ASAS - ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
-
Upload
nguyendiep -
Category
Documents
-
view
313 -
download
25
Embed Size (px)
Transcript of ASAS - ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

ASAS - ASAS
HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL
OLEH '
M r W/R/ONO PRODJODiKORO KETUA AGUNG
D / j WDONES/A
^.rfiTA K A NjiE D U A
N. V. v/k G. C . ’f - VAN D oR P & Co. 3JAKARTA - B A N D U *^ - s e m ARa n g . SURABata
1954 A

}? er pus takaran
Pakulÿas Hukum Universitas Indonesia Mohon dikembalikan Tg,
Ts"b dibawah ini.
/ y f ' a o■£ ^ ^ 7Q
*1
¡ 'h ? f / ¡ -
|-y, K 9 G > / ? A j
! -7 ; 2W ® ‘ ( l7
.".i'. ('n t
o l
v\x< zoos'
8 AP8 «UT« m f a

M . , I * - r t *
/p s3
A SA S - A SA S H U K U M PERDATA INTERN ASION AL
r i f
Kp- 2 2 0 #

L i S'M
Co+M
lu-KW
ASAS-ASAS
HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL
OLEH
Mr W 1RJONO PR O D JO D 1K O R O
KETUA MAHKAM AH AGUNG D I INDONESIA
TJET AKAN
KEDUA
N. V. v/h G . C. T. V A N D O R P & Co.
D JAKARTA - BANDUNG - SEMARANG - SURABAJA1954

PAK. HUKUM dan PENG. MASJ.
Tango .... ........ *—
No. Silsilah:..,..».......... .

ISI
Halaman
Kala pendahuluan .................................................................... 7
B A G IA N I
Pengertian hukum perdata internasional .......................... 9
B A G IA N II
Tempat pendiaman atau hewarganegaraati sebagai
ukuran .............................................................................. 22
B A G IA N III
V Ketertiba ri umum ................................................................... 55
B A G IA N IV
Pelandjutan keadaan hukum .............................................. 45
B A G IA N V
Penundjukan kembali .......'.................................................... 52
B A G IA N VI
Penghindaran pelaksanaan hukum ..................................... 61
B A G IA N V II
V' Hal pilih hukum .................................................................... 65
B A G IA N V III
Pengakuan putusan hakim as ing ........................................... 71
B A G IA N IX
Hukum nasional bagi orang2 asing ..................................... 80
B A G IA N X
Tjara melakukan perbuatan hukum ...................................... 91
B A G IA N X I
'J Hal perkawinan ....................... ............................................ 90

Halaman
B A G IA N X II
Kedudukan anak .................................................................... ¡05
B A G IA N XIII
Perbendaan ....... .................................................................... I ¡0
B A G IA N X IV
Hal perikatan perdata .......................................................... /22
B A G IA N XV
Hal hukum atjara perdata ....................................................... i 52
B A G IA N XV I
V'Badan hukum ........................................................................... ¡42
B A G IA N XV II
Hak pengarang, hak oktroi dan hak tjap dagang ....... 146

KATA PE N D A H U LU A N
Sedjak Negara Republik Indonesia, sebagai negara merdeka
dan berdaulat, langsung turut serta dalam pergaulan hidup ber
sama-sama negara- lain, terang nampak keperluan bagi negara
Indonesia dan bagi orang2 warganegara Indonesia untuk menge
tahui betul2 kesulitan2 jang timbul dari pergaulan hidup itu.
Sebagian dengan adanja Perserikatan Bangsa2, makin lama, ma
kin eratlah hubungan jang ada antara pelbagai negara. Djuga
dalam hal perhubungan2 hukum perdata makin lama, makin ba-
rijak termasuknja anasir2 asing berupa warganegara2 pelbagai
negara asing jang di Indonesia sini turut serta dalam hidup di-
tengah2 masjarakal. Sebaliknja djuga selalu tambah djumlah
orang2 Indonesia jang berada diluar-negeri dan disana tentunja
turut serta pula dalam pergaulan hidup di-tengah masjarakat.
Baik di Indonesia, maupun di negara2 asing akan selalu tambah
adanja perhubungan2 hukum jang sedemikian tjoraknja, hirigga
hukum nasional dari Indonesia sendiri tidak mentjukupi guna
mengaturnja se-baik2-nja. Maka dibutuhkan adanja hukum per
data internasional jang akan memenuhi rasa keadilan, tidak hanja
dari masjarakat Indonesia, melainkan djuga dari masjarakat asing
jang anggota2nja berada di-tengah2 masjarakat Indonesia.
Buku ini bermaksud mengutarakan setjara sederhana beberapa
asas hukum perdata internasional jang sekiranja perlu diketahui
oleh orang2 Indonesia jang ada minat untuk mempeladjari hal
itu, terutama oleh para mahasiswa dari fakultet hukum dan
fakultet ekonomi, oleh para hakim dan djaksa, oleh para penga-
tjara dan oleh para pegawai pelbagai kementerian, terutama
Kementerian Kehakiman dan Kementerian Urusan Luar-negeri,
lebih2 jang akan dan sudah ditempatkan diluar-negeri dalam
kedutaan atau konsulat.

Sama sekali bukan maksud saja akan menindjau asas2 hukum
perdata internasional setjara luas dan dalam. Untuk itu pada
saja tiada tjukup waktu dan ketjakapan. Buku ini harus dipan
dang sebagai usaha sederhana untuk menggambarkan garis2
besar sadja dari hukum perdata internasional.
Bahwa usaha ini sangat djauh dari sempurna adalah hal
fang lajak.
Mudah2han sadja buku ini dapat sedikit bermanfaat bagi
Nusa dan Bangsa Indonesia.
Djakarta, Nopember 1951. W . P.
T JET A K A N K E D U A
Dalam tjetakan ke-2, buku ini terutama ditambah dengan
bahan2 jang diperoleh dari :
a. rantjangan persetudjuan internasional (..ontwerp-conventie )
jang ditentukan dalam „Konpercnsi Den Haag ketudjuh menge
nai Hukum Perdata Internasional (tanggal 9-51 Oktober 1951).
b. rantjangan undang-undang seragam ( >>°ntwerp-uniforme
wet”) untuk djual-beli internasional jang dibitjarakan dalam
suatu konperensi internasional jang diadakan di Den Haag pada
tanggal 1-10 Nopember 1951,
c. rantjangan undang-undang seragam tentang hukum perdata
internasional seluruhnja bagi negara2 Benelux (Belgi, Nederland
dan Luxemburg).
Selandjutnja hampir tidak diadakan perubahan sama sekali
dalam buku ini.
Mudah-mudahan djuga tjetakan ke-2 ini dapat sekadar meme
nuhi kebutuhan para pembatja.
Djakarta, D ju li 1955.
W . P.

ASAS-ASAS H U K U M PERD A T A IN T E R N A S IO N A L
B A G IA N I
Pengertian Iiukuin perdata internasional.
Arti kata.
Tiap2 negara mempunjai hukum jang mengalur tindakan-
clalam masjarakat, masing2 untuk keselamatan masjarakat itu.
Sebagian dari hukum ini adalah hukum perdata jang mengalur
perhubungan hukum antara pelbagai orang2 perseorangan, dalam-
mana titik berat berada pada kepentingan orang perseorangan-
Penambahan dengan perkataan „internasional”, sehingga terben
tuk rangkaian kata2 „hukum perdata internasional”, menimbul
kan pelbagai pertanjaan.
Pertanjaan pertama mengenai arti kata dari perkataan „inter
nasional”. Mengingat perkataan2 „inter” dan „nasional”, maka-
„internasional dapat diartikan sebagai „antara bangsa2 dalam-
pelbagai negara’ , dengan akibat, bahwa hukum perdata inter
nasional dianggap se-olah2 mengatur perhubungan antara pelba
gai negara dan mengenai tindakan2 negara satu terhadap negara
lain atau terhadap orang perseorangan. Memang biasanja dalam
memakai perkataan „hukum internasional”, pada umumnja orang
mengingat kepada arti kata jang sempit ini.
Akan tetapi tidak mungkin perkataan „internasional” dalam-
rangkaian kata2 „hukum perdata internasional” mempunjai arti
jang sempit ini, oleh karena hukum perdata mengatur perhu
bungan hukum antara orang2 perseorangan, tidak antara pelbagai
negara. Maka bagi orang jang hanja mau memakai perkataan-
..internasional” dalam arti jang sempit ini, tidak dapat diadakan
penggabungan perkataan „internasional” dengan kata2 „hukum
perdata”.
Timbul pertanjaan, apakah perkataan „internasional” hanja
dapat dipakai dalam arti jang sempit ini ? Apakah tidak dapat
9’

perkataan „internasional” diberi arti jang lebih luas ? Dalam
praktek diantara chalajak umum sudab njata, bahwa ber-
matjam? arti jang lebih luas diberikan kepada perkataan ,,inter
nasional”.
Sering tertulis dalam suratkabar2 atau madjalah2. bahwa suatu
kota, dimana ternjata dan terasa berdiam tidak sedikit golongan2
orang dari pelbagai bangsa, dinamakan kota ,,internasional”.
Pakaian jang sudah lazim dipakai oleh orang2 dipelbagai tempat
diseluruh dunia, sering dinamakan pakaian internasional”.
Suatu pameran dari hal2 jang tidak berasal dari satu negara
melainkan dari beberapa negara matjam2, atjapkali djuga dina
makan pameran „internasional”.
Maka dari itu* sekiranja sama sekali tiada keberatan untuk
t- ?■ / - menggabungkan perkataan „internasional dengan kata2 ,,hukum
. • ~ perdata , asal sadja perkataan ..internasional diartikan lebih
juas j ar. pac{a an[ara bangsa2”, jaitu untuk mewudjudkan suatu
. hukum perdata jang. setelah dipengaruhi oleh keadaan pelbagai
negara jang masing2 rnempunjai peraturan hukum sendiri2 jang
berlainan satu sama lain, menjimpang dari hukum perdata jang
lazimnja terlaksana dalam suatu negara.
Perhubungan hukum antara orang2 perseorangan dalam suatu
negara, lazimnja berada antara orang2 warganegara dari negara
itu. jang pada umumnja takluk pada s alu hukum perclala, jaitu
jang berlaku di negara itu dan djuga lazimnja mengenai barang2
jang berada didaerah hukum negara itu. Dalam hal in i tiada
kesulitan untuk menentukan hukum perdata jang mana harus
dianut.
Kesulitan tentang hal ini mulai timbul, apabila misalnja salah
suatu pihak atau kedua belah pihak jang bersangkutan dalam
perhubungan hukum itu adalah seorang asing, jaitu seorang war
ganegara dari suatu negara asing atau apabila Perhubungan
hukum itu mengenai barang tak bergerak jang berada diri I'-4I<JcUcUTl
10

claerah hukum suatu negara asing atau apabila suatu perhubung
an hukum dilahirkan didaerah hukum negara asing menurut tjara
jang ditentukan disana, akan tetapi harus dilaksanakan disini
atau sebaliknja dilahirkan disini dan harus dilaksanakan disana.
Maka dengan pendek : adanja suatu anasir asinglah jang menim
bulkan .kesulitan dalam menentukan hukum perdata jang mana
harus dilakukan. Hukum perdata negara awakkah atau hukum
perdata negara asingkah atau hukum perdata istimewakah jang
tida k masuk salah suatu dari dua matjam hukum perdata itu ?
Hukum perdata jang harus dianggap berlaku inilah jang lazim-
nja dinamakan hukum perdata internasional.
Tudjuan.
Peraturan hukum perdata dimanapun djuga bertudjuan meme
nuhi rasa keadilan dari golongan2 orang manusia jang takluk
pada peraturan itu. Dengan adanja anasir asing tersebut diatas
jang takluk pada suatu peraturan hukum di negeri asing, jang
tidak sama dengan peraturan hukum di negeri awak, maka timbul
pertanjaan, apakah rasa keadilan masih dipenuhi, djika hukum
asing itu diabaikan ataukah rasa keadilan itu baru mendapat
kepuasan, djika hukum asing itu dilaksanakan sepenuhnja atau
sebagian ?
Rasa keadilan berada dalam hati sanubari tiap2 orang manusia,
maka pada pokoknja adalah hal orang perseorangan. Akan tetapi
dalam tiap2 masjarakat mulai dengan masjarakat desa, sehingga
masjarakat jang merupakan suatu negara, sebagai akibat pergau
lan hidup bersama, ada rasa keadilan jang pada umumnja dianut
oleh segenap atau sebagian besar dari anggota2 masjarakat itu.
Orang2 asing jang berada di-tengah2 masjarakat suatu negara
mengandung dalam hati sanubari masing2 suatu rasa keadilan,
11

jang pada umumnja dianut oleh segenap atau sebagian besar dari
masjarakat, dari mana mereka berasal.
Kalau dua golongan rasa keadilan ini tidak sama, maka seha-
rusnja ada djalan untuk menemukan suatu peraturan hukum
jang sedapat mungkin memuaskan ke-dua2 rasa keadilan itu. Ini
berarti, bahwa masiiig2 pihak harus mengorbankan sebagian dari
rasa keadilan masing2 itu untuk menjelamatkan masjarakat
masing2.
Tjara jang paling radikal ialah usaha untuk menemukan su a tu
peraturan hukum perdata internasional jang tidak hanja m e m u as
kan dua masjarakat jang bersangkutan itu, melainkan jang dapat'
diterima oleh seluruh dunia dan untuk selama-lamanja.
Ini memang suatu tjita2 jang patut diingini oleh segenap orang
manusia. Akan tetapi dapat diragu-ragukan, apakah tjita2 ini"
mungkin terlaksana. Selama dunia masih terdiri dari negara2,
jang masing2 berdaulat penuh, sekiranja tidak akan mungkin
mereka semuanja tunduk pada suai u peraturan hukum perdata
internasional.
Ada setengah orang jang pertjaja pada kemungkinan ada suatu
hukum alam („natuurrecht”), jang seharusnja dianut oleh segenap
orang manusia, dimanapun djuga dan untuk selama-lamanja.
Kepertjajaan ini berdasar atas kenjataan, bahwa seorang manusia-
. oleh Tuhan dititahkan berbeda dari hewan dengan diberikan
f f ^ T T - T e m a m p u a n berpikir. Dan pikiran inilah jang seharusnja menje-
babkan adanja asas2 hukum perdata, jang sama diseluruh dunia.
oran62 ini dilupakan, bahwa tjara berpihirpun l e r n j a t a
sudah berbeda dipelbagai negara. Misalnja pada umumnja di
negara2 barat tjara berpikir ini bersifat sangat perseorangan ( in
dividualistis”), sedang di negara2 timur pada u m u m nja tiJ ak
begitu, melainkan lebih bersifat kekeluargaan.

Dan lagi kenjataannja : pun diantara negara2 barat perbe
daan dalam bukum perdata rnasing2 nampak benar2.
Ada satu soal jang, menurut hemat saja, seharusnja mudah
diadakan kata sepakat antara semua negara2 didunia, jaitu
soal wesel. Dengan wesel ini, jang merupakan suatu suruhan
oleh A kepada B supaja membajar sedjumlah uang kepada
C, tertjipta suatu tjara pembajaran uang jang amat praktis
didalam alam para pedagang, djuga dalam perdagangan inter
nasional.
Tentunja sudah amat lajak, apabila perihal wesel oleh se
genap pedagang diseluruh dunia dibutuhkan satu peraturan,
jang berlaku di-inana-. Dan memang usaha untuk mentjapai
tudjuan jang sedemikian itu telah dilakukan. Dalam tahun
1950 dikota Djenewa dari negeri Swis telah tertjipta suatu per-
djandjian internasional jang bermaksud mengadakan satu per
aturan hukum tentang wesel.
Negeri Belanda, jang turut menandatangani traktat itu, menje-
suaikan undang-undangnja, jaitu Kitab Hukum Dagang, dengan
penentuan2 dari traktat tersebut setjara mengubah titel V I dari
Buku I jang mengatur hal wesel. Ini terdjadi dalam tahun 1932.
Dan pada tahun 1933 (Staatsblad Negeri Belanda 1933-224)
traktat ini oleli undftng-undang negeri Belanda ditetapkan ber
laku djuga Lagi Indonesia. Sudah lebih dahulu, jaitu dengan
Staatsblad 1934-562, Kitab Hukum Dagang di Indonesia diubah
djuga, supaja sesuai dengan Kitab Hukum Dagang negeri Be
landa, jaitu titel V I dari Buku I, djuga jang mengenai wesel.
Perubahan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Djanuari 1936.
Harapan Djenewa pada 1930 akan memperoleh kesatuan
dalam peraturan wesel diseluruh dunia, ternjata sia2 belaka.
Inggeris dengan Commonwealth-nja dan Amerika Serikat mi-
salnja tidak turut menandatangani perdjandjian internasional
tentang wesel itu.
13

Pengalaman pahit tentang wesel ini menandakan, bahwa se-
kiranja sama sekali belum boleh diharapkan terbajang suatu
saat, dalam mana seluruh dunia mempunjai satu peraturan
hukum perdata internasional.
Tetapi, kalau hal ini dipikir lebih dalam dengan mengingat
keadaan2 jang njata ditiap2 negara, maka pengalaman jang
pahit ini sebetulnja sudah lajak, se-tidak2-nja mudah dapat
dimengerti.
Hukum perdata ditiap2 negara terbentuk sebagian besar oleh
pembentuk undang-undang dan dilaksanakan oleh para hakim.
Pembentuk undang-undang dan para hakim ini barangkali ada
jang sangat internasional-minded, jaitu berhasrat untuk betul2
memperhatikan rasa keadilan, jang tidak terbatas pada lingkung
an daerah hukum negaranja. Akan tetapi pada umumnja, jang
dipahami betul2 oleh mereka ialah hanja hukum perdata dari
negara awak. Hukum perdata dari negara asing hanja dapat
diketahui setjara membatja buku2 jang mentjeriterakan hal itu
atau setjara mendengarkan orang2 ahli hukum dari negara2
asing itu.
Oleh karena tjara mengetahui ini adalah tidak langsung,
dengan akibat, bahwa hal sesuatu sangat -tergantung daripada
dapat atau tidaknja dipertjaja buku2 atau ahli2 itu, maka pem
bentuk undang-undang dan para hakim dengan sendirinja agak
ragu2 dalam hal memperhatikan segala sesuatu jang disadjikan
kepada mereka sebagai hukum perdata dari negara2 asing itu.
Dengan ini mudah dapat dimengerti kegagalan sampai seka
rang dari segala usaha untuk mengadakan salu hukum perdata
internasional bagi seluruh dunia.
Sekarang ada usaha lagi untuk mengadakan suatu peraturan
seragam („uniform”) bagi seluruh dunia tentang djual-beli internasional.
14

Pada tanggal 1-10 Nopember 1951 di Den Haag ada kon-
perens! internasional jang berlangsung atas usul suatu lembaga
internasional di Roma (Itali), bernama ”L’ Institut International
pour I’Unification du Droit Prive” ( = „Lembaga Internasional
untuk mentjapai Kesatuan Hukum Perdata ). Konperensi inter
nasional ini membitjarakan suatu rantjangan undang-undang
seragam mengenai djual-beli internasional. Pembitjaraan belum
selesai, jaitu baru terbentuk suatu Panitia jang akan mengubah
rantjangan semula itu dengan memperhatikan pembitjaraan-
jang diadakan pada konperensi tersebut.
Peraturan seragam ini dimaksudkan untuk dimasukkan dalam
perundang-undangan nasional dari tiap2 negara jang turut serta
dalam konperensi itu. Dikemudian hari akan diadakan konpe
rensi internasional lagi jang akan membitjarakan lebih Iandjut
rantjangan jang sudah diperbaiki itu.
Disamping usaha ini ada usaha lain untuk membentuk per
aturan hukum perdata internasional mengenai djual-beli inter
nasional itu, jaitu pada „Konperensi Den Haag ketudjuh ten
tang Hukum Perdata Internasional”, jang berlangsung pada
tanggal 9-51 Oktober 1951 di Den Haag d juga. Komperensi'
sematjam ini dulu sudah enam kali diadakan, selalu di Den
Haag, jaitu ber-turut2 pada tahun2 1895. 1894, 1900, 1904, 1925'
dan 1928.
Konperensi Den Haag ketudjuh ini merantjangkan tiga buah-,
persetudjuan internasional (traktat) antara pelbagai negara,,
diantaranja ialah suatu rantjangan persetudjuan („ontwerp-con-
ventie”) mengenai djual-beli internasional. Tetapi jang diran-
tjangkan ini ialah suatu traktat, jang menentukan suatu per
aturan hukum perdata internasional, djadi jang hanja memberr
djalan untuk memetjahkan soal pertentangan antara pelbagai
undang-undang nasional dari pelbagai negara perihal djual-belf
15

jang bersifat internasional setjara menundjukkan unclang-unclang
.nasional mana jang harus dianggap berlaku.
Pada dua rantjangan tersebut tentunja harus ada persesuaian
tentang beberapa hal. Misalnja lentang pengertian dan Iuasnja
istilah djual-beli internasional.
Rantjangan undang-undang seragam menetapkan sebagai
hakekat-pokok („hoofdbeginsel ), bahwa suatu djual-beli diang
gap bersifat internasional, apabila sipendjual dan sipembeli
masing2 mempunjai perusahaan atau berdiam di-Iain2 negara,
dalam hal mana soal kebangsaan atau kewarganegaraan dari
kedua belah pihak tidak berpengaruh.
Perlu djuga dikatakan disini, bahwa djual-beli internasional
jang akan diatur ini, hanja meliputi barang-barang bertubuh
.serta bergerak (roerende Iichameiijke zaken). Dan lagi dari per
aturan seragam ini diketjualikan : uang (geldswaarden), surat“
berharga (waardepapieren), kapal laut (zeeschepen), kapal pada
umumnja (vaartuigen), kapal udara (vliegtuigen) dan hewan-
.hewan jang masih hidup.
Sifat.
Kegagalan tersebut diatas mengakibatkan, bahwa pada waktu
sekarang tiap2 negara mengatur sendiri'- bagaimana halnja
dengan hukum perdata, apabila dalam perhubungan hukum
jang bersangkutan terselip suatu anasir asing. Dengan ini ter-
njata, bahwa sifat suatu peraturan hukum perdata internasional
pada waktu sekarang adalah tidak berbeda dari hukum perdata
biasa jang berlaku di-tiap2 negara, jaitu merupakan sebagian
dari hukum perdata itu. Dengan lain perkataan hukum perdata
internasional pada waktu sekarang masih bersifat nasional belaka.
Apa dan sampai dimana hakim harus memperhatikan suatu
kenjataan, bahwa suatu anasir asing tersangkut dalam s u a t u
16

perhubungan hukum perdata, melulu tergantung dari apa jang
ditentukan oleh pembentuk undang-undang dari negara awak.
Betul ada kalanja suatu perdjandjian internasional atau suatu
kesusilaan internasional harus diperhatikan sepenuhnja oleh
pembentuk undang-undang atau oleh para hakim, akan tetapi
ini pada pokoknja harus berdasar atas hukum nasional. Mereka
baru mentjurahkan perhaliannja kepada hukum perdata jang
berlaku di negara asing, apabila hukum dari negara awak me-
njuruhnja bertindak demikian. Dan dalam hal mentafsirkan
pasal2 jang menjuruh ini, bagi pembentuk undang-undang dan
para hakim tjukuplah, djika mereka melakukan tjara2 pentafsiran
jang lazim terpakai dinegeri awak.
Sampai disini tetaplah sifat nasional dari suatu hukum per
data internasional. Baru, kalau pembentuk undang-undang dan
haki m sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa pada suatu
perhubungan hukum jang tertentu berlakulah suatu peraturan
hukum perdata dari suatu negara asing jang tertentu, maka
tidak boleh tidak harus diperhatikan segala sesuatu jang ber
laku di negara asing itu mengenai peraturan asing tersebut.
Buku2 penting jang terbit di negara asing itu mengenai soal
jang bersangkutan, sebaiknja harus dipeladjari, putusan2 prin-
sipil dari para hakim di negara asing itu harus diketahui, pentaf
siran2 hukum jang lazim dipergunakan dinegeri asing itu, harus
ditindjau seperlunja.
Hanja dengan bertindak demikian hakim nasional, dalam
soal2 perhubungan hukum perdata jang bersifat internasional,
dapat mendjatuhkan suatu putusan jang akan dirasakan adil.
Pembagian dalam dua bagian.
Suatu hukum perdata internasional dapat dibagi mendjadi
dua bagian, jaitu ke-1 jang merupakan suatu penundjukan
kepada peraturan hukum lain, jaitu jang berlaku disuatu
17

negara asing dan ke-2 jang merupakan suatu peraturan istimewa
jang menjimpang dari peraturan hukum perdata biasa.
1. Penundjukan kepada hukum negara asing.
Diatas telah disebutkan, babwa tudjuan hukum internasional
ialah memenuhi rasa keadilan. Maka dalam hal penundjukan
kepada hukum negara asingpun tudjuan ini harus dipertahan
kan dengan mengedjar seberapa boleh suatu irama perhubungan
antara hukum2 perdata pelbagai negara („Harmony of laws’ ).
Hanja dengan begini dapat tertjapai suatu keadaan jang men
dekati rasa kepuasan dari para pihak jang bersangkutan.
Ukuran ini jang berdasar atas pemenuhan rasa keadilan,
mungkin sekali tidak dapat memuaskan semua orang jang me
mikirkan hal hukum perdata internasional. Kenjataannja ialah,
bahwa setengah orang berusaha menemukan suatu alasan jang
lebih njata, lebih konkrit untuk mengadakan suatu peraturan
penundjukan kepada hukum perdata asing.
Misalnja dikemukakan hal memperlindungi hak2 jang sudah
tertanam menurut hukum asing (..protection of vested rights .
„bescherming van verkregen rechten ). Hak ini dirasakan sebai
nja harus diperlindungi, meskipun hukum perdata dari negara
awak tidak mengenal hak2 itu. Dibawah akan diterangkan, bah
wa sebaiknja kini dipakai istilah pelandjutan keadaan hukum.
Hal ini memang adalah suatu asas penting dari hukum
perdata internasional jang dalam banjak soal merupakan alasan
jang djitu untuk menundjuk kepada hukum perdata asing,
akan tetapi ternjata, bahwa bukan hal ini sadja merupakan
alasan untuk menundjuk kepada hukum perdata asing- D an
lagi sebetulnja ukuran mengenai perlindungan hak2 jang sudah
tertjapai ini tidak lebih konkrit dari pada ukuran mengena*
rasa keadilan, oleh karena masih mendjadi pertanjaan besar,
18

Imk2 jang mana harus diperlindungi dan apa ada kata sepakat
diantara pelbagai negara tentang penentuan hak2 jang harus
diperlindungi itu.
Ada lain alasan jang mungkin dapat dikemukakan untuk
mengadakan penundjukan kepada hukum negara asing, jaitu
hal saling menghormati dari pelbagai negara jang hukum per-
datanja tersangkut paut oleh suatu keadaan. Dengan tersangkut-
nja beberapa negara jang masing- berdaulat, maka alam pikiran
kita dengan sendirinja disalurkan kearah hukum antarnegara
(„Volkenrechl ’) dan timbul pertanjaan, apakah barangkali da
lam hukum antarnegara ada pasal2 jang menentukan perihal
berlakunja hukum perdata dari suatu negara didalam wilajah
negara lain. Sekiranja pasal2 seperti ini tidak ada dalam hukum
antarnegara.
Betul, barangkali antara beberapa negara ada perdjandjian
internasional jang mengatur hal ini berhubung dengan suatu
soal jang tertentu, akan tetapi tidak adalah suatu peraturan
jang bersifat umum dan jang menetapkan ukuran2 tertentu
untuk meliputi semua soal2.
2. Peraturan istimewa.
Peraturan seperti ini, jaitu jang tidak menundjuk begitu sadja
kepada suatu hukum suatu negara, paling lajak mungkin dike-
temukan dalam suatu traktat antara dua negara atau lebih jang
mengatur hal sesuatu, misalnja perihal wesel atau perihal tu
brukan antara kapal2 ditengah lautan.
Tetapi mungkin ada peraturan dalam hukum perdata suatu
negara jang memuat suatu peraturan istimewa itu.
Sebagai tjontoh dapat disebut pasal 85 Kitab Hukum Perdata
di Indonesia (Burgelijk Wetboek) mengenai perkawinan war-
ganegara Indonesia jang berbangsa Eropah dan Tionghoa, jang
19

dilakukan diluar-negeri. Perkawinan itu harus dilakukan menu
rut tjara jang lazim dianut ditempat perkawinan itu, tetapi jang
akan kawin harus memenuhi sjarat2 jang ditentukan dalam
Burgelijk Wethoek, pasal2 27 — 49.
Bagi negeri Belanda pasal 110 B .W ., jang sama bunjinja
dengan pasal 83 B.YV. Indonesia, akan dihapuskan, oleh karena
sudah termuat dalam suatu undang-undang seragam („eenvor-
mige wet”) tentang hukum perdata internasional jang akan di
adakan oleh negara2 Benelux (Belgi, Nederland dan Luxemburg).
Lain tjontoh ialah pasal 945 Kitab Hukum Perdata tersebut
jang menentukan, bahwa, apabila seorang warganegara Indo
nesia dinegeri asing akan membikin surat hibah wasiat
(„testament”), ini harus terdjadi dengan akta otentik. Menurut
Kitab Hukum Perdata di Indonesia dan dinegeri Belanda, Ijara
membikin surat hibah wasiat ini tidak terbatas pada akta o t e n t ik
dan peraturan sematjam ini mungkin sekali djuga berada dine-
gara asing.
Bagi negeri Belanda baru diusulkan, supaja pasal 992 B .W .
Belanda, jang sama bunjinja dengan pasal 945 B. W- Indo
nesia ini, ditambah dengan ajat ke-5 jang menentukan, bahwa
ajat ke-1 jang menetapkan harus ada akta otentik itu. tidak ber
laku bagi seorang w arganegara Belanda jang berdiam atau wafat
dinegeri asing, dimana ia membikin surat hibah wasiat itu.
Dengan ini penetapan dari ajat ke-1 tadi hampir sama sekali ti
dak berarti lagi.
Lain tjontoh lagi ialah Staatsblad 1872-11 jis 1915-299. 642
(mulai berlaku tanggal 1 D januari 1916), pengganti pasal 857
Kitab Hukum Perdata di Indonesia jang menentukan : Apabila
ada barang2 warisan, sebagian berada di Indonesia, sebagian di-
Iuar Indonesia dan harus dibagi2 antara warganegara Indonesia
(jang berbangsa Eropah dan Tionghoa) dan orang2 asing, sedang
20

menurut hukum asing ada beberapa barang jang tidak boleh
diwaris oleh warganegara Indonesia, maka untuk warganegara
Indonesia, ini boleh diambilkan dulu dari barang2 Iainnja jang
sepadan dengan bagiannja.
Bagi negeri Belanda peraturan jang sematjam ini akan di
hapuskan, oleh karena djuga sudah termuat dalam undang-
undang seragam tersebut diatas tentang hukum perdata inter
nasional jang akan diadakan oleh negara2 Benelux.
Ada beberapa hal jang, untuk mendjernihkan soal pengertian
hukum perdata internasional, perlu dikemukakan berhubung
dengan hal, bahwa dalam hukum perdata internasional tersang
kut paut pelbagai hukum perdata, jaitu :
a. hukum perdata internasional hanja mengenai pelbagai
hukum perdata jang pada suatu waktu bersama-sama berlaku
masing- untuk daerah sendiri-. Maka harus diperbedakan dari
pada jang dinamakan hukum interlemporaal, jaitu jang menge
nai pelbagai hukum perdata jang ber-turul2 berlaku dan jang
meliputi satu keadaan ;
b. hukum perdata internasional hanja mengenai pelbagai
hukum perdata dari pelbagai negara jang masing2 berdaulat,
maka harus diperbedakan dari-pada jang dinamakan hukum in
terlokal, jaitu jang mengenai pelbagai hukum perdata jang berla
ku dalam pelbagai daerah dari satu negara ;
c. hukum perdata internasional hanja mengenai pelbagai
hukum perdata dari pelbagai daerah hukum, maka harus di
perbedakan daripada jang dinamakan hukum intergentiel, jaitu
jang mengenai pelbagai hukum perdata jang ber-sama2 berlaku
dalam satu daerah hukum untuk pelbagai golongan penduduk.
Dengan memadjukan perbedaan2 ini harus diingati pula,
bahwa dalam empat matjam hukum perdata ini ada hal2 jang
sama sifatnja, hal mana sering memperbolehkan atau mengha
ruskan melaksanakan asas2 jang sama atau jang hampir sama.
21

B A G IA N II
Tempat pendiaman atau kcwargancgaraan sebagai ukuran
Diatas telah diutarakan, bahwa soal hukum perdata inter
nasional muntjul kemuka, apabila ada anasir asing dalam sualu
perhubungan hukum perdata disuatu tempat. Anasir asing ini
jang terpenting ialah mengenai orang~ jang tersangkut paut
dalam perhubungan hukum itu, jaitu perihal kedudukan hukum
dan kekuasaan2 hukum mereka.
Hal ini sebagian besar mengenai kedudukan orang- jang
belum dewasa atau jang berada dibawah sualu pengawasan
.(„curateele” ). kedudukan seorang dalam perkawinan, perizinan
atau kemungkinan untuk kawin atau untuk mendjadi ahli waris
dan lain2 sebagainja.
Perlu ditegaskan bahwa anasir asing mengenai orang2 dalam
hal ini tidak hanja berarti orang2 asing, jaitu orang2 warga-
negara dari negara asing, melainkan djuga melipuli orang- war
ganegara dari negara awak jang bertempat diam (berdomisili)
^ dinegara asing.
Pentjiptaan hukum dalam suatu negara dalam arti jang
se-Iuas2-nja, jaitu tidak hanja mengenai pembentukan undang-
undang, melainkan djuga meliputi pentjiptaan hukum oleh adat
kebiasaan, oleh putusan hakim, oleh ilmu pengetahuan hukum
dan lain2 — pada hakekatnja m e n g a n d u n g dua anasir, jaitu ke-1.
bahwa hukum itu dimaksudkan untuk berlaku dalam daerah
hukum negara itu („territoir”) dan ke-2, bahwa hukum itu di
maksudkan untuk berlaku bagi para warganegara dari negara itu.
Hakekatnja, ini berhubungan dengan soal kedaulatan setiap
negara merdeka jang terbatas pada dua anasir itu, jaitu kedae-
rahan-hukum dan k e w a r g a n e g a r a a n . Ini adalah hal jang njata
pada waktu sekarang dan masih dipertahankan penuh terhadap
pengaruh hukum antar-negara dalam keadaan sekarang.

