Penggolongan Obat Menurut Permenkes No
-
Upload
kadeq-ditya-putra -
Category
Documents
-
view
2.795 -
download
20
description
Transcript of Penggolongan Obat Menurut Permenkes No
1
Penggolongan Obat Menurut Permenkes No.917 Tahun 1993
Penggolongan obat menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
917/Menkes/Per/X /1993 yang kini telah diperbaiki dengan Permenkes RI Nomor
949/Menkes/Per/ VI/2000 penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan
dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi. Penggolongan obat ini terdiri
atas : obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropika
dan narkotika.
a. Obat Bebas
Peratuan daerah Tingkat II tangerang yakni Perda Nomor 12 Tahun 1994 tentang
izin Pedagang Eceran Obat memuat pengertian obat bebas adalah obat yang dapat dijual
bebas kepada umum tanpa resep dokter, tidak termasuk dalam daftar narkotika,
psikotropika, obat keras, obat bebas terbatas dan sudah terdaftar di Depkes RI. Di buku
ISO ada tanda atau tulisan B.
Contoh : Minyak Kayu Putih, Tablet Parasetamol, tablet Vitamin C, B Compleks, E
dan Obat batuk hitam, Oralit, Ibuprofen 200 mg. Penandaan obat bebas diatur
berdasarkan SK Menkes RI Nomor 2380/A/SK/VI/1983 tentang tanda khusus untuk untuk
obat bebas dan untuk obat bebas terbatas. Tanda khusus untuk obat bebas yaitu bulatan
berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam, seperti terlihat pada gambar berikut :
Gambar 1. Penandaan Obat Bebas
b. Obat Bebas Terbatas
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan obat-obatan ke
dalam daftar obat “W” (Waarschuwing) memberikan pengertian obat bebas terbatas
adalah obat keras yang dapat diserahkan kepada pemakainya tanpa resep dokter, bila
penyerahannya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Obat tersebut hanya boleh dijual dalam bungkusan asli dari pabriknya atau pembuatnya.
2. Pada penyerahannya oleh pembuat atau penjual harus mencantumkan tanda peringatan.
Di buku ISO ditandai dengan tulisan T. Tanda peringatan tersebut berwarna
hitam,berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih
sebagai berikut :
2
Gambar 2. Peringatan Obat Bebas Terbatas
Penandaannya diatur berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI
No.2380/A/SK/VI/83 tanda khusus untuk obat bebas terbatas berupa lingkaran berwarna
biru dengan garis tepi berwarna hitam, seperti pada gambar berikut:
Gambar 3. Penandaan Obat Bebas Terbatas
Sebagai contoh peringatannya :
P No. I : awas obat keras, bacalah aturan pemakaiannya.
Dulcolax tablet
Acetaminofen = >600 mg/tab atau >40 mg/ml (kep Menkes no.66227/73)
SG tablet.
P No. 2 : awas obat keras, hanya untuk kumur , jangan ditelan
Gargarisma khan
Betadin gargarisma
P NO. 3 : awas obat keras hanya untuk bagian luar badan
Anthistamin pemakain luar , misal dalam bentuk cream, caladin, caladril.
Lasonil
Liquor burowl
P No. 4 : awas obat keras hanya untuk dibakar
Dalam bentuk rokok dan sebuk untuk penyakit asma yang mengandung
scopolamin.
P No.5 ; awas obat keras tidak boleh ditelan
Dulcolax Suppos
3
Amonia 10 % ke bawah
P No. 6 : awas obat keras wasir jangan ditelan:
Varemoid
c. Obat Keras
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan/memasukkan obat-
obatan kedalam daftar obat keras, memberikan pengertian obat keras adalah obat-obat
yang ditetapkan sebagai berikut :
1. Semua obat yang pada bungkus luarnya oleh si pembuat disebutkan bahwa obat itu
hanya boleh diserahkan dengan resep dokter.
2. Semua obat yang dibungkus sedemikian rupa yang nyata-nyata untuk dipergunakan
secara parenteral.
3. Semua obat baru, terkecuali apabila oleh Departemen Kesehatan telah dinyatakan
secara tertulis bahwa obat baru itu tidak membahayakan kesehatan manusia.
Contoh :
Andrenalinum
Antibiotika
Antihistaminika, dan lain-lain
Adapun penandaannya diatur berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No.
