Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi...

117
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009 PENANGANAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA HUKUM O l e h : ANDYRI HAKIM SIREGAR NIM : 0302000060 HUKUM PIDANA Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana (Abul Khair, SH, M. Hum) NIP. 131 842 854 Dosen Pembimbing IDosen Pembimbing II (Prof. DR. Syariffuddin Kallo, SH. M.Hum ) (M. Nuh, SH, M.Hum ) NIP. NIP. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007

Transcript of Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi...

Page 1: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

PENANGANAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

O l e h :

ANDYRI HAKIM SIREGAR NIM : 0302000060 HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Abul Khair, SH, M. Hum) NIP. 131 842 854

Dosen Pembimbing IDosen Pembimbing II

(Prof. DR. Syariffuddin Kallo, SH. M.Hum) (M. Nuh, SH, M.Hum) NIP. NIP.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007

Page 2: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

PENANGANAN DAN PENEGAKKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007

O l e h :

ANDYRI HAKIM SIREGAR NIM : 0302000060 HUKUM PIDANA

Page 3: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

mendurahkan nikmat dan karunia-Nya kepad penulis sehingga akhirnya penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat teriring salam kita panjatkan kepad junjungan Nabi Besar

Muhammad SAW, yang telah membawa manusia dari jaman jahiliah kealam

reformasi ini, dam juga salam kepada keluarga, sahabat dan saudara seiman

seaqidah.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan

melengkapi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat

adalah :

“PENANGANAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)”

Sebagai seorang hamba Allah, penulis sadar bahwa benar sripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan, sebab lainnya adalah terbatasnya pengetahuan yang

penulis miliki, sedikitnya pengalaman dan literatur-literatur yang belum

menunjang judulyang penulis majukan dalam skripsi ini.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan

kritik yang konstruktif guna lebih terciptanya suasana untuk mendekati

kesempurnaan dalam skripsi ini.

Page 4: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak lansung

telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama menempuh

perkuliahan, khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. DR. Syarifuddin Kallo, SH. M.Hum, selaku Dosen

Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan

skripsi ini.

4. Bapak M. Nuh, SH. M.Hum, Selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengikuti

perkuliahan melalui ilmu pengetahuan yang diajarkan.

Dalam menempuh perjalanan hidup yang penuh perjuangan, penulis ingin

mengaturkan terima kasih yang tak terhingga pada :

1. Kedua orang tua yang tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang,

pengorbanan yang tak terhingga baik dimasa perkuliahan sampai selesai.

2. Saudara-saudaraku tercinta, seluruh keluarga besarku yang telah

memberikan segala perhatian dan dorongan semangat serta ketulusan kasih

sayang yang begitu dalam kepada penulis.

Page 5: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

3. Rekan – rekan seangkatan Stb’03 di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan. Teruslah berjuang dan berkarya, semoga

persahabatan kita akan tetap abadi.

Terima kasih juga penulis haturkan kepada seluruh pihak yang turut

mendukung proses penyelesaian skipsi ini.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah kita berserah diri dan memohon

ampunan.

Semoga skripsi ini memberi manfaat bagi yang membacanya.

Medan, September 2007

Penulis

Page 6: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

ABSTRAK

Salah satu semangat diundangnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah untuk mempersulit para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya, dengan demikian dalam jangka panjang di harapakan tindak pidana korupsi dapat berkurang. Dalam pasal 2 ayat (1) UU PTPK, Korupsi diartikan sebagai setiap orang baik pejabat pemerintahan maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan melawan hukum melakukan perbuatan meperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah bagaimanakah modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang hasil dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia, dan bagaimanakah penanganan dan penegakan huku terhadap tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana Korupsi di indonesia.

Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum sosiologis atau empiris dengan melakukan pendekatan penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam upaya menganlisis data dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundang-undangan dan penerapannya di dalam masyarakat.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Unsur/elemen yang terkandung dalam korupsi sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU TPPK adalah adanya perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara melawan hukum, tujuan dari perbuatan tersebut yakni memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan akibat perbuatan tersebut adalah dapat merugikan negara atau perekonomian negara. Modus pencucian uang dapat dilakikan untuk menyembunyikan hasil tindak pidana korupsi di Indonesia secara umum dilakukan adalah Placement (upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan melalui sistem keuangan). Layering (Upaya untuk memisahkan atau lebih menjauhkan hasil kejahatan dari sumbernya atau menciptakan serangkain transaksi yang kompleks untuk menyamarkan/ mengelabui sumber sumber dana ”haram”tersebut). dan integration (upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan). Proses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak ada bedanya dengan penanganan perkara perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian unag melibatkan suatu institusi yang relatif baru yaitu : PPATK. Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang mendasarkan pada KUHAP diatur dalam UU TPPU, seperti adanya memberikan perlindungan saksi dan pelapor pada setiap tahap pemeriksaan : penyidikan, penuntutan dan peradilan, adanya pembuktian terbalik, dan lain-lain.

Page 7: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... 3

ABSTRAK ............................................................................................. 6

DAFTAR ISI ......................................................................................... 7

BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

B. Perumusan Masalah ............................................................... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 4

D. Keaslian Penulisan................................................................. 5

E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................... 6

F. Metode Penelitian .................................................................. 10

G. Sistematika Penulisan ............................................................ 11

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI ................ 13

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ......................................... 13

B. Kronologis Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi

di Indonesia ........................................................................... 23

C. Peraturan-Peraturan Yang Terkait Dengan Pemberantasan

Korupsi.................................................................................. 38

D. Jenis – jenis Delik Tindak Pidana Korupsi Menurut UU

Korupsi.................................................................................. 42

BAB III MODUS PENCUCIAN UANG YANG DAPAT

DILAKUKAN UNTUK MENYEMBUYIKAN UANG

HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI ............................... 44

Page 8: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

A. Pengertian Pencucian Uang ................................................... 44

B. Lahirnya International Legal Regime dalam upaya

Pemberantasan Pencucian Uangdi Dunia ............................... 49

C. Pengaruh International Legal Regime Anti Money Loundering

Terhadap Indonesia ............................................................... 55

D. Asas-Asas Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana PencucianUang (UU No. 15 Tahun 2001 Jo UU No.

23 Tahun 2004) ..................................................................... 58

E. Modus Pencucian Uang Yang Dapat Dilakukan Untuk

Menyembunyikan Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi ........... 61

BAB IV PENANGANAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK

PIDANA KORUPSI DI INDONESIA STUDI KASUS

L/C FIKTIF BNI 46 ............................................................. 67

A. Kasus L/C FIKTIF BNI 46 .................................................... 67

B. Penanganan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana

Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46 ............................... 89

C. Hambatan-Hambatan Penanganan Tindak Pidana Pencucian

Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia .................... 102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 104

A. Kesimpulan ........................................................................... 104

B. Saran ..................................................................................... 105

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 107

Page 9: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dengan kemajuan teknologi informasi dan globalisasi keuangan

mengakibatkan makin mandunianya perdagangan barang dan jasa arus finansial

yang mengikutinya. Kamujuan tersebut tidak selamanya memberikan dampak

yang positif bagi suatu negara, karena terkadang justru sarana yang subur, bagi

perkembangan kejahatan, khusunya kejahatan kerah putih (white collar crime).

Kejahatan kerah putih sudah berkembang pada taraf transnational yang

tidak lagi mengenal batas-batas teritorial negara. Bentuk kejahatannya pun

semakin canggih dan terorganisir secara rapih, sehingga sulit untuk dideteksi.

Pelaku kejahatan selalu berusaha menyelamatkan uang hasil kejahatannya melalui

berbagai cara, salah satunya dengan melakukan pencucian uang (money

laundering). Dengan cara ini mereka mencoba untuk mencuci sesuatu yang

didapat secara illegal menjadi suatu bentuk yang telihat legal. Dengan pencucian

ini, pelaku kejahatan dapat menyembunyikan asal usul yang sebenarnya dana atau

uang hasil kejahatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan ini pula para pelaku

kejahatan dapat menikmati hasil kejahatan secara bebas seolah-olah tampak

sebagai hasil dari suatu kegiatan yang legal.

Paling tidak ada tiga motovasi mengapa pelaku kejahatan melakukan

pencucian uang hasil kejahatan yang dilakukannya, yaitu kekhawatiran para

Page 10: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

pelaku akan berhadapan dengan petugas pajak, penuntutan oleh aparat penegak

hukum, dan kekhawatiran hasil kejahatan tersebut disita.

”The motivation for all of this activity arises from a situation where a person attempts to spend illegally-acquired money without first hiding its origin. When this accurs, one of there possibilite is likely tp result: (1) the individual may be held liable for taxes on the fund and/or for non-payment of taxes; (2) the money may be linked to the crime, making the owner a target for persecution; (3) the money may be subject to forfeiture if the government find that’s it was illegally acquired”.1

Indonesia termasuk “surga” bagi para pelaku kejahatan sebagai tempat

untuk mencuci hasil kejahatan, bahkan menurut Harry Azhar Azis, Direktur

Institute for Transformation Studies memperkirakan banyaknya uang yang dicuci

di Indonesia mencapai jumlah Rp. 50 triliun.

Untuk memberantas praktek pencucian uang, maka pada tahun 2002

Indonesia telah menkriminalisasi pencucian uang, yaitu dengan diundangkannya.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana yang telah dirubah dengan

Undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

2

1 Emily G Lawrence, Let Seller Beware : Money Laundering, Merchants and 18 USC ,

1956, 1957, vol. 37, Colledge 1, Rev. (1992), hal. 841.

2 Harry Azhar Azis, Uang haram Rp. 50 Trilliun beredar di Indonesia, Republika (27 Januari 2001).

Uang hasil kejahatan yang dicuci tersebut biasanya berasal dari kejahatan

kerah putih (Hhitte collar crime). Di Indonesia uang hasil kejahatan tersebut

terutama di peroleh dari tindak pidana korupsi, sehingga dapat dikatakan bahwa

core crime yang dominan dalam tindak pidana pencucian uang adalah tindak

pidana korupsi.

Page 11: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam

suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan

suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum

dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan

penyakit kanker yang imun, meluas, permanen dan merusak semua sendi

kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonimian serta penataan ruang

wilayah.

Di Indonesia korupsi dikenal dengan istillah KKN singkatan dari korupsi,

kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di

setiap aparat negara dari tingkat yang paing rendah hingga tingkatan yang paling

tinggi. Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai “Penggunaan fasilitas

publik untuk kepentingan pribadi dengan cara melawan hukum”.3

Sedangkan pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia

masih menjadi negara terkorup di dunia.

Berdasarkan laporan tahunan dari lembaga internasional ternama, Political

and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, Indonesia

adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia dalam hasil surveinya tahun

2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002

bersama dengan Kenya.

4 Transparansi International

menempatkan Indonesia sebagai negara sepuluh besar yang terkorup didunia

dalam hasil surveinya.5

3 Hamilton-Hart, Natasha. Anti Corruption Startegies in Indonesia. (Jakarta : Bulletin of

Indonesian Economic Studies 37 (1), 2001), hal. 65 – 82. 4 Kompas, 19 Maret, 2005, http://www.kompas.com/ 5 http://www.transparancy.org./

Page 12: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Salah satu semangat diundangkannya Undang – undang Nomor 25 Tahun

2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah untuk mempersulit para

koruptor untuk menyembunyikan uang hasil Kejahatannya, dengan demikian

dalam jangka panjang diharapkan tindak pidana korupsi dapat berkurang.

Latar belakang tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian

terhadap penanganan dan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dari

hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia?

2. Bagaimanakah modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk

menyembunyikan uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia?

3. Bagaimanakah penanganan dam penegakan hukum terhadap tindak pidana

pencucian uang dari hasil tindak pidana dari hasil korupsi di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini

adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Untuk menjelaskan modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk

menyembunyikan uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan menganalisa penanganan dan penegakan hukum

terhadap tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di

Indonesia.

Sedangkan manfaat penulisan ini adalah :

Page 13: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

1. Segi teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran

dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan

Hukum Pidana khususnya mengenai pemberantasan tindak pidana

pencucian uang.

b. Hasil penelitian ini diharpakan memberikan sumbangan informasi kepada

pendidikan ilmu hukum mengenai pelaksanaan kaidah –kaidah hukum di

abad ini.

c. Penelitian ini diharapkan dapar meberikan sumbangan pemikiran kepada

pembuat undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut

sebagai upaya mengantisipasi terjadinya tindak pidana pencucian uang

dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Segi Praktis

Penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan kepada apartur negara

dan pihak-pihak lainnya dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian

uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian baik di kepustakaan maupun

di lapangan, perihal Penanganan dan Penegakan Hukum Tindak

Pidana Pencucian Uang Dari hasil tindak Pidana korupsi di Indonesia

(Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46) ini memang sudah ada yang meneliti

atau membahas dalam bentuk disertasi, makalah, majalah, artikel, bahan-

bahan diskusi, seminar dan lokakarya, namun dengan pokok permasahan

Page 14: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

yang berbeda. Oleh karena itu maka dapat dianggap. Oleh karena itumaka

dianggap penulisan skripsi ini memiliki keaslian.

E. Tinjauan Kepustakaan

Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun

oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintas

batas wilayan negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa

tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, perbankan,

perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, terorisme, penggelapan, penipuan

dan berbagai kejahatan kerah putih lainnya.

Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana

tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para

pelaku kejahatan, karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh

aparat penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut.

Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta

kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan

(financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system).

Dengan demikian, asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak

dapat dilacak oleh aparat penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau

menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan inilah yang

dikenal dengan pencucian uang (money laundering).6

Sutan Remy Sjahdeni mengartikan pencucian uang sebagai:

6 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang, UU, No. 15 Tahun 2002, Penjelasan.

Page 15: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan asal usulnya dari pihak yang berwenang agar tidak dilakukan penindakan terhadap tindak pidana tersebut dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga apabila akhirnya uang tersebut dikeluarkan dari sistem keuangan itu maka uang itu telah berubah menjadi uang sah.7

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 25 Tahun 2003 disebutkan bahwa

hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana

korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga tenaga kerja,

penyelundupan imigran, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana di

bidang pasar modal, tindak pidana di bidang asuransi. Tindak pidana narkotika,

Melalui proses pencucian uang, maka pelaku kejahatan dapat

mempergunakan uang hasil kejahatannya seolah-olah uang tersebut didapatkan

dari suatu hasil yang sah. Hal ini merupakan salah satu pemicu tumbuh

berkembangnya tindak pidana korupsi di Indonesia, karena pada koruptor dapat

dengan mudahnya memasukkan uang hasil tindak pidana korupsi yang

dilakukanya kedalam sistem keuangan dan kemudian mempergunakannya

kembali seolah-olah didapat dari hasil yang sah.

Hal tersebut mendorong FATF (Financial Action Task Force) pada tahun

1990 mengeluarkan Forty Recommendation, yaitu rekomendasi bagi negara-

negara untuk mengurangi pencucian uang, salah satu caranya adalah dengan

melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang. Atas Forty Recommendation

tersebut, pada tahun 2002 diundangkanlah Undang-undang No. 15 Tahun 2002

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang no. 25 Tahun 2003 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang.

7 Sutan Remy Sjahdeini, Money Laundering, (Jakarta : FHPSU), hal. 64.

Page 16: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan,

terorisme, pencurian, Penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian,

Prostitusi, tindak pidana dibidang perpajakan, tindak pidana dibidang kehutanan,

tindak pidana di bidang lingkungan hidup, tindak pidana di bidang kelautan, atau

tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

Dari rumusan pasa l2 ayat (1) Undang-undang No. 25 tahun 2003 tersebut

maka jelaslah bahwa korupsi dipandang sebagai salah satu asal kejahatan dari

tindak pidana pencucian uang.

Untuk memberantas tindak pidana korupsi maka indonesia melakukan

kriminalisasi terhadap perbuatan korupsi melalui Undang-undang No.31 Tahun

1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001

tentang Pemberantasan Korupsi.

Meskipun demikian tindak pidana korupsi tetap terjadi, Undang-undang

no. 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 25 tahun 2003

tentang tindak pidana pencucian uang diharapkan dapat membatasi ruang gerak

para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya.

Guna tidak menimbulkan kerancuan dalam memahami penelitian ini, maka

penulis memberikan batasan terhadap istilah yang di pergunakan dalam penelitian

ini, yaitu sebagai berikut :

1. WPJ Pompe mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan yang bersifat

melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.8

Mengenai sifat melawan hukum, M. Sudrajat Bassar, membagi sifat melawan

hukum menjadi 2, yaitu :

8 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1993), hal. 85.

Page 17: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

a. Sifat melawan hukum materil merupakan sifat melawan hukum yang luas, yaitu melawan hukum itu sebagai suatu unsur yang tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (dasar-dasar pada umumnya)

b. Sifat melawan hukum formal merupakan unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga ia baru merupakan unsur daripada tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana.9

Sedangkan Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 10

2. Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,

membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan,

membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana

dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta

kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

11

3. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman

tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang

untuk dipergunakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa.

12

Subekti menyatakan bahwa pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang

kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam surat

9 Guse Prayudi, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, makalah dalam majalah hukum Varia Peradilan Tahun ke XXII No. 254 Januari 2007, hal. 24.

10 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), hal. 54. 11 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 25 Tahun 2003, LN, No. 108 Tahun 2003, Pasal 1 butir 2.

12 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 252.

Page 18: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

persengketaan.13 Sedangkan Martiman Projokawidjojo mengemukakan,

membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran

atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran

peristiwa tersebut.14

4. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik

yang berwujud maupun yang tak berwujud.

15

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptip analitis yang

menggambarkan secara sistematis data mengenai masalah yang akan dibahas.

Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis sehingga dapat

ditarik kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif, yaitu Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana

penerapannya dalamm praktik di Indonesia.

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, yaitu

kegiatan mengumpulkan data-data sekunder yang terdiri dari:

13 Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987), hal. 7. 14 Sasangka Hari, dan Rasita Lily, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Jakarta:

PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Kelima 2001), hal. II. 15 Indonesia, UU No. 25 Tahun 2003, Op. Cit., Pasal 1 butir 4.

Page 19: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

1) Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik

peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia maupun

peraturan yang diterbitkan oleh negara lain dan badan-badan internasional.

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan

memahami bahan hukum primer.

3) Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder.

4. Analisa Data

Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode

analisis normatif kualitatif. Dengan demikan akan merupakan analisis data

tanpa mempergunakan rumus dan data matematis.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Pada bab ini berisikan latar belakang penulisan, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Pengaturan Tindak Pidana Korupsi

Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian tindak pidana

korupsi, kronologis perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di

Indonesia, peraturan-peraturan yang terkait dengan pemberantasan

korupsi, jenis-jenis delik tindak pidana korupsi menurut UU Korupsi.

Page 20: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Bab III Modus Pencucian Uang Yang Dapat Dilakukan Untuk

Menyembunyikan Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi

Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang unsur-unsur pokok

pencucian uang, lahirnya International Legal Regime dalam upaya

pemberantasan pencucian uang di dunia, pengaruh International Legal

Regime Anti Money Laundering terhadap Indonesia, asas-asas dalam

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU

No. 15 Tahun 2001 Jo UU No. 23 Tahun 2004), modus pencucian uang

yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang hasil tindak pidana

korupsi.

Bab IV Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian

Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Studi Kasus

L/C Fiktif BNI 46

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang kasus L/C Fiktif BNI

46 (posisi kasus dan analisa kasus), penanganan dan penegakan hukum

tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di

Indonesia studi kasus L/C fiktif BNI 46, hambatan-hambatan

penanganan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi di

Indonesia.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari pembahasan-

pembahasan dari permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam

skripsi ini dan mencoba memberikan beberapa saran kepada pihak-pihak

yang berkepentingan.

