastis

terhitung sejak tahun 1986 hingga 1993. Terhitung penurunan pangsa pasar Hyundai

pada rentang waktu tersebut mencapai 34 persen, dimana semula pada tahun 1986

Hyundai menguasai 76 persen pasar domestik yang kemudian menjadi hanya 42

persen pada tahun 1993. Penjualan luar negeri juga bernasib serupa, dimana pada

tahun 1987 ekspor Hyundai mencapai 426 ribu unit kendaraan, turun menjadi hanya

256 ribu unit pada tahun 1991 (HMC, 1992: 16).

Sebagai respon, pada tahun 1994 Hyundai mengembangkan sebuah program

jangka panjang yang diberi nama GT-1031. Program ini bertujuan untuk menjadikan

Hyundai sebagai salah satu dari sepuluh perusahaan pembuat kendaraan terbesar di

dunia yang pada waktu itu ditargetkan akan terealisasi tahun 2000 (McDermott, 1996:

65). Untuk merealisasikan progrom tersebut, Hyundai melakukan globalisasi

produksi secara agresif, terutama ke negara-negara berkembang seperti Turki, India,

Malaysia, dan China.

Selain melakukan globalisasi produksi, Hyundai juga meningkatkan kapasitas

produksi domestiknya, dengan membangun pabrik baru dengan kapasitas 300 ribu

unit setahun. Kemudian, Hyundai melakukan ekstensifikasi produk dengan membuat

varian kendaraan berkapasitas besar 4000cc dan kendaraan model yang lebih

31 Global Top 10 Project.

79

Page 81: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

premium. Kedua hal tersebut dilakukan oleh Hyundai bersamaan dengan

meningkatkan kapabilitas teknologi produksi (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 53).

Dengan melakukan upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi, Hyundai

membutuhkan ekstensifikasi pasar guna menyerap output yang dihasilkan. Untuk itu,

Hyundai berusaha melepaskan ketergantungannya terhadap pasar Amerika dan

melakukan ekspansi dengan melakukan ekspor ke negara-negara lain. Sebagai

hasilnya, Hyundai berhasil melakukan diversifikasi pasar. Pasar ekspor Hyundai yang

pada tahun 1986 tersebar di 65 negara, bertambah lebih banyak menjadi 141 negara

pada tahun 1994.

Dalam perjalanan merealisasikan target yang ingin dicapai dalam program

GT-10, Hyundai mendapatkan hambatan pada tahun 1997 ketika krisis ekonomi

melanda Asia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, krisis tersebut

mengakibatkan output industri otomobil Korea Selatan menurun drastis. Namun,

langkah Hyundai mengakuisisi Kia yang mengalami kebangkrutan akibat krisis

tersebut, menjadikannya berhasil mencapai target program GT-10. Capaian yang

diraih Hyundai saat itu, selain sebagai perusahaan pembuat mobil terbesar kesepuluh

di dunia diukur dari kapasitas produksi, salah satu chaebol terbesar di Korea Selatan

tersebut juga mampu mempekerjakan 37 ribu orang melalui tiga pabriknya yang

tersebar di wilayah Ulsan, Chonju, dan Assan (Chosun Media, 1999).

Satu dekade kemudian, Hyundai terus berkembang dan melakukan globalisasi

industri dengan membuka pusat produksi di beberapa negara dunia seperti, Amerika

Serikat, India, China, Turki, Republik Ceko, Rusia, dan Brazil. Seluruh pusat

80

Page 82: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

produksi tersebut mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi 78 ribu orang.

Kemudian pada tahun 2010 tersebut, produksi Hyundai yang berhasil terjual di

seluruh dunia mencapai seakitar 3,6 juta unit dalam setahun (Hyundai Motor

Manufacturing Alabama, 2013). Perkembangan yang telah dicapai ini

menggambarkan keberhasilan Hyundai menjadi salah satu pelaku industri otomobil

terbesar di dunia.

Keberhasilan Hyundai melakukan transformasi dari sebuah bengkel reparasi

kecil menjadi salah satu pembuat mobil terbaik di dunia dipertegas dengan

penghargaan North American Car of the Year yang diraih oleh genesis pada tahun

2009. Penghargaan ini merupakan penghargaan bergengsi yang dianugrahi oleh

sekelompok wartawan otomotif terkemuka yang beranggotakan 50 orang dan sangat

diinginan oleh para pelaku industri otomobil dunia (Kim & Jaffe, 2010, hal. 100).

Untuk mendapatkan penghargaan tersebut, Genesis yang merupakan salah satu varian

Hyundai tipe sedan premium, harus bersaing dengan kendaraan-kendaraan mewah

produksi Lexus, Mercedes, dan BMW. Penghargaan ini juga menandai kesuksesan

Hyundai melakukan upgrading dalam proses industri. Hyundai yang tadinya lebih

dikenal sebagai produsen mobil berpenumpang kecil atau entry level dengan harga

terjangkau, kemudian mulai mendapat pengakuan sebagai salah satu produsen mobil

mewah berkelas dunia.

C.2. Dari Imitasi Menuju Inovasi

81

Page 83: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa perkembangan industri

otomobil Korea Selatan dibagi menjadi tiga tahapan yaitu; Tahap persiapan

melakukan produksi lokal, tahap pembangunan model atau desain sendiri, dan tahap

ekspansi produksi dan globalisasi industri. Seiring dengan proses perjalanan dari satu

tahapan ke tahapan selanjutnya, baik Hyundai maupun pelaku industri otomobil

lainnya melakukan apa yang disebut sebagai proses imitasi menuju inovasi.

Keberhasilan Hyundai menjadi salah satu pelaku industri otomobil terbesar di dunia

tidak terlepas dari bagaimana strategi mereka dalam menjalankan proses yang

dimaksud, sehingga pergeseran dari imitasi menuju inovasi dapat berlangsung secara

efektif guna memberikan kontribusi bagi kemajuan yang ingin dicapai.

Proses imitasi menuju inovasi berhubungan dengan pengembangan kapabilitas

dalam membangun industri. Menurut Joseph Yun (2007), pengembangan tersebut

dilakukan dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi secara efektif dalam

rangka mengasimilasi, menggunakan, mengadaptasi dan mengubah sumber yang

sudah ada (Yun, 2007: 34). Dari apa yang dikemukakan oleh Yun tersebut, dapat

dilihat bahwa proses imitasi menuju inovasi dapat diartikan juga sebagai suatu proses

yang melalui tahapan-tahapan asimilasi, penggunaan, dan pengadaptasian sumber-

sumber yang tersedia dalam pengembangan industri. Sebagai langkah awal, imitasi

terjadi dalam proses asimilasi yang terjadi antara pelaku usaha dalam dengan luar

negeri. Proses berikutnya yaitu penggunaan dan pengadaptasian sumber yang tersedia

berjalan dengan melakukan inovasi dalam industri. Selain itu, Yun juga menekankan

82

Page 84: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

efektifitas penggunaan sumber pengetahuan dan teknologi dalam proses imitasi

menuju inovasi tersebut agar pengembangan kapabilitas dapat berlangsung optimal.

Pengembangan kapabilitas dalam proses industri yang dilakukan oleh

Hyundai kemudian ditentukan oleh kemampuannya dalam menyerap sumber

pengetahuan dan teknologi yang tersedia. Kemampuan ini kemudian akan

mempengaruhi berjalannya proses imitasi menuju inovasi yang dilakukan dalam

proses pembangunan industri. Sebagai pelaku industri yangda pasaat itu berasal dari

negara berkembang, Hyundai memiliki keterbatasan sumber pengetahuan dan

teknologi. Karenanya, Hyundai memerlukan keterlibatan pelaku industri otomobil

dari negara maju yang berperan sebagai penyedia sumber pengetahuan dan teknologi

yang dibutuhkan guna meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri.

Ketika Hyundai memutuskan untuk masuk sebagai salah satu pelaku industri

otomobil dalam negeri pada tahun 1967 dengan mendirikan HMC, salah satu chaebol

terbesar di Korea ini tidak memiliki pengalaman dalam proses pembuatan kendaraan.

Oleh sebab itu, pilihan satu-satunya untuk memulai proses tersebut adalah dengan

melakukan kerjasama teknik untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dari

pelaku industri otomobil yang telah memilikinya. Oleh sebab itu, pada tahun 1968

Hyundai menyetujui perjanjian kerjasama dengan Ford untuk menjadi bagian dari

rantai produksi pelaku industri otomobil asal Amerika tersebut. Hyundai kemudian

merakit salah satu varian kendaraan yang diproduksi oleh Ford yaitu Cortina.

Proses pengembangan kapabilitas produksi yang dilakukan oleh Hyundai

melalui kerjasama tersebut, diawali dengan mengirimkan tenaga kerjanya untuk

83

Page 85: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

belajar ke pabrik Ford. Kemudian, Ford juga mengirimkan tenaga ahlinya ke Hyundai

untuk membantu mereka menerjemahkan pengetahuan yang bersifat tacit32 yang tidak

bisa dikodifikasi dalam proses perakitan kendaraan. Dengan kehadiran tenaga ahli

dari Ford tersebut, pekerja Hyundai dapat mengartikulasi pengetahuan yang tadinya

bersifat tacit, menjadi pengetahuan yang lebih eksplisit. Pengetahuan yang lebih

eksplisit itu kemudian mempermudah aplikasi pengetahuan yang dimaksud dalam

proses kegiatan produksi atau berjalannya industri bagi Hyundai.

Selanjutnya, Ford juga berperan melakukan transfer pengetahuan dan

teknologi dalam memenuhi kebutuhan atau kemampuan Hyundai untuk menjalankan

industri otomobil pada bidang perencanaan dan koordinasi. Transfer pengetahuan

yang dilakukan Ford juga berperan membantu Hyundai dalam melakukan teknik

produksi, proses pembuatan, manajemen produksi, pengelasan, pengecatan, servis

purna jual, dan pemasaran (Kim, 1998: 510). Kerjasama antara Ford dengan Hyundai

dan besarnya peran Ford dalam transfer pengetahuan dan teknologi kepada salah satu

chaebol terbesar di Korea Selatan ini, dapat digambarkan sebagai asimilasi dalam hal

teknik operasional yang merupakan pintu masuk fase imitasi pada proses

industrialisasi otomobil yang dilakukan oleh Hyundai.

Selain mengefektifkan kerjasama dengan Ford, Hyundai juga mendorong

peningkatan kapabilitas industri dari dalam. Dengan menetapkan target yang tinggi,

32 Tacit Knowlede merupakan pengetahuan yang sangat mengakar dalam pikiran dan jiwa manusia sehingga sangat sulit diterjemahkan dalam bentuk verbal maupun tulisan. Transfer pengetahuan yang bersifat tacit hanya akan efektif apabila terjadi kontak personal dan interaksi yang reguler (Goffin & Koners, 2011).

84

Page 86: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Hyundai memaksa struktur di dalamnya untuk bekerja lebih giat. Pada saat itu,

Hyundai menetapkan target untuk menyelesaikan pembuatan pabrik dengan

menetapkan waktu pengerjaan terpendek. Hal ini menyebabkan, para insinyur,

teknisi, dan pekerja kontruksi bekerja selama 16 jam sehari dan 7 hari dalam

seminggu. Intensitas kerja yang tinggi diantara pekerja menghasilkan interaksi yang

tinggi diantara mereka, sehingga terbangun diskusi yang menghasilkan penyebaran

pengetahuan dan efektifitas organisasional dalam bekerja.

Sebagai hasil, Hyundai mampu menyelesaikan proses pembangunan dari awal

dimulai sampai dengan produksi pertama hanya dalam waktu enam bulan, tercepat

diantara 118 pabrik Ford lainnya yang tersebar di seluruh dunia (Kim, 1998: 511).

Asimilasi yang terjadi antara kapabilitas teknologi dari luar dengan kapasitas pekerja

dari dalam yang memiliki etos kerja tinggi, menghasilkan efektifitas dalam proses

tersebut, sehingga perkembangan industri otomobil dapat berlangsung optimal.

Selepas menarik diri dari Ford untuk mengembangkan kendaraan dengan

model atau desain sendiri, Hyundai membangun pabrik baru yang merepresentasikan

perubahan drastis dari strategi sebelumnya yang hanya sebagai perakit kendaraan

luar. Pabrik yang mulai dibangun pada tahun 1973 tersebut menjadi simbol bagi

kelahiran mobil nasional Korea. Meskipun saat itu produksi pabrik tersebut jauh

dibawah yang direncanakan, yaitu 5426 unit berbanding 80 ribu unit, Hyundai tetap

dapat dikatakan berhasil membawa Korea Selatan sebagai negara berkembang

pertama yang memiliki mobil nasional dan berhasil membangun industri otomobil

dalam negerinya.

85

Page 87: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Pengembangan kapabilitas dalam membangun mobil pertamanya yang

dilabeli Pony, dilakukan dengan menggandeng Italdesign untuk menangani bagian

desain dan model bodi, serta Mitsubishi untuk membangun bagian mesin dan

transmisi. Selain itu, Mitsubishi juga berperan dalam pengembangan kapabilitas

pembuatan desain as roda belakang dan teknologi pengecoran. Dalam prosesnya,

upaya pengembangan kapabilitas yang dimaksud, dilakukan dengan mengirimkan

teknisi Hyundai ke para penyedia teknologi tersebut untuk melakukan pelatihan.

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa setelah lepas dari Ford, Hyundai

menerapkan kebijakan atau strategi menggunakan sumber pengetahuan dan teknologi

dari sumber yang berbeda daripada menggunakan satu sumber saja. Bahkan dalam

perkembangannya tidak jarang Hyundai menggunakan dua sumber yang berbeda

untuk sebuah teknologi yang sama (Amsden, 1989: 175). Hal ini dilakukan untuk

mengurangi ketergantungan terhadap satu sumber saja, sehingga Hyundai dapat

menjaga independensinya dari para pelaku industri otomobil luar negeri yang

merupakan penyedia sumber pengetahuan dan teknologi.

Kebijakan atau strategi untuk menggunakan lebih dari satu sumber tersebut,

menjadikan Hyundai sebagai pelaku industri otomobil domestik yang paling banyak

melakukan kerjasama luar negeri dalam rangka penyerapan teknologi, dibandingkan

dengan pelaku industri otomobil lainnya di Korea Selatan. Dari awal berdiri hingga

tahun 1985, Hyundai telah melakukan perjanjian kerjasama sebanyak 54 kali dengan

pelaku industri otomobil atau supplier dari luar negeri, jauh lebih besar dibandingkan

dengan para pelaku industri otomobil dalam negeri lainnya seperti, Daewoo yang

86

Page 88: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

melakukan perjanjian kerjasama hanya sebanyak 22 kali, Kia sebanyak 14 kali dan

Ssyangyong sebanyak 9 kali. Intensifikasi kerjasama yang dilakukan antara pelaku

industri otomobil dalam negeri dengan pelaku industri otomobil luar negeri

menghasilkan terjadinya asimilasi industri.

Kerjasama yang menghasilkan asimilasi industri tersebut, terjadi dengan

serangkaian proses imitasi yang dilakukan oleh Hyundai ketika menjadi perakit

kendaraan yang merupakan produksi Ford. Proses ini terus terjadi saat Hyundai

membangun kendaraan sendiri dengan menggunakan lisensi dari Italdesign dan

Mitsubishi. Linsu Kim membedakan proses imitasi dalam industri menjadi dua, yaitu

imitasi duplikatif dan imitasi kreatif (Kim, 1998: 512). Dari pembedaan tersebut,

dapat dikategorikan bahwa fase imitasi duplikatif berlangsung ketika Hyundai

merakit Cortina,. Sedangkan fase imitasi kreatif terjadi ketika Hyundai membangun

mobil sendiri dengan mengandalkan lisensi dari Italdesign dan Mitsubishi.

Selain melakukan kerjasama dengan para pelaku industri otomobil dari luar

negeri yang berasal dari negara maju, upaya lainnya yang dilakukan oleh Hyundai

untuk meningkatkan kapabilitas produksinya adalah melakukan pengembangan R&D

dalam negeri. Pengembangan R&D merupakan bagian penting dalam proses produksi

yang berperan untuk menciptakan inovasi sehingga Hyundai dapat melakukan

upgrading. Dapat dikatakan, bahwa proses menuju inovasi yang dilalui oleh Hyundai

merupakan manifestasi dari pengembangan R&D yang dilakukan oleh salah satu

chaebol terbesar di Korea Selatan tersebut.

87

Page 89: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Inovasi yang dihasilkan melalui pengembangan R&D merupakan faktor

penting bagi pelaku industri untuk dapat bertahan dalam proses industrialisasi.

Investasi yang dilakukan pada kegiatan R&D bertujuan untuk dapat terus

mengembangkan produk terbaru dengan peningkatan kualitas, teknologi, dan proses

produksi yang kesemuanya membutuhkan inovasi. Dengan melakukan kegiatan R&D

yang menghasilkan inovasi, Hyundai dapat mempertahankan pertumbuhan industri

yang berkelanjutan.

Pengembangan R&D dalam industri otomobil, mulai dilakukan oleh Hyundai

pada tahun 1975 yang disebut oleh Linsu Kim (1998) sebagai “primitive research

and development center”. Upaya pengembangan ini dilakukan oleh Hyundai untuk

melakukan facelifting atau pengembangan bentuk kendaraan compact33 yang

diproduksi pada saat itu. Sedangkan upaya dalam membangun kapabilitas atau

kemampuan untuk memproduksi kendaraan sendiri baru terlihat pada tahun 1984,

ketika Hyundai mulai mengembangkan institusi riset dan menggunakan teknik atau

teknologi tinggi untuk membangun mesin serta transmisi buatan sendiri. Institusi riset

yang dikembangkan oleh Hyundai meliputi, pusat riset kendaraan berpenumpang,

pusat riset kendaraan komersial, dan pusat riset teknologi manufaktur.

Selain mengembangkan institusi R&D secara mandiri, Hyundai juga

membangun kerjasama R&D dengan lembaga pendidikan tinggi atau universitas

lokal. Kemudian, Hyundai juga mengembangkan pusat riset di luar negeri untuk

mendukung aktivitas produksi dan ekspansi global. Pada tahun 1986, Hyundai

33 Kendaraan/mobil berpenumpang kecil.

88

Page 90: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

membuka Hyundai American Technical Center Inc di Michigan, dan Hyundai Styling

Studio di Los Angeles, untuk mendukung kegiatan R&D bagi kendaraan yang

dipasarkan di Amerika Serikat. Untuk pengembagan desain dan teknologi kendaraan

yang dipasarkan di Eropa, Hyundai mendirikan technical center di Frankfurt Jerman.

Pada tahun 1997, Hyundai juga mendirikan pusat pengembangan R&D di Jepang

sebagai langkah awal untuk masuk ke pasar negara tersebut. Berbagai langkah ini

didukung oleh peningkatan investasi dalam R&D yang dilakukan oleh Hyundai.

Tercatat dari tahun 1975 sampai dengan tahun 1994, Hyundai melakukan peningkatan

yang cukup signifikan dalam alokasi dana investasi (Lihat Tabel 5).

Tabel 5.Investasi R&D Hyundai (HMC) 1975-1994

*(Unit dalam milyar won)Sumber: Linsu Kim (1998).

Tabel 5, memperlihatkan keseriusan Hyundai dalam melakukan investasi pada

kegiatan R&D untuk dapat mengembangkan inovasi dalam proses industrialisasi

khususnya industri otomobil. Peningkatan investasi dalam kegiatan R&D yang

dilakukan oleh Hyundai dapat dilihat dari penambahan besaran dana investasi dari

89

Page 91: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

tahun ke tahun, dimana pada tahun 1975 tercatat sebesar 1,1 milyar won dana

dikeluarkan untuk melakukan kegiatan R&D oleh Hyundai, meningkat menjadi 4,2

milyar won pada tahun 1986, dan 4,4 milyar won pada tahun 1994. Disamping itu,

keseriusan juga dapat dilihat dari peningkatan jumlah peneliti yang bertambah pada

periode tersebut, dimana pada tahun 1975 hanya sebanyak 197 orang, meningkat

drastis menjadi 2247 orang pada tahun 1986, dan meningkat terus menjadi 3890

orang pada tahun 1994.

Selain dilakukan secara mandiri, kegiatan R&D yang dikembangkan oleh

Hyundai dalam proses industri otomobil juga mendapat dukungan dari pemerintah.

Seperti yang ditunjukan oleh kebijakan teknologi di Korea Selatan pada tahun 1990an

menetapkan target untuk membangun inovasi nasional dengan sistem yang maju,

setara dengan negara-negara industri maju (Lee & Morris, 2000: 278). Kebijakan ini

dan tergetnya secara eksplisit dinyatakan dalam rencana pembangunan atau FYEDP

yang ketujuh.

Untuk mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi, pemerintah

mengarahkan kebijakan dengan meningkatkan investasi pada kegiatan R&D di

universitas agar menghasilkan peneliti-peneliti yang kreatif (Yun, 2007: 42).

Kemudian, pemerintah juga menjadi sponsor bagi program pengembangan R&D

nasional. Dengan menjadi sponsor, pemerintah berusaha membangun sistem inovasi

nasional yang dikemudikan oleh sektor privat. Pemerintah juga memberikan

kemudahan regulasi dan meningkatkan dukungan dalam sistem pengembangan R&D

kepada pelaku industri termasuk Hyundai, sehingga penyebaran teknologi baru yang

90

Page 92: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dihasilkan oleh inovasi dapat dilakukan dengan lebih cepat. Dengan demikian,

pemerintah memberikan posisi yang dominan dan kesempatan yang luas kepada

swasta dalam proses pengembangan riset untuk industri.

Dengan pengembangan R&D secara berkelanjutan dan didukung oleh peran

pemerintah dalam kegiatan tersebut, Hyundai dapat terus melakukan inovasi untuk

bisa bertahan dari persaingan industri otomobil internasional. Untuk menjadi salah

satu yang terbaik dalam persaingan industri otomobil global, Hyundai berkomitmen

untuk selalu memperkenalkan produk baru setiap tahunnya. Produk life cycles dalam

rentang waktu relatif pendek hanya mungkin dilakukan apabila inovasi yang

dihasilkan oleh kegiatan R&D juga memadai.

Selain itu, pengembangan R&D sebagai pembuka pintu terciptanya inovasi,

juga menyediakan ruang bagi Hyundai untuk dapat melakukan peningkatan

kapabilitas produksi dan teknologi dari waktu ke waktu, sehingga akhirnya pada

tahun 1994 Hyundai dapat memproduksi kendaraan sendiri yang diberi nama accent

dengan dukungan seratus persen in house R&D. Artinya Hyundai sudah dapat

memproduksi kendaraan dengan mengandalkan desain dan teknologi yang seratus

persen dikembangkan sendiri, berbeda ketika sebelumnya masih meminjam teknologi

dari luar negeri, yaitu dari Italdesign dan Mitsubishi.

Hyundai accent yang diproduksi pada tahun 1994 dapat dikatakan merupakan

lambang keberhasilan bagi Hyundai dalam melakukan transformasi atau proses

pergeseran dari imitasi menuju inovasi. Dengan diproduksinya Accent menggunakan

desain dan teknologi yang sepenuhnya dikembangkan sendiri, memberi gambaran

91

Page 93: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

bahwa investasi serta dukukngan pemerintah dalam pengembangan R&D, berhasil

membawa Hyundai dari yang tadinya hanya merupakan perakit mobil milik pelaku

industri otomobil negara maju, menjadi salah satu pelaku industri otomobil yang

mampu memproduksi kendaraan secara mandiri dan mampu bersaing secara global.

Proses inovasi yang dilakukan oleh Hyundai, tidak berhenti sampai disitu saja.

Persaingan internasional dan komitmen Hyundai untuk menjadi salah satu yang

terbaik di dunia membutuhkan proses inovasi berkelanjutan, agar produk yang

dihasilkan dapat tetap bertahan di dalam kompetisi global. Selain itu inovasi juga

memberikan Hyundai kemampuan untuk bermain di berbagai macam varian

kendaraan, dimana pada awalnya Hyundai hanya memproduksi kendaraan jenis

compact. Dengan melakukan inovasi, Perusahaan otomobil terbesar di Korea ini

mulai masuk ke segmen kendaraan mewah dan berhasil membangun Hyundai

Genesis yang mendapat penghargaan Car of the Year di Amerika pada tahun 2009.

Penghargaan ini dapat dilihat sebagai keberhasilan inovasi berkelanjutan yang

dilakukan oleh Hyundai sehingga mampu bersaing dengan pelaku industri otomobil

negara maju seperti Lexus dan Mercedes yang menjadi kompetitor mereka dalam

pasar tersebut.

BAB IIINEXUS ANTARA PEMERINTAH DENGAN CHAEBOL

Pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam pembangunan

ekonomi di Korea Selatan telah menciptakan struktur perekonomian yang didominasi

92

Page 94: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

oleh konglomerasi atau biasa disebut sebagai chaebol. Pemerintah menggunakan

chaebol sebagai agen sektor privat dalam proses industrialisasi dan pembangunan

ekonomi disana, terutama dalam mengimplementasikan kebijakan industrialisasi

berorientasi ekspor pada masa pemerintahan Park Chung-hee (Kwon & O'Donnell,

2001: 20). Kedekatan hubungan dalam pembangunan ekonomi dengan pemerintah

ini, memungkinkan chaebol untuk melakukan transformasi dari bisnis berskala kecil

dan menengah berubah menjadi konglomerasi berskala besar.