Dua anasir ini clapat diterobos oleh anasir asing jang termak
sud diatas. Kalau penerobosan ini mengenai dua2nja anasir itu,
jaitu apabila suatu soal mengenai- perhubungan hulcum antara
orang2 asing jang sama berdiam dinegara asing, maka sudah
barang tentu hukum negeri asing itulah jang berlaku. Kini tidak
tersinggung anasir asing lain jang tidak mengenai orang2, mi-
salnja mengenai barang2 atau mengenai tjara melakukan tindak
an hukum, hal mana akan saja bitjarakan kemudian.
Apabila penerobosan ini mengenai salah suatu dari dua
anasir tersebut, jaitu apabila ada suatu perhubungan hukum
perdata antara dua orang asing dari suatu negara asing misalnja
Negara India, jang dua2-nja berdiam di-Indonesia, atau antara
dua orang warganegara Indonesia jang dua2-nja berdiam di
Negara India misalnja, maka timbul pertanjaan : hukum perdata
manakah jang berlaku, hukum perdata Indonesia-kah atau hu
kum perdata India-kah ?
Djawaban atas pertanjaan ini dipelbagai negara didunia
pada waktu sekarang adalah tidak sama, melainkan bermatjam
dua.
Ada suatu golongan negara jang mengambil sebagai ukuran
untuk djawaban itu ialah tempat pendiaman, maka menganggap
hukum perdata dari negara tempat pendiaman sebagai hukum
jang berlaku, sedang golongan negara ke-2 mengambil sebagai
ukuran kewarganegaraan orang2 jang bersangkutan dan meng
anggap berlaku hukum perdata dari negara jang orang" itu
mendjadi warganegaranja.
Perlu diterangkan disini, bahwa buku2 tentang hukum per
data internasional pada umumnja untuk pengertian kewarga
negaraan memakai perkataan „nationality atau ..nationaliteit ,
jang lebih mendekati pengertian kebangsaan.
Menurut penjelidikan oleh Martin W o lff dalam bukunja
„Private International Law , jang terbit pada tahun 1930 di
23

Oxford, negara2 jang menganut prinsip-domisili adalah Ame
rika Serikat, British Commonwealth, Denmark, Iceland, Norway,
Brasil, Negara2 Baltic, dari Amerika Selatan : Argentina, Boli
via, Paraguai, Peru dan Uruguai, dari Amerika Tengah : N ica
ragua dan Guatemala ; sedang jang menganut prinsip-kewarga-
negaraan ialah dari Eropah : Perantjis, Belanda, Belgi, Luxem
burg, Monaco. Dominican Republik, Junani, Itali, Rumani, Por-
tugal, Spanjol, Swis, Djerman, Hungaria, Liechtenstein, Cze
choslovakia, Bulgaria, Yugoslavia, Albania, Turki, Finlandia
dan Swedia.dari Asia : Djepang, China Iran, Muang Thai dan
Indonesia, dari Amerika Selatan dan Tengah : Ecuador, Chili,
Salvador, Colombia, Costarica, Cuba, Honduras, Panama dan
Mexico.
Kemudian dalam tahun 1951 Swedia menjeberang kepada
prinsip-domisili.
D i Sovjet Rusia, Austria dan Venezuela djuga dianut prinsip-
kewarganegaraan, tetapi tidak setjara timbal-balik, jaitu w'arga-
negara mereka tunduk kepada hukum perdata negara awak, mes
kipun berdiam dimanapun djuga, sedang orang asing jang ber
diam di-negara2 itu dianggap tunduk kepada hukum dari negara,
dimana mereka berdiam.
Mula-mula diseluruh Eropah dianut prinsip-domisili. Peran-
tjis, pada waktu mengadakan kodifikasi pada permulaan abad
ke-19, mulai mengubah sikap ganti menganut prinsip-kewarga-
negaraan. Kemudian lain2 negara meniru tindakan Perantjis ini.
Di-Indonesia pada zaman Belanda mula2 menurut pasal 16
(lama) A.B. („Algemeene Bepalingen van Wetgeving” — „Pe
nentuan2 umum perihal perundang-undangan ) dianut prinsip-
domisili, dengan menjimpang dari peraturan di-negeri Belanda
sendiri jang sedjak tahun 1829 telah menganut prinsip-kewar’ga-
negaraan.
24

Pasal 16 (lama) A. B. itu berbunji : ,,De wettelijke bepalingen
betreflende de staat en de bevoegdheid der personen blijven
verbindend voor ingezeienen van Nederlandsch-Indie, wanneer
zij zicli buitcn ’s Lands bevinden”. (= „Peraturan2 undang-
undang tentang kedudukan dan kekuasaan hukum bagi pendu
duk Hindia-Belanda tetap berlaku bagi mereka, apabila, mereka
berada diluar-negeri").
Dalam Slaalsblad 1915 ^ 299 jo 642 pasal 16 A. B. diubah,
sehirrgga „ingezetenen van Nederlands ch-lnd ie diganti dengan
..Nederlandsche onderdanen” ( = „warganegara Keradjaan Be
landa”, jang meliputi djuga Indonesia sebagai Hindia-Belanda)
dan ditambahkan 'suatu kalimat jang mengatakan, bahwa apa
bila „Nederlandsch onderdaan" dari Hindia-Belanda berada di
Negeri Belanda atau di-Iain tanah djadjahan dari negeri Belan
da, maka mereka takluk pada bagian tersebut dari hukum per
data jang berlaku ditempat beradanja itu.
Dengan perubahan ini, maka sedjak tahun 1915 di Indonesia
dianut prinsip-kewarganegaraan, tetapi dalam hubungan antara
negeri Belanda dan tanah-tanah djadjahannja dianut prinsip-
domisili.
Baik pada zaman Djepang, maupun pada zaman Republik
Indonesia dari tahun 1945, zaman Republik Indonesia Serikat
dan zaman Negara Kesatuan lagi, tidak diadakan perubahan
tentang hal ini, artinja hal pasal 16 A.B. ini sama sekali tidak
di-singgung2. Hanja dalam pasal 51 Konstitusi R. I. S. dan
sekarang dalam pasal 52 Undang-undang Dasar Sementara R.I.
jang hampir sama bunjinja ditentukan, bahwa „setiap orang
jang ada didaerah Negara harus patuh kepada undang-undang,
termasuk aturan2 Hukum jang tak tertulis .
Penentuan dari pasal 52 U. D. Sementara ini barangkali
menimbulkan kesan, bahwa tidak lagi pasal 16 A.B. diartikan
bertimbal-balik. Dengan bertimbal-balik, djuga untuk orang2
asing jang bertempat tinggal di Indonesia perihal kedudukan
25

•dan kekuasaan hukum tetap berlaku hukum perdata dari negara-
nja sendiri. Pertimbal-balikan ini dianggap ada. oleli karena
pasal 5 A. B. menentukan, bahwa, selama tidak ditentukan lain
oleh undang-undang, maka hukum perdata dan hukum dagang
adalah sama untuk \varganegara2 dan orang2 asing. Prinsip
dari pasal 16 A . B. sendiri dianggap sebagai bagian dari hukum
perdata, maka prinsip-kewrarganegaraan djuga berlaku bagi
orang2 asing jang berada di Indonesia.
Kalau pasal 5 dan 16 A.B. sekarang masih dianggap berlaku
— dan menurut hemat saja memang masih berlaku —- maka
sesuai dengan pasal 52 U. D . Sementara R. I. orang- asing
jang berada di Indonesia, djuga patuh kepada pasal 5 dan pasal
16 A . B. itu, maka tetaplah pertimbal-balikan dari pasal 16 A . B.
Uraian diatas ini hanja mengenai pasal 16 kalimat ke-1 dari
A. B.
Bagaimanakah halnja sekarang dengan perhubungan Indo-
nesia-Belanda mengenai pasal 16 A.B., kalimat ke-2 7 Apakah
kalimat ke-dua ini sekarang masih berlaku ?
Sebetulnja kalimat ini hanja menentukan prinsip-domisili
bagi ..Nederlandsch Onderdaan dari „Hindia-Belanda J an&
berada dinegeri Belanda. D jad i tidaklah disinggung keadaan
orang2 Belanda asli jang berada di Indonesia. Tetapi jurispru-
densi dizaman Belanda menganggap prinsip-domisili 1°^ ':,er’
laku djuga bagi mereka.
Biasanja istilah ,,NederI andsch-Onderdaan” diperundang-
undangan Hindia-Belanda dulu, sekarang diartikan sebagai
..warganegara Republik Indonesia”. Kalau ini djuga diperlukan
terhadap pasal 16, kalimat ke-2 dari A.B. maka andaikata kali
mat ini sekarang masih dianggap berlaku, sekarang masih dilan-
djutkan prinsip-domisili bagi orang2 warganegara Indonesia
jang berada dinegeri Belanda.
Tetapi kalau pasal 16 A.B., kalimat ke-2 ini, ditindjau lebih
■dalam, maka ada ke-ragu2-an, apakah kini istilah ,,Neder-
26

lancIsch-OnclercIaan” dapat diartikan sebagai „warganegara
Indonesia begilu sadja. Sebab dalam pasal. 16, kalimat ke-2 dari
A.B. ini penibentuk-undang-undang („wetgever ) dalam mema
kai istilah „Nederlandsch-Onderdaan ini menitikberatkan
pemandangannja pada kewarganegaraan dari ,.Negeri Belanda
dan tanah-tanah djadjabannja (termasuk djuga Hindia-Be
landa).
Maka kesatuanlah dari negeri Belanda dan tanah- djadjahan-
nja jang mendorong untuk mengadakan kalimat ke-2 ini. Dan
kesatuan ini berdasar alas anggapan, bahwa negeri Belanda dan
tanah- djadjabannja (termasuk Indonesia) betul- merupakan
sal u Negara K.eradjaan Belanda (,.een Ivoninkrijk der Neder-
landen ) dengan satu matjam warganegara, jang dinamakan
„Nederlandsch-Onderdaan .
Maka dari itu. istilali „Nederlandsch-Onderdaan dalam pasal
16. kalimat ke-2. dari A.B. ini, tidaklah dapat disalin begitu
sadja dengan „warganegara Indonesia , melainkan harus disalin
dengan „orang2 Belanda .
Kalau demikianlah halnja, maka saja lebih suka pada penda
pat. bahwa kalimat ke-2 dari pasal 16 A.B. ini pada waktu seka
rang tidak lagi berlaku, oleh karena dalam perundang-undangan
dari negara Indonesia jang sudah merdeka, tiada tempat untuk
suatu penentuan mengenai warganegara dari suatu negara
asing. Dan akibat dari pendapat ini ialah, bahwa pada waktu
sekarang untuk warganegara Indonesia jang berada dinegeri
Belanda berlakulah prinsip-kewarganegaraan menurut pasal 16,
kalimat ke-1 A.B.
Adapun sebagai pertimbal-balikan harus dianggap pula, bah
wa bagi warganegara Belanda jang berada di-Indonesia, pada
waktu sekarang berlakulah prinsip-kewarganegaraan djuga, djadi
tentang kedudukan dan kekuasaan hukum, mereka tetap takluk
pada B .W . Belanda dan lain-lain peraturan undang-undang
jang berlaku dinegeri Belanda.

M ana jang baik, prinsip-kewarganegaraan atau prinsip-
domisili, adalah amat sukar untuk ditetapkan. Sebetulnja, ini
berhubungan erat dengan maksud orang2 asing untuk bertempat
tinggal didaerah suatu negara. Kalau maksud mereka itu ialah
untuk melepaskan ikatan dengan negara asli, maka sekiranja
sesuailah dengan maksud itu, apabila mereka dalam segala~-nja
takluk kepada hukum perdata seluruhnja dari negara tempat
pendiaman. Tetapi sudah amat sulitlah untuk menetapkan apa
maksud itu betul2 ada. Sebab Iazimnja orang asing jang memin
dahkan tempat pendiamannja kesatu negara, tidak sadar atas
suatu maksud melepaskan atau tidak ikatannja dengan negara
asli. D an apabila maksud itu memang dapat ditentukan, masih
mendjadi pertanjaan, apa negara asli itu, mengingat kepentingan
negara, memperbolehkan pelepasan ikatan dari warganegaranja
itu. Maka disamping kepentingan perseorangan djuga ada ke
pentingan negara jang menentukan hal ini. O leh karena ada dua
negara tersangkut paut dalam soal ini, maka akan selalu ada
pertentangan antara kepentingan2 dua negara masing2 itu.
Misalnja sadja bagi Amerika Utara dan Amerika Selatan
jang penduduknja sebagian besar terdiri dari golongan2 orang
jang berasal dari amat banjak matjam negara, maka akan amat
sukar untuk menentukan hukum perdata jang in c o n c r e to ber
laku, apabila masing2 golongan orang itu tetap takluk kepada
hukum perdata dari negara asli masing2. Kepastian hukum,
jang dalam setiap negara didjundjung tinggi, akan amat ter
ganggu. Maka dari itu sudah sepatutnja, apabila di Amerika
dianut prinsip-domisili.
Sebaliknja, dalam suatu negara jang diantara penduduk hanja
sedikit adanja orang asing, sekiranja dari sudut ini tiada kebe
ratan untuk menganut prinsip-kewarganegaraan. Akan tetapi
bagaimanakah halnja dengan Inggeris ? D i Inggeris, lain dari
28

pada di Amerika, penduduknja liampir semua terdiri dari
bangsa Inggeris asli. ¡Meskipun demikian, Inggeris tetap meng
anut prinsip-domisili djuga. Sekiranja ini berhubungan dengan
pengertian istimewa dari „domisili” di-Inggeris (djuga di-Ame-
rika), jang mengenal pengertian „domicilie of origin” (— tempat
pendiaman asli).
„Domicilie of origin” ini menurut hukum Inggeris dimiliki
oleh seorang pada waktu lahirnja. Dan domisili ini bukanlah
tempat dimana orang lahir, melainkan ditempat domisili dari
ajahnja. Orang dewasa dapat mengubah domisilinja („domicilie
of choice’ = ,,tempat tinggal pilihan ). Untuk ini ada sjarat-,
diantaranjn ialah maksud untuk ietcip tinggal ditempat itu sampai
malinja. Kalau sjarat2 ini tidak dipenuhi, maka tetaplah „domi
cilie of origin” berlaku. Maka sebetulnja domisili sematjam ini
mendekati soal tempat negara asli, djadi djuga mendekati soal
kewarganegaraan dari negara asli itu.
Dapat dikatakan djuga, bahwa ukuran kewarganegaraan
adalah lebih tetap, lebih stabil daripada ukuran domisili, jang
pada hakekatnja lebih mudah dapat diganti atas kemauan orang
jang berkepentingan. Dan djuga lebih mungkin adanja orang
pura- mengubah domisili daripada kewarganegaraan, misalnja
melulu supaja dapat kawin.
Sebagai keberatan dari prinsip kewarganegaraan sering
diadjukan, bahwa kesulitan akan muntjul, apabila seorang
mempunjai clua matjam kewarganegaraan („bipatriden ) atau
sama sekali tidak mempunjai kewarganegaraan (,,apatriden ).
Dalam hal ini terpaksalah diambil lain ukuran dan ukuran lain
itu jang lepat ialah ukuran domisili.
Menurut hemat saja, soal jang seharusnja diperhatikan penuh
ialah bukan mana jang lebih baik dari dua prinsip tersebut,
melainkan soal perlu sekali adanja satu prinsip jang dianut
oleh seluruh dunia. Kesulitan2 jang sekarang didjumpai adalah
akibat dari adanja bersampingan berlaku dua matjam prinsip
29

tadi. Kalau kepentingan ini dapat diinsjafi benar2 oleh peme
rintah2 disemua negara, maka sekiranja dapat dikelemukan suatu
modus, suatu djalan jang berada di-lengah2 antara dua prinsip
tadi. Selama keinsjafan ini belum ada, maka perbedaan prinsip
dan kesulitan sebagai akibat dari itu akan tetap ada.
Suatu tjontoh dari kesulitan ini. Seorang warganegara Inggeris
jang berumur 20 tabun, berdiam dinegeri Swis. melakukan
suatu perbuatan hukum. Menurut hukum perdata internasional
Swis, jang menganut prinsip kewarganegaraan dan menundjuk
kepada kukum Inggeris, orang itu belum tjukup umur, oleh
karena hukum Inggeris mengenal perbatasan 21 tahun untuk
mendjadi orang dewasa, maka perbuatan hukum jang bersang
kutan adalah batal. Akan tetapi hukum perdata internasional
Inggeris menganut prinsip domisili dan menundjuk kepada
hukum Swis dan menurut hukum Swis batas umur itu adalah
20, maka orang itu sudah dewasa dan dapat melakukan per
buatan hukum dengari sah.
Dalam undang-undang seragam tentang hukum perdata in
ternasional, jang akan diadakan di-negara2 Benelux (Belgi, Ne-
derland dan Luxemburg) akan diperlakukan prinsip kewargane
garaan („nationaliteitsbeginsel”) dengan beberapa keketjualian.
Lazim dikatakan, bahwa pasal 16 A . B. ini mengenai ,,per-
soneel statuut” („Statut perseorangan”), oleh karena berhubung
an dengan kedudukan dan kekuasaan hukum dari orang perseo
rangan. Disamping ini ada „reeel statuut” atau „zakelijk statuut”
(= ,,Statut kenjataan” atau „perbendaan”), jaitu jang termuat
dalam pasal 17 A . B. jang menentukan, bahwa tentang barang2
tak bergerak berlakulah hukum dari tempat Ietaknja barang itu.
A da lagi pasal 18 A. B. jang menentukan, bahwa tjara mela
kukan suatu tindakan hukum jang sesuai dengan hukum jang
berlaku ditempat, mana tindakan itu dilakukan adalah sah.
Pasal ini, oleh karena tidak se-mata~ mengenai orang perseorang
50

an clan suatu bencla, dinamakan „gemengd statuut” (= „statut
tjf'.mpuran ” ).
Perka tnan ,,statuut” ini tidak mempunjai arti jang njata-
Sc-olali- tiga pasal dari A. B. ini meliputi seluruh hukum per
data internasional, jaitu pasal 16 A. B. („personeel statuut”)
mengatur hal kedudukan hukum orang2, pasal 17 A. B. („reeel
statuut”) mengatur hal perbendaan seluruhnja dan pasal 18 A.B.
(„gemengd statuut") mengatur hal2 jang mengenai dua2-nja itu.
Sebetulnja tiga pasal ini hanja sedikit sekali memberi djawaban
alas seribu satu pertanjaan tentang hukum perdata internasional-
Pemakaian perkataan „statuut” adalah sisa dari suatu teori
jang dulu pernah dianut dibenua Eropah pada abad ke-14
dalam usaha mentjari djalan untuk menghindarkan kesulitan,
apabila hukum perdata dari suatu tempat tidak dapat begitu
sadja dilakukan, oleh karena dalam suatu perhubungan hukum
tersangkut djuga orang2 asing. Untuk memetjahkan soal ini,
semua peraturan hukum („statuut”) dibagi mendjadi tiga bagian,
jaitu peraturan mengenai orang perseorangan („persoonlijk”) ,.
peraturan mengenai perbendaan („zakelijk ”) dan peraturan
mengenai tjampuran dari dua anasir tersebut („gemengd”)-
Orang pada waktu itu berpendapat, bahwa tjukuplah ditentu
kan, suatu perhubungan hukum tertentu masuk golongan mana
dari tiga golongan peraturan hukum itu. Kemudian dianggap,
bahwa dengan sendirinja orang dapat mengetahui, apakah da
lam perhubungan hukum itu harus diturut hukum asing atau
hukum awak. Teori ini ternjata tidak berdjalan. oleh karena
orang2 sangat berlainan pendapat tentang apa jang dimaksud
kan dengan tiga matjam peraturan itu dan apa jang harus di
maksudkan dalam salah suatu peraturan itu. Dan ternjata djuga,
bahwa kalau sudah ditentukan satu sama lain, toh penjelesaian
soal masih belum memuaskan, oleh karena orang kurang mem
51

perhatikan sifat masing2 perhubungan hukum jang sebenarnja
<Jan banja mengumpulkan hal sesuatu clalam salah salu golong
an peraturan hukum jang dianggap sudah memberi penjelesaian
akan tetapi sebetulnja tidak. Maka dari itu boleh dibilang ,.sla-
tuten-theorie” itu sekarang tidak beri aku lagi.
Akan tetapi, djustru oleh karena hal hukum perdata inter
nasional belum rapi teraturnja dan dalam banjak bagian masih
bersifat agak kabur, maka toh ada gunanja, bahwa masih ter
dengar dan terpakai perkataan2 jang mengenai tiga matjam
„statuut” ini. Sebab pemakaian perkataan2 ini memperingatkan
orang2 jang mempunjai minat untuk mempeladjari hal hukum
perdata internasional, bahwa ada tiga pasal dari undang-undang
jang setjara terang memuat peraturan dari hukum perdata inter
nasional jang mengandung penundjukan („verwijzingsregel”)
kepada suatu hukum jang tertentu dipakai. Asal sadja selalu
di-ingat2 djuga, bahwa penundjukan ini sangat kurang daripada
sempurna. Statut perseorangan dari pasal 16 A . B. tidak meliputi
■seluruh hukum perdata jang mengenai perseorangan, melainkdn
hanja sebagian sadja, jaitu hal kedudukan dan kekuasaan hu
kum dari jang berkepentingan. Statut „perbendaan” dari pasal
A. B. tidak meliputi semua hukum perdata mengenai hak2
atas benda, melainkan hanja sebagian sadja, jaitu hal2 jang
berhubungan dengan barang tak bergerak. Statut ..tjampuran
dari pasal 18 A . B. tidak meliputi semua soal jang mengandung
sifat tjampuran dari hal perseorangan dan perbendaan, melain
kan hanja mengenai tjara melakukan sualu perbuatan hukum
sebagai sjarat untuk sahnja perbuatan hukum itu, hal mana
tidak hanja mengenai sebagian sadja dari soal2 tjampuran tadi,
tetapi djuga tidak selalu mengenai sifat tjampuran dari hal per
seorangan dan perbendaan, jaitu mungkin hanja bersifat perse
orangan sadja, seperti tjara melakukan pengakuan seorang anak
jang dilahirkan diluar perkawinan jang menurut pasal 281 Bur-
gelijk YVetboek harus dengan akta „authentiek”.
32

B A G IA N III
Kelertiban umum
Dalam pelaksanaan hukum perdata internasional oleh para
hakim atau oleh pemerintah dan dalam buku- ilmu pengetahuan
hukum jang meneropong pelaksanaan itu, seringkali terdengar
daniatau terpakai perkataan „ketertiban umum (= „openbare
orde ”, „ordre public ”).
Pcnjebutan ,,ketertiban umum dalam hal hukum perdata
internasional hampy^selalu dilakukan untuk memberi alasan,
bahwa pada halvjang pada umumnja hukum asing harus diturut
dalam suatu peristiwa jang tertentu sebagai keketjualian toh
hukum perdata dari negara awak harus diturut.
Tjontoh ke-1 : dinegeri Belanda dalam hukum perdata dianut
prinsip perkawinan monogami, jailu bahwa tidak diperbolehkan
seorang laki-laki mempunjai isteri dua atau lebih dalam perka
winan. Menurut pasal 6 berhubung dengan pasal 9 A. B. dari
negeri Belanda (jang sama bunjinja dengan pasal 16 dan pasal
3 A. B. dari Indonesia) kedudukan hukum seorang Arab jang
berada dinegeri Belanda, tetap diatur oleh hukum perdata dari
negaranja jang memperbolehkan seorang laki-laki beristeri sam
pai empat. Orang Arab itu, jang sudah mempunjai isteri, di
negeri Belanda ingin kawin lagi. Perkawinan jang ke-2 ini oleh
penguasa Belanda, jaitu Pegawai Pentjatatan Djiwa („Ambte-
naar Burgelijke Stand ”) tidak akan dilaksanakan atau apabila
perkawinan jang kedua kali itu toh dilaksanakan, perkawinan
itu dianggap lidak sah oleh para hakim dinegeri Belanda. Tin
dakan menolak dari penguasa Belanda dalam praktek sudah
pernah terdjadi dan oleh para penulis Belanda ahli hukum di
benarkan sepenuhnja.
Alasan jang dipakai untuk menjimpang dari pasal 6 juncto
pasal 9 A . B. itu ialah, bahwa ketertiban umum dinegeri Be
landa menuntut penjimpangan itu. Didjelaskan lebih landjut,
bahwa prinsip monogami adalah begitu meresap dalam djiwa
53

dan perasaan rakjat Belanda pada umumnja, sehingga Undakan
beristeri dua atau lebih dinegeri Belanda dianggap tidak boleh
dilakukan oleh siapapun djugci.
Timbul pertanjaan : Apabila seorang Arab, pada waktu meng-
indjak tanah Belanda, sudah beristeri dua, jaitu dua-nja per
kawinan dilakukan dinegeri sendiri, dimana hukum perdata
memperbolehkan beristeri dua itu dan kemudian dinegeri Belanda
isteri jang nomer dua itu melahirkan anak, dicuiggap sah-kah
anak itu ? Ini tergantung dari djawaban atas pertanjaan. apa
perkawinan jang ke-2 itu dianggap sah atau tidak.
Saja tidak tahu, apa soal sematjam ini sudah pernah diadju-
kan dimuka hakim Belanda, akan tetapi sekiranja hakim Belanda
akan menganggap sah anak itu. Menurut hemat saja adalah
keterlaluan, apabila perkawinan ke-2 jang dilakukan dinegeri
asing Asli setjara sah menurut hukum perdata jang berlaku
disana untuk suami-isteri jang berkepentingan, dianggap
tidak sah. Bagaimanapun djuga meresapnja prinsip monogami
dalam perasaan rakjat Belanda, harus dihormati dan dihargai
semustinja, bahwa dilain negeri ada perasaan rakjat jang lain
sifatnja.
Kalau seandainja hakim Belanda tidak mengakui sah per-
awinan ke-2 jang termasuk diatas, maka sebagai pertimbal-
alikan harus diperbolehkan, apabila dianlara orancj2 Belanda
jnng herndn dinegeri Arab dilakukan poligami. Sekiranja
konsekwensi ini tidak dipertanggung djawabkan oleh rakjat
Belanda.
Tjontoh ke-2 : Seandainja masih ada suatu negara, dimana
seorang boleh diperbudak, sedang negara Indonesia misalnja
dalam pasal 10 Undang-undang Dasar Sementara melarang hal
itu, dan seorang dari negara asing itu datang di Indonesia dan
memperbudak seorang lain dari bangsanja sendiri, maka mudah
apat dimengerti, bahwa pemerintah Indonesia tidak akan
34

mengakui perbudakan itu, oleh karena larangan perbudakan
boleh dibilang sangat meresap dalam perasaan rakjat Indonesia.
Dalam hal inipun alasannja dapat dimasukkan dalam golongan
ketertiban umum.
Akan tetapi apabila seorang dari negara tersebut dinega-
ranja sendiri sudah kedjadian diperbudak, kemudian ia datang
di Indonesia dan disini ia lantas menuntut hal- dari bekas
madjikannja jang dinegerinja sendiri tentu tidak akan dapat
dikabulkan, oleh karena ia adalah seorang budak, maka dapat
lah d f ragu 2kan. apakah tuntutannja di Indonesia ada ke
mungkinan akan dikabulkan.
Tjontoh ke-5 : D i Djerman dibawah penguasaan Pemerintah
Hitler ada peraturan hukum jang menentukan, bahwa perwira-
Djerman dari tentara Djerman hanja boleh kawin dengan izin
pembesamja dalam ketenteraan. Hukum perdata internasional
di Perantjis dan Belgi menentukan, bahwa dalam soal perizinan
untuk kawin, orang asing tunduk kepada hukum perdata dari
negara asli, djadi in casu dari negara Djerman. Ada kedja
dian beberapa perwira Djerman jang melarikan diri kedaerah
negeri Perantjis atau Belgi. Disana mereka ingin berkawin, akan
tetapi tidak mempunjai izin dari pembesamja dalam ketenteraan
di Djerman. Penguasa di Perantjis dan di Belgi menganggap,
bahwa perizinan itu tidak perlu dengan alasan berdasar atas
..ketertiban umum”. Ini mungkin sekali, akan tetapi sangat mung
kin djuga, bahwa kalau kemudian orang jang berkawin tidak de
ngan izin itu kembali ke Djerman, perkawinannja oleh para
penguasa di Djerman tidak dianggap sah, dengan akibat, bahwa
anak2-nja jang lahir dari perkawinan itu, djuga tidak dianggap
sah.
Tjontoh ke-4 : D i negeri Belanda pasal 115 Kitab Hukum
Perdata (sama dengan pasal 58 Kitab Hukum Perdata di Indo
nesia) menentukan, bahwa orang2 jang bertunangan, tidak dapat
dipaksa oleh hakim untuk kawin atau untuk memberi ganti
35

kerugian. D i Djerman ada peraturan hukum lain jang mem
perbolehkan paksaan itu. Dalam hal inipun, jaitu apabila ada
dua orang Djerman laki -perempuan berada di negeri Belanda
dan bertunangan satu sama lain, para hakim dinegeri Belanda
menganggap pasal 115 B .W . adalah masuk golongan ketertiban
umum, maka dari itu mereka menjimpang dari ketentuan hukum
perdata internasional dinegeri Belanda (pasal 6 jo pasal 0 A. B.
Belanda), jang pada umumnja mengakibatkan berlakunja hukum
perdata Djerman perihal kekuasaan hukum bagi orang2 Djerman
jang berada dinegeri Belanda, Pendirian para hakim Belanda
ini, tentunja tidak diakui kebenarannja oleh hakim Djerman.
Tjonloh ke-5 : Untuk memetjahkan suatu perkawinan, harus
ada sjarat2. Peraturan tentang sjarat2 ini adalah berlainan di
pelbagai negara. Biasanja hal inipun oleh para hakim dinegeri
Belanda dianggap sebagai mengenai ketertiban umum, sehing
ga dinegeri Belanda, misalnja suatu perkawinan antara orang2
Arab jang berdiam dinegeri Belanda hanja dapat dipeljahkan
oleh hakim Belanda, apabila dipenuhi salah suatu dari empat
sjarat, termuat dalam pasal '264 K.itat> Vlukum Perdana clati
negeri Belanda (sama dengan pasal 209 B. W . Indonesia), jaitu
ke-1, berzina dengan lain orang, ke-2, apabila satu pihak mening
galkan pihak lain dengan sengadja, ke-5, apabila satu pihak
selama perkawinan mendapat hukuman pendjara selama 4 tahun
atau lebih, ke-4, apabila satu pihak melukai atau menganiaja
berat pihak lain, sehingga membahajakan djiwanja.
Ada kalanja suatu hukum perdata asing tidak mengenal sa
lah suatu dari empat sjarat ini, misalnja jang mengenai huku
man pendjara selama 4 tahun atau lebih. Rupa2-nja dinegeri
Belanda orang berpendapat, bahwa, meskipun demikian, pe
menuhan sjarat ini sudah tjukup bagi hakim negeri Belanda
untuk memetjahkan suatu perkawinan antara dua orang asing
jang dalam negeri aslinja tunduk pada hukum perdata asing
56

sematjam tersebut cliatas. Pendirian hakim Belanda ini tidak
diperbolehkan oleh pasal 2 traktat multilateral jang dibentuk
pada tabun 1902 di Den Haag perihal pertjeraian perkawinan.
Pasal ini menentukan, bahwa pertjeraian perkawinan hanja
boleh dilakukan, apabila diperbolehkan, baik oleh hukum per
data nasional dari suami-isteri, maupun oleh hukum perdata
dari tempat hakim jang akan memutuskan perkaranja. Tetapi
traklat ini hanja berlaku bagi negara2 jang turut menanda-
tanganinja atau jang diperbolehkan kemudian turut serta dan
jang turut serta djuga. Oleh karena negeri- Arab tidak turut
serta pada traklat tersebut, maka dalam tjontoh jang dikemuka-
kan dialas, hakim negeri Belanda leluasa untuk melakukan
penuh hukum perdata dari negeri Belanda.
Sebaliknja, kalau pendirian para hakim negeri Belanda ini
djuga dianut oleh negeri Ilali, jang hukum perdatanja sama
sekali tidak mengizinkan suatu pertjeraian perkawinan, maka
dua orang suami-isteri berbangsa Belanda jang berdiam dine-
geri 1 tali, sama sekali tidak akan mungkin mendapat pertjeraian
dari hakim Itali. Maka mengingat prinsip timbal-balik, masih
dapat dipersoalkan, apakah pendirian hakim Belanda dapat di
pertanggung djawabkan.
Dari tjontoh2 tersebut diatas ternjata, bahwa sukar sekah
untuk mengadakan ukuran bagi pengertian ketertiban umum
jang dipakai dalam pelaksanaan hukum perdata internasional.
Penentuan suatu ukuran tertentu ini djuga amat dipersukar oleh
kenjataan, bahwa pengertian ketertiban umum kini mengandung
anasir2 mengenai perasaan, sedang penentuan ukuran adalah
hasil pekerdjaan pikiran belaka.
Dalam Kitab Hukum Perdata jang berlaku di Indonesia
bagi orang2 Eropah, Tionghoa dan Arab („Burgerlijk Wet-
boek”) ada terpakai perkataan ketertiban umum dalam pasal 1357
jang menentukan antara lain, bahwa dalam hal persetudjuan
antara dua pihak tidak diperbolehkan suatu causa jang ber
tentangan dengan ketertiban umum.
57

Causa dalam perhubungan hukum ialah hal jang menj ebab-
kan adanja perhubungan hukum, jaitu rangkaian kepentingan2
jang harus didjaga dan diperhatikan setjara jang termaktub
dalam isi perhubungan hukum itu.
Kinipun adalah sukar untuk menetapkan, apa in concrelo ada
terdjadi suatu pertentangan dengan ketertiban umum. Perlu
dikemukakan, bahwa ketertiban umum, jang termaksud dalam
pasal 1557 B. YV., mempunjai arti lain daripada ketertiban
umum dalam hukum perdata internasional.
Dalam hukum perdata internasional ketertiban umum
menundjukkan suatu sifat dari hukum perdata nasional, terma
suk djuga undang-undang, jang mengakibatkan, bahwa per
aturan nasional itu harus tetap dilaksanakan, meskipun ada
anasir asing tertjampur dalam perhubungan hukum jang ber
sangkutan.
Dalam pasal 1537 B. W . ketertiban umum disebut tlisamping
undang-undang dan kesusilaan. Causa jang tidak diperbolehkan,
ialah jang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban umum, maka ketertiban umum disitu merupakan
suatu anasir jang berada diluar suatu undang-undnng.
Tetapi maknanja adalah sama, jaitu bahwa ke-dua2nja adalah
terpakai dalam usaha untuk menjesuaikan hal sesuatu dengan
apa jang di-tengah2 masjarakat dinegeri awak dirasakan sebagai
hal jang tidak boleh diabaikan.
Jang lebih mendekati pengertian ketertiban umum dalam
u um perdata internasional ialah ketertiban umum jang dise-
ut dalam pasal 25 A. B. jang menentukan, bahwa orang dengan
perbuatan atau perdjandjian tidak boleh menghilangkan keku
atan dari peraturan2 hukum jang mengenai ketertiban umum
atau kesusilaan.
Disitu ketertiban umum djuga menundjukkan suatu sifat
antara lain dari beberapa peraturan hukum perdata, berlaku
58

di Indonesia jang mengakibatkan, bainva peraturan itu tidak
boleh disampingkan oleh orang2 perseorangan, meskipun ada
persetudjuan antara orang2 jang berkepentingan. Oleh ilmu
pengetahuan hukum peraturan hukum seperti ini dinamakan
dalam bahasa Belanda „dwingend recht” (= hukum jang ber
sifat memaksa).
Sifat „tidak boleh disampingkan" dari sebagian hukum ini
in concrelo djuga tidak selalu mudah dikenal, oleh karena sifat
ini tidak selalu setjara terang dikatakan dalam isi peraturan,
melainkan sering harus disimpulkan dari keadaan2 jang meliputi
segala sesuatu jang berhubungan dengan peraturan itu.
Perbedaan jang praktis antara ketertiban umum dari pasal
25 A. B. dan ketertiban umum dalam hukum perdata inter
nasional terletak pada djumlah peraturan hukum jang dapat
disampingkan. Ketertiban umum dari pasal 25 A. B. meliputi
lebih banjak peraturan hukum daripada ketertiban umum dalam
hukum perdata internasional.. Sebabnja demikian.
Selelah untuk lingkungan daerah hukum dari negeri awak
ditetapkan, bagian mana dari peraturan hukum jang tidak boleh
disampingkan, oleh karena ketertiban umum, maka ada hukum
perdata internasional jang dalam beberapa hal menundjuk
kepada hukum, perdata asing untuk dilaksanakan dengan
nienjimpang dari hukum perdata nasional, djadi mungkin sekali
djuga dari bagian hukum perdata nasional jang termasuk hukum
..memaksa” jang tidak boleh disampingkan oleh kemauan orang
perseorangan. Dari hal menjampingkan hukum perdata nasional
ini diketjualikan sebagian lagi dari bagian hukum perdata na
sional itu jang tidak boleh disampingkan, oleh karena ketertiban
umum lagi, akan tetapi ketertiban umum jang mengingat kepen
tingan masjarakat nasional ter'hadap kepentingan dunia inter
nasional.
Menurut Martin VVolff dai am bukunja „Private International
Law . halaman 176, para hakim di Inggeris agak ragu2 untuk
39

mempersoalkan, apakah sualu hukum asing ja atau tidak sesuai
dengan asas2 keadilan jang dianut dinegeri Inggeris. Rupa2-nja
orang Inggeris sangat menghormati hukum negara asing jang
menjimpang dari hukum negara Inggeris.
Barangkali ini akibat dari dianutnja prinsip-domisili oleh
Inggeris dalam peraturan hukum perdata internasional mengenai
penundjukan kepada hukum perdata asing.
Sekiranja ada lebih banjak kemungkinan seorang hakim
dalam suatu negara akan menghadapi soal perhubungan hukum
antara dua orang asing jang berdomisili dinegeri itu daripada
menghadapi soal perhubungan hukum antara dua orang nasional
jang berdomisili dinegara asing. Dalam soal jang belakangan ini
biasanja hakim dari negeri asing itulah jang menghadapi perne-
tjahan. soal. Dan oleh karena prinsip-domisililah jang dianut
oleh Inggeris, maka dalam kebanjakan perkara jang mengenai
hukum perdata internasional orang2 adalah berdomisili dinegeri
Inggeris dan dengan sendirinja hukum Inggeris-Iah jang dilak
sanakan oleh hakim2 dinegeri Inggeris.
Martin W o lff menuturkan lagi dalam bukunja tersebut (ha
laman 177), bahwa hakim2 dinegeri Inggeris gemar menganggap
banjak peraturan hukum sebagai peraturan mengenai atjara
pemeriksaan perkara dimuka hakim. Dan Iazimnja dalam hu
kum perdata internasional tentang atjara ini dianut peraturan2
jang berlaku bagi hakim jang akan memutuskan perkaranja.
Oleh karena tiada patokan jang tertentu bagi suatu negara
untuk dengan mempergunakan pengertian ketertiban umum
menjampingkan hukum perdata asing dalam hal2 jang menu
rut hukum perdata internasional sebetulnja takluk pada hukum
asing itu, maka tiap2 negara praktis leluasa penuh untuk
mengadakan keketjualian itu. Ini tentunja, pada hakekatnja,
bertentangan dengan maksud semula dalam mengadakan hukum
perdata internasional, jaitu untuk seberapa boleh menghargai
40

hukum perdata asing jang tersangkut paut dalam perhubungan,
lalu lintas antara pelbagai negara.
Mal saling menghargai hukum perdata masing2 ini seha-
rusnja dilakukan setjara ichlas, artinja harus diinsjafi betul2'
oleh tiap2 negara, bahwa kebaikan hukum perdata masing2
tidak bersifat mutlak, melainkan sangat relatif, jaitu hanja.
kalau dilihat dari sudut nasional belaka. Sudut nasional ini
berhubungan erat dengan keadaan alam pikiran dan alam
perasaan masing2 rakjat, jang mungkin sekali sangat berlainan
satu sama lain.
Kalau sualu negara menganut prinsip-kewarganegaraan
dalam hal penundjukan kepada hukum perdata asing, pada
pokoknja diakui kebaikan hukum perdata asing itu seluruhnja
untuk warganegara dari negara asing itu.
Hanja apabila suatu negara mempunjai sualu peraturan
hukum jang hampir cliseluruh dunia dianggap tidak baik,,
misalnja peraturan jang masih memungkinkan ada orang budak
belian („slavery”, „slavernij ), maka sekiranja tiada keberatan
sedikitpun untuk mengabaikan peraturan sematjam itu.
Kalau perbedaan antara pelbagai hukum perdata dari pel
bagai negara adalah akibat dari dua agama, jang masing-
amat banjak penganutnja didunia, jaitu agama Islam dan
agama Kerislen, misalnja hal monogami berhadapan dengan
poligami atau hal alasan2 jang diperbolehkan untuk memetjah-
kan suatu perkawinan, maka orang harus sangat ber-hati-
dalam menentukan, bahwa suatu peraturan hukum asing ada
lah bertentangan dengan ketertiban umum.
Menurut pasal 18 Undang-undang Dasar Sementara R. I. se
tiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsjafan batin dan
pikiran, sedang pasal 43, ajat 2 mengatakan : „Negara mendja-
min kemerdekaan tiap2 penduduk untuk memeluk agamanja
masing2 dan untuk beribadat menurut agamanja dan kepertja-
jaannja itu”.
41

Pun dinegeri Belanda pasal 174 „Grondwet mengatakan,
bahwa orang dalam menganut suatu agama tidak boleh di
halang-, ketjuali apabila orang itu melanggar hukum pidana.
Keketjualian ini sudah semestinja dan sebetulnja tidak perlu
ditekankan.
Prinsip kebebasan agama ini disebut djuga dalam pasal 18
„Universal Declaration of Human Rights” jang berbunji demi
kian :
„Everyone has the right to freedom of lhought, conscience
and religion : this right includes freedom to change his religion
or belief, and freedom. either alone or in community witli otliers
and in public or private, to manifest his religion or belief in
'teaching. practice, worship and observance ”.
Ini semua menundjukkan prinsip saling menghargai agama
masing- dan tentunja djuga meliputi hal menghargai peraturan
hukum jang berdasar atas agama masing2 itu.
Sekiranja tidak sesuai dengan jang diuraikan diatas, apabila
•dalam suatu negara A jang dalam hukum perdatanja menganut
monogami, tidak memperbolehkan, bahwa seorang Arab, jang
beragama Islam, dinegeri A itu, sedang sudah mempunjai
isteri, akan kawin lagi dengan seorang perempuan Arab.
Pun tidak sesuai, apabila dinegeri A tersebut seorang Arab
tidak diperbolehkan memberi talak kepada istenn\a Udak dengan
«Aasan- jnny oleli hukum perdata dari negeri A itu disebutkan
sebagai sjarat2 mutlak untuk memetjahkan perkawinan.
Dan lagi harus diingat, bahwa kalau dua larangan tersebut
didjalankan dinegeri A itu, maka selaku pertimbal-balikan harus
diperbolehkan djuga, bahwa salah suatu negeri Arab meng
izinkan orang suami vvarganegara dari negeri A itu, dinegeri
Arab menikah lagi dengan lain perempuan warganegara djuga
dari negeri A atau mengizinkan memberi talak kepada isterinja
dengan tidak mengingati sjarat2 mutlak jang termaksud diatas.
42

