PENERAPAN ASAS RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA...
Transcript of PENERAPAN ASAS RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA...
PENERAPAN ASAS RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA
TERORISME MENURUT PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 DAN NOMOR 2 TAHUN 2002
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
ALPEN NAMBRI
NIM : 1113045000010
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017/1439
iv
ABSTRAK
Alpen Nambri. 1113045000010. Penerapan Asas Retroaktif Dalam
Tindak Pidana Terorisme Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Dan Nomor 2 Tahun 2002. Hukum Pidana Islam
(Jinayah). Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatulah Jakarta.
Salah satu kejahatan yang paling berbahaya di Indonesia saat ini adalah
tindak pidana terorisme yang cendurung dilakukan oleh kelompok tertentu dengan
tujuan mengganggu ketertiban umum atau mengguncang pemerintahan yang sah
seperti yang terjadi di Bali pada tahun 2002 yang mengakibatkan ratusan nyawa
menghilang dan miliaran kerugian materil dan secara tidak lansung juga
berdampak pada sektor pariwisata. Peristiwa bom Bali I mengakibatkan negara
dalam keadaan genting sehingga mendesak pemerintah khususunya presiden
bertindak cepat sehingga pada tanggal 18 oktober 2002 dibentuklah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme.
Di dalam penelitian skripsi ini membahas mengenai bagaimana penerapan
asas retroaktif pada tindak pidana terorisme menurut ukum positif Indonesia dan
hukum Islam. Metode penelitian dalam penelitian ini berjenis penelitian hukum
normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library
research) yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder. Pada jenis penelitian hukum normatif, penelitian ini
berjenis penelitian perbandingan hukum. Sedangkan metode penelitian yang
digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif yang berasal dari bahan-bahan
hukum.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asas retroaktif yang berlaku pada
Peraturan Pemerintah Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2002 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme masih belum sempurna karena pada dasarnya hukum
pidana Indonesia menganut asas legalitas, bertentangan dengan Undang-undang
dasar 1945 dan juga terdapat banyak pasal yang tidak mengandung keadilan.
Sedangkan dalam hukum Islam, asas retroaktif dapat diterapkan pada tindak
pidana yang berkaitan dengan keselamatan orang banyak seperti terorisme atau
jarimah al-baghyu.
Kata Kunci : Tindak Pidana, Retroaktif, Terorisme, HAM.
Pembimbing : Dr. Burhanudin, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1968 sampai Tahun 2016
v
KATA PENGANTAR
حيم حمن اللر بسم الله الر
Segala puji beserta syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan semesta alam yang
telah menciptakan seluruh makhluk, dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul PENERAPAN ASAS
RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 DAN NOMOR 2 TAHUN
2002. Selawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad Shollallohu’alaihi
Wassallam.
Penulis sangat bersyukur karena pada akhirnya tugas akhir dalam jenjang pendidikan
Strata Satu (S1) yang dihadapi telah selesai dikerjakan. Penulis berharap semoga skripsi ini
bermamfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Pengerjaan skripsi ini dapat
diselesaikan karena dukungan dari berbagia pihak, untuk itu sebagai rasa hormat yang teramat
dalam penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. M. Nurul Irfan, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Proggram Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah) yang telah memberikan kontibusi atas draft proposal skripsi pada saat seminar
skripsi ini.
4. Bapak Nurrohim, LLM selaku sekertaris Jurusan Prodi Hukum Pidana Islam (Jinayah) yang
telah memberikan arahan,dorongan,motivasi serta kontibusi lain kepada penulis baik pada
saat perkuliahan hingga proses penelitian skripsi.
5. Bapak Dr. Burhanuddin, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing skripsi yang tidak kenal lelah
meluangkan waktunya untuk memberikan sumbangan piliran serta arahan kepada penulis
pada penyusunan skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya kepada bapak dan ibu dosen yang telah mendidik penulis selama kuliah. Seluruh
vi
staf perpustakaan umum dan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
menyediakan fasilitas sehingga memudahkan penulis melakukan studi kepustakaan.
7. Kedua orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda Ismail (Apa) dan Ibunda Nova Hartini
(Ama), yang telah mencurahkan do’a, kasih sayang dan pengorbanan kepada penulis selama
ini dan menjadi motifasi terbesar bagi penulis “allahummagfirlii waliwalidayya
warhamhuma kama rabbayani shogiro”. Kakek Nasmir Ongku Marajo yang memberikan
nasehat-nasehat dan guru bagi penulis, serta untuk adik-adik penulis Rahmatina Muhira dan
Fauzi akbar yang telah memberikan semangat dan penghibur.
8. Pak Etek Salman sekeluarga yang telah memberikan semangat penghibur dan dukungan
untuk menyelesaikan penelitian ini dengan baik serta menjadi keluarga kedua bagi penulis
selama menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Seluruh teman-teman angkatan Jurusan Hukum pidana Rahmat, Fahmi Afrikal, iip, wiwit,
Siti, Ryan, Aya, Reza, Anwar, Arsy, Ilyas, zaini, Syamsul, Azka, Anhar, Una, Irsyat, Eka,
Amil, jauhar, dan yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimaksih atas kebersamaannya
baik dalam canda tawa maupun suka duka.
10. Teman-teman alumni Iscamdoepa dan KMM Ciputat terutama kak Hanif yang telah
membantu penulis dan memberi masukan dalam menyelesaikan penelitian ini.
11. Sahabat penulis Suci Indara Suryani yang selalu menghibur dan memberikan dukungan serta
kontibusi lain dalam penyusanan skripsi ini.
12. Teman-teman asrama Nubala terutama saudara Ali Amri Pasaribu yang sama-sama
mengerjakan skripsi dan saudara Rahman yang sudah berkenan meminjamkan laptop.
13. Seluruh pihak yang berkontribusi dalam penulisan skripsi ini baik secara lansung atau tidak
lansung, moril ataupun materil yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Atas selaga bantuan dari berbagai pihak, penulis ucapkan ribuan terima kasih. Penulispun
sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis
menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Ciputat, 26 November 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ...............................................................................iii
ABSTRAK...........................................................................................................iv
KATA PENGANTAR.........................................................................................v
DAFTAR ISI.....................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1
B. Identifikasi Masalah..................................................................................6
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah..........................................................7
D. Tujuan dan Mamfaat Penelitian................................................................7
E. Review Kajian Terdahulu.........................................................................8
F. Metode Penelitian ....................................................................................9
G. Sistematika Penulisan..............................................................................11
BAB II TINJAUAN UMUM DALAM TINDAK PIDANA TERORISME
MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif...................................................12
1. Pengertian Tindak Pidana..................................................................12
2. Macam-Macam Tindak Pidana .........................................................15
B. Tindak pidana menurut hukum Islam......................................................18
1. Pengertian Tindak Pidana..................................................................18
2. Macam-Macam Tindak Pidana..........................................................19
C. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam
1. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif............................22
2. Macam-Macam Tindak Pidana Terorisme.........................................24
viii
D. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Islam...................................25
BAB III ASAS RETROAKTIF DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
A. Asas Retroaktif Menurut Hukum Positif.................................................30
1. Pengertian Asas Retroaktif..........................................................30
2. Faktor Pendorong Munculnya Asas Retroaktif...........................33
B. Asas Retroaktif Menurut Hukum Islam .................................................40
C. Faktor-Faktor Terbentuknya Perpu Tindak Pidana Terorisme ...............45
BAB IV KAJIAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP
ASAS RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA TERORISME
A. Analisis Asas Retroaktif Dalam Perpu Tindak Pidana Terorisme Menurut
Hukum Positif.........................................................................................52
B. Analisis Asas Retroaktif Dalam Perpu Tindak Pidana Terorisme Menurut
Hukum Islam .........................................................................................57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................61
B. Saran Penulis ..................................................................................62
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah yang paling rumit dihadapi oleh sebuah negara adalah
terorisme. James Adams berpendapat bahwa terorisme merupakan ancaman
kekerasan fisik oleh individu atau kelompok untuk tujuan-tujuan politik atau
untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, dimana tindakan-
tindakan terorisme dimaksud untuk mengejutkan, melumpuhkan atau
mengintimidasi suatu kelompok yang lebih besar dari pada korban langsung.
Terorisme melibatkan kelompok-kelompok yang berusaha menumbangkan rezim
tertentu, untuk mengoreksi keluhan kelompok atau nasional, atau untuk
menggerogoti tatanan politik internasional yang ada.1
Terorisme merupakan metode yang menimbulkan kecaman dan dilakukan
melalui aksi kekerasan secara berulang-ulang, dilakukan oleh individu, kelompok,
atau aktor-aktor negara untuk alasan kriminal atau politik. Terorisme dapat
menghilangkan nyawa tetepi berbeda dengan pembunuhan biasa karena dalam
terorisme objek yang menjadi sasaran langsung bukan merupakan target utama.
manusia yang menjadi korban langsung biasanya dipilih secara acak atau selektif
dari populasi yang menjadi target, pemilihan ini dajadikan sebagai penegak pesan
yang dimaksud. Ancaman yang didasarkan pada proses komunikasi berbasis
kekerasan antara teroris, korban yang diancam, sarana utama yang dijadikan untuk
memanipulasi target utama, kemudian mengubah menjadi target teror, target
tuntutan atau target perhatian tergantung pada apakah intimidasi, pemaksaan atau
propaganda utama yang dicari.2
Ketentuan tentang tindak pidana terorisme diatur dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
1 Masyhur effendi dan Taufani Sukmana Evandri,HAM dalam dimensi/ dinamika
yuridis,sosial,politik,(Bogor:Ghalia Indonesia),2007,hal 221. 2 Ari Wibowo,hukum pidana terorisme,(Yokyakarta:Graha Ilmu,2012), hal. 63.
2
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebagai wujud dukungan pada
komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme,
Indonesia juga telah menerbitkan undang-undang nomor 6 tahun 2006 tentang
pembatasan pengeboman oleh teroris (International Convertion Againts Terrorist
Bombing) dan konvensi pembatasan pendanaan terorisme (Convention on the
Suppression of Financing Terrorism).
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 dan 2 tahun 2002
merupakan ketentuan khusus tentang terorisme karena memuat ketentuan-
ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundangan-undangan yang
ada, dan menyimpang dari ketentaun umum sebagai mana dimuat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Dalam Peraturan pemerintah pengganti undang-undang
nomor 1 dan 2 tahun 2002 telah ditetapkan ancaman sanksi pidana mulai dari
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, pidana seumur hidup sampai kepidana mati, untuk memperkuat fungsi
penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme.3
Ketentuan pasal 6 peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1
tahun 2002 berbunyi sebagai berikut:
“setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
menyebabkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.4”
3 Azziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus,(Jakarta:Sinar Grafika,2011) hal. 88.
4 Perpu no 1 tahun 2002 pasal 6.
3
Ketentuan Pasal 7 Peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1
tahun 2002 berbunyi sebagai berikut:
“setiap orang yang dengan sengaja melakuka kekerasan atau ancaman
kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,atau
untuk menimbulkan kerusankan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional,
dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.5”
Ketentuan Pasal 13 Peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor
1 tahun 2002 berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan
terhadap pelaku-pelaku tindak pidana terorisme, dengan:
a. Memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan
lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme.
b. Menyembunyikan pelaku tindak pidana terorism.
c. Menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun6.”
Bagian “penjelasan” Pasal 13 Peraturan pemerintah pengganti undang-
undang nomor 1 tahun 2002 menerangkan yang dimaksud dengan bantuan baik
sebelum maupun sesudah saat tindak pidana dilakukan . Sedangkan yang
dimaksud dengan “kemudahan” adalah tindakan memberikan bantuan setelah
tindak pidana dilakukan.
5Perpu no 1 tahun 2002 pasal 7.
6 Perpu no 1 tahun 2002 pasal 13.
4
Dalam sejarah Indonesia sering terjadi aksi teror dan yang paling dahsyat
terjadi pada tahun 2000 yaitu pada kasus bom Bali 1 yang mengakibatkan 202
orang meninggal dunia sebagian besar merupakan warga negara Australia dan
sekitar 300 orang lainnya luka-luka. Bukan hanya korban nyawa, kejadian
tersebut juga merusak 513 unit bangunan hotel, restoran, kafe, toko dan rumah.
Sebanyak 22 mobil dan 24 sepeda motor hancur, dari kerusakan unit bangunan
dan kendaraan bermotor tersebut, diperkirakan kerugian material yang
ditimbulkan mencapai Rp 7,2 miliar. kerugian akibat kerusakan jalan dan trotoar
diperkirakan mencapai Rp 224 juta. PLN Denpasar mengklaim kerugian sebesar
Rp 144 juta akibat beberapa fasilitas PLN yang rusak. Sedangakn PT. Telkom
mengalami kerugian jaringan telekomunikasi sebesar Rp 88 juta.7
Peraturan tidak boleh diberkakukan secara surut sudah menjadi pengetahuan
umum. Gunanya adalah untuk menghormati prisip negara hukum (Rechtstaat) dan
untuk melindungi hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam pasal 28 I
ayat 1 UUD 1945 amandemen ke-2 (dua) yang berbunyi:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.8”
KUHP juga merumuskan perihal kemungkinan berlakunya surut suatu
aturan hukum pidana sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 2 KUHP, tetapi
tidak semua aturan baru dapat diberlakukan surut kebelakang, pasal tersebut
merumuskan :
“jika sesudah perbuatan dilakukan, ada perbuatan dalam perundang-
undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.”
7 Ardison Muhammad,terorisme ideilogi peneba kekuatan,(Surabaya: Liris,2010), hal 175.
8Undang-undang Dasar 1945.
5
Dengan demikian terdapat kemungkinan di berlakukannya asas retroaktif
bila sesudah terdakwa melakukan tindak pidana dan perubahan dalam undang-
undang dan peraturan yang baru itu menguntungkan atau meringankan terdakwa.
Tidak setiap ada perubahan undang-undang berarti ada retroaktif, bisa jadi
undang-undang lama tetap berlaku jika undang-undang yang lama jutru lebih
meringankan terdakwa.
Dengan kata lain aturan dalam pasal 1 ayat 2 KUHP tersebut diberlakukan
kedepan dan tidak surut kebelakang. Oleh karena itu dalam hukum pidana tidak
dibolehkan berlaku surut (retroaktif). Tetapi lain halnya dengan Undang-Undang
terorisme yang mengenyampingkan asas non-retroakif. Penyimpangan asas non-
retroaktif dirumuskan dalam Perpu No 1 Tahun 2002 Pasal 46 yang berbunyi
sebagai berikut:
”Ketentuan dalam Peratuaran Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
dapat diberlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai
berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, yang
penerapannya ditetapkan dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersendiri.”
Bedasarkan ketentuan ini maka pada tahun 2002 lahirlah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dikukuhkan menjadi Undang-
Undang UU No.15 Tahun 2003.9
Asas retroaktif dalam hukum Islam tidak berlaku surut sudah dicetuskan
satu abad yang lalu, ini merupakan suatu langkah baru dalam perkembangan
hukum posotif, namun apabila dibuka Al-Quran dapat ditemukan jauh sebelum
adanya asas tersebut sebenarnya sudah ditetapkan dalam alquran, misalnya dalam
ayat :
لني قل للذين كفروا إن ينت ه اقد سلف وإن ي عودوا ف قد مضت سنة األو وا ي غفر لم م
9 Ali Masyhar, Gaya Indonesia Menghalang Terorisme,(Semarang:Maju Mundur,2008),
hal. 82.
6
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu : “jika mereka berhenti (dari
kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa
mereka yang sudah lalu, dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan
berlaku (kepada mereka) sunnah Allah (bagi) orang-orang dahulu (Q.S.al-Anfal :
38).
