Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi...
-
Upload
rahmi-juita -
Category
Documents
-
view
269 -
download
10
Transcript of Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi...
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
PENANGANAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
O l e h :
ANDYRI HAKIM SIREGAR NIM : 0302000060 HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
(Abul Khair, SH, M. Hum) NIP. 131 842 854
Dosen Pembimbing IDosen Pembimbing II
(Prof. DR. Syariffuddin Kallo, SH. M.Hum) (M. Nuh, SH, M.Hum) NIP. NIP.
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2007
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
PENANGANAN DAN PENEGAKKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2007
O l e h :
ANDYRI HAKIM SIREGAR NIM : 0302000060 HUKUM PIDANA
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
mendurahkan nikmat dan karunia-Nya kepad penulis sehingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat teriring salam kita panjatkan kepad junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW, yang telah membawa manusia dari jaman jahiliah kealam
reformasi ini, dam juga salam kepada keluarga, sahabat dan saudara seiman
seaqidah.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan
melengkapi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat
adalah :
“PENANGANAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)”
Sebagai seorang hamba Allah, penulis sadar bahwa benar sripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan, sebab lainnya adalah terbatasnya pengetahuan yang
penulis miliki, sedikitnya pengalaman dan literatur-literatur yang belum
menunjang judulyang penulis majukan dalam skripsi ini.
Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan
kritik yang konstruktif guna lebih terciptanya suasana untuk mendekati
kesempurnaan dalam skripsi ini.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak lansung
telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama menempuh
perkuliahan, khususnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. DR. Syarifuddin Kallo, SH. M.Hum, selaku Dosen
Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan
skripsi ini.
4. Bapak M. Nuh, SH. M.Hum, Selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan
yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengikuti
perkuliahan melalui ilmu pengetahuan yang diajarkan.
Dalam menempuh perjalanan hidup yang penuh perjuangan, penulis ingin
mengaturkan terima kasih yang tak terhingga pada :
1. Kedua orang tua yang tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang,
pengorbanan yang tak terhingga baik dimasa perkuliahan sampai selesai.
2. Saudara-saudaraku tercinta, seluruh keluarga besarku yang telah
memberikan segala perhatian dan dorongan semangat serta ketulusan kasih
sayang yang begitu dalam kepada penulis.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
3. Rekan – rekan seangkatan Stb’03 di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan. Teruslah berjuang dan berkarya, semoga
persahabatan kita akan tetap abadi.
Terima kasih juga penulis haturkan kepada seluruh pihak yang turut
mendukung proses penyelesaian skipsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah kita berserah diri dan memohon
ampunan.
Semoga skripsi ini memberi manfaat bagi yang membacanya.
Medan, September 2007
Penulis
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
ABSTRAK
Salah satu semangat diundangnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah untuk mempersulit para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya, dengan demikian dalam jangka panjang di harapakan tindak pidana korupsi dapat berkurang. Dalam pasal 2 ayat (1) UU PTPK, Korupsi diartikan sebagai setiap orang baik pejabat pemerintahan maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan melawan hukum melakukan perbuatan meperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah bagaimanakah modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang hasil dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia, dan bagaimanakah penanganan dan penegakan huku terhadap tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana Korupsi di indonesia.
Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum sosiologis atau empiris dengan melakukan pendekatan penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam upaya menganlisis data dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundang-undangan dan penerapannya di dalam masyarakat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Unsur/elemen yang terkandung dalam korupsi sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU TPPK adalah adanya perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara melawan hukum, tujuan dari perbuatan tersebut yakni memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan akibat perbuatan tersebut adalah dapat merugikan negara atau perekonomian negara. Modus pencucian uang dapat dilakikan untuk menyembunyikan hasil tindak pidana korupsi di Indonesia secara umum dilakukan adalah Placement (upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan melalui sistem keuangan). Layering (Upaya untuk memisahkan atau lebih menjauhkan hasil kejahatan dari sumbernya atau menciptakan serangkain transaksi yang kompleks untuk menyamarkan/ mengelabui sumber sumber dana ”haram”tersebut). dan integration (upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan). Proses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak ada bedanya dengan penanganan perkara perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian unag melibatkan suatu institusi yang relatif baru yaitu : PPATK. Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang mendasarkan pada KUHAP diatur dalam UU TPPU, seperti adanya memberikan perlindungan saksi dan pelapor pada setiap tahap pemeriksaan : penyidikan, penuntutan dan peradilan, adanya pembuktian terbalik, dan lain-lain.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... 3
ABSTRAK ............................................................................................. 6
DAFTAR ISI ......................................................................................... 7
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Perumusan Masalah ............................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 4
D. Keaslian Penulisan................................................................. 5
E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................... 6
F. Metode Penelitian .................................................................. 10
G. Sistematika Penulisan ............................................................ 11
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI ................ 13
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ......................................... 13
B. Kronologis Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia ........................................................................... 23
C. Peraturan-Peraturan Yang Terkait Dengan Pemberantasan
Korupsi.................................................................................. 38
D. Jenis – jenis Delik Tindak Pidana Korupsi Menurut UU
Korupsi.................................................................................. 42
BAB III MODUS PENCUCIAN UANG YANG DAPAT
DILAKUKAN UNTUK MENYEMBUYIKAN UANG
HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI ............................... 44
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
A. Pengertian Pencucian Uang ................................................... 44
B. Lahirnya International Legal Regime dalam upaya
Pemberantasan Pencucian Uangdi Dunia ............................... 49
C. Pengaruh International Legal Regime Anti Money Loundering
Terhadap Indonesia ............................................................... 55
D. Asas-Asas Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana PencucianUang (UU No. 15 Tahun 2001 Jo UU No.
23 Tahun 2004) ..................................................................... 58
E. Modus Pencucian Uang Yang Dapat Dilakukan Untuk
Menyembunyikan Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi ........... 61
BAB IV PENANGANAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK
PIDANA KORUPSI DI INDONESIA STUDI KASUS
L/C FIKTIF BNI 46 ............................................................. 67
A. Kasus L/C FIKTIF BNI 46 .................................................... 67
B. Penanganan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46 ............................... 89
C. Hambatan-Hambatan Penanganan Tindak Pidana Pencucian
Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia .................... 102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 104
A. Kesimpulan ........................................................................... 104
B. Saran ..................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 107
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan kemajuan teknologi informasi dan globalisasi keuangan
mengakibatkan makin mandunianya perdagangan barang dan jasa arus finansial
yang mengikutinya. Kamujuan tersebut tidak selamanya memberikan dampak
yang positif bagi suatu negara, karena terkadang justru sarana yang subur, bagi
perkembangan kejahatan, khusunya kejahatan kerah putih (white collar crime).
Kejahatan kerah putih sudah berkembang pada taraf transnational yang
tidak lagi mengenal batas-batas teritorial negara. Bentuk kejahatannya pun
semakin canggih dan terorganisir secara rapih, sehingga sulit untuk dideteksi.
Pelaku kejahatan selalu berusaha menyelamatkan uang hasil kejahatannya melalui
berbagai cara, salah satunya dengan melakukan pencucian uang (money
laundering). Dengan cara ini mereka mencoba untuk mencuci sesuatu yang
didapat secara illegal menjadi suatu bentuk yang telihat legal. Dengan pencucian
ini, pelaku kejahatan dapat menyembunyikan asal usul yang sebenarnya dana atau
uang hasil kejahatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan ini pula para pelaku
kejahatan dapat menikmati hasil kejahatan secara bebas seolah-olah tampak
sebagai hasil dari suatu kegiatan yang legal.
Paling tidak ada tiga motovasi mengapa pelaku kejahatan melakukan
pencucian uang hasil kejahatan yang dilakukannya, yaitu kekhawatiran para
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
pelaku akan berhadapan dengan petugas pajak, penuntutan oleh aparat penegak
hukum, dan kekhawatiran hasil kejahatan tersebut disita.
”The motivation for all of this activity arises from a situation where a person attempts to spend illegally-acquired money without first hiding its origin. When this accurs, one of there possibilite is likely tp result: (1) the individual may be held liable for taxes on the fund and/or for non-payment of taxes; (2) the money may be linked to the crime, making the owner a target for persecution; (3) the money may be subject to forfeiture if the government find that’s it was illegally acquired”.1
Indonesia termasuk “surga” bagi para pelaku kejahatan sebagai tempat
untuk mencuci hasil kejahatan, bahkan menurut Harry Azhar Azis, Direktur
Institute for Transformation Studies memperkirakan banyaknya uang yang dicuci
di Indonesia mencapai jumlah Rp. 50 triliun.
Untuk memberantas praktek pencucian uang, maka pada tahun 2002
Indonesia telah menkriminalisasi pencucian uang, yaitu dengan diundangkannya.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana yang telah dirubah dengan
Undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2
1 Emily G Lawrence, Let Seller Beware : Money Laundering, Merchants and 18 USC ,
1956, 1957, vol. 37, Colledge 1, Rev. (1992), hal. 841.
2 Harry Azhar Azis, Uang haram Rp. 50 Trilliun beredar di Indonesia, Republika (27 Januari 2001).
Uang hasil kejahatan yang dicuci tersebut biasanya berasal dari kejahatan
kerah putih (Hhitte collar crime). Di Indonesia uang hasil kejahatan tersebut
terutama di peroleh dari tindak pidana korupsi, sehingga dapat dikatakan bahwa
core crime yang dominan dalam tindak pidana pencucian uang adalah tindak
pidana korupsi.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam
suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan
suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum
dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan
penyakit kanker yang imun, meluas, permanen dan merusak semua sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonimian serta penataan ruang
wilayah.
Di Indonesia korupsi dikenal dengan istillah KKN singkatan dari korupsi,
kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di
setiap aparat negara dari tingkat yang paing rendah hingga tingkatan yang paling
tinggi. Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai “Penggunaan fasilitas
publik untuk kepentingan pribadi dengan cara melawan hukum”.3
Sedangkan pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia
masih menjadi negara terkorup di dunia.
Berdasarkan laporan tahunan dari lembaga internasional ternama, Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, Indonesia
adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia dalam hasil surveinya tahun
2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002
bersama dengan Kenya.
4 Transparansi International
menempatkan Indonesia sebagai negara sepuluh besar yang terkorup didunia
dalam hasil surveinya.5
3 Hamilton-Hart, Natasha. Anti Corruption Startegies in Indonesia. (Jakarta : Bulletin of
Indonesian Economic Studies 37 (1), 2001), hal. 65 – 82. 4 Kompas, 19 Maret, 2005, http://www.kompas.com/ 5 http://www.transparancy.org./
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Salah satu semangat diundangkannya Undang – undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah untuk mempersulit para
koruptor untuk menyembunyikan uang hasil Kejahatannya, dengan demikian
dalam jangka panjang diharapkan tindak pidana korupsi dapat berkurang.
Latar belakang tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian
terhadap penanganan dan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dari
hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia?
2. Bagaimanakah modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk
menyembunyikan uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia?
3. Bagaimanakah penanganan dam penegakan hukum terhadap tindak pidana
pencucian uang dari hasil tindak pidana dari hasil korupsi di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini
adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Untuk menjelaskan modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk
menyembunyikan uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan menganalisa penanganan dan penegakan hukum
terhadap tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Sedangkan manfaat penulisan ini adalah :
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
1. Segi teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran
dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan
Hukum Pidana khususnya mengenai pemberantasan tindak pidana
pencucian uang.
b. Hasil penelitian ini diharpakan memberikan sumbangan informasi kepada
pendidikan ilmu hukum mengenai pelaksanaan kaidah –kaidah hukum di
abad ini.
c. Penelitian ini diharapkan dapar meberikan sumbangan pemikiran kepada
pembuat undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut
sebagai upaya mengantisipasi terjadinya tindak pidana pencucian uang
dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Segi Praktis
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan kepada apartur negara
dan pihak-pihak lainnya dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian
uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian baik di kepustakaan maupun
di lapangan, perihal Penanganan dan Penegakan Hukum Tindak
Pidana Pencucian Uang Dari hasil tindak Pidana korupsi di Indonesia
(Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46) ini memang sudah ada yang meneliti
atau membahas dalam bentuk disertasi, makalah, majalah, artikel, bahan-
bahan diskusi, seminar dan lokakarya, namun dengan pokok permasahan
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
yang berbeda. Oleh karena itu maka dapat dianggap. Oleh karena itumaka
dianggap penulisan skripsi ini memiliki keaslian.
E. Tinjauan Kepustakaan
Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun
oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintas
batas wilayan negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa
tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, perbankan,
perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, terorisme, penggelapan, penipuan
dan berbagai kejahatan kerah putih lainnya.
Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana
tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para
pelaku kejahatan, karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh
aparat penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut.
Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta
kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan
(financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system).
Dengan demikian, asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak
dapat dilacak oleh aparat penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan inilah yang
dikenal dengan pencucian uang (money laundering).6
Sutan Remy Sjahdeni mengartikan pencucian uang sebagai:
6 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, UU, No. 15 Tahun 2002, Penjelasan.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan asal usulnya dari pihak yang berwenang agar tidak dilakukan penindakan terhadap tindak pidana tersebut dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga apabila akhirnya uang tersebut dikeluarkan dari sistem keuangan itu maka uang itu telah berubah menjadi uang sah.7
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 25 Tahun 2003 disebutkan bahwa
hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga tenaga kerja,
penyelundupan imigran, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana di
bidang pasar modal, tindak pidana di bidang asuransi. Tindak pidana narkotika,
Melalui proses pencucian uang, maka pelaku kejahatan dapat
mempergunakan uang hasil kejahatannya seolah-olah uang tersebut didapatkan
dari suatu hasil yang sah. Hal ini merupakan salah satu pemicu tumbuh
berkembangnya tindak pidana korupsi di Indonesia, karena pada koruptor dapat
dengan mudahnya memasukkan uang hasil tindak pidana korupsi yang
dilakukanya kedalam sistem keuangan dan kemudian mempergunakannya
kembali seolah-olah didapat dari hasil yang sah.
Hal tersebut mendorong FATF (Financial Action Task Force) pada tahun
1990 mengeluarkan Forty Recommendation, yaitu rekomendasi bagi negara-
negara untuk mengurangi pencucian uang, salah satu caranya adalah dengan
melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang. Atas Forty Recommendation
tersebut, pada tahun 2002 diundangkanlah Undang-undang No. 15 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang no. 25 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.
7 Sutan Remy Sjahdeini, Money Laundering, (Jakarta : FHPSU), hal. 64.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan,
terorisme, pencurian, Penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian,
Prostitusi, tindak pidana dibidang perpajakan, tindak pidana dibidang kehutanan,
tindak pidana di bidang lingkungan hidup, tindak pidana di bidang kelautan, atau
tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Dari rumusan pasa l2 ayat (1) Undang-undang No. 25 tahun 2003 tersebut
maka jelaslah bahwa korupsi dipandang sebagai salah satu asal kejahatan dari
tindak pidana pencucian uang.
Untuk memberantas tindak pidana korupsi maka indonesia melakukan
kriminalisasi terhadap perbuatan korupsi melalui Undang-undang No.31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Korupsi.
Meskipun demikian tindak pidana korupsi tetap terjadi, Undang-undang
no. 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 25 tahun 2003
tentang tindak pidana pencucian uang diharapkan dapat membatasi ruang gerak
para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya.
Guna tidak menimbulkan kerancuan dalam memahami penelitian ini, maka
penulis memberikan batasan terhadap istilah yang di pergunakan dalam penelitian
ini, yaitu sebagai berikut :
1. WPJ Pompe mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan yang bersifat
melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.8
Mengenai sifat melawan hukum, M. Sudrajat Bassar, membagi sifat melawan
hukum menjadi 2, yaitu :
8 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1993), hal. 85.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
a. Sifat melawan hukum materil merupakan sifat melawan hukum yang luas, yaitu melawan hukum itu sebagai suatu unsur yang tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (dasar-dasar pada umumnya)
b. Sifat melawan hukum formal merupakan unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga ia baru merupakan unsur daripada tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana.9
Sedangkan Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 10
2. Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
11
3. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman
tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang
untuk dipergunakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
12
Subekti menyatakan bahwa pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam surat
9 Guse Prayudi, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, makalah dalam majalah hukum Varia Peradilan Tahun ke XXII No. 254 Januari 2007, hal. 24.
10 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), hal. 54. 11 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 25 Tahun 2003, LN, No. 108 Tahun 2003, Pasal 1 butir 2.
12 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 252.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
persengketaan.13 Sedangkan Martiman Projokawidjojo mengemukakan,
membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran
atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran
peristiwa tersebut.14
4. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik
yang berwujud maupun yang tak berwujud.
15
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptip analitis yang
menggambarkan secara sistematis data mengenai masalah yang akan dibahas.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis sehingga dapat
ditarik kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana
penerapannya dalamm praktik di Indonesia.
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, yaitu
kegiatan mengumpulkan data-data sekunder yang terdiri dari:
13 Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987), hal. 7. 14 Sasangka Hari, dan Rasita Lily, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Kelima 2001), hal. II. 15 Indonesia, UU No. 25 Tahun 2003, Op. Cit., Pasal 1 butir 4.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
1) Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia maupun
peraturan yang diterbitkan oleh negara lain dan badan-badan internasional.
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan
memahami bahan hukum primer.
3) Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder.
4. Analisa Data
Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis normatif kualitatif. Dengan demikan akan merupakan analisis data
tanpa mempergunakan rumus dan data matematis.
G. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Pada bab ini berisikan latar belakang penulisan, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Pengaturan Tindak Pidana Korupsi
Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian tindak pidana
korupsi, kronologis perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di
Indonesia, peraturan-peraturan yang terkait dengan pemberantasan
korupsi, jenis-jenis delik tindak pidana korupsi menurut UU Korupsi.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Bab III Modus Pencucian Uang Yang Dapat Dilakukan Untuk
Menyembunyikan Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi
Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang unsur-unsur pokok
pencucian uang, lahirnya International Legal Regime dalam upaya
pemberantasan pencucian uang di dunia, pengaruh International Legal
Regime Anti Money Laundering terhadap Indonesia, asas-asas dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU
No. 15 Tahun 2001 Jo UU No. 23 Tahun 2004), modus pencucian uang
yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang hasil tindak pidana
korupsi.
Bab IV Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian
Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Studi Kasus
L/C Fiktif BNI 46
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang kasus L/C Fiktif BNI
46 (posisi kasus dan analisa kasus), penanganan dan penegakan hukum
tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di
Indonesia studi kasus L/C fiktif BNI 46, hambatan-hambatan
penanganan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari pembahasan-
pembahasan dari permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam
skripsi ini dan mencoba memberikan beberapa saran kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata korupsi berarti perbuatan
yang buruk, seperti penggelapan uang penerimaan uang suap dan sebagainya.16
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio atau corruptus yang
berarti menyuap. Dan selanjutnya dikatakan bahwa corruptio itu berasal dari kata
asal corrumpere yang berarti merusak.17 Dari bahasa latin ini kemudian turun ke
banyakbahasa Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis dan Belanda. Menurut Jur
Andi Hamzah, kata korupsi dalam bahasa Indonesia adalah turunan dari Bahasa
Belanda yaitu corruptie (korruptie) yang berarti kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-
kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah.18
Di Indonesia istilah korupsi pada awalnya bersifat umum, namun
kemudian menjadi istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer
No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam konsiderans
peraturan tersebut dikatakan antara lain bahwa berhubung tidak adanya kelancaran
16 Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1984), cet. VII, hal. 524. 17 Fockema Andreae, Kamus Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983). 18 Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Edisi Revisi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal 4.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
dalam usaha-usaha memberantas dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan
keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan
korupsi perlu segera menetapkan sesuatu tata cara kerja untuk dapat menerobos
kemacetan usaha memberantas korupsi ... dan seterusnya ...19
Berdasarkan konsideran peraturan tersebut, korupsi memiliki dua unsur:
pertama, perbuatan yang berakibat pada kerugian perekonomian Negara. Kedua,
perbuatan yang berbentuk penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh
keuntungan tertentu.
20
(… suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/ pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis keuntungan pribadi).
Menurut Edelherz, dalam bukunya The Investigation of White Collar
Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies disebutkan sebagai berikut:
“White collar crime: … an illegal act or services of illegal acts committed by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain money or property, to avoid the payment or loss of money or property, to obtain business or personal advantage.”
21
1. Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publi (public office-centered corruption), yang didefinisikan sebagai tingkah laku dan tindakan seseorang penjabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan
Menurut Philip (1997) sebagaimana dikutip Munawar Fuad Noeh ada tiga
pengertian luas yang sering dipakai dalam berbagai pembahasan tentang korupsi,
yaitu:
19 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 115. Lihat juga
Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 33.
20 Koeswadji, Korupsi di Indonesia; dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 33-35.
21 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra aditya Bakti, 2005), hal. 34.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya, seperti keluarga, karib kerabat, dan teman. Pengertian itu, seperti terlihat, juga mencakup kolusi dan nepotisme, pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.
2. Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi jika seseorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberi imbalan (apakah uang atau yang lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik.
3. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Dalam kerangka ini, maka korupsi adalah lembaga ekstra legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.22
Lebih lanjut Munawar Fuad Noeh menyimpulkan bahwa sedikitnya
terdapat tujuh macam korupsi, yaitu:
1. Pertama, korupsi transaksional, yaitu korupsi yang melibatkan dua pihak. Keduanya sama-sama mendapat keuntungan dan karenanya sama-sama mengupayakan secara aktif terjadinya korupsi.
2. Kedua, korupsi yang bersifat memeras, yaitu apabila pihak pertama harus melakukan penyuapan terhadap pihak kedua guna menghindari hambatan usaha dari pihak kedua itu.
3. Ketiga, korupsi yang bersifat ontogenik, yaitu hanya melibatkan orang yang bersangkutan. Misalnya, seseorang anggota parlemen mendukung golnya sebuah rancangan undang-undang, semata karena undang-undang tersebut akan membawa keuntungan baginya.
4. Keempat, korupsi defensive, yaitu ketika seseorang menawarkan uang suap untuk membela dirinya.
5. Kelima, korupsi yang berarti investasi. Misalnya memberikan pelayanan barang atau jasa dengan sebaik-baiknya agar nantinya mendapat ’uang terima kasih’ atas pelayanan yang baik itu.
6. Keenam, korupsi yang bersifat nepotisme. Yaitu penunjukan ’orang-orang saya’ untuk jabatan-jabatan umum kemasyarakatan, atau bahwa ’keluarga’ sendiri mendapatkan perlakuan khusus dalam banyak hal.
7. Ketujuh, korupsi supportif, yaitu korupsi yang tidak secara langsung melibatkan uang, jasa atau pemberian apapun. Misalnya, membiarkan
22 Munawar Fuad Noeh, Kiai di Republik Maling, (Jakarta: Republika, 2005), hal. 2.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
berjalannya sebuah tindakan korupsi dan bersikap masa bodoh terhadap lingkungan dan situasi yang korup.23
Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi sejak Perang Dunia Kedua
menyebutkan, esensi korupsi adalah melalui penipuan dalam situasi yang
mengkhianati kepercayaan. Beliau membagi korupsi membagi ke dalam tujuh
macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif, perkerabatan, defensif,
otogenik dan dukungan.24
Dari bunyi pasal yang demikian, jelas Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun
2001, menghendaki agar yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi
adalah ”setiap orang”. Istilah ”setiap orang” dalam konteks hukum pidana harus
dipahami sebagai orang perorangan (Persoonlijkheid) dan badan hukum
(Rechtspersoon) untuk konteks UU No. 20 Tahun 2001, para koruptor itu bisa
juga korporasi (lembaga yang berbadan hukum maupun lembaga yang bukan
Dalam kajian ilmu pengetahuan, korupsi merupakan objek hukum yang
pada konteks di Indonesia dikategoriukan sebagai salah satu delik kasus di luar
KUHP dan pada saat ini telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang
Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU PTPK).
Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, disebutkan bahwa:
Setiap orang baik penjabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memeperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah).
23 Ibid., hal. 5. 24 Yunus Husein, Alasan Orang Banyak Korupsi, Dimuat di Harian Seputar Indonesia
pada Hari Senin, 12 Juni 2006.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
berbadan hukum) atau siapa saja, entah itu pegawai negeri, tentara, masyarakat,
pengusaha dan sebagainya asal memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam
pasal ini.
Sedangkan bagi siapa saja terbukti melakukan tindak pidanan korupsi,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, akan
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Berkaitan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam Pasal 2
ayat (1) UU PTPK, juga menegaskan bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan
bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang
meluas, penangggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi, maka para pelaku tersebut dapat dipidana mati.
Menurut Darwin Prinst (2002 : 23), keseluruhan sanksi yang terdapat dalam UU PTPK dan khususnya yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) pada dasarnya menganut 3 sifat dari ancaman pidana, yakni: pertama, kata ”dan atau” yang tertuang dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat komulatif dan alternatif. Kedua, kata ”dan” yang terdapat dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut adalah bersifat komulatif. Ketiga, kata ”atau” yang tertera dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat alternatif.25
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, juga menghendaki agar istilah korupsi
diartikan sebagai setiap orang baik penjabat pemerintah maupun swasta yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
25 Paul Sinlaeloe, Korupsi Dalam Perspektif Yuridis, http://www. Sumbawanews.com,
Selasa 18 September 07 (18: 17).
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Itu
berarti, unsur/elemen yang terkandung dalam pasal ini dan harus dibuktikan
berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah pertama, adanya perbuatan
yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara melawan hukum. Kedua,
tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk memperkaya diri sendiri, orang lain
atau korporasi. Ketiga, akibat perbuatan tersebut adalah dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
1. Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, seharusnya
dipahami secara formil maupun secara materil. Secara formil berarti perbuatan
yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang
melawan/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak pidanda korupsi adalah
yang berlaku namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di pidana.
Pengertian melawan hukum secara materi (Materiele Wederrechttelijkeheid)
dalam Hukum Pidana diartikan sama dengan pengertian ”melawan hukum
(Onrechtmatige Daad)” dalam pasal 1365 KUH Perdata dan ini sangat
bertentangan dengan asas legalitas yang bahasa latin, disebut: ”Nullum
Delictum Nulla Poena Lege Pravie Poenali” yang dalam hukum pidana
Indonesia pengertiannya telah diadopsi dan dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP yang berbunyi: ”suatu perbuatan tidak dapat dihukum/dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan yang telah ada”.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Di dalam Yuresprudensi yang sudah ada, dalam teori hukum juga diakui
bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu
tidak saja bertentangan dengan hukum yang dalam bentuk undang-undang,
tetapi bisa juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis yang ditaati
oleh masyarakat.26
1) Pertama, korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efifisiensi tinggi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary efforts).
Dalam kaitannya dengan perluasan unsur melawan hukum ini, berpendapat
bahwa mengikat kharateristik tindak pidana korupsi yang muncul akhir-akhir
ini, idealnya unsur perbuatan melawan hukum harus dipahami baik secara
formil maupun materil karena:
2) Kedua, dalam merespon perkembangannya kebutuhan hukum dalam masyarakat , agar dapat lebih memudahkan di dalam pembuktian sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.27
2. Memperkaya Diri Sendiri, Oran Lain Atau Korporasi
Ada 3 point yang harus dikaji dalam unsur/elemen ini berkaitan dengan suatu
tindak pidana korupsi, yaitu:
1) Pertama, memperkaya diri sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.
2) Kedua, memperkaya orang lain, maksudnya adalah akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.
26 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: Penerbit Politea Bogor,
2000), hal. 294. 27 Marwan Effendi, Tindak Pidana Korupi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia ), 2002,
hal. 14
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
3) Ketika, memperkaya korporasi yakni akbat dari perbuatan mekawan Hukum dari pelaku, suatu korporasi, yaitu kumpulan orang-atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum Maupun bukan badan hukum. (Pasal 1 ayat (1) UU PTPK) yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. 28
Unsur/elemen ini pada dasarnya merupakan unsur/elemen yang sifatnya
alternatif. Artinya jika salah suatu point diantara ketiga point ini terbukti,
maka unsur ”memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi” ini dianggap
telah terpenuhi. Pembuktian unsur/elemen ini sanagt tergantung pada
bagaimana cara orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana korupsi
memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain atau memperkaya korporasi,
yang hendaknya dikaitkan dengan unsur/ elemen ”menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan ”yang tercantum dalam Pasal 3 UU PTPK.
Pasal 3 UU PTPK, disebutkan bahwa:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah).
Dari bunyi Pasal 3 UU PTPK yang seperti ini, maka perlu dipahami bahwa
yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsinya adalah korporasi dan
orang-perorangan (Persoonlijkheid). Namun jika dipahami secara teliti, maka
kalimat ”setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan...”,
28 Paul Sinlaeloe, Op. Cit.,
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal 3 UU PTPK
haruslah orang-perorangan (Persoonlijkheid) dalam hal ini seorang
pejabat/pegawai negeri.
Menurut Pasal 1 ayat (2) UU PTPK, yang dimaksud dengan pegawai negeri
meliputi :
1) Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang kepegawaian (UU No. 8 Tahun 1974).
2) Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 92 KUHP 3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara 4) Orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah 5) Orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.29
Unsur/elemen menyalahgunakan wewenang, kesempata atau sarana yang ada
pada seseorang karena jabatan atau kedudukan dari Pasal 3 UU PPTK ini pada
dasarnya merupai unsur/elemen dalam Pasal 52 KUHP. Namun, rumusan
yang menggunakan istilah umum ”menyalahgunakan” ini lebih luas jika
dibandingkan dengan Pasal 52 KUHP yang merincinya dengan kata, ” ... oleh
karena melakukan tindakan pidana, atau pada waktu melakukan tindak pidana
memakai kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari
jabatannya ... ”
Untuk membuktikan suatu tindak pidana korupsi berkaitan dengan
unsur/elemen yang bersifat alternatif ini, maka ada 3 point yang harus dikaji,
yakni :
1) Menyalahgunakan kewenangan, berarti menyalahgunakan kekuasaan/hak yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan .
2) Menyalahgunakan kesempatan, berarti menyalahgunakan waktu/moment yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
29Ibid.,
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
3) Menyalahgunakan sarana artinya menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.30
3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Point yang harus dibuktikan dalam unsur/elemen ” dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara” berkaitan dengan suatu tindak pidana
korupsi adalah :
1) Merugikan Keuangan Negara
Menurut Penjelasan Umum UU PTPK, yang dimaksud dengan keuangan
negara adalah
Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena : a) berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban pejabat,
lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun daerah b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berbasarkan perjanjian dengan negara
2) Perekonomian Negara
Menurut Penjelasan Umum UU PPTK, perekonomian negara adalah :
Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakn pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bertujuan memberi mamfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Kedua point dalam unsur/elemen ”dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” ini adalah bersifat alternatif. Jadi untuk
membuktikan seseorang melakukan tindak pidana korupsi atau tidak,
berkaitan dengan unsur/elemen ini, maka cukup hanya dibuktikan salah
satu point saja. Namun, yang harus dingat dan diperhatikan dalam 30Ibid.,
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
pembuktian dan dpoerhatikan dalam pembuktian unsur ini ialah kata
“dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” menujukkan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU PTPK
mengamanatkan agar tindak pidana korupsi harus dipahami sebagai
delik Formil dan bukannya delik materil.
Dari pemahaman seperti ini, maka harus disimpulkan bahwa adanya tindak
pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang bersalah atau
koorporasi dapa disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis
cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur pembuatan
melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
B. Kronologis Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia
Secara kronologis perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di
Indonesia di bagi dalam 8 (delapan) fase31
1. Fase Ketidakmampuan Tindak Pidana (ambtsdelicten) dalam KUHP
untuk Menanggulangi Korupsi
, yaitu :
Dalam KUHP teradapat beberapa ketentuan perbuatan oleh pejabat dalam
menjalankan jabatannya, seperti : Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya terdapat
perbuatan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP), membuat palsu
atau memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau janji (Pasal 418, 31Seiring dengan perkembangan peraturan terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, sebelumnya hanya dikenal 6 (enam) fase perkembangan peraturan korupsi (Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi ( Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1999, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal.1-12 ) dan kini menjadi 8 (delapan) perkembangan yaitu ditambah perkembangan fase ketujuh mengenai UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan fase kedelapan tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (disingkat KAK) 2003 yang diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 2006.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
419, dan 420 KUHP) serta menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum (Pasal 423, 425, dan 435 KUHP).
Pada hakekatnya, ketentuan-ketentuan tundak pidana korupsi ini ternyata
kurang efektif dalam menanggulangi korupsi seperti diintrodusir Sudjono
Dirdjosisworo sebagai berikut :
”Tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan dalam pasal-pasal KUHP saat itu dirasakan kurang bahkan tidak efektif menghadapi gejala-gejala korupsi saat itu. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan yang dapat memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap pelaku-pelakunya.”32
2. Fase Kepres No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op de Staat van Oorlog en
van Beleg (Stb. 39-582 jo 40-79 Tahun 1939) tentang Keadaan darurat
Perang
Dengan tolak ukur referensi ilmu Hukum, perkembangan fase kedua ini
dikenal munculnya peraturan-peraturan mengenai korupsi, yaitu :
a. Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi b. Prt/PM-08/1957 tanggal 27 Mei 1957 tentang Penilikan Terhadap Harta
Benda c. Prt/PM-011/1957 tanggal 01 Juli 1957 tentang Penyitaan dan Perampasan
Barang-barang.33
Konsideran dari Prt/PM-06/1957 mengatakan sebagai berikut :
”Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi ... dan seterusnya.”34
32Soedjono Dirdjosisworo, Masalah Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Pustaka Peradilan Jilid IX, (Jakarta: Penerbit Mahkmah Agung RI, 1995), hal. 172. 33Lilik Muliyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya), (Bandung: Alumni, 2007), hal. 6. 34Jur Andi Hamzah, Op. Cit.,hal. 41.
Dalam Prt/PM-06/1957 mulai diperkenalkan batasan korupsi sebagai :
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
a. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain atau kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan perekonomian negara;
b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kekuasaan yang diberikan padanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan materiel baginya.35
Dalam perkembangan selanjutnya, karena melihat fakta-fakta sendiri (ipso
facto) dan menurut dan menurut hukum (ipso jure) terdapat kekurangefektifan
peraturan tersebut, kemudian lahirnya Prt/PM-08/1957. Pada peraturan ini
berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf a Penguasa Militer mempunyai kewenangan
mengadakan penilikan harta benda terhadap setiap orang atau badan didaerahnya
yang kekayaannya diperoleh dengan mendadak atau mencurigakan. Kemudian
berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf b, pengertian harta benda disini adalah sama
dengan harta benda yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Prt/PM-06/1957, yaitu
”segala penghasilan baik tetal maupun yang tidak tetap, segala yang simpanan dimanapun juga, surat-surat berharga, mata uang, barang-barang yang berupa tanah, sawah, perkebunan, perusahaan, rumah, bungalow atau bangunan lain, kendaraan bermotor, perabot rumah tangga yang mahal, mas, intan, barang-barang perhiasan dan lain sebagainya yang berlimpah-limpah, semua itu baik yang atas nama diri sendiri, suami atau istri, anaknya, orang lain maupun atas nama suatu badan yang diurusnya.”36
Akan tetapi, peraturan Prt/PM-08/1957 tidak lama, kemudian diganti
dengan Prt-PM-011/1957, dalam konsiderans butir a ditentukan perlunya
diadakan aturan tentang kekuasaan Penguasa Militer untuk menyita danmerampas
harta benda yang asal mulanya diperoleh dengan perbuatan melawan hukum
37
35Lilik Mulyadi, Op. Cit., 36Ibid, hal,.7-8 37Dalam ketentuan Pasal 1 Prt/PM-011/1957 tanggal 1 Juli 1957 yang dimaksud dengan perbutan melawan hukum adalah tiap perbuatan atau kelalaian yang: a.mengganggu hak
dan dalam Pasal 2 disebutkan bahwa ketentuan tersebut dibuat guna memberi
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
dasar kepada kewenangan Penguasa Militer untuk dapat menyita dan merampas
barang –barang yang tidak sengaja atau karena kelalaian tidak ditearangkan oleh
pemiliknya/pengurusnya, harta benda yang terang siapa pemilik atau pemilik
pembantu harta benda dianggap diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.
Dari ketiga peraturan Penguasa Militer ini, secara eksplisit Soedjono
Dirdjosisworo menyimpulkan :
“Di samping hal-hal yang berhubungan dengan keadaan darurat sebagaimana telah diuraikan dimuka, maka pada ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut tercermin bahwa pihak penguasa pada saat itu menetapkan kehendak politik (polotical will) dengan tekad yang sungguh-sungguh berusaha memberantas korupsi di Indonesia. Kemudian, kehendak politik yang dituangkan dengan peraturan-peraturan Penguasa Militer tersebut merupakan ”modal” berharga untuk dikembangkan dan disempirnakan dalam rangka membuat undang-undang tentang penanggulangan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan citra masyarakat Indonesia.”38
3. Fase Keppres No. 225 Tahun 1957 jo UU No.74 Tahun 1957 jo. UU No. 79
Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya
Latar belakang dikeluarkannya peraturan ini disebabkan begitu
merajalela perbuatan-perbuatan korupsi pada saat tersebut sehingga
diharapkan dalan waktu sesingkat mungkin perbuatan korupsi dapat diberantas.
Akan tetapi, walau harapan itu jauh dari kenyataan, sejarah mencatat bahwa
peraturean Penguasa Perang ini memperkenalkan dan mengklasifikasikan batasan
perbuatan korupsi lainnya sebagaimana disebutkan pada bagian I Pasal 1 yang
dijabarkan oleh Pasal 2 dan Pasal 3 dengan perumusan sebagai berikut :
a. Perbuatan korupsi pidana Yang disebut sebagai perbuatan korupsi adalah :
orang lain, b) bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, c) bertentangan dengan kesusilaan, d) bertentangan dengan ketelitian, keseksamaan atau kecermatan yang harus diperhatikan dalam pergaulan masyarakat terhadap tubuh atau harta benda orang lain.
38 Soedjono Dirdjosisworo, Op.Cit., hal. 174-175.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
1) Perbuatan seseoranag yang dengan sengaja atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan keuangan negara atau daerah dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau kelongaran-kelonggaran dari masyarakat.
2) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatau kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain aau suatu badan , serta dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan .
3) Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP.
b. Perbuatan korupsi lainnya Yang disebut sebagai perbuatan korupsi lainnya : 1) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan
melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempegunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.39
Kemudian bedasarkan peraturan ini, ditiap-tiap wilayah Pengadilan
Tinggi diadakan suatu Badan Koordinasi Penilik Harta Benda yang selanjutnya
disebut Badan Koordinasi yang dipimpin oleh Pengawas Kepala kejaksaan
Pengadilan Negeri Propinsi setempat dan yang mempunyai hak mengadakan
penilikan harta benda setiap orang dan setiap badan, jika ada petunjuk kuat untuk
itu. Harta benda yang dapat dirampas atau disita oleh Badan Koordinasi dapat
berupa :
a. Harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak diterangkan olehnya atau oleh pengurusnya;
b. Harta benda yang tidak terang siapa pemiliknya;
39Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.10-11.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
c. Harta benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki tidak seimbang denga penghasilan mata pencahariannya;
d. Harta benda yang asal usulnya melawan hukum; e. Harta benda seseorang atau suatu badan yang keterangannya ternyata tidak
benar; f. Harta benda yang dipindah atas nama orang lain jika ternyata, bahwa
pemindahan nama dilakukan untuk menghindari beban, berhubung dengan ketentuan suatu aturan dan orang lain itu tida dapat membuktikan, bahwa ia memperoleh barang itu dengan itikad tida baik.40
Dalam Pasal 13 ditentukan tentang penyitaan dilakukan dengan cara :
a. Mengenai barang tidak tetap dengan mengambil barang itu dan menyampaikan berita acara tertulis tentang penyitaan itu kepada orang lain yang bersangkutan ;
b. Mengenai harta yang seperti dimaksud dalam Pasal 511 KUHPerdata dengan pemberitahuan kepada orang yang bersangkutan dengan surat tercatat tentang penyitaan itu dan kemudian, sekedar merupakan barang yang berwujud, dengan diambilnya, atau jika harta terdaftar, dengan dicatatnya pemberitahuan tersebut dalam daftar harta harga itu;
c. Mengenai piutang yang tidak disebut dalam pasal 511 KUHPerdata dengan memberitahukan dengan surat tercatat tentang penyitaan hak atas barang tetap itu kepada orang yang bersangkutan dan kemudian dicatatkannya pemberitahukan tersebut dalam daftar menurut overscgrijvings-ordonantie (Stb. 1831 No.27)
d. Mengenai barang tetap yang dikuasai oleh hukum adat, dengan pemberitahuan dengan surat tercatat tentang penyitaan hak atas barang tetap itu kepada orang yang bersangkutan dan kepada Kepala Desa yang bersangkutan atau yang sejenis dengan itu.41
Pada dasarnya, berdasarkan ketentuan Pasal 19, 26, 27, 35, 38, dan 55
Peraturan di atas, dikenal adanya pemeriksaan harta benda oleh Pengadilan Tinggi
yang dalam pemeriksaan harta benda ini, terhadap Pengadilan Tinggi tidak dapat
dimintakan banding atau kasasi. Kemudian pengusutan, penuntutan dan
pemeriksaan perbuatan korupsi pidana diperiksa dan diadili oleh Pengadilan-
Pengadilan di daerah masing-masing menurut undang-undang dan hukum acara
pidana yang berlaku sekedar dalam Peraturan Perang Pusat ini tidak ditentukan
lain. Berikutnya, terhadap cara mengadili anggota angkaan perang yang
40 Ibid., hal. 11-12. 41 Ibid., hal. 12-13.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
melakukan perbuatan korupsi pidana harus diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan ketentaraan (sekarang Pengadilan Militer ) dan Peraturan
Penguasa Perang Pusat ini disebut sebagai ”Peraturan Pemberantasan Korupsi”.
4. Fase Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
Dalam konsiderans huruf a sampai dengan d Perpu No. 24 Tahun 1960.
Ditegaskan sebagai berikut :
a. Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang meyangkut keuangan Negara atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari negara atau masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan seperti tindak pidana, perlu diadakan beberapa aturan pidana khusus dan peraturan-peraturan khusus tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan itu yang disebut tindak pidana korupsi.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut sub a telah diadakan peraturan Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958, No. Prt/Peperpu/013/1958 dan peraturan-peraturan pelaksanaanya peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 Tanggal 17 April 1958;
c. Bahwa peraturan-peraturan Peperpu tersebut perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan;
d. Bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang. 42
Kemudian, berdasarkan Bab I tentang Pengertian Tindak Pidana Korupsi
pada pasal 1 diberikan batasan yang disebut Tindak Pidana Korupsi , adalah :
a. tindakan seseorang yang dengan atau melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara lansung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugiakan merugikan keuangan suau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat;
b. perbuatan seseorang yang dengan atau melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;
42Ibid., hal. 14-15.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
c. kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP. 43
Dalam ketentua UU No.24 Prp 1960, adanya kekuatan bahwa dalam
jangka 3 (tiga ) bulan setelah orang ditahan sementara perkaranya harus diajukan
di muka hakim, kemudian jaksa hanya diperbolehkan mengenyampingkan perkara
korupsi diadili oleh Pengadilan Negeri dan khusus terhadap pengusutan, penuntut
dan pemeriksaan di muka pengadilan dari anggota angkatan perang atau oleh
orang-orang yang ada di bawah kekuasaan Pengadilan ketentaraan dilakukan oleh
petugas petugas menurut atauran yang ditentukan dalam aturan acara pidana
ketentaraan da dikenal pula adanya peradilan terpisah.
5. Fase UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidan korupsi
Kalau dijabarkan kalau terinci, detail dan intens, UU No. 3 Tahun 1971
tediri dari 7 bab dan 37 Pasal disahkan dan diundangkan pada tanggal 29 Maret
1971. Adapun dasar pertimbangan/konsiderans huruf a dan b UU No. 3 Tahun
1971 mengenai dicabutnya UU No. 24 Prp 1960 adalah bahwa perbuatan korupsi
sangat merugikan keuangan /perekonomian negara dan menghambat
Pembangunan Nasional serta berhubung dengan perkembangan masyarakat
kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan sehingga undang-
undang tersebut perlu diganti.
Apabila diperhatikan dengan seksama pada ketentuan UU No. 3 tahun
1971 ada beberapa aspek khusus dalam pengaturan Tindak Pidana Korupsi Jikalau
dibandingkan dengan UU No. 24 Prp 1960, yaitu pada dimensi-dimensi :
a. Bahwa dalam ketentuan UU No.3 Tahun 1971 tidak diisyaratkan dalam tindak pidana korupsi adanya anasir kejahatan atau pelanggaran
43 Ibid., hal. 15-16.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
sebagaimana diintrodusir oleh UU No. 24 Prp 1960. Akan tetapi, diganti dengan terminoloi pengertian dengan melawan hukum yang diartikan pengertian melawan hukum formal dalam artian khusus saja da melawan hukum materiel dalam artian bukan saja hukum tertulis, tetapi juga hukum yang tidak tertulis.
b. Perluasan pengertian pegawai negeri dalam UU No. 3 Tahun 1971 dimana diartikan juga meliputi orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan-badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
c. Adanya pengaturan mengenai percobaan atau pemufukatan untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi karena pembentk undang-undang memandang tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara, percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi merupakan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman yang sama dengan ancaman bagi tinda pidana yang telah diselesaikan.
d. Adanya penambahan Pasal-Pasal KUHP yang ditarik dala tindak pidana korupsi bukan saja pasal 209, 210, 415, 418, 419, 420, 423 dan 425, tetapi ditambahkan lagi dengan pasal 387, 388, KUHP dan dalam UU No. 3 tahun 1971 diatur juga mengenai hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun penjara dan denda setinggi-tingginya Rp.30.000.000, 00 ( tiga puluh juta rupiah )
e. Dikenal adanya pidana tambahan sebaimana dikenal dalam KUHP yaitu berupa perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berwujud mupun yang tak berwujud.
f. Dalam pasal 9 UU No. 3 Tahun 1979 diatur tentang Menteri Keuangan dapat memberi izin kepada jaksa untuk minta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan tersangaka dan dengan izin Menteri Keuangan, Bank wajib memperlihatkan surat-sarat Bank dan memberikan keterangan tentang keuang an dari tersangka.44
6. Fase UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pada hakikatnya ada bebeapa aspek krusial yang membedakan UU No.3
Tahun 1971 dengan UU No. 31 tahun 1999, yaitu sebagai berikut :
a. Pengertian pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU
No. 31 Tahun 1999.
44Ibid., hal. 16-17
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Pegawai Negeri adalah
1) pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;
2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-undang Hukum pidana;
3) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; 4) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu koorporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; 5) atau orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
b. Perluasan adanya pengertian perbuatan melawan hukum yaitu mencakup
perbuatan melawa hukum dalam arti formil maupun materil. Dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (1) maka kata dapat sebelum frasa merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak
pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
korupsi cukup dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah sirumuskan
bukan dengan timbulnya akibat.
c. Adanya perluasan terhadap pengertian keuangan negara dan
perekonomian negara.
d. Adanya pengaturan korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang
dapat dikenakan sanksi, penentuan ancaman minimum khusus dan
maksimun ( Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 21, 22, dan 23), adanya
pidana tambahan ( Pasal 18 ), pidana denda yang lebih tinggi dan ancaman
pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.
e. diperkenalkan tim Gabungan yang dikordinasikan Jaksa Agung terhadap
tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya sedangkan proses
penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peratura
perundangan-undangan yang berlaku.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
f. Diperkenalkannya asas beban pembuktian terbalik yang bersifat terbatas
atau berimbang yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri, atau
suami, anak dan dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
g. Bahwa UU No.31 Tahun 1999 menentukan bahwa pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana serta adanya peran Kejaksaaan sebagai
Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata kepada yang
bersangkutan atau ahli warisnya atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan.
h. Adanya peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan, pemberantasan
korupsi
i. Adanya penghargaan dari pemerintah kepada anggota masyrakat yang
telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan atau
pengungkapan tindak pidana korupsi. Dan 2 (dua) tahun sejak undang-
undang ini berlaku dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kemudian, untuk menambah dinamika dan kesinambungan
pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 diperbaharui
dengan dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2001. Pada prinsipnya perubahan ini
beorientasikan aspek-aspek berikut :
a. Adanya ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001, ditentukan
dalam penjelasan Pasal kemudian diubah sehingga rumusannya
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 UU
No. 20 Tahun 2001 menjadi berbunyi :
”Yang dimaksud dengan ’keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penaggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasioanl, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi.”
b. Ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12, rumusannya diubah dengan
tidak mengacu Pasal-pasal dalam KUHP, tetapi lansung menyebutkan
unsur – unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang
diacu.
c. Diantara Pasal 12 dan 13 UU No. 31 Tahun 1999 disisipkan adanya 3
(tiga) buah Pasal baru yakni pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C yang
pada dasarnya bahwa ketentuan mengenai Pidana penjara dan pidana
denda sebagaimana dimaksud Pasal 5, 6, 7, 9, 10, 11, dan 12 tidak berlaku
bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000,00
(lima juta rupiah) dan dipidana paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Kemudian adanya pembuktian terbalik yang bersifat mutlak.
d. Bahwa mengenai alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana
ketentuan Pasal 188 ayat (2) KUHAP khusus untuk tindak pidana korupsi
dapat juga diperoleh dari : a) alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau serupa dengan itu; b) dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
dalam kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam
secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka atau performasi yang memiliki makna.
e. Dalam Bab VI dan VII UU No. 31 Tahun 1999 ditambah Bab baru yakni
Bab VI A dalam UU No.20 Tahun 2001 mengenai Ketentuan Peralihan
ynag berisi 1 (satu) Pasal yaitu pasal 43 A yang menentukan, bahwa
Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum UU No. 31 Tahun 1999
diundangkan, diperiksa dan diputus bedasarkan UU no. 3 Tahun 1971
dengan ketentuan maksimun pidana penjara yang menguntungkan
terdakwa diperlakukan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 13 UU No. 31 tahun
1999 dan ketentuan minimun penjara tidak berlaku bagi tindak pidana
korupsi yang terjadi sebelum UU No. 31 Tahun 1999.
f. Kemudian dalam Bab VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu ) pasal baru
yakni pasal 43 B yang menentukan bahwa, ”Pada saat mulai berlakunya
Undang-undang ini, Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419,
420, 423, 425 dan pasal 435 KUHP jis UU No. 1 tahun 1946 sebagaima
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU. 27 Tahun 1999 tentang
Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan
Kejahatan terhadap Keamanan Negara , diyatakan tidak berlaku”.
7. Fase UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Pada fase ini, mulai sikenak adanya lembaga baru yang menangani Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) adalah lembaga
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen
dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Bedasarkan ketentuan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002, dikenal adanya
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) yang mengadili perkara-
perkara yang dilakukan penyidikan dan penuntut oleh KPK dengan adanya
Majelis Hakim Ad-Hoc yang terdiri dari 2 (dua) Hakim Karier dan 3 (tiga) orang
Hakim Ad-Hoc. Akan tetapi, ternyata berdasarkan pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi No.021-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006
pada halaman 286 dan seterusnya, eksitensi ketentua Pasal 53 tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 dengan pertimbangan akibat hukum berupa agar
pemeriksaan perkara yang sedang ditangani tidak terganggu sehingga
menimbulkan kekacauan hukum, tidak menimbulkan implikasi melemahnya
semangat pemberantasan korupsi dan perlu adanya waktu penyempurnaan UU
KPK yang baru, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam amar menetapkan adanya
rentang waktu 3 (tiga) tahun untuk menyatakan ada kekuatan mengikat putusan
tersebut.45
8. Fase Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang diratifikasi dengan UU No. 7
Tahun 2006
Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (disingkat KAK 2003), secara global
dan representatif memuat 8 (delapan) Bab 46
45 Ibid., hal 33. 46 Bab I Ketentuan-ktentuan umum; Bab II Tindakan-tindakan pencegahan; Bab III Kriminalisasi dan Penegakan Hukum; Bab IV Kerja sama Internasional; Bab V pengembalian aset; Bab VI Bamntuan teknis, Bab VII Mekanisme untuk Pelaksanaan; Bab VIII Pasal-pasal penutup
, memuat beberapa substansi menarik
dilihat dari aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Aspek filosofis KAK 2003 memberikan justifikasi filsafati mengapa
tindak pidana korupsi harus ditentang, diberantas dan dilakukan penindakan.
Aspek sosiologis menentukan bagaimana suatu masyarakat harus dibangun oleh
pemerintah yang bersih (clean governmant) tanpa korupsi dengan tetap
mengedepankan asas-asas dan ketentuan hukum positif (ius constitutum) yang
berlaku dengan tetap menjungjung tinggi keadilan, kemamfaatan dan kepastian
hukum. Kemudian, aspek yuridis merupakan justifikasi yang mengakui adanya
dasar ketentuan hukum dan perkembangan pembaharuan perundang-undangan
Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perspektif KAK 2003 dari ketiga aspek di atas mendeskripsikan bahwa
KAK 2003 mempergunakan beberapa pendekatan dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi, yaitu preventif, represif, dan restoratif. Strategi tersebut
berorientasi kepada aspek pencegahan, penindakan, kerja sama internasional
khususnya dalam pengembalian aset dan serta menetapkan kedudukan dan
peranan swasta dan keikutsertaan peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Konsekuensi logis aspek tersebut, strategi pemberantasan tindak pidana
korupsi sesuai KAK 2003 di Indonesia merupakan pendekatan gabungan antara
Civil law System dan Common Law System sebagaimana implisit terdapat subtansi
Bab I Pasal 1 tentang statement of purpose dimana tujaun dai KAK 2003, adalah :
a. Meningkatkan dan memperkuat tindakan-tindakan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efisien dan efektif;
b. Meningkatkan , memudahkan dan mendukung kerja sama internasional dan bantuan teknik dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, termasuk memperoleh pengembalian aset;
c. Meningkatkan integritas, akuntabilitas, dan pengelolaan masalah-masalah dan kekayaan publik yang baik dan benar.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Dalam KAK 2003 tindak pidan korupsi dibagi atas 4 (empat) macam,
yaitu :
a. Tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Bribery of national Public OfficialsI) ( Pasal 15, 16, dan 17);
b. Tindak pidana korupsi penyuapan disektor awasta (Bribery in the private sector) (Pasal 21 dan 22 );
c. Tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya secara tidak sah (Illicit enrichment ) ( Pasal 20 );
d. Tindak pidana korupsi terhadap memperdaganakan pengaruh ( Trading in influence) (Pasal 18).47
C. Peraturan – Peraturan Yang Terkait Dengan Pemberantasan Korupsi
1. Tap MPR
Tap MPR No.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme.
2. Undang - Undang
a. Undang – Undang No. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap
b. Undang – Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
c. Undang – Undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
d. Undang – Undang No. 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Republik
Indonesia
e. Undang – Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi , Kolusi, dan Nepotisme
f. Undang – Undang No. 35 Tahun 1999 Tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
47 Lililk mulyadi, Op. Cit., hal. 41.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
g. Undang – Undang No. 3 Tahun 1971 jo UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
h. Undang – Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
i. Undang – Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang–
Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
j. Undang – Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
k. Undang – Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
l. Undang – Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang –
Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
m. Undang – Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
n. Undang – Undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
o. Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
p. Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah
q. Undang – Undang No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan timbal Balik
Dalam Masalah Pidana
r. Undang – Undang No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 ( Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003)
s. Undang – Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 24 Tahun 1960
Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
4. Peraturan Pemerintah
a. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler
dan Keuangan Pimpinan Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
b. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwailan Rakyat Daerah
c. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler
dan Keuangan Pimoinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
d. Peraturan Pemerintah Nomor. 110 Tahun 2000 Tentang Kedudukan
Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
e. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
f. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Instuksi Presiden
Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi 2004
6. Keputusan Presiden
a. Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2006 Tentang Unit Kerja Presiden
Pengelolaan program dan Reformasi
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
b. Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
c. Keputusan Presiden No. 61 Tahun 2004 Tentang perubahan atas
Keputusan Presiden No. 8 0 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pengadaan
Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintahan.
d. Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah
e. Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1970 Tentang Pembetukan ”Komisi 4”
7. Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Penyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
8. Putusan Mahkamah Konstitusi
a. Putusan Perkara dengan Nomor 012-016-019/PUU-VI/2006 Tanggal 19
Desember 2006: Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap UUD 1945
b. Putusan Perkara dengan Nomor 010/PUU-VI/2006 Tanggal 25 Juli 2006
Pengujian UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Terhadap UUD 1945
c. Putusan Perkara dengan Nomor 003/PUU-IV/2006 Tangal 25 Juli 2006:
Pengujian UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan uu no. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Terhadap
UUD 1945
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
d. Putusan Perkara Dengan Nomor 069/PUU-II?2004 Tanggal 15 Desember
2005: Pengujian UU No. 30 tahun 2002 Pasal 68 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi Terhadap Pasal 28 huruf I ayat (1) Perubahan Kedua
UUD Negara RI Tahun 1945
e. Putusan Perkara Dengan Nomor 006/PUU-I/2003 Tanggal 30 Maret 2004
Pengujian UU No.30 Tahun 2002 Tentang KPTPK
f. Putusan Perkara Dengan Nomor 024/PUU-I/2003 Tanggal 13 Juli 2004
Pengujian UU No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
g. Putusan Perkara Dengan Nomor 004/PUU-II/2003 Tanggal 13 Desember 2004
: Pengujian UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadila Pajak
9. Konvensi Internasional
United Nations Convention Against Curruption
D. Jenis – jenis Delik Tindak Pidana Korupsi Menurut UU Korupsi
Menurut perspektif hukum, jenis – jenis delik tindak pidana korupsi secara
gamblang telah dijelaskan di dalam 13 Pasal dalam UU PTPK. Berdasarkan pasal-
pasl tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 (tiga puluh) bentuk / jenis tindak
pidana korupsi. Ketiga puluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi tersebut pada
dasarnya bisa dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kerugian uang negara (Pasal 2 dan Pasal 3)
2. Suap-menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6
ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c,
dan d, Pasal 13).
3. Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c).
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
4. Pemerasan (Pasal 12 huruf e, f dan g).
5. Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, b dan c, Pasal 7 ayat (2) dan
Pasal 12 huruf h).
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i).
7. Gratifikasi (Pasal 12 B dan Pasal 12 C).
Selain defenisi tindak pidana korupsi yang telah dijelaskan diatas, masih
ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidanan korupsi, yaitu :
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21)
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
(Pasal 22 jo Pasal 28)
3. Bank yang tidak memberikan keterngan rekening tersangka (Pasal 22 jo
Pasal 29)
4. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi
keterangan palsu (Pasal 22 jo Pasal 35)
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberi keterangan palsu (Pasal 22 jo Pasal 3)
6. Saksi yang membuka rahasia pelapor (Pasal 24 jo Pasal 31)
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
BAB III
MODUS PENCUCIAN UANG YANGDAPAT DILAKUKAN UNTUK
MENYEMBUYIKAN UANG HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Pencucian Uang
Setiap perbuatan kejahatan dalam kegiatannya apabila dilihat dari rumusan
delik dalam hukum pidana maka pembuatan itu harus dapat dibuktikan, dalam
rumusan delik menunjukkan apa yang harus dibuktikan menurut hukum pidana,
semua yang tercantum dalam rumusan delik harus dibuktikan menurut aturan
hukum pidana.
Dalam pembuatan tindak pidana pencucian uang terdapat beberapa unsur
yang bisa dikelompokkan dan mengandung suatu pengertian yang sama, misalnya
dalam pasal 6 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No. 15
tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU), yaitu :
Setiap orang yang menerima atau menguasai :
a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran d. hibah; e. sumbangan; f. penitipan, atau g. penukaran,
Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.00,- (lima belas milyar rupiah).” Unsur-unsur dalam pasal 6 ayat (1) adalah :
1. Setiap orang
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
2. Menerima dan menguasai 3. Penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
atau penukaran 4. Harta kekayaan 5. Diketahuinya atau patut diduganya 6. Merupakan hasil pidana
Ini merupakan unsur-unsur delik tertulis yaitu persyaratan tertulis untuk
dapat dipidana, untuk dapat dipidana maka semua unsur harus dituduhkan dan
dibuktikan. Kemudian unsur-unsur tersebut terdapat yang mengandung pengertian
yang sama, yaitu48 :
Menerima atau mengusai Penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan atau penukaran adalah merupakan suatu kegiatan Transaksi Harta kekayaan merupakan Harta Kekayaan Diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana adalah merupakan suatu rangkaian perbuatan
1. Transaksi
Melawan Hukum Sehingga dalam unsur tindak pidana pencucian uang terdapat unsur pokok yang harus selalu ada di dalam setiap perbuatan tindak pidana pencucian uang, yaitu :
Transaksi menurut pasal 1 butir 6 UU TPPU adalah : “seluruh kegiatan
yang menimbulkan hak dan kewajiban atau meyebabkan timbulnya
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan
perntransferan dan atau pemindah bukuan dan yang dilakukan dengan oleh
penyedia jasa keuangan.”
Transaksi menurut Kamus Akuntansi, yaitu :
a. Kejadian atau kondisi yang dilakukan dengan membuat ayat dalam buku akuntansi
48 Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), (jakarta:MQS
Publishing & Ayyccs Group, 2006), hal.56
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
b. Pelaksanaan perintah membeli dan menjual suatu surat berharga atau kontrak komoditi berjangka setelah pembeli dan penjul menyepakati harganya, penjual harus menyerahkan surat berharga atau komoditi yang dijual dan pembeli harus meneriman atau membayarnya.
c. Suatu peristiwa bisnis, yang diukur dalam bentuk uang yang dicatat dalam
catatan keuangan suatu perusahaan atau suatu organisasi bisnis.48
Transaksi, dalam tatanan hukum Indonesia terdapat dalam KUHPPerdata,
secara lebih sederhana transaksi mengandung suatu kejadian jual beli,
sedangkan jual beli menurut Pasal 1457 KUHPPerdata adalah “Suatu
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk mebayar harga yang
telah dijanjikan.”
Transaksi keuangan mencurigakan menurut UU TPPU diatur dalam pasal 1
butir 7 adalah:
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi, dari nasabah yang bersangkutan
b. Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini atau
c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga dari hasil tindak pidana.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum Pasal 13 ayat (1) huruf (a) UU TPPU
dijelaskan bahwa :
Pada dasarnya Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri yang baku, karena hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meskipum demikian, terdapat ciri-ciri umum dari Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dapat dijadikan acuan antara lain sebagai berikut : a. Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas;
48 Syahrul, Kamus Akuntansi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 854.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
b. Tidak menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran;
c. Aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran. 2. Harta Kekayaan
Harta kekayaan menurut Pasal 1 butir 4 UU Tindak Pidana Pencucian Uang
adalah ”Semua benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang berwujud
maupun tidak berwujud.”
Dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU dijelaskan tentang harta kekayaan yang
merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, yaitu :
a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. di bidang perbankan; g. di bidang pasar modal; h. di bidang asuransi; i. narkotika; j. psikotropika; k. perdagangan manusia; l. perdagangan senjata gelap; m. penculikan; n. terorisme; o. pencurian; p. penggelapan; q. penipuan; r. pemalsuan uang; s. perjudian; t. prostitusi; u. di bidang perpajakan; v. di bidang kehutanan; w. di bidang lingkungan hidup; x. di bidang kelautan; atau y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat)
tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa
”Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak
perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat
dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.”
Menurut KUHPerdata :
a. Dalam Pasal 499 KUHPPerdata dinyatakan bahwa yang dinamakan
kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai
oleh Hak Milik;
b. Dalam Pasal 500 KUHPPerdata dinyatakan bahwa segala apa yang karena
hukum termasuk kebendaan, seperti pun segala hasil dari kebendaan itu,
baik hasil karena alam maupun hasil karena pekerjaan orang, selama yang
akhir-akhir ini melekat pada kebendaan itu.
c. Dalam Pasal 503 sampai dengan 505 KUHPPerdata dinyatakan bahwa :
1) Tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tidak bertubuh
2) Tiap-tiap kebendaan bergerak atau tidak bergerak
3) Tiap-tiap kebendaan bergerak adalah tempat dihabiskan atau tak dapat
dihabiskan, kebendaan dikatakan dapat dihabiskan bilamana karena
dipakai menjadi habis.
3. Perbuatan Melanggar Hukum
Melanggar hukum berasal dari kata unlawful yang artinya tidak menurut
hukum, tidak sah atau melanggar hukum.49
49 Tb. Irman S, Op.Cit.,hal.75.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Melanggar hukum secara umum yaitu bertentangan dengan atau dilarang oleh
undang-undang atau bertentangan dengan keabsahan atau prosedur yang
diterima, ketidakteraturan dan bermoral atau bertentangan dengan kebiasaan.50
Melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
51
B. Lahirnya International Legal Regime dalam upaya Pemberantasan
Pencucian Uangdi Dunia
Dalam Pasal 1365 KUHPPerdata dinyatakan bahwa, tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Lahirnya Regim International untuk memberantas pencucian uang dimulai
pada saat masyarakat internasional merasa gagal dalam upaya memberantas
kejahatan yang berkaitan dengan obat bius dengan segala jenisnya. Regim Anti
Pencucian Uang pada dasarnya merupakan regim kerjasama internasional dalam
hukum pidana, antara laian mengharuskan kerjasama antara pemerintah suatu
negara dengan organisasi internasional dalam hal investigasi, penuntutan,
ajudikasi dan eksekusi dalam perkara pidana.
Pada tahun 1988 lahir United Nations Conventions Against Illicit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Vienna Drug Convention 1988),
50 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material dalam Hukum
Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2001), hal.186. 51 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003),
hal. 11.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
yang merupakan titik kulminasi untuk pemberantasan pencucian uang dari
kejahatan yang berkaitan dengan narkotika dan psikotropika.
Vienna Drug Convention 1988 mengajak negara pesertanya untuk
melakukan penegakan hukum khususnya mengambil langkah untuk mencegah
dan memberikan sanksi internasional pada perdagangan obat bius, lebih khusus
lagi ditujukan untuk hasil-hasil kejahatan yang berkaitan dengan perdagangan
ilegal obat bius itu. Terdapat ketentuan-ketentuan yang sangat penting dalam
Konvensi ini berkenaan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian
uang dari hasil kejahatan perdagangan obat bius.
Pasal 3 (1) (a) mengharuskan setiap negara anggota melakukan
kriminalisasi pencucuian uang yang berkaitan dengan obat-obat bius, selain itu
mengatur ketentuan-ketentuan mengenai daftar pelanggaran yang berkaitan
dengan industri, distribusi atau penjualan gelap obat bius dan organisasi serta
pengolahannya, atau keuangan dari aktivitas perdagangan gelap obat bius. Pasal
tersebut sekaligus membentuk International Anti Money Loundring Legal Regim,
yang merupakan salah satu upaya internasional untuk menetapkan regim hukum
internasional baru dalam memberantas perdagangan obat bius, yang antara lain
melalui suatu badan internasional.
Selanjutnya Pasal 5 meminta negara penandatanganan untuk memberikan
kewenangan kepada pengadilan dan otoritas lainnya yang relevan untuk
membekukan atau menyita hasil-hasil kejahatan perdagangan obat bius. Selain itu
juga memberikan kewenangan memerintahkan penyitaan catatan keuangan
berkaitan dengan investigasi pencucin uang.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Konvensi ini juga menekankan pentingnya kerjasama internasional dalam
memberantas perdagangan obat bius dan dipandang lebih efektif apabila
dilakukan dalam dimensi internasional. Ketentuan mengenai kerjasama tersebut
antara lain terdapat dalam Pasal 6 yang mengatur mengenai ekstradisi terhadap
seorang pelanggaran tindak pidana perdagangan gelap obat bius. Pasal 7
berkenaan dengan mutual legal assistance (bantuan timbal balik berkenaan
dengan perkara pidana). Pasal 8 menekankan perlu adanya sling kerjasama di
bidang hukum serta prosedur pelaksanaan dan bantuan di bidang hukum untuk
memerangi kejahatan narkotika dan obat-obat terlarang.
Kalau pada awalnya Konvensi Wina 1988 mengatur pencucuian uang
hanya dari kejahatan narkotika, makadalam perkembangannya upaya penegakan
hukum dan kriminalisasi anti pencucian uang bukan saja dari hasil perdagangan
gelap obat bius tetapi juga mencakup bentuk-bentuk lain kejahatan lain seperti
kejahatan terorganisasi, korupsi, terorisme, perjudian dan lain-lain yang
menghasilkan uang yang besar.
Regim ini memiliki beberapa kelemahan dan sulit untuk dilaksanakan.
Kesulitan tersebut antara lain karena perbedaan budaya, sistem hukum masing-
masing negara, hukum acara pidana dan substansi hukum pidana. Maka tidak
mengherankan apabila kerjasama ini lebih memberikan peluang pada negara-
negara dengan sistem hukum yang sama. Seperti negara dengan sistem common
law yaitu Kanada, negara persemakmuran Inggris dan Amerika. Karena banyak
kendala tersebut, sejauh ini hanya ada 3 negara yang mampu mengintegrasikan
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
hukum nasionalnya dengan inter-state penal coorperation, yaitu Jerman, Swiss,
dan Austria.52
Berkenaan dengan Konvensi Wina 1988, Sesi Khusus ke-17 United Nation
General Assambly mengadopsi deklarasi politis untuk melakukan pencegahan
penggunaan sistem bank dan lembaga keuangan lainnya untuk mencuci uang.
Juga mengadopsi Global Program of Action (Glopac) sebagai pelengkap dalam
rangka melakukan tindakan untuk memerangi pencucian uang, termasuk
pengembangan kerjasama misalnya United Nation Drugs Control Program
(UNDCP) Legal Assistance Money Loundring Model Law (1993), Commission on
Narcotic Drugs (CND) Resolution: Encouraging the Reporting of Suspicius or
Unusual Transaction to a National Organization internasional Each State, and
the Development of Effective Commuication Among Competent Authorities to
Faciliate the Investigation and Prosecution of Money Loundring Activities
(1995).
53
1. Financial Action Task Force 1989 (FATF)
Selain Vienna Convention 1988, maka muncul juga grup-grup antar negara
seperti:
FATF merupakan suatu badan antar pemerintahan negara yang didirikan oleh
G-7 Summit di Paris pada Juli 1989yang bertujuan untuk memerangi
pencucian uang.
Pada tahun 1990 FATF mengeluarkan Rekomendasi yang disebut Forty
Recommendations dalam rangka memerangi praktik pencucian uang.
52 Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Loundring), (Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.139. 53 Ibid., hal. 140.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Rekomendasi ini direvisi pada 1996 berkaitan dengan semakin bervariasinya
metode yang digunakan oleh pelaku pencucian uang.
Diantara Forty Recommendations FATF ada beberapa ketentuan yang sangat
pokok yaitu :
a. Introduksi sistem Suspicious Activity Reporting System (SAR) yang baru b. Modifikasi sistem pelaporan transaksi mata uang (TR: Currency
Transaction Reporting System) c. Perluasan daftar tindakan pencucian uang dalam memberantas terorisme,
pelanggaran migrasi dan kesehatan d. Peningkatan kerjasama antarnegara dan perwakilan industri keuangan
global dalam upaya melawan kegiatan pencucian uang melalui penetapan kelompok kerja
e. Implementasi proyek gateway yang menyediakan dana-dana inteligen keuangan secara online antarnegara dan pemerintah-pemerintah daerah
f. Penetapan aturan baru dalam pencatatan transfer dana g. Memperluas pengaturan hukum dan penegakan hukum dalam memerangi
pencucian uang h. Staff Training yaitu memberikan suatu pelatihan dalam rangka mengenali
dan menangani transaksi-transaksi yang mencurigakan, sistem pelaporan, prosedur identifikasi dan verifikasi, penjelasan kepada nasabah mengenai substansi kejahatan pencucian uang.54
2. Carribbean Financial Task Force (CFATF) pada 10 Juni 1990. Anggota
CFATF bukan saja terdiri dari negara-negara Kepulauan Caribia tetapi
meliputi Eropa, Amerika Tengah, Selatan dan Utara, termasuk juga Amerika
Serikat. CFATF dibentuk sebagai tindak lanjut atas diadakannya Carribbean
Drug Money Loundering Conference di Aruba pada tahun 1990. Konferensi
tersebut juga mengajukan saran untuk menambah 21 rekomendasi berisi
strategi pemberantasan pencucian uang dan kejahatan obat bius yang
disesuaikan dengan kondisi regional anggota CFATF. Dari 21 rekomendasi
yang diusulkan sebgai tambahan ternyata diambil dari 19 butir hasil
54 Htpp://wwwl.oecd.org/fatf/.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
konferensi 1992 yang disebut sebagai CFATF Kingston, Aruba, Ministerial
Conference on Money Loundring.
3. Organization American States (OAS) adalah organisasi yang melibatkan
negara-negara Amerika Serikat yang merupakan organisasi regional tertua
yang telah mengadakan konferensi pertama di Washington pada Oktober 1889
sampai April 1890. Misi dari OAS adalah untuk perdamaian, keamanan,
demokrasi dan juga mengembangkan pembangunan sosial ekonomi di
Amerika. Berkaitan dengan upaya pemberantasan pencucian uang OAS
memusatkan perhatian pada Inter American Drug Abuse Commision
(CICAD). CICAD dibentuk berdasarkan Inter American Program of Action of
Rio de Jeneiro Against Illicit Use, Production and Trafficking of Narcotic
Drug and Psychotropic Substances, yang telah disetujui oleh OAS General
Assembly pada tahun 1986.
4. Council of Europe (kerjasama antara anggota-anggota Dewan Eropa), dimana
mayoritas anggotanya menggunakan Napoleon Code, melalui Committee on
Crime Problems yang melahirkan the Council of Europe Convention on
Loundering, Search, Seizure and Confiscation of Proceed from Crime (1990).
Kemudian Dewan Eropa menyetujui Council Directive on Prevention of Use
of The Financial System for Purpose of Money Loundering (91/308/EEC)
yang menentukan, bahwa negara-negara penandatanganan konvensi diminta
untuk mengambil langkah-langkah dalam menangani peredaran uang yang
diperoleh dari hasil semua jenis kejahatan tidak saja terbatas pada hasil obat
bius.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
5. Pada tahun 1991 Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic
Community-EEC), mensahkan suatu Directive on Prevention of Use of The
Financial System for Purpose of the Money Loundering, merupakan tambahan
atas Pasal 57 dan Pasal 100a EEC Treaty. Directive ini merupakan upaya yang
dilakukan oleh masyarakat eropa untuk mencegah digunakannya sistem
keuangan negara anggota untuk tujuan pencucian uang.
6. Pada tingkat Regional Asia Pacific terbentuk Asia Pacific Group on Money
Loundering (APG) pada bulan Februari 1997 yang terdiri dari 13 negara, yaitu
Australia, Bangladesh, Taiwan, Hongkong, Jepang, New Zealand, RRC,
Filiphina, Singapore, Srilangka, Thailand, USA dan Vanuatu. Keanggotaan
APG terus berkembang dan sekarang sudah mencapai 22 negara termasuk
Indonesia
C. Pengaruh International Legal Regime Anti Money Loundering Terhadap
Indonesia
Sebagaimana terhadap negara-negara lain, International Legal Regime
juga berpengaruh bagi Indonesia. Untuk itu Indonesia harus juga mengikuti
ketentuan yang sudah disepakati dan ada kemungkinan sanksi akan dikenakan jika
Indonesia tidak mentaatinya.
Indonesia bersama lima puluh satu negara lain seperti Singapura,
Malaysia, Thailand, Filiphina, Jepang, Israel dan Amerika Serikat sendiri
dimasukkan ke dalam Major Money Loundering Countries. Oleh Undang-Undang
Amerika, Major Money Loundering Countries diartikan sebagai negara dengan
lembaga keuangannya terlibat dalam transaksi yang meliputi sejumlah besar dana
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
yang berasal dari perdagangan gelap obat bius internasional. Alasan Amerika
memasukkan Indonesia sebagai major money loundering countries antara lain,
pertama, bank-bank Indonesia tidak pernah menanyakan asal-usul uang yang
disimpan. Walaupun Indonesia telah menerapkan Know Your Costumer (KYC)
namun dianggap belum optimal. Kedua, Indonesia menganut sistem devisa bebas
dengan perekonomian terbuka. Ketiga, ketentuan-ketentuan rahasia bank di
Indonesia dianggap masih sangat ketat. Keempat, krisis ekonomi yang menimpa
Indonesia sejak 1997 yang dianggap belum pulih mengakibatkan Indonesia
memerlukan pinjaman dana dari luar negeri.
Tekanan internasional lain yang sangat berpengaruh bagi Indonesia berasal
dari FATF. Pada Juni 2001, FATF memaskkan Indonesia sebagai negara yang
tidak kooperatif dalam memberantas pencucian uang. Penilaian FATF ini antara
lain karena selama ini Indonesia tidak mempunyai Undang-Undang Anti
Pencucian Uang. Namun demikian setelah Indonesia memiliki Undang-undang
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ternyata Indonesia
masih saja masuk dalam daftar hitam negara yang tidak kooperatif dalam
pemberantasan pencucian uang. Kali ini alasannya Undang-undang Anti
Pencucian Uang Indonesia dianggap banyak memiliki kelemahan. Dua kelemahan
yang utama adalah bahwa Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
baru akan berfungsi secara sempurna setelah 18 bulan sejak undang-undang ini
dikeluarkan. Masa 18 bulan ini dianggap terlalu lama dan selama itu walaupun
Bank Indonesia akan bertindak sebagai badan analisis, hal tersebut tetap saja
dianggap bahwa implementasi undang-undang ini belum dapat diberlakukan.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Kelemahan yang kedua berkaitan dengan batas minimum pelaporan
transaksi yaitu 500 juta rupiah. Batas ini dianggap terlalu tinggi, sementara
negara-negara lain menetapkan batas setara dengan 10.000 dollar Amerika. Dari
kelemahan ini FATF menyimpulkan bahwa Indonesia tidak sungguh-sungguh
dalam memberantas pencucian uang. FATF selalu menggunakan pendekatan yang
funitive, artinya ada kemungkinan Indonesia akan dikenakan sanksi oleh anggota
FATF lainnya apabila regim anti pencucian uang Indonesia dinilai tidak
kooperatif.
Pengaruh lain dari regim internasional ini berkaitan dengan Basle
Committee on Banking Supervision, yang merekomendasikan agar sistem
perbankan tidak digunakan sebagai sarana tindak pidana pencucian uang yang
antara lain bank harus menerapkan prinsip KYC dengan disertai dengan sistem
pelaporan yang memadai. Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Idonesia No. 4/10/PBI/2001 tentang Perubahan atas PBI No. 3/10/PBI/2001.
Program Kenalilah Nasabah semula dimaksudkan untuk mengisi
kekosongan peraturan selama Indonesia belum mempunyai Udang-Undang
mengenai Tindak Pencucian Uang. Selain itu PBI memenuhi prinsip kelima belas
dari dua puluh lima Core Principal for Effecttive Banking Supervision juga
dimaksud untuk memenuhi rekomendasi FATF. Pemerintah Indonesia khususnya
sektor perbankan mengharapkan FATF menilai bahwa Indonesia cukup serius
untuk berpartisipasi dalam memberantas kegiatan pencucian uang dan agar
Indonesia keluar dari daftar hitam negara yang tidak kooperatif. Bank Indonesia
juga telah mengeluarkan SE No. 3/29/DPNP tanggal 13 Desember 2001 kepada
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
semua bank perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang
merupakan acuan standar minimum yang wajib dipenuhi oleh Bank.
Prinsip KYC adalah untuk melindungi reputasi bank. Prinsip KYC juga
dapat memfasilitasi kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang
berlaku sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian dalam praktik perbankan yang
sehat. Dalam hal ini pada saat bank menarik nasabahnya agar menggunakan jasa
bank yang bersangkutan, diharapkan setiap transaksi yang dijalankan oleh
nasabah melalui bank tersebut sejalan dengan praktik perbankan yang sehat dan
tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Prinsip KYC dapat melindungi
bank agar tidak dimanfaatkan oleh nasabah untuk melakukan kegiatan-kegiatan
yang ilegal atau bank tidak dijadikan sasaran kejahatan.
D. Asas-Asas Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
PencucianUang (UU No. 15 Tahun 2001 Jo UU No. 23 Tahun 2004)
Apabila diperhatikan dengan seksama UU Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, dapat ditarik beberapa asas yang tercakup di dalamnya yang
membedakan dari Undang-undang tindak pidana lainnya. Adapun asas-asas
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pelakunya adalah Setiap Orang
Pengertian Setiap Orang meliputi orang perorangan dan korporasi yang terdiri
dari kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum (Pasal 1 angka 3). Badan hukum di Indonesia terdiri dari :
Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi dan Indonesia Maatchapij op
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Andelen (IMA), sementara perkumpulan orang dapat berupa : Firma,
Commanditaire Vennootschap (CV) dan sebagainya.
2. Pidananya bersifat Kumulatif dan Alternatif
Pasal 3 sampai dengan Pasal 11 mengatur tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang dan Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian
Uang, dimana diatur ancaman pidananya bersifat kumulatif seperti tersebut
dari rumusan pasal-pasalnya yang berbunyi: ”...dipidana penjara paling lama
... dan denda paling sedikit ...” dengan adanya perkataan ”dan” menunjukkan
pemidanaan bersifat kumulatif, sementara ada kekhususan pada Pasal 11 yang
pada intinya memberikan alternatif kepada terpidana apabila tidak mampu
membayar denda yang telah dijatuhkan.
3. Pencobaan melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pembantuan atau
Pemufakatan Jahat melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang dipidana sama
dengan pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang dan dianggap sebagai delik
yang sudah selesai (Pasal 3 ayat (2))
4. Setiap orang (orang perorangan dan korperasi) yang di luar wilayah Indonesia
memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan untuk terjadinya
Tindak Pidana Pencucian Uang dipidana sama sebagai Pelaku Tindak Pidana
Pencucian Uang (diatur dalam Pasal 7)
5. Pidana Tambahan, hanya mengatur mengenai pidana tambahan terhadap
Korporasi yaitu berupa upaya pencabutan izin usaha dan atau pembubaran
korporasi yang diikuti likuidasi (Pasal 5 ayat (2))
6. Dalam hal terpidana tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud
dalam Bab II dan III, denda tersebut dapat diganti dengan pidana penjara
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
paling lama 3 (tiga) tahun dan lamanya pidana tersebut harus tercantum dalam
putusan pengadilan, bila tidak dicantumkan denda tersebut tidak bisa
digantikan dengan hukuman badan (Pasal 11)
7. Direksi, Pejabat atau Pegawai Penyedia Jasa Keuangan dilarang
memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara
langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah
disampaikan kepada PPATK (Pasal 17A)
8. Adanya Pidana Minimum dan Maksimun
Pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
adalah mengenai batas hukuman minimum dan maksimun, sehingga
mencegah hakim menjatuhkan putusan yang dianggap tidak adil, misalnya
orang yang melakukan penggelapan sebesar 1 miliyar rupiah hanya dihukum
percobaan selama 1 tahun (hal tersebut berarti si terpidana tidak ditahan)
sementara ada seorang ayah yang mencuri sebotol susu untuk anaknya yang
lapar dihukum 1 (satu) tahun penjara.
9. Presiden dapat membentuk Komite Koordinasi Nasional atas usul Kepala
PPATK (Pasal 29B)
10. Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim berwenang memerintahkan kepada
Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta
Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada Penyidik,
Tersangka atau Terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana (Pasal 32)
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
11. Penyedia Jasa Keuangan, Pejabat, serta Pegawainya tidak dapat dituntut baik
secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban Pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 (Pasal 15)
12. Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara Tindak Pidana Pencucian
Uang maka penyidik, penuntut umum atau hakim yang berwenang untuk
meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan
setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa dan
tidak berlaku ketentuan mengenai rahasia perbankan (Pasal 33)
13. Hakim memerintahkan penyitaan terhadap Harta Kekayaan yang diketahui
atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh Penyidik atau
Penuntut Umum (Pasal 34)
14. Dikenal adanya pembuktian terbalik (Pasal 35)
15. Dapat diadili secara internasional-absentia (Pasal 36)
16. Dalam hal Terdakwa meninggal dunia sebelum putusan haki dijatuhkan dan
terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan
penetapan bahwa Harta Kekayaan terdakwa yang telah disita, diramaps untuk
negara (Pasal 37)
17. PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim wajib merahasiakan identitas
saksi atau pelapor (Pasal 39)
18. Kerjasama bantuan Timbal Balik Internasional (Pasal 44A).
E. Modus Pencucian Uang Yang Dapat Dilakukan Utuk Menyembunyikan
Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Ada beberapa modus dengan menggunakan objek dan sarana yang
dimanfaatkan oleh para pencuci uang dalam melakukan operasi pencucian uang
dari hasil tindak pidana korupsi.
Menurut NHC Siahaan, modus operasi kejahatan pencucian uang terbagi
atas 13 (tiga belas) modus seperti tertera di bawah ini :55
1. Modus secara Loan Back, yakni dengan cara meminjam uangnya sendiri, baik dalam bentuk direct loan (dengan cara meminjam uang dari perusahaan luar negeri); bentuk back to loan (si pelaku meminjam uang dari cabang bank asing di negaranya) dan bentuk parallel loan (menggunakan perusahaan lain di luar negeri untuk sama-sama mengambil loan untuk dipertukarkan satu sama lain).
2. Modus Operasi C-Chase, yakni dengan menggunakan tenaga konsultan manajemen.Misalnya kasus Bank of Credit & Commerce International (BCCI) tahun 1991.
3. Modus transaksi dagang internasional. Modus ini menggunakan sarana dokumen L/C.
4. Modus penyelundupan uang tunai atau sistem bank paralel ke negara lain. 5. Modus Akuisisi, yang diakuisisi adalah perusahaannya sendiri. 6. Modus Real Estate Carousel, yakni dengan menjual suatu properti
beberapa kali kepada perusahaan di dalam kelompok yang sama. 7. Modus Investasi Tertentu, misalnya dalam bisnis transaksi barang lukisan
atau antik. 8. Modus Over Invoices atau Doble Invoice yakni modus yang dilakukan
dengan mendirikan perusahaan ekspor impor di negara sendiri lalu di luar negeri (yang bersistem tax haven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell company).
9. Modus Perdagangan Saham 10. Modus Pizza Connection, yakni modus yang dilakukan dengan
menginvestasikan hasil perdagangan obat bius diinvestasikan untuk mendapat konsesi Pizza,sementara sisa lainnya diinvestasikan di Karibia dan Swiss.
11. Modus La Mina, yaitu kasus yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1990. Dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada pedagang grosiran emas dan permata sebagai suatu sindkat.
12. Modus Deposit Taking, yaitu dengan mendirikan perusahaan-perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institutions (DTI) di Canada.
13. Modus Identitas Palsu, yakni memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutihan uang, dengan cara mendepositokan secara nama palsu.
55 NHC Siahaan, Money Loundering (Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 13-18.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Lebih lanjut, NHC Siahaan menjelaskan, bahwa ada 3 (tiga) metode yang
dilakukan untuk mencuci uang, yaitu:
1. Buy and Sell Conversions Metode ini dilakukan melalui transaksi barang dan jasa. Suatu aset dapat dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual lebih mahal dengan mendapatkan fee atau diskon. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci secara transaksi bisnis. Barang atau jasa dapat diubah menjadi hasil yang legal melaluirekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank Offshore Conversions. Uang hasil, kejahatan dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money loundring centers) untuk kemudian didepositokan di bank yang berada di wilayah tersebut.
2. Legitimate Business Conversions Metode ini dengan melakukan kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan hasil uang kotor. Uang kotor kemudian dikonversi secara transfer, cek atau alat pembayaran lain utuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening lainnya.56
Mahmoeddin, H.As yang dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan ada 8
(delapan) modus operandi pencucian uang
57
1. Kerjasama Penanaman Modal
:
Uang hasil kejahatan dibawa ke luar. Kemudian uang itu dimasukkan lagi ke dalam negeri lewat proyek penanaman modal asing (joint venture). Selanjutnya keuntungan dari perusahaan joint venture diinvestasikan lagi ke dalam proyek-proyek yang lain, sehingga keuntungan dari proyek tersebut sudah uang bersihbahkan sudah dikenakan pajak.
2. Kredit Bank Swiss Uang hasil kejahatan diselundupkan dulu ke luar negeri lalu dimasukkan di bank tertentu, lalu ditransfer ke Bank Swiss dalam bentuk deposito. Deposito dijadikan jaminan hutang atas pinjaman di bank lain di negara lain. Uang dari pinjaman ditanamkan lagi ke negara asal dimana kejahatan dilakukan. Atas segala kegiatan ini menjadikan uang itusudah bersih.
3. Transfer ke luar Negeri Uang hasil kejahatan ditransfer ke luar negeri lewat cabang bank luar negeri di negara asal. Selanjutnya dari luar negeri uang dibawa kembali ke dalam negeri oleh orang tertentu seolah-olah uang itu berasal dari luar negeri.
4. Usaha Tersamar di dalam Negeri Suatu perusahaan samaran di dalam negeri didirikan dengan uang hasil kejahatan. Perusahaan itu berbisnis tidak mempersoalkan untung dan rugi.
56 Ibid., hal. 21. 57 Munir Fuady, Op.Cit.,hal. 155.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Akan tetapi seolah-olah terjadi adalah perusahan itu telah menghasilkan uang bersih.
5. Tersamar Dalam Perjudian Uang hasil kejahatan didirikanlah suatu usaha perjudian, sehingga uang itu dianggap sebagaiusaha judi. Atau membeli nomor undian berhadiah dengan nomor dipesan dengan harga tinggi sehingga uang itu dianggap sebagai hasil menang undian.
6. Penyamaran Dokumen Uang hasil kejahatan tetap di dalam negeri. Keberadaan uang itu tetap didukung oleh dokumen bisnis yang dipalsukan atau direkayasa sehingga ada kesan uang itu merupakan hasil berbisnis yang berhubungan dengan dokumen yang bersangkutan. Rekayasa itu misalnya dengan melakukan double invoice dalam hal ekspor impor sehingga uang itu dianggap hasil kegiatan ekspor impor.
7. Pinjaman Luar Negeri Uang hasil kejahatan dibawa ke luar negeri. Kemudian uang itu dimasukkan lagi ke dalam negeri asal dalam bentuk pinjaman luar negeri. Sehingga uang itu dianggap diperoleh dari pinjaman (bantuan kredit) dari luar negeri.
8. Rekayasa Pinjaman Luar Negeri Uang hasil kejahatan tetap berada di dalam negeri. Namun dibuat rekayasa dokumen seakan-akan bantuan pinjaman dari luar negeri.
Sekalipun terdapatberbagai macam modus operandi pencucian uang,
namun pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga
tahap kegiatan yaitu :
1. Placement adalah merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan
darisemua aktitas kejahatan melaluisistegm keuangan. Dalam hal ini
terdapat pergerakan fisik uang tunai dari luar sistem keuangan masuk ke
dalam sistem keuangan. Kegiatan-kegiatan ini dapat dilakukan melalui cara-
cara sebagai berikut :
a. Penempatan dana dalam bentuk tabungan, giro, deposito.
b. Pembayaran angsuran kredit
c. Setoran modal secara tunai
d. Penukaran uang
e. Pembelian polis asuransi
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
f. Pembelian produk sekuritas atau suarat-surat berharga
2. Layering diartikan sebagai upaya untuk memisahkan atau lebih menjauhkan
hasil kejahatan dari sumbernya atau menciptakan serangkaian transaksi yang
kompleks untuk menyamarkan/mengelabuhi sumber dana ”haram” tersebut
dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Dana hasil placement, selanjutnya dipidahkan dari suatu rekening atau
lokasi tertentu di rekening atau lokasi lain.
b. Pembukaan sebanyak mungkin rekening-rekening perusahan-perusahaan
fiktif untuk menerima dana hasil placement dengan memanfaatkan
ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif
dalam upaya memerangi kegiatan pencucuian uang.
c. Menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan
uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah.
d. Transaksi yang dilakukan dalam jumlah relatif kecil namun dengan
frekuensi yang tinggi untuk menghindari pelaporan transaksi tunai atau
(structuring)
e. Transaksi dilaukan dengan menggunakan beberapa rekening atas nama
individu yang berbeda untuk kepentingan satu orang tertentu (smurfing)
f. Dilakukan transaksi di bursa saham dengan menggukan dana hasil
placement
3. Intergration yaitu upaya untuk menetapkan suatu ladasan sebagai suatu
’legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang telah dicuci
melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegaitan
resmi sehigga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang dicuci. Pada tahap
ini uang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk
tertentu sesuai dengan aturan hukum. Cara-cara yag lazim dilakukan dalam
tahapan ini seperti :
a. Menggabungkan uang yang telah dicuci dengan uang yang sah untuk
kegiatan bisnis atau investasi yang sah
b. Melakukan setoran modal bank dengan sumber dana dari perusahaan yang
diciptaka untuk menampung hasil uang haram dan sumber dana yang sah.
c. Sumbanagn untuk kegiatan sosial melalui yayasan, seperti rumah sakit,
pendidikan, amal, dan pendirian tempat ibadah dari uang hasil pencucian
d. Pemanfaatan lain untuk kegiatan tetrtentu seperti pembelanjaan untuk
konsumtif atau pembiayaan kegiatan lain yang tidak legal.
Ketiga tahap pencucian uang tersebut pada dasarnya dilakukan untuk
menciptakan ”disassociation” antara uang atau harta hasil kejahatan dengan si
penjahat serta tindak pidananya, sehingga proses hukum konvensional akan
menagalami kesulitan dalam melacak si penjahat dan menemukan jenis tindak
pidananya.
Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks
denga menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu
terjadi baik pada tahap placement, layering, maupun intergration, sehingga
penangannyapun menjadi semakin sulit dan membutuhkan pendekatan kemapuan
(capacity building) secara sistematis dan berkesinambungan. Pemilihan modus
operandi pencucin uang tergantung dari kebutuhan pelaku tindak pidana.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
BAB IV.
PENANGANAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI
INDONESIA STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46
A. Kasus L/C FIKTIF BNI 46
Kasus pembobolan Bank BNI menjadi isu yang mengejutkan masyarakat
Indonesia di akhir tahun 2003, dimana Bank BNI mengalami kerugian sebesar Rp
1,7 triliun yang diduga terjadi karena adanya transaksi ekspor fiktif melalui surat
Letter Of Credit (disingkat L/C). Kasus ini menjadi fenomenal karena selain
merugikan keuangan Bank BNI tetapi juga berimbas pada keuangan negara secara
makro.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Awal terbongkarnya kasus menghebohkan ini tatkala BNI melakukan
audit internal pada bulan Agustus 2003 . Dari audit itu diketahui bahwa ada posisi
euro yang gila-gilaan besarnya, senilai 52 juta euro. Pergerakan posisi euro dalam
jumlah besar mencurigakan karena peredaran euro di Indonesia terbatas dan
kinerja euro yang sedang baik pada saat itu. Dari audit akhirnya diketahui ada
pembukaan L/C yang amat besar dan negara bakal rugi lebih satu triliun rupiah.
Penjelasan mengenai L/C fiktif BNI tersebut adalah sebagai berikut :
1. Waktu kejadian : Juli 2002 s/d Agustus 2003.
2. Opening Bank : RosBank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall
Street Banking Corp, dan Middle East Bank Ltd.
3. Total nilai L/C : USD. 166,79 juta & EURO 56,77 juta atau sekitar Rp 1,7
triliun
4. Beneficiary/Penerima L/C : 11 perushaan di bawah Gramarindo Group dan 2
perusahaan di bawah Petindo Group.
5. Barang Ekspor : pasir kuarsa dan minyak residu.
6. Tujuan Ekspor : Congo dan Kenya.
7. Skim : Usance L/C.
Kronologi :
1. Bank BNI Cabang Kemayoran Baru menerima 156 buah L/C dengan Issuing
Bank : RosBank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street
Banking Corp, dan Middle East Bank Ltd. Oleh karena BNI belum
mempunayai hubungan koresponden langsung dengan sebagai bank yang
tersebut di atas, mereka memakai bank mediator yaitu American Express Bank
dan Standard Chartered Bank.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
2. Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor berjangka (kredit
ekspor) atas L/C-L/C tersebut di atas BNI dan disetujui oleh pihak BNI.
Gramarindo Group menerima Rp 1,6 triliun dan Petindo Group menerima Rp
105 miliyar.
3. setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo, Opening Bank tidak bisa
membayar kepada BNI dan nasabahpun tidak bisa mengembalikan hasil
ekspor yang sudah dicairkan sebelumnya.
4. setelah diusut pihak Kepolisian, ternyata kegiatan ekspor terseut tidak pernah
terjadi.
5. Gramarindo Group telah mengembalikan sebesar Rp 542 miliar, sisanya (Rp
1,2 triliun) merupakan potensi kerugian BNI.
Dalam menanggapi kasus ini manajemen Bank BNI mengatakan bahwa tidak
ada ekspor fiktif dan belum ada kerugian, tetapi yang ada hanya potensi
kerugian (potential losses).
Vonis terhadap pelaku internal BNI :
1. Edi Santoso, jabatan Kabit Pelayanan Luar negeri BNI Cab. Kebayoran
Baru, vonis penjara seumur hidup
2. Kusadiyuwono, jabatan Kepala Cab. BNI Kebayoran Baru, vonis penjara
16 tahun
Vonis terhadap pelaku nasabah BNI :
1. Ahmad Sidik Iskandardinata, Jabatan Direktur Utama PT Brocolin
Internasional, vonis 20 tahun penajara potong masa tahanan dan denda
Rp.500 juta.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
2. Olah Abdullah Agam, Jabatan Direktur PT Gramarindo Legal Indonesia,
vonis 15 tahun penjara potong masa tahanan dan denda Rp.300 juta.
3. Aprilla Widharta, jabatan Direktur Pan Kifros, vonis 15 tahun penjara
potong masa tahanan dan denda Rp.200 juta.
4. Adrian P. Lumowa, Jabatan Direktur Magnetique Esa Indonesia, vonis 15
tahun penjara dan denda Rp.400 juta.
5. Titik Pristiwati, Jabatan Direktur Binekatama Pasific, vinos 8 tahun
penjara dan denda Rp.300 juta.
6. Richard Kuontul, Jabtan Direktur Netrantara, vinos 10 tahun penjara &
denda Rp.150 juta.
Berdasarkan pemeriksaan kasus L/C fiktif BNI 46 di atas, penulis akan
menganalisa salah satu putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan No. 11/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel atas nama terdakwa Ahmad Sidik Mauladi
Sikandardinata Als. Dicky Iskandardinata. Analisa kasus tersebut akan dijelaskan
secara rinci dibawah ini :
1. Posisi Kasus
Bahwa terdakawa Ahmad Sidik Mauladi Sikandardinata Als. Dicky
Iskandardinata selaku direktur perseroan PT. Broccolin Internasional yang
diangkat berdasarkan akta berita acara rapat No.21 tanggal 11 April 2003
dihadapan notaris Ny. Elsye Tahanata, SH dan selanjutnya diangkat selaku
direktur utama perseroan berdasarkan akta pernyataan keputusan Rapat No.51
tanggal 29 Mei 2003 Notaris Edi Priyono, SH, baik bertindak sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dengan Suharna bin H. Husin Abdulrachman, Agus
Juliantoro, Marheni Atmandiyah als. Anti Soenaryo, Andrian Herling
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Waworuntu, Maria Paulin Lumowa, pada waktu sekitar bulan April 2003
sampai dengan bulan Maret 2004 atau setidak-tidaknya dalam kurun waktu
tahun 2003 dan 2004, bertempat di cabang BNI Kebayoran Baru Jakarta
Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat yang masih termasuk dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah melakukan atau turut
serta mekukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Dakwaan
a. Primer : diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun
1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 pasal 55 ayat (1) Ke-1 jo pasal 64 ayat (1)
KUHP
b. Subsider : Diancam pidana dalam Pasal 3 ayat (1) Sub a, b, c UU No. 15
Tahun 2002 jo UU No. 25 taun 2003 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 64
ayat (1) KUHP.
Pledoi (Pembelaan) Terdakwa
Bahwa atas dakwaan tersebut, terdakwa melalui Nota Pembelaannya, Penasehat
Hukumnya mengajukan kerberatan terhadap isi dakwaan tersebut mengenai :
a. Tentang pengertian unsur setiap orang
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
b. Terdakwa telah menerapkan prinsip mengenai nasabah sesuai Peraturan Bank
Indonesia yang dikelurkan pada Bulan juni 2001
c. Terdakwa telah menjalankan tugasnya sesuai dan berdasarkan ketentuan
dalam Anggaran Dasar PT. Broccolin dan ketentuan yang diatur dalam Pasal
85 dan seterusnya UU no. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dalam
Lingkup Usaha yang sah menurut Ketentuan Hukum Indonesia
d. Terdakwa telah menyerahkan aset-aset PT Broccolin kepada BNI Tbk Cabang
Kebayoran baru, Jakarta Selatan untuk disita.
Replik Jaksa Penuntut Umum
Pada pokoknya tetap berpendapat tentang pada tuntutannya.
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Majelis hakim memberikan pertimbangannya , yaitu :
a. Tentang Fakta-Fakta Hukum
1) Bahwa pada Bulan Maret 2003 terdakwa dihubungi oleh Adrian Herling
Woworuntu, ditawarkan untuk mengelola dana sebesar US$ 100.000.000
(seratus juta US dollar) milik investor Israel yang berminat melakukan
investasi di Indonesia didalam bidang Agribisnis, Pertambangan, Keuangan,
IT infrastructure, Retail Chain;
2) Bahwa terdakwa tertarik dengan syarat medirikan non operating holding
company dengan minimal modal Rp.50 Milyar yang bersifat permanen dan
bebas dari bunga;
3) Bahwa dalam pertemuan dengan Maria Pauline Lumowa (representative
investor israel), terdakwa meyatakan tidak ada masalah dalam penyetoran
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
modal yang dilakukan secara bertahap karena sebagian masih terikat deposito
berjangka sepanjang dapat dipenuhi tidak lebih dari 3 bulan;
4) Bahwa dalam pertemuan berikutnya, disepakati untuk mengambilalih PT.
Broccolin sebagai holding Company dengan komposisi pemegang saham
Maria 70% saham, Adrian dan Jeffry Baso masing-masing 15% saham, sesuai
notulen rapat tanggal 25 Maret 2003 dan berita acara rapat Nomor 21 tanggal
11 April 2003, sehingga susunan kepengurusan PT Broccolin Internasional
tersebut terdiri sebagai berikut :
Komisaris utama : Maria Pauline Lumowa
Komisaris : Jane Iriany Lumowa
Komisaris : Adrian Woworuntu
Komisaris : Jeffry Baso
5) Bahawa saksi Suharna atas perintah terdakwa telah membuka rekening PT.
broccolin di bank Permata Cabang Menara Imperium jakarta Selatan sebanyak
3 rekening, yaitu : Rek No. 701053907 dalam mata uang rupiah, Rek
No.701053494 dalam mata uang rupiah dan Rek. No. 902098445 dalam mata
uang US$;
6) Bahwa selanjutnya secara bertahap (milai dari tanggal 3 April s/d 15
Juli 2003) Rek No. 701053907 terserbut telah menerima kucuran dana sebesar
Rp.49.269.168.000,- (empat pulu sembilan milyar duaratus enam puluh
sembilan juta seartus enam puluh delapan ribu rupiah);
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
7) Bahwa demikian juga pada Rek No. 902098445 telah menerima kucuran dana
sebesar US$2,999,990,- (duajuta sembilanratus sembilanpuluh sembilanribu
sembilanpuluhan US dollar);
8) Bahwa jumlah uang yang masuk pada rekening PT Broccolin dalam gabungan
Rupiah dan US$ adalah sebesar Rp.74.469.168.000,- (tujuhpuluh empat
miliar empatratus enampuluh sembilan seratus enampuluh delapan ribu
rupiah) (dengan konveksi kurs US$=Rp.8.400);
9) Bahwa uang yang masuk tersebut dialihkan sebagai setoran modal sesuai
dengan kesepakatan sebesar Rp.50.000.000.000,- (limapuluh miliar rupaih)
sedangkan kelebihannya sebesar Rp.24.496.000.000,- (duapuluh empat milyar
empatratus enampuluh sembilan juta rupiah) didalihkan sebagai pinjaman
pemegang saham;
10) Bahwa memperhatikan intensitas pemasukan dana sebagai setoran modal awal
perusahaan yang terjadi 9 kali transaksi dalam waktu kurang lebih 2 bulan
dengan jumlah yang tidak bulat, adalah sangat diragukan kebenarannya bahwa
transaksi tersebut benar-benar sebagai setoran awal modal, walaupun menurut
terdakwa tidak bulatnya setoran tersebut karena dana tersebut berasal dari
Deposito Berjangka;
11) Bahwa dana yang masuk kerekening rupiah tersebut selanjutnya setelah
ditandatangani berupa cek/giro oleh Terdakwa Dicky Iskandardinata, selaku
Direktur Utama dan Suharna selaku Direktur, dilakukanlah penarikan oleh
Saksi Marhaeni Atmandyah sejak bulan April s/d bulan Oktober 2003 atas
perintah terdakwa Dicky Iskandardinata dengan total sebesar
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Rp.80.846.994.570,- (delapanpuluh miliar delapanratus empatpuluh enam juta
sembilanratus sembilanpuluh empat ribu limaratus tujuhpuluh rupiah);
12) Bahwa rekening US$ tersebut setelah ditandatangani berupa cek/giro oleh
Terdakwa Dicky Iskandardinata, selaku Direktur utama dan Suharna selaku
Direktur, dilakukan penarikan oleh Saksi Marhaeni Atmandyah sejak bulan
Juli s/d bulan November 2003 dengan total sebesar US$ 4, 529,669,74
(empatjuta limaratus duapuluh sembilanribu enamratus enampuluh sembilan
koma tujuhpuluh empat US dollar) dan Rp.305,000,000,- (tigaratus lima juta
rupaih);
13) Bahwa sejak bulan April 2003 s/d Oktober 2003 dilakukan investasi pada
beberapa perusahaan dengan total keselurhan Rp.44.669.167.600,-
(empatpuluh empat miliar enamratus enampuluh sembilan juta seratus
enampuluh tujuh ribu enamratus rupiah);
14) Bahwa demikian juga memperhatikan transaksi penarikan dana PT. Broccolin
tersebut dengan intensitas yang sangat banyak dalam waktu yang relatif
singkat dan adanya pinjaman-pinjaman kepada pihak lain merupakan indikasi
transaksi yang tidak wajar;
15) Bahwa berdasarkan hasil audit terhadap BNI Tbk. Cabang Kebayoran Baru
Jakarta Selatan, dana yang masuk pada PT. Sagared Konsultan, PT. Gramindo
Mega Indonesia, PT. Magna Graha Agung, PT. Bhinekan Tama Pasifik, PT.
Adhitya Putra Ratama Finance tidak pernah berasal dari investor asing, tapi
merupakan hasil pembobolan L/C fiktif di BNI cabang Kebayoran dan dari PT
tersebut diataslah selanjutnya dana tersebut disalurkan ke PT. Broccolin
Internasional.;
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
16) Bahwa akibat perbuatan Terdakwa tersebut, telah menimbulkan kerugian
negara, BNI Tbk Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sejumlah
Rp.49.269.000.000,- (empatpuluh sembilan miliar duaratus enampuluh
sembilan juta rupiah) dan US$2,999,990,- (duajuta sembilanratus sembilan
puluh sembilan ribu sembilanratus sembilanpuluh US dollar) yang merupakan
bagian dari jumlah keseluruhan kerugian BNI Tbk Cabang Kebayoran Baru
Jakarta Selatan senilai Rp.1.923.877.511.544,37,- (satu trilyun, sembilanratus
duapuluh tiga miliar delapanratus tujuhpuluh tujuh juta limaratus sebelas ribu
limaratus empatpuluh empat koma tigapuluh tujuh rupiah);
17) Bahwa dengan terkuaknya L/C fiktif di BNI Cabang Kebayoran Baru Jakarta
Selatan, disikapi oleh Terdakwa dengan melaporkan kepada BNI Cabang
Kebayoran Baru dan MABES POLRI, dalam kesempatan tersebut Terdakwa
bermaksud mengundurkan diri, tapi atas arahan BNI dan MABES POLRI
diminati kepada Terdakwa tetap mengoperasikan perusahaan tersebut.
b. Dalam Pokok Perkara
Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa oleh Penuntut dengan dakwaan
yang berbentuk alternatif, sehingga akan dipertimbangkan dakwaan pertama
tersebut, yaitu pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.
20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP yang
unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1) Setiap orang; 2) Secara melawan hukum; 3) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu
korporasi; 4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; 5) Dilaukan secara bersaman-sama
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
6) Dilakukan secara berlanjut
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut,
ternyata perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari
dakwaan pertama tersebut sehingga Majelis berkesimpulan terdakwa telah
terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadamya, yaitu melanggar pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No.
31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal
64 ayat (1) KUHP.
Hal-hal Yang Memberatkan
a. Perbuatan terdakwa sangat merugikan perekonomian dan keuangan Negara;
b. Perbuatan terdakwa menurunkan kepercayaan masyarakat kepada dunia
perbankan sebagi salah satu komponen lalu lintas perekonomian Negara;
c. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya;
d. Terdakwa telah pernah dihukum dalam kasus korupsi perkara Bank Duta,
walaupun telah menjalani pidana, namun belum membayar uang pengganti;
Hal-hal Yang Meringankan
a. Terdakwa bersikap sopan dan kooperatif selama menjalankan persidangan;
b. Terdakwa dengan kesadaranya sediri telah berkoordinasi kepada BNI Tbk
Cabang Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan MABES POLRI sebelum
dinyatakan sebagai Terangka;
c. Terdakwa mederita sakit jantung;
Amar Putusan
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
a. Menyatakan Terdakwa Ahmad Sidik Maulana Iskandardinata alias Dicky
Iskandardinata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut;
b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 20 (dua
puluh) tahun;
c. Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.500.000.000,- (limaratus juta rupiah)
subsider 5 (lima) bulan kurungan;
d. Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari lamaya pidanan yang dijatuhkan;
e. Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan;
f. Menetapkan barang bukti dipergunakan untuk perkara lain dan dirampas untuk
negara;
2. Analisa Kasus
Suatu perbuatan hukum (wederrechtelijk) belumlah cukup untuk
menjatuhkan pidana. Disamping itu harus ada seorang pembuat yang bertanggung
jawab atas perbuatannya, yaitu unsur kesalahan dalam arti kata bertanggungjawab
(strafbaarheid van de dader). Di mana menurut Moeljatno orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan
pidana.59
1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de dader)
Berkaitan dengan pertanggunjawaban pidana maka prinsip utama yang
berlaku adalah adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Menurut Vos pengertian
kesalahan (schuld) mempunyai 3 (tiga) tanda khusus, yaitu :
59 Moeljatno, Asas-asas hukum Pidana, (jakarta : Rineka Cipta, 1993), hal.155
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu.60
Mengenai pertanggungjawaban pidana, maka menurut teori hukum dikenal
beberapa jenis sisitem tanggungjawab, antara lain :
1. Doktrin Identifikasi
Dalam rangka mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, di Negara
Anglo Saxon seperti di Inggris dikenal konsep direct corporate criminal
liability atau Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Langsung. Menurut Doktrin
ini, perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui
orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahan dan dipandang
sebagai perusahaan itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagi
pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat
bertanggungjawaban pribadi.61 Doktrin ini juga dikenal dengan nama The
Identification doctrine atau doktrin identifikasi.62
2. Doktrin Pertanggungjawaban Penggati (Vicarous Liability)
Doktrin pertanggungjawaban ini dapat mengkriminalisasi/menuntut korporasi
dalam kebanyakan delik. Pada sisi lain, doktrin ini membatasi
pertangungjawaban korporasi. Apabila kejahatan dilakukan oleh
pelayan/karyawan atau agen yang tidak mempunyai status sebagi pejabat
senior, perusahaan tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali UU
menetapakan dasar pertanggungjawabkan yang lain.
60 Dwidji Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia, (bandung:CV Utomo, 2004), hal.34. 61 Barda Nawawi Arief, Sari kuliah perbandingan hukum pidana, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 154. 62 Dwidja priyatni, Op.Cit., hal.89.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Vicarous liability menurut Barda Nawawi Arief, diartikan
“pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan
oleh orang lain” (the legal responsibility of one person to the wrongful acts of
another). Secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”.63
3. Doktrin pertanggungjawaban yang ketat menentukan undang-undang (Strict
Liability) atau pertanggungjawaban mutlak (Absolute Liability)
Dari pendapat tersebut diatas, maka dapat dijelaskan bahwa menurut doktrin
vicarous Liabilitiy, seseorang yang dapat dipertanggunjawabkan atas
perbuatan dan keselahan orang lain. Pertanggungjawaban demikian hampir
semuanya ditujukan pada delik undang-undang, dan dasarnya adalah maksud
pembuat undang-undang bahwa delik ini dapat dilakukan baik secara vicarous
maupun secara langsung.
Sebagai ius constituendum, masalah doktrin pertanggungjawaban vicarous
liability juga sudah ditampung dan diatur dalam Rancangan KUHP 1999-
2000, Pasal 32 ayat (2), yang berbunyi : “Dalam hal tertentu, seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain,
jika ditentukan dalam suatu undang-undang”.
Menurut E. Sefullah Wiradipradja, pertanggungjawaban mutlak dimaksudkan
tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan.
Artinya prinsi tanggunjawab yang memandang ‘kesalahan’ sebagai salah suatu
yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau
tidak.64
63 Ibid., hal. 100. 64 Ibid., hal. 107-108.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Tanggung jawab mutlak adalah terjemahan dari istilah strict liability, yaitu istilah yang umumnya dipakai oleh pengadilan modern, yang berarti tanggung jawab yang dipaksakan kepada pelaku yang tidak merupakan : a. Perbuatan yang bermaksud untuk menggerogoti kepentingan seseorang
yang dilindungi oleh hukum, tanpa sesuatu pembenaran hukum terhadap penggerogotan tersebut atau
b. Pelanggaran terhadap kewajiban seseorang dalam hal dia bertingkah laku secara layak terhadap orang lain (reasonable care), yaitu berupa kelalaian (negligence) yang dapat dituntut ke pengadilan.65
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa sering dipersoalkan, apakah strict liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikiranya ialah, bahwa dalam perkara strict liability seseorang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagai mana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersolakan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (men rea) atau tidak. Undang-undang harus/mutlak dapat dipidana.
Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana.66
Strict liability ialah suatu konsepsi yang tidak memerlukan pembuktian
adanya sengaja dan alpa pembuat delik. Biasanya strict liability hanya untuk
regulatory offences.
67
a. Esensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati.
A.Z. abidin meneybutkan tiga alasan diterimanya strict liability terhadap
delik-delik tertentu.
b. Pembuktian mens rea (sikap batin si pembuat) terhadap delik-delik serupa sangat sulit.
c. Suatu tingkat tinggi ‘bahaya sosial’ dapat membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut strict libility.68
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan dalam perkara
No.114/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel, yang menyatakan terdakwa Ahmad Sidik Mauladi
65 Edi Yunara, Op.cit., hal.22. 66 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 31-32. 67 Jur Andi Hamzah, Op.Cit., hal.95. 68 Ibid.,
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Iskandaradinata alias Dicky Iskandardinata bersalah melanggar pasal 94 ayat (1)
UU No. 15 Tahun 2001. untuk mengtahui apakah terdakwa Jusmerycris Purba
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar ayat 2 Pasal (1) jo
Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, maka harus terlebih dahulu diketahi apakah
semua unsur dalam pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.
20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP telah
terpenuhi atau tidak.
1) Setiap Orang
Menurut martiman Prodjohanidjojo, menyebutkan bahwa setiap orang adalah
subyek hukum tindak pidana korupsi69 dan menurut Subekti mendefinisikan
subyek hukum pembawa adalah hak atau subyek dalam hukum70, sedangkan
menurut Sudigno Mertokusumo mendefinisikan subyek hukum adalah segala
sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukumm.71
Setiap orang yang dimaksud disini adalah orang sebagai subyek hukum, dalam
hal ini undang-undang tidak membedakan tiap orang apakah ia sebagai orang
perorangan (in person) ataukah orang sebagi badan hukum, yang dalam
Berdasarkan pasal 1 ayat (3) UU TPPK menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi , dan
yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan merupakan
badan hukum (pasal 1 ayat (1) UU TPPK).
69 Martiman Prodjohanidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi
(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), (Bandung:CV Mandar Maju, 2001), hal. 13 70 Subekti, Op.Cit., hal. 19 71 Martiman Prodjohanidjojo, Op.Cit., hal. 14
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
konteks tindak pidana yang didakwa melakukan suatu perbuatan pidana dan
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Menurut Moeljadno orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana), kalau dia tidak melakukan delik, tetapi meskipun dia melakukan delik tidak selalu dipidana. Apabila orang yang melakukan tindak pidanan itu tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang dikecualikan dari hukum, maka ia dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang melakukan di sini termasuk orang yang menyuruh melakukan, orang yang turut serta melakukan, atau orang yang membujuk melakukan sesuai dengan pasal 55 KUHPidana.72
2) Secara Melawan Hukum
Berdasarkan analisisdi atas unsur setiap orang telah terpenuhi.
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU TPPK menyebutkan yang dimksud
dengan secara melawan hukum adalah mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materil yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dicela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana atau dikenakan nestapa.
Dalam kaitannya dengan perluasan unsur melawan hukum ini, berpendapat
bahawa mengingat karakteristik tindak pidana korupsi yang muncul akhir-
akhir ini, idealnya unsur perbuatan melawan hukum harus dipahami baik
secara formil maupun materil karena:
1) pertama, korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugukan keuangan negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka pemberanatasannya harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary efforts).
72 Moeljatno, Op.Cit., hal.157
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
2) Kedua, dalam merespon perkembangannya kebutuhan hukum di dalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan di dalam pembuktian sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.73
Menurut Adami Chazawi, istilah melawan hukum menggambarkan suatu
perbuatan. Perbuatan yang tercelanya atau sifat terlarangnya suatu perbuatan.
Perbuatan tercela atau dicela menurut pasal 2 adalah perbuatan memperkaya
diri. Oleh karena itu perbuatan memperkaya merupakan suatu kesatuan dalam
kontek rumusan tindak pidana korupsi pasal 2. memperkaya dengan cara
melawan hukum yakni jika sipembuat dapat mewujudkan perbuatan
memperkaya adalah tercela, dia tidak berhak untuk melakukan perbuatan
dalam rangka memperoleh atau menambah kekayaannya, maka perbuatan
tersebut dianggap tercela, dia tidak berhak untuk melakukan perbuatan dalam
rangka memperoleh atau menambah kekayaannya, maka perbuatan tersebut
dianggap tercela.74
3) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau oranglain atau suatu
korporasi
Berdasarkan analisis di atas maka unsur melawan hukum jelas telah terbukti.
Pengertiang memperkaya secara harfiah adalah menjadikan ber, sedangkan
kaya menjadi banyak harta (uang dan sebagainya) yang selanjutnya dapat
disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang atau suatu badan
belum kaya menjadi kaya, orang sudah kaya bertambah kaya.75
73 Marwan Effendi, Op.Cit.,
74 Adami Chazwi, Hukum Pidana Materiil Dan Formil Di Indonesia, (Jakarta:Bayumedia Publishing, 2003), hal. 43.
75 WJS. Poerwadarminta, Op.Cit., hal. 453
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Menurut Keputusan Mahkamah Agung RI No.951/Pid/1982 tanggal 10
Agustus 1982 dan No.275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983,
memperkaya artinya memperoleh hasil korupsi, walaupun hanya sebagian.
Ada 3 poin yang harus di dikaji dalam unsur/elemen ini berkaitan dengan
suatu tindak pidana korupsi, yaitu :
a. Pertama, memperkaya diri sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu perlu menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.
b. Kedua, memperkaya orang lain, maksudnya adalah akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.
c. Ketiga, memperkaya korporasi, yakni akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, suatu korporasi, yaitu kumpulan orang-atau kumpulan kekayaan yang teroganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (pasal 1 ayat (1) UU PTPK) yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda.76
Berdasarkan analisis di atas, maka unsur melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi jelas terbukti.
4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Menurut arti kata, ‘merugikan’ adalah sama artinya dengan ‘menjadi rugi atau
menjadi berkurang’, sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan unsur
merugikan Keuangan Negara atau perekonomian Negara adalah sama artinya
dengan menjadi ruginya atau berkurangnya keuangan Negara atau
perekonomian Negara.
Menurut penjelasan Umum UU PTKP, yang dimaksud dengan keuangan
negara adalah :
“seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena :
76 Paul Sinlaeloe, Op.Cit.,
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
a. berada dalam pengurusan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang mertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara”.
Sedangkan perekonomian Negara menurut Penjelasan umum UU PTPK
adalah :
“kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama bedasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memerikan manfaat, kemakmuran, dan kesejateraaan kepada seluruh kehidupan rakyat”.
Yang dimaksud dengan kata ‘dapat’ menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1)
menyebutkan bahwa “dalam ketentuan ini kata ‘dapat’ sebelum frasa
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara menunjukkan bahwa
tindak pidana korupsi merupakan delik formil yang dianut dalam undang-
undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada Negara, pelaku
tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan telah dipidana.
Menurut H.Marwan Effendi, menyatakan kata ‘dapat’ didalam rumusan pasal tersebut, tidak dapat ditafsirkan secara sempit mengingat kata ‘dapat’ padanya adalah kata ‘bisa’ atau dengan kata lain ‘potensi’, bukan ‘mungkin’ jadi kata ‘dapat’ mengandung adanya suatu kepastian dan terukur, tidak bersifat abstrak. Untuk menentukan dapat tidaknya atau bisa tidaknya keuangan negara dirugikan perlu diketahui berapa besar potensi dari kerugian tersebut (potential lost). Artinya perkiraan besarnya potential lost yang ditimbulkan oleh perbuatan Trdakwa terukur. Untuk mendapatkan ukuran potential lost tentunya diperlukan audit terlebih dahulu.58
Selanjutnya Marwan Effendi menyatakan, bahwa penafsiran yang sempit terhadap suatu unsur dapat disalahgunakan, sehingga dapat menggeser tujuan utama dari hukum didalam mewujudkan ketertiban dan keadilan. Hal ini penting, mengingat konsekuensi logis dari delik formil, unsur dapat merugikan negara atau perekonomian negara salah satu unsur inti (bestandeel) harus dibuktikan seperti halnya unsur inti lainnya.
59
58 Marwan Effendi, Op.Cit., hal. 18. 59 Ibid., hal. 19.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Berdasarkan analisis di atas, maka unsur dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara jelas terbukti.
5) Dilakukan secara bersama-sama
Unsur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP : Orang yang melakukan, yang menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan perbuatan. Pasal 55 KUHP didalam
hukum pidana Indonesia dikenal dengan pasal penyertaan (deelneming)
Menurut Satochid Kartanegara, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai ajaran
‘deelneming’ yang terdapat pada suatu strafbaarfeit atau delict, apabila dalam
suatu delict tersangkut beberapa orang atau lebih seorang, dalam hal ini harus
dipahami bagaimanakah hubungan tiap peserta itu terhadap delict.60
Pelaku adalah mereka yang memenuhi semua unsur yang dirumuskan didalam undang-undang mengenai suatu tindak pidana atau delict. Turut serta melakukan itu dapat terjadi jika dua orang atau lebih melakukan secara bersama-sama sesuatu perbuatan yang dapat dihukum sedangkan dengan perbuatan masing-masing saja maksud itu tidak akan dapat tercapai. Jika kerjasama antara pelaku itu demikian lengkapnya sehingga tindakan dari salah seorang diantara mereka tidaklah mempunyai sifat sebagai suatu pemberian bantuan, maka disitu terdapat turut serta melakukan.
61
Menurut Loebby Luqman yang menyadur pendapat Hoge Raad, Noyon dan
Putusan Mahkamah Agung Tanggal 26 Juni 1971 N0. 15/K/Kr/1970,
menganut bahwa tidak perlu semua peserta didalam penyertaan yang
berbentuk ikut serta harus memenuhi semua unsur tindak pidana yang
dilakukan.
62
Menurut SR Sianturi, mengemukakan pendapat Arrest Hoge Raad 21 Juni
1926 W, 11541 menyebutkan bahwa walaupun pada seseorang (yang sudah
60 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Kedua, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hal. 31. 61 Ibid. 62 Ibid.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
turut serta melakukan tindakan/pelaksanaan) tidak memenuhi unsur keadaan
pribadi dari pelaku tetapi didalam bekerjasama ia mengetahui adanya keadaan
pribadi tersebut pada pelaku dengan siapa ia bekerjasama, maka orang itu
adalah seorang pelaku peserta.63
6) Merupakan Perbuatan berlanjut
Berdasarkan analisis di atas, maka unsur dilakukan secara bersama-sama jelas
telah terbukti.
Dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) adalah jika antara beberapa
perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran
ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana, jika berbeda-
beda yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
Menurut ajaran perbuatan berlanjut, mempunyai 3 (tiga) syarat, yaitu :
a Adanya suatu niat
b Perbuatan sejenis
c Waktunya tidak terlalu lama
Berdasarkan analisis di atas, maka unsur merupakan perbuatan berlanjut jelas
telah terbukti.
Dari analisis unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31
Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat
(1) KUHP yang telah diuraikan di atas, maka penulis berpendapat sama dengan
pertimbangan-pertimbangan yang diberikan Majelis Hakim yang memeriksa dan
63 SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Gramedia, 2004), hal. 347.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
mengadili perkara tersebut, yaitu bahwa Terdakwa Ahmad Sidik Mauladi
Iskandardinata als Dicky Iskandardinata telah terbukti bersalah karena
perbuatannya telah sesuai dengan rumusan anasir undang-undang yaitu Pasal 2
ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, yaitu unsur setiap orang, unsur
secara melawan hukum, unsur melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, unsur dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara, unsur dilakukan secara bersama-sama dan unsur dilakukan
secara berlanjut.
Dimana telah dijelaskan adanya suatu perbuatan pidana jika perbuatan itu
telah sesuai dengan rumusan anasir undang-undang serta perbuatan itu merugikan
kepentingan masyarakat. Jadi menurut penulis, perbuatan Ahmad Sidik Mauladi
Iskandardinata als Dicky Iskandardinata Jusmerycris Purba dapat dikategorikan
perbuatan pidana yakni Terdakwa Ahmad Sidik Iskandardinata als Dicky
Iskandardinata secara melawan hukum telah melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara yang dilakukan secara bersama-sama dan
secara berlanjut.
Berdasarkan hal-hal yang penulis kemukakan di atas, sudah selayaknya
Terdakwa dijatuhi hukuman, dimana telah terdapat unsur kesalahan pada diri
Terdakwa dan tidak terdapat alasan peniadaan pidana dan karenanya Terdakwa
dapat diminta pertanggunjawabannya.
Pemberian pidana menurut penulis sudah tepat, karena Majelis Hakim
mempertimbangkan hal yang memberatkan (perbuatan terdakwa sangat
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
merugikan perekonomian dan keuangan Negara; perbuatan terdakwa menurunkan
kepercayaan masyarakat kepada dunia perbankan sebagai salah satu komponen
lalu lintas perekonomian Negara; terdakwa tidak mengakui perbuatannya;
terdakwa telah pernah dihukum dalam kasus korupsi perkara Bank Duta,
walaupun telah menjalani pidana, namun belum membayar uang pengganti dan
hal-hal yang meringankan (terdakwa bersikap sopan dan kooperatif selama
menjalankan persidangan; terdakwa dengan kesadarannya sendiri telah
berkoordinasi kepada BNI Tbk Cabang Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan
MABES POLRI sebelum dinyatakan sebagai tessangka; terdakwa menderita sakit
jantung).
B. Penanganan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Dari
Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46
1. Mekanisme Penanganan Perkara Pencucian Uang dari Hasil Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia
Proses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum
tidak ada bedanya dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja,
dalam penanganan perkara tindak pencucian uang melibatkan satu institusi yang
relatif baru yaitu PPATK. Keterlibatan PPATK lebih pada pemberian informasi
keuangan yang bersifat rahasia (financial intelligence) kepada penegak hukum
terutama kepada penyidik tindak pidana pencucian uang, yaitu penyidik Polisi.
Proses penanganan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Peran Penyedia Jasa Keuangan (PJK), FIU dan Masyarakat
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Peran utama PJK, FIU negara lain dan masyarakat dalam penanganan perkara
pencucian uang adalah memberikan informasi awal. Laporan dan informasi
tersebut adalah :
1) Laporan dari PJK
Sesuai Pasal 13 UU TPPU, diatur kewajiban pelaporan PJK kepada
PPATK berupa laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau
Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Transaksi Keuangan
Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK. Di
dalam internal PPATK, laporan-laporan ini diterima oleh Direktorat
Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah
melalui pengecekan kelengkapan laporan dimaksud.
Pasal 1 angka UU TPPU, yang dimaksud dengan LTKM adalah : a) transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan b) transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang;
c) transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Apabila PJK mengetahui salah satu dari 3 (tiga) unsur transaksi keuangan
mencurigakan, sudah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada
PPATK sebagai LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada informasi transaksi
keuangan dan belum memiliki kualitas sebagai indikasi terjadinya tindak
pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi
memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk
melakukan analisis LTKM ini untuk mengindetifikasi ada tidaknya
indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT dari
PJK.
2) Laporan dari masyarakat
Walaupun UU tidak mengatur kewenangan PPATK untuk menerima
informasi dari masyarakat, namun berbagai informasi adanya indikasi
tindak pidana sering diterima PPATK. Atas informasi ini, Direktorat
Hukum PPATK melakukan analisis untuk mengindentifikasi ada tidaknya
indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Informasi dari
masyarakat ini diterima PPATK melalui surat secara tertulis dan melalui
media internet.
3) Informasi dari aparat penegak hukum
Dalam penanganan suatu perkara oleh penyidik, seringkali harta kekayaan
hasil tindak pidana terindikasi oleh pelakunya disembuyikan atau
disamarkan melalui berbagai perbuatan khususnya melalui institusi
keuangan seperti : penempatan pada bank dalam bentuk deposito, giro atau
tabungan serta pentransferan ke bank lainnya; pembelian polis asuransi;
pembelian surat berharga pasar uang dan pasr modal; atau perbuatan lain
seperti membelanjakan, menukarkan atau dibawa ke luar negeri.
4) Informasi dari Financial Intelligence Unit negara lain
Berdasarkan hasil analisis PPATK, banyak informasi penting dari FIU
negara lain yang menghasilkan kasus pencucian uang dan kasus pidana
lainnya. Informasi ini baik diminta atau tidak diminta sesuai dengan
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
estándar pertukaran informasi dalam prinsip paguyuban FIU seluruh dunia
yang tergabung dalam suatu wadah yang dikenal dengan Egmont Group.
b. Peran PPATK
Menurut Pasal 26 UU TPPU tugas PPATK antara lain :
1) mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan Undang-Undang ini;
2) memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;
3) membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan;
4) memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini;
5) membuat pedomandan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukannya dalam Undang-Undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
6) memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantaan tindak pidana pencucian uang;
7) melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
8) membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan;
9) memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Dalam melakukan analisis, PPATK mengumpulkan informasi dari berbagai
pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi dalam negeri yang telah
atau belum menandatangani MOU dengan PPATK agar hasil analisis tersebut
memiliki nilai tambah untuk kemudahan proses penegakan hukum. Pada
dasarnya dalam kegiatan analisis adalah kegiatan untuk menghubungkan
(association) antara uang atau harta hasil kejahatan dengan kejahatan asal
melalui identifikasi transaksi-transaksi yang dilakukan, yang pada akhirnya
akan mempermudah aparat penegak hukum untuk menjerat si penjahat. Proses
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
pendeteksian kegiatan pencucian uang baik pada tahap placement, layering,
maupun integration akan menjadi dasar untuk merekontruksi asosiasi antara
uang atau harta hasil kejahatan dengan si penjahat. Apabila telah terdeteksi
dengan baik, proses hukum dapat segera dimulai baik dalam rangka
mendakwa tindak pidana pencucian uang maupun kejahatan asalnya yang
terkait. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa PJK di wajibkan
melaporkan transaksi keuangan mencurigakan (STR-suspicious transaction
report) dan trnsaksi keuangan tunai (CTR-cash transaction report).
Sedangkan Pasal 27 UU TPPU memberikan kewenangan kepada PPATK
anara lain :
1) meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan; 2) meminta informasi mengenai perkembangan penidikan atau penuntutan
terhadap tindak pidana pencucian uang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntutan umum;
3) melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan;
4) memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaima dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.