Para pelaku usaha yang memulai dari bawah dan kemudian menjelma menjadi

raksasa bisnis ini, memiliki peran penting dalam proses pembangunan ekonomi di

Korea Selatan. Dalam perjalanannya, tidak jarang chaebol dapat mempengaruhi

pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sehingga dapat dikatakan bahwa

tarik menarik kepentingan antara pemerintah dengan chaebol juga mempengaruhi

output kebijakan ekonomi di Korea Selatan.

Pemerintah dan chaebol menjadi faktor penting dalam proses pembangunan

ekonomi dan industrialisasi di Korea Selatan, sehingga nexus antara kedua aktor

tersebut perlu dijelaskan lebih jauh lagi agar didapat pemahaman yang lebih

komprehensif tentang keberhasilan yang telah dicapai negara tersebut dalam proses

pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan.

Sebelum melihat bagaimana posisi keduanya dalam proses yang dimaksud,

tulisan ini akan membahas tentang chaebol terlebih dahulu, dan kemudian melihat

bagaimana posisi konglomerasi yang merupakan raksasa bisnis tersebut dalam proses

industrialisasi di Korea, serta pola hubungannya dengan pemerintah dalam konteks

93

Page 95: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pembangunan ekonomi. Selain itu, kemampuan pemerintah merespon dinamika yang

terjadi dalam hubungannya dengan chaebol guna menentukan pilihan kebijakan atau

yang disebut sebagai state capacity untuk melakukan transformasi dan upgrading

juga akan dibahas pada bagian ini.

A. Memahami Chaebol

Pembangunan ekonomi Korea Selatan dan tingginya pertumbuhan yang

diperoleh dalam persaingan internasional tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa

menyertakan peran penting chaebol dalam proses tersebut (Mee Kim, 1997: 51).

Kelompok bisnis besar yang dimiliki dan dikelola oleh sekumpulan orang dengan

ikatan keluarga ini telah menempati posisi yang esensial dalam perekonomian di

Korea Selatan (Jwa, 2001: 9). Peran penting dan posisi esensial chaebol dalam proses

pembangunan Korea Selatan akan dapat lebih mudah dipahami dengan mengetahui

latar belakang berdirinya sebelum kemudian melihat bagaimana proses transformasi

yang dilakukan raksasa bisnis tersebut dalam kegiatan industrialisasi disana.

A.1. Berdiri dan Berkembangnya Chaebol

94

Page 96: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Kata chaebol berasal dari kata zaibatsu34 dalam bahasa Jepang, dimana

keduanya dapat ditulis secara identik dalam karakter atau huruf Cina yang bermakna

konglomerat atau kelompok bisnis besar (Lee Y.-H. , 1997: 16). Selain kesamaan

karakter tersebut, sejarah berdirinya chaebol memang sangat dipengaruhi oleh

Jepang, dimana Korea pernah menjadi bagian dari subordinasi Jepang secara politik

dan ekonomi dari tahun 1910 hingga tahun 1945. Sehingga, dapat dikatakan bahwa

pengaruh Jepang dalam struktur ekonomi politik di Korea sangat besar35.

Struktur chaebol di Korea Selatan juga tidak berbeda jauh dengan zaibatsu di

Jepang, keduanya dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki ikatan darah atau

keluarga. Selain sebagai pemilik mereka juga terlibat dalam struktur kepengurusan

atau sebagai pengelola, berbeda dengan kelompok bisnis besar modern yang tumbuh

di Jepang setelah perang dunia kedua, biasa disebut dengan keiretsu yang pengelolaan

usahanya diserahkan kepada orang lain atau manajer profesional. Selain karakter

huruf dan struktur, chaebol dan zaibatsu juga memiliki banyak kesamaan lainnya

seperti, memiliki peran yang cukup besar dalam berjalannya proses perekonomian

domestik, mampu mencapai pertumbuhan signifikan dalam waktu relatif singkat

dengan proteksi dan dukungan yang kuat dari pemerintah.

Menurut sejarahnya, chaebol merupakan kelompok usaha yang berawal dari

usaha kecil dan menengah, didirikan oleh pengusaha pribumi pada masa era kolonial

34 Kelompok bisnis yang mendominasi perekonomian Jepang sampai akhir perang dunia kedua yang muncul ketika negara tersebut memasuki era modernisasi atau era Meiji.35 Pengaruh Jepang dalam kemajuan proses pembangunan industri di Korea Selatan akan dibahas dalam bagian selanjutnya yaitu bab keempat dalam tulisan ini.

95

Page 97: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Jepang (Lee Y.-H. , 1997: 16). Secara umum perkembangan chaebol dapat dibagi ke

dalam dua generasi. Generasi pertama, memulai bisnis mereka pada saat Jepang

berkuasa di Korea, dimana Samsung dan LG merupakan chaebol terbesar pada

generasi ini. Generasi kedua muncul atau lahir ketika rezim Park Chung-hee

berkuasa, dimana pada generasi ini Hyundai dan Daewoo merupakan yang terbesar

diantara chaebol-chaebol lainnya. Meskipun kemunculannya terbagi kedalam dua

generasi yang berbeda, namun chaebol benar-benar tumbuh dan berkembang ketika

Park Chung-hee menjadi pimpinan tertinggi dalam proses pembangunan industri

yang dilakukan oleh Korea Selatan. Pada saat rezim Park Chung-hee menjalankan

pemerintahan, chaebol mendapatkan dukungan penuh dari negara melalui berbagai

kebijakan strategis, sehingga dapat mencapai pertumbuhan secara signifikan dan

menjadi konglomerasi bisnis yang menguasai perekonomian Korea Selatan seperti

sekarang

Sebelum rezim Park Chung-hee berkuasa, chaebol baru saja memulai proses

transformasi dari kelompok usaha kecil menengah untuk menjadi raksasa bisnis di

Korea Selatan. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kebijakan-kebijakan yang

diterapkan oleh pemerintah pada masa transisi kekuasaan setelah Korea terlepas dari

Jepang. Para pelaku usaha yang dapat dikatakan menjadi pemburu rente ini,

mengambil keuntungan dengan menggunakan kebijakan pemerintah tersebut sebagai

jalan untuk melakukan akumulasi kapital dalam jumlah besar dengan waktu yang

relatif singkat. Setidaknya ada tiga kebijakan pemerintah yang dimanfaatkan oleh

pelaku usaha pada saat itu untuk melakukan akumulasi kapital yang dimaksud, antara

96

Page 98: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

lain; penjualan properti peninggalan Jepang, alokasi selektif dana bantuan

pembangunan dari luar negeri, dan akses istimewa terhadap pinjaman modal dari

bank.

Kebijakan pemerintah untuk menjual berbagai properti peninggalan Jepang

menjadi sumber utama bagi para pelaku usaha untuk melakukan akumulasi kapital.

Properti yang dijual berupa pembangkit tenaga listrik, jalur kereta api, pabrik-pabrik,

dan jaringan komunikasi, merupakan 70-80 persen dari keseluruhan total aset industri

yang dimiliki oleh Korea Selatan pada saat itu (Kwang-ho, 1987: 96). Aset-aset

tersebut pada awalnya dikelola oleh AOPC36 setelah Jepang ditaklukan oleh sekutu

pada akhir perang dunia kedua. Kemudian sebagian besar aset industri yang masih

berjalan dan mempekerjakan banyak orang tersebut diserahkan kepada rezim

Syngman Rhee pada Agustus 1948.

Dengan menjalankan program pemerintah Chogsan Pulha37 pada bulan mei

1958, rezim Syngman Rhee menjual 263,774 unit properti termasuk 2029 perusahaan

dan 259,639 unit pabrik, tanah beserta propertinya, serta aset-aset lainnya. Program

ini merefleksikan keyakinan Rhee bahwa sistem ekonomi pasar bebas sangat penting

untuk memuluskan jalan Korea Selatan untuk melakukan transisi demokrasi (Chong-

ch'ol, 1976: 492). Properti yang dijual oleh pemerintah ini diberi nilai sesuai dengan

harga pasar dan dibayar melalui cicilan maksimal selama 15 tahun dengan uang muka

10 persen. Prioritas pembelian diberikan kepada manajer atau pekerja yang telah dua

36 American Office of the Property Custodian.37 Program pemerintah di era Syngman Rhee untuk memusnahkan (membagi) properti lawan.

97

Page 99: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

tahun atau lebih bekerja pada perusahaan yang bersangkutan, kemudian pemilik

saham sebelumnya, dan atau pemilik tanah yang kehilangan tanahnya dikarenakan

kebijakan land reform.

Pada kenyataannya, praktek penjualan properti oleh pemerintah dibawah

rezim Syngman Rhee saat itu mengacu pada harga pasar saat Jepang masih

menguasai properti tersebut, yang artinya lebih rendah dari nilai aslinya pada saat itu.

Dengan kata lain, properti peninggalan Jepang tersebut dijual dengan harga murah

oleh pemerintah. Ditambah lagi dengan kemudahan metode pembayaran, dicicil

dalam waktu yang relatif panjang dan disertai uang muka rendah. Harga beli dari

berbagai properti peninggalan Jepang tersebut diperkirakan hanya senilai seperempat

dari nilai aslinya, bahkan tidak lebih dari itu (Young-iob, 1985: 15). Hal ini tentu saja

menjadi kesempatan bagi para pembeli properti tersebut untuk mendapatkan

keuntungan berlipat-lipat yang kemudian menghasilkan akumulasi kapital dalam

jumlah besar.

Selain itu, praktek pemberian prioritas pembelian juga berbeda pengaplikasian

dari perencanaannya. Prioritas pembelian diberikan kepada pelaku usaha yang

memiliki kedekatan secara personal dengan para pejabat di era rezim Syngman Rhee

atau dengan kata lain terjadi praktek nepotisme. Pelaku usaha yang memiliki

kedekatan dengan pejabat mendapatkan perlakuan istimewa yang ditukar dengan

kesepakatan politik berupa uang donasi untuk para pejabat atau politisi tersebut (Lee

Y.-H, 1997: 20). Dengan kata lain para pejabat atau politisi pada saat itu melakukan

praktek korupsi dalam melakukan penjualan properti peninggalan Jepang tersebut.

98

Page 100: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Praktek-praktek tersebut memperlihatkan bagaimana keadaan atau karakteristik

ekonomi politik di Korea Selatan pada era 1950an dibawah rezim Syngman Rhee.

Kebijakan berikutnya yang menjadi sumber akumulasi kapital bagi pelaku

usaha pada masa rezim Syngman Rhee adalah alokasi selektif dana bantuan

pembangunan dari luar negeri. Pada saat baru merdeka atau lepas dari Jepang, Korea

Selatan sangat bergantung pada dana bantuan luar negeri dalam melakukan

rekonsiliasi politik dan ekonomi. Selama periode 1945 sampai dengan 1965, Amerika

Serikat dan PBB memberikan dana bantuan ekonomi sebesar kurang lebih 3,8 milyar

dolar Amerika kepada Korea Selatan, termasuk sekitar 0,4 milyar bantuan militer

(Kwang-ho, 1987: 118). Besarnya ketergantungan terhadap dana bantuan luar negeri,

menyebabkan operasionalisasi perekonomian di Korea Selatan pada saat itu

dijalankan dengan menggunakan dana bantuan asing tersebut.

Dengan menggunakan dana bantuan itu, pemerintah menyediakan modal bagi

para pelaku usaha dalam bentuk pinjaman jangka panjang dan bunga yang rendah.

Dengan skema peminjaman tersebut, para pelaku usaha menjadi sangat diuntungkan

dan dapat menjadi peluang atau sumber untuk melakukan akumulasi kapital.

Disamping itu peminjam modal diprioritaskan kepada para pengusaha yang memiliki

kedekatan secara personal dengan para politisi yang sedang berkuasa dan menjabat

didalam pemerintahan. Hal ini menggambarkan terjadinya praktek korupsi, kolusi,

dan nepotisme dalam pemerintahaan pada saat itu.

Kebijakan pemerintah menjual properti dan pemberian bantuan modal kepada

pelaku usaha pada masa pemerintahan Syngman Rhee ini, kemudian menjadi dasar

99

Page 101: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

bagi berdiri dan berkembangnya chaebol. Pada tahun 1961, tujuh dari sepuluh

chaebol terbesar yang terbentuk di Korea Selatan merupakan pengusaha yang

melakukan pembelian properti peninggalan Jepang dan kesepuluh chaebol tersebut

adalah penerima dana bantuan modal yang diberikan oleh pemerintah (Lihat Tabel 6).

Para pelaku usaha yang mendapatkan keuntungan dengan membeli properti murah

dari pemerintah dan mendapatkan bantuan modal tersebut, kebanyakan dari mereka

merupakan anggota atau orang-orang yang memiliki hubungan dengan partai liberal

yang dibentuk oleh Syngman Rhee (Shim & Lee, 2008: 75).

Tabel 6.Sepuluh Chaebol Terbesar Pada Tahun 1961

Sumber: Shim & Lee (2008).

Selain mengalokasikan dana bantuan asing sebagai modal yang dapat

dipinjam oleh pengusaha, pemerintah juga menggunakan dana tersebut untuk

100

Page 102: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

menjaga nilai tukar mata uang yang ditetapkan secara fix terhadap dolar Amerika.

Menjaga nilai tukar mata uang ini dilakukan untuk menekan harga barang impor

sehingga para pelaku usaha mendapat keuntungan ketika mengimpor barang dari luar

negeri. Dengan menerapkan sistem nilai tukar fix tersebut, nilai won menjadi sekitar

50 persen diatas nilai yang seharusnya terhadap dolar Amerika (Young-iob, 1985:

18). Oleh karena itu, para pelaku usaha yang pada saat itu melakukan impor,

mendapat keuntungan sekitar setengah dari total nilai barang yang didatangkan dari

luar negeri. Metode-metode alokasi dana bantuan luar negeri yang dijalankan oleh

pemerintah diatas, menyebabkan pelaku usaha memperoleh keuntungan berlipat

ganda, sehingga dapat melakukan akumulasi kapital dalam jumlah besar.

Tabel 7.Distorsi Nilai Tukar Won Terhadap Dolar Amerika 1953-1960

Sumber: Lee Yeon-ho (1997).

Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa pemerintah Korea Selatan,

melakukan distrosi untuk menjaga nilai tukar won terhadap dolar Amerika. Pada

tahun 1953 mata uang Korea dipatok sebesar 18 won terhadap dolar Amerika,

101

Page 103: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

sedangkan nilai aslinya mencapai 33,5 per dolar Amerika. Pemerintah harus

mensubsidi won sebesar 15,5 untuk setiap satu dolarnya agar mata uang Korea

Selatan tersebut berada pada nilai yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini

berlangsung terus selama pemerintahan Syngman Rhee berkuasa hingga tahun 1960,

dimana mata uang Korea dipatok 65 won per dolar Amerika yang nilainya 1,74 kali

lebih tinggi dari nilai aslinya yang mencapai 113,2 won per dolar Amerika.

Akumulasi kapital oleh para pengusaha yang merupakan proses awal

transformasi terbentuknya chaebol pada rezim Syngman Rhee juga dilakukan dengan

memanfaatkan pemberian akses istimewa terhadap pinjaman modal bank dari

pemerintah. Keadaan ekonomi pada tahun 1950an seperti, tingginya inflasi,

rendahnya ketersediaan dana pinjaman, dan rendahnya tingkat suku bunga,

mendorong pemerintah untuk melakukan intervensi secara politis dalam menentukan

alokasi atau pemberian akses terhadap dana pinjaman yang tersedia pada saat itu.

Intervensi ini membuka celah kepada para pejabat dan politisi untuk memberikan

akses istimewa kepada para pelaku usaha yang bersedia untuk mendanai kegiatan

politik mereka. Bahkan, sebagian besar dana pinjaman yang diberikan melalui akses

istimewa tersebut, dikembalikan lagi dalam bentuk dana kampanye untuk mendukung

partai liberal38 (Jones & Sakong, 1980: 273).

Di satu sisi pemerintah memanfaatkan kredit kepada pengusaha untuk

memperoleh dukungan dan legitimasi kekuasaan melalui dominasi ekonomi, disisi

38 Partai yang dibentuk oleh Syngman Rhee pada 17 Desember 1951 dan berhasil memenangkan pemilu di Korea Selatan pada tahun 1954.

102

Page 104: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

lain para pelaku usaha memanfaatkan hal tersebut untuk melakukan akumulasi kapital

serta mendukung perkembangan usahanya agar menjadi besar. Para pelaku usaha

yang memiliki kedekatan personal dengan penguasa ini, kemudian bertransformasi

menjadi raksasa-raksasa bisnis atau chaebol, dengan mendapatkan banyak

keuntungan dari berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Dapat dikatakan bahwa pada era rezim pemerintahan Syngman Rhee, chaebol

mulai berdiri dan menapakan kakinya untuk menjadi raksasa bisnis di Korea Selatan.

Namun perkembangan atau pertumbuhan yang sangat pesat dialami oleh chaebol

justru terjadi ketika rezim Park Chung-hee berkuasa. Dibawah rezim Park Chung-hee

yang mulai memimpin pada tahun 1962, arah kebijakan Korea Selatan berubah total.

Park Chung-hee menerapkan kebijakan yang menekankan pentingnya peran negara

dalam pembangunan ekonomi, berbanding 180 derajat dengan pemerintahan

sebelumnya yang menerapkan kebijakan berbasis liberalisme ekonomi.

Komitmen rezim Park Chung-hee untuk membangun perekonomian

memberikan kontribusi terhadap perkembangan chaebol secara signifikan. Melalui

kebijakan program pembangunan lima tahunan, pemerintah mendorong chaebol

untuk berperan aktif dalam perekonomian. Peran chaebol dalam perekonomian di

Korea Selatan semakin meningkat ketika pemerintah menerapkan kebijakan HCI,

dimana pemerintah mengarahkan pembangunan ekonomi melalui proses

industrialisasi. Pemerintah memprioritaskan para pelaku usaha yang bersedia

melakukan aktifitas sesuai dengan arahan kebijakan pembangunan atau keinginan

pemerintah tersebut.

103

Page 105: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Pemerintah memberikan berbagai kemudahan dan insentif bagi para pelaku

usaha untuk menjalani proses industrialisasi sesuai dengan yang telah diarahkan.

Berbagai kemudahan dan insentif ini menyebabkan chaebol mampu berkembang

menjadi bisnis besar dalam waktu yang relatif singkat. Berbagai kemudahan dan

insentif tersebut antara lain berupa jaminan ketersedian modal bagi para pelaku

industri, berbagai kemudahan dan insentif pajak dalam melakukan ekspor dan impor

barang modal, proteksi terhadap persaingan dengan kompetitor asing, dan kemudahan

kemudahan lainnya.

Chaebol melakukan diversifikasi bisnis mereka sebagai respon aktif terhadap

kebijakan ekonomi atau sesuai dengan keinginan pemerintah agar dapat menikmati

berbagai dukungan finansial dalam menjalankan bisnis. Diversifikasi dilakukan

berdasarkan kebijakan HCI yang mulai diberlakukan rezim Park Chung-hee pada

awal 1970an. Para chaebol kemudian melakukan investasi bisnis pada sektor industri

berat dan kimia yang diarahkan oleh pemerintah pada saat itu, seperti industri

perkapalan, semikonduktor, elektronik, otomobil dan lain-lain.

Pemerintah memberikan perlakuan istimewa kepada para pelaku usaha atau

chaebol yang menjalankan bisnis sesuai dengan sektor-sektor yang terdapat di dalam

kebijakan HCI tersebut. Hal ini memberikan dampak positif terhadap perkembangan

chaebol pada saat itu. Beberapa chaebol tersebut bahkan saat ini merupakan simbol

bagi kemajuan ekonomi yang telah dicapai oleh Korea Selatan selama beberapa

dekade terakhir. Chaebol-chaebol tersebut antara lain Samsung, LG, Hyundai, Kia

dan Daewoo.

104

Page 106: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Keempat chaebol tersebut melakukan diversifikasi bisnis mereka sesuai dengan

arahan pemerintah melalui kebijakan HCI. Samsung misalnya, menjalankan usahanya

dengan tiga core bisnis yang berkaitan dengan kebijakan HCI yaitu, elektronik dan

informasi, peralatan permesinan, serta kimia (Lihat Tabel 8). Sedangkan Hyundai

membagi core bisnisnya menjadi pembuatan kendaraan dan peralatan transportasi,

elektronik dan informasi, serta sumber energi. Hyundai kemudian dikenal sebagai

chaebol produsen kendaraan nomor satu di Korea Selatan dan juga salah satu yang

terbesar di dunia. Sedangkan Samsung dikenal sebagai chaebol yang menciptakan

barang-barang elektronik dan gadget dengan kemampuan inovasi kelas dunia atau

salah satu yang terbaik di dunia.

Kebijakan HCI yang diterapakan oleh pemerintah pada tahun 1970an,

merupakan faktor penting yang membentuk wajah perekonomian Korea Selatan saat

ini. Disamping itu, kebijakan ini juga merupakan pembuka jalan bagi para pelaku

industri atau pelaku usaha dalam negeri untuk dapat berkembang sehingga dapat

menjadi raksasa-raksasa bisnis yang berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi yang

Tabel 8.Bisnis Utama Empat Chaebol Teratas

105

Page 107: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Sumber: Shim & Lee (2008).

dicapai oleh Korea Selatan. Dengan kebijakan HCI, raksasa bisnis Korea yang

dikenal sebagai chaebol tersebut juga membuka afiliasi bisnis yang berhubungan satu

sama lain, sehingga antara core bisnis satu dengan core bisnis lainnya dapat saling

mengisi dan melengkapi. Namun, selain membuka bisnis yang saling berhubungan

chaebol juga melakukan ekspansi dengan memulai bisnis yang sama sekali baru

meskipun tidak memiliki kaitan dengan usaha yang telah dijalani sebelumnya. Hal ini

menandakan bahwa chaebol sangat agresif dalam melakukan ekspansi bisnis,

106

Page 108: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

sehingga kemudian agresifitas tersebut mendorong perkembangan dan pertumbuhan

bisnis mereka secara signifikan

Pasca diberlakukannya kebijakan HCI, chaebol terus melakukan ekspansi usaha

yang mendorong terjadinya perkembangan bisnis secara bertahap dan

berkesinambungan. Selain itu chaebol juga terus menerus melakukan diversifikasi

bisnis yang didorong oleh pemerintah untuk dapat menghindari resiko bisnis yang

lebih besar, mempercepat laju pertumbuhan, dan memperoleh keuntungan yang

maksimal (Shim & Lee, 2008: 91). Pada akhirnya, chaebol kemudian menjadi

kelompok pemilik modal yang paling kuat dan berpengaruh di Korea Selatan.

A.2. Struktur dan Tata Kelola Chaebol

Dalam memahami chaebol berdasarkan organisasi industri yang mereka

jalankan, dapat dilihat bahwa konglomerasi bisnis tersebut beroperasi dengan cara

sebagai berikut; Kepemilikan dan manajemen keluarga dengan sistem sentralistik

serta hierarkis didasari oleh loyalitas; Fleksibilitas dalam mobilitas dan perpindahan

modal, teknologi, dan tenaga kerja antar perusahaan yang tergabung dalam satu

chaebol; Diversifikasi horisontal dalam cakupan yang lebih luas dan tidak biasa serta

seringkali memasuki aktivitas bisnis yang tidak memiliki keterkaitan dengan bisnis

sebelumnya atau bisnis baru (Mee Kim, 1997: 54). Poin-poin tersebut, akan menjadi

acuan utama dalam pembahasan struktur dan tata kelola chaebol pada bagian ini.

Struktur chaebol dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan zaibatsu yang

berkembang di Jepang pada masa sebelum perang dunia kedua, dimana bisnis

107

Page 109: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dimiliki dan dikelola oleh satu atau dua keluarga. Masing-masing chaebol memiliki

beberapa perusahaan yang bergerak di berbagai bidang, seperti Hyundai yang pada

pertengahan tahun 1990an memiliki sekitar 48 perusahaan dan Samsung yang

memiliki sekitar 55 perusahaan. Beragam perusahaan yang dimiliki oleh chaebol

tersebut dikepalai oleh orang-orang yang memiliki ikatan kekeluargaan seperti

saudara, ipar, anak, maupun menantu. Dengan mengacu pada ikatan kekeluargaan

tersebut, pola hubungan yang dijalankan oleh chaebol dalam menjalankan usahanya

lebih didasarkan pada bakti dan loyalitas.

Penekanan terhadap keterlibatan keluarga dalam struktur bisnis di Korea

Selatan ini didasari atas nilai-nilai yang berasal dari paham konfusianisme yang

berkembang dalam kehidupan masyarakat. Paham konfusianisme yang berasal dari

Tiongkok ini telah berasimiliasi dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat Korea

modern. Paham ini mempengaruhi pola pikir masyarakat Korea secara fundamental,

sehingga berperan sebagai pembentuk sistem moral, pola hubungan dan kehidupan

sosial antar generasi, serta dasar bagi berbagai macam sistem legal dalam masyarakat.