Page 21: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata korupsi berarti perbuatan

yang buruk, seperti penggelapan uang penerimaan uang suap dan sebagainya.16

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio atau corruptus yang

berarti menyuap. Dan selanjutnya dikatakan bahwa corruptio itu berasal dari kata

asal corrumpere yang berarti merusak.17 Dari bahasa latin ini kemudian turun ke

banyakbahasa Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis dan Belanda. Menurut Jur

Andi Hamzah, kata korupsi dalam bahasa Indonesia adalah turunan dari Bahasa

Belanda yaitu corruptie (korruptie) yang berarti kebusukan, keburukan, kebejatan,

ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-

kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah.18

Di Indonesia istilah korupsi pada awalnya bersifat umum, namun

kemudian menjadi istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer

No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam konsiderans

peraturan tersebut dikatakan antara lain bahwa berhubung tidak adanya kelancaran

16 Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

1984), cet. VII, hal. 524. 17 Fockema Andreae, Kamus Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983). 18 Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, Edisi Revisi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal 4.

Page 22: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

dalam usaha-usaha memberantas dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan

keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan

korupsi perlu segera menetapkan sesuatu tata cara kerja untuk dapat menerobos

kemacetan usaha memberantas korupsi ... dan seterusnya ...19

Berdasarkan konsideran peraturan tersebut, korupsi memiliki dua unsur:

pertama, perbuatan yang berakibat pada kerugian perekonomian Negara. Kedua,

perbuatan yang berbentuk penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh

keuntungan tertentu.

20

(… suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/ pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis keuntungan pribadi).

Menurut Edelherz, dalam bukunya The Investigation of White Collar

Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies disebutkan sebagai berikut:

“White collar crime: … an illegal act or services of illegal acts committed by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain money or property, to avoid the payment or loss of money or property, to obtain business or personal advantage.”

21

1. Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publi (public office-centered corruption), yang didefinisikan sebagai tingkah laku dan tindakan seseorang penjabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan

Menurut Philip (1997) sebagaimana dikutip Munawar Fuad Noeh ada tiga

pengertian luas yang sering dipakai dalam berbagai pembahasan tentang korupsi,

yaitu:

19 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 115. Lihat juga

Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 33.

20 Koeswadji, Korupsi di Indonesia; dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 33-35.

21 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra aditya Bakti, 2005), hal. 34.

Page 23: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya, seperti keluarga, karib kerabat, dan teman. Pengertian itu, seperti terlihat, juga mencakup kolusi dan nepotisme, pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.

2. Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi jika seseorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberi imbalan (apakah uang atau yang lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik.

3. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Dalam kerangka ini, maka korupsi adalah lembaga ekstra legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.22

Lebih lanjut Munawar Fuad Noeh menyimpulkan bahwa sedikitnya

terdapat tujuh macam korupsi, yaitu:

1. Pertama, korupsi transaksional, yaitu korupsi yang melibatkan dua pihak. Keduanya sama-sama mendapat keuntungan dan karenanya sama-sama mengupayakan secara aktif terjadinya korupsi.

2. Kedua, korupsi yang bersifat memeras, yaitu apabila pihak pertama harus melakukan penyuapan terhadap pihak kedua guna menghindari hambatan usaha dari pihak kedua itu.

3. Ketiga, korupsi yang bersifat ontogenik, yaitu hanya melibatkan orang yang bersangkutan. Misalnya, seseorang anggota parlemen mendukung golnya sebuah rancangan undang-undang, semata karena undang-undang tersebut akan membawa keuntungan baginya.

4. Keempat, korupsi defensive, yaitu ketika seseorang menawarkan uang suap untuk membela dirinya.

5. Kelima, korupsi yang berarti investasi. Misalnya memberikan pelayanan barang atau jasa dengan sebaik-baiknya agar nantinya mendapat ’uang terima kasih’ atas pelayanan yang baik itu.

6. Keenam, korupsi yang bersifat nepotisme. Yaitu penunjukan ’orang-orang saya’ untuk jabatan-jabatan umum kemasyarakatan, atau bahwa ’keluarga’ sendiri mendapatkan perlakuan khusus dalam banyak hal.

7. Ketujuh, korupsi supportif, yaitu korupsi yang tidak secara langsung melibatkan uang, jasa atau pemberian apapun. Misalnya, membiarkan

22 Munawar Fuad Noeh, Kiai di Republik Maling, (Jakarta: Republika, 2005), hal. 2.

Page 24: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

berjalannya sebuah tindakan korupsi dan bersikap masa bodoh terhadap lingkungan dan situasi yang korup.23

Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi sejak Perang Dunia Kedua

menyebutkan, esensi korupsi adalah melalui penipuan dalam situasi yang

mengkhianati kepercayaan. Beliau membagi korupsi membagi ke dalam tujuh

macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif, perkerabatan, defensif,

otogenik dan dukungan.24

Dari bunyi pasal yang demikian, jelas Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun

2001, menghendaki agar yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi

adalah ”setiap orang”. Istilah ”setiap orang” dalam konteks hukum pidana harus

dipahami sebagai orang perorangan (Persoonlijkheid) dan badan hukum

(Rechtspersoon) untuk konteks UU No. 20 Tahun 2001, para koruptor itu bisa

juga korporasi (lembaga yang berbadan hukum maupun lembaga yang bukan

Dalam kajian ilmu pengetahuan, korupsi merupakan objek hukum yang

pada konteks di Indonesia dikategoriukan sebagai salah satu delik kasus di luar

KUHP dan pada saat ini telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang

Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (UU PTPK).

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, disebutkan bahwa:

Setiap orang baik penjabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memeperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah).

23 Ibid., hal. 5. 24 Yunus Husein, Alasan Orang Banyak Korupsi, Dimuat di Harian Seputar Indonesia

pada Hari Senin, 12 Juni 2006.

Page 25: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

berbadan hukum) atau siapa saja, entah itu pegawai negeri, tentara, masyarakat,

pengusaha dan sebagainya asal memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam

pasal ini.

Sedangkan bagi siapa saja terbukti melakukan tindak pidanan korupsi,

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, akan

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit

Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah).

Berkaitan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam Pasal 2

ayat (1) UU PTPK, juga menegaskan bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi

dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan

bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang

meluas, penangggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak

pidana korupsi, maka para pelaku tersebut dapat dipidana mati.

Menurut Darwin Prinst (2002 : 23), keseluruhan sanksi yang terdapat dalam UU PTPK dan khususnya yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) pada dasarnya menganut 3 sifat dari ancaman pidana, yakni: pertama, kata ”dan atau” yang tertuang dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat komulatif dan alternatif. Kedua, kata ”dan” yang terdapat dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut adalah bersifat komulatif. Ketiga, kata ”atau” yang tertera dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat alternatif.25

Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, juga menghendaki agar istilah korupsi

diartikan sebagai setiap orang baik penjabat pemerintah maupun swasta yang

secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau

25 Paul Sinlaeloe, Korupsi Dalam Perspektif Yuridis, http://www. Sumbawanews.com,

Selasa 18 September 07 (18: 17).

Page 26: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Itu

berarti, unsur/elemen yang terkandung dalam pasal ini dan harus dibuktikan

berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah pertama, adanya perbuatan

yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara melawan hukum. Kedua,

tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk memperkaya diri sendiri, orang lain

atau korporasi. Ketiga, akibat perbuatan tersebut adalah dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara.

1. Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, seharusnya

dipahami secara formil maupun secara materil. Secara formil berarti perbuatan

yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang

melawan/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan

secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak pidanda korupsi adalah

yang berlaku namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak

sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di pidana.

Pengertian melawan hukum secara materi (Materiele Wederrechttelijkeheid)

dalam Hukum Pidana diartikan sama dengan pengertian ”melawan hukum

(Onrechtmatige Daad)” dalam pasal 1365 KUH Perdata dan ini sangat

bertentangan dengan asas legalitas yang bahasa latin, disebut: ”Nullum

Delictum Nulla Poena Lege Pravie Poenali” yang dalam hukum pidana

Indonesia pengertiannya telah diadopsi dan dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1)

KUHP yang berbunyi: ”suatu perbuatan tidak dapat dihukum/dipidana,

kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan yang telah ada”.

Page 27: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Di dalam Yuresprudensi yang sudah ada, dalam teori hukum juga diakui

bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu

tidak saja bertentangan dengan hukum yang dalam bentuk undang-undang,

tetapi bisa juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis yang ditaati

oleh masyarakat.26

1) Pertama, korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efifisiensi tinggi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary efforts).

Dalam kaitannya dengan perluasan unsur melawan hukum ini, berpendapat

bahwa mengikat kharateristik tindak pidana korupsi yang muncul akhir-akhir

ini, idealnya unsur perbuatan melawan hukum harus dipahami baik secara

formil maupun materil karena:

2) Kedua, dalam merespon perkembangannya kebutuhan hukum dalam masyarakat , agar dapat lebih memudahkan di dalam pembuktian sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.27

2. Memperkaya Diri Sendiri, Oran Lain Atau Korporasi

Ada 3 point yang harus dikaji dalam unsur/elemen ini berkaitan dengan suatu

tindak pidana korupsi, yaitu:

1) Pertama, memperkaya diri sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.

2) Kedua, memperkaya orang lain, maksudnya adalah akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.

26 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: Penerbit Politea Bogor,

2000), hal. 294. 27 Marwan Effendi, Tindak Pidana Korupi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia ), 2002,

hal. 14

Page 28: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

3) Ketika, memperkaya korporasi yakni akbat dari perbuatan mekawan Hukum dari pelaku, suatu korporasi, yaitu kumpulan orang-atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum Maupun bukan badan hukum. (Pasal 1 ayat (1) UU PTPK) yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. 28

Unsur/elemen ini pada dasarnya merupakan unsur/elemen yang sifatnya

alternatif. Artinya jika salah suatu point diantara ketiga point ini terbukti,

maka unsur ”memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi” ini dianggap

telah terpenuhi. Pembuktian unsur/elemen ini sanagt tergantung pada

bagaimana cara orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana korupsi

memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain atau memperkaya korporasi,

yang hendaknya dikaitkan dengan unsur/ elemen ”menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan ”yang tercantum dalam Pasal 3 UU PTPK.

Pasal 3 UU PTPK, disebutkan bahwa:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah).

Dari bunyi Pasal 3 UU PTPK yang seperti ini, maka perlu dipahami bahwa

yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsinya adalah korporasi dan

orang-perorangan (Persoonlijkheid). Namun jika dipahami secara teliti, maka

kalimat ”setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan...”,

28 Paul Sinlaeloe, Op. Cit.,

Page 29: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal 3 UU PTPK

haruslah orang-perorangan (Persoonlijkheid) dalam hal ini seorang

pejabat/pegawai negeri.

Menurut Pasal 1 ayat (2) UU PTPK, yang dimaksud dengan pegawai negeri

meliputi :

1) Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang kepegawaian (UU No. 8 Tahun 1974).

2) Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 92 KUHP 3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara 4) Orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah 5) Orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.29

Unsur/elemen menyalahgunakan wewenang, kesempata atau sarana yang ada

pada seseorang karena jabatan atau kedudukan dari Pasal 3 UU PPTK ini pada

dasarnya merupai unsur/elemen dalam Pasal 52 KUHP. Namun, rumusan

yang menggunakan istilah umum ”menyalahgunakan” ini lebih luas jika

dibandingkan dengan Pasal 52 KUHP yang merincinya dengan kata, ” ... oleh

karena melakukan tindakan pidana, atau pada waktu melakukan tindak pidana

memakai kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari

jabatannya ... ”

Untuk membuktikan suatu tindak pidana korupsi berkaitan dengan

unsur/elemen yang bersifat alternatif ini, maka ada 3 point yang harus dikaji,

yakni :

1) Menyalahgunakan kewenangan, berarti menyalahgunakan kekuasaan/hak yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan .

2) Menyalahgunakan kesempatan, berarti menyalahgunakan waktu/moment yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

29Ibid.,

Page 30: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

3) Menyalahgunakan sarana artinya menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.30

3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Point yang harus dibuktikan dalam unsur/elemen ” dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara” berkaitan dengan suatu tindak pidana

korupsi adalah :

1) Merugikan Keuangan Negara

Menurut Penjelasan Umum UU PTPK, yang dimaksud dengan keuangan

negara adalah

Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena : a) berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban pejabat,

lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun daerah b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban

BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berbasarkan perjanjian dengan negara

2) Perekonomian Negara

Menurut Penjelasan Umum UU PPTK, perekonomian negara adalah :

Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakn pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bertujuan memberi mamfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Kedua point dalam unsur/elemen ”dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara” ini adalah bersifat alternatif. Jadi untuk

membuktikan seseorang melakukan tindak pidana korupsi atau tidak,

berkaitan dengan unsur/elemen ini, maka cukup hanya dibuktikan salah

satu point saja. Namun, yang harus dingat dan diperhatikan dalam 30Ibid.,

Page 31: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

pembuktian dan dpoerhatikan dalam pembuktian unsur ini ialah kata

“dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara” menujukkan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU PTPK

mengamanatkan agar tindak pidana korupsi harus dipahami sebagai

delik Formil dan bukannya delik materil.

Dari pemahaman seperti ini, maka harus disimpulkan bahwa adanya tindak

pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang bersalah atau

koorporasi dapa disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis

cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur pembuatan

melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

B. Kronologis Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia

Secara kronologis perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di

Indonesia di bagi dalam 8 (delapan) fase31

1. Fase Ketidakmampuan Tindak Pidana (ambtsdelicten) dalam KUHP

untuk Menanggulangi Korupsi

, yaitu :

Dalam KUHP teradapat beberapa ketentuan perbuatan oleh pejabat dalam

menjalankan jabatannya, seperti : Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya terdapat

perbuatan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP), membuat palsu

atau memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau janji (Pasal 418, 31Seiring dengan perkembangan peraturan terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, sebelumnya hanya dikenal 6 (enam) fase perkembangan peraturan korupsi (Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi ( Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1999, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal.1-12 ) dan kini menjadi 8 (delapan) perkembangan yaitu ditambah perkembangan fase ketujuh mengenai UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan fase kedelapan tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (disingkat KAK) 2003 yang diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 2006.

Page 32: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

419, dan 420 KUHP) serta menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum (Pasal 423, 425, dan 435 KUHP).

Pada hakekatnya, ketentuan-ketentuan tundak pidana korupsi ini ternyata

kurang efektif dalam menanggulangi korupsi seperti diintrodusir Sudjono

Dirdjosisworo sebagai berikut :

”Tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan dalam pasal-pasal KUHP saat itu dirasakan kurang bahkan tidak efektif menghadapi gejala-gejala korupsi saat itu. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan yang dapat memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap pelaku-pelakunya.”32

2. Fase Kepres No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op de Staat van Oorlog en

van Beleg (Stb. 39-582 jo 40-79 Tahun 1939) tentang Keadaan darurat

Perang

Dengan tolak ukur referensi ilmu Hukum, perkembangan fase kedua ini

dikenal munculnya peraturan-peraturan mengenai korupsi, yaitu :

a. Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi b. Prt/PM-08/1957 tanggal 27 Mei 1957 tentang Penilikan Terhadap Harta

Benda c. Prt/PM-011/1957 tanggal 01 Juli 1957 tentang Penyitaan dan Perampasan

Barang-barang.33

Konsideran dari Prt/PM-06/1957 mengatakan sebagai berikut :

”Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi ... dan seterusnya.”34

32Soedjono Dirdjosisworo, Masalah Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Pustaka Peradilan Jilid IX, (Jakarta: Penerbit Mahkmah Agung RI, 1995), hal. 172. 33Lilik Muliyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya), (Bandung: Alumni, 2007), hal. 6. 34Jur Andi Hamzah, Op. Cit.,hal. 41.

Dalam Prt/PM-06/1957 mulai diperkenalkan batasan korupsi sebagai :

Page 33: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

a. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain atau kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan perekonomian negara;

b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kekuasaan yang diberikan padanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan materiel baginya.35

Dalam perkembangan selanjutnya, karena melihat fakta-fakta sendiri (ipso

facto) dan menurut dan menurut hukum (ipso jure) terdapat kekurangefektifan

peraturan tersebut, kemudian lahirnya Prt/PM-08/1957. Pada peraturan ini

berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf a Penguasa Militer mempunyai kewenangan

mengadakan penilikan harta benda terhadap setiap orang atau badan didaerahnya

yang kekayaannya diperoleh dengan mendadak atau mencurigakan. Kemudian

berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf b, pengertian harta benda disini adalah sama

dengan harta benda yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Prt/PM-06/1957, yaitu

”segala penghasilan baik tetal maupun yang tidak tetap, segala yang simpanan dimanapun juga, surat-surat berharga, mata uang, barang-barang yang berupa tanah, sawah, perkebunan, perusahaan, rumah, bungalow atau bangunan lain, kendaraan bermotor, perabot rumah tangga yang mahal, mas, intan, barang-barang perhiasan dan lain sebagainya yang berlimpah-limpah, semua itu baik yang atas nama diri sendiri, suami atau istri, anaknya, orang lain maupun atas nama suatu badan yang diurusnya.”36

Akan tetapi, peraturan Prt/PM-08/1957 tidak lama, kemudian diganti

dengan Prt-PM-011/1957, dalam konsiderans butir a ditentukan perlunya

diadakan aturan tentang kekuasaan Penguasa Militer untuk menyita danmerampas

harta benda yang asal mulanya diperoleh dengan perbuatan melawan hukum

37

35Lilik Mulyadi, Op. Cit., 36Ibid, hal,.7-8 37Dalam ketentuan Pasal 1 Prt/PM-011/1957 tanggal 1 Juli 1957 yang dimaksud dengan perbutan melawan hukum adalah tiap perbuatan atau kelalaian yang: a.mengganggu hak

dan dalam Pasal 2 disebutkan bahwa ketentuan tersebut dibuat guna memberi

Page 34: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

dasar kepada kewenangan Penguasa Militer untuk dapat menyita dan merampas

barang –barang yang tidak sengaja atau karena kelalaian tidak ditearangkan oleh

pemiliknya/pengurusnya, harta benda yang terang siapa pemilik atau pemilik

pembantu harta benda dianggap diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.

Dari ketiga peraturan Penguasa Militer ini, secara eksplisit Soedjono

Dirdjosisworo menyimpulkan :

“Di samping hal-hal yang berhubungan dengan keadaan darurat sebagaimana telah diuraikan dimuka, maka pada ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut tercermin bahwa pihak penguasa pada saat itu menetapkan kehendak politik (polotical will) dengan tekad yang sungguh-sungguh berusaha memberantas korupsi di Indonesia. Kemudian, kehendak politik yang dituangkan dengan peraturan-peraturan Penguasa Militer tersebut merupakan ”modal” berharga untuk dikembangkan dan disempirnakan dalam rangka membuat undang-undang tentang penanggulangan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan citra masyarakat Indonesia.”38

3. Fase Keppres No. 225 Tahun 1957 jo UU No.74 Tahun 1957 jo. UU No. 79

Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya

Latar belakang dikeluarkannya peraturan ini disebabkan begitu

merajalela perbuatan-perbuatan korupsi pada saat tersebut sehingga

diharapkan dalan waktu sesingkat mungkin perbuatan korupsi dapat diberantas.

Akan tetapi, walau harapan itu jauh dari kenyataan, sejarah mencatat bahwa

peraturean Penguasa Perang ini memperkenalkan dan mengklasifikasikan batasan

perbuatan korupsi lainnya sebagaimana disebutkan pada bagian I Pasal 1 yang

dijabarkan oleh Pasal 2 dan Pasal 3 dengan perumusan sebagai berikut :

a. Perbuatan korupsi pidana Yang disebut sebagai perbuatan korupsi adalah :

orang lain, b) bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, c) bertentangan dengan kesusilaan, d) bertentangan dengan ketelitian, keseksamaan atau kecermatan yang harus diperhatikan dalam pergaulan masyarakat terhadap tubuh atau harta benda orang lain.

