tinjauan pustaka autisme

34
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Autism 2.1.1 Definisi Autism Autism pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner menyebutkan bahwa autism adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun (Suryana, 2004). Menurut dr. Faisal Yatim (dalam Suryana, 2004), autism bukanlah gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autism hidup dalam dunianya sendiri. Autism tidak termasuk ke dalam golongan suatu penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan kemajuan perkembangan. Dengan kata lain, pada anak Autism terjadi kelainan emosi, 5

Transcript of tinjauan pustaka autisme

Page 1: tinjauan pustaka autisme

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Autism

2.1.1 Definisi Autism

Autism pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943.

Kanner menyebutkan bahwa autism adalah suatu gangguan perkembangan

yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas

imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun

(Suryana, 2004). Menurut dr. Faisal Yatim (dalam Suryana, 2004), autism

bukanlah gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala)

dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan

berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autism hidup

dalam dunianya sendiri. Autism tidak termasuk ke dalam golongan suatu

penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan kemajuan

perkembangan. Dengan kata lain, pada anak Autism terjadi kelainan emosi,

intelektual dan kemauan atau yang disebut dengan gangguan pervasif

(Suryana, 2004).

Berdasarkan hal di atas, maka autism adalah suatu istilah yang

digunakan untuk menggambarkan suatu jenis gangguan perkembangan

pervasif pada anak yang mengakibatkan gangguan atau keterlambatan

pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial

(Widyawati, 1997).

5

Page 2: tinjauan pustaka autisme

2.1.2 Etiologi Autism

Berikut ini beberapa dugaan penyebab autism dan diagnosis medisnya:

1. Gangguan Susunan Saraf Pusat

Eric Courchesne dari Departement of Neurososciences, School of

Medicine, University of California, SanDiego, melakukan MRI pada para

penyandang autism dan menemukan bahwa cerebellum pada sebagian

penyandang autism lebih kecil dari pada anak normal, yaitu terutama pada

lobus ke VI-VII. Penemuannya ini kemudian makin dikukuhkan oleh 17

penelitian lain yang dilakukan di sepuluh pusat penelitian, antara lain di

Kanada, Francis dan Jepang. Penelitian ini melibatkan 250 penyandang

autism, dimana pada kebanyakan dari mereka ditemukan pengecilan

cerebellum. Cerebellum ini ternyata bertanggung jawab atas berbagai

fungís penting dalam kehidupan yaitu proses sensoris, daya ingat, berpikir

dan juga proses atensi atau perhatian (Maulana, 2007).

Selain cerebellum juga terjadi gangguan sistem limbik pada anak

autism. Sistem limbik merupakan pusat emosi yang terletak dibagian

dalam otak. Penelitian Barman dan Kemper (S.M. Edelson, 1995)

menemukan adanya kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang

disebut hippocampus dan amygdala. Dalam kedua organ tersebut sel-sel

neuron tumbuh dengan padat dan kecil-kecil, sehingga fungsinya menjadi

kurang baik. Kelainan itu diperkirakan terjadi semasa janin (Kuwanto &

Natalia, 2001).

6

Page 3: tinjauan pustaka autisme

2. Peradangan Dinding Usus

Sejumlah anak penderita gangguan autism umumnya memiliki

pencernaan buruk dan ditemukan adanya peradangan usus. Peradangan

tersebut diduga disebabkan oleh virus. Mungkin ini berasal dari virus

campak. Hal inilah yang mengakibatkan banyak orang tua menolak

imunisasi MMR (measles, mumps, rubella) karena diduga menjadi

penyebab autis pada anak. Penemuan ini diperkuat dengan sejumlah riset

ahli medis lainnya (Suryana, 2004).

3. Faktor Genetika

Gejala autis pada anak disebabkan oleh faktor turunan. Setidaknya

telah ditemukan dua puluh gen yang terkait dengan autism. Akan tetapi

gejala autism baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Autism

bisa saja tidak muncul meskipun anak membawa gen autism. Jadi, ini

memerlukan faktor pemicu lain (Suryana, 2004).

4. Keracunan Logam Berat

Belakangan ini banyak beredar makanan ringan dan aneka mainan

yang mengandung bahan logam berat. Kandungan logam berat ini diduga

sebagai penyebab kerusakan otak pada anak autis. Hal ini bisa saja terjadi

karena adanya sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetis.