Penerapan nilai konfusianisme dalam struktur dan operasionaliasi yang

dilakukan oleh chaebol dalam menjalankan bisnisnya dapat dilihat dengan beberapa

contoh, seperti yang dilakukan oleh Chung Ju-yung. Pemilik Hyundai ini

menempatkan anak-anaknya sebagai CEO atau pejabat eksekutif pada berbagai

perusahaan yang dimiliki oleh Hyundai. Bahkan setelah menyerahkan jabatan

tertinggi yang dipegangnya pada tahun 1987, Chung Ju-yung masih memiliki peranan

108

Page 110: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

penting dengan menggelar pertemuan rutin dengan anak-anaknya untuk memberikan

arahan-arahan.

Anak tertua Chung Ju-yung, Mong Pil menduduki jabatan sebagai presiden

Inchon Iron and Steel yang dimiliki oleh Hyundai sebelum meninggal dalam

kecelakaan mobil pada tahun 1982. Anak keduanya, Mong Ku merupakan salah satu

pimpinan tertinggi di Hyundai yang melanjutkan kepemimpinan pamannya Ching Se-

yong yang meletakan jabatan pada tahun 1987. Sebelum menjadi pimpinan Hyundai,

Mong Ku mengisi beberapa posisi penting, yaitu sebagai presiden pada perusahaan-

perusahaan milik salah satu chaebol terbesar di Korea tersebut, seperti Hyundai

Precision and Industry, Hyundai Pipe, Hyundai Housing and Industrial, dan Hyundai

Construction and Equipment. Sedangkan anak-anak Cung Ju-yung yang berikutnya

menempati berbagai jabatan strategis lainnya di dalam ruang lingkup Hyundai.

Setiap pagi Chung Ju-yung mengumpulkan anak-anaknya sebelum memulai

hari untuk mengadakan pertemuan atau rapat rutin. Pertemuan atau rapat yang

dilakukan sekitar jam lima pagi ini juga dipahami sebagai usaha untuk menerapkan

nilai-nilai kedisiplinan kepada anak-anaknya, selain untuk menghindari kemacetan

parah yang terjadi pada jam sibuk pagi hari di Seoul. Setelah mengadakan pertemuan,

mereka lalu melakukan sarapan bersama. Setelah itu mereka keluar rumah dengan

berjalan beriringan menuju klub kebugaran terdekat untuk berolahraga. Kemudian

seusai berolahraga, satu-persatu berangkat menuju tempat kerja masing-masing.

Cerita ini diberitakan berulang-ulang oleh media domestik sebagai simbol bakti dan

kontrol keluarga dalam bisnis modern (Mee Kim, 1997: 55).

109

Page 111: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Struktur kepemilikan dan operasional Hyundai yang dijalankan dibawah

kontrol atau manajemen keluarga ini, terjadi pada hampir seluruh chaebol yang ada di

Korea Selatan. Dengan kata lain, cerita mengenai Hyundai tersebut dapat dikatakan

merupakan representasi struktur dan tata kelola chaebol di Korea secara keseluruhan,

terutama bagi sepuluh chaebol terbesar seperti, Samsung, Daewoo, Ssyangyong,

Hanjin, Lotte dan lain sebagainya. Satu-satunya chaebol yang berbeda adalah Kia.

Sebelum dibeli oleh Hyundai karena mengalami kebangkrutan akibat krisis Asia

1997, manajemen Kia dijalankan sepenuhnya oleh profesional. Setelah Kim Sang

Mun anak pendiri Kia melepaskan jabatannya sebagai pimpinan pada tahun 1982,

keluarga yang merupakan pendiri atau pemilik usaha tidak turun langsung mengelola

bisnisnya seperti yang dilakukan oleh chaebol-chaebol lainnya.

Struktur chaebol yang didominasi oleh keluarga pendiri atau pemilik usaha

tersebut membentuk sistem operasional yang sentralistik dan hierarkis. Dengan

didasari oleh loyalitas yang tinggi, hal ini menyebabkan struktur chaebol sangat kuat

secara vertikal. Struktur vertikal yang kuat menyebabkan koordinasi antara

perusahaan inti dengan perusahaan-perusahaan dibawahnya berjalan dengan sangat

baik, sehingga dapat mendukung perkembangan chaebol itu sendiri.

Seiring dengan perkembangan dan ekspansi yang dilakukan oleh chaebol,

kebutuhan untuk mempekerjakan para profesional untuk menghadapi persaingan

yang lebih ketat tidak dapat dihindari. Selain itu, bertambahnya jumlah perusahaan-

perusahaan yang berada dibawah naungan chaebol membutuhkan tenaga kerja yang

lebih banyak, baik itu tenaga kerja pada level bawah maupun level atas. Keadaan ini

110

Page 112: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

menyebabkan chaebol melakukan rekrutmen tenaga seperti manajer profesional yang

bukan merupakan anggota keluarga pendiri perusahaan.

Meskipun pada akhirnya terbuka terhadap tenaga profesional, perekrutan yang

dilakukan tetap saja berdasarkan pada kedekatan hubungan personal. Hal ini disebut

oleh Eun Mee Kim (1997), sebagai upaya untuk mempertahankan familistic

character. Dengan melakukan model perekrutan seperti ini, studi yang dilakukan oleh

Shin Eui Hang dan Seung Kwon Chin (1989) menunjukan bahwa dewan direksi

chaebol diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, kesamaan asal

atau tempat lahir, dan memiliki afiliasi pada saat menekuni pendidikan di sekolah.

Sehingga dapat dikatakan bahwa, manajemen chaebol pada saat itu membentuk

sistem hierarki, dimana pada tingkatan pertama manajer didominasi oleh anggota

keluarga. Sementara pada tingkatan kedua atau dibawahnya merupakan rekrutan dari

tingkatan pertama, diisi oleh orang-orang yang berasal dari alumni sekolah atau

universitas yang sama serta berasal dari wilayah atau kampung halaman yang sama.

Oleh karena itu, meskipun telah membuka diri dan memberikan ruang kepada

manajer profesional, struktur chaebol yang sentralistik dan kuat secara vertikal tetap

tidak bergeser.

Sistem hierarki yang sentralistik ini menjadikan pengambilan keputusan dan

penyampaian informasi dalam operasionalisasi chaebol berjalan dengan sangat

efisien, berbeda dengan zaibatsu atau keiretsu di Jepang dimana pengambilan

keputusan dilakukan dengan cara konsensus (Mee Kim, 1997: 65). Interaksi antara

pimpinan yang lebih tinggi dengan direksi dibawahnya dalam chaebol digambarkan

111

Page 113: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

seperti hubungan antara ayah dan anak dalam masayarakat konfusianisme. Sehingga,

dalam pengambilan kebijakan, pimpinan atau direksi tertinggi dapat menentukan atau

mengambil keputusan dengan pertimbangan individu tanpa perlu melakukan

konsultasi terlebih dahulu dengan direksi yang lainnya.

Hal ini menjadikan mobilitas dan perpindahan modal, teknologi dan personalia

diantara perusahaan-perusahaan yang dimiliki atau berada dalam satu chaebol

berjalan dengan sangat fleksibel. Dengan fleksibilitas dalam transfer ketiga faktor

tersebut menjadikan chaebol dapat lebih mudah melakukan penyesuaian-penyesuaian

untuk merespon keinginan pasar maupun pemerintah yang dibutuhkan untuk

mendukung perkembangan perusahaan-perusahaan yang dimilikinya. Selain itu,

fleksibilitas tersebut juga dapat mempermudah transfer teknologi dan informasi yang

dibutuhkan untuk mendorong terciptanya pertumbuhan yang tinggi dan menunjang

kegiatan ekspansi yang dilakukan oleh chaebol.

Sistem hierarki yang terpusat dan didukung oleh fleksibilitas dalam transfer

modal, teknologi dan personalia tersebut menjadikan koordinasi yang terbangun

antara chaebol dengan perusahaan-perusahaan yang berada dibawahnya begitu juga

antara perusahaan satu dengan perusahaan yang lain berjalan secara efektif.

Koordinasi ini memungkinkan chaebol untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya

yang dimiliki untuk melakukan kegiatan dengan berdasarkan skala prioritas. Kegiatan

R&D juga dapat dilakukan dengan lebih efisien dengan melakukan sharing dana

riset, bahkan berbagi tempat laboratorium penelitian.

112

Page 114: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Selain itu, meskipun kepemilikan modal perusahaan-perusahaan di bawah

naungan chaebol diatur secara terpisah, dengan koordinasi yang efektif dalam

operasionalisasi kegiatan bisnis, penyediaan kebutuhan dana yang mendesak dapat

dengan cepat disediakan oleh lembaga penyedia keuangan atau perusahaan asuransi

yang dimiliki oleh chaebol. Perusahaan-perusahaan yang berada di bawah naungan

satu chaebol juga dapat saling menyediakan pinjaman dana yang dibutuhkan satu

sama lain tanpa harus melalui prosedur birokrasi yang rumit.

Perkembangan dan ekspansi yang dilakukan oleh chaebol juga menyebabkan

terjadinya perubahan atau evolusi struktur konglomerasi bisnis terbesar di Korea

tersebut. Menurut Seung-Il Jeong, setidaknya ada empat fase yang terjadi dalam

evolusi chaebol (Lihat Gambar 4). Pada fase pertama struktur chaebol masih terlihat

sangat sederhana. Struktur chaebol pada fase ini hanya terdiri atas satu strata atau

tingkatan saja. Keluarga pendiri berada langsung diatas perusahaan-perusahaan yang

lebih kecil atau yang bisa disebut sebagai subsidiary.

Pada fase kedua, seiring dengan perkembangan yang terjadi dari fase

sebelumnya, struktur chaebol yang awalnya terdiri dari satu tingkatan bertambah

menjadi dua tingkatan dimana antara keluarga pendiri dengan subsidiary terdapat

core firm. Kemudian pada fase ketiga, dimana ketika pada tahun 1970an kebijakan

HCI diterapkan, mendorong chaebol melakukan ekspansi pada sektor-sektor

manufaktur sehingga core firm dan subsidiary yang dimiliki oleh chaebol juga

mengalami penambahan jumlah.

113

Page 115: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Pada fase keempat, seiring dengan bertambahnya kompleksitas dan spesialisasi

dalam proses industri global, chaebol menyesuaikan diri dengan menambah satu

tingkatan pada struktur operasionalnya menjadi empat strata, dimana terdapat quasi

holding company diatas core firm. Pada tahun 1997, tiga chaebol terbesar yaitu

Hyundai, Samsung, dan Daewoo telah masuk kedalam fase keempat, sedangkan

chaebol lebih kecil seperti LG, Ssangyong, Kia, Lotte, dan lain sebagainya masih

berada didalam fase ketiga, bahkan fase pertama dan kedua (Jeong, 2004: 83).

Seperti yang ditunjukan pada gambar 4, pergeseran dari fase kedua menuju

fase ketiga menunjukan bahwa chaebol melakukan diversifikasi bisnis secara

horisontal. Artinya chaebol menjalankan bisnis dalam cakupan yang lebih luas lagi

dari sebelumnya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa diversifikasi

yang dilakukan oleh chaebol adalah dengan cara ekspansi ke bisnis-bisnis baru.

Diversifikasi ini terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu dan seakan

menjadi trademark bagi chaebol di Korea Selatan (Mee Kim, 1997: 68).

Diversifikasi yang dilakukan oleh chaebol juga dapat dikatakan sebagai respon

terhadap pergeseran kebijakan pemerintah. Dimana, fokus kebijakan pemerintah pada

tahun 1960an adalah untuk membangun industri ringan, berubah haluan pada tahun

1970an dengan melakukan pembangunan industri berat, yang ditandai dengan

diterapkannya kebijakan HCI. Sebagai contoh, Samsung yang sebelumnya dikenal

sebagai chaebol yang bergerak pada sektor industri ringan seperti tekstil dan produk-

Gambar 4.Evolusi Struktur Chaebol

114

Page 116: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

QHC = Quasi Holding CompanyCF = Core FirmS = Subsidiary

Sumber: Jeong (2004).

produk makanan melakukan diversifikasi ke sektor-sektor industri berat seperti

elektronik, kimia, mesin, dan lain sebagainya.

Bagi salah satu chaebol terbesar di Korea ini, diversifikasi yang dilakukan

merupakan perluasan cakupan usaha yang sama sekali baru, dimana sebelumnya

Samsung tidak memiliki pengalaman dan keahlian dalam menjalankan usaha pada

sektor industri manufaktur berat. Namun Samsung mampu membuktikan diri dan

berhasil menjadi salah satu yang terbaik di dunia dalam pengembangan industri

115

Page 117: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

tersebut. Saat ini Samsung dikenal sebagai salah satu produsen barang-barang

elektronik dan gadget terbesar di dunia dan salah satu yang terdepan dalam inovasi.

Meskipun pada awalnya tidak memiliki kemampuan dan pengalaman pada

sektor-sektor yang baru dalam melakukan diversifikasi, keberhasilan yang diraih oleh

chaebol didapatkan karena besarnya dukungan dari pemerintah. Pemerintah mampu

meyakinkan para chaebol untuk melakukan investasi pada sektor-sektor baru yang

tentunya memiliki resiko tinggi, dengan memberikan berbagai insentif. Sektor-sektor

yang menjadi target pembangunan pemerintah dalam kebijakan HCI mendapat

insentif berupa jaminan ketersediaan pinjaman modal dengan bunga rendah, berbagai

kemudahan dalam menjalankan usaha, proteksi terhadap kompetisi dengan industri

dari negara maju, dan lain sebagainya, sehingga memperbesar minat chaebol untuk

melakukan investasi pada sektor-sektor tersebut. Tidak hanya berminat dalam

melakukan investasi, berbagai insentif dari pemerintah tersebut juga diartikan sebagai

peluang yang harus ditangkap oleh chaebol untuk mengembangkan bisnisnya agar

menjadi lebih besar.

Selain untuk menangkap peluang yang disediakan oleh pemerintah,

diversifikasi juga dilakukan oleh chaebol sebagai strategi untuk mendapatkan

independensi dan otonomi dari pemerintah. Chaebol melakukan diversifikasi dengan

mendirikan perusahaan jasa keuangan selain bank39, seperti perusahaan asuransi dan

lembaga finansial jangka pendek untuk mengurangi ketergantungan terhadap

39 Pemerintah menerapkan peraturan untuk memisahkan lembaga keuangan dari industri yang melarang chaebol untuk memiliki bank sendiri. Namun kemudian chaebol diperbolehkan memiliki lembaga keuangan yang berada pada second tier seperti perusahaan asuransi.

116

Page 118: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pemerintah dalam hal penyediaan modal. Keputusan pemerintah untuk menguasai

dan mengontrol seluruh lembaga finansial dengan kebijakan nasionalisasi perbankan

yang dijalankan oleh rezim Park Chung-hee, menyebabkan chaebol sangat

bergantung kepada pemerintah. Meskipun pada awal tahun 1980an kebijakan

pemerintah dalam penguasaan sektor finansial menjadi longgar, dan chaebol

diperbolehkan atas kepemilikan bank dikarenakan Korea Selatan mulai menerapkan

kebijakan liberalisasi ekonomi, namun kepemilikan tersebut masih dibatasi yaitu

tidak melebihi 8 persen dari total saham bank yang bersangkutan.

Pandangan Amsden (1989), mengenai diversifikasi yang dilakukan oleh

chaebol ke sektor-sektor lainnya didasari atas keberadaan tenaga kerja murah dalam

jumlah besar, sehingga memungkinkan produk yang dihasilkan lebih kompetitif dari

segi harga dalam pasar internasional. Dapat diartikan juga bahwa diversifikasi yang

dilakukan pada sektor lainnya tersebut merupakan strategi untuk menyiasati

kurangnya kemampuan teknikal dan teknologi yang dimiliki oleh chaebol (Amsden,

1989: 125). Dengan adanya kekurangan kemampuan teknikal dan teknologi tersebut,

chaebol memanfaatkan tenaga kerja murah untuk mengambil keuntungan dalam pasar

internasional dengan menyasar konsumen golongan menengah dan bawah, dimana

daya saing lebih ditentukan oleh faktor harga dibandingkan kualitas.

Pada akhirnya, dengan melakukan diversifikasi chaebol memiliki usaha di

berbagai sektor sehingga dapat melakukan integrasi industri. Artinya, anak usaha

chaebol dapat saling mendukung satu sama lain sehingga tercipta efisiensi yang lebih

tinggi. Dalam industri otomobil, berbagai kebutuhan HMC dalam melakukan

117

Page 119: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pengembangan industri dapat dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan lainnya yang

berada dibawah naungan Hyundai. Fasilitas produksi HMC dibangun oleh perusahaan

konstruksi milik Hyundai sendiri. Mobil produksi HMC menggunakan aluminium,

cat dan kaca otomotif yang disupply oleh perusahaan-perusahaan milik Hyundai.

Pengirimannya ke luar negeri dilakukan dengan menggunakan asuransi dan kapal

yang dibuat oleh perusahaan kapal milik Hyundai (Green, 1992: 423). Dengan pola

ini pula, harga produk dapat disesuaikan untuk menjaga daya saing, dengan cara

mengalokasikan dana dari perusahaan subsidiary yang mendapat profit digunakan

untuk mensubsidi perusahaan yang merugi.

B. Pemerintah dan Chaebol Dalam Pembangunan

Keberhasilan Korea Selatan tidak terlepas dari peran kedua aktor penting

dalam pembangunan ekonomi disana yaitu pemerintah dan pelaku usaha atau

konglomerasi bisnis yang dikenal dengan sebutan chaebol. Peran keduanya dapat

dlihat sebagai manifestasi proses interaksi antara negara dengan pasar dalam

pembangunan berdasarkan pemahaman ekonomi politik internasional. Dimana

masing-masing pandangan tradisional yang terdapat dalam konsep ekonomi politik

internasional memiliki argumen mengenai seberapa besar peran masing-masing aktor

dalam pembangunan. Pandangan merkantilis misalnya, melihat bahwa besarnya peran

negara dalam pembangunan sebagai faktor utama dibalik keberhasilan Korea Selatan,

atau pandangan liberalis yang memiliki pandangan sebaliknya.

118

Page 120: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian kerangka pemikiran,

bahwa proses pembangun ekonomi dan industrialisasi di Korea Selatan tidak dapat

dilihat sebagai suatu proses yang statis. Pada bagian tersebut juga ditunjukan bahwa

proses pembangunan yang dimaksud berjalan secara dinamis. Shim Jae-Seung dan

Lee Moosung (2008), berpandangan bahwa tidak ada ekonomi yang berjalan secara

statis ekstrim ke kanan40 ataupun ekstrim ke kiri41. Demikian halnya dengan Korea

Selatan, semua ekonomi dapat dikategorikan berada diantara laissez-faire dan sistem

ekonomi terpusat (Shim & Lee, 2008: 71).

Posisi negara dalam pembangunan ekonomi dan industrialisasi di Korea

Selatan, yang menjadi bahasan didalam tulisan ini mengacu pada pandangan

Alexander Gerschenkron (1962) mengenai latecomer, dimana sebagai negara

berkembang peran pemerintah diawal proses pembangunan haruslah kuat. Sehingga

diskusi yang muncul kemudian bukan lagi mengenai perdebatan seberapa besar peran

negara dalam proses pembangunan dan pasar, akan tetapi bergeser kepada bagaimana

pemerintah dapat menghasilkan pilihan kebijakan yang tepat untuk mencapai

keberhasilan dalam pembangunan.

Pilihan kebijakan yang tepat dalam pembangunan ekonomi di Korea Selatan

dihasilkan oleh sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha. Dalam proses

pembangunan ekonomi yang melibatkan interaksi antara kedua aktor tersebut, sinergi

diantara keduanya dibutuhkan agar tercipta proses pembangunan yang efisien dan

40 Sepenuhnya menerapkan ekonomi laissez-faire atau liberal.41 Sepenuhnya menerapkan ekonomi terpusat dibawah kontrol pemerintah atau merkantilis.

119

Page 121: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

menghasilkan kemajuan. Sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha juga

diperlukan agar pilihan kebijakan tersebut dapat berguna dalam mengatur iklim usaha

atau jalannya proses industrialisasi dalam negeri, sehingga kebijakan yang diambil

oleh pemerintah dapat memberikan insentif bagi para pelaku usaha untuk dapat

berkontribusi dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Dengan instrumen

kebijakan yang tepat dan insentif yang diperoleh dari pemerintah, para pelaku usaha

dapat tumbuh dan berkembang sehingga mampu memberikan manfaat bagi

perekonomian, salah satunya dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang luas

bagi masyarakat.

Selain, itu interaksi antara pemerintah dengan pelaku usaha juga memerlukan

kemampuan para pembuat kebijakan untuk merespon berbagai dinamika ekonomi

yang terjadi. Kemampuan pemerintah dalam merespon dinamika ekonomi dengan

cara melakukan kerjasama dengan pelaku industri disebut juga sebagai state capacity.

Seperti yang dikemukakan oleh Linda Weiss (1998), state capacity merupakan

kemampuan pemerintah atau para pembuat kebijakan untuk melakukan penyesuaian

terhadap strategi domestik melalui kerjasama yang dibangun dengan para pelaku

industri. Kerjasama ini bertujuan untuk melakukan transformasi dan upgrading dalam

upaya mencapai kemajuan industri (Weiss, 1998: 7).

Sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha yang menjadi salah satu faktor

keberhasilan Korea Selatan dalam pembangunan ekonomi, kemudian menghasilkan

struktur ekonomi domestik yang dikuasai oleh konglomerasi bisnis atau yang disebut

sebagai chaebol. Sejalan dengan kemajuan ekonomi yang dicapai dan pergeseran

120

Page 122: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu, chaebol mengalami transformasi dari

bisnis kecil dibawah kendali pemerintah menjadi bisnis besar yang independen.

Dengan kata lain terjadi pergeseran power dari pemerintah kepada chaebol dalam

konteks pembangunan ekonomi selama proses tersebut berlangsung. Pergesaran

power ini kemudian berhubungan atau berpengaruh terhadap efektifitas state capacity

pemerintah dalam pembangunan ekonomi di Korea Selatan.

B.1. Sinergi Pemerintah dengan Chaebol

Dalam konsep Global Value Chain sinergi antara pemerintah dengan pelaku

usaha dianggap sebagai faktor penting dalam menunjang kemajuan proses

pembangunan dan industrialisasi. Konsep ini menekankan perlunya sinergi antara

pemerintah dengan pelaku usaha yang bertujuan untuk mengembangkan potensi

industri domestik, sehingga potensi tersebut dapat dioptimalkan guna menghasilkan

nilai tambah agar produksi menjadi lebih kompetitif di tingkat domestik maupun

global. Terdapat empat bentuk sinergi dalam konsep ini, yaitu (Kaplinsky & Morris,

2000): disciplined support, public risk absorption, private sector governance, serta

aliansi inovasi pemerintah dan bisnis.

Diiscipline support, didefinisikan sebagai peran pemerintah dalam

memberikan kemudahan akses kepada pelaku usaha dan kemudian melakukan

monitoring agar kemudahan yang diberikan dapat dimanfaatkan dengan optimal.

Public risk absorption, mengacu kepada peran pemerintah dalam membantu

121

Page 123: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pendirian industri baru berupa dukungan dalam bentuk dana investasi awal dan

penyediaan kapital.

Kemudian private sector governance, kerjasama untuk menciptakan

hubungan yang positif antara pelaku usaha dengan pemerintah, dimana pemerintah

berperan dalam memberikan akses mengenai informasi pasar, sebaliknya pelaku

usaha memberikan input bagi inisiasi dan alternatif kebijakan pemerintah. Sedangkan

aliansi inovasi pemerintah dan bisnis adalah bentuk sinergi berupa kerjasama

pemerintah dengan pelaku usaha untuk mengembangkan research and development

melalui pembentukan tempat-tempat riset.

Seiring dengan perjalanan proses pembangunan ekonomi dan industri di

Korea Selatan, sinergi antara pemerintah dengan chaebol dalam bentuk discipline

support tercipta oleh berbagai kebijakan yang diterapkan dalam proses tersebut.

Kebijakan FYEDP yang mulai diterapkan oleh pemerintah pada tahun 1962,

dijalankan dengan memberikan kemudahan kepada para pelaku usaha. Berbagai

kemudahan yang diberikan oleh pemerintah bertujuan untuk mendorong para pemilik

modal tersebut untuk menginvestasikan dananya dalam pembangunan industri

manufaktur. Pelaku usaha atau chaebol yang mengikuti arahan pemerintah untuk

berinvestasi diberikan berbagai insentif, diantaranya berupa kemudahan meminjam

dari bank dengan bunga rendah dan menjadi prioritas dalam alokasi modal dari luar.

Kemudahan meminjam dari bank yang diberikan dalam jumlah besar oleh

pemerintah kepada para chaebol membuat mereka dapat mengembangkan usahanya

dengan cepat tanpa terkendala oleh ketersediaan modal. Dengan kemudahan tersebut,

122

Page 124: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

para chaebol tidak bergantung pada modal milik mereka sendiri untuk melakukan

ekspansi, melainkan memanfaatkan pinjaman modal dari pemerintah. Oleh

karenanya, komposisi modal yang digunakan oleh pengusaha dalam mengembangkan

bisnis mereka, menunjukan besarnya persentase modal yang diperoleh dari pinjaman

dibandingkan dengan penggunaan modal sendiri (Lihat Tabel 9). Besarnya persentase

bantuan modal ini, mempertegas keseriusan pemerintah dalam memberikan

kemudahan kepada chaebol dalam proses pembangunan dan industrialisasi.

