penyakit akibat kerja (metil etil keton)

13
TUGAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PENYAKIT AKIBAT KERJA DAN SOLUSINYA “NEUROTOKSIS AKIBAT METIL ETIL KETON” Disusun oleh : RIGAR DAVID S G2A009051 FAKULTAS KEDOKTERAN

Transcript of penyakit akibat kerja (metil etil keton)

Page 1: penyakit akibat kerja (metil etil keton)

TUGAS

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PENYAKIT AKIBAT KERJA DAN SOLUSINYA

“NEUROTOKSIS AKIBAT METIL ETIL KETON”

Disusun oleh :

RIGAR DAVID S

G2A009051

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

Page 2: penyakit akibat kerja (metil etil keton)

PENDAHULUAN

Penyakit akibat kerja disebabkan oleh paparan terhadap bahan kimia dan biologis, serta bahaya fisik di tempat kerja. Meskipun angka kejadiannya tampak lebih kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit utama penyabab cacat lainnya, terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang. Khususnya di negara-negara yang sedang giat mengembangkan industri.

Pada banyak kasus, penyakit akibat kerja ini bersifat berat dan mengakibatkan kecacatan. Akan tetapi ada dua faktor yang membuat penyakit ini mudah dicegah. Pertama, bahan penyebab penyakit dapat diidentifikasi, diukur dan dikontrol. Kedua, populasi yang beresiko biasanya mudah didatangi dan diawasi secara teratur serta diobati. Selain itu, perubahan-perubahan awal seringkali dapat pulih dengan penanganan yang tepat.

Oleh karena itu, deteksi dini penyakit akibat kerja sangatlah penting. Dengan demikian, tenaga kerja yang sakit dapat segera diobati sehingga penyakitnya tidak berkembang dan dapat disembuhkan dengan segera. selain itu juga dapat dilakukan pencegahan agar tenaga kerja yang lain dapat terlindung dari penyakit tersebut.

Dengan adany tugas ini, diharapkan dapat menjelaskan sebagian kecil masalah yang dialami pekerja. Khususnya pekerja yang terkena pajanan pelarut sintetis seperti metal etil keton (MEK).

Page 3: penyakit akibat kerja (metil etil keton)

PENYAKIT AKIBAT KERJA

DEFINISI

Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang artifisial atau man made disease.

WHO membedakan empat kategori Penyakit Akibat Kerja :

1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya Pneumoconiosis.

2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya Karsinoma Bronkhogenik.

3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab di antara faktor- faktor penyebab lainnya, misalnya Bronkhitis khronis.

4. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada sebelumnya, misalnya asma.

FAKTOR PENYEBAB

Faktor penyebab Penyakit Akibat Kerja sangat banyak, tergantung pada bahan yang digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja, sehingga tidak mungkin disebutkan satu per satu. Pada umumnya faktor penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan :

1. Golongan fisik : suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik.

2. Golongan kimiawi : bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas, larutan, awan atau kabut.

3. Golongan biologis : bakteri, virus atau jamur.

4. Golongan fisiologis : biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan cara kerja.

5. Golongan psikososial : lingkungan kerja yang mengakibatkan stress.

Page 4: penyakit akibat kerja (metil etil keton)

DETEKSI DINI

Dalam pengendalian penyakit akibat kerja, salah satu upaya yang wajib dilakukan adalah deteksi dini, sehingga pengobatan dapat diberikan secepat mungkin. Dengan demikian, penyakit bisa pulih tanpa menimbulkan kecacatan. Sekurang-kurangnya, tidak menimbulkan kecacatan lebih lanjut.

Deteksi dini seharusnya telah merupakan upaya yang tidak terpisahkan dalam kesehatan kerja. Tidak berlebihan jika pada tahun 1974, Dewan Eksekutif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta kepada Direktur Jenderal WHO untuk melaksanakan. Perbandingan dan evaluasi berbagai metoda deteksi dini gangguan kesehatan pada pekerja. Bahkan deteksi dini penyakit akibat kerja lebih lanjut ditegaskan dalam Program Kerja bagi kesehatan pekerja yang disahkan oleh WHO.

Pada banyak kasus, penyakit akibat kerja bersifat berat dan mengakibatkan cacat. Namun demikian ada dua faktor yang membuat penyakit ini mudah dicegah. Pertama, bahan penyebab penyakit mudah diidentifikasi, diukur dan dikontrol.

Kedua, populasi yang berisiko biasanya mudah didatangi dan dapat diawasi secara teratur serta dilakukan pengobatan. Di samping itu, perubahan awal seringkali bisa pulih dengan penanganan yang tepat. Karena itulah deteksi dini penyakit akibat kerja sangatlah penting.