02396/A/SK/VIII/1986 tentang tanda khusus Obat Keras daftar G (Gevarrlijk) adalah
“Lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan hurup K yang
menyentuh garis tepi”, dan di penandaanya harus dicantum kalimat “Harus dengan
Resep Dokter”. seperti yang terlihat pada gambar berikut:
Gambar 4. Penandaan Obat Keras
d. Obat Wajib Apotek
Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker
di apotek tanpa resep dokter. Menurut keputusan menteri kesehatan RI Nomor
347/Menkes/SK/VIII/1990 yang telah diperbaharui Mentri Kesehatan Nomor
924/Menkes/Per/X/1993 dikeluarkan dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Pertimbangan utama untuk obat wajib apotek ini sama dengan pertimbangan obat yang
diserahkan tanpa resep dokter, yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan, dengan meningkatkan
pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional.
4
2. Pertimbangan yang kedua untuk meningkatkatkan peran apoteker di apotek dalam
pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi serta pelayanan obat kepada masyarakat.
3. Pertimbangan ketiga untuk peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan untuk
pengobatan sendiri. Obat yang termasuk kedalam obat wajib apotek misalnya : obat
saluran cerna (antasida), ranitidine, clindamicin cream dan lain-lain.
Berdasarkan keputusan Menkes No. 347/ menkes/SK/VII/1990 tentang obat wajib
Apotek (OWA 1) No. I, dan keputusan Menkes : 924/93 (OWA 2) maka menurut cara
memperolehnya, obat keras terbagi 2:
a. Harus dengan resep dokter ( G1)
Untuk semua injeksi
Antibiotika dan virus
Obat-obat jantung
Obat-obat psikotropika.
b. Disarankan oleh apoteker di apotek
pil kb
analgetik-antipiretik ( antalgin, asam mefenamat)
antihistamin dan obat asma
Psikotropika Kombinasi
Obat Keras tertentu
Menurut UU No. 49/1949 pasal 3 ayat 2, Apoteker hanya dapat menjual obat keras
kepada:
1. pasien dengan resep dokter untuk obat yang bukan OWA
2. apoteker
3. dokter/dokter gigi
4. dokter hewan
Yang berhak memiliki serta menyimpan obat daftar G dalam jumlah yang patut
disangka bahwa obat tersebut tidak akan digunakan sendiri adalah:
1. PBF (pedagang besar farmasi)
2. APA (apoteker pengelola apotik)
3. Dokter yang berizin (dr,drg)
4. Dokter hewan (dalam batas haknya)
OWA merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek
(APA) kepada pasien. Walaupun APA boleh memberikan obat keras, namun ada
persayaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA.
5
1. Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien (nama,
alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
2. Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh diberikan kepada
pasien. Contohnya hanya jenis oksitetrasiklin salep saja yang termasuk OWA, dan
hanya boleh diberikan 1 tube.
3. Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar mencakup: indikasi, kontra-
indikasi, cara pemakaian, cara penyimpanan dan efek samping obat yang mungkin
timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak dikehendaki tersebut timbul.
Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk masyarakat, maka obat-
obat yang digolongkan dalam OWA adalah obat ang diperlukan bagi kebanyakan
penyakit yang diderita pasien. Antara lain: obat antiinflamasi (asam mefenamat), obat
alergi kulit (salep hidrokotison), infeksi kulit dan mata (salep oksitetrasiklin), antialergi
sistemik (CTM), obat KB hormonal.
Sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan:
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2
tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan
penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk pengobatan sendiri.
Tabel. Contoh OWA
Obat Indikasi Jumlah yang boleh diberikan
Asam mefenamat Antiinflamasi dan anagesik 10 tablet
Salep hidrokortison Antialergi topikal 1 tube
Obat KB antifertilitas 1 siklus (28 hari)
6
e. Obat Golongan Narkotika
Pengertian narkotika menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan
kedalam golongan I, II dan III. Contoh :
Tanaman Papaver Somniferum
Tanaman Koka
Tanaman ganja
Heroina
Morfina
Ovium
Kodeina
Obat narkotika ditandai dengan lingkaran warna putih ada palang merah di
tengah-tengahnya dan termasuk daftar O (Opiat). Untuk memperolehnya harus dengan
resep dokter dan apotik wajib melaporkan jumlah dan macamnya. Peresepan tidak boleh
diulang dan ada tanda tangan dokter penulis resep. Di buku ISO ditandai dengan N.