Ayat ini menunjukkan adanya dispensasi yang diberikan oleh Allah kepada
umat manusia, yakni bahwa segala tindak pidana, kemaksiatan dan perbuatan dosa
yang dilakukan seorang yang masih kafir, semuanya diampuni oleh Allah pada
saat ia mengucapkan syahadatain. Dispensasi ini diberikan kepadanya sebagai
suatu wujud dari makna “Islam” sebagai agama keselamatan.10
Dari pemaparan perbedaan diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun
skripsi dengan judul “Penerapan Asas Retroaktif Dalam Tindak Pidana
Terorisme Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2002”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan beberapa masalah pada latar belakang masalah
diatas dapat diidentifikasi 4 masalah, yaitu :
1. Ketentuan asas retroaktif dalam hukum positif dan hukum Islam.
2. Asas retroaktif dalam tindak pidana terorisme terhadap Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 dan 2 Tahun 2002.
3. Tinjauan hukum positif tentang asas retroaktif dalam tindak pidana terorisme.
4. Tinjauan hukum Islam tentang asas retroaktif dalam tindak pidana terorisme.
10
http://arsipworkmilla.blogspot.co.id/2014/10/asas-retroaktif-hukum-pidana-islam.html.
Diakses pada hari selasa tanggal 15 Agustus 2017, jam 11:35.
7
Dari berbagai masalah diatas tidak semua permasalahan tersebut menjadi
fokus kajian dalam penelitian ini. Adapun fokus kajian terhadap berbagai masalah
tersebut akan dibahas pada permasalahan selanjutnya.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Bedasarkan identifikasi masalah diatas, dalam penelitian akan dibatasi
masalah yang akan mejadi kajian dalam penelitian ini. Adapun masalah yang
akan dibahas dalam penelitian ini adalah masalah asas retroaktif dalam tindak
pidana terorisme menurut hukum positif dan hukum Islam.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah asas retroaktif dalam Perpu tindak pidana terorisme menurut
hukum positif ?
b. Bagaimanakah asas retroaktif dalam Perpu tindak pidana terorisme menurut
hukum Islam ?
D. Tujuan dan Mamfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui asas retroaktif dalam Perpu tindak pidana terorisme
menurut hukum positif.
b. Untuk mengetahui asas retroaktif dalam Perpu tindak pidana terorisme
menurut Islam.
2. Manfaat Penelitian
Mamfaat dari penelitian ini adalah:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara umum
kepada masyarakat tentang asas retroaktif.
b. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca dalam
memahami asas retroaktif dalam tindak pidana terorisme.
8
c. Hasil penelitian ini dapat memberikan beberapa pengetahuan dibidang
hukum positif dan hukum Islam khususnya tentang asas retroaktif.
D. Review Kajian Terdahulu
Dalam mendukung penelitian ini, peneliti telah menemukan skripsi yang
pernah ditulis oleh penulis sebelumnya yang berkaitan dengan penulisan judul
skripsi ini. Meskipun berkaitan, tulisan yang telah ditulis oleh penulis terdahulu
tersebut terdapat perbedaan sudut pandang, judul maupun pokok masalah yang
diteliti, sehingga tidak ada kesamaan didalam penyusunan skripsi ini. Adapun
penelitian yang diteliti oleh peneliti terdahulu yang telah ada, ialah :
No Nama Judul Analisis hasil
1. Ponco Putro
Widodo
(Sekolah Tinggi
Agama Budha
Negeri
Sriwijaya)
Aksi terorisme di
tinjau berdasarkan
konsep
pandangan benar
(samma ditthi)
Upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi aksi teroris
adalah dengan cara pandangan
benar (samma ditthi) diantaranya
menyakini aksi terorisme
merupakan perbuatan yang salah
dan untuk mendapatkan
pemahaman tersebut sesorang
harus melakukan hal-hal positif
seperti melakukan program
mediasi, mendengarkan caramah
dhama (ajaran Budha), dan
pendidikan yang benar dari usia
dini
9
Oleh karena itu, berdasarkan beberapa jurnal, skripsi ataupun karya ilmiah
yang telah diteliti oleh peneliti terdahulu, peneliti belum menemukan penelitian
yang fokus kepada asas legalitas tindak pidana terorisme dalam pandangan hukum
Islam.
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif berupa kajian pustaka (library research) yaitu kajian yang memakai
bahan pustaka, diantaranya buku-buku, kitab-kitab, hasil penelitin-penelitin dan
jurnal-jurnal yang berhubungan dengan objek penelitian.11
Dilihat dari segi jenis penelitian hukum penelitian ini termasuk dalam
kategori jenis penelitian hukum normatif. Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau
data sekunder dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
pustaka.12
11
G. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, karakteristik dan keunggulan (Jakarta:
Grasindo, 2010), hal.46. 12
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),
hal.12-14.
2. Gazi Saloom
(Fakultas
Psikologi UIN
Jakarta)
Identifikasi
kolektif dan
ideologisasi jihad
studi kualitatif
teroris di
indonesia
Faktor identitas sosial dan
ideologi merupakan determinan
penting keterlibatan seseorang
dalam dunia teror di Indonesia.
Penguatan identitas yang tidak
disertai dengan perluasan
wawasan keislaman, akan
mendorong seseorang bergabung
dengan kelompok teror
10
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
data primer dan sumber data sekunder yaitu :
A. Sumber Primer
Sumber primer atau yang manjadi rujukan utama penelitian ini adalah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNo 1 dan 2 tahun 2002
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
B. Sumber Sekunder
Sumber sekunder penelitian ini yaitu buku-buku, jurnal, karya tulis ilmiah
ataupun artikel yang berkaitan dengan judul pada penelitian ini.
3. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Penulis akan menggunakan cara penelaahan dokumentasi dalam
pengumpulan data, dimana penulis akan menelaah data-data baik itu arsip,
dokumen, ataupun dokumentasi publik. Kemudian penulis akan mengolahnya
dengan menggunakan metode deskriptif analisis kritis, yaitu dengan
menggambarkan, menganalisa serta memberikan interprestasi terhadap data objek
kajian penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan metode content
analysis,yakni digunakan untuk menganalisa secara ilmiah terkait inti pesan ke
dalam sebuah ide atau gagasan tertentu. Dalam proses menganalisis sumber data
dan bahan hukum, penulis menggunakan pendekatan teoritis yakni pendekatan
maslahah dalam kajian hukum Islam.
4. Metode Penulisan
Penyusunan penelitian ini akan menggunakan metode penulisan yang
merujuk kepada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
11
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian skripsi ini, secara umum terbagi
menjadi lima bab, diantaranya sebagai berikut :
Bab I, bab ini adalah pendahuluan yang menjelaskan gambaran secara umum isi
dari penelitian ini. Bab ini terdiri atas latar belakang masalah yang mana sub ini
mencerminkan kegelisahan akademik penulis mengenai isu hukum tindak pindana
terorisme.Kemudian setelah latar belakang masalah dilanjutkan dengan penelitian
yang mencakup identifikasi masalah, batasan masalah dan rumusan masalah.
Kemudian dilanjutkan dengan tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian
terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II,bab ini berisikajian hukum positif dan hukum Islam terhadap tindak pidana
dalam terorisme yang meliputi macam-macam tindak pidana dan sanksi pidana,
pengertian tindak pidana terorisme dan sanksi tindak pidana terorisme.
Bab III, bab ini akan mengkaji asas retroaktif dalam pandangan hukum Islam dan
hukum positif yang meliputi Pengertian asas retroaktif danFaktor Pendorong
Munculnya asas retroaktif dalam tindak pidana terorisme serta menjelaskan
faktor-faktor terbentuknya Perpu no 1 dan 2 tahun 2002.
Bab IV, bab ini akan menganalisis asas retroaktif dalam pandangan hukum posif
dan hukum Islam pada tindak pada pidana terorisme.
Bab V, bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran dari penulis. Adapun
isi dari kesimpulan adalah tentang tanggung jawab dari rumusan masalah. Bagian
kedua adalah saran. Saran merupakan rekomendasi penulis kepada dunia ilmu
pengetahuan di bidang hukum khususnya hukum acara pidana. Penutup ini di
tempatkan pada bagian akhir penulisan skripsi ini.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM DALAM TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif
1. Pengertian Tindak Pidana
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini ialah hukum pidana yang
sudah dikodifikasiyaitu sebagian terbesar dari peraturannya telah disusun dalam
suatu kitap undang-undang hukum pidana. Selain daripada hukum pidana kita
telah dikodifikasimaka bagian hukum ini juga telah bersifat universal, yaitu
berlaku bagi semua golongan rakyat sehingga tidak ada dualisme, dengan adanya
undang-undang 1958 no. 73 yang pokoknya memperlakukan undang-undang 1946
no. 1 untuk seluruh wilayah Indonesia, dualisme dihapuskan. Seluruh wilayah
Indonesia disini artinya wilayah Hindia belanda dahulu, jadi sekarang untuk
seluruh wilayah Indonesia berlaku KUHP.13
Sebelum melangkah lebih lanjut, biasanya kita mempertanyakan definisi
dari dari yang hendak kita alami. Apakah hukum pidana itu? jika ditelaah lebih
dalam sulit untuk menemukan definisi yang benar-benar lengkap.
Dilihat dari perspektif hukum konfensional tentang hukum pidana, yakni
hukum mengenai delik yang diancam dengan hukuman pidana atau dengan kata
lain “serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan
hukumannya”. Ada dua kata yang sama-sama melawan hukum dalam pengertian
tersebut yakni kata delik dan tindak pidana. Delik atau dalam bahasa latinnya
delictum berarti tindak pidana, yang sering juga digunakan istilah lain yaitu
strafbaar feit yang merupakan istilah dalam hukum pidana belanda. Istilah
strafbaar feit diadopsi dalam kitab undang-undang hukum pidana Indonesia
selanjutnya disebut KUHP yang diartikan sebagai “perbuatan yang dilarang
undang-undang serta diancam dengan hukuman bagi orang yang melanggarnya”.
Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan perbuatan melawan
13
Moeljatno, asas-asas hukum pidana (jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal.16-19.
13
hukum ialah tindak pidana, perbutan pidana, delik dan strafbaar feit. Bahkan
untuk negara-negara yang menganut Anglo Saxon sering digunakan istilah offense
atau criminal act.
Dalam hukum konvensional pidana Indonesia istilah hukum pidana bisa
bermakna obyektif dan subyektif. makna obyektif sering di istilahkan dengan jus
poenale yang bermakna perintah dan larangan yang atas pelanggarannya atau
pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan negara
yang berwenang. Maka subyek atau jus puniendi bermakna peraturan hukum yang
menetapkan tentang penyidikan lanjutan, penuntutan dan pelaksanaan pidana.
Atas dasar makna obyektif dan subyektif tersebut maka secara tidak lansung
melahirkan dua bagian jenis materi hukum dan jenis hukumnya, atau dalam istilah
lain disebut dengan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Hukum pidana materiil dalam istilah lain material criminal law adalah
aturan yang mengandung petunjuk dan uraian tentang strafvar feiten (delik
perbuatan pidana, tindak pidana) peraturan tentang syarat yang dapat dipidananya
seseorang, penunjukan orang yang dapat dipidana dan ketentuan tentang
pidananya, menetapkan siapa dan bagaimana orang itu dapat dipidana. Sedangkan
pidana formil dalam istilah lain law of criminal procedure adalah hukum yang
menetapakan cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana.14
Dibawah ini dikutip berbagai definisi hukum pidana menurut beberapa ahli,
diantaranya:
Mazger berpendapat bahwa hukum pidana adalah aturan hukum yang
mengikatkan pada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat
yang berupa pidana. Berbeda halnya dengan Lemaire yang mengatakan bahwa
hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan dan larangan
yang oleh pembentuk undang-undang dikaitkan dengan sanksi berupa
pemidanaan, yaitu suatu penderitaan khusus. Pendapat lain diutarakan oleh
Pompe, mengatakan bahwa hukum pidana merupakan keseluruhan peraturan yang
bersifat umum yang isinya adalah larangan dan keharusan, terhadap
14
Asep Saepudin Jahar, dkk., Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, kajian perundang-
undangan Indonesia, fikih dan hukum internasional, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2013), hal.
111-114.
14
pelanggarannya. Negara atau masyarakat hukum mengancam dengan penderitaan
khusus berupa pemidanaan, penjatuhan pidana, peraturan itu juga mengatur
ketentuan dan penerapan pidana.15
Berbeda dengan W.L.G Lemaire yang berpendapat bahwa hukum pidana
terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan dan larang-larangan (oleh
pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan satu sanksi berupa hukuman,
yakni suatu penderitan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga
dikatakan bahwa hukum pidana ini merupan suatu sistem norma-norma yang
menentukan terhadap tindakan-tindakan dan dalam keadaan-keadaan bagaimana
hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukum yang bagaimana yang dapat dijatuhkan
bagi tandakan-tindakan tersebut.16
Algra Janssen berpendapat bahwa hukum pidana adalah alat yang digunakan
oleh seorang penguasa (hakim) untuk memperingati mereka yang telah melakukan
suatu perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut mencabut
kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas
nyawa, kebebasan dan harta kekayaanya, yaitu seandainya ia telah tidak
melakukan suatu tindak pidana.
Moeljatno mengatakan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, selain dari hukum perdata, hukum tata
negara dan hukum tata pemerintah, hukum agraria, hukum perburuhan dan
sebagainya.17
Sedangkan menurut D. Simons adalah keseluruhan perintah dan larangan
yang pelanggarannya diancam dengan suatu nestapa khusus berupa pidana oleh
negara atau suatu masyarakat hukum publik lain, keseluruhan peraturan yang
menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan keseluruhan ketentuan untuk
mengenakan dan menjalankan pidana tersebut.18
15
Teguh Prasetyo, hukum pidana (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hal.22. 16
W.L.G Lemaire, Het Recth in Indonesia, (bandung: sinar baru, 1997), hal.1-2. 17
Ruslan Renggong , Hukum Pidana Khusus memahani delik-delik diluar KUHP,
(Jakarta:Prenada Media Group, 2016), hal.15-16. 18
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers,
2013), hal.6.
15
2. Macam-Macam Tindak Pidana
KUHP sendiri telah mengklasifikasikan tindak pidana atau delik kedalam
dua kelompok besar yaitu dalam buku kedua dan ketiga masing-masing
menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran. Kemudian bab-babnya
dikelompokkan menurut sasaran yang hendak dilindungi oleh KUHP terhadap
tindak pidana tersebut.
a.Kejahatan dan pelanggaran
Kehatan merupakan rechtsdeelict atau delik hukum dan pelanggaran
merupakan wetsdelict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah
pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan seperti
pembunuhan dan pencurian. Sedangkan delik undang-undang melanggar apa
yang ditentukan undang-undang, seperti keharusan memiliki SIM oleh
pengendara bermotor.
b.Delik formil dan delik materiil
Delik formil adalah delik yang selesai dengan dilakukannya delik itu, tidak
dipermasalahkan apakah perbuatan, sedangkangkan akibatnya hanya
merupakan hal yang kebetulan. Sebaliknya dalam delik materiil, titik beratnya
pada akibat yang dilarang, delik itu dianggap selesai apabila akibatnya sudah
terjadi, bagaimana terjadinya perbuatan tersebut tidak dipermasalahkan.19
c.Delik hukum dan delik undang-undang
Delik hukum rechtsdelict adalah perbuatan yang oleh masyarakat sudah
dirasakan sebagai melawan hukum, sebelum pembentukan undang-undang
merumuskannya dalam undang-undang, contohnya dalam pembunuhan dan
pencurian, sekalipun orang tidak membaca undang-undang tetapi pada
umumnya sudah akan merasa bahwa pembunuhan dan pencurian meruakan
perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum. Perbuatan yang seperti ini
dipandang sebagai delik hukum yang ditempatkan dalam bukum II KUHP
tentang kejahatan.