Kalau konsekwensi ini diperhatikan betul2, maka sekiranja
akan diperkeljil kemungkinan mengabaikan hukum perdata
asing dalam hukum perdata internasional setjara memakai
ketertiban umum sebagai alasan.
Ranljangan undang-undang seragam tentang hukum perdata
internasional jang akan diadakan dinegeri2 Benelux, memuat
pasal 26 jang menentukan, bahwa peraturan2 dari undang-un
dang seragam itu tidak berlaku, apabila a. Ketertiban umum
menuntut tidak berlakunja undang-undang asing atau b. keter
tiban umum menuntut berlakunja undang-undang awak.
BA G IA N IV
Pelandjutan keadaan hukum
Dengan istilah „pelandjutan keadaan hukum” saja maksud
kan apa jang pada hukum perdata internasional dalam bahasa
asing dinamakan „verkregen rechten” atau „vested rights” atau
„droits acquis”. Dalam perkataan2 ini „recht „right” atau
„droit” tidak berarti seperti biasa, jaitu hak-hukum, melainkan
keadaan hukum atau perhubungan hukum. Dan „bescherming
van verkregen rechten., atau „protection of vested rights” atau
„protection des droits acquis sebetulnja tidak berarti memper-
lindungi hak2 atau kekuasaan2 hukum, melainkan berarti
melandjuikan suatu keadaan hukum.
Tudjitan dari pelandjutan keadaan hukum dalam hukum
perdata internasional adalah lain, bahkan sebaliknja daripada
tudjuan pemakaian ketertiban umum dalam hukum perdata
internasional.
Seperti telah dikatakan dibagian III, pemakaian ketertiban
umum dalam hukum perdata internasional ialah untuk menje-
butkan suatu alasan guna melakukan hukum perdata nasional
dalam hal jang sebetulnja hukum perdata asing harus dilak
sanakan.
43

Sebaliknja, pelancljutan keadaan hukum dalam hukum per
data internasional merupakan alasan untuk melaksanakan
hukum perdata asing.
Diatas dalam bagian I sudah pernah saja singgung hal
pelandjutan keadaan hukum ini sebagai suatu hal. jang menurut
setengah orang, merupakan satu~-nja alasan untuk menundjuk
kepada hukum perdata asing.
Dan memang dalam banjak peristiwa, untuk mana hukum
perdata asing harus diturut, dapat dikatakan, bahwa alasannja
diketemukan pada suatu pelandjutan keadaan hukum. ¡Malahan
peraturan penundjukan seperti termaktub dalam pasal 16 A. B.,
jang berhubung dengan pasal 3 A. B., menundjuk kepada hukum
perdata asing bagi orang- asing jang berada di Indonesia, me
makai perkataan ,.blijven verbindend”, hal mana mengandung
anasir pelandjutan keadaan.
Djuga tentang pasal 1/ A . B. jang, perihal barang- tak ber
gerak, menundjuk kepada hukum perdata dari negara atau
tempat, dimana terletak barang2 itu, menurut Mr. Van Brakel
dalam bukunja „Grondslagen en beginselen van Nederlandsch
Internationaal PrivaatrecW , Viaiaman 95 <—96, dapat dikatakan,
bahwa pasal itu berdasar atas prinsip pelandjutan keadaan,
hukum, tetapi Mr. Mulder dalam bukunja „Inleiding tot het
Nederlandsch Internationaal Privaatrecht”, tjetakan ke II tahun
1947, halaman 12—■ 15, mengemukakan, bahwa menurut penda-
patnja alasan itu harus diketemukan pada kenjataan, bahwa
dilihat dari sudut perekonomian suatu peraturan dalam suatu
negara tentang barang2 tak bergerak adalah begitu penting,
sehingga tiada suatu negarapun akan mengizinkan, bahw'a
peraturan itu disampingkan dengan alasan, bahwa ada orang2
asing berkepentingan dalam hal barang2 tak bergerak itu.
Sifat tetap dari suatu barang tak bergerak sifat mana sesuai
dengan anasir pelandjutan keadaan, memperkuat pendapat Mr.
van Brakel, akan tetapi terhadap Mr. Mulder djuga harus d i
44

akui, balnva dalam setiap negara barang tak bergerak merupa
kan barang penting, kalau dilihat dari sudut perekonomian.
Bagaimanapun djuga, adanja dua matjam pendapat ini sadja
sudah menandakan, bahwa tidak dapal dipertahankan, bahwa
pelandjutan keadaan hukum adalah salu--nja alasan untuk me-
nundjuk kepada suatu hukum perdata asing.
Pun dalam hal pasal 18 A. B. jang menentukan, bahwa
segala perbuatan hukum dapat dilakukan menurut tjarci jang
diatur dalam hukum dari negara, dimana perbuatan hukum
itu dilakukan, Mr van Brakel, dalam bukunja tersebut, berpen
dapat djuga, bahwa alasan untuk mengadakan pasal sematjam
itu dinegeri Belanda ialah suatu pelandjutan keadaan hukum.
¡Menurut hemat saja dapat diragu-ragukan ketetapan pendapat
Mr. van Brakel tentang hal ini, oleh karena pasal ini sela ranja
tidak berhubungan dengan suatu pelandjutan keadaan hukum,
melainkan berdasar atas pertimbangan, bahwa suatu perbuatan
hukum ada paling banjak berkemungkinan akan bermanfaat,
apabila dilakukan menurut tjara jang biasa diturut ditempat
perbuatan itu dilakukan, oleh karena tentunja peraturan tentang
tjara itu boleh dianggap sesuai dengan keadaan dan segala2-
nja ditempat itu.
Diatas saja katakan, bahwa dalam hukum perdata interna
sional tudjuan dari prinsip pelandjutan keadaan hukum ada
lah sebaliknja daripada tudjuan prinsip ketertiban umum.
Dengan suatu tjontoh jang pernah saja kemukakan, perbedaan
ini dapat digambarkan.
Ada orang Arab, beragama Islam, disalah suatu negara Arab,
mempunjai dua isteri dengan perkawinan sah. Kemudian ia
ber-sama2 dua isterinja pergi ke negeri Perantjis dan disana
mendapat anak dari dua2 isteri itu. Menurut peraturan penun-
djuk, pada umumnja hukum perdata negeri Arab-Iah jang
berlaku dan jang memperbolehkan poligami sampai empat
isteri, akan tetapi pada umumnja dinegeri Perantjis peraturan
45

tentang monogami dianggap sebagai peraturan mengenai keler
tiban umum dalam pelaksanaan hukum perdata internasiona
maka konsekwensinja ialah, bahwa perkawinan jang ke-2 harus
dianggap tidak sah. Akan tetapi ini dianggap akan keterlaluan,
oleh karena perkawinan terdjadi dinegeri Arab pada suatu
waktu jang perkawinan itu adalah sah sama sekali. Maka
sebagai keketjualian dari keketjualian oleh penguasa di Perantjis
pun perkawinan jang ke-2 itu dianggap sah djuga, dengan akibat,
bahwa anak2 jang lahir dari perkawinan itu, sah djuga dan
dapat dimasukkan dalam daftar pentjalatan djiwa. Keketjualian
jang ke-2 ini jang menganggap tolap sah perkaw'inan jang
ke-2 itu adalah tak lain tak bukan beralasan pada pelandjutan
keadaan hukum belaka.
Lain tjontoh : Batas umur untuk mendjadi dewasa adalah
berlainan dipelbagai negara. Misalnja dinegeri Swis 20 tahun,
dinegeri Belanda 21 tahun, dinegeri Hungaria 24 tahun.
Seorang Swis berumur 20 tahun berdiam di Den Haag meng
adakan suatu perdjandjian perdata, misalnja djual-beli, dua
tahun kemudian, djadi waktu ia sudah berumur 22 tahun, ia
setjara naturalisasi mendjadi warganegara Hungaria. Pada
waktu membikin kontrak di Den Haag, menurut peraturan
penundjukan jang berlaku dinegeri Belanda, seorang Swis itu
harus dianggap sudah dewasa, jaitu menurut hukum nasional-
nja maka perdjandjian jang ia adakan, adalah sah. Setelah ia
mendjadi orang Hungaria, ia mendapat perkara dimuka hakim
mengenai perdjandjian djual-beli itu. Oleh karena ia adalah
seorang Hungaria, maka ia, jang berumur 22 tahun, menurut
hukum Hungaria adalah belum dewasa, ini menurut peraturan
penundjukan jang berlaku dinegeri Belanda. Maka dalam
perkara dimuka hakim Belanda ia harus diw'akili oleh w'alinja.
Bagaimana tentang perdjandjian djual-beli tadi ?
Kalau djuga tentang hal ini diturut hukum Hungaria, jang
pada umumnja harus berlaku, maka perdjandjian djual-beli
46

ilu diadakan pada waktu orang itu masih belum dewasa djuga,
dengan akibat, balnva seorang jang belum dewasa itu, dapat
menuntut, supaja perdjandjian djual-beli itu dianggap tidak
sah.
Kalau dalam hal ini prinsip pelandjutan keadaan hukum
diturut, maka harus dianggap, bahwa perdjandjian itu letap sah.
Dari dua tjontoh ini ternjata, bahwa prinsip pelandjutan
'keadaan hukum dipakai untuk memperbaiki pelaksanaan prin
sip ketertiban umum. Untuk apa ? 1 ak lain tak bukan untuk
lebih memenuhi rasa keadilan dari orang2 jang bersangkutan.
Mungkin setengah orang tidak merasa puas dengan suatu*
cdasan berdasar atas rasa keadilan, oleh karena terlalu kabur,
kurang terang benderang guna mendjadi pegangan dalam pe
laksanaan hukum.
Memang, kalau diinginkan, dapatlah diketemukan lain2
alasan, seperti misalnja kepastian hukum bagi orang jang me
rupakan pihak lawan dalam perdjandjian djual-beli jang dia
dakan oleh seorang Swis (kemudian mendjadi orang Hongaria)
tadi. Kepastian hukum memang menghendaki, supaja kedudukan
hukum pihak lawan tadi tidak diumbang-ambingkan oleh
tindakan pihak lain, in casu mendapatkan suatu naturalisasi.
Akan tetapi apakah alasan kepastian hukum ini dapat dipakai
untuk segala peristiwa jang mungkin terdjadi sematjam ini ?
Dalam hukum nasional soal pelandjutan keadaan hukum-
jang betul2 merupakan perlindungan hak- hukum jang sudah
terdapat („bescherming van verkregen rechten ), sering digabung
kan dengan suatu sjarat, jaitu kedjudjuran (,,goede trouw ), jang
pada umumnja mengenai hak2 hukum dari orang ketiga
(„derden”). Misalnja pasal 1541 ..Burgerlijk Wetboek , ajat 2
berbunji : „Rechten, door derden te goeder trouw verkregen, op ■
de goederen, die het voorwerp waren van de nietige handeling,
worden geeerbiedigd” (= Hak2 hukum jang diperoleh pihak ke-
47 '

tiga setjara djucljur terhadap barang2 jang mendjadi pokok soal
dari suatu perbuatan hukum jang dibatalkan, adalah dihormati).
Pasal 1541 B AV. ini mengenai suatu penuntutan dimuka
hakim jang dalam bahasa Latin dinamakan ..aclio pauliana .
"Seorang A mempunjai hutang uang kepada seorang B. Sebelum
hutang itu dilunasi, si A dengan tidak ada sebab apa- mengha
diahkan barang2-nja jang berharga kepada seorang C sehingga
B dirugikan, oleh karena kalau A kemudian tidak membajar
hutangnja, tiada barang2 tjukup untuk menutupi hutang ilu.
Pemberian hadiah kepada C dapat dibatalkan atas penuntutan
B, apabila, baik A , maupun C tabu, bahwa pemberian hadiah
itu merugikan B.
Kalau sebelum perkara ini dimadjukan, sebagian dari barang-
jang dihadiahkan itu, oleh C lelah didjual kepada D dan L)
ini sama sekali tidak tahu menahu perihal perhubungan hukum
antara A, B. dan C, maka disinilah ada hak2 hukum jang
diperoleh D setjara djudjur terhadap barang2 jang ia beli dari
C itu. Dan pembelian ini menurut pasal 1541. ajat 2 B. W .
tidak dapat diutik-utik.Bagaimanakah halnja dengan soal pelandjutan keadaan
hukum dalam Imkum pcrdalu internasional. 1 entunja anasir
kedjudjuran dapat terselip didalamnja, artinja kalau ternjala
tidak ada kedjudjuran dari salah suatu pihak, maka ada ke
mungkinan besar soal pelandjutan keadaan hukum tidak akan
dilaksanakan, akan tetapi harus diingati, bahwa hal kedjudjuran
ini dalam hukum perdata internasional tidak digabungkan
dengan soal pelandjutan keadaan hukum. Ini berakibat, bahwa,
kalau tiada suatu pihak jang mengutarakan hal kedjudjuran
itu, maka soal kedjudjuran ini tidak akan disinggung. Lain
halnja dengan pasal 1541 B. W ., ajat 2. D isitu harus semula
diutarakan dan diperbintjangkan hal kedjudjuran. Inilah per
bedaan lain antara prinsip pelandjutan keadaan hukum dila-
pangan hukum perdata internasional dan prinsip itu dilapangan
hukum nasional.
-48

Seperti jang telah saja katakan dalam bagian mengenai
ketertiban umum, pun dalam hal pelandjutan keadaan hukum
adalah penting soal pertimbal-balikan „reciprociteit”. Bahkan
dapat dikatakan, bahwa seluruh hukum perdata internasional pa
da pokoknja harus berdasar atas prinsip pertimbal-balikan, oleh
karena hanja dengan memperhatikan prinsip inilah akan terlak
sana penuntutan saling harga-menghargai diantara pelbagai
negara diantero dunia ini.
Hanja sadja udjud dari pertimbal-balikan ini adalah ber
lainan dalam hal ketertiban umum dan dalam hal pelandjutan
keadaan hukum. Dalam hal ketertiban umum pertimbal-balikan
mengakibatkan orang mendjaga, supaja orang ber-hati2 dalam
mempergunakan ketertiban umum sebagai alasan untuk meng
utamakan hukum nasional, sedang dalam hal pelandjutan
keadaan hukum pertimbal-balikan adalah mendorong seorang
sapaja seberapa boleh memperhatikan pelandjutan keadaan
hukum itu.
Kalau suatu negara kurang memperhatikan hal pelandjutan
keadaan hukum ini terhadap lain negara, maka tidak boleh
diharapkan,bahwa negara lain itu akan memperhatikan hal
pelandjutan keadaan hukum itu sepatutnja terhadap negara
jang tersebut pertama tadi.
Timbul pertanjaan, sampai dimanakah negara2 masing2 akan
memperhatikan prinsip pelandjutan keadaan hukum itu ?
Sekiranja amat sukar untuk menetapkan batas jang tertentu
tentang hal ini. Paling tegas saja hanja dapat mengatakan,
bahwa suatu negara akan mungkin menghentikan perhatian
prinsip pelandjutan keadaan hukum, apabila ternjata, bahwa
dengan suatu pelandjutan keadaan hukum rasa keadilan dari
rakjat akan tersinggung sedemikian rupa, sehingga pelandjutan
keadaan hukum itu tidak dapat dipertanggung djawabkan. Saja
mengerti betul, bahwa ukuran batas seperti jang saja katakan
tadi adalah sangat kabur. Dan kalau seorang mengatakan, bah
wa penjebutan ukuran batas seperti ini adalah sama dengan
49

tidak mengadakan ukuran, saja tidak dapat menjalahkan seorang
itu seratus prosen. Maka sebetulnja keadaan- jang bersangkutan
harus ditindjau satu persatu, sampai dimana pelandjutan ke
adaan Iiukum itu sebaiknja akan diperhatikan.
Dan kalau in concreto harus disebutkan suatu alasan tertentu
untuk membatasi pelandjutan keadaan hukum itu. maka orang
tidak boleh tidak akan kembali lagi kepada suatu alasan ber
dasar atas ketertiban umum dari negara awak.
Diatas saja mengemukakan, bahwa pemakaian alasan keter
tiban umum diperbaiki oleh alasan pelandjutan keadaan hukum,
tetapi sekarang ternjata, bahwa sebaliknja, kalau orang mulai
menerdjunkan diri dalam kantjah pelandjutan keadaan hukum,
hal ini, supaja memuaskan, pada suatu saat harus kembali di-
tjampuri lagi dengan alasan ketertiban umum. Maka akan selalu
ada „wisselwerking antara dua prinsip ini.
Dengan mengemukakan alasan pelandjutan keadaan hukum
orang bertudjuan untuk menundjuk kepada suatu peraturan
hukum asing. Masih mendjadi pertanjaan, hukum asing jang
mana harus dilaksanakan. Peraturan2 penundjukan ja.ng ada,
jaitu pasal 16, 17 dan 18 A. B., hanja mengenai bagian sedikit
dari perhubungan2 hukum jang dapat diketemukan dalam per
gaulan hidup dimasjarakat internasional. Pasal 16 A. B. Vianja
mengenai ketUuluknn ilan kekuasaan hukum seorang pada
umumnja untuk melakukan suatu perbuatan hukum, maka tidak
mengenai isi suatu perhubungan hukum sebagai akibat dari per
buatan hukum itu. Pasal 17 A.B. hanja mengenai barang2
tak bergerak, tidak mengenai barang2 bergerak. Pasal 18 A . B.
hanja mengenai tjara melakukan suatu perbuatan hukum, tidak
mengenai udjud dan isi perbuatan hukum itu. Maka untuk
lapangan hukum jang tidak diliputi oleh tiga pasal tersebut
orang masih membutuhkan penegasan tentang hukum asing
jang mana harus dilaksanakan dalam hal pelandjutan keadaan
hukum.
50

Melihat perkataan ..pelandjutan”, maka dengan sendirinja
timbul pertanjaan, dimana mulai adanja keadaan hukum itu.
Djawabnja ialah : dimana keadaan hukum itu dilahirkan. Oleh
karena keadaan hukum dilahirkan oleh suatu perbuatan hukum,
maka pandangan orang harus diarahkan ketempat, dimana
dilak nkan perbuatan hukum itu. Maka hukum dari tempat itu-
lah (,,Iex ioci actus”). jang per-tama2 setjara tepat seharusnja
diperhatikan.
Tempat melakukan perbuatan hukum ini seringkali lain dari
pada tempat pendiaman seorang jang melakukan perbuatan itu
(prinsip-domisili). lain djuga dari pada tempat negara nasional
asal dari seorang itu (prinsip-kewarganegaraan), lain djuga dari
pada tempat Ietaknja suatu barang.
Suatu tjontoh : Dua orang laki2 Perantjis jang sudah berumur
lebih dari 30 tahun, djadi menurut hukum apapun djuga sudah
dewasa, jang berdiam dinegeri Inggeris, pada waktu bepergian
beristirahat berada dinegeri Swis, dimana mereka saling me
lahirkan suatu perdjandjian djual-beli perihal barang2 bergerak.
Dalam hal ini menurut uraian dialas, hukum perdata dari negeri
Swis jang harus dilaksanakan perihal isi dari perhubungan hu
kum antara dua orang tersebut.
Kalau perdjandjian djual-beli itu dilaksanakan dinegeri Swis
djuga, maka tiada kesulitan. Lain halnja, apabila misalnja ba
rang jang dibeli itu, belum diserahkan, kemudian orang- itu
pergi kenegeri Belanda, dimana sipembeli menagih sipendjual
untuk menjerahkan barang itu, penagihan mana diadjukan
dimuka hakim Belanda. Timbul pertanjaan : tetapkah berlaku
hukum Swis atau berlakulah sekarang hukum Belanda ? Se-
andainja di Swis peraturan tentang djual-beli adalah lain dari
pada dinegeri Belanda, misalnja di Swis seorang pembeli sudah
mendjadi pemilik barang pada waktu perdjandjian djual-beli
disetudjui oleh kedua belah pihak, sedang dinegeri Belanda
orang pembeli barang baru mendjadi pemilik barang itu setelah
51

barang itu diserahkan kepaclanja, maka timbullah kesulitan
tentang hukum jang mana harus dilaksanakan, hukum Negeri
Swis atau hukum Negeri Belanda.
Berhubung dengan kesulitan sematjam ini ada pendapat
setengah orang jang lebih mengutamakan hukum dari negara
d.'mana suatu perdjandjian dilaksanakan, daripada hukum dari
negara, dimana perdjandjian itu dilahirkan.
Ada suatu perdjandjian internasional jang setjara terang
mendasarkan suatu peraturan pada suatu pelandjutan keadaan
hukum, jaitu 1 raklat Den Haag dari tahun 1905 mengenai hu
kum harta benda dalam perkawinan (..huwelijksgoedercnrecht ),
Pasal 2 dari „Verdrag itu berbunji :
A jat 1 : Kalau dai a'm suatu perkawinan tiada perdjandjian-
perkawinan, maka akibat2 dari perkawinan mengenai harta
benda suami-isteri, baik barang2 bergerak, maupun barang2 tak
bergerak, tunduk kepada hukum nasional dari suaminja pada
waktu perkawinan dilakukan.
A jat 2 : Perubahan kewarganegaraan dari suami-isteri atau
salah seorang dari mereka dikemudian hari, liclcik dapat mem
pengaruhi berlakunja hukum tentang harta benda dalam perka
winan, seperti tersebut dalam ajat 1 .
Kini dengan terang dilandjutkan keadaan hukum pada waktu
perkawinan dilakukan, meskipun kemudian barangkali ada
perubahan atau kedudukan hukum suami-isleri berhubung
dengan hal mendapat kewarganegaraan lain.
B A G IA N V
Penundjukan kembali („lerugwijzing”, „rcnvoi” )
Suatu peraturan penundjukan seperti pasal 16 A . B., setelah
dilaksanakan pada suatu peristiwa tertentu dapat berakibat,
bahwa seorang hakim menurut pasal tersebut berhubung dengan
pasal 5 A. B. harus melaksanakan hukum dari suatu negara
asing. Misalnja seorang A. bervvarganegara Hungaria, jang ber
52

umur 22 tahun dan berdiam di Djakarta, membikin suatu per-
djandjian perdata dengan seorang Indonesia B. Menurut pasal
16 A. B. jo pasal 5 A. B. kedudukan hukum si A ikut pada
hukum Hungaria jang menentukan, bahwa orang diang
gap dewasa baru pada umur 24 tahun. Maka A menurut hukum
itu adalah belum dewasa. Ia digugat oleh B dimuka hakim di
Djakarla. dimana A mengemukakan, bahwa perdjandjian antara
A dan B adalah batal, oleh karena A belum dewasa pada waktu
membikin perdjandjian itu.
Oleh karena menurut pasal 16 A. B. hukum Hungarialah
jang berlaku, maka A harus dibenarkan. Kini sama sekali tiada
kesulitan, oleh karena Hungaria djuga mempunjai suatu pera
turan penundjukan serupa dengan pasal 16 A. B., jang menun-
djuk kepada hukum nasional dari seorang jang berkepentingan,
i» casu hukum Hungaria djuga.
Lain halnja apabila si A itu bukan seorang Hungaria, melain
kan seorang Argentina. Hukum Argentina menentukan sebagai
balas umur untuk orang dewasa ialah 24 tahun, maka A adalah
bel um dewasa pula menurut hukum Argentina. Akan tetapi
hukum Argentina memuat suatu peraturan penundjukan, jang
tidak menundjuk kepada hukum nasional dari orang jang ber
kepentingan, melainkan kepada hukum dari negara, dimana
orang itu berdiam. Maka menurut peraturan penundjukan itu
hukum Indonesialah jar(g in casu berlaku. Dan menurut hukum
Indonesia A sudah dewasa, oleh karena batas umur untuk orang
dewasa menurut ..Burgelijk Wetboek’ adalah 21 tahun dan
menurut hukum adat malahan lebih rendah lagi, jaitu disekitar
18 atau 19 tahun.
Kini timbul bentrokan antara dua matjam peraturan penun
djukan. Penundjukan kembali dari hukum Argentina ini oleh
ahli2 hukum asing dinamakan „renvoi , oleh ahli hukum bangsa
Belanda djuga dinamakan „terugwijzing .
Bagaimanakah seharusnja sikap hakim Indonesia dalam hal
penundjukan kembali ini ?
53

Kemungkinan ke- 1 : Hakim dapat menolak penundjukan
kembali ilu dengan beralasan seperli berikut : Penundjukan oleli
pasal 16 A. B. bermaksud menundjuk kepada isi suatu liukum
asing, jailu hukum nasional dari orang jting berkepentingan,
bersandar atas kejakinan, bahwa sebaliknja isi liukum asing
itulah jang harus berlaku dalam hal kedudukan Imkum seorang.
Bukan maksud pasal 16 A. B. untuk menundjuk djuga kepada
suatu peraturan penundjuk dari Imkum asing itu. sebab tidak
lajak, apabila arti peraturan penundjukan dari negara nwnk
dikalahkan terhadap arti peraturan penundjukan dari negara
asing. Maka dari itu peraturan penundjukan dari Argentina
tersebut tidak diturut dan hakim tetap melakukan hukum
Argentina dengan akibat, bahwa si A tersebut dianggap belum
dewasa pada waktu membikin perdjandjian dan ia dapat me
nuntut supaja perdjandjian itu dianggap batal.
Kemungkinan ke-2 : Hakim dapat menerima penundjukankembali tersebut, oleh karena hakim berpendapat, bahwa jang
ditundjuk oleh pasal 16 A.B. ialah hukum asing seluruhnja,
termasuk djuga suatu peraturan penundjukan dari negara asing itu.
Kalau hakim mengambil sikap seperti belakangan ini, maka
selandjutnja ada dua kemungkinan lagi jaitu :
Kemungkinan ke-2a : Hakim menganggap, bahwa peraturan
penundjukan asing itu bermaksud djuga menundjuk kepada
peraturan penundjukan dari negara awak, jaitu pasal 16 A. B.
juncto pasal 5 A . B., dan pasal ini menundjuk lagi kepada
hukum asing, begitu seterusnja. Mudah dapat dimengerti,
bahwa tjara berpikir seperti ini tidak bermanfaat, oleh karena
tidak menghasilkan suatu penjelesaian.
Kemungkinan ke-2b : Hakim, setelah menerima penundjukan
kembali dari peraturan penundjukan asing, tidak lagi melihat
kepada peraturan penundjukan dari negara awak (pasal 16
A . B.), melainkan melakukan hukum Indonesia jang ditundjuk
54

oleh peraturan penundjukan asing itu. Dan menurut hukum
Indonesia seorang berumur 22 tahun adalah sudah dewasa,
maka tiada alasan bagi A untuk menuntut pembatalan per-
djandjian jang ia bikin dengan B dan ia harus dikalahkan oleh
hakim.
Baik Mr. van Brakel, maupun Mr. Mulder dalam buku2-nja
masin g- tersebut diatas, berpendapat, bahwa soalnja harus
diselesaikan menurut kemungkinan ke-1, jaitu bahwa peraturan
penundjukan asing harus disampingkan. Van Brakel menekan
kan, bahwa maksud peraturan penundjukan dari pasal 16 A. B.
ialah untuk mengganti isi suatu peraturan hukum nasional
(..materieel recht") dengan isi suatu peraturan hukum asing dan
maksud itu tidak boleh dibelokkan oleh suatu peraturan asing.
Dan lagi oleh Van Brakel ditolak suatu pandangan jang
menganggap berlakunja peraturan hukum asing itu sebagai
keketjualian daripada berlakunja peraturan hukum nasional.
Kalau sifat keketjualian ini dianggap benar, maka dengan per
aturan penundjukan asing jang menundjuk kembali kepada
peraturan hukum nasional itu, soalnja dikembalikan kepada
hal jang biasa, jaitu berlakunja hukum nasional, maka kea
daan biasa dianggap berlaku lagi.
Menurut Van Brakel tidak begitulah halnja, bahkan ia ber
pendapat. bahwa penundjukan kepada hukum asing ini tidak
mengandung suatu kehormatan atau kebidjaksanaan ter
hadap hukum asing itu, melainkan mengandung suatu
kejakinan, bahwa dalam hal ini dianggap lebih patut dan lebih
tepat, apabila in casu bukan hukum nasional, melainkan hukum
asing harus diturut. (lihat buku Van Brakel. halaman 60 — 6l).
Mr. van Brakel, pada halaman 61 dari bukunja, menuturkan,
bahwa di negeri Belanda para penulis hampir semua berpen
dapat demikian djuga dan bahwa para hakim dinegeri Be
landa hampir selalu menolak penundjukan kembali ini, akan
tetapi, bahwa sebaliknja para hakim dinegeri Perantjis semua
55

menerima penundjukan kembali ini, sesuai dengan kemungkinan
2b, jaitu lantas melakukan bukum Perantjis.
Martin W olff, dalam bukunja tersebut diatas, mentjeriterakan
praktek dari para hakim dinegeri Inggeris sebagai berikut
(halaman 195 dan seterusnja):
Dulu, sebelum tahun 1926, para hakim dinegeri Inggeris
bersikap seperti para hakim dinegeri Perantjis, jailu menerima
penundjukan kembali dan melakukan hukum Inggeris. Mulai
dari tahun 1926 para hakim di Inggeris, dengan masih menerima
penundjukan kembali itu, selandjutnja berpendirian, bahwa
dalam mengambil suatu keputusan, hakim Inggeris harus „consi
der himself sitting in the foreign country” ( = menganggap
dirinja se-olah2 bersidang sebagai hakim dinegeri asing
jang bersangkutan). W o lff menuturkan lagi, bahwa sebagai
hasil dari tjara berpikir ini ialah, bahwa hakim Inggeris mela
kukan peraturan penundjukan asing seperti jang dilakukan oleh
hakim dinegeri asing itu.
Hakim Inggeris bersikap demikian dalam suatu perkara sebagai
berikut :
Seorang warganegara Inggeris berdiam (domisili) dinegeri
Perantjis, membikin suatu surat hibah wasiat „testament , dalam
mana ia memberikan semua harta bendanja kepada orang- jang
bukan keluarganja dan dengan ini anaknja sendiri tidak men
dapat apa2. Menurut hukum Inggeris hibah wasiat seperti ini
adalah sah, diperbolehkan, sedang menurut hukum Perantjis
hibah wasiat ini hanja sah mengenai dua pertiga dari cljumlah
harta bendanja. Dalam hal ini hakim Inggeris berpikir demikian :
Menurut peraturan penundjukan Inggeris, hukum jang dianggap
berlaku ialah hukum dari negara, dimana orang tersebut ber
diam, djadi hukum Perantjis, hukum Perantjis clalam peraturan
penundjukannja menundjuk kepada hukum nasional dari
orang itu, jaitu hukum Inggeris. Akan telapi hakim Perantjis
mentafsirkan soal peraturan penundjukan ini sedemikian rupa,
56

bahwa, apabila hukum Inggeris menundjuk kepada hukum
Perantjis. penundjukan kembali ini akan diterima dan hukum
Perantjislah jang dilakukan. Maka dari itu hakim Inggeris me-
njesuaikan diri dengan pendirian hakim Perantjis itu. dan dalam
hal ini toh melakukan hul <um Perantjis.
Dalam perkara lain soalnja sama dengan jang ditjeritakan
diatas dengan perbedaan, bahwa seorang jang membikin hibah
wasiat itu berdiam dinegeri ¡tali. Para hakim dinegeri Itali,
seperti dinegeri Belanda, menolak penundjukan kembali dari
hukum Inggeris kepada hukum Itali. Maka dari itu hukum
Inggeris dalam perkara jang ke-2 ini, sesuai dengan pendirian
hakim di Itali, tidak lagi melakukan peraturan penundjukan
dari negeri Inggeris. jang menundjuk kepada hukum Itali, mela
inkan melakukan hukum Inggeris.
Bagaimanakah prakteknja di Indonesia ?
Tentang hal ini ada sualu karangan dari Mr. W . L. G.
Lemaire. jang termuat dalam madjalah „Indisch Tijdschrift
van het Recht”, d jilid 1-48 (1958), halaman 1 — 26. Karangan
ini adalah hasil dari suatu penjelidikan jang setjara agak men
dalam dilakukan di Indonesia tentang hal ini.
Menurut penjelidikan ini ternjata, bahwa :
a. Pemerintah dan Djawatan Pentjatatan Djiwa dua2-nja
menerima penundjukan kembali,
b. „Raad van Indie” dan „Hooggerechtshof dua--nja pernah
menasihatkan kepada pemerintah untuk menolak penun
djukan kembali itu ; tetapi
c. para hakim, termasuk „Hooggerechtshof sendiri pada suatu
waktu, memperlihatkan kesan, bahwa mereka menerima
penundjukan kembali itu.
Perlu ditjatat disini, bahwa menurut penjelidikan Mr. Lemaire
itu, hanja ada satu putusan „Hooggerechtshof” dari tahun 1956,
satu putusan dari „Raad van Justitie” di Medan dalam tahun
1925, satu „beschikking” dari „Raad van Justitie ’ di Djakarta
57

dalam tahun 1934 dan suatu pulusan dalam ,.l<ort geding” dari
Ketua ,,Raad van Justitie di Semarang dalam tahun I92S, maka
hanja ada empat keputusan liakim, dalam mana tersangkut soal
penundjukan kembali, akan tetapi tidak suatupun dari empat
keputusan itu menindjau setjara sadar soal penundjukan kem
bali, sehingga lMr. Lemaire hanja dapat katakan, bahwa ada
„tendens untuk menerima penundjukan kembali itu.
• Selandjutnja M r . Lemaire mengemukakan pendapatnja ten
tang pertanjaan : Bagaimanakah sikap jang seharusnja diambil
di Indonesia peiilnaJ penundjukan kembali ini ?
Setelah mengutarakan, bahwa hal sesuatu tentang hal ini
harus disandarkan tidak pada suatu prinsip umum, melainkan
pada suatu peraturan hukum jang tertentu berlaku di Indonesia
„positief recht , Mr. Lemaire menindjau salah suatu dari per
aturan penundjukan, jaitu pasal 16 A. B. dan pada arhirnja
ia sampai kepada suatu „rechtsverfijning dari pasal tersebut.
Sebagai diketahui ,,rechtsverfijning adalah sebaliknja dari
pada penafsiran hukum setjara „analogi”. „Analogi” terdjadi,
apa ila suatu peraturan hukum menjebut dengan tegas suatu
edjadian jang diatur, akan tetapi peraturan itu dipergunakan
3 bagi kedjadian lain jang terang tidak disebut dalam
peraturan itu, sedang „rechtsverfijning (= pelembutan hukum)
ter ja i, apabila suatu kedjadian pada umumnja terang masuk
ise ut dalam suatu peraturan hukum, akan tetapi karena be-
erapa hal dianggap, bahwa kedjadian ini toh diketjualikan
dari berlakunja peraturan itu.
Pasal 16 A. B. menentukan, bahwa peraturan2 hukum na-
siona mengenai kedudukan dan kekuasaan hukum tetap berlaku
bagi para warganegara Indonesia (dulu : „Nederlandsch onder-
aan ), apabila mereka berada diluar-negeri. Setjara analogi
' pasal ini dianggap djuga, bahwa setiap orang asing jang
iam i Indonesia, tetap takluk pada peraturan2 hukum na-
sionalnja mengenai kedudukan dan kekuasaan hukum.
•58

asal 16 A. B. ini, selelah seljara analogi dilebarkan sajap-
nja, menurut Mr. Leniaire. Iiarus diperlembutkan („verfijnd”)
lagi seljara demikian, bahwa pelebaran sajap (analogi) ini tidak
dilakukan lagi, apabila dalam Indonesia berdiam orang2 asing
berasal dari suatu negara, jang mendasarkan peraturan penun-
djukannja pada prinsip-domisili, seperti negeri Inggeris, Ame
rika Serikat dan lain2 sebagainja.
Inilali kesimpulan dari Mr. Lemaire, jang didasarkan pada
alasan- jang dikemukakan setjara pandjang lebar.
Pendapat sendiri. (.■
Pada permulaan buku ini saja sudah mengemukakan, bahwa"/
tudjuan dari hukum perdata internasional ialah untuk meme
nuhi rasa keadilan, baik dari masjarakat nasional, maupun dari
masjarakal negeri lain jang bersangkut paut dalam suatu per
istiwa jang mengandung anasir2 asing.
Sesuai dengan ini. maka suatu peraturan penundjukan kepada
suatu hukum asing berludjuan untuk memenuhi rasa keadilan
golongan manusia jang biasanja tunduk pada hukum asing itu.
Kalau menurut pasal 16 A. B. ditundjuk in casu kepada
hukum Inggeris bagi orang2 Inggeris jang berdiam di Indonesia,
maka dengan penundjukan ini diusahakan memenuhi rasa ke
adilan masjarakat Inggeris, termasuk anggota2-nja berupa orang2 Inggeris jang berdiam di Indonesia.
Bahwa berlakunja hukum Indonesia bagi orang2 warganegara
Indonesia jang berdiam di Indonesia, adalah memenuhi rasa
keadilan masjarakat Indonesia, boleh dikatakan sudah selajaknja.
Kalau sebaliknja ada peraturan Inggeris menundjuk kepada
hukum dari negara, dimana orang2 Inggeris berdiam, maka
boleh dikatakan, bahwa rasa keadilan masjarakat Inggeris dipe
nuhi dengan berlakunja hukum dari tempat pendiaman itu bagi
orang2 Inggeris, in casu hukum Indonesia. Dengan ini ada pen-
tjotjokan pendapat antara pendirian Indonesia dan pendirian
Inggeris dalam suatu hal jang tertentu perihal memenuhi rasa
59

keadilan ke-dua2 golongan manusia, jaitu masjarakat Indonesia
dan masjarakat Inggeris. Kalau dilihat dari sudut ini, maka
tudjuan adanja peraturan penundjukan dari pasa I 16 A. B.
tertjapai penuh, apabila dalam hal orang2 Inggeris jang berdiam
di Indonesia, berlakulah hukum Indonesia tentang kedudukan
dan kekuasaan hukum.
Tidak perlu dihiraukan lagi, apakah dalam hukum Indonesia
ini termasuk djuga peraturan penundjukan kepada hukum
asing tadi. O leh orang2 jang menolak penundjukan kembali
dikemukakan, bahwa konsekwensi dari penerimaan penundjuk
an kembali ialah, bahwa setelah diterima penundjukan kem
bali itu, maka menurut peraturan penundjukan nasional harus
ditundjuk kembali lagi kepada hukum asing, begitu seterusnja
dengan tiada habisnja.
Konsekwensi ini menurut hemat saja sama sekali tidak tepat
dikemukakan sebagai barang jang njata. Tudjuan hukum per
data internasional jang saja kemukakan, lelah terljapai, maka
tidak perlu lagi dipikirkan, apakah harus ditundjuk kembali
lagi kepada hukum asing.
Maka saja setudju dengan pendapat jang sesuai dengan ke
mungkinan 2b tersebut d ia la s .__ t
Pendapat saja ini ternjata sesuai dengan jang dianut dalam
undang-undang seragam tentang hukum perdata internasional,
jang akan diadakan di negeri2 Benelux (Belgi, Nederland dan
Luxemburg).
Dalam Konperensi Den Haag ketudjuh tentang hukum per
data internasional, jang diadakan pada tgl. 9-51 Oktober 1951,
dibentuk suatu rantjangan persetudjuan („ontwerp-conventie”)
diantara beberapa negara untuk memetjahkan soal2 hukum
perdata internasional mengenai bentrokan antara undang-
undang nasional dari seorang jang berdiam di negeri asing,
disatu pihak dan undang-undang dari negeri asing itu dilain
pihak, hal mana meliputi soal ,,renvoi” .
60