Gambar 5. Penandaan Obat Narkotika
UU Narkotika No. 9 thn 1976 yang terdiri atas 10 bab 55 pasal diganti dengan UU no. 22
tahun 1997 tentang Narkotika dengan 15 BAB 104 pasal.
BAB I
pasal 1
Narkotika : zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
Oleh karena itu, obat-obat ini mulai dari pembuatannya sampai pemakaiannya
diawasi dengan ketat oleh Pemerintah dan hanya boleh diserahkan oleh apotek atas
resep dokter. Tiap bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan pemakaiannya pada
pemerintah.
BAB II
Pasal 2
7
Narkotika digolongkan menjadi:
a. Narkotika golongan I- kokain, heroin
b. Narkotika golongan II= Metadon, morfina, opium, petidin, tebain
c. Narkotika golongan III- kodein.
Tujuan pengaturan Narkotika
1. menjamin ketersediaannya narkotika untuk keperluan pelayanan kesehatan dan
atau pengembangan ilmu pengetahuan.
2. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika
3. memberantas peredaran gelap narkotika.
Pasal 4
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau
pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 5
Narkotika golongan I hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya.
BAB III. Pengadaan
Pasal 6
I. Menkes : mengupayakan tersedianya narkotika untuk pelayanan kesehatan atau
pengembangan ilmu pengetahuan
Pasal 9
I. narkotika golongan I dilarang diproduksi atau digunakan dalam proses produksi,
kecuali jumlah sangat terbatas untuk pengembangan ilmu pengetahuan dengan
pengawasan ketat dari Menkes.
BAB V PEREDARAN
Pasal 33
Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada Depkes
Pasal 37
Narkotika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat tertentu atau
pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan.
8
Pasal 39
1. penyerahan narkotika hanya dilakukan oleh: apotek, rumah sakit, Puskesmas,
balai pengobatan dan dokter.
2. apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada : rumah sakit, puskesmas,
apotik lain , balai pengobatan, dokter, pasien.
3. rumah sakit, apotek, puskesmas, balai pengobatan hanya dapat menyerahkan
narkotika kepada pasien berdasarkan R/ dokter.
4. Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dilakukan dalam:
a. menjalankan praktek dan diberikan melalui suntikan.
b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat melalui suntikan.
c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
5. narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu , disarankan dokter
dimaksud ayat 4 hanya dapat diperoleh di apotek.
BAB XII. KETENTUAN PIDANA ( PASAL 78-99)
Pasal 84
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika
golongan I untuk orang lain, dipidana paling lama 15 tahun dan didenda 750 jt
b. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika
golongan II untuk orang lain, dipidana paling lama 10 tahun dan didenda 500 jt.
c. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika
golongan III untuk orang lain, dipidana paling lama 5 tahun dan didenda 250 jt.
Pasal 99
Dipidana penjara paling lama 10 tahun dan didenda 200 juta bagi pimpinan Rumah
Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan, sarana penyimpanan pemerintah, apotek, dan
dokter yang mengedarluaskan narkotika golongan II dan III bukan untuk pelayanan
kesehatan.
f. Obat Psikotropika
Pengertian psikotropika menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Contoh :
Lisergida
Amphetamin
Codein
9
Diazepam
Nitrazepam
Fenobarbital
Untuk Psikotropika penandaan yang dipergunakan sama dengan penandaan untuk
obat keras, hal ini karena sebelum diundangkannya UU RI No. 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika, maka obat-obat psikotropika termasuk obat keras, hanya saja karena
efeknya dapat mengakibatkan sidroma ketergantungan sehingga dulu disebut Obat Keras
Tertentu.
Sehingga untuk Psikotropika penandaannya : lingkaran bulat berwarna merah,
dengan huruf K berwarna hitam yang menyentuh garis tepi yang berwarna hitam.
Tanda Obat Psikotropik
Menurut Undang-undang RI no. 5 tahun 1997 tentang PSIKOTROPIKA yang terdiri
atas 16 bab 74 pasal, tertanggal 11 maret 1997, PSIKOTROPIKA adalah zat atau obat
baik alamiah maupun bukan narkotik yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.