19
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (jakarta: Rajawali Pers,2011), hal.59.
16
Adapun contohnya adalah pengemis didepan umum (pasal 504 KUHP)
masyarakat nanti mengetahui perbuatan mengemis didepan umum merupakan
tindak pidana karena ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Perbuatan-
perbuatan seperti ini yang dipandang sebagai delik undang-undang wetsdelict,
ditempatkan dalam buku III tentang pelanggaran20
.
d.Delik aduan dan delik murni
Delik adaun (klachtdelict) yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan
dari pihak yang berkepentingan dan jika tidak ada pengaduan dari pihak
berkepentingan maka perbuatan itu tidak dapat dituntut ke depan pengadilan,
aturan umum tentang delik aduan diatur dalam buku I bab VII (mengajukan
dan menarik kembali pengaduan dalam kejahatan hanya dituntut atas
pengaduan) yang mencakup pasal 72-75.
Delik aduan dapat dibedakanatas menjadi delik aduan absolut dan delik
aduan relatif. Delik aduan absolut adalah delik yang dalam semua keadaan
merupakan delik aduan, salah satu contohnya ada pasal 287 ayat (1) yang
menentukan bahwa barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar
perkawinan padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa
umurnya belum berumur 15 tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa
belum waktunya untuk kawin diancam dengan pidana penjara paling lama 9
tahun. Menurut ayat (2) penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali
jika umur wanita belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal
berdasarkan pasal 291 (mengakibatkan luka-luka berat) dan pasal 294
(mengakibatkan kematian), jadi persetubuhan dengan wanita yang belum 15
tahun tetapi sudah 12 tahun merupakan suatu delik aduan . Delik felatif adalah
delik yang dalam keadaan tertentu merupakan delik aduan, sedangkan biasanya
bukan merupakan delik aduan, contoh penggelepan adalah delik biasa bukan
delik aduan tetapi jika dilakukan antara orang-orang yang memiliki hubungan
20
Frans Marmis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers,
2013), hal. 74-75.
17
yang disebut dalam pasal 367 ayat (2) maka hanya mungkin dilakukan
penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan (pasal 376 KUHP).21
e.Delik dolus dan delik culpa
Dolus dan culpa merupakan kesalahan (schuld), delik dolus adalah delik
yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan itu mungkin dengan
kata-kata yang tegas “dengan sengaja”, tetapi mungkin juga dengan kata-kata
lain yang senada, seperti “ketahuilah” dan sebagainya. Sedangkan delik culpa
dalam rumusannya memuat unsur kealpaan, dengan kata lain “karena
kealpaan”dan dalam beberapa terjemahan kadang-kadang dipakai istilah
“karena kesalahan”.22
f.Delik selesai dan delik percobaan
Delik selesai adalah perbuatan yang sudah memenuhi semua unsur dari
suatu tindak pidana, sedangkan delik percobaan adalah delik yang
pelaksanaanya tidak selesai.
Dalam KUHP tidak diberikan definisi apakah yang dimaksud dengan
percobaan (poging). Pada pasal 53 ayat (1) KUHP hanya ditentukan unsur-
unsur untuk dapat dipidananya percobaan melakukan kejahatan.
g.Delik komisi dan delik omisi
Delik komisi (commissie delict) adalah delik yang mengancamkan pidana
terhadap dilakukannya suatu perbuatan (perbuatan aktif). Dengan hal ini
seseorang melakukan perbuatan (handelen) atau suatu perbuatan, delik ini
berkenaan dengan norma yang bersifat larangan, contohnya pasal pencurian
karena sesorang diancam pidana disebabkan mengambil barang orang lain.
Delik omisi (ommissie delict) adalah delik yang mengancamkan pidana
terhadap sikap tidak berbuat sesuatu (perbuatan pasif). Dalam hal ini sesorang
tidak berbuat (nalaten) sesuatu. Delik ini berkenaan dengan norma yang
bersifat perintah, contohnya pasal yang mengancamkan pidana terhadap
seseorang yang melihat orang lain dalam bahaya maut dan tidak memberikan
21
Ibid., hal.76-77 22
Ibid., hal.60.
18
pertolongan pasal 532 KUHP ia diancam pidana karena tidak berbuat sesuatu
untuk menolong.
Tetapi ada rumusan tindak pidana yang dapat dijadikan dasar penuntutan
baik terhadap perbuatan aktif maupun perbuatan pasif, contohnya tentang
pembunuhan (doodskag), pasal ini dapat dijadikan dasar penuntutan terhadap
perbuatan merampas nyawa orang lain dengan melakukan suatu perbuatan seperti
memukul dengan benda keras atau menikam dengan pisau, juga dapat dijadikan
dasar penuntutan terhadap perbuatan perbuatan merampas nyawa dengan tidak
berbuat apa pun (perbuatan pasif), misalnya seorang ibu dengan sengaja tidak
memberikan air susu kepada bayinya sehingga akhirnya bayi itu meninggal
kelaparan.23
B. Tindak pidana menurut hukum Islam
1. Pengertian Tindak Pidana
Dalam hukum Islam, istilah hukum pidana disebut dengan figh jinayah
dan jarimah, jinayah berarti “perbuatan yang dilarang oleh syara‟, baik
perbuatan tersebut mengenai harta, jiwa dan lai-lain”, atau dalam pengertian
lain segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal
yang dilakukan mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil
dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Quran dan hadis
Nabi Muhammad SAW.24
Imam Al-Mawardi berpendapat bahwa jarimah merupakan segala
larangan syara‟ (melakukan segala hal yang dilarang dan mengerjakan seluruh
perintah yang diwajibkan) yang mana mukallaf diancam pengan hukuman had
atau ta‟zir.25
Lain halnya dengan Abdul Qadir yang mendefenisikan tindak
pidana dengan istilah untuk perbuatan yang dilarang syara‟, baik perbuatan
23
Frans Marmis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers,
2013), hal.81-82 24
Asep Saepudin Jahar, dkk., hukum keluarga, pidana dan bisnis, kajian perundang-
undangan Indonesia, fikih dan hukum internasional, (Jakarta: kencana prenada group, 2013),
hal.111. 25
A.zajuli, fiqih jinayah Upaya Menanggulani Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2001), hal.11.
19
tersebut mengenai jiwa harta atau yang lainnya. Sedangkan pengertian sanksi
adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat karena ada
pelanggaran atas ketentuan syara‟.26
Sebagian fuqaha menggunakan istilah jinayah kepada perbuatan yang di
ancam dengan sanksi hudud. Sedangkan qishash tidak termasuk kepada
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan ta‟zir. Berdasarkan pengertian
diatas dapat dinyatakan bahwa fiqih jinayah adalah suatu cabang ilmu yang
membicarakan tentang jenis-jenis hukuman yang diperintah dan dilarang Al-
Quran dan hadis nabi serta hukuman yang akan dikenakan kepada orang-orang
yang akan melanggar baik perintah maupun larangan tersebut.27
2. Macam-Macam Tindak Pidana
Didalam Islam, tindak pidana disabut dengan jarimah, berbeda dengan
hukum konfensional tindak pidana (jarimah) dibagi menjadi tiga bagian yaitu
jarimah hudud,jarimah qisas dan jarimah ta‟zir.
a..Jarimah hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, yaitu
hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak
Allah28
, maka hukuman tersebut tidak memiliki batas terendah dan batas
tertinggi. Maksud hak Allah adalah setiap hukuman yang berhubungan dengan
kepentingan umum. Adapun yang termasuk kedalam jarimah hudud ada tujuh,
yaitu: zina, qadzaf, minum-minuman keras, mencuri, hirabah, murtad dan
pemberontakan.29
b.Jarimah qisas-diyat
Jarimah qisas-diyat merupakan hukuman yang sudah ditentukan oleh
syara‟, perbedaanya dengan had adalah bahwa had adalah hak Allah
26
A. Qodir Audah , at-tasrie Al-Jinayah Al-Islami,juz 1 Dar Al-Kitap Al-ARABI, Tanpa
tahun dan penerbit, hal.76. 27
Asep Saepudin Jahar, dkk., hukum keluarga, pidana dan bisnis, kajian perundang-
undangan Indonesia, fikih dan hukum internasional, (Jakarta: kencana prenada group, 2013),
hal.111. 28
Maksud hak Allah adalah hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh seseorang atau
individu, dalam buku a.zajuli. 29
Ahamad Hanafi, Asas Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005). Hal.14.
20
sedangkan qhisas dan diyad adalah hak manusia. Adapun hak manusia menurut
Mahmud Syaltut adalah suatu hak yang mana mamfaatnya kembali kepada
orang tertentu. Jariamah Qishas-Diyat ada lima macam, yaitu: pembunuhan
sengaja (al-jarh al-amd), pembunuhan tidak sengaja (al-qatl alkhata‟),
penganiayaan sengaja (al-jarh al-amd ) dan penganiayaaan tidak sengaja (al-
jarh al-khata‟).
Adapun dalil jarimah qisas sesuai firman Allah yang berbunyi:
لى ياأي ها الذين ءامنوا كتب عليكم القصاص ف القت
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orng yang dibunuh
Ayat ini berisi hukuman qhishash bagi pembunuh yang melakukan
kejahatan secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan pelaku.
Kalau keluarga korban memaafkan pelaku, maka sanksi qhishash tidak berlaku
dan beralih menjadi hukuman diyat.30
a.Jarimah ta‟zir
Jarimah ta‟zir adalah hukuman yang belum ditentukan oleh syara‟,
melainkan keputusan diserahkan kepada penguasa, baik itu penentuannya
maupun pelaksannanya. Adapun ciri-ciri jarimah ta‟zir adalah :
1.Hukuman tidak ditentukan dan tidak terbatas, maksudnya adalah hukuman
tersebut belum ditentukan oleh syara‟ dan belum ada batas minimal maupun
batas maksimalnya.
2.Penentuan hukuman tersebut diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.31
Tujuan dan syarat-syarat sanksi ta‟zir
30
Nurul Irfan, masyofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta:Amzah,2014). Hal.5. 31
Ahamad Hanafi, Asas Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005).
Hal.100.
21
1. Pencegahan (preventif) ditujukan bagi orang lain yang belum melakukan
jarimah.
2. Membuat pelaku jera (represif) dimaksud membuat pelaku tidak mengulangi
perbuatan jarimah dikemudian hari.
3. Kuratif (islah), ta‟zir harus mampu memperbaiki perilaku terpidana
dikemudian hari.
4. Pendidikan (edukatif) diharapkan dapat mengubah pola hidupnya kearah
yang lebih baik.
Syariat tidak menentukan macam-macam hukuman disetiap jarimah ta‟zir,
tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman dari yang paling ringan
sampai yang paling berat. Maka dari itu hakim diberi kebebasan untuk memilih
hukuman yang sesuai dan juga sanksi ta‟zir tidak mempunyai batas tertentu.
Ta‟zir berlaku atas semua orang yang melakukan kejahatan. Syaratnya
adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan, baik laki-laki maupun perempuan,
dewasa maupun anak-anak, atau kafir maupun muslim.
Dasar hukum disyariatkan ta‟zir terdapat dalam hadis nabi yang artinya
“dari bahz bin hakim dari ayahnya dari kakenya bahwa Nabi solallahu „alaihi
wasallam menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan (HR.
Abu Dawud, al-tarmidzi,Al-Nasa‟i dan Baihaqi.disahihkan oleh Hakim)”
hadist ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan tersangka pelaku
tindak pidana untuk memudahkan proses penyelidikan. Apabila tidak
ditahan,dikhawatirkan orang tersebut melarikan diri, mehilangkan barang bukti
atau mengulangi perbuatan pidana.32
32
Nurul Irfan, masyofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta:Amzah,2014). Hal.140-142.
22
C. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam
1. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif
Akhir-akhir ini terorisme semakin menjadi perbincangan yang hangat di
kalangan masyarakat serta metode terorisme kini semakin beragam, sehingga
semakin jelas bahwa terorisme bukan merupakan bentuk kejahataan biasa
melainkan bentuk kejahatan yang mengguncang perdamaian dan keamanan
umat manusia.
Terorisme merupakan suatu perwujudan dari suatu tindakan yang
digunakan untuk melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil gunanya
adalah untuk mengguncang tatanan politik. Menurut bahasa istilah terorisme
berasal dari bahasa perancis sekitar abad 18 yang mana kata terorisme yang
artinya keadaan teror atau under the terror, berasal dari kata terrere yang
artinya gemetaran33
yang pada awalnya secara historis digunakan untuk
menyebut tindakan pemerintah akibat dari revolusi Prancis yang secara kejam
membantai 40.000 orang yang dituduh melakukan gerakan separatis anti
pemerintah.
Menurut etimologis memiliki banyak pengertian yaitu diantaranya :
a.Sikap menakut-nakuti
b.Menggunakan kekerasan dan intimidasi,terutama untuk tujuan politik.
c.Menjadikan kekerasan sebagai penimbul kekuatan dalam usaha mencapai
tujuan terutama tujuan politik.34
Sedangakn secara terminologis terorisme merupakan :
a.Menurut Fauzan Al-Anshari terorisme merupakan tindakan untuk
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatang belakang
politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara.
b.Terorisme Act 2000,UK, Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan
atau ancaman tindankan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
33
“History and causes of terrorism “ hhtp://en.wikipedia.org/wiki/terrorism. Diakses
tanggal 16 maret 2017 34
Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihad dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta:Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hlm. 79-80.
23
1. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat
terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang tapi bukan
kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi
kesehatan atau keselamatan publik atau bagi sesuatu yang didesain secara
serius untuk campur tangan atau menggangu system elektronik.
2. Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau
untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik.
3. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama, atau
ideologi.
4. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subjek yang melibatkan
senjata api dan bahan peledak.35
c.Menurut koverensi PBB Terorisme adalah Any action intended to cause death or
serious bodily harm to civilians, non combatans, when the purpose of such
act by is nature or context, is to intimidate a population or compel a
government or international organization to do or to abstain from doing any
act , apabila diartikan kedalam bahasa Indonesia maka teroris merukan segala
aksi yang dilakukan untuk menyebabkan kematian atau kerusakan tubuh yag
serius bagi para penduduk sipil, non pejuang atau angkatan bersenjata negara,
dimana tujuan dari aksi tersebut berdasarkan konteksnya adalah untuk
mengintimidasi suatu populasi atau memaksa pemerintah atau organisasi
internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.36
d.Sedangkan menurut KBBI, terorisme merupakan penggunaan kekerasan untuk
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan
politik).37
atau dengan kata lain perbuatan (pemerintahan dan sebagainya) yang
sewenang-wenang (kejam,bengis dan sebagainya), usaha menciptakan
ketakutan,kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Terorisme
35
Abdul Wahid, Dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum,
(Bandung:refika aditama,2009), hlm. 31. 36
Muhammad Asfar, dkk, Islam Lunak Islam Radikal, (Surabaya: Pusat Studi Demokrasi
dan HAM dan JP Press, 2003), hlm. 29-30. 37
KBBI Offline Versi 1.1, freeware c2010,by Ebta Setiawan
24
berarti penggunaan kekuasaan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha
mencapa suatu tujuan (terutama tujuan politik); praktik-praktik tindakan teror.
e.Menurut peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 dan nomor 2
tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa terorisme
adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk
menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi
badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan
kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis,
kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban,rahasia negara,
kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas
umum, atau fasilitas internasional.38
2. Macam-Macam Tindak Pidana Terorisme
Terdapat berbagai model aksi teror yang populer digunakan oleh para
terorisme dalam melancarkan aksinya, diantaranya :
a.Peledakan bom
Taktik ini paling banyak dilakukan oleh teroris pada saat ini karena peledakan
bom ditempat-tempat umum yang strategis dipandang efektif untuk
melahirkan suasanya teror dalam sebuah masyarakat.
b.Ancama atau intimidasi
Dimananpun para pelaku teror berusaha melakukan tindakan yang bersifat
menakut-nakuti atau mengancam masyarakat dengan menggukan kekerasan.
c.Sabotase dan pembajakan
Aksi teror yang satu ini marak dilakukan selama periode 1960-1970, salah
satu contohnya pembajakan yang terjadi terhadap kendaraan yang membawa
bahan makanan adalah taktik yang digunakan oleh kelompok Tupamaros di
Uruguay untuk mendapatkan kesan baik dimata masyarakat sekaligus
menghancurkan propaganda dari pemerintah.