Beberapa logam berat seperti arsenik (As), antimon (Sb), kadmium (Cd),

air raksa (Hg), dan timbal (Pb) adalah racun otak yang sangat kuat.

Kemungkinan lain anak autis disebabkan karena keracunan merkuri.

Keracunan merkuri pada anak-anak autis masih dapat ditanggulangi

7

Page 4: tinjauan pustaka autisme

dengan melakukan terapi kelasi, yaitu dengan mengeluarkan merkuri dari

otak mereka (Suryana, 2004).

Sampel urine dari ratusan anak Prancis membuktikan adanya

hubungan antara autism dan paparan logam berat. Bila ini benar, maka

beberapa kasus autism dapat disembuhkan dengan kelasi. Sampel urine

anak-anak autism mengandung kadar porfirin yang sangat tinggi. Porfirin

adalah suatu jenis protein yang memegang peran penting dalam

memproduksi haem, yaitu komponon yang membawa oksigen dalam

hemoglobin. Logam berat menghalangi produksi haem dan menyebabkan

porfirin tertumpuk dalam urine. Konsentrasi dari molekul coproporphyrin

26 kali lebih tinggi dalam urine anak autism dibandingkan dengan anak

normal (Suryana, 2004).

Richard Lathe dari Pieta Research di Edinburgh, Inggris,

mengatakan bahwa kemungkinan besar autism terjadi karena logam-logam

berat tersebut. Menurut Lathe, metabolit porfirin mengikat reseptor di otak

dan dapat menimbulkan epilepsi dan autism. Para peneliti tersebut

mengembalikan kadar porfirin menjadi normal pada dua belas anak

dengan cara melakukan kelasi, yaitu membersihkan dan mengeluarkan

logam berat dari tubuh. Belum diketahui apakah gejala anak-anak tersebut

telah membaik. Akan tetapi menurut Lathe, ia mendapatkan laporan yang

positif (Maulana, 2007).

2.1.3 Tanda, Gejala dan Diagnosa Autism

Pada anak autism, tanda dan gejala dapat dilihat berdasarkan DSM-

IV dengan cara seksama mengamati perilaku anak dalam berkomunikasi,

8

Page 5: tinjauan pustaka autisme

bertingkah laku dan tingkat perkembangannya, yakni yang terdapat pada

penderita autism dengan membedakan usia anak. Tanda dan gejala tersebut

dapat terlihat sejak bayi dan harus diwaspadai.

Tabel 2.2 Pola Perilaku Pada Penderita AutismUSIA TANDA DAN GEJALA AWAL

0-6

bulan

Bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis)

Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik

Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila

mandi

Tidak “babbling”

Tidak ditemukan senyum sosial di atas 10 minggu

Tidak ada kontak mata di atas umur 3 bulan

Perkembangan motor kasar/halus sering tampak

normal

6-12

bulan

Bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis)

Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik

Gerakan tangan dan kaki berlebihan

Sulit bila digendong

Menggigit tangan dan badan orang lain secara

berlebihan

Tidak ditemukan senyum sosial

Tidak ada kontak mata

Perkembangan motor kasar/halus sering tampak

normal

1-2

tahun

Kaku bila digendong

Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da

da)

Tidak mengeluarkan kata

Tidak tertarik pada boneka

Memperhatikan tangannya sendiri

Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor

9

Page 6: tinjauan pustaka autisme

kasar/halus

Mungkin tidak dapat menerima makanan cair

2-3

tahun

Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain

Melihat orang sebagai “benda”

Kontak mata terbatas

Tertarik pada benda tertentu

Kaku bila digendong

4-5

tahun

Sering didapatkan ekolalia (membeo)

Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau

datar)

Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah

Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala) dan

temper tantrum

Sumber: DSM-IV, 2005

Kriteria Gangguan Autistik dalam DSM-IV, enam atau lebih dari

kriteria pada A, B, dan C di bawah ini, dengan minimal dua kriteria dari A

dan masing-masing satu dari B dan C:

A. Dalam interaksi sosial yang terwujud dalam minimal dua dari kriteria

berikut:

1. Tampak jelas dalam penggunaan perilaku nonverbal seperti kontak

mata, ekspresi wajah, bahasa tubuh.