Tabel 9.Komposisi Modal Bisnis Besar Chaebol 1962-1969

Sumber: Shim & Lee (2008).Selain diartikan sebagai disicipline support dalam sinergi antara pemerintah

dengan pelaku usaha atau chaebol, besarnya persentase modal yang disediakan oleh

pemerintah pada periode tersebut juga dapat diartikan sebagai sinergi dalam bentuk

public risk absorption. Dimana pada periode yang dimaksud, sebagian dari chaebol

yang ada di Korea Selatan berada dalam tahap awal atau baru memulai bisnisnya,

123

Page 125: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

sehingga kemudahan akses terhadap kapital tersebut dapat diartikan sebagai bantuan

pemerintah kepada pengusaha dalam pendirian industri baru.

Dengan melakukan sinergi dalam bentuk public risk absorption, pemerintah

mendorong pelaku usaha untuk melakukan investasi dan memanfaatkan modal yang

disediakan oleh pemerintah melalui pinjaman lunak. Sebagai hasilnya, industri di

Korea Selatan mengalami perkembangan jumlah pelaku usaha. Penambahan

perusahaan yang dimiliki chaebol pada rentang waktu FYEDP pertama sampai

dengan FYEDP kedua tercatat berada pada kisaran diatas 200 persen. Chaebol yang

rata-rata pada awalnya memiliki 7 perusahaan, mengalami peningkatan signifikan

dimana setiap chaebol kemudian memiliki sebanyak 25 perusahaan secara rata-rata

(Lee Y.-H. , 1997: 24). Pada periode tersebut Korea Selatan menjadi negara

berkembang dengan jumlah pelaku industri lokal paling banyak diantara negara-

negara industri baru lainnya.

Seiring dengan kemunculan banyak pelaku usaha atau chaebol melalui

kemudahan pinjaman modal, pemerintah kemudian memberikan kemudahan lainnya

berupa akses penuh terhadap pasar domestik. Dalam konteks industri otomobil,

pemerintah menerapkan kebijakan larangan impor kendaraan dalam bentuk jadi

sehingga para chaebol dapat mengakses pasar domestik secara penuh dan bebas dari

persaingan kompetitor luar. Larangan tersebut juga dimanfaatkan oleh chaebol untuk

melakukan kerjasama atau joint venture dengan pelaku industri dari negara maju

untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri. Kebijakan larangan impor

yang diberlakukan oleh pemerintah pada saat itu juga menyediakan ruang kepada

124

Page 126: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

chaebol yang terhitung masih baru dalam proses industrialiasi untuk memanfaatkan

pasar domestik guna melakukan proses pembelajaran dalam produksi dan mengoreksi

kekurangan produknya sebelum dilempar ke pasar global.

Untuk memudahkan pelaku usaha dalam penyediaan barang modal dan

bahan baku industri, pemerintah membebaskannya dari tarif impor. Sebagai pelaku

industri yang masih baru pada saat itu, chaebol masih belum bisa memenuhi

kebutuhan barang modal maupun bahan baku industri secara mandiri. Sehingga,

chaebol menyediakannya dengan cara membeli atau mengimpor dari pelaku industri

dari negara maju. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah untuk membebaskan impor

barang modal dan bahan baku produksi, sangat penting bagi pengembangan proses

industrialisasi yang dilakukan oleh chaebol saat itu.

Kemudian pemerintah juga memberikan kemudahan berupa subsidi ekspor

kepada para chaebol agar dapat bersaing dengan para pelaku industri dari negara

maju di pasar internasional. Subsidi ini memungkinkan pelaku industri menjual

produk ekspornya sekurang-kurangnya setengah dari harga domestik. Hal ini

dilakukan oleh pemerintah dikarenakan indikator keberhasilan industri domestik pada

saat itu diukur dengan besaran ekspor, sehingga semakin besar ekspor yang dilakukan

oleh chaebol semakin besar pula keberhasilan yang diraih chaebol tersebut dalam

pandangan pemerintah.

Pada periode ketiga FYEDP pemerintah menerapkan kebijakan HCI.

Kebijakan ini kemudian menjadi dasar pembangunan industri berat dan membentuk

konstruksi industri Korea Selatan seperti sekarang. Berbagai kemudahan yang

125

Page 127: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

diterapkan pada FYEDP periode pertama dilanjutkan pada saat pemerintah

menerapkan kebijakan HCI dalam FYEDP periode kedua. Kemudahan bagi pelaku

industri dalam negeri yang berfokus pada sektor-sektor berat dan kimia tersebut

diwujudkan dengan memberikan hak istimewa kepada chaebol. Hak istimewa yang

dimaksud berupa pemberian surat jaminan kredit, alokasi preferensi kredit,

pelonggaran regulasi exchange rate, liberalisasi impor, proteksi terhadap sektor-

sektor dalam kebijakan HCI, jaminan penjualan atas produk-produk hasil industri

pelaku usaha dalam negeri, serta menjaga monopoli pelaku usaha tersebut dalam

pasar domestik (Winanti, 2003: 187).

Selain berbagai kemudahan dalam bentuk insentif, pemerintah juga

menerapkan kebijakan yang kemudian memberikan kemudahan akses terhadap bahan

dasar dalam proses pembangunan industri berat. Kebijakan yang dimaksud adalah

pendirian pabrik baja milik pemerintah yang dikenal dengan nama POSCO. Pabrik

baja yang didirikan seiring dengan kebijakan HCI ini, bertujuan untuk mempermudah

chaebol dalam mengakses ketersediaan baja atau steel yang merupakan komponen

utama dalam proses pembangunan industri manufaktur berat. Berdirinya pabrik baja

milik pemerintah ini kemudian menjadi tulang punggung dalam pembangunan

industri manufaktur berat dan kimia di Korea Selatan.

Kemudahan lainya yang diberikan oleh pemerintah kepada para pelaku

industri dalam negeri adalah sarana prasarana yang memadai dalam menjalankan

proses industri berupa infrastruktur. Pemerintah kemudian melakukan pembangunan

infrastruktur secara bertahap, seperti pembangunan pelabuhan dan jaringan

126

Page 128: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

transportasi yang digunakan untuk mengangkut logistik atau distribusi industri. Selain

itu, pemerintah juga membangun jaringan komunikasi dan informasi yang berguna

sebagai fasilitas untuk mempercepat penyebaran informasi yang dibutuhkan dalam

proses industrialisasi. Tidak kalah penting, pemerintah juga menyediakan lahan

industri untuk mempermudah pembangunan pabrik-pabrik dan fasilitas-fasilitas

pendukung industri lainnya.

Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pandangaan GVC tentang sinergi

dalam bentuk disciplined support, untuk mengoptimalkan berbagai kemudahan yang

diberikan tersebut, pemerintah melakukan kontrol dengan mengunakan tangan EPB

sebagai lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam pembangunan ekonomi di

Korea Selatan. Lembaga yang sangat berkuasa dengan kewenangan besar pada era

Park Chung-hee ini, melakukan kontrol dan koordinasi dengan seluruh pemangku

kepentingan yang terkait dengan masalah pembangunan ekonomi di Korea Selatan,

untuk memastikan bahwa proses pembangunan yang sedang berjalan sesuai dengan

keiinginan atau ketetapan pemerintah.

Kontrol pemerintah melalui EPB tersebut dilakukan dengan menggunakan

metode carrot and stick yang bertujuan agar para pelaku usaha atau chaebol tetap

berada sejajar dengan garis kebijakan pemerintah. Dengan metode ini pemerintah

memberikan insentif lebih bagi yang mengikuti arahan pemerintah dan berhasil

mencapai kemajuan melalui peningkatan ekspor. Sebaliknya, pemerintah memberikan

hukuman kepada pelaku usaha yang menolak mengikuti arahan atau kebijakan yang

sudah ditetapkan dengan menarik atau mempersulit pinjaman modal bagi pelaku

127

Page 129: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

usaha tersebut. Disini terlihat bahwa sumber dana atau kapital berperan penting

dalam menjamin keberhasilan implementasi kebijakan yang dijalankan oleh

pemerintah. Seperti yang dikemukakan oleh John Sano (1997) bahwa, kapital

merupakan sumber paling efektif dalam meyakinkan dan menekan pelaku usaha

untuk mengikuti arahan kebijakan pemerintah di Korea Selatan (Sano, 1977: 43).

Selain alokasi kapital atau modal, kemudahan lainnya seperti pemberian

lisensi dan pemangkasan tarif impor barang-barang produksi juga digunakan oleh

pemerintah untuk mengontrol chaebol agar mengikuti arah kebijakan pembangunan

industri di Korea Selatan. Ketika baru memasuki proses industrialisasi, para pelaku

usaha sangat bergantung pada teknologi dan barang produksi yang diperoleh dari

impor. Hal ini menyebabkan pemberian lisensi dan pemangkasan tarif menjadi faktor

penting bagi perkembangan para pelaku industri. Dari gambaran tersebut diatas, dapat

diartikan bahwa kemudahan yang diberikan oleh pemerintah juga dapat digunakan

sebagai alat untuk menjamin efektifitas jalannya sebuah kebijakan dan kontrol yang

dilakukan terhadap pelaku usaha atau chaebol.

Koordinasi yang dilakukan oleh EPB dalam pembangunan ekonomi dan

industri di Korea Selatan, dapat juga dilihat sebagai bentuk sinergi antara pemerintah

dengan pelaku usaha. Kerjasama yang terjalin antara pemerintah dengan chaebol

didalam koordinasi EPB, merupakan manifestasi dari sinergi berupa private sector

government, dimana melalui koordinasi tersebut pemerintah memberikan akses

mengenai informasi pasar dan chaebol memberikan input yang berguna dalam inisiasi

pengambilan kebijakan.

128

Page 130: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebagai lembaga yang memiliki otoritas

tertinggi dalam pembangunan ekonomi di Korea Selatan, EPB melakukan koordinasi

dengan semua pemangku kepentingan dalam proses tersebut. EPB membawahi

berbagai kementerian yang berkaitan dengan ekonomi, seperti Perdagangan dan

Industri, Keungan, Pembangunan, dan lain sebagainya. EPB juga mengendalikan

bank-bank yang dikuasai oleh pemerintah. Dengan menjadi pusat koordinasi dalam

pembangunan, EPB kemudian memiliki akses ke berbagai sumber informasi yang

berhubungan dengan proses tersebut. Oleh sebab itu EPB dapat memberikan

informasi yang dimiliki kepada chaebol yang beperan sebagai agen privat pemerintah

dalam proses pembangunan industri dan ekonomi Korea Selatan. Selain itu, EPB juga

mengejawantahkan informasi yang dimiliki tersebut kedalam program perencanaan

pembangunan yang dijalankan oleh negara tersebut.

Sebaliknya, pelaku usaha juga memberikan masukan kepada pemerintah

mengenai kondisi bisnis yang dihadapi terutama berkaitan dengan pasar internasional

dimana para chaebol didorong untuk melakukan perdagangan luar negeri sebesar-

besarnya. Masukan yang diberikan oleh chaebol tersebut kemudian menjadi salah

satu bahan pertimbangan EPB dalam menentukan strategi kebijakan yang tepat dalam

proses tersebut. Kerjasama antara pemerintah dengan chaebol ini kemudian

membentuk suatu jaringan internasional di bidang industrialisasi ekspor di Korea

Selatan (Wibawanta, 2002: 125).

Sebagai contoh, implementasi kerjasama pemerintah dengan pelaku usaha

dalam menentukan kebijakan pengembangan industri yang berbasis ekspor dapat

129

Page 131: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dilihat dari pertemuan promosi ekspor yang diadakan sebulan sekali di masa

pemerintahan Park Chung-hee. Pertemuan yang diinisiasi oleh Presiden ini,

melibatkan para menteri-menteri di bidang ekonomi, wakil dari organisasi

perdagangan atau asosiasi ekspor, dan para pimpinan chaebol. Tujuannya adalah

untuk memantau dan melakukan evaluasi terkait dengan perkembangan proses

pembangunan industri yang dijalankan oleh negara tersebut. Hasil kajian dari

pertemuan ini akan menjadi dasar dalam penentuan pembuatan kebijakan untuk

mendorong perkembangan ekonomi Korea Selatan (Fitri Ayu, 2011: 53). Dengan

melibatkan pimpinan chaebol dalam pertemuan tersebut, pemerintah mendapat

masukan sebagai salah satu faktor pertimbangan dalam inisiasi kebijakan pemerintah.

Sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha yang menentukan

keberhasilan Korea Selatan dalam proses pembangunan ekonomi lainnya adalah

aliansi inovasi berupa kerjasama dalam pengembangan R&D untuk mendukung

kegiatan industri. Sinergi antara pemerintah dengan chaebol dalam bentuk aliansi

inovasi diwujudkan dengan mendorong pengembangan riset bersama yang disebut

sebagai public-private R&D. Kolaborasi inovasi yang dilakukan antara pemerintah

dengan chaebol dalam bentuk public-private R&D ini, dimulai pada tahun 1960an

sampai dengan 1970an.

Kolaborasi pengembangan riset yang dikenal dengan sebutan public-private

R&D ini melibatkan interaksi antara pemerintah, lembaga pendidikan tinggi atau

universitas, dan chaebol. Sebagai manifestasi dari kolaborasi di antara ketiganya dan

130

Page 132: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

memudahkan dalam hal koordinasi, pemerintah mendirikan KIST42 pada tahun 1966

yang merupakan institusi riset pertama yang didanai oleh pemerintah. Tujuan

didirikannya KIST adalah untuk menyediakan solusi bagi masalah-masalah teknis

terkait dengan teknologi yang tidak terlalu rumit, seperti membantu menginternalisasi

teknologi dari luar negeri (Shapiro, 2007: 98).

Seiring dengan perkembangan industri dalam negeri, kolaborasi antara riset

antara pemerintah dengan chaebol juga ditingkatkan. Merespon kebutuhan

pengembangan riset yang lebih tinggi, pada tahun 1981 pemerintah menggabungkan

KIST dengan KAIS43 menjadi KAIST44. Institusi riset ini kemudian memiliki peran

penting sebagai tulang punggung pengembangan R&D nasional di Korea Selatan

sejak tahun 1982. Beberapa hal yang dilakukan antara lain, membantu pelaku usaha

untuk memperoleh teknologi dari luar negeri, melakukan difusi teknologi melalui

reverse engineering, menyediakan peneliti berkompeten dan berpengalaman untuk

industri, serta menjalin kerjasama pengembangan riset dengan chaebol.

Selain itu, aliansi inovasi antara pemerintah dengan pelaku usaha dapat dilihat

dari dukungan pemerintah terhadap pengembangan R&D yang dilakukan oleh

chaebol. Dukungan tersebut diberikan melalui MOST dengan melakukan program

pengembangan teknologi yang berbasis pembangunan R&D nasional (Yun, 2007:

40). Melalui program tersebut, pemerintah mengalokasikasikan dana untuk

menunjang kegiatan riset nasional yang berhubungan dengan pengembangan industri

42 Korea Institute of Science and Technology.43 Korea Advanced Institute of Science.44 Korea Advanced Institute of Science and Technology.

131

Page 133: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dan memberikan potongan pajak kepada pelaku usaha yang melakukan investasi

dalam kegiatan R&D. Pemerintah juga berperan sebagai sponsor dalam program

pengembangan R&D nasional. Dengan menjadi sponsor, pemerintah berusaha

membangun sistem inovasi industri yang dikemudikan oleh pelaku usaha.

Dalam beberapa dekade terakhir terlihat penambahan jumlah dana investasi

dan peningkatan jumlah peneliti yang dimiliki oleh sektor privat dalam kegiatan R&D

secara signifikan dari tahun ke tahun. Pada periode awal proses industrialisasi di

Korea Selatan yaitu tahun 1969, komposisi dana investasi yang dikeluarkan dalam

pengembangan R&D persentasenya didominasi oleh sektor publik dalam hal ini

pemerintah sebesar 73 persen. Sedangkan sektor privat atau pelaku usaha hanya

menyisihkan dana sebesar 18 persen dari total persentase pengeluaran R&D yang

dikeluarkan sektor industri di Korea Selatan. Beberapa dekade kemudian komposisi

ini berbalik arah, dimana pada tahun 2010 dana riset yang dikeluarkan oleh sektor

privat mencapai 71,8 persen, sedangkan pemerintah hanya mengeluarkan dana

sebesar 28 persen dari total persentase dana R&D dan sisanya berasal dari luar negeri

(Lihat Tabel 10).

Tabel 10.Dana Kegiatan Riset dan Jumlah Peneliti Korea Selatan 1969-2010

132

Page 134: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Sumber: Kim K.-H (2014).

Dalam hal jumlah peneliti perubahan komposisi juga terjadi sama seperti yang

terjadi pada perubahan komposisi pengeluaran dana riset antara pemerintah dengan

sektor swasta. Pada peiode awal dilakukannya proses industri yaitu tahun 1960an,

komposisi jumlah peneliti yang dimiliki ileh institusi riset milik pemerintah atau

GRI45 mencapai 45, sedangkan sektor privat hanya memiliki 15 persen dari total

jumlah peneliti yang dimiliki Korea Selatan pada saat itu, sisanya berasal dari

institusi pendidikan tinggi atau universitas. Beberapa dekade kemudian komposisi ini

juga berbalik, dimana pemerintah hanya memiliki 7,6 persen peneliti dan sektor

privat memiliki 77 persen dari total peneliti yang dimiliki oleh pada tahun 2010

(Lihat Tabel 10). Hal ini menunjukan bahwa sistem inovasi yang dibangun oleh

45 Government-funded Research Institution.

133

Page 135: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pemerintah dengan menempatkan sektor privat atau swasta sebagai ujung tombak

dalam proses pengembangan R&D dalam negeri, membuahkan hasil positif dan

mencapai hasil yang diinginkan.

B.2 State Capacity dalam Proses Industrialisasi

Merujuk pada argumen Linda Weiss (1998), ada dua hal yang perlu

diperhatikan dalam pemahaman tentang state capcity yaitu, respon pemerintah

terhadap berbagai bentuk tekanan eksternal melalui kebijakan baru, dan penyesuaian

terhadap strategi domestik melalui kerjasama dengan para pelaku industri dalam

negeri (Weiss, 1998). Kemudian hal lain yang perlu digarisbawahi juga adalah,

efektifitas dari respon tersebut yang dituangkan ke dalam berbagai kebijakan

pemerintah. Efektifitas ini berkaitan dengan power yang dimiliki oleh pemerintah

terhadap para pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha atau chaebol dalam

proses industrialisasi. Selain itu efektifitas state capacity juga berhubungan dengan

keterbukaan ekonomi domestik dari pengaruh internasional yang berimplikasi pada

semakin lemahnya kapasitas negara untuk mengatur jalannya proses pembangunan di

dalam negeri (Kurniawan, 2008: 9)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, posisi pemerintah di Korea Selatan

dalam pembangunan mengalami degradasi dari waktu ke waktu. Pada periode awal

proses industrialisasi, negara ini pernah dipimpin oleh Presiden otoriter, seperti Park

Chung-hee dan Chun Doo-hwan. Kemudian setelah beberapa dekade dipimpin oleh

rezim otoriter, Korea Selatan memulai babak baru yang ditandai oleh

134

Page 136: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dilaksanakannya pemilihan Presiden secara demokratis untuk pertama kalinya pada

tahun 1987, dan dilanjutkan dengan penerapan kebijakan segyehwa tahun 1995.

Kebijakan ini mengacu kepada keterbukaan dalam bidang politik, ekonomi, sosial,

dan budaya. Pergeseran ini menentukan posisi atau peran negara dalam pembangunan

dan juga mempengaruhi efektifitas state capacity dalam proses industrialisasi di

Korea Selatan.

Pada bagian ini, setidaknya ada tiga dinamika dalam proses pembangunan dan

industrialisasi yang akan digunakan untuk melihat efektifitas state capacity terhadap

kemajuan ekonomi di Korea Selatan. Dinamika pertama adalah respon pemerintahan

Park Chung-hee terhadap kegagalan rezim sebelumnya dibawah Syngman Rhee

dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Kedua, respon pemerintahan Chun

Doo-hwan terhadap perkembangan industri yang menyebabkan ekses produksi.

Ketiga, respon pemerintah dalam menghadapi krisis Asia 1997 dan dampaknya bagi

perekonomian dalam negeri.

Pasca terlepas dari kolonialisme Jepang, Korea mengalami perang saudara

dan terpecah menjadi dua, Korea Utara yang menjadi negara sosialis dan Korea

Selatan yang mengambil jalan berbeda. Perpecahan yang terjadi di Korea ini tidak

lepas dari pengaruh dua kekuatan besar pemenang perang dunia kedua yaitu Uni

Soviet dan Amerika Serikat yang kemudian bersaing secara ideologi. Dibawah

pengaruh Amerika Serikat, Korea Selatan memilih jalan liberalis yang kemudian

pertama kali dipimpin oleh seorang Presiden bernama Syngman Rhee.

135

Page 137: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Dibawah pimpinan Syngman Rhee Korea Selatan melakukan rekonstruksi

pasca perang sodara dan pembangunan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Namun, pemerintah yang saat itu sangat mengandalkan dana bantuan

Amerika Serikat dalam melaksanakan pembangunan berdasarkan sistem ekonomi

pasar, tidak berhasil membawa perubahan atau kesejahteraan bagi masyarakat yang

tengah dilanda kemiskinan. Perbaikan ekonomi Korea Selatan selama periode

kepemimpinan Syngman Rhee berjalan sangat lambat (Harvie & Lee, 2003: 1).

Keadaan ini diperburuk lagi oleh pemerintahan yang tidak bersih dalam

menjalankan proses pembangunan, dengan melakukan berbagai praktek korupsi,

kolusi, dan nepotisme bersama para pelaku usaha atau chaebol. Salah satu contohnya

adalah kolusi dalam penjualan properti peninggalan Jepang atau yang dikenal sebagai

kebijakan Chogsan Pulha pada tahun 1958. Kegagalan pemerintah tersebut

mengakibatkan terjadinya pergolakan politik dan memaksa Syngman Rhee meletakan

jabatannya sebagai Presiden pada tahun 1960.

Berkaca dari kegagalan pemerintahan sebelumnya, rezim yang berkuasa

setelah itu dibawah kepemimpinan Park Chung-hee, menggunakan pendekatan yang

berbeda dalam strategi pembangunan ekonomi. Rezim ini meninggalkan strategi

liberal dan menekankan pentingnya peran sentral negara dalam proses pembangunan

untuk dapat mencapai kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kemudian, rezim

ini juga melakukan penyesuaian terhadap strategi domestik dengan melakukan

kerjasama dengan para pelaku usaha atau chaebol dalam proses pembangunan

136

Page 138: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

ekonomi yang dijalankan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Linda

Weiss dalam pandangannya mengenai state capacity.

Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintahan Park Chung Hee

melibatkan pelaku usaha atau chaebol yang berfungsi sebagai agen privat dalam

melakukan implementasi kebijakan industrialisasi berorientasi ekspor yang ditetapkan

oleh pemerintah (Kwon & O'Donnell, 2001: 20). Peran chaebol diperlukan untuk

meningkatkan investasi pembangunan dikarenakan keterbatasan modal yang dimiliki

pemerintah, disebabkan oleh pengurangan dana bantuan luar negeri Amerika Serikat

pada saat itu. Pemerintah mendorong chaebol untuk melakukan investasi di berbagai

sektor yang dianggap mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Dengan berbagai kemudahan yang diberikan oleh pemerintah, jumlah

investasi industri yang dilakukan oleh pelaku usaha mengalami peningkatan. Seperti

yang telah disampaikan sebelumnya, Korea Selatan menjadi negara dengan

perkembangan jumlah pelaku industri terbanyak diantara negara-negara industri baru

lainnya pada era Park Chung-hee. Peningkatan ini terjadi terutama setelah pemerintah

menerapkan kebijakan HCI pada tahun 1973 yang merupakan pondasi awal

pembangunan industri berat dan kimia di negara tersebut.

Penerapan kebijakan HCI dapat dikatakan sebagai bentuk state capacity

pemerintah dalam merespon kegagalan rezim sebelumya dalam mendorong

pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan

menerapkan kebijakan HCI, pemerintah bertujuan untuk menyediakan lapangan

pekerjaan bagi masyarakat. Hal ini juga yang menjadi salah satu alasan pemerintah

137

Page 139: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

untuk mendorong chaebol berinvestasi dengan memberi berbagai kemudahan.

Dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan menjamin kesejahteraan bagi

masyarakat, pemerintah dapat menjaga stabilitas politik dalam negeri yang

merupakan salah satu elemen penting bagi rezim Park Chung-hee yang dikenal

sebagai rezim otoriter.