B A G IA N VI
Pcifil) indaran pelaksanaan liukmu („wetsontduiking”)
Saja mulai dengan mengemukakan beberapa tjontoh.
Tjontoli ke- 1 : D i negeri Itali suami-isteri tidak diperboleh
kan bertjerai. Ada suami-isteri berwarganegara Itali pergi ke-
negeri Belanda dan disana dinasionalisir mendjadi warganegara
(bangsa) Belanda dan disana bertjerai. Hakim di negeri Itali
mungkin sekali akan menganggap pertjeraian itu tidak sah.
Tjontoh ke-2 : Seorang Belanda di Indonesia jang ingin
memberikan suatu hibah („sehenking ) kepada lain orang me
nurut pasal 1682 B. W . harus melakukannja dimuka notaris.
Mereka pergi ke negeri Swis, dimana untuk pemberian hibah
tidak diperlukan suatu akta notaris dan disana melakukan pem
berian dan penerimaan hibah. Menurut pasal 18 A.B. tjara
melakukan suatu perbuatan hukum adalah sah, apabila tentang
hal itu diturut hukum dari negara, dimana perbuatan itu dila
kukan. Maka pemberian hibah jang dilakukan di negeri Swis
itu adalah sah. Akan tetapi mungkin sekali seorang hakim Indo
nesia akan tidak menganggap sah pemberian hibah itu.
Tjontoh ke-5 : Seorang Belanda A di Indonesia mempunjai
seorang anak, jang tidak disenangi olehnja dan ia ingin mem
bikin suatu hibah wasiat jang menjampingkan anak itu sama
sekali sebagai ahli waris. Menurut pasal 915 juneto .pasal 914
B. W . si A tidak dapat mengutik-utik separo dari barang2 warisan jang merupakan „Iegitieme portie (= bagian jang
ditetapkan oleh undang-undang) dari seorang anak itu. Kemu
dian A pergi ke negeri Inggeris, dimana tidak ada peraturan
tentang „Iegitieme portie” itu dan disana ia seljara naturalisasi
mendjadi w'arganegara Inggeris. Kemudian ia bikin hibah wasiat
menurut tjara jang lazim diturut di negeri Inggeris jang berbunji,
bahw'a ia memberikan semua barang2 peninggalannja kepada
orang2 lain dari pada anaknja sendiri. Kalau di Inggeris, seperti
61

lazimnja dianggap, bahwa dalam hal mewaris hukum nasional
dari jang meninggal dunia adalah berlaku, maka hibah wasiat
ini adalah sah. Akan tetapi dapat di-ragu-kan, apakah hakim
Indonesia djuga akan menganggap sah hibah wasiat itu.
Tjontoh2 tersebut diatas adalah mengenai penghindaran
pelaksanaan suatu peraturan hukum. Mula- peraturan hukum
itu merupakan suatu peraturan nasional bagi seorang dan berlaku
djuga baginja, akan tetapi kemudian sebagai akibat dari suatu
perbuatan seorang itu tidak berlaku lagi menurut suatu pera
turan hukum perdata internasional dari negara nasional seorang
itu sendiri.
Dalam hal ini rasa keadilan menuntut, bahwa hukum nasional
dianggap tetap berlaku dalam peristiwa2 jang bersangkutan.
Sekedar mengenai tetap berlakunja hukum nasional, soal
penghindaran pelaksanaan hukum ini, tentang tuAfuannja men
dekati pada soal ketertiban umum dalam hukum perdata
internasional. Seperti diatas sudah diutarakan, dalam hal2 jang
menurut hukum perdata internasional harus dilaksanakan suatu
hukum asing, toh kadang2 harus tetap dilaksanakan hukum
nasional, apabila ini dituntut oleh ketertiban umum.
Maka dua2-nja bertudjuan untuk mendjundjung tinggi suatu
peraturan hukum nasional. Perbedaannja ialah, bahwa dalam
hal ketertiban umum pada umumnja suatu hukum nasional
dianggap tetap berlaku, sedang dalam hal penghindaran pelak
sanaan hukum, tetap berlakunja hukum nasional itu dianggap
tepat pada suatu peristiwa jang tertentu, oleh karena kini ada
seorang jang, untuk mendapat berlakunja suatu hukum asing,
melakukan suatu tindakan, jang bersifat menghindarkan pelak
sanaan hukum nasional itu.
Soal penghindaran pelaksanaan hukum adalah tentangan
belaka dari soal pelandjutan keadaan hukum.
Dalam hal pelandjutan keadaan hukum dipertahankan ber
lakunja hukum asing, meskipun kemudian dengan suatu tin-
.62

elakan, misalnja kepindahan tempat pendiaman kenegara awak„
tertjipta suatu perhubungan hukum jang erat antara orang2 asing dan negara awak ini.
Dai am hal penghindaran pelaksanaan hukum seorang nasio
nal dengan suatu perbuatan menempatkan diri dalam suatu
keadaan hukum, dimana hukum asing pada umumnja berlaku„
akan tetapi, meskipun demikian, dianggap tetap berlaku hukum
nasional seorang itu.m
Sifat soal.
Melihat arti kata biasa dari perkataan „penghindaran”, maka-
soal penghindaran pelaksanaan hukum mengandung anasir
perseorangan, anasir subjektif, jaitu suatu maksud seorang untuk
terluput dari berlakunja hukum nasional. Dan memang biasanja
dalam keadaan2 jang konkrit selalu ada maksud seorang itu.
Akan tetapi ada kalanja kedjadian dalam tjontoh ke-3 seorang
jang membikin suatu hibah wasiat, sesudah mendjadi warga-
negara asing, adalah sangat kebetulan ia terhindar dari ber
lakunja hukum nasional asli tentang „legitieme portie . djadi
sama sekali tidak dengan maksud untuk menghindarkan diri,
tegasnja ia tidak tahu adanja peraturan dinegeri nasional asli
perihal „legitieme portie” itu. Dalam hal ini ternjata tidak ada
anasir subjektif. Nah, pun dalam peristiwa jang belakangan
ini dirasakan djuga, bahwa hukum nasional asli seharusnja
tetap berlaku.
Maka pada pokoknja adalah tidak diperdulikan ada atau'
tiadanja maksud seorang jang berkepentingan untuk menghin
darkan hal sesuatu.
Kalau memang soal penghindaran pelaksanaan hukum ini
dianggap bersifat objektif, maka dirasakan perlu adanja sjarat
objektif bagi hukum nasional jang harus dipertahankan terus.
63

meskipun pada umumnja menurut Iiukum perclala internasional
dari negara jang bersangkutan itu sendiri seharusnja Iiukum
asinglah jang berlaku.
Sjarat objektif itu harus ditjari dalam isi peraturan hukum
itu, jaitu kalau menurut maksud dan tudjuannja peraturan hu
kum itu adalah sedemikian pentingnja, sehingga dirasakan ber
tentangan dengan rasa keadilan, apabila dengan sualu tindakan
jang mudah sadja berlakunja peraturan hukum itu dapat di
hindarkan.
Dengan ini saja sampai pada suatu soal jang mendekati
soal pentafsiran suatu peraturan hukum. Seperti halnja dengan
soal melebarkan sajap hukum (analogi) dan soal pelembutan
hukum („rechtsverfijning ), kinipun orang berusaha, supaja ter-
tjapai maksud dan tudjuan jang sebenarnja dari suatu peraturan
hukum.
Kalau tidak demikian, kalau dibiarkan sadja seorang setjara
mudah dengan suatu perbuatan dapat begitu sadja menghin
darkan diri dari pelaksanaan suatu peraturan hukum, maka
pembentuk undang-undang pada chususnja danpentjipta hukum
pada umumnja akan selalu ditertawakan sadja oleh orang2 jang
bertabiat kurang baik.
Dalam hal ini harus diperhatikan, bahwa tiada buah per
buatan orang2 manusia jang sempurna. O leh karena pembentuk
suatu undang-undang adalah orang2 manusia belaka, maka tidak
dapat setjara sempurna suatu undang-undang dengan kala2 jang
dipakai akan memenuhi maksud dan tudjuannja.
Maka dari itu sering kedjadian dalam suatu undang-undang
ada termuat pasal2 jang melulu bermaksud untuk mendjaga,
djangan sampai orang dapat menghindarkan diri dari pelaksana
an undang-undang atau diusahakan mentjapai ini setjara mem
beri pendjelasan resmi kepada suatu undang-undang.
64

Malai ian menurut Martin W olff dalam bukunja, halaman 142
pernah terdjadi di Amerika Serekat suatu Panitia merantjangkan
suatu „Marriage Evasion Act” ( = peraturan perihal penghin
daran pelaksanaan hukum tentang perkawinan) jang mengatur
hal perkawinan, jang dilakukan dalam suatu negara tetangga
melulu untuk menghindarkan diri dari atau memperkosa pe
laksanaan hukum jang berlaku ditempat pendiaman orang2 jang bersangkutan.
Mr. van Brakel dalam bukunja tersebut diatas halaman 90
tjatatan kc-4, mentjeriterakan, bahwa para hakim di negeri Pe-
rantjis semua mengutamakan anasir „subjektif” dari seorang
jang berkepentingan dan menganggap perbuatan seorang jang
memperoleh nasionalisasi dinegeri asing untuk menghindarkan
diri dari pelaksanaan suatu peraturan hukum nasional, sebagai
suatu perbuatan jang bersifat pura- („défaut de sincérité” —
ketiadaan kemauan jang benar), artinja dianggap, bahwa
seorang itu sebelulnja sama sekali tidak gemar kepada kebang-
saan dari negeri asing itu. Dengan sikap demikian dari para
hakim di negeri Peranljis dapat dimengerti, bahwa hakim
Perantjis akan mudah menganggap adanja penghindaran pelak
sanaan hukum nasional dan akan mudah tetap melakukan hu
kum nasional dengan tidak memperdulikan apa jang terdjadi
dinegeri asing.
D i negeri Inggeris rupa’--nja sikap para hakim adalah sebalik-
nja, jailu mudah mengakui berlakunja hukum asing, meskipun
tertjapainja maksud akan mendapat berlakunja hukum asing
itu, adalah se-mata2 bersifat menghindarkan diri dari pelaksana
an hukum nasional. Terkenallah peristiwa, bahwa seorang laki2 dan seorang perempuan Inggeris jang mau berkawin, akan tetapi
ada halangan berdasar atas suatu peraturan hukum Inggeris,
tjukup pergi ke Gretna Green didaerah Scotland, dimana segaia
perkawinan dapat dilakukan dan perkaw'inan itu selalu diakui
sah di negeri Inggeris.
65

H al pilih hukum (rcchtskcuze)
Dari segala uraian dialas dapat disimpulkan, balnva dalam
hal hukum perdata internasional soal penting jang meliputi
matjam2 persoalan ialah soal hukum mana jang dianggap
berlaku dalam suatu perhubungan hukum perdata dalam suatu
negara, jang didalamnja terkandung anasir2 asing. Oleh karena
hukum pada umumnja mengatur tingkah laku orang2 manusia
dan dalam soal hukum perdata internasionalpun selalu tersang
kut paut kepentingan orang2 manusia jang berdaulat dalam
mempunjai keinginan2, maka timbullah perlanjaan, sampai di-
manakah pihak2 jang berkepentingan itu dapat meunuljudkan
keinginannja dalam suatu perhubungan hukum perdata inter
nasional.
Dengan lain perkataan : sampai dimanakah ada ..partij-auto-
nomie (= kedaulatan pihak jang berkepentingan) dalam hal
hukum perdata internasional.
Dalam uraian2 diatas perihal pelbagai asas dalam hukum
perdata internasional selalu muntjul soal memilih hukum mana
jang berlaku diantara pelbagai golongan hukum. Jang penting
ialah pemilihan :
(a) antara hukum nasional dari hakim jang akan memutus
(,,Iex fori”) dan hukum asing,
© antara hukum nasional dari orang2 jang berkepentingan
dan hukum dari negara, dimana orang2 itu berdiam,
© antara hukum nasional dari orang2 jang berkepentingan
dan hukum dari negara, dimana terletak barang2 jang men-
djadi objekt perhubungan hukum,
© antara hukum nasional dari orang2 jang berkepentingan
dan hukum dari negara, dimana dilakukan perbuatan2 hukum jang bersangkutan (perihal tjara melakukan per
buatan hukum).
B A G IA N VII
66

© antara hukum dari negara» dimana suatu perdjandjian
perdata dilahirkan dan hukum dari negara, dimana per
djandjian itu dilaksanakan.
Sebagai diketahui, bagi Indonesia ada tiga peraturan hukum
termuat dalam undang-undang jang mengandung penundjukan
kepada suatu golongan hukum tertentu, jaitu :
ke-1 : pasal 16 A. B. jang perihal kedudukan dan kekuasaan
/hukum mcnundjuk kepada hukum nasional dari orang2 jang berkepentingan.
ke-2 : pasal 17 A. B. jang perihal barang- tak bergerak
menundjuk kepada hukum dari negara, dimana terletak
barang- itu.
ke-5 : pasal 18 A.B. jang perihal tjara melakukan suatu
perbuatan hukum menundjuk kepada hukum dari negara,
dimana perbuatan hukum itu dilakukan.
Menurut kala- dari tiga pasal tersebut dalam tiga matjam
soal ini tiada tempat bagi „partij-autonomie”. Disitu tidak ada
suatu ketentuan, bahwa pihak2 jang berkepentingan, kalau
perlu, dapat menjimpang dari jang ditetapkan dalam undang-
undang itu sebagai golongan hukum jang harus dianut.
Akan tetapi saja rasa masih dapat di-ragu--kan, apakah da
lam melaksanakan liga pasal tersebut dalam praktek tiada ke
mungkinan untuk memberikan sekedar pengaruh kepada ke-
mauan pihak2 jang berkepentingan.
Dan lagi djuga dapat dikatakan : oleh karena dalam tiga
pasal tersebut liclak disebutkan suatu larangan tertentu untuk
menjimpang dari peraturan itu dalam keadaan bagaimanapun
djuga, maka orang harus dianggap boleh menjimpang dalam
keadaan2 istimew'a^
Dialas sudah diterangkan, bahwa pelaksanaan pasal 16 A. B.
dapat dibelokkan dari djurusan jang dimaksudkan dengan
alasan2 berdasar atas ketertiban umum dari negara awak. Djuga
terlihat diatas ada pelbagai pendapat tentang kemungkinan
67

menundjuk kembali kepada hukum suatu negara jang semula
mengadakan penundjukan kepada hukum negara asing. Lagi
pula terlihat hal saling mempengaruhi dari prinsip kelerliban
umum dan prinsip pelandjutan keadaan hukum.
Dalam in concreto memilih golongan hukum jang mana harus
dilaksanakan, para hakim dari suatu negara tertentu sekiranja
kadang2 terpaksa menengok djuga kepada kemauan pihak-
jang berkepentingan. Guna apa? la k lain tak bukan guna_
memenuhi rasa keadilan berhubung dengan suatu kedjadian
tertentu in concreto. Pada pokoknja rasa keadilan inilah jang
tidak boleh diperkosa.
Jang saja katakan ini, lebih2 berlaku untuk lapangan lain
dalam hukum perdata internasional jang tidak diliputi oleh
pasal2 16, 17 dan 18 A. B. dan terutama jang mengenai soal
hukum perdjandjian perdata. Dalam hal hukum kekeluargaan
dan hukum warisan sekiranja pengaruh kemauan sendiri dari
pihak jang berkepentingan adalah kurang. Ini mudah dapat
dimengerti berhubung dengan sifat bagian2 hukum itu, jang me
nempatkan seorang manusia dalam suatu gerombolan tertentu
jang dengan suatu peraturan tatatertib ada daja mengikat ter
hadap anggota2-nja masing2P okok sifat dari hukum perdata pada umumnja ialah, bahwa
titik berat berada dalam kepentingan orang2 perseorangan, hal
mana baru mengandung arti jang njata, apabila pengaruh ke
mauan orang2 perseorangan tidak diabaikan, bahkan diutamakin
sepatutnja.
Betul hukum mengatur tingkah laku orang2 manusia untuk
keselamatan masjarakat, akan tetapi pada achirnja orang2 per
seoranganlah jang merasakan benar2 pahit-getir dari pelaksanaan
hukum pada badan dan sanubari masing2.
Mengingat hal ini, pun dalam hukum perdata internasional
pada hakekatnja harus didjundjung tinggi kedaulatan pihak2 j ang berkepentingan untuk menentukan, golongan hukum jang
mana dalam suatu perhubungan hukum tertentu harus diturut.
68

Terutama ~ sekali lagi — dalam hal hukum perdjandjian per
data. climana banjak hal sesualu berdasar atas sualu perselu-
djuan antara dua pihak atau lebih.
Ini pokoknja. Tenlunja ada batas2 dari kedaulatan pihak2 jang berkepentingan itu. Batas2 ini terutama terletak pada soal2 kepentingan negara dan kepentingan masjarakat berupa kesu
silaan dan sopan sanlun (..moraal" dan ..fatsoen”).
Dalam hukum nasional ada batas jang tertentu berupa per
aturan- hukum jang, berdasar atas kepentingan ketertiban
limiiri- usti diturut oleh para pihak („dwingend recht”, lihat
pasal 2o A. B.).
Martin W o lff dalam bukunja tersebut diatas, halaman 418
menuturkan, bahwa hukum Inggeris berpokok-pangknl pada
kedaulatan lak terbatas dari para pihak jang mengadakan per
djandjian. Sekiranja ini hanja penjebutan suatu hahehat sadja
seperli halnja dengan jang saja katakan diatas dan tentunja
ada batas2.
Hukum 2 manakah dapat ditundjuk oleh para pihak jang
berkepentingan sebagai hukum jang berlaku bagi suatu per
hubungan Iiukum ? Ini adalah mungkin hukum dari tempat
dimnna suatu perdjandjian dilahirkan atau dari tempat, dimana
perdjandjian harus dilaksanakan atau dari tempat pendiaman
kedua belah pihak atau salah suatu dari mereka atau dari tem
pat dimana terletak barang2 jang mendjadi objekt suatu perse-
tudjuan atau hukum nasional dari salah suatu pihak.
Lain soal ialah bagaimana orang dapat mengetahui betul2 kemauan pihak2 jang berkepentingan untuk menundjuk kepada
suatu golongan hukum.
Kalau dalam surat persetudjuan ditetapkan terus terang,
hukum mana jang dimaksudkan harus diturut, maka kesulitan
tidak ada. Tetapi sering, malahan barangkali biasanja terdjadi
tidak disebutkan dengan kata2 jang terang hal hukum jang
ditundjuk itu. Disinilah mulai adanja kesulitan untuk mengeta
hui maksud2 jang sebenarnja dari para pihak.
69

Oleh karena lidak mengetahui betul-, orang hanja clapat
me-raba2, apa jang barangkali dimaksudkan oleh para pihak.
Mungkin sekali adanja suatu maksud dapat disimpulkan dari
pemakaian suatu perkataan atau suatu pengertian jang menan
dakan, bahwa para pihak mengingat pada suatu golongan hu
kum tertentu.
'f a > f Kalau misalnja dalam suatu perdjandjian antara seorang
----- - ' Indonesia dan seorang Turki ada pemberian uang lebih dulu
dengan memakai perkataan ..pandjer’ , jang hanja terkenal
dalam hukum adat di Indonesia, maka dapat diambil kesim
pulan, bahwa djalan pikiran para pihak mengalir kearah
beri akunja hukum adat Indonesia dalam perhubungan hukum
jang mereka tjiptakan.
Djustru dengan adanja kesulitan ini, maka disamping anasir
subjektif ini harus ditjarikan anasir objektif dari persetudjuan
antara kedua belah pihak, jaitu sifat dari persetudjuan itu.
•_ Dengan lain perkataan, harus d itjari^ukum jang mana adalah
sesuai dengan atau mendekati pada isi, maksud dan tudjuan
dari, persetudjuan itu. Untuk ini tidak tjukup orang melihat
pada kata2 jang dipakai dalam persetudjuan, melainkan harus
diperhatikan d(uga keadaan2 jang terlihat clisekitar persetudjuan itu. : ' ‘
Dalam hal ini adalah penting diketahui adat kebiasaan jang
perihal persetudjuan jang bersangkutan dianut dalam dunia
masjarakat internasional. Sekiranja dalam perdagangan inter
nasional ada banjak hal2 jang boleh dianggap diketahui betul2 oleh pihak2 jang berkepentingan.
Konperensi Den Haag ketudjuh tentang hukum perdata
internasional, jang berlangsung pada tanggal 9-51 Oktober 1951,
membentuk rantjangan persetudjuan („ontwerp-convenlie ) dian-
tara beberapa negara mengenai djual-beli barang2 bergerak
serta bertubuh, jang bersifat internasional, dalam rantjangan
mana tentang ..partij-autonomie’’ ditetapkan, bahwa dalam hal
70

djual-beli internasional berlakulah undang-undang nasional
jang dipilih oleh kedua belah pihak, sedang kalau pemi Ilhan
hukum ini tidak diadakan, maka barulah berlaku pelbagai per
aturan dalam rantjangan persetudjuan itu jang menentukan
dalam beberapa hal tertent^ undang-undang nasional mana
jang harus dianggap berlaku.
BA G IA N VIII
Pengakuan putusan hakim asing
Diatas selalu diperbintjangkan keadaan- jang meliputi sedikit
banjak anasir- asing, untuk mengetahui hukum jang mana ha
rus dianggap berlaku dalam suatu perhubungan hukum tertentu,
jaitu hukum nasional atau hukum asing, hukum nasional orang-
jang berkepentingan atau hukum dari negara, dimana orang-
itu berdiam, hukum nasional orang2 jang berkepentingan atau
hukum dari negara, dimana terletak barang2 jang bersangkutan,
hukum dari negara, dimana perdjandjian dilahirkan atau hu
kum dari negara, dimana perdjandjian itu dilaksanakan dan
lain2. Terutama hakimlah jang harus memikirkan hal ini pada
achirnja, oleh karena, kalau orang2 jang berkepentingan tidak
dapat menjesuaikan diri satu sama lain, tidak dapat berdamai,
maka djalan jang amat penting untuk mendapat suatu kepastian
ialah memadjukan soal perselisihannja dimuka hakim.
Kalau seorang hakim, sesudah menindjau beberapa asas dari
hukum perdata internasional, telah mendjatuhkan suatu putusan,
maka timbul pertanjaan, sampai dimana putusan itu mempunjai
kekuatan diluar lingkungan daerah hukum negara awak dari ha
kim jang memutuskan itu.
Kekuatan putusan hakim dapat bertjorak matjarn-, ini ter
gantung dari isi putusan itu. Ada putusan jang mengandung
suatu hukuman kepada seorang, supaja melakukan suatu
perbuatan atau supaja tidak melakukan suatu matjam perbuatan.
Putusan sematjam ini hanja mempunjai arti jang njata, apabila
71

pulusan itu dapat didjalankan (dieksekutir). Tjontoli- ialah :
putusan, jang menghukum seorang untuk memhajnr secljumlah
uang atau memberikan suatu barang kepada lain orang atau
untuk meninggalkan suatu pekarangan atau rumah.
Ada putusan hakim jang mentjiptakan suatu keadaan hukum
(konstitutif) seperti putusan jang mengandung pembatalan
suatu persetudjuan perdata atau pemetjahan suatu perkawinan
atau pengangkatan seorang wali (,,voogd ) atau seorang penga
was („curator”). Putusan2 sematjam ini tidak membutuhkan
suatu tindakan mendjalankan putusan itu, melainkan menetap
kan suatu keadaan sebagai hal jang melimpahkan hak2 dan
kewadjiban2 hukum kepada jang berkepentingan.
Ada putusan hakim jang mengandung pernjataan belaka
dari adanja suatu peristiwa hukum (..declaratoir’ ), misalnja
suatu putusan tentang sah atau tidaknja suatu perkawinan, ten
tang ada berdirinja suatu perseroan tertentu jang sah, tentang
siapa jang mempunjai hak milik terhadap suatu barang. Putu
san2 sematjam inipun tidak membutuhkan suatu tindakan men
djalankan putusan itu. Pun putusan sematjam ini tidak melim
pahkan setjara langsung hak2 dan kewadjiban2 hukum kepada
orang2 jang bersangkutan, melainkan dapat mendjadi dasar dari
tindakan orang2 jang bersangkutan dikemudian hari.
Semua putusan tersebut diatas dapa t mem punjai kekuatan lain matjam, jaitu kekuatan pembuktian dimuka hakim dalam pemeriksaan suatu perkara perdata.
Ada golongan putusan lagi jang djuga tidak membutuhkan
didjalankan, jaitu putusan hakim jang mengandung suatu
penolakan dari gugat. Putusan sematjam ini sangat berarti
djuga, terutama bagi pihak jang digugat, oleh karena diputuskan
tidak adanja atau tidak terbuktinja suatu peristiwa. Dengan
putusan sematjam ini, tergugat dapat menangkis beberapa tin
dakan dari orang lain, terutama penggugat.
K alau seorang hakim dalam suatu negara telah mengambil
72

suatu putusan, malea sudah terang putusan itu mempunjai
matjam- I<e)<ualan seperti dikatakan diatas bagi daerah hukum
negara itu. Apakali keadaan hukum sematjam ini tidak seha-
rusnja dilandjutkan, pun oleh penguasa- dinegeri lain, sebagai
penghormatan terliadap negara pertama itu. Apakah keadaan
hukum seperti ini tidak dapat disamakan dengan keadaan hu
kum jang menurut hukum perdata internasional harus dilandjut
kan ? (lihat bagian IV diatas).
Pertanjaan ini harus didjawab dengan lidak, oleh karena
pengertian pelandjulan keadaan hukum dalam hukum perdata
internasional, jang dibitjarakan dalam bagian IV diatas itu,
adalah se-mata- suatu prinsip sebagai alasan untuk mengakui
berlakunja suatu hukum asing.
Kalau putusan2 hakim dari negara asing dianggap sebagai
hal keadaan hukum jang sepatutnja harus dilandjutkan, maka
sebetulnja diletakkan dialas pundak para hakim untuk menentu
kan isi dari hukum perdata internasional. Dan teranglah bahwa,
bukan inilah soalnja. Pekerdjaan hakim pada pokoknja malahan
melaksanakan Hukum pada umumnja, termasuk djuga hukum
perdata internasional, tidak sebaliknja.
Betul acia kalanja suatu peraturan hukum adalah begitu
kabur, sehingga hakim dalam mentafsirkan isi dari hukum itu,
mendekati pada mentjiptakan suatu hukum, akan tetapi ini ada-
• Iah hal jang istimewa, jang luar biasa.
Maka dari itu, dalam hukum perdata internasoinal masih
dibutuhkan pula suatu peraturan jang menentukan kekuatan
suatu putusan hakim diluar lingkungan daerah hukum negara-
nja.
Pasal 22a A . B. mengadakan perbatasan dari kekuatan putu
san2 hakim dalam daerah nasionalnja, berdasar atas hukum
internasional antara negara („Volkenrecht”), djadi tidak menge
nai soal jang kini dibitjarakan.
Bagi Indonesia sekiranja hanja ada suatu pasal undang-
73

undang jang mengenai kekuatan putusan hakim dari negara
asing, jailu pasal 456 „Reglement Burgelijke Reclil svordering •
Betul undang-undang ini pada umumnja sekarang tidak berlaku,
oleh karena sekarang hanja ada satu matjam pengadilan untuk
pemeriksaan perkara tingkatan pertama, jailu pengadilan negeri
dan untuk pengadilan negeri ini pada pokoknja lianja berlaku
H. I. R. (..Herziene Inlandsch Reglement ). Akan tetapi pasal
456 B. Rv. sebetulnja bukan sualu pasal jang diadakan untuk
,,Raad van Justitie dulu oleh karena mengenai putusan hakim
asing. Maka pasal itu dapat dianggap terus berlaku, berdasar
alas pasal 142 Undang-undang Dasar Sementara R.I. juncto
pasal 192 Konstitusi R. I. S. juncto pasal II Aturan peralihan
Undang-undang Dasar R. I. dari 1945.
Pasal 456 B. Rv. berbunji clemil<ian :
(1) Diluar keadaan2 jang disebutkan dalam pasal 724 Kitab
Hukum Dagang dan undang-undang lain, maka putusan2 hakim negeri asing tidak dapat didjalankan didalam daerah
hukum negara Indonesia.
(2) Perkara2 jang bersangkutan dapat diadjukan, diperiksa dan
diputuskan lagi dimuka pengadilan di Indonesia.
(5) Dalam keadaan2 jang dikeljualikan pada ajal 1 putusan2 hakim negeri asing hanja dapat didjalankan, sesudah atas
suatu permohonan didapatkan izin dari hakim ditempat
dalam Indonesia, dimana putusan itu harus didjalankan.
(4) Dalam hal memohon dan memberikan izin ini, perkaranja
sendiri tidak akan diperiksa kembali.
Pasal 724, ajat 5, Kitab Hukum Dagang menentukan, bahwa
diluar Indonesia „averij-grosse” ditentukan dan di-bagi2 oleh
penguasa dinegeri asing jang bersangkutan. Jang dinamakan
,,averij-grosse ialah biaja2 jang diperlukan mengenai kapal
lautan dan kerugian2 jang diderita oleh kapal, barang2 muatan
atau anak buahnja, sebagai jang diperintji dalam pasal 699 K i
tab Hukum Dagang dan jang menurut pasal 698, ajat 2 , harus*
74

dibebankan dan dipertanggung djawabkan pada kapal, upah2 pengangkutan dan barang2 muatan selurulinja.
Tentangan dari averij-grosse ialah ..averij’ sederhana jang di-
perintji dalam pasal 701 Kitab Hukum Dagang dan jang
dibebankan dan dipertanggung djawabkan pada kapalnja sadja
atau pada suatu barang tertentu sadja jang mendapat rugi atau
jang mengakibatkan pengeluaran biaja.
Putusan penguasa diluar-negeri. jang memuat penentuan
djumlah biaja dan kerugian jang merupakan ,,averij-grosse” itu
dan jang memuat djuga bagaimana pembebanan biaja dan ke-
rugian kepada kapal, upah pengangkutan dan barang2 muatan
menurut pasal -136 B. Rv.. dapat didjalankan di Indonesia, ka
lau perlu. Misalnja berhubung dengan tempat pendiaman orang
atau badan jang mempunjai kapal atau barang2 muatan di In
donesia.
Pasal 456 B. Rv. menundjuk kepada peraturan2 dalam undang-
undang lain, akan tetapi setahu saja sampai sekarang tidak ada
undang-undang lain itu, maka praktis menurut pasal ini tidak
ada putusan hakim negeri asing suatupun jang dapat didjalan
kan di Indonesia.
Dalam tahun 1925 ada perdjandjian internasional antara
negeri Belanda dan negeri Belgi jang antara lain mengenai hal
mendjalankan putusan hakim dari negeri rnasing - didaerah
negeri peserta jang lain. Perdjandjian ini menurut pasal 27 ajat
1 , hanja berlaku bagi daerah negeri Belanda dibenua Eropah,
maka lidah pernah berlaku di Indonesia.
Bagaimanakah halnja dengan pasal 159 „Indische Staatsrege-
Iing jang menentukan, bahwa putusan hakim jang didjatuhkan
di negeri Belanda dapat didjalankan di „Hi ndia-Belanda” dan
sebaliknja putusan hakim jang didjatuhkan di „Hindia-Belanda
dapat didjalankan djuga dinegeri Belanda. Masih berlakukah
peraturan ini ? - ~ !
Pasal 142 Undang-undang Dasar Sementara R. I. menundjuk
'75

kepada keadaan pada tanggal i/ Agustus 1950 (zaman R.I.S.)
dan pasal 192 Konstitusi R.I.S. menundjuk kepada keadaan pada
waktu penjerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 19-19. Menu
rut peraturan2 peralihan itu, peraturan2 undang-undang jang
ada pada waktu itu, tetap berlaku, asal sadja antara lain tidak
bertentangan dengan Charter Penjerahan Kedaulatan. Ini saja
tafsirkan demikian, bahwa peraturan2 itu tidak boleh berten
tangan dengan ucljud kedaulatan sebagai jang diserahkan pada
tanggal 2!7 Desember 1949 itu. Dan lagi penjerahan kedaulatan
itu sebetulnja hanja berarti suatu pengakuan de jure dari
kedaulatan Republik Indonesia, jang sudah berdiri mulai tanggal
17 Agustus 1945.
Undang-undang Dasar R. I. dari tahun 19-15 memuat djuga
suatu pasal peralihan jang menentukan, bahwa peraturan2 hu
kum dari zaman Belanda dan zaman Djepang hanja dianggap
berlaku sekadar tidak bertentangan dengan Undang-undang D a
sar tersebut (pasal l Peraturan Presiden Republik Indonesia no.
2 tanggal 10 Oktober 1945, jang berlaku surut ketanggal 17 Agustus 1945).
Harus ditjamkan, bahwa peraturan seperti pasal I 59 ..Indische
Staatsregeling adalah akibat belaka dari keadaan kolonial,
dimana daerah Indonesia dianggap sebagai milik negeri Be
landa, hal mana melajakkan adanja pasal tersebut.
Perundang-undangan negeri Belanda pada pasal 451 B. Rv.
dari negeri Belanda dan perundang-undangan Indonesia (Hin-
dia-Belanda) pada pasal 456 B. Rv. Indonesia mengambil suatu
sikap tertentu terhadap putusan2 hakim negara asing, jaitu
pada hakekatnja menolak dapat didjalankannja putusan2 itu
dinegeri Belanda dan di Indonesia.
Kedaulatan jang diperoleh Indonesia pada tanggal 17 Agus
tus 1945 dan de jure diakui oleh negeri Belanda pada tanggal
27 Desember 1949 adalah sempurna dan tidak bersjarat. Maka
dengan sendirinja sedjak langgal 17 Agustus 1945 bagi daerah
76

de faclo Republik Indonesia dan sedjak tanggal 27 Desember
19-19 bagi seluruh daerah negara Indonesia prinsip dari pasal
456 B. Rv. harus berlaku djuga terhadap putusan2 hakim di-
negeri Belanda, oleh karena sedjak tanggal2 tersebut negeri
Belanda adalah negeri asing bagi Indonesia.
Maka tidak berlakulah pasal 159 „Indische Staatsregeling”,
dan selama tiada perdjandjian internasional antara negeri Indo
nesia dan negeri Belanda mengenai soal ini, maka putusan2 ha
kim clinegeri Belanda ticlak dapat didjalankan di Indonesia.
Pasal 456 B. Rv. hanja mengenai hal mendjalankan putusan
hakim asing, maka jang disinggung oleh pasal tersebut ialah
hanja satu matjam kekuatan dari putusan hakim jang mengan
dung sualu hukuman seorang untuk melakukan suatu perbuatan.
Maka oleh pasal tersebut sama sekali tidak disinggung kekuatan
lain dari putusan sematjam ilu dan kekuatan dari putusan lain
matjam. jailu putusan menolak gugatan, putusan mentjiptakan
suatu keadaan hukum, putusan memberikan suatu hak hukum.
Kekuatan2 lain ini ialah, seperti jang pernah saja kemukakan
diatas, kekuatan tentang pemberian suatu hak kepada seorang
a( 'U pernjataan adanja suatu perhubungan hukum tertentu
jang sah dan kekuatan pembuktian.
Tentang kekuatan2 jang lain ini, oleh karena tiada pasal
undang-undang jang menentukan hal sesuatu perihal itu, dapat
dikatakan, bahwa pada hakekatnja kekuatan putusan hakim
negara asing, bagi negara awak tidak ada, akan tetapi ini tidak
dapat meng-halang2-i bahwa hakim Indonesia toh memperhati
kan sedikit banjak adanja putusan hakim asing itu. Dan perihal
ini hakim Indonesia sama sekali tidak terikat oleh suatu peratu-
an. Maka hakim Indonesia dapat bertindak seperti halnja pada
umumnja dalam hal hukum perdata internasional, jaitu menen
tukan bagaimana kekuatan putusan hakim asing harus dilihat
dan diperhatikan dari sudut tudjuan hukum perdata internasional
untuk memenuhi rasa keadilan.
77

Kalau rriisalnja untuk seorang Filipina A, jang belum tjukup
umur, di Indonesia berlindak seorang Filipina Inin B, jang
oleb hakim Filipina dianggap sebagai wali dari A itu dan B,
dimuka hakim Indonesia untuk membuktikan Iial ilu. memper
lihatkan suatu turunan sah dari putusan hakim asing ilu, maka
sekiranja sama sekali tiada keberatan bagi hakim Indonesia unluk
mengakui kekuatan pembuktian dari putusan hakim asing ilu.
Lain tjontoh : Perkawinan seorang Inggeris A dengan seorang
perempuan Inggeris di negeri Inggeris dipetjahkan dengan suatu
putusan hakim di Inggeris. Kemudian A pergi ke Indonesia dan
disim berkawin lagi. Selandjulnja ia dituduh melakukan ke-
djahatan bigami (beristeri dua) menurut pasal 279, ajat t ke-1 Kitab Hukum Pidana dan ia untuk membela diri memperlihat
kan turunan putusan hakim Inggeris tersebut. K inipun sekiranja
tiada keberatan bagi hakim Indonesia untuk mengakui kekuatan
dari putusan hakim Inggeris itu.
Tjontoh lain lagi : Seorang India A di negerinja pernah
digugat dimuka hakim perihal mempunjai suatu hutang kepada
seorang India B dan gugatnja ditolak. Kemudian ia datang di
Indonesia dan disini ia dimintakan, supaja ia oleh hakim Indo-
k ‘nja*a <an berdasar antara lain atas adanja hutang
ut ^ a|as- Dalam pembelaannja ia memperlihatkan turunan
Putusan hakim India jang mengandung penolakan gugat tadi.
kL “ t* t m lndia Ini ,’ aran^ I i tidak akan dapat membuk- 1 an 100% tidak adanja hutang itu, akan tetapi tiada keberatan
pu a bagi hakim Indonesia untuk memperhatikan putusan hakim lndia itu seperlunja.
Tentunja harus ada sjarat^ bagi putusan hakim asing itu jang
pada umumnja djuga diperlukan untuk putusan hakim di Indo
nesia, misalnja hakimnja harus memang berkuasa untuk meng-
amb. putusan dan putusan itu harus sah, artinja tidak batal
o eh karena suatu kekurangan dalam mengambilnja.
ja mendjadi soal pertanjaan, bagaimana sjarat“ itu