Lingkungan kerja sering mengandung bermacam-macam bahaya kesehatan, baik bersifat fisik, kimia, biologis maupun psikologis. Deteksi dini merupakan kata kunci untuk mengatasi berbagai penyakit akibat kerja.

Sekurang-kurangnya ada tiga hal, menurut WHO, yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam deteksi dini, yaitu:

Perubahan biokimiawi dan morfologis yang dapat diukur melalui analisis laboratorium. Misalnya hambatan aktivitas kolinesterase pada paparan terhadap pestisida organofosfat, penurunan kadar hemoglobin (Hb), sitologi sputum yang abnormal dan sebagainya.

Perubahan kondisi fisik dan fungsi sistem tubuh yang dapat dinilai melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium. Misalnya elektrokardiogram, uji kapasitas kerja fisik, uji saraf dan sebagainya.

Perubahan kesehatan umum yang dapat dinilai dari riwayat medis. Misalnya rasa kantuk dan iritasi mukosa setelah paparan terhadap pelarut-pelarut organik.

Page 5: penyakit akibat kerja (metil etil keton)

KASUS

“NEUROTOKSIS AKIBAT METIL ETIL KETON”

Seorang perempuan yang bekerja pada sebuah pabrik sepatu(bottom sole) datang kepada seorang dokter, dia menjelaskan kepada dokter bahwa dia memiliki keluhan, diantaranya sakit kepala, pusing, kesemutan yang hilang timbul semenjak beberapa bulan yang lalu.

PEMBAHASAN:

Penyakit yang disebutkan dalam kasus ini adalah neurotoksis, yaitu sebuah penyakit yang disebabkan toksin yang beraksi di sel saraf – neuron,biasanya dengan berinteraksi pada protein membran.

Meti Etil Keton merupakan salah satu jenis pelarut dalam dunia industri. Banyak pelarut yang digunakan dalam industri untuk berbagai tujuan, antara lain proses ekstraksi: minyak makan, minyak wangi, bahan farmasi, pigmen dan produk-produk lainnya dari sumber alam. Menghilangkan lemak merupakan satu contoh penggunaan solven untuk menghilangkan bahan-bahan yang tidak diinginkan. Solven ditambahkan untuk memudahkan pemakaian penyalut (coating) pada adhesive, tinta, cat, vernis, dan penyegel (sealer). Solven-solven ini mudah menguap, oleh karena itu, mereka dengan sengaja dilepaskan ke atmosfer setelah penggunaan.

Kebanyakan solven adalah depresan Susunan Syaraf Pusat. Mereka terakumulasi di dalam material lemak pada dinding syaraf dan menghambat transmisi impuls. Pada permulaan seseorang terpapar, maka fikiran dan tubuhnya akan melemah. Pada konsentrasi yang sudah cukup tinggi, akan menyebabkan orang tidak sadarkan diri. Senyawa-senyawa yang kurang polar dan senyawa-senyawa yang mengandung klorin, alkohol, dan ikatan rangkap memiliki sifat depresan yang lebih besar.

Solven adalah irritan. Di dalam paru-paru, irritasi menyebabkan cairan terkumpul. lrritasi kulit digambarkan sebagai hasil primer dari larutnya lemak kulit dari kulit. Sel-sel keratin dari epidermis terlepas. Diikuti hilangnya air dari lapisan lebih bawah. Kerusakan dinding sel juga merupakan suatu faktor. Memerahnya kulit dan timbul tanda-tanda lain seperti inflammasi. Kulit pada akhirnya sangat mudah terinfeksi oleh bakteri, menghasilkan roam dan bisul pemanah. Pemaparan kronik menyebabkan retak-retak dan mengelupasnya kulit

Metil etil keton digunakan secara luas dimana solven yang lebih polar dibutuhkan. Keton dalam jumlah besar digunakan dalam industri penyalut (the coatings industry), industri sepatu(bottom sole). Seperti aldehid, keton juga bersifat mengiritasi, dan dengan alasan itu ia tidak dibenarkan diinhalasi dalam jumlah yang berbahaya (in

Page 6: penyakit akibat kerja (metil etil keton)

dangerous quantity). Toksisitas bertambah dengan bertambahnya berat molekul, dan jika ikatan rangkap ditambahkan ke dalam strukturnya. Aseton, umumnya suatu senyawa yang sangat atnan, dan hanya akan menyebabkan perasaan mengantuk dan iritasi pada dosis yang tinggi. Metil etil keton sama seperti solven dengan bahaya yang rendah (a low-hazard solvent), tetapi metil buill keton dimetabolisme, seperti juga heksan, menjadi suatu neurotoksin yang kuat 2,5 hexsanedione.

