industrialisasi di Riau

71
TERJEBAK ARUS PERUBAHAN RAKYAT KORBAN INDUSTRIALISASI DI RIAU DI RIAU DI RIAU DI RIAU OLEH M RAWA EL AMADY

Transcript of industrialisasi di Riau

Page 1: industrialisasi di Riau

TERJEBAK ARUS PERUBAHAN

RAKYAT KORBAN INDUSTRIALISASI DI RIAUDI RIAUDI RIAUDI RIAU

OLEH M RAWA EL AMADY

Page 2: industrialisasi di Riau

DAFTAR ISI

Halaman

Ucapan Terima Kasih i

Kata Pengantar ii

Daftar Isi v

Pendahuluan 1

Orang Kampung Ditimpa Pulp 3

Respon Rumah Tangga pada Industria di Pangkalan Kerinci 75

Pendekatan Usaha Komunitas : Alternatif Linkage Industri - Desa 79

Daftar Bacaan 82

Page 3: industrialisasi di Riau

UCAPAN TERIMA KASIH

Banyak orang yang telah berjasa sehingga memungkinkan saya dapat

menyelesaikan tulisan sederhana ini. Teruma sekali saya ucapkan kepada Prof. Dr.

Rahimah Abdul Aziz, yang merupakan penyelia pada program Ph.D. di Jabatan

Antropologi dan Sosiolgi FSKK Universiti Kebangsaan Malaysia yang belum juga saya

selesaikan, Kepada Prof. Dr. Mohammed Saleh Lamry, penyelia saya pada program MA

di jabatan yang sama, Prof. Dr. Shamsul Amri Baharuddin yang secara khusus

mengajarkan metoda semasa mengambil program Ph.D.di UKM Malaysia, Prof. Dr.

Anke Niehof dari NHF (Neys-Van Hoogstraten Foundation) Belanda yang memberi

banyak masukan dan bantuan penelitian kepada saya untuk di Pangkalan Kerinci. Pada

bab “Industrialisasi di Pangkalan Kerinci” yang penelitiannya dibiayai oleh NHF Belanda

untuk itu saya secara khusus ucapkan terima kasih. Teristimewa untuk isteri tercinta dan

anak semata wayang Pharid El Amady yang setiap saat selalu mendatangkan tangisan

karena kerinduan yang begitu dalam, secara khusus ucapan cinta kepada isteri tercinta

Onih Suryana yang dengan tabah menjadi hidup dalam susah dan bahagia bersama ku.

Terima kasih yang sangat besar kepada beberapa pihak yang tidak bisa saya

sebutkan terutama kepada para informan yang telah besedia meluangkan waktunya untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saya.

rw

Page 4: industrialisasi di Riau

KATA PENGANTAR

Rezim otoriter Soeharto ternyata membawa pengaruh yang sangat besar pada kehidupan

berbangsa dan bernegara. Otoriterism yang dibawanya bukan saja mampu merombak

tatanan politik, ekonomi dan sosial tetapi juga ikut merombak tatanan rumah tangga dan

mentalitas individu. Perubahan yang dibuatnya bahkan mengejutkan pakar-pakar sosial

tentang perpecapatan perubahan yang terjadi. Revolusi perubahan sosial dan lingkungan

alam mampu membuktikan bahwa teori Scott tentang sikap petani terhadap perubahan

dan kecenderungan pemberontakan petani terbantahkan.

Sejak tahun 1987 saya selalu mengamati dampak dari rezim Soeharto ini, waktu itu saya

ingin melihat bagaimana bolduzer politik Soeharto yaitu TNI berjalan secara sistematis

hingga di pedesaan. Waktu itu, saya menuangkan pikiran saya dalam penelitian yang

cukup memakan waktu yaitu konsolidasi TNI di Riau. Sejak tahun 1992 saya selalu turun

penelitian ke desa-desa dan melihat bagaimana rakyat diabaikan oleh negara.

Pada tahun 1996 saya merubah haluan bidang studi ke Sosiologi Pembangunan.

Tahun 1997 saya mulai berada di kawasan industri Indah Kiat Perawang tepatnya di

Kampung Pertiwi, hasilnya dapat dibaca pada bagian enam dari tulisan ini, yang

merupakan apreasiasi pertama saya dalam memahami beban masyarakat akibat

otoriterism Soeharto. Beruntung sekali saya tahun 1999 saya mendapat bantuan

pembiayaan dari Neys Van Hoostraten Foundation (NHF) Belanda. Selama tidak lebih

setahun saya melakukan penelitian sehingga melahirkan tulisan pada bagian lima

“Respon Rumah Tangga pada Industri di Pangkalan erinci.”

Buku ini secara jelas mengemukakan bahwa masyarakat selalu menjadi korban

kekuasaan. Negara tidak pernah merumuskan kebijakan yang berpihak kepada

masyarakat, bahkan kesannya negara ini adalah milik satu keluarga di Cendana dan

kroninya yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Terakhir, saya mengucapkan selamat membaca semoga ada manfaatnya.

Page 5: industrialisasi di Riau

PENDAHULUAN

Kemiskinan dan korupsi selalu menjadi agenda utama di Indonesia tetapi tidak

juga berkurang. Kemiskinan dan korupsi dari persfektif struktural tidak lepas dari peran

negara atau pejabat negara dalam menjalankan tata pemerintahan. Pemerintahan yang

dijalankan secara otoriter akan menyuburkan kemiskinan dan korupsi. 32 tahun Indonesia

sebagai negara otoriter menempatkan Indonesia di posisi nomor dua di Asia.

Penlitian yang dilakukan dilakukan sepanjang tahun 1997 hingga 2002

menunjukkan bahwa kemiskinan dan korupsi ternyata bersumber dari kebijakan negara.

Negara, melalui kebijakan industrialisasi melakukan mobilisasi kemiskinan di seluruh

Indonesia sebelum reformasi. Bagi negara, mobilisasi kemiskinan berarti mempercepat

akomulasi kekayaan, karena pada proses mobilisiasi kemiskinan tersebut negara

mengambil untung melalui korupsi, dan kolusi dengan investor. Kawasan industri Bintan,

Pangkalan Kerinci dan Perawang menjadi saksi hidup dan tidak bisa terbantahkan.

Model yang diambil pemerintah dalam memobilisasi kemiskinan adalah bangun

industri di pedesaan, rampas tanah rakyat, usir rakyat dan jual tanah itu ke invertor lalu

negara menjamin tindakan investor melalui undang-undang yang segaja dibuat. Untuk

mempercepat proses mobilisasi kemiskinan tersebut pemerintah menggunakan alat

negara yaitu birokrat dan tentara yang bertugas memaksa rakyat untuk mengikuti

kehendak negara. Maka, mereka yang berperinsib menjilat ke atas menginjak ke bawah

yang akan menikmati kekayaan pada rezim Orde Baru tersebut.

Pemerintah dan investor mengunakan pendekatan mordernisasi dalam menilai

masyarakat. Masyarakat dituduh memiliki budaya malas dan tidak mampu bekerja,

bahkan dalam banyak hal masyarakat dituduh anti terhadap pembangunan. Pemerintah

menuduh masyarakat yang budaya ekonomi dengan sistem ladang berpindah-pindah

sebagai penyebab kerusakan hutan, sehingga dikeluarkan peraturan pelarangan.

Sementara pemerintah mengeluarkan izin HPH (Hak Penguasaan Hutan) sampai ke

kampung-kampung penduduk. Dalam kasus Riau tahun 1995 menunjukan bahwa luas

HPH melebihi luas daratan yang ada di Riau.

Hasil penelitian yang saya (2002) lakukan di Pangkalan Kerinci Kabupaten

Pelalawan menunjukkan bahwa ternyata masyarakat mampu berubah dan beradaptasi

terhadap perkembangan industrialisasi, padahal tanpa intervensi pemerintah. Justeru

pemerintahan yang korup membuat sekat-sekat atau halangan untuk masyarakat terlibat

dalam proses industrialisasi. Atas dasar itulah saya menulis buku ini, sebagai informasi

atas kerakusan investor dan pemerintah (negara) dan sekaligus menunjukkan bahwa

asumsi yang dikembangkan pemerintah dan investor dilatar belakangi oleh niat jahat.

Buku ini berupa kajian lapangan yaitu hasil penelitian lapangan dan perpustakaan

penulis, meliputi strategi industrialisasi Orde Baru, Perubahan Sosial di Pangkalan

Kerinci, Perubahan Sosial di Kampung Pertiwi Perawang, dan terkahir tentang strategi

linkage industri dengan masyarakat tempatan.

Secara umum, penelitian lapangan menunjukkan bahwa industri merugikan

masyarakat, pemerintah dan indutri tidak memiliki respon alternatif untuk melibatkan

masyarakat dalam proses industrialiasi. Oleh sebab itu, pada tulisan terakhir penulis

sampaikan alternatif pemikiran untuk me-linkage-kan antara industri dengan masyarakat

di sekitar industi.***

Page 6: industrialisasi di Riau

ORANG KAMPUNG DITIMPA PULP ( INDUSTRIALISIASI KAMPUNG PERTIWI)

Sebelum kehadiran pabrik kertas Indah Kiat pada tahun 1982 dan pabrik Pertiwi

Plywood pada tahun 1987, Kampung Pertiwi Kabupaten Siak Provinsi Riau merupakan

daerah yang terpencil, meskipun pada tahun 1962 di Perawang telah dibangun jalan raya

oleh perusahaan minyak PT Caltex Pacific Indonesia (CPI). Perhubungan hanya melalui

jalan sungai, dan memerlukan waktu sehari jika hendak ke Siak atau ke Pekanbaru.

Penduduk Kampung Pertiwi baru merasakan pengaruh kehadiran industri pada tahun

1985 ketika pabrik kertas Indah Kiat mulai berproduksi. Pengaruh kehadiran industri

makin dirasakan penduduk Kampung Pertiwi pada tahun 1992 ketika perusahaan

perkebunan kayu untuk industri (HTI) PT Arara Abadi bersama pemerintah mengambil

tanah rakyat secara besar-besaran.

Kampung Pertiwi berada di pinggir Sungai Siak dan penduduknya bergantung

hidup pada hutan dan sungai. Sungai Siak bagi penduduk Kampung Pertiwi mempunyai

arti yang amat penting. Selain sebagai alat transportasi, sungai itu juga tempat mereka

memenuhi keperluan air minum, tempat mandi, tempat mencuci, sebagai sumber

pendapatan --mencari ikan-- dan tempat membuang air besar dan air kecil.

Keadaan Ekonomi Keadaan ekonomi penduduk dapat dilihat dari; Pertama, Pemilikan Tanah

(Kebun). Pemilikan tanah (kebun) dapat diketahui dari jumlah tanah yang diperolehi

melalui pembukaan hutan, warisan dan pembelian. Hak milik mereka bukan berdasarkan

bukti secara tertulis, tetapi berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat bahwa tanah

tersebut milik seseorang (keluarga) yang ditandai oleh batas tanaman atau kayu besar.

Untuk menentukan luas tanah mereka, penduduk Kampung Pertiwi menggunakan ukuran

sebidang atau depa (sepanjang kedua belah tangan) atau petakan ladang.

Jumlah tanah yang dimiliki oleh setiap keluarga di Kampung Pertiwi paling

sedikit 30 hektar. Bagaimanapun, jumlah keseluruhan tanah penduduk tidak dapat

diketahui, hanya dapat diperkirakan berdasarkan jumlah tanah yang diambil perusahaan

dan pemerintah, dan tanah penduduk yang masih tersisa sekarang. Tanah yang telah

diambil PT Arara Abadi seluas 502 hektar, yang diambil pabrik kertas PT Indah Kiat

seluas 420 hektar, yang diambil PT Pertiwi Plywood seluas 50 hektar, yang diambil

pemerintah seluas 254.9 hektar, dan jumlah tanah yang dipunyai penduduk kira-kira 119

hektar serta seluas 60 hektar tanah kepala Desa Pinang Sebatang. Jumlah keseluruhan

tanah yang dapat dikira seluas 1,405.9 hektar. Jumlah ini tidak termasuk tanah yang

dibeli tauke China, dan tanah di seberang Kampung Pertiwi.

Kedua, Pekerjaan. penduduk Kampung Pertiwi sangat bergantung pada hutan,

karena hutan bagi mereka merupakan critical support dan food security (Loekman

Sutrisno, 1991). Oleh sebab itu, pekerjaan utama penduduk Kampung Pertiwi adalah

bertani. Setiap tahun mereka membuka hutan untuk berladang, termasuk menanam karet.

Walaupun berladang menjadi tradisi pertanian mereka tetapi sebenarnya pekerjaan utama

penduduk adalah menyadap karet, karena hasil karet menjadi sumber utama untuk

memenuhi keperluan keluarga apabila hasil ladang mereka tidak mencukupi untuk

Page 7: industrialisasi di Riau

setahun. Menyadap karet merupakan pekerjaan rutin mereka sehari-hari, disamping

membuka ladang, mencari kayu, mencari rotan dan damar, serta mencari ikan.

Di ladang, penduduk Kampung Pertiwi menanam padi, sayur-sayuran, buah-

buahan dan membuat kebun karet. Penghasilan padi bergantung pada keadaan hama dan

keadaan alam. Secara umumnya, padi mereka sekurang-kurangnnya dapat digunakan

selama delapan bulan setelah menuai, atau sampai musim menuai yang akan datang. Jika

padi mereka mencukupi untuk setahun kehidupan mereka akan lebih baik, karena mereka

hanya perlu berhutang untuk memenuhi keperluan gula, garam, tepung dan makanan

ringan lainnya. Akan tetapi, jika persediaan padi tidak mencukupi, mereka terpaksa

berhutang pada tauke.

Bagi mereka yang rajin dan karet yang mereka toreh sedang banyak hasilnya,

pendapatan mereka satu hari boleh mencapai 30 kilogram. Jika harga karet Rp1.200,00

sekilo mereka boleh mendapat pendapatan Rp 36.000, sehari. Umumnya penduduk

menyadap karet paling banyak 20 hari dalam sebulan, maka pendapatan mereka boleh

mencapai Rp 720.000,00 sebulan. Akan tetapi karena mereka biasanya sentiasa

berhutang, uang sebanyak itu jarang dilihat oleh mereka, sebab karet hasil torehan

mereka langsung diserahkan kepada tauke.

Pekerjaan lain yang biasa dilakukan oleh penduduk Kampung Pertiwi ialah

mencari kayu balak untuk dijual kepada perusahaan Plywood. Pendapatan mereka dari

jualan kayu tidak tetap, dan berdasarkan harga yang ditentukan oleh pihak pabrik ketika

mereka menjualnya. Pekerjaan mencari kayu memerlukan waktu yang lama. Begitu juga

dengan mencari rotan, damar, menangkap binatang, menangkap ikan dan menjual sayur

di pasar. Semua pekerjaan itu dapat menghasilkan uang, tetapi tidak dapat ditentukan

jumlahnya, dan tidak begitu mempengaruhi pendapatan keluarga mereka.

Sungai Siak juga merupakan sumber pekerjaan bagi penduduk Kampung Pertiwi.

Mereka menjalankan pelayanan pengangkutan untuk membawa penduduk dari Very ke

Kampung Pertiwi dengan bot. Setiap perahu biasanya dapat mengangkut 15 hingga 20

penumpang. Jumlah penduduk Kampung Pertiwi yang memiliki perahu motor hanya lima

orang pada tahun 1980-an. Sehari pendapatan bersih mereka bias mencapai Rp 80.000,-

pada hari pekan, tetapi hanya Rp.12.000,- pada hari biasa.

Aspek Sosial

Aspek sosial di sini dilihat dari aspek mobilitas penduduk, peranan isteri dalam

rumah tangga, dan kepemimpinan kampung. Pertama, Mobilitas Penduduk. Mobilitas

penduduk di sini diukur berdasarkan aktivitas keluar kampung yang dilakukan oleh

penduduk Kampung Pertiwi untuk memenuhi keperluan hidup mereka. Ukuran ini

sebenarnya susah untuk dibuktikan secara kuantitatif, sebab selain tidak tersedia data

yang lengkap, bagi penduduk yang telah pindah tidak diketahui pula ke mana mereka

pindah. Pembuktian hanya dapat dilakukan melalui analisa diskriptif berdasarkan

aktivitas yang dilakukan oleh mereka sebelum kehadiran industri. Faktor pendukung dari

gambaran aktivitas adalah pelayanan perhubungan, ketersediaan pasar, dan aktivitas

berladang.

Terdapat dua aktivitas penduduk yang mendorong mereka bermobilitas keluar

kampung, yaitu berbelanja dan bekerja. Bagi petani ladang, umumnya pada setiap hari

pekan (Jumat) kira-kira 90% mereka pergi ke pasar di Desa Tualang. Bagi anak-anak

Page 8: industrialisasi di Riau

muda, mereka umumnya pergi ke Desa Tualang, Very2, Pekanbaru dan Siak Sri

Indrapura untuk menjual hasil pertanian. Bahkan ada seorang penduduk Pertiwi yang

merantau ke Malaysia untuk bekerja.

Mobilitas penduduk sebelum masuknya Industri paling banyak ke Desa Tualang

dan ke Very untuk berbelanja atau ke Very untuk bekerja. Penduduk yang pergi ke

Pekanbaru sangat sedikit, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Paling jauh pun penduduk

Kampung Pertwi pergi ke Siak Sri Indrapura. Yang menghalangi mereka pergi ke tempat

yang agak jauh ialah kekurangan sarana transportasi, karena satu-satunya yang ada

hanyalah transportasi melalui sungai dengan menggunakan bot atau kapal laut. Faktor

tidak dapat meninggalkan ladang juga menjadi penyebab mereka sukar meninggalkan

kampung. Akan tetapi, karena di dalam kampung mereka tidak ada pasar, mereka

terpaksa pergi ke Desa Tualang untuk berbelanja.

Kedua, Peranan Isteri. Peranan isteri di Kampung Pertiwi secara idealnya adalah

sebagai ibu rumah tangga , yaitu tidak melakukan aktivitas ekonomi di luar rumah dan

hanya mengurus rumah tangga saja. Seorang suami yang baik adalah suami yang

memberi kesempatan kepada isteri diam di rumah saja. Apabila seorang suami yang baru

menikah mengajak isterinya bekerja ---bahkan tinggal di ladang pun-- dia akan mendapat

penilaian yang kurang baik dari masyarakatnya. Sebaliknya pula, kemampuan seorang

suami membiarkan isterinya tinggal di rumah mengurus rumah tangga saja, menjadi

indikator kesejahteraan keluarganya.

Akan tetapi, pada realitasnya isteri tidak hanya menjadi ibu rumah tangga

semata-mata, sebab seorang isteri juga ikut bekerja membantu suami di ladang,

membersihkan ladang, menuai padi bahkan ramai ikut menemani suami menyadap karet.

Seorang isteri biasanya ikut bekerja apabila telah lebih setahun menikah, tidak sedang

hamil, ataupun anaknya sudah berumur lebih dari lima tahun.

Walaupun isteri ikut bekerja, tetapi semua hasil kerjanya diserahkan kepada

suami yang menjadi kepala keluarga. Setelah semua pendapatan diperoleh barulah suami

membagikan uang tersebut untuk keperluan keluarga. Semua keputusan dalam keluarga

sepenuhnya menjadi hak suami. Isteri hanya berhak memberi pendapat, tetapi wajib

mendukung keputusan yang telah diambil oleh suami.

Ketiga, Kepemimpinan Kampung. Sejak Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979

tentang Pemerintah di Desa dilaksanakan, sistem administrasi seluruh desa di Indonesia

telah diseragamkan. Kampung-kampung kecil yang tidak memenuhi persyaratan sebuah

desa digabungkan dengan kampung lain agar memenuhi persyaratan sebuah desa.

Kampung Pertiwi yang merupakan kampung kecil yang terdiri daripada 30 keluarga telah

digabungkan dengan tiga kampung lain menjadi Desa Pinang Sebatang. Status kampung

juga diganti menjadi desa, yang tidak mempunyai otoritas pada kawasan kampung

tersebut.

Sejak tahun 1980 hingga kini, Desa Pertiwi berada di bawah kepemimpinan

Kepala Desa Pinang Sebatang yang mempunyai kekuasaan penuh ke atas kampung-

kampung di bawahnya. Sebagai pembantu kepala desa diangkat seorang Kepala Dusun

(kadus), ketua Rukan Warga (RW) dan ketua Rukun Tetangga (RT). Namun kepala

dusun(kadus), RW dan RT tidak memiliki kekuasaan atas kampungnya. Kadus tidak

dapat membuat perencanaan untuk kampungnya, melakukan jual-beli tanah, dan

2 Very adalah tempat penyebrangan yang dibuat PT CPI (Caltex Pacific Indonesia) pada tahun 1962, berada

di desa Pinang Sebatang

Page 9: industrialisasi di Riau

mengambil keputusan atas nama kampung. Kapala dusun hanya berfungsi melaksanakan

urusan administrasi untuk mendukung program kepala desa.

Kepemimpinan informal, seperti pemuka adat tidak lagi dianggap sebagai

pemimpin kampung. Mereka dihimpunkan oleh pemerintah dalam LMD (Lembaga

Mesyuarat Desa) dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), dan tugas mereka

hanyalah mendukung arahan pemerintahan. LKMD dan LMD tidak ada pada peringkat

kampung, hanya ada pada peringkat desa saja. Dari segi pemeritahan, tokoh agama, adat

dan orang tua tidak lagi berhak menentukan arah perkembangan kampung. Semua

perkembangan kampung ditentukan dalam rapat peringkat desa.

Kepala desa dipilih melalui pemilihan suara oleh penduduk desa. Kepala dusun

ditunjuk oleh kepala desa, sedangkan ketua RW dan RT dipilih dalam rapat penduduk

kampung. Unsur adat tidak menjadi dasar pemilihan kepala kampung. Kepala dusun

dipilih berdasarkan kemampuannya mengelola administrasi kampungnya dan dapat

bekerja sama dengan kepala desa. Hubungan masyarakat dengan kepala dusun hanya

hubungan administrasi saja. Apabila timbul sesuatu masalah dalam masyarakat akan

diselesaikan pada peringkat desa.

Eksploitasi Kapitalis

Untuk menganalisis perubahan di atas, pendekatan yang dipakai adalah

pendekatan ekonomi politik Marx, melalui pembagian masyarakat di tempat penelitian

menjadi dua kelas, yaitu kelas borjuis dan kelas petani kecil. Kelas borjuis terdiri dari

borjuis metropolis dan borjuis tempatan. Borjuis metropolis adalah perusahaan

mutinasional yang menginvestasikan modalnya di Indonesia khususnya di Kampung

Pertiwi dengan mendirikan pabrik kertas PT Indah Kiat dan perusahaan tanaman kayu

(HTI) PT Arara Abadi. Borjuis tempatan pula terdiri dari pegawai pemerintah (dari

pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan kepala desa), dan pengusaha

China. Kelas borjuis ini bersatu melakukan eksploitasi terhadap kelas petani kecil.

Borjuis pemerintah memiliki kekuasaan resmi (yang otoriter) sedangkan pengusaha

China, dan pengusaha multinational memiliki modal dan teknologi. Dua kekuasaan

bersatu untuk mengeksploitasi sumber alam yang ada di Kampung Pertiwi.

Untuk mendapatkan data penulis tinggal bersama penduduk Kampung Pertiwi

dari November hingga Desember 1996. Selama bersama penduduk penulis melakukan

wawancara secara mendalam dan pemerhatian. Kampung Pertiwi dipilih sebagai tempat

penelitian karena di Kampung Pertiwi kini terdapat industri pabrik kertas PT Indah Kiat

dan perusahaan perkebunan PT Arara Abadi dan pabrik kayu lapis PT Pertiwi Plywood.

Selain itu di Kampung Pertiwi bisa ditemui penduduk asli Melayu yang merasakan

adanya dampak yang nyata dari industri.

Wajah Buram Kampung Pertiwi

Dampak kehadiran industri yang akan dibahas di sini mencakupi dampak

ekonomi, dampak sosial dan dampak lingkungan.

Dampak Ekonomi

Berikut beberapa dampaknya terhadap penduduk Kampung Pertiwi, dianalisis

melalui; Pertama, Pergeseran Pemilikan Tanah. Sebelum kehadiran industri jumlah tanah

yang dimiliki oleh setiap keluarga di Kampung Pertiwi rata-rata 30 hektar. Bagi mereka

Page 10: industrialisasi di Riau

yang rajin membuka hutan untuk berladang luas tanah merekat ada yang mencapai 100

hingga 200 hektar. Dar 17 keluarga di Kampung Pertiwi jumlah keseluruhan tanah yang

dapat dibuktikan sebagai milik mereka mencapai 1,500 hektar.3 Jumlah tanah yang tidak

dapat dibuktikan kepemilikannya diperkirakan lebih luas lagi.

Pada masa ini tanah seluas 1,500 hektar itu, sudah menjadi lima pemilik, yaitu

tanah milik pabrik atau perkebunan milik pabrik, tanah milik pengusaha lokal yang

sebahagiannya adalah China, tanah milik kepala desa, tanah milik pemerintah atau

perusahaan pemerintah dan tanah milik penduduk. Tanah yang telah diambil oleh PT

Arara Abadi seluas 502 hektar, yang diambil oleh pabrik kertas PT Indah Kiat seluas 420

hektar, diambil PT Pertiwi Plywood seluas 50 hektar, diambil pemerintah seluas 254.9

hektar, dan yang masih dipunyai penduduk kira-kira 119 hektar serta seluas 60 hektar

yang diakui oleh kepala Desa Pinang Sebatang sebagai miliknya. Jumlah keseluruhan

tanah yang dapat dikira seluas 1,405.9 hektar. Jumlah ini tidak termasuk tanah yang

dibeli tauke China, dan tanah yang diambil pemerintah di Kampung Pertiwi di seberang

Sungai Siak. Tanah yang masih dimiliki oleh penduduk Kampung Pertiwi pada masa ini

hanya tanah kebun karet atau belukar yang luasnya kira-kira 7 hektar bagi setiap

keluarga Ada tiga keluarga yang memiliki tanah seluas dua hektar saja.

Kepala Desa membeli tanah penduduk dengan harga Rp.80.000,- setiap hektar di

kawasan yang akan dikembangkan menjadi kawasan indsutri. Tanah tersebut dijualnya

kepada perusahaan dengan harga yang lebih mahal, adakalanya harga satu hektar

mencapai Rp.2 juta. Kepala desa mengaku mempunyai tanah seluas 60 hektar yang

sekarang sedang ditanami kelapa sawit dan kayu akasia. Selain itu, pengusaha China pula

melakukan hal yang sama dengan kepala desa, yaitu membeli tanah Kampung Pertiwi di

kawasan yang akan dibangunkan, kemudian menjual tanah tersebut kepada perusahaan.

Tanah penduduk Kampung Pertiwi diambil melalui beberapa cara. Pertama,

diambil secara paksa tanpa ganti rugi. Kedua, diambil dengan ganti rugi. Ketiga, dibeli

dengan paksa. Keempat, penduduk diharuskan menjual. Mengenai pengambilan secara

paksa, kebun atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami akasia

(acacia) oleh PT Arara Abadi tanpa pengetahuan penduduk. Apabila penduduk menuntut

tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan mengatakan bahwa tanah tersebut adalah

tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan bukti secara tertulis jika tanah tersebut

milik mereka. Akan tetapi, penduduk Kampung Pertiwi tidak seorang pun memiliki bukti

secara tertulis. Untuk mempertahankan kebun yang disengketakan penduduk tersebut,

pihak perusahaan menggunakan tentera atau orang yang menyamar sebagai tentera.4

3 Wawancara dengan Pak Ja’far, tokoh agama Islam Kampung Pertiwi, 26 November 1996 4 Wawancara dengan Said Ariffadilah, Penghubung Camat Siak di Perawang, 10

November 1996, menurut Said, Indah Kiat dan PT Arara Abadi menggunakan tentera

dari Jakarta yang diambil secara bergilir setiap enam bulan untuk menjaga kebunnya.

Dan sebuah kejadian di luar Perawang, Camat Penghubung menyatakan bahwa PT Arara

Abadi menggunakan orang yang menyamar sebagai tentera. Ini terbukti ketika didesak

oleh masyarakat identitasnya tidak dapat membuktikan. Akhirnya yang menyamar

sebagai tentara hampir mati dipukul masyarakat. Pengambilan secara paksa juga terjadi

pada ladang masyarakat seluas 60 hektar yang sedang menunggu musim kemarau untuk

dibakar, setelah penduduk kembali keladangnya ternyata sudah ditanam PT Arara Abadi

secara diam-diam.

Page 11: industrialisasi di Riau

Apabila cara pertama yaitu pengambilan tanah secara paksa gagal, maka pihak

perusahaan akan menempuh cara kedua yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti

rugi mengikut harga yang ditentukan oleh pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang

tersebut kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan membayarnya kepada

penduduk. Cara ini dilakukan apabila tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam

dari masmedia dan NGO (Non Goverment Organisation).

Cara kedua ini juga dilakukan oleh pihak perusahaan karena sebab-sebab yang

lain. Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk

yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah mereka diambil

penduduk sudah mengadakan tunjuk rasa agar tanahnya dibayar dengan harga yang

sesuai. Proses ganti rugi biasanya melalui pemerintah yang menentukan nilai ganti rugi,

setelah itu meminta persetujuan penduduk. Perusahaan tidak langsung membayar ganti

rugi kepada penduduk tetapi melalui pemerintah.

Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil

karena tanah tersebut tidak boleh diambil secara paksa disebabkan adanya bukti

kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan

pabrik dengan mengepung tanah penduduk. Akibat tindakan perusahaan itu tanah

penduduk sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Perusahaan tidak lansung membeli tanah

penduduk, sebab kalau perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Oleh sebab

itu yang membeli umumnya adalah pemerintah atau hanya kepala desa dengan harga

yang lebih murah dan pemerintah atau kepala desa yang akan menjualnya kepada

perusahaan dengan harga yang ditentukan perusahaan tetapi biasanya lebih mahal

daripada harga membeli.

Yang banyak melakukan cara ketiga ini biasanya ialah pemerintah. Misalnya

tanah yang terletak di antara PT Pertiwi Plywood dengan pelabuhan milik PT Indah Kiat,

dibeli oleh pemerintah secara paksa dengan alasan di tempat itu akan dibangun pelabuhan

sungai milik pemerintah. Akan tetapi setelah tujuh tahun tanah tersebut dibeli oleh

pemerintah, pelabuhan belum juga dibangun. Sebaliknya yang terjadi adalah

pengembangan pelabuhan milik PT Indah Kiat di atas tanah tersebut. Contoh lain, ialah

tanah Kampung Pertiwi di seberang Sungai Siak yang dibeli oleh pemerintah dengan

alasan untuk membangunkan kebun di kawasan itu.

Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjualkan tanah

mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan

menawarkan pelbagai jenis barang baru, menggalakkan menjual tanah untuk membangun

rumah atau pergi ke Mekah. Selain itu menciptakan kekhawatiran di kalangan penduduk

bahwa jika tanahnya tidak dijual sekarang, tanah itu akan diambil oleh pemerintah

dengan ganti rugi yang lebih rendah. Dengan itu hampir semua penduduk Kampung

Pertiwi berkeinginan menjual tanah mereka kepada pengusaha multinasional. Ada dua

alasan utama. Pertama, daripada tanah itu diambil secara paksa oleh orang lain dan

dibayar dengan harga yang lebih murah, lebih baik dijual dengan harga yang agak tinggi.

Kedua, sebagai sumber kehidupan, karena pekerjaan sudah susah diperoleh, sedangkan

sumber uang lain tidak ada. Salah satu cara untuk mendapatkan uang yang banyak dan

Page 12: industrialisasi di Riau

hidup senang adalah dengan menjual tanah. Ada juga yang menjual tanah hanya karena

ingin pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.5

Dalam hubungan ini, peranan Kepala Desa Pinang Sebatang amat penting untuk

menentukan tanah penduduk laku dijual. Jika penduduk ingin menjual tanah mereka

secara langsung pada pengusaha pabrik, biasanya tidak mendapat tanggapan. Untuk

menjual tanah mereka, penduduk harus menyerahkan tanah mereka kepada kepala desa

lebih dahulu. Kepala desa yang akan menentukan harga tanah tersebut, biasanya Rp

800.000,- setiap hektar. Setelah itu baru tanah tersebut dijual kepada pihak yang

memerlukannya. Biasanya yang membeli tanah itu adalah kepala desa sendiri.

Kedua, Perubahan Pekerjaan. Selepas tanah mereka (termasuk hutan dan kebun)

diambil oleh industri, mereka tidak lagi berpeluang melakukan pekerjaan pertanian

seperti dahulu. Mereka tidak bisa lagi membuka ladang, dan mencari rotan, damar, dan

obat-obatan dan tak seorang pun yang berladang atau berkebun. Kini masih ada sepuluh

orang yang menyadap karet, dan dua orang memiliki bot.

Walaupun pada masa ini penduduk Kampung Pertiwi masih mempunyai kebun

kira-kira tujuh hektar rata-rata setiap keluarga, tetapi tanah tersebut tidak terletak di satu

tempat. Oleh sebab itu, mereka tidak bisa mengerjakannya. Sebabnya ialah hama6 dan

hasil tanaman mereka akan habis dimakan hama jika mereka berladang secara sendirian.

Seorang informan menyatakan bahwa sekarang di Kampung Pertiwi lebih banyak hama

daripada tanaman. Oleh sebab itu, apa saja yang ditanam akan habis dimakan hama,

sebab hutan sudah semakin habis, sehingga binatang tersebut susah mencari makan.7

Hasil penelitian SUCOFINDO8 November 1990, mendapati hanya 50 orang di

kawasan Perawang yang bekerja di pabrik PT Indah Kiat. Walaupun pihak Indah Kiat

dan Pertiwi memberi kesempatan kepada penduduk tempatan untuk bekerja di pabrik

mereka dengan syarat yang mudah, tetapi hanya seorang saja anak penduduk Kampung

Pertiwi yang bekerja di Pabrik PT Indah Kiat dan seorang lagi anak mereka bekerja di

pabrik PT Pertiwi Plywood.

Penduduk Kampung Pertiwi tidak berminat bekerja di pabrik disebabkan dua hal.

Pertama, mereka tidak memiliki keahlian. Oleh sebab itu, peluang kerja yang diberikan

pada mereka terutama adalah pekerjaan sebagai pesuruh, buruh kasar, penghantar surat,

dan pengawas truk. Penduduk Kampung Pertiwi menganggap pekerjaan yang diberikan

kepada mereka itu sebagai pekerjaan yang tidak terhormat. Gaji yang akan diperoleh pun

hanya Rp.150.000,- sebulan sedangkan keperluan hidup sebulan paling kurang Rp

200.000,-. Kedua, kerja di pabrik terikat dengan waktu dan peraturan yang ketat.

Penduduk susah memenuhi ketentuan waktu yang ditetapkan dan ketatnya peraturan yang

harus dipatuhi. Dahulu penduduk bekerja tidak terikat pada waktu, boleh bekerja setiap

waktu dan boleh istirahat setiap waktu tanpa ada yang menghalangi. Sebaliknya jika

mereka bekerja di pabrik semuanya diatur. Aturan yang ditetapkan mengharuskan

5 Hampir semua penduduk Kampung Pertiwi mempunyai punya kesibukan baru yaitu membuat ciri-ciri

batas tanah yang dimilikinya agar lebih mudah dijual dan tidak diambil begitu saja oleh pihak lain. Pak

Muhammad tempat penulis tinggal selama penelitian menyisakan waktunya dalam satu hari khusus untuk

membersihkan kebunnya yang tersisa agar jangan diceroboh orang dan sekaligus lebih mudah untuk dijual. 6 Hama adalah binatang yang berada di dalam hutan dan menyerang tanaman, seperti babi, beruk, monyet, tupai, tikus,

burung dan lain-lainnya 7 Wawancara dengan Hasan Basri, penduduk Kampung Pertiwi 30 November 1996

8 SUCOFINDO adalah perusahaan milik pemerintah yang salah satu fungsinya mengadakan pengawasan

terhadap hasil pembangunan dan juga sebagai konsultan pembangunan

Page 13: industrialisasi di Riau

pekerja melindungi kepentingan perusahaan, padahal bidang kerja yang diberikan

selalunya yang berhubungan dengan masyarakat.9

Sejak tanah (hutan dan kebun) mereka diambil oleh industri, penduduk Kampung

Pertiwi telah bertukar pekerjaan dari pertanian kepada: 1)Bekerja bacok-bacok, bacok-

bacok jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah bekerja apa saja asal halal dan dapat

menjamin hidup hari ini.10 Di lihat dari aktivitasnya, pekerjaan ini sama dengan buruh

harian, bekerja berdasarkan pesanan, dan mendapat upah dari hasil kerja. Jenis pekerjaan

ini adalah mengambil upah menebas hutan, kerja bangunan, bekerja pada kebun orang

lain, dan meleles.11 Penduduk bekerja berdasarkan permintaan, jika tidak ada permintaan

mereka akan menganggur. Sebagian besar penduduk Kampung Pertiwi bekerja bacok-

bacok karena tidak ada lagi tanah dan kebun yang dapat mereka kerjakan. Adapun yang

bekerja pada sektor ini adalah lelaki yang telah berusia 40 tahun atau lebih.

Pendapatan yang diperolehi dari kerja bacok-bacok ini tidak bisa diperkirakan

secara pasti, sebab sangat tergantung pada jenis pekerjaan mereka. Apabila kebetulan

pekerjaan itu dibayar upah yang tinggi dan waktu untuk mengerjakannya lama,

kemungkinan pendapatan akan banyak. Akan tetapi, yang lebih sering ialah dalam satu

minggu penduduk hanya dapat bekerja selama dua hari. Pendapatan yang diperolehi

penduduk secara rata-rata hanya Rp 100.000,- sebulan. Akan tetapi, ada juga penduduk

yang hanya memperoleh pendapatan yang kurang dari seratus ribu rupiah sebulan.

2) Bekerja di Unit Kapal (UK), PT Pertiwi Plywood mempunyai pelabuhan

bongkar muat barang yang disebut UK (Unit Kapal) . Buruhnya berasal dari buruh

lepas12 yang umumnya penduduk tempatan. Aktivitas ini dipimpin oleh seorang mandor

yang juga berasal dari penduduk tempatan. Mandor pelabuhan Pertiwi adalah adik Kepala

Desa Pinang Sebatang.

Aktivitas dilakukan apabila kapal masuk (merapat) ke pelabuhan. Bentuk aktivitas

adalah membongkar barang, dan memasukkan barang apabila kapal hendak berangkat.

Pekerjaan ini tidak mengenal waktu, kadang siang, kadang malam, bahkan apabila kapal

merapat di pelabuhan tengah malam, mereka harus membongkar barang pada malam itu

juga. Sebanyak 16 orang penduduk Kampung Pertiwi yang bekerja sebagai buruh UK ini

umumnya belum mencapai umur 40 tahun.

Untuk membayar gaji buruh, PT Pertiwi menghitung jumlah barang yang

diangkat oleh buruh, dan uang gaji diserahkan kepada mandor, setelah itu barulah mandor

membayarkannya kepada buruh tersebut. Semakin banyak barang yang dibongkar atau

dimuat dan semakin sering kapal merapat semakin besar pendapatan buruh. Setiap potong

barang dihargai Rp.2.500,- Gaji dibayar dalam waktu tiga bulan, umumnya setiap orang

mendapat gaji Rp.350.000,- setiap tiga bulan. Bagi pekerja UK yang sudah tidak mampu

lagi bekerja, peluang kerja tersebut dijual kepada orang yang memerlukan pekerjaan

seharga dua juta rupiah (Rp2 juta). Cara pembayarannya adalah secara ansuran, setiap

9 Wawancara dengan Pak Usman Kepala Kampung Pertiwi dan H.M.Doel Kepala Desa Pinang

Sebatang 10 Wawancara dengan Yunus Tibo, penduduk Kampung Pertiwi dan Ribut Susanto, Ngo yang pernah

melakukan aktivitas di Kampung Pertiwi 11 Meleles adalah pekerjaan mencari kayu di hutan, Wawancara dengan Yunus Tibo, penduduk Kampung

Pertiwi dan Ribut Susanto, Ngo yang pernah melakukan aktivitas di Kampung Pertiwi 12 Buruh lepas adalah buruh yang tidak terikat secara formal kepada perusahaan dan upahnya dibayar

secara harian

Page 14: industrialisasi di Riau

kali menerima gaji, atau pembeli meminjam uang kepada tauke untuk membayar peluang

kerja yang dibelinya tersebut.

3) Penyediaan Pelayanan, tiga jenis pekerjaan di sektor pelayanan yang

terdapat di Kampung Pertiwi ialah, pengangkutan, perdagangan dan sewa rumah.

Pelayanan pengangkutan sungai merupakan pekerjaan lama. Untuk menjalankan

pelayanan ini masih tersisa dua buah bot milik penduduk Kampung Pertiwi. Pengurangan

jumlah bot dari 10 menjadi dua disebabkan berkurangnnya penumpang. Berkurangnya

penumpang ini disebabkan dibangunnya jalan dari Perawang ke pabrik PT Pertiwi.

Delapan orang yang sudah behenti dari menyewakan bot kini bekerja bacok-bacok.

Untuk mengurangi biaya operasional (minyak dan perbaikan), pemilik bot kini

telah menaikkan tambang bot. Sebelum dibangun jalan dari Perawang ke pabrik PT

Pertiwi tambang dari Very ke Kampung Pertiwi hanya Rp.2.000,- tetapi sekarang

dinaikkan menjadi Rp.5.000,- bahkan boleh menjadi Rp.10.000,- apabila penumpang

tidak pandai menawar. Bagaimanapun, pada waktu pagi tambang bot dari Kampung

Pertiwi ke Very hanya Rp.2.000,- sebab bot tersebut disewa oleh pelajar sekolah dasar

(sekolah rendah) yang setiap pagi harus pergi ke Desa Tualang untuk bersekolah.

Pekerjaan berdagang kebutuhan sehari-hari dilakukan oleh Usman kepala

kampung Pertiwi yang sebelumnya bekerja sebagai buruh UK, sementara yang

menyewakan rumah adalah Pak Jaafar dan Ibu Nova. Di Kampung Pertiwi kini terdapat

200 rumah yang dimiliki oleh mereka berdua saja. 20 buah rumah milik Pak Ja’far,

seorang pemuka agama yang hingga sekarang masih menyadap karet sebagai pekerjaan

tetap. Adapun pemilik 180 buah rumah sewa yang lain adalah Ibu Nova, adik kepala

Desa Pinang Sebatang. Sewa sebuah rumah adalah Rp.25.000,- sebulan. Yang menyewa

rumah tersebut adalah pendatang yang bekerja di PT Pertiwi Plywood dan yang

pedagang.

Keempat, kemiskinan. Penduduk Kampung Pertiwi dijumpai lebih miskin setelah

masuknya industri dibandingkan dengan sebelum masuknya industri. Keadaan

kemiskinan penduduk Kampung Pertiwi diukur melalui dua indikator; Pertama,

kepastian mendapatkan pekerjaan. Sebelum kehadiran industri ke Kampung Pertiwi,

penduduknya dengan mudah dapat bekerja di sektor pertanian dan salah satu keperluan

dasar mereka, di mana makanan tersedia dengan banyak di alam bebas (kebun, di hutan

dan di sungai). Akan tetapi setelah kehadiran industri, mereka selalu khawatir karena

tidak pasti apakah ada pekerjaaan yang akan mereka lakukan dan makanan yang akan

mereka makan pada hari esoknya. Kepastian mendapatkan pekerjaan hanya ada bagi 10

orang penduduk yang menyadap karet, dua orang penduduk yang menyewakan bot dan

16 orang penduduk yang bekerja sebagai buruh UK. Akan tetapi bagi sebahagain besar

penduduk yang bekerja sebagai buruh lepas (bacok-bacok) tidak ada kepastian apakah

esok hari ada pekerjaan untuk mereka. Oleh karena itu, kehidupan mereka kini boleh

dikatakan lebih susah dan lebih miskin.

Kedua, perbandingan perolehan gaji dengan keperluan hidup sehari-hari. Untuk

mengetahui jumlah pendapatan penduduk Kampung Pertiwi dalam sebulan agak sukar,

karena mereka tidaklah begitu terbuka memberitahu jumlah pendapatan mereka.

Umumnya jika ditanya berapa pendapatan mereka, jawapan mereka selalunya ialah,

‘sekarang sangat kurang dan tidak cukup untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari’.

Hanya buruh UK yang secara terbuka menyatakan bahwa pendapatan mereka

Rp.350.000,- setiap tiga bulan, berarti setiap bulannya sebesar Rp.116.600,-. Sikap

Page 15: industrialisasi di Riau

terbuka ini muncul disebabkan gaji tertinggi di Kampung Pertiwi hanya diperolehi oleh

buruh UK.13

Untuk mengetahui apakah pendapatan Rp.116.600,- itu mencukupi untuk

memenuhi keperluan sehari-hari mereka selama sebulan, kita dapat mengukurnya dengan

membandingkan jumlah pendapatan itu dengan jumlah harga barang keperluan pokok

mereka. Jika setiap rumah terdapat empat orang, terdiri dari bapak, ibu dan dua orang

anak, atau bapak, ibu, seorang anak, dan mertua, dan keperluan beras setiap orang 8

kilogran, maka jumlah beras yang diperlukan setiap bulan yaitu 32 kilogram. Harga beras

satu kilo ialah Rp.1.400,- maka jumlah uang yang dihabiskan untuk beras ialah

Rp.44.800,-. Keperluan akan cabe diperkirakan 1 kilogram Rp.3000,-, keperluan minyak

dua kilogram Rp.4000,- minyak tanah empat liter Rp.1.400,- garam Rp.200,- dan belanja

harian Rp.3000,- selama sebulan Rp.90.000,-. Maka jumlah keseluruhan keperluan pokok

Rp.143.400,- (harga tahun 1996)

Dihitung dengan standard yang paling minimum beras 8 kilo setiap orang,

padahal seharusnya 10 kilo setiap orang, jumlah gaji yang diperolehi jelas tidak

mencukupi untuk keperluan pokok. Apabila ditambah dengan biaya lain, umpamanya

ongkos pergi ke pasar, biaya berobat, dan biaya sekolah anak, jumlah gaji tersebut sudah

tentu tidak mencukupi. Di perkirakan minimum jumlah uang yang harus dipunyai oleh

penduduk adalah Rp.200.000,- sebulan untuk memenuhi keperluan pokok.

Keadaan ekonomi penduduk pada masa akhir-akhir ini sudah berada pada tahap

kritis. Setiap tiga bulan mendapat gaji Rp.350.000,-. Gaji mereka itu langsung

diserahkan kepada tauke untuk membayar hutang makan selama tiga bulan. Hutang

mereka bertambah setiap bulan, karena jumlah gaji mereka tidak mencukupi untuk

membayar hutang bulan tersebut. Misalnya, pada tiga bulan pertama hutang mereka

berjumlah Rp.400.000,- dibayar Rp.350.000,- ketika mereka menerima gaji, berarti

untuk tiga bulan yang akan datang hutang mereka tidak lagi Rp.400.000,- tetapi sudah

menjadi Rp.450.000,- karena ditambah sisa hutang bulan yang lalu. Keadaan yang

demikian berlangsung terus menerus setiap tiga bulan.14

Bagi pekerja bacok-bacok, kondisi ini lebih mengkhawatirkan, karena tidak

adanya kepastian kerja bagi mereka. Jika dirata-ratakan pendapatan mereka biasanya

hanya Rp100.000,- sebulan. Seorang informan yang telah berpindah ke Kampar

menyatakan bahwa bagi dirinya yang difikirkan setiap malam adalah apa yang akan

dimakan pada hari esoknya. Sebelum masuk industri mereka mudah sekali memperoleh

ikan di sungai dengan memancing. Ikan itu dijual di pasar, dan hasilnya cukup untuk

makan seminggu. Akan tetapi, sekarang walaupun mereka mencari ikan sepanjang

malam, kalaupun dapat, hanya satu dua ekor.

Keadaan hidup mereka kini semakin susah sebab harga barang keperluan pokok

yang dari dahulu memang tidak tersedia di ladang, di kebun, di hutan dan di sungai sudah

sangat tinggi. Sebagai contoh, minyak untuk menggoreng sekarang Rp.1.300,-

dibandingkan dengan sebelumnya hanya Rp.800,-. Harga ikan pun naik mencapai

Rp9000,- satu kilo, padahal ikan kini sudah susah dicari di Sungai Siak.15

13 Wawancara dengan Pak Usman , Kepala Kampung Pertiwi 30 November 1996

14 Wawancara dengan Amir, 3 Desember 1996

15 Wawancara dengan Usman, penduduk Kampung Pertiwi yang kini sudah pindah ke Kabupaten Kampar,

28 November 1996

Page 16: industrialisasi di Riau

Dampak Sosial

Dampak sosial kehadiran industri di Kampung Pertiwi di sini dilihat dari dua

aspek yaitu, mobilitas penduduk dan peranan isteri. Alasan melihat dua aspek ini karena

kedua-duanya mempunyai hubungant dengan dampak kehadiran industri terhadap

ekonomi penduduk. Selain itu dampak terhadap mobilitas penduduk dan aspek peranan

isteri juga lebih ketara dan lebih mudah diketahui..

Pertama, Mobilitas Penduduk. Ada dua bentuk mobilitas penduduk. Pertama,

perpindahan penduduk ke tempat lain untuk menetap. Kedua, rata-rata penduduk keluar

dari Kampung Pertiwi. Faktor-faktor yang menyebabkan penduduk Kampung Pertiwi

bermobilitas sekurang-kurangnya ada dua, yaitu mencari pekerjaan lain karena tanah dan

kebun mereka sudah tidak ada lagi, dan untuk berbelanja atau rekreasi.

Sebelum masuknya industri, Kampung Pertiwi terbagi dua, yaitu satu bagian ialah

kampung yang ada sekarang, dan satu bahan lagi kawasan di seberang sungai

berhadapan dengan Kampung Pertiwi yang ada sekarang. Setelah masuknya industri,

kampung di seberang sungai “menghilang”, karena umumnya penduduk pindah ke Desa

Tualang setelah menjual tanah mereka. Di Kampung Pertiwi yang ada sekarang

sekurang-kurangnya terdapat tiga keluarga yang telah pindah: satu keluarga pindah ke

Kampar (Usman), dua keluarga pindah ke Desa Tualang. Alasan mereka pindah adalah

untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Penduduk asli di Kampung Pertiwi yang

dahulunya berjumlah 30 keluarga kini hanya tinggal 17 keluarga, seorang penduduknya

merantau ke Malaysia.

Mengenai mobilitas keluar kampung, kini penduduk Kampung Pertiwi sering

pergi ke Perawang, Siak Sri Indrapura dan Pekanbaru. Terdapat dua aktivitas utama

yang mendorong mereka bermobilitas keluar kampung, yaitu berbelanja dan bekerja.

Dahulunya, 90% petani ladang hanya pada hari pekan (Jumat) mereka pergi ke pasar di

Desa Tualang untuk berbelanja bagi memenuhi keperluan hidup yang tidak dapat

dipenuhi dari ladang, hutan dan sungai. Sekarang penduduk yang bekerja sebagai buruh

harian harus keluar Kampung setiap hari untuk mencari kerja.

Sebelum masuknya industri, yang menghambat penduduk pergi ke luar kampung

adalah tidak tersedianya pengangkutan, karena satu-satunya pengangkutan yang ada ialah

pengangkutan sungai dengan menggunakan bot atau kapal laut. Selain itu faktor tidak

boleh meninggalkan ladang juga menjadi penyebab mereka sukar meninggalkan

kampung. Akan tetapi, pada masa sekarang pelayanan pengangkutan telah banyak, dan

penduduk pun dapat berpergian bila-bila masa saja.

Kedua, Peranan Isteri. Sebelum masuknya industri, peranan isteri dalam keluarga

tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi juga ikut bekerja membantu suami di

ladang, membersihkan ladang, menuai padi bahkan ramai yang ikut menemani suami

menyadap karet. Akan tetapi setelah tanah penduduk Kampung Pertiwi tidak dapat lagi

digunakan untuk membuat ladang, kebun karet mereka tinggal sedikit, ataupun untuk

bekerja di kebun tidak ada lagi kebun, isteri tidak lagi ikut bekerja membantu suami. Kini

peranan isteri dalam keluarga hanya terbatas menjadi ibu rumah tangga saja.

Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan yang sangat dirasakan oleh penduduk Kampung Pertiwi

berasal dari limbah yang dikeluarkan pabrik kertas PT Indah Kiat. Limbah yang

dihasilkan PT Indah Kiat terbagi tiga yaitu limbah cair, limbah gas dan limbah padat.

Page 17: industrialisasi di Riau

Limbah gas (udara) adalah N2, CO2, Metanol, Formit Acid, H2S,16 Metil Merkaptan,

Dimetil Surfan dan Dimetil Disulfan. Semua jenis gas ini tidak dapat diembunkan,

sehingga menjadi ancaman bagi penduduk. Adapun jenis limbah cair adalah adalah bahan

kimia yang digunakan untuk memproses pembuatan bubur kertas (pulp), seperti Sulfida,

klor lignin, dan Lindi Hitam. Sedangkan limbah padat adalah sisa bahan yang tidak dapat

digunakan untuk dijadikan bubur kertas. (Sucofindo, 1990)

Hasil penelitian Sucofindo (1990) menemui bahwa terjadi pencemaran udara

sejauh 3 km dari pabrik yaitu kadar H2S mencapai 275,2 ug/m3 , berdasarkan ketentuan

bahwa kadar H2S dalam udara maksimum 42 ug/m3. Sedangkan pencemaran Sungai Siak

diketahui bahwa air sungai Siak di Kampung Pertiwi mengandung minyak, lemak,

amonia dan barilium. Pada tahun 1992 Sungai Siak di Kampung Pertiwi, dan Sungai

Gasip berbau busuk, ikan-ikan di sungai mati, dan ikan peliharaan milik penduduk yang

ada dalan sangkar di Sungai Siak juga mati. Pada tahun 1995 air Sungai Siak kembali

berbau busuk, hingga sekarang ini setiap bulan penduduk Kampung Pertiwi masih

mencium bau busuk air Sungai Siak.17

Dari aspek kesehatan dampak pencemaran tersebut dapat dilihat pada beberapa

penyakit yang dihidapi oleh penduduk, seperti penyakit saluran pernafasan, penyakit

kulit, dan muntahber (Sucofindo, 1990). Hasil pemantauan GERINDO18 tahun 1992

menunjukkan pencemaran juga mempunyai dampak ekonomi, yaitu menurunnya

perolehan sektor perikanan karena ikan dan udang mati. Jika dahulu penduduk yang

mencari ikan dan udang dari pukul 19.00 hingga pukul 24.00 memperoleh 10 hingga 15

kilogram, tetapi sekarang jika mereka mencari ikan dari pukul 19.00 sampai pukul 07.00

pagi, hasil tangkapan yang diperoleh paling banyak dua kilogram, kadang-kadang tidak

mendapat seekor ikanpun.

Kesimpulan

Dampak kehadiran industri terhadap masyarakat Melayu Kampung Pertiwi,

cenderung bersifat negatif. Secara teoritik (Aditjondro, 1994) dampak negatif terjadi

mengikuti tahapan perubahan pada masyarakat. Pada tahap pertama, terjadi pengambilan

tanah (termasuk hutan) petani oleh industri, pengusaha lokal dan pemimpin desa. Fungsi

hutan berubah dari sumber keperluan hidup penduduk sepanjang tahun menjadi bahan

produksi industri, yang penduduk Kampung Pertiwi tidak dapat lagi memanfaatkannya.

Pada tahap ini juga terjadi pencemaran pada Sungai Siak, yang mengurangi mutu air dan

lingkungan serta menyebabkan hilangnya ikan di sungai tersebut.

Pada tahap kedua, penduduk kehilangan pekerjaan utama yaitu berkebun atau

berladang. Penduduk terpaksa bertukar pekerjaan dari petani menjadi buruh tani, atau

buruh upah tidak tetap. Status mereka juga berubah dari pemilik kebun menjadi

penyewa. Sebahagian kecil penduduk Kampung Pertiwi pula berpindah ke tempat lain

yang boleh menjamin kehidupan mereka, karena di tempat yang lama tidak tersedia lagi

sumber kehidupan.

16 N2 adalah Nitrogen; CO2 adalah Karbohitrat; H2S adalah Belerang ;dan ug adalah unit gram

17 Semua penduduk Kampung Pertiwi yang di wawancara menyatakan bahwa tahun 1992, tahun 1995 air

sungai Siak berbau busuk dan ikan-ikan mati. Penduduk juga mengakui jika air Sungai Siak sedang surut

pembuangan limbah tetap dilaksanakan setiap bulan ke Sungai Siak 18 GEPERINDO adalah organisasi gabungan NGO seluruh Indonesia.

Page 18: industrialisasi di Riau

Pada tahap ketiga, terjadi proses peminggiran dan pemiskinan masyarakat Melayu

Kampung Pertiwi disebabkan banyak keperluan hidup mereka terpaksa dibeli, sedangkan

pendapatan mereka rendah dan harga barang pula agak tinggi. Sebelum masuk industri

penduduk dapat memenuhi keperluan pokok mereka dengan mudah karena bahan

makanan tersedia di hutan dan di sungai.

Dampak negatif industri terhadap masyarakat di Kampung Pertiwi terutama

disebabkan oleh kebijaksanaan pembangunan dan Undang-Undang negara, eksploitasi

pihak luar, dan sistem produksi masyarakat yang masih bersifat subsisten. Pertama,

Kebijaksanaan pembangunan dan Undang-Undang negara. Peralihan kekuasaan politik

dari Orde Lama ke Orde Baru telah mengubah kebijaksanaan pembangunan negara.

Orde Baru memilih model Rostow untuk merancang pertumbuhan ekonomi yang cepat.

Oleh sebab itu, pemerintah Soeharto memilih bidang ekonomi untuk mengejar

ketertinggalan pembangunan dengan orientasi pada pertumbuhan ekonomi, bukan

pemerataan ekonomi, dengan sumber modal berasal dari luar negari.

Proses industrialisasi dilakukan oleh aliansi segitiga (triple alliance) (Arief

Budiman, 1996) yaitu pemodal asing, pemerintah dan borjuis lokal (pemodal tempatan

yang terdiri daripada pengusaha China, pengusaha keluarga birokrat, istana dan militer).

Akibat dari koalisi (aliansi) tiga pelaku ini tercipta struktur ekonomi yang tidak seimbang

dan tidak adil. Ekonomi kapitalis dengan mudahnya melakukan perluasan modal tanpa

pertimbangan kemanusiaan. Sumber-sumber ekonomi subsisten dihancurkan, tanah dan

hutan diambil, dan produksi kapitalis dijual kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat

besar. Masyarakat kehilangan pekerjaan utama, tetapi tidak terjadi proses transformasi

kepada pekerjaan baru yang lebih baik.

Posisi politik yang lemah pada masyarakat didukung pula oleh adanya Undang-

Undang yang isinya mementingkan integrasi dan sentralisasi kekuasan negara. Ada dua

contoh Undang-Undang yang melibatkan eksploitasi pemerintah terhadap masyarakat,

yaitu Undang-Undang Pemilu, yang melarang partai masuk ke desa, dikenal dengan

istilah massa mengambang (floating mass), padahal partai pemerintah yaitu Golkar

(golongan karya) masuk kedesa-desa melalui kepala desa dan kepala kampung. Dalam

setiap pemilu kepala desa diberi kewajiban memenangkan partai pemerintah di desanya

masing-masing.

Satu lagi Undang-Undang yang mendukung usaha politisasi dan sentralisasi

masyarakat desa adalah Undang-Undang no 5 tahun 1979, tentang pemerintahan di Desa.

Menurut Undang-Undang tersebut, seluruh pemerintahan desa di Indonesia telah

diseragamkan. Akibatnya beberapa kampung yang tidak memenuhi persyaratan Undang-

Undang telah digabungkan dengan kampung lain untuk membentuk sebuah desa.

Kekuasaan wali19 sebagai kepala kampung berpindah kepada kepala desa. Kepala desa

yang baru dilantik merupakan orang pemerintah. Undang-Undang tersebut bukan saja

merusak tatanan struktur masyarakat di kampung karena bergantinya kepemimpinan

kampung, tetapi juga menyebabkan masyarakat kehilangan pemimpin untuk

memperjuangkan hak-hak politik mereka.

Kedua, eksploitasi pihak luar. Ekploitasi pihak luar dilakukan oleh berbagai

pihak, yaitu kapitalisnternasional (pemodal asing), pemodal tempatan dan pegawai

19 Wali atau sering disebut Pak Wali, adalah istilah yang digunakan masyarakat Melayu di Kampung

Pertiwi untuk kepala kampung, Wali biasanya dipilih secara langsung karena beberapa kelebihannya atau

karena keturunannya

Page 19: industrialisasi di Riau

pemerintah. Eksploitasi kapitalis internasional dilakukan melalui perluasan modal dan

produksi. Eksploitasi kapitalis di Kampung Pertiwi dapat dilihat dari segi ekploitasi

sumber hutan melalui pengusaan hutan dalam bentuk HPH (hak penguasaan hutan) dan

HTI (hutan tanaman industri), dan pembangunan pabrik di pedesaan, yaitu pabrik PT

Indah Kiat dan pabrik PT Pertiwi Plywood.