38 Soedjono Dirdjosisworo, Op.Cit., hal. 174-175.

Page 35: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

1) Perbuatan seseoranag yang dengan sengaja atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan keuangan negara atau daerah dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau kelongaran-kelonggaran dari masyarakat.

2) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatau kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain aau suatu badan , serta dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan .

3) Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP.

b. Perbuatan korupsi lainnya Yang disebut sebagai perbuatan korupsi lainnya : 1) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan

melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempegunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.

2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.39

Kemudian bedasarkan peraturan ini, ditiap-tiap wilayah Pengadilan

Tinggi diadakan suatu Badan Koordinasi Penilik Harta Benda yang selanjutnya

disebut Badan Koordinasi yang dipimpin oleh Pengawas Kepala kejaksaan

Pengadilan Negeri Propinsi setempat dan yang mempunyai hak mengadakan

penilikan harta benda setiap orang dan setiap badan, jika ada petunjuk kuat untuk

itu. Harta benda yang dapat dirampas atau disita oleh Badan Koordinasi dapat

berupa :

a. Harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak diterangkan olehnya atau oleh pengurusnya;

b. Harta benda yang tidak terang siapa pemiliknya;

39Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.10-11.

Page 36: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

c. Harta benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki tidak seimbang denga penghasilan mata pencahariannya;

d. Harta benda yang asal usulnya melawan hukum; e. Harta benda seseorang atau suatu badan yang keterangannya ternyata tidak

benar; f. Harta benda yang dipindah atas nama orang lain jika ternyata, bahwa

pemindahan nama dilakukan untuk menghindari beban, berhubung dengan ketentuan suatu aturan dan orang lain itu tida dapat membuktikan, bahwa ia memperoleh barang itu dengan itikad tida baik.40

Dalam Pasal 13 ditentukan tentang penyitaan dilakukan dengan cara :

a. Mengenai barang tidak tetap dengan mengambil barang itu dan menyampaikan berita acara tertulis tentang penyitaan itu kepada orang lain yang bersangkutan ;

b. Mengenai harta yang seperti dimaksud dalam Pasal 511 KUHPerdata dengan pemberitahuan kepada orang yang bersangkutan dengan surat tercatat tentang penyitaan itu dan kemudian, sekedar merupakan barang yang berwujud, dengan diambilnya, atau jika harta terdaftar, dengan dicatatnya pemberitahuan tersebut dalam daftar harta harga itu;

c. Mengenai piutang yang tidak disebut dalam pasal 511 KUHPerdata dengan memberitahukan dengan surat tercatat tentang penyitaan hak atas barang tetap itu kepada orang yang bersangkutan dan kemudian dicatatkannya pemberitahukan tersebut dalam daftar menurut overscgrijvings-ordonantie (Stb. 1831 No.27)

d. Mengenai barang tetap yang dikuasai oleh hukum adat, dengan pemberitahuan dengan surat tercatat tentang penyitaan hak atas barang tetap itu kepada orang yang bersangkutan dan kepada Kepala Desa yang bersangkutan atau yang sejenis dengan itu.41

Pada dasarnya, berdasarkan ketentuan Pasal 19, 26, 27, 35, 38, dan 55

Peraturan di atas, dikenal adanya pemeriksaan harta benda oleh Pengadilan Tinggi

yang dalam pemeriksaan harta benda ini, terhadap Pengadilan Tinggi tidak dapat

dimintakan banding atau kasasi. Kemudian pengusutan, penuntutan dan

pemeriksaan perbuatan korupsi pidana diperiksa dan diadili oleh Pengadilan-

Pengadilan di daerah masing-masing menurut undang-undang dan hukum acara

pidana yang berlaku sekedar dalam Peraturan Perang Pusat ini tidak ditentukan

lain. Berikutnya, terhadap cara mengadili anggota angkaan perang yang

40 Ibid., hal. 11-12. 41 Ibid., hal. 12-13.

Page 37: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

melakukan perbuatan korupsi pidana harus diadili oleh Pengadilan dalam

lingkungan Peradilan ketentaraan (sekarang Pengadilan Militer ) dan Peraturan

Penguasa Perang Pusat ini disebut sebagai ”Peraturan Pemberantasan Korupsi”.

4. Fase Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan

Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

Dalam konsiderans huruf a sampai dengan d Perpu No. 24 Tahun 1960.

Ditegaskan sebagai berikut :

a. Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang meyangkut keuangan Negara atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari negara atau masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan seperti tindak pidana, perlu diadakan beberapa aturan pidana khusus dan peraturan-peraturan khusus tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan itu yang disebut tindak pidana korupsi.

b. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut sub a telah diadakan peraturan Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958, No. Prt/Peperpu/013/1958 dan peraturan-peraturan pelaksanaanya peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 Tanggal 17 April 1958;

c. Bahwa peraturan-peraturan Peperpu tersebut perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan;

d. Bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang. 42

Kemudian, berdasarkan Bab I tentang Pengertian Tindak Pidana Korupsi

pada pasal 1 diberikan batasan yang disebut Tindak Pidana Korupsi , adalah :

a. tindakan seseorang yang dengan atau melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara lansung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugiakan merugikan keuangan suau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat;

b. perbuatan seseorang yang dengan atau melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;

42Ibid., hal. 14-15.

Page 38: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

c. kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP. 43

Dalam ketentua UU No.24 Prp 1960, adanya kekuatan bahwa dalam

jangka 3 (tiga ) bulan setelah orang ditahan sementara perkaranya harus diajukan

di muka hakim, kemudian jaksa hanya diperbolehkan mengenyampingkan perkara

korupsi diadili oleh Pengadilan Negeri dan khusus terhadap pengusutan, penuntut

dan pemeriksaan di muka pengadilan dari anggota angkatan perang atau oleh

orang-orang yang ada di bawah kekuasaan Pengadilan ketentaraan dilakukan oleh

petugas petugas menurut atauran yang ditentukan dalam aturan acara pidana

ketentaraan da dikenal pula adanya peradilan terpisah.

5. Fase UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidan korupsi

Kalau dijabarkan kalau terinci, detail dan intens, UU No. 3 Tahun 1971

tediri dari 7 bab dan 37 Pasal disahkan dan diundangkan pada tanggal 29 Maret

1971. Adapun dasar pertimbangan/konsiderans huruf a dan b UU No. 3 Tahun

1971 mengenai dicabutnya UU No. 24 Prp 1960 adalah bahwa perbuatan korupsi

sangat merugikan keuangan /perekonomian negara dan menghambat

Pembangunan Nasional serta berhubung dengan perkembangan masyarakat

kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan sehingga undang-

undang tersebut perlu diganti.

Apabila diperhatikan dengan seksama pada ketentuan UU No. 3 tahun

1971 ada beberapa aspek khusus dalam pengaturan Tindak Pidana Korupsi Jikalau

dibandingkan dengan UU No. 24 Prp 1960, yaitu pada dimensi-dimensi :

a. Bahwa dalam ketentuan UU No.3 Tahun 1971 tidak diisyaratkan dalam tindak pidana korupsi adanya anasir kejahatan atau pelanggaran

43 Ibid., hal. 15-16.

Page 39: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

sebagaimana diintrodusir oleh UU No. 24 Prp 1960. Akan tetapi, diganti dengan terminoloi pengertian dengan melawan hukum yang diartikan pengertian melawan hukum formal dalam artian khusus saja da melawan hukum materiel dalam artian bukan saja hukum tertulis, tetapi juga hukum yang tidak tertulis.

b. Perluasan pengertian pegawai negeri dalam UU No. 3 Tahun 1971 dimana diartikan juga meliputi orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan-badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.

c. Adanya pengaturan mengenai percobaan atau pemufukatan untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi karena pembentk undang-undang memandang tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara, percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi merupakan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman yang sama dengan ancaman bagi tinda pidana yang telah diselesaikan.

d. Adanya penambahan Pasal-Pasal KUHP yang ditarik dala tindak pidana korupsi bukan saja pasal 209, 210, 415, 418, 419, 420, 423 dan 425, tetapi ditambahkan lagi dengan pasal 387, 388, KUHP dan dalam UU No. 3 tahun 1971 diatur juga mengenai hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun penjara dan denda setinggi-tingginya Rp.30.000.000, 00 ( tiga puluh juta rupiah )

e. Dikenal adanya pidana tambahan sebaimana dikenal dalam KUHP yaitu berupa perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berwujud mupun yang tak berwujud.

f. Dalam pasal 9 UU No. 3 Tahun 1979 diatur tentang Menteri Keuangan dapat memberi izin kepada jaksa untuk minta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan tersangaka dan dengan izin Menteri Keuangan, Bank wajib memperlihatkan surat-sarat Bank dan memberikan keterangan tentang keuang an dari tersangka.44

6. Fase UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pada hakikatnya ada bebeapa aspek krusial yang membedakan UU No.3

Tahun 1971 dengan UU No. 31 tahun 1999, yaitu sebagai berikut :

a. Pengertian pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU

No. 31 Tahun 1999.

44Ibid., hal. 16-17

Page 40: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Pegawai Negeri adalah

1) pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;

2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-undang Hukum pidana;

3) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; 4) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu koorporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; 5) atau orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

b. Perluasan adanya pengertian perbuatan melawan hukum yaitu mencakup

perbuatan melawa hukum dalam arti formil maupun materil. Dalam

ketentuan Pasal 2 ayat (1) maka kata dapat sebelum frasa merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak

pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana

korupsi cukup dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah sirumuskan

bukan dengan timbulnya akibat.

c. Adanya perluasan terhadap pengertian keuangan negara dan

perekonomian negara.

d. Adanya pengaturan korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang

dapat dikenakan sanksi, penentuan ancaman minimum khusus dan

maksimun ( Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 21, 22, dan 23), adanya

pidana tambahan ( Pasal 18 ), pidana denda yang lebih tinggi dan ancaman

pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.

e. diperkenalkan tim Gabungan yang dikordinasikan Jaksa Agung terhadap

tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya sedangkan proses

penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peratura

perundangan-undangan yang berlaku.

Page 41: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

f. Diperkenalkannya asas beban pembuktian terbalik yang bersifat terbatas

atau berimbang yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan

bahwa ia tidak melukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan

keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri, atau

suami, anak dan dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga

mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

g. Bahwa UU No.31 Tahun 1999 menentukan bahwa pengembalian kerugian

keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan

dipidananya pelaku tindak pidana serta adanya peran Kejaksaaan sebagai

Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata kepada yang

bersangkutan atau ahli warisnya atau diserahkan kepada instansi yang

dirugikan untuk mengajukan gugatan.

h. Adanya peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan, pemberantasan

korupsi

i. Adanya penghargaan dari pemerintah kepada anggota masyrakat yang

telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan atau

pengungkapan tindak pidana korupsi. Dan 2 (dua) tahun sejak undang-

undang ini berlaku dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kemudian, untuk menambah dinamika dan kesinambungan

pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 diperbaharui

dengan dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2001. Pada prinsipnya perubahan ini

beorientasikan aspek-aspek berikut :

a. Adanya ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001, ditentukan

dalam penjelasan Pasal kemudian diubah sehingga rumusannya

Page 42: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 UU

No. 20 Tahun 2001 menjadi berbunyi :

”Yang dimaksud dengan ’keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penaggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasioanl, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi.”

b. Ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12, rumusannya diubah dengan

tidak mengacu Pasal-pasal dalam KUHP, tetapi lansung menyebutkan

unsur – unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang

diacu.

c. Diantara Pasal 12 dan 13 UU No. 31 Tahun 1999 disisipkan adanya 3

(tiga) buah Pasal baru yakni pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C yang

pada dasarnya bahwa ketentuan mengenai Pidana penjara dan pidana

denda sebagaimana dimaksud Pasal 5, 6, 7, 9, 10, 11, dan 12 tidak berlaku

bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000,00

(lima juta rupiah) dan dipidana paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana

denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Kemudian adanya pembuktian terbalik yang bersifat mutlak.

d. Bahwa mengenai alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana

ketentuan Pasal 188 ayat (2) KUHAP khusus untuk tindak pidana korupsi

dapat juga diperoleh dari : a) alat bukti lain yang berupa informasi yang

diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat

optik atau serupa dengan itu; b) dokumen, yakni setiap rekaman data atau

informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat

Page 43: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang

dalam kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam

secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,

foto, huruf, tanda, angka atau performasi yang memiliki makna.

e. Dalam Bab VI dan VII UU No. 31 Tahun 1999 ditambah Bab baru yakni

Bab VI A dalam UU No.20 Tahun 2001 mengenai Ketentuan Peralihan

ynag berisi 1 (satu) Pasal yaitu pasal 43 A yang menentukan, bahwa

Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum UU No. 31 Tahun 1999

diundangkan, diperiksa dan diputus bedasarkan UU no. 3 Tahun 1971

dengan ketentuan maksimun pidana penjara yang menguntungkan

terdakwa diperlakukan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 13 UU No. 31 tahun

1999 dan ketentuan minimun penjara tidak berlaku bagi tindak pidana

korupsi yang terjadi sebelum UU No. 31 Tahun 1999.

f. Kemudian dalam Bab VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu ) pasal baru

yakni pasal 43 B yang menentukan bahwa, ”Pada saat mulai berlakunya

Undang-undang ini, Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419,

420, 423, 425 dan pasal 435 KUHP jis UU No. 1 tahun 1946 sebagaima

telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU. 27 Tahun 1999 tentang

Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan

Kejahatan terhadap Keamanan Negara , diyatakan tidak berlaku”.

7. Fase UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Pada fase ini, mulai sikenak adanya lembaga baru yang menangani Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) adalah lembaga

Page 44: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen

dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Bedasarkan ketentuan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002, dikenal adanya

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) yang mengadili perkara-

perkara yang dilakukan penyidikan dan penuntut oleh KPK dengan adanya

Majelis Hakim Ad-Hoc yang terdiri dari 2 (dua) Hakim Karier dan 3 (tiga) orang

Hakim Ad-Hoc. Akan tetapi, ternyata berdasarkan pertimbangan Putusan

Mahkamah Konstitusi No.021-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006

pada halaman 286 dan seterusnya, eksitensi ketentua Pasal 53 tersebut

bertentangan dengan UUD 1945 dengan pertimbangan akibat hukum berupa agar

pemeriksaan perkara yang sedang ditangani tidak terganggu sehingga

menimbulkan kekacauan hukum, tidak menimbulkan implikasi melemahnya

semangat pemberantasan korupsi dan perlu adanya waktu penyempurnaan UU

KPK yang baru, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam amar menetapkan adanya

rentang waktu 3 (tiga) tahun untuk menyatakan ada kekuatan mengikat putusan

tersebut.45

8. Fase Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang diratifikasi dengan UU No. 7

Tahun 2006

Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (disingkat KAK 2003), secara global

dan representatif memuat 8 (delapan) Bab 46

45 Ibid., hal 33. 46 Bab I Ketentuan-ktentuan umum; Bab II Tindakan-tindakan pencegahan; Bab III Kriminalisasi dan Penegakan Hukum; Bab IV Kerja sama Internasional; Bab V pengembalian aset; Bab VI Bamntuan teknis, Bab VII Mekanisme untuk Pelaksanaan; Bab VIII Pasal-pasal penutup

, memuat beberapa substansi menarik

dilihat dari aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Page 45: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Aspek filosofis KAK 2003 memberikan justifikasi filsafati mengapa

tindak pidana korupsi harus ditentang, diberantas dan dilakukan penindakan.

Aspek sosiologis menentukan bagaimana suatu masyarakat harus dibangun oleh

pemerintah yang bersih (clean governmant) tanpa korupsi dengan tetap

mengedepankan asas-asas dan ketentuan hukum positif (ius constitutum) yang

berlaku dengan tetap menjungjung tinggi keadilan, kemamfaatan dan kepastian

hukum. Kemudian, aspek yuridis merupakan justifikasi yang mengakui adanya

dasar ketentuan hukum dan perkembangan pembaharuan perundang-undangan

Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Perspektif KAK 2003 dari ketiga aspek di atas mendeskripsikan bahwa

KAK 2003 mempergunakan beberapa pendekatan dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi, yaitu preventif, represif, dan restoratif. Strategi tersebut

berorientasi kepada aspek pencegahan, penindakan, kerja sama internasional

khususnya dalam pengembalian aset dan serta menetapkan kedudukan dan

peranan swasta dan keikutsertaan peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

Konsekuensi logis aspek tersebut, strategi pemberantasan tindak pidana

korupsi sesuai KAK 2003 di Indonesia merupakan pendekatan gabungan antara

Civil law System dan Common Law System sebagaimana implisit terdapat subtansi

Bab I Pasal 1 tentang statement of purpose dimana tujaun dai KAK 2003, adalah :

a. Meningkatkan dan memperkuat tindakan-tindakan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efisien dan efektif;

b. Meningkatkan , memudahkan dan mendukung kerja sama internasional dan bantuan teknik dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, termasuk memperoleh pengembalian aset;

c. Meningkatkan integritas, akuntabilitas, dan pengelolaan masalah-masalah dan kekayaan publik yang baik dan benar.

Page 46: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Dalam KAK 2003 tindak pidan korupsi dibagi atas 4 (empat) macam,

yaitu :

a. Tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Bribery of national Public OfficialsI) ( Pasal 15, 16, dan 17);

b. Tindak pidana korupsi penyuapan disektor awasta (Bribery in the private sector) (Pasal 21 dan 22 );

c. Tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya secara tidak sah (Illicit enrichment ) ( Pasal 20 );

d. Tindak pidana korupsi terhadap memperdaganakan pengaruh ( Trading in influence) (Pasal 18).47

C. Peraturan – Peraturan Yang Terkait Dengan Pemberantasan Korupsi

1. Tap MPR

Tap MPR No.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih

Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme.

2. Undang - Undang

a. Undang – Undang No. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap

b. Undang – Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

c. Undang – Undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia

d. Undang – Undang No. 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Republik

Indonesia

e. Undang – Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara

Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi , Kolusi, dan Nepotisme

f. Undang – Undang No. 35 Tahun 1999 Tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman.

47 Lililk mulyadi, Op. Cit., hal. 41.

Page 47: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

g. Undang – Undang No. 3 Tahun 1971 jo UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.

20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

h. Undang – Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

i. Undang – Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang–

Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

j. Undang – Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

k. Undang – Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

l. Undang – Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang –

Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

m. Undang – Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan

dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

n. Undang – Undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial

o. Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

p. Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah

q. Undang – Undang No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan timbal Balik

Dalam Masalah Pidana

r. Undang – Undang No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations

Convention Against Corruption, 2003 ( Konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa Anti Korupsi, 2003)

s. Undang – Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban

Page 48: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 24 Tahun 1960

Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

4. Peraturan Pemerintah

a. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler

dan Keuangan Pimpinan Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

b. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan

Peraturan Tata Tertib Dewan Perwailan Rakyat Daerah

c. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler

dan Keuangan Pimoinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

d. Peraturan Pemerintah Nomor. 110 Tahun 2000 Tentang Kedudukan

Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

e. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara

Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

f. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5. Instuksi Presiden

Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan

Korupsi 2004

6. Keputusan Presiden

a. Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2006 Tentang Unit Kerja Presiden

Pengelolaan program dan Reformasi

Page 49: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

b. Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

c. Keputusan Presiden No. 61 Tahun 2004 Tentang perubahan atas

Keputusan Presiden No. 8 0 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pengadaan

Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintahan.

d. Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah

e. Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1970 Tentang Pembetukan ”Komisi 4”

7. Peraturan Menteri

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman

Penyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

8. Putusan Mahkamah Konstitusi

a. Putusan Perkara dengan Nomor 012-016-019/PUU-VI/2006 Tanggal 19

Desember 2006: Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap UUD 1945

b. Putusan Perkara dengan Nomor 010/PUU-VI/2006 Tanggal 25 Juli 2006

Pengujian UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Terhadap UUD 1945

c. Putusan Perkara dengan Nomor 003/PUU-IV/2006 Tangal 25 Juli 2006:

Pengujian UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan uu no. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Terhadap

UUD 1945

Page 50: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

d. Putusan Perkara Dengan Nomor 069/PUU-II?2004 Tanggal 15 Desember

2005: Pengujian UU No. 30 tahun 2002 Pasal 68 Tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi Terhadap Pasal 28 huruf I ayat (1) Perubahan Kedua

UUD Negara RI Tahun 1945

e. Putusan Perkara Dengan Nomor 006/PUU-I/2003 Tanggal 30 Maret 2004

Pengujian UU No.30 Tahun 2002 Tentang KPTPK

f. Putusan Perkara Dengan Nomor 024/PUU-I/2003 Tanggal 13 Juli 2004

Pengujian UU No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

g. Putusan Perkara Dengan Nomor 004/PUU-II/2003 Tanggal 13 Desember 2004

: Pengujian UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadila Pajak

9. Konvensi Internasional

United Nations Convention Against Curruption

D. Jenis – jenis Delik Tindak Pidana Korupsi Menurut UU Korupsi

Menurut perspektif hukum, jenis – jenis delik tindak pidana korupsi secara

gamblang telah dijelaskan di dalam 13 Pasal dalam UU PTPK. Berdasarkan pasal-

pasl tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 (tiga puluh) bentuk / jenis tindak

pidana korupsi. Ketiga puluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi tersebut pada

dasarnya bisa dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kerugian uang negara (Pasal 2 dan Pasal 3)

2. Suap-menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6

ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c,

dan d, Pasal 13).

3. Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c).

Page 51: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

4. Pemerasan (Pasal 12 huruf e, f dan g).

5. Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, b dan c, Pasal 7 ayat (2) dan

Pasal 12 huruf h).

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i).

7. Gratifikasi (Pasal 12 B dan Pasal 12 C).

Selain defenisi tindak pidana korupsi yang telah dijelaskan diatas, masih

ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidanan korupsi, yaitu :

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21)

2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar

(Pasal 22 jo Pasal 28)

3. Bank yang tidak memberikan keterngan rekening tersangka (Pasal 22 jo

Pasal 29)

4. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi

keterangan palsu (Pasal 22 jo Pasal 35)

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau

memberi keterangan palsu (Pasal 22 jo Pasal 3)

6. Saksi yang membuka rahasia pelapor (Pasal 24 jo Pasal 31)

Page 52: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

BAB III

MODUS PENCUCIAN UANG YANGDAPAT DILAKUKAN UNTUK

MENYEMBUYIKAN UANG HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Pencucian Uang

Setiap perbuatan kejahatan dalam kegiatannya apabila dilihat dari rumusan

delik dalam hukum pidana maka pembuatan itu harus dapat dibuktikan, dalam

rumusan delik menunjukkan apa yang harus dibuktikan menurut hukum pidana,

semua yang tercantum dalam rumusan delik harus dibuktikan menurut aturan

hukum pidana.

Dalam pembuatan tindak pidana pencucian uang terdapat beberapa unsur

yang bisa dikelompokkan dan mengandung suatu pengertian yang sama, misalnya

dalam pasal 6 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No. 15

tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU), yaitu :

Setiap orang yang menerima atau menguasai :

a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran d. hibah; e. sumbangan; f. penitipan, atau g. penukaran,

Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.00,- (lima belas milyar rupiah).” Unsur-unsur dalam pasal 6 ayat (1) adalah :

1. Setiap orang

Page 53: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

2. Menerima dan menguasai 3. Penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,

atau penukaran 4. Harta kekayaan 5. Diketahuinya atau patut diduganya 6. Merupakan hasil pidana

Ini merupakan unsur-unsur delik tertulis yaitu persyaratan tertulis untuk

dapat dipidana, untuk dapat dipidana maka semua unsur harus dituduhkan dan

dibuktikan. Kemudian unsur-unsur tersebut terdapat yang mengandung pengertian

yang sama, yaitu48 :

Menerima atau mengusai Penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan atau penukaran adalah merupakan suatu kegiatan Transaksi Harta kekayaan merupakan Harta Kekayaan Diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana adalah merupakan suatu rangkaian perbuatan

1. Transaksi

Melawan Hukum Sehingga dalam unsur tindak pidana pencucian uang terdapat unsur pokok yang harus selalu ada di dalam setiap perbuatan tindak pidana pencucian uang, yaitu :

Transaksi menurut pasal 1 butir 6 UU TPPU adalah : “seluruh kegiatan

yang menimbulkan hak dan kewajiban atau meyebabkan timbulnya

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan

perntransferan dan atau pemindah bukuan dan yang dilakukan dengan oleh

penyedia jasa keuangan.”

Transaksi menurut Kamus Akuntansi, yaitu :

a. Kejadian atau kondisi yang dilakukan dengan membuat ayat dalam buku akuntansi

48 Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), (jakarta:MQS

Publishing & Ayyccs Group, 2006), hal.56

Page 54: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

b. Pelaksanaan perintah membeli dan menjual suatu surat berharga atau kontrak komoditi berjangka setelah pembeli dan penjul menyepakati harganya, penjual harus menyerahkan surat berharga atau komoditi yang dijual dan pembeli harus meneriman atau membayarnya.

c. Suatu peristiwa bisnis, yang diukur dalam bentuk uang yang dicatat dalam

catatan keuangan suatu perusahaan atau suatu organisasi bisnis.48

Transaksi, dalam tatanan hukum Indonesia terdapat dalam KUHPPerdata,

secara lebih sederhana transaksi mengandung suatu kejadian jual beli,

sedangkan jual beli menurut Pasal 1457 KUHPPerdata adalah “Suatu

persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk mebayar harga yang

telah dijanjikan.”

Transaksi keuangan mencurigakan menurut UU TPPU diatur dalam pasal 1

butir 7 adalah:

a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi, dari nasabah yang bersangkutan

b. Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini atau

c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga dari hasil tindak pidana.

Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum Pasal 13 ayat (1) huruf (a) UU TPPU

dijelaskan bahwa :

Pada dasarnya Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri yang baku, karena hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meskipum demikian, terdapat ciri-ciri umum dari Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dapat dijadikan acuan antara lain sebagai berikut : a. Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas;

48 Syahrul, Kamus Akuntansi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 854.

Page 55: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

b. Tidak menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran;

c. Aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran. 2. Harta Kekayaan

Harta kekayaan menurut Pasal 1 butir 4 UU Tindak Pidana Pencucian Uang

adalah ”Semua benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang berwujud

maupun tidak berwujud.”

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU dijelaskan tentang harta kekayaan yang

merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, yaitu :

a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. di bidang perbankan; g. di bidang pasar modal; h. di bidang asuransi; i. narkotika; j. psikotropika; k. perdagangan manusia; l. perdagangan senjata gelap; m. penculikan; n. terorisme; o. pencurian; p. penggelapan; q. penipuan; r. pemalsuan uang; s. perjudian; t. prostitusi; u. di bidang perpajakan; v. di bidang kehutanan; w. di bidang lingkungan hidup; x. di bidang kelautan; atau y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat)

tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Page 56: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa

”Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak

perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat

dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.”

Menurut KUHPerdata :

a. Dalam Pasal 499 KUHPPerdata dinyatakan bahwa yang dinamakan

kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai

oleh Hak Milik;

b. Dalam Pasal 500 KUHPPerdata dinyatakan bahwa segala apa yang karena

hukum termasuk kebendaan, seperti pun segala hasil dari kebendaan itu,

baik hasil karena alam maupun hasil karena pekerjaan orang, selama yang

akhir-akhir ini melekat pada kebendaan itu.

c. Dalam Pasal 503 sampai dengan 505 KUHPPerdata dinyatakan bahwa :

1) Tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tidak bertubuh

2) Tiap-tiap kebendaan bergerak atau tidak bergerak

3) Tiap-tiap kebendaan bergerak adalah tempat dihabiskan atau tak dapat

dihabiskan, kebendaan dikatakan dapat dihabiskan bilamana karena

dipakai menjadi habis.

3. Perbuatan Melanggar Hukum

Melanggar hukum berasal dari kata unlawful yang artinya tidak menurut

hukum, tidak sah atau melanggar hukum.49

49 Tb. Irman S, Op.Cit.,hal.75.

Page 57: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Melanggar hukum secara umum yaitu bertentangan dengan atau dilarang oleh

undang-undang atau bertentangan dengan keabsahan atau prosedur yang

diterima, ketidakteraturan dan bermoral atau bertentangan dengan kebiasaan.50

Melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.

51

B. Lahirnya International Legal Regime dalam upaya Pemberantasan

Pencucian Uangdi Dunia

Dalam Pasal 1365 KUHPPerdata dinyatakan bahwa, tiap perbuatan melanggar

hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang

karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Lahirnya Regim International untuk memberantas pencucian uang dimulai

pada saat masyarakat internasional merasa gagal dalam upaya memberantas

kejahatan yang berkaitan dengan obat bius dengan segala jenisnya. Regim Anti

Pencucian Uang pada dasarnya merupakan regim kerjasama internasional dalam

hukum pidana, antara laian mengharuskan kerjasama antara pemerintah suatu

negara dengan organisasi internasional dalam hal investigasi, penuntutan,

ajudikasi dan eksekusi dalam perkara pidana.

Pada tahun 1988 lahir United Nations Conventions Against Illicit Traffic in

Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Vienna Drug Convention 1988),

50 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material dalam Hukum

Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2001), hal.186. 51 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003),

hal. 11.

Page 58: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

yang merupakan titik kulminasi untuk pemberantasan pencucian uang dari

kejahatan yang berkaitan dengan narkotika dan psikotropika.

Vienna Drug Convention 1988 mengajak negara pesertanya untuk

melakukan penegakan hukum khususnya mengambil langkah untuk mencegah

dan memberikan sanksi internasional pada perdagangan obat bius, lebih khusus

lagi ditujukan untuk hasil-hasil kejahatan yang berkaitan dengan perdagangan

ilegal obat bius itu. Terdapat ketentuan-ketentuan yang sangat penting dalam

Konvensi ini berkenaan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian

uang dari hasil kejahatan perdagangan obat bius.

Pasal 3 (1) (a) mengharuskan setiap negara anggota melakukan

kriminalisasi pencucuian uang yang berkaitan dengan obat-obat bius, selain itu

mengatur ketentuan-ketentuan mengenai daftar pelanggaran yang berkaitan

dengan industri, distribusi atau penjualan gelap obat bius dan organisasi serta

pengolahannya, atau keuangan dari aktivitas perdagangan gelap obat bius. Pasal

tersebut sekaligus membentuk International Anti Money Loundring Legal Regim,

yang merupakan salah satu upaya internasional untuk menetapkan regim hukum

internasional baru dalam memberantas perdagangan obat bius, yang antara lain

melalui suatu badan internasional.

Selanjutnya Pasal 5 meminta negara penandatanganan untuk memberikan

kewenangan kepada pengadilan dan otoritas lainnya yang relevan untuk

membekukan atau menyita hasil-hasil kejahatan perdagangan obat bius. Selain itu

juga memberikan kewenangan memerintahkan penyitaan catatan keuangan

berkaitan dengan investigasi pencucin uang.

Page 59: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Konvensi ini juga menekankan pentingnya kerjasama internasional dalam

memberantas perdagangan obat bius dan dipandang lebih efektif apabila

dilakukan dalam dimensi internasional. Ketentuan mengenai kerjasama tersebut

antara lain terdapat dalam Pasal 6 yang mengatur mengenai ekstradisi terhadap

seorang pelanggaran tindak pidana perdagangan gelap obat bius. Pasal 7

berkenaan dengan mutual legal assistance (bantuan timbal balik berkenaan

dengan perkara pidana). Pasal 8 menekankan perlu adanya sling kerjasama di

bidang hukum serta prosedur pelaksanaan dan bantuan di bidang hukum untuk

memerangi kejahatan narkotika dan obat-obat terlarang.

Kalau pada awalnya Konvensi Wina 1988 mengatur pencucuian uang

hanya dari kejahatan narkotika, makadalam perkembangannya upaya penegakan

hukum dan kriminalisasi anti pencucian uang bukan saja dari hasil perdagangan

gelap obat bius tetapi juga mencakup bentuk-bentuk lain kejahatan lain seperti

kejahatan terorganisasi, korupsi, terorisme, perjudian dan lain-lain yang

menghasilkan uang yang besar.

Regim ini memiliki beberapa kelemahan dan sulit untuk dilaksanakan.

Kesulitan tersebut antara lain karena perbedaan budaya, sistem hukum masing-

masing negara, hukum acara pidana dan substansi hukum pidana. Maka tidak

mengherankan apabila kerjasama ini lebih memberikan peluang pada negara-

negara dengan sistem hukum yang sama. Seperti negara dengan sistem common

law yaitu Kanada, negara persemakmuran Inggris dan Amerika. Karena banyak

kendala tersebut, sejauh ini hanya ada 3 negara yang mampu mengintegrasikan

Page 60: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

hukum nasionalnya dengan inter-state penal coorperation, yaitu Jerman, Swiss,

dan Austria.52

Berkenaan dengan Konvensi Wina 1988, Sesi Khusus ke-17 United Nation

General Assambly mengadopsi deklarasi politis untuk melakukan pencegahan

penggunaan sistem bank dan lembaga keuangan lainnya untuk mencuci uang.

Juga mengadopsi Global Program of Action (Glopac) sebagai pelengkap dalam

rangka melakukan tindakan untuk memerangi pencucian uang, termasuk

pengembangan kerjasama misalnya United Nation Drugs Control Program

(UNDCP) Legal Assistance Money Loundring Model Law (1993), Commission on

Narcotic Drugs (CND) Resolution: Encouraging the Reporting of Suspicius or

Unusual Transaction to a National Organization internasional Each State, and

the Development of Effective Commuication Among Competent Authorities to

Faciliate the Investigation and Prosecution of Money Loundring Activities

(1995).

53

1. Financial Action Task Force 1989 (FATF)

Selain Vienna Convention 1988, maka muncul juga grup-grup antar negara

seperti:

FATF merupakan suatu badan antar pemerintahan negara yang didirikan oleh

G-7 Summit di Paris pada Juli 1989yang bertujuan untuk memerangi

pencucian uang.

Pada tahun 1990 FATF mengeluarkan Rekomendasi yang disebut Forty

Recommendations dalam rangka memerangi praktik pencucian uang.

52 Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Loundring), (Jakarta: Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.139. 53 Ibid., hal. 140.

Page 61: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Rekomendasi ini direvisi pada 1996 berkaitan dengan semakin bervariasinya

metode yang digunakan oleh pelaku pencucian uang.

Diantara Forty Recommendations FATF ada beberapa ketentuan yang sangat

pokok yaitu :

a. Introduksi sistem Suspicious Activity Reporting System (SAR) yang baru b. Modifikasi sistem pelaporan transaksi mata uang (TR: Currency

Transaction Reporting System) c. Perluasan daftar tindakan pencucian uang dalam memberantas terorisme,

pelanggaran migrasi dan kesehatan d. Peningkatan kerjasama antarnegara dan perwakilan industri keuangan

global dalam upaya melawan kegiatan pencucian uang melalui penetapan kelompok kerja

e. Implementasi proyek gateway yang menyediakan dana-dana inteligen keuangan secara online antarnegara dan pemerintah-pemerintah daerah

f. Penetapan aturan baru dalam pencatatan transfer dana g. Memperluas pengaturan hukum dan penegakan hukum dalam memerangi

pencucian uang h. Staff Training yaitu memberikan suatu pelatihan dalam rangka mengenali

dan menangani transaksi-transaksi yang mencurigakan, sistem pelaporan, prosedur identifikasi dan verifikasi, penjelasan kepada nasabah mengenai substansi kejahatan pencucian uang.54

2. Carribbean Financial Task Force (CFATF) pada 10 Juni 1990. Anggota

CFATF bukan saja terdiri dari negara-negara Kepulauan Caribia tetapi

meliputi Eropa, Amerika Tengah, Selatan dan Utara, termasuk juga Amerika

Serikat. CFATF dibentuk sebagai tindak lanjut atas diadakannya Carribbean

Drug Money Loundering Conference di Aruba pada tahun 1990. Konferensi

tersebut juga mengajukan saran untuk menambah 21 rekomendasi berisi

strategi pemberantasan pencucian uang dan kejahatan obat bius yang

disesuaikan dengan kondisi regional anggota CFATF. Dari 21 rekomendasi

yang diusulkan sebgai tambahan ternyata diambil dari 19 butir hasil

54 Htpp://wwwl.oecd.org/fatf/.

Page 62: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

konferensi 1992 yang disebut sebagai CFATF Kingston, Aruba, Ministerial

Conference on Money Loundring.

3. Organization American States (OAS) adalah organisasi yang melibatkan

negara-negara Amerika Serikat yang merupakan organisasi regional tertua

yang telah mengadakan konferensi pertama di Washington pada Oktober 1889

sampai April 1890. Misi dari OAS adalah untuk perdamaian, keamanan,

demokrasi dan juga mengembangkan pembangunan sosial ekonomi di

Amerika. Berkaitan dengan upaya pemberantasan pencucian uang OAS

memusatkan perhatian pada Inter American Drug Abuse Commision

(CICAD). CICAD dibentuk berdasarkan Inter American Program of Action of

Rio de Jeneiro Against Illicit Use, Production and Trafficking of Narcotic

Drug and Psychotropic Substances, yang telah disetujui oleh OAS General

Assembly pada tahun 1986.

4. Council of Europe (kerjasama antara anggota-anggota Dewan Eropa), dimana

mayoritas anggotanya menggunakan Napoleon Code, melalui Committee on

Crime Problems yang melahirkan the Council of Europe Convention on

Loundering, Search, Seizure and Confiscation of Proceed from Crime (1990).

Kemudian Dewan Eropa menyetujui Council Directive on Prevention of Use

of The Financial System for Purpose of Money Loundering (91/308/EEC)

yang menentukan, bahwa negara-negara penandatanganan konvensi diminta

untuk mengambil langkah-langkah dalam menangani peredaran uang yang

diperoleh dari hasil semua jenis kejahatan tidak saja terbatas pada hasil obat

bius.

Page 63: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

5. Pada tahun 1991 Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic

Community-EEC), mensahkan suatu Directive on Prevention of Use of The

Financial System for Purpose of the Money Loundering, merupakan tambahan

atas Pasal 57 dan Pasal 100a EEC Treaty. Directive ini merupakan upaya yang

dilakukan oleh masyarakat eropa untuk mencegah digunakannya sistem

keuangan negara anggota untuk tujuan pencucian uang.

6. Pada tingkat Regional Asia Pacific terbentuk Asia Pacific Group on Money

Loundering (APG) pada bulan Februari 1997 yang terdiri dari 13 negara, yaitu

Australia, Bangladesh, Taiwan, Hongkong, Jepang, New Zealand, RRC,

Filiphina, Singapore, Srilangka, Thailand, USA dan Vanuatu. Keanggotaan

APG terus berkembang dan sekarang sudah mencapai 22 negara termasuk

Indonesia

C. Pengaruh International Legal Regime Anti Money Loundering Terhadap

Indonesia

Sebagaimana terhadap negara-negara lain, International Legal Regime

juga berpengaruh bagi Indonesia. Untuk itu Indonesia harus juga mengikuti

ketentuan yang sudah disepakati dan ada kemungkinan sanksi akan dikenakan jika

Indonesia tidak mentaatinya.

Indonesia bersama lima puluh satu negara lain seperti Singapura,

Malaysia, Thailand, Filiphina, Jepang, Israel dan Amerika Serikat sendiri

dimasukkan ke dalam Major Money Loundering Countries. Oleh Undang-Undang

Amerika, Major Money Loundering Countries diartikan sebagai negara dengan

lembaga keuangannya terlibat dalam transaksi yang meliputi sejumlah besar dana

Page 64: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

yang berasal dari perdagangan gelap obat bius internasional. Alasan Amerika

memasukkan Indonesia sebagai major money loundering countries antara lain,

pertama, bank-bank Indonesia tidak pernah menanyakan asal-usul uang yang

disimpan. Walaupun Indonesia telah menerapkan Know Your Costumer (KYC)

namun dianggap belum optimal. Kedua, Indonesia menganut sistem devisa bebas

dengan perekonomian terbuka. Ketiga, ketentuan-ketentuan rahasia bank di

Indonesia dianggap masih sangat ketat. Keempat, krisis ekonomi yang menimpa

Indonesia sejak 1997 yang dianggap belum pulih mengakibatkan Indonesia

memerlukan pinjaman dana dari luar negeri.