2. Kelemahan dalam perkembangan hubungan dengan anak-anak

sebaya sesuai dengan tahap perkembangan.

3. Kurang melakukan hal-hal atau aktivitas bersama orang lain secara

spontan.

4. Kurangnya ketimbalbalikan sosial atau emosional.

10

Page 7: tinjauan pustaka autisme

B. Dalam komunikasi seperti terwujud dalam minimal satu dari kriteria

berikut:

1. Keterlambatan atau sangat kurangnya bahasa bicara tanpa upaya

untuk menggantinya dengan gerakan nonverbal.

2. Pada mereka yang cukup mampu berbicara, yang tampak jelas

dalam kemampuan untuk mengawali atau mempertahankan

percakapan dengan orang lain.

3. Bahasa yang diulang-ulang atau idiosinkratik

4. Kurang bermain sesuai tahap perkembangannya

C. Perilaku atau minat yang diulang-ulang atau stereotip, terwujud dalam

minimal satu dari kriteria berikut ini:

1. Preokupasi yang tidak normal pada obyek atau aktivitas tertentu

2. Keterikatan yang kaku pada ritual tertentu

3. Tingkah laku stereotip

4. Preokupasi yang tidak normal pada bagian tertentu dari suatu

obyek

Keterlambatan dalam minimal satu dari bidang berikut, berawal

sebelum usia 3 tahun: interaksi sosial, bahasa untuk berkomunikasi dengan

orang lain, atau permainan imajinatif (Maulana, 2007).

2.1.4 Penatalaksanaan Autism

Selama ini obat yang diberikan untuk mengatasi autism berupa

obat antipsikotik yang berefek sebagai pengatur kadar emosional. Padahal,

pemberian obat semacam antipsikotik hanya cenderung menjadikan anak

lebih pasif dan memungkinkan mengalami penurunan inteligensi. Sejauh

11

Page 8: tinjauan pustaka autisme

ini belum ada kejelasan bahwa obat-obatan tertentu dapat memberikan

kemajuan dalam mengatasi perilaku autistik. Begitu juga dengan suplemen

yang banyak digunakan untuk anak autism belum bisa dipastikan

efektivitasnya (Maulana, 2007).

Hakikatnya, anak autism memerlukan perawatan atau intervensi

terapi secara dini, terpadu, dan intensif. Dengan intervensi terapi yang

sesuai, penyandang autism dapat mengalami perbaikan dan dapat

mengatasi perilaku autistiknya sehingga mereka dapat bergaul secara

normal, tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat dan dapat hidup mandiri

di masyarakat. Berbagai macam terapi yaitu :

1. Terapi Wicara

Suara, kata-kata, kalimat dapat diajarkan pada anak autism sesuai dengan

kemampuan anak. Terapi wicara diharapkan dapat membantu anak autis

yang mengalami gangguan bicara dan komunikasi. Dengan kemampuan

berkomunikasi antara lain anak autism akan terhindar dari tantrum dan

menumbuhkan keyakinan bahwa dia tidak sendiri dan ada orang-orang

yang menyayanginya. Komunikasi juga menyangkut pemahaman dan

pengertian mengenai apa yang disampaikan orang lain, termasuk

bagaimana meresponsnya sehingga terjadi interaksi.

2. Terapi Perilaku/Metode Lovaas

Merupakan terapi perilaku melalui pelatihan dan pendidikan yang

melibatkan keluarga dan orang terdekat. Program ini diajarkan secara

sistematik, terstruktur dan terukur dengan jadwal yang telah disusun.

Diharapkan anak dapat mempunyai perilaku yang baik dalam merespons,

12

Page 9: tinjauan pustaka autisme

berinteraksi dengan orang lain dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan

pribadinya.

3. Terapi okupasi

Membantu integrasi sensorik dan keterampilan motorik agar dapat

melakukan kegiatan lebih aktif, terarah, dan terpadu. Dengan aktif

bergerak, metabolisme tubuh menjadi lebih baik, demikian juga dengan

detak jantung dan pencernaan yang menjadi lebih baik. Terapi ini juga

dapat digunakan untuk pelatihan emosional anak. Tujuan terapi okupasi

adalah pengembangan aktivitas fisik, intelektual, sosial, emosi, maupun

kreativitas.