Eksploitasi lain adalah eksploitasi pegawai pemerintah, yang merupakan akibat

munculnya pengusaha birokrat, pengusaha dari keluarga birokrat, dan pegawai

pemerintah serta pengusaha China. Bentuk usaha yang dilakukan berbeda dari seorang ke

seorang. Pengusaha birokrat biasanya mempunyai saham tanpa membeli dalam sesuatu

perusahaan. Keluarga birokrat umumnya menjadi sub-kontraktor pemodal asing. Pegawai

negara di tingkat kecamatan atau desa pula menjadi broker, yang biasanya membeli tanah

penduduk dengan harga murah dan setelah itu menjualnya kepada pemodal asing dengan

harga mahal.

Ketiga, sistem produksi masyarakat. Sebelum kehadiran industri, sistem produksi

masyarakat Kampung Pertiwi adalah sistem subsisten yang bergantung kepada sumber

alam. Produksi bertujuan untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Sumber produksi

adalah sumber yang tersedia pada alam atau tanah pertanian. Stratifikasi sosial

masyarakat terdiri daripada petani ladang yang menjadi buruh di tanah orang lain (tauke),

petani peladang yang memiliki kebun dan mengerjakan kebun sendiri, dan tauke yang

memiliki kebun dan menggunakan tenaga buruh tani.***

Page 20: industrialisasi di Riau

RESPON RUMAH TANGGA

PADA INDUSTRI DI PANGKALAN KERINCI

Desa Pangkalan Kerinci terletak di sebelah timur kira-kira 75 km dari Pekanbaru

ibu kota provinsi Riau. Pangkalan Kerinci berada di kiri dan kanan jalan raya lintas timur

Pekanbaru-Jambi yang merupakan salah satu jalan penghubung provinsi Riau dengan

provinsi lainnya, termasuk transportasi darat pulau Sumatera dan pulau Jawa.

Asal mula penduduk Pangkalan Kerinci4 berasal dari anak-anak raja gunung hijau

atau kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat. Raja Pelalawan memberi mereka hutan-tanah

seluas 225.000 hektar. Penyerahan hak tanah tersebut tertuang dalam surat Raja

Pelalawan tanggal 7 Desember 1938, No.2/1938.

Sampai tahun 1978 penduduk tinggal secara berpencar di tepi sungai Kerinci dan

di darat kira-kira 2 km dari Sungai Kerinci. Setiap kelompok perkampungan tersebut

didiami kira-kira 3 sampai 5 rumah tangga. Kelompok-kelompok tempat tingal penduduk

tersebut dikenal dengan nama pangkalan, yaitu Pangkalan Pasir, Pangkalan Seminai,

Pangkalan Cik Bagus, Pangkalan Mamak Angkat, Pangkalan Lubuk Singapur, Pangkalan

Aib.

Tahun 1978 pemerintah membentukan desa muda karena Pangkalan Kerinci

belum memenuhi persyaratan sebuah desa. Langkah yang diambil pemerintah melakukan

program relokasi tahun 1983 dengan menambah jumlah penduduk dari desa tetangga

menjadi 160 rumah tangga, yaitu 80 rumah tangga penduduk asli Pangkalan Kerinci dan

80 rumah tangga lagi dari Kuala Terusan. Relokasi Depsos sebagai pemukiman baru

penduduk tersebut terletak sekitar 2.8 KM dari pinggir Sungai Kampar dan Kerinci.

Akibat pangkalan-pangkalan di tepi Sungai Kerinci hilang, hanya tinggal pangkalan

Kualo (Muara Sungai Kerinci) dan terbentuknya satu pangkalan baru di tepi sungai

Kampar di bawah jembatan.

Tahun 1983 Pangkalan Kerinci dinaikkan statusnya menjadi desa. Berdasarkan

Keputusan Menteri Dalam Negeri No.821.26.525/26hb Mei 1987 Bekas Kewedanaan

Pelalawan menjadi wilayah kerja Pembantu Bupati Kampar Wilayah II yang

Berkedudukan di Pangkalan Kerinci. Tahun 1999 Pangkalan Kerinci sudah menjadi

Kecamatan Pangakalan Kerinci dan menjadi ibu kota kabupaten Pelalawan.

Sistem pengaturan sosial dan ekonomi masyarakat berpusat hutan dan tanah

sebagai sumber utama pendapatan. Kekuasaan sosial dan kekuasaan ekonomi berada

pada keturunan yang menerima tanah langsung dari Sultan Pelalawan. Karena yang

berhasil mendapat hak penerimaan tanah dari Kerajaan Pelalawan adalah Suku 5 Lalang,

maka hak atas Batin (ketua adat) dan atas tanah sepenuh menjadi milik keturunan Suku

Lalang. Di Pangkalan kerinci terdapat beberapa suku lain yaitu Suku Payung, Suku

Kerinci, Suku Delik dan Suku Piliang.

Sistem kekerabatan yang dianut adalah sistem matrilineal, di mana hak atas suku

diturunkan ke anak perempuan dan keturunan anak perempuan. Anak perempuan dan

4 Informasi ini di peroleh dari hasil diskusi dengan Batin (Ketua Adat) Pangkalan Kerinci M.Sddik, Bapak

Marranjo, dan Bapak Anwar 5 Suku dalam defenisi ini adalah identitas turun-temurun dari keluarga (marga) dan merupan pengaruh dari

Sumatera Barat. Suku lalang ini adalah suku yang berasal dari keluarga asalnya yaitu Tuk Lintang Jomu

Onau yang dulunya bersasal dari Suku Lalang di tempat asalnya.

Page 21: industrialisasi di Riau

keturunan anak perempuan yang memiliki hak atas identitas suku (suku lalang),

kekuasaan kebatinan dan penguasaan atas hutan-tanah. Suku-suku lain hanya mempunyai

hak garap atas hutan tersebut. Namun ada aturan yang tidak tertulis bahwa kalau sebidang

tanah yang telah ditanami bermacam jenis tanaman maka tanah tersebut tidak boleh

digarap oleh orang lain, termasuk suku Lalang. Jika mau juga menggarapnya, penggarap

yang baru harus membayar ganti rugi atas tanaman yang ada di atas tanah tersebut.

Khusus untuk rumah dan perkarangan, tanah menjadi hak pakai seumur hidup dan

diturunkan kepada keturunan dari pemilik rumah. Jika pemilik rumah tidak punya

keturunan maka tanah tersebut diserahkan kepada batin yang berasal dari suku lalang.

Selain itu, setiap suku diberi hak untuk memiliki hutan obat-obatan berdasarkan sukunya

masing-masing.

Produksi Sialang setiap tahunnya menjadi tiga pembagian secara merata, satu

bagian untuk anak perempuan yang datang, anak lelaki yang bekerja dan satu sarang

lebah diberi kepada Batin. Pada proses pengambilan madu tersebut, anak lelaki

diwajibkan bekerja menyambut madu lebah dari atas, sedangkan anak perempuan

(melalui suaminya) hanya diwajibkan hadir saja. Bagi anak kemenakan yang tidak hadir

tidak mendapat pembagian.

Selain hutan, dan kepungan Sialang sumber daya ekonomi lain adalah sungai.

Sungai merupakan milik semua suku, tidak ada satu suku yang berkuasa penuh terhadap

sungai. Suku Lalang hanya memiliki hak pengaturan pengambilan ikan di sungai.

Sebelum masuknya industri, sumber pendapat penduduk Pangkalan Kerinci

dikatagorikan berdasarkan lamanya persediaan konsumsi rumah tangga. Pertama,

pendapatan tahunan aktivitas ekonominya adalah bertani berladang berpindah-pindah.

Hasil produksi berladang berpindah-pindah ini digunakan untuk konsumsi satu tahun.

Apabila produksi padi diperkirakan melebihi kebutuhan satu tahun, padi dijual untuk

memenuhi kebutuhan harian atau mingguan. Lahan bekas berladang yang ditanami

berbagai macam tanaman keras terutama karet akan menjadi saving yang suatu saat nanti

akan dijual untuk pesta pernikahan anak, menyunat anak dan acara adat lainnya. Selain

konsumsi untuk rumah tangga, juga ada konsumsi adat dan komunitas yang biasanya

diberikan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Konsumsi tahunan dilengkapi melalui pendapatan bulanan, yaitu meneres karet

(getah). Pekerjaan meneres getah ini umumnya dibayar lebih dahulu melalui utang pada

tauke. Setiap bulan hasil getah diserahkan kepada tuake dengan harga yang ditentukan

oleh tauke.

Jika penduduk tidak punya getah, pekerjaan lainnya adalah membalak. Pekerjaan

membalak ini dilakukan secara berkelompok dibayar dengan jumlah kubik kayu yang

diperoleh. Sebelum berangkat membalak tauke balak menyediakan keperluan konsumsi

dan konsumsi rumah tangga yang ditinggalkan. Biasanya hasil membalak tidak cukup

memenuhi kebutuhan bulanan, sehingga pekerja balak tersebut terikat kepada tuake balak

tersebut.

Konsumsi tahunan dan bulanan ini juga dilengkapi dengan produksi mingguan

atau harian. Kegiatan produksi mingguan atau harian ini biasanya memancing ikan,

mencari hasil hutan, tanaman perkarangan dan aktivitas domestik. Aktivitas pekerjaan

mingguan ini lebih banyak dikerjakan oleh perempuan.

Namun demikian aktivitas penangkapan ikan tidak selalu menjadi sumber

konsumsi harian atau mingguan. Selain sebagai sumber konsumsi harian dan mingguan

Page 22: industrialisasi di Riau

ikan juga merupakan sumber konsumsi tahunan (musiman). Jika musim kemarau tiba

aktivitas mencari ikan merupakan aktivitas suku yang dilakukan oleh lelaki. Masing-

masing suku berbagi lubuk untuk menuba (meracun) ikan dengan akar kayu tuba. Hasil

tangkapan merupakan produksi suku yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pembagian

hasilnya biasanya dilakukan secara merata dan adil.

Hasil penangkapan ikan tahunan ini biasanya diolah lebih dahulu oleh lelaki dengan

pengasapan (salai). Setelah disalai ikan dibawa pulang, dan kemudian di jual untuk

keperluan ekonomi rumah tangga.

Sejak 1994 aktivitas ekonomi primer sudah tidak dijalankan lagi. Mereka hanya

bergantung pada sumber ekonomi tertier yaitu membuat rumah sewa di kawasan tanah

seluas 2 hektar yang ada di dekat rumah mereka dan menyewakannya kepada pendatang

seharga Rp. 100.000 sampai Rp.150.000,00 satu rumah setiap bulan. Untuk membuat

rumah tersebut mereka menjual tanah atau ganti rugi tanah kepada kedua perusahaan

tersebut. Rata-rata setiap penduduk mempunyai 7 petak rumah sewa. Hanya kira-kira 5

keluarga yang menggarap hutan milik suku yang tinggal seluas 1.8 hektar di tepi sungai

Kampar dan Kerinci.

Untuk penduduk yang rumahnya berada di tepi jalan, tanah mereka diserahkan

kepada pengusaha terutama nonpri untuk membangun pertokoan dengan prinsip 1:3.

Pengusaha membangun tiga toko tanpa membeli tanah tetapi satu diantara tiga toko

tersebut menjadi milik si pemilik tanah.

Penduduk Pangkalan Kerinci tahun 2000 sudah mencapai 20,000 orang dengan

jumlah rumah tangga mencapai 4.178, namun demikian terdapat bermacam versi jumlah

rumah tangga dan penduduk ini. Selain itu dinamika jumlah penduduk ini berubah

dengan sangat cepat tergantung pada irama perusahaan. Ketika PT RAPP sedang banyak

memerlukan pekerja jumlah penduduk bertambah dengan cepat. Tetapi ketika perusahaan

sedang mengurangi aktivitasnya maka jumlah penduduk juga berkurang dengan cepat.

Jumlah penduduk sebelum program relokasi 1978 Pangkalan Kerinci berjumlah

35 rumah tangga sekitar 120 jiwa. Kemudian pada tahun 1983 jumlah penduduk tersebut

bertambah menjadi 80 rumah tangga sekitar 300 jiwa. Sekarang jumlah penduduk asli

Pangkalan Kerinci berjumlah 70 rumah tangga.

Tabe.l .Penduduk Pangkalan Kerinci

Tahun PA PPDT PPTL

1978 35 kk - -

1983 80 kk 80kk -

1999 70 kk 300 kk 3808 kk Sumber: Kantor desa dan Batin M.Siddik.

Keterangan:

-PA = penduduk asli Pangkalan Kerinci. -PPADT = Pendatang dari desa Tetangga. Tetangga. Tetangga. Tetangga. -PPTL = Pendatang dari tempat lain.

Perbedaan jumlah penduduk tersebut disebabkan oleh pola migrasi ekonomi dan

perkawinan. Sebelum relokasi Depsos, penduduk asli Pangkalan Kerinci pergi merantau

ke kawasan hutan lain yang lebih lebat dan lebih subur dari kawasan hutan Batin

Kerinci. Akibatnya jumlah rumah tangga yang tertinggal hanya 35 rumah tangga saja.

Page 23: industrialisasi di Riau

Ketika program relokasi dilaksanakan Batin Kerinci M.Siddik memanggil

kembali warga sukunya agar kembali dan menempati rumah-rumah yang disediakan oleh

Depsos. Terkumpulah 80 rumah tangga Kerinci. 35 rumah tangga yang benar-benar

berasal dari Pangkalan Kerinci 45 rumah tangga berasal dari pecahan keluarga luas dan

penduduk Pangklan Kerinci yang merantau pulang Kembali. Dari 80 rumah tangga

Kerinci tersebut, 5 rumah tangga keluar dari prorgram relokasi Depsos. Alasan keluar

karena ketatnya disiplin yang diterapkan pengawai dari Depsos.

Susunan Rumah Tangga Pangkalan Kerinci bercorak campuran, rumah tangga

luas dan rumah tangga inti, di mana pada rumah tangga luas terdapa rumah tanga inti dan

pada rumah tangga inti yang masih terikat dengan rumah tangga luas. Pada rumah tangga

luas biasanya diisi dua keluarga, keluarga ayah dan ibu beserta anak-anaknya yang belum

menikah, dan satu keluarga anaknya yang juga terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak yang

biasanya masih kecil. Fungsi keluarga berjalan secara bersamaan pada keluarganya

masing-masing. Aktivitas produksi lainnya dilakukan secara terpisah dengan perbedaan

yang tegas tetapi sama dalam fungsi konsumsi. Kontribusi terbesar dalam rumah tangga

berasal dari rumah tangga anak. Sedangkan fungsi anak dan isteri bersamaan, bahkan

nenek bagi anak ikut berperan sebagai pemelihara terhadap anak dari keluarga anaknya.

Pada keluarga inti susunan rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan rata-rata empat

orang anak setiap rumah tangga. Kadang-kadan terdapat juga ibu atau bapak, adik dari

suami atau isteri. Suami sebagai kepala rumah tangga dan bertangung jawab untuk

mengadakan konsumsi rumah tangga. Istri menjalani fungsi-fungsi domestik, pekerjaan

reproduksi, pemeliharaan tanaman dan membantu suami pada kegiatan-kegiatan yang

tidak menggunakan tenaga yang banyak. Fungsi anak ditentukan berdasarakan jenis

kelamin. Anak perempuan akan melakukan pekerjaan yang bertujuan meringankan tugas

ibunya anak laki-laki membantu ayah.

Status ekonomi menyebabkan adanya perbedaan fungsi ibu dalam rumah tangga.

Pada keluarga miskin istri berfungsi total dalam ekonomi rumah tangga. Isteri ikut

membantu suami melakukan pekerjaan tahunan, bulanan dan mingguan. Perkerjaan yang

tidak dikerjakan isteri hanya menebang kayu, dan berbalak ke hutan, selain itu isteri

berperan ganda, melaksanakan fungsi domestik dan fungsi ekonomi keluarga. Keadaan

ini juga terjadi pada anak-anaknya, tidak terjadi perbedaan jenis kelamin. Tetapi pada

rumah tangga yang mempunyai status ekonomi yang lebih baik (termasuk kaya di desa

tersebut), isteri menjadi pajangan dalam rumah tangga. Isteri hampir tidak mengerjakan

pekerjaan apapun, kecuali melayani suami secara seksual dan memelihara anak sampai

remaja. Fungsi-fungsi domestik dan lainnya biasanya dikerjakan oleh pembantu.

Ekonomi Subsisten

Pelopor ekonomi subsisten adalah Chayanov (1966) seorang ekonom Rusia

dengan istilah ekonomi non kapitalis. Kemudian konsep ini dipopulerkan oleh Scott,

Ever, Wong, Dan Claus (1984) dengan ekonomi subsisten. Chayanov mengambarkan

ekonomi subsisten ini dengan houseshold utility maximisation (menggunakan secara

berlebihan). Assumsi kunci dari teori mikro ekonomi rumah tangga petani, yaitu pertama

tidak ada pasar tenaga kerja, misalnya tenaga kerja tidak disewa oleh keluarga, dan tidak

ada bantuan kerja dari anggota keluarga dari luar rumah. Kedua, hasil kebun hanya untuk

konsumsi keluarga dan kalau dijual harga ditentukan oleh pasar. Ketiga, semua keluarga

Page 24: industrialisasi di Riau

tani lebih mudah berhubungan dengan tanah untuk dikerjakan. Keempat, dalam

komunitas tani, norma sosial membuat rendahnya pendapatan.

Lebih jelas lagi Chayanov menerangkan household utulity maximisation sebagai

usaha memaksimal potensi ekonomi rumah tangga melalui tenaga kerja rumah tangga

tanpa bayar, dan memaksimalkan fungsi lahan pertanian yang sempit. Setiap produksi

dicoba untuk mencapai keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Semakin tinggi

produksi semakin besar konsumsi. Semakin kecil produksi semakin kurang konsumsi.

Hampir sama dengan Chayanov, Ellis (1988) dalam bukunya Peasant

Economics, Farm Households And Agrarian Development mengemukan bahwa ekonomi

subsisten meliputi tiga unit, yaitu pertama, aktivitas ekonomi adalah sebagai pekebun

(farmer), Kedua, tanah sebagai basis ekonomi, ketiga, pekerja berasal dari keluarga yang

tidak dibayar. Keempat, modal, jumlah produksi sama dengan konsumsi, dan kelima

konsumsi adalah konsumsi subsisten.

Elis juga menyebut tiga indikator penting ekonomi petani subsistens, yaitu tiada

tempat secara khusus dalam ekonomi nasional; merupakan ekonomi tradisional, kecil dan

subsisten yang wujud dalam ekonomi pertanian; tidak mempunyai pasar yang luas,

cenderung merupakan ekonomi keluarga. Famili sebagai unit sosial yang menjalin

hubungan persahabatan antara penduduk, sedangkan rumah tangga sebagai unit sosial

dimaksudkan untuk kebersamaan dalam senang dan susah.

Pendapat Ellis berbeda dengan pendapat Ever (1993) yang memberi dua varibel

utama ekonomi subsisten, yaitu unit rumah tangga dan unit komunitas. Kedua unit

tersebut mempunyai hubungan keterkaitan yang sangat kuat baik dalam proses produksi

maupun konsumsi. Rumah tangga merupakan unit produksi dan konsumsi yang menjadi

teras utama ekonomi, pekerja adalah anggota keluarga tanpa bayar. Selain menjadi buruh

rumah tangga, anggota keluarga juga menjadi buruh tanpa bayar dalam hubungan dengan

komunitas. Pada sistem ekonomi subsisten nilai produksi dan konsumsi tidak dapat

dipisahkan, bergotong royong membangun rumah warga merupakan produksi jasa yang

secara otomatis juga memperoleh konsumsi dan nilai saving jasa.

Dari pemikiran Evers dan Chayanov, 1 dapat disimpulkan bahwa ekonomi

subsisten adalah produksi yang dihasilkan oleh pekerja rumah tangga tanpa bayar yang

bertujuan untuk konsumsi langsung, di mana sumber produksi adalah alam atau jasa.

Produksi rumah tangga ekonomi subsisten tidak terikat dengan pasar dan juga lepas dari

statistik pemerintah. Definisi ini tentu berbeda dengan definisi subsistensinya Scott

(1966) sebagai usaha maksimal rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan minimal

rumah tangga.

Ekonomi subsisten dalam defenisi ini dijumpai di pedesaan Sumatera, khususnya

Riau, Sumsel, dan Sumut secara merata.yang memegang prinsip keseimbangan produksi.

Temuan Dove (1985) di Kalimantan, Brewer (1985) di Bima, Schefold (1985) di

Mentawai. Jumlah produksi ini bukan hanya menentukan konsumsi tetapi juga

menentukan jam kerja. Jika kerja dalam 60 jam cukup untuk konsumsi sebulan maka

1 Menurut Ever (1984) ekonomi subsisten adalah hubungan langsung antara produksi dan konsumsi

(produksi sama dengan konsumsi) yang lepas dari hitungan negara, melibatkan tenaga kerja tanpa bayar

dalam rumah tangga. Sedangkan menurut Chayanov (1966) suatu aktivitas ekonomi yang melakukan self

exploitation dengan maksud untuk memuaskan kebutuhan rumah tangga dengan apa yang dipunyai oleh

pekerja rumah tangga tanpa dibayar.

Page 25: industrialisasi di Riau

dalam sebulan mereka hanya bekerja selama maksimal 65 jam. Dengan sumber produksi

yang terdiri dari sektor primer tanah petanian, sektor skunder alam, kebun rakyat serta

jasa dan sektor tertier dari keluarga dan kemunitas.

Sebaliknya, jika produksi selama sebulan tidak mencukupi konsumsi minimum

rumah tangga, maka total konsumsi akan diminimalis jam kerjapun akan semakin

banyak. Termasuk misalnya dari makan dua kali sehari menjadi satu kali sehari.

Sebagaimana yang dinyalir Scott bahwa apabila petani sudah sampai batas etika

subsistensi mereka akan mengganti jenis konsumsi dari beras ke umbi-umbi.

Prilaku ini bukan menjadi indikator prilaku pemalas sebagaimana yang

kemukakan Swift (1965), Parkinson (1976) Ness (1967) terhadap masyarakat Asia

Tenggara khususnya pribumi Melayu. Cara ini merupakan alternatif keberlanjutan

ketersediaan makanan untuk masa yang akan datang. Petani menjaga alam, agar alam

tetap menyediakan makanan mereka untuk massa depan. Pada masyarakat Irian Jaya

yang berada dipinggir pantai, tidak pernah menghabis semua telur penyu, tetap

meninggalkan sebahagian telur tersebut agar reproduksi penyu tetap lestari.

Pada ekonomi subsisten petani tidak mempunyai standar kebutuhan dasar. Standar

petani adalah produksi, makin tinggi produksi maka standar belanja dalam rumah tangga

juga tinggi. Apabila panen tahun ini bisa mencukupi sampai panen tahun berikutnya,

hasil kerja bulanan dan mingguan akan digunakan untuk membelanjakan keperluan

skunder lainnya, artinya hutang akan berkurang. Sayur-mayur, buah-buahan, daging

merupakan produksi sendiri, hanya minyak, gula, kopi, garam, korek dan pakaian dan

keperluan skunder lainnya dibeli dari hasil kerja mingguan atau bulanan.

Kelebihan produksi dari konsumsi akan didistribusikan kepada kerabat dekat,

bahkan dialokasikan untuk dana sosial menyumbang pembangunan fasilitas desa atau

bahkan membantu kerabat dalam melaksanakan perayaan. Saving dalam arti ekonomi

moderen tidak berlaku pada ekonomi subsisten, yang berlaku adalah persiapan modal

untuk konsumsi besar seperti perayaan lebaran, pesta perkawinan, pesta kelahiran dan

pesta desa lainnya. Setelah berbagai upacara tersebut selesai kondisi ekonomi rumah

tangga kembali semula bahkan cenderung makin sulit karena beban hutang dari konsumsi

besar tersebut.

Memahami ekonomi subsisten dapat dengan mudah karena ekonomi subsisten

hanya mempunyai dua variabel yaitu variabel produksi dan variabel konsumsi. Prinsip-

perinsip ekonomi pasar tetap diadopsi secara tidak tepat pada ekonomi subsisten, yaitu

produksi, konsumsi, saving dan hutang. Tujuan produksi pada ekonomi subsisten adalah

konsumsi. Jenis produksi sama dengan jenis konsumsi, atau jenis produksi dipengaruhi

oleh jenis konsumsi. Ever membagi konsumsi pedesaan menjadi dua yaitu konsumsi

rumah tangga dan konsumsi komunitas. Konsumsi rumah tangga diproduksi oleh rumah

tangga dan subsidi komunitas, sedangkan konsumsi massal berasal dari subsidi dari

masing-masing rumah tangga.

Saving (menabung) ditujukan untuk konsumsi massal, seperti menabung untuk

menikah, menabung untuk pergi haji, dan pesta adat lainnya. Bentuk produksi adalah

membuka lahan kemudian menanamnya dengan tanaman keras seperti karet, ketika

prosesi konsumsi massal dilakukan maka kebun dan tanah tersebut dijual sebagai sumber

utama keuangan. Saving juga sama dengan produksi massal untuk konsumsi jangka

panjang. Contoh berladang menanam padi dan hasil panen dijadikan persediaan konsumsi

sepanjang tahun.

Page 26: industrialisasi di Riau

Hutang bagi penduduk pendesaan ditujukan untuk pemenuhan kekurangan

kebutuhan primer dan biaya massal. Hutang terjadi karena hubungan antara masyarakat

dengan tauke, yang dibayar melalui hasil kerja harian atau bulanan serta jasa yang tidak

dibayar. Tauke mempunyai inisiatif meningkatkan jumlah hutang setiap hari yang

bertujuan untuk peningkatan ketergantungan. Kelas tauke ini sangat berpengaruh

terhadap persepsi petani pada perubahan. Semakin tergantung petani pada tauke semakin

sulit perubahan terjadi. Karena perubahan bagi tauke adalah ancaman kestabilan

ekonomi, politik dan struktur sosial.

Konsumsi dalam masyarakat subsisten pedesaan merupakan tujuan utama

produksi. Maka produksi ditentukan beberapa besar konsumsi yang diperlukan. Jika

gambaran konsumsi lebih besar sementara faktor produksi juga besar maka aktivitas

produksi akan tinggi guna memenuhi asumsi konsumsi. Chayanov (1966) menyebutnya

dengan labor consume balance, Ellis (1988) dan Evers (1991) menyebutnya penggunaan

produksi langsung.

Konsumsi secara umum dibagi menjadi dua konsumsi utama, yaitu konsumsi

rumah tangga dan konsumsi sosial. Konsumsi rumah tangga merupakan sejumlah

penghasilan yang dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga.

Sedangkan konsumsi sosial merupakan sejumlah penghasilan dikeluarkan untuk

keperluan sosial, seperti sumbangan mesjid, sumbangan pesta perkawinan dan hantar

ketika hari besar.

Konsumsi desa bercirikan pada kemampuan produksi atau jaminan pendapatan

untuk dikonsumsi. Kemampuan produksi adalah jumlah lahan yang bisa diolah secara

maksimal untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga melalui tenaga kerja tanpa bayar.

Sedangkan jaminan pendapatan untuk kelangsungan konsumsi rumah tangga adalah

menghutang. Institusi desa yang paling terkenal yang menjadi jaminan kelangsungan

konsumsi adalah tauke. Tauke ini adalah pedagang di desa yang menjamin kelangsungan

konsumsi.2

Tauke merupakan sumber over consumption, ketika produksi menurun sementara

konsumsi meningkat, petani sering mengabaikan hukum household utulity maximisation.

Konsumsi selalu saja dipenuhi melalui hutang, sementara produksi sangat minim.

Akibatnya seluruh produksi tahunan dan bulanan diserahkan semuanya ke tauke untuk

membayar hutang. Jika kondisi ini berlaku maka tingkat ketergantungan petani tersebut

akan semakin besar pada tauke, bahkan tauke bisa menjadi tuan bagi keluarga tersebut.3

2 Hubungan penduduk dengan tauke yang sangat eksploitatif dalam hal produksi di mana tauke mempunyai

hak otoritatif untuk menentukan harga dalam membeli produksi petani, termasuk produksi jasa yang tidak

dibayar. Begitu juga tauke menentukan harga jual barang secara sepihak dan jauh lebih mahal dari harga

pasaran. Walaupun demikian hubungan tauke dengan penduduk sudah merupakan hubungan sosial dan

kekuasaan. Di mana penduduk miskin desa justeru merasa tauke adalah penyelamat konsumsi rumah

tangga, walaupun ditemukan juga tauke yang menolak memberi hutang kepala kliennya sebelum adanya

pengurangan hutang sebelumnya. Jika ini terjadi biasanya si klien akan mencari tauke lain. Selain itu,

tauke menjadi alat introdusir kebijakan negara terhadap rakyat 3 Contoh yang menarik untuk disimak keberhasilan penduduk Desa Teladas, Rawas Sumsel melepaskan

diri dari tauke secara diam-diam menjual sebahagian penghasilan bulanannya (karet) ke pembeli bebas

dengan harga yang tinggi. Hasil penjulan diam-diam tersebut dibelikan untuk kebutuhan bulanannya di

pedangang lain. Sementara hutangnya pada tauke dibayar secara berangsur ke tauke dengan sebahagian

produksi karetnya. Munculnya inisiatif ini setelah masuknya pembeli-pembeli getah karet dari kota yang

membeli karet lebih mahal, bahkan karena yang datang kedesa tersebut sering mencapai lima pedagang, di

mana masing-masing pedangan getah karet tersebut berusaha membeli harga tertinggi

Page 27: industrialisasi di Riau

Kondisi over consumption terjadi pada pertama, suatu massa tertentu terjadi

penurunan harga komoditas, atau terjadi persitiwa alam yang dipandang tidak lama atau

kepala rumah tangga sakit keras.

Kedua, hari-hari besar agama seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, muharam

atau hari-hari besar adat. Pada hari itu semua masyarakat memaksimalkan konsumsi

untuk merayakan hari besar tersebut sampai tiga hari. Selain biaya untuk makan juga

pembelanjaan tahunan berupa pakaian dan penghiasan rumah.

