PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI DALAM TINDAK PIDANA …
Transcript of PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI DALAM TINDAK PIDANA …
Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Tindak Pidana Kekerasan Oleh Anak Yang Berbasis
Keadilan di Kabupaten Siak Indrapura
JURNAL POPULIS | 789
PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI DALAM TINDAK
PIDANA KEKERASAN OLEH ANAK YANG BERBASIS
KEADILAN DI KABUPATEN SIAK INDRAPURA
Hari Budiyanto
Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
No. Telepon 08117042006
ABSTRAK
Penanganan kenakalan anak yang tidak tepat serta sikap keragu-raguan aparat penegak
hukum dalam menangani kriminalitas yang dilakukan oleh anak, secara langsung maupun
tidak langsung telah mendorong suatu penyimpangan sosial. Aparat kepolisian terkesan
kehilangan konsep dalam menangani masalah kriminalitas dengan kekerasan yang dilakukan
oleh anak. Oleh karena itu Polri sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat serta
sebagai aparat penegak hukum dituntut untuk cepat tanggap dalam menjawab image negatif
tersebut. Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah penegakan hukum oleh polisi
dalam tindak pidana kekerasan anak dan bagaimana implikasi terhadap perwujudan keadilan
di Kabupaten Siak Indrapura, faktor penghambat dalam penegakan hukum oleh polisi dalam
tindak pidana kekerasan oleh anak sehingga perwujudan keadilan belum tercapai di
Kabupaten Siak Indrapura serta kontruksi penegakan hukum oleh polisi terhadap tindak
pidana kekerasan oleh anak sehingga perwujudan keadilan dapat tercapai di Kabupaten Siak
Indrapura. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan socio-
legal research yang bersumber dari pengumpulan data yang diperoleh dari data primer dan
data sekunder, kemudian dianalisis dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian ini
pada akhirnya memberikan jawaban bahwa penegakan hukum oleh polisi dalam tindak
pidana kekerasan anak terhadap perwujudan keadilan di Kabupaten Siak Indrapura adalah
masih menggunakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan dari anak
pelaku tindak pidana kekersan dalam penyidikan. Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh
penyidik adala kekerasan fisik, psikis, maupun hukum. Faktor penghambat dalam penegakan
hukum oleh polisi dalam tindak pidana kekerasan oleh anak sehingga perwujudan keadilan
belum tercapai dikarenakan kurangnya pendanaan untuk mendukung pelaksanaan atau
kegiatan yang mendukung pengembangan Kota Layak Anak (KLA) di Kabupaten Siak
Indrapura, selain itu lambannya pencatatan kasus kekerasan oleh anak dikarenakan
minimnya tenaga kerja (Sumber Daya Manusia). Selain itu kontruksi penegakan hukum oleh
polisi terhadap tindak pidana kekerasan oleh anak adalah dengan membangun atau
menciptakan polisi yang profesional yang harus dimulai pada taraf seleksi dan pendidikan,
seingga kepolisian memiliki standar keahlian dan standar etika yang tinggi, sehingga dapat
tercapai penegakan hukum yang kontruktif dalam penegakan hukum terhadap anak pelaku
tindak pidana kekerasan. Saran dari penelitian ini adalah polisian Kabupaten Siak Indrapura
sedianya memiliki unit khusus yang benar-benar fokus dan secara rutin melakukan
penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat terkait tindak pidana kekerasan yang
dilakukan oleh anak.
Kata kunci: Penegakan Hukum, Polisi, Tindak Pidana, Kekerasan, Anak dan
Keadilan.
Jurnal Populis, Vol.3, No.6, Desember 2018
790 | JURNAL POPULIS
ABSTRACT
The inappropriate handling of juvenile delinquency and the hesitancy of law enforcement
officers in dealing with crimes committed by children, directly or indirectly, have led to
social aberrations. Police officers seem to lose the concept of dealing with violent crimes
committed by children. Therefore, Police as guardian, protector, and public servant as well
as law enforcement officers are required to quickly respond in response to the negative
image. The problem studied in this research is law enforcement by police in violation of
child abuse and how implication to the realization of justice in Siak Indrapura Regency,
obstacle factor in law enforcement by police in violent crime by child so that the realization
of justice has not been reached in Siak Indrapura Regency and the construction of law
enforcement by the police against violent acts by children so that the realization of justice
can be achieved in Siak Indrapura Regency. The method used in this research is with socio-
legal research approach that comes from collecting data obtained from primary data and
secondary data, then analyzed by qualitative analysis method. The results of this study
ultimately provide an answer that law enforcement by the police in the crime of child abuse
and how the implication of the realization of justice in Siak Indrapura Regency is still using
violence to get the acknowledgment or information from the child offender of the crime in the
investigation. The forms of violence committed by investigators are physical, psychological,
or legal. Inhibiting factors in law enforcement by the police in violent acts by children so
that the realization of justice has not been achieved in Siak Indrapura Regency due to lack of
funding to support the implementation or activities that support the development of Decent
City Children (KLA) in Siak Indrapura Regency, besides the slow recording of cases of
violence which occurs in children due to the lack of manpower (Human Resources). In
addition, the construction of law enforcement by the police against violent crime by children
is to build or create a professional police that must be started at the stage of selection and
education, so that the police have high standards of ethics and expertise, so that it can be
achieved law enforcement in the enforcement of the enforcement law against child
perpetrators of violent crime. Suggestion from this research is polisian of Regency of Siak
Indrapura should have special unit that really focus and routinely doing counseling and
socialization to society related to violent crime committed by child.
Key words: Law Enforcement, Police, Crime, Violence, Children and Justice.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Keberadaan Polisi akan sangat dirasakan oleh masyarakat apabila dalam
pelaksanaan tugasnya dapat memberikan dampak positif untuk memenuhi keinginan
masyarakat. Dalam hal ini yang diinginkan oleh masyarakat yaitu agar Polri dapat
memberikan rasa aman, masyarakat merasa terlindungi baik secara moril yaitu
perasaan tenteram akan terjaminnya keselamatan jiwa individu baik di lingkungan
tempat tinggal, lingkungan kerja, dan perjalanannya maupun secara materiil berupa
perlindungan harta benda dan tempat tinggal. Sebetulnya upaya untuk mengupas
penyebab tindak kriminal yang dilakukan secara sadis dan brutal oleh anak sekolah
pun telah dibahas oleh berbagai pihak yang peduli terhadap anak muda ini. Sejumlah
pakar dari berbagai profesi dan kalangan telah melakukan analisa dan
mengemukakan pandangan-pandangannya terhadap berbagai tindak penyimpangan
yang dilakukan oleh anak-anak pelajar sekolah yang menurutnya telah mengalami
suatu pergeseran yang sudah sangat membahayakan, dan mengganggu ketentraman
Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Tindak Pidana Kekerasan Oleh Anak Yang Berbasis
Keadilan di Kabupaten Siak Indrapura
JURNAL POPULIS | 791
kehidupan masyarakat termasuk dalam hal ini yang ada di Kabupaten Siak
Indrapura.