4. Terapi Integrasi Sensorik

Terapi ini dirancang untuk memberikan perangsangan vestibular

(keseimbangan), propioseptip (gerak, tekan & posisi sendi otot), taktil

(raba/sentuhan), auditori (pendengaran), dan visual (penglihatan). Anak

autism dilatih menghadapi sensitivitas indera. Terapi ini berbentuk

permainan, sehingga terapi integrasi sensorik dan aktivitas sosial yang

dijalani anak bersifat rekreasi. Terapi ini meliputi juga terapi sentuhan ;

setiap anak autism membutuhkan pelukan, sentuhan, rasa aman, dan kasih

sayang.

5. Intervensi Biomedis

Tujuan dari intervensi biomedis adalah memperbaiki metabolisme tubuh

dengan obat, vitamin, suplemen, makanan dan terapi diet, juga

mengeluarkan logam berat (kelasi).

6. Terapi Diet

13

Page 10: tinjauan pustaka autisme

Mengatur pola makan, mencakup jenis makanan, porsi, dan cara

pengkonsumsian. Orang tua/keluarga seharusnya mengenal betul jenis

makanan apa saja yang dapat menyebabkan efek negatif seperti alergi,

intoleransi terhadap makanan, hiperaktif, dan lain-lain sehingga tidak

sampai salah dalam menyuguhkan makanan. Terapi diet sangat penting

sebab jenis makanan yang dikonsumsi sangat berpengaruh terhadap anak

autism. Apabila diet dilanggar dapat memperparah perilaku autistiknya.

7. Terapi floor time

Yaitu dengan pendekatan interaktif antara anak dengan orang tua atau

keluarga.

8. Terapi musik

Musik ternyata mampu memengaruhi perkembangan intelektual dan

membuat anak autism pintar bersosialisasi. Terapi musik merupakan

penggunaan dari suara dan musik dalam proses membina hubungan antara

anak dengan terapis, yang ditujukan untuk mendukung dan meningkatkan

kemampuan fisik, mental, sosial dan emosional anak (Maulana, 2007).

2.2 Konsep Dasar Emosi

2.2.1 Definisi Emosi

Kata "emosi" diturunkan dari kata bahasa Perancis, émotion, dari

émouvoir, 'kegembiraan' dari bahasa Latin emovere, dari e 'luar' dan

movere 'bergerak'. Emosi adalah sebagai sesuatu suasana yang kompleks

dan getaran jiwa yang menyertai atau munculnya sebelum dan sesudah

terjadinya perilaku (Syamsudin, 2005). Emosi sebagai suatu peristiwa

psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut :

14

Page 11: tinjauan pustaka autisme

- Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti

pengamatan dan berpikir.

- Bersifat fluktuatif ( tidak tetap ).

- Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera

(Syamsudin, 2005).

Mengenai ciri – ciri emosi ini dapat dibedakan antara emosi anak

dan emosi pada orang dewasa sebagai berikut :

Emosi pada Anak Emosi pada Orang Dewasa

1.

2.

3.

4.

5.

Berlangsung singkat danberakhir tiba-tiba

Terlihat lebih hebat dan kuat

Bersifat sementara/dangkal

Lebih sering terjadi

Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya

1.

2.

3.

4.

5.

Berlangsung lebih lama dan berakhir dengan lambat

Tidak terlihat hebat/kuat

Tidak bersifat sementara

Jarang terjadi

Sulit diketahui karena lebih pandai menyembunyikannya

2.2.2 Teori Emosi

Teori emosi Walgito, 1997 (dalam DR. Nyayu Khodijah),

mengemukakan tiga teori emosi, yaitu :

1. Teori Sentral. Menurut teori ini, gejala kejasmanian merupakan akibat

dari emosi yang dialami oleh individu, jadi individu mengalami emosi

terlebih dahulu baru kemudian mengalami perubahan-perubahan

dalam kejasmaniannya. Contohnya orang menangis karena merasa

sedih

2. Teori Periferal. Teori ini dikemukakan oleh seorang ahli berasal dari

Amerika Serikat bernama William James (1842-1910). Menurut teori

15

Page 12: tinjauan pustaka autisme

ini justru sebaliknya, gejala-gejala kejasmanian bukanlah merupakan

akibat dari emosi yang dialami oleh individu, tetapi malahan emosi

yang dialami oleh individu merupakan akibat dari gejala-gejala

kejasmanian. Menurut teori ini, orang tidak menangis karena susah,

tetapi sebaliknya ia susah karena menangis.

