PENGEMBANGAN MODEL HEWAN AUTISME PADA MENCIT …

18
JSTFI Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology Vol.VI, No.2, Juli 2017 29 PENGEMBANGAN MODEL HEWAN AUTISME PADA MENCIT YANG DIINDUKSI METILMERKURI PADA KONDISI PRENATAL Tiara Berliani, Andreanus A. Soemardji, Kusnandar Anggadiredja Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung _____________________________________________________________________________ Abstrak Hubungan antara paparan merkuri melalui konsumsi ikan dengan autisme saat ini menjadi perhatian publik, dimana terdapat hipotesis bahwa paparan merkuri saat prenatal berperan penting dalam etiologi autisme. Merkuri dapat menimbulkan kerusakan dan kematian neuron di otak dimana kondisi tersebut hampir sama ditemukan pada diagnosa autisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui apakah induksi metilmerkuri pada kondisi prenatal dapat membentuk model mencit autisme pada anakan mencit (F1). Pembentukan model hewan autisme dilakukan dengan menginduksi mencit menggunakan dosis oral tunggal metilmerkuri klorida 4 mg/Kg dan 8mg/Kg, Pemberian dilakukan pada kondsi prenatal pada GD10. Pengaruh pemberian metilmerkuri diamati melalui pengamatan perilaku yang berkaitan dengan beberapa gangguan yang terjadi pada kondisi autisme. Parameter uji yang diamati meliputi aktivitas lokomotor menggunakan Open Field, abnormalitas interaksi sosial menggunakan Three Chambered Apparatus, perilaku berulang melalui Uji Marble Burying, Self-Grooming dan Digging serta uji intelegensia (kecerdasan) menggunakan Hebb-William Maze. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian metilmerkuri pada kondisi prenatal dosis oral 4mg/Kg maupun 8mg/Kg berpengaruh terhadap F1 mencit dimana terjadi gangguan perilaku seperti hiperaktifitias, defisit interaksi sosial, perilaku berulang yang terus-menerus, serta defisit memori spasial. Pengaruh metilmerkuri terhadap gangguan perilaku berbeda antara jenis kelamin pada F1 mencit. Induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg gangguan secara umum dialami oleh F1 betina, sementara induk yang diinduksi metilmerkuri dosis 8mg/Kg mengakibatkan gangguan perilaku yang secara umum dialami oleh F1 jantan. Pemberian dosis oral tunggal metilmerkuri 8mg/Kg GD10 berpotensi membentuk model mencit autisme. Kata kunci: Metilmerkuri, model hewan autisme, prenatal Abstract Correlation between mercury exposure through fish consumption with autism increased public awareness, there is emerging evidence supporting the hypothesis that autism may result from mercury prenatal exposure. Mercury exposure can cause damage until death of neurons in the brain where these conditions can be found in autism diagnosis as well. The aims of this study are to determine whether methyl mercury can form autism mice model. Forming animal model of utism is by inducing using single oral dose 4mg/Kg and 8mg/Kg of methylmercury chloride. Methylmercury chloride is given by prenatal condition on GD10. The effect of methyl mercury was observed by behavioral studies that represent some disorder that occurs on the condition of autism. Behavioral study including observation of locomotor activity in the Open Field, abnormality social interactions using Three Chambered Apparatus, repetitive behaviors by Marble Burying Test, Self-Grooming and Digging and also intelligence using Hebb-William Maze. Oral inducing prenatal of methyl mercury dose 4mg/Kg or 8mg/Kg affected in F1 mice in which occurs behavioral disorders such as hyperactivity, social interaction deficits, repetitive behaviors, as well as spatial memory deficits. The effect of methylmercury on behavioral disorders differ between the sexes in F1 mice. Mother that induced by methylmercury 4mg/kg generally caused disorders by F1 females, while mother that induced by methylmercury 8mg/kg caused behavioral disorder that are commonly by F1 male. Methylmercury single oral dose 8 mg/Kg administration prenataly in mice on GD10 potentially form of autism. Keywords : Methylmercury, mice model of autism, prenatal.

Transcript of PENGEMBANGAN MODEL HEWAN AUTISME PADA MENCIT …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

29

PENGEMBANGAN MODEL HEWAN AUTISME PADA MENCIT YANG DIINDUKSI

METILMERKURI PADA KONDISI PRENATAL

Tiara Berliani, Andreanus A. Soemardji, Kusnandar Anggadiredja

Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung

_____________________________________________________________________________

Abstrak

Hubungan antara paparan merkuri melalui konsumsi ikan dengan autisme saat ini menjadi

perhatian publik, dimana terdapat hipotesis bahwa paparan merkuri saat prenatal berperan

penting dalam etiologi autisme. Merkuri dapat menimbulkan kerusakan dan kematian neuron di

otak dimana kondisi tersebut hampir sama ditemukan pada diagnosa autisme. Penelitian ini

bertujuan untuk mengatahui apakah induksi metilmerkuri pada kondisi prenatal dapat

membentuk model mencit autisme pada anakan mencit (F1). Pembentukan model hewan

autisme dilakukan dengan menginduksi mencit menggunakan dosis oral tunggal metilmerkuri

klorida 4 mg/Kg dan 8mg/Kg, Pemberian dilakukan pada kondsi prenatal pada GD10. Pengaruh

pemberian metilmerkuri diamati melalui pengamatan perilaku yang berkaitan dengan beberapa

gangguan yang terjadi pada kondisi autisme. Parameter uji yang diamati meliputi aktivitas

lokomotor menggunakan Open Field, abnormalitas interaksi sosial menggunakan Three

Chambered Apparatus, perilaku berulang melalui Uji Marble Burying, Self-Grooming dan

Digging serta uji intelegensia (kecerdasan) menggunakan Hebb-William Maze. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemberian metilmerkuri pada kondisi prenatal dosis oral 4mg/Kg maupun

8mg/Kg berpengaruh terhadap F1 mencit dimana terjadi gangguan perilaku seperti

hiperaktifitias, defisit interaksi sosial, perilaku berulang yang terus-menerus, serta defisit

memori spasial. Pengaruh metilmerkuri terhadap gangguan perilaku berbeda antara jenis

kelamin pada F1 mencit. Induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg gangguan secara umum

dialami oleh F1 betina, sementara induk yang diinduksi metilmerkuri dosis 8mg/Kg

mengakibatkan gangguan perilaku yang secara umum dialami oleh F1 jantan. Pemberian dosis

oral tunggal metilmerkuri 8mg/Kg GD10 berpotensi membentuk model mencit autisme.

Kata kunci: Metilmerkuri, model hewan autisme, prenatal

Abstract

Correlation between mercury exposure through fish consumption with autism increased public

awareness, there is emerging evidence supporting the hypothesis that autism may result from

mercury prenatal exposure. Mercury exposure can cause damage until death of neurons in the

brain where these conditions can be found in autism diagnosis as well. The aims of this study

are to determine whether methyl mercury can form autism mice model. Forming animal model

of utism is by inducing using single oral dose 4mg/Kg and 8mg/Kg of methylmercury chloride.