Selain itu, kebijakan HCI juga merupakan bentuk state capacity pemerintah

sebagai respon terhadap tekanan dari luar yang terjadi pada saat itu. Kemunculan

negara-negara industri baru yang mengandalkan ekspor dan meningkatnya proteksi

Amerika Serikat serta Jepang menyebabkan pemasaran produk-produk padat karya

Korea Selatan mengalami penurunan. Dimana, industri ini merupakan sektor yang

dikembangkan lebih dulu oleh Korea Selatan pada saat memulai program industri

berorientasi ekspor. Selain itu, krisis minyak pada awal 1970an, defisit neraca

perdagangan dan hutang luar negeri, serta penarikan pasukan Amerika Serikat46

(Choe, 1991: 438), juga merupakan beberapa tekanan dari luar yang mendorong

pemerintah untuk melakukan pergeseran kebijakan dari industri padat karya menjadi

industri berat dan kimia sebagai bentuk state capacity Korea Selatan.

Kebijakan HCI terbukti membawa perubahan positif bagi pembangunan

ekonomi dan proses industrialisasi di Korea Selatan. Jumlah pelaku industri

mengalami penambahan secara signifikan seiring dengan arahan pemerintah kepada

46 Penarikan mundur pasukan Amerika Serikat pada saat itu, dianggap sebagai melemahnya peran politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Korea Selatan. Oleh karena itu, pemerintahan rezim Park Chung-hee menganggap perlunya industri yang dapat mendukung pembangunan fasilitas militer untuk pertahanan nasional sehingga tidak bergantung lagi kepada Amerika Serikat.

138

Page 140: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pelaku usaha untuk melakukan investasi pada industri. Demikian halnya dengan hasil

produksi barang-barang industri berat, juga mengalami peningkatan cukup pesat yang

didukung oleh POSCO sebagai penyedia bahan baku. Peningkatan produksi dibarengi

juga dengan peningkatan ekspor barang-barang industri seperti kendaraan yang telah

dibahas sebelumnya di dalam tulisan ini, elektronik dan lain sebagainya. Ekspor

industri elektronik Korea Selatan pada akhir tahun 1980an berkontribusi

menempatkan Korea Selatan sebagai salah satu negara eksportir barang elektronik

terbesar kesepuluh di dunia. Selain itu, dengan menjalankan kebijakan HCI, target

ekspor yang ditentukan pemerintah pada FYEDP keempat sebesar 10 milyar dolar

Amerika dapat dicapai.

Dengan gambaran tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa respon pemerintah

terhadap dinamika yang terjadi pada periode tersebut sebagai bentuk state capacity

berjalan dengan efektif. Ini terlihat dari hasil yang telah dicapai dalam proses

industrialisasi dan kesediaan para pelaku usaha atau chaebol mengikuti arahan dari

pemerintah untuk melakukan investasi industri. Efektifitas state capacity yang

dilakukan pada saat itu terkait dengan berbagai kemudahan yang diberikan oleh

pemerintah kepada para pelaku usaha dalam proses pembangunan ekonomi sehingga

tercipta hubungan kerjasama positif antara pemerintah dengan chaebol, menghasilkan

apa yang disebut Jong-Chan Rhee (1994) sebagai state-big business coalition.

Dalam implementasi kebijakan HCI, insentif yang diberikan oleh pemerintah

fokus pada pada pelaku bisnis besar atau chaebol untuk mengelola koalisi tersebut.

Dengan kata lain, kebijakan pemerintah dalam proses industrialisasi lebih

139

Page 141: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

mementingkan perkembangan pelaku industri besar atau chaebol daripada pelaku

industri kecil dan menengah. Hal ini dapat dilihat dari hubungan antara pimpinan

chaebol dengan pejabat tinggi dalam pemerintahan termasuk Menteri dan Presiden

yang selalu mengadakan berbagai pertemuan secara rutin seperti rapat promosi

ekspor bulanan, konferensi luar biasa evaluasi program HCI, dan pertemuan informal

lainnya (Rhee, 1994: 65)

Selain memberikan berbagai kemudahan kepada chaebol, pemerintahan yang

pada saat itu dipimpin oleh rezim otoriter, juga menggunakan kekuasaannya untuk

menekan para pelaku usaha agar bersedia mengikuti arahan kebijakan pembangunan

ekonomi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bentuk tekanan yang diberikan oleh

pemerintah dalam mendorong chaebol untuk melakukan investasi dalam industri,

dilakukan dengan menggunakan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintahan

sebelumnya yang merupakan pemerintahan transisi antara rezim Syngman Rhee

dengan rezim Park Chung-hee. Pemerintahan yang hanya berumur dua tahun dibawah

Presiden Yun Bo-seon tersebut, menetapkan peraturan khusus terkait permasalahan

akumulasi kapital yang dilakukan oleh chaebol dengan cara memanfaatkan posisi

politik maupun kekuasannya pada masa pemerintahan Syngman Rhee (Jones &

Sakong, 1980: 281).

Peraturan ini lahir karena desakan dari gerakan anti chaebol, disebabkan oleh

maraknya prektek korupsi yang terjadi dalam hubungan antara pemerintah dengan

chaebol pada saat itu. Peraturan khusus yang mengharuskan chaebol melakukan

pembuktian terhadap harta kekayaannya apakah bersih atau tidak dari indikasi

140

Page 142: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

korupsi tersebut, dimanfaatkan oleh rezim Park Chung-hee sebagai alat untuk

“memaksa” pelaku usaha mengikuti arah kebijakan industrialisasi yang dijalankan

oleh pemerintah. Apabila chaebol menolak arahan yang ditetapkan maka pemerintah

akan memeriksa kembali harta kekayaannya dan apabila ditemukan indikasi korupsi

maka harta tersebut akan disita dan diproses secara hukum.

Kemudian pemerintah juga menggunakan wewenangnya untuk menguasai

sektor finansial di Korea Selatan untuk menjamin efektifitas state capacity dalam

proses industrialisasi khususnya penerapan kebijakan HCI. Dengan menguasai

kebutuhan dasar bagi para pelaku usaha untuk melakukan pengembangan bisnis,

pemerintah dapat mempengaruhi chaebol untuk mengikuti jalur kebijakan yang telah

digariskan oleh pembuat kebijakan. Seluruh bank yang ada di Korea Selatan

dinasionalisasi oleh pemerintah pada tahun 1961, untuk mempermudah pengusaan

sektor finansial oleh pemerintah. Menurut Shim Jae-Seung dan Lee Moosung (2008),

langkah tersebut memperkuat kontrol pemerintah terhadap para pelaku usaha dan

memberikan kekuasaan yang lebih besar atau lebih luas bagi pemerintah untuk

mengimplementasikan keinginannya melalui sebuah kebijakan dibandingkan dengan

rezim sebelumnya (Shim & Lee, 2008: 80).

Faktor lainnya yang mendukung efektifitas state capacity dalam proses

industrialisasi terkait dengan kebijakan HCI, adalah sistem birokrasi yang dilandasi

meritokrasi. Rezim Park Chung-hee dikenal sebagai rezim yang otoriter, sehingga

memiliki memiliki kekuasaan yang sangat besar, terutama setelah Presiden

141

Page 143: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

menetapkan konstitusi Yushin47 pada tahun 1972. Tata kelola rezim otoriter dalam

pemerintahan biasa digambarkan dengan sistem top down atau hierarki dimana

penguasa tertinggi memiliki peran dominan dalam pengambilan keputusan. Dengan

demikian, pemerintahan pada masa rezim Park Chung-hee tidak dipengaruhi oleh

tekanan-tekanan dari luar yang bersifat politis dalam menjalankan pembangunan.

Sehingga, pemerintah dapat menempatkan orang-orang yang tepat dan berkompeten

dalam melakukan proses industrialisasi, serta mengisi jabatan-jabatan strategis pada

pemerintahan dengan teknokrat dibanding politisi.

Keberhasilan kebijakan HCI dalam mendorong pertumbuhan industri di Korea

Selatan juga memiliki dampak negatif. Dikarenakan tingginya angka partisipasi

pelaku usaha dalam proses industrialisasi, memunculkan terlalu banyak pemain di

tiap-tiap sektor industri, sehingga Korea Selatan mengalami ekses produksi dan

persaingan yang tidak perlu di antara para pelaku industri dalam negeri. Jong-Chan

Rhee (1994) menilai bahwa tahun 1976 sampai dengan 1978 merupakan periode

overboomed bagi Korea Selatan yang menimbulkan efek samping tidak hanya bagi

sektor-sektor HCI, akan tetapi pada ekonomi secara keseluruhan disebabkan oleh

strategi industri yang sangat ambisius dari pemerintah. Sehingga, perekonomian

Korea Selatan menghadapi inflasi yang tinggi, meningkatnya akumulasi hutang luar

47 Konstitusi yang ditetapkan oleh Park Chung-hee untuk mengukuhkan kekuasaannya di Korea Selatan melalui sistem pemilihan presiden tidak langsung oleh Dewan Unifikasi Nasional yang dibentuk secara manipulatif dan hanya bertugas memilih Presiden. Kemudian Presiden diberikan kewenangan untuk menunjuk langsung sepertiga dari anggota DPR sehingga memberikan kuasa kepada Presiden untuk mengontrol lembaga legislatif.

142

Page 144: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

negeri, dan struktur industri yang tidak proporsional disebabkan oleh investasi yang

berlebihan pada sektor HCI (Rhee, 1994: 92).

Selain mengalami kelebihan kapasitas industri yang disebabkan oleh

kebijakan HCI, masalah lainnya yang dihadapi oleh perekonomian dalam negeri

Korea Selatan saat itu adalah adanya tekanan dari luar berupa resesi global akibat

krisis minyak yang terjadi pada tahun 1979. Resesi ini mengakibatkan harga minyak

dunia mengalami kenaikan mencapai tiga kali lipat dari harga sebelumnya.

Dampaknya terhadap perekonomian domestik adalah turunnya daya beli masyarakat.

Perpaduan antara kelebihan produksi industri dalam negeri dan turunnya permintaan

domestik menyebabkan perekonomian Korea Selatan berada dalam masalah.

Pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Chun Doo-hwan, kemudian

menerapkan kebijakan stabilisasi ekonomi sebagai sebagai bentuk state capacity

untuk mengatasi permasalahan yang dihadapai Korea Selatan. Chun Doo-hwan

menggeser arah kebijakan yang pada masa rezim sebelumnya bertumpu pada industri

berorientasi ekspor dengan tujuan mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin,

berubah menjadi kebijakan yang lebih yang lebih mengutamakan terciptanya

stabilitas ekonomi (Winanti, 2003: 188). Kebijakan stabilisasi ekonomi diawali

pemerintah dengan mengeluarkan sejumlah peraturan seperti pengetatan sektor

moneter dan pajak, rasionalisasi dan efiseiensi kebijakan HCI, dan yang terakhir

stabilisasi harga. Sementara itu, rasionalisasi dan efisiensi kebijakan HCI dilakukan

dengan cara melakukan restrukturisasi dan reorientasi industri.

143

Page 145: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Tuntutan untuk melakukan kebijakan stabilisasi ekonomi sebenarnya telah ada

sejak rezim Park Chung-hee berkuasa. Melihat proses industrialisasi yang berjalan

dengan sangat masif namun memiliki potensi dampak negatif bagi perekonomian,

pada tahun 1978 sekelompok orang di dalam tubuh EPB melakukan kajian dan

evaluasi tentang dampak negatif yang ditimbulkan dari kebijakan ekonomi

pemerintah. Sekelompok orang yang beriorientasi melakukan reformasi ini terdiri

dari birokrat-birokrat muda di dalam EPB yang dipimpin oleh Asisten Menteri

Perencanaan Kang Kyuk-sik (Rhee, 1994: 94). Sebagi hasil dari serangkaian proses

pengkajian dan evaluasi yang telah dijalankan, mereka menemukan permasalahan

dalam proses industrialisasi dan dibutuhkan langkah-langkah untuk melakukan

perubahan fundamental. Dengan mengacu pada hasil kajian tersebut, kelompok ini

kemudian berusaha meyakinkan pemerintah mengenai perlunya dilakukan kebijakan

berorientasi stabilisasi ekonomi.

Namun, kelompok ini gagal meyakinkan para pejabat tinggi pembuat

kebijakan untuk mengadopsi ide mereka sebagai kebijakan ekonomi resmi yang

dijalankan oleh EPB. Pada periode tersebut hampir semua pejabat tinggi negara

sangat antusias dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang diraih dari kebijakan HCI.

Selain itu, komitmen kuat Presiden Park Chung-hee pada pembangunan ekonomi

berorientasi pertumbuhan setinggi-tingginya menjadi alasan para pejabat tinggi

pembuat kebijakan untuk mengesampingkan rekomendasi dari kelompok tersebut.

Ketika terjadi pergantian pucuk pimpinan EPB, baru kemudian kelompok

yang berorientasi reformasi ini mendapat perhatian, dikarenakan kepala EPB yang

144

Page 146: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

baru Shin Hyun-hwak berorientasi melakukan stabilisasi ekonomi. Pasca terpilihnya

pemimpin baru EPB tersebut, tuntutan akan penerapan kebijakan stabilisasi ekonomi

semakin meluas terutama yang datang dari lembaga pimpinan Shin Hyun-hwak ini.

Pada awal tahun 1979, EPB memberikan laporan kepada Presiden Park Chung-hee

tentang perkembangan terbaru ekonomi dalam negeri dan rekomendasi langkah-

langkah kebijakan. Dalam laporan tersebut, EPB secara resmi menyampaikan

perlunya untuk melakukan perubahan signifikan dalam pengelolaan ekonomi.

Orientasi kebijakan yang diusung adalah mempertimbangkan penerapan kebijakan

stabilitas ekonomi (Rhee, 1994: 96).

Laporan EPB tersebut tidak mampu meyakinkan Presiden Park Chung-hee

yang memiliki komitmen dalam melakukan kebijakan ekonomi berorientasi

pertumbuhan, untuk mengubah arah kebijkan menuju stabilisasi ekonomi. Presiden

menegaskan posisinya tersebut pada saat melakukan pidato tahunan pada januari

1979. Park Chung-hee mengungkapkan bahwa dia tidak setuju dengan ide yang

menginginkan pengelolaan ekonomi Korea Selatan harus menekankan stabilitas

dengan cara menekan peningkatan ekspor dan mengurangi pertumbuhan ekonomi.

Menurutnya, pembangunan ekonomi semestinya dilakukan dengan melanjutkan

strategi yang berorientasi pertumbuhan dengan terus meningkatkan promosi HCI.

Selain mendapat penolakan dari Presiden, rekomendasi kebijakan yang

diajukan oleh EPB ini juga mendapat tentangan dari MCI48. Lembaga Kementerian

yang mengurusi masalah perdagangan dan industri di Korea Selatan ini memiliki

48 Ministry of Commerce and Industry.

145

Page 147: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pandangan yang sama dengan Presiden Park Chung-hee terkait orientasi ekonomi

tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik kebijakan antara dua institusi yang

memiliki peran sentral dalam proses pembangunan dan industrialisasi di negara

tersebut. Kedua lembaga ini saling beradu argumen untuk meyakinkan Presiden

mengenai langkah terbaik apa yang harus diambil oleh pemerintah dalam

menjalankan roda pembangunan.

Meskipun terjadi faksi-faksi di dalam pemerintahan, sebagai rezim yang

otoriter pemimpin tertinggi memegang kuasa penuh atas pengambilan keputusan.

Sehingga, faksi-faksi yang berbeda tersebut tetap berada dibawah kendali Presiden.

Walaupun terjadi konflik kebijakan di antara dua lembaga dengan otoritas tinggi

dalam proses pembangunan di Korea Selatan tersebut, output yang dihasilkan tetap

sepenuhnya merupakan keinginan Park Chung-hee. Hal ini terlihat ketika pemerintah

menetapkan target ekspor tahun 1979 sebesar 15,5 milyar dolar Amerika yang lebih

besar dari rekomendasi MCI sebesar 15,3 milyar dolar, dan EPB 15 milyar dolar

(Rhee, 1994: 97).

Untuk meyakinkan Presiden, EPB terus melakukan pendekatan agar mau

melaksankan rekomendasi yang diajukan dengan menyertakan argumentasi dan

meminta Park Chung-hee melakukan inspeksi langsung terkait ekses produksi

industri HCI. Setelah berusaha meyakinkan Presiden, EPB berhasil mendorong

diterbitkannya CMES49 yang merupakan konstruksi dasar kebijakan stabilisasi

ekonomi jangka panjang. Mekipun kebijakan CMES telah diberlakukan, perbedaan

49 Comprehensive Measures for Economic Stabilization.

146

Page 148: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pandangan yang terjadi di dalam pemerintahan melibatkan dua lembaga sentral, dan

kurangnya antusiasme Presiden terhadap keputusan tersebut, mengakibatkan

kebijakan stabilisasi yang ditetapkan tidak dapat teralisasi dengan baik atau tidak

berjalan secara konsisten sampai terjadi pergantian kekuasaan ke tangan Chun Doo-

hwan pada tahun 1980.

Dinamika diatas memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah yang

diterapkan sebagai bentuk state capacity untuk merespon permasalahan yang ada,

tidak berjalan dengan efektif. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya konsensus di

antara para pembuat kebijakan, ditambah lagi dengan kurangnya political will dari

para birokrat yang berbeda-beda pandangan tersebut menyebabkan melemahnya

kapasitas birokrasi dalam menjalankan kebijakan. Selain itu inkonsistensi Park

Chung-hee sebagai pimipinan tertinggi dalam melihat permasalahan yang ada,

semakin mempengaruhi soliditas faksi-faksi dibawahnya yang berbeda pandangan.

Berbeda dengan Park Chung-hee, Chun Doo-hwan memiliki keseriusan untuk

menjalankan kebijakan stabilitas ekonomi yang telah dimulai oleh rezim sebelumnya.

Komitmen kuat dari Presiden ini kemudian dapat menekan faksi-faksi yang berbeda

pendapat di dalam tubuh pemerintah, sehingga program stabilisasi ekonomi dapat

diwujudkan secara konsisten.

Dibawah kepemimpinan Chun Doo-hwan, restrukturisasi dan reorientasi

industri mulai dilakukan. Restrukturisasi dan reorientasi industri bertujuan untuk

mengembalikan postur industri yang tumbuh secara tidak proporsional. Pemerintah

mulai mengatur dan membatasi chaebol dalam melakukan ekspansi industri ke

147

Page 149: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

sektor-sektor HCI. Pengaturan dilakukan dengan cara mendorong perusahaan-

perusahaan yang berada dibawah naungan chaebol untuk melakukan merger dengan

perusahaan chaebol lainnya, terutama yang bergerak pada bidang bisnis yang sama

sehingga dapat mengurangi persaingan yang tidak perlu dan lebih fokus bersaing

secara internasional daripada bersaing dengan kompetior dari dalam negeri.

Sedangkan pembatasan dilakukan dengan mengurangi pemberian lisensi kepada para

pelaku usaha atau chaebol.

Pada tahun 1980 pemenrintah membatasi lisensi bagi perusahaan chaebol

yang bergerak pada industri otomobil. Pemerintah hanya memberikan lisensi kepada

Hyundai, Kia, dan Daewoo. Ketiga perusahaan chaebol ini diinstruksikan untuk

melakukan spesialisasi produk untuk mengurangi persaingan dan tidak saling

berkompetisi satu sama lain. Pemerintah mendorong terciptanya konsolidasi antara

ketiga produsen otomobil dalam negeri tersebut. Konsolidasi yang mulai berjalan

efektif pada tahun 1982 ini, mengarahkan Kia untuk berkonsentrasi pada pembuatan

jenis kendaraan komersial berukuran kecil ke menengah. Kemudian pemerintah

hanya memberikan lisensi kepada Hyundai dan Daewoo untuk memproduksi jenis

kendaraan berpenumpang kecil, sedangkan produksi jenis kendaraan bus serta truk

berukuran besar diberlakukan kompetisi secara terbuka (Hun, 2003: 63).

Sedangkan pada industri pembangkit listrik yang juga menjadi fokus dari

kebijakan stabilisasi ekonomi, pemerintah mengurangi empat perusahaan milik

chaebol yang menjadi pemain dalam industri tersebut. Pemerintah menginstruksikan

perusahaan milik Hyundai yaitu Hyundai Industries Co. dan Hyundai International

148

Page 150: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Inc. agar dilebur menjadi satu guna menambah jumlah kapital. Kemudian, pemerintah

juga memberikan arahan agar perusahaan miliki Samsung, yaitu Samsung Heavy

Industries Co. melakukan merger dengan Daewoo Heavy Industries Co. perusahaan

milik chaebol Daewoo.

Pada awalnya para chaebol menolak instruksi yang diberikan oleh pemerintah

untuk melakukan merger dengan perusahaan yang berasal dari chaebol lainnya.

Argumen yang menjadi dasar penolakan tersebut adalah kesulitan tata kelola

manajerial. Dimana, perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh chaebol tersebut

tengah dalam proses atau tengah melakukan kerjasama berupa joint venture dengan

perusahaan-perusahaan yang berbeda-beda. Sehingga, jika pemerintah mengharuskan

untuk merger mereka merasa akan mengalami kesulitan melakukan koordinasi dan

akan terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan terutama

terkait dengan partner joint venture yang berasal dari luar negeri.

Penolakan dalam melakukan merger disuarakan oleh para chaebol melalul

FKI50 yang merupakan organisasi atau asosiasi untuk menyatukan pendapat dan

menyuarakan aspirasi mereka terkait dengan pembangunan ekonomi. FKI mengkritisi

kurangnya peran pelaku usaha dalam penentuan kebijakan ekonomi yang diambil

oleh pemerintah. Organisasi ini secara serius meminta kepada pemerimtah untuk

memberikan peningkatan peran serta chaebol dalam proses pengambilan kebijakan

ekonomi. Perkembangan chaebol dalam proses industri kemudian meningkatkan

50 Federation of Korean Industries, didirikan tahun 1961 yang terdiri dari para chaebol.

149

Page 151: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

posisi tawar mereka secara politis, terutama melalui FKI yang menjadikan kekuatan

chaebol semakin solid dalam menyuarakan keinginannya.

Namun, pada akhirnya para pelaku usaha yang awalnya menolak instruksi

pemerintah untuk melakukan merger atau peleburan dengan perusahaan lainnya

tersebut, menerima dan menjalankan keinginan pemerintah saat itu. Dibawah rezim

Chun Doo-hwan yang dikenal juga sebagai pemimpin otoriter, pemerintah

menggunakan kekuasaannya pada sektor finansial untuk menekan para pelaku usaha

atau chaebol. Meskipun pada saat itu kontrol pemerintah terhadap sistem finansial

sudah berkurang, pemerintah masih menguasai beberapa sektor seperti penentuan

alokasi kredit dan penentuan ijin investasi.

Chaebol yang memiliki kredit atau hutang dalam jumlah besar sebagaimana

digunakan untuk melakukan ekspansi industri, sangat bergantung pada pemerintah

sebagai penyedia dana tersebut. Sehingga, pemerintah dapat kapan saja melakukan

suspensi terhadap pinjaman yang dibutuhkan oleh chaebol sebagai bentuk hukuman

apabila mereka tidak mengikuti instruksi kebijakan dari pemerintah. Jika hal ini

dilakukan maka chaebol dapat mengalami kesulitan dan bukan tidak mungkin

berakhir bangkrut. Oleh sebab itu, chaebol tidak punya pilihan selain mengikuti

instruksi yang diberikan oleh pemerintah.

Kebijakan restrukturisasi industri yang dilakukan oleh pemerintah sebagai

bagian dari program stabilisasi ekonomi pada era Chun doo-hwan dapat dikatakan

berjalan dengan efektif. Berbeda dengan rezim sebelumnya, yang sebenarnya telah

menerapkan kebijakan stabilsasi ekonomi namun lemah dalam

150

Page 152: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pengimplementasiannya. Sebagai bentuk state capacity efektifitas restruktirisasi

industri yang dilakukan oleh pemerintah dihasilkan dari penguasaan sektor finansial.

Meskipun chaebol telah tumbuh dan berkembang sehingga kemudian memiliki posisi

tawar secara politis, penguasaan sektor finansial yang dilakukan oleh pemerintah

masih merupakan alat yang efektif untuk menjamin keberhasilan kebijakan

restrukturisasi industri.

Dinamika penting lainnya dalam proses industrialisasi dan pembangunan di

Korea Selatan yang dapat digunakan untuk melihat respon pemerintah dalam

menghadapi tekanan eksternal sebagai bentuk state capacity adalah krisis Asia tahun

1997. Krisis yang mengubah konstruksi industri dalam negeri ini memaksa

pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan dengan menerapkan berbagai

kebijkan untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Kesulitan finansial yang dialami

Korea Selatan pada saat itu, memaksa pemerintah untuk mengajukan pinjaman

hutang luar negeri kepada IMF. Pemberian utang yang dilakukan oleh IMF diikuti

dengan pengajuan syarat yang berkaitan dengan penerapan liberalisasi ekonomi di

Korea Selatan. Pemerintah, yang pada saat itu dibawah pimpinan Kim Young-sam

tidak punya pilihan selain menyetujui syarat yang diajukan oleh IMF tersebut.

Pemerintahan baru yang terpilih pada tahun 1998 dibawah Kim Dae-jung

melihat permasalahan yag dihadapi Korea Selatan serupa dengan cara pandang IMF.