Pasal 2 ayat 2 tentang penggolongan psikotropika:
Penggolongan psikotropika:
2. psikotropika golongan I
3. psikotropika golngan II
4. psikotropika golongan III
5. psikotropika golongan IV
Pasal 4
1. psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau
ilmu pengetahuan.
2. psikotropika golongan I untuk ilmu pengetahuan
3. selain pasal 4 ayat 2 psikotropika golongan I dinyatakan sebagai barang terlarang.
Pasal 14 ayat 5
Dokter hanya diperbolehkan menyerahkan obat psikotropika apabila:
10
a. menjalankan praktek dan diberikan dengan suntikan
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
BAB XIV. Ketentuan Pidana ( 13 pasal)
Pasal 59
1. Barang Siapa:
a. menggunakan psikotropika selain yang dimaksud pasal 4
ayat 2
b. memproduksi atau menggunakan psikotropika golongan I
c.mengedarkan psikotropika golongan I
d. mengimpor selain kepentingan ilmu pengetahuan
e. secara tanpa hak memiliki menyimpan atau membawa
psikotropika golongan I dipidana penjara paling sedikit 4 tahun dan selama-
lamanya 15 tahun dan membayar denda paling sedikit 150 juta dan paling bayak
750 jt.
2. Jika terorganisasi maka akan dipidana mati atau seumur hidup dan membayar denda
750 juta.
Pasal 68 : tindak pidana di bidang Psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini adalah kejahatan.
Golongan psikotropika
Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan
digolongkan menjadi4 golongan, yaitu:
1. Psikotropika golongan I : yaitu psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan
pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat
2. Psikotropika golongan II : yaitu psikotropika yang berkhasiat terapi tetapi dapat
menimbulkan ketergantungan.
3. Psikotropika golongan III : yaitu psikotropika dengan efek ketergantungannya
sedang dari kelompok hipnotik sedatif.
4. Psikotropika golongan IV : yaitu psikotropika yang efek ketergantungannya ringan.
Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang pemberantasan peredaran
narkotika dan psikotropika, tahun 1988 tersebut maka psikotropika dapat digolongkan
sebagai berikut : (didahului dengan nama International dan nama kimia diletakkan dalam
tanda kurung)
11
Psikotropika golongan I
Broloamfetamine atau DOB ((±)-4-bromo-2,5-dimethoxy-alpha-
methylphenethylamine)
Cathinone ((x)-(S)-2-aminopropiophenone)
DET (3-[2-(diethylamino)ethyl]indole)
DMA ( (±)-2,5-dimethoxy-alpha-methylphenethylamine )
DMHP ( 3-(1,2-dimethylheptyl)-7,8,9,10-tetrahydro-6,6,9-trimethyl-6H-
dibenzo[b,d]pyran-1-olo )
DMT ( 3-[2-(dimethylamino)ethyl]indole)
DOET ( (±)-4-ethyl-2,5-dimethoxy-alpha-phenethylamine)
Eticyclidine - PCE ( N-ethyl-1-phenylcyclohexylamine )
Etrytamine ( 3-(2-aminobutyl)indole )
Lysergide - LSD, LSD-25 (9,10-didehydro-N,N-diethyl-6-methylergoline-8beta-
carboxamide)
MDMA ((±)-N,alpha-dimethyl-3,4-(methylene-dioxy)phenethylamine)
Mescaline (3,4,5-trimethoxyphenethylamine)
Methcathinone ( 2-(methylamino)-1-phenylpropan-1-one )
4-methylaminorex ( (±)-cis-2-amino-4-methyl-5-phenyl-2-oxazoline )
MMDA (2-methoxy-alpha-methyl-4,5-(methylenedioxy)phenethylamine)
N-ethyl MDA ((±)-N-ethyl-alpha-methyl-3,4-(methylenedioxy)phenethylamine)