Methylmercury chloride is given by prenatal condition on GD10. The effect of methyl mercury

was observed by behavioral studies that represent some disorder that occurs on the condition of

autism. Behavioral study including observation of locomotor activity in the Open Field,

abnormality social interactions using Three Chambered Apparatus, repetitive behaviors by

Marble Burying Test, Self-Grooming and Digging and also intelligence using Hebb-William

Maze. Oral inducing prenatal of methyl mercury dose 4mg/Kg or 8mg/Kg affected in F1 mice in

which occurs behavioral disorders such as hyperactivity, social interaction deficits, repetitive

behaviors, as well as spatial memory deficits. The effect of methylmercury on behavioral

disorders differ between the sexes in F1 mice. Mother that induced by methylmercury 4mg/kg

generally caused disorders by F1 females, while mother that induced by methylmercury 8mg/kg

caused behavioral disorder that are commonly by F1 male. Methylmercury single oral dose 8

mg/Kg administration prenataly in mice on GD10 potentially form of autism.

Keywords : Methylmercury, mice model of autism, prenatal.

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

30

PENDAHULUAN

Autisme atau Autism Spectrum

Disorder (ASD) merupakan kelompok

gangguan perkembangan pervasif yang

ditandai dengan terjadinya gangguan

komunikasi, interaksi sosial serta terjadinya

pola perilaku berulang. Pasien dengan

autisme mengalami gangguan kepedulian

terhadap sekitar sehingga seperti hidup

dalam dunianya sendiri, selain itu terjadi

pula kelainan emosi, kemauan serta

intelektual (Yatim, 2003). Namun

demikian, terdapat beberapa kasus autisme

dengan tingkat kecerdasan (intelegensia)

yang cukup baik bahkan di atas rata-rata,

meskipun kebanyakan penderita autisme

memang mengalami retardasi mental yang

cukup serius (NIMH, 2014).

CDC (Center for Disease Control)

menyatakan bahwa di Amerika pada tahun

2010, tingkat perbandingan pada anak umur

delapan tahun yang terdiagnosa autisme

adalah 1: 68, sedangkan pada tahun 2013

prevalensi autisme meningkat menjadi 1:50.

Akan tetapi, meskipun prevalensi autisme

terus meningkat, agen terapeutik untuk

memperbaiki gejala-gejala autisme masih

sangat terbatas (Kim et al., 2014).

Disamping itu, penyebab autisme masih

belum diketahui secara pasti. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa faktor

lingkungan memainkan peranan penting

dalam memicu autisme (Altevogt et al.,

2008). Faktor lingkungan yang dapat

memainkan peranan penting dalam memicu

autisme yaitu virus dan logam dimana

diantaranya adalah logam Pb (Chang et al.,

2014) yang berasal dari kendaraan

bermotor, Cd (Curtis et al., 2010) yang

berasal dari batu baterai, serta Hg.

Hg atau merkuri merupakan logam

berat dengan toksisitas akut yang paling

tinggi (Darmono, 1995), bersifat

neurotoksik dengan menginduksi

pembentukan radikal bebas dan stress

oksidatif sehingga dapat menyebabkan

gangguan saraf dan gangguan

perkembangan baik pada manusia maupun

pada hewan (Nascimento et al., 2008). Pada

umumnya paparan merkuri pada manusia

berasal dari tiga sumber utama, yaitu

amalgam, vaksin, serta konsumsi ikan dan

makanan laut yang memiliki kandungan

senyawa metilmerkuri didalamnya

(Clarkson et al., 2003).

Disamping memiliki manfaat gizi, di

sisi lain ikan juga dapat mengakumulasi

logam berat termasuk merkuri dari

lingkungan dan berpotensi meningkatkan

resiko terakumulasinya merkuri pada

manusia apabila dikonsumsi (Ahmed et al.,

2011). Paparan merkuri melalui konsumsi

ikan dan autisme saat ini menjadi perhatian

publik, dimana terdapat hipotesis bahwa

paparan merkuri saat prenatal memainkan

peranan penting dalam etiologi autisme

(Garrecht and Austin, 2011). Hal ini

disebabkan oleh ditemukannya beberapa

kondisi yang hampir sama antara dampak

akibat terpaparnya merkuri dengan kondisi

autisme. Persamaan diantara kedua kondisi

tersebut yaitu sama-sama terjadi disfungsi

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

31

imunitas, sensori, sistem saraf, serta

motorik. Selain itu, paparan merkuri dapat

menimbulkan kerusakan dan kematian

neuron di otak dimana kondisi tersebut juga

hampir sama ditemukan pada diagnosa

autisme (Geier et al., 2008). Namun

demikian, salah satu penyebab lambatnya

kemajuan dalam memperoleh pemahaman

mengenai autisme adalah akibat kurangnya

model hewan yang relevan secara klinis

untuk mempelajari potensi penyebab

gangguan autisme (Curtis et al., 2010).

METODOLOGI

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam

penelitian ini adalah beaker glass volume

50 dan 100 ml, botol semprot, botol vial,

corong, erlenmeyer, Hebb-Williams Maze,

hot plate stirrer, label, labu ukur 10ml,

masker, mikropipet, neraca analitik, Open

Field Apparatus, pipet ukur 10ml, sonde

oral, stopwatch, dan Three-Chamber

Apparatus.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu aquadest, etanol 70%,

metilen biru, metilmerkuri klorida

(CH3ClHg standar analisis, CAS 115-09-3;

Sigma Aldrich), dan NaCl 0,9%.

Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan yaitu

mencit dewasa (jantan dan betina) galur

Swiss Webster dengan bobot 20-30 gram

yang diperoleh dari Laboratorium Hewan

Sekolah Farmasi, Institut Teknologi

Bandung (ITB).

Persiapan Hewan Uji

Mencit betina dan mencit jantan fertil

ditempatkan dikandang berbeda serta diberi

makan dan minum ad libitum. Proses

aklimatisasi hewan dilakukan selama 7 hari.

Dilakukan penentuan tahap siklus estrus

terlebih dahulu pada mencit betina dewasa

untuk mengawinkan dan menentukan hari

pertama kehamilan.

Kehamilan pada mencit ditentukan

dengan cara mengamati vagina. Apabila

ditemukan bercak sumbat vagina maka

mencit dinyatakan kawin dan dinyatakan

sebagai hari ke-0 kehamilan (Gestation

Day; GD0) (Taylor, 1986). Namun bila

sumbat vagina tidak ditemukan, maka

dilanjutkan dengan membuat apusan vagina

untuk pembuktian perkawinan. Prosedur

pembuatan apusan vagina sama dengan

prosedur penentuan tahap siklus estrus

mencit. Mencit dinyatakan kawin apabila

pada cairan apusan vagina ditemukan

sperma. Keberadaan spermatozoa dalam

apusan vagina dianggap sebagai hari ke-0

kehamilan (gestational day; GD0) (Gandhi

and Dhull, 2014). Mencit betina hamil

kemudian ditempatkan pada kandang secara

individual pada temperatur kamar. Hari

dimana mencit melahirkan ditentukan

sebagai hari ke-0 kelahiran (postnatal day;

PND0).

