KAJIAN STRATEGI INDUSTRIALISASI … STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN...

119
KAJIAN STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH Direktorat Kelautan dan Perikanan Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam B A P P E N A S 2016

Transcript of KAJIAN STRATEGI INDUSTRIALISASI … STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN...

KAJIAN STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN

UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN EKONOMI

WILAYAH

Direktorat Kelautan dan Perikanan Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam

B A P P E N A S 2016

i

ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk menyusun strategi pengembangan industri perikanan, khususnya terkait

industri pengolahan perikanan, terutama pada daerah-daerah sentra pengembangan perikanan dalam rangka mengantisipasi peningkatan produksi perikanan, mendukung peningkatan mutu dan nilai tambah produk perikanan, serta mendukung pembangunan ekonomi wilayah. Sementara itu sasaran dari kajian ini adalah: (1) teridentifikasinya kondisi industri perikanan Indonesia, khususnya industri pengolahan perikanan; serta (2) terumuskannya keterkaitan antarunsur dalam pengembangan wilayah berbasis perikanan; serta (3) tersusunnya konsep strategi pengembangan industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan, berbasis keunggulan spesifik daerah.

Jenis data yang digunakan dalam kegiatan ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi, baik dalam bentuk kuesioner, FGD (focus group discussion), maupun wawancara pada pihak terkait dan dokumentasi. Sementara itu, data sekunder diperoleh melalui kajian desk study berupa data time series produksi perikanan dan pengolahan hasil perikanan, pertumbuhan ekonomi wilayah, dan peraturan daerah yang terkait pengelolaan perikanan. Analisis data yang dilakukan dalam kajian ini terdiri dari: (1) analisis deskriptif, diantaranya menggunakan diagram tulang ikan; (2) analisis SWOT; (3) analisis pengembangan wilayah, melalui analisis location quotient (LQ) dan analisis shift share (SSA).

Berdasarkan hasil analisis diagram tulang ikan, beberapa permasalahan terkait industrialisasi perikanan dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu terkait: (1) mutu bahan baku, terdiri dari: penerapan good handling practices (GHdP), fasilitas penanganan perikanan yang dipasok untuk industri, dan penerapan sanitasi pada pekerja dan peralatan penanganan ikan; (2) jaminan mutu, meliputi: jaminan mutu bahan baku, jaminan mutu produk, sertifikasi mutu, dan ketertelusuran informasi produk; (3) pelayanan pelanggan, meliputi: kesesuaian produk dengan permintaan pelanggan, ketersediaan pasokan produk untuk konsumen, pengiriman produk tepat jumlah dan tepat waktu; dan (4) kemampuan teknologi.

Sepuluh provinsi dengan nilai LQ tertinggi adalah Provinsi Maluku (LQ = 6,40), Sulbar (LQ = 6,36), Sultra (LQ = 4,54), Gorontalo (LQ = 4,59), Bengkulu (LQ = 4,21), Maluku Utara (LQ = 4,06), Lampung (LQ = 3,70), Sulteng (LQ = 3,68), Sulut (LQ = 3,65), dan Sulsel (LQ = 3,31). Nilai LQ lebih dari 1 menunjukkan bahwa lapangan usaha yang bersangkutan memiliki keunggulan relatif yang lebih tinggi dari rata-rata atau disebut juga lapangan usaha basis Sementara itu, sepuluh provinsi dengan perhitungan nilai SSA tertinggi adalah Sulsel (SSA = 1,15), Sulbar (SSA = 0,9), Sulut (SSA = 0,86), Sulteng (SSA = 0,76), Maluku (SSA = 0,70), Sultra (SSA = 0,61), Gorontalo (SSA = 0,61), Maluku Utara (SSA = 0,50), Lampung (SSA=0,47), dan Bengkulu (SSA = 0,45). Nilai SSA yang positif menunjukkan bahwa sektor perikanan termasuk ke dalam sektor yang mengalami pertumbuhan. Berdasarkan analisis SWOT, didapatkan 15 strategi pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengembangan industri pengolahan perikanan, yaitu: (1) Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi industri pengolahan hasil perikanan terutama UMKM; (2) Inisiasi pengembangan industri hasil perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis bioteknologi; (3) Pemberian insentif fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya saing; (4) Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam menjaga food safety produk hasil olahan UMKM; (5) Penguatan rantai pasok, kemitraan dan perluasan pasar; (6) Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap industri hilir yang memiliki nilai tambah tinggi; (7) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna; (8) Penerapan penangkapan yang berkelanjutan; (9) Peningkatan suplai bahan baku memalui pemanfaatan potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi; (10) Penerapan teknologi budidaya; (11) Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki nilai tambah dan diversifikasi produk tinggi; (12) Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP); (13) Penguatan infrastruktur di daerah yang memiliki potensi yang tinggi (LQ tinggi) namun pemanfaatannya masih rendah (SSA rendah); (14) Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan sanitasi di UKM dan Industri; dan (15) Akselerasi pengembangan pusat pertumbuhan industri perikanan dengan nilai tambah tinggi di lokus pilihan (optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan). Selanjutnya berdasarkan analisis LQ dan jumlah produksi pengolahan ikan per provinsi, dilakukan pemetaan provinsi berdasarkan nilai LQ dan volume produksi UPI ke dalam sembilan kuadaran. Kemudian ke-15 strategi pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengembangan industri pengolahan perikanan juga dipetakan ke dalam sembilan kuadran tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, strategi industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengembangan industri pengolahan perikanan, untuk mendukung ekonomi wilayah, terdiri dari: (1) Peningkatan koordinasi antarsektor dalam rangka hilirisasi industri perikanan, (2) Sinkronisasi kebijakan dan pengkajian ulang kebijakan yang menghambat industrialisasi perikanan; (3) Pengembangan industri perikanan pada daerah yang memiliki LQ tinggi (LQ>4), yaitu: Sulbar, Gorontalo, Bengkulu dan Maluku Utara, agar dapat memberi sumbangan terhadap peningkatan ekonomi wilayah sebagai basis perikanan nasional; serta (4) Ppemilihan skala industri yang tepat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, utilitas dan kapasitas industri, serta keunggulan wilayah.

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan laporan kajian berjudul ”Kajian Strategi Industrialisasi Produk Perikanan untuk Membangun Perekonomian Wilayah” dapat diselesaikan. Penyusunan kajian ini didasarkan pada pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk sektor hulu, aspek pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, serta produk kelautan di sektor hilir. Permasalahan lain terkait dengan masih rendahnya produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan yang disebabkan oleh struktur armada penangkapan ikan yang masih didominasi oleh kapal berukuran kecil, belum optimalnya integrasi sistem produksi di hulu dan hilir, serta masih terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana secara memadai.

Hasil dari kajian ini diharapkan mampu memberikan alternatif solusi dari permasalahan tersebut, dan juga dapat digunakan sebagai acuan bagi penyusunan kebijakan/strategi operasional dan perencanaan bagi stakeholders dan pelaku usaha perikanan dalam pengembangan industri perikanan, terutama pada daerah-daerah sentra pengembangan perikanan, mendukung peningkatan mutu dan nilai tambah produk perikanan, serta mendukung pembangunan ekonomi wilayah.

Terakhir, kami mengucapkan terima kasih terutama kepada: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DI Yogyakarta, serta semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kajian ini. Kami menyadari bahwa penyusunan laporan kajian ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam rangka penyempurnaan hasil kajian ini.

Desember 2016,

Tim Penyusun

iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah................................................................................ 5 1.3 Tujuan dan Sasaran ................................................................................ 6 1.4 Ruang Lingkup Kegiatan ........................................................................ 6

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................... 8 2.1 Pengertian Perikanan .............................................................................. 8 2.2 Pengertian Industrialisasi Perikanan ...................................................... 8 2.3 Klasifikasi Industri ............................................................................... 10 2.4 Mutu Produk Perikanan ........................................................................ 11 2.5 Konsumsi Ikan ..................................................................................... 12 2.6 Produk Perikanan Non Konsumsi ......................................................... 13 2.7 Nilai Tambah pada Industri Pengolahan Ikan........................................ 13 2.8 Perdagangan Internasional Produk Perikanan ....................................... 14 2.9 Konsep Wilayah, Daerah, dan Kawasan ............................................... 15 2.10 Pewilayahan sebagai Alat Pendeskripsian dan Perencanaan .................. 17 2.11 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif.......................... 18

BAB III METODE KAJIAN ........................................................................... 20 3.1. Kerangka Pikir ..................................................................................... 20 3.2. Metode Pengambilan Data .................................................................... 22 3.3. Metode Analisis Data ........................................................................... 23 3.4 Lokasi Kunjungan Lapang .................................................................... 27 3.5 Jadwal Pelaksanaan Kajian ................................................................... 27

BAB IV ISU, PERMASALAHAN, DAN SASARAN STRATEGIS DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRIALISASI PERIKANAN .............. 29

4.1 Permasalahan dalam Pengembangan Industrialisasi Perikanan .............. 29 4.1.1 Perikanan Tangkap ....................................................................... 29 4.1.2 Perikanan Budidaya ...................................................................... 30 4.1.3 Pengolahan Perikanan ................................................................... 31 4.1.4 Pemasaran Hasil Perikanan ........................................................... 32 4.1.5 Bidang Kewilayahan ..................................................................... 33

4.2 Sasaran Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Nasional ....... 34 BAB V REVIEW KEBIJAKAN INDUSTRI DAN PENGOLAHAN PERIKANAN ................................................................................................... 36

iv

5.1 Kebijakan Umum ................................................................................. 36 5.2 Kebijakan Penguatan Industri Pengolahan Perikanan ............................ 37 5.3 Kebijakan Peningkatan Produksi dan Konsumsi ................................... 40 5.4 Kebijakan Peningkatan Mutu Produk Hasil Perikanan .......................... 41 5.5 Kebijakan Industri Pengolahan Perikanan kaitanya dengan

Pengembangan Wilayah ....................................................................... 43 5.6 Analisis Kebijakan Pemerintah yang Berkaitan Pengembangan

Industri Hulu-Hilir dan Kewilayahan .................................................... 46 BAB VI ANALISIS STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH ...... 50

6.1 Analisis Potensi Kewilayahan Industri Perikanan Nasional................... 50 6.2 Isu dan Permasalahan Industrialisasi Perikanan .................................... 54 6.3 Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan Perikanan ...... 64 6.4 Analisis SWOT .................................................................................... 65

BAB VII STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH ..................... 85 BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................... 94

8.1 Kesimpulan .......................................................................................... 94 8.2 Rekomendasi ........................................................................................ 95

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 96 LAMPIRAN ..................................................................................................... 99

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Analisis Kajian Strategi Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Wilayah ..................... 22

Gambar 2 Ilustrasi Fishbone Analysis ............................................................ 24 Gambar 3 Analisis Nilai LQ Nasional ............................................................ 50 Gambar 4 Sepuluh Provinsi dengan Nilai LQ Tertinggi.................................. 51 Gambar 5 Hasil Perhitungan Nilai SSA Nasional ........................................... 52 Gambar 6 Sepuluh Provinsi dengan Nilai SSA Tertinggi ................................ 52 Gambar 7 Grafik Hubungan Antara Jumlah UPI Bersertifikat SKP dan

Jumlah Penolakan Ekspor. ............................................................ 58 Gambar 8 Utilitas UPI Menengah-Besar di Indonesia .................................... 60 Gambar 9 Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan

Perikanan. ..................................................................................... 62 Gambar 10 Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan

Perikanan di Jawa Timur ............................................................... 63 Gambar 11 Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan ............... 64 Gambar 12 Matriks Pembagian Wilayah (cluster) berdasarkan Perhitungan

Nilai LQ dan Volume Produksi UPI .............................................. 85 Gambar 13 Pemetaan Provinsi Berdasarkan Nilai LQ dan Volume Produksi

UPI. ............................................................................................... 86 Gambar 14 Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan (S1-S15)

berdasarkan Kuadran Pembagian Wilayah dari Nilai LQ dan Volume Produksi UPI .................................................................... 87

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Posisi Indonesia sebagai Produsen Hasil Perikanan Dunia Tahun 2014 ..................................................................................................... 2

Tabel 2 Perhitungan Nilai Tambah per Kilogram Bahan Baku untuk Menghasilkan Produk......................................................................... 13

Tabel 3 Jadwal Kegiatan Kajian Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Ekonomi Wilayah .............................................................................. 28

Tabel 4 Analisis Undang-undang yang Berkaitan dengan Kebijakan Industri Perikanan ........................................................................................... 48

Tabel 5 Uraian Jenis Masalah dan Strategi Penanganan Permasalahan ............ 64 Tabel 6 Matriks SWOT Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan Ekonomi Wilayah ...................................................... 82 Tabel 7 Cluster Wilayah Strategi Industri Perikanan Nasional ........................ 94

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2015-2019

ditetapkan dengan memperhatikan tiga dimensi pembangunan nasional, yakni

SDM, sektor unggulan, dan kewilayahan. Sektor kelautan dan perikanan telah

menjadi salah satu sektor unggulan nasional dengan pendekatan fungsi/bisnis

proses mulai dari hulu sampai hilir. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan

saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk sektor hulu, aspek

pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, dan produk kelautan di sektor hilir.

Berkaitan dengan hal itu, pemerintah melalui kelembagaan terkait telah

mengambil kebijakan percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan yang

merupakan integrasi sistem produksi hulu dan hilir.

Kesejahteraan pelaku usaha perikanan, meliputi budidaya, penangkapan,

pengolahan dan pemasaran, merupakan salah satu pilar penting dalam

peningkatan daya saing bangsa di era perdagangan bebas serta penerapan MEA

(Masyarakat Ekonomi ASEAN). Namun, kondisi kesejahteraan para nelayan dan

pelaku usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan dengan pendapatan yang

diperolehnya masih sangat terbatas. Permasalahan yang dihadapi adalah belum

adanya perlindungan terhadap pelaku usaha kecil menengah (UKM) untuk

meningkatkan daya saing melalui sinergi lintas sektor (termasuk dalam

mengakses sumber pembiayaan), perlindungan terhadap pasar domestik, dan

sertifikasi produk. Permasalahan lainnya adalah terkait dengan masih rendahnya

produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan yang disebabkan oleh

struktur armada penangkapan ikan yang masih didominasi oleh kapal berukuran

kecil, belum optimalnya integrasi sistem produksi di hulu dan hilir, serta masih

terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana secara memadai. Disamping itu,

aspek mendasar yang mempengaruhi lemahnya daya saing dan produktivitas

adalah kualitas SDM dan kelembagaannya. Saat ini jumlah SDM yang bergantung

pada kegiatan usaha kelautan dan perikanan sangat besar, namun pengetahuan,

keterampilan, penguasaan teknologi dan aksesibilitas terhadap infrastruktur dan

2

informasi belum memadai dan belum merata di seluruh wilayah Indonesia,

terutama di wilayah kepulauan.

Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menuntut penyediaan

pangan yang juga terus meningkat termasuk penyediaan protein hewani yang

berkualitas. Produksi ikan sebagai salah satu sumber protein hewani juga terus

mengalami peningkatan dari 7,7 juta ton pada tahun 2010 menjadi 10,9 juta ton

pada tahun 2014. Konsumsi ikan masyarakat terus meningkat dari 30,5

kg/kapita/tahun pada tahun 2010 menjadi 37,9 kg/kapita/tahun pada tahun 2014.

Selanjutnya, produksi perikanan, termasuk di dalamnya ikan, rumput laut, garam,

dan hasil olahan, diperkirakan akan mencapai 40-50 juta ton pada akhir tahun

2019. Indonesia merupakan salah satu negara produsen hasil perikanan terbesar

di dunia setelah China (FAO, 2016) dengan rincian sebagaimana tertera pada

Tabel 1. Namun demikian, keunggulan tersebut belum diikuti dengan kemampuan

dalam meningkatkan nilai tambah dan memenuhi kecukupan pangan nasional.

Indeks ketahanan pangan Indonesia berdasarkan kriteria affordability, availability,

quality, and safety berada diurutan ke-64 di bawah negara-negara Asia Pasifik

seperti New Zealand, Jepang, Australia, Korea Selatan, Malaysia, China,

Thailand, Vietnam, dan Philipina.

Tabel 1. Posisi Indonesia sebagai Produsen Hasil Perikanan Dunia Tahun 2014 Perikanan

Tangkap Laut Perikanan

Tangkap Darat Perikanan Budidaya

Rumput Laut/Aquatic

Farmed Plants Peringkat ke-1 Dunia

China (14,81 juta ton)

China (2,30 juta ton)

China (45,47 juta ton)

China (13,33 juta ton)

Peringkat Indonesia di Dunia

Peringkat ke-2 (6,02 juta ton)

Peringkat ke-7 (0,42 juta ton)

Peringkat ke-3 (4,25 juta ton)

Peringkat ke-2 (10,08 juta ton)

Sumber: The State of Worls Fisheries and Aquaculture, FAO 2016

Untuk memenuhi sebagian bahan baku industri pengolahan perikanan

nasional dan kebutuhan konsumsi ikan di dalam negeri, impor perikanan masih

dilakukan hingga saat ini. Kebutuhan impor terbesar selama periode lima tahun

(2005-2010) adalah jenis ikan beku dan ikan segar atau dingin dengan

peningkatan rata-rata 51,1% dan 46,5%. Sisanya adalah jenis ikan kering, asin

atau asap dan ikan diolah atau diawetkan dengan peningkatan yang tidak terlalu

3

besar yaitu rata-rata 0,5% dan 1,9%. Total volume impor untuk kebutuhan

konsumsi domestik sebesar 10.753 ton. Volume impor terbesar adalah jenis ikan

beku 5.313 ton atau 49,41% dan ikan segar 5.215 ton atau 48,50%. Sementara

volume impor jenis ikan kering, asin atau asap 56,4 ton atau 0,52%; dan ikan

diolah atau diawetkan 168,4 ton atau 1,57% (KKP 2012).

Indonesia bersaing dengan Cina, Vietnam dan Thailand di tingkat Global

dalam merebut pasar produk olahan ikan di Eropa dan Amerika. Perubahan pola

konsumsi dan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia dalam pemenuhan

kebutuhan protein hewani yang sehat, mudah diperoleh, berkualitas, dan ramah

lingkungan (environmental friendly) menjadi tantangan besar industri pengolahan

perikanan nasional. Menurut FAO (2014), tingkat konsumsi ikan dunia meningkat

pesat dari 71% tahun 1980-an menjadi lebih dari 86% dari total produksi ikan

global yaitu sekitar 136 juta ton tahun 2012 (FAO 2014).

Preferensi masyarakat dunia terhadap produk pengolahan ikan pun sangat

besar. Dari total produksi ikan dunia untuk konsumsi, 54% merupakan produk

ikan olahan terdiri dari 12% produk pengeringan, penggaraman, dan pengasapan;

13% produk prepared dan preserved; dan 29% produk beku. Produk perikanan

yang paling diminati masyarakat dan memiliki harga tinggi dipasaran global

adalah jenis ikan yang diperdagangkan dalam keadaan hidup, segar, dan dingin

yaitu sebesar 46% dari total pemasaran produksi ikan yang dikonsumsi atau

sekitar 63 juta ton tahun 2012 (FAO 2014).

Peningkatan jumlah ekspor maupun nilai produk perikanan Indonesia

masih memiliki peluang yang besar. Peluang tersebut juga didukung oleh adanya

peningkatan konsumsi produk perikanan global. Walaupun demikian, kondisi

perdagangan global dengan tingkat persaingan yang tinggi menuntut daya saing

yang kuat dalam perdagangan berbagai barang dan jasa termasuk juga

perdagangan produk perikanan. Industri pengolahan ikan harus mampu

menghasilkan beragam produk kompetitif dengan mutu yang baik sehingga

memuaskan konsumen dan mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh

negara-negara lain.

Berkaitan dengan kepuasan konsumen terhadap produk perikanan, saat ini

unsur kesehatan, nutrisi serta keamanan pangan semakin ditekankan selain

4

terpenuhinya unsur karakteristik mutu produk. Negara-negara pengimpor hasil

perikanan utama dunia seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Uni

Eropa semakin memperketat pengawasan mutu dan keamanan pangan yang

bertujuan melindungi masyarakatnya dari bahaya keamanan pangan. Amerika

Serikat menerapkan Bioterorism Act pada tahun 2002 yang lebih menekankan

persyaratan impor pangan. Jepang mengeluarkan kebijakan dan regulasi tentang

residu kimia pada produk pangan (Saragih 2007). Di lain pihak, Uni Eropa

melakukan inspeksi terhadap industri-industri perikanan yang aktif melakukan

ekspor ke wilayah Uni Eropa. Di dalam memenuhi kepuasan konsumen,

komoditas ekspor perikanan Indonesia masih menghadapi permasalahan mutu dan

keamanan pangan dalam. Amerika Serikat telah beberapa kali mengeluarkan

detention list pada produk perikanan Indonesia akibat benda asing atau kotoran

(filth) dan cemaran mikrobiologi yang melebihi ambang batas (indikator

penanganan sanitasi dan kehigienisan yang buruk) (Poernomo 2008). Beragam

kasus mutu dan keamanan pangan produk perikanan Indonesia lainnya juga

terdapat pada hasil inspeksi UE dalam The Rapid Alert System for Food and Feed

(RASFF).

Sebagian besar produksi perikanan diserap di dalam negeri dalam rangka

mendukung ketersediaan pangan, selebihnya terutama untuk jenis-jenis ikan

ekonomis tinggi seperti kelompok tuna dan udang, diekspor ke luar negeri.

Produksi perikanan yang akan dipasarkan tersebut perlu ditingkatkan mutu dan

nilai tambahnya melalui upaya pengolahan, pengemasan yang baik, higenis, dan

memenuhi standar keamanan, baik untuk produk perikanan yang akan dipasarkan

di dalam negeri maupun tujuan ekspor.

Selain menitikberatkan pembangunan pada dimensi pembangunan

manusia dan pembangunan sektor unggulan, seperti kedaulatan pangan,

kedaulatan energi, kemaritiman dan kelautan, serta pariwisata dan industri,

RPJMN 2015-2019 juga menitikberatkan pembangunan berdimensi pemerataan

dan kewilayahan, baik terkait pemerataan antarkelompok pendapatan, maupun

pemerataan antarwilayah desa, pinggiran, luar Jawa, dan Kawasan Timur. Sentra

produksi perikanan sebagian besar berada di Indonesia bagian Timur, terutama

untuk perikanan tangkap, sehingga diharapkan pengembangan perikanan di

5

wilayah Indonesia Timur dapat pula menggerakkan perekonomian di wilayah

tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Kurangnya peranan industri pengolahan perikanan nasional dalam

perdagangan perikanan olahan baik domestik ataupun internasional tidak terlepas

dari permasalahan yang dihadapi industri pengolahan perikanan nasional.

Permasalahan pertama berasal dari bahan baku seperti keterbatasan suplai bahan

baku dan bahan penolong produksi perikanan olahan misalnya minyak kedelai,

kaleng, dan bahan kemasan lainnya. Selain itu, isu tentang keamanan pangan

berupa penggunaan bahan pengawet makanan yang tidak tepat. Permasalahan lain

berkaitan dengan bahan baku adalah belum terintegrasinya teknologi penangkapan

ikan sampai dengan pengolahannya. Sementara itu pada aspek produksi, industri

pengolahan perikanan memiliki permasalahan dalam hal utilisasi kapasitas

terpasang industri yang belum optimal. Persyaratan dan standarisasi produk yang

mengacu pada standar internasional seperti Food Safety, Good Manufacturing

Procecces (GMP), Standar Nasional Indonesia (SNI) dan CODEX masih sulit

diadopsi dan diterapkan oleh industri pengolahan perikanan nasional.

Permasalahan lainnya adalah kurangnya sumberdaya manusia di bidang industri

pengolahan perikanan. Di bidang pemasaran dan infrastruktur, industri

pengolahan perikanan masih memiliki permasalahan dalam hal persyaratan ekspor

yang semakin ketat seperti masalah logam berat (mercury issue, dolphin saf,

histamin, dll), isu lingkungan, penggunaan antibiotik dan lainnya, serta

terbatasnya infrastruktur yang mendukung perdagangan serta prasarana dan sarana

lainnya seperti pelabuhan, dan cold storage.

Oleh karena itu, diperlukan beragam opsi yang dapat memecahkan

permasalahan industri pengolahan ikan, agar Indonesia mampu meningkatkan

kemampuan dan daya saing industri perikanannya. Keunggulan daya saing dapat

dicapai melalui kinerja dengan kegiatan berbiaya rendah atau diferensiasi.

Kegiatan berbiaya rendah merupakan keunggulan produktivitas, sementara

diferensiasi merupakan bagian dari keunggulan nilai. Pengelolaan rantai kegiatan

dari penangkapan ikan hingga konsumen yang baik secara nilai maupun biaya

6

memungkinkan industri pengolahan ikan mencapai keunggulan daya saing yang

tinggi. Rantai kegiatan tersebut pada hakikatnya merupakan rantai pasok yang

mengalirkan bahan baku ikan menuju industri pengolahan untuk diolah kemudian

didistribusikan hingga konsumen. Secara umum rantai pasok ikan laut tangkapan

dimulai dari pasokan ikan hasil tangkapan dari nelayan penangkap ke pedagang

pengumpul, yang kemudian memasoknya untuk kebutuhan konsumsi segar atau

pada perusahaan pengolahan ikan yang menghasilkan produk olahan untuk pasar

lokal maupun ekspor. Untuk mencapai keunggulan daya saing industri perikanan

yang mampu menghasilkan produk bermutu dan menyehatkan, diperlukan upaya

perbaikan kinerja mutu yang tepat.

1.3 Tujuan dan Sasaran

(1) Tujuan

Kajian ini ditujukan untuk menyusun strategi pengembangan industri

perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan, terutama pada

daerah-daerah sentra pengembangan perikanan dalam rangka mengantisipasi

peningkatan produksi perikanan, mendukung peningkatan mutu dan nilai tambah

produk perikanan, serta mendukung pembangunan ekonomi wilayah. Hasil kajian

juga akan digunakan sebagai acuan bagi penyusunan kebijakan/strategi

operasional dan perencanaan bagi stakeholders dan pelaku usaha perikanan.