N-hydroxy MDA ((±)-N-[alpha-methyl-3,4-
(methylenedioxy)phenethyl]hydroxylamine)
Parahexyl (3-hexyl-7,8,9,10-tetrahydro-6,6,9-trimethyl-6H-dibenzo[b,d]pyran-1-ol)
PMA (p-methoxy-alpha-methylphenethylamine)
Psilocine, psilotsin (3-[2-(dimethylamino)ethyl] indol-4-ol)
Psilocybine (3-[2-(dimethylamino)ethyl]indol-4-yl dihydrogen phosphate)
Rolicyclidine - PHP,PCPY ( 1-(1-phenylcyclohexyl)pyrrolidine )
STP, DOM (2,5-dimethoxy-alpha,4-dimethylphenethylamine)
Tenamfetamine - MDA (alpha-methyl-3,4-(methylenedioxy)phenethylamine)
Tenocyclidine - TCP (1-[1-(2-thienyl)cyclohexyl]piperidine)
Tetrahydrocannabinol
TMA ((±)-3,4,5-trimethoxy-alpha-methylphenethylamine)
Psikotropika golongan II
Amphetamine ((±)-alpha-methylphenethylamine)
Dexamphetamine ((+)-alpha-methylphenethylamine)
Fenetylline (7-[2-[(alpha-methylphenethyl)amino] ethyl]theophylline)
Levamphetamine ((x)-(R)-alpha-methylphenethylamine)
12
Levomethampheta-mine ((x)-N,alpha-dimethylphenethylamine)
Mecloqualone (3-(o-chlorophenyl)-2-methyl-4(3H)- quinazolinone)
Methamphetamine ((+)-(S)-N,alpha-dimethylphenethylamine)
Methamphetamineracemate ((±)-N,alpha-dimethylphenethylamine)
Methaqualone (2-methyl-3-o-tolyl-4(3H)-quinazolinone)
Methylphenidate (Methyl alpha-phenyl-2-piperidineacetate)
Phencyclidine - PCP (1-(1-phenylcyclohexyl)piperidine)
Phenmetrazine (3-methyl-2-phenylmorpholine)
Secobarbital (5-allyl-5-(1-methylbutyl)barbituric acid)
Dronabinol atau delta-9-tetrahydro-cannabinol ((6aR,10aR)-6a,7,8,10a-tetrahydro-
6,6,9-trimethyl-3-pentyl-6H- dibenzo[b,d]pyran-1-ol)
Zipeprol (alpha-(alpha-methoxybenzyl)-4-(beta-methoxyphenethyl)-1-
piperazineethanol)
Psikotropika golongan III
Amobarbital (5-ethyl-5-isopentylbarbituric acid)
Buprenorphine (2l-cyclopropyl-7-alpha-[(S)-1-hydroxy-1,2,2-trimethylpropyl]-6,14-
endo-ethano-6,7,8,14-tetrahydrooripavine)
Butalbital (5-allyl-5-isobutylbarbituric acid)
Cathine / norpseudo-ephedrine ((+)-(R)-alpha-[(R)-1-aminoethyl]benzyl alcohol)
Cyclobarbital (5-(1-cyclohexen-1-yl)-5-ethylbarbituric acid)
Flunitrazepam (5-(o-fluorophenyl)-1,3-dihydro-1-methyl-7-nitro-2H-1,4-
benzodiazepin-2-one)
Glutethimide (2-ethyl-2-phenylglutarimide)
Pentazocine ((2R*,6R*,11R*)-1,2,3,4,5,6-hexahydro-6,11-dimethyl-3-(3-methyl-2-
butenyl)-2,6-methano-3-benzazocin-8-ol)
Pentobarbital (5-ethyl-5-(1-methylbutyl)barbituric acid)
Psikotropika golongan IV
Allobarbital (5,5-diallylbarbituric acid)
Alprazolam (8-chloro-1-methyl-6-phenyl-4H-s-triazolo[4,3-a][1,4]benzodiazepine)
Amfepramone (diethylpropion 2-(diethylamino)propiophenone)
Aminorex (2-amino-5-phenyl-2-oxazoline)
Barbital (5,5-diethylbarbituric acid)
Benzfetamine (N-benzyl-N,alpha-dimethylphenethylamine)
Bromazepam (7-bromo-1,3-dihydro-5-(2-pyridyl)-2H-1,4-benzodiazepin-2-one)
Butobarbital (5-butyl-5-ethylbarbituric acid)
Brotizolam (2-bromo-4-(o-chlorophenyl)-9-methyl-6H-thieno[3,2-f]-s-triazolo[4,3-a]
[1,4]diazepine)
13
Camazepam (7-chloro-1,3-dihydro-3-hydroxy-1-methyl-5-phenyl-2H-1,4
benzodiazepin-2-one dimethylcarbamate (ester))
Chlordiazepoxide (7-chloro-2-(methylamino)-5-phenyl-3H-1,4-benzodiazepine-4-
oxide)