Tahap Pengujian

Metilmerkuri klorida diberikan

melalui oral serta dilakukan pada masa

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

32

kehamilan (prenatal) yaitu diberikan pada

GD10. Dosis metilmerkuri yang digunakan

adalah dosis oral tunggal 4 mg/Kg bb dan 8

mg/kg bb. Jumlah mencit betina yang telah

dinyatakan hamil dibagi menjadi 3

kelompok, pengelompokan hewan sebagai

berikut :

i. Kelompok kontrol pembawa oral

pada GD10.

ii. Kelompok metilmerkuri 4mg/Kg

dosis tunggal oral pada GD10.

iii. Kelompok metilmerkuri 8mg/Kg

dosis tunggal oral pada GD10.

Tahap Pengamatan

Pengaruh induksi metilmerkuri diamati

pada hasil anakan (F1) mencit baik jantan

maupun betina. Pengamatan dilakukan

melalui uji perilaku yang mewakili

beberapa gangguan yang terjadi pada

kondisi autisme serta dilakukan pada

beberapa periode perkembangan.

Parameter uji yang diamati yaitu meliputi

pengamatan aktivitas lokomotor yang

dilakukan pada PND21, abnormalitas

interaksi sosial yang dilakukan pada

PND23-26, perilaku berulang (repetitive

behaviors) pada PND 28-38, serta uji

intelegensia (kecerdasan) pada PND40

hingga selesai. Skema desain penelitian

ditampilkan pada Gambar 1.

Pengamatan Aktivitas Lokomotor

Pengamatan aktivitas lokomotor

secara umum dilakukan melalui uji pada

arena terbuka (open field test). Uji ini

dilakukan pada periode penyapihan atau

PND21 (Kim et al., 2014). Efek paparan

metilmerkuri terhadap aktivitas lokomotor

dianalisis dengan merekam di arena terbuka

ukuran 40x40x30cm. Hasil rekaman yang

diperoleh kemudian diamati menggunakan

video tracking software SMART® yang

diproduksi oleh PANLAB. Parameter uji

yang diamati adalah jarak yang ditempuh

(cm) oleh mencit selama 15 menit (Moy et

al., 2006b).

Pengamatan Abnormalitas Interaksi

Sosial

Abnormalitas interaksi sosial pada mencit

dapat diukur dengan menggunakan uji

interaksi sosial yang dilakukan dengan

menggunakan Three-Chamber Apparatus.

Alat ini merupakan alat yang terdiri dari 3

kandang uji (Moy et al., 2006a; Kim et al.,

2014). Uji sosialisasi dan uji preferensi

sosial diamati pada PND23-26 (Moy et al.,

2006a).

Pengamatan terdiri dari tiga sesi, sesi

pertama yaitu proses habituasi dimana

Gambar 1. Skema Pengujian dam Pengamatan Pembentukan Model mencit Autisme

Metilmerkuri 4mg/Kg,

Metilmerkuri 8mg/Kg

PND21 PND 23-26 PND 28-38

GD10 Open Field

Test Three Chambered

Social Test MarbleBurying,

Grooming, Digging

H-W Maze

PND40

0

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

33

hewan uji diperkenalkan pada

kompartemen tengah, kemudian dibiasakan

selama 5 menit. sesi kedua yaitu uji

sosialisasi dilakukan selama 10 menit..

Hewan stimulus asing (jenis kelamin dan

ukuran sama namun tidak ada kontak

sebelumnya dengan hewan uji) dari strain

yang sama diperkenalkan di dalam kandang

kawat di bagian kiri atau kanan

kompartemen (zona asing 1) secara acak

sementara kandang kawat lainnya dbiarkan

kosong (zona kosong). Waktu yang

dihabiskan di zona asing 1 dan sekitar

kandang diukur terhadap waktu yang

dihabiskan di zona kosong.

Tahap terakhir yaitu uji preferensi

kebaruan sosial selama 10 menit secara

langsung setelah berakhirnya uji sosialisasi.

Hewan asing baru diperkenalkan di

kandang kawat dari kompartemen yang

berlawanan (zona asing 2). Waktu yang

dihabiskan di zona asing baru dan sekitar

kandang diukur terhadap waktu yang

dihabiskan di zona familiar. Indeks

Sosialisasi (SI) dan Indeks Preferensi Sosial

(SPI) dihitung dengan menggunakan

rumus:

(Kim et al

(Kim et al., 2014)

Pengamatan Perilaku Berulang

(Repetitive Behaviors)

Marble Burying

Pengamatan perilaku berulang

melalui uji marble burying dilakukan

menurut penelitian sebelumnya oleh

Thomas et al. (2009) namun dengan sedikit

modifikasi (Kim et al., 2014). Parameter uji

yang digunakan adalah jumlah kelereng

yang dikuburkan (>50% kelereng ditutupi

oleh sekam).

Self-grooming dan Digging

Selain uji marble burying, uji

grooming dan digging juga dapat

mendukung pengamatan perilaku berulang

pada mencit (McFarlane et al., 2008;

Deacon, 2006). Uji dilakukan dengan

sedikit modifikasi (Kim et al., 2014) yaitu

dengan memasukkan mencit ke dalam

kandang yang diisi sekam bersih dan

dibiasakan selama 10 menit, selanjutnya

waktu akumulatif kedua aktivitas tersebut

diamati secara bersamaan pada 10 menit

selanjutnya. Grooming yang dicatat adalah

grooming yang dilakukan pada semua

bagian tubuh (Silverman et al., 2010a).

Pengamatan Intelegensia (Kecerdasan)

Pengamatan intelegensia pada mencit

menggunakan Hebb-Williams Maze (H-W

Maze) dengan sedikit modifikasi (MacLeod

et al., 2010). Percobaan dilakukan dalam

tiga tahap yaitu habituasi, akuisisi dan

pengujian. Pada fase habituasi, dinding

pembatas H-W maze dikeluarkan, masing-

masing mecit diibiarkan menjelajahi labirin

termasuk area start dan finish selama 20

menit/hari untuk 2 hari berturut-turut. Pada

hari kedua diletakan umpan makanan

sebagai hadiah (reward) pada area finish.

Jika hewan tidak menemukan makanan

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

34

dalam jangka waktu 20 menit, maka mencit

dipandu dengan lembut ke area finish.

Fase akuisisi dilakukan dengan

melatih mencit di enam labirin latihan.