Ketiga, perayaan perkawinan, kelahiran anak, tujuh bulanan, kematian dan

lainnya. Semua jenis perayaan ukuran jumlah konsumsi adalah kampung. Satu rumah

tangga menyediakan konsumsi untuk satu kampung. Sumber konsumsi tersebut biasanya

berasal dari harta kekayaan berupa tanah, kebun dan binatang ternak yang dijual dan

berhutang pada tauke dan juga pemberian dari anggota komunitasnya.

Keempat, ada sebagian kecil dari keluarga petani yang ingin memperbaiki hari

tuanya melalui pendidikan. Anak bagi keluarga desa adalah saving yang berguna di hari

tua. Anak yang sekolah memerlukan dana besar apalagi kalau sampai kuliah di perguruan

tinggi. Sumber biayanya kekayaan berupa tanah, kebun, ternak dan perhiasan dan

meminjam uang ke tauke.

Dove mencatat (1985) pola konsumsi masyarakat Kantu yang peladang

berpindah-pindah terdapat hubungan yang erat antara jenis produksi dengan konsumsi.

Untuk makan mereka menanam padi dan sayur-sayuran di ladang. Untuk berbelanja yang

memerlukan uang misalnya membeli garam, pakaian, minyak tanah, tembakau mereka

menyadap karet dan menanam lada kemudian menjualnya. Selain itu, berburu,

menangkap ikan, mengumpul hasil alam (hutan) memegang peranan yang amat penting.

Temuan Dove ini relevan dengan temuan di beberapa desa di Riau, yang

mengindetifikasikan tiga pola konsumsi berdasarkan produksinya. Produksi tahunan yaitu

berladang, bersawah merupakan konsumsi tahunan. Meneres getah karet, berbalak atau

mencari hasil hutan lainnya merupakan konsumsi bulanan. Sedangkan untuk konsumsi

harian diperoleh dari menanam sayuran di ladang atau diperkarangan, menangkap ikan,

berburu, atau bantuan dari kerabat dekat.

Sedangkan konsumsi sosial atau desa cenderung berupa pengalihan tenaga kerja

dari tenaga kerja rumah tangga menjadi tenaga kerja desa yang juga tidak dibayar.

Pengalihan tenaga kerja ini diimplementasikan melalui sistem tolong menolong dan

gotong royong (Sayogio dan Pudjiwati 1996) Tolong-menolong dilakukan antar petani

yang bertetangga atau satu kelompok usaha atau kerabat dekat. Pada pekerjaan produksi

biasanya tolong menolong ini dilakukan secara bergantian. Jika satu keluarga telah

menolong satu keluarga lain, maka keluarga yang ditolong akan menyediakan waktu

untuk menolong keluarga yang telah menolong keluarganya, begitulah terus menerus.

Berlainan dengan tolong-menolong, gotong royong merupakan kegiatan desa

yang dilakukan seluruh warga desa untuk satu jenis usaha tertentu. Misalnya

memperbaiki jalan, membangun sarana bersama seperti sarana ibadah, kantor desa, balai

pertemuan atau perayaan tertentu. Dalam gotong royong ini bukan hanya jasa (tenaga)

yang dipakai oleh komunitas tetapi juga berupa barang dan konsumsi ringan. Setiap

rumah tangga akan secara otamatis menyediakan konsumsi ketika gotong-royong

dilaksanakan. Begitu juga bahan-bahan yang digunakan untuk membangun jalan, rumah

ibadah, kantor desa atau balai pertemuan berasal dari sumbangan masing-masing rumah

tangga. Sumbangan tersebut ada yang ditentukan jumlah besarnya tetapi ada juga

Page 28: industrialisasi di Riau

sumbangan sukarela karena dipandang orang berada (kaya) di desa. Konsumsi sosial ini

juga dikeluarkan untuk perayaan lain di desa.

Pola konsumsi di atas mengambarkan pola produksi. Semakin besar konsumsi

semakin meningkat dan beragam aktivitas produksi. Ever, (1988) menjelaskan produksi

pedesaan melalui dua variable, yaitu variabel rumah tangga dan variabel komunitas.

Adapun variabel rumah tangga meliputi tenaga kerja, jenis lahan dan jenis pekerjaan dan

reproduksi. Tenaga kerja dibagi berdasarkan sex dan umur. Kerja-kerja reproduksi

dilakukan oleh perempuan dengan dibantu oleh anak-anak perempuan. Reproduksi

meliputi reproduksi tenaga kerja rumah tangga dan reproduksi hasil kerja dari suami atau

lelaki yang bekerja di luar rumah tangga terutama yang dimaksud Ever dengan sektor

skunder dan tertier. Isteri selain berfungsi reproduksi juga melakukan produksi

perkarangan, kraf tangan, pemeliharaan ternak dan pendidikan anak.

McSwenewy (Ellis 1988) secara jelas merumuskan hubungan produksi dengan

fungsi sex dalam rumah tangga, yang membagi tiga jenis aktivitas perempuan pada

ekonomi subsisten di pedesaan, yaitu pertama, aktivitas reproduksi meliputi aktivitas

reproduksi, melahirkan anak, memelihara dan membesarkan anak. Dan aktivitas

reproduksi harian meliputi masak, membesikan, mencuci, menambal pakaian,

mengumpul kayu, mengakat air, membangun memperbaiki rumah. Kedua, aktivitas

produksi, meliputi produksi untuk keperluan rumah, mananam sayuran, memelihara

hewan, membuat kue, menjahit, menbuat kerajinan tangan. Produksi untuk pasar,

berkebun sayuran, menjual makanan, kerja tambahan, membuat kerajinan untuk dijual.

Ketiga, aktivitas tambahan meliputi membuat makanan, kesehatan, silaturahim dan lain-

lain.

Selain itu dalam pandangan McSwenewy pada masyarakat yang menganut sistem

patrilinial lelaki sangat dominan dan mengontrol semua produksi pertanian.

Perkawinan tidak didasarkan cinta tetapi diatur oleh orang tua yang biasanya lebih

mementingkan solidaritas keluarga. Hal ini dilakukan kerana keluarga petani sangat

mengambil penting tentang kehidupan sosial masyarakat, bersifat terbuka dengan orang

luar dan sangat menjaga hubungan dengan sesama masyarakat di dalam kampungnya.

Sedangkan variabel luar rumah tangga adalah produksi yang diperoleh dari

komunitas, bantuan keluarga termasuk bantuan dari anak yang sudah dewasa. Produksi

dari komunitas ini adalah produksi yang berhimpit dengan konsumsi. Di mana jumlah

produksi langsung berfungsi konsumsi, cenderung fungsi konsumsi lebih besar dari

fungsi produksi. Ada beberapa kegiatan yang biasanya berfungsi produksi yaitu meliputi

perayaan yang berkaitan dengan kelahiran, kematian, perkawinan, membuka hutan,

membangun rumah, masa panen dan kegiatan yang memerlukan tenaga banyak orang.

Rumah tangga selalu mendapat bantuan berupa jasa tenaga yang tidak dibayar. Jika

dihitung dengan dengan menggunakan nilai uang, maka jumlah pendapatan yang

diperoleh jauh lebih besar dari biaya konsumsi yang dikeluarkan. Hanya saja bantuan jasa

tersebut harus dibayar dengan tenaga pula pada waktu yang berbeda.

Sumber produksi di luar rumah tangga lainnya adalah bantuan dari keluarga, baik

berupa warisan, maupun bantuan dari orang tua terhadap anaknya. Bantuan tersebut

berbentuk uang, bahan mentah ataupun fasilitas konsumsi tanpa biaya untuk batas waktu

yang tidak terbatas. Bentuk sumber pendapatan lain adalah berasal dari bantuan anak bagi

orang tua yang sudah tua. Biasanya anak yang sudah sudah dewasa tapi belum menikah

Page 29: industrialisasi di Riau

semua penghasilannya diserahkan kepada orang tuanya, termasuk juga bantuan anak

yang sudah berkeluarga kepada orang tuanya.

Sistem produksi petani subsisten ini sangat beragam berdasarkan ekologi di mana

petani berada. Untuk petani yang tinggal yang hutannya masih luas umumnya berladang

berpindah-pindah, mengambil hasil hutan dan sungai. Brewer (Dove 1985)

mengemukakan tiga sistem produksi Bima dan Mentawai dan Irian Jawa yaitu

perlandangan berpindah-pindah, pengumpulan sagu, berburu dan meramu. Antara suku

tersebut menunjukkan pola produksi yang sama, perbedaannya terletak pada jenis

tanaman, cara pengolahan dan pemeliharaan. Di Mentawai misalnya hutan yang ditebang

tidak dibakar dan ditanami umbi-umbian. Sementara di Bima, lahan yang sudah ditebang

dibakar dan ditanami padi.

Catatanan Anderson (1924), di mana orang Melayu Sumatera Utara berbasis

ekonomi peladang, mereka membuka hutan pada musim kemarau di pinggir sungai dan

menanam pada musim penghujan. Pada tahun ketiga ladang tersebut ditanami sayur-

sayuran, umbi-umbian, tebu, pisang, jagung, lada dan tembakau. Di kawasan kampung

(perkarangan) di tanam jambu, delima, asam jawa, nangka sukun, dan jenis tumbuhan

keras lainnya. Selain itu orang Melayu juga memanfaatkan hasil hutan seperti tumbuhan

jenis akar, rotan damar dan kayu semuanya dijual ke pasar eksport.

Pelly (1996) menyebutkan bahwa kultur produksi Melayu adalah berladang,

nelayan dan perdagangan, orang Melayu membuka hutan untuk memproduksi tanaman

ekspor. Produksi tanaman ekspor tersebut dijual ke pedagang kemudian pedagang yang

melakukan transaksi antar pulau dan antar negara.

Pada desa yang masih melakukan kegiatan perladangan, hutanlah yang menjadi

sumber ekonomi utama petaninya, menurut Sutrisno (1991) selain hutan menjadi sumber

berbagai usaha pertanian dan makanan atau cirtical support, hutan juga berfungsi

sebagai penjamin penduduk untuk makan sepanjang tahun atau food security. Tanah dan

hutan bagi masyarakat petani menjadi sumber ekonomi pertama keluarga, baik itu

ekonomi primer dan skunder. Semakin luas hutan dan tanah yang dimiliki semakin baik

kehidupan ekonomi keluarga, karena aktivitas penduduk di desa sangat tergantung pada

bidang pertanian yang sangat memerlukan tanah.

Untuk memenuhi keperluan hidup di luar dari produksi tahunan petani

mengumpulkan hasil hutan seperti rotan, damar, gaharu, minyak seminai, minyak

kruing, buah balam, kapur barus dan gading gajah untuk dijual pasaran dunia. Ini

menunjukkan bahwa sektor skunder dan tersier merupakan sumber ekonomi yang sama

pentingnya dengan sumber ekonomi primer (pertanian). Sering dijumpai, sektor primer

dikuasai wanita, sedangkan sektor skunder dan tersier dikuasai oleh lelaki (disinilah arti

pembagian kerja bagi petani)

Gee. (1977) secara jelas memaparkan beberapa pola produksi petani subsisten di

Malaysia, adalah menembak, nelayan, dan mengambil hasil hutan. Hubungannya dengan

pasar penjulan barang terbatas dan karakteristik ekonomi melalui unit produksi yang

kecil, teknologi sederhana, dan sangat rendah spesialisasi. Instrumen baru ekonomi

mereka adalah kedai yang berada di kampung, yang menjual semua keperluan dan

membeli produksi kampung. Mereka juga tidak semata-mata tergantung pada

perladangan padi, tetapi juga ada tanaman lain yang juga penting, seperti sayuran-sayuran

dan buahan-buahan. Tanaman padi dicampur dengan tanaman lain yang lebih komplek.

Pandangan di atas membantah asumsi bahwa sumber utama ekonomi petani adalah lahan

Page 30: industrialisasi di Riau

petanian dengan fokus produksi pertanian, berapa luas lahan, bagaimana pengolahan

(kapasitas produksi) dan bagaimana distribusinya. Asumsi ekonomi petani tersebut

menimbulkan kekeliruan pemahaman petani terhadap ekonomi.

Hasil dari observasi petani Riau, Sumsel dan Jambi menunjukkan bahwa pola

produksi petani berbanding lurus dengan prilaku konsumsi dan sumber daya produksi.

Padi bagi petani adalah pembelanjaan tahunan, sebab itu petani hanya berladang atau

bersawah setahun sekali mengikuti siklus hujan dan kemarau. Produksi sekali beladang

atau bersawah dijadikan untuk konsumsi setahun. Jika produksi padi bisa mencukupi

setahun artinya jaminan konsumsi untuk setahun. Apabila padi tidak mampu mencukupi

konsumsi setahun, maka pembelanjaana untuk konsumsi beras dialihkan ke produksi

bulanan, bahkan bisa juga mingguan atau harian biasanya melalui tauke dengan

mengambil dulu membayar setelah sebulan bahkan kadang lebih.

Ladang selain berfungsi untuk menanam padi pada dua tahun pertama, dan

tanaman keras juga ditaman kebutuhan rumah tangga berupa jagung, sayur-mayur, cabai

dan lain-lainnya sebagai konsumsi harian.

Menanam tanaman keras adalah saving bagi petani untuk masa tujuh hingga 20

tahun. Perkebunan rakyat yang di gemari di Riau daratan, Jambi dan Sumsel adalah getah

karet, pada tahun 2000 ini beralih ke sawit. Kebun ini apabila sampai waktu produksinya

menjadi sumber utama ekonomi rumah tangga yang diproduksi setiap hari tetapi

konsumsi bulanan. Aktivitas utama petani di tiga provinsi ini adalah kerja di perkebunan

rakyat, baik itu kebun sendiri maupun di kebun orang lain dengan bagi hasil. Kerja

bulanan di sektor kebun ini sering juga diganti dengan mencari balak, rotan, damar dan

semua kekayaan hutan.

Memang dasar produksi pertanian di masing-masing wilayah Indonesia sebelum

Orde Baru dipaparkan secara jelas oleh Koentjaraningrat (1964) yaitu pola pertanian

bersawah sebenarnya hanya ada di Jawa, Bali dan Lombok, termasuk juga sekitar 10-

11% ada di Batak, Agam (Sumbar), Pantai Kalimantan, dan pantai pulau Nusa Tenggara,

90-89% pola pertanian perladangan termasuk di Jawa Barat.

Scott dan Kekuatan Perubahan

Kajian ini mencoba mengembangkan tesis umum bahwa prilaku subsisten

masyarakat pedesaan merupakan gejala strukturalis. Tesis ini bersumber dari fenomena

perubahan di daerah penelitian bahwa perubahan ekologi sosial yang tidak terkontrol

menyebabkan peningkatan kemampuan perubahan pemikirian ekonomi rumah tangga dan

adaptasi sosial. Perubahan ini juga diikuti dengan perubahan cara produksi dan cara

konsumsi rumah tangga.

Penetrasi perubahan yang tidak terkontrol mampu merombak tatanan struktur

sosial menuju ke arus perubahan. Perubahan struktur sosial menjadikan pengembangan

pilihan-pilihan alternatif yang tidak terikat dengan struktur sosial lama. Kemerdekaan

untuk memiliki bebagai alternatif tersebut menyebabkan terjadinya perubahan cara pikir,

budaya dan prilaku ekonomi. Dalam kajian Scott (1966) tidak melihat faktor struktural

ini sebagai pengikat pada struktur sosial yang ada. Scott juga mengabaikan kepentingan

kelas elit atas kemiskinan masyarakat pedesaan.

Kehadiran kebun sawit, industri bubur kertas, pendatang besar-besaran telah

merombak tatanan struktural lama. Perombakan struktural ini telah menyebabkan

perobahan ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, walaupun tidak secara otomatis diikuti

Page 31: industrialisasi di Riau

oleh cara berpikir ekonomi. Rumah tangga sudah berada pada ekonomi pasar tetapi cara

berpikir masih ekonomi subsisten. Oleh sebab itu, kajian ini berbanding terbalik dengan

analisis Scott---menyatakan bahwa cara berfikir ekonomi subsisten menyebabkan petani

menolak perobahan— yaitu perubahan ekologi sosial ekonomi menyebabkan perubahan

prilaku ekonomi subsisten. Perubahan telah terjadi, maka mau tidak mau prilaku

ekonomi turut berubah.

Pada sistem sosial yang egaliter akan menyebabkan terjadi perkembangan

pemikiran terus-menerus pada masyarakat petani di pedesaan. Ini disebabkan struktur

yang menghambat masyarakat untuk berkembang semakin kecil. Berubahkan kelas para

tauke dan berubahnya kelas feodal, menyebabkan ketergantungan ekonomi dan sistem

patronase juga terganggu. Contoh konkrit yang menarik dari keinginan berubah adalah

semua keluarga menyekolahkan anaknya yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan

mereka. Pendidikan merupakan gerbong keperubahan pemikiran ekonomi. Tetapi jika

perubahan ekologi ekonomi tidak diikuti oleh perubahan struktur sosial dan politik maka

perubahan tersebut tidak membawa pengaruh ke perubahan pemikiran ekonomi petani.

Selain itu, tesis Scott tidak begitu mampu mengambarkan kondisi sosiologis

mayarakat petani di Riau khususnya dan Sumatera umumnya. Karena masyarakat

pedesaan di Sumatera belum berhadapan dengan masalah tanah dan tuan tanah. Berikut

beberapa poin penting yang melemahkan tesis Scott tersebut.

Pertama, menyangkut cara pandang petani terhadap aktivitas ekonomi. Scott

(1966), Eric Wolf, (1983) Lukman Sutrisno (1991) melihat rendahnya kemandirian petani

(komunitas pedesaan) dalam ekonomi. Petani dipandang sangat tergantung pada alam,

lahan dan patronasenya. Untuk petani Jawa, Thailand, Vietnam dan model tuan tanah di

Eropah, Filipina dan Amerika Latin memang benar petani sangat tergantung pada

patronase karena keterbatasan lahan. Berbeda dengan di luar Jawa misalnya sebagian

besar Sumatera, Kalimantan, Sulauwesi dan Irian Jaya, petani tidak kekurangan lahan,

bahkan berlebihan lahan pertanian. Hanya saja karena pemikiran ekonomi subsisten dan

cinta lingkungan, petani hanya mengambil secukupnya untuk keperluan hari ini saja.

Kedua, pembahasan tentang ekonomi subsisten tidak konperehensif. Para pakar

hanya membahas aspek cara produksi dari ekonomi petani, Dove (1985) Eric Wolf

(1966) Dumout (1970) termasuk Chayanov (1966) yang hanya membahas proses

produksi dan konsumsi saja tidak membahas bagaimana perubahan pemikiran ekonomi

subsisten dalam rumah tangga.

Ketiga, Hans Dieter Ever (1993) juga menjelaskan bahwa petani di Asia Tenggara

tidak tergantung pada lahan pertanian, tetapi tergantung pada sektor skunder dan tertier.

Sektor skunder adalah seperti tersedianya alam, perkebunan rakyat serta buruh harian.

Sedangkan sektor tertier adalah dana keluarga dan jasa. Pemikiran Ever ini luput dari

kajian Scott.

Selain itu, di pedesaan tidak semuanya menganut ekonomi subsisten, Bahkan Gee

Lim Teck (1977) dalam bukunya Peasants And Their Agricultural Economy in Colonial

Malaya, mengemukakan tiga tipe ekonomi petani Melayu pada zaman penjajah, yaitu:1)

petani tradisional subsisten, yaitu sekelompok kecil petani yang tinggal di kampung,

aktivitas utamanya adalah menembak, nelayan, dan mengambil hasil hutan. 2) gabungan

antara petani subsisten dan petani komersial, jenis ini merupakan pengaruh dari sistem

bayar tunai dan kekuatan ekonomi pasar. 3) ekonomi komersial, petani mempunyai usaha

Page 32: industrialisasi di Riau

pertanian yang khusus. Petani memiliki kebun kecil yang berfungsi sebagai unit produksi

dan diatur oleh keluarga sendiri. Aktivitas ini didominasi oleh perkebunan karet.

Keempat, ekonomi subsisten bukan hanya terbatas pada petani tetapi memberi

pengertian yang lebih luas tentang ekonomi kelas bawah, buruh dan kaum miskin kota.

Secara sosiologis di negara ketiga sektor ekonomi kelas bawah ini masih sangat kuat

memegang perinsip ekonomi subsisten. Buruh dan masyarakat miskin perkotaan tidak

mengalami perubahan bukan semata-mata disebabkan permikiran ekonomi susbsiten

tetapi juga disebabkan faktor struktural modal dan peluang usaha.

Kelima, elit di pedesaaan juga memberlakukan hukum pasar dan proses

kapitalisasi yang monopoli, yang dibungkus oleh hubungan komunal pedesaan. Tauke

dianggap menjadi penjamin kepastian konsumsi rumah tangga. Kepastian jaminan

konsumsi menciptakan pola eksploitasi oleh tauke melalui perlindungan konsumsi rumah

tangga dalam bentuk hutang. Akibatnya produksi langsung menjadi pembayar hutang

karena konsumsi mendahului produksi.

Keenam, kegiatan politik petani tidak selalu bersumber dari etika subsistensi,

masuk elemen politik di luar komunitas petani juga berpengaruh terhadap kegiatan politik

petani, misalnya masukknya ideologi komunis di pedesaan Indonesia tahun 1960-an

menjadikan kegiatan politik petani lebih menonjol dengan menggunakan tema-tema

reformasi tanah, atau menjadi alat perjuangan politik kaum feodal untuk mendapatkan

keuntungan ekonomi. Di Pangkalan Kerinci Riau gerakan anti pemerintah dan

perusahaan dimotori oleh kaum feodal yang tetap ingin mempertahankan hak-hak

feodalisme yang hancur akibat kehadiran industri.

Ketujuh, kajian Popkin (1979) di Vietnam yang merupakan bantahan terhadap

kajian Scott dengan jelas mengemukakan bahwa tidak begitu jelas hubungannya antara

subsistensi dengan respon kolektif. Asumsi Popkin ini mengambarkan bahwa tindakan

petani berdasarkan pertimbangan rasional individunya. Dalam pandangan saya bahwa

tindakan petani merupakan tindakan rasionalnya yang dikooptasi oleh pemikiran

ekonominya. Pendapat ini tentu saja memperkuat asumsi bahwa persoalan ekonomi

adalah persoalan individu di pedesaan yang didukung oleh suatu sistem komunal. Sistem

komunal dibentuk melalui jaringan genetis dan ketergantungan sosial.

Strategi Perubahan

Studi tentang respon petani pedesaan terhadap perubahan telah menunjuk corak

respon yang berbeda. Perbedaan corak respon ini dipengaruhi oleh faktor agen perubah

dan sumberdaya ekonomi yang dimiliki. Dalam beberapa kasus petani yang kurang

kepemilikan tanah dan terjebak dalam struktur tauke telah mengambil beberapa jalan

keluar untuk menghadapi tekanan pasar, yaitu pertama, membatasi diri dan tetap

bergantung pada sistem patron-klien. Kedua, apabila no 1 tidak bisa dijalankan maka

mereka akan mencoba tanaman dan cara baru. Ketiga, menyediakan area baru dan pasar.

Pilihan strategi yang diambil mengambarkan besarnya tekanan terhadap struktur

sosial yang ada. Pilihan untuk tetap bergantung pada sistem patron klien ini disebabkan

perubahan yang tidak mampu merubah struktur sosial dan ekonomi yang telah terbentuk.

Pilihan ini akan berubah ketika struktur sosial mengalami kegoncangan dan berganti ke

struktur baru, perubahan ini merujuk kepada kemampuan personal dalam merespon

tekanan perubahan tersebut.

Page 33: industrialisasi di Riau

Implementasi dari perubahan tersebut terbentuklah dua pola differensiasi, yaitu

terjadi proses diffrensiasi dari buruh tani menuju integrasi mekanisasi dan keberanian

terhadap perubahan sebagai bagian dari proses buruh dunia. Diffrensiasi ini mengikuti

tiga kelas, pertama, individu atau keluarga secara langsung terlibat dalam proses buruh

dan tidak tergantung pada yang lainnya. Kedua, diantara yang tergantung pada proses

buruh petani (labor proces) hanya sebahagian saja, dan yang lainnya tergabung dalam

proses keberaraian dunia. Ketiga, semuanya tergantung secara ekslusif pada labor

proces, tidak hanya pada tanaman makanan tetapi untuk semuanya. Dalam kondisi yang

sama Connell & Dasqupta & Laishley & Lipton (1976) pilihan yang paling tajam diambil

oleh penduduk pedesaan adalah urbanisasi ke kota atau pindah ketempat lain yang

dianggap lebih baik.

Scott (1966) sendiri mengidentifikasi respon petani dalam beberapa indikasi yaitu

pertama, Pertama, rumah tangga petani melakukan pemberontakan untuk

mengembalikan hak-hak ekonomi dan hak sosialnya. Kedua, petani melakukan langkah

penyelamatan diri melalui langkah kontrukstif terhadap lingkungnnya.

Studi Scott di Asia Tenggara menonjolkan pemberontakan sebagai pola respon

terhadap perubahan oleh negara. Bahkan teori moral ekonomi petani yang ditulisnya

merupakan karya ilmiah yang sengaja untuk membincangkan alasan-alasan

pemberontakan petani di Asia Tenggara. Pemberontakan menurut Scott bukan karena

perebutan kekuasaan tetapi karena terganggunya pola subsistensi pada komunitas petani.

Perubahan bagi petani adalah ancaman bagi kelangsungan hidupnya. Oleh karenanya

pilihan pemberontakan merupakan alternatif mempertahankan kelangsungan subsistensi.

Pilihan penyelamatan diri yang diambil oleh keluarga petani dipahami Scott

hanya sebagai bentuk lain alternatif dari sebahagian kecil petani saja. Karena hanya

rumah tangga petani yang segera mendapat patron baru dari perubahan tersebut yang

akan memilih cara ini. Pilihan penyelamatan ini juga muncul tidak lain disebabkan dari

peran negara, organisasi politik, dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat

yang datang ke komunitas petani tersebut untuk menjadi patronase baru.

Pilihan alternatif penyelamatan diri diidentifikasi Scott berupa, mempekerja

seluruh anggota keluarga (ide dari Chayanov), menyampingkan kewajiban serimonial

(mengurangi kualitas dan kuantitas), berimigrasi, bekerja atas bagi hasil, alat politik tuan

tanah untuk menghantam orang desanya. Selain itu petani akan mencari kerja sambilan

dan koneksi yang dapat menstabilkan subsistensi.

Strategi yang dijalankan petani terhadap perubahan adalah melakukan empat

penyesuain diri berupa, pertama, pendalaman pada bentuk-bentuk setempat dari usaha

swadaya dalam bentuk pertukaran jenis tanaman ke peralihan padat karya dan peralihan

ketanaman komersial. Kedua, pengandalan dari sektor non pertanian, dalam bentuk

menyerbu ekonomi uang dengan pergi ke kota mencari serpihan ke kota. ketiga,

pengandalan pada bentuk patronase dan bantuan dukungan dari negara, berupa projek

negara berupa subsidi pangan dan bantuan untuk daerah yang tertimpa kelaparan.

Keempat, pengandalan pada struktur-struktur proteksi dan bantuan yang bersifat

keagamaan atau oposisi.

Penelitian Usman Pelly (1996) di Sumatera Utara menemukan bahwa terjadi

perubahan pola produksi orang Melayu dari produksi komoditi eksport ke pertanian

subsisten berupa padi dan palawija. Pelly mengindentipikasi sebelum masuknya

kapitalisasi di Sumatera Utara, Masyarakat Melayu justeru tidak menganut ekonomi

Page 34: industrialisasi di Riau

subsisten tetapi perkebunan besar dan perdagangan. Setelah masuk industri, lahan

berkurang masyarakat Melayu kehilangan lahan dan akhirnya melakukan ekonomi

subsisten.

Appell (1985) dalam tulisannya “Biaya Perubahan Sosial” secara sistematik

merumuskan 7 biaya perubahan sosial; 1) pembangunan menyebabkan perusakan.

2.Pergeseran aktivitas asli. 3. Kapasitas Adaptasi yang terbatas. 4. Gangguan fisiologi,

psikologi dan prilaku. 5. Erosi sistem penunjang dan sistem penawaran. 6. Kerugian

psikologis dan kompensasi. 7. Keadaan Gizi populasi. Biaya perubahan ini dapat secara

jelas ditemukan di Pangkalan Kerinci berupakan perombakan sistem sosial, kepemilikan

tanah dan terjadinya degradasi lingkungan fisik. Biaya-biaya perubahan di atas dapat

disistimatiskan menjadi dua bentuk perubahan sosial pada masyarakat Pangkalan Kerinci,

yaitu

1) Perubahan struktur sosial dan ekonomi. Kedatangan industri dan

pengambilalihan kepemilikan atas tanah ke Pangkalan Kerinci memiliki pengaruh

perubahan yang sangat besar. Di antara perubahan tersebut adalah perubahan sosial yaitu

beralihnya struktur tradisional dari sistem kebatinan menjadi sistem pemerintah negara.

Posisi batin diambil alih oleh negara melalui UU no 4 tahun 1975 dan UU no 5 tahun

1979 tentang pemerintah daerah dan pemerintahan desa. Struktur sosial tradisional

memberi hak otoritas penguasaan politik dan ekonomi kepada batin yang berasal dari

Suku Lalang sebagai suku penguasa hak ulayat Pangakalan Kerinci.

Setelah kehadiran negara melalui relokasi Dinas Sosial hak istimewa yang

dimiliki suku Lalang berangsur pudar digantikan oleh negara yang diwakili oleh

pendatang. Setelah status desa muda berubah menjadi status desa penuh, kepala desa

aterpilih selalau berasal dari pendatang karena jumlah suara lebih banyak pendatang,

sementara hak adat yang dimiliki batin tidak diakui. Penghapusan hak istimewa suku

Lalang benar-benar terealisasi setelah negara menyerahkan hak atas tanah ulayat suku

Lalang kepada perkebunan sawit dan pabrik bubur kertas.

Perubahan tersebut tentu saja merubah ekologi dan demografi pedesaan ke

ekologi perkotaan (Pelly 1996 ; Embong 1996). Ekologi agraris ke ekologi urban,

padatnya jumlah penduduk dan masuknya ekonomi pasar secara meluas. Ekologi

pedesaan dengan sistem sosial yang ketat, kekeluargaan dan komunal berubah menjadi

ekologi perkotaan yang bersifat individualistis. Perubahan yang bisa dilihat secara nyata

adalah perubahan sistem kepemilikan tanah dari hak milik komunal menjadi hal milik

pribadi. Tanah yang semula hak ulayat berfungsi sosial kini menjadi hak milik pribadi

berubah fungsi menjadi fungsi ekonomi. Sejak beroperasinya kebun sawit dan pabrik

bubur kertas, tanah ulayat seluas 225.000 hektar yang tersisa untuk masyarakat tidak

melebihi dari rata-rata 5 hektar.

Tabel di bawah ini menunjukkan proses perubahan Pangkalan Kerinci dari

kumpulan Pangkalan hingga menjadi ibu kota Kabupaten Pelalawan.

Page 35: industrialisasi di Riau

Tabel 2. Data Perkembangan Status Pangkalan Kerinci

Tahun Status Wilayah

sebelum tahun 1978 Pangkalan

1978 Desa Muda

1983 Desa

1987 Kantor Wilayah Kerja II

Pembantu Bupati

1999 Kecamatan

Ibu Kota Kab. Pelalawan

Data diolah dari lapangan

Studi ini menemukan hak komunal menjadi tumpang tindih dengan hak individu.

Sebelum masuknya industri tidak dibenarkan selain suku lalang memiliki tanah ulayat,

penjualan atas tanah harus atas persetujuan batin sebagai kepala pemerintahan. Tetapi

setelah tanah langka dan harga tinggi setiap individu bisa dengan mudah mengklaim

kepemilikan tanah. Fakta menarik atas hilangnya fungsi sosial atas tanah adalah

masyarakat terpaksa meminta kepada perusahaan PT RAPP untuk tanah kuburan, sebab

masyarakat sudah tidak bisa lagi menyediakan tanah kuburan.

Kehilangan fungsi sosial tanah berdampak pada pola pekerjaan masyarakat.

Sebelumnya masyarakat sangat tergantung pada hutan-tanah untuk produksi. Hutan bagi

penduduk lokal bukan hanya tempat berladang berpindah-pindah atau berkebun tanaman

keras, tetapi juga merupakan sumber penghasilan tambahan sebagai penopang utama

ekonomi keluarga (Ever 1989). Di hutan tersedia kayu, rotan, damar, sumber ketahanan

pangan baik hewani maupun nabati, sumber penghasil madu dan lain-lainya. Ketika

hutan dan tanah tidak tersedia lagi tentu masyarakat tidak mungkin harus bertahan

dengan tradisi pertanian tradisional.

Tabel 3. Data Pekerjaan dan Sumber Pendapat

Jumlah Rumah Tangga

Jenis Pendapatan (Pekerjaan

Sebelum ada Industri Setelah ada Industri

Ladang 27 2

Karet 27 -

Balak 20 -

Nelayan 27 2

Tidak Bekerja 3 2

Sewa rumah - 20

Kebun sawit - 10

Buruh Harian - 4

Sopir truk - 1

Sopir oplet - 1

Penarik Becak Motor - 1

Buruh Sawamil - 1

Pegawai Swasta (PT RAPP) - 1

Dagang - 1

N = 30 rumah tangga

Data diolah dari lapangan

Page 36: industrialisasi di Riau

Data di atas mendiskripsikan peralihan sumber pendapatan dan pekerjaan, dari

pertanian tradional ke pertanian global dan ke jasa sewa rumah. Hanya 2 rumah tangga

yang bertahan di sektor pertanian yaitu ladang dan nelayan. Ke dua rumah tangga ini

menjalankan usaha ladang sekaligus nelayan di pinggiran sungai Kampar dari sisa tanah

yang belum diambil oleh industri dan belum juga dijual oleh masyarakat. Terdapat 20

rumah tangga membangun rumah sewa dari tanah perkarangan dari hasil pembagian

program relokasi Departemen Sosial. Data ini juga melihat berkembangnya jenis

pekerjan baru dari 5 jenis pekerjaan menjadi 11, atau bertambah 7 jenis pekerjaan baru.

Perubahan ekologis ini diikuti oleh perubahan demografi. Perubahan ini

disebabkan terjadinya imigrasi dari seluruh penjuru. Industri bubur kertas telah

mengundang tenaga kerja yang berasal dari India, Amerika, Filipina, Eropa dan lainnya.

Dilihat dari perubahan penduduk tahun 1978 jumlah rumah tangga hanya 35 rumah

tangga, jumlah ini meningkat menjadi 160 rumah tangga di tahun 1983. Tahun 1999

jumlah rumah tangga melonjak menjadi 4178 rumah tangga dan hanya 70 rumah tangga

penduduk asli Pangkalan Kerinci atau sekitar 1,84 persen dari keseluruhan rumah tangga

di Pangkalan Kerinci.

Graf 1. Kompisisi Penduduk Pangkalan Kerinci Tahun 1999

Komposisi Penduduk

Pangkalan Kerinci tahun 1999

2% 7%

91%

PA PPADT PPTL

Keterangan:

-PA = Penduduk Asli; -PPADT = Penduduk Asli dari Desa Tetangga;

-PPTL = Penduduk Pendatang Tempat Lain

Perubahan demografis ini mempunyai implikasi pada perubahan politik dan

kekuasaan. Walaupun sumber perubahan politik dan kekuasaan tradisional adalah

penetrasi negara penerapan UU No 5 tahun 1974 dan UU no 4 tahun 1979. Kedua

UU ini menerapkan sistem demokrasi dalam pemilihan kepala desa, sehingga posisi

sebagai masyarakat minoritas menyebabkan keputusan politik berada di tangan

mayoritas. Terbukti sejak tahun 1983 kepala desa dijabat oleh pendatang, hak

kebatinan suku lalang tidak lagi mempunyai pengaruh pada masyarakat.

2) Perubahan Rumah Tangga. Kehadiran perkebunan sawit merubah desa

Pangkalan Kerinci menjadi semi desa sebagaiman konsep Hans Dieter Ever. Tumbuhnya

sektor perkotaan melalui pertumbuhan pasar, mulai dari pasar mingguan berubah menjadi

pasar harian yang permanen dan menjual berbagai produk barang. Berfungsinya pasar

yang dibuat pemerintah yang semula berfungsi sebagai pasar kebutuhan harian.

Page 37: industrialisasi di Riau

Pangkalan Kerinci berubah menjadi kota kecil setelah dibangunnya industri bubur kertas

PT RAPP. PT RAPP membawa ribuan pekerja pabrik dan membangun perumahan di

kawasan yang terpisah dari masyarakat. Pangkalan Kerinci benar-benar menjadi ibu kota

kabupaten setelah disahkannya pembentukan Kabupaten Pelalawan tahun 1999 dengan

ibu kota Pangkalan Kerinci.

Bersamaan dengan itu terjadi juga perubahan dalam struktur rumah tangga.

Rumah tangga luas tidak lagi ditemui di Pangkalan Kerinci. Konsep rumah tangga luas

tradisional sudah berubah ke rumah tangga inti. Begitu juga pengelompakan rumah

tangga inti yang berpusat pada rumah orang tuanya juga tidak ditemui. Hubungan

kekerabatan hanya terjadi melalui hubungan keluarga (famili), antar rumah tangga dalam

satu keluarga tidak lagi berdekatan tetapi sudah terpencar.

Perubahan struktur rumah tangga luas ke rumah tangga inti ikut mempengaruhi

pola konsumsi dan produksi serta pembagian kerja dalam rumah tangga. Konsumsi

bersumber dari produksi rumah tangga sendiri, dalam hubungan dengan orang tuanya

anak mensubsidi orang tuanya berupa uang. Tedapat 2 rumah tangga yang secara rutin

mensubsidi rumah tangga orang tuanya setiap bulan yang tinggal pada rumah tangga

yang terpisah. Yang belum berubah dalam hal fungsi anak yang belum menikah sebagai

pekerja rumah tangga tanpa bayar bagi rumah tangga yang tetap di sektor pertanian atau

mempunyai usaha sendiri di mana anaknya bekerja pada bapaknya. Tetapi pada rumah

tangga yang yang anak-anaknya bekerja pada orang lain, anak tetap mempunyai otoritas

mengelola penghasilannya dan mensubsidi orang tuanya sesuai dengan keinginannya.

Perubahan juga terjadi pada peran perempuan dalam rumah tangga. Kehilangan

pekerjaan skuder ini menyebab perempuan secara otomatis pulang ke rumah. Para suami

yang pendapatnya meningkat tetapi masih berpaham pada nilai pertanian mengembalikan

para isteri mereka pada nilai status sosial. Di mana para isteri yang bekerja dianggap

sebagai cerminan ketidak mampuan lelaki dalam menghidupi keluarga. Ketika para

suami mampu menghidupi rumah tangganya dengan menjual tanah, berkebun dan sumber

ekonomi baru lainnya, isteri diletakkan kembali kepada posisi status sosial.

Dari 30 rumah tangga yang diteliti 10 rumah tangga yang berpenghasilan lebih

dari 15 juta pertahun para isteri dan suami merasa bangga kalau isterinya tidak bekerja.

Begitu juga para isteri merasa senang kalau dirinya tidak lagi bekerja. Memang pada

keluarga yang pendapatannya kurang dari 10 juta keinginan istri bekerja cukup besar.

Tetapi mereka merasa sangat sadar bahwa kini peluang kerja tidak sesuai dengan mereka.

Data berikut mampu menjelaskan aktivitas perempuan di Pangkalan Kerinci.

Tabel 4. Alasan tidak bekerja di Perusahaan

Uraian Jumlah

Tidak bisa / tidak cocok 26

Tidak ada jawaban 4

Bekerja di Kebun 2

Tabel di atas dengan jelas menegaskan kesadaran perempuan bahwa peluang kerja yang

tersedia bukan untuk mereka. Faktor utama adalah pendidikan dan keterampilan yang

mereka miliki. Konsepsi pemikiran mereka tentang fungsi perempuan masih sangat

dominan. Terutama konsepsi bahwa bekerja adalah haknya lelaki, sebagai kepala rumah

tangga.

Page 38: industrialisasi di Riau

Walaupun demikian telah terjadi perubahan konsep bekerja bagi para isteri,

seperti dijelaskan tabel berikut;

Tabel .5. Pekerjaan Isteri

Uraian Jumlah

Tidak Bekerja 30

Bekerja sambilan 0

Bekerja 0

Data tersebut mengambarkan perubahan persepsi perempuan terhadap pekerjaan.

Kesemua responden menyatakan tidak bekerja. Jika ditanya pekerjaan mereka

sebelum masuknya industri, umumnya mereka menjawab bertani. Tetapi karena

pertanian tidak tersedia lagi mereka menyatakan diri tidak bekerja. Alasan mereka

menyatakan diri tidak bekerja adalah karena bekerja menurut mereka adalah adanya

penghasilan yang mereka terima dan bisa dikelola sendiri. Karena mereka tidak punya

penghasilan, maka meskipun mereka bekerja membantu suami di kebun, mengurus

rumah tangga, mereka tetap menyatakan diri tidak bekerja. Padahal kalau dilihat data

aktiiftias isteri cenderung mempunyai aktifitas tambahan seperti berdagangan kecil-

kecilan, dan membantu suami di kebun. Sebagaimana data pada tabel berikut;

Tabel 6. Aktifitas isteri di Rumah

Uraian Jumlah

Urus rumah tangga 30

Bantu Suami di Kebun 10

Berdagang 2

Ikut bekerja di lading 2

Ikut arisan 6

Data ini mengambarkan bahwa jumlah isteri yang terlibat dalam aktivitas

ekonomi semakin berkurang. Ke seluruh istri menyatakan bekerja di rumah, hanya 14

orang yang ikut membantu kerja di kebun, ladang dan berdagang, dan hanya 6 saja yang

menghabiskan waktunya dengan mengikuti arisan. Arisan ini sendiri merupakan tradisi

baru di kalangan perempuan agraris, sebelumnya tidak dikenal dalam perempuan agraris,

tradisi ini baru ada setelah kedatangan industri dan bertambahnya jumlah istri birokrat.

Enam isteri yang ikut arisan ini cenderung lebih tinggi pendapatannya.

Salah satu segi positif kehadiran industri adalah adanya kesadaran untuk

perbaikan pendidikan pada anak. Setiap rumah tangga sangat mendukung anak-anaknya

sekolah dengan tidak memandang seks. Jadi semua anak akan disekolahkan sesuai

dengan kemampuan ekonomi rumah tangga.

Tabel 7. Keinginan Menyekolahkan Anak Perempuan

Jenis Sekolah Jumlah

Tidak ingin Menyekolahkan anak 3

Sekolah sampai SMU 19

Sekolah sampai Universitas 8

Page 39: industrialisasi di Riau

Data ini mengambarkan telah terjadi perubahan wacana pemikiran pada ibu rumah tangga

di Pangkalan Kerinci. Pendidikan sudah dianggap akan menuju perbaikan bagi rumah

tangga. Semua ibu-ibu yang menginginkan anak-anaknya sekolah dengan alasan untuk

perbaikan hidup di masa depan. Sementara alasan para ibu-ibu menyekolahkan anak-

anaknya sampai ke SMU saja dengan alasan tidak tersedianya dana untuk membiayai

anak-anak mereka sekolah. Tiga keluarga yang tidak bersedia menyekolahkan anak-

anaknya juga disebabkan oleh faktor ekonomi. Mereka benar-benar menyadari bahwa

untuk biaya kehidupan sehari-hari saja ekonomi mereka tidak cukup. Ketidak mampuan

ekonomi itu memaksa mereka mengurungkan niat untuk menyekolahkan anak mereka.

Dalam hal perubahan produksi dan konsumsi, jika dilihat dari pola produksi dan

konsumsi ditemui pergeseran sumber pendapatan yang sangat berarti, yaitu pertama,

perubahan pendapatan tahunan dari ladang berpindah-pindah berubah menjadi

pekerubanan sawit dan kepemilikan rumah sewa, termasuk juga menjalankan

perdagangan. Terjadi juga perubahan pola konsumsi dari sepanjang tahun dan konsumsi

sosial ke biaya sekolah anak. Sementara produksi bulanan yang dulunya bersumber dari

getah karet dan membalak tidak lagi dijumpai aktivitas serupa, yang ada hanya usaha

bidang kayu sawmill.

Produksi yang paling berkembang adalah produksi harian yang bertujuan untuk

konsumsi harian, sumber pendapatan dari produksi harian adalah nelayan hanya tiga

keluarga, hasil hutan dan sungai tidak tersedia lagi digantikan oleh buruh harian di pasar

atau bangunan, menyopir oplet dan truk serta membawa becak motor.

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Persentase

Sebelum

1983

1983-1990 1990-1995 1995-1999

Tahun

Graf 2. Perubahan Pekerjaan Responden (N 30)

Berladang Nelayan Tdk bekerja Rumah Sewa Oplet

Buruh angkut Kebun Sawit Becak Swasta Karyawan RAPP

Kehadiran industri menyebabkan penambahan peluang pekerjaan. Perubahan

sektor agraris dari 90 persen tahun 1983-1990 menjadi tidak mencapai 10 persen ditahun

1999. Begitu juga dengan sektor nelayan. Ada dua usaha baru yang berkembang yaitu

rumah sewa dan kebun sawit serta buruh angkut.

Akibatnya pola konsumsi didominasi oleh konsumsi harian. Subsidi sosial yang

berbasis komunitas seperti ikan, pohon Sialang yang menghasilkan madu, hutan obat-

obatan dan pembagian tanah dari adat tidak tersedia lagi. Biaya sosial dibebankan

kepada perusahaan dan pemerintah.

Tabel. 8.Pembelanjaan Uang

Page 40: industrialisasi di Riau

Jenis Pembelanjaan Jumlah Keluarga

Biaya sekolah anak 13

Biaya sehari-hari 30

Tidak cukup 2

Ditabung 5 Jumlah Responden 30 Keluarga

Dua keluarga yang menyatakan tidak cukup tersebut merupakan rumah tangga

yang sudah berusia lebih dari 60 tahun di mana biaya hidupnya disubsidi oleh anak-

anaknya. 17 rumah tangga yang tidak membiaya anak-anaknya karena anak-anaknya

sudah tamat sekolah menengah umum tetapi belum bekerja dan sekita 5 rumah tangga

merupakan keluarga miskin. Sedangkan 5 rumah tangga yang menabung merupakan hasil

dari penjualan tanah atau kebun atau ganti rugi dari perusahaan.

Tabel.9. Pembelanjaan dalam Rumah Tangga

Pola Belanja Jumlah

keluarga

Jenis Pembelanjaan

Tahunan 13 Biaya sekolah anak , bangun rumah,

pakaian

Bulanan - -

Harian/mingguan 30 Kebutuha dasar

Data ini menujukkan bahwa pembelanjaan bulanan tidak lagi terjadi pada rumah

tangga Pangkalan Kerinci, biaya tahunan hanya digunakan untuk biaya anak sekolah dan

pembangunan rumah serta acara adat yang ditanggung sepenuhnya oleh rumah tangga.

Dominan pembelanjaan adalah belanja harian dan mingguan. Belanja mingguan hanya

terjadi pada keluarga yang mampu untuk belanja beras dan minyak. Sedangkan

kecenderungan mereka belanja harian untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Tabel 10. Pendapatan setahun

Jumlah Rumah Tangga

Nilai Pendapatan (Rupiah) Sebelum ada Industri Setelah ada Industri

500.000 - 1.500.000.- 29 Rumah Tangga 1 rumah tangga

1.600.000 - 3.000.000.- 1 Rumah Tangga

3.100.000- 6.000.000,- - 3 rumah tangga

6.100.000 – 12.000.000,- - 8 rumah tangga

12.100.000- 20.000.000.- - 9 rumah tangga

20.100.000- 30.000.000,- - 5 rumah tangga

30.100.000- 49.000.000,- - 4 rumah tangga

N = 30 rumah tangga

Perhitungan nilai pendapatan di atas berdasarkan jumlah produksi yang dinilai

dengan uang pada saat itu. Penghasilan padi sebelum masuk industri dihitung

berdasarkan nilai pada waktu itu 1 liter beras seharga Rp.50,-. Begitu juga penghasilan

Page 41: industrialisasi di Riau

setelah masuknya industri juga berdasarkan nilai pada saat sekarang, 1 liter beras seharga

Rp.3000,-. Sementara terdapat perbedaan nilai uang pada masa sebelum masuknya

industri dengan setelah masuknya industri. Sebagai contoh minyak tanah satu liter pada

tahun 1983 adalah Rp.25 rupiah. Pada tahun 1999 harga minyak tanah 1 liter adalah

Rp.750,-. Maka jika dilihat dari nilai uang tahun 1983 dengan nilai uang tahun 1999 nilai

penghasilan tersebut mempunyai nilai yang sama. Apalagi setelah masuknya industri

semua kebutuhan harian harus memakai uang.

Dilihat dari rata-rata penghasilan beras dalam setahun 16000 kilo atau 16 ton,

maka dengan melihat rata-rata penghasilan setelah masuk industri penghasilan rata-rata

adalah Rp.20.000.000,-. Jika nilai 20.000.000,- dibagi dengan harga besar sekarang Rp.

3000, maka jika dikonversikan dengan beras nilai Rp.20.000.000,- hanya menghasilkan

6667 ton beras, atau lebih rendah sebesar 7333 (45%) dari pendapatan sebelum masuknya

industri. Padahal jumlah pendapatan sebelum masuknya industri tersebut tidak termasuk

pendapatan harian. Dengan perbandingan di atas tentu sangat mengkhawatirkan

ketahanan pangan terhadap 1 rumah tangga yang tetap bertahan ladang dengan

penghasilan Rp.800.000,- pertahun, atau Rp.66.000,- per bulan.

Terjadi perubahan persepsi terhadap sumber pendapatan, sebelum masukknya

industri persepsi sumber pendapatan adalah penghasilan tahunan yaitu padi ladang.

Hanya tiga orang yang memasukkan menangkap ikan sebagai sumber pendapatan.

Sementara sumber pendapatan bulanan, mingguan dan harian tidak disebut pendapatan

karena pendapatan bulanan dan minguan dan harian habis begitu penghasilan ini

diperoleh. Pendapatan bulanan biasanya digunakan untuk membayar hutang sebulan

sebelumnya, sedangkan pendapatan minguaan dan harian langsung habis saat itu juga.

Problem lain adalah pendapatan bulanan, mingguan dan harian tersebut dianggap sebagai

pendapatan tambahan, sedangkan kebutuhan utama yang harus ada dalam keluarga

adalah beras atau nasi. Oleh sebab itu yang penting bagi mereka ada beras dan ada

kepercayaan dari tauke untuk menghutang keperluan sehari-hari. Bagi mereka terpenuhi

kebutuhan beras dalam setahun, hidup mereka akan lapang (senang, mudah). Apalagi

kebutuhan gula dan garam bisa mereka peroleh tanpa harus memerlukan uang atau

memerlukan pendapatan mingguan dan harian.

Terdapat 3 rumah tangga yang penghasilanya melebihi 30 juta rupiah pertahun

dan 1 rumah tangga penghasilannya mencapai 49 juta rupiah pertahun. Setelah ditelusuri

lebih mendalam penghasilan tersebut diperoleh dari penjualan hasil tanah. 1 rumah

tangga yang berpengahsilan di bawah 1,5 juta rupiah merupakan rumah tangga yang tetap

mempertahankan pertanian secara tradisional.

Respon dan Strategi Rumah Tangga

Respon rumah tangga terhadap perubahan dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 11. Pandangan Masyarakat Terhadap Kehadiran Industri

Negatif Jumlah Positif Jumlah

Tanah tidak diganti 2 Bisa Dagang 5

Harga mahal 30 Pengingkatan Penghasilan 25

Hutan habis dan

berdebu

30 Bisa kerja di perusahaan 3

Banyak Pendatang 25 Mudah menjual hasil kebun 2

Page 42: industrialisasi di Riau

Data tersebut mengambarkan bahwa semua kelompok sosial asli Pangkalan

Kerinci mengikuti perubahan sesuai dengan kapastias sosial dan ekonominya. Kapasitas

sosial dan ekonominya ini mempengaruhi corak perubahan pada masing-masing

keluarga. Pada rumah tangga miskin cenderung bertahan dengan produksi lama, tetapi

tetap ingin melakukan perubahan pola produksi, di mana sektor pertanian tidak lagi

menjadi adalan produksi. Pada keluarga yang mampu secara ekonomi, pendidikan akan

lebih cepat memanfaatkan peluang perubahan yang ada. Sementara kemampuan

beradaptasi pada perubahan kelas sosial menyebabkan terjadi peralihan status kelas sosial

dan ekonomi rumah tangga desa.

Pandangan di atas mencerminkan respon, yaitu positif dan negatif. Pandangan

negatif merujuk kepada rendahnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok

(basic need). Di mana ke 30 rumah tangga yang berasal dari tingkat pendapatan yang

berbeda menyatakan harga mahal. Begitu juga habis hutan dan berdebu, semasa

penelitian dilapangan kondisi jalan masih tanah sementara lalu-lintas mobil sangat padat

sehingga udara di Pangkalan Kerinci sangat berdebu. Kondisi ini jauh berbeda setelah

tahun 2001 di mana semua jalan sudah diaspal dan sudah tidak berdebu. Keluhan pada

pendatang dari 25 rumah tangga disebabkan perbedaan budaya yang sangat menyolok

antara pendatang dan penduduk asli.

Sementara pandangan positif merujuk kepada aktivitas ekonomi yang dilakukan

penduduk. 5 rumah tangga menyatakan bisa berdagang, 3 menyatakan bisa bekerja di

perusahaan merupakan keluarga dari batin dan keluarga berpendidikan serta pernah

merantau. 2 menyatakan mudah menjual hasil kebun mengacu kepada aktivitas ekonomi

rumah tangga. 25 rumah tangga merespon sangat positif kehadiran industri ini karena

bisa meningkatkan penghasilan. Penghasilan yang dimaksud adalah kuantitas uang yang

diperoleh dalam sehari, bukan peningkatan kemampuan konsumsi dan tabungan (saving).

Persepsi yang sangat bertolak belakang sebelum masuknya industri yang tidak

mempunyai ketergantungan pada uang.

Berikut pandangan penduduk tentang peluang usaha yang muncul akibat industri,

sebagiaman yang digambarkan oleh table berikut:

Tabel 12. Peluang usaha yang muncul

Jenis Usaha Jumlah Rumah Tangga

Dagang 19

Jasa Angkutan 2

Sewa Rumah 4

Jual kayu 1

Tidak tahu 4

Terjadi perubahan orientasi pekerjaan atau sumber pendapatan rumah tangga, jika

sebelum masuknya industri pekerjaan dan sumber penghasilan mereka adalah pertanian.

Tetapi tidak satupun yang merujuk sektor pertanian sebagai peluang usaha yang akan

muncul. Bahkan mayoritas rumah tangga menyebut berdagang sebagai pekerjaan yang

baik yaitu 19 rumah tangga. Hanya ada 1 rumah tangga yang masih mengandalkan hutan

yaitu menjual kayu, 2 jasa anggkutan dan 4 sewa rumah. Terdapat 4 rumah tangga yang

belum mengerti apa peluang usaha yang akan muncul akibat adanya industri.

Page 43: industrialisasi di Riau

Peluang usaha yang muncul akibat industri tidak ingin dimanfaatkan oleh

masyarakat, terbukti dari peluang usaha yang muncul di atas ternyata bertolak belakang

dengan jenis usaha yang diinginkan rumah tangga. 12 rumah tangga menginginkan

kebun sawit yaitu sektor agraris yang berbasis global. Keinginan ini tentu saja

berdasarkan kepada kecenderungan perkembangan kebun sawit dan pasar yang makin

luas. Umumnya mereka yang menginginkan kebun sawit ini adalah mereka yang menolak

atau menjual kebun sawit pemberian perusahaan kebun sawit pada awal tahun 90-an.

Setelah melihat keuntungan yang didapat pemilik kebun sawit merekapun menginginkan

perusahaan dan pemerintah memberi kebun sawit kepada mereka. Keinginan untuk

mendapatkan kebun sawit ini sudah menjadi sebuah gerakan dengan beberapa kali

mengadakan demonstrasi ke pemerintah untuk diberikan kebun sawit. Selain sawit

terdapat 3 rumah tangga lagi yang ingin bergerak di sektor pertanian yaitu 2 bidang

pertanian dan 1 berternak ayam.

Di peluang usaha yang muncul 19 rumah tangga menggemukakan dagang

merupakan peluang usaha, tetapi dari usaha yang diinginkan hanya 5 rumah tangga yang

konsisten hanya 5 rumah tangga yang melihat peluang usaha rumah sewa dan

menginginkan rumah sewa sebagai usaha. 2 yang ingin bengkel yaitu 1 bengkel mobil

dan 1 bengkel motor 2 rumah tangga tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan.

Tabel. 13. Jenis usaha yang diinginkan

Jenis Usaha Jumlah Rumah Tangga

Kebun sawit 12

Bengkel Mobil 1

Dagang kebutuhan pokok 5

Bengkel Motor 1

Rumah Sewa 5

Ternak Ayam 1

Oplet 1

Tani 2

Tidak tahu 2

Apakah dengan tersedianya jenis usaha baru dan keinginan usaha yang ingin

dilakukan dilanjutkan dengan langkah-langkah untuk mendapatkannya? Ternyata ke 30

rumah tangga tidak mempunyai langkah-langkah untuk mewujudkan keinginannya

tersebut. Ini terlihat 26 rumah tangga menyatakan bertahan dengan apa adanya, 1 rumah

tangga menyesuaikan diri dengan keadaan apa adanya dan 3 rumah tangga belum tahu

apa yang akan dilakukan. Ini berarti kesemua rumah tangga tersebut tanpa perencanaan

kedepan sedikitpun. Hanya saja mereka tidak mempertahankan usaha sebelumnya karena

tidak mungkin tetapi juga tidak merencanakan apa yang akan dilakukan berikutnya.

Padahal dilihat dari perubahan sumber pendapatan dan usaha terjadi perubahan yang

sangat berarti dari 100% bekerja di sektor pertanian tinggal 10% saja. Dilihat dari varibel

pekerjaan dari bekerja di sektor pertanian dan nelayan menjadi 10 jenis pekerjaan, artinya

masyarakat mengeluti 8 jenis usaha baru yang muncul akibat industri.

Fakta ini mengambarkan bahwa tekanan kebutuhan dasar rumah tangga secara

otomatis mendesak kepada kepala rumah tangga untuk masuk ke sektor non agraris,

walaupun di level buruh, pekerja kasar ataupun buruh lepas harian. Namun demikian

Page 44: industrialisasi di Riau

secara sistematis mereka tidak mempunyai persiapan untuk menghadapai perubahan yang

terjadi. Ini terlihat dari tabel rencana kedepan di bawah ini, di mana tidak satupun rumah

tangga yang punya rencana. 26 rumah tangga bertahan dengan apa adanya yang pada

mereka. Ini artinya akan terjadi maksimum produksi dan menimum konsumsi. Semua

kesempatan dan tenaga kerja rumah tanga dieksploitasi secara maksimal untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi rumah tangga. Bahkan 3 rumah tangga belum tahu apa yang akan

diperbuat, penyataan ini bermakna sikap frustasi dalam menghadapi perubahan. 1 rumah

tangga yang menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar, ini bermakna jika dia mampu

menyesuaikan diri maka dia akan mengikuti irama perubahan, tetapi jika tidak mampu

maka mereka akan pindah ketempat lain.

Tabel. 14. Rencana Kedepan

Aktivitas Jumlah Rumah Tangga

Bertahan dengan apa yang ada 26

Menyesuiakan diri dengan keadaan sekitar 1

Belum tahu apa yang akan dilakukan 3

Untuk mempertahankan konsumsi rumah tangga, kepala rumah tangga melakukan

perubahan sumber pendapatan dari berladang dan nelayan ke pekerjaan yang tersedia dan

mampu mereka kerjakan serta memperoleh pemasukan tambahan lainnya. Mereka masuk

ke 9 jenis usaha baru, yaitu kebun sawit, buruh harian, sopir truk atau buruh angkutan

pada truk, sopir oplet, menarik beca, bekerja di sawmill, berdagang, karyawan

perusahaan swasta dan bekerja sebagai pegawai rendahan di pemerintah. Selain itu,

mereka mencari tambahan penghasilan melalui jasa rumah sewa, menjual sisa tanah atau

kebun, broker tanah, dan mempolitisir kepentingan masyarakat asli ke perusahaan dan

pemerintah.

Perubahan pola produksi (pendapatan) diikuti pula perubahan pola konsumsi,

yaitu hilangnya konsumsi sosial dan konsumsi tahunan. Pola konsumsi yang tersisa

adalah konsumsi harian, dan mingguan. Faktor penyebab perubahan tersebut adalah

hilangnya produksi tahunan berladang. Dulu ketersediaan konsumsi tahunan diperoleh

melalui perladangan, bersamaan hilangnya perladangan maka persediaan konsumsi

tahunan juga hilang.

