industrialisasi di Riau
Transcript of industrialisasi di Riau
TERJEBAK ARUS PERUBAHAN
RAKYAT KORBAN INDUSTRIALISASI DI RIAUDI RIAUDI RIAUDI RIAU
OLEH M RAWA EL AMADY
DAFTAR ISI
Halaman
Ucapan Terima Kasih i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi v
Pendahuluan 1
Orang Kampung Ditimpa Pulp 3
Respon Rumah Tangga pada Industria di Pangkalan Kerinci 75
Pendekatan Usaha Komunitas : Alternatif Linkage Industri - Desa 79
Daftar Bacaan 82
UCAPAN TERIMA KASIH
Banyak orang yang telah berjasa sehingga memungkinkan saya dapat
menyelesaikan tulisan sederhana ini. Teruma sekali saya ucapkan kepada Prof. Dr.
Rahimah Abdul Aziz, yang merupakan penyelia pada program Ph.D. di Jabatan
Antropologi dan Sosiolgi FSKK Universiti Kebangsaan Malaysia yang belum juga saya
selesaikan, Kepada Prof. Dr. Mohammed Saleh Lamry, penyelia saya pada program MA
di jabatan yang sama, Prof. Dr. Shamsul Amri Baharuddin yang secara khusus
mengajarkan metoda semasa mengambil program Ph.D.di UKM Malaysia, Prof. Dr.
Anke Niehof dari NHF (Neys-Van Hoogstraten Foundation) Belanda yang memberi
banyak masukan dan bantuan penelitian kepada saya untuk di Pangkalan Kerinci. Pada
bab “Industrialisasi di Pangkalan Kerinci” yang penelitiannya dibiayai oleh NHF Belanda
untuk itu saya secara khusus ucapkan terima kasih. Teristimewa untuk isteri tercinta dan
anak semata wayang Pharid El Amady yang setiap saat selalu mendatangkan tangisan
karena kerinduan yang begitu dalam, secara khusus ucapan cinta kepada isteri tercinta
Onih Suryana yang dengan tabah menjadi hidup dalam susah dan bahagia bersama ku.
Terima kasih yang sangat besar kepada beberapa pihak yang tidak bisa saya
sebutkan terutama kepada para informan yang telah besedia meluangkan waktunya untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saya.
rw
KATA PENGANTAR
Rezim otoriter Soeharto ternyata membawa pengaruh yang sangat besar pada kehidupan
berbangsa dan bernegara. Otoriterism yang dibawanya bukan saja mampu merombak
tatanan politik, ekonomi dan sosial tetapi juga ikut merombak tatanan rumah tangga dan
mentalitas individu. Perubahan yang dibuatnya bahkan mengejutkan pakar-pakar sosial
tentang perpecapatan perubahan yang terjadi. Revolusi perubahan sosial dan lingkungan
alam mampu membuktikan bahwa teori Scott tentang sikap petani terhadap perubahan
dan kecenderungan pemberontakan petani terbantahkan.
Sejak tahun 1987 saya selalu mengamati dampak dari rezim Soeharto ini, waktu itu saya
ingin melihat bagaimana bolduzer politik Soeharto yaitu TNI berjalan secara sistematis
hingga di pedesaan. Waktu itu, saya menuangkan pikiran saya dalam penelitian yang
cukup memakan waktu yaitu konsolidasi TNI di Riau. Sejak tahun 1992 saya selalu turun
penelitian ke desa-desa dan melihat bagaimana rakyat diabaikan oleh negara.
Pada tahun 1996 saya merubah haluan bidang studi ke Sosiologi Pembangunan.
Tahun 1997 saya mulai berada di kawasan industri Indah Kiat Perawang tepatnya di
Kampung Pertiwi, hasilnya dapat dibaca pada bagian enam dari tulisan ini, yang
merupakan apreasiasi pertama saya dalam memahami beban masyarakat akibat
otoriterism Soeharto. Beruntung sekali saya tahun 1999 saya mendapat bantuan
pembiayaan dari Neys Van Hoostraten Foundation (NHF) Belanda. Selama tidak lebih
setahun saya melakukan penelitian sehingga melahirkan tulisan pada bagian lima
“Respon Rumah Tangga pada Industri di Pangkalan erinci.”
Buku ini secara jelas mengemukakan bahwa masyarakat selalu menjadi korban
kekuasaan. Negara tidak pernah merumuskan kebijakan yang berpihak kepada
masyarakat, bahkan kesannya negara ini adalah milik satu keluarga di Cendana dan
kroninya yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Terakhir, saya mengucapkan selamat membaca semoga ada manfaatnya.
PENDAHULUAN
Kemiskinan dan korupsi selalu menjadi agenda utama di Indonesia tetapi tidak
juga berkurang. Kemiskinan dan korupsi dari persfektif struktural tidak lepas dari peran
negara atau pejabat negara dalam menjalankan tata pemerintahan. Pemerintahan yang
dijalankan secara otoriter akan menyuburkan kemiskinan dan korupsi. 32 tahun Indonesia
sebagai negara otoriter menempatkan Indonesia di posisi nomor dua di Asia.
Penlitian yang dilakukan dilakukan sepanjang tahun 1997 hingga 2002
menunjukkan bahwa kemiskinan dan korupsi ternyata bersumber dari kebijakan negara.
Negara, melalui kebijakan industrialisasi melakukan mobilisasi kemiskinan di seluruh
Indonesia sebelum reformasi. Bagi negara, mobilisasi kemiskinan berarti mempercepat
akomulasi kekayaan, karena pada proses mobilisiasi kemiskinan tersebut negara
mengambil untung melalui korupsi, dan kolusi dengan investor. Kawasan industri Bintan,
Pangkalan Kerinci dan Perawang menjadi saksi hidup dan tidak bisa terbantahkan.
Model yang diambil pemerintah dalam memobilisasi kemiskinan adalah bangun
industri di pedesaan, rampas tanah rakyat, usir rakyat dan jual tanah itu ke invertor lalu
negara menjamin tindakan investor melalui undang-undang yang segaja dibuat. Untuk
mempercepat proses mobilisasi kemiskinan tersebut pemerintah menggunakan alat
negara yaitu birokrat dan tentara yang bertugas memaksa rakyat untuk mengikuti
kehendak negara. Maka, mereka yang berperinsib menjilat ke atas menginjak ke bawah
yang akan menikmati kekayaan pada rezim Orde Baru tersebut.
Pemerintah dan investor mengunakan pendekatan mordernisasi dalam menilai
masyarakat. Masyarakat dituduh memiliki budaya malas dan tidak mampu bekerja,
bahkan dalam banyak hal masyarakat dituduh anti terhadap pembangunan. Pemerintah
menuduh masyarakat yang budaya ekonomi dengan sistem ladang berpindah-pindah
sebagai penyebab kerusakan hutan, sehingga dikeluarkan peraturan pelarangan.
Sementara pemerintah mengeluarkan izin HPH (Hak Penguasaan Hutan) sampai ke
kampung-kampung penduduk. Dalam kasus Riau tahun 1995 menunjukan bahwa luas
HPH melebihi luas daratan yang ada di Riau.
Hasil penelitian yang saya (2002) lakukan di Pangkalan Kerinci Kabupaten
Pelalawan menunjukkan bahwa ternyata masyarakat mampu berubah dan beradaptasi
terhadap perkembangan industrialisasi, padahal tanpa intervensi pemerintah. Justeru
pemerintahan yang korup membuat sekat-sekat atau halangan untuk masyarakat terlibat
dalam proses industrialisasi. Atas dasar itulah saya menulis buku ini, sebagai informasi
atas kerakusan investor dan pemerintah (negara) dan sekaligus menunjukkan bahwa
asumsi yang dikembangkan pemerintah dan investor dilatar belakangi oleh niat jahat.
Buku ini berupa kajian lapangan yaitu hasil penelitian lapangan dan perpustakaan
penulis, meliputi strategi industrialisasi Orde Baru, Perubahan Sosial di Pangkalan
Kerinci, Perubahan Sosial di Kampung Pertiwi Perawang, dan terkahir tentang strategi
linkage industri dengan masyarakat tempatan.
Secara umum, penelitian lapangan menunjukkan bahwa industri merugikan
masyarakat, pemerintah dan indutri tidak memiliki respon alternatif untuk melibatkan
masyarakat dalam proses industrialiasi. Oleh sebab itu, pada tulisan terakhir penulis
sampaikan alternatif pemikiran untuk me-linkage-kan antara industri dengan masyarakat
di sekitar industi.***
ORANG KAMPUNG DITIMPA PULP ( INDUSTRIALISIASI KAMPUNG PERTIWI)
Sebelum kehadiran pabrik kertas Indah Kiat pada tahun 1982 dan pabrik Pertiwi
Plywood pada tahun 1987, Kampung Pertiwi Kabupaten Siak Provinsi Riau merupakan
daerah yang terpencil, meskipun pada tahun 1962 di Perawang telah dibangun jalan raya
oleh perusahaan minyak PT Caltex Pacific Indonesia (CPI). Perhubungan hanya melalui
jalan sungai, dan memerlukan waktu sehari jika hendak ke Siak atau ke Pekanbaru.
Penduduk Kampung Pertiwi baru merasakan pengaruh kehadiran industri pada tahun
1985 ketika pabrik kertas Indah Kiat mulai berproduksi. Pengaruh kehadiran industri
makin dirasakan penduduk Kampung Pertiwi pada tahun 1992 ketika perusahaan
perkebunan kayu untuk industri (HTI) PT Arara Abadi bersama pemerintah mengambil
tanah rakyat secara besar-besaran.
Kampung Pertiwi berada di pinggir Sungai Siak dan penduduknya bergantung
hidup pada hutan dan sungai. Sungai Siak bagi penduduk Kampung Pertiwi mempunyai
arti yang amat penting. Selain sebagai alat transportasi, sungai itu juga tempat mereka
memenuhi keperluan air minum, tempat mandi, tempat mencuci, sebagai sumber
pendapatan --mencari ikan-- dan tempat membuang air besar dan air kecil.
Keadaan Ekonomi Keadaan ekonomi penduduk dapat dilihat dari; Pertama, Pemilikan Tanah
(Kebun). Pemilikan tanah (kebun) dapat diketahui dari jumlah tanah yang diperolehi
melalui pembukaan hutan, warisan dan pembelian. Hak milik mereka bukan berdasarkan
bukti secara tertulis, tetapi berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat bahwa tanah
tersebut milik seseorang (keluarga) yang ditandai oleh batas tanaman atau kayu besar.
Untuk menentukan luas tanah mereka, penduduk Kampung Pertiwi menggunakan ukuran
sebidang atau depa (sepanjang kedua belah tangan) atau petakan ladang.
Jumlah tanah yang dimiliki oleh setiap keluarga di Kampung Pertiwi paling
sedikit 30 hektar. Bagaimanapun, jumlah keseluruhan tanah penduduk tidak dapat
diketahui, hanya dapat diperkirakan berdasarkan jumlah tanah yang diambil perusahaan
dan pemerintah, dan tanah penduduk yang masih tersisa sekarang. Tanah yang telah
diambil PT Arara Abadi seluas 502 hektar, yang diambil pabrik kertas PT Indah Kiat
seluas 420 hektar, yang diambil PT Pertiwi Plywood seluas 50 hektar, yang diambil
pemerintah seluas 254.9 hektar, dan jumlah tanah yang dipunyai penduduk kira-kira 119
hektar serta seluas 60 hektar tanah kepala Desa Pinang Sebatang. Jumlah keseluruhan
tanah yang dapat dikira seluas 1,405.9 hektar. Jumlah ini tidak termasuk tanah yang
dibeli tauke China, dan tanah di seberang Kampung Pertiwi.
Kedua, Pekerjaan. penduduk Kampung Pertiwi sangat bergantung pada hutan,
karena hutan bagi mereka merupakan critical support dan food security (Loekman
Sutrisno, 1991). Oleh sebab itu, pekerjaan utama penduduk Kampung Pertiwi adalah
bertani. Setiap tahun mereka membuka hutan untuk berladang, termasuk menanam karet.
Walaupun berladang menjadi tradisi pertanian mereka tetapi sebenarnya pekerjaan utama
penduduk adalah menyadap karet, karena hasil karet menjadi sumber utama untuk
memenuhi keperluan keluarga apabila hasil ladang mereka tidak mencukupi untuk
setahun. Menyadap karet merupakan pekerjaan rutin mereka sehari-hari, disamping
membuka ladang, mencari kayu, mencari rotan dan damar, serta mencari ikan.
Di ladang, penduduk Kampung Pertiwi menanam padi, sayur-sayuran, buah-
buahan dan membuat kebun karet. Penghasilan padi bergantung pada keadaan hama dan
keadaan alam. Secara umumnya, padi mereka sekurang-kurangnnya dapat digunakan
selama delapan bulan setelah menuai, atau sampai musim menuai yang akan datang. Jika
padi mereka mencukupi untuk setahun kehidupan mereka akan lebih baik, karena mereka
hanya perlu berhutang untuk memenuhi keperluan gula, garam, tepung dan makanan
ringan lainnya. Akan tetapi, jika persediaan padi tidak mencukupi, mereka terpaksa
berhutang pada tauke.
Bagi mereka yang rajin dan karet yang mereka toreh sedang banyak hasilnya,
pendapatan mereka satu hari boleh mencapai 30 kilogram. Jika harga karet Rp1.200,00
sekilo mereka boleh mendapat pendapatan Rp 36.000, sehari. Umumnya penduduk
menyadap karet paling banyak 20 hari dalam sebulan, maka pendapatan mereka boleh
mencapai Rp 720.000,00 sebulan. Akan tetapi karena mereka biasanya sentiasa
berhutang, uang sebanyak itu jarang dilihat oleh mereka, sebab karet hasil torehan
mereka langsung diserahkan kepada tauke.
Pekerjaan lain yang biasa dilakukan oleh penduduk Kampung Pertiwi ialah
mencari kayu balak untuk dijual kepada perusahaan Plywood. Pendapatan mereka dari
jualan kayu tidak tetap, dan berdasarkan harga yang ditentukan oleh pihak pabrik ketika
mereka menjualnya. Pekerjaan mencari kayu memerlukan waktu yang lama. Begitu juga
dengan mencari rotan, damar, menangkap binatang, menangkap ikan dan menjual sayur
di pasar. Semua pekerjaan itu dapat menghasilkan uang, tetapi tidak dapat ditentukan
jumlahnya, dan tidak begitu mempengaruhi pendapatan keluarga mereka.
Sungai Siak juga merupakan sumber pekerjaan bagi penduduk Kampung Pertiwi.
Mereka menjalankan pelayanan pengangkutan untuk membawa penduduk dari Very ke
Kampung Pertiwi dengan bot. Setiap perahu biasanya dapat mengangkut 15 hingga 20
penumpang. Jumlah penduduk Kampung Pertiwi yang memiliki perahu motor hanya lima
orang pada tahun 1980-an. Sehari pendapatan bersih mereka bias mencapai Rp 80.000,-
pada hari pekan, tetapi hanya Rp.12.000,- pada hari biasa.
Aspek Sosial
Aspek sosial di sini dilihat dari aspek mobilitas penduduk, peranan isteri dalam
rumah tangga, dan kepemimpinan kampung. Pertama, Mobilitas Penduduk. Mobilitas
penduduk di sini diukur berdasarkan aktivitas keluar kampung yang dilakukan oleh
penduduk Kampung Pertiwi untuk memenuhi keperluan hidup mereka. Ukuran ini
sebenarnya susah untuk dibuktikan secara kuantitatif, sebab selain tidak tersedia data
yang lengkap, bagi penduduk yang telah pindah tidak diketahui pula ke mana mereka
pindah. Pembuktian hanya dapat dilakukan melalui analisa diskriptif berdasarkan
aktivitas yang dilakukan oleh mereka sebelum kehadiran industri. Faktor pendukung dari
gambaran aktivitas adalah pelayanan perhubungan, ketersediaan pasar, dan aktivitas
berladang.
Terdapat dua aktivitas penduduk yang mendorong mereka bermobilitas keluar
kampung, yaitu berbelanja dan bekerja. Bagi petani ladang, umumnya pada setiap hari
pekan (Jumat) kira-kira 90% mereka pergi ke pasar di Desa Tualang. Bagi anak-anak
muda, mereka umumnya pergi ke Desa Tualang, Very2, Pekanbaru dan Siak Sri
Indrapura untuk menjual hasil pertanian. Bahkan ada seorang penduduk Pertiwi yang
merantau ke Malaysia untuk bekerja.
Mobilitas penduduk sebelum masuknya Industri paling banyak ke Desa Tualang
dan ke Very untuk berbelanja atau ke Very untuk bekerja. Penduduk yang pergi ke
Pekanbaru sangat sedikit, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Paling jauh pun penduduk
Kampung Pertwi pergi ke Siak Sri Indrapura. Yang menghalangi mereka pergi ke tempat
yang agak jauh ialah kekurangan sarana transportasi, karena satu-satunya yang ada
hanyalah transportasi melalui sungai dengan menggunakan bot atau kapal laut. Faktor
tidak dapat meninggalkan ladang juga menjadi penyebab mereka sukar meninggalkan
kampung. Akan tetapi, karena di dalam kampung mereka tidak ada pasar, mereka
terpaksa pergi ke Desa Tualang untuk berbelanja.
Kedua, Peranan Isteri. Peranan isteri di Kampung Pertiwi secara idealnya adalah
sebagai ibu rumah tangga , yaitu tidak melakukan aktivitas ekonomi di luar rumah dan
hanya mengurus rumah tangga saja. Seorang suami yang baik adalah suami yang
memberi kesempatan kepada isteri diam di rumah saja. Apabila seorang suami yang baru
menikah mengajak isterinya bekerja ---bahkan tinggal di ladang pun-- dia akan mendapat
penilaian yang kurang baik dari masyarakatnya. Sebaliknya pula, kemampuan seorang
suami membiarkan isterinya tinggal di rumah mengurus rumah tangga saja, menjadi
indikator kesejahteraan keluarganya.
Akan tetapi, pada realitasnya isteri tidak hanya menjadi ibu rumah tangga
semata-mata, sebab seorang isteri juga ikut bekerja membantu suami di ladang,
membersihkan ladang, menuai padi bahkan ramai ikut menemani suami menyadap karet.
Seorang isteri biasanya ikut bekerja apabila telah lebih setahun menikah, tidak sedang
hamil, ataupun anaknya sudah berumur lebih dari lima tahun.
Walaupun isteri ikut bekerja, tetapi semua hasil kerjanya diserahkan kepada
suami yang menjadi kepala keluarga. Setelah semua pendapatan diperoleh barulah suami
membagikan uang tersebut untuk keperluan keluarga. Semua keputusan dalam keluarga
sepenuhnya menjadi hak suami. Isteri hanya berhak memberi pendapat, tetapi wajib
mendukung keputusan yang telah diambil oleh suami.
Ketiga, Kepemimpinan Kampung. Sejak Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979
tentang Pemerintah di Desa dilaksanakan, sistem administrasi seluruh desa di Indonesia
telah diseragamkan. Kampung-kampung kecil yang tidak memenuhi persyaratan sebuah
desa digabungkan dengan kampung lain agar memenuhi persyaratan sebuah desa.
Kampung Pertiwi yang merupakan kampung kecil yang terdiri daripada 30 keluarga telah
digabungkan dengan tiga kampung lain menjadi Desa Pinang Sebatang. Status kampung
juga diganti menjadi desa, yang tidak mempunyai otoritas pada kawasan kampung
tersebut.
Sejak tahun 1980 hingga kini, Desa Pertiwi berada di bawah kepemimpinan
Kepala Desa Pinang Sebatang yang mempunyai kekuasaan penuh ke atas kampung-
kampung di bawahnya. Sebagai pembantu kepala desa diangkat seorang Kepala Dusun
(kadus), ketua Rukan Warga (RW) dan ketua Rukun Tetangga (RT). Namun kepala
dusun(kadus), RW dan RT tidak memiliki kekuasaan atas kampungnya. Kadus tidak
dapat membuat perencanaan untuk kampungnya, melakukan jual-beli tanah, dan
2 Very adalah tempat penyebrangan yang dibuat PT CPI (Caltex Pacific Indonesia) pada tahun 1962, berada
di desa Pinang Sebatang
mengambil keputusan atas nama kampung. Kapala dusun hanya berfungsi melaksanakan
urusan administrasi untuk mendukung program kepala desa.
Kepemimpinan informal, seperti pemuka adat tidak lagi dianggap sebagai
pemimpin kampung. Mereka dihimpunkan oleh pemerintah dalam LMD (Lembaga
Mesyuarat Desa) dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), dan tugas mereka
hanyalah mendukung arahan pemerintahan. LKMD dan LMD tidak ada pada peringkat
kampung, hanya ada pada peringkat desa saja. Dari segi pemeritahan, tokoh agama, adat
dan orang tua tidak lagi berhak menentukan arah perkembangan kampung. Semua
perkembangan kampung ditentukan dalam rapat peringkat desa.
Kepala desa dipilih melalui pemilihan suara oleh penduduk desa. Kepala dusun
ditunjuk oleh kepala desa, sedangkan ketua RW dan RT dipilih dalam rapat penduduk
kampung. Unsur adat tidak menjadi dasar pemilihan kepala kampung. Kepala dusun
dipilih berdasarkan kemampuannya mengelola administrasi kampungnya dan dapat
bekerja sama dengan kepala desa. Hubungan masyarakat dengan kepala dusun hanya
hubungan administrasi saja. Apabila timbul sesuatu masalah dalam masyarakat akan
diselesaikan pada peringkat desa.
Eksploitasi Kapitalis
Untuk menganalisis perubahan di atas, pendekatan yang dipakai adalah
pendekatan ekonomi politik Marx, melalui pembagian masyarakat di tempat penelitian
menjadi dua kelas, yaitu kelas borjuis dan kelas petani kecil. Kelas borjuis terdiri dari
borjuis metropolis dan borjuis tempatan. Borjuis metropolis adalah perusahaan
mutinasional yang menginvestasikan modalnya di Indonesia khususnya di Kampung
Pertiwi dengan mendirikan pabrik kertas PT Indah Kiat dan perusahaan tanaman kayu
(HTI) PT Arara Abadi. Borjuis tempatan pula terdiri dari pegawai pemerintah (dari
pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan kepala desa), dan pengusaha
China. Kelas borjuis ini bersatu melakukan eksploitasi terhadap kelas petani kecil.
Borjuis pemerintah memiliki kekuasaan resmi (yang otoriter) sedangkan pengusaha
China, dan pengusaha multinational memiliki modal dan teknologi. Dua kekuasaan
bersatu untuk mengeksploitasi sumber alam yang ada di Kampung Pertiwi.
Untuk mendapatkan data penulis tinggal bersama penduduk Kampung Pertiwi
dari November hingga Desember 1996. Selama bersama penduduk penulis melakukan
wawancara secara mendalam dan pemerhatian. Kampung Pertiwi dipilih sebagai tempat
penelitian karena di Kampung Pertiwi kini terdapat industri pabrik kertas PT Indah Kiat
dan perusahaan perkebunan PT Arara Abadi dan pabrik kayu lapis PT Pertiwi Plywood.
Selain itu di Kampung Pertiwi bisa ditemui penduduk asli Melayu yang merasakan
adanya dampak yang nyata dari industri.
Wajah Buram Kampung Pertiwi
Dampak kehadiran industri yang akan dibahas di sini mencakupi dampak
ekonomi, dampak sosial dan dampak lingkungan.
Dampak Ekonomi
Berikut beberapa dampaknya terhadap penduduk Kampung Pertiwi, dianalisis
melalui; Pertama, Pergeseran Pemilikan Tanah. Sebelum kehadiran industri jumlah tanah
yang dimiliki oleh setiap keluarga di Kampung Pertiwi rata-rata 30 hektar. Bagi mereka
yang rajin membuka hutan untuk berladang luas tanah merekat ada yang mencapai 100
hingga 200 hektar. Dar 17 keluarga di Kampung Pertiwi jumlah keseluruhan tanah yang
dapat dibuktikan sebagai milik mereka mencapai 1,500 hektar.3 Jumlah tanah yang tidak
dapat dibuktikan kepemilikannya diperkirakan lebih luas lagi.
Pada masa ini tanah seluas 1,500 hektar itu, sudah menjadi lima pemilik, yaitu
tanah milik pabrik atau perkebunan milik pabrik, tanah milik pengusaha lokal yang
sebahagiannya adalah China, tanah milik kepala desa, tanah milik pemerintah atau
perusahaan pemerintah dan tanah milik penduduk. Tanah yang telah diambil oleh PT
Arara Abadi seluas 502 hektar, yang diambil oleh pabrik kertas PT Indah Kiat seluas 420
hektar, diambil PT Pertiwi Plywood seluas 50 hektar, diambil pemerintah seluas 254.9
hektar, dan yang masih dipunyai penduduk kira-kira 119 hektar serta seluas 60 hektar
yang diakui oleh kepala Desa Pinang Sebatang sebagai miliknya. Jumlah keseluruhan
tanah yang dapat dikira seluas 1,405.9 hektar. Jumlah ini tidak termasuk tanah yang
dibeli tauke China, dan tanah yang diambil pemerintah di Kampung Pertiwi di seberang
Sungai Siak. Tanah yang masih dimiliki oleh penduduk Kampung Pertiwi pada masa ini
hanya tanah kebun karet atau belukar yang luasnya kira-kira 7 hektar bagi setiap
keluarga Ada tiga keluarga yang memiliki tanah seluas dua hektar saja.
Kepala Desa membeli tanah penduduk dengan harga Rp.80.000,- setiap hektar di
kawasan yang akan dikembangkan menjadi kawasan indsutri. Tanah tersebut dijualnya
kepada perusahaan dengan harga yang lebih mahal, adakalanya harga satu hektar
mencapai Rp.2 juta. Kepala desa mengaku mempunyai tanah seluas 60 hektar yang
sekarang sedang ditanami kelapa sawit dan kayu akasia. Selain itu, pengusaha China pula
melakukan hal yang sama dengan kepala desa, yaitu membeli tanah Kampung Pertiwi di
kawasan yang akan dibangunkan, kemudian menjual tanah tersebut kepada perusahaan.
Tanah penduduk Kampung Pertiwi diambil melalui beberapa cara. Pertama,
diambil secara paksa tanpa ganti rugi. Kedua, diambil dengan ganti rugi. Ketiga, dibeli
dengan paksa. Keempat, penduduk diharuskan menjual. Mengenai pengambilan secara
paksa, kebun atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami akasia
(acacia) oleh PT Arara Abadi tanpa pengetahuan penduduk. Apabila penduduk menuntut
tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan mengatakan bahwa tanah tersebut adalah
tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan bukti secara tertulis jika tanah tersebut
milik mereka. Akan tetapi, penduduk Kampung Pertiwi tidak seorang pun memiliki bukti
secara tertulis. Untuk mempertahankan kebun yang disengketakan penduduk tersebut,
pihak perusahaan menggunakan tentera atau orang yang menyamar sebagai tentera.4
3 Wawancara dengan Pak Ja’far, tokoh agama Islam Kampung Pertiwi, 26 November 1996 4 Wawancara dengan Said Ariffadilah, Penghubung Camat Siak di Perawang, 10
November 1996, menurut Said, Indah Kiat dan PT Arara Abadi menggunakan tentera
dari Jakarta yang diambil secara bergilir setiap enam bulan untuk menjaga kebunnya.
Dan sebuah kejadian di luar Perawang, Camat Penghubung menyatakan bahwa PT Arara
Abadi menggunakan orang yang menyamar sebagai tentera. Ini terbukti ketika didesak
oleh masyarakat identitasnya tidak dapat membuktikan. Akhirnya yang menyamar
sebagai tentara hampir mati dipukul masyarakat. Pengambilan secara paksa juga terjadi
pada ladang masyarakat seluas 60 hektar yang sedang menunggu musim kemarau untuk
dibakar, setelah penduduk kembali keladangnya ternyata sudah ditanam PT Arara Abadi
secara diam-diam.
Apabila cara pertama yaitu pengambilan tanah secara paksa gagal, maka pihak
perusahaan akan menempuh cara kedua yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti
rugi mengikut harga yang ditentukan oleh pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang
tersebut kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan membayarnya kepada
penduduk. Cara ini dilakukan apabila tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam
dari masmedia dan NGO (Non Goverment Organisation).
Cara kedua ini juga dilakukan oleh pihak perusahaan karena sebab-sebab yang
lain. Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk
yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah mereka diambil
penduduk sudah mengadakan tunjuk rasa agar tanahnya dibayar dengan harga yang
sesuai. Proses ganti rugi biasanya melalui pemerintah yang menentukan nilai ganti rugi,
setelah itu meminta persetujuan penduduk. Perusahaan tidak langsung membayar ganti
rugi kepada penduduk tetapi melalui pemerintah.
Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil
karena tanah tersebut tidak boleh diambil secara paksa disebabkan adanya bukti
kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan
pabrik dengan mengepung tanah penduduk. Akibat tindakan perusahaan itu tanah
penduduk sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Perusahaan tidak lansung membeli tanah
penduduk, sebab kalau perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Oleh sebab
itu yang membeli umumnya adalah pemerintah atau hanya kepala desa dengan harga
yang lebih murah dan pemerintah atau kepala desa yang akan menjualnya kepada
perusahaan dengan harga yang ditentukan perusahaan tetapi biasanya lebih mahal
daripada harga membeli.
Yang banyak melakukan cara ketiga ini biasanya ialah pemerintah. Misalnya
tanah yang terletak di antara PT Pertiwi Plywood dengan pelabuhan milik PT Indah Kiat,
dibeli oleh pemerintah secara paksa dengan alasan di tempat itu akan dibangun pelabuhan
sungai milik pemerintah. Akan tetapi setelah tujuh tahun tanah tersebut dibeli oleh
pemerintah, pelabuhan belum juga dibangun. Sebaliknya yang terjadi adalah
pengembangan pelabuhan milik PT Indah Kiat di atas tanah tersebut. Contoh lain, ialah
tanah Kampung Pertiwi di seberang Sungai Siak yang dibeli oleh pemerintah dengan
alasan untuk membangunkan kebun di kawasan itu.
Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjualkan tanah
mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan
menawarkan pelbagai jenis barang baru, menggalakkan menjual tanah untuk membangun
rumah atau pergi ke Mekah. Selain itu menciptakan kekhawatiran di kalangan penduduk
bahwa jika tanahnya tidak dijual sekarang, tanah itu akan diambil oleh pemerintah
dengan ganti rugi yang lebih rendah. Dengan itu hampir semua penduduk Kampung
Pertiwi berkeinginan menjual tanah mereka kepada pengusaha multinasional. Ada dua
alasan utama. Pertama, daripada tanah itu diambil secara paksa oleh orang lain dan
dibayar dengan harga yang lebih murah, lebih baik dijual dengan harga yang agak tinggi.
Kedua, sebagai sumber kehidupan, karena pekerjaan sudah susah diperoleh, sedangkan
sumber uang lain tidak ada. Salah satu cara untuk mendapatkan uang yang banyak dan
hidup senang adalah dengan menjual tanah. Ada juga yang menjual tanah hanya karena
ingin pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.5
Dalam hubungan ini, peranan Kepala Desa Pinang Sebatang amat penting untuk
menentukan tanah penduduk laku dijual. Jika penduduk ingin menjual tanah mereka
secara langsung pada pengusaha pabrik, biasanya tidak mendapat tanggapan. Untuk
menjual tanah mereka, penduduk harus menyerahkan tanah mereka kepada kepala desa
lebih dahulu. Kepala desa yang akan menentukan harga tanah tersebut, biasanya Rp
800.000,- setiap hektar. Setelah itu baru tanah tersebut dijual kepada pihak yang
memerlukannya. Biasanya yang membeli tanah itu adalah kepala desa sendiri.
Kedua, Perubahan Pekerjaan. Selepas tanah mereka (termasuk hutan dan kebun)
diambil oleh industri, mereka tidak lagi berpeluang melakukan pekerjaan pertanian
seperti dahulu. Mereka tidak bisa lagi membuka ladang, dan mencari rotan, damar, dan
obat-obatan dan tak seorang pun yang berladang atau berkebun. Kini masih ada sepuluh
orang yang menyadap karet, dan dua orang memiliki bot.
Walaupun pada masa ini penduduk Kampung Pertiwi masih mempunyai kebun
kira-kira tujuh hektar rata-rata setiap keluarga, tetapi tanah tersebut tidak terletak di satu
tempat. Oleh sebab itu, mereka tidak bisa mengerjakannya. Sebabnya ialah hama6 dan
hasil tanaman mereka akan habis dimakan hama jika mereka berladang secara sendirian.
Seorang informan menyatakan bahwa sekarang di Kampung Pertiwi lebih banyak hama
daripada tanaman. Oleh sebab itu, apa saja yang ditanam akan habis dimakan hama,
sebab hutan sudah semakin habis, sehingga binatang tersebut susah mencari makan.7
Hasil penelitian SUCOFINDO8 November 1990, mendapati hanya 50 orang di
kawasan Perawang yang bekerja di pabrik PT Indah Kiat. Walaupun pihak Indah Kiat
dan Pertiwi memberi kesempatan kepada penduduk tempatan untuk bekerja di pabrik
mereka dengan syarat yang mudah, tetapi hanya seorang saja anak penduduk Kampung
Pertiwi yang bekerja di Pabrik PT Indah Kiat dan seorang lagi anak mereka bekerja di
pabrik PT Pertiwi Plywood.
Penduduk Kampung Pertiwi tidak berminat bekerja di pabrik disebabkan dua hal.
Pertama, mereka tidak memiliki keahlian. Oleh sebab itu, peluang kerja yang diberikan
pada mereka terutama adalah pekerjaan sebagai pesuruh, buruh kasar, penghantar surat,
dan pengawas truk. Penduduk Kampung Pertiwi menganggap pekerjaan yang diberikan
kepada mereka itu sebagai pekerjaan yang tidak terhormat. Gaji yang akan diperoleh pun
hanya Rp.150.000,- sebulan sedangkan keperluan hidup sebulan paling kurang Rp
200.000,-. Kedua, kerja di pabrik terikat dengan waktu dan peraturan yang ketat.
Penduduk susah memenuhi ketentuan waktu yang ditetapkan dan ketatnya peraturan yang
harus dipatuhi. Dahulu penduduk bekerja tidak terikat pada waktu, boleh bekerja setiap
waktu dan boleh istirahat setiap waktu tanpa ada yang menghalangi. Sebaliknya jika
mereka bekerja di pabrik semuanya diatur. Aturan yang ditetapkan mengharuskan
5 Hampir semua penduduk Kampung Pertiwi mempunyai punya kesibukan baru yaitu membuat ciri-ciri
batas tanah yang dimilikinya agar lebih mudah dijual dan tidak diambil begitu saja oleh pihak lain. Pak
Muhammad tempat penulis tinggal selama penelitian menyisakan waktunya dalam satu hari khusus untuk
membersihkan kebunnya yang tersisa agar jangan diceroboh orang dan sekaligus lebih mudah untuk dijual. 6 Hama adalah binatang yang berada di dalam hutan dan menyerang tanaman, seperti babi, beruk, monyet, tupai, tikus,
burung dan lain-lainnya 7 Wawancara dengan Hasan Basri, penduduk Kampung Pertiwi 30 November 1996
8 SUCOFINDO adalah perusahaan milik pemerintah yang salah satu fungsinya mengadakan pengawasan
terhadap hasil pembangunan dan juga sebagai konsultan pembangunan
pekerja melindungi kepentingan perusahaan, padahal bidang kerja yang diberikan
selalunya yang berhubungan dengan masyarakat.9
Sejak tanah (hutan dan kebun) mereka diambil oleh industri, penduduk Kampung
Pertiwi telah bertukar pekerjaan dari pertanian kepada: 1)Bekerja bacok-bacok, bacok-
bacok jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah bekerja apa saja asal halal dan dapat
menjamin hidup hari ini.10 Di lihat dari aktivitasnya, pekerjaan ini sama dengan buruh
harian, bekerja berdasarkan pesanan, dan mendapat upah dari hasil kerja. Jenis pekerjaan
ini adalah mengambil upah menebas hutan, kerja bangunan, bekerja pada kebun orang
lain, dan meleles.11 Penduduk bekerja berdasarkan permintaan, jika tidak ada permintaan
mereka akan menganggur. Sebagian besar penduduk Kampung Pertiwi bekerja bacok-
bacok karena tidak ada lagi tanah dan kebun yang dapat mereka kerjakan. Adapun yang
bekerja pada sektor ini adalah lelaki yang telah berusia 40 tahun atau lebih.
Pendapatan yang diperolehi dari kerja bacok-bacok ini tidak bisa diperkirakan
secara pasti, sebab sangat tergantung pada jenis pekerjaan mereka. Apabila kebetulan
pekerjaan itu dibayar upah yang tinggi dan waktu untuk mengerjakannya lama,
kemungkinan pendapatan akan banyak. Akan tetapi, yang lebih sering ialah dalam satu
minggu penduduk hanya dapat bekerja selama dua hari. Pendapatan yang diperolehi
penduduk secara rata-rata hanya Rp 100.000,- sebulan. Akan tetapi, ada juga penduduk
yang hanya memperoleh pendapatan yang kurang dari seratus ribu rupiah sebulan.
2) Bekerja di Unit Kapal (UK), PT Pertiwi Plywood mempunyai pelabuhan
bongkar muat barang yang disebut UK (Unit Kapal) . Buruhnya berasal dari buruh
lepas12 yang umumnya penduduk tempatan. Aktivitas ini dipimpin oleh seorang mandor
yang juga berasal dari penduduk tempatan. Mandor pelabuhan Pertiwi adalah adik Kepala
Desa Pinang Sebatang.
Aktivitas dilakukan apabila kapal masuk (merapat) ke pelabuhan. Bentuk aktivitas
adalah membongkar barang, dan memasukkan barang apabila kapal hendak berangkat.
Pekerjaan ini tidak mengenal waktu, kadang siang, kadang malam, bahkan apabila kapal
merapat di pelabuhan tengah malam, mereka harus membongkar barang pada malam itu
juga. Sebanyak 16 orang penduduk Kampung Pertiwi yang bekerja sebagai buruh UK ini
umumnya belum mencapai umur 40 tahun.
Untuk membayar gaji buruh, PT Pertiwi menghitung jumlah barang yang
diangkat oleh buruh, dan uang gaji diserahkan kepada mandor, setelah itu barulah mandor
membayarkannya kepada buruh tersebut. Semakin banyak barang yang dibongkar atau
dimuat dan semakin sering kapal merapat semakin besar pendapatan buruh. Setiap potong
barang dihargai Rp.2.500,- Gaji dibayar dalam waktu tiga bulan, umumnya setiap orang
mendapat gaji Rp.350.000,- setiap tiga bulan. Bagi pekerja UK yang sudah tidak mampu
lagi bekerja, peluang kerja tersebut dijual kepada orang yang memerlukan pekerjaan
seharga dua juta rupiah (Rp2 juta). Cara pembayarannya adalah secara ansuran, setiap
9 Wawancara dengan Pak Usman Kepala Kampung Pertiwi dan H.M.Doel Kepala Desa Pinang
Sebatang 10 Wawancara dengan Yunus Tibo, penduduk Kampung Pertiwi dan Ribut Susanto, Ngo yang pernah
melakukan aktivitas di Kampung Pertiwi 11 Meleles adalah pekerjaan mencari kayu di hutan, Wawancara dengan Yunus Tibo, penduduk Kampung
Pertiwi dan Ribut Susanto, Ngo yang pernah melakukan aktivitas di Kampung Pertiwi 12 Buruh lepas adalah buruh yang tidak terikat secara formal kepada perusahaan dan upahnya dibayar
secara harian
kali menerima gaji, atau pembeli meminjam uang kepada tauke untuk membayar peluang
kerja yang dibelinya tersebut.
3) Penyediaan Pelayanan, tiga jenis pekerjaan di sektor pelayanan yang
terdapat di Kampung Pertiwi ialah, pengangkutan, perdagangan dan sewa rumah.
Pelayanan pengangkutan sungai merupakan pekerjaan lama. Untuk menjalankan
pelayanan ini masih tersisa dua buah bot milik penduduk Kampung Pertiwi. Pengurangan
jumlah bot dari 10 menjadi dua disebabkan berkurangnnya penumpang. Berkurangnya
penumpang ini disebabkan dibangunnya jalan dari Perawang ke pabrik PT Pertiwi.
Delapan orang yang sudah behenti dari menyewakan bot kini bekerja bacok-bacok.
Untuk mengurangi biaya operasional (minyak dan perbaikan), pemilik bot kini
telah menaikkan tambang bot. Sebelum dibangun jalan dari Perawang ke pabrik PT
Pertiwi tambang dari Very ke Kampung Pertiwi hanya Rp.2.000,- tetapi sekarang
dinaikkan menjadi Rp.5.000,- bahkan boleh menjadi Rp.10.000,- apabila penumpang
tidak pandai menawar. Bagaimanapun, pada waktu pagi tambang bot dari Kampung
Pertiwi ke Very hanya Rp.2.000,- sebab bot tersebut disewa oleh pelajar sekolah dasar
(sekolah rendah) yang setiap pagi harus pergi ke Desa Tualang untuk bersekolah.
Pekerjaan berdagang kebutuhan sehari-hari dilakukan oleh Usman kepala
kampung Pertiwi yang sebelumnya bekerja sebagai buruh UK, sementara yang
menyewakan rumah adalah Pak Jaafar dan Ibu Nova. Di Kampung Pertiwi kini terdapat
200 rumah yang dimiliki oleh mereka berdua saja. 20 buah rumah milik Pak Ja’far,
seorang pemuka agama yang hingga sekarang masih menyadap karet sebagai pekerjaan
tetap. Adapun pemilik 180 buah rumah sewa yang lain adalah Ibu Nova, adik kepala
Desa Pinang Sebatang. Sewa sebuah rumah adalah Rp.25.000,- sebulan. Yang menyewa
rumah tersebut adalah pendatang yang bekerja di PT Pertiwi Plywood dan yang
pedagang.
Keempat, kemiskinan. Penduduk Kampung Pertiwi dijumpai lebih miskin setelah
masuknya industri dibandingkan dengan sebelum masuknya industri. Keadaan
kemiskinan penduduk Kampung Pertiwi diukur melalui dua indikator; Pertama,
kepastian mendapatkan pekerjaan. Sebelum kehadiran industri ke Kampung Pertiwi,
penduduknya dengan mudah dapat bekerja di sektor pertanian dan salah satu keperluan
dasar mereka, di mana makanan tersedia dengan banyak di alam bebas (kebun, di hutan
dan di sungai). Akan tetapi setelah kehadiran industri, mereka selalu khawatir karena
tidak pasti apakah ada pekerjaaan yang akan mereka lakukan dan makanan yang akan
mereka makan pada hari esoknya. Kepastian mendapatkan pekerjaan hanya ada bagi 10
orang penduduk yang menyadap karet, dua orang penduduk yang menyewakan bot dan
16 orang penduduk yang bekerja sebagai buruh UK. Akan tetapi bagi sebahagain besar
penduduk yang bekerja sebagai buruh lepas (bacok-bacok) tidak ada kepastian apakah
esok hari ada pekerjaan untuk mereka. Oleh karena itu, kehidupan mereka kini boleh
dikatakan lebih susah dan lebih miskin.
Kedua, perbandingan perolehan gaji dengan keperluan hidup sehari-hari. Untuk
mengetahui jumlah pendapatan penduduk Kampung Pertiwi dalam sebulan agak sukar,
karena mereka tidaklah begitu terbuka memberitahu jumlah pendapatan mereka.
Umumnya jika ditanya berapa pendapatan mereka, jawapan mereka selalunya ialah,
‘sekarang sangat kurang dan tidak cukup untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari’.
Hanya buruh UK yang secara terbuka menyatakan bahwa pendapatan mereka
Rp.350.000,- setiap tiga bulan, berarti setiap bulannya sebesar Rp.116.600,-. Sikap
terbuka ini muncul disebabkan gaji tertinggi di Kampung Pertiwi hanya diperolehi oleh
buruh UK.13
Untuk mengetahui apakah pendapatan Rp.116.600,- itu mencukupi untuk
memenuhi keperluan sehari-hari mereka selama sebulan, kita dapat mengukurnya dengan
membandingkan jumlah pendapatan itu dengan jumlah harga barang keperluan pokok
mereka. Jika setiap rumah terdapat empat orang, terdiri dari bapak, ibu dan dua orang
anak, atau bapak, ibu, seorang anak, dan mertua, dan keperluan beras setiap orang 8
kilogran, maka jumlah beras yang diperlukan setiap bulan yaitu 32 kilogram. Harga beras
satu kilo ialah Rp.1.400,- maka jumlah uang yang dihabiskan untuk beras ialah
Rp.44.800,-. Keperluan akan cabe diperkirakan 1 kilogram Rp.3000,-, keperluan minyak
dua kilogram Rp.4000,- minyak tanah empat liter Rp.1.400,- garam Rp.200,- dan belanja
harian Rp.3000,- selama sebulan Rp.90.000,-. Maka jumlah keseluruhan keperluan pokok
Rp.143.400,- (harga tahun 1996)
Dihitung dengan standard yang paling minimum beras 8 kilo setiap orang,
padahal seharusnya 10 kilo setiap orang, jumlah gaji yang diperolehi jelas tidak
mencukupi untuk keperluan pokok. Apabila ditambah dengan biaya lain, umpamanya
ongkos pergi ke pasar, biaya berobat, dan biaya sekolah anak, jumlah gaji tersebut sudah
tentu tidak mencukupi. Di perkirakan minimum jumlah uang yang harus dipunyai oleh
penduduk adalah Rp.200.000,- sebulan untuk memenuhi keperluan pokok.
Keadaan ekonomi penduduk pada masa akhir-akhir ini sudah berada pada tahap
kritis. Setiap tiga bulan mendapat gaji Rp.350.000,-. Gaji mereka itu langsung
diserahkan kepada tauke untuk membayar hutang makan selama tiga bulan. Hutang
mereka bertambah setiap bulan, karena jumlah gaji mereka tidak mencukupi untuk
membayar hutang bulan tersebut. Misalnya, pada tiga bulan pertama hutang mereka
berjumlah Rp.400.000,- dibayar Rp.350.000,- ketika mereka menerima gaji, berarti
untuk tiga bulan yang akan datang hutang mereka tidak lagi Rp.400.000,- tetapi sudah
menjadi Rp.450.000,- karena ditambah sisa hutang bulan yang lalu. Keadaan yang
demikian berlangsung terus menerus setiap tiga bulan.14
Bagi pekerja bacok-bacok, kondisi ini lebih mengkhawatirkan, karena tidak
adanya kepastian kerja bagi mereka. Jika dirata-ratakan pendapatan mereka biasanya
hanya Rp100.000,- sebulan. Seorang informan yang telah berpindah ke Kampar
menyatakan bahwa bagi dirinya yang difikirkan setiap malam adalah apa yang akan
dimakan pada hari esoknya. Sebelum masuk industri mereka mudah sekali memperoleh
ikan di sungai dengan memancing. Ikan itu dijual di pasar, dan hasilnya cukup untuk
makan seminggu. Akan tetapi, sekarang walaupun mereka mencari ikan sepanjang
malam, kalaupun dapat, hanya satu dua ekor.
Keadaan hidup mereka kini semakin susah sebab harga barang keperluan pokok
yang dari dahulu memang tidak tersedia di ladang, di kebun, di hutan dan di sungai sudah
sangat tinggi. Sebagai contoh, minyak untuk menggoreng sekarang Rp.1.300,-
dibandingkan dengan sebelumnya hanya Rp.800,-. Harga ikan pun naik mencapai
Rp9000,- satu kilo, padahal ikan kini sudah susah dicari di Sungai Siak.15
13 Wawancara dengan Pak Usman , Kepala Kampung Pertiwi 30 November 1996
14 Wawancara dengan Amir, 3 Desember 1996
15 Wawancara dengan Usman, penduduk Kampung Pertiwi yang kini sudah pindah ke Kabupaten Kampar,
28 November 1996
Dampak Sosial
Dampak sosial kehadiran industri di Kampung Pertiwi di sini dilihat dari dua
aspek yaitu, mobilitas penduduk dan peranan isteri. Alasan melihat dua aspek ini karena
kedua-duanya mempunyai hubungant dengan dampak kehadiran industri terhadap
ekonomi penduduk. Selain itu dampak terhadap mobilitas penduduk dan aspek peranan
isteri juga lebih ketara dan lebih mudah diketahui..
Pertama, Mobilitas Penduduk. Ada dua bentuk mobilitas penduduk. Pertama,
perpindahan penduduk ke tempat lain untuk menetap. Kedua, rata-rata penduduk keluar
dari Kampung Pertiwi. Faktor-faktor yang menyebabkan penduduk Kampung Pertiwi
bermobilitas sekurang-kurangnya ada dua, yaitu mencari pekerjaan lain karena tanah dan
kebun mereka sudah tidak ada lagi, dan untuk berbelanja atau rekreasi.
Sebelum masuknya industri, Kampung Pertiwi terbagi dua, yaitu satu bagian ialah
kampung yang ada sekarang, dan satu bahan lagi kawasan di seberang sungai
berhadapan dengan Kampung Pertiwi yang ada sekarang. Setelah masuknya industri,
kampung di seberang sungai “menghilang”, karena umumnya penduduk pindah ke Desa
Tualang setelah menjual tanah mereka. Di Kampung Pertiwi yang ada sekarang
sekurang-kurangnya terdapat tiga keluarga yang telah pindah: satu keluarga pindah ke
Kampar (Usman), dua keluarga pindah ke Desa Tualang. Alasan mereka pindah adalah
untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Penduduk asli di Kampung Pertiwi yang
dahulunya berjumlah 30 keluarga kini hanya tinggal 17 keluarga, seorang penduduknya
merantau ke Malaysia.
Mengenai mobilitas keluar kampung, kini penduduk Kampung Pertiwi sering
pergi ke Perawang, Siak Sri Indrapura dan Pekanbaru. Terdapat dua aktivitas utama
yang mendorong mereka bermobilitas keluar kampung, yaitu berbelanja dan bekerja.
Dahulunya, 90% petani ladang hanya pada hari pekan (Jumat) mereka pergi ke pasar di
Desa Tualang untuk berbelanja bagi memenuhi keperluan hidup yang tidak dapat
dipenuhi dari ladang, hutan dan sungai. Sekarang penduduk yang bekerja sebagai buruh
harian harus keluar Kampung setiap hari untuk mencari kerja.
Sebelum masuknya industri, yang menghambat penduduk pergi ke luar kampung
adalah tidak tersedianya pengangkutan, karena satu-satunya pengangkutan yang ada ialah
pengangkutan sungai dengan menggunakan bot atau kapal laut. Selain itu faktor tidak
boleh meninggalkan ladang juga menjadi penyebab mereka sukar meninggalkan
kampung. Akan tetapi, pada masa sekarang pelayanan pengangkutan telah banyak, dan
penduduk pun dapat berpergian bila-bila masa saja.
Kedua, Peranan Isteri. Sebelum masuknya industri, peranan isteri dalam keluarga
tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi juga ikut bekerja membantu suami di
ladang, membersihkan ladang, menuai padi bahkan ramai yang ikut menemani suami
menyadap karet. Akan tetapi setelah tanah penduduk Kampung Pertiwi tidak dapat lagi
digunakan untuk membuat ladang, kebun karet mereka tinggal sedikit, ataupun untuk
bekerja di kebun tidak ada lagi kebun, isteri tidak lagi ikut bekerja membantu suami. Kini
peranan isteri dalam keluarga hanya terbatas menjadi ibu rumah tangga saja.
Dampak Lingkungan
Dampak lingkungan yang sangat dirasakan oleh penduduk Kampung Pertiwi
berasal dari limbah yang dikeluarkan pabrik kertas PT Indah Kiat. Limbah yang
dihasilkan PT Indah Kiat terbagi tiga yaitu limbah cair, limbah gas dan limbah padat.
Limbah gas (udara) adalah N2, CO2, Metanol, Formit Acid, H2S,16 Metil Merkaptan,
Dimetil Surfan dan Dimetil Disulfan. Semua jenis gas ini tidak dapat diembunkan,
sehingga menjadi ancaman bagi penduduk. Adapun jenis limbah cair adalah adalah bahan
kimia yang digunakan untuk memproses pembuatan bubur kertas (pulp), seperti Sulfida,
klor lignin, dan Lindi Hitam. Sedangkan limbah padat adalah sisa bahan yang tidak dapat
digunakan untuk dijadikan bubur kertas. (Sucofindo, 1990)
Hasil penelitian Sucofindo (1990) menemui bahwa terjadi pencemaran udara
sejauh 3 km dari pabrik yaitu kadar H2S mencapai 275,2 ug/m3 , berdasarkan ketentuan
bahwa kadar H2S dalam udara maksimum 42 ug/m3. Sedangkan pencemaran Sungai Siak
diketahui bahwa air sungai Siak di Kampung Pertiwi mengandung minyak, lemak,
amonia dan barilium. Pada tahun 1992 Sungai Siak di Kampung Pertiwi, dan Sungai
Gasip berbau busuk, ikan-ikan di sungai mati, dan ikan peliharaan milik penduduk yang
ada dalan sangkar di Sungai Siak juga mati. Pada tahun 1995 air Sungai Siak kembali
berbau busuk, hingga sekarang ini setiap bulan penduduk Kampung Pertiwi masih
mencium bau busuk air Sungai Siak.17
Dari aspek kesehatan dampak pencemaran tersebut dapat dilihat pada beberapa
penyakit yang dihidapi oleh penduduk, seperti penyakit saluran pernafasan, penyakit
kulit, dan muntahber (Sucofindo, 1990). Hasil pemantauan GERINDO18 tahun 1992
menunjukkan pencemaran juga mempunyai dampak ekonomi, yaitu menurunnya
perolehan sektor perikanan karena ikan dan udang mati. Jika dahulu penduduk yang
mencari ikan dan udang dari pukul 19.00 hingga pukul 24.00 memperoleh 10 hingga 15
kilogram, tetapi sekarang jika mereka mencari ikan dari pukul 19.00 sampai pukul 07.00
pagi, hasil tangkapan yang diperoleh paling banyak dua kilogram, kadang-kadang tidak
mendapat seekor ikanpun.
Kesimpulan
Dampak kehadiran industri terhadap masyarakat Melayu Kampung Pertiwi,
cenderung bersifat negatif. Secara teoritik (Aditjondro, 1994) dampak negatif terjadi
mengikuti tahapan perubahan pada masyarakat. Pada tahap pertama, terjadi pengambilan
tanah (termasuk hutan) petani oleh industri, pengusaha lokal dan pemimpin desa. Fungsi
hutan berubah dari sumber keperluan hidup penduduk sepanjang tahun menjadi bahan
produksi industri, yang penduduk Kampung Pertiwi tidak dapat lagi memanfaatkannya.
Pada tahap ini juga terjadi pencemaran pada Sungai Siak, yang mengurangi mutu air dan
lingkungan serta menyebabkan hilangnya ikan di sungai tersebut.
Pada tahap kedua, penduduk kehilangan pekerjaan utama yaitu berkebun atau
berladang. Penduduk terpaksa bertukar pekerjaan dari petani menjadi buruh tani, atau
buruh upah tidak tetap. Status mereka juga berubah dari pemilik kebun menjadi
penyewa. Sebahagian kecil penduduk Kampung Pertiwi pula berpindah ke tempat lain
yang boleh menjamin kehidupan mereka, karena di tempat yang lama tidak tersedia lagi
sumber kehidupan.
16 N2 adalah Nitrogen; CO2 adalah Karbohitrat; H2S adalah Belerang ;dan ug adalah unit gram
17 Semua penduduk Kampung Pertiwi yang di wawancara menyatakan bahwa tahun 1992, tahun 1995 air
sungai Siak berbau busuk dan ikan-ikan mati. Penduduk juga mengakui jika air Sungai Siak sedang surut
pembuangan limbah tetap dilaksanakan setiap bulan ke Sungai Siak 18 GEPERINDO adalah organisasi gabungan NGO seluruh Indonesia.
Pada tahap ketiga, terjadi proses peminggiran dan pemiskinan masyarakat Melayu
Kampung Pertiwi disebabkan banyak keperluan hidup mereka terpaksa dibeli, sedangkan
pendapatan mereka rendah dan harga barang pula agak tinggi. Sebelum masuk industri
penduduk dapat memenuhi keperluan pokok mereka dengan mudah karena bahan
makanan tersedia di hutan dan di sungai.
Dampak negatif industri terhadap masyarakat di Kampung Pertiwi terutama
disebabkan oleh kebijaksanaan pembangunan dan Undang-Undang negara, eksploitasi
pihak luar, dan sistem produksi masyarakat yang masih bersifat subsisten. Pertama,
Kebijaksanaan pembangunan dan Undang-Undang negara. Peralihan kekuasaan politik
dari Orde Lama ke Orde Baru telah mengubah kebijaksanaan pembangunan negara.
Orde Baru memilih model Rostow untuk merancang pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Oleh sebab itu, pemerintah Soeharto memilih bidang ekonomi untuk mengejar
ketertinggalan pembangunan dengan orientasi pada pertumbuhan ekonomi, bukan
pemerataan ekonomi, dengan sumber modal berasal dari luar negari.
Proses industrialisasi dilakukan oleh aliansi segitiga (triple alliance) (Arief
Budiman, 1996) yaitu pemodal asing, pemerintah dan borjuis lokal (pemodal tempatan
yang terdiri daripada pengusaha China, pengusaha keluarga birokrat, istana dan militer).
Akibat dari koalisi (aliansi) tiga pelaku ini tercipta struktur ekonomi yang tidak seimbang
dan tidak adil. Ekonomi kapitalis dengan mudahnya melakukan perluasan modal tanpa
pertimbangan kemanusiaan. Sumber-sumber ekonomi subsisten dihancurkan, tanah dan
hutan diambil, dan produksi kapitalis dijual kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat
besar. Masyarakat kehilangan pekerjaan utama, tetapi tidak terjadi proses transformasi
kepada pekerjaan baru yang lebih baik.
Posisi politik yang lemah pada masyarakat didukung pula oleh adanya Undang-
Undang yang isinya mementingkan integrasi dan sentralisasi kekuasan negara. Ada dua
contoh Undang-Undang yang melibatkan eksploitasi pemerintah terhadap masyarakat,
yaitu Undang-Undang Pemilu, yang melarang partai masuk ke desa, dikenal dengan
istilah massa mengambang (floating mass), padahal partai pemerintah yaitu Golkar
(golongan karya) masuk kedesa-desa melalui kepala desa dan kepala kampung. Dalam
setiap pemilu kepala desa diberi kewajiban memenangkan partai pemerintah di desanya
masing-masing.
Satu lagi Undang-Undang yang mendukung usaha politisasi dan sentralisasi
masyarakat desa adalah Undang-Undang no 5 tahun 1979, tentang pemerintahan di Desa.
Menurut Undang-Undang tersebut, seluruh pemerintahan desa di Indonesia telah
diseragamkan. Akibatnya beberapa kampung yang tidak memenuhi persyaratan Undang-
Undang telah digabungkan dengan kampung lain untuk membentuk sebuah desa.
Kekuasaan wali19 sebagai kepala kampung berpindah kepada kepala desa. Kepala desa
yang baru dilantik merupakan orang pemerintah. Undang-Undang tersebut bukan saja
merusak tatanan struktur masyarakat di kampung karena bergantinya kepemimpinan
kampung, tetapi juga menyebabkan masyarakat kehilangan pemimpin untuk
memperjuangkan hak-hak politik mereka.
Kedua, eksploitasi pihak luar. Ekploitasi pihak luar dilakukan oleh berbagai
pihak, yaitu kapitalisnternasional (pemodal asing), pemodal tempatan dan pegawai
19 Wali atau sering disebut Pak Wali, adalah istilah yang digunakan masyarakat Melayu di Kampung
Pertiwi untuk kepala kampung, Wali biasanya dipilih secara langsung karena beberapa kelebihannya atau
karena keturunannya
pemerintah. Eksploitasi kapitalis internasional dilakukan melalui perluasan modal dan
produksi. Eksploitasi kapitalis di Kampung Pertiwi dapat dilihat dari segi ekploitasi
sumber hutan melalui pengusaan hutan dalam bentuk HPH (hak penguasaan hutan) dan
HTI (hutan tanaman industri), dan pembangunan pabrik di pedesaan, yaitu pabrik PT
Indah Kiat dan pabrik PT Pertiwi Plywood.
