Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi
-
Upload
alfian-aal-eikman -
Category
Documents
-
view
42 -
download
2
Transcript of Peran Pemerintah, Chaebol Dan Jepang Dalam Proses Pembangunan Dan Industrialisasi
KEMAJUAN INDUSTRI OTOMOBIL KOREA SELATAN: PERAN NEGARA, CHAEBOL, SERTA JEPANG DALAM
PROSES PEMBANGUNAN DAN INDUSTRIALISASI
TESISDosen Pembimbing: Dr. Maharani Hapsari, MA.
Disusun Oleh:
Alfian Eikman11/326453/PSP/04298
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
2014
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan tentang proses pembangunan ekonomi merupakan salah satu hal
yang menarik untuk diperbincangkan, terutama menyangkut kegagalan atau
keberhasilan suatu negara. Salah satu negara yang berhasil menarik banyak minat
adalah Korea Selatan. Negara yang pernah menjadi salah satu yang termiskin di dunia
ini, mampu melakukan transformasi ke arah yang lebih baik berubah menjadi negara
yang lebih sejahtera. Seiring dengan perjalanan proses industrialisasinya, Korea
Selatan disebut sebagai negara industri baru atau masuk ke dalam kategori NIC1.
Bahkan saat ini, tidak sedikit anggapan yang menyatakan bahwa Korea Selatan telah
berhasil mencapai tahapan negara industri maju. Menurut data Bank Dunia, sejak
tahun 2010 Korea Selatan telah menjadi negara ekonomi terbesar kelima belas di
dunia dengan GNI2 per kapita sebesar US$ 22,670 (World Bank, 2014).
Atas prestasi keberhasilannya yang dikenal juga sebagai “the miracle on the
han river”, topik-topik mengenai proses pembangunan ekonomi khususnya proses
industrialisasi di Korea Selatan mendapat perhatian dari banyak kalangan. Berbagai
pandangan dari para peneliti dan akademisi telah mencoba untuk menjawab faktor-
faktor apa saja yang menentukan keberhasilan proses tersebut. Hal ini menandakan
bahwa pembangunan ekonomi dan industri di Korea Selatan yang mengiringi
1 Newly Industrialising Country.2 Gross National Income.
1
berjalannya transformasi negara tersebut dari negara berkembang menjadi negara
maju merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas.
Setelah pecahnya Korea pasca perang saudara, Korea Selatan mengalami
permasalahan ekonomi yang serius. Perbaikan ekonomi setelah perang tersebut
selama periode 1953-1961 berjalan sangat lambat dan sangat bergantung kepada
bantuan finansial dari Amerika Serikat (Harvie & Lee, 2003: 1). Pada masa itu
perhatian pemerintah lebih difokuskan kepada permasalahan politik untuk melakukan
rekonsiliasi pasca perang daripada masalah ekonomi. Pergantian kepemimpinan pada
pertengahan tahun 1961 membawa angin perubahan bagi arah pembangunan dan
perbaikan ekonomi di Korea Selatan.
Dimulai pada tahun 1962, pembangunan ekonomi berkesinambungan
dilakukan oleh Korea Selatan. Melalui program pembangungan lima tahun yang
merupakan katalisator transformasi perekonomiannya, pada tahun 1970an negara ini
telah mampu meraih status sebagai NIC. Dengan capaian tersebut, Korea Selatan
berhasil melewati Malaysia dan negara-negara Amerika Latin seperti Brasil,
Argentina, dan Meksiko yang sebelumnya diyakini akan muncul sebagai negara
industri baru (Song, 1980: 12) Dalam proses pembangunan tersebut lahir kebijakan-
kebijakan strategis seperti EOI3 dan HCI4, serta lembaga atau institusi penunjang
3 Export Oriented Industrialization.4 Heavy and Chemical Industries.
2
pembangunan seperti EPB5 dan KCIA6 yang merupakan faktor-faktor penting dalam
proses transformasi ekonomi di Korea Selatan.
Kebijakan HCI sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu faktor utama yang
membentuk karakteristik perekonomian Korea Selatan seperti sekarang. Dari
kebijakan tersebut, Korea Selatan yang pada awalnya merupakan negara agraris
berubah bentuk menjadi negara industri manufaktur. Kebijakan yang mengarahkan
pembangunan pada sektor industri berat ini akhirnya melahirkan industri-industri
unggulan seperti baja, kapal, semi konduktor, dan salah satunya yang akan mendapat
perhatian lebih dalam tulisan ini adalah industri otomobil.
Industri otomobil merupakan salah satu industri strategis yang memberikan
kontribusi cukup besar bagi proses perkembangan ekonomi global. Industri ini terkait
dengan berbagai industri lainnya, sehingga Peter Dicken (2011) menyebutnya sebagai
“the key manufacturing industry”. Industri ini mampu menyerap sekitar 8 juta orang
pekerja dalam proses produksi kendaraan. Jika ditambahkan dengan pekerja yang
terlibat dalam pemasaran, penjualan, dan servis, secara keseluruhan jumlah individu
yang dipekerjakan tidak kurang dari 20 juta orang (Dicken, 2011: 278).
Tidak hanya itu, industri otomobil mampu memproduksi sekitar 60 juta
kendaraan dalam setahun, menyumbang hampir separuh dari keseluruhan konsumsi
minyak dunia. Kemudian pembuatannya menggunakan sekitar setengah dari hasil
karet, 25 persen kaca, dan 15 persen produksi baja dunia setiap tahunnya (The
5 Economic Planning Board.6 Korean Central Intelligence Agency.
3
Economist, 2004). Sedangkan dalam lingkup domestik, menurut Korean Automobile
Manufacturers Association pada laporan tahunannya, industri otomobil berada pada
peringkat pertama dari segi penyerapan tenaga kerja, produksi, dan nilai tambah, jika
dibandingkan dengan industri manufaktur lainnya di Korea Selatan (KAMA, 2011:
6). Dikarenakan skala yang besar dan keterkaitannya dengan banyak industri lainnya
industri otomobil menjadi salah satu industri prioritas bagi banyak negara di dunia,
termasuk bagi Korea Selatan.
Dibawah kepemimpinan Park Chung-hee yang memiliki visi untuk
menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu pemimpin perekonomian dunia, industri
otomobil mulai dibangun. Ketika Park Chung-hee menjadi Presiden pada tahun 1963,
dia memutuskan bahwa negaranya akan menjadi salah satu produsen mobil di dunia
(Kim & Jaffe, 2010: 101). Park beranggapan bahwa kontribusi industri ini bagi
penyerapan tenaga kerja dan pembangunan ekonomi, mampu menjadi katalisator bagi
peningkatan status ekonomi Korea Selatan dalam mencapai visinya ke depan.
Industri otomobil Korea Selatan berawal dari industri reparasi kendaraan
selama dan setelah perang Korea ditandai dengan berdirinya pabrik perakitan
kendaraan pertama pada tahun 1955. Rencana Pembangunan Ekonomi Lima Tahun
dan kebijakan EOI yang ditetapkan oleh pemerintah pasca kepemimpinan Park
Chung-hee, mendorong industri ini untuk terus berkembang. Melalui kerjasama
teknik dan joint venture dengan perusahaan asing khususnya dari Jepang, beberapa
perusahaan perakitan mobil dalam negeri lahir. Beberapa diantaranya; Saenara Motor
Company yang bekerjasama dengan Nissan, Shinjin Motor Company dengan Toyota,
4
kemudian Kia Motor, Asia Motor, Hadonghwan Motor dan Hyundai Motor, yang
kemudian tumbuh dan berkembang menjadi konglomerasi bisnis Korea yang disebut
sebagai chaebol7.
Atas dasar keinginan yang kuat untuk mencapai kemajuan ekonomi
khususnya industrialisasi, pemerintahan era Park Chung-hee memberikan hampir
semua kemudahan bagi para pelaku industri termasuk otomobil dalam menjalankan
roda bisnisnya. Pemerintah kemudian membina dan membesarkan perusahaan-
perusahaan lokal seperti Hyundai, Kia, dan Daewoo. Mereka dan para pelaku industri
lainnya diberikan insentif oleh pemerintah berupa dukungan dana dalam bentuk
kredit dalam jumlah besar dan dikenakan pajak yang sangat rendah. Pada akhirnya,
para pelaku industri tersebut dapat menjadi motor penggerak roda perekonomian dan
menjadi pemain utama dalam proses industrialisasi di Korea Selatan termasuk
industri otomobil. Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah kemudian menjadi
faktor utama pembentuk karakter perekonomian Korea Selatan yang didominasi oleh
konglomerasi bisnis lokal atau chaebol.
Sebagai penunjang kegiatan industrialiasi, pemerintah membangun
infrastruktur yang memadai secara bertahap seperti pelabuhan, jaringan transportasi
dan lain sebagainya. Kemudian, pada tahun 1973 pemerintah mendirikan industri baja
7 Raksasa bisnis atau konglomerasi yang dibina oleh pemerintah yang kemudian menjadi penggerak roda perekonomian disana seperti Daewoo, Kia, dan Hyundai. Pola ini meniru struktur yang sudah ada di Jepang, yaitu zaibatsu yang terdiri dari Toyota, Mitsubishi, Honda dan lainnya.
5
POSCO8 yang disebut merupakan salah satu tulang punggung bagi perkembangan
industri di Korea Selatan. Dengan cara mengubah daerah Pohang di pesisir timur
Korea yang tadinya merupakan kawasan petani dan nelayan, POSCO kemudian
menjadi pemasok utama bahan baku bagi industri otomobil dan yang lainnya di
dalam negeri. Pasca berdirinya POSCO, proses industrialisasi di Korea Selatan
menjadi semakin terintegrasi dan kemudian hal ini mendorong industri otomobil serta
yang lainnya untuk terus maju.
Seiring dengan perkembangannya, pada tahun 1974 industri otomobil Korea
Selatan telah mampu menciptakan mobil sendiri. Kia Motor memproduksi mobil
pertama produk nasional negara tersebut yang diberi nama the Brisa. Kemudian
setahun setelahnya, Hyundai memperkenalkan mobil dengan sebutan Pony yang
kemudian lebih terkenal dan merupakan mobil domestik pertama yang diekspor ke
luar negeri (Kai-Sun, Leung-Chuen, Lui, & Qiu, 2001: 188). Dalam rentang waktu 5
tahun, industri otomobil Korea Selatan mengalami peningkatan produksi sebanyak 10
kali lipat dari tahun 1974 sampai dengan tahun 1979.
Kebijakan industrialisasi berorientasi ekspor yang ditetapkan oleh pemerintah
melalui EOI, jiga diyakini memberikan peran penting bagi perkembangan industri
otomobil Korea Selatan. Kebijakan ini direspon oleh pelaku industri dengan
melakukan penetrasi ke pasar luar negeri yang dilakukan pertama kali pada tahun
1977. Ekspor industri otomobil Korea Selatan pada saat itu sekitar 1,287 unit (Kai-
Sun, Leung-Chuen, Lui, & Qiu, 2001). Jika dilihat dari jumlahnya, memang angka
8 Pohang Iron and Steel Company.
6
tersebut terlihat kecil. Namun jika dilihat dari sisi yang lain, hal tersebut merupakan
titik awal keberhasilan bagi Korea Selatan dalam membangun industri otomobil yang
beriorientasi ekspor.
Dinamika ekonomi politik domestik dan internasional yang terjadi pada awal
1980-an membawa perubahan pada arah kebijakan Korea Selatan. Pemerintah
melakuan integrasi industri yang disebabkan oleh krisis minyak dunia dan turunnya
permintaan domestik. Hal ini juga memaksa industri otomobil untuk melakukan
efisiensi dan mengurangi kompetisi dalam negeri yang tidak perlu. Sehingga
pemerintah melakukan restrukturisasi dan reorientasi industri. Kebijakan ini
menyisakan tiga pemain utama dalam industri otomobil Korea Selatan yaitu,
Hyundai, Kia, dan Daewoo.
Kemudian, berdasarkan rekomendasi KIET9, selain melakukan restrukturisasi
dan reorientasi, industri otomobil Korea Selatan juga dianjurkan untuk melakukan
perluasan pasar. Menurut KIET, industri otomobil negara tersebut hanya bisa
bertahan jika melakukan ekspansi produksi ke tempat-tempat yang memiliki volume
yang cukup besar untuk menangkap skala ekonomi agar dapat menyerap kapasitas
produksi yang dimiliki oleh Korea Selatan. Merespon hal tersebut, beberapa tahun
kemudian Industri otomobil Korea Selatan berhasil menembus pasar Amerika.
Ekspor Hyundai ke sana pada tahun 1987 mencapai 346,582 unit. Tidak hanya itu,
Hyundai berhasil memecahkan rekor penjualan terbanyak mobil impor di Amerika
dalam setahun (Green, 1992: 411).
9 Korean Institute of Economics and Technology.
7
Kesuksesan Hyundai di pasar Amerika menjadikan industri otomobil Korea
Selatan sebagai eksportir mobil terbesar di antara negara-negara berkembang yang
sebelumnya sekitar tahun 1970-an didominasi oleh negara-negara Amerika Latin
seperti Brazil, Meksiko dan Argentina. Sejak saat itu industri otomobil Korea Selatan
terus mengalami perkembangan, angka produksi dan ekspor terus bertambah. Output
industri otomobil Korea Selatan meningkat sekitar 20 kali lipat dalam rentang waktu
1978 sampai 1993, dari 85,693 unit menjadi 2,040,000 unit (Chung, 1994, hal. 85).
Dapat dikatakan, kemampuan pemerintah dalam merespon dinamika ekonomi
politik yang terjadi secara domestik maupun internasional berperan dalam membawa
keberhasilan yang telah dicapai industri otomobil Korea Selatan. Kemampuan ini,
terutama yang berkaitan dengan dinamika internasional disebut oleh Linda Weiss
sebagai state capacity yaitu, kemampuan negara untuk merespon berbagai bentuk
tekanan eksternal terhadap ekonomi domestik melalui kebijakan-kebijakan baru yang
dapat mendorong perkembangan proses industrialisasi (Weiss, 1998: 4). Kemampuan
pemerintah merespon kenaikan harga minyak dunia dan turunnya permintaan dengan
melakukan integrasi melalui restrukturisasi dan reorientasi industri dapat dilihat telah
mendorong perkembangan proses industrialisasi otomobil dalam negeri.
Dinamika yang berbeda terjadi pada tahun 1997. Krisis ekonomi yang
melanda Asia pada saat itu membawa perubahan pada wajah industri otomobil Korea
Selatan. Pemerintah yang menerima bantuan dana dari IMF10 untuk mengatasi krisis,
dipaksa untuk mengadopsi kebijakan liberalisasi ekonomi atas rekomendasi lembaga
10 International Monetary Fund.
8
keuangan tersebut. Kebijakan liberalisasi yang dilakukan pemerintah Korea Selatan
dengan cara menarik diri dari campur tangan dalam perkenomian ini, menyebabkan
peran pemerintah dalam menjamin para pelaku industri tereliminalisir. Chaebol yang
pada masa-masa sebelumnya selalu mendapat back-up dari negara, harus menghadapi
krisis ini tanpa bantuan dari pemerintah.
Daewoo dan Kia yang mengalami kesulitan finansial akibat krisis harus
mencari pemecahan sendiri. Sehingga sebagai jalan keluar dari krisis, perusahaan
tersebut harus melakukan merger atau menjual diri. Hyundai mengakuisisi 51 persen
saham Kia, sedangkan Daewoo dibeli sebagian oleh General Motor. Sedangkan
Samsung Motor yang pada saat itu merupakan pemain baru dalam industri ini, juga
mengalami kesulitan akibat krisis dan melakukan merger dengan Renault.
Pasca krisis Asia, industri otomobil Korea Selatan secara meyakinkan terus
mengalami perkembangan. Pada tahun 2003 Hyundai berhasil menjadi salah satu
perusahaan otomobil yang berada dalam jajaran sepuluh besar dunia berdasarkan
tingkat produksi (Lihat Gambar 1). Kemudian pada tahun 2008, Kia Motor berhasil
menjadi perusahan otomobil yang memiliki jumlah produksi yang cukup besar dalam
hitungan skala global. Oleh karena itu, industri otomobil Korea Selatan dianggap
telah mampu bersaing dan berada sejajar dengan industri otomobil Jepang, Amerika,
dan Eropa. Perkembangan industri otomobil di kawasan Asia Timur terutama di
Korea Selatan dan Jepang ini, disebut oleh Peter Dicken (2011) sebagai the rise of
Japanese and Korean automobile manufacturers.
9
Gambar 1.Perusahaan Otomobil Dunia Berdasarkan Produksi
Sumber: Dicken (2011).
Berdasarkan Gambar 1 diatas, dapat dilihat bahwa perkembangan industri
otomobil Korea Selatan pasca krisis Asia mengalami kemajuan dimana Hyundai yang
pada tahun 1994 masih berada jauh dibawah Honda dan Nissan secara kuantitas
produksi, pada tahun 2003 Hyundai dapat melewati kapasitas produksi kedua
perusahaan otomobil asal Jepang tersebut. Sedangkan Kia Motor, pada tahun 2008
berhasil berada pada jajaran lima belas besar produsen otomobil dunia.
Pada tahun 2008 krisis terjadi lagi. Dunia dilanda krisis global, namun
industri otomobil Korea Selatan terus tumbuh dan berkembang meskipun
menghadapi sedikit rintangan. Hyundai terus mengalami peningkatan produksi dari
tahun 2009 sampai dengan 2011. Tercatat produksi mobil Hyundai pada tahun 2009
10
mencapai 1,606,879 unit, pada tahun 2010 berada di angka 1,743,375 unit, sedangkan
tahun 2012 produksinya menembus angka 1,892,254 unit.
Selain terus meningkatkan kuantitas produksi, industri otomobil Korea
Selatan juga melakukan peningkatan kualitas. Industri yang pada awalnya masuk
pasar Amerika sebagai mobil murah dengan kualitas rendah, melakukan transformasi
dan upgrading11 dengan masuk ke pasar mobil premium. Pada tahun 2009 Hyundai
genesis, mendapatkan penghargaan paling bergengsi bagi produsen mobil di pasar
Amerika yaitu, North American Car of The Year. Acuan yang digunakan dalam
penghargaan tersebut untuk menentukan siapa peraihnya adalah rekomendasi dari
para wartawan otomotif terkemuka di Amerika. Penghargaan tersebut merupakan
salah satu lambang keberhasilan industri otomobil Korea Selatan, dimana belum
pernah ada satupun mobil asal Korea yang berhasil memenangkan sebuah
penghargaan bergengsi sejak negara tersebut masuk ke pasar Amerika beberapa
dekade yang lalu.
B. Rumusan Permasalahan
Dengan berbagai macam dinamika ekonomi politik yang terjadi selama fase
pembangunan dan pengembangan industrialisasi di Korea Selatan, baik itu yang
bersifat domestik maupun internasional, saat ini industri otomobil Korea Selatan
11 Usaha untuk melakukan optimalisasi pembelajaran dan penciptaan nilai guna meningkatkan kapabilitas pelaku industri dengan tujuan agar dapat menciptakan produk yang lebih baik, lebih efisien, dan mampu melakukan aktivitas produksi yang lebih tinggi di dalam rantai produksi (Gereffi & Fernandez-Stark, 2011: 12).
11
mampu mempertahankan eksistensinya dan menjadi salah satu kekuatan utama di
kawasan Asia. Tidak hanya mengalami kemajuan yang signifikan, Korea Selatan
disebut telah mampu berada sejajar dengan industri-industri otomobil dari negara
maju seperti Jepang, Amerika, dan Eropa.
Keberhasilan proses industrialisasi di Korea Selatan sudah tentu memberikan
kontribusi yang besar bagi pembangunan ekonomi disana. Melalui pengembangan
industrialisasi, pemerintah Korea Selatan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya yang ditunjukan oleh angka GDP12 yang terus meningkat selama
proses pembangunan ekonomi disana. Tercatat dari tahun 1970 hingga sebelum krisis
Asia 1997, GDP Korea Selatan tumbuh rata-rata 8,4 persen per tahun (The
Economist, 1998). Korea Selatan telah berhasil melakukan transformasi dari yang
sebelumnya merupakan negara miskin menjadi negara dengan ekonomi terbesar
kelima belas di dunia.
Selama beberapa dekade terakhir industri otomobil Korea Selatan telah
mengalami perkembangan pesat, dari yang tadinya hanya merupakan industri kecil
dibawah kontrol pemerintah menjadi pemain penting di dalam pasar global (Lee,
2011: 428). Negara tersebut mampu menjadi salah satu yang bersinar di antara
negara-negara lainnya yang datang belakangan dalam pembangunan industri
otomobil. Keberhasilan Korea Selatan diantara negara-negara Amerika Latin seperti
Brazil, Meksiko, dan Argentina yang dalam waktu relatif bersamaan berangkat
sebagai negara berkembang di dalam industri otomobil, kemudian memunculkan
12 Gross Domestic Product.
12
pertanyaan mengenai keberhasilan itu sendiri. Bagaimana negara-negara yang pada
awalnya memiliki latar belakang sama, yaitu negara berkembang yang melakukan
proses industrialisasi dalam konteks pembangunan ekonomi ini, bermuara pada
tingkat kesukesan yang relatif jauh berbeda.
Keberhasilan Korea Selatan diantara negara-negara berkembang lainnya dan
capaian yang telah diraih, melahirkan pemikiran bahwa Korea Selatan telah dapat
disejajarkan dengan industri otomobil dari negara-negara ekonomi maju. Hal inilah
yang kemudian menjadi latar belakang munculnya pertanyaan penelitian di dalam
tulisan ini.
Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:
Mengapa industri otomobil Korea Selatan berhasil mencapai kemajuan
sehingga mampu melakukan transformasi, dari yang tadinya merupakan industri kecil
dibawah kontrol pemerintah, menjadi pemain penting di dalam pasar global, dan
bagaimana peran para aktor yang terlibat dalam proses pembangunan dan
industrialisasi disana, terhadap kemajuan yang telah dicapai?
C. Tinjauan Pustaka
Seperti yang telah disampaikan diawal, bahwa keberhasilan proses
industrialisasi dalam konteks pembangunan ekonomi di Korea Selatan yang mampu
memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat, telah mengundang
minat banyak kalangan untuk mengkaji lebih mendalam mengenai faktor penentu
13
keberhasilan proses tersebut. Berbagai pandangan memberikan argumentasinya
masing-masing mengenai keberhasilan yang telah dicapai oleh Korea Selatan.
Terdapat tiga pandangan tradisional dalam ilmu ekonomi politik internasional yang
telah mencoba untuk mengelaborasi faktor-faktor penentu keberhasilan industri dan
ekonomi di Korea Selatan.
Ketiga sudut pandang tersebut adalah perspektif neoklasik atau liberal,
developmental state, dan perspektif dependensi. Perspektif liberal menitikberatkan
pada peran pasar sebagai mekanisme utama dalam pengalokasian sumber daya.
Perspektif developmental state mengedepankan peran negara dalam proses tersebut.
Sedangkan perspektif dependensi, menitikberatkan pada struktur internasional yang
tercipta dari interaksi sosial masyarakat internasional yang menyebabkan
ketergantungan dalam proses pembangunan industri dan ekonomi.
Menurut pemikiran neoklasik atau liberal, pasar memegang peranan penting
dalam keberhasilan perekonomian dan industri, yang dalam konteks Korea Selatan
dapat dilihat dengan kebijakan pemerintah yang berorientasi ekspor. Korea Selatan
pada masa pemerintahan Park Chung-hee menerapkan sistem kebijakan industri yang
berorientasi ekspor dalam proses pembangunan ekonomi di negara tersebut.
Kebijakan pemerintah berupa industri berorientasi pada penjualan luar negeri ini,
dapat diartikan sebagai kebijakan yang outward looking.
Bella Balassa dalam tulisannya Outward versus Inward Orientation Once dan
Korea’s Development Strategy, melihat bagaimana kebijakan outward looking
menjadi faktor penentu yang membawa Korea Selatan keluar menjadi negara dengan
14
capaian industri dan perekonomian yang jauh lebih baik daripada negara-negara di
Amerika Selatan dan negara lainnya yang pada saat bersamaan menempuh kebijakan
Import Substitution Industry. Strategi outward looking yang diterapkan di Korea
selatan menjadikan perekonomian dan industri disana menjadi semakin terintegrasi
dengan pasar yang merupakan kunci keberhasilan ekonomi menurut pandangan
liberal (Balassa, 1983: Balassa, 1990).
Berdasarkan argumen perspektif neoklasik, strategi outward looking yang
diterapkan melalui kebijakan industri berorientasi ekspor membuka peluang bagi
Korea Selatan untuk memanfaatkan pasar yang tersedia diluar sehingga dapat
memperbesar skala ekonomi, mengembangkan atau membangun teknologi baru, dan
menambah kapabilitas sosial. Selain itu, EOI juga akan meningkatkan jumlah ekspor
dengan memaksimalkan potensi sumber daya dan teknologi berdasarkan comparative
advantage yang dimiliki oleh Korea Selatan.
Kebijakan outward looking berupa industri berorientasi ekspor menghasilkan
industri-industri yang efisien dan pada akhirnya mampu bersaing secara internasional
dan global, sehingga kemudian industri di Korea Selatan dapat memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi. Selain itu, pandangan
liberal juga melihat bahwa dalam menjamin keberhasilan perekonomian, peran
terbesar harus dialamatkan kepada swasta atau privat, sehingga Industri yang
dijalankan oleh Chaebol di Korea Selatan memberikan dukungan terhadap argumen
neoklasik atau liberal mengenai penjelasan tentang keberhasilan industri dan
pembangunan ekonomi di Korea Selatan
15
Kemudian perspektif yang lain melihat, keberhasilan industri dan
pembangunan ekonomi di Korea Selatan bukan hanya terkait dengan kebijakan pasar
semata, yang diimplemestasikan melalui kebijakan outward looking atau industri
berorientasi ekspor, seperti yang dijelaskan oleh perspektif neoklasik atau liberal.
Menurut perspektif developmental state yang digambarkan oleh Alice H. Amsden
dalam tulisannya Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialization.
Keberhasilan industri dan pembangunan ekonomi di Korean Selatan disebabkan oleh
peran Pemerintah dalam menerapkan kebijakan dan aturan yang terintegrasi untuk
mendukung kemajuan proses industrialisasi, dalam bentuk dukungan dana yang besar
kepada industri, mengarahkan fokus kegiatan ekonomi dan industri, serta melakukan
intervensi terhadap mekanisme pasar (Amsden, 1989). Pemerintah dengan kapasitas
keuangan yang dimiliki dapat mengalokasikan dana yang besar untuk kemajuan
industri dan mendukung pelaku usaha lokal dalam hal permodalan sehingga dapat
mengembangkan usahanya. Dalam mendukung perkembangan industri, Korea
Selatan membentuk lembaga finansial dibawah kendali pemerintah untuk menjamin
akses terhadap modal bagi para pengusaha.
Selain itu, pemerintah juga dapat mengarahkan tujuan industrialisasi sehingga
pihak-pihak yang terlibat dalam industrialisasi dapat melaksanakan program sesuai
dengan sasaran dan fokus kepada tujuan yang telah ditetapkan, serta terjadi sinergi
dalam proses kegiatan industri sehingga kemajuan yang ingin dicapai dapat
terealisasi. Lembaga-lembaga seperti EPB dan KCIA dibentuk oleh pemerintah untuk
16
melakukan koordinasi dan kooperasi dalam menjalankan program pembangunan
ekonomi dan industri di Korea Selatan.
Pemerintah juga dapat melakukan intervensi terhadap mekanisme pasar dalam
konteks melindungi industri lokal dari persaingan langsung dengan kompetitor luar
yang lebih maju. Pada awal kemunculan industri otomobil di Korea Selatan,
Pemerintah menerapkan kebijakan larangan impor mobil dalam bentuk jadi dari luar
negeri. Akan tetapi pemerintah kemudian memperbolehkan impor suku cadang
kendaraan yang bertujuan untuk meningkatkan minat pelaku industri otomobil yang
merupakan industri perakitan untuk terus mengembangkan diri.
Pandangan developmental state berpendapat bahwa keberhasilan
pembangunan ekonomi dan industri di Korea Selatan tercipta karena efektifitas dari
institusi nasional dan kebijakan negara yang mendukung proses kemajuan tersebut.
Pada masa pemerintahan Park Chung-hee dan Chun Doo-hwan yang merupakan
masa-masa awal Korea Selatan membangun perekonomian dan industrinya, peran
pemerintah dalam kegiatan ekonomi dan indutri sangatlah sentral. Sehingga
kemudian, hal ini dianggap sebagai penentu keberhasilan proses pembangunan
ekonomi dan kemajuan industri di Korea Selatan.
Perspektif lainnya yang melihat tentang keberhasilan industri dan
pembangunan ekonomi di Korea Selatan datang dari perspektif dependensi.
Perspektif ini berangkat dari metodologi strukturalis yang melihat keberhasilan Korea
Selatan dalam kemajuan industri dan pembangunan ekonomi disebabkan oleh faktor
ketergantungan Korea Selatan terhadap teknologi dan kapital serta perdagangan luar
17
negeri yang disupport oleh Jepang. Robert Castley dalam tulisannya Korea’s
Economic Miracle: The Crucial Role of Japan, melihat bahwa Jepang memegang
peranan penting dalam proses kemajuan industri dan pembangunan ekonomi di Korea
Selatan. Transfer teknologi dari Jepang sangat berperan dalam membantu kemajuan
industri di Korea Selatan. Bentuk-bentuk transfer teknologi dilakukan melalui
berbagai program kerjasama antara lain seperti joint venture dan lisensi teknologi
(Castley, 1997).
Struktur internasional yang terbentuk dari interaksi sosial dan ekonomi
membentuk suatu pengelompo`kan yang terdiri dari negara maju dan negara
berkembang yang biasa disebut sebagai negara core dan periphery. Negara maju
digambarkan sebagai negara yang mengusai modal, faktor-faktor produksi, dan
penghasil barang-barang industri, sedangkan negara berkembang merupakan
penghasil kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan-bahan mentah untuk
kepentingan industri.
Pada masa awal berdirinya industri di Korea Selatan, struktur internasional
menempatkan Jepang sebagai negara maju dan tentu saja Korea Selatan sebagai
negara berkembang di dalam kawasan regional Asia (Timur). Sebagai negara
berkembang yang baru saja memulai proses industrialisasi, Korea Selatan memiliki
banyak keterbatasan dalam hal modal dan teknologi. Untuk mengembangkan industri
dalam negeri, sebagai negara berkembang, Korea Selatan bergantung kepada modal
dan teknologi yang dimiliki oleh negara maju, dalam hal ini Jepang. Sehingga
kemudian dilakukan kerjasama ekonomi antara kedua negara dalam proses
18
industrialisasi. Ketergantungan dan proses kerjasama tersebut menggambarkan peran
Jepang dalam perkembangan dan kemajuan industri di Korea Selatan.
Ketika pertama kali membangun pabrik baja, Korea Selatan sama sekali tidak
memiliki kemampuan dan pengalaman, sehingga hal ini dianggap oleh banyak
kalangan sebagai proyek ambisius pemerintahan saat itu. Pembangunan pabrik baja
yang diberi nama POSCO ini dilakukan dengan cara belajar dari Jepang dan
mendatangkan tenaga ahli dari sana, yang pada saat itu diakui sebagai salah satu
penghasil baja terbaik di dunia. Sedangkan dalam membangun industri otomobil,
pada awalnya perusahaan otomobil Korea Selatan melakukan pekerjaan perakitan
dari pabrikan utama Jepang dan Amerika. Kerjasama yang dilakukan pada saat itu
melibatkan Hyundai yang merupakan subkontrak dari Ford dan Daewoo yang
merupakan subkontrak dari Mitsubishi.
Dari literatur-literatur sebelumnya yang telah dijabarkan diatas, dapat dilihat
bahwa mekanisme pasar, peran negara, dan ketergantungan terhadap modal dan
teknologi yang menghasilkan kerjasama internasional, merupakan faktor-faktor yang
menjadi kunci keberhasilan pembangunan ekonomi dan perkembangan industri di
Korea Selatan. Kemudian konsep-konsep yang menjelaskan tentang keberhasilan
pembangunan ekonomi dan perkembangan industri di Korea Selatan dalam literatur
tersebut akan menjadi pijakan bagi tulisan ini untuk melihat dan menjelaskan
kemajuan industri otomobil Korea Selatan, terlebih lagi dalam melihat transformasi
yang dilakukan dalam proses pembangunan dan industrialisasi melalui fase-fase atau
19
tahapan yang dipengaruhi oleh dinamika ekonomi politik baik itu dalam tataran
domestik maupun internasional.
Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mengenai kemajuan industri
otomobil di Korea Selatan dengan menggunakan konsep Economic Backwardness,
dan konsep-konsep di dalam teori GVC13 serta menjadikan literatur-literatur terdahulu
yang telah dipaparkan diatas sebagai acuan. Lalu kemudian. melihat relevansi
konsep-konsep yanga ada di dalam literatur tersebut untuk digunakan dalam
membantu menjelaskan permasalahan yang akan dibahas pada bagian-bagian
berikutnya pada tulisan ini.
D. Kerangka Pemikiran
Dilihat dari kacamata ekonomi politik internasional, keberhasilan
pembangunan ekonomi dan industri (otomobil) yang terjadi di Korea Selatan
berdasarkan tinjauan literatur yang telah dipaparkan sebelumnya adalah produk dari
interaksi antara negara dengan pasar. Dalam ranah ekonomi politik internasional ada
beberapa perspektif yang berkembang dan dapat digunakan untuk melihat bagaimana
interaksi antara negara dengan pasar, seperti merkantilis, liberal, radikal (marxis), dan
reformis (Mas'oed, 2003).
Jika melihat konektivitas antara konsep yang terdapat dalam tinjauan literatur
dengan perspektif ekonomi politik internasional, konsep developmental state
merupakan bentuk lain dari merkantilisme, outward looking sudah tentu mengacu
13 Global Value Chain.
20
pada liberalisme. Sedangkan dependensi dari segi struktur internasional yang
terbentuk mengacu kepada pandangan radikal atau marxis, akan tetapi pemanfaatan
struktur internasional untuk kemajuan ekonomi dan perkembangan industri di Korea
Selatan dapat dikatakan lebih mengacu kepada perspektif reformis.
Konsep-konsep diatas biasa disebut sebagai pendekatan tradisional, yang telah
lazim digunakan sebagai konsep dasar untuk memahami fenomena ekonomi politik
internasional yang terjadi. Demikian halnya ketika menjelaskan tentang keberhasilan
atau kegagalan suatu negara dalam melakukan proses pembangunan ekonomi. Setiap
pendekatan yang berbeda ketika melihat suatu fenomena ini, memiliki argumennya
masing-masing untuk menjelaskan keberhasilan atau kegagalan tersebut. Berkaitan
dengan konteks Korea Selatan, cara pandang dari pendekatan tradisional tersebut
telah dijelaskan sebelumnya pada bagian tinjauan pustaka.
Kemajuan ekonomi dan industri yang telah dicapai oleh Korea Selatan
merupakan hasil dari sebuah proses panjang yang berjalan selama beberapa dekade.
Untuk mencapai apa yang telah diraih oleh Korea Selatan saat ini, negara tersebut
telah menapaki berbagai tahapan dan dinamika yang terjadi di dalam proses
pembangunan. Dalam menjelaskan proses yang panjang tersebut, ketiga pendekatan
tradisional yang lazim digunakan tersebut berkontribusi dengan memberikan
pemahaman yang relevan dengan masing-masing konsep. Akan tetapi, konsep-konsep
yang terdapat pada pendekatan tradisional juga memiliki keterbatasan dalam
menjelaskan keberhasilan Korea Selatan (Shim & Lee, 2008: 2).
21
Pendekatan neoklasik yang menekankan peran pasar dalam keberhasilan
pembangunan ekonomi dan industri di Korea Selatan, cenderung mengabaikan peran
pemerintah dalam menentukan arah kebijakan pembangunan disana. Sebagai suatu
proses yang menyeluruh, terdapat satu fase di dalam periode pembangunan ekonomi
dan industri di Korea Selatan yang berlangsung dibawah pemerintahan yang sangat
otoriter seperti pada masa kepemimpinan Chun Doo-hwan dan Park Chung-hee.
Sejarah menunjukan bahwa dibawah kepemimpinan yang otoriter, peran pemerintah
dalam perekonomian relatif besar bahkan tidak jarang pemerintah menjadi aktor
dominan dalam proses pembangunan.
Sebaliknya, terdapat suatu fase dalam tahapan pembangunan ekonomi di
Korea Selatan yang menunjukan absennya peran pemerintah. Ketika terjadi krisis
Asia pada tahun 1997, pemerintah Korea Selatan dipaksa untuk mengadopsi
kebijakan yang dianjurkan oleh IMF. Deregulasi kebijakan pemerintah yang
mengarah kepada liberalisasi ini, dilakukan sebagai kompensasi atas dana bantuan
penanggulangan krisis yang dipinjamkan oleh lembaga keuangan tersebut. Pada saat
itu pemerintah Korea Selatan benar-benar menarik diri dari perekonomian. Dukungan
dana dan kemudahan pinjaman yang selalu diberikan kepada pelaku usaha pada
masa-masa sebelumnya, akhirnya dihentikan. Keadaan ini, mengakibatkan para
pelaku usaha kesulitan, tak terkecuali pengusaha yang bergerak di sektor industri
otomobil. Daewoo salah satu chaebol yang merupakan pelaku utama dalam industri
tersebut, mengalami kebangkrutan sehingga harus menjual sahamnya kepada
perusahaan luar negeri.
22
Dengan berkurangnya peran pemerintah dalam proses perekonomian, negara
ini berhasil keluar dari krisis Asia 1997. Selain membawa Korea Selatan keluar dari
krisis ekonomi, deregulasi anjuran IMF itu juga mampu meningkatkan angka
pertumbuhan ekonomi negara tersebut setelah keluar dari krisis. Jika melihat fase ini,
dapat dikatakan bahwa pendekatan developmental state kurang relevan dalam
menjelaskan keberhasilan tersebut, mengingat konsep ini menekankan peran sentral
pemerintah dalam perekonomian. Hal ini menunjukan keterbatasan pendekatan-
pendekatan tersebut dalam menjelaskan kemajuan ekonomi dan industri di Korea
Selatan secara menyeluruh.
Secara umum pendekatan neoklasik dan developmental state memiliki
kesamaan yaitu fokus kepada faktor internal. Kedua pendekatan ini melihat seberapa
besar atau jauh suatu pemerintahan dalam mengadopsi prinsip-prinsip pasar.
Perbedaannya adalah salah satu melihat perlunya peran pemerintah yang sentral,
sedangkan yang lainnya melihat sebaliknya, bahwa peran pemerintah justru akan
mendistorsi mekanisme pasar. Dengan fokus kepada permasalahan internal, kedua
pendekatan ini cenderung mengabaikan faktor eksternal dalam melihat keberhasilan
Korea Selatan. Para pendukung ide dependensi seperti Robert Castley (1997),
beranggapan bahwa sukses Korea Selatan ditentukan oleh faktor-faktor eksternal
seperti modal asing dan teknologi dari luar. Ketika meletakan porsi yang sangat besar
pada faktor eksternal, pendekatan dependensi memberikan perhatian sangat kecil
pada faktor internal dalam melihat keberhasilan Korea.
23
Keterbatasan pendekatan tradisional dalam memahami faktor penentu
kemajuan Korea Selatan secara meyeluruh, terletak pada cara pandang masing-
masing konsep ini yang relatif statis. Pendekatan developmental state menekankan
peran dominan pemerintah dari awal hingga akhir, sedangkan pendekatan neoklasik
percaya bahwa proses panjang dari keberhasilan Korea Selatan terjadi karena
pemerintah yang melepaskan proses tersebut kepada mekanisme pasar dan industri
berorientasi ekspor. Pada kenyataanya, proses pembangunan ekonomi dan industri di
Korea Selatan berjalan sangat dinamis. Proses industrialisasi yang diawali oleh
pemerintahan otoriter, kemudian bergerak ke arah pemerintahan demokratis, lalu
cenderung liberal setelah krisis Asia, menggambarkan proses ekonomi politik yang
dinamis di Korea Selatan.
Terlepas dari keterbatasan pendekatan tradisional dalam menjawab pertanyaan
yang berkaitan dengan keberhasilan Korea Selatan, pandangan tersebut telah
memberi kontribusi besar sebagai pijakan atau acuan dasar untuk menjelaskan
fenomena-fenomena dalam kajian studi ekonomi politik internasional. Untuk
memahami keberhasilan pembangunan ekonomi dan industri, khususnya industri
otomobil di Korea Selatan secara menyeluruh, perlu pengkajian yang lebih
komprehensif dengan melihat relevansi antara realita empiris dengan konsep-konsep
yang relevan, dan menggunakan pendekatan tradisional sebagai acuan. Kemudian,
tulisan ini akan mencoba untuk mengelaborasi dan mengidentifikasi proses panjang
tersebut berdasarkan konsep yang ada, sehingga diharapkan mampu menjelaskan
24
dinamika yang terjadi di dalamnya dan menjelaskan keberhasilan Korea Selatan
secara komprehensif.