Konfigurasi dari labirin latihan ditampilkan

pada gambar 2. Setiap mencit mendapat 2

sesi latihan per hari, sesi pertama dimulai

pukul 08.00 dan sesi kedua dimulai pukul

13.00. Setiap sesi terdiri dari lima kali

percobaan menggunakan salah satu (dari

enam labirin latihan) yang dimulai dari

labirin A. Percobaan dianggap selesai

apabila mencit sudah mencapai finish dan

memakan makanan atau mencapai waktu

selama 180 detik. Waktu yang dibutuhkan

mencit untuk dapat menyelesaikan keenam

labirin akuisisi secara berurutan (A-F)

tergantung dari waktu yang dibutuhkan

mencit untuk mencapai kriteria, yaitu

berhasil menyelesaikan 1 sesi (5 kali

percobaan berturut-turut) dalam waktu

kurang dari 30 detik (Gandhi et al., 2014).

Pada tahap pengujian, mencit

diujikan pada labirin uji yang pada

dasarnya terdapat 12 buah labirin (labirin

#1-#12) dan biasanya diujikan dengan

nomor labirin secara berurutan (Pritchett &

Mulder, 2004). Namun pada penelitian ini

labirin yang digunakan hanya 3 bentuk

yaitu labirin #4, #8, dan #9. Labirin yang

digunakan berdasarkan penelitian yang

dilakukan MacLeod et al. (2010) dan

Gandhi et al. (2014), dimana pada ketiga

labirin tersebut secara berturut-turut

menjadi labirin dengan tingkat kesulitan

yang rendah, sedang, hingga tinggi dilihat

dari latensi dan number of error.

Konfigurasi labirin uji ditampilkan pada

Gambar 3.

Uji dilakukan berdasarkan prosedur

yang sama dengan yang digunakan pada

tahap akuisisi. Mencit diujikan pada satu

labirin yang berbeda setiap sesinya. Setiap

sesi terdiri dari lima kali percobaan dimana

labirin digunakan berdasarkan nomor

labirin secara berurutan (yaitu, # 4, # 8, # 9)

hingga ketiga labirin selesai diujikan.

Waktu yang dibutuhkan satu hewan uji

menyelesaikan ketiga labirin yaitu 1,5 hari.

Parameter yang digunakan adalah waktu

tempuh dan jumlah kesalahan (error).

Latensi atau waktu tempuh tercatat mulai

dari penghalang dalam area start diangkat

hingga gigitan pertama makanan oleh

mencit, sedangkan jumlah error tercatat

setiap kali kedua kaki depan mencit

melintasi zona error (pada konfigurasi zona

error digambarkan melalui garis putus-

putus).

(a) (b)

Gambar 2. Konfigurasi Labirin (a) Latihan (b) Uji (Gandhi et al., 2014)

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

35

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hg atau merkuri merupakan logam

berat dengan toksisitas akut yang paling

tinggi (Darmono, 1995), bersifat

neurotoksik dengan menginduksi

pembentukan radikal bebas dan stress

oksidatif sehingga dapat menyebabkan

gangguan saraf dan gangguan

perkembangan baik pada manusia maupun

pada hewan (Nascimento et al., 2008).

Melalui beberapa sifat toksik tersebut,

metilmerkuri diduga dapat berpengaruh

terhadap perilaku yang terkait dengan

kondisi autisme, dimana autisme pada

umumnya ditandai dengan terjadinya

gangguan komunikasi, interaksi sosial serta

terjadinya pola perilaku berulang (NIMH,

2014).

Pengaruh Metilmerkuri 4mg/Kg dan

8mg/Kg terhadap Aktifitas Lokomotor

Pada gangguan autisme, manifestasi

utama seringkali disertai dengan sifat-sifat

lainnya, salah satunya adalah hiperaktifitas

(Kim et al., 2016). Semakin besar jarak

yang ditempuh mengindikasikan terjadinya

perilaku hiperaktifitas. Jarak tempuh F1

mencit jantan dan betina dari masing-

masing kelompok dapat dapat dilihat pada

Gambar 3.

Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa

jarak tempuh yang dilalui oleh F1 mencit

dari induk yang diinduksi metilmerkuri

4mg/Kg baik pada jantan maupun betina

lebih besar dibandingkan dengan masing-

masing kontrol dan signifikan pada F1

mencit betina (α=0.026). Selanjutnya, tidak

terdapat perbedaan yang nyata (α=0.085)

antara jarak tempuh pada mencit jantan

dengan jarak tempuh pada mencit betina.

Hal berbeda terjadi pada mencit F1

dari induk yang diinduksi metilmerkuri

8mg/Kg. Jika dibandingkan dengan masing-

masing kontrol, jarak tempuh yang dilalui

oleh mencit F1 jantan lebih besar secara

signifikan (α=0.011) dibandingkan dengan

kontrol, sementara pada F1 mencit betina

jarak tempuh yang dilalui lebih kecil

dibandingkan dengan kontrol betina.

Kemudian, jarak tempuh pada F1 mencit

jantan lebih besar secara signifikan

(α=0.010) dibandingkan dengan jarak

tempuh F1 mencit betina.

Pemberian metilmerkuri pada kondisi

Gambar 3. Rata-rata Total Jarak Tempuh (cm) mencit F1 Jantan dan Betina dari Induk yang

diberi Pembawa, Metilmerkuri 4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg. Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok kontrol pembawa (p<0,05)

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

36

prenatal menyebabkan perbedaan aktifitas

lokomotor pada F1 tikus jantan dan betina,

dimana terjadi peningkatan aktifitas

lokomotor pada jantan dan penurunan

aktivitas lokomotor pada betina, selain itu

jarak tempuh yang dilalui F1 mencit jantan

lebih tinggi dibandingkan jarak tempuh

yang dilalui F1 mencit betina (Gandhi and

Dhull, 2014; Yoshida et al., 2011).

Perbedaan aktifitas lokomotor akibat

paparan metilmerkuri berhubungan dengan

aktifitas lokomotor yang dimediasi oleh

reseptor dopamin dan hanya terjadi pada

jantan namun tidak terjadi pada betina

(Giménez-Llort et al,. 2001). Aktifitas

lokomotor yang berkatian dengan kondisi

hiperaktif sendiri menurut Fan et al., (2010)

secara spesifik merupakan pengaruh

reseptor dopamin D2.

Pengaruh Metilmerkuri 4mg/Kg dan

8mg/Kg terhadap Interaksi Sosial

Uji Sosialisasi

Uji sosialisasi dapat menggambarkan

kemauan dan motivasi mencit dalam

berinteraksi sosial, khususnya dengan

mencit asing. Waktu tinggal mencit pada

masing-masing kompartemen dan indeks

sosialisai (SI) dapat dilihat pada gambar 5.

Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa

pada jantan, kelompok yang secara

signifikan (α=0.028) menghabiskan lebih

banyak waktu di zona kosong dibandingkan

dengan kelompok lainnya serta waktu

tinggal di zona asing lebih rendah secara

signifikan (α=0.036) dibandingkan

kelompok lainnya adalah F1 mencit jantan

dari induk yang diinduksi metilmerkuri

8mg/Kg. Hal berbeda ditunjukkan pada

betina, dimana F1 mencit dari induk yang

diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg

menghabiskan lebih banyak waktu di zona

kosong dibandingkan dengan kelompok

lainnya, serta waktu tinggal di zona asing

lebih rendah secara signifikan (α=0.027)

dibandingkan kelompok lainnya.