Eksploitasi lain adalah eksploitasi pegawai pemerintah, yang merupakan akibat
munculnya pengusaha birokrat, pengusaha dari keluarga birokrat, dan pegawai
pemerintah serta pengusaha China. Bentuk usaha yang dilakukan berbeda dari seorang ke
seorang. Pengusaha birokrat biasanya mempunyai saham tanpa membeli dalam sesuatu
perusahaan. Keluarga birokrat umumnya menjadi sub-kontraktor pemodal asing. Pegawai
negara di tingkat kecamatan atau desa pula menjadi broker, yang biasanya membeli tanah
penduduk dengan harga murah dan setelah itu menjualnya kepada pemodal asing dengan
harga mahal.
Ketiga, sistem produksi masyarakat. Sebelum kehadiran industri, sistem produksi
masyarakat Kampung Pertiwi adalah sistem subsisten yang bergantung kepada sumber
alam. Produksi bertujuan untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Sumber produksi
adalah sumber yang tersedia pada alam atau tanah pertanian. Stratifikasi sosial
masyarakat terdiri daripada petani ladang yang menjadi buruh di tanah orang lain (tauke),
petani peladang yang memiliki kebun dan mengerjakan kebun sendiri, dan tauke yang
memiliki kebun dan menggunakan tenaga buruh tani.***
RESPON RUMAH TANGGA
PADA INDUSTRI DI PANGKALAN KERINCI
Desa Pangkalan Kerinci terletak di sebelah timur kira-kira 75 km dari Pekanbaru
ibu kota provinsi Riau. Pangkalan Kerinci berada di kiri dan kanan jalan raya lintas timur
Pekanbaru-Jambi yang merupakan salah satu jalan penghubung provinsi Riau dengan
provinsi lainnya, termasuk transportasi darat pulau Sumatera dan pulau Jawa.
Asal mula penduduk Pangkalan Kerinci4 berasal dari anak-anak raja gunung hijau
atau kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat. Raja Pelalawan memberi mereka hutan-tanah
seluas 225.000 hektar. Penyerahan hak tanah tersebut tertuang dalam surat Raja
Pelalawan tanggal 7 Desember 1938, No.2/1938.
Sampai tahun 1978 penduduk tinggal secara berpencar di tepi sungai Kerinci dan
di darat kira-kira 2 km dari Sungai Kerinci. Setiap kelompok perkampungan tersebut
didiami kira-kira 3 sampai 5 rumah tangga. Kelompok-kelompok tempat tingal penduduk
tersebut dikenal dengan nama pangkalan, yaitu Pangkalan Pasir, Pangkalan Seminai,
Pangkalan Cik Bagus, Pangkalan Mamak Angkat, Pangkalan Lubuk Singapur, Pangkalan
Aib.
Tahun 1978 pemerintah membentukan desa muda karena Pangkalan Kerinci
belum memenuhi persyaratan sebuah desa. Langkah yang diambil pemerintah melakukan
program relokasi tahun 1983 dengan menambah jumlah penduduk dari desa tetangga
menjadi 160 rumah tangga, yaitu 80 rumah tangga penduduk asli Pangkalan Kerinci dan
80 rumah tangga lagi dari Kuala Terusan. Relokasi Depsos sebagai pemukiman baru
penduduk tersebut terletak sekitar 2.8 KM dari pinggir Sungai Kampar dan Kerinci.
Akibat pangkalan-pangkalan di tepi Sungai Kerinci hilang, hanya tinggal pangkalan
Kualo (Muara Sungai Kerinci) dan terbentuknya satu pangkalan baru di tepi sungai
Kampar di bawah jembatan.
Tahun 1983 Pangkalan Kerinci dinaikkan statusnya menjadi desa. Berdasarkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri No.821.26.525/26hb Mei 1987 Bekas Kewedanaan
Pelalawan menjadi wilayah kerja Pembantu Bupati Kampar Wilayah II yang
Berkedudukan di Pangkalan Kerinci. Tahun 1999 Pangkalan Kerinci sudah menjadi
Kecamatan Pangakalan Kerinci dan menjadi ibu kota kabupaten Pelalawan.
Sistem pengaturan sosial dan ekonomi masyarakat berpusat hutan dan tanah
sebagai sumber utama pendapatan. Kekuasaan sosial dan kekuasaan ekonomi berada
pada keturunan yang menerima tanah langsung dari Sultan Pelalawan. Karena yang
berhasil mendapat hak penerimaan tanah dari Kerajaan Pelalawan adalah Suku 5 Lalang,
maka hak atas Batin (ketua adat) dan atas tanah sepenuh menjadi milik keturunan Suku
Lalang. Di Pangkalan kerinci terdapat beberapa suku lain yaitu Suku Payung, Suku
Kerinci, Suku Delik dan Suku Piliang.
Sistem kekerabatan yang dianut adalah sistem matrilineal, di mana hak atas suku
diturunkan ke anak perempuan dan keturunan anak perempuan. Anak perempuan dan
4 Informasi ini di peroleh dari hasil diskusi dengan Batin (Ketua Adat) Pangkalan Kerinci M.Sddik, Bapak
Marranjo, dan Bapak Anwar 5 Suku dalam defenisi ini adalah identitas turun-temurun dari keluarga (marga) dan merupan pengaruh dari
Sumatera Barat. Suku lalang ini adalah suku yang berasal dari keluarga asalnya yaitu Tuk Lintang Jomu
Onau yang dulunya bersasal dari Suku Lalang di tempat asalnya.
keturunan anak perempuan yang memiliki hak atas identitas suku (suku lalang),
kekuasaan kebatinan dan penguasaan atas hutan-tanah. Suku-suku lain hanya mempunyai
hak garap atas hutan tersebut. Namun ada aturan yang tidak tertulis bahwa kalau sebidang
tanah yang telah ditanami bermacam jenis tanaman maka tanah tersebut tidak boleh
digarap oleh orang lain, termasuk suku Lalang. Jika mau juga menggarapnya, penggarap
yang baru harus membayar ganti rugi atas tanaman yang ada di atas tanah tersebut.
Khusus untuk rumah dan perkarangan, tanah menjadi hak pakai seumur hidup dan
diturunkan kepada keturunan dari pemilik rumah. Jika pemilik rumah tidak punya
keturunan maka tanah tersebut diserahkan kepada batin yang berasal dari suku lalang.
Selain itu, setiap suku diberi hak untuk memiliki hutan obat-obatan berdasarkan sukunya
masing-masing.
Produksi Sialang setiap tahunnya menjadi tiga pembagian secara merata, satu
bagian untuk anak perempuan yang datang, anak lelaki yang bekerja dan satu sarang
lebah diberi kepada Batin. Pada proses pengambilan madu tersebut, anak lelaki
diwajibkan bekerja menyambut madu lebah dari atas, sedangkan anak perempuan
(melalui suaminya) hanya diwajibkan hadir saja. Bagi anak kemenakan yang tidak hadir
tidak mendapat pembagian.
Selain hutan, dan kepungan Sialang sumber daya ekonomi lain adalah sungai.
Sungai merupakan milik semua suku, tidak ada satu suku yang berkuasa penuh terhadap
sungai. Suku Lalang hanya memiliki hak pengaturan pengambilan ikan di sungai.
Sebelum masuknya industri, sumber pendapat penduduk Pangkalan Kerinci
dikatagorikan berdasarkan lamanya persediaan konsumsi rumah tangga. Pertama,
pendapatan tahunan aktivitas ekonominya adalah bertani berladang berpindah-pindah.
Hasil produksi berladang berpindah-pindah ini digunakan untuk konsumsi satu tahun.
Apabila produksi padi diperkirakan melebihi kebutuhan satu tahun, padi dijual untuk
memenuhi kebutuhan harian atau mingguan. Lahan bekas berladang yang ditanami
berbagai macam tanaman keras terutama karet akan menjadi saving yang suatu saat nanti
akan dijual untuk pesta pernikahan anak, menyunat anak dan acara adat lainnya. Selain
konsumsi untuk rumah tangga, juga ada konsumsi adat dan komunitas yang biasanya
diberikan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Konsumsi tahunan dilengkapi melalui pendapatan bulanan, yaitu meneres karet
(getah). Pekerjaan meneres getah ini umumnya dibayar lebih dahulu melalui utang pada
tauke. Setiap bulan hasil getah diserahkan kepada tuake dengan harga yang ditentukan
oleh tauke.
Jika penduduk tidak punya getah, pekerjaan lainnya adalah membalak. Pekerjaan
membalak ini dilakukan secara berkelompok dibayar dengan jumlah kubik kayu yang
diperoleh. Sebelum berangkat membalak tauke balak menyediakan keperluan konsumsi
dan konsumsi rumah tangga yang ditinggalkan. Biasanya hasil membalak tidak cukup
memenuhi kebutuhan bulanan, sehingga pekerja balak tersebut terikat kepada tuake balak
tersebut.
Konsumsi tahunan dan bulanan ini juga dilengkapi dengan produksi mingguan
atau harian. Kegiatan produksi mingguan atau harian ini biasanya memancing ikan,
mencari hasil hutan, tanaman perkarangan dan aktivitas domestik. Aktivitas pekerjaan
mingguan ini lebih banyak dikerjakan oleh perempuan.
Namun demikian aktivitas penangkapan ikan tidak selalu menjadi sumber
konsumsi harian atau mingguan. Selain sebagai sumber konsumsi harian dan mingguan
ikan juga merupakan sumber konsumsi tahunan (musiman). Jika musim kemarau tiba
aktivitas mencari ikan merupakan aktivitas suku yang dilakukan oleh lelaki. Masing-
masing suku berbagi lubuk untuk menuba (meracun) ikan dengan akar kayu tuba. Hasil
tangkapan merupakan produksi suku yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pembagian
hasilnya biasanya dilakukan secara merata dan adil.
Hasil penangkapan ikan tahunan ini biasanya diolah lebih dahulu oleh lelaki dengan
pengasapan (salai). Setelah disalai ikan dibawa pulang, dan kemudian di jual untuk
keperluan ekonomi rumah tangga.
Sejak 1994 aktivitas ekonomi primer sudah tidak dijalankan lagi. Mereka hanya
bergantung pada sumber ekonomi tertier yaitu membuat rumah sewa di kawasan tanah
seluas 2 hektar yang ada di dekat rumah mereka dan menyewakannya kepada pendatang
seharga Rp. 100.000 sampai Rp.150.000,00 satu rumah setiap bulan. Untuk membuat
rumah tersebut mereka menjual tanah atau ganti rugi tanah kepada kedua perusahaan
tersebut. Rata-rata setiap penduduk mempunyai 7 petak rumah sewa. Hanya kira-kira 5
keluarga yang menggarap hutan milik suku yang tinggal seluas 1.8 hektar di tepi sungai
Kampar dan Kerinci.
Untuk penduduk yang rumahnya berada di tepi jalan, tanah mereka diserahkan
kepada pengusaha terutama nonpri untuk membangun pertokoan dengan prinsip 1:3.
Pengusaha membangun tiga toko tanpa membeli tanah tetapi satu diantara tiga toko
tersebut menjadi milik si pemilik tanah.
Penduduk Pangkalan Kerinci tahun 2000 sudah mencapai 20,000 orang dengan
jumlah rumah tangga mencapai 4.178, namun demikian terdapat bermacam versi jumlah
rumah tangga dan penduduk ini. Selain itu dinamika jumlah penduduk ini berubah
dengan sangat cepat tergantung pada irama perusahaan. Ketika PT RAPP sedang banyak
memerlukan pekerja jumlah penduduk bertambah dengan cepat. Tetapi ketika perusahaan
sedang mengurangi aktivitasnya maka jumlah penduduk juga berkurang dengan cepat.
Jumlah penduduk sebelum program relokasi 1978 Pangkalan Kerinci berjumlah
35 rumah tangga sekitar 120 jiwa. Kemudian pada tahun 1983 jumlah penduduk tersebut
bertambah menjadi 80 rumah tangga sekitar 300 jiwa. Sekarang jumlah penduduk asli
Pangkalan Kerinci berjumlah 70 rumah tangga.
Tabe.l .Penduduk Pangkalan Kerinci
Tahun PA PPDT PPTL
1978 35 kk - -
1983 80 kk 80kk -
1999 70 kk 300 kk 3808 kk Sumber: Kantor desa dan Batin M.Siddik.
Keterangan:
-PA = penduduk asli Pangkalan Kerinci. -PPADT = Pendatang dari desa Tetangga. Tetangga. Tetangga. Tetangga. -PPTL = Pendatang dari tempat lain.
Perbedaan jumlah penduduk tersebut disebabkan oleh pola migrasi ekonomi dan
perkawinan. Sebelum relokasi Depsos, penduduk asli Pangkalan Kerinci pergi merantau
ke kawasan hutan lain yang lebih lebat dan lebih subur dari kawasan hutan Batin
Kerinci. Akibatnya jumlah rumah tangga yang tertinggal hanya 35 rumah tangga saja.
Ketika program relokasi dilaksanakan Batin Kerinci M.Siddik memanggil
kembali warga sukunya agar kembali dan menempati rumah-rumah yang disediakan oleh
Depsos. Terkumpulah 80 rumah tangga Kerinci. 35 rumah tangga yang benar-benar
berasal dari Pangkalan Kerinci 45 rumah tangga berasal dari pecahan keluarga luas dan
penduduk Pangklan Kerinci yang merantau pulang Kembali. Dari 80 rumah tangga
Kerinci tersebut, 5 rumah tangga keluar dari prorgram relokasi Depsos. Alasan keluar
karena ketatnya disiplin yang diterapkan pengawai dari Depsos.
Susunan Rumah Tangga Pangkalan Kerinci bercorak campuran, rumah tangga
luas dan rumah tangga inti, di mana pada rumah tangga luas terdapa rumah tanga inti dan
pada rumah tangga inti yang masih terikat dengan rumah tangga luas. Pada rumah tangga
luas biasanya diisi dua keluarga, keluarga ayah dan ibu beserta anak-anaknya yang belum
menikah, dan satu keluarga anaknya yang juga terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak yang
biasanya masih kecil. Fungsi keluarga berjalan secara bersamaan pada keluarganya
masing-masing. Aktivitas produksi lainnya dilakukan secara terpisah dengan perbedaan
yang tegas tetapi sama dalam fungsi konsumsi. Kontribusi terbesar dalam rumah tangga
berasal dari rumah tangga anak. Sedangkan fungsi anak dan isteri bersamaan, bahkan
nenek bagi anak ikut berperan sebagai pemelihara terhadap anak dari keluarga anaknya.
Pada keluarga inti susunan rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan rata-rata empat
orang anak setiap rumah tangga. Kadang-kadan terdapat juga ibu atau bapak, adik dari
suami atau isteri. Suami sebagai kepala rumah tangga dan bertangung jawab untuk
mengadakan konsumsi rumah tangga. Istri menjalani fungsi-fungsi domestik, pekerjaan
reproduksi, pemeliharaan tanaman dan membantu suami pada kegiatan-kegiatan yang
tidak menggunakan tenaga yang banyak. Fungsi anak ditentukan berdasarakan jenis
kelamin. Anak perempuan akan melakukan pekerjaan yang bertujuan meringankan tugas
ibunya anak laki-laki membantu ayah.
Status ekonomi menyebabkan adanya perbedaan fungsi ibu dalam rumah tangga.
Pada keluarga miskin istri berfungsi total dalam ekonomi rumah tangga. Isteri ikut
membantu suami melakukan pekerjaan tahunan, bulanan dan mingguan. Perkerjaan yang
tidak dikerjakan isteri hanya menebang kayu, dan berbalak ke hutan, selain itu isteri
berperan ganda, melaksanakan fungsi domestik dan fungsi ekonomi keluarga. Keadaan
ini juga terjadi pada anak-anaknya, tidak terjadi perbedaan jenis kelamin. Tetapi pada
rumah tangga yang mempunyai status ekonomi yang lebih baik (termasuk kaya di desa
tersebut), isteri menjadi pajangan dalam rumah tangga. Isteri hampir tidak mengerjakan
pekerjaan apapun, kecuali melayani suami secara seksual dan memelihara anak sampai
remaja. Fungsi-fungsi domestik dan lainnya biasanya dikerjakan oleh pembantu.
Ekonomi Subsisten
Pelopor ekonomi subsisten adalah Chayanov (1966) seorang ekonom Rusia
dengan istilah ekonomi non kapitalis. Kemudian konsep ini dipopulerkan oleh Scott,
Ever, Wong, Dan Claus (1984) dengan ekonomi subsisten. Chayanov mengambarkan
ekonomi subsisten ini dengan houseshold utility maximisation (menggunakan secara
berlebihan). Assumsi kunci dari teori mikro ekonomi rumah tangga petani, yaitu pertama
tidak ada pasar tenaga kerja, misalnya tenaga kerja tidak disewa oleh keluarga, dan tidak
ada bantuan kerja dari anggota keluarga dari luar rumah. Kedua, hasil kebun hanya untuk
konsumsi keluarga dan kalau dijual harga ditentukan oleh pasar. Ketiga, semua keluarga
tani lebih mudah berhubungan dengan tanah untuk dikerjakan. Keempat, dalam
komunitas tani, norma sosial membuat rendahnya pendapatan.
Lebih jelas lagi Chayanov menerangkan household utulity maximisation sebagai
usaha memaksimal potensi ekonomi rumah tangga melalui tenaga kerja rumah tangga
tanpa bayar, dan memaksimalkan fungsi lahan pertanian yang sempit. Setiap produksi
dicoba untuk mencapai keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Semakin tinggi
produksi semakin besar konsumsi. Semakin kecil produksi semakin kurang konsumsi.
Hampir sama dengan Chayanov, Ellis (1988) dalam bukunya Peasant
Economics, Farm Households And Agrarian Development mengemukan bahwa ekonomi
subsisten meliputi tiga unit, yaitu pertama, aktivitas ekonomi adalah sebagai pekebun
(farmer), Kedua, tanah sebagai basis ekonomi, ketiga, pekerja berasal dari keluarga yang
tidak dibayar. Keempat, modal, jumlah produksi sama dengan konsumsi, dan kelima
konsumsi adalah konsumsi subsisten.
Elis juga menyebut tiga indikator penting ekonomi petani subsistens, yaitu tiada
tempat secara khusus dalam ekonomi nasional; merupakan ekonomi tradisional, kecil dan
subsisten yang wujud dalam ekonomi pertanian; tidak mempunyai pasar yang luas,
cenderung merupakan ekonomi keluarga. Famili sebagai unit sosial yang menjalin
hubungan persahabatan antara penduduk, sedangkan rumah tangga sebagai unit sosial
dimaksudkan untuk kebersamaan dalam senang dan susah.
Pendapat Ellis berbeda dengan pendapat Ever (1993) yang memberi dua varibel
utama ekonomi subsisten, yaitu unit rumah tangga dan unit komunitas. Kedua unit
tersebut mempunyai hubungan keterkaitan yang sangat kuat baik dalam proses produksi
maupun konsumsi. Rumah tangga merupakan unit produksi dan konsumsi yang menjadi
teras utama ekonomi, pekerja adalah anggota keluarga tanpa bayar. Selain menjadi buruh
rumah tangga, anggota keluarga juga menjadi buruh tanpa bayar dalam hubungan dengan
komunitas. Pada sistem ekonomi subsisten nilai produksi dan konsumsi tidak dapat
dipisahkan, bergotong royong membangun rumah warga merupakan produksi jasa yang
secara otomatis juga memperoleh konsumsi dan nilai saving jasa.
Dari pemikiran Evers dan Chayanov, 1 dapat disimpulkan bahwa ekonomi
subsisten adalah produksi yang dihasilkan oleh pekerja rumah tangga tanpa bayar yang
bertujuan untuk konsumsi langsung, di mana sumber produksi adalah alam atau jasa.
Produksi rumah tangga ekonomi subsisten tidak terikat dengan pasar dan juga lepas dari
statistik pemerintah. Definisi ini tentu berbeda dengan definisi subsistensinya Scott
(1966) sebagai usaha maksimal rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan minimal
rumah tangga.
Ekonomi subsisten dalam defenisi ini dijumpai di pedesaan Sumatera, khususnya
Riau, Sumsel, dan Sumut secara merata.yang memegang prinsip keseimbangan produksi.
Temuan Dove (1985) di Kalimantan, Brewer (1985) di Bima, Schefold (1985) di
Mentawai. Jumlah produksi ini bukan hanya menentukan konsumsi tetapi juga
menentukan jam kerja. Jika kerja dalam 60 jam cukup untuk konsumsi sebulan maka
1 Menurut Ever (1984) ekonomi subsisten adalah hubungan langsung antara produksi dan konsumsi
(produksi sama dengan konsumsi) yang lepas dari hitungan negara, melibatkan tenaga kerja tanpa bayar
dalam rumah tangga. Sedangkan menurut Chayanov (1966) suatu aktivitas ekonomi yang melakukan self
exploitation dengan maksud untuk memuaskan kebutuhan rumah tangga dengan apa yang dipunyai oleh
pekerja rumah tangga tanpa dibayar.
dalam sebulan mereka hanya bekerja selama maksimal 65 jam. Dengan sumber produksi
yang terdiri dari sektor primer tanah petanian, sektor skunder alam, kebun rakyat serta
jasa dan sektor tertier dari keluarga dan kemunitas.
Sebaliknya, jika produksi selama sebulan tidak mencukupi konsumsi minimum
rumah tangga, maka total konsumsi akan diminimalis jam kerjapun akan semakin
banyak. Termasuk misalnya dari makan dua kali sehari menjadi satu kali sehari.
Sebagaimana yang dinyalir Scott bahwa apabila petani sudah sampai batas etika
subsistensi mereka akan mengganti jenis konsumsi dari beras ke umbi-umbi.
Prilaku ini bukan menjadi indikator prilaku pemalas sebagaimana yang
kemukakan Swift (1965), Parkinson (1976) Ness (1967) terhadap masyarakat Asia
Tenggara khususnya pribumi Melayu. Cara ini merupakan alternatif keberlanjutan
ketersediaan makanan untuk masa yang akan datang. Petani menjaga alam, agar alam
tetap menyediakan makanan mereka untuk massa depan. Pada masyarakat Irian Jaya
yang berada dipinggir pantai, tidak pernah menghabis semua telur penyu, tetap
meninggalkan sebahagian telur tersebut agar reproduksi penyu tetap lestari.
Pada ekonomi subsisten petani tidak mempunyai standar kebutuhan dasar. Standar
petani adalah produksi, makin tinggi produksi maka standar belanja dalam rumah tangga
juga tinggi. Apabila panen tahun ini bisa mencukupi sampai panen tahun berikutnya,
hasil kerja bulanan dan mingguan akan digunakan untuk membelanjakan keperluan
skunder lainnya, artinya hutang akan berkurang. Sayur-mayur, buah-buahan, daging
merupakan produksi sendiri, hanya minyak, gula, kopi, garam, korek dan pakaian dan
keperluan skunder lainnya dibeli dari hasil kerja mingguan atau bulanan.
Kelebihan produksi dari konsumsi akan didistribusikan kepada kerabat dekat,
bahkan dialokasikan untuk dana sosial menyumbang pembangunan fasilitas desa atau
bahkan membantu kerabat dalam melaksanakan perayaan. Saving dalam arti ekonomi
moderen tidak berlaku pada ekonomi subsisten, yang berlaku adalah persiapan modal
untuk konsumsi besar seperti perayaan lebaran, pesta perkawinan, pesta kelahiran dan
pesta desa lainnya. Setelah berbagai upacara tersebut selesai kondisi ekonomi rumah
tangga kembali semula bahkan cenderung makin sulit karena beban hutang dari konsumsi
besar tersebut.
Memahami ekonomi subsisten dapat dengan mudah karena ekonomi subsisten
hanya mempunyai dua variabel yaitu variabel produksi dan variabel konsumsi. Prinsip-
perinsip ekonomi pasar tetap diadopsi secara tidak tepat pada ekonomi subsisten, yaitu
produksi, konsumsi, saving dan hutang. Tujuan produksi pada ekonomi subsisten adalah
konsumsi. Jenis produksi sama dengan jenis konsumsi, atau jenis produksi dipengaruhi
oleh jenis konsumsi. Ever membagi konsumsi pedesaan menjadi dua yaitu konsumsi
rumah tangga dan konsumsi komunitas. Konsumsi rumah tangga diproduksi oleh rumah
tangga dan subsidi komunitas, sedangkan konsumsi massal berasal dari subsidi dari
masing-masing rumah tangga.
Saving (menabung) ditujukan untuk konsumsi massal, seperti menabung untuk
menikah, menabung untuk pergi haji, dan pesta adat lainnya. Bentuk produksi adalah
membuka lahan kemudian menanamnya dengan tanaman keras seperti karet, ketika
prosesi konsumsi massal dilakukan maka kebun dan tanah tersebut dijual sebagai sumber
utama keuangan. Saving juga sama dengan produksi massal untuk konsumsi jangka
panjang. Contoh berladang menanam padi dan hasil panen dijadikan persediaan konsumsi
sepanjang tahun.
Hutang bagi penduduk pendesaan ditujukan untuk pemenuhan kekurangan
kebutuhan primer dan biaya massal. Hutang terjadi karena hubungan antara masyarakat
dengan tauke, yang dibayar melalui hasil kerja harian atau bulanan serta jasa yang tidak
dibayar. Tauke mempunyai inisiatif meningkatkan jumlah hutang setiap hari yang
bertujuan untuk peningkatan ketergantungan. Kelas tauke ini sangat berpengaruh
terhadap persepsi petani pada perubahan. Semakin tergantung petani pada tauke semakin
sulit perubahan terjadi. Karena perubahan bagi tauke adalah ancaman kestabilan
ekonomi, politik dan struktur sosial.
Konsumsi dalam masyarakat subsisten pedesaan merupakan tujuan utama
produksi. Maka produksi ditentukan beberapa besar konsumsi yang diperlukan. Jika
gambaran konsumsi lebih besar sementara faktor produksi juga besar maka aktivitas
produksi akan tinggi guna memenuhi asumsi konsumsi. Chayanov (1966) menyebutnya
dengan labor consume balance, Ellis (1988) dan Evers (1991) menyebutnya penggunaan
produksi langsung.
Konsumsi secara umum dibagi menjadi dua konsumsi utama, yaitu konsumsi
rumah tangga dan konsumsi sosial. Konsumsi rumah tangga merupakan sejumlah
penghasilan yang dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga.
Sedangkan konsumsi sosial merupakan sejumlah penghasilan dikeluarkan untuk
keperluan sosial, seperti sumbangan mesjid, sumbangan pesta perkawinan dan hantar
ketika hari besar.
Konsumsi desa bercirikan pada kemampuan produksi atau jaminan pendapatan
untuk dikonsumsi. Kemampuan produksi adalah jumlah lahan yang bisa diolah secara
maksimal untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga melalui tenaga kerja tanpa bayar.
Sedangkan jaminan pendapatan untuk kelangsungan konsumsi rumah tangga adalah
menghutang. Institusi desa yang paling terkenal yang menjadi jaminan kelangsungan
konsumsi adalah tauke. Tauke ini adalah pedagang di desa yang menjamin kelangsungan
konsumsi.2
Tauke merupakan sumber over consumption, ketika produksi menurun sementara
konsumsi meningkat, petani sering mengabaikan hukum household utulity maximisation.
Konsumsi selalu saja dipenuhi melalui hutang, sementara produksi sangat minim.
Akibatnya seluruh produksi tahunan dan bulanan diserahkan semuanya ke tauke untuk
membayar hutang. Jika kondisi ini berlaku maka tingkat ketergantungan petani tersebut
akan semakin besar pada tauke, bahkan tauke bisa menjadi tuan bagi keluarga tersebut.3
2 Hubungan penduduk dengan tauke yang sangat eksploitatif dalam hal produksi di mana tauke mempunyai
hak otoritatif untuk menentukan harga dalam membeli produksi petani, termasuk produksi jasa yang tidak
dibayar. Begitu juga tauke menentukan harga jual barang secara sepihak dan jauh lebih mahal dari harga
pasaran. Walaupun demikian hubungan tauke dengan penduduk sudah merupakan hubungan sosial dan
kekuasaan. Di mana penduduk miskin desa justeru merasa tauke adalah penyelamat konsumsi rumah
tangga, walaupun ditemukan juga tauke yang menolak memberi hutang kepala kliennya sebelum adanya
pengurangan hutang sebelumnya. Jika ini terjadi biasanya si klien akan mencari tauke lain. Selain itu,
tauke menjadi alat introdusir kebijakan negara terhadap rakyat 3 Contoh yang menarik untuk disimak keberhasilan penduduk Desa Teladas, Rawas Sumsel melepaskan
diri dari tauke secara diam-diam menjual sebahagian penghasilan bulanannya (karet) ke pembeli bebas
dengan harga yang tinggi. Hasil penjulan diam-diam tersebut dibelikan untuk kebutuhan bulanannya di
pedangang lain. Sementara hutangnya pada tauke dibayar secara berangsur ke tauke dengan sebahagian
produksi karetnya. Munculnya inisiatif ini setelah masuknya pembeli-pembeli getah karet dari kota yang
membeli karet lebih mahal, bahkan karena yang datang kedesa tersebut sering mencapai lima pedagang, di
mana masing-masing pedangan getah karet tersebut berusaha membeli harga tertinggi
Kondisi over consumption terjadi pada pertama, suatu massa tertentu terjadi
penurunan harga komoditas, atau terjadi persitiwa alam yang dipandang tidak lama atau
kepala rumah tangga sakit keras.
Kedua, hari-hari besar agama seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, muharam
atau hari-hari besar adat. Pada hari itu semua masyarakat memaksimalkan konsumsi
untuk merayakan hari besar tersebut sampai tiga hari. Selain biaya untuk makan juga
pembelanjaan tahunan berupa pakaian dan penghiasan rumah.