Sementara pola konsumsi harian ini berkaitan dengan sumber pekerjaan dan

pendapatan yang diperoleh secara harian, terutama pekerja buruh kasar harian. Hasil dari

sewa rumah yang diambil secara tahunan, jual tanah atau bantuan dari perusahaan

dibelanjakan untuk biaya anak sekolah. Pendapatan yang diperoleh melalui jual tanah

atau ganti rugi dari perusahaan cenderung dikonsumsi secara konsumtif dalam bentuk

belanja kendaraan bermotor atau mobil dan pergi ke tempat pelacuran.

Perempuan dan Perubahan

Pada rumah tangga miskin pedesaan, perempuan mengolah padi, meneres karet,

menebang kayu, menebas belukar bahkan menjadi buruh tani untuk menopang ekonomi

keluarga. Ini berarti perempuan mengalami beban kerja yang sangat berat. Selain

menjalankan fungsi sosialnya sebagai perempuan, dia juga harus menghidupi rumah

tangga. Padahal secara sosial perempuan mengalami domestikasi, kehilangan kebebasan

sosial dan kebebasan pengelolaan hasil ekonominya (An Stoler, 1984).

Page 45: industrialisasi di Riau

Berbeda dengan perempuan desa yang rumah tangganya mampu, beban kerja

tidaklah begitu besar. Yang terjadi adalah proses domestikasi serta hilangnya kebebasan

sosial. Perempuan diposisikan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas melayani suami

dan memelihara anak-anak. Hak atas sosial merupakan hak lelaki yang mempunyai

kekuasaan atas isteri.

Domestikasi tersebut merupakan norma sosial yang berlaku dalam komunitas

sosial pedesaan. Isteri yang hanya di rumah saja menjadi simbol status sosial dalam

komunitas desa. Pada masyarakat Melayu pedesaan suami akan mendapat status sosial

yang terhormat apabila mampu membiarkan isterinya hanya di rumah saja, sebab hanya

orang yang mampu saja yang bisa bertindak seperti itu. (Rawa, 1997)

Akibatnya perempuan mengalami penghapusan hak politik, hak untuk berkarya

secara otonomi, hak keperempuannya, dan yang lebih menyakitkan lagi adalah hak

pendidikan. Perempuan di desa disarankan untuk tidak sekolah hingga ke universitas

disebabkan dirinya perempuan yang hanya berada di dapur, sumur dan tempat tidur.

Kehadiran industri di pedesaan menyebabkan dua fenomena, pertama, hilangnya

pekerjaan agraris. Kehilangan pekerjaan ini juga dirasakan oleh perempuan desa. Sebab

bagi perempuan yang bekerja membantu suaminya akan mengalami nasip yang sama

sebagaimana hilangnya pekerjaan suami di sektor agraris. Lahan-lahan yang tersedia

hanya lahan perkarangan yang biasanya dikerjakan oleh anak-anak perempuan.

Kedua, industri memunculkan banyak pekerjaan dari seluruh sektor kehidupan

terutama yang berhubungan dengan kebutuhan perusahaan dan kebutuhan karyawan.

Industri menyediakan pekerjaan kantor, buruh, wirausaha, jasa dan lain-lainnya.

Kehilangan pekerjaan agraris bukan berarti penduduk desa akan kehilangan sumber

ekonomi rumah tangga, sebab diganti pada sektor industri, jasa dan wirausaha.

Ini bearti peluang bekerja diperusahaan terutama di kantor dan upahan akan lebih

besar. Apalagi pekerjaan kantoran tidak memerlukan tenaga yang banyak, yang

diperlukan hanyalah skill. Di sinilah persoalannya perempuan desa cenderung tidak

memenuhi standard yang dibutuhkan industri. Bahkan untuk memilih sektor informal

lainnya diluar pekerjaan agraris juga masih mengalami hambatan.

Sementara itu, bagi industri perempuan merupakan potensi sumber daya manusia.

Menurut Marx, hubungan sosial dilandasi oleh hubungan sosial produksi, yaitu suatu

usaha sistematis dari mereka yang menguasai produksi untuk menyerap surplus yang

dihasilkan oleh produsen. (Ratna Saptari 1997). Pada penelitian ini, yang menguasai

sumber produksi adalah kapitalisme internasional melalui perusahaan multinasional.

Hubungan sosial produksi dimulai dari eksploitasi hutan-tanah pertanian penduduk, yang

menyebabkan penduduk tidak bisa lagi bekerja di sektor agraris.

Perubahan sumber ekonomi pertanian pedesaan menyebabkan terjadi perubahan

pekerjaan dan privatisasi hak milik. Perubahan pekerjaan dan privatisasi hak milik ini

menyebabkan bergesernya fungsi perempuan dari memegang peran yang sangat

berpengaruh secara komunal menjadi semata-mata bekerja secara domestik dalam

rumah tangga. Akibatnya perempuan dikontrol oleh lelaki secara ekonomi dan

seksualitas. (Ratna Saptari 1997)

Pengontrolan dan domestikasi terhadap perempuan memang merupakan langkah

sistematis dari kapitalisme. Ini disebabkan domestikasi dan perubahan perkejaan

perempuan dari pertanian ke upahan justeru menguntungkan kapitalisme (Mansour Fakih,

1996). Pertama, domestikasi atau eksploitasi pulang rumah. Dalam hal ini, perempuan

Page 46: industrialisasi di Riau

diletakkan sebagai buruh oleh lelaki di rumah tangga. Eksploitasi perempuan di rumah

tangga akan membuat buruh lelaki yang dieksploitasi di pabrik-pabrik bekerja lebih

produktif. Lelaki tidak lagi memikirkan pekerjaan di rumah tangga dan tangung jawab

terhadap anak. Lelaki terfokus bekerja di pabrik untuk mendapat penghasilan yang

sebanyak-banyaknya karena fungsinya sebagai kepala rumah tangga yang bertangung

jawab penuh terhadap ekonomi rumah tangga.

Kedua, karena perempuan dieksploitasi oleh suami, maka perempuan juga akan

mengalami eksploitasi reproduksi buruh. Hal ini terjadi karena perempuan bertugas untuk

melayani suami maka fungsi reproduksi buruh akan lebih dominan. Dampaknya adalah

jumlah anak akan banyak dengan demikian jumlah buruh akan melimpah. Jika jumlah

buruh lebih banyak maka sudah jelas menyebabkan pasar buruh akan lebih murah. Jika

tenaga kerja murah maka sudah jelas akan sangat menguntungkan kapitalisme.

Ketiga, pada keluarga miskin perempuan angraris harus merubah pekerjaannya

dari pekerjaan sektor pertanian berubah ke buruh upahan. Masuknya perempuan sebagai

buruh upahan akan menciptakan lebih banyak buruh cadangan. Banyaknya buruh

cadangan ini menyebabkan pasar buruh semakin murah, semakin murah pasar buruh akan

berdampak terhadap pasar buruh perempuan. Oleh karenanya multinasional akan memilih

perempuan sebagai buruh karena upahnya yang sangat murah. Terutama sekali

perempuan muda dan belum kawin.

Kenyataan tersebut menyebabkan posisi perempuan dalam sistem kapitalisme

cenderung kontradiksi. Pada keluarga kaya perempuan di bawah kekuasaan suami baik

secara ekonomi maupun secara sosial. Pada keluarga miskin perempuan dieksploitasi

oleh kapitalisme karena perbedaan seksualitas. (Ratna Saptari 1997)

Berdasarkan pandangan di atas kapitalisme melalui perusahaan multinasional

dalam hal ini PT Riau Andalan Pulp dan Paper dan PT Indosawit Subur Sejahtera akan

melakukan gerakan sitematis kepada dua pilihan di atas terhadap perempuan agraris.

Pertama melakukan gerakan domestikasi dengan menekankan buruh lelaki di pabrik

sedangkan perempuan desa yang tidak mempunyai keterampilan akan diperkerjakan oleh

lelaki di rumah.

Pilihan pertama ini sebenarnya lebih mudah untuk dilaksanakan mengingat kultur

dan sistem sosial yang masih bersifat patriakal yaitu kekuasaan berada di tangan lelaki.

Apalagi perempuan pedesaan masih sangat patuh kepada aturan sosial patriakal tersebut.

Langkah pertama ini berarti kehadiran industri justeru mengekalkan perempuan di

ekonomi domestik. Pengekalan perempuan di ekonomi domestik berarti juga

mengekalkan perempuan menjadi subordinasi lelaki, tidak punya kebebasan ekonomi,

sosial dan lain-lainnya.

Kedua, mengambil perempuan untuk dijadikan buruh upahan dengan gaji yang

sangat rendah. Langkah ini terutama sekali diambil untuk pekerjaan dipabrik atau

pekerjaan pemeliharaan di perkebunan. Langkah ini memang memberi kebebasan kepada

perempuan secara ekonomi dan mungkin juga penghasilannya, tetapi belum tentu secara

sosial. Sementara perempuan tetap dieksploitasi oleh sistem kapitalisme.

Suatu hal yang sangat mengkhawatirkan adalah menurunnya perlindungan

kesehatan reproduksi. Ancaman penyakin kelamin menjadi momok bagi perempuan di

Pangkalan Kerinci. Bagi suami yang mempunyai uang, atau baru saja berhasil menjual

tanah, dan memetik sawit, biasanya para suami tersebut jarang pulang ke rumah tetapi

pegi ke rumah bordil (tempat pelacuran). Data di puskesmas menunjukkan bahwa jumlah

Page 47: industrialisasi di Riau

pengindap sipilis terus meningkat dari bulan ke bulan, yaitu 5 orang dibulan Maret 1999

menjadi 11 orang pada bulan Maret 2000. Data ini tidak termasuk yang tidak berobat ke

Puskesmas. Penyakit tersebut bukan saja dialami oleh para suami tetapi juga para ibu

dan anak-anak remaja.

Prilaku seks menyimpang ini, merupakan suatu yang menarik untuk disimak.

Sebab peristiwa pemerkosaan oleh penduduk asli lokal telah menjadi berita yang biasa di

Pangkalan Kerinci. Begitu juga gadis remaja yang sudah biasa berhubungan seks dengan

pekerja hanya alasan uang. Sayangnya data kongrit sulit didapat, tetapi jika diwawancara

tokoh masyarakat, anak-anak remaja dan masyarakat luas prilaku seks menyimpang

bukan lagi rahasia umum.

Ternyata kehadiran industri menyebabkan menurunnya pelindungan alat

reprodsuksi perempuan akibat prilaku seks yang salah. Kalau dahulu para suami

menganut paham monogami atau berhubungan seks hanya dengan pasangannya saja.

Tetapi sekarang prilaku hubungan seks menjadi beragam, seoarang lelaki selain

berhubungan dengan pasangaanya juga berhubungan seks dengan wanita penjaja seks di

lokalisasi.

Penetrasi Negara

Pendekatan ekonomi politik Marx membagi masyarakat menjadi dua kelas, kelas

borjuis dan kelas petani kecil., Kelas borjuis terdiri dari borjuis metropolis dan borjuis

tempatan. Borjuis metropolis adalah perusahaan multinasional yang menginvestasikan

modalnya di Indonesia khususnya di Riau. Borjuis tempatan pula terdiri dari pegawai

pemerintah (dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan kepala desa),

pengusaha dan pengusaha China yang dikenal dengan komprador borjuisi. Kelas borjuis

ini bersatu melakukan eksploitasi terhadap kelas petani kecil. Borjuis pemerintah

(termasuk militer) memiliki kekuasaan resmi (yang otoriter) sedangkan pengusaha China,

dan pengusaha multinasional memiliki modal dan teknologi. Kerja sama ini dikenal dengan aliansi segitiga --triple alliance-- (Arief Budiman,

1996) yaitu pemodal asing, pemerintah dan borjuis lokal (pemodal tempatan yang terdiri

daripada pengusaha China, pengusaha keluarga birokrat, istana dan militer). Akibat

aliansi tiga pelaku ini tercipta struktur ekonomi yang tidak seimbang dan tidak adil.

Ekonomi kapitalis dengan mudahnya melakukan perluasan modal tanpa pertimbangan

kemanusiaan. Sumber-sumber ekonomi subsisten dihancurkan, tanah dan hutan diambil,

dan produksi kapitalis dijual kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat besar.

Operasionalisasi eksploitasi negara dan kapital diwujudkan melalui perusakan

perlembagaan desa. Tiga lembaga utama yang dirusak, yaitu lembaga ekonomi, lembaga

pemerintahan adat, dan lembaga sosial. Pertama, kelembagaan ekonomi desa dirusak

melalui perusakan faktor-faktor produksi, kemudian diikuti dengan perombakan pola

konsumsi. Tatanan ekonomi desa yang minim uang diganti dengan tatanan ekonomi

pasar. Akibatnya produksi tidak sama dengan konsumsi, usaha-usaha untuk menekan

konsumsi agar sama dengan produksi menimbulkan konflik dalam keluarga. Sementara

usaha memaksimal produksi (Cayanov 1966) tidak mampu dilakukan karena faktor-

faktor produksi telah diambil alih oleh negara dan industri. Perusakan pelembagaan

ekonomi ini secara otomatis akan terjadi perusakan kelembagaan keluarga.

Kedua, kelembagaan pemeritahan adat desa dirusak dengan penggantian tatanan

pemerintahan desa yang baru. Tatanan pemerintah desa yang baru tidak mampu

memperjuangkan kepentingan rakyat. Baik itu melalui pemilu dan saluran pemerintahan

Page 48: industrialisasi di Riau

yang ada. UU pemerintah desa no 5 tahun 1979 dan UU no 3 tentang parpol menghapus

fungsi politik di desa melalui konsep massa mengambang (floating mass). Kebijakan ini

diperburuk lagi dengan sentralisasi konsep desa dan penggantian kepala desa atas

persetujuan pemerintah atasannya. Masyarakat di desa kehilangan patron politik untuk

memperjuangkan hak-haknya.

Sementara pihak industri menggunakan perangkat negara itu untuk

mengeksploitasi rakyat. Aparat desa dengan mudahnya mengklaim atas nama rakyat

mendukung kepentingan industri dan pemerintah. Padahal pemimpin desa tidak

mempunyai kolerasi positif terhadap pembelaan masyarakat desa.

Ketiga, negara dan industri juga merombak struktur sosial dengan mendatangkan

tenaga kerja dan atau berdatangannya imigran dari luar daerah. Masyarakat lokal sendiri

tidak diberi peluang yang rasional untuk memanfaatkan peluang kerja yang ada.

Masyarakat lokal tidak lagi menjadi masyarakat yang mayoritas, tetapi justru menjadi

minoritas di tanahnya sendiri. Masyarakat lokal harus mengikuti tatanan pendatang yang

masih belum stabil. Keadaan ini menyebabkan masyarakat di kawasan industri semakin

bingung dan kehilangan identitas diri sebagai penduduk asli.

Keberhasilan industri merombak ketiga tatanan tersebut, menyebabkan masyarkat

lokal lebih mudah dieksploitasi dan diadu domba sesama mereka. Bahkan untuk hal-hal

tertentu masyarkat lokal dijadikan alat untuk mengeksploitasi miliknya sendiri.

Akibatnya masyarakat lokal disekitar industri mengalami marjinalisasi (kalau

tidak mau menyebut pemusnahan) penduduk lokal. Penduduk lokal termarjinal melalui

modal, di mana modal dasar penduduk berupa tanah dan hutan serta sungai berpindah

tangan kepada industri atau pendatang (dijual). Proses penjualan itu sendiri bisa

bersumber dari budaya konsumtif kota dan kekurang modal untuk hidup pada budaya

kota. Karena kawasan industri tersebut telah berubah menjadi kota.

Penduduk lokal kehabisan tanah dan hutan----lebih parah dari pandangan Gertz

(1980). Uang yang diperoleh dari penjualan tanah tersebut tidak dimenej secara baik,

sehingga habis secara perlahan. Sementara tingkat persaingan dan konsumsi semakin

tinggi. Maka tidak ada pilihan lain dari masyarakat lokal selain lari, sebab kalau tidak lari

dia akan menjadi pengemis di desanya sendiri.

Kenyataan ini memperkuat asumsi kelaparan dan minoritas masyarakat lokal di

kawasan industri. Apalagi dengan ketidak berdayaan skill dan informasi, mereka menjadi

kelas paling bawah dalam struktur kota baru tersebut. Kondisi ini sebagaimana yang

digambarkan Scott (1966) jika penduduk kehilangan patron ekonominya yang akan

terjadi adalah pemberontakan oleh petani. Pembakaran dan perampokan milik perusahaan

oleh masyarakat desa selama ini merupakan wujud dari pemberontakan masyarakat.

Tindakan eksploitasi yang paling nyata pada penduduk desa adalah

pengambilalihan tanah oleh industri dan negara. Terdapat empat pola pengambilan tanah

penduduk lokal. (Rawa 1997) Pertama, diambil secara paksa tanpa ganti rugi. Kebun

atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami tanpa pengetahuan

penduduk. Apabila penduduk menuntut tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan

mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan

bukti secara tertulis jika tanah tersebut milik mereka. Akan tetapi tidak seorang pun

memiliki bukti secara tertulis. Tanah yang diambil tersebut dijaga tentara atau yang

menyamar.

Page 49: industrialisasi di Riau

Apabila cara pertama gagal, maka pihak perusahaan akan menempuh cara kedua

yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti rugi dengan harga yang ditentukan oleh

pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang tersebut kepada pemerintah, dan

pemerintahlah yang akan membayarnya kepada penduduk. Cara ini dilakukan apabila

tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam dari masmedia dan NGO (Non

Goverment Organisation). Disini pengawai pemerintah cenderung memotong ganti rugi

tersebut, misalkan dibayar perusahaan Rp 1000/m2, dibayar Rp 50/m

2.

Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk

yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah mereka diambil

penduduk sudah mengadakan unjuk rasa agar tanahnya dibayar mahal.

Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil

karena tanah tersebut tidak bisa diambil secara paksa disebabkan adanya bukti

kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan

pabrik dengan mengepung tanah penduduk. Tanah penduduk tidak dapat dimanfaatkan

lagi untuk pertanian. Perusahaan tidak lansung membeli tanah tersebut, sebab kalau

perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Pembelinya pemerintah atau hanya

kepala desa dengan harga yang lebih murah dan menjualnya kepada perusahaan dengan

harga yang ditentukan perusahaan biasanya lebih jauh mahal. Atau bahkan pemerintah

memaksa rakyat untuk menjual tanahnya dengan alasan tempat itu akan dibangun.

Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjual tanah

mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan

menawarkan berbagai jenis barang baru, menganjurkan menjual tanah untuk

membangun rumah atau pergi ke haji. Selain itu menciptakan kekhawatiran di kalangan

penduduk bahawa jika tanahnya tidak dijual sekarang, tanah itu akan diambil oleh

pemerintah dengan ganti rugi yang lebih rendah. Akibatnya hampir semua penduduk

menjual tanah

Dalam hubungan ini, peranan kepala desa amat penting untuk menentukan tanah

penduduk laku dijual. Jika penduduk ingin menjual tanah mereka secara langsung pada

industri, biasanya tidak mendapat tanggapan. Untuk menjual tanah mereka, penduduk

harus menyerahkan tanah mereka ke kepala desa. Kepala desa yang akan menentukan

harga tanah tersebut, setelah itu baru tanah tersebut dijual.

Negara Indonesia di era Orde Baru bukan saja otoriter, tetapi juga

memperlakukan negara secara sepihak. Asumsi negara adalah rezim yang berkuasa,

rakyat dianggap seperti menumpang pada rezim yang berkuasa. Hubungan antara negara

dan rakyat adalah hubungan buruh dan majikan. Semua kekayaan negara adalah milik

rezim yang berkuasa. Agar kekayaan itu dapat dimiliki secara sah, maka dibuatlah

legitimasi melalui pembuatan undang-undang. Negara secara sistematis memproduk UU

yang akan mendukung ekspansi modal ke masyarakat desa. Oleh sebab itu terdapat

hubungan yang kuat antara negara dan modal dalam mengeksploitasi masyarakat asli di

desa.

Langkah sistematis yang diambil oleh negara semasa orde baru adalah melalui

korporatisme di desa, yaitu desa ditata sedemikian rupa melalui pembentukan lembaga

baru yang patuh kepada negara (rezim). Lembaga-lembaga tradisional dihapus,

kepemimpinan adat yang ada tidak diakui. Lembaga baru tersebut dipresentasikan

sebagai perwakilan rakyat yang mendukung rezim yang berkuasa.

Page 50: industrialisasi di Riau

Untuk mendukung langkah korporatisme negara maka rezim membuat UU untuk

memberi jarak antara rakyat dengan pemimpin tradisional. Beberapa UU yang dapat

diindentifikasi (Noer Fauzi, 1999), Pertama, UU Pemilu yang memberlakukan kebijakan

massa mengambang. Kebijakan massa mengambang ini menyebabkan rakyat tidak

mempunyai patron politik. Partai politik tidak mempunyai basis massa di desa. Massa

mengambang ini menyebabkan putusnya saluran politik rakyat pedesaan.

UU pemilu ini kemudian didukung pula oleh inpres tahun 1978 dan 1984 yang

melarang ada organisasi ekonomi rakyat yang terpisah dari negara. Satu-satunya

organisasi ekonomi rakyat yang dibolehkan adalah Koperasi Unit Desa (KUD),

organisasi profesi petani dibentuk oleh negara yaitu HKTI (Himpunan Kerukuan Tani di

Indonesia) dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Padahal seluruh organisasi

tersebut, hanya mewakili kepentingan negara saja.

Akibat perbelakuan UU ini, pimpinan adat tidak mampu memperjuangkan hak-

hak atas tanah dan kepungan sialang yang diambil oleh PT Indosawit Subur Sejahtera dan

PT RAPP. Organisasi adat yang selama ini mengatur masyarakat Pangkalan Kerinci

tidak berfungsi lagi, karena digantikan oleh organisasi bentukan negara tadi. Koperasi

desa yang merupakan organisasi ekonomi desa dikuasai oleh pendatang.

Kedua, UU Pemerintahan Desa 1979, yang berisi penyeragaman desa di seluruh

Indonesia. Sasaran UU ini adalah perombakan tatanan sosial lokal yang telah ada.

Pemimpin desa diwajibkan patuh kepada birokrasi atasannya bukan kepada rakyat.

Lembaga-lambaga adat yang telah ada diganti, seperti nama komunitas adat diganti

dengan nama desa. Ini mempunyai implikasi sosial yang sangat besar sebab desa harus

memenuhi persyaratan kependudukan dan luas daerah yang terbatas. Lembaga adat

diganti dengan LMD (Lembaga Musyawarah Desa), LKMD (lembaga Ketahanan

Masyarkat Desa), LSD (Lembaga Sosial Desa), PKK (Pembinaan Kesejahteraan

Keluarga). Padahal semua prangkat desa tersebut merupakan perwakilan kekuasaan

tunggal di desa, sehingga yang menjadi angota bahkan pengurus inti dari seluruh lembaga

tersebut adalah orang-orang yaang mewakili kepentingan penguasa.

Sejak diberlakukan UU Pemerintah Desa tahuan 1979 di Pangkalan Kerinci,

kebatinan ditukar menjadi desa muda. Karena desa muda kekurangan penduduk maka

pemerintah menambah jumlah penduduknya dengan program relokasi Departemen

Sosial. Program yang dijalankan tahun 1983 tersebut menghantar desa muda menjadi

desa. Memang kepala desa pertama dipimpin oleh Batin Siddik, selama itu tidak terjadi

konflik yang begitu keras dengan pihak PT ISS. Tetapi desa menjadi dewa penuh, kepala

desa tidak diisi oleh penduduk asli. Perangkat desa diisi oleh penduduk pendatang dari

desa tetangga. Disinilah mulau terjadinya manipulasi adminsitratif oleh kepala desa

dalam hal distribusi kebun sawit dari penduduk asli ke pendatang. Sementara itu,

kepemimpinan informal adat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyatnya

tidak berfungsi lagi.

Ketiga, dikeluarkannya UU PMA no. 1 1967 dan UU no 5 tahun 1971 tentang

kehutanan. Kedua UU tersebut meletakkan masalah tanah dan hutan menjadi kegiatan

teknis semata. Masalah tanah dan hutan tidak dipresentasikan sebagai dasar

pembangunan (Wirardi, 1993). Pemerintah mempunyai hak untuk mendefinisikan hutan

dan mengabaikan hutan ulayat. Karena kekuasaan terpusat pada negara, maka negara bisa

dengan mudah menentukan itu hutan negara atau bukan. Negara mempunyai hak untuk

Page 51: industrialisasi di Riau

mendistribusikan hutan kepada pemodal, melalui HTI, HPH dan perkebunan serta

kegiatan industrialisasi lainnya.

Dengan UU tersebut negara bekerja sama dengan pemilik modal mengeksploitasi

hutan rakyat. Dalam kasus di Pangkalan Kerinci Bupati Kampar waktu itu Saleh Djasid

(Kemudian menjadi Gubernur Riau), mengeluarkan surat bahwa hak ulayat yang dimiliki

penduduk Pangkalan Kerinci hadiah dari Raja Pelalawan diangap hutan negara.

Akibatnya tanah ulayat seluas 225.000 hektar hutan ulayat dan di dalamnya terdapat 400

hektar kepungan sialang habis diambil pemodal. Termasuk program relokasi depsos di

Pangkalan Kerinci itu sendiiri dan program relokasi untuk desa Terusan Baru. Sekarang

penduduk asli Pangkalan Kerinci rata-rata memiliki tanah 10 hektar tanah, bahkan ada

yang hanya tinggal 2 hektar sahaja. Dalam proses pengambilalihan tanah tersebut negara

dan pemodal menggunakan tindakan kekerasan dan militer untuk.

Implikasi dari korporasi negara dan industrialisasi tersebut adalah pertama

perubahan ekologis dan demografis yaitu perubahan dari ekologi pedesaan ke ekologi

perkotaan. (Pelly 1996 ; Embong 1996) terjadinya penyepitan ruang, naiknya harga

tanah dan lingkungan pekerjaan dari pertanian ke non pertanian. Kehadiran industri ini

diperkuat lagi dengan kehadiran pendatang ke desa ini yang jumlahnya sudah lebih

banyak, sehingga penduduk lokal telah menjadi minoritas.

Implikasi dari dampak ekologis ini adalah marjinalisasi (kalau tidak mau

menyebut pemusnahan) penduduk lokal. Penduduk lokal termarjinal melalui modal, di

mana modal dasar penduduk berupa tanah dan hutan serta sungai berpindah tangan

kepada industri atau pendatang (di jual). Proses penjualan itu sendiri bisa bersumber dari

budaya konsumtip kota dan kekurang modal untuk hidup pada budaya kota. Akibatnya,

penduduk lokal kehabisan tanah dan hutan----lebih parah dari pendangan Gertz (1980).

Uang yang diperoleh dari penjualan tanah tersebut tidak dimenej secara baik, sehingga

habis secara perlahan. Sementara tingkat persaingan dan konsumsi semakin tinggi.

Dampak demokrafis lainnya adalah pudarnya kekuasaan politik masyarakat lokal.

Ini disebabkan jumlah pendatang hampir 95% dari total penduduk. Padahal keputusan

politik ditentukan oleh kuantitas pendukung keputusan tersebut. Ini bermakna penduduk

lokal sudah tidak bisa lagi mamasukkan aspirasi politiknya, apalagi menjadi sebuah

keputusan politik. Mereka menjadi minoritas secara kuantitas dan kekuasaan.

Kedua, perubahan ekonomi dan tradisi pertanian. Secara ekonomi perubahan yang

bisa dilacak adalah perubahan sumber-sumber pendapatan. Perubahan sumber

pendapatan ini berawal dari hilangnya hutan dan tanah perladangan. Hutan bagi

penduduk lokal bukan hanya tempat berladang berpindah-pindah atau berkebun tanaman

keras, tetapi juga merupakan sumber penghasilan tambahan seebagai penopang utama

ekonomi keluarga (Ever 1989). Di hutan tersedia kayu, rotan, damar, sumber ketahanan

pangan baik hewani maupun nabati, sumber penghasil madu dan lain-lainya.

Akibat perubahan sumber pendapatan tersebut terjadi perubahan tradisi pertanian.

Perubahan tradisi pertanian ini dapat diketahui melalui dua bentuk perubahan, pertama

berubah dari pertanian berorientasi ekspor (Anderson 1924) ke pertanian subsisten (Pelly

1996). Kedua, terjadinya perubahan aktivitas pertanian dari bertani sebagai aktivitas

utama atau primer, berubah menjadi penjual hasil pertanian dan hasil hutan sebagi

penyangga ekonomi (ekonomi skunder) dan menjual jasa sebagai ekonomi tertier.

Selain itu, kehadiran Industri menyebabkan terjadinya pergeseran kepemilikan

tanah. Ada dua bentuk pergeseran kepemilikan tanah tersebut. Pertama, tanah tidak lagi

Page 52: industrialisasi di Riau

sebagai milik komunal, tetapi telah menjadi milik individu. Tanah komunal yang tersisa

dipeta-petakan oleh anggota masyarakat untuk kepentingan ganti rugi.

Yang pertama melakukan pengeseran fungsi tanah komunal menjadi tanah pribadi

adalah program relokasi Departemen Sosial tahun 1982. Pemerintah mengambil alih

tanah komunal sekitar 500 hektar untuk dijadikan hak milik pribadi. Tanah yang semula

merupakan hutan ulayat diambil alih oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Kemudian tanah

tersebut diserahkan kembali kepada penduduk asli dan pendatang masing-masing empat

hektar sebagai hak milik pribadi.

Setelah pemerintah, kehadiran PT Indo Sawit Subur Sejahtera mempertegas hak

kepemilikan pribadi atas tanah. Tanah komunal yang dimiliki suku diambil alih oleh

negara sebagai tanah negara, kemudian tanah beserta kebun sawit diserahkan kepada

penduduk seluas dua hektar. Kebun sawit yang didapat dengan cuma-cuma ini benar-

benar membuka kesadaran akan pentingnya kepemilikan pribadi, sebab banyak diantara

penduduk yang menjual kebun sawitnya untuk kebutuhan mendesak.

Setelah itu, inspirasi perubahan sistem kepemilikan ini menjadi sangat penting

karena naiknya harga tanah. Tanah yang dulu tidak berharga, kini setelah kedangan

industri satu menter bis aberhaga 40 tibu rupiah. Maka sisa tanah yang menjadi milik

komunal diperebutkan menjadi milik pribadi. Dulu secara hukum adat mereka yang

berhak memiliki tanah adalah keturuanan dari ibu suku lalang. Kini berubah, semua yang

dulu pernah berladang di tanah komunal menjadi milik pribadi.