3. Teori Kepribadian Menurut teori ini, emosi ini merupakan suatu

aktifitas pribadi, dimana pribadi ini tidak dapat dipisah-pisahkan

dalam jasmani dan psikis sebagai dua substansi yang terpisah. Karena

itu, maka emosi meliputi pula perubahan-perubahan kejasmanian.

2.2.3 Neurofisiologi Emosi

Emosi merupakan ekspresi dari mekanisma dasar oleh regulasi

hidup yang terbentuk saat berevolusi dan merupakan suatu yang penting

dalam kelansungan hidup (Fairuz, 2010).

Emosi yang utama adalah marah, takut, dan sedih. Emosi negatif

seperti marah dan takut bisa membentuk perilaku menghindar dan

mempertahankan diri sedangkan emosi positif yang berupa kesenangan

bisa membantu dalam memfasilitasi ingestif, eksplorasi dan perilaku

seksial. Oleh sebab itu, emosi dan perasaan bisa membantu dalam

mencapai homeostasis atau memfasilitasi perilaku adaptif (Syamsudin,

2005).

Menurut teori James-Lange, emosi dirasakan apabila organisma

sedar akan perubahan visera dan somatic yang diinduksi oleh sesuatu

peristiwa. Beberapa kombinasi spesifik antara perubahan visera akan

memproduksi emosi (Syamsudin, 2005).

16

Page 13: tinjauan pustaka autisme

Menurut teori thalamic oleh Cannon-Bard pula, peristiwa di

kortikal yang terjadi berbarengan dengan batang otak akan menghasilkan

emosi. Secara normalnya, korteks akan menghambat talamus. Emosi

memproduksi peristiwa yang akan menghilangkan hambatan ini. Impuls

yang dirilis ke sistem saraf otonom menghasilkan perilaku emosional

(Syamsudin, 2005).

Teori Schachter dan Singer mengusulkan bahwa emosi dan

perilaku emosional terjadi sebagai hasil dari informasi dari dua sistem:

keadaan internal yang diatur oleh hipotalamus dan sistem limbik dan

lingkungan eksternal atau konteks di mana keadaan internal terjadi

(Syamsudin, 2005).

2.2.3.1 Sistem limbik

Sistem limbik merupakan suatu struktur yang kompleks yang

terdapat dikedua bagian thalamus bahagian bawah dari serebrum. Ia terdiri

dari hypothalamus, hippocampus, amygdala dan beberapa bagian yang

17

Gambar 2.1 Sistem Limbik (Tessa, 2007)

Page 14: tinjauan pustaka autisme

berdekatan dengannya. Didapati sistem ini terlibat secara primer terhadap

emosi dan bertanggungjawab dalam pembentukan ingatan (Fairuz, 2010).

Sistem limbik digunakan untuk memodulasi kualiti emosi dari

stimulus dan mendukung mekanisma efektor otonomik yang berkaitan

dengan keadaan emosi. Struktur kunci dari sistem limbic yang memiliki

peran penting dalam ekspresi emosi adalah amygdala. Amigdala memiliki

peran penting dalam mengevaluasi valens emosi dari stimulus. Pendapat

ini telah didukung oleh pelbagai penelitian terhadap lesi yang terjadi pada

amigdala. Kecederaan pada bagian lain dari sistem limbic juga bisa

menyebabkan terjadinya perubahan pada perilaku emosi (Gionani, 2003)

2.2.3.4 Amigdala

Amigdala merupakan dua massa neuron yang berbentuk seperti

kacang almond yang terdapat dikedua bagian thalamus dibagian ujung

bawah dari hippocampus. Stimulasi elektris amigdala akan menimbulkan

perasaan takut dan cemas, dan turut meningkat aktivitas otonom (Fairuz,

2010).