Menurutnya masalah mendasar yang menyebabkan krisis ekonomi saat itu adalah

kontrol pemerintah pada ekonomi dan sektor finansial, dia menyebutnya dalam

bahasa Korea sebagai kwanchi kyungche dan kwanchi keumyung (Jwa, 2001: 221).

151

Page 153: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Oleh sebab itu, pemerintah dibawah Presiden baru tersebut, kemudian melakukan

reformasi finansial dan korporasi atau industri yang selama beberapa dekade

sebelumnya berada dibawah kendali pemerintah. Dalam menjalankan reformasi

finansial, hal yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengembalikan fungsi

perbankan dan membangun sistem finansial berdasarkan kepentingan komersial.

Sedangkan dalam melakukan reformasi korporasi atau industri, pemerintah menuntut

dilakukannya perubahan mendasar dalam tata kelola bisnis chaebol diantaranya

melakukan transparansi, menjalankan prinsip-prinsip akuntabilitas, dan memperkuat

struktur finansial.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pemerintah menggunakan

sektor finansial untuk menjamin efektifitas kebijakan pemerintah terhadap chaebol.

Pemerintah memberikan pinjaman yang dibutuhkan kepada konglomerasi bisnis

tersebut sebagai modal untuk melakukan ekspansi. Dalam implementasinya terjadi

apa yang disebut oleh Jwa Sung-hee (2001) sebagai overborrowing dan

overinvestment. Kebijakan pemerintah sebelumnya yang selalu menjamin chaebol

dalam melakukan investasi, memunculkan asumsi di tengah-tengah pelaku usaha

bahwa pemerintah akan selalu ada dibelakang para chaebol dalam menyediakan

kapital dan memberikan bantuan setiap mereka membutuhkan modal (Jwa, 2001: 32)

Sehingga pada akhirnya ekspansi usaha yang dilakukan oleh chaebol tidak melalui

perhitungan dan kalkulasi yang tepat, dan hanya berdasar kepada keinginan untuk

menjadi besar saja, tanpa diikuti dengan pertimbangan yang matang.

152

Page 154: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Jaminan pinjaman modal yang diberikan oleh pemerintah selama beberapa

dekade tersebut, memang melahirkan banyak pelaku industri besar di Korea Selatan.

Namun bersamaan dengan itu, para pelaku industri tersebut juga memiliki hutang

jangka panjang dalam jumlah besar yang menjadi “bom waktu” bagi proses

pembangunan ekonomi di negara tersebut. Sehingga ketika terjadi krisis tahun 1997

beberapa perusahaan yang dimiliki oleh chaebol mengalami kesulitan finansial.

Untuk mengatasi masalah overborrowing dan overinvestment yang menghasilkan

“bom waktu” bagi perekonomian Korea Selatan tersebut, pemerintah kemudian

melakukan proses restrukturisasi industri melalui program kebijakan “Big Deal”

dengan melibatkan lima chaebol terbesar untuk mendorong mereka melakukan

pertukaran aktifitas industri. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi industri

terutama yang berkaitan dengan sektor-sektor penting.

Pada sektor otomobil, pemerintah mendorong Samsung untuk menukarkan

perusahaan otomobil miliknya (Samsung Motors) dengan perusahaan elektronik milik

Daewoo (Daewoo Electronics). Menurut pemerintah, pertukaran ini akan

menguntungkan bagi kedua chaebol dan memperkuat industri otomobil dalam negeri.

Selain itu, pertukaran ini juga akan mengatasi masalah kelebihan kapasitas produksi

yang dialami Korea Selatan pasca krisis ekonomi. Samsung dipilih pemerintah,

karena memiliki perusahaan dengan kapasitas produksi dan kapabilitas teknologi

paling rendah diantara perusahaan pelaku industri otomobil domestik lainnya.

Dengan kapasitas dan kapabilitas yang rendah Samsung diyakini tidak akan bertahan

dalam persaingan industri otomobil. Sehingga pemerintah menyebut pertukaran ini

153

Page 155: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

sebagai win win solution, dimana pertukaran dengan Daewoo selain menguntungkan

dari sisi finansial, juga memberikan kesempatan kepada Samsung untuk menarik diri

dari industri otomobil tanpa kehilangan muka (Park, 2003: 185).

Dukungan berbagai pihak terhadap program kebijakan “Big Deal” tidak

diikuti dengan keberhasilan pemerintah mendorong pertukaran aktifitas industri

antara Samsung dan Daewoo pada sektor otomobil. Negosiasi antara keduanya tidak

mencapai titik temu sehingga mengalami kegagalan pada tahun 1999. Secara

keseluruhan, program kebijakan “Big Deal” memang tidak berjalan dengan mulus

dikarenakan perselisihan yang terjadi antara chaebol terkait dengan penolakan

terhadap penukaran atau ketidaksesuaian harga jual yang ditetapkan untuk perusahaan

mereka. Namun program ini pada tingkatan tertentu dapat dikatakan berhasil, dimana

efektifitasnya mencapai tujuh dibanding sembilan sektor yang merupakan target dari

program tersebut. Sedangkan, capaian yang diperoleh terhadap sektor-sektor industri

tersebut yaitu, mengurangi besaran gaji pegawai yang harus dibayarkan oleh chaebol

kepada para pegawainya, mengurangi aset-aset industri yang tidak produktif atau

terbengkalai, dan yang paling penting adalah mengurangi jumlah utang yang dimiliki

oleh chaebol (Lihat Tabel 11).

Tabel 11.Persentase Capaian Program “Big Deal” Tahun 1999

154

Page 156: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Sumber: Samsung Economic Research Institute (2001).

Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa respon pemerintah terhadap krisis

ekonomi 1997 yang dilakukan melalui berbagai kebijakan salah satunya program

“Big Deal” telah berhasil membawa perubahan bagi proses industrialisasi ke arah

postitif. Sehingga dapat dikatakan jika dilihat dari hasil output kebijakan, respon

pemerintah sebagai bentuk state capacity terhadap krisis ekonomi pada saat itu

berjalan dengan efektif, yang dapat dilihat dari capaian program kebijakan Big Deal

pada Tabel 11.

Jika dilihat dari dimensi yang berbeda, penerapan kebijakan ini juga dapat

dikatakan tidak berjalan dengan mulus. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,

bahwa terjadi perselisihan dan ketidaksesuaian harga yang menyebabkan penolakan

dari chaebol untuk mengikuti instruksi pemerintah. Oleh karena itu, dapat dilihat

bahwa efektifitas state capacity dalam mempengaruhi pelaku usaha untuk

menjalankan rekomendasi kebijakan dari pemerintah berjalan tidak efektif. Hal ini

155

Page 157: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

disebabkan terjadinya peningkatan kekuatan chaebol secara politis seiring dengan

perkembangannnya menjadi bisnis besar yang berpengaruh. Selain itu, pemerintahan

yang bergeser dari otoriter menuju demokratis juga berperan mereduksi kekuasaan

pemerintah dalam mempengaruhi para pemangku kepentingan termasuk chaebol.

Penjabaran diatas menunjukan bahwa perubahan dari pemerintahan yang

otoriter menuju demokratis serta perkembangan yang dicapai oleh chaebol

menyebabkan terjadinya pergeseran power dalam proses industrialisasi dan

pembangunan ekonomi di Korea Selatan. Hal ini mempengaruhi efektifitas state

capacity dalam mempengaruhi berjalannya sebuah kebijakan. Namun, hal ini tidak

serta merta membawa dampak negatif dalam aktifitas ekonomi di negara tersebut.

Pengambilan pilihan kebijakan yang tepat masih dapat dilakukan dengan melibatkan

jauh para pelaku usaha atau chaebol yang dapat didefnisikan sebagai sinergi antara

pemerintah dan pelaku usaha dalam bentuk private sector governance.

BAB IVARTI PENTING JEPANG BAGI KOREA SELATAN

Seperti yang digambarkan oleh pandangan strukturalis, sebagai negara inti

dalam kawasan, Jepang memiliki arti penting pada proses perkembangan ekonomi

156

Page 158: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dan politik di Asia khususnya bagian timur. Korea Selatan adalah salah satu negara

yang sangat dipengaruhi oleh Jepang dalam urusan politik dan ekonomi negaranya.

Sejarah mencatat bahwa Korea pernah menjadi bagian dari subordinasi Jepang

sebagai bagian dari wilayah kekaisarannya selama lebih dari tiga dekade, dari 1910

sampai dengan 1945. Sementara secara geografis, Korea Selatan dan Jepang berada

bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh selat Korea (Lihat Gambar 5). Posisi

geografis ini semakin memberikan anggapan bahwa terdapat kedekatan hubungan di

antara kedua negara tersebut.

Gambar 5.Peta Jepang dan Korea Selatan

Sumber: Google (2014)

Dalam konteks pembangunan dan proses industrialisasi, peran Jepang

terhadap kemajuan yang diraih oleh Korea Selatan sangat besar. Seperti yang

dikemukakan oleh Shim Jae-Seung dan Lee Mosung (2008), bahwa tanpa bantuan

dari Jepang, kebijakan pembangunan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah

157

Page 159: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Korea Selatan, kemungkinan akan mengalami kegagalan. Untuk melakukan

pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, impor barang produksi disertai dengan

transfer teknologi dari Jepang sangat diperlukan oleh Korea Selatan (Shim & Lee,

2008: 137). Selain itu, Jepang juga menyediakan bantuan atau pinjaman modal yang

diperlukan Korea Selatan untuk melakukan ekspansi dalam proses industrialisasi.

Dengan kata lain, berbagai komponen utama yang dibutuhkan dalam proses

pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan didapatkan dari Jepang.

Peran Jepang dalam proses pembangunan dan industrialiasi di Korea Selatan

telah dimulai pada saat Korea masih menjadi wilayah kekaisaran Jepang. Pada

periode tersebut, Jepang telah membangun dan mendirikan berbagai macam industri

di Korea. Industri yang didirikan umumnya bergerak pada sektor ringan dan

tradisional seperti industri makanan berupa gandum, industri finansial berupa

peminjaman uang, dan industri-industri tradisional lainnya. Setelah melepaskan diri

dari subordinasi politik Jepang, proses pembangunan ekonomi dan industrialisasi

Korea Selatan tetap mengandalkan peran serta Jepang dalam berbagai bentuk,

terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas industri.

Seperti yang telah disampaikan pada bagian kerangka pemikiran, dalam upaya

meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri Korea Selatan memerlukan inovasi

yang diinstitusionalisasi melalui National Innovation System atau NIS. Dietr Ernst

(2000), berpandangan bahwa inovasi melalui NIS merupakan elemen penting untuk

mencapai pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. National Innovation

System sendiri dipahami oleh Dietr Ernst sebagai upaya untuk menganalisa faktor-

158

Page 160: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

faktor yang menentukan proses belajar, pengembangan pengetahuan, dan inovasi

secara institusional (Ernst, 2000: 2). Faktor yang menentukan berbagai proses dalam

konsep NIS tersebut adalah pengembangan teknologi dan ketersediaan modal.

Sebagaimana sebuah industri mengembangkan produk dengan inovasi terbaru,

diibutuhkan modal dan teknologi untuk dapat merealisasikannya

Pada saat periode awal menjalankan proses industri, sebagai negara

berkembang Korea Selatan memiliki keterbatasan terhadap ketersediaan modal dan

teknologi yang merupakan faktor penting dalam pengembangan pengetahuan dan

inovasi guna meningkatkan kapasitas serta kapabilitas industri. Oleh karena itu,

dibutuhkan sumber dari luar untuk menyediakan kedua faktor tersebut. Korea

Selatan, dapat mengandalkan negara maju yang telah lebih dulu menjalankan proses

industrialisasi dan merupakan core dalam struktur internasional dalam mendapatkan

modal dan teknologi. Mengacu pada posisi geografis Korea Selatan, Jepang sebagai

negara core di kawasan Asia (Timur) adalah negara yang dimaksud.

Seberapa besar peran Jepang dalam berbagai proses tersebut diatas akan

dibahas lebih rinci pada bagian-bagian berikutnya di dalam tulisan ini. Penjelasan ini,

akan didahului dengan melihat bagaimana keterlibatan negara tersebut dalam proses

industrialisasi yang dilakukan oleh Korea dari masih menjadi wilayah kekaisaran

Jepang hingga pasca melepaskan diri dan membangun industri dalam negeri secara

mandiri. Kemudian bagian berikutnya akan melihat bagaimana peran Jepang dalam

proses pengembangan inovasi, terkait dengan penyediaan faktor-faktor yang

dibutuhkan dalam proses tersebut, yaitu kapital dan teknologi.

159

Page 161: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

A. Jepang dan Pembangunan Industri Korea

Peran Jepang dalam pembangunan industri Korea telah dimulai sejak

kekaisaran Jepang menguasai Korea pada tahun 1910. Selain membangun

pemerintahan militer di Korea, Jepang juga melakukan pembangunan ekonomi di

wilayah subordinasinya tersebut dengan cara menjadikannya sebagai negara semi

industri. Industri-industri ringan tradisional mulai berkembang di Korea setelah tahun

1910 seperti industri makanan dan peminjaman uang. Pembangunan industri yang

awalnya tradisional berkembang menjadi lebih secara pesat menjadi lebih modern,

ditandai dengan didirikannya pabrik hidroelektris dan nitrogen pada tahun 1926 oleh

perusahaan Noguchi dari Jepang. Bersamaan dengan didirikannya industri yang lebih

modern tersebut, investasi perusahaan-perusahaan Jepang semakin besar di Korea,

dimana mereka mulai memproduksi biji besi dan baja, serta mendirikan industri

permesinan.

Pembangunan industri yang dilakukan oleh Jepang di Korea pada saat

menjadi bagian kekaisarannya, menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup

berarti bagi Korea. Terhitung selama tiga dekade dari tahun 1910 sampai dengan

1940, nilai keseluruhan yang dihasilkan oleh produk-produk komoditas pada periode

tersebut meningkat cukup drastis, dari yang semula 645 juta won menjadi 1,661 juta

won. Sedangkan pada sektor manufaktur, nilai produk pada periode yang sama

mengalami peningkatan rata-rata sebesar 10 persen setiap tahunnya. Tercatat nilai

produk manufaktur pada tahun 1910 sebesar 21 juta won kemudian bertambah

160

Page 162: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

menjadi 364 juta won pada tahun 1940. Peningkatan ini juga menambah sumbangan

industri sektor manufaktur terhadap nilai total produksi pada periode tersebut, yaitu

dari 3,3 persen menjadi 21,9 persen (Wibawanta, 2002: 54).

Selama tiga dekade berada dibawah kekaisaran Jepang, sepuluh tahun pertama

pembangunan ekonomi Korea dijalankan dengan berorientasi pada sektor pertanian

untuk mencapai swasembada pangan. Oleh sebab itu, target yang ditetapkan oleh

pemerintah kolonial pada saat itu adalah surplus pangan. Dengan malakukan

pembangunan industri berbasis pertanian, Korea Selatan menjadi salah satu daerah

penyangga kebutuhan pangan Jepang pada saat itu. Untuk mendukung posisi Korea

sebagai lumbung pangan, Jepang membangun infrastruktur yang berkaitan dengan hal

tersebut, seperti saluran irigasi dan pabrik pengolahan hasil pangan (Heggard, 1990:

194). Sebagai hasilnya pada produksi pertanian teru meningkat dari tahun ke tahun,

dari sekitar 2,2 juta ton pada periode 1912-1916 menjadi sekitar 3 juta ton pada

periode 1932-1936 (Song, 1997: 42). Pada periode terakhir tersebut, sekitar 50 persen

dari hasil produksi industri pertanian di Korea dikirim ke Jepang.

Setelah dapat dikatakan berhasil melakukan pengembangan industri berbasis

pangan, Jepang kemudian mulai memperluas cakupan industrinya di Korea. Dimulai

sekitar tahun 1930an sampai dengan 1940an, Jepang mulai mengembangkan industri

berbasis manufaktur terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas militer.

Sehingga dapat dikatakan bahwa Jepang membangun Korea menjadi military

industrial complex. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yang pertama munculnya

161

Page 163: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

gerakan-gerakan rakyat menuntut kemerdekaan, dan yang kedua adanya keiinginan

rezim penguasa Jepang untuk melakukan ekspansi militer ke China dan Manchuria.

Seiring dengan perluasan cakupan industri dan pembangunan military

industrial complex, Jepang mulai memindahkan operasi pelaku industri yang

dimilikinya ke Korea seperti Mitsubishi, Mitsui, dan Sumitomo. Para pelaku industri

yang dikenal juga sebagai konglomerasi dengan nama zaibatsu ini, melakukan

subcontracting dari perusahaan induknya di Jepang ke perusahaan yang lebih kecil di

Korea. Kebijakan Jepang untuk memperluas basis industri, berdampak pada

perkembangan prtumbuhan industri-industri lainnya di Korea. Hal ini terlihat dari

output yang dihasilkan oleh industri Korea Selatan yang meningkat dari 23 sampai 25

persen selama satu dekade, dari tahun 1930 sampai dengan 1940 (Steinberg, 1989:

53). Industri yang berkontribusi meningkatkan output tersebut adalah industri berat

dan kimia, manufaktur, dan pertambangan.

Selain memperlihatkan perkembangan proses industrialisasi di Korea,

penjelasan diatas juga menggambarkan peran Jepang sebagai pusat subordinasi

politik maupun ekonomi Korea pada saat itu. Dominasi Jepang dapat dilihat juga dari

penguasaan arus kapital yang mencapai 88,7 persen dari total jumlah modal industri

yang ada di Korea (Joungwon, 1997: 23). Jumlah arus kapital yang dikuasai oleh

Jepang ini mewakili hampir semua perusahaan yang ada di Korea. Selain menguasai

perusahaan dan kapital yang terlibat dalam proses industri, Jepang juga menguasai

lapangan pekerjaan yang disediakan, dimana tenaga kerja terlibat di dalam hampir

semua posisi dari manaher sampai buruh dalam proses industri di Korea. Oleh sebab

162

Page 164: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

itu dapat dikatakan bahwa, meskipun telah mengalami proses industrialisasi dengan

pertusembuhan yang cukup berarti, namun Korea hanyalah merupakan bagian dari

subordinasi ekonomi Jepang. Korea hanya mendapat potongan kecil dari kue

ekonomi yang disediakan oleh proses industrialisasi tersebut.

Setelah berakhirnya perang dunia kedua yang berujung dengan kekalahan

Jepang, Korea melepaskan diri dari kekaisaran Jepang dan memperoleh

kemerdekaannya pada tahin 1945. Namun, keadaan tidak menjadi lebih baik bagi

Korea. Putusnya hubungan ekonomi dengan Jepang, menimbulkan masalah baru bagi

Korea. Penarikan kapital Jepang yang mendukung sekitar lebih dari 88 persen modal

industri di Korea mengakibatkan masalah kekurangan modal. Selain itu kembalinya

tenaga trampil atau tenaga ahli ke Jepang juga berdampak buruk bagi perjalanan

proses industri Korea. Pada akhirnya industri dalam negeri menjadi lesu,

mengakibatkan turunnya tingkat produksi disertai dengan bertambahnya jumlah

tingkat pengangguran.

Pasca kemerdekaan, kondisi ekonomi Korea semakin buruk, terutama setelah

pecahnya perang saudara yang menyebabkan pemisahan Korea menjadi dua yaitu

Selatan dan Utara. Korea Selatan yang merupakan topik utama dari pembahasan di

dalam tulisan ini, kemudian mengalami masalah ekonomi yang serius. Setelah

berakhirnya perang saudara, pendapatan per kapita Korea Selatan hanya sebesar 67

dolar yang merupakan salah satu yang terendah di dunia, sekitar 40 persen

infrastruktur hancur terutama yang berkaitan dengan infrastruktur industri, dan

produksi industri yang sebagian besar dari sektor pertanian turun menjadi 27 persen

163

Page 165: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

lebih rendah dari periode sebelum perang (Steinberg, 1989: 122). Negara ini bahkan

disebut sebagai salah satu negara termiskin di dunia pada saat itu. Lebih dari satu

dekade dipimpin oleh presiden pertama Syngman Rhee, pertumbuhan ekonomi Korea

Selatan berjalan sangat lamban sehingga melahirkan tuntutan untuk melakukan

rekonstruksi nasional. Keadaan ini kemudian mendorong terjadinya kudeta militer

pada awal 1960an yang dipimpin oleh Jendral Park Chung-hee.

Dibawah kepemimpinan rezim Park Chung-hee, Korea Selatan bangkit dari

keterpurukan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.

Keberhasilan Korea Selatan saat itu, dipandang sebagai prestasi yang sangat luar

biasa, hingga disebut sebagai “the miracle on the han river”. Indikator perbaikan

ekonomi yang dihasilkan oleh rezim tersebut dapat dilihat dari peningkatan angka

GNP, pertumbuhan ekonomi, dan pendapatan per kapita Korea Selatan saat itu. Pada

periode 1960an sampai dengan 1970an, Korea Selatan berhasil meningkatkan

pertumbuhan GNP rata-rata sebesar 9 persen per tahun. Kemudian pertumbuhan

ekonomi yang dicapai pada perode 1972-1979 mencapai angka diatas 10 persen per

tahun (Amsden, 1989: 55). Pendapatan per kapita pada periode yang sama, meningkat

dua kali lipat dari 724 dolar menjadi 1,463 dolar Amerika. Sedangkan pertumbuhan

ekspor Korea Selatan sejak tahun 1963 meningkat rata-rata 20 persen per tahun.

Perbaikan ekonomi menjadi fokus utama pemerintahan Park Chung-hee,

dimana pembangunan berbasis industri berorientasi ekspor untuk meningkatkan

pertumbuhan mulai dilakukan. Pembangunan dengan cara ini dilakukan atas dasar

pandangan dari kelompok teknokrat yang melihat bahwa pertumbuhan ekonomi dapat

164

Page 166: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dicapai dengan cara mendorong perkembangan usaha ekspor, terutama ekspor hasil

industri manufaktur. Untuk mendukung program pembangunan ini, Presiden Park

Chung-hee kemudian mengambil langkah untuk membuka hubungan diplomatik

dengan Jepang untuk mengundang masuknya arus investasi modal dan bantuan

ekonomi dari negara tersebut (Kuntjoro-Jakti, 1995: 114). Langkah ini kemudian

menjadi awal baru bagi kembalinya peran Jepang dalam proses pembangunan dan

industrialisasi di Korea Selatan.

Pada saat Park Cung-hee mulai berkuasa, Korea Selatan sedang dalam

keadaan kesulitan ekonomi, ditambah lagi dengan pengurangan bantuan keuangan

dari Amerika Serikat, menyebabkan negara ini kekurangan sumber dana untuk

melakukan proses pembangunan. Sehingga dalam memulai program pembangunan

ekonomi yang berbasis industri berorientasi ekspor, pemerintah memerlukan

alternatif pembiayaan agar program tersebut bisa berjalan dengan lancar. Jepang

adalah salah satu dari alternatif yang dapat diandalkan oleh Korea Selatan pada saat

itu. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa Presiden Park Chung-hee mulai

melakukan normalisasi hubungan dengan negara yang pernah menduduki Korea

Selama 35 tahun itu.

Seiring dengan dibukanya kembali hubungan diplomatik antara kedua negara

pada tahun 1965, Korea Selatan mulai membangun industri dalam negerinya dengan

mengandalkan modal yang sebagian besar datang dari Jepang. Melalui kebijakan

FYEDP, proses pembangunan industri Korea Selatan dimulai kembali. Didahului

dengan pembuatan industri ringan pada periode 1960an sampai dengan awal 1970an,

165

Page 167: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Korea Selatan kemudian memproduksi barang-barang seperti tekstil, makanan, dan

rambut palsu atau wig. Produksi barang-barang manufaktur strategis seperti

kendaraan dan komponen elektronik juga telah dimulai pada periode ini, namun

skalanya masih terbilang kecil. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

pertumbuhan ekspor Korea Selatan pada periode ini terus meningkat.

Akan tetapi, keinginan kuat dan komitmen Park Chung-hee untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, disadari tidak akan

dapat terealisasi jika hanya mengandalkan pembangunan industri ringan. Oleh karena

itu pada tahun 1973, pemerintah mengambil terobosan dengan menerapkan kebijakan

HCI. Pembangunan industri berat dan kimia yang berskala lebih besar dari

pembangunan industri ringan sebelumnya, memerlukan kapital dan teknologi yang

lebih tinggi dari sebelumnya. Jepang kemudian menjadi penyedia kebutuhan modal

dan teknologi bagi Korea Selatan guna menjalankan kebijakan tersebut. Hal ini

kemudian meningkatkan kembali peran Jepang dalam proses pembangunan dan

industrialisasi di Korea Selatan.

Penerapan kebijakan HCI ditandai dengan pembangunan POSCO yang

merupakan pabrik baja milik pemerintah. Pabrik yang ditujukan untuk menyediakan

bahan baku bagi pengembangan industri berat dan kima, serta mengintegrasikan

sektor-sektor dalam kebijakan HCI ini, proses pembangunannya sangat

mengandalkan sumber pengetahuan dan kapital yang berasal dari Jepang (Kim &

Jaffe, 2010: 105). Kemudian pengembangan berbagai industri yang terdapat dalam

166

Page 168: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

kebijakan HCI juga dilakukan dengan mengandalkan bantuan dari Jepang baik itu

berupa modal maupun pengetahuan dalam bentuk teknologi.