Iiarus cliukur. jailu dengan mempergunakan peraturan2 hukum
dari negara hakim asing itu atau peraturan hukum jang berlaku
dinegeri Indonesia.
Menurut liemat saja pada umumnja ukuran ini harus dida
sarkan pada hukum negara asing jang bersangkutan. Kekua
saan seorang hakim dalam suatu negara berhubungan erat de
ngan peraturan- tentang susunan dan kekuasaan pengadilan2.
Kalau peraturan- ini dinegara asing itu sangat berbeda dengan
peraturan2 dinegeri awak, maka sekiranja sangat sukar un luk
mengukur kekuasaan hakim asing itu dengan mempergunakan
peraturan hukum di negeri awak. Misalnja negeri Belanda me
ngenal beberapa matjam pengadilan untuk mengadili perkara
dalam tingkatan pertama, sedang di Indonesia hanja ada satu
matjam pengadilan untuk pemeriksaan tingkatan pertama.
Dai am teori tentunja ada kemungkinan suatu negara mem-
punjai peraturan tentang susunan dan kekuasaan pengadilan
jang oleh negara lain dianggap demikian djeleknja sehingga
dianggap bertentangan dengan ketertiban umum di negara lain
itu, dengan akibat, bahwa putusan hakim asing itu sama sekali
tidak akan diakui. Akan tetapi dapat diragukan, apakah mungkin
demikian itu terdjadi dalam praktek.
Lain halnja tentang isi putusan hakim asing. Mungkin suatu
putusan hakim asing berdasar atas suatu perdjandjian perdata
jang menurut hukum asing adalah sah, akan tetapi menurut
hukum nasional adalah tidak sah. Misalnja suatu pemberian
hibah antara suami-isteri tidak diperbolehkan dinegeri Belanda
dan telah terdjadi diadakan dalam suatu negara, jang hukumnja
menganggap pemberian hibah sematjam itu adalah sah antara
suami dan isteri warganegara dari negara itu. Sikap hakim Be
landa terhadap perdjandjian seperti ini adalah tergantung dari
pada anggapan, apa peraturan hukum jang melarang pemberian
hibah antara suami dan isteri itu masuk pengertian ketertiban
umum dinegeri Belanda atau tidak.
79

B A G I A N I X
Hukum nasional bayi orang2 asing
Hukum perclata aclalali peraturan untuk matjam- t i n g k a h - laku orang2 perseorangan sebagai anggota masjarakat. P e l a k s a n a a n
liukum perdata dalam praktek berada dalam tingkatan pertama pada sikap orang2 jang berkepentingan sendiri dan pada tingkatan Iandjutnja pada tingkatan badan2 pemerintali seperti pegawai2 pelbagai kementerian, pamong pradja. polisi dan kedjaksaan, sedang dalam tingkatan terachir pada para hakim- U n tuk mudahnja saja sebut hakim sadja sebagai satu-nja p e n g u -
■asa terpenting jang berwadjib melaksanakan hukum perdata, djuga lain2 hukum.
Jang saja maksudkan dengan hukum nasional sebagai isi Bagian IX ini ialah hukum nasional dari seorang hakim jang harus memutuskan suatu perkara.
Dalam bagian2 jang dulu2 sering dibiljarakan hal hukum nasional disamping hukum asing atau disamping hukum negara domisili atau disamping hukum negara, tempat terletak barang sesuatu. Dalam hal ini semua pengertian hukum nasional terpakai sebagai hukum nasional dari orang2 jang berkepentingan
dalam suatu perhubungan hukum. H anja sepintas lalu sadja kadang2 tersinggung hal hukum nasional dari hakim jang ber- wadjib memutuskan suatu perkara perdata, dalam m ana terlibat suatu anasir asing.
Adapun soal jang sekarang akan saja tindjau ialah sampaiimana hukum nasional dari seorang hakim berlaku bagi orang2
-asing.
Bagi Indonesia ada dua pasal dari Undang-undang D a s a r
Sementara jang mungkin dapat mendjadi dasar penin.djauan ini,
jaitu pasal 8 dan pasal 9 jang berbunji demikian :
•80

Pasal 8.Sekalian orang jang ada didaerah Negara sama berhak
menuntut perlindungan untuk diri dan hartabendanja.
Pasal 9.
1. Setiap orang berhak dengan b,ebas bergerak dan tinggal
dalam perbatasan Negara.
2 . Setiap orang berhak meninggalkan negeri dan ■—' djika
ia warganegara atau penduduk — kembali kesitu.
D ua pasal ini mendjamin keselamatan bagi setiap orang jang
berada didaerah negeri Indonesia, tidak perduli apa ia adalah
warganegara Indonesia atau orang asing. D juga dapat dikata
kan, ba/nva pasai2 ini adalah pelaksanaan ciari suatu politik
pintu terbuka jang dianut oleh negara Indonesia terViac\ap
golongan- lain jang bukan warganegara Indonesia. Politik
sematjam ini sudah lajak dalam zaman sekarang, di-mana- dise-
luruh dunia memperlihatkan usaha kearah suatu kekeluargaan
diantara segenap bangsa2 didunia.
A da lah suatu konsekwensi dari politik pintu terbuka ini.
apabila kepada setiap orang jang berada didaerah negara
Indonesia dinjatakan, bahw’a diri dan harta-bendanja dalam
prinsip ber-sama2 mendapat perlindungan dari alat2 negara. Ini
djuga hal jang sesuai dengan kedaulatan suatu negara. Kedau
latan ini tidak hanja mengandung hak2 kekuasaan sadja terha
dap setiap orang jang berada didaerah negara, melainkan djuga
kewadiiban2 terhadap mereka. Ini sudah seimbang.
Dari pasal2 ini djuga dapat disimpulkan, bahwa pada pri«
sip orang2 asing dalam hal keselamatan diri dan harta-bendanja
tidak boleh diperhelakan gkan daripada orang2 warganegara.
Persamaan dalam mendapat perlindungan ini tidak berarti,
bahwa hukum jang berlaku adalah sama djuga bagi warga
negara dan orang asing. Pasal 5 A. B. hanja menentukan
81

balrwa, selama oleh undang-undang tidak diketemukan lain,
maka hukum perdata dan hukum dagang adalah sama bagi
warganegara dan orang asing. Maka persamaan hanja diutjap-
kan tentang hukum perdata dan hukum dagang.
Perihal hukum pidana pasal 2 Kitab undang-undang Hukum
Pidana (K. U. H . P., „Strafwetboek”) menentukan, bahwa per
aturan2 hukum pidana dari negara Indonesia berlaku bagi setiap
orang jang didaerah negara Indonesia melakukan suatu perbu
atan jang dapat dikenakan suatu hukuman pidana.
Perihal hukum ketatanegaraan tiada suatu pasal seperti dua
pasal tersebut diatas. Ini tidak berarti, bahwa hukum talanegara
sama sekali tidak berlaku bagi orang2 asing. 1 entunja ada
jang berlaku djuga, misalnja peraturan tentang ber-matjam2 padjak. Ketiadaan pasal2 seperti pasal 3 A. B. dan pasal 2 K. U. H. P. untuk hukum tatanegara hanja berarti, bahwa peri
hal peraturan2 tatanegara harus ditindjau satu persatu, apakah
peraturan itu berlaku hanja bagi warganegara atau djuga bagi
orang asing. Ketentuan tentang berlakunja peraturan2 ini mung
kin dikatakan setjara terang dalam peraturan itu sendiri, mung
kin diperoleh setjara pentafsiran peraturan itu dengan mengingat
sifat, maksud dan tudjuan masing2 peraturan.
Undang-undang Dasar Sementara sendiri memuat beberapa
pasal jang menjatakan perbedaan hukum bagi warganegara dan
orang asing. Misalnja pasal 23 ajat 1 menentukan, bahw'a setiap
warganegara berhak turut serta dalam pemilihan dengan lang
sung atau dengan perantaraan wakil2 jang dipilih dengan be
bas, A jat 2 dari pasal tersebut menjatakan kemungkinan keang-
katan setiap warganegara dalam tiap2 djabalan pemerintah,
sedang bagi orang2 asing hal ini tergantung dari aturan2 tertentu
dalam undang-undang. Pasal 24 U . D . menentukan, bahwa
setiap warganegara berhak dan berkewadjiban turut serta de
ngan sungguh dalam pertahanan negara.
82

Dengan adanja perbedaan hukum antara warganegara dan
orang asing ini tidak dapat dikatakan, bahwa dalam hal- itu
orang asing diperbelakangkan, maka adanja perbedaan ini
tidak menjalahi prinsip tidak-boleh diperbelakangkan dari pasal
8 U. D . Perbedaan hukum ini berdasar atas kenjataan, bahwa
kedudukan hukum mereka memang adalah berbeda. Dalam hal
ini sama sekali tiada pikiran tentang membelakangkan orang2 asing. Malahan dalam hal2 jang konkrit orang2 asing itu ba
rang kali ,merasa untung dengan adanja perbedaan hukum itu,
misalnja hal ketiadaan kewadjiban mereka untuk turut serta
dalam mempertahankan negara terhadap serangan musuh.
Kembali kepada pasal 5 A. B.
Jang dimaksudkan oleh pasal ini ialah pemjataan pada
prinsip suatu persamaan hukum bagi warganegara dan orang
asing, jaitu hukum nasional dari negara Indonesia dinjatakan
berlaku djuga bagi orang2 asing.
Perlu diterangkan disini, bahwa pasal 5 A.B. sama sekali tidak
bermaksud untuk mengatur hal jang berhubungan dengan hukum
perdata internasional. Sebagai telah ber-ulang2 dikatakan, dalam
hukum perdata internasional soalnju itllflli untuk memilih antara
hukum nasional atau hukum asing atau hukum istimewa. Dan
dalam hal itu jang penting ialah ada atau tidaknja suatu pera
turan penundjukan kepada suatu golongan hukum tertentu,
misalnja penundjukan kepada hukum nasional dari orang2 jang
berkepentingan atau kepada hukum dari negara, tempat tinggal
orang2 itu atau kepada hukum tempat letak barang2 atau kepada
hukum dari negara, dimana dilakukan perbuatan hukum jang
bersangkutan.
Pasal 3 A . B. tidak merupakan suatu peraturan penundjukan
itu. Maka dari itu pasal ini tidak berarti, bahwa kelcetjualian2 jang menurut pasal itu mungkin diadakan dalam suatu undang-
83

undang, akan mengandung suatu penundjukan kepada hukum
asing bagi orang'2 asing.
Keketjualian2 jang dimaksudkan ialah kekeljualian pada prin
sip, bahwa hukum nasional dari negeri Indonesia perihal hukum
perdata dan hukum dagang berlaku djuga bagi orang- asing.
Maka keketjualian itu hanja merupakan penjebulan bagian2 dari hukum perdata dan hukum dagang dari negeri Indonesia,
jang lidak berlaku pula bagi orang2 asing jang berada di
Indonesia. m
Meskipun demikian halnja, pasal 5 A. B. dipergunakan dalam
pentafsiran hal hukum perdata internasional. Sebagai dialas
telah pernah dikatakan, berhubung dengan adanja pasal 5 A. B.
itu, pasal 16 A. B. jang menurut kata2-nja hanja mengatakan
beriak u hukum nasional dari warganegara Indonesia mengenai
kedudukan dan kekuasaan hukum djuga bagi mereka, apabila
berada dinegeri asing, diperluaskan setjara analogi, bahwa
bukum nasional dari orang2 asing jang berada di Indonesia,
perihal bagian2 hukum tersebut, lelap berlaku djuga bagi mereka.
Pasal 3 A.B. diambil sebagai dasar untuk analogi ini, oleh karena
pasal ) A. B, menghendaki, bahwa prinsip dari pasal 16 A. B. sebagai bagian dari hukum nasional dari negara Indonesia me
ngenai hukum perdata, berlaku djuga bagi orang2 asing.
Tetapi, sekali lagi, tidak berarti, bahwa pasal 3 A . B. lantas
mendjadi suatu peraturan tentang hukum perdata internasional.
Perlu diterangkan pula, bahwa jang dimaksudkan oleh pasal
3 A . B. den gan hukum perdata dan hukum dagang itu adalah
jang termual dalam undang-undang, djadi jang sebagian besar
termuat dalam „Burgelijk Wetboek” dan „Wetboek van Koop-
handel dan dua undang-undang ini seperti diketahui, hanja
berlaku bagi orang2 Eropah, Tionghoa, Arab dan lain2 Timur
Asing. Hal berlakunja hukum adat tidak disinggung oleh pasal
84

5 A. B., se-tidak2-nja pasal 3 A. B. ticlak bermaksud menjinggung
hal liul<nm adat. Ini dapat disimpulkan ke-1 dari kenjataan,
bahwa perihal keketjualian jang diperbolehkan oleh pasal 3A. B., ditimdjuk kepada ,,\vet” (= undang-undang) sadja. ke-2 dari kenjnlaan. bahwa A. B. dalam pasal 11 mengatakan pula,
bagi orang Indonesia tetap berlaku hukum adat sebagai tenta
ngan dari hukum perdata dan hukum dagang jang berlaku
bagi orang2 Eropali dan jang disamakan dengan mereka.
Da n memang sudah selajaknja, bahwa hal hukum adat tidak
masuk dalam penentuan pasal 3 A. B. Sebagai diketahui, bagi
orang2 Indonesia sendiri tiada hukum adat jang satu dan jang
dalam hakekatnja berlaku bagi segenap orang Indonesia, mela
inkan ada pelbagai peraturan hukum adat jang masing2 hanja
berlaku bagi daerah hukum masing2 sendiri. Maka tiadalah
mungkin ada suatu pernjataan, bahwa hukum adat adalah sama
bagi orang asing seperti bagi orang Indonesia.
Keketjualian2 manakah jang dimaksudkan oleh pasal 3 A. B.
jaitu bahwa suatu peraturan hukum perdata dan dagang dari
negara Indonesia tidak berlaku bagi orang asing jang berada
di Indonesia ?
Satu golongan keketjualian sudah didjumpai dalam uraian
diatas, jaitu dimana menurut hukum perdata internasional
untuk suatu perhubungan hukum oleh satu peraturan penun-
djukan ditundjuk kepada hukum nasional orang2 asing itu
(pasal 16 A. B.).
Lain2 keketjualian terhadap dalam bagian hukum atjara
perdata.
Tjontoh ke-1 ialah pasal 128 „Reglement Burgerlijke Rechts-
vordering”. Seperti halnja dengan pasal 436 B. Rv., jang telah
dibitjarakan diatas, meskipun pada umumnja B. Rv. hanja ber
laku untuk „Raad van Justitie” dan „Residentiegerecht dulu,
85

sama sekali tiada keberatan untuk menganggap pada waktu sekarang pasal 128 B. Rv. berlaku djuga bagi Pengadilan Negeri
Pasal 128 B. Rv. mengenai hal jang dalam bahasa Latin dimanakah „cautio iudicatum solvi (= djaminan hal pcmba- jaran ongkos perkara perdata dimuka hakim) dan mengatakan, bahw a orang2 asing jang bukan penduduk Indonesia, jang bertindak sebagai penggugat dalam perkara perdata atau jang sebagai pihak ketiga menempatkan diri diantara atau disamping pihak2 berperkara, diharuskan, apabila diminta oleh pihak lawan, sebelum pihak lawan mengadakan perlawanan, untuk mengadakan tanggungan, bahwa benar2 akan dihajar ongkos2 perkara dan ganti kerugian jang mungkin akan dibebankan kepada mereka. Udjud dari tanggungan ini menurut pasal 129
B. Rv. akan ditetapkan oleh hakim jang memerintahkan diada- kannja tanggungan itu. Hakim mana djuga harus menetapkan djumlah nilai uang, sampai mana tanggungan itu berlaku. T a n g gungan ini dapat berupa suatu djumlah uang alau barang perhiasan jang dititipkan dikepaniteraan atau penundjukan suatu barang tak bergerak milik penggugat, jang dapat diperuntukkan guna tanggungan ini atau penundjukan seorang lain jang dapat dipertjaja oleh hakim dan jang sanggup untuk memikul segala tanggungan djawab atas pembajaran ongkos perkara dan lain2 itu.
Alasan untuk mengadakan keketjualian ini, seperti telah dikatakan diatas, tidak berarti membelakangkan kepentingan orang2 asing terhadap kepentingan orang2 warganegara Indonesia, melainkan berdasar atas kenjataan, b ahw a ada kechawa- tiran besar seorang asing jang bukan penduduk Indonesia akan setjara mudah menghindarkan diri dari pem bajaran ongkos dan lain2 itu melulu oleh karena m udah m em indahkan tempat tinggal keluar-negeri dengan tidak meninggalkan a lam at jang terang dan jang benar. M aka pertimbangan ,,utiliteit” -lah jang mempengaruhi adanja peraturan ini.
86

Tentang lial ini ada suatu perdjandjian internasional antara
beberapa negara, termasuk djuga negeri Belanda. Perdjandjian
ini ditandatangani di Den Haag tanggal 17 Djuli 1905 dan
menentukan dalam pasal 17, bahwa prinsip „cautio iudicatum
solvi ini tidak berlaku bagi orang2 asing dari negara jang
turut menandatangani perdjandjian itu, kalau orang itu men-
djadi penggugat dimuka hakim dari negara lain jang djuga
ikut menandatangani. Disamping pasal 17 ini pasal 18 meng
atur hal mendjalankan putusan hakim mengenai pembajaran
ongkos perkara dan ganti kerugian dinegeri nasional dari
orang2 asing itu.
Menurut pasal 26 perdjandjian ini hanja berlaku bagi daerah
negara2 dibenua Eropah, sedang kepada masing2 negara diberi
kesempatan untuk kemudian menjatakan berlakunja perdjan-
tljian itu djuga bagi daerah2 djadjahannja. Setahu saja, negara
Belanda tidak pernah mengeluarkan pernjataan itu, maka
Indonesia tidak terikat pada perdjandjian itu.
Pasal 128 B. Rv. mula2 tidak mengenai orang2 Belanda jang
berada di Indonesia, oleh karena menurut hukum kolonial
Belanda, orang2 Belanda di Indonesia tidak dianggap sebagai
orang asing. Mereka dengan sendirinja adalah „Nederlandsch
•onderdaan’ . Dengan berdirinja Republik Indonesia* sebagai
negara jang merdeka dan berdaulat, orang2 Belanda jang bukan
warganegara Indonesia adalah orang asing, maka mulai tanggal
27 Desember 1949 untuk seluruh Indonesia peraturan „cautio
iudicatum solvi” berlaku djuga bagi orang Belanda jang bukan
warganegara Indonesia dan jang bukan penduduk Indonesia.
Menurut Martin W olff dalam bukunja tersebut diatas,
halaman 54. prinsip „cautio iudicatum solvi bagi orang asing
tidali dianut di negeri Inggeris, sedang hampir semua negara2 lain dibenua Eropah menganut prinsip ini.
Tjontoh ke-2 : Menurut pasal 872. ajat 2 B. Rv. orang asing
jang bukan penduduk Indonesia, tidak boleh dibebaskan dari
87

pembajaran ongkos perkara, meskipun mereka miskin. Dapat
di-ragu2kan, apakah pasal ini berlaku djuga bagi Pengadilan
Negeri, oleh karena pasal 237 H. I. R. sama sekali tidak menjing-
gung hal itu dan pasal 872 ajat 2 tersebut tidak berlaku bagi
„Residentie-gerecht” dulu. Barangkali oleh pembajaran undang-
undang dianggap tidak perlu untuk mengadakan peraturan itu
djuga bagi „Residentie-gerecht dan Pengadilan Negeri, oleh
karena ongkos perkara dari dua pengadilan tersebut sangat ren
dah, kalau dibandingkan dengan ongkos perkara dimuka „Raad
van Justitie” dulu, maka dari itu dianggap, bahwa setiap orang
asing jang bukan penduduk tentu mampu membajar ongkos itu.
Dan lagi tidak begitu terang alasan apakah jang dipergunakan
oleh pembentuk undang-undang untuk mengadakan peraturan
seperti pasal 872, ajat 2 B. Rv. Kalau seorang asing, jang berada
di Indonesia dan bukan penduduk Indonesia, kebetulan dari
beberapa sebab, djatuh miskin sangat, sehingga ia betul2 tidak
dapat membajar ongkos jang diperlukan untuk melakukan suatu
gugatan atau suatu perlawanan dimuka hakim, dan seorang
asing sematjam ini tidak boleh dibebaskan dari pembajaran
ongkos perkara, maka ini mendekati sekali pada membelakang
kan kepentingan mereka terhadap kepentingan warnegara dan
pendudtfk Indonesia. Apakah dalam hal ini masih dapat di
katakan, bahwa orang asing itu dapat perlindungan seperti jang
dimaksudkan oleh pasal 8 Undang-undang Dasar Sementara ?
Maka daripada itu, oleh karena ratio dari pasal 872, ajat 2B. Rv. tidak terang atas ketepatannja, m enurut hemat saja sebaiknja ketentuan itu dianggap tidak berlaku bagi Penga- dilan Negeri di Indonesia pada w’aktu sekarang.
Tjontoh ke-3 : Pasal 580 ke-9 dan pasal 761 B. Rv. memuat peraturan tentang pemaksaan badan „Iijfsdwang te rhadap orang asing jang bukan penduduk Indonesia. U n tu k wargane- gara dan penduduk Indonesia pemaksaan badan sebagai tjara mendjalankan suatu putusan hakim hanja dapa t d ilakukan

perihal lintang- jang tertentu clan jang disebutkan dalam pasal
5S0 ke-1 sampai ke-S, sedang bagi orang asing jang bukan
penduduk Indonesia pemaksaan badan ini dapat diperintahkan
untuk segala maljam hutang. Dan lagi menurut pasal 761
bagi orang asing jang bukan penduduk Indonesia dapat dipe
rintahkan pemaksaan badan sebelum ada putusan hakim tentang
keharusan membajar hutang.
D ua pasal ini sudah terang tidak berlaku bagi Pengadilan Negeri. oleh karena mulai semula hukum atjara perdata dari Pengadilan Negeri liclak mengenal pemaksaan badan seperti jang berlaku bagi ..Raad van Justitie” dulu. Bagi Pengadilan Negeri sualu pemaksaan badan sebagai tjara mendjalankan putusan hakim tidak terbatas pada beberapa matjam hutang, melainkan dapat dilaksanakan untuk segala matjam hutang dan lagi baru dapat diperintahkan, apabila tiada barang2 milik tergugat jang dapat disita dan didjual lelang untuk membajar hutang jang sudah ditetapkan oleh hakim.
Exleriloricdilet.
A da hal jang tidak seljara langsung mengenai tidak berlaku- nja hukum nasional bagi orang2 asing akan tetapi sef/ara tidak langsung berakibat tidak berlakunja itu, jaitu hal exteri- torialitet ( = dianggap diluar daerah suatu negara). Menurut prinsip ini jang diacui dalam hukum antara negara „Volken- recht beberapa orang asing jang berada didalam daerah suatu negara, dianggap se-olah2 berada diluar negara itu mengenai kekuasaan pemerintah negara itu pada umumnja. termasuk djuga berlakunja hukum nasional bagi mereka.
D ia tas telah dikatakan, bahwa jang dimaksudkan dalam- Bagian IX ini dengan hukum nasional ialah hukum dari hakim jang harus memutuskan hal sesuatu. Salah suatu udjud jang terpenting dari exteritorialitet ialah, hal bahwa orang" asing jang dimaksudkan itu, sama sekali tidak dapat ditarik dimuka
89

pengadilan sebagai tergugat dalam perkara perdata atau sebagai terdakwa dalam perkara pidana. Sebagai akibat dari peraturan ini dengan sendirinja hukum nasional dari hakim tidak berlaku bagi mereka.
Mereka ini antara lain ialah : a. Kepala negara asing serta pengikut2-nja. M enurut
Mr. J. P. A. Francois dalam bukunja „Handboek van het Volkenrecht” bagian I tahun 1949, tjelakan ke II, halaman 529, para hakim di Perantjis dan Itali menganggap berla- kunja exteritoriaIitet terbatas pada perbuatan Kepala negara asing dalam hal mereka bertindak setjara resmi
dan tidak berlaku, apabila mereka bertindak sebagai seorang partikelir, seperti misalnja membeli barang sesuatu dalam toko. Negeri2 lain seperti Inggeris dan Belgi tidak mengadakan perbatasan ini.Kalau kedatangan seorang Kepala negara asing adalah ,,incognito , jaitu sebagai seorang jang tidak dikenal oleh siapapun djuga, ada kebulatan pendapat, bahw a seorang itu tidak dikenai prinsip exteritorialitet.
t . D u ta2 negara asing dengan pegawai resmi dan keluargamereka.
c. Penguasa- lain dari negara asing jang disamakan denganduta negara. Hal ini harus dinjatakcin dalam suatu surat penetapan dari Kepala negara masing2. D ju g a hal ini dapat ditentukan dalam suatu persetudjuan an tara dua negara atau lebih mengenai beberapa pendjabat jang tertentu.
. d. Para hakim dari suatu pengadilan internasional, ketjualiberhubung dengan negara nasional dari seorang hakim itu sendiri. Keketjualian ini adalah perlu, karena, kalau tidak begitu, seorang hakim sematjam ini sama sekali tidak tunduk pada hukum m anapun djuga.
90

BA G IAN X
I jara melakukan perbuatan hukumDari liga pasal A. B., jang mengandung peraturan penun-
djukan kepada suatu golongan liukum jang berlaku, pasal 18 A. B., jang mengenai tjara melakukan perbuatan hukum, patut dibitjarakan tersendiri, oleh karena mungkin ada hubungan dengan segala keadaan hukum perdala dengan tiada keketjua- Iian. Sedang pasal 16 dan pasal 1/ A. B., oleh karena hanja mengenai bagian tertenlu dari hukum perdata, dapat ditindjau dimana perlu berhubung dengan suatu perhubungan hukum jang membutuhkan penaruhan perhatian pada dua pasal itu.
Pasal 18 ajat 1 A. B. berbunji : Tjara tiap2 perbuatan hukum dilindjau menurut peraturan undang-undang (hukum) dari negara atau tempat, dimana perbuatan itu dilakukan.
Penentuan ini adalah amat lajak. Kalau seorang pada suatu tempat berniat akan melakukan suatu perbuatan hukum dan ingin mempergunakan suatu tjara tertentu, maka ia hanja dapat mentjapai tudjuan ilu, apa bila tjara jang ia maksudkan tadi, in concrelo ciapat dilakukan ditempa t itu. Kalau tjara jang dimaksudkan membutuhkan mempergunakan alat2 jang tertentu dan alat~ itu tidak terdapat ditempat tersebut, maka sudah barang tentu orang itu tidak mungkin akan mentjapai tudjuannja. Terpaksalah ia mempergunakan tjara jang lazim dipakai ditempat itu dimana dengan sendirinja lengkaplah adanja alat- untuk melakukan tjara jang lazim tadi.
Lebih2 kalau orang jang ingin melakukan perbuatan hukum dalam hal itu membutuhkan pertolongan dari seorang penguasa, misalnja seorang notaris atau seorang pegawai pentjatatan djiwa. Penguasa ini tentunja terikat pada peraturan2 dari ne- garanja, jang barangkali tidak memungkinkan penguasa itu akan menganut tjara istimewa, jang diingini oleh orang tadi. D a n lagi mungkin sekali penguasa tersebut tidak tahu sama
91

sekali udjud tjara jang dimaksudkan, kalau misalnja seorang itu lianja menundjukkan sadja kepada tjara jang berlaku dalam suatu negara asing jang tertentu.
M aka penentuan dari pasal 18 A. B. adalah amat 'praktis.
Sebab, kalau sebaliknja tidak diperbolehkan menurut tjara jang lazim dipakai disuatu negara atau tempat, dalam hal2 jang menurut suatu golongan hukum jang pada umumnja dianggap berlaku, memerlukan suatu tjara istimewa jang tidak dapat dilaksanakan disuatu tempat, orang2 jang berkepentingan akan mendapat kesulitan jang tidak terhingga. Mereka lantas terpaksa tidak melakukan perbuatan hukum jang amal perlu, misalnja ia akan segera meninggal dunia dan ingin membikin suatu hibah wasiat, dengan akibat bahwa hal sesuatu akan terdjadi setjara jang tidak sesuai dengan kemauannja. A ta u mereka terpaksa melakukan perbuatan itu menurut tjara jang lazim dianut ditempat itu, akan tetapi dengan kepastian, bahw a perbuatan hukum itu akan tidak dianggap sah dikemudian hari.
Mengingat alasan untuk mengadakan peraturan seperti pasal18 A. B., jaitu guna menghindarkan pelbagai kesulitan bagi orang2 jang berkepentingan, maka boleh dikatakan, bahw a maksud pasal itu ialah tidak untuk mengikat orang2 pada suatu
tjara melakukan perbuatan, jaitu tjara ditempat perbuatan dilakukan. Pengikatan sematjam ini sama sekali lidak d ibutuhkan oleh masjarakat.
Maka dari itu dapat dikatakan, balrwa sifat dari pasal 18
A. B. ialah hanja untuk memperbolehkan orang2 dalam m elakukan perbuatan hukum menurut tjara jang lazim berlaku ditempat itu. Ini berarti, bahwa apabila suatu tjara istimewa jang diingini dan jang tidak lazim diturut ditempat perbuatan akan dilakukan toh dapat diturut djuga berhubung kebetulan ditempat itu ada alat2 penuh jang diperlukan untuk m enurut tjara jang istimewa itu, maka diperbolehkan djuga orang mempergunakan tjara istimewa ini.
92

Tegasnja dalam Iial tersebut belakangan ini orang dapal
memilih salab suatu dari dua tjara tersebut dan perbuatan
hukum jang dilakukan akan tetap dianggap sah.
Perdjandjian internasional antara beberapa negara mengenai
perkawinan jang ditandatangani di Den Haag pada tanggal
12 Djuni 1902 memuat suatu pasal, jaitu pasal 7 jang berbunji
■demikian : „Suatu perkawinan jang bcital menurut hukum di-
negara. dimana perkawinan itu dilakukan, mengenai tjara mela-
kukannja. dapat dianggap sah dalam negara2 peserta lain, apa
bila diturut suatu tjara perkawinan, jang ditentukan oleh hukum
nasional dari suami-isteri ’.
Pentafsiran pasal 1S A. B., seperti jang diuraikan diatas, adalah sesuai den gan prinsip jang terkandung dalam pasal 7 perdjan- djian internasional ini, hal mana menebalkan kejakinan atas kebenaran pentafsiran tersebut.
Setjara pendek, maka dapat dikatakan, bahwa pasal 18 A. B. tidak bersifat mutlak „imperatief”, melainkan „facultatief”.
Dari hal adanja keleluasaan untuk memilih salah satu dari pelbagai tjara melakukan perbuatan hukum ini, ada suatu ke- ketjualiun, jang dapal disimpulkan ciari pasal 17 A. B. jang menentukan, bahwa perihal barang tak bergerak berlaku hukum dari tempat, dimana terletak barang2 itu. Pasal ini meliputi djuga tjara melakukan perbuatan hukum mengenai barang tak bergerak. M aka dari itu, kalau suatu perbuatan hukum adalah mengenai barang tak bergerak, maka orang tidak dapat memilih lagi tjara m ana jang harus diturut, melainkan harus diturut tjara m enurut hukum dari negara, dimana terletak barang tak bergerak jang bersangkutan.
Lain keketjualian dapat didasarkan pada alasan mengenai ketertiban umum suatu negara A. dari mana orang2 jang akan melakukan perbuatan hukum dinegeri asing itu, adalah war- ■ganegaranja. Keketjualian ini mungkin ada, apabila hukum nasional dari negara A menetapkan suatu tjara istimewa untuk
95

melakukan suatu perbuatan hukum sedemikian rupa, sehingga dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dinegeri itu, apabila jang diturut bukan tjara itu, melainkan tjara jang berlaku ditempat perbuatan hukum dilakukan.
Misalnja perihal p a s a l '1682 B. YV. jang menentukan, bahw a pemberian hibah hanja dianggap sah, apabila dilakukan dimuka notaris. Pasal ini bertudjuan untuk mendjaga djangan sampai seorang setjara sembarangan memberikan hibah kepada lain orang. Oleh karena pemberian hibah adalah suatu perdjan- djian jang hanja tergantung dari pada satu pihak sadja dan jang hanja memberatkan satu pihak itu sadja pula, hal mana berarti, bahwa djumlah milik orang akan dikurangi setjara berat sebelah tidak dengan menerima gantinja, maka orang harus ber-hati2 dalam hal melakukan pemberian hibah. Mungkin sekali ia pada suatu waktu dalam suasana gembira dan semangat jang me-Iuap2, merasa senang dalam memberikan suatu hibah kepada orang lain, akan tetapi kemudian ia. setelah memikirkan hal sesuatu setjara tenang, merasa ketjewa (..gelo” dalam bahasa L)jawa) atas perbuatan itu, Sekiranja untuk menghindarkan hal keketjewaan ini, maka oleh pasal 1682 B. W . ditentukan, bahw'a pemberian hibah, supaja mendjadi suatu perdjandjian jang sah, harus dilakukan dengan akta dimuka notaris. Kalau orang sudah berada dimuka notaris, maka dapat diharapkan bahwa ia adalah tenang dan tenteram dan dapat memikirkansegala akibat jang mungkin akan disebabkan oleh pemberian hibah itu.
Melihat uraian diatas dapat dimengerti, apabila setengah orang berpendapat, bahwa pemilihan tjara akta notaris ini dianggap begitu penting berdasar atas ketertiban umum sehingga seorang warganegara Indonesia jang berbangsa Belanda atau Tionghoa djuga dinegeri, asing, diharuskan melakukan suatu pemberian hibah dengan akta dimuka notaris, meskipun hukum jang berlaku dinegeri asing itu memperbolehkan pem94

berian liibali dilakukan clengan akla dibawah tangan atau setjara lisan sadja.
Dalam lial ini harus diingat, bahwa mungkin sekali dalam negara, dimana suatu perbuatan hukum akan dilakukan, tidak terdapat alat- jang mentjukupi untuk menetapi tjara istimewa tersebut diatas. Maka ini dapat menimbulkan kesulitan, jang menjebabkan, bahwa achirnja orang toh harus menjimpang dari tjnra istimewa ini.
Sekiranja adalah baik, apabila sebelum uraian tentang tjara melakukan perbuatan hukum ini dilandjutkan, diterangkan dulu, apa jang setjara tetap dinamakan tjara itu.
Tjara adalah mengenai itcljud dari tindakan seorang sebagai jang dapat diketahui oleh orang ketiga dengan mempergunakan pantjaindera. Udjud ini dapat ber-matjam2 tjoraknja dan mengenai djuga peristiwa2 jang diharuskan menjekitari perbuatan hukum sebagai gerak-gerik badan seorang.
Berhadapan dengan tjara melakukan perbuatan hukum adalah sifat, isi, makna, maksud, tudjuan dan akibat dari suatu perbuatan hukum. Ini semua tidak dikenakan oleh pasal 18A. B., maka tidak merupakan hal jang oleh pasal ini ditundjuk kepada hukum dari tempat perbuatan hukum dilakukan.
Kelihatannja adalah mudah orang memperfcec/alran tjara daripada jang bukan tjara ini. Akan tetapi dalam praktek seringkali amat sukar untuk menentukan batas2 jang tertentu antara tjara dan jang bukan tjara itu. Maka tidak aneh, bahwa dalam praktelc kemungkinan besar timbulnja perselisihan paham tentang batas2 itu.
Sebetulnja hal mengadakan batas jang tepat ini adalah am at penting. Kalau seandainja suatu peraturan hukum di- negara Indonesia jang mengenai sifat dan isi suatu perbuatan hukum setjara salah dianggap sebagai peraturan hukum mengenal tjara, maka seorang Indonesia dapat menjampingkan peraturan itu dengan melakukannja disuatu negara jang
93

mengatur perbuatan liukum jang besangkutan itu setjara lain sekali, dengan akibat, bahwa hukum nasional diperkosa oleh orang itu.
Sebaliknja orang dapat menjampingkan pasal 18 A. B. setjara se-wenang2, asal sadja ia dapat mengatakan, bahwa hukum nasional jang bersangkutan tidak mengenai tjara atau dapat menganggap suatu peraturan hukum nasional jang betul mengenai tjara sebagai terbentuk untuk ketertiban umum.
Pengadilan Tertinggi dinegeri Belanda ,,Hoge R aad dalam tahun 1935 pernah memutuskan, bahwa soal penjumpahan saksi adalah bukan hal mengenai tjara melakukan perbuatan, in casu pendengaran saksi oleh hakim. Kalau dilihat sepintas lalu, memang dapat dikatakan, bahwa penjumpahan saksi adalah mengenai tjara pendengaran saksi itu. Akan tetapi, kalau dipikirkan bahwa penjumpahan saksi itu berakibat penting, jaitu bahwa dengan adanja sumpah, keterangan2 saksi dapat dipakai sebagai bukti jang sah dan jang amat lebih kuat daripada keterangan saksi diluar sumpah, maka dapat dimengerti, bahw a sudah tetaplah putusan ,.Hoge R aad” dinegeri B elanda tersebut,
Ada hal lagi jang harus ditindjau dari pasal 18 A. B., jnitu soal tempat, dimana suatu perbuatan hukum harus dianggap dilakukan. Apakah jang dimaksudkan dengan tempat itu ?
Kalau dua orang Indonesia, jang satu di Djakarta, jang lain ■di Singapura, berbitjara satu sama lain dengan tilpun. dalam pembitjaraan mana timbul suatu persetudjuan antara mereka, jang menurut hukum dapat diadakan setjara lisan, tempat manakah jang dianggap sebagai tempat perbuatan hukum dilakukan, Singapura atau Djakarta. Pertanjaan seperti ini timbul djuga dalam hal orang di Djakarta menulis surat kepada orang lain di Singapura.
Dapat dipersoalkan, apakah jang disebut tempat melakukan perbuatan hukum itu ialah tempat orang menggerakan badan sebagai permulaan perbuatan hukum ataukah tempat dimana
96

akibat perbuatan Imkum tertjipla. Djuga dapat dipersoalkan, apakah mesti lianja ada satu tempat sadja, iang dapat ditentukan sebagai tempat melakukan perbuatan ataukah dimungkinkan ada lebih dari satu tempat itu.
Ini semua pertanjaan2 jang tidak dapat didjawab setjara integral, jang meliputi semua peristiwa jang mungkin akan terdjadi. melainkan harus ditindjau satu persatu. Dan djawaban- nja tergantung antara lain dari sifat, maksud dan tudjuan dari perhubungan hukum jang bersangkutan.
Sering dikatakan, bahwa suatu persetudjuan adalah terdjadi pada waktu dan tempat pengabulan dari suatu tawaran diterima oleh jang menawarkan.
Ajal 2 dari pasal IS A . B. menentukan, bahwa dalam melaksanakan pasal 18 ajat 1 A. B. selalu harus diperhatikan perbedaan, jajig oleh undang-undang diadakan antara orang Eropah dan orang Indonesia asli. A jat ini hanja merupakan suatu peringatan kepada para hakim dan para penguasa dalam badan2 pemerintahan, bahwa perihal orang2 Indonesia asli ada berlaku hukum adat jang tidak termuat dalam undang-undang dan jang ber-Iain2 dipelbagai daerah, mungkin sekali djuga mengenai tjara melakukan perbualan hiiklUll. Solciranfa peringatan sema- tjam ini tidak begitu perlu, oleh karena A. B. sendiri dalam pasal I I sudah menekankan tetap berlakunja hukum adat itu bagi orang2 Indonesia.
Pasal 19 A. B. djuga mengatakan hal sesuatu tentang tjara dari suatu golongan perbuatan hukum, akan tetapi tidak berhubungan dengan soal hukum perdata internasional. Dalam pasal tersebut dikatakan, bahwa akta otentik (resmi) jang dibikin dimuka seorang pegaw'ai Eropah, perihal tjara membi- kinnja, hanja tunduk kepada peraturan jang diadakan oleh pemerintah Belanda. Pasal ini dianggap perlu berhubung dengan kenjataan, bahw a pada zaman Belanda ada beberapa daerah swapradja jang mempunjai peraturan2 jang tidak ditetapkan
97

oleh pemerintah Belanda. U n tuk mendjamin, bahw a akta2 otentik jang dibikin dimuka pegawai Belanda penuh berlaku djuga bagi daerah- swapradja itu, maka ditekankan bahw a perihal tjara membikin akta2 itu tidak perlu diindahkan peraturan2 jang mungkin diadakan oleh pemerintah swapradja dan jang menjimpang dari peraturan2 pemerintah Belanda.
Pada waktu sekarang, oleh karena kepala swapradja hanja merupakan kepala daerah belaka, pasal ini tidak ada perlunja lagi.
Pada tahun 1909 beberapa guru-besar di Leiden (negeri
Belanda), antara lain Mr. Van VoIIenhoven dan Mr. Carpentier
Alting, mengumumkan 24 buah rantjangan untuk mengubah
pelbagai undang-undang bagi Indonesia, antara lain djuga A.B.
Tentang pasal2 16, 17 dan 18 A. B. disusulkan, supaja diadakan
pasal baru, jaitu pasal 18a jang mengatakan, bahwa orang dapat
menjimpang dari ketentuan tiga pasal tersebut, berdasar atas
suatu pendapat internasional jang sudah lazim diturut oleh
chalajak ramai.
Oleh para pengusul dichawatirkan, bahw a dalam melaksanakan pasal2 tersebut orang barangkali akan bertindak kaku, jaitu melulu melihat pada kata2 jang dipakai sadja, dengan ada kemungkinan besar, bahwa pelaksanaan pasal2 itu menghasilkan hal2 jang tidak memuaskan, oleh karena bertentangan dengan rasa keadilan pada umumnja didunia internasional dalam pergaulan dengan negara2 lain. M aka diusulkan, supaja dibuka suatu pintu, agar berhubung dengan rasa keadilan itu, orang dapat menjimpang dari ketentuan pasal2 tersebut.
Kechawatiran ini dalam praktek ternjata sudah dapat dihin
darkan, oleh karena orang praktis sudah dapat menjimpang
dengan alasan2 berdasar atas ketertiban umum dan pelandjutan
keadaan hukum, jang diatas telah dikupas seperlunja.
98