Sebagai contoh peristiwa yang terjadi Kabupaten Siak Indrapura,
sekelompok anak/pelajar yang berjumlah sekitar 30 orang, membajak truk dan
merampok muatan truk tersebut. Dalam kejadian tersebut seorang kenek supir
dibacok dan sebagian yang lainnya kehilangan sejumlah uang dan barang berharga
lainnya. Dengan bantuan warga setempat, polisi berhasil menangkap 11 orang
pelakunya. Polisi juga berhasil menemukan sebuah celurit bernoda darah, selain
gunting, parang, dan keris. Para pelajar yang tertangkap tersebut berasal dari
sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Siak Indrapura. Tindakan-tindakan seperti
itu merupakan tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh pelajar. Anak/pelajar
sekolah adalah termasuk kelompok usia remaja, merupakan kelompok usia yang
masih labil didalam menghadapi masalah yang harus mereka atasi. Dalam kondisi
usia seperti ini, maka para pelajar cenderung mengedepankan sikap emosional dan
tindakan agresif. Pada tahap ini adalah tahap dimana mereka sedang mencari jati
dirinya masing- masing. Mereka berusaha agar diakui keberadaannya oleh pihak
lain. Mereka mencoba mengidentifikasikan dirinya sebagai remaja yang berbeda di
lingkungan sekitarnya, di sekolahnya, di jalan, bahkan dimasyarakat. Hal ini
dilakukan dalam rangka mempromosikan diri mereka sendiri, suatu saat mereka
bertemu dengan rekan-rekan yang bernasib sama, dengan sendirinya mereka akan
membentuk suatu kelompok tertentu. Dilihat dari kaca mata pelajar, maka mereka
menganggap bahwa tindakan yang telah mereka lakukan hanyalah suatu
manisfestasi simbolik dari penyaluran aspirasi mereka sebagai konsekuensi dari
perlakuan yang dirasakan tidak adil terhadapnya.
Bertolak belakang dengan hal tersebut diatas, pada dasarnya anak adalah
generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang
dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang bekelanjutan dan
pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia.
Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan
membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan
makmur, material spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Selan itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak,
yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak. Anak sebagai bagian dari
generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan
sumber daya manusia bagi pembangunan nasional kedepan. Oleh karena itu
diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan
dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala
kemungkinan yang membahayakan atau merusak masa depan anak.
Selanjutnya perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa,
merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan
sesuai dengan kemampuan pemerintah. Kegiatan perlindungan anak merupakan
suatu tindakan hukum yang berakibat hukum. Upaya-upaya perlindungan anak harus
telah dimulai sedini mungkin, agar kelak anak dapat berpartisipai secara optimal
bagi pembangunan bangsa dan negara. Anak berhak atas perlindungan-
Jurnal Populis, Vol.3, No.6, Desember 2018
792 | JURNAL POPULIS
perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.
2. Kerangka Teori
Secara umum pengertian teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh
berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang
memandatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah sarana yang
ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana bekerja. kerangka teori adalah
penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna
pembentukan hipotesa-hipotesanya teori oleh kebanyakan ahli dianggap sebagai
sarana yang memberikan rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam
setiap bidang ilmu pengetahuan. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk
memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang
diamati. Untuk mendukung pemahaman dalam menjelaskan permasalahan pada
penelitian ini, maka teori yang digunakan oleh penulis yaitu: pertama, teori
bekerjanya hukum; kedua, teori triadism law.
3. Penelitian Sebelumnya
Penelitian sebelumnya dalam tesis ini adalah Galih Martino dari Universitas
Muhammadiyah Surakarta, pada tesis milik saudara Galih Martino menjelaskan
tentang proses penyelesaian tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh pelajar
dan upaya penaggulangannya di wilayah hukum polres klaten adalah dengan
menempuh jalur non penal secara umum dalam tesisnya tidak menjelaskan secara
spesifik pada perlindungan hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa, pada
penulisan kali ini penulis akan menekankan pada penerapan nilai keadilan kepada
anak yang melakukan tindk pidana kekerasan, yang dimana menurut Hari Budiyanto
nilai perlindungan dan kesejahteraan anak sebagai generasi bangsa sert pula nilai
keadilan khsusunya terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana kekerasan
berpotensi tidak terwujud.
Selanjutnya Lilik Siyaga dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto,
pada tesis milik Lilik Siyaga menjelaskan dasar memutus perkara pada tindak
pidana terhadap nyawa manusia oleh anak yang berdasarkan Undang-Undang.
Disini penulis akan menyarankan agar para instansi tekait perlu melakukan
sosialisasi kepada Hakim agar harus memperhatikan kepentingan anak, di bidang
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja di Lapas Khusus Anak, dengan putusan
yang bermanfaat dengan memperhatikan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4. Permasalahan dan Gap Analisis
Sehubungan dengan permasalahan dan gap analisis dalam tulisan ilmiah ini,
penulis lebih menekankan pada kajian hukum terkait penegakan hukum oleh polisi
dalam tindak pidana kekerasan oleh anak yang berbasis keadilan di Kabupaten Siak
Indrapura, dibandingkan dengan peneliti sebelumnya yaitu, Lilik Siyaga dan Galih
Martino, hanya mengkaji tentang proses penyelesaian tindak pidana kekerasan yang
dilakukan oleh pelajar dan upaya penaggulangannya.
Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Tindak Pidana Kekerasan Oleh Anak Yang Berbasis
Keadilan di Kabupaten Siak Indrapura
JURNAL POPULIS | 793
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan pendekatan Socio Legal. Pendekatan socio legal
digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan dan hukum
terkait penegakan hukum oleh polisi dalam tindak pidana kekerasan oleh anak yang
berbasis keadilan di Kabupaten Siak Indrapura. Sementara itu pendekatan penelitian
socio legal adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan/fakta dilapangan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut
juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang
menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum
sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. (Strauss, dan
Corbin, 1979 : 7)
Tiga alasan penggunaan penelitian hukum empiris yang bersifat kualitatif.
Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara
teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang
tetap dari teori dan konsep yang di dasarkan pada yang dikumpulkan. Kedua, data
yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang
satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifsir. Ketiga, sifat dasar data
yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan
suatu kesatuan yang integral, dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman
data serta memerlukan informasi yang mendalam (indepth information). (Filstead,
1979 : 38
Ketiga kriteria penelitian kualitatif tersebut terdapat dalam penelitian tesis
ini, sehingga sangat beralasan menggunakan metode kualitatif dalam analisis data.
Penelitian ini bersifat menyeluruh karena berupaya mendalami keseluruhannya.
Penelitian ini juga berupaya mencari hubungan yang harmonis dari konsep-konsep
yang ditemukan dalam bahan-bahan hukum primer dan skunder dengan
menggunakan teori atau doktrin-doktrin hukum, (Chai Podhisita : 7) terkait
penegakan hukum oleh polisi dalam tindak pidana kekerasan oleh anak yang
berbasis keadilan di Kabupaten Siak Indrapura.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Tindak Pidana Kekerasan
Anak dan Bagaimana Implikasi Terhadap Perwujudan Keadilan di
Kabupaten Siak Indrapura
Penegakan hukum oleh polisi terhadap anak yang melakukan tindak pidana
kekerasan oleh anak tidak boleh sewenang-wenang, karena akan berakibat pada
psikologis anak yang masih dapat di bimbing ke arah yang lebih baik serta anak
pada umumnya masih mempunyai masa depan yang cerah dan wajib dilindungi
haknya oleh Negara. Dalam kenyataannya, isu penegakan hukum yang sewenang-
wenang oleh badan eksekutif dalam pemerintahaan saat ini terkesan sewenang-
wenang, termasuk dalam hal ini adalah lembaga Kepolisian khsusunya dalam
menangani anak yang melakukan tindak pidana kekerasan. Namun disisi lain Polisi
Jurnal Populis, Vol.3, No.6, Desember 2018
794 | JURNAL POPULIS
secara umum tidak dapat disudutkan/disalahkan secara absolut, karena kesalahan
dalam penegakan hukum bersifat relatif, hal ini jika dikaji dari sisi faktor-faktor
penegakan hukum dapat disebabkan oleh faktor struktur hukum, substansi hukum
dan budaya hukumnya. Sehingga masyrakat sangat berharap penegakan hukum yang
berbasis keadilan dapat ditegakkan di negeri ini, selain itu penegak hukum yang
menjunjung tinggi nilai keadilan dapat terwujud sebagai langkah kontruktif dalam
sistim penegakan hukum yang ada di Indonesia kedepannya. Kondisi ini apabila
ditinjau dari teori Bekerjanya Hukum menurut Robert B. Seidman dan William J.
Chambliss, maka dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Bagan 2
Teori Bekerjanya Hukum
(Sesuai dengan realita di lapangan)
Birokrasi & Harapan Masyarakat Terhadap
Penegakan Hukum Oleh Polisi Terhadap Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum
Tuntutan
DPR, Presiden &
Kemenkum Ham
Lembaga Pengawas
dan Penerap Sanksi
yaitu Polres Kab.
Siak Inrapura.
Anak yang
berhadapan
dengan hukum
Masyarakat
umpan balik
Umpan Balik
umpan balik
Birokrasi & Harapan
Masyarakat terhadap
pola penanganan
terhadap anak yang
melakukan tindak pidana
Birokrasi & Harapan
Masyarakat terhadap
pola penanganan
terhadap anak yang
melakukan tindak
pidana
Kegiatan Penerapan
Sanksi
umpan balik
Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Tindak Pidana Kekerasan Oleh Anak Yang Berbasis
Keadilan di Kabupaten Siak Indrapura
JURNAL POPULIS | 795
Keterangan Bagan:
Dari bagan tersebut di atas menunjukkan bahwa urgennya penegakan
hukum yang dilakukan oleh Polisi di Kabupaten Siak Indrapura harus
mengedepankan apa yang menjadi 3 nilai dasar dalam penegakan hukum yaitu
berbasis nilai kepastian, kemanfaatan dan keadilan sehingga akan mempengaruhi
pandangan masyarakat terhadap eksistensi Lembaga Kepolisian secara umum, serta
akan mempertaruhkan nilai kesejahteraan anak dimasa mendatang. Dalam kata lain,
apabila Undang-Undang Perlindungan Anak telah mengamantkan kepada petugas
penegak hukum dalam hal ini kepolisian yang mempunyai fungsi eksekutif agar
melaksanakan kewajibannya dalam melaksanakan penegakan hukum kepada anak
pidana yang berhak atas perlindungan hukum serta hak-hak nya sebagai anak
bangsa, karena di sisi lain lembaga kepolisian khususnya pada Polres Kabupaten
Siak Indrapura dalam pelaksanaannya belum msih belum melindungin apa yang
menjadi hak-hak yang telah dijabarkn terebut, sehingga berdampak akibat hukum
bagi pihak ketiga. Dampak ini berpengaruh luas bagi masyarakat-masyarakat
khususnya orang tua anak tindak pidana kekerasan serta anak-anak yang
berhadapan dengan hukum lainnya di berbagai wilayah di Indonesia
(khususnya kota-kota besar) sehingga akan menimbulkan image negatif dari
masyarakat terhadap kinerja Lembaga Kepolisian yang dianggapnya belum
efektif dan optimal.
Dampak buruk lainnya dengan adanya image negatif (merupakan
tuntutan dan harapan masyarakat) di kalangan Komisi serta lembaga
perlindungan anak berkenaan dengan maraknya tuntutan terhadap Polisi yang
dalam eksistensinya telah berperan dalam penegakan hukum kepada anak
pidana, tentunya juga berdampak besar bagi lembaga Pembuat Peraturan dan
lembaga Penerap Sanksi, sehingga lembaga ini perlu bekerja ekstra untuk
melakukan langkah-langkah perbaikan yang konstruktif agar seluruh pihak
terkait di lingkungan Lembaga Kepolisian dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, untuk selalu berpedoman pada Undang-Undang Perlindungan
Anak dan Undang-Undang POLRI. Pada hakekatnya, maraknya problematika
penegakan hukum oleh polisi terhadap anak yang melakukan tindak pidana
kekerasan ini dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor utama yaitu faktor normatif dan
faktor sosiologis, termasuk juga tuntutan / harapan masyarakat.
Penerapan Hukum Pidana Formil Dalam Penanganan Tindak Pidana Dengan
Kekerasan yang Dilakukan Oleh Pelajar Sekolah.
Untuk mengetahui ketentuan peraturan perundang-undangan yang dijadikan
pedoman oleh penyidik atau penyidik pembantu dalam melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak pelajar sekolah,
dapat dilihat dari tabel sebagai berikut: :
Jurnal Populis, Vol.3, No.6, Desember 2018
796 | JURNAL POPULIS
Tabel 5
Dari data tersebut diatas, dapat dijelaskan bahwa 13 penyidik yang dijadikan
sampel maka yang menggunakan KUHP, KUHAP dan Undang- Undang No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam menyidik tindak pidana dengan
kekerasan yang dilakukan oleh pelajar sekolah sebanyak 2 orang atau 15,38%, yang
menggunakan KUHP, KUHAP, JUKLAK atau JUKNIS sebanyak 6 orang atau
46,15%, dan yang berpedoman pada disposisi pimpinan sebanyak 5 orang atau 41,66
%.
a. Penerapan KUHAP
KUHAP merupakan undang-undang yang berisikan ketentuan- ketentuan
tertulis tentang pelaksanaan ketentuan dalam hukum pidana. Pelaksanaan ketentuan-
ketentuan hukum pidana tersebut tentunya akan selalu bersinggungan dengan hak-
hak seseorang. Dengan demikian harus ada ketentuan yang bersifat limitatif yang
mengatur tentang sejauh mana tindakan-tindakan yang boleh dilakukan para
pelaksana hukum dalam menjalankan ketentuan hukum pidana yang berlaku. Tujuan
yang ingin dicapai dari penerapan KUHAP ini adalah untuk mendapatkan kebenaran
yang sesungguhnya terhadap suatu peristiwa tindak pidana atau yang lazim disebut
dengan kebenaran materiil, serta untuk mencegah agar pidana tidak dijatuhkan
terhadap orang yang tidak bersalah.
Adanya penyidik atau penyidik pembantu yang masih berpedoman pada
disposisi pimpinan dalam melakukan penyidikan perkara pidana dengan kekerasan
yang dilakukan oleh pelajar yaitu sebanyak 5 orang atau 41,66 %, menunjukan
bahwa tingkat profesionalisme penyidik masih rendah sehingga masih sering terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan KUHAP yang pada akhirnya tujuan diterapkannya
Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Tindak Pidana Kekerasan Oleh Anak Yang Berbasis
Keadilan di Kabupaten Siak Indrapura
JURNAL POPULIS | 797
KUHAP yaitu untuk mendapatkan kebenaran materiil tidak dapat tercapai. Dalam
hal pelaksanaan upaya paksa khususnya penangkapan diakui juga oleh Kasubnit IV
Iptu Susanto bahwa dalam pelaksanaan penangkapan anak pelajar sekolah pelaku
tindak pidana dengan kekerasan masih sering disertai dengan tindakan kekerasan
oleh petugas yang bersangkutan secara emosional, antara lain berupa makian disertai
pemukulan, dibentak-bentak, tembakan peringatan ke udara terhadap tersangka yang
berusaha melarikan diri. (Susanto : 2018).
Sebagaimana disampaikan diatas bahwa tujuan yang ingin dicapai dari
penerapan KUHAP ini adalah untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya
terhadap suatu peristiwa tindak pidana atau yang lazim disebut dengan kebenaran
materiil, serta untuk mencegah agar pidana tidak dijatuhkan terhadap orang yang
tidak bersalah. Penerapan KUHAP secara benar dan tepat terhadap kasus tindak
pidana dengan kekerasan dengan pelaku pelajar seperti dilaksanakannya aturan tata
cara tentang penangkapan, dipenuhinya hak-hak tersangka, akan berdampak positif
terhadap tujuan yang ingin dicapai oleh hukum itu sendiri. Dengan demikian
memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang
yang telah melakukan sesuatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan
tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran adanya pidana ini adalah terletak
pada tujuannya.
Terjadinya tekanan fisik ataupun psikis yang dilakukan oleh penyidik saat
dilakukan upaya paksa maupun saat dilakukan pemeriksaan dalam rangka
pembuatan BAP tersangka terhadap pelajar pelaku tindak pidana dengan kekerasan
demi untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka yang bersangkutan adalah
sangat bertentangan dengan tujuan dari KUHAP, lebih jauh lagi tujuan pemidanaan
sebagaimana yang diharapkan menjadi tidak tercapai.
b. Penerapan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan
hukum khusus (Lex spesialis) dari ketentuan-ketentuan KUHAP dan KUHP. Dalam
Undang-Undang ini telah mengatur tersendiri hukum acara pidananya, dan juga
mengatur sejumlah sanksi pidana terhadap anak yang terlibat tindak pidana. Dengan
lahirnya Undang-Undang Pengadilan Anak ini diharapkan petugas yang menangani
perkara anak, dari tingkat penyidikan sampai tingkat pengadilan, semuanya
mendalami masalah anak, sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara-perkara
yang menyangkut masalah anak, sehingga anak setelah perkaranya diputus, secara
pisik dan mental siap menghadapi masa depannya yang lebih baik.
Pertimbangan dibentuknya undang-undang tersebut yaitu : bahwa anak
adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan
strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Bahwa untuk
melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan
dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang
Jurnal Populis, Vol.3, No.6, Desember 2018
798 | JURNAL POPULIS
lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan
pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.
Kesalahan dalam memperlakukan tersangka pelajar oleh penyidik pada saat
dilaksanakan penyidikan kasusnya, akan sangat membahayakan perkembangan baik
fisik maupun psikisnya pada saat mereka kembali ke masyarakat setelah menjalani
hukuman. Hasil pengamatan kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik
terhadap tersangka pelajar pelaku tindak pidana dengan kekerasan dalam rangka
pembuatan Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, ditemukan bahwa dalam
melakukan pemeriksaan perlakuannya tidak jauh berbeda dengan pemeriksaan
terhadap tersangka orang dewasa. Baik yang menyangkut tempat pemeriksaan,
waktu pemeriksaan, ataupun pedoman tata cara pemeriksaannya. Penyidik dalam
melakukan pemeriksaan terkadang membentak-bentak tersangka, melakukan
ancaman dengan kata-kata dan gerakan badan seolah-olah akan dipukul, dan
tersangka tidak didampingi penasehat hukum.
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan sesuatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran adalah terletak pada
tujuannya. Maka sanksi pidana (sebagai wujud penegakan hukum) yang diberikan
kepada pelajar yang melakukan tindak pidana hendaknya bukanlah untuk
memuaskan bagi pihak korban akan tetapi untuk mencegah agar mereka tidak
mengulangi perbuatannya lagi. Tujuan lebih jauh lagi dari penegakan hukum tadi
adalah untuk menciptakan, memelihara serta mempertahankan kedamaian dan
kesejahteraan masyarakat.
2. Faktor Penghambat Dalam Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam
Tindak Pidana Kekerasan Oleh Anak Sehingga Perwujudan Keadilan
Belum Tercapai Di Kabupaten Siak Indrapura
Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ada, di sini Penulis
menggunakan indikator uji dengan beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum di Polres Kabupaten Siak Indrapura. Tingkat keberhasilan penegakan hukum
dapat dianalisis berdasarkan faktor tersebut, adapun faktor tersebut antara lain :
1. Penegak Hukum
Bahwa program kerja Polda telah dijadikan sebagai acuan untuk
melaksanakan tugas-tugas utama Sat Serse dan dijabarkan menjadi program
kegiatannya. Penulis dapat menganalisa bahwa mengingat luasnya ruang lingkup
tugas serse yang harus dikerjakan, maka untuk mempermudah pemahaman dan
pelaksanaan tugas oleh anggota pada fungsi Serse, disusun suatu batasan-batasan
tugas yang jelas dan terarah dalam bentuk tugas pokok Serse. Dengan dibuatnya
ketentuan tugas pokok Serse tersebut diharapkan kebijakan-kebijakan yang telah
digariskan oleh pimpinan tingkat atas dalam bentuk program kerja, dapat
dilaksanakan oleh satuan-satuan yang berada ditingkat bawah, dalam hal ini oleh Sat
Serse Polres Kabupaten Siak Indrapura. Hal yang utama adalah apakah petugas pada
fungsi tersebut benar-benar tahu dan mengerti akan tugas dan tanggung jawabnya.
Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Tindak Pidana Kekerasan Oleh Anak Yang Berbasis
Keadilan di Kabupaten Siak Indrapura
JURNAL POPULIS | 799
Terhadap struktur organisasi Sat Serse Polres Kabupaten Siak Indrapura
adalah struktur tersebut sudah mengacu kepada ketentuan yang telah ditetapkan oleh
orgnisasi Polri sesuai dengan Surat Keputusan Kapolri No.Pol: Skep/07/VII/1985
tanggal 1 Juli 1985 tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Serta Daftar
Susunan Personil. Permasalahan penyidikan tindak pidana dengan kekerasan yang
dilakukan oleh pelajar sekolah, dilaksanakan oleh unit-unit tertentu sesuai dengan
jenis tindak pidananya dan pembagian tugas terhadap masing-masing unit tersebut,
seperti unit Jatanras disamping menangani tindak pidana dengan kekerasan yang
dilakukan oleh orang dewasa, juga menangani tindak pidana dengan kekerasan yang
dilakukan oleh pelajar sekolah. Hal-hal yang menjadi perhatian Penulis terhadap
struktur tersebut adalah bahwa tidak ada unit yang secara khusus menangani tindak
pidana yang dilakukan oleh pelajar sekolah. Akibatnya penanganan tindak pidana
dengan kekerasan yang pelakunya tergolong pelajar sekolah yang masih anak-anak
perlakuannya dapat dikatakan hampir tidak ada bedanya dengan penanganan perkara
yang pelakunya orang dewasa. Penanganan perkara dengan pelaku pelajar yang
tidak dibedakan dengan perkara orang dewasa adalah tidak tepat karena sistem yang
demikian ini sudah jelas akan merugikan kepentingan pelajar yang bersangkutan.
Dengan keadaan tersebut menjadikan penanganan kasus tindak pidana dengan
kekerasan yang dilakukan oleh anak pelajar sekolah tidak dapat mencapai hasil yang
optimal. Ini menunjukan bahwa kebijakan dari pimpinan terhadap masalah tindak
pidana yang dilakukan oleh pelajar yang masih tergolong anak-anak belum
mendapatkan atensi secara khusus dalam hal penanganannya. Keadaan yang seperti
inilah yang akhirnya justru menjadikan pelajar setelah selesai menjalani proses
hukum bukannya insaf akan perbuatannya yang salah tetapi sebaliknya menjadi
bertambah pandai untuk melakukan kejahatan. Sehingga tindak pidana dengan
kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di wilayah hukum Polres Kabupaten Siak
Indrapura dari tahun ketahun cenderung mengalami peningkatan.
Jumlah kasus tindak pidana dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak
pada tahun 2015 terjadi sebanyak 15 kasus dan yang paling sering terjadi adalah
jenis tindak pidana kekersan pada pencurian motor sebanyak 7 kali kejadian atau 68
% dari seluruh tindak pidana dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak pada tahun
2015. Kemudian pada tahun 2016 jumlah tindak pidana dengan kekerasan yang
dilakukan oleh anak mengalami peningkatan yaitu terjadi sebanyak 22 kasus atau
meningkat 7 kasus dibanding tahun sebelumnya, dan jenis kejahatan yang paling
banyak terjadi adalah pencurian yaitu sebanyak 3 kasus dari 6 kasus tindak pidana
dengan kekerasan yang dilakukan oleh pelajar sekolah yang terjadi pada tahun 2016.
Sedangkan pada tahun 2017 jumlah tindak pidana dengan kekerasan yang dilakukan
oleh anak tidak mengalami perubahan yaitu tetap 22 kasus. Yang menarik adalah
bahwa jenis kejahatan yang mengalami kenaikan secara terus menerus dari tahun
2015 sampai deangan tahun 2017 adalah jenis tindak pidana pencurian motor
dengan kekerasan, dimana pada tahun 2015 terjadi 7 kasus kemudian tahun 2016
menjadi 9 kasus dan pada tahun 2017 menjadi 10 kasus. Oleh karena itu perlu
dipertimbangkan untuk membentuk satu unit khusus yang mernangani perkara
dengan pelaku pelajar sekolah, sehingga pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak dapat benar-benar dijalankan secara maksimal. Dari
lampiran data mengenai jumlah personil Reserse Polres Kabupaten Siak Indrapura
Jurnal Populis, Vol.3, No.6, Desember 2018
800 | JURNAL POPULIS
menurut golongan, DSPP, dan realisasi, menunjukkan bahwa kekurangan personil
yang cukup signifikan masih dialami oleh Satuan Reserse Polres Kabupaten Siak
Indrapura bila dibandingkan dengan DSPP yang berlaku dilingkungan organisasi
Polri, yang antara lain untuk golongan perwira menengah sampai saat ini untuk
jabatan kepala satuan reserse masih dijabat oleh personil Polri dengan pangkat
Komisaris Polisi yang merupakan golongan perwira menengah. Sedangkan untuk
golongan perwira pertama mengalami kekurangan sebesar 15% yang merupakan
tulang punggung dalam melakukan tindakan hukum terhadap kasus-kasus tindak
pidana yang terjadi khususnya tindak pidana dengan kekerasan yang dilakukan oleh
pelajar sekolah. (Kutipan wawancara penulis dengan Widhiastuti selaku Kaur Bin
Ops Polres Kabupaten Siak Indrapura, Polres Kabupaten Siak Indrapura, pada
tanggal 2 Februari 2018).
Kekurangan personil tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pembagian
tugas dan penyelesaian perkara tindak pidana dengan kekerasan yang dilakukan oleh
pelajar sekolah pada Sat Serse Polres Kabupaten Siak Indrapura. Untuk
mendapatkan tambahan personil penyidik atau penyidik pembantu tentu akan
menemui suatu hambatan, untuk itu perlu dipertimbangkan dari segi kualitas
anggota yang ada, guna dilakukan pembinaan yang lebih baik. Kualitas dalam hal ini
meliputi latar belakang pendidikan yang mencakup pendidikan formal dan
pendidikan spesialisasi fungsi kepolisian dan lamanya pengalaman kerja dibidang
tersebut.
Sedangkan latar belakang pendidikan formalnya dapat dilihat pada uraian
sebagai berikut: Berdasarkan lampiran data mengenai tingkat pendidikan personil
dapat dijelaskan bahwa dari 148 orang personil Sat Serse Polres Kabupaten Siak
Indrapura maka dijumpai sebanyak 15 (lima belas) orang atau 10,14 % yang
berpendidikan setingkat Perguruan Tinggi, berpendidikan setingkat SLTA sebanyak
129 orang atau 87,16 % yang sebagian besar merupakan personil dari golongan
bintara yaitu 119 orang, 4 orang atau 2,70 % berpendidikan setingkat SLTP. Latar
belakang pendidikan formal ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan penyidik
atau penyidik pembantu dalam memahami dan menguasai materi yang terkandung
dalam KUHAP maupun Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap keberhasilan penyidikan
tindak pidana dengan kekerasan dengan pelaku pelajar. ( Kutipan wawancara
penulis dengan Widhiastuti selaku Kaur Bin Ops Polres Kabupaten Siak Indrapura,
Polres Kabupaten Siak Indrapura, pada tanggal 2 Februari 2018).
2. Sarana dan Prasarana
Mengingat sarana dan prasarana ini sangat penting didalam menunjang
keberhasilan tugas represif dalam penanggulangan tindak pidana dengan kekerasan
yang dilakukan oleh pelajar sekolah ditambah lagi dengan tantangan tugas yang
semakin berat yang harus dihadapi oleh personil pada satuan tersebut, maka
terhadap sarana dan prasarana yang mendukung kelancaran tugas perlu disediakan
secara baik dan lancar. Berdasarkan lampiran data mengenai sarana dan prasarana,
dapat dijelaskan bahwa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dengan
kekerasan yang dilakukan oleh pelajar sekolah, penyidik atau penyidik pembantu
yang bersangkutan masih harus menyediakan sarana atau prasarana yang berupa alat
Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Tindak Pidana Kekerasan Oleh Anak Yang Berbasis
Keadilan di Kabupaten Siak Indrapura
JURNAL POPULIS | 801
tulis kantor secara swadaya karena alat-alat jenis tersebut tidak dianggarkan oleh
dinas. Sedangkan dari 28 buah komputer yang ada ternyata 3 buah komputer atau
10,71 % mengalami rusak ringan dan tidak dapat dipergunakan. Keterbatasan sarana
dan prasarana tersebut sangat mempengaruhi produktivitas dan kinerja penyidik
pada satuan Serse tersebut dalam menangani tindak pidana dengan kekerasan
dengan pelaku anak pelajar sekolah.
3. Tindakan upaya paksa dalam penyidikan tindak pidana dengan kekerasan
yang dilakukan oleh anak pelajar sekolah.
a. Penangkapan
Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak berbunyi “Penangkapan Anak Nakal dilakukan sesuai dengan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.” Berdasarkan hasil
wawancara seperti yang diuraikan pada bab ini dalam hal penangkapan, dapat
dijelaskan bahwa untuk pelaksanaan penangkapan terhadap pelajar pelaku
tindak pidana dengan kekerasan secara administrasi sudah sesuai dengan
ketentuan yang ada didalam KUHAP. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Kaur Bin Ops AKP Widhastuti maupun Aiptu Susanto, saat pelaksanaan
penangkapan tindakan kekerasan masih sering dilakukan oleh petugas terhadap
pelajar pelaku tindak pidana dengan kekerasan.
Adanya perlakuan kekerasan tersebut jelas telah melanggar butir ke 13
Keppres No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak
Anak yang menyatakan bahwa hak-hak anak “Memperoleh perlindungan akibat
kekerasan fisik, mental, penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah
(eksploitasi) sertas penyalahgunaan seksual”. Disamping itu adanya perlakuan
tersebut menunjukan bahwa perlakuan terhadap pelajar pelaku tindak pidana
dengan kekerasan tidak ada bedanya dengan perlakuan terhadap pelaku tindak
pidana dengan tersangka orang dewasa, hal ini akan sangat merugikan
kepentingan pelajar yang bersangkutan mengingat mereka merupakan generasi
muda yang perkembangan sosialnya masih perlu pembinaan.
b. Penahanan
Menjadi perhatian penulis adalah masalah penempatan tahanan pelajar
pelaku tindak pidana dengan kekerasan yang belum sesuai dengan ketentuan
Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak yang berbunyi “Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat
tahanan orang dewasa”. Karena berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara
dengan penyidik Sat Serse Polres Kabupaten Siak Indrapura menyatakan bahwa
penempatan pelajar pelaku tindak pidana dengan kekerasan saat dilakukan
proses penyidikan oleh Polri, adalah digabungkan dengan para pelaku tindak
pidana orang dewasa. Sehingga secara psikologis akan sangat berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa pelajar yang bersangkutan terutama setelah selesai
menjalani putusan sidang tersebut.
Jurnal Populis, Vol.3, No.6, Desember 2018
802 | JURNAL POPULIS
3. Kontruksi Penegakan Hukum Oleh Polisi Terhadap Tindak Pidana
Kekerasan Oleh Anak Sehingga Perwujudan Keadilan Dapat Tercapai di
Kabupaten Siak Indrapura
Kepolisian merupakan lembaga sub sistem dalam SPP yang mempunyai
kedudukan pertama dan utama. Kedudukan yang demikian oleh Har- kristuti
Harkrisnowo dikatakan sebagai the gate keeper of the criminal justice system. Tugas
polisi dalam rangkaian SPP adalah melakukan penyidikan yang berujung pada
dihasilkannya Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dalam penyidikan ini polisi sering
melakukan kekerasan pada tersangka. Penggunaan kekerasan oleh polisi merupakan
salah satu aspek dari paradigma ganda polisi, yaitu sebagai the strong hand of
society dan the soft hand of society. Konsep tentang kekerasan sebagaimana di
introdusir oleh Kiefer, mengacu kepada dua hal. Pertama, menunjuk kepada suatu
tindakan untuk menyakiti orang lain, sehingga menyebabkan luka-luka atau
mengalami kesakitan. Kedua, menunjuk kepada penggunaan kekuatan fisik yang
tidak lazim dalam suatu kebudayaan. ( Barda Nawawi Arief, 1998 : 20) Kekerasan
dalam pengertian yang luas tidak hanya meliputi dimensinya yang bersifat fisik,
akan tetapi juga dimensi yang bersifat psikologis. Dalam hubungan antara kekerasan
personal dan kekerasan struktural, Nasikun dengan mengikuti konsep Galtung,
menyatakan bahwa kendati kedua bentuk kekerasan itu secara empiris dapat berdiri
sendiri-sendiri tanpa mengandaikan satu sama lain, tumbuh melalui pengalaman
historis sosiologis yang panjang. Keduanya secara empiris mempunyai hubungan
dialektis. Mereka yang memperoleh keuntungan dari penggunaan kekuasaan
struktural (terutama yang berada pada puncak struktur kekuasaan) pada umumnya
akab berusaha mempertahankan kekuasaannya (status quo) melalui kekerasan
struktural yang dilakukan secara tersembunyi (untuk menjaga citra kekuasaanya)
melalui penggunaan instrumen kekuasaan yang dimilikinya seperti kepolisian,
tentara dan hukum. (Nasikun, 1996 : 4-6)
Penyimpangan perilaku polisi terhadap pelaku tindak pidana kekerasan yang
dilakukan oleh anak merupakan gambaran umum tentang kegiatan petugas polisi
yang tidak sesuai dengan wewenang resmi petugas, wewenang organisasi, nilai dan
standar perilaku sopan serta dapat menjauh yang menjadi nilai dasar dalam
menegakkan hukum yaitu nilai keadilan. Pencapaian suatu keadilan, pada abad
modern salah seorang yang di anggap memiliki peran penting dalam
mengembangkan konsep keadilan adalah John Borden Rawls. Rawls berpendapat
bahwa keadilan hanya dapat ditegakkan apabila negara melaksanakan asas keadilan,
berupa setiap orang hendaknya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
kebebasan dasar (basic liberties); dan perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya
distur sedemikian rupa sehingga memberi manfaat yang besar bagi mereka yang
berkedudukan paling tidak beruntung, dan bertalian dengan jabatan serta kedudukan
yang terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak.
John Rawls memunculkan suatu ide dalam bukunya A Theory of Justice atau teori
keadilan yang bertujuan agar dapat menjadi alternatif bagi doktrin-doktrin yang
mendominasi tradisi filsafat terdahulunya, dengan cara menyajikan konsep keadilan
yang mengeneralisasikan dan mengangkat teori kontrak sosial yang diungkap oleh,
Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Tindak Pidana Kekerasan Oleh Anak Yang Berbasis
Keadilan di Kabupaten Siak Indrapura
JURNAL POPULIS | 803
katakanlah, Locke, Rousseau dan Kant ke tingkat yang lebih tinggi. Oleh Rawls cara
pandang keadilan ini disebut keadilan sebagai fairness.
Sehubungan dengan kontruksi yang mengedepankan nilai keadilan terhadap
kepentingan terbaik anak selaku pelaku tindak pidana kekerasan, ide yang paling
relevan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah gagasan tentang suatu objek atau
fenomena tertentu yang bersifat mendasar, yang dijadikan patokan atau sudut
pandang. Ide dasar merupakan pandangan dunia (weltblit) yang diyakini dan
menentukan cara pandang terhadap suatu fenomena. Ia berfungsi sebagai the central
cognitive resource (pusat sumber pengamatan) yang menentukan rasionalitas suatu
fenomena, baik tentang apa yang menjadi pokok persoalan maupun cara melihat dan
menjelaskan fenomena itu. Sebagai gagasan yang bersifat mendasar, maka ide dasar
lebih menyerupai cita, yakni gagasan dasar mengenai suatu hal. Misalnya cita
hukum atau rechtsidee, merupakan konstruksi piker (ide) yang mengarahkan hukum
kepada cita-cita yang diinginkan. Seperti yang dikatakan Rudolf Stamler, cita
hukum merupakan leitstern (bintang pemandu) bagi tercapainya cita-cita
masyarakat. (Attamimi, 1990 : 308) Karena itu, cita hukum akan mempengaruhi dan
berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik
(kaidah evaluasi) dan factor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum
(pembentukan, penemuan, penerapan hukum) dan perilaku hukum. Jadi, dirumuskan
dan dipahaminya cita hukum akan memudahkan penjabarannya ke dalam berbagai
perangkat aturan kewenangan dan aturan perilaku serta memudahkan terjaganya
konsistensi dalam penyelenggaran hukum. (Sidharta, 1999 : 181). Dengan demikian,
sebuah ide dasar selalu bersifat konstitutif, artinya, ide dasar itulah yang
menentukan masalah, metode, dan penjelasan yang dianggap relevan untuk ditelaah,
atau mengikuti alur pikir Gustav Radbruch mengenai rechtsidee yang menurutnya
berfungsi sebagai dasar yang bersifat konsitutif bagi hukum positif. Sistem Peradilan
Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana
yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi
sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem
peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses
lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan
menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga,
Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan,
mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang
terakhir, institusi penghukuman. (Supatmi dan Tunduk, 2003 : 2). Institusi
kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahan, penyelidikan,
dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem
peradilan pidana anak. Dalam menjalankan tugasnya kepolisian diberikan
kewenangan diskresi (discretionary power). Kewenangan diskresi adalah
kewenangan legal di mana kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak
meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula kepolisian dapat
mengalihkan (diversion) terhadap suatu perkara anak sehingga anak tidak perlu
berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana secara formal.
Susanti menyatakan bahwa pada dasarnya kasus yang dilaporkan ke Polres
Kabupaten Siak Indrapura tidak semua berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan. Ketika
Jurnal Populis, Vol.3, No.6, Desember 2018
804 | JURNAL POPULIS
penyidikan dilakukan, terkadang antara pihak korban dan pelaku melakukan
perdamaian, biasanya perdamaian ini terjadi karena bantuan pihak ketiga seperti
tokoh adat atau tokoh masyarakat. Perdamaian itu biasanya disertai ganti rugi yang
ditandai dengan kesepakatan antara korban dan pelaku. Terkadang pihak kepolisian
dilibatkan dan tidak dilibatkan namun apabila perkara tersebut sudah diselesaikan
secara damai biasanya pihak korban, pelaku dan tokoh masyarakat atau pihak-pihak
yang terlibat datang melapor ke Polres Kabupaten Siak Indrapura. Namun apabila
kasus pencabulan dimana korban atau orang tua korban tidak bersediamelakukan
perdamaian dengan adanya surat pernyataan yang ditandatangani oleh orang tua
korban maka kasus ini akan diteruskan ke kejaksaan. (Kutipan wawancara penulisa
dengan Susanti selaku Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan
Reserse Kriminal Polres Kabupaten Siak Indrapura, Polres Kabupaten Siak
Indrapura, pada tanggal 6 Februari 2018).
Pada tahap ini kewenangan polisi dalam mengalihkan (diversi) perkara anak
demi keadilan restributif telah terjadi dimana terjadi penciutan kasus pada tahun
2017 dari 31 kasus menjadi 25 kasus. Berarti ada 6 kasus yang mengalami diversi.
Berdasarkan 25 kasus yang diteruskan ke kejaksaan dapat dikatakan kewenangan
diskresi belum dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak. Fakta
ini menunjukkan kepolisian belum menggunakan kewenangan diskresinya dalam
menangani perkara anak. (Kutipan wawancara penulis dengan Susanti selaku Kepala
Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Polres Kabupaten
Siak Indrapura, Polres Kabupaten Siak Indrapura, pada tanggal 6 Februari 2018).
Alasan pihak kepolisian tidak menggunakan kewenangan diskresi mereka
secara maksimal dikarenakan ada beberapa kasus anak yang wajib mereka teruskan
ke kejaksaan seperti kasus pencabulan (pemerkosaan) dan narkoba. Sedangkan
untuk kasus tindak pidana ringan seperti kasus pencabulan biasa, penganiayaan atau
pencurian biasanya dilakukan diversi. Sebagaimana dikemukakan oleh Susanti
bahwa: (Kutipan wawancara penulisa dengan Susanti selaku Kepala Unit
Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Polres Kabupaten Siak
Indrapura, Polres Kabupaten Siak Indrapura, pada tanggal 6 Februari 2018).
Untuk diversi biasanya dilakukan pada kasus tindak pidana ringan atau kasus
penganiayaan atau pencurian. Namun untuk kasus pencabulan atau narkoba semua
dilimpahkan. Namun biasanya yang pelakunya anak harus diupayakan perdamaian.
Perdamaian biasanya disarankan oleh penyidik, digelar dulu dengan pakar hukum di
Polres Kabupaten Siak Indrapura dan keputusannya diambil dalam sidang rapat dan
biasanya tidak ada tenggang waktu berapa lama untuk proses perdamaian.
Pendapat Susanti ini diperkuat dengan membaca UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara RI, dalam konteks penanganan perkara anak, tidak ada
pasal-pasal yang secara khusus mengatur kewenangan diskresi. Bahkan dalam
undang-undang ini tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur tindakan dan
metode untuk menangani anak yang melanggar hukum pidana. Pasal 16 ayat (1)
menetapkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas dalam bidang proses
pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan; ... h. mengadakan penghentian
penyidikan. Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa untuk kepentingan
umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas
Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Tindak Pidana Kekerasan Oleh Anak Yang Berbasis
Keadilan di Kabupaten Siak Indrapura
JURNAL POPULIS | 805
dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ketentuan tersebut
dapat menjadi acuan bagi polisi untuk mengambil tindakan diskresi, namun
penggunaan kewenangan ini belum jelas ditujukan dalam menangani perkara apa.
Beijing Rules mengatur kewenangan diskresi melalui mekanisme
pengalihan. Butir 11.1 menyatakan pertimbangan akan diberikan, bilamana layak,
untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan
pengadilan formal oleh pihak berwenang yang berkompeten. Selanjutnya Butir 11.2
menetapkan polisi, penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-
perkara anak akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara-perkara demikian,
menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal
yang formal, sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem
hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di
dalam peraturan-peraturan ini. Langkah ini diperlukan karena menurut Butir 13.1
dinyatakan bahwa penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai
pilihan langkah terakhir. Dan menurut Butir 13.2 dinyatakan di mana mungkin,
penahanan sebelum pengadilan akan diganti dengan langkah- langkah alternatif,
seperti pengawasan secara dekat, perawatan intensif atau penempatan pada sebuah
keluarga atau pada suatu tempat atau rumah pendidikan.
Ketentuan ini dititahkan oleh Konvensi Hak Anak Pasal 37 huruf b yang
mewajibkan negara untuk menjamin tidak seorang anak pun dapat dirampas
kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang.
Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan
undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan
untuk jangka waktu terpendek yang tepat. Konstruksi hukum serupa dapat
ditemukan pada Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 14 ayat (4) yang menyatakan
dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan
usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kepolisian mempunyai kewenangan dan kebijakan
tersendiri dalam menentukan apakah kasus anak tersebut dapat diselesaikan melalui
pengalihan atau tidak seperti kasus pencabulan dan narkoba yang biasanya
diteruskan ke penuntutan. Apabila diversi berhasil dilakukan maka akan dilakukan
pemulihan. Namun jika diversi tidak berhasil atau kepolisian berdasarkan
kewenangannya menyatakan bahwa kasus tersebut harus diterukan maka proses
akan dilanjutkan dengan pelimpahan berkas ke kejaksaan. Namun terkadang dalam
melaksanakan tugasnya, kepolisian bahkan tidak menawarkan diversi dan
restorative justice. Selain itu pihak keluarga korban juga tidak bersedia melakukan
perdamaian yang ditandai dengan adanya surat pernyataan diatas materai yang
meminta pelaku dihukum seberat-beratnya. Berdasarkan temuan di lapangan, tidak
dilakukannya diversi dan restorative justice secara maksimal oleh kepolisian di
Polres Kabupaten Siak Indrapura dikarenakan kemampuan pihak polisi sendiri
dalam memahami konsep ini masih kurang sehingga dalam penerapannya jarang
dilakukan kecuali pihak keluarga korban atau keluarga pelaku yang melakukan
perdamaian diluar kepolisian.
Jurnal Populis, Vol.3, No.6, Desember 2018
806 | JURNAL POPULIS
D. Simpulan
1. Penegakan hukum oleh polisi dalam tindak pidana kekerasan anak dan
bagaimana implikasi terhadap perwujudan keadilan di Kabupaten Siak
Indrapura adalah masih menggunakan kekerasan untuk mendapatkan
pengakuan atau keterangan dari anak pelaku tindak pidana kekersan dalam
penyidikan. Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh penyidik adala
kekerasan fisik, psikis, maupun hukum. Negara telah gagal memberi
perlindungan hukum kepada anak sebagai tersangka yang disebabkan oleh
tidak selarasnya peraturan dan realita dilapangan terhadap anak untuk
memperjuangkan hak-haknya sebagai pelaku tindak pidana kekerasan.
Selain itu kinerja lembaga pengawas dalam penyidikan tidak bekerja secara
optimal, dan adanya perlindungan dari institusi kepolisian terhadap penyidik
yang melakukan kekerasan terhadap anak pelaku tindak pidana kekerasan
sehingga tidak terwujudnya nilai keadilan bagi anak.
2. Faktor penghambat dalam penegakan hukum oleh polisi dalam tindak
pidana kekerasan oleh anak sehingga perwujudan keadilan belum tercapai di
Kabupaten Siak Indrapura dikarenakan kurangnya pendanaan untuk
mendukung pelaksanaan atau kegiatan yang mendukung pengembangan
Kota Layak Anak (KLA) di Kabupaten Siak Indrapura, selain itu lambannya
pencatatan kasus kekerasan yang terjadi pada anak dikarenakan minimnya
tenaga kerja (Sumber Daya Manusia). Dan kurangnya optimalnya peran
lembaga yang mengurusi masalah perlindungan anak terlihat dari beberapa
kasus dimana para korban melaporkan kasusnya tidak fokus pada satu
lembaga saja. Selain itu kurangnya partisipasi masyarakat disebabkan
menjaga nama baik dari korban. Korban kekerasan seksual utamanya,
banyak yang dikucilkan dan bahkan diusir oleh lingkungannya karena
dianggap mengotori dan membawa kesialan bagi lingkungan tersebut.
Lingkungan yang tidak memahami masalah dengan baik dapat membuat
korban merasa tidak nyaman kembali kelingkungannya.
3. Kontruksi penegakan hukum oleh polisi terhadap tindak pidana kekerasan
oleh anak sehingga perwujudan keadilan dapat tercapai di Kabupaten Siak
Indrapura adalah dengan membangun atau menciptakan polisi yang
profesional harus dimulai dari awal, yaitu pada taraf seleksi dan pendidikan,
bahkan upaya ini mesti harus terus dipupuk karena pelaksanaan tugas-tugas
kepolisian memiliki standar keahlian dan standar etika yang tinggi, sehingga
dapat tercapai penegakan hukum yang kontruktif dalam penegakan hukum
terhadap anak pelaku tindak pidana kekerasan.
Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Tindak Pidana Kekerasan Oleh Anak Yang Berbasis
Keadilan di Kabupaten Siak Indrapura
JURNAL POPULIS | 807
Daftar Pustaka
A. Buku-Buku
Al-Iman Abu Nashr Muhammad, Membongkar Dosa-dosa Pemilu, (Jakarta: Prisma
Media, 2004)
Asas Yuridiksi Ekstrateritorial dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT),
http://ppatonline.wordpress.com/page/5/, diakses pada tanggal 22 Juli 2017.
Ashshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)
Fakhrul, Huda, Penerapan Pemungutan Suara Secara Elektronik Dalam Pemilu di
Indonesia, (Jember: Universitas Jember Press, 2013)
HAW Widjaja, Otonomi Desa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)
Meliza, T. M Silalahi, Penggunaan Kriptografi Pada Elektronik Voting, (Bandung:
ITB Press, 2010)
Miriam, Budiharjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1994)
Muhammad, Shalahudin, Pembuatan Model Elektronik Voting Berbasis Web,
(Bandung: ITB Press, 2009)
Jurnal Populis, Vol.3, No.6, Desember 2018
808 | JURNAL POPULIS