Berdasarkan hasil perhitungan, F1

mencit betina dari induk yang diinduksi

metilmerkuri 4mg/Kg memiliki indeks

sosial yang lebih rendah secara signifikan

(α=0.010) bila dibandingkan dengan

kontrol betina, sementara pada F1 mencit

Gambar 4. Rata-Rata Waktu Tinggal (Durasi) dan Indeks Sosialisasi (SI) mencit F1 Jantan dan

Betina pada Masing-masing Kompartemen (det) dari Induk yang diberi Pembawa, Metilmerkuri

4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok kontrol pembawa (p<0,05)

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

37

dari induk yang diinduksi metilmerkuri

8mg/Kg F1 mencit jantan menunjukkan

indeks sosialisasi yang lebih rendah secara

signifikan (α=0.024) dibandingkan dengan

kotrol jantan. Sementara apabila

dibandingkan, maka indeks sosialisasi pada

F1 mencit jantan lebih rendah secara

signifikan (α=0.024) bila dibandingkan

dengan indeks sosialisasi pada mencit

betina.

Menurut Kim et al. (2014), jika pada

uji sosialisasi suatu kelompok hewan

menghabiskan waktu tinggal lebih banyak

di zona kosong dibandingkan dengan

kelompok uji lain dan waktu yang

dihabiskan untuk tinggal di zona asing lebih

rendah dibandingkan dengan kelompok uji

lain maka kelompok hewan tersebut

menunjukkan terjadinya defisit dalam

sosialisasi. Disamping itu, semakin rendah

indeks sosialisasi pada suatu kelompok ,

artinya mencit tersebut tidak memiliki

motivasi untuk berinteraksi khususnya

dengan mencit asing yang belum pernah

ada kontak sebelumnya.

Uji Preferensi Sosial

Uji preferensi sosial dapat

menggambarkan preferensi mencit dalam

bersosisialisasi dengan mencit asing

dibandingkan bersosialisasi dengan mencit

yang familiar (akrab). Hasil pengamatan uji

preferensi sosial pada mencit F1 jantan

maupun betina dapat dilihat pada Gambar

5.

Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa

pada F1 mencit jantan dari induk yang

diinduksi metilmerkuri 8mg/Kg

menghabiskan waktu lebih banyak di zona

familiar dibandingkan dengan kelompok

lainnya, sedangkan waktu tinggal di zona

asing lebih rendah secara signifikan

(α=0.057) dibandingkan kelompok lainnya.

Hal serupa terjadi pada F1 mencit betina

yang diinduksi metilmerkuri 8mg/Kg,

dimana pada zona familiar waktu yang

dihabiskan mencit lebih banyak secara

signifikan (α=0.032) di dibandingkan

dengan kelompok lainnya dan waktu

tinggal di zona asing lebih rendah

dibandingkan kelompok lainnya.

Gambar 5. Rata-Rata Waktu Tinggal (Durasi) dan Indeks Preferensi Sosial (SPI) mencit F1

Jantan dan Betina pada Masing-masing Kompartemen (det) dari Induk yang diberi Pembawa,

Metilmerkuri 4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok pembawa (p<0,05)

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

38

Disamping itu, hasil perhitungan Indeks

Preferensi Sosial (SPI) menunjukkan

bahwa pada F1 jantan dan betina dari induk

yang diinduksi metilmerkuri 8mg/Kg yang

menunjukkan indeks preferensi sosial

signifikan lebih rendah (α=0.047; (α=0.049)

dibandingkan kelompok kontrol.

Pada uji preferensi sosial, jika suatu

kelompok hewan tinggal dengan waktu

lebih banyak bersama mencit familiar dan

sedikit waktu dengan mencit asing baru

dibandingkan kelompok kontrol maka

kelompok hewan tersebut menunjukkan

terjadinya defisit dalam sosialisasi (Kim et

al., 2014). Selain itu, semakin rendah

indeks preferensi sosial pada suatu

kelompok, artinya mencit tersebut tidak

memiliki motivasi atau kemauan untuk

berinteraksi khususnya dengan mencit asing

dan lebih memilih berinteraksi dengan

mencit yang sudah familiar.

Penurunan keinginan untuk

bersosialisasi pada mencit setelah

pemberian merkuri tersebut diduga serupa

dengan gangguan autisme. Sementara

kemungkinan terjadinya penurunan

interaksi sosial ini akibat perubahan fungsi

dopamin yang mengubah aktivasi reseptor

D1 yang selanjutnya berpengaruh terhadap

defisit perilaku sosial. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa pada paparan logam berat

terjadi penurunan kepadatan atau

penurunan aktifitas dari mekanisme

clearance dopamine (Curtis et al., 2010).

Pengaruh Metilmerkuri 4mg/Kg Dan

8mg/Kg terhadap Pola Perilaku

Berulang

Uji Marble Burying, Self-Grooming dan

Digging

Uji marble burying, grooming dan

digging digunakan untuk mengamati

perilaku berulang pada mencit (McFarlane

et al., 2008; Deacon, 2006). Jumah

kelereng yang dikubur oleh masing-masing

kelompok dapat dilihat pada Gambar 6,

sementara waktu akumulatif grooming dan

digging dapat dilihat pada Gambar 7.

Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa

jumlah kelereng yang dikubur oleh F1

mencit jantan dari induk yang diinduksi

metilmerkuri baik 4mg/Kg maupun

8mg/Kg signifikan lebih banyak (α=0.05;

α=0.000) dibandingkan dengan kontrol.

Begitu pula dengan jumlah kelereng yang

dikubur oleh F1 mencit betina baik dari

induk yang diinduksi metilmerkuri baik

4mg/Kg maupun 8mg/Kg lebih banyak

dibandingkan dengan kontrol. Selanjutnya,

baik pada F1 mencit dari induk yang

diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg maupun

8mg/Kg keduanya menujukkan bahwa

jumlah kelereng yang dikubur oleh F1

mencit jantan lebih banyak dibandingkan

dengan jumlah kelereng yang dikubur oleh

F1 mencit betina.

Pada gambar 7 dapat dilihat bahwa

baik waktu akumulatif grooming maupun

digging F1 mencit jantan dan betina dari

induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg

lebih tinggi dibandingkan dengan masing-

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

39

masing kontrol (α=0.002; α=0.002; α=0.03;

α=0.097). Hal serupa terjadi pada mencit F1

dari induk yang diinduksi metilmerkuri

8mg/Kg, dimana waktu akumulatif

grooming dan digging pada F1 mencit

jantan dan betina signifikan lebih tinggi

(α=0.002; α=0.002; α=0.000; α=0.000)

dibandingkan dengan masing-masing

kontrol.