Amigdala memiliki peranan penting dalam kondisi atau

mempelajari takut. Juga diketahui bahwa amigdala bukan saja terlibat

18

Gambar 2.2: Amygdala (Sunarti, 2001)

Page 15: tinjauan pustaka autisme

dalam evaluasi kognitif dari stimuli emosi, bahkan turut terlibat dalam

assosiasi proses belajar dari stimuli yang memprediksi peristiwa

permusuhan. Amigdala juga mungkin terlibat dalam “memori emosi”.kita

lebih bisa mengingat kembali peristiwa yang memberikan pengalaman

emosi yang kuat dan negatif berbanding peristiwa yang tidak memberikan

kita sebarang pengalaman. Teradapat studi kasus yang mengilustrasikan

kepentingan amigdala dalam mengenali stimuli emosi. Amigdala manusia

juga terlibat dalam memproses ekspresi wajah bagi emosi terutama yang

berkaitan dengan ketakutan. Kerusakan pada amigdala akan menyebabkan

kusukaran dalam menghubungkan representasi visual dari ekspresi wajah

dengan perasaan takut (Syamsudin, 2005)

2.2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Emosi

Pertumbuhan dan perkembangan emosi seperti juga pada tingkah

laku lainnya, ditentukan oleh proses pematangan dan proses belajar.

Pengaruh kebudayaan besar sekali terhadap perkembangan emosi, karena

dalam tiap-tiap kebudayaan diajarkan cara menyatakan emosi yang

konvensional dan khas dalam kebudayaan yang bersangkutan, sehingga

ekspresi emosi tersebut dapat dimengerti oleh orang-orang lain dalam

kebudayaan yang sama (Denny, 2008). Ada beberapa contoh pengaruh

emosi terhadap perilaku individu diantaranya :

Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas

hasil yang telah dicapai.

19

Page 16: tinjauan pustaka autisme

Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan

dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa

(frustasi).

Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang

mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup

(nervous ) dan gagap dalam berbicara.

Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri

hati.

Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa

kecilnya akan mempengaruhi sikapnya dikemudian hari, baik terhadap

dirinya sendiri maupun terhadap orang lain (Denny, 2008).

2.2.4 Gangguan Pada Emosi

Secara fisiologis, simtem limbik yang terdapat di dalam susunan

syaraf manusia sering dikaitkan dengan emosi ini (Kotter, et.al., 1997)

sehingga gangguan pada sistem limbik dapat mengakibatkan kesulitan

mengendalikan emosi. Reaksi mudah mengamuk, marah, agresif,

menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa tanpa

stimulus yang jelas sebagai akibat dari adanya gangguan pada sistem

limbik. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas

dengan alasan tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar,

atau menarik rambut adalah contoh reaksi emosi yang berujud perilaku

sebagai akibat gangguan sistem limbik (Azwandi, 2005) .

Bidang fungsional dari syaraf pusat yang juga berpengaruh adalah

pemrosesan sensorik. Individu yang mengalami gangguan pemrosesan

20

Page 17: tinjauan pustaka autisme

sensorik tidak dapat mengintegrasikan data emosional yang masuk dan

menafsirkannya dari berbagai sudut pandang. Pemrosesan emosional dapat

dikacaukan oleh mereka yang terlampau reaktif atau kurang reaktif.

Reaktifitas sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan

kesalahan dalam menafsirkan informasi emosional yang diperoleh dari

sekelilingnya sehingga mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat

(Denny, 2008).

2.2.4 Emosi Pada Autism

Dalam kasus-kasus tertentu permasalahan emosi pada anak autism

sangat beragam bentuknya. Temuan-temuan sebelumnya memperlihatkan

adanya indikasi kelemahan penyandang autism untuk mengenali emosi.

Seperti yang ditulis Bahon-Cohen et al (Castelli, 2005) yang menemukan

kelemahan yang spesifik pada pengenalan emosi penyandang autis

terhadap ekspresi terkejut (belief-based expression) dibanding emosi

senang dan sedih (reality-based expression). Namun Castelli dalam

penelitiannya yang berjudul Understanding Emotions from Standardized

Facial Expression in Autism and Normal Development, tahun 2005

menemukan bahwa anak penyandang autis dapat mengenali emosi dasar

(Happines, Anger, Sadness, Surprise, Fear, Disgust) melalui ekspresi

wajah. Tidak hanya pada saat mencocokkan gambar ekspresi wajah, tetapi

juga saat menamai masing-masing ekspresi tersebut. Beberapa penelitian

terdahulu ditemukan bahwa anak autis mengalami ketidakmampuan untuk

melakukan kontak afeksi dengan orang lain dan sulit membaca ekspresi

21

Page 18: tinjauan pustaka autisme

orang lain, mengalami kesulitan mengenali emosi tertentu dan kesulitan

mengekspresikan emosinya (Castelli, 2005).