Ketiga, perayaan perkawinan, kelahiran anak, tujuh bulanan, kematian dan
lainnya. Semua jenis perayaan ukuran jumlah konsumsi adalah kampung. Satu rumah
tangga menyediakan konsumsi untuk satu kampung. Sumber konsumsi tersebut biasanya
berasal dari harta kekayaan berupa tanah, kebun dan binatang ternak yang dijual dan
berhutang pada tauke dan juga pemberian dari anggota komunitasnya.
Keempat, ada sebagian kecil dari keluarga petani yang ingin memperbaiki hari
tuanya melalui pendidikan. Anak bagi keluarga desa adalah saving yang berguna di hari
tua. Anak yang sekolah memerlukan dana besar apalagi kalau sampai kuliah di perguruan
tinggi. Sumber biayanya kekayaan berupa tanah, kebun, ternak dan perhiasan dan
meminjam uang ke tauke.
Dove mencatat (1985) pola konsumsi masyarakat Kantu yang peladang
berpindah-pindah terdapat hubungan yang erat antara jenis produksi dengan konsumsi.
Untuk makan mereka menanam padi dan sayur-sayuran di ladang. Untuk berbelanja yang
memerlukan uang misalnya membeli garam, pakaian, minyak tanah, tembakau mereka
menyadap karet dan menanam lada kemudian menjualnya. Selain itu, berburu,
menangkap ikan, mengumpul hasil alam (hutan) memegang peranan yang amat penting.
Temuan Dove ini relevan dengan temuan di beberapa desa di Riau, yang
mengindetifikasikan tiga pola konsumsi berdasarkan produksinya. Produksi tahunan yaitu
berladang, bersawah merupakan konsumsi tahunan. Meneres getah karet, berbalak atau
mencari hasil hutan lainnya merupakan konsumsi bulanan. Sedangkan untuk konsumsi
harian diperoleh dari menanam sayuran di ladang atau diperkarangan, menangkap ikan,
berburu, atau bantuan dari kerabat dekat.
Sedangkan konsumsi sosial atau desa cenderung berupa pengalihan tenaga kerja
dari tenaga kerja rumah tangga menjadi tenaga kerja desa yang juga tidak dibayar.
Pengalihan tenaga kerja ini diimplementasikan melalui sistem tolong menolong dan
gotong royong (Sayogio dan Pudjiwati 1996) Tolong-menolong dilakukan antar petani
yang bertetangga atau satu kelompok usaha atau kerabat dekat. Pada pekerjaan produksi
biasanya tolong menolong ini dilakukan secara bergantian. Jika satu keluarga telah
menolong satu keluarga lain, maka keluarga yang ditolong akan menyediakan waktu
untuk menolong keluarga yang telah menolong keluarganya, begitulah terus menerus.
Berlainan dengan tolong-menolong, gotong royong merupakan kegiatan desa
yang dilakukan seluruh warga desa untuk satu jenis usaha tertentu. Misalnya
memperbaiki jalan, membangun sarana bersama seperti sarana ibadah, kantor desa, balai
pertemuan atau perayaan tertentu. Dalam gotong royong ini bukan hanya jasa (tenaga)
yang dipakai oleh komunitas tetapi juga berupa barang dan konsumsi ringan. Setiap
rumah tangga akan secara otamatis menyediakan konsumsi ketika gotong-royong
dilaksanakan. Begitu juga bahan-bahan yang digunakan untuk membangun jalan, rumah
ibadah, kantor desa atau balai pertemuan berasal dari sumbangan masing-masing rumah
tangga. Sumbangan tersebut ada yang ditentukan jumlah besarnya tetapi ada juga
sumbangan sukarela karena dipandang orang berada (kaya) di desa. Konsumsi sosial ini
juga dikeluarkan untuk perayaan lain di desa.
Pola konsumsi di atas mengambarkan pola produksi. Semakin besar konsumsi
semakin meningkat dan beragam aktivitas produksi. Ever, (1988) menjelaskan produksi
pedesaan melalui dua variable, yaitu variabel rumah tangga dan variabel komunitas.
Adapun variabel rumah tangga meliputi tenaga kerja, jenis lahan dan jenis pekerjaan dan
reproduksi. Tenaga kerja dibagi berdasarkan sex dan umur. Kerja-kerja reproduksi
dilakukan oleh perempuan dengan dibantu oleh anak-anak perempuan. Reproduksi
meliputi reproduksi tenaga kerja rumah tangga dan reproduksi hasil kerja dari suami atau
lelaki yang bekerja di luar rumah tangga terutama yang dimaksud Ever dengan sektor
skunder dan tertier. Isteri selain berfungsi reproduksi juga melakukan produksi
perkarangan, kraf tangan, pemeliharaan ternak dan pendidikan anak.
McSwenewy (Ellis 1988) secara jelas merumuskan hubungan produksi dengan
fungsi sex dalam rumah tangga, yang membagi tiga jenis aktivitas perempuan pada
ekonomi subsisten di pedesaan, yaitu pertama, aktivitas reproduksi meliputi aktivitas
reproduksi, melahirkan anak, memelihara dan membesarkan anak. Dan aktivitas
reproduksi harian meliputi masak, membesikan, mencuci, menambal pakaian,
mengumpul kayu, mengakat air, membangun memperbaiki rumah. Kedua, aktivitas
produksi, meliputi produksi untuk keperluan rumah, mananam sayuran, memelihara
hewan, membuat kue, menjahit, menbuat kerajinan tangan. Produksi untuk pasar,
berkebun sayuran, menjual makanan, kerja tambahan, membuat kerajinan untuk dijual.
Ketiga, aktivitas tambahan meliputi membuat makanan, kesehatan, silaturahim dan lain-
lain.
Selain itu dalam pandangan McSwenewy pada masyarakat yang menganut sistem
patrilinial lelaki sangat dominan dan mengontrol semua produksi pertanian.
Perkawinan tidak didasarkan cinta tetapi diatur oleh orang tua yang biasanya lebih
mementingkan solidaritas keluarga. Hal ini dilakukan kerana keluarga petani sangat
mengambil penting tentang kehidupan sosial masyarakat, bersifat terbuka dengan orang
luar dan sangat menjaga hubungan dengan sesama masyarakat di dalam kampungnya.
Sedangkan variabel luar rumah tangga adalah produksi yang diperoleh dari
komunitas, bantuan keluarga termasuk bantuan dari anak yang sudah dewasa. Produksi
dari komunitas ini adalah produksi yang berhimpit dengan konsumsi. Di mana jumlah
produksi langsung berfungsi konsumsi, cenderung fungsi konsumsi lebih besar dari
fungsi produksi. Ada beberapa kegiatan yang biasanya berfungsi produksi yaitu meliputi
perayaan yang berkaitan dengan kelahiran, kematian, perkawinan, membuka hutan,
membangun rumah, masa panen dan kegiatan yang memerlukan tenaga banyak orang.
Rumah tangga selalu mendapat bantuan berupa jasa tenaga yang tidak dibayar. Jika
dihitung dengan dengan menggunakan nilai uang, maka jumlah pendapatan yang
diperoleh jauh lebih besar dari biaya konsumsi yang dikeluarkan. Hanya saja bantuan jasa
tersebut harus dibayar dengan tenaga pula pada waktu yang berbeda.
Sumber produksi di luar rumah tangga lainnya adalah bantuan dari keluarga, baik
berupa warisan, maupun bantuan dari orang tua terhadap anaknya. Bantuan tersebut
berbentuk uang, bahan mentah ataupun fasilitas konsumsi tanpa biaya untuk batas waktu
yang tidak terbatas. Bentuk sumber pendapatan lain adalah berasal dari bantuan anak bagi
orang tua yang sudah tua. Biasanya anak yang sudah sudah dewasa tapi belum menikah
semua penghasilannya diserahkan kepada orang tuanya, termasuk juga bantuan anak
yang sudah berkeluarga kepada orang tuanya.
Sistem produksi petani subsisten ini sangat beragam berdasarkan ekologi di mana
petani berada. Untuk petani yang tinggal yang hutannya masih luas umumnya berladang
berpindah-pindah, mengambil hasil hutan dan sungai. Brewer (Dove 1985)
mengemukakan tiga sistem produksi Bima dan Mentawai dan Irian Jawa yaitu
perlandangan berpindah-pindah, pengumpulan sagu, berburu dan meramu. Antara suku
tersebut menunjukkan pola produksi yang sama, perbedaannya terletak pada jenis
tanaman, cara pengolahan dan pemeliharaan. Di Mentawai misalnya hutan yang ditebang
tidak dibakar dan ditanami umbi-umbian. Sementara di Bima, lahan yang sudah ditebang
dibakar dan ditanami padi.
Catatanan Anderson (1924), di mana orang Melayu Sumatera Utara berbasis
ekonomi peladang, mereka membuka hutan pada musim kemarau di pinggir sungai dan
menanam pada musim penghujan. Pada tahun ketiga ladang tersebut ditanami sayur-
sayuran, umbi-umbian, tebu, pisang, jagung, lada dan tembakau. Di kawasan kampung
(perkarangan) di tanam jambu, delima, asam jawa, nangka sukun, dan jenis tumbuhan
keras lainnya. Selain itu orang Melayu juga memanfaatkan hasil hutan seperti tumbuhan
jenis akar, rotan damar dan kayu semuanya dijual ke pasar eksport.
Pelly (1996) menyebutkan bahwa kultur produksi Melayu adalah berladang,
nelayan dan perdagangan, orang Melayu membuka hutan untuk memproduksi tanaman
ekspor. Produksi tanaman ekspor tersebut dijual ke pedagang kemudian pedagang yang
melakukan transaksi antar pulau dan antar negara.
Pada desa yang masih melakukan kegiatan perladangan, hutanlah yang menjadi
sumber ekonomi utama petaninya, menurut Sutrisno (1991) selain hutan menjadi sumber
berbagai usaha pertanian dan makanan atau cirtical support, hutan juga berfungsi
sebagai penjamin penduduk untuk makan sepanjang tahun atau food security. Tanah dan
hutan bagi masyarakat petani menjadi sumber ekonomi pertama keluarga, baik itu
ekonomi primer dan skunder. Semakin luas hutan dan tanah yang dimiliki semakin baik
kehidupan ekonomi keluarga, karena aktivitas penduduk di desa sangat tergantung pada
bidang pertanian yang sangat memerlukan tanah.
Untuk memenuhi keperluan hidup di luar dari produksi tahunan petani
mengumpulkan hasil hutan seperti rotan, damar, gaharu, minyak seminai, minyak
kruing, buah balam, kapur barus dan gading gajah untuk dijual pasaran dunia. Ini
menunjukkan bahwa sektor skunder dan tersier merupakan sumber ekonomi yang sama
pentingnya dengan sumber ekonomi primer (pertanian). Sering dijumpai, sektor primer
dikuasai wanita, sedangkan sektor skunder dan tersier dikuasai oleh lelaki (disinilah arti
pembagian kerja bagi petani)
Gee. (1977) secara jelas memaparkan beberapa pola produksi petani subsisten di
Malaysia, adalah menembak, nelayan, dan mengambil hasil hutan. Hubungannya dengan
pasar penjulan barang terbatas dan karakteristik ekonomi melalui unit produksi yang
kecil, teknologi sederhana, dan sangat rendah spesialisasi. Instrumen baru ekonomi
mereka adalah kedai yang berada di kampung, yang menjual semua keperluan dan
membeli produksi kampung. Mereka juga tidak semata-mata tergantung pada
perladangan padi, tetapi juga ada tanaman lain yang juga penting, seperti sayuran-sayuran
dan buahan-buahan. Tanaman padi dicampur dengan tanaman lain yang lebih komplek.
Pandangan di atas membantah asumsi bahwa sumber utama ekonomi petani adalah lahan
petanian dengan fokus produksi pertanian, berapa luas lahan, bagaimana pengolahan
(kapasitas produksi) dan bagaimana distribusinya. Asumsi ekonomi petani tersebut
menimbulkan kekeliruan pemahaman petani terhadap ekonomi.
Hasil dari observasi petani Riau, Sumsel dan Jambi menunjukkan bahwa pola
produksi petani berbanding lurus dengan prilaku konsumsi dan sumber daya produksi.
Padi bagi petani adalah pembelanjaan tahunan, sebab itu petani hanya berladang atau
bersawah setahun sekali mengikuti siklus hujan dan kemarau. Produksi sekali beladang
atau bersawah dijadikan untuk konsumsi setahun. Jika produksi padi bisa mencukupi
setahun artinya jaminan konsumsi untuk setahun. Apabila padi tidak mampu mencukupi
konsumsi setahun, maka pembelanjaana untuk konsumsi beras dialihkan ke produksi
bulanan, bahkan bisa juga mingguan atau harian biasanya melalui tauke dengan
mengambil dulu membayar setelah sebulan bahkan kadang lebih.
Ladang selain berfungsi untuk menanam padi pada dua tahun pertama, dan
tanaman keras juga ditaman kebutuhan rumah tangga berupa jagung, sayur-mayur, cabai
dan lain-lainnya sebagai konsumsi harian.
Menanam tanaman keras adalah saving bagi petani untuk masa tujuh hingga 20
tahun. Perkebunan rakyat yang di gemari di Riau daratan, Jambi dan Sumsel adalah getah
karet, pada tahun 2000 ini beralih ke sawit. Kebun ini apabila sampai waktu produksinya
menjadi sumber utama ekonomi rumah tangga yang diproduksi setiap hari tetapi
konsumsi bulanan. Aktivitas utama petani di tiga provinsi ini adalah kerja di perkebunan
rakyat, baik itu kebun sendiri maupun di kebun orang lain dengan bagi hasil. Kerja
bulanan di sektor kebun ini sering juga diganti dengan mencari balak, rotan, damar dan
semua kekayaan hutan.
Memang dasar produksi pertanian di masing-masing wilayah Indonesia sebelum
Orde Baru dipaparkan secara jelas oleh Koentjaraningrat (1964) yaitu pola pertanian
bersawah sebenarnya hanya ada di Jawa, Bali dan Lombok, termasuk juga sekitar 10-
11% ada di Batak, Agam (Sumbar), Pantai Kalimantan, dan pantai pulau Nusa Tenggara,
90-89% pola pertanian perladangan termasuk di Jawa Barat.
Scott dan Kekuatan Perubahan
Kajian ini mencoba mengembangkan tesis umum bahwa prilaku subsisten
masyarakat pedesaan merupakan gejala strukturalis. Tesis ini bersumber dari fenomena
perubahan di daerah penelitian bahwa perubahan ekologi sosial yang tidak terkontrol
menyebabkan peningkatan kemampuan perubahan pemikirian ekonomi rumah tangga dan
adaptasi sosial. Perubahan ini juga diikuti dengan perubahan cara produksi dan cara
konsumsi rumah tangga.
Penetrasi perubahan yang tidak terkontrol mampu merombak tatanan struktur
sosial menuju ke arus perubahan. Perubahan struktur sosial menjadikan pengembangan
pilihan-pilihan alternatif yang tidak terikat dengan struktur sosial lama. Kemerdekaan
untuk memiliki bebagai alternatif tersebut menyebabkan terjadinya perubahan cara pikir,
budaya dan prilaku ekonomi. Dalam kajian Scott (1966) tidak melihat faktor struktural
ini sebagai pengikat pada struktur sosial yang ada. Scott juga mengabaikan kepentingan
kelas elit atas kemiskinan masyarakat pedesaan.
Kehadiran kebun sawit, industri bubur kertas, pendatang besar-besaran telah
merombak tatanan struktural lama. Perombakan struktural ini telah menyebabkan
perobahan ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, walaupun tidak secara otomatis diikuti
oleh cara berpikir ekonomi. Rumah tangga sudah berada pada ekonomi pasar tetapi cara
berpikir masih ekonomi subsisten. Oleh sebab itu, kajian ini berbanding terbalik dengan
analisis Scott---menyatakan bahwa cara berfikir ekonomi subsisten menyebabkan petani
menolak perobahan— yaitu perubahan ekologi sosial ekonomi menyebabkan perubahan
prilaku ekonomi subsisten. Perubahan telah terjadi, maka mau tidak mau prilaku
ekonomi turut berubah.
Pada sistem sosial yang egaliter akan menyebabkan terjadi perkembangan
pemikiran terus-menerus pada masyarakat petani di pedesaan. Ini disebabkan struktur
yang menghambat masyarakat untuk berkembang semakin kecil. Berubahkan kelas para
tauke dan berubahnya kelas feodal, menyebabkan ketergantungan ekonomi dan sistem
patronase juga terganggu. Contoh konkrit yang menarik dari keinginan berubah adalah
semua keluarga menyekolahkan anaknya yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan
mereka. Pendidikan merupakan gerbong keperubahan pemikiran ekonomi. Tetapi jika
perubahan ekologi ekonomi tidak diikuti oleh perubahan struktur sosial dan politik maka
perubahan tersebut tidak membawa pengaruh ke perubahan pemikiran ekonomi petani.
Selain itu, tesis Scott tidak begitu mampu mengambarkan kondisi sosiologis
mayarakat petani di Riau khususnya dan Sumatera umumnya. Karena masyarakat
pedesaan di Sumatera belum berhadapan dengan masalah tanah dan tuan tanah. Berikut
beberapa poin penting yang melemahkan tesis Scott tersebut.
Pertama, menyangkut cara pandang petani terhadap aktivitas ekonomi. Scott
(1966), Eric Wolf, (1983) Lukman Sutrisno (1991) melihat rendahnya kemandirian petani
(komunitas pedesaan) dalam ekonomi. Petani dipandang sangat tergantung pada alam,
lahan dan patronasenya. Untuk petani Jawa, Thailand, Vietnam dan model tuan tanah di
Eropah, Filipina dan Amerika Latin memang benar petani sangat tergantung pada
patronase karena keterbatasan lahan. Berbeda dengan di luar Jawa misalnya sebagian
besar Sumatera, Kalimantan, Sulauwesi dan Irian Jaya, petani tidak kekurangan lahan,
bahkan berlebihan lahan pertanian. Hanya saja karena pemikiran ekonomi subsisten dan
cinta lingkungan, petani hanya mengambil secukupnya untuk keperluan hari ini saja.
Kedua, pembahasan tentang ekonomi subsisten tidak konperehensif. Para pakar
hanya membahas aspek cara produksi dari ekonomi petani, Dove (1985) Eric Wolf
(1966) Dumout (1970) termasuk Chayanov (1966) yang hanya membahas proses
produksi dan konsumsi saja tidak membahas bagaimana perubahan pemikiran ekonomi
subsisten dalam rumah tangga.
Ketiga, Hans Dieter Ever (1993) juga menjelaskan bahwa petani di Asia Tenggara
tidak tergantung pada lahan pertanian, tetapi tergantung pada sektor skunder dan tertier.
Sektor skunder adalah seperti tersedianya alam, perkebunan rakyat serta buruh harian.
Sedangkan sektor tertier adalah dana keluarga dan jasa. Pemikiran Ever ini luput dari
kajian Scott.
Selain itu, di pedesaan tidak semuanya menganut ekonomi subsisten, Bahkan Gee
Lim Teck (1977) dalam bukunya Peasants And Their Agricultural Economy in Colonial
Malaya, mengemukakan tiga tipe ekonomi petani Melayu pada zaman penjajah, yaitu:1)
petani tradisional subsisten, yaitu sekelompok kecil petani yang tinggal di kampung,
aktivitas utamanya adalah menembak, nelayan, dan mengambil hasil hutan. 2) gabungan
antara petani subsisten dan petani komersial, jenis ini merupakan pengaruh dari sistem
bayar tunai dan kekuatan ekonomi pasar. 3) ekonomi komersial, petani mempunyai usaha
pertanian yang khusus. Petani memiliki kebun kecil yang berfungsi sebagai unit produksi
dan diatur oleh keluarga sendiri. Aktivitas ini didominasi oleh perkebunan karet.
Keempat, ekonomi subsisten bukan hanya terbatas pada petani tetapi memberi
pengertian yang lebih luas tentang ekonomi kelas bawah, buruh dan kaum miskin kota.
Secara sosiologis di negara ketiga sektor ekonomi kelas bawah ini masih sangat kuat
memegang perinsip ekonomi subsisten. Buruh dan masyarakat miskin perkotaan tidak
mengalami perubahan bukan semata-mata disebabkan permikiran ekonomi susbsiten
tetapi juga disebabkan faktor struktural modal dan peluang usaha.
Kelima, elit di pedesaaan juga memberlakukan hukum pasar dan proses
kapitalisasi yang monopoli, yang dibungkus oleh hubungan komunal pedesaan. Tauke
dianggap menjadi penjamin kepastian konsumsi rumah tangga. Kepastian jaminan
konsumsi menciptakan pola eksploitasi oleh tauke melalui perlindungan konsumsi rumah
tangga dalam bentuk hutang. Akibatnya produksi langsung menjadi pembayar hutang
karena konsumsi mendahului produksi.
Keenam, kegiatan politik petani tidak selalu bersumber dari etika subsistensi,
masuk elemen politik di luar komunitas petani juga berpengaruh terhadap kegiatan politik
petani, misalnya masukknya ideologi komunis di pedesaan Indonesia tahun 1960-an
menjadikan kegiatan politik petani lebih menonjol dengan menggunakan tema-tema
reformasi tanah, atau menjadi alat perjuangan politik kaum feodal untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi. Di Pangkalan Kerinci Riau gerakan anti pemerintah dan
perusahaan dimotori oleh kaum feodal yang tetap ingin mempertahankan hak-hak
feodalisme yang hancur akibat kehadiran industri.
Ketujuh, kajian Popkin (1979) di Vietnam yang merupakan bantahan terhadap
kajian Scott dengan jelas mengemukakan bahwa tidak begitu jelas hubungannya antara
subsistensi dengan respon kolektif. Asumsi Popkin ini mengambarkan bahwa tindakan
petani berdasarkan pertimbangan rasional individunya. Dalam pandangan saya bahwa
tindakan petani merupakan tindakan rasionalnya yang dikooptasi oleh pemikiran
ekonominya. Pendapat ini tentu saja memperkuat asumsi bahwa persoalan ekonomi
adalah persoalan individu di pedesaan yang didukung oleh suatu sistem komunal. Sistem
komunal dibentuk melalui jaringan genetis dan ketergantungan sosial.
Strategi Perubahan
Studi tentang respon petani pedesaan terhadap perubahan telah menunjuk corak
respon yang berbeda. Perbedaan corak respon ini dipengaruhi oleh faktor agen perubah
dan sumberdaya ekonomi yang dimiliki. Dalam beberapa kasus petani yang kurang
kepemilikan tanah dan terjebak dalam struktur tauke telah mengambil beberapa jalan
keluar untuk menghadapi tekanan pasar, yaitu pertama, membatasi diri dan tetap
bergantung pada sistem patron-klien. Kedua, apabila no 1 tidak bisa dijalankan maka
mereka akan mencoba tanaman dan cara baru. Ketiga, menyediakan area baru dan pasar.
Pilihan strategi yang diambil mengambarkan besarnya tekanan terhadap struktur
sosial yang ada. Pilihan untuk tetap bergantung pada sistem patron klien ini disebabkan
perubahan yang tidak mampu merubah struktur sosial dan ekonomi yang telah terbentuk.
Pilihan ini akan berubah ketika struktur sosial mengalami kegoncangan dan berganti ke
struktur baru, perubahan ini merujuk kepada kemampuan personal dalam merespon
tekanan perubahan tersebut.
Implementasi dari perubahan tersebut terbentuklah dua pola differensiasi, yaitu
terjadi proses diffrensiasi dari buruh tani menuju integrasi mekanisasi dan keberanian
terhadap perubahan sebagai bagian dari proses buruh dunia. Diffrensiasi ini mengikuti
tiga kelas, pertama, individu atau keluarga secara langsung terlibat dalam proses buruh
dan tidak tergantung pada yang lainnya. Kedua, diantara yang tergantung pada proses
buruh petani (labor proces) hanya sebahagian saja, dan yang lainnya tergabung dalam
proses keberaraian dunia. Ketiga, semuanya tergantung secara ekslusif pada labor
proces, tidak hanya pada tanaman makanan tetapi untuk semuanya. Dalam kondisi yang
sama Connell & Dasqupta & Laishley & Lipton (1976) pilihan yang paling tajam diambil
oleh penduduk pedesaan adalah urbanisasi ke kota atau pindah ketempat lain yang
dianggap lebih baik.
Scott (1966) sendiri mengidentifikasi respon petani dalam beberapa indikasi yaitu
pertama, Pertama, rumah tangga petani melakukan pemberontakan untuk
mengembalikan hak-hak ekonomi dan hak sosialnya. Kedua, petani melakukan langkah
penyelamatan diri melalui langkah kontrukstif terhadap lingkungnnya.
Studi Scott di Asia Tenggara menonjolkan pemberontakan sebagai pola respon
terhadap perubahan oleh negara. Bahkan teori moral ekonomi petani yang ditulisnya
merupakan karya ilmiah yang sengaja untuk membincangkan alasan-alasan
pemberontakan petani di Asia Tenggara. Pemberontakan menurut Scott bukan karena
perebutan kekuasaan tetapi karena terganggunya pola subsistensi pada komunitas petani.
Perubahan bagi petani adalah ancaman bagi kelangsungan hidupnya. Oleh karenanya
pilihan pemberontakan merupakan alternatif mempertahankan kelangsungan subsistensi.
Pilihan penyelamatan diri yang diambil oleh keluarga petani dipahami Scott
hanya sebagai bentuk lain alternatif dari sebahagian kecil petani saja. Karena hanya
rumah tangga petani yang segera mendapat patron baru dari perubahan tersebut yang
akan memilih cara ini. Pilihan penyelamatan ini juga muncul tidak lain disebabkan dari
peran negara, organisasi politik, dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat
yang datang ke komunitas petani tersebut untuk menjadi patronase baru.
Pilihan alternatif penyelamatan diri diidentifikasi Scott berupa, mempekerja
seluruh anggota keluarga (ide dari Chayanov), menyampingkan kewajiban serimonial
(mengurangi kualitas dan kuantitas), berimigrasi, bekerja atas bagi hasil, alat politik tuan
tanah untuk menghantam orang desanya. Selain itu petani akan mencari kerja sambilan
dan koneksi yang dapat menstabilkan subsistensi.
Strategi yang dijalankan petani terhadap perubahan adalah melakukan empat
penyesuain diri berupa, pertama, pendalaman pada bentuk-bentuk setempat dari usaha
swadaya dalam bentuk pertukaran jenis tanaman ke peralihan padat karya dan peralihan
ketanaman komersial. Kedua, pengandalan dari sektor non pertanian, dalam bentuk
menyerbu ekonomi uang dengan pergi ke kota mencari serpihan ke kota. ketiga,
pengandalan pada bentuk patronase dan bantuan dukungan dari negara, berupa projek
negara berupa subsidi pangan dan bantuan untuk daerah yang tertimpa kelaparan.
Keempat, pengandalan pada struktur-struktur proteksi dan bantuan yang bersifat
keagamaan atau oposisi.
Penelitian Usman Pelly (1996) di Sumatera Utara menemukan bahwa terjadi
perubahan pola produksi orang Melayu dari produksi komoditi eksport ke pertanian
subsisten berupa padi dan palawija. Pelly mengindentipikasi sebelum masuknya
kapitalisasi di Sumatera Utara, Masyarakat Melayu justeru tidak menganut ekonomi
subsisten tetapi perkebunan besar dan perdagangan. Setelah masuk industri, lahan
berkurang masyarakat Melayu kehilangan lahan dan akhirnya melakukan ekonomi
subsisten.
Appell (1985) dalam tulisannya “Biaya Perubahan Sosial” secara sistematik
merumuskan 7 biaya perubahan sosial; 1) pembangunan menyebabkan perusakan.
2.Pergeseran aktivitas asli. 3. Kapasitas Adaptasi yang terbatas. 4. Gangguan fisiologi,
psikologi dan prilaku. 5. Erosi sistem penunjang dan sistem penawaran. 6. Kerugian
psikologis dan kompensasi. 7. Keadaan Gizi populasi. Biaya perubahan ini dapat secara
jelas ditemukan di Pangkalan Kerinci berupakan perombakan sistem sosial, kepemilikan
tanah dan terjadinya degradasi lingkungan fisik. Biaya-biaya perubahan di atas dapat
disistimatiskan menjadi dua bentuk perubahan sosial pada masyarakat Pangkalan Kerinci,
yaitu
1) Perubahan struktur sosial dan ekonomi. Kedatangan industri dan
pengambilalihan kepemilikan atas tanah ke Pangkalan Kerinci memiliki pengaruh
perubahan yang sangat besar. Di antara perubahan tersebut adalah perubahan sosial yaitu
beralihnya struktur tradisional dari sistem kebatinan menjadi sistem pemerintah negara.
Posisi batin diambil alih oleh negara melalui UU no 4 tahun 1975 dan UU no 5 tahun
1979 tentang pemerintah daerah dan pemerintahan desa. Struktur sosial tradisional
memberi hak otoritas penguasaan politik dan ekonomi kepada batin yang berasal dari
Suku Lalang sebagai suku penguasa hak ulayat Pangakalan Kerinci.
Setelah kehadiran negara melalui relokasi Dinas Sosial hak istimewa yang
dimiliki suku Lalang berangsur pudar digantikan oleh negara yang diwakili oleh
pendatang. Setelah status desa muda berubah menjadi status desa penuh, kepala desa
aterpilih selalau berasal dari pendatang karena jumlah suara lebih banyak pendatang,
sementara hak adat yang dimiliki batin tidak diakui. Penghapusan hak istimewa suku
Lalang benar-benar terealisasi setelah negara menyerahkan hak atas tanah ulayat suku
Lalang kepada perkebunan sawit dan pabrik bubur kertas.
Perubahan tersebut tentu saja merubah ekologi dan demografi pedesaan ke
ekologi perkotaan (Pelly 1996 ; Embong 1996). Ekologi agraris ke ekologi urban,
padatnya jumlah penduduk dan masuknya ekonomi pasar secara meluas. Ekologi
pedesaan dengan sistem sosial yang ketat, kekeluargaan dan komunal berubah menjadi
ekologi perkotaan yang bersifat individualistis. Perubahan yang bisa dilihat secara nyata
adalah perubahan sistem kepemilikan tanah dari hak milik komunal menjadi hal milik
pribadi. Tanah yang semula hak ulayat berfungsi sosial kini menjadi hak milik pribadi
berubah fungsi menjadi fungsi ekonomi. Sejak beroperasinya kebun sawit dan pabrik
bubur kertas, tanah ulayat seluas 225.000 hektar yang tersisa untuk masyarakat tidak
melebihi dari rata-rata 5 hektar.