Tekanan internasional lain yang sangat berpengaruh bagi Indonesia berasal

dari FATF. Pada Juni 2001, FATF memaskkan Indonesia sebagai negara yang

tidak kooperatif dalam memberantas pencucian uang. Penilaian FATF ini antara

lain karena selama ini Indonesia tidak mempunyai Undang-Undang Anti

Pencucian Uang. Namun demikian setelah Indonesia memiliki Undang-undang

No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ternyata Indonesia

masih saja masuk dalam daftar hitam negara yang tidak kooperatif dalam

pemberantasan pencucian uang. Kali ini alasannya Undang-undang Anti

Pencucian Uang Indonesia dianggap banyak memiliki kelemahan. Dua kelemahan

yang utama adalah bahwa Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

baru akan berfungsi secara sempurna setelah 18 bulan sejak undang-undang ini

dikeluarkan. Masa 18 bulan ini dianggap terlalu lama dan selama itu walaupun

Bank Indonesia akan bertindak sebagai badan analisis, hal tersebut tetap saja

dianggap bahwa implementasi undang-undang ini belum dapat diberlakukan.

Page 65: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Kelemahan yang kedua berkaitan dengan batas minimum pelaporan

transaksi yaitu 500 juta rupiah. Batas ini dianggap terlalu tinggi, sementara

negara-negara lain menetapkan batas setara dengan 10.000 dollar Amerika. Dari

kelemahan ini FATF menyimpulkan bahwa Indonesia tidak sungguh-sungguh

dalam memberantas pencucian uang. FATF selalu menggunakan pendekatan yang

funitive, artinya ada kemungkinan Indonesia akan dikenakan sanksi oleh anggota

FATF lainnya apabila regim anti pencucian uang Indonesia dinilai tidak

kooperatif.

Pengaruh lain dari regim internasional ini berkaitan dengan Basle

Committee on Banking Supervision, yang merekomendasikan agar sistem

perbankan tidak digunakan sebagai sarana tindak pidana pencucian uang yang

antara lain bank harus menerapkan prinsip KYC dengan disertai dengan sistem

pelaporan yang memadai. Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan

Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank

Idonesia No. 4/10/PBI/2001 tentang Perubahan atas PBI No. 3/10/PBI/2001.

Program Kenalilah Nasabah semula dimaksudkan untuk mengisi

kekosongan peraturan selama Indonesia belum mempunyai Udang-Undang

mengenai Tindak Pencucian Uang. Selain itu PBI memenuhi prinsip kelima belas

dari dua puluh lima Core Principal for Effecttive Banking Supervision juga

dimaksud untuk memenuhi rekomendasi FATF. Pemerintah Indonesia khususnya

sektor perbankan mengharapkan FATF menilai bahwa Indonesia cukup serius

untuk berpartisipasi dalam memberantas kegiatan pencucian uang dan agar

Indonesia keluar dari daftar hitam negara yang tidak kooperatif. Bank Indonesia

juga telah mengeluarkan SE No. 3/29/DPNP tanggal 13 Desember 2001 kepada

Page 66: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

semua bank perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang

merupakan acuan standar minimum yang wajib dipenuhi oleh Bank.

Prinsip KYC adalah untuk melindungi reputasi bank. Prinsip KYC juga

dapat memfasilitasi kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang

berlaku sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian dalam praktik perbankan yang

sehat. Dalam hal ini pada saat bank menarik nasabahnya agar menggunakan jasa

bank yang bersangkutan, diharapkan setiap transaksi yang dijalankan oleh

nasabah melalui bank tersebut sejalan dengan praktik perbankan yang sehat dan

tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Prinsip KYC dapat melindungi

bank agar tidak dimanfaatkan oleh nasabah untuk melakukan kegiatan-kegiatan

yang ilegal atau bank tidak dijadikan sasaran kejahatan.

D. Asas-Asas Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

PencucianUang (UU No. 15 Tahun 2001 Jo UU No. 23 Tahun 2004)

Apabila diperhatikan dengan seksama UU Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang, dapat ditarik beberapa asas yang tercakup di dalamnya yang

membedakan dari Undang-undang tindak pidana lainnya. Adapun asas-asas

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pelakunya adalah Setiap Orang

Pengertian Setiap Orang meliputi orang perorangan dan korporasi yang terdiri

dari kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan

badan hukum (Pasal 1 angka 3). Badan hukum di Indonesia terdiri dari :

Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi dan Indonesia Maatchapij op

Page 67: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Andelen (IMA), sementara perkumpulan orang dapat berupa : Firma,

Commanditaire Vennootschap (CV) dan sebagainya.

2. Pidananya bersifat Kumulatif dan Alternatif

Pasal 3 sampai dengan Pasal 11 mengatur tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang dan Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian

Uang, dimana diatur ancaman pidananya bersifat kumulatif seperti tersebut

dari rumusan pasal-pasalnya yang berbunyi: ”...dipidana penjara paling lama

... dan denda paling sedikit ...” dengan adanya perkataan ”dan” menunjukkan

pemidanaan bersifat kumulatif, sementara ada kekhususan pada Pasal 11 yang

pada intinya memberikan alternatif kepada terpidana apabila tidak mampu

membayar denda yang telah dijatuhkan.

3. Pencobaan melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pembantuan atau

Pemufakatan Jahat melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang dipidana sama

dengan pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang dan dianggap sebagai delik

yang sudah selesai (Pasal 3 ayat (2))

4. Setiap orang (orang perorangan dan korperasi) yang di luar wilayah Indonesia

memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan untuk terjadinya

Tindak Pidana Pencucian Uang dipidana sama sebagai Pelaku Tindak Pidana

Pencucian Uang (diatur dalam Pasal 7)

5. Pidana Tambahan, hanya mengatur mengenai pidana tambahan terhadap

Korporasi yaitu berupa upaya pencabutan izin usaha dan atau pembubaran

korporasi yang diikuti likuidasi (Pasal 5 ayat (2))

6. Dalam hal terpidana tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud

dalam Bab II dan III, denda tersebut dapat diganti dengan pidana penjara

Page 68: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

paling lama 3 (tiga) tahun dan lamanya pidana tersebut harus tercantum dalam

putusan pengadilan, bila tidak dicantumkan denda tersebut tidak bisa

digantikan dengan hukuman badan (Pasal 11)

7. Direksi, Pejabat atau Pegawai Penyedia Jasa Keuangan dilarang

memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara

langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan

Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah

disampaikan kepada PPATK (Pasal 17A)

8. Adanya Pidana Minimum dan Maksimun

Pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

adalah mengenai batas hukuman minimum dan maksimun, sehingga

mencegah hakim menjatuhkan putusan yang dianggap tidak adil, misalnya

orang yang melakukan penggelapan sebesar 1 miliyar rupiah hanya dihukum

percobaan selama 1 tahun (hal tersebut berarti si terpidana tidak ditahan)

sementara ada seorang ayah yang mencuri sebotol susu untuk anaknya yang

lapar dihukum 1 (satu) tahun penjara.

9. Presiden dapat membentuk Komite Koordinasi Nasional atas usul Kepala

PPATK (Pasal 29B)

10. Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim berwenang memerintahkan kepada

Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta

Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada Penyidik,

Tersangka atau Terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil

tindak pidana (Pasal 32)

Page 69: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

11. Penyedia Jasa Keuangan, Pejabat, serta Pegawainya tidak dapat dituntut baik

secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban Pelaporan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 (Pasal 15)

12. Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara Tindak Pidana Pencucian

Uang maka penyidik, penuntut umum atau hakim yang berwenang untuk

meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan

setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa dan

tidak berlaku ketentuan mengenai rahasia perbankan (Pasal 33)

13. Hakim memerintahkan penyitaan terhadap Harta Kekayaan yang diketahui

atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh Penyidik atau

Penuntut Umum (Pasal 34)

14. Dikenal adanya pembuktian terbalik (Pasal 35)

15. Dapat diadili secara internasional-absentia (Pasal 36)

16. Dalam hal Terdakwa meninggal dunia sebelum putusan haki dijatuhkan dan

terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah

melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan

penetapan bahwa Harta Kekayaan terdakwa yang telah disita, diramaps untuk

negara (Pasal 37)

17. PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim wajib merahasiakan identitas

saksi atau pelapor (Pasal 39)

18. Kerjasama bantuan Timbal Balik Internasional (Pasal 44A).

E. Modus Pencucian Uang Yang Dapat Dilakukan Utuk Menyembunyikan

Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi

Page 70: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Ada beberapa modus dengan menggunakan objek dan sarana yang

dimanfaatkan oleh para pencuci uang dalam melakukan operasi pencucian uang

dari hasil tindak pidana korupsi.

Menurut NHC Siahaan, modus operasi kejahatan pencucian uang terbagi

atas 13 (tiga belas) modus seperti tertera di bawah ini :55

1. Modus secara Loan Back, yakni dengan cara meminjam uangnya sendiri, baik dalam bentuk direct loan (dengan cara meminjam uang dari perusahaan luar negeri); bentuk back to loan (si pelaku meminjam uang dari cabang bank asing di negaranya) dan bentuk parallel loan (menggunakan perusahaan lain di luar negeri untuk sama-sama mengambil loan untuk dipertukarkan satu sama lain).

2. Modus Operasi C-Chase, yakni dengan menggunakan tenaga konsultan manajemen.Misalnya kasus Bank of Credit & Commerce International (BCCI) tahun 1991.

3. Modus transaksi dagang internasional. Modus ini menggunakan sarana dokumen L/C.

4. Modus penyelundupan uang tunai atau sistem bank paralel ke negara lain. 5. Modus Akuisisi, yang diakuisisi adalah perusahaannya sendiri. 6. Modus Real Estate Carousel, yakni dengan menjual suatu properti

beberapa kali kepada perusahaan di dalam kelompok yang sama. 7. Modus Investasi Tertentu, misalnya dalam bisnis transaksi barang lukisan

atau antik. 8. Modus Over Invoices atau Doble Invoice yakni modus yang dilakukan

dengan mendirikan perusahaan ekspor impor di negara sendiri lalu di luar negeri (yang bersistem tax haven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell company).

9. Modus Perdagangan Saham 10. Modus Pizza Connection, yakni modus yang dilakukan dengan

menginvestasikan hasil perdagangan obat bius diinvestasikan untuk mendapat konsesi Pizza,sementara sisa lainnya diinvestasikan di Karibia dan Swiss.

11. Modus La Mina, yaitu kasus yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1990. Dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada pedagang grosiran emas dan permata sebagai suatu sindkat.

12. Modus Deposit Taking, yaitu dengan mendirikan perusahaan-perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institutions (DTI) di Canada.

13. Modus Identitas Palsu, yakni memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutihan uang, dengan cara mendepositokan secara nama palsu.

55 NHC Siahaan, Money Loundering (Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 13-18.

Page 71: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Lebih lanjut, NHC Siahaan menjelaskan, bahwa ada 3 (tiga) metode yang

dilakukan untuk mencuci uang, yaitu:

1. Buy and Sell Conversions Metode ini dilakukan melalui transaksi barang dan jasa. Suatu aset dapat dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual lebih mahal dengan mendapatkan fee atau diskon. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci secara transaksi bisnis. Barang atau jasa dapat diubah menjadi hasil yang legal melaluirekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank Offshore Conversions. Uang hasil, kejahatan dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money loundring centers) untuk kemudian didepositokan di bank yang berada di wilayah tersebut.

2. Legitimate Business Conversions Metode ini dengan melakukan kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan hasil uang kotor. Uang kotor kemudian dikonversi secara transfer, cek atau alat pembayaran lain utuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening lainnya.56

Mahmoeddin, H.As yang dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan ada 8

(delapan) modus operandi pencucian uang

57

1. Kerjasama Penanaman Modal

:

Uang hasil kejahatan dibawa ke luar. Kemudian uang itu dimasukkan lagi ke dalam negeri lewat proyek penanaman modal asing (joint venture). Selanjutnya keuntungan dari perusahaan joint venture diinvestasikan lagi ke dalam proyek-proyek yang lain, sehingga keuntungan dari proyek tersebut sudah uang bersihbahkan sudah dikenakan pajak.

2. Kredit Bank Swiss Uang hasil kejahatan diselundupkan dulu ke luar negeri lalu dimasukkan di bank tertentu, lalu ditransfer ke Bank Swiss dalam bentuk deposito. Deposito dijadikan jaminan hutang atas pinjaman di bank lain di negara lain. Uang dari pinjaman ditanamkan lagi ke negara asal dimana kejahatan dilakukan. Atas segala kegiatan ini menjadikan uang itusudah bersih.

3. Transfer ke luar Negeri Uang hasil kejahatan ditransfer ke luar negeri lewat cabang bank luar negeri di negara asal. Selanjutnya dari luar negeri uang dibawa kembali ke dalam negeri oleh orang tertentu seolah-olah uang itu berasal dari luar negeri.

4. Usaha Tersamar di dalam Negeri Suatu perusahaan samaran di dalam negeri didirikan dengan uang hasil kejahatan. Perusahaan itu berbisnis tidak mempersoalkan untung dan rugi.

56 Ibid., hal. 21. 57 Munir Fuady, Op.Cit.,hal. 155.

Page 72: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Akan tetapi seolah-olah terjadi adalah perusahan itu telah menghasilkan uang bersih.

5. Tersamar Dalam Perjudian Uang hasil kejahatan didirikanlah suatu usaha perjudian, sehingga uang itu dianggap sebagaiusaha judi. Atau membeli nomor undian berhadiah dengan nomor dipesan dengan harga tinggi sehingga uang itu dianggap sebagai hasil menang undian.

6. Penyamaran Dokumen Uang hasil kejahatan tetap di dalam negeri. Keberadaan uang itu tetap didukung oleh dokumen bisnis yang dipalsukan atau direkayasa sehingga ada kesan uang itu merupakan hasil berbisnis yang berhubungan dengan dokumen yang bersangkutan. Rekayasa itu misalnya dengan melakukan double invoice dalam hal ekspor impor sehingga uang itu dianggap hasil kegiatan ekspor impor.

7. Pinjaman Luar Negeri Uang hasil kejahatan dibawa ke luar negeri. Kemudian uang itu dimasukkan lagi ke dalam negeri asal dalam bentuk pinjaman luar negeri. Sehingga uang itu dianggap diperoleh dari pinjaman (bantuan kredit) dari luar negeri.

8. Rekayasa Pinjaman Luar Negeri Uang hasil kejahatan tetap berada di dalam negeri. Namun dibuat rekayasa dokumen seakan-akan bantuan pinjaman dari luar negeri.

Sekalipun terdapatberbagai macam modus operandi pencucian uang,

namun pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga

tahap kegiatan yaitu :

1. Placement adalah merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan

darisemua aktitas kejahatan melaluisistegm keuangan. Dalam hal ini

terdapat pergerakan fisik uang tunai dari luar sistem keuangan masuk ke

dalam sistem keuangan. Kegiatan-kegiatan ini dapat dilakukan melalui cara-

cara sebagai berikut :

a. Penempatan dana dalam bentuk tabungan, giro, deposito.

b. Pembayaran angsuran kredit

c. Setoran modal secara tunai

d. Penukaran uang

e. Pembelian polis asuransi

Page 73: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

f. Pembelian produk sekuritas atau suarat-surat berharga

2. Layering diartikan sebagai upaya untuk memisahkan atau lebih menjauhkan

hasil kejahatan dari sumbernya atau menciptakan serangkaian transaksi yang

kompleks untuk menyamarkan/mengelabuhi sumber dana ”haram” tersebut

dengan cara-cara sebagai berikut :

a. Dana hasil placement, selanjutnya dipidahkan dari suatu rekening atau

lokasi tertentu di rekening atau lokasi lain.

b. Pembukaan sebanyak mungkin rekening-rekening perusahan-perusahaan

fiktif untuk menerima dana hasil placement dengan memanfaatkan

ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif

dalam upaya memerangi kegiatan pencucuian uang.

c. Menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan

uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah.

d. Transaksi yang dilakukan dalam jumlah relatif kecil namun dengan

frekuensi yang tinggi untuk menghindari pelaporan transaksi tunai atau

(structuring)

e. Transaksi dilaukan dengan menggunakan beberapa rekening atas nama

individu yang berbeda untuk kepentingan satu orang tertentu (smurfing)

f. Dilakukan transaksi di bursa saham dengan menggukan dana hasil

placement

3. Intergration yaitu upaya untuk menetapkan suatu ladasan sebagai suatu

’legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang telah dicuci

melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegaitan

resmi sehigga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas

Page 74: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang dicuci. Pada tahap

ini uang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk

tertentu sesuai dengan aturan hukum. Cara-cara yag lazim dilakukan dalam

tahapan ini seperti :

a. Menggabungkan uang yang telah dicuci dengan uang yang sah untuk

kegiatan bisnis atau investasi yang sah

b. Melakukan setoran modal bank dengan sumber dana dari perusahaan yang

diciptaka untuk menampung hasil uang haram dan sumber dana yang sah.

c. Sumbanagn untuk kegiatan sosial melalui yayasan, seperti rumah sakit,

pendidikan, amal, dan pendirian tempat ibadah dari uang hasil pencucian

d. Pemanfaatan lain untuk kegiatan tetrtentu seperti pembelanjaan untuk

konsumtif atau pembiayaan kegiatan lain yang tidak legal.

Ketiga tahap pencucian uang tersebut pada dasarnya dilakukan untuk

menciptakan ”disassociation” antara uang atau harta hasil kejahatan dengan si

penjahat serta tindak pidananya, sehingga proses hukum konvensional akan

menagalami kesulitan dalam melacak si penjahat dan menemukan jenis tindak

pidananya.

Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks

denga menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu

terjadi baik pada tahap placement, layering, maupun intergration, sehingga

penangannyapun menjadi semakin sulit dan membutuhkan pendekatan kemapuan

(capacity building) secara sistematis dan berkesinambungan. Pemilihan modus

operandi pencucin uang tergantung dari kebutuhan pelaku tindak pidana.

Page 75: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

BAB IV.

PENANGANAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI

INDONESIA STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46

A. Kasus L/C FIKTIF BNI 46

Kasus pembobolan Bank BNI menjadi isu yang mengejutkan masyarakat

Indonesia di akhir tahun 2003, dimana Bank BNI mengalami kerugian sebesar Rp

1,7 triliun yang diduga terjadi karena adanya transaksi ekspor fiktif melalui surat

Letter Of Credit (disingkat L/C). Kasus ini menjadi fenomenal karena selain

merugikan keuangan Bank BNI tetapi juga berimbas pada keuangan negara secara

makro.

Page 76: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Awal terbongkarnya kasus menghebohkan ini tatkala BNI melakukan

audit internal pada bulan Agustus 2003 . Dari audit itu diketahui bahwa ada posisi

euro yang gila-gilaan besarnya, senilai 52 juta euro. Pergerakan posisi euro dalam

jumlah besar mencurigakan karena peredaran euro di Indonesia terbatas dan

kinerja euro yang sedang baik pada saat itu. Dari audit akhirnya diketahui ada

pembukaan L/C yang amat besar dan negara bakal rugi lebih satu triliun rupiah.

Penjelasan mengenai L/C fiktif BNI tersebut adalah sebagai berikut :

1. Waktu kejadian : Juli 2002 s/d Agustus 2003.

2. Opening Bank : RosBank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall

Street Banking Corp, dan Middle East Bank Ltd.