38
Perpu no.1 tahun 2002.
25
D. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Islam
Agama Islam merupakan rahmatan lil-alamin, agama yang diridhai Allah
SWT sebagai petunjuk bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan baik didunia
maupun diakhirat. Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW dengan
membawa agama Islam didalam kehidupan manusia sebagai rahmat dan
kenikmatan yang besar bagi manusia bukan suatu musibah yang membawa
malapetaka.
الي علمون ومآأرسلناك إال كآفة للناس بشريا ونذيرا ولكن أكث ر الناس
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya,
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. [QS. Saba‟ : 28]
Hampir segolongan besar ulama menolak adanya hubungan antara Islam
dan terorisme. Ajaran Islam sendiri dipandang menajarkan toleransi dan
perdamaian, terlepas dari penolakan tersebut pada kenyataannya menunjukkan
bahwa ada kelompok-kelompok di dalam Islam yang menggunakan simbol Islam
dalam mencapai tujuan, termasuk melalui cara-cara terorisme. Terorime
merupakan fenomena internasional yang tidak memiliki batas teritorial.
Termanifestasi dalam berbagai bentuk diantaranya karena fanatisme terhadap
agama. Terorisme juga bermotif lain seperti oposisi terhadap pemerintah.39
Dalam hukum pidana Islam, terorisme dimasukkan kedalam golongan
jarimah al-baghyu (pemberontak), dikarenakan tujuan inti dari tindakan terorisme
adalah untuk mengguncang tatanan pemerintahan yang sah. Sebagaimana
pendabat beberapa kalangan yang mengatakan sebagai berikut;
Menurut ulama kalangangan hambaliyah al-baghyu adalah sekelompok
orang yang keluar dari ketundukan terhadap penguasa, walaupun penguasa itu
tidak adil sekalipun dengan alasan yang kuat. Kelompok ini memiliki kekuatan
39
Muhammad Asfar, dkk, Islam Lunak Islam Radikal, (Surabaya: Pusat Studi Demokrasi
dan HAM dan JP Press, 2003) , hlm. 57.
26
walaupun didalamnya tidak terdapat tokoh yang ditaati.40
Hampir sejalan dengan
kalangan ulama hambaliyah, para fuqaha41
berpendapat bahwa peberontak ialah
sekelompok orang yang menentang penguasa. Orang-orang tersebut keluar dari
ketundukan dengan dengan cara menolak melakukan kewajiban-kewajiban yang
seharusnya ia lakukan atau dengan cara lainnya.42
Suatu perbuatan dapat dikatakan jarimah baghyu apabila memiliki tiga
unsur yaitu;
1. Memberontak terhadap pemerintah yang sah maksudnya adalah perbuatan
untuk melenserkan pemimpin negara yang sah dari jabatannya. Para
pemberontak tidak mau mematuhi undang-undang dan tidak mau mematuhi
kewajiban mereka sebagai warga negara.
2. Dilakukan secara demonstratif maksudnya adalah perlawanan
menggunakan senjata. Oleh karena itu, menurut ulama fiqh sekedar
menolak kepala negara yang telah diangkat secara aklamasi tidak
dinamakan al-baghyu.
3. Termasuk perbuatan pidana, maksudnya usaha untuk menggulingakn
pemerintah yang sah dan berdaulat dengan cara mengacau ketertiban
umum. Apa bila tindakan para pelaku itu tidak menjurus pada
penggulingan pemerintah dan tidak pula melakukan tindakan pidana
seperti membunuh, merampas dan memperkosa maka ulama fiqh
menyatakan bahwa itu tidak termasuk tindakan al-baghyu.
Jika kita lihat tindakan teror yang terjadi di Indonesia belakangan ini yang
disibukkan dengan isu terorisme yang visi,misi dan tujuannya tidak konkret. Jika
memang tidak ada tujuan untuk menggulingkan kepala negara maka jarimah yang
dilakukan kelompok terorisme itu tidak masuk pemberontakan. Namun, bukan
berarti para teroris itu dapat dibebaskan begitu saja, bisa saja mereka dijatuhi
hukuman mati sebagai ta‟zir bukan sebagai hudud.
40
Abdul Qadir Audah, al tasyri‟ al jina‟i al Islami, jilid II, hal.674 41
Fuqaha adalah kata majemuk bagi faqih,yaitu seorang ahli fiqh. Fiqh adalah bidang
jurisprudence atau hukum-hukum menyangkut peribadatan ritual baik perseorangan atau dalam
kontek sosial umat islam. 42
Mahyuddin abu zakariya yahya bin al abbas ahmad ibnu murri al nawawi, Tahdzid Al
Asma‟ wa Al Lughat,(Beirut: Dar Al Kutup Al Ilmiyah),jilid III. Hal.674.
27
Hukum Islam tentang terorisme diperlakukan tegas dan keras terinci dalam
keputusan Majelis Hai‟ah Kibar Ulama (Lembaga Ulama Besar) N0. 148 tanggal
12/1/1409 H (9/5/1998 M) dengan persetujuan dan tanda tangan anggota majelis.
Hal-hal yang diputuskan oleh majelis, diantaranya sebagai berikut:
1. Yang terbukti secara syar‟i melukan perbuatan terorisme dan membuat
kerusakan di muka bumi yang menyebabkan kerusakan dan keamanan,
hukumannya adalah dibunuh berdasarkan kandungan yang tertera dalam
ayat suci Al-Qur‟an.
2. Sebelum dibunuh seperti poin yang diatas, pelaku harus menyelesaikan
administrasi di pengadilan syari‟at, Hai‟ah At-Tamyiz dan Mahkamah
Agung dalam rangka pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Apabila dikaji lagi akan ada benang merah antara jihad dengan terorisme,
para pelaku teror akan mengatkan tindakan mereka adalah jihad tapi pada
kenyataannya perbuatan jihad yang mereka lakukan bersifat destruktif dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip jihad yang disyariatkan sehingga bisa
dikategorikan sebagai terorisme.43
MUI berpendapat bahwa jihad dan terorisme sangat berbeda diantaranya;
1. Segi sifat, terorisme selalu mendatangkan kerusakan (ifshad) dan anarkis
atau chaos (faudha) yang berdampak terhadap masyarakat. Sedangkan
Jihad bersifat melakukan upaya-upaya menuju perbaikan (islah) sekalipun
dalam bentuk peperangan. Oleh karena itu, perang yang dilakukan dalam
rangka aplikasi jihad lebih menekankan pada kemaslahatan umat dan
meminimalisasi kerusakan sarana dan prasarana serta lingkungan di
wilayah yang menjadi sasaran perang
2. Segi tujuan, terorisme memiliki karakteristik untuk menciptakan dan
membangkitkan kepanikan dalam masyarakat dan pemerintah. Sebaliknya,
jihad semata-mata berupaya menegakkan agama Allah dan melindunginya
dari berbagai intervensi pihak-pihak yang ingin mendiskreditkan, menodai
dan bahkan mungkin menghancurkan agama tersebut. Jihad juga
43
Nurul Irfan, masyofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta:Amzah,2014). Hal.61-71.
28
mempunyai misi membela hak-hak individu maupun masyarakat yang
terzalimi.
3. Segi aksi,tindakan terorisme biasanya dilancarkan tanpa mempertimbangkan
aturan dari nilai-nilai normatif serta tidak memiliki misi dan sasaran yang
jelas tentang obyek atau sasaran serangan. Berbeda halnya dengan
operasional jihad yang memuat aturan-aturan dan prinsip peperangan,
diantaranya sasaran serangan harus jelas yakni terhadap musuh yang
menyerang, sehingga bisa menghindari korban dari kelompok yang
memiliki hak perlindungan keamanan antaralain, warga sipil dan yang
bukan pejuang, perempuan, anak-anak, pendeta dan manula.44
Dalam kaidah hukum Islam disebutkan bahwa hukum Islam dapat
diberlakukan kepada siapa saja dalam dar as-salam. Dalam kaidah lain disebutkan
bahwa suatu perbuatan tidak akan dikenai hukuman kecuali berdasarkan nash.
Nash disini mengikat dan berlaku terhadap pelaku dan tempat melakukan
perbuatan tersebut.
Imam malik asy-Syafi‟i dan imam Ahmad berpendapat bahwa hukum
Islam dapat diterapkan atas segala kejahatan yang dilakukan di mana saja selama
tempat tersebut termasuk daerah dar as-salam baik pelakunya seorang muslim,
zimmi (karif mardeka yang hidup di daulah islamiyah) maupun musta‟min (orang
yang datang dari negara kafir yang mendapat jaminan dari penguasa atau umara‟).
Lain halnya dengan kejatahan terorisme, tindakan tersebut dilakukan di Daarul
Baghyi yakni negeri yang mana sebuah kelompok bughat (pemberontak) atau
khawarij menyendiri pada suatu wilayah di dalam negara Islam dan mereka
independen menjalankan hukum-hukum di sana. kebalikan dari darul baghyi ini
adalah Daarul Adl suatu negeri yang berada dibawah kekuasaan Imam kaum
muslimin.
44
Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihad Dalam Perspektif Hukum Islam,(Jakarta:Baligbang
Depag, 2009),hal.205-209
29
Allah SWT menjaga manusia, agama, badan, jiwa, kehormatan, akal, dan
harta bendanya dengan disyari‟atkan hudud (hukum-hukum ganjaran) dan uqubah
(hukuman balasan) yang akan menciptakan keamanan yang umum dan khusus45
.
Allah SWT berfirman
ا جزاؤا الذين ياربون اهلل ورسوله ويسعون ف األرض فسادا أن لوا أو يصلبوا أوت قطع أيديهم إن ي قت
ن يا ولم ف األخرة عذاب ف الد ن خالف أو ينفوا من األرض ذلك لم خزي يم وأرجلهم م ع
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik
(secara bersilangan), atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka
di akhirat siksaan yang besar”. (QS. al-Mâ`idah : 33).
45kitab Al-Ihrab Wa Atsaruhu Alal Afrad Wal Umam, Edisi Indonesia Terorisme Dalam
Tinjauan Islam, oleh Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly, penerjemah Hannan
Bahanan, Maktabah Salafy Press.
30
BAB III
ASAS RETROAKTIF DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF
A. Asas Retroaktif Menurut Hukum Positif
1. Pengertian Asas Retroaktif
Sebelum kita bembahas lebih lanjut tentang asas legalitas dan retroaktif,
penulis akan menguraikan sedikit tentang pengertian asas dalam istilah ilmu
hukum. Menurut Paton, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan
secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum. Berdasarkan
pendapat Paton yang demikian dapat dikatakan bahwa adanya norma hukum
itu berlandaskan pada suatu asas. Sehingga setiap norma hukum harus dapat
dikembalikan pada asas. Pendapat senada diungkapkan oleh Van Erkema
Hommes bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma
hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum
atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum
praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Pendapat lain
tentang asas hukum sebagaimana dikemukakan oleh Ron Jue bahwa asas
hukum merupakan nilai-nilai yang melandasi kaidah hukum.46
Selanjutnya penulis memaparkan sedikit tentang asas legalitas atau non
retroaktif yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi “ tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundangan-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”47
Asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anselm Von Feurbach (1775-
1883), ia merupakan seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya
Lehrbuch Des Penlichen Recht pada tahun 1801.48
Asas legalitas adalah
Nullum Crime Sine Lege (tiada kejahatan tanpa undang-undang), Nulla Poena
46
https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/download/16160/10706 , diakses pada hari Kamis, 03
Agustus 2017 jam 12:25. 47
KUHP
48 Eddy O.S Hiarej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Pidana,(Surabaya: Bayu Media,
2007), hal.7.
31
Sine Crimine(tiada pidana tanpa kejahatan), Nullum Crime Sine Lege Praevia
(tiada kejahatan tanpa undang-undang sebelumnya), larangan untuk
menerapkan “Ex post facto criminal law” dan penerapan non retroactive
application of criminal laws and criminal sanction serta lex certa (undang-
undang harus dirumuskan sesempit, sejelas dan setajam mungkin serta
dipercaya).49
Sedangkan menurut Rammelink, asas legalitas adalah een vaderlichte
voorkeur voor de beweging van de grotere rechtsbescherming, tetapi dalam arti
het gezuchpunt moet kunnen domineren wanner dat ten bate van de
rechtsgemeentschap onvermijdelijk is atau asas perlindungan hanya
mempunyai prevensi sangat sedikit tetapi pendapat terbanyak menyatakan
bahwa demi masyarakat hukum tidak dapat dihindarkan.50
Asas legalitas yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 KUHP merupakan
asas mengenai ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu yang terdiri
dari dua asas, yaitu:
1. Asas mengenai berlakunya hukum pidana pada waktu delik terjadi atau
dilakukan yang diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang dikenal dengan asas
lex temporaris delicti atau asas non retroaktif.
2. Asas mengenai berlakunya hukum pidana pada waktu ada perubahan
undang-undang atau dalam masa transisi yang diaur dalam pasal 1 ayat 2
KUHP yang dikenal dengan asas retroaktif.51
Dasar pokok dari segala ketentuan hukum pidana disebut asas legalitas
atau nama lainnya asas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali,
49
http//www.ma.ri.go.id, tentang Naskah Akademis Penelitian Hak Asasi Manusia ,2003,
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkama Agung Republik Indonesia. Di akses pada hari kamis
tanggal 03 agustus 2017,jam 14:22 50
Komaria Emong Supardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Pidana
Indonesia, studis kasus tentang penerapan dan perkembangan dalam yurisprudensi,(Bandung:
Alumni, 2002), hal. 6. 51
http//www.ma.ri.go.id, tentang Naskah Akademis Penelitian Hak Asasi Manusia ,2003,
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkama Agung Republik Indonesia. Di akses pada hari kamis
tanggal 03 agustus 2017,jam 15:14
32
yang maksudnya sama dengan pasal 1 atat 1 KUHP diatas.52
Asas legalitas
pada dasarnya mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menemukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Arutan-aturan pidana tidak boleh berlaku surut.53
Selanjutnya dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), memberi definisi
bahwa retroaktif adalah “bersifat berlaku surut terhitung tanggal di
undangkannya”54
mempunyai arti bahwa undang-undang berlaku surut atau
kembali pada masa sebelumnya dimulai sejak undang-undang tersebut ditetapkan
atau asas retroaktif merupakan suatu peraturan hukum tertulis dapat diberlakukan
terhadap suatu kejadian atau peristiwa yang dilakukan seseorang sebelum
peraturan hukum tertulis tersebut dibuat atau ada dan apabila seseorang
melakukan tindak kejahatan terjadi perubahan atau penggantian terhadap
peraturan hukum yang ada.55
Kata retroaktif jarang digunakan di Indonesia
karena untuk dapat menerapkan suatu peraturan dapat berlaku surut membutuhkan
perangkat hukum yang luar biasa (extra legal instrument) dan tidak dapat
diterapkan disetiap tindak pidana yang terjadi.56
sedangkan dalam buku A Rosa Nasution memberi pengertian sebagai
berikut “law that retroactive changes the legal consequencs of actscommited or
the legal status of facts and relationships thet exixted prior to the enactment of the
law” atau hukum yang berlaku surut mengubah akibat hukum terhadap tindakan
yang dilakukan atau mengubah status hukum dan hubungan yang ada sebelum
berlakunya hukum, dari pengertian tersebut hukum yang diterapkan secara
retroaktif atau berlaku surut mengubah akibat hukum dari tindakan yang
52
Sudrajat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu didalam kitap undang-undang hukum
pidana, (bandung: Remadja Karya cv Bandung,1986), hal.3. 53
C.S.T.Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001), hal.75. 54
KBBI Offline Versi 1.1, freewere c2010 by ebta setiawan. 55
http//www.ma-ri.go.id tentang naskah akademik penelitian hak asasi manusia ,puslitbang
hukum dan peradilan mahkama agung republik Indonesia, 2003,hal.70, diakses pada hari senin
tanggal 21/8/2017, jam 11:30.