Menurut Kim et al. (2016) beberapa

model mencit autime menunjukkan

peningkatan jumlah kelereng yang dikubur,

namun demikian beberapa model mencit

menunjukkan penurunan jumlah kelereng

yang dikubur. Hal tersebut berhubungan

dengan aktifitas lokomotor, dimana pada

mencit yang menunjukkan kenaikan jumlah

kelereng yang dikubur juga menunjukkan

peningkatan aktivitas lokomotor, sementara

pada mencit yang mengalami penurunan

jumlah kelereng yang dikubur

menunjukkan pula penuruan aktivitas

lokomotor. Pada penelitian ini, jumlah

kelereng yang dikubur pada kelompok

induksi metilmerkuri berhubungan dengan

peningkatan aktifitas lokomotor, dimana

jumlah kelereng yang dikubur semakin

banyak seiring dengan peningkatan aktifitas

lokomotor.

Menurut Moy (2006b) perilaku

berulang pada mencit dapat mencakup

perilaku mengendus, berputar-putar,

Gambar 6. Rata-rata Jumlah Kelereng yang dikubur mencit F1 Jantan dan Betina dari Induk

yang diberi Pembawa, Metilmerkuri 4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok kontrol pembawa (p<0,05)

Gambar 7. Rata-rata Waktu Akumulatif Grooming dan Digging (det) mencit F1 Jantan dan Betina

dari Induk yang diberi Pembawa, Metilmerkuri 4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok pembawa (p<0,05)

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

40

menggali, berlari dalam kandang, grooming

serta melompat secara terus-menerus dan

berlebihan. Rangkaian perilaku dalam

bentuk grooming mungkin muncul sebagai

pola yang normal, namun pada kondisi

autisme perilaku ini berlangsung dalam

jangka waktu yang yang lama (Silverman et

al., 2010a).

Pada mencit BTBR T + tf / J (BTBR)

yang merupakan salah satu strain mencit

yang digunakan sebagai model hewan

autisme mengalami waktu repetitive self-

grooming cukup lama yaitu hingga 2 menit

dari 10 menit waktu pengamatan, sementara

self-grooming pada kontrol jauh lebih

pendek yaitu hanya sekitar 5-10 detik dari

10 menit pengamatan (McFarlane et al.,

2008). Menurut Silverman et al. (2010b)

grooming yang cukup panjang pada model

hewan BTBR berkaitan dengan aktifitas

reseptor metabotropic glutamat 5

(mGluR5).

Pengaruh Metilmerkuri 4mg/Kg Dan

8mg/Kg terhadap Intelegensia

(Kecerdasan)

Berdasarkan hasil pengamatan, pada

labirin #4, #8 serta #9, F1 mencit jantan

baik dari induk yang diinduksi metilmerkuri

4mg/Kg maupun 8 mg/Kg memiliki latensi

yang lebih lama (α=0.110, α=0.060,

α=0.033; α=0.054, α=0.000, α=0.027)

dibandingkan dengan kontrol. Sementara

pada F1 mencit betina dari induk yang

diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg memiliki

latensi yang lebih lama dibandingkan

dengan F1 mencit betina dari induk yang

diinduksi metilmerkuri 8mg/Kg. Hasil

pengamatan latensi dan number of error

pada uji HW-maze dapat dilihat pada

Gambar 8.

Pada uji kecerdasan, disamping

latensi, digunakan jumlah error sebagai

parameter uji. Pada labirin #4 jumlah error

F1 mencit jantan dari induk yang diinduksi

metilmerkuri 4mg/Kg lebih kecil

dibandingkan dengan kontrol, sedangkan

jumlah error F1 mencit jantan dari induk

yang diinduksi metilmerkuri 8mg/Kg

hampir sama dengan error F1 mencit jantan

Gambar 8. Rata-rata Latensi dan Number of Error pada Masing-masing Labirin mencit F1 Jantan

dan Betina dari Induk yang diberi Pembawa, Metilmerkuri 4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok pembawa (p<0,05)

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

41

kontrol. Sementara itu, pada labirin #8 dan

#9 jumlah error F1 mencit jantan baik dari

induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg

maupun 8mg/Kg lebih tinggi bila

dibandingkan dengan kontrol. Pada betina,

jumlah error F1 mencit baik dari induk

yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg

maupun 8mg/Kg keduanya lebih tinggi bila

dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Namun demikian, sama halnya dengan

latensi, number error F1 mencit betina dari

induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg

lebih tinggi bila dibandingkan dengan F1

mencit betina dari induk yang diinduksi

metilmerkuri 8mg/Kg. Menurut Pritchett

and Mulder (2004), semakin cepat hewan

menavigasi labirin (latensi) maka semakin

baik memori spasial yang dimiliki oleh

hewan uji. Sementara pada penelitian ini,

F1 mencit dari induk yang diinduksi

metilmerkuri 4mg/Kg serta 8mg/kg

mememiliki latensi yang lebih lama dan

jumlah error yang lebih banyak

dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Pengaruh Metilmerkuri terhadap

Pembentukan Model Mencit Autisme

Penelitian mengenai pengaruh

metilmerkuri terhadap pembentukan model

mencit autisme dilakukan pada kondisi

prenatal dengan menggunakan dosis

4mg/Kg dan 8mg/Kg. Pengamatan perilaku

yang bekaitan dengan gangguan autisme

dilakukan pada F1 mencit dari induk yang

telah diinduksi. Hasil yang diperoleh dari

pengamatan aktivitas lokomotor,

abnormalitas interaksi sosial, perilaku

berulang serta pengamatan intelegensia di

rekapitulasi pada tabel 1.

Menurut Curtis et al. (2010), model

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Perilaku F1 Mencit jantan dan Betina dari Induk

yang di Induksi Metilmerkuri 4mg/Kg dan 8mg/Kg

No Parameter Uji

Behavior

Parameter

Uji

Kondisi

Analog

Autisme

Metilmerkuri

4mg/Kg

Metilmerkuri

8mg/Kg

♂ ♀ ♂vs♀ ♂ ♀ ♂vs♀

1 Aktifitas

Lokimotor

Open

Field

Jarak

Tempuh

Hiperakti

fitas − + ♂<♀ + − ♂>♀*

2 Abnormalitas

Interaksi

Sosial

Three

Chamber

Apparatus

Sosialisasi

(SI) Defisist

Interaksi

Sosial

− + ♂>♀ + − ♂<♀*

Sosial

Preferens

(SPI)

− − ♂<♀ + + ♂=♀

3 Pola Perilaku

Berulang

Marble

Burying

Jumlah

Kelereng

Perilaku

Berulang

+ − ♂>♀ + − ♂>♀

Grooming Waktu

Akumulatif + +

♂<♀

* + + ♂>♀

Digging Waktu

Akumulatif + + ♂=♀ + + ♂=♀

4 Intelegensia

Hebb-

William

Maze

Latensi Defisit

Memori

Spasial

− + ♂=♀ + − ♂>♀*

Errors − − ♂<♀ − − ♂>♀

Ket : (+) : Berbeda nyata dengan kelompok kontrol pembawa

(−) : Tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol pembawa

(*) : Berbeda nyata jantan dibandingkan dengan betina

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

42

hewan yang digunakan sebagai model

autisme baiknya minimal dapat

mencangkup aspek yang luas dari gejala

autisme yaitu disfungsi interaksi sosial,

perilaku berulang gangguan komunikasi

serta fakta bahwa terdapat perbedaan jenis

kelamin yang jelas dalam keadaan

autisme.oleh karena itu penelitian ini

mencoba membahas dan mencangkup

aspek yang terkait dengan beberapa ciri

khusus serta melihat perbedaan jenis

kelamin yang berkaitan dengan perilaku

autisme.