B A G IA N XII"IaI perkawinan
Penjelenggaraan perkawinan.
Perkawinan antara clua orang Indonesia diluar-negeri menurut pasal 18 A. B. clapat diselenggarakan menurut tjara jang lazim dipakai ditempai. Sebaliknja perkawinan antara dua orang asing di Djakarta dapat pula menurut tjara jang lazim dianut di Djakarta. M aka menurut pasal 18 A. B. orang2 asing di Djakarla berhak pula untuk menjelenggarakan perkawinan menurut tjara dari hukum jang mengatur hal perkawinan antara mereka, jaitu hukum nasional dari negaranja.
Penjelenggaraan perkawinan berhubungan erat dengan peraturan tentang pentjalatan djiwa („Burgerlijke Stand”) perihal perkawinan. Di Indonesia pentjatatan djiwa perihal perkawinan teratur bagi orang- Eropah dalam Staatsblad 1849 —25 pasal 54 — 65 bagi orang2 Tionghoa dalam Staatshlad 1917 — 150
juneto staatsblad 1919 — 81 pasal 67 — 71, bagi perkawinan ..tjampuran (,,gemengde huwelijken”), jaitu antara dua orang jang masing2 takluk pada peraturan hukum tersendiri, dalam Staatsblad 1904 — 279 seluruhnja, bagi orang2 Indonesia jang beragama Keristcn di Djawa, Minahasa dan Ambon dalam
Staatsblad 1935 — 75 juneto Staatsblad 1936 — 607 p asa /48 — 58.
Bagi orang2 jang beragama Islam ada peraturan pemasukan perkawinan didalam suatu daftar („register”) seperti halnja dengan „Burgerlijke S ta n d ”, tetapi tidak dinamakan demikian. Peraturan ini bagi D ja w a dan M adura termuat dalam Staatsblad 1929 —
348 („Huwelijks-ordonnantie Java en Madura ) dan bagi luar D jaw a dan M adura dalam Staatsblad 1932-482 („Huwelijks- ordonnantie Buitengewesten”). A da lagi „Vorstenlandsche Huwe- lijksordonnantie” dalam Staatsblad 1935 — 98 juneto Staatsblad 1941 - 520, jang berlaku bagi daerah Jogjakarta dan Surakarta, tetapi sekiranja ini tidak berlaku lagi, oleh karena sekarang hal
99

ketatanegaraan didua daerah tersebut sudah teratur seperti di-Iain2 daerah di Djawa. M enurut peraturan2 tersebut perkawinan antara orang2 jang beragama Islam harus dilakukan dibawah pengawasan seorang pendjabat jang harus memasukkan perkaw'inan itu dalam suatu daftar (,,register ).
Berhubung dengan adanja ber-matjam2 aturan untuk pelbagai golongan penduduk di Indonesia tersebut diatas, m aka bagi orang2 asing jang akan kawin di Indonesia, tjara menje- lenggarakan perkawinan itu tergantung dari golongan mana mereka masuk.
Perihal sjarat2 untuk berkawin, oleh karena mengenai kedudukan dan kekuasaan hukum, jaitu in casu kekuasaan un tuk berkawin, menurut pasal 16 A. B. juncto pasal 5 A. B. harus berlaku hukum nasional dari orang2 asing jang akan berkaw'in di Indonesia sini.
Djustru oleh karena di Indonesia ada peraturan2 tersendiri bagi pelbagai golongan penduduk tersebut diatas, maka pelaksanaan pasal 16 A. B. itu tidak menimbulkan kesulitan.
Lain halnja di-negara2 jang dalam hukum perdalanja hanja mengenal satu sistim perkawinan, jaitu perkawinan monogam jang tidak memperbolehkan orang beristeri dua, seperti dinegeri Amerika Serikat, Inggeris, Belanda, Perantjis dan lain2. D inegeri tersebut dianggap sebagai tuntutan dari ketertiban umum- ” ja, bahwa dalam negeri2 itu hanja dapat diselenggarakan perkawinan monogam, artinja kalau bakalsuami sudah beristeri, perkawinan tidak dapat diselenggarakan. D an kalau perkawinan ke- 2 ini toh diteruskan, maka perkawinan itu dapat d ibata lkan oleh hakim.
Kedudukan suami-isteri selama perkawinan.
Pun. dalam hal ini menurut pasal 16 A. B. jo pasal 5 A. B. berlaku hukum nasional dari suami-isteri. B agaim anakah hal-
100

nja, apabila mereka masing2 tetap berlainan agama atau berlainan kewarganegaraan ?
Tentang Iial ini pasal 2 Jari perdjandjian internasional antara beberapa negara tentang hukum perbendaan dalam perkawinan (..huwelijksgoederenrecht”), jang ditandatangani pada tanggal 1'7
Djuli 1505 (tidak berlaku bagi Indonesia) menetapkan, bahwa, djika tidak ada perdjandjian perkawinan, maka akibat2 perkawinan mengenai harla-benda suami-isteri, baik barang bergerak maupun barang (ak bergerak, takluk pada hukum nasional dari suami
pacla u>akiu perkawinan diselenggarakan.
Barangkali prinsip ini dapat dianut di Indonesia djuga untuk segala hal mengenai kedudukan suami-isteri dalam perkawinan, berhubung pula dengan pasal 2 Peraturan Perkawinan Ijampur- an (Staatsblad 1898 !—• 158), jang menentukan, bahwa seorang perempuan jang melakukan perkawinan tjampuran ( = perkawinan dengan seorang laki2 jang tunduk pada hukum lain dari pada siperempuan), mengikuti, selama berlangsungnja perkawinan. kedudukan suaminja, baik dilapangan hukum publik maupun dilapangan hukum perdata.
Perlu sekiranja diperingatkan adanja perbedaan besar perihal kedudukan isteri selama perkawinan antara hukum adat dan hukum ,.barat” ( = jang berlaku unluf< orang EropaJi dan Tiong
hoa ), jaitu :ke-1. Menurut pasal 108 B. W . isteri, untuk melakukan suatu
perbuatan hukum,harus dibantu oleh suaminja atau men
dapat izin dari suami dan menurut pasal 1 10 B. W . isteri
tidak boleh menghadap dimuka hakim dengan tidak di
bantu oleh suami. Menurut hukum adat dua hal ini,
bantuan dan izin suami, sama sekali tidak perlu.
ke-2 Menurut pasal 119 B .W . barang2 milik suami-isteri ter
gabung mendjadi satu dibawah pengurusan suami, ketjuali
ada perdjandjian . perkawinan antara mereka jang menga
101

kibatkan barang2 milik masing2 tetap terpisali dan cliurus
oleh masing2. Hukum adat pada umumnja tidak mengenal
perdjandjian perkawinan seperti ini dan barang2 milik
suami dan isteri masing2 tetap terpisali dan berada dibawah
pengurusan mereka masing2.
Dalam hal suami-isteri adalah orang2 asing dari negeri2
barat, misalnja orang2 Perantjis atau Inggeris, jang berada di
Indonesia, tidak ada kesulitan, jaitu bagi mereka tetap berlaku
hukum nasional mereka menurut pasal 16 A. B. jo pasal 5
' A. B., dan di Indonesia bagi orang2 Eropah tetap berlaku
„Burgerlijk Wetboek” jang dalam hal itu sama dengan hukum
nasional mereka. Lain halnja, kalau suami-isteri adalah orang2
Indonesia dan berada di Perantjis. Menurut hukum perdata
internasional jang berlaku disana, hukum adat Indonesia harus
dianut, akan tetapi mungkin sekali oleh hakim dan penguasa
lain disana peraturan hukum dinegeri Perantjis jang sama
den gan pasal 108 dan pasal 110 B. W . tadi, dianggap masuk
golongan ketertiban umum, sehingga jang dianut bukan hukum
adat Indonesia, melainkan hukum perdata Perantjis.
Pemetjahan perkawinan.
Hukum perihal ini, sekadar mengenai hak untuk minta tjerai
atau keleluasaan suami menurut hukum Islam untuk memberi
talak Icepada islerinja, adalah hukum perihal kekuasaan hukum,
maka menurut pasal 16 A. B. jo pasal 5 A. B. berlakulah lagi
hukum nasional dari suami-isteri. Akan tetapi, misalnja di
negeri Belanda, menurut Mr. van Brakel dalam bukunja ter
sebut diatas halaman 154, para hakim disana menganggap
peraturan hukum perdata Belanda perihal pemetjahan perka
winan ini bersifat ketertiban umum, maka dalam hal orang2
suami-isteri asing beragama Islam jang berada disana, dianggap
berlakulah peraturan B. W . Belanda mengenai alasan2 jang
hanja dapat dipakai untuk meminta pertjeraian, dan mengenai
102

prinsip, bahwa pemetjahan perkawinan hanja dapat dilakukan
dengan putusan hakim, maka dengan ini tidak diakuilah ke
mungkinan seorang suami memberi talak kepada isteri, untuk
mana tidak perlu ada sualu putusan hakim, melainkan hanja
diperlukan suatu pemberitahuan kepada seorang penguasa.
Dalam praktek perbedaan hukum antara pelbagai negara
perihal pemetjahan perkawinan ini dapat menimbulkan banjak
kesulitan. Malahan ada suatu negara, jaitu negara Itali, jang
hukumnja sama sekali tidak memperbolehkan suatu pemetjahan
perkawinan.
Suatu tjontoh, jang saja ambil dari buku Martin W olff ter
sebut diatas halaman 579 : Suami-isteri dari bangsa Itali ber
domisili di Inggeris dan disana mendapat pertjeraian oleh hakim
Inggeris. Bekas suami memindahkan domisilinja ke Itali dan
disananja ingin berkawin lagi dengan seorang perempuan lain.
Hukum Itali tidak memperbolehkannja. oleh karena pertjeraian
jang dilakukan oleh hakim Inggeris, tidak dianggap sah, se a^
mengenai warganegara Itali. Pun djika ia pergi lagi keneg
Inggeris, ia disana tidak dapat berkawin lagi, oleh karena menu
rut hukum Inggeris jang berlaku hukum domisili, in casu hu 'um
Itali. Dinegeri lain seperti di Perantjis, pun ia tidak dap
kawin lagi, oleh karena menurut hukum Perantjis berlaku a
hukum nasional dari seorang itu. djadi hukum Itali djuga. Baru
kalau ia berdomisili lagi di Inggeris. ia dapat ber'av\in ag‘.
tetapi pengertian domisili di Inggeris bersifat istime\\ p
pernah dikatakan diatas. dengan adanja „domici i o o ‘g'
dan „domicili of choice”, jang menjulitkan hal pemindahan do
misili ke Inggeris.
Menurut praktek dinegeri Belanda orang2 asing tidak dapat
mendapat pertjeraian perkawinan dari ha im, apa i a tia
salah suatu dari 4 alasan, jang ditetapkan dalam pasal 264
B. W . Belanda, meskipun hukum n a s io n a l mereka meng.z.nkan
pertjeraian dengan alasan lain dan sebali nja orang asing
103

sudah dapat mendapat pertjeraian, apabila salah satu dari 4
alasan tersebut ada, meskipun menurut hukum nasional me
reka pertjeraian dengan alasan itu tidak diperbolehkan. Salah
suatu dari 4 alasan itu ialah berzinah dengan orang ke-5. Di-
negeri Belgi alasan ini diperbatasi, jaitu hanja dapat diperguna
kan, apabila perzinahan itu dilakukan dalam rumah pcndiaman
suami-isteri, djadi hanja kalau setjara menjolok mala. Kalau
ada dua orang suami-isteri Belgi jang berada dinegeri Belanda
akan bertjerai, oleh karena salah suatu pihak berzinah didalam
rumah pendiaman orang ketiga, maka hakim Belanda akan
' memperbolehkan pertjeraian. Akan tetapi dinegeri Belgi per
tjeraian ini dianggap tidak sah dan perkawinan dianggap masih
terus berlangsung. Kesulitan akan terasa betul, apabila kemudian
salah suatu pihak berkawin lagi. Perkawinan jang ke-2 ini
dinegeri Belgi dianggap tidak sah, demikian djuga anak2 jang
lahir dari perkawinan itu.
Perdjandjian internasional antara beberapa negara tentang
pertjeraian perkawinan jang ditandatangani di Den Haag pada
tanggal 12 D juli 1902, antara lain djuga oleh Nederland dan
Belgi (tidak berlaku bagi Indonesia) mengambil sikap tengah2
dengan menentukan dalam pasal 2, bahwa perljeraian hanja
dapat diperbolehkan, apabila diperbolehkan, baik menurut hu
kum nasional dari suami-isteri, maupun menurut hukum dari
negaranja hakim jang akan mengambil putusan. Dalam hal
perbedaan antara dua hukum itu perihal alasan2 jang mem
perbolehkan pertjeraian, harus ada dua alasan, satu jang diper
bolehkan oleh hukum nasional suami-isteri dan ke-2 jang di
perbolehkan oleh hukum negara hakim.
Dalam tjontoh tersebut diatas, pertjeraian hanja dapat dilak
sanakan, apabila selain dari pada perzinahan didalam rumah
pendiaman orang ketiga itu, masih ada alasan lain, jang menu
rut hukum Belgi diakui dan dinegeri Belanda tidak, jaitu kemau-
an kedua belah pihak untuk bertjerai.
104

BAG IAN XII
Kedudukan anak
Kedudukan seorang sebagai anak seorang lain ditetapkan oleh
peraturan hukum kekeluargaan mengenai sjarat2 untuk menen
tukan, apiikah seorang adalah emak sah. Peraturan2 ini tidak
selalu sama dalam pelbagai negara. Bagi orang2 asing jang
berada dinegeri Indonesia menurut pasal 16 A. B. adalah ber
laku hukum nasional mereka. Dilain negara, misalnja dinegeri
Inggeris. berlaku hukum dari negara, dimana berdomisili orang2
jang berkepentingan.
Seperti dalam hal perkawinan, di Indonesia tentang hal ini
tidak akan ada kesulitan, oleh karena bagi orang Eropah, orang
asing lain jang beragama Keristen dan orang asing jang beraga
ma Islam masing2 ada peraturan tersendiri di Indonesia, jang'
sudah sesuai dengan hukum nasional atau hukum dari domisili
mereka, maka tidak perlu menjimpang dari ketentuan pasal 16
A. B. berdasar atas ketertiban umum.
Sekiranja dapat dikatakan, bahwa seorang adalah anak sah
dari orang lain, apabila lahir dari perkawinan sah orang lain
itu, baik lahir pada waktu ajahnja masih hidup, maupun lahir
sesudah ajahnja meninggal dunia.
Disamping ini hukum Eropah mengenal djuga pengakuan
anak jang lahir diluar perkawinan (,,erkenning van natuurlijke
kinderen ) dan pengesahan anak sematjam itu (..wettiging ).
Pengakuan anak oleh ajah menurut pasal 287 B. YV. berdasar
atas kesukarelaan dari pihak ajah, sebab pasal tersebut mela
rang pemeriksaan resmi dari soal apakah seorang adalah betul
ajah seorang lain, ketjuali apabila jang dituntut sebagai ajah
itu, melakukan kedjahatan2 tersebut dalam pasal 285 — 288,
294 atau 352 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lagi
apabila waktu melakukan kedjahatan itu adalah tjotjok dengan
waktu hamil ibu seorang anak itu. Pasal2 tersebut mengenai ke
djahatan melanggar kesusilaan seperti perkosaan untuk berse-
105

tubuh („verkrachting”) atau bersetubuh dengan seorang perem-
puan jang umurnja kurang dari 15 tahun dan lain-.
Pasal 541 B. W . Belanda, jang sama bunjinja dengan pasal
287 B .W . Indonesia, oleh para hakim dinegeri Belanda diang
gap sebagai bersifat ketertiban umum, maka oleh mereka tidak
diperbolehkan pemaksaan seorang asing akan mengakui seorang
lain sebagai anaknja, meskipun hukum nasionalnja mengenal
pemaksaan ini.
Pengakuan anak jang lahir diluar perkawinan dan pengesahan
anak ini tidak dikenal oleh hukum adat jang tentang hal ini
sesuai dengan hukum Islam. Dapat di-ragu‘~-kan, apakah dine
geri Belanda seorang Indonesia Islam oleh para hakim disana
diperbolehkan melakukan pengakuan anak jang lahir diluar per
kawinan atau mengusahakan pengesahan anak.
Untuk menentukan hukum mana berlaku bagi soal sah atau
tidaknja seorang anak, perlu diketahui, waktu mana harus
diambil sebagai dasar, waktu lahirnja sianak itu atau waktu
lain misalnja waktu ibunja mulai hamil. Pengambilan waktu
lahir sebagai dasar adalah lebih praktis, oleh karena mudah
ditetapkan setjara terang, sedang waktu mulai hamil siibu
adalah hal jang tidak mudah setjara tepat dapat ditetapkan.
Meskipun demikian, pendirian jang belakangan ini, menurut
Martin W olff dalam bukunja halaman 581, dianut oleh para
hakim dinegeri Denmark. Memang kalau dilihat dari sudut
prinsipil, maka pendirian hakim2 di Denmark dapat dipertahan
kan. Kalau dilihat dari sudut kepastian hukum, maka pendirian
jang lain adalah lebih memuaskan.
Perbedaan pendirian ini dapat berakibat setjara njata, apabila
antara dua waktu, jaitu waktu mulai hamil dan waktu melahir
kan anak, ajah dan/atau ibu mengubah kewarganegaraannja
atau memindahkan domisilinja kenegeri asing. Dalam hal ini
harus terang pendirian mana jang dianut oleh jang berkuasa.
106

untuk menetapkan hukum mana jang harus diperhatikan guna
menentukan' sah atau tidaknja seorang anak itu.
Pendirian jang memilih waktu lahirnja anak sebagai dasar,
menganggap adanja suatu keketjualian, jaitu apabila ajah me
ninggal dunia sebelum anak lahir. Dalam hal ini diambil sebagai
dasar ialali waktu meninggalnja siajah. Mungkin sekali sesudah
ajah meninggal dunia, ibu mendapat kewarganegaraan lain
atau memindahkan tempat kediaman kenegeri lain.
Lain daripada ini. ada dua matjam ukuran lagi untuk me
nentukan hukum mana jang harus berlaku, jaitu hukum nasional
(domisili) siajah atau hukum nasional (domisili) sianak. Ini mi-
salnja harus dipilih, apabila ajah meninggal dunia sebelum
anak lahir dan diantara dua waktu itu sidjanda mendapat ke
warganegaraan lain atau memindahkan domisilinja kelain negeri.
Tentang hal ini djuga ada dua pendirian. Mereka jang me
milih hukum nasional (domisili) sianak, mendasarkan pendirian-
nja atas pertimbangan, bahwa hal sah atau tidaknja seorang
anak adalah melulu kepentingan sianak belaka. Pendirian jang
memilih hukum nas/onal (domisili) siajah, berdasar atas per
limbangan, bahwa dengan atianja seorang anak, kedudukan
hukum siajahpun berubah, oleh karena ia mendapat beban ma
tjam2 menurut hukum, antara lain untuk memelihara anak sam
pai sianak dewasa. Djadi soal sah atau tidaknja seorang ana
adalah penting djuga bagi siajah.
Kalau dari seorang A sudah ditetapkan, bahwa ia adalah
anak sah dari seorang B , maka d a ta n g la h giliran untuk menin-
djau perhubungan hukum kekeluargaan antara ajah dan anak.
Hukum kekeluargaan ini menentukan, bahwa seorang anak,
selama belum dewasa, berada dibawah kekuasaan ajah. Ke
kuasaan ini mengenai orang dan harta-benda sianak. Dan
djuga kekuasaan ajah ini m e n g a n d u n g kewadjiban untuk men
107

didik sianak, supaja mendjadi anggota masjarakat jang berguna
dan kewadjiban pula untuk mengurus harla-benda sianak se-
baik2-nja. Kekuasaan ajah mengandung djuga bak- antara lain
hak atas buah penghasilan dari harta-benda sianak. Ini semua
diatur dalam hukum perdata dan menurut pasal 16 A. B. jo
pasal 3 A. B. bagi orang2 asing jang berada dinegeri Indonesia
berlakulah hukum nasional dari merekii.
Kinipun timbul kesulitan, apabila kewarganegaraan atau
domisili siajah berlainan daripada kewarganegaraan atau domi
sili sianak. Hukum manakah jang berlaku, hukum nasional atau
domisili siajah atau hukum nasional atau domisili sianak.
Kekuasaan ajah berhenti pada waktu sianak mendjadi dewasa»
jaitu mentjapai suatu umur tertentu atau berkawin. Umur de
wasa ini menurut hukum adat di Indonesia tidak tertentu, me
lainkan berada diantara 15 dan 18 tahun menurut hukum Sw’is
20 tahun, menurut B. W . dan hukum Belanda, Perantjis. Ingge-
ris dan lain2 21 tahun, menurut hukum Hungaria 24 tahun,
menurut hukum Argentina 23 tahun. Hukum Belanda, Perantjis
dan Swis menentukan seorang dewasa, apabila sudah kaw’in ;
menurut hukum Inggeris perkawinan tidak mengakibatkan orang
mendjadi dewasa, sedang hukum adat antara lain di Djawa
Tengah rupa2-nja menganggap seorang jang kawin, baru penuh
dewasa, apabila tidak turut lagi serumah dengan orang tua.
Dengan adanja matjam2 perbedaan ini, adalah penting untuk
memilih, hukum mana jang harus dianggap berlaku bagi perhu
bungan hukum kekeluargaan antara ajah dan anak, hukum na
sional atau domisili siajah atau hukum nasional atau domisili
sianak.
Persoalan2 seperti jang diuraikan diatas, diketemukan djuga
dalam hal sianak tidak berada dibawah kekuasaan ajah melain
kan dibawah perwalian („voogdij”) atau dalam hal seorang
108

jang sudah dewasa, berhubung dengan beberapa hal, ditempat
kan dibawah pengawasan seorang lain (..curateele").
Mirip dengan kedudukan anak sah adalah kedudukan anak
angkat. Jang tidak mengenal anak angkat ialah hukum Islam
dan hukum Belanda, sedang jang mengenal ialah hukum adat
dibeberapa daerah di Indonesia, hukum Tionghoa, hukum dari
pelbagai negara Eropah, seperti Inggeris, Itali. Sepanjol, Swis,
Swedia. Norwegia. Djerman. Austria. Perantjis dan lain2.
Oleh karena hal pengangkatan anak („adoptie’ ) ini mengenai
kedudukan hukum seorang, maka berlakulah djuga pasal 16
A. B. jo pasal 5 A. B., dan berlakulah hukum nasional (domisili)
orang- jang berkepentingan. Kinipun. apabila orang jang meng
ambil anak dan orang diangkat sebagai anak, adalah berlainan
kewarganegaraannja atau domisilinja. harus dipilih antara hu
kum nasional (domisili) masing2 pihak.
Menurut Martin VVolff dai am bukunja halaman 399 —- 400,
di Djerman. Swis. Austria, Poland ia dan Denmark diturut
hukum nasional (domisili) dari orang jang mengambil anak,
di Perantjis kebanjakan orang menghendaki ber-sama2 berlaku-
nja dua matjam hukum dari kedua belah pihak, telapi tidak
diterangkan tjara menggabungkan ini. D i Inggeris adopsi dite
tapkan oleh hakim Inggeris bagi orang2 jang berdiam dinegeri
Inggeris, tentang orang2 jang diambiTanak tidak perduli, apakah
mereka itu adalah warganegara Inggeris atau tidak, sedang jang
berlaku ialah hukum Inggeris. Penetapan adopsi oleh penguasa
asing tidak diakui oleh hakim Inggeris, apabila menetapkannja
itu masuk kekuasaan hakim Inggeris. Kalau tidak, penetapan
adopsi dari hakim atau penguasa asing diakui sah oleh hakim
Inggeris.
109

BA G IAN XIII
Perbendaan
Hukum perdata internasional perihal perbendaan memperli
hatkan dua matjam perbedaan, jaitu :
ke-1 perbedaan antara barang lak bergerak dan barang bergerak.
ke-2 perbedaan antara hak2 jang setjara mullak, absolut dan
langsung melekat pada suatu barang („zakelijke rechten ).
jaitu berlaku terhadap segenap orang dan hak2 jang me
lekat pada suatu barang setjara relatif dan tidak langsung
jaitu hanja berlaku terhadap orang2 tertentu dan beradanja
adalah melalui suatu perdjandjian antara dua orang (,,per-
soonlijke rechten”). Hak2 relatif ini sebagian akan ditindjau
dalam bagian X IV jang akan datang.
Penindjauan hal perbendaan sematjam ini adalah tidak sesuai
sepenuhnja dengan hukum adat Indonesia pada umumnja. Per
batasan antara barang tak bergerak dan barang bergeraV. tidak
sama, misalnja. basil tanaman, selama masih melekat pada po-
on, oleh hukum barat dianggap sebagai barang tak bergerak
an oleh hukum adat sebagai barang bergerak. Hukum adat
pada hakekatnja tidak mengenal perbedaan dalam hal hak ter-
a ap barang2, antara jang mutlak dan langsung disatu pihak
an jang relatif dan tidak langsung dilain pihak.
Dengan selalu mengingat keadaan hukum adat Indonesia
ini, maka sekiranja tiada keberatan untuk mengikuti dunia ilmu
pengetahuan hukum barat dalam menindjau soal2 hukum per
ata internasional setjara mengadakan dua matjam perbedaan tersebut diatas.
Seperti diatas telah pernah disinggung, maka dalam hal ini
lanja ada satu peraturan penundjukan jang termuat dalam
undang-undang di Indonesia, jaitu pasal 17 A. B., jang mengata-
an, bahwa perihal mengenai barang2 tak bergerak berlakulah
hukum negara atau tempat, dimana terletak barang2 itu.
110

Kini sudah mulai nampak perbedaan ke-1, jaitu antara barang
tak bergerak dan barang bergerak.
Alasan untuk mengadakan peraturan pasal 17 A. B. sekiranja
mudah clapat diduga. Barang jang terutama tak bergerak ialah
tanah dan lain- barang tak bergerak seperti bangunan- dan
pohon- mendapat sifat tak bergerak dari melekatnja pada tanah.
Sebagai diketahui, lazimnja dianggap sebagai anasir2 terpen
ting dari adanja suatu negara ialah, ke-1 ada daerah („territoir”)
jang pada dasarnja berupa tanah, ke-2 orang2 penduduk jang
merupakan suatu masjarakat tertentu dan ke-5 ada pemerintah
jang memegang kekuasaan. Mengingat pentingnja tanah sebagai
anasir dari suatu negara dan mengingat pula, bahwa tanah
adalah barang jang bersifat tetap, tidak mudah berubah, maka
sudah selajaknja timbul suatu pikiran jang menghendaki, supaja
hukum jang mengatur hal sesuatu mengenai tanah bersifat
tetap djuga dan diserahkan kepada penguasa nasional untuk
mengaturnja. Maka dari itu mudah dapat dimengerti, bahwa
sebagai hakekat dinjatakan suatu pentakiukan barang2 tak ber
gerak pada hukum dari negara atau tempat, dimana terletak
barang2 itu.
Akan tetapi adalah mendjadi soal, pengertian „mengenai
barang2 tak bergerak”. Apakah ini berarti, bahwa semua per
hubungan hukum, dengan tiada keketjualian, jang ada hubungan
dengan tanah dan barang2 tak bergerak Iainnja, harus tunduk
pada hukum ditempat ? Ataukah ada batas dan kalau ada
dimana letak batas itu ?
Seringkah sajap suatu peraturan hukum meluas sampai men
ju m p a i bentrokan dengan peraturan hukum lain. Kinipun
demikian dan pasal peraturan hukum jang mendjadi sebab ben
trokan, djustru berada amat dekat pada pasal 17 A. B., jaitu
pasal 16 A . B.
Pasal 16^A. B. ini, jang menundjuk kepada hukum nasional
dari orang2 jang berkepentingan, meliputi antara lain ke-1
111

hukum harta-benda perkawinan dan ke-2 liukuni_warisan. Dua
Celornpokan hukum ini seringkali meliputi djuga kekuasaan2
hukum terhadap barang tak bergerak. 1 inibul pertanjaan, apa
bila bentrokan ini terdjadi. jaitu apabila suami-isteri atau orang
jang meninggalkan barang warisan adalah orang asing, hukum
manakah jang berlaku ? Hukum nasional orang- itu atau hukum
negara, ditempai mana terletak barang- tak bergerak ?
Tjontoh dari hal hukum harta perkawinan : Suami-isteri
Indonesia asli tidak memerlukan membikin perdjandjian per
kawinan tentang harta-benda untuk memisahkan harta-benda
masing2. Sisuami dinegeri Perantjis membeli suatu rumah.
Menurut hukum Perantjis, kalau tiada perdjandjian perkawinan,
harta-benda suami dan isteri tergabung mendjadi satu milik
orang dua, termasuk djuga rumah di Perantjis itu, sedang me
nurut hukum adat Indonesia rumah itu hanja milik suami sadja.
Tjontoh dari hal hukum warisan : Seorang Indonesia asli
dinegeri Perantjis membeli rumah, kemudian meninggal dunia.
Hak para ahli-waris atas rumah itu menurut hukum mana ?
Hukum Perantjis atau hukum adat Indonesia perihal warisan?
Mr. Van Brakel menurut bukunja, halaman 16S 170, ber
pendapat, bahwa pasal 7 A. B. Belanda (sama dengan pasal
17 A. B. Indonesia) hanja berlaku untuk ,,het eigenlijke zaken-
recht (= hukum harta-benda jang sebenarnja) dan tidak ber
laku untuk hukum harta-benda perkawinan (..huwelijksgoederen-
recht ), hukum warisan (,,erfrecht ), hukum perdjandjian perdata
(..verbintenissenrecht”).
Alasan Mr. Van Brakel berdasar atas pertimbangan, jang
menurut Mr. Van Brakel menjebabkan adanja pasal 7 A. B.
Belanda itu, jaitu, bahwa sifat tetap dari barang^ tak bergerak
menghendaki, bahwa hak2 seseorang diatas barang2 itu tetap
djuga dalam peraturannja perihal mulai Iahirnja, isi dan Ienjap-
nja hak itu. Djustru oleh karena hak2 itu bersifat mutlak, jaitu
112

berlaku bagi tiap2 orang ke-5, sebaiknja bagi umum ada kepas
tian tcnlang peraturan hukum apa jang berlaku tentang lahir,
isi dan Ienjapnja hak2 itu. Maka dianggap tidak sesuai dengan
kepastian hukum ini, apabila peraturan hukum jang berlaku
akan berubah tiap- kali apabila barang tak bergerak itu djatuh
dilangan orang- jang hukum nasionalnja adalah lain daripada
hukum nasional pemilik jang dulu.
Oleh karena alasan untuk mengadakan pasal 7 A. B. Be
landa adalah mengenai langsung hal lahir, isi dan pelenjapan
hak- atas harta-benda, maka berlakunja djuga terbatas pada
itu sadja dan terhenti, dimana suatu peraturan hukum tidak
langsung mengenai soal2 tersebut.
Inilah alasan Mr. Van Brakel untuk mengutarakan suatu
perbatasan umum bagi berlakunja pasal 7 A. B. Belanda.
Mr. Mulder dalam bukunja, halaman 155 — 154, berpendapat,
bahwa tidak mungkin orang mengadakan perbatasan umum,
melainkan tiap- peristiwa jang bersangkutan dengan bentrokan
berlakunja pasal 6 dan pasal 7 A. B. Beianda itu harus ditin-
djau satu persatu tentang prioritet berlakunja salah satu dari
dua pasal tersebut dan dalam hal ini harus diperlihatkan semua
hal- jang dapat mempengaruhi tertjiptanja suatu kesimpulan
jang boleh dianggap tepat.
Menurut hemat saja Mr. Mulder tentang hal ini adalah lebih
bidjaksana daripada Mr. Van Brakel, maka dari itu dapat saja ikuti. *
Djustru oleh karena hukum perdata internasional pada waktu
sekarang masih berada dalam tingkat me-raba2 dan selalu men-
tjari djalan jang belum sadja diketemukan untuk mentjapai suatu
penjelesaian dalam hal bentrokan antara pelbagai hukum nasio
nal pada pergaulan hidup internasional, maka sekiranja adalah
terlalu berani untuk sekarang sudah menentukan suatu perba
tasan umum diantara berlakunja dua matjam kelompokan hukum
tadi.
113

D an njatanja memang dinegeri Belandapun belum ada kebu
latan pendapat tentang hal ini dalam dunia ilmu pengetahuan
hukum dan dalam jurisprudensi.
Kembali kepada dua tjontoh tersebut dialas.
Kalau dalam hal ini pasal 17 A. B. lebih diutamakan dari
pada pasal 16 A. B., jaitu mendapat prioritet, maka mungkin
sekali kesatuan dalam hukum harta-benda perkawinan dan
dalam hukum warisan akan di-petjah2 sedemikian rupa, bahwa
untuk barang tak bergerak dianut hukum lain daripada untuk
barang bergerak. Ini dapat dirasakan betul, apabila dalam hal
hukum harta-benda perkawinan suami-isteri dua2nja adalah
berbangsa asing jang sama, maka alam pikiran mereka sama
sekali tidak pernah meliputi kemungkinan penjelesaian perhu
bungan mereka dalam perkawinan mengenai harta-benda setjara
jang berlaku dalam suatu negara, dimana kebetulan mereka me
miliki sebidang tanah. Sedang oleh orang ketiga mungkin in
concreto tidak diperdulikan, apakah harus diturut hukum nasio
nal suami-isteri atau bukum dari negara, dimana letak tanah itu.
Kesatuan dalam mengatur perhubungan hukum nampak djuga
dalam hal hukum w’arisan, terutama kalau jang meninggal dunia
itu membikin suatu'hibah wasiat. Hakekat dari hibah wasiat
ialah untuk menghormati penuh pada kemauan terachir sialmar-
hum. Dan sudah selajaknja seorang ini pada waktu membikin
hibah wasiat per-tama2 tentunja menganggap berlaku hukum
nasionalnja untuk semua harta-benda peninggalannja, djuga bagi
sebidang tanah jang berada dinegeri asing.
Alasan2 tersebut, jang menguatkan pendirian, bahwa kini
pasal 16 A. B.-Iah jang harus mendapat prioritet, memang pen
ting, akan tetapi apakah alasan2 itu selalu tjukup untuk in
concreto memberikan prioritet kepada pasal 16 A. B., adalah
masih mendjadi soal pertanjaan.
114