Sebagai negara yang datang belakangan dalam proses industrialisasi, dapat
dikatakan Korea Selatan telah mampu berdiri sejajar dengan negara-negara yang telah
datang sebelumnya, seperti Jepang, Negara-negara di Eropa, dan Amerika.
Menjelaskan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba melihatnya dengan menggunakan
konsep economics backwardness yang dikemukakan oleh Alexander Gerschenkron
(1962). Korea Selatan, seperti yang dijelaskan sebelumnya adalah negara yang datang
belakangan dalam proses industrialisasi dapat disebut sebagai latecomer. Kemudian,
negara tersebut melakukan sesuatu yang dikenal sebagai proses catching-up agar
mampu berada sejajar dengan negara-negara yang telah lebih dahulu berhasil dalam
proses industrialiasi.
Salah satu argumen yang dikemukakan oleh Gerschenkron di dalam konsep
economic backwardness mengenai latecomer adalah, semakin belakangan suatu
negara melakukan industrialisasi maka semakin besar intervensi pemerintah yang
diperlukan (Gerschenkron, 1962). Intervensi pemerintah diperlukan karena semakin
belakangan suatu negara melakukan kegiatan industri maka kompetitor yang dihadapi
juga semakin besar jumlahnya, artinya persaingan yang terjadi semakin ketat.
Sehingga modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk dapat bersaing dengan
kompetitor-kompetitor dari luar tersebut juga semakin tinggi.
Dalam melakukan proses catching-up, pemerintah merupakan institusi yang
dapat memenuhi kebutuhan industri akan kapital dengan jumlah besar dan
25
menyediakan teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan proses
industrialisasi. Penyediaan dan pengembangan teknologi guna menghasilkan inovasi
yang dibutuhkan untuk menopang proses kegiatan industrialisasi membutuhkan
lembaga research and development yang sudah tentu memerlukan alokasi dana dalam
jumlah yang sangat besar. Argumen Gerschenkron ini, dalam konteks intervensi
negara terhadap proses kegiatan industrialisasi juga sejalan dengan preskripsi
pandangan merkantilis dalam kacamata ekonomi politik internasional dimana negara
lemah harus intervensi pasar demi melindungi ekonomi domestik dari dominasi asing
(Mas'oed, 2003: 36)
Untuk melihat sejauh mana intervensi pemerintah suatu negara dalam proses
industrialisasi, kita dapat mengacu pada realitas empirik yang terjadi berdasarkan
fakta sejarah. Dalam proses industrialisasi yang terjadi di antara negara-negara di
dunia, dapat diidentifikasi bahwa pemerintah Jepang jauh lebih intens melakukan
intervensi terhadap industrinya dibandingkan pemerintah Amerika dan Inggris.
Secara sederhana saja dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena diantara ketiga
negara tersebut, Jepang merupakan negara yang datang paling belakangan dalam
proses industrialisasi. Sehingga untuk bersaing dengan Amerika dan Inggris yang
telah lebih dahulu melakukan proses industrialisasi, Jepang memerlukan peran
pemerintah yang lebih besar.
Jika dilihat dari prosesnya, tahapan negara-negara di dunia dalam melakukan
industrialiasi dapat dibagi menjadi empat periode. Inggris termasuk ke dalam periode
pertama melakukan industrialisasi. Ketika itu intervensi dari pemerintah sangat
26
minim karena kompetitor dari luar juga tidak banyak. Kemudian Amerika dan Jerman
merupakan dua negara yang termasuk ke dalam periode kedua dalam melakukan
industrialisasi sehingga intervensi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
industrinya dapat dikategorikan sebagai medium atau sedang. Jepang merupakan
salah satu negara yang masuk ke dalam periode ketiga dalam tahapan industrialisasi
negara di dunia, peran pemerintah dalam tahapan ini dikategorikan high atau tinggi.
Yang terakhir adalah negara-negara berkembang dan Korea Selatan termasuk
didalamnya, merupakan negara-negara yang masuk ke dalam periode keempat, dan
dalam periode ini intervensi pemerintah dikategorikan very high atau sangat tinggi.
Dari tahapan-tahapan tersebut dapat diasumsikan bahwa peran pemerintah dalam
kemajuan industri otomobil Korea Selatan sangat tinggi agar dapat bersaing dengan
negara-negara lain yang telah lebih dulu berada di dalam industri tersebut.
Uraian berdasarkan konsep Gerschenkron tersebut diatas, memberikan
gambaran lebih jauh bahwa perdebatan yang kemudian muncul bukan hanya terletak
pada harus atau tidaknya intervensi pemerintah, bukan juga perlu atau tidaknya
campur tangan pemerintah dalam pembangunan. Akan tetapi, yang terpenting adalah
bagaimana intervensi yang dilakukan oleh pemerintah harus tepat dan sesuai, karena
negara yang datang belakangan dalam proses industrialisasi memang harus
melakukan intervensi untuk dapat bersaing didalam pasar global. Sehingga, diskusi
selanjutnya bukan lagi hanya mengenai perlu atau tidaknya peran pemerintah dalam
proses pembangunan, akan tetapi bergerak menuju diskusi tentang bagaimana suatu
negara memilih strategi yang tepat dalam menjalankan proses pembangunan itu
27
sendiri. Hal ini terkait dengan pilihan kebijakan atau policy choice yang diambil oleh
pemerintah. Pilihan kebijakan yang tepat sudah tentu akan memberikan kemajuan
dalam proses industrialisasi dan pembangunan ekonomi di dalam sebuah negara.
Dalam menentukan pilihan kebijakan yang tepat dalam proses industrialisasi
dan pembangunan, diperlukan sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha. Sinergi
antara kedua aktor penting dalam proses pembangunan industri ini terdapat di dalam
pembahasan konsep Global Value Chain. Konsep ini menekankan pada perlunya
sinergi antara pemerintah dan sektor swasta dengan tujuan agar potensi industri lokal
dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan value added agar
produksi yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif di tingkat domestik maupun
global. Terdapat empat bentuk sinergi, yaitu (Kaplinsky & Morris, 2000): disciplined
support, public risk absorption, private sector governance, serta aliansi inovasi
pemerintah dan bisnis.
Melalui discipline support, pemerintah memberikan kemudahan akses bagi
kelompok bisnis dengan menerapkan sistem monitoring agar kemudahan yang
diberikan dapat dimanfaatkan dengan optimal. Public risk absorption, berupa peran
pemerintah didalam membantu pendirian industri baru, dukungan dalam bentuk dana
investasi awal dan penyediaan modal. Kemudian private sector governance, suatu
kondisi berupa adanya hubungan yang positif antara kelompok bisnis dengan
pemerintah, dimana pemerintah berperan dalam memberikan akses mengenai
informasi pasar, sebaliknya kelompok bisnis memberikan input inisiasi dan alternatif
kebijakan bagi pemerintah. Sedangkan aliansi inovasi pemerintah dan bisnis
28
merupakan bentuk sinergi berupa upaya kerjasama pemerintah dengan kelompok
bisnis untuk mengembangkan research and development melalui pembentukan
tempat-tempat riset.
Sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha dalam konteks proses
industrialisasi di Korea Selatan, dapat diidentifikasi dengan melihat hubungan antara
pemerintah dengan chaebol. Kedua aktor penting dalam proses pembangunan industri
tersebut mengalami pola hubungan yang gradual. Hal ini merupakan cerminan dari
sistem pemerintahan yang berjalan di Korea Selatan selama beberapa dekade. Seperti
yang dikemukakan oleh Alice H. Amsden (1989) bahwa, pada awal 1960-an pada
masa pemerintahan otoriter di Korea, pola hubungan antara pemerintah dengan
chaebol membentuk pola vertikal atau hierarki yang didominasi oleh pemerintah.
Seiring dengan tahapan industrialisasi selama periode pembangunan ekonomi di
Korea Selatan, hubungan antara pemerintah dengan chaebol berubah secara gradual
menjadi saling melengkapi kemudian kompetitif (Shim & Lee, 2008: 62).
Penjelasan Alice H. Amsden (1989) mengenai pola hubungan antara
pemerintah dengan chaebol yang hierarkis pada periode awal proses pembangunan
industri di Korea Selatan, sejalan dengan argumentasi Alexander Gerschenkron
(1962) yang telah dijelaskan sebelumnya, dimana pada fase awal industrialisasi peran
pemerintah adalah suatu keharusan. Sinergi antara pemerintah dengan chaebol
kemudian menghasilkan output pilihan kebijakan yang tepat dalam menjalankan
proses industrialisasi. Pentingnya sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha
dalam proses catching-up yang dilakukan Korea Selatan sebagai latecomer dalam
29
pembangunan industri, diperkuat oleh pemikiran yang dikemukakan oleh Jang-Sup
Shin (2002). Melalui tulisannya, Shin berpendapat bahwa pilar dasar dalam proses
catching-up yang dilakukan oleh Korea Selatan adalah nexus antara pemerintah
dengan chaebol (Shin, 2002: 19).
Sinergi antara pemeritah dengan para pelaku industri dan pola hubungan yang
terjadi diantara keduanya membentuk sekaligus merepresentasikan formasi state
capacity yang terjadi di Korea Selatan. State capacity yang dimaksud merujuk kepada
kemampuan pembuat kebijakan dalam melakukan penyesuaian terhadap strategi
domestik dengan cara bekerja sama dengan para pelaku industri yang bertujuan untuk
melakukan transformasi dan upgrading guna mencapai kemajuan industri (Weiss,
1998: 7). Kemampuan dalam melakukan penyesuaian atau memberikan respon
terhadap dinamika ekonomi melalui kerjasama dengan chaebol merupakan salah satu
faktor penentu keberhasilan proses industrialisasi di Korea Selatan.
Pembangunan ekonomi melalui industri manufaktur yang dilakukan oleh
Korea Selatan digagas pertama kali oleh pemerintahan Park Chung-hee yang
berkuasa sejak tahun 1962 hingga 1979. Salah satu terobosan penting yang diterapkan
oleh pemerintahan yang juga merupakan bagaian dari state capacity adalah penerapan
kebijakan HCI. Untuk mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi, pemerintah
mendukung para pelaku industri untuk melakukan investasi pada sektor-sektor
strategis sehingga Korea Selatan bergerak dari negara yang menjalankan industri
ringan menuju negara yang menjalankan industri berat dan strategis.
30
Dalam bentuk public risk absorption, pemerintah memberikan jaminan modal
melalui berbagai bentuk kemudahan meminjam dari bank untuk mendorong
pengusaha dalam melakukan bisnis yang berbasis ekspor. Ketersediaan modal
memudahkan para pelaku industri untuk melakukan ekspansi industri, sehingga lahir
raksasa-raksasa bisnis yaitu chaebol yang memiliki peran penting dalam
pembangunan ekonomi di Korea Selatan.
Kemudian dalam bentuk discipline support, pemerintah memberikan
kemudahan untuk mendapatkan lisensi dalam kegiatan industri, sehingga kegiatan
industri tumbuh pesat dan banyak pelaku industri bermunculan. Sebagai hasilnya,
Korea Selatan menjadi negara berkembang yang memiliki tingkat pertumbuhan
pelaku industri terbesar diantara negara-negara berkembang lainnya di dunia pada
periode tersebut.
Selain itu, masih pada masa pemerintahan Park Chung-hee, dibangun lembaga
koordinasi perdagangan EPB yang merupakan lembaga koordinasi pembangunan
yang bertujuan untuk melakukan koordinasi dalam proses pembangnunan dan
industrialisasi dengan semua pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha.
Pendirian EPB, dapat dilihat sebagai sinergi antara pemerintah dengan chaebol dalam
bentuk private sector governance.
Sementara aliansi inovasi antara pemerintah dengan pelaku usaha di Korea
Selatan, dilakukan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan investasi pada
kegiatan R&D di universitas agar menghasilkan peneliti yang kreatif (Yun, 2007: 42).
Kemudian, pelaku usaha melakukan kerjasama R&D dengan universitas yang
31
dimaksud untuk menghasilkan inovasi dalam rangka mengembangkan usaha mereka.
Pemerintah juga menjadi sponsor bagi program pengembangan R&D nasional.
Dengan menjadi sponsor, pemerintah berusaha membangun sistem inovasi nasional
yang dikemudikan oleh sektor swasta.
Selain menekankan perlunya sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha,
konsep GVC juga melihat penyebaran pengetahuan dan inovasi sebagai sesuatu yang
penting dalam proses pembangunan ekonomi. Proposisi mengenai hal ini
dikemukakan oleh Dieter Ernst (2000) dalam konsep NIS14. Menurutnya, inovasi
merupakan faktor krusial untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat, dan ini merupakan proses interaktif yang melekat secara sosial (Ernst,
2000: 2). National Innovation Systems itu sendiri dipahami sebagai upaya untuk
menganalisa faktor yang menentukan proses belajar, pengembangan pengetahuan,
dan inovasi secara institusional (Ernst, 2000: 2).
Proses belajar, pengembangan pengetahuan, dan inovasi yang digambarkan
dalam konsep NIS oleh Dietr Ernst memerlukan sumber yang menyediakan informasi
untuk mengembangkan ketiga hal tersebut. Sebagai negara berkembang, Korea
Selatan tidak memiliki sumber untuk melakukan proses belajar, pengembangan
pengetahuan, dan inovasi yang bisa dieksplorasi dari dalam. Jepang sebagai negara
maju yang telah lebih dulu mengembangkan proses tersebut bisa dijadikan tumpuan
bagi negara berkembang untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Oleh sebab
itu, dengan menggunakan konsep NIS, tulisan ini akan melihat peran penting Jepang
14 National Innovation Systems.
32
dalam menyediakan sumber informasi yang digunakan oleh Korea Selatan dalam
proses pengembangan industrialisasi dan pembangunan ekonomi.
Mengacu pada penjelasan diatas, jika dilihat dari kacamata ekonomi politik
internasional, analisa NIS dapat disebut berangkat dari pehamanan teoritik
strukturalis, dimana menurut pandangan ini, disparitas yang membentuk struktur
negara maju dengan negara berkembang sebagai core dan periphery, menggambarkan
kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat internasional. Dalam konteks Asia
Timur bahkan dengan cakupan yang lebih luas, Jepang diposisikan atau berperan
sebagai inti dan negara-negara lainnya termasuk Korea Selatan sebagai periferinya.
Dengan memanfaatkan negara inti dalam struktur internasional sebagai sumber
pembelajaran untuk melakukan inovasi, konsep NIS menjelaskan bahwa hal ini dapat
menjadi jalan untuk mengatasi keterbatasan informasi dan pengetahuan yang dimiliki
oleh negara-negara berkembang atau perifery.
Pandangan optimis mengenai (pereduksian) disparitas ekonomi internasional
ala teori strukturalis berasal dari perspektif reformis yang datang dari tokoh-tokoh
seperti Mahbul ul Haq, Gunnar Myrdal, dan Raul Prebisch. Seperti yang telah
disampaikan sebelumnya, persepektif reformis percaya bahwa struktur internasional
dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan perkembangan ekonomi negara berkembang.
Optimisme juga datang dari pandangan teori “angsa terbang” yang diajukan oleh
Saburo Okita. Menurutnya, perkembangan regional Asia merupakan suatu proses
tinggal landas yang berurutan seperti halnya seekor angsa yang melompat terbang dan
diikuti angsa-angsa lain yang masing-masing mengejar dan menempatkan diri dalam
33
kelompok yang dipimpin oleh angsa pertama (Mas'oed, 2003: 106). Dengan
memanfaatkan pengalaman yang dimiliki oleh “angsa pertama” dalam hal ini Jepang,
Saburo Okita percaya bahwa negara-negara lain yang merupakan perifery dapat
mengejar ketertinggalannya. Sehingga formasi antara negara maju sebagai core
dengan negara berkembang sebagai perifery yang tadinya vertikal akan berubah
menjadi horizontal atau sejajar.
Namun tidak sedikit pula yang berpandangan pesimis bahkan skeptis terhadap
disparitas struktur ekonomi internasional ini. Menurut Mochtar Mas’oed (2003),
hubungan ekonomi di Asia Timur digambarkan sebagai hubungan yang bersifat
hierarkis dengan tiga ciri utama, ketergantungan teknologi, ketimpangan pembagian
kerja, dan backward integration. Lebih lanjut, Mochtar Mas’oed menganggap
pandangan Saburo Okita mengabaikan dampak subordinasi dari pengintegrasian
ekonomi dari Jepang terhadap negara-negara yang lebih kecil dan lebih lemah.
Negara-negara lain yang kecil atau lemah seperti Taiwan, Korea Selatan, Hongkong
dan Asia Tenggara hanya berfungsi sebagai penyedia tempat bagi industri padat karya
dari Jepang. Karena itu industrialisasi di wilayah ini sangat tergantung pada teknologi
dan kapital Jepang (Mas'oed, 2003: 107).
Subordinasi yang tercipta dari pola hubungan bersifat hierarkis, pada akhirnya
hanya akan membawa keuntungan bagi negara maju sebagai core dan berpotensi
melebarkan disparitas antara negara core dengan negara perifery. Dengan demikian
negara berkembang akan sangat sulit memperoleh hasil optimal dari interaksi
ekonomi dalam struktur internasional. Hal ini menjadi dasar acuan bagi kalangan
34
yang berpandangan pesimis mengenai peluang negara-negara berkembang untuk
dapat berdiri sejajar dengan negara-negara maju.
Keberhasilan Korea Selatan dalam melakukan transformasi dari negara
berkembang menuju ke negara maju, tidak terlepas dari peran Jepang sebagai negara
inti di wilayah Asia Timur dan sekitarnya seperti yang digambarkan oleh teori
strukturalis. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat tahapan dalam proses
transformasi tersebut dimana Korea Selatan merupakan subordinasi dari pola
hubungan yang bersifat hierarkis dengan Jepang. Tapi kemudian harus diakui pula
bahwa Korea Selatan telah berhasil melakukan transformasi yang dimaksud dengan
melihat keberhasilan yang telah dicapai saat ini. Namun proses menuju keberhasilan
tersebut tidak juga sesederhana apa yang digambarkan oleh Saburo Okita melalui
teori “angsa terbang” yang bersandar hanya kepada pembelajaran dari pengalaman
negara inti yaitu Jepang.
Menurut Mike Hobday (1995), sebagai negara berkembang yang melakukan
transformasi melalui industrialisasi, Korea Selatan sangat bergantung dari sumber
pengetahuan dan teknologi dari luar. Ketergantungan tersebut kemudian menjadi
pintu masuk bagi proses pembelajaran dan pembentukan kapabilitas sehingga dapat
menghasilkan inovasi yang diperlukan untuk memajukan industri otomobil maupun
industri lainnya di Korea Selatan. Dalam mengubah ketergantungan tersebut menjadi
sebuah peluang atau kesempatan untuk berhasil, dibutuhkan peran aktif dari institusi
pemerintah. Dalam memastikan keberhasilan proses pembangunan dan industrialisasi,
pemerintah mendorong pelaku industri untuk fokus melakukan pembelajaran dan
35
akumulasi pengetahuan melalui berbagai macam koneksi dengan penyedia peralatan
dan komponen yang memiliki teknologi dari luar negeri (Ernst, 2000: 5).
Selain teknologi dan sumber pengetahuan, proses transformasi ekonomi juga
membutuhkan modal finansial yang besar untuk membangun basis pengetahuan
dalam negeri secara luas. Dengan menyediakan kebutuhan penting dalam proses
penyerapan pengetahuan dan modal seperti informasi, pelatihan, biaya serta
dukungan lainnya, pemerintah Korea Selatan dapat membesarkan para pelaku usaha
untuk dapat bersaing (Ernst, 2000: 5).
Jepang dapat dikatakan berperan penting dalam menyediakan sumber daya,
baik berupa pengetahuan, teknologi maupun finansial yang dibutuhkan oleh Korea
Selatan dalam proses transformasi dari negara berkembang menjadi negara maju.
Namun, peran pemerintah dalam mengartikulasi kesempatan tersebut menjadi sebuah
peluang merupakan bagian terpenting dalam keberhasilan pembangunan industri di
negara tersebut. Hal ini juga dapat menjadi jawaban atas pandangan pesimis yang
berpandangan bahwa negara-negara berkembang seperti Korea Selatan, Taiwan, dan
Singapura, yang hanya dapat menjadi subordinasi negara maju seperti Jepang dalam
pembangunan ekonomi di kawasan, dengan melihat keberhasilan yang telah dicapai
oleh negara-negara tersebut.
E. Argumen Utama
Dengan mengacu kepada kerangka pemikiran yang telah dijabarkan
sebelumnya, posisi atau argumen tulisan ini mengenai kemajuan industri otomobil di
36
Korea Selatan didasarkan atas konsep economic backwardness, sinergi dalam GVC,
dan National Innovation System (NIS). Sebagai latecomer dalam proses
industrialisasi, Korea Selatan membutuhkan peran pemerintah yang sangat besar
untuk dapat melakukan proses industrialisasi agar dapat bersaing dan sejajar dengan
negara-negara maju yang telah berada lebih dulu di dalam poses tersebut.
Tidak hanya peran pemerintah yang besar, keberhasilan Korea Selatan juga
ditentukan oleh kemampuan pemerintah mengkonversi peran tersebut ke dalam
pilihan kebijakan yang tepat, sehingga mampu mendorong para pelaku industri
otomobil di Korea Selatan untuk bersaing agar dapat mencapai keberhasilan dalam
proses indusrialisasi dan pembangunan ekonomi. Pilihan kebijakan yang tepat dalam
proses tersebut dihasilkan melalui berbagai sinergi yang dilakukan oleh pemerintah
dengan para pelaku usaha dalam negeri atau chaebol.
Kemudian, faktor lainnya yang juga memegang peranan penting dalam
keberhasilan pembangunan industri otomobil di Korea Selatan adalah, kemampuan
pemerintah dan pelaku usaha dalam melakukan penyerapan teknologi dan informasi
serta perluasan basis pengetahuan untuk meningkatkan kapabilitas industri. Jepang
sebagai negara inti dalam struktur internasional merupakan sumber pengetahuan
teknologi dan modal bagi negara berkembang dalam proses industrialisai dan
pembangunan ekonomi. Dengan memanfaatkan teknologi dan modal dari Jepang
untuk mendorong kemajuan proses industrialisasi dan pembangunan ekonomi, Korea
Selatan berhasil menjadi salah satu negara berkembang yang bertransformasi menjadi
37
negara maju dan berhasil membangun industri-industri raksasa dalam negeri termasuk
industri otomobil.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif analitis,
yaitu dengan cara menggambarkan dan menjelaskan keadaan atau fakta-fakta yang
aktual dan mencari korelasi diantara data-data dan fakta-fakta yang ditemukan serta
kemudian menganalisanya dengan konsep yang ada. Penelitian ini ditunjang dengan
pengumpulan data melalui library research, data-data yang digunakan bersumber dari
berbagai literature, buku-buku yang membahas tentang perkembangan ekonomi dan
industri di Korea Selatan, jurnal-jurnal yang berhubungan dengan industri otomobil,
data statistik dari OICA15, data penunjang lainnya dari KOTRA16 dan KAMA17, serta
data-data lainnya termasuk data dari internet, yang memiliki relevansi dengan objek
yang akan diteliti.
G. Sistematika Penulisan
Bab pertama merupakan pendahuluan dari tulisan ini, terdiri dari latar
belakang masalah yang menunjukan mengapa isu yang diangkat ini merupakan
15 Organisation Internationale des Constructeurs d’ Automobiles.16 Korean Trade-Investment Promotion Agency. 17 Korea Automobile Manufacturers Association.
38
permasalahan yang penting dan menarik untuk diteliti, lalu kemudian perumusan
masalah, kerangka pemikiran, argumen utama, tinjauan pustaka, metode peneltian
dan sistematika penulisan.
Bab kedua menggambarkan tentang perkembangan industri otomobil di Korea
Selatan dari awal terbentuk hingga mencapai keberhasilan yang signifikan dengan
melihat proses tersebut melalui bagaimana peran pemerintah dalam industri. Sebagai
latecomer dalam proses industrialisasi. Gerschenkron menekankan perlunya peran
pemerintah untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju yang sudah lebih
dulu menjadi pemain dalam proses tersebut.
Bab ketiga menjelaskan bagaimana sinergi antara pemerintah dengan para
pelaku industri dalam negeri atau chaebol sehingga dapat memberikan kontribusi
bagi kemajuan pembangunan, melalui pilihan kebijakan yang tepat dalam proses
industrialisasi. Selain itu, dilihat juga bagaimana posisi keduanya dalam proses
tersebut, bagaimana formasi state capacity serta pengaruhnya terhadap arah
pembangunan ekonomi di Korea Selatan.
Bab keempat membahas peran atau pengaruh Jepang sebagai negara inti
dalam struktur internasional terhadap kemajuan proses industrialisasi sehingga dapat
memberikan kontribusi bagi proses industrialisas dan pembangunan ekonomi di
Korea Selatan. Seperti yang digambarkan dalam konsep NIS dimana sebagai negara
berkembang, Korea Selatan memiliki keterbatasan sumber pembelajaran,
pengetahuan, dan inovasi untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industrinya.
Sehingga Jepang sebagai negara maju yang secara geografis berada dalam satu
39
kawasan dengan Korea Selatan, memiliki peran penting dalam menyediakan sumber-
sumber tersebut.
Bab kelima berisi pokok-pokok kesimpulan dari penelitian ini dan refleksi
teoritis terhadap konsep-konsep yang digunakan dalam tulisan ini seperti, economic
backwardness, sinergi dalam GVC maupun national innovation system.
BAB IIDINAMIKA INDUSTRI OTOMOBIL KOREA SELATAN
40
Keberhasilan ekonomi yang telah dicapai oleh Korea Selatan, menjadikannya
dianggap sebagai negara berkembang yang paling sukses dalam melakukan proses
pembangunan. Negara ini, dapat melakuan transformasi ekonomi dari negara
berkembang menjadi negara ekonomi maju dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Dengan bertumpu pada pembangunan industri manufaktur, Korea Selatan mampu
mengembangkan perekonomiannya sehingga dapat berada sejajar dengan negara-
negara ekonomi maju.
Salah satu sektor industri manufaktur yang dibangun oleh Korea Selatan dan
memberikan pengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian negara tersebut adalah
industri otomobil. Kontribusi industri ini bagi penyerapan tenaga kerja, nilai ekspor
dan nilai tambah yang tinggi menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk
mengembangkan industri otomobil. Selain itu, industri ini juga berperan dalam proses
vitalisasi ekonomi dalam negeri. Industri otomobil berada pada peringkat pertama
dalam hal menyediakan lahan pekerjaan, produksi, dan pertambahan nilai dalam
industri manufaktur. Total nilai ekspor industri ini mencapai 13,4 persen dari total
ekspor Korea Selatan pada tahun 2007 (KAMA, 2008: 5) dan 11,7 persen pada tahun
2010 (KAMA, 2011: 6).
Keberhasilan Korea Selatan dalam mengembangkan industri otomobil
ditandai dengan masuknya Hyundai sebagai salah satu operator industri otomobil
terbesar di dunia, sejajar dengan pelaku industri dari negara maju seperti Jepang dan
Amerika Serikat. Hyundai berada pada posisi lima besar dunia diukur dari segi
kapasitas produksi dan volume ekspor unit ke luar negeri. Prestasi ini merupakan
41
capaian yang sangat besar, mengingat Korea Selatan berangkat sebagai negara
berkembang dan berada satu atau bahkan dua tahapan dibelakang Jepang dan
Amerika ketika mulai membangun industri otomobil dalam negeri.
Pencapaian ini kemudian menyebabkan perkembangan industri otomobil di
Korea Selatan menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas. Dalam melihat hal
tersebut, tulisan ini mendasarkan argumen pada konsep economic backwardness
mengenai latecomer yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian kerangka
pemikiran. Dalam penjelasan tersebut dijabarkan bahwa sebagai negara berkembang
yang datang belakangan dalam proses industrialisasi, Korea Selatan memerlukan
peran pemerintah yang sangat besar untuk dapat mengejar ketertinggalan dari negara
maju. Hal ini terlihat ketika pada awal dimulainya proses industrialisasi di Korea
Selatan, yaitu tahun 1960an dan 1970an, setiap langkah penting berkenaan dengan
proses tersebut merupakan inisiasi dari pemerintah (Amsden, 1989: 80).
Oleh karena itu, elaborasi peran pemerintah dalam bentuk konfigurasi
kebijakan akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya bab ini. Kemudian, dari
konfigurasi tersebut akan dikaitkan dengan perkembangan industri otomobil dalam
negeri yang pada akhirnya menghasilkan Hyundai sebagai “national champion”
industri otomobil Korea Selatan.
A. Konfigurasi Kebijakan Pemerintah
A.1. Peran Pemerintah Mengawali Proses Industrialisasi
42
Sejak awal 1960-an pemerintah Korea Selatan telah mengarahkan
kebijakannya untuk mendukung terciptanya proses industrialisasi. Salah satu langkah
yang diambil yaitu dengan menerapkan kebijakan Export Oriented Industries (EOI)
(Harvie & Lee, 2003: 1). Dengan kebijakan ini, industri-industri di Korea Selatan
dipaksa untuk mampu bersaing secara global dan menjadi industri yang memiliki
standar internasional. Secara tidak langsung, hal ini juga mendorong perkembangan
dan kemajuan industri otomobil di Korea Selatan untuk dapat meraih kesuksesan.
Dikarenakan oleh persaingan di pasar internasional, kebijakan industri yang
berorientasi ekspor menuntut produk yang mampu bersaing di pasar global. Oleh
karena itu, Korea Selatan membutuhkan basis industri yang dapat menghasilkan
produk berkualitas internasional. Sehingga dapat dipahami ketika industri otomobil
Korea Selatan berdiri, para pelaku industri dalam negeri melakukan kerjasama atau
joint venture dengan operator industri otomobil dari negara maju. Selain sebagai
respon dari kebijakan EOI agar dapat bersaing secara internasional, pada saat awal
berdiri pengetahuan pelaku industri lokal masih sangat minim dalam proses
pengembangan industi otomobil.
Untuk memfasilitasi kerjasama atau joint venture yang dilakukan para pelaku
usaha dalam negeri dengan operator dari luar, pemerintah memberlakukan kebijakan
special law18 yang ditetapkan pada tahun 1962. Kebijakan promosi ini merupakan
bagian dari program Five Year Economic Development Plan (FYEDP)19 periode
18 Dikenal juga sebagai The Automotive Industry Promotion Law yang mengikuti model kebijakan serupa di Jepang pada tahun 1936, yaitu Automobile Industri Act.19 Rencana Pembangunan Ekonomi Lima Tahun.
43
pertama yang dicanangkan oleh pemerintahan. Dengan diterapkannya special law
tersebut, dapat diartikan bahwa industri otomobil merupakan salah satu fokus utama
dalam mengembangkan proses industrialisasi dan pembangunan ekonomi di Korea
Selatan. Menurut Linsu Kim, kebijakan ini juga menandai lahirnya industri otomobil
modern di Korea Selatan (Kim, 1997: 107).
Dalam kebijakan special law tersebut diatur bahwa, kementerian perdagangan
dan industri memiliki otoritas penuh dalam menentukan pengusaha mana saja yang
memiliki hak untuk menjadi pemain di dalam industri otomobil (Ravenhill, 2001: 5).
Untuk mendukung pengusaha yang telah ditunjuk sebagai pemain, pemerintah
melarang impor kendaraan dalam bentuk jadi. Pembatasan ini secara tidak langsung
memaksa operator industri otomobil dari luar mengekspor kendaraannnya dalam
bentuk bagian-bagian terpisah ke Korea Selatan, sehingga pelaku industri tersebut
harus menggandeng pelaku industri lokal untuk merakit kendaraan dalam rantai
produksi mereka. Kebijakan pembatasan impor juga memberikan ruang kepada
operator industri otomobil lokal yang masih pemula untuk memanfaatkan pasar
domestik dalam meningkatkan kapabilitas dan kapasitas produksi. Dengan
memanfaatkan pasar lokal, operator dalam negeri dapat melakukan proses
pembelajaran dalam produksi, mengoreksi kekurangan produknya sebelum dilempar
ke pasar global.
Kemudian, pemerintah menyediakan pinjaman modal bersubsidi dan insentif
pajak investasi kepada para pelaku industri dalam negeri. Untuk meningkatkan
volume penjualan luar negeri, pemerintah juga memberikan subsidi yang
44
memungkinkan hasil produksi yang di ekspor dijual sekurang-kurangnya setengah
dari harga pasar domestik. Sementara itu, komponen produksi yang dibutuhkan oleh
pelaku industri lokal dan disediakan melalui impor, dibebaskan dari tarif masuk.
Berbagai insentif yang diberikan oleh pemerintah melalui kebijakan special law
dianggap sebagai faktor penting dibalik sukses lahirnya pelaku-pelaku industri lokal
di Korea Selatan (Ravenhill, 2001: 6).
Pada periode ketiga program pembangunan lima tahun pemerintahan Park
Chung-hee, tepatnya pada tahun 1973 dikeluarkan kebijakan Heavy and Chemical
Industries. Kebijakan ini semakin menegaskan komitmen Korea Selatan dalam
melakukan proses industrialisasi dan menandai awal transformasi industri dalam
negeri dari yang tadinya bergerak pada sektor industri ringan beralih ke sektor
industri berat. Selain itu, kebijakan HCI juga bisa dlihat sebagai pondasi dasar bagi
pembangunan industri manufaktur yang sedang dikerjakan oleh Korea Selatan pada
periode tersebut.
Melalui kebijakan HCI, pemerintah menetapkan industri manufaktur yang
menjadi prioritas utama agar program industrialisasi yang dilakukan menjadi fokus
dan tepat sasaran. Sektor-sektor industri yang menjadi perhatian pemerintah antara
lain baja, mesin, elektronik, shipbuilding, dan otomobil. Fokus dan perhatian
pemerintah terhadap industri-industri tersebut diwujudkan dengan berbagai hak
istimewa kepada para pelaku usaha. Hak istimewa tersebut berupa pemberian surat
jaminan kredit, alokasi preferensi kredit, pelonggaran regulasi exchange rate,
liberalisasi impor, proteksi terhadap sektor-sektor HCI, jaminan penjualan atas
45
produk-produknya, serta menjaga monopoli pelaku usaha tersebut di pasar domestik
(Winanti, 2003: 187).
Penerapan kebijakan HCI dengan berbagai hak istimewa kepada para pelaku
industri memberikan ruang bagi tumbuhnya raksasa-raksasa bisnis di Korea Selatan
yang biasa disebut sebagai chaebol. Kontrol ketat pemerintah terhadap investasi asing
dalam menunjang hak istimewa yang diberikan melalui kebijakan HCI, diwujudkan
dengan hanya memberi ruang pada investasi dalam sektor yang tidak dikuasai oleh
pelaku industri dalam negeri dan memerlukan bantuan pelaku industri asing.
Dengan adanya kontrol tersebut, tidak kurang dari separuh pelaku industri luar
negeri yang ingin berinvestasi di Korea Selatan melakukan joint venture dengan
pengusaha lokal dimana sebagian besar dari kerjasama tersebut persentase
kepemilikan sahamnya berada di tangan pengusaha lokal. Sebagai hasilnya, industri
di Korea Selatan mengalami perkembangan dengan jumlah pelaku industri lokal
paling banyak diantara negara-negara industri baru lainnya. Banyak kalangan
meyakini bahwa kebijakan HCI memberikan kontribusi besar terhadap tingginya
pertumbuhan ekonomi Korea Selatan selama rentang waktu satu sampai dua dekade
setelah kebijakan tersebut diterapkan pada awal 1970an (Shim & Lee, 2008: 37).
Selain berbagai kemudahan dalam bentuk insentif, pemerintah juga
memberikan kemudahan akses terhadap bahan dasar dalam proses pembangunan
industri berat. Bersamaan dengan penerapan kebijakan HCI, pemerintah mendirikan
POSCO yang bertujuan untuk dapat menyediakan bahan baku bagi proses
pembangunan industri berat yang sebagian besar membutuhkan baja atau steel.
46
Keberadaan Pohang Iron and Steel Company kemudian menjadi tulang punggung
bagi pembangunan industri manufaktur di Korea Selatan.
Disamping itu, berdirinya POSCO juga dapat dilihat sebagai manifestasi dari
usaha pemerintah agar dapat melakukan proses industrialisasi dalam negeri secara
lebih mandiri. Fasilitas kemudahan lainya yang diberikan oleh pemerintah kepada
para pelaku usaha dalam negeri adalah sarana prasarana yang memadai dalam
menjalankan proses industri berupa infrastruktur. Pemerintah kemudian melakukan
pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jaringan transportasi, lahan industri
dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya.
Program FYEDP yang diterapkan oleh pemerintah secara berkesinambungan,
dapat dilihat sebagai upaya pemerintah Korea Selatan untuk merancang tujuan-tujuan
pembangunan jangka pendek dan jangka panjang yang ingin dicapai dengan
melakukan integrasi dalam proses tersebut. Untuk menjamin terciptanya integrasi
yang dimaksud, pemerintah membentuk organisasi atau lembaga koordinasi yaitu,
Korean Central Intelligence Agency dan Economic Planning Board. Kedua lembaga
pemerintah yang berfungsi sebagai organisasi koordinasi pembangunan ini dibentuk
pada tahun 1961.
Ketika dibentuk, KCIA merupakan lembaga intelijen negara akan tetapi
dibawah pemerintahan Park Chung-hee, lembaga ini diberikan perluasan kewenangan
secara politis dalam konteks pembangunan ekonomi di Korea Selatan. KCIA
bertransformasi menjadi lembaga yang memiliki kendali pada sektor ekonomi,
47
lembaga intelijen ini berperan sebagai lembaga kontrol atas kelancaran proses
pembangunan di Korea Selatan, termasuk mengontrol gerakan buruh.
Lembaga ini kemudian menjelma menjadi lembaga yang memiliki kekusaaan
yang sangat besar tidak hanya dalam arena politik namun juga pada sektor ekonomi.
Bahkan lembaga ini tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melakukan
kontrol terhadap gerakan buruh maupun masyarakat (Winanti, 2003: 185). Park
Chung-hee sangat percaya bahwa kemajuan pembangunan hanya dapat dicapai
dengan kondisi negara yang stabil. Sehingga fungsi KCIA yang diperluas oleh
pemerintah untuk menjamin stabilitas dalam negeri, diyakini dapat memberikan
kontribusi dalam kemajuan proses industrialisasi di Korea Selatan.
Sedangkan EPB merupakan lembaga yang kemudian didesain oleh Park
Chung-hee sebagai pusat koordinasi pembangunan ekonomi. EPB mengontrol
lembaga-lembaga lain, seperti badan statistik, kementrian dalam negeri, dan Bank of
Korea dalam rangka koordinasi proses pembangunan ekonomi. Pada saat itu, EPB
diproyeksikan sebagai lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam menetukan arah
pembangunan Korea Selatan. EPB kemudian menjadi lembaga yang sangat berkuasa
dan hanya bertanggung jawab kepada Presiden (Winanti, 2003, hal. 185).
Selain menjadi pusat koordinasi pembangunan ekonomi, EPB berfungsi
sebagai lembaga yang menentukan rencana atau rancangan pembangunan di Korea
Selatan yang merupakan pengejawantahan dari keinginan Presiden. Park Chung-hee
memiliki komitmen yang kuat dalam melakukan pembangunan ekonomi dan
keberhasilan proses industrialisasi di Korea Selatan, sehingga EPB selaku
48
perpanjangan tangan Presiden diberikan wewenang yang sangat besar dalam proses
pembangunan ekonomi di negara tersebut.
Untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri, pemerintah
mendukung pengembangan institusi research and development untuk dapat
melahirkan inovasi dalam proses industrialisasi. Melalui kementerian yang
menangani masalah ilmu pengetahuan dan teknologi atau MOST20, pemerintah
melakukan program pengembangan teknologi yang berbasis pembangunan R&D
nasional (Yun, 2007: 40). Melalui program tersebut, pemerintah mengalokasikasikan
dana untuk menunjang kegiatan riset nasional yang berhubungan dengan
pengembangan industri dan memberikan potongan pajak kepada pelaku usaha yang
melakukan investasi dalam kegiatan R&D.
Keterlibatan pemerintah pada pengembangan riset dalam proses industrialisasi
dapat juga dilhat dari terciptanya kolaborasi antara pemerintah dengan pelaku usaha
yang disebut sebagai public-private R&D. Kolaborasi antara pemerintah dan pelaku
usaha ini dimulai dari tahun 1960an dan 1970an, yaitu ketika proses imitasi atau
reverse engineering21 teknologi dari luar, menjadi sumber utama dari kemajuan
proses industrialisasi di Korea Selatan (Shapiro, 2007: 98).