(2) Sasaran

Sasaran dari kajian ini adalah: (1) teridentifikasinya kondisi industri

perikanan Indonesia, khususnya industri pengolahan perikanan; serta (2)

terumuskannya keterkaitan antarunsur dalam pengembangan wilayah berbasis

perikanan; serta (3) tersusunnya konsep strategi pengembangan industri

perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan, berbasis keunggulan

spesifik daerah.

1.4 Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kajian ini terdiri atas:

(1) Identifikasi tantangan dan peluang pengembangan industri perikanan,

khususnya terkait industri pengolahan perikanan, di lokus pilihan.

7

(2) Analisa kontribusi industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan

perikanan, dalam pembangunan ekonomi daerah.

(3) Identifikasi keterkaitan dengan isu kekinian, seperti: sustainable consumption

and production, blue economy, traceability, quality assurance, standardisasi

produk, di bidang industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan

perikanan.

(4) Analisa strategi industrialisasi perikanan, khususnya terkait industri

pengolahan perikanan, untuk peningkatan daya saing dan pembangunan

wilayah.

8

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Pengertian Perikanan

Menurut UU No. 45/2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31/2004

tentang Perikanan, perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari

praproduksi, produksi, pengelolaan, sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan

dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya,

termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,

perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan

implementasi serta penegakkan hukum dari peraturan perundangan-undangan di

bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang

diarahkan untuk mencapai atau kelangsungan produktivitas sumber daya hayati

dan tujuan yang telah disepakati. Menurut FAO (2016), perikanan didefinisikan

sebagai aktivitas manusia yang meliputi penangkapan, kegiatan ekonomi,

manajemen, biologi/lingkungan dan teknologi perikanan.

2.2 Pengertian Industrialisasi Perikanan

Menurut Permen KP No. PER.27/MEN/2012, industrialisasi kelautan dan

perikanan adalah integrasi sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan

skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumber

daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, yang dilandasi oleh prinsip-

prinsip sebagai berikut:

(1) peningkatan nilai tambah: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan

dapat meningkatkan nilai tambah berupa produk-produk olahan yang makin

beragam dan berkualitas dengan nilai jual lebih tinggi. Meningkatnya nilai

jual produk produk berbasis kelautan dan perikanan tersebut diharapkan

mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong pertumbuhan

ekonomi berbasis kelautan dan perikanan lebih tinggi.

(2) peningkatan daya saing: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan

dapat meningkatkan daya saing produk kelautan dan perikanan melalui

efisiensi sistem produksi dan peningkatan produktivitas dengan hasil

9

berkualitas dan harga yang kompetitif, sehingga berdaya saing tinggi, baik di

pasar nasional maupun pasar global.

(3) penguatan pelaku industri kelautan dan perikanan: industrialisasi kelautan dan

perikanan akan mendorong penguatan struktur industri, yaitu peningkatan

jumlah dan kualitas industri perikanan dan pembinaan hubungan antarentitas

sesama industri, industri hilir dan hulu, industri besar, menengah dan kecil,

serta hubungan antara industri dengan konsumen pada semua tahapan rantai

nilai (value chain).

(4) berbasis komoditas, wilayah, dan sistem manajemen kawasan dengan

konsentrasi pada komoditas unggulan: kebijakan industrialisasi kelautan dan

perikanan difokuskan pada komoditas unggulan sesuai dengan permintaan

pasar, baik pasar domestik maupun luar negeri. Agar terintegrasi

pelaksanaannya dilakukan berbasis wilayah dan sistem manajemen kawasan,

yaitu berdasarkan pada distribusi sumber daya alam di wilayah-wilayah

potensial dan dengan sistem manajemen kawasan di sentra-sentra produksi

potensial dan prospek pertumbuhannya di masa depan.

(5) modernisasi sistem produksi hulu dan hilir: kemajuan sektor kelautan dan

perikanan dapat dipercepat dengan modernisasi sistem produksi yang mampu

meningkatkan produk kelautan dan perikanan bernilai tambah dan berkualitas

tinggi dengan memperhatikan seluruh rantai nilai (value chain). Modernisasi

diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, percepatan, dan peningkatan skala

produksi di hulu dan hilir, sekaligus mendorong upaya pengembangan

komoditas dan produk produk unggulan untuk menghadapi persaingan pasar

global yang makin kompetitif; serta mendorong perubahan sistem produksi

hulu skala UMKM dengan menggunakan teknologi dan manajemen usaha

yang lebih efisien dan menguntungkan.

(6) kesimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan

lingkungan yang berkelanjutan: industrialisasi kelautan dan perikanan akan

dilaksanakan sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu

keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan

(7) perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat modern (transformasi sosial):

industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan dapat mendorong

10

perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri yang modern,

melalui perubahan cara berfikir dan perilaku masyarakat sesuai karakteristik

masyarakat industri.

2.3 Klasifikasi Industri

Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang

melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak

pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi

tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seorang atau lebih yang

bertanggung jawab atas usaha tersebut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS

2016), perusahaan industri pengolahan dibagi dalam empat kelompok, yaitu:

(1) industri besar, memiliki tenaga kerja 100 orang atau lebih

(2) industri sedang, memiliki tenaga kerja 20-99 orang

(3) industri kecil, memiliki tenaga kerja 5-19 orang

(4) industri rumah tangga, memiliki tenaga kerja 1-4 orang

Pengelompokan perusahaan industri pengolahan ini hanya didasarkan

kepada banyaknya tenaga kerja yang bekerja, tanpa memperhatikan penggunaan

mesin tenaga dan besarnya modal perusahaan.

Selanjutnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menetapkan kriteria

industri menjadi dua bagian yaitu:

(1) industri kecil, merupakan industri dengan nilai investasi paling banyak Rp.500

juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan

(2) industri menengah, merupakan industri dengan nilai investasi lebih besar dari

Rp. 500 juta atau paling banyak Rp.10 miliar, tidak termasuk tanah dan

bangunan tempat usaha.

Berdasarkan Permen KP No: PER.18/MEN/2006 tentang skala usaha

pengolahan hasil perikanan, klasifikasi usaha dikelompokkan menjadi: usaha

pengolahan hasil perikanan skala mikro, skala kecil, skala menengah, dan skala

besar. Sementara itu, pengertian klasifikasi usaha skala mikro, kecil, menengah,

dan besar terdapat dalam UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah, sebagai berikut:

11

(1) usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan

usaha perorangan, dengan aset maksimal Rp.50 juta dengan omset per

tahunnya mencapai Rp.300 juta.

(2) usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan

anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau

menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah

atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil, dengan aset antara

Rp.50 juta – Rp.500 juta dengan omzet per tahunnya berkisar antara Rp.300

juta – Rp.2,5 miliar.

(3) usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan

anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi

bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha

besar, dengan aset antara Rp.500 juta – Rp.10 miliar dengan omzet per

tahunnya berkisar antara Rp.2,5 miliar – Rp 50 miliar.

(4) usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha

dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari

Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta,

usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di

Indonesia, dengan aset lebih dari Rp.10 miliar dengan omzet lebih dari Rp.50

miliar.

2.4 Mutu Produk Perikanan

Dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan dan UU No. 31/2004 tentang

Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45/2009, serta PP No. 28/

2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan, telah ditetapkan bahwa produk

pangan termasuk dalam hal ini hasil perikanan yang dipasarkan untuk konsumsi

manusia harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sehingga dapat

menjamin kesehatan manusia. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas

dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan

terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.

12

Persyaratan atau standar mutu produk sebagaimana dimaksud setidaknya

meliputi: (1) memenuhi kriteria keamanan hasil perikanan; (2) memiliki

kandungan gizi yang baik untuk produk pengolahan ikan; (3) memenuhi standar

perdagangan nasional untuk produk pengolahan ikan yang beredar di dalam

negeri; dan (4) memenuhi standar negara tujuan ekspor atau standar internasional

untuk produk pengolahan ikan yang akan diekspor.

2.5 Konsumsi Ikan

Konsumsi ikan adalah sejumlah ikan yang dikonsumsi masyarakat

berdasarkan survey yang dilakukan Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)

yang telah dikonversi menjadi setara ikan segar dalam bentuk energi dan protein

dengan satuan kal/kap/hari dan g/kap/hari. Konsumsi ikan terdiri atas konsumsi

ikan aktual dan ideal. Konsumsi ikan aktual adalah jumlah konsumsi setara ikan

segar dan konsumsi tidak tercatat yang dihitung dengan satuan kg/kapita/tahun.

Sedangkan konsumsi ikan ideal adalah adalah jumlah ikan yang seharusnya

dikonsumsi masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan energi dari ikan

berdasarkan perhitungan PPH yaitu kebutuhan pangan hewani sebesar 12%

Angka Kecukupan Energi (AKE) dalam rangka mencapai standar pelayanan

minimal (SPM).

Jumlah ikan yang dikonsumsi dan jenisnya yang bervariasi antarwilayah

dan antarnegara, mencerminkan tingkat perbedan ketersediaan ikan dan bahan

pangan lainnya, termasuk aksesibilitas sumber perikanan sebagai interaksi dari

beberapa faktor sosial ekonomi dan budaya, seperti tradisi, cita rasa, permintaan,

tingkat pendapatan, musim, harga, serta fasilitas dan infrastruktur kesehatan dan

komunikasi. Perubahan pola konsumsi ikan merupakan hasil dari faktor

peningkatan standar hidup, pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan kesempatan

perdagangan serta transformasi distribusi pangan (FAO 2012).

Jumlah dan jenis konsumsi ikan terkait dengan berbagai faktor, yaitu:

pengetahuan gizi dan teknik pengolahan ikan; kemudahan mendapatkan ikan;

harga ikan dan daya beli masyarakat; citra/image/gengsi ikan; nilai budaya dan

mitos; dan promosi konsumsi ikan (Sulistyo et al. 2004).

13

2.6 Produk Perikanan Non Konsumsi

Produk Hasil Perikanan Nonkonsumsi berdasarkan Keputusan Dirjen

Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No.: 016/DJ-P2HP/2012, terdiri dari:

ikan hias, tanaman hias air, mutiara, kerajinan, minyak ikan, garam, tulang ikan,

khitin dan/atau khitosan, kolagen, gelatin, silase, rumput laut untuk keperluan

medis/farmasi, kosmetik, produk bioteknologi kelautan/ perikanan, artemia, dan

bubuk kulit kerang mutiara.

2.7 Nilai Tambah pada Industri Pengolahan Ikan

Analisis kondisi nilai tambah pada industri pengolahan ikan dilakukan

dengan menggunakan Metode Hayami (1987), melalui perhitungan nilai tambah

per kilogram bahan baku untuk satu kali kegiatan pengolahan yang menghasilkan

suatu produk tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk

pengolahan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu faktor teknis dan

pasar.

Tabel 2. Perhitungan Nilai Tambah Per Kilogram Bahan Baku untuk Menghasilkan Produk

No. Variabel Nilai

1 Output, Input dan

Harga

Output (kg/hr) A

Bahan baku (kg/hr) B

Tenaga kerja (HOK/hari) C

Faktor konversi d = a/b

Koefisien tenaga kerja e = c/b

Harga output (Rp./kg) F

Upah rata-rata tenaga kerja (Rp./HOK) G

2 Pendapatan dan

Keuntungan

Harga bahan baku (Rp) H

Sumbangan input lain (Rp) I

Nilai output j = d x f

Nilai tambah k = j – i – h

Rasio nilai tambah l% = (k x 100%)/j

Imbalan tenaga kerja m = e x g

Bagian tenaga kerja n% = (m x 100%)/k

Keuntungan o = k – m

Tingkat keuntukan (%) p% = (o x 100%)/j

Sumber: Hayami (1987)

14

Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku dan

tenaga kerja, sementara faktor pasar yang berpengaruh ialah harga output, upah

kerja, harga bahan bakar dan input lain. Prosedur analisis nilai tambah

diperlihatkan pada Tabel 1.

2.8 Perdagangan Internasional Produk Perikanan

Investasi perdagangan internasional produk perikanan saat ini tidak hanya

dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran, tetapi juga ditentukan oleh

hasil-hasil konvensi dan perjanjian internasional perikanan. Perjanjian tersebut

mengatur mekanisme perdagangan komoditi perikanan di pasar internasional,

antara lain:

(1) Perjanjian internasional terkait kelestarian sumber daya perikanan, seperti:

Code of Conduct for Responsible Fisheries, International Convention for the

Concervation of Atlanic Tuna (ICCAT), Indian Ocean Tuna Comision dan

Agreement of Straddling Stocks;

(2) Perlindungan internasional terhadap satwa yang terancam punah, seperti

Convention on International Trade of Endangered Species (CITES); dan

(3) Perjanjian internasional tentang perdagangan, seperti GATT/WTO, termasuk

perjanjian Sanitary and Phyto sanitary Measures (SPS); dan Agreement on

Technical Barriers to Trade, termasuk pengawasan dan pengendalian mutu

perikanan.

Globalisasi perdagangan makanan; perkembangan teknologi dalam

produksi perikanan; penanganan, pengolahan dan distribusi; serta tingginya

peningkatan kepedulian dan permintaan konsumen untuk keamanan dan mutu

makanan, menjadikan keamanan pangan dan jaminan kualitas sebagai hal yang

diprioritaskan pemerintah. Untuk memasuki pasar ekspor, perlu

mempertimbangkan hal-hal strategis lainnya, seperti: komoditas produk, daya

saing, mutu dan kualitas produk, selera dan daya beli konsumen, delivery time,

dan analisis kondisi negara tujuan ekspor termasuk populasi, agama, tradisi,

kondisi sosial politik dan peraturan ekspor impor (Disperindag, 2014).

15

2.9 Konsep Wilayah, Daerah, dan Kawasan

Secara teoritik, tidak terdapat perbedaan nomenklatur antara istilah

wilayah, daerah, dan kawasan. Semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan

“wilayah” (region). Istilah “kawasan” di Indonesia digunakan karena adanya

penekanan fungsional suatu unit wilayah. Oleh karena itu, kawasan didefinisikan

sebagai karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di

dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

aspek fungsional.

Sementara itu, “daerah” secara umum adalah suatu wilayah territorial

dengan pengertian, batasan dan perwatakannya didasarkan pada wewenang

administrasi pemerintahan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan

tertentu. Daerah juga diartikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis

beserta segenap unsur terkait padanya dengan batas dan sistemnya ditentukan

berdasarkan aspek administrasi. Contohnya adalah daerah-daerah otonom seperti

yang disebutkan di dalam Undang-Undang No 22/1999 (yang telah direvisi

menjadi UU No. 32/2004) tentang Pemerintah di Daerah: Daerah Provinsi, Daerah

Kabupaten, Daerah Kota.

Berdasarkan UU No. 26/ 2007 tentang Penataan Ruang, “wilayah” adalah

ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang

batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek

fungsional; sementara “kawasan” adalah wilayah dengan fungsi utama lindung

dan budidaya. Secara konseptual, wilayah dapat dibagi menjadi empat, yaitu: (1)

wilayah homogen, (2) wilayah nodal, (3) wilayah administratif, dan (4) wilayah

perencanaan.

(1) Wilayah Homogen, adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/kriteria

mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama, misalnya dalam hal

ekonomi dan. Wilayah homogen dibatasi berdasarkan keseragamannya secara

internal (internal uniformity). Contoh wilayah homogen adalah Pantai Utara

Jawa Barat, yang merupakan wilayah homogen sentra produksi ikan jenis

pelagis kecil, ikan asin dan kerupuk ikan.

16

(2) Wilayah Nodal. Wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional

mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan wilayah belakangnya

(hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk,

faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi.

Soekirno (1985) menyatakan bahwa pengertian wilayah nodal yang paling

ideal digunakan dalam analisis mengenai ekonomi wilayah, yaitu mengartikan

wilayah tersebut sebagai ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa

pusat kegiatan ekonomi. Batas wilayah nodal ditentukan oleh sejauhmana

pengaruh dari suatu pusat kegiatan ekonomi bila digantikan oleh pengaruh

dari pusat kegiatan ekonomi lainnya.

(3) Wilayah Administratif, adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan

berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti:

provinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan.

(4) Wilayah Perencanaan, adalah wilayah yang batasannya didasarkan secara

fungsional dalam kaitannya dengan maksud perencanaan. Wilayah ini

memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi

(Glasson dalam Pontoh dan Kustiwan, 2009). Wilayah perencanaan dapat

dilihat sebagai wilayah yang cukup besar untuk memungkinkan terjadinya

perubahan-perubahan penting dalam penyebaran penduduk dan kesempatan

kerja, namun cukup kecil untuk memungkinkan persoalan-persoalan

perencanaannya dapat dipandang sebagai suatu kesatuan. Klaessen (dalam

Pontoh dan Kustiwan, 2009) menyatakan wilayah perencanaan harus memiliki

beberapa kriteria, diantaranya: (1) cukup besar dalam mengambil keputusan-

keputusan investasi yang berskala ekonomi, (2) mampu mengubah industrinya

sendiri dengan tenaga kerja yang ada, (3) mempunyai struktur ekonomi yang

homogen, (4) mempunyai sekurang-kurangnya satu titik pertumbuhan (growth

point), (5) menggunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan,

dan (6) masyarakat dalam wilayah itu mempunyai kesadaran bersama terhadap

persoalan-persoalannya. Wilayah perencanaan dalam hal ini bukan hanya

dipandang dari aspek fisik dan ekonomi saja, namun ada juga dipandang dari

aspek ekologis, misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan Daerah Aliran

Sungai (DAS), pengelolaan terumbu karang dan sebagainya.

17

2.10 Pewilayahan sebagai Alat Pendeskripsian dan Perencanaan

Pengembangan konsep wilayah dan penerapannya dalam dunia nyata akan

menghasilkan suatu konsep pewilayahan. Permukaan bumi terbagi atas berbagai

wilayah sesuai dengan konsep wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah yang

diterapkan akan menghasilkan perbedaan unit-unit atau batas-batas wilayah yang

dihasilkan. Manfaat melakukan proses pewilayahan terutama dalam melakukan

proses klasifikasi. Dalam pengetahuan, Johnston (1976) menyebutkan bahwa,

metode klasifikasi wilayah ini bermanfaat diantaranya sebagai: (1) alat

penyederhanaan fenomena wilayah, dan (2) sebagai alat pendeskripsian.

Klasifikasi ini dapat dipandang sebagai alat/metode yang cukup ampuh dalam

mendeskripsikan fenomena, termasuk dalam menggambarkan hubungan antara

manusia dengan sumberdaya yang karakteristik sumberdaya serta perilaku dan

cara-cara manusia memanfaatkannya dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan

pengklasifikasian spasial. Dengan demikian, klasifikasi spasial (pewilayahan)

merupakan suatu alat (tools) untuk mempermudah menjelaskan keragaman dan

berbagai karakteristik fenomena yang ada. Secara sederhana, pewilayahan

merupakan alat untuk “memotret” kehidupan nyata yang beragam secara spasial.

Secara teknis, perbedaan mendasar klasifikasi spasial dengan klasifikasi pada

umumnya adalah: (1) aspek spatial contiguity (kontiguitas spasial) dan (2) aspek

spatial compactness. Sifat spatial contiguity (kontiguitas spasial) memiliki

pengertian bahwa masing-masing wilayah yang didefinisikan satu sama lainnya

cenderung bersifat bersebelahan secara kontinyu sehingga agregat menjadi suatu

kesatuan yang kontigus (contiguous) atau saling mempengaruhi. Kontiguitas

merupakan karakter yang melekat dari suatu wilayah karena pada dasarnya tidak

ada wilayah yang bersifat bebas atau independen (terbebas dari pengaruh wilayah

lainnya). Oleh sebab itu, aspek interaksi spasial (spatial interaction) atau

keterkaitan spasial (spatial linkages) antar wilayah merupakan bahasan yang

sangat penting dalam ilmu wiayah. Di dalam proses-proses pewilayahan, kesatuan

atau kesinambungan hamparan adalah sangat dikehendaki. Sebaliknya

kecenderungan fragmentasi-fragmentasi spasial perlu dihindari. Wilayah-wilayah

yang berkesinambungan secara spasial (spatial contiguous) akan mempermudah

18

pengelolaan, sebaliknya wilayah-wilayah yang terfragmentasi (spatially

fragmentation) akan menciptakan berbagai bentuk inefisiensi.

Sebagai alat deskripsi, konsep pewilayahan merupakan bagian dari konsep

alamiah, yakni sebagai alat mendeskripsikan hal-hal yang terjadi secara alamiah di

dalam kehidupan. Di sisi lain, konsep pewilayahan juga merupakan alat untuk

merencanakan/mengelola dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan

pewilayahan digunakan untuk penerapan pengelolaan (manajemen) sumberdaya

yang memerlukan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan

karakteristik spasial.

2.11 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung pada

keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis

setiap sektor di dalam memacu menjadi pendorong utama (prime mover)

pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Keunggulan komparatif adalah

perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih

luas dalam suatu wilayah. Sedangkan keunggulan kompetitif ialah potensi

ekonomi dari produksi sektoral yang dihasilkan oleh suatu wilayah.

Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi menjadi dua kelompok

(Rustiadi, et al., 2009), yaitu:

(1) sektor basis, kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan

kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor

antarwilayah. Industri basis akan menghasilkan output berupa barang dan jasa,

baik untuk kebutuhan pasar domestik wilayah tersebut maupun dari wilayah

lain (kegiatan ekspor sudah berkembang dengan baik).

(2) sektor non basis, merupakan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di

wilayahnya sendiri, dimana kapasitas ekspor di wilayah tersebut belum

berkembang.

Arus pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi industri basis

akan meningkatkan investasi, kesempatan kerja, pendapatan dan konsumsi, yang

pada gilirannya akan meningkatkan permintaan agregat dari hasil industri sektor

basis. Dengan demikian, kegiatan industri sektor basis berperan penting sebagai

19

penggerak utama (prime mover) dimana setiap perubahan kenaikan atau

penurunan per satuan unit output memiliki efek pengganda (multiplier effect)

terhadap perekonomian wilayah.

Perkembangan suatu wilayah dapat diketahui melalui dampak multiplier

yang dihasilkannya. Beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk melihat

perkembangan ekonomi suatu wilayah akibat adanya suatu aktivitas ekonomi

adalah pendapatan (income) dan tenaga kerja (employment). Menurut Blakely

(1994) dampak multiplier merupakan aproksimasi terbaik untuk mengetahui

potensi perubahan kesejahteraan dari suatu aktivitas ekonomi baru. Asumsi

dasarnya adalah bahwa suatu perubahan di sektor produksi akan menghasilkan

peningkatan pendapatan masyarakat. Sedangkan indikator tenaga kerja digunakan

untuk mengetahui besarnya peluang terciptanya lapangan pekerjaan baru oleh

aktivitas ekonomi yang dikembangkan di suatu wilayah.

20

BAB III METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pikir

UU No. 17/ 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

2005-2025 telah menetapkan salah satu misi yang yang terkait dengan

pembangunan kelautan dan perikanan, yaitu “mewujudkan Indonesia menjadi

negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan

nasional”, dengan menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan

pemerintah, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan

kelautan, mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan

meningkatkan kemakmuran, dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu

dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.

Selanjutnya, berdasarkan Perpres No. 2/2015 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dalam rangka

mewujudkan visi pembangunan mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri,

dan berkepribadian berlandaskan gotong royong, salah satunya akan dilaksanakan

melalui misi mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, maju,

kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Pada RPJMN 2015-2019,

kemaritiman dan kelautan menjadi salah satu sektor unggulan, dimana kekayaan

laut dan maritim Indonesia harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi

kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat. Beberapa sasaran utama

pembangunan nasional terkait hal tersebut adalah peningkatan produksi hasil

perikanan menjadi sebesar 40-50 juta ton dan peningkatan nilai ekspor hasil

perikanan menjadi USD 9,5 miliar pada tahun 2019.

Peningkatan target produksi ikan dan hasil perikanan yang cukup tinggi

hingga mencapai 40-50 juta ton pada tahun 2019 tentunya akan mempengaruhi

kondisi pasokan bahan baku untuk industri pengolahan perikanan serta

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di sentra-sentra produksi perikanan dan

sentra pengolahan perikanan. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan kajian

strategi industrialisasi perikanan untuk meningkatan mutu, nilai tambah, dan daya

saing produk perikanan agar mampu mendukung pengembangan wilayah.

Menurut data dari FAO (2015), Indonesia merupakan salah satu negara penghasil

21

produksi perikanan utama di dunia, baik untuk ikan yang berasal dari perikanan

tangkap, perikanan budidaya, maupun rumput laut. Namun keunggulan tersebut

belum diikuti dengan kemampuan Indonesia dalam meningkatkan nilai tambah

dan memenuhi kecukupan pangan nasional. Indeks ketahanan pangan Indonesia

berdasarkan kriteria affordability, availability, quality, and safety berada di urutan

ke-64, atau berada di bawah negara-negara Asia Pasifik seperti New Zealand,

Jepang, Australia, Korea Selatan, Malaysia, China, Thailand, Vietnam, dan

Filipina.

Menurut Permen KP No. PER.27/MEN/2012 tentang Pedoman Umum

Industrialisasi Kelautan dn Perikanan, industrialisasi kelautan dan perikanan

adalah integrasi sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan skala dan

kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumber daya

kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Usaha perikanan di Indonesia

sebagai basis dari industrialisasi didominasi oleh Usaha Mikro Kecil dan

Menengah (UMKM) sebesar 97,5% dari 63.887 unit pengolah ikan yang ada.

Sehingga untuk menentukan strategi industrialisasi dalam rangka pengembangan

wilayah perlu dianalisis berbagai faktor yang dapat meningkatkan produktivitas

UMKM sebagai basis utama, dan usaha besar sebagai basis pendukung. Secara

grafis kerangka analisis kajian Strategi Industrialisasi Perikanan Untuk

Mengembangkan Ekonomi Wilayah dapat dilihat pada Gambar 1.