Clobazam (7-chloro-1-methyl-5-phenyl-1H-1,5-benzodiazepine-2,4(3H,5H)-dione)
Clonazepam (5-(o-chlorophenyl)-1,3-dihydro-7-nitro-2H-1,4-benzodiazepin-2-one)
Clorazepate (7-chloro-2,3-dihydro-2-oxo-5-phenyl-1H-1,4-benzodiazepine-3-
carboxylic acid)
Clotiazepam (5-(o-chlorophenyl)-7-ethyl-1,3-dihydro-1-methyl-2H-thieno [2,3-e] -
1,4-diazepin-2-one)
Cloxazolam (10-chloro-11b-(o-chlorophenyl)-2,3,7,11b-tetrahydro-oxazolo- [3,2-d]
[1,4]benzodiazepin-6(5H)-one)
Delorazepam (7-chloro-5-(o-chlorophenyl)-1,3-dihydro-2H-1,4-benzodiazepin-2-
one)
Diazepam (7-chloro-1,3-dihydro-1-methyl-5-phenyl-2H-1,4-benzodiazepin-2-one)
Estazolam (8-chloro-6-phenyl-4H-s-triazolo[4,3-a][1,4]benzodiazepine)
Ethchlorvynol (1-chloro-3-ethyl-1-penten-4-yn-3-ol)
Ethinamate (1-ethynylcyclohexanolcarbamate)
Ethyl loflazepate (ethyl 7-chloro-5-(o-fluorophenyl)-2,3-dihydro-2-oxo-1H-1,4-
benzodiazepine-3-carboxylate)
Etil Amfetamine / N-ethylampetamine (N-ethyl-alpha-methylphenethylamine)
Fencamfamin (N-ethyl-3-phenyl-2-norborananamine)
Fenproporex ((±)-3-[(alpha-methylphenylethyl)amino]propionitrile)
Fludiazepam (7-chloro-5-(o-fluorophenyl)-1,3-dihydro-1-methyl-2H-1,4-
benzodiazepin-2-one)
Flurazepam (7-chloro-1-[2-(diethylamino)ethyl]-5-(o-fluorophenyl)-1,3-dihydro-2H-
1,4-benzodiazepin-2-one)
Halazepam (7-chloro-1,3-dihydro-5-phenyl-1-(2,2,2-trifluoroethyl)-2H-1,4-
benzodiazepin-2-one)
Haloxazolam (10-bromo-11b-(o-fluorophenyl)-2,3,7,11b-tetrahydrooxazolo [3,2-d]
[1,4]benzodiazepin-6(5H)-one)
Ketazolam (11-chloro-8,12b-dihydro-2,8-dimethyl-12b-phenyl-4H-[1,3]oxazino[3,2-
d][1,4]benzodiazepine-4,7(6H)-dione)
Lefetamine - SPA ((x)-N,N-dimethyl-1,2-diphenylethylamine)
Menurut Jenisnya Obat Dapat Dibedakan Menjadi :
Obat baku/bahan Substansi yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia atau
14
obat buku resmi lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Obat jadi Obat standart, obat generik: obat dengan komposisi dan
nama teknis standart seperti dalam Farmakope Indonesia
atau buku lain yang ditetapkan pemerintah.
Obat paten Trade name: obat jadi dengan nama dagang yang
terdaftar seperti nama pabrik atau yang dikuasakannya
dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik yang
memproduksinya dan obat tersebut obat yang masih
dilindung oleh hak patennya. Obat paten tidak tersedia
dalam bentuk generik, dan tidak boleh suatu perusahaan
membuat nama paten yang lain dengan kandungan yang
sama selama masa paten obat ini masih dikuasai oleh
perusahaan leadernya atau selama hak paten
kandungannya tidak dijual atau dilisensikan ke perusahaan
lain yang berminat.
Obat Off Paten obat yang telah habis masa patennya
Obat Generik obat dengan nama generik, nama resmi yang telah
ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan INN
(International Non-propietary Names) dari WHO (World
Health Organization) untuk zat berkhasiat yang
dikandungnya. Nama generik ini ditempatkan sebagai
judul dari monografi sediaan-sediaan obat yang
mengandung nama generik tersebut sebagai zat tunggal
(Obat Generik Berlogo). Obat Generik bisa berupa obat off
paten yang terdiri atas branded generik dan generik
(berlogo).