Sebagian besar dari bahaya-bahaya di lingkungan kerja diakibatkan oleh terhirupnya berbagai jenis zat kimia dalam bentuk uap, gas, debu, dan aerosol, atau kontak kulit dengan zat-zat tersebut. Tingkat resiko yang diakibatkannya tergantung dari besar, luas dan lama pemaparan.

Penggunaan bahan kimia di dalam industri makin hari makin meningkat. Walaupun zat kimia yang sangat toksis sudah dilarang dan dibatasi pemakaiannya, pemaparan terhadap zat kimia yang dapat membahayakan tidak dapat dielakkan dalam lingkungan kerja. Karena itu proteksi dan sikap hati-hati terhadap xenobiotik, yaitu semua zat kimia yang dipakai manusia dan potensial dapat masuk ke dalam tubuh, perlu ditingkatkan.

Untuk mengenal faktor-faktor lingkungan kerja, pertama-tama harus diketahui dahulu bahan-bahan kimia yang digunakan sebagai bahan baku, proses produksi, dan hasil sampingan serta limbah yang dihasilkan. Sebagian dari informasi tersebut didapat dari label kemasan bahan tersebut, dari produsennya, atau dari pustaka dalam bentuk Material Safety Data Sheet (MSDS). Sebagai contoh, tingkat keparahan (severity) dati penggunaan salven organik tergantung dari berbagai faktor sebagai berikut:

Bagaimana cara solven tersebut digunakan

Jenis pekerjaan dan bagaimana pekerja terpapar

Pola kerja

Lama pemaparan

Suhu lingkungan kerja

Tingkat ventilasi

Tingkat penguapan dati solven

Pola aliran udara

Konsentrasi uap di udara lingkungan kerja Pemeliharaan dan kebersihan ruang kerja (housekeeping)

Page 7: penyakit akibat kerja (metil etil keton)

Uap solven dapat masuk ke dalam tubuh terutama melalui inhalasi, walaupun absorbsi melalui kulit dapat pula terjadi. Uap tersebut akan diabsorbsi dari paru-paru ke dalam darah, dan didistribusi terutama ke jaringan-jaringan yang mengandung banyak lemak dan lipid, misalnya sistem syaraf pusat, hati, dan sumsum tulang.

Banyak bahan-bahan kimia di industri seperti resin dan polimer relatif tidak toksik dalam penggunaannya pada kondisi normal, namun bila dipanaskan atau diolah, bahan-bahan tersebut mungkin mengalami dekomposisi dan membentuk produk sampingan yang sangat toksik. Informasi mengenai produk dan produk sampingan dapat diperoleh dari produsennya atau dari bagian teknik.

PENCEGAHAN :

Dalam lingkungan industri, pencegahan merupakan tindakan yang lebih baik dari pada membiarkan terjadi keracunan. Antisipasi dan tindakan keamanan harus merupakan upaya pertama. Prinsip kerja secara aman adalah penting, namun sering dianggap berlebihan karena mengeluarkan biaya lebih banyak dan tidak menghasilkan nilai tambah yang nyata pada produk.

Pencegahan terjadinya keracunan dalam proses produksi di industri dapat dilakukan dengan menggunakan zat kimia alternatif yang kurang toksik, dan mengurangi bahaya dan resiko yang mungkin dapat ditimbulkan pada pekerja dan lingkungan. Selain itu perlu diusahakan upaya pengamanan seperti menyediakan tempat penyimpanan yang aman, tersedianya sarana air pembilas di tempat-tempat strategis, menyediakan dokter perusahaan, melengkapi pekerja dengan masker dan sarung tangan, dan sebagainya.

PENANGGULANGAN DINI NEUROTOKSIS :

Penanggulangan keracunan perlu dilakukan untuk kasus akut maupun kronis. Kasus akut lebih mudah dikenal sedangkan kasus kronis lebih sulit dikenal.

Pada kasus kecacunan akut, diagnosis klinis perlu segera dibuat. Ini berarti mengelompokkan gejala-gejala yang diobservasi dan menghubungkan dengan golongan xenobiotik yang memberi tanda-tanda keracunan tersebut. Hal ini tentu membutuhkan pengetahuan luas tentang suatu toksis semua zat kimia. Tindakan dini dapat dilakukan sebelum penyebab pasti dari kasus diketahui, karena sebagian besar keracunan dapat diobati secara simtomatis menurut kelompok kimianya.

Beberapa contoh tindakan yang perlu dilakukan pada kasus keracunan akut adalah sebagai berikut:

Page 8: penyakit akibat kerja (metil etil keton)

KOMA :

Penderita hilang kesadarannya. Periksalah apakah penderita masih bernafas teratur sekitar 20 kali semenit. Bila tidak bernafas maka perlu dilakukan pernafasan buatan. Dalam keadaan koma penderita harus segera dibawa ke rumah sakit yang besar yang biasa merawat kasus keracunan. Jangan diberi minum apa-apa, dan hanya boleh dirangsang secara fisik untuk membangunkan seperti mencubit ringan atau menggosok kepalan tangan di atas tulang dada (sternum). Obat perangsang seperti kafein tidak boleh diberikan persuntikan. Bila muntah, tidurkanlah telungkup supaya muntahan tidak terhirup dalam paru-paru.