22

Gambar 1 Kerangka Analisis Kajian Strategi Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Wilayah

3.2. Metode Pengambilan Data

Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data

primer diperoleh dari hasil observasi, baik dalam bentuk kuesioner, FGD (focus

group discussion), maupun wawancara pada pihak terkait dan dokumentasi. Data

primer lebih difokuskan pada kinerja sektor perikanan baik sektor ekonomi,

sosial, lingkungan maupun kelembagaan serta permasalahan yang dihadapi. Data

primer ini diperlukan untuk mengetahui kondisi eksisting pengelolaan perikanan

di lapangan. Sementara itu, data sekunder diperoleh melalui kajian desk study

untuk mengumpulkan informasi mengenai penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya maupun perkembangan terkini mengenai pengelolaan industrialisasi

perikanan secara umum. Data sekunder yang digunakan diantaranya berupa data

Identifikasi permasalahan industri pengolahan perikanan

Identifikasi dan analisis bahan baku, pelaku, aktivitas dan alur distribusi hasil perikanan

Level penanganan hasil perikanan mulai dari aktivitas hulu hingga industri pengolahan perikanan

Identifikasi dan analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi keunggulan daya saing

industri pengolahan perikanan

Identifikasi potensi kewilayahan industri pengolahan perikanan

nasional

Identifikasi penyebab permasalahan pada industri pengolahan ikan

Penyusunan strategi industrialisasi perikanan, khususnya pengolahan perikanan

23

time series produksi perikanan dan pengolahan hasil perikanan, pertumbuhan

ekonomi wilayah, dan peraturan daerah yang terkait pengelolaan perikanan.

3.3. Metode Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam kajian ini terdiri dari analisis

deskriptif, analisis SWOT, dan analisis pengembangan ekonomi wilayah dengan

pendekatan mikro-makro.

(1) Analisis deskriptif

Analisis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang hal-

hal yang berkaitan dengan objek kajian. Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk

tulisan, tabulasi data, matriks, gambar sesuai dengan konteks permasalahan yang

dibahas melalui diagram tulang ikan (fish bone analysis). Diagram tulang ikan

adalah diagram yang menunjukkan sebab akibat yang berguna untuk mencari atau

menganalisis sebab-sebab timbulnya masalah sehingga memudahkan cara

mengatasinya. Penggunaan diagram tulang ikan dalam kajian ini digunakan untuk

mengetahui permasalahan yang paling sering muncul pada daerah atau sentra

perikanan. Ilustrasi diagram tulang ikan dalam kajian ini disajikan pada Gambar

2.

24

Gambar 2. Ilustrasi Fishbone Analysis

(2) Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan

untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang

(opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi

bisnis. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis

atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung

dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisis SWOT merupakan salah

satu metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi suatu masalah,

proyek atau konsep bisnis yang paling sering digunakan untuk mencari strategi

yang akan dilakukan. Analisis SWOT hanya menggambarkan situasi yang terjadi

bukan sebagai pemecah masalah. Analisis SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu:

Fasilitas dan Infrastruktur Pengolahan perikanan Manajemen Industri

Kebijakan Pemerintah Sosial Ekonomi Teknologi

Kapal

Strategi Industrialisasi

perikanan

keamanan pangan

teknologi informasi

Mesin

Alat Penangkap Ikan

akses modal

Lembaga terkait

Resiko usaha

Jumlah badan/kelemba

Pegangguran & kemiskinan

PDRB Wilayah

akses pasar

asosiasi/serikat nelayan

Biaya operasional

Perlengkapan

Lahan dan bangunan

utilitas produksi

kapasitas produksi

GMP, HACCP, ISO

Bahan penolong/BTP

Kesejahteraan

NTN( Nilai Tambah

kemasan

bahan pengawet

tenaga kerja

nilai tambah produk

hambatan tarif/non tarif

pola konsumsi ikan

Bahan bakuTren produksi

Produk konsumsi

Produk non konsumsi

Preferensi konsumen

Rantai pasok

kapasitas terpasang

Suplai BBM

Cold storage

Penyediaan air bersih

Kontinuitas bahan baku

Sistem logistik

Energi

Pabrik Es

25

a) Strengths (kekuatan), merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam

organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis

merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep

bisnis itu sendiri.

b) Weakness (kelemahan), merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam

organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kelemahan yang dianalisis

merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep

bisnis itu sendiri.

c) Opportunities (peluang), merupakan kondisi peluang berkembang di masa

datang yang akan terjadi. Kondisi yang akan terjadi merupakan peluang dari

luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. misalnya kompetitor,

kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar.

d) Threats (ancaman), merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman

ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.

Selanjutnya, analisis SWOT dipetakan ke dalam matriks sebagai tabel

informasi SWOT. Kemudian dilakukan pembandingan antara faktor internal yang

meliputi strengths dan weaknesses dengan faktor eksternal opportunities dan

threats. Langkah berikutnya adalah penyusunan strategi alternatif untuk

dilaksanakan. Strategi yang dipilih merupakan strategi yang paling

menguntungkan dengan resiko dan ancaman yang paling kecil. Selain berguna

untuk pemilihan alternatif, analisis SWOT juga dapat digunakan untuk melakukan

perbaikan dan improvisasi dengan mengetahui kelebihan (strengths dan

opportunities) dan kelemahan (weaknesses dan threats) (Rangkuti, 2006).

(3) Analisis Pengembangan Ekonomi Wilayah

Analisis yang digunakan untuk mengetahui indikator sektor basis,

keunggulan komparatif, dan keunggulan kompetitif wilayah adalah metode

Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA).

a) Analisis Location Quotient (LQ)

Metode LQ digunakan untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang

merupakan indikasi sektor basis dan non basis yang merupakan perbandingan

26

relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam

suatu wilayah. Asumsi yang digunakan adalah terdapat sedikit variasi dalam pola

pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja seragam serta masing-

masing industry menghasilkan produk atau jasa yang seragam.

Analisis LQ menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada

substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi pasar ke luar

wilayah tersebut (ekspor). Hal ini memberikan suatu gambaran tentang industri

yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebar (Shukla, 2000).

Metode analisis LQ dirumuskan sebagai berikut:

Di mana:

Xij = derajat aktivitas ke-j di wilayah ke-i

Xi = total aktivitas di wilayah ke-i

Xj = total aktivitas ke-j di semua wilayah

Xn = derajat aktivitas total wilayah

b) Analisis Shift Share (SSA)

Analisis Shift Share (SSA) digunakan untuk melihat keunggulan

kompetitif suatu wilayah. Indikator yang digunakan untuk menunjukkan potensi

ekonomi dalam analisis ini adalah sebagai berikut:

Total shift (pergeseran keseluruhan), merupakan pergeseran total suatu

industri i adalah sama dengan selisih antara pertumbuhan yang terjadi (actual

change) dengan pertumbuhan/perubahan yang diharapkan (expected change)

terjadi jika industri i tumbuh pada laju yang sama dengan laju total

pertumbuhan nasional (semua industri).

Proportional shift, merupakan pergeseran yang diamati tergantung pada

perbedaan antara laju pertumbuhan nasional (dari seluruh industri) dengan

laju pertumbuhan nasional dari masing-masing industri.

Differential shift, merupakan pergeseran yang diamati tergantung pada

perbedaan antara laju pertumbuhan industri di wilayah bersangkutan dengan

27

laju pertumbuhan industri i di tingkat nasional. Persamaan analisis SSA

adalah sebagai berikut:

a b c

dimana:

a = komponen share

b = komponen proportional share

c = komponen differential share

X = nilai total aktivitas dalam total wilayah

Xi = nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah

Xij = nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu

tt = titik tahun akhir

t0 = titik tahun awal

3.4 Lokasi Kunjungan Lapang

Survei lapangan dan pengumpulan data dilakukan ke Provinsi Jawa Timur

dan DI Yogyakarta. Tempat-tempat tersebut adalah lokasi yang mewakili

keberadaan industri pengolahan perikanan dalam negeri yang ada dan tersebar di

wilayah Indonesia, sehingga diharapkan mampu memperkaya informasi hasil

kajian.

3.5 Jadwal Pelaksanaan Kajian

Kajian ini akan dilaksanakan selama delapan bulan, yaitu dari Bulan April

sampai Bulan November 2016. Secara lengkap jadwal kajian ini dapat dilihat pada

Tabel 2.

28

Tabel 3. Jadwal Kegiatan Kajian Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Ekonomi Wilayah

No Uraian Kegiatan April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 1 Rapat Tim Perumus Rekomendasi

Kebijakan

2 Identifikasi Industri Perikanan 3 Laporan awal 4 Diskusi Terbatas dengan Pemangku

Kepentingan sektor perikanan

5 Penyusunan Bahan kajian 6 Perumusan dan bahan survey lapangan 7 Survey Lapangan 8 Penyusunan Hasil Survey dan kajian 9 Laporan Antara/Laporan Tengah 10 Perumusan Strategi Industrialisasi

Perikanan untuk Pembangunan Ekonomi Wilayah

11 Konsep Strategi Industrialisasi Perikanan untuk Pembangunan Ekonomi Wilayah

12 Seminar 13 Penyusunan laporan akhir 14 Perbaikan laporan akhir 15 Laporan akhir

29

BAB IV ISU, PERMASALAHAN, DAN SASARAN STRATEGIS DALAM

PENGEMBANGAN INDUSTRIALISASI PERIKANAN

4.1 Permasalahan dalam Pengembangan Industrialisasi Perikanan

4.1.1 Perikanan Tangkap

Pengembangan perikanan tangkap menghadapi permasalahan yang

kompleks karena keterkaitannya dengan banyak sektor, termasuk dengan aspek

lingkungan. Terdapat berbagai isu pengelolaan perikanan tangkap di laut yang

berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan,

keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di bidang perikanan, ketahanan

pangan, dan pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari pemanfaatan sumber

daya perikanan. Beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah mengalami gejala

overfishing. Selain itu, praktik-praktik IUU fishing yang terjadi di Wilayah

Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI), baik oleh kapal-

kapal perikanan Indonesia (KII) maupun oleh kapal-kapal perikanan asing (KIA)

menyebabkan kerugian baik dari aspek sosial, ekologi/lingkungan, maupun

ekonomi.

Kerugian negara akibat dari IUU fishing di perairan Arafura diperkirakan

mencapai Rp 11–17 triliun (Wagey et al., 2002). Sementara itu, estimasi kerugian

negara-negara di dunia akibat IUU fishing mencapai USD 10–23,5 miliar

(Agnew et al., 2005). Ancaman IUU fishing dipicu kondisi sektor perikanan

global, dimana beberapa negara mengalami penurunan stok ikan, pengurangan

armada kapal penangkapan ikan akibat pembatasan pemberian izin penangkapan.

Sementara di sisi lainnya, permintaan produk perikanan semakin meningkat dan

kemampuan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan masih lemah.

Berdasarkan hal tersebut, kapasitas dan kapabilitas pengawasan sumber daya

kelautan dan perikanan perlu ditingkatkan sebagaimana amanat UU No. 45/2009

tentang perubahan atas UU No. 31/2004 tentang Perikanan, melalui

pengembangan sistem pengawasan yang terintegrasi, penyediaan sarana dan

prasarana pengawasan, pemenuhan regulasi bidang pengawasan dan kelembagaan

di tingkat daerah, pengembangan kerjasama secara intensif dengan instansi lain,

serta menggalang komitmen dan dukungan internasional dalam penanggulangan

30

kegiatan IUU fishing. Masalah IUU fishing juga terkait dengan perbatasan dengan

negara tetangga, seperti kasus nelayan tradisional yang melanggar lintas batas

masuk ke negara lain. Meskipun upaya untuk edukasi dan peningkatan keasadaran

nelayan RI mengenai batas-batas laut sudah dilakukan, namun kemungkinan

nelayan tradisional untuk melintas batas dan melakukan pelanggaran ke negara

lain masih ada. Perbatasan laut merupakan salah satu isu dalam pengawasan

sumber daya perikanan dan kelautan di wilayah perairan Indonesia. Hingga saat

ini, masih terdapat perundingan terkait perbatasan wilayah dengan negara

tetangga yang belum terselesaikan.

Permasalahan lainnya yang dihadapi adalah terkait masih rendahnya

produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan yang disebabkan oleh

struktur armada penangkapan ikan yang masih didominasi oleh kapal berukuran

kecil, belum optimalnya integrasi sistem produksi di hulu dan hilir, serta masih

terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana secara memadai. Di samping itu,

aspek sangat mendasar yang mempengaruhi lemahnya daya saing dan

produktivitas adalah kualitas SDM dan kelembagaannya. Saat ini jumlah SDM

yang bergantung pada kegiatan usaha kelautan dan perikanan sangat besar, namun

pengetahuan, keterampilan, penguasaan teknologi dan aksesibilitas terhadap

infrastruktur dan informasi belum memadai dan belum merata di seluruh wilayah

Indonesia, terutama di wilayah kepulauan.

4.1.2 Perikanan Budidaya

Pengembangan perikanan budidaya masih dihadapkan pada permasalahan

terkait ketersediaan dan distribusi induk dan benih unggul, kesiapan dalam

penanggulangan hama dan penyakit, penyediaan fasilitas kolam dan air yang baik

serta prasarana saluran irigasi, harga pakan/harga bahan baku pakan, serta

implementasi kebijakan tata ruang dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil. Rendahnya produktivitas perikanan budidaya juga disebabkan oleh

struktur pelaku usaha perikanan budidaya yang didominasi pembudidaya skala

kecil/tradisional (sekitar 80%), yang memiliki keterbatasan aspek permodalan,

jaringan teknologi, dan pasar. Selain itu, serangan hama dan penyakit ikan/udang

31

serta penurunan kualitas lingkungan perikanan budidaya juga ikut mempengaruhi

pengembangan perikanan budidaya.

Sementara itu, terkait garam, hingga saat ini produksi garam nasional

masih belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri baik secara kuantitas

maupun kualitas. Hal ini karena mayoritas usaha pegaraman masih bersifat

tradisional, pengaruh cuaca berupa hujan yang terus menerus dan kemarau basah,

serta tata niaga garam yang belum mendukung.

Dalam rangka pengembangan usaha, permasalahan utama yang dihadapi

adalah masih adanya keterbatasan dukungan permodalan usaha dari pihak

perbankan dan lembaga keuangan lainnya kepada para nelayan/pembudidaya

ikan/petambak garam/pengolah hassil perikanan, berupa terbatasnya akses

permodalan atau kredit usaha akibat persyaratan perbankan (jaminan/agunan).

4.1.3 Pengolahan Perikanan

Isu utama yang dihadapi dalam pengembangan pengolahan perikanan

adalah:

(1) Lemahnya jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan (quality assurance

dan food safety). Pihak pembeli dari negara lain menuntut Indonesia untuk

memenuhi ketentuan terkait jaminan dan keamanan pangan (hasil perikanan),

diantaranya: penerapan Hazard Analysis and Critical Control Point

(HACCP), Bioterrorism Act, sanitasi kekerangan, cemaran logam berat dan

histamin pada tuna dan certificate eco labelling selain health certificate.

(2) Tingginya tingkat kehilangan (losses) hingga sekitar 27,8% akibat kualitas

bahan baku yang kurang terjaga karena rendahnya pengetahuan nelayan,

pembudidaya ikan, pemasar dan pengolah hasil perikanan, dan petugas

TPI/PPI mengenai cara penanganan dan pengolahan yang baik (good

manufacturing practice/GMP) serta karena terbatasnya sarana dan prasarana

penangan ikan di atas kapal, TPI/PPI, distribusi dan unit pengolah ikan (UPI)

skala mikro dan kecil, seperti peralatan handling, es, dan air bersih.

(3) Kurangnya pasokan bahan baku industri pengolahan karena belum terjalinnya

kerjasama antara industri penangkapan ikan dengan pengolahan hasil

perikanan, sehingga perusahaan penangkapan cenderung mengekspor ikan

32

dalam bentuk ikan utuh (gelondongan) serta belum terstandarnya hasil

tangkapan karena 85% produksi perikanan tangkap didominasi/dihasilkan

oleh nelayan skala kecil. Di sisi lain, sentra penangkapan ikan banyak berada

di wilayah Indonesia bagian timur, sementara industri pengolahan banyak

berada di wilayah Indonesia bagian barat.

(4) Maraknya bahan kimia berbahaya dalam penanganan dan pengolahan ikan,

seperti: formalin, borax, zat pewarna, CO, antiseptik, pestisida, dan antibiotik

(chloramphenol, Nitro Furans, OTC). Hal ini disebabkan oleh substitusi

bahan pengganti tersebut yang kurang tersedia dan peredaran bahan kimia

berbahaya yang bebas, murah dan sangat mudah diperoleh.

(5) Jenis ragam produk dan pengembangan produk bernilai tambah (value added

products) belum berkembang optimal dan belum popular. Meskipun kajian

dan hasil penelitian pemanfaatannya sudah banyak tersedia, namun produksi

secara masal masih belum dapat direalisasi karena ketersediaan sarana

prasarana, mahalnya peralatan, kurangnya teknologi serta masalah kontinuitas

suplai bahan baku.

(6) Kurangnya intensitas promosi dan rendahnya partisipasi stakeholders. Saat ini,

produk perikanan yang bernilai tambah di masyarakat masih belum populer,

karena kurangnya intensitas promosi serta rendahnya partisipasi stakeholders

(khususnya produsen produk perikanan) dalam mengembangkan program

promosi.

4.1.4 Pemasaran Hasil Perikanan

Peningkatan pemanfaatan potensi sumber daya perikanan juga mendorong

peningkatan kegiatan perdagangan produk perikanan antarwilayah di Indonesia

(domestik) dan antarnegara (ekspor). Meningkatnya kegiatan perdagangan

tersebut, membawa konsekuensi meningkatnya risiko berupa masuk dan

tersebarnya hama dan penyakit ikan berbahaya, serta masuknya hasil perikanan

yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sehingga

diperlukan peningkatan sistem jaminan kesehatan ikan mutu dan keamanan hasil

perikanan yang terpercaya.

33

Globalisasi dalam kerangka perdagangan internasional, mendorong

semakin meningkatnya arus lalu lintas dan menurunnya secara bertahap hambatan

tarif (tariff barrier) dalam perdagangan hasil perikanan antarnegara. Keadaan ini

memicu masing-masing negara, termasuk negara mitra dagang seperti Uni Eropa,

China, Rusia, Canada, Korea, Vietnam dan Norwegia, semakin memperketat

persyaratan jaminan kesehatan, mutu dan keamanan hasil perikanan (health,

quality and safety assurance). Sebagai anggota World Trade Organization (WTO)

Indonesia berkewajiban melaksanakan isi ketentuan dalam “Agreement of The

Application of Sanitary and Phytosanitari Measure” yang memuat ketentuan

tentang penerapan peraturan-peraturan teknis guna melindungi kesehatan

manusia, hewan, ikan dan tumbuhan. Konsep perjanjian Sanitary and

Phytosanitary (SPS) merupakan instrumen pengendali perdagangan internasional

berupa hambatan teknis (technical barrier to trade)/hambatan non tariff (non

tariff barrier). Berdasarkan hal tersebut, pengembangan sistem jaminan

kesehatan, mutu dan keamanan hasil perikanan harus selaras dengan persyaratan

dan ketentuan internasional sehingga mampu meningkatkan daya saing hasil

perikanan dalam era perdagangan global.

4.1.5 Bidang Kewilayahan

Isu utama pembangunan wilayah nasional adalah masih besarnya

kesenjangan antarwilayah khususnya kesenjangan antara Kawasan Barat

Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pada kurun waktu 2015-

2019, arah kebijakan utama pembangunan wilayah nasional difokuskan pada

upaya mempercepat pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah dengan

mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah. Sebagai negara

maritim yang terdiri dari gugusan pulau-pulau (archipelagic state) di mana laut

Indonesia lebih luas dari daratan, peranan laut menjadi sangat penting dalam

pemerataan pembangunan nasional. Laut diharapkan dapat menghubungkan

Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, termasuk pulau-

pulau besar dan gugusan pulau-pulau kecil didalamnya, sekaligus sebagai perekat

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta untuk mendukung percepatan

pembangunan ekonomi wilayah berbasis maritim (kelautan).

34

Aktivitas pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, baik yang

berada di daratan, wilayah pesisir, maupun lautan, tidak dapat terlepas dari

keberadaan potensi bencana alam dan dampak perubahan iklim yang dapat terjadi

di wilayah Indonesia, seperti: kenaikan muka air laut (sea level rise) yang dapat

menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil dan sebagian wilayah/lahan

budidaya di wilayah pesisir, intrusi air laut ke daratan, peningkatan dan perubahan

intensitas cuaca ekstrim (seperti badai, siklon, banjir) yang berpengaruh terhadap

kegiatan penangkapan dan budidaya ikan, serta kerusakan sarana dan prasarana.

Sehingga diperlukan penyiapan kapasitas masyarakat untuk melakukan berbagai

upaya mitigasi bencana dan adaptasi dampak perubahan iklim. Selain potensi

bencana alam dan perubahan iklim, wilayah pesisir juga memiliki potensi

kerusakan pesisir berupa kerusakan ekosistem, abrasi, sedimentasi, pencemaran

dan permasalahan keterbatasan lahan. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya

rehabilitasi ekosistem, pengendalian pencemaran, dan upaya revitalisasi

diantaranya melalui reklamasi yang terkendali.

4.2 Sasaran Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Nasional

Perpres No. 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) 2015-2019 telah menetapkan visi pembangunan untuk

mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan

gotong royong, yang salah satunya akan dilaksanakan melalui misi mewujudkan

Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan

kepentingan nasional. Pada RPJMN 2015-2019, kemaritiman dan kelautan

menjadi salah satu sektor unggulan, dimana kekayaan laut dan maritim Indonesia

harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan nasional dan

kesejahteraan rakyat. Beberapa sasaran pokok pembangunan nasional terkait

bidang kelautan dan perikanan yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 adalah:

(1) meningkatnya produksi hasil perikanan menjadi sebesar 40-50 juta ton pada

tahun 2019, meliputi produksi ikan sebesar 18,76 juta, rumput laut sebesar

19,54 juta ton, garam sebesar 4,50 juta ton, dan produk olahan perikanan

sebesar 6,80 juta ton.

35

(2) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan menjadi USD 9,5 miliar pada

tahun 2019.

(3) meningkatnya konsumsi ikan menjadi sebesar 54,5 kg/kapita/tahun.

(4) pertumbuhan PDB perikanan sebesar 7,2% per tahun pada tahun 2019.

Arah kebijakan yang ditetapkan untuk mencapai sasaran tersebut

diantaranya adalah: (1) peningkatan produksi perikanan melalui: ektensifikasi dan

intensifikasi produksi perikanan, penguatan faktor input dan sarana pendukung

produksi, penguatan keamanan produk pangan perikanan; (2) peningkatan mutu,

nilai tambah dan inovasi teknologi perikanan; (3) peningkatan kualitas sarana dan

prasarana perikanan; (4) peningkatan advokasi dan konsumsi makan ikan; (5)

penyempurnaan tata kelola perikanan; dan (6) pengelolaan perikanan

berkelanjutan.

Berdasarkan hal tersebut dan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber

daya kelautan dan perikanan, KKP melalui Permen KP No. 25/PERMEN-

KP/2015 tentang Rencana Strategis (Renstra) KKP 2015-2019 telah menetapkan

visinya untuk mewujudkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia yang mandiri,

maju, kuat dan berbasis kepentingan nasional dengan misi kedaulatan,

keberlanjutan dan kesejahteraan. Pencapaian visi dan misi pembangunan tersebut

dilaksanakan dengan memperhatikan tiga dimensi pembangunan nasional, yakni

sumber daya manusia (SDM), sektor unggulan, dan kewilayahan.

36

BAB V REVIEW KEBIJAKAN INDUSTRI DAN PENGOLAHAN

PERIKANAN

5.1 Kebijakan Umum

UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) 2005-2025 telah menetapkan salah satu misi yang terkait dengan

Kelautan dan Perikanan, yaitu “Mewujudkan Indonesia menjadi Negara

Kepulauan yang Mandiri, Maju, Kuat, dan Berbasiskan Kepentingan Nasional”,

dengan menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah,

meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia yang berwawasan kelautan,

mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan

meningkatkan kemakmuran, dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu

dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.

Selanjutnya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

2015-2019 yang telah ditetapkan melalui Perpres No.2/2015, memuat prioritas

pembangunan nasional, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup

gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta

program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga kewilayahan dalam

bentuk kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif.

Kerangka pencapaian tujuan RPJMN 2015-2019 dirumuskan lebih lanjut

dalam sembilan Agenda Prioritas Pembangunan Nasional (Nawacita), yaitu:

(1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan

memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara;

(2) Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola

pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya;

(3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa

dalam kerangka negara kesatuan;

(4) Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan

penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya;

(5) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia;

(6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional;

37

(7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor

strategis ekonomi domestik;

(8) Melakukan revolusi karakter bangsa; serta

(9) Memperteguh kebhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Selanjutnya, Presiden telah menyatakan bahwa laut adalah masa depan

peradaban bangsa dan bahwa sudah saatnya laut dipandang sebagai sumber

kehidupan manusia. Sehingga, pembangunan kelautan dan perikanan harus

dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan untuk mengubah suatu keadaan

menjadi keadaan yang lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya kelautan

dan perikanan secara optimal, efisien, efektif, dan akuntabel, dengan tujuan akhir

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

5.2 Kebijakan Penguatan Industri Pengolahan Perikanan

Dalam rangka mewujudkan sektor kemaritiman dan kelautan sebagai salah

satu sektor unggulan yang juga mampu mendukung terwujudnya redistribusi

keadilan dengan target gini ratio 0,3, maka paradigma pembangunan kelautan dan

perikanan, diarahkan pada: (1) pertumbuhan, untuk dapat meningkatkan

kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, (2) pemerataan,

dengan memberikan peluang bagi usaha skala kecil untuk maju dan mandiri

dengan tetap memelihara keberlanjutan usaha skala besar; dan (3) modernisasi,

agar seluruh usaha yang dilakukan dapat memberikan nilai tambah yang optimal

di dalam negeri.

Dalam rangka mendukung percepatan pelaksanaan pembangunan kelautan

dan perikanan, sampai tahun 2016 telah dilakukan penyusunan kebijakan dengan

melibatkan peran serta masyarakat guna memenuhi aspirasi masyarakat, antara

lain yaitu:

(1) UU No. 1/2014 tentang Perubahan atas UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang menyepakati empat norma

hukum penting, yaitu: (i) pemberdayaan masyarakat hukum adat dan nelayan

tradisional; (ii) penataan investasi; (iii) sistem perizinan; dan (iv) pengelolaan

kawasan konservasi laut nasional. Pemberdayaan masyarakat diperkuat dalam

inisiasi penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

38

beserta dengan pemerintah dan dunia usaha. Dengan norma hukum ini, maka

masyarakat dapat mengambil inisiatif mengusulkan rencana zonasi. Undang-

undang perubahan ini juga telah memberikan pengakuan hak asal-usul

masyarakat hukum adat untuk mengatur wilayah perairan yang telah dikelola

secara turun temurun. Dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan

pesisir dan pulau-pulau kecil pada wilayah masyarakat hukum adat oleh

masyarakat hukum adat menjadi kewenangan masyarakat hukum adat

setempat.