Dari sisi finansial, pemerintah juga memegang peranan penting dalam
mengatur bagaimana posisi institusi tersebut dalam proses pembangunan
industrialisasi di Korea Selatan. Sejak awal, institusi finansial berada dalam kontrol
20 Ministry of Science and Technology.21 Proses penemuan prinsip-prinsip teknologi dari suatu perangkat, objek, atau sistem melalui analisis struktur, fungsi, dan cara kerjanya (Eilam & Chikofsky, 2007: 3).
49
pemerintah dan digunakan sebagai alat dalam pendekatan carrot and stick22 untuk
menarik perhatian pelaku industri agar menjalankan industri yang ditargetkan atau
diinginkan oleh pemerintah (Shim & Lee, 2008: 103).
Pemerintah menggunakan institusi finansial sebagai instrumen dalam
melakukan alokasi sumber daya selama proses industrialisasi berlangsung. Dengan
menguasai institusi finansial yang merupakan salah satu kebutuhan utama para pelaku
industri dalam menjalankan bisnisnya, pemerintah memiliki power untuk mengatur
perilaku para pengusaha tersebut. Dengan kebijakan ini, pemerintah dapat dengan
mudah menentukan arah pembangunan ekonomi dan industri di Korea Selatan.
A.2. Stabilisasi Menuju Liberalisasi Ekonomi
Dinamika ekonomi politik yang terjadi di dalam dan luar negeri, kemudian
mengubah arah kebijakan pemerintah dalam proses pembangunan ekonomi. Pada
akhir 1979, pergantian rezim kepemimpinan menjadi awal perubahan haluan
kebijakan industri di Korea Selatan. Rezim dibawah kepemimpinan Chun Doo-hwan
mengubah arah kebijakan yang pada masa rezim sebelumnya bertumpu pada export
oriented industry dengan tujuan mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya,
bergeser menjadi kebijakan yang lebih yang lebih menekankan stabilitas ekonomi
(Winanti, 2003: 188). Kebijakan stabilisasi perekonomian diawali pemerintah dengan
22 Bentuk kebijakan yang menawarkan perpaduan antara reward and punishment untuk mempengaruhi perilaku (agar lebih baik).
50
mengeluarkan sejumlah peraturan seperti pengetatan moneter dan pajak, rasionalisasi
dan efiseiensi kebijakan HCI, dan yang terakhir stabilisasi harga.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Korea Selatan menyebabkan terjadinya
masalah baru seperti terjadinya ekses produksi. Euforia yang sangat besar dalam
proses industrialisasi melahirkan terlalu banyak pemain di tiap-tiap sektor industri tak
terkecuali pada industri otomobil. Hal ini menyebabkan persaingan yang tidak perlu
diantara para pelaku industri dalam negeri. Pemerintah meresponnya dengan
melakukan pembatasan jumlah pelaku usaha industri otomobil, dimana pada tahun
1980 pemerintah hanya memberikan lisensi kepada Hyundai, Kia dan Daewoo.
Pembatasan ini bertujuan untuk mengurangi persaingan di dalam negeri sehingga
para pelaku industri lokal dapat fokus melakukan pengembangan dan menghadapi
persaingan internasional. Selain itu, kebijakan pembatasan tersebut dilakukan untuk
mengantisipasi kelebihan kapasitas produksi mengingat terbatasnya pasar domestik di
Korea Selatan.
Penerapan kebijakan stabilitas ekonomi pada masa rezim Chun Doo-hwan
disebut juga sebagai pintu masuk bagi penerapan kebijakan liberalisasi ekonomi.
Relaksasi terhadap berbagai campur tangan pemerintah dalam kegiatan industri dan
ekonomi menjadi alasan kuat dibalik berkembangnya pandangan tersebut.
Liberalisasi institusi finansial yang sebelumnya berada dibawah kontrol pemerintah
ditandai dengan proses privatisasi sejumlah bank milik pemerintah.
Rasionalisasi industri yang dilakukan oleh pemerintah juga dapat dilihat
sebagai pintu masuk penerapan kebijakan liberalisme. Dimana dengan melakukan
51
rasionalisasi, negara mulai mengurangi perannya dalam menentukan prioritas
industri. Meski terjadi perubahan kebijakan yang mengarah kepada liberalisme
ekonomi pada rezim pemerintahan Chun Doo-hwan, namun perubahan-perubahan
tersebut belum sepenuhnya melepaskan intervensi negara dalam bidang ekonomi
(Winanti, 2003: 189).
Proses demokratisasi, perubahan struktur industri dalam negeri, dan desakan
internasional yang mendorong liberalisasi ekonomi, memberikan pengaruh terhadap
arah pilihan kebijakan Korea Selatan dalam perkembangan proses industrialisasi.
Penolakan terhadap kebijakan intervensionis dalam pembangunan oleh rezim
ekonomi internasional seperti GATT, WTO, dan IMF memaksa pemerintah untuk
sedikit demi sedikit mengurangi peranannya dalam pembangunan di Korea Selatan
yang bermuara pada penetapan kebijakan Segyewha23 pada tahun 1995.
Kebijakan Segyewha yang lahir pada rezim pemerintahan Kim Young-sam,
dipahami sebagai kebijakan keterbukaan di bidang politik, budaya, sosial, dan
ekonomi. Segyehwa merupakan konsep unik Korea Selatan yang bertujuan untuk
menempatkan negara tersebut sejajar dengan negara-negara industri maju. Hal ini
ditandai dengan bergabungnya Korea Selatan ke dalam OECD24 pada tahun 1996,
yang merupakan organisasi internasional perkumpulan negara-negara maju yang
menerima atau menjalankan prinsip-prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar
bebas (Yeung, 2002: 302). Keanggotaan dalam OECD mengharuskan Korea Selatan
23 Globalisasi.24 The Organisation for Economic Co-operation and Development.
52
untuk setuju menjalankan konsep ekonomi liberal dengan membuka pasarnya bagi
aliran dana atau investasi luar negeri (Kalinowski & Cho, 2009: 225).
Liberalisasi pada industri otomobil Korea terjadi pasca krisis ekonomi yang
melanda Asia pada akhir 1990an. Proses ini ditandai dengan diperbolehkannya
kepemilikan asing terhadap perusahaan otomobil dalam negeri yang mengalami
kebangkrutan akibat krisis. Perusahaan raksasa seperti Daewoo dibeli sebagian besar
sahamnya oleh GM dan Samsung Motor sebagian besar dibeli oleh Renault.
Pemberian akses kepada asing untuk membeli perusahaan dalam negeri selama proses
pembangunan industri di Korea Selatan sangat terbatas. Perusahaan luar negeri hanya
diperbolehkan memiliki saham perusahaan Korea tidak lebih dari 7 persen secara
individu dan dibawah 26 persen secara kolektif (Kalinowski & Cho, 2009: 228).
Dari sejak awal berdiri hingga akhir 1990an, Industri otomobil Korea Selatan
selalu didominasi oleh pelaku industri lokal, sebagai manifestasi dari kebijakan yang
ditempuh oleh pemerintah pada sektor tersebut (Park, 2003: 173). Perubahan berupa
pemberian akses kepada Renault yang membeli sekitar 70 persen saham Samsung
Motor, dan GM yang mengakuisi sebagaian besar saham Daewoo Motor,
menandakan adanya pergeseran arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dimana
pada awalnya berorientasi nasionalis proteksionis bergerak menuju liberalisme.
Ketika krisis Asia terjadi, keadaan keuangan dalam negeri memaksa
pemerintah Korea Selatan untuk melakukan pinjaman kepada IMF. Sebagai lembaga
peminjam IMF mengajukan berbagai syarat, pemerintah diharuskan melepaskan
perannya atau menarik diri dalam kegiatan perekonomian. Dengan kata lain, IMF
53
memaksa pemerintah Korea Selatan untuk menerapkan kebijakan liberalisasi
ekonomi. Pemerintahan yang pada saat itu berada dibawah rezim Kim Young-sam,
tidak memilki banyak pilihan dan menerima syarat yang diajukan oleh IMF. Reduksi
peran pemerintah dalam ekonomi pada sektor otomobil ditandai dengan akusisi yang
dilakukan oleh GM dan Renault. Dengan berbagai ekses yang terjadi akibat krisis
Asia 1997, dapat dikatakan bahwa krisis tersebut merupakan momentum penting dan
faktor utama dibalik akselerasi liberalisasi ekonomi di Korea Selatan.
Dengan dijalankannya kebijakan yang mengarah kepada liberalisasi ekonomi
dan akselerasi yang terjadi pasca krisis Asia, Ekonomi, pasar, dan industri Korea
Selatan menjadi lebih terbuka. Seiring dengan berjalannya kebijakan pemerintah
tersebut, lalu lintas modal atau FDI25 meningkat secara drastis. Pergeseran kebijakan
menuju liberalisasi ekonomi, mengakhiri kontrol ketat pemerintah terhadap keluar
masuknya investasi asing di Korea Selatan.
Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa ketika akhir 1980an dan awal
1990an dimana Korea Selatan mulai memasuki tahapan awal liberalisasi ekonomi,
terjadi peningkatan perlahan lalu lintas FDI secara konstan dari tahun ke tahun.
Namun pada saat krisis Asia 1997 dapat dilihat terjadi perubahan drastis lalu lintas
FDI, terutama yang masuk ke dalam negeri. Hal ini merupakan gambaran dari hasil
kebijakan liberalisasi ekonomi yang dijalankan oleh Korea Selatan pasca krisis.
Gambar 2.Lalu Lintas FDI Korea Selatan
25 Foreign Direct Investment.
54
Sumber: United Nations Conference on Trade and Development (2001).
Selain itu, sebagai respon terhadap krisis Asia dan masalah yang ditimbulkan
krisis tersebut terhadap industri otomobil, pemerintah kemudian menerapkan
kebijakan restrukturisasi. Kebijakan ini perlu dilakukan karena pada tahun 2001
industri otomobil Korea Selatan mengalami kelebihan suplai produksi sekitar 3,45
juta kendaraan (Park, 2003: 184). Masalah kelebihan suplai ini, dipercaya akan dapat
menyebabkan industri otomobil mengalami kehancuran. Sehingga menjadi sangat
penting bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan untuk dapat mengatasi
permasalahan tersebut.
55
Dalam melakukan restrukturisasi industri, pemerintah menginisiasi suatu
program yang diberi nama “Big Deal26” dalam upaya untuk mengatur para pelaku
industri domestik. Program ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dalam
ruang lingkup nasional seperti organisasi bisnis dan media masa. Pemerintah
mengadakan sebuah kesepakatan dengan lima konglomerasi atau chaebol terbesar di
Korea Selatan. Kesepakatan ini, mengarahkan chaebol agar melakukan pertukaran
aktivitas dalam sembilan sektor industri, termasuk otomobil, semikonduktor dan
petrokimia seperti yang ditunjukan pada Tabel 1.
Restrukturisasi dalam sektor industri otomobil dilakukan oleh pemerintah
dengan mendorong Samsung untuk memberikan perusahaan otomobilnya (Samsung
Motors) kepada Daewoo yang ditukar dengan perusahaan elektronik (Daewoo
Electronics) milik Daewoo. Pemerintah mengklaim bahwa pertukaran ini akan
menguntungkan bagi industri otomobil dalam negeri karena akan mengatasi masalah
kelebihan kapasitas produksi. Samsung menjadi target pemerintah saat itu, karena
dalam industri otomobil domestik, Samsung dilihat sebagai pelaku usaha yang
terlemah dilihat dari segi produktivitas, kapabilitas teknologi, dan kontribusi pada
ekonomi nasional (Korea Herald, 1998).
Tabel 1.Konten Perjanjian Program “Big Deal”
26 Program bertujuan untuk melakukan revitalisasi industri domestic dengan melakukan rasionalisasi yang disebut hampir sama dengan kebijakan rasionalisasi pada masa rezim pemerintahan Chun Doo-hwan. Dengan kebijakan ini pemerintah mendorong atau memaksa chaebol untuk melakukan pergantian aktivitas bisnis atau melakukan swap dengan yang lain.
56
Sumber: Samsung Economic Research Institute (2001).
Ditengah-tengah dukungan banyak pihak dan keberhasilan program “Big
Deal”, kesepakatan antara Samsung dan Daewoo dalam sektor otomobil tidak dapat
tercapai. Negosiasi antara Samsung dengan Daewoo tidak berjalan seperti keinginan
pemrintah yang disebabkan oleh berbagai macam faktor, sehingga akhirnya gagal
pada tahun 1999. Kegagalan kesepakatan antara Daewoo dan Samsung
mengakibatkan restrukturisasi industri otomobil yang berorientasi nasionalis di Korea
Selatan mengalami jalan buntu.
Kondisi Samsung Motor yang dihadapkan dengan masalah finansial dan
memiliki banyak utang, memaksa perushaan ini membuka diri terhadap investasi
pelaku industri otomobil luar negeri. Akhirnya pada tahun 2000, sebagian besar
saham Samsung Motor dibeli oleh Renault, dan menyusul kemudian Daewoo
diakuisisi oleh GM pada tahun 2001. Keputusan ini menandakan bahwa pemerintah
57
akhirnya menyerah setelah sebelumnya selalu menerapkan kebijakan proteksionis
nasionalis dalam membangun industri otomobil dalam negeri. Dengan kata lain,
pemerintah tidak lagi menjadi agen pendukung bagi chaebol sebagai penjamin
pinjaman modal dalam jumlah besar untuk menjalankan industri atau melakukan
ekspansi (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 26).
Kebijakan restrukturisasi yang mendorong chaebol untuk melakukan
spesialisasi atau menentukan prioritas core bisnis yang mereka jalankan, akhirnya
menyisakan Hyundai sebagai satu-satunya Chaebol dalam industri otomobil yang
paling dominan dan mayoritas sahamnya masih dikuasai konglomerasi lokal. Bahkan
Hyundai kemudian membeli 51 persen saham Kia Motor yang juga mengalami
kesulitan finansial akibat krisis Asia 1997. Restrukturisasi pasca krisis Asia ini juga
menjadi salah satu faktor yang menentukan wajah pereknomian Korea Selatan saat
ini. Selain mereduksi peran pemerintah dalam perekonomian, kebijakan ini juga
menghasilkan chaebol-chaebol yang sekarang menjadi salah satu kekuatan utama
domestik maupun global pada core bisnis masing-masing seperti Samsung pada
sektor industri elektronik dan Hyundai beserta Kia pada sektor industri otomobil.
B. Perkembangan Industri Otomobil Korea Selatan
Industri otomobil Korea Selatan berawal dari industri reparasi kendaraan yang
dipergunakan selama berlangsung dan berakhirnya perang Korea. Pusat perakitan
kendaraan pertama didirikan pada pada tahun 1955, dengan kapasitas 1500 unit
dalam setahun (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 32). Pada tahun 1962, bersamaan
58
dengan penerapan program FYEDP periode pertama, pemerintah mulai
mempromosikan industri otomobil dengan memperkenalkan Automobile Industry
Protection Law. Promosi yang dilakukan oleh pemerintah kemudian menarik minat
banyak pelaku industri dalam negeri untuk melakukan investasi. Sehingga pada masa
awal diberlakukannya special law tersebut muncul banyak pemain baru dalam
industri otomobil. Dalam penerapan Automobile Industry Protection Law, pemerintah
memiliki kontrol atau peran yang besar terhadap jalannya proses industri.
Pembangunan industri otomobil Korea Selatan sejak tahun 1962 dapat dilihat
melalui tiga tahapan (Lynn, 1991: 62). Tahapan pertama merupakan fase persiapan
untuk melakukan produksi lokal yang dimulai dari tahun 1962 sampai dengan 1971.
Kemudian tahapan berikutnya, berlangsung selama sepuluh tahun dari tahun 1972
sampai dengan 1982, adalah fase pembangunan desain atau model sendiri. Tahapan
terakhir, yang bisa dikatakan dimulai dari tahun 1983 sampai sekarang, merupakan
fase dimana industri otomobil Korea Selatan melakukan ekspansi produksi secara
masal dan globalisasi industri.
B.1. Persiapan Melakukan Produksi Lokal
Selama tahapan pertama berlangsung, lahir beberapa pelaku industri otomobil
lokal yang melakukan kerjasama teknik atau joint venture dengan pelaku industri dari
negara maju terutama Jepang dan Amerika. Pada tahun 1962 berdiri Saenara Motor
dengan melakukan kerjasama teknik bersama Nissan dari Jepang. Kemudian
59
menyusul berdiri Shinjin Motor yang melakukan joint venture dengan Toyota, lalu
Kia, Asia Motor dan Hadonghwan Motor melakukan kerjasama dengan pelaku
industri otomobil luar negeri lainnya. Hyundai Motor datang belakangan dalam
industri ini, berdiri pada tahun 1967 dan melakukan kerjasama teknik dengan pelaku
industri otomobil asal Amerika Ford Motor.
Dalam melakukan kerjasama teknik, pelaku industri otomobil dalam negeri
bertindak sebagai perakit kendaraan pelaku industri dari luar tersebut. Shinjin Motor
yang menjadi rekanan Toyota, merakit varian Corona dengan sistem Complete
Knock-Down atau CKD27. Hyundai Motor yang melakukan joint venture dengan Ford
merakit varian Cortina, sedangkan Asia Motor merakit Fiat, Kia Motor merakit truk
kecil, dan Hadonghwan Motor merakit bus. Perusahan yang pertama kali berdiri
dalam industri ini, Saenara Motor mengalami masalah finansial dan kemudian
bangkrut, sehingga diambil alih oleh Shinjin Motor.
Dengan muncul dan beroperasinya para pelaku industri otomobil lokal, pasar
domestik kemudian menjadi tulang punggung bagi mereka untuk dapat menyerap
hasil produksi. Proteksi yang diberikan oleh pemerintah melalui penerapan kebijakan
special law, menjadikan pasar domestik dapat diandalkan untuk menopang
perkembangan proses industrialisasi otomobil dalam negeri. Mengingat pada saat itu
industri otomobil Korea Selatan tergolong masih infant, proteksi sangat membantu
27 Proses pembuatan kendaraan dengan cara dirakit satu persatu dari bagian-bagian kecil yang terpisah sehingga menjadi satu bagian utuh.
60
para pelaku industri lokal agar tidak terlibat persaingan langsung dengan pelaku
industri dari luar.
Kerjasama dengan pelaku industri dari negara maju yang ditopang oleh
kebijakan dan insentif dari pemerintah pada periode awal ini, memberikan hasil bagi
industri otomobil Korea Selatan berupa peningkatan kapabalitas produksi. Output
industri ini meningkat tajam hanya dalam waktu dua tahun, dari 6,604 unit pada tahun
1967 menjadi hampir mendekati 31,000 unit pada tahun 1969 (McDermott, 1996:
25). Selain itu, target pemerintah untuk melakukan lokalisasi rasio produksi yang
disosialisasikan pada akhir 1960an, dapat direaliasikan sebesar 50 persen pada tahun
1972.
B.2. Pembangunan Model atau Desain Sendiri
Memasuki tahapan kedua, industri otomobil Korea Selatan mulai mengalami
perkembangan signifikan dan tumbuh dengan cepat. Penerapan kebijakan HCI yang
dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1973 diikuti dengan ‘A Long-term Plan to
Promote the Automobile Industry’28 pada tahun 1974, menjadi faktor penting dibalik
perkembangan tersebut. Kebijakan HCI yang mempelopori dibangunnnya POSCO
industri baja milik pemerintah, memberikan kemudahan kepada para pelaku industri
untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku produksi secara mudah dan mandiri.
28 Program kebijakan pemerintah yang terdiri dari tiga target utama, yaitu; mencapai rasio lokal sebesar 85 persen pada tahun 1975, penjualan 80 persen pasar domestik untuk kendaraan kecil dibawah 1500cc, dan mencapai target ekspor sebanyak 75,000 unit pada tahun 1981. Dalam implementasinya, perkembangan program ini harus dilaporkan langsung kepada Presiden secara reguler (Kim, 1998: 511).
61
Kemudian, hal ini berimplikasi pada kemampuan industri dalam berproduksi
sehingga kapasitas produksi dapat ditingkatkan. Dengan demikian target pemerintah
untuk dapat melakukan perdagangan kendaraan ke luar negeri dalam jumlah besar
menjadi lebih mudah tercapai.
Pada pertengahan 1970an, Toyota melakukan divestasi dan keluar dari Korea
Selatan. Shinjin Motor mendirikan GM Korea dengan melakukan joint venture
bersama General Motor yang pada akhirnya dibeli oleh Daewoo. Setelah Asia motor
diambil alih oleh Kia, industri otomobil Korea Selatan memiliki tiga produsen utama
dalam negeri yaitu; Hyundai, Kia, dan Daewoo. Pada tahun 1976, ketiga produsen
utama tersebut telah berhasil mencapai rasio lokal produksi sebesar 85 persen.
Kemudian pada tahun 1979, total produksi lokal industri otomobil Korea Selatan
mencapai 112,314 unit (Green, 1992: 414), meningkat drastis dari yang semula hanya
mampu mendekati 31,000 unit pada tahun 1969.
Hyundai Motor yang mulai mengembangkan model atau desainnya sendiri
yaitu Pony, pada tahun 1976 melakukan ekspor pertamanya ke Ekuador sebanyak
enam unit yang juga merupakan penjualan pertama industri otomobil Korea Selatan
ke luar negeri. Dari segi jumlah memang sangat sedikit, akan tetapi hal ini merupakan
simbolisasi keberhasilan negara tersebut dalam membangun industri otomobilnya
sendiri. Jumlah penjualan ke luar negeri ini kemudian terus meningkat, dimana pada
tahun 1977 ekspor Hyundai mencapai 1,287 unit ke negara-negara di Amerika Latin
dan Timur Tengah.
62
Dinamika ekonomi politik domestik dan internasional berupa resesi global
dan kudeta atas rezim Park Chung-hee yang terjadi pada akhir 1970an dan awal
1980an memberikan dampak terhadap perkembangan industri otomobil Korea
Selatan. Pergantian rezim yang diawali dengan pembunuhan Park Chung-hee oleh
orang kepercayaanya sendiri yang merupakan pimpinan KCIA berimbas kepada
stabilitas politik dalam negeri. Goncangan terhadap stabilitas politik kemudian
memberikaan pengaruh buruk dalam berjalannya proses industrialisasi. Meskipun
keadaan dapat diatasi oleh pimpinan militer saat itu, munculnya rezim baru kemudian
mengubah arah kebijakan yang selama ini sudah diambil oleh pemerintah sebelumnya
di dalam menjalankan proses industrialiasi.
Resesi global yang terjadi saat itu menyebabkan kenaikan harga minyak
sebesar tiga kali lipat. Resesi juga mengakibatkan turunnya permintaan domestik
terhadap kendaraan secara drastis hingga mencapai diatas 50 persen. Penurunan
permintaan ini menyebabkan para pelaku industri otomobil dalam negeri yang sangat
bergantung pada pasar dalam negeri mengalami kesulitan dan terancam mengalami
kebangkrutan. Sebagai respon dari permasalahan ini, Korean Institue of Economics
and Technology (KIET) memberikan rekomendasi yang berdasarkan hasil studi
mereka kepada pemerintah untuk melakukan restrukturisasi dan reorientasi industri.
Menurut KIET, industry otomobil Korea Selatan hanya bisa bertahan jika
melakukan ekspansi produksi ke tempat-tempat yang memiliki volume yang cukup
besar untuk menangkap skala ekonomi atau dengan kata lain tempat-tempat yang
masih memiliki pasar potensial (Green, 1992: 415). Hal ini kemudian menjadi salah
63
satu faktor yang mendorong pemerintahan di bawah rezim Chun Doo-hwan untuk
melakukan restrukturisasi dan reorientasi industri seperti yang direkomendasikan oleh
KIET melalui penerapan kebijakan stabilisasi perekonomian.
Restrukturisasi dan reorientasi industri otomobil yang dijalankan saat itu
adalah dengan melakukan konsolidasi bersama para pelaku industri otomobil dalam
negeri, dan menekankan spesialisasi produk pada setiap produser. Konsolidasi yang
telah direncanakan dari tahun 1980 namun baru dikonfirmasi pada Juli 1982 ini,
mengarahkan Kia untuk berkonsentrasi pada pembuatan kendaraan komersial
berukuran kecil ke menengah. Kemudian pemerintah hanya memberikan lisensi
kepada Hyundai dan Daewoo untuk memproduksi kendaraan berpenumpang kecil,
sedangkan produksi bus serta truk berukuran besar dibebaskan dengan kompetisi
secara terbuka. Konsolidasi ini dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi
persaingan antar pelaku industri dalam negeri yang tidak perlu dan menekan
kelebihan suplai produksi.
Selain itu, dengan menekankan spesialisasi kepada setiap produser, dapat
tercipta peningkatan kapabilitas produksi. Dengan peningkatan kapabilitas, maka
produk yang dihasilkan menjadi lebih berkualitas, sehingga mampu bersaing di pasar
internasional. Cara ini ditempuh oleh pemerintah agar ekspansi yang dilakukan oleh
pelaku industri otomobil Korea Selatan seperti yang direkomendasikan oleh KIET,
dapat memetik hasil yang optimal. Meskipun pada awalnya mengekspor Pony yang
merupakan desain Hyundai ke pasar Amerika Selatan, pada tahun 1982 ekspansi
ekspor industri otomobil Korea Selatan lebih banyak diserap oleh pasar negara-
64
negara yang ada di dalam komunitas Eropa seperti, Belanda, Belgia, Yunani dan
Inggris. Total ekspor yang dicapai Korea Selatan ke wilayah tersebut, terhitung
sebesar 52 persen dari total ekspor industri tersebut secara keseluruhan.
B.3. Ekspansi Produksi dan Globalisasi Industri
Terbatasnya kemampuan pasar domestik untuk dapat menyerap volume
produksi industri otomobil dalam negeri, mendorong Korea Selatan untuk melihat
potensi pasar yang ada di luar negeri. Dengan kebijakan pemerintah yang mendorong
chaebol untuk melakukan spesialisasi guna meningkatkan kapabilitasnya, pada
tahapan ketiga ini industri otomobil mulai melakukan ekspansi ke pasar internasional.
Untuk menunjang proses ekspansi para pelaku industri otomobil Korea Selatan
berusaha meningkatkan kapasitas produksi. Oleh karena itu, pada periode ini para
pelaku industri mulai menekankan untuk melakukan produksi secara masal.
Pada tahun 1985 Hyundai Motor membangun pusat produksi dengan
kapasitas 300,000 unit dalam setahun, sementara Daewoo membangun pabrik
perakitan dengan kapasitas produksi tahunan sebesar 170,000 unit. Kemudian,
Hyundai mendirikan pabrik produksi pertamanya di luar negeri, yaitu di Canada
dengan kapasitas produksi 100,000 unit per tahun. Ketika pemerintah menarik
kembali larangan terhadap produksi kendaraan berpenumpang kecil pada tahun 1987,
Kia mulai membangun kendaraan dengan spesifikasi tersebut yang diberi nama Pride.
Kemudian Kia juga meningkatkan kapasitas produksinya dengan membangun pabrik
yang mampu menghasilkan kendaraan sebanyak 120,000 unit dalam satu tahun.
65
Dengan melakukan produksi masal, produksi kendaraan meningkat drastis
sehingga para pelaku industri semakin agresif dalam mencari pasar di luar mengingat
pasar domestik telah mengalami saturasi. Agresifitas para pelaku industri kemudian
menghasilkan peningkatan volume ekspor kendaraan Korea Selatan yang pada
pertengahan 1980an persentasenya mampu melebihi penjualan domestik (Lihat Tabel
2). Besarnya volume ekspor ini menjadikan industri otomobil sebagai salah satu
industri ekspor utama di Korea Selatan.
Berdasarkan Tabel, volume ekspor industri otomobil Korea Selatan pada
tahun 1986 sampai dengan 1988 berada di atas level penjualan domestik. Hal ini
menandakan ekspansi yang dilakukan industri tersebut memberikan hasil positif.
Selain itu, usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi dengan melakukan produksi
masal berhasil menggenjot total produksi. Seperti yang dapat diliat pada tabel diatas
dimana produksi dari tahun 1985 ke 1986 meningkat drastis, hampir mencapai dua
kali lipat. Begitu juga pada tahun-tahun berikutnya peningkatan volume produksi
secara signifikan masih tetap terjadi
Dikarenakan mengalami surplus perdagangan selama beberapa tahun berturut-
turut, negara tujuan ekspor yang kebanyakan negara maju, mulai memberikan
tekanan terhadap ekpor industri otomobil Korea Selatan. Tekanan ini mengakibatkan
Tabel 2.Produksi dan Penjualan Industri Otomobil Korea Selatan 1976-2001
66
Sumber: Korea Automobile Manufacturers Association (2001).
turunnya volume perdagangan luar negeri industri otomobil Korea Selatan secara
substansial mulai akhir tahun 1989. Sementara itu, selama beberapa tahun setelahnya,
pertumbuhan industri otomobil berbasis penjualan dalam negeri terus meningkat yang
mengakibatkan jarak dengan penjualan luar negeri semakin melebar dan semakin
memperkecil presentasi ekspor sampai dengan pertengahan 1990an. Namun setelah
itu, persentase ekspor industri otomobil Korea Selatan kembali meningkat dan
mampu melebihi persentase perdagangan domestik (Lihat Tabel 2).
67
Setelah sebelumnya mengandalkan pasar Eropa, pada tahun 1987 Industri
Otomobil Korea Selatan melalui Hyundai melakukan ekspansi ke pasar Amerika
Utara. Dengan mengandalkan Pony generasi kedua atau yang lebih dikenal sebagai
Excel untuk pasar Amerika, Hyundai dikatakan berhasil dalam debut perdananya
tersebut. Banyak anggapan bahwa keberhasilan Hyundai di Amerika dibantu dengan
kebijakan VAR29, yaitu pembatasan ekspor mobil Jepang ke pasar Amerika sejak
awal 1980an, yang disebabkan oleh rendahnya neraca perdagangan negara adidaya
tersebut terhadap Jepang. Dengan diberlakukannya kebijakan VAR tersebut,
memberikan peluang kepada Hyundai untuk mengisi niche market yang biasa diisi
oleh produsen otomobil asal Jepang, yaitu segmen kendaraan berpenumpang kecil.
Disamping memperluas pasarnya ke Amerika Serikat, industri otomobil
Korea Selatan juga tetap mempertahankan eksistensinya di Eropa, bahkan indistri ini
melakukan perluasan ke negara-negara Eropa lainnya. Antara tahun 1990 sampai
tahun 1991 persentase ekspor industri otomobil Korea Selatan ke Eropa meningkat
sangat drastis, yaitu sebesar 141 persen (McDermott, 1996: 25). Kemudian pada
bulan September 1991, Hyundai mulai melakukan ekspansi ke pasar Jerman.
Dengan keberhasilan melakukan produksi masal untuk menopang ekspansi
dan globalisasi industri, pada tahun 1991 industri otomobil Korea Selatan berhasil
menjadi produsen otomobil terbesar kesembilan di dunia (McDermott, 1996: 36).
Pada tahun 1993, produksi kendaraan yang dilakukan oleh industri otomobil Korea
Selatan menyentuh angka 2 juta unit yang 80 persennya merupakan kendaraan
29 Voluntary Auto Restraints.
68
berpenumpang. Besarnya volume produksi ini berhasil meningkatkan posisi Korea
Selatan dalam daftar teratas produsen industri otomobil terbesar di dunia, yaitu
berada di posisi keenam.
Tabel 3.Peringkat Industri Otomobil Dunia Berdasarkan Produksi
*(Unit dalam seribu)Sumber: Korea Automobile Manufacturers Association (2001).
Berdasarkan Tabel 3, pada tahun 1992, Korea Selatan berada di posisi ketujuh
sebagai negara produsen otomobil terbesar di dunia. Sedangkan jika dilihat pada
tahun 1995, Korea Selatan menempati urutan kelima. Dengan melihat data yang telah
dijabarkan sebelumnya, setiap tahun Korea Selatan selalu berhasil memperbaiki
posisinya sebagai negara produsen otomobil dunia. Dimana pada tahun 1991, Korea
Selatan menempati urutan kesembilan naik menjadi ketujuh dalam waktu setahun.
Kemudian pada tahun 1993 berhasil menempati posisi keenam yang naik lagi menuju
posisi kelima dua tahun kemudian pada 1995. Hal ini menggambarkan bahwa selama
69
periode tersebut, Korea Selatan dapat selalu tetap menjaga pertumbuhan dan
perkembangan industri otomobilnya.
Memasuki akhir 1990an, krisis ekonomi yang terjadi di Asia membawa
perubahan besar pada konstruksi industrialisasi di Korea Selatan. Pasca krisis
tersebut, peran pemerintah dalam ekonomi semakin terdegradasi dan liberaliasi
ekonomi yang terjadi di Korea Selatan mengalami akselerasi. Hal ini kemudian
memberikan akses yang lebih terbuka kepada modal asing untuk berperan serta dalam
kegiatan perekonomian disana.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ketika beberapa chaebol mengalami
kesulitan finansial, modal asing masuk dengan membeli saham dan melakukan
akusisi. Setelah Samsung Motor dikuasai oleh Renault dan Daewoo dikuasai oleh
GM, Hyundai menjadi satu-satunya chaebol yang sebagian besar sahamnya masih
dimiliki oleh lokal dan paling dominan dalam industri otomobil Korea Selatan,
terutama setelah melakukan akuisisi terhadap Kia Motor pasca krisis tersebut.
Selain membawa perubahan pada konstruksi industri otomobil di Korea
Selatan, krisis Asia juga menyebabkan tingkat produksi kendaraan menurun drastis.
Pada tahun 1998 persentase penurunan total produksi industri otomobil Korea Selatan
akibat krisis Asia mencapai -30,7 persen (Lihat Tabel 4). Produksi kendaraan pada
tahun itu hanya mampu mencapai 1,9 juta unit. Padahal sejak tahun 1993, industri
otomobil Korea Selatan sudah mampu melakukan produksi kendaraan diatas 2 juta
unit setahun dan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Bahkan tepat sebelum
70
krisis Asia terjadi, yaitu pada tahun 1997, produksi industri ini hampir menembus
angka 3 juta dalam setahun.
Tabel 4.Produksi Industri Otomobil Korea Selatan Pasca Krisis Asia 1998-2000
Sumber: Korea Automobile Manufacturers Association (2008).
Selepas krisis Asia, industri otomobil Korea Selatan kemudian terus
melanjutkan proses globalisasi industri. Hal ini ditandai dengan dibukanya pabrik
produksi luar negeri oleh Hyundai yaitu di Canada yang sempat ditutup pada tahun
1993 karena masalah operasional, dan India, Polandia, Rumania, serta China.
71
Kemudian pada tahun 2002 Hyundai masuk kembali ke pasar Amerika Serikat
dengan melakukan produksi lokal (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 48).
Memasuki periode baru setelah krisis ekonomi Asia, Hyundai menjadi pemain
utama dalam perjalanan industri otomobil di Korea Selatan. Hyundai menjadi satu-
satunya yang kepemilikan sahamnya masih didominasi oleh chaebol dalam negeri.
Dicken bahkan menyebutkan bahwa saat ini, hanya tersisa Hyundai yang menjadi
pemain dalam industri otomobil Korea Selatan (Dicken, 2011: 355).
Dengan melakukan akuisisi terhadap Kia Motor, Hyundai makin
memperbesar dominasinya dalam pembagian pasar domestik. Salah satu alasan utama
dibalik pembelian Kia adalah untuk menjaga pasar dalam negeri dari masuknya
beberapa pelaku industri otomobil luar negeri yang mengakuisisi perusahaan-
perusahaan otomobil lokal. Dengan kata lain, pembelian Kia ditujukan untuk
mengimbangi kekuatan pelaku industri luar yang masuk ke dalam persaingan pasar
domestik, setelah semakin terbukanya ekonomi Korea Selatan pasca krisis Asia.
Dengan kombinasi kapasitas dan kapabilitas keduanya, industri otomobil dalam
negeri Korea Selatan akan semakin kuat dalam menghadapi proses globalisasi
industri (Chung & Park, 2009: 5).
C. Hyundai Sebagai “National Champion”
Berbicara mengenai industri otomobil Korea Selatan tidak mungkin lepas dari
salah satu chaebol yang paling berhasil dalam membangun usahanya dalam sektor ini
yaitu Hyundai. Dikatakan paling berhasil karena Hyundai berada pada peringkat
72
pertama dari segi jumlah produksi, volume ekspor, pengembangan produk dan
sebagainya dibandingkan dengan pelaku industri otomobil lainnya di Korea Selatan.
Hyundai dan Kia yang merupakan anak perusahaannya, memproduksi sekitar 78,1
persen30 dari keseluruhan total produksi industri otombil dalam negeri. Sementara itu
produksi keduanya pada pabrik-pabrik yang tersebar di luar negeri mencapai 2,6 juta
unit pada tahun 2010 (KAMA, 2011: 5).
Gambar 3.Kapasitas Produksi Global Hyundai
Sumber: Korea Automobile Manufacturers Association (2011).
30 Data tahun 2009 yang diambil dari laporan tahunan KAMA.
73
Berdasarkan gambar Gambar 3, dapat dikatakan bahwa Hyundai telah
melakukan globalisasi industri dengan mendirikan beberapa pabrik perakitan di
berbagai negara di dunia seperti Amerika, China, India, Rusia Turki dan Ceko.
Kenyataan ini semakin menegaskan keberhasilan Hyundai dalam membangun
perusahaannya sebagai salah satu pelaku industri otomobil yang berhasil tidak hanya
pada level domestik namun juga pada level global. Oleh karena itu, perjalanan
Hyundai dalam proses industrialiasi di Korea Selatan khususnya industri otomobil,
menjadi salah satu bagian penting untuk dibahas didalam tulisan ini.
C.1. Dari Bengkel Reparasi Menjadi Pembuat Mobil
Hyundai yang dalam bahasa berarti “modern”, awalnya merupakan bengkel
reparasi kendaraan yang didirikan oleh Chung Ju-yung pada tahun 1946. Bengkel
yang beroperasi pada masa kolonial tersebut kemudian menjadi langganan para
perwira atau tentara Jepang. Bisnis reparasai Chung berhasil dan menghasilkan
banyak keuntungan sehingga bisa melakukan ekspansi. Bengkel yang tadinya
merupakan one-man operatian tersebut berkembang dan kemudian mampu
mempekerjakan sekitar lebih dari lima puluh orang (Kim & Jaffe, 2010: 106).
Pada tahun 1947, Chung Ju-yung mengkonversi bengkel reparasi miliknya
tersebut menjadi perusahaan konstruksi dengan mendirikan Hyundai Engineering and
Construction Company (HECC). Selama perang Korea berlangsung hingga
diberlakukannya program FYEDP periode kedua oleh pemerintah, HECC menjadi
pelaku usaha yang memonopoli bisnis konstruksi di Korea Selatan. Pada tahun 1968,
74
HECC membangun jalan raya terpanjang pertama yang pernah dibangun oleh Korea
Selatan. Jalan tol Kyungbu yang menghubungkan Busan dan Seoul ini merupakan
proyek besar berskala nasional yang sangat monumental bagi masyarakat Korea
Selatan pada saat itu.
Dengan komitmen dan dukungan dari pemerintah yang ingin mengembangkan
industri otomobil dalam negeri, Chung kemudian memutuskan untuk ikut ambil
bagian dalam proses pengembangan industri tersebut dengan mendirikan Hyundai
Motor Company (HMC) pada tahun 1967. Ketika berdiri, Hyundai melakukan bagian
perakitan kendaraan penumpang berkapasitas kecil Cortina yang diproduksi oleh
Ford Motor. Keinginan untuk membangun kendaraan dengan model atau desain
sendiri membuat Hyundai menarik diri dari kerjasama teknik dengan Ford pada awal
1973 (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 51). Ketidaksepahaman mengenai kontrol
manajemen juga menjadi alasan lain yang menyebabkan berakhirnya kerjasama
antara Hyundai dan Ford tersebut.
Sejak melepaskan diri dari Ford, Hyundai menggandeng Mitsubishi dalam
membantu mewujudkan keinginan untuk membangun kendaraannya sendiri.
Mitsubishi memberikan bantuan teknik dan lisensi teknologi pada HMC untuk dapat
merealisasikan keinginanya tersebut. Kemudian Hyundai merekrut George Turnbull,
seorang desainer otomotif asal Inggris yang sebelumnya merupakan salah satu
pejabat eksekutif pada perusahaan otomobil British Motor.
Pada tahun 1976, Hyundai berhasil memproduksi kendaraannya sendiri yang
diberi label Pony. Kendaraan model pertama keluaran Hyundai ini menggunakan 90
75
persen suku cadang yang disediakan secara lokal. Mitsubishi memberikan kontribusi
berupa dukungan teknologi dan 10 persen modal dalam pembangunan kendaraan ini.