Seperti pada sektor otomobil, Hyundai yang merupakan perusahaan otomobil

terbesar yang dimiliki oleh Korea Selatan, melakukan serangkaian proses kerjasama

dengan perusahaan otomobil asal Jepang dalam upaya membangun kapasitas dan

kapabilitas industri. Hyundai melakukan kerjasama teknik dengan Mitsubishi yang

berasal dari Jepang untuk membangun mobil pertamanya yang dikenal dengan nama

Pony. Mitsubishi memberikan bantuan teknik untuk membangun mesin dan transmisi

kendaraan tersebut. Selain memberikan kontribusi berupa dukungan teknologi,

Mitsubishi juga berkontribusi memberikan modal sebesar 10 persen dalam proses

pembuatan Pony.

Seiring dengan perkembangan industri dalam negeri Korea Selatan yang

berbasis HCI, ketergantungan negara ini terhadap Jepang juga semakin besar. Seperti

yang telah dijelaskan pada awal bab ini, bahwa untuk terus dapat mempertahankan

pembangunan ekonomi dalam negeri, Korea Selatan membutuhkan barang produksi

dan transfer teknologi yang berasal dari Jepang. Hal ini membentuk pola hubungan

ekonomi atau perdagangan yang unik di antara kedua negara, dimana semakin besar

produksi dan ekspor Korea Selatan, semakin besar juga impor yang dilakukan oleh

negara tersebut dari Jepang. Hal tersebut menunjukan bahwa Jepang merupakan

negara yang menyuplai atau menyediakan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh Korea

Selatan dalam proses pengembangan industri dalam negerinya. Dengan kata lain,

167

Page 169: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Jepang adalah aktor penting dibalik keberhasilan proses pembangunan dan

industrialisasi Korea Selatan.

Dengan melihat berbagai penjelasan diatas mengenai peran Jepang dalam

proses industrialisasi di Korea Selatan sejak menjadi bagian dari kekaisaran Jepang

sampai periode pasca penerapan kebijakan HCI, dapat dikatakan Jepang selalu

berkontribusi dengan melakukan investasi modal dan teknologi. Namun yang

membedakan investasi tersebut adalah bentuknya, yang dipengaruhi oleh kebijakan

dalam negeri Korea Selatan. Ketika masih menjadi bagian kekaisaran Jepang, tentu

saja kebijakan yang diterapkan saat itu lebih menguntungkan bagi Jepang, berbeda

ketika Korea sudah tidak lagi menjadi bagian dari subordinasi politik Jepang,

kebijakan dalam negeri Korea Selatan yang berkaitan dengan investasi tentu saja

ditujukan untuk kepentingannya sendiri.

Investasi Jepang yang dilakukan Jepang di Korea pada saat masih jadi bagian

dari kekaisarannya ditujukan untung menjadi sumber eksploitasi negara tersebut.

Meski melakukan pembangunan industri di Korea dengan menggunakan modal dan

teknologi yang didatangkan dari Jepang, namun hasil yang diperoleh dalam kegiatan

industri tersebut sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan Jepang. Hal ini terjadi

karena Korea merupakan bagian dari subordinasi politik Jepang yang tidak memilki

kekuatan dalam menentukan atau mempengaruhi kebijakan dalam negeri. Berbeda

halnya ketika Korea Selatan sudah terlepas dari subordinasi politik Jepang. Setelah

memiliki pemerintahan sendiri, negara ini dapat menerapkan kebijakan yang sesuai

dengan kebutuhan dalam negerinya. Sehingga kebijakan investasi yang dilakukan

168

Page 170: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Jepang tidak hanya memberikan manfaat bagi Jepang, akan tetapi memiliki dampak

positif dan dapat lebih menguntungkan bagi perekonomian domestik Korea Selatan.

Pemerintah Korea Selatan menerapkan kebijakan investasi yang bertujuan

untuk mendorong kemajuan pelaku industri dalam negeri. Contohnya seperti hanya

memperbolehkan investasi luar negeri dalam bentuk kerjasama dengan pelaku

industri lokal. Dengan memberlakukan kebijakan investasi yang seperti itu, pemilik

modal dan teknologi dari luar tidak dapat menguasai industri dalam negeri

dikarenakan oleh adanya “rem” yang diaplikasikan oleh pemerintah melalui

kebijakan investasi tersebut. Seperti yang kita ketahui, bahwa pemilik kapital besar

dapat dengan mudah menguasai ekonomi dengan kapasitas modal yang dimiliki. Hal

ini dapat dilihat dari contoh kasus yang ada di banyak negara berkembang. Setelah

terlepas dari subordinasi politik, yaitu mendapatkan kemerdekaannya, masih banyak

negara berkembang yang menjadi bagian dari subordinasi ekonomi negara maju.

Korea Selatan menunjukan bahwa dengan strategi kebijakan yang tepat dan

bertujuan untuk mendukung perkembangan industri dalam negeri, negara tersebut

dapat memanfaatkan sumber modal dan teknologi dari luar negeri terutama negara

maju yaitu Jepang, untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas ekonomi dalam

negeri. Bukan sebaliknya, hanya menjadi subordinasi ekonomi negara-negara maju

dalam proses pembangunan ekonomi dan industrialisasi.

B. Peran Modal dan Teknologi dari Jepang

Disebutkan sebelumnya bahwa ada dua faktor penting yang menentukan

keberhasilan inovasi dalam kerangka NIS. Kedua faktor itu adalah ketersediaan

169

Page 171: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

teknologi dan sumber modal. Berangkat dari persepektif reformis yang berpandangan

bahwa, dalam struktur internasional yang terdiri dari core dan periphery, dapat

dimanfaatkan untuk kemajuan dan perkembangan ekonomi negara berkembang.

Dalam konteks inovasi, core atau negara maju memiliki kapasitas dalam hal

teknologi, informasi dan kapital yang berguna bagi pengembangan inovasi. Oleh

sebab itu periphery atau negara berkembang dapat memanfaatkan kapasitas tersebut

untuk melakukan inovasi dalam proses pembangunan dan industrialisasi.

Dalam kasus Jepang dan Korea Selatan, kedua negara ini melakukan berbagai

kerjasama dalam pembangunan ekonomi dan proses industrialisasi. Kerjasama

keduanya dipengaruhi oleh posisi masing-masing dalam proses pembangunan

industri. Sebagai negara maju sudah tentu Jepang berada di depan, sedangkan Korea

Selatan mengikuti di belakang (Lihat Tabel 12). Perbedaan posisi dalam tahapan

pembangunan industri ini, membuat keadaan ekonomi kedua negara tersebut menjadi

saling melengkapi satu sama lain. Hal ini menjadi faktor pendorong terjadinya

kerjasama ekonomi di antara Jepang dan Korea.

Pada tahun 1950an Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Selama periode 1951 sampai dengan 1957, peningkatan GNP Jepang mencapai 108

persen per tahun yang diiringi dengan peningkatan upah tenaga kerja. Peningkatan

Tabel 12.Tahapan Pembangunan Industri dan Kemajuan Jepang atas Korea Selatan

170

Page 172: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Sumber: Shim & Lee (2008).

upah tenaga kerja ini mulai merubah stuktur produksi dalam proses industrialisasi di

Jepang. Selain pertumbuhan ekonomi yang signifikan, kenaikan upah tenaga kerja

juga disebabkan oleh ketertarikan tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan yang lebih

produktif dengan bayaran yang lebih tinggi. Perubahan struktur produksi dalam

industri ini, mendorong terjadinya transfer industri sebagai respon terhadap kenaikan

upah. Lokasi transfer yang dipilih tentu saja adalah tempat-tempat yang memiliki

tenaga kerja lebih murah. Sehingga, Jepang memilih Korea Selatan yang berada satu

tahapan dibelakangnya dalam fase pembangunan industri.

Faktor lainnya yang mempengaruhi transfer kegiatan industri yang dilakukan

oleh Jepang ke Korea adalah terjadinya krisis minyak di awal 1970an mengakibatkan

171

Page 173: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

nilai mata uang yen mengalami apresiasi. Hal ini menyebabkan peningkatan impor

dan menurunnya daya saing produk Jepang, yang berimbas kepada penurunan jumlah

ekspor. Sedangkan, di tempat yang berbeda, pemerintah Korea Selatan yang

dihadapkan dengan akan berakhirnya bantuan dana pembangunan dari Amerika,

kemudian menerapkan kebijakan pembangunan yang bertujuan menyerap modal dari

luar negeri.

Pemerintah Korea Selatan melakukan beberapa cara untuk menarik modal dari

luar negeri, seperti melakukan devaluasi mata uang dan memberikan berbagai insentif

bagi penanam modal termasuk pembukaan free export processing zone (Shim & Lee,

2008: 138). Selain itu, sebagai negara yang baru mengembangkan industri

manufaktur melalui program HCI, Korea Selatan terkendala dengan masalah

kekurangan input seperti bahan mentah, teknologi, dan sumber pengetahuan

informasi. Sebagai negara yang berada satu tahapan di depan Korea Selatan dalam

fase pembangunan industri, Jepang dapat dijadikan sumber bagi Korea Selatan untuk

menyediakan kebutuhan-kebutuhan tersebut dikarenakan telah memiliki kapasitias

dan kapabilitas yang lebih tinggi.

Letak geografis yang berdekatan antara Jepang dan Korea Selatan, juga

menjadi salah satu faktor yang mendukung terciptanya kerjasama di antara kedua

negara. Seperti yang digambarkan sebelumnya, bahwa Jepang dan Korea Selatan

hanya terpisah oleh selat Korea. Kedekatan secara geografis ini akan mempercepat

proses penyebaran kapital dan teknologi informasi. Selain itu, hal ini juga akan

172

Page 174: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

menekan biaya distribusi dan transportasi lalu lintas perpindahan barang-barang

produksi maupun konsumsi dari Jepang ke Korea begitu juga sebaliknya.

Situasi di Jepang dan Korea Selatan yang saling berkaitan ini, mendorong

terjadinya kerjasama antara kedua negara. Jepang yang ingin memindahkan

industrinya ke tempat baru yang menyediakan tenaga kerja lebih murah, bertemu

dengan Korea Selatan yang membutuhkan investasi guna meningkatkan kapasitas dan

kapabilitas industri lokal. Dengan didukung oleh strategi kebijakan Korea Selatan

yang bertujuan untuk menarik minat investasi asing dan juga faktor kedekatan secara

geografis, kerjasama di antara kedua negara tersebut memberikan potensi keuntungan

bagi satu sama lain. Robert Castley (1997) melihatnya sebagai perkawinan antara

modal dan teknologi Jepang dengan tenaga kerja murah Korea.

Tercatat dari 1965 sampai dengan 1985 Korea Selatan mengalami

pertumbuhan ekonomi sangat tinggi mencapai diatas 10 persen per tahun, dimana

modal luar negeri memegang peranan penting dalam meningkatkan angka

pertumbuhan tersebut. Pada periode ini, Korea Selatan melakukan transisi dalam

proses industrialisasi dari industri ringan menjadi industri berat yang dilakukan

melalui promosi progam HCI. Transisi ini memerlukan sumber modal dan teknlogi

yang besar untuk dapat terealisasi dengan baik. Sedangkan pada saat itu, jumlah

tabungan dalam negeri dan hasil yang diperoleh dari pengembangan industri ringan

sebelumnya, tidak dapat memberikan kemampuan finansial untuk membangun

industri berat. Sehingga, Korea Selatan mendorong terciptanya kerjasama investasi

173

Page 175: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

yang bertujuan untuk mendapatkan tambahan modal guna merealiasasikan program

HCI tersebut.

Kekurangan kapital ini menjadi faktor pendorong yang kuat bagi Presiden

Park Chung-hee untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Jepang,

seperti yang telah disampaikan diawal. Langkah ini, membuka peluang terjadinya

kerjasama investasi di antara kedua negara, atau dengan kata lain memberikan

kesempatan Korea Selatan untuk mendapatkan modal yang dibutuhkan dalam proses

industrialisasi dari Jepang. Sejak pemerintah mengamandemen peraturan investasi

luar negeri pada tahun 1966, investasi luar negeri dari Jepang ke Korea Selatan

mengalami peningkatan signifikan. Sejak saat itu, Jepang menjadi negara yang

melakukan investasi terbanyak ke Korea Selatan yang sebelumnya dipegang oleh

Amerika Serikat (Lihat Gambar 13). Selain itu, normalisasi hubungan ini juga

menjadikan Jepang sebagai mitra dagang paling penting bagi Korea Selatan selama

periode pertumbuhan ekonomi tinggi sampai dengan 1990an menggeser posisi

Amerika Serikat

Berdasarkan Tabel 13, Sebelum terjadi normaliasi hubungan dengan Jepang,

terlihat bahwa Amerika Serikat merupakan negara menguasai investasi ke Korea

Selatan sebagai penyumbang FDI terbesar sebelum tahun 1966. Namun setelah tahun

1966 yaitu pada periode 1967 sampai dengan 1971, Jepang mulai menggeser posisi

Amerika Serikat tersebut. Kemudian pada periode 1972 sampai dengan 1976, Jepang

telah menguasai investasi di Korea dengan berkontribusi melakukan investasi pada

174

Page 176: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Tabel 13.Investasi Langsung Luar Negeri Korea Selatan Berdasarkan Negara Asal 1962-1981

(*Unit dalam % dan juta won)Sumber: Shim & Lee (2008)

periode 1977-1981, meskipun investasi yang berasal dari Amerika Serikat kembali

mengalami peningkatan, namun Jepang masih menjadi negara yang melakukan

investasi langsung luar negeri terbesar di Korea Selatan.

Investasi Jepang ke Korea Selatan dilakukan pada sektor-sektor industri

penting. Pada akhir tahun 1960an modal dari Jepang dialokasikan pada industri

ringan yaitu pakaian dan tekstil, kemudian seiring diterapkannya promosi program

HCI pada tahun 1970an alokasi modal tersebut bergeser ke sektor-sektor industri

berat seperti elektronik dan otomobil. Kontribusi investasi Jepang terhadap

pembangunan industri ringan Korea Selatan mencapai sekitar setengah dari total

investasi yang diperlukan untuk menjalankan industri tersebut. Sedangkan, ketika

175

Page 177: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Korea Selatan melakukan pembangunan industri berat, investasi Jepang mencapai

sekitar dua pertiga dari total investasi industri ini secara keseluruhan (Shim & Lee,

2008: 142). Kontribusi ini menjadikan Jepang sebagai aktor penting dalam proses

pembangunan dan ekonomi Korea Selatan, terutama pada periode tersebut.

Investasi luar negeri yang masuk dari Jepang, membawa dampak positif bagi

perkembangan ekonomi dalam negeri Korea Selatan, Masuknya investasi yang

membawa serta teknologi maju dari Jepang, mendorong Korea Selatan untuk

meningkatkan produk industri dalam negerinya. Peningkatan produktivitas ini

menghasilkan angka penjualan yang lebih tinggi dan meningkatkan daya saing dalam

pasar internasional. Hal ini kemudian meningkatkan pendapatan yang dihasilkan dari

ekspansi penjualan domestik dan ekspor. Hasilnya, tercipta multiplier effect yang

mendorong investasi Jepang lebih lanjut. Setelah Korea Selatan mengalami surplus

pada pertengahan kedua 1980an peran investasi luar negeri khususnya dari Jepang

mulai berkurang. Meskipun pada tahun 1990an, investasi luar negeri yang masuk ke

Korea Selatan meningkat lagi, namum dampaknya tidak sebesar pada saat periode

sebelumnya ketika Korea Selatan memulai proses industrialisasi.

Selain membawa modal, investasi dari Jepang ke Korea Selatan juga ikut

membawa serta teknologi maju yang dimiliki oleh negara core tersebut. Seperti yang

dikemukakan oleh Sanjaya Lall (1992), Investasi dalam bentuk FDI tidak hanya

berkaitan dengan transfer modal namun disertai juga dengan sumber manajerial

termasuk di dalamnya teknologi, manajemen pengetahuan, kemampuan marketing

atau penjualan dan pusat produksi atau pabrik. Dalam proses transfer industri melalui

176

Page 178: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

investasi, teknologi juga seringkali melekat atau tertanam pada barang-barang

produksi yang disediakan oleh Jepang sebagai negara core.

Dalam proses pengembangan teknologi domestik, pemerintah Korea Selatan

melakukan intervensi untuk menekan biaya yang dibutuhkan dan memberikan

kemudahan bagi para pelaku industri dalam menjalankan proses tersebut. Sanjaya

Lall (1992) beranggapan bahwa, keterlibatan pemerintah biasanya didorong oleh

keinginan untuk meningkatkan transfer teknologi yang berasal dari luar dengan

tujuan untuk meningkatkan kapabilitas pembangunan industri domestik.

Setelah berhasil menarik modal dari Jepang dengan membuka hubungan

diplomatik, pemerintah kemudian fokus kepada pengembangan teknologi domestik

yang dibutuhkan seiring dengan perkembangan proses industrialisasi ke tahapan yang

lebih tinggi. Pengenalan dan pengembangan teknologi di Korea Selatan mulai

mendapat perhatian pada tahun 1980an, dimana sebelumnya elemen modal dalam

investasi lebih diperhatikan dalam proses industrialisasi.

Dengan kebijakan peran aktif permerintah untuk melakukan pengenalan dan

pengembangan teknologi untuk mendukung pross industrialisasi, mulai tahun 1981

sampai dengan 1990an transfer teknologi dari Jepang ke Korea Selatan mengalami

peningkatan secara bertahap. Setelah periode tersebut, yaitu pada periode 2000an

transfer teknologi dari Jepang mengalami penurunan dikarenakan Korea sudah mulai

berusaha untuk membangun teknologi sendiri di dalam negeri, dan adanya

keengganan dari Jepang dikarenakan meningkatnya posisi Korea Selatan dalam

perekonomian dunia. Meskipun demikian, Jepang merupakan negara yang melakukan

177

Page 179: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

kegiatan transfer teknologi banyak diantara negara-negara lainnya yang berperan

dalam proses tersebut di Korea Selatan, terutama pada periode 1980an sampai dengan

1990an. Hal ini dikarenakan Jepang melihat teknologi sebagai sesuatu yang dapat

memberikan keuntungan. Seperti pandangan Tamio Hattori (1997) yang melihat

bahwa, bagi perusahaan Jepang teknologi itu sendiri dianggap sebagai komoditas

bisnis yang dapat meningkatkan keuntungan.

Besarnya peran Jepang dalam pengembangan teknologi melalui transfer yang

dilakukan kepada Korea Selatan dapat dilihat lebih jelas lagi dari persentase transfer

teknologi Jepang dibandingkan dengan negara-negara lainnya pada tahun 1985

sampai dengan 1995 (Lihat Tabel 14). Menurut data dari tabel tersebut, rata-rata

persentase transfer teknologi yang dilakukan oleh Jepang ke Korea Selatan mencapai

sekitar separuh dari total transfer teknologi yang dilakukan oleh negara-negara

lainnya. Sampai dengan tahun 1996, Korea Selatan melakukan 9,520 pengenalan

teknologi, dimana 48,5 persennya berasal dari Jepang dan 20,5 persen dari Amerika

Serikat (Shim & Lee, 2008: 150).

Transfer teknologi dengan paten yang dilakukan dari Jepang ke Korea Selatan

seperti ditunjukan oleh Tabel 14, menggambarkan bahwa sebagian besar teknologi

yang dibawa pada proses transfer tersebut merupakan teknologi inti dari Jepang.

Sehingga pengembangan teknologi dalam negeri yang dilakukan oleh Korea Selatan

dapat lebih cepat memperkecil perbedaan tahapan pembangunan industrinya dengan

negara-negara maju. Dimana pada periode 1990an sampai tahun 2000, Korea Selatan

178

Page 180: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Tabel 14.Akumuluasi Transfer Teknologi Korea Selatan 1985-1994

Sumber: Shim & Lee (2008).

mulai memasuki tahapan yang sama dengan Jepang dalam proses pembangunan

industri, yaitu tahapan knowledge-intensive and high-tech industry (Lihat Tabel 12).

Berbagai penjelasan diatas menunjukan besarnya kontribusi Jepang bagi

Korea Selatan dalam menyediakan modal dan teknologi sebagai faktor utama

pengembangan inovasi guna meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri. Dengan

mengandalkan Jepang, Korea Selatan dapat mulai masuk ke dalam tahapan yang

sama dengan negara maju dalam proses industrialisasi. Hal ini ditunjukan dengan

keengganan Jepang dalam transfer teknologi setelah tahun 2000an, dikarenakan

menguatnya posisi Korea Selatan dalam perekonomian dunia seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya.

179

Page 181: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

BAB VPENUTUP

Seperti tujuan umum dilakukannya sebuah penelitian, yaitu untuk menjawab

sebuah pertanyaan secara akademis dengan menggunakan konsep-konsep yang ada di

dalam disiplin ilmu tersebut, tulisan ini kemudian mencoba untuk menjawab

pertanyaan mengenai kemajuan yang berhasil dicapai oleh Korea Selatan dalam

proses pembangunan dan industrialisasi negaranya, dengan melihat keberhasilan

industri otomobil negara tersebut secara lebih mendalam.

Pada bagian awal telah diajukan argumentasi mengenai pertanyaan penelitian

tersebut dengan didasarkan kepada beberapa konsep teori atau pemikiran yang salah

satunya berpandangan bahwa kemajuan Korea Selatan sebagai latecomer dalam

proses industrialiasi disebabkan oleh peran negara melalui pemerintah, pelaku usaha

atau chaebol, serta Jepang sebagai negara core dalam struktur internasional. Interaksi

antar ketiga aktor ini memainkan peranannya masing-masing dalam proses

pembangunan dan industrialisasi Korea Selatan.

Kemudian dalam bagian pembahasan, tulisan ini mencoba untuk menguji

argumentasi tersebut dan melihat relevansinya dengan fakta empiris yang terjadi dan

terdapat dalam proses pembangunan dan industrialisasi tersebut. Berikut diuraikan

kembali pokok-pokok pembahasan dalam tulisan ini yang membentuk kesimpulan,

sehingga dapat dilihat bagaimana posisi argumentasi yang telah dibangun untuk

mencoba menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan dalam tulisan dan refleksi

180

Page 182: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

teoritis terhadap konsep-konsep yang sebelumnya digunakan untuk membangun

argumen tersebut.

Dalam membangun argumen mengenai besarnya peran pemerintah dalam

proses pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan, tulisan ini berpatokan pada

pandangan Alexander Gerschenkron (1962) mengenai latecomer. Menurut

Gerschenkron, sebagai latecomer dalam proses industrialisasi Korea Selatan

membutuhkan peran pemerintah untuk dapat membangun industri domestik dan

bersaing dalam kompetisi internasional.

Pembahasan dalam tulisan ini yang dielaborasi berdasarkan fakta empiris,

menunjukan bahwa pemerintah memainkan peran sentral dalam proses pembangunan

dan industrialisasi di Korea Selatan, terutama pada periode awal proses tersebut

berlangsung. Pemerintah menjadi inisiator berdirinya sektor-sektor industri strategis

melalui penerapan kebijakan HCI yang menyumbangkan kontribusi besar bagi

kemajuan ekonomi Korea Selatan. Kebijakan HCI mendorong lahirnya industri-

industri kelas dunia yang dimiliki oleh Korea Selatan, seperti industri perkapalan,

elektronik, dan otomobil. Pelaku industri atau chaebol yang bermain dalam industri

tersebut, beberapa diantara mereka telah menjadi salah satu yang terbaik di dunia

seperti Hyundai, Samsung, dan Lucky Goldstar atau LG.

Selain menjadi inisiator, pemerintah juga berperan sebagai regulator dan

koordinator proses pengembangan industri di Korea Selatan. Pemerintah menerapkan

kebijakan yang mengatur jalannya proses industri, seperti menetapkan special law

terhadap industri otomobil pada tahun 1962. Pemerintah melarang import kendaraan

181

Page 183: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

dalam bentuk jadi untuk mendorong terciptanya kerjasama teknik antara pelaku

industri dari negara maju dengan pelaku industri lokal. Dengan menerapkan aturan

tersebut, pemerintah membuka kesempatan kepada para pelaku industri lokal untuk

belajar dari pelaku industri dari negara maju.

Dalam hal koordinasi, pemerintah menggunakan EPB dan KCIA untuk

melakukan koordinasi industri, dua lembaga ini memiliki peran besar dalam

pembangunan terutama EPB. Lembaga ini merumuskan rencana pembangunan dan

melakukan evaluasi keberhasilan program yang telah dijalankan. EPB melakukan

koordinasi dengan berbagai departemen atau kementerian yang berkaitan dengan

masalah pembangunan sehingga pembangunan dapat dilakukan dengan terintegrasi.

Sedangkan KCIA, berfungsi untuk menjaga stabilitas politik yang dianggap sangat

penting dalam menentukan keberhasilan proses pembangunan.