33
dilakukan atau status hukum dari perbuatan dan hubungan yang terjadi sebelum
penetapan undang-undang57
.
Sejalan dengan pengertian diatas Wikipeda mendefenisikan retroaktif
sebagai berikut, berlaku surut (Bahasa Latin: ex post facto yang berarti "dari
sesuatu yang dilakukan setelahnya"), adalah suatu hukum yang mengubah
konsekuensi hukum terhadap tindakan yang dilakukan atau status hukum fakta-
fakta dan hubungan yang ada sebelum suatu hukum diberlakukan atau
diundangkan. Dalam kaitannya dengan hukum kriminal, hukum retroaktif dapat
diterapkan pada suatu tindakan yang legal atau memiliki hukuman yang lebih
ringan sewaktu dilakukan.58
Bagir Manan berpendapat bahwa asas retroaktif adalah penerapan ketentuan
hukum yang baru terhadap peristiwa hukum sebelum peraturan perundang-
undangan yang baru tersebut ditetapkan.59
2. Faktor Pendorong Munculnya Asas Retroaktif
Jika diartikan secara sempit maka pemberlakuan asas retroaktif hanya
terbatas pada undang-undang baru yang menciptakan delik baru dan terbatas pada
delik baru yang mempunyai kriteria perbuatan-perbuatan yang membahayakan
kelansungan hidup bernegara, berbanga dan bermasyarakat. Akan tetapi jika
diartikan secara luas, retroaktif berarti berlaku surut dan ini berarti berlaku untuk
pembicaraan yang mana proses pidana berada pada masa transisi atau tidak ada
peraturan pidana sebelum perbuatan dilakukan. Dengan demikian, ketentuan pasal
1 ayat (2) KUHP merupakan aturan peralihan yang bersifat umum.
Pemberlakuan asas retroaktif merupakan pengecualian dari asas legalitas
atau principle of legality atas dasar extra ordinary crime. Dengan demikian
pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang dilandasi oleh prinsip keadilan
untuk semua dalam arti, baik keadilan bagi pelaku tindak pidana maupun keadilan
bagi korban tindak pidana merupakan penyeimbang asas legalitas yang semata-
57
A. Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, dalam
perspektif hukum internasional dan hak asasi manusia, (Jakarta: kencana, 2012), hal.274 58
https://id.wikipedia.org/wiki/Retroaktif. Di akses pada hari sabtu 29 juli 2017,jam 11:40. 59
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (yogyakarta:FH UII PRESS, 2004), HAL.39.
34
mata berpatokan kepada kepastian hukum dan asas keadilan untuk semua.
Sehingga pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif dalam kondisi tertentu,
seperti kepentingan kolektif baik kepentingan masyarakat, bangsa, maupun negara
yang selama ini kurang mendapat perlindungan dari asas legalitas dapat diterima
guna memenuhi tuntutan moral pembalasan masyarakat.60
Pemberlakuan asas retroaktif sebagai pengecualian dari asas legalitas
merupakan pergeseran paradigma bagi pemberlakuan hukum di Indonesia.
Pemberlakuan asas retroaktif ini menjadi penting setelah terjadinya peristiwa bom
Bali pada tahun 2002.61
Hukum pidana Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas
sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Salah satu konsekueni dari
ketentuan pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-
undangan pidana atau dikenal dengan asas retroaktif. Larangan atas asas
retroaktif ditegaskan dalam pasal 28 I ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang
berbunyi “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang belaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikuragi dalam keadaan apapun”62
. Adapun dasar pemikiran dari larangan tersebut
adalah:
a. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan
penguasa.
b. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psicologische dwang dari
Anselm von Feurbach).
Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak
pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak
berbuat.
60
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya,2008), hal.14.
61 Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),
hal. 1. 62
UUD 1945.
35
Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun
dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, asas legalitas ini tidak
belaku mutlak, artinya dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif jika hanya
dalam hal-hal tertentu saja. Pemberlakuan surut diijinkan jika sesuai dengan
ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP yang menyebutkan “bilamana ada perubahan
dalam perundang-undangan sesudah perbuatan yang dilakukan, maka terdakwa
ditetapkan ketentuan yang paling menguntungkan”.
Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika:
a. Menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang
ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan tindak pidana.
b. Menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman
atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakuakan (pasal 11
ayat 2 deklarasi universal HAM) yang mengatakan “tidak seorangpun
dapat disalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau
kelalaian yang tidak merupakan tindak pidana nasional atau
internasional tidak diperkenankan melakukan hukuman lebih berat dari
pada hukum yang harus dikenakan”63
Asas retroaktif dapat diterapkan apabila memenuhi syarat berikut:
a. Kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat
kekejaman dan destruksi (pemusnahan) setara dengannya.
b. Peradilan bersifat internasional, bukan bersifat nasional.
c. Peradilan bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen.
d. Keadaan hukum negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena
sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau
kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat
kekejaman dan destruksinya setara dengannya.64
63
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, 10 Desember 1948 64
Agus Raharjo, problematika asas retroaktif dalam hukum pidana indonesia, dalam jurnal
dinamika hukum, 2008, Vol. 8, no. 1, hal. 15.
36
Sedangkan Adam Chazawi mengatakan dalam bukunya bahwa asas
retroaktif dapat diberlakukan apabila memenuh unsur berikut:
a. Harus ada perubahan perundang-undangan mengenai suatu perbuatan.
b. Perubahan itu terjadi setelah perbuatan dilakukan.
c. Peraturan yang baru lebih menguntungkan atau meringankan bagi
pelaku.65
Para ahli berpendapat asas retroaktif dimungkinkan dengan pembatasan
tertentu, diantaranya:
a. Ifdal kasim (ELSEM), berpendapat bahwa sangat mengkhawatirkan jika
pemberlakuan asas retroaktif didalam undang-undang pengadilan HAM
bebas berkeliaran tanpa proses peradilan yang jelas.
b. Muladi, berpendapar bahwa walaupun pemberlakuan asas retroaktif
melahirkan perdebatan (debatable) namun sisi positif dari pemberlakuan
undang-undang pengadilan HAM (UU No.26 Tahun 2000) adalah
bentuk mengakhiri praktek (impunity) yaitu pengabaian tanpa
memberikan hukuman bagi para pelanggar HAM berat tanpa
pengecualian.
c. Artidjo Alkostar (hakim agung di Mahkama Agung RI), berpendapat
bahwa asas retroaktif dibenarkan oleh hukum nasioanal maupun
internasional sepanjang menyangkut kejahatan nasional maupun
internasional terutama kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against
humanity) karena kejahatan ini merupakan musuh bagi seluruh umat
manusia maupun kejahatan yang paling serius bagi eksistensi umat
manusia, principle of justice atau prinsip keadilan adalah dasar
berlakunya asas retroaktif, tanpa prinsip tersebut maka banyak penjahat
kemanusiaan yang tidak dapat diadili dan akan menimbulkan banyaknya
pelanggaran HAM berat.
65
Adam Chazawi, Pelajarang Hukum Pidana Bagian I: Sel-sel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-teori pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002),
hal.177.
37
d. Sumaryo Dirdjosisworo, dalam bukunya “Pengadilan Hak Asasi
Manusia Indonesia” berpendapat bahwa pemberlakuan asas retroaktif
dapat dilakukan dengan menggunakan pasal 28 huruf j Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.66
Jadi kalau larangan berlaku surut dipandang sebagai penegak kepastian
hukum bagi pelaku tindak pidana, maka hal ini harus dijaga dengan baik jangan
sampai seseorang mendapat perlakuan berupa hukuman pidana berdasarkan suatu
perbuatan yang pada waktu itu tidak disertai sanksi pidana.67
Jika dilihat dari sisi
hukum pidana internasional bahwa asas retroaktif boleh diberlakukan dari
beberapa peristiwa tertentu sekalipun terdapat pendapat pro dan kontra tentang hal
tersebut. Diantara pendapat yang tidak memperbolehkan berlakunya asas
retroaktif tersebut diantaranya karena ada anggapan bahwa asas tersebut
merupakan wadah dari political revenge (politik balas dendam) sehingga asas
retroaktif dikatakan sebagai refleksi dari lex talionis (balas dendam). Larangan
mengenai asas retroaktif ini merupakan derogable rights (hak-hak yang tidak
dapat ditangguhkan atau dikurangi).68
Terdapat pengecualian dalam konvensi internasional tentang hak-hak sipil
dan politik, apabila telah memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Jika ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi
darurat yang mengancam negara.
b. Penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada
diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal
usul sosial.
c. Pembatasan dan pengaruh yang dimaksud harus dilaporkan kepada
PBB.69
66
Putusan Mahkama Konstitusi , perkara No. 056 / PUU-II/ 2004. Hal. 23. 67
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Rafika Aditama,
2003), hal.44. 68
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya,2008), hal. 8. 69
Shinta Agustina, Hukum Pidana International dalam Teori dan Praktek, (padang:
Andalas University press, 2006. Hal. 64.
38
P emberlakuan asas retroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam pidana
Indonesia karena berbagia alasan, diantaranya:
a. Ketentuan internasional memberikan peluang untuk memberlakukan asas
retroaktif, sebagaimana telah diterapkan melalui pengadilan ad hoc di
Nuremberg (1946) dan Tokyo (1948).
b. Asas retroaktif merupakan alat untuk mengahadapi kejahatan yang tidak
dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP
maupun diluar KUHP, sehingga tidak ada pelaku kejahatan yang lolos
dari jerat hukum.
c. pemberlakuan asas retroaktif merupakan cermin dari asas keadilan, baik
terhadap pelaku maupun korban.
d. Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime).70
Asas retroaktif sendiri terkandung dalampasal 1 ayat 2 KUHP yang
berbunyi “Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-
undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.71
Jadi, jika ada perbedaan antara ketentuan pidana yang kemudian berlaku
pada waktu tindak pidana yang sama diperiksa di pengadilan, maka ketentuan
pidana yang paling ringan harus diterapkan.72
Dalam KUHP Belanda
disebutkan bahwa ketentuan yang paling menguntungkan atau gunstige
bepalingen tidak hanya berkaitan dengan pidana saja, namun juga segala
sesuatu yang mempunyai pengaruh atau penilaian terhadap suatu tindak
pidana. Sehingga secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa paling
menguntungkan adalah:
a. Pengurangan ancaman pidana.
70
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Internasional 2, (Jakarta: Hecca Mitra Utama,
2007), hal. 56. 71
KUHP 72
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga,
2009), hal.34.
39
b. Penghapusan sifat dapat dipidana suatu perbuatan dengan ketentuan
sebagai berikut
1. Adanya pencabutan pidana.
2. Penambahan bagian (bestanddeel) yang baru dalam rumusan
ketentuan pidana, sehingga memungkinkan perbuatan terdakwa
tidak termasuk lagi sebagai tindak pidana.
c. Menghapuskan sifat yang dituntut.73
Berbada halnya dengan Van Hammel bahwa kata “menguntungkan bagi
terdakwa” diantaranya ialah:
a. Semua ketentuan dalam hukum materiil yang mempunya pengaruh
terhadap penilaian hukum pidana mengenai suatu perilaku.
b. Syarat-syarat tambahan mengenai hak untuk melakukan penuntutan
dan mengenai hak menjatuhkan hukuman.
c. Jenis hukuman.
d. Lama hukuman yang telah dijatuhkan.
e. Ketentuan mengenai delik aduan.
f. Ketentuan mengenai penuntutan menurut hukum pidana.
Simons berpendapat bahwa ketentuan yang paling menguntungkan meliputi:
a. Hal dapat dihukumnya perbuatan itu sendiri.
b. Bentuk-bentuk pertanggung jawabannya.
c. Syarat-syarat mengenai dapat dihukumnya suatu perbuatan.
d. Jenis hukumannya.
e. Berat ringan hukuman yang dijatuhkan.
f. Pelaksanaan hukuman.
g. Batalnya hak untuk melakukan penuntutan.
h. Masalah daluwarsa74
73
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Press,2012), hal.278. 74
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:Citra Aditya,1997),
hal.172.
40
Sedangkan Jonkers berpendapat bahwa ketentuan yang menguntungkan
bukan hanya dalam hal pidana, namun termasuk pula kedalam hal-hal yang
berkaitan dengan penuntutan, pengurangan jangka waktu verjaring, dan keadaan
bahwa hal tersebut delik aduan.75
Penulis berpendapat bahwa, walaupun negara Indonesia menganut asas
legalitas tapi dalam keadaan tertentu asas tersebut tidak dapat diterapkan maka
dari itu dipergunakan asas retroaktif. Asas retroaktif tersebut hanya bisa
diterapkan apabila keadaan hukum berada pada masa transisi dan diberlakukan
untuk pelanggar HAM berat dengan syarat ketentuan yang baru lebih
menguntungkan dan meringankan bagi pelaku.
B. Asas Retroaktif Menurut Hukum Islam
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
sehingga islam memberikan persamaan derajat dimuka hukum. Bentuk jaminan
Islam terhadap kedamaian umat manusia adalah dengan adanya maqashid syariah
atau lima jaminan dasar yaitu :
1. keselamatan keyakinan agama semua orang tanpa adanya paksaan
untuk berpindah agama.
2. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan diluar ketentuan
hukum.
3. Keselamatan akal
4. Kehormatan keluarga dan keturunan.
5. Keselmatan harta benda.
Retroaktif dalam pandangan hukum Islam sama pandangan dengan hukum
positif, dimana suatu hukum atau ketentuan dapat berlaku kembali ke masa lalu
setelah perbuatan dilakukan. Meskipun pada dasarnya peraturan pidana Islam itu
tidak berlaku surut, namun dalam keadaan tertentu bisa dikecualikan, diantaranya
adalah:
75 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 152.
41
1. Pada jariamah yang sangat berbahaya dan mengancam ketertiban
umum
Ada beberapa jarimah yang ditetapkan berlaku surut, artinya perbuatan
tersebut dianggap tindak pidana dan pelakunya dikenakan hukuman walaupun
belum ada nash yang melarangnya. Alasan diterapkannya pengecualian berlaku
surut karena tindak pidana yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak
diterapkan sehingga akan terjadi kekacauan dan kehebohan. Tindak pidana dalam
Islam yang dibolehkan menggunakan asas retroaktif adalah jarimah qadzaf dan
hirabah yang dikenakan hubungan atas peristiwa-peristiwa yang telah terjadi
sebelum adanya nash yang melarangnya.