Secara umum F1 mencit betina dari

induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg

lebih banyak mengalami gangguan

dibandingkan jantan. Sementara itu, pada

F1 mencit dari induk yang diinduksi

metilmerkuri 8mg/Kg, jantan mengalami

gangguan pada hampir seluruh pengamatan

perilaku dibandingkan dengan betina.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari

beberapa pengamatan perilaku tersebut,

maka dapat disimpulkan bahwa pemberian

dosis tunggal metilmerkuri 8mg/Kg melalui

oral pada GD10 lebih berpotensi

membentuk model mencit autisme. Hal ini

didasari teori bahwa autisme

mempengaruhi jantan perbandingan 4;1

dibandingkan dengan betina (Smeltzer et

al., 2005). Namun demikian, dosis 4mg/Kg

tetap menghasilkan F1 yang mengalami

gangguan perilaku dengan pebandingan

betina lebih besar dibandingkan jantan.

Autisme lebih mempengaruhi jantan

dibandingkan betina kemungkinan

disebabkan oleh estrogen yang dimiliki oleh

betina. Eestrogen mampu mempengaruhi

sintesis oksitoksin dan meningkatkan

aktifitas reseptor oksitoksin sehingga hal

tersebut membuat tingkat oksitoksin pada

betina lebih tinggi dan kemungkinan

memberikan perlindungan terhadap faktor

resiko apapun yang dapat menyebabkan

resiko autisme (Smeltzer et al., 2005).

Mekanisme yang mendasari

perbedaan gender ini juga dapat terkait

dengan perbedaan kadar testosteron dan

estrogen antara jantan dengan betina.

Testosteron dapat meningkatkan toksisitas

Hg, sedangkan estrogen dilaporkan menjadi

pelindung terhadap kerusakan Hg (Muraoka

and Itoh 1980). Estrogen juga telah terbukti

dapat melindungi stres oksidatif dalam

neuron akibat induksi merkuri (Nilsen

2008).

Gangguan perilaku yang disebabkan

oleh konsumsi ikan yang telah terakumulasi

metilmerkuri telah menjadi perhatian

masyarakat. Metilmerkuri memiliki afinitas

terhadap lipid sehingga mampu untuk

melakukan penetrasi pada membran sel

(Suseno dkk., 2010). Menurut Lubis (2002)

metilmerkuri dapat melewati sawar darah

otak dan plasenta, hal tersebut

menyebabkan terjadinya akumulasi

metilmerkuri dalam otak dan janin sehingga

toksistas paparan merkuri saat prenatal

lebih nyata mempengaruhi janin dari ibu

(Clarkson, 2001). Saat ini, beberapa negara

di Amerika Serikat telah menetapkan

anjuran pembatasan konsumsi ikan, baik

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

43

ikan yang berasal dari danau, sungai

maupun laut akibat kontaminasi

metilmerkuri. Jumlah metilmerkuri dibatasi

tidak lebih dari 0,1 µgHg/Kg/hari (EPA,

1997) atau sekitar 0,22 µg Hg/Kg/hari

(WHO, 1990).

SIMPULAN

Pemberian metilmerkuri pada kondisi

kehamilan dosis oral 4mg/Kg maupun

8mg/Kg berpengaruh terhadap F1 mencit

dimana terjadi gangguan perilaku seperti

hiperaktifitias, defisit interaksi sosial,

perilaku berulang yang terus-menerus, serta

defisit memori spasial. Pengaruh

metilmerkuri terhadap gangguan perilaku

berbeda antara jenis kelamin pada F1

mencit. Induk yang diinduksi metilmerkuri

4mg/Kg gangguan secara umum dialami

oleh F1 betina, sementara induk yang

diinduksi metilmerkuri dosis 8mg/Kg

mengakibatkan gangguan perilaku yang

secara umum dialami oleh F1 jantan.

Pemberian dosis oral tunggal metilmerkuri

8mg/Kg GD10 berpotensi membentuk

model mencit autisme.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, M. S., Y. Aslam, and W. A. Khan.

2011. “Absorption And

Bioaccumulation Of Water-Borne

Inorganic Mercury in The

Fingerlings Of Grass Carp,

Ctenopharyngodon Idella.” The

Journal of Animal & Plant

Sciences, 21(2) pp : 176-181

Altevogt, B.M., Hanson, S.L., Leshner, A.

2008. “Autism And The

Environment: Challenges and

Opportunities for Research.”

Pediatrics, Vol.121, No.6, pp.1225-

1229

Centers for Disease Control and Prevention.

2014. “1 In 68 Children Has Been

Identified With Autism Spectrum

Disorder.” http://www.cdc.gov/

media/releases/2014/p0327-autism-

spectrum- disorder.html.

(21/10/2014)

Chang, J., Kueon,C., Kim, J. 2014.

“Influence of Lead on Repetitive

Behavior and Dopamine

Metabolism in a Mouse Model of

Iron Overload.” Toxicol. Res. Vol.

30, No. 4, pp. 267-276

Clarkson, T.W., Magos, L., Myers, G.J

(2003). “The Toxicology of

Mercury – Current Exposures and

Clinical Manifestations. Review

Article.” The New England Journal

of Medicine. Vol.349, No.18,

pp1731-1737

Curtis, J.T., Hood, A.N., Chen, Y., Cobb,

G.P., Wallace, D.R. 2010. “Chronic

Metals Ingestion By Prairie Voles

Produces Sex-Specific Deficits In

Social Behavior: An Animal Model

Of Autism.” Behav Brain Res. Vol.

213(1), pp 42–49

Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem

Biologi Makhluk Hidup. UI Press.

Jakarta.

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

44

Fan, X., Xu, M., Hess, E.J. 2010. “D2

Dopamine Receptor Subtype-

Mediated Hyperactivity And

Amphetamine Responses In A

Model Of ADHD.” Neurobiol Dis.

37(1): 228–236.

Gandhi, D.N. and Dhull, K. 2014.

“Postnatal Behavioural Effects on

the Progeny of Rat after Prenatal

Exposure to Methylmercury.”