Keadaan suatu perhubungan hukum, dalam mana ada terselip
sualu ..anasir asing” jang dapat berupa seribu satu matjam,
seti ranja adalah sukar untuk menentukan setjara hakekat umum,
kelompokan hukum jang mana harus didahulukan untuk diang
gap berlaku.
Maka dari itu orang harus sangat ber-hati2 dalam hal ini,
djustru oleh karena orang menghadapi kemungkinan tindakan
tim bal-bali k, jang akan dilakukan oleh negara asing terhadap
suatu negara jang kurang mementingkan dan kurang meng
hargai hukum asing dalam hal bentrokan pelbagai kelompokan
hukum.
Bentrokan dari pasal 17 A. B. dengan lain pasal undang-
undang djuga mungkin, jaitu dengan pasal 18 A. B., jang me
nentukan. bahwa perihal tjara melakukan suatu perbuatan hu
kum berlakulah peraturan negara atau tempat, dimana perbuatan
hukum itu dilakukan. Kalau di Djakarta seorang Indonesia ber
sepakat dengan seorang India akan membeli sebidang tanah jang
terletak di India, maka timbullah pertanjaan, pasal mana dari
dua pasal tersebut harus dianut mengenai tjara membikin per-
djandjian djual-beli. Dengan lain perkataan : tjara manakah
jang diturut, tjara menurut hukum Indonesia atau tjara menurut
hukum India.
Dalam tjontoh ini pasal 18 A. B., dapat dianggap sebagai
suatu peraturan istimewa (,,Iex specialis ) terhadap pasal 17
A. B. sebagai suatu peraturan umum (,,Iex generalis )., oleh ka
rena pasal 17 A. B. mengenai hal2, tidak disebutkan apa, jang
berhubungan dengan suatu barang tak bergerak, sedang pasal 18
A. B. mengenai sebagian dari hal2 itu, jaitu hanja mengenai
tjara melakukan perbuatan hukum sadja. Maka pada umumnja
dapat dikatakan, bahwa pasal 18 A. B-Iah jang mendapat prio-
ritet. Akan tetapi, seperti halnja dengan hukum perdata interna
sional seluruhnja, harus diperhatikan, bahwa prioritet ini hanja
pada umumnja sadja. Mungkin sekali keadaan suatu perhu
115

bungan hukum in concreto adalah sedemikian rupa, sehingga
sebagai keketjualian pasal 17 A. B.-Iah jang didahulukan ber
laku. Mr. Mulder dalam bukunja halaman 154 mengemukakan
sualu tjontoh dari keketjualian ini. jailu perihal peraturan hukum
dinegeri Belanda, jang menentukan, baliwa semua perdjandjian
mengenai tanah liarus dimasukkan dalam sualu daftar tanah.
Peraturan ini dianggap begitu penling untuk keperluan clialajak
ramai, supaja mereka tahu betul perihal keadaan bidang- tanah
dinegeri Belanda, sehingga suatu perdjandjian tentang tanah
jang berada dinegeri Belanda, harus dimasukkan daftar tanah
itu, meskipun perdjandjiannja sendiri diadakan disualu negara
asing, jang tidak mengenal pemasukan dalam daftar tanah itu.
Perihal barang2 bergerak.
Oleh karena tentang barang2 ini tiada sualu peraturan hukum
tertentu seperti pasal 17 A. B. mengenai barang2 lak bergerak,
maka mudah dapat dimengerti, bahwa kini lebih terasa ketia
daan kepastian tentang hukum mana jang berlaku dalam hal
perhubungan hukum jang mengandung anasir2 asing.
Ada suatu pendapat jang menhendaki, bahwa perihal barang2
bergerak berlaku hukum dari negara dimana seorang pemilik
barang2 itu berdomisili. Pendapat ini berdasar atas pertimbang
an, bahwa barang2 bergerak dapat mengikuti pemiliknja ke-
mana2.
Ini memang betul, akan tetapi tidak boleh dikatakan, bahwa
seorang jang memindahkan domisilinja kenegeri lain, selalu
membawa semua barang2 bergerak jang mendjadi miliknja. Ini
hanja dapat dikatakan dari barang2 jang biasanja orang bawa
ke-mana2 atau jang dibutuhkan untuk keperluan pemilik se
hari2.
Maka dari ilu kemungkinan adalah banjak, bahwa misalnja
seorang India, sedang berdomisili di Indonesia, mendjual ke
pada seorang Belanda barang2 bergerak miliknja jang berada
116

dinegeri Peranljis. Kalau dalam hal ini dianggap berlaku hukum
Indonesia, maka dapat dichawatirkan, bahwa barang2 sematjam
jang dicljual itu dan orang jang harus menjerahkan barang2 jang
berada di Peranljis ilu hanja kenal pada hukum jang berlaku di
Peranljis, hukum mana barangkali berbeda sekali daripada
hukum Indonesia.
Kesulitan sematjam ini dapat mendorongkan seorang menga
nut pendapat lain, jaitu bahwa sebaiknja djuga perihal barang2
bergerak dianggap berlaku hukum dinegara atau tempat, di-
mana terletak barang2 ilu, in casu hukum Peranljis.
Dalam Ijontoh tersebut, perbedaan dua pendapat ini dapat
berakibat penting. Menurut hukum perdata jang berlaku di
Indonesia bagi orang India dan orang Belanda, barang2 jang
didjual, baru mendjadi milik sipembeli, apabila sudah diserah
kan kepadanja, sedang menurut hukum Perantjis pembeli sudah
mendjadi pemilik pada waktu perdjandjian djual-beli dibikin.
Maka menurut hukum Indonesia seorang Belanda-pembeli pada
waktu djual-beli belum dan menurut hukum Perantjis sudah
mendjadi pemilik barang2 jang berada di Perantjis itu. Ini dapat
berakibat penting djuga, oleh karena dengan berlakunja hukum
Perantjis, barang2-nja seketika itu djuga dapat dibeslah atas
permintaan seorang piutang („crediteur ) dari pembeli guna
membajar hutangnja, sedang dengan berlakunja hukum Indo
nesia pembeslahan ini tidak mungkin didjalankan.
Ada alasan lain djuga jang mendorong orang menganut
pendapat jang menundjuk kepada hukum dari tempat terletak
barang2, jaitu berdasar atas pertimbangan, bahwa barang2 ber
gerak tidak kurang penting bagi negara daripada barang tak
bergerak maka, kedaulatan negara itu menuntut, supaja hukum-
nja berlaku bagi semua barang2, baik bergerak, maupun tak
bergerak, jang berada dalam daerahnja.
117

Pendapat ini menurut Martin YVoIff dalam bukunja halaman
511 — 512 dianut oleh para penguasa diliampir semua negara-
dibenua EropaK, jaitu Inggeris, Perantjis, Belgi, Belanda, Ruma
nia, Itali, Djerman, Swis, Austria, Hungaria, Polandia dan
Junani.
Dengan menganut pendapat ini orang belum boleh dikatakan
terhindar dari kesulitan. Djustru oleh karena barang2 bergerak
mudah di-pindah2-kan kelain negara atau tempat, maka suatu
perdjandjian tentang barang2 bergerak itu mungkin sekali ber
maksud untuk mengangkut barang2 itu dari suatu negara meli-
wati beberapa negara lain sampai negara jang teracliir dimana
barang2-nja harus diserahkan kepada jang berhak. Dalam hal
ini orang dapat memilih hukum mana jang berlaku, jaitu hukum
dari negara, dimana barang2 itu berada pada waktu perdjan-
djiannja dibikin atau hukum dari negara, dimana barang2 ilu ber
ada selama perdjanjiannja dilaksanakan atau hukum dari negara,
dimana barang2 itu pada achirnja akan berada sebelum diserah
kan kepada jang berhak.
Djawaban atas pertanjaan ini tergantung dari sifat, isi, mak
sud dan tudjuan dari perdjandjian jang bersangkutan, maka
sukajL-dapat diberikan sebagai djaw'aban umum.
P erihal kapal.
Kapal, terutama kapal lautan, adalah barang jang bersifat
bergerak, akan tetapi sedemikian rupa pentingnja, sehingga oleh
pelbagai peraturan hukum dipandang se-olah2 suatu barang
tak bergerak atau se-olah2 suatu bidang tanah, bagian dari
„territoir suatu negara, jang dapat berlajar ke-mana2.
Pandangan ini sudah amat tua umurnja dan berhubungan
erat dengan kenjataan, bahwa kapal2 ini sering berada di-
tengah lautan samudera jang tidak masuk „territoir suatu
negara (diluar jang dinamakan lautan „territoriaal” didekat
pantai sampai 5 mil Inggeris) dan jang dari itu tidak dapat tun
duk kepada kekuasaan suatu negara tertentu. Maka, kalau tiada
118

peraturan hukum tertentu, keadaan dalam suatu kapal jang
Jjerada di-tengah2 lautan itu, akan merupakan suatu masjarakat
keljil jang katjau-balau, oleh sehab tiada peraturan hukum sedi-
kilpun, jang mengatur setjara resmi tingkah-Iaku anggota ma
sjarakat itu.
Betul, tentunja selalu ada pemimpin dan pengurus kapal
jang mengatur tata-tertib dalam kapal, akan tetapi, kalau tiada
aturan, setiap kapal akan merupakan kapal badjak laut belaka.
Maka dari itu. sudah sedjak dahulukala sebuah kapal jang
berada di-tengah2 lautan, oleh hukum antar negara dianggap
sebagai bagian dari daerah negara asli dari kapal itu. Oleh ka
rena tanda negara asli terlihat dari bendera jang dikibarkan
diatas kapal itu, maka lazimnja dikatakan, bahwa hukum diatas
kapal itu menurut hukum dari bendera masing2.
Ukuran sampai dimana suatu kapal dianggap sebagai
„territoir suatu negara, tergantung dari peraturan masing2
negara itu sendiri. Bagi Indonesia ada pasal 511 Kitab Hukum
Dagang, jang tentang hal ini menundjuk kepada suatu undang-
undang tertentu, jaitu undang-undang mengenai „zeebrieven
en scheepspassen” (= surat2 resmi jang harus dibawa oleh tiap2
kapal. Staatsblad 1934 - 78 jo 1955 - 565).
D i alas dikatakan, bahwa kapal oleh hukum dianggap se-olah2
merupakan suatu barang tak bergerak. Ini mengenai hukum
nasional. Pasal 514 Kitab Hukum Dagang mulai dengan me
ngatakan, bahwa kapal2 Indonesia, jang besarnja se-kurang--
nja 20 meter kubik bruto, dapat („kunnen”) didaftarkan dalam
suatu „register dan menundjuk selandjutnja kepada undang-
undang jang mengatur pendaftaran kapal2 itu (Peraturan
„Teboekstelling van schepen , Staatsblad 1 9 j j 48 jo 19 j8 •—>
2). Bagi kapal2 jang telah didaftarkan itu, hal2 memindahkan
hak atas kapal itu diatur setjara sama dengan jang berlaku bagi
tanah. Pasal 514 Kitab Hukum Dagang, ajat 5 dan 4, menen-
iukan kemungkinan adanja „hypotheek” jang dibebankan pada
119

kapal2 jang didaftarkan dan sebaliknja tidak adanja kemung
kinan kapal2 itu digadaikan („pandrecht ). D juga ditegaskan,
bahwa perihal kapal2 ini tidak berlaku pasal 197/ B. \V., jang
menentukan, bahwa tentang barang2 bergerak orang pemegang
barang pada hakekatnja dianggap sebagai pemilik barang itu.
Bagaimanakah halnja dalam hukum perdala internasional ?
Tentunja prinsip persamaan dengan barang lak bergerak
tetap berlaku bagi kapal2 jang berada diluar daerah negara asli.
Kalau sebagai analogi dipergunakan pasal 17 A.B., jang-me-
nundjuk kepada hukum dari negara dan tempat, dimana terle
tak barang2 tak bergerak. Kalau dipandang sepintas lalu, maka
pelaksanaan pasal 17 A.B. bagi kapal2 akan mengakibatkan,
bahwa kapal2 jang berada dipelabuhan negara asing, harus
tunduk pada hukum dinegara asing itu. Dengan ini maka per
aturan hukum jang berlaku bagi kapal2 akan selalu berubah,
oleh karena sifat kapal ialah berlajar ke-mana2.
Akan tetapi, kalau dipikir lebih dalam, jailu bahwa dengan
memakai suatu bendera nasional suatu kapal dapat dikatakan
mempunjai kebangsaan jang menutut kedudukan hukum dari
kapal dimanapun kapal itu berada, maka dapat dikemukakan,
bahwa sebaiknja bagi kapal2 itu berlakulah hukum nasional
dari negara, jang mempunjai bendera jang dipakai oleh kapal
itu. Dengan ini kepastian hukum akan lebih mungkin tertjapai.
Hukum nasional dari bendera kapal ini dapat mengenai
pendjualan dan penjerahan kapal itu. Kalau hukum nasional
ini berlaku di-mana2, maka penjerahan kapal Indonesia, mes
kipun pendjualannja dilakukan diluar negeri, harus diseleng
garakan setjara pemasukan dalam daftar jang diadakan di Indo
nesia (pasal 318 ajat 2 Kitab Hukum Dagang). D juga kalau
diluar negeri orang asing akan mendapat hipotik diatas kapal2
Indonesia, maka hipotik itu harus didaftarkan pula dalam daftar-
kapal di Indonesia. Ini sangat penting bagi para tukang uang,
jang memindjamkan uangnja kepada pemilik kapal, supaja
120

mereka tahu. sampai dimana kapal itu dibebani dengan matjam2
perdjandjian mempertanggungkan kapal2 itu.
Tentang bal ini pasal 515 e Kitab Hukum Dagang menentu
kan, baliwa, apabila suatu kapal jang didaftarkan di Indonesia-
diluar negeri disita dan dilelang untuk membajar hutang pe
milik kapal, maka kapal itu tetap dibebani dengan hipotik
jang dimasukkan daftar kapal di Indonesia, ketjuali djika para
piutang jang mempunjai hipotik itu, dipanggil oleh penguasa
dinegeri asing dan diberi kesempatan untuk melaksanakan
haknja atas uang harga pendjualan kapal itu. Selain dari hipo
tik Icntunja dalam hal ini djuga harus mendapat perhatian suatu
prioritet jang oleh pasal 516 Kitab Hukum Dagang diberikan
kepada beberapa beban jang berada diatas kapal itu berupa
hutang2 jang harus dibajar djuga dari uang pendjualan kapal.
Kinipun, seperti halnja pada umuinnja dalam hukum perdata
internasional, harus dilakukan pertimbal-balik. Maka djuga
dalam hal sualu kapal asing disita dan didjual lelang di Indo
nesia, harus diperhatikan sepenuhnja peraturan2 hukum bendera
nasional dari kapal itu.
Dengan tiadanja peraturan hukum tertentu tentang hal ini„
maka hakim leluasa untuk mengambil suatu putusan, jang"
memenuhi rasa keadilan tidak hanja dari masjarakat negara
awak, melainkan djuga dari masjarakat negara asing jang ber
sangkutan, dengan mempergunakan apa jang diuraikan diatas.
sebagai pedoman.
Segala apa jang dikemukakan diatas tentang kapal, dapat
mutatis mutandis diperhatikan perihal kapal terbang.
Perihal kapal dan kapal terbang ada beberapa perdjandjian
internasional antara beberapa negara mengenai l) kedudukan
kapal2 negara (1926), 2) pengangkutan dengan kapal terbang
(1929), 5) soal tubrukan antara pelbagai kapal lautan „aan-
varing” (1910), 4) pemberian pertolongan kepada kapal dan
pengambilan keatas dari kapal2 jang tenggelam dilautan (1910).
121

BAGIAN XIV
Hal perikatan pcrdala
A. Persetudjuan.
Bagian besar dari perikatan perdata berdcisar alas perselu-
djuan antara dua pihak. Perihal kekuasaan hukum kedua belah
pihak untuk mengadakan persetudjuan pada uinumnja, pasal
16 A. B. menundjuk kepada hukum nasional dari masin«- pihak.
Perihal tjara melakukan perbuatan hukum jang menghasilkan
suatu perdjandjian, pasal 18 A. B. menundjuk kepada hukum
dari negara atau tempat, dimana perbuatan hukum dilakukan.
Perihal persetudjuan jang mengenai barang2 tak bergerak, pasal
17 A. B. menundjuk kepada hukum dari negara atau tempat,
dimana terletak barang tak bergerak itu.
Diatas sudah beberapa kali dikemukakan. betapa orang masih
mendjumpai pelbagai kesulitan, meskipun telah ada tiga pasal
tersebut. Ternjata, bahwa tiga pasal itu sadja sama sekali tidak
tjukup untuk mentjapai suatu penjelesaian dalam hal hukum
perdata internasional jang memuaskan dan jang memenuhi rasa
keadilan dari semua pihak atau gerombolan orang2 jang ber
kepentingan. Terutama prinsip ketertiban umum dan pelandjutan
keadaan hukum selalu dipergunakan, untuk dapat menjimpang
dari pelaksanaan setjara kaku dari pasal2 tersebut. Ternjata
djuga, bahwa dalam mentjari penjelesaian sematjam tersebut
diatas, dunia masih djauh sekali dari mentjapai kata sepakat.
Berlainan pendapat tidak hanja ada dalam pelbagai negara
masing2, pun dalam suatu negara tertentu orang2 berpendapat
berlainan satu sama lain
Kalau diingat, bahwa di-Iapangan2 jang dimaksudkan oleh
pembuat undang-undang untuk diliputi oleh tiga pasal A. B.
tersebut, masih terdapat begitu banjak perselisihan pendapat,
maka mudah dapat dimengerti, bahwa perselisihan pendapat
itu tentunja terdapat lebih banjak dalam hal2 jang tidak diliputi
122

oleh tiga pasal tersebut dan jang seluruhnja diserahkan kepada
i mu pengetahuan hukum dan para hakim untuk dibereskan.
Lebih hal ini dapat dikatakan tentang soal persetudjuan
perdata antara dua pihak atau lebih, oleh karena kini ada
faktor jang mengakibatkan kurang adanja kepastian hukum,
jaitu kemauan pihak2 jang berkepentingan, jang pada pokoknja
mendjadi dasar dari persetudjuan sebagai sumber dari suatu
perhubungan hukum.
Maka salah suatu hal jang sangat dipersoalkan tentang per
setudjuan dalam hukum perdata internasional ialah sampai
dimana para pihak jang berkepentingan dapat memilih sendiri
kelompokan hukum jang mana harus dianggap berlaku bagi
perhubungan hukum jang bersangkutan. Perihal memilih hukum
ini diatas sudah sekadar diuraikan (bagian VII).
Lapangan dari hal persetudjuan jang tidak diliputi oleh tiga
pasal dari A.B. tersebut ialah jang mengenai isi dan akibat
hukum dari suatu persetudjuan.
Daiam ha/ ini, perihal hukum jang berlaku, orang dapat
memilih antara 4 matjam hukum, jaitu ke-1 hukum nasional
dari para pihak atau salah satu dari mereka, ke-2 hukum dari
negara, dimana berdomisili para pihak atau salah suatu dari
mereka, ke-5 hukum jang berlaku ditempai persetudjuan lahir,
ke-4 hukum jang berlaku ditempat persetudjuan harus dilak
sanakan. Perdjandjian2 dalam suatu persetudjuan selalu menge
nai dua pihak, ke-I pihak jang dibebankan memenuhi suatu
perdjandjian („debiteur”) dan ke-2 pihak, untuk keperluan siapa
perdjandjian itu harus dilaksanakan („crediteur ). Kalau dua
pihak ini masing2 pada umumnja tunduk pada peraturan2 hu
kum jang berbeda satu sama lain, maka harus dipilih djuga
diantara dua hukum tadi. Dan kalau sudah dipilih, bahwa
misalnja hukum debiturlah jang harus berlaku, masih akan
ada kesulitan, apabila dalam suatu persetudjuan kedua belah
pihak masing2 mempunjai beban menurut perdjandjian, hal
123

mana menjebabkan, bahwa akan ada benlrokan lagi anlara dua
kelompokan hukum.
Apabila salah satu dari • 4 matjam hukum tersebut diatas
telah dipilih, djanganlah dikira, bahwa akan tiada kesulitan
lagi. Kalau misalnja seorang hakim Indonesia berpendapat,
bahwa dalam suatu persetudjuan harus dianggap "berlaku hukum
dari suatu negara asing, misalnja dari negara Inggeris, masih
ada kalanja hakim mendjumpai beberapa pasal dari hukum
Inggeris, jang dianggap olehnja bertentangan dengan ketertiban
umum. Misalnja seorang laki2 Inggeris A dan seorang perem
puan Inggeris B, semula bertunangan dan kemudian A tidak
memenuhi djandji dan achirnja tidak mau kawin dengan B.
Kedua belah pihak berada di Djakarta dan B menggugat A
untuk mendapat ganti kerugian sebagai akibat dari tidak me
menuhi djandji itu. Menurut hukum Inggeris ganti kerugian
ini dapat diputuskan, supaja dibajar. Akan tetapi menurut pasal
58 B. W . dan menurut hukum adat Indonesia pada umumnja
tidak dapat. Mungkin sekali, meskipun hakim mula2 mengang
gap hukum Inggeris berlaku, achirnja ia toh berpendapat, bahwa
hukum Indonesia harus dilaksanakan berdasar atas ketertiban
umum.
B Perikatan berdasar atas hukum.
Perikatan sematjam ini jang terpenting ialah jang berdasar
atas suatu kedjadian hukum („rechtsfeit”), jang dalam pasal
1565 B. W . dinamakan „onrechtmatige daad” (= perbuatan jang
bertentangan dengan hukum atau perbuatan jang orang tidak
berhak melakukan). Pengertian ini sedjak pentafsiran jang pada
tahun 1919 diberikan oleh pengadilan tertinggi dinegeri Be
landa („Hoge Raad”) adalah sangat luas dan meliputi djuga
perbuatan jang bertentangan dengan jang dianggap pantas
dalam pergaulan hidup dimasjarakat.
124

Sebagai dikelabui akibal, perbuatan menjalahi hukum ini
ialah, bahwa seorang, jang bersalah atas perbuatan itu, harus
memberi ganti kerugian jang diderita oleh lain orang sebagai
akibat perbuatan itu. Hukum manakah jang berlaku, apabila
misalnja seorang Filipina di Djakarta melakukan perbuatan
menjalahi hukum itu dengan berakibat, bahwa seorang Inggeris
menderita kerugian.
Pasal 16 A. B. kini tidak berlaku, oleh karena dalam suatu
perbuatan menjalahi hukum, tiada tempat bagi suatu kekuasaan
hukum untuk berbuat sesuatu, sebab bertentangan satu sama
lain. Kekuasaan hukum adalah mengenai hak untuk berbuat,
sedang kini soalnja ialah suatu perbuatan jang dilarang oleh
hukum. Pasal 18 A. B. tentang tjara melakukan perbuatan
hukum, pun mengenai perbuatan hukum jang diizinkan oleh
hukum, sedang kini malahan ada larangan oleh hukum.
Pasal 17 A. B. jang mengenai hal sesuatu berhubungan
dengan barang2 tak bergerak, sangat djauh kemungkinan ada
hubungan dengan suatu perbuatan menjalahi hukum.
Maka perihal perbuatan menjalahi hukum sama sekali tiada
pegangan tertentu berupa suatu pasal undang-undang. Akan
'tetapi sekiranja kini, lain daripada dalam hal persetudjuan per
data, lebih mudah adanja kata sepakat dalam dunia ilmu penge
tahuan hukum dan dalam praktek pengadilan tentang hukum
mana jang dianggap berlaku, kalau ada anasir asing terselip
■dalam kedjadian hukum ini.
Kalau seorang pada suatu waktu melakukan suatu perbuatan
menjalahi hukum, jang seperti telah dikatakan diatas, djuga
meliputi perbuatan jang oleh masjarakat dianggap tidak patut,
maka hampir dengan sendirinja alam pikiran dan alam perasaan
•orang terdorong kepada masjarakat, ditempat mana perbuatan
itu dilakukan dan/atau mengakibatkan kerugian.
125

Maka mudah dapat dimengerti, bahwa ternjata ada pendapat
umum, bahwa pada hakekatnja jang dianggap berlaku dalam
hal perbuatan menjalahi hukum ialah hukum dari tempat,
dimana terdjadi kedjadian hukum itu.
Menurut Mr. Van Brakel dalam bukunja halaman 187,
jurisprudensi dinegeri Belanda, dipelopori oleh ,,Hoge Raad
disana, hanja melihat pada tempat dimana perbuatan itu meng
akibatkan suatu kerugian.
Saja sependapat dengan Mr. van Brakel, bahwa sebaiknja
tidak diadakan pemilihan antara dua tempat itu. melainkan
dibuka kesempatan untuk memperhatikan sepenuhnja keadaan
didua tempat itu. Keadaan in concrelo tidak dapat diduga
terlebih dahulu bagaimana akan udjudnja. Mungkin sekali
keadaan itu demikian rupa, bahwa rasa keadilan tidak dapat
dipenuhi, apabila hanja salah satu dari dua tempat itu dipilih
untuk menentukan hukum jang mana berlaku. Kalau demikian
keadaannja, maka orang harus menetapkan diri dialas dua
matjam hukum itu dan berpikir se-olah2 suatu pembentuk
undang-undang dalam menjelesaikan hal sesuatu.
Kalau kini dikatakan, bahwa dalam hal perbuatan menjalahi
hukum harus dianggap berlaku hukum dari tempat, dimana
perbuatan itu dilakukan dan/atau suatu kerugian diakibatkan,
maka — seperti halnja dalam segala lapangan hukum perdata
internasional — ini tidak berarti, bahwa orang selalu tidak boleh
menjimpang daripada sikap ini. D jauh dari itu. Kinipun tentu
ada keketjualian. Selalu mungkin, seperti pada umumnja, suatu
ketertiban umum dari negara hakim, jang akan memutuskan
perkara, menghendaki penjimpangan itu dan penaruhan lebih
perhatian pada hukum dari negara hakim itu (,,lex fori”). M a
lahan mungkin djuga s.eorang hakim terpaksa berbuat begitu
berhubung dengan adanja suatu pasal istimewa dari hukum
negaranja jang tidak boleh tidak harus dilaksanakan, misalnja
sadja pasal mengenai atjara pemeriksaan perkara. Sebagai
126

pernah dikatakan diatas, peraturan atjara pemeriksaan perkara
ini termasuk suatu peraturan jang pada hakekatnja harus selalu
dianut oleh seorang haki m.
Lain daripada peraturan mengenai atjara pemeriksaan perkara
ini. Kitab Undang-undang hukum Pidana dalam pasal 3. 4, 5. 7
dan 8 menentukan, bahwa dalam hal2 tersebut disitu, peraturan
hukum pidana dari negara Indonesia berlaku djuga bagi kedja-
hatan2 jang dilakukan diluar negeri. Ketentuan2 ini djuga tidak
dapat diabaikan begitu sadja oleh hakim perdata.
Bagaimanakah halnja dengan perikatan perdata lain jang
berdasar atas hukum, jaitu ke-1 hal orang mengurus kepentingan
orang lain den gan tidak diminta (pasal 1354 — 1358 B. W .)
dan ke-2 hal orang melakukan suatu pembajaran jang tidak
diwadjibkan (pasal 1360 — 1364 B. W .).
Dalam dua hal ini, lain daripada hal perbuatan menjalahi hu
kum, tidak begitu nampak kemuka soal kemasjarakatan, melain
kan sebaiiknja ierlibat didalamnja banjak soa/ perseorangan
belaka, jailu dari orang jang Jcepenlingannja diurus oleh orang
ketiga dan dari orang jang setjara keliru belaka melakukan
pembajaran jang sama sekali tidak diwadjibkan.
Maka dari itu kini tidak dapat dikatakan, bahwa pada hake
katnja jang dianggap berlaku ialah hukum dari tempat, dimana
perbuatan jang bersangkutan dilakukan. Orang2 jang berkepen
tingan tersebut diatas, mungkin sekali membutuhkan berlakunja
hukum dari tempat lain, misalnja dimana terletak barang2 jang
masuk perbuatan pengurusan orang ketiga itu atau dimana
berdiam orang2 jang dengan menerima pembajaran jang keliru
itu lantas mendapat untung jang tidak pada tempatnja.
Oleh karena bagi segala hal ini tidak ada peraturan tertentu,
maka penguasa, terutama hakim, leluasa untuk memperhatikan
segala hal guna memenuhi rasa keadilan dalam arti jang se-
Iuas2-nja.
127

'C. Pembajaran uang.
Dalam tingkatan perhubungan lalu lintas internasional jang
sekarang ada didunia adalah suatu hal biasa, apabila seorang
Indonesia harus membajar sedjumlah uang kepada seorang
asing di Indonesia atau diluarnegeri. Oleh karena orang asing
itu dalam negerinja terikat pada peredaran mata uang jang
berlaku disana, maka sering kedjadian, misalnja seorang Malaja
A berdjandji membajar sedjumlah uang sebesar 1000 ..Slraits-
dollar” kepada seorang Indonesia B. Timbul pertanjaan. bagai
mana pembajaran in concreto harus berlaku.
Ini tergantung dari isi dan maksud perdjandjian jang ber
sangkutan. Mungkin A harus menjerahkan 1000 „Straits dollar"
kepada B. Mungkin djuga terserah kepacla B, apa ia minta
pembajaran berupa dolar atau berupa uang rupiah sedjumlah
jang bernilai sama. Atau lagi mungkin A musti membajar
berupa uang rupiah, tidak tergantung dari permintaan B.
Untuk dapat menetapkan salah suatu dari 3 matjam isi dan
maksud perdjandjian itu, perlu ditetapkan dulu, hukum mana
jang dianggap mengatur perdjandjian itu, hukum Malajakah
atau hukum Indonesiakah ? Ini dapat ditentukan dengan
mengingat apa jang telah diuraikan diatas perihal berlakunja
hukum perdata internasional.
Dalam keadaan biasa hal ini tidak akan menimbulkan kesulit
an. Dalam semua 3 tjara pembajaTan tersebut diatas si B tidak
akan mendapat rugi.
Lain halnja, apabila dalam suatu negara sebagai akibat dari
suatu bentjana, kekuatan pembelian dari uangnja begitu sangat
merosot, sehingga dianggap perlu untuk mengganti matjam uang
peredaran dengan uang lain, dengan menetapkan ukuran peng-
•gantian, seperti telah kedjadian dinegeri Djerman pada tahun
1924, jaitu „Mark” diganti dengan „Reichmark” dan ditentukan,
bahwa satu „Reichsmark” adalah sama dengan miliun ,,Mark .
128

Berhubung dengan kemungkinan sematjam ini, maka sering
kedjadian dalam suat« perdjandjian ditetapkan, bahwa pem-
bajaran harus dilakukan dalam sedjumlah uang jang sarna
liarganja dengan emas jang beratnja ditetapkan semula („gold
value clause ). Perdjandjian sematjam ini pada umumnja di
perbolehkan. akan tetapi mungkin sekali suatu negara menetap
kan sualu undang-undang istimewa jang melarang perdjandjian
sematjam ini.
Djerman pada lahun 1959, dekat sebelum petjah perang* dunia
ke II. mengadakan peraturan untuk membatasi pembajaran
uang kepada orang asing sedemikian rupa, sehingga seorang
Djerman jang menurut suatu perdjandjian apapun djuga ber-
wadjib membajar uang kepada orang asing, hanja diperboleh
kan membajar dalam negeri Djerman dengan uang „Reichsmark”
Djerman dan hanja sampai suatu maximum tertentu.
Tindakan Djerman ini ditentang hebat oleh negara2 lain,
jang warganegaranja menderita kerugian amat besar sebagai
akibat dari tindakan Djerman itu. Kedjelekan dari tindakan
Djerman ini terletak pada kenjalaan, bahwa tindakan ini berat
sebelah, hanja menguntungkan suatu pihak, jaitu negeri Djer-
man. Kesukaran Djerman janfi mendorong melakukan tindakan
itu tidak dapat disangkal. Hanja djalannja jang dilalui adalah
amat kasar.
Oleh karena kesukaran seperti ini dirasakan djuga oleh lain2
negara jang ingin pula menjehatkan kedudukan keuangannja,
maka pada tahun 1945 diadakan perdjandjian internasional
antara beberapa negara jang dinamakan ..Bretton Woods
Agreement” dan jang mengatur hal tindakan menjehatkan ke-
uangan itu, jang dapat dilakukan oleh negara2 peserta dengan
akibat, bahwa persetudjuan2 jang bertentangan dengan tinda
kan2 itu, tidak dapat dilaksanakan.
Dalam persetudjuan keuangan dan perekonomian antara
Indonesia dan Belanda sebagai, bagian dari Persetudjuan Kon-
129

perensi Medja Bundar (K. M. B.) pasal 14 menentukan, bahwa
Republik Indonesia dan Keradjaan Belanda masin g- akan
mengichtiarkan tata keuangan („monetair systeem ) jang seliat
sambil berdasarkan asas2 jang termaktub pada perseludjuan
Bretton Woods.
D. Wesel dan tjek
Sebagai diketahui, wesel adalah suatu penjuruhan oleh
seorang A kepada orang lain B untuk mengadakan pembajaran
uang kepada orang ketiga C., sedang antara A dan B sudah
ada perhubungan hukum jang mengakibatkan pembajaran pleh
B kepada A. Maka wesel adalah satu2nja tjara pembajaran
jang praktis antara orang2 jang masing2 berdiam dilain tempat,
oleh karena dengan demikian dihindarkan suatu pengiriman
uang dari suatu tempat kelain tempat, dengan risiko, bahwa
uang itu ditengah djalan akan hilang. Ter-Iebih2 dalam perda
gangan internasional pemakaian wesel adalah amat praktis.
Mengingat ini, maka sudah selajaknja, apabila didunia inter
nasional ditjarikan djalan untuk mengadakan suatu peraturan
perihal w'esel jang meliputi semua negara didunia. M ula2 usaha
itu diselenggarakan pada suatu konperensi internasional di Den
Haag pada tahun 1911 dan 1912, akan tetapi usaha itu gagal.
Baru pada tahun 1950 tertjipta suatu perdjandjian internasional
mengenai wesel dan pada tahun 1951 mengenai tjek. Berhubung
dengan ini, Kitab Hukum Dagang, baik di negeri Belanda, mau
pun di Indonesia perihal wesel dan tjek diubah dan disesuaikan
dengan traktat2 tersebut.
Sajangnja ialah, bahwa belum semua negara masuk traktat2
itu. British Commonweallh dan Amerika Serikat misalnja
sampai sekarang tidak menggabungkan diri pada dua traktat
itu. Maka belumlah tertjapai tjita2 untuk mengadakan peraturan
hukum perdata internasional tentang w'esel dan tjek, jang meli
puti seluruh dunia.
150

Hal jang terutama menjebabkan Inggeris clan Amerika Serikat
tidak mau turut menandatangani dua traktat tadi ialah, bahwa
didalamnja sebagai dasar daripada peraturan penundjukan
hukum jang harus berlaku, ditetapkan hukum nasional dari
orang2 jang menandatangani wesel, sedang di Inggeris dan
Amerika Serikat, seperti halnja dalam hukum perdata interna
sional pada umumnja, pun dalam hal wesel dan tjek hukum
domisili dari orang2 itu dipakai sebagai dasar.
Sebagai diketahui, perdjandjian-wesel lertjipta dengan pe
nandatanganan wesel itu, dalam mana tidak disebut causa dari
perdjandjian, dan sebetulnja disamping perdjandjian wesel ini
selalu ada perdjandjian lain jang memungkinkan ada pembajaran
jang diselenggarakan oleh wesel itu. Perdjandjian jang lain ini
mungkin sekali tidak diperbolehkan dalam suatu negara, jaitu
misalnja perdjandjian membajar sedjumlah uang sebagai akibat
dari suatu pendjudian. Bagi Indonesia perdjandjian sematjam
ini dilarang oleh pasa! 1788 B. W . Kalau inilah halnja, maka
orang jang digugat dimuka hakim perihal wesel ini. dapat me
nangkis gugatan itu, berdasar atas pasal 1788 B.W . Tetapi di
Djerman suatu perdjandjian wesel dianggap masuk golongan
..abstraete verbinlenis”, hal mana mengakibatkan, bahwa, kalau
weselnja ditandatangani dinegeri Djerman oleh orang Djerman
dengan akibat, bahwa hukum Djerman adalah berlaku, orang
tidak dnpnt menangkis gugat-wesel setjara mengemukakan per
djandjian jang mendjadi dasar dari penandatanganan wfesel.
Maka dengan adanja traktat tentang wesel, pun diantara
negara2 peserta belum ada kesatuan dalam melaksanakan per
djandjian-wesel.
Perlu dikemukakan disini, bahwa baik hukum Inggeris dan
Amerika, maupun traktat tentang wesel menundjuk bagi setiap
penmid/iliingaium dalam saiu w’esel kepada hukum domisili
nasional dari orang- juitff mennndnlnngani. ini mengakibatkan
bahwa, oleh karena wesel itu ditandatangani oleh beberapa
151

orang, jaitu oleli jang mengeluarkan wesel („trekkcr '). oleli jang
harus membajar dan bersedia untuk membajar („belrokkene.
acceptant”) dan kalau ada. orang2 jang mengoperkan hak atas
wesel itu kepada orang lain (,,endossant”), maka perihal satu
wesel dapat berlaku lebih dari satu kelompokan Iiukuni.
Segala sesuatu jang diuraikan diatas perihal wesel, berlaku
djuga bagi tjek, jang berbeda dari wesel terutama hanja tentang
jang ditundjuk harus membajar, jaitu kini tentu harus suatu
bang jang tidak diwadjibkan menjediakan diri untuk memba
jar („accepteeren”).
B A G IA N X V
Hal hukum atjara perdata
Dalam bagian IX mengenai hukum nasional bagi orang2
asing sudah disinggung beberapa peraturan dari hukum atjara
perdata.
Pada umumnja dapat dikatakan, bahwa oleh karena perihal
hukum atjara perdata tidak ada suatu peraturan penundjukan
kepada suatu golongan hukum jang harus dianggap berlaku,
apabila ada suatu anasir asing, maka terserahlah kepada hakim
pada achirnja untuk menentukan sendiri sikapnja. Hakim dalam
hal ini dapat berusaha akan mengetahui hasil2 penjelidikan
jang mungkin telah diadakan dalam dunia ilmu pengetahuan
hukum.
Sekiranja dapat dikemukakan sebagai pendapat umum, bahwa
pada hakekatnja perihal hukum atjara perdata oleh hakim
harus diturut hukum nasional sang hakim itu (Iex fori). Ini
sudah selajaknja. oleh karena sifat hukum atjara perdata ialah
hanja untuk merundjukkan suatu djalan, jang harus dilalui
oleh hakim untuk melaksanakan hukum perdata.
Peraturan hukum atjara perdata ada berhubungan erat
dengan soal susunan dan kekuasaan pengadilan2 suatu negara.
132