Tabel di bawah ini menunjukkan proses perubahan Pangkalan Kerinci dari
kumpulan Pangkalan hingga menjadi ibu kota Kabupaten Pelalawan.
Tabel 2. Data Perkembangan Status Pangkalan Kerinci
Tahun Status Wilayah
sebelum tahun 1978 Pangkalan
1978 Desa Muda
1983 Desa
1987 Kantor Wilayah Kerja II
Pembantu Bupati
1999 Kecamatan
Ibu Kota Kab. Pelalawan
Data diolah dari lapangan
Studi ini menemukan hak komunal menjadi tumpang tindih dengan hak individu.
Sebelum masuknya industri tidak dibenarkan selain suku lalang memiliki tanah ulayat,
penjualan atas tanah harus atas persetujuan batin sebagai kepala pemerintahan. Tetapi
setelah tanah langka dan harga tinggi setiap individu bisa dengan mudah mengklaim
kepemilikan tanah. Fakta menarik atas hilangnya fungsi sosial atas tanah adalah
masyarakat terpaksa meminta kepada perusahaan PT RAPP untuk tanah kuburan, sebab
masyarakat sudah tidak bisa lagi menyediakan tanah kuburan.
Kehilangan fungsi sosial tanah berdampak pada pola pekerjaan masyarakat.
Sebelumnya masyarakat sangat tergantung pada hutan-tanah untuk produksi. Hutan bagi
penduduk lokal bukan hanya tempat berladang berpindah-pindah atau berkebun tanaman
keras, tetapi juga merupakan sumber penghasilan tambahan sebagai penopang utama
ekonomi keluarga (Ever 1989). Di hutan tersedia kayu, rotan, damar, sumber ketahanan
pangan baik hewani maupun nabati, sumber penghasil madu dan lain-lainya. Ketika
hutan dan tanah tidak tersedia lagi tentu masyarakat tidak mungkin harus bertahan
dengan tradisi pertanian tradisional.
Tabel 3. Data Pekerjaan dan Sumber Pendapat
Jumlah Rumah Tangga
Jenis Pendapatan (Pekerjaan
Sebelum ada Industri Setelah ada Industri
Ladang 27 2
Karet 27 -
Balak 20 -
Nelayan 27 2
Tidak Bekerja 3 2
Sewa rumah - 20
Kebun sawit - 10
Buruh Harian - 4
Sopir truk - 1
Sopir oplet - 1
Penarik Becak Motor - 1
Buruh Sawamil - 1
Pegawai Swasta (PT RAPP) - 1
Dagang - 1
N = 30 rumah tangga
Data diolah dari lapangan
Data di atas mendiskripsikan peralihan sumber pendapatan dan pekerjaan, dari
pertanian tradional ke pertanian global dan ke jasa sewa rumah. Hanya 2 rumah tangga
yang bertahan di sektor pertanian yaitu ladang dan nelayan. Ke dua rumah tangga ini
menjalankan usaha ladang sekaligus nelayan di pinggiran sungai Kampar dari sisa tanah
yang belum diambil oleh industri dan belum juga dijual oleh masyarakat. Terdapat 20
rumah tangga membangun rumah sewa dari tanah perkarangan dari hasil pembagian
program relokasi Departemen Sosial. Data ini juga melihat berkembangnya jenis
pekerjan baru dari 5 jenis pekerjaan menjadi 11, atau bertambah 7 jenis pekerjaan baru.
Perubahan ekologis ini diikuti oleh perubahan demografi. Perubahan ini
disebabkan terjadinya imigrasi dari seluruh penjuru. Industri bubur kertas telah
mengundang tenaga kerja yang berasal dari India, Amerika, Filipina, Eropa dan lainnya.
Dilihat dari perubahan penduduk tahun 1978 jumlah rumah tangga hanya 35 rumah
tangga, jumlah ini meningkat menjadi 160 rumah tangga di tahun 1983. Tahun 1999
jumlah rumah tangga melonjak menjadi 4178 rumah tangga dan hanya 70 rumah tangga
penduduk asli Pangkalan Kerinci atau sekitar 1,84 persen dari keseluruhan rumah tangga
di Pangkalan Kerinci.
Graf 1. Kompisisi Penduduk Pangkalan Kerinci Tahun 1999
Komposisi Penduduk
Pangkalan Kerinci tahun 1999
2% 7%
91%
PA PPADT PPTL
Keterangan:
-PA = Penduduk Asli; -PPADT = Penduduk Asli dari Desa Tetangga;
-PPTL = Penduduk Pendatang Tempat Lain
Perubahan demografis ini mempunyai implikasi pada perubahan politik dan
kekuasaan. Walaupun sumber perubahan politik dan kekuasaan tradisional adalah
penetrasi negara penerapan UU No 5 tahun 1974 dan UU no 4 tahun 1979. Kedua
UU ini menerapkan sistem demokrasi dalam pemilihan kepala desa, sehingga posisi
sebagai masyarakat minoritas menyebabkan keputusan politik berada di tangan
mayoritas. Terbukti sejak tahun 1983 kepala desa dijabat oleh pendatang, hak
kebatinan suku lalang tidak lagi mempunyai pengaruh pada masyarakat.
2) Perubahan Rumah Tangga. Kehadiran perkebunan sawit merubah desa
Pangkalan Kerinci menjadi semi desa sebagaiman konsep Hans Dieter Ever. Tumbuhnya
sektor perkotaan melalui pertumbuhan pasar, mulai dari pasar mingguan berubah menjadi
pasar harian yang permanen dan menjual berbagai produk barang. Berfungsinya pasar
yang dibuat pemerintah yang semula berfungsi sebagai pasar kebutuhan harian.
Pangkalan Kerinci berubah menjadi kota kecil setelah dibangunnya industri bubur kertas
PT RAPP. PT RAPP membawa ribuan pekerja pabrik dan membangun perumahan di
kawasan yang terpisah dari masyarakat. Pangkalan Kerinci benar-benar menjadi ibu kota
kabupaten setelah disahkannya pembentukan Kabupaten Pelalawan tahun 1999 dengan
ibu kota Pangkalan Kerinci.
Bersamaan dengan itu terjadi juga perubahan dalam struktur rumah tangga.
Rumah tangga luas tidak lagi ditemui di Pangkalan Kerinci. Konsep rumah tangga luas
tradisional sudah berubah ke rumah tangga inti. Begitu juga pengelompakan rumah
tangga inti yang berpusat pada rumah orang tuanya juga tidak ditemui. Hubungan
kekerabatan hanya terjadi melalui hubungan keluarga (famili), antar rumah tangga dalam
satu keluarga tidak lagi berdekatan tetapi sudah terpencar.
Perubahan struktur rumah tangga luas ke rumah tangga inti ikut mempengaruhi
pola konsumsi dan produksi serta pembagian kerja dalam rumah tangga. Konsumsi
bersumber dari produksi rumah tangga sendiri, dalam hubungan dengan orang tuanya
anak mensubsidi orang tuanya berupa uang. Tedapat 2 rumah tangga yang secara rutin
mensubsidi rumah tangga orang tuanya setiap bulan yang tinggal pada rumah tangga
yang terpisah. Yang belum berubah dalam hal fungsi anak yang belum menikah sebagai
pekerja rumah tangga tanpa bayar bagi rumah tangga yang tetap di sektor pertanian atau
mempunyai usaha sendiri di mana anaknya bekerja pada bapaknya. Tetapi pada rumah
tangga yang yang anak-anaknya bekerja pada orang lain, anak tetap mempunyai otoritas
mengelola penghasilannya dan mensubsidi orang tuanya sesuai dengan keinginannya.
Perubahan juga terjadi pada peran perempuan dalam rumah tangga. Kehilangan
pekerjaan skuder ini menyebab perempuan secara otomatis pulang ke rumah. Para suami
yang pendapatnya meningkat tetapi masih berpaham pada nilai pertanian mengembalikan
para isteri mereka pada nilai status sosial. Di mana para isteri yang bekerja dianggap
sebagai cerminan ketidak mampuan lelaki dalam menghidupi keluarga. Ketika para
suami mampu menghidupi rumah tangganya dengan menjual tanah, berkebun dan sumber
ekonomi baru lainnya, isteri diletakkan kembali kepada posisi status sosial.
Dari 30 rumah tangga yang diteliti 10 rumah tangga yang berpenghasilan lebih
dari 15 juta pertahun para isteri dan suami merasa bangga kalau isterinya tidak bekerja.
Begitu juga para isteri merasa senang kalau dirinya tidak lagi bekerja. Memang pada
keluarga yang pendapatannya kurang dari 10 juta keinginan istri bekerja cukup besar.
Tetapi mereka merasa sangat sadar bahwa kini peluang kerja tidak sesuai dengan mereka.
Data berikut mampu menjelaskan aktivitas perempuan di Pangkalan Kerinci.
Tabel 4. Alasan tidak bekerja di Perusahaan
Uraian Jumlah
Tidak bisa / tidak cocok 26
Tidak ada jawaban 4
Bekerja di Kebun 2
Tabel di atas dengan jelas menegaskan kesadaran perempuan bahwa peluang kerja yang
tersedia bukan untuk mereka. Faktor utama adalah pendidikan dan keterampilan yang
mereka miliki. Konsepsi pemikiran mereka tentang fungsi perempuan masih sangat
dominan. Terutama konsepsi bahwa bekerja adalah haknya lelaki, sebagai kepala rumah
tangga.
Walaupun demikian telah terjadi perubahan konsep bekerja bagi para isteri,
seperti dijelaskan tabel berikut;
Tabel .5. Pekerjaan Isteri
Uraian Jumlah
Tidak Bekerja 30
Bekerja sambilan 0
Bekerja 0
Data tersebut mengambarkan perubahan persepsi perempuan terhadap pekerjaan.
Kesemua responden menyatakan tidak bekerja. Jika ditanya pekerjaan mereka
sebelum masuknya industri, umumnya mereka menjawab bertani. Tetapi karena
pertanian tidak tersedia lagi mereka menyatakan diri tidak bekerja. Alasan mereka
menyatakan diri tidak bekerja adalah karena bekerja menurut mereka adalah adanya
penghasilan yang mereka terima dan bisa dikelola sendiri. Karena mereka tidak punya
penghasilan, maka meskipun mereka bekerja membantu suami di kebun, mengurus
rumah tangga, mereka tetap menyatakan diri tidak bekerja. Padahal kalau dilihat data
aktiiftias isteri cenderung mempunyai aktifitas tambahan seperti berdagangan kecil-
kecilan, dan membantu suami di kebun. Sebagaimana data pada tabel berikut;
Tabel 6. Aktifitas isteri di Rumah
Uraian Jumlah
Urus rumah tangga 30
Bantu Suami di Kebun 10
Berdagang 2
Ikut bekerja di lading 2
Ikut arisan 6
Data ini mengambarkan bahwa jumlah isteri yang terlibat dalam aktivitas
ekonomi semakin berkurang. Ke seluruh istri menyatakan bekerja di rumah, hanya 14
orang yang ikut membantu kerja di kebun, ladang dan berdagang, dan hanya 6 saja yang
menghabiskan waktunya dengan mengikuti arisan. Arisan ini sendiri merupakan tradisi
baru di kalangan perempuan agraris, sebelumnya tidak dikenal dalam perempuan agraris,
tradisi ini baru ada setelah kedatangan industri dan bertambahnya jumlah istri birokrat.
Enam isteri yang ikut arisan ini cenderung lebih tinggi pendapatannya.
Salah satu segi positif kehadiran industri adalah adanya kesadaran untuk
perbaikan pendidikan pada anak. Setiap rumah tangga sangat mendukung anak-anaknya
sekolah dengan tidak memandang seks. Jadi semua anak akan disekolahkan sesuai
dengan kemampuan ekonomi rumah tangga.
Tabel 7. Keinginan Menyekolahkan Anak Perempuan
Jenis Sekolah Jumlah
Tidak ingin Menyekolahkan anak 3
Sekolah sampai SMU 19
Sekolah sampai Universitas 8
Data ini mengambarkan telah terjadi perubahan wacana pemikiran pada ibu rumah tangga
di Pangkalan Kerinci. Pendidikan sudah dianggap akan menuju perbaikan bagi rumah
tangga. Semua ibu-ibu yang menginginkan anak-anaknya sekolah dengan alasan untuk
perbaikan hidup di masa depan. Sementara alasan para ibu-ibu menyekolahkan anak-
anaknya sampai ke SMU saja dengan alasan tidak tersedianya dana untuk membiayai
anak-anak mereka sekolah. Tiga keluarga yang tidak bersedia menyekolahkan anak-
anaknya juga disebabkan oleh faktor ekonomi. Mereka benar-benar menyadari bahwa
untuk biaya kehidupan sehari-hari saja ekonomi mereka tidak cukup. Ketidak mampuan
ekonomi itu memaksa mereka mengurungkan niat untuk menyekolahkan anak mereka.
Dalam hal perubahan produksi dan konsumsi, jika dilihat dari pola produksi dan
konsumsi ditemui pergeseran sumber pendapatan yang sangat berarti, yaitu pertama,
perubahan pendapatan tahunan dari ladang berpindah-pindah berubah menjadi
pekerubanan sawit dan kepemilikan rumah sewa, termasuk juga menjalankan
perdagangan. Terjadi juga perubahan pola konsumsi dari sepanjang tahun dan konsumsi
sosial ke biaya sekolah anak. Sementara produksi bulanan yang dulunya bersumber dari
getah karet dan membalak tidak lagi dijumpai aktivitas serupa, yang ada hanya usaha
bidang kayu sawmill.
Produksi yang paling berkembang adalah produksi harian yang bertujuan untuk
konsumsi harian, sumber pendapatan dari produksi harian adalah nelayan hanya tiga
keluarga, hasil hutan dan sungai tidak tersedia lagi digantikan oleh buruh harian di pasar
atau bangunan, menyopir oplet dan truk serta membawa becak motor.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Persentase
Sebelum
1983
1983-1990 1990-1995 1995-1999
Tahun
Graf 2. Perubahan Pekerjaan Responden (N 30)
Berladang Nelayan Tdk bekerja Rumah Sewa Oplet
Buruh angkut Kebun Sawit Becak Swasta Karyawan RAPP
Kehadiran industri menyebabkan penambahan peluang pekerjaan. Perubahan
sektor agraris dari 90 persen tahun 1983-1990 menjadi tidak mencapai 10 persen ditahun
1999. Begitu juga dengan sektor nelayan. Ada dua usaha baru yang berkembang yaitu
rumah sewa dan kebun sawit serta buruh angkut.
Akibatnya pola konsumsi didominasi oleh konsumsi harian. Subsidi sosial yang
berbasis komunitas seperti ikan, pohon Sialang yang menghasilkan madu, hutan obat-
obatan dan pembagian tanah dari adat tidak tersedia lagi. Biaya sosial dibebankan
kepada perusahaan dan pemerintah.
Tabel. 8.Pembelanjaan Uang
Jenis Pembelanjaan Jumlah Keluarga
Biaya sekolah anak 13
Biaya sehari-hari 30
Tidak cukup 2
Ditabung 5 Jumlah Responden 30 Keluarga
Dua keluarga yang menyatakan tidak cukup tersebut merupakan rumah tangga
yang sudah berusia lebih dari 60 tahun di mana biaya hidupnya disubsidi oleh anak-
anaknya. 17 rumah tangga yang tidak membiaya anak-anaknya karena anak-anaknya
sudah tamat sekolah menengah umum tetapi belum bekerja dan sekita 5 rumah tangga
merupakan keluarga miskin. Sedangkan 5 rumah tangga yang menabung merupakan hasil
dari penjualan tanah atau kebun atau ganti rugi dari perusahaan.
Tabel.9. Pembelanjaan dalam Rumah Tangga
Pola Belanja Jumlah
keluarga
Jenis Pembelanjaan
Tahunan 13 Biaya sekolah anak , bangun rumah,
pakaian
Bulanan - -
Harian/mingguan 30 Kebutuha dasar
Data ini menujukkan bahwa pembelanjaan bulanan tidak lagi terjadi pada rumah
tangga Pangkalan Kerinci, biaya tahunan hanya digunakan untuk biaya anak sekolah dan
pembangunan rumah serta acara adat yang ditanggung sepenuhnya oleh rumah tangga.
Dominan pembelanjaan adalah belanja harian dan mingguan. Belanja mingguan hanya
terjadi pada keluarga yang mampu untuk belanja beras dan minyak. Sedangkan
kecenderungan mereka belanja harian untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Tabel 10. Pendapatan setahun
Jumlah Rumah Tangga
Nilai Pendapatan (Rupiah) Sebelum ada Industri Setelah ada Industri
500.000 - 1.500.000.- 29 Rumah Tangga 1 rumah tangga
1.600.000 - 3.000.000.- 1 Rumah Tangga
3.100.000- 6.000.000,- - 3 rumah tangga
6.100.000 – 12.000.000,- - 8 rumah tangga
12.100.000- 20.000.000.- - 9 rumah tangga
20.100.000- 30.000.000,- - 5 rumah tangga
30.100.000- 49.000.000,- - 4 rumah tangga
N = 30 rumah tangga
Perhitungan nilai pendapatan di atas berdasarkan jumlah produksi yang dinilai
dengan uang pada saat itu. Penghasilan padi sebelum masuk industri dihitung
berdasarkan nilai pada waktu itu 1 liter beras seharga Rp.50,-. Begitu juga penghasilan
setelah masuknya industri juga berdasarkan nilai pada saat sekarang, 1 liter beras seharga
Rp.3000,-. Sementara terdapat perbedaan nilai uang pada masa sebelum masuknya
industri dengan setelah masuknya industri. Sebagai contoh minyak tanah satu liter pada
tahun 1983 adalah Rp.25 rupiah. Pada tahun 1999 harga minyak tanah 1 liter adalah
Rp.750,-. Maka jika dilihat dari nilai uang tahun 1983 dengan nilai uang tahun 1999 nilai
penghasilan tersebut mempunyai nilai yang sama. Apalagi setelah masuknya industri
semua kebutuhan harian harus memakai uang.
Dilihat dari rata-rata penghasilan beras dalam setahun 16000 kilo atau 16 ton,
maka dengan melihat rata-rata penghasilan setelah masuk industri penghasilan rata-rata
adalah Rp.20.000.000,-. Jika nilai 20.000.000,- dibagi dengan harga besar sekarang Rp.
3000, maka jika dikonversikan dengan beras nilai Rp.20.000.000,- hanya menghasilkan
6667 ton beras, atau lebih rendah sebesar 7333 (45%) dari pendapatan sebelum masuknya
industri. Padahal jumlah pendapatan sebelum masuknya industri tersebut tidak termasuk
pendapatan harian. Dengan perbandingan di atas tentu sangat mengkhawatirkan
ketahanan pangan terhadap 1 rumah tangga yang tetap bertahan ladang dengan
penghasilan Rp.800.000,- pertahun, atau Rp.66.000,- per bulan.
Terjadi perubahan persepsi terhadap sumber pendapatan, sebelum masukknya
industri persepsi sumber pendapatan adalah penghasilan tahunan yaitu padi ladang.
Hanya tiga orang yang memasukkan menangkap ikan sebagai sumber pendapatan.
Sementara sumber pendapatan bulanan, mingguan dan harian tidak disebut pendapatan
karena pendapatan bulanan dan minguan dan harian habis begitu penghasilan ini
diperoleh. Pendapatan bulanan biasanya digunakan untuk membayar hutang sebulan
sebelumnya, sedangkan pendapatan minguaan dan harian langsung habis saat itu juga.
Problem lain adalah pendapatan bulanan, mingguan dan harian tersebut dianggap sebagai
pendapatan tambahan, sedangkan kebutuhan utama yang harus ada dalam keluarga
adalah beras atau nasi. Oleh sebab itu yang penting bagi mereka ada beras dan ada
kepercayaan dari tauke untuk menghutang keperluan sehari-hari. Bagi mereka terpenuhi
kebutuhan beras dalam setahun, hidup mereka akan lapang (senang, mudah). Apalagi
kebutuhan gula dan garam bisa mereka peroleh tanpa harus memerlukan uang atau
memerlukan pendapatan mingguan dan harian.
Terdapat 3 rumah tangga yang penghasilanya melebihi 30 juta rupiah pertahun
dan 1 rumah tangga penghasilannya mencapai 49 juta rupiah pertahun. Setelah ditelusuri
lebih mendalam penghasilan tersebut diperoleh dari penjualan hasil tanah. 1 rumah
tangga yang berpengahsilan di bawah 1,5 juta rupiah merupakan rumah tangga yang tetap
mempertahankan pertanian secara tradisional.
Respon dan Strategi Rumah Tangga
Respon rumah tangga terhadap perubahan dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 11. Pandangan Masyarakat Terhadap Kehadiran Industri
Negatif Jumlah Positif Jumlah
Tanah tidak diganti 2 Bisa Dagang 5
Harga mahal 30 Pengingkatan Penghasilan 25
Hutan habis dan
berdebu
30 Bisa kerja di perusahaan 3
Banyak Pendatang 25 Mudah menjual hasil kebun 2
Data tersebut mengambarkan bahwa semua kelompok sosial asli Pangkalan
Kerinci mengikuti perubahan sesuai dengan kapastias sosial dan ekonominya. Kapasitas
sosial dan ekonominya ini mempengaruhi corak perubahan pada masing-masing
keluarga. Pada rumah tangga miskin cenderung bertahan dengan produksi lama, tetapi
tetap ingin melakukan perubahan pola produksi, di mana sektor pertanian tidak lagi
menjadi adalan produksi. Pada keluarga yang mampu secara ekonomi, pendidikan akan
lebih cepat memanfaatkan peluang perubahan yang ada. Sementara kemampuan
beradaptasi pada perubahan kelas sosial menyebabkan terjadi peralihan status kelas sosial
dan ekonomi rumah tangga desa.
Pandangan di atas mencerminkan respon, yaitu positif dan negatif. Pandangan
negatif merujuk kepada rendahnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok
(basic need). Di mana ke 30 rumah tangga yang berasal dari tingkat pendapatan yang
berbeda menyatakan harga mahal. Begitu juga habis hutan dan berdebu, semasa
penelitian dilapangan kondisi jalan masih tanah sementara lalu-lintas mobil sangat padat
sehingga udara di Pangkalan Kerinci sangat berdebu. Kondisi ini jauh berbeda setelah
tahun 2001 di mana semua jalan sudah diaspal dan sudah tidak berdebu. Keluhan pada
pendatang dari 25 rumah tangga disebabkan perbedaan budaya yang sangat menyolok
antara pendatang dan penduduk asli.
Sementara pandangan positif merujuk kepada aktivitas ekonomi yang dilakukan
penduduk. 5 rumah tangga menyatakan bisa berdagang, 3 menyatakan bisa bekerja di
perusahaan merupakan keluarga dari batin dan keluarga berpendidikan serta pernah
merantau. 2 menyatakan mudah menjual hasil kebun mengacu kepada aktivitas ekonomi
rumah tangga. 25 rumah tangga merespon sangat positif kehadiran industri ini karena
bisa meningkatkan penghasilan. Penghasilan yang dimaksud adalah kuantitas uang yang
diperoleh dalam sehari, bukan peningkatan kemampuan konsumsi dan tabungan (saving).
Persepsi yang sangat bertolak belakang sebelum masuknya industri yang tidak
mempunyai ketergantungan pada uang.
Berikut pandangan penduduk tentang peluang usaha yang muncul akibat industri,
sebagiaman yang digambarkan oleh table berikut:
Tabel 12. Peluang usaha yang muncul
Jenis Usaha Jumlah Rumah Tangga
Dagang 19
Jasa Angkutan 2
Sewa Rumah 4
Jual kayu 1
Tidak tahu 4
Terjadi perubahan orientasi pekerjaan atau sumber pendapatan rumah tangga, jika
sebelum masuknya industri pekerjaan dan sumber penghasilan mereka adalah pertanian.
Tetapi tidak satupun yang merujuk sektor pertanian sebagai peluang usaha yang akan
muncul. Bahkan mayoritas rumah tangga menyebut berdagang sebagai pekerjaan yang
baik yaitu 19 rumah tangga. Hanya ada 1 rumah tangga yang masih mengandalkan hutan
yaitu menjual kayu, 2 jasa anggkutan dan 4 sewa rumah. Terdapat 4 rumah tangga yang
belum mengerti apa peluang usaha yang akan muncul akibat adanya industri.
Peluang usaha yang muncul akibat industri tidak ingin dimanfaatkan oleh
masyarakat, terbukti dari peluang usaha yang muncul di atas ternyata bertolak belakang
dengan jenis usaha yang diinginkan rumah tangga. 12 rumah tangga menginginkan
kebun sawit yaitu sektor agraris yang berbasis global. Keinginan ini tentu saja
berdasarkan kepada kecenderungan perkembangan kebun sawit dan pasar yang makin
luas. Umumnya mereka yang menginginkan kebun sawit ini adalah mereka yang menolak
atau menjual kebun sawit pemberian perusahaan kebun sawit pada awal tahun 90-an.
Setelah melihat keuntungan yang didapat pemilik kebun sawit merekapun menginginkan
perusahaan dan pemerintah memberi kebun sawit kepada mereka. Keinginan untuk
mendapatkan kebun sawit ini sudah menjadi sebuah gerakan dengan beberapa kali
mengadakan demonstrasi ke pemerintah untuk diberikan kebun sawit. Selain sawit
terdapat 3 rumah tangga lagi yang ingin bergerak di sektor pertanian yaitu 2 bidang
pertanian dan 1 berternak ayam.
Di peluang usaha yang muncul 19 rumah tangga menggemukakan dagang
merupakan peluang usaha, tetapi dari usaha yang diinginkan hanya 5 rumah tangga yang
konsisten hanya 5 rumah tangga yang melihat peluang usaha rumah sewa dan
menginginkan rumah sewa sebagai usaha. 2 yang ingin bengkel yaitu 1 bengkel mobil
dan 1 bengkel motor 2 rumah tangga tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan.
Tabel. 13. Jenis usaha yang diinginkan
Jenis Usaha Jumlah Rumah Tangga
Kebun sawit 12
Bengkel Mobil 1
Dagang kebutuhan pokok 5
Bengkel Motor 1
Rumah Sewa 5
Ternak Ayam 1
Oplet 1
Tani 2
Tidak tahu 2
Apakah dengan tersedianya jenis usaha baru dan keinginan usaha yang ingin
dilakukan dilanjutkan dengan langkah-langkah untuk mendapatkannya? Ternyata ke 30
rumah tangga tidak mempunyai langkah-langkah untuk mewujudkan keinginannya
tersebut. Ini terlihat 26 rumah tangga menyatakan bertahan dengan apa adanya, 1 rumah
tangga menyesuaikan diri dengan keadaan apa adanya dan 3 rumah tangga belum tahu
apa yang akan dilakukan. Ini berarti kesemua rumah tangga tersebut tanpa perencanaan
kedepan sedikitpun. Hanya saja mereka tidak mempertahankan usaha sebelumnya karena
tidak mungkin tetapi juga tidak merencanakan apa yang akan dilakukan berikutnya.
Padahal dilihat dari perubahan sumber pendapatan dan usaha terjadi perubahan yang
sangat berarti dari 100% bekerja di sektor pertanian tinggal 10% saja. Dilihat dari varibel
pekerjaan dari bekerja di sektor pertanian dan nelayan menjadi 10 jenis pekerjaan, artinya
masyarakat mengeluti 8 jenis usaha baru yang muncul akibat industri.
Fakta ini mengambarkan bahwa tekanan kebutuhan dasar rumah tangga secara
otomatis mendesak kepada kepala rumah tangga untuk masuk ke sektor non agraris,
walaupun di level buruh, pekerja kasar ataupun buruh lepas harian. Namun demikian
secara sistematis mereka tidak mempunyai persiapan untuk menghadapai perubahan yang
terjadi. Ini terlihat dari tabel rencana kedepan di bawah ini, di mana tidak satupun rumah
tangga yang punya rencana. 26 rumah tangga bertahan dengan apa adanya yang pada
mereka. Ini artinya akan terjadi maksimum produksi dan menimum konsumsi. Semua
kesempatan dan tenaga kerja rumah tanga dieksploitasi secara maksimal untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi rumah tangga. Bahkan 3 rumah tangga belum tahu apa yang akan
diperbuat, penyataan ini bermakna sikap frustasi dalam menghadapi perubahan. 1 rumah
tangga yang menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar, ini bermakna jika dia mampu
menyesuaikan diri maka dia akan mengikuti irama perubahan, tetapi jika tidak mampu
maka mereka akan pindah ketempat lain.
Tabel. 14. Rencana Kedepan
Aktivitas Jumlah Rumah Tangga
Bertahan dengan apa yang ada 26
Menyesuiakan diri dengan keadaan sekitar 1
Belum tahu apa yang akan dilakukan 3
Untuk mempertahankan konsumsi rumah tangga, kepala rumah tangga melakukan
perubahan sumber pendapatan dari berladang dan nelayan ke pekerjaan yang tersedia dan
mampu mereka kerjakan serta memperoleh pemasukan tambahan lainnya. Mereka masuk
ke 9 jenis usaha baru, yaitu kebun sawit, buruh harian, sopir truk atau buruh angkutan
pada truk, sopir oplet, menarik beca, bekerja di sawmill, berdagang, karyawan
perusahaan swasta dan bekerja sebagai pegawai rendahan di pemerintah. Selain itu,
mereka mencari tambahan penghasilan melalui jasa rumah sewa, menjual sisa tanah atau
kebun, broker tanah, dan mempolitisir kepentingan masyarakat asli ke perusahaan dan
pemerintah.
Perubahan pola produksi (pendapatan) diikuti pula perubahan pola konsumsi,
yaitu hilangnya konsumsi sosial dan konsumsi tahunan. Pola konsumsi yang tersisa
adalah konsumsi harian, dan mingguan. Faktor penyebab perubahan tersebut adalah
hilangnya produksi tahunan berladang. Dulu ketersediaan konsumsi tahunan diperoleh
melalui perladangan, bersamaan hilangnya perladangan maka persediaan konsumsi
tahunan juga hilang.