American Journal of Experimental

Biology. Vol. 1 No. 1 pp. 31-51

Gandhi, R.M., Kogan, C.S., and Messier, C

.2014.”2-Methyl-6-(Phenylethynyl)

Pyridine (MPEP) Reverses Maze

Learning and PSD-95 Deficits in

Fmr1 Knock-Out Mice.” Frontiers

in Cellular Neuroscience. Vol.8

No.8 pp : 1-12

Garrecht,M and Austin, D.W. 2011. “The

Plausibility Of A Role For Mercury

In The Etiology Of Autism: A

Cellular Perspective.”

Toxicological & Environmental

Chemistry, pp : 1–23

Geier, M., Kern, J.K., King, P.G., Sykes,

L., Geier, D.A. 2014. Mercury

Induced Autism. Springer Science

Business Media. New York

Giménez-Llort, L., Ahlbomb, E., Daréb, E.,

Vahterc, M., Ögrena, S.-O.,

Ceccatellib,S. 2001. “Prenatal

Exposure To Methylmercury

Changes Dopamine-Modulated

Motor Activity During Early

Ontogeny: Age And Gender-

Dependent Effects.” Environmental

Toxicology and Pharmacology.

Volume 9, Issue 3, pp : 61–70.

Kim, J.W., Seung, H., Kwon, K.J., Ko,M.J.,

Lee, E.J., Oh, H.A., Choi, C.S.,

Kim, K.C., Gonzales, E.L., You.

J.S., Choi, D.H., Lee, J., Han, S.H.,

Yang, S.M., Cheong, J.H., shin,

C.Y., Bahn, G.H. 2014.

“Subchronic Treatment of

Donepezil Rescues Impaired

Social, Hyperactive, and

Stereotypic Behavior in Valproic

Acid-Induced Animal Model of

Autism.” Plos One. Vol. 9 (8) pp :

1-12

Kim, H., Lim C.S., Kaang, B.K. 2016.

“Neuronal Mechanisms And

Circuits Underlying Repetitive

Behaviors In Mouse Models Of

Autism Spectrum Disorder.” Behav

Brain Funct 12:3, pp 1-13.

MacLeod, L.S., Kogan, C.S., Collin, C.A.,

Berry-Kravis, E., Messier, C.,

Gandhi, R. A. 2010. ”Comparative

Study of The Performance of

Individuals with Fragile X

Syndrome and Fmr1 Knockout

Mice on Hebb-Williams Mazes.”

Genes, Brain and Behavior 9 pp :

53–64

Moy, S.S., Nadler, J.J., Magnuson, T.R.,

Crawley, J.N. 2006a. “Mouse

Models of Autism Spectrum

Disorders: The Challenge for

Behavioral Genetics.” American

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

45

Journal of Medical Genetics

142C:40–51

Moy, S.S., Nadler, J.J., Young, N.B., Perez,

A., Holloway, L.P., Barbaro, R.p.,

Wilson, L.M., Threadgill, D.W.,

Lauder, J.M., Magnuson, T.R.,

Crawley, J.N. 2006b. “Mouse

Behavioral Tasks Relevant to

Autism: Phenotypes of 10 Inbred

Strains.” Behavioural Brain

Research. 4786 No. 17 pp : 1-17

Muraoka, Y., and F. Itoh. 1980. “Sex

Difference Of Mercuric Chloride-

Induced Renal Tubular Necrosis In

Rats – From The Aspect Of Sex

Differences In Renal Mercury

Concentration And Sulfhydryl

Levels.” Journal of Toxicological

Sciences 5: 203–14.

Nascimento, J.L.M., Oliveira, K.R.M.,

Lopez, M.E.C., Macchi, B.M.,

Maués, L.A.L., Pinheiro, M.C.N., .

Silveira, L.C.L., Herculano, A.M

.2008. “Methylmercury

Neurotoxicity & Antioxidant

Defenses.” Indian J Med Res 128,

October 2008, pp 373-3

Nilsen, J. 2008. “Estradiol and

neurodegenerative oxidative

stress.” Frontiers

Neuroendocrinology 29: 463–75

NIMH (National Intitute Of Mental Health)

.2014. “Autism Spectrum

Disorder.”http://www.nimh.nih.gov

/health/topics/autism-spectrum-

disorders-asd/index.shtml.

(21/10/2014)

Nøstbakken, O. J., Bredal, I. L., Olsvik, P.

A., Huang, T.S., and Torstensen, B.

E (2012). Effect of Marine Omega

3 Fatty Acids onMethylmercury-

Induced Toxicity in Fish

andMammalian Cells In Vitro.

Journal of Biomedicine and

Biotechnology 417652, pp : 1-13

Pritchett, K & Mulder, G.B (2004). Hebb-

Williams Mazes. Technology

Update. American Association for

Laboratory Animal Science Vol.43,

No. 5 pp : 44-45

Silverman, J.L., Tolu, S.S., Barkan, C.L.,

Crawley, J.N (2010). Repetitive

Self Grooming Behavior in the

BTBR Mouse Model of Autism is

Blocked by the mGluR5 Antagonist

MPEP. Neuropsychopharmacology

35, pp: 976–989

Silverman, J.L., Yang, M., Lord, C.,

Crawley, J.N. 2010. “Behavioural

Phenotyping Assays for Mouse

Models of Autism.” Nature

Reviews Neuroscience. Vol 11(7):

490–502

Smeltzer, M.D., Curtis, J.T., Aragona, B.J.,

Wang, Z. 2005. “Dopamine,

Oxytocin, And Vasopressin

Receptor Binding In The Medial

Prefrontal Cortex Of Monogamous

And Promiscuous Voles.”

Neuroscience Letters 22609 , pp :1-

5

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VI, No.2, Juli 2017

46

Suseno, H., S. Hudiyono., Budiawan., dan

D. S. Wisnubroto. 2010.

“Bioakumulasi Merkuri Anorganik

dan Metil Merkuri oleh

Oreochromis mossambicus :

Pengaruh Konsentrasi Merkuri

Anorganik dan Metil Merkuri

dalam Air.” Jurnal Teknologi

Pengelolaan Limbah, ISSN 1410-

9565. Vol. 13, pp : 49-62.

Thomas, A., Burant, A., Bui, N., Graham,

D., Yuva-Paylor, L.A., Paylor, R

(2009). “Marble Burying Reflects

A Repetitive And Perseverative

Behavior More Than Novelty-

Induced Anxiety.”

Psychopharmacology (Berl).

204(2): 361–373

Yatim, F. 2003. Autisme: Suatu Gangguan

Jiwa pada Anak-anak. Pustaka

Populer Obor. Jakarta

Yoshida, M., Suzuki, M., Satoh, M.,

Yasutake., Watanabe, C (2011).

“Neurobihavioral effect of Combined

Prenatal Exposure to Low-Level

Mercury Vapor and Methylmercury.”

The Journal of Toxic Ecological

Science. Vol 36, No 1, 77-80