1.Qadzaf
Nash tentang qadzaf dan hukumannya tercantum dalam dalam surat
an-Nur ayat 4 yang berbunyi:
والت قب لوا والذين ي رمون المحصنات ث ل يأتوا بأرب عة شهدآء فاجلدوهم ثانني جلدة لم شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik. (QS. 24:4)
Ayat tersebut diturunkan setelah adanya peristiwa fitnah atas diri Aisya,
dimana beliau dituduh berzina dengan Shafwan. Tuduhan ini ternyata hanya
fitnah. Tindakan terhadap para penuduhnya, Nabi memberikan hukuman had
sebagaimana yang diterangkan dalam surat an-Nur tersebut, walaupun tuduhan
tersebut terjadi sebelum turunnya nash. Sehingga dengan kata lain nash mengenai
jarimah qadzaf dan hukumannya ini berlaku surut, alasnnya adalahnya tuduhan
tersebut mengancam ketertiban umum dan menimbulkan kehebohan dikalangan
kaum muslim, bahkan hampir tejadi pertengkaran dikalangan Aus dan Khajraz
karena fitnah tersebut. Penjatuhan hukuman ini dengan sendirinya menimbulkan
42
ketenangan kembali dan mengembalikan nama baik korban serta menghapuskan
kesan buruk dari masyarakat.
1. Hirabah
Ketentuan tentang jarimah hirabah dan hukumnya tercantum dalam surat
Al-Maidah ayat 33 yang berbunyi:
ا لوا أو يصلبوا أوت إن قطع جزاؤا الذين ياربون اهلل ورسوله ويسعون ف األرض فسادا أن ي قت ن يا ولم ف األ ف الد ن خالف أو ينفوا من األرض ذلك لم خزي خرة أيديهم وأرجلهم م
يم عذاب ع
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya danmembuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang
besar, (QS. 5:33)
Tentang sebab turunnya ayat tersebut para ulama berbeda pendapat,
menurut sebagian riwayat ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang
kabilah Urainah yang datang ke Madinah tetapi merela tidak betah tinggal disana.
Ketika mereka akan kembali kedaerahnya, Rasulullah memberikan bantuan
kendaraan unta dan pengembalanya, mereka dibolehkan untuk minum air susu
unta tersebut. Sewaktu dalam perjalanan pulang mereka menyalahgunakan
kesempatan yang diberikan Rasulullah. Mereka membunuh para pengembalanya
dan membawa lari unta-unta tersebut. Ketika Rasulullah mendengan peristiwa
tersebut, beliau memerintahkan untuk mengejar mereka dan akhirnya mereka
ditangkap. Kemudian Rasulullah menjatuhkan hukuman kepada mereka
berdasarkan ketentuan ayat tersebut.
Tujuan utama dari pemberlakuan surut adalah untuk memelihara
keamanan dan ketentraman masyarakat, namun berlakunya surut tersebut hanya
43
terbatas pada jarimah-jarimah yang dinilai berbahaya dan sangat mengganggu
kepentingan umum.76
2. Menguntungkan tersangka
Agama islam juga mengatur apabila ada ketentuan baru yang lebih ringan
tentang hukuman yang akan dijatuhkan sebagia akibat dari melakukan tindak
pidana, hukuman tersebut harus diberlakukan kepada belaku walaupun kejahatan
tersebut ia lakukan ketika sanksi lama masih berlaku. Apabila pelaku tindak
pidana tersebut telah diberikan sanksi berdasarkan aturan yang lama, maka ia
tidak dibenarkan diberi sanksi berdasarkan aturan yang baru karena sanksi
dimaksud untuk menjaga agar kejahatan tidak terulang dan keamanan masyarakat
terjamin. Oleh karena itu, hukuman harus disesuaikan dengan kadar kemaslahatan
yang akan dicapai walaupun menurut aturan baru hukumannya lebih ringan, dilain
sisi hukuman yang lebih berat belum tentu menjadi jalan untuk tercapainya
keamanan. Sebaliknya, apabila peraturan yang baru berisikan hukuman yang lebih
berat daripada peraturan yang lama maka peraturan baru itu tidak berlaku surut
dan tersangka tetap diadili berdasarkan peraturan yang lama.77
Contohnya adalah
yang terjadi pada kasus Aws Shamit dengan istrinya Khawlah Binti Tsa‟labah. Ia
berkata kepada istrinya “engaku bagaikan tulang punggung ibuku”, kemudian
istrinya menghadap Rasul dan melaporkan bahwa hubungannya dengan suaminya
sudah lama sekali dan suaminya telah menabur benih dalam perutnya, namun
ketika umurnya sudah tua dan suaminya malah menziharnya. Rasulullah bersabda
“kamu haram untuk bersatu dengannya”, ia berkata “aku akan mengadu kepada
Allah sebab Dialah tempat meminta segala kebutuhanku”. Kemudian turunlah
wahyu yang QS al-Mujadalah ayat 1-4 yang berbunyi:
76
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hal. 50-51 77
Abd Al-Qadir Awdah, Al-Tasri Al-Jina‟i Al-Islami, (Kairo; Maktabah Dar Al-Ubara,
1968), hal. 271.
44
ع اهلل ق ول الت تادلك ف زوجها وت يع بصري قد س شتكي إل اهلل واهلل يسمع تاوركمآ إن اهلل سهات هم إال الئى ولدن هم وإ 1} هاتم إن أم اهن أم ن نسآءهم م ن هم { الذين ياهرون منكم م
ن القول و { والذين ياهرون من نسآئهم ث ي عودون 2زورا وإن اهلل لعفو غفور }لي قولون منكرا ما ذلكم توعون به واهلل با ت عملون خبري } ن ق بل أن ي تمآس د 3لما قالوا ف تحرير رق بة م { فمن ل ي
ا فمن ل يستطع فإطعام ستني مسكينا ذلك لت ؤمن فصيام وا باهلل شهرين متتابعني من ق بل أن ي تمآس ورسوله وتلك حدود اهلل وللكافرين عذاب أليم
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada
Allah.Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (1)Orang-orang yang menzihar isterinya di
antara kamu, (menganggap isterinya bagai ibunya, padahal) tiadalah isteri
mereka itu ibu-ibu mereka.Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka.Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan
suatu perkataan yang mungkar dan dusta.Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf
lagi Maha Pengampun. (2)Orang-orang yang menzihar isteri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri
itubercampur.Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (3)Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur.Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi
makan enam puluh orang miskin.Demikianlah supaya kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya.Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih. (4)
Menurut hukum yang berlaku pada masa jahiliyah, sanksi bagi yang
melakukan zihar adalah perpisahan dengan istrinya selamanya. Sedangkan sanksi
yang diterapkan dalam islam adalah khifarat. Apabila dibandingakn dengan sanksi
yang ada pada zaman jahiliah, sanksi zihar dalam Islam lebih ringan. Ketentuan
45
tersebut memperlihatan bahwa Islam mementingkan kemaslahatan dan menjaga
ketentraman masyarakat.78
C. Faktor-Faktor Terbentuknya Perpu Tindak Pidana Terorisme
Peraturan perundang-undangan yang berlaku sampi saat ini belum secara
memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme, oleh karena itu pemerintah
membuat peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang belum termuat dalam
KUHP. Dalam hal ini pemerintah diberi kewenangan untuk membuat Perpu
(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) dengan ketentuan norma
hukum yang hendak dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan
tersebut benar-benar telah disusun berdasarkan pemikiran matang yang semata-
mata untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan.79
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan salah satu
hukum tertulis yang tergabung dalam hierarki peraturan perundang-undangan,
maksudnya adalah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.80
Hierarki menurut undang-undang no 12 tahun 2011 pasal 7 undangan terdiri
atas :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4. Peraturan Pemerintah.
5. Peraturan Presiden.
6. Peraturan Daerah Provinsi.
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota81
.
78
Rachmat Syafe‟i, Asas Retroaktif dalam Perspektif Hukum Islam, 2010, Vol.XII, no. 1,
hal. 77. 79
Jimly Asshiddqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, (Jakarta: Serikat Jenderal
Mahkama Konstitusi Republik Indonesia,2006), hal. 320. 80
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 37. 81
UU No 12 tahun 2011.
46
peraturan yang berada dibawah UUD 1945 harus bersumber dan berdasar
pada UUD, baik itu berupa aspek prosedurnya maupun dalam hal materi muatan
yang tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.82
Penulis disini mencoba sedikit menjabarkan tentang poin c yaitu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Pada dasarnya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang sama dengan undang-undang, hanya saja karena ada
kegentinagn yang memaksa, maka ditetapkanlah dalam peraturan pemerintah83
.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang memang diakui sebagai salah
satu bentuk peraturan perundang-undangan sebagiamana yang diamksud dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 22 bahwa
(1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagi pengganti undang-undang, (2) peraturan pemerintah
itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan
yang berikut, (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah
pengganti undang-undang harus dicabut .84
Kegentingan yang memaksa dapat digambarkan sebagai suatu kondisi
abnormal yang membutuhkan upaya-upaya diluar kebiasaan untuk mengahiri
kondisi tersebut. Dalam kondisi abnormal itu diperlukan adanya norma-norma
hukum yang bersifat khusus, baik dari segi substansinya maupun proses
terbentuknya, sehingga dalam kondisi yang seperti itu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang sangan diperlukan seperti halnya undang-undang.
Setidaknya ada tiga unsur penting yang dapat menimbulkan suatu kegentingan
yang memaksa, yaitu :
1. Unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat).
2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity).
82
Jimli Asshiddqie, teori Hans Kelsen tentang hukum, (Jakarta: Serikat Jenderal Mahkama
Konstitusi Republik Indonesia,2007), hal.171. 83
Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darutat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), edisi ke-1, hal.3. 84
Undang-undang Dasar 1945.
47
3. Unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia85
.
Sedangkan menurut Prof. Ismail Sunny mengenai keluarnya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai keadaan darurat, lebih dari itu
tidak ada. Namum, pemerintah bisa mengartikan hal tersebut secara luas. Bila kita
menelaah sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, hampir sebagian Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dikeluarkan presiden dalam keadaan
darurat. Sementara dalam penjelasan pasal 22 ayat 1 UUD 1945 sebelum
perubahan, memerikan penjelasan bahwa pasal tersebut mengenai posisi darurat
(noodverordeningsrecht), dimana aturan tersebut diadakan supaya keselamatan
negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, sehingga
memaksa pemerintah untuk bertindak cepat dan tepat. Meskipun demikian,
pemerintah tidak dapat lepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, peraturan
pemerintah dalam pasal 22 dimaksud, yang kekuatannya sama dengan UU harus
disahkan pula oleh DPR.
Maka dari itu, persepsi yang timbul dalam masyarakat bahwa hal ikhwal
kegentingan yang memaksa yaitu suatu keadaan dimana negara dalam keadaan
darurat untuk segera melakukan penyelamatan, sehingga sedikit banyak harus
merujuk pada UU 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Namun demikian pasal
II aturan tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa dengan ditetapkannya
perubahan undang-undang dasar ini, Undang-undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal, sehingga hal ikhwal
kegentingan yang memaksa sebagai yang dimaksud dalam pasal 22 ayat 1 UUD
1945 sebenarnya tidak sama dengan „keadaan bahaya‟ seperti yang dimaksud
dalam pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya yang tertuang dalam UU 23 tahun
1959 tentang keadaan bahaya, yang memang harus didasarkan atas kondisi
obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang.86
85
J. Ronald Mawuntu, “Eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
dalam Sistem Norma Hukum Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Unsrat, 2011, Vol.XIX, No.5,
hal.122-123. 86
Janpatar Simamora, “Multitafsir pengertian ihwal kegentingan yang memaksa dalam
penerbitan perpu”, dalam jurnal mimbar hukum, 2010, Vol 22, No 1, hal. 67.
48
Dalam hal ini presiden berhak membuat sebuah undang-undang tetapi bukan
berarti tanpa campur tangan DPR, dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pasal 22 ayat 2 amandemen ke-4 mengatakan bahwa
“peraturan pemerintah ini harus berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan berikut” dan “jika tidak mendapat persetujuan maka
peraturan pemerintah itu harus dicabut”.87
Selanjutnya pada tahun 2002 tepatnya pada tanggal 12 Oktober terjadi
ledakan di Paddys Pub dan Sari Club di jalan Legian, Kuta Bali yang kemudian
yang dikenal dengan peristiwa bom Bali I, peristiwa tersebut menelan lebih dari
200 jiwa. Di antara korban tersebut warga negara asing yang paling banyak, yaitu
yang berasal dari Australia serta sebagian lagi dari Amerika.88
Selanjutnya
peristiwa bom Bali I juga merusak 513 banguan, sebanyak 22 mobil dan 24 motor
hancur. Dari kerusakan yang besar tersebut diperkirankan kerugian mencapai 7,2
miliar.
Bom Bali I juga berdampak pada sektor pariwisata yang secara keuangan
juga merugikan Indonesia. Sebelum terjadi bom bali I, jumlah kunjungan ke Bali
setiap bulannya rata-rata mencapai 153 ribu orang. Namun, setelah kejadian
tesebut tidak lebih dari 31 ribu wisatawan. Penurunan jumlah wisatawan ini secara
drastis menurunkan tingkat hunian hotel. Jika sebelum terjadi peristiwa bom Bali I
tingkkat hunian hotel mencapai 80 persen lebih setiap bulannya, maka setelah
peristiwa tersebut hanya mencapai 10 sampai 15 persen. Direktur Perdagangan
dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Hermawan mengatakan pemerintah
kehilangan devisa sedikitnya 850 USD sepanjang tahun 2002 dari sektor
periwisata dari peristiwa bom Bali I. Angka ini belum termasuk kerugian yang
diderita masyarakat sebagai efek berantai dari peristiwa bom Bali I tersebut.89
87
Undang-undang Dasar 1945 amandement ke-4. 88
Ruslan Renggong , Hukum Pidana Khusus Memahani Delik-Delik Diluar KUHP,
(Jakarta:Prenada Media Group, 2016), hal.103-104 89
Ardison Muhammad,terorisme ideilogi peneba kekuatan,(Surabaya:liris,2010), hal 175-
176.
49
Peristiwa ini mendorong dunia internasional khususnya Amerika dan
sekutunya Australia untuk mendesak Indonesia menuntaskan kasus bom yang
terjadi di Bali. Oleh karena tekanan tersebut, presiden Megawti Soekarno Putri
menanda tangani Peraturan Penerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian pada masa
sidang DPR setahun berikutnya ditetapkap sebagai Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi
Undang-undang.
Perpu tesebut dibentuk dengan berbagai pertimbangan, diantaranya bahwa
rangkaian peristiwa yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
telah menyebabkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan
ketakutan masyarakat secara luas, dan merugikan harta benda sehingga
mengakibatkan dampak yang serius bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan
hubungan internasional. Selain itu terorisme merupakan kejahatan lintas negara,
terorganisasi dan mempunyai jaringan yang luas, sehingga mengancam keamanan
dunia.90
Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Tindak pidana terorisme dalam pasal 6 sampai pasal 19.
2. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme dalam
pasal 20 sampai pasal 24.