Beberapa saat setelah peluncurannya, Hyundai Pony kemudian menjadi kendaraan
yang paling sering dijumpai melintasi jalan tol Kyungbu.
Keberhasilan Hyundai membangun Pony, menjadikannya salah satu
perusahaan pembuat mobil terbaik di Korea Selatan. Pangsa pasar Hyundai pada
industri otomobil dalam negeri meningkat drastis dari yang hanya 19 persen pada
tahun 1970, menjadi 58 persen pada tahun 1977 (HECC, 1982: 52). Berdasarkan
keberhasilam Pony, Hyundai kemudian mulai bergerak untuk membangun sistem
produksi masal. Pabrik pertama Hyundai yang melakukan proses produksi masal
dibangun di Ulsan dengan kapasitas 100 ribu unit kendaraan setahun. Langkah awal
pembangunan sistem produksi masal ini dimulai dari tahun 1979 bersamaan dengan
pengembangan Pony generasi kedua. Seiring dengan berjalannya sistem produsi
masal, Hyundai kemudian melakukan ekspansi ke luar negeri. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya dalam tulisan ini, Pony generasi kedua yang mulai
dikembangkan pada tahun 1985 meraih kesuksesan besar di pasar Amerika.
Penerapan sistem produksi masal dan peluang melakukan ekspansi pasar,
mendorong Hyundai untuk maju lebih jauh lagi dengan mengembangkan beberapa
model lainnya, sehingga produk HMC memiliki beberapa varian yang bertujuan
untuk menangkap peluang pasar serta memperbesar skala ekonomi. Disamping Pony
generasi kedua berkapasitas 1,400cc atau yang lebih dikenal dengan label Excel,
beberapa varian HMC yang dikembangkan antara tahun 1980 sampai dengan 1990
76
antara lain; Stellar berkapasitas 1439cc dan 1597cc (1982), Sonata berkapasitas
1800cc dan 2000cc (1985), serta Elantra berkapasitas 1500cc dan 1800cc (1990).
Pengembangan varian-varian tersebut, seluruhnya dikerjakan melalui kerjasama
dengan Mitsubishi (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 52).
Dinamika ekonomi politik yang terjadi mulai akhir 1980an memberikan
pengaruh terhadap proses industrialisasi yang dijalani oleh Hyundai dan
menyebabkan beberapa perubahan mendasar. Beberapa dinamika tersebut antara lain;
Pertama, munculnya tuntutan internasional untuk melakukan relaksasi proteksi
pemerintah terhadap industri, disertai dengan tekanan ekspor dari negara-negara maju
yang mengalami defisit perdagangan dengan Korea Selatan. Kedua, terjadinya
restrukturisasi industri otomobil internasional berdampak pada peningkatan kapasitas
produksi yang menghasilkan kelebihan suplai produksi. Ketiga, terkait dengan
terjadinya proses demokratisasi politik dalam negeri yang kemudian memberikan
ruang bagi para pekerja dalam menyuarakan keinginannya untuk mendapatkan upah
yang lebih tinggi.
Tuntutan internasional agar pemerintah mereduksi proteksi terhadap industri
dalam negeri memberi peluang perusahaan luar melakukan ekspansi di Korea Selatan.
Hal ini kemudian menyebabkan berkurangnya pangsa pasar para pelaku industri
domestik. Ditambah lagi dengan tekanan dari negara tujuan ekspor yang mengalami
defisit perdagangan dengan Korea Selatan sehingga mengakibatkan ekspor Hyundai
merosot drastis pada akhir 1980an dan awal 1990an. Kebijakan pemerintah untuk
merevisi kebijakan monopoli pembuatan mobil penumpang berukuran kecil
77
menyebabkan Daewoo dan Kia ikut masuk kedalam segmen tersebut yang
sebelumnya hanya dikerjakan oleh Hyundai. Hal ini kemudian mematahkan monopoli
Hyundai dan berkontribusi mengurangi pangsa pasar domestik.
Terjadinya kelebihan suplai industri otomobil sejak 1980an yang disebabkan
oleh peningkatan kapasitas produksi secara besar-besaran, mendorong tumbuhnya
kerjasama strategis antara para pelaku industri utama dunia seperti Ford, GM, dan
Chrysler. Kerjasama dilakukan dengan melakukan merger atau akuisisi dengan tujuan
untuk mengatasi masalah kelebihan suplai produksi, lalu memperluas skala ekonomi
dan meningkatkan posisi perusahaan di pasar global. Situasi ini memaksa Hyundai
untuk memastikan strateginya ke depan agar dapat tetap bertahan dalam persaingan
internasional, melalui kerjasama strategis dengan pelaku industri otomobil lainnya
atau dengan melakukan pengembangan industri secara mandiri.
Perkembangan proses demokrasi di dalam negeri yang ditandai dengan
dilakukannya pemilihan Presiden secara demokratis untuk pertama kalinya pada
tahun 1987, membawa perubahan pada wajah pemerintahan yang pada awalnya
otoritarian. Dalam konteks industri, demokratisasi memberikan ruang bagi para
pekerja untuk dapat lebih menyuarakan keinginannya melalui serikat pekerja yang
sebelumnya dilarang. Pekerja yang pada masa sebelumnya selalu ditekan oleh
pemerintah dengan upah rendah, mulai memiliki kekuatan untuk meminta kenaikan
upah. Keadaan ini mengakibatkan daya saing industri otomobil Korea Selatan
menurun terutama yang berkaitan dengan biaya produksi upah buruh rendah. Hal ini
78
kemudian mendorong Hyundai untuk melakukan relokasi industri ke negara-negara
yang memiliki tenaga kerja murah seperti India dan China.
Berbagai dinamika tersebut, menyebabkan Hyundai kehilangan daya saing di
pasar domestik maupun internasional. Jumlah penjualan domestik turun drastis
terhitung sejak tahun 1986 hingga 1993. Terhitung penurunan pangsa pasar Hyundai
pada rentang waktu tersebut mencapai 34 persen, dimana semula pada tahun 1986
Hyundai menguasai 76 persen pasar domestik yang kemudian menjadi hanya 42
persen pada tahun 1993. Penjualan luar negeri juga bernasib serupa, dimana pada
tahun 1987 ekspor Hyundai mencapai 426 ribu unit kendaraan, turun menjadi hanya
256 ribu unit pada tahun 1991 (HMC, 1992: 16).
Sebagai respon, pada tahun 1994 Hyundai mengembangkan sebuah program
jangka panjang yang diberi nama GT-1031. Program ini bertujuan untuk menjadikan
Hyundai sebagai salah satu dari sepuluh perusahaan pembuat kendaraan terbesar di
dunia yang pada waktu itu ditargetkan akan terealisasi tahun 2000 (McDermott, 1996:
65). Untuk merealisasikan progrom tersebut, Hyundai melakukan globalisasi
produksi secara agresif, terutama ke negara-negara berkembang seperti Turki, India,
Malaysia, dan China.
Selain melakukan globalisasi produksi, Hyundai juga meningkatkan kapasitas
produksi domestiknya, dengan membangun pabrik baru dengan kapasitas 300 ribu
unit setahun. Kemudian, Hyundai melakukan ekstensifikasi produk dengan membuat
varian kendaraan berkapasitas besar 4000cc dan kendaraan model yang lebih
31 Global Top 10 Project.
79
premium. Kedua hal tersebut dilakukan oleh Hyundai bersamaan dengan
meningkatkan kapabilitas teknologi produksi (Lansbury, Suh, & Kwon, 2007: 53).
Dengan melakukan upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi, Hyundai
membutuhkan ekstensifikasi pasar guna menyerap output yang dihasilkan. Untuk itu,
Hyundai berusaha melepaskan ketergantungannya terhadap pasar Amerika dan
melakukan ekspansi dengan melakukan ekspor ke negara-negara lain. Sebagai
hasilnya, Hyundai berhasil melakukan diversifikasi pasar. Pasar ekspor Hyundai yang
pada tahun 1986 tersebar di 65 negara, bertambah lebih banyak menjadi 141 negara
pada tahun 1994.
Dalam perjalanan merealisasikan target yang ingin dicapai dalam program
GT-10, Hyundai mendapatkan hambatan pada tahun 1997 ketika krisis ekonomi
melanda Asia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, krisis tersebut
mengakibatkan output industri otomobil Korea Selatan menurun drastis. Namun,
langkah Hyundai mengakuisisi Kia yang mengalami kebangkrutan akibat krisis
tersebut, menjadikannya berhasil mencapai target program GT-10. Capaian yang
diraih Hyundai saat itu, selain sebagai perusahaan pembuat mobil terbesar kesepuluh
di dunia diukur dari kapasitas produksi, salah satu chaebol terbesar di Korea Selatan
tersebut juga mampu mempekerjakan 37 ribu orang melalui tiga pabriknya yang
tersebar di wilayah Ulsan, Chonju, dan Assan (Chosun Media, 1999).
Satu dekade kemudian, Hyundai terus berkembang dan melakukan globalisasi
industri dengan membuka pusat produksi di beberapa negara dunia seperti, Amerika
Serikat, India, China, Turki, Republik Ceko, Rusia, dan Brazil. Seluruh pusat
80
produksi tersebut mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi 78 ribu orang.
Kemudian pada tahun 2010 tersebut, produksi Hyundai yang berhasil terjual di
seluruh dunia mencapai seakitar 3,6 juta unit dalam setahun (Hyundai Motor
Manufacturing Alabama, 2013). Perkembangan yang telah dicapai ini
menggambarkan keberhasilan Hyundai menjadi salah satu pelaku industri otomobil
terbesar di dunia.
Keberhasilan Hyundai melakukan transformasi dari sebuah bengkel reparasi
kecil menjadi salah satu pembuat mobil terbaik di dunia dipertegas dengan
penghargaan North American Car of the Year yang diraih oleh genesis pada tahun
2009. Penghargaan ini merupakan penghargaan bergengsi yang dianugrahi oleh
sekelompok wartawan otomotif terkemuka yang beranggotakan 50 orang dan sangat
diinginan oleh para pelaku industri otomobil dunia (Kim & Jaffe, 2010, hal. 100).
Untuk mendapatkan penghargaan tersebut, Genesis yang merupakan salah satu varian
Hyundai tipe sedan premium, harus bersaing dengan kendaraan-kendaraan mewah
produksi Lexus, Mercedes, dan BMW. Penghargaan ini juga menandai kesuksesan
Hyundai melakukan upgrading dalam proses industri. Hyundai yang tadinya lebih
dikenal sebagai produsen mobil berpenumpang kecil atau entry level dengan harga
terjangkau, kemudian mulai mendapat pengakuan sebagai salah satu produsen mobil
mewah berkelas dunia.
C.2. Dari Imitasi Menuju Inovasi
81
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa perkembangan industri
otomobil Korea Selatan dibagi menjadi tiga tahapan yaitu; Tahap persiapan
melakukan produksi lokal, tahap pembangunan model atau desain sendiri, dan tahap
ekspansi produksi dan globalisasi industri. Seiring dengan proses perjalanan dari satu
tahapan ke tahapan selanjutnya, baik Hyundai maupun pelaku industri otomobil
lainnya melakukan apa yang disebut sebagai proses imitasi menuju inovasi.
Keberhasilan Hyundai menjadi salah satu pelaku industri otomobil terbesar di dunia
tidak terlepas dari bagaimana strategi mereka dalam menjalankan proses yang
dimaksud, sehingga pergeseran dari imitasi menuju inovasi dapat berlangsung secara
efektif guna memberikan kontribusi bagi kemajuan yang ingin dicapai.
Proses imitasi menuju inovasi berhubungan dengan pengembangan kapabilitas
dalam membangun industri. Menurut Joseph Yun (2007), pengembangan tersebut
dilakukan dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi secara efektif dalam
rangka mengasimilasi, menggunakan, mengadaptasi dan mengubah sumber yang
sudah ada (Yun, 2007: 34). Dari apa yang dikemukakan oleh Yun tersebut, dapat
dilihat bahwa proses imitasi menuju inovasi dapat diartikan juga sebagai suatu proses
yang melalui tahapan-tahapan asimilasi, penggunaan, dan pengadaptasian sumber-
sumber yang tersedia dalam pengembangan industri. Sebagai langkah awal, imitasi
terjadi dalam proses asimilasi yang terjadi antara pelaku usaha dalam dengan luar
negeri. Proses berikutnya yaitu penggunaan dan pengadaptasian sumber yang tersedia
berjalan dengan melakukan inovasi dalam industri. Selain itu, Yun juga menekankan
82
efektifitas penggunaan sumber pengetahuan dan teknologi dalam proses imitasi
menuju inovasi tersebut agar pengembangan kapabilitas dapat berlangsung optimal.
Pengembangan kapabilitas dalam proses industri yang dilakukan oleh
Hyundai kemudian ditentukan oleh kemampuannya dalam menyerap sumber
pengetahuan dan teknologi yang tersedia. Kemampuan ini kemudian akan
mempengaruhi berjalannya proses imitasi menuju inovasi yang dilakukan dalam
proses pembangunan industri. Sebagai pelaku industri yangda pasaat itu berasal dari
negara berkembang, Hyundai memiliki keterbatasan sumber pengetahuan dan
teknologi. Karenanya, Hyundai memerlukan keterlibatan pelaku industri otomobil
dari negara maju yang berperan sebagai penyedia sumber pengetahuan dan teknologi
yang dibutuhkan guna meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri.
Ketika Hyundai memutuskan untuk masuk sebagai salah satu pelaku industri
otomobil dalam negeri pada tahun 1967 dengan mendirikan HMC, salah satu chaebol
terbesar di Korea ini tidak memiliki pengalaman dalam proses pembuatan kendaraan.
Oleh sebab itu, pilihan satu-satunya untuk memulai proses tersebut adalah dengan
melakukan kerjasama teknik untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dari
pelaku industri otomobil yang telah memilikinya. Oleh sebab itu, pada tahun 1968
Hyundai menyetujui perjanjian kerjasama dengan Ford untuk menjadi bagian dari
rantai produksi pelaku industri otomobil asal Amerika tersebut. Hyundai kemudian
merakit salah satu varian kendaraan yang diproduksi oleh Ford yaitu Cortina.
Proses pengembangan kapabilitas produksi yang dilakukan oleh Hyundai
melalui kerjasama tersebut, diawali dengan mengirimkan tenaga kerjanya untuk
83
belajar ke pabrik Ford. Kemudian, Ford juga mengirimkan tenaga ahlinya ke Hyundai
untuk membantu mereka menerjemahkan pengetahuan yang bersifat tacit32 yang tidak
bisa dikodifikasi dalam proses perakitan kendaraan. Dengan kehadiran tenaga ahli
dari Ford tersebut, pekerja Hyundai dapat mengartikulasi pengetahuan yang tadinya
bersifat tacit, menjadi pengetahuan yang lebih eksplisit. Pengetahuan yang lebih
eksplisit itu kemudian mempermudah aplikasi pengetahuan yang dimaksud dalam
proses kegiatan produksi atau berjalannya industri bagi Hyundai.
Selanjutnya, Ford juga berperan melakukan transfer pengetahuan dan
teknologi dalam memenuhi kebutuhan atau kemampuan Hyundai untuk menjalankan
industri otomobil pada bidang perencanaan dan koordinasi. Transfer pengetahuan
yang dilakukan Ford juga berperan membantu Hyundai dalam melakukan teknik
produksi, proses pembuatan, manajemen produksi, pengelasan, pengecatan, servis
purna jual, dan pemasaran (Kim, 1998: 510). Kerjasama antara Ford dengan Hyundai
dan besarnya peran Ford dalam transfer pengetahuan dan teknologi kepada salah satu
chaebol terbesar di Korea Selatan ini, dapat digambarkan sebagai asimilasi dalam hal
teknik operasional yang merupakan pintu masuk fase imitasi pada proses
industrialisasi otomobil yang dilakukan oleh Hyundai.
Selain mengefektifkan kerjasama dengan Ford, Hyundai juga mendorong
peningkatan kapabilitas industri dari dalam. Dengan menetapkan target yang tinggi,
32 Tacit Knowlede merupakan pengetahuan yang sangat mengakar dalam pikiran dan jiwa manusia sehingga sangat sulit diterjemahkan dalam bentuk verbal maupun tulisan. Transfer pengetahuan yang bersifat tacit hanya akan efektif apabila terjadi kontak personal dan interaksi yang reguler (Goffin & Koners, 2011).
84
Hyundai memaksa struktur di dalamnya untuk bekerja lebih giat. Pada saat itu,
Hyundai menetapkan target untuk menyelesaikan pembuatan pabrik dengan
menetapkan waktu pengerjaan terpendek. Hal ini menyebabkan, para insinyur,
teknisi, dan pekerja kontruksi bekerja selama 16 jam sehari dan 7 hari dalam
seminggu. Intensitas kerja yang tinggi diantara pekerja menghasilkan interaksi yang
tinggi diantara mereka, sehingga terbangun diskusi yang menghasilkan penyebaran
pengetahuan dan efektifitas organisasional dalam bekerja.
Sebagai hasil, Hyundai mampu menyelesaikan proses pembangunan dari awal
dimulai sampai dengan produksi pertama hanya dalam waktu enam bulan, tercepat
diantara 118 pabrik Ford lainnya yang tersebar di seluruh dunia (Kim, 1998: 511).
Asimilasi yang terjadi antara kapabilitas teknologi dari luar dengan kapasitas pekerja
dari dalam yang memiliki etos kerja tinggi, menghasilkan efektifitas dalam proses
tersebut, sehingga perkembangan industri otomobil dapat berlangsung optimal.
Selepas menarik diri dari Ford untuk mengembangkan kendaraan dengan
model atau desain sendiri, Hyundai membangun pabrik baru yang merepresentasikan
perubahan drastis dari strategi sebelumnya yang hanya sebagai perakit kendaraan
luar. Pabrik yang mulai dibangun pada tahun 1973 tersebut menjadi simbol bagi
kelahiran mobil nasional Korea. Meskipun saat itu produksi pabrik tersebut jauh
dibawah yang direncanakan, yaitu 5426 unit berbanding 80 ribu unit, Hyundai tetap
dapat dikatakan berhasil membawa Korea Selatan sebagai negara berkembang
pertama yang memiliki mobil nasional dan berhasil membangun industri otomobil
dalam negerinya.
85
Pengembangan kapabilitas dalam membangun mobil pertamanya yang
dilabeli Pony, dilakukan dengan menggandeng Italdesign untuk menangani bagian
desain dan model bodi, serta Mitsubishi untuk membangun bagian mesin dan
transmisi. Selain itu, Mitsubishi juga berperan dalam pengembangan kapabilitas
pembuatan desain as roda belakang dan teknologi pengecoran. Dalam prosesnya,
upaya pengembangan kapabilitas yang dimaksud, dilakukan dengan mengirimkan
teknisi Hyundai ke para penyedia teknologi tersebut untuk melakukan pelatihan.
Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa setelah lepas dari Ford, Hyundai
menerapkan kebijakan atau strategi menggunakan sumber pengetahuan dan teknologi
dari sumber yang berbeda daripada menggunakan satu sumber saja. Bahkan dalam
perkembangannya tidak jarang Hyundai menggunakan dua sumber yang berbeda
untuk sebuah teknologi yang sama (Amsden, 1989: 175). Hal ini dilakukan untuk
mengurangi ketergantungan terhadap satu sumber saja, sehingga Hyundai dapat
menjaga independensinya dari para pelaku industri otomobil luar negeri yang
merupakan penyedia sumber pengetahuan dan teknologi.
Kebijakan atau strategi untuk menggunakan lebih dari satu sumber tersebut,
menjadikan Hyundai sebagai pelaku industri otomobil domestik yang paling banyak
melakukan kerjasama luar negeri dalam rangka penyerapan teknologi, dibandingkan
dengan pelaku industri otomobil lainnya di Korea Selatan. Dari awal berdiri hingga
tahun 1985, Hyundai telah melakukan perjanjian kerjasama sebanyak 54 kali dengan
pelaku industri otomobil atau supplier dari luar negeri, jauh lebih besar dibandingkan
dengan para pelaku industri otomobil dalam negeri lainnya seperti, Daewoo yang
86
melakukan perjanjian kerjasama hanya sebanyak 22 kali, Kia sebanyak 14 kali dan
Ssyangyong sebanyak 9 kali. Intensifikasi kerjasama yang dilakukan antara pelaku
industri otomobil dalam negeri dengan pelaku industri otomobil luar negeri
menghasilkan terjadinya asimilasi industri.
Kerjasama yang menghasilkan asimilasi industri tersebut, terjadi dengan
serangkaian proses imitasi yang dilakukan oleh Hyundai ketika menjadi perakit
kendaraan yang merupakan produksi Ford. Proses ini terus terjadi saat Hyundai
membangun kendaraan sendiri dengan menggunakan lisensi dari Italdesign dan
Mitsubishi. Linsu Kim membedakan proses imitasi dalam industri menjadi dua, yaitu
imitasi duplikatif dan imitasi kreatif (Kim, 1998: 512). Dari pembedaan tersebut,
dapat dikategorikan bahwa fase imitasi duplikatif berlangsung ketika Hyundai
merakit Cortina,. Sedangkan fase imitasi kreatif terjadi ketika Hyundai membangun
mobil sendiri dengan mengandalkan lisensi dari Italdesign dan Mitsubishi.
Selain melakukan kerjasama dengan para pelaku industri otomobil dari luar
negeri yang berasal dari negara maju, upaya lainnya yang dilakukan oleh Hyundai
untuk meningkatkan kapabilitas produksinya adalah melakukan pengembangan R&D
dalam negeri. Pengembangan R&D merupakan bagian penting dalam proses produksi
yang berperan untuk menciptakan inovasi sehingga Hyundai dapat melakukan
upgrading. Dapat dikatakan, bahwa proses menuju inovasi yang dilalui oleh Hyundai
merupakan manifestasi dari pengembangan R&D yang dilakukan oleh salah satu
chaebol terbesar di Korea Selatan tersebut.
87
Inovasi yang dihasilkan melalui pengembangan R&D merupakan faktor
penting bagi pelaku industri untuk dapat bertahan dalam proses industrialisasi.
Investasi yang dilakukan pada kegiatan R&D bertujuan untuk dapat terus
mengembangkan produk terbaru dengan peningkatan kualitas, teknologi, dan proses
produksi yang kesemuanya membutuhkan inovasi. Dengan melakukan kegiatan R&D
yang menghasilkan inovasi, Hyundai dapat mempertahankan pertumbuhan industri
yang berkelanjutan.
Pengembangan R&D dalam industri otomobil, mulai dilakukan oleh Hyundai
pada tahun 1975 yang disebut oleh Linsu Kim (1998) sebagai “primitive research
and development center”. Upaya pengembangan ini dilakukan oleh Hyundai untuk
melakukan facelifting atau pengembangan bentuk kendaraan compact33 yang
diproduksi pada saat itu. Sedangkan upaya dalam membangun kapabilitas atau
kemampuan untuk memproduksi kendaraan sendiri baru terlihat pada tahun 1984,
ketika Hyundai mulai mengembangkan institusi riset dan menggunakan teknik atau
teknologi tinggi untuk membangun mesin serta transmisi buatan sendiri. Institusi riset
yang dikembangkan oleh Hyundai meliputi, pusat riset kendaraan berpenumpang,
pusat riset kendaraan komersial, dan pusat riset teknologi manufaktur.
Selain mengembangkan institusi R&D secara mandiri, Hyundai juga
membangun kerjasama R&D dengan lembaga pendidikan tinggi atau universitas
lokal. Kemudian, Hyundai juga mengembangkan pusat riset di luar negeri untuk
mendukung aktivitas produksi dan ekspansi global. Pada tahun 1986, Hyundai
33 Kendaraan/mobil berpenumpang kecil.
88
membuka Hyundai American Technical Center Inc di Michigan, dan Hyundai Styling
Studio di Los Angeles, untuk mendukung kegiatan R&D bagi kendaraan yang
dipasarkan di Amerika Serikat. Untuk pengembagan desain dan teknologi kendaraan
yang dipasarkan di Eropa, Hyundai mendirikan technical center di Frankfurt Jerman.
Pada tahun 1997, Hyundai juga mendirikan pusat pengembangan R&D di Jepang
sebagai langkah awal untuk masuk ke pasar negara tersebut. Berbagai langkah ini
didukung oleh peningkatan investasi dalam R&D yang dilakukan oleh Hyundai.
Tercatat dari tahun 1975 sampai dengan tahun 1994, Hyundai melakukan peningkatan
yang cukup signifikan dalam alokasi dana investasi (Lihat Tabel 5).
Tabel 5.Investasi R&D Hyundai (HMC) 1975-1994
*(Unit dalam milyar won)Sumber: Linsu Kim (1998).
Tabel 5, memperlihatkan keseriusan Hyundai dalam melakukan investasi pada
kegiatan R&D untuk dapat mengembangkan inovasi dalam proses industrialisasi
khususnya industri otomobil. Peningkatan investasi dalam kegiatan R&D yang
dilakukan oleh Hyundai dapat dilihat dari penambahan besaran dana investasi dari
89
tahun ke tahun, dimana pada tahun 1975 tercatat sebesar 1,1 milyar won dana
dikeluarkan untuk melakukan kegiatan R&D oleh Hyundai, meningkat menjadi 4,2
milyar won pada tahun 1986, dan 4,4 milyar won pada tahun 1994. Disamping itu,
keseriusan juga dapat dilihat dari peningkatan jumlah peneliti yang bertambah pada
periode tersebut, dimana pada tahun 1975 hanya sebanyak 197 orang, meningkat
drastis menjadi 2247 orang pada tahun 1986, dan meningkat terus menjadi 3890
orang pada tahun 1994.
Selain dilakukan secara mandiri, kegiatan R&D yang dikembangkan oleh
Hyundai dalam proses industri otomobil juga mendapat dukungan dari pemerintah.
Seperti yang ditunjukan oleh kebijakan teknologi di Korea Selatan pada tahun 1990an
menetapkan target untuk membangun inovasi nasional dengan sistem yang maju,
setara dengan negara-negara industri maju (Lee & Morris, 2000: 278). Kebijakan ini
dan tergetnya secara eksplisit dinyatakan dalam rencana pembangunan atau FYEDP
yang ketujuh.
Untuk mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi, pemerintah
mengarahkan kebijakan dengan meningkatkan investasi pada kegiatan R&D di
universitas agar menghasilkan peneliti-peneliti yang kreatif (Yun, 2007: 42).
Kemudian, pemerintah juga menjadi sponsor bagi program pengembangan R&D
nasional. Dengan menjadi sponsor, pemerintah berusaha membangun sistem inovasi
nasional yang dikemudikan oleh sektor privat. Pemerintah juga memberikan
kemudahan regulasi dan meningkatkan dukungan dalam sistem pengembangan R&D
kepada pelaku industri termasuk Hyundai, sehingga penyebaran teknologi baru yang
90
dihasilkan oleh inovasi dapat dilakukan dengan lebih cepat. Dengan demikian,
pemerintah memberikan posisi yang dominan dan kesempatan yang luas kepada
swasta dalam proses pengembangan riset untuk industri.
Dengan pengembangan R&D secara berkelanjutan dan didukung oleh peran
pemerintah dalam kegiatan tersebut, Hyundai dapat terus melakukan inovasi untuk
bisa bertahan dari persaingan industri otomobil internasional. Untuk menjadi salah
satu yang terbaik dalam persaingan industri otomobil global, Hyundai berkomitmen
untuk selalu memperkenalkan produk baru setiap tahunnya. Produk life cycles dalam
rentang waktu relatif pendek hanya mungkin dilakukan apabila inovasi yang
dihasilkan oleh kegiatan R&D juga memadai.
Selain itu, pengembangan R&D sebagai pembuka pintu terciptanya inovasi,
juga menyediakan ruang bagi Hyundai untuk dapat melakukan peningkatan
kapabilitas produksi dan teknologi dari waktu ke waktu, sehingga akhirnya pada
tahun 1994 Hyundai dapat memproduksi kendaraan sendiri yang diberi nama accent
dengan dukungan seratus persen in house R&D. Artinya Hyundai sudah dapat
memproduksi kendaraan dengan mengandalkan desain dan teknologi yang seratus
persen dikembangkan sendiri, berbeda ketika sebelumnya masih meminjam teknologi
dari luar negeri, yaitu dari Italdesign dan Mitsubishi.
Hyundai accent yang diproduksi pada tahun 1994 dapat dikatakan merupakan
lambang keberhasilan bagi Hyundai dalam melakukan transformasi atau proses
pergeseran dari imitasi menuju inovasi. Dengan diproduksinya Accent menggunakan
desain dan teknologi yang sepenuhnya dikembangkan sendiri, memberi gambaran
91
bahwa investasi serta dukukngan pemerintah dalam pengembangan R&D, berhasil
membawa Hyundai dari yang tadinya hanya merupakan perakit mobil milik pelaku
industri otomobil negara maju, menjadi salah satu pelaku industri otomobil yang
mampu memproduksi kendaraan secara mandiri dan mampu bersaing secara global.
Proses inovasi yang dilakukan oleh Hyundai, tidak berhenti sampai disitu saja.
Persaingan internasional dan komitmen Hyundai untuk menjadi salah satu yang
terbaik di dunia membutuhkan proses inovasi berkelanjutan, agar produk yang
dihasilkan dapat tetap bertahan di dalam kompetisi global. Selain itu inovasi juga
memberikan Hyundai kemampuan untuk bermain di berbagai macam varian
kendaraan, dimana pada awalnya Hyundai hanya memproduksi kendaraan jenis
compact. Dengan melakukan inovasi, Perusahaan otomobil terbesar di Korea ini
mulai masuk ke segmen kendaraan mewah dan berhasil membangun Hyundai
Genesis yang mendapat penghargaan Car of the Year di Amerika pada tahun 2009.
Penghargaan ini dapat dilihat sebagai keberhasilan inovasi berkelanjutan yang
dilakukan oleh Hyundai sehingga mampu bersaing dengan pelaku industri otomobil
negara maju seperti Lexus dan Mercedes yang menjadi kompetitor mereka dalam
pasar tersebut.
BAB IIINEXUS ANTARA PEMERINTAH DENGAN CHAEBOL
Pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam pembangunan
ekonomi di Korea Selatan telah menciptakan struktur perekonomian yang didominasi
92
oleh konglomerasi atau biasa disebut sebagai chaebol. Pemerintah menggunakan
chaebol sebagai agen sektor privat dalam proses industrialisasi dan pembangunan
ekonomi disana, terutama dalam mengimplementasikan kebijakan industrialisasi
berorientasi ekspor pada masa pemerintahan Park Chung-hee (Kwon & O'Donnell,
2001: 20). Kedekatan hubungan dalam pembangunan ekonomi dengan pemerintah
ini, memungkinkan chaebol untuk melakukan transformasi dari bisnis berskala kecil
dan menengah berubah menjadi konglomerasi berskala besar.
Para pelaku usaha yang memulai dari bawah dan kemudian menjelma menjadi
raksasa bisnis ini, memiliki peran penting dalam proses pembangunan ekonomi di
Korea Selatan. Dalam perjalanannya, tidak jarang chaebol dapat mempengaruhi
pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sehingga dapat dikatakan bahwa
tarik menarik kepentingan antara pemerintah dengan chaebol juga mempengaruhi
output kebijakan ekonomi di Korea Selatan.
Pemerintah dan chaebol menjadi faktor penting dalam proses pembangunan
ekonomi dan industrialisasi di Korea Selatan, sehingga nexus antara kedua aktor
tersebut perlu dijelaskan lebih jauh lagi agar didapat pemahaman yang lebih
komprehensif tentang keberhasilan yang telah dicapai negara tersebut dalam proses
pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan.
Sebelum melihat bagaimana posisi keduanya dalam proses yang dimaksud,
tulisan ini akan membahas tentang chaebol terlebih dahulu, dan kemudian melihat
bagaimana posisi konglomerasi yang merupakan raksasa bisnis tersebut dalam proses
industrialisasi di Korea, serta pola hubungannya dengan pemerintah dalam konteks
93
pembangunan ekonomi. Selain itu, kemampuan pemerintah merespon dinamika yang
terjadi dalam hubungannya dengan chaebol guna menentukan pilihan kebijakan atau
yang disebut sebagai state capacity untuk melakukan transformasi dan upgrading
juga akan dibahas pada bagian ini.
A. Memahami Chaebol
Pembangunan ekonomi Korea Selatan dan tingginya pertumbuhan yang
diperoleh dalam persaingan internasional tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa
menyertakan peran penting chaebol dalam proses tersebut (Mee Kim, 1997: 51).
Kelompok bisnis besar yang dimiliki dan dikelola oleh sekumpulan orang dengan
ikatan keluarga ini telah menempati posisi yang esensial dalam perekonomian di
Korea Selatan (Jwa, 2001: 9). Peran penting dan posisi esensial chaebol dalam proses
pembangunan Korea Selatan akan dapat lebih mudah dipahami dengan mengetahui
latar belakang berdirinya sebelum kemudian melihat bagaimana proses transformasi
yang dilakukan raksasa bisnis tersebut dalam kegiatan industrialisasi disana.
A.1. Berdiri dan Berkembangnya Chaebol
94
Kata chaebol berasal dari kata zaibatsu34 dalam bahasa Jepang, dimana
keduanya dapat ditulis secara identik dalam karakter atau huruf Cina yang bermakna
konglomerat atau kelompok bisnis besar (Lee Y.-H. , 1997: 16). Selain kesamaan
karakter tersebut, sejarah berdirinya chaebol memang sangat dipengaruhi oleh
Jepang, dimana Korea pernah menjadi bagian dari subordinasi Jepang secara politik
dan ekonomi dari tahun 1910 hingga tahun 1945. Sehingga, dapat dikatakan bahwa
pengaruh Jepang dalam struktur ekonomi politik di Korea sangat besar35.
Struktur chaebol di Korea Selatan juga tidak berbeda jauh dengan zaibatsu di
Jepang, keduanya dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki ikatan darah atau
keluarga. Selain sebagai pemilik mereka juga terlibat dalam struktur kepengurusan
atau sebagai pengelola, berbeda dengan kelompok bisnis besar modern yang tumbuh
di Jepang setelah perang dunia kedua, biasa disebut dengan keiretsu yang pengelolaan
usahanya diserahkan kepada orang lain atau manajer profesional. Selain karakter
huruf dan struktur, chaebol dan zaibatsu juga memiliki banyak kesamaan lainnya
seperti, memiliki peran yang cukup besar dalam berjalannya proses perekonomian
domestik, mampu mencapai pertumbuhan signifikan dalam waktu relatif singkat
dengan proteksi dan dukungan yang kuat dari pemerintah.
Menurut sejarahnya, chaebol merupakan kelompok usaha yang berawal dari
usaha kecil dan menengah, didirikan oleh pengusaha pribumi pada masa era kolonial
34 Kelompok bisnis yang mendominasi perekonomian Jepang sampai akhir perang dunia kedua yang muncul ketika negara tersebut memasuki era modernisasi atau era Meiji.35 Pengaruh Jepang dalam kemajuan proses pembangunan industri di Korea Selatan akan dibahas dalam bagian selanjutnya yaitu bab keempat dalam tulisan ini.
95
Jepang (Lee Y.-H. , 1997: 16). Secara umum perkembangan chaebol dapat dibagi ke
dalam dua generasi. Generasi pertama, memulai bisnis mereka pada saat Jepang
berkuasa di Korea, dimana Samsung dan LG merupakan chaebol terbesar pada
generasi ini. Generasi kedua muncul atau lahir ketika rezim Park Chung-hee
berkuasa, dimana pada generasi ini Hyundai dan Daewoo merupakan yang terbesar
diantara chaebol-chaebol lainnya. Meskipun kemunculannya terbagi kedalam dua
generasi yang berbeda, namun chaebol benar-benar tumbuh dan berkembang ketika
Park Chung-hee menjadi pimpinan tertinggi dalam proses pembangunan industri
yang dilakukan oleh Korea Selatan. Pada saat rezim Park Chung-hee menjalankan
pemerintahan, chaebol mendapatkan dukungan penuh dari negara melalui berbagai
kebijakan strategis, sehingga dapat mencapai pertumbuhan secara signifikan dan
menjadi konglomerasi bisnis yang menguasai perekonomian Korea Selatan seperti
sekarang
Sebelum rezim Park Chung-hee berkuasa, chaebol baru saja memulai proses
transformasi dari kelompok usaha kecil menengah untuk menjadi raksasa bisnis di
Korea Selatan. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kebijakan-kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah pada masa transisi kekuasaan setelah Korea terlepas dari
Jepang. Para pelaku usaha yang dapat dikatakan menjadi pemburu rente ini,
mengambil keuntungan dengan menggunakan kebijakan pemerintah tersebut sebagai
jalan untuk melakukan akumulasi kapital dalam jumlah besar dengan waktu yang
relatif singkat. Setidaknya ada tiga kebijakan pemerintah yang dimanfaatkan oleh
pelaku usaha pada saat itu untuk melakukan akumulasi kapital yang dimaksud, antara
96
lain; penjualan properti peninggalan Jepang, alokasi selektif dana bantuan
pembangunan dari luar negeri, dan akses istimewa terhadap pinjaman modal dari
bank.
Kebijakan pemerintah untuk menjual berbagai properti peninggalan Jepang
menjadi sumber utama bagi para pelaku usaha untuk melakukan akumulasi kapital.
Properti yang dijual berupa pembangkit tenaga listrik, jalur kereta api, pabrik-pabrik,
dan jaringan komunikasi, merupakan 70-80 persen dari keseluruhan total aset industri
yang dimiliki oleh Korea Selatan pada saat itu (Kwang-ho, 1987: 96). Aset-aset
tersebut pada awalnya dikelola oleh AOPC36 setelah Jepang ditaklukan oleh sekutu
pada akhir perang dunia kedua. Kemudian sebagian besar aset industri yang masih
berjalan dan mempekerjakan banyak orang tersebut diserahkan kepada rezim
Syngman Rhee pada Agustus 1948.
Dengan menjalankan program pemerintah Chogsan Pulha37 pada bulan mei
1958, rezim Syngman Rhee menjual 263,774 unit properti termasuk 2029 perusahaan
dan 259,639 unit pabrik, tanah beserta propertinya, serta aset-aset lainnya. Program
ini merefleksikan keyakinan Rhee bahwa sistem ekonomi pasar bebas sangat penting
untuk memuluskan jalan Korea Selatan untuk melakukan transisi demokrasi (Chong-
ch'ol, 1976: 492). Properti yang dijual oleh pemerintah ini diberi nilai sesuai dengan
harga pasar dan dibayar melalui cicilan maksimal selama 15 tahun dengan uang muka
10 persen. Prioritas pembelian diberikan kepada manajer atau pekerja yang telah dua
36 American Office of the Property Custodian.37 Program pemerintah di era Syngman Rhee untuk memusnahkan (membagi) properti lawan.
97
tahun atau lebih bekerja pada perusahaan yang bersangkutan, kemudian pemilik
saham sebelumnya, dan atau pemilik tanah yang kehilangan tanahnya dikarenakan
kebijakan land reform.
Pada kenyataannya, praktek penjualan properti oleh pemerintah dibawah
rezim Syngman Rhee saat itu mengacu pada harga pasar saat Jepang masih
menguasai properti tersebut, yang artinya lebih rendah dari nilai aslinya pada saat itu.
Dengan kata lain, properti peninggalan Jepang tersebut dijual dengan harga murah
oleh pemerintah. Ditambah lagi dengan kemudahan metode pembayaran, dicicil
dalam waktu yang relatif panjang dan disertai uang muka rendah. Harga beli dari
berbagai properti peninggalan Jepang tersebut diperkirakan hanya senilai seperempat
dari nilai aslinya, bahkan tidak lebih dari itu (Young-iob, 1985: 15). Hal ini tentu saja
menjadi kesempatan bagi para pembeli properti tersebut untuk mendapatkan
keuntungan berlipat-lipat yang kemudian menghasilkan akumulasi kapital dalam
jumlah besar.
Selain itu, praktek pemberian prioritas pembelian juga berbeda pengaplikasian
dari perencanaannya. Prioritas pembelian diberikan kepada pelaku usaha yang
memiliki kedekatan secara personal dengan para pejabat di era rezim Syngman Rhee
atau dengan kata lain terjadi praktek nepotisme. Pelaku usaha yang memiliki
kedekatan dengan pejabat mendapatkan perlakuan istimewa yang ditukar dengan
kesepakatan politik berupa uang donasi untuk para pejabat atau politisi tersebut (Lee
Y.-H, 1997: 20). Dengan kata lain para pejabat atau politisi pada saat itu melakukan
praktek korupsi dalam melakukan penjualan properti peninggalan Jepang tersebut.