(2) UU No. 32/ 2014 tentang Kelautan, yang memuat penyelenggaraan

pembangunan kelautan ke depan, antara lain: (i) wilayah laut, (ii)

pembangunan dan pengelolaan kelautan, (iii) pengelolaan ruang laut dan

perlindungan lingkungan laut, (iv) pertahanan, keamanan, penegakan hukum,

dan keselamatan di laut, dan (v) tata kelola dan kelembagaan.

(3) Kebijakan terkait dengan upaya pemberantasan IUU Fishing,yaitu: (i) Permen

KP No. 56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium)

Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan

Negara Republik Indonesia; (ii) Permen KP No. 57/PERMEN-KP/2014

tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara

Republik Indonesia, yang melarang transhipment; (iii) Permen KP No.

59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi

(Carcharhinus longimanus) dan Ikan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah

Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia.

(4) Permen KP No. 1/ 2015 tentang Penangkapan Lobster (panulirus spp),

Kepiting (scylla spp) dan Rajungan (portunus pelagicus spp), yang melarang

penangkapan species tersebut dalam kondisi bertelur dan mengatur ukuran

yang boleh ditangkap, dalam rangka menjamin keberadaan dan ketersediaan

stok Lobster, Kepiting dan Rajungan yang saat ini telah mengalami

penurunan populasi

(5) Permen KP No. 2/ 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan

Pukat Hela (trawl) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI), dalam rangka penataan

kembali pengelolaan perikanan untuk kelestarian sumber daya ikan,

39

pengurangan tekanan terhadap sumber daya ikan di 11 WPP-NRI, dan

pengaturan selektivitas alat penangkapan ikan, yang pada akhirnya

diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Penggunaan alat

penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) telah

mengakibatkan menurunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian

lingkungan sumber daya ikan.

(6) Inpres No. 7/2016 tentang Percepatan Industri Perikanan Nasional, berisi

instruksi langkah-langkah strategis percepatan industri perikanan nasional,

melalui: (i) peningkatan produksi perikanan tangkap, budidaya, dan

pengolahan hasil perikanan; (ii) perbaikan distribusi dan logistik hasil

perikanan dan penguatan daya saing; (iii) percepatan penataan pengelolaan

ruang laut dan pemetaan WPP-NRI sesuai dengan daya dukung dan sumber

daya ikan dan pengawasan sumber daya perikanan; (iv) penyediaan sarana

dan prasarana dasar dan pendukung industri perikanan nasional; (v)

percepatan peningkatan jumlah dan kompetensi sumber daya manusia,

inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan bidang perikanan;

(vi) percepatan pelayanan perizinan di bidang industri perikanan nasional;

dan (vii) penyusunan rencana aksi percepatan pembangunan industri

perikanan nasional.

Selanjutnya, KKP diminta untuk mengevaluasi peraturan perundang-

undangan yang menghambat pengembangan perikanan tangkap, budidaya,

pengolahan, pemasaran dalam negeri, ekspor hasil perikanan, dan tambak

garam nasional; serta menyusun roadmap industri perikanan nasional,

penetapan lokasi, dan masterplan kawasan industri perikanan nasional

sebagai proyek strategis nasional.

Berbagai kebijakan dan upaya telah ditempuh merupakan langkah untuk

mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat dan sejahtera

melalui pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan,

dalam rangka mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia.

40

5.3 Kebijakan Peningkatan Produksi dan Konsumsi

Kebijakan peningkatan produksi perikanan pada RPJMN 2015-2019

diarahkan pada: (1) Ekstensifikasi dan intensifikasi produksi perikanan untuk mendukung

ketahanan pangan dan gizi, melalui: (i) peningkatan produktivitas dan

pengembangan kawasan sentra produksi perikanan budidaya sesuai potensi

dan keunggulan lokal; (ii) peningkatan produksi perikanan tangkap dengan

memperhatikan ketersediaan stok dan aspek keberlanjutan; (iii)

pengembangan budidaya laut (marikultur) di lokasi-lokasi potensial; (iv)

pendayagunaan perairan umum daratan (PUD) untuk perikanan dan didukung

penerapan teknologi budidaya yang berwawasan lingkungan; (v) penguasaan

dan inovasi teknologi intensif untuk pembesaran komoditas ikan strategis

dengan memperhatikan daya dukung lingkungan; (vi) melanjutkan

revitalisasi tambak-tambak dan kolam yang tidak produktif; dan (vii)

pengembangan, penyediaan, dan penerapan teknologi perikanan yang

memperhatikan daya dukung lingkungan;

(2) Penguatan faktor input dan sarana prasarana pendukung produksi, melalui: (i)

penjaminan ketersediaan dan kemudahan rantai distribusi input, yang

mencakup BBM, induk unggul, benih ikan berkualitas, obat-obatan, dan

pakan bermutu berbasis bahan baku lokal; (ii) penguatan sistem dan jaringan

penyediaan induk dan perbenihan, termasuk di daerah Timur Indonesia; (iii)

pengembangan kapasitas manajemen dan infrastruktur pelabuhan perikanan

dan sarana penangkapan ikan; (iv) pemenuhan pasokan air minum dan energi

(listrik) di pelabuhan perikanan; (v) pengembangan infrastruktur irigasi ke

tambak dan kolam dengan kerjasama lintas pelaku dan pemerintah daerah;

(vi) pengembangan pelayanan kesehatan ikan dan lingkungan di sentra

produksi perikanan budidaya; (vii) penyediaan sarana karamba jaring apung

untuk akuakultur; dan

(3) Penguatan keamanan produk pangan perikanan, melalui: (i) penguatan

pengendalian, pengawasan dan advokasi mutu dan keamanan produk

perikanan, sertifikasi dan standarisasi mutu dalam negeri (SNI) serta

pengembangan dan penerapan sertifikasi eco labelling dan ketelusuran

41

produk (product traceability), serta Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB),

Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) dan penerapan sertifikasi hasil

tangkapan ikan (SHTI); (ii) peningkatan efektivitas karantina perikanan

untuk pengendalian penyakit, jaminan mutu produksi dan keamanan pangan

melalui sistem karantina yang terintegrasi (Integrated Quarantine and Safety

Control Mechanism) dan pencegahan/ penanggulangan penyakit ikan

(Biosecurity) dan (iii) pengembangan produk perikanan berkualitas dan

memenuhi standar Hazard Analysis and Critical Control/ HACCP untuk

menjamin keamanan produk dan mutu pangan olahan.

Sementara itu, kebijakan terkait Peningkatan Advokasi dan Konsumsi

Makan Ikan pada RPJMN 2015-2019 diarahkan melalui: (1) penguatan promosi,

advokasi dan kampanye publik untuk konsumsi ikan dan produk olahan berbasis

ikan, melalui gerakan ekonomi kuliner rakyat kreatif dari hasil laut, bazaar, lomba

inovasi menu ikan, pengembangan pusat promosi dan pemasaran hasil perikanan;

(2) peningkatan peran serta berbagai pemangku kepentingan dalam upaya

penggalakkan minat dan konsumsi makan ikan di masyarakat; (3) Pengembangan

sistem informasi produk perikanan dan harga ikan yang mudah diakses

masyarakat; (4) pemenuhan ketersediaan komoditas perikanan yang berkualitas,

mudah dan terjangkau di masyarakat dalam rangka mendukung ketahanan

pangan; dan (5) diversifikasi konsumsi produk olahan perikanan.

Dalam upaya mendukung akselerasi dan menyukseskan gerakan makan

ikan (Gemarikan), pada tahun 2006 KKP telah membentuk Forum Peningkatan

Konsumsi Ikan Nasional (Forikan) Indonesia berdasarkan Kepmen KP No.

29/MEN/2006 Tanggal 9 September 2006 dan dikukuhkan oleh Menteri Kelautan

dan Perikanan pada tanggal 20 September 2006. Forikan Indonesia merupakan

forum kerjasama yang beranggotakan unsur lintas lembaga, lintas sektoral, lintas

profesi dan lintas budaya baik dari kalangan pemerintah, swasta, maupun

masyarakat.

5.4 Kebijakan Peningkatan Mutu Produk Hasil Perikanan

UU No. 7/1996 tentang Pangan dan UU No. 31/ 2004 tentang Perikanan,

dan PP No. 28/2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan, telah menetapkan

42

agar produk pangan, dalam hal ini hasil perikanan, yang dipasarkan untuk

konsumsi manusia harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang ditetapkan

sehingga dapat menjamin kesehatan manusia.

Berdasarkan PP No. 57/ 2015 tentang Sistem Jaminan Mutu dan

Keamanan Hasil Perikanan serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil

Perikanan, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan adalah upaya

pencegahan dan pengendalian yang harus diperhatikan dan dilakukan sejak pra-

produksi sampai dengan pendistribusian untuk menghasilkan hasil perikanan yang

bermutu dan aman bagi kesehatan manusia, meliputi kegiatan: (1) pengembangan

dan penerapan persyaratan atau standar bahan baku; (2) pengembangan dan

penerapan persyaratan atau standar higienis, teknik penanganan, dan teknik

pengolahan; (3) pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar mutu

produk; (4) pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar sarana dan

prasarana; (5) pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar metode

pengujian; (6) pengendalian mutu; (7) pengawasan mutu; dan (8) sertifikasi.

Selanjutnya, terkait peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan dan

jaminan ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan, meliputi kegiatan: (1)

penanganan bahan baku; (2) pengolahan hasil perikanan; dan (3) distribusi hasil

perikanan. Sementara itu, jaminan ketersediaan bahan baku industri pengolahan

ikan dilakukan melalui: (1) optimalisasi produksi perikanan tangkap dan budidaya

berdasarkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan; dan (2) dengan

memastikan bahan baku Industri pengolahan ikan tidak berasal dari kegiatan

perikanan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur.

Persyaratan dan tata cara pemeriksaan mutu yang harus dipenuhi oleh

produk hasil perikanan yang berada atau didistribusikan di Indonesia diatur dalam

Kepmen KP No. 6/ 2002. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga keamanan

serta terjaminnya mutu hasil perikanan yang tidak membahayakan konsumen.

Kegiatan pemeriksaan mutu hasil perikanan dilakukan dengan cara melakukan

pengujian terhadap mutu produk di laboratorium serta melakukan pemeriksaan

terhadap dokumen-dokumen.

43

5.5 Kebijakan Industri Pengolahan Perikanan kaitanya dengan

Pengembangan Wilayah

Industrialisasi kelautan dan perikanan menurut Permen KP No.27/2012

tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan dan Perikanan mencakup

pengembangan perikanan budidaya, perikanan tangkap, dan pengolahan hasil

produk kelautan dan perikanan serta pengembangan industri garam rakyat. Tujuan

industrialisasi kelautan dan perikanan adalah terwujudnya percepatan peningkatan

pendapatan pembudidaya, nelayan, pengolah, pemasar, dan petambak garam.

Sasaran yang akan dicapai melalui industrialisasi kelautan dan perikanan adalah

meningkatnya skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai

tambah sumberdaya kelautan dan perikanan.

Industrialisasi kelautan dan perikanan dilaksanakan melalui strategi: (1)

pengembangan komoditas dan produk unggulan berorientasi pasar; (2) penataan

dan pengembangan kawasan dan sentra produksi secara berkelanjutan; (3)

pengembangan konektivitas dan infrastruktur; (4) pengembangan usaha dan

investasi; (5) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumber daya

manusia; (6) pengendalian mutu dan keamanan produk; dan (7) penguatan

pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.

Dalam rangka mendukung strategi industrialisasi kelautan dan perikanan,

secara simultan dilakukan penataan sistem manajemen, yang meliputi penataan

sistem manajemen sumberdaya kelautan dan perikanan, sistem manajemen

kelembagaan kelautan dan perikanan, serta struktur dan sistem manajemen

birokrasi dan pelayanan publik.

Industrialisasi kelautan dan perikanan dilaksanakan berdasarkan prinsip:

(1) peningkatan nilai tambah: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan

dapat meningkatkan nilai tambah berupa produk-produk olahan yang makin

beragam dan berkualitas dengan nilai jual lebih tinggi. Meningkatnya nilai

jual produk-produk berbasis kelautan dan perikanan tersebut diharapkan

mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong pertumbuhan

ekonomi berbasis kelautan dan perikanan lebih tinggi.

(2) peningkatan daya saing: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan

dapat meningkatkan daya saing produk kelautan dan perikanan melalui

44

efisiensi sistem produksi dan peningkatan produktivitas dengan hasil

berkualitas dan harga yang kompetitif, sehingga berdaya saing tinggi, baik di

pasar nasional maupun pasar global.

(3) modernisasi sistem produksi hulu dan hilir: kemajuan sektor kelautan dan

perikanan dapat dipercepat dengan modernisasi sistem produksi yang mampu

meningkatkan produk kelautan dan perikanan bernilai tambah dan berkualitas

tinggi dengan memperhatikan seluruh rantai nilai (value chain). Modernisasi

diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, percepatan, dan peningkatan skala

produksi di hulu dan hilir, sekaligus mendorong upaya pengembangan

komoditas dan produk-produk unggulan untuk menghadapi persaingan pasar

global yang makin kompetitif. Modernisasi juga diharapkan dapat mendorong

perubahan sistem produksi hulu skala UMKM dengan menggunakan teknologi

dan manajemen usaha yang lebih efisien dan menguntungkan.

(4) penguatan pelaku industri kelautan dan perikanan: industrialisasi kelautan dan

perikanan akan mendorong penguatan struktur industri, yaitu peningkatan

jumlah dan kualitas industri perikanan dan pembinaan hubungan antar entitas

sesama industri, industri hilir dan hulu, industri besar, menengah dan kecil,

serta hubungan antara industri dengan konsumen pada semua tahapan rantai

nilai (value chain). Intensitas dan kualitas hubungan antarpelaku industri,

terutama hilir dan hulu perlu mendapatkan perhatian khusus dan dilaksanakan

secara terintegrasi dan berimbang untuk menjamin supply chain, sekaligus

memperkuat sistem produksi bahan baku nasional untuk menopang kebutuhan

industri pengolahan secara berkesinambungan. Selain itu, kebijakan

industrialisasi perikanan dan investasi akan diarahkan untuk mendorong

kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara usaha skala mikro, kecil,

dan menengah dengan usaha skala besar melalui pengembangan komoditas

nasional dan produk-produk inovatif dan kompetitif di pasar global.

Diharapkan industri skala kecil dan menengah akan berkembang menjadi

bagian dari jejaring sistem produksi perikanan yang lebih luas untuk

memperkuat basis industri perikanan secara nasional.

(5) berbasis komoditas, wilayah, dan sistem manajemen kawasan dengan

konsentrasi pada komoditas unggulan: kebijakan industrialisasi kelautan dan

45

perikanan difokuskan pada komoditas unggulan sesuai dengan permintaan

pasar, baik pasar domestik maupun luar negeri. Agar terintegrasi

pelaksanaannya dilakukan berbasis wilayah dan sistem manajemen kawasan,

yaitu berdasarkan pada distribusi sumberdaya alam di wilayah-wilayah

potensial dan dengan sistem manajemen kawasan di sentra-sentra produksi

potensial dan prospek pertumbuhannya di masa depan. Secara geografis

sentra-sentra industri pengolahan yang akan dikembangkan ditetapkan

berdasarkan posisinya secara ekonomi-geografis terhadap sentra-sentra

produksi bahan baku di kawasan sekitarnya. Pembangunan infrastruktur

seperti jalan, pengairan, listrik, dan komunikasi dilaksanakan secara

terintegrasi untuk mengembangkan konektivitas antar sentra-sentra produksi,

sebagai simpul-simpul jejaring ekonomi. Konektivitas antar simpul-simpul

jejaring ekonomi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sistem produksi

dan perdagangan di kawasan-kawasan industri perikanan.

(6) kesimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan

lingkungan yang berkelanjutan: industrialisasi kelautan dan perikanan akan

dilaksanakan sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu

keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam dan perlindungan

lingkungan berjangka panjang. Prinsip tersebut sangat penting untuk

memberikan jaminan keberlanjutan ekonomi kelautan dan perikanan dan tidak

merusak lingkungan. Konsep ini juga bermanfaat untuk memenuhi standar

kualitas manajemen yang dituntut oleh konsumen internasional. Pembangunan

industri perikanan akan dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang untuk

memberikan jaminan agar peningkatan intensitas dan skala produksi tidak

menyebabkan kerusakan lingkungan.

(7) perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat modern (transformasi sosial):

industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan dapat mendorong perubahan

masyarakat agraris menjadi masyarakat industri yang modern, melalui

perubahan cara berfikir dan perilaku masyarakat sesuai karakteristik

masyarakat industri.

46

5.6 Analisis Kebijakan Pemerintah yang Berkaitan Pengembangan

Industri Hulu-Hilir dan Kewilayahan

Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar

rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak

(tentang organisasi, atau pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau

maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran

tertentu (Balai Pustaka, 1991). Analisis Kebijakan Pemerintahan adalah

penggunaan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan

memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat

dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan

(Dunn, 1988). Analisis kebijakan, dalam pengertiannya yang luas, melibatkan

hasil pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Tujuan analisis

kebijakan adalah untuk menyediakan informasi untuk para pengambilan kebijakan

yang digunakan sebagai pedoman pemecahan masalah kebijakan secara praktis,

dan juga agar dapat digunakan sebagai rujukan untuk pengembangan/ pembuatan

kebijakan untuk kedepannya.

Berikut ini analisis kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan

industri hulu-hilir dan kewilayahan dan perlu ditindak lanjuti lebih lanjut karena

bersifat tidak memihak nelayan kecil.

Industrialisasi lebih menitikberatkan kepada pertumbuhan ekonomi, yang

dominannya hanya memikirkan bagaimana produktivitas meningkat tanpa

memikirkan apakah dampak positifnya diminati oleh semua masyarakat

perikanan. Dalam industrialisiasi ini tentu lebih banyak mengambil keuntungan

adalah nelayan komersial dan industri, sementara nelayan tradisional yang lebih

dominan (89,95%) di Indonesia hanya menikmati sedikit saja keuntungan.

Nelayan-nelayan tradisional ini bertindak sebagai buruh kepada para pengusaha

perikanan yang menguasai industri perikanan. Tentu saja kebijakan ini belum

menyentuh nelayan atau mungkin tidak akan dapat menyentuh nelayan karena

kebijakan ini tidak pro kepada nelayan kecil.

Industrialisasi perikanan bukan berarti terjadi transformasi nelayan

tradisional menjadi nelayan industrial dengan semua atributnya. Industrialisasi

perikanan seharusnya dimaknai sebagai upaya transformasi budaya yang

47

membawa perubahan dari sekadar produksi menjadi produksi dengan mutu

produk yang baik: memiliki nilai ekonomi, memperhatikan keamanan pangan,

serta keberlanjutan sumber daya. Karena itu, nelayan tetap didorong untuk

meningkatkan produksi sesuai daya dukung sumber daya sehingga mampu

bersaing dalam persaingan pasar.

Dalam Permen KP No. 27/2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi

Kelautan dan Perikanan, disebutkan bahwa prinsip pelaksanaannya adalah melalui

modernisasi yang didukung dengan arah kebijakan terintegrasi antara kebijakan

makro, pengembangan infrastruktur, sistem usaha dan investasi, ilmu pengetahuan

dan teknologi, serta sumber daya manusia untuk kesejahteraan rakyat. Jadi, nilai

tambah, produktivitas, dan modernisasi menjadi kata kuncinya. Industrialisasi

perikanan berarti mengindustrikan perikanan melalui trasnformasi sosial-ekonomi

dan budaya perikanan dengan nilai-nilai industrialisasi.

48

Tabel 4 Analisis Undang-undang yang Berkaitan dengan Kebijakan Industri Perikanan

No. KEBIJAKAN YANG MENGHAMBAT INDUSTRIALISASI PERIKANAN KETERANGAN HASIL ANALISIS

1. Peraturan Menteri KP Nomor 56 Tahun 2014, Permen KP Nomor 10 Tahun 2015 dan SE Sekjen KP No. B-195/SJ.II/2016 dan No. B-755/SJ.VI/2016

Kapal-kapal ikan buatan luar negeri yang dimiliki Perusahaan Lokal tidak diperbolehkan operasi (tidak diberikan izin perpanjangan operasi) padahal Perusahaan dan kapal telah dianalisa dan evaluasi (Anev) dan dinyatakan lulus/tidak terindikasi IUU

Menghambat suplai bahan baku dan terjadi PHK pada tenaga kerja.

Sebaiknya segera dikeluarkan izin untuk kapal impor dengan syarat berbadan hukum Indonesia, lulus anev, legal, dan tidak terindikasi IUU Fishing.

2. Peraturan Menteri KP Nomor 57 Tahun 2014

Tentang transhipment

Adanya larangan transhipment hasil penangkapan ikan di tengah laut dimana sebelumnya transshipment diperbolehkan asalkan dilakukan antar kapal dalam satu kesatuan manajemen dengan persyaratan ketat

Pengkajian ulang transhipment dengan pengawasan dan izin yang ketat, karena transhipment mampu menghemat BBM dan menjaga mutu ikan segar

3. Permen KP No. 2/Permen KP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan Keppres No. 85 Tahun 1982

Adanya larangan KKP untuk penggunaan 17-macam alat tangkap berjenis pukat termasuk alat tangkap cantrang yang sudah lama digunakan secara tradisional oleh nelayan, juga pelarangan alat tangkap Pukat Udang (PU).

Perlu ditinjau kembali karena tidak semua alat tangkap merusak lingkungan dan secepatnya dicari solusi mengenai alat tangkap yang lebih baik atau sama efektifitasnya dengan cantrang.

4. Permen KP nomor 42/Permen KP/2014 tentang perubahan keempat atas peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 02/Men/2011 tentang Alur penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia.

Adanya pembatasan GT bagi kapal penangkap ikan. Perlu pengaturan zonasi penangkapan dan jalur trayeknya.

5. Peraturan pajak PER.20.PJ.2015 , Surat Edaran Dirjen Pajak SE No. 33.PJ.2015, dan Keputusan Dirjen Pajak nomor KEP.126.PJ.2015

Adanya beban pajak tambahan untuk PBB Sektor Lainnya untuk Usaha Perikanan Tangkap (PBB perikanan) diterapkan berdasarkan jumlah kapal yang dimiliki dan diberlakukan tanpa memperhatikan kondisi kapal bisa operasi atau tidak

menyebabkan adanya tambahan biaya operasional yang tinggi

49

No. KEBIJAKAN YANG MENDUKUNG INDUSTRIALISASI PERIKANAN KETERANGAN HASIL ANALISIS

1 PP No. 57 tahun 2015 tentang Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil Perikanan

Standar dan sertifikasi jaminan mutu industri perikanan, diharapkan mampu menaikan daya saing produk indonesia di pasar internasional

Dengan standar dan jaminan mutu yang baik, produk perikanan Indonesia dituntut untuk mampu menyaingi produk pasar internasional.

2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (panulirus spp), Kepiting (scylla spp) dan Rajungan (portunus pelagicus spp)

Mampu menjaga kelestarian sumber daya perikanan dan keberlanjutan usaha perikanan (sustainability),

perlu pelatihan dan pendampingan yang intensif karena masih sulit diaplikasikan oleh nelayan.

3 instruksi presiden (inpres) no 7 tahun 2016 yang diterbitkan pada bulan Agustus 2016 tentang percepatan Industri Perikanan

Menginstruksikan kepada 25 Pejabat negara/kementrian terkait untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk melakukan percepaan industri perikanan nasional

Perlu ditinjau kembali untuk target peningkatan produksi perikanan tangkap dan budidaya dengan tetap memperhatikan potensi lestari (Maximum Sustainability of Yield)

Pertumbuhan jumlah industri tetap memperhatikan kapasitas terpasang dan utilitas yang tinggi.

4 Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, serta Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan Mutu dan Gizi Pangan

Menetapkan agar produk pangan dalam hal ini hasil perikanan yang dipasarkan untuk konsumsi manusia harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sehingga dapat menjamin kesehatan manusia.

Mendukung program industralisasi perikanan

5 Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.27/Men/2012 Tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan Dan Perikanan

Sasaran yang akan dicapai melalui industrialisasi kelautan dan perikanan adalah meningkatnya skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumberdaya kelautan dan perikanan.

Perlu dibuat regulasi untuk memudahkan tumbuhnya industri perikanan skala kecil dan menengah yang tersebar di Indonesia agar mampu menghasilkan produk berkualitas dan berdayasaing tinggi.

50

BAB VI ANALISIS STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH

6.1 Analisis Potensi Kewilayahan Industri Perikanan Nasional

(1) Analisis Location Quetions (LQ)

Analisis LQ digunakan untuk mengamati keunggulan-keunggulan

kompetitif suatu wilayah terhadap wilayah sekitarnya dan untuk menentukan

lapangan usaha (sektor) basis suatu daerah. Keunggulan LQ terletak kepada

kemampuannya untuk menunjukkan tingkat keunggulan relatif dari suatu

lapangan usaha di suatu daerah terhadap lapangan usaha tersebut di daerah-daerah

lainnya dalam suatu negara (wilayah referensi). Analisis LQ Nasional yang

meliputi 33 provinsi dapat dilihat pada Gambar 3. Sementara 10 provinsi dengan

nilai LQ tertinggi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Analisis Nilai LQ Nasional

51

Gambar 4. Sepuluh Provinsi dengan Nilai LQ Tertinggi

Berdasarkan Gambar 4, nilai LQ untuk Provinsi Maluku, Sulawesi Barat,

Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Bengkulu, Maluku Utara, Lampung, Sulawesi

Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan lebih dari 1. Hal ini menunjukkan

bahwa lapangan usaha yang bersangkutan memiliki keunggulan relatif yang lebih

tinggi dari rata-rata (lapangan usaha basis). Lapangan usaha basis adalah lapangan

usaha yang mampu memenuhi atau melayani kebutuhan atau pasar di daerah

sendiri, bahkan dapat mengekspor barang dan jasa yang dihasilkannya ke luar

daerah yang bersangkutan. Adapun lapangan usaha non basis adalah lapangan

usaha yang hanya mampu memenuhi atau melayani kebutuhan atau pasar

daerahnya sendiri, atau bahkan harus mengimpor dari luar daerah tersebut.