Sementara pola konsumsi harian ini berkaitan dengan sumber pekerjaan dan
pendapatan yang diperoleh secara harian, terutama pekerja buruh kasar harian. Hasil dari
sewa rumah yang diambil secara tahunan, jual tanah atau bantuan dari perusahaan
dibelanjakan untuk biaya anak sekolah. Pendapatan yang diperoleh melalui jual tanah
atau ganti rugi dari perusahaan cenderung dikonsumsi secara konsumtif dalam bentuk
belanja kendaraan bermotor atau mobil dan pergi ke tempat pelacuran.
Perempuan dan Perubahan
Pada rumah tangga miskin pedesaan, perempuan mengolah padi, meneres karet,
menebang kayu, menebas belukar bahkan menjadi buruh tani untuk menopang ekonomi
keluarga. Ini berarti perempuan mengalami beban kerja yang sangat berat. Selain
menjalankan fungsi sosialnya sebagai perempuan, dia juga harus menghidupi rumah
tangga. Padahal secara sosial perempuan mengalami domestikasi, kehilangan kebebasan
sosial dan kebebasan pengelolaan hasil ekonominya (An Stoler, 1984).
Berbeda dengan perempuan desa yang rumah tangganya mampu, beban kerja
tidaklah begitu besar. Yang terjadi adalah proses domestikasi serta hilangnya kebebasan
sosial. Perempuan diposisikan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas melayani suami
dan memelihara anak-anak. Hak atas sosial merupakan hak lelaki yang mempunyai
kekuasaan atas isteri.
Domestikasi tersebut merupakan norma sosial yang berlaku dalam komunitas
sosial pedesaan. Isteri yang hanya di rumah saja menjadi simbol status sosial dalam
komunitas desa. Pada masyarakat Melayu pedesaan suami akan mendapat status sosial
yang terhormat apabila mampu membiarkan isterinya hanya di rumah saja, sebab hanya
orang yang mampu saja yang bisa bertindak seperti itu. (Rawa, 1997)
Akibatnya perempuan mengalami penghapusan hak politik, hak untuk berkarya
secara otonomi, hak keperempuannya, dan yang lebih menyakitkan lagi adalah hak
pendidikan. Perempuan di desa disarankan untuk tidak sekolah hingga ke universitas
disebabkan dirinya perempuan yang hanya berada di dapur, sumur dan tempat tidur.
Kehadiran industri di pedesaan menyebabkan dua fenomena, pertama, hilangnya
pekerjaan agraris. Kehilangan pekerjaan ini juga dirasakan oleh perempuan desa. Sebab
bagi perempuan yang bekerja membantu suaminya akan mengalami nasip yang sama
sebagaimana hilangnya pekerjaan suami di sektor agraris. Lahan-lahan yang tersedia
hanya lahan perkarangan yang biasanya dikerjakan oleh anak-anak perempuan.
Kedua, industri memunculkan banyak pekerjaan dari seluruh sektor kehidupan
terutama yang berhubungan dengan kebutuhan perusahaan dan kebutuhan karyawan.
Industri menyediakan pekerjaan kantor, buruh, wirausaha, jasa dan lain-lainnya.
Kehilangan pekerjaan agraris bukan berarti penduduk desa akan kehilangan sumber
ekonomi rumah tangga, sebab diganti pada sektor industri, jasa dan wirausaha.
Ini bearti peluang bekerja diperusahaan terutama di kantor dan upahan akan lebih
besar. Apalagi pekerjaan kantoran tidak memerlukan tenaga yang banyak, yang
diperlukan hanyalah skill. Di sinilah persoalannya perempuan desa cenderung tidak
memenuhi standard yang dibutuhkan industri. Bahkan untuk memilih sektor informal
lainnya diluar pekerjaan agraris juga masih mengalami hambatan.
Sementara itu, bagi industri perempuan merupakan potensi sumber daya manusia.
Menurut Marx, hubungan sosial dilandasi oleh hubungan sosial produksi, yaitu suatu
usaha sistematis dari mereka yang menguasai produksi untuk menyerap surplus yang
dihasilkan oleh produsen. (Ratna Saptari 1997). Pada penelitian ini, yang menguasai
sumber produksi adalah kapitalisme internasional melalui perusahaan multinasional.
Hubungan sosial produksi dimulai dari eksploitasi hutan-tanah pertanian penduduk, yang
menyebabkan penduduk tidak bisa lagi bekerja di sektor agraris.
Perubahan sumber ekonomi pertanian pedesaan menyebabkan terjadi perubahan
pekerjaan dan privatisasi hak milik. Perubahan pekerjaan dan privatisasi hak milik ini
menyebabkan bergesernya fungsi perempuan dari memegang peran yang sangat
berpengaruh secara komunal menjadi semata-mata bekerja secara domestik dalam
rumah tangga. Akibatnya perempuan dikontrol oleh lelaki secara ekonomi dan
seksualitas. (Ratna Saptari 1997)
Pengontrolan dan domestikasi terhadap perempuan memang merupakan langkah
sistematis dari kapitalisme. Ini disebabkan domestikasi dan perubahan perkejaan
perempuan dari pertanian ke upahan justeru menguntungkan kapitalisme (Mansour Fakih,
1996). Pertama, domestikasi atau eksploitasi pulang rumah. Dalam hal ini, perempuan
diletakkan sebagai buruh oleh lelaki di rumah tangga. Eksploitasi perempuan di rumah
tangga akan membuat buruh lelaki yang dieksploitasi di pabrik-pabrik bekerja lebih
produktif. Lelaki tidak lagi memikirkan pekerjaan di rumah tangga dan tangung jawab
terhadap anak. Lelaki terfokus bekerja di pabrik untuk mendapat penghasilan yang
sebanyak-banyaknya karena fungsinya sebagai kepala rumah tangga yang bertangung
jawab penuh terhadap ekonomi rumah tangga.
Kedua, karena perempuan dieksploitasi oleh suami, maka perempuan juga akan
mengalami eksploitasi reproduksi buruh. Hal ini terjadi karena perempuan bertugas untuk
melayani suami maka fungsi reproduksi buruh akan lebih dominan. Dampaknya adalah
jumlah anak akan banyak dengan demikian jumlah buruh akan melimpah. Jika jumlah
buruh lebih banyak maka sudah jelas menyebabkan pasar buruh akan lebih murah. Jika
tenaga kerja murah maka sudah jelas akan sangat menguntungkan kapitalisme.
Ketiga, pada keluarga miskin perempuan angraris harus merubah pekerjaannya
dari pekerjaan sektor pertanian berubah ke buruh upahan. Masuknya perempuan sebagai
buruh upahan akan menciptakan lebih banyak buruh cadangan. Banyaknya buruh
cadangan ini menyebabkan pasar buruh semakin murah, semakin murah pasar buruh akan
berdampak terhadap pasar buruh perempuan. Oleh karenanya multinasional akan memilih
perempuan sebagai buruh karena upahnya yang sangat murah. Terutama sekali
perempuan muda dan belum kawin.
Kenyataan tersebut menyebabkan posisi perempuan dalam sistem kapitalisme
cenderung kontradiksi. Pada keluarga kaya perempuan di bawah kekuasaan suami baik
secara ekonomi maupun secara sosial. Pada keluarga miskin perempuan dieksploitasi
oleh kapitalisme karena perbedaan seksualitas. (Ratna Saptari 1997)
Berdasarkan pandangan di atas kapitalisme melalui perusahaan multinasional
dalam hal ini PT Riau Andalan Pulp dan Paper dan PT Indosawit Subur Sejahtera akan
melakukan gerakan sitematis kepada dua pilihan di atas terhadap perempuan agraris.
Pertama melakukan gerakan domestikasi dengan menekankan buruh lelaki di pabrik
sedangkan perempuan desa yang tidak mempunyai keterampilan akan diperkerjakan oleh
lelaki di rumah.
Pilihan pertama ini sebenarnya lebih mudah untuk dilaksanakan mengingat kultur
dan sistem sosial yang masih bersifat patriakal yaitu kekuasaan berada di tangan lelaki.
Apalagi perempuan pedesaan masih sangat patuh kepada aturan sosial patriakal tersebut.
Langkah pertama ini berarti kehadiran industri justeru mengekalkan perempuan di
ekonomi domestik. Pengekalan perempuan di ekonomi domestik berarti juga
mengekalkan perempuan menjadi subordinasi lelaki, tidak punya kebebasan ekonomi,
sosial dan lain-lainnya.
Kedua, mengambil perempuan untuk dijadikan buruh upahan dengan gaji yang
sangat rendah. Langkah ini terutama sekali diambil untuk pekerjaan dipabrik atau
pekerjaan pemeliharaan di perkebunan. Langkah ini memang memberi kebebasan kepada
perempuan secara ekonomi dan mungkin juga penghasilannya, tetapi belum tentu secara
sosial. Sementara perempuan tetap dieksploitasi oleh sistem kapitalisme.
Suatu hal yang sangat mengkhawatirkan adalah menurunnya perlindungan
kesehatan reproduksi. Ancaman penyakin kelamin menjadi momok bagi perempuan di
Pangkalan Kerinci. Bagi suami yang mempunyai uang, atau baru saja berhasil menjual
tanah, dan memetik sawit, biasanya para suami tersebut jarang pulang ke rumah tetapi
pegi ke rumah bordil (tempat pelacuran). Data di puskesmas menunjukkan bahwa jumlah
pengindap sipilis terus meningkat dari bulan ke bulan, yaitu 5 orang dibulan Maret 1999
menjadi 11 orang pada bulan Maret 2000. Data ini tidak termasuk yang tidak berobat ke
Puskesmas. Penyakit tersebut bukan saja dialami oleh para suami tetapi juga para ibu
dan anak-anak remaja.
Prilaku seks menyimpang ini, merupakan suatu yang menarik untuk disimak.
Sebab peristiwa pemerkosaan oleh penduduk asli lokal telah menjadi berita yang biasa di
Pangkalan Kerinci. Begitu juga gadis remaja yang sudah biasa berhubungan seks dengan
pekerja hanya alasan uang. Sayangnya data kongrit sulit didapat, tetapi jika diwawancara
tokoh masyarakat, anak-anak remaja dan masyarakat luas prilaku seks menyimpang
bukan lagi rahasia umum.
Ternyata kehadiran industri menyebabkan menurunnya pelindungan alat
reprodsuksi perempuan akibat prilaku seks yang salah. Kalau dahulu para suami
menganut paham monogami atau berhubungan seks hanya dengan pasangannya saja.
Tetapi sekarang prilaku hubungan seks menjadi beragam, seoarang lelaki selain
berhubungan dengan pasangaanya juga berhubungan seks dengan wanita penjaja seks di
lokalisasi.
Penetrasi Negara
Pendekatan ekonomi politik Marx membagi masyarakat menjadi dua kelas, kelas
borjuis dan kelas petani kecil., Kelas borjuis terdiri dari borjuis metropolis dan borjuis
tempatan. Borjuis metropolis adalah perusahaan multinasional yang menginvestasikan
modalnya di Indonesia khususnya di Riau. Borjuis tempatan pula terdiri dari pegawai
pemerintah (dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan kepala desa),
pengusaha dan pengusaha China yang dikenal dengan komprador borjuisi. Kelas borjuis
ini bersatu melakukan eksploitasi terhadap kelas petani kecil. Borjuis pemerintah
(termasuk militer) memiliki kekuasaan resmi (yang otoriter) sedangkan pengusaha China,
dan pengusaha multinasional memiliki modal dan teknologi. Kerja sama ini dikenal dengan aliansi segitiga --triple alliance-- (Arief Budiman,
1996) yaitu pemodal asing, pemerintah dan borjuis lokal (pemodal tempatan yang terdiri
daripada pengusaha China, pengusaha keluarga birokrat, istana dan militer). Akibat
aliansi tiga pelaku ini tercipta struktur ekonomi yang tidak seimbang dan tidak adil.
Ekonomi kapitalis dengan mudahnya melakukan perluasan modal tanpa pertimbangan
kemanusiaan. Sumber-sumber ekonomi subsisten dihancurkan, tanah dan hutan diambil,
dan produksi kapitalis dijual kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat besar.
Operasionalisasi eksploitasi negara dan kapital diwujudkan melalui perusakan
perlembagaan desa. Tiga lembaga utama yang dirusak, yaitu lembaga ekonomi, lembaga
pemerintahan adat, dan lembaga sosial. Pertama, kelembagaan ekonomi desa dirusak
melalui perusakan faktor-faktor produksi, kemudian diikuti dengan perombakan pola
konsumsi. Tatanan ekonomi desa yang minim uang diganti dengan tatanan ekonomi
pasar. Akibatnya produksi tidak sama dengan konsumsi, usaha-usaha untuk menekan
konsumsi agar sama dengan produksi menimbulkan konflik dalam keluarga. Sementara
usaha memaksimal produksi (Cayanov 1966) tidak mampu dilakukan karena faktor-
faktor produksi telah diambil alih oleh negara dan industri. Perusakan pelembagaan
ekonomi ini secara otomatis akan terjadi perusakan kelembagaan keluarga.
Kedua, kelembagaan pemeritahan adat desa dirusak dengan penggantian tatanan
pemerintahan desa yang baru. Tatanan pemerintah desa yang baru tidak mampu
memperjuangkan kepentingan rakyat. Baik itu melalui pemilu dan saluran pemerintahan
yang ada. UU pemerintah desa no 5 tahun 1979 dan UU no 3 tentang parpol menghapus
fungsi politik di desa melalui konsep massa mengambang (floating mass). Kebijakan ini
diperburuk lagi dengan sentralisasi konsep desa dan penggantian kepala desa atas
persetujuan pemerintah atasannya. Masyarakat di desa kehilangan patron politik untuk
memperjuangkan hak-haknya.
Sementara pihak industri menggunakan perangkat negara itu untuk
mengeksploitasi rakyat. Aparat desa dengan mudahnya mengklaim atas nama rakyat
mendukung kepentingan industri dan pemerintah. Padahal pemimpin desa tidak
mempunyai kolerasi positif terhadap pembelaan masyarakat desa.
Ketiga, negara dan industri juga merombak struktur sosial dengan mendatangkan
tenaga kerja dan atau berdatangannya imigran dari luar daerah. Masyarakat lokal sendiri
tidak diberi peluang yang rasional untuk memanfaatkan peluang kerja yang ada.
Masyarakat lokal tidak lagi menjadi masyarakat yang mayoritas, tetapi justru menjadi
minoritas di tanahnya sendiri. Masyarakat lokal harus mengikuti tatanan pendatang yang
masih belum stabil. Keadaan ini menyebabkan masyarakat di kawasan industri semakin
bingung dan kehilangan identitas diri sebagai penduduk asli.
Keberhasilan industri merombak ketiga tatanan tersebut, menyebabkan masyarkat
lokal lebih mudah dieksploitasi dan diadu domba sesama mereka. Bahkan untuk hal-hal
tertentu masyarkat lokal dijadikan alat untuk mengeksploitasi miliknya sendiri.
Akibatnya masyarakat lokal disekitar industri mengalami marjinalisasi (kalau
tidak mau menyebut pemusnahan) penduduk lokal. Penduduk lokal termarjinal melalui
modal, di mana modal dasar penduduk berupa tanah dan hutan serta sungai berpindah
tangan kepada industri atau pendatang (dijual). Proses penjualan itu sendiri bisa
bersumber dari budaya konsumtif kota dan kekurang modal untuk hidup pada budaya
kota. Karena kawasan industri tersebut telah berubah menjadi kota.
Penduduk lokal kehabisan tanah dan hutan----lebih parah dari pandangan Gertz
(1980). Uang yang diperoleh dari penjualan tanah tersebut tidak dimenej secara baik,
sehingga habis secara perlahan. Sementara tingkat persaingan dan konsumsi semakin
tinggi. Maka tidak ada pilihan lain dari masyarakat lokal selain lari, sebab kalau tidak lari
dia akan menjadi pengemis di desanya sendiri.
Kenyataan ini memperkuat asumsi kelaparan dan minoritas masyarakat lokal di
kawasan industri. Apalagi dengan ketidak berdayaan skill dan informasi, mereka menjadi
kelas paling bawah dalam struktur kota baru tersebut. Kondisi ini sebagaimana yang
digambarkan Scott (1966) jika penduduk kehilangan patron ekonominya yang akan
terjadi adalah pemberontakan oleh petani. Pembakaran dan perampokan milik perusahaan
oleh masyarakat desa selama ini merupakan wujud dari pemberontakan masyarakat.
Tindakan eksploitasi yang paling nyata pada penduduk desa adalah
pengambilalihan tanah oleh industri dan negara. Terdapat empat pola pengambilan tanah
penduduk lokal. (Rawa 1997) Pertama, diambil secara paksa tanpa ganti rugi. Kebun
atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami tanpa pengetahuan
penduduk. Apabila penduduk menuntut tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan
mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan
bukti secara tertulis jika tanah tersebut milik mereka. Akan tetapi tidak seorang pun
memiliki bukti secara tertulis. Tanah yang diambil tersebut dijaga tentara atau yang
menyamar.
Apabila cara pertama gagal, maka pihak perusahaan akan menempuh cara kedua
yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti rugi dengan harga yang ditentukan oleh
pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang tersebut kepada pemerintah, dan
pemerintahlah yang akan membayarnya kepada penduduk. Cara ini dilakukan apabila
tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam dari masmedia dan NGO (Non
Goverment Organisation). Disini pengawai pemerintah cenderung memotong ganti rugi
tersebut, misalkan dibayar perusahaan Rp 1000/m2, dibayar Rp 50/m
2.
Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk
yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah mereka diambil
penduduk sudah mengadakan unjuk rasa agar tanahnya dibayar mahal.
Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil
karena tanah tersebut tidak bisa diambil secara paksa disebabkan adanya bukti
kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan
pabrik dengan mengepung tanah penduduk. Tanah penduduk tidak dapat dimanfaatkan
lagi untuk pertanian. Perusahaan tidak lansung membeli tanah tersebut, sebab kalau
perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Pembelinya pemerintah atau hanya
kepala desa dengan harga yang lebih murah dan menjualnya kepada perusahaan dengan
harga yang ditentukan perusahaan biasanya lebih jauh mahal. Atau bahkan pemerintah
memaksa rakyat untuk menjual tanahnya dengan alasan tempat itu akan dibangun.
Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjual tanah
mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan
menawarkan berbagai jenis barang baru, menganjurkan menjual tanah untuk
membangun rumah atau pergi ke haji. Selain itu menciptakan kekhawatiran di kalangan
penduduk bahawa jika tanahnya tidak dijual sekarang, tanah itu akan diambil oleh
pemerintah dengan ganti rugi yang lebih rendah. Akibatnya hampir semua penduduk
menjual tanah
Dalam hubungan ini, peranan kepala desa amat penting untuk menentukan tanah
penduduk laku dijual. Jika penduduk ingin menjual tanah mereka secara langsung pada
industri, biasanya tidak mendapat tanggapan. Untuk menjual tanah mereka, penduduk
harus menyerahkan tanah mereka ke kepala desa. Kepala desa yang akan menentukan
harga tanah tersebut, setelah itu baru tanah tersebut dijual.
Negara Indonesia di era Orde Baru bukan saja otoriter, tetapi juga
memperlakukan negara secara sepihak. Asumsi negara adalah rezim yang berkuasa,
rakyat dianggap seperti menumpang pada rezim yang berkuasa. Hubungan antara negara
dan rakyat adalah hubungan buruh dan majikan. Semua kekayaan negara adalah milik
rezim yang berkuasa. Agar kekayaan itu dapat dimiliki secara sah, maka dibuatlah
legitimasi melalui pembuatan undang-undang. Negara secara sistematis memproduk UU
yang akan mendukung ekspansi modal ke masyarakat desa. Oleh sebab itu terdapat
hubungan yang kuat antara negara dan modal dalam mengeksploitasi masyarakat asli di
desa.
Langkah sistematis yang diambil oleh negara semasa orde baru adalah melalui
korporatisme di desa, yaitu desa ditata sedemikian rupa melalui pembentukan lembaga
baru yang patuh kepada negara (rezim). Lembaga-lembaga tradisional dihapus,
kepemimpinan adat yang ada tidak diakui. Lembaga baru tersebut dipresentasikan
sebagai perwakilan rakyat yang mendukung rezim yang berkuasa.
Untuk mendukung langkah korporatisme negara maka rezim membuat UU untuk
memberi jarak antara rakyat dengan pemimpin tradisional. Beberapa UU yang dapat
diindentifikasi (Noer Fauzi, 1999), Pertama, UU Pemilu yang memberlakukan kebijakan
massa mengambang. Kebijakan massa mengambang ini menyebabkan rakyat tidak
mempunyai patron politik. Partai politik tidak mempunyai basis massa di desa. Massa
mengambang ini menyebabkan putusnya saluran politik rakyat pedesaan.
UU pemilu ini kemudian didukung pula oleh inpres tahun 1978 dan 1984 yang
melarang ada organisasi ekonomi rakyat yang terpisah dari negara. Satu-satunya
organisasi ekonomi rakyat yang dibolehkan adalah Koperasi Unit Desa (KUD),
organisasi profesi petani dibentuk oleh negara yaitu HKTI (Himpunan Kerukuan Tani di
Indonesia) dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Padahal seluruh organisasi
tersebut, hanya mewakili kepentingan negara saja.
Akibat perbelakuan UU ini, pimpinan adat tidak mampu memperjuangkan hak-
hak atas tanah dan kepungan sialang yang diambil oleh PT Indosawit Subur Sejahtera dan
PT RAPP. Organisasi adat yang selama ini mengatur masyarakat Pangkalan Kerinci
tidak berfungsi lagi, karena digantikan oleh organisasi bentukan negara tadi. Koperasi
desa yang merupakan organisasi ekonomi desa dikuasai oleh pendatang.
Kedua, UU Pemerintahan Desa 1979, yang berisi penyeragaman desa di seluruh
Indonesia. Sasaran UU ini adalah perombakan tatanan sosial lokal yang telah ada.
Pemimpin desa diwajibkan patuh kepada birokrasi atasannya bukan kepada rakyat.
Lembaga-lambaga adat yang telah ada diganti, seperti nama komunitas adat diganti
dengan nama desa. Ini mempunyai implikasi sosial yang sangat besar sebab desa harus
memenuhi persyaratan kependudukan dan luas daerah yang terbatas. Lembaga adat
diganti dengan LMD (Lembaga Musyawarah Desa), LKMD (lembaga Ketahanan
Masyarkat Desa), LSD (Lembaga Sosial Desa), PKK (Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga). Padahal semua prangkat desa tersebut merupakan perwakilan kekuasaan
tunggal di desa, sehingga yang menjadi angota bahkan pengurus inti dari seluruh lembaga
tersebut adalah orang-orang yaang mewakili kepentingan penguasa.
Sejak diberlakukan UU Pemerintah Desa tahuan 1979 di Pangkalan Kerinci,
kebatinan ditukar menjadi desa muda. Karena desa muda kekurangan penduduk maka
pemerintah menambah jumlah penduduknya dengan program relokasi Departemen
Sosial. Program yang dijalankan tahun 1983 tersebut menghantar desa muda menjadi
desa. Memang kepala desa pertama dipimpin oleh Batin Siddik, selama itu tidak terjadi
konflik yang begitu keras dengan pihak PT ISS. Tetapi desa menjadi dewa penuh, kepala
desa tidak diisi oleh penduduk asli. Perangkat desa diisi oleh penduduk pendatang dari
desa tetangga. Disinilah mulau terjadinya manipulasi adminsitratif oleh kepala desa
dalam hal distribusi kebun sawit dari penduduk asli ke pendatang. Sementara itu,
kepemimpinan informal adat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyatnya
tidak berfungsi lagi.
Ketiga, dikeluarkannya UU PMA no. 1 1967 dan UU no 5 tahun 1971 tentang
kehutanan. Kedua UU tersebut meletakkan masalah tanah dan hutan menjadi kegiatan
teknis semata. Masalah tanah dan hutan tidak dipresentasikan sebagai dasar
pembangunan (Wirardi, 1993). Pemerintah mempunyai hak untuk mendefinisikan hutan
dan mengabaikan hutan ulayat. Karena kekuasaan terpusat pada negara, maka negara bisa
dengan mudah menentukan itu hutan negara atau bukan. Negara mempunyai hak untuk
mendistribusikan hutan kepada pemodal, melalui HTI, HPH dan perkebunan serta
kegiatan industrialisasi lainnya.
Dengan UU tersebut negara bekerja sama dengan pemilik modal mengeksploitasi
hutan rakyat. Dalam kasus di Pangkalan Kerinci Bupati Kampar waktu itu Saleh Djasid
(Kemudian menjadi Gubernur Riau), mengeluarkan surat bahwa hak ulayat yang dimiliki
penduduk Pangkalan Kerinci hadiah dari Raja Pelalawan diangap hutan negara.
Akibatnya tanah ulayat seluas 225.000 hektar hutan ulayat dan di dalamnya terdapat 400
hektar kepungan sialang habis diambil pemodal. Termasuk program relokasi depsos di
Pangkalan Kerinci itu sendiiri dan program relokasi untuk desa Terusan Baru. Sekarang
penduduk asli Pangkalan Kerinci rata-rata memiliki tanah 10 hektar tanah, bahkan ada
yang hanya tinggal 2 hektar sahaja. Dalam proses pengambilalihan tanah tersebut negara
dan pemodal menggunakan tindakan kekerasan dan militer untuk.
Implikasi dari korporasi negara dan industrialisasi tersebut adalah pertama
perubahan ekologis dan demografis yaitu perubahan dari ekologi pedesaan ke ekologi
perkotaan. (Pelly 1996 ; Embong 1996) terjadinya penyepitan ruang, naiknya harga
tanah dan lingkungan pekerjaan dari pertanian ke non pertanian. Kehadiran industri ini
diperkuat lagi dengan kehadiran pendatang ke desa ini yang jumlahnya sudah lebih
banyak, sehingga penduduk lokal telah menjadi minoritas.
Implikasi dari dampak ekologis ini adalah marjinalisasi (kalau tidak mau
menyebut pemusnahan) penduduk lokal. Penduduk lokal termarjinal melalui modal, di
mana modal dasar penduduk berupa tanah dan hutan serta sungai berpindah tangan
kepada industri atau pendatang (di jual). Proses penjualan itu sendiri bisa bersumber dari
budaya konsumtip kota dan kekurang modal untuk hidup pada budaya kota. Akibatnya,
penduduk lokal kehabisan tanah dan hutan----lebih parah dari pendangan Gertz (1980).
Uang yang diperoleh dari penjualan tanah tersebut tidak dimenej secara baik, sehingga
habis secara perlahan. Sementara tingkat persaingan dan konsumsi semakin tinggi.
Dampak demokrafis lainnya adalah pudarnya kekuasaan politik masyarakat lokal.
Ini disebabkan jumlah pendatang hampir 95% dari total penduduk. Padahal keputusan
politik ditentukan oleh kuantitas pendukung keputusan tersebut. Ini bermakna penduduk
lokal sudah tidak bisa lagi mamasukkan aspirasi politiknya, apalagi menjadi sebuah
keputusan politik. Mereka menjadi minoritas secara kuantitas dan kekuasaan.
Kedua, perubahan ekonomi dan tradisi pertanian. Secara ekonomi perubahan yang
bisa dilacak adalah perubahan sumber-sumber pendapatan. Perubahan sumber
pendapatan ini berawal dari hilangnya hutan dan tanah perladangan. Hutan bagi
penduduk lokal bukan hanya tempat berladang berpindah-pindah atau berkebun tanaman
keras, tetapi juga merupakan sumber penghasilan tambahan seebagai penopang utama
ekonomi keluarga (Ever 1989). Di hutan tersedia kayu, rotan, damar, sumber ketahanan
pangan baik hewani maupun nabati, sumber penghasil madu dan lain-lainya.
Akibat perubahan sumber pendapatan tersebut terjadi perubahan tradisi pertanian.
Perubahan tradisi pertanian ini dapat diketahui melalui dua bentuk perubahan, pertama
berubah dari pertanian berorientasi ekspor (Anderson 1924) ke pertanian subsisten (Pelly
1996). Kedua, terjadinya perubahan aktivitas pertanian dari bertani sebagai aktivitas
utama atau primer, berubah menjadi penjual hasil pertanian dan hasil hutan sebagi
penyangga ekonomi (ekonomi skunder) dan menjual jasa sebagai ekonomi tertier.
Selain itu, kehadiran Industri menyebabkan terjadinya pergeseran kepemilikan
tanah. Ada dua bentuk pergeseran kepemilikan tanah tersebut. Pertama, tanah tidak lagi
sebagai milik komunal, tetapi telah menjadi milik individu. Tanah komunal yang tersisa
dipeta-petakan oleh anggota masyarakat untuk kepentingan ganti rugi.
Yang pertama melakukan pengeseran fungsi tanah komunal menjadi tanah pribadi
adalah program relokasi Departemen Sosial tahun 1982. Pemerintah mengambil alih
tanah komunal sekitar 500 hektar untuk dijadikan hak milik pribadi. Tanah yang semula
merupakan hutan ulayat diambil alih oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Kemudian tanah
tersebut diserahkan kembali kepada penduduk asli dan pendatang masing-masing empat
hektar sebagai hak milik pribadi.
Setelah pemerintah, kehadiran PT Indo Sawit Subur Sejahtera mempertegas hak
kepemilikan pribadi atas tanah. Tanah komunal yang dimiliki suku diambil alih oleh
negara sebagai tanah negara, kemudian tanah beserta kebun sawit diserahkan kepada
penduduk seluas dua hektar. Kebun sawit yang didapat dengan cuma-cuma ini benar-
benar membuka kesadaran akan pentingnya kepemilikan pribadi, sebab banyak diantara
penduduk yang menjual kebun sawitnya untuk kebutuhan mendesak.
Setelah itu, inspirasi perubahan sistem kepemilikan ini menjadi sangat penting
karena naiknya harga tanah. Tanah yang dulu tidak berharga, kini setelah kedangan
industri satu menter bis aberhaga 40 tibu rupiah. Maka sisa tanah yang menjadi milik
komunal diperebutkan menjadi milik pribadi. Dulu secara hukum adat mereka yang
berhak memiliki tanah adalah keturuanan dari ibu suku lalang. Kini berubah, semua yang
dulu pernah berladang di tanah komunal menjadi milik pribadi.