98
Praktek-praktek tersebut memperlihatkan bagaimana keadaan atau karakteristik
ekonomi politik di Korea Selatan pada era 1950an dibawah rezim Syngman Rhee.
Kebijakan berikutnya yang menjadi sumber akumulasi kapital bagi pelaku
usaha pada masa rezim Syngman Rhee adalah alokasi selektif dana bantuan
pembangunan dari luar negeri. Pada saat baru merdeka atau lepas dari Jepang, Korea
Selatan sangat bergantung pada dana bantuan luar negeri dalam melakukan
rekonsiliasi politik dan ekonomi. Selama periode 1945 sampai dengan 1965, Amerika
Serikat dan PBB memberikan dana bantuan ekonomi sebesar kurang lebih 3,8 milyar
dolar Amerika kepada Korea Selatan, termasuk sekitar 0,4 milyar bantuan militer
(Kwang-ho, 1987: 118). Besarnya ketergantungan terhadap dana bantuan luar negeri,
menyebabkan operasionalisasi perekonomian di Korea Selatan pada saat itu
dijalankan dengan menggunakan dana bantuan asing tersebut.
Dengan menggunakan dana bantuan itu, pemerintah menyediakan modal bagi
para pelaku usaha dalam bentuk pinjaman jangka panjang dan bunga yang rendah.
Dengan skema peminjaman tersebut, para pelaku usaha menjadi sangat diuntungkan
dan dapat menjadi peluang atau sumber untuk melakukan akumulasi kapital.
Disamping itu peminjam modal diprioritaskan kepada para pengusaha yang memiliki
kedekatan secara personal dengan para politisi yang sedang berkuasa dan menjabat
didalam pemerintahan. Hal ini menggambarkan terjadinya praktek korupsi, kolusi,
dan nepotisme dalam pemerintahaan pada saat itu.
Kebijakan pemerintah menjual properti dan pemberian bantuan modal kepada
pelaku usaha pada masa pemerintahan Syngman Rhee ini, kemudian menjadi dasar
99
bagi berdiri dan berkembangnya chaebol. Pada tahun 1961, tujuh dari sepuluh
chaebol terbesar yang terbentuk di Korea Selatan merupakan pengusaha yang
melakukan pembelian properti peninggalan Jepang dan kesepuluh chaebol tersebut
adalah penerima dana bantuan modal yang diberikan oleh pemerintah (Lihat Tabel 6).
Para pelaku usaha yang mendapatkan keuntungan dengan membeli properti murah
dari pemerintah dan mendapatkan bantuan modal tersebut, kebanyakan dari mereka
merupakan anggota atau orang-orang yang memiliki hubungan dengan partai liberal
yang dibentuk oleh Syngman Rhee (Shim & Lee, 2008: 75).
Tabel 6.Sepuluh Chaebol Terbesar Pada Tahun 1961
Sumber: Shim & Lee (2008).
Selain mengalokasikan dana bantuan asing sebagai modal yang dapat
dipinjam oleh pengusaha, pemerintah juga menggunakan dana tersebut untuk
100
menjaga nilai tukar mata uang yang ditetapkan secara fix terhadap dolar Amerika.
Menjaga nilai tukar mata uang ini dilakukan untuk menekan harga barang impor
sehingga para pelaku usaha mendapat keuntungan ketika mengimpor barang dari luar
negeri. Dengan menerapkan sistem nilai tukar fix tersebut, nilai won menjadi sekitar
50 persen diatas nilai yang seharusnya terhadap dolar Amerika (Young-iob, 1985:
18). Oleh karena itu, para pelaku usaha yang pada saat itu melakukan impor,
mendapat keuntungan sekitar setengah dari total nilai barang yang didatangkan dari
luar negeri. Metode-metode alokasi dana bantuan luar negeri yang dijalankan oleh
pemerintah diatas, menyebabkan pelaku usaha memperoleh keuntungan berlipat
ganda, sehingga dapat melakukan akumulasi kapital dalam jumlah besar.
Tabel 7.Distorsi Nilai Tukar Won Terhadap Dolar Amerika 1953-1960
Sumber: Lee Yeon-ho (1997).
Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa pemerintah Korea Selatan,
melakukan distrosi untuk menjaga nilai tukar won terhadap dolar Amerika. Pada
tahun 1953 mata uang Korea dipatok sebesar 18 won terhadap dolar Amerika,
101
sedangkan nilai aslinya mencapai 33,5 per dolar Amerika. Pemerintah harus
mensubsidi won sebesar 15,5 untuk setiap satu dolarnya agar mata uang Korea
Selatan tersebut berada pada nilai yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini
berlangsung terus selama pemerintahan Syngman Rhee berkuasa hingga tahun 1960,
dimana mata uang Korea dipatok 65 won per dolar Amerika yang nilainya 1,74 kali
lebih tinggi dari nilai aslinya yang mencapai 113,2 won per dolar Amerika.
Akumulasi kapital oleh para pengusaha yang merupakan proses awal
transformasi terbentuknya chaebol pada rezim Syngman Rhee juga dilakukan dengan
memanfaatkan pemberian akses istimewa terhadap pinjaman modal bank dari
pemerintah. Keadaan ekonomi pada tahun 1950an seperti, tingginya inflasi,
rendahnya ketersediaan dana pinjaman, dan rendahnya tingkat suku bunga,
mendorong pemerintah untuk melakukan intervensi secara politis dalam menentukan
alokasi atau pemberian akses terhadap dana pinjaman yang tersedia pada saat itu.
Intervensi ini membuka celah kepada para pejabat dan politisi untuk memberikan
akses istimewa kepada para pelaku usaha yang bersedia untuk mendanai kegiatan
politik mereka. Bahkan, sebagian besar dana pinjaman yang diberikan melalui akses
istimewa tersebut, dikembalikan lagi dalam bentuk dana kampanye untuk mendukung
partai liberal38 (Jones & Sakong, 1980: 273).
Di satu sisi pemerintah memanfaatkan kredit kepada pengusaha untuk
memperoleh dukungan dan legitimasi kekuasaan melalui dominasi ekonomi, disisi
38 Partai yang dibentuk oleh Syngman Rhee pada 17 Desember 1951 dan berhasil memenangkan pemilu di Korea Selatan pada tahun 1954.
102
lain para pelaku usaha memanfaatkan hal tersebut untuk melakukan akumulasi kapital
serta mendukung perkembangan usahanya agar menjadi besar. Para pelaku usaha
yang memiliki kedekatan personal dengan penguasa ini, kemudian bertransformasi
menjadi raksasa-raksasa bisnis atau chaebol, dengan mendapatkan banyak
keuntungan dari berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Dapat dikatakan bahwa pada era rezim pemerintahan Syngman Rhee, chaebol
mulai berdiri dan menapakan kakinya untuk menjadi raksasa bisnis di Korea Selatan.
Namun perkembangan atau pertumbuhan yang sangat pesat dialami oleh chaebol
justru terjadi ketika rezim Park Chung-hee berkuasa. Dibawah rezim Park Chung-hee
yang mulai memimpin pada tahun 1962, arah kebijakan Korea Selatan berubah total.
Park Chung-hee menerapkan kebijakan yang menekankan pentingnya peran negara
dalam pembangunan ekonomi, berbanding 180 derajat dengan pemerintahan
sebelumnya yang menerapkan kebijakan berbasis liberalisme ekonomi.
Komitmen rezim Park Chung-hee untuk membangun perekonomian
memberikan kontribusi terhadap perkembangan chaebol secara signifikan. Melalui
kebijakan program pembangunan lima tahunan, pemerintah mendorong chaebol
untuk berperan aktif dalam perekonomian. Peran chaebol dalam perekonomian di
Korea Selatan semakin meningkat ketika pemerintah menerapkan kebijakan HCI,
dimana pemerintah mengarahkan pembangunan ekonomi melalui proses
industrialisasi. Pemerintah memprioritaskan para pelaku usaha yang bersedia
melakukan aktifitas sesuai dengan arahan kebijakan pembangunan atau keinginan
pemerintah tersebut.
103
Pemerintah memberikan berbagai kemudahan dan insentif bagi para pelaku
usaha untuk menjalani proses industrialisasi sesuai dengan yang telah diarahkan.
Berbagai kemudahan dan insentif ini menyebabkan chaebol mampu berkembang
menjadi bisnis besar dalam waktu yang relatif singkat. Berbagai kemudahan dan
insentif tersebut antara lain berupa jaminan ketersedian modal bagi para pelaku
industri, berbagai kemudahan dan insentif pajak dalam melakukan ekspor dan impor
barang modal, proteksi terhadap persaingan dengan kompetitor asing, dan kemudahan
kemudahan lainnya.
Chaebol melakukan diversifikasi bisnis mereka sebagai respon aktif terhadap
kebijakan ekonomi atau sesuai dengan keinginan pemerintah agar dapat menikmati
berbagai dukungan finansial dalam menjalankan bisnis. Diversifikasi dilakukan
berdasarkan kebijakan HCI yang mulai diberlakukan rezim Park Chung-hee pada
awal 1970an. Para chaebol kemudian melakukan investasi bisnis pada sektor industri
berat dan kimia yang diarahkan oleh pemerintah pada saat itu, seperti industri
perkapalan, semikonduktor, elektronik, otomobil dan lain-lain.
Pemerintah memberikan perlakuan istimewa kepada para pelaku usaha atau
chaebol yang menjalankan bisnis sesuai dengan sektor-sektor yang terdapat di dalam
kebijakan HCI tersebut. Hal ini memberikan dampak positif terhadap perkembangan
chaebol pada saat itu. Beberapa chaebol tersebut bahkan saat ini merupakan simbol
bagi kemajuan ekonomi yang telah dicapai oleh Korea Selatan selama beberapa
dekade terakhir. Chaebol-chaebol tersebut antara lain Samsung, LG, Hyundai, Kia
dan Daewoo.
104
Keempat chaebol tersebut melakukan diversifikasi bisnis mereka sesuai dengan
arahan pemerintah melalui kebijakan HCI. Samsung misalnya, menjalankan usahanya
dengan tiga core bisnis yang berkaitan dengan kebijakan HCI yaitu, elektronik dan
informasi, peralatan permesinan, serta kimia (Lihat Tabel 8). Sedangkan Hyundai
membagi core bisnisnya menjadi pembuatan kendaraan dan peralatan transportasi,
elektronik dan informasi, serta sumber energi. Hyundai kemudian dikenal sebagai
chaebol produsen kendaraan nomor satu di Korea Selatan dan juga salah satu yang
terbesar di dunia. Sedangkan Samsung dikenal sebagai chaebol yang menciptakan
barang-barang elektronik dan gadget dengan kemampuan inovasi kelas dunia atau
salah satu yang terbaik di dunia.
Kebijakan HCI yang diterapakan oleh pemerintah pada tahun 1970an,
merupakan faktor penting yang membentuk wajah perekonomian Korea Selatan saat
ini. Disamping itu, kebijakan ini juga merupakan pembuka jalan bagi para pelaku
industri atau pelaku usaha dalam negeri untuk dapat berkembang sehingga dapat
menjadi raksasa-raksasa bisnis yang berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi yang
Tabel 8.Bisnis Utama Empat Chaebol Teratas
105
Sumber: Shim & Lee (2008).
dicapai oleh Korea Selatan. Dengan kebijakan HCI, raksasa bisnis Korea yang
dikenal sebagai chaebol tersebut juga membuka afiliasi bisnis yang berhubungan satu
sama lain, sehingga antara core bisnis satu dengan core bisnis lainnya dapat saling
mengisi dan melengkapi. Namun, selain membuka bisnis yang saling berhubungan
chaebol juga melakukan ekspansi dengan memulai bisnis yang sama sekali baru
meskipun tidak memiliki kaitan dengan usaha yang telah dijalani sebelumnya. Hal ini
menandakan bahwa chaebol sangat agresif dalam melakukan ekspansi bisnis,
106
sehingga kemudian agresifitas tersebut mendorong perkembangan dan pertumbuhan
bisnis mereka secara signifikan
Pasca diberlakukannya kebijakan HCI, chaebol terus melakukan ekspansi usaha
yang mendorong terjadinya perkembangan bisnis secara bertahap dan
berkesinambungan. Selain itu chaebol juga terus menerus melakukan diversifikasi
bisnis yang didorong oleh pemerintah untuk dapat menghindari resiko bisnis yang
lebih besar, mempercepat laju pertumbuhan, dan memperoleh keuntungan yang
maksimal (Shim & Lee, 2008: 91). Pada akhirnya, chaebol kemudian menjadi
kelompok pemilik modal yang paling kuat dan berpengaruh di Korea Selatan.
A.2. Struktur dan Tata Kelola Chaebol
Dalam memahami chaebol berdasarkan organisasi industri yang mereka
jalankan, dapat dilihat bahwa konglomerasi bisnis tersebut beroperasi dengan cara
sebagai berikut; Kepemilikan dan manajemen keluarga dengan sistem sentralistik
serta hierarkis didasari oleh loyalitas; Fleksibilitas dalam mobilitas dan perpindahan
modal, teknologi, dan tenaga kerja antar perusahaan yang tergabung dalam satu
chaebol; Diversifikasi horisontal dalam cakupan yang lebih luas dan tidak biasa serta
seringkali memasuki aktivitas bisnis yang tidak memiliki keterkaitan dengan bisnis
sebelumnya atau bisnis baru (Mee Kim, 1997: 54). Poin-poin tersebut, akan menjadi
acuan utama dalam pembahasan struktur dan tata kelola chaebol pada bagian ini.
Struktur chaebol dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan zaibatsu yang
berkembang di Jepang pada masa sebelum perang dunia kedua, dimana bisnis
107
dimiliki dan dikelola oleh satu atau dua keluarga. Masing-masing chaebol memiliki
beberapa perusahaan yang bergerak di berbagai bidang, seperti Hyundai yang pada
pertengahan tahun 1990an memiliki sekitar 48 perusahaan dan Samsung yang
memiliki sekitar 55 perusahaan. Beragam perusahaan yang dimiliki oleh chaebol
tersebut dikepalai oleh orang-orang yang memiliki ikatan kekeluargaan seperti
saudara, ipar, anak, maupun menantu. Dengan mengacu pada ikatan kekeluargaan
tersebut, pola hubungan yang dijalankan oleh chaebol dalam menjalankan usahanya
lebih didasarkan pada bakti dan loyalitas.
Penekanan terhadap keterlibatan keluarga dalam struktur bisnis di Korea
Selatan ini didasari atas nilai-nilai yang berasal dari paham konfusianisme yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Paham konfusianisme yang berasal dari
Tiongkok ini telah berasimiliasi dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat Korea
modern. Paham ini mempengaruhi pola pikir masyarakat Korea secara fundamental,
sehingga berperan sebagai pembentuk sistem moral, pola hubungan dan kehidupan
sosial antar generasi, serta dasar bagi berbagai macam sistem legal dalam masyarakat.
Penerapan nilai konfusianisme dalam struktur dan operasionaliasi yang
dilakukan oleh chaebol dalam menjalankan bisnisnya dapat dilihat dengan beberapa
contoh, seperti yang dilakukan oleh Chung Ju-yung. Pemilik Hyundai ini
menempatkan anak-anaknya sebagai CEO atau pejabat eksekutif pada berbagai
perusahaan yang dimiliki oleh Hyundai. Bahkan setelah menyerahkan jabatan
tertinggi yang dipegangnya pada tahun 1987, Chung Ju-yung masih memiliki peranan
108
penting dengan menggelar pertemuan rutin dengan anak-anaknya untuk memberikan
arahan-arahan.
Anak tertua Chung Ju-yung, Mong Pil menduduki jabatan sebagai presiden
Inchon Iron and Steel yang dimiliki oleh Hyundai sebelum meninggal dalam
kecelakaan mobil pada tahun 1982. Anak keduanya, Mong Ku merupakan salah satu
pimpinan tertinggi di Hyundai yang melanjutkan kepemimpinan pamannya Ching Se-
yong yang meletakan jabatan pada tahun 1987. Sebelum menjadi pimpinan Hyundai,
Mong Ku mengisi beberapa posisi penting, yaitu sebagai presiden pada perusahaan-
perusahaan milik salah satu chaebol terbesar di Korea tersebut, seperti Hyundai
Precision and Industry, Hyundai Pipe, Hyundai Housing and Industrial, dan Hyundai
Construction and Equipment. Sedangkan anak-anak Cung Ju-yung yang berikutnya
menempati berbagai jabatan strategis lainnya di dalam ruang lingkup Hyundai.
Setiap pagi Chung Ju-yung mengumpulkan anak-anaknya sebelum memulai
hari untuk mengadakan pertemuan atau rapat rutin. Pertemuan atau rapat yang
dilakukan sekitar jam lima pagi ini juga dipahami sebagai usaha untuk menerapkan
nilai-nilai kedisiplinan kepada anak-anaknya, selain untuk menghindari kemacetan
parah yang terjadi pada jam sibuk pagi hari di Seoul. Setelah mengadakan pertemuan,
mereka lalu melakukan sarapan bersama. Setelah itu mereka keluar rumah dengan
berjalan beriringan menuju klub kebugaran terdekat untuk berolahraga. Kemudian
seusai berolahraga, satu-persatu berangkat menuju tempat kerja masing-masing.
Cerita ini diberitakan berulang-ulang oleh media domestik sebagai simbol bakti dan
kontrol keluarga dalam bisnis modern (Mee Kim, 1997: 55).
109
Struktur kepemilikan dan operasional Hyundai yang dijalankan dibawah
kontrol atau manajemen keluarga ini, terjadi pada hampir seluruh chaebol yang ada di
Korea Selatan. Dengan kata lain, cerita mengenai Hyundai tersebut dapat dikatakan
merupakan representasi struktur dan tata kelola chaebol di Korea secara keseluruhan,
terutama bagi sepuluh chaebol terbesar seperti, Samsung, Daewoo, Ssyangyong,
Hanjin, Lotte dan lain sebagainya. Satu-satunya chaebol yang berbeda adalah Kia.
Sebelum dibeli oleh Hyundai karena mengalami kebangkrutan akibat krisis Asia
1997, manajemen Kia dijalankan sepenuhnya oleh profesional. Setelah Kim Sang
Mun anak pendiri Kia melepaskan jabatannya sebagai pimpinan pada tahun 1982,
keluarga yang merupakan pendiri atau pemilik usaha tidak turun langsung mengelola
bisnisnya seperti yang dilakukan oleh chaebol-chaebol lainnya.
Struktur chaebol yang didominasi oleh keluarga pendiri atau pemilik usaha
tersebut membentuk sistem operasional yang sentralistik dan hierarkis. Dengan
didasari oleh loyalitas yang tinggi, hal ini menyebabkan struktur chaebol sangat kuat
secara vertikal. Struktur vertikal yang kuat menyebabkan koordinasi antara
perusahaan inti dengan perusahaan-perusahaan dibawahnya berjalan dengan sangat
baik, sehingga dapat mendukung perkembangan chaebol itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan dan ekspansi yang dilakukan oleh chaebol,
kebutuhan untuk mempekerjakan para profesional untuk menghadapi persaingan
yang lebih ketat tidak dapat dihindari. Selain itu, bertambahnya jumlah perusahaan-
perusahaan yang berada dibawah naungan chaebol membutuhkan tenaga kerja yang
lebih banyak, baik itu tenaga kerja pada level bawah maupun level atas. Keadaan ini
110
menyebabkan chaebol melakukan rekrutmen tenaga seperti manajer profesional yang
bukan merupakan anggota keluarga pendiri perusahaan.
Meskipun pada akhirnya terbuka terhadap tenaga profesional, perekrutan yang
dilakukan tetap saja berdasarkan pada kedekatan hubungan personal. Hal ini disebut
oleh Eun Mee Kim (1997), sebagai upaya untuk mempertahankan familistic
character. Dengan melakukan model perekrutan seperti ini, studi yang dilakukan oleh
Shin Eui Hang dan Seung Kwon Chin (1989) menunjukan bahwa dewan direksi
chaebol diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, kesamaan asal
atau tempat lahir, dan memiliki afiliasi pada saat menekuni pendidikan di sekolah.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, manajemen chaebol pada saat itu membentuk
sistem hierarki, dimana pada tingkatan pertama manajer didominasi oleh anggota
keluarga. Sementara pada tingkatan kedua atau dibawahnya merupakan rekrutan dari
tingkatan pertama, diisi oleh orang-orang yang berasal dari alumni sekolah atau
universitas yang sama serta berasal dari wilayah atau kampung halaman yang sama.
Oleh karena itu, meskipun telah membuka diri dan memberikan ruang kepada
manajer profesional, struktur chaebol yang sentralistik dan kuat secara vertikal tetap
tidak bergeser.
Sistem hierarki yang sentralistik ini menjadikan pengambilan keputusan dan
penyampaian informasi dalam operasionalisasi chaebol berjalan dengan sangat
efisien, berbeda dengan zaibatsu atau keiretsu di Jepang dimana pengambilan
keputusan dilakukan dengan cara konsensus (Mee Kim, 1997: 65). Interaksi antara
pimpinan yang lebih tinggi dengan direksi dibawahnya dalam chaebol digambarkan
111
seperti hubungan antara ayah dan anak dalam masayarakat konfusianisme. Sehingga,
dalam pengambilan kebijakan, pimpinan atau direksi tertinggi dapat menentukan atau
mengambil keputusan dengan pertimbangan individu tanpa perlu melakukan
konsultasi terlebih dahulu dengan direksi yang lainnya.
Hal ini menjadikan mobilitas dan perpindahan modal, teknologi dan personalia
diantara perusahaan-perusahaan yang dimiliki atau berada dalam satu chaebol
berjalan dengan sangat fleksibel. Dengan fleksibilitas dalam transfer ketiga faktor
tersebut menjadikan chaebol dapat lebih mudah melakukan penyesuaian-penyesuaian
untuk merespon keinginan pasar maupun pemerintah yang dibutuhkan untuk
mendukung perkembangan perusahaan-perusahaan yang dimilikinya. Selain itu,
fleksibilitas tersebut juga dapat mempermudah transfer teknologi dan informasi yang
dibutuhkan untuk mendorong terciptanya pertumbuhan yang tinggi dan menunjang
kegiatan ekspansi yang dilakukan oleh chaebol.
Sistem hierarki yang terpusat dan didukung oleh fleksibilitas dalam transfer
modal, teknologi dan personalia tersebut menjadikan koordinasi yang terbangun
antara chaebol dengan perusahaan-perusahaan yang berada dibawahnya begitu juga
antara perusahaan satu dengan perusahaan yang lain berjalan secara efektif.
Koordinasi ini memungkinkan chaebol untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya
yang dimiliki untuk melakukan kegiatan dengan berdasarkan skala prioritas. Kegiatan
R&D juga dapat dilakukan dengan lebih efisien dengan melakukan sharing dana
riset, bahkan berbagi tempat laboratorium penelitian.
112
Selain itu, meskipun kepemilikan modal perusahaan-perusahaan di bawah
naungan chaebol diatur secara terpisah, dengan koordinasi yang efektif dalam
operasionalisasi kegiatan bisnis, penyediaan kebutuhan dana yang mendesak dapat
dengan cepat disediakan oleh lembaga penyedia keuangan atau perusahaan asuransi
yang dimiliki oleh chaebol. Perusahaan-perusahaan yang berada di bawah naungan
satu chaebol juga dapat saling menyediakan pinjaman dana yang dibutuhkan satu
sama lain tanpa harus melalui prosedur birokrasi yang rumit.
Perkembangan dan ekspansi yang dilakukan oleh chaebol juga menyebabkan
terjadinya perubahan atau evolusi struktur konglomerasi bisnis terbesar di Korea
tersebut. Menurut Seung-Il Jeong, setidaknya ada empat fase yang terjadi dalam
evolusi chaebol (Lihat Gambar 4). Pada fase pertama struktur chaebol masih terlihat
sangat sederhana. Struktur chaebol pada fase ini hanya terdiri atas satu strata atau
tingkatan saja. Keluarga pendiri berada langsung diatas perusahaan-perusahaan yang
lebih kecil atau yang bisa disebut sebagai subsidiary.
Pada fase kedua, seiring dengan perkembangan yang terjadi dari fase
sebelumnya, struktur chaebol yang awalnya terdiri dari satu tingkatan bertambah
menjadi dua tingkatan dimana antara keluarga pendiri dengan subsidiary terdapat
core firm. Kemudian pada fase ketiga, dimana ketika pada tahun 1970an kebijakan
HCI diterapkan, mendorong chaebol melakukan ekspansi pada sektor-sektor
manufaktur sehingga core firm dan subsidiary yang dimiliki oleh chaebol juga
mengalami penambahan jumlah.
113
Pada fase keempat, seiring dengan bertambahnya kompleksitas dan spesialisasi
dalam proses industri global, chaebol menyesuaikan diri dengan menambah satu
tingkatan pada struktur operasionalnya menjadi empat strata, dimana terdapat quasi
holding company diatas core firm. Pada tahun 1997, tiga chaebol terbesar yaitu
Hyundai, Samsung, dan Daewoo telah masuk kedalam fase keempat, sedangkan
chaebol lebih kecil seperti LG, Ssangyong, Kia, Lotte, dan lain sebagainya masih
berada didalam fase ketiga, bahkan fase pertama dan kedua (Jeong, 2004: 83).
Seperti yang ditunjukan pada gambar 4, pergeseran dari fase kedua menuju
fase ketiga menunjukan bahwa chaebol melakukan diversifikasi bisnis secara
horisontal. Artinya chaebol menjalankan bisnis dalam cakupan yang lebih luas lagi
dari sebelumnya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa diversifikasi
yang dilakukan oleh chaebol adalah dengan cara ekspansi ke bisnis-bisnis baru.
Diversifikasi ini terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu dan seakan
menjadi trademark bagi chaebol di Korea Selatan (Mee Kim, 1997: 68).
Diversifikasi yang dilakukan oleh chaebol juga dapat dikatakan sebagai respon
terhadap pergeseran kebijakan pemerintah. Dimana, fokus kebijakan pemerintah pada
tahun 1960an adalah untuk membangun industri ringan, berubah haluan pada tahun
1970an dengan melakukan pembangunan industri berat, yang ditandai dengan
diterapkannya kebijakan HCI. Sebagai contoh, Samsung yang sebelumnya dikenal
sebagai chaebol yang bergerak pada sektor industri ringan seperti tekstil dan produk-
Gambar 4.Evolusi Struktur Chaebol
114
QHC = Quasi Holding CompanyCF = Core FirmS = Subsidiary
Sumber: Jeong (2004).
produk makanan melakukan diversifikasi ke sektor-sektor industri berat seperti
elektronik, kimia, mesin, dan lain sebagainya.
Bagi salah satu chaebol terbesar di Korea ini, diversifikasi yang dilakukan
merupakan perluasan cakupan usaha yang sama sekali baru, dimana sebelumnya
Samsung tidak memiliki pengalaman dan keahlian dalam menjalankan usaha pada
sektor industri manufaktur berat. Namun Samsung mampu membuktikan diri dan
berhasil menjadi salah satu yang terbaik di dunia dalam pengembangan industri
115
tersebut. Saat ini Samsung dikenal sebagai salah satu produsen barang-barang
elektronik dan gadget terbesar di dunia dan salah satu yang terdepan dalam inovasi.
Meskipun pada awalnya tidak memiliki kemampuan dan pengalaman pada
sektor-sektor yang baru dalam melakukan diversifikasi, keberhasilan yang diraih oleh
chaebol didapatkan karena besarnya dukungan dari pemerintah. Pemerintah mampu
meyakinkan para chaebol untuk melakukan investasi pada sektor-sektor baru yang
tentunya memiliki resiko tinggi, dengan memberikan berbagai insentif. Sektor-sektor
yang menjadi target pembangunan pemerintah dalam kebijakan HCI mendapat
insentif berupa jaminan ketersediaan pinjaman modal dengan bunga rendah, berbagai
kemudahan dalam menjalankan usaha, proteksi terhadap kompetisi dengan industri
dari negara maju, dan lain sebagainya, sehingga memperbesar minat chaebol untuk
melakukan investasi pada sektor-sektor tersebut. Tidak hanya berminat dalam
melakukan investasi, berbagai insentif dari pemerintah tersebut juga diartikan sebagai
peluang yang harus ditangkap oleh chaebol untuk mengembangkan bisnisnya agar
menjadi lebih besar.
Selain untuk menangkap peluang yang disediakan oleh pemerintah,
diversifikasi juga dilakukan oleh chaebol sebagai strategi untuk mendapatkan
independensi dan otonomi dari pemerintah. Chaebol melakukan diversifikasi dengan
mendirikan perusahaan jasa keuangan selain bank39, seperti perusahaan asuransi dan
lembaga finansial jangka pendek untuk mengurangi ketergantungan terhadap
39 Pemerintah menerapkan peraturan untuk memisahkan lembaga keuangan dari industri yang melarang chaebol untuk memiliki bank sendiri. Namun kemudian chaebol diperbolehkan memiliki lembaga keuangan yang berada pada second tier seperti perusahaan asuransi.
116
pemerintah dalam hal penyediaan modal. Keputusan pemerintah untuk menguasai
dan mengontrol seluruh lembaga finansial dengan kebijakan nasionalisasi perbankan
yang dijalankan oleh rezim Park Chung-hee, menyebabkan chaebol sangat
bergantung kepada pemerintah. Meskipun pada awal tahun 1980an kebijakan
pemerintah dalam penguasaan sektor finansial menjadi longgar, dan chaebol
diperbolehkan atas kepemilikan bank dikarenakan Korea Selatan mulai menerapkan
kebijakan liberalisasi ekonomi, namun kepemilikan tersebut masih dibatasi yaitu
tidak melebihi 8 persen dari total saham bank yang bersangkutan.
Pandangan Amsden (1989), mengenai diversifikasi yang dilakukan oleh
chaebol ke sektor-sektor lainnya didasari atas keberadaan tenaga kerja murah dalam
jumlah besar, sehingga memungkinkan produk yang dihasilkan lebih kompetitif dari
segi harga dalam pasar internasional. Dapat diartikan juga bahwa diversifikasi yang
dilakukan pada sektor lainnya tersebut merupakan strategi untuk menyiasati
kurangnya kemampuan teknikal dan teknologi yang dimiliki oleh chaebol (Amsden,
1989: 125). Dengan adanya kekurangan kemampuan teknikal dan teknologi tersebut,
chaebol memanfaatkan tenaga kerja murah untuk mengambil keuntungan dalam pasar
internasional dengan menyasar konsumen golongan menengah dan bawah, dimana
daya saing lebih ditentukan oleh faktor harga dibandingkan kualitas.
Pada akhirnya, dengan melakukan diversifikasi chaebol memiliki usaha di
berbagai sektor sehingga dapat melakukan integrasi industri. Artinya, anak usaha
chaebol dapat saling mendukung satu sama lain sehingga tercipta efisiensi yang lebih
tinggi. Dalam industri otomobil, berbagai kebutuhan HMC dalam melakukan
117
pengembangan industri dapat dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan lainnya yang
berada dibawah naungan Hyundai. Fasilitas produksi HMC dibangun oleh perusahaan
konstruksi milik Hyundai sendiri. Mobil produksi HMC menggunakan aluminium,
cat dan kaca otomotif yang disupply oleh perusahaan-perusahaan milik Hyundai.
Pengirimannya ke luar negeri dilakukan dengan menggunakan asuransi dan kapal
yang dibuat oleh perusahaan kapal milik Hyundai (Green, 1992: 423). Dengan pola
ini pula, harga produk dapat disesuaikan untuk menjaga daya saing, dengan cara
mengalokasikan dana dari perusahaan subsidiary yang mendapat profit digunakan
untuk mensubsidi perusahaan yang merugi.
B. Pemerintah dan Chaebol Dalam Pembangunan
Keberhasilan Korea Selatan tidak terlepas dari peran kedua aktor penting
dalam pembangunan ekonomi disana yaitu pemerintah dan pelaku usaha atau
konglomerasi bisnis yang dikenal dengan sebutan chaebol. Peran keduanya dapat
dlihat sebagai manifestasi proses interaksi antara negara dengan pasar dalam
pembangunan berdasarkan pemahaman ekonomi politik internasional. Dimana
masing-masing pandangan tradisional yang terdapat dalam konsep ekonomi politik
internasional memiliki argumen mengenai seberapa besar peran masing-masing aktor
dalam pembangunan. Pandangan merkantilis misalnya, melihat bahwa besarnya peran
negara dalam pembangunan sebagai faktor utama dibalik keberhasilan Korea Selatan,
atau pandangan liberalis yang memiliki pandangan sebaliknya.
118
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian kerangka pemikiran,
bahwa proses pembangun ekonomi dan industrialisasi di Korea Selatan tidak dapat
dilihat sebagai suatu proses yang statis. Pada bagian tersebut juga ditunjukan bahwa
proses pembangunan yang dimaksud berjalan secara dinamis. Shim Jae-Seung dan
Lee Moosung (2008), berpandangan bahwa tidak ada ekonomi yang berjalan secara
statis ekstrim ke kanan40 ataupun ekstrim ke kiri41. Demikian halnya dengan Korea
Selatan, semua ekonomi dapat dikategorikan berada diantara laissez-faire dan sistem
ekonomi terpusat (Shim & Lee, 2008: 71).
Posisi negara dalam pembangunan ekonomi dan industrialisasi di Korea
Selatan, yang menjadi bahasan didalam tulisan ini mengacu pada pandangan
Alexander Gerschenkron (1962) mengenai latecomer, dimana sebagai negara
berkembang peran pemerintah diawal proses pembangunan haruslah kuat. Sehingga
diskusi yang muncul kemudian bukan lagi mengenai perdebatan seberapa besar peran
negara dalam proses pembangunan dan pasar, akan tetapi bergeser kepada bagaimana
pemerintah dapat menghasilkan pilihan kebijakan yang tepat untuk mencapai
keberhasilan dalam pembangunan.
Pilihan kebijakan yang tepat dalam pembangunan ekonomi di Korea Selatan
dihasilkan oleh sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha. Dalam proses
pembangunan ekonomi yang melibatkan interaksi antara kedua aktor tersebut, sinergi
diantara keduanya dibutuhkan agar tercipta proses pembangunan yang efisien dan
40 Sepenuhnya menerapkan ekonomi laissez-faire atau liberal.41 Sepenuhnya menerapkan ekonomi terpusat dibawah kontrol pemerintah atau merkantilis.
119
menghasilkan kemajuan. Sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha juga
diperlukan agar pilihan kebijakan tersebut dapat berguna dalam mengatur iklim usaha
atau jalannya proses industrialisasi dalam negeri, sehingga kebijakan yang diambil
oleh pemerintah dapat memberikan insentif bagi para pelaku usaha untuk dapat
berkontribusi dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Dengan instrumen
kebijakan yang tepat dan insentif yang diperoleh dari pemerintah, para pelaku usaha
dapat tumbuh dan berkembang sehingga mampu memberikan manfaat bagi
perekonomian, salah satunya dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang luas
bagi masyarakat.
Selain, itu interaksi antara pemerintah dengan pelaku usaha juga memerlukan
kemampuan para pembuat kebijakan untuk merespon berbagai dinamika ekonomi
yang terjadi. Kemampuan pemerintah dalam merespon dinamika ekonomi dengan
cara melakukan kerjasama dengan pelaku industri disebut juga sebagai state capacity.
Seperti yang dikemukakan oleh Linda Weiss (1998), state capacity merupakan
kemampuan pemerintah atau para pembuat kebijakan untuk melakukan penyesuaian
terhadap strategi domestik melalui kerjasama yang dibangun dengan para pelaku
industri. Kerjasama ini bertujuan untuk melakukan transformasi dan upgrading dalam
upaya mencapai kemajuan industri (Weiss, 1998: 7).
Sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha yang menjadi salah satu faktor
keberhasilan Korea Selatan dalam pembangunan ekonomi, kemudian menghasilkan
struktur ekonomi domestik yang dikuasai oleh konglomerasi bisnis atau yang disebut
sebagai chaebol. Sejalan dengan kemajuan ekonomi yang dicapai dan pergeseran
120
kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu, chaebol mengalami transformasi dari
bisnis kecil dibawah kendali pemerintah menjadi bisnis besar yang independen.
Dengan kata lain terjadi pergeseran power dari pemerintah kepada chaebol dalam
konteks pembangunan ekonomi selama proses tersebut berlangsung. Pergesaran
power ini kemudian berhubungan atau berpengaruh terhadap efektifitas state capacity
pemerintah dalam pembangunan ekonomi di Korea Selatan.
B.1. Sinergi Pemerintah dengan Chaebol
Dalam konsep Global Value Chain sinergi antara pemerintah dengan pelaku
usaha dianggap sebagai faktor penting dalam menunjang kemajuan proses
pembangunan dan industrialisasi. Konsep ini menekankan perlunya sinergi antara
pemerintah dengan pelaku usaha yang bertujuan untuk mengembangkan potensi
industri domestik, sehingga potensi tersebut dapat dioptimalkan guna menghasilkan
nilai tambah agar produksi menjadi lebih kompetitif di tingkat domestik maupun
global. Terdapat empat bentuk sinergi dalam konsep ini, yaitu (Kaplinsky & Morris,
2000): disciplined support, public risk absorption, private sector governance, serta
aliansi inovasi pemerintah dan bisnis.
Diiscipline support, didefinisikan sebagai peran pemerintah dalam
memberikan kemudahan akses kepada pelaku usaha dan kemudian melakukan
monitoring agar kemudahan yang diberikan dapat dimanfaatkan dengan optimal.
Public risk absorption, mengacu kepada peran pemerintah dalam membantu
121
pendirian industri baru berupa dukungan dalam bentuk dana investasi awal dan
penyediaan kapital.
Kemudian private sector governance, kerjasama untuk menciptakan
hubungan yang positif antara pelaku usaha dengan pemerintah, dimana pemerintah
berperan dalam memberikan akses mengenai informasi pasar, sebaliknya pelaku
usaha memberikan input bagi inisiasi dan alternatif kebijakan pemerintah. Sedangkan
aliansi inovasi pemerintah dan bisnis adalah bentuk sinergi berupa kerjasama
pemerintah dengan pelaku usaha untuk mengembangkan research and development
melalui pembentukan tempat-tempat riset.
Seiring dengan perjalanan proses pembangunan ekonomi dan industri di
Korea Selatan, sinergi antara pemerintah dengan chaebol dalam bentuk discipline
support tercipta oleh berbagai kebijakan yang diterapkan dalam proses tersebut.
Kebijakan FYEDP yang mulai diterapkan oleh pemerintah pada tahun 1962,
dijalankan dengan memberikan kemudahan kepada para pelaku usaha. Berbagai
kemudahan yang diberikan oleh pemerintah bertujuan untuk mendorong para pemilik
modal tersebut untuk menginvestasikan dananya dalam pembangunan industri
manufaktur. Pelaku usaha atau chaebol yang mengikuti arahan pemerintah untuk
berinvestasi diberikan berbagai insentif, diantaranya berupa kemudahan meminjam
dari bank dengan bunga rendah dan menjadi prioritas dalam alokasi modal dari luar.
Kemudahan meminjam dari bank yang diberikan dalam jumlah besar oleh
pemerintah kepada para chaebol membuat mereka dapat mengembangkan usahanya
dengan cepat tanpa terkendala oleh ketersediaan modal. Dengan kemudahan tersebut,
122
para chaebol tidak bergantung pada modal milik mereka sendiri untuk melakukan
ekspansi, melainkan memanfaatkan pinjaman modal dari pemerintah. Oleh
karenanya, komposisi modal yang digunakan oleh pengusaha dalam mengembangkan
bisnis mereka, menunjukan besarnya persentase modal yang diperoleh dari pinjaman
dibandingkan dengan penggunaan modal sendiri (Lihat Tabel 9). Besarnya persentase
bantuan modal ini, mempertegas keseriusan pemerintah dalam memberikan
kemudahan kepada chaebol dalam proses pembangunan dan industrialisasi.
Tabel 9.Komposisi Modal Bisnis Besar Chaebol 1962-1969
Sumber: Shim & Lee (2008).Selain diartikan sebagai disicipline support dalam sinergi antara pemerintah
dengan pelaku usaha atau chaebol, besarnya persentase modal yang disediakan oleh
pemerintah pada periode tersebut juga dapat diartikan sebagai sinergi dalam bentuk
public risk absorption. Dimana pada periode yang dimaksud, sebagian dari chaebol
yang ada di Korea Selatan berada dalam tahap awal atau baru memulai bisnisnya,
123
sehingga kemudahan akses terhadap kapital tersebut dapat diartikan sebagai bantuan
pemerintah kepada pengusaha dalam pendirian industri baru.