3. Total nilai L/C : USD. 166,79 juta & EURO 56,77 juta atau sekitar Rp 1,7

triliun

4. Beneficiary/Penerima L/C : 11 perushaan di bawah Gramarindo Group dan 2

perusahaan di bawah Petindo Group.

5. Barang Ekspor : pasir kuarsa dan minyak residu.

6. Tujuan Ekspor : Congo dan Kenya.

7. Skim : Usance L/C.

Kronologi :

1. Bank BNI Cabang Kemayoran Baru menerima 156 buah L/C dengan Issuing

Bank : RosBank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street

Banking Corp, dan Middle East Bank Ltd. Oleh karena BNI belum

mempunayai hubungan koresponden langsung dengan sebagai bank yang

tersebut di atas, mereka memakai bank mediator yaitu American Express Bank

dan Standard Chartered Bank.

Page 77: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

2. Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor berjangka (kredit

ekspor) atas L/C-L/C tersebut di atas BNI dan disetujui oleh pihak BNI.

Gramarindo Group menerima Rp 1,6 triliun dan Petindo Group menerima Rp

105 miliyar.

3. setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo, Opening Bank tidak bisa

membayar kepada BNI dan nasabahpun tidak bisa mengembalikan hasil

ekspor yang sudah dicairkan sebelumnya.

4. setelah diusut pihak Kepolisian, ternyata kegiatan ekspor terseut tidak pernah

terjadi.

5. Gramarindo Group telah mengembalikan sebesar Rp 542 miliar, sisanya (Rp

1,2 triliun) merupakan potensi kerugian BNI.

Dalam menanggapi kasus ini manajemen Bank BNI mengatakan bahwa tidak

ada ekspor fiktif dan belum ada kerugian, tetapi yang ada hanya potensi

kerugian (potential losses).

Vonis terhadap pelaku internal BNI :

1. Edi Santoso, jabatan Kabit Pelayanan Luar negeri BNI Cab. Kebayoran

Baru, vonis penjara seumur hidup

2. Kusadiyuwono, jabatan Kepala Cab. BNI Kebayoran Baru, vonis penjara

16 tahun

Vonis terhadap pelaku nasabah BNI :

1. Ahmad Sidik Iskandardinata, Jabatan Direktur Utama PT Brocolin

Internasional, vonis 20 tahun penajara potong masa tahanan dan denda

Rp.500 juta.

Page 78: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

2. Olah Abdullah Agam, Jabatan Direktur PT Gramarindo Legal Indonesia,

vonis 15 tahun penjara potong masa tahanan dan denda Rp.300 juta.

3. Aprilla Widharta, jabatan Direktur Pan Kifros, vonis 15 tahun penjara

potong masa tahanan dan denda Rp.200 juta.

4. Adrian P. Lumowa, Jabatan Direktur Magnetique Esa Indonesia, vonis 15

tahun penjara dan denda Rp.400 juta.

5. Titik Pristiwati, Jabatan Direktur Binekatama Pasific, vinos 8 tahun

penjara dan denda Rp.300 juta.

6. Richard Kuontul, Jabtan Direktur Netrantara, vinos 10 tahun penjara &

denda Rp.150 juta.

Berdasarkan pemeriksaan kasus L/C fiktif BNI 46 di atas, penulis akan

menganalisa salah satu putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan No. 11/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel atas nama terdakwa Ahmad Sidik Mauladi

Sikandardinata Als. Dicky Iskandardinata. Analisa kasus tersebut akan dijelaskan

secara rinci dibawah ini :

1. Posisi Kasus

Bahwa terdakawa Ahmad Sidik Mauladi Sikandardinata Als. Dicky

Iskandardinata selaku direktur perseroan PT. Broccolin Internasional yang

diangkat berdasarkan akta berita acara rapat No.21 tanggal 11 April 2003

dihadapan notaris Ny. Elsye Tahanata, SH dan selanjutnya diangkat selaku

direktur utama perseroan berdasarkan akta pernyataan keputusan Rapat No.51

tanggal 29 Mei 2003 Notaris Edi Priyono, SH, baik bertindak sendiri-sendiri

maupun bersama-sama dengan Suharna bin H. Husin Abdulrachman, Agus

Juliantoro, Marheni Atmandiyah als. Anti Soenaryo, Andrian Herling

Page 79: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Waworuntu, Maria Paulin Lumowa, pada waktu sekitar bulan April 2003

sampai dengan bulan Maret 2004 atau setidak-tidaknya dalam kurun waktu

tahun 2003 dan 2004, bertempat di cabang BNI Kebayoran Baru Jakarta

Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat yang masih termasuk dalam

daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah melakukan atau turut

serta mekukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa

sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau

suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara.

Dakwaan

a. Primer : diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun

1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 pasal 55 ayat (1) Ke-1 jo pasal 64 ayat (1)

KUHP

b. Subsider : Diancam pidana dalam Pasal 3 ayat (1) Sub a, b, c UU No. 15

Tahun 2002 jo UU No. 25 taun 2003 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 64

ayat (1) KUHP.

Pledoi (Pembelaan) Terdakwa

Bahwa atas dakwaan tersebut, terdakwa melalui Nota Pembelaannya, Penasehat

Hukumnya mengajukan kerberatan terhadap isi dakwaan tersebut mengenai :

a. Tentang pengertian unsur setiap orang

Page 80: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

b. Terdakwa telah menerapkan prinsip mengenai nasabah sesuai Peraturan Bank

Indonesia yang dikelurkan pada Bulan juni 2001

c. Terdakwa telah menjalankan tugasnya sesuai dan berdasarkan ketentuan

dalam Anggaran Dasar PT. Broccolin dan ketentuan yang diatur dalam Pasal

85 dan seterusnya UU no. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dalam

Lingkup Usaha yang sah menurut Ketentuan Hukum Indonesia

d. Terdakwa telah menyerahkan aset-aset PT Broccolin kepada BNI Tbk Cabang

Kebayoran baru, Jakarta Selatan untuk disita.

Replik Jaksa Penuntut Umum

Pada pokoknya tetap berpendapat tentang pada tuntutannya.

Pertimbangan Hukum Majelis Hakim

Majelis hakim memberikan pertimbangannya , yaitu :

a. Tentang Fakta-Fakta Hukum

1) Bahwa pada Bulan Maret 2003 terdakwa dihubungi oleh Adrian Herling

Woworuntu, ditawarkan untuk mengelola dana sebesar US$ 100.000.000

(seratus juta US dollar) milik investor Israel yang berminat melakukan

investasi di Indonesia didalam bidang Agribisnis, Pertambangan, Keuangan,

IT infrastructure, Retail Chain;

2) Bahwa terdakwa tertarik dengan syarat medirikan non operating holding

company dengan minimal modal Rp.50 Milyar yang bersifat permanen dan

bebas dari bunga;

3) Bahwa dalam pertemuan dengan Maria Pauline Lumowa (representative

investor israel), terdakwa meyatakan tidak ada masalah dalam penyetoran

Page 81: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

modal yang dilakukan secara bertahap karena sebagian masih terikat deposito

berjangka sepanjang dapat dipenuhi tidak lebih dari 3 bulan;

4) Bahwa dalam pertemuan berikutnya, disepakati untuk mengambilalih PT.

Broccolin sebagai holding Company dengan komposisi pemegang saham

Maria 70% saham, Adrian dan Jeffry Baso masing-masing 15% saham, sesuai

notulen rapat tanggal 25 Maret 2003 dan berita acara rapat Nomor 21 tanggal

11 April 2003, sehingga susunan kepengurusan PT Broccolin Internasional

tersebut terdiri sebagai berikut :

Komisaris utama : Maria Pauline Lumowa

Komisaris : Jane Iriany Lumowa

Komisaris : Adrian Woworuntu

Komisaris : Jeffry Baso

5) Bahawa saksi Suharna atas perintah terdakwa telah membuka rekening PT.

broccolin di bank Permata Cabang Menara Imperium jakarta Selatan sebanyak

3 rekening, yaitu : Rek No. 701053907 dalam mata uang rupiah, Rek

No.701053494 dalam mata uang rupiah dan Rek. No. 902098445 dalam mata

uang US$;

6) Bahwa selanjutnya secara bertahap (milai dari tanggal 3 April s/d 15

Juli 2003) Rek No. 701053907 terserbut telah menerima kucuran dana sebesar

Rp.49.269.168.000,- (empat pulu sembilan milyar duaratus enam puluh

sembilan juta seartus enam puluh delapan ribu rupiah);

Page 82: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

7) Bahwa demikian juga pada Rek No. 902098445 telah menerima kucuran dana

sebesar US$2,999,990,- (duajuta sembilanratus sembilanpuluh sembilanribu

sembilanpuluhan US dollar);

8) Bahwa jumlah uang yang masuk pada rekening PT Broccolin dalam gabungan

Rupiah dan US$ adalah sebesar Rp.74.469.168.000,- (tujuhpuluh empat

miliar empatratus enampuluh sembilan seratus enampuluh delapan ribu

rupiah) (dengan konveksi kurs US$=Rp.8.400);

9) Bahwa uang yang masuk tersebut dialihkan sebagai setoran modal sesuai

dengan kesepakatan sebesar Rp.50.000.000.000,- (limapuluh miliar rupaih)

sedangkan kelebihannya sebesar Rp.24.496.000.000,- (duapuluh empat milyar

empatratus enampuluh sembilan juta rupiah) didalihkan sebagai pinjaman

pemegang saham;

10) Bahwa memperhatikan intensitas pemasukan dana sebagai setoran modal awal

perusahaan yang terjadi 9 kali transaksi dalam waktu kurang lebih 2 bulan

dengan jumlah yang tidak bulat, adalah sangat diragukan kebenarannya bahwa

transaksi tersebut benar-benar sebagai setoran awal modal, walaupun menurut

terdakwa tidak bulatnya setoran tersebut karena dana tersebut berasal dari

Deposito Berjangka;

11) Bahwa dana yang masuk kerekening rupiah tersebut selanjutnya setelah

ditandatangani berupa cek/giro oleh Terdakwa Dicky Iskandardinata, selaku

Direktur Utama dan Suharna selaku Direktur, dilakukanlah penarikan oleh

Saksi Marhaeni Atmandyah sejak bulan April s/d bulan Oktober 2003 atas

perintah terdakwa Dicky Iskandardinata dengan total sebesar

Page 83: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Rp.80.846.994.570,- (delapanpuluh miliar delapanratus empatpuluh enam juta

sembilanratus sembilanpuluh empat ribu limaratus tujuhpuluh rupiah);

12) Bahwa rekening US$ tersebut setelah ditandatangani berupa cek/giro oleh

Terdakwa Dicky Iskandardinata, selaku Direktur utama dan Suharna selaku

Direktur, dilakukan penarikan oleh Saksi Marhaeni Atmandyah sejak bulan

Juli s/d bulan November 2003 dengan total sebesar US$ 4, 529,669,74

(empatjuta limaratus duapuluh sembilanribu enamratus enampuluh sembilan

koma tujuhpuluh empat US dollar) dan Rp.305,000,000,- (tigaratus lima juta

rupaih);

13) Bahwa sejak bulan April 2003 s/d Oktober 2003 dilakukan investasi pada

beberapa perusahaan dengan total keselurhan Rp.44.669.167.600,-

(empatpuluh empat miliar enamratus enampuluh sembilan juta seratus

enampuluh tujuh ribu enamratus rupiah);

14) Bahwa demikian juga memperhatikan transaksi penarikan dana PT. Broccolin

tersebut dengan intensitas yang sangat banyak dalam waktu yang relatif

singkat dan adanya pinjaman-pinjaman kepada pihak lain merupakan indikasi

transaksi yang tidak wajar;

15) Bahwa berdasarkan hasil audit terhadap BNI Tbk. Cabang Kebayoran Baru

Jakarta Selatan, dana yang masuk pada PT. Sagared Konsultan, PT. Gramindo

Mega Indonesia, PT. Magna Graha Agung, PT. Bhinekan Tama Pasifik, PT.

Adhitya Putra Ratama Finance tidak pernah berasal dari investor asing, tapi

merupakan hasil pembobolan L/C fiktif di BNI cabang Kebayoran dan dari PT

tersebut diataslah selanjutnya dana tersebut disalurkan ke PT. Broccolin

Internasional.;

Page 84: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

16) Bahwa akibat perbuatan Terdakwa tersebut, telah menimbulkan kerugian

negara, BNI Tbk Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sejumlah

Rp.49.269.000.000,- (empatpuluh sembilan miliar duaratus enampuluh

sembilan juta rupiah) dan US$2,999,990,- (duajuta sembilanratus sembilan

puluh sembilan ribu sembilanratus sembilanpuluh US dollar) yang merupakan

bagian dari jumlah keseluruhan kerugian BNI Tbk Cabang Kebayoran Baru

Jakarta Selatan senilai Rp.1.923.877.511.544,37,- (satu trilyun, sembilanratus

duapuluh tiga miliar delapanratus tujuhpuluh tujuh juta limaratus sebelas ribu

limaratus empatpuluh empat koma tigapuluh tujuh rupiah);

17) Bahwa dengan terkuaknya L/C fiktif di BNI Cabang Kebayoran Baru Jakarta

Selatan, disikapi oleh Terdakwa dengan melaporkan kepada BNI Cabang

Kebayoran Baru dan MABES POLRI, dalam kesempatan tersebut Terdakwa

bermaksud mengundurkan diri, tapi atas arahan BNI dan MABES POLRI

diminati kepada Terdakwa tetap mengoperasikan perusahaan tersebut.

b. Dalam Pokok Perkara

Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa oleh Penuntut dengan dakwaan

yang berbentuk alternatif, sehingga akan dipertimbangkan dakwaan pertama

tersebut, yaitu pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.

20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP yang

unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

1) Setiap orang; 2) Secara melawan hukum; 3) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu

korporasi; 4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; 5) Dilaukan secara bersaman-sama

Page 85: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

6) Dilakukan secara berlanjut

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut,

ternyata perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari

dakwaan pertama tersebut sehingga Majelis berkesimpulan terdakwa telah

terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadamya, yaitu melanggar pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No.

31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal

64 ayat (1) KUHP.

Hal-hal Yang Memberatkan

a. Perbuatan terdakwa sangat merugikan perekonomian dan keuangan Negara;

b. Perbuatan terdakwa menurunkan kepercayaan masyarakat kepada dunia

perbankan sebagi salah satu komponen lalu lintas perekonomian Negara;

c. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya;

d. Terdakwa telah pernah dihukum dalam kasus korupsi perkara Bank Duta,

walaupun telah menjalani pidana, namun belum membayar uang pengganti;

Hal-hal Yang Meringankan

a. Terdakwa bersikap sopan dan kooperatif selama menjalankan persidangan;

b. Terdakwa dengan kesadaranya sediri telah berkoordinasi kepada BNI Tbk

Cabang Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan MABES POLRI sebelum

dinyatakan sebagai Terangka;

c. Terdakwa mederita sakit jantung;

Amar Putusan

Page 86: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

a. Menyatakan Terdakwa Ahmad Sidik Maulana Iskandardinata alias Dicky

Iskandardinata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut;

b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 20 (dua

puluh) tahun;

c. Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.500.000.000,- (limaratus juta rupiah)

subsider 5 (lima) bulan kurungan;

d. Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari lamaya pidanan yang dijatuhkan;

e. Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan;

f. Menetapkan barang bukti dipergunakan untuk perkara lain dan dirampas untuk

negara;

2. Analisa Kasus

Suatu perbuatan hukum (wederrechtelijk) belumlah cukup untuk

menjatuhkan pidana. Disamping itu harus ada seorang pembuat yang bertanggung

jawab atas perbuatannya, yaitu unsur kesalahan dalam arti kata bertanggungjawab

(strafbaarheid van de dader). Di mana menurut Moeljatno orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan

pidana.59

1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de dader)

Berkaitan dengan pertanggunjawaban pidana maka prinsip utama yang

berlaku adalah adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Menurut Vos pengertian

kesalahan (schuld) mempunyai 3 (tiga) tanda khusus, yaitu :

59 Moeljatno, Asas-asas hukum Pidana, (jakarta : Rineka Cipta, 1993), hal.155

Page 87: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan

3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu.60

Mengenai pertanggungjawaban pidana, maka menurut teori hukum dikenal

beberapa jenis sisitem tanggungjawab, antara lain :

1. Doktrin Identifikasi

Dalam rangka mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, di Negara

Anglo Saxon seperti di Inggris dikenal konsep direct corporate criminal

liability atau Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Langsung. Menurut Doktrin

ini, perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui

orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahan dan dipandang

sebagai perusahaan itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagi

pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat

bertanggungjawaban pribadi.61 Doktrin ini juga dikenal dengan nama The

Identification doctrine atau doktrin identifikasi.62

2. Doktrin Pertanggungjawaban Penggati (Vicarous Liability)

Doktrin pertanggungjawaban ini dapat mengkriminalisasi/menuntut korporasi

dalam kebanyakan delik. Pada sisi lain, doktrin ini membatasi

pertangungjawaban korporasi. Apabila kejahatan dilakukan oleh

pelayan/karyawan atau agen yang tidak mempunyai status sebagi pejabat

senior, perusahaan tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali UU

menetapakan dasar pertanggungjawabkan yang lain.

60 Dwidji Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi Di Indonesia, (bandung:CV Utomo, 2004), hal.34. 61 Barda Nawawi Arief, Sari kuliah perbandingan hukum pidana, (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 154. 62 Dwidja priyatni, Op.Cit., hal.89.

Page 88: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Vicarous liability menurut Barda Nawawi Arief, diartikan

“pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan

oleh orang lain” (the legal responsibility of one person to the wrongful acts of

another). Secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”.63

3. Doktrin pertanggungjawaban yang ketat menentukan undang-undang (Strict

Liability) atau pertanggungjawaban mutlak (Absolute Liability)

Dari pendapat tersebut diatas, maka dapat dijelaskan bahwa menurut doktrin

vicarous Liabilitiy, seseorang yang dapat dipertanggunjawabkan atas

perbuatan dan keselahan orang lain. Pertanggungjawaban demikian hampir

semuanya ditujukan pada delik undang-undang, dan dasarnya adalah maksud

pembuat undang-undang bahwa delik ini dapat dilakukan baik secara vicarous

maupun secara langsung.

Sebagai ius constituendum, masalah doktrin pertanggungjawaban vicarous

liability juga sudah ditampung dan diatur dalam Rancangan KUHP 1999-

2000, Pasal 32 ayat (2), yang berbunyi : “Dalam hal tertentu, seseorang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain,

jika ditentukan dalam suatu undang-undang”.

Menurut E. Sefullah Wiradipradja, pertanggungjawaban mutlak dimaksudkan

tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan.

Artinya prinsi tanggunjawab yang memandang ‘kesalahan’ sebagai salah suatu

yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau

tidak.64

63 Ibid., hal. 100. 64 Ibid., hal. 107-108.

Page 89: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Tanggung jawab mutlak adalah terjemahan dari istilah strict liability, yaitu istilah yang umumnya dipakai oleh pengadilan modern, yang berarti tanggung jawab yang dipaksakan kepada pelaku yang tidak merupakan : a. Perbuatan yang bermaksud untuk menggerogoti kepentingan seseorang

yang dilindungi oleh hukum, tanpa sesuatu pembenaran hukum terhadap penggerogotan tersebut atau

b. Pelanggaran terhadap kewajiban seseorang dalam hal dia bertingkah laku secara layak terhadap orang lain (reasonable care), yaitu berupa kelalaian (negligence) yang dapat dituntut ke pengadilan.65

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa sering dipersoalkan, apakah strict liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikiranya ialah, bahwa dalam perkara strict liability seseorang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagai mana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersolakan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (men rea) atau tidak. Undang-undang harus/mutlak dapat dipidana.

Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana.66

Strict liability ialah suatu konsepsi yang tidak memerlukan pembuktian

adanya sengaja dan alpa pembuat delik. Biasanya strict liability hanya untuk

regulatory offences.