Penyebab kemajuan sektor basis adalah adanya perkembangan jaringan

transportasi dan komunikasi, perkembangan pendapatan dan penerimaan

daerah, perkembangan teknologi, dan perkembangan prasarana ekonomi dan

sosial. Sementara itu, penyebab kemunduran sektor basis adalah adanya

perubahan permintaan dari luar daerah dan kehabisan cadangan sumber daya.

(2) Analisis Shift Share (SSA)

Analisis keunggulan kompetitif wilayah dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui pergeseran struktur ekonomi dari suatu sektor dibandingkan dengan

cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pergeseran struktur

52

ekonomi tersebut dapat menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness)

dari suatu sektor ekonomi serta menjelaskan kinerja sektor tersebut. Hasil analisis

SSA Nasional dapat dilihat pada Gambar 5 dan 10 provinsi dengan perhitungan

nilai SSA tertinggi dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 5. Hasil Perhitungan Nilai SSA Nasional

Gambar 6. Sepuluh Provinsi dengan Nilai SSA Tertinggi

1,15

0,90 0,860,76 0,70

0,61 0,610,50 0,47 0,45

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

1,40

Sula

wes

i Sel

atan

Sula

wes

i Bar

at

Sula

wes

i Uta

ra

Sula

wes

i Ten

gah

Mal

uku

Sula

wes

i Ten

ggar

a

Gor

onta

lo

Mal

uku

Uta

ra

Lam

pung

Ben

gkul

u

Nila

i SSA

53

Berdasarkan hasil analisis komponen pertumbuhan bernilai positif yang

menunjukkan sektor perikanan termasuk kedalam sektor yang mengalami

pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi wilayah dapat terus dikembangkan dengan

mengkaji pengembangan perwilayahan. Pengembangan wilayah merupakan

strategi memanfaatkan dan mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan

kelemahan) dan eksternal (peluang dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan

peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi wilayah akan

barang dan jasa yang merupakan fungsi dari kebutuhan baik secara internal

maupun eksternal wilayah. Faktor internal ini berupa sumber daya alam, sumber

daya manusia dan sumber daya teknologi, sedangkan faktor eksternal berupa

peluang dan ancaman yang muncul seiring dengan interaksinya dengan wilayah

lain.

Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan

pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait

dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3)

keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep

wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-

sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non

alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan

wilayah perencanaan. Pengembangan wilayah dalam jangka panjang lebih

ditekankan pada pengenalan potensi sumber daya alam dan potensi

pengembangan lokal wilayah yang mampu mendukung (menghasilkan)

pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat, termasuk

pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi kendala pembangunan yang ada

di daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Secara umum, konsep

pengembangan wilayah terbagi atas empat (Komet 2000) yaitu: (1)

Pengembangan wilayah berbasis sumberdaya; (2) Pengembangan wilayah

berbasis komoditas unggulan; (3) Pengembangan wilayah berbasis efisiensi; dan

(4) Pengembangan wilayah menurut pelaku pembangunan.

54

6.2 Isu dan Permasalahan Industrialisasi Perikanan

Berdasarkan hasil pengamatan dan data sekunder yang terkumpul,

diketahui bahwa permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan perikanan

berkaitan dengan kinerja diantaranya adalah: mutu ikan hasil tangkapan, jaminan

mutu, pelayanan pelanggan, dan kemampuan teknologi.

(1) Mutu Ikan Hasil Tangkapan

Karakteristik bahan baku sangat mempengaruhi proses pengolahan dan

mutu produk akhir yang dihasilkan. Produk akhir dengan mutu baik dihasilkan

dari bahan baku yang bermutu baik. Pengaruh mutu bahan baku bagi keunggulan

nilai industri sangat besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi mutu

bahan baku terdiri dari penerapan Good Handling Practices (GHdP) pada

aktivitas budidaya ataupun penangkapan hingga penanganan di industri, fasilitas

penanganan perikanan yang dipasok untuk industri, dan penerapan sanitasi pada

pekerja, peralatan penanganan perikanan serta lingkungan.

a. Penerapan Good Handling Practices (GHdP)

Penerapan GHdP dapat meminimalkan penurunan mutu pada produk

perikanan yang dipasok ke industri, sehingga pengelola dan pekerja serta pemasok

perikanan untuk industri harus menerapkan GHdP dengan baik. Nelayan harus

memiliki pengetahuan dan keterampilan penanganan perikanan yang baik saat

penangkapan dan penyimpanan di kapal untuk meminimalkan kerusakan produk

perikanan.

Bagi industri pengolahan berorientasi ekspor, pasokan perikanan dengan

mutu yang baik setiap waktu dan sesuai jumlah yang dibutuhkan sangat

diperlukan. Industri-industri tersebut menggunakan perikanan yang berasal dari

hasil budidaya ataupun tangkapan kapal perusahaan sendiri, pemasok dan nelayan

mitra yang telah dipercaya. Industri atau pemasok melakukan pengawasan

terhadap penanganan perikanan mulai penangkapan hingga distribusi ke industri

untuk menjamin mutu hasil perikanan.

Penanganan yang baik terhadap bahan baku ikan sangat penting. Potensi

kerusakan fisik pada produk perikanan seperti memar harus diminimalkan pada

setiap penanganan produk perikanan dalam rantai pasok produk perikanan mulai

55

dari budidaya atau penanganan di kapal, pengangkutan hingga distribusi yang

dilakukan dengan cepat.

Pihak industri dapat memberikan bimbingan dan pengetahuan tentang

perikanan termasuk juga pananganan hasil budidaya dan tangkap kepada nelayan

mitra. Industri akan menolak bahan baku ikan yang dipasok oleh nelayan dengan

karakteristik di bawah standar akibat penanganan yang tidak baik. Terjadinya

benturan produk perikanan pada bak penampung dan meja kerja dapat

menimbulkan kerusakan bahan baku yang akan diolah. Produk perikanan dengan

daging yang memar sudah tidak memenuhi syarat organoleptik untuk dijadikan

produk olahan perikanan.

b. Fasilitas Penanganan Perikanan yang Dipasok untuk Industri

Pasokan bahan baku perikanan dengan mutu baik ditunjang oleh

tersedianya fasilitas penanganan yang baik. Fasilitas penanganan ikan harus

mampu meminimalkan terjadinya penurunan mutu perikanan akibat kerusakan

fisik maupun kontaminasi. Fasilitas terpenting adalah berkaitan dengan terjaganya

rantai dingin pada aktivitas distribusi hasil perikanan.

Sebagai contoh, kapal-kapal nelayan yang memasok ikan ke industri masih

banyak yang belum dilengkapi dengan refrigerator untuk mendinginkan ikan

sehingga es balok masih digunakan sebagai media pendingin. Kebutuhan es balok

nelayan mitra dicukupi dari es balok yang diproduksi oleh unit penghasil es balok

industri. Ruang penyimpanan ikan berpendingin baru terdapat pada kapal

pengangkut ikan. Kapal pengangkut tersebut mengangkut ikan dari nelayan mitra

di laut serta pos-pos pembelian (pengumpulan bahan baku ikan hasil tangkapan)

yang letaknya jauh dari lokasi.

c. Penerapan Sanitasi pada Pekerja dan Peralatan Penanganan Ikan

Meningkatnya kepedulian dan perhatian konsumen terhadap kebersihan

dan higienitas produk pangan berdampak pada semakin perlunya penerapan

sanitasi dalam setiap proses pengolahan maupun komoditas pangan yang

diperdagangkan. Melalui penerapan sanitasi pekerja dan peralatan penanganan

produk perikanan, potensi bahaya pada bahan baku industri pengolahan perikanan

akibat kontaminasi dapat diminimalkan. Industri dengan pasar utama adalah pasar

56

ekspor, penerapan sanitasi oleh pekerja maupun peralatan penanganan ikan sangat

diperhatikan.

Penerapan sanitasi dimulai dari kegiatan budidaya ataupun penangkapan

perikanan dengan menjaga kebersihan tempat dan wadah penyimpanan produk

perikanan, serta nelayan. Standar sanitasi peralatan yang digunakan dalam

penanganan perikanan diterapkan oleh perusahaan. Fasilitas penting yang

berkaitan dengan sanitasi bahan baku maupun lingkungan penanganan bahan baku

adalah ketersediaan air bersih.

(2) Jaminan Mutu

Penolakan produk hasil perikanan Indonesia di pasar global diantaranya

disebabkan oleh kurang cermatnya penanganan mutu pada aktivitas produksi di

bagian hulu hingga aktivitas produksi di bagian hilir (Retnowati, 2007). Bagi

industri pengolahan berbasis ekspor, jaminan mutu terhadap bahan baku dan

produk serta dimilikinya sertifikat mutu merupakan syarat utama untuk

memperoleh kepercayaan konsumen terhadap mutu produk yang dihasilkan.

a. Jaminan mutu bahan baku

Jaminan mutu bahan baku diperoleh melalui pengawasan mutu terhadap

setiap ikan segar yang dipasok ke industri. Pengawasan mutu meliputi penilaian

kesesuaian mutu ikan yang dipasok dengan standar mutu yang digunakan oleh

industri. Standar bahan baku pada industri berperan dalam hal pengendalian mutu,

mempermudah proses pengolahan serta keseragaman produk akhir yang

dihasilkan. Standar bahan baku yang diterapkan oleh industri perikanan meliputi

standar organoleptik, fisik, kimia, dan mikrobiologi.

Standar fisik bahan baku terdiri dari ketentuan ukuran bobot ikan dan suhu

ikan. Standar ukuran bahan baku ikan diperlukan untuk mempermudah

dihasilkannya produk akhir sesuai dengan standar permintaan pelanggan. Suhu

ikan pada saat diterima oleh bagian penerimaan bahan baku menjadi indikator

adanya perubahan mutu pada ikan selama transportasi menuju industri.

b. Jaminan mutu produk

Jaminan mutu produk diperoleh melalui pengawasan titik kritis

pengolahan serta kesesuaian produk dengan standar produk dan pengolahan yang

57

digunakan oleh perusahaan. Standar produk meliputi karakteristik fisik, kimia,

dan mikrobiologi. Standar fisik merupakan kriteria fisik produk berupa

penampilan dan ukuran. Kesesuaian produk dengan batas toleransi bahaya pada

standar kimia dan mikrobiologi menjadi jaminan bagi konsumen bahwa produk

yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi.

c. Sertifikasi mutu

Sertifikasi mutu berkaitan erat dengan diperolehnya sertifikat jaminan

mutu oleh perusahaan. Peran penting kepemilikan sertifikat mutu oleh industri

adalah mampu meningkatkan daya saing industri melalui kepercayaan pelanggan

dan penerimaan produk yang dihasilkan oleh industri tersebut. Untuk

meningkatkan daya saing industri pengolahan ikan Indonesia, Permen KP No.

01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil

Perikanan mengharuskan setiap industri pengolahan ikan untuk memiliki sertifikat

jaminan mutu yang meliputi Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Sertifikat

Penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) atau Hazard Analysis

Critical Control Point (HACCP) dan Sertifikat Kesehatan.

Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) adalah sertifikat yang diberikan

kepada unit pengolahan ikan yang telah menerapkan Good Manufacturing

Practices (GMP), serta memenuhi persyaratan Standard Sanitation Operating

Procedure (SSOP) dan Good Hygiene Practices (GHP) sesuai dengan standar dan

regulasi dari Otoritas Kompeten. Sertifikat Penerapan PMMT atau HACCP

merupakan sertifikat yang diberikan kepada perusahaan yang telah menerapkan

konsep HACCP sebagai sistem mutu. Sertifikat Kesehatan adalah sertifikat yang

dikeluarkan oleh laboratorium yang ditunjuk oleh pemerintah yang menyatakan

bahwa ikan dan hasil perikanan telah memenuhi persyaratan jaminan mutu dan

keamanan untuk dikonsumsi manusia.

Pada kurun waktu 2010-2015, jumlah peningkatan sertifikasi Unit

Pengolah Ikan (UPI) telah berhasil menurunkan penolakan ekspor produk

perikanan dalam negeri (Gambar 7). Dengan demikian jaminan mutu merupakan

faktor penting dan berperan dalam Industrialisasi Perikanan Nasional. Kebijakan

industrialisasi diharapkan menjadikan program peningkatan mutu produk melalui

peningkatan jumlah UPI yang tersertifikasi menjadi priorotas, terutama untuk UPI

58

skala kecil dan menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai 60.885 unit (KKP

2015).

Sumber: KKP 2015, diolah

Gambar 7. Hubungan Antara Jumlah UPI Bersertifikat SKP dan Jumlah Penolakan Ekspor

d. Ketertelusuran Informasi Produk

Dokumen ketertelusuran informasi produk menjadi pelengkap jaminan

mutu dan semakin diperlukan bagi produsen maupun konsumen dalam bisnis

pangan global. Negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat telah

memberlakukan peraturan sistem ketertelusuran bagi produk perikanan yang

dipasarkan di negaranya. Pelaku usaha yang memasarkan produk ikan olahan di

negara-negara tersebut harus mampu menunjukkan informasi yang berkaitan

dengan produk seperti negara asal, metode produksi dan area penangkapan

(NIFA, 2000; Liu, 2002).

Ketertelusuran memiliki makna kemampuan untuk menelusuri sesuatu, di

mana informasi terkait harus dapat diperoleh ketika diperlukan. Informasi yang

terkait dengan pemasok, asal ikan tangkapan yang diperoleh, serta waktu

pengiriman bahan baku diperlukan dalam dokumen ketertelusuran bahan baku dan

sebagai sumber evaluasi perusahaan terhadap kinerja pemasok ikan. Dokumen

ketertelusuran produk mencakup informasi jenis produk yang dihasilkan,

59

perlakuan dalam proses pengolahan, serta pihak yang bertanggung jawab terhadap

produk yang dihasilkan. Bagi industri pengolahan ikan, pelaksanaan sistem

ketertelusuran berkaitan erat dengan jaminan keamanan pangan, mutu dan

pelabelan. Pelabelan produk bukan berarti seluruh informasi yang terkait dengan

produk dicantumkan pada label produk. Berdasarkan standar TraceFish yang

diterapkan di negara-negara Uni Eropa, pelabelan produk dalam sistem

ketertelusuran adalah pelabelan setiap unit barang yang diperdagangkan dengan

suatu nomor ID yang unik (Liu, 2002). Nomor ID tersebut mempermudah

pengguna melakukan penelusuran informasi pada dokumen ketertelusuran produk.

(3) Pelayanan Pelanggan

Meningkatkan kepercayaan pelanggan terhadap produsen dan produk yang

dihasilkannya dapat dilakukan dengan memenuhi kepuasan pelanggan terhadap

produk sesuai dengan yang diinginkan. Dalam perdagangan bebas, kepercayaan

pelanggan berperan memperkuat daya saing perusahaan. Bagi industri yang

memasarkan hampir 90% produk yang dihasilkannya ke pasar ekspor, memenuhi

kepuasan pelanggan sangat diperlukan untuk mempertahankan pangsa pasarnya

dari pesaing perusahaan luar negeri maupun domestik.

Perusahaan pengolahan ikan di Indonesia sudah memiliki kesadaran dan

usaha yang cukup baik untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Rata-rata industri

pengolahan ikan di Indonesia telah mampu mengidentifikasi dan memenuhi

keinginan pembeli (Priyambodo, 2006). Dalam mencapai kepuasan pelanggan,

terdapat tiga hal yang diterapkan oleh industri, yaitu kesesuaian produk dengan

permintaan pelanggan, kontinuitas pasokan produk untuk pembeli, serta

pengiriman produk tepat waktu dan jumlah. Pelayanan pelanggan yang baik akan

optimal jika industri mampu memperoleh keuntungan yang maksimal dengan nilai

utilitas produksi yang tinggi (lebih dari 80%). Kondisi eksisting UPI menengah

dan besar saat ini memiliki utilitas yang sangat rendah, yaitu kurang dari 28%.

60

26

26,2

26,4

26,6

26,8

27

27,2

27,4

Ace

hSu

mut

Sum

bar

Sum

sel

Ben

gkul

uLa

mpu

ngB

abel

Kep

riD

KI J

akar

taJa

bar

Jate

ngJa

timB

ante

nB

ali

NTB

NTT

Kal

bar

Kal

teng

Kal

sel

Kal

timK

alta

raSu

lut

Sulte

ngSu

lsel

Sultr

aG

oron

talo

Sulb

arM

aluk

uM

alut

Paba

rPa

pua

Util

itas (

%)

Provinsi

Sumber: KKP 2015, diolah

Gambar 8. Utilitas UPI Menengah-Besar di Indonesia

a. Kesesuaian produk dengan permintaan pelanggan

Pelanggan dari Amerika Serikat dan UE lebih menyukai produk dengan

ukuran yang lebih besar dan bentuk seragam. Pada umumnya produk fillet ikan

yang dipesan adalah fillet ikan tanpa kulit. Konsumen dari Jepang lebih menyukai

produk dengan ukuran tertentu yang kecil dan unik serta bentuk beragam. Fillet

ikan yang dipesan masih memiliki kulit yang menempel pada daging ikan.

b. Ketersediaan pasokan produk untuk konsumen

Kemampuan memasok produk setiap saat sesuai permintaan pelanggan

merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi terutama oleh perusahaan

berbasis ekspor. Pada industri pengolahan ikan laut tangkapan, kemampuan

memasok produk secara berkesinambungan tidak mudah karena sangat berkaitan

dengan pasokan bahan baku yang juga tidak mudah diperoleh setiap waktu.

Pasokan bahan baku yang berkesinambungan merupakan permasalahan yang

dihadapi oleh industri pengolahan ikan laut tangkap skala besar mupun kecil di

Indonesia hingga saat ini. Faktor iklim atau cuaca dan tingginya persaingan

61

memperoleh ikan tangkapan merupakan faktor utama yang mempengaruhi

perolehan bahan baku perusahaan.

c. Pengiriman Produk Tepat Jumlah dan Tepat Waktu

Kemampuan pengiriman produk tepat jumlah dan tepat waktu ditentukan

oleh tingkat produktivitas perusahaan maupun infrastruktur sistem transportasi

dan komunikasi yang menunjang distribusi produk tepat waktu. Infrastruktur

transportasi dan komunikasi menjadi faktor penunjang terkirimnya produk secara

tepat waktu. Namun saat ini di Indonesia, kondisi infrastruktur sistem transportasi

dan komunikasi belum mampu mendukung distribusi produk perikanan kepada

konsumen secara tepat waktu (Priyambodo, 2006).

(4) Kemampuan Teknologi

Peran teknologi dalam mendukung kegiatan operasional perusahaan untuk

mewujudkan kinerja mutu yang baik di industri pengolahan ikan sangat besar.

Untuk meningkatkan kinerja industri maka salah satu upaya yang ditempuh adalah

dengan meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi dan penggunaan

regenerasi penggunaan teknologi sesuai tuntutan pasar (Rahmat dan Priyambodo,

2006). Kemampuan teknologi perusahaan dapat diketahui dari kemampuannya

menggunakan teknologi untuk menciptakan nilai tambah melalui rantai

kegiatannya. Dengan kemampuan teknologi yang dimiliki, perusahaan akan

mampu meningkatkan kemampuan produksinya, mampu beradaptasi dengan

perubahan lingkungan bisnis dan bertahan dalam jangka panjang.

Kemampuan teknologi suatu perusahaan meliputi kemampuan strategis,

internal dan eksternal. Kemampuan strategis merupakan kemampuan perusahaan

dalam mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan terhadap perusahaan pesaing

ataupun kemampuan untuk meraih peluang-peluang pasar yang masih ada.

Kemampuan internal merupakan kemampuan untuk mengelola sumberdaya dan

teknologi yang dimiliki perusahaan serta kemampuan menciptakan atau

memenuhi kebutuhan organisasi perusahaan. Kemampuan eksternal adalah

kemampuan industri berinteraksi dan menjalin hubungan dengan pihak luar terkait

dengan usaha industrinya (Pratiwi, 2006).

62

Kemampuan dan penggunaan teknologi yang tepat pada industri perikanan

akan meningkatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Analisis kondisi

nilai tambah pada industri pengolahan ikan dilakukan dengan menggunakan

Metode Hayami (1987), melalui perhitungan nilai tambah per kilogram bahan

baku untuk satu kali kegiatan pengolahan yang menghasilkan suatu produk

tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat

dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu faktor teknis dan pasar. Faktor teknis

yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku dan tenaga kerja,

sedangkan faktor pasar yang berpengaruh ialah harga output, upah kerja, harga

bahan bakar dan input lain. Hasil perhitungan nilai tambah beberapa produk

perikanan dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.

Keterangan: A: Penanganan di TPI; B: Pemasaran Ikan Segar; C: Kerupuk Ikan; D: Jambal Roti; E: Fillet di Pasar Lokal; F: fillet di Pasar Ekspor

Gambar 9. Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan Perikanan

0

5

10

15

20

25

30

35

A B C D E F

Nila

i Tam

bah

dan

Keu

ntun

gan

(%)

Aktivitas Pengolahan Perikanan pada Rantai Pasok

Nilai tambah Keuntungan

63

Keterangan: A: Pembekuan; B: Penggaraman/pengeringan; C Pemindangan; D Pengasapan/Pemanggangan; E: Fermentasi; F: Pereduksian/Ekstraksi; G: Pelumatan Daging Ikan; H: Penanganan Produk Segar; I: Pengolahan Lainnya

Gambar 10 Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan Perikanan di Jawa Timur

0100002000030000400005000060000700008000090000

100000

A B C D E F G H I

Nila

i Tam

bah

(Rp)

Kegiatan Pengolahan di Jawa Timur

Nilai Tambah Keuntungan

64

6.3 Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan Perikanan

Diagram tulang ikan dapat menunjukkan sebab akibat yang berguna untuk

mencari atau menganalisis penyebab timbulnya masalah dari industrialisasi

perikanan di Indonesia. Penyebab utama permasalahan dalam industrialisasi

perikanan, khususnya terkait pengolahan ikan, di kelompokan menjadi empat

bagian yang terdiri atas jaminan mutu, mutu bahan baku, pelayanan pelanggan,

dan kemampuan teknologi. Secara detail analisis tulang ikan untuk mengetahui

kinerja industri pengolahan perikanan disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan

Dalam rangka menangani permasalahan terkait pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengolahan ikan, pada Tabel 5 diuraikan strategi penanganan masalah dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri pengolahan ikan.

Tabel 5. Uraian Jenis Masalah dan Strategi Penanganan Permasalahan

No. Jenis Masalah Strategi Perbaikan Penyebab Masalah

1. Permasalahan terkait Mutu dan Jaminan Mutu Bahan Baku

(1) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna yang mendukung terjaminnya mutu ikan selama transportasi, termasuk untuk penyimpanan dan pendinginan ikan di kapal, dengan harga lebih terjangkau

(2) Peningkatan pengetahuan dan kesadaran nelayan, pekerja di TPI dan pihak pembeli untuk menerapkan kalayakan dasar jaminan mutu dan keamanan pangan

(3) Peningkatan jaminan mutu dan keamanan

65

No. Jenis Masalah Strategi Perbaikan Penyebab Masalah

pangan di TPI (4) Perbaikan sanitasi lingkungan di sekitar TPI

dan perairan pelabuhan pendaratan ikan (5) Peningkatan pengetahuan dan kesadaran pelaku

terkait untuk menerapkan GHdP dan sanitasi pada penanganan ikan yang ditransportasikan

2. Permasalahan terkait Mutu dan Jaminan Mutu Produk

(1) Penyediaan teknologi tepat guna berupa peralatan dan teknologi produksi yang mendukung perbaikan mutu dan keamanan pangan produk bagi usaha kecil dan menengah dengan modal terbatas

(2) Peningkatan penerapan jaminan mutu produk maupun dalam kegiatan produksinya

(3) Peningkatan pengetahuan pelaku usaha terhadap standar mutu bahan baku dan produk

(4) Peningkatan penerapan GMP dan SSOP serta upaya penerapan HACCP dalam kegiatan produksi

(5) Peningkatan pemahaman tentang sertifikasi pada pelaku usaha pengolahan ikan

(6) Pengembangan pelayanan sertifikasi mutu pada pelaku usaha pengolahan ikan

(7) Peningkatan pemahaman mengenai ketertelusuran informasi

(8) Perbaikan sistem pencatatan informasi produk maupun bahan baku pada usaha pengolahan ikan serta aliran sumber pasokan oleh pihak - pihak yang terkait dalam rantai pasok ikan (pemasok dan pengelola TPI)

3. Permasalahan terkait Peningkatan Pelayan Pelanggan

(1) Peningkatan kemampuan market intelligence untuk membaca preferensi pelanggan/calon pelanggan

(2) Peningkatan mutu produk dengan meningkatkan standar pengawasan mutu

4. Lemahnya Kemampuan Teknologi

(1) Penyediaan akses terhadap teknologi tepat guna yang lebih baik

(2) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM industri pengolahan ikan skala kecil untuk menggunakan teknologi atau peralatan yang lebih baik

(3) Bantuan modal bagi usaha kecil dan menengah

6.4 Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah salah satu metode perencanaan strategis yang

digunkan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weakness),

peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam strategi industrialisasi

66

perikanan untuk mendukung pengembangan ekonomi wilayah. Analisis SWOT di

lakukan dengan menguraikan parameter dari masing-masing kekuatan,

kelemahan, peluang dan ancaman untuk selanjutnya disusun ke dalam sebuah

matriks (Tabel 6).

Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai kekuatan (strengths)

industrialisasi perikanan adalah: (1) potensi sumber daya laut yang besar, meliputi

perikanan tangkap, perikanan budidaya dan rumput laut; (2) pasar domestik yang

besar dengan konsumsi per kapita hasil perikanan dan produk turunannya; (3)

dukungan pemerintah dan akademisi bagi pengembangan industri pengolahan

hasil laut; (4) jumlah industri UKM perikanan yang melimpah; dan (5) kebijakan

daerah.

Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai kelemahan (weakness)

industrialisasi perikanan adalah: (1) ekspor produk hasil laut masih rendah; (2)

keterbatasan suplai bahan baku terutama musim paceklik; (3) belum

terintegrasinya teknologi penangkapan ikan sampai dengan pengolahannya; (4)

SDM dibidang industri pengolahan hasil laut masih belum siap pakai; (5)

infrastruktur untuk mendukung pengembangan industri pengolahan hasil laut

masih terbatas; (6) kapasitas produksi industri pengolahan ikan belum optimal; (7)

jaminan kualitas dan mutu produk UKM masih sangat rendah; (8) kesenjangan

pembangunan wilayah; dan (9) sumber daya perikanan tangkap yang tidak

meratanya

Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai peluang (opportunities)

industrialisasi perikanan adalah: (1) kebutuhan konsumsi dunia produk hasil

perikanan yang semakin meningkat (besarnya peluang ekspor); (2) peluang

diversifikasi produk hasil laut; (3) peluang pengembangan industri hasil laut non

pangan dengan nilai tambah yang tinggi; dan (4) kuantitas SDM yang banyak dan

tersebar di berbagai sentra hasil laut.

Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai ancaman (threats) industrialisasi

perikanan adalah: (1) isu tentang food safety; (2) persyaratan dan standardisasi

produk yang mengacu pada standar internasional, masih sulit diadopsi dan

diterapkan; (3) persyaratan ekspor semakin ketat; (4) penerapan integrated

technology negara pesaing; (5) persaingan yang sangat ketat dalam mendapatkan

67

bahan baku ikan segar; dan (6) produk lokal kurang kompetitif dibanding China,

Vietnam dan Thailand.

82

Tabel 6. Matriks SWOT Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi Wilayah STRENGTH (S) WEAKNESS (W)

1. Potensi sumber daya laut yang besar (perikanan tangkap, perikanan budidaya dan rumput laut)

2. Pasar domestik yang besar dengan konsumsi per kapita hasil perikanan dan produk turunannya

3. Kebijakan pemerintah dan dukungan akademisi bagi pengembangan industri pengolahan hasil laut.

4. Dukungan pemerintah daerah atas pengembangan perikanan 5. Produsen Ikan terbesar ke-2 di Dunia 6. Sebaran UPI didominasi oleh UMKM yang berpotensi dalam

peningkatan ekonomi wilayah

1. Ekspor produk hasil laut masih rendah 2. Pemanfaatan potensi Perikanan untuk Industri perikanan tidak

merata (LQ tidak berbanding lurus dengan SSA) 3. Kemampuan Teknologi masih rendahpembangunan industri

masih pada bidang pengolahan yang memiliki nilai tambah dan pengolahan yang rendah

4. Infrastruktur untuk mendukung pengembangan industri pengolahan hasil laut belum merata

5. Kapasitas produksi industri pengolahan ikan tidak sesuai dengan suplai bahan bakau)

6. Jaminan Kualitas dan Mutu Produk masih sangat rendah 7. Tidak meratanya sumberdaya perikanan tangkap (banyak

daerah overfishing)

OPP

ORT

UN

ITY

(O)

1. Kebutuhan konsumsi dunia ataupun nasional atas produk hasil perikanan yang semakin meningkat (besarnya peluang ekspor)

2. Meningkatnya kegiatan diversifikasi produk hasil laut 3. Tingginya keuntungan dan nilai tambah hasil laut non

pangan. 4. Besarnya peluang untuk membangun industri

pengolahan di Wilayah penghasil lumbung ikan nasional (LQ tertinggi)

5. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah yang memiliki potensi perikanan tinggi ( Gap antara LQ dan SSA).

S-O

Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi industri pengolahan hasil perikanan terutama UMKM

Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis Bioteknologi

W-O

Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna Penerapan penangkapan yang berkelanjutan Peningkatan Suplai Bahan Baku memalui pemanfaatan

potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi Penerapan Teknologi Budidaya Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki nilai

tambah dan diversifikasi Produk tinggi. Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP)

THRE

AT (T

)

1. Isu tentang food safety 2. Industri Hasil Perikanan di Indonesia saat ini masih

memiliki nilai tambah rendah 3. Industri Pengolahan Perikanan Negara ASEAN memiliki

nilai tambah dan keuntungan yang tinggi

S-T

Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya saing

Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam menjaga food safety produk hasil olahan UMKM

Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap

industri hilir yang memiliki nilai tambah tinggi

W-T

Penguatan Infrastruktur di derah yang memiliki potensi yang tinggi (LQ tinggi) namun pemanfaatannya masih rendah (SSA rendah)

Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan sanitasi di UKM dan Industri

Akselerasi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri Perikanan dengan nilai tambah tinggi di lokus pilihan (Optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan)

OPPORTUNITY (O) & THREAT (T)

STRENGTH (S) & WEAKNESS (W)

84

Tabel 6 menguraikan rincian kekuatan, peluang, kelemahan, dan ancaman dari

kondisi industrialisasi perikanan, sehingga menghasilkan strategi sebagai berikut:

(1) S1: Strategi 1, Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi

industri pengolahan hasil perikanan terutama UMKM

(2) S2: Strategi 2, Inisiasi pengembangan industri hasil perikanan yang memiliki

nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis bioteknologi

(3) S3: Strategi 3, Pemberian insentif fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan

daya saing

(4) S4: Strategi 4, Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam

menjaga food safety produk hasil olahan UMKM

(5) S5: Strategi 5, Penguatan rantai pasok, kemitraan dan perluasan pasar

(6) S6: Strategi 6, Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap

industri hilir yang memiliki nilai tambah tinggi

(7) S7: Strategi 7,Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna

(8) S8: Strategi 8, Penerapan penangkapan yang berkelanjutan

(9) S9: Strategi 9, Peningkatan suplai bahan baku memalui pemanfaatan potensi

perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi

(10) S10: Strategi 10, Penerapan teknologi budidaya

(11) S11: Strategi 11, Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki

nilai tambah dan diversifikasi produk tinggi.

(12) S12: Strategi 12, Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP)

(13) S13: Strategi 13, Penguatan infrastruktur di derah yang memiliki potensi yang

tinggi (LQ tinggi) namun pemanfaatannya masih rendah (SSA rendah)

(14) S14: Strategi 14, Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan

perbaikan sanitasi di UKM dan Industri

(15) S15: Strategi 15, Akselerasi pengembangan pusat pertumbuhan industri

perikanan dengan nilai tambah tinggi di lokus pilihan (optimalisasi kapasitas

terpasang industri perikanan)

85

BAB VII STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK

MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH

Berdasarkan hasil analisis pada Bab VI dan hasil rumusan para pemangku

sektor perikanan dan pengembangan wilayah, strategi industrialisasi perikanan,

khususnya industri pengolahan, untuk mendukung pengembangan ekonomi

wilayah disusun dengan menggabungkan strategi industrialisasi perikanan dengan

hasil analisis kewilayahan berdasarkan nilai LQ dan volume produksi UPI

menjadi sebuah matriks yang dapat dilihat pada Gambar 12.

C

Gambar 12 Matriks Pembagian Wilayah (cluster) Berdasarkan Perhitungan Nilai

LQ dan Volume Produksi UPI

Selanjutnya berdasarkan nilai LQ dan volume produksi UPI per provinsi

yang telah dipetakan ke dalam kuadran pada Gambar 12, maka akan didapatkan

pemetaan provinsi sebagaimana yang terdapat pada Gambar 13.

100

2

4

6

Volume Produksi UPI

Nila

i LQ

200

86

Sulawesi Barat Gorontalo Bengkulu Maluku Utara Maluku

Kep. Bangka Belitung Papua Papua Barat Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah NTT

Bali Lampung

NTB Sulawesi Utara Aceh Sulawesi Selatan

DI Yogyakarta Jambi Kalimantan Utara Kalimantan Tengah Kep. Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Riau Kalimantan Timur Banten

Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Sumatera Utara

Jawa Barat Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur

Gambar 13 Pemetaan Provinsi Berdasarkan Nilai LQ dan Volume Produksi UPI

Kemudian, 15 strategi pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya

terkait pengembangan industri pengolahan untuk mendukung pengembangan

ekonomi wilayah yang sudah diuraikan berdasarkan analisis SWOT, disesuaikan

dengan potensi wilayah berdasarkan analisa perhitungan LQ dan Volume

Produksi UPI, sehingga menghasilkan matriks strategi yang sebagaimana terlihat

pada Gambar 14.

4

2

100 200

Nila

i LQ

Volume Produksi UPI

87

I

(S1, S2, S3, S4, S7, S9, S10, S11, S13, S14)

IV

(S4, S9, S11, S15)

VII

(S9, S11)

II

(S1, S2, S3, S7, S9, S10, S11, S13, S14, S15)

V

(S2, S3, S5, S6, S9, S10, S12, S15)

VII

(S2, S3, S5, S6, S9, S10, S12)

III (S1, S2, S3, S5, S6, S9, S13,

S14)

VI (S2, S3, S5, S6, S8, S9, S10,

S14, S15)

IX (S2, S3, S5, S6, S8, S9, S10,

S12)

Gambar 14. Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan (S1-S15)

Berdasarkan Kuadran Pembagian Wilayah dari Nilai LQ dan Volume Produksi

UPI

Selanjutnya, rincian 15 strategi pengembangan industrialisasi perikanan,

khususnya terkait pengembangan industri pengolahan hasil perikanan, dalam

rangka mendukung pengembangan ekonomi wilayah, adalah sebagai berikut:

(1) Peningkatan Ekonomi Wilayah Melalui Peningkatan Populasi Industri

Pengolahan Hasil Perikanan Terutama UMKM

UMKM memiliki peran penting dalam pengembangan usaha di Indonesia,

karena merupakan cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. Pengembangan

UMKM tidak semata-mata tanggung jawab Pemerintah, melainkan juga tanggung

jawab UMKM itu sendiri, Lembaga Keuangan/Perbankan, dan Swasta/Investor.

Salah satu upaya peningkatan dan pengembangan UMKM dalam perekonomian

dilakukan dengan mendorong pemberian kredit modal usaha kepada UMKM.

Pemerintah pada dasarnya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan

tiga masalah utama yang sering dihadapi oleh UMKM, yaitu terkait akses pasar,

modal, dan teknologi. Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus

diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UMKM,

antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan,

akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan

pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis, dan kompetisi.

88

(2) Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang Memiliki Nilai

Tambah Tinggi Termasuk Industri Berbasis Bioteknologi

Salah satu langkah pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan

pangan adalah dengan menargetkan produksi ikan sebagai salah satu sumber

protein hewani menjadi 18,76 juta ton pada tahun 2019 atau meningkat sebesar

7,90 juta ton (72%) dari produksi tahun 2014. Salah satu upaya untuk

meningkatkan produksi perikanan dan hasil olahan perikanan adalah melalui

peningkatan pemanfaatan bioteknologi perikanan. Penerapan bioteknologi dalam

bidang perikanan sangat luas, mulai dari rekayasa media budidaya, produksi ikan,

hingga pascapanen hasil perikanan. Pemanfaatan mikroba telah terbukti mampu

mempertahankan kualitas media budidaya sehingga aman untuk digunakan

sebagai media budidaya ikan. Bioteknologi telah menciptakan ikan berkarakter

genetis khas yang dihasilkan melalui rekayasa gen. Melalui rekayasa gen juga

dapat diciptakan ikan yang tumbuh cepat, warnanya menarik, dagingnya tebal,

dan tahan penyakit. Begitu pula pada tahap pascapanen hasil perikanan,

bioteknologi mampu meningkatkan nilai produk serta produktivitas produk

perikanan yang pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing produk

perikanan.

(3) Pemberian Insentif Fiskal Bagi Usaha Kecil untuk Peningkatan Daya

Saing

Pemerintah diharapkan dapat menetapkan kebijakan insentif fiskal dan

moneter untuk menyelamatkan eksistensi serta membantu peningkatan daya saing

sektor usaha kecil dan menengah (UKM) dan industri padat karya. Pemberdayaan

UKM akan optimal apabila terdapat jaminan kesempatan seluas-luasnya bagi

UKM untuk memasuki kegiatan ekonomi. Dukungan yang diperlukan terutama

berupa bantuan peningkatan kemampuan untuk memperoleh akses pasar,

teknologi, dan permodalan yang dikembangkan melalui bank maupun bukan

bank.

89

(4) Peningkatan Peranan Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam

Menjaga Food Safety Produk Hasil Olahan UMKM

Agar perusahan atau industri pangan mampu bersaing secara global

diperlukan kemampuan mewujudkan produk pangan yang memiliki sifat aman

(tidak membahayakan), sehat dan bermanfaat bagi konsumen. Keamanan dan

mutu merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan

konsumen. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka menjaga keamanan

produk hasil perikanan adalah dengan melakukan perbaikan fasilitas dan sarana

UPI sesuai dengan standar, penetapan prosedur food safety pada UPI, penerapan

rantai dingin, serta penerapan Good Manufacturing Practices (GMP), Standard

Sanitation Operational Procedure (SSOP), Hazard Analysis Critical Control

Points (HACCP).

(5) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar

Perbaikan sistem distribusi perikanan dari proses hulu hingga ke hilir

harus diperhatikan seiring dengan meningkatnya permintaan pasar akan produk

perikanan dan berkualitas yang terus meningkat. Penguatan rantai pasok,

kemitraan dan perluasan pasar dapat dilakukan dengan peningkatan supply bahan

baku dalam negeri, pengembangan sistem rantai dingin dan distribusi, penguatan

sistem informasi pasar, dan sistem produksi yang efisien. Sistem Logistik Ikan

Nasional (SLIN) telah diterapkan, namun masih menghadapi beberapa kendala

terkait keterpencilan (remoteness), pasokan listrik dan air besih, dan faktor

musim.

(6) Penyesuaian Potensi Wilayah Sumber Daya Perikanan terhadap Industri

Hilir yang Memiliki Nilai Tambah Tinggi

Industri perikanan tangkap serta perikanan budidaya dan industri

pengolahan ikan menjadi inti dari klaster industri perikanan karena pada kedua

jenis industri tersebut terjadi aliran material (ikan) dan proses pertambahan nilai.

Potensi wilayah perikanan Indonesia yang tersebar luas perlu dipetakan

berdasarkan ketersediaan bahan baku ikan pilihan sehingga pemilihan industri

perikanan yang akan dikembangkan dapat disesuaikan dengan potensi yang

90

dimiliki wilayah tersebut. Sebagian wilayah Indonesia Timur dengan nilai LQ

tinggi (Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara) sebaiknya

diarahkan pada peningkatan industri dengan nilai tambah yang tinggi seperti

produk farmaseutika dan nutraseutika dari rumput laut, dan produk dengan

rekayasa bioteknologi misalnya albumin dan minyak ikan dengan nilai jual dan

kualitas yang tinggi.

(7) Penyediaan Peralatan dan Teknologi Tepat Guna

Implementasi teknologi tepat guna merupakan salah satu strategi untuk

mempercepat kemajuan ekonomi masyarakat karena dapat memberikan nilai

tambah produk dan perbaikan mutu, membantu mewujudkan usaha produktif yang

efisien, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Implementasi teknologi tepat

guna dipandang sebagai sebuah strategi untuk mengoptimalkan pendayagunaan

semua aspek sumber daya lokal (alam, manusia, teknologi, sosial) secara

berkelanjutan yang mampu memberikan nilai tambah.

Kemampuan daya saing Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) perlu

dilindungi dengan kebijakan pemerintah yang memberikan akses yang lebih luas

terhadap informasi, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal

peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi. Pemanfaatan teknologi tepat

guna yang sesuai dengan situasi lokal pada gilirannya akan mendorong

optimalisasi sumber daya alam sehingga melahirkan kemandirian masyarakat

yang dibarengi dengan kegiatan-kegiatan inovatif.

(8) Penerapan Penangkapan yang Berkelanjutan

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi perikanan tangkap adalah

menurunnya stok sumber daya ikan akibat kerusakan lingkungan karena

penggunaan bahan peledak, bahan kimia beracun, serta alat tangkap yang tidak

ramah lingkungan. Untuk mengatasi hal tersebut, diantaranya perlu dilakukan

pengelolaan izin penangkapan yang sesuai dengan potensi sumber daya ikan yang

tersedia, sosialisasi penggunaan alat tangkap ramah lingkungan dan cara

menangkap ikan yang tidak merusak.

91

(9) Peningkatan Suplai Bahan Baku Melalui Pemanfaatan Potensi Perikanan

di Wilayah dengan Nilai LQ Tinggi

Sebagian bahan baku industri pengalengan ikan di Indonesia saat ini masih

bergantung pasokan impor. Hal ini menyebabkan peningkatan biaya produksi ikan

kaleng di industri pengalengan ikan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan

untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan penyediaan suplai bahan baku melalui

pemanfaatan potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi. Peningkatan

supply chain and value chain management terus dilakukan dengan peningkatan

produksi produk olahan ikan bernilai tambah tinggi melalui peningkatan kapasitas

Usaha Kecil Menengah (UKM) dan industrialisasi pengolahan.

(10) Penerapan Teknologi Budidaya

Penerapan bioteknologi dalam bidang perikanan sangat luas, diantaranya

meliputi: pengembangan pakan, benih unggul, dan kualitas air, dari proses

persiapan produksi hingga pascapanen hasil perikanan.

(11) Peningkatan Pendirian Industri Perikanan yang Memiliki Nilai

Tambah dan Diversifikasi Produk Tinggi

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan saat ini diarahkan pada

industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk perikanan

serta mengurangi ketergantungan terhadap pada negara lain. Pemerintah berupaya

untuk meningkatkan produksi produk olahan ikan bernilai tambah tinggi melalui

peningkatan kapasitas dan kualitas Usaha Kecil Menengah (UKM) melalui

peningkatan kapasitas SDM dan akses permodalan. Selanjutnya, pengembangan

produk dilakukan melalui pengembangan industri pengolahan hasil perikanan

yang menghasilkan produk antara, produk semi akhir dan produk akhir yang

berdaya saing.

Semakin tinggi nilai tambah yang diperoleh dalam pemanfaatan sumber

daya perikanan, maka akan semakin besar manfaat ekonomi yang diperoleh,

sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat, penyerapan

tenaga kerja, perkembangan dunia usaha, dan PDB.

92

(12) Peningkatan Sertifikasi Kelayakan Pengolahan (SKP)

Salah satu bentuk perlindungan terhadap konsumen dari pangan yang tidak

aman dan membahayakan kesehatan adalah dengan diterbitkanya Sertifikasi

Kelayakan Pengolahan (SKP) pada pelaku industri perikanan. SKP merupakan

bukti jaminan bahwa suatu produk memenuhi persyaratan standar atau spesifikasi

persyaratan mutu yang ditetapkan. Sementara itu, penerapan Standar Nasional

Indonesia (SNI) adalah salah satu upaya Pemerintah untuk memberikan jaminan

terhadap produk pangan yang bermutu. Berdasarkan hal tersebut, pembinaan

UKM serta pendampingan dan monitoring kualitas produk harus terus dilakukan

secara kontinu dan berkesinambungan.

(13) Penguatan Infrastruktur di Daerah yang Memiliki Potensi yang Tinggi

(LQ tinggi), Namun Pemanfaatannya Masih Rendah (SSA rendah)

Pengembangan infrastruktur pendukung perikanan lainnya seperti

pembangunan jalan produksi, saluran air, dan jalan penghubung antara kawasan

produksi dengan kawasan pengolahan-pemasaran memerlukan penataan ulang,

terutama terkait dengan rencana peningkatan produksi perikanan dan percepatan

industrialisasi. Pembangunan infrastruktur saat ini masih berpusat pada kawasan

Jawa dan Bali, sementara daerah dengan nilai LQ yang tinggi masih terbatas

fasilitas infrastrukturnya. Fasilitas infrastruktur penting yang diperlukan

diantaranya adalah: air bersih dan sanitasi; serta listrik dan energi, termasuk

BBM.

Berdasarkan tipologi spesifik masyarakat Indonesia baik secara fisik

(kepemilikan modal, lahan, serta ketersediaan sarana, prasarana dan bahan baku

bagi pengolahan) maupun budaya, maka model pengembangan industri

pengolahan perikanan yang layak dikembangkan adalah yang dapat menumbuh

kembangkan industri pada skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan

bila memungkinkan, dikaitkan dengan industri besar yang dapat memfasilitasi

modal, sarana dan prasarana, pengadaan input produksi, serta pemasaran hasil,

seperti pada model inti-plasma. Model pengembangan dari setiap industri harus

disesuaikan dengan jenis industri dan lokasi tempat industri tersebut berkembang.

93

(14) Peningkatan Jaminan Mutu, Keamanan Pangan, dan Perbaikan

Sanitasi di UKM dan Industri

Peningkatan jaminan mutu dan pelaksanaan penerapan GMP, SSOP dan

HACCP pada UMKM perikanan harus diawasi dengan ketat. Hal ini karena

penerapan GMP, SSOP dan HACCP merupakan implementasi dari jaminan mutu

pangan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermutu oleh produsen

yang pada akhirnya akan menciptakan kepuasan bagi konsumen.

(15) Akselerasi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri Perikanan

dengan Nilai Tambah Tinggi di Lokus Pilihan

Untuk mempercepat akselerasi dibutuhkan faktor-faktor pendukung,

seperti tersedianya infrastruktur pendukung produksi dan distribusi barang yang

memadai, terdapat jaminan pasokan bahan baku perikanan dan sumber energi

pada harga kompetitif, tersedia sumber daya manusia yang handal, peningkatan

penggunaan teknologi, serta peningkatan akses pada pembiayaan investasi dan

peningkatan akses ke pasar domestik dan pasar ekspor. Akselerasi pembangunan

industrialisasi perikanan dengan nilai tambah di Indonesia, dilaksanakan melalui

pengembangan pusat-pusat pertumbuhan perikanan, mendorong partisipasi dunia

usaha dalam pembangunan infrastruktur, percepatan proses pengambilan

keputusan pemerintah, mendorong peningkatan daya saing Kabupaten/Kota, dan

meningkatkan integrasi pasar domestik.

94

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

8.1 KESIMPULAN

1. Strategi industri perikanan nasional, khususnya terkait industri pengolahan

perikanan mengikuti kondisi ekonomi wilayah dibagi menjadi 3 cluster

wilayah, yaitu: (1) LQ tinggi dengan volume produksi rendah; (2) LQ rendah

dengan volume produksi tinggi; dan (3) LQ dan volume produksi tinggi,

dengan rincian pada Tabel 7.

Tabel 7. Cluster wilayah Strategi Industri Perikanan Nasional Cluster Strategi

LQ Tinggi dengan

Volume Produksi UPI

rendah

Lokasi:

Sulawesi Barat

Gorontalo

Bengkulu

Maluku Utara

Maluku

(1) Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi industri

pengolahan hasil perikanan terutama UMKM

(2) Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang memiliki nilai

tambah tinggi termasuk industri berbasis Bioteknologi

(3) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna

(4) Penerapan penangkapan yang berkelanjutan

(5) Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki nilai tambah

dan diversifikasi Produk tinggi.

(6) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya

saing

(7) Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam

menjaga food safety produk hasil olahan UMKM

(8) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar

(9) Penguatan Infrastruktur di derah yang memiliki potensi yang tinggi

(LQ tinggi) namun volume produksi UPI masih rendah

(10) Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan

sanitasi di UKM dan Industri

LQ Rendah dengan

Volume Produksi

Tinggi

Lokasi:

Jawa Barat

Jakarta

Jawa Tengah

Jawa Timur

(1) Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang memiliki nilai

tambah tinggi termasuk industri berbasis Bioteknologi

(2) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna

(3) Peningkatan Suplai Bahan Baku memalui pemanfaatan potensi

perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi

(4) Penerapan teknologi budidaya

(5) Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP)

(6) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya

95

Cluster Strategi

saing

(7) Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam

menjaga food safety produk hasil olahan UMKM

(8) Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap

industri hilir yang memiliki nilai tambah tinggi

LQ dan Volume

Produksi tinggi

(1) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya

saing

(2) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar

(3) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya

saing

(4) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar

2. Peningkatan mutu dan nilai tambah dilakukan dengan strategi: penguatan

infrastruktur, sanitasi dan higiene, dan peningkatan sertifikasi produk.

3. Strategi industrialisasi nasional dapat dijadikan sebagai acuan kebijakan

pengembangan ekonomi wilayah.

8.2 REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisis dan hasil rumusan para pemangku kepentingan

sektor perikanan, rekomendasi strategi industrialisasi perikanan untuk mendukung

ekonomi wilayah terdiri atas:

1. Peningkatan koordinasi antarsektor dalam rangka hilirisasi industri perikanan.

2. Sinkronisasi kebijakan dan pengkajian ulang kebijakan yang menghambat

industrialisasi perikanan.

3. Pengembangan industri perikanan pada daerah yang memiliki LQ tinggi

(LQ>4), yaitu: Sulawesi Barat, Gorontalo, Bengkulu dan Maluku Utara, agar

dapat memberi sumbangan terhadap peningkatan ekonomi wilayah sebagai

basis perikanan nasional.

4. Kajian tentang pemilihan skala industri yang tepat yang berkaitan dengan

pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, utilitas dan kapasitas

industri, serta keunggulan wilayah.

96

DAFTAR PUSTAKA

Blakely EJ. 1994. Planning Local Economic Development.Ed.ke-2. London: Sage Publications.

Dunn WN. 1988. Analisa Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta: PT Hanindita.

FAO. 2016. The State of World Fisheries and Aquaculture. Roma.

Glasson J. 1997. Pengantar Perencanaan Regional, diterjemahkan Paul Sitohang, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Hayami Y.1987. Agricultural marketing and processing inupland Java. A perspective from a Sunda village. Bogor: CGPRT Centre.

Johnston RJ. 1976. Classification in Geography. CATMOG 6 Geobooks Norwich.

Kadarsah, Suryadi, dan Ramdani, M.Ali. 2002. Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan. Bandung: Rosdakarya.

Liu J. 2002. Investigation On Traceability Of Fish Products In Iceland - A Traceability Study For Fish Processing Industry In China. United National University. Iceland.

[NIFA] Norwegian Institute of Fisheries and Aquaculture Ltd. 2000. Tracing the Fish. Fiskeriforskning Info. No. 4. August 2000.

Rustiadi E, Saifulhakim S, Panuju DR. 2006. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumber daya Lahan. Bogor: Fakultas Pertanian IPB.