Dengan melakukan sinergi dalam bentuk public risk absorption, pemerintah
mendorong pelaku usaha untuk melakukan investasi dan memanfaatkan modal yang
disediakan oleh pemerintah melalui pinjaman lunak. Sebagai hasilnya, industri di
Korea Selatan mengalami perkembangan jumlah pelaku usaha. Penambahan
perusahaan yang dimiliki chaebol pada rentang waktu FYEDP pertama sampai
dengan FYEDP kedua tercatat berada pada kisaran diatas 200 persen. Chaebol yang
rata-rata pada awalnya memiliki 7 perusahaan, mengalami peningkatan signifikan
dimana setiap chaebol kemudian memiliki sebanyak 25 perusahaan secara rata-rata
(Lee Y.-H. , 1997: 24). Pada periode tersebut Korea Selatan menjadi negara
berkembang dengan jumlah pelaku industri lokal paling banyak diantara negara-
negara industri baru lainnya.
Seiring dengan kemunculan banyak pelaku usaha atau chaebol melalui
kemudahan pinjaman modal, pemerintah kemudian memberikan kemudahan lainnya
berupa akses penuh terhadap pasar domestik. Dalam konteks industri otomobil,
pemerintah menerapkan kebijakan larangan impor kendaraan dalam bentuk jadi
sehingga para chaebol dapat mengakses pasar domestik secara penuh dan bebas dari
persaingan kompetitor luar. Larangan tersebut juga dimanfaatkan oleh chaebol untuk
melakukan kerjasama atau joint venture dengan pelaku industri dari negara maju
untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri. Kebijakan larangan impor
yang diberlakukan oleh pemerintah pada saat itu juga menyediakan ruang kepada
124
chaebol yang terhitung masih baru dalam proses industrialiasi untuk memanfaatkan
pasar domestik guna melakukan proses pembelajaran dalam produksi dan mengoreksi
kekurangan produknya sebelum dilempar ke pasar global.
Untuk memudahkan pelaku usaha dalam penyediaan barang modal dan
bahan baku industri, pemerintah membebaskannya dari tarif impor. Sebagai pelaku
industri yang masih baru pada saat itu, chaebol masih belum bisa memenuhi
kebutuhan barang modal maupun bahan baku industri secara mandiri. Sehingga,
chaebol menyediakannya dengan cara membeli atau mengimpor dari pelaku industri
dari negara maju. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah untuk membebaskan impor
barang modal dan bahan baku produksi, sangat penting bagi pengembangan proses
industrialisasi yang dilakukan oleh chaebol saat itu.
Kemudian pemerintah juga memberikan kemudahan berupa subsidi ekspor
kepada para chaebol agar dapat bersaing dengan para pelaku industri dari negara
maju di pasar internasional. Subsidi ini memungkinkan pelaku industri menjual
produk ekspornya sekurang-kurangnya setengah dari harga domestik. Hal ini
dilakukan oleh pemerintah dikarenakan indikator keberhasilan industri domestik pada
saat itu diukur dengan besaran ekspor, sehingga semakin besar ekspor yang dilakukan
oleh chaebol semakin besar pula keberhasilan yang diraih chaebol tersebut dalam
pandangan pemerintah.
Pada periode ketiga FYEDP pemerintah menerapkan kebijakan HCI.
Kebijakan ini kemudian menjadi dasar pembangunan industri berat dan membentuk
konstruksi industri Korea Selatan seperti sekarang. Berbagai kemudahan yang
125
diterapkan pada FYEDP periode pertama dilanjutkan pada saat pemerintah
menerapkan kebijakan HCI dalam FYEDP periode kedua. Kemudahan bagi pelaku
industri dalam negeri yang berfokus pada sektor-sektor berat dan kimia tersebut
diwujudkan dengan memberikan hak istimewa kepada chaebol. Hak istimewa yang
dimaksud berupa pemberian surat jaminan kredit, alokasi preferensi kredit,
pelonggaran regulasi exchange rate, liberalisasi impor, proteksi terhadap sektor-
sektor dalam kebijakan HCI, jaminan penjualan atas produk-produk hasil industri
pelaku usaha dalam negeri, serta menjaga monopoli pelaku usaha tersebut dalam
pasar domestik (Winanti, 2003: 187).
Selain berbagai kemudahan dalam bentuk insentif, pemerintah juga
menerapkan kebijakan yang kemudian memberikan kemudahan akses terhadap bahan
dasar dalam proses pembangunan industri berat. Kebijakan yang dimaksud adalah
pendirian pabrik baja milik pemerintah yang dikenal dengan nama POSCO. Pabrik
baja yang didirikan seiring dengan kebijakan HCI ini, bertujuan untuk mempermudah
chaebol dalam mengakses ketersediaan baja atau steel yang merupakan komponen
utama dalam proses pembangunan industri manufaktur berat. Berdirinya pabrik baja
milik pemerintah ini kemudian menjadi tulang punggung dalam pembangunan
industri manufaktur berat dan kimia di Korea Selatan.
Kemudahan lainya yang diberikan oleh pemerintah kepada para pelaku
industri dalam negeri adalah sarana prasarana yang memadai dalam menjalankan
proses industri berupa infrastruktur. Pemerintah kemudian melakukan pembangunan
infrastruktur secara bertahap, seperti pembangunan pelabuhan dan jaringan
126
transportasi yang digunakan untuk mengangkut logistik atau distribusi industri. Selain
itu, pemerintah juga membangun jaringan komunikasi dan informasi yang berguna
sebagai fasilitas untuk mempercepat penyebaran informasi yang dibutuhkan dalam
proses industrialisasi. Tidak kalah penting, pemerintah juga menyediakan lahan
industri untuk mempermudah pembangunan pabrik-pabrik dan fasilitas-fasilitas
pendukung industri lainnya.
Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pandangaan GVC tentang sinergi
dalam bentuk disciplined support, untuk mengoptimalkan berbagai kemudahan yang
diberikan tersebut, pemerintah melakukan kontrol dengan mengunakan tangan EPB
sebagai lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam pembangunan ekonomi di
Korea Selatan. Lembaga yang sangat berkuasa dengan kewenangan besar pada era
Park Chung-hee ini, melakukan kontrol dan koordinasi dengan seluruh pemangku
kepentingan yang terkait dengan masalah pembangunan ekonomi di Korea Selatan,
untuk memastikan bahwa proses pembangunan yang sedang berjalan sesuai dengan
keiinginan atau ketetapan pemerintah.
Kontrol pemerintah melalui EPB tersebut dilakukan dengan menggunakan
metode carrot and stick yang bertujuan agar para pelaku usaha atau chaebol tetap
berada sejajar dengan garis kebijakan pemerintah. Dengan metode ini pemerintah
memberikan insentif lebih bagi yang mengikuti arahan pemerintah dan berhasil
mencapai kemajuan melalui peningkatan ekspor. Sebaliknya, pemerintah memberikan
hukuman kepada pelaku usaha yang menolak mengikuti arahan atau kebijakan yang
sudah ditetapkan dengan menarik atau mempersulit pinjaman modal bagi pelaku
127
usaha tersebut. Disini terlihat bahwa sumber dana atau kapital berperan penting
dalam menjamin keberhasilan implementasi kebijakan yang dijalankan oleh
pemerintah. Seperti yang dikemukakan oleh John Sano (1997) bahwa, kapital
merupakan sumber paling efektif dalam meyakinkan dan menekan pelaku usaha
untuk mengikuti arahan kebijakan pemerintah di Korea Selatan (Sano, 1977: 43).
Selain alokasi kapital atau modal, kemudahan lainnya seperti pemberian
lisensi dan pemangkasan tarif impor barang-barang produksi juga digunakan oleh
pemerintah untuk mengontrol chaebol agar mengikuti arah kebijakan pembangunan
industri di Korea Selatan. Ketika baru memasuki proses industrialisasi, para pelaku
usaha sangat bergantung pada teknologi dan barang produksi yang diperoleh dari
impor. Hal ini menyebabkan pemberian lisensi dan pemangkasan tarif menjadi faktor
penting bagi perkembangan para pelaku industri. Dari gambaran tersebut diatas, dapat
diartikan bahwa kemudahan yang diberikan oleh pemerintah juga dapat digunakan
sebagai alat untuk menjamin efektifitas jalannya sebuah kebijakan dan kontrol yang
dilakukan terhadap pelaku usaha atau chaebol.
Koordinasi yang dilakukan oleh EPB dalam pembangunan ekonomi dan
industri di Korea Selatan, dapat juga dilihat sebagai bentuk sinergi antara pemerintah
dengan pelaku usaha. Kerjasama yang terjalin antara pemerintah dengan chaebol
didalam koordinasi EPB, merupakan manifestasi dari sinergi berupa private sector
government, dimana melalui koordinasi tersebut pemerintah memberikan akses
mengenai informasi pasar dan chaebol memberikan input yang berguna dalam inisiasi
pengambilan kebijakan.
128
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebagai lembaga yang memiliki otoritas
tertinggi dalam pembangunan ekonomi di Korea Selatan, EPB melakukan koordinasi
dengan semua pemangku kepentingan dalam proses tersebut. EPB membawahi
berbagai kementerian yang berkaitan dengan ekonomi, seperti Perdagangan dan
Industri, Keungan, Pembangunan, dan lain sebagainya. EPB juga mengendalikan
bank-bank yang dikuasai oleh pemerintah. Dengan menjadi pusat koordinasi dalam
pembangunan, EPB kemudian memiliki akses ke berbagai sumber informasi yang
berhubungan dengan proses tersebut. Oleh sebab itu EPB dapat memberikan
informasi yang dimiliki kepada chaebol yang beperan sebagai agen privat pemerintah
dalam proses pembangunan industri dan ekonomi Korea Selatan. Selain itu, EPB juga
mengejawantahkan informasi yang dimiliki tersebut kedalam program perencanaan
pembangunan yang dijalankan oleh negara tersebut.
Sebaliknya, pelaku usaha juga memberikan masukan kepada pemerintah
mengenai kondisi bisnis yang dihadapi terutama berkaitan dengan pasar internasional
dimana para chaebol didorong untuk melakukan perdagangan luar negeri sebesar-
besarnya. Masukan yang diberikan oleh chaebol tersebut kemudian menjadi salah
satu bahan pertimbangan EPB dalam menentukan strategi kebijakan yang tepat dalam
proses tersebut. Kerjasama antara pemerintah dengan chaebol ini kemudian
membentuk suatu jaringan internasional di bidang industrialisasi ekspor di Korea
Selatan (Wibawanta, 2002: 125).
Sebagai contoh, implementasi kerjasama pemerintah dengan pelaku usaha
dalam menentukan kebijakan pengembangan industri yang berbasis ekspor dapat
129
dilihat dari pertemuan promosi ekspor yang diadakan sebulan sekali di masa
pemerintahan Park Chung-hee. Pertemuan yang diinisiasi oleh Presiden ini,
melibatkan para menteri-menteri di bidang ekonomi, wakil dari organisasi
perdagangan atau asosiasi ekspor, dan para pimpinan chaebol. Tujuannya adalah
untuk memantau dan melakukan evaluasi terkait dengan perkembangan proses
pembangunan industri yang dijalankan oleh negara tersebut. Hasil kajian dari
pertemuan ini akan menjadi dasar dalam penentuan pembuatan kebijakan untuk
mendorong perkembangan ekonomi Korea Selatan (Fitri Ayu, 2011: 53). Dengan
melibatkan pimpinan chaebol dalam pertemuan tersebut, pemerintah mendapat
masukan sebagai salah satu faktor pertimbangan dalam inisiasi kebijakan pemerintah.
Sinergi antara pemerintah dengan pelaku usaha yang menentukan
keberhasilan Korea Selatan dalam proses pembangunan ekonomi lainnya adalah
aliansi inovasi berupa kerjasama dalam pengembangan R&D untuk mendukung
kegiatan industri. Sinergi antara pemerintah dengan chaebol dalam bentuk aliansi
inovasi diwujudkan dengan mendorong pengembangan riset bersama yang disebut
sebagai public-private R&D. Kolaborasi inovasi yang dilakukan antara pemerintah
dengan chaebol dalam bentuk public-private R&D ini, dimulai pada tahun 1960an
sampai dengan 1970an.
Kolaborasi pengembangan riset yang dikenal dengan sebutan public-private
R&D ini melibatkan interaksi antara pemerintah, lembaga pendidikan tinggi atau
universitas, dan chaebol. Sebagai manifestasi dari kolaborasi di antara ketiganya dan
130
memudahkan dalam hal koordinasi, pemerintah mendirikan KIST42 pada tahun 1966
yang merupakan institusi riset pertama yang didanai oleh pemerintah. Tujuan
didirikannya KIST adalah untuk menyediakan solusi bagi masalah-masalah teknis
terkait dengan teknologi yang tidak terlalu rumit, seperti membantu menginternalisasi
teknologi dari luar negeri (Shapiro, 2007: 98).
Seiring dengan perkembangan industri dalam negeri, kolaborasi antara riset
antara pemerintah dengan chaebol juga ditingkatkan. Merespon kebutuhan
pengembangan riset yang lebih tinggi, pada tahun 1981 pemerintah menggabungkan
KIST dengan KAIS43 menjadi KAIST44. Institusi riset ini kemudian memiliki peran
penting sebagai tulang punggung pengembangan R&D nasional di Korea Selatan
sejak tahun 1982. Beberapa hal yang dilakukan antara lain, membantu pelaku usaha
untuk memperoleh teknologi dari luar negeri, melakukan difusi teknologi melalui
reverse engineering, menyediakan peneliti berkompeten dan berpengalaman untuk
industri, serta menjalin kerjasama pengembangan riset dengan chaebol.
Selain itu, aliansi inovasi antara pemerintah dengan pelaku usaha dapat dilihat
dari dukungan pemerintah terhadap pengembangan R&D yang dilakukan oleh
chaebol. Dukungan tersebut diberikan melalui MOST dengan melakukan program
pengembangan teknologi yang berbasis pembangunan R&D nasional (Yun, 2007:
40). Melalui program tersebut, pemerintah mengalokasikasikan dana untuk
menunjang kegiatan riset nasional yang berhubungan dengan pengembangan industri
42 Korea Institute of Science and Technology.43 Korea Advanced Institute of Science.44 Korea Advanced Institute of Science and Technology.
131
dan memberikan potongan pajak kepada pelaku usaha yang melakukan investasi
dalam kegiatan R&D. Pemerintah juga berperan sebagai sponsor dalam program
pengembangan R&D nasional. Dengan menjadi sponsor, pemerintah berusaha
membangun sistem inovasi industri yang dikemudikan oleh pelaku usaha.
Dalam beberapa dekade terakhir terlihat penambahan jumlah dana investasi
dan peningkatan jumlah peneliti yang dimiliki oleh sektor privat dalam kegiatan R&D
secara signifikan dari tahun ke tahun. Pada periode awal proses industrialisasi di
Korea Selatan yaitu tahun 1969, komposisi dana investasi yang dikeluarkan dalam
pengembangan R&D persentasenya didominasi oleh sektor publik dalam hal ini
pemerintah sebesar 73 persen. Sedangkan sektor privat atau pelaku usaha hanya
menyisihkan dana sebesar 18 persen dari total persentase pengeluaran R&D yang
dikeluarkan sektor industri di Korea Selatan. Beberapa dekade kemudian komposisi
ini berbalik arah, dimana pada tahun 2010 dana riset yang dikeluarkan oleh sektor
privat mencapai 71,8 persen, sedangkan pemerintah hanya mengeluarkan dana
sebesar 28 persen dari total persentase dana R&D dan sisanya berasal dari luar negeri
(Lihat Tabel 10).
Tabel 10.Dana Kegiatan Riset dan Jumlah Peneliti Korea Selatan 1969-2010
132
Sumber: Kim K.-H (2014).
Dalam hal jumlah peneliti perubahan komposisi juga terjadi sama seperti yang
terjadi pada perubahan komposisi pengeluaran dana riset antara pemerintah dengan
sektor swasta. Pada peiode awal dilakukannya proses industri yaitu tahun 1960an,
komposisi jumlah peneliti yang dimiliki ileh institusi riset milik pemerintah atau
GRI45 mencapai 45, sedangkan sektor privat hanya memiliki 15 persen dari total
jumlah peneliti yang dimiliki Korea Selatan pada saat itu, sisanya berasal dari
institusi pendidikan tinggi atau universitas. Beberapa dekade kemudian komposisi ini
juga berbalik, dimana pemerintah hanya memiliki 7,6 persen peneliti dan sektor
privat memiliki 77 persen dari total peneliti yang dimiliki oleh pada tahun 2010
(Lihat Tabel 10). Hal ini menunjukan bahwa sistem inovasi yang dibangun oleh
45 Government-funded Research Institution.
133
pemerintah dengan menempatkan sektor privat atau swasta sebagai ujung tombak
dalam proses pengembangan R&D dalam negeri, membuahkan hasil positif dan
mencapai hasil yang diinginkan.
B.2 State Capacity dalam Proses Industrialisasi
Merujuk pada argumen Linda Weiss (1998), ada dua hal yang perlu
diperhatikan dalam pemahaman tentang state capcity yaitu, respon pemerintah
terhadap berbagai bentuk tekanan eksternal melalui kebijakan baru, dan penyesuaian
terhadap strategi domestik melalui kerjasama dengan para pelaku industri dalam
negeri (Weiss, 1998). Kemudian hal lain yang perlu digarisbawahi juga adalah,
efektifitas dari respon tersebut yang dituangkan ke dalam berbagai kebijakan
pemerintah. Efektifitas ini berkaitan dengan power yang dimiliki oleh pemerintah
terhadap para pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha atau chaebol dalam
proses industrialisasi. Selain itu efektifitas state capacity juga berhubungan dengan
keterbukaan ekonomi domestik dari pengaruh internasional yang berimplikasi pada
semakin lemahnya kapasitas negara untuk mengatur jalannya proses pembangunan di
dalam negeri (Kurniawan, 2008: 9)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, posisi pemerintah di Korea Selatan
dalam pembangunan mengalami degradasi dari waktu ke waktu. Pada periode awal
proses industrialisasi, negara ini pernah dipimpin oleh Presiden otoriter, seperti Park
Chung-hee dan Chun Doo-hwan. Kemudian setelah beberapa dekade dipimpin oleh
rezim otoriter, Korea Selatan memulai babak baru yang ditandai oleh
134
dilaksanakannya pemilihan Presiden secara demokratis untuk pertama kalinya pada
tahun 1987, dan dilanjutkan dengan penerapan kebijakan segyehwa tahun 1995.
Kebijakan ini mengacu kepada keterbukaan dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya. Pergeseran ini menentukan posisi atau peran negara dalam pembangunan
dan juga mempengaruhi efektifitas state capacity dalam proses industrialisasi di
Korea Selatan.
Pada bagian ini, setidaknya ada tiga dinamika dalam proses pembangunan dan
industrialisasi yang akan digunakan untuk melihat efektifitas state capacity terhadap
kemajuan ekonomi di Korea Selatan. Dinamika pertama adalah respon pemerintahan
Park Chung-hee terhadap kegagalan rezim sebelumnya dibawah Syngman Rhee
dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Kedua, respon pemerintahan Chun
Doo-hwan terhadap perkembangan industri yang menyebabkan ekses produksi.
Ketiga, respon pemerintah dalam menghadapi krisis Asia 1997 dan dampaknya bagi
perekonomian dalam negeri.
Pasca terlepas dari kolonialisme Jepang, Korea mengalami perang saudara
dan terpecah menjadi dua, Korea Utara yang menjadi negara sosialis dan Korea
Selatan yang mengambil jalan berbeda. Perpecahan yang terjadi di Korea ini tidak
lepas dari pengaruh dua kekuatan besar pemenang perang dunia kedua yaitu Uni
Soviet dan Amerika Serikat yang kemudian bersaing secara ideologi. Dibawah
pengaruh Amerika Serikat, Korea Selatan memilih jalan liberalis yang kemudian
pertama kali dipimpin oleh seorang Presiden bernama Syngman Rhee.
135
Dibawah pimpinan Syngman Rhee Korea Selatan melakukan rekonstruksi
pasca perang sodara dan pembangunan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Namun, pemerintah yang saat itu sangat mengandalkan dana bantuan
Amerika Serikat dalam melaksanakan pembangunan berdasarkan sistem ekonomi
pasar, tidak berhasil membawa perubahan atau kesejahteraan bagi masyarakat yang
tengah dilanda kemiskinan. Perbaikan ekonomi Korea Selatan selama periode
kepemimpinan Syngman Rhee berjalan sangat lambat (Harvie & Lee, 2003: 1).
Keadaan ini diperburuk lagi oleh pemerintahan yang tidak bersih dalam
menjalankan proses pembangunan, dengan melakukan berbagai praktek korupsi,
kolusi, dan nepotisme bersama para pelaku usaha atau chaebol. Salah satu contohnya
adalah kolusi dalam penjualan properti peninggalan Jepang atau yang dikenal sebagai
kebijakan Chogsan Pulha pada tahun 1958. Kegagalan pemerintah tersebut
mengakibatkan terjadinya pergolakan politik dan memaksa Syngman Rhee meletakan
jabatannya sebagai Presiden pada tahun 1960.
Berkaca dari kegagalan pemerintahan sebelumnya, rezim yang berkuasa
setelah itu dibawah kepemimpinan Park Chung-hee, menggunakan pendekatan yang
berbeda dalam strategi pembangunan ekonomi. Rezim ini meninggalkan strategi
liberal dan menekankan pentingnya peran sentral negara dalam proses pembangunan
untuk dapat mencapai kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kemudian, rezim
ini juga melakukan penyesuaian terhadap strategi domestik dengan melakukan
kerjasama dengan para pelaku usaha atau chaebol dalam proses pembangunan
136
ekonomi yang dijalankan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Linda
Weiss dalam pandangannya mengenai state capacity.
Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintahan Park Chung Hee
melibatkan pelaku usaha atau chaebol yang berfungsi sebagai agen privat dalam
melakukan implementasi kebijakan industrialisasi berorientasi ekspor yang ditetapkan
oleh pemerintah (Kwon & O'Donnell, 2001: 20). Peran chaebol diperlukan untuk
meningkatkan investasi pembangunan dikarenakan keterbatasan modal yang dimiliki
pemerintah, disebabkan oleh pengurangan dana bantuan luar negeri Amerika Serikat
pada saat itu. Pemerintah mendorong chaebol untuk melakukan investasi di berbagai
sektor yang dianggap mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dengan berbagai kemudahan yang diberikan oleh pemerintah, jumlah
investasi industri yang dilakukan oleh pelaku usaha mengalami peningkatan. Seperti
yang telah disampaikan sebelumnya, Korea Selatan menjadi negara dengan
perkembangan jumlah pelaku industri terbanyak diantara negara-negara industri baru
lainnya pada era Park Chung-hee. Peningkatan ini terjadi terutama setelah pemerintah
menerapkan kebijakan HCI pada tahun 1973 yang merupakan pondasi awal
pembangunan industri berat dan kimia di negara tersebut.
Penerapan kebijakan HCI dapat dikatakan sebagai bentuk state capacity
pemerintah dalam merespon kegagalan rezim sebelumya dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan
menerapkan kebijakan HCI, pemerintah bertujuan untuk menyediakan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat. Hal ini juga yang menjadi salah satu alasan pemerintah
137
untuk mendorong chaebol berinvestasi dengan memberi berbagai kemudahan.
Dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan menjamin kesejahteraan bagi
masyarakat, pemerintah dapat menjaga stabilitas politik dalam negeri yang
merupakan salah satu elemen penting bagi rezim Park Chung-hee yang dikenal
sebagai rezim otoriter.
Selain itu, kebijakan HCI juga merupakan bentuk state capacity pemerintah
sebagai respon terhadap tekanan dari luar yang terjadi pada saat itu. Kemunculan
negara-negara industri baru yang mengandalkan ekspor dan meningkatnya proteksi
Amerika Serikat serta Jepang menyebabkan pemasaran produk-produk padat karya
Korea Selatan mengalami penurunan. Dimana, industri ini merupakan sektor yang
dikembangkan lebih dulu oleh Korea Selatan pada saat memulai program industri
berorientasi ekspor. Selain itu, krisis minyak pada awal 1970an, defisit neraca
perdagangan dan hutang luar negeri, serta penarikan pasukan Amerika Serikat46
(Choe, 1991: 438), juga merupakan beberapa tekanan dari luar yang mendorong
pemerintah untuk melakukan pergeseran kebijakan dari industri padat karya menjadi
industri berat dan kimia sebagai bentuk state capacity Korea Selatan.
Kebijakan HCI terbukti membawa perubahan positif bagi pembangunan
ekonomi dan proses industrialisasi di Korea Selatan. Jumlah pelaku industri
mengalami penambahan secara signifikan seiring dengan arahan pemerintah kepada
46 Penarikan mundur pasukan Amerika Serikat pada saat itu, dianggap sebagai melemahnya peran politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Korea Selatan. Oleh karena itu, pemerintahan rezim Park Chung-hee menganggap perlunya industri yang dapat mendukung pembangunan fasilitas militer untuk pertahanan nasional sehingga tidak bergantung lagi kepada Amerika Serikat.
138
pelaku usaha untuk melakukan investasi pada industri. Demikian halnya dengan hasil
produksi barang-barang industri berat, juga mengalami peningkatan cukup pesat yang
didukung oleh POSCO sebagai penyedia bahan baku. Peningkatan produksi dibarengi
juga dengan peningkatan ekspor barang-barang industri seperti kendaraan yang telah
dibahas sebelumnya di dalam tulisan ini, elektronik dan lain sebagainya. Ekspor
industri elektronik Korea Selatan pada akhir tahun 1980an berkontribusi
menempatkan Korea Selatan sebagai salah satu negara eksportir barang elektronik
terbesar kesepuluh di dunia. Selain itu, dengan menjalankan kebijakan HCI, target
ekspor yang ditentukan pemerintah pada FYEDP keempat sebesar 10 milyar dolar
Amerika dapat dicapai.
Dengan gambaran tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa respon pemerintah
terhadap dinamika yang terjadi pada periode tersebut sebagai bentuk state capacity
berjalan dengan efektif. Ini terlihat dari hasil yang telah dicapai dalam proses
industrialisasi dan kesediaan para pelaku usaha atau chaebol mengikuti arahan dari
pemerintah untuk melakukan investasi industri. Efektifitas state capacity yang
dilakukan pada saat itu terkait dengan berbagai kemudahan yang diberikan oleh
pemerintah kepada para pelaku usaha dalam proses pembangunan ekonomi sehingga
tercipta hubungan kerjasama positif antara pemerintah dengan chaebol, menghasilkan
apa yang disebut Jong-Chan Rhee (1994) sebagai state-big business coalition.
Dalam implementasi kebijakan HCI, insentif yang diberikan oleh pemerintah
fokus pada pada pelaku bisnis besar atau chaebol untuk mengelola koalisi tersebut.
Dengan kata lain, kebijakan pemerintah dalam proses industrialisasi lebih
139
mementingkan perkembangan pelaku industri besar atau chaebol daripada pelaku
industri kecil dan menengah. Hal ini dapat dilihat dari hubungan antara pimpinan
chaebol dengan pejabat tinggi dalam pemerintahan termasuk Menteri dan Presiden
yang selalu mengadakan berbagai pertemuan secara rutin seperti rapat promosi
ekspor bulanan, konferensi luar biasa evaluasi program HCI, dan pertemuan informal
lainnya (Rhee, 1994: 65)
Selain memberikan berbagai kemudahan kepada chaebol, pemerintahan yang
pada saat itu dipimpin oleh rezim otoriter, juga menggunakan kekuasaannya untuk
menekan para pelaku usaha agar bersedia mengikuti arahan kebijakan pembangunan
ekonomi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bentuk tekanan yang diberikan oleh
pemerintah dalam mendorong chaebol untuk melakukan investasi dalam industri,
dilakukan dengan menggunakan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintahan
sebelumnya yang merupakan pemerintahan transisi antara rezim Syngman Rhee
dengan rezim Park Chung-hee. Pemerintahan yang hanya berumur dua tahun dibawah
Presiden Yun Bo-seon tersebut, menetapkan peraturan khusus terkait permasalahan
akumulasi kapital yang dilakukan oleh chaebol dengan cara memanfaatkan posisi
politik maupun kekuasannya pada masa pemerintahan Syngman Rhee (Jones &
Sakong, 1980: 281).
Peraturan ini lahir karena desakan dari gerakan anti chaebol, disebabkan oleh
maraknya prektek korupsi yang terjadi dalam hubungan antara pemerintah dengan
chaebol pada saat itu. Peraturan khusus yang mengharuskan chaebol melakukan
pembuktian terhadap harta kekayaannya apakah bersih atau tidak dari indikasi
140
korupsi tersebut, dimanfaatkan oleh rezim Park Chung-hee sebagai alat untuk
“memaksa” pelaku usaha mengikuti arah kebijakan industrialisasi yang dijalankan
oleh pemerintah. Apabila chaebol menolak arahan yang ditetapkan maka pemerintah
akan memeriksa kembali harta kekayaannya dan apabila ditemukan indikasi korupsi
maka harta tersebut akan disita dan diproses secara hukum.
Kemudian pemerintah juga menggunakan wewenangnya untuk menguasai
sektor finansial di Korea Selatan untuk menjamin efektifitas state capacity dalam
proses industrialisasi khususnya penerapan kebijakan HCI. Dengan menguasai
kebutuhan dasar bagi para pelaku usaha untuk melakukan pengembangan bisnis,
pemerintah dapat mempengaruhi chaebol untuk mengikuti jalur kebijakan yang telah
digariskan oleh pembuat kebijakan. Seluruh bank yang ada di Korea Selatan
dinasionalisasi oleh pemerintah pada tahun 1961, untuk mempermudah pengusaan
sektor finansial oleh pemerintah. Menurut Shim Jae-Seung dan Lee Moosung (2008),
langkah tersebut memperkuat kontrol pemerintah terhadap para pelaku usaha dan
memberikan kekuasaan yang lebih besar atau lebih luas bagi pemerintah untuk
mengimplementasikan keinginannya melalui sebuah kebijakan dibandingkan dengan
rezim sebelumnya (Shim & Lee, 2008: 80).
Faktor lainnya yang mendukung efektifitas state capacity dalam proses
industrialisasi terkait dengan kebijakan HCI, adalah sistem birokrasi yang dilandasi
meritokrasi. Rezim Park Chung-hee dikenal sebagai rezim yang otoriter, sehingga
memiliki memiliki kekuasaan yang sangat besar, terutama setelah Presiden
141
menetapkan konstitusi Yushin47 pada tahun 1972. Tata kelola rezim otoriter dalam
pemerintahan biasa digambarkan dengan sistem top down atau hierarki dimana
penguasa tertinggi memiliki peran dominan dalam pengambilan keputusan. Dengan
demikian, pemerintahan pada masa rezim Park Chung-hee tidak dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan dari luar yang bersifat politis dalam menjalankan pembangunan.
Sehingga, pemerintah dapat menempatkan orang-orang yang tepat dan berkompeten
dalam melakukan proses industrialisasi, serta mengisi jabatan-jabatan strategis pada
pemerintahan dengan teknokrat dibanding politisi.
Keberhasilan kebijakan HCI dalam mendorong pertumbuhan industri di Korea
Selatan juga memiliki dampak negatif. Dikarenakan tingginya angka partisipasi
pelaku usaha dalam proses industrialisasi, memunculkan terlalu banyak pemain di
tiap-tiap sektor industri, sehingga Korea Selatan mengalami ekses produksi dan
persaingan yang tidak perlu di antara para pelaku industri dalam negeri. Jong-Chan
Rhee (1994) menilai bahwa tahun 1976 sampai dengan 1978 merupakan periode
overboomed bagi Korea Selatan yang menimbulkan efek samping tidak hanya bagi
sektor-sektor HCI, akan tetapi pada ekonomi secara keseluruhan disebabkan oleh
strategi industri yang sangat ambisius dari pemerintah. Sehingga, perekonomian
Korea Selatan menghadapi inflasi yang tinggi, meningkatnya akumulasi hutang luar
47 Konstitusi yang ditetapkan oleh Park Chung-hee untuk mengukuhkan kekuasaannya di Korea Selatan melalui sistem pemilihan presiden tidak langsung oleh Dewan Unifikasi Nasional yang dibentuk secara manipulatif dan hanya bertugas memilih Presiden. Kemudian Presiden diberikan kewenangan untuk menunjuk langsung sepertiga dari anggota DPR sehingga memberikan kuasa kepada Presiden untuk mengontrol lembaga legislatif.
142
negeri, dan struktur industri yang tidak proporsional disebabkan oleh investasi yang
berlebihan pada sektor HCI (Rhee, 1994: 92).
Selain mengalami kelebihan kapasitas industri yang disebabkan oleh
kebijakan HCI, masalah lainnya yang dihadapi oleh perekonomian dalam negeri
Korea Selatan saat itu adalah adanya tekanan dari luar berupa resesi global akibat
krisis minyak yang terjadi pada tahun 1979. Resesi ini mengakibatkan harga minyak
dunia mengalami kenaikan mencapai tiga kali lipat dari harga sebelumnya.
Dampaknya terhadap perekonomian domestik adalah turunnya daya beli masyarakat.
Perpaduan antara kelebihan produksi industri dalam negeri dan turunnya permintaan
domestik menyebabkan perekonomian Korea Selatan berada dalam masalah.
Pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Chun Doo-hwan, kemudian
menerapkan kebijakan stabilisasi ekonomi sebagai sebagai bentuk state capacity
untuk mengatasi permasalahan yang dihadapai Korea Selatan. Chun Doo-hwan
menggeser arah kebijakan yang pada masa rezim sebelumnya bertumpu pada industri
berorientasi ekspor dengan tujuan mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin,
berubah menjadi kebijakan yang lebih yang lebih mengutamakan terciptanya
stabilitas ekonomi (Winanti, 2003: 188). Kebijakan stabilisasi ekonomi diawali
pemerintah dengan mengeluarkan sejumlah peraturan seperti pengetatan sektor
moneter dan pajak, rasionalisasi dan efiseiensi kebijakan HCI, dan yang terakhir
stabilisasi harga. Sementara itu, rasionalisasi dan efisiensi kebijakan HCI dilakukan
dengan cara melakukan restrukturisasi dan reorientasi industri.
143
Tuntutan untuk melakukan kebijakan stabilisasi ekonomi sebenarnya telah ada
sejak rezim Park Chung-hee berkuasa. Melihat proses industrialisasi yang berjalan
dengan sangat masif namun memiliki potensi dampak negatif bagi perekonomian,
pada tahun 1978 sekelompok orang di dalam tubuh EPB melakukan kajian dan
evaluasi tentang dampak negatif yang ditimbulkan dari kebijakan ekonomi
pemerintah. Sekelompok orang yang beriorientasi melakukan reformasi ini terdiri
dari birokrat-birokrat muda di dalam EPB yang dipimpin oleh Asisten Menteri
Perencanaan Kang Kyuk-sik (Rhee, 1994: 94). Sebagi hasil dari serangkaian proses
pengkajian dan evaluasi yang telah dijalankan, mereka menemukan permasalahan
dalam proses industrialisasi dan dibutuhkan langkah-langkah untuk melakukan
perubahan fundamental. Dengan mengacu pada hasil kajian tersebut, kelompok ini
kemudian berusaha meyakinkan pemerintah mengenai perlunya dilakukan kebijakan
berorientasi stabilisasi ekonomi.
Namun, kelompok ini gagal meyakinkan para pejabat tinggi pembuat
kebijakan untuk mengadopsi ide mereka sebagai kebijakan ekonomi resmi yang
dijalankan oleh EPB. Pada periode tersebut hampir semua pejabat tinggi negara
sangat antusias dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang diraih dari kebijakan HCI.
Selain itu, komitmen kuat Presiden Park Chung-hee pada pembangunan ekonomi
berorientasi pertumbuhan setinggi-tingginya menjadi alasan para pejabat tinggi
pembuat kebijakan untuk mengesampingkan rekomendasi dari kelompok tersebut.
Ketika terjadi pergantian pucuk pimpinan EPB, baru kemudian kelompok
yang berorientasi reformasi ini mendapat perhatian, dikarenakan kepala EPB yang
144
baru Shin Hyun-hwak berorientasi melakukan stabilisasi ekonomi. Pasca terpilihnya
pemimpin baru EPB tersebut, tuntutan akan penerapan kebijakan stabilisasi ekonomi
semakin meluas terutama yang datang dari lembaga pimpinan Shin Hyun-hwak ini.
Pada awal tahun 1979, EPB memberikan laporan kepada Presiden Park Chung-hee
tentang perkembangan terbaru ekonomi dalam negeri dan rekomendasi langkah-
langkah kebijakan. Dalam laporan tersebut, EPB secara resmi menyampaikan
perlunya untuk melakukan perubahan signifikan dalam pengelolaan ekonomi.
Orientasi kebijakan yang diusung adalah mempertimbangkan penerapan kebijakan
stabilitas ekonomi (Rhee, 1994: 96).
Laporan EPB tersebut tidak mampu meyakinkan Presiden Park Chung-hee
yang memiliki komitmen dalam melakukan kebijakan ekonomi berorientasi
pertumbuhan, untuk mengubah arah kebijkan menuju stabilisasi ekonomi. Presiden
menegaskan posisinya tersebut pada saat melakukan pidato tahunan pada januari
1979. Park Chung-hee mengungkapkan bahwa dia tidak setuju dengan ide yang
menginginkan pengelolaan ekonomi Korea Selatan harus menekankan stabilitas
dengan cara menekan peningkatan ekspor dan mengurangi pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, pembangunan ekonomi semestinya dilakukan dengan melanjutkan
strategi yang berorientasi pertumbuhan dengan terus meningkatkan promosi HCI.
Selain mendapat penolakan dari Presiden, rekomendasi kebijakan yang
diajukan oleh EPB ini juga mendapat tentangan dari MCI48. Lembaga Kementerian
yang mengurusi masalah perdagangan dan industri di Korea Selatan ini memiliki
48 Ministry of Commerce and Industry.
145
pandangan yang sama dengan Presiden Park Chung-hee terkait orientasi ekonomi
tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik kebijakan antara dua institusi yang
memiliki peran sentral dalam proses pembangunan dan industrialisasi di negara
tersebut. Kedua lembaga ini saling beradu argumen untuk meyakinkan Presiden
mengenai langkah terbaik apa yang harus diambil oleh pemerintah dalam
menjalankan roda pembangunan.
Meskipun terjadi faksi-faksi di dalam pemerintahan, sebagai rezim yang
otoriter pemimpin tertinggi memegang kuasa penuh atas pengambilan keputusan.
Sehingga, faksi-faksi yang berbeda tersebut tetap berada dibawah kendali Presiden.
Walaupun terjadi konflik kebijakan di antara dua lembaga dengan otoritas tinggi
dalam proses pembangunan di Korea Selatan tersebut, output yang dihasilkan tetap
sepenuhnya merupakan keinginan Park Chung-hee. Hal ini terlihat ketika pemerintah
menetapkan target ekspor tahun 1979 sebesar 15,5 milyar dolar Amerika yang lebih
besar dari rekomendasi MCI sebesar 15,3 milyar dolar, dan EPB 15 milyar dolar
(Rhee, 1994: 97).
Untuk meyakinkan Presiden, EPB terus melakukan pendekatan agar mau
melaksankan rekomendasi yang diajukan dengan menyertakan argumentasi dan
meminta Park Chung-hee melakukan inspeksi langsung terkait ekses produksi
industri HCI. Setelah berusaha meyakinkan Presiden, EPB berhasil mendorong
diterbitkannya CMES49 yang merupakan konstruksi dasar kebijakan stabilisasi
ekonomi jangka panjang. Mekipun kebijakan CMES telah diberlakukan, perbedaan
49 Comprehensive Measures for Economic Stabilization.
146
pandangan yang terjadi di dalam pemerintahan melibatkan dua lembaga sentral, dan
kurangnya antusiasme Presiden terhadap keputusan tersebut, mengakibatkan
kebijakan stabilisasi yang ditetapkan tidak dapat teralisasi dengan baik atau tidak
berjalan secara konsisten sampai terjadi pergantian kekuasaan ke tangan Chun Doo-
hwan pada tahun 1980.
Dinamika diatas memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah yang
diterapkan sebagai bentuk state capacity untuk merespon permasalahan yang ada,
tidak berjalan dengan efektif. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya konsensus di
antara para pembuat kebijakan, ditambah lagi dengan kurangnya political will dari
para birokrat yang berbeda-beda pandangan tersebut menyebabkan melemahnya
kapasitas birokrasi dalam menjalankan kebijakan. Selain itu inkonsistensi Park
Chung-hee sebagai pimipinan tertinggi dalam melihat permasalahan yang ada,
semakin mempengaruhi soliditas faksi-faksi dibawahnya yang berbeda pandangan.
Berbeda dengan Park Chung-hee, Chun Doo-hwan memiliki keseriusan untuk
menjalankan kebijakan stabilitas ekonomi yang telah dimulai oleh rezim sebelumnya.
Komitmen kuat dari Presiden ini kemudian dapat menekan faksi-faksi yang berbeda
pendapat di dalam tubuh pemerintah, sehingga program stabilisasi ekonomi dapat
diwujudkan secara konsisten.