Kondisi ini memicu konflik antar penduduk asli. Satu kelompok terutama dari
keturunan kebatinan tetap mempertahankan hak komunal. Sebab jika tanah tersebut
masih berada dalam sistem komunal maka keuntungan terbesar menjadi milik keturunan
terdekat dengan batin. Sementara masyarakat yang merasa kurang akses ke kebatinan
justeru memilih hak kepemilikan pribadi. Perusahaan menggunakan perluang ini untuk
merebut hak atas tanah baik melalui pembelian maupun ganti rugi sepihak. Sementara
negara berada dibalik perusahaan karena mendapat bagian pendapatan dari perusahaan.
Pergeseran fungsi tanah dari tanah komunal menjadi tanah pribadi ini berdampak
terhadap penguasaan tanah oleh penduduk asli lokal. Sisa-sisa tanah yang ada beralih
kempemilikan dari penduduk asli ke pendatang. Karena tanah dengan mudah bisa dijual-
belikan tanpa perlu persetujuan batin. Kondisi ini menjadikan penduduk asli Pangkalan
Kerinci kehabisan tanah bahkan ada yang hanya memiliki 2 hektar tanah saja hasil dari
program relokasi Depsos.
Kedua, pengeksplotasian tanah oleh negara dan modal. Negara dengan
menggunakan prangkat hukum yang segaja dibuat mengambil alih tanah penduduk baikm
tanah pribadi maupun tanah komunal menjadi tanah negara. Setelah itu, negara
menyerahkannya kepada pemodal untuk kepentingan ekonomi negara dan sekaligus
penguasannya mendapat keuntungan pribadi. Langkah inilah yang diambil oleh Bupati
Kampar terhadap tanah ulayat suku Lalang di Pangkalan Kerinci di tahun 1989. Dengan
dasar itu, negara menyerahkan tanah tersebut kepada PT Indosawit Subur Sejahtera dan
PT Riau Andalan Pup and Paper. Akibatnya tanah (hutan-tanah) diambil alih tanpa ganti
rugi sedikitpun dari pemerintah dan pengusaha.
Ketika rakyat mau mengkomplin atas tanah tersebut maka terjadilah bentrokan
antara rakyat dan aparat (tentara). Di mana aparat berada dipihak pengusaha. Pada masa
Orde Baru PT RAPP dijaga oleh tentara dengan bersenjata lengkap. Sementara diantara
PT RAPP dan PT ISS dibangun markas TNI yang fungsi sebagai penjaga keamanan bagi
pengusaha.
Pengusaha bisa sewenang-wenang terhadap rakyat, terbukti dari 225.000 hektar
hutan ulayat milik suku lalang tidak dimiliki lagi oleh rakyat. Rakyat mau mengkomplain
tanah seluas 17 hekar yang kini berada di bawah kekuasaan PT RAPP juga tidak bisa.
Untunglah terjadi perubahan suasana politik, sehinga pihak RAPP melakukan
pendekatan-pendekatan untuk memperbaiki hubungan dengan rakyat, yang semakin
berani. Di era reformasi ini perusahaan-perusahaan yang ada disekitar Pengkalan Kerinci,
terutama PT RAPP dan PT ISS menghadapai demonstraso terus menerus dari rakyat.
Bahkan bagaikan aib dalam masyarakat bahwa suku Lalang dan masyarakat Pangkalan
Kerinci tidak mempunyai tanah lagi untuk tanah kuburan.
Pada masa ini tanah hak ulayat tersebut sudah menjadi tanah menjadi milik
pengusaha dan pendatang dan hanya sedikit saja milik penduduk lokal Pangkalan Kerinci
asli. Tanah tersebut menjadi perkebunan, pabrik, milik pengusaha lokal yang
sebahagiannya adalah China, tanah milik kepala desa, tanah milik pemerintah atau
perusahaan pemerintah dan tanah milik penduduk.
Penetrasi negara dan pemilik modal secara berlebihan terkesan melakukan
perbasmian terhadap penduduk asli. Sumber-sumber ekonomi penduduk asli dihabiskan,
sementara tidak disediakan persiapan penduduk agar mampu hidup dalam tatanan
masyarakat industri. Reaksi terhadap tekanan tersebut diwujudkan dalam perlawanan
secara diam-diam dan perlawan secara terbuka.
Selain itu, mereka sebenarnya juga telah melakukan perlawanan terhadap
penindasan tersebut. Selama Orde Baru telah beberapa kali melakukan demosntrasi tetapi
dikalahkan oleh kekerasan militer. Era reformasi juga tidak membawa pengaruh yang
baik bagi hak-hak politik mereka karena kolusi dan korupsi pejabat pemerintah. Akhirnya
perlawanan dilakukan dengan mengunakan dunia internasional. Anwar Cantik, yang
dikenal dengan Anwar Batu bahkan sudah pergi ke Filandia, Jerman, Belanda dan
Inggeris untuk mempropogandakan penindasan perusahaan terhadap rakyat.
Selain itu, untuk melindungi komunitas masyarakat asli, penduduk asli bersifat
tertutup dengan pendatang, terutama yang mencari informasi tentang masyarakat. Sikap
tertutup dan curiga ini dapat dipahami sebagai wujud dari mekanisme kekebalan internal
penduduk asli. Jika hal ini tidak dilakukan maka kemusnahan penduduk asli semakin
cepat.
Kesimpulan
Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan akibat kebijakan negara
dan industri sawit dan bubur kertas telah menyebabkan terjadinya revolusi sistem sosial
dan ekonomi. Terbentuk sistem sosial baru, tatanan baru, politik baru, lingkungan sosial
baru dan sistem produksi baru. Revolusi sosial dan ekonomi ini ditujukan untuk
masyarakat baru bukan untuk masyarat asli Pangkalan Kerinci. Masyarakat asli
Pangkalan Kerinci secara sistematis diasingkan untuk dihapus identitas aslinya melalui
migrasi terencana pemerintah dan imigrasi industri.
Kehadiran industri membuat masyarakat Pangkalan Kerinci terpecah secara
tatanan sosial, tatanan rumah tangga, dan hilang sumber ekonomi tradisional tetapi tanpa
disiapkan untuk masuk ke sumber ekonomi baru. Patron adat dan patron ekonomi
dihapuskan untuk menghadirkan ekonomi pasar yang kejam. Maka hak milik atas rumah
tangga dijual perlahan-lahan sehingga habis untuk membiaya konsumsi rumah tangga
yang tidak lagi disubsidi oleh patronnya.
Revolusi sosial secara diam yang terjadi di Pangkalan Kerinci tidak ditanggapi
melalui kekerasan atau pemberontakan oleh masyarakat. Tetapi melakukan gugatan
hukum dan demonstrasi yang dari hari ke hari sudah tidak terdengar lagi. Fakta ini
menunjukkan bahwa teori pemberontakan petani Scott tidak berlaku di Pangkalan
Kerinci, apalagi sikap subsisten yang mendahulukan selamat (safety first). Hal ini
disebabkan besarnya tekanan perubahan, jika tidak ikut berubah rumah tangga akan
musnah, seperti yang terajdi pada 1 rumah tangga yang tetap bertahan sebagai peladang
hanya mampu menghasilkan Rp.800.000,- pertahun atau Rp.67.000,- perbulan sementara
untuk cukup konsumsi dasar minimal kebutuhan uang sebesar Rp. 800.000,- perbulan.
Alternatif lain yang dikemukan Scott yaitu penyelamatan diri yang diambil oleh
sebahagian kecil petani karena memiliki patron baru juga tidak dijumpai di Pangkalan
Kerinci. Kehadiran industri dan kota baru menyebabkan pembentukan individualisme
yang cepat sehingga peluang untuk mendapat patron baru tidak tersedia. Patron baru
terbentuk melalui pola hutang, tetapi pada sistem ekonomi pasar yang baru menghapus
pola hutang konsumsi harian.
Revoluasi pada masyarakat Asli Pangkalan Kerinci telah menyebabkan hilangnya
struktur patronase, subsisidi ke masyarakat tidak sampai karena dikorupsi aparat, tidak
terjadi urbanisasi, tidak juga terjadi buruh tani. Secara umum mereka hanya melakukan
kerja sisa dari masyarakat kota yaitu kerja buruh harian di pasar dan buruh angkut dari
setiap truk yang tiba. Secara mandiri memanfaat semua peluang yang ada mulai dari
membangun rumah sewa untuk memfasilitasi buruh yang datang ke Pangkalan Kerinci,
membangun Bengkel, Menyedia jasa trasportasi melalui angkutan kota berupa oplet, beca
motor dan angkutan barang. Walaupun secara sosial tetap memisahkan diri dengan
pendatang.
Terjadi pergeseran pola produksi daru ekonomi subsisten ke ekonomi sisa
perkotaan yang menuju ke pemikiran ekonomi pasar. Ini terlihat dari perubahan cara
produksi, adaptasi pekerjaan dan sumber pendapatan. Rumah tangga mampu
memodifikasi sarana persediaan terbatas menjadi indutri jasa berupa rumah sewa, dan
pemanfaatan padatnya lalu-lintas manusia dengan menyediakan jasa transfortasi berupa
oplet, ojek dan becak motor. Termasuk pemanfaatan kebun sawit hasil konpensasi dari
pengambilan tanah oleh perusahaan kebun sawit. 20 rumah tangga memiliki rekening
(account) bank di BRI sebagai tempat penyimpanan sementara uang sebelum
dibelanjakan. Begitu juga hasil produksi yang bisa dijual langsung dijual dipasar karena
pudarnya fungsi tauke.
Perubahan pemikiran ekonomi tersebut tidak mampu diaplikasikan secara utuh
terutama dalam hal konsumsi. Hilangnya produksi tahunan yang menyebabkan
ketergantungan sepenuhnya pada produksi harian menimbulkan tekanan tekanan
konsumsi dominan dengan produksi terbatas sementara usaha untuk memaksimalkan
produksi juga terbatas. Sementara negara tidak befungsi maksimal bahkan cederung
memanipulasi hak-hak rakyat untuk kepentingan pribadi.
Hambatan masyarakat untuk mampu beradaptasi secara cepat dan baik terhadap
perubahan karena lambanya pemerintah menciptakan peluang pekerkembangan bagi
masyarakat asli Pangkalan Kerinci. Kelambatan pemerintah tersebut disebabkan prilaku
korupsi pegawai negari mulai dari aparat desa sampai ke gubernur, Bupati Kampar (yang
kemudian menjadi gubernur Riau) mengeluarkan surat yang menghapus hak tradisional
masyarat dengan mengubah hutan ulayat menjadi hutan negara.****
PENDEKATAN UNIT USAHA KOMUNITAS
ALTERNATIF LINKAGE INDUSTRI - DESA
Issu kemiskinan mejadi issu sentral di Riau, daerah dengan APBD Rp.1,9 triliun
pertahun, di atas minyak, di bawah minyak, ternyata keluarga miskinnya mencapai 42%
dari jumlah penduduk Riau sebesar 5 juta orang (2003). Fakta ini mengambarkan ada
sesuatu yang tidak beser di Riau. Apakah pendekatan analisisnya yang salah, atau
memang menejemen pemerintahnya yang tidak mendistribusikan sumber daya ekonomi
pada rakyat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya menawarkan alternatif melalui
pendekatan Unit Usaha Komunitas sebagai pilihan untuk memulai mengurangi masalah
kemiskinan di Riau.
Apa yang perlu kita pikirkan tentang masyarakat miskin? Pertama, peningkatan
pendapatan. Asumsi umum sering berkembang untuk meningkatkan pendapatan
penduduk miskin perlu mencari penganti dari pekerjaan lama yang sudah minim sumber
daya. Konsep ini berpikir program ini tidak boleh merubah pekerjaan yang telah ada
tetapi memaksimalkan pekerjaan yang ada dan memfungsikan pekerja rumah tangga baik
domestik maupun non domestik.
Kedua, membentuk kelembagaan patron klien. Dalam struktur tradisional
kehidupan ekonomi masyarakat sangat tergantung pada tauke sebagi patron. Konsep ini
mencoba menerapkan konsep tauke tetapi bukan pada perorangan melainkan ke lembaga
(unit usaha) yang saya sebut dengan unit usaha komunitas.
Ketiga, dari mana kita memulai? Konsep ini memulainya dari rumah tangga
miskin. Miskin didefinisikan oleh kumunitasnya dan jumlah konsumsi dalam sehari serta
sumberdaya produksinya. Jadi kita tidak menggunakan konsep miskin bank dunia atau
BKKN (Badan Kesejahteraan Keluarga Nasional) dan BPS (Biro Pusat Statistik).
Keempat, siapa yang bertangung jawab? Konsep ini mencoba menerapkan
semua pihak ikut bertangung jawab, sebab itu dalam konsep ini ada kelembagaan legal
ditingkat desa (komunitas), komite bersama antar departemen dan komite bersama antara
pemerintah, swasta dan masyarakat. Masing-masing kelembagaan diuraikan fungsinya
secara jelas dan terdapat koordinator dari masing-masing komite bersama. Untuk
ditingkat komunitas akan dibentuk lembaga profesionalnya yang dikelola oleh menejer
professional.
Mengapa menggunakan pendekatan rumah tangga dan unit usaha komunitas?
Alasan utama adalah belajar dari pengalaman program pembangunan pedesaan yang
sudah dilaksanakan dari tahun 1940-an hingga sekarang ternyata tidak membawa hasil
yang mengembirakan. Pendekatan pemberantasan kemiskinan selalu mengacu kepada
penyelesaian pada kepentingan yang sempit, yaitu politik dan ekonomi. Mulai dari
program Community Development, revolusi hijau, program berorientasi kemiskinan,
hingga ke program Inpres Desa Tertinggal khusus Indonesia juga menghasilkan
keuntungan politik dan ekonomi kelopok tertentu saja.
Program pembangunan pedesaan UNESCO Community Development – CD
dniayakan gagal oleh UNESCO sendiri dijalan 1948 dan dinyatakan gagal tahun 1960-an
Kelemahan utama CD adalah bersumber dari hipotesisnya tentang masyarakat desa. CD
melihat masyarakat desa bersifat homogen, mempunyai kepentingan bersama dan mampu
menyelesaikan masalah secara bersama. Keuntungan hanya dinikmati lapisan
masyarakat tertentu yang merupakan elit di desa karena kedudukannya yang mantap atau
pendatang yang segaja mengikuti program tersebut. Mereka ini memang lapisan petani
progresif yang telah mempersiapkan perubahan. Sementara petani kecil, penyewa dan
buruh tani tidak mengalami perubahan yang berarti. Myrdal (1968) menyebutkan bahwa
program CD hanya menjadi alat pemerintah untuk menyalurkan bantuan kepada yang
tidak begitu miskin.
Kegagalan program CD ternyata masih diikuti pula kegagalan program
pengantinya yaitu revolusi hijau. Program Revolusi Hijau berkembang tahun 1960-an
dan dinyatakan gagal tahun 1970-an. Diantara kelemahan revolusi hijau kurangnya
mempertimbangkan aspek sosial, semata-mata pertimbangan ekonomi. Keuntungan
hanya diperoleh oleh petani kaya yang dengan mudah mendapatkan teknologi pertanaian
sedangkan petani kecil, penyewa tanah dan buruh tani tentu tidak dapat
memanfaatkannya. Selain itu, pendektan ini mengabaikan dampak dari kemasukan
teknologi terhadap perubahan sosial di desa serta sempitnya pemahaman masyarakat
desa, sebagaimana pada program CD.
Kegagalan program revolusi hijau memaksa dunia internasional mengembangkan
program pembangunan desa berhaluan kemiskinan. Program pembangunan desa
dikembangkan tahun tahun 1970 oleh seluruh lembaga bantuan keuangan dunia, sebagai
kritik terhadap program sebelumnya. Program ini menjadikan petani kecil dan miskin
sebagai sasaran utama pembangunan dengan melibatkan petani secara aktif dalam
pembangunan. Masyarakat desa sebagai subjek yang dinamis. Sebagaimana program
sebelumnya program ini juga dilaksanakan secara besar-besaran di negara dunia ketiga
secara bersamaan.
Ternyata melalui progam ini 50% dari seluruh program dinyatakan berhasil.
Namun demikian program ini juga tidak lepas dari kelemahan, yaitu belum jelasnya
konsep petani kecil sehingga juga akan menguntungkan petani kaya yang progresif.
Selain itu, program ini hanya mengutamakan in-put tidak out-put dan semata-mata atas
pertimbangan pertumbuhan ekonomi, akibatnya program ini juga menyebabkan
perombakan pada struktur sosial.
Indonesia pernah menerapakm program IDT (inpres desa tertinggal), yang
tampaknya berpangkal pada konsep ini, toh ternyata juga tidak berhasil.Faktor kegagalan
IDT hampir sama dengan faktor kegagalan program lainnya, masyarakat desa
diasumsikan homogen, kemiskinan bukan rumah tangga tetapi adalah desa, besarnya
keterlibatan birokrasi, fungsi pendamping yang tidak tepat dan tidak mempunyai
pengetahuan yang jelas tentang masyarakat desa. Faktor yang terpenting adalah belum
tegasnya bentuk usaha yang harus dilakukan, serta lemahnya kontrol dari masyarakat.
Tujuan
a. Untuk mengurangi rumah tangga miskin dengan menumbuhkan semangat
berusaha secara mandiri.
b. Untuk bersama mengkoordinasikan, mengembangkan, dan mendirikan proyek-
proyek usaha di Desa sebagai acuan bagi model pembangunan masyarakat yang
berkesinambungan berbasis pada model pengembangan ekonomi masyarakat
desa.
Tahapan Kerja∗
Konsep ini tidak bisa dilaksanakan dalam waktu yang cepat, tetapi memerlukan
waktu yang panjang, ini disebabkan proses menuju ke masyarakat sejahtera memerlukan
beberapa tahapan yang jelimat, adapun tahapan adalah sebagai berikut:
a. Studi awal , yaitu melakukan pendekatan pada masyarakat serta survey awal
untuk masuk ke fase 1, biasanya paling cepat 6 bulan dan paling lama 1 tahun.
b. Fase 1, yaitu melakukan sosialisasi untuk pembentukan unit usaha komunitas
dan seleksi unit kelompok usaha dan pembentukan kelompok usaha. Biasanya
dilakukan 6 bulan paling cepat 4 bulan.
c. Fase 2, yaitu membangun Unit Usaha Wisata Masyarkat dan proyek-proyek
usaha ekowisata, biasanya paling lama 4 bulan dan bisa lebih cepat.
d. Fase 3, yaitu persiapan melalui pendampingan dan analisis akhir proyek
biasanya dilaksanakan 4 bulan. Kemudian dilanjutkan dengan uji coba
program.
Kelembagaan • Unit Usaha Komunitas-UUK (community Enterprise-CE):
Organisasi yang didirikan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan untuk kegiatan
usaha di desa. Organisasi ini dimiliki, dikelola dan diawasi oleh masyarakat.
• Badan Pembina Unit Usaha Komunitas – BPUUK (Board of communiti – BOC):
Wakil-wakil kunci masyarakat terpilih yang bertugas untuk menetapkan kebijakan
perencanaan bagi UUK.
• Badan Pengawas Unit Usaha Komunitas (Board of Controllers-BCON):
Anggota masyarakat yang dipilih selama periode tertentu oleh BPUUK, yang
bertugas untuk memeriksa dan mengawasi pelaksanaan dari perencanaan UUK.
• Badan Pelaksana Unit Usaha (Board of Executive –BOX):
Anggota masyarakat yang dipekerjakan oleh PBUUK untuk mengelola dan
menjalankan perencanaan ddari BPUUK.
∗ Mulai dari tahapan kerja sampai ke konsep berikutnya penulisan ini diadaptasi dari konsep
Pendampingan PT BRC terhadap masyarakat Sri Bintan dan Serbong Lagoi.
Struktur organisasi.
Model usaha berbasis masyarakat diorganisir untuk beroperasi pada 4 tingkat.
Peran-peran dasar dan tanggung jawab sebagai berikut:
(1) Unit Usaha Komunitas. Ini berada pada tingkat desa. Secara esensial untuk
mengembangkan, mengelola dan memasarkan produk dan pelayanan usaha,
dipimpin seorang menejer professional dan didampingi oleh konsultan.
(2) Main (Tehnical) Committee. Ini adalah organisasi manajemen dan pengawasan
utama, diwakili oleh Pemda, Perusahaan (kalau ada) dan perwakilan masyarakat,
bertanggung jawab bagi perencanaan induk, pengorganisasian, dan pelaksanaan
proyek-proyek, mengalokasikan sumber daya dan untuk mencapai target-target
usaha yang ditentukan oleh Joint Secretariat/Sekretariat Bersama dan disetujui
Bupati.
(3) Jont Secretariat/Sekretariat Bersama. Peran kunci sekretariat ini adalah sebagai
organisasi pusat koordinasi dan penghubung antara Bupati & Direksi Perusahaan
(kalau ada) dan seluruh komponen fungsional proyek. Organisasi ini
mengumpulkan dan mengajukan laporan-laporan, menyediakan analisis proyek dan
rekomendasi bagi keputusan Bupati Direksi Perusahaan. Organisasi ini juga bagian
dari Main (Technical) Committee.
(4) Bupati & CEO/Direksi Perusahaan. Ini adalah tingkat kebijakan dan keputusan,
terdiri dari Bupati dan dalam konsultasi dengan CEO/Direksi Perusahaan. Bupati
dan CEO/Direksi Perusahaan menentukan tujuan-tujuan usaha berbasis masyarakat,
arah kebijakan dan mengalokasikan sumber daya kunci untuk proyek ini.
Kerangka Kerja Operasi.
Manajemen proyek ini di tingkat Main (Technical) committee ke atas akan
direncanakan secara tahunan dan diimplementasikan/dikontrol pada basis triwulan. Di
tingkat Unit Usaha Komunitas dan konsultan, manajemen proyek akan direncanakan
pada basis triwulan dan diimplementasikan/dikontrol pada basis bulanan, berdasrkan
kepada target rencana kerja triwulan yang disetujui oleh tingkat Main(Technical)
Committee. Seluruh dana proyek, fasilitas dan sumber daya akan dianggarkan secara
tahunan dan alokasinya akan dilakukan pada basis triwulan. Untuk memberi efek kontrol
yang lebih baik, mencapai sinergi dan sinkronisasi, seluruh kebutuhan infrastruktur,
fasilitas dan anggaran harus dikonsolidasikan pada bulan Juli dan diselesaikan pada
bulan September oleh Main (Technical) Committee bagi rencana kerja tahun berikutnya.
Mekanisme Kerja Team
Peran yang Diambil Pemda, Perusahaan dan Masyarakat 1. Peran dan Tugas Pemerintah Daerah
a. Mendirikan suatu Joint Secretariat/secretariat Bersama, terdiri dari wakil-
wakil terpilih Pemda dan Perusahaan, untuk memberi arah kebijakan dan
bertindak sebagai wadah yang mengkoordinir antara Main (Tehnical)
Committee dan Bupati & CEO/Direksi Perusahaan.
b. Mendirikan Main (Tehnical Committee, terdiri dari Pemda, Perusahaan dan
wakil-wakil dari Badan Pembina Unit Usaha Komunitas untuk mengarahkan
rencana induk proyek secara keseluruhan dan pembangunan; memberi nasehat
dan dukungan tehnis; mengalokasikan sumber daya/dana dan arah manajemen
bagi pengembangan Unit Usaha.
c. Membangun kerjangka kerja pelaksanaan dan mekanisme perencanaan,
pengorganisasian, manajemen dan dukungkan pelatihan untuk perumusan dan
pengoperasian Usaha.
d. Memberi arah kebijakan, nasehat teknis, dukungan yang brsifat administrative
dan pengaturan.
e. Penyediaan dukungan lahan, infrastruktur dan fasilitas.
f. Penyediaan dukungan dasar dalam hal perbaikan pendidikan kesehatan publik
dan fasilitasnya, pendidikan desa, keamanan, dan dukungan serta bantuan
bagi pengoperasian UUK dan proyek-proyek usaha lainnya.
g. Membantu dalam pengembangan dan promosi produk usaha kepada pasar
local dan saluran-saluran distribusi; dari sumber bahan baku, produksi hingga
pemasaran.
B U P A T I KEPALA DAERAH
PIMPINAN PERUSAHAAN
Main Comiite
Instansi/ Dinas Terkait
1. Koperasi
2. Perindustrian
dan Perdangan
3. Kehutanan
4. Pertanian
5. Kesehatan
6. Kimspraswil
7. Perikanan
8. Camat
9. Kades
Sekretariat Bersama
1. Departemen Koordinator
2. Bandan Pemberdayaan
Masyarakat
3. Bappeda
4. Wakil dari Badan Pembina
5. Wakil dari Perusahaan
UNIT USAHA KOMUNITAS
TIM KONSULTAN
h. Menyediakan bantuan dan dukungan pelatihan, khususnya dalam penyediaan
keahlian atau kegiatan yang berhubungan, di Indonesia dan tempat-tempat
lainnya.
i. Mengevaluasi dan menyediakan petunjuk bagi pertumbuhan jangka panjang
danpembangunan usaha berbasis masyarakat berkelanjutan di Desa.
2. Peran dan Tugas Perusahaan.
a. Menyediakan konsultansi usaha dan keahlian untuk membantu mobilisasi,
pengorganisasian, dan pelatihan masyarakat dalam model pengembangan
usaha berbasis masyarkat bagi Desa.
b. Berpartisipasi dalam perencanaan bersama dan manajemen proyek melalui
Joint Secretariat/Sekretariat Bersama, Main (Technical) Committee dan dinas-
dinas Pemda terkait, yang telah diperkenalkan Pemda.
c. Memberikan saran konsultansi/keahlian bagi operasi harian dan
pengembangan UUK dan proyek-proyek usaha di Desa
d. Membantu Pemerintah dalam pengembangan organisasi UUK yang layak dan
membina proyek-proyek usaha atau usaha peningkatan pendapatan lainnya
bagi masyarakat. Dalam hal ini membantu dalam formasi dan seleksi orang-
orang kunci bagi UUK dan pengembangan bermacam proyek usaha
ekowisata, termasuk tertapi tidak terbatas pembuatan produk-produk usaha
e. Menyediakan perangkat lunak bagi pengembangan kapasitas masyarakat
melalui pelaksanaan pelatihan usaha dan pelatihan manajemen yang relevan,
untuk memperbaiki kapasitas masyarakat dalam mengelola dan
mengoperasikan UUK atau usaha-usaha/bisnis peningkatan pendapatan
lainnya.
f. Membantu dalam pengembangan system organisasional/operational, proses-
proses dan prosedur bagi manajemen rutin dari UUK dan proyek-proyek
usaha ekowisata.
g. Menyediakan hibah terbatas dan pinjaman lunak bagi percobaan pendahuluan,
modal untuk meluncurkan proyek-proyek usaha lainya.
h. Melaksanakan pengembangan produk usaha, studi-studi pasar, penjualan
dan kaitan pemasaran.
3.Peran dan Tugas Masyarakat Yang Berpartisipasi.
a. Menyediakan tanah masyarakat, tenaga kerja, bangunan dan fasilitas lainnya
untuk pengembangan usaha secara kseluruhan. Sebagai gantinya, UUK akan
memberi sejumlah remunerasi untuk penggunaan sumber daya desa tersebut,
dengan jumlah yang akan diputuskan dan disepakati antara UUK dan
Masyarakat, dan akan ditetapkan dengan jangka waktu 5 tahunan.
b. Sepenuhnya sepakat untuk mengadopsi model pengembangan usaha berbasis
masyarakat bagi masyarakat. Dan tiap manfaat atau keuntungan yang timbul
dari proyek ini akan dibagi secara langsung dengan sesama pihak-pihak yang
terlibat dan secara tak langsung dengan masyarakat secara keseluruhan.
Jumlah, harga, gaji, diputuskan oleh masing-masing UUK, yang mewakili
masyarakat bersangkutan.
c. Sepakat untuk mengikuti petunjuk kebijakan, aturan-aturan, standarisasi dan
prosedur-prosedur yang diputuskan oleh Join Secretariat/Sekretariat Bersama,
Main (Tehnical) Commiittee dan konsultan.
d. Berpartisipasi dalam proses seleksi/pemilihan orang-orang kunci dalam
BPUUK dan bermacam kelompok usaha dan fungsional berdasarkan aturan-
aturan hokum dan perundangan UUK.
e. Bekerjasama dengan konsultan dan organisator masyarakat untuk
menghasilkan produk dan pelayanan ekowisata yang berkualitas.
f. Komitmen dalam mengajukan UUK dan proyek-proyek usaha kepada
organisasi independen yang dipilih oleh Joint Secretariat/Sekretariat Bersama
yang akan melakukan pemeriksaan dan audit secara teratur dengan tujuan
memastikan implementasi proyek dan penggunaan dana serta sumber dasya
layak. Selain itu juga memberikan laporan-laporan rutin kepada Join
Secretariat/Sekretaris Bersama bilamana dirasakan perlu.
g. Mempertahankan prosedur keuangan yang layak dan mencatat seluruh
transaksi bisnis seperti yang disarankan oleh konsultan.
Penutup Konsep ini merupakan konsep umum dalam pelaksanaannya sangat disesuaikan
dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk menerapkan konsep ini disarankan
menggunakan konsultan yang tepat.
BIBLIOGRAFI
Adnan Abdullah. 1993. Dampak Industri Terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Budaya
Makalah Seminar. Industri Berwawasan Lingkungan. Pekanbaru. 18-20 Mei.
Appelbaum. Richard P. 1970. Thoeries Of Social Change. Chicago: Markham Publishing
Company.
Arief Budiman.1996. Toeri Negara. Kekuasaan dan Idiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Awan Setya Dewata (ed.) 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta :
Aditya Media.
Anuwar, 1995, Globalisasi Pembangunan Industri dan Peranan Pemerintah di Malaysia,
Malaysia : UKM Bangi
Arndt.HW. 1991. Pembangunan Ekonomi Indonesia, Pandangan Seorang Tetangga,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Arndt, HW. 1983, Pembangunan dan Pemerataan Indonensia di Masa Orde Baru,
Jakarta: LP3ES.