KEJANG :

Bila terdapat kejang maka penderita perlu diletakkan dalam sikap yang enak dan semua pakaian dilepas. Menahan otot lengan dan tungkai tidak boleh terlalu keras, dan di antara gigi perlu diletakkan benda yang tidak keras supaya lidah tidak tergigit. Penderita keracunan dengan kejang harus diberi diazepam intravena dengan segera, namun perlu dititrasi, karena bila berlebihan dapat membahayakan. Penderita juga harus segera dirawat di rumah sakit.

Gejala-gejala keracunan perlu dikelompokkan. Misalnya bila terdapat koma dengan gejala banyak keringat dan mulut penuh dengan air liur berbusa, muntah, denyut nadi cepat, maka dapat dipastikan bahwa hal ini merupakan keracunan insektisida organofosfat atau karbamat. Pemeriksaan laboratorium mungkin tidak diperlukan. Antidotumnya sangat ampuh. yaitu atropin dosis besar yang diulang-ulang pemberiannya.

Bila terdapat kelompok gejala: kulit kering (tidak lembab), mulut kering, pupil membesar dan tidak bereaksi terhadap cahaya lampu, serta denyut jantung cepat, maka dapat dipastikan bahwa racun penyebabnya sejenis atropin. Bila hal ini disertai dengan denyut jantung yang tidak teratur, maka kemungkinan besar zat ini merupakan obat antidepresan (yang menyerupai atropin).

Pengenalan penyebab keracunan harus didasarkan pada pengetahuan sifat-sifat obat dan zat kimia dalam kelompok-kelompok gejala seperti di atas. Walaupun secara pasti belum dapat ditentukan zat kimianya, namun pengenalan kelompoknya sudah cukup untuk dapat melakukan upaya pengobatannya. Bila diinginkan identifikasi zat yang lebih pasti maka diperlukan bantuan laboratorium toksikologi. Namun perlu disadari bahwa tanpa pedoman diagnosis kelompok penyebab, laboratorium sulit sekali melakukan testing. Selain itu perlu juga diwaspadai bahwa setiap keracunan dapat mirip dengan gejala penyakit.

Page 9: penyakit akibat kerja (metil etil keton)

MANAJEMEN PENDERITA NEUROTOKSIS :

Tindakan pada kasus keracunan bila tidak ada tenaga dokter di tempat adalah sebagai berikut:

Tentukan secara global apakah kasus merupakan neurotoksis Bawa penderita segera ke rumah sakit, terutama bila tidak sadar

Sebelum penderita dibawa kerumah sakit, mungkin ada beberapa hal yang perlu dilakukan bila terjadi keadaan sebagai berikut:

Bila zat kimia terkena kulit, cucilah segera (sebelum dibawa kerumah sakit) dengan sabun dan air yang banyak. Begitu pula bila kena mata (air saja). Jangan menggunakan zat pembersih lain selain air.

Bila penderita tidak benafas dan badan masih hangat, lakukan pernafasan buatan sampai dapat bernafas sendiri, sambil dibawa ke rumah sakit terdekat. Bila tanda-tanda bahwa insektisida merupakan penyebab, tidak dibenarkan meniup ke dalam mulut penderita.

Bila racun tertelan dalam batas 4 jam, cobalah memuntahkan penderita bila sadar. Memuntahkan dapat dengan merogoh tenggorokan (jangan sampai melukai !).

Bila sadar, penderita dapat diberi norit yang digerus sebanyak 40 tablet, diaduk dengan air secukupnya.

Semua keracunan harus dianggap berbahaya sampai terbukti bahwa kasusnya tidak berbahaya.

Simpanlah muntahan dan urin (bila dapat ditampung) untuk diserahkan kepada rumah sakit yang merawatnya.

Bila kejang, diperlakukan seperti dibahas di atas.

Page 10: penyakit akibat kerja (metil etil keton)

DAFTAR PUSTAKA

Kusnoputranto, H. (1995), Toksikologi Lingkungan, Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan, Jakarta.

Manahan, Stanley E. (1994), Environmental Chemistry, sixth edition, Lewis Publishers, Boca Raton, Ann Arbor, London, Tokyo.

Scott, Ronald McLean. (1989), Chemical Hazard in the Workplace, Lewis Publishers, Inc., 121 South Main Street, Chelsea, Michigan 48118