Rangkuti F. 2006. Teknik Mengukur dan Strategi Meningkatkan Kepuasan Pelanggan. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Republik Indonesia. 1996. Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Sekretariat Negara. Jakarta

Republik Indonesia. 2002. Keputusan Menteri No. 6 tahun 2002. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sekretariat Negara. Jakarta

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sekretariat Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. 2004. Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Sekretariat Negara. Jakarta.

97

Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan Mutu dan Gizi Pangan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Sekretariat Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Sekretariat Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. 2006. Kepmen No. 29/MEN/2006. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.27/Men/2012 Tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan Dan Perikanan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Sekretariat Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. 2014. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Sekretariat Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN- KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57/PERMEN- KP/2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/PERMEN- KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus) dan Ikan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Republik Indonesia. 2015. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Rajungan (Portunus pelagicus spp). Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

98

Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat hela (trawl) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Republik Indonesia. 2015. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2015 Tentang Sistem Jaminan Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil Perikanan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

Saaty, T. Lorie. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks.Pustaka Binama Pressindo.

Saragih S. 2007. RI-Jepang Hubungan Timpang. Kompas, Internasional, Minggu, 19 Agustus: 5.

Sulistyo DE et al. 2004. Strategi Peningkatan Konsumsi Ikan di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Dikjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran.

Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Bima Grafika.

Pratiwi, S. 2006. Aspek kapabilitas Eksternal pada Industri Pengolahan Ikan Laut. Kebijakan Inovasi Industri Pengolahan Ikan Laut. Editor: Faisal, R. Taufiq, dan M. Zubair. BPPT. Jakarta.

99

LAMPIRAN

100

Lampiran 1. Analisis Sektor Ekonomi Menggunakan Metode location

quotient (LQ) dan shift share analysis (SSA)

Analisis LQ digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di

suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Persamaan model

analisis LQ sebagai berikut :

LQ =

Keterangan:

Xij = Nilai PDRB sektor perikanan (j) di provinsi i

Xi = Nilai total PDRB seluruh sektor di provinsi i

Xj = Nilai PDRB sektor perikanan (j) nasional

Xt = Nilai total PDRB seluruh sektor nasional

Interpretasi nilai Location Quetiont (LQ)

0 = Aktifitas tidak berkembang

1 = Perkembangan sektor perikanan di wilayah (i) sama dengan rataan

seluruh unit provinsi j

<1 = Perkembangan sektor perikanan dibawah rataan seluruh provinsi (bukan

unggulan)

>1 = Perkembangan sector perikanan lebih tinggi dari rataan seluruh unit

provinsi j atau indikasi adanya pemusatan aktifitas di unit provinsi

(unggulan).

Contoh perhitungan LQ

Diketahui:

Nilai PDRB sektor perikanan pada tahun 2010 di Provinsi Maluku sebesar 2571

Nilai PDRB total seluruh sektor di provinsi Maluku sebesar 16175

Nilai PDRB sector perikanan nasional sebesar 143566

Nilai PDRB total seluruh sector skala nasional sebesar 6050455

LQ = = 6.698757

Nilai LQ >1 artinya terjadi pemusatan aktifitas sektor perikanan di provinsi

Maluku (Basis)

Shift Share Analysis (SSA) digunakan untuk memahami pergeseran

struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan daerah agregat yang

101

lebih luas. Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu

aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya dalam

wilayah total. Analisis shift-share mampu memberikan gambaran sebab-sebab

terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Persamaan SSA sebagai

berikut :

Keterangan:

a = komponen regional share

b = komponen proportional shift

c = komponen differential shift, dan

X.. = nilai total aktifitas wilayah kab secara agregat

X.i = nilai total aktifitas tertentu di unit wilayah kab ke-i

Xij = nilai di wilayah kab ke-i dan aktifitas ke-j

t1 = titik tahun akhir

t0 = titik tahun awal

Kinerja perubahan aktivitas/ sektor dapat dilihat dari komponen analisis SSA

yaitu:

(1) Komponen laju pertumbuhan total (total shift), yang menyatakan pertumbuhan

total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah,

(2) Komponen pergeseran proporsional (pro-portional shift), menunjukkan

pertumbuhan total aktivitas atau sektor tertentu secara relatif, dibandingkan

dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan

dinamika sektor atau aktivitas total wilayah.

(3) Komponen pergeseran diferensial (differential shift), menjelaskan tingkat

competitiveness suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan

total sektor atau aktivitas tersebut dalam wilayah.

a b c

.

.....

.

.....

)0(

)1(

)0(

)1(

)0(

)1(

)0(

)1(

)0(

)1( 1XX

XX

XX

XX

XXSSA

tj

tj

tij

tij

t

t

tj

tj

t

t

102

Lampiran 2. Hasil Kunjungan Ke Jawa Timur (Studi Kasus I)

A. Unit Pengolahan Ikan (UPI)

Dalam melakukan pengolahan ikan yang menangani produk segar

dilaksanakan oleh Unit Pengolahan Ikan (UPI). Jumlah UPI di Jawa Timur tahun

2015 berdasarkan jenis kegiatan pengolahan produknya terdiri atas sembilan

kategori yaitu pembekuan, penggaraman, pemindangan, pengasapan, fermentasi,

pereduksian/ekstraksi, pelumatan daging ikan, penanganan produk segar dan

pengolahan lainnya. Jumlah UPI tertinggi pada pengasapan sebesar 2.159 Unit.

Jumlah UPI di Jawa Timur disajikan pad Gambar 1.

Gambar 1. Jumlah UPI di Jawa Timur berdasarkan Jenis Kegiatan Pengolahan (DKP Jatim 2015)

Jumlah UPI tertinggi pada pengasapan sebesar 2.159 Unit. Produk utama

dari pengasapan adalah ikan asap. Ikan asap merupakan salah satu produk olahan

yang digemari konsumen di Indonesia karena rasa dan aroma yang khas. Teknik

pengolahan ikan melalui pengasapan relatif mudah sehingga banyak dilakukan di

lingkungan permukiman dalam bentuk home industry. Dengan kondisi ini, maka

seringkali ruang ruang untuk wadah proses pengasapan ikan ini berbentuk tidak

38

2.024

1.616

2.159

632

141 204362

1.453

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

A B C D E F G H I

Jum

lah

UPI

Jenis Kegiatan Pengolahan

Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya

103

beraturan dengan penataan yang seadanya, sehingga dari aspek sirkulasi, alur

produksi dan kesehatan tidak memenuhi persyaratan higienitas dalam pengolahan

produknya (Wibawa, 2015). Jumlah UPI Pengasapan Ikan di Jawa Timur yang

tinggi, disebabkan karena teknologi yang sederhana dan mudah diaplikasikan.

Kabupaten sidoarjo ikan asap yang diolah dari bahan baku bandeng merupakan

salah satu produk unggulan daerah. Selain itu di surabaya ikan asap merupakan

salah satu produk khas untuk oleh-oleh. Bahan baku ikan asap bisa dari produksi

budidaya misalnya bandeng dan patin atau ikan laut. Jika ditinjau dari aspek

produksi, produk ikan asap ini sangat prospektif untuk dikembangkan karena

teknologi sederhana, bahan baku yang mudah didapatkan serta tidak tergantung

dengan musim tangkapan (produksi dari budidaya). Kendala lainya adalah sanitasi

yang rendah, teknologi tepat guna, serta permodalan.

B. UPI Per Kabupaten/Kota di Jawa Timur

Unit Pengolahan Ikan (UPI) di Jawa Timur tersebar di 38 kabupaten/ kota.

Sebaran UPI penanganan produk segar di Provinsi Jawa Timur disajikan pada

Gambar 2. Jumlah paling tinggi terdapat pada kabupaten Tuban dengan jumlah

980 unit dan paling rendah pada Kabupaten Kediri sebanyak 3 unit. Kabupaten

Tuban merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang mempunyai wilayah

perairan laut sepanjang 65 km yang meliputi Kecamatan Palang, Tuban, Jenu,

Tambakboyo dan Bancar.Dengan kondisi geografis tersebut, produksi perikanan

laut di Kabupaten Tuban cukup melimpah, melebihi kebutuhan konsumsi ikan

oleh masyarakat. Potensi hasil laut dan pengembangan kawasan pantai lainnya

adalah budidaya rumput taut, terumbu karang, padang lamun. pengembangan dan

pembibitan mangrove.Selain dari perairan laut, produksi ikan di Kabupaten Tuban

juga didukung dari hasil budidaya ikan dan udang di perairan darat seperti

tambak, sawah tambak, kolam, karamba dan jaring apung.

110

Gambar 2. Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) per Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2015

11567

345

544

45 1979 47

340 336

23

382310

471

344

34 28 10 23 10 20

224

980

685758

679646

148

9 3 18 42114

194

5 10

513

90

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1.000

PAC

ITA

N

PON

OR

OG

O

TREN

GG

ALE

K

TULU

NG

AG

UN

G

BLI

TAR

KED

IRI

MA

LAN

G

LUM

AJA

NG

JEM

BER

BA

NY

UW

AN

GI

BO

ND

OW

OSO

SITU

BO

ND

O

PRO

BO

LIN

GG

O

PASU

RU

AN

SID

OA

RJO

MO

JOK

ERTO

JOM

BA

NG

NG

AN

JUK

MA

DIU

N

MA

GET

AN

NG

AW

I

BO

JON

EGO

RO

TUB

AN

LAM

ON

GA

N

GR

ESIK

BA

NG

KA

LAN

SAM

PAN

G

PAM

EKA

SAN

SUM

ENEP

KED

IRI

BLI

TAR

MA

LAN

G

PRO

BO

LIN

GG

O

PASU

RU

AN

MO

JOK

ERTO

MA

DIU

N

SUR

AB

AY

A

BA

TU

JUM

LAH

UPI

KOTA/KABUPATEN

111

10

1.692

1.369

2.003

305

54 44

205

919

6 4 11 9 3 0 0 180

0 5 4 2692

21 17 21

232

0

197

6713 0 23 3 11

237

0

200

400

600

800

1.000

1.200

1.400

1.600

1.800

2.000

A B C D E F G H I

Jum

lah

Setif

ikat

Jenis Kegiatan pengolahan

BelumAdaSKP

PIRT

MD

Gambar 3. Jumlah Sertifikat yang Dimiliki UPI di Jawa Timur 2015

Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya

112

C. Jumlah Sertifikat UPI di Jawa timur

Jumlah sertifikat yang dimiliki oleh masing masing UPI berdasarkan

kegiatan pengolahan yang dilakukan disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan

gambar 3 dapat diperoleh informasi bahwa jumlah tertinggi pada masing masing

kegiatan pengolahan adalah belum memiliki sertifikat dengan jumlah berturut

turut adalah 10, 1.692, 1.369, 2.003, 305, 54, 44, 205 dan 919 unit. Jumlah UPI

yang belum tersertifikasi sangat tinggi jika dibandingan dengan sertifikat lainya

(SKP, MD, PIRT dan Halal) menunjukan rendahnya kesadaran pelaku usaha

untuk mengikuti prosedur pemerintah, atau jumlah produk yang dihasilkan masih

produk tradisional sehingga dirasa belum memerlukan sertifikasi jaminan produk.

Sehingga perlu peran pemerintah untuk membantu meningkatkan kualitas produk

dengan berbagai upaya baik pelatihan, penyuluhan, pemberian modal serta

edukasi terkait pentingnya jaminan produk sehingga produk tradisional olahan

perikanan Indonesia bisa menembus pasaran internasional.

D. Jumlah Tenaga Kerja

Jumlah tenaga Kerja pengolahan Perikanan disajikan pada Gambar 4.

Jumlah tenaga kerja pada UPI pengolahan hasil perikanan di Jawa Timur

berjumlah 89.673 orang, dengan komposisi laki-laki berjumlah 22.520 orang dan

perempuan 67.153 orang. Perbandingan jumlah tenaga kerja perempuan lebih

dominan dibanding tenaga kerja laki-laki. Kegiatan pengolahan pengasapan

memiliki tenaga kerja dengan jumlah terbanyak. Menurut terminologi FAO, ikan

olahan tradisional, atau "cured fish" adalah produk yang diolah secara sederhana

dan umumnya dilakukan pada skala industri rumah tangga, sehingga dalam proses

pengolahan memang didominasi oleh tenaga kerja perempuan.

E. Upah tenaga Kerja

Upah Tenaga Kerja masing masing UPI disajikan pada Gambar 5. UPI

dengan pengeluaran upah tenaga kerja terbanyak adalah pada kegiatan pengolahan

Penggaraman, pemindangan, dan pengolahan lain.

113

Gambar 4. Jumlah Tenaga Kerja Pengolahan Perikanan di Jawa Timur 2015

Gambar 5. Upah Tenaga Kerja di Jawa Timur 2015

Kegiatan pengolahan pemindangan mengeluarkan upah untuk membayar

tenaga kerja setiap tahunnya mencapai 55.606.504.723,00 rupiah. kegiatan

pengolahan penggaraman mengeluarkan upah sebanyak 68.573.562.706 rupiah.

Serta pengolahan lainnya mengeluarkan upah sebanyak 59.312.360.049,00 rupiah.

216

5.3064.397

2.160597 251 234

5.3843.975

42

11.749

26.161

5.7237.869

131 2602.347

12.871

02.0004.0006.0008.000

10.00012.00014.00016.00018.00020.00022.00024.00026.00028.000

A B C D E F G H I

Jum

lah

tena

ga K

erja

Jenis Kegiatan Laki Laki

Perempuan

05.000.000.000

10.000.000.00015.000.000.00020.000.000.00025.000.000.00030.000.000.00035.000.000.00040.000.000.00045.000.000.00050.000.000.000

A B C D E F G H I

Upa

h(R

p)

Jenis KegiatanLaki-Laki

Perempuan

Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya

Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya

114

Pengembangan UPI di Jawa Timur masih berbasis program padat karya. padat

karya merupakan program pemerintah melalui bappenas untuk memberi lapangan

kerja terutama yang kehilangan pekerjaan pada masa sulit. Kegiatan pengolahan

tradisional dengan program padat karya membuka lapangan kerja bagi keluarga-

keluarga miskin atau kurang mampu yang mengalami kehilangan penghasilan

atau pekerjaan tetap. Namun masalah yang dihadapi dalam program kerja padat

karya adalah faktor upah yang ideal bagi seorang pekerja. Solusi yang ditawarkan

agar faktor upah ini ideal bagi pekerja adalah mengurangi program padat karya

dengan menjadikan pengolahan tradisional berbasis teknologi tepat guna,

sehingga perusahaan/UPI dapat memproduksi produk secara efisien. Selain itu

penggunaan teknologi tepat guna.

F. Volume dan Nilai Bahan Baku menurut Jenis Kegiatan Pengolahan

Gambar 6. Volume dan Nilai Bahan Baku menurut Jenis Kegiatan Pengolahan

Volume produksi kegiatan pembekuan berjumlah 11,392,312 Kg dengan

nilai bahan baku mencapai 103,806,240,000 rupiah. Volume produksi unit

pengolahan di Jawa Timur yang paling dominan adalah pada kegiatan

pengolahan penggaraman dengan volume produksi sebesar 77,776,305 kg dengan

nilai bahan baku mencapai 428.334.761.262 rupiah. Volume produksi pada

0

100.000.000

200.000.000

300.000.000

400.000.000

500.000.000

600.000.000

700.000.000

A B C D E F G H I

Jum

lah

Jenis Kegiatan Pengolahan

Volume (kg)

Nilai (Rp)

Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya

115

kegiatan pemindangan sebesar 44,446,396 Kg dengan nilai bahan baku sebesar

575,037,919,892 rupiah. Pada kegiatan pengasapan nilai bahan baku mencapai

272,594,640,422 rupiah dengan volume produksi sebanyak 19,426,174 Kg. Pada

kegiatan fermentasi produksi dengan volume 11,662,158 Kg menghasilkan nilai

bahan baku sebesar 82,377,125,696 rupiah. Volume produksi pada kegiatan

pereduksian/ekstraksi berjumlah 859,604 kg dengan nilai bahan baku mencapai

10,471,662,385 rupiah.

G. Realisasi Produk terhadap Kapasitas Terpasang

Realisasi produk terhadap kapasitas terpasang disajikan pada Gambar 7.

Kegiatan pengolahan perikanan di Jawa Timur pada kegiatan pembekuan,

penggaraman, pemindangan, pengasapan, fermentasi, pereduksian, pelumatan

daging ikan, penanganan produk segar, dan pengolahan lain memiliki realisasi

produk terhadap kapasitas terpasang secara berturut turut adalah sebanyak

93,33%; 71,77%; 76,18%; 79,85%; 80,07%; 84,95%; 69,78%; 82,76% dan

72,93%. Semakin rendah angka kapasitas terpasang suatu perusahaan berpengaruh

terhadap produktivitas pabrik, sehingga perlu dilakukan optimasi proses

pengolahan terhadap mesin/teknologi agar produk yang dihasilkan optimum.

Gambar 7. Realisasi Produk terhadap Kapasitas Terpasang

93,33

71,7776,18 79,85 80,07

84,95

69,78

82,7672,93

0102030405060708090

100

A B C D E F G H I

Rea

lisas

i Pro

duk

Ter

hada

p K

apas

itas

Ter

pasa

ng (%

)

Jenis Kegiatan Pengolahan

Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya

116

H. PROFIL SOSIAL PERIKANAN JAWA TIMUR

Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki kawasan laut hampir

empat kali luas daratannya dengan garis pantai kurang lebih 2.916 km. Subsektor

perikanan dapat dikelompokkan menjadi perikanan on-farm dan perikanan off-

farm. Perikanan on-farm terdiri dari perikanan laut dan perikanan darat,

sedangkan perikanan off-farm terdiri dari pengolahan ikan. Perikanan on-farm

merupakan kegiatan produksi perikanan yang terdiri dari perikanan laut dan

perikanan darat. Perikanan laut meliputi budidaya laut, budidaya tambak dan

perikanan tangkap laut sedangkan perikanan darat meliputi penangkapan ikan

perairan umum, budidaya kolam, budidaya jaring apung, budidaya minapadi,

budidaya sawah tambak dan budidaya karamba. Pengolahan ikan merupakan

kegiatan pasca produksi yang meliputi pengalengan, pembekuan, penggaraman,

pemindangan, pengasapan, fermentasi, pereduksian dan pelumatan. Kegiatan

perikanan tangkap laut membutuhkan infrastruktur tempat pendaratan atau

pelabuhan perikanan guna mendukung kegiatan usaha perikanan tangkap.

Tipe pelabuhan paling besar yang ada di Jawa Timur adalah pelabuhan

tipe B atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN). PPN di Jawa Timur ada dua

yaitu PPN Brondong di Kabupaten Lamongan dan PPN Prigi di Kabupaten

Trenggalek. Sedangkan pelabuhan tipe C atau Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)

di Jawa Timur berjumlah enam, yaitu: PPP Lekok di Kabupaten Pasuruan, PPP

Mayangan di Kota Probolinggo, PPP Muncar di Banyuwangi, PPP Paiton di

Kabupaten Probolinggo, PPP Pondokdadap di Kabupaten Malang serta PPP Puger

di Kabupaten Jember. Disamping itu juga terdapat Pangkalan Pendaratan Ikan

(PPI) yang tersebar di semua kota/kabupaten yang memiliki pesisir di Jawa

Timur. Jumlah PPI yang terdapat di Provinsi Jawa Timur berjumlah 87 PPI (KKP

2013).

Kegiatan perikanan tangkap laut di Jawa Timur dapat dibagi dalam dua

wilayah, yaitu pantai utara jawa dan pantai selatan jawa. Wilayah yang termasuk

pantai utara Jawa adalah Kabupaten Tuban, Lamongan, Gresik, Kota Surabaya,

Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Sidoarjo, Pasuruan, Kota

Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo dan Kabupaten Situbondo.

117

Wilayah pantai selatan Jawa meliputi Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang,

Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek dan Pacitan.

Jumlah alat tangkap di Jawa Timur sebanyak 171.502 unit yang terdiri dari

143.019 unit alat tangkap di laut dan 28.483 unit alat tangkap di perairan umum

daratan. Unit penangkapan ikan di Jawa Timur dapat dikelompokkan menjadi

pukat kantong, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, perangkap, alat

pengumpul kerang, alat pengumpul rumput laut dan lain-lain. Pukat kantong yang

ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi payang, dogol dan pukat pantai,

sedangkan jaring insang terbagi menjadi jaring insang hanyut, jaring insang

lingkar, jaring insang tetap dan jaring tiga lapis (trammel net). Jaring angkat yang

ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi bagan perahu/rakit, bagan tancap,

serok, dan jaring angkat lainnya. Pancing terbagi menjadi rawai hanyut lain selain

rawai tuna, rawai tetap, pancing tonda dan pancing lainnya, sedangkan perangkap

dibagi menjadi bubu dan perangkap lainnya. Alat pengumpul terbagi menjadi alat

pengumpul kerang. Alat tangkap lainnya terbagi menjadi jala, tombak dan

sebagainya. Jumlah nelayan di Jawa Timur mencapai 251.849 orang. Sebaran

nelayan di pantai utara Jawa Timur terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep

sebanyak 40,015 orang (18%), selanjutnya jumlah nelayan terbanyak di pantai

Selatan Jawa Timur adalah Kabupaten Banyuwangi sebanyak 25.598 orang atau

11% dari jumlah nelayan di Jawa Timur.

Kegiatan usaha on-farm perikanan selain perikanan tangkap adalah

perikanan budidaya yang meliputi tambak, laut, kolam, karamba, jaring apung,

sawah tambak dan minapadi. Kegiatan budidaya perikanan ditandai dengan

penebaran benih ikan yang dibudidayakan. Berdasarkan jenisnya, benih ikan

berasal dari air tawar dan air laut. Benih dari air tawar meliputi ikan tawes, ikan

mas, ikan mujair, ikan nila, ikan gurami, ikan lele, ikan patin, ikan hias air tawar,

katak, udang galah, dan lobster air tawar. Benih dari air payau yakni ikan kerapu,

ikan kakap, ikan bandeng, udang windu, udang vaname, udang putih, gracilaria,

dan rumput laut cottoni.

Jumlah terbanyak adalah pembudidaya kolam, diikuti pembudidaya laut

dan tambak. Jumlah pembudidaya terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep

sebesar 80.567 (29%) diikuti Lamongan sebesar 46.395 (16,9%). Luas areal lahan

118

yang paling besar digunakan untuk budidaya adalah budidaya laut dimana

Kabupaten Sumenep menjadi kabupaten dengan luas lahan budidaya laut terluas

di Jawa Timur yang mencapai 287.325 ha (99%). Jumlah produksi perikanan

budidaya Jawa Timur pada tahun 2012 mencapai 929.173,87 ton dengan

kontributor terbesar dari budidaya laut yang mencapai 563.087,4 ton (61%).

Usaha pasca panen atau off-farm perikanan memanfaatkan output perikanan

onfarm baik dari perikanan tangkap maupun budidaya. Usaha pengolahan ikan

terbanyak adalah penggaraman, pengasapan dan pemindangan. Berbagai usaha

pengolahan ikan tersebar hampir merata di seluruh wilayah Jawa Timur.

Analisis LQ dan SSA

Penggunaan analisis metode LQ, kita dapat mengamati keunggulan-

keunggulan kompetitif suatu wilayah terhadap wilayah sekitarnya. Nilai LQ yang

lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa sektor/sub sektor ini lebih unggul

dibandingkan dengan sektor/sub sektor yang sama di wilayah Provinsi Jawa

Timur. Sebaliknya, nilai LQ yang kurang dari 1 berarti bahwa sektor/sub sektor

yang diamati tidak kompetitif. Analisis LQ provinsi Jawa Timur berdasarkan

perkembangan PDRB provinsi dibandigkan PDRB nasional pada tahun 2010-

2014. Perkembangan nilai LQ Jawa Timur pada tahun 2010-2014 dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gambar 1 Perkembangan nilai LQ Jawa Timur 2010-2014

0,99 0,98 1,021,10 1,08

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

2010 2011 2012 2013 2014

Nila

i LQ

Tahun

LQ

119

Berdasarkan nilai LQ produktivitas perikanan setiap tahunnya cenderung

stabil. Trend yang menarik terlihat pada produktivitas perikanan pada tahun 2010-

2011 yang tergolong non basis, sedangkan pada tahun 2012-2014 sektor

perikanan tergolong basis, artinya provinsi Jawa Timur memiliki potensi menjadi

sector basis unggulan dengan peningkatan inovasi pengembangan produk dan

arah pembangunan perikanan sebaiknya diutamakan pada usaha peningkatan nilai

tambah perikanan dengan meningkatkan produktivitas usaha pengolahan ikan

sehingga mampu menarik atau memanfaatkan output subsektor perikanan laut dan

darat. Prioritas wilayah pengembangan perikanan hendaknya memperhatikan

aspek keunggulan kompetitif dan spesialisasi perikanan suatu daerah dan unsur

pemerataan pengembangan ekonomi di Jawa Timur.

Analisis keunggulan kompetitif wilayah dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui pergeseran struktur ekonomi dari suatu sektor dibandingkan dengan

cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pergeseran struktur

ekonomi tersebut dapat menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness)

dari suatu sektor ekonomi serta menjelaskan kinerja sektor tersebut. Hasil analisis

SSA menunjukkan bahwa struktur ekonomi Jawa Timur mengalami

perkembangan pesat. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis SSA dengan nilai

0.818191.

120

Lampiran 3. Kondisi Eksisting Perikanan di Lokus Pilihan (Studi Kasus II:

Wilayah Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara)

A. Potensi Wilayah

A. 1 Sumatera Utara

Potensi Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara terdiri dari Potensi

Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya, dimana Potensi Perikanan Tangkap

terdiri Potensi Selat Malaka sebesar 276.030 ton/tahun dan Potensi di Samudera

Hindia sebesar 1.076.960 ton/tahun. Sedangkan Produksi Perikanan Budidaya

terdiri Budidaya tambak 20.000 Ha dan Budidaya Laut 100.000 Ha, Budidaya air

tawar 81.372,84 Ha dan perairan umum 155.797 Ha, kawasan Pesisir Sumatera

Utara mempunyai Panjang Pantai 1300 Km yang terdiri dari Panjang Pantai

Timur 545 km, Panjang Pantai Barat 375 Km dan Kepulauan Nias dan Pulau-

Pulau Baru Sepanjang 350 Km (DKP Sumut, 2014). Wilayah pengembangan

sektor perikanan dibagi menjadi beberapa wilayah kerja dengan potensi wilayah

masing-masing. Wilayah tersebut adalah:

a. Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara

Terdiri dari 12 kabupaten/kota yang berada di wilayah Pantai Barat yaitu

Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias

Utara, Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten

Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan,

Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara. Dimana Potensi

Pengembangan pada wilayah ini adalah penangkapan ikan, pengolahan ikan.