Dibawah kepemimpinan Chun Doo-hwan, restrukturisasi dan reorientasi
industri mulai dilakukan. Restrukturisasi dan reorientasi industri bertujuan untuk
mengembalikan postur industri yang tumbuh secara tidak proporsional. Pemerintah
mulai mengatur dan membatasi chaebol dalam melakukan ekspansi industri ke
147
sektor-sektor HCI. Pengaturan dilakukan dengan cara mendorong perusahaan-
perusahaan yang berada dibawah naungan chaebol untuk melakukan merger dengan
perusahaan chaebol lainnya, terutama yang bergerak pada bidang bisnis yang sama
sehingga dapat mengurangi persaingan yang tidak perlu dan lebih fokus bersaing
secara internasional daripada bersaing dengan kompetior dari dalam negeri.
Sedangkan pembatasan dilakukan dengan mengurangi pemberian lisensi kepada para
pelaku usaha atau chaebol.
Pada tahun 1980 pemenrintah membatasi lisensi bagi perusahaan chaebol
yang bergerak pada industri otomobil. Pemerintah hanya memberikan lisensi kepada
Hyundai, Kia, dan Daewoo. Ketiga perusahaan chaebol ini diinstruksikan untuk
melakukan spesialisasi produk untuk mengurangi persaingan dan tidak saling
berkompetisi satu sama lain. Pemerintah mendorong terciptanya konsolidasi antara
ketiga produsen otomobil dalam negeri tersebut. Konsolidasi yang mulai berjalan
efektif pada tahun 1982 ini, mengarahkan Kia untuk berkonsentrasi pada pembuatan
jenis kendaraan komersial berukuran kecil ke menengah. Kemudian pemerintah
hanya memberikan lisensi kepada Hyundai dan Daewoo untuk memproduksi jenis
kendaraan berpenumpang kecil, sedangkan produksi jenis kendaraan bus serta truk
berukuran besar diberlakukan kompetisi secara terbuka (Hun, 2003: 63).
Sedangkan pada industri pembangkit listrik yang juga menjadi fokus dari
kebijakan stabilisasi ekonomi, pemerintah mengurangi empat perusahaan milik
chaebol yang menjadi pemain dalam industri tersebut. Pemerintah menginstruksikan
perusahaan milik Hyundai yaitu Hyundai Industries Co. dan Hyundai International
148
Inc. agar dilebur menjadi satu guna menambah jumlah kapital. Kemudian, pemerintah
juga memberikan arahan agar perusahaan miliki Samsung, yaitu Samsung Heavy
Industries Co. melakukan merger dengan Daewoo Heavy Industries Co. perusahaan
milik chaebol Daewoo.
Pada awalnya para chaebol menolak instruksi yang diberikan oleh pemerintah
untuk melakukan merger dengan perusahaan yang berasal dari chaebol lainnya.
Argumen yang menjadi dasar penolakan tersebut adalah kesulitan tata kelola
manajerial. Dimana, perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh chaebol tersebut
tengah dalam proses atau tengah melakukan kerjasama berupa joint venture dengan
perusahaan-perusahaan yang berbeda-beda. Sehingga, jika pemerintah mengharuskan
untuk merger mereka merasa akan mengalami kesulitan melakukan koordinasi dan
akan terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan terutama
terkait dengan partner joint venture yang berasal dari luar negeri.
Penolakan dalam melakukan merger disuarakan oleh para chaebol melalul
FKI50 yang merupakan organisasi atau asosiasi untuk menyatukan pendapat dan
menyuarakan aspirasi mereka terkait dengan pembangunan ekonomi. FKI mengkritisi
kurangnya peran pelaku usaha dalam penentuan kebijakan ekonomi yang diambil
oleh pemerintah. Organisasi ini secara serius meminta kepada pemerimtah untuk
memberikan peningkatan peran serta chaebol dalam proses pengambilan kebijakan
ekonomi. Perkembangan chaebol dalam proses industri kemudian meningkatkan
50 Federation of Korean Industries, didirikan tahun 1961 yang terdiri dari para chaebol.
149
posisi tawar mereka secara politis, terutama melalui FKI yang menjadikan kekuatan
chaebol semakin solid dalam menyuarakan keinginannya.
Namun, pada akhirnya para pelaku usaha yang awalnya menolak instruksi
pemerintah untuk melakukan merger atau peleburan dengan perusahaan lainnya
tersebut, menerima dan menjalankan keinginan pemerintah saat itu. Dibawah rezim
Chun Doo-hwan yang dikenal juga sebagai pemimpin otoriter, pemerintah
menggunakan kekuasaannya pada sektor finansial untuk menekan para pelaku usaha
atau chaebol. Meskipun pada saat itu kontrol pemerintah terhadap sistem finansial
sudah berkurang, pemerintah masih menguasai beberapa sektor seperti penentuan
alokasi kredit dan penentuan ijin investasi.
Chaebol yang memiliki kredit atau hutang dalam jumlah besar sebagaimana
digunakan untuk melakukan ekspansi industri, sangat bergantung pada pemerintah
sebagai penyedia dana tersebut. Sehingga, pemerintah dapat kapan saja melakukan
suspensi terhadap pinjaman yang dibutuhkan oleh chaebol sebagai bentuk hukuman
apabila mereka tidak mengikuti instruksi kebijakan dari pemerintah. Jika hal ini
dilakukan maka chaebol dapat mengalami kesulitan dan bukan tidak mungkin
berakhir bangkrut. Oleh sebab itu, chaebol tidak punya pilihan selain mengikuti
instruksi yang diberikan oleh pemerintah.
Kebijakan restrukturisasi industri yang dilakukan oleh pemerintah sebagai
bagian dari program stabilisasi ekonomi pada era Chun doo-hwan dapat dikatakan
berjalan dengan efektif. Berbeda dengan rezim sebelumnya, yang sebenarnya telah
menerapkan kebijakan stabilsasi ekonomi namun lemah dalam
150
pengimplementasiannya. Sebagai bentuk state capacity efektifitas restruktirisasi
industri yang dilakukan oleh pemerintah dihasilkan dari penguasaan sektor finansial.
Meskipun chaebol telah tumbuh dan berkembang sehingga kemudian memiliki posisi
tawar secara politis, penguasaan sektor finansial yang dilakukan oleh pemerintah
masih merupakan alat yang efektif untuk menjamin keberhasilan kebijakan
restrukturisasi industri.
Dinamika penting lainnya dalam proses industrialisasi dan pembangunan di
Korea Selatan yang dapat digunakan untuk melihat respon pemerintah dalam
menghadapi tekanan eksternal sebagai bentuk state capacity adalah krisis Asia tahun
1997. Krisis yang mengubah konstruksi industri dalam negeri ini memaksa
pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan dengan menerapkan berbagai
kebijkan untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Kesulitan finansial yang dialami
Korea Selatan pada saat itu, memaksa pemerintah untuk mengajukan pinjaman
hutang luar negeri kepada IMF. Pemberian utang yang dilakukan oleh IMF diikuti
dengan pengajuan syarat yang berkaitan dengan penerapan liberalisasi ekonomi di
Korea Selatan. Pemerintah, yang pada saat itu dibawah pimpinan Kim Young-sam
tidak punya pilihan selain menyetujui syarat yang diajukan oleh IMF tersebut.
Pemerintahan baru yang terpilih pada tahun 1998 dibawah Kim Dae-jung
melihat permasalahan yag dihadapi Korea Selatan serupa dengan cara pandang IMF.
Menurutnya masalah mendasar yang menyebabkan krisis ekonomi saat itu adalah
kontrol pemerintah pada ekonomi dan sektor finansial, dia menyebutnya dalam
bahasa Korea sebagai kwanchi kyungche dan kwanchi keumyung (Jwa, 2001: 221).
151
Oleh sebab itu, pemerintah dibawah Presiden baru tersebut, kemudian melakukan
reformasi finansial dan korporasi atau industri yang selama beberapa dekade
sebelumnya berada dibawah kendali pemerintah. Dalam menjalankan reformasi
finansial, hal yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengembalikan fungsi
perbankan dan membangun sistem finansial berdasarkan kepentingan komersial.
Sedangkan dalam melakukan reformasi korporasi atau industri, pemerintah menuntut
dilakukannya perubahan mendasar dalam tata kelola bisnis chaebol diantaranya
melakukan transparansi, menjalankan prinsip-prinsip akuntabilitas, dan memperkuat
struktur finansial.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pemerintah menggunakan
sektor finansial untuk menjamin efektifitas kebijakan pemerintah terhadap chaebol.
Pemerintah memberikan pinjaman yang dibutuhkan kepada konglomerasi bisnis
tersebut sebagai modal untuk melakukan ekspansi. Dalam implementasinya terjadi
apa yang disebut oleh Jwa Sung-hee (2001) sebagai overborrowing dan
overinvestment. Kebijakan pemerintah sebelumnya yang selalu menjamin chaebol
dalam melakukan investasi, memunculkan asumsi di tengah-tengah pelaku usaha
bahwa pemerintah akan selalu ada dibelakang para chaebol dalam menyediakan
kapital dan memberikan bantuan setiap mereka membutuhkan modal (Jwa, 2001: 32)
Sehingga pada akhirnya ekspansi usaha yang dilakukan oleh chaebol tidak melalui
perhitungan dan kalkulasi yang tepat, dan hanya berdasar kepada keinginan untuk
menjadi besar saja, tanpa diikuti dengan pertimbangan yang matang.
152
Jaminan pinjaman modal yang diberikan oleh pemerintah selama beberapa
dekade tersebut, memang melahirkan banyak pelaku industri besar di Korea Selatan.
Namun bersamaan dengan itu, para pelaku industri tersebut juga memiliki hutang
jangka panjang dalam jumlah besar yang menjadi “bom waktu” bagi proses
pembangunan ekonomi di negara tersebut. Sehingga ketika terjadi krisis tahun 1997
beberapa perusahaan yang dimiliki oleh chaebol mengalami kesulitan finansial.
Untuk mengatasi masalah overborrowing dan overinvestment yang menghasilkan
“bom waktu” bagi perekonomian Korea Selatan tersebut, pemerintah kemudian
melakukan proses restrukturisasi industri melalui program kebijakan “Big Deal”
dengan melibatkan lima chaebol terbesar untuk mendorong mereka melakukan
pertukaran aktifitas industri. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi industri
terutama yang berkaitan dengan sektor-sektor penting.
Pada sektor otomobil, pemerintah mendorong Samsung untuk menukarkan
perusahaan otomobil miliknya (Samsung Motors) dengan perusahaan elektronik milik
Daewoo (Daewoo Electronics). Menurut pemerintah, pertukaran ini akan
menguntungkan bagi kedua chaebol dan memperkuat industri otomobil dalam negeri.
Selain itu, pertukaran ini juga akan mengatasi masalah kelebihan kapasitas produksi
yang dialami Korea Selatan pasca krisis ekonomi. Samsung dipilih pemerintah,
karena memiliki perusahaan dengan kapasitas produksi dan kapabilitas teknologi
paling rendah diantara perusahaan pelaku industri otomobil domestik lainnya.
Dengan kapasitas dan kapabilitas yang rendah Samsung diyakini tidak akan bertahan
dalam persaingan industri otomobil. Sehingga pemerintah menyebut pertukaran ini
153
sebagai win win solution, dimana pertukaran dengan Daewoo selain menguntungkan
dari sisi finansial, juga memberikan kesempatan kepada Samsung untuk menarik diri
dari industri otomobil tanpa kehilangan muka (Park, 2003: 185).
Dukungan berbagai pihak terhadap program kebijakan “Big Deal” tidak
diikuti dengan keberhasilan pemerintah mendorong pertukaran aktifitas industri
antara Samsung dan Daewoo pada sektor otomobil. Negosiasi antara keduanya tidak
mencapai titik temu sehingga mengalami kegagalan pada tahun 1999. Secara
keseluruhan, program kebijakan “Big Deal” memang tidak berjalan dengan mulus
dikarenakan perselisihan yang terjadi antara chaebol terkait dengan penolakan
terhadap penukaran atau ketidaksesuaian harga jual yang ditetapkan untuk perusahaan
mereka. Namun program ini pada tingkatan tertentu dapat dikatakan berhasil, dimana
efektifitasnya mencapai tujuh dibanding sembilan sektor yang merupakan target dari
program tersebut. Sedangkan, capaian yang diperoleh terhadap sektor-sektor industri
tersebut yaitu, mengurangi besaran gaji pegawai yang harus dibayarkan oleh chaebol
kepada para pegawainya, mengurangi aset-aset industri yang tidak produktif atau
terbengkalai, dan yang paling penting adalah mengurangi jumlah utang yang dimiliki
oleh chaebol (Lihat Tabel 11).
Tabel 11.Persentase Capaian Program “Big Deal” Tahun 1999
154
Sumber: Samsung Economic Research Institute (2001).
Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa respon pemerintah terhadap krisis
ekonomi 1997 yang dilakukan melalui berbagai kebijakan salah satunya program
“Big Deal” telah berhasil membawa perubahan bagi proses industrialisasi ke arah
postitif. Sehingga dapat dikatakan jika dilihat dari hasil output kebijakan, respon
pemerintah sebagai bentuk state capacity terhadap krisis ekonomi pada saat itu
berjalan dengan efektif, yang dapat dilihat dari capaian program kebijakan Big Deal
pada Tabel 11.
Jika dilihat dari dimensi yang berbeda, penerapan kebijakan ini juga dapat
dikatakan tidak berjalan dengan mulus. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,
bahwa terjadi perselisihan dan ketidaksesuaian harga yang menyebabkan penolakan
dari chaebol untuk mengikuti instruksi pemerintah. Oleh karena itu, dapat dilihat
bahwa efektifitas state capacity dalam mempengaruhi pelaku usaha untuk
menjalankan rekomendasi kebijakan dari pemerintah berjalan tidak efektif. Hal ini
155
disebabkan terjadinya peningkatan kekuatan chaebol secara politis seiring dengan
perkembangannnya menjadi bisnis besar yang berpengaruh. Selain itu, pemerintahan
yang bergeser dari otoriter menuju demokratis juga berperan mereduksi kekuasaan
pemerintah dalam mempengaruhi para pemangku kepentingan termasuk chaebol.
Penjabaran diatas menunjukan bahwa perubahan dari pemerintahan yang
otoriter menuju demokratis serta perkembangan yang dicapai oleh chaebol
menyebabkan terjadinya pergeseran power dalam proses industrialisasi dan
pembangunan ekonomi di Korea Selatan. Hal ini mempengaruhi efektifitas state
capacity dalam mempengaruhi berjalannya sebuah kebijakan. Namun, hal ini tidak
serta merta membawa dampak negatif dalam aktifitas ekonomi di negara tersebut.
Pengambilan pilihan kebijakan yang tepat masih dapat dilakukan dengan melibatkan
jauh para pelaku usaha atau chaebol yang dapat didefnisikan sebagai sinergi antara
pemerintah dan pelaku usaha dalam bentuk private sector governance.
BAB IVARTI PENTING JEPANG BAGI KOREA SELATAN
Seperti yang digambarkan oleh pandangan strukturalis, sebagai negara inti
dalam kawasan, Jepang memiliki arti penting pada proses perkembangan ekonomi
156
dan politik di Asia khususnya bagian timur. Korea Selatan adalah salah satu negara
yang sangat dipengaruhi oleh Jepang dalam urusan politik dan ekonomi negaranya.
Sejarah mencatat bahwa Korea pernah menjadi bagian dari subordinasi Jepang
sebagai bagian dari wilayah kekaisarannya selama lebih dari tiga dekade, dari 1910
sampai dengan 1945. Sementara secara geografis, Korea Selatan dan Jepang berada
bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh selat Korea (Lihat Gambar 5). Posisi
geografis ini semakin memberikan anggapan bahwa terdapat kedekatan hubungan di
antara kedua negara tersebut.
Gambar 5.Peta Jepang dan Korea Selatan
Sumber: Google (2014)
Dalam konteks pembangunan dan proses industrialisasi, peran Jepang
terhadap kemajuan yang diraih oleh Korea Selatan sangat besar. Seperti yang
dikemukakan oleh Shim Jae-Seung dan Lee Mosung (2008), bahwa tanpa bantuan
dari Jepang, kebijakan pembangunan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah
157
Korea Selatan, kemungkinan akan mengalami kegagalan. Untuk melakukan
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, impor barang produksi disertai dengan
transfer teknologi dari Jepang sangat diperlukan oleh Korea Selatan (Shim & Lee,
2008: 137). Selain itu, Jepang juga menyediakan bantuan atau pinjaman modal yang
diperlukan Korea Selatan untuk melakukan ekspansi dalam proses industrialisasi.
Dengan kata lain, berbagai komponen utama yang dibutuhkan dalam proses
pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan didapatkan dari Jepang.
Peran Jepang dalam proses pembangunan dan industrialiasi di Korea Selatan
telah dimulai pada saat Korea masih menjadi wilayah kekaisaran Jepang. Pada
periode tersebut, Jepang telah membangun dan mendirikan berbagai macam industri
di Korea. Industri yang didirikan umumnya bergerak pada sektor ringan dan
tradisional seperti industri makanan berupa gandum, industri finansial berupa
peminjaman uang, dan industri-industri tradisional lainnya. Setelah melepaskan diri
dari subordinasi politik Jepang, proses pembangunan ekonomi dan industrialisasi
Korea Selatan tetap mengandalkan peran serta Jepang dalam berbagai bentuk,
terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas industri.
Seperti yang telah disampaikan pada bagian kerangka pemikiran, dalam upaya
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri Korea Selatan memerlukan inovasi
yang diinstitusionalisasi melalui National Innovation System atau NIS. Dietr Ernst
(2000), berpandangan bahwa inovasi melalui NIS merupakan elemen penting untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. National Innovation
System sendiri dipahami oleh Dietr Ernst sebagai upaya untuk menganalisa faktor-
158
faktor yang menentukan proses belajar, pengembangan pengetahuan, dan inovasi
secara institusional (Ernst, 2000: 2). Faktor yang menentukan berbagai proses dalam
konsep NIS tersebut adalah pengembangan teknologi dan ketersediaan modal.
Sebagaimana sebuah industri mengembangkan produk dengan inovasi terbaru,
diibutuhkan modal dan teknologi untuk dapat merealisasikannya
Pada saat periode awal menjalankan proses industri, sebagai negara
berkembang Korea Selatan memiliki keterbatasan terhadap ketersediaan modal dan
teknologi yang merupakan faktor penting dalam pengembangan pengetahuan dan
inovasi guna meningkatkan kapasitas serta kapabilitas industri. Oleh karena itu,
dibutuhkan sumber dari luar untuk menyediakan kedua faktor tersebut. Korea
Selatan, dapat mengandalkan negara maju yang telah lebih dulu menjalankan proses
industrialisasi dan merupakan core dalam struktur internasional dalam mendapatkan
modal dan teknologi. Mengacu pada posisi geografis Korea Selatan, Jepang sebagai
negara core di kawasan Asia (Timur) adalah negara yang dimaksud.
Seberapa besar peran Jepang dalam berbagai proses tersebut diatas akan
dibahas lebih rinci pada bagian-bagian berikutnya di dalam tulisan ini. Penjelasan ini,
akan didahului dengan melihat bagaimana keterlibatan negara tersebut dalam proses
industrialisasi yang dilakukan oleh Korea dari masih menjadi wilayah kekaisaran
Jepang hingga pasca melepaskan diri dan membangun industri dalam negeri secara
mandiri. Kemudian bagian berikutnya akan melihat bagaimana peran Jepang dalam
proses pengembangan inovasi, terkait dengan penyediaan faktor-faktor yang
dibutuhkan dalam proses tersebut, yaitu kapital dan teknologi.
159
A. Jepang dan Pembangunan Industri Korea
Peran Jepang dalam pembangunan industri Korea telah dimulai sejak
kekaisaran Jepang menguasai Korea pada tahun 1910. Selain membangun
pemerintahan militer di Korea, Jepang juga melakukan pembangunan ekonomi di
wilayah subordinasinya tersebut dengan cara menjadikannya sebagai negara semi
industri. Industri-industri ringan tradisional mulai berkembang di Korea setelah tahun
1910 seperti industri makanan dan peminjaman uang. Pembangunan industri yang
awalnya tradisional berkembang menjadi lebih secara pesat menjadi lebih modern,
ditandai dengan didirikannya pabrik hidroelektris dan nitrogen pada tahun 1926 oleh
perusahaan Noguchi dari Jepang. Bersamaan dengan didirikannya industri yang lebih
modern tersebut, investasi perusahaan-perusahaan Jepang semakin besar di Korea,
dimana mereka mulai memproduksi biji besi dan baja, serta mendirikan industri
permesinan.
Pembangunan industri yang dilakukan oleh Jepang di Korea pada saat
menjadi bagian kekaisarannya, menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup
berarti bagi Korea. Terhitung selama tiga dekade dari tahun 1910 sampai dengan
1940, nilai keseluruhan yang dihasilkan oleh produk-produk komoditas pada periode
tersebut meningkat cukup drastis, dari yang semula 645 juta won menjadi 1,661 juta
won. Sedangkan pada sektor manufaktur, nilai produk pada periode yang sama
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 10 persen setiap tahunnya. Tercatat nilai
produk manufaktur pada tahun 1910 sebesar 21 juta won kemudian bertambah
160
menjadi 364 juta won pada tahun 1940. Peningkatan ini juga menambah sumbangan
industri sektor manufaktur terhadap nilai total produksi pada periode tersebut, yaitu
dari 3,3 persen menjadi 21,9 persen (Wibawanta, 2002: 54).
Selama tiga dekade berada dibawah kekaisaran Jepang, sepuluh tahun pertama
pembangunan ekonomi Korea dijalankan dengan berorientasi pada sektor pertanian
untuk mencapai swasembada pangan. Oleh sebab itu, target yang ditetapkan oleh
pemerintah kolonial pada saat itu adalah surplus pangan. Dengan malakukan
pembangunan industri berbasis pertanian, Korea Selatan menjadi salah satu daerah
penyangga kebutuhan pangan Jepang pada saat itu. Untuk mendukung posisi Korea
sebagai lumbung pangan, Jepang membangun infrastruktur yang berkaitan dengan hal
tersebut, seperti saluran irigasi dan pabrik pengolahan hasil pangan (Heggard, 1990:
194). Sebagai hasilnya pada produksi pertanian teru meningkat dari tahun ke tahun,
dari sekitar 2,2 juta ton pada periode 1912-1916 menjadi sekitar 3 juta ton pada
periode 1932-1936 (Song, 1997: 42). Pada periode terakhir tersebut, sekitar 50 persen
dari hasil produksi industri pertanian di Korea dikirim ke Jepang.
Setelah dapat dikatakan berhasil melakukan pengembangan industri berbasis
pangan, Jepang kemudian mulai memperluas cakupan industrinya di Korea. Dimulai
sekitar tahun 1930an sampai dengan 1940an, Jepang mulai mengembangkan industri
berbasis manufaktur terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas militer.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Jepang membangun Korea menjadi military
industrial complex. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yang pertama munculnya
161
gerakan-gerakan rakyat menuntut kemerdekaan, dan yang kedua adanya keiinginan
rezim penguasa Jepang untuk melakukan ekspansi militer ke China dan Manchuria.
Seiring dengan perluasan cakupan industri dan pembangunan military
industrial complex, Jepang mulai memindahkan operasi pelaku industri yang
dimilikinya ke Korea seperti Mitsubishi, Mitsui, dan Sumitomo. Para pelaku industri
yang dikenal juga sebagai konglomerasi dengan nama zaibatsu ini, melakukan
subcontracting dari perusahaan induknya di Jepang ke perusahaan yang lebih kecil di
Korea. Kebijakan Jepang untuk memperluas basis industri, berdampak pada
perkembangan prtumbuhan industri-industri lainnya di Korea. Hal ini terlihat dari
output yang dihasilkan oleh industri Korea Selatan yang meningkat dari 23 sampai 25
persen selama satu dekade, dari tahun 1930 sampai dengan 1940 (Steinberg, 1989:
53). Industri yang berkontribusi meningkatkan output tersebut adalah industri berat
dan kimia, manufaktur, dan pertambangan.
Selain memperlihatkan perkembangan proses industrialisasi di Korea,
penjelasan diatas juga menggambarkan peran Jepang sebagai pusat subordinasi
politik maupun ekonomi Korea pada saat itu. Dominasi Jepang dapat dilihat juga dari
penguasaan arus kapital yang mencapai 88,7 persen dari total jumlah modal industri
yang ada di Korea (Joungwon, 1997: 23). Jumlah arus kapital yang dikuasai oleh
Jepang ini mewakili hampir semua perusahaan yang ada di Korea. Selain menguasai
perusahaan dan kapital yang terlibat dalam proses industri, Jepang juga menguasai
lapangan pekerjaan yang disediakan, dimana tenaga kerja terlibat di dalam hampir
semua posisi dari manaher sampai buruh dalam proses industri di Korea. Oleh sebab
162
itu dapat dikatakan bahwa, meskipun telah mengalami proses industrialisasi dengan
pertusembuhan yang cukup berarti, namun Korea hanyalah merupakan bagian dari
subordinasi ekonomi Jepang. Korea hanya mendapat potongan kecil dari kue
ekonomi yang disediakan oleh proses industrialisasi tersebut.
Setelah berakhirnya perang dunia kedua yang berujung dengan kekalahan
Jepang, Korea melepaskan diri dari kekaisaran Jepang dan memperoleh
kemerdekaannya pada tahin 1945. Namun, keadaan tidak menjadi lebih baik bagi
Korea. Putusnya hubungan ekonomi dengan Jepang, menimbulkan masalah baru bagi
Korea. Penarikan kapital Jepang yang mendukung sekitar lebih dari 88 persen modal
industri di Korea mengakibatkan masalah kekurangan modal. Selain itu kembalinya
tenaga trampil atau tenaga ahli ke Jepang juga berdampak buruk bagi perjalanan
proses industri Korea. Pada akhirnya industri dalam negeri menjadi lesu,
mengakibatkan turunnya tingkat produksi disertai dengan bertambahnya jumlah
tingkat pengangguran.
Pasca kemerdekaan, kondisi ekonomi Korea semakin buruk, terutama setelah
pecahnya perang saudara yang menyebabkan pemisahan Korea menjadi dua yaitu
Selatan dan Utara. Korea Selatan yang merupakan topik utama dari pembahasan di
dalam tulisan ini, kemudian mengalami masalah ekonomi yang serius. Setelah
berakhirnya perang saudara, pendapatan per kapita Korea Selatan hanya sebesar 67
dolar yang merupakan salah satu yang terendah di dunia, sekitar 40 persen
infrastruktur hancur terutama yang berkaitan dengan infrastruktur industri, dan
produksi industri yang sebagian besar dari sektor pertanian turun menjadi 27 persen
163
lebih rendah dari periode sebelum perang (Steinberg, 1989: 122). Negara ini bahkan
disebut sebagai salah satu negara termiskin di dunia pada saat itu. Lebih dari satu
dekade dipimpin oleh presiden pertama Syngman Rhee, pertumbuhan ekonomi Korea
Selatan berjalan sangat lamban sehingga melahirkan tuntutan untuk melakukan
rekonstruksi nasional. Keadaan ini kemudian mendorong terjadinya kudeta militer
pada awal 1960an yang dipimpin oleh Jendral Park Chung-hee.
Dibawah kepemimpinan rezim Park Chung-hee, Korea Selatan bangkit dari
keterpurukan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.
Keberhasilan Korea Selatan saat itu, dipandang sebagai prestasi yang sangat luar
biasa, hingga disebut sebagai “the miracle on the han river”. Indikator perbaikan
ekonomi yang dihasilkan oleh rezim tersebut dapat dilihat dari peningkatan angka
GNP, pertumbuhan ekonomi, dan pendapatan per kapita Korea Selatan saat itu. Pada
periode 1960an sampai dengan 1970an, Korea Selatan berhasil meningkatkan
pertumbuhan GNP rata-rata sebesar 9 persen per tahun. Kemudian pertumbuhan
ekonomi yang dicapai pada perode 1972-1979 mencapai angka diatas 10 persen per
tahun (Amsden, 1989: 55). Pendapatan per kapita pada periode yang sama, meningkat
dua kali lipat dari 724 dolar menjadi 1,463 dolar Amerika. Sedangkan pertumbuhan
ekspor Korea Selatan sejak tahun 1963 meningkat rata-rata 20 persen per tahun.
Perbaikan ekonomi menjadi fokus utama pemerintahan Park Chung-hee,
dimana pembangunan berbasis industri berorientasi ekspor untuk meningkatkan
pertumbuhan mulai dilakukan. Pembangunan dengan cara ini dilakukan atas dasar
pandangan dari kelompok teknokrat yang melihat bahwa pertumbuhan ekonomi dapat
164
dicapai dengan cara mendorong perkembangan usaha ekspor, terutama ekspor hasil
industri manufaktur. Untuk mendukung program pembangunan ini, Presiden Park
Chung-hee kemudian mengambil langkah untuk membuka hubungan diplomatik
dengan Jepang untuk mengundang masuknya arus investasi modal dan bantuan
ekonomi dari negara tersebut (Kuntjoro-Jakti, 1995: 114). Langkah ini kemudian
menjadi awal baru bagi kembalinya peran Jepang dalam proses pembangunan dan
industrialisasi di Korea Selatan.
Pada saat Park Cung-hee mulai berkuasa, Korea Selatan sedang dalam
keadaan kesulitan ekonomi, ditambah lagi dengan pengurangan bantuan keuangan
dari Amerika Serikat, menyebabkan negara ini kekurangan sumber dana untuk
melakukan proses pembangunan. Sehingga dalam memulai program pembangunan
ekonomi yang berbasis industri berorientasi ekspor, pemerintah memerlukan
alternatif pembiayaan agar program tersebut bisa berjalan dengan lancar. Jepang
adalah salah satu dari alternatif yang dapat diandalkan oleh Korea Selatan pada saat
itu. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa Presiden Park Chung-hee mulai
melakukan normalisasi hubungan dengan negara yang pernah menduduki Korea
Selama 35 tahun itu.
Seiring dengan dibukanya kembali hubungan diplomatik antara kedua negara
pada tahun 1965, Korea Selatan mulai membangun industri dalam negerinya dengan
mengandalkan modal yang sebagian besar datang dari Jepang. Melalui kebijakan
FYEDP, proses pembangunan industri Korea Selatan dimulai kembali. Didahului
dengan pembuatan industri ringan pada periode 1960an sampai dengan awal 1970an,
165
Korea Selatan kemudian memproduksi barang-barang seperti tekstil, makanan, dan
rambut palsu atau wig. Produksi barang-barang manufaktur strategis seperti
kendaraan dan komponen elektronik juga telah dimulai pada periode ini, namun
skalanya masih terbilang kecil. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
pertumbuhan ekspor Korea Selatan pada periode ini terus meningkat.
Akan tetapi, keinginan kuat dan komitmen Park Chung-hee untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, disadari tidak akan
dapat terealisasi jika hanya mengandalkan pembangunan industri ringan. Oleh karena
itu pada tahun 1973, pemerintah mengambil terobosan dengan menerapkan kebijakan
HCI. Pembangunan industri berat dan kimia yang berskala lebih besar dari
pembangunan industri ringan sebelumnya, memerlukan kapital dan teknologi yang
lebih tinggi dari sebelumnya. Jepang kemudian menjadi penyedia kebutuhan modal
dan teknologi bagi Korea Selatan guna menjalankan kebijakan tersebut. Hal ini
kemudian meningkatkan kembali peran Jepang dalam proses pembangunan dan
industrialisasi di Korea Selatan.
Penerapan kebijakan HCI ditandai dengan pembangunan POSCO yang
merupakan pabrik baja milik pemerintah. Pabrik yang ditujukan untuk menyediakan
bahan baku bagi pengembangan industri berat dan kima, serta mengintegrasikan
sektor-sektor dalam kebijakan HCI ini, proses pembangunannya sangat
mengandalkan sumber pengetahuan dan kapital yang berasal dari Jepang (Kim &
Jaffe, 2010: 105). Kemudian pengembangan berbagai industri yang terdapat dalam
166
kebijakan HCI juga dilakukan dengan mengandalkan bantuan dari Jepang baik itu
berupa modal maupun pengetahuan dalam bentuk teknologi.
Seperti pada sektor otomobil, Hyundai yang merupakan perusahaan otomobil
terbesar yang dimiliki oleh Korea Selatan, melakukan serangkaian proses kerjasama
dengan perusahaan otomobil asal Jepang dalam upaya membangun kapasitas dan
kapabilitas industri. Hyundai melakukan kerjasama teknik dengan Mitsubishi yang
berasal dari Jepang untuk membangun mobil pertamanya yang dikenal dengan nama
Pony. Mitsubishi memberikan bantuan teknik untuk membangun mesin dan transmisi
kendaraan tersebut. Selain memberikan kontribusi berupa dukungan teknologi,
Mitsubishi juga berkontribusi memberikan modal sebesar 10 persen dalam proses
pembuatan Pony.
Seiring dengan perkembangan industri dalam negeri Korea Selatan yang
berbasis HCI, ketergantungan negara ini terhadap Jepang juga semakin besar. Seperti
yang telah dijelaskan pada awal bab ini, bahwa untuk terus dapat mempertahankan
pembangunan ekonomi dalam negeri, Korea Selatan membutuhkan barang produksi
dan transfer teknologi yang berasal dari Jepang. Hal ini membentuk pola hubungan
ekonomi atau perdagangan yang unik di antara kedua negara, dimana semakin besar
produksi dan ekspor Korea Selatan, semakin besar juga impor yang dilakukan oleh
negara tersebut dari Jepang. Hal tersebut menunjukan bahwa Jepang merupakan
negara yang menyuplai atau menyediakan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh Korea
Selatan dalam proses pengembangan industri dalam negerinya. Dengan kata lain,
167
Jepang adalah aktor penting dibalik keberhasilan proses pembangunan dan
industrialisasi Korea Selatan.
Dengan melihat berbagai penjelasan diatas mengenai peran Jepang dalam
proses industrialisasi di Korea Selatan sejak menjadi bagian dari kekaisaran Jepang
sampai periode pasca penerapan kebijakan HCI, dapat dikatakan Jepang selalu
berkontribusi dengan melakukan investasi modal dan teknologi. Namun yang
membedakan investasi tersebut adalah bentuknya, yang dipengaruhi oleh kebijakan
dalam negeri Korea Selatan. Ketika masih menjadi bagian kekaisaran Jepang, tentu
saja kebijakan yang diterapkan saat itu lebih menguntungkan bagi Jepang, berbeda
ketika Korea sudah tidak lagi menjadi bagian dari subordinasi politik Jepang,
kebijakan dalam negeri Korea Selatan yang berkaitan dengan investasi tentu saja
ditujukan untuk kepentingannya sendiri.
Investasi Jepang yang dilakukan Jepang di Korea pada saat masih jadi bagian
dari kekaisarannya ditujukan untung menjadi sumber eksploitasi negara tersebut.
Meski melakukan pembangunan industri di Korea dengan menggunakan modal dan
teknologi yang didatangkan dari Jepang, namun hasil yang diperoleh dalam kegiatan
industri tersebut sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan Jepang. Hal ini terjadi
karena Korea merupakan bagian dari subordinasi politik Jepang yang tidak memilki
kekuatan dalam menentukan atau mempengaruhi kebijakan dalam negeri. Berbeda
halnya ketika Korea Selatan sudah terlepas dari subordinasi politik Jepang. Setelah
memiliki pemerintahan sendiri, negara ini dapat menerapkan kebijakan yang sesuai
dengan kebutuhan dalam negerinya. Sehingga kebijakan investasi yang dilakukan
168
Jepang tidak hanya memberikan manfaat bagi Jepang, akan tetapi memiliki dampak
positif dan dapat lebih menguntungkan bagi perekonomian domestik Korea Selatan.
Pemerintah Korea Selatan menerapkan kebijakan investasi yang bertujuan
untuk mendorong kemajuan pelaku industri dalam negeri. Contohnya seperti hanya
memperbolehkan investasi luar negeri dalam bentuk kerjasama dengan pelaku
industri lokal. Dengan memberlakukan kebijakan investasi yang seperti itu, pemilik
modal dan teknologi dari luar tidak dapat menguasai industri dalam negeri
dikarenakan oleh adanya “rem” yang diaplikasikan oleh pemerintah melalui
kebijakan investasi tersebut. Seperti yang kita ketahui, bahwa pemilik kapital besar
dapat dengan mudah menguasai ekonomi dengan kapasitas modal yang dimiliki. Hal
ini dapat dilihat dari contoh kasus yang ada di banyak negara berkembang. Setelah
terlepas dari subordinasi politik, yaitu mendapatkan kemerdekaannya, masih banyak
negara berkembang yang menjadi bagian dari subordinasi ekonomi negara maju.
Korea Selatan menunjukan bahwa dengan strategi kebijakan yang tepat dan
bertujuan untuk mendukung perkembangan industri dalam negeri, negara tersebut
dapat memanfaatkan sumber modal dan teknologi dari luar negeri terutama negara
maju yaitu Jepang, untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas ekonomi dalam
negeri. Bukan sebaliknya, hanya menjadi subordinasi ekonomi negara-negara maju
dalam proses pembangunan ekonomi dan industrialisasi.
B. Peran Modal dan Teknologi dari Jepang
Disebutkan sebelumnya bahwa ada dua faktor penting yang menentukan
keberhasilan inovasi dalam kerangka NIS. Kedua faktor itu adalah ketersediaan
169
teknologi dan sumber modal. Berangkat dari persepektif reformis yang berpandangan
bahwa, dalam struktur internasional yang terdiri dari core dan periphery, dapat
dimanfaatkan untuk kemajuan dan perkembangan ekonomi negara berkembang.
Dalam konteks inovasi, core atau negara maju memiliki kapasitas dalam hal
teknologi, informasi dan kapital yang berguna bagi pengembangan inovasi. Oleh
sebab itu periphery atau negara berkembang dapat memanfaatkan kapasitas tersebut
untuk melakukan inovasi dalam proses pembangunan dan industrialisasi.
Dalam kasus Jepang dan Korea Selatan, kedua negara ini melakukan berbagai
kerjasama dalam pembangunan ekonomi dan proses industrialisasi. Kerjasama
keduanya dipengaruhi oleh posisi masing-masing dalam proses pembangunan
industri. Sebagai negara maju sudah tentu Jepang berada di depan, sedangkan Korea
Selatan mengikuti di belakang (Lihat Tabel 12). Perbedaan posisi dalam tahapan
pembangunan industri ini, membuat keadaan ekonomi kedua negara tersebut menjadi
saling melengkapi satu sama lain. Hal ini menjadi faktor pendorong terjadinya
kerjasama ekonomi di antara Jepang dan Korea.
Pada tahun 1950an Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Selama periode 1951 sampai dengan 1957, peningkatan GNP Jepang mencapai 108
persen per tahun yang diiringi dengan peningkatan upah tenaga kerja. Peningkatan
Tabel 12.Tahapan Pembangunan Industri dan Kemajuan Jepang atas Korea Selatan
170
Sumber: Shim & Lee (2008).
upah tenaga kerja ini mulai merubah stuktur produksi dalam proses industrialisasi di
Jepang. Selain pertumbuhan ekonomi yang signifikan, kenaikan upah tenaga kerja
juga disebabkan oleh ketertarikan tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan yang lebih
produktif dengan bayaran yang lebih tinggi. Perubahan struktur produksi dalam
industri ini, mendorong terjadinya transfer industri sebagai respon terhadap kenaikan
upah. Lokasi transfer yang dipilih tentu saja adalah tempat-tempat yang memiliki
tenaga kerja lebih murah. Sehingga, Jepang memilih Korea Selatan yang berada satu
tahapan dibelakangnya dalam fase pembangunan industri.
Faktor lainnya yang mempengaruhi transfer kegiatan industri yang dilakukan
oleh Jepang ke Korea adalah terjadinya krisis minyak di awal 1970an mengakibatkan
171
nilai mata uang yen mengalami apresiasi. Hal ini menyebabkan peningkatan impor
dan menurunnya daya saing produk Jepang, yang berimbas kepada penurunan jumlah
ekspor. Sedangkan, di tempat yang berbeda, pemerintah Korea Selatan yang
dihadapkan dengan akan berakhirnya bantuan dana pembangunan dari Amerika,
kemudian menerapkan kebijakan pembangunan yang bertujuan menyerap modal dari
luar negeri.
Pemerintah Korea Selatan melakukan beberapa cara untuk menarik modal dari
luar negeri, seperti melakukan devaluasi mata uang dan memberikan berbagai insentif
bagi penanam modal termasuk pembukaan free export processing zone (Shim & Lee,
2008: 138). Selain itu, sebagai negara yang baru mengembangkan industri
manufaktur melalui program HCI, Korea Selatan terkendala dengan masalah
kekurangan input seperti bahan mentah, teknologi, dan sumber pengetahuan
informasi. Sebagai negara yang berada satu tahapan di depan Korea Selatan dalam
fase pembangunan industri, Jepang dapat dijadikan sumber bagi Korea Selatan untuk
menyediakan kebutuhan-kebutuhan tersebut dikarenakan telah memiliki kapasitias
dan kapabilitas yang lebih tinggi.