Sebagai undang-undang yang bersifat khusus, sudah tentu undang-undang
ini berisi ketentuan-ketentuan yang merupakan pengecualian dari ketentuan-
ketentuan hukum acara pidana yang ada dalam KUHAP. Pengecualian tersebut
adalah:
90
Ruslan Renggong , Hukum Pidana Khusus memahani delik-delik diluar KUHP,
(Jakarta:Prenada Media Group, 2016), hal.104.
50
a. Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi
wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama
6 bulan.
b. Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan setiap laporan intelijen.
c. Penetapan sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang harus
dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan
Negeri.
d. Proses pemeriksaan yang dimaksud dilakukan secara tertutup dalam
waktu paling lama 3 hari.
e. Jika dalam pemeriksaan ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup,
maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan segera
penyelidikan.
f. Penyidik dapat melakukan penangkapan kepada setiap orang yang
diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti
permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2)
untuk paling lama 7 x 24 jam.
g. Penyidik, penuntut umum atau hakim bewenang memerintahkan kepeda
bank atau jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta
kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil
tindak pidana terorisme dan atau tindak pidana yang berkaitan dengan
terorisme.
h. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di
sidang pengadilan dengan alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa
dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
i. Alasan bukti dalam perkara tindak pidana terorisme, selain yang
dimaksud dalam hukum acara pidana, juga alat bukti yang lain berupa
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan sacara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan data, atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
51
diatas kertas, benda fisik ataupun selain kertas atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada foto atau sejenisnya;
huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
j. Hak korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme,
mendapatkan kompensasi atau ganti rugi.91
91
Ibid., hal.106-107
52
BAB IV
KAJIAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP ASAS
RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA TERORISME
A. Analisis Asas Retroaktif Dalam Perpu Tindak Pidana Terorisme Menurut
Hukum Positif
Dalam sejarah dan praktik perkembangan hukum pidana di Indonesia, asas
retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana
tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlakuan asas
retroaktif sebagaimana tersebut di atas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan,
apalagi dengan adanya berbagai perkembangan zaman menuntut peranan hukum,
khususnya hukum pidana semakin diperluas. Selain itu, pemberlakuan asas
retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah
dilemahkan dengan sendirinya
Telah disebukan bahwa asas retroaktif akan berhenti jika aparat penegak
hukum hanya berpatokan pada pasal 1 ayat 2 KUHP, karena pasal tersebut
membatasi pengertian retroaktif hanya pada keadaan transisioner atau menjadi
hukum transitoir. Hal ini dimungkinkan pada Perpu pemberantasan tindak pidana
terorisme mengingat bahwa Perpu tersebut termasuk kedalam ketentuan hukum
pidana yang bersifat khusus, ketentuan hukum pidana yang bersifat khusus ini
tercipta karena :
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam
masyarakat karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan
pandangan pada masyarakat.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap
perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat,
sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap
memakan banyak waktu.
53
3. Suatu keadaan yang memaksa sehingga dianggap perlu diciptakan suatu
peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses
yang diatur didalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan
mengalami kesulitan dalam pembuktian.92
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 dan 2 tentang tindak
pidana terorisme mengatur secara formil dan materiil sekaligus, sehingga terdapat
pengecualian dari asas secara umum diatur dalam KUHP maupun KUHAP sesuai
dengan asas lex specialis derogat lex generalis, syaratnya apabila asas tersebut
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Bahwa pengecualian terhadap undang-udang yang bersifat umum,
dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya yaitu undang-
undang.
2. Bahwa pengecualian termasuk dinyatakan dalam undang-undang khusus
tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian
yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksaan undang-undang khusus
tersebut.93
Apabila kita merujuk kembali kepada hierarki perundang-perundangan yang
mengatakan bahwa undang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1 dan 2 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bertentangan dengan Undang-undang
Dasar Tahun 1945 pasal 281 ayat 1 yang berbunyi “hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi didepan hukum, dan hak untuk tidak
92
Loebby Loqman, Analisisn Hukum dan Perundang-undangan Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal.98.
93
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
1996), hal.17.
54
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apaun”.
Jika ditelaah lebih lanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
No 1 dan 2 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, maka terdapat banyak
kekurangan contohnya yang terdapat pada pada pasal 7 dimana kata-kata
“bermaksud” yang bermanakna niat dapat ditindak dan diartikan sebagai tindak
pidana. Padahal niat tersebut masih belum terialisasi menjadi sebuah ancaman
yang mengandung rasa ketakutan dan teror. Secara tidak lansung hal ini akan
memberikan kewenangan secara bebas kepada intelijen untuk menangkap siapa
saja yang belum tentu terbukti melakukan tindakakan teror dan ancaman rasa
takut tanpa adanya proses penyelidikan dan pembuktian secara hukum.
Kewenangan yang digunakan ini dapat digunakan untuk menyadap atau lebih
lanjutnya menangkap seseorang tanpa seseorang tersebut berbuat sesuatu. Pasal
ini menjadi celah bagi penyidik atau penyelidik untuk dapat melakukan
manipulasi dan diskriminasi terhadap sesorang.
Pasal selanjutnya yang yang tidak mengandung unsur keadilan terdapat pada
pasal 26 ayat 1 “Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan setiap laporan intelijen” hal ini menjadi masalah karena laporan
intelijen ada yang bersifat prediktif sehingga sulit diuji dan memerlukan tindak
lanjut sehingga sulit dijadikan sebagai permuaan yang cukup, hal ini akan
berdampak buruk pada tersangka yang mana akan hilangnya hak pembelaan diri
dan timbulnya keputusan yang subjektif.94
Yusril Ihza Mahendara yang mana
pada saat itu menjabat sebagai mentri hukum dan hak asasi manusia berpendapat
bahwa tidak semua laporan intelijen dapat diajukan sebagai bukti permulaan, dan
hanya laporan intelijen yang bersifat faktual dan disapaikan secara kelembagaan
dan berupa fakta intelijen, bukan berupa analisis atau perkiraan intelijen. Tatapi
pada kenyataannya pendapat Yusril tersebut tidak dinyatakan secara tegas didalam
94
Nasrullah, “Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap UU. No.
15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme” dalam jurnal Kriminologi Indonesia,
2005, Vol.4, No 1, hal. 67.
55
Perpu pemerantasan tindak pidana terorisme.95
oleh karena itu Perpu
pemberantasan tindak pidana terorisme harus memberikan penjelasan secara jelas
dan tegas mengenai laporan intelijen yang dapat diajukan sebagi bukti permulaan,
sehingga tidak semua laporan intelijen dapat diajukan karena tidak semua laporan
intelijen berupa fakta, namun juga bisa dalam bentuk analisis dan perkiraan.
Pada pasal 28 yang berbunyi “Penyidik dapat melakukan penangkapan
terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme
berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam”, jika ditinjau
dari perspektif HAM maka akan mempermasalahkan validitas proses hukum
penangkapan seseorang. Dalam hal ini mengingat terorisme merupakan
extraordinary crime maka diperlukan pengecualian dan penyesuaian sesuai
konteks dan anatomi kejahatan terorisme sehingga proses hukum dapat berjalan
tanpa menabrak nilai-nilai HAM.96
Kriminalisasi terhadap terorisme dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1. Melalui sistem evolusi melalui amandemen terhadap pasal-pasal dalam
KUHP
2. Melalui sistem kompromi dengan memasukkan bab baru mengenai
kejahatan terorisme dalam KUHP
3. Memalui sistem global dengan membuat pengaturan secara khusus
dalam undang-undang tersendiri diluar KUHP, termasuk kekhususan
dalam acaranya.
Apabila diperhatikan dari ketiga cara tersebut maka Indonesia memilih
menggunakan sistem global, yaitu melalui undang-undang khusus diluat KUHP.
Indonesia baru memiliki undang-undang khusus mengenai tindak pidana
terorisme pada tanggal 18 Oktober atau enam hari setelah peristiwa peledakan
95
Abdul Wahid, kejahatan terorisme,(Bandung: Fefika Aditama,2004), hal.110. 96
Ibid., hal. 67.
56
bom di Bali pada tanggal 12 Oktober. 97
Perpu yang dibuat setelah terjadinya
tindak pidana terorisme ini dinyatakan berlaku surut untuk diberlakukan terhadap
peristiwa bom Bali I. Dalam tenggang waktu kurang dari enam bulan tepatnya 4
april 2003, maka dangan persetujuan DPR, Perpu No. 1 Tahun 2002 di ubah
menjadi UU No. 15 tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang dan Undang-undang No. 16 tahun
2003 Tentang Penerapan Perautan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2
Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Kemudian para pelaku bom Bali I diputus bersalah melakukan tindak pidana
terorisme dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 7 Agustus 2003. Permasalahan
muncul ketika penerapan UU No.16 Tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku oleh
Mahkama Konstitusi pada tanggal 23 Juli 2004 karena penerapan asas retroaktif,
hal ini dikarenakan Indonesia menganut asas legalitas yang mana seseorang baru
bisa di pidana berdasarkan undang-undang yang sudah di buat dan sudah
mengatur.98
Memberlakukan undang-undang berdasaran asas retroaktif akan di
khawatirkan menjadikan tindakan tersebut sebagi pelanggaran HAM karena sifat
undang-undangnya yang mengekang dan kental dengan kepentingan penguasa,
hal tersebut dapat dilihat pada Perpu tindak pidana terorisme pasal 45 yang
berbunyi “Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan
kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang ini” pasal tersebut memberikan wewenang yang tidak
terbatas kepada presiden dalam mengambil langkah-langkah untuk merumuskan
kebijakan dan langkah-langkah operasional dalam pelaksanaan undang-undang
tersebut.
97
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme,Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, (Yogyakarta:Graha Ilmu,2012), hal.87. 98
Frassminggi Kamasa, Terorisme, Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hal.226
57
Padahal negara masih bisa menjerat pelaku bom Bali I menggukan KUHP
dan undang-undang nomor 12/1951 tentang kepemilikan senjata api dan bahan
peledak, bahkan dalam dengan menggunakan KUHP tersebut negara bisa
menjatuhkan hukuman mati sekalipun.
B. Analisis Asas Retroaktif DalamTindak Pidana Terorisme Menurut Hukum
Islam
Berkenaan dengan perbuatan yang berkaitan dengan pribadi seseorang, hukum
islam mengutamakan asas asas legalitas sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Anfal 38:
اقد سلف و لني قل للذين كفروا إن ينت هوا ي غفر لم م إن ي عودوا ف قد مضت سنة األو
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu :"Jika mereka berhenti (dari
kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa
mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan
berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu". (QS.
8:38)
Ayat ini memberikan keringanan kepada seseorang hamba yang melakukan
kemaksiatan pada masa lalunya, tetapi berbeda halnya dengan tindak pidana yang
merugikan dan membuat kegaduhan bagi ketertiban umum, maka diterapkanlah
asas retroaktif. Asas Retroaktif merupakan Suatu hukum yang mengubah akibat
hukum terhadap tindakan yang dilakukan atau kedudukan hukum yang
berdasarkan fakta dan hubungan yang ada sebelum suatu hukum tersebut
diundangkan. Dalam kaitannya dengan hukum pidana, asas retroaktif dapat
diaplikasikan pada suatu tindakan yang legal atau memiliki hukuman yang lebih
ringan sewaktu dilakukan pada kasus jarimah qadzaf sehingga dengan kejadian
tersebut Allah menurunkan surat an-Nur ayat 4:
58
ب عة شهدآء فاجلدوهم ثانني جلدة والت قب لوا لم والذين ي رمون المحصنات ث ل يأتوا بأر
شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik”. (QS. 24:4)
Disebabkan tuduhan tersebut terjadilah kehebohan dikalangan umat
muslimin, bahkan ampir terjadi pertemputn antara kaum Aus dan Kharaj. Dengan
dijatuhan hukuman yang berlaku surut kapada para penuduh tersebut maka
dengan sendirinyanya menimbulkan ketenangan kembali dan mengembalikan
nama baik korban.
Begitu pula pada tindak pidana hirabah yang tercantum dalam surat al-
Maidah ayat 33, pada saat itu kaum Urainah datang ke Madinah dan tidak betah
disana sehingga sewaktu ingin kembali kedaerahnya, meraka diberi bantuan
berupa kendaraan dan pengembalanya. Tetapi meraka menyalah gunakan bantuan
tersebut dengan membunuh pengembalanya dan membawa kabur unta. Ketika
Rasul mendengan kabar tersebut, beliah menyuruh menangkap para pelakunyanya
dan dijatuhi hukuman berdasarkan surat al-maidah ayat 33:
ا جزا لوا أو يصلبوا أوت قط إن ع ؤا الذين ياربون اهلل ورسوله ويسعون ف األرض فسادا أن ي قت
ن يا ولم ف األخ ف الد ن خالف أو ينفوا من األرض ذلك لم خزي ة عذاب ر أيديهم وأرجلهم م
يم ع
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya danmembuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau
59
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang
besar, (QS. 5:33)
Dijelaskan bahwa dalam penjatuhan hukuman bagi para pelaku hirabah
tersebut, Rasul menerapkan asas retroaktif karena surat al-Maidah ayat 33 tersebut
turun setelah terjadi tindak pidana. Dalam tafsir Jalalain dijelaskan tentang ayat
ini huruf ا ؤ (au) yang diartikan atau disini berfungsi untuk menunjukkan urutan.
(teroris) yang membunuh, hukumannya adalah dibunuh. (teroris) yang membunuh
dan merampas harta, hukumannya dibunuh lalu disalib. (teroris) yang hanya
marampas harta dan tidak membunuh, hukumannya potong tangan.(teroris) yang
hanya membuat teror (tidak membunuh dan merampas harta) hukumanya
diasingkan dari negerinya.99
Kemajuan zaman yang pesat juga perdampak pada kemajuan tindak pidana,
salah satunya terorisme atau dapat disama dengan baghyu. Padahal islam secara
gamblang menghargai nyawa manusia, membunuh satu orang tanpa alasan yang
dibenarkan sama halnya dengan membunuh seluruh umat manusia, sebaliknya
menjaga hidup satu orang disamakan pahalanya menjaga hidup seluruh umat
manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32:
نا على بن إسراءيل أنه من ق تل ن فسا بغري ن فس أو فساد ف األرض من أجل ذلك كتب
يعا ولقد جآءت هم رسلنا ا أحيا الناس ج يعا ومن أحياها فكأن ا ق تل الناس ج نات ث إن فكأن بالب ي
هم ب عد ذلك ف األرض لمسرفون كثريا م ن
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israel, bahwa: barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, ataubukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-
akan dia telah membunuh seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara
kehidupan menusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul Kami dengan (keterangan-keterangan) yang jelas, kemudian banyak
99
Ibid., hal.224.
60
di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan di muka bumi. (QS. 5:32)
Dapat diketahui bahwa untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku baghyu
harus dilakukan hati-hati dan tidak boleh gegabah. Sebab yang dihadapi
pemerintah bukan musuh yang harus dibunuh, melainkan sedang berhadapan
dengan pihak yang sedang kecewa terhadap kebijakan yang selama ini dijalankan.