Budidaya Laut yang terdiri dari Rumput Laut, Kerapu dan kakap, Budidaya tawar

yang terdiri dari mas, nila, Lele, Patin, Gurame, Tawes dan Nilam. Budidaya

Tambak yang terdiri dari Udang Vaname, Udang Windu, Kerapu, Kakap,

Bandeng

b. Wilayah Dataran Tinggi Sumatera Utara

Kabupaten/Kota yang termasuk pada wilayah dataran tinggi Sumatera

Utara adalah Wilayah yang berada di wilayah tengah Provinsi Sumatera Utara

yang terdiri dari 10 Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten

Toba Samosir, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten Samosir, Kabupaten

121

Humbang Hasundutan, Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, Kota

Tebing Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat. Sedangkan Potensi Pengembangan

pada wilayah ini terdiri dari penangkapan ikan di perairan umum, pengolahan

ikan. budidaya air tawar yaitu Nila, Mas, Lele, Patin dan Gurame

c. Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara

Terdapat 11 Kabupaten/Kota yang termasuk pada wilayah Pantai Timur

Sumatera Utara yang terdiri dari Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Kabupaten

Serdang Bedagai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Asahan, Kabupaten

Labuhan Batu, kabupaten Labuhan batu Selatan, Kabupaten Labuhan Batu Utara,

Kabupaten Batubara, Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Dimana potensi

pengembangan di wilayah Timur Sumatera Utara adalah penangkapan ikan,

pengolahan ikan. Budidaya Laut yang terdiri dari kerapu, kakap, dan kerang hijau,

Budidaya Tawar yaitu Mas, Nila, Lele, Patin, Gurame, Grass carp, Lobster air

tawar, Bawal tawar dan Ikan hias, Budidaya Tambak yaitu Rumput Laut, Udang

Vaname, Udang Windu, Kerapu, Kakap, Bandeng, sedangkan Budidaya perairan

umum yaitu Mas, Nila dll.

Kondisi Perikanan Di Sumatera Utara dan Ancamanya

Perikanan di Sumatera Utara wilayah pengembangan kedepanya dibagi

menjadi tiga wilayah masing wilayah pengembangan perikanan dan kelautan I, II

dan III. Daerah yang masuk wilayah I antara lain, Mandailing Natal, Sibolga,

Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Nias. Potensi unggulan wilayah itu

adalah penangkapan ikan lepas pantai dan perairan ZEE (Zona Ekonomi

Eksklusif). Wilayah pengembangan II yang merupakan bagian tengah Sumut

hanya bisa dikembangkan sebagai pusat perikanan budidaya. Misalnya, di sekitar

Toba Samosir, Simalungun, Dairi, dan Tapanuli Utara. Sama dengan wilayah I,

pembangunan perikanan di wilayah III, yakni di bagian timur Sumut, tetap akan

menjadi fokus pengembangan perikanan tangkap. Daerahnya terletak persis di

sekitar perairan Selat Malaka, yaitu mulai dari Langkat di perbatasan NAD,

hingga ke Medan, Deli Serdang, Tanjung Balai, Asahan, hingga Labuhan Batu

dekat perbatasan Riau. Pengembangan perikanan di wilayah II Sumut seharusnya

tidak menemukan banyak masalah karena lebih pada budidaya darat yang sudah

122

mengakar dari dulu di masyarakat. Persoalan paling besar di wilayah

pengembangan I dan III Sumut, sebab sebagai andalan dan pusat aktivitas

perikanan tangkap, maka ini terkait langsung dengan potensi alami di sana.

Pengurasan potensi perikanan laut yang tidak terkendali, apalagi dibarengi dengan

cara-cara penangkapan di luar batas, misalnya bom ikan, jelas akan menjadi

bumerang di belakang hari.

Potensi perikanan laut daerah ini sudah mulai tahap mengkhawatirkan,

bisa dilihat dari ketimpangan potensi alami antara perairan pantai timur dan pantai

barat Sumut. Ini mengkhawatirkan karena akan mengancam keberadaan dua

sumber produksi ikan terbesar Sumut. Sudah sejak lama pantai timur dan barat

Sumut menjadi ujung tombak perikanan tangkap, baik untuk pasar lokal, ekspor,

maupun industri perikanan. Belawan dan Sibolga terkenal sebagai pelabuhan

perikanan terbesar Sumut yang produksi ikan tangkapnya dikirim ke mana-mana.

Badan Riset Kelautan dan Perikanan tahun 2001 mencatat, potensi perikanan di

perairan pantai timur Sumut (sekitar Selat Malaka) tercatat sekitar 276.030 ton per

tahun. Sedangkan pemanfaatan per tahun 2003 tercatat sekitar 255.499,2 ton.

Angka ini memang mengejutkan karena, dengan data-data di atas, tergambar jelas

kondisi perairan pantai timur Sumut sudah mendekati over fishing atau padat

tangkap. Keadaan demikian menunjukkan betapa potensi perairan pantai timur

sekitar Selat Malaka sudah sulit dioptimalkan karena tingkat pemanfaatannya

mencapai 92 persen. Data Badan Riset Kelautan tersebut setidaknya memberi

gambaran bahwa eksploitasi potensi perikanan tangkap di daerah ini tampaknya

mulai timpang. Bandingkan dengan potensi perikanan di pantai barat Sumut

(sekitar Samudra Hindia). Potensi perairan ini tercatat 1.076.960 ton per tahun,

dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 baru mencapai 96.597,1 ton (8,96

persen)

Di Provinsi Sumatera Utara telah ditetapkan kawasan andalan yang

merupakan bagian dari kawasan budi daya baik di ruang darat maupun ruang laut

yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi

kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya.

Pada tahun 2011 diterbitkan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011

tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang,

123

dan Karo (Mebidangro) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-

Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Pasal 123 ayat (4)

Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Mebidangro berperan sebagai

alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan sebagai alat

koordinasi pelaksanaan pembangunan di kawasan Mebidangro. Peraturan

Presiden No. 13 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera untuk

melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang dan ketentuan Pasal 123 ayat (4) Peraturan Pemerintah

No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, perlu

menetapkan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera

(www.sumut-pemprov.go.id)

Kawasan Andalan Sektor Unggulan Perkotaan Metropolitan Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo (Mebidangro)

industri, perkebunan, pariwisata, pertanian, perikanan

Pematang Siantar danSekitarnya Perkebunan, pertanian, industri, pariwisata Rantau Prapat-Kisaran Perkebunan, kehutanan, pertanian, perikanan,

industri Tapanuli dan Sekitarnya Perkebunan, pertambangan, perikanan laut,

pertanian, industri, pariwisata

Nias dan Sekitarnya Pariwisata, perkebunan, perikanan Laut Lhokseumawe-Medan dan Sekitarnya

Perikanan, pertambangan

Laut Selat Malaka dan Sekitarnya Perikanan, pertambangan Laut Nias dan Sekitarnya Perikanan, pertambangan

Sumber: PP No. 26 Tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional A.2 Sulawesi Utara

Sulawesi Utara, secara geografis terletak pada posisi 0o30’ - 5 o 35’ LU, 123 o

30’ - 127 o 00’ Bujur Timur. Wilayah Sulawesi Utara berbatasan dengan Filipina

(utara), Teluk Tomini (selatan), Provinsi Gorontalo (barat) dan Laut Maluku

(timur). Luas wilayahnya 15.472,98 km2, terdiri dari Pulau Manado Tua, Pulau

Bangka, Pulau Talise, Pulau Bunaken, Pulau Mantehage, Pulau Lembeh, Pulau

Siau, Pulau Tagulandang, Pulau Karakelang, Pulau Karabuan, dan Pulau Salibabu.

Panjang garis pantai Provinsi Sulawesi Utara 1.837 km dengan luas daratannya

2.200 km2. Wilayah Perairan laut Provinsi Sulawesi Utara memiliki 124 pulau

yang terdiri dari 3 gugusan kepulauan:

124

1. Gugusan Kepulauan Talaud, terletak paling utara yang secara administratif

masuk di Kabupaten Talaud;

2. Gugusan Sangir Besar, secara administratif masuk di Kabupaten Sangihe;

3. Gugusan Tagulandang dan Biaro (disingkat Sitaro), menunggu status otonom.

Ada 15 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu:

Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan,

Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara,

Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa

Tenggara, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Sangihe, Kabupaten Sitaro,

Kabupaten Talaud, Kota Mubagu, Kota Bitung, Kota Manado, Kota Tumohon.

Perairan laut Provinsi Sulawesi Utara seluas 314.982 km2 mempunyai tingkat

produktifitas perikanan sebesar 8,84 ton per kilometer persegi per tahun atau 264.000 ton

per tahun. Disamping itu, terdapat budidaya perikanan yang mendukung potensi sektor

perikanan. Jenis ikan yang dikembangkan adalah ikan laut dan ikan tawar seperti:

kepiting, teripang, udang, cumi-cumi, bulu babi, ikan tuna, cakalang, kerapu, malalugis,

tongkol dan rumput laut.

Adapun lokasi ekosistem utama di Provinsi Sulawesi Utara dapat dijumpai pada:

1. Kawasan Pantai Selatan (KPS) yang meliputi wilayah perairan Minahasa.

2. Kawasan Pantai Utara ( KPU) yang meliputi wilayah perairan Minahasa Utara.

3. Kawasan perairan Selat Lembeh Kota Bitung (KPS Bitung).

4. Kawasan Perairan Sangihe termasuk Sitaro (KPS Sangihe).

5. Kawasan Perairan Talaud (KPT).

A.3 JAWA TIMUR

Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki kawasan laut hampir

empat kali luas daratannya dengan garis pantai kurang lebih 2.916 km. Subsektor

perikanan dapat dikelompokkan menjadi perikanan on-farm dan perikanan off-

farm. Perikanan on-farm terdiri dari perikanan laut dan perikanan darat,

sedangkan perikanan off-farm terdiri dari pengolahan ikan. Perikanan on-farm

merupakan kegiatan produksi perikanan yang terdiri dari perikanan laut dan

perikanan darat. Perikanan laut meliputi budidaya laut, budidaya tambak dan

perikanan tangkap laut sedangkan perikanan darat meliputi penangkapan ikan

perairan umum, budidaya kolam, budidaya jaring apung, budidaya minapadi,

125

budidaya sawah tambak dan budidaya karamba. Pengolahan ikan merupakan

kegiatan pasca produksi yang meliputi pengalengan, pembekuan, penggaraman,

pemindangan, pengasapan, fermentasi, pereduksian dan pelumatan. Kegiatan

perikanan tangkap laut membutuhkan infrastruktur tempat pendaratan atau

pelabuhan perikanan guna mendukung kegiatan usaha perikanan tangkap.

Tipe pelabuhan paling besar yang ada di Jawa Timur adalah pelabuhan

tipe B atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN). PPN di Jawa Timur ada dua

yaitu PPN Brondong di Kabupaten Lamongan dan PPN Prigi di Kabupaten

Trenggalek. Sedangkan pelabuhan tipe C atau Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)

di Jawa Timur berjumlah enam, yaitu: PPP Lekok di Kabupaten Pasuruan, PPP

Mayangan di Kota Probolinggo, PPP Muncar di Banyuwangi, PPP Paiton di

Kabupaten Probolinggo, PPP Pondokdadap di Kabupaten Malang serta PPP Puger

di Kabupaten Jember. Disamping itu juga terdapat Pangkalan Pendaratan Ikan

(PPI) yang tersebar di semua kota/kabupaten yang memiliki pesisir di Jawa

Timur. Jumlah PPI yang terdapat di Provinsi Jawa Timur berjumlah 87 PPI (KKP

2013).

Kegiatan perikanan tangkap laut di Jawa Timur dapat dibagi dalam dua

wilayah, yaitu pantai utara jawa dan pantai selatan jawa. Wilayah yang termasuk

pantai utara Jawa adalah Kabupaten Tuban, Lamongan, Gresik, Kota Surabaya,

Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Sidoarjo, Pasuruan, Kota

Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo dan Kabupaten Situbondo.

Wilayah pantai selatan Jawa meliputi Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang,

Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek dan Pacitan.

Jumlah alat tangkap di Jawa Timur sebanyak 171.502 unit yang terdiri dari

143.019 unit alat tangkap di laut dan 28.483 unit alat tangkap di perairan umum

daratan. Unit penangkapan ikan di Jawa Timur dapat dikelompokkan menjadi

pukat kantong, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, perangkap, alat

pengumpul kerang, alat pengumpul rumput laut dan lain-lain. Pukat kantong yang

ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi payang, dogol dan pukat pantai,

sedangkan jaring insang terbagi menjadi jaring insang hanyut, jaring insang

lingkar, jaring insang tetap dan jaring tiga lapis (trammel net). Jaring angkat yang

ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi bagan perahu/rakit, bagan tancap,

126

serok, dan jaring angkat lainnya. Pancing terbagi menjadi rawai hanyut lain selain

rawai tuna, rawai tetap, pancing tonda dan pancing lainnya, sedangkan perangkap

dibagi menjadi bubu dan perangkap lainnya. Alat pengumpul terbagi menjadi alat

pengumpul kerang. Alat tangkap lainnya terbagi menjadi jala, tombak dan

sebagainya. Jumlah nelayan di Jawa Timur mencapai 251.849 orang. Sebaran

nelayan di pantai utara Jawa Timur terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep

sebanyak 40,015 orang (18%), selanjutnya jumlah nelayan terbanyak di pantai

Selatan Jawa Timur adalah Kabupaten Banyuwangi sebanyak 25.598 orang atau

11% dari jumlah nelayan di Jawa Timur.

Kegiatan usaha on-farm perikanan selain perikanan tangkap adalah

perikanan budidaya yang meliputi tambak, laut, kolam, karamba, jaring apung,

sawah tambak dan minapadi. Kegiatan budidaya perikanan ditandai dengan

penebaran benih ikan yang dibudidayakan. Berdasarkan jenisnya, benih ikan

berasal dari air tawar dan air laut. Benih dari air tawar meliputi ikan tawes, ikan

mas, ikan mujair, ikan nila, ikan gurami, ikan lele, ikan patin, ikan hias air tawar,

katak, udang galah, dan lobster air tawar. Benih dari air payau yakni ikan kerapu,

ikan kakap, ikan bandeng, udang windu, udang vaname, udang putih, gracilaria,

dan rumput laut cottoni.

Jumlah terbanyak adalah pembudidaya kolam, diikuti pembudidaya laut

dan tambak. Jumlah pembudidaya terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep

sebesar 80.567 (29%) diikuti Lamongan sebesar 46.395 (16,9%). Luas areal lahan

yang paling besar digunakan untuk budidaya adalah budidaya laut dimana

Kabupaten Sumenep menjadi kabupaten dengan luas lahan budidaya laut terluas

di Jawa Timur yang mencapai 287.325 ha (99%). Jumlah produksi perikanan

budidaya Jawa Timur pada tahun 2012 mencapai 929.173,87 ton dengan

kontributor terbesar dari budidaya laut yang mencapai 563.087,4 ton (61%).

Usaha pasca panen atau off-farm perikanan memanfaatkan output perikanan

onfarm baik dari perikanan tangkap maupun budidaya. Usaha pengolahan ikan

terbanyak adalah penggaraman, pengasapan dan pemindangan. Berbagai usaha

pengolahan ikan tersebar hampir merata di seluruh wilayah Jawa Timur.

127

A.4 D.I YOGYAKARTA

Potensi Perikanan

Potensi sumber daya alamnya bervariasi, seperti pertanian, kehutanan,

kelautan, dan perikanan. Luas lahan sawah irigasi teknis seluas 18.506 ha, dan

non irigasi teknis 29.848 ha, sedangkan potensi dan pemanfaatan di bidang

kelautan dan perikanan terdiri dari perairan umum seluas 3.113,5 ha dengan

tingkat pemanfaatan 5,20 ha, tambak 650 ha dengan tingkat pemanfaatan 58 ha,

sawah sebesar 240 ha belum dimanfaatkan; kolam 4.630,2 ha dengan tingkat

pemanfaatan 915 ha, dan mina padi sebesar 10.265,6 ha dengan tingkat

pemanfaatan 1.233 ha.

Pada tahun 2007, produksi perikanan tangkap laut sebesar 2.629,0 ton (Bantul

245,1 ton; Gunung Kidul 1.957,4 ton; Kulon Progo 426,5 ton), sedangkan

produksi perikanan budidaya sebesar 11.949 ton terdiri dari:

Tambak sebesar 300,5 ton (Gunung Kidul 26,2 ton; Bantul 243,8 ton; Kulon

Progo 30,5 ton)

Kolam sebesar 11.410,4 ton (Gunung Kidul 305,3 ton; Bantul 976,7 ton;

Kulon Progo 2.255,3 ton; Sleman 7.847,7 ton; dan Yogyakarta 25,4 ton)

Sawah 156,7 ton (Sleman 156,6 ton; dan Yogyakarta 0,1 ton)

Keramba 47,1 ton (Gunung Kidul 0,9 ton; bantul 21,6 ton; Kulon Progo 2,5

ton; Sleman 17,5 ton; dan Yogyakarta 4,6 ton)

Jaring Apung 146,9 ton (Gunung Kidul 0,5 ton; dan Kulon Progo 146,4 ton)

Air payau sebesar 300,5 ton (bandeng 2 ton; udang windu 2,9 ton; dan udang

vanamae 295,6 ton).

Ikan Hias air tawar sebesar 30.777.765 ekor (Bantul 22.613.000 ton; Kulon

Progo 285.537 ton; Sleman 7.818.000 ton; dan Yogyakarta 61.228 ton).

Rumah Tangga Nelayan & Pembudidaya Ikan

Profil rumah tangga perikanan menunjukkan bahwa tidak seluruh

kehidupannya bergantung pada sektor perikanan, hal ini dikarenakan bahwa rata-

rata persentase penghasilan rumah tangga dari usaha sektor perikanan terhadap

total penghasilan rumah tangga per bulan di Provinsi Yogyakarta sebesar 69,85%.

Dilihat dari sisi pendidikan tertinggi yang ditamatkan, maka pendidikan Sekolah

128

Dasar/Sederajat merupakan pendidikan yang paling banyak ditamatkan bagi

anggota rumah tangga, yaitu tercatat sebesar 29,39%. Pada tingkat pendidikan

tertinggi yang ditamatkan untuk SMP/sederajat sebesar 16,36%. Kemudian untuk

pendidikan SMA/sederajat dan Perguruan Tinggi, masing-masing sebesar 19,39%

dan 3,94%. Persentase anggota rumah tangga yang berumur 10 tahun ke atas

sebesar 81,43%, diantaranya yang berusaha di sektor perikanan selama setahun

yang lalu adalah sebesar 44,66%.

Usaha Penangkapan

Nelayan di Provinsi Yogyakarta lebih banyak yang berusaha secara

berkelompok dibandingkan dengan perseorangan, masing-masing sebesar 56,86%

dan 43,14%. Walaupun kebanyakan nelayan melakukan usaha penangkapan

secara berkelompok, namun jenis perahu/kapal yang digunakan oleh nelayan

adalah kapal motor tempel (39,22%) dan motor (17,65%). Alat tangkap utama

yang digunakan paling banyak adalah jaring insang (80,00%) disusul jaring

angkat (20,00%). Untuk lokasi pembongkaran hasil tangkapan adalah sepenuhnya

di darat yaitu 100%. Dari hasil tangkapan tersebut, seluruhnya dijual di lokasi

setempat (daerah asal) tidak keluar ke kabupaten/kota, dengan menggunakan alat

pengangkut seluruhnya menggunakan tenaga manusia. Hasil tangkapan tersebut

dijual paling banyak di TPI/PPI/PP (98,00%), restoran/rumah makan (2,00%).

Pada umumnya hasil tangkapan tersebut dijual dalam keadaan segar yaitu sebesar

98,00%, dan dalam keadaan hidup sebesar 2,00%.

Usaha Pembudidayaan Ikan

Dalam usaha pembudidayaan ikan, modal awal yang paling banyak

digunakan adalah dari modal sendiri sebesar 82,50%, koperasi sebesar 5,00%, dan

lainnya 12,50%. Usaha tersebut pada umumnya dilakukan secara perorangan

sebesar 97,44% dengan jenis usaha pembenihan sebesar 53,85% dan pembesaran

sebesar 43,59%, sedangkan yang dilakukan secara berkelompok sebesar 2,56%

yang merupakan juga usaha pembenihan. Dari usaha pembenihan, wadah/tempat

yang paling banyak digunakan adalah kolam sebesar 41,03%, disusul sawah

129

sebesar 15,38%. Sedangkan untuk usaha pembesaran, wadah/tempat yang paling

banyak adalah kolam sebesar 33,33%, disusul sawah 10,26%.

Dari status lahan yang dimiliki berkaitan dengan wadah/tempat yang

digunakan, maka status kepemilikan milik sendiri/bebas sewa menempati urutan

tertinggi yaitu sebesar 40,00% dengan wadah/tempat yang digunakan adalah

kolam sebesar 30,00 persen, dan sawah 10,00%, status lahan lainnya adalah sewa,

dan bagi hasil masing-masing 37,50%, dan 2,50%.

Dalam keikutsertaan di kelembagaan koperasi, sebagian besar rumah

tangga usaha pembudidayaan ikan telah menjadi anggota koperasi, hal ini tercatat

sebesar 57,50%, penyebabnya terutama dikarenakan tidak adanya koperasi di desa

mereka, lokasi koperasi yang sulit dijangkau, tidak berminat, ada koprasi tetapi

tidak aktif.

Hasil produksi ikan di Provinsi D.I Yogyakarta sebagian besar dijual

kepada pedagang/pasar sebesar 52,50%, sedangkan sisanya dijual ke koperasi,

pembudidaya masing-masing sebesar 12,50%, ke juragan/bakul sebesar 7,50%,

dan konsumen/rumah tangga sebesar 2,50%. Dalam pemasaran hasil produksi,

para pembudidaya ikan tidak mengalami kesulitan karena para pembeli

kebanyakan mendatangi, tetapi mengalami kesulitan pemasaran apabila hasil

produksinya melimpah atau kwalitas buruk. Sedangkan cara pembayaran hasil

penjualan pada umumnya dilakukan secara kontan.

130

B. STATISTIK PERIKANAN

B1. PRODUKSI PERIKANAN

B2. JUMLAH SERTIFIKAT KELAYAKAN PENGOLAHAN (SKP)

B3. JUMLAH UPI YANG BERSERTIFIKAT SKP

0200000

400000

600000800000

1000000

12000001400000

1600000

2010 2011 2012 2013 2014

Prod

uksi

(ton

)

Tahun

Sumut

Yogyakarta

Jatim

Sulut

020406080

100120140160180200

2010 2011 2012 2013 2014 2015

SKP

(uni

t)

Tahun

Sumut

Yogyakarta

Jatim

Sulut

0

20

40

60

80

100

120

2010 2011 2012 2013 2014 2015

Jum

lah

UPI

Tahun

Sumut

Yogyakarta

Jatim

Sulut

131

B4. ANALISIS NILAI LOCATION QUETIONS (LQ) DAN SHIFT SHARE

ANALYSIS (SSA)

Analisis LQ

Penggunaan analisis metode LQ, kita dapat mengamati keunggulan-

keunggulan kompetitif suatu wilayah terhadap wilayah sekitarnya. Nilai LQ yang

lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa sektor/sub sektor ini lebih unggul

dibandingkan dengan sektor/sub sektor yang sama di wilayah lainnya. Sebaliknya,

nilai LQ yang kurang dari 1 berarti bahwa sektor/sub sektor yang diamati tidak

kompetitif. Analisis LQ provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara

dan Yogyakarta berdasarkan perkembangan PDRB provinsi dibandingkan PDRB

nasional pada tahun 2010-2014. Perkembangan nilai LQ lokus 4 provinsi pada

tahun 2010-2014 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Nilai LQ Lokus Pilihan

Berdasarkan nilai LQ produktivitas perikanan rata-rata pada tahun 2010-

2014 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Utara, sumatera Utara

tergolong sektor perikanan basis (LQ>1), artinya provinsi tersebut memiliki

potensi menjadi sector basis unggulan dalam peningkatan perekonomian wilayah,

sedangkan provinsi Yogyakarta sektor perikanan tergolong non basis (LQ<1).

Solusi yang ditawarkan dalam pengembangan sector perikanan agar menjadi basis

local adalah dengan peningkatan inovasi pengembangan produk dan arah

pembangunan perikanan sebaiknya diutamakan pada usaha peningkatan nilai

1,06

3,66

1,21

0,190,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

3,50

4,00

Jawa Timur SulawesiUtara

SumateraUtara

Yogyakarta

Loc

atio

n Q

uest

ion

(LQ

)

Provinsi

Rata-rata2010-2014

132

tambah perikanan dengan meningkatkan produktivitas usaha pengolahan ikan

sehingga mampu menarik atau memanfaatkan output subsektor perikanan laut dan

darat. Prioritas wilayah pengembangan perikanan hendaknya memperhatikan

aspek keunggulan kompetitif dan spesialisasi perikanan suatu daerah dan unsur

pemerataan pengembangan ekonomi di wilayah.

Analisis SSA

Analisis keunggulan kompetitif wilayah dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui pergeseran struktur ekonomi dari suatu sektor dibandingkan dengan

cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pergeseran struktur

ekonomi tersebut dapat menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness)

dari suatu sektor ekonomi serta menjelaskan kinerja sektor tersebut. Hasil analisis

SSA Provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Yogyakarta dapat

dilihat pada Gambar 3. Hasil Analisis menunjukkan bahwa struktur ekonomi ke-

empat provinsi tersebut mengalami perkembangan.

Gambar 3 Hasil analisis Shift Share

0,82 0,87

0,640,79

0,000,100,200,300,400,500,600,700,800,901,00

Jawa Timur SulawesiUtara

SumateraUtara

Yogyakarta

Nila

i SSA

Provinsi

Nilai SSA2010-2014

Direktorat Kelautan dan Perikanan Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS

Gedung TS2A Lantai 5 Jl. Taman Suropati No.2, Jakarta 10310

Telepon/Fax: 021-3107960; Email: [email protected]