Untuk memperoleh laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik PPATK
harus menjalin kerjasam yang baik dengan penyedia jasa keuangan dan
instansi terkait lainnya atau dengan FIU dari negara lain. Selanjutnya dalam
proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu
pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki. Informasi
tersebut dapat berasal dari data base PPATK, sharing informasi dengan
instansi pemerintah atau dapat juga berasal dari sharing information dengan
FIU dari negara lain sebagaimana telah diuraikan di atas.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
2. Penegakan Hukum Pidana Pencucian Uang dari Hasil Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia
Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian
selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada KUHAP
seperti proses penanganan tindak pidana lainnya, kecuali yang secara khusus
diatur dalam UU TPPU. Ketentuan-ketentuan khusus ini tentu memberikan
keuntungan atau kemudahan bagi penyidik, yaitu :
a. Dari hasil analisis PPATK yang bersumber dari berbagai laporan atau
informasi, seperti LTKM, LTKT dan laporan pembawaan uang tunai ke dalam
atau ke luar wilayah RI, akan sangat membantu penegak hukum ke dalam atau
ke luar wilayah RI, akan sangat membantu penegak hukum dalam
mendeteksi upaya penjahat untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang
atau harta yang merupakan hasil tindak pidana korupsi pada sistem keuangan
atau perbankan. Hal ini karena hasil analisis tersebut merupakan filter dari
seluruh laporan-laporan yang ada dan memberikan informasi mengenai
indikasi hasil tindak pidana, perbuatan pidana, dan pelaku serta jaringan
pidana yang terkait.
b. Pasal 39 sampai 43 UU TPU memberikan perlindungan saksi dan pelapor
dalam tindak pidana pencucian uang pada setiap tahap pemeriksaan:
penyidikan, penuntutan dan peradilan, sehingga mendorong masyarakat untuk
menjadi saksi atau melaporkan tindak pidana yang terjadi. Hal tersebut
mengakibatkan upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi
lebih efektif. Perlindungan ini antara lain berupa kewajiban merahasiakan
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
identitas saksi dan pelapor dengan ancaman pidana bagi pihak yang
membocorkan dan perlindungan khusus oleh negara terhadap kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya termasuk
keluarganya.
c. Adanya pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib
membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
(Pasal 35 UU TPPU).
d. Dalam penyidikan, dapat memanfaatkan FIU/PPATK untuk memperoleh
keterangan dari FIU negara lain atau memanfaatkan data base dan hasil
analisis yang dimiliki FIU/PPATK.
Di samping ketentuan yang telah diuraikan di atas, Pasal 30 sampai
dengan 38 UU TPPU secara khusus telah mengatur proses hukum tindak pidana
pencucian uang sejak penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Ketentuan mengenai hukum acara (proses hukum) tersebut sengaja
dibuat secara khusus karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak
pidana baru yang memiliki kharakteristik tersendiri dibandingkan dengan tindak
pidana pada umumnya.
a. Pemblokiran
UU TPPU tidak mengenal pemblokiran rekening, yang diatur dalam UU
TPPU adalah harta kekayaan, oleh karena itu yang dapat diblokir oleh
penyidik, penuntut umum atau hakim adalah harta kekayaan dan bukan
rekening (vide Pasal 32 UU TPPU). Nilai atau besarnya harta kekayaan yang
diblokir adalah senilai atau sebesar harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduga berasal dari hasil tindak pidana. Bunga atau penghasilan lain yang
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
didapat dari dana/harta kekayaan yang diblokir dimasukkan dalam klausula
Berita Acara pemblokiran.
Dalam hal dana dalam suatu rekening jumlahnya lebih kecil dari jumlah dana
yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, maka yang
diblokir hanya sebesar dana yang ada dalam rekening dimaksud pada saat
pemblokiran. Sebaliknya, apabila dana yang ada dalam rekening lebih besar
dari nilai yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana,
maka yang diblokir hanya sebesar dana yang diketahui atau patut diduga
berasal dari tindak pidana. Oleh karena yang diblokir bukanlah suatu rekening,
melainkan harta kekayaan senilai atau sebesar yang diketahui atau patut
diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka aktifitas rekening tidak
terganggu, dengan ketentuan jumlah dana yang diblokir dalam rekening
tersebut tidak boleh berkurang. Jumlah dana yang ada pada rekening untuk
sementara diblokir seluruhnya dengan syarat Penyidik/PU/Hakim dalam surat
perintah pemblokiran dan Berita Acara Pemblokiran harus menyebutkan
mengenai ”kepastian jumlah harta kekayaan/uang yang seharusnya diblokir,
masih dalam proses penyidikan dan hasilnya akan diberitahukan
kemudian.” Mengenai tata caranya, perintah pemblokiran dibuat secara tertulis
dan jelas dengan menyebutkan point-point yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2)
UU TPPU dengan tembusan ke PPATK, dan mencantumkan secara jelas pasal
UU TPPU yang diduga dilanggar. Tembusan perlu juga dikirim ke Bank
Indonesia apabila predicate crime-nya tindak pidana perbankan.
b. Permintaan keterangan (membuka rahasia bank)
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk meminta keterangan dari Penyedia
Jasa Keuangan tentang Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan
oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa, tidak diperlukan permohonan dari
Kapolri/Jaksa Agung?Ketua Mahkamah Agung utuk meminta izin dari
Gubernur BI (Pasal 33 UU TPPU). Sementara itu, untuk kasus korupsi,
menurut UU No. 31 Tahun 1999, tetap diperlukan permohonan dari Kapolri,
Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung untuk meminta keterangan tentang
keadaan keuangan seorang tersangka korupsi (Pasal 29).
Dengan demikian, ketentuan dalam UU TPPU dapat mempercepat upaya
untuk memperoleh barang bukti dalam rangka memberantas tindak pidana
korupsi. Pasal 33 UU TPPU menjelaskan kriteria para pihak yang dapat
dimintakan informasi rekeningnya tanpa harus berlaku ketentuan rahasia bank
yaitu : 1) pihak yang telah dillaporkan oleh PPATK, 2) tersngka dan 3)
terdakwa. Di luar tiga kategori tersebut di atas, tidak bisa dimintakan kepada
bank mengenai informasi suatu rekeningnya, kecuali menggunakan
mekanisme umum yaitu adanya permintaan tertulis dari pimpinan instansi
kepada Gubernur Bank Indonesia.
Jika dalam perkembangan penyidikan diketahui adanya pihak lain yang diduga
terkait dengan aliran dana atau terkait dengan suatu tindak pidana, sedankan
orang tersebut tidak termasuk dalam tiga kategori di atas, maka hal-hal yang
perlu dilakukan penyidik antara lain :
1) Penyidik menginformasikan ke PPATK dan selanjutnya PPATK
memberitahukan ke PJK untuk dilaporkan sebagai STR. STR ini
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
selanjutnya dianalisis oleh PPATK dan hasil analisisnya dilaporkan ke
penyidik untuk ditindaklanjuti.
2) Penyidik menginformasikan ke PJK, dan oleh PJK dilaporkan ke PPATK
sebagai STR. Kemudian STR dianalisis oleh PPATK dan hasilnya
dilaporkan kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.
3) Penyidik meminta izin Gubernur BI untuk membuka rahasia bank.
Permintaan informasi/keterangan harus dibuat dalam bentuk surat tertulis
dengan syarat :
a) ditandatangani oleh penjabat yang berwenang sesuai Pasal 33 ayat (4)
UU TPPU
b) menyebutkan maksud dan tujuan permintaan informasi, antara lain :
1) status permintaan (untuk penyidikan atau penuntutan);
2) tindak pidana yang disangkakan/didakwakan (dugaan TPPU
berikut predicate crime-nya);
3) identitas seseorang; tempat harta kekayaan (cabang Bank tertentu);
4) nomor rekening (jika ada);
5) dan periode transaksi yang dilakukan.
Surat dari penyidik ke bank/PJK perihal permintaan informasi/keterangan
terkait dengan tindak lanjut STR dengan tembusan ke PPATK. Dalam hal
tindak lanjut STR tersebut terkait dengan tindak pidana perbankan, surat
tersebut ditembuskan baik ke PPATK dan Bank Indonesia. Untuk
mengurangi intensitas hubungan langsung penegak hukum ke PJK dalam
rangka TPPU, sebisa mungkin hubungan langsung tersebut dilakukan
sejak nasabah bank yang bersangkutan telah dijadikan tersangka kasus
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
TPPU. Selama masih dalam penyelidikan, PPATK menjdai fasilitator
antara PJK dengan penegak hukum.
c. Penyitaan
Dana yang disita tetap berada dalam rekening di bank yang bersangkutan
(bank tempat dilakukannya pemblokiran) dengan status barang sitaan atas
nama penyidik atau penjabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan petunjuk
pelaksanaan Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala
Kepolisian Republik Indonesia dan Gurbernur Bank Indonesia No. KEP-
126/JA/11/1997, No. KEP/10/XI/1997, No.30/KEP/GBI Tanggal 6 November
1997 tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana Di Bidang
Perbankan.
Dalam mengungkap fakta bahwa seseorang mengetahui atau patut menduga
bahwa harta kekayaan dimaksud berasal dari hasil tindak pidana, penyidik
dapat menjelaskan dengan pendekatan bahwa :
1) Diketahui sama dengan dolus atau sengaja, artinya seseorang itu benar
mengetahui bahwa harta kekayaan untuk bertransaksi berasal dari hasil
tindak pidana, terlepas apakah tindak pidana dilakukan sendiri, dilakukan
bersama-sama dengan orang lain atau dilakukan orang lain.
2) Patut menduga artinya culva atau alfa, subyek lalai dalam menilai terhadap
harta kekayaan.
3) Di damping itu, patut menduga dapat dilihat pula dari kecakapan
seseorang, artinya seseorang tersebut harus memiliki kapasitas untuk dapat
dinilai apakah lalai atau tidak
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Secara praktis, untuk dapat menilai bahwa suatu harta kekayaan diketahuinya
atau patut diduganya berasal dari hasil tindak pidana, dapat dilihat dari :
1) apakah transaksi yang dilakukan sesuai profile
2) apakah seseorang tersebut melakukan transaksi sesuai kapasitasnya
3) apakah transaksi yang dilakukan terdapat underlying transaksinya
Terlepas dari hal tersebut di atas, sesuai penjelasan Pasal 3 UU TPPU, untuk
dapat dimulainya pemeriksaan TPPU, terhadap unsur ”harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” tidak perlu
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.Pembuktian tersebut menjadi
tanggung jawab (beban) terdakwa saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal
ini sesuai Pasal 35 UU TPPU bahwa terdakwa wajib membuktikan bahwa
harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Berkenaan dengan
pendakwaan dalam sidang pengadilan, terhadap dakwaan komulatif tidak ada
masalah, tetapi terhadap dakwaan alternatif (primer subsidier) akan muncul
masalah karena dipisah pemberkasannya. Seringkali satu alat bukti digunakan
terhadap kedua kasus (predicate crime dan money laundering). Dalam
common law system, apabila proses pidana menyimpang dari due process of
law (hukum acara) maka proses hukum gugur/batal.
Selanjutnya, setelah selesai penyidikan dilakukan, penyidik meneruskan pada
Jaksa Penuntut Umum. Terdapat berbagai keuntungan bagi Jaksa selaku
penuntut umum dalam menyususn dakwaan dan melakukan penuntutan dalam
sidang pengadilan dalam menerapkan UU TPPU terutama adanya ketentuan
pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan
bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
TPPU). Di samping itu JPU juga lebih leluasa dalam menyusun dakwaan
dengan menerapkan pasal pidana baik secara komulatif (tindak pidana asal
dan tindak pidana pencucian uang) atau alternatif (tindak pidana asal atau
pidana pencucian uang). Dalam hal penyusunan dakwaan selesai dilakukan,
kegiatan selanjutnya adalah proses persidangan di pengadilan.
Beberapa keuntungan dalam menerapkan UU TPPU dalam proses
pemeriksaan oleh hakim di sidang pengadilan, antara lain :
1) Dalam hal tersangka sudah meninggal dunia, sebelum putusan hakim
dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang
bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim
dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah
disita dirampas untuk negara (Pasal 37 UU TPPU).
2) Berdasarkan Pasal 6 UU TPPU setiap orang yang menerima atau
menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, diancam dengan hukum pidana
(tindak pidana pencucian uang ”pasif”). Ketentuan untuk cukup mudah
diterapkan dalam proses pemeriksaan karena hakim lebih banyak menilai
pada kebenaran formal daripada material.
3) Berita Acara Pemeriksaan seharusnya tidak mencamtumkan nama pelapor
dan saksi serta hal-hal lain yang mengarah pada terungkapnya identitas
pelapor maupun saksi; atau BAP dibuat dalam bentuk Berita Acara
Pendapatan oleh penyidik. Hal ini terkait dengan Perlindungan khusus
bagi saksi dan Pelapor. Dalam rangka memberikan perlindungan bagi
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
pelapor dan saksi serta perlindungan bagi penyidik, hal-hal yang musti
dilakukan antara lain :
a) Permintaan saksi dari bank diajukan secara tertulis kepada bank
(permintaan bukan ditujukan pada nama penjabat bank)
b) kapasitas saksi adalah mewakili institusi (bukan individu)
c) tidak menyebutkan identitas pelapor dan saksi, atau indentitasnya
disamarkan (a.l. laki-laki jadi perempuan, atau sebaliknya)
C. Hambatan-Hambatan Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Pelaksanaan Undang-Undang Anti Pencucian Uang di Indonesia akan
mendapat hambatan dari kelemahan substansi, aparatur dan budaya hukum.
Substansi dalam sistem hukum adalah norma-norma yang terdapat dalam undang-
undang dan putusan pengadilan. Aparatur atau organ dapat diumpamakan sebagai
mesin yang menghasilkan produk hukum tersebut, dalam hal ini badan legislatif,
eksekutif, yudikatif. Selanjutnya yang amat menentukan berjalannya suatu sistem
hukum adalah budaya hukum (legal culture) masyarakat. Budaya hukum
masyarakat ditentukan oleh sub-culture. Sub-culture tersebut dipengaruhi, antara
lain, oleh agama, pendidikan, posisi, kepentingan dan nilai-nilai yang dianut.
Secara umum hambatan yang ada dalam penanganan tindak pidana
pencucian uang dari hasil korupsi adalah :
1. Kelemahan substansi sistem hukum yang antara lain disebabkan :
a. materi dan sanksi hukum tidak lengkap
b. sanksi hukum tidak menimbulkan efek jera
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
c. hukum hanya mementingkan kepastian hukum dan mengabaikan
keadilan.
d. tidak mengikuti perkembangan zaman
2. Kelemahan Apatur
a. Ketidaksiapan bank-bank dan penyedia jasa keuangan untuk melaksanakan
kewajiban pelaporan.
b. Ketidakmampuan para petugas penyedia jasa keuangan dalam mendeteksi
transaksi dan rekening yang ada, atau yang menimbulkan kecurigaan.
c. Kinerja atau profesionalitas penegak hukum yang tidak memadai dalam
mengungkap kejahatan ini.
3. Budaya Hukum masyarakat belum mendukung anti pencucian uang
a. Belum adanya budaya anti korupsi di dalam masyarakat.
b. Perbedaan pemahaman masyarakat (nasabah bank) mengenai praktik
pencucian uang. Karena masih banyak masyarakat yang berpandangan
bahwa pencucian uang tidak langsung akan merugikan masyarakat.
4. Kesulitan terhadap penerapan sistem hukum dalam kerjasama internasional
untuk memberantas tindak pidana pencucian.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
A. Kesimpulan
1. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, korupsi diartikan sebagai setiap orang baik
penjabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur/elemen yang terkandung
dalam pasal ini adalah adanya perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus
dilakukan secara melawan hukum, tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk
memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan akibat perbuatan
tersebut adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang
dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia secara umum dilakukan adalah
placement (upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas
kejahatan melalui sistem keuangan), layering (upaya untuk memisahkan atau
lebih menjauhkan hasil kejahatan dari sumbernya atau menciptakan
serangkaian transaksi yang kompleks untuk menyamarkan/mengelabui sumber
dana ”haram” tersebut) dan integration (upaya untuk menetapkan suatu
landasan sebagai suatu ’legimate explanation’ bagi hasil kejahatan).
3. Proses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak
ada bedanya dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja,
dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melibatkan satu
institusi yang relatif baru yaitu PPTAK.
Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya
melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada KUHAP seperti proses
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
penanganan tindak pidana lainnya, kecuali yang secara khusus diatur dalam
UU TPPU, seperti adanya memberikan perlindungan saksi dan pelapor pada
setiap tahap pemeriksaan: penyidikan, penuntutan dan peradilan, adanya
pembuktian terbalik, dan lain-lain.
B. Saran
1. Pemberantasan tindak pidana pencucian uang dari hasil korupsi harus
dilakukan secara sistemik dengan cara melakukan perubahan pada struktur dan
pelaku yang dualitas hubungan keduanya menentukan wajah sistem. Upaya
memerangi tindak pidana ini harus digerakkan serta didukung sepenuhnya
oleh presiden dan penjabat yang menduduki posisi-posisi kunci seperti
menteri, kepala kepolisian, kepala kejaksaan, Ketua Mahkamah Agung, dan
Ketua-ketua Pengadilan, selain tentunya, ketua dan anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi. Mereka harus mengedepankan supremasi hukum di
atas kekuasaan dan kepentingan lainnya.
2. Selain itu, diperlukan peran serta masyarakat untuk melaporkan setiap
transaksi (perbankan) yang mencurigakan serta lembaga-lembaga suatu
”kelompok pengawas” yang secara konsisten melakukan pengawasan terhadap
penguasa dan jajaran pemerintahannya misalnya lembaga seperti ICW di
setiap Kabupaten/Kota untuk mengawasi perilaku penguasa dan pemerintahan
daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Andi, Jur Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Edisi Revisi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia di
Indonesia, dalam Pustaka Peradilan Jilid IX, Jakarta: Penerbit
Mahkamah Agung RI, 1995.
Effendi, Marwan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia,
2005.
Emily G Lawrence, Let Seller Beware: Money Laundering, Merchants and 18
USC, 1956, 1957, vol. 37, College 1. Rev (1992).
Emong, Komariah Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material dalam
Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2001.
Fockema Andreae, Kamus Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983.
Fuady, Munir, Hukum PerbankanModern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003.
Garnasih, Yenti, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Hamilton-Hart, Natasha. Anti Corruption Startegies in Indonesia. Jakarta:
Bulletin of Indonesian Economic Studies 37 (1), 2001.
Hari, Sasangka, dan Lily, Rasita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan Kelima 2001.
Irman, Tb. S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta:
MQS Publishing & Ayyccs Group, 2006.
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Kedua, Jakarta:
Rineka Cipta, 2000.
Koeswadji, Korupsi di Indonesia; dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.
Moeljatno, Asas-asas HukumPidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993.
Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik
dan Masalahnya), Bandung: Alumni, 2007.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Nawawi, Barda Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1984.
Prayudi, Guse, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, makalah dalam majalah hukum Varia Peradilan
Tahun ke XXII No. 254 Januari 2007.
Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004.
Prodjohanidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik
Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), Bandung: CV
Mandar Maju, 2001.
Siahaan, NHC, Money Laundering (Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan),
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Sianturi, SR, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:
Gramedia, 2004.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Penerbit Politea
Bogor, 2000.
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987.
Sutan Remi Sjahdeini, Money Laundering, Jakarta: FHPSUI, 2003.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,Bandung: Alumni, 1986.
------------------, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1993.
Syahrul, Kamus Akuntasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
Yahya, M. Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi
Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi
Kasus, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009
Surat Kabar
Azhar, Harry Azis, Uang Haram Rp. 50 triliun Beredar di Indonesia, Republika
(27 Januari 2001).
Fuad, Munawar Noeh, Kiai di Republik Maling, Jakarta: Republika, 2005.
Husein, Yunus, Alasan Banyak Orang Korupsi, Dimuat di Harian Seputar
Indonesia pada Hari Senin, 12 Juni 2006.
Internet
http://wwwl.oecd.org/fatf/.
http://www.kompas.com/
http://www.transparancy.org./
http://www.sumbanews.com, Selasa, 18 September 07 (18:17)
Undang-Undang
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999.
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001.
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, UU No. 15 Tahun 2002.
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, UU No. 25 Tahun 2003, LN, No. 108 Tahun 2003.