Sistem limbik salah satu bagian otak yang mengalami kelainan

pada anak autis memiliki peranan yang penting dalam proses emosi pada

anak autis. Gangguan pada sistem limbik yang merupakan pusat emosi

mengakibatkan anak autis kesulitan mengendalikan emosi, mudah

mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan

mendadak tertawa. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak

beraktivitas dengan alasan tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit,

mencakar, atau menarik rambut (Azwandi, 2005).

Beberapa stimulus yang mengundang respon bagi anak-anak

autistik dapat berupa benda maupun peristiwa. Namun, adanya gangguan

pemrosesan pada anak autism dapat mengakibatkan reaksi emosional yang

tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan kebingungan dan

ketakutan. Dalam beberapa penelitian mengenai emosi pada anak autis

didapatkan beberapa stimulus yang menimbulkan respon emosi adalah

benda-benda yang ada di dalam kehidupan mereka sehari-hari (Wieder,

2006).

2.3 Terapi Musik

2.3.1 Definisi Terapi Musik

Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau elemen

musik oleh seorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan dan

mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional dan spritual. Dalam

kedokteran, terapi musik disebut sebagai terapi pelengkap

22

Page 19: tinjauan pustaka autisme

(Complementary Medicine). Potter (2001), mendefinisikan terapi musik

sebagai teknik yang digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit dengan

menggunakan bunyi atau irama tertentu (Natalie, 2000).

2.3.2 Manfaat Terapi Musik

Manfaat terapi musik untuk kesehatan dan fungsi kerja otak telah

diketahui sejak zaman. Para dokter di masa Yunani dan Romawi Kuno

menganjurkan metode penyembuhan dengan mendengarkan permainan

alat musik seperti harpa atau flute. Peneliti dari Skotlandia, Maxwell, juga

sukses melakukan terapi penyembuhan epilepsi, lumpuh, depresi, bahkan

beberapa jenis demam dengan permainan musik. Secara psikologis,

pengaruh penyembuhan musik pada tubuh adalah pada kemampuan saraf

menangkap efek akustik. Kemudian dilanjutkan dengan respon tubuh

terhadap gelombang musik yaitu dengan meneruskan gelombang tersebut

ke seluruh sistem kerja tubuh (Natalie, 2000).

Jenis musik yang digunakan dalam terapi musik dapat disesuai

dengan keinginan, seperti musik klasik, intrumentalia, slow music,

orkestra, dan musik modern lainnya (Potter, 2005). Tapi tak semua jenis

musik memberi efek terapi penyembuhan. Beberapa penelitian menyebut

musik klasik dan musik tradisional memberi pengaruh paling baik. Pop

musik dan musik berirama dinamis justru disebut tak memiliki efek

positif. Sedangkan musik keras seperti rock atau hip hop justru merusak

karena mempengaruhi emosi (Natalie, 2000).

23

Page 20: tinjauan pustaka autisme

2.3.3 Terapi Musik pada Autism

Musik  mampu mempengaruhi perkembangan intelektual dan

membuat anak autism pintar bersosialisasi. Hal ini sesuai dengan adanya

beberapa penelitian yang dilakukan pakar musik maupun pendidik anak di

dunia tentang efek positif yang dikeluarkan oleh suara musik.

Menurut psikolog anak Hermin R. Seviana, Psi, terapi musik

memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan pengalaman

emosi, integrasi dan kemampuan mengendalikan diri seorang anak autism.

Terapi musik merupakan penggunaan dari suara dan musik dalam proses

membina hubungan antara anak dengan terapis, yang ditujukan untuk

mendukung dan meningkatkan kemampuan fisik, mental, sosial dan

emosional anak. Hal ini merupakan cara yang efisien dan tepat dalam

mengembangkan kapasitas emosional, empati, kerja sama, belajar dan

interaksi sosial serta komunikasi pada anak autism (Denny, 2008).