Letak geografis yang berdekatan antara Jepang dan Korea Selatan, juga
menjadi salah satu faktor yang mendukung terciptanya kerjasama di antara kedua
negara. Seperti yang digambarkan sebelumnya, bahwa Jepang dan Korea Selatan
hanya terpisah oleh selat Korea. Kedekatan secara geografis ini akan mempercepat
proses penyebaran kapital dan teknologi informasi. Selain itu, hal ini juga akan
172
menekan biaya distribusi dan transportasi lalu lintas perpindahan barang-barang
produksi maupun konsumsi dari Jepang ke Korea begitu juga sebaliknya.
Situasi di Jepang dan Korea Selatan yang saling berkaitan ini, mendorong
terjadinya kerjasama antara kedua negara. Jepang yang ingin memindahkan
industrinya ke tempat baru yang menyediakan tenaga kerja lebih murah, bertemu
dengan Korea Selatan yang membutuhkan investasi guna meningkatkan kapasitas dan
kapabilitas industri lokal. Dengan didukung oleh strategi kebijakan Korea Selatan
yang bertujuan untuk menarik minat investasi asing dan juga faktor kedekatan secara
geografis, kerjasama di antara kedua negara tersebut memberikan potensi keuntungan
bagi satu sama lain. Robert Castley (1997) melihatnya sebagai perkawinan antara
modal dan teknologi Jepang dengan tenaga kerja murah Korea.
Tercatat dari 1965 sampai dengan 1985 Korea Selatan mengalami
pertumbuhan ekonomi sangat tinggi mencapai diatas 10 persen per tahun, dimana
modal luar negeri memegang peranan penting dalam meningkatkan angka
pertumbuhan tersebut. Pada periode ini, Korea Selatan melakukan transisi dalam
proses industrialisasi dari industri ringan menjadi industri berat yang dilakukan
melalui promosi progam HCI. Transisi ini memerlukan sumber modal dan teknlogi
yang besar untuk dapat terealisasi dengan baik. Sedangkan pada saat itu, jumlah
tabungan dalam negeri dan hasil yang diperoleh dari pengembangan industri ringan
sebelumnya, tidak dapat memberikan kemampuan finansial untuk membangun
industri berat. Sehingga, Korea Selatan mendorong terciptanya kerjasama investasi
173
yang bertujuan untuk mendapatkan tambahan modal guna merealiasasikan program
HCI tersebut.
Kekurangan kapital ini menjadi faktor pendorong yang kuat bagi Presiden
Park Chung-hee untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Jepang,
seperti yang telah disampaikan diawal. Langkah ini, membuka peluang terjadinya
kerjasama investasi di antara kedua negara, atau dengan kata lain memberikan
kesempatan Korea Selatan untuk mendapatkan modal yang dibutuhkan dalam proses
industrialisasi dari Jepang. Sejak pemerintah mengamandemen peraturan investasi
luar negeri pada tahun 1966, investasi luar negeri dari Jepang ke Korea Selatan
mengalami peningkatan signifikan. Sejak saat itu, Jepang menjadi negara yang
melakukan investasi terbanyak ke Korea Selatan yang sebelumnya dipegang oleh
Amerika Serikat (Lihat Gambar 13). Selain itu, normalisasi hubungan ini juga
menjadikan Jepang sebagai mitra dagang paling penting bagi Korea Selatan selama
periode pertumbuhan ekonomi tinggi sampai dengan 1990an menggeser posisi
Amerika Serikat
Berdasarkan Tabel 13, Sebelum terjadi normaliasi hubungan dengan Jepang,
terlihat bahwa Amerika Serikat merupakan negara menguasai investasi ke Korea
Selatan sebagai penyumbang FDI terbesar sebelum tahun 1966. Namun setelah tahun
1966 yaitu pada periode 1967 sampai dengan 1971, Jepang mulai menggeser posisi
Amerika Serikat tersebut. Kemudian pada periode 1972 sampai dengan 1976, Jepang
telah menguasai investasi di Korea dengan berkontribusi melakukan investasi pada
174
Tabel 13.Investasi Langsung Luar Negeri Korea Selatan Berdasarkan Negara Asal 1962-1981
(*Unit dalam % dan juta won)Sumber: Shim & Lee (2008)
periode 1977-1981, meskipun investasi yang berasal dari Amerika Serikat kembali
mengalami peningkatan, namun Jepang masih menjadi negara yang melakukan
investasi langsung luar negeri terbesar di Korea Selatan.
Investasi Jepang ke Korea Selatan dilakukan pada sektor-sektor industri
penting. Pada akhir tahun 1960an modal dari Jepang dialokasikan pada industri
ringan yaitu pakaian dan tekstil, kemudian seiring diterapkannya promosi program
HCI pada tahun 1970an alokasi modal tersebut bergeser ke sektor-sektor industri
berat seperti elektronik dan otomobil. Kontribusi investasi Jepang terhadap
pembangunan industri ringan Korea Selatan mencapai sekitar setengah dari total
investasi yang diperlukan untuk menjalankan industri tersebut. Sedangkan, ketika
175
Korea Selatan melakukan pembangunan industri berat, investasi Jepang mencapai
sekitar dua pertiga dari total investasi industri ini secara keseluruhan (Shim & Lee,
2008: 142). Kontribusi ini menjadikan Jepang sebagai aktor penting dalam proses
pembangunan dan ekonomi Korea Selatan, terutama pada periode tersebut.
Investasi luar negeri yang masuk dari Jepang, membawa dampak positif bagi
perkembangan ekonomi dalam negeri Korea Selatan, Masuknya investasi yang
membawa serta teknologi maju dari Jepang, mendorong Korea Selatan untuk
meningkatkan produk industri dalam negerinya. Peningkatan produktivitas ini
menghasilkan angka penjualan yang lebih tinggi dan meningkatkan daya saing dalam
pasar internasional. Hal ini kemudian meningkatkan pendapatan yang dihasilkan dari
ekspansi penjualan domestik dan ekspor. Hasilnya, tercipta multiplier effect yang
mendorong investasi Jepang lebih lanjut. Setelah Korea Selatan mengalami surplus
pada pertengahan kedua 1980an peran investasi luar negeri khususnya dari Jepang
mulai berkurang. Meskipun pada tahun 1990an, investasi luar negeri yang masuk ke
Korea Selatan meningkat lagi, namum dampaknya tidak sebesar pada saat periode
sebelumnya ketika Korea Selatan memulai proses industrialisasi.
Selain membawa modal, investasi dari Jepang ke Korea Selatan juga ikut
membawa serta teknologi maju yang dimiliki oleh negara core tersebut. Seperti yang
dikemukakan oleh Sanjaya Lall (1992), Investasi dalam bentuk FDI tidak hanya
berkaitan dengan transfer modal namun disertai juga dengan sumber manajerial
termasuk di dalamnya teknologi, manajemen pengetahuan, kemampuan marketing
atau penjualan dan pusat produksi atau pabrik. Dalam proses transfer industri melalui
176
investasi, teknologi juga seringkali melekat atau tertanam pada barang-barang
produksi yang disediakan oleh Jepang sebagai negara core.
Dalam proses pengembangan teknologi domestik, pemerintah Korea Selatan
melakukan intervensi untuk menekan biaya yang dibutuhkan dan memberikan
kemudahan bagi para pelaku industri dalam menjalankan proses tersebut. Sanjaya
Lall (1992) beranggapan bahwa, keterlibatan pemerintah biasanya didorong oleh
keinginan untuk meningkatkan transfer teknologi yang berasal dari luar dengan
tujuan untuk meningkatkan kapabilitas pembangunan industri domestik.
Setelah berhasil menarik modal dari Jepang dengan membuka hubungan
diplomatik, pemerintah kemudian fokus kepada pengembangan teknologi domestik
yang dibutuhkan seiring dengan perkembangan proses industrialisasi ke tahapan yang
lebih tinggi. Pengenalan dan pengembangan teknologi di Korea Selatan mulai
mendapat perhatian pada tahun 1980an, dimana sebelumnya elemen modal dalam
investasi lebih diperhatikan dalam proses industrialisasi.
Dengan kebijakan peran aktif permerintah untuk melakukan pengenalan dan
pengembangan teknologi untuk mendukung pross industrialisasi, mulai tahun 1981
sampai dengan 1990an transfer teknologi dari Jepang ke Korea Selatan mengalami
peningkatan secara bertahap. Setelah periode tersebut, yaitu pada periode 2000an
transfer teknologi dari Jepang mengalami penurunan dikarenakan Korea sudah mulai
berusaha untuk membangun teknologi sendiri di dalam negeri, dan adanya
keengganan dari Jepang dikarenakan meningkatnya posisi Korea Selatan dalam
perekonomian dunia. Meskipun demikian, Jepang merupakan negara yang melakukan
177
kegiatan transfer teknologi banyak diantara negara-negara lainnya yang berperan
dalam proses tersebut di Korea Selatan, terutama pada periode 1980an sampai dengan
1990an. Hal ini dikarenakan Jepang melihat teknologi sebagai sesuatu yang dapat
memberikan keuntungan. Seperti pandangan Tamio Hattori (1997) yang melihat
bahwa, bagi perusahaan Jepang teknologi itu sendiri dianggap sebagai komoditas
bisnis yang dapat meningkatkan keuntungan.
Besarnya peran Jepang dalam pengembangan teknologi melalui transfer yang
dilakukan kepada Korea Selatan dapat dilihat lebih jelas lagi dari persentase transfer
teknologi Jepang dibandingkan dengan negara-negara lainnya pada tahun 1985
sampai dengan 1995 (Lihat Tabel 14). Menurut data dari tabel tersebut, rata-rata
persentase transfer teknologi yang dilakukan oleh Jepang ke Korea Selatan mencapai
sekitar separuh dari total transfer teknologi yang dilakukan oleh negara-negara
lainnya. Sampai dengan tahun 1996, Korea Selatan melakukan 9,520 pengenalan
teknologi, dimana 48,5 persennya berasal dari Jepang dan 20,5 persen dari Amerika
Serikat (Shim & Lee, 2008: 150).
Transfer teknologi dengan paten yang dilakukan dari Jepang ke Korea Selatan
seperti ditunjukan oleh Tabel 14, menggambarkan bahwa sebagian besar teknologi
yang dibawa pada proses transfer tersebut merupakan teknologi inti dari Jepang.
Sehingga pengembangan teknologi dalam negeri yang dilakukan oleh Korea Selatan
dapat lebih cepat memperkecil perbedaan tahapan pembangunan industrinya dengan
negara-negara maju. Dimana pada periode 1990an sampai tahun 2000, Korea Selatan
178
Tabel 14.Akumuluasi Transfer Teknologi Korea Selatan 1985-1994
Sumber: Shim & Lee (2008).
mulai memasuki tahapan yang sama dengan Jepang dalam proses pembangunan
industri, yaitu tahapan knowledge-intensive and high-tech industry (Lihat Tabel 12).
Berbagai penjelasan diatas menunjukan besarnya kontribusi Jepang bagi
Korea Selatan dalam menyediakan modal dan teknologi sebagai faktor utama
pengembangan inovasi guna meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri. Dengan
mengandalkan Jepang, Korea Selatan dapat mulai masuk ke dalam tahapan yang
sama dengan negara maju dalam proses industrialisasi. Hal ini ditunjukan dengan
keengganan Jepang dalam transfer teknologi setelah tahun 2000an, dikarenakan
menguatnya posisi Korea Selatan dalam perekonomian dunia seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya.
179
BAB VPENUTUP
Seperti tujuan umum dilakukannya sebuah penelitian, yaitu untuk menjawab
sebuah pertanyaan secara akademis dengan menggunakan konsep-konsep yang ada di
dalam disiplin ilmu tersebut, tulisan ini kemudian mencoba untuk menjawab
pertanyaan mengenai kemajuan yang berhasil dicapai oleh Korea Selatan dalam
proses pembangunan dan industrialisasi negaranya, dengan melihat keberhasilan
industri otomobil negara tersebut secara lebih mendalam.
Pada bagian awal telah diajukan argumentasi mengenai pertanyaan penelitian
tersebut dengan didasarkan kepada beberapa konsep teori atau pemikiran yang salah
satunya berpandangan bahwa kemajuan Korea Selatan sebagai latecomer dalam
proses industrialiasi disebabkan oleh peran negara melalui pemerintah, pelaku usaha
atau chaebol, serta Jepang sebagai negara core dalam struktur internasional. Interaksi
antar ketiga aktor ini memainkan peranannya masing-masing dalam proses
pembangunan dan industrialisasi Korea Selatan.
Kemudian dalam bagian pembahasan, tulisan ini mencoba untuk menguji
argumentasi tersebut dan melihat relevansinya dengan fakta empiris yang terjadi dan
terdapat dalam proses pembangunan dan industrialisasi tersebut. Berikut diuraikan
kembali pokok-pokok pembahasan dalam tulisan ini yang membentuk kesimpulan,
sehingga dapat dilihat bagaimana posisi argumentasi yang telah dibangun untuk
mencoba menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan dalam tulisan dan refleksi
180
teoritis terhadap konsep-konsep yang sebelumnya digunakan untuk membangun
argumen tersebut.
Dalam membangun argumen mengenai besarnya peran pemerintah dalam
proses pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan, tulisan ini berpatokan pada
pandangan Alexander Gerschenkron (1962) mengenai latecomer. Menurut
Gerschenkron, sebagai latecomer dalam proses industrialisasi Korea Selatan
membutuhkan peran pemerintah untuk dapat membangun industri domestik dan
bersaing dalam kompetisi internasional.
Pembahasan dalam tulisan ini yang dielaborasi berdasarkan fakta empiris,
menunjukan bahwa pemerintah memainkan peran sentral dalam proses pembangunan
dan industrialisasi di Korea Selatan, terutama pada periode awal proses tersebut
berlangsung. Pemerintah menjadi inisiator berdirinya sektor-sektor industri strategis
melalui penerapan kebijakan HCI yang menyumbangkan kontribusi besar bagi
kemajuan ekonomi Korea Selatan. Kebijakan HCI mendorong lahirnya industri-
industri kelas dunia yang dimiliki oleh Korea Selatan, seperti industri perkapalan,
elektronik, dan otomobil. Pelaku industri atau chaebol yang bermain dalam industri
tersebut, beberapa diantara mereka telah menjadi salah satu yang terbaik di dunia
seperti Hyundai, Samsung, dan Lucky Goldstar atau LG.
Selain menjadi inisiator, pemerintah juga berperan sebagai regulator dan
koordinator proses pengembangan industri di Korea Selatan. Pemerintah menerapkan
kebijakan yang mengatur jalannya proses industri, seperti menetapkan special law
terhadap industri otomobil pada tahun 1962. Pemerintah melarang import kendaraan
181
dalam bentuk jadi untuk mendorong terciptanya kerjasama teknik antara pelaku
industri dari negara maju dengan pelaku industri lokal. Dengan menerapkan aturan
tersebut, pemerintah membuka kesempatan kepada para pelaku industri lokal untuk
belajar dari pelaku industri dari negara maju.
Dalam hal koordinasi, pemerintah menggunakan EPB dan KCIA untuk
melakukan koordinasi industri, dua lembaga ini memiliki peran besar dalam
pembangunan terutama EPB. Lembaga ini merumuskan rencana pembangunan dan
melakukan evaluasi keberhasilan program yang telah dijalankan. EPB melakukan
koordinasi dengan berbagai departemen atau kementerian yang berkaitan dengan
masalah pembangunan sehingga pembangunan dapat dilakukan dengan terintegrasi.
Sedangkan KCIA, berfungsi untuk menjaga stabilitas politik yang dianggap sangat
penting dalam menentukan keberhasilan proses pembangunan.
Kemudian, pemerintah juga menjadi penjaga atau penjamin para pelaku
industri lokal atau chaebol dalam keberlangsungan menjalankan industri yang
dilakukan dengan memberikan insentif dan proteksi. Permerintah menjaga dan
menjamin monopoli chaebol pada pasar domestik dengan memberikan proteksi dan
memberikan insentif berupa keringanan pajak dan lain sebagainya untuk melakukan
ekspansi ke pasar internasional.
Dengan insentif dari pemerintah, chaebol khususnya yang bergerak di sektor
otomobil dapat menjual hasil produksinya setengah dari harga domestik untuk
menciptakan daya saing dalam kompetisi internasional. Proteksi dan insentif ini
memungkinkan chaebol untuk terus dapat berkembang. Jika pemerintah tidak
182
memberikan proteksi dan insentif, kecil kemungkinan para pelaku industri lokal bisa
bersaing secara internasional, mengingat besarnya harga yang bisa ditekan dalam
melakukan penjualan luar negeri.
Dalam pengembangan inovasi pemerintah berperan sebagai sponsor, dengan
melakukan investasi dalam kegiatan R&D melalui institusi riset publik maupun
melalui lembaga pendidikan tinggi atau universitas. Investasi ini ditujukan untuk
menghasilkan peneliti yang kreatif sehingga dapat menciptakan inovasi yang berguna
bagi kemajuan proses industrialisasi.
Berbagai program kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah tersebut
merupakan bentuk state capacity dan manifestasi dari sinergi antara pemerintah
dengan pelaku usaha. Dengan formasi state capacity dan sinergi yang ada pemerintah
dapat menghasilkan strategi kebijakan yang tepat dalam menjamin keberhasilan
proses pembangunan dan industrialisasi. Berdasarkan konsep sinergi dalam GVC dan
state capacity, pemerintah dipandang perlu melakukan kerjasama dengan pelaku
usaha dalam melakukan proses pembangunan dan merespon berbagai dinamika
ekonomi. Dengan mengacu pada pandangan tersebut, peran negara dalam melahirkan
dan mengimplemantasikan strategi kebijakan tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan
chaebol. Hal ini dikarenakan kedua aktor tersebut merupakan satu bagian integral,
dimana chaebol merupakan unit implementasi dari berbagai kebijakan pemerintah.
Seperti yang dikemukakan oleh Michael O'Donnell (2001), bahwa dalam
melaksanakan pembangunan, pemerintahan Park Chung Hee melibatkan pelaku usaha
atau chaebol sebagai agen privat dalam melakukan implementasi kebijakan
183
industrialisasi berorientasi ekspor yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai agen
pemerintah yang menjalankan kegiatan industri, dapat dikatakan chaebol merupakan
aktor penting penggerak roda perekonomian Korea Selatan. Konglomerasi bisnis ini
berperan dalam menyediakan lapangan pekerjaan, berkontribusi terhadap pendapatan
negara, dan neraca perdagangan melalui ekspor luar negeri.
Dari pembahasan mengenai peran chaebol, dapat dikatakan bahwa kerjasama
antara pemerintah dengan chaebol awalnya terjadi lebih kepada adanya tekanan dari
pemerintah yang kuat melalui penguasaan sektor finansial. Namun tekanan tersebut
juga dapat dilihat sebagai peluang, dikarenakan para chaebol yang mengikuti
instruksi pemerintah mendapatkan berbagai insentif dan kemudahan dalam
melakukan proses industrialisasi yang pada akhirnya melahirkan raksasa-raksasa
bisnis seperti Samsung dan Hyundai.
Seiring dengan perkembangan ekonomi Korea Selatan, chaebol juga
mengalami trasnformasi dari pelaku usaha yang berada dibawah kontrol pemerintah,
menjadi raksasa bisnis yang lebih independen. Para pelaku usaha menbentuk FKI
sebagai organisasi yang dapat menyuarakan keinginan mereka terhadap penentuan
kebijakan dalam negeri. Bahkan pendiri Hyundai Chung Ju-yung terjun ke politik
dengan mengikuti pemilihan presiden pada tahun 1992. Anak pendiri Hyundai ini,
yaitu Chung Mong-joon juga dikenal sebagai politisi yang merupakan anggota
parlemen Korea sejak 1988. Hal ini menandakan semakin besarnya pengaruh chaebol
tidak hanya terkait bidang ekonomi, namun juga politik.
184
Dalam konteks ekonomi, independensi chaebol diperoleh dari keberhasilan
konglomerasi binsis itu melakukan pengembangan industri melalui inovasi. Dalam
konsep NIS, faktor yang menentukan dalam proses inovasi adalah ketersediaan modal
dan teknologi. Sesuai dengan pembahasan yang telah ditulis pada bagian sebelumnya,
Jepang sebagai negara core dalam struktur internasional memiliki peranan penting
dalam penyediaan modal dan teknologi yang dibutuhkan Korea Selatan, khususnya
chaebol dalam melakukan proses pembangunan dan industrialisasi.
Faktor-faktor seperti posisi geografis yang berdekatan, kesepahaman sosial
kultural, dan perbedaan tahapan industri, mendorong terciptanya kerjasama ekonomi
di antara kedua negara. Selain itu kebijakan pemerintah untuk menarik minat
investasi dari Jepang, seperti devaluasi mata uang dan pembukaan free export
processing zone juga menjadi pemicu besarnya investasi Jepang ke Korea Selatan.
Seperti yang ditunjukan dalam pembahasan tulisan ini, persentase investasi Jepang
mencapai setengah dari total investasi dari luar negeri yang masuk ke Korea Selatan.
Besarnya investasi ini sangat berperan bagi perkembangan chaebol dan proses
pembangunan dan industrialisasi.
Dari pokok-pokok pembahasan tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pemerintah memegang peranan sentral dalam proses pembangunan dan
industrialisasi di Korea Selatan terutama pada periode awal proses tersebut dilakukan.
Keterbatasan Korea Selatan sebagai latecomer dalam proses industrialisasi berhasil
ditopang oleh berbagai pilihan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Peran
pemerintah juga sangat besar dalam membentuk karakteristik perekonomian Korea
185
Selatan seperti sekarang yang digerakan oleh chaebol melalui pembangunan industri-
industri strategis melalui kebijakan HCI. Kebijakan ini dijalankan oleh pemerintah
dengan serius dan konsisten dimana berbagai faktor pendukung juga disertakan dalam
kebijakan tersebut, seperti pembangunan POSCO serta pemberdayaan EPB dan
KCIA sehingga program kebijakan HCI menjadi lebih terintegrasi.
Pemerintah juga memberikan ruang kepada pelaku usaha untuk terus
berkembang melalui berbagai kemudahan dan insentif yang diberikan. Sinergi antara
pemerintah dan pelaku usaha juga berperan dalam proses perkembangan chaebol
menjadi salah satu kekuatan bisnis besar dunia. Pemerintah berperan pernting dalam
mengantarkan chaebol menjadi besar sehingga kemudian memiliki kekuatan kapital
besar yang dapat menggerakan roda perekonomian Korea Selatan. Sehingga dapat
dikatakan meski pada akhirnya chaebol menjadi kekuatan besar yang menggerakan
roda perekonomian Korea Selatan, hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran
pemerintah dalam membesarkan konglomerasi bisnis tersebut.
Kemudian melihat peran Jepang dalam menyediakan berbagai kebutuhan
Korea Selatan dalam melakukan proses pembangunan dan industrialisasi juga tidak
terlepas dari peran pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk menarik investasi dari
Jengang, membeikan dorongan terciptanya kerjasama antara kedua negara sehingga
menungkinkan industri dalam negeri Korea Selatan untuk terus berkembang.
Tidak hanya itu strategi kebijakan pemerintah dalam hal investasi juga
memainkan peranan penting dalam keberhasilan Korea Selatan. Sebagai contoh
strategi kebijakan investasi pada sektor otomobil, dimana pemerintah hanya
186
memperbolehkan investasi dalam bentuk kerjasama teknik atau joint venture dengan
pelaku industri lokal. Hal ini mendorong chaebol untuk meningkatkan kapasitas dan
kapabilitas industri dengan proses pembelajaran yang didapat dari proses kerjasama
tersebut, sehingga pada akhirnya pelaku industri lokal memiliki kemampuan produksi
yang lebih baik dalam proses industrialisasi.
Dengan strategi kebijakan yang tepat, Korea Selatan dapat memanfaatkan
Jepang sebagai negara core untuk meningkatkan kemampuan dalam proses
industrialisasi. Strategi kebijakan pemerintah terutama dalam investasi ini penting
dikarenakan hal ini akan mempengaruhi output kerjasama yang dihasilkan. Seperti
yang dikemukakan oleh Mochtar Mas’oed (2003), bahwa ciri hubungan ekonomi di
Asia Timur digambarkan sebagai hubungan yang bersifat hierarkis dengan tiga ciri
utama, ketergantungan teknologi, ketimpangan pembagian kerja, dan backward
integration. Sehingga kerjasama dengen negara core dalam struktur internasional
hanya akan menghasilkan subordinasi ekonomi bagi negara berkembang. Namun
Korea Selatan menunjukan bahwa dengan strategi kebijakan yang tepat, negara ini
dapat memanfaatkan kerjasama tersebut menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi
proses pembangunan dan industrialisasi dalam negeri.
Seiring dengan perkembangan proses pembangunan dan industrialisasi dalam
negeri, peran pemerintah dalam proses tersebut mengalami degradasi secara bertahap.
Berkurangnya peran pemerintah dalam ekonomi disertai dengan penguatan peran
chaebol sebagai penggerak roda perekonomian dan perbaikan ekonomi dengan
187
pertumbuhan yang tinggi. Dengan kata lain, berkurangnya peran pemerintah tersebit
terjadi saat Korea Selatan telah memasuki tahap negara industri maju.
Kembali kepada argumen Gerschenkron yang berpandangan bahwa negara
industri baru memerlukan peran pemerintah untuk dapat bersaing, sedangkan negara
industri maju dapat melepaskan peran tersebut. Hal ini dapat menggambarkan kondisi
Korea Selatan yang dibahas dalam tulisan ini, dimana peran negara sangat besar
dalam periode awal pembangunan industri, kemudian secara bertahap peran tersebut
terdegradasi seiring dengan berkembangnya status negara tersebut sebagai negara
industri maju dan tumbuhnya chaebol sebagai pemilik modal besar yang bisa
menggerakan roda perekonomian dalam negeri.
Pengalaman Korea Selatan ini dapat digunakan sebagai pelajaran bagi negara-
negara berkembang lainnya dalam proses melakukan pembangunan ekonomi. Dengan
menyadari posisi dalam struktur internasional, pemerintah negara berkembang harus
meningkatkan perannya dalam pembangunan dalam negerinya. Peran ini kemudian
dikonversikan kedalam strategi kebijakan pembangunan yang tepat dengan
meningkatkan state capacity dan melakukan sinergi. Dengan melakukan kedua hal
tersebut, negara berkembang diharapkan mampu mendapatkan bagian yang lebih
besar dari kue ekonomi yang tersedia dalam proses tersebut.
Dengan belajar dari Korea Selatan, negara berkembang diharapkan dapat
mampu terlepas dari subordinasi ekonomi negara maju. Seperti yang dilakukan oleh
Korea Selatan terhadap kebijakan investasi dalam negerinya. Pemerintah menerapkan
strategi pembatasan-pembatasan yang dapat melindungi pelaku industri dalam
188
negerinya dari persaingan dengan pelaku industri negara maju. Meskipun
menerapkan kebijakan industri berorientasi ekspor dan membuka keran investasi,
namun pemerintah Korea Selatan tidak membiarkan ekonominua bekerja dengan
mekanisme pasar karena akan mematikan pelaku industri dalam negeri yang pada saat
itu masih infant atau belum bisa bersaing. Dengan demikian Korea Selatan dapat
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pelaku industri dalam negerinya, sehingga
mampu mendapat bagian yang lebih besar dari kue ekonomi dan terlepas dari
subordinasi negara maju.
Dari uraian kesimpulan diatas mengenai keberhasilan proses pembangunan
dan ekonomi dengan melihat kemajuan industri otomobil Korea Selatan, pembahasan
di dalam tulisan ini kemudian memperkuat posisi argumen utama yang diajukan pada
bagian awal penelitian yang didasari oleh konsep-konsep seperti, latecomer dalam
economic backwardness, sinergi dalam GVC, state capacity, dan inovasi dalam
kerangka NIS.
189
DAFTAR PUSTAKA
Amsden, Alice H. Asia's Next Giant: South Korea and Late Indutrialization. New York: Oxford University Press, 1989.
Balassa, Bella. “Outward Versus Inward Orientation Once Again.” The World Economy 6, no. 2 (1983).
____________. “Korea's Development Strategy.” Dalam Korean Economic Development, oleh Jene K. Kwon. Westport: Greenwood Press, 1990.
Castley, Robert. Korea's Economic Miracle: The Crucial Role of Japan. Bastinstoke: Macmillan, 1997.
Choe, Lee Suk. “The Heavy and Chemical Industries Promotion Plan (1973-1979).” Dalam Economic Development in the Republic of Korea: A Policy Perspective, oleh Cho Lee Jay dan Kim Youn Hyung, 438. Honolulu: University of Hawai Press, 1991.
Chong-ch'ol, Im. “The Economic Growth of Korea.” Kyongje Nonjip 15 (April 1976): 485-501.
Chosun Media. The Rise and Fall of 'Pony Man'. 3 Maret 1999. www.english.chosun.com (diakses Juni 15, 2013).
_____________. Can We Overcome the Third Oil Crisis? 29 Mei 2008. www.english.chosun.com (diakses September 6, 2014).
Chung, Myeong-Kee. “Transforming the Subcontracting System and Changes of Industrial Organization in the Korean Automobile Industry.” Second International Colloqium "The New Industrial Models of Automobile Firms". Paris: GERPISA, 1994.
Chung, Seungwha, dan Sunju Park. The Acquisition and Restructuring of Kia Motors by Hyundai Motors. London: Ivey Management, 2009.
190
Dicken, Peter. Global Shift: Mapping the Changing Contours of the World Economy 6th Edition. New York: The Guilford Press, 2011.
Eilam, Eldad, dan Eliot J Chikofsky. Reversing: Secret of Reverse Engineering. Indianapolis: Wiley Publishing, 2007.
Ernst, Dieter. “Global Production Networks and the Changing Geography of Innovation System: Implications for Developing Countries.” East-West Center Working Papers, November 2000: 2.
Fitri Ayu, Silvi. Kebijakan-kebijakan Ekonomi Park Chung Hee Dalam Industrialisasi di Korea Selatan Periode 1961-1979. Universitas Indonesia, Jakarta: Perpustakaan UI, 2011.
Gereffi, Gary, dan Karina Fernandez-Stark. Glabal Value Chain Analysis: A Primer. Durham: Center on Globalization, Governance & Competitiveness, 2011.
Gerschenkron, Alexander. Economic Backwardness in Historical Perspective: A Book of Essay. Cambridge: Harvard University Press, 1962.
Goffin, Keith, dan Ursula Koners. “Tacit Knowlege, Lesson Learnt, and New Product Development.” Product Innovation Management 28, no. 2 (Maret 2011): 200-318.
Google. Google Map. 28 Desember 2014. www.google.com (diakses Desember 28, 2014).
Green, Andrew E. “South Korea's Automobile Industry: Development and Prospect.” Asian Survey 32, no. 5 (Mei 1992): 411-428.
Hang, Shin Eui, dan Seung Kwon Chin. “Social Affinity Among Top Managerial Executives of Large Corporations in Korea.” Sociological Forum 4, no. 1 (1989): 3-36.
Harvie, Charles, dan Hyun-Hoon Lee. Korea's Economic Miracle: Fading or Reviving. New York: Palgrave Macmillan, 2003.
191
Hattori, Tamio. “Chaebol-Style Enterprise Development in Korea.” The DEveloping Economies 35, no. 4 (Desember 1997): 458-477.
Heggard, Stephen. Pathways from the Periphery: The Policies of Growth in the Newly Industrializing Country. Ithaca: Cornell University Press, 1990.
Hobday, Mike. Innovation in East Asia: The Challenge to Japan. Aldhershot: Edward Elgar, 1995.
Hun, Jae Hyoon. Korean Automotive Foreign Direct Investment in Europe: The Effects of Economic Integration. New York: PALGRAVE MACMILLAN, 2003.
Hyundai Engineering and Construction Company. A Thirty-five Year History of Hyundai Engineering and Construction. Seoul: Hyundai Engineering and Construction Company, 1982.
Hyundai Motor Company. Thie History of Hyundai Motor Company. Seoul: HMC, 1992.
Hyundai Motor Manufacturing Alabama. About Hyundai Motor Company. 3 April 2013. www.hmmausa.com (diakses April 3, 2013).
Jeong, Seung-Il. Crisis and Restructuring in East Asia: The Case of the Korean Chaebol and the Automotive Industry. New York: PALGRAVE MACMILLAN, 2004.
Jones, Leroy P, dan il Sakong. Government, Business and Entrepreneurship in Economic Development: The Korean Case. Cambridge: Harvard University Press, 1980.
Joungwon, Kim. Divided Korea: The Politics of Development. Cambridge: Harvard University Press, 1997.
Jung, Sung Chun. “Korean Automobiles Industry's Production Network in China.” Korean Institute for Economic Policy, 2008.
192
Jwa, Sung-Hee. A New Paradigm for Korea's Economic Development: From Government Control to Market Economy. New York: PALGRAVE, 2001.
Kai-Sun, Kwong, Chau Leung-Chuen, Francis T Lui, dan Larry D Qiu. Industrial Development in Singapore Taiwan and South Korea. New Jersey: World Scientific, 2001.
Kalinowski, Thomas, dan Hyekyung Cho. “The Political Economy of Financial Liberalization in South Korea: State, Big Business, and Foreign Investors.” Asian Survey (Universitu of California Press) 49, no. 2 (2009): 221-242.
KAMA. Annual Report 2011: Korean Automobile Industry. Seoul: Korean Automobile Manufacturers Association, 2011.
______. Annual Report 2008: Korean Automobile Industry. Seoul: Korean Automobile Manufacturers Association, 2008.
Kaplinsky, Raphael, dan Mike Morris. A Handbook of Global Value Chain. IDRC Press, 2000.
Kim, Key-Hyup. “Industrial Innovation in Korea.” Innovation Congress in Astana. Seoul: Advanced Institutes of Convergence Technology Seoul National University, 2014. 11.
Kim, Linsu. Imitation to Innovation: The Dynamics of Korea's Technological Learning. Boston: Harvard Business School Press, 1997.
Kim, Linsu. “Crisis Construction and Organizational Learning: Capability Building in Catching-up at Hyundai Motor.” Organization Science (INFORMS) 9 (July 1998): 506-521.
Kim, Myung Oak, dan Sam Jaffe. The New Korea: An Inside Look at South Korea's Economic Rise. New York: AMACOM, 2010.
Korea Herald. A Win-win Deal. 4 Desember 1998. www.koreaherald.com (diakses Februari 25, 2013).
193
KOTRA. Korea's Auto Industry - Today and Tomorrow. Soeul: Korean Trade-Investment Promotion Agency, 2012.
Kuntjoro-Jakti, Heru Utomo. Ekonomi Politik Intrernasional di Asia Pasifik. Jakarta: Erlangga, 1995.
Kurniawan, Aris. Township and Village Enterprises dan Kebijakan Industrialisasi Kawasan Rural Untuk Meningkatkan Kapasitas Industri Lokal di China. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UGM, 2008.
Kwang-ho, Yu. The History of Modern Korean Economy. Seoul: Hanguk Chongsin Munhwa Yonguwon, 1987.
Kwon, Eung-Ho, dan Michael O'Donnell. The Chaebol and Labour in Korea: The Development of Management Strategy in Hyundai. London: Routledge, 2001.
Lall, Sanjaya. “Technological Capabilities and Industrialisation.” World Development 20, no. 2 (1992): 165-186.
Lansbury, D. Russel, Chung-Sok Suh, dan Seung-Ho Kwon. The Global Korean Motor Industry: The Hyundai Motor Company's Global Strategy. New York: Routledge, 2007.
Lee, Choong Y. “The Rise of Korean Automobile Industry: Analysis and Suggestions.” International Journal of Multidisciplinary Research 1, no. 6 (October 2011).
Lee, Dong-Ok, Keunchul Lee, Jae-Jin Kim, dan Gill-Chin Lim. “The Korean Automobile Industry: Challenges and Strategies in the Global Market.” Journal of International Marketing (American Marketing Association) 4, no. 4 (1996).
Lee, Won-Young, dan Teubal Morris. “The Role of Science and Technology Policy in Korea's Industrial Development.” Dalam Technology, Learning, and Innovation: Experiences of Newly Industrializing Economies, oleh Linsu
194
Kim dan Richard Nelson, 269-303. New York: Cambridge University Press, 2000.
Lee, Yeon-Ho. The State, Society and Big Business in South Korea. New York: Routledge, 1997.
Lynn, Hyun Gu. Internationalization of the Korean Automobile Industry: Some Strategic Planning. Department of International Trade and Business, Seoul: Hankuk University, 1991.
Mahlich, Jorg, dan Werner Pascha. Innovation and Technology in Korea: Challenges of a Newly Advanced Economy. Heidelberg: Physica-Verlag, 2007.
Mas'oed, Mochtar. Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
McDermott, Michael. South Korea's Motor Industry: New Global Pacemaker. London: EIU, 1996.
Mee Kim, Eun. Big Business Strong State: Collusion and Conflict in South Korean Development, 1960-1990. New York: SUNY Press, 1997.
Park, Bae-Gyoon. “Politics of Scale and the Globalization of the South Korean Automobile Industry.” Economic Geography (Clark University) 79, no. 2 (April 2003): 173-179.
Ravenhill, John. “From National Champions to Global Partnerships: The Korean Auto Industry, Financial Crisis and Globalization.” MIT Japan Program Working Paper 01.04 (Center for International Studies MIT), Juni 2001: 5.
Rhee, Jong-Chan. The State and Industry in South Korea: The Limits of the Authoritarian State. London: Routledge, 1994.
Samsung Economic Research Institute. Three Years After The IMF Bailout: A Review of The Korean Economy's Transformation Since 1998. Seoul: Samsung Economic Research Institute, 2001.
195
Sano, John R. “Foreign Capital and Investment in South Korea Development.” Asian Economies (ECONIS) 23 (Desember 1977): 41-61.
Shapiro, Matthew. “Public-Private R&D Collaboration in Korea - A Cross-Sector Survey of Incentive Structur.” Dalam Innovation and Technology in Korea: Challenges of a Newly Advanced Economy, oleh Jorg Mahlich dan Pascha Werner, 93-114. Heidelberg: Physica-Verlag, 2007.
Shim, Jae-Seung, dan Moosung Lee. The Korean Economic System: Governments, Big Business and Financial Institutions. Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2008.
Shin, Jang-Sup. “The East Asian Industrialization in the Gerschenkronian Mirror: Catching-up Strategies and Institutional Transition.” Department of Economics Working Paper No. 0208 (National University of Singapore), 2002: 19.
Song, Byung Nak. The Rise of the Korean Economy. New York: Oxford University Press, 1997.
Song, Hee Yoon. “Economic Miracles in Korea.” Dalam Economic in the Pacific Basin, oleh B Lawrence Krause dan Sueno Sekiguchi, 12. Washington DC: The Brooking Institution, 1980.
Steinberg, David. The Republic of Korea: Economic Transformation and Social Change. London: Westview Press Inc., 1989.
The Economist. Special Report: Car Industry. 2 September 2004. www.economist.com (diakses Desember 1, 2012).
The Economist. East Asian Economic Survey: Frozen Miracle. 7 Maret 1998. www.economist.com (diakses Desember 2, 2012).
United Nations Conference on Trade and Development. World Investment Report. New York: United Nations, 2001.
Weiss, Linda. The Myth of Powerless State. New York: Cornell University Press, 1998.
196
Wibawanta, Budi. Otoriteranisme dan Pembangunan Ekonomi: Sukses Korea Selatan di Bawah Rezim Park Chung Hee 1962-1979. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UGM, 2002.
Winanti, Poppy S. “Developmental State dan Tantangan Globalisasi: Pengalaman Korea Selatan.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 7, no. 2 (Nopember 2003).
World Bank. Republic of Korea Overview. 2014. www.worldbank.org/en/country/ (diakses 4 Juni, 2014).
Yeung, Wai Chung, Henry. “The limits to Globalization Theory: A Geographic Perpective on Global Economic Change.” Economic Geography (Clark University) 78 (2002): 285-305.
Young-iob, Chung. “Chaebol Entrepreneurs in the Early Stage of Korean Economic Development.” The Journal of Modern Korean Studies 5 (Februari 1985): 14-28.
Yun, Joseph, Jin-Hyo. “The Development of Technological Capability and the Transformation of Inward FDI in Korea from 1962 to 2000.” Dalam Innovation and Technology in Korea, oleh Jorg Mahlich dan Werner Pascha, 33-54. Heidelberg: Physica-Verlag, 2007.
197