Kondisi ini memicu konflik antar penduduk asli. Satu kelompok terutama dari

keturunan kebatinan tetap mempertahankan hak komunal. Sebab jika tanah tersebut

masih berada dalam sistem komunal maka keuntungan terbesar menjadi milik keturunan

terdekat dengan batin. Sementara masyarakat yang merasa kurang akses ke kebatinan

justeru memilih hak kepemilikan pribadi. Perusahaan menggunakan perluang ini untuk

merebut hak atas tanah baik melalui pembelian maupun ganti rugi sepihak. Sementara

negara berada dibalik perusahaan karena mendapat bagian pendapatan dari perusahaan.

Pergeseran fungsi tanah dari tanah komunal menjadi tanah pribadi ini berdampak

terhadap penguasaan tanah oleh penduduk asli lokal. Sisa-sisa tanah yang ada beralih

kempemilikan dari penduduk asli ke pendatang. Karena tanah dengan mudah bisa dijual-

belikan tanpa perlu persetujuan batin. Kondisi ini menjadikan penduduk asli Pangkalan

Kerinci kehabisan tanah bahkan ada yang hanya memiliki 2 hektar tanah saja hasil dari

program relokasi Depsos.

Kedua, pengeksplotasian tanah oleh negara dan modal. Negara dengan

menggunakan prangkat hukum yang segaja dibuat mengambil alih tanah penduduk baikm

tanah pribadi maupun tanah komunal menjadi tanah negara. Setelah itu, negara

menyerahkannya kepada pemodal untuk kepentingan ekonomi negara dan sekaligus

penguasannya mendapat keuntungan pribadi. Langkah inilah yang diambil oleh Bupati

Kampar terhadap tanah ulayat suku Lalang di Pangkalan Kerinci di tahun 1989. Dengan

dasar itu, negara menyerahkan tanah tersebut kepada PT Indosawit Subur Sejahtera dan

PT Riau Andalan Pup and Paper. Akibatnya tanah (hutan-tanah) diambil alih tanpa ganti

rugi sedikitpun dari pemerintah dan pengusaha.

Ketika rakyat mau mengkomplin atas tanah tersebut maka terjadilah bentrokan

antara rakyat dan aparat (tentara). Di mana aparat berada dipihak pengusaha. Pada masa

Orde Baru PT RAPP dijaga oleh tentara dengan bersenjata lengkap. Sementara diantara

Page 53: industrialisasi di Riau

PT RAPP dan PT ISS dibangun markas TNI yang fungsi sebagai penjaga keamanan bagi

pengusaha.

Pengusaha bisa sewenang-wenang terhadap rakyat, terbukti dari 225.000 hektar

hutan ulayat milik suku lalang tidak dimiliki lagi oleh rakyat. Rakyat mau mengkomplain

tanah seluas 17 hekar yang kini berada di bawah kekuasaan PT RAPP juga tidak bisa.

Untunglah terjadi perubahan suasana politik, sehinga pihak RAPP melakukan

pendekatan-pendekatan untuk memperbaiki hubungan dengan rakyat, yang semakin

berani. Di era reformasi ini perusahaan-perusahaan yang ada disekitar Pengkalan Kerinci,

terutama PT RAPP dan PT ISS menghadapai demonstraso terus menerus dari rakyat.

Bahkan bagaikan aib dalam masyarakat bahwa suku Lalang dan masyarakat Pangkalan

Kerinci tidak mempunyai tanah lagi untuk tanah kuburan.

Pada masa ini tanah hak ulayat tersebut sudah menjadi tanah menjadi milik

pengusaha dan pendatang dan hanya sedikit saja milik penduduk lokal Pangkalan Kerinci

asli. Tanah tersebut menjadi perkebunan, pabrik, milik pengusaha lokal yang

sebahagiannya adalah China, tanah milik kepala desa, tanah milik pemerintah atau

perusahaan pemerintah dan tanah milik penduduk.

Penetrasi negara dan pemilik modal secara berlebihan terkesan melakukan

perbasmian terhadap penduduk asli. Sumber-sumber ekonomi penduduk asli dihabiskan,

sementara tidak disediakan persiapan penduduk agar mampu hidup dalam tatanan

masyarakat industri. Reaksi terhadap tekanan tersebut diwujudkan dalam perlawanan

secara diam-diam dan perlawan secara terbuka.

Selain itu, mereka sebenarnya juga telah melakukan perlawanan terhadap

penindasan tersebut. Selama Orde Baru telah beberapa kali melakukan demosntrasi tetapi

dikalahkan oleh kekerasan militer. Era reformasi juga tidak membawa pengaruh yang

baik bagi hak-hak politik mereka karena kolusi dan korupsi pejabat pemerintah. Akhirnya

perlawanan dilakukan dengan mengunakan dunia internasional. Anwar Cantik, yang

dikenal dengan Anwar Batu bahkan sudah pergi ke Filandia, Jerman, Belanda dan

Inggeris untuk mempropogandakan penindasan perusahaan terhadap rakyat.

Selain itu, untuk melindungi komunitas masyarakat asli, penduduk asli bersifat

tertutup dengan pendatang, terutama yang mencari informasi tentang masyarakat. Sikap

tertutup dan curiga ini dapat dipahami sebagai wujud dari mekanisme kekebalan internal

penduduk asli. Jika hal ini tidak dilakukan maka kemusnahan penduduk asli semakin

cepat.

Kesimpulan

Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan akibat kebijakan negara

dan industri sawit dan bubur kertas telah menyebabkan terjadinya revolusi sistem sosial

dan ekonomi. Terbentuk sistem sosial baru, tatanan baru, politik baru, lingkungan sosial

baru dan sistem produksi baru. Revolusi sosial dan ekonomi ini ditujukan untuk

masyarakat baru bukan untuk masyarat asli Pangkalan Kerinci. Masyarakat asli

Pangkalan Kerinci secara sistematis diasingkan untuk dihapus identitas aslinya melalui

migrasi terencana pemerintah dan imigrasi industri.

Kehadiran industri membuat masyarakat Pangkalan Kerinci terpecah secara

tatanan sosial, tatanan rumah tangga, dan hilang sumber ekonomi tradisional tetapi tanpa

disiapkan untuk masuk ke sumber ekonomi baru. Patron adat dan patron ekonomi

dihapuskan untuk menghadirkan ekonomi pasar yang kejam. Maka hak milik atas rumah

Page 54: industrialisasi di Riau

tangga dijual perlahan-lahan sehingga habis untuk membiaya konsumsi rumah tangga

yang tidak lagi disubsidi oleh patronnya.

Revolusi sosial secara diam yang terjadi di Pangkalan Kerinci tidak ditanggapi

melalui kekerasan atau pemberontakan oleh masyarakat. Tetapi melakukan gugatan

hukum dan demonstrasi yang dari hari ke hari sudah tidak terdengar lagi. Fakta ini

menunjukkan bahwa teori pemberontakan petani Scott tidak berlaku di Pangkalan

Kerinci, apalagi sikap subsisten yang mendahulukan selamat (safety first). Hal ini

disebabkan besarnya tekanan perubahan, jika tidak ikut berubah rumah tangga akan

musnah, seperti yang terajdi pada 1 rumah tangga yang tetap bertahan sebagai peladang

hanya mampu menghasilkan Rp.800.000,- pertahun atau Rp.67.000,- perbulan sementara

untuk cukup konsumsi dasar minimal kebutuhan uang sebesar Rp. 800.000,- perbulan.

Alternatif lain yang dikemukan Scott yaitu penyelamatan diri yang diambil oleh

sebahagian kecil petani karena memiliki patron baru juga tidak dijumpai di Pangkalan

Kerinci. Kehadiran industri dan kota baru menyebabkan pembentukan individualisme

yang cepat sehingga peluang untuk mendapat patron baru tidak tersedia. Patron baru

terbentuk melalui pola hutang, tetapi pada sistem ekonomi pasar yang baru menghapus

pola hutang konsumsi harian.

Revoluasi pada masyarakat Asli Pangkalan Kerinci telah menyebabkan hilangnya

struktur patronase, subsisidi ke masyarakat tidak sampai karena dikorupsi aparat, tidak

terjadi urbanisasi, tidak juga terjadi buruh tani. Secara umum mereka hanya melakukan

kerja sisa dari masyarakat kota yaitu kerja buruh harian di pasar dan buruh angkut dari

setiap truk yang tiba. Secara mandiri memanfaat semua peluang yang ada mulai dari

membangun rumah sewa untuk memfasilitasi buruh yang datang ke Pangkalan Kerinci,

membangun Bengkel, Menyedia jasa trasportasi melalui angkutan kota berupa oplet, beca

motor dan angkutan barang. Walaupun secara sosial tetap memisahkan diri dengan

pendatang.

Terjadi pergeseran pola produksi daru ekonomi subsisten ke ekonomi sisa

perkotaan yang menuju ke pemikiran ekonomi pasar. Ini terlihat dari perubahan cara

produksi, adaptasi pekerjaan dan sumber pendapatan. Rumah tangga mampu

memodifikasi sarana persediaan terbatas menjadi indutri jasa berupa rumah sewa, dan

pemanfaatan padatnya lalu-lintas manusia dengan menyediakan jasa transfortasi berupa

oplet, ojek dan becak motor. Termasuk pemanfaatan kebun sawit hasil konpensasi dari

pengambilan tanah oleh perusahaan kebun sawit. 20 rumah tangga memiliki rekening

(account) bank di BRI sebagai tempat penyimpanan sementara uang sebelum

dibelanjakan. Begitu juga hasil produksi yang bisa dijual langsung dijual dipasar karena

pudarnya fungsi tauke.

Perubahan pemikiran ekonomi tersebut tidak mampu diaplikasikan secara utuh

terutama dalam hal konsumsi. Hilangnya produksi tahunan yang menyebabkan

ketergantungan sepenuhnya pada produksi harian menimbulkan tekanan tekanan

konsumsi dominan dengan produksi terbatas sementara usaha untuk memaksimalkan

produksi juga terbatas. Sementara negara tidak befungsi maksimal bahkan cederung

memanipulasi hak-hak rakyat untuk kepentingan pribadi.

Hambatan masyarakat untuk mampu beradaptasi secara cepat dan baik terhadap

perubahan karena lambanya pemerintah menciptakan peluang pekerkembangan bagi

masyarakat asli Pangkalan Kerinci. Kelambatan pemerintah tersebut disebabkan prilaku

korupsi pegawai negari mulai dari aparat desa sampai ke gubernur, Bupati Kampar (yang

Page 55: industrialisasi di Riau

kemudian menjadi gubernur Riau) mengeluarkan surat yang menghapus hak tradisional

masyarat dengan mengubah hutan ulayat menjadi hutan negara.****

PENDEKATAN UNIT USAHA KOMUNITAS

ALTERNATIF LINKAGE INDUSTRI - DESA

Issu kemiskinan mejadi issu sentral di Riau, daerah dengan APBD Rp.1,9 triliun

pertahun, di atas minyak, di bawah minyak, ternyata keluarga miskinnya mencapai 42%

dari jumlah penduduk Riau sebesar 5 juta orang (2003). Fakta ini mengambarkan ada

sesuatu yang tidak beser di Riau. Apakah pendekatan analisisnya yang salah, atau

memang menejemen pemerintahnya yang tidak mendistribusikan sumber daya ekonomi

pada rakyat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya menawarkan alternatif melalui

pendekatan Unit Usaha Komunitas sebagai pilihan untuk memulai mengurangi masalah

kemiskinan di Riau.

Apa yang perlu kita pikirkan tentang masyarakat miskin? Pertama, peningkatan

pendapatan. Asumsi umum sering berkembang untuk meningkatkan pendapatan

penduduk miskin perlu mencari penganti dari pekerjaan lama yang sudah minim sumber

daya. Konsep ini berpikir program ini tidak boleh merubah pekerjaan yang telah ada

tetapi memaksimalkan pekerjaan yang ada dan memfungsikan pekerja rumah tangga baik

domestik maupun non domestik.

Kedua, membentuk kelembagaan patron klien. Dalam struktur tradisional

kehidupan ekonomi masyarakat sangat tergantung pada tauke sebagi patron. Konsep ini

mencoba menerapkan konsep tauke tetapi bukan pada perorangan melainkan ke lembaga

(unit usaha) yang saya sebut dengan unit usaha komunitas.

Ketiga, dari mana kita memulai? Konsep ini memulainya dari rumah tangga

miskin. Miskin didefinisikan oleh kumunitasnya dan jumlah konsumsi dalam sehari serta

sumberdaya produksinya. Jadi kita tidak menggunakan konsep miskin bank dunia atau

BKKN (Badan Kesejahteraan Keluarga Nasional) dan BPS (Biro Pusat Statistik).

Keempat, siapa yang bertangung jawab? Konsep ini mencoba menerapkan

semua pihak ikut bertangung jawab, sebab itu dalam konsep ini ada kelembagaan legal

ditingkat desa (komunitas), komite bersama antar departemen dan komite bersama antara

pemerintah, swasta dan masyarakat. Masing-masing kelembagaan diuraikan fungsinya

secara jelas dan terdapat koordinator dari masing-masing komite bersama. Untuk

ditingkat komunitas akan dibentuk lembaga profesionalnya yang dikelola oleh menejer

professional.

Mengapa menggunakan pendekatan rumah tangga dan unit usaha komunitas?

Alasan utama adalah belajar dari pengalaman program pembangunan pedesaan yang

sudah dilaksanakan dari tahun 1940-an hingga sekarang ternyata tidak membawa hasil

Page 56: industrialisasi di Riau

yang mengembirakan. Pendekatan pemberantasan kemiskinan selalu mengacu kepada

penyelesaian pada kepentingan yang sempit, yaitu politik dan ekonomi. Mulai dari

program Community Development, revolusi hijau, program berorientasi kemiskinan,

hingga ke program Inpres Desa Tertinggal khusus Indonesia juga menghasilkan

keuntungan politik dan ekonomi kelopok tertentu saja.

Program pembangunan pedesaan UNESCO Community Development – CD

dniayakan gagal oleh UNESCO sendiri dijalan 1948 dan dinyatakan gagal tahun 1960-an

Kelemahan utama CD adalah bersumber dari hipotesisnya tentang masyarakat desa. CD

melihat masyarakat desa bersifat homogen, mempunyai kepentingan bersama dan mampu

menyelesaikan masalah secara bersama. Keuntungan hanya dinikmati lapisan

masyarakat tertentu yang merupakan elit di desa karena kedudukannya yang mantap atau

pendatang yang segaja mengikuti program tersebut. Mereka ini memang lapisan petani

progresif yang telah mempersiapkan perubahan. Sementara petani kecil, penyewa dan

buruh tani tidak mengalami perubahan yang berarti. Myrdal (1968) menyebutkan bahwa

program CD hanya menjadi alat pemerintah untuk menyalurkan bantuan kepada yang

tidak begitu miskin.

Kegagalan program CD ternyata masih diikuti pula kegagalan program

pengantinya yaitu revolusi hijau. Program Revolusi Hijau berkembang tahun 1960-an

dan dinyatakan gagal tahun 1970-an. Diantara kelemahan revolusi hijau kurangnya

mempertimbangkan aspek sosial, semata-mata pertimbangan ekonomi. Keuntungan

hanya diperoleh oleh petani kaya yang dengan mudah mendapatkan teknologi pertanaian

sedangkan petani kecil, penyewa tanah dan buruh tani tentu tidak dapat

memanfaatkannya. Selain itu, pendektan ini mengabaikan dampak dari kemasukan

teknologi terhadap perubahan sosial di desa serta sempitnya pemahaman masyarakat

desa, sebagaimana pada program CD.

Kegagalan program revolusi hijau memaksa dunia internasional mengembangkan

program pembangunan desa berhaluan kemiskinan. Program pembangunan desa

dikembangkan tahun tahun 1970 oleh seluruh lembaga bantuan keuangan dunia, sebagai

kritik terhadap program sebelumnya. Program ini menjadikan petani kecil dan miskin

sebagai sasaran utama pembangunan dengan melibatkan petani secara aktif dalam

pembangunan. Masyarakat desa sebagai subjek yang dinamis. Sebagaimana program

sebelumnya program ini juga dilaksanakan secara besar-besaran di negara dunia ketiga

secara bersamaan.

Ternyata melalui progam ini 50% dari seluruh program dinyatakan berhasil.

Namun demikian program ini juga tidak lepas dari kelemahan, yaitu belum jelasnya

konsep petani kecil sehingga juga akan menguntungkan petani kaya yang progresif.

Selain itu, program ini hanya mengutamakan in-put tidak out-put dan semata-mata atas

pertimbangan pertumbuhan ekonomi, akibatnya program ini juga menyebabkan

perombakan pada struktur sosial.

Indonesia pernah menerapakm program IDT (inpres desa tertinggal), yang

tampaknya berpangkal pada konsep ini, toh ternyata juga tidak berhasil.Faktor kegagalan

IDT hampir sama dengan faktor kegagalan program lainnya, masyarakat desa

diasumsikan homogen, kemiskinan bukan rumah tangga tetapi adalah desa, besarnya

keterlibatan birokrasi, fungsi pendamping yang tidak tepat dan tidak mempunyai

pengetahuan yang jelas tentang masyarakat desa. Faktor yang terpenting adalah belum

tegasnya bentuk usaha yang harus dilakukan, serta lemahnya kontrol dari masyarakat.

Page 57: industrialisasi di Riau

Tujuan

a. Untuk mengurangi rumah tangga miskin dengan menumbuhkan semangat

berusaha secara mandiri.

b. Untuk bersama mengkoordinasikan, mengembangkan, dan mendirikan proyek-

proyek usaha di Desa sebagai acuan bagi model pembangunan masyarakat yang

berkesinambungan berbasis pada model pengembangan ekonomi masyarakat

desa.

Tahapan Kerja∗

Konsep ini tidak bisa dilaksanakan dalam waktu yang cepat, tetapi memerlukan

waktu yang panjang, ini disebabkan proses menuju ke masyarakat sejahtera memerlukan

beberapa tahapan yang jelimat, adapun tahapan adalah sebagai berikut:

a. Studi awal , yaitu melakukan pendekatan pada masyarakat serta survey awal

untuk masuk ke fase 1, biasanya paling cepat 6 bulan dan paling lama 1 tahun.

b. Fase 1, yaitu melakukan sosialisasi untuk pembentukan unit usaha komunitas

dan seleksi unit kelompok usaha dan pembentukan kelompok usaha. Biasanya

dilakukan 6 bulan paling cepat 4 bulan.

c. Fase 2, yaitu membangun Unit Usaha Wisata Masyarkat dan proyek-proyek

usaha ekowisata, biasanya paling lama 4 bulan dan bisa lebih cepat.

d. Fase 3, yaitu persiapan melalui pendampingan dan analisis akhir proyek

biasanya dilaksanakan 4 bulan. Kemudian dilanjutkan dengan uji coba

program.

Kelembagaan • Unit Usaha Komunitas-UUK (community Enterprise-CE):

Organisasi yang didirikan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan untuk kegiatan

usaha di desa. Organisasi ini dimiliki, dikelola dan diawasi oleh masyarakat.

• Badan Pembina Unit Usaha Komunitas – BPUUK (Board of communiti – BOC):

Wakil-wakil kunci masyarakat terpilih yang bertugas untuk menetapkan kebijakan

perencanaan bagi UUK.

• Badan Pengawas Unit Usaha Komunitas (Board of Controllers-BCON):

Anggota masyarakat yang dipilih selama periode tertentu oleh BPUUK, yang

bertugas untuk memeriksa dan mengawasi pelaksanaan dari perencanaan UUK.

• Badan Pelaksana Unit Usaha (Board of Executive –BOX):

Anggota masyarakat yang dipekerjakan oleh PBUUK untuk mengelola dan

menjalankan perencanaan ddari BPUUK.

∗ Mulai dari tahapan kerja sampai ke konsep berikutnya penulisan ini diadaptasi dari konsep

Pendampingan PT BRC terhadap masyarakat Sri Bintan dan Serbong Lagoi.

Page 58: industrialisasi di Riau

Struktur organisasi.

Model usaha berbasis masyarakat diorganisir untuk beroperasi pada 4 tingkat.

Peran-peran dasar dan tanggung jawab sebagai berikut:

(1) Unit Usaha Komunitas. Ini berada pada tingkat desa. Secara esensial untuk

mengembangkan, mengelola dan memasarkan produk dan pelayanan usaha,

dipimpin seorang menejer professional dan didampingi oleh konsultan.

(2) Main (Tehnical) Committee. Ini adalah organisasi manajemen dan pengawasan

utama, diwakili oleh Pemda, Perusahaan (kalau ada) dan perwakilan masyarakat,

bertanggung jawab bagi perencanaan induk, pengorganisasian, dan pelaksanaan

proyek-proyek, mengalokasikan sumber daya dan untuk mencapai target-target

usaha yang ditentukan oleh Joint Secretariat/Sekretariat Bersama dan disetujui

Bupati.

(3) Jont Secretariat/Sekretariat Bersama. Peran kunci sekretariat ini adalah sebagai

organisasi pusat koordinasi dan penghubung antara Bupati & Direksi Perusahaan

(kalau ada) dan seluruh komponen fungsional proyek. Organisasi ini

mengumpulkan dan mengajukan laporan-laporan, menyediakan analisis proyek dan

rekomendasi bagi keputusan Bupati Direksi Perusahaan. Organisasi ini juga bagian

dari Main (Technical) Committee.

(4) Bupati & CEO/Direksi Perusahaan. Ini adalah tingkat kebijakan dan keputusan,

terdiri dari Bupati dan dalam konsultasi dengan CEO/Direksi Perusahaan. Bupati

dan CEO/Direksi Perusahaan menentukan tujuan-tujuan usaha berbasis masyarakat,

arah kebijakan dan mengalokasikan sumber daya kunci untuk proyek ini.

Kerangka Kerja Operasi.

Manajemen proyek ini di tingkat Main (Technical) committee ke atas akan

direncanakan secara tahunan dan diimplementasikan/dikontrol pada basis triwulan. Di

tingkat Unit Usaha Komunitas dan konsultan, manajemen proyek akan direncanakan

pada basis triwulan dan diimplementasikan/dikontrol pada basis bulanan, berdasrkan

kepada target rencana kerja triwulan yang disetujui oleh tingkat Main(Technical)

Committee. Seluruh dana proyek, fasilitas dan sumber daya akan dianggarkan secara

tahunan dan alokasinya akan dilakukan pada basis triwulan. Untuk memberi efek kontrol

yang lebih baik, mencapai sinergi dan sinkronisasi, seluruh kebutuhan infrastruktur,

fasilitas dan anggaran harus dikonsolidasikan pada bulan Juli dan diselesaikan pada

bulan September oleh Main (Technical) Committee bagi rencana kerja tahun berikutnya.

Page 59: industrialisasi di Riau

Mekanisme Kerja Team

Peran yang Diambil Pemda, Perusahaan dan Masyarakat 1. Peran dan Tugas Pemerintah Daerah

a. Mendirikan suatu Joint Secretariat/secretariat Bersama, terdiri dari wakil-

wakil terpilih Pemda dan Perusahaan, untuk memberi arah kebijakan dan

bertindak sebagai wadah yang mengkoordinir antara Main (Tehnical)

Committee dan Bupati & CEO/Direksi Perusahaan.

b. Mendirikan Main (Tehnical Committee, terdiri dari Pemda, Perusahaan dan

wakil-wakil dari Badan Pembina Unit Usaha Komunitas untuk mengarahkan

rencana induk proyek secara keseluruhan dan pembangunan; memberi nasehat

dan dukungan tehnis; mengalokasikan sumber daya/dana dan arah manajemen

bagi pengembangan Unit Usaha.

c. Membangun kerjangka kerja pelaksanaan dan mekanisme perencanaan,

pengorganisasian, manajemen dan dukungkan pelatihan untuk perumusan dan

pengoperasian Usaha.

d. Memberi arah kebijakan, nasehat teknis, dukungan yang brsifat administrative

dan pengaturan.

e. Penyediaan dukungan lahan, infrastruktur dan fasilitas.

f. Penyediaan dukungan dasar dalam hal perbaikan pendidikan kesehatan publik

dan fasilitasnya, pendidikan desa, keamanan, dan dukungan serta bantuan

bagi pengoperasian UUK dan proyek-proyek usaha lainnya.

g. Membantu dalam pengembangan dan promosi produk usaha kepada pasar

local dan saluran-saluran distribusi; dari sumber bahan baku, produksi hingga

pemasaran.

B U P A T I KEPALA DAERAH

PIMPINAN PERUSAHAAN

Main Comiite

Instansi/ Dinas Terkait

1. Koperasi

2. Perindustrian

dan Perdangan

3. Kehutanan

4. Pertanian

5. Kesehatan

6. Kimspraswil

7. Perikanan

8. Camat

9. Kades

Sekretariat Bersama

1. Departemen Koordinator

2. Bandan Pemberdayaan

Masyarakat

3. Bappeda

4. Wakil dari Badan Pembina

5. Wakil dari Perusahaan

UNIT USAHA KOMUNITAS

TIM KONSULTAN

Page 60: industrialisasi di Riau

h. Menyediakan bantuan dan dukungan pelatihan, khususnya dalam penyediaan

keahlian atau kegiatan yang berhubungan, di Indonesia dan tempat-tempat

lainnya.

i. Mengevaluasi dan menyediakan petunjuk bagi pertumbuhan jangka panjang

danpembangunan usaha berbasis masyarakat berkelanjutan di Desa.

2. Peran dan Tugas Perusahaan.

a. Menyediakan konsultansi usaha dan keahlian untuk membantu mobilisasi,

pengorganisasian, dan pelatihan masyarakat dalam model pengembangan

usaha berbasis masyarkat bagi Desa.

b. Berpartisipasi dalam perencanaan bersama dan manajemen proyek melalui

Joint Secretariat/Sekretariat Bersama, Main (Technical) Committee dan dinas-

dinas Pemda terkait, yang telah diperkenalkan Pemda.

c. Memberikan saran konsultansi/keahlian bagi operasi harian dan

pengembangan UUK dan proyek-proyek usaha di Desa

d. Membantu Pemerintah dalam pengembangan organisasi UUK yang layak dan

membina proyek-proyek usaha atau usaha peningkatan pendapatan lainnya

bagi masyarakat. Dalam hal ini membantu dalam formasi dan seleksi orang-

orang kunci bagi UUK dan pengembangan bermacam proyek usaha

ekowisata, termasuk tertapi tidak terbatas pembuatan produk-produk usaha

e. Menyediakan perangkat lunak bagi pengembangan kapasitas masyarakat

melalui pelaksanaan pelatihan usaha dan pelatihan manajemen yang relevan,

untuk memperbaiki kapasitas masyarakat dalam mengelola dan

mengoperasikan UUK atau usaha-usaha/bisnis peningkatan pendapatan

lainnya.

f. Membantu dalam pengembangan system organisasional/operational, proses-

proses dan prosedur bagi manajemen rutin dari UUK dan proyek-proyek

usaha ekowisata.

g. Menyediakan hibah terbatas dan pinjaman lunak bagi percobaan pendahuluan,

modal untuk meluncurkan proyek-proyek usaha lainya.

h. Melaksanakan pengembangan produk usaha, studi-studi pasar, penjualan

dan kaitan pemasaran.

3.Peran dan Tugas Masyarakat Yang Berpartisipasi.

a. Menyediakan tanah masyarakat, tenaga kerja, bangunan dan fasilitas lainnya

untuk pengembangan usaha secara kseluruhan. Sebagai gantinya, UUK akan

memberi sejumlah remunerasi untuk penggunaan sumber daya desa tersebut,

dengan jumlah yang akan diputuskan dan disepakati antara UUK dan

Masyarakat, dan akan ditetapkan dengan jangka waktu 5 tahunan.

b. Sepenuhnya sepakat untuk mengadopsi model pengembangan usaha berbasis

masyarakat bagi masyarakat. Dan tiap manfaat atau keuntungan yang timbul

dari proyek ini akan dibagi secara langsung dengan sesama pihak-pihak yang

terlibat dan secara tak langsung dengan masyarakat secara keseluruhan.

Jumlah, harga, gaji, diputuskan oleh masing-masing UUK, yang mewakili

masyarakat bersangkutan.

Page 61: industrialisasi di Riau

c. Sepakat untuk mengikuti petunjuk kebijakan, aturan-aturan, standarisasi dan

prosedur-prosedur yang diputuskan oleh Join Secretariat/Sekretariat Bersama,

Main (Tehnical) Commiittee dan konsultan.

d. Berpartisipasi dalam proses seleksi/pemilihan orang-orang kunci dalam

BPUUK dan bermacam kelompok usaha dan fungsional berdasarkan aturan-

aturan hokum dan perundangan UUK.

e. Bekerjasama dengan konsultan dan organisator masyarakat untuk

menghasilkan produk dan pelayanan ekowisata yang berkualitas.

f. Komitmen dalam mengajukan UUK dan proyek-proyek usaha kepada

organisasi independen yang dipilih oleh Joint Secretariat/Sekretariat Bersama

yang akan melakukan pemeriksaan dan audit secara teratur dengan tujuan

memastikan implementasi proyek dan penggunaan dana serta sumber dasya

layak. Selain itu juga memberikan laporan-laporan rutin kepada Join

Secretariat/Sekretaris Bersama bilamana dirasakan perlu.

g. Mempertahankan prosedur keuangan yang layak dan mencatat seluruh

transaksi bisnis seperti yang disarankan oleh konsultan.

Penutup Konsep ini merupakan konsep umum dalam pelaksanaannya sangat disesuaikan

dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk menerapkan konsep ini disarankan

menggunakan konsultan yang tepat.

Page 62: industrialisasi di Riau

BIBLIOGRAFI

Adnan Abdullah. 1993. Dampak Industri Terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Budaya

Makalah Seminar. Industri Berwawasan Lingkungan. Pekanbaru. 18-20 Mei.

Appelbaum. Richard P. 1970. Thoeries Of Social Change. Chicago: Markham Publishing

Company.

Arief Budiman.1996. Toeri Negara. Kekuasaan dan Idiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Awan Setya Dewata (ed.) 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta :

Aditya Media.

Anuwar, 1995, Globalisasi Pembangunan Industri dan Peranan Pemerintah di Malaysia,

Malaysia : UKM Bangi

Arndt.HW. 1991. Pembangunan Ekonomi Indonesia, Pandangan Seorang Tetangga,

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Arndt, HW. 1983, Pembangunan dan Pemerataan Indonensia di Masa Orde Baru,

Jakarta: LP3ES.