Terang pula, bahwa, oleh karena pengadilan adalah suatu
alat negara tertenlu. maka tiap2 negara dapat dikatakan ber
kepentingan penuh untuk mengatur hal itu setjara jang sesuai
dengan keadaan negara pada umumnja. Kedaulatan negara
tentang hal ini tidak dapat dibelakangkan, oleh karena suatu
alat pada umumnja harus bermanfaat. Dan ini, jaitu sampai
dimana suatu alat adalah bermanfaat, hanja dapat ditentukan
oleh mereka jang mempunjai alat itu dan jang akan merasakan
akibat pemakaian alat2 itu.
Den gan ini sudah tepat, apabila dianggap sebagai hakekat
bahwa hakim dalam melakukan peradilan, djuga dalam hal
hukum perdata internasional, hanja dan harus tunduk pada
hukum atjara perdata jang ditetapkan oleh negaranja.
Tidak ada suatu ketentuan dengan tiada keketjualian. Djustru
dalam hal hukum perdata internasional, dimana pelbagai
kepentingan asing minta perhatian, hakim tiap negara harus
insaf, bahwa kini tidak hanja rasa keadilan dari masjarakat
negaranja sadja jang harus dipenuhi, melainkan djuga seberapa
boleh rasa keadilan dari masjarakat asing, jan« mempunjai
kepentingan. Hanja dengan djalan demikian, tiap2 negara da
pat mengharapkan, bahwa l<epentingiUU\ja djlipn akan diperha
tikan seperlunja diluarnegeri.
Jang mendjadi soal ialah sampai dimana keketjualian itu
diadakan. Harus dikemukakan, bahwa keketjualian harus tetap
bersifat keketjualian, maka kalau memang dianggap perlu betul
suatu Pengadilan melakukan suatu keketjualian, soal jang ter
tentu ini tidak boleh dilebarkan sajapnja sampai meliputi soal2
lain tidak dengan semeslinja.
Seperti dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnja, kini
pun orang menljari suatu pormula umum untuk menentukan
batas mengadakan keketjualian itu.
Dalam hal ini setengah orang membagi hukum atjara per
data mendjadi dua bagian besar, jaitu ke-1 peraturan jang
155

betul2 mengenai atjara \,,formeeI procesreclit’ ), Ke-2 peraturan
jang bersifat tengab2 dan jang memuat anasirJ jang mendekati
sifat hukum perdata („materieel procesreclit ). Dan sebagai tjon-
tob jang terpenting dari hukum atjara „materieel ini disebut-
kan bukum mengenai pembuktian.
Perlu diterangkan, disini, bahwa pada umumnja para hakim
di Inggeris tidak suka mengakui perbedaan ini, melainkan
misalnja menganggap peraturan pembuktian seluruhnja masuk
golongan atjara belaka dan maka dari itu djuga perihal pem
buktian ini tidak mau menjimpang dari hukum Inggeris tentang
hal ini. Sebaliknja'dibagian lain dari benua Eropali ada aliran
kuat jang menghendaki perbedaan tersebut.
Saja dapat menjetudjui pendapat Mr. Mulder dalam bukunja
halaman 220, bahw'a sebaiknja pada hakekatnja tidak diadakan
perbedaan antara jang dinamakan hukum atjara „formil dan
hukum atjara „rnateriil ’ dan pada umumnja harus dipegang
teguh, bahwa dalam hal hukum atjara perdata seluruhnja hakim
harus tunduk pada hukum negaranja sendiri.
Rangkaian perkataan „hukum atjara materiil” ini sadja sudah
mengandung tentangan didalamnja, oleh karena atjara adalah
tentangan dari hal „materiil . Mengapa tidak disebutkan terus
terang, bahwa hukum pembuktian adalah bukan hukum atjara,
seperti pendapat pembentuk B .W . jang memuatkan peraturan
pembuktian dalam B. W . Mereka, jang menjetudjui pembagian
prinsipiil hukum atjara perdata mendjadi dua bagian, terang
tidak berani menjatakan, bahwa hukum pembuktian adalah
bukan hukum atjara. Ini sudah melemahkan pendiriannja.
Lain daripada ini, menurut hemat saja, peraturan hukum
pembuktian pada pokoknja tidak berbeda sifatnja daripada
bagian hukum atjara Iainnja, sekadar menundjukkan suatu
djalan jang harus dilalui oleh pengadilan sebagai alat suatu
negara untuk dapat mengatakan, apakah dan bagaimanakah
154

sualu hukum harus dilaksanakan. Dan mengingat sifat "ini harus
dikatakan, bahwa djuga perihal pembuktian pada pokoknja
hakim adalah tunduk pada hukum negaranja sendiri.
Seperti dikatakan diatas, tentunja sebagai keketjualian hakim
dapat memperhatikan seperlunja hukum asing tentang hal ini
jang berbeda dari hukum nasoinal sang hakim, akan tetapi
ada alnu tidaknja keketjualian ini harus ditindjau dalam
keadaan in concreto satu persatu. Tidak mungkin diadakan
sualu pormula umum jang semula sudah dapat dikatakan meli
puti beberapa maljam soal.
Dalam undang-undang seragam tentang hukum perdata inter
nasional. jang akan diada kan dinegara2 Benelux pada pasal 24
ditentukan, bahwa :
a kekuatan dari persangkaan jang berdasar atas undang-
undang seria hal kewadjiban membuktikan („bewijslast ’) adalah
takluk pada undang-undang jang berlaku bagi perbuatan hukum
atau persetudjuan jartg bersangkutan („lex causae”).
h pembuktian dengan saksi dan tulisan diperbolehkan, ka
lau ini dimungkinkan oleh C&US8K? atau oleh undang-
u n d a n g dari tempat lerbentuknja persetudjuan (..lex loci actus )
atau oleh undang-undang nasional dari hakim, jang akan me
mutuskan perkaranja (,,Iex fori”).
c tenlang bagian selandjutnja dari hal pembuktian berlaku
lah undang-undang nasional dari hakim jang akan memutus
kan perkaranja (,,lex fori”), seperti jang saja setudjui diatas.
Sekarang sebaiknja ditindjau beberapa soal tersendiri dari
lapangan hukum atjara perdata, dilihat dari sudut hukum
perdata internasional.
Kekuasaan menghadap dimuka hakim.
Ini mefigenai kekuasaan hukum seorang, maka dari itu menu
rut pasal 16 A.B. hukum nasional seorang pihak itu menen-
tukannja, pun perihal seorang pihak diwakili oleh lain orang
155

Hanja kalau dalam suatu negara ditentukan peraturan, istimewa
tentang perwakilan, misalnja diperbolehkan menghadap sebagai
wakil hanja seorang pengatjara jang diangkat dan disumpali,
maka peraturan inilah harus diturut, meskipun hukum nasional
dari seorang asing tidak kenal peraturan seperti itu. Ini ber
hubung dengan keistimewaan peraturan jang betul- bersifat
atjara.
Perihal badan hukum, kalau mengenai perwakilan belaka,
tiada perbedaan daripada dalam hal perseorangan. Mengenai
pengakuan sebagai badan hukum, masuk lagi lapangan hukum
nasional dari badan hukum itu. Ini kalau sudah ternjata suatu
perseroan harus dianggap masuk peraturan hukum asing ter
tentu. Tentang kemungkinan segerombolan orang jang tidak
merupakan badan hukum dapat atau tidak menghadap sebagai
satu pihak dimuka hakim, patut di-ragu2-kan, apakah perihal
ini djuga hukum asing gerombolan itu harus menentukannja,
oleh karena ternjata sukar diketahui oleh hakim, apa jang
berlaku tentang hal itu dalam suatu negara asing tertentu.
D i Indonesiapun tiada peraturan tertentu tentang hal ini dan
pendapat juridisprudensi djuga belum terang.
Tjara memadjukan perkara adalah sangat bersifat atjara. maka
dari itu harus tunduk kepada peraturan hukum dari negara
hakim sendiri. Misalnja dinegeri Belanda harus ada ..dagvaar-
ding jaitu memanggil pihak lain langsung dengan perantaraan
d j urusi ta untuk menghadap dimuka hakim, sedang di Indonesia
dianut tjara memasukkan permohonan gugat, seljara lisan atau
tertulis, kepada hakim, jang kemudian akan memanggil kedua
belah pihak untuk datang menghadap pada sidang hakim.
Surat resmi (otentik).
Dari suatu surat resmi asing terpenting sudah diljitjarakan
diatas kekuatannja pembuktian, jaitu dari suatu putusan hakim
asing (Bagian VIII). Disitu dinjatakan, bahwa pada hakekatnja
156

kekuatan pembuktian dari putusan hakim asing tidak ada,
akan tetapi ini tidak meng-halang2-i hakim Indonesia memper
hatikan seperlunja adanja putusan hakim asing itu.
Kinipun harus dikatakan, bahwa perihal akta otentik sebagai
alat pembuktian pada pokoknja hakim Indonesia terikat pada
peraturan 'Indonesia jang mengenai itu. Pasal 1868 B. W . dan
pasal 165 H. I. R. menentukan, bahwa akta otentik adalah
suatu surat jang dibikin menurut tjara jang ditentukan dalam
undang-undang oleh atau dimuka seorang pegawai umum, jang
berkuasa ditempat pembikinannja
Sjarat2 ini harus dipergunakan untuk menentukan, apa suatu
surat resmi jang dibikin dinegeri asing, dapat dinamakan akta
otentik. Begitupun perihal kekuatan pembuktian dari akta asing
itu, hakim Indonesia pada pokoknja tunduk pada peraturan
Indonesia.
Pendapat ini berdasar atas pertimbangan, bahwa peraturan
pembuktian antara iain bermaksud untuk seberapa boleh mem
pertinggi nilai putusan hakim dan oleh karena itu seberapa
boleh harus diturut.
Keketjualian tentunja ada, terutama perihal suatu akta jang
oleh pihak2 jang berkepentingan sengadja dibikin dengan
maksud untuk mendapat surat bukti dari suatu peristiwa. Mi-
salnja dua orang Malaja di Singapura membikin surat perdjan-
djian menurut tjara jang disana diperlukan untuk mendapat
surat bukti jang kuat. Mereka pada waktu membikin itu, tidak
mengira, bahwa mereka kemudian akan berada di Indonesia
dan disini timbul perselisihan jang dimadjukan dimuka hakim
Indonesia. Kalau akta itu tidak memenuhi sjarat bagi akta
otentik menurut hukum Indonesia dan hakim dengan begitu
sadja menjampingkan surat bukti itu, maka mudah dapat di
mengerti, bahwa tindakan sematjam ini tidak memuaskan.
Dalam hal ini, sebaliknja hakim djuga memperhatikan seper
lunja surat bukti itu.
137

Tentang surat bukti lain jang bukan otentik, seperti akta cli-
bavvab tangan, surat2 korespondensi, tjatatan2 dan lain", tidak
perlu dibitjarakan disini, oleb karena djuga menurut hukum
Indonesia, hakim amat merdeka bagaimana ia akan mempcrgu-
nakan pelbagai tulisan itu sebagai surat pembuktian.
Pengakuan seluruhnja dari suatu pihak dim uka liciki m cli
Indonesia pada umumnja mempunjai kekuatan jang sebetulnja
melebihi kekuatan pembuktian, oleh karena hakim lerikat kepada
pengakuan itu. Artinja. meskipun orang jang mengakui itu
bohong. haki m tidak perlu menghiraukan hal itu dan mesti
mengalahkan pihak jang mel akukan pengakuan itu (pasal 171
H. I. R. dan pasal 1925 B. W .).
Perihal ini dapat dikemukakan suatu peraturan di Indonesia,
jang menjimpang dari peraturan tentang pengakuan tersebut,
jaitu menurut pasal 57 dari Peraturan Perkawinan bagi Orang
Keristen di Djawa, Minahasa dan Ambon (Staatsblad 1955 —
74 jo 1956 — 607), Pengadilan negeri harus setjara merdeka
(„zelfstandig ) menjelidiki kebenaran alasan2 jang dikemuka
kan, untuk mendapat pertjeraian. Ini diartikan, bahwa hakim
tidak tjukup memperhatikan suatu pengakuan dari satu pihak
sadja tentang kebenaran alasan jang diadjukan oleh pihak
lawan.
Dengan adanja peraturan menjimpang ini di Indonesia, maka
kalau orang2 asing beperkara di Indonesia tentang hal jang
dalam negara aslinja diatur seperti dalam pasal 57 tersebut,
maka sekiranja hakim Indonesia harus melakukan peraturan
hukum asing itu.
Hal pembuktian dengan saksi sekiranja tidak akan menimbul
kan kesulitan dalam hal orang2 asing beperkara di Indonesia,
oleh karena hakim Indonesia sangat merdeka tentang pemberian
kekuatan pembuktian kepada keterangan seorang saksi.
Ini djuga dapat dikatakan bagi alat bukti jang dinamakan
persangkaan („vermoedens”), oleh karena ini sebetulnja bukan
158

alat bukti, melainkan kesimpulan belaka dari jang sampai dike
labui oleli bakim dengan mempergunakan alat2 bukti lain.
Sebaliknja peraturan tentang menjumpali salah suatu pihak
sebagai alat bukti, bersifat mengikat hakim, maka sekiranja ha
kim tid ak boleh menjimpang, meskipun jang beperkara adalah
orang2 asing jang hukum nasionalnja memuat peraturan lain
tentang hal ini.
..Rogatoire commissie”
Ini berarti suatu permintaan oleh seorang hakim disampaikan
kepada hakim dilain tempat, supaja hakim belakangan ini mem
beri pertolongan melakukan suatu tindakan dalam suatu peme
riksaan perkara, jang sebetulnja harus dilakukan oleh hakim
pertama tadi, akan tetapi tidak dilakukan oleh karena beberapa
hal. Misalnja harus diadakan suatu pendengaran seorang saksi
jang berdiam dilain 'tempat dan jang menurut peraturan tidak
boleh dipaksa untuk datang menghadap disidang hakim jang
pertama itu.
Pasal 175 B. Rv. mengatur hal ini, jaitu ajal I dan 2 untuk
daerah Indonesia dan ajal 5 untuk tindakan jang harus dila
kukan oleh hakim dinegeri asing. Disebutkan, bahwa hakim
Indonesia dap"it minta pertolongan kepada penguasa dinegeri
asing atau kepada seorang konsul dari negeri Indonesia jang
berada dinegeri asing itu.
Dengan adanja pasal 175 B. Rv. ajal 5 itu, selaku timbal-
balik dapat dikatakan, bahwa seorang hakim Indonesia, kalau
menerima pemintaan seperti itu dari seorang hakim dari negeri
asing, pada umumnja berwadjib untuk memenuhi permintaan
itu. Keketjualian hanja dapat diperbolehkan, apabila dalam
suatu hal jang konkrit kepentingan negara, terutama jang me
ngenai pertahanan negara, menghendaki keketjualian itu.
159

Seringkali permintaan „rogatoire commissie ini disampaikan
lewat Kementerian Luar-Negeri masing2 negara jang bersang
kutan. Ini perlu berhubung dengan keketjualian tersebut dialas,
hal mana setjara paling tepat akan dapat diketahui oleh Ke-
menterian Luar-Negeri.
Diantara beberapa negara ada perdjandjian internasional
tentang hukum atjara perdata pada tahun 1005 di Den Haag,
jang mengatur hal „rogatoire commissie” pada pasal 8 —- 16.
Pada pokoknja „rogatoire commissie” diperbolehkan dengan be
berapa keketjualian, antara lain apabila memenuhi „rogatoire
commissie” in concreto akan bertentangan dengan kedaulatan
dari negara jang diminta pertolongan (pasal 11, 5 ke-5). Indo
nesia tidak turut serta pada traktat ini.
Ada hal jang mirip dengan hal „rogatoire commissie, jaitu
pemberitahuan hal sesuatu oleh seorang penguasa dalam suatu
negeri kepada orang jang berada dinegeri asing. Traktat terse
but dialas tentang hukum atjara perdata djuga mengatur hal
pemberitahuan ini dalam pasal 1 — 7. Indonesia jang tidak turut
serta pada traktat ini, dapat memakainja sebagai pedoman.
Pada pokoknja kemungkinan pemberitahuan kepada orang
jang berada diluarnegeri, tergantung dari kemauan negeri
asing jang bersangkutan untuk memenuhi permintaan memberi
tahukan itu dan kinipun berlaku prinsip pertimbal-balik. Tentu-
nja adalah paling baik, apabila hal sesuatu diatur dalam suatu
perdjandjian internasional'.
Hal pailit atau bangkrut.
Kalau dilihat sifat dari suatu putusan hakim jang menjatakan
seorang djatuh pailit, jaitu, bahwa keadaan pailit merupakan
pensitaan (,,beslag") umum atas semua harta-benda dari seorang
jang berhenti dalam membajar hutangnja, maka sekeadaan pailit
ini meliputi djuga barang2-nja sipailit, jang berada diluar negeri.
140

AI<an tetapi dapat dikatakan, seperti telah pernah diuraikan
dialas (Bagian VIII). bahwa melihat adanja pasal 436 B. Rv.v
putusan hakim asing lidak dapat didjalankan di Indonesia, maka
dengan demikian putusan hakim Indonesia jang mendjaluhkan
pailit, tidak dapat didjalankan atas barang2 si-pailit jang ber
ada dil uar-negeri.
Perihal ini mungkin dapat dikatakan, bahwa pasal 436 B. Rv.
hanja melihat pada putusan hakim atas suatu perselisihan antara
dua pihak, sedang perihal pailit putusan hakim hanja melaksa
nakan suatu peraturan jang memungkinkan seorang dinjatakan
pailit, apabila sjarat lertenlu telah dipenuhi. Sjarat ini ialah
adanja lebih dari satu hutang jang sama2 tidak dibajar.
Bagaimanapun djuga, kalau seorang hakim berpendapat,
bahwa putusannja perihal pailit berlaku djuga bagi barang2
milik sipailit jang berada diluarnegeri, maka hakim itu sebagai
prinsip timbal-balik^ harus menganggap djuga, bahwa putusan
hakim asing tentang pailit berlaku bagi barang2 si-pailit jang
berada dinegeri awak sihakim.
Djuga dikatakan, bahwa ada dua sistim dalam hai pailit ini,
jaitu ke-1 sistim teritorialitet, jang membatasi berlakunja pu
tusan pailit pada daerah negara, dan ke-2 sistim universalitet,
jang menganggap suatu putusan pailit berlaku diseluruh dunia.
Menurut Martin W olff dalam bukunja halaman 360, sistim
teritorialitet dianut di Amerika Serikat, sistim universalitet di
Itali dan Perantjis, sedang sistim tengah2 dianut di Djerman,
Swis dan Belanda. Sistim tengah2 ini antara lain mengang
gap putusan hakim negara awak dalam beberapa hal berlaku
universil dan sebaliknja putusan hakim asing dalam beberapa
hal berlaku setjara terbatas pada daerah („territoir ). Tentang
Inggeris dikatakan, bahwa prinsip universalitet dianut, ketjuali
hal berlakunja putusan hakim asing terhadap barang2 tak ber
gerak jang terletak dinegeri Inggeris.
14 »

Dengan aclanja pelbagai sistiin ini, maka dalam praktek akan
masih ada banjak kesulitan. Maka bukan barang aneh, apabila
seorang jang dalam suatu negara sudah diputuskan pailit, ke
mudian dinegara lain didjatuhkan pailit lagi oleh penguasa
disana. Kedjadian sematjam ini malahan dapat menghilangkan
banjak kesulitan, sebab dengan demikian sudah terang barang2
milik sipailit didalam dua negara itu masuk pensilaan umum,
dan pengawas („curator”) dapat bertindak dalam dua negara
itu dengan leluasa untuk keperluan para piutang. Hanja sadja
Tiarus diperhatikan, bahwa pada hakekatnja akibat2 dari masing2
putusan mendjatuhkan pailit ditetapkan menurut peraturan
negara masing2. Sekiranja hal ini dalam praktek tidak akan me
nimbulkan banjak kesulitan.
B A G IA N XVI
Badan hukum
Ternjata masjarakat di-tiap2 negara membutuhkan suatu
pengertian hukum jang memungkinkan, bahwa dalam perhu
bungan2 hukum dimasjarakat tidak hanja orang perseorangan
(„individu ) sadja mempunjai hak2, kekuasaan2 dan kewadjib-
an" hukum, melainkan djuga suatu badan, jang tidak bersifat
dan berkepentingan perseorangan. Perwudjudan pemisahan ke
pentingan badan ini dari kepentingan perseorangan, terutama
terdapat dalam adanja suatu kekajaan harta-benda dari badan
jang terpisah dari kekajaan harta-benda dari orang2 perse
orangan dan jang merupakan satu-2nja tanggungan bagi segala
tindakan badan itu terhadap orang ketiga („derden ).
Oleh karena badan hukum ini adalah tjiptaan hukum suatu
negara dan tiap2 negara tentulah berdaulat untuk mewudjudkan
bukum itu, maka tidaklah aneh, apabila ada perbedaan antara
peraturan2 perihal badan hukum dipelbagai negara.
Tidak akan saja bitjarakan badan2 hukum dalam ketatanega-
142

raan, seperti suatu negara alau bagian berotonomi dari suatu
negara, oleh karena buku ini hanja mengenai hukum perdata.
Badan hukum dalam hukum perdata di Indonesia dapat
berupa suatu perkumpulan orang2 (korporasi) atau suatu harta-
benda atau perusahaan jang tertentu (jajasan. „stichting”). Per
bedaan jang agak nampak antara dua matjam badan hukum
ini ialah, balm ’a dalam korporasi biasanja jang mempunjai
kepentingan adalah orang2 manusia jang merupakan anggota
dari korporasi itu, anggota2 mana djuga mempunjai kekuasaan
dalam peraturan korporasi berupa rapat para anggota, sedang
dalam peraturan jajasan tilik berat terletak pada suatu kekajaan
jang ditudjukan untuk mentjapai suatu maksud dengan diurus
oleh suatu pengurus, jang peraturannja sudah ditetapkan semula
oleh jang mendirikan jajasan itu.
D i Inggeris misalnja, menurut Martin YVoIff dalam bukunja
halaman 294, badan hukum berupa jajasan ini tidak ada. Se-
baliknja disana ads. suatu badan hukum jang tidak dikenal
di-Iain2 negara, jaitu „corporation sole”, suatu badan terdiri
dari seorang saclja, jang setjara turun-temurun memegang suatu
djabatan tertentu.
Oleh karena badan- hukum ini melakukan pelbagai perbuatan
hukum seperti orang manusia, maka dapatlah tertjipta perhu
bungan hukum antara badan hukum dari suatu negara dan
badan hukum negara lain, maka timbullah pula pertanjaan,
hukum negara jang mana harus berlaku bagi perhubungan
hukum itu.
Kalau pasal 16 A. B„ jang perihal kedudukan dan kekuasaan
hukum seorang menundjuk kepada hukum nasional seorang
itu, diturut djuga bagi badan hukum, maka harus dianggap,
bahwa badan hukumpun. seperti orang manusia, mempunjai
kebangsaan atau kewarganegaraan.
Selandjutnja harus ada penentuan, hal apa jang menentukan
kebangsaan atau kewarganegaraan suatu badan hukum.
143

Perihal ini ada pelbagai pendapat. ISIenurut pendapat ke-1 hal
kewarganegaraan suatu badan hukum tergantung dari negara
dimana badan hukum itu didirikan dan mungkin disahkan oleh
penguasa dalam negara itu. Pendapat ke-2 menghendaki ke
warganegaraan badan hukum tergantung dari negara, jang dite
tapkan sebagai tempat kedudukan badan hukum atau pengurus-
nja. Pendapat ke-5 memakai sebagai ukuran : Negara, dimana
badan hukum itu mengerdjakan perusahaannja. Ada lagi penda
pat ke-4 jang melihat pada kewarganegaraan kebanjal <an dari
para anggota atau pemegang saham dari badan hukum.
Oleh karena suatu badan hukum adalah tjiptaan hukum sualu
negara tertentu, maka menurut hemat saja pendapat ke-1-Iah
jang paling tepat. Untuk dapat mendirikan suatu badan hukum
dalam suatu negara tertentu, sudah selajaknja orang harus me
menuhi sjarat jang ditentukan oleh hukum negara itu dan
dimana perlu orang harus mendapat suatu pengesahan oleh
seorang penguasa dinegara itu, jang tentu'.ija akan melaksana
kan hukum negaranja sepenuhnja.
Keberatan dari pendapat ke- 2 ialah, bahwa mudah sekali
tempat e udukan suatu badan hukum dipindah kelain negara,
ma a, a au kewarganegaraan suatu badan hukum tergantung
ari tempat kedudukan itu, kepastian hukum akan terganggu.
Keberatan dari pendapat ke-5 ialah, bahwa mungkin sekuli
suatu a an hukum mempunjai tempat2 mengerdjakan perusa-
aannja ¡pelbagai negara, dengan berakibat bahwa, apabila
tempat e erdja ini dipakai sebagai ukuran, mungkin sekali
suatu badan hukum mempunjai dua, tiga atau lebih matjam
ewarganegaraan, hal mana akan menjulitkan pelaksanaan pasal16 A. B.
Keberatan dari pendapat ke-4 ialah, bahwa, oleh karena para
anggota atau para pemilik saham dari badan hukum dapat
er ganti , maka kewarganegaraan jang digantungkan pada
ewarganegaraan kebanjakan orang2 anggota atau pemegang
144

saham, mungkin sekali akan ber-ganti2 djuga. hal mana me
nimbulkan banjak kesulitan djuga dalam melaksanakan pasal
16 A. B.
D i Indonesia ada undang-undang, berasal dari pemerintah
Belanda dulu, jang memakai sualu pengertian istimewa dari ke-
warganegaraan suatu badan hukum, jaitu ..Besluit vijandelijk
vermögen (Undang-undang tentang kekajaan musuh, Staatsblad
1946 — 104), jang pada pasal 2 menentukan, bahwa oleh un
dang-undang itu dianggap sebagai musuh antara lain badan
hukum, jang :
a. didirikan atau berdiri menurut dan diliputi oleh hukum
negara musuh (Djerman dan Djepang terutama).
b. tempat kedudukannja atau kantor pusatnja pada waktu
sekarang atau pada suatu waktu sesudah tanggal 10 Mei
1940 terletak dalam daerah negara musuh.
c. tempat perusahaannja jang terpenting pada waktu tersebut
terletak dalam daerah negara musuh,
d. menurut keputusan Direktur Djustisi sekarang Menteri
Kehakiman, di Indonesia dinjatakan sebagai musuh,
e. menurut keputusan Menteri Djustisi dinegeri Belanda dinja
takan sebagai musuh (ini tentunja sekarang tidak dapat
lagi).
Pasal ini meluaskan sangat pengertian kewarganegaraan
musuh dari badan hukum.
Dinegeri- jang tentang kedudukan dan kekuasaan hukum
tidak menundjuk kepada hukum nasional, melainkan kepada
hukum dari negara, dimana orang mempunjai domisili, seperti
Inggeris dan Amerika Serikat, adalah penting apa jang dina
makan dengan domisili suatu badan hukum.
Sudah barang tentu pengertian tempat pendiaman, jang oleh
hukum dipakai bagi orang2 perseorangan, tidak dapat begitu
sadja dipergunakan djuga dalam menentukan tempat pendiaman
suatu badan hukum.
145

Pasal 17 B. W . misalnja menganggap sebagai domisili seorang
ialah tempat tinggal jang terpenting („hoofdverblijf ’) dan kalau
tempat tinggal sematjam itu tidak ada tempat, dimana orang
benar2 bertinggal. Penentuan sematjam ini hanja dapat dilaku
kan bagi orang2 manusia.
Lazimnja jang dianggap sebagai tempat pendiaman suatu
badan hukum ialah tempat, dimana pengurusnja berkantor. Akan
tetapi dalam setiap keadaan in concrelo hakim senanliasa
leluasa untuk menentukan lain tempat sebagai tempat pendia
man suatu badan hukum. Ini dapat digantungkan pada sifat,
maksud dan tudjuan dari berdirinja suatu badan hukum atau\
dan dari hukum jang mengatur perhubungan hukum jang
bersangkutan.
Pada menentukan pendapat saja, bahwa kew'arganegaraan
suatu badan hukum tergantung dari negara, dimana badan
hukum itu didirikan dan mungkin djuga disahkan oleh penguasa
dinegara itu, dengan sendirinja ditentukan pendapat selandjut-
nja, bahwa soal sjarat2 pengakuan sebagai badan hukum, soal
kekuasaan badan hukum untuk melakukan suatu perbuatan
hukum, soal perwakilan badan hukum dimuka atau diluar penga
dilan dan soal2 lain sebagainja pada hakekatnja tunduk pada
hukum dari negara tersèbut.
Dalam Konperensi Den Haag ke-tudjuh tentang hukum per
data internasional, jang berlangsung pada tanggal 9 — 51 O k
tober 1931, dibentuk suatu rantjangan persetudjuan („ontwerp-
conventie ) untuk memetjahkan soal hukum perdata internasio
nal mengenai perseroan, perhimpunan dan jajasan, jang diusul
kan, supaja termuat dalam suatu traktat antara pelbagai negara,
jang sudah dan/atau jang akan turut-serta pada Konperensi
Den Haag tersebut („Projet de Convention concernant la recon
naissance de la personnalité juridique des sociétés, associations
et fondations étrangères”).
146

B A G IA N XVIIIlak pengarang', Iiak oktroi dan Iiak tjap dagang
Hak pengarang.
Hal ini bagi Indonesia diatur dalam Undang-undang Hak: Pengarang (..Auteurswet , Staatsblad 1912 — 600), jang dibikin untuk negeri Belanda, tetapi menurut pasal 45 berlaku djuga. untuk Indonesia, ketjuali 4 pasal, jaitu pasal 50a. 35a, 43 dan 44.
Hak pengarang menurut pasal 1 adalah hak sendiri dari, seorang pembikin suatu karangan perihal kesusasteraan, ilmu pengetahuan atau kesenian, untuk mengumumkan dan memper-
banjak karangan itu dengan batas- jang ditentukan oleh undang- undang.
Hak pengarang ini menurut pasal 2 ajat 2 dapat turun-temurun kepada ahli-waris pengarang dan dapat djuga diserahkan, kepada lain orang, baik seluruhnja, maupun sebagian sadja, penjerahan mana harus dilakukan dengan akta otentik atau den g an akta dibawah tangan.
M aksud undang-undang hak pengarang ialah untuk memper- Iindungi kepentingan seorang pengarang, djangan sampai orang, lain memungut hasil dari suatu karangan dengan merugikan si- pengarang setjara se-wenang2. Perlindungan ini perlu tidak hanja sebagai tanda penghargaan kehormatan bagi sipengarang, melainkan djuga sebagai pendorong bagi orang2 jang mempunjai ketjakapan dan minat untuk membikin karangan2 jang berguna bagi masjarakat.
Pasal 10 undang-undang tersebut menjebutkan beberapa buah karangan jang diperlindungi, antara lain : buku, suratkabar, m adjalah , tjerita sandiwara, pidato, lagu, gambar, lukisan, pigura , patung, bangunan, peta ilmu bumi, potret dan pada um um nja tiap2 buah karangan dilapangan kesusasteraan, ilmu pengetahuan dan kesenian, setjara dan berwudjud apapun djuga. M aka amat luaslah penjebutan ini.
147 '

M enurut pasal 15 pengertian memperbanjak Ipuah karangan meliputi cljuga membuat penterdjemahan dari suatu karangan asli.
Jang penting dari sudut hukum perdata internasional ialah pasal 47, jang mengatakan, bahwa undang-undang bak pengarang berlaku bagi semua karangan, jang dikeluarkan dinegeri Belanda dan di Indonesia dan bagi karangan dikeluarkan diluar dua negeri itu, jang dibikin oleh orang Belanda atau orang Indonesia. Dengan ini tidaklah diperlindungi oleh undang- undang ini karangan dari orang asing, jang diterbitkan diluar- negeri.
Sedjak Indonesia oleh negeri Belanda diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat, maka dapatlah dikatakan, bahw a kedaulatan Indonesia mengakibatkan mengartikan pasal 47 tersebut 'sedemikian rupa, bahwa undang-undang tersebut, sekedar mengenai Indonesia, hanja berlaku bagi karangan jang dikeluarkan di Indonesia oleh setiap orang dan diluar Indonesia oleh w'arganegara Indonesia.
Praktis, dengan adanja „Conventie-Bern” dari tahun 1908
seperti diubah pada tahun 1928, jang merupakan suatu gabungan (uni) antara beberapa negara mengenai hak pengarang dan dalam mana negeri Indonesia dan negeri Belanda sama mendjadi peserta djuga, keadaan akan tetap sama oleh karena pada umumnja perlindungan hak pengarang di-tiap2 negara peserta diperluaskan sampai W ' a r g a n e g a r a dari n e g a r a ” peserta jang lain.
Hak oktroi.
Oktroi adalah mengenai hal seorang menemukan suatu hasil
perniagaan baru atau tjara baru untuk menghasilkan hal sesuatu atau menentukan suatu alat baru guna memperbaiki hasil atau tjara menghasilkan itu.
148

Sifal peraturan hak oktroi adalah sama dengan sifat peraturan
liak pengarang, sekedar ke-d ua^-nja bermaksud untuk memper-
lindungi kepentingan seorang jang mentjiptakan hal sesuatu,
agar supaja buah pikiran dan pekerdjaannja tidak dipergunakan
begitu sadja oleh lain orang dengan merugikan kepentingan
seorang pentjipta.
Tetapi iidjucl dari hak oktroi menurut peraturan hukum jang
berlaku (..positief recht’ ) adalah berlainan daripada udjud hak
pengarang. Hak pengarang oleh hukum dalam prinsip diakui
mulai semula dan hukum hanja mengatur hal memperlindungi
hak itu. sedang hak oktroi adalah hak jang diberikan oleh peme
rintah kepada seorang, jang menemukan hasil perniagaan baru
dan lain2 sebagainja, untuk sebagai satu2-nja orang memper
gunakan buah pikiran atau buah pekerdjaan ilu, sedang lain
orang dilarang mempergunakannja („uitsluilend recht”).
Maka. menurut udjud hak oktroi itu. Iahirnja hak oktroi ter
gantung dari Pemerir.tah dan perkataan oktroi berarti djuga
suatu ..privilege”. suatu pemberian istimewa, se-olah2 hak jang
diberikan itu bukan hak asasi, sedang sebetulnja hak ini adalah
hak asasi, tidak berbeda dari hak pengarang.
Dalam hal jang berhubungan dengan hukum perdata inter
nasional, jaitu dalam hal orang2 asing bersangkut paut, maka
djuga ada perbedaan dengan peraturan tentang hak pengarang.
Tentang bak oktroi, jang diambil sebagai ukuran, hanja pema
kaian buah pikiran seorang dalam suatu negara dan hak untuk
memakai ini akan diberikan oleh pemerintah, dengan tidak me
mandang, apa jang meminta hak itu adalah warganegara atau
orang asing.
Maka kini tiada diskriminasi terhadap orang asing. Malahan
un d an g -u n d an g jang bersangkutan, jaitu ,,Oktrooi-wet” 1910
(Staatsblad 1911 - 136) menjesuaikan diri dengan keadaan inter
nasional. misalnja pasal 7 menerangkan, bahwa seorang jang di-
negeri lain sudah memadjukan permohonan untuk mendapat hak
149

oktroi disana, mempunjai prioritet selama 12 bulan sesudah itu.
dalam permohonannja dinegeri awak. Arlinja, segala apa jang
terdjadi antara waktu pemasukan permohonan dinegeri asing
dan waktu pemasukan permohonan dinegeri awak, tidak akan
mempengaruhi akan mendapatnja hak oktroi atau tidak. Seba
gai tjontoh dari hal jang mungkin terdjadi antara dua waktu itu,
disebutkan hal pemasukan permohonan untuk mendapat hak
oktroi perihal jang sama oleh lain orang lebih dulu dnripadanja.
Seperti halnja dengan hak pengarang jang mengenal sualu Konpensi-Bern, maka bagi hak oktroi ada Konpensi-Paris dari
tahun 1883, jang ber-ulang2 diubah, jang terbelakang kali pada
tahun 1954. Perbedaan daripada Konpensi-Bern ialah, bahwa
segala sesuatu jang termuat dalam Konpensi-Paris, sudah ter
muat djuga dalam „Octrooi-wet” 1910 tersebut diatas.
Diatas dikatakan, bahwa hak pengarang dapat diserahkan
kepada lain orang. Perihal oktroi ada lain aturan, jaitu bahwa
pemegang oktroi dapat memberi lisensi kepada lain orang untuk
memakai buah pikiran jang termasuk oktroi, seluruhnja atau
sebagian.
Peraturan „Octrooi-wet” 1910 berdasar atas perhubungan kolo
nial antara negeri Belanda dan Indonesia sedemikian rupa, bah
wa hak oktroi bagi Indonesia diberikan oleh penguasa clinegeri
Belanda („Octrooi-Raad ). D i Indonesia hanja ada Kantor pem
bantu („Hulpbureau Industrieele Eigendom”), jang meneruskan
segala permohonan oktroi ke „Octrooi-Raad” dinegeri Belanda-
Dengan berdirinja Republik Indonesia sebagai negara tner
deka dan berdaulat, maka hal sesuatu jang termuat dalam
„Octrooi-wet itu, seharusnja disesuaikan dengan keadaan. jan„
tidak mengizinkan lagi, bahwa pemberian hak oktroi Indonesia
masuk kekuasaan penguasa („Octrooi-Raad”) dinegeri Belan^3'
150

Hak Ijap dagang dan tjap pabrik („merkenrecht").
Hak ini berlainan lagi daripada hak pengarang dan hak oktroi. Perbedaannja ialah, bahwa hak tjap ini tidak mengandung suatu penghargaan dari suatu kepandaian seorang, melainkan hanja bermaksud untuk mendjernihkan suasana perdagangan dan perindustrian dalam hal memakai tjap bagi barang2-nja, djangan sampai ada kekatjauan sebagai akibat dari pemakaian salu Ijap ber-sama- untuk beberapa barang jang ternjata lain pembikinannja, udjud dan nilainja.
Maka sifat dari hak Ijap ini ialah, bahwa pemilik hak tjap •berhak memakai suatu tjap, sedang lain orang tidak dan perlakuan istimewa ini melulu berdasar atas kenjataan. bahwa orang itulah jang per-lama2 memakai tjap itu pada waktu tiada seorang lainpun memakainja.
Hak tjap ini, lain daripada hak oktroi, tidak diberikan oleh pemerintah, melainkan lahir sebagai akibat suatu tindakan pemerintah berupa pen^asukan tjap itu dalam suatu daftar
(..inschrijving ”). Dan dalam memasukkan tjap dalam daftar ini, pemerintah pada pokoknja hanja memeriksa, apa tjap jang dimintakan supaja dimasukkan daftar itu, sudah terpakai lebih
dulu oleh lain orang atau tidak dan apakah udjud tjap itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau dengan kesusilaan.
Kalau pemerintah menolak pemasukan tjap dalam daftar maka jang berkepentingan dapat mohon putusan hakim untuk menetapkan, apa penolakan itu sudah tepat.
Apabila suatu tjap sudah dimasukkan daftar, tjap itu lazim disebutkan „gedeponeerd”, jang berakibat, bahwa pemilik hak tjap diperlindungi oleh hukum sedemikian rupa, arwa g lain jang toh memakai tjap itu, dapat dihukum pidana menurutpasal 395 K.U.H.P. ,
Dalam hubungan dengan hukum perdata internasional dapa dikatakan, bahwa pada pokoknja tiap2 negara mengatur hal memasukkan tjap2 dalam daftar setjara merdeka dengan t.dak
151

melihat pada kevvarganegaraan orang jang berkepentingan dan
dengan tidak memikirkan, apa tjap ilu diluar negeri sudab di
masukkan dalam daftar disana
Hanja ada keketjualian ba«i negara- jang mendjadi pesertu
dalam Konpensi-Paris peribal „Industriele Eigendom tersebut
diatas, jaitu babwa seorang jang tjapnja sudab dimasukkan
daftar dalam suatu negara peserta, mempunjai prioritet selama
4 bulan dalam negara peserta lain, artinja ia dianggap se-olab2
sudab mulai memakai tjap dinegara lain itu sedjak tjapnja di
masukkan daftar dinegeri jang pertama disebutkan tadi (pasal 4).
Bagi Indonesia hal memasukkan tjap dalam daftar ini teratur’
dalam undang-undang lama jang dinamakan „Reglement Indus-
trieele Eigendom Kolonien 1912”.
Menurut pasal 7 dari peraturan ini, orang jang tjapnja dimasukkan dalam daftar di Indonesia, dapat minta, supaja tjapnjaitu dimasukkan djuga dalam sualu daftar internasional jang diadakan di Bern.
152