Obat asli Obat tradisional, jamu, fitofarmaka: obat yang didapat
langsung dari bahan-bahan alamiah Indonesia.
Obat dengan
Nama Dagang
Obat generik yang dibuat oleh pabrik dengan nama yang
berbeda dengan nama generiknya tetapi komposisinya
sama dengan generiknya. Yang membedakan adalah
bentuk sediaan, rasa, kemasan dan promosi.
Menurut Cara Pemberiannya, Obat Dibedakan Menjadi:
Obat sistemik, yaitu cara pemberian obat yang memungkinkan obat masuk dalam
tubuh dan beredar dalam sirkulasi sistemik sehingga efek kerjanya bersifat sistemik.
Cara pemberian obat sistemik ini misalnya pemberian per oral dan parenteral.
15
Obat lokal, yaitu cara pemberian obat yang menghasilkan efek setempat atau hanya
pada tempat pemberian. Obat lokal ini tidak atau minimal ditemukan dalam sirkulasi
sistemik. Cara pemberian obat dengan efek lokal misalnya obat topikal seperti salep
kulit, sampho anti ketombe, dan pemberian per inhalasi.
Menurut khasiat/efek obat, obat dibedakan menjadi kelas terapi seperti tercantum
dalam Daftar Obat Essensial Nasional ( DOEN).
Penggolongan Berdasar Efek Farmakologi
Contoh : Fenobarbital; dapat dikategorikan menurut:
Tempat kerja dalam tubuh; merupakan obat yang bekerja pada SSP
Aktivitas terapeutik; merupakan obat sedatif-hipnotik.
Mekanisme kerja farmakologi; merupakan depressan SSP
Sumber asal/ sifat-sifat kimia; merupakan turunan asam barbiturat.
Menurut bentuk dan struktur kimia:
Asam; contoh acetosal, acidum ascorbinium, barbitalum
Basa; contoh alucol, bisacodyl, hidrochlorothiazida
Garam; contoh : natrium chlorida, papaverine HCI, atropine sulfas
Garam/senyawa kompleks; contoh: magnesium trisilikat, cynacobalamin, aluminium/
kalium sulfat.
Ester; contoh: chloramphenicol palmitat, adrenaline bitartrat, gliceryl guayacolate
Kristal mengandung aior: contoh ampiciline trihiodrat, calcii lactas, codein HCI
Isotop radioaktif: contoh : chlormerodin Hg, natrii yodida.
Hubungan antara struktur kimia-sifat kimia dan aktivitas biologis obat.
Struktur kimia Sifat kimia-fisika Aktifitas biologis obat
Jumlah Kelarutan Respon
Macam Koefisien partisi Kenaikan jumlah ikatan
obat reseptor
Susunan dari atom molekul obat Adsorpsi
Derajat ionisasi
Penggolongan Obat Tradisional
Penggolongan obat di atas adalah obat yang berbasis kimia modern, padahal juga
dikenal obat yang berasal dari alam, yang biasa dikenal sebagai obat tradisional. Obat
tradisional Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu obat tradisional
16
atau jamu dan fitofarmaka. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi, telah
diciptakan peralatan berteknologi tinggi yang membantu proses produksi sehingga
industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak.
Namun, sayang pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum diiringi dengan
perkembangan penelitian sampai dengan uji klinik. Saat ini obat tradisional dapat
dikelompokkan menjadi 3, yaitu jamu, obat ekstrak alam, dan fitofarmaka.
1. Jamu (Empirical based herbal medicine)
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam
bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang
menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada
umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang
disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara
5 – 10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah
sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah
digunakan secara turun-menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin
ratusan tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk
tujuan kesehatan tertentu.
2.Obat Herbal Terstandar (Scientific based herbal
medicine)
Adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang
dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan
proses ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal,
ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun
ketrampilan pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan tehnologi maju,
jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-
penelitian pre-klinik seperti standart kandungan bahan berkhasiat, standart
pembuatan ekstrak tanaman obat, standart pembuatan obat tradisional yang
higienis, dan uji toksisitas akut maupun kronis.
3. Fitofarmaka (Clinical based herbal medicine)
17
Merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan
obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan
bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Dengan uji klinik akan lebih
meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana
pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat
herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilmiah.