MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

86
MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA TERORISME (Analisis Putusan MA No. 168 PK/PID.SUS/2013) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : FANNY FAJRIAH NIM : 1110043200028 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H / 2015 M

Transcript of MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

Page 1: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM

TINDAK PIDANA TERORISME

(Analisis Putusan MA No. 168 PK/PID.SUS/2013)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

FANNY FAJRIAH

NIM : 1110043200028

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1436 H / 2015 M

Page 2: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …
Page 3: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …
Page 4: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli

saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juli 2015 M

Fanny Fajriah

NIM : 1110043200033

Page 5: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

iii

ABSTRAK

FANNY FAJRIAH. NIM 1110043200033. MODEL PENEGAKAN

HUKUM DALAM TINDAK PIDANA TERORISME (ANALISIS PUTUSAN

MA NO. 168 PK/PID.SUS/2013). Program Studi Perbandingan Mazhab dan

Hukum, konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum,

Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436H/2015

Maraknya kasus terorisme mau tidak mau membuat kita menyoroti para

penegak hukum dalam menangani kasus terorisme itu sendiri. Tindakan para

tersangka terorisme memang tidak dapat dibenarkan dalam segi hukum baik segi

apapun. Tapi bukan berarti para penegak hukum dapat bertindak sewenang-

wenang terhadap para tersangka terorisme. Maka penegakan hukum yang tepat

sangat diperlukan untuk menyelesaikan kasus terorisme. Dalam penegakannya

sering kali aparat penegak hukum, khususnya Detasemen Khusus atau Densus 88

Antiteror melakukan tindakan represif yang membahayakan HAM seseorang.

Tindakan Densus 88 ini disinyalir karena mekanisme prosedural yang diatur

dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terlalu longgar, sehingga

memberikan peluang terjadinya tindakan represif oleh aparat penegak hukum.

Menurut Packer, ia membagi sistem peradilan pidana kedalam dua model, yaitu:

Crime control model dan due process model. Dalam Undang-Undang No 15

Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat dilihat

bahwa kecenderungan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme

lebih kepada sistem Crime Control Model, di mana para penegak hukum

diberikan kewenangan yang lebih luas serta mekanisme prosedural yang lebih

longgar dalam menangani kasus terorisme.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan penegakan

hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Penelitian ini menggunakan

pendekatan normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan literatur-literatur yang ada kaitanya dengan

permasalahan.

Kata Kunci : Model Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Terorime

Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, S. Ag, M.Si. dan Muhammad Ainul

Syamu SH., MH

Daftar Pustaka: Tahun 1996 sampai Tahun 2012

Page 6: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

iv

KATA PENGANTAR

حيم بسم الله حمن الر الر

Segala puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan tuafik dan hidayahNYA, ridho dan ‘inayahNYA kepada penulis,

sehingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi yang insyallah dengan

keridhoanNYA memberi manfaat kepada penulis khususnya dan bagi pembaca

pada umumnya. Amin.

Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah sampaikan kepada junjungan

alam, uswatun hasalan, Nabi besar Muhammad SAW, yang dengan wasilah ilmu-

ilmunya lewat para pengikutnya, kemudian sampai kepada penulis, memberi

peranan penting bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Tiada untaian kata yang pantas untuk disenandungkan, selain rasa syukur

yang tiada terhingga yang menunjukan betapa Allah telah memberikan rasa kasih

dan sayang-NYA kepada penulis dengan memberikan kekuatan fisik, psikis, dan

ilmu pengetahuan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Model

Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Terorisme (Analisis Putusan MA

No. 168 PK/PID.SUS/2013). Penulis sangat menyadari selesainya penulisan

skripsi ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, baik berupa semangat, tukar

pikir maupun berupa financial, sehingga penulisan ini selesai. Adapun penulis,

tidak dapat melukiskan dengan untaian kata-kata, ungkapan yang pantas penulis

haturkan kepada mereka. Penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih kepada

yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga menjadi pimpinan yang memberikan

teladan dan integritas yang lebih baik.

2. Dr. Khamami Zada, MA Ketua Prodi Perbandingan Hukum PMH periode

2014-2015, yang telah memberikan pelayanan,kepada penulis. Ibu Siti

Hanna, MA Sekertaris Prodi yang sudah membantu yang sudah membantu

menyelesaikan penilaian penulis dari awal hingga akhir.

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si pimpinan prodi dan sebagai dosen

pembimbing dan Bapak Muhammad Ainul Syamsu, SH.MH, yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya disela-sela kesibukannya untuk

memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Page 7: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

v

4. Pimpinan beserta seluruh staf perpustakaan UIN Syarifhidayatullah Jakarta

yang telah memberikan bantuan-bantuan dan pelayanan dalam upaya

memenuhi kebutuhan yang berkenaan dengan iteratur untuk penyusunan

skripsi ini.

5. Kedua orang tua tercinta, yang telah mendidik, mengasuh dan membimbing

dengan kasih sayang dan senantiasa tak pernah henti melantunkan doa.

6. Fika Hastia Rany dan Nurwinda Sari yang terus memberikan semangat,

keceriaan, pertemanan dan persaudaraan yang luar biasa dari mulai

menginjakan kaki di UIN Syarifhidayatullah Jakarta sampai akhirnya skripsi

ini selesai.

7. Rahmi Fitri dan Ramdhani yang sudah merelakan waktunya untuk

direpotkan dalam proses penyusunan skripsi ini.

8. Kepada sahabt PH 2010 Aidz, Wiwin, Ilyas, Tedi, Laka, Muzi, Bambang,

Ridwan, Sandi, Ade, Rianzani, Apri, Dayat, Lusi, Rani, Sofa, Fajrin, Bagas,

Amel, Ipul, Anjo, Ucup, Fathur, Fathin, Rudi, Berli serta temn-temanku

semua yang menjadi guru, teman diskusi, seperjuangan dalam penulisan

skripsi, semoga persahabatan ini selalu dalam RidhoNYA dan apa yang

dicita-citakan akan tercapai. Amin

Jakarta, Juni 2015

Penulis

Page 8: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... I

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... II

ABSTRAK ...................................................................................................... III

KATA PENGANTAR .................................................................................... IV

DAFTAR ISI ................................................................................................... VI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 7

D. Review (Kajian) Studi Terdahulu ........................................... 8

E. Metode Penelitian .................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan .............................................................. 11

BAB II LANDASAN TEORI ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH,

DUE PROCES MODEL, CRIME CONTROL MODEL, PROSES

DAN PROSEDUR

A. Asas Praduga Tidak Bersalah dalam KUHAP ........................ 13

B. Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Islam ............................. 20

C. Definisi Proses dan Prosedur................................................... 22

D. Due Process Model dan Crime Control Model ....................... 24

1. Due Process Model............................................................ 24

2. Crime Control Model ........................................................ 27

BAB III MODEL PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA

TERORISME DALAM UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN

2003

A. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Penyelidikan

dan Penyidikan ........................................................................ 30

Page 9: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

vii

B. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Penuntutan .............. 47

C. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Pemeriksaan Pengadilan49

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG

PERKARA PIDANA TERORISME

A. Dakwaan Perkara Tindak Pidana Terorisme (Putusan MA

No. 168 PK/PID.SUS/2013).................................................... 56

B. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara ................. 60

C. Analisis Hukum Positif ........................................................... 66

D. Analisis Hukum Islam ............................................................ 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................. 71

B. Saran ........................................................................................ 75

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 76

Page 10: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Beberapa tahun belakangan ini tindak pidana terorisme di Indonesia

semakin menjamur dan telah mengusik ketentraman bangsa dengan

serangkaian pengeboman yang terjadi sejak malam Natal tahun 2000 secara

berturut-turut di beberapa wilayah. Terorisme dalam skala nasional tersebut

hanya terhenti oleh keberhasilan 8 (delapan) tahun operasi intelejen antiteror

Negara RI, yang tuntas dilaksanakan pada tahun 2008 secara gemilang oleh

Satgas Anti Teror Polri dengan Densus 88 nya di berbagai daerah. 1

Perang melawan terorisme adalah perang melawan kejahatan, karena itu

logikanya termasuk menegakan hukum. Dalam peraktik, menggunakan

hukum untuk mengukuhkan kepentingan, terkait dengan budaya penguasa

yang memerintah. Semakin halus budaya yang dianut penguasa, tapi semakin

totaliter, hukum biasanya diagung-agungkan. Namun, tidak untuk ditegakan,

melainkan hanya digunakan, sehingga berkembang berbagai bentuk

diskriminasi.2

Maraknya kasus terorisme mau tidak mau membuat kita menyoroti para

penegak hukum dalam menangani kasus terorisme itu sendiri. Tindakan para

tersangka terorisme memang tidak dapat dibenarkan dalam segi hukum baik

1A.M Hendropriyono, Terorisme – Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara, cet. Pertama 2009), h. 16.

2Tb. Rony Rahman Nitibaskara, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta: Kompas,

2007), h. x.

Page 11: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

2

segi apapun. Tapi bukan berarti para penegak hukum dapat bertindak

sewenang-wenang terhadap para tersangka terorisme. Maka penegakan

hukum yang tepat sangat diperlukan untuk menyelesaikan kasus terorisme.

Antara prilaku menegakan hukum dengan menggunakan hukum sulit

dibedakan. Kebetulan, keduanya memang saling melengkapi. Menegakan

hukum tanpa menggunakan hukum dapat melahirkan tindakan sewenang-

wenang. Sebaliknya, bila menggunakan hukum tanpa berniat menegakan

hukum, dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan

seperti tanpa hukum.3

Tindak pidana terorisme memang merupakan tindak pidana khusus

yang telah memiliki Undang-Undang sendiri yang diatur dalam Undang-

Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme. Namun pada dasasarnya hukum acara yang berlaku dalam

penanganan tindak pidana terorisme tetap berdasarkan Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali ditentukan lain dalam UU

pemberantasan tindak pidana terorisme.4

Dalam penegakannya sering kali aparat penegak hukum, khususnya

Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror melakukan tindakan represif

yang membahayakan HAM seseorang. Dalam operasi, banyak dilakukan

kekerasan bahkan penembakan mati kepada orang yang disangka atau bahkan

baru diduga melakukan tindak pidana terorisme. Mabes Polri melansir bahwa

3Tb. Rony Rahman Nitibaskara, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, h. XI.

4 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),

h. 153.

Page 12: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

3

hingga september 2010 tercatat 44 tersangka terorisme ditembak mati.

Tindakan Densus 88 ini disinyalir karena mekanisme prosedural yang diatur

dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terlalu longgar, sehingga

memberikan peluang terjadinya tindakan represif oleh aparat penegak

hukum.5

Penegakan hukum sendiri menurut Prof. Jimly Asshiddiqie dalam

tulisannya yang berjudul Penegakan Hukum memiliki arti jika dilihat dari

sudut subjektif secara sempit penegakan hukum itu diartikan sebagai upaya

aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa

suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Masih menurut Prof

Jimly Asshiddiqie dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang

dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang

dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit

maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap

perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun

oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan

oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum

yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.6

Sekalipun secara normatif sudah diatur, namun di dalam pelaksanannya,

hak-hak tersangka ini seringkali dilanggar oleh penyidik. Diantaranya masih

sering di dengar berita tentang penggunaan kekerasaan oleh oknum penyidik

untuk mendapatkan pengakuan tersangka. Tindakan tersebut bertentangan

5 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, h. 8.

6www.jimly.com

Page 13: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

4

dengan ketentuan pasal 52 KUHAP yang mengatakan bahwa dalam

pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau

terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau

hakim.7

Padahal Indonesia sendiri secara landasan yuridis menegaskan bahwa

Negara Indonesia berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan

kekuasaan.Salah satu prinsip utama Negara hukum sendiri adalah adanya

perlindungan Negara terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Kedudukan

tersangka dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, berdasarkan KUHAP,

secara legal mendapatkan pengakuan hak-haknya sebagaimana dimuat dalam

Pasal 50 sampai Pasal 68 KUHAP. Ketentuan hak-hak ini tidak ditemukan

pada hukum pidana lama (HIR).8

KUHAP juga telah mengangkat dan menetapkan tersangka atau

terdakwa dalam kedudukan yang berderajat, sebagai makhluk Tuhan yang

memiliki harkat dan derajat kemanusian yang utuh. Sudah seharusnya hukum

ditegakan namun dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tersangka

atau terdakwa tindak pidana terorisme tidak boleh mengabaikan Hak Asasi

yang melekat pada diri tersangka. Hak Asasi Manusia yang tidak boleh

diabaikan dalam KUHAP, salah satunya adalah asas praduga tidak bersalah

(presumption of inocent). Dimana setiap orang harus diaggap tidak bersalah

sebagai hak asasi yang melekat pada diri setiap tersangka atau terdakwa. Hak

7

Prija Djatmika, Slekta Kapita Penegakan Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, cet.

Pertama 2006), h. 83.

8 Prija Djatmika, Slekta Kapita Penegakan Hukum, , h. 84.

Page 14: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

5

asasi inilah yang menjadi salah satu prinsip dalam penegakan hukum yang

diamanatkan KUHAP.9

Penggunaan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)

dalam hukum pidana karenanya merupakan konsep pemikiran untuk

mendesain dan mengimplementasikan hukum dengan pangkal tolak

anggapan, seperti yang dikemukakan Friedmann, bahwa “pengadilanlah

tempat memisahkan orang bersalah dari yang tidak bersalah” Sebelum

pengadilan menyatakan demikian, seluruh proses (pengurangan dan

pembatasan kebebasan asasi) dan prosedur (perlindungan kebebasan asasi)

dalam hukum pidana didedikasikan untuk “mengambil jarak sejauh mungkin

dengan anggapan bahwa seseorang telah bersalah kecuali dapat dibuktikan

sebaliknya” (presumption of guilty).10

Dengan asas praduga tidak bersalah yang dianut KUHAP, memberi

pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip

akusatur dimana kedudukan tersangka dalam setiap tingkat pemeriksaan

sebagai subjek bukan sebagai objek dalam pemeriksaan. Objek dari

pemeriksaan adalah kesalahan atau tindak pidana. Itu artinya tersangka tidak

boleh diperlakukan sewenang-wenang. Ketika membicarakan Asas praduga

tidak bersalah maka akan sangat erat berkaitan dengan Due Process of Law.

Menurut Packer, ia membagi sistem peradilan pidana kedalam dua model,

9 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 1.

10

Chairul Huda, 2010. “Makna Asas Praduga Tak Bersalah dan Pemakainnya dalam

Praktek Pers”, Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, h. 34.

Page 15: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

6

yaitu: Crime control model dan due process model.11

Meskipun di Indonesia telah memiliki banyak regulasi tentang

kedudukan dan perlindungan hak-hak terhadap tersangka, tapi tidak bisa kita

pungkiri banyak pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang masih kerap

dilakukan oleh aparat dalam menegakan hukum terhadap tindak pidana

terorisme.

Banyaknya pelanggaran dalam penegakan hukum terhadap tersangka

terorisme di Indonesia menimbul ketertarikan penulis untuk mengkaji tentang

kecenderungan para penegak hukum dalam menangani kasus terorisme.Maka

penulis tertarik untuk menuliskannya menjadi sebuah skripsi dengan judul

“MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA

TERORISME (Analisis Putusan MA No. 168 PK/PID.SUS/2013)”

B. PEMBATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah hanya

pada model penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme

pada setiap proses pemeriksaan dalam Undang-undang No 15 tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembatasann ini

dilakukan untuk lebih fokus dan mempermudah penulis dalam penelitian

ini, juga untuk menghindari perluasan pembahasan yang tidak ada

sangkut pautnya dengan masalah yang akan diteliti.

11

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, cet. Kedua 2010), h. 11.

Page 16: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

7

2. Perumusan Masalah

Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat

perumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana model penegakan hukum dalam tindak pidana

terorisme?

b. Bagaimana penerapan asas praduga tidak bersalah terhadap

tersangka kasus tindak pidana terorisme?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang dan rumusan masalah di

atas, maka tujuan dan manfaat penelitian ini adalah:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui model penegakan hukum dalam tindak pidana

terorisme.

b. Untuk mengetahui penerapan asas praduga tidak bersalah terhadap

tersangka tindak pidana terorisme.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi,

kontribusi pemikiran dalam menambah wawasan pengetahuan

untuk menjawab permasalahan-permasalahan dan menjadi acuan

literatur seputar model penegakan hukum dalam pidana

terorisme.Sehingga skripsi ini dapat memperkaya pembendaharaan

dan menjadi kajian ilmiah bagi para perbandingan hukum maupun

Page 17: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

8

praktisi hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis atau dalam praktiknya

akan dapat digunakan sebagai acuan mengenai kecenderungan

penegak hukum dalam menerapkan hak tersangka atau terdakwa

tindak pidana terorisme.

c. Manfaat Akademis

Penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar Sarjana

Syariah dalam progam studi Perbandingan Hukum di Universitas

Islam Negri.

D. Review (kajian) Studi Terdahulu

Penulis membaca hasil penelitian yang kiranya berkaitan dengan judul

dan tema yang penulis angkat untuk dijadikan penelitian. Dari beberapa hasil

penelitian yang telah penulis baca maka ada beberapa yang penulis anggap

bisa dijadikan review (kajian) antara lain:

1. Dalam skripsi yang berjudul “Hak dan Kewajiban Pelaku Tindak

Pidana” yang ditulis oleh Faizah program studi Jinayah Syasah tahun

2007.

2. Buku Perlindungan HakTersangka, Terdakwa dan Korban Tindak

Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana yang ditulis oleh

Soeharto.

Dari studi terdahulu yang telah penulis baca, tulisan tersebut membahas

masalah hak tersangka tindak pidana. Tetapi penulis mempunyai judul dan isi

Page 18: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

9

yang jelas berbeda dengan studi review yang telah dibaca oleh penulis

sebelumnya. Penulis mencoba meneliti bagaimana model penegak hukum

dalam tindak pidana terorisme.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan

normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan

permasalahan.12

Penelitian hukum normatif sendiri mencakup:13

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum

b. Penelitian terhadap sistematika hukum

c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum

d. Penelitian sejarah hukum

e. Penelitian perbandingan hukum

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dibagi

menjadi beberapa bahan hukum yang terdiri dari:

a. Data Primer

Data primer adalah bahan-bahan hukum yang

12

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1996), h. 43.

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 2008), h. 51.

Page 19: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

10

mengikat.14

Bahan hukum yang digunakan adalah undang-undang

yang diterapkan atau berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan

masalah yang penulis kaji.

b. Data Sekunder

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer yaitu berupa literatur-literatur.

c. Data Tersier

Data tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah:

Kamus hukum

Kamus Bahasa Indonesia

3. Metode Pengumpulan Data

Penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan cara

membaca buku-buku dan mempelajari literatur-literatur yang selanjutnya

diolah dan dirumusankan secara sistematis sesuai dengan masing-masing

pokok bahasannya.

4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penulisan skripsi ini menggunakanmetode

analisis kualitatif, dalam hal ini mengkaji secara mendalam bahan hukum

yang ada kemudian digabungkan dengan bahan hukum yang lain, lalu

14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 2008), h,52.

Page 20: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

11

dipadukan.

5. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku

pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan

sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5

(lima) bab yaitu sebagai berikut:

Bab Pertama : pendahuluan, dalam bab ini penulis membagi menjadi 6

(enam) sub bab, yaitu: latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, studi review, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab Kedua : tinjauan pustaka tentang due process model, crime

control model dan Asas praduga tidak bersalah, yang di dalamnya terdiri dari

pengertian asas praduga tidak bersalah, menurut islam, pengertian asas

praduga tidak bersalah menurut KUHAP, proses dan prosedur.

Bab ketiga: kecenderungan penegakan hukum terhadap pelaku tindak

pidana terorisme dalam UU terorisme, yang terdiri dari: kecenderungan

penegakan hukum dalam tahappenyelidikan dan penyidikan, kecenderungan

penegakan hukum dalam tahap penuntutan, kecenderungan penegak hukum

dalam tahap pemeriksaan pengadilan.

Page 21: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

12

Bab keempat: analisis putusan Mahkamah Agung tentang

kecenderungan penegakan hukum terhadap peaku tindak pidana terorisme.

Bab kelima: kesimpulan dan saran.

Page 22: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

13

BAB II

LANDASAN TEORI ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH, DUE

PROCESS MODEL, CRIME CONTROL MODEL,

PROSES DAN PROSEDUR

A. Asas Praduga tidak bersalah dalam KUHAP

Mengenai asas praduga tidak bersalah, dalam deklarasi European

Convention on Human Right mengatakan bahwa: “Setiap orang yang dituduh

melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah, sampai terbukti

bersalah menurut hukum”. Artinya Asas praduga tidak bersalah memberikan

petunjuk untuk memperlakukan tersangka atau terdakwa sebelum dan selama

persidangan, dengan menghormati mereka dengan cara menganggap mereka

tidak bersalah sebelum ada putusan hukum tetap yang menganggap mereka

bersalah.1

Ketika membicarakan praduga tidak bersalah maka tidak bisa

dipungkiri akan berkaitan dengan praduga bersalah. Banyak presepsi yang

keliru mengenai dua hal tersebut. Menurut Herbert L Packer, terjadi

kesalahan ketika, kita berpikir bahwa praduga bersalah merupakan kebalikan

dari praduga tidak bersalah. Sebenarnya praduga tidak bersalah tidak

berlawanan dan tidak relevan dengan praduga bersalah, karena keduanya

merupakan dua konsep yang berbeda. Perbedaan itu bisa dilihat dari contoh,

ketika ada kasus pembunuhan, di mana si pembunuh telah melakukan

1 Andrew Ashworth Q.C., Human Rights, Serious Crimeand Criminal Procedure, (The

Hamlyn Trust , 2002), h. 26.

Page 23: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

14

penembakan dan disaksikan beberapa saksi mata dan saksi mengatakan

bahwa dialah seorang pembunuh, maka itu merupakan praduga bersalah.

Sedangkan praduga tidak bersalah berlaku pada setiap tahap pemeriksaan

yang diwujudkan dalam perlidungan hak. Artinya sebelum sampai telah

terjadi putusan bersalah oleh pengadilan, tersangka harus diberlakukan

berdasakan asas praduga tidak bersalah untuk alasan apapun.2

Praduga tidak bersalah merupakan petunjuk bagi pejabat atau penegak

hukum, bagaimana mereka melanjutkan proses selanjutnya, bukan hasil

prediksi atau perkiraan semata. Namun praduga bersalah, bersumber dar hasil

prediksi. Kemudian praduga tidak bersalah memberi petunjuk bagi penegak

hukum yang berwenang agar menghapus praduga bersalah dalam

memperlakukan tersangka. Harus diingat adalah ketika praduga bersalah

bersifat deskriptif dan factual, maka praduga tidak bersalah bersifat normative

dan hukum.3

Friedmann mengemukakan, bahwa pengadilanlah tempat memisahkan

orang bersalah dengan orang yang tidak bersalah. Artinya, sebelum

pengadilan menyatakan bersalah, tidak boleh menganggap seseorang

bersalah, kecuali telah dibuktikan sebaliknya. Friedmann juga mengatakan

bahwa asas praduga tidak bersalah yang menjadi bagian dari due process of

law sudah melembaga dalam proses peradilan dan kini telah melembaga pula

2 Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, hlm. 161.

3 Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, hlm. 161.

Page 24: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

15

dalam kehidupan sosial.4

Asas pokok yang menjadi payung perlindungan terhadap tersangka atau

terdakwa adalah asas “praduga tidak bersalah”. Asas praduga tidak bersalah

merupakan asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam

perkara pidana harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan

yang menyatakan kesalahan itu. Asas ini harus dipatuhi oleh penegak hukum

baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di

pengadilan. Jaminan atas hak ini terdapat dalam pasal 8 ayat (1) UU No. 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa setiap

orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan

pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.5

Asas praduga tidak bersalah dijumpai dalam penjelasan umum KUHAP

butir 3 huruf c. Dengan dicantumkan praduga tidak bersalah dalam KUHAP,

dapat disimpulkan pembuat undang-undang telah menetapkannya sebagai

asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum. Asas praduga

tidak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun segi teknis penyidikan

dinamakan “prinsip akuisatur”. Prinsip akusatur menempatkan kedudukan

tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai subjek

pemeriksaan, bukan sebagai objek pemeriksaan, dimana tersangka atau

terdakwa diperlakukan sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat.

4 Chairul Huda, 2010. “Makna Asas Praduga Tak Bersalah dan Pemakainnya dalam

Praktek Pers”, Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, h. 34.

5 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),

h. 45.

Page 25: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

16

Sementara yang menjadi objek pemeriksaan adalah kesalahan atau tindak

pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.6

Dalam sejarahnya, asas praduga tidak bersalah lahir pada abad XI, yang

awalnya menjadi persyaratan utama penyelenggaraan criminal justice system

dalam common law, yang bersumber pada ideologi individualistik-liberalistik.

Sebagai implementasi dari proses pidana yang dilakukan penegak hukum

ditandai dengan sejumlah instrument yang bertujuan untuk memastikan

subjek pemeriksaan memperoleh hak-haknya, sehingga tetap menjaga hak

seseorang untuk dianggap tidak bersalah sampai pengadilan membuktikan

sebaliknya. Menurut Mien Rukmini, tujuan dari proses pengadilan sendiri

adalah untuk melindungi orang yang tidak bersalah dari vonis putusan yang tidak

adil.7

Dengan asas praduga tidak bersalah yang dianut KUHAP, memberi

pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip

akusatur dalam setiap pemeriksaan. Aparat penegak hukum menjauhkan diri

dari cara-cara pemeriksaan yang “inkuisitur” yang menempatkan

tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat

diperlakukan dengan sewenang-wenang.8

Hukum acara pidana dapat berpengaruh terhadap perlindungan HAM

dalam penegakan hukum pidana, terutama terhadap tersangka/terdakwa. Oleh

6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 40.

7 Chairul Huda, 2010. “Makna Asas Praduga Tak Bersalah dan Pemakainnya dalam

Praktek Pers”, Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, h. 35.

8 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 41.

Page 26: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

17

karena itu, hukum acara pidana harus mencerminkan perlindungan terhadap

HAM tersangka/terdakwa. Ide perlindungan terhadap HAM

tersangka/terdakwa merupakan sumbangan dari pemikiran HAM yang

terdapat dalam The International Bill of Human Rights.9

Perlindungan HAM tersangka/terdakwa mengenai asas praduga tidak

bersalah juga diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia, dalam pasal tersebut dijelaskan Hak untuk dianggap

tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang

pengadilan10

.

Lahirnya UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berlaku mulai

tanggal 31 Desember 1981 memberikan nuansa yang berbeda terhadap

hukum acara pidana di Indonesia. Keberadaan KUHAP telah mengangkat dan

menempatkan tersangka/terdakwa dalam kedudukan sebagai makhluk Tuhan

yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka/terdakwa

harus diperlakukan dengan nilai-nilai luhur kemanusian.Pada prinsipnya

hukum harus ditegakan, namun tidak boleh dengan mengabaikan hak asasi

yang melekat pada tersangka/terdakwa. Hak-hak asasi utama yang diatur

dalam KUHAP terhadap pribadi tersangka/terdakwa, antara lain:11

a) Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban di hadapan hukum.

b) Harus diangap tidak bersalah sebelum dinyatakn oleh keputusan

9 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),

h. 45.

10

Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, h. 49.

11

Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, h. 49.

Page 27: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

18

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

c) Penangkapan atau penahan didasarkan atas nukti permulaan yang

cukup.

d) Hak menyiapkan pembelaan sejak dini.

Dalam pasal 11 (1) the Universal Declaration of Human Rights of 1948

dijelaskan bahwa setiap orang yang dituduh dengan suatu tindak pidana

memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya

menurut hukum dalam peradilan yang terbuka dimana dia memiliki semua

jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya.12

Ketika membicarakan asas praduga tidak bersalah untuk menjamin hak

tersangaka akan berkaitan erat dengan sistem pembuktian dalam kasus

kejahatan. Prinsip umum tentang pembuktian dinyatakan dalam hukum

Inggris dan diadopsi dalam hukum Hak Asasi Manusia Eropa: “Penuntut

umum harus menanggung beban pembuktian bahwa terdakwa bersalah dan

pembuktian kesalahan dengan standar tanpa keraguan.” Artinya terdakwa

memiliki hak untuk meletakan beban pembuktian pada penuntut umum .13

Dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, menegaskan

bahwa: “Pemerintah tidak bisa menghukum kesalahan warganya dari tindak

pidana tanpa meyakinkan temuan fakta yang tepat ke dalam kesalahannya.”

Maka dapat dikatakan bahwa telah menempatkan praduga tidak bersalah

dalam konteks sebagai harapan warga negara tentang bagaimana Negara

12 Topo Santoso, Menggas Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam Dalam

Konteks Moderenitas (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet kedua 2001), h. 95.

13

Andrew Ashworth Q.C., Human Rights, Serious Crimeand Criminal Procedure, (The

Hamlyn Trust , 2002), h. 27.

Page 28: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

19

harus memperlakukan setiap warganya.14

Mahkamah Agung Amerika Serikat juga mengatakan “Hukuman yang

tidak sengaja untuk orang yang tidak bersalah adalah kejahatan lebih besar

daripada pembebasan yang tidak disengaja pada orang yang bersalah.”

Meskipun sistem peradilan pidana harus menghapuskan kesalahan dari

keduanya. Dibutuhkan upaya yang lebih besar untuk menghindari dari

ketidakadilan, terutama untuk menghindari hukuman yang salah bagi warga

Negara yang tidak bersalah.15

Banyak perdebatan yang muncul mengenai tanggung jawab

pembuktian. Ada yang mendukung dari sistem di mana menggabungkan

praduga bersalah dibebankan kepada setiap orang yang melakukan

pelanggaran, di mana membutuhkan tersangka untuk membuktikan

kesalahanya. Beberapa yang lainnya berpendapat, seharusnya hanya jaksa

atau penutut umum yang dibebani pembuktian kesalahan dengan standar

tanpa keraguan.Dan ada juga yang menerima kebijkan pembuktian tanpa

keraguan dibebankan kepada penuntut umum, tetapi beban pembuktian juga

dapat dialihkan pada terdakwa dalam beberapa jenis kasus.Pendapat tersebut

didukung oleh anggota parlemen dan hakim. Bertahun-tahun hukum pidana

telah mengatur pembuktian terbalik. Contohnya di mana menempatkan

terdakwa dibebani pembuktian pada saat pembelaan.16

14Andrew Ashworth Q.C., Human Rights, Serious Crimeand Criminal Procedure, h. 28.

15

Andrew Ashworth Q.C., Human Rights, Serious Crimeand Criminal Procedure, h. 28.

16

Andrew Ashworth Q.C., Human Rights, Serious Crimeand Criminal Procedure, h. 32.

Page 29: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

20

B. Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Islam

Dalam hukum Islam, asas praduga tidak bersalah merupakan

konskeunsi yang tidak dapat dihindari dari asas legalitas. Menurut asas

praduga tidak bersalah, semua perbuatan (kecuali ibadah khusus) dianggap

boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya,

setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat kecuali

dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan, jika suatu

keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan. Konsep

terhadap asas praduga tidak bersalah telah diletakan dalam hukum islam jauh

sebelum dikenal dalam hukum-hukum pidana positif.17

Empat belas abad yang lalu Nabi Muhammad bersabda:18

: وسلم صلىاللهعليه رسولالله قال : عنهاقالت وعن عائشة رضي الله

, فخلواسبيلهرج. مخ له نكان فا مااستطعتم, ادروواالحدودعنالمسلمين

العقوبةلعفوخىرمن ان ىخطئ في في يخطئ فإنالامامإن

)رواهالترمذى.وذکرانهقدروىموقوفا.وانهوقفصح.قالوقدروىعنغيرواحدمن

ذالك( ضياللهعنهمانهمقالوامثلر الصحابة

Dan dari Aisyah ra, ia berkata Rasulullah bersabda, “Tolaklah

hukuman terhadap kaum muslimin selama kamu bisa. Maka jika ada

jalan keluar, lepaskanlah dia, sebab seorang imam itu jika keliru dalam

memberikan ampunan adalah lebih baik daripada keliru memberikan

hukuman.” (HR Tirmidzi. Disebutkan juga, bahwa hadist itu

diriwayatkan secara mauquf, sedang kemauqufannya itulah yang lebih

sah.Tirmidzi juga berkata, hadist ini diriwayatkan bukan hanya dari

seorang sahabat dan semuanya mengatakan seperti itu).

Berkaitan erat dengan asas praduga tidak bersalah adalah batalnya

hukum karena adanya keraguan. Dalam hadist yang lain dijelaskan bahwa

17

Topo Santoso, Menggasa Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam Dalam

Konteks Moderenitas (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet kedua 2001), h. 120.

18

Mu’ammal Hamidy, Imron Am, Umar Fanany, Terjemahan Najlul Authar Jilid 6 -

Himpunan Hadist-hadist Hukum (Surabaya: PT Bina Ilmu, cet keempat 2005), h. 2600.

Page 30: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

21

“Hindarkan hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam

membebaskan daripada salah dalam menghukum.”19

Contoh sederhana yang begitu nampak dari pelaksanaan asas praduga

tidak bersalah adalah dalam perkara tuduhan zina. Seseorang yang dituduh

zina oleh orang lain tidak dianggap ia telah berzina, kecuali apabila si

penuduh berhasil membuktikannya dengan bukti yang meyakinkan. Bukti

yang harus dihadirkan adalah berupa kesaksian empat orang, tidak kurang.

Bilamana si penuduh tidak bisa membuktikannya, maka ia akan diberikan

sanksi karena telah menuduh orang lain melakukan perbuatan zina,

sedangkan ia tidak bisa membuktikannya.20

Allah berfirman dalam surat An-nuur ayat 4:

Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik

(berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka

deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima

kesaksian mereka untuk selama-lamannya.Mereka itulah orang-orang

yang fasik.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum islam meletakan asas praduga

tidak bersalah sebagai landasan dari aturan-aturan pidana substantive dan

prosedural. Sebagai konsekuensi yang tidak terpisah, keraguan yang belum

dapat dihilangkan harus menjadi keuntungan terdakwa, bukan merugikannya.

19

Topo Santoso, Menggasa Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam Dalam

Konteks Moderenitas (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet kedua 2001), h. 121.

20

Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: Ghalia

Indonesa, cet. Pertama 2009), h. 9.

Page 31: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

22

Dengan demikian keraguan itu dapat menjadi dasar bagi putusan bebas dan

tidak dapat menjadi dasar bagi terbuktinya kejahatan, karena penghukuman

harus didasarkan pada ketegasan dan keyakinan.21

C. Proses dan Prosedur

Menurut Prof. Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul Dari

Lembaran Keputusan Hukum Pidana, mengatakan bahwa proses adalah di

mana kejadian yang menyebabkan kebebasan individual menjadi hilang atau

dapat dikatakan bahwa proses merupakan pembatasan kebebasan sesorang

untuk sementara waktu. Sedangkan prosedur sendiri memiliki arti dari

beberapa asas yang dilahirkan untuk menghalangi kecendrungan yang bersifat

membatasi kebebasan. Artinya, dalam proses ada fungsi dan faktor yang

cendrung untuk tidak memberikan kebebasan pada tersangka, sedangkan

dalam prosedur terdapat fungsi dan faktor yang ditujukan untuk melindungi

kebebasan tersangka.22

Proses pidana menurut Harbet L Packer adalah istilah yang singkat tapi

lengkap yang berdiri dari semua kompleks aktivitas yang beroperasi untuk

membawa hukum substantive kepada orang yang diduga melakukan

kejahatan. Mahkamah Agung Amerika Serikat telah memasukan aturan dari

proses pidana. Sebenarnya kita akan dihadapkan paradoks yang menarik dari

proses pidana ini, di mana semakin banyak kita belajar tentang proses pidana,

21

Topo Santoso, Menggasa Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam Dalam

Konteks Moderenitas (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet kedua 2001), h. 129.

22

Roeslan Saleh, Dari Lembaran Keputusan Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika), h.

149.

Page 32: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

23

kita semakin diperintahkan bagaimana seharusnya bertindak (prosedur) dan

semakin terlihat jurang pemisah diantara keduanya.23

Pada mulanya prosedur dan proses itu terpisah. Di mana proses dalam

suasana ketidakbebasan, sedangkan prosedur dalam suasana bebas. Proses

pada dasarnya ditentukan secara sepihak oleh kebutuhan-kebutuhan yang

bersifat fungsional dari sistem ketertiban atau sistem kekuasaan, sehingga

seseorang kehilangan haknya. Dalam masa modern antara proses dan

prosedur sudah tidak lagi terpisah, melainkan mempunyai dasar yang sama.

Seberapa jauh prosedur benar-benar ada pada kenyataan yang berlaku, sangat

ditentukan oleh keadaan kebebasan sebagai nilai yang telah dilembagakan.

Sedangkan saat yang menentukan jalannya proses adalah kesan yang nyata

dari prosedur.24

Ketika membicarakan proses dan prosedur maka mau tidak mau akan

berhubungan dengan asas praduga tidak bersalah. Di mana seperti yang sudah

dijelaskan di atas bahwa asas praduga tidak bersalah merupakan hak

tersangka untuk dianggap tidak bersalah sampai ada putusan tetap yang

menyatakan ia telah bersalah. Asas praduga tidak bersalah harus diterapkan

dalam setiap tingkat proses pemeriksaan. Baik dari tahap penyelidikan,

penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan sampai dengan

persidangan.

KUHAP sendiri telah memberikan perisai kepada tersangka atau

23

Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, hlm. 150.

24

Roeslan Saleh, Dari Lembaran Keputusan Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika), h.

154.

Page 33: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

24

terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusian yang wajib dihormati dan

dilindungi aparat penegak hukum.Dengan perisai yang sudah diakui hukum,

secara teoritis sejak awal tahap pemeriksaan, tersangka atau terdakwa sudah

mempunyai posisi yang setaraf dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan

hukum dan berhak menuntut perlakuan yang telah digariskan KUHAP.25

Proses dan prosedur berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah.

Ketika asas praduga tidak bersalah lebih menitikberatkan pada apa yang

dinamakan sebagai proses maka akan menghasilkan Crime Control Model, di

mana yang lebih diutamakan adalah bagaimana penegak hukum menjalankan

proses bukan mementingkan hak tersangka atau prosedur dari proses tersebut.

Tapi jika sebaliknya, ketika lebih menitikberatkan pada sebuah prosedur,

maka yang akan dihasilkan adalah Due Process Model, artinya lebih

menitikberatkan pada hak-hak tersangka atau terdakwa.

D. Due Process Model dan Crime Control Model

Menurut Herbert Packer dalam bukunya yang berjudul The Limits of

Criminal Sanction membagi penyelenggaraan peradilan pidana kedalam dua

model, yaitu Crime Control Model dan Due Process.26

Untuk pembahasan

lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut:

1. Due Process Model

Prinsip yang banyak ditonjolkan dalam proses peradilan yang adil

25

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 41.

26

Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana

(Bandung: Angkasa Bandung, cet. Pertama. 1990), h. 5.

Page 34: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

25

dan layak (due process) selalu mengacu pada perlakuan-perlakuan

pentingnya proses pemeriksaan dilaksanakan melalui aturan formal

yang memberikan jaminan terhadap hak setiap individu.27

Jika Crime Control, menyerupai proses menerka-nerka, Due

Process Model lebih menyerupai pada chek and rechek. Masing-masing

tahap dirancang untuk membuat chek and recheck sebelum terdakwa

dibawa pada proses selanjutnya yang lebih panjang. Ideologi dari model

ini bukanlah merupakan kebalikan dari apa yang mendasari Crime

Control Model. Ideologi Due Process lebih terkesan pada struktur

formal hukum dari pada Crime Control. Due Process berlawanan

dengan Crime Control Model dalam ranah tersendiri mengenai hal

dalam keandalan atau keahlian dalam proses pencarian fakta.

Sedangkan Crime Control Model sangat bergantung pada kemampuan

investigasi dan penuntutan pejabat yang berwenang.Sementara Due

Process menolak dasar pemikiran tersebut dan mengganti informal

kepada formal, nonadjudikatif menjadi Adjudikatif.28

Due process model merupakan tipe negative model, artinya selalu

menekankan pembatasan pada kekuasaan formal.29

Proses pemeriksaan

perkara pidana yang dilandasi oleh Due Process Model merupakan

27

Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita – Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan,

Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, (Bandung: PT Refika Aditama, cet.

Pertama 2004), h. 127.

28

Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, hlm. 163.

29

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, cet. Kedua 2010), h. 11.

Page 35: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

26

bentuk birokrasi administrasi, yang di Indonesia diharapkan dapat

diwujudkan melalui aturan dan dikenal sebagai Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Model yang ditawarkan adalah

prosedur ketat, manusiawi, yang didukung oleh sikap penegak hukum

untuk menghormati hak warga masyarakat.30

Dalam due process model muncul suatu nilai baru yang

sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu konsep perlindungan hak-hak

individual dan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan peradilan

pidana, jadi dalam model ini proses kriminal harus dapat dikendalikan

untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter. Di dalam

model ini berlakulah apa yang dinamakan Presemption of innoncence.31

Due process dalam melaksanakan tindakan penegak hukum,

bersumber dari cita-cita Negara hukum yang menjunjung tinggi

supermasi hukum, yang menegaskan bahwa kita diperintah oleh hukum

dan bukan oleh orang.Esensi dari konsep due process, setiap penegakan

dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan

konstitusional serta harus menaati hukum. Oleh karena itu due process

tidak membolehkan adanya pelanggaran terhadap sesuatu bagian

ketentuan hukum dalih guna menegakan bagian hukum yang lain.32

30

Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita – Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan,

Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, (Bandung: PT Refika Aditama, cet.

Pertama 2004), h. 3.

31

Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana

(Bandung: Angkasa Bandung, cet. Pertama. 1990), h. 6.

32

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 95.

Page 36: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

27

2. Crime Control model

Crime Control Model didasarkan atas anggapan bahwa

penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas

perilaku kriminal (criminal conduct), dan ini merupakan tujuan utama

proses peradilan. Sebab dalam hal ini yang diutamakan adalah

ketertiban umum dan efesiensi.33

Sistem nilai yang menggaris bawahi Crime Control Model

berdasarkan rencana penekanan tindak pidana adalah fungsi yang jauh

lebih penting yang harus dilakukan oleh proses pidana. Proses pidana

sendiri sebenarnya adalah penjamin kebebasan sosial. Untuk mencapai

tujuan tersebut, maka disyaratkan yang menjadi perhatian utama adalah

efisiensi di mana proses pidana beroperasi melindungi tersangka,

menentukan bersalah, menggunakan tiindakan hukum yang tepat

kepada orang yang dihukum karena kejahatan. Efisiensi yang dimaksud

adalah kemampuan sistem untuk menangkap, berusaha dan menghukum

pelaku kriminal yang diketahui sebagai pelanggaran. Dan yang

melandasi model ini adalah kecepatan dan ketuntasan.34

Dalam model ini fakta dapat dibangun lebih cepat melalui

intorgasi di kantor polisi dari pada melalui proses formal pemeriksaan

dan pemeriksaan silang di pengadilan. Itu artinya proses di luar hukum

jauh lebih disukai atau yang lebih sering digunakan pada model ini.

33

Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana

(Bandung: Angkasa Bandung, cet. Pertama. 1990), h. 5.

34

Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, h. 158.

Page 37: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

28

Proses pidana dalam Crime Control Model dipandang sebagai proses

penyaringan, di mana setiap investigasi tahap pra penangkapan,

penangkapan, pasca penangkapan dalam penyelidikan, pemohonan,

hukuman, dan tindakan yang melibatkan operasi yang sesuai dengan

peraturan dan keberhasilannya diukur dari kecendrungan.35

Perbedaan antara Due Process Model dan Crime Control Model

dapat dilihat dari tabel di bawah:36

Tabel 1:

Perbedaan Crime Control Model dan Due Process Model

Crime Control

Model

Due Process Model

Karakteristik values Karakteristik

1. Represif

3. Informal fact –

finding

4. Factual guilt

5.Efisiensi

Mekanisme 1. Preventif

2. Presumption of in-

nocence

3. Formal –

adjudicative

4. Legal Guilt

5.Efektivitas

Affirmative model Tipologi Negative model

Keterangan:

Alternative model : selalu menekankan pada eksistensi dan

pengunaan kekuasaan pada setiap sudut

proses peradilan.

Negative model : selalu menekankan pembatasan pada

kekuasaan formal.

Due process model dan Crime control model juga memiliki

35

Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, h. 159.

36

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, cet. Kedua 2010), h. 9.

Page 38: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

29

asumsi yang sama yang dijadikan landasan dalam operasionalnya.

Asumsi tersebut antara lain:37

1) Pendekatan suatu tindakan sebagai tindak pidana harus lebih

dahulu ditetapkan jauh sebelum proses indentifikasi dan kontak

dengan tersangka tersangka pelaku kejahatan atau “ex post facto

law” atau asas undang-undang tidak berlaku surut.

2) Diakui kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak hukum

untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap

seorang tersangka pelaku kejahatan.

3) Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus

dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak

memihak.

37

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, cet. Kedua 2010), h. 8.

Page 39: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

30

BAB III

MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA

TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG TERORISME

A. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Penyelidikan dan Penyidikan

Penyelidikan dan penyidikan tidak dapat dipisahkan karena

penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi

penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi

penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk

Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau

metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain,

yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahan, penggeledahan,

penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan

penyerahan berkas kepada penuntut umum.1 Di bawah ini akan dijelaskan

proses dari penyelidikan dan penyidikan secara lebih rinci:

1. Penyelidikan

Pengertian penyelidikan dijelaskan dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP

“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan/penyelidikan untuk mencari

dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana

guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut

cara yang diatur dalam Undang-undang.” Jadi, menurut ketentuan Pasal

1 angka 5 KUHAP, penyelidikan adalah tindakan atas nama hukum

1 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 101.

Page 40: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

31

untuk melakukan penelitian, apakah perkara dimaksud benar-benar

merupakan peristiwa pelanggaran tindak pidana atau bukan pelanggaran

tindak pidana. Sangat jelas bahwa Pasal angka 5 KUHAP memberikan

tugas kepada aparatur Negara di bidang penegakan hukum untuk

melakukan upaya ketika ada peristiwa melalui laporan, pengaduan atau

karena diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum karena

kewajibannya. Upaya itu adalah upaya untuk mengidentifikasi apakah

peristiwa itu memenuhi syarat dan masuk dalam kategori atau bukan

merupakan tindak pidana.2

Pengertian penyelidikan menurut Undang-Undang No. 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan

penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang

diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya

dilakukan penyidikan. Maka dapat dikatakan penyelidikan adalah

penentuan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau

tidak.3 Berdasarkan Pasal 4 KUHAP, ditentukan penyelidik adalah

setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia (POLRI).4

Penyelidikan dalam kasus terorisme berarti serangkaian tindakan

mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang

2 Hartono, Penyelidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum

Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Pertama 2010), h. 19.

3 Soeharto dan Joenaedi Efendi, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana

- Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan (Jakarta: Prestasi Pustaka, cet. Pertama 2010),

h. 68.

4 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan)

(Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ketiga 2011), h. 8.

Page 41: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

32

berhubungan dengan terorisme atau yang diduga sebagai aksi terorisme,

pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai

terorisme, dilakukan untuk menentukan penyelidik, apakah terhadap

peristiwa tersebut dapat dilakukan penyelidikan.5

Dalam tahap penyelidikan, para penegak hukum mengikuti tata

cara yang berlaku. Adapun tata cara penyelidikan, antara lain:6

a. Penyelidik dalam melakukan penyelidikan wajib menunjukan

tanda pengenal (Pasal 105). Penyelidik yang mengetahui,

menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu

peristiwa yang patut diduga merupakan tindakan pidana wajib

segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Dalam

hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik,

penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan

dalam rangka penyelidikan. Terhadap tindakan tersebut,

penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya

kepada penyidik daerah hukum (Pasal 120 ayat (1), (2), (3)

KUHAP).

b. Penyelidik dikordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik

pejabat polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 106 KUHAP).

Sebelum KUHAP berlaku, terhadap pengertian penyelidikan,

dipergunakan perkataan opspornig atau orderzoek, dan dalam

5 Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Prespektif

Agama, HAM dan Hukum (Bandung: PT Rafika Aditama, cet. Pertama 2004), h. 104.

6 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana - Dalam Terori dan

Praktek, (Bogor: Ghalia Indonesia, cet. Kedua 2010), h. 26.

Page 42: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

33

peristilahan Inggris disebut investigation. Akan tetapi, pada masa HIR

pengertian pengusutan atau penyidikan selalu dipergunakan secara

kacau.Tidak jelas batas fungsi pengusutan (opspornig) dengan

penyidikan. Sehingga menimbulkan ketidaktegasan pengertian dan

tindakan. Jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan

penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat

penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang

merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan

pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan harus

lebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan

tindak lanjut penyidikan.7

Salah satu ketentuan khusus dalam UU Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme dalam masalah penyelidikan adalah keterlibatan

lembaga non-judicial, yakni penggunaan laporan intelejen dalam

memperoleh bukti permulaan yang cukup untuk dijadikan dasar

menetapkan seseorang menjadi tersangka, sehingga dapat dilakukan

penangkapan, penyadapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

Dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) disebutkan bahwa laporan intelijen

di sini dapat diperoleh dari Departeman Dalam Negri, Departemen Luar

Negri, Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan HAM,

Departemen Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, TNI,

Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, atau

7 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 102.

Page 43: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

34

instansi lain yang terkait. Jika dilihat rumusan Pasal 26 ayat (4), maka

laporan intelijen didudukan sebagai bukti pokok. Artinya, laporan

intelijen dapat menjadi bukti untuk memperoleh bukti permulaan yang

cukup tanpa dibutuhkan bukti lainnya, sehingga dapat menjadi dasar

untuk dilakukan penyidikan.8

Pasal 26 ayat (1), berbunyi: “untuk memperoleh bukti permulaan

yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen.”

Yang menjadi masalah adalah rumusan pada kata-kata “penyidikan bisa

menggunakan laporan intelejen” akan menimbulkan pertanyaan, apakah

hanya dengan laporan intelejen saja sudah bisa dikualifikasikan sebagai

bukti permulaan yang cukup atau laporan intelejen tersebut hanya

merupakan tambahan saja dalam kualifikasi bukti permulaan yang

cukup? Sedengkan hal tersebut tidak ada penjelasaanya. Jika hanya

menggunakan laporan intelejen saja sebagai bukti pemulaan, maka

penyidik akan dengan mudah melanggar hak pembelaan diri dari orang

yang disidik atau tersangka.9

Ketidakjelasan definisi dan standar dari laporan intelijen akan

mendatangkan masalah serius. Belum lagi seperti apa yang dikatakan

pada pasal 26 ayat (3) yang berbunyi: “Proses pemeriksaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup

dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.” Itu artinya pemeriksaan

8 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),

h. 154.

9 Mardenis, Pemberantasan Terorisme – Politik Internasiona, Politik Hukum Nasional

Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Perasa, cet. Kedua 2013), h. 160.

Page 44: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

35

intelijen dilakukan secara tertutup oleh Ketua dan Wakil Ketua

Pengadilan Negri. Ketika pemeriksaan dilakukan tertutup maka

bagaimana cara hakim dalam menimbang sebuah laporan bisa

dinyatakan sebagai bukti permulaan yang cukup tanpa kehadiran orang

yang diduga atau kuasa hukum dari yang diduga. Hal tersebut dapat

menyebabkan hakim akan mudah dimanipulasi oleh pihak intelijen

yang menggunakan laporan sepihak.10

Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa tidak semua laporan

intelejen dapat diajukan sebagai bukti permulaan, dan hanya laporan

intelijen yang bersifat faktual dan disampaikan secara kelembagaan

yang dapat diajukan sebagai bukti permulaan.Jadi, laporan intelijen

yang dapat diajukan sebagai bukti permulaan harus disampaikan secara

kelembagaan dan berupa fakta intelijen, bukan merupakan analisis atau

perkiraan intelijen. Tapi sangat disayangkan karena pendapat tersebut

tidak dinyatakan dengan tegas dalam Undang-undang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme mengenai jenis laporan intelijen yang dapat

diajukan sebagai bukti permulaan, padahal tidak semua laporan intelijen

berupa fakta, namun bisa juga berupa bentuk analisis atau perkiraan

intelijen.11

Dalam Pasal 7 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme yang dijadikan unsur pidananya adalah niat yang dirumuskan

10

Mardenis, Pemberantasan Terorisme – Politik Internasiona, Politik Hukum Nasional

Indonesia, , h.166.

11

Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),

h. 155.

Page 45: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

36

“bermaksud”. Dengan kata “bermaksud maka akan mendatangkan

kekuasaan yang berlebihan kepada pihak intelejen, selain itu rumusan

kata “bermaksud” dalam Pasal 7, tidak membutuhkan bukti materil,

sehingga aparat polisi, intel atau TNI bisa saja menangkap seseorang

atau menyadap, mengintai orang atau menuduh seseorang sebagai

teroris tanpa seorang itu berbuat sesuatu. Dengan kata lain, rumusan

“bermaksud” hanya cukup dengan keyakinan subjektif seseorang

penyelidik atau penyidik dalam menentukan unsur ini.12

Penyalahgunaan dan kesalahan dalam pemeriksaan laporan

intelijen dapat berdampak kepada terlanggarnya HAM seseorang karena

hasil pemeriksaannya akan digunakan oleh aparat untuk melakukan

penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. HAM

seseorang yang dilanggar akibat penyalahgunaan dan kesalahan dalam

pemeriksaan laporan intelijen adalah pertama hak atas kebebasan dan

keamanan pribadi, sehingga tidak seorangpun dapat ditangkap atau

ditahan secara sewenang-wenang. Kedua hak untuk tidak secara

sewenang-wenang dicampuri masalah-masalah pribadinya,

keluarganya, rumah atau hubungan surat-menyuratnya, atau secara

tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.13

Dilihat dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa model

penegakan hukum dalam proses penyelidikan terhadap pelaku tindak

pidana terorisme lebih cenderung menggunakan sistem Crime Control

12

Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, h., 160.

13

Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, h. 156.

Page 46: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

37

Model, di mana penegak hukum diberikan wewenang yang lebih luas

dan lebih longgar dalam memperoleh bukti permulaan. Hal itu terbukti

dari penggunaan laporan intelijen yang bisa digunakan sebagai bukti

permulaan.

2. Penyidikan

Pasal 1 butir 1 dan 2, merumuskan pengertian penyidikan yang

menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pegawai negri tertentu

yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedangkan

penyidikan berarti, serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat

penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk

mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat dan

menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan

tersangkanya atau pelaku tindak pidannya. 14

Dalam ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2

KUHAP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah

setiap tindakan penyidik untuk mencari bukti-bukti yang dapat

meyakinkan atau untuk mendukung keyakinan bahwa perbuatan pidana

atau perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana itu benar-benar

telah terjadi.15

Dapat dikatakan tugas utama dari penyidik yang dijelaskan pada

14

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 109.

15

Hartono, Penyelidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum

Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Pertama 2010), h. 32.

Page 47: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

38

Pasal 1 butir 2 adalah mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan

bukti-bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi, serta

menemukan tersangka.16

Dalam menjalankan tugas utamanya, penyidik telah diberikan

kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 75 KUHAP. Dalam Pasal

6 ayat (1) KUHAP, berbunyi:17

Penyidik adalah:

a. Pejabat polisi Negara Repiblik Indonesia

b. Pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang.

Mengenai proses penyidikan dalam kasus terorisme, pemeriksaan

dapat dilakukan kapan saja, termasuk di malam hari. Misalnya dalam

kasus Hamid Razzaq, terdakwa kasus bom Makasar yang mengaku

mendapatkan tekanan secara fisik dan psikis dalam pemeriksaan tingkat

penyidikan.Ia merasa tersiksa dengan karena diperiksa pada jam 01.00

hingga waktu subuh padahal ia menderita penyakit jantung yang tidak

tahan terhadap udara dingin. Meskipun Pasal 57 KUHAP menjamin

tersangka/terdakwa untuk menghubungi penasehat hukumnya, namun

pemeriksaan yang tidak dibatasi waktunya dapat menyulitkan

16

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan)

(Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ketiga 2011), h. 10.

17

Hartono, Penyelidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum

Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Pertama 2010), h. 34.

Page 48: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

39

komunikasi dengan penasehat hukumnya.18

Ketika membicarakan ketentuan khusus proses penyidikan dalam

Undang-undnag Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka akan

sangat berkaitan erat dengan penyelidikan yang menggunakan laporan

intelijen. Bukti permulaan yang menggunakan laporan intelejen akan

berkaitan pada proses selanjutnya seperti penyidikan, penangkapan dan

penahanan. Maka kembali pada laporan intelijen, dapat dikatakan

bahwa dalam proses penyidikan aparatur Negara lebih condong pada

sistem Crime Control Model. Itu artinya penegak hukum telah

diberikan kekuasaan yang lebih longgar dalam melakukan proses

pidana terorisme.

3. Penangkapan

Pada Pasal 1 butir 20 dijelaskan bahwa penangkapan adalah suatu

tindakan penyidik berupa penegakan sementara waktu kebebasn

tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan

penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta cara

yang diatur dalam undang-undang ini. Penangkapan tidak lain daripada

pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka/terdakwa, guna

kepentingan penyidikan atau penuntutan.19

Sah atau tidaknya suatu penangkapan, diatur dalam Pasal 16 ayat

(1) KUHAP menyatakan bahwa untuk melakukan penangkan harus

18

Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),

h. 160.

19

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 157.

Page 49: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

40

disertai dengan surat perintah penangkapan, adapun bunyi pasal itu

adalah “Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah

penyidik berwenang melakukan penangkapan.” 20

Batas penangkapan telah ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1)

KUHAP, di mana penangkapan tidak boleh lebih dari satu hari. Dalam

Pasal tersebut mengatakan bahwa: penangkapan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 17 KUHAP, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.21

Jika penangkapan lewat dari satu hari maka telah terjadi

pelanggaran hukum dan dengan sendirinya penangkapan dianggap tidak

sah.Konsekuensinya, tersangka harus dibebaskan demi hukum.Atau jika

batas waktu itu dilanggar, tersangka, penasihat hukum atau keluarganya

dapat meminta pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah tidaknya

penangkapan dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi.22

Dalam Pasal 28 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme masalah lamanya penangkapan telah diatur sendiri, di mana

penyidik dapat melakukan penangkapan berdasarkan bukti permulaan

yang cukup paling lama 7 x 24 jam.23

Hal tersebut jelas berbeda dengan

aturan KUHAP yang mengatur mengenai batas waktu penangkapan.

20

Hartono, Penyelidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum

Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Pertama 2010), h. 84.

21

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan)

(Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ketiga 2011), h. 113.

22

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 160.

23

Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),

h. 157.

Page 50: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

41

Ketentuan khusus dari jangka waktu penangkapan tersebut, seharunya

diiringi dengan pengaturan khusus tentang perlindungan hak tersangka

agar menghindari kesewenangan para penegak hukum, tapi dalam

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sama sekali

tidak mengatur secara khusus mengenai hak tersangka.

Pasal 28 Undang-undang No. 15 tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sendiri berbunyi: “Penyidik

dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga

keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan

yang cukup sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk

paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.”

Dari bunyi pasal di atas dapat dikatakan bahwa model penegakan

hukum dalam proses penangkapan lebih pada menggunakan Crime

Control Model, karena melihat ketentuan khusus yang diberikan kepada

penegak hukum mengenai jangka waktu penangkapan yang jauh lebih

panjang, dibandingkan dengan ketentuan yang telah diatur KUHAP.

Selain mengenai jangka waktu penangkapan, yang membedakan

antara KUHAP dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme adalah rumusan mengenai kata dalam Pasal 28 “setiap orang

yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme” artinya setiap

orang yang diduga keras melakukan tindak pidana dapat ditangkap.

Rumusan mengenai setiap orang yang diduga keras bisa saja

menyebabkan kesewenangan penegak hukum dalam melakukan

Page 51: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

42

penangkapan, karena tidak ada kejelasan yang tegas dalam pasal

tersebut. Sementara rumusan dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP, yang

dapat ditangkap adalah tersangka atau terdakwa apabila sudah ada bukti

permulaan yang cukup.

4. Penahanan

Masalah penahanan dijelaskan dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP,

bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di

tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan

penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-

undang.24

Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, ada 3 alasan yang merupakan

perlunya penahanan, yaitu:25

a. Kekhawatiran melarikan diri

b. Merusak atau menghilangkan barang bukti

c. Mengulangi tindak pidana

Tata cara penahanan merujuk pada ketentuan Pasal 21 ayat (2)

dan ayat (3) KUHAP, dijelaskan bahwa saat penahanan harus disertai

dengan perintah surat penahanan atau penetapan, dimana dalam surat

peritah penahanan harus memuat identitas tersangka, menyebut alasan

penahanan, memuat uraian singkat tentang kejahatan yang disangkakan

atau didakwakan, menyebutkan dimana ia akan ditahan. Dan saat

24

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan)

(Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ketiga 2011), h. 117.

25

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan),

h. 117.

Page 52: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

43

penahanan harus menyerahkan tembusan penahanan kepada keluarga

tersangka atau terdakwa.26

Mengenai batas waktu penahanan telah dijelaskan dalam

KUHAP, dimana Penyidik paling lama dapat menahan seseorang

selama 60 hari, Penuntut umum mempunyai wewenang melakuka

penahanan atas diri tersangka/terdakwa atas alasan untuk kepentingan

penuntutan, terbatas tidak boleh lebih 50 hari, Hakim pengadilan negri

juga memiliki wewenang untuk memerintahkan penahanan untuk

kepentingan pemeriksaan dalam persidangan pengadilan. Dan

wewenang itu tidak boleh lebih dari 90 hari, Hakim pengadilan tinggi

memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan selama 90 hari, dan

Mahkamah agung berwenang melakukan penahan selama 110 hari.27

Sama seperti proses penangkapan, proses penahanan juga telah

diatur secara khusus dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme. Dalam Pasal 25 ayat (2) menyatakan bahwa: “Untuk

kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang

untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam)

bulan.”

Dapat ditarik kesimpulan dari uraian di atas bahwa dalam proses

penahanan dalam kasus terorisme penegak hukum lebih condong

menggunakan sistem Crime Control Model. Hal itu dapat dilihat

26

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 169.

27

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan), h. 43.

Page 53: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

44

dengan diaturnya ketentutan khusus dalam proses penahan bahwa

penegak hukum dalam mengatasi masalah tindak pidana terorisme

diberikan kewenangan khusus atau dapat dikatakan memiliki ketentuan

yang lebih longgar dalam menjalankan proses penahanan. Hal itu

terbukti dari kententuan jangka waktu penahanan yang jauh lebih

panjang yang diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Terorisme,

dimana tersangka dapat ditahan paling lama 6 (enam) bulan.

5. Penggeledahan

Ditinjau dari segi hukum dan undang-undang sebagaimana diatur

dalam Pasal 1 angka 17 KUHAP, penggeledahan rumah adalah

tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat

tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau

penyitaan. Sedangkan penggeledahan badan diatur dalam Pasal 1 butir

18, yang mengatakan penggeledahan badan adalah tindakan penyidik

untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk

mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya,

kemudian untuk disita.28

Pada saat penangkapan tersangka, penyidik hanya berhak

menggeledah badan tersangka dan barang yang dibawa tersangka

setelah ada dugaan keras bahwa dengan alasasan yang cukup untuk

melakukan penggeledahan dan menyita benda yang dapat disita. Hal

tersebut diatur dalam Pasal 37 KUHAP. Sedangkan untuk menjaga dan

28

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan), h. 248.

Page 54: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

45

melindungi hak asasi seseorang saat penggeledahan harus dengan izin

ketua Pengadilan Negri setempat untuk kepentingan penyidikan.Hal

yang demikian diatur dalam pasal 33 KUHAP. Penggeledahan dapat

dilakukan tanpa menggunakan surat izin dari Ketua Pengadilan ketika

dalam keadaan yang perlu dan mendesak.

Penggeledahan sangat berkaiatan dengan masalah Hak Asasi

Manusia, meskipun penggeledahan dibenarkan oleh undang-undang

tetapi penggeledahan harus meminimalisir akibat yang ditimbulkan

kepada seseorang dan keluarganya. Maka ketika melakukan

penggeledahan sangat diharapkan dilakukan pada siang hari bukan pada

malam hari kecuali dalam keadaan mendesak. Adapun alasan

penggeledahan dilakukan di siang hari agar menghindari tekanan

terhadap anak-anak, karena pada siang hari anak-anak kemungkinan

besar sedang bersekolah dan tidak ada di rumah.

Itu artinya sistem yang digunakan dalam proses penggeledahan

adalah Due Process Model. Karena dalam proses penggeledahan tidak

ada ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut. Seperti yang

dijelaskan dalam Pasal 25 ayat (1) jika tidak ditentukan dalam Undang-

undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka proses tersebut

harus dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku. Dan penegak

hukum harus tunduk pada aturan KUHAP.

6. Penyitaan

Penjelasan mengenai penyitaan tercantum dalam Pasal 1 butir 16

KUHAP, dimana menyebutkan bahwa penyitaan adalah serangkaian

tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah

Page 55: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

46

penguasaanya benda bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau

tidak berwejud untuk kepentingan pembukitian penyidikan, penuntutan

atau peradilan.29

Penyitaan hanya boleh dilakukan oleh penyidik. Sekalipun pada

proses pengadilan membutuhkan penyitaan suatu barang yang dianggap

perlu, maka hakim meminta penuntut umum agar memerintahkan

penyidik untuk melakukan penyitaan. Sama halnya dengan

penggeledahan, penyitaan pun harus dengan surat izin dari ketua

Pengadilan Negri untuk dilakukannya penyitaan. Yang membedakan

penyitaan dan penggeledahan adalah ketika penggeledahan dilakukan

untuk tahap penyidikan selanjutnya seperti penengkapan dan

penahanan, sementara penyitaan dilakukan untuk pembuktian

penyidikan, tuntutan atau peradialan.

Dalam pasal 39 KUHAP telah digariskan ketentuan hukum

tentang apa saja yang dapat disita. Tidak semua benda dapat menjadi

objek penyitan. Dalam pasal tersebut telah dijelaskan bahwa hanya

benda-benda yang ada hubunganya dengan tindak pidana yang dapat

disita.Artinya jika suatu benda yang tidak ada kaitan dan tidak ada

hubunganya dengan tindak pidana menjadi objek penyitaan maka

penyitaan tersebut tidak sesuai dengan hukum.

29

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan), h.264.

Page 56: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

47

Adapun benda-benda yang dapat disita berdasarkan pasal 39

KUHAP, yaitu:30

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau

sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil

dari tindak pidana.

b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan

tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

c. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan.

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak

pidana.

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak

pidana yang dilakukan.

Sama seperti proses penggeledahan, dalam proses penyitan juga

tidak ada ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut. Itu artinya

sistem yang digunakan dalam proses penyitaan sama dengan sistem

yang digunakan dalam proses penggeledahan, yaitu lebih cenderung

pada Due Process Model.

B. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Penuntutan

Masalah penuntutan telah diatur dalam KUHAP dalam Pasal 1 butir 7

dimana berbunyi “Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umam untuk

melimpahkan berkas perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang

dalam hal dan menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini dengan

30

Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana

(Bandung: Angkasa Bandung, cet. Pertama. 1990), hlm. 102.

Page 57: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

48

permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang

pengadilan”.31

Dari rumusan Pasal 1 butir 7 secara singkat proses penuntutan dan

tuntutan pidana adalah pelimpahan perkara yang disertai dengan surat

dakwaan, pemeriksaan di sidang pengadilan, tuntutan pidana, dan putusan

Hakim.32

Penuntut Umum setiap melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan

Negeri harus selalu disertai dengan surat dakwaan. Sebelum melimpakan

perkara pidana, Penuntut Umum menentukan apakah suatu perkara sudah

layak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri atau belum. Jika sudah layak maka

berkas perkara bisa dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, Namun jika belum

layak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri maka Penuntut Umum harus

membuat SP3, memberi tahu tersangka, dan jika ditahan segera bebaskan.

Adapun alasan suatu perkara belum layak untuk dilimpahkan ke Pengadilan

Negeri karena disebabkan oleh kurangnya bukti, suatu perkara bukan tindak

pidana dan karena asas oportunitas.

Wewenang penuntut umum selain melakukan penuntutan, juga

berwenang melaksanakan putusan Hakim yang berkekuatan tetap.Penentut

umum juga memiliki wewenang untuk melakukan penahan. Dimana tujuan

penahanan oleh Pentut Umum sendiri telah diatur dalam Pasal 25 ayat (2),

yaitu untuk kepentingan penuntutan yang meliputi untuk mempersiapkan

31

Soeharto dan Joenaedi Efendi, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara

Pidana - Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan (Jakarta: Prestasi Pustaka, cet. Pertama

2010), h. 96.

32

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan , h. 68.

Page 58: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

49

surat dakwaan.33

Akan tetapi dalam melakukan penahanan demi kepentingan

penuntutan, Penuntut Umum harus tetap berada dalam koridor hukum dan

harus memenuhi syarat-syarat penahanan berdasarkan undang-undang.

Dalam proses penuntutan tidak diatur secara khusus dalam Undang-

undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Artinya aturan proses

penuntutan sama dengan aturan yang berlaku dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 25 ayat (1) yang

mengatakan “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan

dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan brdasarkan hukum acara

yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang ini.”34

Dengan demikian dalam proses penuntutan lebih

cenderung pada penggunaan sistem Due Process Model. Alasan lebih

cenderung pada Due Process Model adalah karena proses penuntutan dalam

kasus terorisme tidak diatur secara khusus dan mengikuti pedoman yang

diatur dalam KUHAP.

C. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Pemeriksaan Pengadilan

Pemeriksaan di pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk

menentukan apakah dugaan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana

33

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 380.

34

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme.

Page 59: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

50

dapat di pidana atau tidak.35

Mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan,

umumnya perkara tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun ke atas,

dan masalah pembuktiannya memerlukan ketelitian biasanya diperiksa

dengan acara biasa. Sedang perkara yang ancaman hukumannya ringan serta

pembuktian tindak pidananya dinilai mudah, diperiksa dengan cara singkat.

Atas perbedan pemeriksaan tersebut, kita mengenal tiga jenis acara

pemeriksaan perkara pada sidang Pengadilan Negeri, yaitu pemeriksaan

biasa, pemeriksaan singkat dan pemeriksaan cepat.36

Ada beberapa tahap pemeriksaan di sidang pengadilan, yaitu:

pemeriksaan identitas terdakwa yang diatur dalam Pasal 155 KUHAP,

memperingatkan terdakwa untuk memperhatikan dan memberikan nasehat,

pembacaan surat dakwaan, menanyakan apakah terdakwa mengerti dengan isi

dakwaan, hak untuk memberikan eksepsi atau keberatan.37

Dalam pemeriksaan persidangan ada prinsip-prinsip yang harus

ditegakan. Prinsip-perinsip tersebut antara lain:

1. Pemeriksaan Terbuka untuk Umum

Semua persidangan pengadilan terbuka untuk umum, di mana saat

majelis membuka sidang harus menyatakan “sidang dibuka untuk

35

Ansorie Sabuan, SH., Syarifuddin Pettanasse, SH., dan Ruben Achmad. SH., Hukum

Acara Pidana (Bandung: Angkasa Bandung, cet. Pertama. 1990), h. 76.

36

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan

sidang pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kemabali) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet.

Kesebelas 2009), h. 109.

37

Drs. Soeharto, S.H., M.Hum. dan Joenaedi Efendi, S.H.I., M.H., Panduan Praktis Bila

Anda Menghadapi Perkara Pidana - Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan (Jakarta:

Prestasi Pustaka, cet. Pertama 2010), h. 108.

Page 60: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

51

umum”, artinya pengadilan dapat dihadiri oleh khalayak umum di mana

setiap proses pemeriksaan persidangan dapat dipantau oleh masyarakat

umum. Ada kalanya persidangan tidak dilakukan secara terbuka untuk

umum, dalam pemeriksaan persidangan sendiri ada pengecualian di

mana dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP dijelaskan bahwa ada

pengecualian dalam pemeriksaan perkara kesusialan atau perkara yang

terdakwanya merupakan anak-anak.38

Jika dilihat dari uraian tersebut artinya pemeriksaan persidangan

seharusnya terbuka untuk umum, tapi adakalanya pemeriksaan

pengadilan tidak dapat saksikan oleh masyarakat umum pada kasus-

kasus tertentu, seperti kasus kesusilaan dan kasus dimana terdakwanya

merupakan anak-anak.

2. Hadirnya Terdakwa dalam Persidangan

Hukum tidak membenarkan proses peradilan in absentia dalam

acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat. Tanpa hadirnya

terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan tidak dapat dilakukan. Maka

dalam Pasal 154 KUHAP mengatur cara menghadirkan terdakwa ke

persidangan.39

3. Ketua Sidang Memimpin Pemeriksaan

Mengenai ketua sidang memimpin pemeriksaan diatur dalam

38

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan

sidang pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kemabali) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet.

Kesebelas 2009), h. 110.

39

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan), h. 111.

Page 61: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

52

Pasal 217 KUHAP yang menegaskan hakim ketua sidang bertindak

memimpin jalannya pemeriksaan persidangan dan memelihara tata

tertib persidangan. Kedudukan ketua sidang sebagai pimpinan sidang,

menempatkanya sebagai orang yang berwenang menentukan jalannya

permisakan terdakwa. Semua Tanya jawab harus melaluinya. Semua

keterangan dan jawban harus ditujukan kepadanya. Namun mesikpun

ketua sidang bertindak sebagai pimpinan persidangan bukan berarti

ketua sidang mengabaikan hak terdakwa.40

4. Pemeriksaan Secara Langsung dengan Lisan

Dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP, menegaskan ketua

sidang di dalam memimpin pemeriksaan sidang pengadilan, dilakukan

secara langsung dan lisan, kecuali bagi mereka yang bisu dan tuli, bagi

mereka yang tuli dan bisu dapat menggunakan pertanyaan dan jawaban

dengan cara tertulis. Tujuan dari pemeriksaan sidang dilakukan secara

lain agar memperoleh kebenaran hakiki, karena selain mendengar dan

meneliti kesaksian terdakwa dan saksi, namun cara dan sikap

memberikan keterangan, dapat menentukan isi dan nilai keterangan.41

5. Wajib Menjaga Pemeriksaan Secara Bebas

Pemeriksaan dalam persidangan baik pemeriksaan terhadap

terdakwa atau saksi harus dilakukan dengan bebas. Berdasarkan Pasal

153 ayat (2) huruf b KUHAP dijelaskan pemeriksaan terhadap terdakwa

40

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan), h. 113.

41

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan), h. 113.

Page 62: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

53

atau saksi dilakukan dengan bebas.42

Jika dilihat dari pasal di atas maksud dari dilakukan dengan bebas

adalah terdakwa atau saksi harus diperiksa di persidangan tanpa tekanan

atau paksaan sehingga terdakwa atau saksi tidak dapat memberikan

keterangan dengan bebas. Selain itu Yahya Harap mengatakan bahwa

terdakwa atau saksi tidak boleh diajukan dengan pertanyaan yang

menjerat.Maksud dari pertanyaan yang menjerat adalah pertanyaan

yang agresif dan licik yang dikeluarkan Hakim sehingga terdakwa

kehilangan keseimbangan dan konsetrasi untuk memahami pertanyaan

yang diajukan sehingga menyebabkan terdakwa seolah-olah telah

mengakui perbuatannya.

6. Pemeriksaan Lebih Dulu mendengar Keteragan Saksi

Menganai prinsip ini sesuai dengan makna yang tersirat dalam

Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP yang menegaskan: “pertama-tama

didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi”. Pada

tersebut dihubungkan dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang

menempatkan alat bukti keterangan saksi sebagai urutan pertama.

Sedang keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir.43

Mengenai pemeriksaan di pengadilan telah diatur secara khusus

dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal

tersebut dapat dilihat dari Pasal 35 ayat (1) Undang-undang

42

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan), h. 114.

43

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan), h. 116.

Page 63: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

54

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berbunyi “dalam hal

terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang

pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan

diputus tanpa hadirnya terdakwa.”44

Dari Pasal tersebut jelas sangat

berbeda dengan aturan yang ada dalam KUHAP, di mana seperti yang

dijelaskan di atas bahwa salah satu prinsip yang harus ditegakan dalam

proses pemeriksaan pengadilan adalah terdakwa harus hadir dalam

persidangan. Dalam KUHAP dijelaskan bahwa hukum tidak

membenarkan pemeriksaan pengadilan dilakukan apabila terdakwa

tidak hadir dalam persidangan.Artinya pemeriksaan tidak dapat

dilakukan apabila terdakwa tidak hadir dan itu jelas berbeda dengan

aturan dalam Pasal 35 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Selain itu dalam tindak pidana terorisme penggunaan alat bukti

berbeda dengan aturan dalam KUHAP. Dalam Pasal 27 huruf b dan c

Undang-undang Tindak Pidana Terorisme disebutkan “alat bukti

pemeriksaan pidana terorisme meliputi alat bukti lain berupa informasi

yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik

dengan alat optic atau yang serupa dengan itu dan data, rekaman, atau

informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat

dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang

tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang

44

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme.

Page 64: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

55

terekam secara elektronik.”45

Sementara dalam KUHAP, mengenai alat

bukti diatur dalam Pasal 184, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli,

surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Mengenai alat bukti maka akan berkaitan dengan laporan

intelijen. Dari bunyi Pasal 27 huruf b di atas yang menatakan bahwa

alat bukti bisa berupa informasi yang diucapakan dapat merujuk pada

laporan intelijen dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan.Hal

tersebut jelas tidak sejalan dengan aturan KUHAP, dimana dalam

KUHAP tidak diperbolehkannya menggunakan laporan intelijen

sebagai alat bukti.Maka dapat ditarik kesimpulan jika dilihat dari hal,

dapat diperiksa dan diputusnya perkara tindak pidana terorisme

meskipun terdakwa tidak hadir, dapat dilihat mengenai alat bukti dan

penggunaan laporan intelijen. Bahwa dalam proses pemeriksaan

pengadilan penegak hukum cenderung pada penggunaan sistem Crime

Control Model.Dimana dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme alat bukti laporan intelijen dan rekaman dapat

digunakan, sementara dalam KUHAP alat bukti berupa laporan intelijen

dan rekaman tidak diperbolehkan. Maka dapat dikatakan di mana

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan

kewenang yang lebih pada aparat penegak hukum dalam menangani

masalah terorisme.

45

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme.

Page 65: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

56

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG PERKARA

PIDANA TERORISME

A. Dakwaan Perkara Tindak Pidana Terorisme (Putusan MA No. 168

PK/PID.SUS/2013

Kasus yang diambil sebagai bahan penelitian adalah kasus perkara

tindak pidana terorisme yang diputuskan oleh Mahkamah Agung dengan

Nomor: 168 PK/PID.SUS/2013. Dengan identitas terdakwa adalah Yudi

Zulfahri alias Barro bin M. Daud Basa’a, lahir di Banda Aceh, umur 27

tahun/13 Juli 1983, jenis kelamin laki-laki, kewarganegaraan Indonesia,

bertempat tinggal di Jalan Krueng Kalo No.85 Perumnas Lambbheu

Ketapang Aceh Besar.

Berdasarkan surat dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta

Barat, bahwa terdakwa didakwa:

Pertama:

Di mana si terdakwa Yudi Zulfahri alias Barro bin M. Daud Basa’a

pada sekitar tahun 2009 sampai tahun 2010 bertempat di kecamatan kota

Jantho, kabupaten Aceh Besar, Propinsi Aceh. Berdasarkan Pasal 85 KUHAP

dan sesuai surat keputusan ketua Mahkamah Agung RI No:

125/KMA/SK/VI/2010, terdakwa didakwa merencanakan dan/atau

menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme, dengan

sengaja menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan bermaksud untuk

menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas

Page 66: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

57

atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas

kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau

mengakibatkan kerusakan dan kehancuran objek-objek vital yang strategis

atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 14

jo. Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003

Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi

Undang-Undang.

Kedua:

Terdakwa didakwa melakukan melakukan pemufakatan jahat

percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme,

dengan sengaja menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan bermaksud

untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara

meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara

merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain

atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran objek-objek vital yang

strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas

internasional. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

menurut Pasal 15 jo. Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Page 67: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

58

Ketiga:

Terdakwa didakwa secara melawan hukum memasukan ke Indonesia, ,

membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau mencoba

menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai dalam persediaan padanya

atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyimpan,

mempergunakan atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu

senjata api, amunisi atau suatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang

berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dab diancam pidana menurut Pasal 15

jo. Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003

Tentang Penetapan Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi

Undang-Undang.

Keempat:

Terdakwa didakwa dengan sengaja memberikan bantuan atau

kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme dengan

menyembunyikan informasi tindak pidana terorisme.Perbuatan terdakwa

sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 13 huruf c Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan

Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Kelima:

Terdakwa didakwa telah melakukan dengan tanpa hak memasukan ke

Page 68: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

59

Indonesia, , membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau

mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai dalam persediaan

padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,

menyimpan, mempergunakan atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia

sesuatu senjata api, amunisi atau suatu bahan peledak dan bahan-bahan

lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana

terorisme.Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

menurut Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.

Berdasarkan putusan hakim/jaksa dari Kejaksaan Negri Jakarta Barat

menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “pemufakatan

jahat percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme,

dengan sengaja menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan bermaksud

untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara

meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara

merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain

atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran objek-objek vital yang

strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas

internasional. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

menurut Pasal 15 jo. Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme Menjadi Undang-Undang. Dan putusan itu diperkuat dengan

putusan Pengadilan Tinggi Jakarta.

Page 69: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

60

B. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara

Pada tanggal 18 Januari 2013 terdakwa mengajukan surat permohonan

peninjauan kembali yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negri Jakarta

Barat pada tanggal 30 Januari 2013. Di mana terpidana dan kuasa hukumnya

memohon agar putusan Pengadilan Tinggi tersebut dapat ditinjau kembali.

Adapun membaca surat permohonan peninjauan kembali adalah:

Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah

diberitahukan kepada pemohon peninjauan kembali pada tanggal 6 Mei 2011

dengan demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon

peninjauan kembali adalah sebagai berikut

Keberatan Pertama

Pemohon merasa keberatan atas putusan Pengadilan Negri Jakarta Barat

1870/Pid.B/2010/PN.JKT.BAR tanggal 6 Januari 2011 yang dikuatkan

dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.117/Pid/2011/PT.DKI yang

menyatakan bahwa pemohon dinyatakan bersalah melakukan pemufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana teroris. Karena menurut pemohon sama

sekali tidak pernah ada niat dan tujuan untuk melakukan permufakatan jahat

melakukan tindak pidana teroris ketika mengikuti pelatihan militer di

pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar pada bulan Januari 2010. Menurut

pemoon tujuan ia melakukan pelatihan hanya untuk melakukan persiapan

untuk berangkat membantu saudara-saudara muslim di Gaza. Pemohon juga

menyatakan beberapa fakta yang terungkap di dalam persidangan Pengadilan

Page 70: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

61

Negri Jakarta Barat yang menjadi bukti bahwa pemohon dan peserta pelatihan

militer tidak berniat melakukan tindakan teror di Indonesia, namun hal itu

tidak digubris di dalam putusan. Fakta-fakta tersebut adalah:

1) Saat ditangkap pemohon sama sekali tidak melawan, padahal pada saat

itu petugas kepolisian tidak menondongkan senjata. Seandainya jika

pemohon ingin melakukan tindakan teror di Indonesia, seharusnya atau

bisa saja pemohon melakukan perlawanan saat ditangkap. Namun

pemohon mersa bahwa pemohon bukanlah penjahat sehingga pemohon

tidak berniat melakukan perlawanan.

2) Ketika para peserta pelatihan militer yang berjumlam dua puluh orang

hendak turun dari pegunungan untuk kemabali ke daerah masing-

masing dan mereka bertemu dengan lima orang aparat kepolisan. Jika

memang mereka benar-benar ingin melakukan teror, mereka tidak akan

melepaskan aparat atau akan melakukan penawanan terhadapa aparat

kepolisian, tapi kenyataanya mereka tidak melakukan penawanan itu.

3) Saat penangkapan 10 orang peserta pelatihan di wilayah Leupeng, Aceh

Besar yang berada di dalam mobol L-300 menigiktat semua senjata

mereka dan memasukannya ke dalam karung. Tujuan mereka mengikat

dan memasukan senjata mereka adalah karena mereka ingin kembali ke

daerah masing-masing. Jika seandainya mereka benar-benar ingin

melakukan teror aksi teror mana mungkin mereka memasukan senjata

ke dalam karung, seharusnya mereka melakukan perlawanan. Dalam

penangkapan sendiri mereka pun tidak melakukan perlawanan, kecuali

Page 71: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

62

dua orang yang ternyata memang DPO dan Residivis. Mengenai kontak

senjata di Lamkabeu, di mana dalam persidangan terungkap bahwa

alasan sebenarnya ada kontak senjata karena para peserta pelatihan

mendapat serangan penembakan secara mendadak dan sporadis oleh

aparat kepolisian, sehingga ada beberapa peserta pelatihayang

tertembak. Kontak senjata yang dilakukan para peserta pelatihan

semata-mata hanya untuk mencari celah menyelamatkan diri dari

tembakan aparat kepolisian. Sementara terdakwa sendiri pada saat

kejadian tersebut sudah berada di ruang tahanan Polda Aceh.

4) Beberapa peserta pelatihan militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh

Besar pada bulan Januari 2010 yang berasal dari Aceh, seperti saudara

Abu Rimba menyerahkan diri sambil membawa senjata api. Dan ad

juga peserta pelatihan militer yang tidak melarikan diri seperti saudara

Agam Fitriady, saudara Ali Azhari, saudara Surya, dan saudara

Muchsin. Jika memang tujuannya khendak melakukan teror maka tidak

mungkin mereka menyerahkan diri atau tidak berupaya melarikan diri

padahal pelatihan militer tersebut sudah diketahui dan digerebek, serta

sudah banyak peserta pelatihan yang ditangkap oleh pihak kepoisian.

Dengan demikian dengan fakta persidangan, pengadilan Negri Jakarta

Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta telah keliru menerapkan pasal dan

Undang-undang dalam mengadili pemohon dengan Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Terorisme.Seharusnya

Majelis Hajim Pengadilan Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta

Page 72: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

63

menjerat pemohon dengan Pasal 1 Ayat 1 UU Darurat RI No. 12 Tahun 1951,

karena pemohon memang tidak pernah berniat untuk melakukan teror pada

siapapun.

Keberatan Kedua

Vonis pemohon dirasa terlalu berat jika dibandingkan dengan terdakwa-

terdakwa lain dalam kasus yang sama yang juda disidang di Pengadilan

Negeri Jakarta Barat, yaitu:

1. Saudara Abu Tholut yang divonis 8 tahun penjara, padahal ia adalah

penanggung jawab utama dalam program pelatihan militer di Aceh dan

posisinya di atas Dulmatin. Namun Pengadilan Negri Jakarta Barat

memvonis pemohon 9 tahun penjara, sementara Abu Tholut 8 tahun

penjara.

2. Saudara Waristo alias Tongji, divonis 5,5 tahun penjara, padahal ia

adalah tangan kanan Dulmatin, meskipun ia belum sempat sampai

Aceh, tapi seluruh persiapan pelatihan militer tidak terlepas dari

andilnya. Namun pengadilan Negri Jakarta Barat memvonis pemohon

9 tahun penjara, sementara saudara Waristo alias Tongji hanya 5,5

tahun penjara.

3. Saudara Imam Rasyidi, divonis 5 tahun penjara, padahal ia adalah

orang kepercayaan Dulmatin, bahkan ia adalah ornag pertama yang

dikirim ke Aceh untuk melakukan persiapan pelatihan Militer.

Pemohon sendiri dkirim ke Aceh oleh Dulmatin untuk membantu

saudara Imam Rasyidi melakukan persiapan. Jika dilihat dari kegiatan

Page 73: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

64

yang dilakukan pemohon, mmaka peran pemohon dalam pelatihan

militer sama dengan saudara Imam Rasyidi. Namun Pengadilan Negri

Jakarta barat menjatuhkan vonis 9 tahun penjara pada pemohon,

sementara Imam Rasyidi dijatuhi Vinis 5 tahun penjara.

4. Saudara Sibghatullah alias Mus’ab divonis 3 tahun penjara, padahal ia

adalah orang kepercayaan Dulmatin, bahkan dia adalah orang pertama

yang datang ke Aceh dan memberikan motivasi kepada kami untuk

melakukan jihad. Ia juga lah yang mengajak Dulmatin ke Aceh dan

mengenalkan kepada kami sebagai Hamzah. Namun Pengadilan

Jakarta Barat memvonis pemohon 9 tahun penjara sementara saudara

Sibghatullah divonis 3 tahun penjara.

Dengan demikian, ada sebuah ketidakadilan atas vonis 9 tahun yang

pemohon terima sari Pengadilan Negri Jakarta Barat yang kemudian

dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta.

Kemudian Mahkamah Agung berpendapat mengenai alasan-alasan yang

diajukan pemohon, bahwa:

Alasan Peninjauan Kembali Pemohon tidak dapat dibenarkan, karena

alasan yang diajukan adalah a quo bukan merupakan alasan Peninjauan

Kembali sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) huruf

a, b, serta c KUHAP. Alasan pemohon sifatnya pengulangan dari apa

yang sudah dikemukakan dalam persidangan Judex Facti, dan sebagian

alasan pemohon cenderung sebagai alasan kasasi.

Pemohon Peninjauan Kembali tidak mengajukan bukti-bukti baru

Page 74: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

65

(novum), tidak ada pertentangan dalam putusan Hakim menhenai

perkara a quo dan lagi pula dalam putusan PN. Jakarta Barat Nomor

1807/Pid.B/2010/PN.JKT.BAR tanggal 06 Januari 2011 juncto Putusan

PT. Jakarta Nomor 117/Pid/2011/PT.DKI tanggal 04 April 2011 tidak

ternyata adanya kekhilafan Hakim atau sesuatu keliruan yang nyata,

maka putusan Judex Facti/PT.Jakarta tersebut tetap berlaku dan

dipertahankan.

Bahwa oleh karena itu tidak termasuk dalam salah satu alasan

Peninjauan Kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat

(2) huruf a, b dan c KUHAP maka Peninjauan Kembali harus ditolak.

Menimbang dengan demikian berdasarkan Pasal 266 Ayat (2) huruf a

KUHAP permohonan Peninjauan Kembali harus ditolak dan putusan yang

dimohonkan Peninjauan Kembali dinyatakan tetap berlaku.

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Peninjauan Kembali

ditolak, maka biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali

dibebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali.

Memperhatikan Pasal 15 jo, Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun

2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi

Undang-Undang, Undnag-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agun sebgaimana yang telah diubah dan ditambah dengan

Page 75: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

66

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan

lain yang bersangkutan,

Hakim menolak permohonan Peninjauan kembali dari Yudi Zulfahri

alias Barro bin M Daud Bas’a. menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan

peninjauan kembali tersebut tetap berlaku. Membebankan pemohon

Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan

kembali ini sebesar Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).

C. Analisis Hukum Positif

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 168/PK/PID.SUS/2013

penulis melihat kecenderungan penegakan hukum tindak pidana terorisme

menggunakan sistemDue Process Model.Hal tersebut dikarenakan alasan

hakim menolak Peninjauan Kembali sesuai dengan ketentuan yang berlaku

dalam KUHAP.Hakim memutuskan Peninjauan Kembali yang telah diajukan

oleh terdakwa tidak memenuhi alasan yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2)

huruf a, b, dan c KUHAP. Adapun permintaan atau alasan peninjauan

kembali berdasarkan Pasal 263 ayat (2) huruf a, b, dan c KUHAP, yaitu:46

a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa

jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang berlangsung,

hasilnya akan akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala

tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau

terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

46

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, h.339.

Page 76: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

67

b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu

telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan

putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan

satu dengan yang lain.

c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau

sesuatu kekeliruan yang nyata.

Hakim berpendapat alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon dalam

Peninjauan Kembali tidak termasuk dalam salah satu alasan Peninjauan

Kembali pada Pasal 263 Ayat (2) yang telah disebutkan di atas.Di mana pasal

tersebut merupakan alasan pokok yang menjadi dasar Peninjauan

Kembali.Adapun alasan yang diajukan pemohon dalam Peninjauan Kembali,

menurut hakim tidak mengajukan keadaan baru atau novum, tidak adanya

pertentangan dalam putusan hakim dan tidak adanya kekhilafan

hakim.Artinya alasan yang diajukan pemohon tidak sesuai dengan ketentuan

Pasal 263 ayat (2) huruf a, b, dan c KUHAP.

Dengan alasan yang demikian Hakim memutuskan menolak Peninjauan

Kembali yang diajukan pemohon. Adapun keputusan hakim menolak

Peninjauan Kembali yang diajukan terdakwa sesuai dengan Pasal 266 ayat (2)

huruf a yang berbunyi “Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa

permintaan Peninjauan Kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku

ketentuan sebagai berikut:

a. Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,

Mahkamah Agung menolak permintaan Peninjauan Kembali dengan

Page 77: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

68

menetapkan bahwa putusan yang dimintakan Peninjauan Kembali itu

tetap berlaku.

Hal tersebutlah yang membuat penulis berpendapat bahwa

kecenderungan yang digunakan lebih pada Due Process Model, karena

tindakan hakim menolak Peninjauan Kembali terdakwa sesuai dengan apa

yang telah diatur dalam KUHAP. Di mana hakim telah menjalankan sesuai

dengan prosedur yang diatur dalam KUHAP. Hakim menolak Peninjauan

Kembali terdakwa dikarenakan alasan yang ajukan terdakwa tidak sesuai

dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a, b dan c KUHAP, itu telah sesuai

dengan apa yang diatur dalam KUHAP. Sehingga penulis berkesimpulan

bahwa kecenderungan penegakan hukum dalam putusan Mahkamah Agung

No. 168/PK/PID.SUS/2013 lebih pada Due Process Model.

D. Analisis Hukum Islam

Sesungguhnya ketika suatu kasus telah layak ditetapkan hukum dan jika

hakim memberikan makna pasti, tidak ada keraguan di dalamnya, maka

hakim wajib menetapkan hukum langsung dengan tanpa menunda.Maksud

dari memberikan makna pasti adalah bukan sebatas zhan atau kemungkinan.

Jika hakim menunda, maka ia berdosa, bahkan berhak untuk dipecat, karena

dampak yang muncul akibat penundaan hukum tentang kemudharatan bagi

manusia, menghilangkan kemaslahatan dan melenyapkan hak mereka.47

Ketika terdapat kemungkinan kesalahan hakim dalam hukumnya, maka

47

Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam, (Jakarta: Khalifa,

cet. Pertama 2004), h. 469.

Page 78: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

69

Qadhi Al-Qudhat (hakimnya para hakim) atau orang yang menggantikannya

boleh meninjau kembali keputusan hakim, lalu membatalkan apa yang perlu

dibatalkan, meluruskan apa yang harus diluruskan, dan membenarkan apa

yang perlu dibenarkan. Imam Ali bin Abi Thalib pernah dilapori satu masalah

di Yaman, maka dia berkata, “Aku putuskan di antara kalian. Jika kalian

ridha maka ia sebagai keputusan. Jika tidak, maka aku tahan sebagian kalian

dari sebagian yang lain sehingga kalian mendatangi Rasulullah agar beliau

memutuskan di antara kalian.” Lalu ketika Imam Ali memutuskan kepada

mereka, maka mereka menolak untuk menerimanya.Kemudian mereka

mendatangi Rasulullah pada musim haji seraya menyampaikan kepadanya

persengketaan mereka dan bagaimana keputusan Ali di dalamnya, yang

menurut mereka hukum itu tidak benar.Setelah Rasulullah mendengar

perkataan mereka, maka beliau membenarkan keputusan Ali dan berkata, “Ia

(hukum) adalah seperti apa yang dia (Ali) putuskan di antara kalian.”48

Dalam kasus tersebut terdapat dalil bahwa penilaian cacat dalam suatu

hukum telah dikenal dalam syariat islam dan diletakannya dalam kehidupan

aktual. Sebab, apa yang terjadi sama seperti peninjauan kembali hukum di

pengadilan yang lebih tinggi pada tingkat yang di bawahnya. Kemudian kasus

hukum yang telah ditinjau kembali dan ditetapkan untuknya dibatalkan,

diluruskan atau dibenarkan.49

Selain itu yang termasuk dalam kategori peninjauan kembali hukum

dalam sistem islam adalah riwayat yang disebutkan Waki’ dalam kitabnya

Akhbar Al-Qudhat, Bahwa hakim Ubaidillah bin Hasan memutuskan kepada

48

Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam, h. 478.

49

Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. h. 478

Page 79: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

70

Abdul Hamid Maula bin Qusyair dalam suatu masalah di mana dia keras

dalam pembicaraan lalu dia mengadukan hal ini kepada Amirul Mukminin.

Maka Amirul Mukminin menulis surat kepada gubernur Basrah untuk

mengumpulkan fuqaha’ untuknya, agar mereka meninjau hukum tersebut.

Jika hukum itu benar, maka ia akan meneruskan perjalanan. Lalu mereka

meninjaunya dan mereka melihatnya benar. Ini adalah sebagai penguatan dan

pembenaran terhadap hukum yang ditinjau kembali di depan pengadilan yang

lebih tinggi oleh beberapa hakim.50

Itu artinya dalam fiqih islam telah terdapat landasan tentang cara

peninjauan kembali hukum yang beragam bentuknya, seperti penyanggahan,

pembatalan dan pengulangan peradilan. Meskipun sebelum itu, para fuqaha

belum mengenal bentuk yang mendetai mengenai peninjauan kembali seperti

sekarang ini, tapi kaidah-kaidah fiqih islam tidak menafikannya, akan tetapi

justru sesuai dengannya.

Kemudian jika dilihat alasan hakim menolak permohonan Peninjauan

Kembali yang diajukan terdakwa, sudah sangat tepat dan adil.Hakim menolak

permohonan Peninjauan Kembali terdakwa dengan pertimbangan bahwa

alasan yang diajukan pemohon salah satunya tidak adanya kekhilafan

hakim.Seperti yang sudah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa batalnya

hukum karena adanya keraguan. Sementara hakim dalam memutus perkara

tersebut tidak dengan keraguan.Artinya putusan yang dijatuhkan pada

terdakwa tetap berlaku atau putusan itu benar, karena Peninjauan Kembali

yang diajukan terdakwa ditolak.

50

Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam, h. 479.

Page 80: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

71

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya mengenai model penegak

hukum dalam tindak pidana terorisme, maka dapat diperoleh kesimpulan

bahwa secara garis besar kecenderungan penegak hukum dalam kasus

tindak pidana terorisme lebih condong pada penggunaan sistem Crime

Control Model. Hal tersebut dilihat dari banyaknya proses hukum yang

menggunakan sisitem Crime Control Model yang diatur Undang-Undang

No 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme. Adapun

kecenderungan penegak hukum pada setiap proses pemeriksaan dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Dalam proses penyelidikan kecenderungan penegak hukum lebih

menggunakan sistem Crime Control Model. Hal itu dilihat dari

penggunaan laporan intelejen yang digunakan sebagai bukti

permulaan.

b. Dalam proses penyidikan berkaitan erat dengan penggunaan laporan

intelejen maka kecendrungan penegakan hukum dalam proses

penyidikan adalah Crime Control Model.

c. Melihat lamannya batas penangkapan yang diatur dalam Undang-

Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme maka kecondongan penegak hukum lebih pada Crime

Page 81: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

72

Control Model. Dimana lamanya penangkapan 7x24 jam, hal

tersebut berbeda dengan pasal 19 ayat (1) KUHAP yang mengatur

lamanya penangkapan hanya satu hari.

d. Kecenderungan penegak hukum dalam proses penahanan lebih

cenderung pada sistem Crime Control Model. Hal itu dilihat juga

dari lamanya batas penahanan yang berbeda dari aturan KUHAP.

Karena dalam KUHAP batas waktu penahanan adalah 60 hari,

sementara dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang No.15 Tahun

2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme batas

penahanan selama enam bulan.

e. Dalam proses penggeledahan hal ini berbeda dari proses hukum yang

lain karena dalam proses penggeledahan penegak hukum cenderung

pada penggunaan sistem Due Process Model. Karena mengenai

proses penggeledahan tidak diatur secara khusus dalam Undang-

Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme. Sehingga aturan pada proses penggeledahan mengikuti

Pasal 33 KUHAP, di mana penggeledahan harus dengan izin ketua

Pengadilan Negeri.

f. Dalam proses penyitaan kecenderungan penegak hukum lebih

menggunakan Due Process Model. Karena aturan dalam proses

penyitaan sesuai dengan aturan yang ada di Pasal 39 KUHAP,

mengenai ketentuan benda apa saja yang dapat disita dalam

penyitaan. Dalam pasal tersebut telah dijelaskan hanya benda-benda

Page 82: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

73

yang ada hubungannya dengan tindak pidana.

g. Dalam poses penuntutan penegak hukum menggunakan sistem Due

Process Model, karena dalam proses penuntutan tindak pidana

terorisme tidak berbeda dengan aturan KUHAP. Hal itu dapat dilihat

dari Pasal 25 ayat (1) Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme “penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana

terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku,

kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang ini.” Dan dalam Undang-undang No 15 Tahun 2003

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak diatur secara

khusus mengenai penuntutan artinya mengenai penuntutan sama

seperti yang diatur dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP.

h. Dalam proses pemeriksaan pengadilan penegak hukum cenderung

menggunakan sistem Crime Control Model. Hal itu dilihat dari pasal

35 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

yang berbunyi “dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan

patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka

perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.” Hal

itu berbeda dengan aturan KUHAP. Dimana dalam KUHAP sendiri

terdakwa harus hadir dalam persidangan dan KUHAP tidak

membenarkan pemeriksaan pengadilan dilakukan apabila terdakwa

tidak ada di persidangan.

Page 83: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

74

i. Dalam analisis putusan Mahkamah Agung No. 168

PK/PID.SUS/2013, proses hukum lebih pada pada penggunaan

sistem Due Process Model. Itu dapat dilihat dari putusan hakim, di

mana hakim berpendapat bahwa alasan Peninjauan Kembali tidak

dapat dibenarkan karena alasanan yang diajukan bukan merupakan

alasan Peninjuan Kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat

(2) huruf a, b dan c KUHAP.

2. Jika dilihat dari uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat

disimpulkan bahwa penerapan asas praduga tidak bersalah dalam kasus

terorisme telah diterapkan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya

prosedur dari setiap proses pemeriksaan yang menerapkan asas praduga

tidak bersalah. Seperti dalam penangkapan, penahanan, penyitaan dan

penggeledahan harus dilakukan dengan surat perintah dan diberitahukan

atau diperlihatkan kepada tersangka atau terdakwa. Artinya asas praduga

tidak bersalah masih digunakan dalam kasus tindak pidana terorisme, tapi

yang membedakan adalah pada beberapa proses pemeriksaan porsi dari

asas praduga tidak bersalah berbeda. Sewaktu-waktu asas praduga tidak

bersalah lebih menitik beratkan pada proses yang menghasilkan Crime

Control Model dan pada proses yang lain asas praduga tidak bersalah

lebih menitik beratkan pada prosedur sehingga menghasilkan Due

Process Model.

Page 84: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

75

B. Saran

Melihat laporan intelijen yang digunakan sebagai bukti permulaan yang

cukup, maka sangat dibutuhkan aturan mengenai perlindungan Hak Asasi

tersangka atau terdakwa. Jika dilihat dari aturan mengenai hak tersangka

dalam Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, sangat disayangkan karena dalam undang-undang tersebut

hanya mengatur hak tersangka pada pasal 19 yang menyatakan bahwa

tersangka/terdakwa di bawah umur 18 tahun tidak bisa dihukum mati.

Padahal jika dilihat dari waktu penangkapan dan penahananya yang lebih

lama dibandingkan dengan aturan KUHAP, seharusnya mengenai

perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa harus lebih diatur dengan

jelas.

Selain itu prosedur tetap yang jelas dan terukur dalam penggunaan

kekerasan dan senjata api oleh penegak hukum sangat penting, karena tanpa

ada prosedur tetap yang jelas maka akan adanya tindakan kesewenangan

penegak hukum dan akan melanggar hak asasi para tersangka tindak pidana

terorisme. Tindakan yang dilakukan penegak hukum dalam penangkapan

yang disertai penembakan secara mendadak tanpa ada peringatan terlebih

dahulu dan penembakan itu dilakukan pada saat tersangka tidak melakukan

perlawanan telah melanggar hak tersangka atau terdawa. Prosedur yang tetap

sangat diperlukan dalam setiap proses pemeriksaan, agar para penegak hukum

tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dalam proses hukum dan

melanggar hak-hak tersangka atau terdakwa.

Page 85: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

76

DAFTAR PUSTAKA

Al-quranul Karim

Al Faruq, Asdulloh. Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2009.

Aliyah, Samir.Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat dalam Islam,

Jakarta:khalifa 2004.

Asworth, Andrew, Human Rights, Serious Crime and Criminal Procedure.The

Hamlyn Trust, 2002.

Atmasamita, Romli. Sistem Peradilan Kontemporer, Jakarta: kencana Prenada

Media Group 2010.

Djatmika, Prija. Selekta Kapita Penegakan Hukum, Jakarta: Prestasi Pustaka,

2006.

Hamidy, Mu’amal, dkk. Terjemahan Naujul Authar Jilid 6, Surabaya: Bina Ilmu,

2005.

Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(penyidikan dan penuntutan), Jakarta: Sinar Graika, 2009.

_______, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan

Sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta:

Sinar Grafika, 2009.

Hartono.Penyelidikan dan Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,

2009.

Hendropriyono, A.M. Terorisme – Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Jakarta:

PT. Kompas Media Nusantara, 2009.

Makaro, Muhammad Taufiki dan Suharsil.Hukum Acara Pidana – Dalam Teori

dan Praktek, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Mardenis.Pemberantasan Terorisme – Politik Internasional, Politik Hukum

Nasional Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Perasa, 2013.

Marpaung, Laden.Proses Penegakan Perkara Pidana (Penyelidikan dan

Penyidikan), Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Nitibaskara, Rony Rahma. Tegakan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: Kompas,

2007.

Page 86: MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA …

77

Packer, Herbert. The Limits of Criminal Sanction.

Sabuan, Ansorie, dkk. Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa Bandung, 1990.

Saleh, Roeslan. Dari Lembaran Keputusan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,

2009.

Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam

Dalam Konteks Modernitas, Bandnung: Asy Syamamil san Grafika,

2001.

Soeharto dan Efendi, Joenaedi.Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara

Pidana – Mulai Proses Penyelidikan Sampai persidangan, Jakarta:

Prestasi Pustaka, 2010.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Ilmu Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas

Indonesia, 2008.

Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja GRafindo Persada,

1996.

Susanto, Anthon, F. Wajah Peradilan Kita – Konstruksi Sosial Tentang

Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana,

Bandung: Refika Aditama, 2004.

Wahid, Abdul, dkk. Kejahatan Terorisme Prespektif Agama, HAM dan Hukum,

Bandung: Refika Aditama, 2004.

Waluyo, Bambang. Hukum dan Pemidanaan, Jakarta.

Wibowo, Ari. Hukum Pidana Terorisme, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Jurnal:

Huda, Chairul. Makna Asas Praduga tidak Bersalah dan Pemkaiannya dalam

Praktek Pers, Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, 2010.

Internet:

www.jimly.com

Undang-Undang:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-

Undang.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.