67

a. Esensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati.

A.Z. abidin meneybutkan tiga alasan diterimanya strict liability terhadap

delik-delik tertentu.

b. Pembuktian mens rea (sikap batin si pembuat) terhadap delik-delik serupa sangat sulit.

c. Suatu tingkat tinggi ‘bahaya sosial’ dapat membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut strict libility.68

Majelis Hakim PN Jakarta Selatan dalam perkara

No.114/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel, yang menyatakan terdakwa Ahmad Sidik Mauladi

65 Edi Yunara, Op.cit., hal.22. 66 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 31-32. 67 Jur Andi Hamzah, Op.Cit., hal.95. 68 Ibid.,

Page 90: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Iskandaradinata alias Dicky Iskandardinata bersalah melanggar pasal 94 ayat (1)

UU No. 15 Tahun 2001. untuk mengtahui apakah terdakwa Jusmerycris Purba

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar ayat 2 Pasal (1) jo

Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, maka harus terlebih dahulu diketahi apakah

semua unsur dalam pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.

20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP telah

terpenuhi atau tidak.

1) Setiap Orang

Menurut martiman Prodjohanidjojo, menyebutkan bahwa setiap orang adalah

subyek hukum tindak pidana korupsi69 dan menurut Subekti mendefinisikan

subyek hukum pembawa adalah hak atau subyek dalam hukum70, sedangkan

menurut Sudigno Mertokusumo mendefinisikan subyek hukum adalah segala

sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukumm.71

Setiap orang yang dimaksud disini adalah orang sebagai subyek hukum, dalam

hal ini undang-undang tidak membedakan tiap orang apakah ia sebagai orang

perorangan (in person) ataukah orang sebagi badan hukum, yang dalam

Berdasarkan pasal 1 ayat (3) UU TPPK menyebutkan bahwa yang dimaksud

dengan setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi , dan

yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan merupakan

badan hukum (pasal 1 ayat (1) UU TPPK).

69 Martiman Prodjohanidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi

(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), (Bandung:CV Mandar Maju, 2001), hal. 13 70 Subekti, Op.Cit., hal. 19 71 Martiman Prodjohanidjojo, Op.Cit., hal. 14

Page 91: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

konteks tindak pidana yang didakwa melakukan suatu perbuatan pidana dan

dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

Menurut Moeljadno orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana), kalau dia tidak melakukan delik, tetapi meskipun dia melakukan delik tidak selalu dipidana. Apabila orang yang melakukan tindak pidanan itu tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang dikecualikan dari hukum, maka ia dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang melakukan di sini termasuk orang yang menyuruh melakukan, orang yang turut serta melakukan, atau orang yang membujuk melakukan sesuai dengan pasal 55 KUHPidana.72

2) Secara Melawan Hukum

Berdasarkan analisisdi atas unsur setiap orang telah terpenuhi.

Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU TPPK menyebutkan yang dimksud

dengan secara melawan hukum adalah mencakup perbuatan melawan hukum

dalam arti formil maupun dalam arti materil yakni meskipun perbuatan

tersebut tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, namun

apabila perbuatan tersebut dicela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau

norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut

dapat dipidana atau dikenakan nestapa.

Dalam kaitannya dengan perluasan unsur melawan hukum ini, berpendapat

bahawa mengingat karakteristik tindak pidana korupsi yang muncul akhir-

akhir ini, idealnya unsur perbuatan melawan hukum harus dipahami baik

secara formil maupun materil karena:

1) pertama, korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugukan keuangan negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka pemberanatasannya harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary efforts).

72 Moeljatno, Op.Cit., hal.157

Page 92: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

2) Kedua, dalam merespon perkembangannya kebutuhan hukum di dalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan di dalam pembuktian sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.73

Menurut Adami Chazawi, istilah melawan hukum menggambarkan suatu

perbuatan. Perbuatan yang tercelanya atau sifat terlarangnya suatu perbuatan.

Perbuatan tercela atau dicela menurut pasal 2 adalah perbuatan memperkaya

diri. Oleh karena itu perbuatan memperkaya merupakan suatu kesatuan dalam

kontek rumusan tindak pidana korupsi pasal 2. memperkaya dengan cara

melawan hukum yakni jika sipembuat dapat mewujudkan perbuatan

memperkaya adalah tercela, dia tidak berhak untuk melakukan perbuatan

dalam rangka memperoleh atau menambah kekayaannya, maka perbuatan

tersebut dianggap tercela, dia tidak berhak untuk melakukan perbuatan dalam

rangka memperoleh atau menambah kekayaannya, maka perbuatan tersebut

dianggap tercela.74

3) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau oranglain atau suatu

korporasi

Berdasarkan analisis di atas maka unsur melawan hukum jelas telah terbukti.

Pengertiang memperkaya secara harfiah adalah menjadikan ber, sedangkan

kaya menjadi banyak harta (uang dan sebagainya) yang selanjutnya dapat

disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang atau suatu badan

belum kaya menjadi kaya, orang sudah kaya bertambah kaya.75

73 Marwan Effendi, Op.Cit.,

74 Adami Chazwi, Hukum Pidana Materiil Dan Formil Di Indonesia, (Jakarta:Bayumedia Publishing, 2003), hal. 43.

75 WJS. Poerwadarminta, Op.Cit., hal. 453

Page 93: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Menurut Keputusan Mahkamah Agung RI No.951/Pid/1982 tanggal 10

Agustus 1982 dan No.275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983,

memperkaya artinya memperoleh hasil korupsi, walaupun hanya sebagian.

Ada 3 poin yang harus di dikaji dalam unsur/elemen ini berkaitan dengan

suatu tindak pidana korupsi, yaitu :

a. Pertama, memperkaya diri sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu perlu menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.

b. Kedua, memperkaya orang lain, maksudnya adalah akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.

c. Ketiga, memperkaya korporasi, yakni akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, suatu korporasi, yaitu kumpulan orang-atau kumpulan kekayaan yang teroganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (pasal 1 ayat (1) UU PTPK) yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda.76

Berdasarkan analisis di atas, maka unsur melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi jelas terbukti.

4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Menurut arti kata, ‘merugikan’ adalah sama artinya dengan ‘menjadi rugi atau

menjadi berkurang’, sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan unsur

merugikan Keuangan Negara atau perekonomian Negara adalah sama artinya

dengan menjadi ruginya atau berkurangnya keuangan Negara atau

perekonomian Negara.

Menurut penjelasan Umum UU PTKP, yang dimaksud dengan keuangan

negara adalah :

“seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena :

76 Paul Sinlaeloe, Op.Cit.,

Page 94: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

a. berada dalam pengurusan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang mertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara”.

Sedangkan perekonomian Negara menurut Penjelasan umum UU PTPK

adalah :

“kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama bedasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memerikan manfaat, kemakmuran, dan kesejateraaan kepada seluruh kehidupan rakyat”.

Yang dimaksud dengan kata ‘dapat’ menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1)

menyebutkan bahwa “dalam ketentuan ini kata ‘dapat’ sebelum frasa

merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara menunjukkan bahwa

tindak pidana korupsi merupakan delik formil yang dianut dalam undang-

undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada Negara, pelaku

tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan telah dipidana.

Menurut H.Marwan Effendi, menyatakan kata ‘dapat’ didalam rumusan pasal tersebut, tidak dapat ditafsirkan secara sempit mengingat kata ‘dapat’ padanya adalah kata ‘bisa’ atau dengan kata lain ‘potensi’, bukan ‘mungkin’ jadi kata ‘dapat’ mengandung adanya suatu kepastian dan terukur, tidak bersifat abstrak. Untuk menentukan dapat tidaknya atau bisa tidaknya keuangan negara dirugikan perlu diketahui berapa besar potensi dari kerugian tersebut (potential lost). Artinya perkiraan besarnya potential lost yang ditimbulkan oleh perbuatan Trdakwa terukur. Untuk mendapatkan ukuran potential lost tentunya diperlukan audit terlebih dahulu.58

Selanjutnya Marwan Effendi menyatakan, bahwa penafsiran yang sempit terhadap suatu unsur dapat disalahgunakan, sehingga dapat menggeser tujuan utama dari hukum didalam mewujudkan ketertiban dan keadilan. Hal ini penting, mengingat konsekuensi logis dari delik formil, unsur dapat merugikan negara atau perekonomian negara salah satu unsur inti (bestandeel) harus dibuktikan seperti halnya unsur inti lainnya.

59

58 Marwan Effendi, Op.Cit., hal. 18. 59 Ibid., hal. 19.

Page 95: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Berdasarkan analisis di atas, maka unsur dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara jelas terbukti.

5) Dilakukan secara bersama-sama

Unsur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP : Orang yang melakukan, yang menyuruh

melakukan atau turut serta melakukan perbuatan. Pasal 55 KUHP didalam

hukum pidana Indonesia dikenal dengan pasal penyertaan (deelneming)

Menurut Satochid Kartanegara, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai ajaran

‘deelneming’ yang terdapat pada suatu strafbaarfeit atau delict, apabila dalam

suatu delict tersangkut beberapa orang atau lebih seorang, dalam hal ini harus

dipahami bagaimanakah hubungan tiap peserta itu terhadap delict.60

Pelaku adalah mereka yang memenuhi semua unsur yang dirumuskan didalam undang-undang mengenai suatu tindak pidana atau delict. Turut serta melakukan itu dapat terjadi jika dua orang atau lebih melakukan secara bersama-sama sesuatu perbuatan yang dapat dihukum sedangkan dengan perbuatan masing-masing saja maksud itu tidak akan dapat tercapai. Jika kerjasama antara pelaku itu demikian lengkapnya sehingga tindakan dari salah seorang diantara mereka tidaklah mempunyai sifat sebagai suatu pemberian bantuan, maka disitu terdapat turut serta melakukan.

61

Menurut Loebby Luqman yang menyadur pendapat Hoge Raad, Noyon dan

Putusan Mahkamah Agung Tanggal 26 Juni 1971 N0. 15/K/Kr/1970,

menganut bahwa tidak perlu semua peserta didalam penyertaan yang

berbentuk ikut serta harus memenuhi semua unsur tindak pidana yang

dilakukan.

62

Menurut SR Sianturi, mengemukakan pendapat Arrest Hoge Raad 21 Juni

1926 W, 11541 menyebutkan bahwa walaupun pada seseorang (yang sudah

60 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Kedua, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2000), hal. 31. 61 Ibid. 62 Ibid.

Page 96: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

turut serta melakukan tindakan/pelaksanaan) tidak memenuhi unsur keadaan

pribadi dari pelaku tetapi didalam bekerjasama ia mengetahui adanya keadaan

pribadi tersebut pada pelaku dengan siapa ia bekerjasama, maka orang itu

adalah seorang pelaku peserta.63

6) Merupakan Perbuatan berlanjut

Berdasarkan analisis di atas, maka unsur dilakukan secara bersama-sama jelas

telah terbukti.

Dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) adalah jika antara beberapa

perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran

ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu

perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana, jika berbeda-

beda yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

Menurut ajaran perbuatan berlanjut, mempunyai 3 (tiga) syarat, yaitu :

a Adanya suatu niat

b Perbuatan sejenis

c Waktunya tidak terlalu lama

Berdasarkan analisis di atas, maka unsur merupakan perbuatan berlanjut jelas

telah terbukti.

Dari analisis unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31

Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat

(1) KUHP yang telah diuraikan di atas, maka penulis berpendapat sama dengan

pertimbangan-pertimbangan yang diberikan Majelis Hakim yang memeriksa dan

63 SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:

Gramedia, 2004), hal. 347.

Page 97: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

mengadili perkara tersebut, yaitu bahwa Terdakwa Ahmad Sidik Mauladi

Iskandardinata als Dicky Iskandardinata telah terbukti bersalah karena

perbuatannya telah sesuai dengan rumusan anasir undang-undang yaitu Pasal 2

ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal

55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, yaitu unsur setiap orang, unsur

secara melawan hukum, unsur melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, unsur dapat merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara, unsur dilakukan secara bersama-sama dan unsur dilakukan

secara berlanjut.

Dimana telah dijelaskan adanya suatu perbuatan pidana jika perbuatan itu

telah sesuai dengan rumusan anasir undang-undang serta perbuatan itu merugikan

kepentingan masyarakat. Jadi menurut penulis, perbuatan Ahmad Sidik Mauladi

Iskandardinata als Dicky Iskandardinata Jusmerycris Purba dapat dikategorikan

perbuatan pidana yakni Terdakwa Ahmad Sidik Iskandardinata als Dicky

Iskandardinata secara melawan hukum telah melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

Negara atau perekonomian Negara yang dilakukan secara bersama-sama dan

secara berlanjut.

Berdasarkan hal-hal yang penulis kemukakan di atas, sudah selayaknya

Terdakwa dijatuhi hukuman, dimana telah terdapat unsur kesalahan pada diri

Terdakwa dan tidak terdapat alasan peniadaan pidana dan karenanya Terdakwa

dapat diminta pertanggunjawabannya.

Pemberian pidana menurut penulis sudah tepat, karena Majelis Hakim

mempertimbangkan hal yang memberatkan (perbuatan terdakwa sangat

Page 98: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

merugikan perekonomian dan keuangan Negara; perbuatan terdakwa menurunkan

kepercayaan masyarakat kepada dunia perbankan sebagai salah satu komponen

lalu lintas perekonomian Negara; terdakwa tidak mengakui perbuatannya;

terdakwa telah pernah dihukum dalam kasus korupsi perkara Bank Duta,

walaupun telah menjalani pidana, namun belum membayar uang pengganti dan

hal-hal yang meringankan (terdakwa bersikap sopan dan kooperatif selama

menjalankan persidangan; terdakwa dengan kesadarannya sendiri telah

berkoordinasi kepada BNI Tbk Cabang Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan

MABES POLRI sebelum dinyatakan sebagai tessangka; terdakwa menderita sakit

jantung).

B. Penanganan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Dari

Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46

1. Mekanisme Penanganan Perkara Pencucian Uang dari Hasil Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia

Proses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum

tidak ada bedanya dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja,

dalam penanganan perkara tindak pencucian uang melibatkan satu institusi yang

relatif baru yaitu PPATK. Keterlibatan PPATK lebih pada pemberian informasi

keuangan yang bersifat rahasia (financial intelligence) kepada penegak hukum

terutama kepada penyidik tindak pidana pencucian uang, yaitu penyidik Polisi.

Proses penanganan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Peran Penyedia Jasa Keuangan (PJK), FIU dan Masyarakat

Page 99: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Peran utama PJK, FIU negara lain dan masyarakat dalam penanganan perkara

pencucian uang adalah memberikan informasi awal. Laporan dan informasi

tersebut adalah :

1) Laporan dari PJK

Sesuai Pasal 13 UU TPPU, diatur kewajiban pelaporan PJK kepada

PPATK berupa laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau

Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Transaksi Keuangan

Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK. Di

dalam internal PPATK, laporan-laporan ini diterima oleh Direktorat

Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah

melalui pengecekan kelengkapan laporan dimaksud.

Pasal 1 angka UU TPPU, yang dimaksud dengan LTKM adalah : a) transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau

kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan b) transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan

tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang;

c) transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Apabila PJK mengetahui salah satu dari 3 (tiga) unsur transaksi keuangan

mencurigakan, sudah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada

PPATK sebagai LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada informasi transaksi

keuangan dan belum memiliki kualitas sebagai indikasi terjadinya tindak

pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi

memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk

melakukan analisis LTKM ini untuk mengindetifikasi ada tidaknya

indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk

Page 100: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT dari

PJK.

2) Laporan dari masyarakat

Walaupun UU tidak mengatur kewenangan PPATK untuk menerima

informasi dari masyarakat, namun berbagai informasi adanya indikasi

tindak pidana sering diterima PPATK. Atas informasi ini, Direktorat

Hukum PPATK melakukan analisis untuk mengindentifikasi ada tidaknya

indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Informasi dari

masyarakat ini diterima PPATK melalui surat secara tertulis dan melalui

media internet.

3) Informasi dari aparat penegak hukum

Dalam penanganan suatu perkara oleh penyidik, seringkali harta kekayaan

hasil tindak pidana terindikasi oleh pelakunya disembuyikan atau

disamarkan melalui berbagai perbuatan khususnya melalui institusi

keuangan seperti : penempatan pada bank dalam bentuk deposito, giro atau

tabungan serta pentransferan ke bank lainnya; pembelian polis asuransi;

pembelian surat berharga pasar uang dan pasr modal; atau perbuatan lain

seperti membelanjakan, menukarkan atau dibawa ke luar negeri.

4) Informasi dari Financial Intelligence Unit negara lain

Berdasarkan hasil analisis PPATK, banyak informasi penting dari FIU

negara lain yang menghasilkan kasus pencucian uang dan kasus pidana

lainnya. Informasi ini baik diminta atau tidak diminta sesuai dengan

Page 101: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

estándar pertukaran informasi dalam prinsip paguyuban FIU seluruh dunia

yang tergabung dalam suatu wadah yang dikenal dengan Egmont Group.

b. Peran PPATK

Menurut Pasal 26 UU TPPU tugas PPATK antara lain :

1) mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan Undang-Undang ini;

2) memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;

3) membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan;

4) memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini;

5) membuat pedomandan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukannya dalam Undang-Undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;

6) memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantaan tindak pidana pencucian uang;

7) melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;

8) membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan;

9) memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Dalam melakukan analisis, PPATK mengumpulkan informasi dari berbagai

pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi dalam negeri yang telah

atau belum menandatangani MOU dengan PPATK agar hasil analisis tersebut

memiliki nilai tambah untuk kemudahan proses penegakan hukum. Pada

dasarnya dalam kegiatan analisis adalah kegiatan untuk menghubungkan

(association) antara uang atau harta hasil kejahatan dengan kejahatan asal

melalui identifikasi transaksi-transaksi yang dilakukan, yang pada akhirnya

akan mempermudah aparat penegak hukum untuk menjerat si penjahat. Proses

Page 102: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

pendeteksian kegiatan pencucian uang baik pada tahap placement, layering,

maupun integration akan menjadi dasar untuk merekontruksi asosiasi antara

uang atau harta hasil kejahatan dengan si penjahat. Apabila telah terdeteksi

dengan baik, proses hukum dapat segera dimulai baik dalam rangka

mendakwa tindak pidana pencucian uang maupun kejahatan asalnya yang

terkait. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa PJK di wajibkan

melaporkan transaksi keuangan mencurigakan (STR-suspicious transaction

report) dan trnsaksi keuangan tunai (CTR-cash transaction report).

Sedangkan Pasal 27 UU TPPU memberikan kewenangan kepada PPATK

anara lain :

1) meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan; 2) meminta informasi mengenai perkembangan penidikan atau penuntutan

terhadap tindak pidana pencucian uang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntutan umum;

3) melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan;

4) memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaima dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.

Untuk memperoleh laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik PPATK

harus menjalin kerjasam yang baik dengan penyedia jasa keuangan dan

instansi terkait lainnya atau dengan FIU dari negara lain. Selanjutnya dalam

proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu

pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki. Informasi

tersebut dapat berasal dari data base PPATK, sharing informasi dengan

instansi pemerintah atau dapat juga berasal dari sharing information dengan

FIU dari negara lain sebagaimana telah diuraikan di atas.