Terapi musik memiliki efek terapi dan motivasi dimana musik

digunakan untuk mempengaruhi emosi dan memberikan stimulus serta

komunikasi emosional kepada anak. Di samping itu terapi musik ini juga

dapat diberikan kepada semua penderita autis dari berbagai umur yang

memiliki gangguan dengan emosi, kognitif, fisik dan gangguan

sensorinya. Musik dapat mempengaruhi dan mendukung anak untuk

terlibat secara spontan dalam interaksi dengan orang lain. Dengan

mendengarkan musik, anak autis cenderung bisa mendapatkan perasaan

aman dan bebas dari lingkungannya. Adapun tujuan utama dari terapi

musik adalah untuk menciptakan pengalaman anak dalam berinteraksi,

24

Page 21: tinjauan pustaka autisme

mengembangkan ekspresi self-other melalui keterlibatan emosional, dan

meningkatkan komunikasi anak (Denny, 2008).

Terapi musik memberikan dasar mengenai apa yang harus

dilakukan manusia dalam berinteraksi dengan orang lain, selain itu juga

menawarkan konteks di mana motivasi dari diri dapat dikembangkan.

Emosi dapat dialami, diekspresikan dan dibawa dalam komunikasi.

Dengan demikian, musik dapat memiliki pengaruh dalam perkembangan

mental anak yang mengalami gangguan autism (Nathalie, 2000).

2.3.4 Terapi Musik pada Emosi Anak Autism

Musik yang bagus akan menghasilkan ‘mood’ dan emosi yang

bagus. Karena dia dapat dianalisa secara matematis, dan logis, maka

manusia dapat mengembangkan musik itu lebih baik atau creativity

(Rahmintama, 2009). Musik dapat memberikan rangsangan-rangsangan

yang kaya untuk segala aspek perkembangan secara kognitif dan

kecerdasan emosional (EQ) (Denny, 2008).

Musik menghasilkan gelombang Alfa yang menenangkan yang

dapat merangsang sistem limbik jaringan neuron otak. Hasil penelitian

Herry Chunagi (1996) dan Siegel (1999), yang didasarkan atas teori

neuron (sel kondiktor pada sistem saraf), menjelaskan bahwa neuron akan

menjadi sirkuit jika ada rangsangan musik, rangsangan yang berupa

gerakan, elusan, suara mengakibatkan neuron yang terpisah bertautan dan

mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak. Semakin banyak rangsangan

musik diberikan akan semakin kompleks jalinan antar neuron itu. Itulah

sebenarnya dasar adanya kemampuan matematika, logika, bahasa, musik,

25

Page 22: tinjauan pustaka autisme

dan emosi pada anak. Selanjutnya, Gordon Shaw (1996) dalam newsweek

(1996) mengatakan kecakapan dalam bidang yakni matematika, logika,

bahasa, musik dan emosi bisa dilatih sejak kanak-kanak melalui musik.

(Nathalie, 2000).

Jenis musik yang digunakan beraneka ragam dari musik klasik,

musik gamelan, hingga lagu anak-anak. Musik klasik adalah musik

instrument yang memiliki nilai seni dan ilmiahnya tinggi, berkadar

keindahan dan tak luntur sepanjang masa, yaitu gubahan dari aransemen

karya Wolfgang Amadus Mozart (1756-1791) yang terdapat pada kaset

The Mozart Effect (Music For Children). Vol. 1 yang berisi Rondo

(K.525), Allergo Mederato (K.211), Variations (K.2976), Andente No. 17

(K.129).

Musik gamelan yang digunakan biasanya berisi lagu jawa seperti

Bengawan Solo. Dengan menggunakan lagu anak-anak, anak autism juga

akan ikut berpatisipasi dalam menyanyikan lagu tersebut. Penelitian

Blackstock (1978) menunjukkan bahwa anak-anak dengan autism mampu

mengeskpresikan emosi dengan musik melalui gerakan ekspesif serta

meningkatkan kemampuan anak-anak autis untuk pemahaman emosi.

Lagu Topi saya bundar digunakan para terapis untuk membantu

proses pengajaran tentang bentuk bangun dari lingkaran pada anak autism.

Lagu Pelangi digunakan untuk membantu proses pengajaran tentang warna

yang ada di lingkungan sekitar (Suryadi, 2009). Sedangkan untuk

pengenalan ekspresi emosi menggunakan lagu disini senang, disana

senang (Simanjuntak, 2007).

26