Kemudian, pemerintah juga menjadi penjaga atau penjamin para pelaku

industri lokal atau chaebol dalam keberlangsungan menjalankan industri yang

dilakukan dengan memberikan insentif dan proteksi. Permerintah menjaga dan

menjamin monopoli chaebol pada pasar domestik dengan memberikan proteksi dan

memberikan insentif berupa keringanan pajak dan lain sebagainya untuk melakukan

ekspansi ke pasar internasional.

Dengan insentif dari pemerintah, chaebol khususnya yang bergerak di sektor

otomobil dapat menjual hasil produksinya setengah dari harga domestik untuk

menciptakan daya saing dalam kompetisi internasional. Proteksi dan insentif ini

memungkinkan chaebol untuk terus dapat berkembang. Jika pemerintah tidak

182

Page 184: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

memberikan proteksi dan insentif, kecil kemungkinan para pelaku industri lokal bisa

bersaing secara internasional, mengingat besarnya harga yang bisa ditekan dalam

melakukan penjualan luar negeri.

Dalam pengembangan inovasi pemerintah berperan sebagai sponsor, dengan

melakukan investasi dalam kegiatan R&D melalui institusi riset publik maupun

melalui lembaga pendidikan tinggi atau universitas. Investasi ini ditujukan untuk

menghasilkan peneliti yang kreatif sehingga dapat menciptakan inovasi yang berguna

bagi kemajuan proses industrialisasi.

Berbagai program kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah tersebut

merupakan bentuk state capacity dan manifestasi dari sinergi antara pemerintah

dengan pelaku usaha. Dengan formasi state capacity dan sinergi yang ada pemerintah

dapat menghasilkan strategi kebijakan yang tepat dalam menjamin keberhasilan

proses pembangunan dan industrialisasi. Berdasarkan konsep sinergi dalam GVC dan

state capacity, pemerintah dipandang perlu melakukan kerjasama dengan pelaku

usaha dalam melakukan proses pembangunan dan merespon berbagai dinamika

ekonomi. Dengan mengacu pada pandangan tersebut, peran negara dalam melahirkan

dan mengimplemantasikan strategi kebijakan tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan

chaebol. Hal ini dikarenakan kedua aktor tersebut merupakan satu bagian integral,

dimana chaebol merupakan unit implementasi dari berbagai kebijakan pemerintah.

Seperti yang dikemukakan oleh Michael O'Donnell (2001), bahwa dalam

melaksanakan pembangunan, pemerintahan Park Chung Hee melibatkan pelaku usaha

atau chaebol sebagai agen privat dalam melakukan implementasi kebijakan

183

Page 185: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

industrialisasi berorientasi ekspor yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai agen

pemerintah yang menjalankan kegiatan industri, dapat dikatakan chaebol merupakan

aktor penting penggerak roda perekonomian Korea Selatan. Konglomerasi bisnis ini

berperan dalam menyediakan lapangan pekerjaan, berkontribusi terhadap pendapatan

negara, dan neraca perdagangan melalui ekspor luar negeri.

Dari pembahasan mengenai peran chaebol, dapat dikatakan bahwa kerjasama

antara pemerintah dengan chaebol awalnya terjadi lebih kepada adanya tekanan dari

pemerintah yang kuat melalui penguasaan sektor finansial. Namun tekanan tersebut

juga dapat dilihat sebagai peluang, dikarenakan para chaebol yang mengikuti

instruksi pemerintah mendapatkan berbagai insentif dan kemudahan dalam

melakukan proses industrialisasi yang pada akhirnya melahirkan raksasa-raksasa

bisnis seperti Samsung dan Hyundai.

Seiring dengan perkembangan ekonomi Korea Selatan, chaebol juga

mengalami trasnformasi dari pelaku usaha yang berada dibawah kontrol pemerintah,

menjadi raksasa bisnis yang lebih independen. Para pelaku usaha menbentuk FKI

sebagai organisasi yang dapat menyuarakan keinginan mereka terhadap penentuan

kebijakan dalam negeri. Bahkan pendiri Hyundai Chung Ju-yung terjun ke politik

dengan mengikuti pemilihan presiden pada tahun 1992. Anak pendiri Hyundai ini,

yaitu Chung Mong-joon juga dikenal sebagai politisi yang merupakan anggota

parlemen Korea sejak 1988. Hal ini menandakan semakin besarnya pengaruh chaebol

tidak hanya terkait bidang ekonomi, namun juga politik.

184

Page 186: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Dalam konteks ekonomi, independensi chaebol diperoleh dari keberhasilan

konglomerasi binsis itu melakukan pengembangan industri melalui inovasi. Dalam

konsep NIS, faktor yang menentukan dalam proses inovasi adalah ketersediaan modal

dan teknologi. Sesuai dengan pembahasan yang telah ditulis pada bagian sebelumnya,

Jepang sebagai negara core dalam struktur internasional memiliki peranan penting

dalam penyediaan modal dan teknologi yang dibutuhkan Korea Selatan, khususnya

chaebol dalam melakukan proses pembangunan dan industrialisasi.

Faktor-faktor seperti posisi geografis yang berdekatan, kesepahaman sosial

kultural, dan perbedaan tahapan industri, mendorong terciptanya kerjasama ekonomi

di antara kedua negara. Selain itu kebijakan pemerintah untuk menarik minat

investasi dari Jepang, seperti devaluasi mata uang dan pembukaan free export

processing zone juga menjadi pemicu besarnya investasi Jepang ke Korea Selatan.

Seperti yang ditunjukan dalam pembahasan tulisan ini, persentase investasi Jepang

mencapai setengah dari total investasi dari luar negeri yang masuk ke Korea Selatan.

Besarnya investasi ini sangat berperan bagi perkembangan chaebol dan proses

pembangunan dan industrialisasi.

Dari pokok-pokok pembahasan tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa pemerintah memegang peranan sentral dalam proses pembangunan dan

industrialisasi di Korea Selatan terutama pada periode awal proses tersebut dilakukan.

Keterbatasan Korea Selatan sebagai latecomer dalam proses industrialisasi berhasil

ditopang oleh berbagai pilihan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Peran

pemerintah juga sangat besar dalam membentuk karakteristik perekonomian Korea

185

Page 187: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Selatan seperti sekarang yang digerakan oleh chaebol melalui pembangunan industri-

industri strategis melalui kebijakan HCI. Kebijakan ini dijalankan oleh pemerintah

dengan serius dan konsisten dimana berbagai faktor pendukung juga disertakan dalam

kebijakan tersebut, seperti pembangunan POSCO serta pemberdayaan EPB dan

KCIA sehingga program kebijakan HCI menjadi lebih terintegrasi.

Pemerintah juga memberikan ruang kepada pelaku usaha untuk terus

berkembang melalui berbagai kemudahan dan insentif yang diberikan. Sinergi antara

pemerintah dan pelaku usaha juga berperan dalam proses perkembangan chaebol

menjadi salah satu kekuatan bisnis besar dunia. Pemerintah berperan pernting dalam

mengantarkan chaebol menjadi besar sehingga kemudian memiliki kekuatan kapital

besar yang dapat menggerakan roda perekonomian Korea Selatan. Sehingga dapat

dikatakan meski pada akhirnya chaebol menjadi kekuatan besar yang menggerakan

roda perekonomian Korea Selatan, hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran

pemerintah dalam membesarkan konglomerasi bisnis tersebut.

Kemudian melihat peran Jepang dalam menyediakan berbagai kebutuhan

Korea Selatan dalam melakukan proses pembangunan dan industrialisasi juga tidak

terlepas dari peran pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk menarik investasi dari

Jengang, membeikan dorongan terciptanya kerjasama antara kedua negara sehingga

menungkinkan industri dalam negeri Korea Selatan untuk terus berkembang.

Tidak hanya itu strategi kebijakan pemerintah dalam hal investasi juga

memainkan peranan penting dalam keberhasilan Korea Selatan. Sebagai contoh

strategi kebijakan investasi pada sektor otomobil, dimana pemerintah hanya

186

Page 188: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

memperbolehkan investasi dalam bentuk kerjasama teknik atau joint venture dengan

pelaku industri lokal. Hal ini mendorong chaebol untuk meningkatkan kapasitas dan

kapabilitas industri dengan proses pembelajaran yang didapat dari proses kerjasama

tersebut, sehingga pada akhirnya pelaku industri lokal memiliki kemampuan produksi

yang lebih baik dalam proses industrialisasi.

Dengan strategi kebijakan yang tepat, Korea Selatan dapat memanfaatkan

Jepang sebagai negara core untuk meningkatkan kemampuan dalam proses

industrialisasi. Strategi kebijakan pemerintah terutama dalam investasi ini penting

dikarenakan hal ini akan mempengaruhi output kerjasama yang dihasilkan. Seperti

yang dikemukakan oleh Mochtar Mas’oed (2003), bahwa ciri hubungan ekonomi di

Asia Timur digambarkan sebagai hubungan yang bersifat hierarkis dengan tiga ciri

utama, ketergantungan teknologi, ketimpangan pembagian kerja, dan backward

integration. Sehingga kerjasama dengen negara core dalam struktur internasional

hanya akan menghasilkan subordinasi ekonomi bagi negara berkembang. Namun

Korea Selatan menunjukan bahwa dengan strategi kebijakan yang tepat, negara ini

dapat memanfaatkan kerjasama tersebut menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi

proses pembangunan dan industrialisasi dalam negeri.

Seiring dengan perkembangan proses pembangunan dan industrialisasi dalam

negeri, peran pemerintah dalam proses tersebut mengalami degradasi secara bertahap.

Berkurangnya peran pemerintah dalam ekonomi disertai dengan penguatan peran

chaebol sebagai penggerak roda perekonomian dan perbaikan ekonomi dengan

187

Page 189: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

pertumbuhan yang tinggi. Dengan kata lain, berkurangnya peran pemerintah tersebit

terjadi saat Korea Selatan telah memasuki tahap negara industri maju.

Kembali kepada argumen Gerschenkron yang berpandangan bahwa negara

industri baru memerlukan peran pemerintah untuk dapat bersaing, sedangkan negara

industri maju dapat melepaskan peran tersebut. Hal ini dapat menggambarkan kondisi

Korea Selatan yang dibahas dalam tulisan ini, dimana peran negara sangat besar

dalam periode awal pembangunan industri, kemudian secara bertahap peran tersebut

terdegradasi seiring dengan berkembangnya status negara tersebut sebagai negara

industri maju dan tumbuhnya chaebol sebagai pemilik modal besar yang bisa

menggerakan roda perekonomian dalam negeri.

Pengalaman Korea Selatan ini dapat digunakan sebagai pelajaran bagi negara-

negara berkembang lainnya dalam proses melakukan pembangunan ekonomi. Dengan

menyadari posisi dalam struktur internasional, pemerintah negara berkembang harus

meningkatkan perannya dalam pembangunan dalam negerinya. Peran ini kemudian

dikonversikan kedalam strategi kebijakan pembangunan yang tepat dengan

meningkatkan state capacity dan melakukan sinergi. Dengan melakukan kedua hal

tersebut, negara berkembang diharapkan mampu mendapatkan bagian yang lebih

besar dari kue ekonomi yang tersedia dalam proses tersebut.

Dengan belajar dari Korea Selatan, negara berkembang diharapkan dapat

mampu terlepas dari subordinasi ekonomi negara maju. Seperti yang dilakukan oleh

Korea Selatan terhadap kebijakan investasi dalam negerinya. Pemerintah menerapkan

strategi pembatasan-pembatasan yang dapat melindungi pelaku industri dalam

188

Page 190: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

negerinya dari persaingan dengan pelaku industri negara maju. Meskipun

menerapkan kebijakan industri berorientasi ekspor dan membuka keran investasi,

namun pemerintah Korea Selatan tidak membiarkan ekonominua bekerja dengan

mekanisme pasar karena akan mematikan pelaku industri dalam negeri yang pada saat

itu masih infant atau belum bisa bersaing. Dengan demikian Korea Selatan dapat

meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pelaku industri dalam negerinya, sehingga

mampu mendapat bagian yang lebih besar dari kue ekonomi dan terlepas dari

subordinasi negara maju.

Dari uraian kesimpulan diatas mengenai keberhasilan proses pembangunan

dan ekonomi dengan melihat kemajuan industri otomobil Korea Selatan, pembahasan

di dalam tulisan ini kemudian memperkuat posisi argumen utama yang diajukan pada

bagian awal penelitian yang didasari oleh konsep-konsep seperti, latecomer dalam

economic backwardness, sinergi dalam GVC, state capacity, dan inovasi dalam

kerangka NIS.

189

Page 191: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

DAFTAR PUSTAKA

Amsden, Alice H. Asia's Next Giant: South Korea and Late Indutrialization. New York: Oxford University Press, 1989.

Balassa, Bella. “Outward Versus Inward Orientation Once Again.” The World Economy 6, no. 2 (1983).

____________. “Korea's Development Strategy.” Dalam Korean Economic Development, oleh Jene K. Kwon. Westport: Greenwood Press, 1990.

Castley, Robert. Korea's Economic Miracle: The Crucial Role of Japan. Bastinstoke: Macmillan, 1997.

Choe, Lee Suk. “The Heavy and Chemical Industries Promotion Plan (1973-1979).” Dalam Economic Development in the Republic of Korea: A Policy Perspective, oleh Cho Lee Jay dan Kim Youn Hyung, 438. Honolulu: University of Hawai Press, 1991.

Chong-ch'ol, Im. “The Economic Growth of Korea.” Kyongje Nonjip 15 (April 1976): 485-501.

Chosun Media. The Rise and Fall of 'Pony Man'. 3 Maret 1999. www.english.chosun.com (diakses Juni 15, 2013).

_____________. Can We Overcome the Third Oil Crisis? 29 Mei 2008. www.english.chosun.com (diakses September 6, 2014).

Chung, Myeong-Kee. “Transforming the Subcontracting System and Changes of Industrial Organization in the Korean Automobile Industry.” Second International Colloqium "The New Industrial Models of Automobile Firms". Paris: GERPISA, 1994.

Chung, Seungwha, dan Sunju Park. The Acquisition and Restructuring of Kia Motors by Hyundai Motors. London: Ivey Management, 2009.

190

Page 192: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Dicken, Peter. Global Shift: Mapping the Changing Contours of the World Economy 6th Edition. New York: The Guilford Press, 2011.

Eilam, Eldad, dan Eliot J Chikofsky. Reversing: Secret of Reverse Engineering. Indianapolis: Wiley Publishing, 2007.

Ernst, Dieter. “Global Production Networks and the Changing Geography of Innovation System: Implications for Developing Countries.” East-West Center Working Papers, November 2000: 2.

Fitri Ayu, Silvi. Kebijakan-kebijakan Ekonomi Park Chung Hee Dalam Industrialisasi di Korea Selatan Periode 1961-1979. Universitas Indonesia, Jakarta: Perpustakaan UI, 2011.

Gereffi, Gary, dan Karina Fernandez-Stark. Glabal Value Chain Analysis: A Primer. Durham: Center on Globalization, Governance & Competitiveness, 2011.

Gerschenkron, Alexander. Economic Backwardness in Historical Perspective: A Book of Essay. Cambridge: Harvard University Press, 1962.

Goffin, Keith, dan Ursula Koners. “Tacit Knowlege, Lesson Learnt, and New Product Development.” Product Innovation Management 28, no. 2 (Maret 2011): 200-318.

Google. Google Map. 28 Desember 2014. www.google.com (diakses Desember 28, 2014).

Green, Andrew E. “South Korea's Automobile Industry: Development and Prospect.” Asian Survey 32, no. 5 (Mei 1992): 411-428.

Hang, Shin Eui, dan Seung Kwon Chin. “Social Affinity Among Top Managerial Executives of Large Corporations in Korea.” Sociological Forum 4, no. 1 (1989): 3-36.

Harvie, Charles, dan Hyun-Hoon Lee. Korea's Economic Miracle: Fading or Reviving. New York: Palgrave Macmillan, 2003.

191

Page 193: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Hattori, Tamio. “Chaebol-Style Enterprise Development in Korea.” The DEveloping Economies 35, no. 4 (Desember 1997): 458-477.

Heggard, Stephen. Pathways from the Periphery: The Policies of Growth in the Newly Industrializing Country. Ithaca: Cornell University Press, 1990.

Hobday, Mike. Innovation in East Asia: The Challenge to Japan. Aldhershot: Edward Elgar, 1995.

Hun, Jae Hyoon. Korean Automotive Foreign Direct Investment in Europe: The Effects of Economic Integration. New York: PALGRAVE MACMILLAN, 2003.

Hyundai Engineering and Construction Company. A Thirty-five Year History of Hyundai Engineering and Construction. Seoul: Hyundai Engineering and Construction Company, 1982.

Hyundai Motor Company. Thie History of Hyundai Motor Company. Seoul: HMC, 1992.

Hyundai Motor Manufacturing Alabama. About Hyundai Motor Company. 3 April 2013. www.hmmausa.com (diakses April 3, 2013).

Jeong, Seung-Il. Crisis and Restructuring in East Asia: The Case of the Korean Chaebol and the Automotive Industry. New York: PALGRAVE MACMILLAN, 2004.

Jones, Leroy P, dan il Sakong. Government, Business and Entrepreneurship in Economic Development: The Korean Case. Cambridge: Harvard University Press, 1980.

Joungwon, Kim. Divided Korea: The Politics of Development. Cambridge: Harvard University Press, 1997.

Jung, Sung Chun. “Korean Automobiles Industry's Production Network in China.” Korean Institute for Economic Policy, 2008.

192

Page 194: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Jwa, Sung-Hee. A New Paradigm for Korea's Economic Development: From Government Control to Market Economy. New York: PALGRAVE, 2001.

Kai-Sun, Kwong, Chau Leung-Chuen, Francis T Lui, dan Larry D Qiu. Industrial Development in Singapore Taiwan and South Korea. New Jersey: World Scientific, 2001.

Kalinowski, Thomas, dan Hyekyung Cho. “The Political Economy of Financial Liberalization in South Korea: State, Big Business, and Foreign Investors.” Asian Survey (Universitu of California Press) 49, no. 2 (2009): 221-242.

KAMA. Annual Report 2011: Korean Automobile Industry. Seoul: Korean Automobile Manufacturers Association, 2011.

______. Annual Report 2008: Korean Automobile Industry. Seoul: Korean Automobile Manufacturers Association, 2008.

Kaplinsky, Raphael, dan Mike Morris. A Handbook of Global Value Chain. IDRC Press, 2000.

Kim, Key-Hyup. “Industrial Innovation in Korea.” Innovation Congress in Astana. Seoul: Advanced Institutes of Convergence Technology Seoul National University, 2014. 11.

Kim, Linsu. Imitation to Innovation: The Dynamics of Korea's Technological Learning. Boston: Harvard Business School Press, 1997.

Kim, Linsu. “Crisis Construction and Organizational Learning: Capability Building in Catching-up at Hyundai Motor.” Organization Science (INFORMS) 9 (July 1998): 506-521.

Kim, Myung Oak, dan Sam Jaffe. The New Korea: An Inside Look at South Korea's Economic Rise. New York: AMACOM, 2010.

Korea Herald. A Win-win Deal. 4 Desember 1998. www.koreaherald.com (diakses Februari 25, 2013).

193

Page 195: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

KOTRA. Korea's Auto Industry - Today and Tomorrow. Soeul: Korean Trade-Investment Promotion Agency, 2012.

Kuntjoro-Jakti, Heru Utomo. Ekonomi Politik Intrernasional di Asia Pasifik. Jakarta: Erlangga, 1995.

Kurniawan, Aris. Township and Village Enterprises dan Kebijakan Industrialisasi Kawasan Rural Untuk Meningkatkan Kapasitas Industri Lokal di China. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UGM, 2008.

Kwang-ho, Yu. The History of Modern Korean Economy. Seoul: Hanguk Chongsin Munhwa Yonguwon, 1987.

Kwon, Eung-Ho, dan Michael O'Donnell. The Chaebol and Labour in Korea: The Development of Management Strategy in Hyundai. London: Routledge, 2001.

Lall, Sanjaya. “Technological Capabilities and Industrialisation.” World Development 20, no. 2 (1992): 165-186.

Lansbury, D. Russel, Chung-Sok Suh, dan Seung-Ho Kwon. The Global Korean Motor Industry: The Hyundai Motor Company's Global Strategy. New York: Routledge, 2007.

Lee, Choong Y. “The Rise of Korean Automobile Industry: Analysis and Suggestions.” International Journal of Multidisciplinary Research 1, no. 6 (October 2011).

Lee, Dong-Ok, Keunchul Lee, Jae-Jin Kim, dan Gill-Chin Lim. “The Korean Automobile Industry: Challenges and Strategies in the Global Market.” Journal of International Marketing (American Marketing Association) 4, no. 4 (1996).

Lee, Won-Young, dan Teubal Morris. “The Role of Science and Technology Policy in Korea's Industrial Development.” Dalam Technology, Learning, and Innovation: Experiences of Newly Industrializing Economies, oleh Linsu

194

Page 196: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Kim dan Richard Nelson, 269-303. New York: Cambridge University Press, 2000.

Lee, Yeon-Ho. The State, Society and Big Business in South Korea. New York: Routledge, 1997.

Lynn, Hyun Gu. Internationalization of the Korean Automobile Industry: Some Strategic Planning. Department of International Trade and Business, Seoul: Hankuk University, 1991.

Mahlich, Jorg, dan Werner Pascha. Innovation and Technology in Korea: Challenges of a Newly Advanced Economy. Heidelberg: Physica-Verlag, 2007.

Mas'oed, Mochtar. Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

McDermott, Michael. South Korea's Motor Industry: New Global Pacemaker. London: EIU, 1996.

Mee Kim, Eun. Big Business Strong State: Collusion and Conflict in South Korean Development, 1960-1990. New York: SUNY Press, 1997.

Park, Bae-Gyoon. “Politics of Scale and the Globalization of the South Korean Automobile Industry.” Economic Geography (Clark University) 79, no. 2 (April 2003): 173-179.

Ravenhill, John. “From National Champions to Global Partnerships: The Korean Auto Industry, Financial Crisis and Globalization.” MIT Japan Program Working Paper 01.04 (Center for International Studies MIT), Juni 2001: 5.

Rhee, Jong-Chan. The State and Industry in South Korea: The Limits of the Authoritarian State. London: Routledge, 1994.

Samsung Economic Research Institute. Three Years After The IMF Bailout: A Review of The Korean Economy's Transformation Since 1998. Seoul: Samsung Economic Research Institute, 2001.

195

Page 197: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Sano, John R. “Foreign Capital and Investment in South Korea Development.” Asian Economies (ECONIS) 23 (Desember 1977): 41-61.

Shapiro, Matthew. “Public-Private R&D Collaboration in Korea - A Cross-Sector Survey of Incentive Structur.” Dalam Innovation and Technology in Korea: Challenges of a Newly Advanced Economy, oleh Jorg Mahlich dan Pascha Werner, 93-114. Heidelberg: Physica-Verlag, 2007.

Shim, Jae-Seung, dan Moosung Lee. The Korean Economic System: Governments, Big Business and Financial Institutions. Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2008.

Shin, Jang-Sup. “The East Asian Industrialization in the Gerschenkronian Mirror: Catching-up Strategies and Institutional Transition.” Department of Economics Working Paper No. 0208 (National University of Singapore), 2002: 19.

Song, Byung Nak. The Rise of the Korean Economy. New York: Oxford University Press, 1997.

Song, Hee Yoon. “Economic Miracles in Korea.” Dalam Economic in the Pacific Basin, oleh B Lawrence Krause dan Sueno Sekiguchi, 12. Washington DC: The Brooking Institution, 1980.

Steinberg, David. The Republic of Korea: Economic Transformation and Social Change. London: Westview Press Inc., 1989.

The Economist. Special Report: Car Industry. 2 September 2004. www.economist.com (diakses Desember 1, 2012).

The Economist. East Asian Economic Survey: Frozen Miracle. 7 Maret 1998. www.economist.com (diakses Desember 2, 2012).

United Nations Conference on Trade and Development. World Investment Report. New York: United Nations, 2001.

Weiss, Linda. The Myth of Powerless State. New York: Cornell University Press, 1998.

196

Page 198: Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi

Wibawanta, Budi. Otoriteranisme dan Pembangunan Ekonomi: Sukses Korea Selatan di Bawah Rezim Park Chung Hee 1962-1979. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UGM, 2002.

Winanti, Poppy S. “Developmental State dan Tantangan Globalisasi: Pengalaman Korea Selatan.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 7, no. 2 (Nopember 2003).

World Bank. Republic of Korea Overview. 2014. www.worldbank.org/en/country/ (diakses 4 Juni, 2014).

Yeung, Wai Chung, Henry. “The limits to Globalization Theory: A Geographic Perpective on Global Economic Change.” Economic Geography (Clark University) 78 (2002): 285-305.

Young-iob, Chung. “Chaebol Entrepreneurs in the Early Stage of Korean Economic Development.” The Journal of Modern Korean Studies 5 (Februari 1985): 14-28.

Yun, Joseph, Jin-Hyo. “The Development of Technological Capability and the Transformation of Inward FDI in Korea from 1962 to 2000.” Dalam Innovation and Technology in Korea, oleh Jorg Mahlich dan Werner Pascha, 33-54. Heidelberg: Physica-Verlag, 2007.

197