Alavi, Hamzah, 1973, ‘Peasant Classes and Primordial Loyalities, Journal of Peasant
Studies, Vol. 1 No. 1, October.
Amir Karanof , 1982, ‘Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok Masayakat Bawah’, Jakarta, in
Mulyanto Sumardi & Hans Dieter Evers (ed). Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok,
Jakarta : Raja Press.
Appelbaum. Richard P. 1970. Theories Of Social Change. Chicago: Markham Publishing
Company.
Bergesen,Albert & Schoenberg, Ronald, “Long Waves Of Colonial Expansion and
Contyaction” dalam Bergesen, A, (ed) 1980. Studies in Modern World System,
NewYork: Academic Press.
Bappeda Tk I Riau. 1995. Kebijaksanaan Pembangunan sektor Kehutanan Dalam
Repelita VI di Propinsi Riau. Makalah seminar Kehutanan 2-3 Oktober 1995
Pekanbaru.
Budy Tjahjati S Soegijoko. 1985. ‘Dampak Pembangunan Proyek Industri Besar Kasus
Zona Industri Lhok Seumawe’. Prisma no. 12 .
Binsuanger, P Hans, & Evenson, E. Robert, & Florencio & White, (editor),1980, Rural
Household in Asia, Singapore : Singapre University Press.
Bates, Robert H, 1976, Rural Response to Industrialization, New Haven and London :
Yale University Press.
Bisuk Siahaan,1996, Industrialisasi di Indodnesia, Sejak Hutang Kehormatan Sampai
Banting Stir. Jakarta : Pustaka Data.
Bruch, Mathias & Hiemenz, Ulrich, 1984, Small-and Medium -Scale Industries in The
ASEAN Countries; Agents Or Victims Of Economic Development? Boulder and
London : Westview Press.
Bar-El, Raphael, 1987, ‘An Approach To Growth Patterns In Regional Industrialization’
dalam Bar-El, Raphael &Bendavid-Val, Avrom & Karaska, J Gerald, 1987 Pattern Of
Change In Developing Rural Regions, Bulder/ London : Westview Press.
Blumer, Herbert, 1990, Industrialization Agent of Social Change, New York: Aldine de
Gruyter
Bendix, Reinhard, 1962, Max Weber an Intellectual Portrait, New York : Anchor
Books.
Bahrien T Sugihen. 1996. Sosiologi Pedesaan. Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press
Bryans S. Turner: (Editor) 1990, Theories of Modernity and Post Modernity, London.
Newbury Park. New Delhi : Sage Publications.
Bruggger, Bill & Hannan, Kate, 1983, Modernization and Revolution, London &
Canbera : Croom Helm.
Bertrand , Alvin L, Editor, 1958, Rural Sociology, An Analysis Of Contemporary Rural
Life, New York : McGraw Book Company.
Bull, Cristopher & Daniel Peter, &Hopkinson, 1990, The Geography of Rural Resources,
Conceptual Frameworks In Geography, Edinburg : Oliver& boyd.
Black, C.E. 1966, The Dynamic Of Modernization, New York, Evanstone dan London :
Harper & Row Publishers.
Black, C.E. 1976, Comparative Modernization, London: The Free Press.
Bernstein, Hendry, ‘Social Change in The South African Countryside? Land and
Production, Poverty and Power’, Journal Of Peasant Studies, Vol 25, No 4 July.
Bruggger, Bill & Hannan, Kate, 1983, Modernization and Revolution, London &
Canbera : Croom Helm.
Blum, Jerome, 1960, The European Peasantry From Fifteenth to The Nineteenth
Century, Washington: Service Center For Teachers Of History.
Beames, Michael 1983, Peasant and Power, Sussex: The Harvest Press.
Binswanger, P Hans, & Evenson, E. Robert, & Florencio & White, (editor),1980, Rural
Household in Asia, Singapore : Singapore University Press.
Chen, J. Peter,1980, ‘The Cultural Implication of industrialization and Modernization In
south-east Asia’ dalam Evers, Hans Dieters, Sociology Of South-East Asia;
Reading on Social Change and Development, Kuala Lumpur : Oxford Uni
Bradley, University Press
Charling, Alan, 1992, “ Rational Choice and Household Division” dalam Marsh,
Catherine & Arber, Sara, 1992, Families and Household, Division and Change,
England: Macmilan.
Crehan, Kate, 1992 “Rural Households : Making A Living” dalam Crow & Johnson,
1992 Rural Households, New York : Oxford University Press.
Constantio, Renato,1985, Synthetic Cultural and Development, Filipina : Foundation For
Nationalist Studies. INC.
Chayanov: A.V. 1966, The Theory Of Peasant Economy, Illonis : Homewood.
Claus, Wolfgang, 1982, Economics and Social Change Among The Simalungun Batak Of
North Sumatera, Sarbuken :Verlag Breitenbach Publisher.
Crouch, Harold. 1988, Army In Politic Indonesia,Jakarta : Sinar Harapan.
Cockerham, William C, 1995, The Global Society : An Introduction to Sociology. New
York: MC Mgrw - Hill,Inc.
Cody, John& Hughes, Helen & Wall, David (editor), 1980, Policies for Industrial
Progress in Developing Countries, New York : Oxford University Press.
Chadney. James G.. Social Economy Implication of The New Technologies in Punjab.
The Eastern Anthropology. no 37: 3
Cascardi J. Anthony, 1992 The Subject of Modernity, British : Cambridge University.
Connell, John & Dasqupta, Biplap & Laishey, Roy, & Lipton, Michael, 1976, Migration
From Rural Areas, The Evidence From Village Studies, Delhi : Oxford Universiti Press.
Chitambar. J.B. 1973 : Introductory Rural Sociology; A Synopsis Of Concept And
Principles, New York : John Wiley & Sons
Croll, Elisabeth, 1987, ‘New Family Form in Rural China, Journal of Peasant Studies,
Vol. 14 No.4, July.
Das, Man Singh & Panos D Bardis, 1979, The Family in Asia, London : George Allen &
Unwin.
Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Propinsi Riau. 1995. Kebijaksanaan
Pembangunan Kehutanan Propinsi Riau Pada Repelita VI Dalam Menyongsong
Era Ekolabel tahun 2000. makalah seminar Kehutanan. 2-3 Oktober 1995
Pekanbaru.
Durkheim, Emile. 1964, The Division Of Labor in Society, New York : Free Press.
Desai. A.R, (Editor) 1971, Volume 1 dan 2, Essays on Modernization of Underdeveloped
Societies. Bombai : Thacker & Co. Ltd.
Dumout, Rene, 1970 : Economy Types Of Rural; Studies In World Agriculture London :
Methuen And Co. Ltd.
Encyclopedia Compton’s Reference Collection 1996, CD-Rom New Media.
Evers, Hans-Dieter, 1991 “Ekonomi Bayangan, Produksi Subsisten dan Sektor Informal,
Ekonomi di Luar Jangkauan Pasar dan Negara” dalam Prisma nomor 5, Mei
1991. Jakarta : LP3ES,
Evers, Hans-Dieter, 1991, “Teori Produksi Subsistensi dan Produksi Tak Formal” dalam
Jurnal Antropologi Sosiologi No.19, Bangi : UKM.
Evers, Hans-Dieter, & Clauss &Wong, Diana, ‘ Subsistent Reproduction a Framework
for Analysis’ dalam Smith, Joan & Wallerstein, Immanuel & Evers, Hans-
Dieter,1984 Household And The World-Economy, London : Sage Publications.
Etzioni, Amitai & Eva, 1973, Social Change; Source, Patterns and Consequences, Edisi
ke-2, New York : Basic Book, Inc.
Encyclopedia Microsoft (R) Encarta (R) 1997, CD-Rom, Microsoft Corporation.
Eisentadt, S.N. 1966, Modernization : Protest and Change. Jerusalem : The Hebrew
University.
Evers, Hans-Dieter, 1993, ‘Timbulnya Pedagang Pada Masyarakat Petani: Transmigrasi
Jawa Kalimantan’, in Plac Utrich, Sosiologi Pertanian, Jakarta: Yayasan Obor.
Evers, Hans-Dieter, 1982, Urbanisasi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di
Indonesia dan Malaysia, Jakaarta: LP3ES
Evans, Grant, 1986, From Moral Economy to Remembered Village, Working Papers, on
Center of Southeast Asian Studies, Australia: Monash University
Ellis, Frank, 1988, Peasant Economics, Farm Households and Agrarian Development,
Cambridge : Cambridge University Press.
Ellis, Frank, 1998, Household Strategies and Rural Live hood Diversification, Journal of
Development Studies, No.1 October , pp 1-33
Forget, Evelyn L & Lobdell, Richard A, 1995, The Peasant in Economic Thought : ‘A
Perfect Republic’ Aldershot UK : Edward Elgar.
Foster-Carter, Aidan, 1985, The Sociology Of Development, England : Causeway Books.
Frieden. A Jeffy dan David A. Lake. 1991. International Political Economy; Perspectives
On Global Power And Walt. New York: St Martin Press
Fisk, EK, 1978: The Adaptation Of Traditional Agriculture : Socioeconomic Problem Of
Urbanization, Development Studies Center Monograph no 11. Canberra, The
Australian National University.
Forum Keadilan, Majalah Dwi Mingguan, no. 18 tahun 1985 dan No. 10.11.12.13. tahun
1996.
Geertz. Clifford. 1970. Agricultural Involution. The Proses of Ecological Change In
Indonesia. California: Universiti Of California Press.
Goetenboth. Frieddhelm.1992. Kerusakan Hutan dan Implikasinya bagi Kesinambungan
Daya Dukung Lingkungan. Prima no.6 tahun XXI.
Goerge Junus Aditjonro. 1994. Dampak Industrailisasi Terhadap Lingkungan dan Upaya
Warga Masyarakat dalam Menghadapinya. dalam Johanes Maridin (ed.) Jangan
Tangsi Tradisi Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern.
Yogyakarta: Kanisius
GEPERINDO.1992. Laporan Hasil Kunjungan GEPERINDO di Riau.29-31 Juli.
Giddens, Anthony, 1991, The Consequences Of Modernity, Cambridge : Polity Press.
Giddens, Anthony, 1991, Modernity and Self-Identity, Self And Society The Late
Modern Age, Cambridge : Polity Press.
Goode, J William, 1988, Keluarga (Terjemahan, Maso’od Abd. Rashid), Kuala Lumpur :
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Gamst, Fredrick C. 1974, Peasant in Complex Society. New York : Holt, Rinehart And
Winston, INC.
Goodman, David & Redclift, Michael. 1981. From Peasant to Proletarian. England :
Basil Blacwell.
Ghee, Lim Teck, 1977, Peasants and Their Agricultural Economy In Colonial Malaya
1874-1941, Kuala Lumpur : Oxford University Press.
Hiramani. A.B. 1977. Social Change in Rural India (A Study Two Village In
Maharashtra). New Delhi: B.R.Publishing Corporation
Hayami, Yujiro & Kikuchi, Masao, 1987, Dilema Ekonomi Desa, Suatau Pendekatan
Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Hoogvelt, Ankei M.M., 1985, The Third World in Global Development London :
Macmilan.
Hoelscher. H.E. & Hawk.M.C, (editor) 1968: Industrialization and Development, San
Francisco: San Francisco Press, Inc.
Hüsken, Frans, 1988, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman : Sejarah Diferensiasi
Sosial di Jawa 1830-1080, Jakarta : Grasindo.
Hayami, L. 1978, Anatomy Of a Peasant Economy A Rice Village in the Philippines,
Philipine : IRRI.
Hasim, Wan. 1984, Petani dan Persoalan Agraria : Kuala Lumpur : Fajar Bakti.
Hortog, Adel P. Den and Bornstein-Johansson, A. 1976, Social Science, Food, And
Nutrition, in D.C.Pit, Development From Bellow: Anthropologist Development
Situations, The Hague/Paris : Mouton.
Hunt Diana, 1979, ‘ Chayanov’s Model of Peasant Household Resource Allocation’
Journal of Peasant Studies, Vol. 6 No.3, April.
Jefta Leibo. 1990. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Andi Ofset
Kemp, Tom. 1983. Industrialization In The Non-Western World, London & New York :
Longman.
Kunio, Yoshihara 1995, Kemunculan Kapitalisme Tiruan di Asia Tengara, (terjm), Kuala
Lumpur: Syarikat S Abdul Majeed.
Kahn, Joels S, 1980, Minangkabau Social Formations Indonesia Peasants And The
World-economy, Cambridge : Cambridge University Press.
Koentjaraningrat. 1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa kini. Jakarta: Yayasan
Fakultas Ekonomi UI
Kirkoatrick, C.H. Lee, N & Nixon F.I. 1984, Industrial Structure And Policy in Less
Development Countries. London : George Allen & Unwin.
Koentjaranigrat. 1993. Methoda-Methoda Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Kurya Roesad, 1995 “Perkembangan Pertanian di Indonesia” dalam Bantaro Bandoro &
J. Kristiady & Mari Pangestu & Onny S Prijono (Penyunting) Refleksi Setegah
Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : CSIS.
Khal, A. Joseph, 1968, The Measurement Of Modernism, A Study of Values in Brazil and
Mexico. Austin and London : The University of Texas Press
Kemp, Tom. 1978, Historical Patterns of Industrialization, London & New York:
Longman.
Koentjaraningrat. 1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa kini. Jakarta: Yayasan
Fakultas Ekonomi UI
Koentjaranigrat. 1993. Methoda-Methoda Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Kolb, John H & Brunner, Edmundes, 1971, A Study of Rural Society (Edisi ke empat),
USA : Greenwood Press, Publishers.
Karanof , 1982, ‘Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok Masayakat Bawah’, Jakarta, in
Mulyanto Sumardi & Hans Dieter Evers (ed). Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok,
Jakarta : Raja Press
Luke, Timothy W. 1990, Social Theory and Modernity; Critique, Dissent and Revolt,
New Bury Park, London & New Delhi : Sage Publication.
Lenski, Gerhard & Nolan Patrick & Lenski, Jean,19 , Human Societies, An Introduction
to Macro Sociology, New York : McGraw-Hill, Inc.
Long, Norman, 1987, Sosiologi Pembangunan Pedesaan, Jakarta : Bina Aksara.
Loekman Soetrisno. 1993. Transformasi dari Masyarakat Agraris ke Masyarakat
Industrial : Suatu Perspektif Sosiologis. Makalah seminar 26-28 Januari
Pekanbaru.
Loekman Soetrisno. 1991. Pembangunan Nasional dan Budaya Lokal: Industrialisasi
Kehutanan dan Sistem Pertanian Berladang di Indonesia. Studi Indonesia
Universitas Terbuka Jakarta
Levy, Jr, Marion J, 1966, Modernization and The Structure of Societies: A Setting For
International Affair, Princeton, New Jersey : Princeton University Press.
Lauer, Robert H, 1977, Perspectives On Social Change, edisi ke-2, Boston, London,
Sydney, Toronto : Allyn and Bacon, Inc.
Lim Meng Seng,1973, Industrialisation and Development Countries, Modern Education
Publishers, Kuala lumpur.
Lauer, Robert H, 1977, Perspectives On Social Change, edisi ke-2, Boston, London,
Sydney, Toronto : Allyn and Bacon, Inc.
Lukes, Steven, 1973, EMILE DURKHEIM, His Life and Work : A Historical and
Critical Study, London: Pinguin Books.
.Laporan Survey Singkat “Identifikasi Program Pengembangan Masyarakat di Desa-desa
IDT sekitar Pabrik dan HTI-Forestry PT. RAPP”, Kerjasama antara Lembaga
Penelitian Universitas Islam Riau dengan PT Riau Andalan Pulp and Paper,
Lembaga Penelitian Universiatas Islam Riau, Pekanbaru 1996
Laporan kemajuan Interm, Poryek Penelitian “ Deversifikasi Jenis Industri Rumah
Tangga, Kecil dan Menengah di Pulau Bintan”, Kerjasama Kantor Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Keb. Kepulauan Riau dan Fakultas Ekonomi
UI. 2003
Lamb, Richard, 1975, Metropolitan Impact on Rural America, (Research Paper) Illinois :
University Of Chicago.
Landis, Paul H, 1948, Rural Life In Process, New York : McGRAW-HILL BOOK
COMPANY, INC.
Morse, Chandler & Ashford, Douglas E dan lain-lain, 1969, Modernization by Design;
Social Change in Twentieth Century, Ithaca & London : Cornell University Press.
More, Welbert E, & Hoselita, Bert F, 1970, Industrialization and Society, Unesco :
Mouton.
Mohammed Salleh Lamry. 1996. Mereka Yang terpinggir. Orang Melayu di Sumatera
Utara. Institut Alam Tamaddun Melayu. Malaysia: UKM Bangi
Mace. Ruth and Mark Pagel. 1994. The Comparative Method in Anthropology. Jurnal
Current Anthropology Volume 35 Number 5 Desember.
Mubariq Ahmad. 1992. Rente Ekonomi Dalam Eksploitasi Hutan Tropis. Prisma No 6
tahun XXI.
Mubyarto. 1992. Riau Dalam Kancah Ekonomi Global. Yogyakarta: Aditya Media.
Mubyarto. 1993. Riau Menatap Masa Depan.Yogyakarta. Aditya Media
Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial. Penelitian Antropologi di Prop. Jambi.
Yogyakarta: P3PK UGM
Mubyarto. 1979. Pengantar Ekonomi Pertanian Jakarta: LP3ES
Mochtar Naim. 1979. Merantau Pola Migrasi Suku Minang. Yogyakarta: Gadjah Mada
Press
Mohtar Maso’ed. 1986. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
Mering Ngo.1992 Hak Ulayat Masyarakat Setempat. Pelajaran dari Orang Kayan dan
Limbai. Prima no 6.
McMichael, Philip, 1996, Development and Social Change; A Global Perspective.
California: Pine Forge Press.
Masri Singarimbun, 1978, “Pola Konsumsi Ke Arah Pemerataan” dalam Prisma nomor
10, November 1978.
Mari Pengestu, 1995, “Sekilas Pandang Perekonomian Indonesia Selama 50 Tahun
Merdeka” dalam Bantaro Bandoro & J. Kristiady & Mari Pangestu & Onny S
Prijono (Penyunting) Refleksi Setegah Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta :
CSIS.
Majid, Norman, 1998, ‘The Joint System of System of Share Tanancy and Self Culvation
: Eveidence From Sind, Pakistan’ Journal of Peasant Studies, Vol. 25 No. 3,
April.
Mintz, Sidney W, 1973, ‘A Note on The Definition of Peasantries’, Journal of Peasant
Studies, Vol. 1 No. 1, October.
Miller, D. 1995, ‘Consumption and Commodities’ Annual Reviews Anthropology, 24
:141-61.
Mohd Shukri Abdullah, 1989, Strategi Pembangunan Desa Negara Dunia Ketiga, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Montjoy, Alan B. 1978, Industrialization and Developing Countries, London:
Hutchinson Of London.
More, Welbert E, & Hoselita, Bert F, 1970, Industrialization and Society, Unesco :
Mouton.
Mansour Fakih, 1996, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka
Pelajar : Yogyakarta.
Niehof, Anke, 1999, Household, Family and Nutrition Research: Writing a Proposal,
Wagenigen: H&C.
Nis, P.JM, 1984, Pengantar Sosiologi Kota, Jakarata : Bhrtara Karya Asmira
Onghokham, 1990, “Pertumbuhan Kapitalis China Perantauan di Indonesia” Majalah
Prisma no. 4.
Ornatti, O, 1967, The Poverty band and The Count of the Poor, in Edward C. Budd (ed)
Inequality and Poverty, New York : Norton.
Penny, D.H, 1978, Masalah Pembangunan Pertanian Indonesia, Jakarta : Gramedia.
Prayogo Mirhad, “Kebijaksanaan Kridit Kecil: Harus Ada Sinkronisasi Gerak
Pembangunan Golongan Ekonomi Lemah, dalam Harian Kompas, 12 Februari
1974.
Poot, Huib & Kuyvenhoven, Arie & Jnsen, Jaap, 1992, Industrialization and Trade In
Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Popkin, Samuel L. 1979. The Rational Peasant : The Political Economy of the Rural
Society in Vietnam. London : University Of California Press.
Penny, D.H, 1978, Masalah Pembangunan Pertanian Indonesia, Jakarta : Gramedia.
Ratna Saptari & Brigite Holzner, 1997, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Sebuah
Analisis Studi Perempuan, Grafitis : Jakarta.
Rahimah Abdul Aziz, 1989, Pengantar Sosiologi Pembangunan, Kuala Lumpur : Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Rustam S. Abrus, “ Masyarakat Melayu Riau dan Pembangunan Teknologi” Makalah
Seminar, 7 April 1993 di Batam.
R.Syofyan Samad. 1993. Pengembangan Industri Berwawasan Lingkungan di Daerah
Riau: Masalah Pembinaan dan Keterkaitan Dengan Masyarakat Lokal. Makalah
Seminar Membangun Industri Berwawasan Lingkungan di Pekanbaru.” 19-20
Mei . Pekanbaru.
R.Syofyan Samad,1995, ‘Tantangan Ekonomi dan Respon Politik; Suatu Analisis
Tentang Peranan Negara” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, no. 2.
Republika, Surat Khabar Nasional, 5,Februari 1993.
Robinson, Richard, 1986: Indonesia, The Rise Of Capital, Australia: Asian Studies Of
Australia and Allen& Unwin.
Roggers, Everett M & Burdge, Rabel J & Korsching, Peter F & Donnermeyer, Joseph
F,1988, Social Change in Rural Societies, An Introduction to rural Sociology
(edisi ke tiga) New Jersey : Prentice Hall.
Rosen, George, 1975, Peasant Society In A Changing Economy, Chicago : University Of
Ilonois Press.
Rouchek, J.S & Warren, R, 1963, Sociology And Introduction, London: Kegan Paul Ltd
Redfield, Robert. 1985 (terjemahan) Masyarakat Petani dan Kebudayaan, Jakarta :
Rajawali Press.
Swarsono & Alvin Y. SO, 1991, Perubahan Sosial dan Pembangunan Indonesia, Teori-
Teori Modernisasi, Dependensi dan Sitem Dunia. Jakarta : LP3ES.
Sutcliffe, R.B. 1971, Industry and Underdevelopment, London : Addison-Wesley
Publishing Company
Sucofindo. 1990. PT Indah Kiat Pulp & Paper Corp (IKPP) dan Kegiatannya Yang
Berdampak Serius Terhadap Lingkungan.
Selo Sumardjan, 1981, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Stepanus Juweng et al. (1996) Kisah Dari Kampung Halaman. Masyarakat Suku. Agama
Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Dian/ Interfidei.
Sutopo. HB. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Solo: Universitas Solo Press.
Syafriadi,1996, “RAPP dan Nasip 439 KK Warga Pangkalan Kerinci Riau,” Harian
Ekonomi Neraca, 24 Mei.
Scott, James C, 1981 : Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subtensi di Asia
Tenggara, Jakarta : LP3ES.
Studi Dampak Sosial Ekonomi Pengembangan Pulau Bintan, Laporan akhir PT Inter
Matrix Bina Indonesia untuk PT Bintan Resort Coporation, Jakarta Oktober 1996.
Scott, James C, 1993 (terjemahan) Perlawanan Kaum Tani, Jakarta : Yayasan Obor.
Scott, Cook. 1984, ‘Peasant Economy, Rural Industry and Capitalism Development in
The Oxaca Valley, Mexico, Journal of Peasant Studies, Vol. 12, No. 1, October.
Shanin, Teodor. 1990. Defining Peasants: Cambridge : Basil Blacwell.
Shanin, Teodore, 1973, The Nature and Logic of The Peasant Economy’, Journal of
Peasant Studies, Vol. 1 No. 1, October.
Shanin, Teodore, 1974, The Nature and Logic of The Peasant Economy’, Journal of
Peasant Studies, Vol. 1 No. 2, January.
Stoler, Ann, 1984, ‘Struktur Kelas dan Otonomi Wanita di Pedesaan Jawa’, dalam
Koentjaraningrat, Masalah-Masalah Pembangunan, LP3ES : Jakarta .
Tim Penelitian LSPPA, 1999, Menjadi Perempuan Studi Kasus dalam Masyarakat Jawa
Islam, LPPA & Ford Foundation : Yogyakarta.
Tenas Effendi, “ Potensi Daerah Kampar Hilir Ditinjau dari Aspek Sosial-Budaya’ tahun
1999. Dan makalah Temasdulhak Assagaf, 1999. Makalah disampaikan pada
Musyawarah Pembentukan Kabupaten Pelalawan 12-12 April 1999.
The Growth Triangle. A Market Driven Response?” Nge Chee Yuen & Wong Poh Kam,
ISEAS, Singapore.
Turner, Barry, 1975, Industrialism, USA, Longman.
Tony & Lowe, Philip, 1984, Locality and Rurallity : Economy And Society In Rural
Regions, England : Geo Books
Titik Anas, 1995, “ Industri Manufaktur Indonesia: Perjalanan Lima Puluh Tahun” dalam
Bantaro Bandoro & J. Kristiady & Mari Pangestu & Onny S Prijono (Penyunting)
Refleksi Setgeah Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : CSIS.
Tempo, Majalah Berita Nasional , no 25 Mei 1991.
Trouillo, Michel-Rolph, 1988, Peasants and Capital, Dominica in The World Economy.
Baltimore and London : The John Hopkins University Press.
Vivienne Wee Key Recommendations for Building a “Living Community” in Bintan
Beach International Resort”, Singapore, 31 Oct 1994.
Vago, Steven, 1989, Social Change, Edisi ke-2, United States : Prentice Hall.
Vries, E. De, 1972, Masalah-masalah Petani Jawa, Jakarta : Bhratara.
Webster, Andrew,1990, Introduction To The Sociology Of Development, Edisi Ke 2,
London : Macmillan.
Weber, Max, 1970, ‘ The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism’ dalam Ness,
Gsyl D, The Sociology Of Economic Development A Reader, New York : Harper
& Row, Publisher.
Webster’s Universal Dictionary and Thesaurus, 1993, Montreal : Tormot
Wiess, John. 1991, Industry in Developing Countries; Theory, Policy and Evidence,
London dan New York : Routledge.
Wallerstein, Immanuel, 1974, The Modern Word System, Academic Press, New York.
Wolf, Eric R, 1966, Peasant, New Jersey : Prentice - Hall, INC.
Wallerstein, ‘Household Structure and Land Labor-Force Formation in The Capitalist
World economy’ dalam Smith, Joan & Wallertein, Immanuel & Evers, Hans-
Dieter, 1984 Household And The World-Economy, London : Sage Publicatons.
Wallerstein, Immanuel, 1966, The Capitalist World Economy, Cambrige: University
Press Cambrige
Wallerstein, Immanuel, 1974, The Modern Word System, New York: Academic Press..
Warta Ekonomi, Majalah Ekonomi Nasional, No.23, 1997, & No. 27 tahun 1994 & No.2
dan 4 tahun 1998
Wajah Riau 1994, Gambaran Hasil-Hasil Pembangunan Selama Pelita V. Riau:
Pemda Tk I Riau.
Wiener Myron, 1966, Modernization The Dynamic Growth, New York & London :
Basics Books, INC
Wong, Diana, 1987, Peasants In The Making Malaysia Green Revolution, Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies.
Yacob Harun, 1993, Keluarga Melayu Bandar Suatu Analisis Perubahan, Dewan Bahasa
dan Pustaka : Kuala Lumpur.
M.RAWA EL AMADY , di Riau lebih dikenal sebagai aktivis NGO
daripada sebagai ilmuan. Karir aktivis memang sudah dirintis
semenjak kuliah di Fisipol Unri. Ketika mahasiswa dianggap
sebagai mahasiswa “aneh”, karena di zaman Orba di mana orang
takut untuk demontrasi, rawa (begitu dia dipanggil) melakukan
mimbar bebas sendirian di halaman kampusnya. Setiap ada
permasalahan daerah dan nasional selalu membawa teman-
temannya ke DPRD untuk menyatakan protesnya, serta tulisan-
tulisannya yang tajam mengeritik di media lokal dan nasional.
Selesai kuliah di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Unri, rawa langsung mengajar di
Fisipol Unri dan FIA Unilak sebagai asisten dosen dan melaksanakan penelitian-
penelitian sosial. Skripsinya tentang Konsolidasi Militer di Riau tahun 1958-1971
diterbitkan di Jurnal Ilmu Politik LIPI Jakarta dan ikut merancang model Pemberdayaan
Desa Provinsi Riau dan Staf Ahli Komite Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Riau
tahun 2005.
Karena tidak betah sebagai asistan dosen, rawa kemudian menjadi wartawan di
media lokal, lalu reporter salah satu media nasional. Hanya bermodal 500.000 rupiah
tahun 1996 dia berangkat ke Malaysia untuk melanjutkan master bidang sosiologi di
Universitas Kebangsaan Malaysia. Masternya bisa diselesaikan dalam waktu satu tahun
kemudian langsung melanjutkan Ph.D. bidang yang sama di universitas yang sama,
walaupun tidak selesai karenan resesi ekonomi. Sekarang Rawa melanjutkan studi S-3 di
Antropologi UI Depok.
Resesi ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1998 memaksanya kembali ke
Indonesia karena gajinya sebagai reporter Majalah Forum Keadilan untuk Malaysia tidak
bisa lagi diharapkan untuk hidup di Malaysia. Beruntung setelah kembali ke Indonesia
proposal penelitiannya diterima di NHF Belanda untuk melakukan penelitian sosial di
Pangkalan Kerinci, sekaligus sebagai Kepala Litbang di salah satu media harian dan
mengajar di berapa universitas. Dalam waktu bersamaan proposalnya tentang
pemantauan DPRD diterima oleh USAID dengan nilai Rp.1,3 milyar, rawa-pun
mengaktifkan diri sebagai aktivis NGO. Sekarang, rawa melakukan research dan
aktivitas NGO melalui Badan Advokasi Publik dan mengagas gerakan Anti Korupsi di
Riau. Selain itu rawa menahkodai PT ERHA ABADI dibidang konsultan Perencanaan
Sosial, building maintenance . Padahal cita-citanya dulu ingin menjadi ilmuan
berpengaruh. ***