Alavi, Hamzah, 1973, ‘Peasant Classes and Primordial Loyalities, Journal of Peasant

Studies, Vol. 1 No. 1, October.

Amir Karanof , 1982, ‘Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok Masayakat Bawah’, Jakarta, in

Mulyanto Sumardi & Hans Dieter Evers (ed). Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok,

Jakarta : Raja Press.

Appelbaum. Richard P. 1970. Theories Of Social Change. Chicago: Markham Publishing

Company.

Bergesen,Albert & Schoenberg, Ronald, “Long Waves Of Colonial Expansion and

Contyaction” dalam Bergesen, A, (ed) 1980. Studies in Modern World System,

NewYork: Academic Press.

Bappeda Tk I Riau. 1995. Kebijaksanaan Pembangunan sektor Kehutanan Dalam

Repelita VI di Propinsi Riau. Makalah seminar Kehutanan 2-3 Oktober 1995

Pekanbaru.

Budy Tjahjati S Soegijoko. 1985. ‘Dampak Pembangunan Proyek Industri Besar Kasus

Zona Industri Lhok Seumawe’. Prisma no. 12 .

Binsuanger, P Hans, & Evenson, E. Robert, & Florencio & White, (editor),1980, Rural

Household in Asia, Singapore : Singapre University Press.

Bates, Robert H, 1976, Rural Response to Industrialization, New Haven and London :

Yale University Press.

Bisuk Siahaan,1996, Industrialisasi di Indodnesia, Sejak Hutang Kehormatan Sampai

Banting Stir. Jakarta : Pustaka Data.

Bruch, Mathias & Hiemenz, Ulrich, 1984, Small-and Medium -Scale Industries in The

ASEAN Countries; Agents Or Victims Of Economic Development? Boulder and

London : Westview Press.

Bar-El, Raphael, 1987, ‘An Approach To Growth Patterns In Regional Industrialization’

dalam Bar-El, Raphael &Bendavid-Val, Avrom & Karaska, J Gerald, 1987 Pattern Of

Change In Developing Rural Regions, Bulder/ London : Westview Press.

Blumer, Herbert, 1990, Industrialization Agent of Social Change, New York: Aldine de

Gruyter

Bendix, Reinhard, 1962, Max Weber an Intellectual Portrait, New York : Anchor

Books.

Page 63: industrialisasi di Riau

Bahrien T Sugihen. 1996. Sosiologi Pedesaan. Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press

Bryans S. Turner: (Editor) 1990, Theories of Modernity and Post Modernity, London.

Newbury Park. New Delhi : Sage Publications.

Bruggger, Bill & Hannan, Kate, 1983, Modernization and Revolution, London &

Canbera : Croom Helm.

Bertrand , Alvin L, Editor, 1958, Rural Sociology, An Analysis Of Contemporary Rural

Life, New York : McGraw Book Company.

Bull, Cristopher & Daniel Peter, &Hopkinson, 1990, The Geography of Rural Resources,

Conceptual Frameworks In Geography, Edinburg : Oliver& boyd.

Black, C.E. 1966, The Dynamic Of Modernization, New York, Evanstone dan London :

Harper & Row Publishers.

Black, C.E. 1976, Comparative Modernization, London: The Free Press.

Bernstein, Hendry, ‘Social Change in The South African Countryside? Land and

Production, Poverty and Power’, Journal Of Peasant Studies, Vol 25, No 4 July.

Bruggger, Bill & Hannan, Kate, 1983, Modernization and Revolution, London &

Canbera : Croom Helm.

Blum, Jerome, 1960, The European Peasantry From Fifteenth to The Nineteenth

Century, Washington: Service Center For Teachers Of History.

Beames, Michael 1983, Peasant and Power, Sussex: The Harvest Press.

Binswanger, P Hans, & Evenson, E. Robert, & Florencio & White, (editor),1980, Rural

Household in Asia, Singapore : Singapore University Press.

Chen, J. Peter,1980, ‘The Cultural Implication of industrialization and Modernization In

south-east Asia’ dalam Evers, Hans Dieters, Sociology Of South-East Asia;

Reading on Social Change and Development, Kuala Lumpur : Oxford Uni

Bradley, University Press

Charling, Alan, 1992, “ Rational Choice and Household Division” dalam Marsh,

Catherine & Arber, Sara, 1992, Families and Household, Division and Change,

England: Macmilan.

Crehan, Kate, 1992 “Rural Households : Making A Living” dalam Crow & Johnson,

1992 Rural Households, New York : Oxford University Press.

Constantio, Renato,1985, Synthetic Cultural and Development, Filipina : Foundation For

Nationalist Studies. INC.

Chayanov: A.V. 1966, The Theory Of Peasant Economy, Illonis : Homewood.

Claus, Wolfgang, 1982, Economics and Social Change Among The Simalungun Batak Of

North Sumatera, Sarbuken :Verlag Breitenbach Publisher.

Crouch, Harold. 1988, Army In Politic Indonesia,Jakarta : Sinar Harapan.

Cockerham, William C, 1995, The Global Society : An Introduction to Sociology. New

York: MC Mgrw - Hill,Inc.

Cody, John& Hughes, Helen & Wall, David (editor), 1980, Policies for Industrial

Progress in Developing Countries, New York : Oxford University Press.

Chadney. James G.. Social Economy Implication of The New Technologies in Punjab.

The Eastern Anthropology. no 37: 3

Cascardi J. Anthony, 1992 The Subject of Modernity, British : Cambridge University.

Connell, John & Dasqupta, Biplap & Laishey, Roy, & Lipton, Michael, 1976, Migration

From Rural Areas, The Evidence From Village Studies, Delhi : Oxford Universiti Press.

Page 64: industrialisasi di Riau

Chitambar. J.B. 1973 : Introductory Rural Sociology; A Synopsis Of Concept And

Principles, New York : John Wiley & Sons

Croll, Elisabeth, 1987, ‘New Family Form in Rural China, Journal of Peasant Studies,

Vol. 14 No.4, July.

Das, Man Singh & Panos D Bardis, 1979, The Family in Asia, London : George Allen &

Unwin.

Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Propinsi Riau. 1995. Kebijaksanaan

Pembangunan Kehutanan Propinsi Riau Pada Repelita VI Dalam Menyongsong

Era Ekolabel tahun 2000. makalah seminar Kehutanan. 2-3 Oktober 1995

Pekanbaru.

Durkheim, Emile. 1964, The Division Of Labor in Society, New York : Free Press.

Desai. A.R, (Editor) 1971, Volume 1 dan 2, Essays on Modernization of Underdeveloped

Societies. Bombai : Thacker & Co. Ltd.

Dumout, Rene, 1970 : Economy Types Of Rural; Studies In World Agriculture London :

Methuen And Co. Ltd.

Encyclopedia Compton’s Reference Collection 1996, CD-Rom New Media.

Evers, Hans-Dieter, 1991 “Ekonomi Bayangan, Produksi Subsisten dan Sektor Informal,

Ekonomi di Luar Jangkauan Pasar dan Negara” dalam Prisma nomor 5, Mei

1991. Jakarta : LP3ES,

Evers, Hans-Dieter, 1991, “Teori Produksi Subsistensi dan Produksi Tak Formal” dalam

Jurnal Antropologi Sosiologi No.19, Bangi : UKM.

Evers, Hans-Dieter, & Clauss &Wong, Diana, ‘ Subsistent Reproduction a Framework

for Analysis’ dalam Smith, Joan & Wallerstein, Immanuel & Evers, Hans-

Dieter,1984 Household And The World-Economy, London : Sage Publications.

Etzioni, Amitai & Eva, 1973, Social Change; Source, Patterns and Consequences, Edisi

ke-2, New York : Basic Book, Inc.

Encyclopedia Microsoft (R) Encarta (R) 1997, CD-Rom, Microsoft Corporation.

Eisentadt, S.N. 1966, Modernization : Protest and Change. Jerusalem : The Hebrew

University.

Evers, Hans-Dieter, 1993, ‘Timbulnya Pedagang Pada Masyarakat Petani: Transmigrasi

Jawa Kalimantan’, in Plac Utrich, Sosiologi Pertanian, Jakarta: Yayasan Obor.

Evers, Hans-Dieter, 1982, Urbanisasi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di

Indonesia dan Malaysia, Jakaarta: LP3ES

Evans, Grant, 1986, From Moral Economy to Remembered Village, Working Papers, on

Center of Southeast Asian Studies, Australia: Monash University

Ellis, Frank, 1988, Peasant Economics, Farm Households and Agrarian Development,

Cambridge : Cambridge University Press.

Ellis, Frank, 1998, Household Strategies and Rural Live hood Diversification, Journal of

Development Studies, No.1 October , pp 1-33

Forget, Evelyn L & Lobdell, Richard A, 1995, The Peasant in Economic Thought : ‘A

Perfect Republic’ Aldershot UK : Edward Elgar.

Foster-Carter, Aidan, 1985, The Sociology Of Development, England : Causeway Books.

Frieden. A Jeffy dan David A. Lake. 1991. International Political Economy; Perspectives

On Global Power And Walt. New York: St Martin Press

Page 65: industrialisasi di Riau

Fisk, EK, 1978: The Adaptation Of Traditional Agriculture : Socioeconomic Problem Of

Urbanization, Development Studies Center Monograph no 11. Canberra, The

Australian National University.

Forum Keadilan, Majalah Dwi Mingguan, no. 18 tahun 1985 dan No. 10.11.12.13. tahun

1996.

Geertz. Clifford. 1970. Agricultural Involution. The Proses of Ecological Change In

Indonesia. California: Universiti Of California Press.

Goetenboth. Frieddhelm.1992. Kerusakan Hutan dan Implikasinya bagi Kesinambungan

Daya Dukung Lingkungan. Prima no.6 tahun XXI.

Goerge Junus Aditjonro. 1994. Dampak Industrailisasi Terhadap Lingkungan dan Upaya

Warga Masyarakat dalam Menghadapinya. dalam Johanes Maridin (ed.) Jangan

Tangsi Tradisi Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern.

Yogyakarta: Kanisius

GEPERINDO.1992. Laporan Hasil Kunjungan GEPERINDO di Riau.29-31 Juli.

Giddens, Anthony, 1991, The Consequences Of Modernity, Cambridge : Polity Press.

Giddens, Anthony, 1991, Modernity and Self-Identity, Self And Society The Late

Modern Age, Cambridge : Polity Press.

Goode, J William, 1988, Keluarga (Terjemahan, Maso’od Abd. Rashid), Kuala Lumpur :

Dewan Bahasa dan Pustaka.

Gamst, Fredrick C. 1974, Peasant in Complex Society. New York : Holt, Rinehart And

Winston, INC.

Goodman, David & Redclift, Michael. 1981. From Peasant to Proletarian. England :

Basil Blacwell.

Ghee, Lim Teck, 1977, Peasants and Their Agricultural Economy In Colonial Malaya

1874-1941, Kuala Lumpur : Oxford University Press.

Hiramani. A.B. 1977. Social Change in Rural India (A Study Two Village In

Maharashtra). New Delhi: B.R.Publishing Corporation

Hayami, Yujiro & Kikuchi, Masao, 1987, Dilema Ekonomi Desa, Suatau Pendekatan

Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia Jakarta : Yayasan Obor

Indonesia.

Hoogvelt, Ankei M.M., 1985, The Third World in Global Development London :

Macmilan.

Hoelscher. H.E. & Hawk.M.C, (editor) 1968: Industrialization and Development, San

Francisco: San Francisco Press, Inc.

Hüsken, Frans, 1988, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman : Sejarah Diferensiasi

Sosial di Jawa 1830-1080, Jakarta : Grasindo.

Hayami, L. 1978, Anatomy Of a Peasant Economy A Rice Village in the Philippines,

Philipine : IRRI.

Hasim, Wan. 1984, Petani dan Persoalan Agraria : Kuala Lumpur : Fajar Bakti.

Hortog, Adel P. Den and Bornstein-Johansson, A. 1976, Social Science, Food, And

Nutrition, in D.C.Pit, Development From Bellow: Anthropologist Development

Situations, The Hague/Paris : Mouton.

Hunt Diana, 1979, ‘ Chayanov’s Model of Peasant Household Resource Allocation’

Journal of Peasant Studies, Vol. 6 No.3, April.

Jefta Leibo. 1990. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Andi Ofset

Page 66: industrialisasi di Riau

Kemp, Tom. 1983. Industrialization In The Non-Western World, London & New York :

Longman.

Kunio, Yoshihara 1995, Kemunculan Kapitalisme Tiruan di Asia Tengara, (terjm), Kuala

Lumpur: Syarikat S Abdul Majeed.

Kahn, Joels S, 1980, Minangkabau Social Formations Indonesia Peasants And The

World-economy, Cambridge : Cambridge University Press.

Koentjaraningrat. 1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa kini. Jakarta: Yayasan

Fakultas Ekonomi UI

Kirkoatrick, C.H. Lee, N & Nixon F.I. 1984, Industrial Structure And Policy in Less

Development Countries. London : George Allen & Unwin.

Koentjaranigrat. 1993. Methoda-Methoda Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Kurya Roesad, 1995 “Perkembangan Pertanian di Indonesia” dalam Bantaro Bandoro &

J. Kristiady & Mari Pangestu & Onny S Prijono (Penyunting) Refleksi Setegah

Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : CSIS.

Khal, A. Joseph, 1968, The Measurement Of Modernism, A Study of Values in Brazil and

Mexico. Austin and London : The University of Texas Press

Kemp, Tom. 1978, Historical Patterns of Industrialization, London & New York:

Longman.

Koentjaraningrat. 1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa kini. Jakarta: Yayasan

Fakultas Ekonomi UI

Koentjaranigrat. 1993. Methoda-Methoda Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Kolb, John H & Brunner, Edmundes, 1971, A Study of Rural Society (Edisi ke empat),

USA : Greenwood Press, Publishers.

Karanof , 1982, ‘Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok Masayakat Bawah’, Jakarta, in

Mulyanto Sumardi & Hans Dieter Evers (ed). Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok,

Jakarta : Raja Press

Luke, Timothy W. 1990, Social Theory and Modernity; Critique, Dissent and Revolt,

New Bury Park, London & New Delhi : Sage Publication.

Lenski, Gerhard & Nolan Patrick & Lenski, Jean,19 , Human Societies, An Introduction

to Macro Sociology, New York : McGraw-Hill, Inc.

Long, Norman, 1987, Sosiologi Pembangunan Pedesaan, Jakarta : Bina Aksara.

Loekman Soetrisno. 1993. Transformasi dari Masyarakat Agraris ke Masyarakat

Industrial : Suatu Perspektif Sosiologis. Makalah seminar 26-28 Januari

Pekanbaru.

Loekman Soetrisno. 1991. Pembangunan Nasional dan Budaya Lokal: Industrialisasi

Kehutanan dan Sistem Pertanian Berladang di Indonesia. Studi Indonesia

Universitas Terbuka Jakarta

Levy, Jr, Marion J, 1966, Modernization and The Structure of Societies: A Setting For

International Affair, Princeton, New Jersey : Princeton University Press.

Lauer, Robert H, 1977, Perspectives On Social Change, edisi ke-2, Boston, London,

Sydney, Toronto : Allyn and Bacon, Inc.

Lim Meng Seng,1973, Industrialisation and Development Countries, Modern Education

Publishers, Kuala lumpur.

Lauer, Robert H, 1977, Perspectives On Social Change, edisi ke-2, Boston, London,

Sydney, Toronto : Allyn and Bacon, Inc.

Page 67: industrialisasi di Riau

Lukes, Steven, 1973, EMILE DURKHEIM, His Life and Work : A Historical and

Critical Study, London: Pinguin Books.

.Laporan Survey Singkat “Identifikasi Program Pengembangan Masyarakat di Desa-desa

IDT sekitar Pabrik dan HTI-Forestry PT. RAPP”, Kerjasama antara Lembaga

Penelitian Universitas Islam Riau dengan PT Riau Andalan Pulp and Paper,

Lembaga Penelitian Universiatas Islam Riau, Pekanbaru 1996

Laporan kemajuan Interm, Poryek Penelitian “ Deversifikasi Jenis Industri Rumah

Tangga, Kecil dan Menengah di Pulau Bintan”, Kerjasama Kantor Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Keb. Kepulauan Riau dan Fakultas Ekonomi

UI. 2003

Lamb, Richard, 1975, Metropolitan Impact on Rural America, (Research Paper) Illinois :

University Of Chicago.

Landis, Paul H, 1948, Rural Life In Process, New York : McGRAW-HILL BOOK

COMPANY, INC.

Morse, Chandler & Ashford, Douglas E dan lain-lain, 1969, Modernization by Design;

Social Change in Twentieth Century, Ithaca & London : Cornell University Press.

More, Welbert E, & Hoselita, Bert F, 1970, Industrialization and Society, Unesco :

Mouton.

Mohammed Salleh Lamry. 1996. Mereka Yang terpinggir. Orang Melayu di Sumatera

Utara. Institut Alam Tamaddun Melayu. Malaysia: UKM Bangi

Mace. Ruth and Mark Pagel. 1994. The Comparative Method in Anthropology. Jurnal

Current Anthropology Volume 35 Number 5 Desember.

Mubariq Ahmad. 1992. Rente Ekonomi Dalam Eksploitasi Hutan Tropis. Prisma No 6

tahun XXI.

Mubyarto. 1992. Riau Dalam Kancah Ekonomi Global. Yogyakarta: Aditya Media.

Mubyarto. 1993. Riau Menatap Masa Depan.Yogyakarta. Aditya Media

Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial. Penelitian Antropologi di Prop. Jambi.

Yogyakarta: P3PK UGM

Mubyarto. 1979. Pengantar Ekonomi Pertanian Jakarta: LP3ES

Mochtar Naim. 1979. Merantau Pola Migrasi Suku Minang. Yogyakarta: Gadjah Mada

Press

Mohtar Maso’ed. 1986. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru. Jakarta: LP3ES.

Mering Ngo.1992 Hak Ulayat Masyarakat Setempat. Pelajaran dari Orang Kayan dan

Limbai. Prima no 6.

McMichael, Philip, 1996, Development and Social Change; A Global Perspective.

California: Pine Forge Press.

Masri Singarimbun, 1978, “Pola Konsumsi Ke Arah Pemerataan” dalam Prisma nomor

10, November 1978.

Mari Pengestu, 1995, “Sekilas Pandang Perekonomian Indonesia Selama 50 Tahun

Merdeka” dalam Bantaro Bandoro & J. Kristiady & Mari Pangestu & Onny S

Prijono (Penyunting) Refleksi Setegah Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta :

CSIS.

Majid, Norman, 1998, ‘The Joint System of System of Share Tanancy and Self Culvation

: Eveidence From Sind, Pakistan’ Journal of Peasant Studies, Vol. 25 No. 3,

April.

Page 68: industrialisasi di Riau

Mintz, Sidney W, 1973, ‘A Note on The Definition of Peasantries’, Journal of Peasant

Studies, Vol. 1 No. 1, October.

Miller, D. 1995, ‘Consumption and Commodities’ Annual Reviews Anthropology, 24

:141-61.

Mohd Shukri Abdullah, 1989, Strategi Pembangunan Desa Negara Dunia Ketiga, Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Montjoy, Alan B. 1978, Industrialization and Developing Countries, London:

Hutchinson Of London.

More, Welbert E, & Hoselita, Bert F, 1970, Industrialization and Society, Unesco :

Mouton.

Mansour Fakih, 1996, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka

Pelajar : Yogyakarta.

Niehof, Anke, 1999, Household, Family and Nutrition Research: Writing a Proposal,

Wagenigen: H&C.

Nis, P.JM, 1984, Pengantar Sosiologi Kota, Jakarata : Bhrtara Karya Asmira

Onghokham, 1990, “Pertumbuhan Kapitalis China Perantauan di Indonesia” Majalah

Prisma no. 4.

Ornatti, O, 1967, The Poverty band and The Count of the Poor, in Edward C. Budd (ed)

Inequality and Poverty, New York : Norton.

Penny, D.H, 1978, Masalah Pembangunan Pertanian Indonesia, Jakarta : Gramedia.

Prayogo Mirhad, “Kebijaksanaan Kridit Kecil: Harus Ada Sinkronisasi Gerak

Pembangunan Golongan Ekonomi Lemah, dalam Harian Kompas, 12 Februari

1974.

Poot, Huib & Kuyvenhoven, Arie & Jnsen, Jaap, 1992, Industrialization and Trade In

Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Popkin, Samuel L. 1979. The Rational Peasant : The Political Economy of the Rural

Society in Vietnam. London : University Of California Press.

Penny, D.H, 1978, Masalah Pembangunan Pertanian Indonesia, Jakarta : Gramedia.

Ratna Saptari & Brigite Holzner, 1997, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Sebuah

Analisis Studi Perempuan, Grafitis : Jakarta.

Rahimah Abdul Aziz, 1989, Pengantar Sosiologi Pembangunan, Kuala Lumpur : Dewan

Bahasa dan Pustaka.

Rustam S. Abrus, “ Masyarakat Melayu Riau dan Pembangunan Teknologi” Makalah

Seminar, 7 April 1993 di Batam.

R.Syofyan Samad. 1993. Pengembangan Industri Berwawasan Lingkungan di Daerah

Riau: Masalah Pembinaan dan Keterkaitan Dengan Masyarakat Lokal. Makalah

Seminar Membangun Industri Berwawasan Lingkungan di Pekanbaru.” 19-20

Mei . Pekanbaru.

R.Syofyan Samad,1995, ‘Tantangan Ekonomi dan Respon Politik; Suatu Analisis

Tentang Peranan Negara” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, no. 2.

Republika, Surat Khabar Nasional, 5,Februari 1993.

Robinson, Richard, 1986: Indonesia, The Rise Of Capital, Australia: Asian Studies Of

Australia and Allen& Unwin.

Roggers, Everett M & Burdge, Rabel J & Korsching, Peter F & Donnermeyer, Joseph

F,1988, Social Change in Rural Societies, An Introduction to rural Sociology

(edisi ke tiga) New Jersey : Prentice Hall.

Page 69: industrialisasi di Riau

Rosen, George, 1975, Peasant Society In A Changing Economy, Chicago : University Of

Ilonois Press.

Rouchek, J.S & Warren, R, 1963, Sociology And Introduction, London: Kegan Paul Ltd

Redfield, Robert. 1985 (terjemahan) Masyarakat Petani dan Kebudayaan, Jakarta :

Rajawali Press.

Swarsono & Alvin Y. SO, 1991, Perubahan Sosial dan Pembangunan Indonesia, Teori-

Teori Modernisasi, Dependensi dan Sitem Dunia. Jakarta : LP3ES.

Sutcliffe, R.B. 1971, Industry and Underdevelopment, London : Addison-Wesley

Publishing Company

Sucofindo. 1990. PT Indah Kiat Pulp & Paper Corp (IKPP) dan Kegiatannya Yang

Berdampak Serius Terhadap Lingkungan.

Selo Sumardjan, 1981, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Stepanus Juweng et al. (1996) Kisah Dari Kampung Halaman. Masyarakat Suku. Agama

Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Dian/ Interfidei.

Sutopo. HB. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Solo: Universitas Solo Press.

Syafriadi,1996, “RAPP dan Nasip 439 KK Warga Pangkalan Kerinci Riau,” Harian

Ekonomi Neraca, 24 Mei.

Scott, James C, 1981 : Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subtensi di Asia

Tenggara, Jakarta : LP3ES.

Studi Dampak Sosial Ekonomi Pengembangan Pulau Bintan, Laporan akhir PT Inter

Matrix Bina Indonesia untuk PT Bintan Resort Coporation, Jakarta Oktober 1996.

Scott, James C, 1993 (terjemahan) Perlawanan Kaum Tani, Jakarta : Yayasan Obor.

Scott, Cook. 1984, ‘Peasant Economy, Rural Industry and Capitalism Development in

The Oxaca Valley, Mexico, Journal of Peasant Studies, Vol. 12, No. 1, October.

Shanin, Teodor. 1990. Defining Peasants: Cambridge : Basil Blacwell.

Shanin, Teodore, 1973, The Nature and Logic of The Peasant Economy’, Journal of

Peasant Studies, Vol. 1 No. 1, October.

Shanin, Teodore, 1974, The Nature and Logic of The Peasant Economy’, Journal of

Peasant Studies, Vol. 1 No. 2, January.

Stoler, Ann, 1984, ‘Struktur Kelas dan Otonomi Wanita di Pedesaan Jawa’, dalam

Koentjaraningrat, Masalah-Masalah Pembangunan, LP3ES : Jakarta .

Tim Penelitian LSPPA, 1999, Menjadi Perempuan Studi Kasus dalam Masyarakat Jawa

Islam, LPPA & Ford Foundation : Yogyakarta.

Tenas Effendi, “ Potensi Daerah Kampar Hilir Ditinjau dari Aspek Sosial-Budaya’ tahun

1999. Dan makalah Temasdulhak Assagaf, 1999. Makalah disampaikan pada

Musyawarah Pembentukan Kabupaten Pelalawan 12-12 April 1999.

The Growth Triangle. A Market Driven Response?” Nge Chee Yuen & Wong Poh Kam,

ISEAS, Singapore.

Turner, Barry, 1975, Industrialism, USA, Longman.

Tony & Lowe, Philip, 1984, Locality and Rurallity : Economy And Society In Rural

Regions, England : Geo Books

Titik Anas, 1995, “ Industri Manufaktur Indonesia: Perjalanan Lima Puluh Tahun” dalam

Bantaro Bandoro & J. Kristiady & Mari Pangestu & Onny S Prijono (Penyunting)

Refleksi Setgeah Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : CSIS.

Tempo, Majalah Berita Nasional , no 25 Mei 1991.

Page 70: industrialisasi di Riau

Trouillo, Michel-Rolph, 1988, Peasants and Capital, Dominica in The World Economy.

Baltimore and London : The John Hopkins University Press.

Vivienne Wee Key Recommendations for Building a “Living Community” in Bintan

Beach International Resort”, Singapore, 31 Oct 1994.

Vago, Steven, 1989, Social Change, Edisi ke-2, United States : Prentice Hall.

Vries, E. De, 1972, Masalah-masalah Petani Jawa, Jakarta : Bhratara.

Webster, Andrew,1990, Introduction To The Sociology Of Development, Edisi Ke 2,

London : Macmillan.

Weber, Max, 1970, ‘ The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism’ dalam Ness,

Gsyl D, The Sociology Of Economic Development A Reader, New York : Harper

& Row, Publisher.

Webster’s Universal Dictionary and Thesaurus, 1993, Montreal : Tormot

Wiess, John. 1991, Industry in Developing Countries; Theory, Policy and Evidence,

London dan New York : Routledge.

Wallerstein, Immanuel, 1974, The Modern Word System, Academic Press, New York.

Wolf, Eric R, 1966, Peasant, New Jersey : Prentice - Hall, INC.

Wallerstein, ‘Household Structure and Land Labor-Force Formation in The Capitalist

World economy’ dalam Smith, Joan & Wallertein, Immanuel & Evers, Hans-

Dieter, 1984 Household And The World-Economy, London : Sage Publicatons.

Wallerstein, Immanuel, 1966, The Capitalist World Economy, Cambrige: University

Press Cambrige

Wallerstein, Immanuel, 1974, The Modern Word System, New York: Academic Press..

Warta Ekonomi, Majalah Ekonomi Nasional, No.23, 1997, & No. 27 tahun 1994 & No.2

dan 4 tahun 1998

Wajah Riau 1994, Gambaran Hasil-Hasil Pembangunan Selama Pelita V. Riau:

Pemda Tk I Riau.

Wiener Myron, 1966, Modernization The Dynamic Growth, New York & London :

Basics Books, INC

Wong, Diana, 1987, Peasants In The Making Malaysia Green Revolution, Singapore:

Institute of Southeast Asian Studies.

Yacob Harun, 1993, Keluarga Melayu Bandar Suatu Analisis Perubahan, Dewan Bahasa

dan Pustaka : Kuala Lumpur.

Page 71: industrialisasi di Riau

M.RAWA EL AMADY , di Riau lebih dikenal sebagai aktivis NGO

daripada sebagai ilmuan. Karir aktivis memang sudah dirintis

semenjak kuliah di Fisipol Unri. Ketika mahasiswa dianggap

sebagai mahasiswa “aneh”, karena di zaman Orba di mana orang

takut untuk demontrasi, rawa (begitu dia dipanggil) melakukan

mimbar bebas sendirian di halaman kampusnya. Setiap ada

permasalahan daerah dan nasional selalu membawa teman-

temannya ke DPRD untuk menyatakan protesnya, serta tulisan-

tulisannya yang tajam mengeritik di media lokal dan nasional.

Selesai kuliah di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Unri, rawa langsung mengajar di

Fisipol Unri dan FIA Unilak sebagai asisten dosen dan melaksanakan penelitian-

penelitian sosial. Skripsinya tentang Konsolidasi Militer di Riau tahun 1958-1971

diterbitkan di Jurnal Ilmu Politik LIPI Jakarta dan ikut merancang model Pemberdayaan

Desa Provinsi Riau dan Staf Ahli Komite Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Riau

tahun 2005.

Karena tidak betah sebagai asistan dosen, rawa kemudian menjadi wartawan di

media lokal, lalu reporter salah satu media nasional. Hanya bermodal 500.000 rupiah

tahun 1996 dia berangkat ke Malaysia untuk melanjutkan master bidang sosiologi di

Universitas Kebangsaan Malaysia. Masternya bisa diselesaikan dalam waktu satu tahun

kemudian langsung melanjutkan Ph.D. bidang yang sama di universitas yang sama,

walaupun tidak selesai karenan resesi ekonomi. Sekarang Rawa melanjutkan studi S-3 di

Antropologi UI Depok.

Resesi ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1998 memaksanya kembali ke

Indonesia karena gajinya sebagai reporter Majalah Forum Keadilan untuk Malaysia tidak

bisa lagi diharapkan untuk hidup di Malaysia. Beruntung setelah kembali ke Indonesia

proposal penelitiannya diterima di NHF Belanda untuk melakukan penelitian sosial di

Pangkalan Kerinci, sekaligus sebagai Kepala Litbang di salah satu media harian dan

mengajar di berapa universitas. Dalam waktu bersamaan proposalnya tentang

pemantauan DPRD diterima oleh USAID dengan nilai Rp.1,3 milyar, rawa-pun

mengaktifkan diri sebagai aktivis NGO. Sekarang, rawa melakukan research dan

aktivitas NGO melalui Badan Advokasi Publik dan mengagas gerakan Anti Korupsi di

Riau. Selain itu rawa menahkodai PT ERHA ABADI dibidang konsultan Perencanaan

Sosial, building maintenance . Padahal cita-citanya dulu ingin menjadi ilmuan

berpengaruh. ***