Selain itu ada kemungkinan pemeberontak tersebut beragama Islam, sama dengan
pemerintah yang mau menghukumnya, jadi dalam pandangan hukum Islam asas
retroaktif dapat diterapkan terhadap tindak pidana terorisme karena tergolong
kedalam jarimah yang berdampak kepada keselamatan masyarakat luas.100
100
Nurul Irfan, masyofah, Figh Jinayah, (Jakarta: Amzah,2014), hal.72-73.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pemaparan dari bab sebelumnya, maka penulis
berkesimpulan sebagai berikut :
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 dan 2 tentang
tindak pidana terorisme mengatur secara formil dan materiil sekaligus,
sehingga terdapat pengecualian dari asas secara umum diatur dalam
KUHP maupun KUHAP sesuai dengan asas lex specialis derogat lex
generalis, syaratnya apabila asas tersebut memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut, diantaranya bahwa pengecualian terhadap undang-
udang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat
dengan dirinya yaitu undang-undang dan bahwa pengecualian termasuk
dinyatakan dalam undang-undang khusus tersebut, sehingga
pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan
dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan pelaksaan undang-undang khusus tersebut. tetapi
pada kenyataanya apabila merujuk kembali kepada hierarki perundang-
undangan maka Perpu tindak pidana terorisme bertentang dengan
Undang-undang Dasar 1945 pasal 281 ayat 1.
2. Dalam hukum Islam, terorisme sendiri bisa disamakan dengan baghyu
(pemberontakan) yaitu sekelompok orang yang kelur dari
ketundukannya terhadap penguasa, walaupun penguasa yang berkuasa di
daerah tersebut dzalim dan bentuk pemberontakan tersebut
menggunakan senjata dengan cara mengacau ketertiban umum. Ada juga
sebagian para pelaku tindak pidana terorisme menyamakan aksi mereka
dengan jihad, padahal sangat berberbeda. Jihad semata-mata dilakukan
untuk menegakkan agama Allah atau membela hak-hak indivitu maupun
masyarakat yang terdzalimi, sedangkan terorisme mendatangkan
62
kerusuhan dengan cara menciptakan kepanikan ditengah-tengah
masyarakat. Asas retroaktif dalam islam dapat diterapkan pada Perpu no
1dan 2 tersebut karena teroris tergolong kedalam kejahatan luar biasa
yang dampaknya dapat merugikan masyarakat luas.
B. Saran Penulis
1. Sebaiknya pemerintah memperbaiki lagi undang-undang tindak pidana
terorisme karena masih terdapat pasal yang kurang sempurna.
2. Jika Perpu atau undang-undang tersebut tidak dapat digunakan lagi, maka
sebaiknya pemerintah memasukkan bab tentang tindak pidana terorisme
kedalam KUHP.
3. Jika pemerintah ingin merevisi Perpu pemberantasan tindak pidana
terorisme sebaiknya jangan terburu-buru salah satunya dengan menelaah
ulang Perpu sebelumnya.
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2002
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalamPembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenapbangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untukmemajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa danikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukanpenegakan hukum dan ketertiban secara konsisten danberkesinambungan;
b. bahwa terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korbandan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnyakemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perludilaksanakan langkah-langkah pemberantasan;
c. bahwa terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakanancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupuninternasional;
d. bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional daninternasional dengan membentuk peraturan perundang-undangannasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturanperundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme;
e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat inibelum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindakpidana terorisme;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,dan huruf e, dan adanya kebutuhan yang sangat mendesak perlumengatur pemberantasan tindak pidana terorisme dengan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang;
Mengingat :
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubahdengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANGTENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yangdimaksud dengan:
1. Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yangmemenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuandalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
2. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baiksipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secaraindividual, atau korporasi.
3. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yangterorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukanbadan hukum.
4. Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatanfisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawanhukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dankemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atautidak berdaya.
5. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengansengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatanmengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkanrasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas.
6. Pemerintah Republik Indonesia adalah pemerintah RepublikIndonesia dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
7. Perwakilan negara asing adalah perwakilan diplomatik dankonsuler asing beserta anggota-anggotanya.
8. Organisasi internasional adalah organisasi yang berada dalamlingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atauorganisasi internasional lainnya di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili PerserikatanBangsa-Bangsa.
9. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidakbergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
10. Obyek vital yang strategis adalah tempat, lokasi, atau bangunanyang mempunyai nilai ekonomis, politis, sosial, budaya, danpertahanan serta keamanan yang sangat tinggi, termasukfasilitas internasional.
11. Fasilitas publik adalah tempat yang dipergunakan untukkepentingan masyarakat secara umum.
12. Bahan peledak adalah semua bahan yang dapat meledak,semua jenis mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan,atau semua bahan peledak dari bahan kimia atau bahan lainyang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan.
Pasal 2
Pemberantasan tindak pidana terorisme dalam Peraturan PemerintahPengganti Undang-undang ini merupakan kebijakan dan langkah-langkahstrategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatanmasyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasimanusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras,maupun antargolongan.
BAB II
LINGKUP BERLAKUNYA
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
Pasal 3
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku terhadapsetiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindakpidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia dan/ataunegara lain juga mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnyauntuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut.
(2) Negara lain mempunyai yurisdiksi sebagaimana dimaksud dalam ayat(1), apabila:
a. kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yangbersangkutan;
b. kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yangbersangkutan;
c. kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan;
d. kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau fasilitaspemerintah dari negara yang bersangkutan di luar negeritermasuk perwakilan negara asing atau tempat kediamanpejabat diplomatik atau konsuler dari negara yangbersangkutan;
e. kejahatan dilakukan dengan kekerasan atau ancamankekerasan memaksa negara yang bersangkutan melakukansesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
f. kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang dioperasikanoleh pemerintah negara yang bersangkutan; atau
g. kejahatan dilakukan di atas kapal yang berbendera negaratersebut atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkanundang-undang negara yang bersangkutan pada saat kejahatanitu dilakukan.
Pasal 4
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku jugaterhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan:
a. terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negaraRepublik Indonesia;
b. terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeritermasuk tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsulerRepublik Indonesia;
c. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksapemerintah Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidakmelakukan sesuatu;
d. untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukansesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
e. di atas kapal yang berbendera negara Republik Indonesia ataupesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negaraRepublik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau
f. oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan danbertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 5
Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan PemerintahPengganti Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik,tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidanadengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yangmenghambat proses ekstradisi.
BAB III
TINDAK PIDANA TERORISME
Pasal 6
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atauancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takutterhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifatmassal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa danharta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuranterhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup ataufasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana matiatau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 7
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atauancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror ataurasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yangbersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnyanyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakanatau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, ataulingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional,dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Pasal 8
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yangsama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:
a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusakbangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkanusaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknyabangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnyausaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak,mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamananpenerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alattersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;
d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untukpengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindahatau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untukpengamanan penerbangan yang keliru;
e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan ataumembuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnyaatau sebagian kepunyaan orang lain;
f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan,menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusakpesawat udara;
g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur,tidak dapat dipakai, atau rusak;
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang laindengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkankebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan ataumembuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yangdipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkanmuatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutanmuatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telahditerima uang tanggungan;
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum,merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasaipesawat udara dalam penerbangan;
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasanatau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas ataumempertahankan perampasan atau menguasai pengendalianpesawat udara dalam penerbangan;
k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat,dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkanluka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawatudara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukandengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskanmerampas kemerdekaan seseorang;
l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatankekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalampenerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakankeselamatan pesawat udara tersebut;
m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udaradalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara
tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang ataumembahayakan keamanan penerbangan;
n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan ataumenyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalamdinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapatmenghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapatterbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebutyang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;
o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagaikelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengandirencanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagiseseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l,huruf m, dan huruf n;
p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karenaperbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalampenerbangan;
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapatmembahayakan keamanan dalam pesawat udara dalampenerbangan;
r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapatmengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udaradalam penerbangan.
Pasal 9
Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia,membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan ataumencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaanpadanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dariIndonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak danbahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukantindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjaraseumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan palinglama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengajamenggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, ataurasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yangbersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauanterhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadikerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis,lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan palinglama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengajamenyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakanatau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untukmelakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.
Pasal 12
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidanapenjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan ataumengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patutdiketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan:
a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan,menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia,senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif ataukomponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkankematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;
b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya ;
c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir,senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktifatau komponennya;
d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi,mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atauancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;
e. mengancam :
1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untukmenimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan hartabenda; atau
2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf bdengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasiinternasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidakmelakukan sesuatu.
f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalamhuruf a, huruf b, atau huruf c; dan
g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksuddalam huruf a sampai dengan huruf f.
Pasal 13
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan ataukemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :
a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau hartakekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;
b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau
c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan palinglama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 14
Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lainuntuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalamPasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, ataupembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindakpidananya.
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikanbantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindakpidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelakutindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Pasal 17
(1) Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas namasuatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukanterhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindakpidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungankorporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, makakorporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
Pasal 18
(1) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, makapanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilantersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurusatau di tempat pengurus berkantor.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanyadipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah).
(3) Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan ataudicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.
Pasal 19
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidanamati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalamPasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yangberusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
BAB IV
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA TERORISME
Pasal 20
Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancamankekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntutumum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidanaterorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana denganpidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (limabelas) tahun.
Pasal 21
Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alatbukti palsu atau barang bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secaramelawan hukum di sidang pengadilan, atau melakukan penyeranganterhadap saksi, termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindakpidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 22
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, ataumenggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindakpidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 23
Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana kurunganpaling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 24
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimanadimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untukpelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas)tahun.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 25
(1) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalamperkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukumacara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang ini.
(2) Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberiwewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka palinglama 6 (enam) bulan.
Pasal 26
(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapatmenggunakan setiap laporan intelijen.
(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yangcukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukanproses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka KetuaPengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
Pasal 27
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupadengan itu; dan
c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ataudidengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatusarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selainkertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidakterbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki maknaatau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca ataumemahaminya.
Pasal 28
Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yangdiduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan buktipermulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.
Pasal 29
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkankepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukanpemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahuiatau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atautindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis denganmenyebutkan secara jelas mengenai :
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh bank danlembaga jasa keuangan kepada penyidik, tersangka, atauterdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat harta kekayaan berada.
(3) Bank dan lembaga jasa keuangan setelah menerima perintahpenyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalamayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah suratperintah pemblokiran diterima.
(4) Bank dan lembaga jasa keuangan wajib menyerahkan berita acarapelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atauhakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggalpelaksanaan pemblokiran.
(5) Harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada bank danlembaga jasa keuangan yang bersangkutan.
(6) Bank dan lembaga jasa keuangan yang melanggar ketentuansebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksiadministratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 30
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidanaterorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenanguntuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuanganmengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patutdiduga melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku
ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dankerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis denganmenyebutkan secara jelas mengenai :
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang diketahui atau patut didugamelakukan tindak pidana terorisme;
c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat harta kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh :
a. Kepala Kepolisian Daerah atau pejabat yang setingkat padatingkat Pusat dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;
b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan olehpenuntut umum;
c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yangbersangkutan.
Pasal 31
(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksuddalam Pasal 26 ayat (4), penyidik berhak:
a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melaluipos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungandengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa;
b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasilain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untukjangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harusdilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.
Pasal 32
(1) Dalam pemeriksaan, saksi memberikan keterangan terhadap apayang dilihat dan dialami sendiri dengan bebas dan tanpa tekanan.
(2) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi danorang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme
dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lainyang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitaspelapor.
(3) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 33
Saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa besertakeluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberiperlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yangmembahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama,maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
Pasal 34
(1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan olehaparat penegak hukum dan aparat keamanan berupa :
a. perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik danmental;
b. kerahasiaan identitas saksi;
c. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidangpengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
(2) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir disidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapatdiperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusandijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangansaksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnyadianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan olehpenuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantorPemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan kasasi atas putusansebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan danterdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana terorisme, maka hakim atas tuntutanpenuntut umum menetapkan perampasan harta kekayaan yang telahdisita.
(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidakdapat dimohonkan upaya hukum.
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatankepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimanadimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitungsejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
BAB VI
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
Pasal 36
(1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorismeberhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannyadibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
(3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan gantikerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahliwarisnya.
(4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkansekaligus dalam amar putusan pengadilan.
Pasal 37
(1) Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilandiputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yangputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalamputusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 38
(1) Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepadaMenteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.
(2) Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepadapelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.
(3) Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada MenteriKehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 39
Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) danpelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikankompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerjaterhitung sejak penerimaan permohonan.
Pasal 40
(1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkanoleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada KetuaPengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda buktipelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasitersebut.
(2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/ataurestitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepadakorban atau ahli warisnya.
(3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimanadimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkanpelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yangbersangkutan.
Pasal 41
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusikepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimanadimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapatmelaporkan hal tersebut kepada pengadilan.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segeramemerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untukmelaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) harikerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
Pasal 42
Dalam hal pemberian kompensasi dan/atau restitusi dapat dilakukansecara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatanpelaksanaan dilaporkan kepada pengadilan.
BAB VII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 43
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme,Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama internasionaldengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknislainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Ketentuan mengenai :
a. kewenangan atasan yang berhak menghukum yakni :
1) melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada dibawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukanoleh penyidik polisi militer atau penyidik oditur;
2) menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik polisimiliter atau penyidik oditur;
3) menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik polisimiliter atau penyidik oditur; dan
4) melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannyayang ada di bawah wewenang komandonya.
b. kewenangan perwira penyerah perkara yang :
1) memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan;
2) menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan;
3) memerintahkan dilakukannya upaya paksa;
4) memperpanjang penahanan;
5) menerima atau meminta pendapat hukum dari oditur tentangpenyelesaian suatu perkara;
6) menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untukmemeriksa dan mengadili;
7) menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplinprajurit; dan
8) menutup perkara demi kepentingan hukum atau demikepentingan umum/militer,
dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan tindak pidana terorismemenurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Pasal 45
Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskankebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Pasal 46
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang inidapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentusebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atauPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri.
Pasal 47
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku padatanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundanganPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini denganpenempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 106
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 2 TAHUN 2002
TENTANGPEMBERLAKUAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 1 TAHUN 2002
TENTANGPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME,
PADA PERISTIWA PELEDAKAN BOM DI BALITANGGAL 12 OKTOBER 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mencegah dan memberantas tindakpidana terorisme, Presiden Republik Indonesia telahmenetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangNomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme;
b. bahwa peristiwa pemboman yang terjadi di Bali pada tanggal12 Oktober 2002 telah menimbulkan suasana teror atau rasatakut terhadap orang secara meluas serta mengakibatkanhilangnya nyawa dan harta benda orang lain;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksuddalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang tentang PemberlakuanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober
2002;
Mengingat :
1. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimanatelah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-UndangDasar 1945;
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4232);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANGTENTANG PEMBERLAKUAN PERATURAN PEMERINTAHPENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME,PADA PERISTIWA PELEDAKAN BOM DI BALI TANGGAL 12
OKTOBER 2002.
Pasal 1
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangNomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme, dinyatakan berlaku terhadap peristiwa peledakan bom
yang terjadi di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002.
Pasal 2
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundanganPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakartapada tanggal 18 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 107
Salinan sesuai dengan aslinyaDeputi Sekretaris KabinetBidang Hukum dan Perundang-undangan,
ttd.
Lambock V. Nahattands
PENJELASANATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 2 TAHUN 2002
TENTANGPEMBERLAKUAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 1 TAHUN 2002
TENTANGPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME,
PADA PERISTIWA PELEDAKAN BOM DI BALI
TANGGAL 12 OKTOBER 2002
UMUM
Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, negara Republik Indonesiaadalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut sertasecara aktif memelihara perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintahwajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranyadari setiap ancaman atau tindakan destruktif baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakansalah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudahmerupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadapkeamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perludilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi
orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme, Presiden RepublikIndonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sehubungan dengan terjadinya tindak pidana terorisme di Bali pada tanggal 12 Oktober2002 serta adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengatasi masalah tersebut,Presiden Republik Indonesia berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentangPemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali
tanggal 12 Oktober 2002.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4233