Page 103: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

2. Penegakan Hukum Pidana Pencucian Uang dari Hasil Tindak Pidana

Korupsi di Indonesia

Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian

selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada KUHAP

seperti proses penanganan tindak pidana lainnya, kecuali yang secara khusus

diatur dalam UU TPPU. Ketentuan-ketentuan khusus ini tentu memberikan

keuntungan atau kemudahan bagi penyidik, yaitu :

a. Dari hasil analisis PPATK yang bersumber dari berbagai laporan atau

informasi, seperti LTKM, LTKT dan laporan pembawaan uang tunai ke dalam

atau ke luar wilayah RI, akan sangat membantu penegak hukum ke dalam atau

ke luar wilayah RI, akan sangat membantu penegak hukum dalam

mendeteksi upaya penjahat untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang

atau harta yang merupakan hasil tindak pidana korupsi pada sistem keuangan

atau perbankan. Hal ini karena hasil analisis tersebut merupakan filter dari

seluruh laporan-laporan yang ada dan memberikan informasi mengenai

indikasi hasil tindak pidana, perbuatan pidana, dan pelaku serta jaringan

pidana yang terkait.

b. Pasal 39 sampai 43 UU TPU memberikan perlindungan saksi dan pelapor

dalam tindak pidana pencucian uang pada setiap tahap pemeriksaan:

penyidikan, penuntutan dan peradilan, sehingga mendorong masyarakat untuk

menjadi saksi atau melaporkan tindak pidana yang terjadi. Hal tersebut

mengakibatkan upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi

lebih efektif. Perlindungan ini antara lain berupa kewajiban merahasiakan

Page 104: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

identitas saksi dan pelapor dengan ancaman pidana bagi pihak yang

membocorkan dan perlindungan khusus oleh negara terhadap kemungkinan

ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya termasuk

keluarganya.

c. Adanya pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib

membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

(Pasal 35 UU TPPU).

d. Dalam penyidikan, dapat memanfaatkan FIU/PPATK untuk memperoleh

keterangan dari FIU negara lain atau memanfaatkan data base dan hasil

analisis yang dimiliki FIU/PPATK.

Di samping ketentuan yang telah diuraikan di atas, Pasal 30 sampai

dengan 38 UU TPPU secara khusus telah mengatur proses hukum tindak pidana

pencucian uang sejak penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang

pengadilan. Ketentuan mengenai hukum acara (proses hukum) tersebut sengaja

dibuat secara khusus karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak

pidana baru yang memiliki kharakteristik tersendiri dibandingkan dengan tindak

pidana pada umumnya.

a. Pemblokiran

UU TPPU tidak mengenal pemblokiran rekening, yang diatur dalam UU

TPPU adalah harta kekayaan, oleh karena itu yang dapat diblokir oleh

penyidik, penuntut umum atau hakim adalah harta kekayaan dan bukan

rekening (vide Pasal 32 UU TPPU). Nilai atau besarnya harta kekayaan yang

diblokir adalah senilai atau sebesar harta kekayaan yang diketahui atau patut

diduga berasal dari hasil tindak pidana. Bunga atau penghasilan lain yang

Page 105: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

didapat dari dana/harta kekayaan yang diblokir dimasukkan dalam klausula

Berita Acara pemblokiran.

Dalam hal dana dalam suatu rekening jumlahnya lebih kecil dari jumlah dana

yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, maka yang

diblokir hanya sebesar dana yang ada dalam rekening dimaksud pada saat

pemblokiran. Sebaliknya, apabila dana yang ada dalam rekening lebih besar

dari nilai yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana,

maka yang diblokir hanya sebesar dana yang diketahui atau patut diduga

berasal dari tindak pidana. Oleh karena yang diblokir bukanlah suatu rekening,

melainkan harta kekayaan senilai atau sebesar yang diketahui atau patut

diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka aktifitas rekening tidak

terganggu, dengan ketentuan jumlah dana yang diblokir dalam rekening

tersebut tidak boleh berkurang. Jumlah dana yang ada pada rekening untuk

sementara diblokir seluruhnya dengan syarat Penyidik/PU/Hakim dalam surat

perintah pemblokiran dan Berita Acara Pemblokiran harus menyebutkan

mengenai ”kepastian jumlah harta kekayaan/uang yang seharusnya diblokir,

masih dalam proses penyidikan dan hasilnya akan diberitahukan

kemudian.” Mengenai tata caranya, perintah pemblokiran dibuat secara tertulis

dan jelas dengan menyebutkan point-point yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2)

UU TPPU dengan tembusan ke PPATK, dan mencantumkan secara jelas pasal

UU TPPU yang diduga dilanggar. Tembusan perlu juga dikirim ke Bank

Indonesia apabila predicate crime-nya tindak pidana perbankan.

b. Permintaan keterangan (membuka rahasia bank)

Page 106: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk meminta keterangan dari Penyedia

Jasa Keuangan tentang Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan

oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa, tidak diperlukan permohonan dari

Kapolri/Jaksa Agung?Ketua Mahkamah Agung utuk meminta izin dari

Gubernur BI (Pasal 33 UU TPPU). Sementara itu, untuk kasus korupsi,

menurut UU No. 31 Tahun 1999, tetap diperlukan permohonan dari Kapolri,

Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung untuk meminta keterangan tentang

keadaan keuangan seorang tersangka korupsi (Pasal 29).

Dengan demikian, ketentuan dalam UU TPPU dapat mempercepat upaya

untuk memperoleh barang bukti dalam rangka memberantas tindak pidana

korupsi. Pasal 33 UU TPPU menjelaskan kriteria para pihak yang dapat

dimintakan informasi rekeningnya tanpa harus berlaku ketentuan rahasia bank

yaitu : 1) pihak yang telah dillaporkan oleh PPATK, 2) tersngka dan 3)

terdakwa. Di luar tiga kategori tersebut di atas, tidak bisa dimintakan kepada

bank mengenai informasi suatu rekeningnya, kecuali menggunakan

mekanisme umum yaitu adanya permintaan tertulis dari pimpinan instansi

kepada Gubernur Bank Indonesia.

Jika dalam perkembangan penyidikan diketahui adanya pihak lain yang diduga

terkait dengan aliran dana atau terkait dengan suatu tindak pidana, sedankan

orang tersebut tidak termasuk dalam tiga kategori di atas, maka hal-hal yang

perlu dilakukan penyidik antara lain :

1) Penyidik menginformasikan ke PPATK dan selanjutnya PPATK

memberitahukan ke PJK untuk dilaporkan sebagai STR. STR ini

Page 107: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

selanjutnya dianalisis oleh PPATK dan hasil analisisnya dilaporkan ke

penyidik untuk ditindaklanjuti.

2) Penyidik menginformasikan ke PJK, dan oleh PJK dilaporkan ke PPATK

sebagai STR. Kemudian STR dianalisis oleh PPATK dan hasilnya

dilaporkan kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.

3) Penyidik meminta izin Gubernur BI untuk membuka rahasia bank.

Permintaan informasi/keterangan harus dibuat dalam bentuk surat tertulis

dengan syarat :

a) ditandatangani oleh penjabat yang berwenang sesuai Pasal 33 ayat (4)

UU TPPU

b) menyebutkan maksud dan tujuan permintaan informasi, antara lain :

1) status permintaan (untuk penyidikan atau penuntutan);

2) tindak pidana yang disangkakan/didakwakan (dugaan TPPU

berikut predicate crime-nya);

3) identitas seseorang; tempat harta kekayaan (cabang Bank tertentu);

4) nomor rekening (jika ada);

5) dan periode transaksi yang dilakukan.

Surat dari penyidik ke bank/PJK perihal permintaan informasi/keterangan

terkait dengan tindak lanjut STR dengan tembusan ke PPATK. Dalam hal

tindak lanjut STR tersebut terkait dengan tindak pidana perbankan, surat

tersebut ditembuskan baik ke PPATK dan Bank Indonesia. Untuk

mengurangi intensitas hubungan langsung penegak hukum ke PJK dalam

rangka TPPU, sebisa mungkin hubungan langsung tersebut dilakukan

sejak nasabah bank yang bersangkutan telah dijadikan tersangka kasus

Page 108: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

TPPU. Selama masih dalam penyelidikan, PPATK menjdai fasilitator

antara PJK dengan penegak hukum.

c. Penyitaan

Dana yang disita tetap berada dalam rekening di bank yang bersangkutan

(bank tempat dilakukannya pemblokiran) dengan status barang sitaan atas

nama penyidik atau penjabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan petunjuk

pelaksanaan Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala

Kepolisian Republik Indonesia dan Gurbernur Bank Indonesia No. KEP-

126/JA/11/1997, No. KEP/10/XI/1997, No.30/KEP/GBI Tanggal 6 November

1997 tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana Di Bidang

Perbankan.

Dalam mengungkap fakta bahwa seseorang mengetahui atau patut menduga

bahwa harta kekayaan dimaksud berasal dari hasil tindak pidana, penyidik

dapat menjelaskan dengan pendekatan bahwa :

1) Diketahui sama dengan dolus atau sengaja, artinya seseorang itu benar

mengetahui bahwa harta kekayaan untuk bertransaksi berasal dari hasil

tindak pidana, terlepas apakah tindak pidana dilakukan sendiri, dilakukan

bersama-sama dengan orang lain atau dilakukan orang lain.

2) Patut menduga artinya culva atau alfa, subyek lalai dalam menilai terhadap

harta kekayaan.

3) Di damping itu, patut menduga dapat dilihat pula dari kecakapan

seseorang, artinya seseorang tersebut harus memiliki kapasitas untuk dapat

dinilai apakah lalai atau tidak

Page 109: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Secara praktis, untuk dapat menilai bahwa suatu harta kekayaan diketahuinya

atau patut diduganya berasal dari hasil tindak pidana, dapat dilihat dari :

1) apakah transaksi yang dilakukan sesuai profile

2) apakah seseorang tersebut melakukan transaksi sesuai kapasitasnya

3) apakah transaksi yang dilakukan terdapat underlying transaksinya

Terlepas dari hal tersebut di atas, sesuai penjelasan Pasal 3 UU TPPU, untuk

dapat dimulainya pemeriksaan TPPU, terhadap unsur ”harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” tidak perlu

dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.Pembuktian tersebut menjadi

tanggung jawab (beban) terdakwa saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal

ini sesuai Pasal 35 UU TPPU bahwa terdakwa wajib membuktikan bahwa

harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Berkenaan dengan

pendakwaan dalam sidang pengadilan, terhadap dakwaan komulatif tidak ada

masalah, tetapi terhadap dakwaan alternatif (primer subsidier) akan muncul

masalah karena dipisah pemberkasannya. Seringkali satu alat bukti digunakan

terhadap kedua kasus (predicate crime dan money laundering). Dalam

common law system, apabila proses pidana menyimpang dari due process of

law (hukum acara) maka proses hukum gugur/batal.

Selanjutnya, setelah selesai penyidikan dilakukan, penyidik meneruskan pada

Jaksa Penuntut Umum. Terdapat berbagai keuntungan bagi Jaksa selaku

penuntut umum dalam menyususn dakwaan dan melakukan penuntutan dalam

sidang pengadilan dalam menerapkan UU TPPU terutama adanya ketentuan

pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan

bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU

Page 110: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

TPPU). Di samping itu JPU juga lebih leluasa dalam menyusun dakwaan

dengan menerapkan pasal pidana baik secara komulatif (tindak pidana asal

dan tindak pidana pencucian uang) atau alternatif (tindak pidana asal atau

pidana pencucian uang). Dalam hal penyusunan dakwaan selesai dilakukan,

kegiatan selanjutnya adalah proses persidangan di pengadilan.

Beberapa keuntungan dalam menerapkan UU TPPU dalam proses

pemeriksaan oleh hakim di sidang pengadilan, antara lain :

1) Dalam hal tersangka sudah meninggal dunia, sebelum putusan hakim

dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang

bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim

dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah

disita dirampas untuk negara (Pasal 37 UU TPPU).

2) Berdasarkan Pasal 6 UU TPPU setiap orang yang menerima atau

menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,

penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduganya merupakan hasil tindak pidana, diancam dengan hukum pidana

(tindak pidana pencucian uang ”pasif”). Ketentuan untuk cukup mudah

diterapkan dalam proses pemeriksaan karena hakim lebih banyak menilai

pada kebenaran formal daripada material.

3) Berita Acara Pemeriksaan seharusnya tidak mencamtumkan nama pelapor

dan saksi serta hal-hal lain yang mengarah pada terungkapnya identitas

pelapor maupun saksi; atau BAP dibuat dalam bentuk Berita Acara

Pendapatan oleh penyidik. Hal ini terkait dengan Perlindungan khusus

bagi saksi dan Pelapor. Dalam rangka memberikan perlindungan bagi

Page 111: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

pelapor dan saksi serta perlindungan bagi penyidik, hal-hal yang musti

dilakukan antara lain :

a) Permintaan saksi dari bank diajukan secara tertulis kepada bank

(permintaan bukan ditujukan pada nama penjabat bank)

b) kapasitas saksi adalah mewakili institusi (bukan individu)

c) tidak menyebutkan identitas pelapor dan saksi, atau indentitasnya

disamarkan (a.l. laki-laki jadi perempuan, atau sebaliknya)

C. Hambatan-Hambatan Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Pelaksanaan Undang-Undang Anti Pencucian Uang di Indonesia akan

mendapat hambatan dari kelemahan substansi, aparatur dan budaya hukum.

Substansi dalam sistem hukum adalah norma-norma yang terdapat dalam undang-

undang dan putusan pengadilan. Aparatur atau organ dapat diumpamakan sebagai

mesin yang menghasilkan produk hukum tersebut, dalam hal ini badan legislatif,

eksekutif, yudikatif. Selanjutnya yang amat menentukan berjalannya suatu sistem

hukum adalah budaya hukum (legal culture) masyarakat. Budaya hukum

masyarakat ditentukan oleh sub-culture. Sub-culture tersebut dipengaruhi, antara

lain, oleh agama, pendidikan, posisi, kepentingan dan nilai-nilai yang dianut.

Secara umum hambatan yang ada dalam penanganan tindak pidana

pencucian uang dari hasil korupsi adalah :

1. Kelemahan substansi sistem hukum yang antara lain disebabkan :

a. materi dan sanksi hukum tidak lengkap

b. sanksi hukum tidak menimbulkan efek jera

Page 112: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

c. hukum hanya mementingkan kepastian hukum dan mengabaikan

keadilan.

d. tidak mengikuti perkembangan zaman

2. Kelemahan Apatur

a. Ketidaksiapan bank-bank dan penyedia jasa keuangan untuk melaksanakan

kewajiban pelaporan.

b. Ketidakmampuan para petugas penyedia jasa keuangan dalam mendeteksi

transaksi dan rekening yang ada, atau yang menimbulkan kecurigaan.

c. Kinerja atau profesionalitas penegak hukum yang tidak memadai dalam

mengungkap kejahatan ini.

3. Budaya Hukum masyarakat belum mendukung anti pencucian uang

a. Belum adanya budaya anti korupsi di dalam masyarakat.

b. Perbedaan pemahaman masyarakat (nasabah bank) mengenai praktik

pencucian uang. Karena masih banyak masyarakat yang berpandangan

bahwa pencucian uang tidak langsung akan merugikan masyarakat.

4. Kesulitan terhadap penerapan sistem hukum dalam kerjasama internasional

untuk memberantas tindak pidana pencucian.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Page 113: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

A. Kesimpulan

1. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, korupsi diartikan sebagai setiap orang baik

penjabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur/elemen yang terkandung

dalam pasal ini adalah adanya perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus

dilakukan secara melawan hukum, tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk

memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan akibat perbuatan

tersebut adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang

dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia secara umum dilakukan adalah

placement (upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas

kejahatan melalui sistem keuangan), layering (upaya untuk memisahkan atau

lebih menjauhkan hasil kejahatan dari sumbernya atau menciptakan

serangkaian transaksi yang kompleks untuk menyamarkan/mengelabui sumber

dana ”haram” tersebut) dan integration (upaya untuk menetapkan suatu

landasan sebagai suatu ’legimate explanation’ bagi hasil kejahatan).

3. Proses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak

ada bedanya dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja,

dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melibatkan satu

institusi yang relatif baru yaitu PPTAK.

Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya

melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada KUHAP seperti proses

Page 114: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

penanganan tindak pidana lainnya, kecuali yang secara khusus diatur dalam

UU TPPU, seperti adanya memberikan perlindungan saksi dan pelapor pada

setiap tahap pemeriksaan: penyidikan, penuntutan dan peradilan, adanya

pembuktian terbalik, dan lain-lain.

B. Saran

1. Pemberantasan tindak pidana pencucian uang dari hasil korupsi harus

dilakukan secara sistemik dengan cara melakukan perubahan pada struktur dan

pelaku yang dualitas hubungan keduanya menentukan wajah sistem. Upaya

memerangi tindak pidana ini harus digerakkan serta didukung sepenuhnya

oleh presiden dan penjabat yang menduduki posisi-posisi kunci seperti

menteri, kepala kepolisian, kepala kejaksaan, Ketua Mahkamah Agung, dan

Ketua-ketua Pengadilan, selain tentunya, ketua dan anggota Komisi

Pemberantasan Korupsi. Mereka harus mengedepankan supremasi hukum di

atas kekuasaan dan kepentingan lainnya.

2. Selain itu, diperlukan peran serta masyarakat untuk melaporkan setiap

transaksi (perbankan) yang mencurigakan serta lembaga-lembaga suatu

”kelompok pengawas” yang secara konsisten melakukan pengawasan terhadap

penguasa dan jajaran pemerintahannya misalnya lembaga seperti ICW di

setiap Kabupaten/Kota untuk mengawasi perilaku penguasa dan pemerintahan

daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Page 115: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Andi, Jur Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, Edisi Revisi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia di

Indonesia, dalam Pustaka Peradilan Jilid IX, Jakarta: Penerbit

Mahkamah Agung RI, 1995.

Effendi, Marwan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia,

2005.

Emily G Lawrence, Let Seller Beware: Money Laundering, Merchants and 18

USC, 1956, 1957, vol. 37, College 1. Rev (1992).

Emong, Komariah Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material dalam

Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2001.

Fockema Andreae, Kamus Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983.

Fuady, Munir, Hukum PerbankanModern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

2003.

Garnasih, Yenti, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta:

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

Hamilton-Hart, Natasha. Anti Corruption Startegies in Indonesia. Jakarta:

Bulletin of Indonesian Economic Studies 37 (1), 2001.

Hari, Sasangka, dan Lily, Rasita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan Kelima 2001.

Irman, Tb. S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta:

MQS Publishing & Ayyccs Group, 2006.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Kedua, Jakarta:

Rineka Cipta, 2000.

Koeswadji, Korupsi di Indonesia; dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi,

Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Moeljatno, Asas-asas HukumPidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993.

Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik

dan Masalahnya), Bandung: Alumni, 2007.

Page 116: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Nawawi, Barda Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2002.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

1984.

Prayudi, Guse, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, makalah dalam majalah hukum Varia Peradilan

Tahun ke XXII No. 254 Januari 2007.

Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004.

Prodjohanidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik

Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), Bandung: CV

Mandar Maju, 2001.

Siahaan, NHC, Money Laundering (Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan),

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.

Sianturi, SR, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:

Gramedia, 2004.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Penerbit Politea

Bogor, 2000.

Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987.

Sutan Remi Sjahdeini, Money Laundering, Jakarta: FHPSUI, 2003.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,Bandung: Alumni, 1986.

------------------, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1993.

Syahrul, Kamus Akuntasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.

Yahya, M. Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi

Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi

Kasus, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005.

Page 117: Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus Lc Fiktif Bni 46) Tdk Bs

Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007. USU Repository © 2009

Surat Kabar

Azhar, Harry Azis, Uang Haram Rp. 50 triliun Beredar di Indonesia, Republika

(27 Januari 2001).

Fuad, Munawar Noeh, Kiai di Republik Maling, Jakarta: Republika, 2005.

Husein, Yunus, Alasan Banyak Orang Korupsi, Dimuat di Harian Seputar

Indonesia pada Hari Senin, 12 Juni 2006.

Internet

http://wwwl.oecd.org/fatf/.

http://www.kompas.com/

http://www.transparancy.org./

http://www.sumbanews.com, Selasa, 18 September 07 (18:17)

Undang-Undang

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang, UU No. 15 Tahun 2002.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang, UU No. 25 Tahun 2003, LN, No. 108 Tahun 2003.